NOTULENSI RAPAT KOMISI III SENAT AKADMEIK ITB Hari/Tanggal: Rabu, 12 Februari 2014 Waktu: 13.00-15.00
Rapat dibuka 13.00 Rencana Agenda Rapat 1) Sedikit dari Ketua Komisi 2) Mekanisme Kerja Komisi III a. Proses penilaian usulan pangkat/jabatan dosen (yang efektif tanpa mengorbankan kulitas) b. Penyeragaman/sosialisasi SOP usulan kenaikan pangkat/jabatan ke semua fakultas c. Usulan-usulan lain membangun 3) Paparan Pak Joko Siswanto Pak Mikra: 1) Komisi III sangat berperan dalam menentukan “karir” dosen ITB. 2) Naik pangkat/jabatan adalah hak dosen yang telah memenuhi syarat. Harus mudah, terlepas dari apakah dosen tersebut akan mengajukan atau tidak 3) Banyak dosen yang sudah lama mengusulkan kenaikan pangkat (tahunan) tetapi belum tuntas: a. Terhambat di penilai b. Terhambat di KK c. Terhambat di fakultas d. Terhambat di ITB pusat e. Ketidakberanian beberapa level ITB untuk mengambil keputusan dalam usulan kenaikan pangkat/jabatan 4) Jumlah GB ITB masih terlalu sedikit. Ada beberapa prodi atau KK yang tidak memiliki GB Pak Tisna: Di FSRD GB hanya 1: Pak Setiawan Sabana Pak Mikra: Arsitektur saat ini tidak memiliki GB
Pak Joko: 1) Dalam proses kenaikan pangkat/jabatan, kondisi tiap prodi berbeda. Ada prodi yang memiliki karyawan yang sanggup membantu menyiapkan/menuliskan dokumen dan ada prodi yang tidak memiliki karyawan untuk pekerjaan tersebut. Akibatnya, di prodik kedua tersebut para dosen merasa jenjang kepangkatan terhambat. 2) Sebaiknya dosen jangan dibebani mengisi semua bagian dalam daftar usulan tersebut. Sebagian besar dilakukan karyawan dan dosen tinggal mengisi bagian-bagian yang mudah. Contohnya: prodi TK dan TF terdapat karyawan yang dapat membantu sehingga para dosen cukup mengisi bagian-bagian yang kecil. 3) Dalam proses usulan kenaikan pangkat/jabatan di ITB dari tingkat KK sampai pusat banyak terjadi pengulangan proses. Banyak proses di tingkat fakultas/sekolah (TPAK maupun SF/SS) diulang lagi di TPAK pusat. Sebaiknya ada pembagian peran masingmasing level tersebut: level fakultas memeriksa bagian yang mana dan level pusat memeriksa bagian yang mana? 4) Sebenarnya hamper semua dosen memiliki niat/motivasi untuk naik pangkat/jabatan. Teramat sedikit dosen yang tidak berkeinginan naik pangkat/jabatan. Pak Rochim: 1) Dalam proses usulan jabatan/pangkat, kadang ada factor X dan seringkali factor X tersebut sangat menentukan. 2) SA kadang mengambil peran TPAK 3) Perlu mengadakan rapat bersama dengan TPAK pusat sehingga dalam proses usulan pangkat/jabatan, Senat hanya menilai bagian yang normative saja. Contohnya: apa motivasi orang tersebut menjadi GB. Setelah menjadi GB apa kegiatan yang bersangkutan lakukan bagi ITB. 4) Ada contoh seorang calong GB yang begitu “sibuk” di luar ITB dengan sejumlah jabatan di luar. Pada saat akan mengusulkan GB yang bersangkutan berjanji melepaskan semua jabatan di luar dan akan aktif di ITB. Namun, setelah menjadi GB, yang bersangkutan kembali sibuk di luar dan tidak ingat janji sebelumnya. Hal-hal semacam ini yang harus menjadi perhatian Senat. Pak Joko: Semua dosen ingin naik pangkat/jabatan. Yang menjadi problem adalah masalah administrasi. Untuk proses ini senat hanya masuk ke area kulitatif/normative. Pak Rochim: Berkaitan dengan keterlambatan penilaian makalah oleh reviewer, sebaiknya kalau sudah dimuat di jurnal sebenarnya sudah dilakukan penilaian (review) sebelum dipublikasikan.
Jadi seharusnya tidak perlu dinilai ulang. Dan pada lembar penilaian tinggal memasukkan angka maksimum. Pak Deddy: 1) Ada makalah yang terbit di jurnal yang sangat tinggi mutunya (impact factor sangat tinggi) dan ada yang terbit di jurnal yang kurang. Perlu dilakukan pembedaan atas makalah-makalah tersebut. Maka diambil kebijakan bahwa makalah yang terbit di jurnal yang sangat bermutu mendapat nilai maksimum dan yang teerbit di jurnal level di bawahnya tidak diberi nilai maksimum. 2) Perlu dibuat SOP penilaian. Jurnal ditabel berdasarkan “mutunya”. Dan dalam table tersebut sudah ada nilai untuk makalah yang terbit di masing-masing jurnal tersebut. Penilai tinggal melihat table dalam memberikan nilai. Pak Sudarto: Mengapa dalam membahas usulan GB, MGB tetap diundang padahal MGB sudah tidak ada? Pak Deddy: 1) Saat MGB masih ada, usulan jabatan GB selalu meminta pertimbangan MGB 2) Setelah MGB tidak ada senat membentuk panitia Adhoc kegurubesaran. Pak Rochim: Komisi II sedang membentuk Forum Guru Besar (FGB) Pak Joko: Dalam usaha pembagian tangung jawab TPAK fakultas dan TPAK pusat, SA pelu meminta WRSO untuk membuat aturannya. Pak Mikra: Banyak karywan di ITB yang sulit/tidak mau berkembang. Yang masuk di ITB sebagai pembuat kopi, tetap menjadi pembuat kopi hingga pension. Pak Joko: 1) Sumberdaya harus dimanfaatkan potensinya. Bagaimana yang semula membuat kopi meningkat menjadi tukang fotocopy. 2) Banyak yang “sudah menyadari” bahwa pegawai negeri tidak dapat dipecat Pak Rochim:
Ada orang yang mau dan tidak mau dikembangkan. Pak Mikra: Dengan jumlah professor 145 dari 1.300 dosen ITB apakah artinya jumlah GB ITB masih sedikit? Pak Joko: 1) Kalau dipandang dari sudut sumber daya, jumlah professor sudah banyak (“professor” dipandang sebagai orang yang digaji) 2) Tetapi kalau dipandang sebagai capital, jumlah professor masih sangat sedikit (professor adalah orang yang dapat “mendatangkan” uang) Pak Rochim: 1) Di ITB banyak orang baik yang diam. Contohnya: di milis dosen, yang tidak pernah menulis jangan dianggap tidak memiliki pendapat. Bisa terjadi mereka memiliki pendpat yang sangat bagus, tetapi tidak mau/tidak mengetahui tempat yang paling tetap untuk menyalurkan pendapatkan. 2) Perlu ada saluran untuk menampung aspirasi para dosen tersebut. Pak Deddy: Di SA sudah ada saluran bagi para dosen untuk menyalurkan aspirasinya. Pak Sudarso: 1) Ada dosen yang tidak mau naik pangkat lama sehingga jabatan tetap Asisten Ahli. Kondisi tersebut menjadi temuan BPK. Akhirnya fakultas mengurus semua dokumen dan dosen tersebut tinggal tandatangan. Pangkat akhirnya bisa naik. 2) Adanya dosenya yang lama tidak naik pangkat bisa menjadi “persoalan” bagi institusi (menjadi temuan BPK) Pak Yana: 1) Untuk tim penilai makalah dalam kenaikan pangkat melakukan pekerjaan berat dalam menilai makalah. Menilai satu paper saja membutuhkan efford yang besar, apalagi menilai beberapa paper. 2) Bagaimana caranya agar tim penilai dapat menyelesaikan tugas tepat waktu? 3) Harusnya ada warning kalau batas waktu untuk menilai sudah mendekati (seperti yang terjadi pada penilaian jurnal ilmiah). Saat ini warning tersebut tidak ada sehingga sering kali penilai lupa dan akhirnya makalah yang akan dinilai hilang entah di mana. 4) Setelah dosen yang memiliki makalah complain, barulah semua sadar: baik dekan, TPAL, maupun reviewer.
5) Adimisitrasi harusnya cukup melihat kesesuaian dengan standr pemerintah 6) Jarang ada yang bernani mengingatkan penilai yang memiliki jabatan lebih tinggi. Akhirnya terjadi status quo. 7) Fakultas tidak memiliki mapping siap yang menilai, kapan menilai, dan akhirnya lupa. Kesedaran baru muncul setelah diprotes. Pak Sudarso: Persoalan adaah ketika aturan bahwa penilai makalah harus yang memiliki jabatan lebih tinggi dari pemilik makalah. Masalah muncul ketika guru besar sedikit dan harus dilakukan penilaian makalah calon GB. Pak Mikra: Apakah ini aturan ITB atau aturan nasional? Pak Rochim: 1) Penilaia adalah persoalan kompetensi. Harusnya, siapa pun yang memiliki komptensi berhak menilai, apa pun jabatannya. Seorang yang baru pulang sekolah bisa saja memiliki komptensi lebih baik dari yang lain di bidang tertentu. Harusnya dia berhak menilai makalah di bidang tersebut, walaupun makalah tersebut milik calon GB. Di FTMD dilakukan hal semacam itu. Dunia akademik harus terbuka dalam hal ini. Orang diakui berdasarkan kompetensinya, dan tidak semata jabatannya. 2) Perlu dibuat SOP yang jelas. Pak Yana: Adanya dosen yang menyatakan tidak mau naik pangkat akan menimbulkan persoalan bagi institusi. WRSO harus mengambil alih hal tersebut. KK tidak memiliki kewenangan untuk meminta dosen tersebut naik pangkat. Di KK Pak Yana ada yang tidak mau naik pangkat. Hingga saat ini sikap institusi tidak ada. Akibatnya ketika tahun yang akan datang muncul hal yang sama, jawaban yang diperoleh sama lagi. Pak Joko Kita sebaiknya mempelajari dulu semua dokuman yang ada dan kita lakukan diskusi interbnal dalam Komisi III atas dokumen-dokumen tersebut. Pak Yana: 1) Selain kewajiban member kuliah sebaiknya dosen memiliki kewajiban menilai makalah doen lain. 2) Untuk menunjang hal tersebut maka setiap pekerjaan dosen, sekecil apa pun harus mendapatkan rewards (masuk FRK). Menilai makalah, menjadi reviewer jurnal
internasional harus bisa diperhitungkan sebagai kerja dosen dan masuk FRK. Pekerjaan tersebut harus memiliki efek secara finasial bagi dosen ybs. 3) Jangan hanya pekerjaan yang tampak saja yang disebut. Pak Sudarso: 1) Banyak aturan di Dikti yang tidak terpikirkan oleh pembuat aturan. 2) Menilai disertasi juga seharusnya dihitung dalam FRK Pak Rochim: 1) Liason ITB di Dikti perlu dibekali dengan poin-poin tersebut 2) Perlu mengungang rapat: Komisi III, WRSO, TPAK pusat, TPAK fakultas dan wakil ITB di Dikti agar dicapai kesamaan presepsi tentang penilaian Pak Bambang: Sistem di TPAK pusat sudah bagus. Yang biasa dilakukan adalah mengumpulkan sejumlah usulan -> pemeriksaan administrasi -> 2 anggota TPAK menilai satu berkas -> dibawa ke rapat -> dinilai lagi oleh satu anggota yang lain -> jika ada beberapa kekurangan maka diperbaiki. Pak Joko: Komisi III mempelajari kembali semua dokumn yang ada Pak Tisna: 1) Di FSRD juga terjadi hal yang sama 2) Senat FSRD baru secara rutin mengadakan pertemuan dengan para dosen. Dosen presentasi secara bebas ke para senat. Pertemuan dilakukan regular per bulan. 3) Kegiatan disusun oleh KK. 4) Di FSRD, syarat naik pangkat dalam bentuk paper menjadi masalah. Karena karya dosen FSRD banyak berupa produk. Banyak karya tersebut yang mendapat pengakuan luas secara internasional. Pak Sudarso: Kadang menjadi masalah adalah tim penilai kadang tidak ada yang berasal dari domain senirupa. Ibu Prayatni: Di PT lain ada GB di bidang seni rupa Pak Sudarso:
Mungkin mereka menggunakan jalur paper. Untuk kebanyakan karya seni rupa tidak berbentuk paper. Pak Mikra: Dalam pertemuan dengan WRSO, TPAK, liason Dikti, wakil dari FSRD dan Arsitektur diminta menyampaikan pendapat. Karya-karya yan bagiamna yang layak dinilai setara jurnal dalam bidang sains/engineering. Pak Rochim: Masalah yang sama juga muncul di sostek. Apa syarat GB bagi dosen sostek. Sampai ada dosen sostek yang bilang: kalau saya, ada peluang jadi GB gak di ITB. Refreksi pada usulan GB pak Miftah Farid Pak Mikra: Di ITB semua dosen memiliki hak yang sama untuk naik pangkat/jabatan termasuk menjadi GB. Pak Joko: Memaparkan tentang SDM, SDC, dan SDI. Materi ada di file yang dikirim. Pak Mikra Saat ini kita memikili 14 usulan kenaikan pangkat/jabatan yang menunggu diperiksa. Sebagian adalah usulan yang sudah diperbaiki (setelah diperiksa senat sebelumnya) dan sebagian adalah usulan yang baru masuk. Usulan yang sudah diperbaiki Dr. Yasraf Amir Piliang, MA (FSRD, usulan ke GB) Dr. Ir. RR Dhian Damajani, MT (SAPPK, usulan ke LK) Usulan baru Dr. Husainy Ardy (FTMD, usulan ke LK) Dr. Marcus Wono Setya Budhi (FMIPA. Usulan ke GB) Ibnu Syabri, B.Cs, M.Sc., Ph.D (SAPPK, usulak ke LK) Hasbullan Nawir, ST, MT, Ph.D (FTSL, usulan ke LK) Amenda Sembiring, ST, Ph.D (FTSL, usulan ke LK)
Ir. Djoko Santoso Abi Suroso, Ph.D (SAPPK, usulan ke LK) Katua Komisi III akan melakukan pembagian tugas menilai usulan tersebut
Beberapa kesimpulan 1) Anggota Komisi III mempelajari secara seksama dokumen penilaian usulan kenaikan pangkat/jabatan. Dokumen tersebut ada di ruang rapat senat 2) Anggota Komisi III mengundang liason ITB di Dikti untuk memaparkan mekanisme penialaian di Dikti. Rencananya Rabu 19 Februari 2014 jam 13.00-15.00. Yang akan diundang Prof. Yanuarsah Haroen dan Prof. Djoko T. Iskandar 3) Anggota Komisi III mengundang rapat bersama dengan WRSO, TPAK pusat, TPAK fakultas dan liason ITB di dikti untuk menyeragamkan pemahaman tentang aturan penilaian kenaikan pangkat/jabatan. Waktu akan ditentukan segera. Wakil dari FSRD dan Arsitektur diminta untuk berbicara tentang penialaian karya yang seharusnya diterapkan di FSRD dan AR. 4) Ketua Komisi III membagi tugas anggota komisi dalam penilaian usulan pangkat/jabatan dosen yang sudah ada di senat. Mekanisme penilaian masih menggunakan mekanisme penilaian yang dilakukan anggota senat sebelumnya.