1
MEMPERKARAKAN TANAH AIR
2
Hari-hari ini, setidaknya dalam peredaran lingkungan pergaulan yang saya kenal, isu-isu tentang lingkungan hidup sepertinya menjadi salah satu bidang advokasi utama selain soal politik praktis (kampanye partisan, isu korupsi dan sebagainya). Isu lingkungan hidup ini mencakup problem yang sangat luas dan kompleks, dengan kata kunci-kata kunci sebagai berikut: agrikultur, keanekaragaman hayati (biodiversity), reformasi pertanahan, eksploitasi sumber daya alam, manipulasi genetika untuk tanaman pangan, ketahanan pangan, dan sebagainya. Kepedulian generasi kelas menengah masa kini terhadap isu lingkungan, setidaknya ini yang saya amati dari garis edar di sekitar saya, memang meningkat, setidaknya pada upaya bagaimana mereka menjadi bagian dari aksi perubahan itu sendiri melalui tindakan-tindakan personal. Kelas menengah juga menginisiasi bentuk-bentuk komunitas terobosan seperti “sekolah hijau”, “perma culture” dan sebagainya. Apakah tindak-tindak personal itu pada akhirnya akan berhasil menjadi satu model kampanye sosial dan, lebih jauh lagi, merambah pada lobi politik? Apakah kesadaran bahwa ideologi developmentalisme yang sudah berakar selama puluhan tahun merupakan sumber utama bagi perusakan lingkungan? Pertanyaan yang saya ajukan tampaknya bisa menjadi satu cara untuk membaca karya-karya Setu Legi dalam pameran TANAH AIR ini. Di tengah meningkatnya diskusi mengenai beragam isu dalam cakrawala yang acap disederhanakan menjadi terma “lingkungan hidup” itu, Setu Legi menawarkan modus-modus untuk melihat semua itu kembali ke dalam ranah sosial politik. “Politik sebagai perspektif” ini dengan demikian memberi penekanan pada soal relasi kuasa antara kelompok dominan dan kelompok subordinat dalam hal pengelolaan sumber daya alam, yang artinya juga penting untuk membaca relasi antar manusia yang berelasi di dalamnya.
MOTHERLAND AS SUBJECT MATTER
Today, at least in within the social circles that I move in, environmental issues seem to be one of the main areas of advocacy, apart from political praxis (partisan campaigns, corruption issues and so on). Environmental issues encompass a wide and complex variety of problems, with the key words as follows: agriculture, biodiversity, land reform, exploitation of natural resources, genetic manipulation of food crops, sustainable farming and so on. The current generation of the middle class and their concern about environmental issues, at least as far as I have observed in those around me, has certainly increased, at least in their efforts to become part of movement for change itself through their personal actions. The middle class also initiates forms of community interventions such as “green schools”, “permaculture” and so on. Are these personal actions themselves eventually becoming successful models for social campaigns, or even further, doing away with political lobbying? Is awareness of the ideology of developmentalism, with its roots now decades old, the main source of environmental destruction? The question I propose could be a way of reading Setu Legi’s work in this exhibition. In the middle of advancing discussion on various issues within the constellation that is often simplified as “environmental issues,” Setu Legi offers modus for reconsidering all of this in the socio-political realm. This “politics as perspective” then puts pressure on the issue of relational power between dominant and subordinate groups in the management of natural resources, which means it is also important to read relations between humans who relate to each other within these groups. 3
4
Berkaitan dengan visi estetika dan persebaran tema atau teks karya, presentasi karya-karya Hestu ini juga memunculkan kembali pertanyaan tentang apa artinya menjadi politik dalam konteks seni rupa masa kini? Apakah pesan-pesan dan slogan politik yang disampaikan sebagai konten dalam karya seni mempunyai kekuatan dan dampak yang sama dengan sebagaimana ia dipresentasikan dalam satu dekade lalu, misalnya? Sekali lagi, meski Setu Legi sendiri tidak lagi aktif sebagai anggota, mau tidak mau, membicarakan persoalan bentuk dan bahasa visual karya-karya Setu Legi juga membawa kita untuk mendiskusikan kembali modelmodel kerja Taring Padi dan posisinya dalam peta seni kontemporer di Indonesia. **** Memasuki ruang pamer, pengunjung dihadapkan pada karya yang provokatif secara imaji, dengan teks yang langsung terbaca jelas: sebuah gabungan antara mural pada dinding dengan lukisan di atas kanvas pada dinding yang massif, berukuran 6 X 12 meter. Di situ tertulis: “Gemah Ripah Loh Jinawi” “Tata Tentrem Karto Raharjo”. Dua kalimat ini merupakan peribahasa Jawa yang acap digunakan untuk menggambarkan kekayaan alam Indonesia. “Gemah Ripah Loh Jinawi” secara harfiah berarti kekayaan alam yang melimpah, sementara “Tata tentrem Karto Raharjo” berarti keadaan yang tentram sejahtera. Di sekitar tulisan itu, Setu Legi menggambarkan ironi dan kontradiksi yang terjadi untuk mencapai impian atau situasi ideal itu. Hutan-hutan telah dibabat—menjadi imbas projek-projek monokultur, digantikan dengan tanaman sawit untuk kepentingan industri minyak sawit yang dikuasai segelintir saja para pemodal. Di bawah tulisan gemah ripah itu, Setu Legi membubuhkan sebuah jalan raya yang dipenuhi dengan tengkorak kepala manusia, untuk menggarisbawahi banyaknya korban dan risiko-risiko dari proyek pembangunan yang merusak alam. Selain proyek monokultur sawit, bisa disebut juga aktivitas penebangan hutan secara illegal yang memberi dampak pada terjadinya berbagai macam bencana alam. 1 Di atas lahan bekas hutan produksi inilah, rakyat mencoba bercocok 1 Pada tahun 2012, Indonesia tercatat kehilangan 840,000 hektar hutan, mengalahkan rekor Brazil yang pada tahun tersebut “hanya” kehilangan 460,000 hektar. Angka perusakan hutan tertinggi terjadi di wilayah Sumatera, yang ditengarai sebagai area terbesar industri minyak kelapa sawit.
Associated with the aesthetic vision and the disemmination of the theme or text of the work, Hestu’s presentations of the work also question again what the meaning of politics is in the context of art today? Do the political messages and slogans that are expressed as content in the art work have the same strength and impact as what he presented a decade ago, for example? Once again, although Setu Legi is no longer active as a member, like it or not, speaking of forms and visual languages in Setu Legi’s work brings us to discuss once more the working models of Taring Padi and their position in the map of contemporary art in Indonesia. **** Entering the exhibition space, the visitor is faced with works with provocative imagery, with text that is clearly legible: a conflation between murals on walls and paintings on canvas on a massive, 6 x 12m wall. On the wall is written: “Gemah Ripah Loh Jinawi“ “Tata Tentrem Karto Raharjo” These two sentences are Javanese idioms that are often used to describe Indonesia’s natural wealth. “Gemah Ripah Loh Jinawi” literally means an abundance of natural wealth, whilst “Tata tentrem Karto Raharjo” means peace and prosperity. Around this writing, Setu Legi describes ironies and contradications that occur in order to attain a dream or an ideal situation. The forests have been cleared – turned into channels for monoculture, replaced by plantations for the palm oil industry that is controlled by just a few investors. Underneath this gemah ripah text Setu Legi has attachd a highway filled with human skulls to underscore the enormous amounts of victims and risks that occur in development projects that destroy the environment. Apart from palm oil monoculture, illegal deforestation also influences the frequency of the all sorts of natural disasters. 1 On the these productive fields of former forests, people try to complement the plantations
5
1 In 2012, Indonesia was recorded as losing 840,000 hectares of forest, beating Brazil’s record in the same year of “only” losing 460,000 hectares. The highest loss of forest occurred in Sumatra, which is noted as the largest area devoted to the palm oil industry.
6
Hujan Emas di Negri Orang, Hujan Batu di Negri Sendiri Dimension: Variable Painting’s size: 3m x 2m Medium:Silk screen printing, stencil spray paint on Jute Fibers Fabric (Hessian Cloth) Object: Woodcut print on master (12 pieces) 2014 Collection John Cruthers (Australia)
7
Pasar Bebas Dimension: Variable Painting’s size: 3m x 2m Acrylic on linen Object: various product’s packagings contain Palm Oil as ingriedients
tanam dengan tanaman pertanian. Pesan yang disampaikan memang terasa jelas dan langsung: bahwa proses-proses pembangunan yang terjadi selama ini justru cenderung memiskinkan alam dan memberi dampak jangka panjang bagi kelangsungan peradaban ketimbang membawa satu harapan tentang kesejahteraan. Setu Legi menggunakan tanah yang dicampur dengan air dan lem kayu untuk membuat gambar di atas tembok, untuk mempertegas relasi antara medium, konten dan narasi gambar.
8
Di luar karya utama ini, ada tiga lukisan lain yang membangun narasi yang kurang lebih sama. “Tanah Merah” dan “Pasar Bebas” merupakan dua karya yang erat berhubungan secara narasi. Pada “Tanah Merah”, citraan seni sebagai propaganda merupakan sesuatu yang langsung terasa ketika kita menyaksikan lukisan ini. Isu-isu yang telah disebut di atas: penebangan liar, penanaman sawit dan sejenisnya, digambarkan dengan jelas tanpa metafora. Di ujung bawah lukisan, kita bisa melihat sosok dari warga adat, yang mengalami akibat langsung dari berkurangnya lahan-lahan kehidupan mereka. Sebuah teks menyerupai puisi juga mendominasi visualisasi lukisan ini, menggaris bawahi lebih jauh persoalan hakikat relasi antara alam dan manusia. Di sekitar karya itu, Setu meletakkan kepalakepala manusia sebagai metaphor visual dari bagaimana kehidupan manusia terdesak oleh ambisi untuk membangun kehidupan modern. Karya “Pasar Bebas”, agak berbeda dengan “Tanah Merah”, justru menunjukkan “hasil” atau “akibat” dari proses-proses pembabatan hutan itu menjadi sebuah kehidupan kota. Karya ini pertama kali dipresentasikan di Berlin pada 2011, sehingga Setu Legi menggunakan Berlin sebagai gambaran sebuah kota dimana manusia mengonsumsi produk-produk massal yang dihasilkan dari hutan. Etos kapitalis mendorong manusia untuk mereproduksi bendabenda dalam skala yang sangat besar, dan membangun lingkungan hidup yang menjauhkan manusia dengan kehidupan alami. Bangunan tinggi yang hampir menyentuh langit, restauran-restoran cepat saji yang menawarkan pada kita zat-zat kimia yang asing bagi tubuh, dan sebagainya. Pada titik ini, saya teringat pada pernyataan dari Vandana Shiva seorang aktivis lingkungan dan feminis dari India: “Karena pertumbuhan (ekonomi) hanya mengukur transaksi komersial dan kemudian berakibat pada degradasi alam dan kerusakan kehidupan. Situasi yang diciptakan dan diperparah oleh proses pembangunan ini justru adalah kemiskinan itu sendiri. Pembangunan tidak menyelesaikan masalah kemiskinan.”
with agricultural crops. The message expressed seems clear and direct: development processes have thus far tended to impoverish nature and have a long term impact on the continuity of civilisation, rather than fulfilling expectations of prosperity. Setu Legi uses soil mixed with water and wood-glue to create the picture on the wall, emphasising its content and narrative. Aside from this main work, there are three other paintings that build a similar narrative. “Red Soil” and “Free Market” are two works that are closely tied to the narrative. In Red Soil, the art image as propaganda is immediately tangible as we observe the painting. Issues mentioned include rampant deforestation, palm oil plantations and the like, pictured clearly without metaphor. In the lower section of the painting, we can see a traditional figure, who is directly experiencing the consequences of these impositions on their land and lives. Poetic text also visuallly dominates this painting, underlining further the essential relations between nature and humankind. Around this, Setu has placed human heads as a visual metaphor for the pressure humankind experiences in its ambition to build a modern life. The “Free Market” work is a little different to Red Soil, precisely because it shows the “result” or “consequences” of the processes of deforestation right through to the creation of city lifestyles. This work was first presented in Berlin in 2011, when Setu Legi used Berlin as an example of a city where people consume the mass-products that are produced by the forest. The capitalist ethos encourages humans to reproduce objects on an enormous scale, and build living environments that distance humans from a natural life. Tall buildings that nearly touch the sky, fast food restaurants that offer us chemicals foreign to our bodies and so on. At this point, I am reminded of a question from Vandana Shiva, an environmental and feminist activist from India: “Because (economic) development only measures commercial transactions and then results in environmental degradation and the destruction of life. The situation that is created and exacerbated by these development processes is in fact poverty itself. Development does not solve the problems of poverty .” 9
10
Di sekitar lukisan “Pasar Bebas”, Setu memasang berbagai jenis produk konsumsi yang sudah dikemas untuk keperluan praktis, yang pada akhirnya menggiring manusia untuk menciptakan gunung sampah. Orang-orang digambarkan sedang berkumpul, yang membawa kita pada interpretasi tentang bagaimana manusia lebih berposisi sebagai penonton dalam pembangunan dan perubahan yang terjadi, ketimbang mengambil peran aktif di dalamnya. Gagasan Setu tentang kota, menariknya, direpresentasikan oleh satu kota di Eropa yang sekarang berkembang sebagai pusat baru semenjak runtuhnya tembok Berlin pada 1989. Berasal dari Indonesia, lebih luas lagi Asia, Setu sesungguhnya menyaksikan bagaimana kota-kota di Asia tumbuh pesat melampaui perkembangan kota di wilayah-wilayah lain. Kota Megapolitan (jumlah penduduk di atas 15 juta orang), tercatat tumbuh sebanyak kurang lebih 20 buah di Asia kurang dari satu dekade. Selain menjadi mesin pendorong tumbuhnya ekonomi, sebagaimana yang telah disebutkan oleh Vandana Shiva, perkembangan dan perluasan kota adalah salah satu masalah mendasar bagi pemiskinan lingkungan. Karya lain merupakan tahapan proses kreatif yang baru dimana Setu Legi menggunakan fotografi sebagai bagian dari lukisannya. Pada tahun 2010, ia diundang untuk mengikuti lokakarya yang difasilitasi oleh Antariksa, Alex Supartono dan FX Harsono, di mana para seniman diundang untuk memanfaatkan foto-foto kolonial koleksi Tropenmuseum, Amsterdam, Belanda. Hestu banyak menggunakan foto-foto dari penggambaran dan dokumentasi masa kolonial atas masyarakat adat, dan menggunakan imaji visual tersebut untuk bertaut kembali dengan isu yang sejak lama ia diskusikan: bagaimana masyarakat adat ini kehilangan sebagian dari habitat hidupnya dan sumber penghidupannya sekaligus. Setu menampilkan foto dirinya yang dikolase dengan posisi tertentu seperti yang ia temukan dari arsip foto kolonial: seperti seorang warga adat yang memasuki rimba. Sebagai latar belakang dirinya, Setu menggambarkan peta kepulauan Indonesia, yang selalu disebut sebagai sebuah negeri kepulauan yang amat kaya dengan sumber daya alam yang berlimpah.
Around the “Free Market” painting, Setu has hung all variety of consumer products that have been packaged for practicality, which in the end drive human kind to create mountains of rubbish. People are depicted gathering together, bring us to the interpretation that humans are positioned as spectators to development and change as it occurs, rather than having and active role within it. Setu’s concepts about the city, interestingly, are represented by a city in Europe that is developing has developed as a new centre since the fall of the Berlin wall in 1989. Originally from Indonesia, or more broadly from Asia, Setu has actually witnessed how Asian cities have grown rapidly to surpass the development of cities in other areas. The total number of megapolitan cities (with populations over 15 million people), in Asia has grown in number to around 20 over the the last decade. Apart from being the driving machines for economic growth, as Vandana Shiva said, the development and expansion of cities is one of the problems underlying environmental poverty. Other works are drawn from new creative processes, where Setu Legi uses photography as a part of his paintings. In 2010 he was invited to participate in a workshop that was facilitated by Antariksa, Alex Supartono and FX Harsono, in which artists were invited to utilise colonial photos from the collection of Tropenmuseum in Amsterdam, Netherlands. Hestu often uses photographs from pictures and documentation of traditional communities from the colonial period, and uses visual imagery to re-connect with issues he has been discussing for a long time: how traditional communities are losing their living habitats and also the source of their livelihood. Setu shows photos of himself collaged into specific positions like those he has found in the colonial photo archives: such as a traditional figure entering the jungle. For his own background, Setu depicts a map of the Indonesian islands, so often described as an island nation extraordinarily rich in fertile natural resources. 11
12
Riwayat Tanah Produksi mixed media Installation Background: Jute Fibers Fabric (Hessian Cloth) 4m x 3m Object: Acrylic on wood (9 pieces) 2014
13
Karya terbaru Hestu dalam pameran ini adalah instalasi patung dari beberapa figur manusia yang terbuat dari tanah mentah. Hestu menggunakan ukuran manusia yang riil (life size) untuk memberi penekanan pada pendekatan realismenya. Tubuh-tubuh yang sedang duduk merunduk ini diletakkan pada landasan serupa akar pohon, sekilas tampak seperti sedang berdoa dan berkomunikasi dengan tanah. Beberapa dari figur ini dilekati dengan piranti dan peralatan yang lebih modern, sehingga kita bisa melihat kontras yang langsung antara yang alamiah dan yang buatan, yang apa adanya dengan yang direkayasa, dan menegaskan kesan tentang duplikasi dan industrialisasi sebagai fenomena yang tak terhindarkan dari peradaban manusia masa kini.
SENI SEBAGAI PROPAGANDA
14
Membicarakan pendekatan artistik sebagaimana yang dipilih oleh Setu Legi, kita dihadapkan pada pertanyaan tentnag bagaimana kita memberi tempat pada gaya-gaya yang acap kita lihat sebagai propaganda? Apakah di tengah gempuran berbagai poster yang berbeda di media sosial sebagaimana yang kita alami sekarang, menyaksikan karya-karya semacam ini memberi kita pengalaman dan pemaknaan yang berbeda? Apakah citraan-citraan dengan garis-garis yang tegas dan gambaran yang naratif dan ikonografis sebagaimana yang kita saksikan dalam lukisanlukisan Setu Legi mampu membangkitkan ingatan kolektif kita atas situasi tertentu yang lebih ideal berkaitan dengan hubungan kita dengan alam, dan pada saat yang sama, untuk menjadi bagian dari perubahan sosial politik yang berupaya menjamin kepastian hukum bagi aksi pembangunan yang lebih adil dan bijaksana bagi seluruh ekosistem. Apakah visualitas seni yang langsung masih menjadi jalan untuk memantik semangat membangun perubahan sosial? Fenomena-fenomena seni propaganda di Negara-negara sosialis seperti Polandia, Rumania, Kuba, atau juga Cina, terutama untuk membangun opini publik yang kuat atas perjuangan kelas sosial. Seni rupa propaganda juga menjadi bentuk nyata dari pertarungan antar ideologi, terutama ketika para seniman dan aktivis kebudayaan ini menyerang bentuk-bentuk kapitalisme atau kekerasan Negara terhadap masyarakat. Di negara-negara sosialis
Hestu’s most recent work in this exhibition is an sculptural installation of several human figures made from raw earth. Hestu uses life size figures to emphasise his realist approach. The seated figures are stooping, placed on a base that looks like tree roots, seeming to be praying and communicating with the land. Several of the figures are equipped with more modern tools and appliances, so we can see the direct contrast between the natural and the man made, the pre-existent and the engineered, and an emphasis on duplication and industrialisation as unavoidable phenomena in contemporary human civilisation.
ART AS PROPAGANDA Speaking of artistic approaches like those chosen by Setu Legi, we are faced with questions about how we give space to styles that we usually regard as propaganda. In the midst of this onslaught of all different kinds of posters, as we experience them in social media these days, can looking at work like this provide a different experience and meaning? Do these images, appearing in Setu Legi’s paintings, their emphatic lines and iconographic pictures and narratives, awaken our collective memory of a particular situation in which our connection to the natural was more ideal? Do they, at the same time, call us to become part of sociopolitical change that attempts to assure legal certainty for more just and wise development for the whole ecosystem? The phenomena of propaganda art in socialist states like Poland, Romania or China, occured mainly in order to build public strong opinion for the class struggle. Visual propaganda art also becomes a real form of the wrestle between ideologies, particularly when artists and cultural activists attack capitalism or state violence towards society.
15
semacam yang tersebut di atas, sebagian besar bentuk yang disebut sebagai seni propaganda merujuk pada model-model realisme sosial, yang terutama terinspirasi dari neo-ekspresionisme. Masa-masa setelah perang dingin dan terutama setelah jatuhnya tembok Berlin dan perpecahan soviet, bentuk-bentuk seni semacam ini telah banyak tergantikan oleh fenomena baru seperti performance, street arts, model seni partisipatif dan sebagainya. Penguatan kapitalisme sebagai ideologi ekonomi politik yang sekarang menjadi nyaris tak tertandingi, membawa kesadaran baru di kalangan aktivis politik dan budaya untuk menggunakan medium dan cara baru untuk mengekspresikan perlawanan. Dalam setiap zaman, kita melihat betapa seniman selalu berkeinginan untuk menjadi bagian dari perubahan, untuk membawa fungsi seni lebih jauh ketimbang sebagai komoditas dan gagasan tentang keindahan. Karenanya, penting bagi gerakan sosial untuk selalu merefleksikan cara dan metode agar gagasan-gagasan kritis yang mereka tawarkan bisa menjangkau sebanyak mungkin orang.
16
Seni-seni propaganda pada masa lalu biasanya merujuk pada bentuk-bentuk seperti poster yang ditempel di jalan-jalan, atau mural-mural di sekitar wilayah pemukiman, atau menjadi bagian dari aksi demonstasi. Sekarang ini, seniman membuka diri pada kemungkinan untuk melakukan propaganda gaya baru yang sangat mengandalkan pada teknologi komunikasi. Dalam kehidupan keseharian, melalui sosial media, kita berpartisipasi untuk mendistribusikan dan mengomentari persoalan-persoalan sosial politik. Kita acap menerima undangan untuk menandatangani petisi daring (online), yang berisi penolakan terhadap Rancangan Undangundang, penolakan terhadap rencana pembangunan pabrik yang menggusur lahan pertanian, atau penyikapan terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan kelompok dominan terhadap yang subordinat. Propaganda dalam kehidupan masyarakat kontemporer telah menyusup masuk ke wilayah pribadi kita melalui bantuan teknologi, dan dengan mudahnya warga menunjukkan partisipasi dengan melakukan satu klik terhadap tombol di layar. Melihat fenomena-fenomena demikian, bagaimana kita menempatkan karya-karya sebagaimana yang ditampilkan oleh Setu? Apakah karya-karya semacam ini menunjukkan rekaman semata atas gagasan seni propaganda yang pernah berjaya di waktu-waktu lalu? Ataukah dengan caranya sendiri, karya-karya ini masih relevan untuk memberi ruang bagi kita membicarakan isu-isu politik lingkungan? Setu menemukan metode menarik untuk membagi isu ini lebih jauh dengan membuka ruang pamer menjadi studio dimana pengunjung bisa secara langsung bercakap-cakap dengannya dan berbagi opini tentang isu yang disajikannya.
In Socialist states like these, most of the forms that can be described as propaganda art refer to social realist models, which are largely inspired by neo-expressionism. In the period after the cold war and especially after the fall of the Berlin wall and the separation of the Soviet Union, many art forms like these were exchanged for new phenomena such as performance, street art, models of participative art and so on. These were utilised as new mediums and methods for expressing opposition, creating new awareness of the strength of capitalism as an economic and political ideology that is now almost without opposition, through the field of political and cultural activism. In every age, we see how artists desire to be a part of change, in order to take the function of art further than mere commodity and conceptualisation of beauty. Because of this, it is important for social movements to reflects the ways and methods that allow the critical concepts that they offer to reach even more people. Art as propaganda in the past usually referred to forms such as posters stuck up on the streets, or murals around residential areas, or becoming a part of demonstrations. These days, artists open themselves up to the possibility of making new styles of propaganda, which are highly reliant on communication technology. In everyday life, through social media, we participate in the distribution of, and commentary on, socio-political issues. We often receive invitations to sign petitions online, to reject planned legislation, or development plans for factories that take over agricultural land, or violent attitudes enacted by dominant groups toward their subordinates. Propaganda in the lives of contemporary society has inflitrated our personal zones with the help of technology, citizens can demonstrate their participation by clicking a button on a screen. Witnessing these phenomena, how can we locate the kind of work made by Setu? Does work like this display mere recordings of the concept of art propaganda, that was once great in the past? Or in its own way, is work like this still relevant in the providing us with space to discuss issues of socio-political relevance of propaganda art? Setu uses an interesting method in order to share the issues in more depth, by opening his studio for exhibition, so visitors can speak directly with him and share opinions on the issues he presents.
17
18
Bagi saya sendiri, setiap kali memasuki ruang pamer ini, ada kesan di mana karya-karya ini keluar dari fungsinya sebagai poster dan menawarkan sesuatu yang lebih reflektif terutama karena pilihan Setu terhadap realisme sosial. Barangkali, sesuatu yang pada sebuah masa disebut sebagai aura, sedikit banyak bisa kita temukan pada karya-karya ini. Ada transformasi pula atas makna aura itu sendiri; jika sebelumnya aura disebut berkaitan dengan seni-seni adiluhung, sekarang pada karya-karya berbau sosialis macam ini, aura bisa muncul di sana, menjadi sesuatu yang menautkan kita dengan gagasan senimannya.
For me, every time I enter the exhibition space, my impression is that the work leaves behind the function of posters and offers something more reflective, especially because of Setu’s decisions around social realism. Perhaps, something that once would have been called an aura can be found to a greater of lesser extent in these works. There is a transformation of the meaning of the aura itself even; if in the past the aura was associated with the art of the masters, now it emerges in works with these socialist leanings, becoming something that connects us to the artist’s vision.
19
Tanah Merah Dimension: Variable Painting’s size : 3m x 2m Acrilyc on linen Object: Teracota / Gerabah (15 pieces) 2009 – 2010
20
Monokultur part #1 Explorasi part #2 Exploitasi part #3 Expired Acrylic on Canvas 2014
21
22
Harapan Jaya Dimension: life size human figure Mixed Media and teracota / Gerabah 10 pieces 2014
23
Alarm Dimensi: Variable Teknis: mixed media Installation Plastic pipe D4, Electronic lamp, speaker (8channel), Music arrangement oleh: M Chouzin Mukti 2013
24
Tim produksi: Syamsul, Ega
25
PERNYATAAN SENIMAN Ketika pohon terakhir telah tumbang, hutan rimba telah datar, tergantikan tunas tanaman industri, pertanda satu generasi telah hilang, awal kehidupan telah patah, darah membeku dalam tanah penuh amarah … Pameran ini berkisah tentang ploitasi lahan, perambahan hutan, hingga hancurnya ekosistem, terdesaknya masyarakat adat, punahnya spesies tumbuhan, tanaman obat dan binatang. “Setiap hari hutan tropis kita diambil alih oleh perkebunan kelapa sawit, tumbuhan yang berumur ratusan tahun dilepas dari tanahnya, ribuan jenis tanaman tercabut dari akarnya, ratusan jenis binatang tidak ada tempat hidup lagi. Keberagaman ini akan digantikan dengan pola penyeragaman, diatas tanah ini hanya satu golongan yang boleh hidup. Untuk itu mereka melakukan land clearing, pembersihan dengan cara membunuh (Genosida). Cara-cara ini adalah bentuk perluasan kuasa manusia atas kepentingan sepihak, arogansi kekuatan modal. Monokultur,….menjadi sebuah metode penyeragaman, menjadi alasan kemakmuran, modernitas dan komoditi. Monokultur, lebih dikenal sebagai model pemberdayaan alam, dengan jalan menumpas habis semua kehidupan yang ada, hal ini dilakukan dengan pembakaran guna memotong rantai makanan dan kehidupan yang ada. Semuanya dilakukan dengan pemaksaan dan kekerasan. “Setiap manusia butuh tanah, dalam hidup perlu air, ketika tanah tak ada air tidak akan ada kehidupan, ketika air tidak ada tanah, tenggelamlah semua, tanah air adalah kelahiran kehidupan.. Sebuah bangsa, sebuah peradaban”
26
Setu Legi 2014
ARTIST’S STATEMENT When the last tree is felled, and the forest is flattened, in exchange for the buds of industrial plants, it’s a sign that a generation is lost. the beginning of life is broken, blood frozen in a land full of anger … This exhiibition presents my on going observation on the plantation based systems of production and consumption, land exploitation, deforestation, the destruction of ecosystems, impacts on traditional communities, and the extinction of plants, animal and herb species. “Every day we replace tropical forests with palm oil plantations, trees that are hundreds of years old are ripped from their soil, thousands of plants are pulled up by their roots, hundreds of animal species no longer have homes. This diversity is replaces with patterns of uniformity; on this land only one kind may live. For this they implement land clearing; cleansing through killing (genocide). These methods are a way of expanding humankind’s mastery over unilateral interests, the arrogance of the power of capital. Monoculture….it becomes a method of conformity, a reason for wealth, modernity and commodity. Monoculture, better known as a model of natural empowerment through eradicating all other life; this is done by burning and severing the existing food chain. All this done with force and violence. “Ever y human needs land, life needs water, when there is no land there will be no life, when there is no land, ever ything will sink, the archipelago is the birth of life... A people, a civilisation Setu Legi 2014 27
Education 1992 - 2000 Yogyakarta Organizations 1993 1998 Solo Exhibitions 2008 Forum, 2005
28
2003
Disain Komunikasi Visual, FSRD Institut Seni Indonesia
Konservasi Alam dan Budaya Sasenitala ISI Yogyakarta Kolektif Seni dan Budaya Taring Padi “Are You Ready” - interactive mixed media, Kedai Kebun Yogyakarta “Social Realities”, Pförtnerhaus, Dresden, Germany “Black Lights”, Mixed media, Parkir Space, Yogyakarta “Achtung!”, Ruang Mes 56, Yogyakarta
Group Exhibitions 2014 Memajang Boleh Saja Asal Ada Artinya, Ceblang-Ceblung Forum, BkdP Jogjakarta ISI-ISI, Kemang 58 Gallery, Jakarta 2013-14 Pseudopartisipative Project #1, Cemeti Art House, Forum Ceblang Ceblung, “Peristiwa Sebuah Kelas”, Sangkring Art Space, Yogyakarta Climate Art Festival “Hutan di titik Nol”, Sangkring Art Space, Yogyakarta 2012 City Sound scape / Sound Installation, IVAA, Yogyakarta 2012 Domestic Stuff, Galeri Salihara, Jakarta, Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta Special Projects for Art Dubai 2012, Madinat Jumeirah, Uni Emirate Arab Artspirasi Buruh Migran - Melintas Batas, Galeri Cipta II TIM, Jakarta 2011 Biennale Jogja XI – Equator #1, Shadow lines Indonesia meets India, Jogja National Museum, Yogyakarta One day exhibition, Lounching album Somethingwrong, Jogja National Museum, Yogyakarta 2010-2011 ID – Contemporary Art Indonesia, Kunstraum Bethanien Kreuzberg, Berlin Germany 2010 Power Wagon, Jogja National Museum, Yogyakarta Manifesto, Percakapan Masa, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta reHorny 92, Jogja National Museum, Yogyakarta
2009
2008 2007
2006
Jogja Jamming, Biennale X, Public on the move, Yogyakarta Exposigns, Pameran besar Seni Rupa 25 th ISI Yogyakarta, Jogja Expo Center, Yogyakarta September Ceria, Jogja Gallery, Yogyakarta The Topology of Flatness, Edwin’s Gallery, Jakarta Guru Oemar Bakrie, Jogja Gallery, Yogyakarta Kunduran Truk, Kersan Art Studio, Yogyakarta Sacred Without Mystique, Jogja Gallery, Yogyakarta Jogja Art Fair #1, Taman Budaya Yogyakarta ReForm, Langgeng Art Project, Nitiprayan - Yogyakarta Protect and Survive, with Aris Prabawa, Blue Tongue Cafe, Lismore, NSW, Australia Bocor #3, Cemeti Art House, Yogyakarta Notthatbalai Art Festival 2007, Annex Central Market, Kuala Lumpur, Malaysia France National Party, LIP, Yogyakarta Pameran Seni Rupa Fund Sedulur Gempa, Goethehaus Jakarta Taman Budaya Yogyakarta Performance Mixed media “Fundamental”, bersama Emilia White dan VJ Latex, Kinoki, Yogyakarta Pameran Bersama Taring Padi “Podho-Podho”, Pine Street Sydney Australia
29
30
D I S P L AY P R O C E S S
31
Setu Legi a.k.a Hestu A Nugroho Solo Exhibition December 19, 2014 - February 5, 2015 Essay by Alia Swastika Translation Elly Kent Design Timoteus Anggawan Kusno Photographers: Abud William Documentation by the artist Exhibition venue Ark Galerie Jl. Suryodiningratan 36 A Yogyakarta 55141 Published by Ark Galerie www.arkgalerie.com
32
Enquiries +62 274 388162
[email protected]
Thanks to: Ark Gallery Alia Swastika, Arsita Iswardhani, Venti Wijayanti, Brekele, Fredy, Lek War, Jono Sculpcore, mas Nur , Somo Aru Keramik, Rianto, M Chouzin Mukti, Syamsul, Ega, Peter Gentur, Ari Warna Merah, Agip E Kusuma, Ibu Ani, Leo Aranya Schott, Josha Ananta Schott, Christina Schott, Barbara Schott, Bapak & Ibu, Fauzi Azad, John Cruthers, teman-teman FCC (Forum Ceblang Ceblung), Danto Sisir Tanah, Permablitz.
Ark Galerie Suryodiningratan 36 A, Yo g y a k a r t a 5 5 1 4 1 , Indonesia
T/F E
+62274 388 162
[email protected]
w w w. a r k g a l e r i e . c o m