TANGAN TUHAN DI PENGADILAN: DALIH BENCANA ALAM DAN PERTANGGUNGJAWABAN PERDATA DALAM KASUS LINGKUNGAN 1
Andri G. Wibisana Abstract
This paper analyzes the court rulings on the use of natural disaster as a defense in tort cases. There are indeed at least three environmental cases in Indonesia, in which the defendants resorted to natural disaster as their defense. This paper focuses on one of these cases, namely the Walhi v. Lapindo, et al. case. The paper attempts to compare the Indonesian case with the US tort cases involving the so-called “Act of God” defense. In particular, the paper tries to discuss the question of what evidence should be established by the party claiming that that the damage sufferred was caused by a natural disaster. In so doing, the paper will seek the underlying rules in the definition of natural disaster, the relation between the act of God defense and liability rules, and the foreseeability requirement in tort law. In conclusion, the paper observes that compared to the US counterparts, the Indonesian court lacks consistency and logical reasoning in their decision on the natural disaster defense. Following the rulings on the use of act of God defense in the US courts, this paper argues that in order to create consistency in the court decisions, the defense should meet several requirements, such as being extraordinary, unanticipated, and free from human intervention. Keywords: the act of God defense; negligence, strict liability; causation
Actus dei nemini facit injuriam Sebagai negara yang berada di dalam jalur gunung berapi dan patahan bumi, Indonesia termasuk negara yang rawan bencana. Dalam tahun ini saja, banjir, gunung meletus, serta gempa bumi dan tsunami seperti datang silih berganti. Hidup di negara yang seperti ini, seharusnya membuat masyarakat
1
Penulis adalah Pengajar Hukum Lingkungan di Fakultas Hukum UI. Memperoleh SH dari Fakultas Hukum UI (1998), LLM dari Utrecht University (2002), dan Dr. dari Maastricht University (2008).
Pertanggungjawaban Perdata dalam Kasus Lingkungan, Wibisana
103
kita selalu waspada bahwa di balik keindahan dan keramahannya, alam sebenarnya menyimpan potensi bahaya yang mematikan. Ketidakmampuan untuk beradaptasi hanyalah membuat kita menyalahkan alam atas kerugian yang diderita, sambil melupakan bahwa dengan kehati-hatian, sesungguhnya banyak bencana yang bisa dihindari atau dikurangi dampaknya. Tulisan ini dibuat untuk memperlihatkan bagaimana kekuatan alam justru telah digunakan sebagai dalih untuk lepas dari pertanggungjawaban perdata atas suatu kerugian yang mungkin bukanlah sepenuhnya terjadi karena faktor alam. Meskipun dalih bencana alam seringkali dipakai sebagai cara untuk membebaskan diri dari pertanggungjawaban hukum, pengadilan di Indonesia tampaknya menerapkan prosedur pembuktian yang berbeda dari satu kasus ke kasus lainnya. Di satu sisi, dalam putusan MA (Januari 2007) atas kasus longsor Mandalawangi di Garut, hakim menguatkan putusan PN Bandung yang menolak dalih bencana alam karena tergugat (Perhutani dkk) dianggap telah lalai dalam mencegah longsor. Hal ini mengindikasikan bahwa dalih bencana alam akan ditolak apabila tergugat terbukti melakukan kesalahan. Di sisi lain, putusan PN Jaksel (Desember 2007) dalam kasus Walhi vs Lapindo dkk, menyatakan menerima pendapat tergugat (Lapindo) bahwa Banjir Lumpur Sidoarjo diakibatkan oleh faktor alam berupa gempa bumi Yogyakarta (2006), tanpa mempertimbangkan apakah ada kesalahan pada diri tergugat atau apakah kegiatan tergugat dapat berpengaruh pada munculnya banjir lumpur tersebut. Tulisan ini bermaksud untuk menjawab pertanyaan bagaimana pembuktian mengenai dalih bencana alam dilakukan di negara lain (AS), baik secara umum maupun dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban mutlak (strict liability). Dengan memaparkan pengalaman di negara lain, tulisan ini bermaksud pula menjawab pertanyaan bagaimana aturan bencana alam di AS dapat digunakan untuk menilai putusan pengadilan di Indonesia, dalam hal ini putusan Walhi v. Lapindo, dkk. Lebih jauh lagi, melalui tulisan ini, penulis berharap bahwa di masa depan, putusan tentang dalih bencana alam di Indonesia dapat lebih konsisten dan, tentu saja, bermutu. Setelah Pendahuluan, tulisan ini akan memperlihatkan beberapa definisi dari bencana alam, yang akan berpengaruh pada pertimbangan hakim dan pembuktian di pengadilan (Bagian 1). Selanjutnya, tulisan ini akan memaparkan unsur-unsur dari dalih bencana alam (Act of God) berdasarkan penelusuran atas beberapa literatur dan putusan pengadilan di AS (Bagian 2). Selanjutnya, Bagian 3 akan mencoba menarik kesimpulan dari literatur dan putusan di AS tentang pembuktian dalih bencana alam pada kasus-kasus yang menggunakan dasar pertanggungjawaban mutlak (strict liability). Pada Bagian 4, tulisan ini akan mencoba menganalisa Putusan pada kasus Walhi v.
104
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.1 Januari-Maret 2011
Lapindo, dkk berdasarkan perspektif penggunaan dalih bencana alam di AS. Bagian 5 merupakan kesimpulan dan catatan penutup dari tulisan ini. Tulisan ini dibuat dengan menggunakan metode penelitian doktrinal, yaitu sebuah metode yang berupaya mencari formulasi doktrin hukum 2 dengan jalan menganalisa aturan-aturan hukum yang ada. Di dalam artikel ini aturan-aturan tersebut akan dicari dan ditelaah dari peraturan perundangundangan serta putusan pengadilan. Di samping itu, untuk memaparkan aturan-aturan mengenai dalih bencana alam, penelitian ini menggunakan metode perbandingan, dengan fokus terutama pada peraturan perundanganundangan dan putusan pengadilan terkait dalih bencana alam di AS. Untuk memberikan gambaran dan analisa yang lebih mendalam tentang aturanaturan terkait bencana alam, beserta penafsiran dan implementasinya, artikel ini juga menggunakan berbagai literatur sebagai rujukannya. Tulisan ini secara induktif akan mencari benang merah dari aturan (rules) yang berlaku dalam penggunaan dalih bencana alam di AS. Hasil generalisasi praktek penggunaan dalih bencana alam di AS ini kemudian akan digunakan untuk membahas dan menganalisa penggunaan dalih bencana alam di Indonesia, dalam hal ini kasus Walhi v. Lapindo, dkk. Di samping itu, perlu pula dikemukakan di sini bahwa tulisan ini tidaklah semata-mata merupakan kajian deskriptif, yaitu kajian yang memfokuskan pada pemaparan aturan-aturan hukum yang ada mengenai dalih bencana alam, tetapi juga pada akhirnya merupakan kajian yang memberikan pendapat dan jawaban atas pertanyaan bagaimana seharusnya dalih bencana alam diatur dan ditafsirkan di Indonesia.3 Dengan demikian, di samping bersifat deskriptif, tulisan ini pun bersifat normatif, karena tidak hanya berupaya memaparkan apa yang ada (is), tetapi juga berupaya mencari jawaban atas apa yang seharusnya (ought) atau seharusnya dilakukan (ought to be done).4
2
P. Chynoweth, “Legal Research”, dalam: A. Knight dan L. Ruddock (eds.), Advance Research Methods in the Built Environment (Oxford: WileyBlackwell, 2008), 28-38, hal. 29. 3 Soekanto menjelaskan kedua bentuk kajian ini sebagai penelitian yang deskriptif dan perskirptif. Lihat: S. Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3 (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 9-10. 4 S. Ratnapala, Jurisprudence (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), hal. 27.
Pertanggungjawaban Perdata dalam Kasus Lingkungan, Wibisana
I.
105
Dalih Bencana Alam: Sebuah Pengantar
Secara prinsip, meskipun seseorang telah melakukan perbuatan melawan hukum atau, dalam konteks strict liability, meskipun kegiatan seseorang telah dapat dikategorikan sebagai kegiatan yang berbahaya (abnormally dangerous activities), orang tersebut masih dapat lepas dari pertanggungjawaban perdata karena beberapa alasan, di antaranya karena keadaan memaksa (overmacht). Djojodirdjo mengartikan keadaan memaksa sebagai “suatu paksaan yang tidak dapat dielakkan lagi yang datangnya dari luar”.5 Pendapat yang serupa juga diutarakan oleh Agustina, yang menyatakan bahwa “[o]vermacht adalah salah satu paksaan/dorongan yang datangnya dari luar yang tak dapat dielakkan atau harus dielakkan”.6 Bencana alam dapat kita golongkan sebagai sebuah bentuk overmacht, sepanjang memang merupakan kekuatan yang berasal dari luar pelaku, dan tidak bisa dielakkan. Memasukkan bencana alam sebagai salah satu alasan yang membebaskan diri dari pertanggungjawaban perdata, khususnya berdasarkan overmacht, konsisten dengan teori pertanggungjawaban perdata yang ada di berbagai negara. Dalam hal ini, Hall menyatakan bahwa di dalam hukum Romawi bencana alam (act of God)7, bersama-sama dengan “seizure by enemy forces and violence from pirates and armed robbers”, termasuk ke dalam vis maior yaitu peristiwa yang tidak bisa dihindarkan (inevitable accident), serta tidak bisa dilawan oleh upaya manusia. Cui humana infirmities resistere non potest.8 Persoalannya tentu saja adalah bagaimana mendefinisikan bencana alam (act of God) sebagai dalih untuk lepas dari pertanggungjawaban perdata. Pasal 35 UU No. 23/1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup
5
M.A.M. Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum (Jakarta: Pradnya Paramita, 1979), hal. 61. 6
R. Agustina, Perbuatan Melawan Hukum (Jakarta: Pascasarjana FHUI, 2003), hal. 44. 7
Untuk selanjutnya, terutama dalam pembahasan mengenai dalih bencana alam di AS, penulis akan mengartikan “Act of God” sebagai “bencana alam”, dan sebaliknya. Dengan demikian, kedua istilah ini akan digunakan secara interchangeable. 8
C.G. Hall, “An Unsearchable Providence: The Lawyer’s Concept of Act of God”, Oxford Journal of Legal Studies, Vol. 13, No. 2, 1993, 227-248, hal. 228.
106
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.1 Januari-Maret 2011
(UUPLH) secara eksplisit menyebut bencana alam sebagai salah satu alasan yang dapat dipakai untuk terlepas dari strict liability. Sayangnya, UUPLH sama sekali tidak menjelaskan apa yang dimaksud sebagai bencana alam. Definisi tentang bencana alam justru hanya dapat diketahui apabila kita merujuk pada undang-undang lain di Indonesia. Pasal 1 angka 2 UU No. 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana menyatakan bahwa bencana alam adalah “bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah 9 longsor”. Pengertian yang lebih sempit tentang bencana alam dapat dilihat pada penjelasan pasal 32 UU No. 10 tahun 1997 tentang tenaga nuklir yang menyatakan bahwa bencana alam yang dapat membebaskan operator dari pertanggungjawaban (berdasarkan strict liability) adalah gempa bumi yang melampaui kategori S1 dan S2.10 Kedua definisi di atas, menurut hemat penulis, tidak dapat dijadikan definisi hukum yang memadai untuk digunakan sebagai patokan di pengadilan. Di samping kedua undang-undang tersebut menyediakan definisi yang berbeda tentang bencana alam, definisi tersebut juga hanya menjelaskan “jenis” dari bencana alam, tetapi tidak menjelaskan sifat bencana alam seperti apa yang dapat membebaskan seseorang dari pertanggungjawaban perdata. Karena itulah, tulisan ini bermaksud menelusuri ciri-ciri dari bencana alam, sehingga dapat diterima sebagai dalih untuk lepas dari pertanggungjawaban perdata. Penelusuran Van Gerven, et al. tentang kasus-kasus di Perancis memperlihatkan bahwa dalih bencana alam sebagai sebuah cause étrangerè (penyebab eksternal) akan ditolak oleh pengadilan apabila tidak memenuhi syarat externality (lepas dari campur tangan/kesalahan tergugat), unforeseeable (tidak bisa diperkirakan), dan unavoidable (tidak bisa
9
Pasal 1 angka 1 UU No. 24 tahun 2007 menyatakan bahwa bencana adalah “peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.” 10
Menurut penjelasan ini, kategori S1 adalah gempa bumi maksimum yang dapat terjadi sekali selama umur operasi instalasi nuklir atau 50 tahun, sedangkan kategori S2 adalah gempa bumi maksimum yang dapat terjadi pada lokasi instalasi nuklir yang pernah terjadi di dalam siklus 1.000 (seribu) tahunan.
Pertanggungjawaban Perdata dalam Kasus Lingkungan, Wibisana
107
11
dihindarkan). Pendapat senada juga dapat kita lihat pada European Court of Justice. Sebagai contoh, di dalam kasus European Commissions vs. Italian Republic mengenai kegagalan Italia untuk membuat instalasi yang layak bagi pengolahan limbah, ECJ menyatakan bahwa sebuah force majeure haruslah merupakan peristiwa yang berada di luar kontrol manusia (dalam hal ini pihak yang berdalih tentang adanya force majeure), bersifat abnormal dan tidak bisa diperkirakan, serta tidak dapat dicegah.12 Sementara itu, penelusuran oleh Hall mengenai penggunaan dalih bencana alam di Pengadilan Inggris menunjukkan beberapa kesimpulan, di 13 antaranya: 1. 2. 3.
4.
5.
Bahwa act of God dapat merujuk baik pada peristiwa alam sebagai penyebab sebuah kerugian, atau pada kerugian itu sendiri; Bahwa setiap peristiwa alam memiliki potensi untuk menghasilkan act of God; Dalam menilai apakah sebuah peristiwa dapat dikatakan sebagai act of God, haruslah diperhatikan a). Apakah peristiwa tersebut sepatutnya sudah dapat diperkirakan sebelumnya (reasonably foreseeable), dan b). Apakah akibat yang ditimbulkannya sepatutnya dapat dicegah (reasonably be guarded againts); Dalil bencana alam akan ditolak apabila diketemukan adanya pelanggaran hukum (negligence) pada pihak yang mengajukan dalil bencana alam tersebut; Untuk menentukan apakah sesuatu “sepatutnya” dapat diperkirakan dan dicegah (reasonably foreseeable and preventable), hakim akan memperhatikan tidak hanya sifat dari
11
W. Van Gerven, J. Lever, dan P. Larouche, Cases, Materials and Text on National, Supranational and International Tort Law (Oxford: Hart Publishing, 2000), hal. 421. 12
European Commissions vs. Italian Republic, ECJ, in Case C-297/08, par. 85. Pengertian yang relatif sama juga terlihat dalam putusan atas kasus SGS Belgium NV v. Belgisch Interventie- en Restitutiebureau, et al, di mana ECJ menyatakan bahwa force majeure harus diartikan sebagai “abnormal and unforeseeable circumstances, outside the control of the party relying thereupon, the consequences of which, in spite of the exercise of all due care, could not have been avoided”. Lihat: SGS Belgium NV v. Belgisch Interventie- en Restitutiebureau, et al, ECJ, in Case C-218/09, par. 44. 13
C.G. Hall, Op.Cit., fn. 8, hal. 247-248.
108
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.1 Januari-Maret 2011
sebuah peristiwa, tetapi juga tingkat keseriusan, frekuensi terjadinya peristiwa, dan tingkat prediktabilitas dari peristiwa tersebut. Salah satu undang-undang di AS yang memberikan definisi terhadap bencana alam adalah Comprehensive Environmental Response Compensation and Liability Act (CERCLA). Undang-undang ini memberikan kewenangan kepada pemerintah federal, pemerintah negara bagian, pihak swasta, atau suku-suku Indian untuk melakukan pembersihan (clean up) atas pencemaran, dan kemudian meminta pertanggungjawaban pihak pencemar untuk melakukan pembayaran (semacam re-imbursement) atas pembersihan yang dilakukan.14 CERCLA menyatakan bahwa salah satu alasan untuk lepas dari 15 pertanggungjawaban ini adalah alasan bencana alam (act of God). Dalam hal ini, CERCLA mendefinisikan act of God sebagai sebuah “unanticipated grave natural disaster or other natural phenomenon of an exceptional, inevitable, and irresistible character, the effects of which could not have 16 been prevented or avoided by the exercise of due care or foresight”. Dengan demikian, bencana alam haruslah bersifat serius (grave) atau luar biasa (exceptional), tidak dapat diantisipasi (unanticipated), tidak bisa dielakkan (inevitable), dan tidak bisa ditahan (irresistible), dengan akibat yang tidak dapat dicegah/dihindari (unpreventable, unavoidable) meskipun telah dilakukan kehati-hatian secara layak (the exercise of due care or foresight). Selain CERCLA, undang-undang lain yang menyediakan pembelaan atas dasar bencana alam adalah Oil Pollution Act (OPA), serta Federal Water Pollution Control Act (yang lebih dikenal sebagai Clean Water Act, CWA). OPA memberikan definisi act of God yang identik dengan definisi yang diberikan oleh CERCLA. Sedangkan CWA mendefinisikan act of God sebagai sebuah peristiwa yang disebabkan oleh bencana alam yang serius (grave natural disaster).17
14
J.I. Bregman dan R.D. Edellal, Environmental Compliance Handbook, 2nd ed.(Washington, DC: Lewis Publishers, 2002), hal. 169. 15
CERCLA § 107(b)(1), 42 U.S.C. § 9607(b)(1).
16
CERCLA § 103 pont 1, 42 U.S.C. § 9601 point 1.
17
L. Fasoyiro, “Invoking the Act of God Defense”, Environmental & Energy Law & Policy Journal, Vol. 3(2), 2009, 1-33, hal. 3-6.
Pertanggungjawaban Perdata dalam Kasus Lingkungan, Wibisana
II.
109
Penggunaan Dalih Bencana Alam di AS
Pada bagian ini kita akan melihat bagaimana dalih bencana alam dipraktekkan di AS. Dalam hal ini, bagian ini mencoba menarik kesimpulan mengenai beberapa hal penting yang terkait dengan penafsiran dan pembuktian atas dalih bencana alam berdasarkan beberapa putusan pengadilan di AS. Beberapa putusan melihat bencana alam di dalam konteks bencana luar biasa, yang tidak bisa dicegah dan dihindarkan. Dalam Apex Oil Company, Inc. v USA (2002), Pengadilan E.D. Louisiana mengungkapkan bahwa “the term ‘‘act of God’’ means an unanticipated grave natural disaster or other natural phenomenon of an exceptional, inevitable, and irresistible character the effects of which could not have been prevented or 18 avoided by the exercise of due care or foresight.” Selanjutnya, pengadilan ini merujuk pada dokumen legislatif CERCLA yang menyatakan bahwa untuk membuktikan ada-tidaknya bencana alam tergantung dari pembuktian mengenai apakah bencana yang terjadi bersifat luar biasa (exceptional), tidak bisa dielakkan (inevitable), dan tidak bisa ditahan (irresistible).19 Ada pula putusan-putusan lain yang melihat bencana alam dari aspek ketiadaan campur tangan manusia (without human intervention), dan ketiadaan kemampuan yang wajar (reasonable) untuk memperkirakan atau mencegah terjadinya bencana. Dalam hal ini, Pengadilan New York, ketika memutus kasus Joseph Resnick, Co., Inc. v. Nippon Yusen Kaisha, et al. (1963), merujuk pada definisi bencana alam yang diberikan oleh Black’s Law Dictionary, di mana bencana alam didefinisikan sebagai berikut: “Any misadventure or casualty is said to be caused by the ‘act of God’ when it happens by the direct, immediate, and exclusive operation of the forces of nature, uncontrolled or uninfluenced
18
19
Apex Oil Company, Inc. v USA (2002), 208 F.Supp.2d 642, hal. 648.
“The defense for the exceptional natural phenomenon is similar to, but more limited in scope than, the traditional ‘act of God’ defense. It has three elements: the natural phenomenon must be exceptional, inevitable, and irresistible. Proof of all three elements is required for successful assertion of the defense. The ‘act of God’ defense is more nebulous, and many occurrences asserted as ‘acts of God’ would not qualify as ‘exceptional natural phenomenon.’ For example, a major hurricane may be an ‘act of God,’ but in an area (and at a time) where a hurricane should not be unexpected, it would not qualify as a ‘phenomenon of exceptional character.” Ibid., hal. 653.
110
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.1 Januari-Maret 2011
by the power of man and without human intervention, and is of such a character that it could not have been prevented or escaped from by any amount of foresight or prudence, or by any reasonable degree of care or diligence, or by the aid of any appliances which the situation of the party might reasonably 20 require him to use.”
20
Joseph Resnick, Co., Inc. v. Nippon Yusen Kaisha, et al (1963), 39 Misc.2d 513 hal. 513; 241 N.Y.S.2d 134 hal. 135. Sementara itu, Pengadilan Banding Tennessee dalam Paul Butts et al. v. City of South Fulton (1978), juga menyatakan: “Any misadventure or casualty is said to be caused by the “Act of God” when it happens by the direct, immediate, and exclusive operation of the forces of nature, uncontrolled or uninfluenced by the power of man and without human intervention. It must be of such character that it could not have been prevented or escaped from by any amount of foresight or prudence, or by the aid of any appliances which the situation of the party might reasonably require him to use.” Lihat: Paul Butts et al. v. City of South Fulton (1978), 565 S.W.2d 879, hal. 882. Hal senada juga diungkapkan oleh Pengadilan Banding Texas dalam kasus Kendall McWilliams, et al. v. Robert John Masterson (2003). Dalam hal ini, Pengadilan menyatakan bahwa “[f]or one to be insulated from liability due to an act of God, it must be shown that: (1) the loss was due directly and exclusively to an act of nature and without human intervention, and (2) no amount of foresight or care which could have been reasonably required of the defendant could have prevented the injury.” Lihat: Kendall McWilliams, et al. v. Robert John Masterson (2003), 112 S.W.3d 314, hal. 315. Demikian pula definisi Mahkamah Agung Wyoming dalam kasus Sky Aviation Corp. v. William F. Colt (1970). Dalam kasus ini, pengadilan menyatakan bahwa “[t]erm “act of God” is any accident due directly and exclusively to natural causes, without human intervention, which by no means of foresight, pains or care, reasonably to have been expected, could have been prevented”. Lihat: Sky Aviation Corp. v. William F. Colt (1970), Wyo., 475 P.2d 301, hal. 301. Putusan lain yang mendefinisikan bencana alam dengan cara yang sama adalah Pengadilan Banding Texas, Dallas dalam kasus Utilities Pipeline Company v. American Petrofina Marketing (1988). Dalam kasus ini Pengadilan mengutip pada putusan Mahkamah Agung Texas dalam kasus Scott v Atchison (1978), yang menyatakan: “[T]he term “Act of God” as used in this charge is meant an accident that is due directly and exclusively to natural causes without human intervention and which no amount of foresight or care reasonably exercised could have prevented. The accitdent must be one occasioned by the violence of nature, and all human agency is to be excluded from creating or entering into the cause. The terms implys [sic] the
Pertanggungjawaban Perdata dalam Kasus Lingkungan, Wibisana
111
Definisi lain tentang bencana alam merujuk pada sifat bencana alam yang tidak biasa (unusual), luar biasa (extraordinary), tiba-tiba dan tidak bisa diduga (sudden and unexpected), sehingga merupakan sesuatu yang tidak bisa dicegah. Pendapat ini bisa dilihat dari putusan Mahkamah Agung Pennsylvania dalam kasus Carlson, et al. v. Corrugated Box Corp. (1950). Putusan untuk kasus ini mendefinisikan bencana alam sebagai “an unusual, extraordinary, sudden, and unexpected manifestation of the forces of nature 21 which cannot be prevented by human care, skill or foresight....” Terakhir, ada pula putusan yang menjelaskan bencana alam sebagai sebuah sebab intervensi yang luar biasa dan bukan terjadi karena manusia (intervening cause and irresistible superhuman cause), sehingga tidak bisa diperikrakan (unforeseeable) dan tidak bisa dicegah (unprevented). Terkait dengan hal ini, Mahkamah Agung Kansas dalam kasus Donald McFeeters et al. v. M. W. Renollet and Renollet Homes, Inc. (1972), merumuskan bencana alam sebagai “an irresistible superhuman cause such as no reasonable human foresight, prudence, diligence and care can anticipate and prevent; and to be a defense must be an intervening cause which was not foreseeable and the consequences of which could not be prevented.”22 Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk dapat diterima sebagai dalih yang melepaskan dari pertanggungjawaban, bencana alam haruslah memiliki sifat yang serius, tidak dapat diperkirakan, diantisipasi, dan dicegah, serta terbebas dari campur tangan manusia. 1.
Bencana Alam Bersifat Serius
Salah satu unsur yang harus dibahas ketika membuktikan dalih bencana alam adalah tingkat keseriusan bencana. Seperti diuraikan sebelumnya, bencana alam haruslah bersifat serius (grave) dan luar biasa (exceptional).
intervention of some cause not of human origin and not controlled by human power...” Lihat: Utilities Pipeline Company v. American Petrofina Marketing (1988), 760 S.W.2d 719 (Tex.App.—Dallas 1988), hal. 724. 21
Carlson, et al. v. Corrugated Box Corp. (1950), 364 Pa. 216, hal. 219; 72 A.2d 290, hal. 291. 22
Donald McFeeters et al. v. M. W. Renollet and Renollet Homes, Inc. (1972), 210 Kan. 158, hal.158; 500 P.2d 47, hal. 48.
112
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.1 Januari-Maret 2011 23
Dalam Sabine Towing & Transp., Co., Inc. v. USA (1981), Pengadilan US Court of Claims menerangkan bahwa makna dari bencana alam yang serius (grave natural disaster) adalah bahwa “the occurence must be of great magnitude”.24 Dengan demikian tidaklah semua gejala atau bencana alam dapat digunakan sebagai dalih untuk lepas dari pertanggungjawaban. Hanya gejala atau bencana alam yang bersifat luar biasalah (great magnitude) yang dapat digunakan sebagai dalih. Dalam Sabine Towing & Transp., Co., Inc. v. USA (1981), pengadilan menolak untuk mengkategorikan baik spring runoff of melted snow (lelehan salju yang menyebabkan meluapnya sungai, dan juga menyeret material yang kemudian menyebabkan robeknya lambung kapal), maupun material yang telah merobek lambung kapal tersebut sebagai bencana alam.25 Dalam kasus Southern Pac.Co. v. City of Los Angeles (1936), Mahkamah Agung California menolak hujan lebat atau badai hujan (rainstorms) sebagai sebuah dalih atas dasar bencana alam. Menurut pengadilan, curah hujan dengan intensitas di atas normal masih belum dapat dikatakan sebagai bencana alam. Dalam hal ini, pengadilan menyatakan “that a rainstorm which is merely of unusual intensity is not a ‘superhuman’ cause or act of God, superseding the original negligence as the proximate cause of the injury”.26 Pendapat serupa
23
Sabine Towing & Transp., Co., Inc. v. USA (1981), 666 F.2d 561 (1981). Dalam kasus ini, penggugat (Sabine Towing) mengajukan gugatan terhadap Pemerintah AS terkait dengan kewajiban penggugat berdasarkan Clean Water Act (CWA) untuk melakukan pembersihan atas tumpahan minyak dari salah satu kapal milik penggugat. Penggugat meminta agar Pemerintah AS mengganti biaya yang telah dikeluarkannya untuk melakukan pembersihan atas dasar bahwa tumpahan minyak tersebut merupakan akibat dari bencana alam. Pada tanggal 29 Maret 1979, kapal milik penggugat, yaitu T/S Colorado mengangkut minyak di Sungai Hudson dengan tujuan Rensselaer, New York. Ketika itu Colorado menabrak sesuatu di dalam sungai, yang tanpa diketahui telah terseret oleh arus sungai yang meluap karena salju yang meleleh (spring runoff of melted snow). Karena tabrakan tersebut, lambung Kapal Colorado robek, yang kemudian ketika proses bongkar muat, terjadilah tumpahan 30 sampai 50 ribu galon minyak ke Sungai Hudson. Untuk melakukan pembersihan kerena tumpahan tersebut, penggugat telah mengeluarkan uang sebanyak US$ 113, 943.41. Sabine Towing & Transp., Co., Inc. v. USA (1981), 666 F.2d 561 (1981) hal. 562-563. 24 Ibid., hal. 565. 25 Ibid., hal. 564-565.
Pertanggungjawaban Perdata dalam Kasus Lingkungan, Wibisana
113
juga terungkap dalam kasus USA, et al. v. J.B. Stringfellow, Jr. 27 (1987), di mana Pengadilan California menyatakan bahwa “rains were not the kind of “exceptional” natural phenomena to which the narrow act of God defence of section 107(b)(1) applies”.28 Sementara itu, dalam Sky Aviation Corp. v. William F. Colt (1970), pengadilan menolak untuk mengkategorikan angin sebagai 29 bencana alam. Menurut pengadilan, angin kencang (high winds) adalah fenomena alam biasa yang dalam waktu dan tempat tertentu merupakan sebuah gejala yang seharusnya bisa diantisipasi. Menurut pengadilan: “[t]he ordinary force of nature such as winds which are usual at the time and place are conditions which reasonably could have been anticipated and will not relieve from liability the person guilty of the original negligent act”.30 26
Southern Pac. Co. v. City of Los Angeles, et al. (1936), 5 Cal.2d 545, hal. 549; 55 P.2d 847. 27
USA, et al. v. J.B. Stringfellow, Jr. (1987), et al., 661 F.Supp. 1053 (C.D.Cal. 1987). Dalam kasus ini, penggugat, yaitu Pemerintah Federal AS dan Pemerintah California, meminta para tergugat, yaitu penghasil limbah B3, pemilik dan pengelola pengolahan limbah B3, dan pengangkut limbah B3, untuk mengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh penggugat untuk melakukan pemulihan atas pencemaran karena limbah B3. Dalam kasus ini, para tergugat berdalih bahwa pencemaran terjadi karena hujan lebat. 28
Ibid., hal. 1061. Di dalam Radburn v. Fir Tree Lumber, Co. (1915), Mahkamah Agung Washington menolak penggunaan alasan curah hujan yang melampaui catatan resmi Pemerintah tentang curah hujan selama 13 tahun sebagai sebuah bencana alam. Lihat: Radburn v. Fir Tree Lumber, Co. (1915), 83 Wash. 643, hal. 646; 145 P. 632, hal. 633. Meski demikian perlu kiranya diungkapkan di sini pendapat Mahkamah Agung North Dakota dalam kasus Emil Frank, et al. v. County of Mercer (1971) yang menyatakan bahwa hujan dengan volume lebih dari dua kali volume hujan maksimum yang dapat terjadi dalam 100 tahun merupakan sebuah bencana alam, karena tidak ada upaya yang dapat dilakukan untuk memperkirakan dan melakukan antisipasi atas terjadinya banjir akibat hujan dengan volume seperti ini. Lihat: Emil Frank, et al. v. County of Mercer (1971), 186 N.W.2d 439, hal. 439. 29
Sky Aviation Corp. v. William F. Colt (1970), Wyo., 475 P.2d 301. Dalam kasus ini, penggugat, yaitu perusahaan penyewaan pesawat terbang, menggugat tergugat (penyewa) atas kerusakan pada pesawatnya yang terbalik ketika sedang diparkir oleh tergugat. Dalam kasus ini, tergugat berdalih bahwa angin kencanglah yang menyebabkan pesawat terbalik (flipped over).
114
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.1 Januari-Maret 2011
Meskipun demikian, perlu dinyatakan di sini bahwa sebagian besar putusan pengadilan menjelaskan unsur “grave” atau “exceptional” dengan merujuk pada jawaban atas pertanyaan apakah gejala alam yang terjadi belum pernah terjadi sebelumnya (unprecedented), tidak bisa diperkirakan/diantisipasi (unforeseeable/ unanticipated), atau tidak bisa dicegah/dihindari (unpreventable/ unavoidable). Dengan demikian, sebenarnya pembahasan tentang keseriusan sebuah gejala alam pada akhirnya akan terkait dengan kemampuan untuk memperkirakan terjadinya gejala alam dan mencegah dampak buruk jika gejala alam tersebut terjadi. 2.
Bencana Alam Tidak Bisa Diperkirakan dan Dicegah
Untuk dapat digunakan sebagai dalih, di samping harus bersifat luar biasa, bencana alam haruslah merupakan sesuatu yang belum pernah terjadi (unprecedented) atau tidak bisa diperkirakan (unforeseeable), sehingga dampak yang dihasilkan tidaklah dapat dicegah (unpreventable) atau dihindari (unavoidable). Dalam kasus State, et al. v. Malone (1943), Pengadilan Banding Texas secara tegas membedakan antara definisi unprecedented dengan unusual atau extraordinary. Dalam hal ini, pengadilan menyatakan bahwa unprecedented berarti tidak ada contoh sebelumnya atau merupakan kejadian baru; sedangkan unusual atau extraordinary mengimplikasikan bahwa peristiwa serupa telah terjadi, meskipun jarang atau tidak tentu (infrequent).31 Untuk melihat apakah sebuah gejala alam merupakan sesuatu yang unprecedented, beberapa pengadilan menilainya dari kemampuan untuk mengantisipasi atau memperkirakan gejala alam tersebut, serta kemampuan untuk mencegah dampak yang muncul. Dalam kasus Kennedy et al v. Union Electric, Co. of Missouri (1956), Mahkamah Agung Missouri menyatakan: “[t]he term “Act of God” in its legal sense, applies only to events in nature so extraordinary that the history of climatic variations and other conditions in the particular locality
30
Sky Aviation Corp. v. William F. Colt (1970), Wyo., 475 P.2d 301, hal.
304. 31
Pengadilan menyatakan ““Unprecedented” means “having no precedent or example; novel, new, unexampled ...“Unusual” and “extraordinary”, on the other hand, presuppose other like occurrences, though rare or infrequent.” State, et al. v. Malone (1943), 168 S.W.2d 292, hal. 300.
Pertanggungjawaban Perdata dalam Kasus Lingkungan, Wibisana
115
afford no reasonable warning of them.”32 Dari putusan ini terlihat bahwa apakah sebuah gejala alam merupakan sesuatu yang luar biasa tergantung dari apakah catatan variasi iklim dan kondisi setempat memungkinkan adanya peringatan bahwa gejala alam serupa akan terjadi.33 Dalam kasus Apex Oil Company, Inc. v USA (2002), pengadilan bahkan menyatakan bahwa badai besar (major hurricane) tidak dapat digunakan sebagai dalih bencana alam ketika badai tersebut terjadi pada waktu dan daerah tertentu yang memungkinkan badai tersebut dapat diperkirakan sebelumnya.34 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sebuah bencana alam yang, meskipun luar biasa, pernah terjadi di masa lalu, harus dianggap sebagai sesuatu yang dapat terjadi lagi, sehingga seharusnya sudah bisa diperkirakan. Dalam hal ini, Mahkamah Agung Nebraska dalam kasus Fairbury Brick, Co. v. Chicago, R.I &P.RY.Co (1907), menyatakan: “The mere fact that a flood is extraordinary is not sufficient to absolve the defendant from liability. Although a rainfall may be more than ordinary, yet if it be such as has occasionally occurred at irregular intervals, it is to be foreseen that it may occur again; and a party engaged in a public work, the construction of which involves the change or restraint of the flow of water in a natural channel, is guilty of negligence if it fails to make reasonable provision for the consequences that will result from such extraordinary rainfalls as experience shows are likely to recur.”35
32
Kennedy et al. v. Union Electric, Co. of Missouri (1956), 358 Mo. 504, hal. 518; 216 S.W.2d 756, hal. 763. 33
Pendapat serupa juga diungkapkan oleh hakim dalam kasus Emil Frank, et al. v. County of Mercer (1971). Lihat: Emil Frank, et al. v. County of Mercer (1971), 186 N.W.2d 439, hal. 443. 34
35
Apex Oil Company, Inc. v USA (2002), 208 F.Supp.2d 642, hal. 653.
Fairbury Brick, Co. v. Chicago, R.I &P.RY.Co (1907), 79 Neb. 854, 113 N.W. 535, hal. 537. Pendapat serupa juga dinyatakan oleh Mahkamah Agung Nebraska dalam kasus Webb v. Platte Valley Public Power & Irrigation Dist. (1941) serta Pengadilan Banding Texas dalam State et al. v. Malone. Lihat: Webb v. Platte
116
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.1 Januari-Maret 2011
Unsur lain yang perlu diperhatikan dalam pembuktian mengenai bencana alam adalah bahwa bencana alam haruslah merupakan sesuatu yang tidak bisa diperkirakan (unforeseeable), tidak bisa diantisipasi (unanticipated), dan tidak bisa dicegah (unpreventable). Dalam kasus Christopher L. Phillips v. USA (1992), Pengadilan Idaho berpendapat bahwa konsep dapat diperkirakannya sesuatu (unforeseeability) merupakan sebuah konsep yang fleksibel. Apabila pengadilan menganggap bahwa bahaya yang akan timbul adalah besar dan pencegahan relatif mudah, maka tingkat foreseeability yang dibutuhkan adalah rendah; sedangkan apabila tingkat bahaya rendah dan pencegahan dianggap sulit, maka tingkat foreseeability menjadi tinggi pula.36 Dalam bahasa sederhana dapat dikatakan bahwa apabila bahaya dianggap besar, dan pencegahan dianggap mudah, maka setiap orang diharuskan untuk semakin mampu memperkirakan dampak yang akan timbul, dan kemudian mengambil langkah pencegahan yang diperlukan. Lebih lanjut, pengadilan juga menyatakan bahwa ukuran foreseeability bukan hanya didasarkan pada apa yang mungkin (misalnya apakah kerugian lebih mungkin terjadi atau tidak), tetapi juga harus memasukkan “whatever result is likely enough in setting of modern life that reasonably prudent person would take such into account in guiding reasonable conduct”.37 Di samping didasarkan pada perkembangan pengetahuan, foreseeability juga ditentukan berdasarkan kekhususan lokasi dan pengalaman setempat. Sesuatu yang pernah terjadi, atau biasa terjadi, tidak peduli seberapa besar dampaknya, haruslah dianggap sebagai sesuatu yang dapat diperkirakaan (foreseeable). Apabila pengadilan menganggap sebuah “bencana alam” sebagai sesuatu yang foreseeable, baik dalam hal terjadinya maupun dalam hal dampaknya, maka pengadilan akan menolak dalih bencana alam tersebut. Dalam Southern Pac. Co. v. City of Los Angeles, et al. (1936), pengadilan menyatakan bahwa: Valley Public Power & Irrigation Dist. (1941), 146 Neb. 61, hal. 70; 18 N.W.2d 563, hal. 568; lihat pula: State et al. v. Malone, 168 S.W.2d 292, hal. 300. 36
37
Christopher L. Phillips v. USA (1992), 801 F.Supp. 337, hal. 337.
Ibid. Secara sederhana, ini berarti bahwa untuk mengukur foreseeability, maka harus dilihat pula akibat-akibat yang mungkin terjadi berdasarkan kehidupan modern (misalnya berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi), dan kemudian akibat-akibat ini harus dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan seseorang.
Pertanggungjawaban Perdata dalam Kasus Lingkungan, Wibisana
117
“There is nothing in the nature of the rainstorm involved in this case which makes it so totally unforeseeable as to act as a superseding cause. It was simply a heavy rain, commencing and continuing for several days, and perhaps it established a record for volume in inches in that region. But it cannot be concluded from this fact that the cause was wholly unforeseeable. Rainfall is foreseeable in most places, and heavy rainfall was characteristic of that region. There is no point at which an expectable heavy rain becomes an act of God by reason of its unusual volume.”38 Terkait dengan persoalan antisipasi dan pencegahan bencana, beberapa pengadilan menyatakan bahwa yang menjadi ukuran dari antisipasi dan pencegahan adalah langkah-langkah antisipasi dan pencegahan yang masuk akal (reasonable). Dalam hal ini, Mahkamah Agung Kansas dalam kasus R. Rex Lee v. Mobile Oil Corp., et al. (1969) menyatakan bahwa bencana alam adalah “an irresistible superhuman cause, such as no reasonable human foresight, prudence, diligence and care can anticipate and prevent.”39 Salah satu cara untuk mengukur istilah “masuk akal” (reasonable) adalah kondisi atau keadaan manusia yang normal. Mahkamah Agung Nebraska dalam Fairmont Creamery Co. v. Thompson (1941), menyatakan bahwa bencana alam adalah “an unusual and extraordinary manifestation of the forces of nature that it could not under normal conditions have been anticipated or expected.”40 Terkait dengan hal ini, perlu pula dikemukakan di sini bahwa pengadilan akan
38
Southern Pac. Co. v. City of Los Angeles, et al. (1936), 5 Cal.2d 545, hal. 549; 55 P.2d 847. 39
R. Rex Lee v. Mobile Oil Corp., et al. (1969), 203 Kan. 72, hal. 74; 452 P.2d 857, hal. 860. Pendapat yang sama dikemukakan pula dalam putusan Donald McFeeters et al. v. M. W. Renollet and Renollet Homes, Inc. (1972), yang menyatakan bahwa “[a]n ‘act of God’, as known in the law, is an irresistible superhuman cause, such as no reasonable human foresight, prudence, diligence and care can anticipate and prevent.” Lihat: Donald McFeeters et al. v. M. W. Renollet and Renollet Homes, Inc. (1972), 210 Kan. 158, hal.164; 500 P.2d 47, hal. 52. Hal yang sama dapat pula dilihat pada: Webb v. Platte Valley Public Power & Irrigation Dist., 146 Neb. 61, hal. 70; 18 N.W.2d 563, hal. 568. 40
Fairmont Creamery Co. v. Thompson (1941), 139 Neb. 677; 298 N.W. 551, hal. 553.
118
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.1 Januari-Maret 2011
menganggap gejala alam yang kerap terjadi sebagai sesuatu yang secara normal dapat diantisipasi dan harus diperhitungkan dalam melakukan sebuah usaha atau kegiatan.41 Rundall menyatakan bahwa dalam menentukan dapat tidaknya sebuah gejala alam diantisipasi, maka pengadilan biasanya memperhatikan karakter dari tempat kejadian dan sejarah dari kejadian sejenis di tempat tersebut. Menurutnya apabila sebuah gejala alam, berdasarkan karakter setempat dan kejadian sejenis di masa lalu, dianggap sebagai sebuah kejadian yang dapat diantisipasi, maka dalih bencana alam otomatis akan gugur.42 Semua kasus yang dikemukakan pada bagian terdahulu adalah kasus yang terkait dengan hujan, badai, banjir, atau salju. Tidak ada satu pun dari kasus di atas yang terkait dengan gempa bumi. Atas hal ini, maka mungkin akan muncul pendapat yang menyatakan bahwa gempa bumi tetap dapat dianggap sebagai gejala alam yang memenuhi syarat sebagai dalih bencana alam. Dalam kasus Shea-S&M Ball v. Massman-Kiewit- Early, et al. (1979) Pengadilan Banding pada Disctrict of Columbia Circuit, dengan merujuk pada putusan Garner v.
41
Dalam Sabine Towing & Transp., Co., Inc. v. USA (1981), pengadilan menyatakan bahwa “unanticipated”, di dalam definisi bencana alam sebagai alasan (exception) untuk melepaskan diri dari pertanggungjawaban, “cannot be read to allow the exception to cover regular and frewuent conditions, like freshets, where the dangers are expected and where the losses are normally worked into the cost of doing business”. Lihat: Sabine Towing & Transp., Co., Inc. v. USA (1981), 666 F.2d 561 (1981), hal. 562. 42
M.T. Rundall, “Act of God” as a Defense in Negligence Cases”, Drake Law Review, Vol. 25, 754-762, 1976, hal. 755. Rundall pun melihat bahwa antisipasi ini adalah faktor terpenting dari penilaian atas dalih bencana alam. Menurutnya, beberapa putusan di AS bahkan menunjukkan bahwa unsur unprecedented dibuktikan melalui penilaian ada-tidaknya kemampuan untuk mengantisipasi peristiwa yang terjadi. Ibid., hal. 766. Mahkamah Agung Wyoming di dalam kasus Jacoby v. Town of City of Gillettte (1946), bahkan menolak untuk mengakui persyaratan bahwa bencana alam haruslah sesuatu yang unik, baru, atau tidak pernah terjadi (unprecedented). Yang penting adalah bahwa persitiwa tersebut, karena sifatnya yang luar biasa, merupakan sesuatu yang tidak bisa diantisipasi. Menurut putusan ini, agar sebuah gejala alam dapat dikatakan sebagai bencana alam, “it is not, in my opinion, necessary that it should be unique, that it should happen for the firs time; it is enough that it is extraordinary, and such as could not reasonably anticipated”. Lihat: Jacoby v. Town of City of Gillettte (1946), 174 P.2d 505, hal. 510.
Pertanggungjawaban Perdata dalam Kasus Lingkungan, Wibisana
119
Ritzenberg, menyatakan bahwa definisi bencana alam meliputi berbagai bencana, yang salah satu di antaranya adalah gempa bumi.43 Sementara itu, sebuah kasus, yaitu Slater v. South Carolina Ry. Co. (1888) yang diputuskan oleh Mahkamah Agung South Carolina, bahkan mendukung dalih bencana alam berupa gempa bumi yang diajukan oleh tergugat sebagai alasan untuk membebaskan tergugat dari pertanggungjawaban.44 Namun demikian, perlu pula kiranya dikemukakan di sini bahwa, sama seperti gejala alam lainnya, tidaklah semua gempa bumi dapat diterima sebagai dalih bencana alam. Hanya gempa bumi yang memenuhi syarat extraordinary, unforeseeable, dan unanticipated yang dapat digunakan sebagai alasan untuk lepas dari pertanggungjawaban.45 Atas dasar ini, maka penting sekali untuk melihat perkembangan iptek guna menentukan bukan hanya apakah sebuah gempa bumi bersifat luar biasa, tetapi lebih penting lagi untuk menilai apakah gempa tersebut merupakan sesuatu yang seharusnya sudah dapat diantisipasi atau tidak. Perlu pula kiranya di sini diungkapkan pendapat hakim dalam Joseph Resnick, Co., Inc. v. Nippon Yusen Kaisha, et al. (1963) yang menyatakan bahwa dengan perkembangan iptek, maka kita tidak bisa lagi dengan mudah menyalahkan alam (Tuhan) dengan menggunakan dalih bencana alam untuk lepas dari pertanggungjawaban. Menurut pengadilan:
43
Shea-S&M Ball v. Massman-Kiewit- Early, et al. (1979), 606 F.2d 1245 (1979), hal. 1249. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Mahkamah Agung Nebraska dalam kasus Firbury Brick, Co. v. Chicago R.I &P.RY.Co (1907), yang menyatakan bahwa “[b]y the term ‘act of God’ is meant those events and accidents which proceed from natural causes, and cannot be anticipated and guarded against, or resisted, such as unprecedented freshets, earthquakes, cyclones, and lightning [garis bawah dari penulis].” Lihat: Firbury Brick, Co. v. Chicago R.I &P.RY.Co. (1907), 79 Neb. 854, 113 N.W. 535, hal. 535. 44
Slater v. South Carolina Ry. Co. (1888), 29 S.C. 96, 6 S.E. 936. Meski demikian, perlu pula dikemukakan di sini bahwa dalih bencana alam diterima oleh pengadilan karena dalih ini tidak dibantah oleh saksi-saksi yang diajukan penggugat. Slater v. South Carolina Ry. Co. (1888), 29 S.C. 96, 6 S.E. 936, hal. 937. 45
Shea-S&M Ball v. Massman-Kiewit- Early, et al. (1979), 606 F.2d 1245 (1979), hal. 1249; Firbury Brick, Co. v. Chicago R.I &P.Ry.Co., 79 Neb. 854, 113 N.W. 535, hal. 535.
120
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.1 Januari-Maret 2011
“In this nuclear age, man's unlimited capabilities and scientific advancement have brought him to the very threshold of other planets. His newly harnessed nuclear power causes atmospheric reactions as yet unresolved and unpredicted, next to which his ability to create rain by the use of dry ice seems almost primitive. Is it not time to relieve Nature of even the formal blame for many acts which now seem to be within the scope of man's prowess? Perhaps the term ‘act of God’ should be replaced by a concept which reflects the possibility of human causality as well as that of the Divine…”46 Dalam menilai penggunaan gempa bumi sebagai dalih bencana alam, ada baiknya apabila kita merujuk pada putusan Paul Butts et al. v. City of South Fulton (1978) seperti dikutip pada bagian terdahulu, yaitu bahwa bencana alam haruslah “of such character that it could not have been prevented or escaped from by any amount of foresight or prudence, or by the aid of any appliances which the situation of the party might reasonably require him to use [garis bawah dari penulis].”47 Dari kutipan di atas terlihat bahwa salah satu yang harus diperhatikan dalam penilaian sebuah dalih bencana alam adalah apakah mereka yang mendalilkan adanya bencana telah menggunakan cara/teknologi yang layak untuk mencegah terjadinya bencana. Karena perkembangan iptek yang begitu pesat sekarang ini, maka terhadap gempa bumi pun tetaplah dapat dituntut adanya perkiraan, antisipasi, dan upaya pencegahan yang selayaknya dilakukan. Akibatnya, maka penggunaan gempa bumi sebagai dalih bencana alam pun seharusnya menjadi semakin sulit. Atas dasar ini, maka Flatt dan Kliner menyatakan bahwa “[g]iven the current state-of-the-art knowledge of earthquake hazard assessment, in addition to the ability to provide earthquake resisteant structures at a relatively nominal increase in cost, the Act of God defense should not be viable”.48
46
Joseph Resnick, Co., Inc. v. Nippon Yusen Kaisha, et al (1963), 39 Misc.2d 513 hal. 515-516; 241 N.Y.S.2d 134 hal. 136-137. 47
48
Paul Butts et al. v. City of South Fulton (1978), 565 S.W.2d 879, hal. 882.
W.D. Flatt dan W.R. Kliner, “When the Earth Moves and Buildings Tumble, Who Will Pay?—Tort Liability and Defenses for Earthquake Damage within the New Madrid Fault Zone”, Memphis State University Law Review, Vol. 22, 1-41, 1991, hal. 37.
Pertanggungjawaban Perdata dalam Kasus Lingkungan, Wibisana
121
Pada bagian lain, Flatt dan Kliner juga menyatakan bahwa dalam kurun waktu tertentu, gempa bumi pada patahan yang aktif sebenarnya relatif telah bisa diprediksi dan diperkirakan. Menurut mereka, “[i]n an active fault zone, earthquakes of magnitudes sufficient to cause significant damage are predictable within a given time frame. Thus, they are foreseeable...”49 Di samping itu, kemajuan iptek saat ini tidak hanya mampu memperkirakan potensi terjadinya gempa bumi berserta dampak yang dapat terjadi, tetapi juga telah mampu menciptakan prediksi yang lebih akurat serta kontrol yang lebih baik atas gempa bumi. Dan karena gempa bumi saat ini semakin bisa diprediksi dan dikontrol dengan lebih baik, maka menurut Flatt dan Kliner, gempa bumi sebenarnya telah kehilangan kekuatannya untuk digunakan sebagai dalih bencana alam. Menurut mereka, “[w]ith today’s advanced research and technology, however, scientists...are better able to forecast an earthquake with an increasing degree of accuracy. Furthermore, advanced seismic design...ensures better survivability. Without the twin pillars of lack of predictability and lack of control, this defense is certainly on the wane as applied to earchquakes.”50 3.
Konkurensi antara Kesalahan dengan Bencana Alam
Dalam prakteknya, tidak tertutup kemungkinan bahwa bencana alam terjadi bersama-sama (comingling) dengan kesalahan (fault/negligence) pada pihak tergugat.51 Pencampuran antara bencana alam dan kesalahan ini menimbulkan dua pertanyaan. Pertama, apakah tergugat dapat terlepas dari pertanggungjawaban atas dasar adanya bencana alam ketika ternyata terbukti bahwa tergugat memiliki andil berupa kesalahan? Kedua, bagaimana pembagian pertanggungjawaban
49
Ibid., hal. 38.
50
Ibid., hal. 39.
51
Kata “tergugat” di sini maksudnya adalah pihak yang mengajukan dalil bencana alam untuk lepas dari pertanggungjawaban. Di dalam beberapa kasus, pihak ini bisa saja merupakan penggugat. Lihat misalnya: Utilities Pipeline Company v. American Petrofina Marketing (1988), 760 S.W.2d 719 (Tex.App.—Dallas 1988). Namun demikian, untuk mempermudah dan mempersingkat penulisan, di dalam artikel ini, pihak yang mengajukan dalih bencana alam akan disebut sebagai pihak “tergugat”, karena memang ini yang terjadi pada sebagian besar kasus.
122
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.1 Januari-Maret 2011
ketika terbukti bahwa baik tergugat maupun bencana alam sama-sama memiliki kontribusi atas kerugian yang terjadi? Bagian ini dimaksudkan untuk menjawab kedua pertanyaan ini. 1.
Kesalahan Membatalkan Dalih Bencana Alam
Di dalam kasus Oklahoma Ry., Co. v Boyd (1929), Mahkamah Agung Oklahoma menyatakan bahwa “[o]ne is not liable for damage resulting solely from an act of God; but if his negligence is a present contributing cause, which, commingled with the act of God, produces the injury, then he is liable, notwithstanding the act of God [garis bawah dari penulis].”52 Dengan demikian, apabila terdapat unsur kesalahan (fault/negligence) pada diri tergugat, maka dalih bencana alam akan ditolak, meskipun bencana alam tersebut memang benarbenar terjadi. Di dalam putusan lain, hakim menggunakan istilah yang lebih luas dari kata “negligence”. Misalnya saja, di dalam kasus Paul Butts et al. v. City of South Fulton (1978), hakim menyatakan bahwa untuk dapat diterima sebagai dalih yang membebaskan dari pertanggungjawaban, sebuah bencana alam haruslah semata-mata terjadi karena faktor alam, yang terbebas dari campur tangan manusia (without human intervention).53 Sejalan dengan pendapat ini, Mahkamah Agung Idaho dalam
52
Oklahoma Ry. Co. et al. v. Boyd (1929), 140 Okla. 45, 282 P. 157, hal. 163. Kesimpulan sejenis juga dapat dilihat dalam berbagai putusan, di antaranya: Arkansas Valley Electric Cooperative Corporation v. Hud Davis (1990), 304 Ark. 70, hal. 74; 800 S.W.2d 420, hal. 423; Beauton v. Connecticut Light & Power Co. Drapeau (1938), 125 Conn. 76, hal. 81; 3 A.2d 315, hal. 318; Fairmont Creamery Co. (1941), 139 Neb. 677; 298 N.W. 551, hal. 554; Herman Dye et ux v. Fred R. Burdick, et ux (1977), 262 Ark 124, hal. 139; 553 S.W.2d 833, hal. 839; Oklahoma City v. Tarkington (1936), 178 Okla. 430, 63 P.2d 689, hal. 690-691; Manila School District No. 15 of Mississippi County v. Earl Sanders (1956), 226 Ark. 270, hal. 274; 289 S.W.2d 529, hal. 532; Rix, et al. v. Town of Alamogordo (1938), 42 N.M. 325, 77 P.2d 765, hal. 770; Slater v. South Carolina Ry. Co. (1888), 29 S.C. 96, 6 S.E. 936, hal. 937; Skandia Insurance Co., Ltd., et al. v. Star Shipping AS, et al. (2001), 173 F.Supp.2d 1228 (S.D.Ala 2001), hal. 1241-1242; Theodore H. Freter v. Embassy Moving & Storage, Co., Inc. (1958), 218 Md. 12, hal. 15; 145 A.2d 442, hal. 444. 53
Paul Butts et al v. City of South Fulton (1978), 565 S.W.2d 879, hal. 882.
Pertanggungjawaban Perdata dalam Kasus Lingkungan, Wibisana
123
kasus Burdell Curtis, et al. v. E. Lee Dewey, et al. (1970) menyatakan bahwa “[t]he distinguishing characteristic of an ‘act of God’ is that it proceeds from the force of nature alone, to the entire exclusion of human agency [garis bawah dari penulis].”54 Apabila hakim menganggap bahwa bencana alam telah bercampur dengan perbuatan tergugat, baik dalam bentuk partisipasi aktif, kelalaian, maupun kegagalan untuk bertindak, maka bencana alam yang terjadi akan “dimanusiakan” (humanized), dalam arti akan dianggap sebagai hasil perbuatan manusia (tergugat). Akibatnya, maka dalih bencana alam pun akan ditolak. Secara tegas Pengadilan Banding Kentucky, dalam kasus Winchester Water Works Co. v. Holliday, et al. (1932), menyatakan: “The principle embodied in all of the definitions is that the act must be one occasioned exclusively by the violence of nature and all human agency is to be excluded from creating or entering into the cause of the mischief. When the effect, the cause of which is to be considered, is found to be in part the result of the participation of man, whether it be from active intervention or neglect, or failure to act, the whole occurrence is thereby humanized, as it were, and removed from the operation of the rules applicable to the acts of God. Thus if a party is in default for not performing a duty or not anticipating a danger, or where his own negligence has contributed as the proximate cause of the injury complained of, he cannot avoid liability by claiming that it was caused by an act of God [garis bawah dari penulis].”55 Pada bagian terdahulu disebutkan bahwa untuk dapat digunakan sebagai pembelaan, bencana alam haruslah merupakan
54
Burdell Curtis, et al. v. E. Lee Dewey, et al. (1970), 93 Idaho 847, hal. 848; 475 P.2d 808, hal. 809. Pernyataan seperti ini juga dikemukakan oleh Mahkamah Agung Idaho dalam kasus Johnson v. Burley Irrigation District (1956). Lihat: Raymond Johnson v. Burley Irrigation District (1956), 78 Idaho 392, hal. 398; 304 P.2d 912, hal. 916. 55
Winchester Water Works Co. v. Holliday, et al. (1932), 241 Ky. 762, 45 S.W.2d 9, hal. 11.
124
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.1 Januari-Maret 2011
sesuatu yang tidak bisa diperkirakan (unforeseeable) dan tidak bisa diantisipasi (unanticipated). Perlu diungkapkan di sini bahwa kegagalan untuk membuktikan kedua hal ini bukan saja akan menggugurkan dalih bencana alam, tetapi juga menunjukkan adanya kesalahan (fault/negligence) pada diri tergugat. Artinya, sesuatu yang dianggap seharusnya bisa diperkirakan dan diantisipasi, dengan sendirinya akan melahirkan kewajiban bagi tergugat untuk melakukan upaya antisipasi dan pencegahan. Apabila tergugat gagal melakukan upaya ini, maka ia akan dinyatakan bertanggungjawab atas kerugian yang timbul, karena dianggap telah gagal menunaikan duty of care mereka. Di dalam dissenting opinion atas kasus Kimble v. Mackintosh Hemphill, Co. (1948), Hakim Agung Patterson (Mahkamah Agung Pennsylvania) menyatakan: “It is a primary social duty of every person to take thought and have a care lest his action result in injuries to others. This social duty the law recognizes and enforces, and for any injury resulting from any person's lack of elementary forethought, the law holds that person accountable. A normal human being is held to foresee those injuries which are the consequences of his acts of omission or commission which he, as a reasonable human being, should have foreseen... All foreseeable dangers are to be considered in the solution of the problem whether the creation of the situation was a negligent act [garis bawah dari penulis].”56 Dengan demikian, tergugat memiliki kewajiban untuk mampu memperkirakan semua bahaya yang mungkin timbul dari perbuatannya. Ukuran perkiraan di sini tidak bersifat subjektif, dalam arti tergantung dari pengetahuan subjektif seseorang, tetapi bersifat objektif, karena tergantung pada ukuran pengetahuan dan tindakan manusia yang normal dan memiliki akal (reasonable man). Di dalam beberapa kasus dinyatakan bahwa kesalahan (fault/negligence) terbukti apabila tergugat gagal melakukan upaya antisipasi atas kerugian yang mungkin terjadi, termasuk kerugian karena faktor alam yang seharusnya bisa diantisipasi. 56
Kimble v. Mackintosh Hemphill, Co. (1948), Co., 359 Pa. 461, hal. 469; 59 A.2d 68, hal. 72.
Pertanggungjawaban Perdata dalam Kasus Lingkungan, Wibisana
125
Upaya antisipasi ini dapat berbentuk desain dan konstruksi (construction) serta pemeliharaan (maintenance) yang tepat,57 pengawasan (inspection/supervision) yang tepat,58 maupun pelaksanaan kegiatan (operation) yang aman bagi orang lain/publik (public safety).59 2.
Beban Pembuktian dan Pembuktian tentang Proporsi Kontribusi Kesalahan dan Bencana Alam (Apportionment)
Pertanggungjawaban perdata di dalam sistem common law mensyarakatkan dua unsur di dalam pembuktian, yaitu cause in fact dan legal cause (proximate cause).60 Di dalam USA v. Tex-
57
Carlson, et al v. A&P Corrugated Box Corp., 364 Pa. 216, hal. 220; 72 A.2d 290, hal. 292. Lihat juga: Firbury Brick, Co. v. Chicago R.I &P.RY.CO (1907), 79 Neb. 854, 113 N.W. 535, hal. 537; Luther Trarfer & Storage, Inc. v. W.H. Walton, et al (1957), 296 S.W.2d 750; Rix, et al. v. Town of Alamogordo (1938), 42 N.M. 325, 77 P.2d 765, hal. 770; dan Oklahoma Ry., Co. v Boyd (1929), 140 Okla. 45, 282 P. 157, hal. 163. 58
Christopher L. Phillips v. USA (1992), 801 F.Supp. 337, hal. 337, hal. 348; Waunetta W. Ingram,et al., v. Howard-Needles-Tammen and Bergendoff, and Kansas Turnpike Authority (1983), 234 Kan. 289, hal. 294;672 P.2d, hal. 1087. 59
Johnson v. Burley Irrigation District (1956), Idaho 392, hal. 398; 304 P.2d 912, hal. 916; demikian juga dissenting opinion hakim Hyde, dalam: Kennedy et al v. Union Electric, Co. of Missouri (1956), 358 Mo. 504, hal. 519; 216 S.W.2d 756, hal. 764; Liberian Poplar Transports v. USA (1992), 26 Cl.Ct. 223, hal. 226; Sabine Towing & Transp., Co., Inc. v. USA (1981), 666 F.2d 561, hal. 564; Webb v. Platte Valley Public Power & Irrigation Dist. 146 Neb. 61, hal. 70; 18 N.W.2d 563, hal. 568. 60
Cause in fact akan diuji berdasarkan apa yang disebut sebagai “the but for test”. Dalam hal ini, menurut Owen, sebuah perbuatan dikatakan sebagai sebab faktual (cause in fact) apabila kerugian tidak akan terjadi tanpa adanya perbuatan tersebut. Menurut Hart dan Honore, sebab faktual ini adalah sebab sine qua non. Meskipun perbuatan seseorang terbukti sebagai sebab faktual dari sebuah kerugian, orang tersebut tidak secara otomatis akan bertanggungjawab atas kerugian yang terjadi. Menurut Hart dan Honore, supaya orang tersebut bertanggungjawab, dibutuhkan sebuah pembuktian lagi untuk membedakan sebab faktual dari faktorfaktor lain yang mungkin akan berpengaruh. Pembuktian atas aspek non-faktual inilah yang disebut sebagai proximate cause. Owen menyatakan bahwa di dalam
126
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.1 Januari-Maret 2011
Tow, Inc. (1978), Pengadilan Banding dari Seventh Circuit menyatakan bahwa cause in fact merujuk pada kerugian yang terjadi. Di dalam kasus ini kerugian yang terjadi adalah pencemaran karena adanya tumpahan minyak oleh kapal (barge) pengangkut minyak. Sedangkan proximate cause merujuk pada apakah pencemaran yang terjadi merupakan akibat yang dapat diperkirakan dari perbuatan tergugat (Tex-Tow). Menurut pengadilan, proximate cause berfungsi untuk menentukan dan membatasi pertanggungjawaban perdata.61 Seseorang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas sesuatu yang tidak bisa diperkirakan akan muncul sebagai akibat dari kesalahannya (dalam konteks negligence) atau dari kegiatannya (dalam konteks strict liability).62
literatur, proximate cause sering juga disebut sebagai legal cause atau pun the scope of liability. Menurut Owen, di dalam pembuktian ini akan dipertimbangkan apakah berdasarkan logika, keadilan, kebijaksanaan, dan praktek tergugat harus bertanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh penggugat. Dalam konteks ini, supaya tergugat bertanggungjawab, perbuatan tergugat haruslah merupakan sebab yang cukup “dekat” dengan kerugian penggugat. H.L.A. Hart dan T. Honore, Causation in the Law (Oxford: Clarendon Press, 2002), hal. 109-111. Lihat juga: D.G. Owen, “The Five Elements of Negligence”, Hofstra Law Review, Vol. 35(4), 2007, 1671-1686, hal. 1679-1685. Untuk pembahasan lebih lanjut tentang proximate cause, lihat infra fn. 62. 61
62
USA v. Tex-Tow, Inc. (1978), 589 F.2d 1310 (1978), hal. 1314.
Grady menjelaskan dua doktrin untuk mengetahui proximate cause. Doktrin pertama adalah “The Direct-Consequences Doctrine”. Doktrin ini ditujukan untuk melihat apakah terdapat sebab lain yang mengintervensi (intervening causes) di antara perbuatan tergugat dan kerugian yang diderita penggugat. Intervening cause inilah yang, apabila terbukti, menjadi sebab konkuren yang efisien (concurrentefficient cause) atas kerugian yang terjadi. Dalam konteks ini, penyebab terakhir/terdekat lah yang akan bertanggungjawab atas kerugian yang terjadi. Dokrtrin kedua untuk proximate cause adalah “the reasonable-foresight doctrine”. Menurut doktrin ini, seseorang tidak akan bertanggungjawab atas kerugian yang secara wajar (reasonably) tidak bisa diperkirakan sebelumnya. Dengan demikian, agar seseorang bertanggungjawab atas kerugian yang terjadi, maka kerugian tersebut haruslah termasuk ke dalam resiko yang selayaknya sudah bisa diperkirakan (foreseeable) akan muncul dari kesalahan (dalam konteks pertanggungjwaban berdasarkan kesalahan) atau kegiatan (dalam konteks strict liability) dari orang tersebut. M.F. Grady, “Proximate Cause and the Law of Negligence”, Iowa Law Review, Vol. 69, 1984, 363-447, hal. 415-447.
Pertanggungjawaban Perdata dalam Kasus Lingkungan, Wibisana
127
Di dalam Rix, et al. v. Town of Alamogordo (1938), hakim menyatakan bahwa “proximate cause” tidaklah selalu merupakan penyebab satu-satunya dan bukanlah pula merupakan penyebab yang terakhir atau terdekat (last or nearest cause); tetapi lebih merupakan penyebab langsung dari kerugian (direct and existing cause).63 Untuk melihat apakah sebuah sebab merupakan penyebab langsung (proximate cause), salah satu ukuran yang digunakan adalah apakah kerugian yang terjadi merupakan akibat yang dapat diperkirakan (foreseeable) akan timbul dari sebab tersebut. Menurut Pengadilan Banding dari Fifth Circuit, dalam kasus USA v. West England Ship Owner’s P&I, et al. (1989), apabila unsur foreseeability ini dapat dipenuhi, maka dapat dikatakan bahwa sebab tersebut adalah proximate cause dari kerugian yang terjadi.64 Menurut Foster, et al. penggunaan pendekatan resiko (risk theory approach), yang mirip dengan doktrin “reasonable-foresight doctrine”, di dalam pembuktian akan menghasilkan kondisi yang berbeda dengan penggunaan pendekatan “proximate cause”, yang mirip dengan “direct-consequences doctrine”. Pertama, jika kerugian yang terjadi termasuk ke dalam resiko yang akan timbul dari perbuatan tergugat, maka menurut pendekatan resiko tergugat akan bertanggungjawab; sedangkan menurut doktrin direct-consequence tergugat belum tentu akan bertanggungjawab, karena selama ada penyebab lain yang lebih dekat terhadap kerugian dibandingkan dengan perbuatan tergugat, maka tergugat akan lepas dari pertanggungjawaban . Kedua, jika kerugian yang terjadi dapat diantisipasi, tetapi tidak ada seorang pun yang dapat diperkirakan akan menjadi korban dari kerugian tersebut, maka menurut pendekatan resiko tergugat tidak akan bertanggungjawab, sedangkan menurut doktrin direct-consequence tergugat mungkin akan tetap bertanggungjawab. Ketiga, jika penggugat dapat diperkirakan (foreseeable) dapat menderita beberapa kerugian, tetapi kerugian yang terjadi memiliki karakter dan tipe yang berbeda dari kerugian yang diperkirakan tersebut, maka menurut pendekatan resiko tergugat tidak akan bertanggungjawab, sedangkan menurut doktrin direct-consequence tergugat mungkin akan tetap bertanggungjawab. Keempat, jika kerugian yang terjadi tidak termasuk ke dalam zona resiko yang dapat diperkirakan (the zones of foreseeable risk), maka menurut pendekatan resiko tergugat tidak akan bertanggung jawab, sedangkan menurut doktrin directconsequence tergugat dapat bertanggungjawab selama perbuatannya merupakan sebab terdekat dari kerugian. Lihat: H.H. Foster, Jr., W.H. Grant, dan R.W. Green, “The Risk Theory and Proximate Cause—A Comparative Study”, Nebraska Law Review, Vol. 32, 1952-1953, 72-102, hal. 88-92 63
765
Rix, et al. v. Town of Alamogordo (1938), 42 N.M. 325, 77 P.2d 765, hal.
128
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.1 Januari-Maret 2011
Di dalam konteks pembuktian, bencana alam harus terbukti tidak hanya sebagai penyebab langsung (proximate cause), tetapi juga merupakan penyebab satu-satunya (sole cause). Di dalam Kennedy et al v. Union Electric, Co. of Missouri (1956), hakim menyatakan bahwa “the act of God was not only a proximate cause but was the sole cause [garis bawah dari penulis]”.65 Dalam bahasa lain, agar dapat digunakan sebagai dalih untuk membebaskan diri dari pertanggungjawaban, bencana alam tidak hanya harus merupakan suatu sebab yang berkontribusi (concurring/contributing cause), tetapi juga harus merupakan penyebab yang mengalahkan penyebab lainnya (superseding cause).66 Di dalam Charvoz v. Bonneville. Dist. (1951), Mahkamah Agung Utah menyatakan bahwa penyebab satu-satunya (sole cause) memiliki makna yang berbeda dengan penyebab utama (primary cause), karena penyebab utama merujuk pada kondisi jamak (yaitu terdapat banyak penyebab), sedangkan penyebab satu-satunya merujuk pada kondisi tunggal (yaitu tidak ada penyebab lain).67 Dalam kasus USA v. West England Ship
64
USA v. West England Ship Owner’s P&I, et al. (1989), 872 F.2d 1192 (5th Cir. 1989), hal. 1199. Pendekatan hakim ini mirip dengan pendekatan “the reasonable-foresight doctrine” atau pendekatan resiko (risk theory approach) dalam pembuktian proximate cause. Lihat: fn. 62. 65
Kennedy et al v. Union Electric, Co. of Missouri (1956), 358 Mo. 504, hal. 517; 216 S.W.2d 756, hal. 762. Pendapat yang sama dikemukakan oleh hakim dalam: Arkansas Valley Electric Cooperative Corporation v. Hud Davis (1990), 304 Ark. 70, hal. 74; 800 S.W.2d 420, hal. 423; Apex Oil Company, Inc. v USA (2002), 208 F.Supp.2d 642, hal. 658; Frederic H. Dickman v. Truck Transport, Inc. & Virgil Thompson (1974), 224 N.W.2d 459, hal. 465; Herman Dye et ux v. Fred R. Burdick, et ux (1977), 262 Ark 124, hal. 138; 553 S.W.2d 833, hal. 839; Joseph Resnick, Co., Inc. v. Nippon Yusen Kaisha, et al (1963), 39 Misc.2d 513 hal. 514; 241 N.Y.S.2d 134 hal. 136. 66
Di dalam Ardel Wolff v. Dudly Light (1968), Mahkamah Agung North Dakota menyatakan “[i]t must be more than a mere concurrent and contributing cause; it must be a responsible cause or a superseding cause, that is, one which has superseded the original act or been itself responsible for the injurty.” Lihat: Ardel Wolff v. Dudly Light (1968), 156 N.W.2d 175, hal. 180; Lihat pula: Southern Pac. Co. v. City of Los Angeles, et al. (1936), 5 Cal.2d 545, hal. 549; 55 P.2d 847.
Pertanggungjawaban Perdata dalam Kasus Lingkungan, Wibisana
129
Owner’s P&I, et al. (1989), hakim menafsirkan penyebab satusatunya (sole cause) ini sebagai penyebab yang tunggal (singly, alone, without an associate).68 Dengan demikian, jelaslah bahwa untuk dapat diterima oleh pengadilan sebagai alasan yang membebaskan dari pertanggungjawaban, bencana alam haruslah merupakan sebab satu-satunya dari kerugian. Begitu hakim menemukan adanya sebab lain, yaitu berupa kesalahan atau campur tangan manusia berupa kegiatan tergugat, maka dalih bencana alam yang diajukan akan gugur. Di mata hukum, bencana alam dan tindakan manusia bersifat saling meniadakan. Meminjam pernyataan hakim dalam Sky Aviation Corp. v. William F. Colt (1970): “In order for the rule to apply, the act of God must be the sole cause of the injury. There can be no combination of act of God and the fault of man as the presence of one excludes the other.”69 Di dalam semua kasus yang telah dikemukakan di atas, mereka yang mendalilkan adanya bencana alam memikul beban untuk membuktikan semua unsur dari dalih bencana alam. Mereka harus membuktikan bahwa bencana alam yang didalilkan bersifat luar biasa, tidak bisa diperkirakan, tidak bisa diantisipasi, dan merupakan sebab satu-satunya dari kerugian yang terjadi. Meski demikian, perlu pula diketahui bahwa di dalam beberapa kasus terdapat pula pembahasan mengenai pembagian pertanggungjawaban (apportionment) sesuai dengan kontribusi kesalahan/perbuatan. Dengan demikian, kasus-kasus ini secara implisit mengakui adanya konkurensi antara bencana alam dengan kesalahan/perbuatan manusia. Dalam hal ini pun, mereka yang mengajukan dalih bencana alam, memikul beban untuk memperlihatkan seberapa besar kontribusi mereka bagi munculnya kerugian. Apabila mereka gagal membuktikan apportionment ini, yaitu prosentase kontribusi kesalahan/ perbuatannya terhadap kerugian yang muncul, maka mereka akan
67
Charvoz v. Bonneville. Dist. (1951), 120 Utah 480, hal. 484; 235 P.2d 780, hal. 782. 68
USA v. West England Ship Owner’s P&I, et al. (1989), 872 F.2d 1192 (5th Cir. 1989), hal. 1197. 69
304.
Sky Aviation Corp. v. William F. Colt (1970), Wyo., 475 P.2d 301, hal.
130
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.1 Januari-Maret 2011
menanggung seluruh akibat/kerugian yang terjadi.70 Atas dasar ini, maka Rundall menganggap bahwa pengadilan sebenarnya memiliki keengganan untuk membagi pertanggungjawaban berdasarkan kontribusi kesalahan/perbuatan pelaku vis a vis bencana alam.71 Kondisi ini juga memperlihatkan bahwa sebenarnya pengadilan tetap konsisten dengan pendirian bahwa bencana alam haruslah merupakan penyebab satu-satunya yang tidak mungkin akan timbul bersama-sama dengan kesalahan/ perbuatan pelaku. III.
Bencana Alam dan Strict Liability
Sejak awal diakuinya strict liability72 di pengadilan, bencana alam telah dimasukkan sebagai salah satu alasan untuk melepaskan diri dari
70
USA v. Alcan Alumunium Corp. (1995), 892 F.Supp. 648 (M.D.Pa. 1995), hal. 657. Lihat juga: Rix, et al. v. Town of Alamogordo (1938), 42 N.M. 325, 77 P.2d 765, hal. 770. 71
72
M.T. Rundall, op. cit., fn. 42, hal. 761.
Di Indonesia, strict liability sering kali diartikan sebagai pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault). Hal ini misalnya terlihat Penjelasan Pasal 35 (1) UUPLH, yang menyatakan “[p]engertian bertanggung jawab secara mutlak atau strict liability, yakni unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian.” Demikian pula Penjelasan Pasal 88 UUPPLH bahwa “[y]ang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi.” Persoalannya tentu saja adalah apa yang dimaksudkan dengan kesalahan (fault). Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis akan merujuk pada definisi dari strict liability menurut Restatement (Second) of Torts § 519(1), yang menyatakan “[o]ne who carries on an abnormally dangerous activity is subject to liability for harm to the person, land or chattels of another resulting from the activity, although he has exercised the utmost care to prevent the harm.” Atas dasar ini maka penulis cenderung mengartikan “tanpa kesalahan” sebagai “tanpa adanya perbuatan melawan hukum”. Di dalam definisi Restatement di atas, hal ini ditunjukkan sebagai “although he has exercised the utmost care”, yaitu meskipun tergugat sudah sangat berhati-hati. Penggugat tetaplah memikul beban untuk membuktikan adanya kerugian, dan kausalitas (dalam hal ini bahwa kerugian yang dideritanya terjadi karena kegiatan yang dilakukan tergugat). Dalam hal ini, Green Paper menyatakan bahwa “the injured party must still prove that the damage was caused by someone’s
Pertanggungjawaban Perdata dalam Kasus Lingkungan, Wibisana
131
pertanggungjawaban. Dalam kasus antara Fletcher v. Rylands (1866), yang diputus oleh The Exchequer Chamber, Hakim Blackburn mengemukakan pendapatnya di dalam kutipannya yang sangat terkenal: “We think that the true rule of law is, that the person who for his own purposes brings on his lands and collects and keeps there anything likely to do mischief if it escapes, must keep it in at his peril, and, if he does not do so, is primâ facie answerable for all the damage which is the natural consequence of its escape. He can excuse himself by shewing that the escape was owing to the plaintiff's default; or perhaps that the escape was the consequence of vis major, or the act of God; but as nothing of this sort exists here, it is unnecessary to inquire what excuse would be sufficient.”73 Putusan Rylands v. Fletcher tersebut diakui sebagai putusan pertama mengenai strict liability, dan kutipan ini sering pula digunakan sebagai rujukan untuk mendefinisikan strict liability: mereka yang melakukan perbuatan yang memiliki resiko tertentu, bertanggung jawab atas kerugian apabila resiko tersebut benar-benar terjadi, kecuali jika terbukti bahwa kerugian muncul karena kesalahan pihak ketiga, karena vis major atau bencana alam (act of God). Atas dasar itulah maka dalih bencana alam seringkali dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari strict liability. Sejalan dengan hal ini, Section 9607 CERCLA menyatakan bahwa “[t]here shall be no liability ...for a person otherwise liable who can establish by a preponderance of the evidence that the release or threat of release of a hazardous substance and the damages resulting therefrom were caused solely by (1) an act of God...”74 Di Indonesia, perumusan strict liability pun pada awalnya mencantumkan beberapa pengecualian. Pasal 35 ayat 2 UUPLH menyatakan bahwa pertanggungjawaban berdasarkan strict liability tidak akan berlaku apabila kerugian terjadi karena bencana alam, peperangan, keaadan terpaksa di luar kemampuan manusia, atau tindakan pihak ketiga. Namun demikian, Pasal 88 undang-undang lingkungan yang baru, yaitu UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), ternyata tidak lagi memuat pengecualianact”. Lihat: Commission of the European Communities, “Green Paper on Remedying Environmental Damage”, COM(93) 47 final, 1993, hal. 6-7. 73
Rylands v. Fletcher (1866), L.R. 1 Exch. 265, hal. 279-280.
74
CERCLA § 103, 42 U.S.C. § 9607(b).
132
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.1 Januari-Maret 2011
pengecualian di atas. Hilangnya pengecualian-pengecualian ini bisa saja dianggap tidak akan memiliki implikasi apa pun, apabila pengecualian tersebut dipandang sebagai sesuatu yang selalu ada di dalam pertanggungjawaban perdata, tanpa perlu dicantumkan di dalam peraturan perundang-undangan.75 Namun demikian, hilangnya pengecualianpengecualian ini dapat pula ditafsirkan sebagai keinginan para pembuat undang-undang.76 Dengan hilangnya pengecualian tersebut, maka begitu sebuah kegiatan telah digolongkan sebagai kegiatan yang akan terkena Pasal 88, pelaku kegiatan akan bertanggungjawab atas kerugian yang muncul, tanpa melihat apakah kerugian tersebut terjadi karena bencana alam, peperangan, keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia, atau tindakan pihak ketiga. Apabila penafsiran terakhir ini yang diambil, maka dapat dikatakan bahwa pertanggungjawaban yang dianut oleh Pasal 88 UUPPLH sebenarnya telah berubah dari strict liability menjadi absolute liability.77
75
Sama seperti UUPPLH, undang-undang yang memuat strict liability di Finlandia dan Swedia, juga tidak mencantumkan pengecualian bagi pertanggungjawaban. Namun demikian di dalam praktek di kedua negara tersebut, pengecualian tetap akan diberlakukan oleh pengadilan, mengingat pengecualianpengecualian tersebut telah dianggap sebagai prinsip hukum. Lihat: M. Hinteregger (ed.), Environmental Liability and Ecological Damage in European Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), hal. 589. 76
Penelitian oleh Yunita menunjukkan bahwa penghilangan alasan-alasan yang membebaskan dari pertanggungjawaban di dalam UUPPLH sebenarnya dilakukan secara sengaja oleh para pembuat undang-undang. Lihat: S. Yunita, “Penerapan Strict Liabiliy dalam Gugatan Perdata Lingkungan di Indonesia dan Perkembangan Strict Liability dalam Undang-undang No. 32 tahun 2009”, skripsi pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011. Dengan demikian, jika kelak hakim jeli melihat sejarah pembuatan UUPPLH, maka hakim seharusnya menolak dalih force majeure atau kesalahan pihak ketiga, karena memang para pembuat undang-undang bermaksud menghilangkan alasan-alasan pembebas ini dari strict liability. 77
Dalam hal ini, beberapa pengarang menyatakan bahwa yang membedakan strict liability dari absolute liability adalah bahwa pada strict liability masih terdapat beberapa pengecualian, sedangkan pada absolute liability pengecualian tersebut tidak ada. Bonine dan Mc Garity dalam komentarnya mengenai CERCLA menyatakan bahwa: “[s]trict liability under CERCLA, however, is not absolute; there are defences for causation solely by an act of God, an act of war, or acts or omissions of a third party other than an employee or agent of the defendant or one whose act or omission occur in connection with a contractual relationship with the defendant [garis bawah dari penulis].” J.E. Bonine dan T. O. McGarity, The Law of
Pertanggungjawaban Perdata dalam Kasus Lingkungan, Wibisana
133
Seperti diungkapkan pada bagian sebelumnya, dalih bencana alam dapat diterima jika, salah satunya, pelaku pencemaran dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Di dalam strict liability, pembuktian semacam ini tidak berlaku. Pelaku pencemaran tidak bisa lepas dari pertanggungjawaban hanya dengan membuktikan bahwa dia tidak bersalah. Di samping itu, apabila terjadi keadaan sebaliknya, yaitu terbuktinya unsur kesalahan dari pelaku pencemaran, maka pelaku tersebut tidak bisa lepas pula dari pertanggungjawaban. Hal ini terlihat di dalam putusan USA v. West England Ship Owner’s P&I, et al. (1989), yang menyatakan bahwa “if an owner or operator is at fault, then it may not successfully claim a liability exception. The language does not state, or even imply, the reverse: that an owner or operator establishes the existence of ...exception, absolving itself from liability, once it proves that it was non-negligent.”78 Dengan demikian, di dalam strict liability, dalih bencana alam tidak bisa dibuktikan dengan sekedar menunjukkan bahwa pelaku pencemaran tidak melakukan perbuatan melawan hukum (fault/negligence). Apabila di dalam pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan, pembuktian dalih bencana alam dilakukan dengan jalan menunjukkan bahwa bencana yang terjadi merupakan hal yang tidak bisa diperkirakan dan diantisipasi, maka pembuktian bencana alam di dalam strict liability memiliki rute yang sedikit berbeda. Hal ini terjadi karena strict liability tidaklah didasarkan pada penilaian apakah perbuatan aktual (conduct) dari seseorang telah mengakibatkan kerugian, melainkan pada penilaian apakah kegiatan (activity) seseorang dapat dikategorikan sebagai kegiatan yang beresiko tinggi atau tidak. Ketika kerugian yang termasuk ke dalam resiko tersebut terjadi, maka orang tersebut akan dinyatakan bertanggungjawab, tanpa melihat perbuatan aktual dari orang tersebut. Dalam kasus USA v. TexTow, Inc. (1978), disebutkan bahwa “the “cause” of a spill is the polluting enterprise rather than the conduct of the charged party or a third party. Environmental Protection: Cases-Legislation-Policies, 2nd ed. (St. Paul: West Publishing Co., 1992), hal. 938. Demikian pula halnya dengan Markesinis dan Unberath ketika menjelaskan pertanggungjawaban atas kecelakaan nuklir dan kecelakaan pesawat udara di Jerman menjelaskan bahwa pertanggungjawaban untuk kedua kecelakaan ini merupakan absolute liability. Menurut mereka, “liability is truly “absolute” in the sense that even the defence of force majeure is denied to the “operator” (of the nuclear installation) and custodian (of the aircraft).” Lihat: B.S. Markesinis dan H. Unberath, The German Law of Torts: A Comparative Treatise (Oxford: Hart Publishing, 2002), hal. 716. 78
USA v. West England Ship Owner’s P&I, et al. (1989), 872 F.2d 1192 (5th Cir. 1989), hal. 1196.
134
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.1 Januari-Maret 2011
Accordingly, an owner or operator of a discharging facility is liable to a section 1321(b)(6) civil penalty even where it exercised all due care and a third party’s act or omission was the immediate cause of the spill.”79 Dari pernyataan di atas terlihat bahwa, berbeda dengan pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan, di dalam strict liability bukti “reasonable care” tidak bisa digunakan untuk membuktikan dalih bencana alam. Pertanyaan selanjutnya, jika tidak bisa dibuktikan dengan jalan menunjukkan tidak adanya unsur kesalahan pada diri pelaku pencemaran, maka dengan jalan seperti apa dalih bencana alam di dalam konteks strict liability harus dibuktikan? Menurut penulis, jawaban atas pertanyaan ini terletak pada persoalan apakah bencana alam merupakan hal yang dapat diperkirakan atau tidak. Binder menyatakan bahwa dalam konteks pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (negligence), ketika resiko sebuah kerugian meningkat, maka akan meningkat pula standar kehati-hatian (standard of care) sebagai ukuran dari kesalahan. Menurutnya, persoalan foreseeability sebagai lawan dari bencana alam merupakan bagian dari pembahasan pengecualian di dalam pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan.80 Berdasarkan pendapat ini, maka pengecualian di dalam pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan maupun di dalam strict liability sebenarnya terkait hal yang sama. Pendapat Binder di atas dapat pula ditafsirkan bahwa supaya berbeda dari pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan, maka pembuktian unforeseeability pada strict liability harus berbeda dengan pembuktian unforeseeability pada pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan. Binder menyatakan bahwa di dalam strict liability, apabila kerugian yang muncul termasuk ke dalam kategori resiko dari kegiatan pelaku, maka pelaku akan dinyatakan bertanggungjawab, tanpa melihat apakah sifat dari kerugian tersebut bisa diperkirakan atau tidak.81 Sepanjang sebuah kerugian merupakan hal yang termasuk ke dalam resiko dari kegiatan yang terkena strict liability, yaitu kegiatan yang sangat berbahaya (abnormally dangerous activities),82 maka seberapa besar kerugian yang muncul menjadi tidak
79
USA v. Tex-Tow, Inc. (1978), 589 F.2d 1310 (1978), hal. 1316.
80
D. Binder, “Act of God? Or Act of Man?: A Reappraisal of the Act of God Defense in Tort Law”, The Review of Litigation, Vol. 15(1), 1996, 1-79, hal. 64. 81
82
Ibid., hal. 61.
Di Indonesia, abnormally dangerous activities ini dimaknai sebagai kegiatan/usaha yang “menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah
Pertanggungjawaban Perdata dalam Kasus Lingkungan, Wibisana
135
relevan. Akibatnya, pelaku tidak bisa lagi mengelak dari pertanggung jawaban dengan menyatakan bahwa kerugian yang terjadi begitu besar sehingga tidak bisa diperkirakan dan diantisipasi. Dengan demikian, menurut penulis, cara untuk membuktikan bencana alam di dalam konteks strict liability adalah dengan menunjukkan bahwa kerugian tersebut bukanlah merupakan kerugian yang termasuk ke dalam resiko dari kegiatan pelaku. Dengan cara ini, barulah pelaku dianggap berhasil membuktikan bahwa kerugian yang terjadi merupakan kerugian yang unforeseeable. Dengan jalan ini pula pelaku dapat menunjukkan bahwa kerugian yang terjadi benar-benar terlepas dari campur tangan manusia (free from human intervention), yang dalam konteks strict liability campur tangan ini adalah berupa kegiatan pelaku.83 Dari paparan di atas terlihat bahwa pembuktian bencana alam di dalam strict liability, bukan hanya berbeda, tetapi juga jauh lebih sulit dibandingkan dengan pembuktian bencana alam di dalam konteks pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan. Berdasarkan hal ini, maka tidaklah berlebihan apabila Restatement (Second) of Torts § 522 menyatakan bahwa: “One carrying on an abnormally dangerous activity is subject to strict liability for the resulting harm although it is caused by the unexpectable ...(c) operation of a force of nature.” Dengan demikian dapat pula disimpulkan bahwa sepanjang kerugian memang terjadi sebagai konsekuensi yang mungkin timbul dari kegiatan yang berbahaya, maka dalih bencana alam akan gugur. IV.
Banjir Lumpur Sidoarjo: Sebuah Bencana Alam?
Pada tanggal 27 Desember 2007, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengeluarkan sebuah putusan penting bagi penerapan dalih bencana alam di
B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup”. Lihat: Pasal 88 UUPPLH. Di dalam Pasal 35(1) UUPLH, kegiatan yang sangat berbahaya ini diartikan sebagai kegiatan/usaha yang menimbulkan dampak besar dan penting bagi lingkungan, yang menggunakan B3, atau yang menghasilkan limbah B3. 83
Di dalam beberapa putusan, dinyatakan bahwa bencana alam haruslah merupakan sesuatu yang terbebas dari campur tangan manusia (human intervention/agency). Lihat: Paul Butts et al. v. City of South Fulton (1978), 565 S.W.2d 879, hal. 882; Kendall McWilliams, et al. v. Robert John Masterson (2003), 112 S.W.3d 314, hal. 315; Sky Aviation Corp. v. William F. Colt (1970), Wyo., 475 P.2d 301, hal. 301; Winchester Water Works Co. v. Holliday, et al. (1932), 241 Ky. 762, 45 S.W.2d 9, hal. 11; atau Utilities Pipeline Company v. American Petrofina Marketing (1988), 760 S.W.2d 719 (Tex.App.—Dallas 1988), hal. 724.
136
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.1 Januari-Maret 2011
Indonesia, yaitu putusan atas kasus Walhi v. Lapindo Brantas, Inc., et al.84 Dengan menggunakan hak gugat LSM, Walhi mencoba untuk membawa kasus Banjir Lumpur Sidoarjo ke pengadilan, dengan dasar gugatan bahwa penyebab dari munculnya banjir lumpur tersebut adalah akibat dari kelalaian Lapindo dalam melakukan pengeboran migas. Kelalaian tersebut adalah: 1.
2.
“...pelanggaran terhadap asas kehati-hatian, atau tidak melaksanakan kaidah keteknikan yang baik, atau tidak memperhatikan sensitifitas zona Porong secara geologis, atau melanggar kewajiban-kewajiban hukumnya yang seharusnya tidak melakukan eksplorasi di sumur BJP 1 tersebut atau jika dalam eksplorasinya terdapat masalah keteknikan maka sumur BJP 1 seharusnya dimatikan, seperti yang dilakukan oleh Huffco Brantas di sumur Porong 1 tahun 1997 yang formasi sumurnya sama dengan BJP 1, dengan masalah yang sama dan letaknya berdekatan dengan sumur BJP 1” “...ketidak hati-hatian kegiatan usaha eksplorasi migas Tergugat 1 ditujukkan [sic!] dengan tetap melakukan pengeboran lapisan bumi pada kedalaman ribuan feet (kaki) di wilayah yang dekat pemukiman padat penduduk dan banyak fasilitas sarana dan prasarana infrastruktur...”85
Di samping itu, perlu pula dinyatakan di sini bahwa dalam kasus ini Walhi menggunakan dasar strict liability selain dari pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan. Strict liability digunakan dengan merujuk pada pasal 35 UUPLH, sedangkan pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan digunakan dengan merujuk pada pasal 34 UUPLH.86
84
Walhi v. Lapindo Brantas, Inc., et al., No. 284/Pdt.G/2007/PN.Jak.Sel
85
Ibid., hal. 10.
86
Ibid., hal. 8. Cara mengajukan gugatan seperti ini sebenarnya menunjukkan ketidakmampuan Walhi untuk membedakan secara tegas antara strict liability dengan pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan. Kita bisa bertanya, misalnya, untuk apa Walhi berusaha menunjukkan adanya kelalaian dan kesalahan tergugat apabila dasar yang digunakan adalah strict liability. Kejanggalan gugatan Walhi terlihat lebih jelas jika kita memperhatikan petitum gugatan. Di sini dinyatakan bahwa Walhi meminta hakim untuk, salah satunya: “Menyatakan Para
Pertanggungjawaban Perdata dalam Kasus Lingkungan, Wibisana
137
Dalam perkara ini, Walhi berupaya menunjukkan beberapa bukti kelalaian Lapindo. Pertama, kegiatan pengeboran oleh Lapindo tidak disertai dengan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), sehingga “tidak ada antisipasi penanganan yang tepat berdasarkan kaidah keteknikan yang baik dan benar dan menimbulkan malapetaka yang besar dan menimbulkan kekacauan ekologis, ekonomi, sosial, psikologi sosial, dan lain-lain”.87 Kedua, Lapindo tidak memasang casing (selubung bor) dalam kegiatan pengeborannya sehingga merupakan pelanggaran terhadap kehatihatian. Dalam hal ini, saksi ahli yang diajukan oleh Walhi menyatakan bahwa pemasangan casing merupakan “kewajiban yang harus dilakukan oleh yang melakukan pengeboran”.88 Atas pernyataan penggugat ini, Lapindo menyatakan bahwa kegiatannya bukanlah kegiatan yang akan terkena strict liability, dengan berdasarkan pada alasan bahwa kegiatan Lapindo bukanlah kegiatan yang menggunakan B3 atau menghasilkan limbah B3.89 Di sisi lain, Lapindo juga menjelaskan bahwa perbuatannya tidaklah termasuk perbuatan melawan hukum.90 Dalam konteks ini, Lapindo menyatakan bahwa menurut peraturan yang berlaku, kegiatan Lapindo berupa eksplorasi migas bukanlah termasuk kegiatan yang wajib memiliki dokumen Amdal.91 Dengan pernyataan ini, Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan terjadinya pengrusakan lingkungan hidup di wilayah Kecamatan Porong, Jabon dan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo”. Ibid., hal. 21. Kritik atas hal ini juga disampaikan oleh Larasati di dalam penelitian skripsinya. Lihat: A. Larasati, “Pertanggungjawaban Perdata Terkait dengan Teori Kausalitas dalam Kasus Perdata Lingkungan: Studi Kasus Mandalawangi dan Lumpur Lapindo”, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010. 87
Walhi v. Lapindo Brantas, Inc., et al., No. 284/Pdt.G/2007/PN.Jak.Sel,
88
Ibid., hal. 126.
hal. 10.
89
Pasal 35 (1) UUPLH menyatakan bahwa kegiatan yang terkena strict liability adalah kegiatan yang menggunakan B3, menghasilkan limbah B3, dan/atau menimbulkan dampak besar dan penting bagi lingkungan. Sebenarnya, kegiatan Lapindo dapat saja termasuk ke dalam salah satu kriteria tersebut, yaitu berdampak besar dan penting. Namun demikian, Lapindo berargumen bahwa ketiga syarat tersebut harus merupakan “gabungan” dari ketiga kriteria tersebut. Ibid., hal. 47. 90
Ibid., hal. 45-46.
91
Ibid., hal. 40-44.
138
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.1 Januari-Maret 2011
Lapindo berupaya untuk menunjukkan bahwa ketiadaan Amdal bukanlah merupakan pelanggaran terhadap hukum. Dalil lain yang dinyatakan Lapindo untuk membantah adanya perbuatan melanggar hukum adalah dengan menunjukkan bahwa kegiatan pengeborannya “telah memenuhi seluruh perizinan dan prosedur yang disyaratkan.”92 Di samping itu, melalui saksi ahlinya, Lapindo berupaya menunjukkan bahwa ketiadaan casing merupakan hal yang wajar dan biasa terjadi di dalam praktek pengeboran migas, sehingga bukan merupakan sebuah kesalahan.93 Lebih jauh lagi, Lapindo berupaya pula untuk menunjukkan bahwa banjir lumpur yang terjadi bukanlah diakibatkan oleh adanya kekeliruan dalam pengeboran, tetapi lebih dikarenan adanya faktor alam berupa gerakan tektonik sebagai akibat dari gempa bumi di Yogyakarta dua hari sebelum banjir lumpur terjadi.94 Beberapa saksi ahli yang diajukan oleh Lapindo berupaya membuktikan secara teoritis bahwa banjir lumpur terjadi karena adanya kawah lumpur (mud volcano) yang kemunculannya dipicu oleh gempa Yogyakarta.95 Dalam kasus ini, hakim memutuskan untuk menolak gugatan Walhi. Namun demikian, perlu kiranya di sini disampaikan bahwa pertimbangan dan cara hakim memutus perkaran ini sebenarnya patut dipertanyakan karena penuh dengan kejanggalan. Misalnya saja, perdebatan mengenai apakah kegiatan Lapindo termasuk ke dalam kegiatan yang dapat terkena strict liability, sama sekali tidak dijawab oleh hakim. Di samping itu, pertimbangan para hakim menunjukkan pula bahwa mereka tidak mengerti perbedaan mendasar antara pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan dengan strict liability, karena di dalam pertimbangannya para hakim mencampuradukkan unsur-unsur yang harus dibuktikan dari kedua sistem pertanggungjawaban tersebut.
92
Ibid., hal. 36.
93
Dalam konteks ini, salah satu saksi ahli yang diajukan Lapindo menyatakan bahwa “proses pengeboran di Banjar Panji...semuanya tidak ada menyalahi prosedur, semuanya sudah sesuai dengan prosedur yang ada. Bahwa di Sumur Banjar Panji belum terpasang casing sampai kedalaman lubang terbuka 6000, itu merupakan hal yang wajar bukan kesalahan.” Ibid., hal. 195. 94
Ibid., hal. 48.
95
Ibid., hal. 153-163; dan 194-195.
Pertanggungjawaban Perdata dalam Kasus Lingkungan, Wibisana
139
Kejanggalan yang paling nyata terlihat ketika hakim begitu saja menyimpulkan bahwa banjir lumpur di Sidoarjo diakibatkan oleh gempa Yogyakarta.96 Perlu dinyatakan di sini bahwa secara teoritis memang masih terdapat perdebatan tentang penyebab dari banjir lumpur ini.97 Namun demikian, sepertinya, dalam kasus ini hakim hanya mendasarkan pertimbangannya pada alasan bahwa saksi ahli yang mendukung dalih bencana alam lebih banyak dibandingkan dengan saksi ahli yang menyatakan 96
97
Ibid., hal. 196.
Kontroversi penyebab banjir lumpur dapat disederhanakan setidaknya ke dalam dua kubu. Kubu pertama menyatakan bahwa penyebab banjir lumpur adalah aktivitas pengeboran migas yang dilakukan oleh Lapindo. Dalam hal ini, Davies et al. menyimpulkan beberapa hal. Pertama, bahwa menyusul terjadinya Gempa Yogyakarta, tidak ada laporan mengenai erupsi mud volcano yang terjadi di Jawa selain dari pada yang terjadi di Sidoarjo. Kedua, erupsi mud Volcano terjadi dua hari setelah Gempa Yogyakarta, padahal seismogenic liquefaction (perubahan bentuk padat atau gas menjadi bentuk cair yang dipicu oleh peristiwa gempa), sebagai syarat terjadinya mud volcano yang dipicu oleh gempa bumi, biasanya terjadi pada saat terjadinya gempa atau segera setelah gempa. Ketiga, tidak ada laporan tentang adanya “kick” (masuknya fluida ke dalam lubang bor, yang apabila tidak mampu dikontrol akan menyebabkan blowout) pada saat terjadinya gempa. Keempat, pada dasarnya seismogenic liquefaction lebih mungkin terjadi pada pasir dan bukannya pada lumpur, seperti kasus Sidoarjo, sebab pasir berifat non-cohesive dan merupakan sedimen yang memiliki bentuk butiran (granular sediment). Lihat: R.J. Davies, et al., “Birth of a Mud Volcano: East Java, 29 May 2006”, GSA Today, Vol. 17(2), 2007, 49, hal. 8. Sebaliknya, Mazzini, et al. menyatakan bahwa gempa bumi Yogyakarta-lah yang telah menjadi pemicu terjadinya mud volcano. Lihat: A. Mazzini, “Triggering and Dynamic Evolution of the LUSI Mud Volcano, Indonesia”, Earth and Planetary Science Letters, Vol. 261, 2007, hal. 375–388. Lebih dari itu, Sawolo, et al. menyatakan bahwa pendapat Davies, et al. telah didasarkan pada data yang tidak konsisten dan tidak bisa dipercaya. Menurut mereka, “Authors find it odd for a rational scientist to continue to stick to assumptions and cherry-picked data when a full dataset is available. Numerous data sets used by Davies et.al are puzzling and inconsistent.” Mereka tetap pada pendirian yang mendukung pendapat Mazzini, et al. bahwa gempa Yogyakarta adalah pemicu terjadinya banjir lumpur. Lihat: N. Sawolo, et al., “Was LUSI Caused by Drilling? – Authors Reply to Discussion”, Marine & Petroleum Geology, Vol. 27, 2010, 16581675, hal. 1675. Ringkasan dari perdebatan tentang penyebab banjir lumpur dapat dilihat pada: D. Normille, “Indonesian Mud Volcano Unleashes a Torrent of Controversy”, Science, Vol. 315, 2007, hal. 586; dan: D. Normille, “Two Years On, a Mud Volcano Still Rages and Bewilders”, Science, Vol. 320, 2008, hal. 1406-1407.
140
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.1 Januari-Maret 2011
bahwa banjir lumpur diakibatkan oleh kegiatan Lapindo.98 Lebih jauh lagi, hakim sedikitpun tidak mempertimbangkan apakah ketiadaan casing dalam pengeboran merupakan sebuah pelanggaran hukum atau bukan, serta tidak mempertimbangkan pula apakah banjir lumpur ini akan tetap terjadi meskipun Lapindo tidak melakukan pengeboran di wilayah tersebut. Sebelum memutuskan untuk menerima dalih bencana alam, sebaiknya hakim memberikan pertimbangan yang komprehensif dan masuk akal. Dalam hal ini, kita bisa menggunakan penerapan dalih bencana alam di AS untuk kasus Banjir Lumpur Sidoarjo. Pertanyaan pertama yang perlu dijawab adalah apakah gempa bumi Yogyakarta merupakan gempa bumi yang cukup besar untuk menjadi pemicu terjadinya mud volcano. Dalam konteks ini, Manga menyatakan bahwa gempa Yogyakarta terlalu kecil dan terlalu jauh untuk memicu terjadinya mud volcano. Secara spesifik, Manga menyatakan, bahwa gempa yang lebih besar dan lebih dekat dari gempa Yogyakarta pernah dirasakan di lokasi semburan, tetapi tidak memicu terjadinya banjir lumpur.99 Lebih jauh lagi, Davies et al, sebagaimana dikutip oleh Kilb, menyatakan bahwa gempa Yogyakarta hanya menghasilkan perubahan tekanan statik dan dinamik yang sangat kecil pada lokasi semburan lumpur, yaitu hanya setara dengan perubahan tekanan yang dihasilkan oleh langkah kaki orang dewasa. Sebaliknya, perubahan yang dihasilkan oleh kegiatan pengeboran dari sumur Lapindo, dapat menghasilkan tekanan yang bobotnya setara dengan 10
98
Di samping itu, hakim juga menyatakan bahwa saksi ahli penggugat (yang menyatakan bahwa banjir lumpur terjadi karena kegiatan Lapindo) tidak memperkuat pernyataannya dengan bukti surat. Walhi v. Lapindo Brantas, Inc., et al., No. 284/Pdt.G/2007/PN.Jak.Sel, hal. 196. Pertimbangan ini tentu saja sangat tidak berdasar. Meskipun di dalam persidangan terlihat mayoritas ahli berpendapat bahwa banjir lumpur disebabkan oleh bencana gempa Yogyakarta, namun mayoritas ahli geologi dunia menyanggah pendapat ini. Mayoritas ahli geologi dunia yang berkumpul di Cape Town pada tahun 2008 menyatakan bahwa banjir lumpur lebih mungkin terjadi karena kegiatan pengeboran migas yang dilakukan oleh Lapindo dibandingkan karena gempa Yogyakarta,. Lihat: Anonymous, “Oil Company Blamed for Mud-Volcano Eruption”, Nature, Vol. 456, Nov. 2008, hal. 14. 99
M. Manga, “Did an Earthquake Trigger the May 2006 Eruption of the Lusi Mud Volcano?”, Eos, Vol. 88 (18), 2007, hal. 201. Lihat pula: R.J. Davies, et al., “The East Java Mud Volcano (2006 to Present): An Earthquake or Drilling Trigger?”, Earth and Planetary Science Letters, Vol. 272, 2008, 627–638, hal. 629630; M. Manga, M. Brumm, M.L. Rudolph, “Earthquake Triggering of Mud Volcanoes”, Marine and Petroleum Geology, Vol. 26(9), 2009, hal. 1785-1798.
Pertanggungjawaban Perdata dalam Kasus Lingkungan, Wibisana
141
sampai 20 ekor gajah.100 Dari sini dapat disimpulkan bahwa dampak gempa bumi Yogyakarta di daerah Sidoarjo terlalu kecil untuk bisa memenuhi syarat sebagai bencana alam yang serius dan luar biasa (grave natural disaster). Pertanyaan selanjutnya adalah apakah peristiwa mud volcano merupakan sesuatu yang bisa diperkirakan dan diantisipasi. Davies, et al. menganggap bahwa peristiwa Banjir Lumpur Sidoarjo merupakan sebuah akibat dari undersurface blowout yang sebenarnya merupakan sesuatu yang umum terjadi.101 Apabila pendapat ini diterima, maka dalih bencana alam akan ditolak, karena blowout dianggap sebagai sesuatu yang biasa terjadi di dalam pengeboran migas.102 Di sisi lain, Sawolo, et al., mengakui bahwa banjir lumpur sidoarjo “is a new mud volcano in a region prone to mud volcanism. Along the vicinity of the Watukosek fault, where LUSI is situated, there are at least five other known mud volcanoes [garis bawah dari penulis].”103 Dari pendapat ini dapat disimpulkan bahwa seharusnya Lapindo sudah mengetahui bahwa daerah
100
D. Kilb, “Throwing Mud”, Nature Geoscience, Vol. 1, Sept. 2008, 572573, hal. 573. 101
R.J. Davies, et al., op cit., fn 97, hal. 9. Pendapat ini tentu saja ditentang oleh Sawolo, et al., dengan menunjukkan bahwa bahkan setelah terjadinya semburan lumpur, sumur pengeboran tetap utuh dan mata bor tetap tertahan di kedalaman sebelum terjadinya semburan. Hal ini, menurut Sawolo, menunjukkan bahwa di samping tidak ada hubungan antara banjir lumpur dengan kegiatan pengeboran, juga menunjukkan bahwa argumen banjir lumpur terjadi karena blowout tidak bisa diterima. Lihat: N. Sawolo, et al., op cit., fn 97, hal. 1668. Meski demikian, perlu pula dinyatakan di sini bahwa menurut Davies, et al., masih utuhnya sumur dan tetap tertahannya mata bor tidaklah menunjukkan bahwa blowout tidak terjadi, mengingat pada satu sisi tanah di lokasi kejadian merupakan tanah lempung (swelling clay) dan pada sisi lain cairan semen telah pula dimasukkan ke dalam sumur bor. Lihat: R.J. Davies, et al., “Sawolo et al. (2009) the Lusi Mud Volcano Controversy: Was It Caused by Drilling?”, Marine and Petroleum Geology, Vol. 27, 2010, 1651–1657, hal. 1653-1654. 102
Di dalam kasus Green v. General Petroleum (1928), mahkamah agung California menolak dalih bencana alam untuk blowout yang terjadi pada pengeboran migas, dengan menyatakann bahwa blowout adalah hal yang biasa terjadi sebagai akibat dari pengeboran. Lihat: Green v. General Petroleum Corp. (1928), 205 Cal. 328 (60 A.L.R. 475). 103
N. Sawolo, et al., “The LUSI Mud Volcano Triggering Controversy: Was It Caused by Drilling?”, Marine and Petroleum Geology, Vol. 26, 2009, 1724– 1739, hal. 1739.
142
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.1 Januari-Maret 2011
sekitar Sidoarjo merupakan daerah yang rawan bagi terjadinya mud volcano. Pendapat ini bahkan diakui pula oleh Lapindo sendiri, yang di dalam bantahan mereka dalam kasus Walhi v. Lapindo, dkk mengutip dan menyetujui pernyataan dari Agus Guntoro bahwa: 3.
4.
Mud volcano merupakan fenomena umum yang terdapat dari Jawa Barat hingga utara Lombok dalam satu kelurusan dalam arah barat-timur. Fakta-fakta geologi dipermukakaan disekitar Jawa Timur dan Sidoarjo menunjukkan bahwa mud volcano (baik yang masih aktif ataupun tidak aktif) merupakan hal yang sangat umum dijumpai.”104
Menurut penulis, karena pengeboran dilakukan di daerah yang sudah diketahui sebagai daerah yang rawan akan terjadinya mud volcano, maka sudah sepatutnya kejadian semburan lumpur dianggap sebagai sebuah peristiwa yang bisa diperkirakan dan bisa diantisipasi. Dalam konteks ini, hakim seharusnya melihat apakah desain kegiatan pengeboran telah dilakukan dengan mengantisipasi kemungkinan terjadinya mud volcano. Hakim pun selayaknya mempertimbangkan apakah Lapindo telah mengambil langkah-langkah penanggulangan apabila terjadi mud volcano. Sayangnya kedua hal ini pun luput dari pertimbangan hakim. Persoalan terakhir yang perlu dipertimbangkan adalah apakah ada campur tangan manusia (human intervention) di dalam peristiwa Banjir Lumpur Sidoarjo atau, dalam bahasa sederhana, apakah banjir lumpur akan tetap terjadi meskipun Lapindo tidak melakukan pengeboran di daerah tersebut. Dalam hal ini, hakim menyatakan “[m]enimbang bahwa lalu timbul masalah apakah keluarnya semburan lumpur panas tersebut disebabkan oleh kesalahan Tergugat I [Lapindo—penulis] dalam pengeboran atau disebabkan oleh fenomena alam? [garis bawah dari penulis]”105 Setelah pertanyaan ini, hakim kemudian mempertimbangkan bukti-bukti tentang dampak gempa bumi Yogyakarta, dan selanjutnya, tanpa mau melihat ada-tidaknya kesalahan Lapindo, menyimpulkan bahwa banjir lumpur disebabkan oleh gempa Yogyakarta. Pertanyaan di atas menunjukkan adanya kekeliruan cara berpikir dari para hakim dalam kasus Walhi v. Lapindo, dkk. Pendapat penulis ini didasarkan pada dua alasan. Pertama, pertanyaan hakim yang penulis kutip
104
Walhi v. Lapindo Brantas, Inc., et al., No. 284/Pdt.G/2007/PN.Jak.Sel,
105
Ibid., hal. 193.
hal. 38.
Pertanggungjawaban Perdata dalam Kasus Lingkungan, Wibisana
143
di atas mengindikasikan pendapat hakim bahwa apabila ada bencana alam, maka ada-tidaknya kesalahan Lapindo menjadi tidak relevan. Ini jelas sebuah cara berpikir yang janggal. Sebelum menyimpulkan ada-tidaknya pengaruh dari dampak gempa Yogyakarta, seharusnya hakim mempertimbangkan adatidaknya kekeliruan di dalam kegiatan pengeboran oleh Lapindo. Seperti telah dibahas sebelumnya, di dalam konteks pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan, adanya kesalahan akan menggugurkan dalih bencana alam. Salah satu bentuk kesalahan yang sering dikemukakan adalah fakta bahwa pengeboran dilakukan tanpa adanya casing. Rubiandini, dalam sebuah wawancara menyatakan “[f]akta yang tak terbantahkan: mereka menabrak standard operating procedure (SOP). Kala saja mata bor dipasangi casing hingga kedalaman 8.500-9.000 mdpl, itu akan aman...Casing itu seperti helm bagi pengendara motor. Boleh saja tidak pakai helm, asalkan tidak mengalami kecelakaan. Sekali sial, akibatnya fatal. Dalam drilling, casing berfungsi mengurangi risiko...”106 Kesalahan lain yang mungkin menjadi pemicu adalah cara Lapindo menanggulangi semburan lumpur. Bachtiar, sebagaimana dikutip oleh Cyranoski, menyatakan bahwa salah satu penyebab yang mungkin bagi terjadinya banjir lumpur adalah karena alat bor dicabut terlalu cepat ketika sedang terjadi blowout, sehingga tekanan di dalam sumur menjadi tidak terkonrol.107 Dalam konteks ini, berbeda dari pendapat umum di Indonesia, Davies et al. menyatakan bahwa ketiadaan casing merupakan faktor pendukung (contributing factor) saja bagi terjadinya mud volcano. Menurut mereka, faktor utama pemicu mud volcano adalah pencabutan pipa dan mata bor yang terlalu cepat ketika sedang terjadi peristiwa kick.108 Kedua hal ini, baik ketiadaan casing maupun kekeliruan dalam pencabutan alat
106
R. Rubiandini, “Interviu: Mereka Sudah Keterlaluan”, Trust, No. 18, Thn. VI, 2008, 56-58, hal. 57. Pada awalnya, Davies pun menganggap bahwa ketiadaan casing merupakan salah satu pemicu terjadinya banjir lumpur Sidoarjo. Lihat: R.J. Davies, et al., op cit., fn 97, hal. 9. 107
D. Cyranoski, “Muddy Waters: How Did a Mud Volcano Come to Destroy an Indonesian Town”, Nature, Vol. 445, Feb. 2007, 812-815, hal. 814. Davies, et al. menyimpulkan beberapa faktor kesalahan Lapindo sebagai pemicu terjadinya banjir lumpur, yaitu: a). tidak terpasangnya casing; b). Adanya overestimasi terhadap kemampuan sumur untuk menenggang tekanan; c). Penarikan mata bor ketika sumur bor dalam keadaan tidak stabil; d). Pencabutan mata bor dari lubang bor ketika terjadi losses; e). Tidak teridentifikasinya kick secara cepat. Lihat: R.J. Davies, et al., op cit., fn 101, hal. 1656. 108
R.J. Davies, et al., op. cit., fn. 99, hal. 637.
144
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.1 Januari-Maret 2011
pengeboran, menunjukkan adanya kontribusi kesalahan dari Lapindo. Atas dasar ini, maka dalam konteks pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan, dalih bencana alam yang diajukan Lapindo seharusnya ditolak. Kedua, pertanyaan hakim di atas, yang membandingkan antara kesalahan dengan bencana alam, juga tidak bisa diterima karena salah satu dasar pertanggungjawaban yang diajukan oleh Walhi adalah strict liability, yaitu pertanggungjawaban tanpa kesalahan. Dalam hal ini, Lapindo tidak bisa mengelak dari pertanggungjawaban hanya dengan menunjukkan bahwa dirinya tidak melakukan kesalahan (pelanggaran hukum). Seperti telah dikemukakan sebelumnya, di dalam konteks strict liability, dalih bencana alam dibuktikan dengan tidak adanya pengaruh campur tangan manusia (without human intervention) terhadap kerugian yang terjadi. Dalam hal ini, Lapindo harus mampu menunjukkan bahwa kerugian yang terjadi sepenuhnya diakibatkan oleh gempa Yogyakarta, sehingga meskipun seandainya tidak ada pengeboran di daerah tersebut semburan lumpur tetap akan terjadi.109 Lebih jauh lagi, dampak banjir lumpur yang luar biasa tidak dapat pula digunakan sebagai ukuran untuk menerima dalih bencana alam, sebab sepanjang kerugian ini dianggap termasuk ke dalam resiko dari pengeboran migas, maka semburan lumpur tidak dapat dijadikan dalih bencana alam. Seperti dijelaskan sebelumnya, strict liability merupakan pertanggungjawaban atas resiko sebuah kegiatan, tanpa melihat sifat (besarkecilnya) dampak yang muncul dari resiko tersebut. Dengan demikian, penggunaan dalih bencana dalam konteks strict liability pun seharusnya ditolak. V.
Kesimpulan
Untuk menjamin keadilan, hukum menyatakan bahwa tidak seorang pun dapat dimintai pertanggungjawabannya atas kerugian yang diakibatkan oleh bencana alam: actus dei nemini facit injuriam. Namun demikian, penentuan ada-tidaknya bencana alam selayaknya didasarkan pada prosedur dan logika hukum yang tepat. Pengadilan seharusnya berupaya keras untuk
109
Seperti dikemukakan sebelumnya, beberapa studi justru menunjukkan bahwa gempa yang lebih besar dan lebih dekat dari gempa bumi Yogyakarta pernah dirasakan di lokasi kejadian, tetapi tidak satu pun yang menyebabkan terjadinya banjir lumpur. Bahkan, Mazzini pun, sebagai salah satu penyokong utama teori yang menghubungkan antara gempa Yogyakarta dengan banjir lumpur, mengakui bahwa kegiatan pengeboran dapat berkontribusi pada terjadinya banjir lumpur. Lihat: D. Normille, 2008, op cit., fn. 97, hal. 1406.
Pertanggungjawaban Perdata dalam Kasus Lingkungan, Wibisana
145
membuktikan bahwa bencana alam benar-benar merupakan penyebab dari sebuah kerugian. Penelusuran tentang penggunaan dalih bencana alam di AS menunjukkan bahwa dalih bencana alam baru bisa diterima apabila memenuhi beberapa syarat. Pertama, act of God haruslah merupakan peristiwa yang tidak bisa diperkirakan/diantisipasi (unforeseeable/ unanticipated). Sebuah peristiwa tidak bisa dikatakan unforeseeable apabila terdapat petunjuk bahwa peristiwa serupa telah terjadi di masa lalu, atau ada petunjuk bahwa karakter lokasi dan kegiatan yang dilakukan memang memungkinkan terjadinya peristiwa tersebut. Kedua, peristiwa yang terjadi haruslah merupakan bencana alam yang luar biasa (grave). Dalam kasus Sabine Towing & Transp., Co., Inc. v. USA (1981), hakim menyatakan bahwa bencana alam dikatakan serius apabila tidak bisa diantisipasi melalui desain, lokasi, pelaksanaan kegiatan, dan fasilitas dari sebuah kegiatan. Dengan kata lain, sebuah bencana dikatakan bersifat luar biasa apabila tidak dapat dicegah dengan tindakan apa pun. Ketiga, act of God haruslah merupakan satu-satunya penyebab dari peristiwa yang terjadi. Dalam kasus Winchester Water Works Co. v. Holliday, et al. (1932) atau Shea-S & M. Ball vs. Massman-Kiewit-Early (1979), hakim menyatakan bahwa dalih bencana alam akan ditolak apabila ditemukan adanya campur tangan manusia baik, berupa kegiatan manusia maupun perbuatan yang melanggar hukum. Di Indonesia, putusan hakim pada kasus Walhi v. Lapindo, dkk justru menunjukkan adanya logika yang janggal ketika hakim memutuskan bahwa banjir lumpur Sidoarjo terjadi karena gempa Yogyakarta. Hakim tidak memeriksa apakah dampak dari gempa bumi terhadap pengeboran merupakan hal yang tidak bisa diprediksi dan dihindarkan. Selain itu, tidak pula diperiksa apakah banjir lumpur merupakan peristiwa yang belum pernah terjadi dalam kegiatan pengeboran migas. Karenanya, putusan Walhi vs Lapindo, dkk sebenarnya tidak dapat memastikan bahwa Banjir Lumpur Sidoarjo tetap akan terjadi meskipun tidak ada pengeboran di daerah itu. Tidak pula dapat dipastikan bahwa banjir lumpur merupakan peristiwa yang terlepas dari kesalahan Lapindo atau kegiatan pengeboran oleh Lapindo. Anehnya, tanpa adanya informasi tentang hal-hal tersebut, hakim tetap memutuskan bahwa Banjir Lumpur Sidoarjo terjadi karena faktor alam, yaitu gempa Yogyakarta. Apabila hakim di Indonesia mau belajar dari definisi dan pembuktian dalih bencana alam seperti yang diterapkan di berbagai pengadilan di AS, kita dapat berharap bahwa putusan yang cacat logika, seperti putusan Walhi v Lapindo, dkk, dapat dihindari. Lagi pula, sudah saatnya kita berhenti menyalahkan Tuhan atas musibah yang terjadi karena tangan manusia.
146
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.1 Januari-Maret 2011
Ucapan Terima Kasih Artikel ini merupakan salah satu dari beberapa artikel yang dibuat dalam rangka penelitian post-doctoral penulis dengan grant penelitian dari Royal Netherlands Academy of Arts and Sciences (KNAW). Penulis mengucapkan terima kasih kepada KNAW, dan Prof. Safri Nugraha serta Prof. Michael Faure selaku supervisor dalam proyek penelitian ini.
Pertanggungjawaban Perdata dalam Kasus Lingkungan, Wibisana
147
Daftar Pustaka Jurnal/Buku Agustina, R. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Pascasarjana FHUI, 2003. Anonymous. “Oil Company Blamed for Mud-Volcano Eruption”. Nature, Vol. 456, Nov. 2008. Hal. 14. Binder, D. “Act of God? Or Act of Man?: A Reappraisal of the Act of God Defense in Tort Law”. The Review of Litigation, Vol. 15(1), 1996. Hal. 1-79. Bonine, J.E. dan T. O. McGarity. The Law of Environmental Protection: Cases-Legislation-Policies, 2 nd ed. St. Paul: West Publishing Co., 1992. Bregman, J.I. dan R.D. Edellal. Environmental Compliance Handbook, 2nd ed.. Washington, DC: Lewis Publishers, 2002. Chynoweth, P. “Legal Research”. Dalam: Knight, A. dan L. Ruddock, eds.. Advance Research Methods in the Built Environment. Oxford: Wiley-Blackwell, 2008. Hal. 28-38. Cyranoski, D. “Muddy Waters: How Did a Mud Volcano Come to Destroy an Indonesian Town”. Nature, Vol. 445, Feb. 2007. Hal. 812-815. Davies, R.J., et al. “Birth of a mud volcano: East Java, 29 May 2006”. GSA Today, Vol. 17(2), 2007. Hal. 4-9. Davies, R.J., et al., “The East Java Mud Volcano (2006 to Present): An Earthquake or Drilling Trigger?”. Earth and Planetary Science Letters, Vol. 272, 2008. Hal. 627–638. Davies, R.J., et al. “Sawolo et al. (2009) the Lusi Mud Volcano Controversy: Was It Caused by Drilling?”. Marine and Petroleum Geology, Vol. 27, 2010. Hal. 1651–1657. Djojodirdjo, M.A.M. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita, 1979. Fasoyiro, L. “Invoking the Act of God Defense”. Environmental & Energy Law & Policy Journal, Vol. 3(2), 2009. Hal. 1-33.
148
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.1 Januari-Maret 2011
Foster, Jr., H.H.; W.H. Grant; dan R.W. Green. “The Risk Theory and Proximate Cause—A Comparative Study”. Nebraska Law Review, Vol. 32, 1952-1953. Hal. 72-102. Flatt, W.D. dan W.R. Kliner. “When the Earth Moves and Buildings Tumble, Who Will Pay?—Tort Liability and Defenses for Earthquake Damage within the New Madrid Fault Zone”. Memphis State University Law Review, Vol. 22, 1991. Hal. 1-41. Grady, M.F. “Proximate Cause and the Law of Negligence”. Iowa Law Review, Vol. 69, 1984. Hal. 363-447. Hall, C.G. “An Unsearchable Providence: The Lawyer’s Concept of Act of God”. Oxford Journal of Legal Studies, Vol. 13, No. 2, 1993. Hal. 227-248. Hart, H.L.A. dan T. Honore. Causation in the Law. Oxford: Clarendon Press, 2002. Kilb, D. “Throwing Mud”. Nature Geoscience, Vol. 1, Sept. 2008. Hal. 572-573. Manga, M. “Did an Earthquake Trigger the May 2006 Eruption of the Lusi Mud Volcano?”. Eos, Vol. 88 (18), 2007. Hal. 201. Manga, M.; M. Brumm, dan M.L. Rudolph. “Earthquake Triggering of Mud Volcanoes”. Marine and Petroleum Geology, Vol. 26(9), 2009. Hal. 1785-1798. Markesinis, B.S. dan H. Unberath. The German Law of Torts: A Comparative Treatise. Oxford: Hart Publishing, 2002. Mazzini, A., et al. “Triggering and Dynamic Evolution of the LUSI Mud Volcano, Indonesia”. Earth and Planetary Science Letters, Vol. 261, 2007. Hal. 375–388. Normille, D. “Indonesian Mud Volcano Unleashes a Torrent of Controversy”. Science, Vol. 315, 2007. Hal. 586; Normille, D. “Two Years On, a Mud Volcano Still Rages and Bewilders”. Science, Vol. 320, 2008. Hal. 1406-1407. Owen, D.G. “The Five Elements of Negligence”. Hofstra Law Review, Vol. 35(4), 2007. Hal. 1671-1686. Ratnapala, S. Jurisprudence. Cambridge: Cambridge University Press, 2009.
Pertanggungjawaban Perdata dalam Kasus Lingkungan, Wibisana
149
Rubiandini, R. “Interviu: Mereka Sudah Keterlaluan”. Trust, No. 18, Thn. VI, 2008. Hal. 56-58, Rundall, M.T. “Act of God” as a Defense in Negligence Cases”. Drake Law Review, Vol. 25, 1976. Hal. 754-762. Sawolo, N., et al., “The LUSI Mud Volcano Triggering Controversy: Was It Caused by Drilling?”. Marine and Petroleum Geology, Vol. 26, 2009. Hal. 1724–1739. Sawolo, N., et al. “Was LUSI Caused by Drilling? – Authors Reply to Discussion”. Marine & Petroleum Geology, Vol. 27, 2010. Hal. 1658-1675. S. Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Cet. 3. Jakarta: UI Press, 1986. Van Gerven, W.; J. Lever, dan P. Larouche. Cases, Materials and Text on National, Supranational and International Tort Law. Oxford: Hart Publishing, 2000. Kasus Apex Oil Company, Inc. v USA (2002), 208 F.Supp.2d 642. Ardel Wolff v. Dudly Light (1968), 156 N.W.2d 175. Arkansas Valley Electric Cooperative Corporation v. Hud Davis (1990), 304 Ark. 70, 800 S.W.2d 420. Beauton v. Connecticut Light & Power Co. Drapeau (1938), 125 Conn. 76, 3 A.2d 315. Burdell Curtis, et al. v. E. Lee Dewey, et al. (1970), 93 Idaho 847, 475 P.2d 808. Carlson, et al. v. Corrugated Box Corp. (1950), 364 Pa. 216, 72 A.2d 290. Charvoz v. Bonneville. Dist. (1951), 120 Utah 480, hal. 484; 235 P.2d 780. Christopher L. Phillips v. USA (1992), 801 F.Supp. 337. Donald McFeeters et al. v. M. W. Renollet and Renollet Homes, Inc. (1972), 210 Kan. 158, 500 P.2d 47. Emil Frank, et al. v. County of Mercer (1971), 186 N.W.2d 439.
150
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.1 Januari-Maret 2011
European Commissions vs. Italian Republic, ECJ, in Case C-297/08 Fairbury Brick, Co. v. Chicago, R.I &P.RY.Co (1907), 79 Neb. 854, 113 N.W. 535. Fairmont Creamery Co. v. Thompson (1941), 139 Neb. 677, 298 N.W. 551. Frederic H. Dickman v. Truck Transport, Inc. & Virgil Thompson (1974), 224 N.W.2d 459. Green v. General Petroleum Corp. (1928), 205 Cal. 328 (60 A.L.R. 475). Herman Dye et ux v. Fred R. Burdick, et ux (1977), 262 Ark 124, 553 S.W.2d 833. Jacoby v. Town of City of Gillettte (1946), 174 P.2d 505. Johnson v. Burley Irrigation District (1956), Idaho 392, 304 P.2d 912. Joseph Resnick, Co., Inc. v. Nippon Yusen Kaisha, et al (1963), 39 Misc.2d 513, 241 N.Y.S.2d 134. Kendall McWilliams, et al. v. Robert John Masterson (2003), 112 S.W.3d 314. Kennedy et al. v. Union Electric, Co. of Missouri (1956), 358 Mo. 504, 216 S.W.2d 756. Kimble v. Mackintosh Hemphill, Co. (1948), Co., 359 Pa. 461, 59 A.2d 68. Liberian Poplar Transports v. USA (1992), 26 Cl.Ct. 223. Luther Trarfer & Storage, Inc. v. W.H. Walton, et al (1957), 296 S.W.2d 750. Manila School District No. 15 of Mississippi County v. Earl Sanders (1956), 226 Ark. 270, 289 S.W.2d 529. Oklahoma City v. Tarkington (1936), 178 Okla. 430, 63 P.2d 689. Oklahoma Ry. Co. et al. v. Boyd (1929), 140 Okla. 45, 282 P. 157. Paul Butts et al. v. City of South Fulton (1978), 565 S.W.2d 879. Radburn v. Fir Tree Lumber, Co. (1915), 83 Wash. 643, 145 P. 632. Raymond Johnson v. Burley Irrigation District (1956), 78 Idaho 392, 304 P.2d 912.
Pertanggungjawaban Perdata dalam Kasus Lingkungan, Wibisana
151
Rix, et al. v. Town of Alamogordo (1938), 42 N.M. 325, 77 P.2d 765. R. Rex Lee v. Mobile Oil Corp., et al. (1969), 203 Kan. 72, hal. 74; 452 P.2d 857. Rylands v. Fletcher (1866), L.R. 1 Exch. 265. Sabine Towing & Transp., Co., Inc. v. USA (1981), 666 F.2d 561 (1981). Shea-S&M Ball v. Massman-Kiewit- Early, et al. (1979), 606 F.2d 1245 (1979). SGS Belgium NV v. Belgisch Interventie- en Restitutiebureau, et al, ECJ, in Case C-218/09. Skandia Insurance Co., Ltd., et al. v. Star Shipping AS, et al. (2001), 173 F.Supp.2d 1228 (S.D.Ala 2001). Sky Aviation Corp. v. William F. Colt (1970), Wyo., 475 P.2d 301. Slater v. South Carolina Ry. Co. (1888), 29 S.C. 96, 6 S.E. 936. Southern Pac. Co. v. City of Los Angeles, et al. (1936), 5 Cal.2d 545, 55 P.2d 847. State, et al. v. Malone (1943), 168 S.W.2d 292. Theodore H. Freter v. Embassy Moving & Storage, Co., Inc. (1958), 218 Md. 12, 145 A.2d 442. USA v. Alcan Alumunium Corp. (1995), 892 F.Supp. 648 (M.D.Pa. 1995). USA, et al. v. J.B. Stringfellow, Jr. (1987), et al., 661 F.Supp. 1053 (C.D.Cal. 1987). USA v. Tex-Tow, Inc. (1978), 589 F.2d 1310 (1978). USA v. West England Ship Owner’s P&I, et al. (1989), 872 F.2d 1192 (5th Cir. 1989). Utilities Pipeline Company v. American Petrofina Marketing (1988), 760 S.W.2d 719 (Tex.App.—Dallas 1988). Walhi v. Lapindo Brantas, Inc., et al., 284/Pdt.G/2007/PN.Jak.Sel. Waunetta W. Ingram,et al., v. Howard-Needles-Tammen and Bergendoff, and Kansas Turnpike Authority (1983), 234 Kan. 289, 672 P.2d.
152
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.1 Januari-Maret 2011
Webb v. Platte Valley Public Power & Irrigation Dist. (1941), 146 Neb. 61, 18 N.W.2d 563. Winchester Water Works Co. v. Holliday, et al. (1932), 241 Ky. 762, 45 S.W.2d 9. Lain-lain Commission of the European Communities. “Green Paper on Remedying Environmental Damage”, COM(93) 47 final, 1993. Larasati, A. “Pertanggungjawaban Perdata Terkait dengan Teori Kausalitas dalam Kasus Perdata Lingkungan: Studi Kasus Mandalawangi dan Lumpur Lapindo”. Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010. Yunita, S. “Penerapan Strict Liabiliy dalam Gugatan Perdata Lingkungan di Indonesia dan Perkembangan Strict Liability dalam Undang-undang No. 32 tahun 2009”. Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011.