Konferensi Nasional Integrasi Iman-Ilmu 2008
TANTANGAN MAHASISWA ILMU KOMUNIKASI : PRODUKSI TAYANGAN SINETRON DALAM PERSPEKTIF NILAI KRISTIANI Marsefio Sevyone Luhukay.,S.Sos Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Petra Jl. Siwalankerto 121-131 Surabaya 60236 email:
[email protected]
Abstrak Percepatan teknologi, komunikasi dan informasi telah membawa perubahan yang besar dalam industry media massa di tanah air. Salah satunya adalah televisi, yang menjadi primadona dibandingkan dengan media massa lainnya. Penetrasi televisi yang luar biasa yakni 90,7%, telah mengakibatkan TV sebagai media public telah masuk dalam ruang-ruang privat keluarga Indonesia. Fungsi TV bukan lagi mengedukasi, melainkan sekedar hiburan semata. Ini bisa dilihat dari jenis tayangan yang diproduksi oleh TV. Selain itu penonton tidak punya kuasa untuk menolak apa yang ditonton mereka. Salah satu tayangan yang mendapat “rating” tertinggi adalah sinetron. Sinetron atau sinema elektronik adalah produksi TV yang paling banyak mendapat sorotan karena dinilai sebagai tontonan yang tidak mendidik, karena bermuatan kekerasan, mistis, moral yang kurang dan sarat akan hedonisme dan konsumerisme. Hal ini yang merupakan tantangan bagi mahasiswa ilmu komunikasi yang akan terjun ke dunia pekerjaan yang sesungguhnya. Mereka akan bekerja sebagai pekerja media, yang akan memproduksi tayangan tidak mendidik seperti sinetron. Apa yang menjadi bekal bagi para mahasiswa adalah pemahaman yang benar akan nilai-nilai kristiani, sehingga dalam pekerjaan mereka dapat menjadi garam dan terang, sekaligus dapat menunjukkan eksistensi diri mereka sebagai anak-anak Tuhan dengan melakukan pekerjaan sesuai dengan talenta mereka, tetapi tetap berpegang pada pandangan Alkitab sebagai firman Allah yang hidup. Pemahaman nilai-nilai Kristiani ini dapat ditanamkan sejak mereka menjadi mahasiswa dan dapat diajarkan oleh para dosen melalui penerapan kurikulum ilmu komunikasi yang telah ada. Sehingga setelah menjadi sarjana ilmu komunikasi, penerapan iman dan ilmu dapat berjalan seiring sejalan, dan mereka akan menjadi pekerja media yang memiliki integritas yang baik. Kata kunci : Tantangan, mahasiswa ilmu komunikasi, produksi tayangan, sinetron, pekerja media
1. Pendahuluan Makalah ini ditulis berangkat dari sebuah keprihatinan melihat tantangan yang dihadapi mahasiswa ilmu komunikasi ketika saat ini ilmu komunikasi mengalami perkembangan yang luar biasa pesatnya. Percepatan yang sangat luar biasa, terutama dari sisi teknologi dan informasi nya, yang disatu sisi membawa banyak pengaruh yang positif , sementara disisi lain akan berpengaruh tidak baik bagi masyarakat, jika tidak disikapi dengan bijaksana.
Menurut saya, sebagai dosen, setiap perkembangan ini harus dapat kita komunikasikan pada peserta didik, sehingga mereka mengetahui apa yang terjadi diluar isi buku-buku referensi yang mereka baca. Selain itu, sebagai pendidik kita dituntut untuk memberikan yang terbaik pada anak didik kita. Artinya bukan hanya sekedar mengajar saja, melainkan juga kita mendidik mereka untuk sungguh-sungguh berjalan dalam terang Firman Tuhan. Dengan berbekal pada pengalaman menjadi dosen ilmu komunikasi selama 7 tahun, saya melihat bahwa setiap tahunnya mahasiswa
Konferensi Nasional Integrasi Iman-Ilmu 2008
yang masuk ilmu komunikasi masuk jurusan ini dengan penuh harapan. Artinya, bukan sekedar masuk untuk mencari gelar semata, tetapi lebih dari itu, ada upaya-upaya pencarian jati diri mereka sehingga kelak bisa menjadi sarjana komunikasi yang mumpuni., berkompeten dalam bidangnya. Dalam perkuliahan, sering sayaberdiskusi dengan mahasiswa baik yang mengambil mata kuliah CC (corporate communications) maupun Mass Communication, untuk mulai mengkritisi isi media massa di tanah air. Karena media massa telah mengalami perkembangan yang luarbiasa baik dari sisi teknologim maupun content nya. Mengapa hal ini saya lakukan ? semata karena saya ingin mereka bukan sekedar belajar pada apa yang ada didalam buku, melainkan mereka juga belajar melihat dan memahami realitas social yang ada disekeliling mereka, salah satunya adalah melalui isi media massa. Apa yang sedang terjadi pada isi media massa ditanah air ? bagaimana media massa yang seharusnya berada dalam ruang-ruang public, telah masuk dalam ruang privat keluarga Indonesia. Bagaimana pengaruh media masaa bagi keluarga Indonesia ? Bagaimana masyarakat menyikapi isi media ? Mahasiswa ilmu komunikasi dapat melakukannya melalui teori-teori dala komunikasi massa seperti ; analisa isi, framing, Agenda setting, reception analysis, semiotika dan sebagainya. Saya tahu, bahwa apa yang diajarkan pada mereka, akan berbenturan dengan apa yang akan terjadi dimasa depan, ketika mereka terjun dalam dunia kerja sesungguhnya. Ketika menjadi mahasiswa, mereka dapat kita tuntun untuk mengkritisi media, tetapi ketika mereka sudah masuk dalam lapangan kerja, mereka justru yang akan memproduksi isi tayangan pada masyarakat. Bagaimana mempersiapkan mereka untuk bisa tetap berpegang pada nilai-nilai kekristenan, sementara apa yang
ditawarkan dalam pekerjaan justru hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai kekristenan ? Bukan nilai kekristenan yang menonjol, tetapi kado bagi mahasiswa ilmu komunikasi UK Petra ketika lulus dan bekerja dalam masyarakat adalah nilai-nilai yang lebih universal dan bahkan sudah menjadi gaya hidup; misalnya hedonisme, konsumerisme, egosentrisme, relativisme, telah dikemas dengan rapi dan diikat dengan pita berlabelkan kapitalisme yang “katanya” adalah apa kata selera pasar, itu yang menjadi “kitab suci” pegangan pekerja media. Sungguh suatu tantangan yang besar. Apalagi jika kita meneropong lebih jauh, terlihat berapa media massa bernuansa Kristen yang tumbuh dan eksis dimasyarakat ? sementara itu berbagai media sekuler lainnya tumbuh menjamur dan menawarkan madu yang lebih manis, dan bukan sesuatu yang hambar dan terasa tawar seperti mediamedia Kristen yang cenderung biasa-biasa saja. Tantangan ini harus segera disikapi dengan membekali mahasiswa tetap berpegang teguh pada nilai-nilai kekristenan yang mereka anut. 2. Peran Media Massa Peran media massa dalam kehidupan social – menurut berbagai literature- tidak diragukan lagi. Walau kerap dipandang secara berbeda-beda, namun tidak ada yang menyangkal perannya yang signifikan dalam masyarakat modern. Mc Quail, misalnya dalam bukunya Mass Communication Theories (2003 : 66), merangkum pandangan khalayak terhadap peran media massa. Setidaknya ada enam perspektif dalam melihat peran media. Pertama, melihat media massa sebagai window on event and experience. Media dipandang sebagai jendela yang memungkinkan khalayak “melihat” apa yang terjadi di luar sana. Atau media merupakan sarana belajar untuk mengetahui
Konferensi Nasional Integrasi Iman-Ilmu 2008
berbagai peristiwa. Kedua, media sering dianggap sebagai a mirror of events in society and the world, implying a faithful reflection. Cermin berbagai peristiwa yang ada dimasyarakat dan dunia, yang merefleksikan apa adanya. Karena itu para pengelola media sering merasa tidak “bersalah”, jika isi media penuh dengan kekerasan, konflik dan berbagai keburukan lain. Ketiga, memandang media massa sebagai filter, atau gate keeper yang menyeleksi berbagai hal untuk diberi perhatian atau tidak. Media senantiasa memilih issue, informasi atau bentuk content lain berdasar standar para pengelolanya. Disini khalayak “dipilihkan” oleh media tentang apa-apa yang layak diketahui, dan mendapat perhatian. Keempat, media massa acapkali dipandang sebagai guide, petunjuk jalan atau interpreter, yang menerjemahkan dan menunjukkan arah atas berbagai ketidak puasan, atau alternative yang beragam. Kelima, melihat media massa sebagai forum untuk mempresentasikan berbagai informasi dan ide-ide kepada khalayak, sehingga memungkinkan terjadinya tanggapan dan umpan balik. Terakhir, Keenam, media massa sebagai interlocutor, yang tidak hanya sekedar tempat berlalu lalangnya informasi, tetapi juga partner komunikasi yang memungkinkan terjadinya komunikasi yang interaktif. (Subiakto, Hendri, Jurnal Ikatan sarjana Komunikasi vol.vi/November 2001) Jadi peran media massa dalam kehidupan social bukan sekedar sarana diversion, pelepas ketegangan atau hiburan, tetapi isi dan informasi yang disajikan mempunyai peran yang signifikan dalam proses social. Isi media merupakan konsumsi otak bagi khalayaknya, sehingga apa yang ada di media massa akan mempengaruhi – Menurut istilah Peter Berger (1979 : 13)- realitas subjektif pelaku interaksi social. Atau
dengan istilah lain, media mampu menanamkan the pictures in our heads (istilah Walter Lippman, 1921) tentang realitas yang terjadi di dunia ini. Ironisnya semua fenomena itu justru terjadi dalam era yang disebut sebagai budaya media. Dalam lingkup sosial semacam ini, sebagaimana pernah diungkapkan Douglas Kellner, media secara kontinyu menampilkan citraan-citraan, suara serta tontonan yang memproduksi aturan-aturan hidup keseharian, mendominasi waktu luang, membentuk pandangan politik serta perilaku sosial, serta menyediakan materi untuk melakukan identifikasi diri. 3. Perkembangan Televisi Salah satu keprihatinan yang akan dibahas lebih jauh dalam makalah ini adalah perkembangan si kotak ajaib yang kita sebut televisi. Televisi adalah media yang paling luas dikonsumsi masyarakat Indonesia, yang lebih kuat budaya lisan. Karakteristik televise sebagai media audio visual telah membuat TV menjadi primadona. Saat ini TV telah menjadi salah satu “pra syarat” yang harus berada ditengah ruang keluarga Indonesia. Hal ini tidak berlaku hanya pada masyarakat kota yang relative kaya, melainkan juga merambah ke pelosokpelosok desa, di rumah-rumah hunian liar, di pinggir-pinggir sungai kota, ataupun dibawah jembatan layang (Data dari Pendidikan Jurnalisme TV, Universitas Indonesia, 2005). Sebagai primadona media, televise memberikan imbas media yang luarbiasa bagi kehidupan masyarakat. Bahkan kehadirannya yang massif, dengan bau kapitalistiknya yang kental, langsung tidak langsung berpengaruh pada perilaku dan pola pikir masyarakat Indonesia, apalagi dalam deretan media informasi, media ini memiliki daya penetrasi jauh lebih besar daripada media lainnya. Dimana penetrasi televise mencapai 90,7%, Radio 39%, surat kabar 29,8%,, majalah 22,4%, internet 8,8%,
Konferensi Nasional Integrasi Iman-Ilmu 2008
dan menonton bioskop sebesar 15%. (Sumber data media index-Nielsen Media Research, 2004) Saat ini telah bermunculan berbagai stasiun televisi ditanah air yang berlomba menghadirkan berbagai acara. Siaran ini ditangkap oleh sekitar 40 juta rumah tangga yang memiliki televisi di Indonesia. Bila satu rumah tangga beranggotakan 5 orang, artinya penonton tv di Indonesia mencapai kurang lebih 200 juta jiwa. Bila diasumsikan bahwa setiap stasiun tv bersiaran selama 20 jam sehari, maka pada saat ini setiap hari ditayangkan sekitar 220 jam acara TV, yang berasal dari luar maupun produksi local. Dalam setahun diperoleh angka kurang lebih 80.000 jam !. (Wirodono, Sunardian, Matikan TV-mu !, 2005 : 10) Dengan menawarkan begitu banyak campuran gambar, secara tidak sengaja televisi menyejajarkan hal-hal yang tidak saling cocok. Televisi membutuhkan kejelasan waktu dan tempat. Televisi mencampuradukkan masa lalu dan masa kini, yang jauh dan yang dekat, segala sesuatunya di- bawa menjadi kini dan di sini, di hadapan pemirsa televisi. Dengan cara ini, televisi memperlihatkan dua ciri khas postmodern: menghapus batas antara masa lalu dan masa kini; dan menempatkan pemirsa dalam ketegangan terus-menerus. Banyak pengamat sosial menganggap televisi sebagai cermin dari kondisi psikologis dan budaya postmodern. Televisi menyajikan begitu banyak gambar yang tidak berhubungan dengan realitas, gambargambar yang saling berinteraksi terusmenerus tanpa henti (Strinati, Dominic : 2000) Salah satu tayangan yang banyak ditayangkan di TV adalah sinetron. Sinetron menjadi tayangan yang paling menonjol dan paling tinggi frekuensi penayangannya dibanding jenis acara TV lainnya. Tudingan banyak diarahkan ke sinetron sebagai penyebab maraknya gaya hidup
konsumeristik – hedonistic. Dengan banyaknya episode sinetron yang hanya memunculkan kesemarakkan dan kemudahan hidup, yang bukan merupakan realitas social masyarakat penontonnya. Dilayar televisi, didorong oleh karakter teknokpitalisnya, gaya hidup yang muncul adalah gaya hidup virtual dan superficial. Yang sudah menjadi syarat wajib dunia tontonan. Berbagai permasalahan muncul dalam citraan tentang media televisi. Citra yang menonjol adalah adanya pengeksploitasian, tercermin pada posisi masyarakat yang lebih sebagai objek, dengan menafikan peran-sertanya sebagai subjek. Perspektif ataupun dimensi etis tidak pernah menjadi unsure yang dipertimbangkan dalam lini bisnisnya. Sinetron yang berarti sinema elektronik ini atau lebih populer dalam akronim sinetron adalah sandiwara bersambung yang disiarkan oleh stasiun televisi. Dalam bahasa Inggris, sinetron disebut soap opera, sedangkan dalam bahasa Spanyol disebut telenovela. Sinetron pada umumnya bercerita tentang kehidupan manusia sehari-hari yang diwarnai dengan konflik. Seperti layaknya drama atau sandiwara, sinetron diawali dengan perkenalan tokoh-tokoh yang memiliki karakter khas masing-masing. Berbagai karakter yang berbeda menimbulkan konflik yang makin lama makin besar sehingga sampai pada titik klimaksnya. Akhir dari suatu sinetron dapat bahagia maupun sedih, tergantung dari jalan cerita yang ditentukan oleh penulis skenario. Keluhan tentang tayangan sinetron sering dilontarkan dala berbagai diskusi public, artikel surat kabar/majalah dan surat pembaca surat kabar. Isi sinetron yang terkait dengan kekerasan, seks, mistis dan moral menjadi keluhan utama. Sinetron juga dituding sebagai tayangan yang kurang mendidik. Penonjolan hanya dari sisi hiburan semata. Apalagi sinetron Indonesia
Konferensi Nasional Integrasi Iman-Ilmu 2008
hampir 99,9% adalah jiplakan dari film / melodrama Asia seperti Korea, Taiwan dan Jepang. Padahal, sinetron adalah produksi yang paling banyak diproduksi stasiun TV di Indonesia karena menghasilkan keuntungan, disatu sisi biaya produksi yang rendah, sisi lain, minat stasiun TV yang demikian tinggi untuk menayangkan. 4. Pandangan Alkitab terhadap Produksi Tayangan Sinetron Sebagai orang Kristen, kita telah mengetahui bahwa dalam Kitab Amsal 1 : 7 dikatakan : Takut akan Tuhan adalah permulaan hikmat dan pengetahuan. Jadi Alkitab sudah menyebutkan bahwa dasar dari segala ilmu pengetahuan itu adalah rasa takut kita kepada Tuhan. Artinya, ketika para mahasiswa akan bekerja menjadi pekerja media, mereka tidak perlu ragu-ragu, karena sudah dengan sangat jelas amsal 1 : 7, menyebutkan hal itu, sehingga takut akan Tuhan lah yang melandasi seluruh aspek kerja anak-anak Tuhan. Tetapi, ketika menjadi pekerja media dan memproduksi tayangan sinetron, yang menampilkan rumah mewah, pakaian yang indah-indah, mengusung gaya hidup hedonism dan konsumerisme, yang melahirkan mimpi untuk memperoleh kehidupan seperti apa yang ditonton di sinetron Indonesia ? dalam banyak ulasan sinetron sering membuat orang bermimpi untuk mempunyai kehidupan yang lebih baik. Mempunyai uang yang banyak, Rumah mewah, mobil bagus, tanpa bekerja keras. Alkitab secara tegas telah menyatakan dalam Ibrani 13 : 5 bahwa Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah diri mu dengan apa yang ada pada mu. Artinya kita tidak boleh hanya memikirkan uang dan tidak boleh diperbudak oleh keinginan kita. Sehingga tidak perlu mengganti assesoris rumah, cat rumah, kamar atau pernak pernik mobil seperti yang dilihat di sinetronsinetron. Ada juga yang berkhayal saja
untuk mencapai semua hal yang prestisius yang ia lihat di televisi, tetapi tidak pernah pernah dijalani dengan semangat untuk mencapai tujuan itu. Karena itu tidak perlu berkhayal terlampau jauh, sehingga melupakan Allah sebagai satu-satunya pencipta dan pemelihara hidup kita. Karena yang terlihat di televisi, bukan realitas sesungguhnya, televisi bukanlah a mirror of events in society and the world. Satusatunya cermin bagi kehidupan kita orang percaya, adalah Alkitab, Firman Allah yang hidup. Kemudian yang terjadi di Indonesia adalah masyarakat menjadi masyarakat konsumsi, yang hanya berposisi sebagai “pembeli” dan bukan “pembuat”. Berbeda dengan pembuat, dimana sebagai pembuat, adalah subjek pelaku, yang mempunyai kemerdekaan, kreativitas dan kemjungkinan yang ditentukan oleh dirinya sendiri. Sebagai pekerja media nantinya, mahasiswa ilmu komunikasi akan membuat / memproduksi suatu tayangan, maka ada firman Tuhan yang terlebih dahulu sudah mengingatkan; untuk berhati-hati benar dalam menentukan ide pembuatan suatu program tayangan. Roma 1 : 21 – 24 yang mengatakan : Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada Nya. Sebaliknya pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka menjadi gelap.Mereka berbuat seolah-olah mereka penuh hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh. Mereka menggantikan kemuliaan Allah dengan gambaran yang mirip manusia yang fana, burung-burung, binatangbinatang berkaki empat atau binatangbinatang yang menjalar. Ini terlihat dalam produksi sinetron-sinetron mistis, yang sarat dengan nilai-nilai mistik dan okultisme. Disana tampak binatang-binatang seperti ular, naga, dewa atau dewi, patung-patung berhala. Kemuliaan Allah sama sekali tidak kelihatan, yang ada adalah parade kekuasaan
Konferensi Nasional Integrasi Iman-Ilmu 2008
manusia. Dukun melawan dukun, manusia seolah menjadi penguasa tunggal jagat raya ini. Segala sesuatu terlihat sebagi sesuatu yang relative. Tidak ada yang absolute lagi. Allah sudah terlebih dahulu mengingatkan kita untuk tidak berlaku bodoh dengan tidak menonton atau bahkan memproduksi tayangan yang menyesatkan seperti itu. Tayangan televisi juga penuh dengan rupa-rupa hawa nafsu seperti perselingkuhan, yang tidak diperbolehkan dalam agama Kristen. Alkitab sudah memperingatkan dalam Ibrani 13 : 4 “ Hendaklah kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan dan janganlah kamu mencemarkan tempat tidur, sebab orangorang sundal dan pezinah akan dihakimi Allah.”. Sangat tegas Allah melarang hal ini, tetapi dalam realitas dunia pertelevisian, kita melihat banyak sekali tayangan yang memperlihatkan perselingkuhan, seks bebas sebagai suatu hal yang biasa, lazim terjadi di zaman ini. Sehingga nilai-nilai kesakralan rumah tangga makin lama makin pudar, karena realitas yang mereka lihat di televisi, dianggap sebagai realitas yang sesungguhnya. Nilai moral bangsa ini sungguh dipertaruhkan, ketika batas-batas ketidak wajaran menjadi sesuatu hal yang dilazimkan di media massa, dan terus diproduksi bahkan dalam beberapa episode yang panjang. Dalam tayangan televisi juga kita melihat banyak adengan kekerasan, katakata makian, sumpah serapah dan kata-kata kotor lainnya, yang sama sekali tidak mendidik. Yakobus menasehati kita dalam Yakobus 1 : 19 – 20 : “Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini : setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar dan lambat untuk berkata-kata dan juga lambat untuk marah. Sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran dihadapan Allah. Yakobus menginginkan kita untuk bersikap lemah lembut dan hormat menghormati dalam berinteraksi
dengan orang lain. Ini berbeda dengan tampilan dalam sinetron Indonesia yang terlihat anak bertengkar dengan orang tua, orang tua menampar anak, menantu bertengkar dengan mertua, sahabat saling menjambak rambut, dan sebagainya. Sungguh bukan tayangan yang mendidik kita untuk makin mengasihi sesama kita, mengasihi keluarga. Padahal dalam surat Efesus 6 : 1 – 3, kita diajar untuk taat dan menghormati orang tua kita.dan orang tua dinasehati juga untuk mendengarkan anak mereka (Efesus 6 : 4). Tayangan kekerasan, menurut hasil penelitian bersama 18 Perguruan Tinggi di Indonesia dengan YPMA (yayasan pengembangan media anak) menemukan bahwa kekerasan dalam sinetron remaja bukan menjadi bumbu lagi, melainkan telah menjadi inti cerita. Motif kekerasan yang ditonjolkan pun adalah kekerasan yang disengaja, artinya sudah direncanakan, kekerasan yang lahir dari hati seseorang (Prosiding hasil penelitian bersama : 8). Alkitab mencatat bahwa dalam Zakharia 7 : 10, dikatakan : “Janganlah merancang kejahatan dalam hati mu terhadap amsingmasing”. Alkitab tidak mengajarkan tentang kejahatan, bahkan yang dari dalam hati pun, Allah sudah mengetahuinya. Penyesatan terjadi justru terjadi, jika masyarakat memahami televisi sebagai filter atau gate keeper maka proses penyesatan ini akan terus terjadi, melalui suplai tayangan kekerasan seperti ini. Sehingga tidak mengherankan kriminalitas makin merebak Karena filter yang dipegang bukan Firman Allah tetapi media massa yang adalah produksi manusia. Dengan menjadi pembuat acara, produser suatu acara, terutama acara yang ratingnya tinggi, tentu suatu hal yang menyenangkan, karena bisa menghasilkan sesuatu yang berguna dan mendatangkan keuntungan yang besar. Tetapi pertanyaannya, berguna pada siapa ? apa
Konferensi Nasional Integrasi Iman-Ilmu 2008
tayangan seperti yang diuraikan diatas adalah tayangan yang mendidik ? membawa masyarakat pada pencerahan pola pikir dan perilaku social yang lebih baik lagi ? ataukah justru hanya kejar tayang demi mengejar uang dan mengabaikan hati nurani ? pertanyaan ini sudah dijawab dengan bijaksana oleh Timotius, dalam II Timotius 3 : 2a. Ia mencatat bahwa manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang, ini ciri keadaan manusia pada akhir zaman. Dipertegas juga dalam I Timotius 6 : 10 bahwa Karena akar segala kejahatan adalah cinta uang, sebab oleh memburu uanglah orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka. Sebagai pekerja media yang takut akan Tuhan, ketika diperhadapkan pada pilihan antara rating dan nilai-nilai kristiani. Petrus menyebutkan hal ini dengan jelas dalam I Petrus 4 : 3b – 4a yang mengatakan bahwa Kamu telah hidup dalam rupa-rupa hawa nafsu, keinginan, kemabukkan, pesta pora, perjamuan minum dan penyembahan berhala yang terlarang. Sebab itu mereka heran, bahwa kamu tidak turut mencemplungkan diri bersama-sama mereka dalam kubangan ketidaksenonohan yang sama, dan mereka memfitnah kamu. Disini sudah jelas, ketika kita mengambil posisi yang berbeda, dan tetap memegang teguh iman percaya kita, maka ada harga yang harus kita bayar, yakni orang-orang disekitar kita menjadi heran, karena kita berbeda. Tetapi Alkitab sudah mengatakan bahwa “janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budi mu. Sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak manusia dan manakah kehendak Allah, apa yang baik, yang berkenan kepada Allah , dan yang sempurna (Roma 12 : 2) Maka sudah seharusnya mahasiswa ilmu komunikasi dalam menjalani pekerjaannya di bidang media massa tetap berpegang pada
nilai-n ilai Kristiani, dan bukan berpegang pada teori media yang mengatakan bahwa media berperan sebagai guide, penunjuk jalan atau interpreter. Dengan mengingat apa yang dikatakan dalam Alkitab bahwa Apapun yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hati mu, seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia (Kolose 3 : 23) hingga dimana saja kita berada, dapat menjadi garam dan terang untuk menjadi berkat bagi orang lain melalui talenta kita dalam bidang komunikasi dan tetap memuliakan Tuhan dalam pekerjaan dan pelayanan kita. Kesimpulan Ada tantangan yang harus disikapi sebagai mahasiswa ilmu komunikasi ketika diperhadapkan pada perkembangan globalisasi, dengan percepatan teknologi, informasi dan komunikasi, dimana televisi sebagai primadona baik dari segi content / isi tayangannya maupun peluang pekerjaan yang menjanjikan di industry media massa. Sehingga para mahasiswa Kristen harus membekali diri dengan pemahaman yang benar akan Firman Tuhan. Diharapkan ketika menjadi pekerja media dalam bisnis media massa di Indonesia, tetap berpegang pada nilai-nilai kekristenan, baik itu ketika sebagai pemilik stasiun televisi, produser acara/program maupun pekerja media lainnya. Semua dapat dilakukan dengan integritas, dan takut akan Tuhan. Tantangan ini dapat juga direspons oleh para dosen ilmu komunikasi yang notabene adalah pendidik dengan cara mempersiapkan para mahasiswa melalui pengajarkan nilainilai kristiani dan kaitannya dalam pekerjaan riil para mahasiswa di dunia industri media massa, melalui kurikulum yang telah ada ataupun mata kuliah yang diampu oleh para dosen. Sehingga diharapkan sebagai pekerja media, kelak, para mahasiswa dapat menjadi garam dan terang, dimana pun mereka berada, termasuk dalam pekerjaan.
Konferensi Nasional Integrasi Iman-Ilmu 2008
Sebagai anak-anak Tuhan kita dimampukan melayani Tuhan dalam pekerjaan dengan bertanggung jawab— bertanggung jawab kepada Allah, kepada sesama dan kepada diri sendiri. Tujuan akhir dari perjuangan orang Kristen adalah tidak menjadi serupa dengan dunia ini. Kejadian 1:26-28, 2:1516, Roma 12:1-2
DAFTAR PUSTAKA ALKITAB, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1997 Atmowiloto, Arswendo, Budaya Global : Budaya Langit yang nakal, Binal, Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi, no.6/November 2001 Berger Peter L., & Luckman, Thomas, The social Construction of Reality, New York, Penguin Press, 1979 Mc Quail, Dennis, Mass Communication Theories, Fifth edition, London, Sage Publication, 2003 Prosiding Seminar Hasil Penelitian Bersama YPMA dan 18 Perguruan Tinggi di Indonesia, 2008 Setio, Budi HH, Industri televise Swasta Indonesia dalam Perspektif Ekonomi Politik, Jurnal Ilmu Komunikasi Fisip Universitas Atma Jaya, 2007 Strinati, Dominic, Popular Culture : Pengantar menuju Budaya Populer, Jakarta, Bentang, 2006 Subiakto Hendri, Menggagas System Media yang Demokratis Untuk Indonesia Baru, Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi, no.6/November 2001
Wirodono, Sunardian, Matikan TV-mu, Yogyakarta, Resist Book, 2006