TANGGUNG JAWAB HUKUM OPERATOR PESAWAT UDARA (CARRIAGE) TERHADAP PENYEWA (CHARTERER) APABILA TERJADI KERUGIAN DALAM PENGANGKUTAN UDARA DI INDONESIA
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum (M.H.)
REGINA SITEPU 0806425834
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM JAKARTA JUNI 2011 ii
Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
iii
Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
iv
Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Hukum Jurusan Ekonomi pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada: (1) Prof. Dr. Rosa Agustina S.H., M.H., selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan tesis ini; (2) Bapak Heru Susetyo S.H., LL.M., M.Si. dan Bapak Dr. M.R. Andri Gunawan Wibisana S.H., LL.M., selaku dosen penguji yang telah meluangkan waktu untuk menguji saya. (3) Ibu dari penulis yang telah memberikan dorongan serta kesempatan baik moril dan materiil, (Alm)
Bapak dari penulis yang telah memberikan
inspirasi serta dorongan untuk selalu maju menggapai cita-cita hidup. Penulis juga mengucapkan terima kasih atas bantuan, semangat untuk tidak menyerah, serta perhatian yang diberikan oleh suami tercinta. (4) Orang tua dari suami penulis, sebagai konsultan penerbangan yang telah membantu penulis dan memberikan banyak pengetahuan tentang dunia penerbangan. (5) Para kolega dan senior dari kalangan advokat/pengacara. Terima kasih atas dukungan moril dan selalu membagi pengalamannya di dunia hukum sehingga penulis lebih giat untuk belajar.
v
Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
(6) Para pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu yang begitu banyak yang telah memberikan bantuan, dukungan serta doanya selama ini. Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat pagi pengembangan ilmu.
Jakarta, 11 Juli 2011 Penulis
vi
Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
vii
Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
ABSTRAK Nama
: Regina Sitepu
Program Studi
: Magister Hukum
Judul
: Tanggung Jawab Hukum Operator Pesawat Udara (Carriage) Terhadap Penyewa (Charterer) Apabila Terjadi Kerugian Dalam Pengangkutan Udara di Indonesia
Angkutan udara yang mempunyai karakteristik bertekhnologi tinggi dan memerlukan tingkat keselamatan tinggi, perlu lebih dikembangkan potensinya dan ditingkatkan peranannya sebagai penghubung wilayah baik nasional maupun internasional, sebagai penunjang, pendorong dan penggerak pembangunan nasional demi peningkatan kesejahteraan rakyat. Banyaknya masyarakat yang menggunakan jasa transportasi udara, ditandai dengan meningkatnya jumlah arus pengguna jasa angkutan udara di berbagai kota di wilayah Indonesia. Dalam penyelenggaraan penerbangan ternyata banyak hak-hak penumpang yang tidak dipenuhi sebagai mana mestinya. Sehubungan dengan itu diperlukan adanya pengaturan-pengaturan secara hukum untuk menentukan tanggung jawab perusahaan penerbangan sehingga kepentingan penumpang terlindungi. Dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tanggung jawab hukum perusahaan penerbangan PT Pelita Air Service sebagai pengangkut untuk kerugian yang timbul terhadap penumpang dan bagasi dalam pengangkutan udara dengan charter pesawat udara, serta apakah peraturan perundang-undangan saat ini sudah cukup untuk menjawab permasalahan apabila terjadi kerugian yang diderita oleh pengguna jasa angkutan udara. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan penelusuran terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap penumpang transportasi udara niaga tidak berjadwal.Hasil penelitian yang diperoleh adalah bahwa dalam tatanan hukum positif di Indonesia terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan hukum bagi penumpang transportasi udara, yaitu antara lain : Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) 1939, Undang-Undang No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Perlindungan Hukum yang diberikan dan paling banyak dibahas dalam Undang-Undang No 1 Tahun 2009 adalah tentang keselamatan baik untuk perusahaan penerbangan, awak pesawat, penumpang dan bagasi. Selain itu peraturan perundang-undangan juga menentukan upaya hukum yang dapat ditempuh oleh penumpang yang mengalami kerugian, yaitu upaya hukum melalui jalur pengadilan dan upaya hukum di luar pengadilan. Kata kunci: Tanggung Jawab Hukum, Pesawat Charter
viii
Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
Universitas Indonesia
ABSTRACT Name
: Regina Sitepu
Study Program
: Magister of Law
Title
: Airline Legal Liability Concerning to The Damage or Losses of Air Transportation in Indonesia
Air transportation has high technology and high safety requirement as its characteristic. In regards to this benefit, air transportation should have been developed for its potential and its role in connecting the national and international area in enhancing the national development for the prosperity of the people. The number of society that is using air transportation has been increased which indicated by the higher number of airline passenger across Indonesia. In its practice, many of passenger rights are not fulfilled as it should be. Given to this circumstance, it is necessary to establish regulation which defines the legal liability of air transportation companies for the protection of passenger rights. The objective of this study is to explore the legal liability of PT Pelita Air Service as an air transportation company concerning to the damages or losses of the passenger and baggage in the air transportation which are using chartered aircraft, and to review the sufficiency of the current regulatory law in protecting air transportation customer. This study is a normative legal study which performed by research of regulation and law that related to the legal protection for non-scheduled air transport passenger. This study revealed that in the positive legal order in Indonesia there are some regulations which related to the legal protection for air transportation passengers such as Air Transport Act Year 1939, Law No. 1 Year 2009 on Aviation and Law No. 8 Year 1999 concerning on Consumer Protection. The legal protection which defined in Law No. 1 Year 2009 is mostly regarding the safety of airline, air crew, passenger and baggage. In addition, this law has regulated the legal action for passenger who is suffering for any losses for an in court or out court settlement.
Key words : Legal liability, Charter Airline
ix
Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................... ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .............................. iii HALAMAN PENGESAHAN ........................................................... iv KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMA KASIH .................... v-vi HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ....... vii ABSTRAK ................................................................................. viii-ix DAFTAR ISI .................................................................................. x-xi BAB I. PENDAHULUAN.............................................................. .. 1 A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1 B. Rumusan Masalah....................................................... ................ 6 C. Maksud dan Tujuan Penelitian ..................................................... 6 D. Kegunaan Penelitian .................................................................... 7 E. Kerangka ...................................................................................... 7 1. Teori ....................................................................................... 7 2. Konsep ................................................................................. 11 F. Metode Penelitian ...................................................................... 13 G. Sistematika Penulisan ................................................................ 14 BAB II. PERJANJIAN PENGANGKUTAN .............................. 16 A. Pengertian Pengangkut ................................................................ 16 1.
Pengertian Pengangkut ......................................................... 16
2.
Pengangkutan dan Perusahaan Pengangkutan ...................... 20
B. Perjanjian Angkutan Udara ......................................................... 21 C. Dokumen Angkutan Pada Angkutan Udara ................................ 22
x
Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
Universitas Indonesia
BAB III. CHARTER PESAWAT UDARA .................................. 26 A. Pengertian Charter Pesawat Udara ............................................. 26 B. Pengaturan Charter Pesawat Udara ............................................ 29 C. Perjanjian Charter Pesawat Udara .............................................. 31 D. Hak dan Kewajiban Para Pihak .................................................. 31 E. Jenis-Jenis Charter Pesawat Udara ............................................. 35 BAB IV. PENYEWAAN PESAWAT (CHARTER) PADA PT PELITA AIR SERVICE ....................................... 38 A. Sejarah Berdirinya PT Pelita Air Service .................................... 38 B. Konsep Tanggung Jawab Hukum ................................................ 39 C. Tanggung Jawab Hukum Pengangkut Dalam Hukum Nasional ......................................................................... 48 1. Penyelesaian Ganti Rugi Perusahaan Penerbangan PT Pelita Air Service Sebagai Pengangkut Apabila Terjadi Kerugian Yang Timbul Seperti Kehilangan Bagasi, Keterlambatan Jadwal Penerbangan, Kecelakaan Dalam Perjanjian Charter Antara Pengangkut dan Penumpang Atau Penyewa .................. 67 2. Peraturan Perundang-Undangan Apakah Sudah Menjawab Permasalahan (Perdata) Bila Terjadi Kerugian yang Diderita Oleh Pengguna Jasa Angkutan Udara .............................................................................. 76 BAB V. PENUTUP ......................................................................... 79 A. Kesimpulan .................................................................................. 79 B. Saran ............................................................................................ 84 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................... 85
xi
Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
Universitas Indonesia
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam rangka memperlancar perekonomian, memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa serta mempererat hubungan bangsa. Pentingnya transportasi tersebut tercermin dengan semakin meningkatnya kebutuhan akan jasa transportasi untuk mobilitas orang serta barang dari dan/ atau ke seluruh wilayah baik dalam negeri maupun luar negeri. Dahulu, transportasi masih sulit dilakukan sebab sarana dan prasarana yang masih digunakan untuk melakukan transportasi tersebut masih sangat sederhana. Pada saat itu, untuk transportasi hanya menggunakan hewan atau dengan berjalan kaki karena keadaan masih terbatas. Dengan adanya berbagai penemuan mesin oleh para ahli sebagai tenaga penggerak sehingga sampai saat ini dapat dibuat berbagai peralatan transportasi dan menggunakan tenaga mesin. Salah satu transportasi dengan menggunakan tenaga mesin adalah pesawat udara. Pesawat udara saat ini merupakan salah satu alat pengangkutan modern yang menggunakan teknologi canggih. Secara yuridis, Pesawat udara adalah setiap mesin atau alat yang dapat terbang di atmosfer karena gaya angkat dari reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi yang digunakan untuk penerbangan .1 Dewasa ini, perkembangan di bidang transportasi, khususnya transportasi udara berkembang semakin canggih sehingga menyebabkan jarak dari satu negara ke negara lain semakin dekat. Akan tetapi, 1
Indonesia, Undang-Undang N o 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4961, Pasal 1 (3)
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
2
dari pengalaman yang ada pesawat udara tidak selamanya memberi keamanan bagi pemakai jasa penerbangan. Hal ini dikarenakan bagaimanapun mutahirnya perlengkapan yang tersedia dalam pesawat udara guna upaya menghindari dan menjauhi segala musibah, masih ditentukan juga oleh faktor manusia yang berada dibelakangnya. Dengan demikian, operator pesawat udara memikul tanggung jawab terhadap risiko yang terjadi untuk mana ia wajib akan mengeluarkan biaya yang sangat besar, mengingat kegiatan penerbangan yang dapat menimbulkan kerugian finansial yang cukup besar apabila terjadi suatu kecelakaan. Dalam hal ini, operator pesawat udara adalah perorangan, instansi, atau badan hukum perusahaan yang melakukan operasi penerbangan 2. Transportasi udara niaga dewasa ini mengalami perkembangan pesat, hal tersebut dapat dilihat dari banyak perusahaan atau maskapai penerbangan ke berbagai rute penerbangan baik domestik maupun internasional.3 Perkembangan dan pertumbuhan industri penerbangan tersebut tidak terlepas dari peningkatan jumlah pengguna jasa transportasi udara. Ada beberapa alasan orang/konsumen menggunakan jasa transportasi udara, diantaranya untuk kepentingan bisnis, kepentingan pariwisata, dan berbagai urusan lainnya. Dilihat dari
aspek penyelenggaraan penerbangan terdapat dua bentuk kegiatan
penerbangan, yaitu penerbangan komersil dan penerbangan bukan komersil. Penerbangan komersil atau niaga merupakan bentuk transportasi udara yang mengenakan biaya bagi penggunanya. Jenis penerbangan ini dibedakan lagi menjadi dua bentuk yaitu penerbangan niaga berjadwal dan penerbangan niaga tidak berjadwal. Pada dasarnya dalam kegiatan pengangkutan udara niaga terdapat dua pihak yaitu, pengangkut dalam hal ini adalah perusahaan atau maskapai penerbangan dan pihak pengguna jasa atau konsumen.Para pihak tersebut terikat
2
Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (Surat Keputusan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Tentang Peraturan dan Tata Tertib Bndar Udara ). SKEP DIRJENUD NO.SKEP/100/XI/1985, Pasal 1 ) 3 http//www.dephub.go.id
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
3
oleh
suatu perjanjian, yaitu perjanjian pengangkutan. Sebagaimana layaknya
suatu perjanjian yang merupakan manifestasi dari hubungan hukum yang bersifat keperdataan maka didalamnya terkandung hak dan kewajiban yang harus dipenuhi dan dilaksanakan, yang biasa dikenal dengan istilah “prestasi”. Dalam hukum pengangkutan,
kewajiban
pengangkut
antara
lain
mengangkut penumpang dan/atau barang dengan aman, utuh dan selamat sampai di tempat tujuan, memberikan pelayanan yang baik, mengganti kerugian penumpang
dalam
hal
adanya
kerugian
yang
menimpa
penumpang,
memberangkatkan penumpang sesuai jadwal yang ditetapkan dan lain-lain. Sedangkan kewajiban penumpang/pengguna jasa adalah membayar ongkos/biaya pengangkutan yang besarnya telah ditentukan, menjaga barang-barang yang berada di bawah pengawasannya, melaporkan jenis-jenis barang yang dibawa terutama barang-barang yang berkategori berbahaya, menaati ketentuan-ketentuan yang ditetapkan pengangkut yang berkenaan dengan pengangkutan. Hak dan kewajiban para pihak tersebut biasanya dituangkan dalam suatu dokumen perjanjian pengangkutan. Secara teoritis, perjanjian pengangkutan merupakan suatu perikatan dimana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau barang dari suatu tempat ke tempat lain sedangkan pihak lainnya, menyanggupi untuk membayar ongkosnya.4 Ketentuan tentang pengangkutan tersebut juga berlaku di dalam kegiatan pengangkutan atau transportasi udara, dalam hal ini pengangkut atau maskapai penerbangan berkewajiban untuk mengangkut penumpang dengan aman dan selamat sampai di tempat tujuan secara tepat waktu dan sebagai konpensasi
dari
pelaksanaan
kewajibannya
tersebut
maka
perusahaan
penerbangan mendapatkan bayaran sebagai ongkos/biaya penyelenggaran pengangkutan penumpang. Dalam praktik kegiatan transportasi udara niaga sering kali pengangkut tidak memenuhi kewajibannya secara baik dan benar atau dapat dikatakan telah melakukan “wanprestasi”. Beberapa kasus atau fakta yang dapat dikategorikan sebagai bentuk wanprestasi oleh pengangkut adalah tidak memberikan 4
R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: PT Citra Aditya ),1995, hal 69
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
4
keselamatan dan keamanan penerbangan kepada penumpang, yaitu terjadinya kecelakaan pesawat yang mengakibatkan penumpang meninggal dunia dan/atau cacat, penundaan penerbangan atau delay, keterlambatan, kehilangan atau kerusakan barang bagasi milik penumpang, pelayanan yang kurang memuaskan, informasi yang tidak jelas tentang produk jasa yang ditawarkan dan lain-lain. Setiap kecelakaan penerbangan selalu menimbulkan kerugian bagi penumpang yang tentu saja melahirkan permasalahan hukum, khususnya berkenaan dengan tanggung jawab perusahaan penerbangan atau pengangkut ( carrier ) terhadap penumpang dan pemilik barang baik sebagai para pihak dalam perjanjian pengangkutan maupun sebagai konsumen, selain itu persoalan bagi konsumen/pengguna jasa adalah adanya keterlambatan pelaksanaan pengangkutan udara yang terkadang melebihi batas toleransi. Tidak ada upaya hukum terhadap persoalan tersebut.5 Pada prinsipnya kegiatan pengangkutan udara merupakan hubungan hukum yang bersifat perdata akan tetapi mengingat transportasi udara telah menjadi kebutuhan masyarakat secara luas maka diperlukan campur tangan pemerintah dalam kegiatan pengangkutan udara yaitu menentukan kebijakankebijakan atau regulasi yang berhubungan dengan kegiatan pengangkutan udara sehingga pengguna jasa transportasi udara terlindungi. Meskipun perjanjian pengangkutan pada hakekatnya sudah harus tunduk pada pasal-pasal dari bagian umum dari hukum perjanjian Burgerlijk Wetboek ( KUH Perdata ), akan tetapi oleh undang-undang telah ditetapkan berbagai peraturan khusus yang bertujuan untuk kepentingan umum membatasi kebebasan dalam hal membuat perjanjian pengangkutan, yaitu meletakkan berbagai kewajiban khusus kepada pihaknya pengangkut yang tidak boleh disingkirkan dalam perjanjian.6 Berkenaan dengan hal tersebut menurut Sri Redjeki Hartono
7
negara mempunyai kewajiban untuk
mengatur kepentingan-kepentingan yang berhadapan harus dapat dipertemukan dalam keselarasan dan harmonisasi yang ideal. Untuk itu, negara mempunyai 5
Ridwan Khairandy, Tanggung Jawab Pengangkut dan Asuransi Tanggung Jawab Sebagai Instrumen Perlindungan Konsumen Angkutan Udara, (Jakarta: Jurnal Hukum Bisnis Vol 25), hal 20-21 6 R. Subekti, Op.cit, hal 71 7 Sri Redjeki Hartono, Hukum Ekonomi Indonesia, (Malang: Bayu Media), 2007, hal 132
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
5
kewenangan
untuk
mengatur
dan
campur
tangan
dalam
memprediksi
kemungkinan pelanggaran yang terjadi dengan menyediakan rangkaian perangkat peraturan yang mengatur sekaligus memberi ancaman berupa sanksi apabila terjadi pelanggaran oleh siapa pun pelaku ekonomi. Perangkat peraturan dapat meliputi pengaturan yang mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Menjaga keseimbangan semua pihak yang kepentingannya berhadapan 2. Memberikan sanksi apabila memang sudah terjadi sengketa dengan cara menegakkan hukum yang berlaku 3. Menyiapkan lembaga penyelesaian sengketa dan hukum acaranya.
Secara teoritis hubungan hukum menghendaki adanya kesetaraan di antara para pihak, akan tetapi dalam praktiknya hubungan hukum tersebut sering berjalan tidak seimbang terutama dalam hubungan hukum antara penyedia jasa dan penyewa. Sehubungan dengan itu diperlukan suatu perlindungan hukum bagi pengguna jasa transportasi serta jenis-jenis angkutan lainnya adalah unsur keselamatan angkutan dan tanggung jawab pengangkut.8 Dalam menentukan pertanggungjawaban perusahaan penerbangan tentunya harus mengacu pada ketentuan-ketentuan yang berlaku, sehingga dapat ditentukan pihak-pihak yang bertanggung jawab, hal-hal yang dapat dipertanggungjawabkan, bentuk pertanggungjawaban, besar ganti kerugian dan lain-lain. Pada kegiatan penerbangan komersil atau transportasi udara niaga terdapat beberapa ketentuan yang berkaitan dengan tanggung jawab pengangkut udara terhadap penumpang baik yang bersumber pada hukum nasional maupun yang bersumber pada hukum internasional. Ketentuan hukum nasional yang mengatur secara khusus mengatur tentang kegiatan penerbangan saat ini adalah Undang-Undang RI No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan dan beberapa peraturan pelaksananya. Sedangkan ketentuan
8
E. Suherman, Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara, (Bandung: Penerbit Alumni),1984, hal 163
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
6
yang secara khusus mengatur tentang kegiatan penerbangan komersil domestik adalah Luchtvervoer ordonatie ( Stbl 1939:100 ) atau ordonansi 1939 yang biasa disingkat OPU 1939. Di dalam OPU ini ditegaskan tentang tanggung jawab pengangkut. Sedangkan ketentuan hukum internasional yang terkait erat dengan kegiatan penerbangan sipil adalah Konvensi Warsawa 1929.
B. Rumusan Masalah
Masalah utama yang dibahas oleh penulis adalah tentang Perjanjian Charter Penyediaan Pesawat Udara Rute Balikpapan-Bontang PP antara PT Badak NGL dan PT Pelita Air Service antara lain :
1. Bagaimana penyelesaian ganti rugi seperti keterlambatan jadwal penerbangan (delay), kecelakaan, dan kehilangan bagasi yang diberikan carriage terhadap charterer ? 2. Apakah peraturan perundang-undangan tentang penerbangan sudah menjawab permasalahan (perdata) apabila terjadi kerugian yang di derita oleh pengguna jasa angkutan udara ?
C. Maksud dan Tujuan Penelitian
Dari permasalahan diatas maka maksud dan tujuan dari penulisan ini adalah : 1.
Menjelaskan langkah atau cara serta upaya hukum yang mungkin dilakukan untk menyelesaikan ganti rugi yang di derita oleh pihak penyewa.
2. Mengiventarisir
dan
menjelaskan
ketentuan-ketentuan
yang
berkenaan dengan perlindungan serta tanggung jawab hukum pihak operator pesawat udara terhadap pihak penyewa.
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
7
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, penelitian ini dalam rangka pengembangan ilmu hukum khususnya hukum pengangkutan udara. Sedangkan secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pihak-pihak yang berkaitan dengan kegiatan pengangkutan udara , antara lain : 1. Perusahaan atau maskapai penerbangan dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat pengguna jasa transportasi udara. 2. Konsumen atau pengguna jasa transportasi udara dapat dijadikan pedoman atau rujukan dalam melakukan upaya hukum apabila terjadi kerugian yang di derita. 3. Kalangan
akademisi
yang
berminat
terhadap
kajian
hukum
pengangkutan udara dapat dijadikan bahan informasi awal dalam melakukan penelitian dan pengkajian yang lebih mendalam, dan 4. Penulis sendiri untuk memperluas wawasan keilmuan hukum khususnya tentang hukum pengangkutan udara.
E. Kerangka
1. Teori :
Dalam pembangunan nasional transportasi memiliki peranan yang sangat strategis, yaitu menunjang kegiatan perekonomian dan berbagai aktifitas lainnya. Kegiatan transportasi merupakan kegiatan memindahkan suatu tempat ke tempat lain. Dewasa ini pemerintah sedang menggalakkan pembangunan sektor transportasi. Pembangunan sektor transportasi diarahkan pada terwujudnya sistem transportasi nasional yang handal, berkemampuan tinggi dan diselenggarakan secara efektif dan efisien
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
8
dalam menunjang dan sekaligus menggerakkan dinamika pembangunan, mendukung mobilitas manusia, barang serta jasa, mendukung pola distribusi nasional serta mendukung pengembangan wilayah dan peningkatan
hubungan
internasional
yang
lebih
memantapkan
perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam rangka perwujudan wawasan nusantara. Transportasi sebagai urat nadi kehidupan berbangsa dan bernegara, mempunyai fungsi sebagai penggerak, pendorong dan penunjang pembangunan. Transportasi merupakan suatu sistem yang terdiri dari sarana dan prasarana yang didukung oleh tata laksana dan sumber daya manusia membentuk jaringan prasarana dan jaringan pelayanan. Keberhasilan
pembangunan
sangat
ditentukan
oleh
peran
sektor
transportasi. Karenanya sistem transportasi perlu diperhatikan secara serius agar mampu menghasilkan jasa transportasi yang handal, berkemampuan tinggi dan diselenggarakan secara terpadu, tertib, lancar, aman, nyaman dan efisien dalam menunjang dan sekaligus menggerakkan dinamika pembangunan; mendukung mobilitas manusia, barang serta jasa. Bagi masyarakat transportasi memiliki manfaat yang sangat besar, yaitu sangat berperan dalam mendukung segala bentuk aktifitas sehari-hari, atau dapat dikatakan transportasi memiliki banyak dimensi dan urgensi. Pentingnya peran dan fungsi transportasi tersebut sebab terkait dengan mobilitas masyarakat dengan berbagai bentuk kepentingan dan keperluan hidup, misalnya kepentingan bisnis, pendidikan, pariwisata, kegiatan pemerintahan, dan lain-lain. Salah satu bentuk transportasi adalah transportasi udara, jenis moda transportasi ini dewasa ini sedang mengalami perkembangan pesat. Transportasi melalui udara merupakan alat transportasi yang mutakhir dan tercepat dengan jangkauan yang luas. Ada beberapa kelebihan transportasi melalui udara, yaitu antara lain :9 1. Faktor kecepatan (speed), hal ini karena pada transportasi udara menggunakan pesawat terbang yang memiliki kecepatan
9
Rustian Kamaluddin, Ekonomi Transportasi: Karakteristik, Teori dan Kebijakan, (Jakarta: Ghalia Indonesia), 2003, hal 75
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
9
2. Keuntungan kedua dari angkutan udara adalah bahwa jasanya dapat diberikan untuk daerah-daerah yang tidak ada permukaan jalannya daerah-daerah pegunungan, berjurang-jurang 3. Untuk
angkutan
yang
jaraknya
jauh
maka
lebih
menguntungkan dengan angkutan udara 4. Adanya keteraturan jadwal dan frekuensi perdagangan Dalam kegiatan penerbangan yang paling terpenting adalah faktor keselamatan merupakan syarat utama bagi dunia penerbangan, di samping faktor kecepatan dan kenyamanan. Namun rupanya akhir-akhir ini faktor keselamatan ini kurang mendapat perhatian, baik dari sisi pemerintah, perusahaan penerbangan, maupun masyarakat pengguna jasa angkutan sendiri. Kurangnya pengawasan dan lemahnya dalam penegakkan hukum, menyebabkan banyak pesawat yang secara tekhnis tidak atau kurang baik terbang dapat memperoleh izin untuk terbang. Di samping itu juga penyediaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana penerbangan kurang mendapat perhatian yang serius. Demikian halnya dengan masalah birokrasi dan koordinasi. Apabila pengawasan dan penegakkan hukum dilaksanakan
secara
sungguh-sungguh,
mungkin
tidak
perlu
ada
pengumuman secara terbuka tentang daftar perusahaan penerbangan yang tidak memenuhi syarat keselamatan penerbangan, yang dampaknya sangat luas. Mobilitas manusia dalam era globalisasi ini sangat tinggi, terutama dalam dunia bisnis dan pariwisata. Penerbangan merupakan satu-satunya moda efektif dan efisien. Daya tarik moda transportasi udara
adalah
kecepatan, kenyamanan dan keselamatan. Faktor kecepatan yang merupakan salah satu ciri khas mengapa penerbangan lebih diminati, akan tetapi justru sebaliknya sering ditemukan kasus-kasus terjadinya keterlambatan dalam jadwal terbang ( time schedule ) . Begitu juga dengan pelayanan ( service ) yang diberikan oleh maskapai penerbangan kita semua tahu dan merasakan bagaimana buruknya pelayanan maskapai penerbangan kita kepada penumpang di dalam pesawat.
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
10
Menurut E. Syaifullah10 ada beberapa persoalan mendasar yang kini dihadapi dalam kegiatan transportasi udara, yaitu antara lain : Pertama, dari sisi regulasi masih belum tertata dengan baik, mulai dari sistematika materi peraturan perundang-undangan nasional sampai pada tahap implementasinya di lapangan masih perlu penanganan yang serius. Kedua, dengan makin banyaknya jumlah maskapai penerbangan nasional, di satu sisi baik karena akan memberikan lebih banyak pilihan bagi konsumen, namun di sisi lain menimbulkan persaingan yang salah kaprah, bukan dalam memberikan service yang terbaik tetapi dalam bentuk perang tarif untuk dapat meraup penumpang sebanyak-banyaknya. Akibatnya, untuk mengimbangi keuntungan yang berkurang maka dilakukan efisiensi yang sayangnya salah kaprah pula sehingga berdampak sangat besar terhadap faktor keselamatan penerbangan. Karena seringnya kecelakaan terjadi menimbulkan citra buruk terhadap dunia penerbangan kita, yang akhirnya mendapat sanksi dari dunia internasional. Ketiga, era globalisasi dan liberalisasi, termasuk di dunia penerbangan, adalah suatu keniscayaan, namun di sisi lain dunia penerbangan nasional kita belum siap menghadapinya. Dalam kegiatan transportasi udara niaga terdapat dua pihak yang melakukan hubungan hukum, yaitu pihak perusahaan atau maskapai penerbangan yang bertindak sebagai pengangkut, dan pihak pengguna jasa yang salah satunya adalah penumpang. Para pihak terikat dalam suatu perjanjian, yaitu perjanjian pengangkut. Sebagaimana layaknya suatu perjanjian di dalamnya terdapat hak dan kewajiban para pihak, hak dan kewajiban tersebut melahirkan “prestasi’. Berkenaan dengan hak dan kewajiban para pihak dalam kegiatan pengangkutan udara niaga telah ditentukan dalam peraturan perundangundangan. Ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur
10
E. Syaifullah, Artikel: Dilema Penerbangan Kita, (www.unisba.ac.id), diakses pada tanggal 15 Oktober 2010.
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
11
tentang kegiatan penerbangan niaga, yaitu antara lain UU RI No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan beberapa peraturan pelaksananya. 2. Konsep :
Untuk menghindari kesalahpahaman terhadap konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini, maka berikut ini diberikan pengertian atau definisi dari beberapa konsep dan istilah yang digunakan dalam penelitian ini. 1) Penerbangan Penerbangan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umumnya.11 2) Pesawat Udara Pesawat udara adalah setiap mesin atau alat yang dapat terbang di atmosfer karena gaya angkat dari reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi yang digunakan untuk penerbangan.12 3) Angkutan Udara Niaga Angkutan Udara Niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan memungut pembayaran.13 4) Angkutan Udara Bukan Niaga Angkutan Udara Bukan Niaga adalah angkutan udara yang digunakan untuk melayani kepentingan sendiri yang dilakukan untuk mendukung kegiatan yang usaha pokoknya selain di bidang angkutan udara.14
11
Op.cit, Undang-Undang No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Pasal 1 (1) Ibid, Pasal 1 (3) 13 Ibid, Pasal 1 (14) 14 Ibid, Pasal 1 (15) 12
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
12
5) Rute Penerbangan Rute penerbangan adalah lintasan pesawat udara dari bandar udara asal ke bandar udara tujuan melalui jalur penerbangan yang telah ditetapkan.15 6) Tanggung Jawab Pengangkut Tanggung jawab pengangkut adalah kewajiban perusahaan angkutan udara untuk mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan / atau pengirim barang serta pihak ketiga.16 7) Personel Penerbangan Yang selanjutnya disebut personel, adalah personel yang berlisensi atau bersertifikat yang diberi tugas dan tanggung jawab di bidang penerbangan.17 8) Kargo Kargo adalah setiap barang yang diangkut oleh pesawat udara termasuk hewan dan tumbuhan selain pos, barang kebutuhan pesawat selama penerbangan, barang bawaan, atau barang yang tidak bertuan.18 9) Bagasi Tercatat Bagasi Tercatat adalah barang penumpang yang diserahkan oleh penumpang kepada pengangkut untuk diangkut dengan pesawat udara yang sama.19 10) Bagasi Kabin Bagasi Kabin adalah barang yang dibawa oleh penumpang dan berada dalam pengawasan penumpang sendiri.20 11) Pengangkut Pengangkut adalah badan usaha angkutan udara niaga, pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga berdasarkan ketentuan Undang-Undang, dan
15 16 17 18 19 20
Ibid, Pasal 1 (19) Ibid, Pasal 1 (22) Ibid, Pasal 1 (12) Ibid, Pasal 1 (23) Ibid, Pasal 1 (24) Ibid, Pasal 1 (25)
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
13
/atau badan usaha selain badan usaha angkutan udara niaga ang membuat kontrak perjanjian angkutan udara niaga.21 12) Perjanjian Pengangkutan Udara Perjanjian pengangkutan udara adalah perjanjian antara pengangkut dan pihak penumpang dan/atau kargo dengan pesawat udara, dengan imbalan bayaran atau dalam bentuk imbalan jasa yang lain.22 13) Keterlambatan Keterlambatan adalah terjadinya perbedaan waktu antara waktu keberangkatan atau kedatangan yang dijadwalkan dengan realisasi waktu keberangkatan atau kedatangan.23
F. Metode Penelitian
Ditinjau dari jenisnya, penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang menganalisis norma-norma hukum baik yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan maupun dalam perjanjian / kontrak. Dari sudut tujuannya, penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan memaparkan mengenai sejauh mana tanggung jawab pelaku usaha bergerak di bidang pengangkutan
udara
telah
diakomodasi
dalam
Undang-Undang
Penerbangan dan bagaimana sistem tanggung jawab serta ganti rugi terhadap penumpang pesawat udara yang mengalami kerugian karena perbuatan atau tindakan pengangkut udara. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang ditinjau dari kekuatan mengikatnya terdiri atas 24 : 1. Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan; 2. Bahan hukum sekunder berupa buku-buku, karya tulis ilmiah, artikel dalam majalah, jurnal hukum atau harian; 21
Ibid, Pasal 1 (26) Ibid, Pasal 1 (29) 23 Ibid, Pasal 1 (30) 24 Soerjono Soekanto , Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia , UI Press ), 1986. Hal 51-52. 22
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
14
3. Bahan hukum tertier berupa indeks majalah hukum dan kamus serta ensiklopedia.
Cara melakukan pengumpulan data, atau teknik yang digunakan adalah studi kepustakaan, dan juga menggunakan hasil penelitian mengenai tanggung jawab pelaku usaha pengangkut udara serta kasuskasus yang menyangkut sengketa antara pelaku usaha pengangkut udara dengan pengguna jasa. Data yang dikumpulkan kemudian dianalisis dengan metode kualitatif yang penekanannya pada isi suatu peraturan hukum, dan dilakukan secara komprehensif dan menyeluruh.
G. Sistematika Penulisan
Penelitian ini terdiri dari 5 (lima) bab, masing-masing bab terdiri dari sub bab. BAB I
Merupakan Pendahuluan yang tersusun atas sub bab Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, dan Manfaat Penelitian.
BAB II
Merupakan bab Tinjauan Pustaka : adalah bab yang tersusun dari teori-teori umum yang berkaitan dengan tujuan penelitian dan permasalahan dalam penelitian ini.
BAB III Mengenai Charter Pesawat Udara BAB IV Membahas Tanggung Jawab Hukum Penumpang/Penyewa Pesawat
Pengangkut Terhadap
Charter Berdasarkan Undang-
Undang No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dalam Perjanjian Penyewaan Pesawat Pada PT. Pelita Air Service BAB V
Kesimpulan dan Saran.Bab ini merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran dari Penulis berdasarkan Tinjauan dari Bab
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
15
II dan bab III serta berdasarkan atas pembahasan pada bab IV sehingga memberikan gambaran secara keseluruhan.
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
16
BAB II PERJANJIAN PENGANGKUTAN
A. Pengangkutan Pada Umumnya 1. Pengertian Pengangkut Dalam kegiatan sehari-hari kata pengangkutan sering diganti dengan kata “transportasi”. Pengangkutan lebih menekankan pada aspek yuridis sedangkan transportasi lebih menekankan pada aspek kegiatan perekonomian, akan tetapi keduanya memiliki makna yang sama, yaitu sebagai kegiatan pemindahan dengan menggunakan alat angkut. Secara eimologis, transportasi berasal dari kata latin yaitu transportare, trans berarti seberang atau sebelah lain; dan portare berarti mengangkut atau membawa. Dengan demikian, transportasi berarti mengangkut atau membawa sesuatu ke sebelah lain atau dari suatu tempat ke tempat lainnya. Hal ini berarti bahwa transportasi merupakan jasa yang diberikan, guna menolong orang atau barang untuk dibawa dari suatu tempat ke tempat lainnya. 25 Abdulkadir Muhammad mendefenisikan Pengangkutan sebagai proses kegiatan pemindahan penumpang dan/atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan berbagai jenis alat pengangkut mekanik yang diakui dan diatur undang-undang sesuai dengan bidang angkutan dan
kemajuan teknologi.26 Selanjutnya ia
menambahkan bahwa pengangkutan memiliki tiga dimensi pokok, yaitu pengangkutan sebagai usaha, pengangkutan sebagai perjanjian dan
25
Rustian Kamaludin, Op.cit, hal 14 Abdulkadir Muhammad, Arti Penting dan Strategis Multimoda Pengangkutan Niaga di Indonesia, Dalam Perspektif Hukum Bisnis di Era Globalisasi Ekonomi, (Yogyakarta: Genta Press), 2007, hal 1 26
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
17
pengangkutan sebagai proses27. Pengangkutan sebagai usaha memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1) Berdasarkan suatu perjanjian 2) Kegiatan ekonomi di bidang jasa 3) Berbentuk perusahaan 4) Menggunakan alat angkut mekanik Pengangkutan sebagai perjanjian , pada umumnya bersifat lisan (tidak tertulis) tetapi selalu didukung oleh dokumen angkutan. Perjanjian pengangkutan dapat juga dibuat tertulis yang disebut perjanjian carter, seperti carter pesawat udara untuk pengangkutan jemaah haji, carter kapal untuk pengangkutan barang dagangan. Pengangkutan sebagai suatu proses mengandung makna sebagai serangkaian perbuatan mulai dari pemuatan ke dalam alat angkut, kemudian dibawa
menuju tempat yang telah ditentukan, dan
pembongkaran atau penurunan di tempat tujuan.28 Sedangkan pendapat lain menyatakan pengangkutan niaga adalah rangkaian kegiatan atau peristiwa pemindahan penumpang dan/atau barang dari suatu tempat pemuatan ke tempat tujuan sebagai tempat penurunan penumpang atau pembongkaran meliputi:
barang.
Rangkaian
kegiatan
pemindahan
tersebut
29
a) Dalam arti luas, terdiri dari : 1. Memuat penumpang dan/atau barang ke dalam alat pengangkut 2. Membawa penumpang dan/atau barang ke tempat tujuan 3. Menurunkan penumpang atau membongkar barang-barang di tempat tujuan
27
Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, (Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti), 1998, hal 12 28 Ibid, hal 13 29 Lestari Ningrum, Usaha Perjalanan Wisata Dalam Perspektif Hukum Bisnis, (Bandung: Citra Aditya Bakti), 2004, hal 134
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
18
b) Dalam arti sempit, meliputi kegiatan membawa penumpang dan/ atau barang dari stasiun/terminal/pelabuhan/bandar udara tempat tujuan. Pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dan
pengirim,
dimana
pengangkut
mengikatkan
diri
untuk
menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan.
30
Defenisi ini
memiliki kesamaan dengan defenisi sebelumnya, dengan sedikit perbedaan, yaitu adanya penekanan pada aspek fungsi dari kegiatan pengangkutan, yaitu memindahkan orang atau barang dari suatu tempat ke tempat lain, dengan maksud untuk meningkatkan daya guna atau nilai. Selain defenisi di atas ada yang menyatakan bahwa pengangkutan adalah perpindahan tempat, baik mengenai benda-benda, maupun orangorang, dengan adanya perpindahan tersebut maka mutlak diperlukannya untuk mencapai dan meninggikan manfaat serta efisiensi.31 Menurut Ridwan Khairindy, pengangkutan merupakan pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan. Ada beberapa unsur pengangkutan, yaitu sebagai berikut : 1) Adanya sesuatu yang diangkut 2) Tersedianya kendaraan sebagai alat angkut 3) Ada tempat yang dapat dilalui alat angkut.
Proses pengangkutan merupakan gerak dari tempat asal dari mana kegiatan angkutan di mulai ke tempat tujuan di mana angkutan itu diakhiri.32 30
H.M.N Purwosutjipto, Pengertian Pokok –Pokok Hukum Dagang Indonesia 3: Hukum Pengangkutan, (Jakarta: Djambatan), 2003, hal 2 31 Sution Usman Adji, Dkk, Hukum Pengangkutan di Indonesia, (Jakarta: PT Rineka Cipta),1991, hal 1. 32 Muchtarudin Siregar, Beberapa Masalah Ekonomi dan Managemen Pengangkutan, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia), 1978, hal 5.
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
19
Menurut
Soegijatna
Tjakranegara,
pengangkutan
adalah
memindahkan barang atau atau commodity of goods dan penumpang dari suatu tempat ke tempat lain, sehingga pengangkut menghasilkan jasa angkutan atau produksi jasa bagi masyarakat yang membutuhkan untuk pemindahan atau pengiriman barang-barangnya.33 Secara yuridis defenisi atau penertian pengangkutan pada umumnya tidak ditemukan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Walaupun demikian, pengangkutan itu, menurut hukum atau secara yuridis dapat didefenisikan sebagai suatu perjanjian timbal balik antara pihak pengangkut dengan pihak yang diangkut atau pemilik barang atau pengirim, dengan memungut biaya pengangkutan. Pengangkutan yang ada di Indonesia terdiri dari pengangkutan darat, laut dan udara. Pengangkutan udara di dalam Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU)
dipergunakan suatu istilah pengangkut
sebagai salah satu pihak yang mengadakan perjanjian pengangkutan. Dalam Konvensi Warsawa 1929, menyebut pengangkut udara dengan istilah carrier , akan tetapi Konvensi Warsawa tidak memberitahu suatu batasan atau definisi tertentu tentang istilah pengangkut udara atau carrier ini. Pengertian pengangkut pada umumnya adalah orang atau badan yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan / atau orang, dari satu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat. 34 Dari pengertian di atas dapat dikenali adanya unsur perikatan dalam suatu pengangkutan udara, perikatan ini tertuang dalam suatu bentuk perjanjian pengangkutan udara. Dalam suatu pengangkutan melalui udara yang dimaksud dengan pengangkut adalah orang atau badan yang mengadakan persetujuan untuk mengangkut penumpang, bagasi atau barang dengan pesawat udara. 33
Soegijatna Tjakranegara, Hukum Pengangkutan Barang dan Penumpang, (Jakarta; Rineka Cipta), 1995, hal 1. 34 H.M.N Purwosutjipto, Op.cit, hal 2
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
20
Dalam Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) 1939, dipergunakan istilah “pengangkut” dan dalam Perjanjian Warsawa istilah “carrier” untuk maksud yang sama. Baik OPU 1939 maupun Perjanjian Warsawa tidak memberikan suatu defenisi mengenai pengangkut atau carrier . Pengangkut udara atau carrier
adalah setiap orang, yang menjadi
pemilik, penyewa atau pengemudi dari suatu pesawat udara, yang mempergunakannya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, untuk mengangkut penumpang dan barang. 35 Jadi jelas yang dimaksud dengan pengangkutan udara tidak hanya meliputi kegiatan pengangkutan atas orang tetapi juga meliputi kegiatan pengangkutan terhadap barang perjanjian pengangkutan dapat diadakan terhadap orang perorangan ataupun kelompok tertentu.
2. Pengangkutan dan Perusahaan Pengangkutan a. Pengangkutan Pengangkutan adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk memindahkan barang (muatan) dan / atau orang (penumpang) dari suatu tempat (asal) ketempat tujuan.36 Sedangkan Hukum Pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/ atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan.37
b. Perusahaan Pengangkutan Udara Penyelenggara pengangkutan udara pada umumnya merupakan badan hukum, dalam kenyataannya yang melakukan tindakan dalam 35
E. Suherman, Naskah Ilmiah Rancangan UU Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Udara, (BPHN), 1979, hal 39. 36 Much. Sarudin Siregar, Management Pengangkutan, ( Jakarta: Berdikari Student, 1968 ), hal 13. 37 H. M N. Purwosutjipto, Op.Cit, hal 10.
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
21
rangka usaha pengangkutan udara adalah pegawai-pegawainya. Disamping itu terdapat juga orang-orang yang meskipun tidak terikat oleh suatu perjanjian khusus, yaitu perjanjian keagenan. Terhadap orang-orang tersebut dalam Ordonansi Pengangkutan Udara disebut sebagai “mereka yang dipekerjakan oleh pengangkutan berhubung dengan pengangkutan udara tersebut” sedangkan Konvensi Warsawa dan serta protokol-protokol amandemennya mempergunakan istilah “agen”. Dalam kaitannya dengan tanggung jawab pengangkut udara, yang penting adalah “dalam Ordonansi dan perjanjian-perjanjian lainnya ditetapkan bahwa pengangkut hanya bertanggung jawab kalau pegawai bertindak dalam batas wewenangnya”.38
B. Perjanjian Angkutan Udara Perjanjian Angkutan Udara menurut Mr. Kist adalah : “ merupakan perjanjian campuran yaitu perjanjian pentimpangan”39. Pendapat tersebut disetujui oleh Prof. Soekardono dan HMN Purwosutjipto. Dengan alasan bahwa dalam perjanjian pengangkutan mengandung unsur yaitu : 1. Pelayanan berkala, sebagaimana diatur dalam Pasal 1601 huruf b KUHPerdata sebagai satu-satunya pasal yang khusus
mengenai
pelayanan berkala (Perjanjian pemborongan atau melakukan pekerjaan). 2. Unsur penyimpanan, yang diatur dalam Pasal 468 ayat (1) KUHD yang berbunyi “perjanjian pengangkutan mewajibkan pengangkut untuk menjaga dengan baik keselamatan barang yang diangkutnya, mulai saat diterimanya dan hingga saat diserahkannya barang tersebut 3. Unsur pemberian kuasa, hal ini diatur dalam beberapa Pasal di KUHD diantaranya adalah Pasal 371 ayat (1) KUHD yang berbunyi “Nakhoda diwajibkan selama perjalanan menjaga kepentingan-kepentingan para
38 39
E. Suherman, Op.Cit, hal 43. Mr. Kist dalam buku Soekardono, Hukum Dagang Indonesia II dalam bagian I, 1980, hal 12.
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
22
pemilik muatan, mengambil tindakan-tindakan tertentu yang diperlukan, untuk itu jika perlu menghadap di muka Hakim.40 Seperti halnya pada perjanjian umumnya, perjanjian pengangkutan bersifat konsensual, artinya pembuat perjanjian pengangkutan tidak disyaratkan harus dengan tertulis, cukup dengan lisan, asal ada suatu persetujuan kehendak. Dari pengertian mengenai pengangkutan di atas maka dapat diketahui fungsi dari pengangkutan, yaitu berfungsi untuk memindahkan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan maksud sesuai dengan keperluannya, karena fungsi yang demikian itu tidak hanya berlaku pada satu bidang saja misalnya bidang perdagangan, tetapi juga berlaku di bidang pemerintahan, sosial, politik, pendidikan, pertahanan, dan juga keamanan, serta bidang yang lain. Sebagai contoh di bidang perdagangan, pengangkutan mempunyai peranan yang penting yaitu selain berfungsi untuk memindahkan orang atau barang dari suatu tempat ke tempat lain, juga dimaksudkan untuk meningkatkan daya guna dan nilai. Dalam hal ini meningkatnya daya guna dan nilai merupakan suatu tujuan dari pengangkutan, yang berarti apabila daya guna dan nilai di tempat baru itu tidak bertambah, maka pengangkutan tidak perlu diadakan, sebab hanya merupakan perbuatan yang merugikan bagi si pedagang.
C. Dokumen Angkutan Pada Pengangkutan Udara Pada perjanjian pengangkutan penerbangan berjadwal tidak dijumpai suatu perjanjian tertulis. Dokumen angkutan seperti tiket penumpang, tiket bagasi dan surat muatan udara bukan merupakan suatu perjanjian angkutan udara, tetapi hanya merupakan suatu bukti adanya perjanjian angkutan udara, karena menurut ketentuan dalam Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (5) dan Pasal 7 ayat (2) OPU 1939, Stb No.100 tahun 1939, tanpa diberikannya dokumen angkutan pun tetap ada suatu perjanjian pengangkutan. Ketentuan bahwa dokumen angkutan hanya merupakan bukti adanya suatu perjanjian pengangkutan, lebih dipertegas dalam Pasal III 40
Ibid, hal 14-15
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
23
Protokol Hague tahun 1955 yang merubah Pasal 3 ayat (2) di dalam Konvensi Warsawa tentang tiket penumpang, juga ada dalam Pasal IV dan VI Protokol Hague tentang tiket bagasi dan surat muatan udara.41 Dokumen angkutan di dalam perjanjian pengangkutan hanya merupakan bukti, namun dari ketentuan-ketentuan di dalam bab II Ordonansi Pengangkutan Udara maupun dalam Konvensi Warsawa, dapat disimpulkan bahwa dokumen angkutan tersebut mempunyai arti penting yaitu dalam hubungannya dengan tanggung jawab pengangkut, karena itu kalau pengangkut menerima penumpang atau barang untuk diangkut tanpa memberikan tiket atau surat muatan udara, dia tidak berhak mempergunakan ketentuan-ketentuan di dalam OPU 1939 atau Konvensi Warsawa yang memindahkan atau membatasi tanggung jawabnya. Dokumen-dokumen angkutan yang dimaksudkan itu adalah tiket penumpang, tiket bagasi, surat muatan udara, izin menumpang pesawat, dan izin mengangkut barang.
1. Tiket Tiket penumpang adalah surat tanda pengesahan seseorang untuk menjadi penumpang dengan telah dipenuhinya biaya angkutan untuk satu kali angkutan atau perjalanan. Menurut ketentuan Ordonansi Pengangkutan Udara suatu tiket penumpang harus memuat keterangan-keterangan sebagai berikut : a. Tempat dan tanggal pemberian; b. Tempat pemberangkatan dan tujuan; c. Pendaratan di tempat-tempat diantara tempat pemberangkatan dan tempat tujuan; d. Nama dan alamat pengangkut atau pengangkut-pengangkut; e. Pemberitahuan bahwa pengangkutan udara tunduk pada ketentuan-ketentuan mengenai tanggung jawab, yang diatur oleh Ordonansi Pengangkutan Udara.
41
Joko Sulistyo Mungiwidodo, Aspek Yuridis Terhadap Tanggungjawab Pengangkutan Udara, (Surakarta : FH Slamet Riyadi, 1993), hal 31.
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
24
2. Tiket bagasi Tentang tiket bagasi Ordonansi Pengangkutan Udara menetukan bahwa tiket bagasi harus memuat keterangan-keterangan sebagai berikut : a. Tempat dan tanggal pemberian; b. Tempat pemberangkatan dan tempat tujuan; c. Nama
dan
alamat
dari
pengangkut
atau
pengangkut-
pengangkut; d. Nomor dari tiket penumpang; e. Pemberitahuan
bahwa
bagasi
akan
diserahkan
kepada
pemegang tiket bagasi; f. Jumlah dan beratnya barang-barang; g. Harga yang diberitahukan oleh penumpang sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 30 ayat (2) OPU 1939; h. Pemberitahuan bahwa pengangkutan bagasi ini tunduk pada ketentuan-ketentuan mengenai tanggung jawab yang diatur dalam Ordonansi Pengangkutan Udara.
3. Surat muatan udara Surat muatan udara diatur dalam bab II bagian III Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU 1939), ditentukan dalam Pasal 7 bahwa setiap pengangkut barang berhak untuk meminta pada pengirim untuk membuat dan atau memberikan suatu surat yang dinamakan “Surat Muatan Udara”. Dari bunyi Pasal 7 tersebut dapat diketahui bahwa seakan-akan pengangkut itu tidak diharuskan untuk memberi suatu surat muatan udara. Tetapi hal itu bukan merupakan kebebasan bagi pengangkut, karena di dalam Pasal 11 ditentukan bahwa kalau pengangkut menerima barang untuk diangkut tanpa dibuat suatu surat muatan udara, pengangkut tidak berhak mempergunakan ketentuan-ketentuan dalam ordonansi yang meniadakan atau
membatasi
tanggung jawabnya.
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
25
Menurut Pasal 8 dan Pasal 10 OPU 1939 ditentukan, bahwa surat muatan udara harus dibuat dalam rangkap tiga, semua asli dan harus berisi yaitu : a. Tempat dan tanggal surat muatan udara dibuat b. Tempat pemberangkatan dan tempat tujuan c. Pendaratan-pendaratan yang direncanakan di tempat-tempat diantara kedua tempat tersebut dengan mengingat hak pengangkut udara untuk mengajukan syarat bahwa bila perlu dapat mengadakan perubahan dalam pendaratan-pendaratan itu. d. Nama dan alamat pengangkut pertama e. Nama dan alamat pengirim f. Nama dan alamat penerima, bila diperlukan g. Jumlah, cara pembungkusan, tanda-tanda istimewa atau nomor barangt-barang bila ada h. Berat, jumlah seluruhnya, ukuran barang i. Pemberitahuan bahwa pengangkutan ini tunduk pada ketentuan mengenai tanggung jawab yang diatur di dalam Ordonansi Pengangkutan Udara dan Konvensi Warsawa.42 Dalam praktek, surat muatan udara memuat ketentuan bahwa surat muatan udara tidak dapat diperdagangkan. Mengenai ketentuan tersebut bagi pengangkut sangat diperlukan, karena apabila surat muatan udara dapat diperdagangkan, maka ia akan dibebani tanggung jawab lebih berat lagi, yaitu terlalu lama menahan barang kiriman, menunggu lakunya surat muatan udara, dengan kemungkinan besar kerusakan-kerusakan akan lebih besar pula. Selain itu Ordonansi Pengangkutan Udara maupun Konvensi Warsawa tidak tegas menentukan surat muatan udara dapat diperdagangkan atau tidak.
42
Ketentuan Pasal 8 dan Pasal 10 OPU 1939
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
26
BAB III CHARTER PESAWAT UDARA
A. Pengertian Charter Pesawat Udara
Dalam bahasa sehari-hari perkataan charter dipergunakan dalam arti yang luas, dan meliputi setiap jenis penggunaan pesawat di luar penerbangan dan angkutan udara. Secara yuridis pemakaian perkataan charter harus dipergunakan dengan lebih hati-hati, karena mungkin yang dimaksud bukan charter yang bersifat perjanjian angkutan, tetapi pemakaian jasa lain yang tidak merupakan jasa angkutan, atau mungkin merupakan suatu perjanjian sewa menyewa barang.43 Dalam hubungannya dengan angkutan udara, charter berarti usaha untuk menggunakan kapasitas pesawat terbang kepunyaan orang lain, untuk sesuatu keperluan atas maksud, dengan penyerahan imbalan sejumlah harga charter yang ditentukan dalam perjanjian.44 Secara umum dapat diketahui bahwa pengertian dari charter pesawat udara ( Air Charter) adalah pemanfaatan suatu pesawat udara, oleh pihak yang bukan pihak yang mempunyai hak atas pesawat udara, dengan pembayaran kepada pemilik atau pihak lain yang berhak, untuk keperluan sendiri berupa jasa angkutan atau jasa lainnya, atau untuk menjual kembali jasa-jasa tersebut kepada pihak ketiga. Dalam UU No 1 Tahun 2009 tidak terdapat pengertian angkutan udara niaga tidak berjadwal ( non-scheduled airlines), namun demikian 43
E. Suherman, Masalah-Masalah Tanggung Jawab pada Charter Pesawat Udara dan Beberapa Masalah Lain Dalam Bidang Penerbangan, ( Bandung : Alumni), 1980, hal 96 44 G. Kartasapoetra dan F. Roekasih, Segi-Segi Hukum Dalam Charter dan Asuransi Angkutan Udara, (Bandung: Armico), 1982, hal 1.
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
27
pengertian tersebut dapat meminjam pengertian yang tercantum di dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor SK 13/S/1971. Menurut Keputusan Menteri Perhubungan tersebut angkutan udara niaga tidak berjadwal adalah penerbangan dengan pesawat udara tidak berencana. Kegiatan angkutan udara niaga dapat dilakukan secara tidak berjadwal oleh suatu badan usaha angkutan udara niaga (scheduled airlines) nasional untuk mengangkut penumpang dan/atau kargo atau khusus mengangkut kargo yang dilakukan oleh badan usaha yang telah memperoleh izin dari Menteri Perhubungan.45 Secara historis, sebelum Perang Dunia Kedua, hanya terdapat angkutan udara niaga berjadwal (scheduled airline), untuk memenuhi kebutuhan para pejabat dan perjalanan bisnis, namun demikian dalam perkembangannya angkutan udara niaga berjadwal (scheduled airlines) tidak dapat memenuhi kebutuhan angkutan udara, karena itulah secara sporadis lahir bentuk angkutan udara niaga tidak berjadwal (nonscheduled airlines), tetapi tidak merupakan saingan yang berarti terhadap angkutan udara niaga berjadwal (scheduled airlines) . Dalam kurun waktu 5 (lima) tahun pertama sesudah lahirnya Konvensi Chicago 1944, angkutan
udara
niaga
tidak
berjadwal
(non-sheduled
airlines)
berkembang dengan pesat dan merupakan saingan berat terhadap angkutan udara niaga berjadwal (scheduled airlines), terutama sekali rute Amerika Utara-Eropa. Angkutan udara niaga tidak berjadwal (non scheduled-airlines) tersebut diorganisasi oleh tour group
dan
charter yang melakukan
usahanya secara terus-menerus ditawarkan kepada masyarakat umum dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan dengan angkutan udara niaga berjadwal (scheduled airlines). Perkembangan angkutan udara
niaga
tidak
berjadwal
(non-scheduled
diselenggarakan inclusive tour charter
airlines)
yang
(ITC), affinity group charter
(AGC), sedangkan di Amerika Serikat terdapat angkutan udara tidak
45
H.K Martono dan Amad Sudiro, Hukum Angkutan Udara Berdasarkan UU RI No Tahun 2009, (Jakarta: Rajawali Pers), 2010, hal 98.
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
28
berjadwal (non-scheduled airlines) seperti supplemental carriers, planload affinity charters, inclusive tour charters, advance booking charter (ABC), travel group charters (TGC), one stop inclusive charter (OTC), selanjutnya dalam US Deregulation Act of 1978 digantikan digantikan dengan public charter and promotes: the rules of the country of origin.46 Di Indonesia menurut keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor SKEP/1657/VIII/76
47
pernah diatur jenis-jenis angkutan
udara niaga tidak berjadwal (non-scheduled airlines) masing-masing angkutan udara niaga tidak berjadwal pembukuan di muka (advance booking charter), borongan perkumpulan (affinity group), borongan paket wisata (inclusive tour charter), borongan khusus (special event charter), borongan mahasiswa (student charter), borongan pribadi (own use charter). Angkutan udara niaga tidak berjadwal (non-scheduled airlines) borongan pembukuan di muka
(advance booking charter) adalah
penerbangan yang dicarter oleh dan atas nama satu rombongan atau lebih yang pendaftaran perjalanan penumpangnya telah dilakukan jauh sebelum keberangkatan penerbangan.
48
Menurut keputusan Direktur
Jenderal Perhubungan Udara Nomor SKEP/1657/VIII/76, borongan perkumpulan (affinity group) adalah penerbangan yang dicarter oleh perserikatan atau perkumpulan atau asosiasi yang memenuhi persyaratan peserta mempunyai tanda anggota yang tetap, tidak menjial tempat duduk yang disewa dalam pesawat udara kepada orang lain selain anggota peserta,
penumpang
telah
menjadi
anggota
perserikatan
atau
perkumpulan atau asosiasi sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak penerbangan berlangsung, rombongan pergi dan pulang bersamasama, bilamana terdapat lebih dari satu perserikatan atau perkumpulan atau asosiasi, ,masing-masing harus memenuhi persyaratan, daftar nama 46
Werner Guldidmann, The Distinction Between Scheduled and non-scheduled Air Services, dalam Annals of Air and Space Law vol.IV-1979. (Toronto: The Carswell Company Limited),1979. 47 Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor SKEP/1675/VIII/76 tentang Jenis dan Persyaratan Pelaksanaan Penerbangan Borongan Internasional ke dan/atau dari Wilayah Indonesia. 48 H.K Martono dan Amad Sudiro,Op.cit, hal 94.
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
29
peserta beserta perubahannya harus telah diterima 7 ( tuhuh) hari sebelum penerbangan dilaksanakan, pemberitahuan atau edaran hanya boleh disampaikan kepada anggota rombongan.49
B. Pengaturan Charter Pesawat Udara Sampai sejauh ini belum ada ketentuan atau peratutan perundangundangan yang secara khusus mengatur masalah charter pesawat udara. Sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan charter pesawat udara masih didasarkan pada peraturan yang berlaku untuk pengangkutan udara pada umumnya atau pengangkutan udara secara teratur. Peraturan pengangkutan udara dalam negeri adalah Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU), Stb.No. 100 Tahun 1939, yang merupakan hasil ratifikasi dari perjanjian Warsawa 1929, mengatur masalah tanggung jawab pengangkutan udara dan masalah dokumen angkutan dan juga Undang-Undang No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Dalam Undang- Undang No 1 Tahun 2009 kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal nasional diatur dalam Pasal 83 ayat (3), Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, Pasal 94, dan Pasal 95. Menurut Pasal 83 ayat (3) kegiatan angkutan udara niaga dapat dilakukan secara tidak berjadwal (non -scheduled airlines) yang melayani angkutan udara tidak terikat pada rute dan jadwal penerbangan yang tetap dan teratur dapat dilakukan oleh badan usaha nasional dan/atau asing untuk mengangkut penumpang dan kargo atau khusus mengangkut argo. Angkutan udara niaga tidak berjadwal dalam negeri (domestic non-scheduled airlines) hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah mendapat izin usaha angkutan udara tidak berjadwal (non-scheduled airlines) dari Menteri Perhubungan. Pelaksanaan angkutan udara niaga tidak berjadwal dalam negeri (domestic non-scheduled airlines) tersebut berdasarkan persetujuan terbang (flight approval) yang diberikan oleh Direktur Jenderal Perhubungan Udara.50
49 50
Ibid, hal 96. Pasal 91 (2) Undang-Undang No 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
30
Atas persetujuan Menteri Perhubungan, badan usaha angkutan udara niaga tidak berjadwal dalam negeri (domestic non-scheduled airlines), dalam keadaan tidak terpenuhinya atau tidak terlayaninya permintaan jasa angkutan udara oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal (scheduled airlines) pada rute tertentu yang bersifat sementara, dapat melakukan kegiatan angkutan udara niaga berjadwal (scheduled airlines). Kegiatan angkutan udara niaga berjadwal
yang bersifat
sementara tersebut dapat dilakukan atas inisiatif instansi pemerintah, pemerintah daerah dan/atau badan usaha angkutan angkutan udara nasional, asal kegiatan angkutan udara niaga berjadwal yang dilakukan oleh angkutan udara niaga tidak berjadwal tersebut tidak menyebabkan terganggunya pelayanan angkutan udara pada rute yang masih dilayani oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal lainnya.51 Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal dapat berupa rombongan rombongan tertentu yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama bukan untuk tujuan wisata (affinity group), kelom pok penumpang yang membeli seluruh atau sebagian kapasitas tempat duduk di pesawat udara untuk melakukan paket perjalanan termasuk pengaturan akomodasi dan angkutan lokal (inclusive tour charter), seseorang yang membeli seluruh kapasitas pesawat udara untuk kepentingan sendiri (own use charter), taksi udara (air taxi); atau kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal lainnya 52 seperti dalam satu pesawat terdiri atas berbagai kelompok dan dengan tujuan yang berbeda-beda (split charter), untuk orang sakit, kegiatan kemanusiaan, dan kegiatan terjun payung dan kegiatan angkutan udara niaga berjadwal (non-scheduled airlines) lainnya. Apabila diperhatikan dengan cermat maka jenis-jenis angkutan udara niaga tidak berjadwal (non-scheduled airlines) yang tercantum dalam Undang-Undang No 1 Tahun 2009 hanya sedikit, tetapi perkataan “lainnya” mengandung pengertian bahwa jenis-jenis angkutan udara tidak berjadwal ( non-scheduled airlines) tidak terbatas apa yang
51 52
Pasal 91 ayat (5) Undang-Undang No 1 Tahun 2009 Pasal 92 Undang-Undang No 1 Tahun 2009
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
31
disebutkan di dalam Pasal 92 UU No 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.
C. Perjanjian Charter Pesawat Udara Suatu perjanjian charter merupakan perjanjian untuk menggunakan seluruh atau sebagian kapasitas pesawat udara, untuk keperluan pencharteran berupa jasa angkutan dan jasa lainnya atau untuk menjual kembali jasa-jasa tersebut kepada pihak ketiga. Dari pengertian ini dapat dibedakan antara mencharter untuk mengangkut pencharter itu sendiri, dengan mencharter tidak untuk mengangkut pencharter tetapi pencharfter bermaksud menjual kembali kapasitas dari pesawat udara itu kepada pihak ketiga. Pada umumnya setiap perusahaan penerbangan yang menyediakan pesawat udara untuk dicharter telah mempunyai suatu “Standard Charter Agreement” yaitu akta persetujuan penggunaan penyediaan pesawat udara yang memuat antara lain, jenis pesawat, nomor penerbangan, route, dan lain-lainnya. Kadang-kadang
“Standard Charter Agreement” ini
dibedakan untuk perjanjian charter yang mengangkut pencharter sendiri dengan bentuk perjanjian charter yang akan dijual kembali oleh pencharter kepada pihak ketiga.53
D. Hak dan Kewajiban Para Pihak 1. Hak dan Kewajiban Pemilik Pesawat Udara Dalam hal memenuhi perjanjian charter yang telah disepakati maka pemilik pesawat udara atau pihak yang mencharterkan memperoleh hakhak disamping harus memenuhi kewajibannya. Adapun pihak pemilik pesawat atau yang mencharterkan pesawat udara akan mendapatkan hak-hak antara lain : a. Menerima sejumlah harga charter yang telah ditentukan dan disepakati bersama dalam perjanjian 53
E. Suherman, Op.Cit, hal 88
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
32
b. Hanya menerbangkan penumpang atau barang-barang pencharter ke tempat tujuan sesuai dengan perjanjian charter yang telah disepakati c. Berhak untuk menggunakan ruangan dan daya muat yang tidak dipakai oleh pencharter d. Jika penerbangan yang dimulai dengan pesawat udara, karena sebabsebab dalam bidang teknik terhalang atau tidak dapat diselenggarakan seluruhnya, maka pihak yang mencharterkan berhak menyediakan pesawat udara lain sebagai gantinya atau pesawat udara yang sama jenisnya e. Berhak membatalkan perjanjian secara sepihak jika pencharter tidak memenuhi kewajibannya atau pailit f. Dalam charter untuk dijual kembali, berhak mendapatkan ganti rugi atas pembayaran-pembayaran karena denda berhubung dengan pelanggaran-pelanggaran Peraturan Pemerintah dari barang yang diangkut yang bukan milik pencharter sendiri g. Dalam “dry lease charter” berhak untuk menuntut ganti rugi jika waktu yang ditentukan untuk charter dilewati oleh pencharter. Dan berhak memperoleh pesawat udara sejenis sebagai ganti jika pesawat udara yang dicharter mengalami kecelakaan h. Dalam hal terjadinya musibah, berhak untuk tunduk kepada segala ketentuan perjanjian internasional dan ketentuan-ketentuan hukum nasional, sehingga memperoleh hak yang seadil-adilnya baik dalam hal mengganti atau tidak mengganti kerugian sesuai dengan pertanggung jawabannya.54
Di samping mendapatkan hak-hak seperti tersebut diatas, pihak yang mencharterkan mempunyai kewajiban-kewajiban antara lain : a. Dalam hal menyediakan pesawat udara, maka pihak yang mencharterkan berkewajiban menyediakan, untuk charteren atau pencharter pesawat udara atau pesawat udara yang telah ditentukan jenisnya, serta kelengkapan-kelengkapan lain untuk 54
G. Kertasapoetra dan E. Roekasih, Op.Cit., hal 18
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
33
penerbangan tersebut, sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati bersama b. Dalam “ dry lease charter” , wajib menyediakan pesawat udara sesuai dengan yang diperjanjikan c. Baik dalam charter untuk pemakaian sendiri maupun “ dry lease charter “ , wajib mengganti pesawat udara lain yang sejenis, jika pesawat udara yang dicharter itu saat akan diterbangkan mengalami kerusakan dalam bidang teknis d. Kewajiban untuk bertanggung jawab, maka pihak yang mencharterkan
dalam
bertindak
sebagai
pengangkut
bertanggung jawab sesuai dengan syarat-syarat umum tentang pengangkutan internasional dalam arti kata sesuai dengan ketentuan-ketentuan
dalam
Perjanjian
Warsawa
1929.
Sedangkan pada pengangkutan dalam negeri tunduk pada ketentuan yang ditetapkan dalam OPU 1939 dan UndangUndang tentang Penerbangan. Dalam kewajiban ini, termasuk kewajiban untuk menyampaikan para penumpang dan atau barang selamat sampai pada tujuan.55
2. Hak dan Kewajiban Pencharter Seperti telah dikatakan diatas bahwa perjanjian charter pesawat udara itu adalah merupakan perjanjian timbal balik, sehingga para pihak secara timbal balik pula akan mendapatkan hak disamping harus memenuhi kewajiban sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Hak-hak pencharter dalam perjanjian charter pesawat udara antara lain : a. Memperoleh sebagian atau seluruh kapasitas ruangan pesawat udara sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati. b. Dalam hal “ time charter “ atau “ voyage charter “ , berhak atas pengangkutan penumpang atau barang muatannya ke tempat tujuan yang dimaksud dengan aman dan selamat 55
Ibid, hal 19
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
34
c. Dalam hal “ dry lease charter “ berhak mendapatkan pesawat udara sesuai dengan yang telah diperjanjikan d. Jika terjadi musibah dan musibah tersebut akibat kesalahan dari pihak pengangkut, maka pencharter berhak untuk mendapatkan ganti kerugian dari pengangkut sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.56
Disamping hak-hak diatas, pencharter mempunyai kewajiban-kewajiban yaitu : a. Dalam perjanjian ini kewajiban yang paling penting atau paling pokok adalah membayar harga charter sesuai dengan harga yang telah disepakati. b. Dalam hal pembatalan perjanjian, maka pencharter harus membayar biaya pembatalan, yang besarnya telah ditentukan dalam perjanjian. Misalnya harus membayar 20 % dari harga charter, jika pembatalan dilakukan dalam jangka waktu antara 15 hari sampai 30 hari sebelum rencana pemberangkatan, atau harus membayar 100 % dari harga charter jika pembatalan dilakukan 8 hari sebelum rencana pemberangkatan. c. Dalam hal melebihi batas waktu dan jam terbang, yaitu apabila karena sesuatu hal yang disebabkan oleh pencharter, misalnya tidak adanya
surat-surat
yang
diperlukan,
atau
sebab
lain
yang
mengakibatkan batas waktu lamanya charter atau jumlah jam terbang dilewati, maka pencharter berkewajiban untuk membayar uang tunggu dan uang kelebihan jam terbang. d. Pencharter berkewajiban untuk tidak menyewakan lagi sebagian atau seluruh kapasitas ruangan yang telah dicharter, kepada pihak ketiga tanpa persetujuan pihak yang mencharterkan. e. Pencharter berkewajiban untuk tidak menawarkan atau menjual kapasitas ruangan yang dichartermya lebih rendah daripada yang telah ditentukan oleh International Air Transport Association (IATA) 56
Ibid, hal 19
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
35
f. Dalam charter untuk dijual kembali, pencharter wajib menjamin bahwa pengirim barang akan membayar ganti rugi, jika ada denda dari barang yang yang diangkut karena pelanggaran Peraturan Pemerintah dan telah dibayar terlebih dahulu oleh pengangkut. g. Dalam hal “ dry lease charter “, jika terjadi kecelakaan, pencharter wajib mengganti pesawat udara yang dicharternya dengan pesawat udara lain yang sejenis. h. Pencharter
wajib memberi bantuan mengenai pemberian dan
pengisian surat-surat pengangkutan untuk para penumpang dan barang-barang muatan. i. Pencharter wajib menjamin bahwa penumpang atau pengirim barang yang melalui salurannya mematuhi dan memenuhi kewajiban yang tercantum dalam dan timbul dari syarat pengangkutan yang telah ditentukan oleh pengangkut57.
E. Jenis-Jenis Charter Pesawat Udara
Pengangkutan udara dengan charter pesawat udara dapat di bedakan dalam 4 jenis yaitu : 1. Charter tanpa awak pesawat ( bare hull charter, dry charter) Antara pemilik pesawat udara dengan pihak pencharter tidak ada persetujuan pengangkutan sehingga dengan demikian pemilik pada dasarnya tidak mempunyai tanggung jawab apa-apa sebagai pengangkut (meskipun mungkin punya tanggung jawab sebagai operator). Charter jenis ini pada prinsipnya bukanlah suatu persetujuan pengangkutan (hanya merupakan pesetujuan sewa benda bergerak) maka pemilik bukanlah pengangkut udara. Sebagaimana dimaksudkan oleh Ordonansi Pengangkutan Udara 1939, sehingga dalam hal ini Ordonansi Pengangkutan Udara 1939 tidak berlaku bagi charter jenis ini, dan pengangkutan
57
Ibid, hal 21
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
36
bukanlah
suatu
charter
tetapi
pada
suatu
persetujuan
pengangkutan biasa. 2. Charter dengan awak pesawat, untuk suatu jangka waktu tertentu ( time charter ) dan yang mencharter sendiri tidak diangkut. Dalam hal ini ada tiga pihak yang terlibat yaitu : pemilik pesawat, pihak yang mencharter, pihak yang diangkut. Charter jenis ini bukanlah merupakan suatu persetujuan pengangkutan. Pemilik pesawat udara bukan merupakan pengangkut udara, kecuali jika ia dapat memenuhi semua syarat-syarat yang dapat disimpulkan dari Ordonansi Pengangkutan Udara 1939 mengenai pengangkut udara. Dalam hal demikian hubungan antara pihak yang mencharter dengan pihak yang diangkut merupakan persetujuan pengangkutan udara. 3. Charter dengan awak pesawat untuk perjalanan atau perjalananperjalanan tertentu ( voyage charter ) dan yang mencharter sendiri tidak diangkut. Sepintas charter jenis ini hampir mirip dengan charter jenis kedua, dengan perbedaan penting, bahwa perjalanan-perjalanan telah ditentukan dari semula. Dalam hal pihak yang mencharter bertindak sendiri sebagai pengangkut udara, terutama dengan memberikan dokumen pengangkutan sendiri, maka persetujuan charter antara pemilik dengan pencharter
bukanlah
suatu
persetujuan
pengangkutan.
Persetujuan pengangkutan ada antara pihak pencharter dengan pihak yang diangkut. Sedangkan awak pesawat dapat dianggap sebagai agent dari pihak yang menyewakan pesawat. Pemilik pesawat juga mempuyai kemungkinan untuk bertindak sebagai pengangkut udara, dengan memberikan dokumen-dokumen pengangkutan udara secara lengkap dan normal, dengan segala tanggung jawabnya. Persetujuan charter merupakan persetujuan pengangkutan udara dan Ordonansi Pengangkutan Udara 1939 berlaku sepenuhnya. Dengan demikian peranan yang dimainkan oleh pihak yang mencharter semata-mata hanyalah terletak pada
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
37
bidang ekonomis, yang dapat dikatakan bahwa pihak yang mencharter tersebut membeli ruangan pesawat terbang dari pemilik dan dijualnya kembali dengan laba dalam sesuatu bentuk lain kepada pihak yang diangkutnya. 4. Charter dengan awak pesawat dan yang diangkut adalah pihak yang mencharter sendiri. Persetujuan charter jenis ini merupakan juga suatu persetujuan pengangkutan, dengan demikian pemilik sebagai pengangkut udara
yang tunduk pada ketentuan
Ordonansi Pengangkutan Udara 1939. Sehingga pemilik pesawat sebagai pengangkut bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pencharter.58
58
E. Suherman, Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum Udara Indonesia, ( Bandung: Eresco), 1982, hal 45-49.
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
38
BAB IV PENYEWAAN PESAWAT (CHARTER) PADA PT PELITA AIR SERVICE
A. Sejarah Berdirinya PT Pelita Air Service PT Pelita Air Service adalah maskapai penerbangan nasional di Indonesia yang memiliki basis udara (Air Base) di Bandar Udara Halim Perdanakusuma dan memiliki Bandar Udara Pondok Cabe, Jakarta Selatan. Kantor pusatnya terletak di Jl. Abdul Muis, Jakarta Pusat. Memiliki ratusan karyawan yang terdiri dari staf manajemen serta jajaran karyawan udara (Air Crew ) yang terlatih dan dapat diandalkan. Berdiri pada tahun 1963 dengan nama Pertamina Air Service , semula Pelita Air
difokuskan
pada
layanan penyewaan pesawat
(Air
Charter). Selama beberapa dekade, Pelita Air melayani jasa penerbangan bagi beberapa perusahaan minyak di Indonesia, baik perusahaan asing maupun domestik. Semula Pelita Air di bawah naungan Pertamina, salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN), untuk memenuhi kebutuhan transportasi intenal perusahaan, lalu dikembangkan menjadi maskapai yang menyediakan layanan penyewaan pesawat bagi perusahaan lain sejenis. Sepanjang tahun 1970-1990, Pelita Air menjadi jasa layanan penyewaan pesawat bagi pelanggan tertentu saja. Pelita Air kemudian berdiri sendiri, melepaskan diri dari manajemen Pertamina . Kini Pelita Air di bawah manajemen PT Pelita Air Service (PT PAS).59 Pada perkembangannya , di tahun 2000-an , Pelita Air mencoba untuk melakukan layanan penerbangan umum domestik dengan nama Pelita Air Venture, tetapi hanya bertahan selama 2 (dua) tahun. Beberapa jalur 59
http://www.pelita-air.com, diakses pada tanggal 15 Januari 2011
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
39
penerbangan domestik telah dilayani dengan pesawat Pelita Air, misalnya : Pekanbaru, Palembang, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, Biak, Sorong, Lubuk Linggau. Seperti penerbangan charter pada umumnya, rute penerbangan charter Pelita Air tidak tetap , tetapi beberapa rute charter pesawat yang sudah lama dijalani Pelita Air dan kliennya adalah : a. Medan-Dumai-Palembang-Jakarta/Halim-YogyakartaSurabaya-Makassar-Sorong (di sewa oleh PT Pertamina dengan Fokker F100) b. Jakarta/Halim-Pekanbaru-Dumai-Jakarta/Halim (di sewa oleh PT Chevron Pacific Indonesia dengan pesawat Fokker F100) c. Balikpapan-Bontang-Balikpapan (di sewa oleh PT Pupuk Kaltim dengan pesawat Dash-7)
B. Konsep Tanggung Jawab Hukum Konsep tanggung jawab hukum yang terdiri dari tanggung jawab hukum berdasarkan kesalahan, tanggung jawab praduga bersalah (liability without fault), ajaran hukum (doctrine); tanggung jawab hukum dalam hukum internasional yang terdiri atas Konvensi Warsawa 1929, Protokol The Hague 1955, Konvensi Guadalajara 1961, Montreal Agreement of 1966, Guatemala City Protokol 1971, Protokol Tambahan No 1,2,3, dan 4, Konvensi Montreal 1999;tanggung jawab berdasarkan hukum nasional yang meliputi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Ordonansi Pengangkutan Udara Stb.1939-100; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Tanggung jawab pengangkut yang diatur dalam Undang-Undang No 1 Tahun 2009 mengacu kepada konvensi internasional, hukum nasional, buku-buku yang ditulis para ahli di bidang hukum udara nasional, internasional maupun praktik hukum di bidang penerbangan. Undang-Undang No 1 Tahun 2009 mengacu pada Konvensi Warsawa 1929 beserta protokolnya. Dalam angkutan udara terdapat tiga macam konsep dasar tanggung jawab hukum (legal liability concept) masing-
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
40
masing konsep tanggung jawab hukum atas dasar kesalahan (based on fault liability), konsep tanggung jawab hukum atas dasar praduga bersalah (presumption of liability) dan konsep tanggung jawab hukum tanpa bersalah (liablity without fault) atau tanggung jawab mutlak (absolute liability atau strict liability).
Tanggung Jawab Hukum Berdasarkan Kesalahan Tanggung jawab hukum atas dasar kesalahan (based on fault liability) terdapat dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Pasal tersebut yang dikenal sebagai tindakan melawan hukum (onrechtsmatigdaad) berlaku umum terhadap siapa pun. Menurut pasal tersebut setiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian terhadap orang lain mewajibkan orang yang karena perbuatannya menimbulkan kerugian itu mengganti kerugian (to compensate the damage). Berdasarkan ketentuan tersebut setiap orang harus bertanggung jawab (liable) secara hukum atas perbuatan sendiri artinya apabila karena perbuatannya mengakibatkan kerugian kepada orang lain, maka orang tersebut harus bertanggung jawab (liable) untuk membayar ganti kerugian yang di derita.60 Menurut Pasal 1367 KUH Perdata, tanggung jawab hukum kepada orang yang menderita kerugian tidak hanya terbatas kepada perbuatan sendiri, melainkan juga perbuatan karyawan, pegawai, agen, perwakilannya apabila menimbulkan kerugian kepada orang lain, sepanjang orang tersebut bertindak sesuai dengan tugas dan kewajiban yang dibebankan kepada orang tersebut. Pada prinsipnya, tanggung jawab hukum atas dasar kesalahan berlaku ( based on fault liability) terhadap semua perusahaan angkutan. Tanggung jawab atas dasar kesalahan harus memenuhi ada unsur-unsur kesalahan, ada kerugian, yang membuktikan adalah korban yang menderita kerugian.Bilamana terbukti ada kesalahan maka jumlah ganti kerugian tidak terbatas (unlimited liability).
60
Martono, “Tanggung Jawab Operator Pesawat Udara Terhadap Pihak Ketiga di Permukaan Bumi”, Disampaikan pada Seminar Tanggung Jawab Operator Pesawat Udara Terhadap Pihak Ketiga yang diselenggarakan oleh Badan Penelitian dab Pengembangan, Departemen Perhubungan dan Telekomunikasi 22 November 2000 di Jakarta.
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
41
a. Tanggung Jawab Tidak Terbatas (Unlimited Liability) Apabila
penumpang
dan/atau
pengirim
barang
mampu
membuktikan adanya kesalahan perusahaan penerbangan, ada kerugian dan kerugian tersebut akibat dari kesalahan, maka perusahaan penerbangan harus membayar ganti kerugian yang di derita oleh penumpang dan/atau pengirim barang. Perusahaan penerbangan bertanggung jawab tidak terbatas (unlimited liability) dalam arti berapa pun kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang harus di bayar penuh oleh perusahaan penerbangan, kecuali atas dasar kesepakatan kedua belah pihak .61 Konsep tanggung jawab hukum atas dasar kesalahan dirasa adil apabila kedudukan kedua belah pihak baik penumpang dan/atau pengirim barang dengan perusahaan penerbangan mempunyai kemampuan yang sama membuktikan sehingga mereka dapat saling membuktikan kesalahannya. Dalam perkembangannya, tanggung jawab hukum
(legal liability) berdasarkan
kesalahan tidak dapat diterapkan dalam angkutan udara mengingat kedudukan perusahaan penerbangan dengan penumpang dan/atau pengirim barang tidak seimbang, karena perusahaan penerbangan menguasai tekhnologi tinggi, sementara itu penumpang dan/atau pengirim barang tidak menguasai tekhnologi tinggi, karena itulah lahir konsep tanggung jawab hukum praduga bersalah (presumption of liability concept).
b. Tanggung Jawab Praduga Bersalah (Presumption of Liability) Dalam perkembangannya tanggung jawab atas dasar kesalahan (based on fault liability) tidak dapat diterapkan dalam angkutan udara, karena kedudukan antara penumpang dan/atau pengirim barang dengan perusahaan penerbangan tidak seimbang. Kedudukan para pihak tidak berimbang, sebab perusahaan penerbangan menguasai tekhnologi tinggi, sementara itu penumpang dan/atau pengirim barang tidak menguasai tekhnologi tinggi penerbangan, sehingga apabila penumpang dan/atau pengirim barang harus membuktikan kesalahan perusahaan penerbangan pasti tidak akan berhasil, 61
Armando Quiroz, Introduction to Aviation Management Course: Introduction to Aviation Safety,(Kathmandu, Nepal: The International Aviation Management Training Institute (IAMTI/IIF/GA and The Royal Airlines Corporation, January 16-February 4, 1993).
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
42
karena itu sejak 1929 dikenalkan konsep tanggung jawab hukum praduga bersalah (presumption of liability concept). Konsep tanggung jawab hukum (legal liability concept) atas dasar praduga bersalah (presumption of liability) ,mulai diterapkan dalam Konvensi Warsawa 1929.
62
(presumption of
Menurut konsep tanggung jawab hukum praduga bersalah liability concept), perusahaan penerbangan dianggap
(presumed) bersalah, sehingga perusahaan penerbangan demi hukum harus membayar ganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang tanpa dibuktikan kesalahan terlebih dahulu, kecuali perusahaan penerbangan membuktikan tidak bersalah yang dikenal sebagai beban pembuktian terbalik. Penumpang dan/ atau pengirim barang tidak perlu membuktikan kesalahan perusahaan penerbangan, cukup memberi tahu adanya kerugian yang terjadi pada saat pendaratan darurat atau kecelakaan. Batas maksimum ganti kerugian diatur dalam Undang-Undang nasional maupun Konvensi Internasional yang bersangkutan. Menurut Stb.1939-100 jo UU No 15 Tahun 1992, PP No 40 Tahun 1995 batas maksimum ganti kerugian sebesar Rp 40 juta setiap penumpang yang meninggal dunia, sedangkan menurut Konvensi Warsawa 1929 sebesar US$ 10.000, The Hague Protocol of 1955 sebesar US$ 20.000, Montreal Agreement of 1966 sebesar US$ 58.000 tidak termasuk biaya pengacara atau US$ 75.000 termasuk biaya pengacara, Guatemala City Protocol of 1971 sebesar US$ 100.000 tidak termasuk biaya pengacara, atau US$ 125.000 termasuk biaya pengacara. Penumpang dan/atau pengirim barang tidak harus membuktikan kesalahan perusahaan penerbangan. Karena perusahaan penerbangan dianggap bersalah, maka sebagai imbalan, perusahaan penerbangan berhak menikmati batas maksimum (limited libiality) ganti kerugian yang telah ditetapkan dalam Konvensi atau peraturan perundang-undangan artinya berapa pun kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang, perusahaan penerbangan tidak akan bertanggung jawab membayar semua kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang, melainkan hanya
62
Brad Kizza, Liability Air Carrier for Injuries to Passengers Resulting From Domestic Hijacking and Related to Incidents, Vol.48 (10) Journal Airlaw and Commerce 151, 1980.
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
43
membayar sejumlah yang ditetapkan di dalam Konvensi atau peraturan perundang-undangan. Beban Pembuktian (Burden of Proof) Terbalik63 Dalam konsep tanggung jawab praduga bersalah (presumption of liability concept), penumpang dan/atau pengirim barang tidak
perlu
membuktikan kesalahan perusahaan penerbangan, sebab perusahaan telah dianggap bersalah. Apabila penumpang dan/atau pengirim barang harus membuktikan kesalahan perusahaan penerbangan, sudah pasti tidak akan mungkin berhasil, karena penumpang dan/atau pengirim barang tidak menguasai tekhnologi tinggi penerbangan. Dalam konsep tanggung jawab hukum praduga bersalah (presumption of liability concept) yang harus membuktikan adalah perusahaan penerbangan yang sering disebut beban pembuktian terbalik atau biasa disebut juga pembuktian negatif. Perusahaan penerbangan harus membuktikan tidak bersalah (pembuktian negatif). 64
Apabila perusahaan penerbangan, termasuk karyawan, pegawai, agen atau
perwakilannya dapat membuktikan tidak bersalah, maka perusahaan penerbangan bebas tidak bertanggung jawab dalam arti tidak akan membayar ganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang sedikit pun.
Tanggung Jawab Terbatas (Limited Liability) Sebagai konsekuensi konsep tanggung jawab hukum praduga bersalah (presumption of liability concept), maka perusahaan penerbangan demi hukum bertanggung jawab, tanpa dibuktikan lebih dahulu secara hukum terhadap kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang, namun demikian tanggung jawab perusahaan penerbangan terbatas (limited) sebesar jumlah ganti kerugian yang ditetapkan dalam Konvensi Internasional atau peraturan perundang-undangan nasional yang berlaku, untuk setiap penumpang yang meninggal dunia atau cacat tetap atau luka atau barang 63
Foo Kim Boon, Airline Liability in Singapore, www.lawgazette.com.sg, diakses pada tanggal 01 Juni 2011 64 H. K Martono dan Amad Sudiro, Op.cit, hal 224.
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
44
hilang, musnah, atau rusak atau tidak dapat digunakan sebagian maupun seluruhnya. Berapa pun kerugian yang di derita oleh penumpang tidak akan memperoleh ganti kerugian seluruhnya.
Perlindungan Hukum ( Exoneration ) Telah disebutkan bahwa dalam tanggung jawab praduga bersalah (presumption of liability) perusahaan penerbangan dianggap bersalah, tanpa dibuktikan lebih dahulu, namun demikian perusahaan penerbangan juga mempunyai hak untuk melindungi diri (exoneration). Apabila perusahaan penerbangan, termasuk pegawai, karyawan, agen atau perwakilannya dapat membuktikn
tidak
bersalah,
maka
perusahaan
penerbangan
bebas
bertanggung jawab dan tidak membayar kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang.
Ikut Bersalah (Contribury Negligence) Perusahaan penerbangan tidak hanya dapat melindungi diri, tetapi juga dapat membuktikan bahwa penumpang dan/atau pengirim barang juga ikut melakukan kesalahan (Contribury Negligence). Apabila perusahaan penerbangan, termasuk karyawan, pegawai agen maupun perwakilannya dapat membuktikan bahwa penumpang dan/atau pengirim barang ikut bersalah (contribute), maka tanggung jawab tidak sepenuhnya dibebankan kepada perusahaan penerbangan, melainkan dibebankan pula kepada penumpang. Tanggung Jawab Tidak Terbatas (Unlimited Liability)65 Tanggung jawab perusahaan penerbangan terbatas sejumlah ganti kerugian yang ditetapkan dalam Konvensi Internasional atau peraturan perundang-undangan nasional yang berlaku terhadap kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang, namun demikian penumpang dan/atau pengirim barang masih terbuka untuk memperoleh ganti kerugian
65
Mieke Komar Kantaatmadja, Hukum Angkasa dan Hukum Tata Ruang, sumber Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), (Bandung: Madar Maju), 1976, hal 45-54.
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
45
yang lebih besar, apabila penumpang dan/atau pengirim barang dapat membuktikan bahwa perusahaan penerbangan termasuk karyawan, pegawai, agen atau perwakilannya melakukan kesalahan yang disengaja (wilful misconduct). Apabila penumpang dan/atau pengirim barang dapat membuktikan bahwa perusahaan
penerbangan
termasuk
karyawan,
pegawai,
agen
atau
perwakilannya melakukan kesalahan yang disengaja, maka batas tanggung jawab yang diatur dalam konvensi atau peraturan perundang-undangan tidak berlaku sehingga perusahaan penerbangan bertanggung jawab tidak terbatas (unlimited liability) dalam arti berapa pun kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang harus diganti seluruhnya.
c. Tanggung Jawab Hukum Tanpa Bersalah (Liability Without Fault) Menurut konsep tanggung jawab tanpa bersalah (legal liability without fault concept), perusahaan penerbangan (air carrier) bertanggung jawab mutlak terhadap kerugian yang diderita oleh pihak ketiga yang timbul akibat pendaratan darurat atau jatuhnya barang dan/atau orang dari pesawat udara, tanpa memerlukan adanya pembuktian lebih dahulu. Konsep tanggung jawab hukum tanpa bersalah (legal liability without fault) atau tanggung jawab mutlak (absolute liability) atau (strict liability) diterapkan terhadap tanggung jawab operator pesawat udara kepada pihak ketiga. Dalam konsep tanggung jawab tanpa bersalah atau tanggung jawab mutlak operator tidak dapat membebaskan diri kewajiban membayar ganti kerugian (damages). Perkataan kerugian (damages) dapat ditemui dalam Pasal 18, 19, dan 20 Konvensi Warsawa 1929.
d. Ajaran Hukum ( Doctrine) Menurut ajaran hukum (doctrine), konsep tanggung jawab hukum tanpa bersalah (legal liability without fault concept) atau sering disebut juga tanggung jawab mutlak (absolute liability atau strict liability) lahir di Eropa sejak revolusi industri pada abad ke-19.66 66
H. K. Martono dan Amad Sudiro, Op.cit, hal 229
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
46
Revolusi industri yang terjadi di Eropa selain memberi keuntungan bagi industriawan, tidak lepas terhadap dampak negatif dalam kehidupan sosial. Masyarakat bawah selalu menjadi korban pemerasan tenaga, pencemaran lingkungan, kemiskinan, kesengsaraan, ketidakadilan dan berbagai penderitaan sosial lainnya. Hukum harus menjamin perlindungan terhadap masyarakat banyak. Hukum juga harus menjamin kehidupan ekonomi, sosial, budaya maupun politik masyarakat banyak, pada saat itulah lahir doctrine yang menuntut tanggung jawab para indutriawan. Dalam perkembangannya lebih lanjut , ajaran hukum (doctrine) tersebut diterapkan dalam Konvensi Roma 1952, Protokol Guatemala City 1971, the Liability Convention 1972 dan Aircraft Product Liability, Konvensi Vienna 1963, Konvensi Brussels 1969, Konvensi Lugano 1993, dan Konvensi Paris 1960 yang mengatur kapal laut tenaga nuklir. Dalam Konvensi tersebut antara lain dikatakan: “because of special damages involves in the activities within the scope of difficulty negligence in view of the new technique of atomic energy”67 Dalam American-Common Law System juga dikenalkan pergeseran tanggung jawab (transfer of liability) dari penumpang (injured people) kepada pelaku (actor) yang menimbulkan kerugian sehingga pelaku (perusahaan angkutan) bertanggung jawab. Menurut American-Common Law System pelaku (actor) tanggung jawab mutlak (absolute liability) tanpa
kesalahan,
karena
masyarakat
banyak
untuk
mencapai
kesejahteraan. Secara yuridis hal ini adil sebab para pelaku (actor) dapat membagi resiko (distribution of risk) tersebut kepada masyarakat yang menikmati kegiatan yang sangat membahayakan.68 Doctrine pergeseran tanggung jawab (transfer of liability) tersebut dalam perkembangannya diterapkan juga pada angkutan udara, khususnya Montreal Agreement 1966, sedangkan di Indonesia konsep tanggung jawab hukum tidak bersalah (legal liability concept) telah diatur dalam 67
Nicolas Mateesco Matte, Aerospace Law: FromScientific Exploration to Commercial Utilization, (Toronto : The Carswell Company Limited), 1977. Hal 159. 68 William J. Hickey Jr, Breaking the Limit-Liability For Wilful Misconduct Under Guatemala Protocol, Vol 42 (3) Journal Airlaw and Commerce 607, 1976.
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
47
Pasal 44 Undang-Undang No 15 Tahun 1992, Undang-Undang No 4 Tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup, Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) . Pasal 19 ayat (1) mengatakan pengusaha bertanggung jawab (liable) memberikan ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi /menggunakan barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau yang diperdagangkan.69 Tekhnologi berkembang terus yang mengakibatkan perbedaan kedudukan antara korban sebagai penggugat dengan tergugat semakin jauh sehingga korban tidak mungkin mampu membuktikan kesalahan atau kelalaian dri tergugat atau pengangkut. Karena itu lahirlah konsep tanggung jawab hukum tanpa bersalah atau tanggung jawab mutlak. Secara historis ajaran hukum (doctrine), tanggung jawab hukum tanpa bersalah berkembang dalam pertengahan abad ke-19 dan berkembang terus didorong oleh kemajuan teknologi. Konsep tanggung jawab hukum tanpa bersalah telah diterapkan dalam Konvensi Paris 1960 tentang kapal nuklir, Guatemala City Protocol 1971 dan Liability Convention of 1972 tentang Tanggung Jawab Hukum Peluncuran Benda-benda Angkasa. Di Indonesia tanggung jawab tanpa bersalah telah diterapkan dalam UURI No 4 Tahun 1962 mengenai Lingkungan Hidup, UURI No 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan dan UURI tentang Perlindungan Konsumen. Menurut konsep tanggung jawab hukum tanpa kesalahan apabila seseorang atau badan hukum telah menyadari bahwa kegiatan tersebut sangat berbahaya, tetapi tetap dilakukan, maka apabila menimbulkan kerugian orang tersebut mutlak bertanggung jawab walaupun mereka tidak bersalah. Ajaran hukum demikian makin berkembang dengan adanya kegiatan angkasa akhir-akhir ini.70
69
Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, No 8 Tahun 1999 Tanggal 20 April 1999, LN No. 42 Tahun 1999. 70 K. Martono, Tanggung Jawab Hukum PT (PERSERO) Kereta Api Indonesia, www.bappenas.go.id, diakses pada tangal 13 Juli 2011
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
48
C. Tanggung Jawab Hukum Pengangkut Dalam Hukum Nasional
Tanggung jawab hukum pengangkut berdasarkan hukum nasional diatur dalam Staatsblad 1939 Nomor 100 (Stb.1939-100) tentang Ordonansi Pengangkutan Udara, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan yang terbaru adalah Undang-Undang No 1 Tahun 2009 .
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUH Perdata), tanggung jawab hukum diatur dalam Pasal 1365 dan Pasal Pasal 1367 KUH Perdata. Menurut Pasal 1365 KUH Perdata yang biasa disebut perbuatan melawan hukum
(onrechtsmatigdaan ) setiap perbuatan
melawan hukum yang menimbulkan kerugian terhadap orang lain mewajibkan orang yang karena perbuatannya menimbulkan kerugian itu mengganti kerugian. Berdasarkan ketentuan tersebut setiap orang harus bertanggung jawab (liable) secara hukum atas perbuatan sendiri artinya apabila karena perbuatannya mengakibatkan kerugian kepada orang lain, maka orang tersebut harus bertanggung jawab (liable) untuk membayar ganti kerugian yang diderita.71 Menurut Pasal 1367 KUH Perdata, tanggung jawab hukum (legal liability) kepada orang yang menderita kerugian tidak hanya terbatas perbuatan sendiri, melainkan juga perbuatan karyawan, pegawai, agen, perwakilannya yang bertindak untuk dan atas namanya apabila menimbulkan kerugian kepada orang lain, sepanjang orang tersebut bertindak sesuai dengan tugas dan kewajiban yang dibebankan kepada orang tersebut. Tanggung jawab hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata tersebut menggunakan prinsip tanggung jawab atas dasar kesalahan (based on fault liability). Secara teoritis tanggung jawab hukum atas dasar kesalahan harus memenuhi unsur-unsur : (a) ada kesalahan, (b) ada kerugian, (c) kerugian tersebut ada hubungannnya 71
Martono, Loc.cit.
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
49
dengan kesalahan, (d) penggugagat sebagai korban membuktikan bahwa tergugat berbuat kesalahan, (e) kedudukan antara penggugat sebagai korban sama dengan kedudukan tergugat yang membuat kesalahan dalam arti para pihak mempunyai kemampuan untuk saling membuktikan, (f) bilamana terbukti tergugat berbuat salah dan menimbulkan kerugian, maka tergugat wajib membayar kerugian tidak terbatas dalam arti berapa pun kerugiannya harus dibayar seluruhnya. Ada kesalahan tetapi tidak ada kerugian, maka tergugat tidak bertanggung jawab, demikian juga ada kerugian tidak ada kesalahan, tergugat juga tidak bertanggung jawab.
b. Ordonansi Pengangkutan Udara Ordonansi pengangkutan udara 1939 yang biasa disingkat OPU 1939 merupakan produk hukum yang mengatur tentang pengangkutan udara yang di buat pada masa kolonial Belanda. Ordonansi ini diundangkan setelah pemerintahan
Belanda meratifikasi Konvensi
Warsawa 1929 beserta protocol tambahannya pada tanggal 1 Juli 1933. Konvensi tersebut mulai berlaku bagi negeri Belanda, Hindia Belanda (Indonesia), Suriname, Curacalo pada tanggal 29 September 1933. 72 OPU merupakan ketentuan-ketentuan tentang Pengangkutan Udara Dalam Negeri, namun sebagian besar dari pasal-pasalnya diambil dari Konvensi Warsawa 1929 setelah dilakukan beberapa tambahan atau modifikasi. OPU 1939 dapat dikatakan sebagai terjemahan dari Konvensi Warsawa 1929. Dengan demikian, dapat dinyatakan adanya hubungan erat antara OPU 1939 dengan Konvensi Warsawa 1929. Ordonansi penerbangan ini disahkan pada tanggal 1 Mei 1939 dan diundangkan indische Staatsblad 1939 No.100. Secara substansial Ordonansi Pengangkutan Udara 1939 mengatur tentang dokumen pengangkutan udara, tanggung jawab pengangkut kepada pihak ke dua (penumpang dan pengirim barang) dan besaran ganti rugi ,
72
E. Saefullah Wiradipradja, Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan Terhadap Penumpang Menurut Hukum Udara di Indonesia, (Jakarta : Jurnal Hukum Bisnis), Vol 25, 2006, hal 150
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
50
tanggung jawab pengangkut udara kepada pihak ke tiga dan besaran ganti ruginya. Secara sistematis Ordonansi Pengangkutan Udara1939, terdiri dari : Bab 1 tentang ketentuan umum, yang memuat tentang keberlakuan Ordonansi ini Bab 2 tentang surat pengangkutan udara, yaitu tiket penumpang, tiket bagasi, dan surat muatan udara Bab 3 tentang tanggung jawab pengangkut, yang memuat bentuk-bentuk tanggung jawab pengangkut dan ganti rugi Bab 4 tentang kertntuan-ketentuan mengenai pengangkutan campuran, yang hanya terdapat satu pasal, yaitu Pasal 38. Bab 5 tentang ketentuan-ketentuan mengenai pengangkut udara seperti yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) . Bab 5 ini terdiri dari 2 (dua) pasal, yaitu Pasal 39 dan Pasal 40. Ketentuan yang terdapat di dalam Ordonansi Pengangkutan Udara 1939 sebagian besar besar berkaitan erat dengan masalah tanggung jawab pengangkut. Materi yang berkaitan erat dengan perlindungan hukum terhadap penumpang di dalam OPU 1939 terdapat pada Bab 3 tentang tanggung jawab pengangkut. Stb.1939 Nomor 100 tentang Ordonansi Pengangkutan Udara terdiri dari 5 Bab dan 40 Pasal mengatur tanggung jawab hukum perusahaan penerbangan dalam negeri. Stb.1939 Nomor 100 berlaku sejak Konvensi Warsawa 1929 mulai berlaku di Indonesia tahun 1933 tidak berlaku. Berdasarkan Stb. 1933 Nomor 344, Stb.1939 Nomor 100 merupakan pelengkap Konvensi Warsawa 1929 untuk transportasi udara di Indonesia artinya Konvensi Warsawa 1929 berlaku untuk penerbangan internasional, sedangkan Stb. 1939 Nomor 100 tidak berlaku terhadap transportasi tanpa bayaran, transportasi perdana yang dimaksudkan untuk percobaan (inaugural flight), penerbangan pos melalui udara, transportasi dengan pesawat udara militer, polisi, dan bea cukai.
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
51
1) Dokumen Transportasi Dokumen pengangkutan terdiri dari tiket penumpang, tiket bagasi, surat muatan udara. Tiket penumpang merupakan alat bukti adanya perjanjian antara penumpang dengan perusahaan penerbangan, namun demikian bilamana tiket hilang atau rusak bukan berarti tidak adanya perjanjian pengangkutan, karena alat bukti tersebut dapat dibuktikan dengan alat bukti lainnya misalnya bukti penerimaan uang oleh perusahaan penerbangan dari penumpang. Pada prinsipnya ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam tiket penumpang, tiket bagasi dan surat muatan udara sama dengan ketentuan yang terdapat dalam Konvensi Wrasawa 1929. Tiket-tiket tersebut juga merupakan alat bukti tanggung jawab hukum perusahaan penerbangan.
2) Tiket Penumpang Perusahaan penerbangan wajib memberi tiket kepada penumpang yang memuat tempat dan tanggal pemberian; tanggal pemberangkatan dan tempat tujuan; pendaratan yang direncanakan, tempat-tempat pendaratan antara (intermediate landing) dengan hak perusahaan penerbangan untuk mengubah tempat pendaratan asal tidak mengubah atau memengaruhi tujuan pengangkutan; nama dan alamat perusahaan penerbangan; pemberitahuan bahwa pengangkutan tersebut berlaku ketentuan Ordonansi Pengangkutan Udara Stb. 1939-100. Tidak adanya tiket penumpang, kesalahan di dalamnya atau hilangnya tiket tersebut tidak memengaruhi adanya atau berlakunya perjanjian pengangkutan udara yang tetap akan tunduk pada ketentuan-ketentuan dalam Ordonansi, tetapi bilamana pengangkut udara menerima seorang penumpang tanpa memberikan tiket penumpang, pengangkut tidak berhak menggunakan ketentuan-ketentuan dalam Ordonansi ini, yang meniadakan atau membatasi tanggung jawabnya.
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
52
3) Tiket Bagasi Yang dimaksudkan bagasi adalah semua barang kepunyaan atau di bawah kekuasaan seorang penumpang yang olehnya atau atas namanya, sebelum menumpang naik pesawat udara, diminta untuk diangkut melalui udara.73 Tiket bagasi harus mencantumkan tempat dan tanggal pemberian; tempat pemberangkatan dan tempat tujuan; nama dan alamat perusahaan penerbangan; nomor tiket penumpang ; pemberitahuan bahwa bagasi akan diberikan kepada pemegang tiket bagasi di bandar udara tujuan; jumlah dan beratnya barang-barang; harga yang diberitahukan oleh penumpang; pemberitahuan bahwa pengangkutan bagasi ini tunduk pada ketentuan-ketentuan mengenai tanggung jawab yang diatur dalam Ordonansi Pengangkutan Udara atau Perjanjian Warsawa 1929. Perusahaan penerbangan wajib memberi tiket bagasi, namun demikian suatu kesalahan di dalamnya atau hilangnya tiket bagasi tidak akan memengaruhi adanya atau berlakunya perjanjian pengangkutan udara antara penumpang dengan perusahaan penerbangan yang tetap tunduk
pada
ketentuan-ketentuan
dalam
peraturan
Ordonansi
Pengangkutan. Apabila perusahaan penerbangan menerima bagasi untuk diangkut tanpa memberikan suatu tiket bagasi atau bilamana tiket bagasi tidak memuat ketentuan-ketentuan Ordonansi yang meniadakan atau membatasi tanggung jawab perusahaan penerbangan. 4) Surat Muatan Udara 74 Perusahaan penerbangan berhak meminta kepada pengirim untuk membuat surat muatan udara dan sebaliknya pengirim berhak meminta perusahaan penerbangan menerima surat muatan udara. Surat muatan udara dibuat dalam rangkap tiga dan diserahkan bersama-sama dengan barang yang akan dikirim.75 Lembar pertama untuk pengangkut yang 73 74 75
Pasal 6 OPU 1939 Ibid, Pasal 7 Loc.cit, Pasal 8 dan 10 OPU 1939
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
53
ditandatangani
oleh
pengirim,
lembar
kedua
untuk
penerima
ditandatangani oleh pengirim dengan perusahaan penerbangan, yang dikirim bersama-sama dengan barang yang dikirim, dan lembar ketiga untuk pengirim ditandatangani oleh perusahaan penerbangan setelah barang diterima dan diserahkan oleh pengirim. Perusahaan penerbangan wajib segera menandatangani surat muatan udara setelah barang diterima dengan baik. Tanda tangan perusahaan penerbangan dapat diganti dengan cap perusahaan penerbangan atau dicetak sebagai alat bukti bahwa barang telah diterima dengan baik. Surat muatan udara yang di buat oleh perusahaan penerbangan untuk dan atas nama pengirim, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Apabila perusahaan penerbangan menerima barang untuk diangkut tanpa dibuat surat muatan udara atau bilamana surat muatan udara tidak memuat ketentuan-ketentuan sebagaimana disebutkan di atas, kecuali pemberitahuan, perusahaan penerbangan tidak berhak menikmati batas ganti kerugian yang ditetapkan dalam Ordonansi Pengangkutan Udara artinya perusahaan penerbangan bertanggung jawab atas seluruh kerugian yang diderita oleh pengirim. Pengirim bertanggung jawab atas kebenaran pemberitahuan dan keterangan-keterangan mengenai barang yang dinyatakan dalam surat muatan udara. Pengirim bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan akibat perbedaan antara keterangan yang diberikan dalam surat muatan udara dengan isi barang, akibat kurang teliti atau kondisi barang yang bersangkutan . Di samping itu, perusahaan penerbangan bertanggung jawab melengkapi surat-surat keterangan yang diperlukan untuk menyertai pengangkutan barang yang diperlukan oleh penerima barang seperti surat bea cukai, polisi, pajak-pajak, dan lain-lain yang diperlukan.
c. Undang-Undang No 1 Tahun 2009 Undang-Undang No 1 Tahun 2009 menerapkan konsep tanggung jawab hukum praduga bersalah ( presumption of liability concept) seperti halnya yang berlaku pada Konvensi Warsawa 1929 dan konsep tanggung
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
54
jawab hukum atas dasar kesalahan (based on fault liability), khususnya mengenai bagasi kabin (cabin baggage) . Hal ini terbukti dari ketentuan Pasal 141 ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 2009 yang mengatakan bahwa pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap
76
misalnya kehilangan atau menyebabkan
tidak berfungsinya salah satu anggota badan atau yang memengaruhi aktivitas secara normal seperti hilangnya tangan, kaki, atau mata yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat udara dan/atau naik turun pesawat udara, kerugian yang diderita oleh pengirim kargo karena kargo yang dikirim hilang, musnah, rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama kargo berada dalam pengawasan pengangkut berdasarkan Pasal 145 Undang-Undang No 1 Tahun 2009.77 Berdasarkan ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 141 ayat (1), Pasal 144 dan Pasal 145 Undang-Undang No 1 Tahun 2009 tersebut pengangkut bertanggung jawab tanpa dibuktikan lebih dahulu, sehingga pengangkut berhak menikmati batas ganti kerugian yang ditetapkan Undang-Undang No 1 Tahun 2009, batas ganti kerugian tersebut tidak dapat dinikmati oleh pengangkut bilamana kerugian tersebut timbul karena tindakan sengaja (wilful misconduct) atau kesalahan dari pengangkut atau orang yang dipekerjakannya, sehingga ahli waris atau korban dapat melakukan tuntutan ke pengadilan untuk mendapatkan ganti kerugian tambahan selain ganti kerugian yang ditetapkan (unlimited liability principle) sesuai dengan Pasal 141 ayat (3) Undang-Undang No 1 Tahun 2009. Konsep praduga bersalah (presumption of liability) dalam UndangUndang No 1 Tahun 2009 adalah kerugian yang diderita karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi dan kargo. Dikatakan bahwa pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan, kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis
76 77
Op.cit, Undang-Undang No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Pasal 141 Ibid, Pasal 145
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
55
operasional (beban pembuktian terbalik). Dalam hal pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional, maka pengangkut bebas dari tanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh karena keterlambatan pada penumpang., bagasi dan kargo. Dalam penjelasannya yang dimaksudkan dengan faktor cuaca, teknis dan operasional antara lain hujan lebat, petir, badai, kabut, asap, jarak pandang di bawah standar minimal (weather minima) yang mengganggu keselamatan penerbangan, sedangkan faktor teknis dan operasional antara lain bandar udara untuk keberangkatan dan tujuan tidak dapat digunakan operasional pesawat udara, lingkungan menuju bandar udara atau landasan terganggu fungsinya misalnya retak, banjir, atau kebakaran, terjadinya antrian pesawat udara lepas landas (takeoff), mendarat (landing), atau alokasi waktu keberangkatan (departure slot time) di bandar udara, keterlambatan pengisian bahan bakar (aviation turbine), sedangkan tidak dapat digunakan sebagai alasan adalah keterlambatan pilot, co-pilot, dan awak kabin, keterlambatan jasa boga (catering), keterlambatan penanganan di darat, menunggu penumpang, baik yang baru melapor (check in), pindah pesawat udara (transfer) atau penerbangan lanjutan (connection flight) dan ketidaksiapan pesawat udara. Angkutan bagasi kabin (cabin baggage) berlaku konsep tanggung jawab berdasarkan kesalahan (based on fault liability) sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 143 Undang-Undang No 1 Tahun 2009. Menurut pasal tersebut pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian karena hilang atau rusaknya bagasi kabin, kecuali apabila penumpang membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh tindakan pengangkut atau orang yang diperkerjakan.78 Bagasi kabin yaitu barang yang dibawa oleh penumpang dan berada dalam pengawasan penumpang sendiri, rasanya tidak adil bilamana pengangkut yang bertanggung jawab, kecuali bagasi kabin tersebut diserahkan kepada pramugari atau pramugara
78
Ibid, Pasal 143
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
56
selama penerbangan berlangsung. Dalam hal demikian penumpang dapat menuntut ganti rugi kerugian atas hilangnya bagasi kabin tersebut.79
1) Tanggung Jawab Pengangkut Tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang dan/atau pengirim kargo diatur dalam Pasal 141 sampai dengan Pasal 149 UndangUndang No 1 Tahun 2009. Menurut Pasal 141 Undang-Undang No 1 Tahun 2009, pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap misalnya kehilangan atau menyebabkan tidak berfungsinya salah satu anggota badan atau yang memengaruhi aktivitas secara normal seperti hilangnya tangan, kaki, atau mata. Termasuk dalam pengertian cacat tetap adalah cacat mental sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang usaha perasuransian atau luka-luka yang diakibatkan kejadian yang semata-mata ada hubungannya dengan angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara. Apabila kerugian tersebut timbul karena tindakan sengaja atau kesalahan dari pengangkut atau orang yang dipekerjakannya, pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dan tidak dapat menggunakan
ketentuan dalam undang-undang ini untuk membatasi
tanggung jawabnya. Ahli waris atau korban sebagai akibat kejadian angkutan udara dapat melakukan penuntutan ke pengadilan untuk mendapatkan ganti rugi tambahan selain ganti rugi yang telah ditetapkan. Pengangkut tidak bertanggung jawab dan dapat menolak untuk mengangkut calon penumpang yang sakit, kecuali orang sakit tersebut menyerahkan surat keterangan dokter
kepada pengangkut yang
menyatakan bahwa orang tersebut diizinkan atau dapat diangkut dengan pesawat udara, namun demikian penumpang yang sakit tersebut wajib didampingi oleh seorang dokter atau perawat yang bertanggung jawab dan dapat membantunya selama penerbangan berlangsung.80 Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian karena hilang atau rusaknya bagasi
79 80
Ibid, Pasal 1 angka 25 Ibid, Pasal 142
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
57
kabin, kecuali apabila penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh tindakan pengangkut atau orang yang dipekerjakannya.81 Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang karena bagasi tercatat, yaitu barang penumpang yang diserahkan oleh penumpang kepada pengangkut untuk diangkut dengan pesawat udara yang sama, hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut
82
sejak barang diterima oleh pengangkut pada
saat pelaporan (check in) sampai dengan barang tersebut diambil oleh penumpang di bandar udara tujuan. Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim kargo karena kargo yang dikirim hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama kargo berada dalam pengawasan pengangkut.83 Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita penumpang, pengirim barang karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi tercatat, atau kargo, kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca seperti hujan lebat, petir, badai, kabut, asap, jarak pandang di bawah standar minimal, atau kecepatan angin yang melampaui standar maksimal yang menggangu keselamatan penerbangan, dan teknis operasional antara lain seperti bandar udara untuk keberangkatan dan tujuan tidak dapat digunakan operasional pesawat udara; lingkungan menuju bandar udara atau landasan terganggu fungsinya misalnya retak, banjir, atau kebakaran; terjadinya antrian pesawat udara lepas landas (take off) , mendarat (landing), atau alokasi waktu keberangkatan (departure slot time) di bandar udara, atau keterlambatan pengisian bahan bakar (refuelling), sedangkan yang tidak termasuk dengan teknis operasional antara lain keterlambatan pilot, co pilot, dan awak kabin; keterlambatan jasa boga (catering); keterlambatan penanganan di darat; menunggu penumpang, 81 82 83
Ibid, Pasal 143 Ibid, Pasal 144 Ibid, Pasal 145
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
58
baik yang baru melapor (check in) , pindah pesawat (transfer) atau penerbangan lanjutan (connecting
flight) dan ketidaksiapan pesawat
udara84. Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu keterlambatan angkutan
udara
diatur
lebih
lanjut
dengan
peraturan
Menteri
Perhubungan.85
2) Hak dan Kewajiban Penumpang Pesawat Udara Dari aspek hukum perdata, angkutan penumpang oleh perusahaan penerbangan adalah suatu perjanjian di mana penumpang mempunyai kewajiban membayar biaya pengangkutan yang merupakan hak bagi perusahaan penerbangan, sebaliknya perusahaan penerbangan wajib mengangkut penumpang dengan selamat sampai di tempat tujuan yang merupakan hak bagi penumpang maupun pengirim barang, karena itu bilamana penumpang tidak selamat sampai di tempat tujuan, maka perusahaan
penerbangan
bertanggung
jawab
mengganti
kerugian.
Keadaan tidak selamat tersebut, seperti : meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian di dalam pesawat udara dan/atau turun dari pesawat udara, hal ini diatur dalam Undang-Undang No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Konsep tanggung jawab hukum yang dianut dalam UndangUndang No 1 Tahun 2009 adalah konsep tanggung jawab hukum praduga bersalah (presumption of liability) atau yang dikenal sebagai beban pembuktian terbalik. Dalam konsep tanggung jawab praduga bersalah (presumption of liability) tersebut yang membuktikan tidak bersalah adalah perusahaan penerbangan artinya penumpang memperoleh ganti rugi dari perusahaan penerbangan, penumpang tidak perlu membuktikan kesalahan perusahaan penerbangan, namun demikian jumlah ganti rugi yang diterima oleh penumpang adalah terbatas sejumlah yang ditetapkan di dalam Undang-Undang
No
1
Tahun
2009,
kecuali
penumpang
dapat
membuktikan bahwa perusahaan penerbangan berbuat kesalahan yang
84 85
Ibid, Pasal 146 Ibid, Pasal 149
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
59
disengaja (wilful misconduct) hal ini diatur dalam Undang-Undang No 1 Tahun 2009. Di dalam Undang-Undang No 1 Tahun 2009 tidak menentukan jumlah ganti rugi secara kuantitatif, melainkan secara kualitatif yang besarannya akan diatur dengan peraturan Menteri Perhubungan. Dikatakan bahwa batas jumlah ganti rugi untuk setiap penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka akan ditetapkan dengan Peraturan Menteri Perhubungan.86 Mengingat jumlah ganti rugi yang diatur dalam Undang-Undang No 1 Tahun 2009 dibatasi, maka dalam Undang-Undang No 1 Tahun 2009 memberi kesempatan penumpang dengan perusahaan penerbangan membuat perjanjian yang menentukan jumlah ganti rugi lebih besar dibandingkan dengan yang ditetapkan dalam Undang-Undang No 1 Tahun 2009, sebaliknya Undang-Undang No 1 Tahun 2009 melarang penumpang dengan perusahaan penerbangan membuat perjanjian yang ganti ruginya lebih kecil dibandingkan dengan yang diatur oleh Undang-Undang No 1 Tahun
2009,
apalagi
membebaskan
tanggung
jawab
perusahaan
penerbangan. Perusahaan penerbangan tidak hanya bertanggung jawab kepada penumpang, tetapi juga bertanggung jawab terhadap bagasi tercatat yang rusak sebagian maupun seluruhnya atau hilang atau musnah selama penerbangan berlangsung. Konsep tanggung jawab terhadap bagasi kabin adalah tanggung jawab atas dasar kesalahan (based on fault liability) , karena itu perusahaan penerbangan tidak bertanggung jawab terhadap bagasi kabin, kecuali kerusakan tersebut disebabkan oleh tindakan perusahaan penerbangan atau orang yang dipekerjakan. Dalam hal penumpang dapat membuktikan kesalahan perusahaan penerbangan, maka perusahaan penerbangan bertanggung jawab mengganti kerugian. Dalam Undang-Undang No 1 Tahun 2009 juga diatur kewajiban perusahaan penerbangan untuk mengasuransikan tanggung jawabnya, karena itu bilamana perusahaan penerbangan mematuhi Undang-Undang 86
Ibid, Pasal 165
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
60
No 1 Tahun 2009 , apabila terjadi kecelakaan yang menelan korban, asuransi akan membayar kepada penumpang. Pembayaran ganti rugi oleh asuransi kepada penumpang tersebut sebenarnya untuk dan atas nama perusahaan, bukan atas nama asuransi.
3) Dokumen Angkutan Penumpang, Bagasi, dan Kargo Menurut Pasal 150 Undang-Undang No 1 Tahun 2009, dokumen angkutan udara terdiri atas tiket penumpang pesawat udara, pas masuk pesawat udara (boarding pass) yaitu tanda bukti calon penumpang telah melapor untuk berangkat dan dipergunakan sebagai tanda masuk ke pesawat udara, tanda pengenal bagasi (baggage identification/claim tag) yaitu tanda bukti pengambilan bagasi tercatat milik penumpang, dan surat muatan udara (airwaybill). Pengangkut wajib menyerahkan tiket kepada penumpang perseorangan atau penumpang kolektif. Tiket penumpang tersebut paling sedikit memuat nomor, tempat dan tanggal penerbitan, nama penumpang dan nama pengangkut, tempat, tanggal, waktu pemberangkatan, dan tujuan pendaratan, nomor penerbangan, temapat pendaratan yang direncanakan antara tempat pemberangkatan dan tempat tujuan, apabila ada, dan pernyataan bahwa pengangkut tunduk pada ketentuan Undang-Undang No 1 Tahun 2009. Tiket hanya dapat digunakan oleh orang yang namanya tercantum dalam tiket yang dibuktikan dengan dokumen identitas diri yang sah. Pengirim bertanggung jawab atas kebenaran isi surat muatan udara dan kelengkapan dokumen lainnya yang dipersyaratkan oleh instansi terkait dan menyerahkan kepada pengangkut. Pengirim bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengangkut atau pihak lain sebagai akibat dari ketidakbenaran surat muatan udara yang dibuat oleh pengirim maupun kelengkapan dokumen yang dipersyaratkan oleh instansi terkait antara lain, instansi yang bertanggung jawab di bidang kehutanan, karantina hewan, dan tanaman.87 Pengangkut wajib segera memberitahu penerima 87
Ibid, Pasal 161
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
61
kargo pada kesempatan pertama bahwa kargo telah tiba dan segera diambil. Biaya yang timbul akibat penerima kargo terlambat atau lalai mengambil pada waktu yang telah ditentukan menjadi tanggung jawab penerima.88
4) Pihak yang Berhak Menerima Ganti Kerugian Pihak yang berhak menerima ganti kerugian diatur dalam Pasal 173 Undang-Undang No 1 Tahun 2009. Menurut pasal tersebut dalam hal seorang penumpang meninggal dunia yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat udara/ dan atau turun pesawat udara yang berhak menerima ganti kerugian adalah ahli waris penumpang tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini tidak ada ahli waris yang berhak menerima ganti kerugian, badan usaha angkutan udara niaga menyerahkan ganti kerugian kepada negara setelah dikurangi biaya pengurusan jenazah sesuai dengan ketentuan peratutan perundangundangan.
5) Hal Gugatan Gugatan diatur di dalam Pasal 176 dan 177 Undang-Undang No 1 Tahun 2009. Menurut Pasal 176, penumpang, pemilik bagasi kabin, pemilik bagasi tercatat, pengirim kargo, dan/atau ahli waris penumpang, yang menderita kerugian akibat kejadian angkutan udara di dalam pesawat uara dan/atau naik turun pesawat udara, karena hilang atau rusaknya bagasi kabin yang disebabkan oleh tindakan pengangkut atau orang yang dipekerjakan pengangkut, karena bagasi tercatat hilang, musnah atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut, karena kargo hilang musnah atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama kargo berada dalam pengawasan pengangkut, dan ahli waris penumpang dapat mengajukan gugatan terhadap pengangkut di pengadilan negeri di wilayah Indonesia dengan menggunakan hukum Indonesia. Gugatan dapat diajukan 88
Ibid, Pasal 162
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
62
ke pengadilan negeri tempat pembelian tiket, pengiriman barang, domisili kantor pengangkut, kantor cabang, dan domisili tergugat atau pengugat di seluruh wilayah Republik Indonesia. Hak untuk menggugat kerugian yang meliputi untuk penumpang adalah meninggal ndunia, luka-luka tubuh, keterlambatan, dan tidak terangkut; dan untuk bagasi tercatat dan kargo, adalah hilang, musnah, rusak, terlambat, dan tidak terangkut sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan yang diderita penumpang atau pengirim kepada pengangkut dinyatakan kadaluwarsa dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung mulai tanggal seharusnya kargo dan bagasi tersebut tiba di tempat tujuan.89
6) Pernyataan Kemungkinan Meninggal Dunia bagi Penumpang Pesawat Udara yang Hilang Pernyataan kemungkinan meninggal dunia bagi penumpang pesawat udara yang hilang diatur dalam Pasal 178 Undang-Undang No 1 Tahun 2009. Menurut pasal tersebut penumpang yang berada dalam pesawat udara yang hilang, dianggap telah meninggal dunia, apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah tanggal pesawat udara seharusnya mendarat di tempat tujuan akhir tidak diperoleh kabar mengenai hal ihwal penumpang tersebut, tanpa diperlukan putusan pengadilan.
Hak
penerimaan ganti kerugian dapat diajukan setelah lewat jangka waktu 3 (tiga) bulan. Berdasarkan pernyataan tersebut warisan dapat dibagikan kepada yang berhak, namun demikian bilamana ternyata orang yang bersangkutan masih hidup, maka harta benda yang telah dibagikan dapat dikembalikan lagi.
7) Wajib Asuransi Asuransi diatur dalam Pasal 179 dan 180 Undang-Undang No 1 Tahun 2009. Menurut kedua pasal tersebut asuransi diwajibkan. Dalam Pasal 179 Undang-Undang No 1 Tahun 2009 dikatakan pengangkut wajib mengasuransikan tanggung jawab hukum terhadap kerugian yang diderita 89
Ibid, Pasal 177
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
63
oleh penumpang karena meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat udara dan/ atau naik turun pesawat udara90 ; tanggung jawab hukum terhadap hilang atau rusaknya bagasi kabin yang disebabkan oleh tindakan pengangkut atau orang yang dipekerjakan;91 tanggung jawab hukum terhadap kerugian yang diderita oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut;92 tanggung jawab hukum terhadap kerugian yang diderita oleh pengirim yang disebabkan kargo hilang, musnah atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama kargo berada dalam pengawasan pengangkut dan tanggung jawab hukum terhadap kerugian yang diderita oleh pengirim yang disebabkan kargo hilang, musnah atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama kargo berada dalam pengawasan pengangkut dan tanggung jawab hukum terhadap kerugian yang diderita oleh penumpang atau pengirim barang yang disebabkan oleh keterlambatan.93
8) Tanggung
Jawab
Pada
Angkutan
Udara
oleh
Beberapa
Pengangkut Berturut-turut Tanggung jawab pada angkutan udara oleh beberapa pengangkut berturut-turut diatur dalam Pasal 181Undang-Undang No 1 Tahun 2009. Menurut pasal tersebut , angkutan yang dilakukan berturut-turut
oleh
beberapa pengangkut dianggap sebagai satu angkutan, dalam hal diperjanjikan sebagai satu perjanjian angkutan udara ileh pihak-pihak yang bersangkutan dengan tanggung jawab sendiri-sendiri atau bersama-sama. Dalam hal tidak ada perjanjian oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kerugian yang diderita penumpang, pengirim, dan/atau penerima kargo
90 91 92 93
Ibid, Pasal 141 Ibid, Pasal 143 Ibid, Pasal 144 Ibid, Pasal 145
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
64
menjadi tanggung jawab pihak pengangkut yang mengeluarkan dokumen angkutan.94
9) Tanggung Jawab pada Angkutan Intermoda Tanggung jawab pada angkutan intermodal yaitu satu rangkaian angkutan orang dan/atau kargo yang dilakukan oleh lebih dari satu moda angkutan, diatur dalam Pasal 182 Undang-Undang No 1 Tahun 2009. Menurut pasal tersebut pengangkut hanya bertanggung jawab terhadap kerugian yang terjadi dalam kegiatan angkutan udara dalam hal angkutan dilakukan nelalui angkutan intermoda. Dalam hal angkutan intermoda tersebut para pihak pengangkut menggunakan satu dokumen angkutan, tanggung jawab dibebankan kepada pihak yang menerbitkan dokumen.95
10) Tanggung Jawab Pengangkut Lain Tanggung jawab pengangkut lain diatur dalam Pasal 183 UndangUndang No 1 Tahun 2009. Dalam penjelasannya yang dimaksud “pihak pengangkut lain” adalah biro/agen perjalanan atau perusahaan ekspedisi muatan pesawat udara yang bertindak sebagai pembuat kontrak angkutan dengan penumpang atau pengirim barang atau dengan seseorang yang bertindak atas nama penumpang atau pengirim barang untuk diangkut oleh perusahaan angkutan udara. Menurut Pasal 183 Undang-Undang No 1 Tahun 2009, tanggung jawab hukum terhadap penumpang yang meninggal,cacat tetap, atau luka-luka, yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat udara dan/atau naik turun pesawat udara, bagasi tercatat hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut, kargo yang hilang, musnah, rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama kargo berada dalam pengawasan
94 95
Ibid, Pasal 181 Ibid, Pasal 182
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
65
pengangkut, dan kelambatan di luar cuaca dan teknis operasional, berlaku juga bagi angkutan udara yang dilaksanakan oleh pihak pengangkut lain yang mengadakan perjanjian angkutan selain pengangkut 96
11) Tanggung Jawab Pengangkut Terhadap Pihak Ketiga Tanggung jawab pengangkut terhadap pihak ketiga diatur dalam Pasal 184 sampai dengan Pasal 185 Undang-Undang No 1 Tahun 2009. Menurut Pasal 184, setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita pihak ketiga yang diakibatkan oleh pengoperasian pesawat udara, kecelakaan pesawat udara, atau jatuhnya benda-benda lain dari pesawat udara yang dioperasikan. Ganti kerugian terhadap kerugian yang diderita pihak ketiga diberikan sesuai dengan kerugian nyata yang dialami. Ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan besaran ganti kerugian, persyaratan, dan tata cara untuk memperoleh ganti kerugian diatur dengan Peraturan Menteri Perhubungan.
Pengangkut
dapat
menuntut
pihak
ketiga
yang
mengakibatkan timbulnya kerugian terhadap penumpang, pengirim atau penerima kargo yang menjadi tanggung jawab pengangkut.97
12) Persyaratan Khusus Seperti diatur dalam Konvensi Warsawa 1929, dalam UndangUndang No 1 Tahun 2009 bersifat memaksa, karena itu dalam persyaratan khusus diatur di dalam Pasal 186 Undang-Undang No 1 Tahun 2009 diatur bahwa pengangkut dilarang membuat perjanjian atau persyaratan khusus yang meniadakan tanggung jawab pengangkut atau menentukan batas yang lebih rendah dari batas ganti kerugian yang diatur dalam undang-undang ini, namun demikian perusahaan penerbangan dengan penumpang dan/atau pengirim barang boleh membuat perjanjian yang memberi ganti rugi lebih dibandingkan dengan yang diatur dalam Undang-Undang No 1 Tahun
96 97
Ibid, Pasal 183 Ibid, Pasal 185
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
66
2009. Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab pengangkut diatur dengan Peraturan Menteri.98
13) Angkutan Multimoda Angkutan multimoda diatur dalam Pasal 187 sampai dengan Pasal 191 Undang-Undang No 1 Tahun 2009. Menurut Pasal 187, angkutan udara dapat merupakan bagian angkutan multimoda yang dilaksanakan oleh badan usaha angkutan multimoda, yaitu usaha angkutan
dengan
menggunakan paling sedikit dua moda angkutan yang berbeda atas dasar suatu kontrak angkutan multimoda dengan menggunakan satu dokumen angkutan multimoda (DAM) dari suatu tempat barang diterima oleh operator angkutan multimoda ke suatu tempat yang ditentukan untuk penerimaan barang tesebut, dilaksanakan berdasarkan perjanjian yang dibuat antara badan usaha angkutan udara dan badan usaha angkutan multimoda, dan/atau badan usaha moda lainnya. Angkutan multimoda dilakukan oleh badan usaha yang telah mendapat izin untuk melakukan angkutan multimoda dari Menteri Perhubungan. Badan usaha tersebut bertanggung jawab (liability) terhadap barang kiriman sejak diterima sampai diserahkan kepada penerima barang.99 Tanggung jawab angkutan angkutan multimoda meliputi kehilangan agtau kerusakan yang terjadi pada barang serta keterlambatan penyerahan barang, kecuali dalam hal badan usaha angkutan multimoda atau agennya dapat membuktikan telah dilaksanakannya segala prosedur untuk
mencegah
terjadinya
kehilangan,
kerusakan
barang,
serta
keterlambatan penyerahan barang. Tanggung jawab badan usaha angkutan multimoda bersifat terbatas
100
yaitu tanggung jawab terhadap kerugian
yang disebabkan oleh keterlambatan penyerahan,
terbatas pada suatu
jumlah yang sebanding dengan dua setengah kali biaya angkut yang harus dibayar atas barang yang terlambat, tetapi tidak melebihi jumlah biaya angkut yang harus dibayar atas barang yang terlambat, tetapi tidak 98
Ibid, Pasal 186 Ibid, Pasal 188 100 Ibid, Pasal 189 99
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
67
melebihi jumlah biaya angkut yang harus dibayar berdasarkan kontrak angkutan multimoda. Keseluruhan jumlah tanggung jawab yang menjadi beban badan usaha angkutan multimoda tidak boleh melebihi batas tanggung jawab yang diakibatkan oleh kerugian total terhadap barang. Badan usaha angkutan multimoda wajib mengasuransikan tanggung jawabnya. Ketentuan lebih lanjut diatur dengan peraturan pemerintah.101
1. Penyelesaian Ganti Rugi Perusahaan Penerbangan Pelita Air Service Sebagai Pengangkut Apabila Terjadi Kerugian Yang Timbul Seperti Kehilangan Bagasi, Keterlambatan Jadwal Penerbangan, Kecelakaan, Dalam Perjanjian Charter
Antara Pengangkut dan Penumpang/
Penyewa.
Salah satu jenis usaha dalam bidang angkutan udara yang ada dewasa ini adalah kegiatan penerbangan yang digolongkan dalam bidang charter pesawat udara (Air taxi/Air charter) . Sebagai perusahaan yang melakukan kegiatan dalam bidang charter pesawat udara , tentu saja tidak terlepas dengan masalah tanggungjawabnya sebagai pengangkut untuk kerugian yang timbul terhadap penumpang, bagasi, dan barang atau terhadap pihak ketiga di darat. Keadaan seperti ini terjadi karena kegiatan dalam bidang charter pesawat udara meskipun sudah merupakan kegiatan yang lazim dilakukan, namun aspek-aspek hukum yang ditimbulkannya belum mendapatkan pengaturan yang tegas. Berbeda halnya dengan charter kapal laut yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Dalam bahasa sehari-hari perkataan charter dipergunakan dalam arti yang luas, dan meliputi setiap jenis penggunaan pesawat diluar penerbangan dan angkutan udara teratur. Secara yuridis, pemakaian charter harus dipergunakan dengan hati-hati , karena mungkin yang dimaksud bukan charter yang bersifat perjanjian pengangkutan, tetapi pemakaian jasa lain yang tidak merupakan suatu perjanjian sewa menyewa barang.
101
Ibid, Pasal 191
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
68
Dalam suatu perjanjian, dikenal adanya asas kebebasan berkontrak atau freedom of contract. Maksud asas tersebut adalah bahwa setiap orang pada dasarnya bebas membuat perjanjian yang berisi dan macam apa saja, asal tidak bertentangan dengan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum. Dengan pengertian lain asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat, untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja dan dalam bentuk apa saja, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.102 Selanjutnya dalam suatu perjanjian, pasal-pasal yang mengatur tentang perjanjian tersebut, biasa dinamakan dengan optional law, karena ketentuan dari pasal-pasal yang mengaturnya boleh dikesampingkan oleh pihak yang membuat suatu perjanjian. Suatu
pertanggungjawaban,
baik
oleh
pihak
pencharter
(penumpang) maupun pihak perusaahan charter, baru akan dapat diukur batas-batas kewajibannya dari klausul-klausul dalam perjanjian charter yang dibuat diantara mereka. Perjanjian angkutan udara menurut Mr Kist adalah : “ merupakan perjanjian campuran yaitu perjanjian pentimpangan”
103
. Pendapat tersebut
disetujui oleh Prof. Soekardono dan HMN Purwosutjipto. Dengan alasan bahwa dalam perjanjian pengangkutan mengandung unsur yaitu : 1. Pelayanan berkala, sebagaimana diatur dalam Pasal 1601huruf b
KUH Perdata sebagai satu-satunya pasal yang khusus
mengenai pelayanan berkala (pemborongan atau melakukan pekerjaan) 2. Unsur penyimpangan, yang diatur dalam Pasal 468 ayat (1) KUHD yang berbunyi : “perjanjian pengangkutan mewajibkan pengangkut untuk menjaga dengan baik keselamatan barang yang diangkutnya, mulai saat diterimanya dan hingga saat diserahkannya barang tersebut. 102
R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : PT Intermasa), 1987, hal 3.
103
Mr. Kist dalam buku Soekardono, Hukum Dagang Indonesia II dalam bagian I, 1980, hal 2
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
69
3. Unsur pemberian kuasa, hal ini diatur dalam beberapa pasal di KUHD diantaranya adalah Pasal 371 ayat (1) KUHD yang berbunyi : “Nahkoda diwajibkan selama perjalanan menjaga kepentingan-kepentingan para pemilik muatan, mengambil tindakan-tindakan tertentu yang diperlukan , untuk itu jika perlu menghadap di muka Hakim 104 Seperti halnya pada perjanjian umumnya, perjanjian pengangkutan bersifat konsensual, artinya pembuat perjanjian pengangkutan tidak disyaratkan harus dengan tertulis, cukup dengan lisan, asal ada suatu persetujuan kehendak. Namun
klausul
dalam
perjanjian
tersebut
tidak
dapat
mengesampingkan prinsip-prinsip tanggung jawab yang secara umum diatur dalam
perjanjian
internasional.
Prinsip-prinsip
tanggungjawab
pada
pengangkutan udara ini mempunyai peranan yang sangat penting untuk menentukan dalam hal sejauhmana tanggung
jawab pengangkutan udara
dibatasi. Adapun prinsip tanggungjawab pengangkutan udara yang dianut dalam Ordonansi Pengangkutan Udara adalah sama dengan prinsip tanggung jawab pada Perjanjian Warsawa karena OPU 1939 merupakan semata-mata turunan dari Perjanjian Warsawa. Prinsip-prinsip tanggung jawab pengangkutan udara yang dianut dalam OPU 1939 adalah sebagai berikut : 1. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab a. Prinsip Presumption of Liability 105 Berdasarkan prinsip ini, pengangkutan dianggap bertanggungjawab untuk kerugian yang diderita oleh seseorang penumpang karena tewas atau luka. Demikian juga dengan pengiriman barang, karena barangnya rusak, hilang atau terlambat datang kecuali apabila pengangkut
dapat
membuktikan
pengangkut
dan
atau
para
pegawainya telah mengambil semua tindakan dianggap atau di rasa
104 105
Ibid, hal 14-15 Op.cit, OPU 1939, Pasal 29 (1)
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
70
perlu untuk menghindari terjadinya kerugian atau bahwa itu tidak mungkin
mereka
lakukan.Pihak
yang
dirugikan
tidak
perlu
membuktikan adanya unsur kesalahan apapun pada pengangkut untuk membuktikan / menuntut pembayaran ganti rugi yang dideritanya, cukup baginya hanya dengan menunjukkan adanya kerugian yang dideritanya selama pegangkutan udara. b. Prinsip Presumption of non liability Prinsip ini berlaku untuk bagasi tangan. Berdasarkan prinsip ini, maka pengangkut dianggap selalu tidak bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan pada bagasi tangan, yaitu barang-barang yang dibawa sendiri oleh penumpang ke tempat duduknya. Hanya dalam penumpang dapat membuktikan bahwa ada kelalaian dari pihak pengangkut yang menimbulkan kerugian pada bagasi tangan. c. Prinsip Limitation of liability106 Berdasarkan prinsip ini tanggung jawab pengangkutan udara dibatasi
sampai
jumlah
tertentu,
sehingga
pengangkut
tetap
bertanggung jawab hanya bilamana ada kelalaian atau kesalahan pengangkut dan penumpang telah mengambil tindakan yang diperlukan untuk menghindari timbulnya kerugian. Prinsip ini merupakan imbangan bagi prinsip Presumption of liability dan merupakan pendorong bagi pengangkut udara untuk menyelesaikan tuntutan ganti rugi dengan jalan damai, artinya tidak melalui pengadilan. Oleh karena itu limit tanggung jawab yaitu ganti rugi tidak boleh terlalu rendah dan tidak boleh terlalu tinggi. d. Prinsip Absolute liability atau Strict liability Prinsip tanggung jawab ini tidak ada kemungkinan bagi pengangkut untuk membebaskan diri dari tanggung jawab kecuali dalam satu hal yaitu kalau yang dirugikan bersalah atau turut bersalah dalam menimbulkan kerugian itu. Prinsip ini lebih memberatkan pengangkutan udara.
106
Op.cit, OPU 1939, Pasal 30 (1)
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
71
2. Sistem-Sistem Tanggung Jawab Dalam Ordonansi Pengangkut Udara terdapat beberapa sistem tanggung jawab sebenarnya merupakan kombinasi dari prinsip-prinsip tanggung jawab, seperti yang telah dikemukakan di atas. Sistem-sistem tanggung jawab yang dianut dalam OPU 1939 sama dengan sistem tanggung
jawab
yang
dianut
dalam Perjanjian
Warsawa
yang
diberlakukan di dalam negara beberapa perubahan dan tambahan. Sistem tanggung jawab yang dianut dalam OPU 1939 adalah sebagai berikut : a. Sistem tanggung jawab yang berlaku bagi penumpang, bagasi tercatat dan barang-barang yaitu suatu kombinasi antara prinsip Presumption of liability dengan prinsip Limitation of liability. Berdasarkan prinsip ini, pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan karena penumpang luka atau meninggal, karena bagasi tercatat atau barang hilang, musnah atau rusak. Pihak yang dirugikan tidak perlu membuktikan kesalahan yang ditimbulkan oleh besarnya kerugian yang diderita karena suatu kejadian selama pengangkutan udara. Namun tanggung jawab pengangkut ini dibatasi sampai jumlah tertentu. Apabila mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk menghindari timbulnya kerugian. b. Sistem
tanggung
jawab
yang
berlaku
bagi
bagasi
tangan
mempergunakan kombinasi antara Prinsip Presumption of non liability dengan Prinsip Limitation of liability. Berdasarkan prinsip ini maka pengangkut dianggap selalu tidak bertanggung jawab kecuali pihak penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian pada bagasi tangan yang timbul itu diakibatkan kelalaian pihak pengangkut. Beban pembuktian adanya tanggung jawab pengangkut ada pada penumpang dan tanggung jawab ini baru ada jika terjadi kesalahan atau kelalaian pengangkut sedangkan penumpang telah mengambil suatu tindakan yang diperlukan untuk mengurangi kerugian. Dengan demikian tanggung jawab pengangkut adalah terbatas, namun pembatasan tanggung
jawab
ini
tidak
berlaku
kalau
penumpang
dapat
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
72
membuktikan bahwa kerugian itu disebabkan oleh perbuatan sengaja atau kesalahan pengangkut, maka pengangkut harus membayar ganti rugi sebesar nilai sebenarnya dari bagasi tangan. Setelah diuraikan di atas mengenai prinsip-prinsip dan sistemsistem tanggung jawab yang dianut OPU 1939, maka apabila terjadi kecelakaan sehingga timbul kerugian dapat ditentukan dengan mudah siapa yang mengganti kerugian. Mengenai
tanggung
jawab
pengangkutan
udara
terhadap
penumpang apabila terjadi kecelakaan udara, OPU 1939 menggunakan sistem yang merupakan kombinasi antara Prinsip Presumption of liability dengan Prinsip Limitation of liability . Dengan kata lain pengangkutan udara bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang tanpa keharusan bagi pihak yang dirugikan untuk membuktikan bahwa ia mempunyai hak atas ganti rugi sebagai imbangannya Prinsip Limitation of liability yang artinya bahwa pengangkut bertanggung jawab terbatas yaitu sampai jumlah tertentu. Prinsip-prinsip tanggung jawab yang dianut oleh OPU 1939 adalah prinsip-prinsip Presumption of liability dan Limitation of
liability .
Berdasarkan prinsip Presumption of liability pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab untuk kerugian-kerugian yang selalu di derita penumpang atau seorang pemilik barang, yaitu luka-luka di derita penumpang akibat kecelakaan yang terjadi atau meninggalnya penumpang, sedang yang berhubungan dengan bagasi, hilangnya bagasi atau terlambat datang, demikian juga terhadap barang kiriman. Pihak yang dirugikan baik penumpang atau pengirim barang tidak perlu membuktikan adanya unsur kesalahan apapun pada pengangkut tetapi cukup membuktikan adanya kerugian yang dideritanya. Jadi pada prinsipnya pengangkut udara selalu bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang sehingga prinsip ini dirasakan sangat
memberatkan
pengangkut.
Namun
berdasarkan
praduga
(presumption), maka terdapat kemungkinan bagi pengangkut untuk membebaskan diri dari tanggung jawabnya. Hal ini dapat disimpulkan dari
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
73
ketentuan Pasal 29 OPU 1939 yang menyatakan bahwa pengangkut dapat membebaskan diri apabila : 107 1. Pengangkut dapat membuktikan bahwa ia dan pegawai-pegawainya telah mengambil suatu tindakan yang diperlukan untuk mencegah terjadinya kerugian atau bahwa tidak mungkin baginya untuk mengambil tindakantindakan tersebut. 2. Pengangkut dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut timbul karena kesalahan pada pengemudian dalam pengoperasian pesawat udara atau dalam navigasi (untuk pengangkutan bagasi dan barang) 3. Pengangkut dapat membuktikan bahwa kerugian itu disebabkan kesalahan pihak yang menderita kerugian itu sendiri.
Alasan pembebasan diri di atas merupakan bagian dari dapat dibuktikannya bahwa terjadinya tindakan wanprestasi disebabkan adanya aspek overmacht yang menyebabkan terjadinya akibat yang merugikan salah satu pihak. Apabila dilihat dari perkembangan tekhnologi yang semakin canggih dalam dunia penerbangan dan keadaan perusahaan penerbangan dewasa ini, yang mana posisi perusahaan penerbangan jauh lebih baik dari pada pengguna jasa secara individual. Karena kini perusahaan penerbangan dapat membagikan resiko yang harus ditanggung kepada banyak pihak melalui sistem asuransi , maka penerapan sistem Presumption of liability sudah tidak relevan lagi dengan keadaan saat ini. Peranan lembaga asuransi banyak membantu resiko atas tanggung jawab operator pesawat udara yang bergerak dalam bidang penerbangan seperti menutup resiko-resiko yang berkenaan dengan meninggal atau lukalukanya seseorang maupun kerugian material yang disebabkan oleh sedang terbang atau oleh bagian-bagian dari pesawat yang jatuh ke permukaan bumi. Jika lembaga asuransi tidak berperan dalam kegiatan penerbangan, besar
107
Op.cit, OPU 1939, Pasal 29
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
74
kemungkinan perusahaan penerbangan yang bersangkutan akan kehilangan pesawat-pesawatnya, atau bahkan dapat mengalami kepailitan. Dalam
asuransi penerbangan ini, salah satu jaminan yang
diberikan yaitu resiko tanggung jawab. Asuransi untuik melindungi pihak tertentu dari akibat-akibat keuangan karena tanggung jawabnya untuk kerugian-kerugian yang timbul, merupakan salah satu jenis yang terpenting dari asuransi penerbangan, sehingga dapat dikaitkan asuransi penerbangan adalah asuransi tanggung jawab. Dalam hal ini, pihak yang bertanggung jawab dalam bidang penerbangan dan angkutan udara menurut hukum, yaitu operator pesawat udara baik terhadap pihak ketiga di permukaan bumi, untuk kerugian yang ditimbulkan akibat penggunaan pesawat udara, sehingga membuat pihak yang terkait dengan perjanjian pengangkutan dan yang tidak terkait dengan
perjanjian pengangkutan menderita dampak negatif dari
penggunaan pesawat udara tersebut. PT. Pelita Air Service (PT PAS) dalam upaya meminimalisasi kemungkinan kerugian yang dialami, yang disebabkan tanggung jawabnya dalam
penyelenggaraan
usaha
penerbangan
dengan
charter,
telah
membentengi usahanya melalui asuransi penerbangan. Asuransi penerbangan merupakan salah satu konsep modern dalam usaha penerbangan. Karena telah disadari bahwa kecelakaan pesawat udara tidak hanya menimbulkan kerugian bagi penumpang saja, tetapi terkadang juga menimbulkan kerugian bagi manusia atau bangunan –bangunan di darat yang tertimpa benda-benda dan/atau pesawat udara tersebut, apalagi bila kecelakaan tersebut terjadi di tempat yang dihuni oleh banyak penduduk, maka kerugian yang ditimbulkan akan sangat besar. Untuk meringankan beban resiko yang dihadapi oleh pengangkut, maka pengangkut mengalihkan resiko tersebut kepada perusahaan asuransi. Dalam Undang-Undang No 1 Tahun 2009 asuransi penerbangan diatur dalam Pasal 62, Pasal 179, Pasal 180, Pasal 240, dan Pasal 424. Menurut Pasal 62, setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara wajib mengasuransikan pesawat
udara
yang
dioperasikan,
personel
pesawat
udara
yang
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
75
mengoperasikan, tanggung jawab hukum yang diderita oleh pihak kedua, tanggung jawab hukum atas kerugian yang diderita oleh pihak ketiga. Di dalam Pasal 179, diatur kewajiban asuransi penerbangan tanggung jawab hukum.
Menurut Pasal tersebut pengangkut wajib
mengasuransikan tanggung jawabnya atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kecelakaan angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun dari pesawat udara, bagasi tercatat hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut, keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi atau kargo, pengirim kargo karena kargo yang dikirim hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama kargo berada dalam pengawasan pengangkut. Di dalam Pasal 180, diatur besarnya asuransi penerbangan. Menurut pasal tersebut besarnya kewajiban mengasuransi adalah,kecuali penumpang membuat perjanjian khusus yang menetapkan ganti kerugian yang lebih tinggi, sebesar tanggung jawab hukum dalam hal penumpang yang meninggal dunia,cacat tetap, atau luka-luka, sedangkan jumlah ganti kerugian bagasi setinggi-tinginya kerugian nyata. Jumlah ganti kerugian tersebut di luar jumlah ganti kerugian yang diberikan oleh lembaga yang ditetapkan oleh pemerintah, dalam hal ini Jasa Raharja. Besarnya ganti kerugian tersebut diatur lebih lanjut dengan peraturan Menteri Perhubungan. Menurut Pasal 240, bandar usaha bandar udara bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pengguna jasa bandar udara dan/atau pihak ketiga yang diakibatkan oleh pengoperasian bandar udara. Tanggung jawab terhadap kerugian tersebut meliputi kematian atau luka fisik orang, musnah, hilang, atau rusak peralatan yang dioperasikan dan/atau dampak lingkungan di sekitar bandar udara akibat pengoperasian bandar udara wajib diasuransikan. Terhadap orang melanggar kewajiban mengasuransikan tanggung jawab hukumnya dikenakan sanksi administratif berupa peringatan, pemebekuan sertifikat, dan/atau pencabutan sertifikat.Dan Pasal 424 mengatur sanksi pidana.
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
76
2. Peraturan Perundang-Undangan tentang Penerbangan Apakah Sudah Menjawab Permasalahan (Perdata) Bila Terjadi Kerugian yang Di derita Oleh Pengguna Jasa Angkutan Udara.
Undang-Undang No 1 Tahun 2009 menerapkan konsep tanggung jawab hukum praduga bersalah ( presumption of liability concept) seperti halnya yang berlaku pada Konvensi Warsawa 1929 dan konsep tanggung jawab hukum atas dasar kesalahan (based on fault liability), khususnya mengenai bagasi kabin (cabin baggage) . Hal ini terbukti dari ketentuan Pasal 141 ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 2009 yang mengatakan bahwa pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap misalnya kehilangan atau menyebabkan tidak berfungsinya salah satu anggota badan atau yang memengaruhi aktivitas secara normal seperti hilangnya tangan, kaki, atau mata yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat udara dan/atau naik turun pesawat udara, kerugian yang diderita oleh pengirim kargo karena kargo yang dikirim hilang, musnah, rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama kargo berada dalam pengawasan pengangkut berdasarkan Pasal 145 Undang-Undang No 1 Tahun 2009. Berdasarkan ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 141 ayat (1), Pasal 144 dan Pasal 145 Undang-Undang No 1 Tahun 2009 tersebut pengangkut bertanggung jawab tanpa dibuktikan lebih dahulu, sehingga pengangkut berhak menikmati batas ganti kerugian yang ditetapkan Undang-Undang No 1 Tahun 2009, batas ganti kerugian tersebut tidak dapat dinikmati oleh pengangkut bilamana kerugian tersebut timbul karena tindakan sengaja (wilful misconduct) atau kesalahan dari pengangkut atau orang yang dipekerjakannya, sehingga ahli waris atau korban dapat melakukan tuntutan ke pengadilan untuk mendapatkan ganti kerugian tambahan selain ganti kerugian yang ditetapkan (unlimited liability
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
77
principle) sesuai dengan Pasal 141 ayat (3) Undang-Undang No 1 Tahun 2009. Konsep praduga bersalah (presumption of liability) dalam UndangUndang No 1 Tahun 2009 adalah kerugian yang diderita karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi dan kargo. Dikatakan bahwa pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan, kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional (beban pembuktian terbalik). Dalam hal pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional, maka pengangkut bebas dari tanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh karena keterlambatan pada penumpang., bagasi dan kargo. Dalam penjelasannya yang dimaksudkan dengan faktor cuaca, teknis dan operasional antara lain hujan lebat, petir, badai, kabut, asap, jarak pandang di bawah standar minimal (weather minima) yang menggangu keselamatan penerbangan, sedangkan faktor teknis dan operasional antara lain bandar udara untuk keberangkatan dan tujuan tidak dapat digunakan operasional pesawat udara, lingkungan menuju bandar udara atau landasan terganggu fungsinya misalnya retak, banjir, atau kebakaran, terjadinya antrian pesawat udara lepas landas (takeoff), mendarat (landing), atau alokasi waktu keberangkatan (departure slot time) di bandar udara, keterlambatan pengisian bahan bakar (aviation turbine), sedangkan tidak dapat digunakan sebagai alasan adalah keterlambatan pilot, co-pilot, dan awak kabin, keterlambatan jasa boga (catering), keterlambatan penanganan di darat, menunggu penumpang, baik yang baru melapor (check in), pindah pesawat udara (transfer) atau penerbangan lanjutan (connection flight) dan ketidaksiapan pesawat udara. Angkutan bagasi kabin (cabin baggage) berlaku konsep tanggung jawab berdasarkan kesalahan (based on fault liability) sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 143 Undang-Undang No 1 Tahun 2009. Menurut pasal tersebut pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian karena hilang atau rusaknya bagasi kabin, kecuali apabila penumpang
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
78
membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh tindakan pengangkut atau orang yang diperkerjakan. Bagasi kabin yaitu barang yang dibawa oleh penumpang dan berada dalam pengawasan penumpang sendiri, rasanya tidak adil bilamana pengangkut yang bertanggung jawab, kecuali bagasi kabin tersebut diserahkan kepada pramugari atau pramugara selama penerbangan berlangsung. Dalam hal demikian penumpang dapat menuntut ganti rugi kerugian atas hilangnya bagasi kabin tersebut.108 Dari yang telah diuraikan, aturan mengenai tanggung jawab tadi merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum bagi para pihak khususnya pengguna jasa angkutan udara. Tanggung jawab yang ditegaskan dalam Undang-Undang No 1 Tahun 2009 akan meningkatkan kualitas dalam pemberian kenyamanan, pelayanan serta keselamatan bagi penumpang. Artinya secara normatif perlindungan hukum bagi penumpang menurut Undang-Undang No 1 Tahun 2009 telah ada, tinggal bagaimana pelaksanaan dari Undang-Undang tersebut.Oleh karena itu peraturan perundangan-undangan yang berlaku pada saat ini dirasa cukup untuk menjawab permasalahan (perdata) apabila terjadi kerugian yang menimpa pengguna jasa angkutan udara.
108
Loc.cit, Undang-Undang No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Pasal 1 angka 25
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
79
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari hasil penelitian di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1. Perusahaan penerbangan mutlak bertanggung jawab bila kecelakaan terjadi yang menimpa pengguna jasa angkutan udara. Undang-Undang No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menganut konsep tanggung jawab hukum praduga bersalah (presumption of liability), dimana perusahaan penerbangan dianggap (presumed) bersalah dan tanggung jawab hukum atas dasar kesalahan (based on fault liability) khusus mengenai bagasi kabin. Sehingga perusahaan penerbangan demi hukum harus membayar ganti rugi yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang. Berdasarkan ketentuan di dalam UndangUndang No 1 Tahun 2009 tersebut, pengangkut bertanggung jawab tanpa dibuktikan lebih dahulu sehingga pengangkut berhak menikmati batas ganti kerugian yang di tetapkan di dalam Undang-Undang No 1 Tahun 2009, kecuali kerugian tersebut timbul karena tindakan sengaja atau kesalahan dari pengangkut atau orang yang dipekerjakannya. Sehingga, ahli waris atau korban dapat melakukan tuntutan ke pengadilan untuk mendapat ganti rugi kerugian tambahan selain ganti kerugian yang ditetapkan (unlimited liability). Sedangkan untuk bagasi kabin, berdasarkan tanggung jawab atas dasar kesalahan (based on fault liability) . Karena itu perusahaan penerbangan tidak bertanggung jawab terhadap bagasi kabin, kecuali kerusakan tersebut disebabkan
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
80
oleh
tindakan
perusahaan
penerbangan
atau
orang
yang
dipekerjakannya. Dalam hal penumpang dapat membuktikan kesalahan perusahaan penerbangan, maka perusahaan penerbangan tersebut bertanggung jawab mengganti kerugian.Tanggung jawab penumpang dan/atau pengirim kargo diatur dalam Pasal 141 sampai dengan Pasal 149 Undang-Undang No 1 Tahun 2009 : -
Tanggung jawab pengangkut dalam hal bila terjadi kerugian atas penumpang, ketentuan Pasal 141 ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 2009, yang mengatakan: Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara
di dalam
pesawat dan/atau naik pesawat udara. -
Tanggung jawab pengangkut dalam hal terjadinya kerugian yang di derita akibat keterlambatan jadwal angkutan penumpang, bagasi atau kargo , kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional, terdapat dalam ketentuan Pasal 146 Undang-Undang No 1Tahun 2009. Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu keterlambatan angkutan udara diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri, ketentuan ini terdapat dalam Pasal 149 Undang-Undang No 1 Tahun 2009.
-
Tanggung jawab pengangkut atas kerugian yang diderita oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat dalam pengawasan pengangkut, tercantum dalam ketentuan Pasal 144 Undang-Undang No 1 Tahun 2009.
-
Tanggung jawab pengangkut pengangkut atas kerugian yang diderita oleh pengirim kargo karena kargo yang dikirim hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama kargo berada dalam pengawasan pengangkut, tercantum dalam ketentuan Pasal 145 Undang-Undang No 1 Tahun 2009.
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
81
-
Tanggung jawab pengangkut atas tidak terangkutnya penumpang sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan dengan alasan kapasitas pesawat udara, terdapat dalam ketentuan Pasal 148 ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 2009. Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memberikan kompensasi kepada penumpang berupa : a. Mengalihkan ke penerbangan lain tanpa membayar biaya tambahan; dan/atau b. Memberikan konsumsi, akomodasi, dan biaya transportasi apabila tidak ada penerbangan lain ke tempat tujuan.
Di samping santunan korban kecelakaan yang diberikan oleh perusahaan berdasarkan tanggung jawab hukum, para penumpang juga memperoleh pembayaran asuransi penerbangan berdasarkan UndangUndang No 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang beserta peraturan pelaksanaannya. Besaran pembayaran asuransi tersebut juga berubah sesuai dengan saat kecelakaan terjadi. Besaran pembayaran asuransi dana wajib keelakaan pesawat udara tersebut selalu berubah sesuai dengan kondisi saat terjadi kecelakaan berdasarkan surat keputusan Menteri Keuangan, sehingga besarannya tidak terlalu ketinggalan dengan kebutuhan masyarakat, karena itu di dalam Undang-Undang No 1 Tahun 2009 tidak ditetapkan suatu besaran tertentu melainkan ditetapkan lebih lanjut dengan peraturan Menteri Perhubungan sebagaimana diatur dalam Pasal 165 sampai dengan Pasal 172 Undang-Undang No 1 Tahun 2009. Menurut Pasal 165 Undang-Undang No 1 Tahun 2009, jumlah ganti kerugian untuk setiap penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka akibat kejadian angkutan udara di dalam pesawat udara dan/naik turun pesawat udara ditetapkan dengan Peraturan Menteri Perhubungan. Jumlah ganti kerugian tersebut adalah jumlah ganti kerugian yang diberikan oleh badan usaha angkutan udara niaga diluar
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
82
ganti kerugian yang diberikan oleh lembaga asuransi yang ditetapkan oleh pemerintah. Pengangkut dan penumpang dapat membuat persetujuan khusus untuk menetapkan jumlah ganti kerugian yang lebih tinggi dari jumlah ganti kerugian yang ditetapkan. Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian karena hilang atau rusaknya bagasi kabin, kecuali apabila penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh tindakan pengangkut atau orang yang dipekerjakan, jumlah ganti rugi tersebut ditetapkan setinggitingginya sebesar kerugian nyata, yaitu kerugian yang didasarkan pada nilai barang yang hilang atau rusak pada saat kejadian penumpang.109 Besaran ganti kerugian untuk setiap penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka akibat kejadian angkutan udara di dalam pesawat udara dan.atau naik turun pesawat udara, bagasi tercatat yang hilang,musnah atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut, keusakan atau kehilangan sebagian atau seluruh bagasi tercatat atau kargo yang hilang, musnah, atau rusak dievaluasi paling sedikit satu kali dalam satu tahun oleh Menteri Perhubungan. Penentuan besarnya ganti rugi oleh Menteri Perhubungan tersebut dimaksudkan untuk mempermudah perubahan jumlah ganti rugi tanpa harus mengubah isi dari Undang-Undang No 1 Tahun 2009 supaya lebih elastis sesuai dengan kondisi pada saat kecelakaan terjadi. Perubahan ganti kerugian tersebut dilakukan dengan mengevaluasi berdasarkan kriteria pada : (a) Tingkat hidup yang layak rakyat Indonesia; (b) Kelangsungan hidup badan usaha angkutan udara niaga; (c) Tingkat inflasi kumulatif; (d) Pendapatan per kapita; dan (e) Perkiraan usia harapan hidup. 109
Op.cit, Undang-Undang No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Pasal 167
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
83
Meskipun perjanjian charter
pesawat merupakan perjanjian antara
para pihak pada PT. Pelita Air Service, klausul perjanjian yang di buat secara tertulis sudah mengindikasikan bahwa para pihak tunduk pada aturan-aturan umum dalam perjanjian nasional dan perjanjian internasional mengenai penerbangan, hal ini merupakan bagian tanggung jawab dari PT. Pelita Air Service.
2. Undang-Undang No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan merupakan peraturan perundang-undangan
yang terbaru sebagai pengganti
peraturan sebelumnya Undang-Undang No 15 Tahun 1992 karena dianggap tidak lagi mampu mengakomodasi perkembangan dunia penerbangan dewasa ini.Undang-Undang No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan meletakkan dasar hukum agar perusahaan penerbangan nasional dapat bertahan dan bersaing pada tataran nasional, regional maupun internasional. Untuk maksud tersebut Undang-Undang No 1 Tahun
2009
mensyaratkan
kepemilikan
pesawat
udara
yang
mencukupi, kepemilikan modal yang kuat, adanya bank guarantee, single majority shares, personel yang profesional (kompeten) baik kualitas
maupun kuantitas yang dibuktikan dengan sertifikat
kompetensi, pengaturan, dan penegakan hukum yang ketat, kepatuhan yang tinggi, penguasaan tekhnologi tinggi, meningkatkan budaya keselamatan penerbangan, kejujuran dalam pelaksanaan operasional. Dalam Undang Undang No 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan sebelumnya, tidak terdapat ketentuan sanksi administratif baik berupa sanksi peringatan dan/ atau pencabutan sertifikat, pembekuan izin dan/atau pencabutan izin, penurunan tarif jasa bandar udara, pembekuan sertifikat dan/atau pencabutan sertifikat, pembekuan lisensi, dan/atau pencabutan lisensi, dan denda. Hal ini berbeda dengan Undang-Undang No 1 Tahun 2009, Menteri Perhubungan dapat mengenakan sanksi administratif terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
84
Dalam undang-undang ini diatur mengenai hak,kewajiban,serta tanggung jawab hukum para penyedia jasa dan para pengguna jasa, dan tanggung jawab hukum penyedia jasa terhadap kerugian pihak ketiga sebagai akibat dari penyelenggaraan penerbangan serta kepentingan internasional atas objek pesawat udara yang telah mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia. Di samping itu, dalam rangka pembangunan hukum nasional serta untuk lebih memantapkan perwujudan kepastian hukum, undang-undang ini juga memberikan
perlindungan
konsumen
tanpa
mengorbankan
kelangsungan hidup penyedia jasa transportasi. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan yaitu Undang -Undang No 1 Tahun 2009 sudah menjawab permasalahan (perdata) apabila terjadi kerugian yang diderita oleh pengguna jasa angkutan udara.
B. Saran Dari kesimpulan di atas, maka dapat diberikan saran sebagai berikut : 1. Diharapkan
agar
adanya
pengaturan
penyelenggaraan penerbangan
yang
sempurna
tentang
charter, agar tidak menimbulkan
kesimpangsiuran mengenai pengertian penerbangan charter, sifat pengangkutannya dan pertanggungjawabannya. 2. Dibandingkan dengan Undang-Undang Penerbangan sebelumnya, Undang-Undang No 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, saat ini Undang-Undang No 1 Tahun 2009 mengatur masalah penerbangan secara lebih detail. Undang-Undang Penerbangan yang lalu hanya terdiri dari 15 Bab dan 76 Pasal. Sedangkan, Undang-Undang No 1 Tahun 2009 terdiri dari 24 Bab dan 446 Pasal. Diharapkan tentunya dengan adanya Undang-Undang yang baru ini memberikan kepastian hukum yang
lebih
penerbangan,
maupun
baik.
Baik
setiap
bagi
orang
pemerintah, yang
perusahaan
menggunakan
jasa
penerbangan. Sehingga pada tingkat implementasi dapat mendorong terwujudnya pelayanan penerbangan yang aman dan selamat.
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
85
DAFTAR PUSTAKA
I.
Buku
Adji, Sution Usman dkk. (1991). Hukum Pengangkutan di Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta Kartasapoetra G., & Roekasih.F. (1982). Segi-Segi Hukum Alam Dalam Charter dan Asuransi Angkutan Udara. Bandung: Armico Kantaatmadja, Mieke Komar. (1976). Hukum Angkasa dan Hukum Tata Ruang, Sumber Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Bandung: Madar Maju Kamaluddin, Rustian. (2003). Ekonomi Transportasi: Karakteristik, Teori dan Kebijakan.Jakarta: Ghalia Indonesia Abdulkadir Muhammad. (2007). Arti Penting dan Strategis Multimoda Pengangkutan Niaga di Indonesia Dalam Perspektif Hukum Bisnis Di Era Globalisasi Ekonomi. Yogyakarta: Genta Press ___________________.(1990). Hukum Pengangkutan Niaga.Bandung: Citra Aditya Bakti Hartono, Sri Redjeki.(2007). Hukum Ekonomi Indonesia.Malang: Bayu Media. Matte Mateesco, Nicolas. (1977). Aerospace Law: From Scientific Exploration to Commercial Utilization. Toronto: The Carswell Company Limited. Mungiwidodo, Joko Sulistyo.(1993). Aspek Yuridis Terhadap Tanggung Jawab Pengangkutan Udara. Surakarta: FH Slamet Riyadi.
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
86
Martono.,H.., & Sudiro, Amad. (2010). Hukum Angkutan Udara Berdasarkan UU RI No 1 Tahun 2009. Jakarta: Rajawali Press Ningrum, Lestari. (2002). Usaha Perjalanan Wisata Dalam Perpsketif Hukum Bisnis.Bandung: Citra Aditya Bakti. Purwosutjipto, H.,M.,N. (2003). Pengertian Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia: Hukum Pengangkutan.Jakarta: Djambatan. Siregar, Sarudin Much. (1968). Management Pengangkutan. Jakarta; Berdikari Student. Siregar, Muchtarudin .(1978) . Beberapa Masalah Ekonomi dan Managemen Pengangkutan.Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Soekardono. (1980). Hukum Dagang di Indonesia II dalam Bagian I Soekanto, Soerjono. (1986). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, UI Press. Subekti., R. (1995). Aneka Perjanjian. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Suherman., E. (1984). Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara. Bandung: Penerbit Alumni. ___________.(1979). Naskah Ilmiah Rancangan UU Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Udara.BPHN. ___________.(1980). Masalah-Masalah Tanggung Jawab Pada Charter Pesawat Udara dan Beberapa Masalah Lain Dalam Bidang Penerbangan.Bandung: Alumni ___________.(1982). Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum Udara Indonesia. Bandung: Eresco. Tjakranegara, Soegijatna. (1995). Hukum Pengangkutan Barang dan Penumpang. Jakarta : Rineka Cipta
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
87
Wener Guldidmann, The Distinction Between Scheduled and nonscheduled Air Serices, dalam Annals of Air and Space LawVol. IV1979. Toronto: The Carswell Company Limited, 1979.
Makalah Seminar Martono.(2000, November 22) . Tanggung Jawab Operator Pesawat Udara Terhadap Pihak Ketiga di Permukaan Bumi.Disampaikan pada Seminar Tanggung Jawab Operator Pesawat Udara Terhadap Pihak Ketiga yang diselenggarakan olee Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Perhubungan dan Telekomunikasi. Quiroz, Armando.(1993, January 16-February 4). Introduction to Aviation Course: Introduction to Aviation Safety.The International Aviation Management Training Institute (IAM/IIF/GA and The Royal Airlines Corporation. Kathmandu,Nepal.
II.
Serial
Kizza, Brad.(1980). Liability Air Carrier for Injuries to Passengers Resulting From Domestic Hijacking and Related to Incidents, Journal Airlaw and Commerce 151, Vol 48 (10). Hickey, William.,J Jr.(1976). Breaking The Limit-Liability For Wiful Misconduct Under Guatemala Protocol, Journal Airlaw and Commerce 607, Vol 42 (3). Khairandy, Ridwan.(2006). Tanggung Jawab Pengangkut dan Asuransi Tanggung Jawab Sebagai Instrumen Perlindungan Konsumen Angkutan Udara. Jakarta, Jurnal Hukum Bisnis Vol 25, hal 20-21.
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.
88
Wiradipradja, Saefullah E.(2006). Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan Terhadap Penumpang Menurut Hukum Udara di Indonesia. Jakarta, Jurnal Hukum Bisnis Vol 25, hal 150.
III.
Publikasi Elektronik
Artikel Boon, Foo Kim.(2011). Airline Liability in Singapore, Juni , 01 2011. www.lawgazette.com.sg Marono., K, Tanggung Jawab Hukum PT (PERSERO) Kereta Api Indonesia, Juli 11 2011, www.bappenas.go.id Syaifullah., E.(2010). Dilema Penerbangan Kita. Oktober 15, 2010. www.unisba.ac.id Tentang Kami, http://www.pelita-air.com, Januari 15 , 2011
IV.
Undang-Undang
Undang-Undang No 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 137 Tahun 1964, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2720. Undang-Undang No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4961.
Universitas Indonesia Tanggung jawab..., Regina Sitepu, FH UI, 2011.