Abdullah Dahlan: Jabatan Publik Lumbung Kekayaan Wednesday, 02 December 2009 21:43
{mosimage}
Abdullah Dahlan, Peneliti Divisi Korupsi Politik ICW |
Baru saja menjadi menteri gaji sudah akan dinaikkan. Salah satu alasannya agar tidak korupsi. Benarkah dengan menaikkan gaji penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik korupsi akan hilang? Untuk membahas itu wartawan Tabloid Media Umat Joko Prasetyo berbincang-bincang dengan Abdullah Dahlan, Peneliti Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruptions Watch. Berikut petikannya.
Tanggapan Anda terhadap rencana kenaikkan gaji pejabat publik, khususnya menteri, per 1 Januari 2010?
Sangat disesalkan. Padahal baru saja menteri-menteri itu dilantik. Di samping itu, gaji ini dinaikkan di saat masyarakat justru dalam kondisi sosial ekonomi yang belum stabil. Jadi tidak ada rasa empatinya.
Mestinya rasa untuk keberpihakan dan orientasi menjadi pejabat publik ke arah solusi berbagai masalah yang menerpa negeri ini. Ini ironis sekali. Belum menunjukkan kinerja, tetapi sudah ada upaya untuk meningkatkan fasilitas bagi pejabat publik.
Seharusnya yang lebih diprioritaskan adalah kerja dan kerja target program dalam pemerintahan yang baru terbentuk ini. Harusnya itu dulu.
1/5
Abdullah Dahlan: Jabatan Publik Lumbung Kekayaan Wednesday, 02 December 2009 21:43
Bagaimana menurut Anda kinerja pejabat publik selama ini?
Secara umum pejabat itu kan ada pejabat tinggi negara, ada pejabat birokrasi eselon satu, dua dan seterusnya. Nah dari pengamatana kami, banyak persoalan anggaran penyelenggaraan negara pada masing-masing departemen dan kementerian.
Sejak tahun 2004 sudah cukup banyak Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) itu yang terjadi persoalan. Dari hasil audit BPK ada lembaga yang kami nilai disclaimer alias tidak bisa diaudit. Bahkan terlihat banyak cacat dalam pengelolaan uang negara tersebut. Jumlahnya itu banyak lebih dari 50 persen departemen mendapat predikat disclaimer.
Artinya, departemen atau kementerian tersebut di dalam pengelolaan anggaran negara, ada persoalan. Nah, bagi kita berarti ini kan salah satu indikasi bahwa lembaga tersebut tidak berjalan dengan baik. Itulah persoalan yang mendasar di internal birokrasi negara kita.
Harusnya, melihat peta persoalan yang seperti itu, ini kan agenda reformasi, adalah target yang harus dibenahi. Sayangnya pendekatan yang digunakan pemerintah adalah cara pintas karena namanya reformasi birokrasi harus dinilai dari peningkatan gaji dan fasilitasnya. Setelah itu baru melakukan agenda reformasinya.
Tidak ada jaminan juga kenaikan gaji dan fasilitas itu membuat proses reformasi birokrasi itu berjalan dengan baik. Contohnya BUMN dengan gajinya yang ratusan juta itu tapi kita tahu kinerja mereka tidak bagus, perusahaannya merugi terus.
Jadi kenaikan gaji itu baru efesien untuk mencegah terjadinya korupsi yang kecil-kecil yang terjadi di tingkat birokrasi bawah. Karena gajinya kurang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari jadi korupsi.
Tapi bagi pejabat publik yang gaji dan fasilitasnya sudah besar, instrumen kenaikan gaji tidak berpengaruh untuk membuat mereka tidak korupsi. Jadi bukan karena kebutuhannya tidak tercukupi tetapi keinginannya itu yang selalu tidak puas.
2/5
Abdullah Dahlan: Jabatan Publik Lumbung Kekayaan Wednesday, 02 December 2009 21:43
Apakah ada hubungan antara jabatan dengan cari uang?
Selain sangat pristisius, memang sangat dimungkinkan orang bercita-cita menjadi pejabat publik kan memang menginginkan itu. Karena jabatan tersebut merupakan lumbung sumber kekayaan, itu tidak bisa dipungkiri.
Karena ketika kekuasaan atau kewenangan yang besar dimiliki oleh orang-orang yang seperti itu maka potensi mendapatkan keuntungan dari situ juga sangat besar.
Bagaimana hubungan antara pejabat dengan pengusaha?
Kita juga lagi mendorong bagaimana adanya upaya untuk mencegah konflik kepentingan antara pejabat publik dengan ranah yang lain, baik itu partai politik maupun kelompok bisnis.
Saya kira tidak menutup kemungkinan, pejabat publik yang mempunyai bisnis juga cukup banyak. Dan bisnisnya sangat diuntungkan ketika mereka menduduki jabatan publik. Bisnis yang mereka miliki punya peluang yang jauh lebih besar untuk berkembang.
Duduknya seorang pengusaha di jabatan publik, secara logika kan dia mempunyai kekuasaan dan kewenangan untuk mendistribusikan program-program kerja kementerian atau lembaga yang mempunyai relasi bisnis. Jadi itulah dampak yang melekat bagi pejabat publik yang memiliki bisnis baik secara langsung maupun tidak langsung.
Jadi terjadilah iklim yang tidak sehat, relasi pejabat berbisnis. Nuansa kesetaraan dalam berbisnis tidak terbangun secara fair lagi karena ada intervensi dari pejabat tadi.
Bisa Anda ungkapkan modus-modus penyelewengan kekuasaan?
3/5
Abdullah Dahlan: Jabatan Publik Lumbung Kekayaan Wednesday, 02 December 2009 21:43
Misalnya, pada penyusunan anggaran. Sesaat ketika diimplementasikan anggaran, proses-proses alokasi anggaran, khususnya di bidang yang ada di kementerian atau lembaga yang kita temukan ada yang sangat kasad mata ada pula yang modusnya adalah seolah-olah formal dengan ikut tender.
Perusahaan milik pejabat pun ikut tender ketika akan memperebutkan menjalankan program yang ada di lembaga tersebut. Namun tetap saja terjadi intervensi dari pejabat publik terkait, untuk memenangkan salah satu perusahaan yang terkait relasi bisnis dengan pejabat publik tersebut.
Modus lainnya lagi adalah meneria suap dan mendapatkan gratifikasi, suatu pemberian dari pihak tertentu kepada seorang pejabat publik karena kewenangan yang dimiliki pejabat publik tersebut. Sedangkan suap adalah pemberian yang diberikannya itu dengan maksud dan tujuan tertentu.
Contoh gratifikasi adalah misalnya seorang menteri menikahkan anaknya, kemudian seorang pengusaha mitra si pejabat tersebut memberikan uang Rp 50 juta misalnya.
Nah, kalau sesuai dengan ketentuan UU No. 31 Th. 1999 dan UU No 21 Th 2000 itu , si pejabat publik itu maksimal 30 hari kemudian sudah harus melaporkan dan menyerahkan uang tersebut kepada negara. Kalau tidak berarti itu sudah bukan gratifikasi lagi tetapi suap.
Jadi kalau menerima lebih dari Rp 500 ribu atau menerima parcel atau apa pun yang lebih dari Rp 500 ribu itu sudah terkategori gratifikasi. Nah, untuk itu perlu kejujuran dari si pejabat. Namun sayang langka sekali pejabat yang seperti itu, yang melaporkan bahwa dirinya mendapat gratifikasi.
Adakah mekanismenya, ya minimal untuk mengurangi gratifikasi?
Ya itulah yang menjadi persoalan besar di negeri ini. Moralitas pejabat publik itu dipertanyakan. Salah satu mekanismenya ialah memaksimalkan peran Laporan Harta Kekayaan Pejabat
4/5
Abdullah Dahlan: Jabatan Publik Lumbung Kekayaan Wednesday, 02 December 2009 21:43
Negara di KPK. LHKPN ini seharusnya jangan hanya mempercayai begitu saja laporan yang diberikan pejabat publik seperti yang dilakukan selama ini.
Setiap tahun harus meng-update atau memperbarui data harta kekayaan pejabat. Harus ada upaya dari KPK untuk mendata dan menginvsetigasi kebenaran data yang dilaporkan pejabat negara tersebut. Karena seringkali pejabat negara ini memiliki harta kekayaan dengan nama istri, anak, atau kerabatnya.
Pengalaman saya waktu investigasi pejabat publik dulu, ada seorang pejabat yang mempunyai empat unit rumah. Yang dilaporkan ke KPK hanya dua. Terus ketika ditanya, bukannya empat? Pejabat itu bilang, oh yang dua itu punya anak saya. Tapi yang aneh bagi saya, anak yang dimaksud itu baru kerja. Dari logika pendapatan, sang anak bekerja di perusahaan apa, jabatan apa, gaji berapa, sudah berapa lama. Nah kesimpulannya mustahil anak itu sudah bisa beli rumah semewah itu.
Bila LHKPN-nya sudah berjalan dengan baik. Maka dari situ nanti bisa dilihat pertambahan hartanya wajar atau tidak. Kalau tidak wajar berarti itu berkaitan erat dengan gratifikasi, suap atau penyalahgunaan wewenang lainnya. []
5/5