TANTANGAN ISLAM; MENYISIR KEADILAN AIR DI TENGAH LIBERALISASI ALAM
Rusmadi, M.Si (Staf Pengajar pada IAIN Walisongo Semarang, sedang melanjutkan studi pada Program Pascasarjana Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Dionegoro Semarang melalui Beasiswa Unggulan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan R.I)
ABSTRAK Gelombang liberalisme, tidak hanya tampil gagah pada diskursus-diskursus ekonomi. Tetapi juga kuat pada diskursus pengelolaan sumber daya alam. Tak ayal, air, sebagai bagian dari sumber daya alam paling dasar (basic need resources) juga tidak luput dari kungkungan liberalisme dengan mekanisme pasar sebagai pilarnya. Pengelolaan sumber daya air kemudian lebih banyak ditarik-tarik ke dalam prinsip-prinsip ekonomi (baca: bisnis). Akibatnya, air tidak lagi dianggap sebagai barang sosial (social good), melainkan barang ekonomi (economic good). Inilah mula-mula komodifikasi, komersialisasi, dan privatisasi sumber daya air dipraktekkan. Bagi pendukung mazhab liberal, mekanisme pasar adalah satu-satunya strategi paling jitu untuk menyelesaikan krisis atau kelangkaan air (karena mampu meredam eksploitasi sumber daya air), dan mampu mewujudkan keadilan air (karena mendasarkan diri pada persamaan hak). Penelitian ini menguji secara teoritis dan praksis apakah mekanisme pasar yang diajukan para pendukung mazhab liberal mampu mewujudkan keadilan air. Sebagai studi kasus, penelitian ini menganalisis praktek pengelolaan sumber daya air di Waduk Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat oleh Perum Jasa Tirta II (PJT II) selaku mandataris pemerintah atau negara, dengan fokus utama pada alokasi air melalui Tarum Kanal Barat (KTB), dimana pemanfaatannya multiuser (untuk irigasi, air baku industri, dan air minum perkotaan). Setelah menganalisis secara kritis, kemudian direfleksikan secara teoritis mengenai bagaimana prinsip-prinsip keadilan air yang memungkinkan diterapkan dalam pengelolaan sumber daya air di Indonesia, terutama terkait dengan alokasi air yang multiuser. Dalam merumuskan praksis keadilan air, penelitian ini juga melibatkan pandangan etis agama (Islam) sebagai bagian dari kontekstualisasi nilainilai agama dalam problem kemanusiaan mutakhir.
Keywords: liberalisasi sumber daya alam, keadilan air, dan Islam.
2104
Pendahuluan Tidak ada air, tidak ada peradaban (no water no civilization), adalah ungkapan yang mungkin tepat untuk menggambarkan begitu pentingnya air dalam kehidupan. Tidak ada air maka kehidupan akan punah, dan dengan demikian peradaban juga akan musnah. Karenanya, nyatalah bahwa setiap orang merasa memiliki hak atas sumber daya yang satu ini. Rasa seperti inilah yang mula-mula menjadikan pengelolaan sumber daya air menjadi kian rumit. Kelompok-kelompok tertentu yang menganggap air sebagai barang ekonomi kian membaca kondisi ini sebagai peluang bisnis sumber daya air. Terdapat pergeseran yang cukup jelas atas cara pandang kelompok tertentu terhadap nilai air, dimana air tidak lagi dianggap sebagai barang sosial (social goods), melainkan barang ekonomi (economic goods). Tak ayal, air kemudian dianggap sebagai komoditas baru yang pengelolaannya didekati dengan prinsip-prinsip ekonomi (baca: bisnis). Inilah mula-mula komodifikasi, komersialisasi, dan privatisasi sumber daya air benar-benar menjadi sesuatu yang dianggap lumrah. Komentar Donald Worster mungkin cukup mewakili asumsi-asumsi ini. Ia mengatakan bahwa air adalah minyak di abad XXI, siapa menguasai air maka ia akan menguasai dunia (Donald Worster, 1985). Benar, bahwa diskursus mutakhir tentang sumber daya air saat ini juga menyangkut persoalan bagaimana memberi nilai pada sumber daya itu, dan kemudian kepada siapa pengelolaannya akan dipercayakan. Liberalisasi sumber daya adalah salah satu kontestasi yang hampir tak terelakkan. Dus, nilai suatu sumber daya alam hanya diukur secara ekonomi. Proses kapitalisasi ini sebenarnya merupakan penaklukan simbolik atas sumber daya alam.153 Politik-ekonomi air semacam ini begitu tampak jelas misalnya dalam dokumen The Dublin Principles yang mengatakan bahwa “water has an economic value in all its competing uses and should be recognized as an economic good”. Prinsip ini kemudian mengilhami bagaimana mekanisme pasar (market mechanism) diterapkan melalui tradable water markets. Benar pula, bahwa pergeseran nilai air ini hampir tidak bisa dilepaskan dari munculnya wacana tentang krisis dan kelangkaan (scarcity) air. Kelangkaan ini secara umum dipahami karena disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang terus meningkat, sehingga pemakai air juga terus meningkat. Pernyataan ini tentu saja bukan bermaksud menyederhanakan, apalagi mendistorsi persoalan. Tetapi, hampir tidak bisa terbantahkan bahwa dengan adanya isu kelangkaan ini maka akan mempengaruhi demand terhadap air. Ketika water demand mengalami kenaikan maka dengan sendirinya akan mempengaruhi nilai air. Dengan begitu, maka air pada akhirnya dilihat menggunakan kaca mata ekonomi karena merupakan komoditas baru. 154 Untuk 153Noah J. Toly, Globalization and the Capitalization of Nature: A Political Ecology of Biodiversity in Mesoamerica, Bulletin of Science, Technology & Society, Vol. 24, No. 1, February 2004, hlm. 47-54. 154Arjen Y. Hoekstra, Appreciation of Water: Four Perspectives, Water Policy 1, 1998, hlm. 609-611. Sebagaimana judulnya, dalam tulisan ini Hoekstra juga menjelaskan empat perspektif tentang isu-isu
2105
mengatasi kelangkaan air ini, para pendukung mazhab liberal kemudian menawarkan mekanisme pasar (market mechanism). Mekanisme pasar, dengan segala patronnya, bahkan disebut-sebut mampu menghadang eksploitasi sumber daya alam yang berlebih. 155 Tidak sekedar mengatasi kelangkaan air, mekanisme pasar juga dielu-elukan sebagai mekanisme yang dianggap mampu menghadirkan pembagian sumber daya air (water sharing) secara adil, karena mendasarkan diri pada persamaan hak. Para pendukung liberal boleh saja bangga. Tetapi pada kedua konteks ini, beberapa pertanyaan patut diajukan. Bukan hanya menyangkut isu krisis dan kelangkaan, tetapi juga menyangkut keadilan atas sumber daya air. Benarkah liberalisasi sumber daya air mampu menjamin tidak ada eksploitasi? Bukankah ketika air sudah menjadi barang ekonomi dan kepemilikannya menjadi privat, eksploitasi justru kian tak terbendung, yang justru mendatangkan krisi dan kelangkaan? Lalu, jika liberalisasi sumber daya air mendasarkan diri pada persamaan hak, dan oleh karenanya dianggap mampu menegakkan keadilan air (water justice), bagaimana kelompok pengguna air kemampuan akses terhadap airnya lemah sehingga ia rentan (vulnerable) akibat ketidaktersediaan modal?
Liberalisasi Sumber Daya Alam dan Problem Keadilan Sebagian orang, mungkin memberi komentar dengan membenarkan bahwa mekanisme pasar muncul justru terkait dengan adanya krisis air. Dengan begitu, liberalisasi sumber daya alam memiliki kaitan erat dengan adanya krisis air. Beberapa orang menyebut bahwa munculnya krisis air ada kaitannya dengan ketersediaan air yang bersifat konstan, sementara penduduk dunia semakin bertambah, sehingga permintaan terhadap air (water demand) kian meningkat. Sebagian lain mungkin akan menjawab dengan mengaitkannya dengan pembagian, pemborosan, dan kurangnya penghormatan terhadap air di tengah masyarakat yang materialistis dan konsumeristis, sehingga memunculkan krisis air. Sementara sebagian yang lain, mungkin memahaminya karena air merupakan sumber daya alam bersama (common pool resources) yang terbuka (open access) sehingga tidak ada hak milik (property right) di dalamnya. Karena tidak ada hak milik, lalu setiap orang merasa berhak memanfaatkan sumber daya alam tersebut. Oleh
sumber daya air, yakni hierarkis, egalitarian, individualis, dan fatalis. Keempat perspektif ini memiliki cara pandang yang berbeda terhadap isu-isu sumber daya air. Lihat selengkapnya pada hlm. 615-621. Lihat juga Katsumi Matsuoka, Tradable Water in GATT/WTO Law: Need For New Legal Frameworks?, Paper International Conference on Globalization and Water Resources Management: The Changing Value Of Water, AWRA/IWLRI-University of Dundee International, August 6-8, 2001, hlm. 1-2. 155Sandra Postel, Emerging Water Scarcity, dalam Lester R. Brown (et. al), The World Watch Reader on Global Environmental Issues, Worldwatch Institute, USA, 1991, hlm. 137-140.
2106
Gerrett Hardin, situasi semacam ini disebutnya sebagai awal munculnya tragedi (tragedy of the common) atas suatu sumber daya alam. 156 Tetapi bisa jadi anggapan Hardin keliru. Krisis air bisa saja muncul karena justru air tidak dipahami sebagai common pool resources yang tidak mengenal hak milik, melainkan dipahami sebagai barang privat (private good) yang di dalamnya terdapat hak milik. Karena terdapat hak milik, maka seseorang (yang memiliki hak milik) merasa berhak memanfaatkan sebesar-besarnya sumber daya tersebut. Keyakinan semacam ini mungkin cukup beralasan. Bukankah kecenderungan air sebagai komoditas baru melalui skema komodifikasi, marketisasi, dan privatisasi air –yang jelas-jelas percaya pada hak milik- justru menyebabkan eksploitasi terhadap sumber daya alam?. Sudah begitu, bukankah ia akan menyebabkan persaingan (rivalrous) dan pemilahan siapa yang berhak memanfaatkan sumber daya (excludable) melalui skema hukum ekonomi?, sehingga yang merasa memenangkan persaingan ini kemudian memanfaatkan sumber daya secara besar-besaran, lalu munculnya tragedi sumber daya alam.157 Kekhawatiran ini bukannya tanpa alasan, mengingat pendukung mazhab liberal bisa bermain di dua kaki: percaya pada common pool resources yang open access (tidak ada hak milik) di satu sisi, sekaligus percaya pada asumsi-asumsi adanya hak milik (private goods). Melalui open access, pendukung mazhab liberal justru bisa masuk ke pengelolaan sumber daya air di manapun karena pada dasarnya setiap orang berhak memanfaatkannya. Sementara melalui property right, mereka juga bisa berdalih bahwa mereka telah memiliki sumber daya air, dan bagi siapa yang bukan haknya maka tidak diperkenankan mengaksesnya. Tetapi, dalam kerumitan itu, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka hampir pasti terbesit mempertanyakan bagaimana jalan keluarnya. Ya, ketika terjadi kelangkaan air, sementara pemakai air begitu banyak, bagaimanakah jalan keluarnya? Inilah mulamula pertanyaan pengelolaan sumber daya air yang adil dan berkelanjutan diajukan. Bagi pendukung mazhab liberal, upaya penyelesaian problem kelangkaan air adalah melalui liberalisasi yang berorientasi pada penerapan mekanisme pasar dengan menerapkan harga air (water pricing). Dengan kata lain, nilai ekonomi air didefinisikan dengan harganya. Dan karenanya, kegiatan pelayanan air dituntut harus bisa mendatangkan keuntungan ekonomi yang besar. Karena dengan demikian, maka seseorang bisa berhemat air.158 156Garrett Hardin, The Tragedy of the Commons, Science International Journal, edisi 162, 1968, hlm. 1243-1248. 157David L. Weimer dan Aidan R. Vining, Policy Analysis: Concept and Practice, Preintice-hall International Inc., 1989, hlm. 44. 158Isha Ray bahkan mengidentifikasi alokasi air untuk irigasi juga diterapkan harga air. Asumsi dari penerapan harga air ini adalah untuk melakukan efisiensi terhadap pemanfaatan air, karena bagaimanapun pelayanan air membutuhkan biaya. Selengkapnya lihat Isha Ray, Get the Price Right; Water Prices and Irrigation Efficiency, dalam Economic and Political Weekly, special article, August 13,
2107
Bagi mereka, water pricing mampu menekan angka kelangkaan, dan sekaligus menegakkan keadilan air, karena mendasarkan diri pada persamaan hak. Setidaknya karena beberapa alasan. Misalnya, penggunaan air akan lebih efisien dan produktif. Selain itu, jika tidak dikenakan tarif air maka berarti sama saja memberikan subsidi kepada orang-orang kaya di perkotaan yang menggunakan air untuk mencuci mobilmobil mewah. Sesuatu yang sudah sama-sama diketahui bukan sebagai kebutuhan dasar bagi hajat hidup orang kebanyakan. Oleh karenanya, orang kaya di kota harus membeli air sesuai dengan harga keekonomiannya, sebagaimana mereka membayar air mineral/kemasan untuk air minum dengan harga yang cukup mahal. Subsidi, tentu saja hanya relevan untuk masyarakat miskin, baik di kota maupun di perdesaan, dan daerah tertinggal lainnya. Dengan penerapan harga air, maka pemakaian yang cenderung boros akan bisa diminimalisir, dan demikian juga mampu melakukan konservasi air karena memiliki capital saving untuk kebutuhan konservasi dan perawatan infrastruktur sumber daya air, termasuk konservasi daerah resapan air. Apapun perdebatannya, air tetaplah merupakan kebutuhan dasar manusia. Begitu pentingnya air bagi manusia, sehingga PBB (termasuk CEDAW, badan anti diskriminasi terhadap perempuan-nya PBB, dan CRC, badan perlindungan hak anaknya PBB) mengakui bahwa hak atas air merupakan hak asasi manusia yang melekat secara fundamental.159 Meskipun hingga saat ini, perdebatan tentang hak atas air masih sebatas pada kebutuhan air domestik seperti konsumsi, higienis, dan amenities. 160 Yang dikehendaki dari pernyataan di atas adalah bahwa setiap orang, dengan segala preferensinya adalah memiliki hak untuk mengakses sumber daya air. Memberikan jaminan atas akses terhadap sumber daya air bagi setiap yang membutuhkannya adalah sama halnya memberikan jaminan perlindungan hak asasi manusia. Kalau lah hak atas air didefinisikan hanya sebatas pada kebutuhan dasar manusia saja (konsumsi, higienis, dan amenities), tetapi sejatinya ungkapan “kebutuhan dasar” ini -pada hemat penulis- cukup memberi peluang untuk didefinisikan ulang secara lebih luas. Artinya, yang dimaksud kebutuhan dasar, bisa saja menjadi berbeda ketika konteks pemanfaatan airnya juga berbeda. Sebut saja misalnya kebutuhan alokasi air untuk irigasi, kelompok petani sejatinya berhak mengklaim bahwa alokasi air untuk kebutuhan irigasinya adalah bagian dari hak asasi. Pernyataan ini mungkin berlebihan, tetapi sebenarnya cukup mendasar. Disebut bijakkah kita ketika konteks pemanfaatan airnya 2005, hlm. 3659-3668. Bahkan dalam konteks global, air telah dianggap sebagai minyak baru di abad XXI, karenanya pengusahaan air telah melibatkan pemain-pemain besar yang didukung oleh Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional. Akibatnya, dalam skala global secara dramatis meningkatkan harga air. Lihat dalam http://kaliindonesia.org/index.php? option=com.content&task=view&id=8&Itemid=8, diakses pada tanggal 10 Maret 2009. 159Lihat Komentar Umum Komite Hak Ekonomi Sosial dan Budaya PBB No. 15. 160Peter H. Gleick, The Human Right to Water, dalam Water Policy 1, 1998, hlm. 488-489.
2108
adalah kelompok petani, industri, dan perkotaan sebagaimana yang tampak dalam alokasi air di Kanal Tarum Barat, lalu kemudian menganggap petani tidak memiliki hak untuk mendapatkan alokasi air? Penulis menduga, pada konteks inilah, akses kelompok petani terhadap air irigasi, sejatinya juga layak mendapatkan klaim bahwa air yang diperuntukkan baginya merupakan bagian dari hak asasi, yang dengan demikian harus mendapatkan jaminan.
Peta Jalan Liberalisasi Sumber Daya Alam Kita telah mengetahui bahwa persoalan sumber daya air adalah tidak hanya pada bagaimana suimber daya air tersebut dinilai dan diposisikan, tetapi juga bagaimana pengelolaan sumber daya air tersebut akan dipercayakan, kepada badan publik kah, kepada pihak swasta kah, atau kepada masyarakat. Dengan demikian, kita tidak bisa melupakan begitu saja bagaimana liberalisasi sumber daya alam bermain, karena liberalisasi sumber daya alam juga menyangkut pergeseran paradigma pengelolaan urusan publik, dari yang aktornya hanya berpusat pada negara (government/state) menuju partisipasi antar aktor, yakni melibatkan sektor swasta (private sector) dan masyarakat sipil (civil society). Pada konteks inilah kita disuguhkan dengan konsep yang begitu populer; governance.161 Bagi banyak kalangan, konsep ini dianggap lebih partisipatif dan sekaligus mampu mengakomodir setiap pemangku kepentingan (stake holder dan share holders), sehingga mewujudkan keadilan dirasa lebih memungkinkan. Dengan menitikberatkan pada pelibatan banyak pemangku kepentingan ini, maka model governance sebenarnya hendak melakukan koreksi terhadap kecenderungan melebihlebihkan posisi pemerintah yang menjadi ciri pengelolaan urusan publik di ”masa lalu”. Koreksi yang diajukan adalah berupaya menggeser orientasi dan cara memahami persoalan, agar lebih bisa mengedepankan fenomena interaksi pihak-pihak yang terkait. Konsep ini mengisyaratkan bagaimana proses-proses pengelolaan urusan publik harus melibatkan banyak pihak atau aktor sebagai stake holders. Oleh karenanya, salah satu prinsip di dalam governance adalah dialog dan partisipasi dengan semua aktor. Tidak hanya berharap pengelolaan urusan publik ini akan semakin optimal dan diterima oleh segenap pemangku kepentingan, tetapi juga diharapkan akan muncul efektifitas waktu dan biaya. Jan Kooiman, menyebut pola kepengurusan publik semacam ini sebagai cogovernance. Ia mengajukan tiga konsepsi yang membedakan masing-masing, yakni;
161 Lihat Jan Kooiman, Social-Political Governance Overview, Reflections and Design, International Journal of Public Management Review on Research and Theory, 1461-667XVoI. 1, Issue 1, Routledge Publisher, London, UK, 1999, hlm. 74.
2109
hierarchical governance, co-governance dan self governance.162 Hierarchical governance merujuk pada proses dimana pemimpin (leaders) mengontrol bawahannya (non leaders). Sementara co-governance merujuk pada proses dimana pihak-pihak yang terlibat (pemerintah, swasta, dan masyarakat) memiliki tujuan yang sama, sehingga masing-masing pihak berdiri sejajar dan saling terlibat dalam menentukan model kepengaturan yang dikehendaki. Sedangkan self governance merujuk pada prosesproses dimana masing-masing pihak bisa mengatur dirinya sendiri tanpa adanya kontrol dari leader, dan tanpa perlu masing-masing pihak berdiri sejajar dan saling terlibat dalam menentukan model kepengaturan yang dikehendaki itu, karena semuanya berjalan sesuai dengan kepengaturannya sendiri. Pada pengertian self-governance ini maka leader bukan berarti sebagai ruler.163 Kendati demikian, sisi lain konsep governance layak untuk diwaspadai. Ia bisa saja menjadi peta jalan bagi masuknya liberalisasi sumber daya alam. Atas nama governance, bisa saja berakibat pada lemahnya peran negara, dan sebaliknya menguatnya peran sektor privat pada urusan publik. Pelemahan peran negara ini pada akhirnya membuka peluang bagi masuknya aktor-aktor baru dalam pengelolaan publik (misalnya adalah sektor privat).164 Bisa dibayangkan apa jadinya jika urusan publik yang otoritas pengelolaannya adalah pada pemerintah (state) kemudian harus melibatkan sektor privat. Padahal terdapat perbedaan yang sangat mendasar antar keduanya dalam hal hubungan kontrak dengan warga yang dilayaninya. Negara dengan warganya memiliki kontrak pemerintah dengan rakyat dimana pemerintah adalah berfungsi sebagai pelayan rakyat. Sementara sector privat tidak demikian. Sebaliknya ia berfungsi sebagai penyedia jasa dan warga bertindak sebagai pemakai jasa dengan kontrak jual-beli dan atau produsen-konsumen. Tentu saja keduanya implikasi manajemen yang berbeda. Apa jadinya jika pelayanan publik yang seharusnya disediakan negara tetapi karena terjadi pelemahan negara maka disediakan oleh private? Pada konteks inilah kita perlu menengok kembali analisis Jan Kooiman tentang governance pada level institusi dan level aktor. Institusi yang dimaksud di sini adalah bisa berupa ideologi pengetahuan (knowledge ideology), pandangan hidup (world view), sistem kepercayaan (belief system), konstruksi mental (mental construct), dan nilai-nilai subjektif individu yang “menguasai” sang aktor. Atau dengan bahasa yang lain, institusi juga bisa dipahami sebagai “moralitas” tertentu yang menguasai sang aktor. Sedangkan aktor adalah pelaku itu sendiri. Institusi bisa dibedakan menjadi tiga, yakni publik, 162 Jan Kooiman, Governing as Governance, Sage Publications, Ltd, London, UK, 2007, hlm. 77-130. Lihat juga tulisan Jan. Kooiman yang lain, Social-Political Governance Overview…, Op. Cit, hlm. 82-84. 163 Dalam pengertian self-governance ini, pada setiap aktor memiliki leader, akan tetapi leader bukan berarti sebagai ruler, karena yang terjadi adalah konstalasi dan interaksi antar aktor dalam governance. Lihat Jan Kooiman, Social-Political Governance Overview…, ibid, hlm. 82-84. 164 Grindle, Merilee S. (ed.), 1997, Getting Good Government: Capacity Building in the Public Sectors of Developing Countries, Harvard Institute for International Development, Harvad University Press.
2110
market, dan civil society. Sementara aktor bisa dibedakan menjadi tiga, yakni state, private, civil society.165 Menurut Wijanto, governance pada level institusi bisa menjadi berbeda pada level aktornya. Keduanya bisa memiliki hubungan yang berbeda satu sama lain. 166 Jika dilihat dari model hubungan antara aktor dan institusi sebagaimana tergambar dalam diagram di atas, maka dalam governance bisa muncul kemungkinan adanya konfigurasi antara aktor dan institusi. Artinya antara aktor dan institusi tidak selamanya berjalan secara linier, bahkan aktor dan institusi bisa saling tumpang tindih. Bisa jadi aktornya adalah pemerintah (state), atau badan-badan publik lainnya, tetapi institusinya (ideologi pengetahuan yang bermain) adalah market. Sehingga tidak menutup kemungkinan, meskipun pengelolanya adalah badan publik tetapi orientasi pelayanannya bukan pada pelayanan kepada publik, melainkan mencari keuntungan dari bentuk pelayanan itu. Pergeseran orientasi ini bisa muncul karena dorongan institusi market yang begitu kuat, misalnya tuntutan cost recovery, tuntutan efisiensi, tuntutan produktifitas, dan tuntutan optimalisasi pelayanan. Sayangnya semua tuntutan tersebut kemudiaan dinilai dengan ukuran ekonomi (economic values), bukan pada ukuran pelayanan. Pada konteks yang semacam inilah, baik secara makro maupun mikro, dalam manajemen sumber daya air akan memunculkan pergeseran nilai air. Sumber daya air yang sebelumnya dianggap sebagai barang sosial, milik bersama, dan open access, sehingga siapapun boleh mengaksesnya tanpa harus dibatasi oleh hak milik, kini air telah berubah menjadi barang ekonomi yang excludable dan rivalrous, dimana setiap orang tidak lagi bebas mengaksesnya karena dibatasi oleh hak milik. Oleh karenanya, persoalan water governance di Indonesia sebenarnya benarbenar sangat dinamik dan komplek. Belum lagi pemahaman yang bisa tentang maksud pelibatan sektor swasta dalam pengelolaan sumber daya air. Pada konteks ini, seringkali kita mendapati bahwa water governance dipahami sebagai pengalihan tanggung jawab negara (pemerintah) kepada sektor swasta. Pemahaman semacam ini semakin memperoleh pembenaran seiring dengan buruknya pengelolaan layanan publik oleh lembaga publik (state) sehingga kurang memiliki performa yang meyakinkan untuk berlaku efisien, produktif, optimal, dan memenuhi tuntutan cost recovery.
Kanal Tarum Barat: Problem Hak dan Akses Terhadap Air Apakah yang paling relevan diperdebatkan di tengah liberalisasi sumber daya alam dan politik-ekonomi air? Jika pertanyaan ini diajukan pada konteks dimana telah 165 Wijanto Hadipuro, A Study on the Dynamics of Water Governance; Case Study of Indonesian Jatiluhur Dam Water Allocation, Walking Paper UC Berkeley, USA, (tidak diterbitkan), 2008, hlm. 7. 166 Wijanto Hadipuro, A Study on the Dynamics of Water Governance…, hlm. 9.
2111
terjadi pergeseran nilai air (dari barang sosial menjadi barang ekonomi dan barang privat) di satu sisi, dan pemanfaatan sumber daya air tersebut secara multi user di sisi yang lain, maka mempertanyakan keadilan air tentu saja layak mendapat tempat. Bagaimanakah akses setiap pengguna terhadap alokasi air adalah yang mula-mula mendasari munculnya pertanyaan keadilan air. Pertanyaan ini (terpaksa) membawa kita pada diskursus paling krusial tentang sumber daya alam, yakni antara hak dan akses. Adalah orang-orang seperti Jesse C Ribot, Nancy Lee Peluso, Ostrom, dan Edella Shcelger yang telah membuka dan mengawali perdebatan antara hak dan akses. Para pakar tersebut secara tegas telah membedakan antara hak dan akses. Bagi mereka tidak selamanya yang memiliki hak atas sumber daya air, maka secara otomatis memiliki akses terhadap sumber daya tersebut. Ribot dan Peluso kemudian mengajukan seperangkat analisis tentang akses. Bagi keduanya, analisis akses bermaksud memahami secara mendasar, siapa yang benar-benar mengambil keuntungan dari suatu sumber daya alam, dan melalui proses seperti apa mereka mampu melakukan demikian. Dari sinilah memahami power dalam teori akses menjadi sangat penting. Power inilah yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk mengambil keuntungan dari sumber daya. Akses bisa saja didapatkan secara legal, illegal, maupun hasil dari hubungan paralelitas antara yang legal dan yang illegal. Paralelitas ini pada akhirnya menentukan bagaimana keuntungan diperoleh, dikontrol dan dipelihara. Akses paralel ini merupakan kesatuan dari power (bundle of power) yang bisa saja berupa teknologi, modal, pasar, pekerja, pengetahuan, otoritas, identitas, dan hubungan sosial. 167 167 Oleh Jesse C Ribot dan Nancy Lee Peluso, akses terhadap sumber daya alam dipahami sebagai “kemampuan untuk mengambil keuntungan dari suatu sumber daya alam”. Dengan demikian, akses didefiniskan sebagai “seperangkat kekuasaan” untuk mendapatkan keuntungan terhadap sumber daya alam, bukan sebagai “seperangkat hak”, karena seperangkat hak saja tidak cukup untuk mendapatkan keuntungan dari sumber daya alam. Karenanya, Ribot dan Peluso menyarankan penggunaan sebuah metode analisis akses (bukan hanya hak) untuk mengidentifikasi kumpulan kepentingan, hubungan, dan proses yang memungkinkan bermacam aktor untuk mengambil keuntungan dari sumber daya. Dengan begitu, Ribot dan Peluso bermaksud memfasilitasi analisis yang mendasar, siapa yang benar-benar mengambil keuntungan dari suatu sumber daya alam, dan melalui proses seperti apa mereka mampu melakukan demikian. Dari sinilah power dalam teori akses yang dikemukakan oleh Ribot dan Peluso menjadi sangat penting, karena bagi mereka power inilah yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk mengambil keuntungan dari sumber daya. Ribot dan Peluso kemudian membuat kategori tentang akses, yakni; Pertama, akses yang legal (legal accsess), yakni akses yang didasarkan pada hak secara legal, dan oleh karenanya keuntungan yang diperoleh juga melalui mekanisme legal. Kedua, akses yang ilegal (ilegal accsess), yakni akses yang tidak didasarkan pada hak secara legal, dan keuntungan yang diperolehnya pun melalui mekanisme illegal. Ketiga, akses yang paralel (structural and relasional accsess mechanism), yakni akses yang diperoleh berdasarkan faktor tambahan berupa hubungan paralel dari akses berdasarkan hak yang legal dan hak yang illegal. Paralelitas ini pada akhirnya menentukan bagaimana keuntungan diperoleh, dikontrol dan dipelihara. Akses paralel ini bisa berupa teknologi, modal, pasar, pekerja, pengetahuan, otoritas, identitas, dan hubungan sosial. Inilah yang oleh Ribot dan Peluso disebut sebagai bundle of power. Jika dicermati, definisi semacam ini merupakan perluasan dari definisi lama tentang hak milik (property right) yang tidak menyertakan kemampuan, melainkan hanya didefinisikan sebagai “hak untuk mengambil keuntungan dari suatu sumber daya alam”. Lihat
2112
Atau dengan bahasa yang sedikit berbeda dengan Ribot dan Peluso, dua pakar yang disebut terakhir, Ostrom dan Schelger, membedakan antara hak dan akses dengan ungkapan bahwa antara pemilik hak (right) berbeda dengan pemilik aturan atau pengatur (ruler). Keduanya memang saling berhubungan, tetapi tidak selamanya yang memiliki hak (right) bisa memerankan peran sebagai pengatur (ruler), meskipun pada sisi yang lain, hak (right) adalah produk dari aturan (rule). Untuk membedakan hal ini, Ostrom dan Schelger membuat dua term yang cukup relevan, yakni akses (access) dan hak mengambil (withdrawals). Akses adalah hak memasuki atau mengakses sumber daya secara fisik, sementara hak mengambil adalah hak untuk memperoleh produk (manfaat) dari sumber daya tersebut. Karenanya, antara hak dan akses pada akhirnya melibatkan bagaimana mengoperasikan sumber daya alam tersebut agar mampu menghasilkan produk atau manfaat. Pada konteks ini, manajemen (management), ekslusi (exclusion), dan alienasi (alienation) menjadi sesuatu yang melekat di dalam mendefinisikan mengenai hak dan akses. Manajemen adalah hak untuk mengatur sumber daya. Sementara ekslusi adalah hak untuk menentukan siapa yang berhak mengakses suatu sumber daya. Sedangkan alienasi adalah hak untuk menjual atau menyewakan sumber daya alam. 168 Dengan demikian, jelaslah bahwa akses terhadap sumber daya alam sejatinya berhubungan dengan power, bukan hak. Hak tidak bisa menjamin secara tegas apakah seseorang, atau kelompok pengguna sumber daya dapat memperoleh keuntungan dari suatu sumber daya. Relasi power adalah relasi yang utama bagaimana seseorang, atau kelompok pengguna mampu mengakses sumber daya alam. Pada sumber daya alam tertentu yang pemanfaatannya menggunakan model multi user, maka perbedaan kemampuan akses (access ability) yang dimiliki oleh masing-masing pengguna pada akhirnya akan menentukan siapa, atau kelompok mana yang lebih memiliki kesempatan mengakses dan memanfaatkan suatu sumber daya. Kemampuan akses bisa saja didapatkan secara legal, illegal, maupun hubungan parel antar keduanya. Adalah pemenfaatan sumber daya air di Kanal Tarum Barat –selanjutnya disebut KTB- yang menarik untuk dioptik dari sudut ini. KTB adalah salah satu saluran yang mengalirkan air dari Waduk Jatiluhur di Purwakarta-Jawa Barat melalui Bendungan Curug hingga ke DKI Jakarta. Alokasi air di KTB juga diperuntukan untuk banyak pengguna, yakni irigasi, suplai air baku industri, dan suplai air baku perkotaan. Pada kenyataannya, terdapat trend volume alokasi yang berbeda antar pengguna. Neraca alokasi air di KTB untuk sektor irigasi cenderung mengalami penurunan, sementara alokasi untuk sektor non irigasi (suplai air baku industri dan perkotaan) cenderung mengalami kenaikan dari tahun ke tahun, terutama pasca terjadi perubahan manajemen selengkapnya, tulisan Jasse C. Ribot dan Nancy Lee Peluso, A Theory of Access, Rural Sociology; edisi Jun 2003; 68 (2); Research Library, 2003, hlm. 153-159. 168 Edella Shcelger dan Ostrom, Property Right Regime and Natural Recources: A Conceptual Analysis, Land Economic, Vol. 68, No. 3 August 1992, hlm. 249-254.
2113
Perum Jasa Tirta II –selanjutnya disebut PJT II- sebagai pemegang otoritas pengelolaan. Perubahan manajemen yang dimaksud adalah pemberian kewenangan yang lebih luas kepada PJT II untuk mencari keuntungan ekonomi dalam pengelolaan airnya.169 Selain volume alokasi air sebagaimana dimaksud, proses dan prosedur serta treatment kebijakan juga tampak berbeda untuk kebutuhan irigasi dan non irigasi. Beberapa hal berikut kiranya cukup menjadi pembeda antar keduanya. Pertama; untuk kebutuhan sektor irigasi, prosedur alokasi air tampak sangat rumit dan melalui birokrasi air yang (diper) panjang, hingga melibatkan gubernur dan bupati/walikota sebagai Ketua Panitia Irigasi tingkat propinsi dan tingkat kabupaten/kota. Sementara prosedur alokasi air untuk sektor non irigasi sangat mudah, yakni cukup mengajukan langsung ke manajemen PJT II tanpa melalui meja birokrasi yang panjang. Kedua; alokasi air untuk kebutuhan irigasi dilakukan secara glondongan sesuai dengan golongan musim tanam. Hal ini menjadikan jaminan alokasi air untuk sektor non irigasi menjadi diragukan. Sementara pada sektor non irigasi dilakukan secara rigid dan ditentukan berdasarkan kebutuhan masing-masing. Hal ini menjadikan jaminan alokasi air untuk kebutuhan sektor non irigasi mendapat kepastian. Ketiga; alokasi air untuk sektor irigasi selalu diharuskan melakukan penghematan melalui beberaca cara, diantaranya adalah: 1). Pemberlakuan pembedaan pola tanam sesuai dengan golongan musim tanam (dengan dibuat golongan musim tanam sampai lima golongan). Melalui pembuatan golongan musim tanam ini, maka pemakaian air dapat dihemat. 2). Pemberlakuan standar pemakaian maksimal, yakni aktivitas pertanian yang akan dijamin hanyalah aktivitas pertanian yang sesuai dengan jadwal sebagaimana ditetapkan dalam SK Gubernur Jawa Barat dan SK Direksi PJT II. Di luar jadwal yang telah ditentukan, maka alokasi air tidak akan dijamin. 3). Pemberlakuan sistem tanam menggunakan SRI (System Rice Intencification). Sistem tanam SRI adalah sistem menanam padi dengan cara membuat parit pada tanaman padi. Parit tersebut berfungsi untuk menampung air bagi kebutuhan tanaman padi. Filosofi yang dibangun dari model tanam SRI adalah bahwa padi bukanlah tanaman yang hidup di air, melainkan membutuhkan air. Dengan filosofi semacam ini, para petani seperti ”dipaksa” melakukan penghematan air. Hal-hal tersebut di atas tentu tidak akan diujmpai dalam alokasi air untuk sektor non irigasi. Sebaliknya, pemakaian air untuk sektor ini justru diharuskan sebanyak mungkin melalui pemberlakuan standar pemakaian minimal. Standar pemakaian minimal adalah pihak pemakai harus memakai air di atas batas minimal yang telah ditentukan dalam Surat Perjanjian Kontrak. Jika pemakaiannya di bawah batas minimal maka akan dikenakan penalty berupa denda.170
169 Lihat bahasan selengkapnya dalam Rusmadi, Politik dan Keadilan Air; Studi Analisis Keadilan Air dalam Water Governance pada Alokasi Air di Kanal Tarum Barat Waduk Jatiluhur Jawa Barat Indonesia, Tesis Program Magister Lingkungan dan Perkotaan UNIKA Soegijapranata Semarang, 2010, hlm. 85-90. 170 Rusmadi, Politik dan Keadilan Air…, hlm. 107-122.
2114
Akibat dari trend alokasi air, dan prosedur alokasi yang “lebih berpihak” pada sektor non irigasi ini, maka benar adanya bahwa kelompok petani menjadi kelompok pengguna yang paling rentan karena memiliki akses yang lemah. Di beberapa daerah irigasi di Kabupaten Bekasi, menunjukkan adanya kekurangan air pada sektor irigasi. Akibatnya, banyak terjadi rebutan air dengan cara menyedot air dari saluran air menggunakan pompa air dan melakukan pembobolan saluran air yang tidak jarang justru menyebabkan munculnya konflik antar warga. Selain itu, banyak juga petani yang menggunakan air buangan limbah dari sungai pembuangan yang sebenarnya membahayakan petani. Kekurangan air ini, tidak lain dan tidak bukan, adalah karena akses petani yang lemah terhadap sumber daya air. Dengan begitu, pada konteks alokasi air di KTB, asumsi hak dan akses adalah dua hal yang berbeda sebagaimana diteorikan oleh Jesse C Ribot, Nancy Lee Peluso, Ostrom, dan Edella Shcelger cukup beralasan. Kelompok petani sebagai kelompok pengguna air yang sejatinya memiliki hak atas alokasi air dari KTB, tetapi pada kenyataannya tidak mendapatkan alokasi air yang cukup. Hal ini disebabkan, tidak lain adalah karena kelompok petani tidak memiliki akses yang kuat terhadap alokasi air. Dengan begitu, hak saja tidaklah cukup, karena yang memiliki hak belum tentu memiliki akses.
Tantangan Islam: Revitalisasi Keadilan Air Persoalan keadilan sumber daya, tentu menjadi perkara yang teramat penting. tak terkecuali dalam Islam. Sebagaimana telah populer dalam doktrin Islam bahwa kaum muslim berserikat dalam tiga perkara; yaitu padang rumput, air, dan api (H.R Abu Dawud, Ahmad, al-Baihaqi, dan Ibn Abi Syaibah). Hadits di atas mengisyaratkan kepada kita bahwa sumber daya air merupakan salah satu sumber daya yang tidak kepemilikan dan pengelolaannya harus diserahkan kepada masyarakat (kaum). Dalam konteks manajemen sumber daya, masyarakat tentu dipahami sebagai public, bukan private. Diserahkan kepengelolaannya kepada public, dengan demikian, Islam menghendaki bahwa setiap kaum (sebagai pengguna suatu sumber daya) harus dijamin hak dan aksesnya secara adil terhadap suatu sumber daya. Antar satu pengguna dengan pengguna yang lainnya tidak boleh saling meniadakan, yang menyebabkan munculnya kelompok pengguna lemah (akibat tidak memiliki akses). Oleh karenanya, menyisir keadilan air di tengah liberalisasi sumber daya alam adalah sebuah tantangan Islam. Dalam konteks manajemen sumber daya air yang multi user seperti di KTB Waduk Jatiluhur harus dimulai dengan melakukan revitalisasi prinsip-prinsip keadilan guna merumuskan keadilan air. Mula-mula, pertanyaan mendasar layak diajukan pada upaya melakukan revitalisasi keadilan. Bukan apa-apa, karena debat tentang keadilan hampir selalu berakhir pada dilema tanpa ujung. Selalu saja ada aksioma filosofis bahwa keadilan itu tidaklah ada dan tidak pula dapat diraih. Ia seperti fatamorgana yang tampak nyata,
2115
tetapi saat kita mendekatinya ia dengan sendirinya hilang entah kemana. Keadilan, seperti berada di ruang X, sementara kita mencarinya di ruang Y. Nyatanya, pembagian tertentu tentang sesuatu, bagi orang atau kelompok tertentu dianggap sebagai keadilan, tetapi pada saat yang sama bagi orang atau kelompok lain dianggap telah merampas haknya. Dalam dilema semacam itulah, para teoritikus moral, sebut saja tokoh sekaliber Jurgen Habermas, kemudian menempatkan keadilan sebagai keseimbangan antara hak dan kewajiban. Kendati problem filosofis tentang keadilan sedikit teratasi, tetapi orang boleh saja sinis pada saat keadilan itu dihadapkan pada arus liberalisasi alam. Benarkah masih relevan mempertanyakan keadilan (tepatnya keadilan air) di tengah liberalisasi sumber daya alam? Bukankah kita sudah disuguhkan jawaban bahwa melalui mekanisme pasar dan pemberian tarif air adalah jalan merajut keadilan, karena mendudukkan semua pada kesamaan hak? Benar, kesamaan hak merupakan salah satu jalan merajut suatu keadilan. Tetapi mengukur keadilan hanya dari persamaan hak adalah tindakan yang absurd, dan sulit diterima akal. Lagi-lagi kita diajak menengok kembali diskusi tentang hak dan akses. Ada banyak orang (dan juga kelompok) yang sejatinya memiliki hak yang sama atas suatu sumber daya air, tetapi ia tidak mendapatkan haknya itu karena kemampuan akses yang lemah. Dengan demikian, persamaan hak tidak mampu lagi menjawab persoalan keadilan ketika bersinggungan dengan kelompok rentan yang tidak memiliki akses cukup kuat. Persoalan mendasar tentang keadilan, tentu saja terkait dengan apa itu adil, dan bagaimana hal itu diwujudkan. Pada konteks pengelolaan sumber daya alam (termasuk alokasi air di KTB), perdebatan tentang keadilan, mula-mula muncul dari pertnyaan apakah keadilan berarti harus setiap pengguna mendapatkan alokasi yang sama tanpa mempedulikan kondisi-kondisi sosial ekonomi dan kemanfaatannya, ataukah sebaliknya? Apakah keadilan itu bersifat universal ataukan disesuaikan dengan komunitas tertentu di mana keadilan itu sedang dipraktekkan? Bagi seorang utilitarian, tindakan yang benar, dan karena itu disebut adil, adalah yang memaksimalkan kemanfaatan (utility) dengan preferensi sebanyak mungkin, karena preferensi orang masing-masing tetap tidak akan bisa terpenuhi. Bagi kaum utilitarian, pemerataan jumlah utiliti adalah sama pentingnya, tidak peduli itu utilitinya siapa. Tidak seorang pun menduduki posisi istimewa dalam perhitungan, dan tidak seorang pun memiliki klaim yang lebih besar untuk mendapatkan keuntungan dari suatu tindakan dari pada yang lain. Prinsip utama utilitarianisme mendasarkan diri pada hak dan manfaat menuju kebahagiaan manusia.171 Oleh karenanya, keadilan sangat ditentukan oleh bagaimana menentukan dan mengaitkan dua prinsip dasar ini (hak dan kebahagiaan). Meskipun sebenarnya, utilitarianisme lebih mengedepankan manfaat 171 Peter S. Wenz, Environmental Justice, The State University of New York, Albany, USA, 1990, hlm. 159
2116
guna mendapatkan kebahagiaan manusia (human well being) dari pada hak (human right). Kaum utilitarian juga percaya pada hak milik pribadi (private property right), karena ia bisa mendukung produktivitas dimana di dalamnya terdapat kesejahteraan manusia (human well being). Dengan demikian, utilitarianisme pada dasarnya merupakan ‘standar kebenaran moral’ (standard of rightness) yang berisi tentang penilaian mana yang baik, bukan sebuah ‘prosedur keputusan’ (decision procedure) untuk menerapkan penilaian yang baik itu. Karenanya, ketika ditanyakan seputar bagaimana jika terdapat bentuk preferensi tertentu yang tidak fair dan tidak adil? Perlu atau tidakkah dipertimbangkan prosedur moral dalam pengambilan keputusan?. Kaum utilitarian akan menjawab bahwa ketika preferensi itu secara moral tidak sah (illegitimate) maka prosedur keputusan moral tidak perlu dipertimbangkan. Mengapa? Karena preferensi yang tidak sah tidak berhak diperhitungkan. Kepada prinsip-prinsip utilitarian tentang hak dan memaksimalkan utiliti demi sebuah kebahagiaan, maka layak disodorkan pertanyaan; bagaimana caranya dapat memaksimalkan kemanfaatan (utility) di tengah banyaknya preferensi orang atau kelompok yang seringkali –untuk tidak mengatakan pasti- saling bertentangan. Pada konteks alokasi air di KTB, preferensi siapakah yang harus dipenuhi, dan dengan begitu bisa menjadi adil? Apakah preferensi kelompok petani, industri, ataukah suplai air baku perkotaan? Atas nama memaksimalkan utility, apakah bisa dibenarkan menyingkirkan salah satu kelompok pengguna air?. Atas pertanyaan ini, seorang utilitarian akan menjawab bahwa tindakan yang benar, dan karena itu bisa adil, adalah yang memaksimalkan kemanfaatan (utility) dengan preferensi sebanyak mungkin, karena preferensi orang masing-masing tetap tidak akan bisa terpenuhi. Pemerataan jumlah utiliti adalah sama pentingnya, tidak peduli itu utilitinya siapa. Tidak seorang pun menduduki posisi istimewa dalam perhitungan, dan memiliki klaim yang lebih besar untuk mendapatkan keuntungan dari suatu tindakan dari pada yang lain.172 Jika kita kembali pada pertanyaan semula tentang bagaimana menegakkan keadilan di tengah preferensi tiga pemakai air di KTB. Maka, bukan tidak mungkin dengan dalih argumentasi di atas bisa dan sah-sah saja PJT II selaku otoritas pengelola Waduk Jatiluhur kemudian menyingkirkan kelompok petani atas nama kebahagiaan. Kebahagiaan, oleh PJT II bisa saja didefinisikan menjadi sesuatu yang mendatangkan keuntungan ekonomi, seiring dengan adanya tekanan cost recovery perusahaan dan pertimbangan opportunity cost. Dua hal ini begitu melekat pada tubuh PJT II setelah terjadi perubahan manajemen yang memberikan kewenangan lebih luas untuk mencari keuntungan pada usaha pelayannya.
172Peter S. Wenz, ibid.
2117
Lain halnya dengan pandangan kaum libertarian. Bagi kaum libertaian, yang terpenting bukanlah standar kebenaran moral (standard of rightness) yang disebut kebahagiaan dan kebaikan, sebagaimana kaum utilitarian meyakininya. Melainkan, prosedur keputusan (decision procedure) untuk menerapkan penilaian atas apa yang disebut baik itu. Tidak bisa disebut baik, dan karena itu juga tidak adil, jika prosedur keputusan yang diterapkan tidak menjamin hak setiap orang dengan bermacam preferensinya. Argumentasi ini misalnya dikemukakan John Rawls. Ia mengatakan bahwa masyarakat adil harus dibangun dari nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang mengatur tujuan hak-hak kebebasan maksimal, yang universal dan formal. Keadilan akan lahir dalam situasi perjanjian masyarakat yang menjamin kesamaan (fairness) semua anggota. Dari sinilah Rawls mengajukan prinsip justice as fairness yang didasarkan pada rule of law. Karena menekankan pada persetujuan bersama melalui prosedur-prosedur yang fair, maka keadilan harus didudukkan pada posisi adanya jaminan hak, yang dengannya dapat dijamin keberadaan pihak-pihak yang lemah dalam masyarakat.173 Dengan begitu, apapun preferensi masing-masing pengguna air di KTB harus didudukkan secara sama, melalui prinsip fairness dalam sebuah kontrak aturan (rule of law). Pada konteks ini, tentu tidak dibenarkan satu preferensi dari kelompok pemakai tertentu –misalnya kelompok industru ataupun perkotaan- membatasi hak dan kebebasan dari preferensi kelompok pemakai air yang lain (petani misalnya). Dengan cara inilah, menurut kaum libertarian, keadilan bisa diwujudkan. Akan tetapi, karena prinsip keadilan libertarian lebih mendasarkan diri pada kesamaan hak yang dibungkus dalam suatu prosedur yang disebutnya rule of low, sudahkan ia mampu menjawab keadilan secara substansial? Apakah ada jaminan, ketika hak sudah didudukkan secara sama dan fair sesuai dengan rule of low-nya kemudian distribusi akan dirasa adil? Atas pertanyaan semacam ini, maka jawaban kaum libertarian menjadi sedikit diragukan. Bisa jadi hak sudah diposisikan secara sama, dan karena itu disebut adil, tetapi distribusi sumber daya justru tidak menggambarkan prinsip yang adil. Kelompok petani di KTB misalnya, secara de jure, dalam pemahaman mengenai hak atas air, mereka sejatinya telah diposisikan secara sama, akan tetapi pada kenyataannya distribusi -atau tepatnya alokasi- air kelompok petani senantiasa tidak mendapatkan distribusi yang adil. Selain argumentasi tentang kesamaan hak, pandangan liberal juga masih menyisakan persoalan yang pelik. Adalah argumentasi tentang moralitas “adil” itu bersifat universal dan netral yang agak kurang memuaskan, terutama bagi kaum komunitarian. Universalisme semacam ini mengasumsikan bahwa perlakuan adil tidak bergantung pada apa yang diyakini dan dicita-citakan seseorang, melainkan keadilan 173 John Rawls, Teori Keadilan, Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo (terj), Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 28-29. Lihat juga Franz Magnis Suseno, Moralitas dan Nilai-Nilai Komunitas: Debat Antara Komunitarianisme dan Universalisme Etis, dalam Majalah Filsafat Driyarkara, edisi No. 3 Tahun XXI, 1994/1995, hlm. 67.
2118
harus netral terhadap nilai-nilai moral. Dengan begitu, kita tidak diperbolehkan mendahulukan pandangan-pandangan atau moralitas tertentu tentang yang baik dan yang buruk di dalam masyarakat atau komunitas tertentu, melainkan mendasarkan diri pada etika yang universal dan netral. Menurut kaum komunitarian, nilai-nilai keadilan liberal bagaimanapun sejatinya juga lahir dari pandangan-pandangan moral tertentu, yakni moralitas masyarakat Barat, dan oleh karenanya, ia tidak bisa disebut netral. Atas keyakinan ini, kaum komunitarian secara tegas mengatakan bahwa keadilan selalu bersifat kontekstual dan situated,174 juga plural dan kompleks, 175 karena mereka percaya bahwa tidak ada moralitas yang bebas dari tradisi tertentu.176 Dengan demikian, berikutnya, masalah keadilan hanya dapat diputuskan dengan mengacu pada cakrawala-cakrawala nilai-nilai yang dimiliki bersama oleh masyarakat (komunitas). Karena tidak ada moralitas yang tanpa konteks, maka keadilan bagi kaum komunitarian hanya dapat digali dari etika kongkrit dalam masyarakat yang bersangkutan. Mereka menghendaki adanya pelibatan nilai-nilai terdalam dari setiap komunitas, bukan semata-mata kesamaan hak. Dengan begitu, pada konteks alokasi air di KTB, maka keadilan harus dikembalikan kepada masing-masing kelompok pemakai air dengan melibatkan setiap preferensinya. Keadilan tidak bisa hanya diterapkan berdasarkan kesamaan hak secara prosedural semata, tetapi juga pemahaman mendalam mengenai kebiasaan-kebiasaan dan tradisi masing-masing kelompok pemakai air. Keadilan komunitarian juga bukannya tanpa soal. Bisa saja ia memunculkan dugaan sinis. Benarkan setiap kelompok masyarakat memiliki nilai keadilan yang dapat dibenarkan? Adakah moralitas “adil” dalam sebuah masyarakat diktator seperti Nazi misalnya, atau masyarakat feodalis dan aristokrat? Selain itu, kaum komunitarian juga 174Michael J. Sandel, Liberalism and the Limits of Justice, Cambridge University Press, USA, 1982, hlm. 49. 175 Salah satu tokoh yang mengajukan tesis demikian adalah Michael Wazler dalam bukunya Spheres of Justice: A Defence of Pluralism and Equality diterbitkan pada tahun 1983. Menurut Frans Magnis, karya Wazler ini mengajukan tesis bahwa yang baik harus didahulukan terhadap yang adil pada masalah keadilan distributif. Wazler percaya bahwa tidak ada teori keadilan umum yang berdasarkan prinsip-prinsip keadilan sederhana yang umum. Melainkan keadilan ditentukan secara kongkrit, menurut masing-masing wilayah permasalahan, sesuai dengan tuntutan-tuntutan intrinsik, dan pada bidang masing-masing, dalam kerangka nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan masyarakat yang bersangkutan. Oleh karenanya, Wazler tidak mengembangkan prinsip-prinsip dasar ke semua bidang kehidupan masyarakat seperti justice as fairness-nya Rawls, melainkan Wezler menjelajahi masing-masing bidang dan mengangkat kekhasan tuntutan keadilan dalam bidang-bidang itu. Karena bagi Wezler, prinsip keadilan itu sendiri bersifat plural dan kompleks (complex equality). Lihat Franz Magnis Suseno, Moralitas dan Nilai-Nilai Komunitas: Debat Antara Komunitarianisme dan Universalisme Etis, hlm. 69. 176 Alasdair MacIntyre The Virtues, the Unity of a Human Life and the Concept of a Tradition, dalam Michael J. Sandel (ed), 1984, Liberalism and Its Critics, New York University Press, New York, hlm. 125147. Penjelasan MacIntyre tentang bagaimana tradisi membentuk identitas dan moralitas bisa dilihat misalnya pada hlm 138, dan 143-144.
2119
tidak menyajikan jawaban yang cukup memuaskan, kecuali sekedar menyadarkan kepada kita bahwa dalam merumuskan keadilan, maka preferensi-preferensi sebuah komunitas atau masyarakat harus dipertimbangkan. Pada kenyataannya, sulit sekali – untuk tidak mengatakan tidak mungkin- mempertemukan setiap preferensi yang saling berseberangan secara diametral pada satu kesepakatan yang disebut adil.177 Jika argumentasi masing-masing teori keadilan ini menyimpan kelemahan, maka upaya revitalisasi keadilan air (water justice) menjadi sedikit punya hambatan. Tetapi, jika kita percaya bahwa keadilan itu adalah sesuatu yang harus ditegakkan maka upaya modofikasi, elaborasi, dan penyesuaian lebih lanjut adalah hal yang lumrah dilakukan. Satu hal yang membangun optimisme ini adalah bahwa setiap etika keadilan sejatinya mengasumsikan adanya keharusan menegakkan keadilan. Dengan begitu, keadilan air sejatinya percaya adanya “universalisme etis”, yakni keadilan itu sendiri. Inilah yang oleh Alessandro Ferrara disebut sebagai universalisme baru. Sebuah universalisme yang sama sekali berbeda dengan universalisme ala liberal. Ia menyebutnya sebagai universalisme prudensial, sebuah universalisme yang menerima kebenaran dan keadilan sebagai yang disituasikan (situated) dan kontekstual, tetapi tidak seperti kontekstualisme yang dipahami oleh kaum komunitarian. Universalisme baru ini melengkapi dirinya dengan suatu rekontruksi dasar umum yang mengijinkan komunitaskomunitas dengan berbagai preferensi yang berbeda dapat tetap dipelihara.178 Dengan begitu, maka upaya memodifikasi berarti meleburkan nilai-nilai dasar dari berbagai teori keadilan yang ada (utilitarian, libertarian, dan komunitarian) untuk kemudian diposisikan sebagai semacam kontrak hipotesis (dalam bahasa Rawls). Keadilan air, yang dibangun bisa saja disarikan dari pandangan utilitarian. Misalnya, pertama; pentingnya menempatkan kesejahteraan manusia sebagai sebuah penilaian mengenai utility. Kedua; pentingnya memaksimalkan kesejahteraan (utility), yang didefinisikan sebagai, memberikan bobot yang sama pada kesejahteraan orang perorang atau kelompok per kelompok. Tidak peduli apa pandangan dan keyakinannya, semuanya harus didudukkan dalam posisi yang sama di dalam memaksimalkan utiliti. Sementara dari pandangan liberal bisa diambil beberapa nilai. Misalnya, bahwa sebagai subjek hak dan hukum semua individu mesti sama, maka sikap-sikap dan pandanganpandangan berbeda tentang apa yang baik dan buruk tidak boleh menjadi dasar untuk membeda-bedakan di antara mereka. Semuanya harus menjunjung tinggi prinsip justice as fairness. Sedangkan dari pandangan komunitarian bisa diambil beberapa nilai, yakni
177Franz Magnis Suseno, Moralitas dan Nilai-Nilai Komunitas..., hlm. 83. 178Destiyadi Eka Putra, Universalisme Baru; Proyek Filsafat Abad Ini, dalam Majalah Driyarkara, Edisi No. 3/Tahun XXI, 1994, hlm.149. Judul asli tulisan ini adalah Universalisme Prosedural, Kontekstual, dan Prudensial Allessandro Ferrara yang ditulis oleh Destiyadi Eka Putra, Petrus Pehan, Tutur Suwito, dan Warno Tribowo dan disampaikan dalam Seminar Komunitarianisme di STF Driyarkara Jakarta pada tahun 1995.
2120
bahwa setiap komunitas berhak menentukan keadilannya sendiri berdasarkan keyakinan dan nilai-nilai yang dimiliki oleh komunitas tertentu. Pada pengertian ini, maka keadilan air dapat dikonsepsikan melalui beberapa hal: Pertama; orang atau kelompok orang tidak ada yang didiskriminasikan hanya karena preferensinya dianggap tidak mendatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan dalam pengertian utilitarian. Semua kelompok pemakai air, siapapun, dan apapun preferensinya harus didudukkan dalam posisi yang sama-sama memiliki hak atas sumber daya air. Kedua; bahwa prinsip-prinsip itu oleh seluruh pengguna air dapat dapat diterima secara adil, jadi tidak hanya berdasarkan pandangan kelompok pemakai air tertentu saja, melainkan semua pandangan dari setiap pemakai air harus didudukkan secara sama melalui rule of law yang fair. Ketiga; setiap pemakai air dengan berbagai preferensinya harus dipertimbangkan sehingga masing-masing kelompok pemakai air dapat mempertahankan moralitas dan nilai-nilai khas mereka yang pluralistik itu. Dengan demikian, jika pandangan liberal dan komunitarian tampak saling “menyerang”, maka keadilan air yang dimaksud dalam kajian ini tidak dalam posisi mempertentangkan kembali antar keduanya. Sebaliknya, modifikasi ini justru hendak melakukan revitalisasi dengan membuat keduanya saling mengisi. Modifikasi ini justru memposisikan komunitas sebagai sesuatu yang penting di dalam menentukan nilai-nilai bersama yang disebut keadilan itu. Dengan begitu, pandangan liberal di dalam merumuskan keadilan harus mempertimbangkan nilai-nilai komunitas dengan berbagai preferensi khasnya. Bukan kemudian memberangus nilai-nilai dan pandangan komunitas tertentu atas nama universalisme. Pada hemat penulis, (entah penulis diposisikan sebagai seorang libertarian ataupun komunitarian) masyarakat yang pluralistik (dalam konteks alokasi air di Kanal Tarum Barat yang multi user) hanya dapat ditata secara baik apabila keadilan dinomorsatukan. Tetapi, satu hal yang tidak boleh lupa adalah pentingnya model partisipasi yang mempertimbangkan vulnerability assessment sebagai paradigma didalam menjalankan partisipasi. Melalui paradigma vulnerability assessment ini, maka partisipasi yang dibangun adalah menempatkan stake holders yang paling lemah pada posisi yang diutamakan dan diprioritaskan.179 Pada konteks studi kasus penelitian ini, agar prinsip-prinsip water justice ini mampu melihat secara tepat water governance pada alokasi air di Kanal Tarum Barat, maka dibutuhkan kriteria analisis (assessment criteria). Karena keadilan air dalam penelitian ini merupakan bagian dari kajian keadilan lingkungan (environmental justice), maka tiga kriteria yang telah dirumuskan dalam kajian keadilan lingkungan, yakni keadilan prosedural, keadilan material, dan keadilan dalam resiko (risk) dan
179 Ray Jennings, 2000, Participatory Development as New Paradigm: The Transition of Development Professionalism, Prepared for the “Community Based Reintegration and Rehabilitation in Post-Conflict Settings” Conference, Washington, DC.
2121
keuntungan (benefit) juga akan dipakai. Dengan demikian, kriteria analisis keadilan air dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam tabel berikut ini:
Tabel. 1 Kriteria Analisis Keadilan Air dalam Water Governance pada Alokasi di Kanal Tarum Barat dan Komponen yang Dianalisis Kriteria Analisis
Komponen-Komponen
Keadilan Air
yang Dianalisis
1. Kesamaan hak dan akses atas sumber daya air
1. Hak dan kemampuan akses masing-masing kelompok pengguna air
Tipe
Keadilan Prosedural
Keadilan Material
Keadilan dalam risk dan benefit
2. Prinsip yang fair (fairness principles) dalam kebijakan dan prosedur alokasi air
2. Prosedur dan kebijakan alokasi air (termasuk treatment) yang diberlakukan bagi setiap kelompok pengguna air.
3. Pembagian yang adil atas alokasi air
3. Volume alokasi air untuk masing-masing kelompok pengguna air
4. Pembagian yang adil terhadap resiko (risk) dan keuntungan (benefit) atas sumber daya air
Dampak alokasi air bagi setiap kelompok pengguna air 4.
Sumber: diadopsi dari prinsip-prinsip keadilan lingkungan.
Satu hal yang tidak bisa dilupakan pada saat kita hendak menegakkan keadilan air dalam konteks manajemen sumber daya air yang penggunaannya multiuser seperti di KTB Waduk Jatiluhur adalah bahwa air harus dipahami sebagai barang publik (public good), bukan barang privat (private good). Pilihan semacam ini didasarkan pada pertimbangan bahwa jika air dipahami sebagai barang privat yang di dalamnya terdapat hak milik (property right), maka memungkinkan seseorang yang memiliki hak milik merasa berhak memanfaatkan sebesar-besarnya sumber daya tersebut. Pada titik yang ekstrem adalah memunculkan kecenderungan privatisasi, komodifikasi, dan marketisasi air. Pada konteks yang demikian, juga bukan tidak mungkin akan terjadi krisis air, seiring dengan eksploitasi karena air sudah menjadi komoditas yang diperebutkan banyak pengguna.
2122
Sementara jika air dipahami sebagai sumber daya alam bersama (common pool resources) yang terbuka (open access), maka tidak ada hak milik dalam sumber daya alam bersama itu. Maka, karena tidak ada hak milik, memungkinkan setiap orang akan memanfaatkan sumber daya alam itu secara besar-besaran sehingga memunculkan krisis air atau bencana bersama (tragedy of the common). Oleh karenanya, agar tidak terjadi kecenderungan privatisasi, komodifikasi air, dan marketisasi air di satu sisi, dan terjadinya the tragedy of the common di sisi yang lain, maka menurut hemat saya, air harus dipahami dan diposisikan sebagai barang publik (public good) dimana pengelolaannya sepenuhnya dikuasai oleh badan publik (government) secara murni. Bukan aktor pengelolanya adalah publik tetapi institusinya adalah market.
DAFTAR PUSTAKA C. Ribot, Jasse, dan Nancy Lee Peluso, 2003, A Theory of Access, Rural Sociology; edisi Jun; 68 (2); Research Library. Eka Putra, Destiyadi, 1994, Universalisme Baru; Proyek Filsafat Abad Ini, dalam Majalah Driyarkara, Edisi No. 3/Tahun XXI. Gleick, Peter H., 1998, The Human Right to Water, dalam Water Policy 1. Hadipuro, Wijanto, 2008, A Study on the Dynamics of Water Governance; Case Study of Indonesian Jatiluhur Dam Water Allocation, Walking Paper UC Berkeley, USA, (tidak diterbitkan). Hardin, Garrett, 1968, The Tragedy of the Commons, Science International Journal, edisi 162. Hoekstra, Arjen Y., 1998, Appreciation of Water: Four Perspectives, Water Policy 1. Jennings, Ray, 2000, Participatory Development as New Paradigm: The Transition of Development Professionalism, Prepared for the “Community Based Reintegration and Rehabilitation in Post-Conflict Settings” Conference, Washington, DC. Komentar Umum Komite Hak Ekonomi Sosial dan Budaya PBB No. 15. Kooiman, Jan, 1999, Social-Political Governance Overview, Reflections and Design, International Journal of Public Management Review on Research and Theory, 1461-667XVoI. 1, Issue 1, Routledge Publisher, London, UK. _____________, 2007, Governing as Governance, Sage Publications, Ltd, London, UK.
2123
MacIntyre, Alasdair, 1984, The Virtues, the Unity of a Human Life and the Concept of a Tradition, dalam Michael J. Sandel (ed), Liberalism and Its Critics, New York University Press, New York. Matsuoka, Katsumi, 2001, Tradable Water in GATT/WTO Law: Need For New Legal Frameworks?, Paper International Conference on Globalization and Water Resources Management: The Changing Value Of Water, AWRA/IWLRIUniversity of Dundee International, August 6-8. Merilee S., Grindle, (ed.), 1997, Getting Good Government: Capacity Building in the Public Sectors of Developing Countries, Harvard Institute for International Development, Harvad University Press. Postel, Sandra, 1991, Emerging Water Scarcity, dalam Lester R. Brown (et. al), , The World Watch Reader on Global Environmental Issues, Worldwatch Institute, USA. Rawls, John, 2006, Teori Keadilan, Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo (terj), Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Ray, Isha, 2005, Get the Price Right; Water Prices and Irrigation Efficiency, dalam Economic and Political Weekly, special article, August 13. Rusmadi, 2010, .Politik dan Keadilan Air; Studi Analisis Keadilan Air dalam Water Governance pada Alokasi Air di Kanal Tarum Barat Waduk Jatiluhur Jawa Barat Indonesia, Tesis Program Magister Lingkungan dan Perkotaan UNIKA Soegijapranata Semarang. Sandel, Michael J., 1982, Liberalism and the Limits of Justice, Cambridge University Press, USA. Shcelger, Edella dan Ostrom, 1992, Property Right Regime and Natural Recources: A Conceptual Analysis, Land Economic, Vol. 68, No. 3 Augustus. Suseno, Franz Magnis, 1994/1995, Moralitas dan Nilai-Nilai Komunitas: Debat Antara Komunitarianisme dan Universalisme Etis, dalam Majalah Filsafat Driyarkara, edisi No. 3 Tahun XXI. Toly, Noah J., 2004, Globalization and the Capitalization of Nature: A Political Ecology of Biodiversity in Mesoamerica, Bulletin of Science, Technology & Society, Vol. 24, No. 1, February, DOI: 10.1177/0270467604263176. Weimer, David L., dan Aidan R. Vining, 1989, Policy Analysis: Concept and Practice, Preintice-hall International Inc. Wenz, Peter S., 1990, Environmental Justice, The State University of New York, Albany, USA.
2124