No. 3/TH. II/JULI - OKTOBER 2007 No. 3/TH. II/JULI - OKTOBER 2007
ISI Tajuk Fokus Wawancara Kolom Rak Buku Penerbitan Program Pemantauan
hal.1 hal.1 hal.2 hal.5 hal.6 hal.7 hal.7
TAJUK FKUB telah dibentuk di 21 provinsi, 110 kabupaten, dan 29 kota. Para pengurusnya dibebani kewajiban untuk mewujudkan kehidupan antar umat beragama yang harmonis dan penuh toleransi. Dalam kenyataannya, badan ini menjelma menjadi “pengawas” berdirinya rumah ibadah. Selain wewenangnya, efek ikutannya juga patut diawasi. Karena birokratisasi perukunan agama -umat dirukunkan secara resmi melalui alat-alat negarajustru melahirkan ketidakrukunan baru. Ini, antara lain, bisa dilihat dari betapa marak-nya perusakan tempat ibadah justru ketika FKUB sudah terbentuk di mana-mana. Atas dasar ini, Nawala kali ini hendak meneropong politik perukunan agama melalui alat negara; FKUB. Agar laporan ini dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, redaksi mewawancarai aktivis pluralisme yang mengamati perkembangan FKUB di daerahnya. Mereka adalah Nur Khalik Ridwan di Yogyakarta, Ali Mursyid di Cirebon, Firman Adi Kristiyono di Kota Bekasi, Ghozali Rahman di Banjarmasin dan Jumarim di Lombok. Tidak hanya para pengamat, redaksi juga meminta masukan dari sejumlah tokoh yang terlibat dalam FKUB. Sebab itu, redaksi mewawancarai penyusun draft Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No. 9/No. 8 tahun 2006 yang melandasi berdirinya FKUB, Prof. DR. Ridwan Lubis. Juga Sekretaris FKUB Sukabumi Daden Sukendar dan anggota FKUB Kab. Bekasi Anton Lukito. Ucapan terima kasih disampaikan kepada mereka semua yang telah dimintai pendapat dan datanya untuk laporan ini. Atas sumbangan mereka, Nawala edisi III/Thn ke-2 ini dapat diselesaikan. Selamat membaca. Kritik dan Saran: Jl. Taman Amir Hamzah No 8 Jakarta 10320, Indonesia Phone: +62 21-3928233, 3145671 Fax: +62 21-3928250 Email:
[email protected] Website: www.wahidinstitute.org
FOKUS
Forum atau Birokratisasi Kerukunan Umat Beragama ?
Pembakaran rumah ibadah. dok.Witjak
P
uluhan orang yang mengaku mewakili umat Islam memekikkan “Allahu Akbar” di depan Gedung Gracia, Cirebon Rabu (22/08/07) malam itu. Mereka berasal dari Forum Ukhuwwah Islamiyah (FUI), Forum Umat & Ulama Indonesia (FUUI), dan Gerakan Anti Pemurtadan & Aliran Sesat (GAPAS). Kedatangan mereka untuk menghentikan kegiatan di gedung itu. Sebab, pengurusnya dianggap melecehkan Surat Keputusan Bersama (SKB) No. 01/Ber/MDN-MAG/1969 tanggal 13 September 1969 tentang Pendirian Rumah Ibadah. “Kalau gedung itu gereja, kami tidak keberatan. Fungsi gedung itu untuk umum, tapi disalahgunakan. Makanya kami protes dan minta agar peribadatan di sana dihentikan,” kata Andi Mulya, Ketua Laskar FUUI Kota Cirebon. Ketegangan terus berlangsung hingga Kapolsekta Cirebon Utara Barat, AKP Sukhemi dan
Dandenpom III/3 Siliwangi Letkol CPM Agus, datang melerai. Mereka kemudian menjembatani pertemuan dengan salah satu pengelola gedung itu, Andreas Budi Hartono. Peristiwa di depan Gedung Gracia berbuntut. Merasa didiskriminasi, pihak korban mengadu ke Fahmina Institute, sebuah lembaga pengembangan wacana agama kritis di Cirebon. “Yang seharusnya berperan dalam masalah ini FKUB, bukan Fahmina,” keluh Ali Mursyid. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Cirebon, menurut aktivis Fahmina Institute ini, justru tak tampak batang hidungnya ketika kasus ini mengemuka. Keluhan Kang Ali, panggilan akrab Ali Mursyid, ini amat wajar. FKUB yang dibentuk untuk membangun, memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan, mestinya berperan dalam kasus ini. Apalagi mereka memiliki tugas khusus mengawal berbagai urusan menyangkut
Redaktur Ahli: Yenny Zannuba Wahid, Ahmad Suaedy | Sidang Redaksi: Rumadi, Abd. Moqsith Ghazali, Gamal Ferdhi, Nurul Huda Maarif, Subhi Azhari Redaktur Pelaksana: Nurun Nisa | Desain: Widhi Cahya
No. 3/TH. II/JULI - OKTOBER 2007
rumah peribadatan. Semua ini termaktub dalam Peraturan Bersama (Perber) Menteri Agama (Menag) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) No. 9 dan No. 8/ 2006. “FKUB Kabupaten memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadat,” jelas pasal 9 ayat 2 Perber itu. Kekecewaan terhadap FKUB kian menumpuk, seiring permasalahan yang ada ketika lembaga ini akan dibentuk. Mulai dari sosialisasi keberadaan dan peran FKUB yang minim bagi masyarakat bawah. Buktinya, pengurus Gedung Gracia Cirebon memilih mengadu ke Fahmina Institute ketimbang ke FKUB. FKUB Propinsi Kalimantan Selatan, misalnya, nampak elitis. Sosialisasinya terbatas. “Kalangan masyarakat dan lembaga swadaya tidak begitu jelas (mengerti, Red.) dengan kiprah lembaga ini,” ujar Ghozali Rahman dari Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin (27/09/07). FKUB Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) tak jauh berbeda. “Di kalangan elit agama, FKUB cukup tersosialisasi dengan baik. Tapi tidak bagi grass-root,” ungkap Jumarim dari Yayasan Pengembangan Kesejahteraan Masyarakat (YPKM) Mataram (25/09/07). Selain minimnya sosialisasi, juga terjadi sengketa jumlah kursi perwakilan umat beragama yang akan duduk di lembaga bentukan negara itu. FKUB Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), misalnya, belum terbentuk sampai sekarang. Pihak yang terlibat merasa perwakilan di FKUB tidak representatif. “Perwakilan FKUB yang dimaksud berbasis pada jumlah umat. Umat yang kuantitasnya lebih banyak akan mendapatkan kursi
lebih banyak,” jelas Nur Khalik Ridwan (Lihat Kolom: Kisruh Pembentukan FKUB DIY). Bahkan terjadi perseteruan di kalangan internal Protestan sebelum terbentuknya FKUB Kabupaten Sukabumi. “Mereka berseteru berebut duduk di lembaga itu,” terang Daden Sukendar, Sekretaris FKUB Kabupaten Sukabumi, Rabu (19/9/07). Di tubuh FKUB Kabupaten Bekasi malah keanggotaannya difait accompli pihak tertentu. Ketika itu, beredar surat dari MUI setempat berisi usulan siapa menjabat apa dalam kepengurusan FKUB. “Mendadak FKUB terbentuk dengan 17 anggota. Rinciannya, 12 orang dari Islam dan 5 orang masing-masing dari Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu,” jelas Anton Lukito, perwakilan FKUB Kabupaten Bekasi dari Katolik. Permasalahan yang menumpuk ini akhirnya berimbas pada praktek FKUB di lapangan. Misalnya, menyangkut mekanisme pengambilan keputusan soal ditutup atau tidaknya rumah ibadat yang melenceng dari ketentuan asal. “Sistemnya memakai voting. Jelas, kelompok mayoritas selalu menang,” terang Firman Adi Kristiyono, pegiat Aliansi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKBB), tentang FKUB di Kotamadya Bekasi. Padahal, Perber sudah menggariskan secara khusus mengenai hal ini. “Perselisihan akibat pendirian rumah ibadat diselesaikan secara musyawarah oleh masyarakat setempat,” demikian bunyi Pasal 21 (1) Perber itu. FKUB Kota Bekasi juga punya ‘prestasi’ mencengangkan dalam mengambil keputusan. “Hari ini surat masuk, besok sudah keluar ijin untuk menutup sebuah rumah ibadat,” jelas Firman Adi. FKUB daerah sebelahnya, yaitu Kabupaten Bekasi memiliki
WAWANCARA
“FKUB
nggak ada hilangnya”
Prof. Dr. Ridwan Lubis, MA
Pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dimaksudkan agar ada proses pendewasaan kehidupan beragama di Indonesia. Agar umat beragama tidak menganggap umat agama lainnya sebagai lawan. Demikian pernyataan mantan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Depag, Prof. DR. Ridwan Lubis, MA kepada theWAHID Institute. Alumnus Perbandingan Agama IAIN Sunan Ampel ini merupakan salah satu penyusun draft Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama (PBMDMA) No. 9/No. 8 tahun 2006 yang melandasi berdirinya FKUB di propinsi dan kabupaten/ kota di seluruh Indonesia. Berikut petikan wawancaranya:
Mengapa FKUB perlu dibentuk? Agar ke depan ada proses pendewasaan kehidupan beragama bagi kita. Kalau kita melihat orang ber-agama lain, jangan sampai kita anggap sebagai lawan. Melainkan kita anggap sebagai kawan atau mitra. Paling jauh sebagai sparing partner atau lawan tanding.
Masyarakat sering menggelar dialog antar umat, apakah ini tidak cukup? Tidak cukup! Harus ada proses pendewasaan melalui pembelajaran atau pendidikan. Jadi kerukunan itu kita desain dan rancang melalui pendidikan kerukunan. Jangan dibiarkan berkembang apa adanya. Jika masyarakat telah dewasa, FKUB tak diperlukan? Dalam PBMDMA pasal 4, FKUB bertugas melakukan pemberdayaan masyarakat. Jadi, sekalipun masyarakat sudah rukun, FKUB tetap diperlukan. FKUB nggak ada hilangnya. Karena kita ingin selalu memberdayakan masyarakat di bidang pendidikan, ekonomi, politik, hukum, dan demokrasi. Apa tugas FKUB? Tugasnya ada empat. Pertama, mengembangkan dialog antar-agama. Kedua, menampung aspirasi umat beragama. Ketiga, menyalurkan aspirasi umat beragama. Keempat, mensosialisasikan peraturan-peraturan mengenai kerukunan dan sekaligus memberdayakan umat beragama. Itulah fungsi FKUB tingkat propinsi. FKUB tingkat kabupaten/kota tambah satu lagi, yaitu memberikan rekomendasi tentang persetujuan pendirian rumah ibadah. Bagaimana soal keanggotaan? Keanggotaan FKUB harus mencitrakan seluruh komponen umat beragama di kampung, kabupaten, kota atau propinsi. Kalau ada satu kelompok umat beragama tapi belum ada majelis agamanya, mereka harus terwakili. Misalnya di Sumatera, Hindunya nggak ada Parishada Hindu Dharma Pusat (PHDP), tetapi umat Hindunya 100 orang. Ya, mereka harus masuk. Jadi, tidak terikat pada majelis agamanya, tapi pada kelompok umatnya. Adapun jumlah anggota FKUB propinsi maksimal 21 orang dan kabupaten/kota maksimal 17 orang. Itu kesepakatan majelis-majelis agama, bukan pemerintah.Tapi kalau mau kurang, silahkan.Tergantung kesepakatan daerah.
No. 3/TH. II/JULI - OKTOBER 2007
problem sama, namun diselesaikan dengan cara berbeda. Ketika sebuah gereja di Lembang Sari, Tambun diperselisihkan, FKUB Kab. Bekasi tidak bisa berbuat apa-apa. Penyelesaiannya diserahkan ke Pemda. Ini karena FKUB daerah ini memiliki cara pandang sendiri. “FKUB berpendapat landasannya adalah Perber pasal 28 ayat 1,” lanjut Anton Lukito. Pasal tesebut menyatakan, ijin bangunan gedung untuk rumah ibadat yang dikeluarkan pemerintah daerah sebelum berlakunya Perber ini dinyatakan sah dan tetap berlaku.Tapi, sampai sekarang kasusnya tetap menggantung. Meski berpegang pada satu pedoman, FKUB terlihat tak seragam menyikapi kasus yang sama. Belum lagi ketika dihadapkan pada kompleksitas tensi kehidupan keberagamaan yang berbeda di tiap daerah. Padahal lembaga ini diseragamkan manajerialnya oleh pemerintah. Di Nusa Tenggara Barat yang kerap tersiar pengusiran warga Ahmadiyah, kiprah FKUB terkesan santai. “Sejauh ini adem ayem,” jelas Jumarim. Demikian pula Sukabumi. “Suasananya kondusif. Beberapa waktu yang lalu kami (sukses) mengadakan kemah keagamaan untuk kerukunan umat beragama. Pesertanya 100 orang dari berbagai kalangan agama,” tutur Daden bangga. Daden sendiri ragu dengan kondisi daerah lain. Sebab ketika dirinya menghadiri acara pertemuan FKUB se-Jawa Barat yang digelar Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Departemen Dalam Negeri (Kesbanglinmas Depdagri) Jawa Barat, ternyata FKUB di beberapa tempat di Propinsi Jabar didominasi kalangan Islam fundamentalis. “Ini lucu. Satu orang punya
peran ganda. Dia yang berdemonstrasi menuntut penutupan rumah ibadat, dia juga yang rapat di FKUB untuk menutup,” kata Daden tertawa. Ketakutan Daden sudah disinyalir Ahmad Suaedy, Direktur Eksekutif The WAHID Institute. “FKUB rawan diselewengkan dan disusupi kepentingan politik, seperti elit politik lokal maupun elit agama tertentu di daerah,” jelasnya (24/7/07). Pernyataan Suaedy ini dibuktikan Anton Lukito yang menyitir hasil investigasi lembaganya, FKUB Bekasi. Tuntutan menutup rumah ibadat ternyata dihembuskan para golongan elit agama. “Sementara masyarakat di sekitar baik-baik saja. Tak ada kisruh soal rumah ibadat,” tutur Anton. Keberadaan FKUB dalam konteks merukunkan umat beragama sebenarnya dapat dipertanyakan, karena tugas lembaga ini sudah ditangani lembaga lain. Tugas sosialiasi peraturan dan penyalur aspirasi masyarakat, semestinya dilakukan anggota legislatif. Tugas utama FKUB seperti termuat dalam Perber pasal 9, yaitu melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat, juga sudah dilakukan elemen masyarakat sejak dulu kala, jauh sebelum FKUB ada. “Tugas FKUB itu sebenarnya bisa dijalankan oleh masyarakat, karena mereka sudah dewasa. Sudah bisa rukun sendiri,” tandas Daden. Masyarakat memang sudah memikirkan kerukunan jauh sebelum pemerintah membentuk FKUB. Sifatnya yang lebih guyub, sekaligus tidak birokratis, membuat lembaga bentukan masyarakat ini lebih efektif. Kita bisa menyaksikan kiprah Forum Sabtuan (FORSAB) Cirebon. “Forum lintas agama ini berdiri sejak 26 Desember 2000,” jelas KH. Husein Muhammad, salah
Masuknya Kepala Kantor Depag (Kakandepag) sebagai Dewan Penasehat FKUB dinilai sebagai birokratisasi FKUB… Saya rasa nggak. Karena keanggotaannya sama sekali tidak boleh bersinggungan dengan birokrasi. Jadi menurut saya, itu kecil kemungkinan menjadi birokratis.
bantuan bupati. Ini supaya komitmen FKUB nyata untuk masyarakat. Bukan untuk pejabat. Dan jangan lupa, FKUB tidak boleh dieksploitasi oleh pemerintah. Karena semua anggotanya pemuka-pemuka agama.
Mengapa ? Karena penentuan keanggotaan itu direkomendasikan oleh majelis agama. Itu garansinya. Misalnya saya ingin jadi apa, lalu saya melamar. Itu nggak bisa. Harus ada rekomendasi. Dengan cara demikian, kita harapkan forum ini menjadi independen. Bagaimana posisi “FKUB” non-pemerintah, yang di beberapa tempat perannya justru lebih signifikan? Pengalaman saya di lapangan selama enam tahun menangani Forum Komunikasi Antar Pemuka Agama Sumatera Utara (FKAPSU) dan Lembaga Pengkajian Kerukunan Umat Beragama (LPKUB), di mana saya menjadi ketua dua lembaga tersebut, kami mendirikan lembaga ini secara independen. Mereka (“FKUB” non-pemerintah, red.) dapat dimanfaatkan untuk melakukan empat fungsi FKUB itu; dialog, penampung aspirasi, penyalur aspirasi, dan sosialisasi. Tetapi untuk fungsi yang kelima yaitu rekomendasi, harus lewat FKUB. Kalau mereka punya usul silahkan. Namun usulnya ke FKUB, jangan lewat pemerintah. Jadi kita menyatukan langkah. Maksudnya, kita harapkan FKUB yang resmi berdasarkan Perber, ini punya jaringan atau link dengan forum-forum sejenis di berbagai daerah. Bagaimana pendanaan FKUB? Tiap tahun mendapat dana dari Pemda.Tetapi, semua rumusan program kegiatan dan aplikasi kegiatan sepenuhnya inisiatif FKUB. Pemda tidak campur tangan. Paling-paling kalau ada kegiatan, diinformasikan ke Pemda. Sistem pendanaan seperti ini, dikhawatirkan FKUB dieks-ploitasi pemerintah… FKUB memang mendapat APBD, bukan bantuan gubernur dan bukan
Beberapa waktu lalu, di Kotamadya Bekasi ada kasus penutupan rumah ibadat oleh FKUB. Pengambilan keputusannya melalui voting. Komentar Anda? FKUB, sebagaimana dimaksud PBMDMA pasal 14 huruf D merupakan hasil musyawarah dan mufakat. Itu yang selalu kita tegaskan kepada masyarakat pada saat sosialisasi. Jadi seharusnya jangan dan tidak boleh voting. Kalau terjadi hal demikian, mestinya tugas pemerintah daerah menegur melalui dewan penasehat (wakil gubernur, wakil bupati/wali kota atau kepala kantor wilayah Departemen Agama). Jangan dibiarkan begitu saja. Ada juga insiden Rumah Duka Gracia di Cirebon. FKUB tidak berbuat apa-apa. Komentar Anda? Persoalannya begini. Pertama, rumah duka itu rumah ibadat atau tidak?Tidak! Karena itu bukan rumah ibadat, maka itu bukan wilayah FKUB. Karenanya, apakah berlaku syarat-syarat beribadat? Jelas tidak! Jika demikian, FKUB secara peraturan tidak punya wewenang untuk mencampuri persoalan rumah duka di Cirebon. Itu semata-mata menyangkut ketertiban sosial. Berarti bukan urusan FKUB, tapi polisi atau satpol PP. Kedua, bagaimana jika masyarakat keberatan pada keberadaan rumah duka? Ini saya rasa perlu ditelusuri. Alasan keberatannya apa? Karena setahu saya, katanya rumah duka itu akan digunakan oleh semua kelompok agama (Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, kecuali Islam). Itu semacam rumah persinggahan mayat. Berarti itu bukan rumah ibadat, sehingga Perber tidak berlaku. Saya sendiri melihat, ini bukan persoalan agama. Ada faktor lain di balik itu, yaitu faktor ekonomi. Mengapa? Rumah duka ini kan bisnis. Dan yang saya dengar juga, yang keberatan itu bukan orang di situ, tapi orang luar. Kalau orang luar, ya nggak bisa. Kita sudah garis bawahi, bahwa orang luar tidak boleh menilai suatu keadaan di kampung itu.[]
No. 3/TH. II/JULI - OKTOBER 2007
satu pengurusnya yang juga pengasuh Pesantren Dar al-Tauhid, Cirebon. Sepekan sekali, mereka mendialogkan persoalan antar-agama secara bergiliran di rumah anggotanya, markas Fahmina Institute atau sesekali di hotel. “Tidak hanya diskusi.Kita juga membuat kegiatan nyata untuk masyarakat,” kata Kyai Husein. Juga Forum Gedangan di Salatiga. Forum yang berdiri sejak 22 Februari 1998 ini dimotori KH. Mahfudz Ridwan. Forum ini beranggotakan warga dari berbagai agama dan etnis. Tidak hanya kegiatan antar agama yang dilakukan, tetapi juga kegiatan kemanusiaan. Antara lain pemberian bantuan kepada korban gempaYogyakarta. Ada lagi Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (Jakatarub) di Bandung. Lembaga yang dikomandoi Dindin Abdullah Ghazali ini secara mandiri menerbitkan majalah berkala Bianglala, berisi info dan advokasi seputar pluralisme. Pengurusnya pun kerap menggelar acara yang melibatkan peserta lintas agama. Misalnya saja diskusi bersama soal Puasa Ditinjau dari Perspektif Berbagai Agama. “Juga acara-acara sosial seperti khitanan massal, buka puasa, sahur bersama dan lain-lain,” kata Dindin. Karena dianggap mubazir itulah maka muncul tudingan tak sedap terhadap FKUB. Bahkan lembaga kerukunan umat beragama ini dinilai sebagai campur tangan negara atau pemerintah terhadap proyek bernama kerukunan antar umat beragama. Sebabnya lembaga kerukunan ini memiliki payung hukum khusus, yang mengakibatkan anggotanya mempunyai tugas dan kewenang an sangat rigid. Simaklah pernyataan Prof. Dr. Ridwan Lubis, MA dalam menyikapi kasus Rumah Duka Gracia Cirebon. “Karena itu bukan rumah ibadat, maka itu bukan wilayah FKUB,” kata mantan Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan Balitbang Depag yang pensiun per 1 Oktober 2007 ini (baca: FKUB Nggak Ada Hilangnya). Jadi walau rumah duka itu menciptakan ketegangan antar umar beragama di Cirebon, tapi karena regulasi tidak memerintahkan, maka anggota FKUB tidak wajib menciptakan kerukunan umat beragama. Selain aktivitas yang dibatasi regulasi, lembaga ini juga dibiayai pemerintah melalui APBD. Bahkan ada dewan penasehat yang terdiri dari unsur pemerintah daerah dan departemen agama di wilayah bersangkutan. Ini menimbulkan kekhawatiran terjadinya intervensi pemerintah terhadap FKUB. Perlindungan negara terhadap umat beragama adalah wajar, karena ini diamanatkan Pasal 29 ayat 2 UUD 1945. Namun pelembagaan kerukunan umat beragama adalah tindakan berlebihan. “Kebutuhan akan stabilitas dan tanggung jawab sebagai pemerintah, membuat pemerintah sering ikut campur dalam urusan intern agama(-agama) ini,” jelas Hairus Salim HS dalam tulisannya berjudul Kebijakan Agama Masa Orde Lama dan Orde Baru (2004). Ironisnya, tulis aktivis Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta ini, keikutsertaan pemerintah dalam pengaturan hubungan antar agama tak jarang justru memperkeruh hubungan antar-agama itu sendiri. Fenomena ini tampak di Kotamadya Bekasi. “Di daerah kami intensitas penutupan rumah ibadah meninggi pasca terbentuknya FKUB,” tutur Firman Adi Kristiyono. Campur tangan ini bisa jadi dianggap sebagai perlindungan atas mayoritas karena kepentingan mereka dijaga. Sebaliknya, bagi
minoritas, prosedur demikian ibarat bencana. Karena banyaknya dokumen yang harus diurus, beribadah jadi mirip bepergian ke luar negeri. Dalam kasus perizinan rumah ibadah, dokumen yang dimaksud adalah Izin Prinsip Pendirian Rumah Ibadat (IPPRI) dan Izin Mendirikan Bangunan Rumah Ibadat (IMBRI) yang diterbitkan bupati/walikota. IPPRI dan IMBRI bisa keluar berdasar rekomendasi FKUB tingkat kelurahan/desa yang disahkan kepala kesa, rekomendasi FKUB kecamatan yang telah disahkan camat, rekomendasi FKUB kabupaten/kota, rekomendasi Kepala Kantor Depag kabupaten/kota. Dan, daftar nama serta alamat kepala keluarga sesuai KTP setempat yang akan menjadi jemaat rumah ibadah sebanyak 90 orang. Apa yang akan terjadi? “Akan ada birokratisasi agama dan tempat ibadat,” tandas Rumadi dalam artikelnya bertajuk Birokratisasi Tempat Ibadah (2005). Peneliti The WAHID Institute ini mendasarkan pendapatnya pada FKUB yang sangat struktural dan bentuk kepengurusannya yang amat hirarkis. Di sinilah, negara dengan diam-diam sebenarnya sedang menunjukkan kekuasaannya. “Kebijakan, khususnya menyangkut hubungan antar-agama(-agama) dan negara, antaragama-agama, dan antar-internal suatu agama itu telah menjadi bahasa dan kekuasaan,” terang Anas Saidi dalam Menekuk Agama, Membangun Tahta (2005). Peneliti LIPI ini juga menyebut kebijakan yang demikian sebagai “teknologi politik” pengaturan dan pengontrolan terhadap masyarakat. Dengan realitas begini, apakah masyarakat mau menerima kembali kontrol negara melalui FKUB seperti zaman Orde Baru dulu? Tentu saja FKUB bisa saja dipermak atau disiasati agar tidak terlalu terkooptasi oleh kepentingan negara, sehingga keberadaannya bermanfaat untuk publik. Misalnya saja dalam soal keanggotaan, pembiayaan, dan minimalisasi eksploitasi pemerintah. “Teman-teman pegiat pluralisme mestinya ikut masuk lembaga ini supaya FKUB tidak menjadi forum kaum fundamentalis,” usul Daden. Yang lain menganggap alokasi dana untuk FKUB sedikit demi sedikit dikurangi setelah misinya untuk mendewasakan masyarakat dalam soal kerukunan terpenuhi. “Nantinya dana ini bisa digunakan untuk mengatasi kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan untuk rakyat,” tutur Ridlwan Nasir, Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya (03/10/07). Ia mendasarkan pendapatnya pada pengalaman lembaganya bekerja sama dengan FKUB Propinsi Jawa Timur yang menggelar pendidikan kerukunan untuk masyarakat dari berbagai karesidenan di sana. Akhirnya, tanpa FKUB pun, konstitusi sudah mewajibkan pemerintah melindungi warganya menganut suatu agama atau kepercayaan dan beribadah menurut keyakinannya. Dan tanpa lembaga ini pun masyarakat juga wajib rukun, baik kepada mereka yang seagama maupun berlainan agama. Karena setiap agama mengajarkan itu. Kerukunan tak perlu dibirokratisasikan, bukan? Wallahu A’lam.[]
No. 3/TH. II/JULI - OKTOBER 2007
KOLOM
Kisruh Pembentukan FKUB DIY Oleh: Nur Khalik Ridwan*
Pembentukan FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) di daerah ternyata tidak berjalan mulus. Padahal Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama (PBDM) No. 9/No. 8 tahun 2006 pasal 27 jelas: FKUB sudah harus terbentuk 1 tahun setelah PBDM ditetapkan. Contohnya Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), sampai kini FKUB dimaksud belum terbentuk, meskipun Peraturan Gubernur (Pergub) yang memayungi pembentukan FKUB dinoktahkan 12 Juni 2007. Ternyata Pergub itu sendiri menunjukkan fakta lain. Lahirnya diairi oleh kisruh pembahasan dari majlis-majlis agama dan kelompok kerja yang menyiapkan draft Pergub. Eksemplar awalnya dipancangkan oleh sosialisasi PBDM yang difasilitasi Depag DIY (1-3 Mei 2006). Dalam sosialisasi ini, Konghucu dan agama kecil tidak diundang. Parahnya pertemuan juga mendefinisikan pasal 8 PBDM bahwa FKUB “dibentuk oleh masyarakat”, dengan tafsir “5 lembaga resmi keagamaan” (MUI, PGI, Vikep-Katholik, PHDI, dan Walubi). Pertemuan selanjutnya difasilitasi Dinsos DIY. Yang diundang hanya 5 lembaga agama itu. Mereka dimintai usulan untuk pembentukan FKUB, dan salah satunya adalah draft Pergub. Memang dalam Peraturan Bersama pasal 12 disebutkan “ketentuan lebih lanjut mengenai FKUB dan Dewan Penasihat FKUB provinsi dan kabupaten/kota diatur dengan Peraturan Gubernur.” Tetapi titik-titik krusial segera muncul menyangkut isi draft Pergub yang sedang dirumuskan di DIY: Pertama, wakil MUI mengusulkan jumlah anggota FKUB didasarkan pada basis jumlah umat. Yang lain ti-
dak setuju. Sebab dengan basis jumlah umat kalangan Islam bisa mendapatkan lebih dari 50 persen anggota FKUB. Ini dianggap kurang sehat untuk keberlanjutan institusi FKUB. Yang lain mengusulkan jumlahnya tidak harus 21 (tingkat provinsi) atau 17 (tingkat kabupaten) seperti dalam PBDM, karena jumlah itu berbunyi maksimal. Sebagian mengusulkan jumlahnya mengikuti tradisi selama ini yang berkembang di DIY, bisa 5, 9, 11, dan (atau) 7. Kedua, ada yang mengusulkan keterwakilan cukup 5 agama sebagaimana definisi “masyarakat” yang telah dibakukan. Tetapi wakil PGI mengusulkan jumlahnya 7 agama: 5 lembaga agama resmi, ditambah Matakin dan kelompok Penghayat Kepercayaan. Alasan memasukkan Penghayat Kepercayaan, karena Penghayat Kepercayaan juga memiliki pengikut di DIY. Dua hal itu menjadi perdebatan serius. Setelah melewati beberapa pertemuan, muncul draft Pergub resmi versi Dinsos. Wakil PGI melihat draft Pergub resmi ini hanya mengakomodasi satu kelompok agama. Isinya tidak ada yang berbeda dengan draft Pergub versi MUI kecuali soal pengambilan keputusan. Masukan-masukan dari lembaga agama lain dianggap tidak diakomodir. Wakil PGI akhirnya melakukan walk out. Pertemuan-pertemuan selanjutnya minus PGI. Terjadilah kemacetan, hingga satu tahun lebih Pergub saja belum terbit. Baru tanggal 12 Juni 2007 Pergub diterbitkan dengan wewenang gubernur. Responden yang penulis temui, seorang anggota Depag yang ikut dalam pertemuan-pertemuan, mengemukakan bahwa meski Pergub sudah terbit ternyata FKUB tidak juga terbentuk (setidaknya sampai Septem-
ber 2007), karena PGI ditambah Vikep belum menyetujui isuisu krusial. Di tingkat kabupaten juga timbul problem. Dalam Pergub pasal 1 ayat 12 disebutkan bahwa umat Budha diwakili Walubi dan Kristen diwakili PGI. Masalahnya, majlis agama Budha di Gunungkidul bernama MBI (Majlis Budayana Indonesia), tidak ada Walubi; dan justru FKUK (Forum Komunikasi Umat Kristen) yang hadir mewakili Kristen dalam sosialisasi Pergub, bukan PGI. Dengan begitu keterwakilan kelompok MBI dan FKUK pun menjadi perdebatan: menambah data kerumitan. Fenomena DIY ini menunjukkan dengan jelas “kerukunan” yang ingin dibangun PBDM, diterjemahkan semata-mata berbasiskan 5 lembaga agama resmi. Definisi “masyarakat yang membentuk FKUB” dibonsai sebatas 5 agama resmi. Padahal data 2004 di DIY, penganut agama di luar lima agama resmi ada 1.107 (0,03 %) dalam kategori “lain-lainnya” (Depag DIY, 2005: 7). Belum lagi mereka dari Islam yang merasa tidak terwakili oleh MUI, dan lain-lain. Mereka tidak terwakili. Sudah dapat diduga, dengan pola yang demikian tidak akan bisa ditemukan tokoh-tokoh yang selama ini berkecimpung dalam kancah dialog agama bisa duduk di FKUB. Kerukunan yang diimajinasikan pun semu semata, karena tidak mengakomodir semua kelompok masyarakat agama. Dan, di DIY-lah pada akhirnya, resistensi terhadap PBDM menemukan bentuknya. *** *)Nur Khalik Ridwan, penulis beberapa buku dan telah melakukan penelitian tentang “Kisruh Proses Pembentukan FKUB DIY”.
No. 3/TH. II/JULI - OKTOBER 2007
RAK BUKU
Menggugat Kegamangan Negara Mengawal Pluralisme
P
erkara pluralisme ternyata begitu mahal di negeri ini. Modal awal berupa kemajemukan suku, bangsa dan agama yang sudah ada seperti sia-sia. Mereka yang tidak memiliki toleransi terus mengoyaknya. Mereka membuat bangsa ini saling bersyak-wasangka kepada golongan di luarnya. Umat Islam, misalnya. Mereka lebih sering ribut soal kapan berhari raya. Pilihan bermazhab juga acap memicu konflik. Atau soal tafsir agama yang menimbulkan bermacam aliran dengan stempel penyesatan di manamana. Tak (pernah) dipikirkan kalau jumlah mereka yang besar sangat potensial untuk membangun negara ini. Tidak mengherankan jika keadaan ini pararel dengan sebuah adagium—bahwa terlalu banyak alasan bagi kita untuk membenci yang lain, yang berbeda dengan kita. Sebaliknya, terlalu sedikit alasan bagi kita untuk mencintai mereka. Inilah yang membuat kita koyak. Beberapa kejadian menegaskan kesan ini. Dua hal yang paling menyolok; penyesatan aliran dan perusakan tempat ibadat. Penyesatan aliran meruyak setahun belakangan ini. Jemaat Ahmadiyah Indonesia,YKNCA, Ponpes I’tikaf Ngaji Lelaku, dan Komunitas Eden dicap sesat. Pemimpinnya – Ardhi Husein, M.Yusman Roy, dan Lia Eden – diajukan ke muka hukum karena dianggap menodai agama. Propertinya dihancurkan secara massal. Tak ada empati di situ.Yang ada semangat menghancurkan karena perbedaan adalah bencana. Demikian halnya perusakan sejumlah tempat ibadat. Karena dianggap “bukan golongan kami”, bangunan boleh dihancurkan. Tak peduli memiliki ijin membangun atau tidak. Padahal, perusak dan yang bangunannya dirusak merupakan te tangga dekat.
Dua hal inilah yang dikemas apik dalam buku bertitel Politisasi Agama dan Konflik Komunal; Beberapa Isu Penting di Indonesia. Hasil penelitian di 7 (tujuh) kota ini, secara komprehensif merangkum berbagai peristiwa diskriminasi yang dialami kelompok minoritas. Peristiwa tersebut adalah pelarangan pencatatan pernikahan Jemaat Ahmadiyah di Manis Lor, Kuningan oleh Rosyidin & Ali Mursyid, kasus pembubaran padepokan YKNCA oleh Andri A. &
Salman alFarizi, kasus penyesatan dan kriminalisasi M.Yusman Roy oleh Paring Waluyo Utomo & Levi Riyansyah, kisah formalisasi agama di Maros dan Pangkep oleh Subair Umam & Syamsul Pattinjo, kasus penyerangan kampus Ahmadiyah Parung Bogor oleh Mujtaba Hamdi, penutupan gereja di Kronelan dan Demakan oleh Nur Khalik Ridwan & Anas Aizuddin, dan penerapan syari’at Islam di Aceh oleh peneliti Fullbright Indonesia Troy A. Johnson.
Judul Buku Politisasi Agama dan Konflik Komunal; Beberapa Isu Penting di Indonesia Penulis Ahmad Suaedy, dkk Penerbit The WAHID Institute Tahun Terbit 2007 Jumlah Halaman 366 halaman
Beberapa temuan dari penelitian ini: pertama, pluralisme di masyarakat ternyata memiliki landasan yang rapuh. Sedikit saja terkena gesekan, ia hancur berkeping-keping. Tak ada lagi yang mengikat.Yang tersisa cuma kebencian. Juga keinginan untuk saling mengenyahkan. Kedua, ketika terjadi ribut-ribut soal perbedaan, negara berikut aparatnya menjadi andalan. Stempel sesat atau tidaknya sebuah aliran diserahkan pada MUI. Sementara ribut-ribut soal rumah ibadat dipasrahkan pada pejabat kelurahan dan seterusnya. Celakanya, negara tidak jarang bertindak semena-mena. Seringkali terjadi standar ganda— kesalahan mayoritas tidak dianggap ada, sementara bagi minoritas berlaku sebaliknya. Atau keputusan aparat negara berdasar desakan massa, bukan regulasi yang ada. Di titik inilah, negara terlihat gamang mengawal pluralisme. Sikap negara jelas merugikan pihak minoritas. Pada titik ini, buku setebal 366 halaman ini menemukan relevansinya. Buku ini mendedahkan serangkaian data dan fakta penelitian di lapangan yang membuktikan bahwa kegamangan negara itu nyata-nyata ada. Karena sebab itu, para peneliti dalam buku ini bukan saja berperan sebagai pemerhati yang menuliskan hasil amatannya. Tetapi, di beberapa daerah, mereka juga mengadvokasi objek penelitiannya untuk mengawal pluralisme. Sebuah usaha yang layak diapresiasi.[] [Nurun Nisa]
No. 3/TH. II/JULI - OKTOBER 2007
Program Pemantauan Pluralisme dan Legislasi Sukses Dilaksanakan Program Pemantauan Pluralisme dan Legislasi (Pluralism and Legislation Watch program) yang diselenggarakan the WAHID Institute bekerja sama dengan the Asia foundation dari Mei 2006–Oktober 2007 sukses dilaksanakan. Dalam rangka pemantauan pluralisme dan legislasi, the WAHID Institute (tWI) dan mitra selama dua tahun terakhir itu melakukan serangkaian kegiatan konsultasi publik di enam daerah, yakni NAD, Jawa Timur, Makassar, DIY, Jawa Barat, dan Jakarta. Kegiatan yang dimaksud meliputi pertemuan tokoh lintas agama, jumpa pers, diskusi buku Kala Fatwa Jadi Penjara, seminar, focus group discussion (FGD), diskusi buku Hajatan Demokrasi; Potret Jurnalistik Pemilu Langsung Simpul Islam Indonesia dari Moderat Hingga Garis Keras, workshop, dan roundtable discussion. Pertemuan tokoh lintas agama digelar di Kantor tWI pada 16 Mei 2006 guna mensomasi Menteri Agama soal kasus Ahmadiyah. Acara ini dihadiri 100 orang. Di tempat yang sama, Roundtable Discussion temuan riset dengan peserta 80 orang diantamengenai isu pluralisme
ranya tokoh agama dan pro demokrasi diadakan jumpa pers pada 23 Mei 2006, mengecam tindakan kelompok preman berjubah. Ini adalah kelompok yang kerap melakukan tindakan kekerasan atas nama agama. Buku Kala Fatwa Jadi Penjara terbitan tWI didiskusikan di Gedung PBNU pada 6 Juni 2006, berisi kumpulan artikel tentang Ahmadiyah yang ‘terpenjara’ karena fatwa MUI, itu didiskusikan oleh 50 peserta. Ahmad Suaedy, Direktur Eksekutif tWI, menjadi pembicara pada seminar tentang Perda Syariat Islam (Perda SI) yang bertempat di Teater Utan Kayu, 27 Juli 2007. Diskusi buku Hajatan Demokrasi; Diskusi Buku Hajatan Demokrasi Potret Jurnalistik Pemilu Langsung Simpul Islam Indonesia dari Moderat Hingga Garis Keras digelar di kantor tWI pada 17 Oktober 2006. Buku riset tentang pemilu dan pilkada di berbagai simpul Islam Indonesia itu dibedah oleh sekitar 100 orang undangan. Mitra-mitra daerah juga menggelar bedah buku ini. Sementara FGD digelar tWI bekerja sama dengan mitraBersambung ke hlm. 8
PENERBITAN Gus Dur Asyik Gitu Loh, Karya Maia Rosyida Dengan fasih, penulisnya menuangkan dalil-dalil agama, al-Qur’an, Hadis dan pendapat ulama untuk memberikan argumen pada pikiran-pikiran yang diinspirasi oleh Gus Dur. Melalui buku yang dikemas dengan bahasa gaul ini, Maia yang juga penulis novel remaja ini mencoba mengarungi pikiran-pikiran Gus Dur sejauh mungkin dan memberikan apresiasi aksi-aksi Gus Dur sedekat mungkin. Bahasanya yang gaul, membuat buku ini enak dibaca, terutama oleh kalangan remaja. Politisasi Agama dan Konflik Komunal: Beberapa Isu Penting di Indonesia, Karya Ahmad Suaedy dkk. Keterbukaan dan kebebasan berekspresi tak selamanya menjadi garansi bagi terwujudnya sikap saling menghormisalmati. Ancaman kebebasan beragama atau berkeyakinan nya, terus hadir hilir mudik di depan mata. Gelombang penyesatan atas kelompok agama atau keyakinan yang dianggap berbeda, terus terjadi tiada henti. Konflik komunal terus berlangsung. Isu kristenisasi juga tak kunjung pudar. Persoalan kian diperumit dengan munculnya politisasi agama yang diantaranya berupa gempitanya Perda (bernuansa) Syariat Islam di berbagai daerah. Atas dasar itu semua, buku yang diangkat dari hasil riset program Pluralism Watch yang dilakukan the WAHID Institute sepanjang 20052006 ini hadir, kendati hanya menampilkan highlight yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Gus Dur Memilih Kebenaran daripada Kekuasaan, Wawancara dengan KH. Syarif Utsman Yahya Buku ini merupakan pandangan dan tafsir orang
dalam pesantren, yaitu KH Syarif Utsman Yahya. Kang Ayip —sapaan akrabnya— begitu fasih mengomentari dan menafsirkan gagasan Gus Dur. Mulai dari soal pribumisasi Islam, sekularisasi, kerja sama dengan Israel hingga tentang al-Qur`an sebagai kitab ‘porno’ yang kemudian disalahpahami dan dimanipulasi untuk tujuan politik. Pandangan pengasuh Pesantren Kempek Cirebon, ini layak diletakkan dalam sebuah kerangka untuk menebak dan menafsir puzzle Gus Dur. Islam Kosmopolitan, Karya KH. Abdurrahman Wahid Dalam buku ini, Gus Dur tampaknya hendak mengatakan bahwa berbagai peristiwa sosial, politik, dan budaya yang menyisakan konflik harus didekati dengan kaca mata so siologis dan pengertian yang bijak. Bukan malah memposisikan agama sebagai alternative yang justru akan melemahkan fungsi agama dalam ranah sosial. Islam haruslah tetap berperan dalam penegakan masalah-masalah kemanusiaan. Islam pernah mencapai titik tertinggi dalam peradaban manusia, justru ketika ia memberikan kebebasan kepada semua orang untuk berekspresi dan berkreasi. Hanya dengan cara yang sama, menulis atau berargumentasi, orang boleh berbeda tapi tidak boleh dengan kekerasan apalagi penindasan. Dua Wajah Islam: Moderatisme Vs Fundamentalisme dalam Wacana Global, Karya Stephen Sulaiman Schwartz Buku yang dihasilkan dari riset mendalam dengan datadata akurat ini menguraikan Islam Wahabi yang terbukti mendorong munculnya fanatisme dan kekerasan di ber bagai wilayah, terutama di Eropa Timur dan Timur Tengah. Penulisnya, yang muslim Amerika, juga menunjukkan ada pola Islam lain di luar Islam Wahabi yang justru menekankan toleransi, yaitu Islam Sufisme, yang menjadi akar toleransi ajaran agama-agama. Buku ini kian berbobot dengan pengantar dari KH. Abdurrahman Wahid dan C. Holland Taylor.
No. 3/TH. II/JULI - OKTOBER 2007 Sambungan dari hlm. 7
pada September dan Oktober 2006 yang terfokus pada masalah pilkada Yogyakarta dan Jepara. Juga Buletin Avatar pada Maret 2007 yang bertemakan kritik atas raperda larangan pelacuran bikinan pemda setempat. Ketiga edisi ini dicetak Diskusi Buku “Kala Fatwa Jadi Penjara” sebanyak 1.000 eks. Puspek Averroes Malang menerbitkan suplemen di Koran Pendidikan Malang, yang bertiras 3.000 eks, sepekan sekali selama Oktober dan November 2006.
mitranya di daerah yakni Laboratorium Agama dan Dakwah (LABDA) Salahuddin Yogyakarta, Fahmina Institute Cirebon, Lembaga Kajian & Pengembang an Masyarakat dan Pesantren FGD Pembentukan Desa Percontohan Syari’at Islam (LKPMP) dan Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Makassar, Pendidikan Tinggi (Dikti) Muhammdiyah Aceh, Rabithah Thaliban (RTA) Aceh, Lembaga Kajian FGD dan Workshop Program Pemantauan Pluralisme dan Legislasi No Lembaga Jenis Kegiatan Tempat & Waktu dan Pengembangan Sum1. Labda Yogyakarta FGD Pilkada Kulonprogo Yogyakarta Graha Sarina Vidi, Jl. Magelang KM 8, No.75 Sleman, Yogyakarta, 3/8/2006. 2. Fahmina Institute Cirebon Jawa Barat FGD Pluralisme Watch tentang Perda SI di Jawa Barat Wisma Gereja Kristen Pasundan Sukabumi Jawa Barat, 24/8/2006. ber Daya Manusia (Lak3. LKPMP dan LAPAR Makassar FGD tentang Pilkada dan Problem Keragaman di Sulawesi Selatan Aula Rumah Makan Nusantara Makassar, 5/9/2006. pesdam) NU Surabaya, 4. Dikti Muhammadiyah Aceh FGD tentang Pilkada Aceh Universitas Muhammadiyah Aceh, 16/9/2006. 5. RTA Aceh Workshop Partisipasi Masyarakat dalam Pilkada Aceh Damai Aula Pasca Sarjana IAIN AR-Raniry, Banda Aceh. 7/12/2006. dan Pusat Pengkajian dan 6. Labda Yogyakarta FGD Peran Masyarakat Sipil dalam Mewujudkan Pilkada Jepara yang Berkualitas Rumah Makan Citra, Jepara Jawa Tengah 31/1/2007. 7. LKPMP Makassar FGD membahas pelaksanaan syariat Islam di Maros Madrasah Aliyah DDI Maros Sulawesi Selatan, 17/4/2007 Pengembangan Kebuda 8. The Wahid Institute Roundtable discussion temuan riset mengenai isu pluralisme di Indonesia Hotel Grant Flora Kemang Jakarta, 23/7/ 2007. FGD jaringan pluralisme Jawa Barat mengungkap berbagai kekerasan dan ancaman yaan (Puspek) Averroes 9. Fahmina Cirebon Hotel Bentani Cirebon,19 - 21 Agustus 2007 pluralisme di Jawa Barat 10. LKPMP Makassar FGD tentang pembentukan desa percontohan syari’at Islam Warung Makan Nusantara, poros jalan Makassar-Maros, 27/9/2007. Malang. FGD ini berlang11. Lakpesdam NU Surabaya FGD tentang Tantangan dan Hambatan Pilkada Sampang, Madura Hotel PKPRI Jl. Trunojoyo 45 Sampang, 5/10/ 2007. sung dari Agustus 200612. Averroes Malang FGD Monitoring Politisasi Isu Agama/ SARA Dalam Pilwali Kab. Batu 2007 Gedung KPUD Kota Batu, 18/10/2007. Oktober 2007. Temanya tergantung konteks kedaerahan masing-masing; mulai dari Temanya berkisar pada isu-isu pluralisme sekitar Malang. pilkada, perda SI hingga ancaman pluralisme. Suplemen di koran Duta Masyarakat digunakan oleh LakpesSerangkaian kegiatan di atas dam NU Surabaya dua kali selama difokuskan pada upaya memperOktober 2006 untuk menyebarkan luas konsen masyarakat terhadap kritisisme atas Perda Ramadlan isu-isu seputar pluralisme. Deng dan korupsi. Ia dicetak sejumlah an kegiatan-kegiatan tersebut, 5.800 eks. diharapkan adanya pemetaan LAPAR Makassar juga menerproblem, penemuan sumber bitkan suplemen di koran harian. masalah, penemuan alternatif Workshop Partisipasi Masyarakat dalam Pilkada dan politik lokal diulas FGD Pilkada Kulonprogo Yogyakarta Pilkada Aceh Damai pemecahan, sosialisasi isu serta oleh LAPAR di harian Fajar—yang memperluas jaringan kerja pluralisme. bertiras 75.000 eks—pada 30 Oktober dan 20 November 2006. Guna menyebarluaskan isu dan program pemantauan plu- Nama suplemen tersebut adalah Iqra’. ralisme tersebut, tWI dan mitranya menerbitkan newsletter, LKPMP menerbitkan Buletin LKMP dan buletin Gazwatul Fikri suplemen di majalah dan buletin. dengan kritik atas syariat Islam sebagai fokusnya. Buletin LKMP tWI menerbitkan newsletter empat bulanan Nawala sebanyak hanya terbit pada November 2007. Sementara Gazwatul Fikri enam edisi. Temanya seputar legislasi, pluralisme, dan pilkada enam kali diterbitkan sepanjang Februari-Juli 2007. Masingsebanyak 500 eksemplar per edisi. Edisi terakhir menyoal FKUB masing dicetak sebanyak 1.000 eks. yang “direkayasa” untuk merukunkan umat beragama. Fahmina Institute menerbitkan suplemen di Harian Umum Untuk suplemen, tWI menerbitkannya sebulan sekali di Ma- Dialog, yang bertiras 10.000 eks, sebanyak delapan kali sepanjang jalah TEMPO yang beroplah 120.000 eks. Tema berkisar pada Agustus 2006-April 2007. Fokusnya pada pluralisme, pesantren, misi tWI menyebarkan Islam yang damai dan plural. Karena dan legislasi syariat Islam di Cirebon. Fahmina juga menerbitkan respon pembaca yang luar biasa, Warkah al-Basyar pada September 2006 dengan tema FKUB setelah menerbitkan 12 edisi dalam jumlah 18.000 eks. suplemen ini diperpanjang enam Dikti Muhammadiyah Aceh membuat Buletin FH Unmuh edisi. Kini, pada edisi ke-13 meAceh mengenai pilkada damai di NAD pada Oktober 2006. nampilkan dakwah Islam yang Buletin FH sebanyak 1.000 eks. Sepanjang November-Desemdamai melalui radio swasta dan ber 2006, Dikti bekerja sama dengan Koran Rakyat membikin radio komunitas. suplemen dengan tema sama. Koran ini terbit dengan tiras LABDA Salahuddin Yogya10.000 eks. FGD Peran Masyarakat Sipil dalam Mewujudkan Pilkada Jepara yang Berkualitas karta menerbitkan Buletin Labda