TANGGUNG GUGAT RUMAH SAKIT TERHADAP PASIEN DALAM MELAKUKAN TINDAKAN MEDIS ( Studi Kasus di Rumah Sakit Umum Pemerintah Haji Adam Malik Medan )
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh : FICA INDIKA TAMIN DAMANIK 040200181
Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Perdata B.W
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Fica Indika Tamin Damanik : Tanggung Gugat Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Melakukan Tindakan Medis (Studi Kasus di Rumah Sakit Umum Pemerintah Haji Adam Malik Medan), 2010.
TANGGUNG GUGAT RUMAH SAKIT TERHADAP PASIEN DALAM MELAKUKAN TINDAKAN MEDIS (Studi kasus di Rumah Sakit Umum Pemerintah Haji Adam Malik Medan)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh : FICA INDIKA TAMIN DAMANIK 040200181
Departemen Hukum Keperdataan Disetujui Ketua Departemen Hukum Keperdataan
Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., M.S. NIP. 196 220 421 198 803 1004
Dosen Pembimbing I
DosenPembimbing II
(Sunarto Adi Wibowo, SH, M.Hum)
(M. Husni, SH, M.Hum)
NIP. 195203301976011001
NIP. 195802021988031004
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Fica Indika Tamin Damanik : Tanggung Gugat Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Melakukan Tindakan Medis (Studi Kasus di Rumah Sakit Umum Pemerintah Haji Adam Malik Medan), 2010.
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT, penulis ucapkan, akhirnya penulis dapat menyusun skripsi yang sangat sederhana ini, guna melengkapi syarat dalam memenuhi / mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Karena sudah merupakan suatu kewajiban bagi setiap mahasiswa yang hendak menyelesaikan studi nya harus membuat satu skripsi, maka penulis memberanikan diri menulis skripsi yang berjudul “TANGGUNG GUGAT RUMAH
SAKIT
TINDAKAN
TERHADAP
MEDIS
(STUDI
PASIEN KASUS
DALAM
DI
RUMAH
MELAKUKAN SAKIT
UMU
PEMERINTAH HAJI ADAM MALIK MEDAN)” Sesungguhnya skripsi ini terwujud bukanlah semata-mata hasil jerih payah penulis sendiri, tetapi banyak pihak yang memberikan dorongan dan pencerahan serta dukungan dan bantuan dalam penulisan skripsi ini, sehingga penulis merasa sangat berhutang budi terhadap mereka yang telah memberikan konstribusi dan wawasan keilmuan di bidang hukum. Melalui kesempatan ini, tanpa bermaksud mengecilkan peran lainnya yang tidak disebutkan di sini, penulis menyampaikan terima kasih, penghormatan dan penghargaan yang tinggi terhadap: 1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 2. Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 3. Syafruddin Hasibuan, S.H., M.Hum., DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 4. M.Husni, S.H. M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga Dosen Pembimbing II yang telah mengarahkan penulis, membantu mencari bahan-bahan skripsi serta membimbing penulis sampai akhir penulisan skripsi ini. 5. Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., M.S., selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Universitas Sumatera Utara
Fica Indika Tamin Damanik : Tanggung Gugat Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Melakukan Tindakan Medis (Studi Kasus di Rumah Sakit Umum Pemerintah Haji Adam Malik Medan), 2010.
ii
6. Sunarto A.W, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang telah mengarahkan penulis, membantu mencari bahan-bahan skripsi serta membimbing penulis sampai akhir penulisan skripsi ini. 7. Mohammad Eka Putra, SH, M.Hum., selaku Dosen Penasehat Akademik yang selalu memberikan semangat dan bimbingan serta nasehat-nasehat kepada penulis. 8. Dosen-dosen
serta
seluruh
Civitas
Akademika
Fakultas
Hukum
Universitas Sumatera Utara.
Dan menjadi kebanggaan dan penghormatan tersendiri yang dalam kesempatan ini penulis juga turut mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada : 1. Ayahandaku tercinta, H. Subriadi Damanik, Bscf. dan Ibundaku, Shintawaty yang telah mencurahkan kasih sayang yang tiada terhingga dan senantiasa memberikan motivasi dan dukungan sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Hanya berkat pengorbanan dan kasih sayang merekalah, maka penulis dapat menyelesaikan studi ini. 2. Adik tersayang, Rizky Hendarta Tamin Damanik yang turut serta mendukung dan memberikan semangat kepada penulis. 3. Suamiku tercinta, R.M Husni Iqbal, ST yang telah banyak membantu, menyemangati dan bersabar dalam mendampingi penulis serta memberi dukungan dan kasih sayangnya untuk penulis. 4. Ayah Mertuaku Ir.H. R. A Suprasetio dan Ibu Mertuaku Dra. Hj. Isma Sani Pane,Apt, Msc yang telah memberikan motivasi dan kasih sayangnya kepada penulis. 5. Bou ku Dra. Hj. Risnawaty Dartatik Damanik,Apth, MM yang telah mendukung penulis selama ini. 6. Sahabatku, Abram, Tri Keling Ponsel, Budi, Iyel, Putra Kebongcek, Lydia yang telah menemani penulis di kala suka dan duka, serta bersedia menjadi tempat pencurahan hati penulis. Serta penulis juga menyampaikan terima kasih yang sebesar-sebesarnya kepada keluarga besar Pasaribu yang telah memberikan tempat sebagai bagian dari keluarganya.
iii
7. Teman-teman ku, mahasiswa angkatan 2004 yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.
Kiranya tidaklah cukup kata-kata yang penulis sampaikan kepada mereka yang telah mendorong dan memberikan nasihat dan bimbingan dalam menghadapi perjuangan hidup ini. Kiranya Allah SWT yang akan membalas kebaikan mereka. Akhirnya penulis mohon kepada Allah SWT agar skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan juga bagi pembaca dan dunia pendidikan pada umumnya.
Medan, November 2009 Penulis
FICA INDIKA TAMIN DAMANIK
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................
i
DAFTAR ISI ..............................................................................................
iv
ABSTRAK ......................................................................................................
vi
BAB I
BAB II
BAB III
PENDAHULUAN ....................................................................
1
A. Latar Belakang ......................................................................
1
B. Rumusan Masalah .................................................................
7
C. Tujuan Penelitian ..................................................................
8
D. Tinjauan Pustaka ...................................................................
8
E. Metode Penelitian .................................................................
20
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN ...................
23
A. Pengertian Perjanjian ............................................................
25
B. Unsur- unsur dan Syarat- syarat perjanjian ............................
36
C. Asas- asas dan macam- macam perjanjian .............................
46
D. Berakhirnya perjanjian ..........................................................
47
TINJAUAN HUKUM TENTANG INFORMED CONCENT .
54
A. Pengertian dan Latar Belakang Informed Concent .................
58
B. Fungsi Informed Concent ......................................................
58
C. Bentuk- Bentuk Informed Concent ........................................
59
D. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Informed Concent ......
60
Fica Indika Tamin Damanik : Tanggung Gugat Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Melakukan Tindakan Medis (Studi Kasus di Rumah Sakit Umum Pemerintah Haji Adam Malik Medan), 2010.
iv
v
BAB IV
TANGGUNG
GUGAT
RUMAH
SAKIT
TERHADAP
PASIEN DALAM MELAKUKAN TINDAKAN MEDIS DI RUMAH SAKIT UMUM PEMERINTAH HAJI ADAM MALIK MEDAN ......................................................................
70
A. Proses Terjadinya Informed Concent Dalam Tindakan Medis
70
B. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Informed Concent dalam Tindakan Medis ..........................................................
77
C. Kekuatan Klausa Eksenorasi dalam Informed Concent pada Tindakan Medis ....................................................................
81
D. Tanggung Gugat Rumah Sakit dan Perlindungan Hukum Para
BAB V.
Pihak dalam Informed Concent pada Tindakan Medis ...........
85
E. Kasus Posisi dan Pertimbangan Medis ..................................
90
F. Analisis Yuridis ....................................................................
95
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................
99
A. Kesimpulan ...........................................................................
99
B. Saran ..................................................................................... 100
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 102 LAMPIRAN
vi
ABSTRAK Penelitian ini berjudul TANGGUNG GUGAT RUMAH SAKIT TERHADAP PASIEN DALAM MELAKUKAN TINDAKAN MEDIS DI RUMAH SAKIT UMUM PEMERINTAH HAJI ADAM MALIK MEDAN. Penelitian ini dilatar belakangi oleh kurang percayanya masyarakat kepada dokter dengan maraknya tuntutan hukum yang diajukan oleh masyarakat dewasa ini dan sering kali diidentifikasikan dengan upaya kegagalan dalam penyembuhan yang dilakukan oleh dokter. Sebaliknya apabila dokter tersebut berhasil dalam upaya penyembuhan, selalu dianggap berlebihan oleh masyarakat padahal upaya tersebut hanya dilakukan berdasarkan standar ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Tindakan medis yang dilakukan oleh dokter harus berdasarkan kepada standar profesi medis dan dilakukan dengan sungguh-sungguh atau disebut inspaning verbintennis. Didalam formulir persetujuan tindakan medis tersebut terdapat klausula eksonerasi, yaitu klausula yang berisi pembatasan atau pembebasan tanggung jawab. Dimana formulir tersebut sangat merugikan pihak pasien. Permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian adalah bagaimanakah tanggung gugat rumah sakit terhadap pasien yang mengalami malpraktek dan bagaimanakah kekuatan mengikat terhadap klausula eksonerasi dalam informed concent bagi pasien yang mengalami malpraktek tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis formatif, yaitu metode yang digunakan untuk melihat permasalahan, baik berdasarkan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Penggalian data dilakukan dengan cara wawancara terhadap tenaga medis yang bekerja di rumah sakit umum pemerintah haji adam malik medan. Serta studi kepustakaan yaitu dengan menganalisa putusan pengadilan negeri medan dan dibandingkan dengan literatur. Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa hubungan dokter dan pasien ditimbulkan dari perjanjian. Dalam melakukan upaya tindakan medis terhadap pasien, dokter harus bersungguh-sungguh dengan mengerahkan kemampuannya sesuai dengan standar ilmu kedokterannya. Mentuk penyimpangan dokter adalah melakukan tindakan ingkar janji yang mengarah kepada wanprestasi dan melanggar asa kepatuhan, asas ketelitian dan kekurang hati-hatian sehingga timbul perbuatan melawan hukum. Secara perdata tujuan meminta tanggung jawab kepada dokter adalah untuk meminta ganti kerugian. Adanya klausula eksonerasi dalam formulir persetujuan tindakan medis, pada dasarnya dapat dikesampingkan atau disingkirkan oleh para pihak, apabila klausula tersebut dirasa memberatkan dan merugikan salah satu pihak terutama pasien. Pasien berhak melakukan penuntutan terhadap dokter dan rumah sakit apabila pasien tersebut merasa dirugikan. Oleh karena itu informasi diantara dokter dan pasien sangatlah perlu dan penting untuk dilakukan sebelum adanya penanganan medis ini dilakukan agar dapat menghindari adanya kesalahan-kesalahan dalam melakukan tindakan medis tersebut. Serta diperlukan adanya peraturan untuk menjamin perlindungan dan kepastian hukum. Adapun saran yang diberikan adalah mengenai adanya peraturan secara jelas dan spesifik tentang kesalahan tindakan medis serta perlunya pengawasan penerapan standar profesi medik agar masing-masing pihak terlindungi dan terjamin hak-haknya.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Mewujudkan masyarakat adil dan makmur merata baik dalam materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Tujuan Pembangunan Nasional Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan pembangunan di segala bidang termasuk bidang kesehatan. Pembangunan di bidang kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran dan kemauan untuk hidup sehat bagisetiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal Di dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, ditentukan bahwa “Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal” dan berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan meningkatkan derajat perseorangan, keluarga dan linkungannya. Dalam
rangka
mempertinggi
derajat
kesehatan
masyarakat,
pembangunan kesehatan perlu semakin ditingkatkan dengan pengembangan suatu system kesehatan nasional, dimana partisipasi aktif masyarakat sangat diperlukan bagi masyarakat, terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah. Oleh karena itu, pembangunan harus dilaksanakan bersama antara pihak pemerintah dan swasta, termasuk pula pembangunan kesehatan yang menyangkut upaya peningkatan kesehatan. Peran aktif masyarakat dan swasta perlu semakin
Fica Indika Tamin Damanik : Tanggung Gugat Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Melakukan Tindakan 1 Adam Malik Medan), 2010. Medis (Studi Kasus di Rumah Sakit Umum Pemerintah Haji
2
diarahkan, sehingga dapat melakukan fungsi dan tanggung jawab sosialnya sebagai mitra pemerintah. Keberhasilan pembangunan di segala bidang dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah meningkatkan kebutuhan akan pelayanan dan pemerataan yang mencakup tenaga, sarana dan prasarana baik jumlah maupun mutu. Kualitas pelayanan kesehatan dan jangkauan serta kemampuannya diperluas agar semua lapisan masyarakat dapat menikmati pelayanan yang berkualitas dan selalu memperhatikan kemajuan ilmu dan teknologi. Dalam meningkatkan pelayanan kesehatan pada seluruh lapisan masyarakat baik yang ada di pedesaan maupun diperkotaan, tidak akan pernah lepas dari peran serta rumah sakit sebagai pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan disini diartikan sebagai “Pelayanan yang diberikan secara langsung dan dapat dipertanggungjawabkan secara professional seperti yang lazim dilakukan orang”. 1 Seperti dalam hal pelayanan kesehatan dan hubungan antara dokter yang memberikan pelayanan kesehatan dengan pasien yang berobat, dimana dalam hukum, kesehatan disebut dengan perjanjian terapeutik, yaitu dimana ada seorang pasien datang ke rumah sakit atau dokter untuk berobat, dan dokter yang bertugas memberikan perawatan (layanan medis), berarti dalam hal ini ada perjanjian antara pasien dengan dokter yang merawatnya. Akibat dari perjanjian antara pasien dengan dokter yang merawatnya. Akibat dari perjanjian tersebut melahirkan hak dan kewajiban, baik bagi pasien maupun bagi dokternya. Idealnya rumah sakit sebagai penyelenggaraan upaya kesehatan akan memberikan pelayanan kesehatan antara lain berupa pelayanan medis, pelayanan
1
S. Verbogt dan F. Tengkor, Bab-bab Hukum Kesehatan, Nova, Bandung 1981, hlm. 12
3
penunjang kesehatan, pelayanan perawatan, pelayanan rehabilitasi, pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan. Dalam memberikan pelayanan kesehatan, rumah sakit melalui tenaga kesehatannya akan selalu berusaha secara maksimal untuk merawat. Tugas dan kewajiban sesuai dengan kode etik kedokteran yang berlaku, meskipun demikian sebagai manusia biasa yang mempunyai kelebihan dan kekurangan, tenaga kesehatan atau sering disebut Paramedis tidak akan luput dari kesalahan dan kelalaian dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sehari-hari terutama dalam memberikan pelayanan medis dan perawatan kesehatan kepada pasien di rumah sakit yang mungkin menimbulkan ketidakpuasan terhadap pelayanan yang diberikan atau bahkan menimbulkan kerugian bagi pasien. Dalam hal ini rumah sakit mempunyai peranan yang sangat penting bagi pembangunan kesehatan, maka dari itu menurut Keputusan. Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 031/Berhub/1972, yang dimaksud dengan rumah sakit adalah suatu kompleks atau ruangan yang dipergunakan untuk menampung dan merawat orang sakit dan orang bersalin. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 159b/MEN.KES/Per/II/1988, yang dimaksud dengan rumah sakit adalah sarana upaya kesehatan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan serta dapat dimanfaatkan untuk pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian. Rumah sakit sebagai salah satu sarana kesehatan mempunyai berbagai fungsi dalam penyelenggaraan upaya kesehatan. Menurut Freed Ameln, rumah
sakit
berfungsi
menyelenggarakan
sebagai
pelayanan
tempat
medis,
untuk
pelayanan
menyediakan
perawatan,
dan
rehabilitasi,
pencegahan dan peningkatan kesehatan, tempat pendidikan dan pelatihan tenaga
4
medis dan para medis serta tempat penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan. 2 Menurut Van Der Meijn, ciri-ciri pokok dalam pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut : 3 1. Setiap orang yang memintakan pertolongan profesional pada umumnya berada pada posisi ketergantungan, artinya bahwa ia harus memintakan semacam pertolongan tertentu dengan maksud mencapai tujuan khusus, umpamanya untuk meningkatkan kesehatannya, melakukan suatu tuntutan hukum atau menyatakan kehendaknya. 2. Setiap orang meminta pertolongan dari orang yang mempunyai profesi yang bersifat rahasia, tidak dapat menialai keahlian profesional itu. 3. Hubungan antara orang yang meminta pertolongan dan yang memberi pertolongan bersifat rahasia dalam arti bahwa pihak yang pertama bersedia memberikan keterangan yang tidak akan ia ungkapkan kepada orang lain. 4. Setiap orang yang menjalankan suatu profesi yang bersifat rahasia, hampir selalu memegang posisi yang tidak bergantung atau bebas, juga bila ia tidak berpraktek swasta. 5. Membawa konsekuensi sifat pekerjaan ini pula, bahwa hasilnya tidak selalu dapat dijamin melainkan hanya ada kewajiban untuk melakukan yang terbaik.
2
Fred Ameln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafika Tama, Jakarta, 1991 hlm. 70 Van Der Meijn, Issues Of Health Law, Tim Pengkaji Hukum Kesehatan, Google Web, Jakarta 2009 3
5
Realita yang terjadi dalam pelayanan kesehatan yang diberikan oleh rumah sakit, dalam hal ini seorang dokter yang bertugas terhadap pasiennya, terkadang menimbulkan cidera atau kematian yang terjadi setelah adanya tindakan medis sehingga muncul malpraktek. Hal ini disebabkan karena masyarakat pada umumnya awam terhadap masalah-masalah kedokteran, sehingga sulit bagi pasien untuk memeberikan penilaian secara seksama terhadap pelayanan dokter. Untuk itu diperlukan perlindungan hukum yang dapat menjamin para pihak sesuai hak dan kewajibannya masing-masing. Salah satu perlindungan hukum ini dengan disepakatinya Surat perjanjian "informed Consent". Informed Consent yaitu suatu kesepakatan atau persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien setelah pasien mendapat informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong pasien disertai upaya mengenai segala resiko yang mungkin terjadi. Dengan Informed Consent diharapkan kesalahan-kesalahan medis yang sering dilakukan oleh dokter bisa lebih bisa ditekan kuantitas dan kualitasnya, karena setiap tindakan yang dilakukan oleh dokter harus mendapat persetujuan dari pasiennya sehingga kasus-kasus malpraktek dapat dapat dihindari dengan adanya penanganan medis sesuai dengan standart pelayanan medis dan kasus-kasus malpraktek yang banyak terjadi dapat ditanggulangi dengan adanya transparasi dalam melakukan pelayanan medis. Dan salah satu hal yang menunjang adanya transparasi di dalam pelayanan medis adalah penerapan hak Informed Consent bagi pasien. Dengan adanya hak ini diharapkan pasien bisa lebih mengetahui dan memahami tentang penyakit yang dideritanya serta dapat menentukan alternatif pengobatan mana yang cocok dan mungkin
6
untuk diterapkan pada dirinya. Idealnya dengan prosedur dan pelaksanaan yang benar dari Informed Consent ini kecenderungan saling tuntut dapat dihindarkan, namun tidak jarang gugatan ganti rugi atas dasar Pasal 1365. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang isinya "Tiap perbuatan yang melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Demikian juga halnya dengan gugatan atas dasar wanprestasi yang sering terjadi". Salah satu penyebabnya adalah perjanjian infomed consent yang ada sekarang ini sering dianggap tidak adil, karena perbuatan perjanjian informed consent didominasi serta melindungi pihak dokter atau rumah sakit. Salah satunya adalah format yang ditandatangani oleh pihak pasien yang memuat klausula atau syarat ekseronasi yang menyebutkan pembebasan tanggung jawab dimana isinya, apabila terjadi kegagalan dalam tindakan medis atau operasi misalnya, maka dokter tidak dapat dituntut dengan dimintai ganti kerugian. Syarat ekseronasi adalah pembatasan tanggung, untuk itulah perlu dipahami terlebih dahulu sifat dan tanggung jawab hukum dokter dalam pelayanan medik. Adapun dasar pertanggungjawaban hukum dokter dapat berupa : 1.
Pertanggung jawaban karena kesalahan.
2.
Pertanggung jawaban karena resiko, sebagai kebalikan dari pertanggung jawaban karena kesalahan. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa syarat eksenorasi
dalam pelayanan medik hanya dimungkinkan pada pertanggung jawaban karena
7
resiko, dan pada asasnya hanya berlaku bagi para pihak. Dalam hal ini dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa terjadinya kejadian ini diakibatkan adanya kesalahan medis dan kelalaian yang dilakukan oleh dokter. Tindakan dokter yang tidak didahului adanya informed consent atau kejelasan mengenai penyakit apa yang diderita oleh pasien serta resiko yang terjadi akibat tindakan medis tersebut. Untuk itu, pada kesempatan ini akan dibahas mengenai tanggung gugat rumah sakit terhadap pasien dalam melakukan tindakan medis serta upaya penyelesaian hukumnya
B. Rumusan Masalah Sebagaimana telah diuraikan diatas, bahwa dalam kenyataannya malpraktek telah banyak terjadi dan merugikan orang-orang yang tidak tahu akan tindakan tersebut, maka perlu adanya suatu peraturan dan perlindungan hukum yang lebih baik untuk menanganinya. Karena dalam prakteknya aturan tersebut dibuat hanya sepihak saja. Hal ini yang memungkinkan timbulnya masalah berkaitan dengan perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang lemah atau bagi para pihak akibat perjanjian tersebut. Dengan demikian permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut : 1) Bagaimana proses terjadinya informed Consent dalam tindakan Medis? 2) Apa-apa saja hak dan kewajiban para pihak dalam Informed Consent dalam Tindakan Medis?
8
3) Bagaimanakah kekuatan hukum pada klausa ekseronasi dalam informed Consent bagi pasien yang mengalami malpraktek ? 4) Apakah pertanggungjawaban pihak Rumah Sakit terhadap Pasien yang mengalami malpraktek? 5) Bagaimana kasus posisi dan pertimbangan hakim? 6) Apakah Analisia Yuridisnya?
C. Tujuan Penelitian 1) Untuk mengetahui bagaiman proses terjadinya Informed Consent didalam tindakan medis. 2) Mengetahui Hak dan Kewajiban para pihak baik hak dan kewajiban pasien, hak dan kewajiban dokter, dalam Informed Consent dalam tindakan medis. 3) Untuk mengetahui bagaimana kekuatan hukum terhadap klausa ekseronasi dalam Informed Consent bagi pasien yang mengalami malpraktek. 4) Pertanggungjawaban atas perbuatan yang telah dilakukan rumah sakit terhadap pasien yang mengalami malpraktek. 5) Kasus posisi dan pertimbangan hukum 6) Analisa yuridis
D. T i n j a u a n P u s t a k a Perikatan menurut pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata lahir baik karena perjanjian ataupun karena Undang-Undang. Sedangkan menurut pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tiap-tiap perikatan adalah
9
untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Hukum perikatan mempunyai sistem hukum terbuka, yang artinya adalah suatu sistem dalam perikatan dimana orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimana pun isinya yang mereka kehendaki, baik yang diatur dalam Undang-Undang maupun diatur dalam Undang-Undang. Inilah yang disebut sebagai kebebasan berkontrak dengan syarat bahwa kebebasan berkontrak ini di batasi dengan pembatasan umum, yang terdapat dan diatur pada pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berupa sebab harus halal, tidak dilarang oleh Undang-Undang atau tidak bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Batasan perjanjian diatur dalam pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi ; "Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan nama satu orang atau lebih dengan mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih". Objek dari perjanjian ini adalah pelayanan medis atau upaya penyembuhan yang biasa disebut dengan inspanningverbintennis. Inspanningverbintennis adalah suatu perikatan yang harus dilakukan dengan hati-hati dan usaha keras. Menurut Soerjono Soekanto suatu persetujuan yang dapat dianggap efektif didasarkan pada kondisi inspanningverbintennis adalah factual pasien mau menjalani suatu prosedur kesehatan dalam rangka penanganan terhadap penyakitnya. Menurut Veronica D. Komalawati transaksi teraupetik adalah hubungan dokter dan pasien yang merupakan suatu perjanjian yang objek nya
10
adalah pelayanan medis atau upaya penyembuhan. 4 Pada dasarnya transaksi teraupetik bertumpu pada 2 (dua) macam hak asasi yang merupakan hak dasar manusia yaitu, hal untuk menentukan nasib dan hak atas informasi. Informed Concent diatur dalam Peraturan Menteri Repubik Indonesia No. 585/MEN.KES/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medis. Menurut peraturan ini adalah persetujuan yang diberikan pasien atau keluarga atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Informed Consent, menurut alumnus Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya tahun 1979 itu, adalah persetujuan didasarkan atas informasi dalam setiap tindakan medis yang akan dilakukan oleh dokter. Ini mengungkapkan hubungan antara hak informasi dan hak untuk memberikan persetujuan yang dimiliki oleh pasien. Dokter selaku profesional harus mampu memenuhi kebutuhan pasien, dan dapat memutuskan tindakan yang diperlukan yang harus dilakukan demi kepentingan pasiennya. Disamping itu, juga bertanggungjawab atas mutu pelayanan pasien yang diberikan, sehingga harus ada kesungguhan niat untuk membantu pasien dan diperlukan kerjasama sebaik-baiknya. Oleh karena itu, gagasan dasar Informed Consent adalah bahwa keputusan untuk pegobatan atau perawatan didasarkan kerja sama antara dokter dengan pasien. Namun, karena peranan Informed Consent yang sebenarnya dalam pelayanan medis belum diketahui atau belum dipahami sepenuhnya, hal itu secara tertulis justru dijadikan sarana untuk membatasi dan membebaskan diri dari tanggung jawab profesional atas akibat tindakan medis tertentu dalam transaksi terapeutik. Dia menyarankan, 4
Veronica D. Komalawati, Hukum dan Etika Dalam Praktek Dokter, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1989, hlm. 15
11
dengan diterimanya Informed Consent sebagai prinsip dasar dalam transaksi terapeutik di Indonesia, seharusnya didasarkan atas pandangan setiap manusia dihargai sebagai individu dalam keterkaitan dengan. keluarganya. Hal ini perlu diketahui dan dipahami oleh tenaga kesehatan dalam menjalankan profesinya, sehingga penggunaan dan penandatanganan formulir mengenai Informed Consent tidak mengesampingkan pentingnya komunikasi dalam penanganan medis. Juga, tidak dimaksudkan untuk menghindari tanggung jawab selaku profesional. Menurut Veronica D. Komalawati, staf pengajar Fakultas Hukum Universitas
Sriwijaya
Palembang,
penandatanganan
Informed
Consent
dimaksudkan agar pasien benar-benar memahami resiko yang dihadapi sehingga pasien dapat bekerjasama sebaik-baiknya dalam ketaatan aturan medis dan atau pencapaian tujuan tindakan medis yang bersangkutan. Dengan demikian peranan Informed Consent dalam transaksi terapeutik adalah sebagai sarana untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan pasien untuk berperanserta dalam upaya medis yang dilakukan agar meminimalisir resiko. Mengenai pengertian pasien menurut Abdul Djomali dan Lenawati Tja Permana, pasien adalah seorang yang menderita atau dianggap oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya mengidap suatu penyakit tertentu baik dalam tubuh maupun jiwanya setelah diadakan pemeriksaan terlebih dahulu. 5 Menurut Hermein Hadiati Koeswdji, berdasarkan sifatnya yang Inspanningverbintennis secara yuridis dipenuhi atau tidak dipenuhinya prestasi dari pihak dokter, tidak ditentukan oleh hasilnya, tetapi oleh cara kerjanya. Secara umum dapat dikatakan bahwa prestasi yang menjadi kewajiban
5
Abdul Djamali, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Google Web, Jakarta 2009
12
dokter adalah keseksamaan yang meliputi 1. Aspek Subjektif yaitu dengan perhatian dan kesungguhan. 2. Aspek Objektif yaitu keahlian berdasarkan tingkat perkembangan pengetahuan dari ilmu kedokteran yang dimiliki. Apabila unsur keseksamaan tidak dipenuhi dan terjadi hal yang tidak diinginkan oleh pasien, maka dokter tersebut telah melakukan kesalahan medis yang mengakibatkan dia dapat dituntut rugi berdasarkan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa obyek dari perjanjian ini adalah upaya penyembuhan. Karena obyek dan prestasinya adalah upaya penyembuhan. Karena obyek dari perjanjian ini adalah upaya penyembuhan, sehingga hasil belum jelas atau belum pasti. Semua tindakan medik dilakukan oleh dokter tetap dapat menimbulkan resiko dimana tinggi rendahnya resiko ini berada pads kedua belah pihak. Untuk itu diperlukan suatu persetujuan pasien yang dikenal sebagai informed consent, merupakan unsur terjadinya suatu transaksi terepeutik dan bukan syarat sahnya, sebab sahnya perjanjian diperlukan adanya syarat-syarat seperti dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu : 6 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal Pelaksanaan suatu kontrak bersumber pada : (1). Unsur obyektif yaitu Undang-Undang dan kebiasaan atau kepatutan; (2). Unsur Subyektif yaitu maksud
6
Veranica D. Komalawati, Op. Cit, hlm. 108
13
dari kontrak yang memuat isi tentang sifat dan hubungan berbagai pengertian. Segala sesuatu berlandaskan kepada kejujuran dan kepatutan (itikad baik) dari masing-masing pihak yang bersangkutan. Dalam membuat perjanjian, para pihak dilindungi oleh Undang-Undang dengan asas kebebasan berkontrak. Asas ini menjamin para pihak untuk bebas membuat perjanjian apapun asal tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Posisi ini seharusnya seimbang namun pada kenyataannya sering kali terjadi ketidakseimbangan antara lain oleh : 1. Faktor ekonomi, dimana satu pihak lebih unggul di bidang ekonomi dan pihak lain tidak. 2. Faktor psikologis, dimana salah satu pihak lebih tinggi statusnya dalam jabatan dan kedudukan. Khusus dalam bidang ini bisa digolongkan dalam hubungan dokter dan pasien. Untuk melihat daya ikat kebebasan berkontrak dalam suatu perjanjian dapat dipegang beberapa teori. Berdasarkan ketentuan dalam Kitab Undangundang Hukum Perdata seperti terdapat dalam 1342, 1343, 1346 Kitab UndangUndang Hukum Perdata, maka dalam membahas perjanjian ini dipergunakan teori dalam perjanjian yaitu :
7
1. Teori pernyataan yang intinya menyatakan bahwa apabila pemyataan dua orang telah bertemu, maka perjanjian sudah terjadi dan karenanya mengikat para pihak. 2. Teori Kehendak (will theories), prinsip dari teori ini menyebutkan suatu 7
Zoelfirman, Kebebasan Berkontrak versus Hak Asasi Manusia (Analisis Yuridis Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) UISU Press, Medan, 2003, hlm. 23
14
persetujuan yang didasarkan atas suatu kehendak yang benar adalah tidak sah. 3. Teori kepercayaan, teori ini sebenarnya didasarkan atas fiksi kehendak dari para pihak, dan fiksi tersebut di terima sebagai dasar yang tidak hanya dalam hal-hal kehendak yang sebenarnya tidak ada tetapi juga dalam hal-hal dimana kehendak itu sebenarnya ada. Batasan rumusan pengertian "Malpraktek" Dokter, dan atau Rumah Sakit yang erat kaitannya dengan permasalahan apa, siapa, kapan, dimana, mengapa, dan bagaimana cara untuk menyelesaikannya. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBI) menyebutkan pengertian Malpraktek (noun) sebagai praktek kedokteran yang dilakukan salah, tidak tepat, atau menyalahin Undang- Undang atau kode etik. 8 Dalam Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERASI) sudah ditegaskan bahwa yang dimaksud tanggung jawab rumah sakit meliputi tanggung jawab umum dan tanggung jawab khusus. Sehubungan dengan hal tersebut, rumah sakit harus senantiasa menyesuaikan kebijakan pelayanannya (healt care service policy) pada harapan dan kebutuhan masyarakat yang tercermin dalam strategic planning baik jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. 9 Penyebab pelanggaran praktek kedokteran dapat dikelompokkan dalam beberapa faktor, yaitu :
8
Hermein Hadiati Koeswadjir, Hukum untuk Perumahsakitan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 172 9 Ibid, hlm. 189
15
1. Faktor Sistem 2. Faktor Dokter dan 3. Faktor Masyarakat Timbulnya faktor sistem secara umum disebabkan adanya sistem pengawasan (control social)nya, yang lemah, tertutup, monopolistic/oligopolistis dan terlalu kuatnya unsur negara dibandingkan dengan masyarakat serta liberalisme khususnya dalam pelayanan kesehatan. Bila sistem ini tidak berkeadilan sosial, maka akan terjadi pelanggaran. Sementara itu faktor masyarakat yang ikut menyuburkan pelanggaran adalah masyarakat yang amat hedonis, munafik, dan penuh KKN, serta menghalalkan dengan segala cara, bukan sebagai civil society.
10
Menurut penjelasan pasal 2 Kode Etik Rumah Sakit (KODERASI), yang dimaksud dengan tanggung jawab rumah sakit disini adalah : a.
Tanggung jawab umum
b.
Tanggung jawab khusus yang meliputi tanggung jawab hukum, etik, dan tata tertib atau disiplin. Tanggung jawab umum rumah sakit merupakan kewajiban pimpinan
rumah sakit untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai permasalahanpermasalahan peristiwa, kejadian dan keadaan rumah sakit. Sedangkan tanggung jawab khusus rumah sakit muncul jika ada anggapan bahwa rumah sakit telah melanggar kaidah-kaidah, baik dalam bidang hukum, etik maupun tata tertib maupun disiplin.
10
Agus Purwandianto, Urgensi Undang-Undang Praktek Kedokteran bagi Masyarakat, Sebuah tinjauan Jurnal Hukum Bisnis volume 23, No. 2 Tahun 2004, hlm. 10
16
Dasar pertanggungjawaban dokter dapat berupa : 1. Pertanggung jawaban karena kesalahan, yaitu merupakan bentuk klasik pertanggungjawaban yang didasarkan atas tiga prinsip, yaitu a. Setiap tindakan yang mengakibatkan kerugian atas diri orang lain, menyebabkan o rang yang melakukannya harus membayar kompensasi sebagai pertanggungjawaban kerugian. b. Seseorang harus bertanggung jawab tidak hanya karena kerugian yang dilakukannya dengan sengaja, tetapi juga dengan kelalaian dan kurang hati-hati. c. Seseorang harus memberikan pertanggungjawaban tidak hanya atas kerugian yang dilakukannya sendiri, tetapi juga karena tindakan orang lain yang hanya dibawah pengawasannya. Ketiga tersebut terkandung dalam rumusan Pasal 1365, 1366, 1367 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata. 2. Pertanggungjawaban karena resiko ini dilakukan sebagai kebalikan dari pertanggungjawaban karena kesalahan. Dalam pertanggungjawaban ini biasanya juga dihubungkan dengan produk tertentu seperti obat, peralatan medis, ataupun lainnya.
Setiap orang pada umumnya harus bertanggung jawab atas yang telah dilakukannya, Menurut Kamus Bahasa Indonesia karya Poerwadarminta, pengertian tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, disalahkan, diperkarakan). Kemudian menurut pengertian yuridis, tanggung jawab (aansprakelijk) diartikan sebagai suatu
17
"keterikatan". Menurut pengertian di atas dapat diperoleh kesimpulan bahwa tanggung jawab dalam arti yuridis adalah suatu keterikatan dari seseorang atas semua tindakan baik yang menurut hukum maupun yang melawan hukum, oleh karena itu ia harus bertanggung jawab (menanggung) atas segala akibat hukumnnya. Adapun yang dimaksud tanggung gugat adalah tanggung jawab yang didasarkan atas perbuatan yang melawan hukum dan tanggung jawab atas dasar wanprestasi. 11 Menurut M. A. Moegni Djojo Dirjo letak perbedaan antara tanggung jawab dengan tanggung gugat terdapat pada : 1. Tanggung jawab merupakan suatu bentuk kewajiban yang harus
ditanggung oleh perorangan atas segala tindakan yang telah dilakukannya terhadap pihak yang merasa dirugikan. 2. Tanggung gugat lebih ditujukan untuk memperoleh suatu gant i
rugi (kompensasi) bagi kerugian yang diderita dan juga untuk mencegah (prevensi) tindakan-tindakan yang merugikan. Selain itu juga tanggung gugat dapat ditanggung oleh suatu organ badan hukum sendiri, majikan-majikan terhadap karyawan yang mempunyai hubungan kerja secara kontraktual (ondergeschilutheid). Dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kesehatan di Indonesia, tidak terdapat rumusan yang jelas mengenai pengertian profesi dokter. Akan tetapi jika dilihat dari kedudukan dokter sebagai tenaga kesehatan yang merupakan salah satu sumber daya kesehatan yang sangat
11
Veronica D. Komalawati, Op. Cit., hlm. 100
18
diperlukan untuk mendukung terselenggaranya upaya kesehatan, maka rumusan tenaga kesehatan di dalam Ketentuan Umum Pasal I butir 3 Undangundang no 23 tahun 1992 Tentang Kesehatan, yaitu : "Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri data bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan bidang kesehatan dan untuk melakukan upaya kesehatan " Dapat disimpulkan bahwa dokter sebagai pengemban profesi adalah orang yang mengabdikan dirinya dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan keterampilan memalui pendidikan dibidang kedokteran yang memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. 12 Syarat-syarat pengganti kerugian ditentukan dalam Pasal 1247 dan 1248 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu : 1. Kerugian yang dapat diduga lebih dulu atau seharusnya dapat diduga lebih dulu pada waktu perikatan itu timbul. 2. Kerugian
yang
merupakan akibat
langsung
dan seketika
dari
wanprestasi. Bentuk- bentuk dari wanprestasi adalah : 1.
Tidak dipenuhinya prestasi sama sekali
2.
Terlambat dalam memenuhi prestasi
3.
Berprestasi tidak sama dengan semestinya. Menurut
Pasal
1365
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Perdata
Perbuatan Melawan Hukum adalah : "Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian
12
Veronica D. Komalawati, Ibid, hlm. 17
19
kepada seorang lain, sehingga mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut". Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka suatu perbuatan melawan hukum haruslah mengandung unsur- unsur sebagai berikut : 13 1.
Adanya suatu perbuatan
2.
Perbuatan tersebut melawan hukum
3.
adanya kesalahan dari pihak pelaku
4.
Adanya kerugian bagi korban
5.
Adanya hubunga kausal antara perbuatan dengan kerugian Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori dalam perbuatan melawan hukum, yaitu :
14
1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan 2. Perbuatan
melawan
hukum
tanpa
kesalahan
(tanpa
unsur
kesengajaan maupun kelalaian) 3. Perbuatan hukum karena kelalaian
Konsumen jasa pada Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah seperti yang dimaksud oleh Pasal 1 ayat 2 sebagai Ko nsumen akhir. Yang dimaksud dengan Konsumen akhir adalah konsumen akhir dari suatu produk yang berupa jasa pelayanan kesehatan rumah sakit, dalam hal ini adalah pasien. Karena sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan rumah sakit, pasien tidak akan 13
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporor), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 10 14 Munir Fuady, Ibid, hlm. 3
20
menggunakan jasa pelayanan kesehatan yang diperoleh dari rumah sakit itu untuk digunakan sebagai bagian dari proses produksi atau produk lainnya. Upaya pasien dalam memperoleh jasa pelayanan kesehatan tersebut melalui suatu proses transformasi yang tidak sederhana, yaitu dengan cara mendasarkan
pada
kemandiriannya
(otonom)
dalam
menentukan
pilihannya diantara beberapa alternatif penyembuhan. Upaya penyembuhan yang ditawarkan oleh tenaga medis dirumah sakit sebagai produsen jasa pelayanan kesehatan sangatlah beragam, sehingga konsumen dalam hal ini adalah pasien haruslah jeli dalam memilih berbagai alternatif tersebut.
E. Metode Penelitian 1. Obyek Penelitian Tanggung gugat rumah sakit terhadap pasien dalam melakukan tindakan medis di Rumah Sakit Umum Pemerintah Haji Adam Malik Medan. 2. Subyek Penelitian a.
Direktur Rumah Sakit Umum Pemerintah Haji Adam Malik Medan.
b.
Dokter yang melakukan Malpraktek di Rumah Sakit Umum Pemerintah Haji Adam Malik Medan.
c.
Pasien yang menjadi korban Malpraktek
d.
Ketua atau Hakim Pengadilan Negeri, Medan
3. Sumber Data Penelitian 1. Data Primer, terdiri dari data yang diperoleh dari responden penelitian yang secara langsung yaitu responden yang terkait. 2. Data Sekunder, terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum
21
sekunder dan bahan hukum tertier. a. Bahan Hukum Primer meliputi : 1). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 2). Undang-Undang No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan 3). Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. 4). Undang-Undang
No.29
Tahun
2004
Tentang
Praktek
Kedokteran. 5). Peraturan Perundang-Undangan lainnya dibidang kesehatan dan perlindungan konsumen. 6). Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 434/Men.Kes/SK/X/83 Tentang Berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia Bagi Para Dokter Indonesia. 7). Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1996 tanda wajib simpan Rahasia Kedokteran 8). Ikatan Dokter Indonesia. b.
Bahan Hukum Sekunder 1). Hasil- hasil penelitian di bidang hukum kesehatan. 2). Desertasi atau tesis yang berkaitan dengan hukum kesehatan 3). Keputusan Pengadilan Negeri Medan yang berkaitan dengan masalah tersebut. 4). Kepustakaan.
c.
Bahan Hukum Tertier 1). Kamus Hukum
22
2). Kamus Besar Bahasa Indonesia 3). Kamus Bahasa Inggris 4). Majalah dan Surat Kabar 5). Internet
4. Teknik Pengumpulan Data a. Teknik Wawancara.
Teknik Wawancara dengan responden, yang bersifat semi terstruktur yaitu kombinasi antara pedoman wawancara yang disusun secara terperinci dan yang disusun secara garis besar. b. Study Pustaka
Mengingat data yang ada dalam penelitian adalah data sekunder berupa bahan hukum, maka pengumpulan data yang digunakan adalah melalui study kepustakaan.
5. Metode Pendekatan dan Analisis Data Metode yang digunakan adalah Yuridis Normat if, yaitu metode yang digunakan untuk melihat permasalahan, baik berdasarkan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Sedangkan analisis data yang digunakan dalam
bahasa
menjelaskan
penelit ian dan
adalah
memaparkan
permasalahan yang diteliti.
deskriptif
dengan
kualitatif,
sejelas-jelasnya
yait u
mengenai
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN
A. Pengertian Perjanjian Istilah perjanjian berasal dari terjemahan Bahasa Belanda yaitu onvereenkomst.
Untuk menterjemahkan
hukum masih banyak
istilah onvereenkomst
para ahli
perbedaan pendapat. Ada yang menterjemahkan
onvereenkomst dengan perjanjian tetapi ada yang menterjemahkan dengan persetujuan. Dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur mengenai pengertian perjanjian sebagai berikut : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Menurut R. Setiawan definisi tersebut terlalu luas, seharusnya kata perbuatan dalam defenisi perjanjian bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum. Seolah-olah dalam definisi ini hanya satu orang saja yang mengikatkan diri, padahal seharusnya saling mengikatkan diri. 15 Sedangkan menurut Sri Soedewi menambahkan pendapat tersebut diatas dengan menyatakan bahwa definisi perjanjian dalam Pasal 1313 Kitab UndangUndang Hukum Perdata kurang lengkap dan masih terlalu luas. Kurang lengkapnya adalah seharusnya kata perbuatan didalamnya diartikan sebagai perbuatan hukum karena perjanjian adalah suatu hal yang menimbulkan
15
R. Setiawan, Pokok Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1992 hlm. 27
Fica Indika Tamin Damanik : Tanggung Gugat Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Melakukan Tindakan Medis (Studi Kasus di Rumah Sakit Umum Pemerintah Haji Adam Malik Medan), 2010.
23
24
hukum, sedangkan terlalu luasnya adalah jika menggunakan kata perbuatan maka akan mencakup perbuatan hukum dan perikatan biasa. 16 Dalam hal ini penulis menggunakan istilah perjanjian sebagai terjemahan dari overeenkomst, karena istilah perjanjian dirasakan lebih tepat dipergunakan untuk menyatakan hubungan hukum diantara para pihak, yang dalam skripsi ini penulis mengangkat masalah hubungan hukum antara rumah sakit dan dokter yang melakukan tindakan medis terhadap pasien. Menurut Sudikno Mertokusumo yang dimaksud dengan perjanjian adalah : “hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dua pihak itu sepakat untuk menimbulkan akibat hukum, menimbulkan hak dan kewajiban dan apabila kata sepakat dilanggar mak akibat haknya si pelanggar dikenakan sanksi.” 17 Abdulkadir Muhammad memberikan pengertian perjanjian adalah suatu persetujuan dimana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melakukan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. 18 Beberapa pengertian tentang perjanjian seperti yang diuraikan menunjukkan bahwa ada pengertian perjanjian sebagai suatu perbuatan hukum, suatu peristiwa dan ada yang mengartikan sebagai suatu hubungan hukum. Dalam hal ini penulis cenderung atau setuju dengan pendapat Sudikno Mertokusumo yang mengartikan perjanjian sebagai suatu hubungan hukum, yaitu hubungan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum antara 16
Sri Soedewi M.S, Hukum Perutangan Bagian A, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1980, hlm.5 17 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 97 18 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hlm. 78
25
pihak yang satu dengan pihak yang lainnya berdasarkan kata sepakat, yang bertujuan untuk menimbulkan hak dan kewajiban yang mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian. Hubugan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, disamping sumber-sumber lain. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Memang perikatan itu paling banyak diterbitkan oleh suatu perjanjian, tetapi sebagaiman telah dikatakan tadi, ada juga sumber-sumber lain yang melahirkan perikatan. Sumber-sumber lain ini tercakup dengan nama UndangUndang. Jadi ada perikatan yang lahir dari perjanjian dan ada perikatan yang lahir dari Undang-Undang. Dalam perkembangannya, menurut Pasal 1233 Kitab UndangUndang Hukum Perdata bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena Undang-Undang.
B. Unsur-Unsur Perjanjian dan Syarat-syarat Perjanjian Dalam suatu perjanjian ada tiga macam unsur perjanjian, yaitu : 19 a. Essensialia Yaitu unsur mutlak yang harus ada dalam suatu perjanjian. Unsur ini harus dipenuhi agar suatu perjanjian sah. Jadi apabila unsur ini tidak ada, maka perjanjian tidak sah. Unsur-unsur itu adalah syarat sah
19
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit ,hlm. 97
26
perjanjian. Untuk adanya perjanjian harus ada dua kehendak yang mencapai kata sepakat atau consensus. Tanpa kata sepakat tidak mungkin ada perjanjian. Tidak menjadi soal apakah kedua kehendak itu disampaikan secara lisan atau dengan cara membisu sekalipun dapat terjadi perjanjian asal ada kata sepakat. Kedua pihak harus cakap atau mampu membuat perjanjian. Anak yang belum dewasa, orang yang sakit ingatan dianggap tidak mampu membuat perjanjian. Mereka tergolong orang yang tidak cakap, golongan (personae miserable) untuk adanya perjanjian harus ada obyek tertentu, harus ada sesuatu yang diperjanjikan yang pasti atau dapat dipastikan. Kecuali isi perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Contoh : Tindakan medis yang dilakukan dokter terhadap pasien. b. Naturalia Merupakan unsur yang melekat pada perjanjian yaitu unsur yang tidak secara tegas disebutkan atau dijelaskan dalam suatu perjanjian yang dibuat, tetapi dengan sendirinya unsur itu ada atau melekat. Contoh : Dokter yang wanprestasi tunduk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. c. Accidentalia Merupakan unsur yang harus dimuat atau disebut secara tegas dalam perjanjian. Unsur ini harus tegas diperjanjikan. Contoh : Mengenai tempat penyerahan barang atau mengenai tempat tinggal yang dipilih. Contoh : Mengenai kewenangan hukum yang mengadili.
27
Perjanjian yang sah mempunyai arti bahwa perjanjian tersebut telah memenuhi syarat yang telah ditentukan Undang-Undang. Syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 Kitab UndangUndang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa untuk syarat sahnya perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu : a. Kata Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian c. Mengenai suatu hal tertentu. d. Suatu sebab yang halal. Berdasarkan keempat syarat tersebut, syarat pertama dan kedua merupakan syarat subyektif karena mengenai orang-orang atau subyek yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat yang ketiga dan keempat merupakan syarat obyektif karena menyangkut obyek perjanjian. Apabila syarat tersebut diatas atau salah satu syarat tidak terpenuhi, maka dalam hal ini harus dibedakan antara syarat subyektif dan obyektif. Dalam hal ini syarat subyektif yang tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum, artinya dari semula tidak pernah terjadi suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Dalam hal ini perjanjian dapat dibatalkan, pihak yang dapat meminta pembatalannya adalah pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas atau pihak yang tidak cakap. Jadi perjanjian yang telah dibuat itu mengikat selama tidak dimintakan pembatalannya oleh pihak yang berhak meminta pembatalan tadi.
28
Menurut Pasal 1454 Kitab Undang-Undang Perdata bahaya pembatalan itu mengancam selama 5 tahun. Bahaya pembatalan yang mengancam itu dapat dihilangkan dengan penguatan (affirmation). Penguatan ini dapat terjadi secara tegas atau diam-diam, misalnya orang tua, wali atau pengampu menyatakan tegas mengakui atau akan menaati perjanjian yang telah diadakan oleh anak atau orang yang belum dewasa atau orang yang berada dibawah pengampuan itu memenuhi perjanjian yang telah diadakan. Dalam hal orang yang dalam suatu perjanjian telah memberikan sepakatnya secara tidak bebas, dapat pula menguatkan perjanjian yang dibuat baik secara tegas maupun secara diam-diam. Keempat syarat sahnya perjanjian tersebut akan dijelaskan dan diuraikan sebagai berikut : a. Kata sepakat mereka yang mengikatkan diri Dengan kata sepakat dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia kata mengenai hal-hal yang dikehendaki oleh pihak dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. 20
20
R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1985, hlm. 17
29
Tanpa kata sepakat tidak mungkin ada perjanjian, tidak menjadi soal apakah pernyataan kehendak disampaikan secara lisan, tertulis, bahasa isyarat atau membisu. 21 Dalam hukum perjanjian ada tiga sebab yang membuat perizinan tidak bebas, yaitu : paksaan, kekhilafan, dan penipuan seperti yang tercantum dalam Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Berikut akan dijelaskan mengenai ke-3 hal tersebut : 1) Paksaan (Dwang,) yang dimaksudkan dengan paksaan adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (phychis), jadi bukan paksaan badan (fisik). Misalnya salah satu pihak karena diancam atau ditakut-takuti terpaksa menyetujui suatu perjanjian. Yang diancamkan itu harus perbuatan yang terlarang. Kalau yang diancamkan itu suatu tindakan yang memang diijinkan oleh Undang-Undang, misalnya ancaman akan digugat didepan hakim, maka tidak dapat dikatakan suatu paksaan. 22 2) Kekhilafan atau kekeliruan (Dwaling), yang terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari obyek perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Kekhilafan yang demikian itu juga merupakan alasan bagi orang yang khilaf untuk minta pembatalan perjanjiannya. Adapun kekhilafan itu harus diketahui oleh lawan, atau paling sedikit harus sedemikian rupa sehingga pihak lawan mengetahui bahwa pihak lawan berhadapan 21 22
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm. 98 Sudikno Mertokusumo, Ibid, hlm. 23
30
dengan orang yang berada dalam kekhilafan. Kalau pihak lawan itu tidak dapat mengetahui bahwa pihak lawan berhadapan dengan orang yang
khilaf,
maka
adalah
tidak
adil
untuk
membatalkan
perjanjiannya.” 23 3) Penipuan (Bedrong), terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Pihak yang menipu bertindak secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya. 24 4) Penyalahgunaan keadaan, yaitu mempunyai dasar hukum Putusan MA RI No. 1904 k/Sip/1982 dan Putusan MA RI No. 3431 k/Pdt/1985 tentang penyalahgunaan keadaan sebagai alasan untuk dapat dibatalkannya
perjanjian.
Disini
disebutkan
mengenai
ciri-ciri
penyalahgunaan keadaan, yaitu : a) keadaan ekonomis yang menekan, contohnya : kesulitan keuangan yang mendesak. b) adanya hubungan atasan dan bawahan, contohnya : keunggulan ekonomi salah satu pihak, hubungan majikan dan buruh, perwalian. c) adanya keadaan yang tidak menguntungkan, contohnya : pasien dengan dokter. d) Prestasi yang
tidak
seimbang,
contohnya
:
membutuhkan pertolongan dokter, peralihan resiko. 23 24
Sudikno Mertokusumo , Ibid, hlm. 23-24 Sudikno Mertokusumo , Ibid, hlm. 24
pasien
yang
31
e) Kerugian yang sangat besar bagi salah satu pihak. Dengan
demikian,
maka
ketidakcakapan
seseorang
dan
ketidakbebasan dalam memberikan perizinan pada suatu perjanjian, ketidakbebasan dalam memberikan perizinan pada suatu perjanjian, memberikan perizinan pada suatu perjanjian, memberikan hak kepada pihak yang tidak cakap dan pihak yang tidak bebas dalam memberikan sepakatnya
itu
untuk
membatalkan
perjanjiannya.
Hak
meminta
pembatalan hanya ada pada satu pihak saja, yaitu pihak yang oleh UndangUndang diberi perlindungan itu. 25
b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. Dalam Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah : 1) Orang-orang yang belum dewasa Ketentuan dalam Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan kriteria orang-orang yang belum dewasa, yaitu mereka yang belum dewasa, yaitu mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Dalam hal melakukan perbuatan hukum harus diwakili oleh orang tua atau walinya. Menurut
25
Sudikno Mertokusumo ¸Ibid, hlm. 29
32
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, seseorang pria telah dianggap dewasa bila telah berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun.
2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan Yaitu seseorang yang karena sifat pribadinya dianggap tidak cakap bertindak sendiri. Didalam Pasal 433 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan 3 macam alasan adanya pengampuan, yaitu : a) dungu b) Sakit Otak atau mata gelap c) Boros Pasal 436 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata telah menegaskan bahwa yang berkuasa menetapkan pengampuan adalah Pengadilan Negeri yang berada di wilayah hukum dimana orang yang berada dibawah pengampuan itu berdomisili. Keputusan Hakim yang berkenaan
dengan
pengampuan
itu
mulai
berlaku
pada
sat
diucapkannya keputusan itu, seperti diatur dalam ketentuan Pasal 446 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata “Setiap orang yang berada dibawah pengampuan mempunyai kedudukan yang sama dengan seseorang yang belum dewasa”. Hal tersebut diatur dalam Pasal 452 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
33
3) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan dengan UndangUndang dan semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.26 Menurut Pasal 108 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, seorang isteri biar ia kawin diluar persatuan harta kekayaan, atau telah berpisahan dalam hal itu sekalipun, namun ia tetap tidak boleh menghibahkan barang atau memindahtangankan atau memperolehnya, baik dengan cuma-Cuma atau atas beban, melainkan dengan bantuan akta atau izin tertulis dari suaminya. Begitu pula terhadap segala perbuatan atau perjanjian yang dilakukan atau diangkat setiap isteri, harus dengan seizin suaminya. Sedang menurut Pasal 110 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seorang isteri apabila hendak menghadap dimuka hakim harus mendapat bantuan dari suaminya, tetapi berdasarkan SEMA No. 3/1963, tanggal 5 September 1963 hal tersebut diatas sah dinyatakan tidak berlaku lagi. Didalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 31 disebutkan bahwa “Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat”. Kemudian dalam Pasal 2 disebutkan masingmasing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Oleh karena itu isteri dianggap cakap untuk melakukan perbuatan hukum.
26
R. Subekti, Op. Cit, hlm. 17
34
c. Mengenai Suatu hal tertentu Suatu perjanjian harus mengenal hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan, harus jelas mengenai hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak untuk mengantisipasi jika timbul suatu perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. 27 Seperti rumusan dalam Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang itu sudah ada atau sudah berada di tangannya si berutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh Undang-Undang. 28
d. Suatu sebab yang halal Yang dimaksudkan dengan sebab atau causa yang halal dari suatu perjanjian adalah isi dari perjanjian itu sendiri. Undang-Undang
tidak
memberikan perumusan apa yang
dimaksud sebab yang halal. Suatu sebab yang halal maksudnya bukan dorongan jiwa atau sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian, karena yang ditentukan Undang-Undang hanyalah perbuatan lahir saja. Maksud sebab disini adalah mengenai isi perjanjian itu sendiri. Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab atau sebab yang telah dibuat karena sesuatu yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan. 27 28
R. Subekti, Ibid, hlm. 19 R. Subekti, Ibid, hlm 18
35
Menurut Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa suatu sebab adalah terlarang oleh Undang-Undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Apabila diperhatikan dua syarat yang dinamakan syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat obyektif, karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum itu. 29 Suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif merupakan perjanjian yang mempunyai akibat hukum tidak sempurna karena sewaktu-waktu bisa dimintakan pembatalannya atau memberikan kemungkinan untuk dibatalkan. Perjanjian tersebut telah lahir, namun sewaktu-waktu dapat dimintakan pembatalannya oleh salah satu pihak apabila syarat subyektif tidak dipenuhi. Pihak yang dapat dimintakan pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas. Tetapi apabila tidak dimintakan pembatalan, maka perjanjian tersebut tetap berjalan seolaholah syarat perjanjian tersebut telah terpenuhi. 30 Perjanjian yang tidak memenuhi syarat obyektif atau cacat dari segi obyeknya, maka perjanjian tersebut batal demi hukum atau tidak mempunyai akibat hukum sama sekali, artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Jadi 29 30
R. Subekti, Ibid, hlm. 17 R. Subekti, Ibid, hlm. 20
36
batalnya perjanjian akibat tidak terpenuhinya syarat obyektif terjadi dengan sendirinya tanpa dimintakan pembatalannya. 31
C. Asas-asas dan Macam-macam Perjanjian Sebelum membahas mengenai asas-asas hukum perjanjian, terlebih dahulu kita akan mengetahui pengertian dari asas dan asas hukum. Menurut The Liang Gie sebagaimana yang dikutip oleh Sudikno Mertokusumo, pengertian dari asas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum tanpa menyarankan cara-cara khusus mengenai pelaksanaannya yang diterapkan pada serangkaian perbuatan untuk menjadi petunjuk yang tepat bagi perbuatan itu Menurut Sudikno Mertokusumo, asas hukum adalah pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat didalam dan dibelakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam Peraturan Perundang-Undangan dan Putusan Hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut dan bersifat umum. 32 Dalam hukum perjanjian dikenal asas-asas hukum yang berkaitan dengan lahirnya perjanjian, akibat perjanjian, dan pelaksanaan perjanjian. Asas-asas yang terdapat dalam hukum perjanjian adalah asas konsensualisme, berkaitan dengan
lahirnya perjanjiannya, asas kebebasan
berkontrak
berkaitan dengan isi perjanjian, asas Pacta Sunt Servanda berkaitan dengan akibat perj R.anjian, dan asas itikad baik berkaitan dengan pelaksanaan 31 32
R. Subekti, Ibid, hlm. 22 Abdul Kadir Muhammad, Op. Cit, hlm. 33
37
perjanjian, selain itu juga terdapat asas kepribadian berkaitan dengan berlakunya perjanjian. a. Asas Konsensualisme Asas konsensualisme ini terkandung dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatakan “….semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”, Pasal ini lebih lanjut menunjuk pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian, terutama ayat (1) yaitu kata sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Arti asas konsensualisme pada dasarnya adalah perjanjian dan perikatan yang timbul karena sudah lahir sejak adanya kesepakatan. Dengan kata lain perjanjian iti sah apabila para pihak sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok atau tidaklah diperlukan suatu formalitas. 33 Terhadap asas konsensualisme ini terdapat pengecualiannya, yaitu pada perjanjian riil dan perjanjian formil. b. Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada kata “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dengan adanya kebebasan didalam membuat perjanjian berarti hukum perjanjian menganut sistem terbuka.
33
R. Subekti, Op. Cit, hlm. 32-33
38
Kebebasan membuat perjanjian itu meliputi : 34 1) Bebas mengadakan perjanjian atau tidak mengadakan perjanjian 2) Bebas mengadakan perjanjian dengan siapapun 3) Bebas menentukan bentuk perjanjian 4) Bebas untuk menentukan isi dan syarat perjanjian serta bebas untuk menentukan pada ketentuan hukum yang mana perjanjian yang dibuatnya akan tunduk Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwn asas kebebasan berkontrak dalam perkembangannya dibatasi oleh : 35 1) Perkembangan masyarakat khususnya di bidang sosial ekonomi yaitu adanya penggabungan-penggabungan atau pemusatan-pemusatan dalam persetujuan. Ini mengakibatkan kebebasan berkontrak dibatasi. 2) Adanya campur tangan pemerintah atau penguasa untuk melindungi kepentingan umum dan ekonomi lemah dari pihak ekonomi kuat. 3) Adanya aturan dari masyarakat yang menuju kearah keadilan sosial sehingga ada usaha-usaha untuk memberantas ketidakadilan yang terjadi dalam perjanjian yang tidak memenuhi rasa keadilan. Menurut Abdul Kadir Muhammad dengan adanya kebebasan ini, maka Buku ke II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menganut sistem
34
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm. 100 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Kumpulan Kuliah Hukum Perjanjian, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1980, hlm. 7 35
39
terbuka yang artinya setiap orang boleh membuat perjanjian yang bentuk dan isinya tidak bertentangan dengan kesusilaan. 36 Oleh karena itu antara dokter dan pasien bebas membuat suatu perjanjian apapun asalkan tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan Ketertiban umum, yang disebut dengan transaksi terapeutik. c. Asas Pacta Sunt Servanda atau Asas Kekuatan Mengikat Asas pacta sunt servanda terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada kata-kata “Semua Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”. Maksud dari kata-kata itu adalah bahw para pihak wajib menaati isi perjanjian yang telah mereka buat sebagaimana mereka menaati Undang-Undang. Akibatnya suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara sepihak, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 1338 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah piahk, atau karena yang oleh Undang-Undang dinyatakan untuk itu. Menurut Pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa “Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihakpihak yang membuatnya”. Jadi asa Pacta Sunt Servanda juga mewajibkan bagi pihak ketiga termasuk hakim untuk menghormati perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Menghormati berarti tidak mencampuri, mengubah atau menambah isi perjanjian tersebut. 36
225
Abdul Kadir Muhammad, Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hlm.
40
d. Asas Itikad Baik Asas Itikad baik yang terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Maksud kalimat ini adalah bahwa menjalankan suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kepatutan dan keadilan. 37 Pengertian Itikad Baik dapat dibagi dalam 2 pengertian, yaitu : 1) Itikad baik yang subyektif Maksudnya adalah sikap batin seseorang pada waktu dimulainya suatu hubungan hukum yakni berupa perkiraan bahwa syarat-syarat yang diperlukan telah dipenuhi. 2) Itikad baik yang Obyektif Maksudnya adalah itikad baik yang berkaitan dengan pelaksanaan suatu perjanjian. Pelaksanaan suatu perjanjian harus sejalan dengan mengindahkan norma-norma, kepatuhan dan kesusilaan serta harus berjalan diatas kebenaran. 38 Menurut penulis keempat asas tersebut telah memenuhi persyaratan dalam suatu perjanjian, karena pada prinsipnya perjanjian terbagi dalam tiga tahap, yaitu : 1) Tahap Pra Kontrak Tahap pra kontrak merupakan tahap dimana perjanjian akan dilaksanakn oleh para pihak. Sebelum melakukan perjanjian, 37 38
R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, 1994, hlm. 139 R. Subekti, Op. Cit, hlm. 41
41
sebelumnya para pihak bebas menentukan mengenai jensi perjanjian yang akan mereka buat, isi perjanjian, bentuk perjanjian, dan siapa saja pihak-pihak yang akan ikut dalam perjanjian tersebut. Sehingga pada tahap ini memuat asas kebebasan berkontrak yang subyektif. 2) Tahap Kontraktual Pada tahap ini maka perjanjian tersebut mulai dibuat oleh para pihak dalam perjanjian. Dalam perjanjian ini diperlukan kesepakatan dari para pihak untuk melakukan perjanjian, dengan kata lain asas konsensualisme berlaku pada tahap ini. Kemudian dari kesepakatan tersebut muncul keterikatan dari para pihak untuk menaati perjanjian yang telah mereka buat tersebut atau berlaku asas mengikatnya perjanjian (pacta sunt servanda). 3) Tahap Pasca Kontrak Pada
tahap
inilah
perjanjian
mulai
dilaksanakan.
Didalam
melaksanakan perjanjian ini para pihak harus menaati dan menjalankan ketentuan-ketentuan yang telah mereka sepakati dalam perjanjian. Mereka tidak
boleh
melakukan suatu perbuatan
yang tidak
diperkenankan atau diatur dalam perjanjian. Dengan kat lain para pihak harus melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik sebagaimana tertuang dalam Pasal 3138 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.
42
Menurut J. Satrio macam-macam perjanjian dapat dibedakan berdasarkan beberapa hal yaitu : 39 a. Menurut hak dan kewajiban para pihak dibedakan atas : 1) Perjanjian Sepihak Adalah suatu perjanjian yang menimbulkan kewajiban satu pihak saja, sedangkan pada pihak yang lain hanya ada hak saja. 2) Perjanjian Timbal Balik Adalah suatu perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak, dimana hak dan kewajiban itu mempunyai hubungan satu dengan yang lain.
b.
Menurut cara lahirnya perjanjian terbagi atas : 1) Perjanjian Konsensual Adalah suatu perjanjian dimana dengan adanya kata sepakat diantara para pihak sudah cukup untuk melahirkan perjanjian, misal : perjanjian jual beli. 2) Perjanjian Riil Adalah suatu perjanjian yang lahir bila benda yang menjadi pokok perjanjian telah diserahkan, misal : perjanjian penitipan barang. 3) Perjanjian Formil Adalah suatu perjanjian yang lahir dengan dipenuhinya beberapa formalitas tertentu, misal : hibah.
39
J. Satrio, Hukum Perjanjian yang lahir dari perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm. 41
43
c. Berdasarkan Nama dan Tempat Pengaturan suatu perjanjian Pasal 1319 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur dua jenis perjanjian, yaitu perjanjian yang mempunyai nama khusus yang disebut perjanjian bernama dan perjanjian yang dalam Undang-Undang tidak dikenal dengan nama tertentu disebut perjanjian tidak bernama. 1) Perjanjian Bernama Adalah perjanjian yang sudah dikenal dengan nama-nama tertentu dan sudah diatur secara khusus dalam Undang-Undang. Misalnya : Perjanjian pengangkutan, perjanjian pertanggungan. 2) Perjanjian Tidak Bernama Adalah perjanjian yang belum dikenal dengan nama-nama tertentu dalam Undang-Undang tetapi tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat. Perjanjian tidak bernama juga dikenal dengan istilah perjanjian jenis baru, dimana perjanjian jenis baru dibedakan atas dua macam, yaitu : (a) Perjanjian jenis baru murni, yaitu perjanjian-perjanjian yang timbul dalam masyarakat dan tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang. Misalnya : perjanjian kredit bank. (b) Perjanjian jenis baru campuran, yaitu perjanjian jenis baru yang didalamnya mengandung unsur-unsur dari berbagai perjanjian bernama. Misalnya : perjanjian beli sewa.
44
d. Berdasarkan keuntungan yang diperoleh dari suatu perjanjian 1) Perjanjian Cuma-Cuma Pasal 1334 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membedakan perjanjian Cuma-Cuma dan perjanjian atas beban. Pasal 1314 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa “Perjanjian dengan Cuma-Cuma adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri”, kecuali keuntungan disini maksudnya adalah prestasi, karena pemberian dari pihak yang satu kepada pihak yang lain tidak selalu berupa keuntungan. 2) Perjanjian Atas Beban Pasal 1314 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa “Perjanjian atas beban adalah suatu perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Menurut J. Satrio, prestasi dari pihak yang satu memang dimaksudkan sebagai kontraprestasi terhadap pihak yang lainnya,
prestasi yang satu
diberikan karena pihak yang lain melihat prestasi tersebut sebagai imbalan atas fasilitasnya. 40 Asser Rutten mengatakan bahwa setiap orang yang menandatangani perjanjian, bertanggung gugat pada isi dan apa yang ditandatanganinya. Jika
40
J. Satrio, Op. Cit, hlm. 41
45
ada orang yang membutuhkan tandatangan pada formulir perjanjian baku, tandatangan itu akan membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertanda tangan mengetahui dan mengkehendaki isi formulir yang ditandatangani. Tidak mungkin seorang menandatangani apa yang tidak diketahui isinya. Hondius didalam disertasinya mempertahankan bahwa perjanjian baku mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan kebiasaan (gebruik) yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan. Berdasarkan berbagai pendapat diatas penulis sendiri berpendapat bahwa perjanjian baku tetap merupakan perjanjian yang mengikat para pihak yang menandatanganinya, walaupun harus diakui bahwa kalusula
yang
terdapat dalam perjanjian baku banyak mengalihkan beban tanggung gugat dari pihak perancang perjanjian baku kepada pihak lawannya, namun setiap kerugian yang harus bertanggung gugat berdasarkan klausula perjanjian tersebut, kecuali jika klausula tersebut merupakan klausula yang dilarang berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Walaupun demikian, harus pula diakui bahwa perjanjian baku atau perjanjian yang mengandung klausula baku ini sangat dibutuhkan dalam dunia perdagangan yang semakin maju dewasa ini, terutama
karena dengan
penggunaan perjanjian baku tersebut berarti para pihak dapat mempersingkat waktu bernegosiasi. Hal ini sangat berguna jika dikaitkan dengan prinsip bahwa “waktu adalah uang”. Penyalahgunaan ini dapat terjadi jika suatu perjanjian lahir karena adanya keunggulan salah satu pihak, baik keunggulan ekonomi, keunggulan
46
psikologis maupun keunggulan lainnya. Walaupun demikian, secara umum hanya dikenal dua kelompok penyalahgunaan keadaan. Oleh karena itu, secara garis besar penyalahgunaan keadaan dikelompokkan dalam dua kelompok : a. Penyalahgunaan keadaan karena keunggulan ekonomi (economische overwicht) dari suatu pihak lain; b. Penyalahgunaan keadaan karena keunggulan psikologis (geestelijke overwithct) dari suatu pihak terhadap pihak lainnya. Disamping itu Lebens De Mug, masih menambahkan kelompok penyalahgunaan ketiga, yaitu keadaan darurat (nood teestand), namun pendapat ini kurang mendapat sambutan dari kalangan ahli hukum, dan keadaan darurat yang dimaksud biasanya dimasukan dalam kelompok penyalahgunaan keadaan karena keunggulan ekonomi. 41 Di antara dua penyalahgunaan diatas, penyalahgunaan keunggulan ekonomi
lebih
banyak
menghasilkan
keputusan
hakim
daripada
penyalahgunaan keadaan karena keunggulan psikologis.
D. Berakhirnya Perjanjian Berakhirnya atau hapusnya suatu perjanjian harus benar-benar dibedakan dari hapusnya perikatan, karena hapusnya perjanjian belum tentu menghapus perikatan. Menurut R. Setiawan, suatu perjanjian dapat harus karena : 42
41 42
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit, hlm. 120 R. Setiawan, Op. Cit, hlm. 69
47
a) ditentukan dalam perjanjian yang dilakukan oleh para pihak, misalnya perjanjian akan berlaku untuk waktu tertentu. b) Undang-Undang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian, misalnya menurut Pasal 1066 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa para ahli waris dapat mengadakan perjanjian untuk selama waktu tertentu, untuk tidak melakukan pemecahan harta pewarisan, akan tetapi waktu perjanjian tersebut oleh Pasal 1066 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dibatasi berlakunya hanya lima tahun. c) Para pihak atau Undang-Undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu maka perjanjian akan hapus. Misalnya perjanjian pembiayaan konsumen, apabila salah satu pihak meninggal dunia maka perjanjian hapus. d) Pernyataan menghentikan perjanjian (Opzegging). Dapat dilakukan oleh kedua belah pihak. Opzegging hanya ada pada perjanjian-perjanjian yang bersifat sementara. e) Perjanjian hapus karena putusan hakim. f) Tujuan perjanjian telah tercapai. g) Dengan persetujuan para pihak.
E. Wanprestasi dan Akibat Hukumnya Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan
kata
sepakat
untuk
saling
mengikatkan
dirinya
yang
menimbulkan suatu akibat hukum tertentu. Dengan adanya perjanjian maka
48
timbul perikatan diantara para pihak, sehingga timbul hak dan kewajiban atas suatu prestasi. Prestasi menurut AbdulKadir Muhammad merupakan kewajiban yang harus dipenuhi atau dilakukan oleh debitur dalam setiap perikatan, baik perikatan yang bersumber pada perjanjian maupun Undang-Undang. 43 Menurut Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata wujud dari suatu prestasi yaitu memberi sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesutau. Adakalanya suatu prestasi tidak dapat dilakukan oleh debitur sebagaimana mestinya, karena dua kemungkinan, yaitu : a) karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian, disebut wanprestasi b) Karena keadaan memaksa, jadi diluar kemampuan debitur dan debitur tidak bersalah disebut overmacht. Pengertian wanprestasi tidak dijelaskan secara definitif didalam Undang-Undang. Wanprestasi berasal dari istilah Belanda “Wanprestatie” yang artinya prestasi buruk. Wanprestasi adalah suatu keadaan dimana tidak terlaksananya suatu prestasi dalam suatu perjanjian oleh pihak debitur karena kesalahannya,
baik
karena
kesengajaan
oleh
pihak
debitur
karena
kesalahannya, baik karena kesengajaan maupun kelalaian. Wanprestasi yang dilakukan oleh seorang debitur dapat berupa empat macam, yaitu : 44
43 44
R. Setiawan, Ibid, hlm. 17 R. Subekti, Op. Cit……., hlm. 45
49
a) Salah satu pihak dalam perjanjian yang bersangkutan tidak melakukan apa yang dijanjikan. Dalam hal ini debitur sama sekali tidak memberikan prestasi. Hal ini bisa disebabkan karena debitur memang tidak berprestasi atau bisa juga disebabkan karena memang debitur tidak mungkin berprestasi lagi. Pada peristiwa ini debitur tidak bisa lagi berprestasi. b) Memenuhi kewajiban tetapi tidak sesuai dengan yang diperjanjikan. Disini memang dalam fikirannya telah memberikan prestasinya, tetapi dalam kenyataannya yang diterima kreditur lain daripada yang diperjanjikan. Dalam hal ini (tidak berprestasi) termasuk penyerahan yang tidak sebagaimana mestinya, dalam arti tidak sesuai dengan yang diperjanjikan. c) Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat. Disini debitur berprestasi, obyek prestasinya betul, tetapi terlambat berprestasi. Kalau obyek prestasi masih berguna bagi kreditur, maka orang yang terlambat berprestasi dikatakan dalam keadaan lalai atau mora. d) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Dalam hal ini debitur melakukan suatu kesalahan yang dalam perjanjian tidak boleh dilakukan. Untuk memutuskan apakah seseorang telah melakukan wanprestasi atau tidak, maka harus memperhatikan beberapa unsur, yaitu : a) Melihat perjanjian itu apakah dibuat secara sah. Apabila perjanjian itu tidak sah, apabila seseorang melakukan wanprestasi, maka tidak dapat dilakukan pemenuhan prestasi kepadanya.
50
b) Harus ada unsur kesalahan yang dapat berupa kesengajaan atau kelalaian dari debitur. c) Harus ada kerugian yang diderita oleh krediutr, dengan catatan bahwa kesalahan dan kerugian yang diderita oleh kreditur harus ada hubungan kausa. d) Harus ada somasi. Agar debitur dapat dikatakan dalam keadaan wanprestasi harus ada syarat tertentu, yaitu : a) Syarat Materiil, yaitu adanya kesalahan yang berupa : (1) Kesengajaan, adalah suatu hal yang dilakukan seseorang dengan
dikehendaki dan diketahui serta disadari oleh pelaku sehingga menimbulkan kerugian para pihak lain. (2) Kelalaian, adalah suatu hal yang dilakukan dimana seseorang yang
wajib berprestasi seharusnya tahu atau patut menduga bahwa dengan perbuatan atau sikap yang diambil olehnya akan menimbulkan kerugian. b) Syarat Formil, yaitu adanya peringatan atau somasi Wanprestasi mempunyai akibat yang sangat penting, maka harus ditetapkan terlebih dahulu apakah debitur telah melakukan wanprestasi dan apabila hal itu disangkalnya maka harus dibuktikan dimuka hakim. Penentuan saat terjadinya wanprestasi seringkali tidak diperjanjikan dengan tepat, kapan debitur diwajibkan melakukan prestasi yang telah diperjanjikan. Mengenai saat terjadinya wanprestasi diatur dalam Pasal
51
1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyebutkan bahwa “Si berhutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berhutang akan dianggap lalai dengan lawatnya waktu yang ditentukan”. Berdasarkan Pasal tersebut, apabila terdapat tiga cara untuk menentukan saat debitur telah wanprestasi, yaitu : (1) Dengan surat perintah (2) Dengan akta sejenis (3) Dengan isi perjanjian yang menetapkan lalai dengan lewatnya batas waktu dalam perjanjian Apabila
debitur
telah
melakukan
wanprestasi,
maka
akan
menimbulkan akibat hukum bagi para pihak dalam perjanjian tersebut. Ketentuan Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa : “pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dilakukan, akan memilih apakah ia, jika hal itu masih dilakukan, akan memaksa pihak
yang lain untuk memenuhi perjanjian,
disertai dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga. Menurut Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, wanprestasi mengakibatkan kreditur dapat menuntut debitur berupa : a) Pemenuhan prestasi b) Pemutusan prestasi c) Ganti rugi
52
d) Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi e) Pemutusan perjanjian Menurut R. Subekti, seorang debitur yang lalai diancamkan dengan sanksi, yaitu : 45 a) Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau ganti rugi Ganti rugi terdiri dari 3 unsur yaitu biaya, rugi dan bunga. Biaya adalah pengeluaran atau ongkos-ongkos yang secara nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang milik kreditur yang diakibatkan kelalaian debitur. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayarkan atau dihitung oleh kreditur. Hal ini sesuai dengan Pasal 1247 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan dipertegas dalam Pasal 1248 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. b) Pemutusan Perjanjian (ontbinding) Pada dasarnya pemutusan perjanjian bertujuan untuk membawa kedua belah pihak kembali pada saat sebelum perjanjian diadakan. Menurut Pasal 1226 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pemutusan ini tidak dapat begitu saja, tetapi harus memenuhi beberapa syarat yaitu perjanjian itu merupakan perjanjian timbal balik, salah satu pihak wanprestasi dan permintaan pemutusan perjanjian itu harus dimintakan pada hakim melalui proses pengadilan.
45
R. Subekti, Op. Cit, hlm. 45
53
c) Peralihan resiko Peralihan resiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan salah satu pihak. Dengan kata lain resiko berpangkal pada waktu terjadinya (force majeur). Hal ini tercermin dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam hal peralihan resiko, maka resiko dibedakan menjadi dua, yaitu resiko pada perjanjian sepihak dan resiko pada perjanjian timbal balik, resiko dalam perjanjian sepihak diatur dalam pasal 1237 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi : “Dalam hal perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah tanggungan si berpiutang. d) Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan didepan hakim e) Pemutusan perjanjian.
BAB III TINJAUAN HUKUM TENTANG INFORMED CONCENT
A. Pengertian dan Latar Belakang Informed Concent Dalam suatu perjanjian medis seperti halnya suatu perikatan, syarat terpenting adalah kesepakatan yang terjadi karena adanya kerjasama antara dokter dan pasien. Sesuai dengan teori bahwa informed consent merupakan hak pasien, maka dokter berkewajiban menjelaskan segala sesuatu mengenai penyakit pasien
kepadanya dan untuk memperoleh izin persetujuan
dilakukannya tindakan medis. Secara entimologis arti “Informed” yaitu sudah diberikan informasi dan arti “Consent” yaitu izin atau persetujuan. Jadi Informed Consent adalah izin yang telah diberikan pasien setelah pasien mendapatkan informasi dari dokter tersebut. Menurut Pasal 1 butir a Permenkes No. 585 Tahun 1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik, Informed Consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga pasien atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Menurut Sofwan Dahlan, Informed Consent adalah suatu pernyataan sepihak dari orang yang berhak (yaitu pasien, keluarga atau walinya) yang isinya berupa izin atau persetujuan kepada dokter untuk melakukan tindakan medis sesudah orang yang berhak tersebut diberi informasi secukupnya. 46
46
Sofwan Dahlan, Hukum Kesehatan Rambu-Rambu Bagi Profesi Dokter, BP UNDIP, Semarang, 2002, hlm. 36 Fica Indika Tamin Damanik : Tanggung Gugat Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Melakukan Tindakan 54Haji Adam Malik Medan), 2010. Medis (Studi Kasus di Rumah Sakit Umum Pemerintah
55
Menurut Hermein Hadiati Koeswadji konsep Informed Consent menunjuk pada suatu proses dimana pasien memberikan persetujuannya secara formal untuk menjalani prosedur percobaan medis yang dilakukan secara profesional.
47
Mengenai Informed Consentyang perlu diketahui adalah unsur-unsur apa yang harus diinformasikan, pihak yang berhak memberikan informasi, pihak yang berkewajiban memberikan persetujuan dan sanksi yang mungkin dijatuhkan. Unsur-unsur yang perlu diinformasikan meliputi diagnosa, terapi, dan kemungkinan alternatif lain, cara kerja dan pengalaman dokter yang melakukannya, kemungkinan perasaan sakit atau perasaan lain (misalnya gatal-gatal), resiko, keuntungan terapi dan prognosa. Informasi ini memang memerlukan kebijaksanaan dari dokter yang melakukan tindakan tersebut atau petugas yang ditunjuk itu kasus per kasus. Untuk keamanan bahwa informasi telah diberikan oleh dokter ada baiknya bila dokter memberikan penjelasan didampingi oleh perawat atau paramedis yang sekaligus bertindak sebagai salah satu saksi. 48 Mengenai para pihak yang berkewajiban memberikan informasi ini, tergantung dari sifat tindakan medis, invansif atau tidak. Dokter boleh mendelegasikan informasi ini kepada dokter lain atau perawat dengan syaratsyarat tertentu. Yang berhak memberikan persetujuan secara yuridis adalah pasien sendiri, kecuali bila pasien tersebut tidak cakap hukum dalam keadaan 47
Hermein Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm. 74 48 Amir, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Widya Medika, Jakarta, 1997, hlm. 32-33
56
tertentu. Dalam hal pasien
gawat darurat atau tidak sadar, dokter boleh
melakukan tindakan atas dasar penyelamatan jiwa, tanpa perlu Informed Consent. Menurut J. Guwandi, dalam menentukan tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien, setiap dokter harus mendasarkan tindakan tersebut pada dua hak asasi, yaitu : 49 (a) Hak atas pemeliharaan kesehatan (The right to health care) (b) Hak untuk menentukan nasib sendiri (The right to self determination) Artinya setiap tindakan medis yang akan dilakukan oleh dokter terhadap pasien selain harus ditunjukkan untuk memelihara kesehatan, tindakan tersebut juga harus dilakukan tanpa unsur pemaksaan terhadap diri pasien. Dalam hal ini informed Consent adalah salah satu metode yang umum digunakan oleh dokter untuk mendapatkan persetujuan pasien atas tindakan medik yang akan dilakukan. Sehingga unsur hak untuk menentukan nasib diri sendiri yang dimiliki oleh pasien tidak dilanggar. Secara harfiah Informed Consent atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai “Persetujuan Tindakan Medik” 50 terdiri dari dua suku kata dalam bahasa Inggris, yaitu Informed Consent dari kata Inform yang berarti informasi, dan Consent yang berartai persetujuan. Sehingga secara umum Informed Consent dapat diartikan sebagai persetujuan yang diberikan
49
J. Guwandi, Dokter dan Hukum, Monella, Jakarta, 1989 hlm. 20 J. Guwandi, 208 Tanya Jawab Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent), Edisi Kedua, FKUI, Jakarta,1994 hlm. 2 50
57
oleh pasien kepada dokter atas suatu tindakan medik yang akan dilakukan, setelah mendapatkan informasi yang lebih jelas akan tindakan tersebut.51 Veronica D Komalawati merumuskan pengertian Informed Consent sebagai suatu kesepakatan atas persetujuan pasien atas upaya medis yuang akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah pasien mendapat informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi. 52 J. Guwandi, mengartikan Informed Consent sebagai suatu izin (Consent) atau pernyataan setuju dari pasien yang diberikan dengan bebas dan rasional, sesudah mendapatkan informasi dari dokter lain yang sudah dimengertinya. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585 Tahun 1989 Pasal 1 (a) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Informed Consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindak medik yang dilakukan terhadap paseien tersebut. Selain beberapa pengertian diatas, pengertian Informed Consent juga dapat dilandaskan pada segi etika atau moral dan hukum atau yuridis. Dari segi etika atau moral, Informed Consent mendukung terlaksananya dua hal, yaitu : 53 a. Bahwa setiap orang mempunyai hak untuk memutuskan secara bebas pilihannya berdasarkan pemahaman yang memadai. 51
Dr. Adib A. Yahya, MARS, Ketua Umum PERSI, Mantan Kepala RSPAD Gatot Subroto, Pelayanan Rumah Sakit: Dokter Telah Memberikan “Informed Consent”, apa itu?, Diakses pada tanggal 8 Oktober 2005 52 Veronica D Komalawati, Op. Cit, hlm. 86 53 Ibid, hlm. 108
58
b. Keputusan tersebut harus dibuat dalam keadaan tanpa campur tangan pihak lain.
B. Fungsi Informed Consent Dilihat dari fungsinya, Informed Consent memiliki fungsi ganda, yaitu fungsi bagi pasien dan fungsi bagi dokter. Dari sisi pasien, Informed Consent berfungsi untuk :54 a. Bahwa setiap orang mempunyai hak untuk memutuskan secara bebas pilihannya berdasarkan pemahaman yang memadai b. Proteksi dari pasien dan subyek c. Mencegah terjadinya penipuan atau paksaan d. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk mengadakan introspeksi diri sendiri (Self-Secrunity) e. Promosi dari keputusan-keputusan yang rasional f. Keterlibatan masyarakat (dalam memajukan prinsip otonomi sebagai suatu nilai sosial dan mengadakan pengawasan penyelidikan biomedik). Sedangkan bagi pihak dokter, Informed Consent berfungsi untuk membatasi otoritasi dokter terhadap pasiennya. 55 Sehingga dokter tidak akan melakukan tindakan medis tanpa seizin atau persetujuan dari pasien.
54 55
J. Guwandi, Op. Cit, hlm. 2 J. Guwandi, Ibid, hlm 5
59
C. Bentuk – Bentuk Informed Consent Bentuk Informed Consent ada dua, yaitu Implied Consent (dianggap diberikan) dan Express Consent (dinyatakan). Implied Consent umumnya diberikan dalam keadaan normal, artinya dokter dapat menangkap persetujuan tindakan medis tersebut dari isyarat yang diberikan pasien. Misalnya kalau dokter mengatakan mau menginjeksi pasien, pasien menyingsangkan lengan bajunya. Express Consent dapat dinyatakan secara lisan dan dapat pula dinyatakan secara tertulis. 56 Pasal 13 Permenkes No. 585 Tahun 1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik menyatakan bahwa terhadap dokter yang melakukan tindakan medis tanpa persetujuan dari pasien atau keluarganya dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan surat izin prakteknya. Sanksi perdatanya dapat juga digunakan Pasl 1365 Kitab UndangUndang Hukum Perdata mengenai Onrechtimatingedaad. Sanksi perdatanya adalah dalam bentuk ganti kerugian atas cacat atau luka karena adanya perbuatan yang salah, misalnya karena lalai. Apabila tindakan medis yang dilakukan dokter tidak sampai merugikan pasien, maka dokter tidak dapat dijatuhkan sanksi perdata. Menurut Amir, berdasarkan pengamatannya terdapat tiga tindakan medis yang sering memerlukan Informed Consent, masing-masing adalah : 57 a. Persetujuan untuk Operasi dan Pembiusan b. Persetujuan untuk Tindakan Pengobatan Khusus 56 57
Amir, Op. Cit, hlm. 32 Amir, Ibid, hlm. 35
60
c. Persetujuan untuk Tindakan Diagnostik Ketiganya telah disusun sedemikian rupa sehingga pihak dokter dan rumah sakit tinggal mengisi kolom yang disediakan untuk itu setelah menjelaskannya kepada pasien atau keluarga pasien. Dalam hal operasi atau tindakan medis yang dilakukan dalam bentuk tim, maka cukup seseorang dokter yang mewakili tim. Dalam persetujuan juga harus disebutkan jenis operasi dan tindakan medis yang akan dilakukan dan kepada siapa operasi dan tindakan medis akan dilakukan. Sebelum ditandatangani, sebaiknya surat persetujuan operasi dan tindakan medis tersebut dibaca sendiri atau dibacakan oleh yang hadir terlebih dahulu. Pasien dan atau keluarganya seharusnya diberikan waktu yang cukup untuk menandatangani persetujuan dimaksud.
58
D. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Informed Consent Dilihat dari sisi yuridis, Informed Consent meliputi beberapa hak bagi seorang pasien dan minimal dua kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang dokter. Hak-hak dari pasien meliputi : 59 a. Hak untuk memperoleh informasi mengenai penyakitnya dan tindakan apa yang hendak dilakukan terhadap dirinya b. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan yang diajukan. c. Hak memilih alternatif lain jika ada d. Hak menolak usulan tindakan yang hendak dilakukan 58 59
Hermein Hadiati Koeswadji, Op. Cit,, hlm. 35 Hermein Hadiati Koeswadji, Ibid, hlm. 36
61
Menurut Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran diatur dalam Pasal 52 yang berbunyi, bahwa pasien dalam menerima pelayanan pada praktek kedokteran mempunyai hak : a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis . b. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain. c. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis. d. Mendapatkan isi rekam medis Menurut Fred Ameln bahwa di dalam beberapa literatur hukum kesehatan disebutkan beberapa hak pasien, yaitu : 60 a. Hak atas informasi b. Hak memberikan persetujuan c. Hak memilih dokter Setiap pasien berhak untuk memilih dokter yang ia percaya akan mampu untuk membantu menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Faktor kepercayaan ini sangat penting dalam hubungan dokter dan pasien. d. Hak memilih Rumah Sakit Pasien selain dapat memilih dokter juga dapat memilih rumah sakit yang ia anggap dapat melayani dengan baik serta dapat memberikan perawatan terhadap penyakit yang ia derita. Hal ini cukup penting karena apabila seseorang dirawat disuatu rumah sakit yang ia sendiri tidak menyukai, maka tujuan pengobatn tidak akan tercapai.
60
Fred Ameln, Op. Cit, hlm. 40-41
62
e. Hak atas rahasia kedokteran Yang dimaksud rahasia kedokteran adalah segala rahasia yang oleh pasien secara disadari atau tidak disadari disampaikan kepada dokter dan segala sesuatu yang oleh dokter telah diketahuinya sewaktu mengobati dan merawat pasien. f. Hak menolak pengobatan Berdasarkan hak untuk menentukan nasib diri sendiri, maka seorang pasien mempunyai hak untuk menentukan apakah ia akan menerima pengobatan atau menolak pengobatan yang akan menyembuhkan penyakitnya. g. Hak menolak suatu tindakan medis tertentu Dalam hal ini pasien telah bersedia menerima pengobatan dari dokter, namun ia menolak untuk suatu tindakan medis tertentu. Misalnya menolak untuk dioperasi, atau menolak untuk ditransfusi darah dari golongan tertentu. h. Hak untuk menghentikan pengobatan Pada umumnya orang menghentikan pengobatan yang sedang dijalani karena disebabkan psikologis dan ekonomis. Alasan psikologis yang dimaksud adalah bahwa pasien telah tidak percaya lagi akan manfaat dari pengobatan tertentu bagi kesembuhan penyakitnya. Sedangkan alasan ekonomis dimaksudkan bahwa pasien sebenarnya ingin mendapatkan pengobatan atas dirinya, tapi karena ketiadaan keuangan
63
yang mencukupi untuk membiayai pengobatan itu, maka ia menghentikan pengobatan tersebut. i.
Hak atas second opinion Apabila pasien ingin mendapatkan perbandingan terhadap keterangan dokter yang mengobatinya atau sekedar mendapatkan penjelasan dari dokter lain, maka ia dapat menghubungi dokter lain itu dengan sepengetahuan dokter yang mengobatinya untuk mendapatkan second opinion.
j.
Hak untuk melihat rekam medis (inzage rekam medis) Rekam medis atau rekam kesehatan yang merupakn terjemahan dari medical record adalah suatu lembaran yang berisi atau memuat keterangan mengenai riwayat penyakit, laporan pemeriksaan fisik, catatan pengamatan terhadap penyakit dan lain-lain dari seorang pasien. Pasien mempunyai hak untuk mengetahui tentang keadaan dirinya akan penyakitnya melalui rekam medis. Pada dasarnya rekam medis adalah milik rumah sakit sedangkan isinya milik pasien. Selain mempunyai hak, pasien juga mempunyai kewajiban-
kewajiban yang harus dipenuhi. Kewajiban pasien diatur dalam Pasal 53 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran yang berbunyi, bahwa pasien dalam menerima pelayanan pada praktek kedokteran mempunyai kewajiban : a. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya.
64
b.
memenuhi nasehat dan petunjuk dokter atau dokter gigi
c.
mematuhi ketentuan yang berlaku disarana pelayanan kesehatan
d.
memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima Menurut Fred Ameln selain mempunyai hak, pasien juga mempunyai
kewajiban yang harus ditanggung oleh pasien sendiri, kewajiban antara lain : 61 a. Pasien wajib memberi keterangan informasi sebanyak mungkin tentang penyakitnya. Kewajiban ini dapat dikaitkan dengan itikad baik pasien. Pasien mempunyai kewajiban untuk menyampaikan informasi tentang tindakan-tindakan apa saja yang telah ia dilakukan dalam menangani penyakitnya itu. b. Pasien wajib mentaati petunjuk dan intruksi dokter Dalam upaya menerapkan terapi pada penyakit pasien maka selain peran dokter, pasien tersebut telah menunjukkan pula keinginannya untuk segera sembuh. Petunjuk dari dokter kepada pasien ini dapat berupa perintah atau larangan. Pelanggaran terhadap instruksi dokter ini menimbulkan keadaan penyakit pasien yang lebih parah. Dalam hal ini pasien tidak dapat menyalahkan dokter, bahkan disini dianggap adanya “kontribusi kesalahan pasien” dalam hukum kedokteran hal ini disebut dengan contributory negligence. c. Pasien wajib mentaati aturan rumah sakit Hal ini berlaku juga bagi keluarga pasien dan rumah sakit. Dalam rangka memberi sarana perawatan untuk kesembuhan pasien, maka
61
Fred Ameln, Op. Cit , hlm. 53-54
65
rumah sakit memberi aturan yang harus dipahami dan ditaati oleh pasien dan keluarga pasien. d. Pasien wajib memberikan imbalan jasa kepada dokter Hal ini dapat dikaitkan dengan fungsi sosial seorang dokter dalam masyarakat, sehingga disini dapat diharapkan suatu imbalan jasa yang telah
diberikan
oleh
dokter,
tetapi
tentunya
dokter
harus
memperhatikan status sosial ekonomi pasien. e. Pasien dan Keluarga wajib melunasi biaya rumah sakit Saat pasien dirawat dirumah sakit, maka rumah sakit mengeluarkan sejumlah biaya yang jumlahnya tidak sedikit. Pengeluaran tersebut harus segera ditutupi dengan biaya yang dibebankan kepada pasien yang bersangkutan atau yang menanggungnya. Adapun hak-hak dokter yang berkaitan dengan Informed Consent seperti termuat dalam Undang-Undang No. 29 tahun 2004 Tentang Praktek kedokteran, hak dokter diatur dalam Pasal 50 yang berbunyi bahwa dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktek kedokteran mempunyai hak-hak sebagai berikut : a. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional. b. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional. c. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya
66
d. menerima imbalan jasa Diantara hak-hak yang dimiliki oleh dokter dapatlah dikemukakan beberapa diantaranya, yaitu : 62 a. Hak untuk bekerja menurut Standar Profesi Medis b. Hak menolak melaksanakan tindakan medis yang tidak dapat ia pertanggung jawabkan secara profesional. c. Hak untuk menolak suatu tindakan medis yang menurut suara hatinya (conscience) tidak baik d. Hak mengakhiri hubungan dengan pasien jika ia melihat bahwa kerjasamanya dengan pasien tidak ada gunanya lagi e. Hak atas privacy dokter f. Hak atas itikad baik dari pasien dalam pelaksanaan kontrak terapeutik (penyembuhan) g. Hak atas balas jasa h. Hak atas fair play dalam menghadapi pasien yang tidak puas terhadapnya i.
Hak untuk membela diri
j.
Hak memilih pasien. Hak ini sama sekali tidak merupakan suatu hak mutlak. Lingkungan sosial merupakn hal yang sangat mempengaruhi hak ini. Dengan demikian jelas bahwa dokter memiliki hak-hak yang
memberi keleluasaan dalam menjalankan profesinya disamping kewajiban-
62
Veronica D Kolamawati, Op. Cit, hlm. 98-99
67
kewajiban yang harus dipenuhinya. Namun dengan berkembangnya hubungan dokter dan pasien serta digunakannya teknologi medis modern yang memiliki resiko-resiko baru, memerlukan lebih banyak tanggung jawab, sehingga perlu pengaturan dan pengawasan hukum dibidang pelayanan medis. Adapun kewajiban
dokter berkaitan dengan Informed Consent,
meliputi : 63 a. Kewajiban untuk menjelaskan informasi kepada pasien b. Kewajiban dokter untuk mendapatkan izin atau persetujuan dari pasien, sebelum dilaksanakan perawatan. Menurut Veronika D Komalawati kewajiban-kewajiban dokter dapat dibedakan menjadi lima kelompok, yaitu : 64 a. Kewajiban yang berhubungan dengan fungsi sosial pemeliharaan kesehatan Pada kelompok ini kepentingan masyarakat yang menonjol dan bukan kepentingan pasien. Sehingga dalam melakukan kewajibannya, seorang
dokter
harus
memperhitungkan
factor
kepentingan
masyarakat, misalnya mempertimbangkan untuk tidak menulis suatu resep yang tidak begitu perlu. b. Kewajiban yang berhubungan dengan standar medis Pengertian “standar medis” dapat dirumuskan sebagai suatu cara melakukan tindakan medis dalam suatu kasus yang konkret menurut
63 64
Veronica D Kolamawati, Ibid, hlm. 108 Veronica D Kolamawati, Ibid,hlm. 97-98
68
suatu ukuran tertentu yang didasarkan pada ilmu medis dan pengalaman. c. Kewajiban-kewajiban
yang
berhubungan
dengan
tujuan
ilmu
kedokteran Tujuan ilmu kedokteran dapat dirumuskan sebagai upaya untuk menyembuhkan dan mencegah penyakit, artinya bahwa dokter harus melakukan tindakan medis yang ada gunanya, yaitu yang mengandung kemungkinan untuk menyembuhkan pasien, atau untuk menghentikan proses penyakit, atau untuk mencegah suatu penyakit,. Selanjutnya untuk meringankan penderitaan, artinya bahwa dokter harus berusaha sebanyak mungkin mencegah timbulnya penderitaan pada pasien sebagai akibat suatu tindakan medis. Dan yang terakhir mengantar pasien (comforting) termasuk mengantar menghadapi akhir hidup. d. Kewajiban-kewajiban
yang
berhubungan
dengan
prinsip
keseimbangan. Dokter harus menjaga keseimbangan antara tindakan-tindakan dengan tujuan yang ingin dicapai dengan tindakannya tersebut. Misalnya melakukan suatu tindakan diagnostic yang berat terhadap suatu penyakit yang relatif ringan, tidaklah memenuhi prinsip keseimbangan. Dokter harus selalu membandingkan tujuan tindakan medisnya dengan resiko dari tindakan tersebut dan ia harus berusaha mencapai tujuan ini dengan resiko yang kecil.
69
e. Kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan hak-hak pasien Dalam hal ini termasuk pula kewajiban-kewajiban profesi dokter untuk memperhatikan dan menghormati hak-hak pasien. Hak inilah yang merupakan hak-hak pasien dalam kontrak terapeutik. Sedangkan menurut Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan ada dua Pasal yang berkaitan dengan kewajiban seorang dokter yaitu Pasal 50 Ayat 1 dan Pasal 53 ayat 2. Pasal 50 ayat 1 menyatakan “Tenaga Kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan”. Dari perumusan pasal tersebut dapat diketahui untuk bekerja atau melakukan kegiatan kesehatan yang sesuai dengan keahlian dan kewenangannya saja. Selanjutnya ketentuan dalam Pasal 53 ayat 2 menyebutkan “Tenag Kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk memenuhi standar profesi dan menghormati hak pasien”. Penjelasan ayat 2 tersebut menyebutkan bahwa standar profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik.
BAB IV TANGGUNG JAWAB RUMAH SAKIT TERHADAP PASIEN DALAM MELAKUKAN TINDAKAN MEDIS DI RUMAH SAKIT UMUM PEMERINTAH HAJI ADAM MALIK MEDAN
A. Proses Terjadinya Informed Consent dalam Tindakan Medis Informed Concent di Rumah Sakit Umum Pemerintah Haji Adam Malik Medan terjadi pada saat pasien datang dan meminta informasi dari dokter untuk mengetahui tentang keluhan yang dideritanya. Kemudian dokter melayani dengan profesional dan tanpa membeda-bedakan status sosial dari pasien yang datang berobat kepadanya. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh dokter, maka dapat diketahui penyakit pasien tersebut dengan diagnosa dari dokter yang diperoleh atas informasi yang diberikan pasien kepada dokter. Kemudian dokter memberitahukan informasi hasil diagnosa kepada pasien disertai dengan tindakan medis yang akan dilakukan beserta kemungkinankemungkinan resiko yang akan terjadi. Apabila pasien setuju akan tindakan medis tersebut, maka dokter akan segera melakukan persiapan-persiapan yang diperlukan dalam tindakan medis tersebut. Dengan adanya persetujuan yang diberikan oleh pasien tersebut berdasarkan kesepakatan, maka terjadilah perjanjian. Perjanjian yang terjadi antara dokter dan pasien dapat digolongkan ke dalam perjanjian yang bersifat konsensuil, dimana perjanjian tersebut terjadi pada saat tercapai kata sepakat antara kedua belah pihak dan boleh Fica Indika Tamin Damanik : Tanggung Gugat Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Melakukan Tindakan Medis (Studi Kasus di Rumah Sakit Umum Pemerintah70 Haji Adam Malik Medan), 2010.
71
dibuat secara lisan maupun perbuatan atau anggapan. Kata sepakat disini dapat diartikan sepakat mengenai tindakan medik yang akan dilakukan untuk menyembuhkan penyakit yang diderita oleh pasien. Kesepakatan diberikan tanpa ada paksaan, tipuan, kekeliruan, dan penyalahgunaan keadaan oleh pihak manapun. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi : “Tiada kata sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. Pada hakekatnya hubungan hukum antara dokter dan pasien terjadi pada saat pasien datang kepada dokter dengan dilandasi niat yang baik untuk menyampaikan keluhan-keluhan yang dideritanya dengan menawarkan suatu perjanjian untuk menyebuhkan penyakitnya atau disebut penawaran. Kemudian pihak lainnya dalam hal ini dokter dengan dilandasi niat yang baik pula
memberikan
pernyataan
menerima
penawaran
untuk
berusaha
menyembuhkan penyakit pasien atau disebut penerimaan. Oleh karena itu hubungan hukum antara dokter dan pasien merupakan suatu transaksi terapeutik. Dan untuk terjadinya transaksi terapeutik ini harus ada persetujuan pasien kepada dokter yang melakukan tindakan medis terhadapnya. Persetujuan mengenai tindakan medik ini diberikan atas dasar informasi yang cukup dari dokter, dan apabila persetujuan pasien telah diberikan kepada dokter, maka untuk sahnya suatu transaksi terapeutik, sebelumnya harus dipenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu :
72
a. Kesepakatan Sepakat dari para pihak adalah tanpa paksaan, tipuan, kekeliruan maupun penyalahgunaan keadaan. Dalam hal ini sepakat harus diperoleh dari pihak dokter dan pasien setelah lebih dulu dokter memberikan informasi kepada asien mengenai tindakan medik yang akan dilakukan kepadanya. Tetapi apabila setelah mendapatkan informasi dari dokter mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadapnya, kemudian pasien menyatakan keberatan atas tindakan medik yang disarankan oleh dokter, maka dokter dalam hal ini tidak boleh memaksakan kehendaknya walaupun itu semua demi kebaikan pasien. Para dokter dalam memberikan informasi hendaknya dengan kata-kata yang mudah dimengerti oleh pasien dan tidak boleh ada unsur penipuan. Sedangkan untuk penyalahgunaan keadaan dapat saja terjadi, hal ini disebabkan adanya perbedaan kedudukan antara dokter dan pasien. Dimana dokter dianggap lebih tinggi kedudukannya dari pasien, jadi dokter dianggap paling tahu atas penyakit apa yang diderita oleh pasien daripada pasien itu sendiri. Hal ini menimbulkan dominasi dokter dalam perjanjian tersebut, yang bisa saja nantinya dapat merugikan salah satu pihak. Menurut Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata persetujuan yang diberikan dengan rasa takut, paksaan atau penipuan adalah tidak boleh dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Informasi harus disampaikan kepada keluarga terdekat dari pasien, karena dalam surat pernyataan persetujuan tindakan medik, yang harus
73
menandatangani adalah keluarga pasien atas persetujuan atau ijin dari pasien itu sendiri. Tetapi apabila pasien tidak menolak, maka operasi itu tetap tidak dapat dilaksanakan, walaupun keluarganya menyetujui. Pemberian persetujuan tersebut dapat diberikan secara lisan juga secara tertulis. Persetujuan secara lisan biasanya dilakukan apabila tindakan operasi tersebut tidak mengandung resiko yang tinggi, sedangkan persetujuan secara tertulis dilakukan apabila tindakan medis tersebut mengandung resiko tinggi. Pada dasarnya pihak yang berwajib memberikan informasi adalah dokter, tetapi pada kenyataannya
atau
dalam praktek sehari-hari, perawatlah yang kadang-kadang diberikan tugas oleh dokter untuk menyampaikan informasi. Hal ini juga diatur di dalam ketentuan Pasal 6 ayat 3 Permenkes RI No. 585 Tahun 1989 yang berbunyi “Dalam hal tindakan yang bukan bedah (operasi) dan tindakan yang tidak intensif lainnya, informasi dapat diberikan oleh dokter lain atau perawat, dengan pengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab”. Berdasarkan bunyi pasal tersebut, maka pendelegasian ini terbatas pada tindakan medis yang bukan bedah (operasi) dan bukan tindakan intensif lainnya. Penyampaian informasi kepada pasien mengenai penyakit, terapi, keuntungan dan resiko dapat menjamin terjadinya kerjasama yang baik antara dokter dan pasien. Pasien akan menentukan hal yang baik berdasarkan informasi dari dokter tersebut. Keadaan ini nantinya akan dapat memperlancar tindakan medis yang akan dilakkan oleh dokter.
74
Penyampaian informasi yang baik akan memberikan dampak yang baik juga dalam menerapkan terapi. Misalnya sebelum menyuntik pasien dengan penicilin, dokter akan bertanya apakah pasien alergi terhadap penicilin atau tidak. Hal ini juga dapat mengurangi adanya kesalahan medik (mal praktek) yang sering terjadi. Disamping persetujuan diberikan secara lisan atau tertulis ada juga persetujuan yang diberikan secara implikatif. Persetujuan ini disebut Implied Consent yaitu persetujuan yang dianggap diberikan oleh pasien tanpa dinyatakan, akan tetapi telah dapat ditarik suatu kesimpulan berdasarkan sikap tindak pidana yang bersangkutan bahwa ia memberikan persetujuannya.
b. Kecakapan Kecakapan yang dimaksud disini adalah bahwa seseorang mempunyai kecakapan persetujuan jika orang itu mampu melakukan tindakan hukum, dewasa dan tidak gila. Di dalam Permenkes RI No. 585 Tahun 1989, yang berhak memberikan persetujuan diatur dalam Pasal 8 yaitu pasien dewasa yang berusia 21 tahun atau telah menikah. Sedangkan bagi pasien dewasa yang berada di bawah pengampuan (curatele) persetujuan diberikan oleh wali atau curator, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 9. Untuk pasien di bawah 21 tahun persetujuan diberikan kepada keluarga terdekat atau induk semang. Sedangkan kecakapan yang harus dimiliki oleh dokter dalam hal ini sebagai orang yang menawarkan
75
keahliannya atau jasanya yaitu ia harus ahli dibidangnya, memiliki Surat Izin Praktek (SIP) yang dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang berwenang dimana dokter tersebut melakukan praktek, serta sehat jasmani dan rohani.
c. Suatu hal tertentu Maksudnya disini adalah bahwa di dalam transaksi terapeutik, obyek perjanjian antara dokter dengan pasien harus jelas dan tertentu. Seperti rumusan yang terdapat dalam Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa objek perjanjian tidak harus semula secara individual tertentu, tetapi cukup kalau ada pada saat perjanjian ditutup, jenisnya tertentu. Di dalam hubungan antara dokter dan pasien, yang menjadi objeknya adalah penyakit. Baik penyakit yang dapat dilihat maupun penyakit yang tidak dapat dilihat, namun setidaknya dapat dirasakan. Hal ini dapat dikatakan sama dengan listrik, dimana listrik itu ada tetapi tidak dapat dilihat. Dengan demikian dapat dianalogikan berdasarkan Arrest Hoge Raad 23 Mei 1921 yang memandang mempergunakan kekuatan listrik tanpa memakai meteran sebagai pencuri menurut undang-undang. Dari arrest tersebut dapat dianalogikan bahwa listrik itu ada tetapi tidak dapat dilihat dengan kasat mata, ada tetapi tidak dapat dilihat, hanya dapat dirasakan. Jadi antara listrik dan penyakit terdapat unsur-unsur yang sama antara lain listrik dan penyakit sama-sama ada tetapi keduanya sama-sama tidak dapat dilihat dan orang dapat
76
merasakannya. Dengan demikian bahwa keduanya terdapat kesamaan yang dapat dijadikan sebagai suatu interprestasi bahwa penyakit dan listrik tersebut dapat disebut sebagai benda, walaupun secara kasat mata tidak dapat dilihat.
d. Suatu sebab yang halal Maksudnya adalah bahwa isi dari perjanjian antara dokter dengan pasien tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, tata tertib dan kesusilaan. Dalam ketentuan Pasal 1335 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab atau sebab yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan. Menurut pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa suatu sebab adalah terlarang oleh Undangundang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Di dalam sumpah dokter juga disebutkan bahwa seorang dokter di dalam menjalankan tugas, harus dijalankan dengan cara yang terhormat dan bersusila, sesuai dengan martabat pekerjaannya sebagai dokter. Dan seorang dokter harus mengutamakan kepentingan masyarakat. Seperti misalnya seorang gigi mengadakan perjanjian untuk melakukan operasi jantung. Dalam hal ini dokter gigi tidak berwenang melakukan apapun dengan persetujuan dari pasien, walaupun telah disepakati dua belah pihak. Akan tetapi perjanjian itu tidak sah.
77
Dengan demikian apabila perjanjian antara dokter dan pasien telah memenuhi keempat syarat tersebut, maka perjanjian dianggap sah menurut hukum. Sehingga berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Pelaksanaan dan penerapan Informed Consent yang dilakukan dengan baik dan benar dapat meningkatkan mutu layanan tindakan medis, dan dapat juga melindungi dokter dari kemungkinan tuntutan atau gugatan pasien karena semua tindakan medis yang dilakukan tidak sesuai dengan pelayanan medis dan profesi. Keadaan tersebut dapat menguntungkan dokter karena dapat menghemat waktu dan mengurangi beban kerja. Apabila tindakan medis yang dilakukan ternyata menimbulkan akibat sampingan, maka hal tersebut semata-mata karena adanya prinsip ketidakpastian hasil dari setiap tindakan medis.
B. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Informed Consent pada Tindakan Medis Setiap perjanjian selalu menimbulkan hak dan kewajiban antara para pihak yang membuatnya. Dengan kata lain bahwa hak pihak pertama merupakan kewajiban pihak kedua dan sebaliknya. Begitu pula dalam hubungan hukum antara dokter dan pasien tidak lepas dari hak dan kewajiban yang harus dihormati dan dilaksanakan oleh masing-masing pihak.
78
1. Hak Pasien Rumah sakit Umum Pemerintah Haji Adam Malik Medan juga mengatur mengenai hak-hak pasien yang harus dihormati oleh dokter dan pihak rumah sakit, hak pasien tersebut antara lain : 65 a) Hak untuk mendapatkan informasi secara lengkap mengenai penyakit dan tindakan medik yang akan dilakukan terhadapnya b) Mendapatkan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan medis c) Meminta pendapat dokter atau perawat yang ada di rumah sakit d) Mendapatkan isi rekam medis e) Menolak suatu tindakan medik tertentu Apabila hal ini dikaitkan dengan ketentuan Pasal 52 UndangUndang No. 29 tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran, maka sudah memenuhi hak dari pasien, hak itu antara lain : a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis d. Mendapatkan isi rekam medis
2. Kewajiban Pasien Mengenai kewajiban pasien rumah sakit Adam Malik Medan juga mengaturnya, kewajiban tersebut harus dilaksanakan oleh pasien apabila
65
Ibid
79
pasien tersebut telah memberikan persetujuannya untuk dirawat di rumah sakit tersebut, kewajiban itu antara lain adalah : a. Pasien wajib memberikan keterangan informasi selengkap-lengkapnya mengenai masalah kesehatan yang dirasakannya b. Pasien wajib mematuhi petunjuk dan nasehat dari dokter c. Pasien wajib mentaati peraturan rumah sakit d. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan kesehatan yang diterima. Ketentuan
mengenai kewajiban pasien ini mengacu pada
ketentuan Pasal 53 Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, yang berbunyi bahwa pasien dalam menerima pelayanan pada praktek kedokteran mempunyai kewajiban : a.
Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya
b.
Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi
c.
Mematuhi ketentuan yang berlaku disarana pelayanan kesehatan
d.
Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima Selain pasien, dokter juga sebagai pihak yang menyembuhkan
penyakit pasien mempunyai hak dan kewajiban yang harus dihormati dan dilaksanakan, yaitu : 1. Hak Dokter Pihak rumah sakit Adam Malik Medan menerapkan hak dokter sebagaimana terdapat di dalam ketentuan Pasal 50 Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, yaitu :
80
a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional b. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional c. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarga pasien d. Menerima imbalan jasa atas tindakan medis yang telah dilakukan 2. Kewajiban Pasien Kewajiban dokter diatur dalam Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan di dalam PASal 50 ayat 1 dan Pasal 53 ayat 2, yaitu : Pasal 50 ayat 1 menyatakan bahwa “Tenaga kesehatan beruga menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan”. Dari perumusan itu, maka kewajiban dokter sebagai salah satu unsur tenaga kesehatan untuk bekerja atau melakukan kegiatan yang sesuai dengan keahlian dan kewenangannya saja. Selanjutnya ketentuan di dalam Pasal undang No. 23 Tahun 1992
53 ayat 2 Undang-
tentang Kesehatan yang menyatakan
bahwa “tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien”. Ketentuan ini menyatakan bahwa standar profesi adalah pedoman yang
81
harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi yang baik.
C. Kekuatan Klasula Eksonerasi dalam Informed Consent pada Tindakan Medis Sebelum dokter melakukan tindakan medis yang mempunyai resiko tinggi, terlebih dahulu harus ada persetujuan yang dilakukan tertulis dari pasien atau keluarga pasien yang tertuang dalam surat pernyataan persetujuan tindakan medis atau sering disebut dengan Informed Consent sebelum dilakukannya operasi. Bentuk dan isi dari surat persetujuan tersebut telah ditentukan oleh pihak rumah sakit. Adapun isi dari formulir persetujuan tindakan medik yang ditetapkan oleh rumah sakit Adam Malik Medan adalah sebagai berikut : “Yang bertanda tangan di bawah ini (nama, umur/kelamin, alamat) dengan ini menyatakan sesungguhnya telah memberikan persetujuan untuk dilakukan operasi terhadap diri saya dan isteri/anak/ayah/ibu saya. Yang sifat dan tujuan operasi serta kemungkinan resiko atau komplikasi akibat operasi telah dijelaskan sepenuhnya oleh dokter dan telah saya mengerti seluruhnya. Saya juga menyatakan telah memberikan persetujuan saya untuk tindakan operasi lebih lanjut apabila pada waktu pembedahan ternyata diperlukan demi keselamatan jiwa. Saya menyatakan telah memberikan persetujuan saya untuk tindakan anastesi umum, anastesi lokal untuk dapat dilakukan operasi tersebut. Oleh karena itu, apabila terjadi sesuatu sehingga terjadi kematian
82
atau cacat bagi pasien diluar kemampuan dokter sebagai manusia dalam batas-batas etik kedokteran, saya tidak akan menuntut apapun”. Di dalam formulir persetujuan operasi tersebut dirumuskan pernyataan kehendak kedua belah pihak yaitu pasien menyatakan menyetujui atas tindakan yang diusulkan oleh dokter dengan ditandatanganinya formulir tersebut oleh pihak pasien atau keluarga pasien, yang berarti bahwa pasien atau keluarganya menyetujui tindakan medis yang diusulkan oleh dokter setelah keduanya diberikan informasi yang cukup. Disini berarti telah terjadi kesepakatan antara para pihak yaitu pihak pasien dan pihak dokter. Formulir persetujuan ini memuat klasula eksonerasi. Klausula eksonerasi merupakan pembatasan tanggung jawab atau klausula yang tujuannya untuk menghindari tanggung jawab terhadap resiko-resiko yang mungkin timbul dalam pelaksanaan upaya medis, hal tersebut seringkali merugikan pihak pasien. Adapun isi dari ketentuan dalam formulir persetujuan tindakan medis tersebut yang dapat merugikan pihak pasien itu berbunyi “Apabila terjadi sesuatu sehingga terjadi kematian atau cacat bagi pasien diluar kemampuan dokter sebagai manusia dan batas-batas etik kedokteran, saya tidak akan menuntut apapun”. Klausula ini berkaitan dengan ketentuan hukum yang bersifat menambah, yaitu ketentuan yang dapat disingkirkan atau dikesampingkan para pihak dalam suatu perjanjian. Adanya kesempatan untuk menyimpangi ketentuan yang bersifat menambah itu memberikan kesempatan kepada pihak yang kuat untuk menyingkirkan tanggung jawab atau
83
mengoperkan kepada pihak lawan jadinya dengan menjanjikan klausula eksonerasi. Sekalipun syarat eksonerasi itu tidak asing dalam perjanjian yang bersifat obligatoir pada umumnya, akan tetapi di dalam perjanjian terapeutik sebetulnya dirasakan tidak etis mengingat bahwa perjanjian terapeutik merupakan perjanjian yang menyangkut jiwa manusia. Sekalipun informed consent memuat klausula eksonerasi, akan tetapi suatu hal yang dari awal perlu dipahami oleh setiap dokter adalah walaupun dalam surat persetujuan pasien terdapat klausula eksonerasi atau pembebasan dan pembatasan tanggung jawab, tidak berarti bahwa dokter telah bebas dari tanggung jawab apabila terjadi kesalahan atau kelalaian dalam pelaksanaan pelayanan upaya medis dan kalau tindakan dokter tersebut tidak sesuai dengan standar profesi medik, maka dokter dapat dimintai pertanggung jawaban dan dituntut di pengadilan. Mengenai klausula eksonerasi yang terdapat di formulir informed consent, menurut tenaga medis yang bertugas secara langsung menangani pasien-pasien yang akan menjalani operasi mengatakan bahwa, pihak rumah sakit Adam Malik Medan, pada prinsipnya tidak menerapkan secara mutlak, artinya apbila di dalam prakteknya nanti timbul suatu hal-hal yang memang merugikan pihak pasien atas tindakan medik yang dilakukan oleh dokter yang pada kenyataannya memang melanggar kode etik kedokteran, maka klausula tersebut dapat disingkirkan. Hal ini karena
pihak rumah sakit lebih
mementingkan kepada rasa kemanusiaan. Seperti contohnya pada saat seorang
84
pasien yang telah selesai menjalani operasi dan diminta untuk rawat jalan, ternyata penyakit yang diderita oleh pasien tersebut kambuh lagi, kemudian pasien tersebut datang kembali untuk meminta pertanggung jawaban dari pihak dokter yang menanganinya. Kemudian hal tersebut ditampung terlebih dahulu oleh perawat dan perawat tersebut segera memberitahukan kepada dokter yang menangani pasien tadi akan apa yang dikeluhkan pasien dan kemudian tanpa memperdulikan adanya surat persetujuan yang telah ditanda tangani pasien dan keluarganya, dokter tersebut bersedia untuk bertanggung jawab terhadap tindakan medis yang telah dilakukannya. Apabila klausula eksonerasi yang terdapat dalam surat persetujuan itu dijalankan secara mutlak, maka dokter tersebut dapat saja mengelak atau tidak mau menanggung resiko pasien, karena menurut surat persetujuan tersebut resiko ditanggung oleh pasien. Tetapi apabila hal tersebut tetap dilakukan, maka tindakan dokter tersebut bertentangan dengan kode etik (berhubungan dengan kewajiban dokter) sebagaimana diatur dalam pasal 8 yang menyatakan bahwa : “Dalam melakukan pekerjaannya,
seorang
dokter
harus
mengutamakan atau
mendahulukan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif) serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenarnya”. Dengan demikian informed consent hanya sekedar memberikan proteksi legal kepada dokter atau rumah sakit apabila nantinya dituntut oleh
85
psaien. Jadi klausula eksonerasi yang termuat dalam formulir perjanjian yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarganya pada waktu menjalankan operasi medis di rumah sakit secara yuridis tidak mempunyai arti.
D. Tanggung Gugat Rumah Sakit dan Perlindungan Hukum Para Pihak dalam Informed Concent Pada Tindakan Medis Pertanggungjawaban atas perbuatan yang telah dilakukan adalah merupakan suatu hal yang bersifaf wajib, apabila perbuatan itu dilakukan oleh yang bersangkutan dan mernbawa kerugian bagi orang lain, begitu pula dengan tindakan medis yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien. Pertanggungjawaban dokter dalam tindakan ini meliputi hukum pidana, hukum perdata, maupun hukum administrasi. 66 Akan tetapi pada kesempatan ini kami akan tekankan pada pokok pertanggungjawaban dalam aspek hukum perdata. Pertanggungjawaban ini salah satu upaya untuk memberikan jaminan kepada pasien atas tindakan yang telah dilakukan oleh dokter. Dengan adanya pertanggungjawaban mi. maka pasien akan terlindungi sehingga tidak ada kekhawatiran akan diperlakukan yang tidak semestinya atau tidak wajar. Sedangkan pertanggungjawaban dokter pada aspek hukum pcrdata ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: tanggungjawab hukum atas kerugian berdasarkan pcrbuatan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. 67 Di dalam proses perdata yang menyangkut seorang pasien kepada dokter yang 66 67
Fred Ameln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta, 1991, hlm.14 Ibid
86
menanganinya, hampir dapat dipastikan mengenai ganti kerugian. Hal ini disebabkan karena pertanggungjawaban pcrdata bertujuan untuk mcmperoleh kompensasi atas kerugian yang diderita pasien disamping untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
4.1. Tanggugjawab Dokter terhadap pasien berdasarkan Wanprestasi Seseorang dapat dikatakan telah melakukan tindakan wanprestasi apabila yang bersangkutan tidak bisa memenuhi apa yang telah diperjanjikan, begitu pula dengan dokter. Seorang dokter dikatakan telah melakukan perbuatan wanprestasi apabila dokter tersebut tidak melaksanakan hal-hal yang telah menjadi kewajibannya dengan melakukan suatu kesalahan profesional dan dapat dipertanggungjawabkan dengan membayar ganti kerugian. Akan tetapi ketika gugatan terhadap dokter yang dilakukan oleh pasien dengan dasar gugatan wanprestasi dalam hal ini harus dibuktikan terlebih dahulu apakah dokter tersebut telah melakukan perjanjian terapeutik terlebih dahulu yang dapat membuktikan bahwa dokter tersebut telah melakukan wanprestasi. Tentunya dengan standar pembuktian secara profesional. Untuk melakukan suatu gugatan terhadap dokter dalam hal terjadi wanprestasi dapat dilakukan apabila: 68 a. Adanya kelalaian yang dilakukan oleh dokter dalam menangani pasien b. Adanya keruyion yang ditimbulkan
68
Ibid
87
c. Adanya hubungan sebab akibat atau causa antara kerugian yang ditimbulkan dengan kelalaian. Jika pasien mengetahui adanya hal-hal yang dirasa janggal dalam proses tindakan mcdis atau tidak scsuai dengan apa yang tclah diperjanjikan, dalam hal ini adalah perjanjian terapeutik yang termasuk dalam perjanjian konsensual yaitu perjanjian yang terjadi dimana adanya suatu kesepakatan antara dua pihak mengenai hal-hal pokok dalam perjanjian terapeutik tersebut. Mengenai bentuk-bentuk persetujuan dalam perjanjian terapeutik ada 2 macam, yaitu: a. Tindakan medis yang tidak mempunyat restko tinggi, cukup dengan perjanjian secara lisan b. Sedangkan untuk tindakan medis yang mempunyai resiko tinggi, bentuknya baku, persetujuan yang dituangkan dalam bentuk tertentu tersebut isinya telah disetujui oleh para pihak. Bahwa setiap tindakan medis yang mengandung resiko tinggi harus diberikan suatu persetujuan dimana itu merupakan bagian dari perjanjian terapeutik. Apabila dalam kcnyataannya terjadi suatu gugatan yang dilakukan pasien terhadap dokter, maka untuk proses pembuktiannya berbeda dengan pembuktian seperti pada kasus-kasus biasa yang tidak menyangkut medis. Untuk pembuktian yang berkaitan dengan kasus-kasus medis ini dilakukan oleh Ikatan Dokter Spesialis, kemudian juga Ikatan Dokter Indonesia serta Majelis Kode Etik Kcdokteran. Ketiga institusi tersebut bersifat netral saja artinya ketiga institusi itu meneliti apakah tuduhan itu benar dari penggugat
88
terhadap dokter atau tergugat. Bila tuduhan itu mengandung unsur kebenaran, maka lembaga itu hanya bersifat sebagai saksi ahli dan akan membenarkan gugatan yang diajukan oleh penggugat atau pasien. Lain halnya apabila setelah rneneliti, lembaga itu menemukan bahwa gugatan yang diajukan oleh pasien atau penggugat itu tidak terbukti, maka lembaga itu akan membela doktcr yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan Pasal 45 ayat 1 dan 2 UndangUndang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
4. 2. Tanggung jawab Doktcr terhadap Pasien berdasarkan Pcrbuatan Melawan Hukum Menurut R.M. Soedikno Mcrtokusumo meskipun dokter telah memberi informasi dan pasien telah menyetujuinya, namun berdasarkan asas volenti non fit intura yang bcrarti barang siapa yang bersedia menanggung resiko, maka ia tidak dapat mcnuntut apabila resiko itu terjadi. Hal ini tidak dapat diberlakukan begitu saja mcngingat transaksi terapcutik melibatkan nyawa manusia. Dengan itu dokter diharuskan untuk melakukan tindakan yang terbaik bagi pasien, karena dokter mempunyai tanggung jawab moral yang tinggi kepada pasien artinya sekalipun pasien sudah setuju untuk mengambil resiko terburuk yang akan menimpanya. Pada pertanggungjawaban dokter berdasarkan perbuatan melawan hukum bermula atas unsur kesalahan sendiri (schuld wel zelfstnding vereiste). Dalam gugatan yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum, tindakan dokter haras dapat dipersalahkan menurut hukum. Didalam Pasal 1265 Kitab
89
Undang-undang Hukum Pcrdata mcmberikan pcngaturan apabila terjadi perbuatan melawan hukum. Dari kctentuan diatas disebutkan bahwa sesuatu perbuatan itu dikatakan melawan hukum apabila memenuhi unsur-unsur: a. Perbuatan itu harus melawan hukum b. Harus ada kelalaian atau kesalahan c. Harus ada kerugian yang ditimbulkan d. Harus ada hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian Berdasarkan unsur tersebut, seseorang dapat melakukan tanggung gugat keperdataan karena perbuatan melawan hukum. Pada gugatan perbuatan melawan hukum, dapat dilakukan karena kesalahan dalam menjalankan profesi didasarkan atas dua macam, yaitu: 1. Kesalahan atas dasar ketentuan profesional a. melalaikan kewajiban b. mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh tenaga kesehatan 2. Kesalahan atas dasar ketentuan Undang-Undang a. Mengabaikan sesuatu yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh seorang tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya maupun mengingat. sumpah tenaga kesehatan. b. Melanggar salah berdasarkan undang-undang. Perbuatan melawan hukum bukan hanya berarti semata-mata perbuatan melawan hukum positif saja, melainkan juga suatu perbuatan yang bertentangan dengan
90
norma kepatutan, norma ketelitian, dan norma kehati-hatian dalam rnasyarakat.
4.3. Tanggung
jawab
Perdata
Dokter
tcrhadap
Pasien
daiatn
Pelaksanaan Tindakan Medis Tanggung jawab dokter ini terjadi jika pasien yang sedang ditangani menggugat untuk ganti rugi atau suatu perbuatan yang mcrugikan pasien tcrsebut. Dari keterangan tcrsebut diatas, maka dipctoleh data berdasarkan hasil riset dilakukan di Pengadilan Negcri Medan atas kasus tersebut, yaitu mengenai masalah ganti rugi tcrhadap Dokter dan Dircktur rumah sakit Umum Pemerintah Haji Adam Malik Medan dengan nomor perkara No. 85/PDT.G/i990/PN.MDN. Atas gugatan yang diajukan oleh Muhammad Halmi, SE, Penggugat asli dan Ny. Haina ini sesuai dengan Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 1990 Tentang Perlindungan Konsumen.
E. Kasus Posisi dan Pertimbangan Hakim 1. Penggugat, meresa telah ditipu oleh Tergugat dibohongi dan tidak berlaku jujur dalam menjalankan profesi dokter spesialis kandungan terhadap Nyonya Haina pada awal pemasangan IUD sampai dengan terjadinya kehamilan yang berakibat dilakukannya pengkiretan (pembersihan janin) dan tidak bisa membuktikan serta memperlihatkan alat kontrasepsi yang berhasil dikeluarkan oleh Dokter. Hal ini penggugat telah mengalami kerugian material dan immaterial serta menuntut bersalah telah melakukan
91
perbuatan melawan hukum dan wanprestasi dengan ganti kerugian total Rp. 105.647.820,00 dengan masing-masing terlampir. Dalam hal ini Penggugat telah mengalami kerugian material dan immaterial serta menuntut bersalah telah melakukan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi dengan ganti kerugian total Rp. 105.647.820,00 dengan masing-masing terlampir. 2. Tergugat Ny. Haina sebagai Penggugat dalam surat dakwaan tanpa pernah disebut sebagai Penggugat II. Pcnyusunan kedudukan Pergugat dalam surat gugatan ternyata tidak lengkap dan tidak sistematis tentang dasar hukum perbuatan melawan hukum. Surat kuasa Penggugat yang menurut Tergugat tidak cocok dengan isi dan dasar gugatan.
(Pertimbangan hakim) 1. Pengadilan Negcri Medan Majelis Bcrpendapat : Ny. Maina itu adalah sepasang suami-isteri, cara penyusunan yang dibuat penggugat tentang subyek-subyek hukum dan dituangkan dalam surat gugatan tanggal 1 September 1990 adalah sudah tepat, pihak penggugat sebetulnya sudah memasukkan materi gugatan tersebut meliputi wanprestasi dan juga telah berbuat melawan hukum karenanya itu ganti kerugian tersebut adalah tanggung renteng maka besarnya uang ganti kerugian telah jelas disebutkan dalam surat gugatan penggugat. Bahwa sebelum pelaksanaan kuretisasi telah ada yaitu surat persetujuan medik, persetujuan itu sudah dibuat sebelum bcrtindak dan
92
doktcr sudah memberitahukan apa penyakitnya, serta akibat-akibatnya dan pasien menyetujuinya itu yang disebut "Informed Consent" di Indonesia hal diatas itu sudah rnerupakan pcrjanjian medik berlaku secara yuridis formal adalah sah menurut hukum PP No. 18 tahun 1981 serta diatur lebih khusus lagi lewat Peraturan Menteri Kehakiman RI No. 585/ MEN.KES/ PER/IX/1989 tertanggal 4 September 1989 tentang Pcrsctujuan Tindakan Medik. Itu terbukti yaitu adanya surat persetujuan dibuat sebelum tindakan tersebut. Namun kenyataannya., secara yuridis terbukti dimana
dokter
setelah
melakukan
tindakan
tersebut
hcndaknya
membcrikan kondisi terakhir dimana si pasien juga perlu tetapi tidak dilakukan olehnya dan pemberian penjelasan tentang kuretisasi tidak ada maka si pasien merasa bahwa tindakan tersebut sudah final dan sclesai dengan adanya kclalaian tadi, pcrbuatan dokter sangat terkait dengan wanprestasi. Wanprestasi adalah perbuatan seseorang yang tidak dapat dilaksanakannya prestasi dengan apa yang telah dijanjikan. Dalam hal ini meliputi, yaitu : 1. Tidak memberikan prestasi sama sekali 2. Terlambat memberikan prestasi 3. Melakukan prestasi dengan tidak memenuhi ketentuan. Kcmudian
majelis
menemukan
bukti
adanya
perbuatan
wanprestasi, terbukti dilakukannya wanprestasi khususnya melakukan mengenai prestasi, tetapi tidak terpenuhinya ketentuan-ketentuan di atas
93
yaitu nyata-nyata dokter telah tidak memenuhi kewajibannya yang timbul dari suatu perjanjian itu. Bila gugatan ini masih dalam perbuatan melawan hukum, maka harus dipenuhi 4 syarat adalah : 1. Adanya kelalaian dari si pclaku 2. Harus terjadi kcrugian 3. Ada hubungan kausal antara kerugian dengan kelalaian 4. Perbuatan harus melawan hukum Dengan uraian di atas, maka majelis berpendapat walaupun telah lama dan senior dalam bidang kedokteran khususnya spesialis Obgyen (kebidanan dan kandungan) bila saat itu juga terjadi suatu perbuatan wanprestasi maka secara yuridis dia wajib untuk bertanggung jawab secara yuridis, maka dalam hal ini dokter tersebut tidak dapat mengelak dan harus mampu mempertanggung jawabkan perbuatannya tanpa memandang waktu dan kemampuannya dia menjalankan profesinya. Masalah Ganti Kerugian : Majelis menjatuhkan ganti kerugian yang ditujukan kepada Tergugat II (R.S
Adam Malik Medan) yang
menaungi Tergugat 1 (dr. Subroto) adalah materiil sebesar Rp. 5.674.820,00, dengan gugatan berupa tanggung renteng dengan sejumlah uang dan rincian terlampir di atas.
2. Pengadilan Tinggi Negeri Medan Majelis berpendapat : Dalam hal ini hakim tinggi menguatkan putusan PN Medan, dengan adanya di tarnbah keterangan saksi ahli yaitu Dr. Sulehan
94
Sofoewan Ph.D. dimana seharusnya setelah diadakan kuretisasi agatpasien untuk menunggu 1 atau 2 hari untuk dapat memastikan bahwa rahim itu telah bersih dari janin serta tidak ada infeksi, baru diberikan ijin pulang. Dalam hal ini tergugat menunjukkan suatu perbuatan kekurang hati-hatiannya dalam menangani tindakan kuretisasi tcrscbut. Dalam hal ini Pengadilan Tinggi serta rnengacu Pasal 1367 alinea 3 yaitu tanggung renteng dibebankan pada Tergugat I dan II. Dari amar putusan Hakim pertama tersebut dapat menyctujui tentang perbuatan wanprestasi, dimana Pengadilan Tinggi dapat juga menyetujui alasan serta pertimbangan Hakim pertama, baik yeng menyangkut sejumlah ganti kerugian yang dikabulkan maupun penolakan gugatan selebihnya, setelah sebelumnya diambil alih Pengadilan Tinggi di dalam putusan dan menetapkan dimana Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Masalah Ganti Kcrugian : Menyetujui sejumlah ganti kerugian Rp. 5.674.820,00. dimana persetujuan tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Negeri dengan lampiran biaya tersebut diatas.
3. Mahkamah Agung Majelis berpendapat : Bahwa Pengadilan Tinggi Negeri hanya membaca memori banding saja tidak membahas dan mempertimbangkan isi putusan Pengadilan Negeri. Dan menurut hakim tinggi itu sudah tepat untuk penerapan hukum dan hukum yang berlaku. Bahwa Pengadilan Tinggi Negeri telah melakukan kekeliruan pemeriksaan tambahan dengan
95
memanggil saksi ahli tetapi pada hasil akhimya Mahkamah Agung tidak bisa mempertimbangkan putusan tapi hanya sebatas penerapan UndangUndang dan pelaksanaan hukumnya. Pengadilan Tinggi Negeri tidak menelaah keberatan pembanding tetapi langsung menyetujui dan mengganggap putusan Pengadilan Negeri Medan sudah tepat dan benar. Dimana penggugat kasasi keberatan atas penilaian Majelis Hakim Tinggi dimana tergugat 1 menyatakan pengkuretan itu telah selesai dan penggugat II boleh pulang esok harinya. Pada suatu kenyataan dimana pemeriksaan pada tingkat kasasi ini hanya berkenaan dengan tidak dilaksanakan atau ada kesalahan dalam pelaksanaan hukum sebagaimana di atur dalam Pasal 30 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985. Masalah Ganti Kerugian : Dalam kasasi ini gugatan penggugat dikabulkan sebagian, scrta masalah ganti kerugian Hakim kasasi sesuai serta mcnguatkan Pengadilan Ncgcri yaitu Rp. 5.674.820,00 dengan rincian terlampir, dimana Tergugat telah mclakukan pcrbuatan melawan hukum dan wanprestasi.
F. Analisa Yuridis Untuk membuktikan apakah tergugat benar-benar telah melakukan kesalahan dengan tidak memberitahukan kepada penggugat mengenai pcnyakit yang didcrita melalui pembuatan perjanjian medis atau informed consent sebelum dilakukan opcrasi maupun kesalahan di dalam tindakan
96
medis, maka diperlukan alat-alat bukti dalam hal ini sesuai dengan Pasal 1866 BW untuk mendukung, maka dapat disebutkan scbagai berikut: 1. Alat bukti tertulis (surat) 2. Kesaksian 3. Persangkaan-persangkaan 4. Pengakuan 5. Sumpah 6. Keterangan ahli 7. Pemeriksaan setempat Pertanggung jawaban dokter di dalamnya terdapat dua hal yang harus diperhatikan, yaitu Indikasi medis dan Persetujuan medis. Jika sesuai dengan indikasi medis, maka dokter memandang perlu untuk dilakukan operasi, maka tindakan operasi yang menyebabkan luka atau cacatnya dapat dibenarkan karena indikasi medis tersebut merupakan suatu cara penderita atau pasien dapat disembuhkan. 69 Sebclum memutuskan apakah perbuatan dokter tersebut merupakan perbuatan melawan hukum atau tidak harus dilihat mengenai kriteria perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu : 1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku 2. Melanggar hak subyektif orang lain 3. Melanggar kaidah tata susila
69
Fred ameln, Op cit….hlm. 167
97
4. Bertentangan dengan asis kepatutan, asas ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan sesama warga masyarakat atau tcrhadap benda-benda orang lain. Sedangkan unsur kesalahan di dalam Pasal 1365 Kitab UndangUndang Hukum Perdata ialah si pelaku pada umumnya harus bertanggung jawab karena ia mcnginsyafi akibat dari perbuatannya. Adapun tanggung jawab perdata atas kerugian yang diderita orang lain itu mencakup tiga hal, yaitu: 1. Tanggung jawab berdasarkan atas kesalahan (schuld aan sprakellijkheid) yang bertumpu pada dua kriteria, yaitu: a. melanggar hukum dan kesalahan (karena melanggar hukum si pelaku dipersalahkan) b. karena ia mengabaikan perbuatan melanggar hukum tersebut. 2. Tanggung jawab berdasarkan kesalahan dengan pembalikan beban pembuktian (schuld aan sprakellijkheid met omkering van de beeijslast). Dalam hal ini penggugat tidak perlu membuktikan bahwa tergugat tidak cukup hati-hati, tetapi sebaliknya tergugat yang wajib membuktikan untuk menghindari tanggung gugat serta telah cukup berusaha untuk hati-hati sehingga ia tidak dipersalahkan. 3. Tanggung gugat berdasarkan resiko (resiko aan sprakellijkheid), yaitu merupakan tanggung gugat yang dipertajam dimana pertanggung jawaban itu yang diakibatkan kcrugian tanpa melakukan pcrbuatan melanggar hukum atau kesalahan.
98
Dari keterangan di atas, maka oleh para Hakim tingkat I sampai tingkat kasasi dapat kita simpulkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Tergugat I dan II dalam hal melakukan tindakan kuretisasi adalah sudah tepat, namun dari tindakan itu, pemberian informasi medis dan kondisi terakhir pasien tidak dijelaskan, dan mengenai tindakan apa yang telah dilakukan, maka terjadi suatu resiko dalam tindakan tersebut di atas dengan adanya suatu kealpaan, maka resiko ini termasuk pada kriteria resiko pada Pasal 1365 butir 4 yaitu bertentangan dengan asas kepatutan, asas ketertiban, scrta sikap kurang hatihati yang seharusnya dimiliki seorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap benda orang lain. Hal di atas tentunya telah dikuatkan dengan argumentasi hakim. Mengcnai ganti kerugian, Hakim menerima dan mengabulkan untuk sebagian, dimana mcnurut pertimbangan Hakim, kerugian didasarkan atas beban selama perawatan si pasien di rumah sakit dan putusan itu juga dikuatkan dengan biaya perawatan yang akan ditanggung oleh pihak Tergugal 1 dan II, serta mengenai biaya yang lain hakim memberikan urusan tersebut untuk dibicarakan secara intern yaitu si Penggugat dengan Pengacaranya.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kcsimpulan Pada akhirnya dapat diambil suatu kesimpulan dari apa yang telah dikemukakan di atas, bahwa pada dasarnya komunikasi antara dokter dan pasien sangat diperlukan khususnya dalam upaya melakukan tindakan medis, dimana sebelum melakukan tindakan tersebut dibutuhkan suatu informasi yang jelas dan lengkap dari pasien mengenai penyakit apa yang dideritanya kemudian untuk diberikan kepada dokter agar dapat diketahui bagaimana cara penanganannya. Selain pasien, dokter juga dituntut untuk memberikan informasi yang jelas tentang penyakit apa yang diderita oleh pasien serta tindakan apa yang akan dilakukan oleh dokter dalam penanganan medis tersebut, ini sering disebut Informed Consent. Disini peran dokter dalam memberikan informasi sangat dibutuhkan oleh pasien, dan pasien menaruh kepercayaan kepada dokter, disinilah timbul suatu perjanjian antara dokter dan pasien yang disebut dengan perjanjian terapeutik. 1.
Apabila pada akhirnya terjadi sengketa antara pasien dengan dokter atas tindakan medis yang dilakukan dokter dan menimbulkan kerugian pada pasien, maka sengketa tersebut dapat dilakukan dengan cara perdamaian terlebih dahulu antara dokter dan pasien tersebut, tetapi apabila melalui jalan perdamaian tidak bisa, maka dapat mengajukan gugatan, atau dapat juga melalui instansi yang berwenang yang menaungi dokter tersebut. Apabila melalui instansi tersebut, maka instansi tersebut harus membuktikan apakah
Fica Indika Tamin Damanik : Tanggung Gugat Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Melakukan Tindakan Medis (Studi Kasus di Rumah Sakit Umum Pemerintah 99 Haji Adam Malik Medan), 2010.
100
gugatan itu benar atau tidak, apabila gugaten tersebut benar, maka lembaga itu hanya bcrsifat sebagai saksi ahli dan akan membenarkan gugatan yang diajukan oleh penggugat atau pasien. Lain halnya apabila setelah meneliti, lembaga itu menemukan bahwa gugatan yang diajukan oleh pasien atau penggugat itu tidak terbukti, maka lembaga itu akan membela dokter yang bcrsangkutan. Hal ini sesuai dengan Pasal 45 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Dan pada akhirnya Hakim memutuskan bahwa menghukum bersalah pada Tergugat I dan II atas perbuatan wanprestasi dan melawan hukum dengan membayar ganti kerugian berdasarkan tanggung renteng. 2.
Adanya klausula eksonerasi yang terdapat dalam formulir persetujuan tindakan medik, dapat disingkirkan oleh para pihak, apabila di dalam prakteknya timbul hak-hak yang sangat merugikan pihak pasien atas tindakan medis yang dilakukan oleh dokter yang melanggar Standar Profesi Kedokteran dan bertentangan dengan hukum serta kode etik kedokteran. Schingga dapat menjamin perlindungan hukum bagi pihak pasien yang merasa dirugikan dengan adanya klausula ekonerasi dalam informed consent tersebut.
B. Saran 1. Perlunya penyusunan standar pendidikan profesi dokter yang dilakukan oleh kolegium kedokteran dengan mengikutsertakan asosiasi institusi pendidikan
101
kedokteran dalam rangka memberdayakan dan menjamin kualitas pendidikan kedoktcran yang diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran. 2. Adanya penyusunan perundang-undangan yang mengatur secara spesifik soal kesalahan dalam tindakan medis yang dilakukan oleh dokter. Sehingga benarbenar memberikan perlindungan kepastian hukum baik kepada pasien maupun dokter, sehingga kedua belah pihak merasa terjamin hak-haknya.
DAFTAR PUSTAKA
Ameln Fred, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta, 1991. Amir, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Widya Medika, Jakarta, 1997. Dahlan Sofwan, Hukum Kesehatan Rambu-Rambu Bagi Profesi Dokter, BP UNDIP, Semarang, 2002. Djamali Abdul, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Google Web, Jakarta 2009. Fuady Munir, Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporor), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002. Guwandi, J., 208 Tanya Jawab Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent), Edisi Kedua, FKUI, Jakarta,1994 102 . Guwandi, J, Dokter dan Hukum, Monella, Jakarta, 1989. Hanafiah, M. Jusuf, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafika Tama, Jakarta, 1991. Koeswadjir Hermein Hadiati, Hukum Kedokteran, PT. Citra Bandung, 1998.
Aditya Bakti,
Koeswadjir Hermein Hadiati, Hukum untuk Perumahsakitan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002. Komalawati Veronica. D., Hukum dan Etika Dalam Praktek Dokter, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1989. Meijn Van Der, Issues Of Health Law, Tim Pengkaji Hukum Kesehatan, Google Web, Jakarta 2009. Mertokusumo Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1988. Muhammad Abdulkadir , Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990. Purwandianto Agus, Urgensi Undang-Undang Praktek Kedokteran bagi Masyarakat, Sebuah tinjauan Jurnal Hukum Bisnis volume 23, No. 2 Tahun 2004.
Fica Indika Tamin Damanik : Tanggung Gugat Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Melakukan Tindakan Medis (Studi Kasus di Rumah Sakit Umum Pemerintah Haji Adam Malik Medan), 2010.
103
Satrio, J., Hukum Perjanjian yang lahir dari perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995. Setiawan, R., Pokok Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1992. Soedewi M.S, Sri., Hukum Perutangan Bagian A, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1980. Sofwan Sri Soedewi Masjchoen, Kumpulan Kuliah Hukum Perjanjian, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1980. Subekti, R., Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1985 Subekti,R., Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990. Subekti, SH, Prof., Pokok-pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, 1994. Verbogt, S. dan F. Tengkor, Bab-bab Hukum Kesehatan, Nova, Bandung 1981. Yahya, MARS, Adib. A., Ketua Umum PERSI, Mantan Kepala RSPAD Gatot Subroto, Pelayanan Rumah Sakit: Dokter Telah Memberikan “Informed Consent”, apa itu?, Diakses pada tanggal 8 Oktober 2005. Zoelfirman, Kebebasan Berkontrak versus Hak Asasi Manusia (Analisis Yuridis Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) UISU Press, Medan, 2003.
.
104