Tanggung Jawab Universtias dan Rekonsiliasi1 Oleh: DR. Hafid Abbas (Dirjen Perlindungan HAM, Depkeh HAM RI)
Apabila kita cermati perkembangan keilmuwan dewasa ini, tampka suatu ciri yang menonjol yakni semakin berkembangannya kejian-kajian yang bersifat lintas,antar dan meta disiplin ilmu. Ilmu-ilmu sosial semakin berkait dengan ilmu-ilmu eksakta dan humaniora. Psikologi misalnya semakin memerlukan bantuan matematika dan statistika untuk menjelaskan masalah minat dan motifasi misalnya. Demikian pula dengan kajian HAM. Ia sungguh merupakan wilayah kajian keilmuwan yang sekan tak bertepi. Kajian ilmu hukum diperlukan misalnya membantu kita melakukan justufikasi terhadap jenisjenis pelanggaran yang terjadi di masa lalu dengan berbagai variabelnya. Hukum sebagai ilmu yang bersifat normatif dan faktual, menjelaskan bagaimana hukum dibuat,diinterpretasikan
dan
diimplementasikan.
Namun
ilmu
hukum
memiliki
keterbatasan karean tidak mampu menjelaskan mengapa terjadi pelanggaran, mengapa seseorang berprilaku kejam dsb. Sosiologi tampaknya dapat mengungkapkan secara konseptual rahasia prilaku itu, lebih-lebih berkaitan dengan persoalan emosi yang menyebabkan timbulnya solidaritas, rasa empati, toleransi dan kasih sayang dsb. Kata Kofi Anan; since wars bigins in the minds of men, it is in the minds of man that the
defences of peace must be constructed” Semua variabel ini merupakan wilayah kajian psikologi kognitif. Psikologilah yang mampu mengungkapkan hal itu secara lebih utuh. Namun, apabila kita hendak merubah prilaku itu menjadi lebih demokratis, menghargai perbedaan, terbuka, diperlukan upaya-upaya yang dapat menstimulasi dari seseorang agar seseorang berprilaku damai, toleran dan demokratis. Ilmu pendidikanlah yang lebih dekat dengan persoalan perubahan prilaku individu dan masyarakat itu. Namun ketika variasi pendidikan hendak dirubah itu terjadi dalam berbagai variasi etnis, budaya dan suku bangsa, psikologi pendidikan pun tidak mampu menjelaskan secara utuh. Antropologilah yang dapat menjelaskan variasi-variasi itu secara mendasar. Apalagi ketika nilai- nilai HAM yang bersfiat universal hendak diterjemahkan dalam konteks lokal
1
Disampaikan dalam seminar dan Lokakarya Nasional Capacity Building Pusat Studi Hak Asasi Manusia Se-Indonesia, Diselenggarakan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia UII dan Norwegian Center For Human Right University of Oslo, di Yogyakarta 26-29 April 2004
sesuai dengan nilai-nilai budaya yang melakat pada masyarakat setempat, antropologi dapat menjelaskan masalah itu secara utuh. Namun ketika variasi itu bersentuhan dengan kepentingan publik yang harus diatur oleh negara, antropologi tidak dapat menjelaskannya. Secara ontologi keilmuan, ilmu politiklah yang dapat menjelaskan fenomena itu secara lebih komprehensif. Selanjutnya, apabila kepentingan negara itu bersentuhan dengan kepentingan negara lain ilmu politik memliki keterbatasan untuk menjelaskan hal itu. Disinilah diperlukan ilmu hubungan internasional. Lahirnya Carter Center, Habibie Center dan Aquino Center merupakan respon terhadap dinamika HAM yang lintas negara. Lebih-lebih ketika negara berhadapan dengan kejahatan organisasi transnasional seperti terorisme, pencucian uang, penyelundupan senjata, narkotika dan perdagangan
manusia.
Persoalan
HAM
benar-benar
tampil
sebagai
persoalan
internasional. Demikian seterusnya persoalan HAM sungguh berkaitan erat dengan dengan wilayah kajian ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu eksakta termasuk statistika, kedokteran, bahkan dengan humaniora, etika, agama dan filsafat. Demikian persoalan HAM sebagai persoalan keilmuwan yang bersifat meta disiplin ilmu. Pusham hanya dapat meningkatkan kapasitasnya dalam menjalankan misinya apabila dilandasi oleh kajiankajian ilmiah dalam menjawab realitas-realitas HAM yang terdapat dimasyarakat Realitas HAM yang terdapat dimasyarakat saat ini sesungguhnya berpangkal dari persoalan masa lalu. Demikian pula persoalan-persoalan HAM dimasa depan juga bersumber dari keberhasilan atau kegagalan kita menyelesaikan persoalan HAM saat ini. Masa lalu, masa kini dan masa yang akan depan sesungguhnya merupakan satu garis linear yang bersifat kontinum yang tidak dapat disekat-sekat. Tatanan kehidupan politik dan hukum yang kita hadapi saat ini bersumber dari corak kekuasaan orde baru yang telah bertahan lebih dari tiga dekade yang menganut paradigma pembangunan “unity in
uniformity” sebagai kerangka besar dari seluruh spektrum pelaksanaan pembangunan nasional.
Akibatnya,
pola
pemerintahan
menganut
sistem
sentralisasi
yang
menempatkan pemerintah pusat sebagai pusat kekuasaan dan daerah hanya bersifat komplementer. Untuk mempertahankan pola kekuasaan seperti itu, tidak ada pilihan lain kecuali ABRI dan seluruh kekuatan bersenjata termasuk Polri harus menjadi alat kekuasaan. Itulah sebabnya mengapa selama era orde baru, mereka yang dinilai atau dicurigai tidak loyal pada kebijakan otoritarianisme itu dipandang sebagai musuh yang harus disingkirkan oleh kekuasan politik dan kekuatan militer. Kalangan yang kritis
terhadap kebijakan Soharto banyak dipenjarakan dan diperlakukan di luar batas-batas kemanusiaan. Mereka yang menamakan diri korban rezim orde baru saat ini tercatat tidak kurang dari tiga juta orang. Kekuatan politik telah direkayasa sedemikian rupa sehingga hanya ada satu kekuatan mayoritas dan yang lainnya hanya unsur pelengkap. Akibatnya, wakil rakayat yang duduk dilembaga legislatif pun hanya merupakan kepanjangan tangan kekuasaan eksekutif. Lembaga peradilan pun telah dikerdilkan dan di intervensi oleh kekuasaan. Dengan pola pemerintahan yang seperti itu, dampaknya ternyata distribusi keuangan dan sumber-sumber kekuatan ekonomi hanya terpusat disebagian kecil warga masyarakat. Di laporkan oleh John Naisbit (1995) dalam Mega Trend Asia bahwa hanya sekitar 3% dari total penduduk telah menguasai kekuatan ekonomi nasional sekitar 30%. Bahkan diperkirakan menjelang berakhirnya era kekuasaan orde baru, 3% penduduk menguasai sekitar 75% kekuatan ekonomi. Itulah sebabnya mengapa kita telah tercatat sebagai negara paling korup di Asia. Bandingkan dengan keadaan Filipina di era Marcos. 3% jumlah penduduk menguasasi 50% kekuatan ekonomi sehingga gerakan people power tidak dapat dibendung yang akhirnya memaksa berakhirnya era kekuasaan Presiden Marcos. Kita jauh lebih parah dari keadaan Filipina di era Marcos. Demikian pula di Afrika Selatan, 5% jumlah penduduk kulit putih menguasai 80% kekuatan ekonomi sehingga pemerintahan apartheid tidak dapat bertahan dan akhirnya pada tahun 1994 kekuatan pemerintahan di ambil alih oleh kulit hitam di bawah kepemimpinan Nelson Mandela yang telah dipenjara di Johanesburg dan di Robin Island selama 27 tahun. Malaysia tampaknya mempunyai keadaan struktur ekonomi yang lebih baik, 50% jumlah penduduk telah menguasai 70% kekuatan ekonomi nasional. Itulah sebabnya meski negri ini juga dilanda krisis moneter dan eknomi, namun ia dapat secepatnya bangkit dan memulihkan keadaan ekonominya. Dengan demikian robohnya era kekuasaan Orde Baru merupakan proses alamiah yang tidak dapat dipertahankan oleh kekuatan mana saja, termasuk kekuatan bersenjata. Itulah sebabnya mengapa friksi dan konflik sosial terjadi terus menerus secara terbuka dan berkepanjangan di berbagai wilayah tanah air kita, mulai dari Aceh, Maluku, Papua, Kalimantan, Sulawesi, dsb. Ibarat kekuasaan itu bendungan besar yang tiba-tiba roboh, airnya meluap kemana-mana dan puing-puingnya berserakan disanasini. Tampaknya ada du pilihan yang ada, apakah kita hendak membangun kembali
bendungan itu pada saat air bah masih mengalir deras, ataukah kita menunggu dan menata arah itu hingga mencapai titik stabil sambil mempersiapkan secara bertahap pembangunan kembali bendungan itu. Apapun pilihan yang diambil untuk keluar dari cobaan itu, yang penting segera dijawab adalah bagiman sikap kolektif kita sebagai bangsa untuk membangun bendungan besar itu. Dari prespektif HAM, saya ingin menjawab sikap kolektif itu yakni mengupayakan secepatnya rekonsiliasi di semua lapisan masyarakat. Jika kita terus terbuai dalam pertikaian sosial tentu bangsa ini akan semakin terpuruk dan meluncur kejurang kehancuran yang tentu sulit diselamatkan. Jika elit-elit politik saling berebut kekuasaan
untuk
kepentingan
kelompok
atau
golongan
dengan
mengabaikan
kepentingan negara, kita akan terus terbelenggu dalam alam keterberlakangan. Selanjutnya pertikaian-pertikaian itu akan membawa berkah bagi negara-negara tetangga atau bangsa lain. Lihatlah laporan UNDP, pada saat Indonesia terus menerus pada berbagai indikator pembangunannya, negara-negara tetangga bergerak menajak secara amat spektakuler. Pada tahun 1998 indonesia berada pada urutan ke 103, namun dua tahun kemudian posisinya menurun ke urutan 109. Sedangkan Singapura menajak amat dinamis dari urutan ke-34 menjadi urutan ke-24, Australia dari urutan ke12 menjadi urutan ke-4, Filipina dari urutan ke-95 menjadi urutan ke-64. Bahkan Vietnam dapat menajak dari urutan ke-121 ke urutan 108 sehingga saat ini tlah melampaui posisi Indonesia. Sekarang bahwkan Vietnam sudah berada di urutan ke-95 dan Indonesia terus bergerak turun. Data ini jelas memperlihatkan bahwa hubungan masyarakat selama era orde baru terutama bagi mereka yang mengusai kekuatan ekonomi melakukan capital flight dan investasi kenegara-negara tetangga. Kita belum tahu secara pasti berapa ratus triliun rupiah uang kita dilarikan ke Singgapura, Australia, Hongkong atau negara lainnya Universitas Islam Indonesia sebagai salah satu perguruan tinggi yang mempunyai komitmen pada proses penegakan hukum dan pemajuan HAM bagi semua warga negara dalam era desntralisasi, perlu senatiasa menunjukan tanggung jawabnya untuk memajukan nilai-nilai demokrasi dan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Dalam pandangan UNESCO, perguruan tinggi sesungguhnya memliki tanggungjawab ilmiah dan profesional untuk terus mencari, mengungkapkan dan mengabdi pada kebenaran dan bebas dari segal muatan kepentingan tertentu dalam merespon
tantangan
demokratisasi,
globalisasi,
regionalisasi,
polarisasi,
marginalisasi
dan
fragmentasi. Dengan demikian sungguh jelas bahwa perguruan tinggi mempunyai tanggung jawab moral akademik untuk membangun masyarakat demokratis, memajukan dan melindungi HAM, kesetaraan sosial bagi semua warga negara menuju terciptanya budaya damai. Masalahnya sekarang, bagaimana perguruan tinggi dapat mengemban tanggug jawab akademiknya untuk mengungkapkan kebenaran dan rekonsiliasi itu? Untuk menjawab persoalan ini, perguruan tinggi nampaknya perlu membentuk suatu Pusat Studi HAM dan Rekonsiliasi. Misinya adalah membangun kemitraan yang bebas dari kepentingan politik tertentu untuk mengungkapkan kebenaran menuju terwujudnya rekonsiliasi
sejati.
Salah
satu
institusi
mitra
adalah
institusi-institusi
yang
memperjuangkan pemajuan dan perlindungan HAM dan rekonsiliasi. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang diharapkan dapat segera dibentuk adalah salah satu diantaranya. Pusat Studi HAM antara lain dapat berperan sebagai; pertama, pusat pelatihan pemberdayaan masyarakat dan
institusi terkait dengan upaya pemajuan
dan
perlindungan HAM. Kedua, pusat studi itu dapat pula mengembangkan kegiatan tridarmanya terutama dharma pengabdian kepada masyarakat untuk mendorong dan memfasilitasi berbagai upaya rekonsiliasi yang sejuk terhadap berbagai masalah masa lalu yang masih belum dapat diselesaikan hingga saat ini. Ketiga, pusat studi tersebut dapat pula berperan sebagai “mobile advisory team” yang berangotakan para ahli dan pakar dalam bidang ilmu hukum atau disiplin ilmu lainnya untuk memberi masukanmasukan teknis kepada pihak-pihak yang masih bertikai sehingga dapat ditemukan suatu solusi komprehensif dari konflik vertikal antara masyarakat dengan penguasa, baik yang berskala kelembagaan, kelurahan, kecamatan, kabupaten, propinsi maupun tingkat nasional atau konflik masa lalu yang bersifat horizontal yang terjadi antara sesama warga seperti di Maluku, Kalimantan Barat dan Tengah, Poso dsb. Keempat, pusat studi ini dapat pula berperan sebagai pusat penelitian dan pengembangan kebijkan yang dapat ditawarkan kepada para pengambil kebijakan sehingga keputusan politik yang diambil pemerintah memliki landasan ilmiah yang kokoh sehingga dapat diterima semua kalangan. Publikasi-publikasi berupa hasil penelitian dapat dihasilkan oleh pusat studi ini.
Terakhir, pusat studi itu dapat pula berperan sebagai lembaga advokasi yang menampung keluhan-keluhan masyarakat luas dan menganalisanya dan mencari solusi atas keluhan itu. Dengn demikian kampus benar-benar hadir sebagai bagian dari, oleh dan untuk masyarakat luas. Karenanya, pengungkapan dengan kemampuan melihat kebenaran dari berbagai prespektif menuju rekonsiliasi merupakan kata kunci untuk mempercepat proses pemulihan (recovery) segenap persoalan bangsa yang kita hadapi sejak beberap tahun terakhir ini. Menjelang pelaksanaan Pemilu Presiden 2004 secara langsung, suasana kompetisi perebutan kekuasaan akan mencapai intensitas yang lebih tinggi, sehingga kampus harus lebih aspiratif, partisipatif dan antisipatif untuk membangun pilar-pilar yang
kokoh menjalankan tridarmanya menuju rekonsiliasi yang sejuk itu. Apabila
rekonsiliasi ini mengalami stagnasi maka proses reformasi dapat kehilangan makan dan bahwkan dapat menjurus ke anarkhisme dan tanpa arah. Akibatnya kita akan terus terperangkap secara berkepanjangan dalam pertikaian sosial yang amat merugikan hari depan kita bersama. Karenanya mari kita menjadikan Pusham berperan secara lebih optimal berkiprah dengan tiada hari depan tanpa rekonsiliasi. Dalam semngat inilah, warga kampus patus membangun kemintraan dengan institusi-institusi lain yang berjuang untuk membangun rekonsiliasi itu untuk bahu membahu bekerjasama mengabdi pada kebenaran. Bukankah warga kampus telah merasakan betapa pahitnya berjuang sendirian dalam proses pencarian kebenaran itu. Bukankah dalam setiap tongak sejarah perjuangan demokrasi, kekuatan elit politik sering melakukan kontrol sosial yang kuat terhadap dunia kampus. Bukankah, dalam era orde baru kecurigaan elit politik terhadap kebebasan masyarakat akademik sering dirasa berlebihan. Bukankah warga kampus dalam era otoritarianisme itu barada dalam belenggu tekanan kebebasan intelektual. Bukankah tekana kekuasaan itu telah berakibat fatal terhadap rapuhnya integritas akademik sebagai ilmuwan terhadap kebenaran. Bukankah dengan keadaan seperti itu muncul begitu banyak perguruan tinggi berkualitas rendah dan bahkan muncul begitu luas komersialisasi gelar akademik untuk semua jenjang dan jenis pendidikan tinggi yang diminati begitu luas oleh elit politik dan pejabat-pejabat negara yang akhirnya menghianati suara nurani masyarakat. Agaknya pada kesempatan ini penting kita sejenak mengenang jasa empat mahasiswa pahlawan reformasi yang telah gugur di Universtias Tri Sakti 12 Mei 1998,
yang telah mendobrak pintu otoritarianisme dan membuka alam demokrasi. Betapa kebeningan perjuangan mereka untuk berpihak pada nilai-nilai kebebasan ilmiah. Dengan semangat itu, sebagai masukan ingin saya mengemukakan sejumlah ramburambu yang dapat dijadikan kajian teman-teman Pusham dan segenap civitas akademika UII dalam merespon dinamika sosial, ekonomi, politik, dan budaya ditengah arus pusaran regional dan global yang menunggu uluran tangan saudara sekalian untuk membangun rekonsiliasi sejati menuju Indonesia Baru. 1. Pelanggaran HAM masa lampau sangat penting dan mendesak untuk secara bertahap diungkapkan kembali sesuai dengan UU N0.26/2000 karena pelanggaran HAM berat tersebut telah menimbulkan dampat yang sangat luas terhadap pembinaan kesatuan dan persatuan bangsa 2. Penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lampau tidak bertujuan untuk pembalasan dendam akan tetapi bertujuan mencapitakan perstuan dan kesatuan bangsa melalui mekanisme dialog nasional untuk mencapai rekonsiliasi 3. Peyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lampau melalui rekonsiliasi tidak bolah kontra produktif bagi kepentingan masa depan bangsa melainkan harus dijawab dengan semangat dan jiwa kebangsaan 4. Perguruan tinggi bersama semua kekuatan dapat berfungsi sebagai mediator dan negosiator antara pelaku dan kobran pelanggaran HAM yang tidak memihak 5. Perguruan tinggi sebagai masyarakat ilmiah dapat menjalankan tugas, fungsi dan wewenang tridarmanya secara efisien dan efektif untuk mengungkapkan kebenaran sebelum mendorong terwujudnya rekonsiliasi. 6. Perguruan Tinggi yang memliki kekuatan moral akedemik yang tidak memihak pada kepentingan tertentu kecuali pada kebenaran ilmiah dapat mendorong penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu tanpa kompromi, melainkan dengan cara-cara yang jujur, transparan, obyektif, kesatria dan bermoral. 7. Perguruan Tinggi dapat menjadi lembaga yang proaktif untuk memberikan bantuan kepada pemerintah dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di masa lampau.
Akhirnya perkenankanlaha saya mengucapakan selamat berlokakarya untuk meningkatkan kinerja profesional Pusham, kini lahan pengabdian anda untuk membangun kultur damai dan mewujudkan rekonsiliasi sejuk terbentang luas seakan tak bertepi. Lihatlah segenap persoalan HAM yang kini tengah dihadapi bangsa ini secara komprehensif, lihatlah segenap persoalan itu dari prespektif akademik anda masingmasing, lihatlah segenap persoalan itu sebagai agenda managemen yang harus ditangani secara lintas sektoral dengan pendekatan lintas disiplin ilmu, lihatlah segenap persoalan itu sebagai bagian dari tanggung jawab universitas dan lihatlah seluruh persoalan itu secara sistemik dalam suatu keterkaitan kedepan. Itulah makna keberadaan Pusham di setiap kampus. Dalam menjalankan misi ini, jalan yang anda tempuh untuk memihak kepada suara nurani masyarakat bukan tanpa krikil melainkan jalan panjang yang berliku dengan tepi yang dalam. Ketahuilah bahwa sebagai seorang ilmuwan yang memihak pada kebenaran anda akan sering menghadapi benturanbenturan kekuasaan yang hendak melawan hukum. Namun saya percaya dengan toga keilmuwan dan komitmen yang saudara miliki sebagai ilmuwan, anda akan berani berhadapan
dengan
kekuatan
mana
saja
yang
bertentangan
dengan
nurani
kemanusiaan. Akhirnya, semoga Allah SWT senantiasa memberikan ketabahan dan keuletan kepada kita semua untuk terus membangun rekonsiliasi sejuk bagi semua warga negara menuju masyarakat damai Indonesia yang kelak menjadi bangsa maju sejajar dengan bangsa mana saja di dunia ini, Amin