Tanah Air Saya Perancis, Juga Indonesia! Oleh: Martin Aleida Paris. Dari Porte d’Itali saya menumpang bus nomor 47 menuju Cardinal Lemoine. Setelah melalui sepuluh pemberhentian, saya pindah ke bus nomor 89, turun di halte Luxembourg. Melangkah beberapa puluh meter, sesuai dengan petunjuk aktivis Mulyandari Alisyah, dan suaminya Alain, yang bermurah hati memberikan kamar persinggahan prodeo bagi saya di wilayah Villejuif, saya sudah dihadang jejeran bangunan tua Universitas Sorbonne. Di kanan, deretan café yang tengah menunggu tamu. Inilah titik pertemuan itu, kupikir. Tepat di depan café Le Patio, yang didominasi warna merah, saya berhenti beberapa saat. Lalu masuk. Di pojok kiri depan, di sebelah dalam, ada meja kosong dikelilingi empat kursi, dipisahkan kaca dengan trotoar. Saya putuskan untuk duduk menunggu di situ sambil menikmati orang yang lalu-lalang di depan café. Tak lama kemudian, tepat pukul 3 sore, Ersa yang kutunggu muncul di ambang pintu. Paras wajahnya benar-benar Indonesia. Rambutnya terjurai di bahu. Tinggi sekitar 160 cm, kulit sawo matang. Dari percakapan saling memperkenalkan diri, terasa bahwa saya tidak sedang berhadapan dengan seorang yang berdarah Sumatera Barat. Lidahnya Perancis totok, dan terdengar seperti terlipat kalau mengucapkan kata-kata dalam Bahasa Indonesia yang dilantunkannya dengan tuntunan pikiran, dan bukan sesuatu yang spontan begitu saja dari dalam hatinya. Dia lebih Perancis daripada Indonesia. Sorot matanya mengisyaratkan sikap yang tidak mudah hanyut. Berhati-hati. Perjalanan hidupnya yang sulit berliku terbaca dari kerut dan warna kegelapan di pelupuk matanya yang tak kuasa saya tatap berlama-lama. Di dalam hati saya berbisik, sepasang matanya itu adalah mata ayahnya. Wajahnya itu mengingatkan saya pada ayahnya juga: Erman SA. Kawanku sekantor di redaksi Harian Rakyat yang terbit di Jakarta. Erman dan Noor Djaman, dua-duanya wartawan koran tersebut, berangkat ke Tiongkok sekitar tahun 1964 untuk bekerja sebagai penerjemah di Radio Peking. “Ersa itu, singkatan dari Erman SA?” Tanya saya untung-untungan, sekedar untuk mengetuk pintu hatinya agar bersahabat sepanjang percakapan, sementara tangan saya meletakkan alat perekam di atas meja. “Tidak. Itu nama pemberian Papa.” Samar-samar dalam ingatan saya, Erman SA bertempattinggal di daerah Pademangan, di sebelah timur Jalan Gunung Sahari, Jakarta. Jalan ke rumahnya belum beraspal. Walau 1
tidak tetap, waktu itu kantor kami menyediakan kendaraan antar-jemput dari rumah masing-masing ke redaksi yang terletak di Jalan Pintu Besar Selatan, Jakarta Kota. Beberapa kali saya sempatkan mampir ke ruang tamu rumahnya yang sederhana. Kepada anaknya, Erman bercanda menunjukkan potret Lenin, dan bilang, “Nih, ngkong Lenin.” Kecenderungan politik Erman SA kiri, itu sudah barang tentu. Tetapi, dia bukan baja, dia lentur, santai-santai saja dalam kehidupan sehari-hari. Sama seperti Anwar Darma, wartawan Harian Rakyat yang acapkali meliput kegiatan Presiden Sukarno, sebelum dia diangkat menjadi koresponden di Moskow sekitar akhir 1964. Orang Medan ini juga suka bercanda. Sembari senyum mengusap kepalanya yang gundul, mengingatkan pada pendiri Uni Soviet, dia bilang, “Bung tahu, nama Lenin sebenarnya adalah Anwar …” Kelakar yang bisa membuat merah kuping mereka yang dogmatis. Di ruang redaksi siapa saja merdeka untuk merokok. Erman perokok berat. Ujung telunjuk dan jari tengahnya seperti bergincu candu. Melebihi Bambang Sukowati Dewantara yang sering menumpangkan satu telapak kakinya di kursi, membiarkan dengkul dekat dagu, sambil mengeja tulisan dengan mesin ketik. Bambang, putra tokoh pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara, yang lentur menarikan tari Jawa itu adalah salah seorang redaktur kebudayaan HR Minggu. Terkadang dia menyingkat namanya jadi Basudewa. Erman SA bersama istri serta empat putra-putrinya tiba di Paris tahun 1973. Sesungguhnya Paris bukan tujuannya. Ketika meninggalkan Peking, dia memutuskan untuk menuju Peru, Amerika Latin. Tetapi, konon kabarnya, kawan-kawan yang menyambutnya di Paris memutuskan supaya dia mengakhiri saja perjalanan pelariannya di kota itu. Noor Djaman, teman seperjalanannya ketika meninggalkan Jakarta sekitar tahun 1964 untuk bekerja sebagai penerjemah di Radio Peking, memilih jalan hidup sendiri. Terdampar di Amsterdam dan meninggal di kota itu beberapa tahun lalu. Apa yang Ersa ingat ketika bersama Papa dan Mama tiba di Peking? Ketika tiba di Peking, saya masih kecil, belum bersekolah. Saya masuk taman kanak-kanak. Adik saya juga masuk taman kanak-kanak. Tapi, sesudah itu saya tidak pernah menikmati bangku sekolah. Saudara-saudara saya juga tidak. Yang mengajari saya dan saudara-saudara saya di rumah adalah Papa. Kalau saya kenang, perjalanan hidup saya, memang ada jeleknya. Saya bertempattinggal di Tiongkok begitu lama, tetapi karena keadaaan, saya tidak bisa menguasai bahasa Mandarin. Sebenarnya hal itu menjadi semacam kekayaan yang hilang. Kalau saya ceritakan saya pernah tinggal sekian tahun di Tiongkok, orang akan menemukan keanehan, mengapa saya tak bisa menggunakan bahasa di mana saya tinggal. Lama lagi.
2
Bahasa apa yang digunakan? Papa mengajari saya berhitung, ilmu alam, bahasa, sejarah. Mama juga turut membantu mengajar sedikit. Tetapi, bagian terbesar dilakukan oleh Papa. Dia memang berasal dari Sumatera Barat, orang Minang. Dengan Mama mereka terkadang berbahasa Minang. Dengan anak-anak mereka berbahasa Indonesia. Waktu di Tiongkok, Papa saya memutuskan untuk tidak mengirimkan anak-anaknya sekolah, karena ada Revolusi Kebudayaan, dan ada perpecahan yang tajam di kalangan orang Indonesia sendiri yang ada di sana. Saya memang mencoba belajar Mandarin, tetapi tidak bisa menjadi bahasa pegangan, karena jarang dipakai. Bagaimana Ersa melihat perjalanan hidup Ersa sendiri. Apakah ada yang disesalkan? Papa telah memilih jalan politik yang dianggapnya benar. Dan itu adalah haknya. Tentu saja dia juga tahu jalan yang dia pilih punya konsekuensi sendiri. Mereka keluar dari Indonesia dan menghadapi masalah baru di Tiongkok, namun mereka kuat menghadapi persoalan itu. Dan saya kira, Papa juga sudah memperhitungkan hal itu. Papa dan Mama saya hidup seperti berada di dalam kurungan pada waktu itu. Tentu keadaan itu bukanlah yang mereka inginkan untuk anak-anak mereka. Yang menyedihkan lagi buat mereka adalah bahwa mereka kepingin keluar dari keadaan yang mereka hadapi, tetapi tak bisa. Mereka seperti terkurung. Tak ada kebebasan untuk bepergian ke mana-mana. Orang asing tidak bebas bepergian. Bersalaman saja dengan orang lain, tidak bisa. Secara fisik saya tidak menderita. Tetapi, sebagai manusia, di dalam hati, saya sungguh menderita menyaksikan sendiri orangtua saya yang sedang terkurung seperti itu. Mereka berada dalam keadaan yang tidak mereka inginkan. Orang asing tidak bebas bepergian ke mana-mana. Di Tiongkok, waktu itu, buat orang Indonesia ada semacam dinding yang sangat tinggi yang membuat mereka tidak bisa keluar. Mau bersalaman saja dengan orang lain harus diprogram lebih dulu. Harus setahu tuanrumah. Menyedihkan! Mereka harus berhadapan dengan keadaan yang tidak mereka inginkan dan mereka tak bisa keluar dari keadaan itu. Sampai pada satu titik, apakah Papa pernah menyatakan menyesal membuat anaknya menderita, menjadi pelarian, pengembara? Menyesal tidak. Karena dia tahu dunia yang dia tuju. Karena dia tahu pilihan yang dijatuhkan pada dunia yang dia pilih akan membawa resiko, walau resiko yang muncul kemudian tidak terbayangkan olehnya. Papa meninggal tahun 1991. Mama 1990. Sekali lagi, saya tidak menderita secara fisik, tetapi sebagai manusia, saya sedih sekali melihat mereka tidak bisa memilih jalan hidup mereka sendiri. Mereka seperti dikurung oleh
3
tembok yang tinggi sekali. Namun, dalam keadaan seperti itu, sebagai orangtua, mereka dengan teguh tetap menjalankan kewajiban terhadap anak-anak mereka. Mereka juga mengajari kami tentang agama. Sementara itu, mereka juga harus belajar untuk menyesuaikan diri di sini. Di sini mereka menemukan keadaan di mana orang diperlakukan sama, dan ada jaminan untuk hidup. Sesuatu yang tidak ada bagi mereka jika mereka hidup di Indonesia ketika itu. Kapan meninggalkan Tiongkok? Kami meninggalkan Peking sekitar 1973. Papa dan Mama semula tidak mau ke Paris. Mereka maunya ke negara lain. Tetapi, sampai di sini mereka distop. Tujuan mereka bukan Paris, tetapi satu negara di Amerika Selatan. Mereka tidak punya maksud untuk tinggal di Perancis. Walaupun saya tumbuh lebih cepat menjadi dewasa, tetapi pada waktu itu, saya belum tahu mengapa mereka tidak memilih Belanda, Jerman, Perancis, atau Afrika Selatan. Dia dikirim dari Indonesia, tetapi begitu pekerjaannya sudah tidak bisa dilaksanakan lagi, berarti misi Papa sudah selesai. Untuk bekerja di Tiongkok tidak mungkin, karena adanya pertentangan di kalangan orang-orang Indonesia sendiri. Ada yang setuju dengan Tiongkok, tetapi ada yang tidak. Tiket pesawat untuk meninggalkan Peking, setahu saya, Papa usahakan sendiri, karena ketika bekerja dia menghemat, menyimpan uang. Saya mulai memahami ada sesuatu yang sedang dihadapi Papa, ketika saya berumur tujuh tahun. Ketika tiba di Perancis, bagaimana izin tingggal dan suaka politik? Papa dan Mama tidak memegang paspor Perancis. Mereka tetap orang Indonesia. Mereka tidak pernah meminta kewarganegaraan Perancis. Sampai meninggal, mereka tetap sebagai eksil. Di Perancis ini ada keterangan yang diberikan kepada orang yang tidak bisa pulang ke negaranya. Itu yang dipegang Papa. Dengan dokumen itu Papa bisa mendapat pekerjaan. Berapa lama kemudian dia mendapat pekerjaan, saya tidak tahu. Tetapi, jelas pekerjaan yang tidak sesuai dengan bidang yang dia kuasai, penerjemah, wartawan. Karena sudah lama dia tinggalkan. Pekerjaan Papa yang terakhir di Paris adalah sebagai staf di museum. Mula-mula mereka bertempattinggal di kota Paris, tapi belakangan dapat rumah di luar kota, tetapi tidak jauh. Waktu itu usia saya sudah 11 atau 12 tahun. Saya dimasukkan ke sekolah bahasa Perancis. Sesudah itu saya masuk sekolah menengah pertama. Ya, saya langsung masuk SMP. Kami; saya, kakak saya, dan dua adik saya, semuanya masuk sekolah. Sekolah milik negara. Gratis. Ketika meninggalkan Tiongkok, Papa tidak bisa berbahasa Perancis. Sama seperti orang asing lainnya yang datang ke sini, dia masuk sekolah untuk belajar bahasa Perancis
4
lebih dulu, kemudian belajar sendiri di tengah-tengah masyarakat, di tempat di mana dia bekerja. Kami sendiri, anak-anak, harus belajar beradaptasi dengan masyarakat. Di kelas, di sekolah saya, ada sekitar 30 siswa, dan saya harus menyesuaikan diri dengan mereka, dengan budaya mereka. Sesuatu yang tidak bisa kami lakukan pada waktu kami tinggal di Tiongkok. Di sini, rata-rata jumlah murid di dalam satu kelas antara 25 sampai 30 orang. Makan siang dapat di sekolah. Setelah lulus sekolah menengah atas, saya belajar kedokteran di satu universitas yang terletak di Paris 13. Saya menyelesaikan pendidikan kedokteran selama delapan setengah tahun, bidang kedokteran umum dan emergency anak. Saya ditempatkan di rumahsakit di bagian emergency anak. Sampai sekarang. Tetapi, belakangan ini jam kerja saya di rumahsakit sudah berkurang. Saya lebih banyak bertugas di semacam pusat kesehatan masyarakat. Karena itu, sebelum pulang, saya bisa menyempatkan diri bertemu orang, seperti sekarang ini. Kakak saya bekerja sebagai computer programmer, dua adik saya di bidang pendidikan. Kami semua sudah berkeluarga. Saya sudah punya anak, dua orang. Adik saya juga sudah punya anak. Usia saya 55. Usia pensiun sekitar 65. Saya dengar Ersa bersama ketiga saudara pernah mengamen di metro. Ya, benar. Kami berempat, waktu itu saya berumur sekitar 11 tahun, main musik di metro, untuk membantu Papa. Berapa penghasilan satu hari? Kami berempat. Pendapatan kami satu hari sama dengan penghasilan paling rendah dari satu orang dewasa. Gaji minimum. Kami di sini menyebutnya SMIC (salaire minimum interprofessionel de croissance.) Tidak tiap hari kami ngamen. Karena kami ‘kan harus sekolah. Ngamen itu dilakukan di luar jam sekolah. Papa yang mengajari kami main musik, memetik gitar, menggesek biola. Papa bagus main biola. Seperti Martin ingat dan katakan tadi, kuku dari salah satu jari jempol Papa dia biarkan agak panjang. Itu dia gunakan untuk memetik gitar. Penghasilan dari main musik itu diberikan kepada orangtua untuk mencukupi kebutuhan hidup kami sekeluarga. Waktu di Tiongkok, Papa juga punya keahlian lain, membuat stempel, menggunakan singkong yang kemudian diukir. Beberapa eksil yang lain juga memiliki kemahiran membuat stempel palsu semacam itu, untuk keperluan perpanjangan paspor Indonesia, karena pihak kedutaan menolak untuk memperpanjang paspor mereka. Pernah ke Indonesia?
5
Saya sudah beberapa kali pulang ke Indonesia. Yang pertama kali untuk bekerja di Bali, membantu seseorang yang memperoleh asuransi kesehatan. Dari Paris saya yang dikirim ke Bali untuk menanganinya. Mama, Papa, tidak pernah pulang. Mereka tidak tertarik untuk pulang. Karena sampai pada saat mereka meninggal, keadaan di Indonesia belum memungkinkan buat mereka untuk pulang. Kalau keadaannya seperti sekarang ini, dan kalau mereka masih hidup, tentu mereka ingin pulang. Ketika menginjakkan kaki di Bali, apa yang ada di pikiran Ersa? Pikiran saya terbang kepada Papa, kepada Mama. Saya tahu mereka sangat menderita karena tidak bisa kembali ke tanah air mereka sendiri. Pada diri saya ada perasaan senang, ketika itu. Ada juga perasaan sedih. Sedih karena teringat pada mereka. Ersa merasa sebagai orang Perancis atau Indonesia? Saya merasa dua-duanya. Tetapi, pada waktu saya di Bali, pikiran saya bukan tertumpu pada diri saya. Saya teringat Papa dan Mama saya yang tidak bisa pulang ke tanah air mereka sendiri. Perasaan saya terpecah. Senang bisa berada di Indonesia, tetapi pada saat yang sama juga sedih karena teringat pada mereka. Ada rencana untuk tinggal menetap di Indonesia? Sampai sekarang belum. Saya tidak mengalami evolusi di Indonesia. Jadi, saya melihat dan merasakan Papa dan Mama dengan latarbelakang yang berbeda. Mereka banyak bercerita tentang Sumatera Barat, sedangkan yang saya lihat jauh berbeda. Karena waktu itu saya berada di Bali. Ketika kedua kali saya datang, saya mengunjungi Sumatera Barat dan daerah lain. Tetapi, itu cuma kunjungan, bukan untuk bekerja, seperti di Bali. Saya ke sana dengan anak-anak. Suami tidak ikut. Pada tahun 2005 saya bekerja di Aceh, ketika wilayah itu baru dilanda tsunami. Saya bekerja untuk lembaga swadaya masyarakat di bidang pelayanan kesehatan Perancis. Selama hampir tiga bulan. Waktu itu, saya bekerjasama dengan sekitar 30 orang dokter dari seluruh dunia. Saya bekerjasama dengan enam dokter. Tak ada masalah bagi kami dalam menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru dihadapi Aceh. Tak ada masalah dalam hal suplai makanan dan minuman, karena semuanya sudah dipersiapkan. Pernah mampir ke Jakarta?
6
Pernah. Tapi, saya tidak tahu nama wilayahnya, karena saya diantar dan dijemput. Menginap di rumah saudara. Pernah juga menginap di hotel, tapi tidak ingat nama hotelnya. Tanah air Ersa yang mana? Tanah air saya Perancis di mana kebebasan berpikir dan hak-hak asasi manusia dihormati. Tetapi, saya juga merasa punya tanah air yang bernama Indonesia, walau saya tidak bisa menyesuaikan diri dengannya, karena saya tidak dibesarkan di sana. Indonesia yang selalu mengingatkan saya kepada kesedihan yang diderita oleh kedua orangtua saya. Karena mereka tidak bisa pulang ke tanah air yang tentu mereka cintai. Sebab dulu pun mereka berangkat ke Tiongkok dan bekerja di sana untuk Indonesia. Martin, tentunya mengerti, bagaimana susahnya perasaan saya kalau berada di Indonesia. Karena orang di sana tidak menganggap saya sebagai orang Indonesia, karena bahasa Indonesia saya tidak sebaik mereka. Di Indonesia, saya dianggap sebagai orang asing. Paling tidak, saya tidak dianggap seratus persen sebagai orang Indonesia. Di Indonesia saya harus berhadapan dengan suasana yang membeda-bedakan, sementara di Perancis sini keadaan seperti itu tidak ada. Kita semua sama. Di Banda Aceh, karena bekerjasama dengan orang asing, oleh masyarakat setempat saya tidak dianggap Indonesia. Sementara kalau berkumpul dengan sanak-saudara, saya tidak dilihat sebagai bagian dari diri mereka, orang Indonesia. Begitulah hidup saya. Tapi, maaf, saya tak pernah menyesal. Meskipun dalam pelarian, jauh dari negeri yang mereka cintai, Papa dan Mama telah membesarkan kami, anak-anak yang mereka sayangi, dengan baik … Ersa melemparkan pandang ke luar café. Saya mengikuti matanya. Di luar café, tak henti-hentinya orang berseliweran melirik kalau-kalau ada kursi yang kosong, di beranda atau di dalam. Menjelang pukul 6 sore sudah. Hari masih terang. Matahari musim semi begitu lembut, seperti enggan meninggalkan bayang-bayang dari deretan gedung Universitas Sorbonne pada permukaan pelataran yang menghampar di luar. Ersa bangkit, pamit, karena dia harus ke rumahsakit. Menyusur trotoar, dia menyatu dengan arus manusia, ke mana Papa dan Mamanya telah membawanya, di luar kehendak mereka sendiri. Di luar angan-angan yang tak pernah terbayangkan oleh Ersa. Di mana dia harus menemukan dan mempertahankan identitas dirinya sendiri sebagai bagian dari Perancis! Tetapi juga Indonesia, yang selalu membangkitkan kenangan pada kesengsaraan kedua orangtuanya, yang tak bisa lagi menggenggam dan mencium tanah air mereka, walau sekepal, sampai pun mereka menjemput ajal di daratan yang jauh itu.
7
Ersa lenyap di tikungan. Tanda off hampir lupa saya tekan. Sekarang perekam suara itu sudah padam. Beberapa jam setelah pertemuan itu, saudara lelaki Ersa menelepon. Dia meminta maaf, karena tak bisa bergabung dalam kongkow di mana dia seharusnya ikut, katanya. Jam kerja di kantor menghalanginya untuk datang. Dia menyesal sekali tidak bisa berjumpa dengan saya. Dan dia setengah mendesak untuk menemui saya barang sebentar, tetapi dengan menyesal saya katakan esok paginya saya harus kembali ke Amsterdam menumpang Flixbus. Menduga-duga, dan kemungkinan saja salah, saya kira dia menelepon saya setelah berbicara dengan Ersa. Barangkali, dia tertarik setelah mendengar dari Ersa saya menceritakan ciri-ciri tubuh ayahnya yang saya tandai sebelum dia berangkat ke Peking dulu. Satu kuku jari jempol yang dibiarkan sedikit panjang, perokok berat sampai jarinya menguning candu, dan rambutnya yang disisir menyamping. Dan bahwa wajah Ersa adalah copy paste dari rupa Papa mereka. Dalam percakapan tadi, dengan sorot matanya yang was-was, Ersa juga menyelidik dengan bertanya, bagaimana saya bisa selamat dalam bencana politik yang menyebabkan ratusan ribu orang terbunuh, dipenjarakan, dibuang, dinista, dan kedua orangtuanya tak bisa pulang ke negerinya. Saya katakan, saya tak bisa menjawab secara pasti, karena saya di Indonesia, di mana hal-hal yang ganjil, di luar akal sehat, bisa terjadi. Dan mengerikan! Kuceritakan, di Jakarta, mereka yang ditangkap oleh tentara, boleh dikatakan tidak ada yang langsung dibunuh, kecuali dua wakil Ketua Partai Komunis Indonesia D.N. Aidit, yaitu M.H. Lukman dan Nyoto yang ditangkap, disiksa, dan dibantai. Pembinasaan manusia secara massal umumnya terjadi di kota-kota kecil, terutama di desa-desa. Saya ceritakan, saya bersama lima kawan diringkus oleh operasi militer di Jakarta awal 1966. Mata Ersa sedikit meredup ketika saya katakan bahwa saya ditahan tak sampai satu tahun. Itu pun hanya di kamp konsentrasi militer di Jakarta. Hanya seorang dari kami yang disiksa secara fisik dengan menggunakan pengejut listrik, cambuk yang terbuat dari ekor pari, atau kaki meja dan kursi. Karena di kantong kawan itu ditemukan secarik kertas, di mana tertulis beberapa nama. Karena doktrin militer adalah untuk menghancurkan komunis dan simpatisannya “sampai ke akar-akarnya,” maka yang jadi sasaran perburuan yang kejam adalah nama. Cara apa pun dikerjakan militer bedebah itu untuk meringkus yang punya nama. Di saku saya sendiri ditemukan dua macam surat. Satu, wasiat dari Ayah dan Emak saya, yang
8
akan berangkat menunaikan ibadah haji dengan menumpang kapal laut. Mereka, rupanya, sudah bersiap-siap mati untuk perjalanan ibadah yang memakan waktu paling sedikit tiga bulan itu. Satu lagi, berlembar-lembar surat-surat cinta saya dengan gadis yang kemudian menjadi istri saya sampai sekarang. Punya cucu tiga! Dia juga sempat ditahan beberapa bulan di kamp konsentrasi yang sama. Ersa kelihatan terkejut ketika saya katakan bahwa saya tidak mendapat tekanan fisik ketika diinterogasi, karena yang memeriksa saya adalah kawan saya sendiri. Pendurhaka! Seorang tokoh Pemuda Rakyat yang bersama saya, pada awal Oktober 1965, ditugaskan memonitor siaran radio daerah. Dia mengenal saya dengan baik, dan bahwa pekerjaan saya sebagai wartawan Harian Rakyat adalah pekerjaan yang syah sebelum G30S. “Tak sedikit orang seperti itu,” ucap saya. “Tapi, sungguh, saya tak tak tahu mengapa saya tidak ditahan lebih lama. Putu Oka, penyair, anggota Lekra, yang ditangkap bersama-sama saya, meringkuk di penjara selama delapan tahun. Iskandar A.S., penulis cerita pendek, wartawan Bintang Timur, menjadi penghuni penjara selama hampir empat tahun. Saya tak tahu. Tak ada yang pernah memberi tahu kenapa saya hanya dikurung sebentar saja. Dan saya tak pernah mencari tahu. Mungkin, inilah namanya nasib baik dan nasib buruk. Saya tak tahu … Mungkin itu juga semacam teror terhadap saya. Karena kebebasan yang saya terima sebenarnya adalah penjara yang lebih besar. Karena hidup sendiri, tak ada kawan yang tersisa. Semua sudah ditekuk, dilumpuhkan. Saya sungguh tak tahu …” Kemudian dia juga bertanya bagaimana saya bisa kembali bekerja sebagai wartawan. Saya ceritakan, setelah dibebaskan dari kamp, sambil bekerja sebagai penjaga toko, saya menulis cerita pendek dengan menggunakan nama yang saya gunakan sekarang ini. Karena wartawan, guru, sampai pun pekerjaan sebagai dalang, dan sejumlah profesi lagi, yang dituduh terlibat G30S, tidak diperbolehkan bekerja di lapangan mereka masing-masing. Kalau tak mau ditangkap lagi. Cerita-cerita pendek saya dimuat di satu majalah kebudayaan yang terpandang ketika itu. Fiksi-fiksi saya itu kemudian menjadi semacam paspor bagi saya untuk melamar menjadi wartawan sebuah majalah berita, dan kembali ke dunia tulis-menulis. Walau dua-tiga tahun kemudian saya dipanggil militer untuk diinterogasi kembali. Dan lagi-lagi yang menginterogasi adalah kawan sendiri. “Nama Martin yang dulu siapa?” “Itu masih rahasia negara …,” jawab saya dengan cepat. Bercanda. Sama seperti jawaban yang saya lemparkan ketika saya menyahut pertanyaan serupa yang disodorkan oleh 9
Indonesianis Ben Anderson ketika kami bertemu di Perpustakaan Nasional, di Jakarta, beberapa tahun sebelumnya. Muka Ben merah-padam, tapi dia masih bisa tertawa dan mengajak saya berfoto bersama. Ersa menikam mata saya dengan tajam. Untuk melenturkan sikap, dan hatinya juga, saya katakanlah kepadanya nama saya sebagaimana yang dikenal Papanya, pemberian kedua orangtua saya. “Hmm … nama yang singkat, bagus. Hati-hatilah,” katanya.
10