Indonesia Tanah Air ku Volume 1
sebuah kumpulan blog tentang sejarah perjalanan bangsa
desember 2011
Daftar Isi Jaman Sukarno, Jaman Suharto !
4
Intro!
5
Demokrasi Terpimpin (1960-1965)!
6
Independensi Indonesia!
9
Pergolakan politik Asia Tenggara!
12
Kapitalisme Yang Mengabaikan Hak Milik Bangsa!
14
Kaum Modernis Yang Tidak Sabaran!
16
Gagasan Indonesia Modern Dari Perspektif Intelektual Orde Baru!
18
Suharto Dan Penipuan Terhadap Orde Baru!
19
Suharto, Suhartorian dan Kapitalisme Semu!
20
Dua Garis dalam Post Sjahririan!
24
Jalan Darah Sebuah Konspirasi!
26
Link Soeharto Sebelum Meletus Gerakan Untung!
33
Dimanakah Suharto pada jam-jam pembunuhan para Djenderal?!
48
Lolosnya Nasution dari Pembunuhan (Suharto Melipat Nasution)!
53
Supersemar Dan Kejatuhan Bung Karno!
56
Orde Baru ditengah Konsep Tata Dunia Jangka Panjang!
59
Pembangunan Sebagai Pembebasan Manusia!
62
Susunan Masyarakat Orde Baru!
65
Antara Lipset, Daniel Bell dan Huntington!
66
Negara Orde Baru : Diktator Elitisme, Pelacuran Intelektual dan Neo Fasisme ! 68
KEJARLAH DAKU KAU KU SEKOLAHKAN!
69
Intro!
70
Punya Pengawal!
73
Markas Burung!
83 2
Operasi Penyergapan!
88
Bukit Tengkorak!
99
Masuk Kolam Ikan!
106
Vila Serdadu!
116
Lambaian Tangan!
120
Aliran Komunis: Sejarah Dan Penjara !
127
I!
128
II!
131
III!
133
IV!
137
Catatan!
143
Kehormatan Bagi Yang Berhak!
144
AWAL SEBUAH TRAGEDI!
145
Insipirasi Dari Aljazair!
157
PUTUSAN DEWAN HARIAN POLITBIRO!
161
APEL LEWAT TENGAH MALAM!
171
BUNG KARNO MENOLAK MEMBERIKAN DUKUNGAN ADA PUN!
182
CAMPUR TANGAN CIA DAN KGB!
188
SURAT PERINTAH MUKJIZAT DAN ADANYA OKNUM YANG "TlDAK BENAR" ! 209 LANDASAN YANG RAPUH!
217
"SUKARNOISME" DAN "DE-SUKARNOISASI"!
221
PNI YANG MALANG!
225
CATATAN AKHIR: SEBERKAS TEKA-TEKI!
241
3
Jaman Sukarno, Jaman Suharto http://anton-djakarta.blogspot.com/2008/02/jaman-sukarno-jaman-suharto.html Oleh Anton 11 Februari 2008
4
Intro Minggu-minggu ini kita menyaksikan sebuah drama kesehatan seseorang yang kemudian dieksploitir menjadi adegan kemanusiaan dimana eksploitasinya secara tidak sengaja ingin menguburkan sebuah komitmen hukum yang disepakati oleh rakyat melalui mekanisme permusyaratan di Parlemen dan kesepakatan itu tertuang jelas dalam TAP MPR No.XI/1998. Sebuah komitmen yang serius dari negara sebagai penyelenggara pemerintahan dimana dengan rakyat melakukan kontrak politiknya lalu dengan drama kesehatan yang cengeng itu (Cengeng! Karena kejahatan kemanusiaan Suharto puluhan juta kali lebih keji dari yang kita lihat di TV tentang Suharto) dan diperantarai oleh media yang notabene dibawah kendali kepemilikan kroni Suharto, kita rakyat sekali lagi dieksploitir rasa kasihannya lalu digiring mengarah pada sebuah pengkhianatan keadilan, entah apa namanya Deponering atau pemutihan. Lalu dengan naifnya lagi opini digiring dengan melihat era Sukarno sebagai hal yang lebih buruk dimana era Sukarno menjadi gambaran buram tentang sejarah Indonesia. Dimana sebuah era dilabur sehitam-hitamnya menjadi gambaran buruk dan dengan hadirnya Orde Baru dengan Junta Militernya seakan-akan Indonesia diselamatkan dari nafas komunisme, diselamatkan dari kehancuran ekonomi dan diselamatkan dari keadaan negara gagal (Failure State). Padahal fakta membuktikan bahwa Orde Baru berdiri melalui proses kejahatan terhadap kemanusiaan, lalu menjual negara dan dengan basis ideologi-nya yang picik membangun masyarakat dungu dengan mengembalikan jam sejarah sebagai masyarakat kolonialisme yang diperkuli oleh para elite Orde Baru. Yah diatas puing-puing keruntuhan Sukarno, Orde Baru membangun masyarakatnya dengan basis tatanan masyarakat kolonial dalam sebuah definisi yang lebih keji. Mari kita bertamasya sejarah apa yang sesungguhnya terjadi pada Era Sukarno (1960-1965) khususnya pada masa pasca pembubaran PSI dan Masjumi yang dianggap sempurnanya politik Demokrasi Terpimpin dan apa yang terjadi pada era Suharto (1966-1998).
5
Demokrasi Terpimpin (1960-1965) Lahirnya demokrasi terpimpin tak pelak dituding sebagai awal masa diktatornya kekuasaan Sukarno (harus diperhatikan masa demokrasi terpimpin bukanlah masa kediktatoran Sukarno tapi sebuah masa krisis revolusi yang memerlukan kepemimpinan yang kuat). Menurut pendapat saya masa demokrasi terpimpin adalah bertemunya kelanjutan logis dari ketidakpuasan Angkatan Darat tahun 1952, membludaknya massa akar rumput kekuatan kiri di bawah jaringan PKI dimana ini mendorong kesadaran atas pilihan ideologi sosialis bagi bangsa Indonesia, todongan negara maju terhadap kekayaan bangsa Indonesia dan kesadaran Sukarno bahwa masa depan dunia masih dalam cengkeraman kolonialisme yang melalui kompleksitasnya menciptakan Neo Imperialisme dan Kolonialisme dimana dua kutub kekuatan Soviet dan Amerika sama-sama memberlakukan sistem politik Nekolim ini. Faktor-faktor inilah yang kemudian menciptakan sebuah gerakan politik konsolidasi dibawah figur Sukarno dengan panji Nasakomnya dimana semua elemen-elemen pada waktu itu memang sedang bertarung di arus bawah politik, sementara di arus atas semua kekuatan terpusat pada Sukarno. Dari tiga kepentingan ini mari coba kita anatomi satu persatu : Setelah kemenangan Angkatan Darat jalur Nasution-Simatupang dalam konflik internal Angkatan Bersenjata dimana sempat melibatkan kekuatan politik lokal garis kiri-radikal pada tahun 1947 (usaha Kup Jenderal Mayor Sudharsono terhadap Sjahrir), 1948 (peristiwa Madiun) dan 1949 (Terbunuhnya Tan Malaka oleh Pasukan Jenderal Sungkono sekaligus membulatkan dukungan terhadap KMB) menjadikan kekuatan Angkatan Darat sepenuhnya dibawah kendali Nasution-Simatupang yang moderat. Kemenangan Nasution membuat Angkatan Darat merasa memiliki saham politik terbesar atas kemenangan daulat Indonesia yang secara bulat diakui dunia internasional pada Desember 1949. Namun setelah dibubarkannya RIS dan kembali dalam bentuk NKRI, Angkatan Darat tersingkirkan dari kancah politik sehari-hari. Kekuatan politik berada di tangan partai-partai politik terutama Masjumi, Partai Sosialis Indonesia dan Partai Nasional Indonesia. Beberapa kekuatan politik ada yang sengaja menarik Nasution cs ke dalam dunia politik sipil untuk menambah mesiu melawan lawan-lawan politiknya, di garis inilah kemudian Nasution bertanggung jawab menggiring militer untuk melibatkan dirinya ke dalam daulat politik sipil dan menjadi benih awal masuknya kekuatan militer sebagai bagian variabel politik sipil yang seharusnya diharamkan dalam negara modern menurut ukuran-ukuran barat. Peristiwa Oktober 1952 sendiri memang merupakan gerakan Nasution yang gagal namun gerakan ini merupakan pintu pembuka untuk lebih berkuasanya para perwira tinggi Angkatan Darat dalam sektor-sektor sipil terutama di bidang ekonomi dan politik. Hal ini sesungguhnya sudah tidak disukai oleh kalangan PSI yang terkenal anti fasis dan militerisme namun PNI banyak mengambil manfaat dari masuknya militer ke sektor sipil dimana kekuatan militer kerap menjadi kekuatan yang saling bersinergi dengan kelompok nasionalis-birokrat dari sinilah kemudian tercipta papan atas politik Indonesia dari struktur priyayi-militer dimana struktur ini menjadi elite yang secara riil berkuasa di Indonesia. Tumbuhnya papan atas elite pemerintahan yang didukung militer berbarengan dengan tumbuhnya kekuatan massif rakyat kecil yang didorong oleh para pemimpin komunis yang masih muda-muda dan lolos dari peristiwa Madiun 1948. Kemampuan para pemimpin Komunis muda di bawah empat serangkai : DN Aidit, Njoto, MH Lukman dan Sudisman membuat gemas beberapa elite pemimpin partai politik dan kekuatan militer yang takut 6
akan bangkitnya komunis karena mereka sendiri pernah membantai kekuatan komunis dalam peristiwa 1948. Bangkitnya kaum komunis ini bukannya tidak diantisipasi oleh kekuatan kanan, Razia Agustus 1951 menunjukkan bahwa kekuatan kanan menolak akan bangkitnya komunis (Razia Agustus ini menangkap orang secara serampangan jadi asal dicurigai kiri harus ditangkap). Namun razia agustus 1951 lebih cenderung pada memenuhi keinginan Amerika Serikat yang saat itu sedang dibayang-bayangi ketakutan imajiner senator Joseph MacCarthy. Lewat proyek MSA-nya beberapa orang pemimpin teras partai politik terlibat dan kemudian MSA proyek dibongkar oleh kelompok Masyumi sendiri dibawah pimpinan Natsir dimana tujuannya adalah menyingkirkan pemimpin Masyumi yang berkuasa di pemerintahan Soekiman Wirjosandjojo. Terhentinya razia agustus yang lebih dikenal sebagai razia Soekiman membuat PKI bisa leluasa terus bergerak dan akhirnya DN Aidit memboyong papan nama ukiran Jepara dari Kampung Kranggan, Yogyakarta ke Jakarta untuk dipampang di Markas Besar PKI sekaligus menasbihkan PKI sebagai kekuatan politik legal. PKI yang berhasil menyelenggarakan kongresnya dan menyingkirkan kekuatan Tan Ling Djie, jago tua PKI yang tidak menghendaki PKI bergerak secara legal sebelum memiliki kekuatan jelas. Tersingkirnya Tan Ling Djie ini sekaligus menandai era pertentangan PKI dengan Sukarno. Di jaman revolusi 1945-1949 para pemimpin PKI menganggap remeh kekuatan Bung Karno dan menjuluki Bung Karno adalah tipe pemimpin Nasionalis Borjuis yang juga kerap dianggap tidak mengerti jalannya revolusi kiri. Pandangan itu masih lekat pada para pemimpin tua yang telah bergerak melawan Belanda sejak tahun 1920-an. Namun pemimpin-pemimpin baru PKI adalah anak-anak muda yang lahir di tahun 1920an. Semua pemimpin PKI muda mengawali perjuangannya dalam pergerakan anti politik Jepang. Mereka dekat sekali dengan Bung Karno dan Bung Hatta. Bahkan DN Aidit adalah anak didik kesayangan Hatta karena pintarnya dan MH Lukman diberikan nama oleh Bapaknya dengan nama awal Mohammad Hatta. Njoto adalah orang yang mengerti benar jalan pikiran Sukarno sehingga kerap menuliskan pidato untuk Bung Karno untuk dibacakan pada upacara 17 Agustus. Sudisman lebih merupakan seorang Sukarnois ketimbang Marxist hal ini bisa dibaca dari pledoinya menjelang kematiannya di tahun 1968 yang membuat heboh para intelektual Indonesia. Sukarno sedari awal sudah memahami dua kekuatan yang tumbuh akibat revolusi kemerdekaan Indonesia. Kekuatan elite yang banyak digawangi secara intelektual oleh PSI, Birokrasi oleh PNI serta perusahaan-perusahaan negara yang banyak diisi oleh perwira militer Angkatan Darat. Serta kekuatan bawah yang dipimpin oleh PKI dan sesungguhnya kekuatan bawah ini adalah massa pendukung setia Sukarno yang masih melihat negara daulat Indonesia belum tercapai sepenuhnya. Sukarno harus bisa mengendalikan ini semua agar Indonesia jangan terpecah seperti India Pakistan, Korea atau Vietnam. Sukarno paham bahwa persatuan Indonesia adalah syarat mutlak sementara di timur Indonesia kekuatan Belanda masih bercokol di Irian Barat. Banyak para intelektual Komunis terutama dari garis anti Stalinis menuding bahwa DN Aidit terlalu mempermainkan nama komunis dalam pergolakan politik di Indonesia. Menurut mereka PKI dibawah pimpinan DN Aidit hanyalah pendukung Sukarno. Dan bila Sukarno mati maka PKI-pun akan mati. Hal ini kelak memang terbukti pada saat Suharto melakukan tawar menawar politik dimana Suharto menggunakan media massa sebagai pembangkit opini dan menggerakkan secara psikologis histeria massa lalu membantai 500 ribu sampai 3 juta nyawa dimana pembantaian itu dipelintir sebagai bagian dari kekejaman PKI. Suharto menaruh pembunuhan PKI sebagai daya tawar terhadap Sukarno, jelas ini merupakan Skak Mat terhadap Sukarno, karena Sukarno tahu bahwa kekuatan riilnya justru ada di PKI. Bung Karno sendiri tidak mempercayai lagi PNI yang 7
sudah redup seiring dengan pemborjuisan para pemimpinnya sejak kepemimpinan Hardi di tahun 1950-an.
8
Independensi Indonesia Dari seluruh kerja politik Sukarno di tahun 1960-1965 adalah sebuah usaha sungguhsungguh untuk melepaskan ketergantungan Indonesia pada negara maju dan pembersihan unsur-unsur kolonialisme yang masih tersisa. Untuk itulah kerja politik Bung Karno ini disebut sebagai ‘Revolusi’ dan merupakan kelanjutan revolusi kemerdekaan 1945-1949. Orang yang tidak memahami maksud Sukarno dan gagal melihat visi Sukarno tentunya menggambarkan revolusi Sukarno sebagai halusinasi. Dan teori halusinasi Sukarno inilah yang kemudian dilihat sebagai gambaran kegagalan Bung Karno dalam mengelola negara karena menuduh Sukarno abai terhadap persoalan-persoalan ekonomi. Padahal apa yang dilakukan Bung Karno tidak sekedar mengelola negara tapi membawa negara pada kemakmuran dan syarat penting kemakmuran bagi Bung Karno adalah jelas : Independensi total Indonesia terhadap asing. Dengan kata lain independensi itu membuka ruang Kepemilikan Kapital yang sah atas nama Bangsa Indonesia. Tatanan dunia pasca kekalahan Jerman di Eropa dan Jepang di Asia sudah berubah total. Amerika Serikat dan Inggris sadar bahwa bentuk-bentuk kolonialisme dan Imperialisme yang selama ini dipratekkan sejak abad 16 sudah harus ditinggalkan. Mereka sadar bahwa penguasaan ruang penaklukan dengan memasukkan unsur-unsur administrasi dalam pemerintahan negara jajahan sudah tidak efektif lagi karena bangkitnya nasionalisme di kalangan negara-negara jajahan. Karena sejak terjadinya revolusi industri dan membludaknya barang-barang produksi maka yang dibutuhkan bukan hanya hasil mentah dari negara jajahan tapi juga adalah pasaran terhadap pembelian barang-barang produksi itu. Dan pembeli itu adalah rakyat yang sangat besar jumlahnya di negaranegara bekas jajahan. Dengan menguasai ruang pemerintahan jajahan secara langsung efektifitas imperialisme tidak lagi efektif karena diperlukan biaya-biaya jajahan dan biaya sosial yang cenderung tinggi. Maka untuk melanjutkan kelangsungan ekonomi negaranegara maju, pemerintahan negara jajahan bisa saja diberikan kepada pemerintahan pribumi asalkan kepentingan ekonomi mereka secara esensial tidak terganggu. Dan untuk tidak terganggu kepentingannya maka negara maju harus menciptakan : 1. Ketergantungan negara-negara baru eks jajahan terhadap ekonomi negara maju 2. Mengendalikan pemerintahan negara eks jajahan dimana pemimpin pribumi mereka menjadi boneka asing yang bisa dikendalikan sepenuhnya oleh negara maju. 3. Memberikan ruang kenyamanan yang besar pada tingkat elite juga lapisan menengah dimana mereka adalah pengendali kekuasaan negara. Akses modal, pendidikan, gaya hidup lintas negara, pikiran terbuka, tingkat penghasilan yang memadai jauh diatas mayoritas rakyat, dan sebagai agen-agen pembentuk susunan masyarakat yang tergantung pada asing. Di pundak merekalah negara-negara eks jajahan dikendalikan agar tercipta hubungan yang saling memanfaatkan antara kelas elite dengan negara maju. 4. Nilai tambah paling besar dari sebuah rangkaian proses produksi diberikan pada negara maju kemudian setelahnya diberikan pada lapisan elite negara eks jajahan. Jadi disini berkembang bukan hubungan G to G (Government to Government) tapi Government to Elite. Kesejahteraan rakyat kecil tidak lagi menjadi objek paling penting. 5. Mendorong agar kaum elite negara berkembang terbiasa dengan sikap korupsi, kolusi dan nepotisme karena perilaku inilah yang dijadikan benteng paling kuat menghadapi gelombang dinamika kelas dan sosial di kalangan masyarakat negara eks jajahan. 9
Kaum elite dengan senjata KKN menjadikan mereka sebagai tuan-tuan baru dari sistem neo feodalisme dimana ketergantungan kaum bawah terhadap kelas diatasnya sangat tinggi sehingga kaum bawah sulit bersatu untuk mengadakan gerakan-gerakan rakyat. Sukarno yang sudah terlatih dalam memahami gelombang sejarah tentunya sudah menebak ke arah mana dunia bergerak. Hal ini bisa kita lihat kemampuan Sukarno dalam melakukan taktik-taktik politiknya yang cenderung memanfaatkan kekuatan lawan untuk kepentingan politiknya tanpa harus mengeluarkan tenaga atau bertarung frontal. Melihat realitas dunia yang sudah berubah serta perkembangan politik Indonesia yang nyaris mengalami perpecahan maka jalan satu-satunya adalah menyatukan kekuatan politik inti dan membubarkan kekuatan-kekuatan politik yang cenderung menjadi mesin perpecahan persatuan Indonesia. Tahun 1960 muncullah gagasan yang dianggap aneh oleh barat (dunia kapitalis) dalam tatanan politik Indonesia yang kerap disebut sebagai sebuah gaya sinkretisme Indonesia, NASAKOM. Nasionalisme (dalam hal ini Sukarnois), Agama (mewakili kekuatan NU dan Muhammadiyah serta beberapa organisasi keagamaan non Islam) dan Komunis (dalam hal ini lebih pada PKI). Nasakom adalah bahasa Sukarno untuk menyebut persatuan. Sedari muda Sukarno sudah sadar bahwa tiga aliran besar ini yang menjadi inti dari dinamika pergerakan politik Indonesia. Bila dulu Belanda berhasil mengamputasi Komunis maka pada era kemerdekaan Indonesia, Komunis harus dimasukkan kembali ke dalam struktur kekuatan politik Indonesia agar jangan terjadi gelombang perpecahan baru. Dan bersama-sama menghadapi kekuatan Neo Kolonialisme yang sudah terang-terangan berdiri di Malaysia dan Singapura. Melalui persatuan politik Nasakom-lah Indonesia mampu mewujudkan cita-cita besar Indonesia yang independen sebagai jalan untuk menuju kemakmuran sesungguhnya. Jadi Nasakom bukanlah sebuah proyek Megalomania Sukarno yang kerap banyak dituduhkan oleh barat. Nasakom adalah syarat persatuan dan kesatuan. Tanpa itu kita kalah terhadap hegemoni negara-negara maju. Kita harus bersatu, karena dengan persatuan sebagai syarat mutlak alat perjuangan kita bisa mengalahkan majikan kapitalis yang setelah sekian ratus tahun merongrong bumi Indonesia. Banyak orang menuduh Sukarno nggak ngerti pembangunan ekonomi. Padahal jarang orang yang ingat Sukarno telah menyusun Dekon, sebuah konsep terukur pembangunan fisik Indonesia pada tahun 1963. Walaupun dalam pelaksanaannya sering disabot dan dimanfaatkan oleh kelompok militer namun program itu berjalan dengan baik sampai pada kudeta Suharto tahun 1965-1967. Hanya satu kesalahan besar Sukarno dimata barat yang kemudian banyak melahirkan tulisan-tulisan ilmiah barat termasuk berita-berita dari majalah TIME bahwa Sukarno membawa kebangkrutan bagi bangsa Indonesia. Dan tulisan itu sedikit banyak memberikan gambaran yang keblinger terhadap Sukarno. Kesalahan Sukarno itu adalah : Beliau tidak mau menjual Indonesia ke tangan Kapitalis. Sesungguhnya mudah bagi Sukarno bila ingin menjadikan Indonesia sebagai negara industri yang maju, karena kepemimpinannya sudah kuat. Tapi Sukarno mempunyai wawasan jangka panjang. Jangan sampai negeri ini jatuh ke tangan kaum kapitalis lewat utang atau ketergantungan ekonomi. Kemajuan harus diperoleh dengan sikap Berdikari. Inilah yang kemudian menjadi pangkal awal dari tuduhan Sukarno adalah anti barat dan anti modernisasi. Padahal apa yang dimaui Sukarno adalah sikap independen bangsa Indonesia agar kekayaan bangsa ini tidak dijual ke tangan kapitalis. 10
Jagoan yang dielus-elus barat dan secara serampangan disebut sebagai pemimpin yang memodernisasi Indonesia adalah Suharto. Suharto dianggap ‘sukses’ membangun perekonomian Indonesia. Jakarta menjadi kota metropolitan dunia dan seluruh sarana infrastruktur dibangun dengan tekun. Namun apa yang dimaui barat adalah agar Indonesia mau berhutang dengan mereka dan menjadikan Indonesia memiliki ketergantungan ekonomi yang tinggi terhadap negara maju agar negara maju bisa mendikte Indonesia dan menguras kekayaan alam Indonesia dengan harga murah. Suharto melakukan pembangunannya dengan dimulai membunuhi jutaan nyawa, membentuk rezim teror dan membangun susunan masyarakat yang konsumtif, tidak produktif, serta lembek. Dan hasilnya kita bisa lihat. Suharto turun dengan meninggalkan utang sebesar 140 milyar dollar AS. Ini artinya seluruh rakyat Indonesia termasuk bayibayi yang baru lahir harus membayar sekitar 3.500 dollar AS untuk utang-utang yang dipergunakan memperkaya keluarga Cendana dan kroni-kroninya. Melihat kenyataan yang dialami Indonesia saat ini, maka kita harus ingat ucapan paling terkenal oleh Bung Karno : GO TO HELL WITH YOUR AID!!!! Bagi kapitalis barat ucapan ini adalah sebuah benteng besar yang menghalangi Indonesia pada konsepsi negara modern. Namun Sukarno tahu bahwa iming-iming modernisasi dipastikan menyertai utang yang ujung-ujungnya adalah ketergantungan bangsa ini kepada negara maju dan ini sama saja mengantarkan Indonesia ke dalam bentuk jajahan baru. Sukarno jelas tidak mau menjual bangsa ini. Dan bisa kita saksikan sekarang dampak globalisasi dan kapitalisme di negara dunia ketiga dimana mereka terus menerus dihisap dan dipermainkan kekuatan negara maju. Jadi pernyataan Sukarno dalam pidatonya bukan pernyataan bermakna politik tapi lebih jauh lagi yaitu : Pernyataan Kebudayaan!....Sukarno ingin membentuk budaya bangsa yang berdikari, karena dengan berdikarinya sebuah bangsa maka kemakmuran tidak akan sukar diraih. Tapi sayangnya cap ini itu terhadap Sukarno yang dimotori negara-negara barat kemudian malah mengaburkan apa keinginan Sukarno untuk bangsa Indonesia. Yaitu menciptakan susunan masyarakat yang merdeka sebenarbenarnya....
11
Pergolakan politik Asia Tenggara Pergolakan politik Asia Tenggara pasca 1945 tak terlepas dari pengaruh dua wilayah yaitu : Indonesia dan Vietnam. Dua negara ini mengalami sejarah yang hampir serupa yaitu merebut kembali hak berkuasa rakyat pribumi terhadap penjajahan asing. Hanya bedanya di Indonesia pengendali revolusi lebih plural sementara di Vietnam pemegang rol revolusi adalah kekuatan homogen yaitu orang-orang komunis yang soliditasnya sangat tinggi ini terbukti mereka berhasil mengusir Perancis dan Amerika Serikat. Di Indonesia hanya berhasil -mengusir Belanda tapi gagal mengusir kekuatan Amerika Serikat-JepangInggris dimana tiga kekuatan ini kemudian menjadi penting setelah berdirinya pemerintahan Junta Militer Orde Baru. Pergolakan politik di Asia Tenggara menjadi sangat kritis ketika Amerika Serikat secara sepihak mendukung perpecahan Vietnam dengan mendukung pemerintahan Saigon di Vietnam Selatan setelah sebelumnya mengalami kegagalan total dalam usahanya mendirikan negara boneka PRRI di Sumatera. Setelah kegagalan PRRI maka Amerika Serikat memutuskan menggunakan cara lain dalam berhadapan dengan Indonesia. Kekuatan bersenjata terfokus di Vietnam Selatan karena bagaimanapun pemerintahan Komunis sudah berdiri di Hanoi sementara Jakarta masih dinilai berwarna merah jambu karena ada faktor Nasution yang sangat anti PKI. Keengganan Amerika Serikat untuk masuk ke dalam peperangan melawan Sukarno juga merupakan keputusan strategis karena Sukarno dinilai masih sangat kuat wibawanya di mata bangsa Indonesia, melawan Sukarno berarti melawan bangsa Indonesia dan ini bisa meruntuhkan nama Amerika Serikat sebagai negeri yang menjaga imej sebagai negeri kebebasan menjadi negeri tukang jajah. Untuk menghadapi keras kepalanya Sukarno akhirnya diputuskan dengan mengadakan operasi intelijen secara terus menerus. Dan melakukan penyusupan yang intensif ke tubuh Angkatan Darat. AD dinilai AS masih bisa dikendalikan karena kekuatan Sukarno tidak begitu mengakar kuat disana. Sukarno yang sudah mendeklarasikan politik Nasakom serta dibayangi keberhasilannya mengadakan Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung melangkah lebih jauh lagi. Yaitu memberi penyadaran terus menerus akan bahaya imperialisme jenis baru. Sayangnya penyadaran Sukarno justru diserang oleh sekelompok intelektual yang tidak begitu mengerti jalannya gelombang sejarah masa depan. Intelektual jenis ini berhaluan moderat, cinta kebebasan bersuara, pro demokrasi gaya barat dan realistis. Kelompok ini banyak berdiam di PSI, partai sosialis kanan yang dibubarkan Sukarno tahun 1960. Kelak eks anggota PSI banyak berperan dalam proses penjungkalan Sukarno namun segera juga berseberangan dengan Orde Baru pada era tahun 1970-an. Seperti hal-nya seorang Nabi yang selalu gagal memberikan pencerahan pada bangsanya sendiri, begitulah nasib Sukarno. Sebagai pemimpin ia memang berhasil memerdekakan bangsa Indonesia, memimpin Indonesia melewati masa-masa sulit saat perang Kemerdekaan 1945-1949, berhasil membawa Indonesia mendapatkan posisi terhormat di dunia Internasional dalam peranannya untuk mengkampanyekan kemerdekaan negaranegara yang masih terjajah dan membangun rasa kebanggaan bangsa Indonesia. Namun gagal dalam memberikan pencerahan terhadap antisipasi bangsa penguasaan kembali bangsa asing lewat Imperialisme gaya baru yang menurut bahasa Jenderal Yani disebut sebagai Nekolim : Neo Kolonialisme Imperialisme. Sukarno sendiri dihadapkan pada belum siapnya bangsa Indonesia dalam melakukan konsolidasi kekuatan ekonomi. Itu memang kelambanan Sukarno. Lambatnya Indonesia 12
memasuki era industri adalah karena antisipasi Sukarno untuk tidak menjebak Indonesia ke dalam permainan bangsa asing. Satu hal yang jarang diperhatikan oleh pengamat sejarah Indonesia tentang masa Sukarno adalah kehati-hatian Sukarno dalam melakukan kontrak-kontrak investasi dengan bangsa asing. Sukarno sangat keras kepala bila dihadapkan pada posisi Indonesia yang merugikan. Ini terlihat pada proses-proses kontrak investasi di pertambangan dan perkebunan peninggalan Belanda. Perlu diperhatikan juga gerakan Sukarno dalam menentang hegemoni asing yang masih tersisa dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda adalah sebuah keuntungan yang besar bagi perwira Angkatan Darat yang banyak masuk ke dalam sektor ekonomi setelah perginya para investor asing. Kelak di kemudian hari perwira-perwira bisnis inilah yang banyak berperanan di masa Suharto. Sukarno menginginkan bahwa semua pengerjaan industri dan ekonomi Indonesia sepenuhnya dilakukan oleh bangsa Indonesia. Namun sebelumnya Indonesia harus aman dulu dari gangguan Nekolim. Jelas bahwa proyek Nekolim berdiri di depan mata bangsa Indonesia seperti berdirinya Federasi Negara Malaysia disertai dengan berdirinya Singapura sebagai negara sendiri yang menurut Sukarno adalah pangkalan dari Nekolim untuk mengepung Indonesia. Memang waktu itu banyak kaum intelektual yang mentertawakan Sukarno dengan gagasan yang dianggap halusinasi. Sukarno sendiri secara sadar untuk menanggulangi bahaya Nekolim maka Indonesia harus mempunyai kekuatan internal yang kemudian ditemukan pada jargon Sukarno, Trisakti : Berdikari dalam ekonomi Berdikari dalam politik Berkepribadian Indonesia Coba anda perhatikan sekarang apa yang diramalkan Sukarno tentang bahaya Nekolim. Singapura telah menjadi kekuatan keuangan terbesar di Asia Tenggara. Bahkan dalam prosesnya Singapura telah membeli sumber-sumber ekonomi bangsa Indonesia dengan cara yang legal seperti Indosat dan banyak perusahaan keuangan di Indonesia. Hampir seluruh proses investasi modal melalui Singapura baik itu hot money ataupun Foreign Direct Investments. Dana milik pengusaha Indonesia keluar masuk lewat Singapura baik itu dana legal maupun dana illegal, bahkan sampai sekarang Singapura menolak melakukan ratifikasi perjanjian ekstradisi untuk para maling dari Indonesia. Sementara Malaysia sendiri menjadi proyek kapitalisme yang sampai sejauh ini paling berhasil di Asia Tenggara. Namun perlu diperhatikan apa yang dilakukan Malaysia adalah mengambili kekayaan bangsa Indonesia yang sangat besar, bukan itu saja pembangunan infrastruktur Malaysia tergantung sekali dengan tenaga Indonesia yang diperkuli oleh mereka. Indonesia sendiri kelak di akhir era Suharto menjadi negara paling gagal menerapkan kapitalisme modern. Terbukti modernisasi yang dibawa Suharto tidak membawa kesejahteraan bagi bagian besar bangsa Indonesia dan Indonesia menjadi ‘bangsa yang sakit’ di Asia Tenggara. Ini adalah tragedi Indonesia yang tadinya merupakan bangsa terbesar, dihormati dan sumber inspirasi bukan saja bagi bangsa-bangsa Asia Tenggara tapi juga bangsa lain di dunia kini menjadi bangsa yang separuh gagal. Masih beruntung gagasan Nasionalisme Sukarno masih teramat kuat di Indonesia bila tidak kita akan menyaksikan perpecahan di Indonesia pasca lengsernya Suharto. Mengapa bisa begitu?
13
Kapitalisme Yang Mengabaikan Hak Milik Bangsa Dari semua kerja politik Sukarno dimasa Nasakom yang paling penting adalah sebuah gagasan inti namun jarang diperhatikan orang yaitu : Berdaulat penuh terhadap kekayaan bangsa Indonesia. Indonesia merdeka adalah Indonesia yang memiliki daulat ekonomi dimana kepentingan rakyatnya menjadi sasaran utama perhatian. Namun untuk menuju ke arah kedaulatan ekonomi Sukarno harus memberantas dulu penyakit-penyakit feodalisme dan kolonialisme yang rupanya banyak bersarang di kalangan elite politik dan militer. Secara sadar Sukarno menggunakan PKI untuk bertarung dengan mesin elite ini sekaligus menjaga keseimbangan agar pertarungan itu tidak melibatkan pihak asing. Memang terkadang perlawanan PKI terhadap kelompok elite ini dirasakan terlalu keras. Namun PKI sama sekali tidak pernah melakukan perlawanan dengan melewati batas kekuasaan Sukarno. Hanya sekali saja PKI mengumbar orasi politiknya yang melewati batas Sukarno yaitu saat kampanye pembubaran HMI dimana di depan Sukarno, DN Aidit menyebut bahwa pejabat tinggi menghinakan kaum wanita, berfoya-foya tapi tidak memperhatikan rakyat disamping menyuruh pemuda PKI memakai sarung saja kalau tidak bisa membubarkan HMI. Perekonomian di masa Sukarno memang cenderung tidak mendapatkan perhatian. Hatta sendiri kerap menyatakan kepada kawan-kawan dekatnya bahwa Indonesia akan segera runtuh bila Sukarno tidak memperbaiki kondisi perekonomian dengan segera. Namun bertahun-tahun Hatta mengucapkan itu, toch Indonesia dimasa Sukarno tetap kuat bahkan mampu menyelenggarakan dua kali proyek perang besar yaitu dengan Belanda pada masa perebutan Irian Barat dan proyek perang di perbatasan Malaysia dengan Inggris sebagai lawan utama. Namun ternyata Sukarno akhirnya dikalahkan oleh sebuah peristiwa aneh yang digerakkan oleh Letkol Untung, komandan pasukan pengawal pribadi Sukarno, Tjakrabirawa dimana enam Jenderal terbunuh pada peristiwa itu. Sukarno tidak runtuh oleh kegagalan ekonomi tapi dibunuh karier politiknya oleh konspirasi paling misterius abad 20. Gerakan 30 September 1965. Selama dua tahun lebih sejak peristiwa Gerakan Tiga Puluh September kekuasaan Sukarno dipreteli pelan-pelan. PKI jelas sudah habis bahkan satu hari setelah terjadinya gerakan Untung. Dan dua bulan setelah gerakan Untung para anggota PKI nyaris habis dibunuhi oleh massa yang marah karena membaca opini media massa yang digerakkan oleh Angkatan Darat pro Suharto dimana dalam berita-berita itu Suharto menyebarkan berita bohong tentang kekejaman gerakan Untung dan dikatakan ditunggangi oleh PKI. Sukarno tidak mau membubarkan PKI dan mahasiswa-mahasiswa yang dipersiapkan oleh militer bergerak menantang kekuasaan Sukarno. Di tangan para intelektual muda yang terpengaruh paham kebebasan barat keangkeran Sukarno dibongkar habis-habisan bahkan sampai tahun 1970-an nama Sukarno terus dihina sebagai bagian hitam sejarah Indonesia, terutama sekali jurnalis Mochtar Lubis sampai pada peristiwa Malari 1974 selalu memburuk-burukkan Sukarno. Hilang Sukarno datanglah Suharto. Munculnya Suharto sebagai kekuatan tandingan Sukarno sama sekali diluar prediksi ahli politik manapun. Bahkan CIA menggembargemborkan bahwa mereka sama sekali tidak mengerti siapa Suharto. Namun hal ini patut diragukan karena bagaimanapun Suharto sejak awal tahun 1960-an dekat dengan Jenderal Suwarto yang kerap dituding sebagai otak intelektual pembaratan di Indonesia yang anti terhadap Sukarno. Suwarto oleh banyak kalangan Sejarawan disebut-sebut sebagai otak dari berdirinya Orde Baru dimana militer ambil peranan. 14
Pada awalnya gerakan kudeta Suharto yang diselubungi surat Sukarno yang dipelintir dan penuh aroma konspirasi ‘Supersemar’ didukung oleh kelompok modernis Indonesia yang banyak bercokol di kalangan PSI dan secara lokasi berpusat di Bandung. Gagasan Orde Baru adalah gagasan modernisasi Indonesia. Suharto pada awalnya masih meraba-raba dukungan yang akan diperolehnya. Ini merupakan karakter politiknya. Ia menyimpan dulu anak buahnya yang asli di dalam kotak dan menggunakan kekuatan radikal anti Sukarno yang militan –kelak pendukung Suharto yang militan ini berakhir menyedihkan seperti HR Dharsono yang dipenjara pada tahun 1980-an - . Mereka ini adalah orang-orang PSI, para mahasiswa yang terpengaruh ideologi modernisasi barat/Amerika dan perwira tinggi Siliwangi, sebuah kekuatan militer di Jawa yang tidak terpengaruh oleh emosi Sukarnois. Ketiga kekuatan ini dimainkan Suharto dan dijadikan lansekap politik Orde Baru untuk berhadapan langsung dengan kekuatan Sukarno. Untuk berhadapan dengan Sukarno, Harto tidak menggunakan kekuatan militernya karena ia yakin bahwa Brawijaya dan Diponegoro masih berada di belakang Bung Karno. Namun Bung Karno juga sudah terkena Skak Mat karena sikapnya yang tidak jelas terhadap G 30 S pada awal mulanya walaupun kelak Bung Karno mengeluarkan kesimpulan dalam pidato pertanggung jawaban Nawaksara yang sampai saat ini adalah paling lengkap dari teori-teori konspirasi G 30 S. Namun Suharto dengan kelihaiannya sudah menguasai media massa, histeria massa sudah digiring sementara kaum intelektual yang berorientasi barat-liberal dan sosialis kanan sepenuhnya berada di belakang Suharto karena berharap Indonesia akan di modernisir setelah kejatuhan Sukarno.
15
Kaum Modernis Yang Tidak Sabaran Sepanjang sejarahnya Sukarno selalu ditentang tiga unsur kekuatan : Islam dari jalur modern (baik pendukung Pan Islamisme ataupun Negara Islam), Sosialisme Kanan yang pro barat, dan Komunisme (Komunis-Nasionalis,Trotskys dan Komintern). Dari ketiga unsur inilah Sosialis Kanan yang paling militan menentang Sukarno. Kekuatan Islam walaupun menentang Sukarno namun bagian besar dari mereka mendukung. Bagaimanapun Sukarno adalah anak didik Tjokroaminoto ‘Raja Jawa tanpa mahkota’ dari Sarekat Islam, pernah menjadi guru Muhammadiyah di Bengkulu dan menjadi pendukung Muhammadiyah yang utama serta tidak boleh lupa Sukarno adalah anak Jawa Timur basis dari pendukung NU. Otomatis kekuatan penentang Sukarno dari kalangan Islam biasanya tidak berbasis kebudayaan Jawa, terpengaruh konsepsi negara Islam dan Pan Islamisme atau menjadi kekuatan Islam tarekat yang memiliki pengaruh mistis dan kuat seperti kelompok DI/TII. Boleh dikatakan untuk kalangan Islam Sukarno masih menguasai 80% dukungan. Faktor PKI-lah yang menjauhkan Bung Karno dari kalangan Islam. Namun sepanjang sejarah kepemimpinan Islam di Indonesia, Bung Karno tetap merupakan pemimpin yang paling menonjol dan dijagokan umat Islam Indonesia. Sementara untuk Komunisme, Sukarno ditentang karena masalah yunioritas dia dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia. Bagaimanapun ketokohan Sukarno datang belakangan sesudah gerakan Komunis yang berani melawan koloni Belanda di Jawa dan Sumatera. Nama Sukarno muncul justru setelah kegagalan pemberontakan Komunis 1926/1927 dimana akibatnya pembuangan besar-besaran ke Digoel. Sukarno mengisi kekosongan kekuatan PKI dan membangun jalur politik garis tengah dengan jualan utamanya yaitu : Nasionalisme. Sukarno memang agak diremehkan oleh jago-jago tua komunis tapi anehnya para jago tua itu selalu menggunakan nama Sukarno untuk meraih tujuan-tujuan politiknya. Puncaknya adalah ketika Wikana yang memang seorang kader muda Komunis mendesak Sukarno dan Hatta memerdekakan Indonesia ini tidak lepas dari desakan jagojago tua komunis untuk mendesak Wikana agar Sukarno diusulkan menjadi pemimpin. Begitu juga ketika Tan Malaka kembali lagi ke kancah politik Indonesia. Tan Malaka pada awalnya langsung ingin menggoyang kedudukan Bung Karno dengan menggunakan Sjahrir namun Sjahrir menolak karena ia tahu yang dipilih rakyat adalah Bung Karno bukan siapa-siapa. Setelah hancurnya Muso, yang juga mentor Sukarno di era ngekost di rumah Pak Tjokro dan terbunuhnya Tan Malaka. Kekuatan kiri garis keras sepenuhnya dibelakang Bung Karno seperti yang dikatakan di muka tulisan ini bahwa DN Aidit cs adalah pengekor Sukarno sejak jaman Jepang. Begitu juga dengan anak didik Tan Malaka yang langsung berada dibawah Sukarno seperti Chaerul Saleh dan Adam Malik. Jadi secara mutlak golongan garis keras Kiri yang tidak terpengaruh ajaran Sosialis Kanan alias Sosialis moderat bernadi Owenisme sepenuhnya berada dibelakang Bung Karno. Satu golongan yang tidak mau dekat dengan kelompok Bung Karno dan memiliki jaringan pengaruh paling kuat bahkan sampai detik ini (tahun 2008) memiliki pengaruh besar atas gagasan modernisasi Indonesia dan berperanan dalam penjungkalan Sukarno serta memberikan api perlawanan terhadap Suharto sejak peristiwa Malari 1974 sampai pada gerakan Reformasi 1998 adalah Lingkaran Sjahririan yang biasa disebut orang-orang PSI dengan haluan ideologi Sosialis Kanan. Walaupun saya tidak akan menyebut hanya kelompok PSI saja yang militan terhadap kerja politik anti Sukarno tidak diragukan namun yang paling menonjol dalam proses penjungkalan sampai pemberian label buruk terhadap Bung Karno sampai pada peristiwa Malari 1974 adalah orang-orang PSI. Perlu diketahui setelah peristiwa Malari 1974 banyak dari golongan PSI dan juga orang-orang intelektual non partisan yang dulunya anti Sukarno menjadi sadar bahwa apa yang dilakukan Sukarno dalam menghadapi kekuatan asing ada maknanya. Baru setelah mereka melihat penyelundupan-penyelundupan yang dilakukan kroni Suharto, korupsi besar-besaran 16
seperti kasus Pertamina dan Coopa juga penempatan pejabat korup yang tidak populer di kalangan masyarakat membuat kesadaran baru bahwa rezim Orde Baru merupakan rezim sinting. Namun pada saat itu Orde Baru tetaplah menjadi lambang dari modernisme yang pro barat. Ada kemungkinan bila Suharto jatuh maka yang berkuasa adalah kelompok yang dekat dengan komunis atau juga ketakutan akan berdirinya negara Islam. Jadi faktor Suharto juga merupakan fait accompli yang bisa disebut kuldesak/jalan buntu bagi kekuatan modernis Indonesia. Perlu diingat pada tahun 1970-an kekuatan Uni Soviet masih sangat raksasa sementara di Iran pada tahun 1979 terjadi Revolusi Islam Khomeini yang menjungkalkan pemerintahan Syah Reza Pahlevi yang pro Amerika Serikat. Disinilah kemudian kaum modernis tidak berani melakukan terobosan politik karena Suharto adalah satu-satunya alternatif agar Indonesia tidak jatuh ke tangan Komunis atau juga tidak menjadi negara Islam. Namun akhirnya terobosan itu menemukan efektivitasnya dengan menekankan kekuatan nasionalis yang membangkitkan aroma Sukarno, Dititik inilah kelak pada tahun 1970-an kekuatan Modernis Sjahririan dan Visi Sukarnoisme mendapatkan masa-masa bulan madunya setelah selama satu dekade penuh menghujat Sukarno. Kelompok Sjahrir ini terlepas dari anggapan sebagian orang mengatakan bahwa Sjahrir adalah sebuah ‘history of bubble’ gelembung sejarah. Namun diakui atau tidak diakui 70% jalannya sejarah Indonesia tergantung pada otak kelompok Sjahrir ini. Jadi bagi saya sendiri memulai merenungi jalannya Orde Baru haruslah lebih dulu membedah bagaimana kelompok Sjahrir bekerja dan apa maunya lalu kita korelasikan dengan Orde Baru-nya Suharto. Deviasi antara pemikiran Sjahririan dengan Orde Baru Suharto inilah yang merupakan penyimpangan dari maksud Orde Baru. Karena bagi saya Orde Baru adalah proyek modernisme PSI yang kemudian diselingkuhi oleh gagasan Nasionalisme Tangsi Suhartorian dan membawa Indonesia ke dalam lembah kebangkrutan. Dan harus diakui digiringnya konsepsi Nasionalisme Sukarno yang berdikari ke arah penyatuan Indonesia dalam kebudayaan barat merupakan antaran dari kalangan modernisme yang tidak sabaran.
17
Gagasan Indonesia Modern Dari Perspektif Intelektual Orde Baru Banyak orang mengatakan bila menganatomi Orde Baru bacalah pikiran-pikiran Ali Moertopo namun saya katakan adalah kurang tepat membaca pemikiran Ali Moertopo. Justru bagi saya pemikiran Ali Moertopo baik yang tertuang dalam buku Akselerasi Pembangunan 25 tahun ataupun tindakan politiknya adalah sebuah langkah awal pengkhianatan dari modernisasi Orde Baru yang dicita-citakan kelompok modernis. Itulah makanya puncak dari perceraian Suharto dengan gagasan modernisasi Indonesia adalah pada peristiwa Malari 1974. Hanya dua orang yang menurut saya paling tepat dalam mengarahkan cita-cita modernisme pasca Sukarno yang sempat disematkan pada pundak Orde Baru mereka berdua adalah : Soedjatmoko dan Soemitro Djojohadikoesoemo. Di alam pemikiran Soedjatmoko (Koko) faktor pembangunan manusia menjadi pilihan utama. Dimensi manusia yang terbebaskan dan merupakan tujuan utama dari pembangunan sendiri merupakan pengejawantahan Marxisme dari jalur pelan. Koko tidak mengenalkan konsep revolusi yang mendahului sejarah seperti halnya konsepsi Leninis atau Maois tapi mengenalkan pada proses alami perkembangan kebudayaan manusia yang menghargai kemanusiaan dan tidak mencekal kemanusiaan ke dalam lembah penindasan. Watak utama pemikiran Koko adalah Sosialisme. Sementara Soemitro Djojohadikusomo (Cum) memiliki arti penting membentuk lingkaran yang kemudian sangat berpengaruh terhadap initial capital Orde Baru dibawah Suharto. Lingkaran itu sudah dipersiapkan Cum sejak tahun 1950-an dan menjadi sebuah arus besar ekonomi politik paling berpengaruh sampai detik ini bagi mentalitas pemikiran akademik ekonomi di Indonesia. Ekonomi Amerika. Sayangnya Koko gagal total dalam mengkampanyekan dimensi kemanusiaan dalam pembangunan dimana sesungguhnya Koko sudah tepat dalam membidik faktor manusia sebagai hal yang paling utama dalam kerangka pembebasan kemanusiaan dengan menggunakan kebudayaan modern barat yang liberal. Sementara Cum hanya berhasil dalam membentuk pengaruh wacana akademis karena akhirnya pekerjaan-pekerjaan ekonomi dengan basis maling menjadi pilihan Suharto untuk melanjutkan kekuasaannya. Disinilah yang akan menjadi pusat perhatian kita. Bagaimana Suharto menghancurkan gerak sejarah Sukarno yang bertujuan merebut secara mutlak sumber-sumber kekayaan ekonomi Indonesia sehingga tidak menjadi permainan asing, kemudian dengan menggunakan tangan kaum modernis Suharto membohongi bangsa Indonesia lewat program-program ekonomi modern yang kemudian mengamputasi kaum modernis dan membangun jaringan kekuasaan yang jahat dengan landasan sistem mafioso Italia. Dimana hasilnya sudah kita lihat dalam sejarah : Penghinaan kemanusiaan, Pembantaian manusia Indonesia berskala raksasa (kekejaman Suharto dalam membunuhi orang pada peristiwa 1965-1966 hanya bisa ditandingi oleh kekejaman pasukan SS Hitler dalam membunuhi orang Yahudi), membangun sistem nasionalisme palsu yang digunakan untuk kepentingan kekayaan segelintir elite dan yang paling fatal adalah menyusun masyarakat dengan berbasis korupsi dimana hasilnya bisa kita lihat adalah kehancuran dimana-mana. Selain ketokohan Soedjatmoko dan Soemitro Djojohadikoesoemo ada nama lain yang tak kalah hebatnya, seorang ‘Harvard Man’ berhaluan sosialis, Sarbini Soemawinata. Namun pikiran-pikiran Sarbini tidak begitu mengena dalam kultur Suhartorian, Akademik maupun wacana intelektualis kecuali memang ada pengaruhnya bagi gerakan mahasiswa tapi itu tidak seluas pikiran Koko dan Cum. Pengaruh Sarbini mungkin yang paling tinggi adalah pada awal berdirinya Orde Baru dimana modernisasi yang digadang-gadang kelompok PSI juga menyertakan wacana Sosialisme dititik inilah Sarbini memiliki arti pentingnya.
18
Suharto Dan Penipuan Terhadap Orde Baru Sesungguhnya adalah salah bila mengatakan Suharto adalah tokoh yang paling berjasa terhadap Orde Baru. Justru yang paling tepat bagi saya adalah Suharto pengkhianat Orde Baru. Suharto bukan saja telah mengkhianati revolusi Sukarno (maka ia sering dijuluki celeng kontrarevolusioner dan ini adalah tafsiran saya dalam lukisan Djoko Pekik), Suharto juga berkhianat terhadap tujuan-tujuan modernisme Orde Baru dan yang paling parah dari semuanya Suharto sudah membawa jauh sekali Indonesia menyimpang dari arah tujuan Indonesia merdeka. Di tangan Suharto Indonesia saat ini sedang mengalami kebingungan terbesar, ke arah mana harus bergerak. Suharto adalah penipu terbesar sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Pertama-tama ia menggunakan surat perintah pengamanan a-politis yang dipelintir menjadi kekuatan politik sebagai modal melawan Sukarno, kemudian menggunakan histeria massa untuk membubarkan PKI dimana alasan pembubaran itu sebelumnya didahului dengan membunuhi jutaan nyawa orang. Sungai-sungai banjir darah dan jutaan orang kehilangan nyawa, ratusan ribu dipenjara lalu belakangan ia menciptakan Gulag di Pulau Buru. Setelah melumpuhkan Sukarno, Suharto menggunakan kelompok modernis untuk bekerja mempercantik tindakan politik Orde Baru lalu kemudian menipu mereka dengan memasukkan unsur-unsur kekuasaan dalam tindakan memperkaya diri dan kroninya untuk mempermulus jalannya kekuasaan. Modal pertama yang dilakukan untuk melakukan itu adalah hasil boom minyak setelah Suharto tidak melakukan tindakan solider terhadap negara-negara Arab dalam krisis Palestina tahun 1973 yang menghasilkan forum OPEC. Setelah menipu kelompok modernis dan membungkam mereka di tahun 1974, Suharto mengkhianati mahasiswa yang dulu mendukungnya dan menjadi barometer kebebasan intelektual dengan menyuruh Menteri Pendidikan mengumumkan NKK/BKK, lalu pada tahun 1980-an Suharto menggenjot utang, melakukan reformasi Perbankan yang menghasilkan penyerapan dana masyarakat besar-besaran dan menjadi sumber utang terbesar Indonesia dimana pada akhirnya kita menyaksikan Bank-Bank yang didirikan di Indonesia dalam jumlah massif menjadi sarang-sarang penggelapan uang negara dan masyarakat yang pada tahun 1998 sesudahnya utang itu harus dibayar oleh rakyat. Suharto juga membangun Pasar Modal Indonesia namun masyarakat yang diciptakan Suharto rupanya juga membawa Pasar Modal Indonesia ke dalam kondisi nyaris bangkrut serta kerap menjadi sarana pencucian seperti misalnya dana-dana gelap reboisasi yang sering diputar di Pasar Modal Indonesia. Dari semua kegiatan bejatnya Suharto memberikan seluruh akses modal kepada kroni-kroninya yang bertujuan sebagai benteng kekuasaan Suharto. Serta dengan lucunya Harto memberikan modal kepada anakanaknya untuk menjadi konglomerat dengan dana pinjaman yang tidak menyertakan faktor resiko. Apa yang dilakukan Harto ini kemudian menjadi sebuah gejala besar dalam pengerukan dana masyarakat dan negara dimana Manajemen Resiko tidak pernah menjadi titik perhatian, banyak kemudian anak-anak pejabat dari kelas menteri sampai lurah menggunakan sistem fasilitas model Suharto ini pada anak-anaknya. Jadi di bawah Suharto Indonesia bukan dibawa ke dalam negara modern tetapi sebagai negara primitif berlandaskan sistem maling. Jelas ini bukan sebuah negara modern, tapi negara kanibal yang primitif. Merupakan kesalahan fatal bila Suharto diunduh namanya menjadi Bapak Modernisasi Indonesia.
19
Suharto, Suhartorian dan Kapitalisme Semu Pada awal-awal setelah peristiwa Gerakan Untung. Suharto jelas telah melakukan tindakan subversif pada Bung Karno. Bahkan tindakannya itu bisa disamakan dengan tindakan Letkol Untung yang tidak mencantumkan nama Bung Karno dalam susunan Dewan Revolusi (Susunan ini biarpun ngawur tapi juga memiliki makna serius terhadap kekuasaan Sukarno). Pada siang harinya Suharto menahan Umar dan Pranoto untuk bertemu dengan Bung Karno yang alasannya “Angkatan Darat tidak mau kehilangan Jenderalnya lagi” Namun dengan cepat Suharto mengangkat dirinya sendiri sebagai Menpangad tanpa sepengetahuan dan ijin Sukarno sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata. Dari sini saja Suharto bisa terkena tuduhan serius yaitu : membangkang terhadap kekuasaan yang sah. Tapi Suharto tahu segalanya, ia punya kartu truf yaitu hilangnya kelompok Yani yang diculik pasukan Untung. Ada missing link yang paling membingungkan ahli sejarawan tentang teori konspirasi 1965. Yaitu : Dimana Suharto pada malam 30 September 1965 setelah pertemuannya dengan Kolonel Latief, Wakil Komandan Gerakan Untung. Seperti yang telah diketahui oleh umum lewat pledoi Latief yang dirilis pada tahun 1978. Ternyata Suharto dilapori oleh Latief bahwa pasukan Untung akan menangkapi para Jenderal dan menurut pengakuan Latief, Suharto hanya mengangguk. Dianggap sudah mengerti Latief pamit pulang dan meneruskan pekerjaannya dalam pasukan Untung. Tapi hal itu dibantah oleh Suharto, katanya Latief mencari-cari Suharto di Rumah Sakit Gatot Soebroto untuk dibunuh. Pengakuan ini ada dua versi. Versi dari majalah Der Spiegel dan Versi dari Otobiografi Suharto G. Dwipayana. Setelah subuh (menurut pengakuan Suharto) ada orang yang menyaksikan Suharto yaitu : Mashuri yang kelak menjadi Menteri Penerangan di Jaman Orde Baru. Mashuri menyaksikan sebelum jam 6 pagi Suharto sudah mengenakan pakaian tempur. Ini menunjukkan bahwa Suharto kemungkinan sudah tahu akan adanya gerakan. Dan orang yang mengetahui adanya gerakan ini diluar sistem gerakan Untung adalah : Suharto. Ia sendiri dengan menggunakan kendaraan dinasnya pergi ke Markas Kostrad dan tidak dikawal. Dengan mata kepalanya sendiri ia menyaksikan banyak pasukan dari luar daerah (Diponegoro) berkeliaran di sekitar Monas dan Istana Negara. Puncak dari kehebatan Suharto dalam menguasai informasi Gerakan Untung adalah ketika ia mengucapkan kepada anak buahnya setelah hampir seluruh markas Kostrad sudah mendapat info bahwa Yani cs diculik adalah ucapan : “Itu Gerakan Untung, dan Untung sudah lama menjadi binaan PKI”. Ucapan inilah yang kemudian menjadi dasar paling kuat bukan saja menghantam gerakan Untung, menjungkalkan Sukarno dari kekuasaannya bahkan lebih jauh lagi menciptakan rezim teror selama 32 tahun. Tidak ada yang Paling baik dalam menjelaskan pondasi struktur kekuasaan yang dibangun Suharto selain ucapan singkatnya : PKI berada dibalik Gerakan Untung. Ucapan inilah yang kemudian menjadi sebuah landasan filosofis paling penting dari semua struktur kekuasaan Suharto. Tidak mungkin menjelaskan kekuasaan Suharto tanpa melibatkan alasan utama berdirinya rezim teror ini, PKI. Pelaburan nama sehitam-hitamnya bagi Partai Komunis itu dijadikan alat paling penting dalam menciptakan rezim teror. Seperti yang telah tercatat dalam sejarah bahwa ketika Suharto sudah semakin mendekat dengan Sukarno dalam pertarungan politiknya. Suharto menggunakan kekuatan media massa untuk menciptakan histeria massa dimana kemudian teror paling kelam dalam sejarah Indonesia terjadi. Uniknya peran media massa ini kemudian sangat penting juga dalam menciptakan pemulihan nama baik Suharto di tahun 2008 saat ia sudah sakit-sakitan dan kemudian meninggal dunia pada 27 Januari 2008. (Bila tahun 1965-1966 panglima media 20
massa adalah Angkatan Darat melalui corongnya yang utama Berita Yudha dan Harian Angkatan Bersenjata, maka pada tahun 2008 Panglima Media Massa adalah : Pemilik modal media massa yang notabene besar karena fasilitas Orde Baru dan kucuran dana Cendana. ( - catatan : Perlu diketahui pada tanggal 2 Oktober 1965 hanya ada tiga koran yang dibolehkan terbit oleh Angkatan Bersenjata, dua koran dari Angkatan Darat : Berita Yudha dan Harian Angkatan Bersendjata lalu yang lain adalah : Harian Rakjat. Harian Rakyat ini adalah koran corongnya PKI. Mungkin saja intel Angkatan Darat sudah tahu bahwa Harian Rakyat akan mengeluarkan tajuk rencana atau suara resmi koran itu mendukung Gerakan Untung. Sementara Berita Yudha dan Harian Angkatan Bersendjata menentang dan mengutuk Gerakan Untung. Kenapa koran lain yang netral seperti Kompas misalnya dibredel saat mau turun cetak untuk edisi 2 Oktober 1965. Hal itu lebih dimungkinkan karena memang pihak Suharto sudah merencanakan untuk menjebak Harian Rakyat. Jadi dikotomi salah-benar dalam kasus G30S tidak digiring ke wilayah abuabu. Jelas dua Koran Angkatan Bersenjata di pihak yang benar dan Harian Rakyat sebagai corongnya PKI terjebak sebagai satu-satunya pendukung G30S yang musti dikutuki tanpa melibatkan unsur lain. Hal ini dilakukan agar lawan Suharto di fase awal cukup hanya pada pendukung PKI saja, bukan termasuk pendukung Sukarno dan menggiring pada bukti bahwa PKI memang ada dibelakang G30S - ). Melalui alat tawar PKI yang anehnya Sukarno juga terjebak dalam tawaran itu dan bukannya menangkap Jenderal Suharto. Suharto bergerak lebih agresif lagi. Ia langsung mengisi stafnya dengan orang-orang Diponegoro yang pro dengan Suharto sejak tahun 1950-an (Tahun 1950-an jaman Harto masih di Diponegoro, ia membangun klik-nya sendiri dan melakukan perbuatan melawan hukum sampai Yani marah lalu menempeleng Suharto, Yani melaporkan pada Nasution yang kemudian direspon untuk memecat Harto namun berhasil dihalangi oleh Gatot Subroto, sebelum menjabat sebagai Panglima Diponegoro Harto juga bersama kliknya menyingkirkan Kol. Bambang Soepeno sebagai kandidat Panglima Diponegoro). Perlu diingat Jenderal Yani sendiri agak kurang disukai oleh orang-orang Diponegoro karena sikapnya yang sudah ke Jakarta-Jakartaan. Namun di sisi lain Jenderal Yani juga berhadapan dengan Jenderal Nasution. Konflik Yani– Nasution reda karena adanya faktor DN Aidit. Aidit-lah orang yang menganggap Yani merupakan saingan seriusnya. Jadi Yani disisi lain sangat populer di lingkungan Internasional dan favoritnya Bung Karno namun ia juga musti berhadapan dengan Nasution, Kelompok Semarang dan Aidit. Nama Suharto jarang disebut-sebut sebagai rivaal Yani, bahkan Harto termasuk Jenderal paling tidak dikenal di mata publik. Orang mengenal Yani dengan Banteng Raiders-nya di titik inilah keuntungan Harto, ia tidak menjadi sasaran persaingan kaum politisi sipil. Setelah penculikan Yani, tiba-tiba nama Harto muncul dan bukan main-main Harto langsung head to head berhadapan dengan Bung Karno. Saya perlu menekankan masa-masa genting 1965-1966 sebagai masa konsolidasi Suhartorian pada fase paling awalnya. Pada masa ini orang-orang Suharto lebih dikenal sebagai bagian dari orang radikal bukan orang yang berada di dalam lingkaran Harto barulah setelah sebulan G30S, Harto menemukan format paling pas orang-orangnya yang tahu strategi militer. Mereka ini Ali Moertopo, Yoga Sugama, Jenderal Mitro, dan Soedjono Hoemardhani. Kelak kelompok Ali-Soedjono dikenal sebagai Aspri akan berhadapan dengan Jenderal Mitro –sementara Yoga sempat dibuang karena adanya kasus koper disebuah hotel yang berkaitan dengan dokumen Ramadi- . Berbarengan dengan konsolidasi tim Suharto, Sukarno menemukan kenyataan bahwa ia sudah kalah. Dengan diculiknya para Jenderal Angkatan Darat, maka ada semacam legitimasi dari Angkatan Darat untuk balas dendam bahkan dengan langkah-langkah yang lebih jauh lagi. Perang 21
Saudara di Jawa, dimana Amerika Serikat akan mempunyai kesempatan untuk masuk dan mendukung Suharto. Sukarno adalah manusia yang sangat paham sejarah. Ia juga mendasarkan diri baik itu dia sadari atau tidak bahwa kekuasaan dalam demokrasi terpimpin mengikuti pola kekuasaan raja Jawa. Dalam sejarah Jawa, kekuasaan raja tidak pernah jatuh ke tangan orang luar Jawa kecuali didalamnya ada intrik antara sang Raja dan Pewaris Raja atau senopatinya. Dalam hal ini memang Sukarno terbersit pernah mencurigai Yani. Tapi nyatanya yang melakukan kup adalah Harto, orang yang tidak pernah ada dalam agenda suksesi kepemimpinan revolusi di Indonesia. Kembali ke Sejarah Jawa tadi, intrik internal antara Raja dan Putera Mahkota selalu melibatkan orang luar. Ini terjadi pada Sultan Ageng Tirtayasa dengan Pangeran Haji yang membawa masuk tentara loji Belanda dari Batavia, antara Amangkurat dengan Adipati Anom yang mengundang masuknya Trunojoyo dan VOC. Serta puluhan perselisihan internal dimana kemudian kekuatan luar masuk. Dan memang ketika Sukarno sudah berselisih paham dengan Suharto. Armada Angkatan Laut Amerika Serikat sudah siap mengepung Indonesia. Sukarno juga tahu ia pasti didukung bangsanya sendiri jika harus berperang, tapi taruhannya adalah perang besar di Jawa antara Komunis dan Non Komunis dan ia sudah saksikan betapa kejamnya kejadian di Danang. Jelas sejak pagi 1 Oktober 1965 praktis kekuatan Angkatan Darat di tangan Suharto sementara Aidit tidak jelas kemana, Soebandrio tidak begitu disukai banyak kalangan jadi secara alami Suharto-lah putera mahkota sesungguhnya, menggantikan posisi Yani. Dan dalam sejarah suksesi Jawa, ada kebiasaan buruk yaitu : Putera Mahkota harus mengkudeta Rajanya. Tentunya dengan bantuan pihak luar, dalam kasus Sukarno vs Suharto, kekuatan Amerika Serikat sudah bersiaga di banyak pangkalan asing, Ny.Utami Suryadarma sendiri sebagai ketua gerakan Konferensi Internasional Anti Pangkalan Asing (KIAPMA) sudah mengingatkan Sukarno disamping beberapa laporan intelijen di bawah Subandrio bahwa Amerika Serikat sudah bersiap melancarkan serangan membantu kubu anti Sukarno. Jadi Sukarno pelan-pelan mundur karena bila ia memaksakan bertarung, maka Jawa Tengah dan Jawa Timur akan dibiarkan bertarung berdarah-darah melawan Sumatera, Jawa Barat dan Indonesia Timur yang sudah dikuasai kekuatan militer anti Sukarno. Inilah kenapa kita harus menghormati Sukarno yang tidak mau mengorbankan persatuan Indonesia hanya demi kekuasaannya. Dan ini jarang diungkap oleh banyak orang kecuali bahwa Sukarno keras kepala tidak mau membubarkan PKI dan kata-kata yang selalu diulang oleh sejarawan bentukan Orde Soeharto : “Har, kalau PKI dibubarkan mau ditaruh kemana mukaku di depan dunia Internasional” Sementara seperti yang saya katakan Suharto mendasarkan pada landasan “ Yang melakukan Gerakan tiga puluh september adalah Untung, dimana dibelakangnya adalah PKI” jadi dua landasan yang diajukan oleh sejarawan Orde Suharto menjadi klop dan mendasari bagaimana sebuah rezim teror kemudian mendapatkan legitimasinya karena adanya sikap egois Sukarno bukan dari kebesaran jiwa Sukarno. Dari landasan inilah kemudian Sukarno diisolir oleh Harto, seperti ucapan Oejeng Soewargana seorang agen intel Nasution pada Oltmans “Akan layu pelan-pelan seperti tumbuhan yang tidak diberi air” begitulah kelakuan Suharto pada Bung Karno. Mikul Dhuwur Mendem Jero, sebuah filsafat etika Jawa disalahgunakan Suharto yang sesungguhnya menjadikan Sukarno sebagai kambing hitam dalam kasus Gerakan Untung. Harto jelas tidak berani mengajukan Sukarno ke pengadilan karena kalau Sukarno maju ini berarti kemungkinan peranannya dalam pemalsuan supersemar akan terbongkar, juga peran gelapnya sepanjang malam 30 September 1965. Harto adalah tipe orang yang senang menggunakan simbol, sepanjang orang atau sebuah kejadian itu 22
masih memiliki penggerak sejarah maka Suharto hanya menggerakkan simbol-simbol itu tanpa mau menggunakan esensinya untuk manfaat kekuasaannya. Sukarno menjelang kematiannya disiksa, para dokter yang menyaksikan bagaimana Sukarno disiksa dalam penyakitnya pasti tahu benar hal ini. Bahkan menjelang Pemilu 1971, Sukarno diusahakan agar mati secepatnya, untuk mengamankan jalannya Pemilu dan melegitimasi Junta Militer. Hatta sendiri berteriak agar Sukarno diadili, ia tidak tega sahabatnya itu diperlakukan Suharto semena-mena tanpa jelas dia salah atau tidak bersalah. Pada menjelang akhir hidup Sukarno, Hatta dan Sukarno saling menangis. Saya tidak tahu apakah tangisan dua orang tokoh yang telah mendarmabaktikan hidupnya hanya untuk Indonesia Raya adalah sebuah tangisan masa depan. Karena buktinya sepeninggal Sukarno negara ini dibangkrutkan secara total dan dihinakan kemanusiaannya. Karena itulah mari kita lihat apa yang terjadi pada jaman Suharto. Orang mengira jaman Suharto adalah jaman modernisasi. Ini tidak sepenuhnya salah karena memang secara infrastruktur kita dibawa ke sebuah era modern dari kebudayaan dunia. Namun apakah standar manusianya juga menjadi modern, menjadi manusia bebas seperti yang banyak dicapai oleh masyarakat Amerika Serikat dan Eropa Barat? Sebelum memasuki gagasan modernisasi Orde Baru ada baiknya kita mengenal dulu kekuatan-kekuatan yang pro terhadap modernisasi Indonesia dan menghendaki Indonesia bergabung dengan dunia bebas sembari meningkatkan human capital-nya. Mereka ini adalah kelompok Sjahririan yang akan saya bagi dua : Jalur Radikal yang sepenuhnya sekuler dan Jalur Moderat dengan pengaruh lingkaran Katolik. Atau bisa saya sebut Garis Radikal dan Garis Humanis.
23
Dua Garis dalam Post Sjahririan Garis Radikal adalah kelompok yang banyak berada dikalangan intelektual dan perwira tinggi militer dimana mereka tidak sepenuhnya menerima kekuasaan Sukarno sebagai arus kebudayaan masa depan Indonesia. Garis Radikal ini berada pada kelompokkelompok sosdem sayap radikal yang sebagian juga terlibat kasus PRRI 1958. Kemudian pada setelah PSI dibubarkan mereka secara diam-diam membangun perlawanan terhadap Sukarno di kantung-kantung intelektual. Ciri gerakan kelompok ini adalah tidak memihak pada suatu kelompok termasuk PSI, (-mungkin pada GemSos bisa dikecualikan-), terbuka pada barat, suka melakukan konspirasi karena pernah berpengalaman dalam melibatkan diri pada pendongkelan Bung Karno di luar negeri dimana aktor-aktor konpirasi menyiapkan taktik-taktik perang terhadap Bung Karno dari mulai Tokyo sampai Roma. Sementara Sosdem garis humanis tidak bergerak dalam penumbangan Sukarno, mereka justru akrab dengan Sukarno. Kelompok ini adalah diaspora gagasan dari IJ Kasimo. Dimana PK Ojong kelak memegang peranan penting kelompok ini yang bekerja dengan dasar-dasar sosialisme dalam menjalankan bisnis media dan tetap menjadi Sosialisme hidup di Indonesia. Dari dua kelompok ini, kelompok Radikal paling sering kelihatan dan nama-namanya populer karena aksi perlawanan mereka yang berani, ini berbeda dengan Sosdem garis humanis yang cenderung merayap dan memilih jalan perlawanannya sendiri. Sesungguhnya ada yang sering luput dari perhatian yaitu : Usaha menjebak komunisme dalam hal ini PKI agar offset dalam permainan politik di Indonesia. PKI dibiarkan berkembang dalam akar massa rumput namun diisolir pada tingkatan elite. Sejauh ini saya sendiri belum pernah membaca sebuah karya ilmiah yang memfokuskan pada kejadian ini dimana usaha pengisoliran PKI pada tingkatan elite terhadap kekuasaan adalah usaha sungguh-sungguh untuk menciptakan masyarakat berdasarkan diktator elitisme dikemudian hari dan hal ini merupakan counter dari konsep kepemimpinan ‘bridge of revolution’ yang mengandalkan kepemimpinan Diktator Proletariat. Dua kubu ini bertarung di sekitar Sukarno. Pertarungan dua kubu ini saling mematikan, dan langkah-langkahnya kerap menjadikan rumput-rumput politik mengering. Progresivitas PKI jelas menggugurkan konsepsi sosialisme di luar paham Leninis karena memang sosialisme diluar paham leninis terlalu memihak pada barat, padahal barat sendiri dikenal sebagai biangnya kapitalis. Angin politik memihak pada PKI bukan karena Sukarno memilih jalur Lenin sebagai pilihan pemikiran sosialisnya, tapi realitasnya PKI memegang akar rumput. Korban-korban dari pertarungan PKI menuju pertarungan final dengan kekuatan elite kanan adalah kelompok sosialis yang dipandang pengacau dari pikiran Komunisme Leninis. PSI dan Murba dua partai kiri telah dibredel sepanjang perjalanan PKI menuju puncak pertarungan di alam Demokrasi Terpimpin. Sementara Angkatan Darat masih terbelah menjadi beberapa kubu. Setidak-tidaknya ada tiga kubu dengan latarbelakang tradisi yang kuat. Kubu Jakartaisme dipimpin dua poros : Poros Yani dan Poros Nasution, Kubu Luar Jawa yang merupakan sisa-sisa pengagum kharisme pemimpin militer legendaris macam Zulkifli Lubis, Andi Selle ataupun Simbolon dan Militer Jawa Sentris yang terbagi ke dalam tiga kubu : Sukarnois, Komunis dan Feodalis. Suharto sendiri kelak kita tahu menjadi bagian dari militer beraliran feodal. Satu-satunya kelemahan Sukarno dimata kaum modernis adalah irasional-nya kekuasaan di mata kaum modernis. Jelas Sukarno yang memang tidak tumbuh dalam atmosfer Eropa seperti : Hatta, Sjahrir atau Soedjatmoko. Sukarno gagap dalam memahami bagaimana cara berpikir eropa barat yang lugas. Namun orang juga kadangkala meremehkan 24
kekuatan budaya Jawa dalam melihat kekuasaan Sukarno. Adalah Ong Hok Ham, sejarawan legendaris Indonesia yang mampu melihat ini sedari awalnya sebagaimana yang dicatat Soe Hok Gie. Sukarno adalah titisan dari Raja Mataram. Gelar-gelarnya adalah sebuah penasbihan legitimasi kekuasaan. Disinilah yang dianggap Sukarno jelas menjalankan fungsi-fungsi kekuasaan dengan irasional namun efektif dalam menanamkan kepatuhan psikologis manusia Indonesia. Namun diluar konteks silang sengketa paham Jawa dalam fungsi ordinat kekuasaan Indonesia, ada sebuah pekerjaan besar yang juga gagal dilihat orang banyak. Gagasan Sukarno ini adalah sebuah gagasan profetik, gagasan dengan dasar ramalan. Oleh Sukarno gagasan Neo Kolonialisme dan Imperialisme yang sebenarnya merupakan sebuah ide untuk membumikan kedaulatan kapital, menjadi sebuah wacana perang militer ketika Malaysia terang-terangan mencaplok Kalimantan Utara dan secara jangka panjang berpotensi sebagai kantong terdepan dalam usaha kembalinya kolonialisme di Indonesia. Sukarno juga melihat (Walaupun masih samar karena jarang sekali Sukarno mengucapkan hal ini di pidatopidatonya) tentang tatanan dunia yang berubah dari segi antar hubungan negara-negara. Namun Sukarno walaupun dia gagal menjelaskan fungsi-fungsi utama yang menjadikan alasan Nekolim itu ada namun ia secara jenius bisa menjawab satu-satunya fungsi untuk memakmurkan rakyat dan menghadang Nekolim adalah : Kedaulatan Kapital!. Jawaban ini dijabarkan dalam kebijakan agak naif yaitu : Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda yang pada aksi ekonominya malah menguntungkan segelintir perwira elite Angkatan Darat. Walaupun massa PKI yang paling keras melancarkan serangan untuk usaha nasionalisasi namun perwira tinggi Angkatan Darat-lah yang berhasil menguasai sumber-sumber ekonomi nasionalisasi dimana bibit-bibit inilah yang kemudian menjadi modal awal dari bisnis militer di segala bidang. Kelak kemudian berbagai kekuatan yang menentang Sukarno bertemu pada sebuah konspirasi yang berdarah-darah dan penuh dengan penangkapan-penangkapan diluar batas peri kemanusiaan.
25
Jalan Darah Sebuah Konspirasi Tidak ada yang lebih baik dalam memahami rezim Suharto kecuali dengan membedah karakter politik Suharto. Pemerintahan resmi Suharto (1968-1998) dibangun pelan-pelan mengarah pada pembentukan personalisasi pribadi Suharto menjadi sebuah watak negara dan watak kekuasaan. Negara Republik Indonesia adalah Suharto, dan Suharto adalah Negara Republik Indonesia, benarlah kiranya yang dikatakan seorang raja Perancis Louis XIV “ Negara adalah Saya” di tangan Suharto, konsepsi Louis sang Raja Matahari itu menjadi realistis pada konteks Indonesia 1968-1998. Bahkan untuk membedah gerak kudeta Suharto terhadap kekuasaan Sukarno, karakter Suharto sangat dominan dan tragisnya Sukarno dikalahkan dengan karakter ini. Karakter Jawa yang bahkan Sri Sultan Hamengkubuwono IX sekalipun tidak memiliki kapasitas memainkan hal ini. Gabungan dari : Kecerdikan, Keberanian, Kehalusan Aristokrat, Kemunafikan, Penggunaan Simbol untuk menutupi maksud sebenarnya, Sikap santun di depan lawan maupun kawan dan hanya setia pada kepentingan kekuasaan selain dari itu tidak memiliki landasan ideologis. Karakter-karakter inilah yang disebut sebagai Suhartorian. Orde Baru dibawah Suharto terhenti pada wacana penanggulangan kemiskinan dan meminta bayaran dengan membunuhi orang-orang Sukarno, radikal kiri dalam hal ini PKI dan jutaan nyawa rakyat yang kebanyakan tidak mengerti apa-apa. Pembunuhan ini digunakan Suharto sebagai alat tawar kepada Sukarno seakan-akan timbul kemarahan luar biasa di kalangan akar rumput. Perlu diketahui kemarahan akar rumput ini dikarenakan histeria massa dimana media massa dibawah kendali Angkatan Darat terus menerus memberitakan (-sekaligus memplintirkan-) kekejaman Gerakan Untung dan sangkaan rencana-rencana bila Gerakan Untung berhasil akan ada rangkaian pembunuhan lanjutan dimana orang-orang kontra PKI akan dibunuhi. Waktu yang sedemikian cepat tentulah tidak menyodorkan peluang pikiran dingin dan rasional, seperti misalnya beberapa bulan setelah kejadian muncul Cornell Paper yang menyebutkan Gerakan Untung adalah sebuah rangkaian tindakan yang diakibatkan perselisihan internal di tubuh Angkatan Darat. Semua kejahatan terlanjur mengarah pada PKI dan kemudian menghantam Sukarno yang semangkin hari ditinggal sendirian. Bersamaan dengan pembantaian manusia terbesar sepanjang sejarah di luar masa perang dan itu dilakukan dengan sikap tenang oleh Suharto. Kejahatan atas kemanusiaan ini tidak jadi agenda utama dalam sorotan dunia Internasional karena dianggap sebagai sebuah gerakan yang menguntungkan dunia barat. Sementara Uni Soviet memilih diam sebab PKI sudah dianggap bukan merupakan sekutu mereka karena kedekatan elite PKI terhadap garis Mao dimana Uni Soviet menyatakan bermusuhan dengan PKI garis Mao. Amerika Serikat dan Inggris jelas berjingkrak-jingkrak akan pembantaian PKI serta kemunculan seorang Jenderal yang bisa secara serius menantang Sukarno. Bahkan Presiden Nixon di tahun 1970-an mengatakan : Indonesia adalah hadiah terbesar Amerika dari Asia Tenggara. Pernyataan Nixon ini sekaligus menjadikan Indonesia sebagai negara satelit baru Amerika Serikat dimana Filipina dibawah Marcos, Singapura dibawah Lee Kuan Yew, sekutu lama Thailand dan negara persemakmuran eks jajahan Inggris Federasi Malaysia menjadi negara biru yang bertekuk lutut dibawah elang bondol Washington. Setelah resmi dijatuhkan kemudian Sukarno diisolasi dengan pengawalan tentara yang ketat dan kasar. Maka Suharto menaiki kedudukan Presiden ditengah begitu banyak kepentingan. Awalnya Suharto menggunakan alat Adam Malik yang bisa menjangkau kekuatan Kiri- Sayap Tengah dan Sri Sultan HB IX yang bisa mengendalikan Jawa. 26
Sementara tangan militernya di lapisan elite ia menggunakan Kemal Idris dan HR Dharsono untuk menguasai Siliwangi di Jawa Barat yang relatif bersih dari irama pembantaian berkat sikap tegas Ibrahim Adjie, Panglima Siliwangi yang pro Bung Karno namun kemudian tersingkirkan. Jawa Barat walaupun tidak bergejolak namun menyimpan tenaga intelektual yang suatu saat harus dijinakkan. Lewat tangan militer kelompok intelektual ini menjadi barisan pendukung Suharto dan terus menerus lewat media cetak menuliskan artikel-artikel yang menentang Bung Karno. Sementara Jawa Tengah dan Jawa Timur banjir darah. Suharto menggunakan dua wilayah ini sebagai alat tawar politik yang utama karena Suharto sadar bahwa ia harus berkuasa di dua wilayah ini secara mutlak. Siapa yang bisa berkuasa di Jawa Tengah dan Jawa Timur maka dialah pemenang dalam pertarungan politik di Indonesia. Dan Suharto menggunakan kekuatannya untuk mengkonsolidasi gerakan pembantaian yang kemudian menjadi sangat tidak terkendali. Hal ini dicatat oleh Oei Tjoe Tat, menteri yang ditugasi Bung Karno menyelidiki kasus pembantaian itu ada 80.000 (delapan puluh ribu) orang terbunuh. Dan cilakanya ini versi terkecil, terbesarnya justru versi Kolonel RPKAD Sarwo Edhie Wibowo yang menyebutkan 3.000.000 (tiga juta) nyawa terbantai dalam kegilaan massal akibat pemberitaan pembantaian para Jenderal di Jakarta. Belum lagi siksaan psikologis bagi anak turun PKI serta orang yang dicap Sukarnois. Siksaan psikologis ini bahkan sampai detik ini masih terasa dan menimbulkan ketakutan luar biasa bagi orang Indonesia. Sejauh ini banyak pendukung Suharto yang mengatakan bahwa pembunuhan besarbesaran itu dilakukan antara rakyat dengan rakyat, jadi ini adalah pembantaian sipil dan yang melakukan adalah sipil. Terlepas dari itu semua Suharto menggunakan kejadian ini sebagai keuntungan politik bagi dirinya. Sementara Sukarno yang telah salah memilih langkah dengan menyepelekan Suharto serta masih melihat Suharto tak lebih dari seorang Overste yang ia kenal saat di Yogya dulu tahun 1946 menjadi semangkin surut langkah. Pandangannya yang terus menerus terfokus pada Nasution dan kecurigaannya pada agen-agen asing di bawah kendali Kedubes Amerika Serikat telah menciptakan kabut dalam melihat Suharto. Dan Suharto sendiri sangat paham dalam permainan ini. Di tahun 1978 setelah banyak tawanan Buru dibebaskan dan muncul tulisan-tulisan sejarah bawah tanah yang mengulas dengan tajam peran Suharto di masa lalu terungkaplah sedikit demi sedikit watak tindakan Suharto dalam menjalani masa krisis. Untuk menjelaskan karakter Suharto dalam melewati masa krisis mari kita ikuti dua kisah berikut. : Peristiwa penangkapan Jenderal Mayoor Sudharsono, 1946. Peristiwa ini kerap ditulis di buku sejarah sebagai Peristiwa 3 Juli 1946. Peristiwa ini berawal dari puncak perselisihan antara kelompok Sjahrir dan kelompok Tan Malaka. Kelompok Sjahrir berada di dalam pemerintahan sementara kelompok Tan Malaka berada di luar pemerintahan. Karena sikap Sjahrir yang longgar terhadap tuntutan Belanda serta kecurigaan dekatnya Sjahrir dengan orang-orang Inggris maka timbul kecurigaan di kalangan kelompok Tan Malaka bahwa Sjahrir bakal menjual negara RI kepada pihak Belanda atau Inggris. Padahal apa yang dimaui Sjahrir adalah ingin menghindari perang besar antara RI dan Belanda atau paling tidak melunakkan sikap Belanda agar tidak melakukan penyerbuan ke Indonesia pasca pengurusan interniran oleh Inggris, jelas hal ini tidak begitu disukai oleh kalangan radikal karena penghentian perang itu pastilah menimbulkan kompensasi berupa konsesikonsesi yang mengurangi nilai kemerdekaan. Sikap Sjahrir ini menjadi isu utama pada pertemuan yang digagas Tan Malaka pada Januari 1946 dimana ada 300 delegasi dari hampir seluruh kekuatan politik dan militer bertemu lalu membentuk sebuah komite aksi yang bernama “Persatuan Perjuangan” (PP). Dukungan politik paling penting bagi PP muncul dari Jenderal Sudirman, Panglima TRI. Banyak dari orang penting di kalangan partai politik mendukung gagasan Tan Malaka, seperti : PNI, Masjumi, dan Partai-partai 27
kecil lainnya. Tujuan utama dari Persatuan Perjuangan adalah secara bertahap menyingkirkan orang-orang Sjahrir dan menggantikan kelompok yang lebih di dominasi militer dan berkarakter anti Belanda 100% seperti : Jenderal Sudirman. Lebih jauh lagi Persatuan Perjuangan meminta Sukarno selaku Presiden RI meminta kekuasaan militer sepenuhnya diserahkan pada Jenderal Sudirman. Dengan menyerahkan kekuasaan militer pada Jenderal Sudirman, maka tidak ada lagi cerita-cerita perundingan dengan Belanda karena poros Jenderal Sudirman tidak mau sama sekali melakukan perundingan kecuali sudah ada pengakuan yang utuh dari pihak Belanda bahwa Republik Indonesia sudah berdiri dan memiliki kekuasaan bulat di seluruh kepulauan Nusantara, dari Sabang sampai Merauke. Gerakan Tan Malaka membuat gusar pemerintahan Sjahrir dan puncaknya adalah perintah penahanan Tan Malaka oleh pemerintah. Penangkapan Tan Malaka ini mengundang kemarahan pasukan pendukung Tan Malaka. Beberapa diantaranya bahkan diam-diam melakukan konspirasi untuk menekan Bung Karno agar membubarkan kabinet Sjahrir aksi ini didahului dengan tindakan penculikan terhadap Sjahrir di Paras, Boyolali. Desa Paras ini adalah tempat peristirahatan Pakubuwono X yang terkenal angker. Kabarnya seluruh orang-orang Sjahrir yang ditangkap termasuk Soemitro Djojohadikoesoemo, Darmawan Mangunkusumo, Jenderal Majoor Soedibjo, dokter Soedarsono dan Gaos akan ditembak mati. Pada tataran militer gerakan Tan Malaka didukung oleh Jenderal Mayoor Sudarsono, Panglima Divisi III atasan langsung Letnan Kolonel Soeharto. Saat itu Suharto menjadi penanggung jawab keamanan dalam kota Yogyakarta sekaligus mengemban keamanan Presiden RI Sukarno yang tinggal di Gedong Agung. Namun Suharto juga mengerti rencana dari Jenderal Sudarsono untuk menekan Sukarno agar membubarkan kabinet Sjahrir karena rapat-rapat perwira militer pro Sudarsono berlangsung di Wiyoro, markas Suharto. Disini Suharto mengesankan berpihak pada Sudarsono. Ketika Sukarno mendengar kabar bahwa akan ada gerakan Sudarsono yang dikhawatirkan juga mengancam keselamatan Sukarno, maka Suharto dipanggil. Disini Sukarno meminta agar Suharto segera menangkap Sudarsono, namun Suharto menolak karena menunggu situasi yang tepat. Menurut biografi yang resmi Suharto yang disusun G. Dwipayana tahun 1988 ia menolak perintah Sukarno untuk menangkap Sudarsono sebelum keadaannya jelas, namun pada sidang pengadilan Sudarsono tahun 1948 Suharto tidak mengatakan itu. Ia mengatakan di depan pengadilan bahwa ia lebih dulu mempersiapkan pasukannya untuk menangkap Sudarsono dengan kekuatannya sendiri tanpa melibatkan pasukan lain agar persoalannya jangan melebar dan juga menjaga agar martabat Sudarsono tidak terluka. Menurut saya justru yang benar adalah pernyataan Suharto di tahun 1988 yang mengatakan dia menolak perintah Sukarno sebelum ia tahu benar keadaannya. Inilah kecerdikan Suharto dalam melihat situasi. Kasus 3 Juli 1946 bukanlah kasus sederhana antara Sjahrir dan Tan Malaka, tapi sudah melibatkan militer, justru pertarungan terpenting antara Sjahrir dan Tan Malaka ada pada Jenderal Sudirman bukan lagi Sukarno. Karena Sukarno jelas memihak pada Sjahrir, disini Jenderal Sudirman-lah yang menjadi kartu as dari taruhan politik kelompok Tan Malaka. Dan pada awalnya Sudirman menyetujui gerakan Tan Malaka. Namun setelah gerakan itu bergeser dari gerakan politik menjadi gerakan militer dimana situasinya menjadi tidak terkendali setelah terjadi saling tangkap baik dari pihak Sjahrir maupun Tan Malaka. Jenderal Sudirman sendiri memilih menarik diri dari lingkaran Tan Malaka karena ia melihat apa yang dilakukan Jenderal Mayoor Sudarsono dengan bawahannya penjaga kota Yogya Mayor AK Jusuf sudah melampaui batas, jika ia mendukung terus apa yang dilakukan Sudarsono berarti ada kemungkinan Sudirman akan bertarung head to head dengan Sukarno. Apalagi Sudirman tahu bahwa Sudarsono sudah berunding dengan sekutu politiknya dari kalangan sipil untuk mempersiapkan skenario pembubaran kabinet dalam sebuah Surat Keputusan yang sedianya akan memaksa Sukarno untuk menandatanganinya. Keputusan itu terdiri dari tiga maklumat yang semuanya mengarah pada kudeta pemerintahan Sjahrir. Resiko yang dipikul Sudirman jika ia masih di dalam 28
lingkaran Tan Malaka adalah bila Sukarno menolak SK itu dan tetap mendukung Sjahrir maka otomatis yang akan berhadapan dengan tentara pro Sjahrir adalah Jenderal Sudirman. Bagaimanapun Sudirman lebih mengutamakan persatuan dan ia tidak mau bertempur dengan anak buahnya sendiri. Sudirman juga mendapat informasi dari orang dalam Istana bahwa Sukarno tidak akan mau membubarkan kabinet Sjahrir dari informasi itu dan kemudian melihat Sudarsono sudah bermain di luar batas maka Sudirman menarik diri dan bersikap netral. Letnan Kolonel Suharto memperhatikan hal ini, bagaimanapun juga Sudarsono adalah atasannya langsung, sama-sama membentuk organisasi kemiliteran di Yogyakarta Divisi IX yang terdiri dari dua resimen. Sudarsono yang eks perwira polisi dan makelar kekuasaan sebelum Indonesia merdeka sangat percaya pada Suharto bahkan ketika ia sedang diburu pasukan Pesindo juga tentara pemerintah ia berlindung di markas Suharto di Wiyoro, lalu tak lama kemudian pergi ke Solo untuk menemui Jenderal Sudirman yang sedang gusar akibat penangkapan anak buahnya oleh pemerintah. Setelah kepergian Sudarsono ke Solo, Suharto mendapat kabar bahwa Jenderal Sudirman tidak menyetujui aksi Sudarsono serta sekutu sipilnya untuk menekan Sukarno terlalu jauh. Dari sini kemudian Suharto melihat bahwa Sudarsono sudah kalah. Karena dua kekuatan besar : Sukarno dan Sudirman tidak akan berada di pihak Tan Malaka. Pertama, Suharto sudah memegang surat penangkapan yang diterimanya dari tokoh pemuda bernama Sundjojo dan juga perintah lisan dari Sukarno. Kedua, Sudirman enggan mendukung gerakan Sudarsono yang memaksa Sukarno menandatangani SK pembubaran kabinet Sjahrir. Disini Suharto sudah memegang informasi penting yang intinya bahwa Soedarsono sudah kalah. Sementara di pihak Soedarsono dan sekutunya mereka tidak tahu bahwa mereka sudah kalah, karena mereka larut dalam subjektivitas dan kesibukan persiapan gerakan yang tinggi. Dengan melihat kejelasan situasi Suharto menjalankan perintah Presiden Sukarno dengan hati-hati. Dan Sudarsono ditangkap oleh Suharto di Istana Yogyakarta tatkala hendak menghadap Presiden Sukarno dan membawa skenario SK pembubaran Kabinet Sjahrir. Dari situasi 3 Juli bisa kita baca bahwa Suharto adalah orang yang sangat hati-hati bertindak. Ia tidak memiliki landasan ideologis, yang ia pilih adalah siapa yang memenangkan pertarungan, jadi ketika situasinya belum jelas ia berada di luar permainan namun memegang informasi penting. Dalam kasus ini, Suharto tahu rencana-rencana Sudarsono yang ia dengar pada rapat-rapat perwira Pro Sudarsono di markas Suharto. Setelah itu Suharto cerdas dalam menganalisa situasi, ia bisa memilih siapa yang sesungguhnya memegang peranan kunci dari permainan 3 Juli 1946. Suharto tepat memilih siapa pemegang kartu as dari permainan politik, dalam peristiwa 3 Juli Suharto berpendapat yang menentukan adalah Sudirman, bila Sudirman mendukung Sudarsono maka dipastikan pemerintahan Sjahrir akan goyah tapi peran besar kemungkinan akan terjadi karena pendukung Sjahrir seperti pasukan Pesindo dan sekutu politik sipilnya yang rata-rata dari kelompok kiri (Saat itu Sjahrir masih bersekutu dengan Amir Sjarifudin dan bersama dalam Partai Sosialis) akan melawan. Jadi agar tidak kehilangan wibawa dan tetap menjaga kekuatan pasukan agar terhindar dari perpecahan Sudirman menarik diri dari gerakan Sudarsono, saat itu Sudarsono tidak mampu membaca kehendak Jenderal Sudirman bahkan sampai ia ditangkap Sudarsono yakin bahwa Sudirman masih mendukungnya. Ketiga dan ini yang terpenting Suharto telah memegang surat perintah penangkapan namun dengan keberaniannya Suharto menunda penangkapan itu, dari penolakan inilah kemudian Sukarno menjuluki Suharto sebagai perwira Koppeg (Keras Kepala). Dalam kasus ini Suharto pada awalnya berada pada kubu Jenderal Mayoor Soedarsono namun tidak terlibat langsung atau berada dibawah perintah Sudarsono. Tapi jelas sekali ia mendukung rencana Sudarsono dengan memperbolehkan adanya rapat 29
perwira pro Sudarsono di markasnya di Wiyoro. Namun ketika situasi tidak menguntungkan Jenderal Sudarsono dan ini tidak disadari Sudarsono Suharto langsung berbalik menyerang Sudarsono. Jadi watak paling khas Suharto dalam berpolitik adalah memegang informasi sebanyak-banyaknya, mendukung kekuatan antagonis sampai batas usia gerakan antagonis itu, masuk dan menghantam kekuatan antagonis lalu melakukan tindakan-tindakan yang sudah diperhitungkan sebelumnya. Jadi Suharto tidak akan memulai permainan bila ia belum yakin akan menang, makanya kasus 27 Juli 1996 adalah sebuah kasus anomali yang bukan menunjukkan karakter mainan politik Suharto, karena peristiwa itu berlangsung kasar, naif dan terlihat arogan yang bukan karakter Suharto bila ingin menghancurkan sesuatu, walaupun bukti-bukti memang mengarah bahwa Suharto memegang komando tertinggi kasus penyerbuan markas PDI di jalan Diponegoro, pada Sabtu kelabu di tahun 1996. Selain peristiwa 3 Juli 1949, marilah kita lihat apa yang terjadi pada saat Suharto melakukan konspirasi penolakan terhadap Kolonel Bambang Soepeno yang akan diangkat menjadi Panglima TT VII Diponegoro. Kisah ini akan saya ambil dari buku Soebandrio dengan judul “Kesaksianku Tentang G30S” sebuah buku yang rencananya diterbitkan pada tahun 2000 namun kemudian urung diterbitkan oleh penerbitnya. Begini kisah Suharto pada kasus pemotongan jalur Bambang Soepeno untuk digagalkan menjadi Panglima Diponegoro : Kubu Soeharto disebut juga Trio Soeharto-Yoga-Ali. Untuk selanjutnya kita sebut Kelompok Bayangan Soeharto. Mereka bersatu dengan cara-cara tersamar. Mereka bergerak di bawah permukaan. Awalnya teman lama dan sudah merupakan satu tim kompak ketika sama-sama berada di Kodam Diponegoro. Kekompakan trio ini sudah teruji saat mematahkan rencana pimpinan AD memilih Pangdam Diponegoro.Tentang kekompakan trio Soeharto mematahkan rencana pimpinan AD, ceritanya demikian: Saat itu pimpinan AD mencalonkan Kolonel Bambang Supeno menjadi Pangdam Diponegoro. Rencana pencalonan Bambang itu kemudian diketahui oleh para perwira di sana. Soeharto yang saat itu masih berpangkat Letnan Kolonel, juga mendengar. Hebatnya, meskipun pangkat Soeharto lebih rendah dibanding Bambang Supeno, namun ia berani merebut posisi Pangdam. Caranya, dengan menggunakan strategi yang kotor namun terselubung .Di saat rencana pengangkatan Bambang Supeno menjadi Pangdam Diponegoro bocor, ada sebuah rapat gelap di Kopeng, Jateng, yang dihadiri beberapa perwira Kodam Diponegoro. Rapat itu dikoordinir oleh Soeharto melalui salah satu anggota trionya, Yoga Soegama. Tetapi, Soeharto sendiri tidak hadir. Intinya, rapat memutuskan bahwa Soeharto harus tampil sebagai Pangdam Diponegoro. Jika tidak, Yoga dan Soeharto akan manggalang kekuatan untuk bersama-sama menolak pencalonan Bambang Supeno. Saat itu pencalonan Bambang menjadi Pangdam belum ditandatangani oleh Presiden, sehingga Soeharto yang berupaya merebut jabatan itu harus berpacu dengan waktu.Namun, ternyata skenario Soeharto (melalui Yoga) ini tidak didukung oleh para perwira peserta rapat. Dari puluhan perwira yang hadir, hanya seorang perwira kesehatan Kolonel dr.Suhardi yang menandatangani, tanda setuju atau mendukung pernyataan sikap itu. Yang lain tidak.Yoga semula mengaku bahwa pertemuan itu tidak diberitahukan lebih dulu kepada Soeharto. Ini bisa diartikan bahwa bukan Soeharto pembuat skenario. Ketika dua orang utusan Kodam Diponegoro hendak ke Jakarta untuk meminta tanda tangan Presiden tentang pengangkatan Bambang Supeno, barulah rapat gelap itu disebarkan.Berdasarkan memori Yoga yang terungkap kemudian, rapat itu adalah gagasan Soeharto. Pengakuan awal Yoga bahwa Soeharto tidak mengetahui rapat tersebut – dikatakan Yoga – agar tidak menimbulkan kecurigaan dari Jakarta bahwa Soeharto menggalang kekuatan, menolak pencalonan Bambang Supeno. Tetapi, tentang hal ini tidak ada konfirmasi, apakah benar rapat gelap itu 30
dikoordinir Soeharto melalui Yoga atau atas inisiatif Yoga sendiri.Sebagai pembanding: salah seorang anggota trio Soeharto, Ali Moertopo, menyatakan bahwa pada saat itu ia adalah komandan pasukan Raiders yang diminta membantu Yoga melancarkan operasi intelijen. Tidak dirinci bentuk operasi intelijen yang dimaksud, namun tujuannya adalah mengusahakan agar Soeharto menjadi Panglima Diponegoro. Tetapi, Ali sama sekali tidak menjelaskan siapa yang meminta dia, Yoga atau Soeharto. Atau mungkin keduaduanya.Terlepas dari apakah Yoga berbohong atau tidak soal koordinator rapat gelap itu, tetapi rangkaian pernyataan Yoga dan Ali Moertopo itu menunjukkan adanya suatu komplotan Soeharto. Komplotan yang bergerak dalam operasi intelijen. Soeharto adalah dalang yang sedang memainkan wayang-wayangnya. Tentu, dalangnya tidak perlu terjun langsung.Akhirnya, nasib mujur bagi para wayang tersebut, karena komplotan ini berhasil. Bambang Supeno tidak jadi Pangdam, melainkan Soeharto yang tampil menjadi Pangdam Diponegoro. Dari proses komplotan itu bekerja, bisa digambarkan jika seandainya Soeharto tidak jadi Pangdam dan skenario rapat gelap itu terbongkar sehingga diketahui pimpinan AD, maka pasti Soeharto akan terhindar dari jerat hukum. Ia bisa dengan mudah berkhianat sebab ia tidak ikut rapat gelap itu. Yang paling berat risikonya tentu adalah Kolonel dr. Suhardi. (Kesaksianku Tentang G30S, Subandrio, Tahun 2000) Dari dua kasus diatas kita bisa menangkap kesan bahwa Suharto memang sudah berpengalaman pada permainan politik dan ia memahaminya bagaimana selah-selahnya agar lihai dalam mengatasi persoalan dan mengambil keuntungan dari saling tarik menarik kekuasaan. Dua peristiwa ini menjadikan seorang pengamat politik Australia, R.E Elson yang menulis biografi politik Soeharto mengambil kesimpulan watak politik Suharto sebagai berikut : Perlunya berhati-hati ketika taruhan tinggi dan garis batas pertikaian tidak jelas, kebutuhan berkomitmen hanya ketika pihak mana yang menang, perlunya sikap tenang dibawah tekanan, perlunya mempertahankan bantuan pihak-pihak antagonis hingga saatsaat terakhir. Demikian halnya sudah nampak sikap Suharto : Berhati-hati, dingin, dan mampu mengambil tindakan penuh perhitungan pada saat-saat yang tepat. (R.E Elson, SUHARTO Sebuah Biografi Politik hal. 57, Penerbit Minda Jakarta, 2005) Dari kesimpulan Elson coba kita perhatikan apa yang dilakukan Suharto pada peristiwa Penculikan enam Jenderal dan bagaimana Suharto menempatkan dirinya. Mari kita lihat dulu rangkaian kejadian yang akan kita fokuskan pada apa yang terjadi pada diri Suharto menurut keterangan yang banyak diungkap oleh buku sejarah. Sebelum tahun 1998 sejarah G30S masih menjadi sebuah kabut paling mengerikan dimana PKI menjadi satu-satunya tertuduh pelaku tunggal. Walaupun beberapa dokumen riset yang dikeluarkan para sarjana politik barat yang mengungkap peristiwa itu dengan melawan arus seperti Ben Anderson, Ruth MacVey dan Wertheim namun dokumen itu hanya beredar dikalangan tertentu, sementara rakyat awam masih dicekoki secara terus menerus dari buku sejarah resmi versi Orde Baru dan film propaganda buatan Arifin C Noer yang mutunya bila dinilai dari kualitas film Indonesia pada umumnya sampai detik ini (2008) tidak tertandingi eloknya. Namun jelas film buatan Arifin C Noer itu jelas-jelas hanya berpihak pada rilisan sejarah resmi Orde Baru. Barulah menjelang Suharto tumbang tahun 1998 banyak bermunculan berita-berita sejarah yang selama ini belum diungkap terutama dari Internet. Kemudian tabloid politik seperti “Detak” secara intens membuka tabir bagaimana peran Suharto dalam sejarah G30S. Pada tahun 2000 booming buku-buku sejarah gelap G30S berikut cerita-cerita kesaksian korban peristiwa 1965 sebuah episode paling mengerikan dalam sejarah Indonesia. Berdasarkan banyak 31
buku yang beredar saya mencatat banyak missing link dalam kasus posisi Suharto, berikut pertanyaan tentang Suharto mengenai peristiwa sebelum dan sesudah Gerakan Untung di tahun 1965-1966. 1. Bagaimana link Suharto sebelum peristiwa Gerakan Untung 1965 2. Sejauh mana Suharto mengetahui rencana Gerakan Untung. 3. Apa yang terjadi dalam hubungan Suharto-Untung-Latief- Soepardjo? 4. Apa yang dilakukan Suharto setelah pulang dari membezoek Tommy saat dirawat di RSPAD. Dimana posisi Suharto? 5. Kenapa Suharto bisa langsung menyimpulkan bahwa Gerakan Untung adalah Gerakan yang didalangi PKI? 6. Keberanian Suharto menghalangi Perintah Sukarno agar Jenderal Umar Wirahadikusumah menghadap Sukarno di Halim 7. Menghalangi Pengangkatan Jenderal Pranoto Reksosamudro 8. Apa yang terjadi pada Supersemar sesungguhnya? Bagi saya pribadi buku-buku tentang G30S baik yang ditulis peneliti luar negeri maupun dalam negeri, saya simpulkan terletak pada poin-poin itu. Benturan antara peneliti yang pro Suharto seperti : Victor M. Fic, yang menuduh Sukarno pelaku utama G30S seperti karangan : Anthony C A Dake dan beberapa peneliti yang menunjukkan bahwa peristiwa G30S adalah konflik internal Angkatan Darat seperti hasil riset ilmuwan Cornell yang terangkum dalam Cornell Paper dimana Ben Anderson menjadi tokohnya dan juga riset yang menyatakan Suharto terlibat G30S dari permulaan gerakan sampai penumpasan gerakannya seperti karya : Wertheim. Atau penulis-penulis dalam negeri yang intens dalam meriset apa yang terjadi pada peristiwa G30S dimana Soebandrio, Latief, AM Hanafi, Gunawan Mohammad, Manaii Sophiaan, Asvi Warman Adam, James Luhulima, Komodor Djajengminardo dan beberapa penulis kritis lain berdiri di satu sisi yang berseberangan dengan buku putih Orde Baru dimana dalam buku putih Orde Baru itu peran Sukarno digantung agar rakyat bisa menghakimi sendiri bahwa Bung Karno terlibat tapi Suharto tidak menyatakan secara resmi terlibat. Selain buku-buku yang memfokuskan peran Suharto banyak lagi buku-buku yang sifatnya lebih pada pembukaan kasus intelijen dan kenapa peristiwa PKI bisa meletus jumlah buku ini bisa mencapai ratusan termasuk paper-paper riset mahasiswa politik dan sejarah. Belum lagi buku yang secara khusus meriset deklasifikasi dokumen CIA seperti Peter Dale Scott atau yang paling mutakhir karya J.Roosa. Dari semua pendapat saling silang sengketa tentang peran Suharto maka saya simpulkan ada delapan poin yang saya tulis diatas tadi, dimana delapan poin itu sampai sekarang masih gelap.
32
Link Soeharto Sebelum Meletus Gerakan Untung Jaringan serius dan penting yang dibentuk Suharto ditengarai adalah saat dia menjabat Panglima Diponegoro. Jaringan ini bukan terbentuk sebagai jaringan yang arahnya keluar wilayah Diponegoro seperti misalnya Jaringan Yani yang setelah sukses pada pembentukan Banteng Raiders dan menumpas PRRI ke Sumatera maka Yani membangun jaringan perkenalan dengan orang-orang penting di negeri ini sampai pada tingkat Sukarno. Pentolan militer seperti Jenderal Gatot Subroto-pun tertinggal dengan jaringan hubungan Yani, sehingga karir kemiliterannya tersalip oleh Yani. Suharto membangun jaringan justru mengakar ke bawah, Suharto merasa tidak berkepentingan dengan perkenalan yang luas di Jakarta. Mungkin dalam benak Suharto karirnya akan pensiun pada jabatan Panglima Diponegoro tidak lebih, untuk itu ia ingin menimbulkan kesan yang baik pada anak buahnya di Diponegoro. Sampai sejauh ini belum pernah ada bukti tertulis ataupun pembicaraan-pembicaraan dalam buku biografi tokoh-tokoh penting yang mengenal Suharto di tahun 1950-an yang mengungkap ambisi Suharto, kecuali mungkin ulasan Soebandrio tentang konspirasi Suharto menggagalkan pengangkatan Kolonel Bambang Soepeno sebagai Panglima Diponegoro. Dari semua buku-buku biografi tentang Suharto ada yang terungkap di permukaan yaitu terbentuknya hubungan khusus antara Suharto-Ali Moertopo-Yoga Sugama-Soedjono Hoemardhani. Duet Ali-Yoga adalah duet militer sementara Soedjono sangat lihai dalam mengelola keuangan Diponegoro termasuk memperluas penghasilan Kodam tersebut. Suharto juga berhasil membentuk Finek (Finansial dan Ekonomi) serta secara diam-diam menguasai jaringan perdagangan di Jawa Tengah juga melakukan penyelundupan-penyelundupan. Dari sini kemudian Suharto belajar bagaimana menjalani bisnis dengan sistem mafia namun juga belajar mengenal bisnis resmi. Logika Suharto adalah bisnis mafia yang ilegal adalah sebuah sarana membiayai berlangsungnya kekuasaan dan bisnis resmi digunakan untuk mencuci dana-dana ilegal. Soedjono hanya berperanan dalam bidang perluasan kekayaan, tapi Ali Moertopo ditengarai merupakan otak utama kemampuan intelijen Suharto untuk membaca situasi politik, saya belum pernah menemukan suatu hasil penelitian yang mengembangkan karakter politik Ali Moertopo di masa-masa dia bertugas di Jawa Tengah artinya : apa yang dilakukan Ali pada masa dia Diponegoro. Sejauh mana hubungan Ali dengan kelompok-kelompok politisi sipil, ataukah Ali mengembangkan kemampuan politik intel-nya dengan cara otodidak? Kemunculan nama Ali baru sering disebut tatkala adanya usaha-usaha tersembunyi untuk melakukan rekonsiliasi terhadap Malaysia setelah G30S meletus yang juga melibatkan Benny Moerdani. Dilihat dari kemampuan Ali melakukan intelijensi politik maka sedikit bisa dipastikan kemampuan Suharto mengembangkan daya pukul politik praktis di tahun 1965-1966 untuk menghadapi Sukarno adalah hasil dari sumbangan pemikiran Ali Moertopo. Juga perlu diperhatikan jaringan Ali di tahun 1966 untuk menggunakan kekuatan mahasiswa, parpol dan pemimpin agama. Dari ketiga kekuatan ini kelak Ali memanfaatkan secara optimal parpol dan pemimpin agama sementara kekuatan mahasiswa akan berbalik melawan Ali di tahun 1968-1974 karena isu Sespri. Selain Ali Moertopo, Suharto juga dekat dengan Untung yang bekas anak buahnya saat Suharto bertugas di Solo sekitar tahun 1953. Suharto memimpin Resimen 15 (eks elemenelemen Divisi Panembahan Senopati). Dalam Resimen 15 itu ada batalyon 444 yang dikenal sebagai Batalyon Digdo dan berkedudukan di Kleco yang mendapat pendidikan politik dari veteran tua Komunis, Alimin. Salah seorang perwira di Bn 444, Untung Bin Sjamsuri – yang kelak di tahun 1965 memimpin G30S - termasuk yang mendapat pendidikan itu. Suharto tampaknya tidak peduli dengan apa yang terjadi di Kleco, ia hanya memperhatikan pelatihan militer dan pembentukan kesiagaan militer untuk bersiap menghadapi berbagai macam pertempuran baik melawan gerombolan DI/TII ataupun 33
kelompok Komunis sempalan yang banyak berkeliaran di Merapi-Merbabu Compleks. Bisa dibilang Suharto sangat dekat dengan Untung, anak buah favoritnya. Untung ini terkenal berani tapi bukanlah perwira yang ngerti politik, ia tipe serdadu tulen. Di penghujung tahun 1950-an, Suharto mendapat hukuman karena kasus penyelundupan dan dipindahkan ke SSKAD, Cimahi diperintahkan untuk belajar. Disinilah Suharto berpisah dengan Untung. Pertemuan Suharto dengan Untung terjadi lagi pada tahun 1962 saat rencana penyerbuan Irian Barat dimana Suharto menjadi Panglima Mandala. Suharto memanggil kembali Untung yang saat itu sudah berpangkat Mayor untuk memimpin sebuah operasi penyusupan yang beresiko tinggi di Kaimana, Irian Barat. Akhirnya Untung dengan kemampuan prajuritnya Komando-nya berhasil melakukan penyusupan ke Irian Barat dengan pasukan khusus yang kecil namun efektif dalam menyerang pusat-pusat militer Belanda dengan tujuan memberikan terapi kejut dan melihat seberapa besar kekuatan Belanda. Operasi yang dipimpin Untung ini rupanya dinilai sukses oleh pemimpin di Jakarta selain operasi Untung, ada juga operasi yang dipimpin Benny Moerdani dan juga dinilai sukses. Kedua Mayor ini kemudian dianugerahi Bintang Sakti oleh Bung Karno. Kecakapan Untung dalam prestasi militer menjadikan Suharto menghendaki Untung untuk tetap ikut dengannya setelah krisis Irian Barat dinyatakan selesai. Namun Suharto sangat marah sekali ketika tahu Untung menerima tawaran menjadi perwira pasukan penjaga keamanan Presiden Sukarno, Tjakrabirawa ketimbang ikut Suharto ke Kostrad. Banyak penulis sejarah selalu mendasari kedekatan Suharto dengan Untung pada sebuah pernikahan Untung yang dihadiri Suharto di Kebumen. Bayangkan seorang perwira tinggi menghadiri pernikahan anak buahnya di sebuah tempat yang jauh dari Jakarta. Ini menandakan memang Untung sangat dekat dengan Suharto. Walaupun kelak ada berita bahwa Suharto tidak menghadiri pernikahan itu, tapi yang menghadiri adalah Kemal Idris, anak buah Suharto di Kostrad. Yang menjadi pertanyaan besar pada link Suharto-Untung, adakah Suharto menjelang G30S bertemu dengan Untung?. Bila pertemuan dengan Latief banyak diungkap maka pertemuan dengan Untung jarang sekali ada yang mengungkap. Hanya Subandrio yang mencatat dalam bukunya ‘Kesaksianku Tentang G30S” menyebutkan bahwa pada tanggal 15 September 1965, jadi beberapa hari menjelang hari H gerakan Letkol Untung melapor pada Suharto bahwa akan ada gerakan untuk membereskan orang-orang yang dicurigai terlibat dalam Dewan Djenderal. Menurut Soebandrio, Suharto menjawab “Bagus kalau kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu”. Untung juga meminta bantuan pada Suharto dan dijawab dengan Suharto dengan serius, hal ini juga diungkap oleh Subandrio. “Bantuan Soeharto ternyata dibuktikan. Beberapa hari sebelum 1 Oktober 1965, atas perintah Soeharto didatangkan beberapa batalyon pasukan dari Semarang, Surabaya dan Bandung. Perintahnya berbunyi: Pasukan harus tiba di Jakarta dengan perlengkapan tempur Siaga-I. Lantas secara bertahap pasukan tiba di Jakarta sejak 26 September 1965. Jelas, pasukan ini didatangkan khusus untuk menggempur Dewan Djenderal. Dalam komposisi pasukan penggempur Dewan Jenderal itu, dua-pertiganya adalah pasukan Soeharto dari daerah dan Kostrad”. Selain Soebandrio dicatat dalam bukunya James Luhulima (seorang Jurnalis harian Kompas) tentang pasukan Jenderal Suharto ini yang diambil Luhulima dari sumber wawancara kepada Mayor (Purn) Sukarbi, eks Wakil Komandan Batalyon Raiders 530/Brawijaya pada tabloid Detak pada edisi khusus, 29 September-5 Oktober 1998, berikut cuplikannya : “Suharto bukan saja tahu adanya gerakan menjemput paksa tapi juga memfasilitasinya”. Selanjutnya dalam wawancara itu Soekarbi menyatakan adanya “Radiogram Pangkostrad no.220 dan no.239 tanggal 21 September 1965 yang ditandantangani oleh Major Djenderal Soeharto menginstruksikan agar Batalyon 530/Para Brigade 3 Brawidjaja/ dipersiapkan dalam rangka HUT ke-20 hari ABRI tanggal 5 Oktober 1965 di Djakarta dengan “ Perlengkapan Tempur Garis Pertama” Dan memang terbukti 34
kemudian sebagian anggota Bataljon Raiders 530?Brawidjaja itu terlibat secara aktif adalam aksi penjemputan paksa para jenderal pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari. Bila kita lihat pengakuan Soekarbi, dan adanya bukti Radiogram dari Soeharto maka kesaksian Dr.Soebandrio mengenai pembicaraan antara Soeharto dan Untung pada 15 September 1965 maka bisa dikatakan ada korelasinya. Untuk itulah bila kemudian ada upaya serius penyelidikan sejarawan pada G30S garis hubungan Untung-Soeharto harus menjadi perhatian serius. Setelah kita mencoba mengeksplorasi garis hubungan Untung – Soeharto maka kini kita akan melanjutkan membahas adakah hubungan antara Soeharto dengan Sjam Kamaruzaman salah seorang pemimpin G30S yang disini berperan sebagai agen intelijen. Banyak dari kalangan sejarawan dan politisi senior menganggap Sjam ini adalah agen ABRI yang disusupkan ke PKI, bukan sebaliknya agen PKI yang disusupkan ke ABRI. Mengenai hubungan Sjam dengan Soeharto sudah menjadi pengetahuan orang banyak bahwa Sjam ini kenal Soeharto sejak jaman ngumpul-ngumpul di Pesindo. Untuk itu marilah kita lihat apa yang terjadi pada hubungan Sjam dengan Soeharto sejak awal revolusi kemerdekaan 1945 di Yogyakarta dari berbagai tulisan berikut ini. Jejak Sjam di Pathook-Mahameru Persentuhan Sjam dengan pemikiran-pemikiran politik bermula dari keikutsertaannya dalam Kelompok Pathook dan Mahameru I di Yogya. Di kota ini pula, diduga, Sjam mulai menjalin hubungan dengan Soeharto. Hal ini bisa dilihat dari kesaksian yang ada di tahun 1998 dan banyak dimuat di forum-forum milis. HINGGA kini, masih banyak saksi sejarah yang meragukan peran besar Sjam Kamaruzzaman di balik G-30-S/1965. Bukan apa-apa. Jika menilik track record-nya - paling tidak yang terdeteksi sejak sebelum namanya disebut-sebut sebagai "sutradara" G-30-S - Sjam memang jauh dari kesan intelektual, apalagi ahli strategi. Napak tilas yang dilakukan Tajuk, lewat konfirmasi dari sejumlah teman Sjam semasa tinggal di Yogya pada 1940-an, bahkan nyaris memperoleh jawaban seragam: Sjam - yang baru berumur belasan tahun sama sekali tidak masuk hitungan dalam peta aktivis muda pemikir politik di Yogya pada masa itu. Meski demikian, sulit dimungkiri, di Kota Pelajar inilah Sjam - sedikit banyak mulai bersentuhan dengan kegiatan olah pikir, lewat pergaulannya dengan aktivis kelompok diskusi yang memang ngetrend ketika itu. Menurut keterangan, ada setidaknya dua kelompok studi yang suka disambangi dan diikuti kegiatannya oleh Sjam. Yang pertama adalah Mahameru I, sebuah kelompok beraliran sosialis yang bermarkas di sebuah rumah di Jln. Mahameru I. Rumah yang terletak di belakang SMA 3 Yogya ini adalah hasil sitaan dari kompeni Belanda, yang kelak dipakai sebagai kantor Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan tempat diskusi sejumlah tokoh politik seperti Sutan Sjahrir dan H. Agus Salim. Meminjam Soemadi Moekajin, 74, salah seorang anggota Mahameru I, meski sesekali nongol dalam kegiatan diskusi kelompoknya, Sjam sama sekali tak menonjol. Selain dianggap muka baru (Moekajin menduga, Sjam baru masuk Yogya setelah Indonesia merdeka), Sjam sejak awal dikenal pendiam, tertutup, dan... agak goblok. Dalam diskusi-diskusi politik yang intens dilakukan ketika itu, Sjam lebih banyak mendengar. Jauh berbeda dibandingkan dengan Moenir atau Hartojo, ketua Barisan Tani Indonesia (BTI) pada 1965, yang memiliki kemampuan intelektual dan retorika hebat. "Melihat sikapnya, tak ada di antara kami yang tahu, apa interest Sjam ketika itu," ujar Moekajin. Sudah begitu, lanjutnya, Sjam juga tak tampak punya kegemaran membaca buku. Lingkup pergaulannya pun terbatas. Makanya, kalau ada data sejarah yang menyebut Sjam, pada tahun-tahun itu, ikut bergabung dan aktif di militer, Moekajin yakin: hal itu tidaklah benar. "Sjam tidak pernah bergabung di militer. Karena itu, dia tidak pernah ikut dalam peristiwa-peristiwa penting perjuangan kemerdekaan di Yogyakarta. Mulai dari 35
Serangan 7 Oktober 1945 di Kotabaru sampai Serangan Oemoem 1 Maret 1949." Selain Mahameru I, kelompok diskusi lain yang acap diikuti Sjam, tak lain Kelompok Pathook '43 (diambil dari nama kampung) - yang eksis pada kurun 1943-1946 dan beranggotakan para pelajar Sekolah Menengah Tinggi Taman Siswa. Kelompok ini didirikan setelah Jepang, pada 8 Maret 1943, menutup sekolah Taman Siswa, yang mereka anggap "sarang kaum nasionalis". Dibimbing oleh, antara lain, Wijono Soerjokoesoemo (tokoh Taman Siswa), Soendjojo Koesoemo, dan Melanthon Tobing, Kelompok Pathook kelak berkembang menjadi salah satu simpul terkuat dari jaringan gerakan politik bawah tanah Sutan Sjahrir. Bersama Hatta dan Soebadio, Sjahrir memang beberapa kali memberikan bimbingan politik kepada anak-anak muda Pathook. Sebagaimana Mahameru I, mayoritas anggota Kelompok Pathook pun baru berumur belasan tahun. Toh, mereka sudah aktif mengkaji buku-buku Karl Marx, Adam Smith, dan melahap teori-teori kemiliteran Preager, perbandingan teori perjuangan dan pergerakan Machiaveli, Gandhi, hingga Lenin. Harus diakui, buku-buku macam itu memang amat menggairahkan pemuda-pemuda zaman itu, yang - dari hari ke hari - tak nyaman menghadapi represi fasisme Jepang. Wajar, jika kelak banyak aktivis Kelompok Pathook yang bergabung di Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), organisasi pemuda di bawah PSI. Jejak Sjam di Kelompok Pathook menarik dicermati. Meski di sini ia juga lebih banyak mendengar, namun - menurut rumor santer yang merebak kuat pasca-Soeharto lengser - di Pathook inilah Sjam mulai menjalin hubungan dengan Soeharto. Bukan rahasia, meski sama-sama pasif dalam diskusi, Soeharto pun tercatat sebagai salah satu anggota Kelompok Pathook. Kembangan rumor bahkan menyebut, Sjam-lah yang pertama kali mengajak Soeharto mengikuti diskusidiskusi di Kelompok Pathook. Secara spekulatif, orang pun lantas mengait-ngaitkan peran Sjam dalam G-30-S sebagai "diketahui oleh Soeharto". Benar? Beberapa aktivis Kelompok Pathook yang dihubungi Tajuk, ternyata, berbeda pendapat tentang ini. Soemadi Moekajin, yang juga aktif di Kelompok Pathook, misalnya, tak mempercayai rumor tersebut. Ia bahkan tak yakin, Sjam dan Soeharto sudah saling mengenal ketika itu, lantaran - seingatnya - keduanya tak pernah terlihat berdua. Belum lagi, lanjut Moekajin, Sjam maupun Soeharto bukan anggota aktif Kelompok Pathook. "Jujur saja, selain lebih banyak mendengar, keduanya kalah pintar jika dibanding teman-teman lain di Kelompok Pathook," katanya. Sementara, menurut Dayino, 74, ketua Paguyuban Kelompok Pathook '43, rumor itu patut diragukan lantaran Sjam dan Soeharto berbeda tipe. Meski pendiam dan tertutup, Sjam masih memiliki ketertarikan pada topik-topik diskusi, sedangkan Soeharto tidak. "Saya ingat, ketika pertama kali datang, Soeharto malah tanya ke kita, 'Apa ta sing digunemke, aku kok ora mudheng.' (Kalian bicara apa sih, aku kok enggak ngerti)," ujar Dayino, seraya menunjuk Marsudi, tentara Heiho yang juga anggota Kelompok Pathook, sebagai orang yang memperkenalkan Soeharto dengan kelompoknya. Sepengetahuan Dayino, Sjam memang penganut gerakan kiri. Cuma, dalam pengejewantahannya, ia tergolong penganut Machiaveli. "Jadi, kalau dalam berpolitik Sjam mengacu pada kaidah-kaidah kiri, itu hanya legitimasi formal dia sebagai tokoh PKI. Pada dasarnya, Sjam tetap seorang Machiavelis." Dayino menambahkan, dari 58 anggota Kelompok Pathook, hanya empat orang yang kemudian menjadi komunis, yakni: Moenir, Hartojo, Sjam, dan Sumardi. "Soeharto berbeda lagi. Selain karena militer, dia juga tak suka diskusi soal-soal ideologi seperti nasionalisme, sosialisme dan kapitalisme." Moedjadi, anggota lain Kelompok Pathook, juga meragukan cerita yang menyebut Sjam sebagai orang yang membawa Soeharto ke kelompoknya. Setahu dia, selepas dari KNIL, Soeharto kala itu masuk dinas polisi Jepang, setelah sebelumnya sempat menjadi koki kapal laut di Surabaya. Dalam dinas kepolisian inilah, kata Moedjadi, Soeharto kenal dengan Sutadji, teman sekantor yang tak lain pemilik rumah kos Kelompok Pathook. "Jadi, Sudjadi-lah yang memperkenalkan Soeharto dengan para aktivis pemikir politik muda kala itu," jelas Moedjadi. Bagaimana persisnya hubungan Sjam dan Soeharto ketika itu, yang pasti, menurut Moehamad Noeh, 75, anggota lain Kelompok Pathook, Soeharto lebih 36
dihormati dibanding Sjam. Pasalnya, dialah salah satu dari sedikit warga komunitas Pathook yang pernah mendapat pendidikan militer, sejak KNIL hingga PETA. Itu sebabnya, lanjut Noeh, ketika pecah perang kemerdekaan, Soeharto yang langsung dipercaya menjadi komandan pasukan. "Sedangkan Sjam, yang saya tahu, dia tidak pernah jadi tentara," jelas Noeh yang, selepas dinas militer, menekuni dunia usaha. Ada versi lain yang tak kalah seru. Menurut salah seorang anggota Kelompok Pathook yang menolak disebut namanya, Sjam dan Soeharto bisa jadi benar sudah saling kontak dan menjalin kerja sama sejak 1946. Hal ini patut "dicurigai", kata sumber itu, utamanya jika dikaitkan dengan adanya kesamaan modus operandi G-30-S dengan modus percobaan kudeta pada 3 Juli 1946, yang dilakukan Front Demokrasi Rakyat (FDR) pimpinan Tan Malaka dan Amir Syarifuddin. Seperti diketahui, dalam percobaan kudeta itu, FDR melakukan penculikan terhadap Perdana Menteri Sjahrir. Pada saat-saat kudeta FDR, Soeharto - yang menjabat komandan Batalyon X dengan pangkat letkol - diperintahkan oleh Komandan Divisi Diponegoro, Mayjen Darsono, untuk melindungi Presiden Soekarno di Istana Negara. Soeharto menjalankan perintah dengan baik. Namun, belakangan muncul keanehan, lantaran sesudah percobaan kudeta itu, justru Mayjen Darsono sendiri yang ditangkap. Ia dituduh terlibat dalam gerakan itu dan dicopot dari jabatan komandan Divisi Diponegoro. Menurut sumber, Sjam - meski tak menenteng bedil sebagai prajurit ketika itu menjadi intel di Batalyon X pimpinan Soeharto. "Permainan politik macam itulah yang, saya curiga, coba diulang dalam G-30-S," ujar si sumber, yang secara jujur mengakui, "teori"-nya sangat lemah dari sisi pembuktian. Tentunya, mengenai soal ini, semua akan lebih jelas jika Soeharto ikut berbicara. (Kesaksian alumni Pesindo di Yogyakarta) Melihat pertanyaan-pertanyaan yang mulai muncul di kalangan Veteran Tua tentang sepak terjang Soeharto, berarti bisa kita hubungkan antara kasus Jenderal Darsono pada peristiwa 3 Juli 1946 dengan kejadian 30 September 1965 dimana kemudian Soeharto sudah banyak paham bermain ditengah situasi yang pelik dan meminta keputusan yang paling tepat. Agak terlepas dari bahasan lalu bagaimana hubungan antara Sjam dengan DN Aidit untuk itu marilah kita lihat kesaksian AM Hanafi, mantan Dubes Kuba untuk Indonesia dan salah seorang yang sangat dekat dengan Bung Karno sejak sebelum masa Proklamasi 1945 dimana kakak AM Hanafi, Asmara Hadi menikah dengan Ratna Djuami (Omi) dimana Omi adalah anak angkat Sukarno tatkala Sukarno masih bersama Inggit Ganarsih. Berikut kesaksian AM Hanafi tentang siapa Sjam Kamaruzaman : Nah,di Yogya inilah saya mengenali beberapa ex Pemuda Pathok, yang markasnya tadinya berada di Jl. Pakuningratan arah ke Jalan Tugu Lor. Di sana masih berdiam saudara Sulistio bersaudara (adiknya Dr. Sulianti dan Sulendro Sulaiman, semua pangkal namanya pakai "Su").Arah ke rumah saya Pakuningratan no. 60 ada rumah saudara Sumantoro Tirtonegoro (biasa kami panggil Mas Mantoro Waterleiding!). Dia inilah yang mengenalkan saya kepada saudara Sundjojo, Ketua Pathok yang aktif di sekitar hari-hari Proklamasi. Pemuda Pathok adalah hasil kaderisasi saudara Djohan Sjahruzah yang sudah saya kenal. Dan para Pemuda Pathok inilah yang memprakarsai agar Sri Sultan Hamengku Buwono dan anggota BKR yang bernama Soeharto berdiplomasi dengan Militer Jepang di Markasnya di Kota Baru secara damai menyerahkan senjata-senjata kepada Sri Sultan, demi keamanan. Dan dari saudara Sumantoro Tirtonegoro ini juga saya pertama kali mendengar sebuah nama Pemuda Pathok: Syamsul Qamar Mubaidah (yang di zaman Peristiwa GESTAPU, berubah sedikit namanya menjadi Syam Kamaruzaman Bin Mubaidah). Jadi, bisa disimipulkan Syam Kamaruzaman itu sudah mengenal Letjen Soeharto, sejak dari zaman "penyerbuan" Markas Jepang pada hari-hari permulaan Revolusi di Yogyakarta. Ketika saudara Mantoro Waterleiding itu bicara dengan 37
saya itu, Syam sudah tidak berada di Yogya lagi, tapi bergabung dengan AMKRI yang diketuai oleh saudara Ibnu Parna di Semarang, dan kabarnya bersama Ibnu Parna turut mengorganisasi Penyerbuan Kidobutai di Semarang. Kemudian jadi "informan-rahasia" dari Komisaris Polisi Mudigdo di Pekalongan. Komisaris Polisi Mudigdo ini (masih punya hubungan Famili dengan Mukarto Notowidigdo). Dia di masa Provokasi Madiun mati ditembak tentara di Pati, oleh sebab ternyata bersimpati kepada Amir Syarifuddin. Anak Komisaris Mudigdo itu, Dr. Sutanti biasa dipanggil 'Bolle", kemudian kawin dengan D.N. Aidit. Dari riwayat ini agaknya mulai ada hubungan Syam dengan Aidit sampai ke Peristiwa GESTAPU. Tapi kabarnya D.N. Aidit baru mengenal Syam di Jakarta di tahun l950-an diTanjung Priok. Mengenai hal "cerita" di Tanjung Priok ini akan saya singgung lagi kemudian. Saya sendiri mengenal langsung Syam Kamaruzaman Bin Mubaidah itu, barulah secara kebetulan di dalam penutupan Konferensi PESINDO di Solo, di akhir tahun 1946. Sebab sepanjang saya tahu, dia tidak ada fungsi apa-apa dalam PESINDO. Pada suatu malam setelah sidang selesai di malam itu (untuk diteruskani lagi besok hari), saya dan Wikana sedang duduk ngobrol ngopi dengan Fatkur, Tjugito, Krisubanu dan Ibnu Parna. Tiba-tiba datang dua orang menghampiri menyalami Wikana. Siapalah yang tidak kenal Wikana, selain Pemuda MENTENG 31, menjabat Menteri Negara dan menjabat Wakil Ketua PESINDO, di samping Krisubanu, Ketua Umum. Wikana mengenalkan pada saya dua orang itu: Syamsul Qamar, pemuda Laskar-PAI (Partai Arab Indonesia) asal Pekalongan, dan seorang lagi Polisi Sudjono Jemblung, asal Jawa Tiniur. "Syamsul Qamar boleh, Syam Kamaruzaman boleh juga, asal ada Syam-nya tapi yang penting pula bin Mubaidah," berseloroh Syam itu sambil ketawa mengoreksi Wikana. Syam perawakannya sedang, kulitnya tidak putih bersih seperti beberapa keturunan Arab, anggota Laskar PAI yang saya pernah kenal di Jakarta. Kulitnya agak kehitam-hitaman dan pakai kumis sedikit. Saudara Fatkur mengatakan kedua orang itu adalah polisi. Syam itu dikatakannya adalah "restan" Peristiwa Tiga Daerah. Entah Fatkur itu berseloroh saja, ataukah betul saya tidak ada kesempatan untuk berkenalan lebih panjang. Kedua orang itu kemudian diajak Fatkur pergi. Yang kedua kalinya saya ketemu pada Syam itu, kebetulan lagi juga di gedung PESINDO Pusat di Solo itu juga, pada akhir Juli 1948 sebelum terjadi Peristiwa Provokasi Madiun. Barangkali dia datang untuk menyaksikan apakah PESINDO Pusat itu masih ada? Sebab pernah gedung PESINDO itu diduduki oleh Tentara Siliwangi. ketika keadaan di Solo sangat kacau dekat sebelum kejadian Peristiwa Madiun tersebut. "Mau apa lagi itu Arab, itu mata-mata polisi Komisaris Mudigdo datang ke mari", ucap saya sebel pada Krisubanu. "Saya juga tidak suka kepadanya. barangkali dia mau menyaksikan kekalahan kita, tapi Fatkur yang mengurusi dia itu" kata Krisubanu. Itu kali Syam melaporkan tentang Konferensi Rahasia Sarangan, 21 Juli 1948, antara pihak Amerika (Gerald Hopkins dan Merle Cochran) dan dari pihak Indonesia Sukarno-Hatta-Sukiman- Moh.Natsir-Moh.Rum dan Sukamto. Tetapi Bung Karno pulang duluan, tidak menunggu sampai selesai begitulah dia melapor. Bahwa infonya Syam itu begitu penting mengenai Red Drive Proposal baru kemudian kami menginsafinya, setelah kejadian Provokasi Madiun. Dan bagaimana Syam bisa tahu itu Konferensi Rahasia Sarangan kalau tidak punya jalur hubungan dengan kalangan PSI? O, sebenarnya saya sudah dengar berita begitu dan akhirnya begitu banyak sudah orang-orang PESINDO yang menjadi korban dalam Peristiwa Provokasi Madiun itu. Seperti Kolonel Dahlan, suaminya Maasje Siwi anggota Dewan Penerangan PESINDO di mana saya menjabat sebagai Ketua. Dan lain-lain lagi. Sebenarnya mengenai saya, saya sudah lama ex-officio dan kedudukan saya sebagai Ketua Dewan Penerangan PESINDO, sejak kesibukan saya di Kementerian Pertahanan sebagai Opsir Staf PEPOLIT. Dan jabatan saya sebagai Komandan Laskar PESINDO Jawa Barat, sudah saya letakkan pada pertengahan Juli 1949 dan saya percayakan kepada saudara Wahidin Nasution dari Laskarr Rakyat Jakarta Raya. Sesudah dua kali saya ketemu, melihatnya bermuka-muka, itu informan, atau polisi mata-mata-gelap dari Komisaris Mudigdo, ex Pemuda Pathok, yang orang kata kadernya 38
Djohan Sjahruzah yang saya sangsikan pantasnya disebut kader, tapi sebetulnya seorang insan yang memberi kesan seorang pengabdi perjuangan, tapi hanya seorang avonturir yang berpretensi bisa tahu semua, tapi akhirnya mendorong R.I. terjerembab ke bawah sepatu seorang diktator. Itu adalah kesaksian AM Hanafi mengenai Sjam secara pribadi. Lalu ada lagi kesaksian AM Hanafi yang mengungkapkan bagaimana kemudian Sjam bertemu dengan DN Aidit. Begini kesaksian dari eks Dubes Indonesia untuk Kuba itu : Di atas saya telah menyinggung sambil lalu tentang Syam Kamaruzaman. Sekarang akan saya bereskan keterangan saya mengenai dia itu sampai selesai bagaimana dia sampai jadi informan Kolonel Suwarto di SESKOAD di Bandung, akhirnya kecantol pada Kolonel Soeharto di tahun 1959. Di zaman Jepang dia kerja jadi polisi mata-mata di bawah Komisaris Polisi Mudigdo di Pekalongan (yang kemudian jadi mertua D.N.Aidit). Ini keterangan Fatkur dari Biro Khusus Dewan Pimpinan Pusat PESINDO. Tapi sebelum sampai di Semarang ketemu dengan Kompol Mudigdo, dia adalah salah seorang Pemuda Pathok di Yogyakarta dan termasuk dalam barisan kadernya Djohan Sjahruzah. Kalau di Jakarta yang jadi central aktivis pemuda ialah MENTENG 31, maka di Yogyakarta yang bangun memelopori aktivitas revolusioner dikenal kemudian ialah Pemuda Pathok ini. Atas desakan pemuda-pemuda yang dipelopori pemuda Pathok ini Sri Sultan Hamengkubuwono dan anggota BKR Soeharto didesak merebut senjata Jepang di Kota Baru. Dapat disimpulkan dari masa itulah kontak pertama Sjam Kamaruzaman dengan Soeharto. Ini sesuai dengan keterangan Sumantoro Tirtonegoro tetangga saya di Pakuningratan. Ia di zaman Belanda anggota PNI-Pendidikan (Hatta- Sjahrir). Di zaman mulainya revolusi bersenjata, Syam bergabung dengan pemuda di Semarang di bawah pimpinan Ibnu Parna (kemudian menjadi AKOMA). Kemudian Syam turut dalam apa yang disebut "revolusi sosial" di Peristiwa Tiga Daerah (Brebes-Tegal-Pemalang) yang pada mulanya dalam prinsip disetujui oleh Bung Sjahrir, tetapi kemudian setelah ia menjadi Perdana Menteri terpaksa distop sebab tidak terkendalikan lagi. Seorang di antara tokoh pimpinan Peristiwa Tiga Daerah ini bernama Widarta, seorang komunis, dihukum mati oleh PKI sendiri atas desakan Menteri Amir Sjarifuddin. (Baca Anton Lucas, Peristiwa Tiga Daerah). Syam Kamaruzaman lari ke Pekalongan; di sini ia kembali menjadi polisi matamata (Informan) dari Komisaris Polisi Mudigdo yang Amir-minded. Oleh sebab itu dalam peristiwa Provokasi Madiun dia di tembak mati oleh tentara di Pati. Selama Peristiwa Madiun tersebut Syam menghilang, tidak ada yang tahu dia ada di mana. Juga saya tidak pernah dengar dia ada di mana selama Perang Kolonial ke II ketika Yogyakarta, Ibu Kota R.I. diduduki NICA (Tentara Belanda). Ketika saya ketemu dengan Wikana, di tahun 1955, ketika saya aktif memimpin Kongres Rakyat untuk Pembebasan Irian Barat dia menceritakan babwa Syam Kamaruzaman itu selama Peristiwa Madiun lari menyelundup ke Jakarta dan bersembunyi di Tanjung Priok. Di sana ditemukan oleh saudara Mr. Hadiono Kusumo Utoyo yang seperti Syam cenderung kepada Sjahrir, tapi banyak hubungan dengan orang-orangnya Amir Sjarifuddin (PKI). Hadiono menganjurkan Syam sebaiknya mendirikan organisasi Serikat Buruh. Maka berdirilah SBKP (Serikat Burub Kapal dan Pelabuhan). Mr. Hadiono Kusumo Utoyo ini asal dari anggota P.I. Belanda, dia hanya menganjurkan saja. Pimpinan SBKP itu terdiri dari Syam sebagai Ketua. Lainnya Munir, Hartojo. Sudio (guru Taman Siswa Ki Mohamad Said di Kemayoran). Mulai dari sejarah SBKP inilah, D.N.Aidit dan Lukman tahun 1950 mulai kenal dengan Syam Kamaruzaman . Sebab sebeIumnya Aidit dan Syam tidak pernah kenal ketika masih di pedalaman R.I. Sejak Peristiwa Madiun dan PKI babak belur, Aidit dan Lukman menyelamatkan diri ke Jakarta. Di sana oleh Munir yang memang sudah dikenal Aidit, di masa Munir mengorganisasi supir becak di Jakarta di hari-hari Proklarnasi, Aidit bersembunyi bersama Syam dan Munir di Tanjung Priok; kemudian pindah bersembunyi di 39
rumahnya saudara Husein (ex-Ketua B.P. GERINDO cabang Sawah Besar). Ini diceritakan Husein langsung kepada saya yang tetap bersimpati kepada saya sebagai exsekjen B.P. GERINDO. Sehubungan dengan hal ini penting saya menunjuk pada "isapan jempol" Sugiarso Surojo "Siapa menabur angin ..." halaman 230, yang menyebut Aidit ke Peking 1950, tentang Tanti dokter keluaran Moskow, dan tentang Dokter Mudigdo, tentang D.N.Aidit, semua itu isapan jempol komunisto-phobi Sugiarso Surojo. Ketika saya tanya kepada Husein "apa betul Aidit dan Lukman sempat pergi ke Vietnam dan ketemu dengan Ho Chi Minh dan ke Tiongkok ketemu Mao, seperti desas-desus yang saya dengar?" Husein senyum-senyum saja. Dia tidak bisa dan tidak berani bohong pada saya. Maka mulai dari masa itulah saya mulai bertambah khawatir terhadap Aidit. Apalagi kemudian saya ketahui dia jadi ketua PKI. Saya jadi tambah khawatir. Qua intelek dia oke, sebab rajin baca, tapi pengalaman politik kurang sekali, pengalaman revolusi bersenjata tak ada sama sekali (waktu pertempuran bergolak di Jakarta dan di Krawang-Bekasi, waktunya habis terbuang dalam tahanan Belanda di pulau Onrust. Ketika keluar dari Onrust tahun 1947 dia cari saya di Pakuningratan-Yogyakarta. Dia datang pamit mau masuk PKI. Saya bilang: "Jangan,... saya sendiri, terus terang tidak berani, menurut saya, orang yang masuk PKI orang yang tidak akan kehilangan apa-apa dan tidak akan mendapat apa-apa, kecuali memberi, sekali lagi memberi kepada orang lain, kepada Rakyat. Turut saja sama saya ke Front Krawang!" Dia minta waktu pikir-pikir. Aidit sejak zaman Belanda dan zaman Jepang di Barisan Pemuda GERINDO dan MENTENG 31 selalu turut sama saya, di masa permulaan zaman Jepang di mana kehidupan rakyat mulai jadi tambah sulit, saya dan Pardjono angkat dia dari itu "bedeng-liar" di daerah Pasar Senen, kerja-upahan sama Si Ali- Padang menjahitkan pakaian tua, pantalon satu bisa dijadikan dua celana-pendek dan sebagainya. Saya masukkan dia ke MENTENG 31, Asrama Angkatan Baru Indonesia bersama Pardjono dan lain- lain, untuk menjadi Pejuang Kemerdekaan yang tangguh. Dia memang betul jadi seorang pejuang betul-betul, tapi sejak dari mudanya wataknya suka keblacut karena semangat petualangannya dan ambisius. Saya ceritakan ini bersih dari penghinaan atau sanjungan, melainkan dengan rasa persaudaraan yang sewajarnya saja. Oleh sebab itulah saya tidak merasa segan untuk selalu menasihatinya, bahkan memarahinya kalau caranya saya pandang agak keterlaluan. Tetapi, sesudah dia menjadi Ketua PKI, saya tahu membatasi diri saya, dan diapun menjadi jarang ketemu saya lagi. Pernah dia mengatakan, "orang bilang Bung itu orang burjuis". Sebenarnya dia menyindir.Tapi saya tidak merasa maju atau mundur dengan sindiran demikian. Oleh karena itu saya tidak heran kalau orang bilang Aidit itu berspekulasi politik dengan Syamn Kamaruzaman, mulainya dari persembunyiannya di Tanjung Priok dalam SBKP yang diketuai oleh Syam di tahun 1948 itu. Menurut Sudio, sejak ketika razia Agustus 1951, Syam menghilang tidak ada yang tahu ke mana dia pergi. Tapi apa itu razia Agustus? Itu zaman Dr. Sukiman, Perdana Menteri. Katanya Kantor Polisi Tanjung kena serbu orangorang PKI, buktinya ada ditemui bendera palu arit. Setelah dibuktikan bendera itu bukan palu arit PKI, sebab letak palu arit itu terbalik, jadi bendera itu palsu. Mestinya palunya di kanan dan aritnya di kiri. PKI sejarah romantiknya ialah tidak berhenti kena Provokasi, mulai Madiun, ketika itu Tanjung Priok, dan akhirnya yang ketiga dengan adanya Peristiwa GESTAPU, di mana Aidit dan Syam terpancing oleh "isu Dewan Jendral" dengan bersemangat individual bergerak "daripada didahului lebih baik mendahului". Di situlah apesnya. Aidit jalan "keluar-rel", mesti saja terbalik kereta api PKI. Artinya hanya pinterpinteran persekongkolan berdua-duaan dengan Syam yang sebenarnya agen-informan tiga-rangkap: PSI-Tentara-Aidit. Dus, Aidit secara pribadi, bukan PKI'. Kalau Syam sungguh- sungguh komunis mengapa urusan kudeta ditangani sendirian tidak oleh Partai, PKI. Ini logika yang sederhana saja. Kalau urusan kudeta dihadapkan pada Partai, maka cara Aidit/Syam menghadapi "isu Dewan Jendral" itu, saya kira akan lebih banyak yang 40
tidak setuju daripada yang acc. Lagi ini logika yang sederhana, demokratik saja. Itulah kenapa saya sebut "keluar-rel". Tapi buat apa lagi analisa ini. Tidak ada gunanya lagi sebab PKI sudah dilibas habis oleh Soeharto masuk ke alam neraka yang tersiksa menebus kesalahan ... yang bukan kesalahannya. Sebab Soeharto: Himmler-nya GESTAPU- Mbah Provokasi. Saya tidak akan nenjelaskan lagi. Biarlah para para penulis roman, cerpen,. politisi, peneliti sejarah mengadakan riset dan menggunakan daya imaginasi mereka, fantasi rasa demokrasi dan kepekaan manusiawinya bekerja, supaya dunia yang bundar ini bisa berputar pada sumbunya dengan kedamaian. Masa'le ... semua kang-mas dan diajeng di Indonesia mau disulap oleh Soeharto menjadi penjilat semua? Kita kembali pada Syam Kamaruzaman. Sesudah razia Agustus di mana SBKP jadi sasaran di tahun 1951. Syam lari menghilang akhirnya diketemukan sudah menjadi "tentara" katanya, menjadi infornan" SESKOAD, katanya orang lagi, berpangkat mayor. Ini ceritanya Wikana. "Katanya", atau "kata orang", itulah karena tidak ada orang tahu kepastiannya. Tapi kemudian, lama-kelamaan, bahwa kepergiannya Syam ke Bandung itu atas kemauannya, inisiatipnya, tapi dengan persetujuan Aidit Ketua PKI. oleh sebab dia (Syam) mengatakan bisa ber-camuflage berlindung menjadi informan" pada tentara. Kepada siapa dia berhubungan dengan Tentara yang dikatakannya itu tidak jelas, barulah kemudian, setelah kolonel Suwarto pulang dari Amerika membawa konsepsi membangun SESKOAD, Syam Kamaruzaman dengan sendirinya menginsafi bahwa dirinya atau missinya sebagai "informan" rangkap itu, mempunyai arti yang bertambah penting, berdiri kuat di antara dua rival : Tentara versus PKI. Sesudah PKI: PERMESTA berantakan dipukul oleh tentara di bawah pimpinan Jendral Yani, kolonel Suwarto sebagai Direktur SESKOAD Me-refomasi konsepsinya yang sesuai dengan garis kepentingan CIA untuk menghancurkan Sukarno dan PKI (komunis). Dengan kedatangan Soeharto ke SESKOAD sebagai "setrapan" dan Jendral Nas karena barter Semarang dan karena pembakaran "Gedung Papak" yang menggegerkan itu, kolonel Suwarto menemukan diri kolonel Soeharto itu satu kecocokan untuk dijadikan "ujung tombak" untuk digunakan kepada sasarannya. Salah satu sebab tentulah berdasar kekecewaan dan kejengkelan Soeharto dicopot dari kedudukannya sebagai Panglima Divisi Diponegoro yang telah dibangunnya dengan dua anggota trionya: Yoga Sugama dan Ali Murtopo dan tentulah juga karena ambisinya setelah Suwarto sendiri kontak dengan Guy Pauker di Amerika (baca Peter Dale Scott). Tampaklah jelas aktor-aktor utama di belakang layar GESTAPO dan Dewan Jendral yaitu: Soeharto-Suwarto-Syam Kamruzaman. Namun, setelah layar adegan GESTAPU diangkat/dibuka, yang tampak atau ditampakkan hanyalah Syam Kamaruzaman dengan Latief cs. Soeharto ganti peranannya jadi "dewa Semar palsu". Jadi kerja pengkhianatan Soeharto itu bukanlah tiba-tiba dalam satu hari, sudah jauh hari sebelumnya, bulan dan tahun sebelum GESTAPU, jadi bukan baru dimulai tanggal 1 Oktober l965 jam 6 pagi, ketika saudara Mashuri datang ke rumahnya memberi tahukan tentang pembunuhan jendral-jendral, seakan-akan dia tidak tahu sebelumnya akan kejadian mengerikan itu. Itulah yang kemudian dia gunakan sebagai "pretext" (dalih) sekaligus justifikasi untuk melibas PKI dan kemudian memenjarakan Presiden Sukarno di rumah Ibu Dewi sampai beliau meninggal. Tapi ketika Mashuri datang ke rumahnya itu, Soeharto sudah siap berpakaian uniform tempur. Alangkah tidak lucunya dimunculkannya Soeharto sebagai penyelamat Pancasila sehubungan dengan Peristiwa 1 Oktober 1966 itu. Sekalipun kodok-kodok yang biasa hidup di comberan, tidak akan mau "mengorekngorek" begitu. Sungguh saya malu melihat ulahnya jendral bangsa saya ini. Setelah penumpasan pemberontakan PRRI/PERMESTA di Sumatera Barat, dan ditariknya Letkol Latief ke Jakarta menjadi Komandan Brigade Infanteri pada Kodam JAYA, Syam Kamaruzaman kerjanya bolak-balik antara Bandung-Jakarta. kemudian menetap di Jakarta setelah Jendral Soeharto diangkat menjadi Panglima KOSTRAD. Syam jadi bertambah kuat sandarannya dalam berhubungan dengan Aidit. Selain menempatkan dirinya sebagai informan di bawah lindungan Brigade Infanteri Kodam V Jaya (overste Latief), dia juga 41
punya hubungan dengan KOSTRAD (Jendral Soeharto). Dapatlah kiranya disimpulkan hahwa mulai masa itu, ditambah lagi dengan datangnya masa "Konfrontasi Ganyang Malaysia", dan keadaan SOB oleh Tentara dipertahankan terus, avonturisme ke arah KUDETA yang di-isukan Dewan Jendral dan di-isukan juga oleb Biro Khusus Aidit dan Syam, sesuai dengan perkembangannya mencapai bentuk yang lebih kongkret. Sampai bulan Apustus, Dewan Jendral dan Biro Khusus masing-masing saling berhadapan dengan nyala api provokasinya sendiri-sendiri sampailah ke 30 September 1965, di mana Biro Khusus (Syam Kamaruzaman dan D.N.Aidit dengan Untung dan Latief keduanya terakhir orangnya Jendral Soeharto pula) bergerak menerjuni perangkap provokasi yang diciptakan Suwarto (SESKOAD) dan Jendral Soeharto (baca MAHMILUB II tentang Kolonel Latief). Ada sedikit peristiwa lagi mengenai Syam dan Aidit yang penting saya tambahkan di sini. Ketika saya sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan keberangkatan saya ke Kuba di bulan Desember 1963 pada suatu hari tiba-tiba datang D.N.Aidit ke rumah saya di jalan Madura No.5 dengan seorang temannya. Aidit lebih dulu turun dari mobil segera langsung naik ke tangga. Temannya itu menyusul dari jalan mulai masuk ke pekarangan. Setelah saya perhatikan siapa temannya itu, dengan suara keras saya membentak Aidit: "Kenapa kau bawa itu polisi pada saya? Polisi dia itu ..." Orang itu ialah Syam Kamaruzaman yang pernah ketemu saya di Konperensi PESINDO dahulu dan yang sudah banyak saya dengar cerita yang mencurigakan mengenai dia: Badannya sudah agak gemukan, tidak seperti masih muda dahulu. Mendengar bentakan keras saya kepada Aidit itu, Syam jadi kaget terus mambalikkan badan kembali masuk ke mobil lagi tanpa mau melihat dan berkata apa-apa. Aidit pun tanpa berkata tanpa pamit pergi menyusul Syam masuk ke mobil. Begitulah. Saya betul-betul jengkel dan tidak mengerti apa maunya Aidit dengan orang Itu dan kenapa dia bawa orang itu mau dikenalkan pada saya? Dia kira dia bisa bikin surprise bagi saya, sedangkan saya sudah lebih dahulu dari dia kenal si Syam itu. Andaikata Aidit dari jauh-jauh hari mau menceritakan pada saya tentang kontaknya pada Syam itu, sudah pasti saya mau bilang: "jauhi itu penyakit''. Tapi Aidit bukan orang bodoh, apalagi dia Ketua PKI, buktinya dia punya kelebihan tertentu, tidak mungkin dia tidak mengetahui siapa dan apa yang ada di belakang Si Syam itu. Barangkali dia kira dia bisa menggunakan Syam. Bagaimana seorang Ketua Partai bisa begitu? Tidak ada yang bisa jamin apa kerjanya Syam itu. Ideologi tidak punya. Katanya orang PSI, katanya, kenapa tidak ditelusuri betul tidaknya, kan Aidit kenal L.M. Sitorus Sekjen PSI, dulu sama-sama anggota asrama MENTENG 31? Kalau bagi saya jelas siapa Syam, dia itu hantu - boleh saja ketemu di jalan tapijangan dibawa masuk ke dalam rumah. (Dicuplik dari Tulisan A.M. HANAFI MENGGUGAT)
Bila kita membaca tulisan diatas menjadi kentara antara hubungan antara Sjam dengan Soeharto. Saya sendiri belum pernah membaca hubungan antara Suharto dengan DN Aidit. Namun yang menarik adalah perlunya diperiksa apakah benar Sjam Kamaruzaman pernah menjadi agen intelijen pada Batalyon X dimana kemudian memainkan peranan yang sangat besar terhadap penangkapan Jenderal Soedarsono. Karena bila dilihat pola G30S sama persis dengan pola peristiwa 3 juli. Menurut buku-buku yang membahas gerakan 30 September 1965 Sjam dikenal sebagai otak yang membentuk Biro Chusus PKI. Keberadaan Biro Chusus ini tidak diketahui oleh banyak dari elite PKI dan ini juga merupakan misteri yang harus dipecahkan. Karena keberadaan Biro Chusus ini adalah awal dari kebangkrutan PKI di Indonesia. Dan menyeret jutaan nyawa manusia Indonesia yang tidak berdosa karena terbunuh yang disebabkan permainan politik kelas tinggi yang sampai saat ini tidak dimengerti. Kembali ke Sjam, bila memang benar Sjam adalah agen 42
intelijen Soewarto bisa jadi Sjam ini disodori oleh Soeharto kepada Soewarto untuk sebuah rencana. Jadi bila dikaitkan antara Sjam dengan Soewarto hal yang paling logis adalah lewat rekomendasi Soeharto (karena Suwarto bertemu Suharto dan menjalin hubungan akrab saat mereka menjadi guru dan murid di SSKAD). Sampai saat ini keberadaan Sjam belum jelas dan kapan tanggal eksekusinya. Boleh jadi Sjam adalah missing link terbesar kedua setelah ‘pertanyaan dimana Soeharto pada malam G30S sejak jam 10.00 wib sampai jam 5.00 wib. ? Dimana keduanya menuju satu arah siapa yang sebenarnya memerintahkan bunuh para Djenderal? Sjam atau yang diatas Sjam. Versi Orde Baru yang memerintahkan bunuh para Djenderal adalah Sjam atas perintah DN Aidit yang dijemput paksa dari rumahnya oleh beberapa orang tidak dikenal. Namun ini tidak terbukti karena DN Aidit segera dieksekusi mati tanpa proses pengadilan atas perintah Suharto melalui Kolonel Yasir Hadibroto. Sekarang kita beralih pada hubungan antara Kolonel Latief dengan Suharto. Dari sekian cerita-cerita hubungan gelap antara Suharto dengan rekan-rekannya yang menjadi pentolan G30S seperti : Sjam, Soepardjo dan Untung. Hubungan dengan Latief-lah yang dibahas secara luas dan kelak setelah mundurnya Soeharto pada tahun 1998 banyak diungkap oleh penulis sejarah. Sebenarnya hubungan antara Suharto-Latief ini bisa menjadi entry point bagaimana peran Suharto pada Gerakan penculikan para Jenderal itu. Karena secara resmi Latief sendiri sudah mengajukan peran Suharto ini pada pledoi-nya awal tahun 1978 namun karena kekuasaan Suharto terlalu kuat pada waktu itu maka kasus itu menjadi mengendap begitu saja. Kasus ini tidak menjadi sebuah berita menghebohkan dikalangan masyarakat umum karena berdekatan dengan kasus gerakan Mahasiswa 1978 dimana pada tanggal 21 Januari 1978 ada lima koran yang dibreidel karena terlalu bersemangat memberitakan gerakan mahasiswa, lima koran itu adalah : Kompas, Merdeka, Pelita, Sinar Harapan dan Indonesian Times. Selain itu memang aparat terlalu merapat erat-erat berita pledoi Latief ini agar jangan sampai keluar ke masyarakat umum. Barulah pada tahun 2000 saat Latief mengeluarkan bukunya yang berjudul : “Pledoi Kolonel Latief Suharto Terlibat G30S”. Sebelum masuk membahas hubungan antara Latief dengan Suharto saya ingin mengemukakan keheranan saya karena Latief ini tidak dieksekusi mati. Beda misalnya dengan yang terjadi pada pemimpin gerakan dari kalangan militer lainnya seperti : Letkol Untung Bin Sjamsuri dan Brigjen Soepardjo atau dari kalangan sipil yang terlibat dimana terjadi pembunuhan diluar proses pengadilan seperti yang terjadi pada pemimpin PKI, DN Aidit dan Njoto. Latief ditangkap pada 11 Oktober 1965 beberapa kali akan diseret menuju penembakan mati, namun gagal terus dan pada tanggal 6 Desember 1998 beberapa bulan setelah Suharto jatuh Latief dibebaskan oleh rezim Habibie. Sungguh aneh kenapa orang yang dinyatakan paling terlibat dalam gerakan tidak segera dieksekusi. Mungkin saja Latief memiliki informasi penting tentang G30S tapi kalau informasinya itu menyangkut dengan hubungan dia terhadap Suharto berarti langkah paling pragmatis adalah membunuh Latief tapi tidak dilakukan oleh Suharto. Penjelasan paling logis adalah memang Suharto sangat dekat sekali dengan Latief bahkan hubungannya adalah hubungan antara keluarga. Bagaimana kedekatan Latief dengan Suharto ini, prolognya bisa kita ambil dulu dari kesaksian AM Hanafi : Yang terakhir: Mengenai Soeharto dan Latief Pembaca yang terhormat, Baiklah dibaca lagi pleidooi kolonel Latief di mana dia menjelaskan, balwa dua hari sebelum 1 Oktober 1965, dus tanggal 28 Septem- ber 1965 dia sudah berkunjung ke rumah Panglima KOSTRAD Letjen Soeharto di Jalan Haji Agus Salim. Pada kesempatan itu ia melaporkan kepada Soeharto mengenai "info" Dewan Jendral. Soeharto menjawab bahwa dia juga sebelumnya sudah diberi info oleh anak buahnya dari Yogyakarta, yang bernama Subagyo, tentang Dewan Jendral yang akan mengadakan kudeta. Kunjungan tersebut 43
tampaknya saja pertemuan ramah-tamah kekeluargaan, bersama Latief turut Ibu kolonel Sujoto, di pihak Soeharto dan Ibu Tien ada Tommy puteranya yang masih berumur 3 tahun dan ada pula hadir orang-tuanya lbu Tien. Tapi yang penting dicatat dari adanya kunjungan ini, bahwa Latief telah melaporkan tentang rencana kudeta apa yang disebut Dewan Jendral itu, dua hari sebelum kejadian apa yang kemudian disebut GESTAPU. Pembaca yang terhormat, Dan sini harus dipertanyakan, mengapa Jendral Soeharto tidak tegas memperingatkan, artinya segera memperingatkan para anggota Dewan Jendral, yang nota bene kolega sendiri, supaya hati-hati dan siap-waspada untuk tidak dibikin kambing dan disate oleh konspirator-konspirator kudeta itu? Dua hari itu kesempatan waktu lebih dari cukup untuk mengambil tindakan preventief(pencegahan) supaya tidak kedahuluan. Itulah yang mesti dia kerjakan, tapi tidak dikerjakan. Inilah membuktikan bahwa Soeharto sudah berencana (voorbedacht) dengan sengaja membiarkan Jendral Ahmad Yani dan lain-lain itu menjadi korban kup yang dia sudah atur. Malah selanjutnya lebih terbukti lagi pengkhianatan itu terhadap Jendral Panglima A.Yani dengan lima jendral yang telah menjadi korban itu. Ketika Kolonel Latief datang ke RSPAD, katanya Soeharto untuk menengok anaknya Tommy yang ketumpahan sop panas, sebenarnya merupakan alasan yang konyol terbanding dengan pengorbanan Panglima A.Yani cs. Kenapa dia tidak langsung menangkap kolonel Abdul Latief itu, padahal Soeharto sudah tahu "kerjakomplot" Latief itu, tetapi dia malahan membiarkan kolonel Latief pulang ke sarang GESTAPU untuk memberi signal gerak kepada Kol.Untung cs menangkap atau di mana perlu membunuh A.Yani cs. Di sinilah terletak tanggung-jawab yang kedua dari Letnan Jendral Soeharto yang paling berat, paling kriminal dan paling khianat dengan sengaja membiarkan Panglima Yani dan jendral- jendral dibunuh.Jadi dialah yang harus diadili lebih dulu, lalu baru dideretkan itu anggota komplotan GESTAPU, termasuk Syam dan Aidit. Mestinya begitu, toh! Baca Lampiran: "Mengungkap sejarah yang sebenarnya". Dokumen tersebut saya terima dari saudara Karna Rajasa (alm.) ketika beliau berkesempatan di masa hidupnya mengunjungi saya di Paris. Soeharto boleh bilang apa yang dia mau bilang, lidah tidak bertulang, dia tidak mati bersama A.Yani cs., dia bangun, sekali bangun terus teriak "maling", menunjukkan jari ke GESTAPU/PKI. Tapi kalau kita waras, kita pakai logika dan dialektika, artinya tidak merancukan urutan fakta, maka jelaslah memang Soeharto punya gara-gara. Makanya saya gugat dia. Dan saya yakin sebagian besar Rakyat In- donesia sependapat dengan saya!!! Di dalam sidang MAHMILUB, rupanya Latief tidak berani bicara terus terang, seperti apa yang saya uraikan di atas ini. Walaupun fisiknya sudah dibikin invalid oleh petugas yang menangkapnya. Saya dapat memakluminya. Barangkali dia masih mengharap demi keselamatan nyawanya adanya seujung rambut rasa kemanusiaan pada ex komandannya Soeharto itu.Apakah ada rasa kemanusiaan,masih ada moral atau sedikit rasa kasihan sang komandan kepada bekas bawahannya, Latief, itu pejuang "Enam jam di Yogya 1 Maret 1949" yang mengangkat nama Overste Soeharto lebih dikenal? Saya tidak menemukan bayangan moralitas yang saya tanyakan itu pada Soeharto di dalam bukunya yang dibanggakannya mengenai "Enam Jam di Yogya" itu. Mengapa tidak ada satu patah kata pun menyebutkan nama Kapten Latief, apalagi peranan Latief yang memimpin pasukannya masuk menyerang ke dalam kota Yogvakarta di hari 1 Maret 1949 itu.Yang dikenalkannya cuma nama Letnan Marsudi dan Letnan Amir Murtono bekas pemuda PESINDO Madiun yang anti Sukarno. Marsudi tidak anti Sukarno karena itu tidak diberi kedudukan seperti Amir Murtono yang dijadikannya Ketua DPR yes man yang pertama. "Demokrasi" a'la DPR Orde Baru cuma merek doang, frasiologi demokrasi yang isinya tulang-sumsum autokrasi. Saya kasihan pada Latief, pada nasibnya. Dia pejuang yang turut berjasa banyak pada Republik.Tapi disalah gunakan oleh Soeharto untuk kepentingan pribadi Soeharto sendiri. Tapi Tuhan itu Besar, Tuhan belum mau panggil pulang Latief, tentulah ada maknanya rahasia Tuhan. Wallahu'alam. 44
(AM Hanafi Menggugat) Dalam kesaksian Soebandrio yang kelak di dalam penjara LP Cipinang sangat mengenal Latief karena mereka dipenjara dalam satu zona. Sebelumnya mereka juga dipenjara di RTM Salemba dimana banyak petinggi militer yang juga dipenjara termasuk Jenderal Pranoto, Jenderal Rukman, Marsekal Omar Dhani, Brigjen Polisi Sutarto, Jenderal Soeharijo alias Hario Ketjik dan banyak lagi perwira yang Sukarnois ditahan oleh Suharto, bahkan ada yang dicurigai dibunuh seperti kasus bunuh dirinya Letjen Kko Hartono tahun 1971. Berikut kesaksian Soebandrio terhadap Kolonel Latief : Di sisi lain, Soeharto juga membina persahabatan lama dengan Kolonel Abdul Latief yang juga bekas anak-buahnya di Divisi Diponegoro. Latief adalah juga seorang tentara pemberani. Ia adalah juga seorang yang saya nilai jujur. Namun, berbeda dengan Untung, Latief mengantongi rahasia skandal Soeharto dalam Serangan Oemoem 1 Maret 1949 di Yogya. Dalam serangan itu Belanda diusir dari Yogya (ketika itu ibu-kota RI) hanya dalam waktu enam jam. Itu sebabnya serangan ini disebut juga Enam jam di Yogya, yang dalam sejarah disebut sebagai Operasi Janur Kuning karena saat operasi dilaksanakan semua pasukan yang berjumlah sekitar 2000 personil (termasuk pemuda gerilyawan) diharuskan mengenakan janur kuning (sobekan daun kelapa) di dada kiri sebagai tanda. Yang tidak mengenakan tanda khusus ini bisa dianggap sebagai mata-mata Belanda dan tidak salah jika ditembak mati. Soeharto (di kemudian hari) mengklaim keberhasilan mengusir Belanda itu atas keberaniannya. Serangan Oemoem 1 Maret 1949 itu katanya, adalah ide dia. Soal ini sudah diungkap di berbagai buku, bahwa serangan tersebut adalah ide Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Soeharto adalah komandan pelaksana serangan. Namun bagi Latief persoalan ini terlalu tinggi. Latief hanya merupakan salah satu komandan kompi. Hanya saja karena dia kenal Soeharto sewaktu masih sama-sama di Kodam Diponegoro, ia dekat dengan Soeharto. Letief tidak bicara soal ide serangan. Ia hanya bicara soal teknis pertempuran. Tentara kita menyerbu kota dari berbagai penjuru mulai pukul 06.00 WIB, persis saat sirene berbunyi tanda jam malam berakhir. Diserbu mendadak oleh kekuatan yang begitu besar, Belanda terkejut. Perlawanan mereka sama sekali tidak berarti bagi pasukan kita. Mereka sudah kalah strategi, diserang mendadak dari berbagai penjuru kota oleh pasukan yang jumlahnya demikian banyak. Tangsi-tangsi Belanda banyak yang berhasil direbut tentara kita. Namun Belanda sempat minta bantuan pasukan dari kota lain. Walaupun bala bantuan pasukan Belanda datang agak terlambat, namun mereka memiliki persenjataan yang lebih baik dibanding tentara kita. Mereka juga mengerahkan kendaraan lapis baja. Pada saat itulah terjadi pertempuran hebat di seantero Yogyakarta. Pada scope lebih kecil, kelompok pasukan pimpinan Latief kocarkacir digempur serangan balik pasukan Belanda. Dalam kondisi seperti itu Latief memerintahkan pasukannya mundur ke Pangkalan Kuncen sambil tetap berupaya memberikan tembakan balasan. Setelah di garis belakang, Latief memeriksa sisa pasukan. Ternyata tinggal 10 orang tentara. Di saat mundur tadi sekilas diketahui 12 orang terluka dan 2 orang gugur di tempat. Mereka yang luka terpaksa ditinggal di medan pertempuran, sehingga kemungkinan besar juga tewas, sedangkan pemuda gerilyawan (juga di bawah kompi Latief) yang tewas 50 orang. Nah, saat Latief bersama sisa pasukannya berada di garis belakang itulah mereka berjumpa Soeharto. Apa yang sedang dilakukan Soeharto? Dia sedang santai makan soto babat, ujar Latief. Ketika itu perang sedang berlangsung. Ribuan tentara dan pemuda gerilyawan tengah beradu nasib menyabung nyawa, merebut tanah yang diduduki oleh penjajah. Toh, Latief dengan sikap tegap prajurit melapor kepada Soeharto tentang kondisi pasukannya. Soeharto ternyata 45
juga tidak berbasa-basi misalnya menawari Latief dan anak-buahnya makan. Sebaliknya Soeharto langsung memerintahkan Latief bersama sisa pasukannya untuk menggempur belanda yang ada di sekitar Kuburan Kuncen, tidak jauh dari lokasi mereka. Belanda akhirnya berhasil diusir dari Yogyakarta dalam tempo enam jam. Secara keseluruhan dalam pertempuran itu pasukan kita menang, meskipun dalam scope kecil pasukan pimpinan Latief kocar-kacir. Komandan dari seluruh pasukan itu adalah Soeharto yang boleh saja – menepuk dada membanggakan keberaniannya. Bahkan Soeharto kemudian bertindak jauh lebih berani lagi dengan mengakui bahwa ide serangan itu dalah idenya (yang kini terbukti tidak benar). Namun soal Soto babat menjadi skandal tersendiri bagi figur seorang komandan pasukan tempur di mata Latief. Dan skandal ini diungkap oleh Latief pada saat dia diadili di Mahkamah Militer dengan tuduhan terlibat G30S. Kendati begitu, skandal ini tidak menyebar karena saat itu Soeharto sudah berkuasa. Soeharto sudah menjadi pihak yang menang dan Latief menjadi pihak yang kalah. Apa pun informasi dari pihak yang kalah sudah pasti disalahkan oleh pihak yang menang. Setelah Serangan Oemoem 1 Maret, Soeharto-Latief pisah kesatuan. Soeharto akhirnya menjadi Pangkostrad, sementara Latief akhirnya menjadi Komandan Brigade Infanteri I Jaya Sakti, Kodam Jaya. Posisi Latief cukup strategis. Maka Soeharto kembali membina hubungan lama dengan Latief . Jika Untung didatangi oleh Soeharto saat menikah di Kebumen, Latief juga didatangi di rumahnya oleh Soeharto dan istrinya saat Latief mengkhitankan anaknya. Saya menilai, Soeharto mendekati Latief dalam upaya sedia payung sebelum hujan, sebab suatu saat nanti Latief akan dimanfaatkan oleh Soeharto. Kini cerita lama terulang kembali. Jika dulu Soeharto membentuk trio bersama Yoga Soegama dan Ali Moertopo, kini bersama Untung dan Latief. Semuanya teman-teman lama Soeharto ketika masih di Jawa Tengah. Tetapi trio kali ini (bersama Untung dan Latief) memiliki posisi strategis yang lebih tinggi dibanding yang dulu: Untung adalah orang dekat Presiden. Latief adalah orang penting di Kodam Jaya yang menjaga keamanan Jakarta. Targetnya jelas: menuju ke Istana. Pertengahan September 1965 suhu politik di Jakarta mulai panas. Karena hubungan persahabatan – di luar jalur komando – Latief menemui Soeharto. Inilah pertemuan pemting pertama antara Soeharto dan Latief menjelang G30S. Saat itu isu dewan Jenderal sudah menyebar. Begitu mereka bertemu, Latief melaporkan isu tersebut kepada Soeharto. Ternyata Soeharto menyatakan bahwa ia sudah tahu. Beberapa hari yang lalu saya diberitahu hal itu oleh seorang teman AD dari Yogya bernama Soebagyo, katanya. Tidak jelas siapa Soebagyo. Namun menurut Latief, Soebagyo adalah tentara teman mereka ketika masih sama-sama di Divisi Diponegoro. Pertemuan penting kedua Soeharto-Latief terjadi dua hari menjelang 1 Oktober 1965. Pertemuan dilakukan di rumah Soeharto di Jalan H Agus Salim. Berdasarkan cerita Latief kepada saya pada saat kami sama-sama dipenjara, ketika itu ia melaporkan kepada Soeharto bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kudeta terhadap Presiden. Dan Dewan Jenderal akan diculik oleh Pasukan Cakra Bhirawa. Apa reaksi Soeharto? Dia tidak bereaksi. Tapi karena saat itu ada tamu lain di rumah pak Harto, maka kami beralih pembicaraan ke soal lain, soal rumah, kata Latief. Pertemuan terakhir Soeharto-Latief terjadi persis pada tanggal 30 September 1965 malam hari pukul 23.00 WIB di RSPAD Gatot Subroto. Saat itu Soeharto menunggu anaknya Hutomo Mandala Putera (Tommy Soeharto) yang ketumpahan sup panas dan dirawat di sana. Kali ini Latief melaporkan penculikan para jenderal akan dilaksanakan pukul 04.00 WIB (sekitar lima jam kemudian). Kali ini juga tidak ditanggapi oleh Soeharto. Sebenarnya yang akan melapor kepada Soeharto saat itu tiga orang, yakni Latief, Brigjen Soepardjo dan Letkol Untung. Sebelum Latief menghadap Soeharto, Latief lebih dulu bertemu dengan Soepardjo dan Untung. Soepardjo dan Untung datang ke rumah saya malam itu (30 September 1965) pada pukul 46
21.00 WIB. Soepardjo sedang ada urusan, sedangkan Untung kurang berani bicara pada Soeharto. Soepardjo lantas mengatakan pada saya: Sudahlah Tif (panggilan Latief), kamu saja yang menghadap. Katakan ke pak Harto, kami sedang ada urusan, kata Latief menirukan ucapan Soepardjo. Setelah Latief bertemu Soeharto, ia lantas kembali menemui Soepardjo dan Untung yang menunggu di suatu tempat. Latief dengan wajah berseri-seri melaporkan kepada teman-temannya bahwa Soeharto berada di belakang mereka. Saya ulangi: Pada sekitar pukul 01.00 WIB 1 Oktober 1965, kata Latief kepada Soepardjo dan Untung: Soeharto berada di belakang mereka.Beberapa jam kemudian pasukan bergerak mengambil para jenderal. (Soebandrio : Kesaksianku tentang G30S) Semua buku sejarah yang mengupas G30S pasti mengupas dua kali pertemuan antara Latief dan Soeharto. Dua pertemuan ini sesungguhnya penting karena bisa membongkar semua sejarah yang ditutup-tutupi. Informasi yang didapat Soeharto bisa jadi merupakan Insider Trading dari sebuah spekulasi politik untuk mencapai setidak-tidaknya kedudukan Menteri Panglima Angkatan Darat setelah Yani berhasil dibunuh. Hubungan Latief – Suharto sangatlah dekat namun ini tidak terungkap sepanjang peristiwa G30S meletus karena Suharto sangat cepat dalam bertindak termasuk melakukan teror pembunuhan dan penangkapan-penangkapan tokoh politik penting, termasuk pada orang yang ditugasi Bung Karno untuk menyelidiki fakta pembunuhan yang terjadi akibat peristiwa G30S di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Oei Tjoe Tat yang juga mengenal Soebagiyo nama yang disebut-sebut Soeharto yang memberikan informasi akan adanya gerakan yang membahayakan negara. Hal ini diungkap oleh Oei Tjoe Tat dalam bukunya : “Memoar Oei Tjoe Tat”. Mengenai hubungan Suharto dengan Brigjen Supardjo adalah Pangkopur II yang berkedudukan di Kalimantan, sementara Suharto adalah atasannya langsung. Supardjo ini adalah Jenderal yang berasal dari Siliwangi dan terkenal dekat dengan Sukarno. Bagi ahli sejarah yang berada pada posisi menuduh Sukarno terlibat dengan G30S seperti ACA Dake atau yang berpihak pada Suharto seperti Victor M Fic, kedudukan Supardjo ini kerap dituding sebagai kunci untuk membuka keterlibatan Sukarno. Mereka mengatakan bahwa Sukarno memerintahkan Supardjo menghentikan gerakannya, seakan-akan Sukarno-lah pemimpin gerakan pasca penculikan. Padahal apa yang dilakukan Sukarno adalah memerintahkan Supardjo agar tidak ada pertumpahan darah antara AURI, AD pimpinan Suharto dan AD yang bergerak dibawah komando Untung. Tapi banyak juga yang menyebutkan bahwa Supardjo ini sesungguhnya kecewa setelah ia mendengar banyak dari perwira tinggi AD yang tidak serius dalam melakukan konfrontasi dengan Malaysia. Dititik inilah kemudian Supardjo terlibat dalam gerakan Untung. Supardjo bukanlah perwira yang bersimpati pada PKI, tapi ia lebih dikenal sebagai perwira yang mendukung Sukarno seperti halnya : Omar Dhani, Pranoto, Suryosumpeno dan Ibrahim Adjie. Jadi bisa anda saksikan rangkaiannya dalam gerakan G30S ini. Suharto telah mengambil manfaat banyak dari investasi politiknya, yaitu membangun hubungan lebih kepada bawahannya ketimbang dengan petinggi di Jakarta seperti halnya yang dilakukan Jenderal Yani. Jadi disini Suharto menerapkan Bottom Link dan memang kemudian yang paling menentukan dalam krisis 1965 adalah Gerakan setingkat Kolonel yang menghabisi para Jenderal dimana kemudian Suharto mendapat manfaatnya paling banyak bahkan kemungkinan diluar impiannya dengan menjatuhkan Sukarno.
47
Dimanakah Suharto pada jam-jam pembunuhan para Djenderal? Misteri ini seperti yang saya katakan adalah missing link terbesar dalam misteri G30S. Dimanakah Suharto pada jam 23.00 wib – 5.00 wib.? Menurut pengakuan Suharto pada jam 23.00 wib ia meninggalkan RSPAD yang sebelumnya juga bertemu dengan Latief. Adakah kesaksian yang mengetahui bahwa Suharto langsung pulang ke rumahnya? Ataukah Suharto mampir ke Kostrad? Atau Suharto melakukan kungkum (bertapa dengan berendam di air) di Ancol seperti yang banyak diberitakan oleh orang. Antara jam 23.00 5.00 ada waktu enam jam yang menjadi misteri dan Suharto berujar bahwa pada jam segitu dia tidur. Keraguan terbesar bahwa Suharto ini tidur banyak dilontarkan oleh para sejarawan dan para pelaku sejarah. DARI DETIK KE DETIKPagi 1 Oktober 1965 Bung Karno berada di Halim. Malam harinya ia menginap di rumah istri Dewi Soekarno di Slipi (Wisma Yaso). Pagi-pagi setelah mendapat kabar mengenai penculikan para jenderal, ia berangkat bersama ajudan Parto menuju Istana negara, namun menjelang sampai Istana, jalanan diblokade oleh tentara. Menurut ajudan, pasukan tersebut tidak dikenal, karena memang tidak ada jadwal blokade jalan menuju Istana. Dalam waktu cepat Parto mengambil inisiatif dengan tidak meneruskan perjalanan ke Istana. Mungkin ia menangkap firasat bahaya jika Presiden ke Istana. Lantas Parto mengusulkan Sebaiknya ke Halim saja, pak. Kalau ada apa-apa dari Halim akan dengan cepat terbang ke tempat lain, katanya. Bung Karno menurut saja. Dalam protokoler pengamanan presiden, jika pasukan pengaman merasa presiden dalam bahaya, maka tujuan utama adalah lapangan terbang. Dengan begitu presiden bisa diterbangkan ke mana saja secara cepat. Itu asal-muasal presiden berada di Halim. Mungkin Parto (juga Bung Karno) tidak tahu bahwa para jenderal diculik dan dibawa ke Halim. Sesampainya ke Halim pun Bung Karno belum tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Baru setelah beberapa saat di Halim, beliau diberitahu oleh para pengawal. Beberapa saat kemudian ia menerima laporan dari Brigjen Soepardjo. Aidit pagi itu juga berada di Halim. Inilah keanehannya: para tokoh sangat penting berkumpul di Halim. Kalau Oemar Dhani berada di sana, itu masih wajar karena ia adalah pimpinan AURI. Tetapi keberadaan Aidit di sana sungguh mengherankan. Bung Karno dan Oemar Dhani berada di satu tempat, sedangkan Aidit berada di tempat lain sekitar Halim. Setelah Bung karno terbang ke Istana Bogor (prosesnya dirinci di bagian lebih lanjut), Aidit terbang ke Jawa Tengah. Beberapa hari kemudian Aidit ditembak mati oleh Kolonel Yasir Hadibroto di Brebes, Jawa Tengah. Menurut kabar resmi Aidit ditembak karena saat ditangkap ia melawan. Tetapi menurut laporan intelijen kami Aidit sama sekali tidak melawan. Soeharto memang memerintahkan tentara untuk menghabisi Aidit, katanya. Dengan begitu Aidit tidak dapat bicara yang sebenarnya. Saya lebih percaya pada laporan intelijen kami, sebab istri Aidit kemudian cerita bahwa pada tanggal 30 September 1965 malam hari ia kedatangan tamu beberapa orang tentara. Para tamu itu memaksa Aidit meninggalkan rumah. Suami saya diculik tentara, ujarnya. Setelah itu Aidit tidak pernah pulang lagi sampai ia ditembak mati di Brebes. Hanya beberapa jam setelah para jenderal dibunuh sekitar pukul 11.00 WIB, 1 Oktober 1965, Presiden Soekarno dari pangkalan udara Halim mengeluarkan instruksi yang disampaikan melalui radiogram ke markas Besar ABRI. Saat itu Bung Karno hanya menerima informasi bahwa beberapa jenderal baru saja diculik. Belum ada informasi mengenai nasib para jenderal, meskipun sebenarnya para jenderal sudah dibunuh. Inti instruksi Bung Karno adalah bahwa semua pihak diminta tenang. Semua pasukan harap stand-by di posisinya masing-masing. Semua pasukan hanya boleh bergerak atas perintah saya selaku Presiden dan Panglima Tertinggi ABRI. Semua persoalan akan diselesaikan pemerintah/Presiden. Hindari pertumpahan darah. Demikian antara lain isi instruksi Presiden. Instruksi itu ditafsirkan Soeharto bahwa Untung dan kawan-kawan sudah kalah, karena gerakan menculik dan membunuh para jenderal tidak 48
didukung oleh Presiden. Instruksi lantas disambut Soeharto dengan memerintahkan anakbuahnya menangkap Untung dan kawan-kawan. Jelas ini membingungkan Untung. Ia sudah melapor ke Soeharto soal Dewan Jenderal yang akan melakukan kup terhadap Presiden Soekarno. Untung juga mengutarakan niatnya untuk mendahului gerakan Dewan Jenderal dengan cara menangkap mereka lebih dulu. Semua ini didukung oleh Soeharto. Bahkan Soeharto malah memberi bantuan pasukan. Setelah anggota dewan Jenderal dibunuh, Soeharto malah menyuruh Untung ditangkap. Mengenai soal ini saya ingat cerita Untung kepada saya saat kami sama-sama dipenjara di Cimahi. Untung dengan yakin mengatakan bahwa ia tidak akan dieksekusi meskipun pengadilan sudah menjatuhkan hukuman mati. Sebab Soeharto yang mendukung saya menghantam Dewan Jenderal. Malah kami didukung pasukan Soeharto yang didatangkan dari daerah, katanya. Temanteman sesama narapidana politik juga tahu bahwa Untung adalah anak emas Soeharto. Tapi akhirnya Untung dihukum mati dan benar-benar dieksekusi. Hampir bersamaan dengan keluarnya instruksi Presiden -–mungkin hanya selisih beberapa menit kemudian – Soeharto memanggil ajudan Bung Karno, Bambang Widjanarko yang berada di Halim agar menghadap Soeharto di Makostrad. Ini mungkin hampir bersamaan waktunya dengan perintah Soeharto agar Untung dan kawan-kawan ditangkap. Di Makostrad Bambang Widjanarko diberitahu Soeharto agar Presiden Soekarno dibawa pergi dari Pangkalan Halim sebab pasukan dari Kostrad di bawah pimpinan Sarwo Edhi Wibowo sudah disiapkan untuk menyerbu Halim. Saat Bambang menyampaikan pesan Soeharto itu, Bung Karno geram sekaligus bingung. Instruksi agar semua pasukan stand-by di tempat masing-masing tidak ditaati Soeharto. Sebaliknya Soeharto malah memerintahkan agar Bung karno menyingkir dari Halim. Jika Bung Karno bertahan di Halim, tentu akan sangat berisiko. Sebaliknya kalau Bung Karno meninggalkan Halim, berarti ia patuh pada perintah Soeharto. Bung Karno lantas minta nasihat para pembantu militernya. Brigjen Soepardjo mengusulkan agar Bung Karno terbang ke Bali. Sedangkan Menteri Panglima Angkatan Udara Oemar Dhani mengusulkan agar Bung Karno pergi ke Madiun, Jawa Timur. Wakil Perdana Menteri-II Leimena mengatakan Bung Karno harus berhati-hati. Dan langkah paling hati-hati adalah jika Bung Karno berangkat ke Istana Bogor. Dari berbagai nasihat itu Bung Karno menyimpulkan bahwa kondisi memang gawat dan ia harus meninggalkan Halim. Akhirnya Bung Karno memutuskan untuk menuju ke istana Bogor menuruti nasihat Leimena - dengan jalan darat. Menjelang petang rombongan Bung Karno tiba di Istana Bogor. Ternyata benar. Gempuran pasukan Kostrad ke Halim dilaksanakan menjelang fajar. Penggempuran itu saya nilai sudah tidak tertuju kepada pelaku G30S, sebab – seperti saya sebutkan terdahulu – sekitar dua-pertiga pasukan pelaksanaan G30S adalah orang-orangnya Soeharto. Jadi penggempuran itu hanya merupakan tekanan psikologis terhadap Bung Karno yang saat itu benar-benar bingung. Seumur hidupnya belum pernah Bung karno ditekan tentara seperti saat itu. Sekitar pukul 14.00 WIB - masih pada 1 Oktober 1965 – kepada Kapten Kuntjoro (ajudan Komandan Cakra bhirawa Letkol Marokeh) Soeharto menyatakan bahwa ia adalah anggota Dewan Jenderal. Saat itu pembunuhan terhadap para jenderal sudah selesai. Nasution yang lolos dari target penculikan sedang diamankan di Markas Kostrad. Saya berkesimpulan Soeharto berani mengatakan bahwa dirinya adalah anggota Dewan Jenderal setelah ia yakin bahwa posisinya aman, sehingga tidak perlu lagi menutupi wajahnya. Kepada Kapten Kuntjoro Soeharto mengatakan: Dewan Jenderal memang ada. Saya termasuk anggotanya. Tapi itu dewan untuk mengurus kepangkatan, bukan untuk kudeta. Pernyataan Soeharto ini menunjukkan betapa Soeharto berdiri di dua sisi. Ketika Untung menyatakan akan menghabisi Dewan Jenderal, Soeharto mendukung, bahkan membantu pasukan. Setelah Dewan Jenderal dihabisi ia menyatakan bahwa ia adalah anggota Dewan Jenderal. Pernyataan tersebut mengingatkan saya pada tindakan Soeharto ikut dalam kudeta 3 Juli 1946. Soeharto berdiri di dua sisi. Hanya saja kudeta 3 Juli 1946 adalah kudeta yang gagal, sedangkan G30S adalah awal suatu kudeta merangkak yang 49
berhasil. Dalam kudeta yang disebut terakhir ini, Soeharto memperoleh dua manfaat: ia tampil sebagai pahlawan dan akhirnya merebut kepemimpinan nasional. Dalam kudeta 3 Juli 1946 Soeharto hanya mendapat predikat pahlawan karena menggempur komplotan penculik Perdana Menteri Sjahrir. Namun pada hari itu (Jumat 1 Oktober 1965) kondisi negara benar-benar tidak menentu. Berbagai pihak saling memanfaatkan situasi. Pengumuman pertama tentang penculikan para jenderal melalui RRI disiarkan oleh Untung. Intinya diumumkan bahwa kelompok Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta sudah digagalkan. Anggota Dewan Jenderal sudah diculik dan Presiden Soekarno dalam keadaan aman. Untuk sementara pemerintahan dikendalikan oleh Dewan Revolusi. Maka diumumkan anggota Dewan Revolusi. Di sana tidak ada nama Soekarno. Pengumuman demi pengumuman terus berkumandang di radio. Setelah Untung beberapa kali menyampaikan pengumuman, lalu disusul oleh Oemar Dhani. Masyarakat bingung. Sekitar pukul 21.00 WIB Soeharto berpidato di radio dan mengumumkan bahwa pagi hari itu telah terjadi penculikan terhadap sejumlah perwira tinggi oleh kelompok pimpinan Untung. Tindakan tersebut adalah kudeta kontra-revolusioner melawan Presiden Soekarno. Juga diumumkan bahwa Soeharto mengambil kendali AD (Menpangad) karena Menpangad A Yani diculik. Perubahan demi perubahan dalam sehari itu benar-benar membingungkan Bung Karno. Ia tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Ia tidak tahu siapa sedang berperang melawan siapa, karena ia tidak tahu rencana penculikan Dewan Jenderal. Bung Karno juga heran dengan pengumuman Soeharto mengambil-alih kendali AD. Padahal beberapa jam sebelumnya (siang hari) Bung Karno sudah memutuskan untuk mengambil-alih fungsi dan tugas-tugas Menpangad serta menunjuk Mayjen Pranoto Rekso sebagai pelaksana sehari-hari (care-taker) Menpangad. Esoknya, 2 Oktober 1965 Soeharto didampingi oleh Yoga Soegama dan anggota kelompok bayangannya mendatangi Bung Karno di Istana Bogor. Soeharto bersama rombongan mengenakan pakaian loreng dan bersenjata masuk Istana. Dalam kondisi biasa, hanya pasukan pengawal presiden yang boleh membawa senjata masuk ke dalam Istana. Namun barangkali karena kondisi saat itu berbeda dengan kondisi biasa, mereka diperbolehkan masuk dengan bersenjata. Kedatangan Soeharto ini tidak pernah disebut dalam bukubuku sejarah atau buku kesaksian pelaku sejarah. Bung Karno menerima mereka. Intinya, Soeharto menyatakan tidak setuju terhadap pengangkatan Mayjen Pranoto untuk memegang pelaksana komando AD. Selain protes, Soeharto juga meminta agar Bung Karno memberikan kuasa kepada Soeharto untuk memulihkan keamanan. Juga meminta Presiden mengambil tindakan terhadap pimpinan AU yang diduga terlibat dalam G30S. Karena persoalan cukup rumit Bung Karno menunda pembicaraan dan memanggil para panglima AU, AL, Kepolisian, Mayjen Pranoto dan Mayjen Mursid. Setelah mereka berkumpul baru diadakan rapat bersama Soeharto untuk membahas semua tuntutan Soeharto itu. Rapat berlangsung alot sekitar lima jam. Akhirnya Bung Karno memberi surat kuasa kepada Soeharto untuk memulihkan keamanan (sebagai Panglima Pemulihan Keamanan). Inilah awal Soeharto memetik kemenangan dari rangkaian proses kudeta merangkak itu. Surat kuasa yang diterima oleh Soeharto saat itu juga merupakan surat kuasa pertama. Namun ini tidak pernah disebut dalam sejarah. Mungin kalau disebut dalam sejarah akan terasa aneh. Presiden adalah Panglima Tertinggi ABRI yang pegang kendali militer. Pembunuhan para jenderal baru terjadi sehari sebelumnya. Itu pun beberapa jam kemudian Presiden sudah mengeluarkan instruksi untuk ABRI. Ini menunjukkan bahwa Presiden masih memegang kendali militer. Bahkan Presiden sudah mengambil-alih tugas Menpangad karena Menpangad Yani diculik. Maka kedatangan Soeharto minta surat kuasa untuk memulihkan keamanan, apa namanya kalau bukan memotong kewenangan Presiden? Namun toh akhirnya surat kuasa dikeluarkan oleh Presiden. Menurut memori Yoga, proses keluarnya surat kuasa itu sangat alot. Dalam rapat Soeharto menekan Soekarno. Tetapi kalau kita kembali mengingat bahwa sehari sbelumnya Soeharto melalui RRI sudah menyatakan mengambil-alih pimpinan AD, maka 50
wajar bahwa surat kuasa itu dikeluarkan. Sebelum surat kuasa dikeluarkan saja Soeharto sudah berani mengambil-alih pimpinan AD. Sebelum Soeharto dan kelompok bayangannya meninggalkan Istana Bogor, Soeharto menyatakan agar Presiden tidak meninggalkan Istana Bogor demi keamanan. Sejak itu Presiden Soekarno sudah menjadi tawanan Soeharto. Setelah para pembantu dekat Bung Karno sadar bahwa Bung Karno menjadi tawanan Soeharto, para pembantu jadi teringat bahwa saran menuju Istana Bogor itu datang dari Leimena. Bukankah brigjen Soepardjo menyarankan Bung Karno untuk pergi ke Bali? Menpangau Oemar Dhani menyarankan ke Madiun, Jawa Timur? Leimena menyarankan – yang paling hati-hati – ke Istana Bogor. Di kalangan orang dekat Bung Karno muncul pembicaraan, seandainya Bung Karno menuruti saran Soepardjo atau Oemar Dhani, tentu akan lain ceritanya. Saya sangat yakin Leimena benar-benar tidak punya maksud tertentu, apalagi menjerumuskan Bung Karno. Beliau adalah orang yang loyal terhadap Bung Karno. Sarannya ke Istana Bogor memang langkah hati-hati. Selain karena jaraknya lebih dekat (dibanding Bali atau Madiun) istana bogor memang tempatnya presiden atau termasuk simbol negara. Siapa sangka Soeharto berani mendatangi Bung Karno, bahkan menawan Bung Karno di sana? Namun karena pembicaraan beredar menyesalkan saran Leimena, esok harinya Leimena mendatangi Soeharto di Makostrad. Tujuannya mengingatkan Soeharto agar jangan bersikap begitu keras terhadap Presiden. Leimena berkata kepada Soeharto: jangan begitu, dong. Tetapi apa jawaban Soeharto? Pak Leimena jangan ikut campur. Pak Leimena urusi tugasnya sendiri. Saya yang kuasa sekarang. Mendengar itu Leimena mundur. Tidak berapa lama kemudian (masih hari itu juga) ganti Waperdam-III Chaerul Saleh mendatangi Soeharto. Maksudnya juga sama dengan Leimena. Jawaban Soeharto juga sama seperti yang tadi: Saya yang kuasa sekarang. Pak Chaerul Saleh jangan ikut campur, kata Soeharto. Hebatnya, beberapa waktu kemudian Soeharto membantah menerima surat kuasa dari Presiden. Dia menyatakan kurang lebih demikian: Dalam kehidupan militer tidak mungkin ada dua panglima (dia dan Mayjen Pranoto yang sudah ditunjuk oleh Presiden menjadi caretaker Menpangad) yang ditunjuk dalam waktu bersamaan. Maka praktis pengangkatan terhadap mayjen Pranoto sebagai caretaker Menpangad tidak berjalan sama sekali. Sebaliknya Soeharto sebagai Panglima Pemulihan Keamanan dan Ketertiban terus bertindak, sehingga pergolakan di kalangan elite politik pun tidak dapat dicegah.Inilah awal kudeta terselubung itu. Sejak itu sebenarnya Bung Karno sudah tidak lagi memiliki power untuk memimpin negara.Esoknya pembantaian terhadap anggota PKI dan keluarganya dimulai. PKI dituduh menjadi dalang G30S. Sejak itu Indonesia banjir darah. Yang digempur bukan hanya tokoh-tokoh PKI, tetapi semua yang berbau PKI dibantai tanpa proses hukum. Di kota, desa, dusun, di berbagai sudut negeri dilakukan pembantaian besar-besaran, suatu tindakan yang sangat mengerikan. Pembantaian PKI dimulai beberapa saat setelah Presiden Soekarno mengumumkan (3 Oktober 1965) Pangkostrad Mayjen Soeharto dipercaya sebagai pelaksana Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Tidak disangka jika lembaga yudisial ini kelak menjadi sangat ditakuti rakyat. Hanya dengan menyebut Kopkamtib saja orang sudah ngeri. Beberapa tahun berikutnya namanya diganti menjadi Bakorstanas, namun tetap saja nama yang menakutkan bagi masyarakat. Semua tindakan masyarakat yang tidak sesuai dengan keinginan Soeharto pasti ditumpas oleh Kopkamtib yang kemudian berubah nama menjadi Bakorstanas atau Bakorstanasda di daerah. Lembaga ini menjadi senjata Soeharto untuk menumpas orang-orang yang tidak setuju pada keinginannya. Perkembangan ini tentu di luar dugaan Bung Karno selaku pemberi kuasa. Pada tanggal 16 Oktober 1965 Presiden Soekarno mengangkat Soeharto menjadi Menpangad, menggantikan A Yani. Lantas pada akhir Oktober 1965 di rumah Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Brigjen Syarif Thayeb, atas perintah Soeharto dibentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Inilah embrio gerakan mahasiswa yang didukung oleh tentara. KAMI lantas sering berdemo dengan didukung oleh pasukan 51
RPKAD dan Kostrad. Di beberapa buku sejarah G30S banyak pertanyaan, mengapa Presiden Soekarno tidak mendukung G30S. Logikanya, jika Dewan Jenderal berniat melakukan kup, lantas dewan Jenderal dibunuh oleh pasukan Cakra Bhirawa dibantu pasukan Soeharto, mestinya Bung Karno langsung mendukung G30S begitu mendengar para jenderal diculik. Tapi mengapa Bung Karno malah menghentikan gerakan itu? Jawabnya adalah karena Bung Karno tidak tahu rencana penculikan para jenderal itu. Ini sekaligus menjawab pertanyaan mengapa nama Bung Karno tidak tercantum dalam Dewan Revolusi yang diumumkan oleh Untung beberapa jam setelah pembunuhan para jenderal. Dewan Revolusi ini adalah buatan Untung sendiri tanpa konsultasi dengan Presiden. Drama 1 Oktober 1965 dalam sekali pukul menghasilkan keuntungan bagi Soeharto:1. Mengubah kenyataan adanya komplotan Dewan Jenderal, di mana Soeharto merupakan salah satu anggotanya, menjadi semacam fiksi belaka.2. Sebaliknya mengubah fiksi menjadi nyata bahwa yang sungguh-sungguh melakukan kudeta bukanlah Dewan Jenderal, melainkan G30S pimpinan Untung (yang sebenarnya disokong oleh Soeharto).3. Melikuidasi kelompok Yani sebagai rival potensial Soeharto.4. Membuka peluang Soeharto tampil sebagai pahlawan yang akhirnya benar-benar terwujud. (Soebandrio : Kesaksianku tentang G30S)
52
Lolosnya Nasution dari Pembunuhan (Suharto Melipat Nasution) Kegagalan G30S dalam membunuh Nasution dalam aksinya merupakan awal dari bangkrutnya gerakan itu. Dalam hal ini ketika jam menunjukkan pukul 6.00 pagi bisa dipastikan Suharto sudah memutuskan sebuah pilihan setelah sebelumnya ia berdiri diantara dua kaki : Panglima Kostrad yang pro Sukarno dan orang yang mengetahui Gerakan ini lebih dari yang lainnya. Jadi antara jam 4 pagi sampai jam 6 pagi pada 1 Oktober 1965 telah terjadi sebuah pergulatan panjang di alam pikiran Suharto, kepada siapa dia akan berpihak. Pada G30S yang telah gagal membunuh Nasution atau pada membela G30S yang notabene dia juga mengetahui gerakannya dan dilakukan oleh orang-orang dekatnya sendiri? Bila ia memihak pada G30S ia akan berhadapan dengan Nasution cs. Ia juga akan berhadapan dengan kelompok pro Yani yang akan sontak mendukung Nasution, perlu diingat bahwa memang hubungan Nasution-Yani adalah hubungan naik turun, namun menjelang meletusnya G30S hubungan mereka membaik karena dipersatukan oleh isu adanya Angkatan Ke V (lima) yang ditolak habis-habisan oleh Yani. Dan bila Suharto memihak pada Nasution, ia bisa saja langsung menjabat kedudukan Menpangad. Sementara Nasution dipastikan akan shock jadi dia langsung bisa mengisi kekuatan Nasution dibawah komando Suharto. Achirnya sejarah memperlihatkan Suharto melawan G30S ini artinya Suharto melawan orang-orang yang pernah menjadi bawahannya. Pilihan Suharto semakin sukses ketika ia mengetahui dari beberapa ajudan Sukarno yang chusus menemui Suharto bahwa Bung Karno menolak Gerakan Untung, ini artinya Bung Karno menjauh pada Gerakan Untung yang bukan main konyolnya itu. Mengenai dilipatnya posisi Nasution yang paling baik menjelaskan adalah Kesaksian Subandrio, sementara buku-buku sejarah lainnya baik asing maupun lokal gagal memperlihatkan tamatnya kedudukan Nasution di depan Suharto, begini menurut pendapat Soebandrio : NASIB AH NASUTIONNasution meninggal dunia menjelang buku ini naik cetak, 6 September 2000. Dia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, dengan upacara militer. Semoga arwahnya diterima di sisi Allah SWT, Amin. Dialah perwira yang paling tinggi pangkatnya setelah Yani tiada. Saat itu dia sudah menyandang bintang empat, sedangkan Soeharto masih bintang tiga. Di saat TNI AD terpecah (secara tidak transparan) dalam kubu-kubu di tahun 1960-an, Kubu Nasution ditakuti oleh kubu Yani dan Kubu Soeharto. Banyak politikus saat itu yang mengatakan bahwa Letjen TNI AH Nasution paling pantas menggantikan Presiden Soekarno. Dia terkenal anti-PKI, memiliki dedikasi yang tinggi dan termasuk jenderal yang diculik pelaku G30S (dia lolos, tapi anaknya tewas) sehingga wajar menyandang gelar pahlawan. Selain sangat berpengalaman di bidang militer, Nasution juga matang berpolitik. Dialah pencetus ide Dwi Fungsi ABRI melalui jalan tengah tentara. Ia berpengalaman melakukan manuvermanuver politik yang dikoordinasi dengan menggunakan kekuatan militer, agar tentara bisa masuk ke dalam lembaga-lembaga negara secara efektif di pusat dan daerah. Yang tidak banyak diketahui orang adalah bahwa dari sekian perwira senior yang paling ditakuti Presiden Soekarno saat itu adalah Nasution. Presiden Soekarno menjuluki Nasution sebagai pencetus gagasan Negara dalam Negara. Itu berarti ia berani menentang kebijakan Bung Karno (lihat Bab II). Di saat Yani masih ada pun, spekulasi yang berkembang adalah bahwa jika Bung Karno meninggal atau sudah tidak lagi mampu memimpin Indonesia, maka pengganti yang paling cocok adalah: Yani atau Nasution. Kans mereka menjadi presiden sama besarnya. Tetapi Nasution dilipat oleh Soeharto. Ia – seperti halnya Yani – tidak mewaspadai isu Dewan Jenderal. Dia benar-benar tidak awas soal berbagai kemungkinan yang bakal terjadi akibat isu tersebut. Dia benar-benar tidak tahu – bahkan tidak menduga – bahwa Soeharto yang pangkatnya lebih rendah berhasil menggosok Letkol Untung untuk menghantam Dewan Jenderal. Akibatnya nyaris 53
merenggut nyawa Nasution, tapi meleset sehingga Ade Irma Suryani Nasution gugur sebagai Bunga Bangsa. Pertanyaannya adalah: mengapa Soeharto dalam mengambil tindakan-tindakan penting AD tidak melibatkan Nasution? Jawabnya: Soeharto memang menggunakan Nasution sebagai umpan untuk menarik kekuatan-kekuatan anti-komunis, baik militer maupun sipil yang berada di bawah pengaruh Nasution. Pada sisi lain Nasution digunakan oleh Soeharto menjadi momok bagi Bung Karno sebab ia tahu Nasution adalah orang yang paling berani menentang gagasan Bung Karno. Saya mengatakan Soeharto mengambil tindakan-tindakan penting tanpa melibatkan Nasution, tentu ada contohnya. Salah satunya - berdasarkan informasi akurat yang saya terima adalah sebagai berikut: Setelah lolos dari penculikan, sekitar pukul 09.00 WIB Nasution bertemu dengan Soeharto. Pada waktu hampir bersamaan pagi itu – 1 Oktober 1965 – Soeharto memerintahkan para petinggi AD berkumpul dan rapat di Makostrad. Tetapi Soeharto minta bantuan Kodam Jaya untuk menyembunyikan Nasution. Tujuannya seolah-olah untuk mengamankan Nasution yang mungkin saja masih dikejar oleh pelaku G30S, sehingga rapat di Makostrad itu tidak dihadiri oleh Nasution. Menurut memori Yoga, dalam rapat langsung ditegaskan oleh Soeharto bahwa penculikan para jenderal yang baru saja terjadi itu didalangi oleh PKI. Soeharto juga berhasil mengajak Komandan RPKAD Sarwo Edhi Wibowo agar menyatukan pasukannya di bawah pasukan Kostrad untuk menggempur pelaku G30S dan PKI. Dibahas pula instruksi Presiden ke Mabes ABRI agar semua pasukan tidak bergerak selain diperintah oleh Presiden (baca Dari Detik ke Detik).Rapat akhirnya sepakat menolak perintah Presiden. Alasannya: Nasib para jenderal yang diculik belum diketahui dengan pasti. Operasi pengejaran terhadap para penculik sudah disiapkan di Makostrad. Bila Menpangad tiada (Menpangad A Yani diculik) maka yang menggantikan adalah Pangkostrad. Artinya Soeharto menunjuk dirinya sendiri. (Pada bagian terdahulu disebutkan: Malamnya Soeharto mengumumkan di RRI bahwa ia mengambil-alih kendali AD). Maka rapat memutuskan bahwa instruksi Presiden tidak perlu dipatuhi. Selain itu secara otomatis disepakati bahwa keputusan Presiden mengambil-alih kendali militer dan menunjuk Mayjen Pranoto sebagai pelaksana sehari-hari (caretaker) Menpangad tidak perlu dipatuhi.Setelah rapat memutuskan banyak hal penting, Soeharto lantas memerintahkan anak-buahnya untuk mengambil Nasution keluar dari persembunyiannya dan membawanya ke Makostrad. Nasution tiba di Makostrad dalam kondisi masih stres berat (karena baru saja lolos dari pembunuhan) dan langsung dimasukkan ke dalam ruang rapat. Peserta rapat masih berkumpul lengkap, tetapi sore itu rapat sudah hampir selesai. Keputusan-keputusan sudah diambil beberapa jam sebelumnya. Nasution hanya diberitahu bahwa rapat sudah berlangsung sejak pagi dan sudah hampir selesai. Dengan cara seperti itu Soeharto sudah menang setengah hari dari Nasution. Dalam kondisi biasa setengah hari mungkin tidak ada artinya, tetapi pada kasus itu menjadi sangat penting. Rapat itu menentukan kondisi negara Indonesia pasca G30S. Nasution ternyata tidak marah bahwa dirinya tidak dilibatkan dalam rapat. Karena, pertama, dengan dimasukkan ke Makostrad berarti dia harus menghormati Pangkostrad Soeharto. Dari cara Nasution disembunyikan Soeharto, lantas Nasution dibawa ke Makostrad, bisa jadi membuat ia merasa seolah-olah menjadi tawanan Soeharto. Apalagi ia masih stres berat setelah lolos dari rentetan tembakan. Kedua, rapat toh sudah hampir selesai dan ia tidak tahu apa isinya. Dari peristiwa itu tampak kecerdikan Soeharto memasukkan Nasution dalam ruang rapat. Dengan begitu seolah-olah Nasution ikut menyetujui keputusan-keputusan yang diambil dalam rapat. Selain itu, tindakan itu juga menimbulkan kesan umum bahwa Nasution pun dibawa ke Makostrad dan diamankan oleh Soeharto. Itu bisa menimbulkan kesan: Soeharto berada di atas Nasution. Juga menguatkan asumsi bahwa G30S didalangi PKI karena Nasution dikenal anti-komunis. Ini sekaligus untuk menarik kekuatan-kekuatan anti-komunis – baik dari militer maupun sipil – ke pihak Soeharto. Yang paling vital, kehadiran Nasution di Makostrad saat itu dijadikan momok oleh Soeharto untuk menakut-nakuti Presiden Soekarno. Ada satu kalimat 54
Nasution yang ditujukan kepada Soeharto sesaat sebelum rapat selesai. Bunyinya demikian: Sebaiknya Mayjen Soeharto secepatnya memulihkan keamanan agar masyarakat tenang. Pernyataan ini terlontar secara spontan saja. Ia menginginkan agar secepatnya diambil tindakan untuk menenangkan masyarakat (atau mungkin untuk menenangkan diri Nasution sendiri). Tetapi bagi Soeharto kalimat itu ibarat Pucuk dicinta, ulam tiba. Soeharto memang sedang menunggu orang yang bisa memberi dia kuasa. Saran Nasution itu merupakan kuasa yang bisa dia kembangkan kepada Presiden Soekarno. Tidak perlu menunggu lama, esoknya dia bersama Yoga dan kelompok bayangannya beragkat ke Istana Bogor untuk menemui Presiden Soekarno. Di sana Soeharto memaksa Bung Karno minta kuasa. Akhirnya Soeharto benar-benar mendapatkannya: Pangkopkamtib (Soebandrio : Kesaksianku tentang G30S)
55
Supersemar Dan Kejatuhan Bung Karno Terbunuhnya enam Jenderal Angkatan Darat dan kemudian ketidakberdayaan Nasution dalam situasi krisis karena jatuh mental-nya akibat anaknya terbunuh dan kebingungannya dalam menghadapi Sukarno, menjadi sebuah cerita kudeta paling menarik dalam sejarah Indonesia yang dilakukan oleh Suharto, bahkan bisa dikatakan sebuah konspirasi paling canggih, rumit dan misterius. Sebuah kerja yang sangat brilian untuk mendapatkan wilayah paling kaya sumber daya alam di dunia : Indonesia. Awal sebuah kudeta 1 Oktober 1965 adalah pengangkatan secara sepihak Suharto sebagai Menpangad dalam situasi yang tidak biasa. Bila peristiwanya adalah biasa seperti Yani sedang berhalangan sakit atau ke luar negeri dan kondisi keamanan biasa-biasa saja itu bisa dimengerti karena memang Suharto adalah wakil fungsional Yani di Angkatan Darat. Namun peristiwa yang terjadi adalah sangat tidak biasa yaitu : Jenderal Yani diculik oleh pasukan yang mengatasnamakan Dewan Revolusi dibawah seorang perwira kelas menengah. Sementara Suharto kemudian mengetahui bahwa Sukarno berada di Halim Perdanakusuma, kenapa kemudian Suharto tidak ke Halim dan menyerahkan keputusan pada Sukarno? Bahkan Suharto bukan saja tidak melaporkan tindakan dirinya sebagai Menpangad tapi dia melarang Jenderal Umar Wirahadikusumah ke Halim dalam posisi ini sesungguhnya Suharto sudah berhadapan langsung dengan Sukarno. Seandainya tidak ada niat tersembunyi Suharto tentunya Suharto akan langsung ke Halim dan menemui Sukarno. Bila memang Suharto katakanlah teori naif-nya mencurigai Sukarno terlibat dalam gerakan Untung, bukankah kemudian sejarah akan lebih terbuka? Sesungguhnya hal yang paling penting dalam Gerakan Untung dalam posisinya pada sejarah Indonesia bukanlah pada Gerakannya tapi pada apa yang terjadi setelah Gerakan. Makanya sangat tepat bila Sukarno menamakan Gerakan itu adalah Gerakan 1 Oktober 1965, GESTOK. Karena Gestok merupakan satu paket : yaitu Gerakan Untung pada dini hari 1 Oktober 1965 dan Gerakan Suharto mulai pagi hari sampai malam pada 1 Oktober 1965. Pengangkatan secara sepihak inilah yang kemudian menjadi awal dari peristiwa pembunuhan besar-besaran yang terjadi sepanjang akhir tahun 1965. Kelak saya berharap harus ada riset khusus mengenai peristiwa pembunuhan 1965 lengkap dengan studi sosiologisnya. Ada tiga hal yang paling aneh dalam kasus SP 11 Maret 1966 ini, yaitu : Hilangnya surat asli ini Saling sengketa pendapat antara pelaku sejarah SP 11 Maret 1966 terutama antara Jenderal Yusuf dan Jenderal Amirmachmud, sementara Jenderal Basuki Rachmat tidak sempat lama menikmati Orde Baru karena keburu meninggal. Kesaksian seorang prajurit pengawal Bung Karno, Wilardjito terhadap adanya penodongan pestol oleh Jenderal keempat ; yang tidak pernah disebut datang ke Istana Bogor yaitu : Jenderal M Panggabean. Menurut kesaksian Wilardjito inilah M Panggabean menodong Sukarno dengan pestol. Dan yang paling terpenting dalam surat ini adalah : Penafsiran Semena-mena Suharto bahwa surat ini adalah surat pemindahan kekuasaan. Yang digambarkan dengan baik oleh sikap Amirmachmud yang mengaku setelah membaca surat ini dengan senter di dalam mobil pada gelapnya malam dalam perjalanan dari Bogor menuju Jakarta, ia berujar : “Wah, ini surat pelimpahan kekuasaan”.
56
Walaupun ada SP 11 Maret 1966 yang diplintir Suharto, Sukarno tidak mau membubarkan PKI karena pembubaran ini akan merangsang sebuah gerakan yang meruntuhkan dirinya. Kebijakan Sukarno inilah yang kemudian ditonjok habis-habisan oleh kaum modernis yang sebenarnya hanya segelintir saja, tapi berkedudukan di pusat intelektual Indonesia (Jakarta dan Bandung) Bahkan kelak Yogya dan Surabaya adalah sarang dari pemikiran Sukarnois yang kemudian mempengaruhi Jakarta pada pertengahan tahun 1980-an ketika Orde Baru sedang kuat-kuatnya . Ingat dalam kasus penumbangan Sukarno intelektual Yogyakarta dan Surabaya sama sekali tidak terlibat. Hanya Jakarta dan Bandung yang bergerak, itupun mereka yang berasal dari extra onderbouw yang kemudian belakangan didukung oleh PMKRI (Onderbouw Partai Katolik) dimana pengaruh Pater Beek sangat kuat. HMI sendiri awalnya menolak bergabung dengan gerakan mahasiswa anti Sukarno, karena ketua HMI dekat dengan Sukarno dan berterima kasih atas lindungan Bung Karno yang pasang badan untuk tidak membubarkan HMI sesuai tuntutan CGMI onderbouw PKI. Melalui mesin intelektual dan media massa yang sudah pro Suharto pasca Gerakan Untung, Sukarno sedikit kesulitan melawan opini yang menghantam dirinya. Dan sejak bulan Februari 1966 tercatat dalam pemberitaan-pemberitaan isunya sudah mulai bergeser dari isu landasan Suharto : “PKI ada dibelakang Gerakan Untung 1965” menjadi isu : “Kepemimpinan Sukarno sudah unlegitimated” pergeseran isu inilah yang kemudian menambah mesiu kekuatan intelektual anti Sukarno. Puncaknya adalah perkataan Mashuri yang menyatakan : “Revolusi sudah selesai” dimana Sukarno gusar luar biasa. Sejak peristiwa Supersemar inilah Suharto sudah menang mutlak atas Bung Karno. Dan Bung Karno berada di dalam tahanan Suharto, walaupun pada awalnya Bung Karno boleh berpidato di sana sini, namun akhirnya Suharto dengan kejam memerintahkan Bung Karno di tahan dalam rumah, tidak boleh baca koran dijauhkan dari teman-temannya bahkan tidak dirawat dengan layak sampai pada kematian Bung Karno. Catatan hidup akhir Bung Karno adalah rangkaian dari kekejian Suharto sejak tuduhan dia terhadap G30S bahwa itu gerakan PKI yang mengakibatkan terbunuhnya jutaan nyawa sampai pada penyiksaan terhadap Sukarno, orang yang paling berjasa dalam memerdekakan bangsa ini. Setelah sebelumnya Sukarno dihina dan dihujat habis-habisan oleh kelompok intelektual pendukung Suharto. Praktis kepemimpinan Revolusi Sukarno dalam eksperimen Demokrasi Terpimpin dimana target eksperimennya itu adalah berdikari di bidang ekonomi, politik dan kebudayaan. Menjadi hancur total di tahun 1966 berkat peran intelektual modernis dan perwira militer. Dan kelompok pengganti Sukarno ini yang disebut sebagai Orde Baru. Suharto dengan gayanya yang terkesan rendah hati, sederhana dan tidak banyak bicara menarik perhatian banyak orang. Apalagi banyak elite politik yang sudah harus menghindar dari Sukarno, atau pilihannya penjara atau kalau tidak kabur ke luar negeri. Banyak memang dari mereka yang setia pada Bung Karno, seperti : Letjen Kko Hartono yang kemudian dikabarkan mati bunuh diri setelah pulang ke Jakarta dari pos-nya sebagai dubes di Korea Utara dan dipanggil Kopkamtib untuk dimintai keterangan. Jutaan nyawa mati, ribuan orang baik wanita dan laki-laki dipenjara sementara para elite militer dan elite politik yang setia pada Bung Karno dibuat sengsara hidupnya. Dibawah landasan puingpuing pembantaian terhadap kemanusiaan inilah kemudian Suharto menyusun masyarakat baru. Apa yang dilakukan Suharto adalah eksperimen terbesar sejarah Nusantara yang dilakukan dengan cara pemaksaan dan kekejian. Apa yang dilakukan Suharto terhadap susunan masyarakat baru-nya ini yang disebutnya sebagai : Orde Baru? Praktis kepemimpinan Revolusi Sukarno dalam eksperimen Demokrasi Terpimpin dimana target eksperimennya itu adalah berdikari di bidang ekonomi, politik dan kebudayaan. 57
Menjadi hancur total di tahun 1966 berkat peran intelektual modernis dan perwira militer. Dan kelompok pengganti Sukarno ini yang disebut sebagai Orde Baru.
58
Orde Baru ditengah Konsep Tata Dunia Jangka Panjang Bila kita menoleh lagi pada literatur-literatur yang mendasari Orde Baru maka kita akan memahami bahwa Orde Baru ini adalah sebuah tanggapan kaum intelektual agar Indonesia masuk ke dalam sistem tatanan dunia yang terbuka. Sesuai dengan gagasan Karl Popper ilmuwan Hongaria yang tinggal di Inggris dimana teori Open Society-nya menjadi landasan untuk menggerakkan dunia meninggalkan sistem tertutup pemerintahan diktatorial dan otoritarian. Indonesia diharapkan bisa masuk ke dalam alam Masyarakat Terbuka yang dinamis dan modern sesuai dengan kaidah-kaidah kebudayaan yang mengedepankan rasionalitas dan efektivitas. Diantara sekian literatur yang menjelaskan konsepsi sistem dunia jangka panjang yang kemudian banyak muncul setelah boikot OPEC 1973 serta kesadaran akan habisnya sumber-sumber energi, maka gagasan Mihajlovic Mesarovic dan Eduard Pestel yang bisa kita baca dalam bukunya ‘Mankind at the Turning Point’ adalah sebuah uraian yang bagus untuk menjelaskan bagaimana dunia di tahun 2000. Buku itu sendiri ditulis pada tahun 1974. Kemudian menghebohkan para intelektual Indonesia termasuk Soedjatmoko yang kemudian menanggapinya dalam majalah Prisma dengan judul ‘Futurologi dan Kita’ . Gagasan Mesarovic-Pestel ini adalah sebuah studi yang juga menanggapi catatan pemikiran Dennis L Meadows yang menulis ramalan tentang sistem dunia yang dituangkan dalam bukunya ‘The Limits To Growth’. Sebelum memasuki model sistem Mesarovic-Pestel sebagai tanggapan antisipasi perkembangan dunia, mari kita lihat dunia ini sebagai sistem yang interdependen satu sama lain. Kemudian untuk memahami gerak dunia diperlukan sebuah studi yang multidisiplin (Budaya, Sosial, Politik, Ekonomi, Lingkungan, Dan, Statistik dan Ilmu Alam) dimana kemudian ditemukan model-model yang bisa menggambarkan ke arah mana dunia bekerja. Model ini merupakan sebuah kelompok rangkaian deskripsi (Set of Description). Rangkaian deskripsi ini merangkum fenomena-fenomena yang dapat diulas bukan saja melalui angka-angka namun pada pola verbal. Sebagai tambahan model yang dikembangkan pada tahun 1970-an mengilhami Alvin Toffler yang mengembangkan model gelombang sebagai gambaran dunia di masa mendatang pada tahun 1990-an, hanya bedanya model yang dibangun Mesarovic-Pestel adalah khas tahun 1970-an dimana peran ekonomi makro masih menjadi gambaran dominan. Setelah anda membaca lingkarlingkar permasalahan yang ditulis Mesarovic-Pestel di tahun 1974 akankah anda membantahnya pada tahun 2008 ini? Untuk mengulas model Mesarovic-Pestel, saya akan memfokuskan pada konsep disagregatif dan level dimensional permasalahan. Mari kita bahas yang pertama konsep disagregatif, pada sistem dunia yang mengelompokkan negara-negara ke dalam sebuah lingkaran besar yang saling berkait dan dibagi menjadi 10 bagian : Eropa Barat, Amerika Utara, Jepang, Australia (Afsel dimasukkan ke dalam sini) – mereka ini disebut sebagai blok barat kemudian Eropa Timur, Amerika Latin, Afrika Utara dan Timur Tengah, Afrika Tropis, Asia Selatan (Asia Tenggara masuk ke dalam Asia Selatan) dan Cina. Perlu sedikit dikoreksi ekonomi Asia Tenggara sendiri sesungguhnya adalah seirama dengan dinamika Asia Timur (namun untuk budaya Indonesia lebih terpengaruh Indianisasi ketimbang kebudayaan Cina sebagaimana halnya negara-negara Indochina termasuk Thailand, Filipina dan Singapura) Kelompok-kelompok ini memiliki pola yang sama dalam perkembangan tradisi bersama, pola kebudayaan dan gaya hidup. Setelah memasuki konsepsi disagregatif, mari masuk ke tingkatan permasalahan dunia yang dibaginya ke dalam level-level atau Stratum. 59
Enviromental Stratum Tingkatan ini meramal dimensi alam lingkungan seperti Geofisika (tanah, air, ruang, iklim, sumber daya fisik dan lain sebagainya), Ekologis (flora dan fauna, yang menjadi bagian dari alam hidup manusia). Technological Stratum Ini merupakan tingkatan dimensi teknologi, mulai teknologi pertanian sampai teknologi satelit. Dimensi ini juga dipandang sebagai gerak arus pemindahan energi dan massa ke dalam Biologi, Kimia dan Fisika sehingga menghasilkan hal-hal yang mempermudah manusia. Group Stratum Pada dimensi ini perhatian dipusatkan pada ciri-ciri institusionil dan kelakuan manusia sebagai kolektivitas dalam proses kemasyarakatan. Individual Stratum Disini perhatian dilebihkan pada konstelasi biologis dan psikologis pada seorang manusia. Penjelasan disagregatif dan Multilevel yang diuraikan diatas menjadi landasan MesarovicPestel untuk meramalkan dunia 50 tahun ke depan (ingat mereka berdua meramalkannya pada tahun 1974) Jadi sudah ada 30 tahun lebih waktu untuk membuktikan ramalan itu. Mari kita lihat apa yang diramalkannya dalam kajian mereka. Berikut ramalan Mesarovic-Pestel dalam bukunya ‘Mankind at the Turning Point’. Ramalan Pertama, Dalam 50 tahun ke depan akan ada krisis dalam masalah pengadaan pangan dunia. Masalah-masalah pangan, penduduk, energi dan sumber daya alam. Solusinya menurut Mesarovic-Pestel adalah : bantuan yang cukup besar untuk produksi dan pengadaan pangan dan pengendalian penduduk secara efektif. Masalah ini bukan hanya masalah per negara tapi masalah global sehingga penyelesaiannya juga diserahkan pada global, global solution. Ramalan Kedua, Jarak antara negara-negara industri (maju) dengan negara-negara akan menjadi semakin besar dan sangat timpang. Bila ini tidak segera diantisipasi (tahun : 1974) maka akan ada goncangan yang pada awalnya bermula pada masalah internal satu komunitas kemudian menyebar menjadi masalah global yang akan mengancam sistem dunia. Ramalan Ketiga, Arah dunia menuju pada konflik karena berkurangnya sumber-sumber daya alam. Pemecahannya adalah harus ada kerjasama dunia Internasional. Dimana cakupannya adalah pengaturan alokasi (global allocation of resources), khususnya yang menyangkut sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Ramalan Keempat, adalah usaha-usaha dari sebagian negara maju untuk menggunakan teknologi nuklir sebagai sumber energi. Mesarovic-Pestel menolak keras penggunaan teknologi nuklir ini, khususnya mengenai fast breeder reactor. Kemudian Mesarovic-Pestel menggunakan skenario penggunaan energi : pertama adalah untuk jangka pendek bagaimanapun dunia bergantung pada minyak bumi sehingga masalahnya ialah pengaturan tingkat harga atas dasar dan syarat yang baru disertai dengan kepastian ketersediaan minyak bumi. Kedua, Jangka Menengah : Sumber energi harus dilengkapi oleh keberadaan energi alternatif seperti : Gas dan Batubara. Serta ketiga : Kesiapan teknologi sumber energi matahari harus sudah siap sebelum sumber-sumber energi yang 60
tak terbarukan habis. Mesarovic-Pestel memang menolak Fast Breeder Reactor namun mereka menyetujui penggunaan nuclear fusion karena dianggap clean energy. Dalam jangka waktu 100 tahun, akan ada sebuah teknologi energi berbasis tenaga surya, bila itu terjadi pengembangan reaktor nuklir sebagai sumber energi bisa dihindari. Dan disadari atau tidak, sesungguhnya Orde Baru dibawah kendali Junta Militer mengarahkan Indonesia untuk bersiap menghadapi model-model sistem dunia di masa yang akan datang dengan berpihak pada negara barat yang terbuka. Pada awalnya Orde Baru menciptakan ruang untuk Indonesia bersiap memasuki sebuah kebudayaan modern dunia dimana sistemnya pada awal tahun 1970-an diramalkan sedemikian rupa. Tapi hasilnya adalah kebalikan dari cita-cita Orde Baru. Kenapa bisa begini? Persoalan terpenting yang dilihat dari Orde Baru adalah persoalan pelanggaran kemanusiaan, titik!. Sebelum memasuki kenapa Orde Baru Suharto bisa memundurkan bangsa ini dan menjadi bangsa paling lemah pada abad 21 maka tak pelak kita harus menarik akar permasalahannya. Yang menurut saya adalah Pembangunan tidak diarahkan pada Pembebasan Manusia, tapi lebih pada pemenjaraan manusia. Ada baiknya untuk mengulas bagaimana kemudian Suharto mengkhianati Orde Barunya kemudian membawa Indonesia mundur jauh ke belakang dan tertinggal menjadi sebuah negara yang tersub-ordinat diantara negara-negara lain, kita buka dulu pemikiranpemikiran Soedjatmoko yang sangat tepat untuk menggambarkan manusia sebagai pusat proyek pembangunan, yaitu : Pembebasan.
61
Pembangunan Sebagai Pembebasan Manusia Saya memiliki pemahaman semua gerak sejarah mengarah pada pembebasan manusia. Dalam landasan Marxian pembebasan manusia adalah sebuah hasil dari kerja manusia yang tidak lagi terbelenggu dalam mistifikasi dan kebohongan kapital yang terbungkus dalam bangunan atasnya yang merupakan produksi dari kebudayaan manusia dimana ekonomi merupakan landasan bawahnya. Dan memang sepanjang sejarah ilmu sosial tidak ada yang lebih besar tentang teori pembebasan manusia selain dari gagasan yang keluar dari kepala Karl Marx. Namun pemikiran Marx ini mengalami ramifikasi (percabangan) ada yang ke Lenin, Stalin dimana etatisme menjadi senjata, Mao, Gramsci, Tan Malaka, Sjahrir, Soedjatmoko dan banyak lagi cabangnya sampai ke yang ada di jaman kita seperti : Konsepsi Alan Badiou. Di Indonesia penggagas pembebasan manusia adalah Soedjatmoko. Bilamana Tan Malaka selalu membicarakan konsepsi pemikiran manusia Indonesia ini artinya manusia dilihat sebagai bagian internal psikologis dari sebuah proses perubahan sejarah dengan gagasan khas abad 19 Madilog (materialismedialektika-logika), maka Soedjatmoko lebih melihat manusia sebagai bagian dari rangkaian hubungan. Dan ending dari rangkaian hubungan itu adalah : Kebebasan Manusia. Di titik inilah kemudian Soedjatmoko mencoba melihat konsepsi Pembangunan di Negara Dunia Ketiga sebagai wahana pembebasan manusia. Dan Orde Baru-lah yang memicu jargon pembangunan lalu kemudian menjadi sebuah penjara besar bagi sejarah kemanusiaan di Indonesia. Mari kita lihat pemikiran Soedjatmoko yang saya kutip dari buku ‘Pembangunan dan Kebebasan’ pada hal.108-113. “Pada akhirnya, maksud pembangunan ialah membuat penduduk suatu negeri (terutama kaum lemah dan kaum miskin) tidak hanya lebih produktif tetapi secara sosial lebih efektif dan lebih sadar-diri. Tetapi apabila pembangunan juga dimaksudkan untuk meningkatkan keterbukaan masyarakat dan untuk memperbesar ruang lingkup kebebasan, maka peningkatan keefektifan sosial dan kesadaran-diri hendaknya berlangsung dengan cara-cara yang tidak berbenturan dengan tujuan ini. Telah ada beberapa contoh di negara-negara berkembang bahwa mereka yang semula memperoleh manfaat dari emansipasi ternyata setelah berkuasa bersikap tidak toleran terhadap orang lain yang menggunakan kebebasan yang sama. Para pemimpin itu telah mengarahkan negeri-negeri mereka menuju dengan otoritarianisme atau bahkan membuatnya lebih otoriter, dengan menolak kebebasan bagi lembaga-lembaga yang telah memungkinkan mereka tumbuh. Pembangunan hendaknya memungkinkan gerakan menjauhi tata sosial yang tetap dan pastyi dengan hirarki permanennya, dan bergerak menuju suatu masyarakat yang konstan bagi saling pertukaran peranan dianatara mereka yang memerintah dan mereka yang diperintah baik pada tingkat makro maupun tingkat muiro. Tetapi sebagaimana sudah amat diketahui, tindaka-tibndakan dan kebijakasaankebijaksanaan yang bertujuan membebaskan rakyat dan struktur-struktur sosial yang mengukung, menindas dan eksploitatif dan bertujuan memungkinkan rakyat menjadi lebih efektif secara sosial melaluio perolehan kebutuhan-kebutuhan pokok, melalui swaorganisasi, melalui penyediaan pendidikan dan latihan serta saluran saluran kepada informasi, tidak dengan sendirinya memberikan motivasi kepada rakyat untuk benar-benar memanfaatkan kesempatan-kesempatan baru. Demikian pula persepsi tentang kebutuhan, kepentingan dan hak-hak seseorang tidak dengan sendirinya cukup untuk mengorganisasikan dan memobilisasikan penduduk. 62
Dalam banyak kasus kaum miskin dan kaum lemah akan perlu melepaskan diri dari mekanisme pertahanan diri otomatik mereka berupa sikap pasif dan penurut yang bungkam terhadap kehendak-kehendak penguasa yang lebih tinggi, serta mengatasi rasa ketidakberdayaan yang membiarkan mereka lumpuh. Jelaslah bahwa tindakan hanya dimungkinkan melalui pembangkitan kesadaran, yakni membuat kaum miskin sadar tentang keadaan mereka sendiri, tentang faktor-faktor yang membiarkan mereka miskin, selain kesempatan-kesempatan apa yang dapat terbuka bagi mereka melalui tindakan. Tanpa menolak peranan konflik yang secara sosial kreatif dan menjadi pembawaan dalam percaturan manusia, maka peningkatan keefektifan sosial golongan-golongan marjinal dalam masyarakat akan sangat diperlukan jika dengan sengaja dikembangkan mekanisme baru atau tradisional dalam pemecahan dan perujukan konflik. Mekanisme ini bisa ada dalam konteks umum perundang-undangan emansipasi pada tingkat nasional, yang menopang penghampiran kebutuhan pokok pada pembangunan. Perbaikan kapasitas seperti itu tentu akan mudah mengatasi dengan damai ketegangan-ketegangan yang tak terelakkan itu. Pada pihak lain, banyak aktivis dan ahli teori pembangunan yang percaya bahwa pembangkitan amarah pada ketidakadilan keadaan merujpakan satu-satunya cara untuk memberika motivasi yang cukup kuat dan dapat bertahan bagi kaum miskin untuk menyusun barisan dan bertindak. Walaupun demikian, apakah konflik kelas dan kebencian kelas efektif atau tidak sebagai motivasi bagi tindakan sosial sangat tergantung pada tingkat pelapisan sosial dan budaya politik masyarakat yang bersangkutan. Pada banyak negara berkembang yang memiliki banyak etnik, banyak komunal, banyak budaya dan banyak agama, konflik-konflik ekonomi dan politik muncul pada garis komunal sebelum terjadi di sepanjang garis pembagian kelas. Karena itu anjuran pada perjuangan kelas mungkin hanya memiliki akibat pengaruh yang terbatas. Sementara di beberapa negeri perjuangan dengan mengikuti garis kelas mungkin bisa dilakukan, di negeri-negeri lain mungkin menimbulkan kekakuan yang bahkan lebih besar pada negara birokrasi modernis dan bisa jadi hanya akan menghancurkan kemungkinan suatu masyarakat yang semakin terbuka. Karena itu pilihan motivasi menuju mobilisasi sangat menentukan pilihan motivasi menuju mobilisasi sangat menentukan jenis masyarakat yang pada akhirnya akan muncul. Pada masa awal perjuangan kemerdekaan nasional Mahatma Gandhi mengemukakan betapa sering si tertindas, melalui perjuangan melawan si penindas, dan sesudah merebut kemenangan bekas si tertindas pada gilirannya berubah menjadi penindas. Sebagian dari kita yang memandang perjuangan demi keadilan sosial juga sebagai cara bagi pembebasan manusia, akan mengingatkan pada diri kita betapa pernyataan Gandhi masih tetap berlaku sehubungan dengan pengalaman kita sejak masa itu. Kesadaran akan keadaan, organisasi dan penyamaan kekuatan tawar-menawar merupakan prasyarat penting bagi perjuangan demi keadilan sosial. Tetapi jika hal-hal ini tidak menyangkut martabat manusia pada diri seseorang, yang merupakan ungkapan rasa harkat jati diri dalam konteks tata nilainya sendiri, serta ungkapan ketenteraman batin yang berasal dari nilai-nilai ini, maka seseorang tidak akan membebaskan pertimbangannya dari kebencian yang merusak sukma dan menghancurkan kemanusiaannya sendiri. Ia juga tidak akan dapat memilih metode-metode, yang menang atau kalah, akan mendekatkannya pada sasaran berupa masyarakat yang lebih terbuka dan lebih bebas. 63
Sampai pada tahap pembahasan sekarang ini hendaknya jelas sudah bahwa arah lintasan pembangunan dari bawah yang dituntut oleh keprihatinan pada kemiskinan, kesamarataan dan kebebasan, melibatkan transformasi sosial dari jenis yang agak unik yang berada jauh di luar apapun yang diharap bisa dilakukan sendiri oleh suatu pemerintah. Kita menaruh perhatian bukan saja pada desakan menuju arah proses transformasi yang berbeda, tetapi juga pada transformasi struktural secara serentak dalam berbagai tingkat masyarakat. Melaksanakan transformasi serupa itu akan membutuhkan imajinasi, kreativitas, daya cipta sosial serta kapasitas penalaran moral bukan saja dari pemerintah melainkan dari seluruh masyarakat. Pembangunan dari bawah memerlukan tanggapan dari seluruh masyarakat. Pembangunan dari kelembagaan nasional dan demikian pula pada tingkat komunitas individual dan komunitas kecil. Pembaruan diri budaya dan masyarakat dari dalam dirinya sendiri yang ditimbulkan oleh pembangunan sedemikian pada umumnya tergantung pada kesediaan dan kapasitas masyatrakat untuk terus menerus mawas-diri. Dalam hubungan ini, pastilah menentukan peranan pers serta penerbitan-penerbitan intelektual dan kesusasteraan dalam mengutarakan citra dan pengertian masyarakat tentang dirinya sendiri ketika bergerak di sepanjang arah ini. Kapasitas untuk membangkitkan kreativitas suatu bangsa dengan skala seperti itu jelas berada diluar jangkauan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang ekonomi, sosial dan kebudayaan. Pada analisa terakhir, ini merupakan fungsi dari vitalitas dan kreativitas kebudayaan yang bersangkutan, dari kekuatan kemauan politiknya, dan dari kapasitas yang menjadi pembawaan pembaruan-diri. Juga hendaknya dipahami bahwa transformasi sosial yang begitu besar dan mendalam jauh melampaui persoalan bagaimana sudatu bangsa menanggulangi kaum miskinnya. Transformasi sosial seperti itu hanya mungkin berlangsung dalam konteks kesediaan suatu bangsa untuk merumuskan kembali kesediaan dirinya sendiri serta tujuan-tujuannya yang esensial, dan demikian mencakup perumusan kembali konsep manusia mengenai dirinya sendiri. (Pembangunan dan Kebebasan, Soedjatmoko, LP3ES, cetakan pertama Mei 1984) Penjelasan Soedjatmoko dalam hal manusia dan pembebasan menjadi puncak dari pemahaman esensi pembangunan sekaligus mencerahkan bahwa proses pembangunan tidak sekedar menanggulangi kaum miskin, mengurangi pengangguran atau menekan inflasi, menyediakan ketersediaan pangan tapi lebih jauh lagi adalah sebuah proses transformasi menuju suatu masyarakat yang lebih baik, membebaskan dan tidak lagi menjadi terasingkan oleh peradaban yang berkembang di dunia. Sengaja saya uraikan dua hal yang melandasi dasar perkembangan kebudayaan dunia dalam tulisan Mesarovic-Pestel dan Soedjatmoko dimana di tahun 1968 sampai tahun 1970 menjadi sebuah zeitgeist (jiwa jaman) sebuah gairah untuk menjadikan Indonesia masyarakat terbuka yang menghargai kemanusiaan. Lalu dari sini coba kita perhatikan apakah kemudian Orde Baru menjadi sebuah sistem susunan masyarakat yang dikehendaki? Sebuah susunan masyarakat yang modern, liberal, kapitalistik modern, berlandaskan hukum dan memakmurkan bangsanya? Dan kita menyaksikan dengan cermat dua hal adalah : Indonesia dibawa oleh Suharto menjadi bukan saja bangsa yang tidak terhormat tapi menjadi bangsa yang bangkrut dan kedua Pembangunan yang digadang-gadang Suharto adalah sebuah proses pemenjaraan manusia pada lingkungannya, sebuah bentuk pengasingan manusia pada akarnya yang kemudian berlanjut pada sebuah titik temu : Pelanggaran HAM paling besar setelah apa yang dilakukan Hitler pada tahun 1936-1945. 64
Susunan Masyarakat Orde Baru Hal yang paling baik dalam melihat sebuah sistem pemerintahan bekerja efektif adalah ketika kita melihat bagaimana susunan dialektis antara masyarakat dan kekuasaan bekerja. Banyak sejarawan dan kaum intelektual yang mendukung apa yang dilakukan Orde Baru dalam mengamputasi peran masyarakat dalam akses kekuasaan adalah karena begitu semrawutnya pertarungan gagasan yang dianggap menghambat perkembangan negara. Dan diakui atau tidak ini terjadi pada jaman reformasi yang sampai saat ini (2008) sudah berlangsung selama sepuluh tahun. Jaman Reformasi ini adalah pengulangan dari pertarungan politik (bukan gagasan ideologis) seperti selama masa sebelum tahun 1960. Orde Baru membohongi bahwa demokrasi liberal di tahun 1950-an menghambat pembangunan bangsa. Dan Orde Baru sama sekali tidak pernah menyebut bahwa Demokrasi Terpimpin adalah bukan bagian dari demokrasi liberal. Orde Baru justru membawa Indonesia pada Demokrasi Terpimpin dalam versi yang jeleknya. Dan berhasil membangkrutkan Indonesia di pergantian abad 20 ke abad 21. Salah satu kunci bangkrutnya Indonesia adalah diamputasinya peran masyarakat, pengabaian hak hukum individu dan pemberian kekuasaan total pada militer dimana kemudian muncul “Demokrasi dengan acungan senjata”. Pada hal-hal inilah kemudian Indonesia menyerahkan nasibnya. Amputasi peran masyarakat dalam kekuasaan gagal menumbuhkan sebuah masyarakat yang mandiri. Semua roda ekonomi dan kekuasaan berputar dibawah kendali Suharto. Dan ini kemudian meledak menjadi sebuah revolusi sosial yang tak jelas arahnya kemana seperti yang kita saksikan pada tahun 1998 dan tidak selesai-selesai sampai sekarang. Untuk memahami bagaimana awal mula susunan masyarakat Orde Baru yang membingungkan bekerja mari kita piknik sejarah kembali apa yang diperbuat Suharto dalam menyusun masyarakat Indonesia dan apa akibatnya.
65
Antara Lipset, Daniel Bell dan Huntington Untuk menjelaskan bagaimana pilihan teori masyarakat Orde Baru terbentuk marilah kita lihat teori-teori yang dikembangkan oleh Lipset, Daniel Bell dan Huntington dimana teori mereka memiliki pengaruh yang besar pada susunan masyarakat Orde Baru yang secara gamblang dijelaskan dalam buku Ali Moertopo : “Akselerasi Pembangunan 25 tahun” dan melahirkan sebuah kuasi-ideologi ‘Pembangunanisme’. Pada dekade 1960-an muncul tiga buku yang membawa pengaruh besar bagi pemikirpemikir sosial yang lebih berpihak pada pemikiran sosial aliran Amerika. Ketiga buku tersebut adalah : The End of Ideology (New York ; Collier, 1960) karangan Daniel Bell Political Man (New York, Anchor 1963) karangan Seymour M. Lipset Political Order in Changing Societies (New Haven, Yale University Press 1968) Dua buku yang terbit di awal 1960-an kemungkinan besar sudah dibaca oleh Suwarto dan beberapa pemikir sosial Indonesia yang menghendaki adanya sebuah usaha eliminasi pertarungan ideologis demi terciptanya sebuah masyarakat efektif untuk membangun dan menjadi makmur. Lipset menyatakan dalam bukunya itu bahwa pembangunan ekonomi akan mendorong tumbuhnya demokratisasi politik. Sementara Daniel Bell menyoroti apa yang sesungguhnya dibutuhkan dalam masyarakat modern. Dalam perkembangan masyarakat modern telah menciptakan kebijaksanaan pemerintahan yang begitu kompleks dan hal itu akan sangat sulit bila kebijakan-kebijakan itu harus dihadapkan pada medan pertempuran ideologis. Karena itu para ahli ekonomi dan teknokrat harus diberi peran utama dalam proses kebijakan itu. Dan yang terakhir adalah amatan Huntington tentang peta politik sosial kemasyarakatan dunia yang sedang berubah. Dalam hal ini Huntington menekankan harus adanya tertib masyarakat agar tidak terjadi mobilisasi di dalam masyarakat yang tidak terkendali sehingga akan memunculkan bahaya-bahaya. Tiga teori yang dikemukakan ilmuwan sosial beraliran Amerika inilah yang menjadi landasan teoritis dasar-dasar pengembangan masyarakat Orde Baru. Coba kita lihat apa yang dilakukan Orde Baru dengan melandaskan dirinya pada terciptanya masyarakat modern yang tidak terbebani gagasan-gagasan ideologis. Bila dilihat secara rasional memang gagasan a-ideolois ini terlihat jenial dan merupakan sinyal dari kebudayaan modern di masa depan. Namun sesungguhnya gagasan a-ideologis ini merupakan sebuah pesan untuk masuk ke dalam ideologi kapitalis yang memang tidak pernah memasang rambu-rambu baik moralitas maupun etika kecuali hanya pada kepentingan nilai tambah (keuntungan bagi pemodal). Ideologi kapitalis-lah yang pertama kali mengobarkan gagasan pemusnahan ideologi karena dengan gagasan pemusnahan ideologi maka yang menang hanyalah ideologi kapitalis. Di tahun 1967 ketika Suharto membawa masuk segerombolan ekonom jebolan Amerika ke dalam Istana, di saat itulah Suharto menghancurkan landasan ekonomi Indonesia yang berdikari ala Sukarno dan secara terencana membawa Indonesia ke dalam sistem ideologi kapitalistik. Apa yang dilakukan Gerombolan Berkeley ini dibawah pimpinan Wijoyo adalah melakukan sebuah kerangka dasar dimana inti dari kerangka dibangun dengan dasar empat pilar yang berdiri di antara reruntuhan puing poin ketiga politik Trisakti-nya Sukarno Berdikari dalam Ekonomi.
66
Keempat pilar itu adalah : kebijakan anggaran yang ketat dan penghapusan subsidi meliberalisasi keuangan meliberalisasi Industri dan Perdagangan Melakukan Privatisasi Keempat hal ini akan saya bicarakan secara rinci pada telaah pola landasan bangunan bawah ekonomi Orde Baru, dimana keempat pola inilah yang kemudian menjadi entry poin dari kejatuhan Suharto.
67
Negara Orde Baru : Diktator Elitisme, Pelacuran Intelektual dan Neo Fasisme Untuk masuk ke dalam ideologi kapitalis dengan selubung a-ideologis itu Suharto menggunakan pepunden-pepunden sistem masyarakat usang yang sudah sukses dihancurkan oleh Sukarno yaitu : Feodalisme dan Kolonialisme. Tata susunan masyarakat Orde Baru adalah tata susunan yang berpihak pada neo feodalisme dengan landasan ekonomi, sosial, politik dan hukum berdasarkan sistem masyarakat kolonial yang sempurna di keluarkan pada era Van Heutz. Inilah yang kemudian menjadikan Indonesia gagal menjadi negara kapitalistik tapi menemui kebangkrutannya dengan menggunakan sistem Feodalis-Neo Fasis dalam sebuah negara bernama “Negara Orde Baru”. Dalam sejarah kepemimpinan masyarakat selalu dibagi dua pola kepemimpinan yaitu : Elite dan Vanguard. Yang dimaksud elite adalah : suatu lapisan terbatas yang berada dalam kedudukan top di dalam masyarakat (faktor terkemuka mereka bisa disebabkan pada : keturunan, kekuatan militer, mitos, spiritualitas dan faktor-faktor khas lainnya) mereka ini selalu menunjukkan keistimewaan baik dari gaya hidup ataupun intelektualitasnya. Ciri pokoknya dalam kelompok elite adalah sikap dan pandangan hidup yang seakan-akan berpegang pada (secara sadar atau tidak sadar) penegakkan kelangsungan kedudukannya yang terkemuka dan istimewa itu, dengan hanya memberi ruang gerak yang terbatas pada golongan lain untuk ikut mencapai kemajuan. Sedangkan apa yang dinamakan Vanguard adalah golongan pelopor atau perintis yang memang mencapai kemajuan atau merebut kedudukan karena jasa-jasanya, berkat teladan tabiat, ketrampilan dan sebagainya. Perbedaan yang mendasar antara elite dan vanguard adalah : kepemimpinan vanguard justru menciptkan suatu konstelasi dan suasana keadaan dimana tahap berikutnya golongan-golongan masyarakat lainnya mempunyai kesempatan yang lapang untuk ikut maju dan berkembang sampai dapat mendekati kedudukan vanguard. Lain halnya mengenai cara memimpin kaum elitis, jarak antara elite dan massa cukup besar, sebab terjadinya kelangsungan perimbangan keadaan. Bahkan jarak perbedaan antara elite dan massa semakin waktu semakin besar. Ujung dari kepemimpinan elite adalah sakralitas jajaran pemimpin di depan massanya. Kepemimpinan adalah hal yang angker, suci dan berwibawa sementara rakyat jelata adalah profan dan harus bisa diatur. Revolusi Kemerdekaan 1945 melahirkan struktur kepemimpinan Vanguard, jarak antara pemimpin dan rakyat tidaklah jauh. Revolusi inilah yang menghasilkan anak gembala desa dan kurang pendidikan bisa menjadi Letnan Kolonel seperti Suharto, dan bisa juga membuat sengsaranya golongan ningrat bahkan sampai terbunuh seperti apa yang dialami Amir Hamzah pada peristiwa revolusi sosial di Sumatera Timur awal kemerdekaan. Namun sejak pembantaian enam Jenderal dan pembunuhan besar-besaran 1965-1966 terjadi sebuah pembongkaran sistem kepemimpinan. Sistem kepemimpinan dibangun dengan dasar : elitis, kekerasan bersenjata dan a-intelektual. Inilah struktur kepemimpinan yang menggabungkan ciri khas anak tangsi KNIL dengan preman pasar. Struktur kepemimpinan ala preman tangsi KNIL ini kemudian dilapisi oleh selubung-selubung aristokrat untuk menutupi kekasaran mereka. Beludru ungu penuh darah inilah kemudian disambungkan pada pelacur intelektual yang pengecut, doyan duit dan tidak menegakkan martabat yang kemudian kita kenal sebagai : kaum teknokrat. (Bersambung......)
68
KEJARLAH DAKU KAU KU SEKOLAHKAN
Oleh Alfian Hamzah http://fordiletante.wordpress.com/2009/02/20/kejarlah-daku-kau-kusekolahkan/ 20 Februari 2009
69
Intro MEREKA memulai perjalanannya dari pelabuhan Armada Laut Timur Ujung di Surabaya. Sekitar 700-an serdadu dari Batalyon Infanteri (Yonif) 521/Dadaha Yodha menyemut di bibir dermaga, menunggu giliran naik ke kapal Teluk Bayur. Mereka akan berlayar ke Aceh, medan perang yang jaraknya 3.000 kilometer, dari asrama mereka di Kediri. Di dermaga, seorang gadis berambut kepang mencari-cari sesosok wajah. Saat kapal beringsut meninggalkan Surabaya, pipinya basah dengan air mata. Suasana di atas kapal mirip pasar tumpah. Orang lalu lalang tapi ruang terbatas. Prajurit hanya diizinkan menggunakan anjungan geladak. Ada terpal besar yang menutup seantero geladak. Para serdadu ini sukar tidur nyenyak. Matras tak dapat diandalkan melawan permukaan dek yang keras. Ruangan sempit. Tidur berdesak-desakan. Punggung yang semestinya rebah di matras terganjal ransel. Hanya kaki yang bisa diluruskan. Mereka mengisi waktu luang dengan bercengkerama atau bermain kartu. Sesekali mereka menyumpahi nenek moyangnya saat melihat kapal perang mereka disalip kapal barang di laut lepas. Kedongkolan itu bertahan sehari, dua hari, lima hari, sepekan …. hingga kapal Teluk Bayur merapat di pelabuhan Malahayati, Banda Aceh, 18 Juni 2002. Untuk pelayaran yang biasa ditempuh tiga hari dengan kapal komersial, para serdadu Kediri ini menghabiskan delapan hari. Sehari sebelum merapat di Banda Aceh, Teluk Bayur membongkar sebagian muatannya di Lhokseumawe. Pertimbangannya, perairan Malahayati relatif dangkal. Sukar merapat jika muatan kapal penuh. Di Lhokseumawe, empat truk Mercedes-Benz, satu ambulans dan satu jip komandan batalyon diturunkan dan segera bergerak ke Banda Aceh, menyusul rekan mereka yang akan tiba di sana keesokan harinya. Prajurit Kepala Muhamad Khusnur Rokhim ditunjuk sebagai pemandu jalan. “Kami berangkat,” kata Rokhim, “(Dikawal) tim khusus satu peleton. Tiga puluh orang. Senjata lengkap. Saya bilang ke anak-anak, di sini sudah masuk Aceh, jangan kaya’ tugas di Ambon, Timor Timur. Tidak ada apa-apanya. Di Aceh, sejengkal tanah tidak ada yang aman.” “Keluar dari Lhokseumawe, kita menuju ke Bireun. Bireun ‘kan rawan? Perjalanan Lhokseumawe ke Bireun aman. Lepas Bireun ke Peudada. Saya kasih tahu ini titik rawan. Medan terbuka. Waspada!” “Masuk ke Bandar Dua. Saya kasih tahu juga.” 70
“Uleglee, hati-hati!” “Habis Trienggading masuk Luengputu. Nah di situ kelapa-kelapa ‘kan banyak! Saya kasih tahu, ‘Awasi ketinggian!’ Mobil jalan terus. Sampai Luengputu dua mobil yang mengawal sejak dari Lhokseumawe pulang. Alasannya sudah dekat kota. Sigli 100 persen aman. Saya tetap nggak yakin. Tidak ada di sini aman. Saya juga (pernah) di sini. Lama. Saya bilang ke kawan-kawan, ‘Hati-hati di depan, samping kanan-kiri.’” Sebelum bertolak ke Sigli, konvoi berhenti di kantor Komando Rayon Militer (Koramil) Geulumpang Minyeuk, kecamatan Geulumpang Tiga, kabupaten Pidie. Letnan Dua Ruben Rihi turun menanyakan kondisi perjalanan ke Sigli. “Saya jamin sini ke Kodim Pidie,” kata orang Koramil. Ruben Rihi lega. Konvoi kembali bergerak. Ruben ikut truk Rokhim, jalan paling depan. Selepas sekitar 200-an meter, laju kendaraan yang berlapis baja tiga milimeter itu terganggu. Ada segerombolan sapi melintas. Perasaan Rokhim mendadak tak enak. Tapi dia tak ingin menurutinya. Medan di seputarnya berbicara lain: bukan medan kritis. Tak ada ketinggian. Di kiri jalan, ada pertigaan yang menghubungkan jalan besar dengan sekolah di sana. Dia melihat serombongan murid bergerak ke arah simpang itu. Tak jauh dari sekolah ada rimbunan pohon kelapa, sagu, dan nipah. Sapi telah lewat. Jalan telah bersih. Konvoi kembali bergerak. Truk paling belakang telah melewati simpang tiga itu. Lewat jendela, Rokhim melihat ada mobil penumpang dan sepeda motor bergerak dari arah berlawanan. Ada pompa bensin tak jauh di depan sana. Ramai orang di situ. Konvoi telah bergerak sekitar 500 meter meninggalkan Koramil. Tiba-tiba …. rrrreetttttttttttt-ret-rettttttttt …. tang-tang-tang. Ada AK-47 yang menyalak dari rimbunan kelapa tadi. Sekitar dua menit lamanya, menyasar bak truk paling depan. Baja pelindung tangki angin mobil Rokhim jebol. “Tang-tang-tang …. tang-tang-tang.” Di bak belakang, Ruben Rihi dan beberapa serdadu pengawal terperanjat. Belum sehari mereka di Aceh sudah disiram tembakan. Seisi bak sontak menyembunyikan kepala. “Peluru sejengkal di atas kepala,” kata Ruben. Sersan Satu Handoko ada di jip komandan. Dia berjuang mengatasi kekagetannya. Untung, peluru sudah di kamarnya. Buru-buru dia membuka kunci. Senjata otomatis Minimi buatan Belgia di tangannya menyalak. Sayang, sentakan gas mobil membuat tembakannya tak terarah. Dia terpelanting. Jatuh. 71
“Kami,” kata Rokhim, “Mau turun (tapi) ngeri juga karena medan terbuka. Melarikan diri itu jalan satu-satunya.” Konvoi meninggalkan tempat penghadangan selekas mungkin. Tak ada yang celaka siang itu. Tapi ketegangan di wajah mereka baru cair sejam kemudian. “Goreng jagung” di siang bolong itu, demikian beberapa prajurit menyebut dentingan proyektil menghantam pelat baja mobil, membekas di benak banyak serdadu Indonesia yang ditugaskan di Aceh. “Sejak itu saya ndak percaya lagi sama orang Aceh. Ini menyangkut nyawa. Kalau ada (orang) Koramil waktu itu, sudah saya hantam. Orang Aceh itu (memang) tidak bisa dipercaya,” kata Letnan Dua Ruben Rihi.
72
Punya Pengawal SAYA menemui pasukan yang bermarkas di Kediri itu awal September silam-sekitar tiga bulan sesudah mereka mendarat di Malahayati-setelah mendapatkan izin dari Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan Aceh Mayor Jenderal Djali Yusuf. Saya ingin tahu bagaimana serdadu-serdadu Indonesia bekerja di provinsi yang bergolak sejak 1970-an ini. Djali Yusuf setuju dan menunjuk Batalyon Infanteri 521/Dadaha Yodha. Batalyon teritorial ini tugas utamanya mengamankan wilayah Aceh Barat, dari Lambaro hingga Beutong, yang dari ujung ke ujung jaraknya ada 150 kilometer. Ada sejumlah hal yang harus saya patuhi bila ingin tinggal dengan pasukan. Saya, misalnya, dilarang meninggalkan pos sekali pun untuk membeli rokok tanpa dikawal seorang prajurit. Kalau jaraknya lebih 200 meter dari pos, yang kawal sedikitnya mesti tiga orang. Hari pertama, saya banyak mendengar peringatan seperti ini: “Mas ini orang sipil. Tapi akan sering dilihat orang jalan sama tentara. Bahaya. Di luar sana, mungkin ada cuak (mata-mata) GAM.” “Peluru di sini tak ada matanya, lho.” “Kamu harus hati-hati karena kalau ada apa-apa, semoga tidak yah, siapa yang akan tanggung jawab ke Pangkoops (Djali Yusuf).” Para serdadu itu, ternyata seperti saya, dilarang meninggalkan pos tanpa membawa teman. Mereka hanya bebas bergerak radius 100 meter dari pos. Begitu keluar pos, serdadu membawa senapan sudah terkokang. Serdadu yang kekhawatirannya lebih tinggi kadang sudah membuka kunci senapannya. Jika hendak berbelanja kebutuhan dapur ke pasar, orang pos selalu berangkat dengan jumlah besar, minimal lima orang. Bila sudah di pasar, dua orang berbelanja dan sisanya melakukan pengamanan. Kondisi itu berbeda dengan keadaan sewaktu mereka tugas di Timor Timur, Maluku, atau Papua. Sewaktu di Timor Timur, kata seorang kopral kepala, mereka berani lenggang kangkung sendiri ke pasar. Aceh memang bukan sembarang daerah. Di sini, kelengahan taruhannya nyawa. Sebuah satuan Lintas Udara dari Makassar, misalnya, kehilangan 11 orang anggotanya hanya dalam tempo 10 bulan. Enam di antaranya tewas setelah kontak senjata dengan gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Mereka terlambat dievakuasi saat pendarahan hebat. Sisanya karena faktor nonpertempuran: seorang tewas dalam kecelakaan bermotor, dua orang tenggelam di laut, 73
seorang salah tembak oleh pasukan Indonesia lainnya, dan seorang lagi ditembak komandan sendiri di sebuah hotel karena dianggap melakukan insubordinasi. “Di sini perangnya perang gerilya. Siapa yang lengah dia yang kalah,” kata komandan Batalyon 521/Dadaha Yodha Letnan Kolonel (Infanteri) Ucu Subagja. Dan saya belum pernah menjumpai tentara yang kewaspadaannya seperti Prajurit Kepala Muhamad Khusnur Rokhim. Pada jarak 10 meter, dari potongan rambutnya saja, orang sudah bisa menebak kalau dia tentara. Ada banyak bekas luka di wajahnya yang hitam. Perawakannya sedang, bahkan kurus untuk ukuran tentara. Tingginya sekitar 170 centimeter. Wajahnya tirus dengan rahang menonjol. “Ini,” katanya menunjuk rahang kanannya, “Sering bengkak kena popor pas latihan membidik sasaran.” Ke mana saja Rokhim pergi, matanya selalu awas. Apa saja yang nampak jadi bahan perhatian. Kalau ada orang yang gerak-geriknya aneh, dia tak segan-segan memelototinya sampai yakin kalau orang itu tak akan membahayakan keselamatannya. Di Meulaboh, sekitar 250 kilometer selatan Banda Aceh, saya sering mengajaknya minum kopi di kedai, yang jaraknya kurang dari semenit jalan kaki dari pos. Begitu masuk, perhatian Rokhim langsung tertuju ke seisi kedai. Dia selalu memilih tempat di pojok agar punggungnya aman dan leluasa memperhatikan semua orang yang keluar masuk. Kemudian dia memeriksa bagian belakang kedai, mengecek jalan pelolosan kalau ada gangguan dari depan dan sekaligus mencari tahu kemungkinan ada yang masuk ke kedai, lewat belakang, tanpa sepengetahuannya. Dia juga selalu memperhatikan wajah pemilik kedai. Kadang dia mendekat, memperhatikan si empunya kedai meracik kopi, seperti ingin memastikan kalau kopi itu tak beracun. Awalnya, tingkah Rokhim itu membuat saya geli. Tapi dia selalu punya jawaban setiap kali saya menertawakan kekhawatirannya. Pertama, dia tak ingin setor nyawa di Aceh. Dia punya seorang istri dan anak di Kediri. Kedua, dia membawa senjata yang harus dijaga. “Kalau ini jatuh ke tangan musuh, bisa lebih banyak tentara yang mati.” Rokhim membawa SS-1-senapan serbu buatan Indonesia. Senjata itu istri keduanya. Ke mana pergi selalu dibawa. Bahkan saat tidur pun, dia ada dalam pelukan Rokhim. Saya jarang melihat dia melipat popor senapannya.
74
Teorinya, popor yang terlipat membuat prajurit sukar menembak tepat. Menembak dengan popor terlipat hanya akan menghasilkan berondongan. Risikonya, yang bukan sasaran bisa berdarah dan amunisi dijamin mubazir. Rokhim selalu memanjangkan tali sandang senjatanya. Dia yakin, itu akan memudahkan dirinya merapatkan popor ke bahu dan segera membidik. Itu belum semua. Tangannya selalu lengket di pistol grip (pegangan pelatuk) sementara telunjuk tegang di picu. Dia masih terbawa-bawa hukuman pelatihnya dulu yang mengikat tangan serdadu yang tak menempel di picu. Di kalangan sejawatnya, Rokhim dikenal sebagai “raja” Taman Wisata Pagora, Kediri. Dia kadang melancarkan jalan serdadu yang kepengen berfoto dengan artis yang manggung di taman hiburan itu. Dia mengenal hampir semua orang yang kerja di situ. Istrinya, Yuni Wijayanti, bekerja sebagai penjaga loket di sana. Rokhim suka musik dangdut. “Setiap tanggal muda artis datang. Cici Faramida sering. Yang paling mahal bayarannya itu yah, Vetty Vera …. sama kita itu biasa, lho. Mau fotofotoan …. Ine Sinthya yang ketus orangnya. Nggak mau diajak ngobrol-ngobrol. Susah.” Rokhim termasuk serdadu yang mudah diajak berteman. Jika sudah percaya, apa saja akan dilakukan untuk kenalannya. Sekali waktu, saya panik karena bloknot saya hilang sementara truk yang saya tumpangi akan berangkat. Tanpa diminta Rokhim turun mencari catatan itu. Komandan batalyon dan dua truk serdadu terheran-heran melihat Rokhim mengubekubek semak-semak di sana. Sekiranya saya tak segera menemukan bloknot yang terselip di tas, saya kira dia tak akan naik ke truk. Dia juga pernah merogoh kocek sendiri karena prihatin melihat saya kehabisan uang. Dia, seperti orang-orang pos lainnya, selalu memperhatikan keperluan saya. Pernah sekali dia menyindir saya karena urusan makan. “Situ kok nggak makan? Makanlah, tidak enak kalau teman-teman tersinggung. Mereka sudah masak, lho. Apa situ harus seperti raja. Makanannya diantarkan tiap saat?” Urusan makan, Rokhim terbilang unik. Ada banyak makanan yang tak bisa lewat di tenggorokannya. Dia, misalnya, tak suka daging sapi, daging ayam (kecuali ayam kampung), ikan laut, telur, sayur-sayuran, dan masih banyak lagi. Menu favoritnya: nasi panas, tahu, tempe plus jus alpukat pakai susu kental manis coklat. Di asrama dulu, istrinya rutin menyajikan sarapan termasuk membuatkan susu saban pagi.
75
Yuni Wijayanti risih melihat berat badan suaminya tak naik-naik sementara prajurit lain berbadan subur. Tapi Rokhim tetap dengan seleranya. Jarang-jarang dia menyentuh sarapan yang dibuat istrinya. Suatu malam, saat merebus mi di pos, Rokhim berikrar melahap apa saja yang disajikan istrinya jika bisa pulang selamat dari Aceh. Dia merasa gaya makannya selama ini tak menunjukkan kecintaannya pada istri. Dia juga mencanangkan program “menggencar” Yuni dengan surat. Setiap tiga hari sekali, katanya, dia mau menulis surat. Khusus untuk anaknya, dia selalu mengingat dengan menuliskan namanya di kasur lipat: Muhamad Ikhsan Bagaskara. Ada yang bilang, 90 persen penyakit tentara kita adalah suka mabuk. Rokhim masuk golongan 10 persen. Dia bahkan tak merokok sejak seorang komandannya di Timor Timur pada 1997 menghukumnya jungkir sampai muntah. Sembahyang dan mengajinya tak putus. Saat salat berjamaah, dia yang selalu melantunkan azan. Saban Jumat, dia rutin merapal Yasin dan Tahlil. Kadang, tanpa diduga, dia bertanya tentang hal-hal yang membuat saya tak habis pikir. “Menurut situ apa kebebasan pers itu harus dibatasi?” Pertanyaan itu merujuk aneka jenis tabloid esek-esek yang banyak beredar di Aceh -gambar-gambar syurnya jadi hiasan dinding hampir semua pos. Atau kali lain dia bertanya begini, “Jujur yah, Indonesia ini bagusnya kesatuan atau federal?” “Mas, Munir itu ibunya PKI, yah?” “Cut Keke itu apanya Abdullah Syafi’ie?” Munir seorang aktivis hak asasi manusia terkemuka di Jakarta. Cut Keke artis cantik asal Banda Aceh, yang menempuh karier di Jakarta dan pernah menemui Panglima GAM Teungku Abdullah Syafi’ie sebelum Syafi’ie meninggal ditembak pasukan Indonesia pada 22 Januari 2002. Rokhim termasuk serdadu yang dari kecil memang bercita-cita jadi tentara. Dia lahir di Mojokerto, Jawa Timur, 29 tahun silam. Berbekal ijazah SMA dia masuk dinas militer berpangkat prajurit dua, sembilan tahun lalu. Di batalyon, kekuatan fisiknya masyhur. Dia dikenal jago lari dan renang. “Kalau ada junior saya yang malas-malas lari pasti saya tendang.” Dia senewen karena dulu pernah diperintahkan lari berkilo-kilo meski butiran-butiran batu menempel di tumitnya yang lecet.
76
Tapi sekarang Rokhim tak lagi bersemangat ikut lomba olahraga tempur. Kekecewaannya muncul setelah dia dua kali gagal mengikuti tes Sekolah Calon Bintara. Padahal, katanya, pernah ada perwira yang menjanjikan serdadu yang berprestasi akan direkomendasikan untuk ikut tes dan dibantu kelulusannya. Banyak serdadu yang mumpuni secara fisik dan mental, gondok setelah tahu kalau beberapa tentara yang kerjanya “hanya makan dan minum di batalyon” bisa lulus tes. Nasib juga yang mempertemukan saya dengan Rokhim. Dia tahu saya hanya bermodal dengkul ikut dengan pasukan. Dia meminjami saya beberapa baju lengan panjang dan kaos tangan untuk jalan malam di hutan. Dia rela digigit nyamuk dan menyerahkan shebo-nya (penutup kepala) untuk saya pakai. Dia juga memberikan isi kotak obatnya; obat sakit perut, cairan antinyamuk, pembalut luka, Betadine, dan lain-lain. Dia bahkan menyerahkan karet pengikat ujung celananya dan membiarkan betisnya jadi sasaran empuk lintah. Dari Rokhim juga saya mendapat kursus singkat tentang gerakan militer. Pelajaran pertama teknik melompat dari truk. Ini penting karena banyak tentara berdarah-darah karena menyepelekan teori. Lompatan salah bisa bikin patah gigi, memar siku, atau luka lutut. “Saat menjejak tanah jangan tumit duluan. Syaraf bisa rusak. Kaki harus dalam posisi menjinjit dengan badan condong ke depan. Setelahnya, langsung lari cari perlindungan.” “Kalau ada tembakan, jangan panik. Tanam kepala. Cari perlindungan secepatnya di batu, pohon atau apa saja yang kira-kira kuat. Jangan berlindung di pohon karet atau kelapa. Itu tembus peluru AK.” “Kalau ada nyamuk atau lintah tahan saja. Nanti pas berhenti baru lepas lintahnya. Tapi jangan terburu-buru. Cari tembakau, perciki air sedikit dan teteskan ke tempat melengketnya. Nanti lintahnya jatuh sendiri. Kalau dipaksa dikeluarkan, sementara giginya masih menancap, akan gatal sekali.” “Jangan banyak mengeluh. Tidak baik karena menghambat gerak pasukan.” “Kalau jalan malam, jangan berisik. Harus senyap. Kaki jangan diseret-seret. Setiap melangkah, tumit duluan yang menjejak tanah. Baru kemudian bagian telapak kaki lainnya.” “Jangan jalan paling belakang. Usahakan di dekat yang bawa senapan otomatis atau radio. Kalau ada tembakan, yang bawa SO (senapan otomatis) tugasnya mengikat tembakan. Dia akan diam di tempat dan tidak ikut lari bersama pasukan yang melambung. Mas nggak tahu medan, jadi mending tidak usah ikut. Kalau ketinggalan bagaimana?” “Sebaiknya pakai lars. Nanti saya pinjami. Sepatu yang Mas pakai itu bisa hilang kalau kita masuk rawa.” 77
“Boleh merokok kalau sudah siang.” “Kalau jalan jauh, jangan banyak minum. Kaki pasti berat melangkah. Di betis ini seperti digandoli air. Minum banyak nanti kalau pasukan berhenti lama. Kalau haus dan tidak ada air minum tahan saja. Kalau ditawari air, jangan ditenggak semua. Minumnya sedikit saja. Asal kerongkongan basah. Gelasnya pakai penutup veples. Praktis. Tidak usah takut sakit minum air tidak dimasak. Minum saja, nanti dimasak di perut.” “Mas ini orang sipil. Kalau ada gerak pasukan di lapangan yang Mas tidak suka jangan diperlihatkan. Simpan dalam hati saja.” **** SAYA tak bisa mengikuti nasihatnya agar selalu diam. Saya pernah merepet seharian setelah melihat seorang Aceh bernama Ruslan tewas ditenggo (ditembak) akhir September silam. Hari itu kami datang terlambat. Mayat Ruslan sudah tertelungkup di atas kolam ikan nila di belakang sebuah rumah di desa Tanjung, sekitar seperempat jam dari Meulaboh. Beberapa serdadu di situ bilang kejadiannya baru saja. Tapi mayat pria yang seluruh rambutnya memutih itu sudah kaku. Rahangnya sulit dirapatkan. Saya kira kejadiannya sudah lebih dari sejam. Satu regu serdadu yang ada di sana saat kejadian, sudah bergerombol di simpang jalan desa. Mereka sepertinya enggan berkotor-kotor mengurusi jenazah itu. Mereka cerita kalau Ruslan sudah dua kali mencoba melarikan diri. Saat mencoba peruntungannya yang ketiga, di hari yang sama, dia berubah jadi “laron merah”-istilah tentara untuk orang GAM yang mati tertembak. Seorang serdadu mencoba membalik mayat yang telah membengkak itu. Jelaslah kalau ada sebutir peluru bersarang di perutnya. Saya juga melihat ada sebutir lagi di paha dan dada. Tapi apa salah Ruslan sampai ditembak? Menurut seorang prajurit, Ruslan memang “target operasi.” Ruslan dianggap bagian logistik GAM. Saat ditangkap di rumahnya dan hendak digiring ke pos tentara terdekat, Ruslan melarikan diri meski telah diberi tembakan peringatan. Saya sulit mengecek klaim itu. Dua-tiga letusan senapan di siang bolong sudah cukup membuat warga desa meringkuk ketakutan di rumah masing-masing. Yang saya heran tak ada bekas ikatan di pergelangan tangan Ruslan. Kenapa tak ada yang berinisiatif mengikatnya setelah percobaan melarikan diri pertama kali? Saya juga heran kenapa mereka tak berpikir taktis sehingga memilih menembak seseorang yang informasinya mungkin sangat berharga? Berapa jauh sih larinya kakek berumur 51 tahun di area persawahan sehingga serdaduserdadu muda itu tak dapat mengejarnya? 78
Saya menaksir dari tempat Ruslan melarikan diri hingga tertembak, dia hanya sanggup berlari sekitar 30 meter. Okelah kalau memang harus ditembak, tapi kenapa bukan dilumpuhkan saja? Tembak di paha saja? Tidak adakah satu di antara belasan serdadu itu yang bisa menembak tepat sasaran dalam jarak 30 meter? Saya tak sempat menggali lebih dalam. Hanya 10 menit saya di dekat jenazah Ruslan. Setelah itu, truk yang saya tumpangi pergi ke tempat lain. Sebelum cabut, dengan menahan mual mencium amis darah, Rokhim berinisiatif menutup mata Ruslan yang membelalak itu dan mengangkat mayat Ruslan ke tanah kering. Seorang serdadu lainnya menutupi jenazah dengan atap rumbia. Keesokan harinya, saya bertemu lagi dengan beberapa serdadu yang ada saat penembakan Ruslan. Saya ingin mengorek informasi lebih dalam. Tapi saya mengurungkan niat itu setelah seorang di antaranya ngeles, beralasan tak berada di tempat kejadian. Padahal jelas-jelas dia yang mengulurkan kepada saya kartu tanda penduduk Ruslan, penduduk desa Palimbungan, kecamatan Kaway XVI. Saya protes kepada Rokhim. Dia lebih banyak diam mendengarkan repetan saya. “Semoga saja benar-benar GAM,” katanya. Ucapan singkatnya itu mengingatkan saya pada salah satu butir “Prinsip-Prinsip Dasar Menghancurkan Insurjensi” yang diterbitkan Komando Resort Militer Teuku Umar yang salinannya ditempel di setiap pos tentara. Bunyinya kira-kira begini: menghilangkan satu nyawa tak berdosa sama dengan menciptakan 1.000 musuh. Rokhim mungkin tahu saya tak akan diam. Tapi hubungan kami tetap baik. Dari temantemannya saya tahu kalau dia termasuk serdadu yang disegani kendati sehari-hari dia hanya bertugas sebagai sopir cadangan. Jarang-jarang ada serdadu yang berani sesumbar jika ada Rokhim di situ. Di atas truk, Rokhim jaya. Disuruh mengemudikan mobil apa saja dia bisa. Dari yang pakai per keong sampai yang bannya 10 biji. Dia juga pemegang rekor 10 kali selamat dari penghadangan GAM di atas truk. Rokhim dua kali ikut pendidikan pasukan penyergap Rajawali, 1997 dan 1999. Kurun itu, dia ikut sebagai pasukan pemburu di Timor Timur dan Aceh. Baru pada 2002 dia ikut sebagai pasukan kerangka atau teritorial. Pada 1999, Jakarta mengirim sekitar 1.500 orang Pasukan Rajawali ke Aceh Utara dan Pidie.
79
Rokhim dapat Pidie. Dia masih ingat sebagian pengarahan komandan Kopassus Mayor Jenderal Prabowo Subianto, menantu Presiden Soeharto, sebelum Rajawali diterbangkan ke Aceh. “Gini pesannya,” kata Rokhim menirukan Prabowo, “Prajurit saya harus seperti Hanoman. Tidak boleh sombong. Berani …. kalau dapat satu pucuk M16, saya bayar Rp 5 juta …. kalau SP (senjata kayu) Rp 1 juta. Kalau dapat gembongnya GPK …. Rp 100 juta. Saya akan datang ke tempat TKP. Saya tidak bisa datang, kirim kepalanya!” “Bilang gitu. Aaaaapa nggak gila! Saya senang bener itu …. saya masih ingat. Wah, mantap bener,” kata Rokhim. Di Pidie, Rokhim melihat bangunan-bangunan sekolah dan kantor-kantor pemerintahan yang luluh lantak. Dia juga menyaksikan kecemasan warga Aceh saat melihat tentara kembali masuk ke pedalaman Aceh pascapencabutan status Daerah Operasi Militer oleh Presiden B.J. Habibie pada akhir 1998. Sekitar sembilan bulan Rokhim di Pidie. Dan dia paling senang bercerita tentang pengalamannya mengubek-ubek hutan dan mengendap-endap di pelosok. “Apa khasnya pengendapan (Rajawali)?” tanya saya suatu waktu. “Pake sandi. Hari ini pake ikat kepala hijau, umpamanya. Besok pagi, lengan baju kanan dinaikkan. Kadang baju dibalik. Celana pun kadang dibalik.” “Apa kalau ada (GAM) langsung sikat?” “Yang bersenjata aja.” “Apa diberhentiin dulu?” “Ngapain? Bersenjata sikat langsung. Nggak ada berhenti. Itu pun nembaknya kalau sudah bener-bener bersenjata. Kalau nggak bersenjata ya nggak ditembak. Masyarakat berarti. Dulu itu buka tembakan di sini susah. Nggak boleh nembak-nembak. Kalau tidak bersenjata nggak boleh ditembak. Kalau ada yang bersenjata, kita tembak yang bersenjata. Yang nggak, ya nggak. Harus titik bidik titik kena. Tapi kalau orang sini ‘kan kernetnya yang banyak. Satu pucuk kernetnya lima. Jadi satu ditembak satu ngambil lagi. Ya ditembak lagi …. hahahaha …. sampai lima orang …. kan repot. Maunya pimpinan ditembak satu. Saya sebenarnya kasihan ‘kan. Tapi kalau dia ngambil tembak lagi. Ngambil tembak lagi.” “Bagaimana pertama kali nembak?” “Biasa. Saya yakin kalau pertama takut. Nggak kena. Ngawur. Kalau perasaan kena, ya kena itu. Nggak yakin berarti nggak kena. Tapi kalau udah dua kali tiga kali ya pasti kena. Harus tenang.” Di Aceh Rokhim baru bisa menembak musuh dan pertama kali kena pada 5 November 1999.
80
“Jam tujuh pagi (kami) istirahat. Mau lanjutkan perjalanan dengar suara motor Honda GL Pro …. truuunggg. Kita sembunyi. Dia tujuh orang, empat motor. Kita ada satu kompi. Waktu lewat wah …. ternyata GAM. Kita hajar. Pang-pang-pang. Kena semua.” “Habis kontak ada dua orang masuk. Bawa semprotan padi. Kita periksa di BOD (basis operasi depan). Kita tanya baik-baik.” “Apa dibilang Bapak saya, Bang,” kata seorang pemuda yang diinterogasi pagi itu, “‘Nak, kamu jangan ikut-ikutan GAM. GAM itu nggak bakalan merdeka. Jadilah orang baik-baik saja.’ Pesan ayah saya gitu, Bang. Bener Bang. Sumpah Bang. Saya bukan GAM.” Si pemuda kembali meyakinkan dengan mengulang kalimat yang sama. Beberapa serdadu sudah berpikir untuk melepas pemuda itu. Tapi seorang serdadu yang sedari tadi mengamati interogasi itu bertanya-tanya. Dia terus berpikir dan teringat secarik foto-guntingan koran-di ranselnya. Foto itu memuat pose Panglima GAM Teungku Abdullah Syafi’ie, yang dikelilingi sejumlah pengawalnya. Buru-buru dia mengambil foto itu dan mengamatinya. Anak muda itu …. anak muda itu ternyata berdiri memegang handy talky di samping Syafi’ie! “Ini foto siapa?” “Bukan saya, Bang.” “Apa kau bilang …!” “Ini foto siapa?” “Betul Bang, ini bukan saya Bang. Ayah saya bilang, ‘Nak kamu jangan ikut-ikutan GAM. GAM itu nggak bakalan merdeka. Jadilah orang baik-baik saja.’ Pesan ayah saya gitu, Bang. Bener Bang. Sumpah Bang. Saya bukan GAM.” “Akhirnya dia …. pura-pura goblok ‘kan dia. Ngomong sama orang goblok ya ‘disekolahkan’ biar pandai.” “Disekolahkan” adalah bahasa slang tentara Indonesia untuk eksekusi mati bagi anggota GAM yang tertangkap. Pasukan Brigade Mobil (Brimob) menggunakan istilah “kosongsatu” untuk hal yang sama. Cerita soal kontak di Cot Mamplam, Keumala, itu juga saya dapatkan dari seorang bintara yang juga ada di lokasi. Dia membenarkan cerita Rokhim. Dia sendiri malah ingat identitas salah seorang yang “disekolahkan” itu. Menjelang akhir September, saat batas waktu saya ikut dengan pasukan teritorial habis. Rokhim menyemangati saya untuk ikut dengan pasukan gerak. “Cerita sebenarnya ada di front,” katanya, “Ini sudah masuk musim hujan. Wah pasti mantap masuk hutan. Saya doakan situ diguyur hujan malam-malam. Tidak usah takut. Nanti lihat bagaimana caranya tentara tidur saat hujan. Nanti badannya pasti kekar. Sehat. Nanti kita cari sepatu boot. Itu enak dipake masuk rawa.”
81
Rokhim berharap-harap saya bisa ketemu GAM di hutan. Dia pernah mengatai saya penakut karena tak mau ikut penyerbuan ke daerah Kuala Tripa. “Itu kesempatan emas. Kenapa tidak diambil? Kapan lagi bisa dapat kesempatan seperti itu? Kalau ikut, situ akan tahu tentara kita berani apa tidak kalau dengar AK.” Saya cerita kalau saya sungkan ikut karena yang punya hajat pasukan gabungan dari Kostrad dan Kopassus. Saya belum “diserahterimakan” kepada komandan dua pasukan itu. Saya juga tak mau dikira tergila-gila bertemu GAM. Selain itu saya sudah diberi tahu kalau medannya berat. Mesti pakai berenang di sungai dan masuk rawa segala. Tapi Rokhim tak percaya. Hampir seharian dia menyindir saya. “Kalau takut sama sungai lebar, berenang pakai ponco saja. Lepas baju lepas celana. Sepatu digantung di leher. Ponco diikat ujungnya trus …. kluk-kluk-kluk …. pasti mengapung sampai di sebelah. Ah, situ memang penakut!” Memang, pasukan gabungan yang berangkat ke Kuala malam itu bertemu GAM. Dua orang serdadu GAM tewas dan satu pucuk senapan pelontar granat rakitan berhasil disita. “Semalam kita sudah masuk killing ground. Kontak selama berjam-jam. Untung nggak ikut,” cerita seorang sersan satu. Sekitar sebulan lamanya saya pergi dengan Rokhim. Ke mana dia pergi saya ikut. Sampai suatu saat Rokhim jengah setelah seorang perwira pertama bertanya, “Rokhim, mana body system kamu?” Body system adalah istilah yang sering digunakan pasukan gerak. Dalam setiap gerakan, setiap prajurit punya seorang pendamping. Bukan sekadar pendamping. Pendamping itu harus tahu segala hal menyangkut rekannya, dari ujung kaki sampai ujung rambut, dari warna celana dalam hingga berapa jumlah uang di dompet. Ditanyai begitu, Rokhim sepertinya menyadari sesuatu. Selama ini dia praktis menghabiskan waktunya dengan saya. Ke mana dia pergi selalu ada saya. Dia nyaris tak punya banyak kesempatan bergaul dengan rekan-rekannya. Suatu malam, Rokhim membuka pembicaraan, “Mas ini saudara saya. Tapi mulai sekarang kita jaga jarak yah. Saya nggak enak sama anak-anak yang lain. Mas hanya dua bulan di sini.” Saya berpisah dengan Rokhim awal Oktober silam. Saat itu, dia masih menanggung sakit yang sudah sebulan tak mau hilang: sariawan. “Mas kalau ketemu istri saya tidak usah cerita yang sengsara-sengsara di sini, yah.”
82
Markas Burung RASA bosan adalah salah satu beban dalam peperangan. Saya juga merasakannya. Rekor saya tinggal di pos hanya tiga hari. Memasuki hari keempat, saya mulai mencari informasi kapan ada lanjutan ke kota atau ke pos lain. Orang-orang pos punya berbagai macam cara untuk mengatasi kebosanan. Mereka punya dunia sendiri. Bangun pagi, seisi pos sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Yang memelihara burung akan memandikan piaraannya. Makhluk-makhluk itu disuapi makanan, diajari bicara, diajak berjemur menikmati matahari pagi, diperbaiki sangkarnya. Kadang mereka menyetelkan lagu buat piarannya itu. “Biar suaranya bagus,” kata seorang serdadu. Banyak tentara dari Jawa suka memelihara burung. Saya pernah mendapati pos dengan 40 buah sangkar burung, dua kali lipat dari jumlah penghuni pos. Kicauan burung-burung terdengar hampir setiap saat. Suaranya bahkan lebih nyaring ketimbang kicauan teman-temannya di hutan belakang pos. Burung memang mudah didapatkan di Aceh Barat. Biasanya, warga yang datang berobat (gratis) ke pos menyerahkan burung atau makanan burung. Ada banyak jenis burung. Murai batu yang paling sering saya lihat di samping perkutut, beo, dan tekukur. Membuat sangkar burung jadi kesibukan tersendiri. Rangkanya dari kayu, jerujinya dari bambu. Orang pos membuatnya bermodalkan sangkur dan besi panas untuk melubangi rangka. Ukurannya bervariasi. Yang paling besar yang pernah saya lihat seukuran tempat tidur anak lima tahun. Dipernis dan dicuci tiap hari. Mereka kadang menamai burung piaraannya dengan nama orang-orang GAM yang jadi target operasi di Aceh Barat, seperti “Juragan” dan “Cut Man.” Biasanya, setelah merawat binatang piaraan, orang pos merawat diri. Di setiap pos, selalu ada peralatan fitness seperti barbel, erekan, dan samsak. Mereka tak ingin pulang tugas dengan perut buncit. Sudah itu mandi. Tentara umumnya mandi telanjang bareng-bareng. Yang tidak suka, biasanya mandi pakai celana kolor atau pas sumur sepi. Mandi dan sekalian mencuci pakaian. Baju dan celana loreng biasanya dicuci dua kali seminggu. Kalau lebih dari itu, di baju ada garis-garis putih yang kalau banyak seperti peta saja. Awalnya saya kira peta itu terbentuk karena mereka tak bersih saat membilas. 83
Kemudian seorang serdadu bercerita kalau peta itu karena air keringat (bergaram) yang menempel di baju. Pakaian yang kering habis dijemur biasanya langsung dilipat. Kegiatan bersama orang pos sudah direncanakan sejak malam sebelumnya. Komandan peleton atau bintara sudah menunjuk siapa giliran patroli dan jaga pos. Porsinya setengah-setengah. Sepuluh orang patroli, sisanya jaga pos plus memasak. Mereka bergiliran masak. Sejak lepas subuh, mereka mandi asap kayu bakar di dapur. Pagi sarapan dengan telur dadar dan nasi panas. Baru siangnya ada sayur dan ikan. Kalau ada kelapa, mereka bikin sayur santan. Ikannya rata-rata digoreng. Nanti kalau banyak bawang merah dan cabai besar, ikan goreng itu diberi bumbu. Soal rasa bergantung pada siapa yang memasak. Terkadang terlalu asin dan seringkali anyep karena kurang bumbu. Ada satu menu yang tak pernah hilang di pos: sambel. Kalau ada terasi, pakai terasi. Kalau tidak, ya cabai, tomat, bawang, garam dan sedikit vietsin diulek. Tentara Jawa biasanya bawa ulekan akar pring dari Jawa sana. Mereka tak nyaman memakai ulekan Aceh yang besarnya seperti lesung penumbuk padi. Masih soal menu, saya pernah terperanjat menyaksikan mewahnya daftar menu pos Rajawali di Kabong. Menu ditulis jelas-jelas di papan dapur. Pagi: Nasi Putih, Telur, Teh Manis, Krupuk. Siang: Ayam Goreng, Sop, Empal, Lodeh, Sayur (asam/bening), Ikan Asin, Sambal, Lalap. Sore: Sarden, Cornet, Ikan Bakar, Opor Ayam, Gudeg, Soto, Telur. Makanan tambahan: Susu, Jeruk, Mi (rebus/goreng), Telor setengah matang, Kelapa muda. Ternyata ini hanya fantasi orang dapur saja. Realitasnya ya sama dengan pos lain. Jadwal makan orang pos teratur, pagi biasanya antara pukul tujuh dan pukul delapan, siang sebelum masuk duhur, dan makan malamnya menjelang magrib. Mereka biasanya makan dengan serba plastik: piring plastik, sendok plastik, dan gelas plastik. Semua peralatan makan itu, termasuk peralatan masak, dibeli dengan uang sendiri. Setiap bulannya, mereka dapat pembagian beras dan beberapa kaleng konserven (makanan kaleng). Praktis orang pos tinggal mencari lauknya. Rata-rata per orang menyetor Rp 1.000 setiap makan. Mereka kadang minta ikan kepada nelayan atau penjual yang lewat depan pos. Semua mengambil makanan di dapur kecuali komandan pos. Bos satu ini memang spesial. Dia yang paling duluan dapat jatah makanan, porsinya lebih banyak, dan diantar ke kamarnya.
84
Kalau saya datang, orang dapur punya dua bos. Seringkali apa-apa wartawan duluan. Saya pernah mendengar seorang serdadu menegur temannya karena mengambil makan terlalu banyak. “Nanti wartawan tidak dapat.” Suatu saat, saya iseng bertanya kepada orang dapur, “Kok kita nggak pernah makan daging?” “Bagaimana kalau saya tembakkan Bandung Ambon Bandung Irian?” Saya menolak karena tak makan babi. “Kalau (saya tembakkan) burung rangkong mau?” “Kelelawar?” Saya tetap menggeleng dan iseng-iseng bertanya, “Orang pos bagaimana bisa marah kalau tidak makan daging?” “Bang, tentara itu biar tidak makan daging sudah sangar.” Patroli adalah saat orang pos bergaul dekat dengan warga desa. Satu hingga enam bulan pertama mereka masih menikmatinya. Tapi kalau sudah lewat enam bulan, istilah tentara sudah masuk yang namanya “masa bodoh.” Di kepala prajurit yang terpikir cuma kapan pulang. Mereka biasanya kembali hapal hari dan tanggal berapa sekarang. Satu sampai enam bulan pertama boro-boro. Saat patroli mereka akan bertegur sapa dengan setiap orang desa. Kadang mereka singgah sekadar untuk tahu berapa jumlah penghuni rumah dan siapa-siapa saja orangnya. Setiap pekan, orang pos sudah punya jadwal desa mana yang harus mendapatkan apel. Mereka memilih hari Jumat karena orang kampung di Aceh tak pergi ke ladang hingga usai jumatan. Saya pernah mengikuti apel di desa Mugah Rayeuk. Jangan bayangkan apel yang kaku. Ini tanpa baris-berbaris, terkesan santai saja. Warga desa, tua muda laki perempuan, berkumpul di tempat yang teduh dan komandan pos berdiri di depan. Acara pertama absensi. Orang-orang desa diabsen. Kalau seisi rumah tak bisa datang, mesti ada yang mewakili. Mereka utamanya yang pernah terlibat GAM. Orang pos punya catatannya. Mereka mendapatkan catatan itu dari pasukan yang bertugas sebelumnya. Mereka yang ada namanya di daftar itu harus melakukan registrasi ulang setiap pasukan di pos berganti. Pemutihan, istilahnya. Selepasnya, ada pengarahan dari komandan pos. Isinya macam-macam. Tapi intinya ini: “Jaaaaaaaaaaaaangan sekali-sekali ikut GAM. Tidur di hutan itu tidak enak. Saya di pos 85
sana nyamuknya saja sudah minta ampun. Anak ditinggalin, istri ditinggalin. Kalau ikut ke sana akibatnya rugi semuanya. Nggak usah gaya-gayaan bawa senjata, bapak-bapak. Tidak ada gunanya! Mendingan kita ambil cangkul, pergi ke ladang, ada hasil bisa dimakan sama-sama dengan keluarga.” Kalau ada apel, mungkin keuchik (kepala desa) yang paling terbebani pikirannya. Dia harus punya jawaban kalau orang pos bertanya kenapa si A atau si B tak ikut apel. Dia juga kadang jadi sasaran awal kekesalan tentara terhadap apa yang terjadi di desa. Pernah suatu hari saya bertanya kepada orang pos apa yang akan dilakukannya kalau pos diserang. “Gampang,” katanya, “Cukup panggil keuchik dan suruh orang desa apel dan guling di jalan sampai aspal di depan pos ini rata.” Keuchik juga kadang jadi sasaran kekesalan orang GAM. Sudah banyak keuchik yang mati karena berselisih dengan orang GAM. Biasanya soal pajak. Pajak Nanggroe, istilahnya. Saya tak pernah melihat langsung orang GAM memungut pajak, tapi saya punya contoh kwitansinya. Isinya memuat keterangan nama barang yang diserahkan dan berapa jumlahnya dalam bahasa Aceh. Di pojok bawah kwitansi tertera keterangan “aseuli meuwarna, fotocopy hana sah” (asli berwarna, fotokopi tidak sah). Sepulang patroli, orang pos beristirahat. Selepas asar, mereka berolahraga. Ada yang turun main voli (enam yang main, empat mengamankan) dengan warga desa. Ada juga yang kembali menekuni alat-alat fitness. Kalau capek gerak badan seharian, begitu habis isya orang pos langsung tidur. Jangan bayangkan ada kasur dan ranjang di pos. Mereka tidur beralaskan matras dan berjejer di sebuah ruang panjang seperti bangsal rumah sakit. Biasanya, dari rumah mereka sudah membawa bantal, yang kadang ada sulaman nama istri dan anak-anaknya. Yang belum ngantuk biasanya nonton VCD. Orang pos punya banyak koleksi VCD dari film Mickey Mouse, Tom and Jerry, hingga film India Kuch-Kuch Hota Hai. Tapi yang sering diputar VCD Dangdut Koplo (itu lho, dangdut yang penyanyinya berpakaian superketat dan melenggok-lenggok menirukan adegan di film porno). Kadang, kalau punya persediaan, mereka nonton VCD porno yang mudah dicari di rental VCD di kota terdekat. Tidurnya serdadu di pos selalu disela jadwal jaga serambi. Biasanya mereka berjaga selang sejam.
86
Ini berlaku buat semua penghuni pos. Saat jaga, semua lampu dipadamkan. Di pos jaga selalu ada senapan otomatis. Kalau pas malam Jumat, di pos biasanya ada yasinan. Tahlilan kalau orang pos mendengar ada tentara Indonesia mati di Aceh. Dan kalau malam Minggu, orang pos biasanya gitar-gitaran. Banyak yang pintar menyanyi. Dangdut biasanya. Instrumen musik yang digunakan lumayan lengkap. Ada gitar melodi, drum, bass, suling, dan lain-lain. Tapi …. semuanya dengan mulut. Minggu siang waktunya pelesiran. Pelesiran tentara di Aceh tetap saja dengan senjata sudah dikokang. Tujuan mereka biasanya ke kota kecamatan atau ibukota kabupaten. Tempat yang pertama kali mereka datangi biasanya warung telekomunikasi. Di situ mereka melepas rindu dengan orang di rumah. Saban minggunya, ada ratusan tentara yang turun gunung untuk menelepon. Mereka yang seringkali bayar mahal adalah serdadu yang sudah berkeluarga. Makin banyak anak makin besar yang mereka bayar. Kadang sampai Rp 90 ribu sekali telepon. Selain telepon, banyak serdadu yang memilih berkomunikasi lewat surat. Saya pernah melihat seorang serdadu yang sekali duduk menulis sampai 10 surat. Dia masih bujangan. “Banyak fans,” katanya.
87
Operasi Penyergapan MALAM itu 100 orang serdadu disiapkan menyergap persembunyian GAM di wilayah Jeuram. Sebuah kekuatan besar untuk menghadapi musuh yang ditaksir 30 orang. Ada pengarahan tambahan setelah seorang mayor memberikan perintah operasi. “Kalian jangan salah lirik,” katanya, “Ada empat orang sipil yang ikut dengan kita. Tiga orang ini adalah panah (penunjuk jalan). Yang di belakang itu wartawan. Dia sudah dapat izin dari Pangkoops. Liat baik-baik mukanya.” Mayor itu sepertinya dapat membaca kecemasan saya. Saya satu-satunya orang yang berpakaian preman malam itu. Tiga sipil lainnya mengenakan setelan loreng tentara. Salah seorang bahkan menyembunyikan wajahnya di balik shebo karena mengira saya bisa membongkar identitasnya. Pengarahan ditutup dengan doa. Sesudah doa, seluruh serdadu sudah tahu apa yang harus mereka lakukan: mengokang senjata. Seratus-seratusnya. “Krak-krak-krak-krak-krak …..” Ramai tangkai pelocok beradu dengan besi pembungkus kamar senjata. Beberapa prajurit juga dibekali senapan pelontar granat. Panjangnya sekitar dua jengkal. Hitam manis warnanya. Diameter larasnya seukuran kaleng soft drink. Granat yang ditembakkan dari laras itu berbentuk tabung. Setengah jengkal panjangnya, kaliber 40 milimeter. Sebagian serdadu menyebutnya granat lintas mekar. Bila mengenai sasaran, serpihannya akan bermekaran seperti bunga kol. Bayangkan jika itu mekar di tubuh manusia ….. Soal suara, jangan ditanya. Bila meletus, granat itu cukup untuk membuat musuh kecut. “GAM hanya ketawa kalau dengar SS-1. Mereka itu hanya takut sama Minimi, TP, dan SPG,” kata seorang prajurit kepala. Senapan Pelontar Granat atau SPG memiliki banyak kesamaan dengan GLM (Grenade Launching Machine). Peluncur granat GLM melekat di M16 sedangkan SPG melekat di senapan serbu SS-1. Minimi. Senapan Belgia ini sanggup menghamburkan ratusan butir peluru hanya dalam hitungan detik. Panjangnya sekitar semeter, hampir sama dengan panjang SS-1. Amunisinya sama-sama berkaliber 5,56 milimeter kendati pada Minimi amunisi dalam renteng sepanjang dua meter. Di setiap rentengnya, amunisi terikat empat-empat. Setiap treknya ada tiga amunisi AntiPersonel dan satu amunisi pembakar. Rumput kering akan terbakar jika tersiram amunisi pembakar itu. 88
Soal ukuran diameter, laras Minimi sedikit lebih besar daripada laras SS-1. Jika 200 butir peluru muntah dalam sekali tarik picu, laras Minimi akan memerah seperti besi tempa. Karena itu, penembak Minimi selalu membawa laras cadangan di ransel. Malam itu saya melihat banyak prajurit yang menggantung Tabung Pelontar atau TP di pinggang. Ada TP Anti-Tank dan TP Anti-Personel. Yang Anti-Tank berwarna hitam dan yang AntiPersonel berwarna hijau. Mereka hanya membawa TP Anti-Personel. TP Anti-Personel tersimpan dalam sebuah tabung plastik. Barangnya sepanjang dua jengkal orang dewasa. Modelnya seperti roket mini. Ada serdadu yang pernah kurang ajar menakut-nakuti seorang kakek dengan menyelipkan roket itu di bajunya. Kakek itu menangis sesegukan karena cemas roket itu meledak di perutnya. Jika Anda ingin mendengar letusan TP, pasang saja di laras SS-1. Proyektil yang keluar dari laras SS-1 akan menghantam picu TP dan membuat granat di ujungnya melenting hingga 400 meter. Begitu mengenai permukaan keras, granat itu akan meledak. Apa saja yang rapuh dalam radius 15 meter dari lokasi ledakan akan terhambur. Yang kering akan terbakar. “Ini jangan dinyalakan yah,” kata Kapten Dedi Hardono ketika melihat saya membawa tape recorder. Kapten Dedi adalah perwira seksi operasi. Dia panglima perangnya Batalyon 521 di Aceh Barat. Dia tak ingin lampu merah penanda rekaman di tape recorder saya merusak kerahasiaan gerak pasukan di gelap malam. Tepat tengah malam, kami berangkat menumpang empat truk Mercedes-Benz. Nyaris tak ada pembicaraan selama perjalanan. Serdadu tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Beberapa di antaranya menyalakan rokok, mengisapnya dalam-dalam, karena mereka tak bisa merokok dalam operasi. Truk melaju dengan kecepatan sedang. Deru mesinnya berpadu dengan embusan angin yang seolah hendak merobek terpal mobil. Jalanan sepi. Di luar sana gelap. Sekitar sejam kemudian, gerak konvoi tiba-tiba berhenti di depan Komando Rayon Militer Jeuram, kecamatan Nagan Raya. “Diaannncuk! Kenapa berhenti di sini?” “Kenapa?” “Wes nggak rahasia lagi. Bocor pasti. Cuak GAM pasti sudah melapor ke hutan. Orang Koramil ini tidak bisa dipercaya.” Ada jeda sebelum sersan satu itu kembali mengumpat, “Diannnnnnnnncukkkkk!”
89
Selang beberapa menit, saya tahu kalau konvoi ternyata salah jalan. Kami harus balik kanan. Konvoi lalu bergerak ke sebuah simpang empat yang telah terlewati. Truk masuk ke jalan berbatu. Kiri-kanan persawahan. Makin ke dalam, makin gelap. Perumahan penduduk makin jarang. “Sebentar lagi sampai,” kata seorang serdadu yang duduk di samping saya. Kami masih tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Melihat rokok saya hampir habis, dia menawarkan yang baru. “Santai saja,” katanya, tersenyum. Kami akhirnya sampai di “titik bongkar.” Muatan dibongkar depan sebuah pasar kecil. Belasan penduduk yang ronda malam itu terkejut melihat serdadu berlompatan dari bak mobil. Mereka dikumpulkan, diberi pengarahan singkat, dan ancaman. Intinya, cukup mereka saja yang tahu kehadiran pasukan malam ini. Lima menit kemudian, truk yang telah kosong balik kanan, meninggalkan serdadu yang mulai berbaris menurut kelompoknya. Si kapten nampak kesal melihat beberapa serdadu lupa di mana kelompoknya. “Kamu jangan jauh-jauh dari saya,” katanya kepada saya. Empat tim itu mulai bergerak dengan selang keberangkatan sekitar lima menit. Tim Kopassus dan Kostrad yang berangkat pertama. Tiba giliran tim saya bergerak. Tak sampai dua menit, kami telah mencapai ujung kampung. Pasukan telah melewati lampu jalan yang terakhir. Gelap menyergap. Saya tak dapat melihat apa-apa dalam jarak setengah meter. Yang saya tahu harus terus melangkah, mengikuti derap lars di depan. Lima menit, 10 menit. “Har …. Har …. berhenti dulu. Saya ketinggalan.” Kapten Dedi Hardono, dengan suara lirih, mencoba meminta prajurit yang bergerak paling depan berhenti. Panggilan di handy talky itu tak berjawab. Orang di depan saya mulai jalan setengah berlari. Ternyata kami tertinggal jauh di belakang. Sekitar lima menit setelah kehilangan kontak, tim kembali utuh. Pasukan terus bergerak. Sekitar setengah jam kemudian, voor spiets (bahasa Belanda; prajurit terdepan dalam formasi tempur) tiba-tiba menghentikan langkahnya. Semua di belakangnya kaget. Kami seperti nenek kehilangan tongkat. Ada yang nyaris mencium tanah karena ditubruk dari belakang. Kaki serdadu di belakang saya rupanya tidak punya rem juga. Larasnya menghantam betis saya. 90
Pasukan berhenti. Semua jongkok. Saya dapat mendengar gemercik air dari kejauhan. Kami sepertinya jalan dekat saluran irigasi. Enam meter di depan sana, muncul suara yang lamat-lamat di telinga. “Ssstttttttttttt …..” Rupanya, serdadu paling depan menyuruh yang di belakangnya senyap. Yang di belakangnya juga mengulangi pesan serupa hingga ke telinga serdadu terakhir. Ada sekitar lima menit kami berjongkok. Tak jelas apa yang melatari sampai voor spiets tiba-tiba berhenti. Tapi tindakannya itu menyebabkan ketegangan yang sedari tadi mengiringi makin menjadi. Pasukan bergerak lagi …. berhenti lagi …. bergerak lagi …. berhenti lagi. Sekali dua, pemberhentian tiba-tiba itu meremas-remas jantung. Tapi setelahnya banyak serdadu yang mulai santai. Sudah ada yang berani duduk berselonjor dan melepas kentut. Kewaspadaan mulai menurun. Saya juga capek. Lutut rasanya mau copot. Mata letih memelototi kegelapan di sekeliling. Ah, sudah pukul tiga. Sudah dua jam kami berjalan. Kaki rasanya otomatis melangkah mengejar langkah orang di depan. Seandainya tak malu, saya rasanya ingin bilang ke Kapten Dedi agar berhenti dulu dan baru jalan saat tanah sudah terang. Pasukan berhenti lagi. Kali ini, belum sempat jongkok, ada kata yang merayap dari depan, “Balik kanan. Balik kanan.” Ternyata pasukan salah jalan lagi! Hampir pukul empat subuh tapi pasukan terus bergerak. Kali ini setengah merunduk saat melintas di sebuah tanah lapang. Setelahnya, semak-semak menghadang. Berkali-kali saya tersandung. Dalam hati saya berharap semoga kami tak salah jalan lagi. “Mundur. Mundur. Sasaran sudah di depan! Sasaran sudah di depan!” Pendadakan itu membuat banyak serdadu gelagapan mundur. Sasaran ternyata sudah di depan sana dan kami hampir menerobos begitu saja tanpa persiapan. Kapten Dedi menyiapkan formasi penyerangan. “Mana Minimi,” bisiknya, mencari serdadu yang menenteng Minimi. “Minimi …. Minimi …..” Beberapa serdadu mengulangi panggilan itu. Ada 12 belas pucuk Minimi malam itu tapi tak satu pun yang berada di dekatnya.
91
Selang sebentar, yang dipanggil akhirnya datang merayap. “Kamu ini ….!” Kapten Dedi berbisik dengan nada membentak. “Mana wartawan?” bisiknya ke seseorang di dekatnya. Hari masih gelap. Dia tak dapat melihat saya yang tiarap di semak dua meter di kirinya. Terang-terang tanah, 25 serdadu bergerak mendekat. Sedekat mungkin ke bangunan yang mereka incar. Tiga puluh meter, 20 meter …. 10 meter. “Diancukkkkk!” Setengah terperanjat, beberapa prajurit menyumpahi bangunan 10 meter di depan sana, yang ternyata kandang kambing. Saat itu baru jelas. Sasaran sebenarnya ada 50 meter sebelah kanan kandang kambing itu. Sebuah gubuk dan beberapa petak rumah kopel beratap seng. Kokok ayam kian jelas terdengar. Sebentar ini mungkin ada nyawa yang akan meregang. Pasukan mengepung perumahan di tengah hutan sawit itu dalam formasi L. “Tang-tang-tang.” Beberapa serdadu menghujani rumah beratap seng itu dengan batu. Mereka ingin tahu reaksi penghuninya. Senyap. Tak ada senjata menyalak dari sana. Prajurit dari Kopassus dan Kostrad bergerak cepat. Mereka telah mengepung rumah itu dari jarak sekitar lima meter. Saya dapat melihatnya jelas dari balik pohon sawit. Mereka terus mendekat. Lalu sebuah teriakan memecah keheningan, “Ujang, Awewe, Barudak. Kaluar! Kaluar!” Teriakan seorang prajurit Kopassus dari Sunda. Tapi itu sudah cukup. Seorang perempuan menampakkan diri. Nurhayati yang tak memahami ucapan itu dan tak pernah membayangkan gubuknya akan disatroni serdadu tergopoh-gopoh keluar. Di badannya hanya melekat baju kusam yang kancingnya tak tertutup semua dan selembar sarung coklat yang warnanya memudar. “Mana Bapak?” Dibentak begitu, Nurhayati takut. Tangisnya pecah. Pelan-pelan, dari balik pintu, suaminya keluar dengan hanya mengenakan handuk yang juga kusam. Para serdadu bergerak cepat. Gubuk digeledah bersamaan pemeriksaan rumah kopel di dekatnya. Hasilnya sama. Tak ada senjata. Beberapa prajurit penasaran. Bagaimana mungkin informasi A-1 salah? Mereka mendatangi Muhammad yang berdiri kaku di halaman rumahnya. Dua meter di sampingnya, Nurhayati masih berusaha meredakan tangis anak mereka Nurinsana. Ada dialog. Beberapa serdadu berkali-kali bertanya dalam bahasa Indonesia, sementara Muhammad, dengan sepenuh perhatian, menjawab dalam bahasa Aceh.
92
Seorang sersan dua yang berdiri di samping saya mulai gerah. Dia pikir satu-dua kali jotosan ke muka Muhammad akan membuat komunikasi nyambung. Bohong kalau dia tidak bisa bahasa Indonesia! Masak tidak bisa sih!? “Kalau Bapak itu saya pukul, Mas tulis atau tidak?” sersan itu bertanya kepada saya. Saya jawab dengan menjauh dari tempat itu. Bukannya saya tak mau menulis tapi repot sekali menjawabnya. Dari jarak 20 meter, saya lihat berkali-kali dia menepuk-nepuk senjatanya. Sepertinya dia bertanya apakah pasangan itu pernah melihat orang membawa barang seperti senjata yang disandangnya. Dia menyerah. Saat sarapan pagi di depan rumah kopel itu, dia berkomentar singkat, “Memang belum rezeki.” Yang kebagian rezeki pagi itu justru Nurhayati dan tetangganya. Lepas sarapan, beberapa serdadu membagikan jatah biskuit atau nasi kaleng yang tak menarik selera mereka. Seorang ibu yang lewat di depan rumah Nurhayati ikut ditawari. Awalnya, dia menolak karena mengira nasi kaleng itu bom. ***** KAMI pulang pagi itu juga. Berjalan kaki melintasi rute yang sama tapi dengan waktu yang lebih cepat, sekitar 1,5 jam. Semalam kami ternyata melintas di jalan padat karya yang membelah hutan sawit milik PT Fajar Bayzuri & Brother di Paya Malim. Serdadu kalau pulang penyergapan kosong, jalannya biasanya ngawur. Banyak yang bergerombol kendati sudah diperingatkan agar tetap waspada. Mereka sudah capek. Kami hanya sanggup berjalan hingga saluran irigasi di sebuah persimpangan. Lewat radio PRC (portable radio communication), truk diminta menjemput lebih ke dalam. Sejam menunggu, truk belum juga datang. Beberapa serdadu mengajak berkenalan. Kami ngobrol banyak hal. Di situ saya sempat melihat peta topografi wilayah Jeuram yang dibawa seorang serdadu. Besarnya seukuran kertas A1. Fotokopian, dibungkus plastik. Ini peta standar Tentara Nasional Indonesia di Aceh. Setiap pos punya satu peta. Peta itu yang jadi batas sekaligus acuan gerak mereka. Peta ini isinya mendetail. Setiap karvah punya koordinat posisi. Kontur tanah jelas terlihat. Demikian pula jalanan, perumahan penduduk, rawa, kebun sawit, kebun karet, sungai, persawahan …. pokoknya orang dijamin tak akan tersesat jika menggunakannya. Di pojok peta itu saya membaca catatan kalau peta itu dibuat Dinas Topografi TNI Angkatan Darat bekerja sama dengan sebuah lembaga Australia. 93
Peta ini, peta yang menjadi acuan semua serdadu Indonesia di Aceh, dibuat berdasarkan pencitraan satelit pada …. 1974! Hampir seperempat abad lalu atau dua tahun sebelum pecah pemberontakan bersenjata di Aceh. Bisa dimengerti kalau mereka sering tersesat. Selang sebentar, datang tim penutup. Semalam, mereka bertugas menutup jalan pelolosan GAM. Jarak yang mereka tempuh lebih jauh tapi raut wajah mereka menyiratkan kemenangan. “Laron!” kata seorang serdadu yang menunjuk GAM yang tertangkap. “Laron” itu sudah berdarah. Bibir atasnya lebam. Sepertinya habis dinyonyor laras. Ada luka sayatan sekitar tiga centimenter di pipi kirinya. Cipratan darah membasahi bajunya. Namanya Ismail. Umur 34 tahun. Tingginya sekitar 160 centimeter. Pekerjaannya makelar karet. Pagi itu dia ditangkap karena gugup saat berpapasan dengan pasukan. Ada yang mengenali wajahnya. Sebentar saja, puluhan serdadu mengelilinginya. “Tadi malam dia melihat kita lewat di irigasi,” kata seorang serdadu menjawab pertanyaan rekan-rekannya apakah Ismail yang membocorkan kehadiran pasukan semalam. Truk ternyata tak bisa menjemput ke dekat irigasi. Kami harus jalan lagi sambil mengawal Ismail. Tangannya tak diikat sehingga dia bebas mendorong sepedanya. Dalam hati saya berharap semoga dia tak melarikan diri selama perjalanan. Kami jalan terus. Sambil jalan, beberapa serdadu yang gemas mendekatinya. Ada yang sekadar ingin bertukar sapa, ada juga yang mengancam akan menembak jika Ismail mencoba melarikan diri. “Itu ada wartawan. Kamu akan dikirim ke Jakarta.” Raut muka Ismail sontak berubah. Dia termakan gertakan itu. Kami sampai di titik penjemputan. Ismail dan sepedanya dinaikkan ke truk, dijaga sekitar 25 orang serdadu. Dari belakang, ada yang menghardik, “GAM! Anjing kamu. Babi!” Seorang perwira segera menimpali, “Ojo dikerasi lho. Ojo! (Jangan dikerasi lho. Jangan!)” Dua-tiga hari setelah penyergapan di Paya Malim itu, saya kembali bertemu Ismail. Sudah banyak perubahan. Lebam di bibirnya sudah hilang. Sayatan kemarin seperti tak pernah ada saja. Saya dengar pulihnya Ismail berkat keterampilan bintara kesehatan merawat Ismail saat diterungku (dikerangkeng). Hari itu wajah Ismail nampak cerah. Bajunya tak ada bercak darah lagi. Berkali-kali dia mencoba tersenyum ke arah saya. 94
Saya membalasnya, tapi tak berani mendekat. Selalu saja ada serdadu di sampingnya. Apa kesalahan Ismail sampai ditahan? Sehari setelah penahanan, satu regu serdadu mendatangi rumah-kebunnya di Paya Malim. Di situ, tentara menemukan barang bukti berupa antena handy talky, belerang (bahan dasar pembuatan bom), dan TP (tabung pelontar) yang kadaluwarsa. Tapi tak ada amunisi atau senjata. Habis mengambil barang bukti, rumah itu dibakar. Saat diinterogasi, Ismail mengatakan barang-barang itu bukan miliknya. Itu, katanya, milik orang GAM yang kebetulan singgah makan ke rumahnya. “Sampai mati pun jawaban saya tetap begitu, Pak,” kata seorang bintara menirukan Ismail. Seorang perwira intel senior tak membeli alibinya itu. Ismail sudah jelas-jelas GAM. “Kalau saya yang dapat pertama kali saya tembak langsung.” Sekitar sepekan setelahnya, Ismail dibebaskan. Tapi dia masih kena wajib lapor ke pos pasukan teritorial satu kali seminggu. Pasangan suami-istri Cut Ali bin Nasir tak seberuntung Ismail. Mereka ditangkap karena ada laporan bahwa ada pelarian GAM dari Aceh Selatan yang tinggal di Suak Nyamuk, kecamatan Darul Makmur. Laporannya cukup detail. Dia tinggal bersama istrinya di sebuah rumah kebun. Tak punya anak. Di telunjuk kirinya ada luka bekas tertusuk duri. Subuh itu menjelang peringatan ulang tahun Tentara Nasional Indonesia 5 Oktober silam, Nasir memang apes. Saat berjaga di kebun, dia tak dapat mengenali kalau 20 meter dari tempatnya duduk, di sela-sela bedeng kacang tanah, ada belasan serdadu yang mengincarnya. Begitu tanah terang, dia dan istrinya ditangkap. Di rumah itu, tentara tak menemukan satu pun barang bukti yang mendukung Nasir adalah GAM. Tapi keduanya tetap digelandang ke pos tentara teritorial di Meulaboh. Nasir tak sempat memakai sandal saat digiring bersama istrinya. Dan di sanalah penderitaan mereka bermula. Nasir lebih dulu diinterogasi. Dia diminta bertelanjang dada. Di hadapan seorang mayor dan beberapa staf intel, Nasir membantah kalau dia terlibat GAM. Bantahan itu mengundang kemarahan. Saya hanya tahan sebentar mengintip Nasir diinterogasi. Saya mencari Sersan Satu Handoko yang ikut menangkap pria bertato itu. Handoko orangnya simpatik. Banyak warga desa Aceh yang menyenanginya. Seingat saya, Handoko satu-satunya serdadu di Aceh Barat yang fasih berbahasa Aceh. Dia menikah dengan seorang gadis Pidie 1999 silam.
95
Di akhir ceritanya, Handoko mengungkapkan kekesalannya melihat Nasir dipukuli begitu. Menurutnya, mereka yang bertindak kasar itu tak tahu persoalan dan hanya cari-cari muka. Seorang kapten yang ada di ruang interogasi juga memilih keluar. Dia jengah melihat beberapa bawahannya memukuli Nasir. Dia tak kuasa mencegah kendati itu terjadi di hadapannya. Saya kira dia sungkan karena bagaimana bisa melarang jika mayor di hadapannya justru menyetujui pemukulan itu? Saat ngobrol dengan Handoko, seorang bintara mendekat dan mengaku tak tega melihat Nasir dijotosi sampai elek. Saya senang mendengarnya. Tapi sehari setelahnya, dalam bahasa Jawa, dia bercerita kepada beberapa rekannya, di hadapan saya, kalau tangannya sampai sakit memukuli Nasir. Saya kecewa sekali merasa dibohongi. Saya mengerti bahasa Jawa walau sedikit. Interogasi berjalan sekitar dua jam. Untuk pemeriksaan selanjutnya, Nasir dan istrinya ditahan di Pos Komando Taktis Pula Ie, sekitar setengah jam perjalanan dari Meulaboh. Di atas truk itu, Nasir yang saya lihat dua jam lalu jauh berbeda dengan Nasir sekarang: ada gumpalan darah beku di tulang belakang telinganya. Bibirnya lebam, hidungnya berdarah, dahinya penuh benjolan. Rahang kanannya membengkak sementara yang sebelah kiri seperti kempes. Pasangan suami istri itu duduk di ban serep truk. Sekitar 20 orang serdadu bersenjata lengkap mengawalnya. Begitu duduk, istri Nasir mencoba menggamit lengan kiri suaminya. Tapi Nasir seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tatapannya tetap lurus ke depan. Siang itu dia mengenakan jins yang birunya sudah memudar dan baju kaos lengan panjang warna kuning yang kerahnya seperti habis ditarik paksa. Lengan kanan dan bagian punggung baju itu penuh bercak-bercak darah. Saya pernah mendengar seorang serdadu dari Makassar berandai-andai ada promotor yang mau memfasilitasi pertarungan gaya bebas ala Ultimate Fighting Championship (UFC) antara TNI dan GAM. Dan saya kira, kalau disuruh berkelahi satu lawan satu, akan banyak serdadu Indonesia yang berpikir 1.000 kali sebelum memberanikan diri menantang Nasir. Tingginya dapat 175 centimeter. Dadanya membusung. Bahunya lebar. Pergelangan tangannya besar. Kumisnya yang bapang kian menambah kesan angker. Tapi siang itu, Nasir dalam kondisi payah. Sungguh. Saya duduk di sampingnya saat mendengar beberapa serdadu berkata: “Wis pateni ae (sudah bunuh saja).” Ada juga yang menginginkan Nasir diberi kesempatan menunjukkan tempat penyembunyian senjatanya. Nanti kalau ternyata tidak ada, ya “wis pateni ae.” 96
Istrinya? Ada yang mengusulkan tak usah dibunuh tapi dijadikan tukang masak di pos saja. Truk bergerak. Istri Nasir mempererat dekapannya. Sekali dia mencoba membelai paha suaminya, tapi tak dilanjutkannya. Mungkin segan. Dia hanya memegang lipatan-lipatan kain yang membungkus lutut suaminya. Lain kali dia seperti hendak membisikkan sesuatu ke telinga Nasir. Nasir berpaling, tak berkata suatu apa, lalu kembali menatap lurus. Saya kagum. Mungkin seperti beginilah harusnya laki-laki. Saya tak dapat membayangkan seperti apa keadaan istrinya jika Nasir tak setegar siang itu. Sebentar kemudian, Nasir mengelus-ngelus telunjuk kirinya. Dia mencoba menyapu darah yang masih menetes. Luka bekas tertusuk duri itu kembali merekah setelah seorang serdadu memukuli telunjuk Nasir dengan besi. Nasir mengakui keterlibatannya dengan GAM setelah itu. Nasir dan istrinya diterungku di sebuah sel besi seukuran 3 x 5 meter. Ada selembar tikar di situ dan dua sak semen yang mungkin bisa dijadikan bantal. Tahi kambing berceceran di lantai itu. Penjaranya di samping dapur umum. Beberapa serdadu berkali memukul-mukul seng samping penjara seakan-akan untuk menyambut kehadiran penghuni baru di sebelah. Sekitar 50 meter dari tempat Nasir mendekam, di sebuah bangunan yang ditinggali para serdadu itu, saya melihat ada kursi listrik yang berubah fungsi menjadi kandang burung. Model dan ukurannya seperti bangku kuliah mahasiswa. Hanya saja beberapa bagiannya, seperti sandaran punggung, dilapisi lempengan besi. Di tungkai kursi itu ada lengkungan besi berengsel yang pas di tungkai kaki. Beberapa serdadu bercerita kalau kursi itu peninggalan Yonif Linud 700 Makassar. Saya banyak mendengar cerita miring tentang pasukan ini. Mereka menggunakan kursi listrik itu untuk melakukan interogasi. Banyak warga yang trauma dengan watak keras pasukan ini. “Matanya ditatap saja kita sudah digertak …. ada salah sedikit main tempeleng,” kata seorang warga. Dua-tiga hari setelahnya, saya kembali bertemu Nasir dan istrinya. Kondisinya sudah lebih baik. Lebam-lebam di mukanya hilang. Seorang serdadu malah memberinya baju ganti. Wajahnya kelihatan lebih segar, demikian pula istrinya. Entah kenapa, hari itu dia menghampiri saya di sudut pos. “Saya Cut Ali. Cut Ali bin Nasir.” Katanya menjabat tangan saya erat-erat, seolah tak akan pernah bertemu lagi. Tapi dari keadaannya yang sudah membaik itu saya menduga sebentar lagi mereka akan dilepas, seperti Ismail dulu. 97
Memang, selama dua minggu setelahnya saya tak pernah mendengar kabar Nasir lagi. Pada pekan keempat Oktober, seorang bintara mengabarkan kalau Nasir dan istrinya melarikan diri. “Melarikan diri?” tanya saya tak percaya. “Iya,” katanya, “Waktu rumahnya digerebek ulang ada amunisi yang ditimbun ternyata.” Tak selalu tentara kita mengorek informasi dari orang yang dinilai terlibat GAM dengan cara kekerasan, seperti yang telah dialami Nasir dan istrinya itu. Saya pernah melihat cara yang simpatik. Waktu itu ada informasi yang masuk ke pos kalau pemimpin pondok pesantren Babussalam Abubakar Sabir menampung sejumlah orang GAM. Dua truk pasukan langsung meluncur ke dayah (pesantren) di jantung kota Meulaboh. Seorang mayor turun dan bertemu dengan kiai di situ. Entah apa yang mereka bicarakan. Keesokan harinya, kiai itu datang membawa belasan santrinya yang pernah ikut GAM. Mereka hanya diinterogasi dan diizinkan pulang dengan status wajib lapor sekali seminggu. (Ada juga “laron” yang baru dilepas setelah kakak, adik, om, tante, dan sepupunya datang menjaminkan kepalanya) Selama bergabung dengan pasukan, saya banyak melihat GAM yang turun gunung menyerahkan diri ke pos aparat. Jumlahnya mencapai 50 orang lebih. Mulai dari yang levelnya panglima sago (setingkat kemukiman) hingga yang dianggap GAM hanya karena pernah dipaksa ikut latihan perang-perangan selama tiga jam. Sebagian besar diperlakukan baik-baik. Hanya diinterogasi dan diberi pengarahan singkat. Tapi biasanya, kalau tentara Jakarta punya informasi yang bisa diandalkan, “laron” tertentu akan dibujuk dan kalau tak mempan dipaksa menunjukkan tempat penyembunyian senjatanya. Seorang prajurit dua pernah bercerita kalau di posnya ada pecut ekor ikan pari. Cambuk itu berhasil memaksa seorang “laron” yang telah menyerahkan diri menunjukkan tempat penyimpanan senjatanya.
98
Bukit Tengkorak SAAT bergabung dengan pasukan Rajawali awal Oktober silam, seorang sersan satu dari Grup I Kopassus (Serang) mendekati saya. Dia tahu saya belum punya kawan hari itu. Di sela-sela obrolan, saya tanya bagaimana rasanya tujuh bulan tugas di Aceh. Saya sebenarnya ingin menggali sindrom “mata kuning” di kalangan serdadu yang telah enam bulan lebih di medan tugas. Dengar-dengar, kalau kena penyakit itu, sapi pun akan terlihat cantik. Tapi jawaban yang saya dapatkan lain. “Biasa saja,” katanya, “Di sini itu perangnya (seperti) perangperangan. Tapi kalau mati, mati beneran.” Soal perang-perangan itu ada benarnya. Saya pernah mendatangi sebuah rumah yang menjadi saksi bisu perang TNI dan GAM. Rumah itu rumah seorang transmigran Jawa yang tak lagi berpenghuni di Sarana Pemukiman I, Alue Peunyareng, Meurebo. Di dindingnya ada banyak tulisan. Isinya tantangan dan sumpah serapah TNI untuk GAM. Di tempat yang sama, GAM juga menorehkan tantangan dan cemoohannya. Saya tak tahu siapa yang memulai. Tapi saya kira, kemarahan serdadu Indonesia dipicu tulisan arang di dapur rumah itu: “I Paie Alias Anjing Jalanan. I Paie Sulid orang. (Orang)nya mati dibilang tidak mati …. mati 20 orang dibilang lecet …. TNI Cumak Ngomong yg bisa. Rakyat dia tahu yang salah dgn benar! TNI takut pada GAM. Kalau TNI Tidak takut pd GAM tidak perlu pi gi ramai2. GAM tak takut …. TNI Cari Uang ke Aceh. Honda orang diambi. Punya sendiri tak ada. TNI Budak orang.” Balasannya …. oh mak, sampai memenuhi tembok di rumah itu, luar dan dalam. Ini sebagiannya: “GAM. Gerakan Anak Murtad. Juragan Babi Tgk. Syafei. Linud 700/ Kombet …. Yonif 521 siap menumpas GAM (Gerakan Anak Murtad) ….. Kalau memang GAM jangan nembak dari jauh, tho!!! …. GAM ….!!! Cantoi, jelas kamu hanya pengisap keringat rakyat dan kamu tak ada bedanya dgn pacet ….. Bacalah ini wahai GAM. Semoga kamu sadar …. GAM pengecup!!! Habis nembak lari. Pemerkosa, perampok, anjing, babi, monyet!!!” Tapi ada juga yang nadanya kalem. Ada yang menuliskan beberapa penggalan ayat alQuran yang intinya menyerukan perlunya semua muslim saling menyayangi. Saya kira yang menulis itu berharap ada GAM yang tergerak hatinya dan bertobat setelah membaca tulisannya. Perang-perangan juga berlangsung di udara. Di radio frekuensi umum, GAM dan serdadu Indonesia seolah berlomba memasukkan beberapa hewan penghuni kebun binatang ke situ.
99
“Jangan begitulah, Bang. Kita perang, tapi tidak usah di radio,” kata suara di seberang sana. “Memang kau GAM, anjing, babi!” Kadang GAM juga yang memulai: “Danki (komandan kompi) apa kamu ini. Tadi saya minum kopi di kedai depan posmu. Sama anak buahmu! Kamu tidak tahu, yah? Makanya kalau ada orang lihat-lihat.” Balasannya: “Kamu ke sini aja, Anjing! Saya tunggu sekarang kalau berani!” Tapi sepertinya belum pernah ada yang mengalahkan rekor perang-perangan pasukan Rajawali dari Yonif Linud 432/Kostrad (Makassar) di Bukit Tengkorak medio Mei silam. Awalnya, saat berkenalan, seorang serdadu Kostrad dari Batalyon 433 seperti menyesalkan kenapa saya tak datang meliput pasukan lebih awal. “Dulu waktu di Bukit Tengkorak …. oh mak ….,” prajurit itu tak menyelesaikan kalimatnya. Dia hanya memeragakan memiting leher dengan tangan kanan seolah sedang menggoroknya leher seseorang. “Sayang Abang terlambat. Sekarang ini sudah sepi,” sambungnya. Saya jadi tertarik menggali adegan mirip-mirip Mel Gibson menggorok leher musuhnya dalam film Braveheart itu. Suatu hari sebelum ikut penyerangan bersama Pasukan Rajawali ke wilayah Patek, saya menyempatkan mewawancari belasan serdadu yang ikut operasi di Bukit Tengkorak. Ada banyak versi cerita dari beberapa kali wawancara dengan orang-orang yang sama. Tapi garis besarnya sama: 10 Mei 2002-Sekitar 60 orang serdadu yang terbagi ke dalam tiga tim berangkat dengan berjalan kaki dari Lhoksari menuju Bukit Tengkorak. Sebelum berangkat, prajurit Yonif Linud 700 sudah memperingatkan bahaya yang akan menghadang. Di puncak bukit, kabarnya, GAM telah memasang senapan mesin berat 12,7 milimeter. Pasukan bergerak jam dua malam dan baru sampai pada sasaran saat terang-terang tanah. Letnan Dua Daulat Marpaung memimpin tim terdepan. Di depannya kini berdiri dua bukit kecil setinggi 15 meter. Ada jalan beraspal yang memisah kedua bukit itu. Satu relatif gundul, sana sini ditumbuhi semak-semak. Satunya lagi ditumbuhi lumayan banyak pohon karet muda. Marpaung tak melihat ada tanda-tanda aneh di bukit itu. Burung-burung silih berganti datang dan pergi. “Majuuu!” Sekitar 20 orang serdadunya menyelaber kedua bukit. Kosong tak ada apa-apa. Ternyata cuma onggokan dua bukit kecil saja!
100
Sekitar pukul tujuh pagi, Komandan Kompi Yonif 433 Kapten Tumiko Susanto memerintahkan Marpaung membawa serdadu masuk untuk memeriksa keadaan di Seumara, sekalian menggali informasi intelijen yang menyatakan banyak simpatisan GAM di situ. Seumara jaraknya kurang 100 meter dari tempat pasukan berdiri. Sekitar 10 meter dari jalan yang membelah bukit, ada jembatan sepanjang empat meter yang mengantar ke perkampungan di sana. Marpaung berangkat. Semuanya 13 orang. Begitu masuk desa, dia melihat anak-anak muda dan ibu-ibu berkumpul di depan-depan rumah. Bukankah ini jam bertani? Marpaung meneruskan langkahnya ke rumah keuchik. Begitu sampai, dia memperhatikan seorang pemuda gelisah, mondar-mandir depan rumah keuchik. Ada serdadu yang iseng menyuruhnya mengambil kelapa. Dia menolak. “Saya tidak bisa manjat,” katanya. Di rumah keuchik, Marpaung mulai gelisah. Terutama setelah melihat sekelompok anak muda sibuk membabat rumput dekat rumah keuchik. Seorang serdadu juga merasakan hal serupa. Dia tak tahan lagi. “Kau Pak Keuchik,” katanya setengah menghardik, “Sempat ada tembakan sebentar kau yang pertama saya babat.” Eh, Kapten Tumiko turun ke kampung juga. Dia ingin bertemu langsung dengan keuchik di situ. “Kamu lapar?” Tumiko bertanya ke Marpaung yang memang sedari pagi belum sarapan. Tumiko mengusulkan merebus mi di rumah keuchik yang sudah menawarkan kopi. “Nggak usah. Nggak usah,” jawab Marpaung cepat, sembari menatap wajah komandannya dalam-dalam. Dia ingin mengisyaratkan kegelisahannya. Komandan itu akhirnya paham. Pasukan kembali ke bukit dengan langkah terburu-buru. Beberapa di antaranya berjalan dengan sesekali melihat ke belakang. Seolah akan ada sesuatu. Sesampainya di bukit, pasukan makan siang. Sembari beristirahat, mereka membicarakan sejumlah keanehan di desa tadi. Menjelang pukul empat sore, ada serdadu yang menyeduh kopi. Marpaung memperingatkan serdadu yang istirahat di bukit. “Eh hati-hati. Kampung sepi sekali. Nggak ada orang.” Rencananya, pasukan akan bermalam dan keesokan harinya melanjutkan perjalanan ke Pante Ceuremeun. Tahu akan bermalam, Prajurit Satu Bakri dan beberapa serdadu lainnya mulai melepas sepatu. Tiba-tiba datang tembakan dari desa.
101
“Dududung-dudung-dudung-dududung.” Rentetan senapan AK-47 ke arah bukit mengagetkan seluruh pasukan. Peluru berterbangan di atas kepala. Dalam hitungan menit, semua serdadu di bukit tiarap sambil berusaha melindungi kepala, khawatir kejatuhan ranting-ranting kayu yang patah akibat hantaman peluru. Tembakan setidaknya dari tiga penjuru: dari rumah-rumah penduduk sekitar 70 meter di bawah sana; dari tanggul persawahan sekitar satu kilometer di depan bukit pertama; dan dari rawa-rawa di depan bukit kedua. “Dududung-dudung-dudung-dududung.” AK terus menyalak. Selama dua bulan di Aceh, baru kali ini Rajawali 432 mendengar desing amunisi GAM. Prajurit Kepala Hamka yang berada di balik bukit pertama langsung menyembunyikan kepalanya. Dia baru berani mengintip setelah ada jeda tembakan. Mungkin mereka lagi mengisi magasin. Orang di bukit mulai membalas. Kapten Tumiko memperingatkan pasukannya agar tetap merunduk. Dia tak ingin satu pun anak buahnya celaka. “Tunduk kamu …. tunduk! Heeeeee …. tunduk kamu! Tunduk!” Peringatan itu tak banyak berbekas. Beberapa serdadu yang telah mengatasi kekagetannya mulai membalas tembakan. Tembakan kian menjadi, dari bawah dan atas bukit. Kapten Tumiko tak henti-hentinya menyuruh serdadu yang berada di bukit kedua untuk merunduk dan menghitung amunisi yang keluar. “Hitung amunisi. Hitung amunisi.” Perintahnya setengah berteriak. Baku tembak itu berlanjut hingga pukul tujuh malam. Malam itu semua orang di bukit siaga. Pasukan dibagi. Satu tim di bukit pertama, satu tim di bukit kedua. Di bukit pertama, dipasang tiga Minimi, satu GLM, dan dua SS-1. Satu tim lagi bertahan di bukit kedua yang lebih luas. Tim ketiga dipasang di pebukitan yang sesisi dengan bukit pertama. Menjelang pukul 10 malam, Kopral Satu Irfan K.N. mengusulkan kepada rekan-rekannya untuk mendirikan tenda. Langit mendung. Usulnya tak digubris. “Rajawali tak perlu tenda,” kata seorang rekannya. Irfan mulai mempersiapkan ponconya. Siapa tahu hujan. Eh, hujan betul. Sekitar pukul 10 malam hujan keras diiringi kilat mengguyur seluruh pasukan. Beberapa serdadu di bukit pertama merapat-rapatkan badannya ke ponco Irfan. “Katanya Rajawali tak perlu tenda,” kata Irfan menyindir. 102
Tak ada tembakan hingga pagi harinya. Begitu terjaga, Marpaung menyuruh bawahannya bergegas sarapan. Dia tak ingin dikagetkan oleh tembakan lagi saat makan. Beberapa serdadu mulai merebus kopi. Tapi belum sempat mencicipi, AK sudah menyalak dari desa. Awalnya pelan. Lalu, “Dududung-dudung-dudung-dududung.” Seorang serdadu yang jengkel belum sempat menghirup kopinya berteriak kesal: “Ooii, belum sarapan!” Ajaib. Tembakan berhenti. GAM sepertinya sarapan juga. Berselang sebentar, baku tembak kembali berlangsung. Dari desa pagi itu, sebuah teriakan terdengar hingga ke bukit: “Paiiii, lonte kamu! Turun kamu kalau berani. Mana Rajawalimu!?” Mendengar itu, seorang serdadu berbisik ke temannya. “Itu pasti mantan tentara. Pasti pernah melonte.” Baku tembak berlanjut. Tapi pagi itu, orang-orang di bukit banyak yang penasaran dengan pria setengah baya yang berdiri telanjang dada mengenakan ikat kepala putih menenteng AK dan jalan mondar-mandir di persawahan sekitar 70 meter di bawah sana. Mungkin ada 10 laras di bukit mengarah ke sana. Koptu Irfan termasuk yang menyasar lelaki itu. “Tang-tang.” Lelaki berbadan bongsor itu masih berdiri di sana. Entah ke mana proyektilnya lari. “Tang-tang. Tang-tang. Tang-tang.” Tak kena juga. Lelaki itu malah berjongkok di persawahan, merokok, dan memperhatikan orang yang sibuk menembakinya dari atas bukit. Irfan dongkol luar biasa. Apa salah senjata? Dia mencoba membidik sebuah batang pinang di dekat pria itu. “Tang-tang.” Kena. Senjata yang sudah 14 tahun disandangnya itu, sejak pangkatnya masih prajurit dua, kembali diarahkannya ke lelaki itu. Sasaran sudah selurus pisir dan pijera. Pasti kena. “Tang-tang.” Tetap tak kena. Tak sedikit pun lelaki itu bergeming. Bagaimana bisa? Padahal saat latihan, tak satu pun pelurunya yang melenceng dari lesan jarak 300 meter. Irfan penasaran habis. Dia kembali membidik, menembak, membidik, menembak …. hingga 30 butir peluru di magazen habis. Pria itu masih sehat berdiri di situ. Apa yang salah? Irfan tak habis pikir. Prajurit Satu Asri lebih penasaran lagi. Dia salah satu penembak runduk (sniper) terbaik di batalyonnya. Tapi, sama saja, tak satu pun bidikannya yang kena. “Memang monyet itu orang. Seumur hidup saya ndak akan lupa,” kata Irfan mengingat kejadian itu pada saya. 103
Irfan masih tak puas. Dia ingin melihat reaksi pria itu ditembaki TP. Kebetulan, dia membawa TP Anti-Tank. Sudut elevasinya sudah diatur tepat. “Siiiiiuuutttttt …. blanggggggg.” Dari tempatnya berdiri, Irfan dapat merasakan tanah di kakinya bergetar. Tujuh puluh meter di depan sana, lelaki itu masih berdiri menenteng AK di tempatnya semula. TP yang ditembakkan Irfan mengenai pohon pinang sekitar satu meter dari tempat pria bercelana hitam itu berdiri. TP meledak di atas kepalanya tapi dia tidak lari? Kurang apa lagi? Sudah pisir pijera …. kenapa? Apa salat tahajud malamnya? Dia perlahan mundur dan berlindung di balik tumpukan batang kelapa. Hamka menyasar perlindungan itu dengan GLM. “Ciiiuuuu …. blang.” Hamka menikmati suara granat yang lepas dari moncong senapannya dan menggelegar begitu menyentuh tanah. “Makan itu GAM,” teriaknya dari atas bukit. Dia terus menghantamkan granat ke beberapa titik asal tembakan. Satu kali dia mendengar ada yang berteriak “Allahu Akbar!” Hamka yakin ada yang kena. Tiga pucuk Minimi di atas bukit tak mau ketinggalan. Mereka yang tiarap di balik bukit kedua juga terus membalas tembakan. Baku tembak berlanjut hingga sore hari. Malam harinya, hujan dan halilintar menyambar-nyambar. Banyak serdadu yang basah kuyup karena tak membawa ponco. “Memang jadi ilmunya GAM,” kata seorang serdadu yang percaya hujan dua malam itu “kiriman” GAM. Menjelang subuh hari ketiga, Daulat Marpaung memimpin 25 orang serdadu masuk ke desa. Dia ingin memenuhi tantangan GAM. Ketegangan tampak di wajah mereka yang ditunjuk. Bagaimana jika GAM telah menanti? Dua orang prajurit ditunjuk jadi voor spiets. Pasukan jalan sangat lambat. Nyaris merayap. Selangkah berhenti. Selangkah berhenti. Mereka bergerak rapat. Setiap kali akan melangkah, orang yang di depan menepuk pundak orang di belakangnya. Saat mendekati jembatan, seorang prajurit satu sudah tahu apa yang harus dilakukannya sebagai voor spiets. Dia harus mengecek kemungkinan GAM telah menanam bom di situ. Tangannya meraba-raba aspal jembatan hingga menyentuh sebuah benda. Panas. Tapi kok ….? “Pukimae!” Dia bersungut-sungut menyumpahi tahi sapi yang dipegangnya. Begitu terang tanah, mereka sudah di desa tanpa diketahui siapa pun. Seisi kampung sudah mengungsi. Pasukan leluasa menggeledah rumah-rumah yang mereka curigai. 104
Di sisi kanan jalan, Hamka melihat seseorang menenteng AK. “Batiiiiii,” bisiknya memanggil seorang bintara pelatih di dekatnya, “GAM! GAM!” Hamka menunjuk-nunjuk orang yang berdiri sekitar 70 meter di depan sana. “Bagaimana? Saya tembak?” Hamka memain-mainkan telunjuknya di picu. Izin tak keluar. Komandannya ingin tangkapan banyak. Sayang, tim yang bertugas menggeledah rumah di sebelah kiri berisik. Bunyi tendangan pintu rumah keuchik sampai ke telinga orang itu. Dia baru sadar kalau pasukan sudah masuk ke desa. Baku tembak dari jarak dekat tak terhindarkan. Pemisahnya hanya halaman rumah dan sedikit persawahan. Dari pagi hingga sore. Pasukan bertahan di desa hingga hari keempat. GAM sudah mundur. Kabarnya berkekuatan 70 orang. Sebagian yang mereka lihat menggunakan seragam loreng dan hitam-hitam. Ada yang meyakini kalau yang berpakaian loreng itu dari Pidie sementara yang hitam didikan Libya dari wilayah Jeuram. Pada hari keempat, logistik habis. Tak ada lagi yang punya biskuit atau nasi kaleng. Terpaksa, TB-3 dimainkan. TB-3 adalah istilah serdadu untuk kelapa milik penduduk. Pasukan akhirnya kembali ke Lhoksari pada 14 Mei 2002. Sehari setelahnya, mereka membaca di Serambi Indonesia keterangan seorang juru bicara GAM kalau ada sembilan orang tentara yang tewas dalam pertempuran di Bukit Tengkorak. Sekitar setengah bulan setelah pendudukan itu, pasukan kembali ke Bukit Tengkorak. Bukit itu kini sudah gundul. Pengakuan beberapa penduduk, GAM mengerahkan warga desa sekitar untuk membabat pepohonan di situ.
105
Masuk Kolam Ikan TENTARA punya istilah khas berburu GAM di hutan-hutan Aceh: masuk kolam mencari ikan. Sekiranya diizinkan ikut, saya diminta menyiapkan perlengkapan standar masuk kolam seperti matras, ransel serbu, shebo, kaos tangan. Paling tidak, saya harus berbaju dan bercelana gelap. Tapi dari semua itu, demi keselamatan, saya disarankan meminjam rompi antipeluru. Tentara biasanya punya cadangan. Memakainya akan membuat orang merasa aman. Ini juga bagus dipakai supaya kita tak terlihat seperti bondo nekat masuk hutan. Ada dua lempengan baja di rompi itu. Satu letaknya di depan dada dan satu di punggung. Masing-masing beratnya 10 kilogram. Saya selalu mencopot lempengan baja di punggung. Terlalu berat. Kalau matahari menyengat, lempengan-lepengan itu akan berubah seperti setrika. Saat hujan, ia berubah seperti balok-balok es. Dingin, menusuk tulang. Pertama kali mencobanya, perut saya sakit. Serasa mau kencing tiap menit. Pasalnya, lempengan baja di dada itu menekan-nekan perut. Saya terlalu tegang untuk memeriksa kalau lempengan baja di rompi itu bisa disetel-setel posisinya. Posisi yang benar adalah menyejajarkan bagian atas lempengan baja dengan tulang dada. Banyak serdadu yang juga mencopot pelat baja belakang. Beban mereka sudah berat. Jika masuk kolam selama 15 hari, di punggung mereka menggantung ransel 25 kilogramuntuk mudahnya, bayangkan Anda menggendong segalon air selama dua minggu. Itu ditambah SS-1 yang beratnya sekitar lima kilogram. Yang membawa Minimi lebih siksa lagi. Senapan otomatis itu beratnya sampai 15 kilogram. Sekali waktu saya sempat keki berurusan dengan rompi itu. Ceritanya, kami lagi mengendap di pinggir hutan karet. Saya gerah dan ingin melonggarkan rompi yang melilit badan. Perekatnya saya lepas pelan-pelan. Kraakkkkkkkkkkk …. kraakkkkkkkkkkk …. kraakkkkkkkkkkk ….. Semua mata tertuju ke saya hingga rompi tanggal dari badan. Dengan isyarat dari jauh, seorang letnan dua mengajari saya cara melonggarkannya tanpa harus membangunkan seisi hutan. Soal makanan selama masuk kolam, saya diminta tak khawatir. Tentara punya aneka ransum. Saya paling suka dengan TB-1. Satu kotak isinya 12 keping biskuit kering. Ini makanan perang bintang tiga kendati ada serdadu dari Makassar yang menyamakannya dengan kanre kongkong (makanan anjing). 106
Rasanya memang anyep. Tapi makan pagi sebiji saja, perut sudah bisa terganjal sampai sore. Biskuit ini pas dengan teh panas. Praktis dibawa ke mana-mana. Sekali jalan ke hutan, saya sanggup menghabiskan sekotak. Medio September silam, saya terkejut membaca informasi yang tertera di kemasannya. Biskuit yang saya makan dan dibagikan ke seluruh serdadu di Aceh Barat ternyata “Produksi Bulan Juli 2001. Berlaku sampai Juni 2002 …. jangan dimakan bila terdapat kelainan warna, bau, rasa, dan berjamur.” Serdadu-serdadu itu banyak yang tak memperhatikan kalau itu sudah kadaluwarsa. Atau mungkin tahu tapi tak acuh. Mau apalagi kalau perut lapar dan sudah tak ada yang bisa dimakan? Saya juga suka dengan ransum yang namanya T2FD. “Nasi bantal” istilah sebagian serdadu. Kalau nasi di dalam plastik kemasan itu-ada rasa soto ayam, ada rasa gule-disiram air panas dan dibiarkan tertutup hingga 15 menit, plastiknya akan menggelembung seperti bantal bayi. Enak dimakan panas-panas. Tapi jaga-jaga saja. Soalnya kalau (maaf) kentut, baunya sengit. Entah kenapa. Tapi selapar apapun di dalam kolam, saya tak pernah tertarik menyentuh yang namanya TB-2. Ini nasi kalengnya tentara. Macam-macam jenisnya. Ada rasa gudeg, ada rasa kari ayam pedas. Masing-masing dikemas dalam kaleng seukuran mi cepat saji. Sebelum dimakan, sebaiknya direbus atau dibakar dulu. Biar enak melewati di tenggorokan. Biar begitu, rasanya tetap …. yakkkk. Ada serdadu yang baru mencium baunya sudah muntah. Saya hanya tahan dua suap. Sudah itu, rasanya di tenggorokan baru bisa hilang setelah disiram kopi seharian. Hanya segelintir serdadu yang senang makan TB-2. Saya mengenal seorang serdadu Rajawali yang sanggup menghabiskan ransum itu sekali duduk dengan beberapa teguk air minum. Mungkin dia terbiasa. Dia dua kali ditugaskan di Timor Timur dan dua kali di Papua. Pangkatnya masih kopral satu. Umurnya 34 tahun. “Mungkin saya yang paling tua di tamtama,” katanya, “Tapi semangat boleh lawan. Saya ndak mau kalah. (Junior) harus malu kalau koptu bisa naik gunung sementara prada loyoloyo. Saya kasih malu mereka itu kalau sudah di atas.” Suatu malam, saya ikut gerak bersamanya ke pelosok Patek, sekitar 130 kilometer dari Banda Aceh. 107
Gerakannya lincah, tapi senyap. Sepertinya dia punya mata cadangan di kegelapan malam. Dia tak pernah tersandung. Dia pemburu yang lihai. Ada keresek sedikit saja, langsung didekatinya. Malam itu, saat melintas di dekat rawa, dia buru-buru membuka kunci senapannya. Saya kira sudah ada GAM yang menunggu kami di situ. Uh, ternyata hanya babi hutan. Sampai siang keesokan harinya, gerak pasukan nihil. Tak ada GAM yang dijumpai. Dia kesal bukan main. Kopral itu sanggup tidur di medan apapun. Di atas rawa basah, di bebatuan hanya dengan menggelar rompi baja sebagai alas tidur sekaligus bantal. Di situ saya mengajaknya berdiskusi soal penyekolahan tawanan. Saya anggap dia dengan segudang pengalamannya akan lebih memberikan gambaran yang lebih jelas. “Kenapa tidak diserahkan ke polisi saja? Polisi membuat BAP (Berita Acara Pemeriksaan), diserahkan ke pengadilan dan pengadilan memberi hukuman yang setimpal (kalau memang bersalah)?” “Kalau diserahkan ke polisi,” katanya dingin, “Ya sama saja (nasibnya).” Dua-tiga hari sebelum kami berkenalan, dia baru menghantamkan balok 8×12 centimeter ke kepala seorang tawanan. Setelahnya, dia menawarkan ke beberapa juniornya untuk menyekolahkan tawanan yang “nyawanya tinggal sedikit” itu. Tak ada yang menyambut. “Ada yang sampai pergi sembahyang,” katanya. Dan itu membuatnya heran. Menurutnya, “Tuhan Mahatahu …. dia (tawanan) itu sudah mengancam nyawa puluhan orang. Membuat anak-anak tidak bisa sekolah. Dia ikut menghadang konvoi 433 di Geurutee. Ada serdadu yang korban. Sekarang masih di rumah sakit pusat Gatot Subroto.” Tawanan itu namanya Maimun. Dia ditangkap setelah ada bapak-bapak yang melapor ke SGI (Satuan Gabungan Intelijen) karena diancam akan dibunuh jika tak menyerahkan dana perjuangan GAM. Belakangan, Ayah Lian ditemukan mati terbunuh. Nama Maimun disebut-sebut. Mainum ditangkap saat main bola voli. Awalnya, tak ada serdadu yang tahu wajahnya. Warga di situ tak ada yang mau buka mulut. Serdadu jengkel. Setelah direntet tembakan ke arah kaki, barulah mereka menunjuk hidung Mainum. Mainum digiring ke pos. Seorang pemuda datang melihatnya. Dia bercerita kalau betul Maimun yang membunuh ayahnya. Mainum berkilah. Katanya, dia memang ada di tempat saat pembunuhan terjadi, tapi bukan dia yang melakukannya. 108
“Itu lagu lamanya GAM. Kalau ditangkap jadi suci sekali.” Saat ditahan di sebuah pos, saya melihat Mainum dikerumuni sejumlah serdadu. Saya menyesal tak berani turun dari truk dan melihat langsung wajah pemuda jerawatan itu. Dua tiga hari setelahnya, seorang serdadu bercerita kepada saya kalau Mainum sudah disekolahkan. Mayatnya dibuang ke daerah Lageun. **** DI Aceh, tugas utama mencari ikan di kolam-kolam tanggung jawab Pasukan Pemburu Rajawali. Ini tentara terlatih dengan kualitas fisik prima, yang memang dilatih khusus untuk mengejar GAM. Mereka didoktrin untuk rajin jalan, waspada, dan jeli. Ada yang menyebutnya Pasukan Sayap Lebar. Isinya gabungan prajurit Kostrad dan Kopassus. Saat ini, sekitar 2.000 orang Rajawali di Aceh disebar dalam lima datasemen tempur dari hanya dua datasemen pada 1999. Naluri tempur mereka di atas rata-rata. Mereka dibekali latihan militer yang sebelumnya hanya didapat anggota Kopassus seperti mengesan jejak (pelatihnya antara lain orang Dayak), sermujam (serangan amunisi tajam), mobud (mobil udara), dan perang rawasuntai (rawa laut sungai dan pantai). Rajawali terbiasa bergerak dengan jumlah kecil. Satu regu, delapan sampai 12 orang. Jika ada pasukan yang jalan di hutan-hutan Aceh membawa ransel besar, bisa dipastikan itu Rajawali. Jika Anda melihat tentara yang berbelanja di pasar-pasar Aceh dengan dompet terbungkus plastik atau tidur dengan sarung sambung (dua sarung dijahit jadi satu), itu pasti Rajawali. Mau tahu isi ranselnya? Jika hendak “masuk kolam” lebih dari seminggu, biasanya di setiap ransel itu ada satu setel pakaian loreng cadangan, kaos kaki dua sampai tiga pasang, celana dalam sebanyak-banyaknya, kelambu kepala, matras kedap air, dan sarung sambung. Untuk logistik, mereka menyiapkan dua kilogram beras per orang, ikan kering setengah kilogram, supermie 30 bungkus, kecap botol kecil, saos botol kecil, minyak goreng botol kecil, bawang, terasi, garam, gula, kopi atau teh, sendok, piring dan gelas plastik. Selain itu, tiap-tiap serdadu membawa tali perorangan 10 meter dan tali tubuh lima meter. Tali itu diperlukan kalau misalnya pasukan harus berenang di sungai deras atau meluncur dari ketinggian tebing. Bintara pembawa radio biasanya menambahkan 20 biji baterai cadangan ke ranselnya. Jika ditotal-total, beratnya ransel bisa mencapai 25 kilogram. Berat, cukup membuat bahu keple dan kulit terkelupas. 109
Bila beban berat, jarak yang mereka tempuh relatif dekat. Untuk 10 hari, mereka ditargetkan memeriksa sasaran duga yang total jaraknya 10 kilometer. Praktis dalam sehari, pasukan hanya jalan satu kilometer. Demi kehati-hatian, seringkali jarak 100 meter ditempuh hingga satu jam. Sekalipun rutenya pendek, tapi medan di Aceh Barat seringkali tidak mendukung. Untuk sampai ke sasaran, mereka kadang harus menggergaji beberapa bukit, berenang di sungai lebar, dan masuk rawa. Dan kalau sudah rawa atau sungai, alamak …. siksaannya luar biasa. Saya pertama kali masuk rawa di Peulanteu, kecamatan Samatiga. Rawa itu baru bisa ditembus setelah jalan dua jam. Namanya jalan di rawa yang tak ada embusan angin dan ada pelat baja 10 kilogram di dada, badan jadi keringatan. Peluh menetes dari setiap pori, di kepala, di belakang telinga ….. Bila itu berlanjut, tetesannya akan membuat mata perih. Jalan makin jauh, keringat sudah tidak asin lagi. Badan ini sudah kekurangan cairan. Para serdadu seperti tak mempedulikan lagi badan yang tenggelam hingga dada di rawa. Mereka berkonsentrasi menjaga agar SS-1 tidak masuk lumpur. Senjata mereka akan macet kalau kena lumpur atau terendam air. Gerak mereka jadi lebih lambat. Hanya Tuhan yang tahu apa jadinya kami jika ada gerilyawan GAM yang menghadang di rawa itu. Soalnya, mau sembunyi di mana? Tidak ada perlindungan yang aman di tengah rawa. Soal lintah tak usah ditanya. Lintah ada di sela-sela jari kaki, di betis, di paha, di perut, di selangkangan, dan bahkan menempel di penis. Kalau sudah mengisap darah, dia baru jatuh sesudah menggelembung sebesar jempol kaki, dari hanya seukuran satu ruas kelingking. Tapi siapa sangka, di tengah hutan rawa itu ada markas pembuatan senjata rakitan GAM. Di situ ditemukan puluhan senapan rakitan setengah jadi, ratusan bendera dan kartu anggota GAM. Di antara empat gubuk pembuatan senjata itu, tentara menemukan seperangkat komputer, printer, dan genset. Saya tak habis pikir bagaimana GAM mengangkat genset raksasa itu melewati rawa. Mereka tinggal di empat gubuk yang letaknya berdekatan. Gubuknya memang memprihatinkan. Saya mengira orang yang tinggal di situ termasuk di antara mereka yang meyakini kalau usia Aceh merdeka tinggal sebatang rokok lagi. Tiang-tiangnya dari batang-batang kayu seukuran betis anak kecil. Atapnya dari daun rumbia. Nyamuknya tak usah ditanya. 110
Markas itu punya sistem pengamanan berlapis. Ada tiga pos tinjau yang masingmasingnya memiliki pemancar radio. Melihat barang yang berceceran di gubuk itu saya mengira ada beberapa remaja yang menghuni dan melarikan diri begitu tahu ada tentara. Saya menemukan banyak bungkus rokok Marlboro, botol splash cologne, minyak rambut, dan lain-lain. Saya juga menemukan selembar kartu nama John Aglionby, koresponden harian The Guardian untuk wilayah Asia Pasifik. Selesai masuk rawa, telapak kaki jadi pucat. Kerutan itu baru bisa hilang setelah dua hari. Saat itu saya memakai sepatu lars. Larsnya kesempitan. Untuk ukuran kaki 42 mestinya lars nomor tujuh sementara lars yang saya pakai nomor enam. Jadinya, kaki terkungkung. Tumit lecet dua-duanya. Lecetnya bersusun-susun. Luka di atas luka. “Ah, itu belum biasa saja,” kata seorang serdadu menertawakan. Masak dan makan bersama adalah hiburan satu-satunya bagi Rajawali selama “masuk kolam.” Serdadu biasanya masak dengan misting. Satu misting-seukuran dua batu bata ditumpukuntuk empat orang. Apinya lebih sering pakai kayu bakar (pembagian parafin jarang ada). Masaknya hanya pagi dan sore. Supaya asapnya tak mencolok, di atas misting ditutupi dahan, biar asapnya menyebar. Kalau pagi, supermie jadi sayurnya. Kalau ada bayam yang ditemui di kampung-kampung, pakai bayam. Kalau ada tewel (nangka muda) dan kelapa, menu sedikit membaik. Kelapa diparut untuk diperas diambil santannya untuk dimasak dengan nangka muda. Parutnya kaleng sarden yang dilobang-lobangi dengan paku. Ikan keringnya digoreng di atas wajan kecil. Untuk mengulek sambel, terasi bakar dan cabai dimasukkan ke kaleng sarden dan digerus dengan kayu. Makan saat begitu sedap, bisa sampai keringatan. Semua memang enak kalau perut keroncongan. Serdadu Indonesia kalau tak merokok sehabis makan mukanya sumpek. Kalau rokok sudah habis, akal mereka jadi panjang. Serbuk teh digulung dengan kertas apa saja sebagai pengganti rokok. Mengepul juga. Urusan minum, biasanya dua sampai tiga gelas dipakai untuk semua mulut. Mereka sudah biasa dan itu urusan kecil. 111
Kalau ada teman sakit parah, semuanya merawat. Ransel si sakit dicopot dan isinya dibagi rata ke yang sehat. Sakitnya Rajawali tak jauh-jauh dari tipus, turun bero, bahu keple, dan gatal-gatal. Jika Basis Operasi Depan (BOD) pindah, Anda sukar menemukan jejak Rajawali. Semua sampah ditanam. Bekas galiannya ditutupi dedaunan sehingga tanah seolah tak pernah diinjak lars. Kalau di tengah hutan Aceh Anda mendengar SS-1 menyalak dua-dua kali, itu tembakan khas Rajawali. Kalau ada “Purpa” (Pertemuan Perjumpaan), setiap serdadu akan mengejar sasaran seperti orang kesurupan. “Ciiiiihuuuyyyy!” “Ciiiiihuuuyyyy!” “Ciiiiihuuuyyyy!” “Ciiiiihuuuyyyy!” “Ciiiiihuuuyyyy!” “Ciiiiihuuuyyyy…!” Sambil berteriak, mereka berlari zig zag, mendekati sasaran. Tapi larinya hanya sebentarsebentar. Tiga detik tiga detik. Mereka mengantisipasi musuh yang bisa membidik sasaran hanya dalam tempo tiga detik. Sekali masuk kolam, Rajawali kadang tahan sampai 15 hari. Selama itu mereka diharamkan jalan di jalan setapak apalagi beraspal. Mereka dilarang menemui penduduk. Selama itu, mereka akan mengecek setiap sasaranduga yang sudah digariskan dalam perintah operasi. Kadang, mereka akan mengendap di tempat-tempat tertentu yang berdasarkan informasi intelijen sering dilewati GAM. Sebelum pengendapan, separuh regu sudah melakukan pengintaian medan, sore harinya. Separuh kekuatan masuk. Menjelang malam, separuh dari serdadu yang berangkat mengintai medan kembali menjemput sisa pasukan. Di tempat pengendapan, biasanya di pinggir desa, mereka akan membuat formasi bersaf. Ujung empat orang, tengah empat orang, ujung satu lagi empat orang. Ujung ke ujung disambung dengan tali. Tali itu jadi sarana komunikasi utama selama pengendapan yang wajib hukumnya senyap dan tak boleh ada cahaya. Anda harus jeli kalau lewat di depan tempat pengendapan dan tahu kalau tiga-empat meter dari tempat Anda berdiri ada serdadu yang tengah membidikkan larasnya ke wajah Anda. Mereka memang dibekali cat wajah untuk penyamaran. Warnanya ada yang hitam, coklat, abu-abu, dan hijau.
112
Rajawali bukan barang asing bagi seisi hutan. Kalau lagi mengendap, burung pun kadang lupa kalau yang dihinggapinya itu punggung manusia. Rajawali dikenal dengan kesabaran dan keuletannya. Mau panas mau hujan, mereka akan tetap di tempat pengendapannya sampai ada perintah pemindahan BOD. “Hujan kawan. Panas kawan,” kata seorang serdadu menirukan doktrin prajurit infanteri. Rajawali telah dididik untuk menembak tepat: titik-bidik-titik-kena. Latihannya banyak. Ada tembak jarak, ada tembak reaksi. Tembak jarak, mereka dididik untuk menembak sasaran berdasarkan aba-aba pelatih. Saat pelatih meneriakkan “Dua 50″ misalnya, serdadu mesti menembak sasaran 50 meter dari posisinya, arah jam dua. Ya, kurang lebih miriplah dengan gaya jejaka kota membisiki rekannya kalau ada gadis cantik yang berdiri di suatu tempat. Tembak reaksi lain lagi. Di sini mereka dilatih menembak skip bergerak dan statis, muncul sesaat lalu tenggelam. Skipnya selalu tiga berdampingan: pak haji, pemuda berpakaian loreng dan perempuan berjilbab. Salah satu dari tiga orang itu bersenjata. Hanya mata yang awas yang bisa menembak tepat. Salah dihukum. Hukumannya, menembak lesan hingga amunisi dalam dua boks peluru habis. Satu boksnya sekitar 1.500 amunisi. Seorang kopral kepala yang pernah ikut pendidikan Rajawali pada 1996 bercerita saat latihan dulu Prabowo Subianto menyediakan tiga truk amunisi tajam. Katanya, biaya latihan untuk 2.000 orang waktu itu sampai Rp 5 miliar. “Memang yang harus jadi pimpinan di militer itu orang kaya.” Bagi pasukan Rajawali, anggota Kopassus utamanya, menembak dengan peluru tajam bukan hal asing. Tiap hari di markas latihannya ya itu: menembak, menembak, dan menembak. Kalau tidak menembak sambil tiarap, ya menembak sambil duduk, atau menembak sambil berdiri, atau menembak sambil berlari. Seorang prajurit Kopassus sampai bilang ke saya, “Mas kalau ada keluarga yang mau dagang kuningan datang saja ke Serang. Selongsong di sana tinggal disekop.” Sebenarnya, batalyon teritorial yang diberangkatkan ke Aceh juga mendapat latihan menembak. Mereka hanya dibekali beberapa lusin peluru hampa. Kalau itu habis, menembak kadang pakai mulut: “Dor-dor-dor.” Ada yang latah. Seorang bintara bercerita kepada saya kalau ada anak buahnya yang nyaris menembak GAM. Sasaran sudah segaris dengan pisir-pijera. Kunci senapan sudah dibuka. “Dorrrr!” Yang ditembak tidak apa-apa. Dia hanya terkejut mendengar suara tembakan seperti saat latihan perang-perangan. Bukan Rajawali kalau tidak hapal yel-yel dan mars Rajawali. Mereka biasanya meneriakkan yel-yel dan mars itu saat latihan atau sehabis mendapat sepucuk. “Uh, gembiranya sukar dilukiskan,” kata seorang sersan satu yang bersama anak buahnya pernah mendapat sepucuk Garand. Marsnya singkat: “Majulah Satgas Rajawaliiii/ Kembangkan sayap-sayapmu/ Dideru angin/ Diterpa badai/ Diterjang peluru/ Tak gentarrrrr jiwa kamiiii/ Rajawaliiii …. Rajawaliiii. Hei!” Tapi saya kira Anda akan tertawa kalau melihat mereka meneriakkan yel-yel Rajawali. Ini perpaduan suara keras, kepalan tangan, dan sedikit kelenturan jemari. Pertama, dengan tangan terkepal, mereka akan meninju langit dua kali diiringi teriakan: “Rajawali! Rajawali!” Lalu dengan tangan kiri mereka melakukan hal serupa sambil berteriak: “Pemburu. 113
Pemburu.” Setelah itu, mereka akan mengayunkan tangan kanan dua kali dengan bergetar-getar, meniru kepak sayap burung rajawali, dan diiringi teriakan: “Ciiiihuuyyy! Ciiiiihuuuyyy!” Sudah itu, tangan kanan yang sama disentak ke bawah disertai teriakan “Merah Putih, Yes!” Untuk mengetahui apakah yel-yel itu sudah dilantunkan dengan benar, komandan biasanya hanya melihat urat leher serdadu. Kalau sudah menonjol, itu artinya teriakannya sudah pas. Kalau belum, ulangi sampai bisa. Mereka yang pernah ikut pendidikan Rajawali akan menempelkan brevet Rajawali di seragamnya. Brevet itu bergambar burung rajawali bermata merah sedang mencengkeram sebilah pedang. “Brevet ini pakainya saja yang gagah. Tapi tugasnya …. alamak!” Jadi prajurit Rajawali memang susah apalagi kalau komandannya gemar kontak senjata. Saya pernah bertemu seorang komandan pos Rajawali yang sikapnya membuat 30 orang anak buahnya tak pernah bisa istirahat tenang dalam seminggu. “Di pantatnya seperti ada paku. Maunya masuk ‘kolam terus,’” kata seorang serdadu. Sayang, saya tak bisa akrab dengan komandan itu. Persoalannya sederhana. Dia alergi melihat di leher saya selalu tergantung kartu pers. “Tutup-tutup ini …. saya risih banyak pelanggaran HAM,” katanya saat saya duduk di dekatnya suatu waktu. Entah pelanggaran hak asasi mana yang dimaksudkannya. Tapi dari seorang anak buahnya, saya mendengar cerita suatu malam pasukannya mengendap di wilayah Babah Aweh, kecamatan Jaya. Ada tiga orang yang melintas di tempat pengendapan. Mereka terkejut begitu mengetahui ada belasan tentara tiarap di pinggir jalan. Saat disuruh berhenti dan angkat tangan, ketiga orang itu segan melakukannya. Pelanpelan mereka mundur ke bahu jalan. Salah seorang di antaranya berusaha meraih sesuatu di kantong plastik yang dijinjingnya. Belum sempat, tembakan menggema. Keadaan gelap. Yang tidak melihat dengan baik ketiga orang itu ikut menembak. Tembakan berhenti. Begitu didekati, ternyata masih ada seorang yang hidup. Tak sedikit pun badannya lecet akibat tembakan beruntun itu. Rupanya, dia menenggelamkan badan di gundukan tanah di pinggir jalan. “Sekolahkan saja. Siapa yang mau?” komandan peleton itu menawari anak buahnya. Dia yakin ketiga orang itu GAM. Di kantong plastik tadi anak buahnya menemukan sebuah pistol rakitan. Dari belakang, seorang serdadu muda bergegas. “Danru …. Danru …. biar saya.” Tawanan itu diminta berjongkok. Sebutir peluru menembus kepalanya, “Crook …. crookk.” Darah muncrat dari kepala. Mengira masih hidup, serdadu muda itu mengarahkan larasnya ke punggung korban. “Tak-tak-tak.” Tiga peluru 5,56 milimeter bersarang. Setelahnya, komandan regu minta serdadu muda itu untuk mencicipi darah orang yang ditembaknya. Ada kepercayaan di kalangan tentara (dari Makassar) bahwa mencicipi darah orang yang telah dibunuh akan menghilangkan bayang-bayang wajah korban yang bakal menghantui. 114
Saat pulang ke pos, serdadu muda itu mengeluh ke komandan regunya. “Danru, perut saya mual.” “Kau minum apa tadi?” “Darah itu,” katanya seraya menunjukkan ukuran darah yang diminumnya: dua genggaman tangan!
115
Vila Serdadu TENTARA di Aceh tinggal di pos-pos sepanjang jalan provinsi. Jaraknya cukup rapat. Kendati belum dapat menyamai kerapatan pos tentara di Timor Timur dulu. Di sana, setiap tiga desa ada satu pos tentara. Sementara di Aceh ini, satu pos kadang bertugas mengamankan belasan desa. Tiap pos mempunyai nama tersendiri. Dalam percakapan radio, pasukan Rajawali di Aceh Barat menamai posnya dengan istilah-istilah yang berhubungan dengan langit seperti Halilintar dan Pelangi. Yang pasukan teritorial meminjam nama hewan penghuni kebun binatang seperti Serigala, Cobra, dan Arwana. Sekeliling pos dibalut dengan kotak pengaman. Ada yang terbuat dari papan dan selaselanya diuruk tanah uruk atau pasir. Tingginya rata-rata satu meter dengan ketebalan setengah meter. Selama bukan mortir atau granat, ia mampu meredam laju proyektil apa saja. Saya pernah melihat pos tentara yang dipagari dengan potongan-potongan batang kelapa setinggi dua meter. Sudah dipagari dengan batang kelapa luar dalam, sela-sela kotak ditimbuni pasir pula. Awalnya, saya kagum dengan kekuatan orang pos. Memancang batang pohon kelapa sedalam siku dan menguruki sela-selanya bukan pekerjaan ringan. Tapi setelah melihat proses pembukaan sebuah pos, saya jadi tahu kalau selalu ada keringat warga yang ikut bercucuran. Makin besar kotaknya, makin banyak peluh yang menetes. Orang pos kadang mengerahkan warga desa untuk itu. Dengan segala kekurangannya, serdadu Indonesia memilih menggunakan kata “vila” untuk menyebut pos yang mereka tinggali. Kalau “vila” sudah diberi kotak pengaman, mereka menetapkan di bagian mana pos jaga didirikan dan lalu menyusun alarm stealing. Denah ini berisi ilustrasi kemungkinan dari mana datangnya serangan. Urusan “vila” beres, perhatian tentara beralih ke kendaraan. Ini bukan mengada-ada. Hampir semua tentara di Aceh pernah merasakan penghadangan di atas kendaraan. Yang teranyar terjadi medio Oktober silam, menimpa dua kompi Kopassus dari Grup II Solo yang melintas di Aceh Barat untuk penugasan di Aceh Selatan. Namanya pasukan baru datang ke Aceh (saya kira ini pasukan tambahan yang datang ke Aceh tanpa sepengetahuan banyak orang di Jakarta sana), kesiagaan mereka sudah terlihat dari pakaiannya. Masing-masing mengenakan helm dan rompi baja dengan motif darah mengalir. Khas Kopassus. Di bak mobil, laras-laras menonjol kaku ke segala arah kemungkinan datangnya tembakan. Tapi GAM sepertinya tak ambil pusing. Saat konvoi melintas di kawasan-seringpenghadangan Krueng No, GAM memuntahkan 11-12 kali amunisi AK-47. Orang Komando membalasnya dengan menembakkan 10 biji TP. Tak ada lagi AK yang menyalak dari kejauhan sana. Mereka memang tidak dihadang, hanya diganggu. Ini sambutan khas GAM untuk setiap pasukan yang baru datang. Dan gangguan itu sudah cukup berkesan bagi pasukan yang belum sehari menginjakkan kaki di bumi Serambi Mekah.
116
Sekitar dua jam setelahnya, saat konvoi melintas di Calang, seorang serdadu menertawakan rekan-rekannya yang “tinggal helmnya saja yang kelihatan dari jalan.” Saya kira dia juga menertawakan dirinya sendiri, menertawakan kecemasannya saat dihadang GAM pertama kali datang ke Aceh. Seringnya penghadangan membuat tentara seolah berlomba melapisi kendaraannya dengan baja. Ada banyak macam kendaraan tentara di Aceh. Yang paling sering saya naiki adalah truk buatan Mercedes-Benz. Mobil ini bekerja dengan sistem hidrolik. Kalau tekanan angin di mesin kurang, dia jadi onggokan besi. Tak bisa diapa-apakan. Stir, gas, stater …. semuanya terkunci. Panjang bak truk lima meter, cukup untuk mengangkat satu peleton serdadu. Bila ditambah dengan panjang kabin sopirnya, totalnya mencapai tujuh meter dengan lebar 2,5 meter. Dari tanah hingga terpal truk, tingginya ada tiga meter. Baknya sulit dinaiki. Tingginya sedada orang dewasa. Kalau di bak tidak ada pijakan kaki, Anda perlu berpegang pada seseorang di atas untuk naik. Setelah dilapisi baja, berat mobil bertambah dua kali lipat menjadi sekitar 10 ton. Ban cepat kalah. Truk jadi sukar bermanuver di jalan sempit. Saya sempat melihat metamorfosis sebuah truk Mercedes-Benz yang dari Jawa hanya diselimuti baja tiga milimeter. Baja itu tak cukup tebal. Jika mobil dalam keadaan diam, dia bisa dijebol proyektil AK-47 dari jarak sekitar 200 meter. Setelah di Aceh, pelan-pelan ketebalan baja truk ditambah. Dari tiga milimeter menjadi delapan milimeter tiga bulan kemudian. Semua bagian vital truk seperti tangki bahan bakar, ruang mesin, dan tangki angin dilapisi baja. Bahkan seandainya ban bisa dibaja, saya yakin itu juga akan dilakukan. Baja yang paling tebal biasanya dipasang di kabin sopir. Saya lihat ada yang sampai 10 milimeter. Kalau sudah dibaja, truk seperti ganti kulit saja. Orang Jerman yang membuatnya mungkin akan sukar mengenalinya lagi. Persoalan baru bagi orang di kabin. Pembajaan hanya menyisakan sedikit lubang bagi sopir dan pembantu sopir untuk mengintip jalan di depan. Lubang intip hanya seukuran dua batu bata disambung. Masing-masing satu di depan sopir dan keneknya. Kadang lubang intip sopir dimodeli seperti alis. Tapi tetap saja, pandangan mereka terbatas. Sopir dan keneknya tak dapat melihat jarak tiga meter dari bumper. Untuk melihat kaca spion kanan, sopir di kiri hanya bisa mengandalkan mata kenek. Pokoknya, kenek tidak bisa berleha-leha. Persoalan lainnya jika ada kerusakan di bagian radiator depan, montir akan susah menjamah bagian-bagian dalam. Geraknya dibatasi lempeng baja yang hanya bisa dilepas jika dipotong dengan las. Sebuah pekerjaan mahabesar. Sirkulasi udara di dalam kabin ikut rusak karena baja itu. Sopir dan kenek kegerahan setiap kali jalan siang. Selain Mercedes-Benz, tentara punya truk Unimog dan Reo. Dari segi perwajahan kabin, Mercedes yang potongannya kaku seperti balok kalah dari Unimog. Yang terakhir seperti peranakan biawak. Mulutnya panjang. Segala jenis medan, truk ini jalan menanjak oke, lumpur dan sungai sepinggang boleh. Dari ujung ke ujung, panjang Unimog sekitar lima meter. Dimuati 20 serdadu dia kelimpungan. 117
Kalau jalan di sawah, Unimog meliuk-liuk seperti biawak. Pernya pakai per keong. Persenelannya delapan. Sekali dorong gigi, mesti empat supaya melaju. Seperti Mercedes, mesinnya mengandalkan tekanan angin. Macet sedikit di situ, berabe urusannya. Banyak tentara lebih suka naik Unimog karena baknya tinggi, hampir 1,5 meter ketimbang Mercedes yang baknya hanya setinggi pinggang orang dewasa. Nah soal tinggi bak, Reo lebih gila lagi. Ini mobil dilihat dari jarak 10 meter seperti banteng saja. Bannya 10 biji. Delapan roda belakang dan dua di depan. Untuk pergerakan pasukan dalam jumlah besar, dia dan Mercedes bisa diandalkan. Beda dengan Mercedes, setir Reo di kanan. Produksi Korea. Supaya tak berkarat, lempengan baja tambahan itu dicat. Umumnya hijau. Ada yang warna daun nangka tua ada juga hijau tahi sapi. Yang Reo biasanya dicat hitam. Kalau ada serdadu yang pintar menggambar, truk-truk itu biasanya dilukis dan diberi nama. Pasukan Rajawali, misalnya, menggambar burung Rajawali besar-besar. Orang Kopassus mengecat kabin mobilnya dengan warna bendera republik ini: merah putih. Ada juga yang menggambar kaligrafi berisi penggalan ayat-ayat al-Quran. Kalau akan ada pergeseran pasukan (serpas), tentara biasanya pilih-pilih mobil. Biasanya mereka akan melirik mobil yang paling tebal bajanya. Kalau mobil yang tersedia ketebalan bajanya sama, mereka akan mencari yang baknya dicor. Ini memang favorit: truk yang sudah dibaja lalu dicor lagi. Biasanya, baja paling luar ukurannya empat milimeter dan selang sejengkal ke dalam ada pelat baja yang ketebalannya sama. Ruang di antaranya itu yang dicor. Tebal bak bisa membengkak hingga 10 centimeter. Saya kira dihajar GLM pun untung kalau baknya bisa lobang. GAM juga kalau mau menghadang pilih-pilih. Favorit mereka serdadu yang menggunakan truk Toyota Dyna. Ini mobil orang Korem yang kadang dipinjamkan ke pasukan. Tak dibaja. Ada mungkin lima kali saya naik mobil ini. Semua serdadu dari semua jenis pasukan di Aceh akan mikir 100 kali kalau disuruh komandannya naik mobil ini. “Siapa mau setor nyawa di mobil krupuk,” kata seorang prajurit Kostrad dari Batalyon 433, Makassar. Tapi kalau sudah perintah, mobil kerupuk itu tetap digunakan. Biasanya, tentara berebut tempat di pojok. “Biar kalau ada apa-apa langsung loncat.” GAM kadang pintar kalau menghadang truk yang sudah dibaja. Biasanya, mereka akan mengarahkan tembakan ke pintu mobil. Jadi serdadu terkurung di bak. Kalau ada tembakan, biar bak mobil sudah dibaja dan dicor 10 centimeter, tetap saja seisi bak tanam kepala. Tiarap, mendekat ke sisi bak asal tembakan. Tapi GAM akan mikir 100 kali jika akan menghadang truk Mercedes atau Reo atau Unimog yang sudah dipasangi Senapan Mesin Berat (SMB). Di Aceh Barat, saya lihat baru Yonif Linud 305/Kostrad 305 (saya kira ini juga pasukan tambahan yang datang ke Aceh tanpa sepengetahuan banyak orang di Jakarta) yang melengkapi beberapa truknya dengan SMB. Kalau Anda menonton film perang, Anda mungkin pernah melihat sejenis senjata yang dipakai menembaki pesawat terbang. Nah, itu SMB. Dia dipasang di bak dan dilengkapi engsel sehingga bisa diputar-putar. Panjang larasnya lebih semeter berdiameter sebesar botol kecap. Saya belum pernah mendengar bunyinya. Tapi saya kira akan memekakkan telinga. Panjang amunisinya saja sudah satu jengkal orang dewasa. Selongsongnya sebesar jempol kaki sementara 118
proyektilnya seukuran kelingking dengan ujung lebih runcing. Kalau ada GAM lenggang kangkung dua kilometer di depan sana, peluru itu bisa membuat lobang seukuran bola tenis di dadanya. GAM juga kemungkinan besar mengurungkan niatnya menghadang konvoi yang di situ ada mobil jenis Rantis (kendaraan perintis). Potongannya mirip-mirip Hornet. Komandan biasanya naik mobil ini. Setahu saya, hanya Kopassus yang punya. Di atap Rantis ada barang mematikan: Automatic Grenade Launcher (AGL). Barangnya kecil saja, panjangnya paling semeter. Tapi yang keluar dari larasnya adalah granat yang sama yang dipakai di SPG. Keluarnya bukan satu-satu, tapi otomatis. Kalau AGL sudah menyalak, banyak serdadu yang santai-santai. Yang mau dan punya rokok merokok. Yang bawa ganja melinting “rempah Aceh” itu. Mengisap rokok dalamdalam sambil menembak, menurut beberapa serdadu, nikmatnya sukar dilukiskan. Sebenarnya, tak banyak truk yang dibawa pasukan kita ke Aceh. Di Aceh Barat misalnya, di luar mobil ‘kerupuk’ Korem, jumlahnya bisa dihitung dengan jari tangan. Ambil contoh Batalyon 521 hanya mengandalkan empat biji truk Mercedes untuk membantu mobilisasi pasukan. Yang pasukan gerak, seperti Kostrad dan Kopassus, setiap kompinya hanya punya satu kendaraan. Reo, Unimog, dan Mercedes kalau makan solar naudzubillah. Satu liter hanya tahan lima kilometer. Untuk Mercedes isi tangkinya bisa sampai 130 liter. Sementara Jakarta setiap bulannya hanya sanggup menyediakan 200 liter solar untuk setiap truk. Jika tangki diisi penuh dan dipakai sekali Dorlok (Pendorongan Logistik), konvoi memang bisa sampai Lambaro tapi tidak bisa kembali ke Meulaboh. Kita sepertinya harus berterima kasih pada perusahaan swasta di Aceh Barat yang menggratiskan cadangan solarnya untuk truk tentara kita. PT Socfin Indonesia misalnya. Perusahaan kelapa sawit ini setiap bulannya menyediakan tiga sampai enam ton solar untuk tentara dan polisi kita di sana. Dan bahkan menyediakan puluhan lembar lempengan baja dan membayari ongkos lasnya untuk truk serdadu Indonesia.
119
Lambaian Tangan SATU-dua kali masuk kolam, tak ada ikan yang berhasil dijaring. Tak ada kontak tembak dengan GAM. Beberapa serdadu mulai percaya kalau setiap wartawan ikut pasti tak ada hasil. Saya tak ambil pusing. Saya selalu mengikuti ke mana saja truk pergi. Seorang serdadu Kopassus geleng-geleng kepala melihat saya seperti gila naik truk. “Siapa tahu ada tembakan,” kata saya menjawab keheranannya. “Tuh kan, doanya saja sudah jelek,” Dalam hati saya malu. Bagaimana kalau benar terjadi penghadangan dan ada serdadu yang kena? Roda truk tentara yang mendukung operasi pasukan di Aceh Barat tiap hari berputar. Kadang, dalam sehari, truk singgah di empat sampai lima pos yang jaraknya sekitar tiga jam perjalanan. Truk selalu dalam pengawalan, minimal lima sampai enam serdadu berjaga di bak. Bepergian dengan truk tentara membutuhkan fisik yang prima dan semangat besar. Kalau badan loyo, rawan masuk angin. Kalau terlalu sering berdiri di truk, orang bisa turun bero. Paling tidak, mata Anda akan memerah dan rambut akan kusam disiram debu dan angin jalan. Anda akan sering melihat lambaian tangan penduduk di sepanjang jalan. Paling tidak mereka akan melempar senyum. Anak-anak sekolah yang lagi bermain di halaman akan menghentikan permainannya dan berdesak-desakan di pagar sekolahnya hanya untuk melambaikan tangan kepada orang-orang yang, sebenarnya, tak mereka kenal. Ibu-ibu yang menggendong anak kadang setengah berlari keluar rumah agar tak kehilangan kesempatan. Orang-orang yang di atas truk menikmati pemandangan itu. Mereka selalu membalas dengan tangan kanan. Orang Aceh akan tersinggung berat jika diberi lambaian tangan kiri. Pamali. Tapi biasanya tentara kita yang hiperaktif melambai-lambaikan tangan kalau ada anak dara yang tersenyum di teras rumah. Tapi ada juga yang acuh melihat anak-anak sekolah. Malah ada yang sinis. “Anak-anak Aceh,” kata seorang serdadu, “Hari ini melambaikan tangan tapi kalau besar membidikkan laras ke kita.” Dan kalau truk sudah jalan, rasanya tak ada lagi kendaraan di jalan. Setiap kendaraan yang bergerak dari arah berlawanan akan menepi di bahu jalan. Tidak peduli apa jenisnya: truk Fuso, L-300, kereta (istilah orang Aceh untuk sepeda motor), motor (kendaraan roda empat), becak motor, dan lain-lain. Semua menepi. Mempersilakan truk bergerak dulu. Truk tentara kita biasanya melaju kencang. Di tikungan, kendaraan yang bergerak dari arah berlawanan, kadang panik lalu buru-buru menepi hingga hampir nyungsep. Seringkali saya geli melihat adegan-adegan itu. “Jangan ditulis mereka takut sama kita,” kata seorang sopir berpangkat prajurit kepala memperingatkan, “Mereka itu melihat kepentingan kita lebih besar sehingga pantas didahulukan.”
120
Di atas truk, ada banyak hal yang harus diwaspadai. Yang ringan-ringan: percikan air atau debu jalan. Kalau aspal basah habis diguyur hujan misalnya, putaran roda truk akan mengangkat air ke atas bak. Mereka yang berdiri hingga 1,5 meter dari pintu truk akan terkena percikannya. Kalau sekadar air masih untung. Tapi kalau kebetulan ban menggilas tahi sapi ….. Kedua, tentu saja peluru. Perhatian tentara lebih tertuju pada barang satu ini. Ada kepercayaan di kalangan serdadu Indonesia kalau peluru di Aceh punya Nomor Registrasi Pokok (NRP). Ini jelas merepotkan. Setiap tentara punya NRP tersendiri, terdiri dari sederet angka yang antara lain bisa diketahui kapan seorang serdadu mulai ikut dinas militer berikut tanggal kelahirannya. Jika sudah di atas truk lalu ada informasi kalau truk akan dihadang, bukan main tegangnya. Nyaris tak ada pembicaraan sepanjang perjalanan. Kadang ada yang mencoba mengendorkan ketegangan dengan bersenandung sambil iseng melambailambaikan tangan ke bukit-bukit rawan tak berpenghuni di sepanjang jalan. “Daaaaa, dadah sayaaaaaang. Slaaaaa, slamattt jaaaaalan.” Sebenarnya, tentara kita punya bekal yang cukup untuk tak terlampau mengkhawatirkan peluru yang punya NRP itu. Toh mereka sudah dibekali rompi dan mobil lapis baja. Ada yang mencari tameng tambahan yang diyakini lebih sakti: jimat, dari yang berbentuk barang sampai yang berupa doa tertentu yang harus dirapal secara rutin. Yang percaya memakainya atau paling tidak menuliskan doa-doa itu di rompi baja yang digunakannya, diselipkan di dalam dompet, atau hanya dirapalkan setiap kali akan bergerak. Ada juga yang sepertinya tak ambil pusing. Seorang serdadu Kopassus malah menuliskan kalimat ini di rompi bajanya: Now I’m Nothing. Dia sebenarnya masih muda. Kalau tak salah ingat kelahiran pada 1979. Saya kira dia termasuk di antara serdadu yang masa mudanya “habis dimakan ransel.” Tapi rasa-rasanya daerah Geurutee punya tuah tersendiri sehingga setiap serdadu, tak peduli dia dari kesatuan mana, ketar-ketir saat melintas di pegunungan yang memisahkan Aceh Besar dan Aceh Barat itu. Geurutee terkenal dengan jalannya yang berliku. Delapan kilometer panjangnya. Persisnya dari kilometer 64 hingga kilometer 72 dari Banda Aceh arah Meulaboh. Dari Banda Aceh, kendaraan menanjak sejak kilometer 64. Meliuk-liuk, bermanuver di lereng gunung hingga tiba di Peuyoh Geurutee di kilometer 68. Setelahnya, kendaraan akan bergerak menurun hingga Gle Miga terlihat di ujung kilometer 72. Jika sempat berhenti di Puncak Geurutee itu, saya yakin Anda akan merasakan sensasi tersendiri. Dari situ, Anda dapat melihat gradasi air laut di bawah sana. Dari yang warnanya biru muda hingga biru pekat. Anda bahkan dapat menghitung berapa saf ombak yang menggulung. Dari puncak yang sama, Anda juga bisa membayangkan seperti apa jadinya jika, semoga tidak, kendaraan Anda terperosok ke jurang di kanan Geurutee. Serdadu yang pernah tugas di situ tak dapat memastikan berapa dalamnya jurang di kanan Geurutee. Mereka pernah mencoba menaksir kedalamannya dengan berlomba121
lomba melempar baterai PRC yang sudah usang atau menggelundungkan batu besar. Tapi tak seorang pun yang berhasil melihat batu itu sampai ke permukaan laut. Bukit-bukit di kiri Geurutee juga menyimpan pesona tersendiri. Orang harus mendongak untuk melihat jelas pepohonan apa yang ada di situ karena terjalnya bukit. Tinggi lereng bukit yang tertutupi pepohonan hijau itu mungkin sama dengan kedalaman jurang di bawah sana: 100 meter. Dari semua pesonanya itu, Geurutee tetap menjadi mimpi buruk bagi setiap tentara yang pernah melintasinya. Nyaris setiap pasukan yang melintasinya pernah dihadang GAM. Bahkan seorang Komandan Korem Teuku Umar nyaris mengembuskan napas terakhir di Geurutee sekiranya proyektil AK-47 yang ditembakkan GAM dari bukit-bukit di kiri jalan menembus kaca Hornet yang ditumpanginya. Dihadang di Geurutee memang menjengkelkan. Anda tak bisa membalas tembakan karena GAM bersembunyi di tebing-tebing curam. Mereka dapat melihat Anda dengan jelas. Mereka bebas membidik atau melempar granat ke kendaraan yang melintas. Atau tak usah granat, menggelindingkan batu dari atas sana pun Anda yang duduk di bak truk tentara bisa dipastikan akan celaka. Sementara itu, Anda akan sukar mencari tempat perlindungan jika sudah dihadang. Mau lari ke kanan jurang. Mau lari ke kiri terbentur tebing terjal. Jalan satu-satunya merapatkan badan ke tebing. Tapi kadang kalau sudah disiram tembakan dari atas, biasanya ada yang pantatnya terserempet peluru. Singkatnya, serdadu praktis hanya bisa berlindung dan berharap semoga GAM segera kehabisan amunisi. Setelah dua jam GAM kehabisan amunisi, baru si serdadu bisa meninggalkan Geurutee. Menembak saat penghadangan di situ hampir-hampir mustahil. Laras Anda hanya bisa tegak lurus, menembak langit. Kalau hanya kaliber 5,56 yang tertembak ke langit tak terlalu masalah. Tapi kalau TP yang terlempar jadi persoalan besar. Kepala bisa hancur sendiri karena bisa dipastikan TP itu akan kembali ke tempat Anda berdiri. “Tidak tahu gunung apa itu,” kata seorang serdadu dari Makassar, “Selalunya kita takut kalau lewat.” Ada juga serdadu yang patah arang dengan Geurutee. Dia berharap suatu waktu nanti GAM yang melakukan konvoi dan TNI yang menghadang. Tapi belakangan ini pasukan yang melintas di situ tak terlampau khawatir lagi. Sudah ada satu peleton serdadu yang saban harinya mengamankan Geurutee dari kemungkinan disusupi GAM. Kasihan mereka. Tak ada warga desa yang bisa diajak bergaul. Yang ada hanya deru ombak di bawah sana juga gunung batu dan jurang yang curam. Hiburan satu-satunya adalah melihat kendaraan yang melintas. “Bukan GAM yang bikin kami kesulitan di sini. Tapi agas,” keluh seorang serdadu. Agas sejenis nyamuk tapi badannya jauh lebih lebih ramping. Gigitannya? Alamak …. gatal luar biasa. Dia selalu datang malam hari dan menyasar kepala dan muka. Makhluk satu itu bisa menembus shebo kendati kepala sudah dibungkus kelambu dan ditutup dengan sarung 122
berlapis. Autan tak mampan. Sakti, cairan antiserangga pembagian TNI, juga impoten. Agas hanya bisa diusir dengan asap rokok. Geurutee hanya satu di antara ratusan perbukitan di Aceh Barat yang sewaktu-waktu dapat mengancam keselamatan serdadu yang kebetulan berkendaraan. Dan tentara kita tak kehabisan akal. Agar pandangan tak terhalang dan cepat mengetahui gerak-gerik musuh, mereka menggunduli bukit-bukit tempat GAM sering melakukan penghadangan. Saat saya bergabung dengan pasukan di Aceh Barat, penghadangan sudah jarang terjadi. Rajawali juga kian kesulitan menemukan “ikan di kolam.” Dengar-dengar, GAM merapat ke desa. Menjadi orang desa. Sukar bagi serdadu Indonesia untuk membedakan siapa GAM siapa penduduk biasa kecuali ada informasi intelejen yang memadai. Di Patek dulu, seorang serdadu gondok luar biasa setelah meminjamkan koreknya kepada seorang warga yang mau membakar rokok. Orang itu ternyata Abu Tausi, salah seorang dedengkot GAM di sana. Intelijen termasuk di antara kelemahan mendasar pasukan TNI di Aceh. Sebenarnya, sudah ada Satuan Gabungan Intelijen (SGI) bertanggung jawab untuk urusan itu. Saya sering menguping pembicaraan serdadu di radio dan mendengar “Solo Garut Irian” disebut, ya itulah SGI. Gabungan Sandi Yudha Kopassus dan intel Kostrad. SGI masuk Aceh pada 1999. Mereka lebih dulu ditanam sebelum Jakarta mulai mengirim kembali pasukan pascapenarikan DOM. Soal menyamar, SGI memang jagonya. Mereka dibebaskan untuk “berekspresi.” Ada yang memilih berambut gondrong, ada yang bertampang ustaz atau kiai, ada yang menjadi petani, nelayan, penjual kacang, dan sebagainya. Di sebuah acara syukuran pasukan Brigade Mobil-menyusul tewasnya Abu Arafah, salah seorang komandan GAM di Aceh Barat-saya bertemu dengan seorang bapak yang dari dandanannya saya kira camat setempat. Roman mukanya bersih. Sedikit jenggot dan kumis di wajahnya mengesankan orang yang berkecimpung di dalam urusan agama. Dia berpeci hitam dengan setelan jas safari. Senyumnya tak pernah lepas. Karena penasaran, saya bertanya kepada seorang letnan dua soal nama camat yang diajaknya berbicara. Serdadu itu tertawa terbahak-bahak. “Bang, dia mengira Abang camat di sini.” Bapak itu hanya tersenyum. Dia ternyata komandannya SGI wilayah Calang. Tapi penyamaran orang-orang SGI sepertinya kurang membuahkan hasil. Jarang-jarang ada pergerakan pasukan tempur dan teritorial yang didasari pada informasi orang SGI. Ada serdadu Indonesia yang bilang, orang SGI bisa apa saja di Aceh ini. Kecuali satu: bahasa Aceh. **** SERINGNYA berkendaraan mengunjungi satu pos ke pos lain, mengantar saya menemukan sebuah dunia baru di Aceh: dunia orang-orang Jawa perantauan. Ada yang leluhur mereka datang ke sini sebagai buruh kontrak di perkebunan karet dan kelapa sawit pada 1920-an. Ada juga yang masuk ke Aceh pada 1980-an sebagai transmigran. 123
Seingat saya, ada 10 atau mungkin lebih sarana permukiman transmigran di Aceh Barat. Salah satu yang pernah saya kunjungi adalah SP 1 di Alue Peunyareng. Sebagian orang menyebut daerah itu Bukit Jaya. “Di sini dulu seperti Meulaboh saja. Ramai. Lampu di mana-mana,” kata seorang transmigran. Tapi SP 1 kini sudah kehilangan kekotaannya. Saat datang ke sana September silam, sudah tak ada transmigran Jawa yang menetap di situ. Mereka mengungsi, sebagian ke Banda Aceh dan sebagian lagi ke Medan saat gelombang pengusiran orang Jawa terjadi di Aceh Barat, 1999 silam. (Seorang ibu kelahiran Seunagan tapi berdarah Jawa masih ingat apa yang diteriakkan massa yang menuntut Referendum 1999 dulu, “Jawa koh takue. Jawa koh takue; potong leher orang Jawa) SP 1 sudah menjadi hutan. Jalan-jalan aspal hingga ke pemukiman transmigran itu nyaris ditelan semak belukar di kiri-kanannya. Tak ada lagi yang berani menginjakkan kaki di kota mati itu. Saya sempat singgah di sebuah rumah tak berpenghuni di situ. Halamannya disesaki semak belukar. Daun pintu dan jendala sudah tanggal. Beberapa kaca nako hitam masih menggantung di tatakannya. Balok-balok kusen rumah menghitam, hangus dimakan api. Atapnya roboh. Hanya dindingnya yang tetap tegak. Dan luar biasa! Saya yakin si empunya rumah itu dulunya punya kekayaan yang cukup untuk membangun sebuah rumah dengan semua dindingnya dicor! Dia tampak sudah meniatkan diri untuk menjadi orang Aceh, membesarkan anak, berusaha, dan mungkin meninggal di situ. Saat memasuki ruang tamu, tak sengaja saya menyeret kaki. Begitu tanah yang menutup lantai tersibak, saya tahu kalau seluruh lantai rumah itu dilapisi keramik. Ukuran rumahnya 15×8 meter, belum termasuk garasi 3×4 meter persegi di kiri bangunan. Ada lima kamar di rumah itu. Di setiap kamar, saya melihat masih ada ranjang kayu yang tak berpelitur. Dari bekas langit-langit rumah yang tingginya ada dua meter, saya membayangkan akan menyejukkan tinggal di situ. Di halaman ada banyak pohon buah; mangga, rambutan, jambu batu dan lain-lain. Hampir setiap rumah yang saya masuki begitu modelnya. Di belakang rumah, tiap-tiap transmigran mempunyai kebun kelapa sawit. Totalnya, 330 kepala keluarga mempunyai 300 hektar. Sejak ditinggal, banyak kelapa sawit yang busuk di tandannya karena tak ada yang berani memanen. Tentara dan pemerintah setempat ingin memanfaatkan kebun kelapa sawit yang tak terawat itu. Mereka membangun satu pos baru di sana. Puluhan orang-sebagian besarnya asli Aceh-yang tak memiliki pekerjaan direkrut untuk memanen sawit-sawit itu. Saya tak begitu jelas apa dasar perekrutannya. Tapi saya tahu, masih ada transmigran yang punya tanah di situ tapi tak dipanggil memanen isi kebunnya sendiri. Seorang mayor berdalih, panen sawit itu untuk memberi pekerjaan pada mereka yang menganggur. “Dari pada dipanen GAM,” katanya. Panenan dijual ke PT Socfin Indonesia. Socfin dan belasan perkebunan sawit dan karet lainnya dekat dengan tentara di Aceh Barat. Tentara mem-backing keamanan di wilayah perkebunan dan gantinya, mereka membantu menutupi kekurangan kebutuhan tentara, utamanya solar.
124
Saya pernah menanyakan kepada Kapten Dedi Hardono kenapa Jakarta hanya memberi jatah solar 200 liter per bulan untuk setiap truk. Apa mereka tak mengetahui keadaan di sini? Katanya, “Mau dibilang tidak tahu, tidak juga. Mau dibilang tahu, nyatanya begini.” Saat di Aceh Barat, banyak serdadu yang mendengar kabar temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kalau di Departemen Pertahanan ada indikasi korupsi dana operasi keamanan Aceh hingga Rp 80 miliar. Mendengar itu, seorang prajurit Kostrad dari Makassar kesal luar biasa, “Lebih baik GAM kita pelihara daripada orang seperti itu. Ini namanya tentara makan tentara.” Negara menggaji tentara di Aceh Rp 17.300 per hari. Hanya Rp 10 ribu yang masuk ke kantor serdadu (Bandingkan dengan uang saku Rp 1.000 per hari yang diterima pasukan Rajawali yang masuk Pidie 1999 silam). Sisanya ditabungkan komandan agar saat pulang tugas, setiap serdadu punya simpanan. Serdadu-serdadu itu perlu bermanuver untuk mencukupi semua keperluannya. Untuk tiga kali makan sehari, mereka mengeluarkan Rp 3.000. Sisanya untuk membeli barangbarang kebutuhan harian seperti sabun cuci, sampo, dan rokok-kalau memang merokok. “Tentara kantongnya saja yang banyak. Isinya jangan ditanya,” kata seorang prajurit kepala. Saya menghitung, di PDL (Pakaian Dinas Lapangan) tentara ada delapan kantong seukuran buku saku. Tak usah melirik isi kantong, dari PDL saja Anda sudah bisa membaca bagaimana kondisi keuangan mereka. Saya banyak melihat tentara yang memakai PDL penuh tambalan. Di bagian lutut, siku, paha ….. Saya berpisah dengan pasukan di Aceh Barat akhir Oktober silam, bersamaan dengan habisnya izin peliputan yang dikeluarkan Mayor Jenderal Djali Yusuf. Suasananya penuh haru. Beberapa prajurit Kopassus tak dapat menahan rasa iri mengetahui sebentar lagi saya menginjak Jakarta. Ada juga yang mengajak saya bertemu di sebuah diskotek di bilangan Kota, Jakarta. “Nanti kalau ke sana gratis. Kalau mau nginap di hotel, telepon saya saja nanti. Percaya deh gratis.” Sebagian besar ingin melihat hasil reportase saya. “Sayang yah, Abang tidak bawa foto. Kalau bawa dan tulisannya dimuat ‘kan orang di batalyon bisa lihat.” Ada juga yang masih tak paham kalau izin liputan saya hanya dua bulan. “Gue kira lu tinggal setahun di sini. Bareng aja pulangnya.” Ada juga yang sambil bergurau menyarankan saya untuk menulis yang “baik-baik saja” kalau tak mau “disekolahkan.” Beberapa lainnya meminta saya tak usah menulis soal rokok Japrem (jatah preman) serta soal burung dan VCD di pos. Dengar-dengar, ada instruksi dari komandan militer setempat yang melarang serdadu memelihara burung dan punya VCD di pos. (Di rumah komandan resort militer setempat, saya malah melihat sangkar burung seukuran kamar kos mahasiswa, kuda, dan juga orang utan) Yang paling berkesan, perpisahan dengan orang pos di Kaway VXI. Seisi pos berkumpul, menggelar perpisahan ala kadarnya. Ada yang memegang gitar, ada yang memeluk baskom, ada yang menenteng piring dan sendok. Seorang serdadu memberi aba-aba pesiapan: “Cek-cek-cek …. sound-sound-sound …. gendang-gendang … kurang keras, kurang keras. Gendangnya tes … tuk-tuk-tuk … volume-volume-volume … bas-bas-bas. Udah-dah-dah.” 125
Malam itu mereka melantunkan Malam Terakhir, lagu perpisahan yang sekaligus ditujukan untuk orang-orang yang akan menunggu kepulangan mereka di dermaga Ujung, Surabaya, nanti: “Malam iniiii, malam terakhir bagi kitaaaaaa untuk melepas rasa rindu di dhadaaaa, esok akuuu akan pergi lama tak kembaliii, kuharap engkau selalu sabar menantiii…..” *
126
Aliran Komunis: Sejarah Dan Penjara
http://fordiletante.wordpress.com/2008/01/29/hello-world/ oleh: Jacques Leclerc 29 Januari 2008
127
I Pada tanggal 23 Mei l920, Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) yang didirikan di Semarang sepuluh tahun sebelumnya, berganti nama menjadi Perserikatan Komunis di India (PKI). PKI merupakan organisasi pertama di Asia di luar kekaisaran Rusia, menggunakan kualifikasi “Komunis.” Partai Komunis Cina sendiri baru didirikan setahun kemudian, yakni pada bulan Juli l92l. Orang yang ditugaskan oleh Internationali Comuniste untuk membantu Partai baru tersebut adalah Henk Sneevliet, seorang organisator ISDV Belanda, yang pada tahun l9l8 diburu-buru oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda karena kegiatan-kegiatan revolusionernya. Kata “perserikatan” dalam bahasa Melayu merupakan terjemahan dari kata Belanda “Partij.” Sedang nama PKI itu sendiri, menurut dokumen awal dari organisasi tersebut, merupakan kependekan dari bahasa Melayu “Perserikatan Komunis di India,” yang bila di Belandakan menjadi “Partij der Kommunisten in Indie.” Pada tahun l927, kata “perserikatan” digunakan oleh PNI, sebelum menetapkan namanya menjadi Partai Nasional Indonesia. Dalam konggres bulan Juni l924 di Weltevreden (sekarang Jakarta Pusat), Perserikatan Komunis di India diubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia, ini merupakan pertama kalinya di Hindia Belanda, sebuah organisasi memakai kata “Indonesia”. Sebetulnya sejak tahun l922 sudah terdapat sebuah organisasi politik yang bernama Indonesiche Vereeniging, yang kemudian diterjemahkan menjadi Perhimpunan Indonesia. Tapi organisasi tersebut berada di Nederland, bukan di negeri jajahan. PKI juga merupakan organisasi politik Indonesia pertama yang menggunakan konsepsi “Partai” dalam nama resminya, dalam bahasa Melayu. Pergantian kata “perserikatan” menjadi “Partai,” merupakan bagian dari konflik terbuka sejak tahun l922 di dalam tubuh Sarekat Islam, antara militan pro komunis dan yang menentangnya. Sarekat Islam, sejak awal tahun l9l0 dan di sepanjang awal tahun l920, merupakan suatu gerakan sosial politik yang berpengaruh, suatu gerakan yang pertama kali mengambil corak sosial-politik di Indonesia, di mana organisasinya tidak lagi membatasi dalam lingkaran tertentu, baik secara sosiologis maupun geografis, dan berkembang tidak hanya di Pulau Jawa, melainkan juga di Sumatera dan kawasan lain. Anggota-anggota ISDV (kemudian PKI) seringkali merangkap anggota Sarekat Islam. Pada awalnya keanggotaan rangkap tersebut tidak menimbulkan masalah dan tidak bertentangan dalam hal agama; lagipula Sarekat Islam tidaklah menjadi lebih atau kurang sekuler pada saat telah menjadi gerakan massa, Tapi pembengkakan pengaruh ide-ide komunis di tengah gerakan dan munculnya persaingan guna merebut kepemimpinan, telah mendorong para pimpinan yang ada, yang khawatir akan kedudukannya, mencoba menunjukan adanya ketidak sesuaian antara Islam dengan Komunisme, Sambil menekankan ciri keislaman dari Sarekat Islam, dan menganggap hal yang mustahil anggota suatu organisasi Islam merangkap menjadi anggota organisasi Komunis. Untuk menegaskan perbedaan tersebut, para pemimpin Sarekat Islam kemudian mengusulkan agar gerakan SI dianggap sebagai sebuah Partai—dalam pengertian Belanda “Partij”— dan melarang anggotanya menjadi anggota partai yang lain pada saat yang bersamaan. Dari sini nampak bahwa kata “partij” mengandung arti khusus yang tidak dipunyai oleh kata “sarekat”, yang tidak cukup jelas dalam mencerminkan pengertian “perserikatan”: Organisasi dengan kata Partai memiliki kelainan, yakni kekhususan bahwa seseorang tidak dapat menjadi anggota banyak partai pada saat yang sama, padahal ia boleh menjadi anggota banyak “sarekat” atau anggota suatu “sarekat” dan suatu “Partai.” Jadi ketika PKI memilih kata “Partai,” ini merupakan pernyataan adanya sifat eksklusif dari 128
kelompok tersebut, dimana berlaku berbagai peraturan ketat organisasi serta disiplin tertentu. Sedangkan SI sendiri, baru pada tahun l927 menyepakati nama Partai Sarekat Islam; namun pada saat itu, organisasi tersebut sudah tidak lagi menampilkan gambaran sebagai sebuah organisasi yang kuat seperti sepuluh tahun sebelumnya. Setelah terjadi perdebatan tentang konsepsi “partai” dalam SI, di kalangan PKI kemudian timbul pemikiran tentang peranan Partai itu sendiri dan bentuk macam apa yang harus diambil supaya peranan tersebut dijalankan dengan baik. Jadi bukan hanya terbatas berbicara dengan rakyat, mengucapkan pidato persiapan konggres Juni l924, atau bukan lagi hanya meyakinkan mereka, tapi juga menyatukan keyakinan tersebut dalam perbuatan serta mempersatukan segenap kekuatan perubahan dalam suatu organisasi yang mendasarkan kekuatannya pada disiplin, yang berbicara hanya dalam satu bahasa dan bertindak seperti seorang manusia.1) Tidak lagi hanya menyemaikan ide-ide tapi harus dijaga agar ide-ide tersebut bisa menjadi buah, lalu berkembang menjadi tekad, untuk itu diperlukan sebuah organisasi yang mampu melaksanakan tekad tersebut, menjadi suatu perubahan politik, yang membangkitkan dan dapat menjadi pemimpin dari gerakan yang dilahirkan oleh tekad tersebut.Kebutuhan adanya suatu organisasi yang lebih kokoh, lebih kuat dan lebih disiplin untuk menjamin keberhasilan peranannya sebagai organisasi pelopor, menyebabkan ditanggalkannya kata “perserikatan” yang melekat pada awal kelahiran PKI, pada masa kegagapan dan belajar, menjadi sebuah “Partai.”Partai besar yang bersatu juga diperlukan agar Partai bisa bertahan dari tekanan pemerintah Hindia Belanda yang semakin lama, semakin sewenang-wenang. Ruth McVey menulis bahwa seorang pemimpin partai dijamin akan dipenjarakan selama beberapa bulan dalam setiap tahunnya.2) Suatu peristiwa genting pernah terjadi pada tahun l923, setelah kegagalan aksi pemogokan yang cukup besar di jawatan kereta api dan diusirnya Semaun–Sekjen PKI sejak l920 dan sekjen Sindikat Buruh Kereta Api–keluar negeri. Di Solo dan Semarang terjadi serangkaian sabotase dengan “bom”. Orang-orang Komunis segera dituduh sebagai penanggung jawab. Tempat pertemuan mereka digeledah dan sejumlah pimpinannya ditangkap. Tapi tidak ditemukan bukti-bukti bahwa partai terlibat dalam peristiwa pem-bom-an tersebut. Namun dua dari pimpinan yang dipenjarakan itu diusir dan sejumlah lainnya di penjarakan selama empat bulan.3) Dengan demikian,disamping terdapat hal-hal yang dilakukan guna memajukan nasib kaum buruh, juga terjadi aksi-aksi yang membuat partai mundur, ada tindakan yang memperjuangkan kepentingan rakyat dan ada pula tindakan yang hanya melayani kepentingan polisi. Oleh karena itu harus dapat dibedakan antara aksi-aksi yang berguna dengan tindakan yang memperkeruh suasana. Bagi pimpinan partai, perkembangan tersebut berarti harus dibenahinya pendidikan politik anggota, mereka harus mampu membedakan antara aksi yang benar dengan aksi yang keliru, terutama kemampuan mereka untuk menghindari jebakan polisi, yakni yang berupa “provokasi.” Massa juga harus diperingatkan tentang hal ini. Polisi sangat berkepentingan untuk meyakinkan bahwa “revolusi” itu sama dengan “peledakan bom,” karena hal tersebut akan membuat golongan revolusioner terkucil dari massa ‘rakyat’, polisi juga sangat berkepentingan untuk membuat “provokasi” sabotase dengan “bom,” untuk kemudian menuduh PKI sebagai dalangnya, agar ada alasan yang baik untuk menindasnya. Partai, militansi dan kawankawan separtai harus senantiasa waspada, dan tidak ada kewaspadaan tanpa disiplin; sekali lagi, masalah disiplin ini menjadi tuntutan utama. Dengan demikian tanggung jawab 129
partai makin besar dan peranan partai dalam perjuangan anti kolonial semakin meningkat. Akibatnya tekanan dari musuhpun semakin keras. Di depan konggres partai, Juni l924, Darsono, yang pernah menjadi tangan kanan Semaun, menyatakan bahwa, “Partai tanpa disiplin adalah ibarat tembok tanpa semen,mesin tanpa baut”4) dan ia juga memperingatkan tentang bahaya konsepsi “avonturistis” dalam sebuah perubahan politik atau “revolusi.” Juga harus dipahami adanya hukum perkembangan sejarah, untuk membantu kemajuannya (partai – penj). Tapi sejarah itu tak bisa dimajukan lebih cepat dengan memperkosanya. Suatu dokumen berjudul “Manifes Komunis Indonesia” yang bertanggal di bulan pertama pendirian PKI telah menyatakan: “Kaum komunis dan partainya tidak bisa bikin pemberontakan. Komunisme tergantung dari keadaan pergaulan hidup dan ia hanya bisa bekerja menurut keadaannya. Kewajiban kaum komunis dan partainya yaitu memimpin pergerakan kaum buruh supaya dalam pertentangannya tidak demikian banyak ada jiwa manusia yang dikorbankan percuma. Kewajiban kaum komunis yaitu membawa pergerakan kaum buruh di jalan-jalan yang baik dan mudah. Fihak sana mendakwa kita hendak membikin revolusi. Kita menjawab bahwa kita tidak membikin revolusi, tetapi kita yakin-yakin benar,bahwa revolusi dunia itu akan pecah sendiri (…). Kaum komunis dan partainya hanya bisa memudahkan lahirnya dunia baru, lain tidak. Partai komunnis yaitu dukun beranak bagi dunia baru yang akan lahir itu”5) Dengan dipindahkannya kedudukan partai dari basis awalnya di Semarang ke Jakarta, kongres telah melemgkapkan pengertian PKI, dalam nama dan peranannya sebagai suatu organisme yang matang, mampu menantang kekuasaan, bahkan dipusatnya sendiri, di mana kekuasaan itu bercokol dan menindas, mengawasi dan menghukum.
130
II Peristiwa-peristiwa dari bulan November l926-Januari l927 serta serangkaian demonstrasi yang tak terkendali, yang dapat menimbulkan perlawanan umum terhadap diktaktor kolonial, menunjukan, bahwa rencana partai tentang tanggung jawab dan disiplin yang dibahas dalam konggres Juni l924, tetap menjadi cita-cita yang belum bisa dicapai. Pimpinan partai yang berantakan akibat tekanan yang terus menerus, tak mampu lagi menanggulangi berbagai usul dari kader-kader regional yang cenderung menilai kekuatan mereka secara berlebihan. Setelah berbagai kejadian, yang menyebabkan dilarangnya PKI dan ditangkapnya l3.000 orang, dengan 5.000 diantaranya diadili dan dihukum (l6 orang diantaranya dihukum mati dan akan digantung), serta sekitar l.000 orang dideportasikan tanpa diadili ke Irian Barat. Dalam suatu kamp konsentrasi yang khusus dibuat untuk itu, telah mengungkapkan sampai di mana raison d’etre PKI dan raison d’etre Partai Komunis di Indonesia, spesifikasi suatu Partai yang menggunakan kata “komunis” untuk membedakan diri, tidak begitu mudah dipahami oleh golongan komunis itu sendiri. Para pendiri PKI itu sendiri— yaitu pimpinan tingkat pertama, yang beberapa diantaranya ada di luar negeri dan berhubungan dengan gerakan komunis Internasional—yang paling cepat menguburkan PKI sebagai suatu organisasi. Mula-mula adalah Semaun. Sejak ia diburu-buru di Indonesia, ia lalu sering berada di Nederland, berhubungan erat dengan para mahasiswa pendiri Perhimpunan Indonesia (PI), dan tentu saja dengan orang-orang Komunis Belanda. Semaun menjadi perantara antara kedua grup tersebut, bersamaan dengan kedudukannya sebagai wakil PKI di Eropa dan dalam organisasi Internationale Communiste. Bulan Desember l926, segera setelah kegagalan gelombang pemberontakan pertama di Jawa, atas nama PKI, Semaun yang masih dianggap sebagai pemimpin PKI, menandatangani suatu persetujuan rahasia dengan ketua PI Moh. Hatta. Dalam persetujuan itu disebutkan bahwa, kaum komunis Indonesia menyerahkan kepemimpinan gerakan pembebasan Indonesia kepada PI, yang tadinya dipimpin oleh PKI. Hatta mengatakan: “Dalam konvensi itu antara lain disebutkan pengakuan PKI atas kepemimpinan Perhimpunan Indonesia terhadap gerakan rakyat Indonesia seluruhnya, dan PKI tidak akan mengadakan oposisi dalam gerakan itu konsekuensi menuju Indonesia merdeka”6) Karena persetujuan itu bersifat rahasia, maka ia hanya menjadi tanggung jawab Semaun pribadi dan tidak ada kelanjutannya yang lebih kongkrit. Tapi persetujuan itu kemudian diumumkan oleh pengadilan Belanda, setelah penangkapan Hatta dan 3 pimpinan PI lainnya pada bulan September l927. Pemerintah Belanda hendak menggunakan dokumen tersebut untuk menunjukan bahwa Perhimpunan adalah suatu organisasi komunis dan subversif, tapi keempat terdakwa yang diadili dalam bulan maret l928 itu kemudian dibebaskan. Dan Semaun harus memberi pertanggung jawaban terhadap kawan-kawan Komunisnya akibat terbongkarnya dokumen tersebut. Pada tanggal l9 Desember l927, Harian Partai Komunis Belanda memuat suatu komunike yang ditandatangani Semaun: “Pers Belanda telah mempublisir suatu persetujuan yang saya tanda tangani atas nama PKI dan yang ditandatangani M.Hatta atas nama Perhimpunan Indonesia. Saya mengakui bahwa saya telah menandatangani persetujuan itu tapi (…) setelah saya pelajari dengan lebih seksama menurut prinsip-prinsip komunis di satu pihak dan berbagai peristiwa di Indonesia di lain pihak, saya menyadari bahwa tandatangan saya itu telah dapat diartikan 131
sebagai pertanda hilangnya independensi Partai Komunis dan hilangnya kepemimpinan Partai. Berbagai peristiwa telah menunjukan bahwa kaum komunis di Indonesia, walaupun dikejar-kejar dan ditindas, tetap melanjutkan perlawanan (…) Juga telah diketahui bahwa perlawanan nasional yang terjadi, dipimpin oleh Partai Komunis. Sekarang partai kami telah membayar dengan harga yang mahal (…) tapi kaum buruh (…) tetap bersimpati terhadap perjuangan besar kami. Kesalahan yang telah saya lakukan dalam penandatanganan persetujuan itu bukanlah karena saya berpikir bahwa partai kita harus siap berjuang sepenuhnya dengan golongan nasionalis revolusioner yang jujur tapi karena saya telah menerima mereka sebagai pemimpin seluruh gerakan revolusioner nasional (…) Garis kaum komunis Indonesia, sebagaimana di negara lain, sangat jelas: dalam keadaan yang bagaimanapun, harus tetap dijaga independensi partai. Ini adalah prinsip yang mutlak (…) Saya bertanggung jawab sepenuhnya secara pribadi atas penandatanganan persetujuan tersebut. Ketika saya menandatangani persetujuan itu, keadaan telah menyebabkan saya tidak dapat menghubungi kamarad-kamarad saya di PKI dan di Internationale Communiste” Dalam peristiwa di atas, pentingnya suatu organisasi yang otonom bagi golongan komunis-lah yang dipertanyakan oleh Semaun, ketika ia bergabung dengan posisi Hatta. Dalam pikirannya, suatu partai memiliki nilai yang lain pada saat ia berjuang bagi kemerdekaan nasional. Harus ada suatu partai yang memimpin perjuangan itu, dan bila Partai Komunis tak dapat melakukannya, maka kaum komunis menerima kepemimpinan partai lain. Tentu saja jalan pikiran Semaun tersebut tak bisa diterima oleh anggota-anggota militan partai yang berjuang bagi kelangsungan hidup PKI. Walaupun secara praktis persetujuan Semaun-Hatta itu tidaklah penting, namun secara teoritis itu sudah cukup untuk meruntuhkan pengaruh dan kewibawaan Semaun, sebagai pemimpin partai, kendati ia telah melakukan otokritik. Seorang pimpinan PKI yang lain, pembantu dekat Semaun di Indonesia, dan menjadi wakil Internationale Communiste di Asia Tenggara, yaitu Tan Malaka, yang sebagaimana Semaun, telah menganggap PKI tidak ada lagi sebagai suatu organisasi. Bersama beberapa pelarian yang mampu pergi keluar negeri, pada bulan Juni l927 di Bangkok, Tan Malaka mendirikan suatu partai baru, PARI (Partai Republik Indonesia), sebagai pengganti PKI. Nama Partai itu diambil dari sebuah buku Tan Malaka yang diterbitkan dua tahun sebelumnya “Naar de Republiek-Indonesia”, dan menanggalkan seluruh hubungannya dengan komunisme. Dokumen-dokumen yang diumumkan PARI menyatakan bahwa partai itu independen dari Internationale Communiste.7) Tapi hal ini baru diketahui kemudian, pada tahun l934. Di Indonesia sendiri, PKI sebagai organisasi, praktis telah hancur. Masalahnya adalah harus diketahui apakah ia perlu dibangkitkan kembali, dengan kata lain, harus diketahui apakah Indonesia masih memerlukan suatu Partai Komunis, atau harus melakukan suatu hal yang lain. Tapi bagaimanapun, mengingat organisasi Komunis dilarang oleh UndangUndang, harus dipikirkan pembentukan suatu partai ilegal, suatu partai gelap, yang dalam perkembangan gerakan kemerdekaan di Indonesia, merupakan suatu masalah yang benar-benar baru.
132
III Pada tahun l908, dalam waktu yang hampir bersamaan, berdirilah sindikat buruh kereta api Vereeniging Van Spoor en Tramweg Personeel (VSTP), organisasi pertama jenis tersebut yang dibentuk bagi buruh-buruh non Eropa, dan perkumpulan Budi Utomo (BU), yang dinyatakan oleh para sejarawan Indonesia sebagai perkumpulan pertama yang “berkesadaran nasional” dan yang hari lahirnya, 20 Mei, diperingati sebagai “hari Kebangkitan Nasional.” Kemunculan serempak dua jenis organisasi tersebut, bukanlah karena kebetulan, ia mencerminkan adanya kebutuhan baru bagi berbagai lapisan masyarakt Hindia Belanda, yang berada di bawah suatu tekanan yang sama; PKI bisa dianggap sebagai hasil radikalisasi progresif gerakan ganda tersebut, sebagai jawaban atas pergeseran dan agresi yang diderita rakyat jajahan, dan itensifikasi serta generalisasi perembesan dan dominasi kolonial pada awal abad XX. Gerakan kaum buruh dalam sindikat buruh kereta api, selain merupakan sindikat (sektor pilot) dalam membangun ekonomi massa, juga merupakan sindikat pilot yang, di Eropa dan Asia, menyumbangkan sejumlah kader bagi pusat-pusat gerakan buruh secara umum dan kemudian pada gerakan komunis yang lahir di depannya. Sneevliet yang datang di Indonesia pada tahun l9l3, adalah bekas ketua sindikat buruh kereta api Belanda di tahun l9ll, pada saat ia berangkat dari sana. Selain itu, ia juga seorang penggerak sayap kiri Partai Sosial Demokrat, partai politik yang menyatakan dirinya mewakili kepentingan murni gerakan buruh, klas buruh, klas yang paling baru dan paling terhisap dalam masyarakat modern, klas yang sambil menghentikan eksploitasi terhadap dirinya, sekaligus membebaskan masyarakat modern seluruhnya. Suatu partai yang didasarkan pada prinsip-prinsip sayap kiri itulah yang kemudian didirikannya di Semarang pada tahun l9l4 di kantor VSTP, bersama kelompok militan terdidik dari kalangan sindikat, yang kemudian merancang seluruh kerangka partai yang dinamakan ISDV. Di antara militan tersebut, terdapat Semaun, karyawan muda di bagian administrasi jawatan kereta api Surabaya, yang pada tahun l914 menjadi anggota komite pimpinan VSTP. Di dalam sejarah sindikalisme di Indonesia, sindikalisme yang revolusioner yang anti kolonial dan anti kapitalis—sebagaimana sejarah komunisme di Indonesia—selalu terdapat formatur yang berasal dari kalangan buruh kereta api. Misalnya Winanta, yang terpilih menjadi ketua PKI pada konggres bulan Juni l924. Ia adalah karjawan jawatan kereta api Bandung. Pada masa-masa sulit ditahun l930-an, di mana gerakan sindikat revolusioner ditindas dan dikejar-kejar, berkat sindikat buruh kereta apilah maka untuk sementara waktu pimpinan berhasil dipertahankan dengan dipilihnya Djokosudjono dalam tahun l933 di Surabaya, atau ketika beberapa tahun kemudian pengacara Hindromartono, pendiri Barisan Kaum Buruh, pada tahun l938, terpilih menjadi pimpinan. Dua pemimpin terkemuka SOBSI (sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia, yang berdiri pada tahun l947), yang merupakan federasi buruh terbesar sebelum tahun l966, Njono, sang Ketua, dan Nardjoko, sang wakil, adalah anak-anak buruh kereta api. D.S Atma, Sekjen SOBSI adalah bekas karyawan di jawatan yang sama. Melalui gerakan buruh, nilai-nilai yang di Eropa disebut kiri (nilai-nilai yang prinsip utamanya adalah demokrasi—yang pada saat yang sama berarti demokrasi politik dan demokrasi sosial) kemudian merasuk ke dalam masyarakat Indonesia. Dan pada tahun 133
l923 suatu penerbitasn PKI menggunakan nama “kiri.” Di samping VSTP, terdapat persekutuan yang saling berkait dalam gerakan kebangkitan di segala penjuru dunia dengan model, pengalaman organisasi dan aksi yang saling mempengaruhi dari suatu negeri ke negeri lain. BU lebih dari sekedar bentuk pertama partai nasional, ia merupakan bentuk pertama dari suatu persatuan mahasiswa yang menaruh perhatian terhadap masalah-masalah sosial. Pada tahun yang sama (l908) terbentuk pula persatuan mahasiswa Hindia Belanda yang pertama di Belanda. Dari persatuan inilah kemudian lahir Perhimpunan Indonesia. Tapi dalam tahun-tahun pertama, persatuan mahasiswa yang ada di Belanda tersebut cukup puas hanya dengan mencontoh para mahasiswa Belanda dalam “studentcorps”-nya, dengan kegiatan sosial yang berkisar pada penyelenggaraan pesta, dansa dan membuat berbagai acara remaja lain yang berkaitan dengan masalah di sekitar mereka. Jadi bisa dilihat betapa jauhnya langkah para mahasiswa kedokteran seperti Sutomo, Gunawan Bersaudara dan Tjipto Mangunkusumodibanding kawan-kawannya yang belajar di Belanda, ketika mereka mendirikan BU di Jakarta. Padahal mereka berasal dari lingkungan sosial yang sama: keluarga besar yang bekerja di dalam aparatur administrasi yang melayani kepentingan Kolonial. Pada masa itu, kebutuhan baru akan administrasi dan pengawasan (dalam jumlah dan kualitas), yang erat berkaitan dengan peningkatan kekuasaan kolonial, telah menyebabkan pemerintah Belanda menerapkan suatu “Belandanisasi” lebih luas bagi lapisan sosial tersebut, dengan membuka formasi pendidikan model Belanda yang lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan pekerjaan administrasi, seperti partisipasi (tentu saja minoritas) dalam Dewan Nasional yang dibentuk saat itu, guna membantu pemerintah pusat yang kewalahan. Lapisan sosial tersebut kemudian dihadapkan pada dua kemungkinan: Menerima “Belandanisasi” dan mencari jalan untuk lebih terintegrasi dalam masyarakat kolonial, atau menganggap “Belandanisasi” tersebut bukan sebagai suatu keistimewaan bagi mereka, tapi sebagai suatu kebutuhan bagi pembangunan Indonesia yang menyeluruh bagi seluruh rakyat Indonesia, agar ia bisa, dan akhirnya mempunyai pemerintahan sendiri. Sikap kedua-lah yang dianut oleh para pendiri BU, sikap anti-elitisme, yang merupakan salah satu pendirian tipikal golongan “kiri” dalam konsepsi Eropa. BU, yang oleh para mahasiswanya kemudian diserahkan pimpinannya kepada generasi orang tua mereka, untuk dijadikan sebuah persatuan sosio-kultural yang lebih luas, dinamis dan terbuka bagi seluruh generasi di Jawa, ternyata berkembang secara bertolak belakang, dan hanya dapat bertahan di Yogyakarta, dengan hanya satu tuntutan di kalangan priyayi.8) Persatuan rakyat yang lebih luas, yang telah gagal dikembangkan oleh BU tersebut, kemudian dapat dicapai dengan berdirinya Serekat Islam. Dari pertemuan antara Sarekat Islam dengan sindikat buruh VSTP dan Partai sosialis kecil ISDV ditambah dari dorongan ke “kiri” Sarekat Islam di bawah pengaruh VSTP dan ISDV (dorongan ke kiri itu bisa dibuktikan dalam evolusi berbagai pernyataan SI pada kongres tahun l9l6 dan l920) yang dinamis dengan semboyan egalitarian “Sama rata Sama Rasa”, kemudian lahirlah PKI, yang dari ISDV memperoleh basis kelasnya dan dalam Sarekat Islam mendapat basis massanya. Kelemahan ekstrim yang beruntun dari kelas buruh dalam hubungannya dengan rakyat yang lain di Indonesia, seperti di negeri jajahan lainya, serta negara-negara yang belum berkembang, telah menimbulkan kesulitan bagi Partai Komunis—yang pada dasarnya hendak menjadi “Partai Klas Buruh”, guna menjadi sebuah Partai massa. Sebab dengan menjadi sebuah Partai Massa, yakni yang tidak hanya berpengaruh di dalam massa 134
rakyat, tapi suatu partai yang terbentuk oleh massa itu sendiri, di mana setiap anggotanya mendaftarkan diri dengan dengan sukarela sambil menyatakan bahwa politik (yang menentukan masa depan negara dan rakyat) adalah juga urusan mereka, maka Partai Komunis dapat menunjukan rasa demokrasinya, penghormatan dari rakyatnya dan kemampuannya memerintah negeri. Ini berarti, dalam kondisi negara yang belum berkembang, ia, Partai Buruh, harus membangun diri mulai dari lapisan sosial non-buruh, yang mungkin bisa menerima teori bahwa klas buruh adalah pionir dalam pembangunan sosial (teori yang menjadi dasar keberadaan Partai-Partai Komunis), tapi tidak melihat dengan nyata apa maksudnya dalam kehidupan sehari-hari dan dalam kegiatan praktis Partai mereka, yakni, kapan harus mengambil suatu keputusan. Artikulasi PKI-Sarekat Islam menjadi rumit, mengingat keanekaragaman gerakan itu dan keanekaragaman pimpinannya; hasil dari konflik orientasi ini yang kemudian menyebabkan SI merubah dirinya menjadi Partai, untuk menempatkan diri di dalam tingkat yang sama sebagai organisasi, seperti PKI. Dalam dualisme klas/massa meningkat pula dualisme antara kader/massa atau elite/ massa. Ketika konflik dalam SI telah memecahkan organisasi tersebut, dan sayap kirinya menjadi suatu grup otonom dengan nama Sarekat Islam Merah (sejak l924, menjadi Sarekat Rakyat), corak hubungan yang dualistik terjadi antara PKI (organisasi buruh yang mencapai tingkat “partai”) dengan Sarekat Rakyat, organisasi petani yang dengan partai sebagai organisasi komunis, para anggotanya tak dapat lagi secara keseluruhan dianggap berpribadi komunis. PKI memanfaatkan kerangka struktur Sarekat Rakyat, tapi Sarekat Rakyat sebaliknya dapat juga menggerogoti partai, membuatnya lumpuh. Hubungan buruh/petani (klas/ massa) menuntut pula agar budaya politik kaum buruh, yang lahir bersama bentuk-bentuk modern kekuasaan politik, dapat mengendalikan dan menguasai secara efektif budaya petani, kerangka petani dalam perwakilan pemerintahan, peranannya dalam perjuangan melawan pemerintahan, dalam penentuan tuntutan, dalam perlawanan, dalam revolusi dan akhirnya peranan petani dalam pengambilan kekuasaan. Bila bentuk-bentuk representasi tersebut masuk dalam strategi model archaique yang tidak lagi dipakai dalam masyarakat baru, ia dapat memberikan kesempatan, dalam suatu provokasi, guna menjadi alasan bagi pemerintah yang berkuasa menyerang Partai Buruh secara keseluruhan. Di sini, disiplin tetap merupakan sebuah masalah yang besar. Apa yang terjadi pada akhir tahun l926-awal l927, merupakan suatu perlawanan umum pertama terhadap diktaktor Belanda, perjuangan bersenjata pertama yang bertujuan bukan lagi untuk mencegah kekuasaan kolonial bercokol, tapi untuk menggulingkan dan menggantikannya dengan suatu kekuasaan baru yang berasal dari rakyat, dari “kaum tak berpunya,” dari “kaum terhisap.” Kendati pemberontakan telah dipersiapkan selama beberapa bulan oleh PKI, pemberontakan itu sendiri gagal hampir secara menyeluruh, atau tepatnya, ia merupakan kegagalan total pimpinan partai dan tekanan besar yang memecahkan mereka pada saat pengambilan keputusan. Gerakan ini hancur dengan cepat. Diawali dengan pemogokan besar pegawai transpor dan administrasi, khususnya pemogokan buruh kereta api di tahun l923, yang hampir mendekati gaya pemogokan besar-besaran di Eropa9) pemogokan tersebut segera dapat digagalkan. Gerakan tahun l926, berkembang mulai dari kegagalan pemogokan tersebut, yakni dalam situasi lemahnya PKI dan seluruh gerakan buruh; serta model revolusi petani dalam sejarah Jawa Barat, pusat utama dari gerakan tahun l926, 10) menjadi model yang dominan; ia tetap 135
menjadi model bagi berbagai gerakan sosial besar yang melanda Indonesia sejak proklamasi, “Peristiwa Tiga daerah l945-l946,” atau “peristiwa Madium l948.” Ini bukanlah berarti bahwa model petani hanya diciptakan oleh petani, tapi tradisi perjuangan petani masih mengilhami secara menentukan atas para pemberontak. Siapakah pemberontakpemberontak tersebut? Sebagai misal adalah mereka yang dideportasikan ke Irian Jaya: “Pada penghabisan Maret l928 (jadi tidak termasuk orang-orang yang masih dalam penjara) banyaknya orang yang diinternir di sana ada 823, diantaranya l5 orang perempuan dan l0 orang Tionghoa, diantaranya 629 dari Jawa, 77 dari Sumatera dan 33 dari Maluku; diantaranya 9 berumur kurang dari 20 tahun, 422 berumur 20-29 tahun, 8l berumur 40-49 tahun, diantaranya 383 pegawai rendah, 79 petani, 361 guru, supir dan pedagang kecil”11) Jadi pemberontakan tersebut merupakan suatu gerakan orang-orang bergaji kecil, pegawai rendah dan guru, tanpa kehadiran petani yang signifakatif, juga tidak ada kaum buruh; tapi masih harus dilakukan suatu analisa sosiologis terhadap l3.000 orang yang ditangkap untuk mengambil suatu kesimpulan yang serius. Mereka itu adalah lapisan sosial yang menjadi tujuan prioritas PKI dengan kaum buruh di sektor produksi dan yang barangkali, menjadi basisnya. Masalahnya kemudian adalah bagaimana bisa sampai terbentuk suatu corps politik yang berideologi homogen dan mampu berinisiatif dalam jangka waktu lama.
136
IV Dalam pernyataanya pada bulan desember l927, yang membatalkan persetujuan rahasia yang telah ditandatanganinya bersama Hatta setahun sebelumnya, Semaun menunjuk betapa pentingnya menjaga independensi organisasi partai komunis agar partai bisa menjalankan “peranan kepemimpinanya”. Pengertian “partai pelopor” atau “Partai Garda Depan” dalam Partai Komunis, berasal dari peranan motor klas buruh dalam dinamika sosial, demikian dinyatakan dalam karya-karya Marxis, guna menunjukan posisi garda depan dari suatu partai politik yang mampu mengasimilasikan dan memproduksi peranan motor tersebut. Suatu pengertian global dalam kerangka sosiologis dan historis. Tapi dalam beberapa periode sejarahnya, PKI telah memahami persoalan tersebut sebagai pengertian mekanis dan memandangnya sebagai suatu bentuk fatalite politik yang telah menjadikan PKI sebagai komandan. Dalam arti militer, dari semua kekuatan politik lainnya. PKI kemudian mencoba menempatkan diri dalam kedudukan sebagai komandan, ketika Sukarno pada tahun l933 dalam “Mencapai Indonesia Merdeka” mengidentifikasi, bagi kepentingannya, suatu “Partai Pelopor” dan “Partai Panglima”. Tapi Sukarno tidak menjelaskan teori sosiologis partai sedikitpun. Ia hanya menyebutkan suatu teori strategis; rakyat harus memiliki suatu Partai Pelopor, sebagaimana tentara memerlukan seorang Jenderal, karena tanpa pemimpin tentara akan kalah sebelum berperang. Dan mengingat Partai sebagai wakil rakyat dan bangsa, sebagaimana ia menjadi wakil dari nilai-nilai kesatuan, maka ke semuanya itu hanya bisa dilakukan oleh satu Partai tunggal. Lalu tinggal di cari dalam kesatuan itu, bagaimana caranya menyatakan suara yang berbedabeda, yakni bagaimana menjalankan suatu aparat yang demikian kompleks tanpa perlu mengurangi jumlah pemimpin dan suatu massa terpimpin. Serta bagaimana di dalam tubuh satu partai, gambaran suatu bangsa atau negara, perantara antara bangsa dan negara, terselenggaranya kedaulatan dari bawah yang ke luar dari gaya militer yang didominir oleh atasan. PNI, prototype partai yang dikehendaki Sukarno didirikan pada tahun l933, untuk mengisi kekosongan, akibat larangan de jure dan keruntuhan de facto PKI. Ada pula PARI yang dari luar negeri dan dalam klandestin ingin memainkan peranan serupa. Kegagalan PKI agaknya telah memberikan semangat bagi tumbuhnya partai-partai, dan dalam perkembangan tersebut, kata “kiri” kemudian dipakai secara lebih luas lagi, sebagai unsur klasifikasi yang menjadi suatu kebutuhan. Kata “kiri” dalam perbendaharaan kata politik internasional, agaknya merupakan konsekuensi dari Revolusi Perancis; kata “kiri” seringkali digunakan dalam perempat abad XIX, dan “kiri” menunjuk pada ide-ide wakil rakyat yang duduk sisebelah kiri Ketua di ruang Parlemen Perancis. Kata “kiri” juga digunakan, pada masa yang sama, di Inggris, tanpa dihubungkan dengan letak duduk anggota parlemen di ruang sidang12) “Kiri” di Prancis mula-mula didukung dengan tuntutan “kedaulatan bangsa” melawan “kedaulatan raja,” kedaulatan yang datang dari bawah dan bukan dari atas; ia mendukung demokrasi melawan otoriterisme, yakni majelis pilihan rakyat melawan anggota yang diangkat, ia memperjuangkan pemilihan umum melawan pemilihan censitaire (dimana yang memilih dan yang dipilih harus membayar pajak tertentu – penj.) dan menentang hak pilih yang hanya diberikan kepada orang-orang kaya.
137
Pada saat pengertian “kiri” mulai meluas di Eropa, munculah “sosialisme” dan “komunisme”. Lalu ketiga pengertian tersebut saling kait-mengkait. Di samping golongan kiri “liberal” terdapat kelompok “ekstrim kiri,” sosialis atau komunis. Namun ketiga-tiganya memiliki ide bersama yang berasal dari Revolusi Perancis. Konstitusi dan pengadaan lembaga-lembaga negara, kedaulatan rakyat harus dijamin, dan rakyat berhak untuk berontak terhadap pemerintahan despotis yang tidak mengakui kedaulatannya: “bila pemerintah melanggar hak-hak rakyat, maka pemberontakan adalah bagi rakyat dan merupakan bagian dari rakyat. Kedaulatan merupakan hak rakyat yang paling suci dan merupakan kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan”13) Dasar utama dari doktrin sosialis adalah pemikiran bahwa, kedaulatan rakyat telah dilanggar apabila hubungan sosial mengakibatkan timbulnya inegalite (ketimpangan) dan terpecahnya masyarakat menjadi pemilik dan proletar, serta menempatkan kaum proletar di bawah dominasi pemilik; sedang Revolusi Perancis l789 yang memproklamirkan “kemerdekaan, persamaan, persaudaraan” tidak menghendaki digantinya dominasi aristokrasi menjadi dominasi para pemilik besar, golongan sosialis ingin membebaskan rakyat seluruhnya. Perubahan yang tampil di Eropa pada awal abad XIX dan berbagai tuntutan yang ditimbulkannya, merupakan akibat gelombang besar gerakan revolusioner l848, yang melanda seluruh Eropa, serta menimbulkan gerakan pembebasan nasional di beberapa negara. (Hongaria misalnya), gerakan republiken (di Perancis, Febuari l848), pemberontakan kaum buruh (di Paris, Juni l848). Tepat seratus tahun kemudian, gerakan revolusioner yang cukup kompleks dan berbeda-beda berkembang di Asia, gerakangerakan kemerdekaan nasional di negara-negara yang masih dijajah atau gerakan demokratis anti feodalisme atau anti kapitalisme di negeri-negeri yang sudah merdeka. Beberapa penulis mencoba meyakinkan bahwa berbagai revolusi di Asia tersebut “dipimpin” oleh komandan yang sama, Uni Soviet; tapi tak seorangpun yang menyebut “komandan” dari revolusi Eropa l848. Di Indonesia, sekitar tahun l930, terdapat dua aliran besar dalam gerakan nasional. Di satu pihak di sekitar Sutomo (pendiri BU) di Surabaya dan M.H Thamrin di Jakarta, aliran yang menerima lembaga-lembaga yang didirikan Belanda, sambil mencoba menambah jumlah orang Indonesia di Lembaga tersebut dan mencoba mengarahkan sistem administratif dari dalam sistem itu sendiri. Di lain pihak, PNI dan Serekat Islam yang mengikuti Partai Kongres India, menolak segala kerjasama dengan pemerintahan kolonial; aliran inilah, yang terutama terdiri dari orang-orang laique—bukan dari kalangan agama— yang akan menyebut dirinya sebagai “gerakan nasional kiri.” Tentu saja, berbagai organisasi bawah tanah yang ilegal, termasuk dalam aliran ini. Golongan kiri legal tidak hanya berbeda dalam sikapnya terhadap pemerintah; PNI— setelah bubarnya—dua partai yang saling mengaku sebagai pewarisnya, Partindo (Sukarno, Sartono, Amir Sjarifudin) dan Pendidikan Nasional Indonesia (Hatta, Sjahrir), mengembangkan program yang diilhami golongan sosialis; “Marhaen”, sebagai pengganti “buruh” dalam teks komunis, harus mampu mengatasi masalah hubungan klas/massa seperti yang dihadapi PKI, paling tidak dalam tingkat konsepnya; “marhaen” adalah nama yang diberikan kepada seluruh orang Indonesia yang tidak punya kekuatan, buruh atau bukan. “Marhaenisme” digunakan sebagai definisi dari “Sosialisme ala Indonesia.” Mulai tahun l935, golongan kiri legal tersebut dihadapkan kepada masalah yang akan merubah mereka. Pertama karena adanya ancaman yang makin besar terhadap legalitasnya; suatu tekanan yang tiada berhenti dalam segala bentuknya dilakukan jaksa 138
penuntut umum dan birokrasi polisi yang kekuasaan penuhnya menjengkelkan semua pendatang asing, bahkan terhadap para partisan penuh sistem kolonial, seperti Profesor Prancis G.H Bousquet dari Universitas Aljazair14) Dan Partindo serta Pendidikan praktis tidak dapat bergerak sama sekali. Selain adanya ancaman dari dalam negeri, ekspansi imperialisme Jepang di Asia Timur dan model diktaktur militer yang diwakilinya juga dianggap sebagai ancaman dari luar negeri. Tanbahan lagi Sutomo dengan partai baru yang dipimpinya, Parindra, secara jelas mendukung Jepang dengan tendensi otoriter dan dominatornya. Melemahnya partai-partai kiri tersebut menyebabkan Parindra, partai kanan, menjadi kelompok utama adalam gerakan nasional. Menghadapi tiga serangan golongan kanan dan ekstrim kanan, Jepang, Belanda, Indonesia, golongan kiri akhirnya merubah sama sekali taktiknya dan menanggalkan politik non-koperasi yang semula merupakan ciri mereka. Golongan kiri akhirnya bergabung dalam organisasi baru Gerindo, yang dibentuk bulan Mei l937, dengan diilhami oleh “Front Populer”, aliansi golongan kiri yang sebelumnya mencapai kekuasaan di Spanyol dan Prancis. Berbeda dengan Front Populer, Gerindo bukanlah aliansi partaipartai independen, melainkan pengelompokan kembali anggota partai-partai kiri seperti Partindo, yang memutuskan bubar atau kelompok yang mewakili partai bawah tanah PKI dan PARI. Para pemimpin utamanya adalah Amir Sjarifudin dan A.K Gani. Tujuan dari Gerindo adalah mempersatukan seluruh rakyat Indonesia tanpa memandang asal daerahnya, guna menuntut demokratisasi lembaga-lembaga dan dibentuknya Dewan Perwakilan yang sesungguhnya dari pemerintahan Belanda. Dalam rangka tuntutan Demokratisasi tersebut Gerindo mengakui lembaga-lembaga kolonial. Tapi hal itu dituntut juga oleh Parindra. Yang membedakan Gerindo dari Parindra adalah, konsepsinya yang anti rasis dalam kebangsaan dan nasion: orang Indonesia manapun, dari rakyat Indonesia, yang memilih menjadi orang Indonesia, tindakan ini merupakan suatu keputusan politik, bukan hak dari kelahiran atau lamanya nenek-moyang tinggal di Indonesia. Perbedaan yang lain dengan Parindra adalah tekananya pada kerakyatan sebagai kedaulatan dan pada “hak-hak kaum susah.” Terakhir adalah tawarannya kepada seluruh kekuatan politik di Indonesia, termasuk Belanda, untuk membentuk Front Bersama menghadapi imperialisme Jepang. Fasis dan militeristis; yang terakhir ini tidak akan bisa dipahami secara baik, sebagaimana nampak pada lemahnya perlawanan ketika Jepang menduduki Indonesia. Tapi di samping golongan “kiri legal” tersebut, adakah, dalam ilegalitas, kelanjutan dari PKI? Bila ia tidak ada di penjara atau di dalam kamp-kamp di Nusakambangan dan Irian, di Digul, di manakah golongan Komunis Indonesia? Masih adakah mereka? Masihkah mereka melakukan sesuatu? Polisi politik Belanda secara periodik berhasil membongkar jaringan PKI, tapi ini tidak berarti bahwa jaringan-jaringan itu betul-betul ada. Sebuah dokumen PKI menyatakan: “Sesudah kejadian pemberontakan tahun l926-l927 ini, kaum Komunis Indonesia boleh dikatakan putus sama sekali hubungannya yang teratur dengan luar negeri. Partai tidak mendpat didikan yang teratur mengenai pekerjaanya dan tidak mendapat teori tentang perjuangan revolusioner. Kedatangan kawan Musso secara illegal dari luar negri dalam tahun 1935 membantu kaum komunis Indonesia menyusun organisasi illegal dan menentukan politik partai dalam perjuangan melawan fasisme (…) Walaupun tidak lama sesudah kawan Musso kembali keluar negri diadakan penangkapan terhadap pemimpinpemimpin dan pengikut-pengikut PKI. PKI masih terus bisa menjalankan aktivitetnya di bawah tanah hingga jatuhnya kekuasaan fasis Jepang”15) 139
Analisa tersebut agaknya menyimpulkan bahwa, pada saat Komunis Indonesia tidak dapat mempertahankan hubungannya dengan dunia luar, sebelum tahun l935, dan sangat terpecah dalam menentukan sikapnya di masa datang: ini terlihat bahkan dalam tingkatan militan yang dideportasi ke Irian, yang terpecah menjadi berbagai kelompok yang bermusuhan. Beberapa diantaranya barangkali mencoba mengikuti PARI, saat partai tersebut mulai dikenal, secara gelap tentu saja, di dalam negeri; bagi mereka, agaknya, PARI tidak lain dari PKI itu sendiri. Yang lainnya masuk ke dalam PNI, yang telah menyatakan bahwa partai itu akan melanjutkan kerja yang telah dimulai PKI; bagi mereka, rintangan ideologis pada saat mereka masuk ke dalam partai non komunis, tidak terlalu besar dibanding halangan nyata dalam mengorganisasi PKI sebagai aparat klandestin; air akan menyeret lumpur yang dilaluinnya, air akan memenuhi jambangan yang ditemuinya. Bagaimanapun, antara PKI, PARI, PNI, berada pada landasan yang sama; para ahli teori boleh mengarahknnya pada “nasionalisme” atau “internasionalisme” atau “dwitunggal”, tapi landasan tersebut, yang menimbulkan pemberontakan pada berbagai lapisan rakyat melawan dominasi kolonial, menciptakan terutama suatu aspirasi yang berciri khas, yang diungkapkan serentak oleh seluruh partai rakyat Indonesia, oleh seluruh golongan kiri Indonesia, betapapun konflik teori memisahkannya. Tapi untuk kelompok Komunis Indonesia di eropa, yang baru mengetahui bahwa PARI-nya Tan Malaka telah menyatakan independensinya dari Internationale Communiste, PARI tidak boleh di anggap sebagai PKI bentuk baru; jadi harus dicegah jangan sampai golongan Komunis Indonesia bergabung di sekitar Tan Malaka, dan untuk itu partai harus dibangun kembali sambil melakukan hubungan dengan Partai Komunis lain di seluruh dunia. Misi itulah yang pada tahun l935 dipercayakan kepada Musso, anggota pimpinan PKI yang berada di Eropa pada saat meletusnya peristiwa l926-l927, dan yang menggantikan Semaun di Belanda; misi tersebut kemudian mendapat perlawanan dari para pendukung Tan Malaka, di luar negeri dan juga di Indonesia, yang menyatakan bahwa PKI sudah mati dan bahwa mereka adalah ahli warisnya. Bagi Musso, PKI tetap ada dan PARI hanyalah merampas. Kejaksaan Belanda tidak ambil pusing terhadap perbedaan itu, baginya semua itu adalah “Komunis,” “ekstrimis yang berbahaya” dan ia membuang mereka ke Irian tanpa diadili, siapa saja yang berhasil ditangkap. Di antara mereka terdapat orang-orang yang menyusun sel-sel PKI yang dibentuk Musso di Surabaya awal tahun l936, di lingkungan sindikalis Djokosudjono. Dalam kamp tahanan di Irian, anggota-anggota PARI menjulukinya “PKI muda” atau “baru.” Ketika para tahanan itu dipindah ke Australia dan anggota-anggota PKI berkat bantuan kaum Komunis Australia, menerbitkan suatu buletin gelap, mereka menulis: “Lawan selalu mencoba memecah pergerakan kita. Cara memecahnya dengan bermacam-macam jalan. Antara lain adalah sebutan PKI Lama dan PKI baru (…) Bagi kita kawan sefaham, PKI hanya satu. Kita hanya mengenal satu partai komunis yaitu PKI. Tidak ada lama tidak baru…”16) Itulah tujuan Musso: menjamin kontinuitas PKI, mempertahankan namanya, kehidupan organisasinya, menjamin kedudukan PKI dalam sejarah Indonesia, dan membuat PKI sebagai pionir dalam sejarah Indonesia. Dengan cara yang sama Aidit tahun l950 mencoba menunjukan bahwa pemuda-pemuda Komunis memainkan peranan penting di Jakarta dalam periode Mei-September l945, tanpa perlu membuktikan dan menyatakan di mana-mana bahwa mereka itu adalah Komunis. 17) Bila Musso pada tahun l948, tiga tahun setelah l7 Agustus l948, dan Aidit tahun l950 (Musso telah terbunuh dalam peristiwa Madiun) mencoba menunjukan bahwa sejarah 140
Komunis adalah sejarah yang gilang-gemilang, adalah karena PKI dalam tiga tahun pertama kemerdekaan itu hampir tidak pernah terang-terangan membiarkan golongan kiri mengidentifikasikan dirinya kepada Partai Sosialis, partai yang pendirinya adalah Amir Sjarifudin, dia lagi, sekeluarnya dari penjara dimana Jepang telah menjebloskannya ke sana sejak Febuari l943. Bagaimana mungkin Partai Sosialis dapat membangun supremasinya di tengah golongan kiri Indonesia, mengapa hal itu tidak pernah dipertanyakan oleh PKI? Banyak kemungkinan yang bisa dijelaskan, sambil menanti dibongkarnya arsip, bila masih ada. Yang paling mendekati adalah yang menganggap klandestinitas tidak akan memungkinkan PKI untuk bangkit kembali secara nyata dan perlahan-lahan, dan bahwa perpecahan setelah kegagalan l926-l927 tidak bisa diatasi, atau telah diganti dengan yang lain, yang juga tak berdaya. Secara umum, militan Komunis lama dan baru, tahun l945 tidak cukup merasa yakin bahwa tumbuhnya PKI yang berpengaruh dan dinamis telah dapat menyumbangkan kepentingan yang positif; bahkan, pikir mereka, kehadiran PKI justru hanya menimbulkan kesulitan dalam hubungan dengan sekutu Inggris-Australia, yang baru mendarat di Indonesia pada saat berdirinya partai-partai politik. Partai Sosialis, yang melanjutkan fungsi Gerindo dalam tugasnya membangun suatu Indonesia yang independen dan Demokratis, berhasil dalam beberapa waktu menggabungkan aliran besar yang berasal dari Gerindo dan bekas anggota pendidikan, yang memberikan kepada pemerintahan Sjahrir, dengan Amir sebagai menteri pertahanannya, suatu sarana yang berharga yakni mobilisasi rakyat. Beberapa pengacara yang pernah menjadi anggota biro eksekutif Gerindo pada masa penyerbuan Jepang dan yang dididik dalam bidang hukum di sindikat, November l945 mencoba, didorong oleh bekas peserta pemberontakan l926, memproklamirkan kelahiran baru PKI secara legal. Mereka terbentur pada hegemoni Partai Sosialis, pada aliansi Sjahrir-Amir Sjarifudin, yang berarti pada pemerintah, dan bulan Maret l946 harus menyerahkan pimpinan PKI mereka kepada bekas-bekas tahanan di kamp konsentrasi Irian, yang kembali dari Australia dan yang mau menerima hegemoni Partai Sosialis. Tetapi agaknya diperlukan suatu krisis gawat seperti jatuhnya kabinet Amir (yang menggantikan Sjahrir) untuk dapat mencuatkan kembali masalah peranan khas PKI dalam perkembangan strategi global golongan kiri. Pada saat itulah, Agustus l948, ketika Sjahrir dan bekas anggota pendidikan ke luar dari Partai Sosialis untuk membentuk Partai Sosialis Indonesia dan mendukung pemerintahan Hatta yang menggantikan Amir, Musso berhasil kembali dari Eropa untuk meyakinkan Partai Sosialis agar bergabung dengan PKI. Dengan maksud mengarahkan politik partai agar tidak lagi berdasar pada kompromi, tapi pada perjuangan melawan penyerbuan Belanda, guna menjamin kemerdekaan negara dan untuk memberikan dukungan kepada kaum buruh dan tani, khususnya untuk merealisasikan reformasi agraria. Tumbangnya persatuan golongan kiri, sayap kiri, aliansi Hatta dan Sjahrir, yakni dari aliran Pendidikan Nasional Indonesia sebelum perang, dengan Masjumi, telah menimbulkan situasi yang sulit dikembalikan lagi. Pertentangan militer yang melahirkan peristiwa Madiun, bahkan telah membuat situasi tersebut tetap bertahan sampai lama. Bekas anggota PARI yang, setelah mendukung Hatta, bulan November l948, menganggap PKI sudah hancur, lalu mendirikan Partai Murba yang meniupkan slogan: “Sayap kiri, Hara Kiri,” Golongan kiri, dari segala segi, nampak berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan.
141
Paradoknya adalah, ketika ada beberapa menteri dan beberapa pejabat tinggi Komunis dalam periode l962-l965, fase kedua dari Demokrasi Terpimpin, tapi bukan pada saat itulah PKI memiliki kekuatan besar dalam aksinya. Partai massa, untuk pertama kali dalam sejarahnya, partai yang dalam pemilu l955 dan l957 menunjukkan kenaikan yang terus menerus, tapi setelah diberlakukannya keadaan darurat perang (SOB) Maret l957, berada dalam situasi seperti kelompok demonstran yang di kelilingi petugas keamanan. Kadangkala para petugas keamanan tersebut cukup mengamati tanpa turun tangan, kandang-kadang terjadi diskusi dan bisa juga terjadi insiden, para demonstran berang dan para petugas keamanan menembak. Tanggal 8 Juli l960, Harian Rakyat, surat kabar PKI, menulis suatu editorial panjang yang menilai hasil setahun Kabinet Kerja, yakni setahun Demokrasi Terpimpin. Suatu penilaian yang kritis. Koran itu disita, dilarang terbit beberapa minggu (penerbitan PKI lainnya tetap dilarang selama tiga tahun), para pemimpinnya ditangkap, PKI dilarang di beberapa propinsi (Tiga Selatan, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan). Periode di mana didiskusikan Undang-Undang tentang partai politik dan beberapa kalangan mendesak agar PKI dilarang karena mengancam dan kelak menyerang Masjumi dan PSI. Pada akhir tahun l960, Sukarno datang ke sidang umum PBB dengan DN Aidit di sebelah kiri dan A.H Nasution di sebelah kanannya. Khawatir bila Demokrasi Terpimpin menjadi suatu sistem pemerintahan yang terlalu bergantung kepada militer, Sukarno kemudian mengerem tindakan-tindakanya yang ditujukan untuk menekan PKI.Dan PKI tidak lagi mengeritik pemerintah. Tenunan politik yang robek pada tahun l948 tidak dapat ditenun kembali. Dwitunggal Sukarno-Hatta, jauh dari persekutuan yang saling melengkapi, saling kait berkait, sejak awal karir politik mereka, seringkali bertentangan; karena itulah agaknya mengapa Jepang mempersatukannya dalam periode l945-l956, terlihat betapa peranan politik Hatta melampaui peranan Sukarno, khususnya dalam periode dimana Hatta menjabat Wakil Presiden dan Perdana Menteri, saat di mana terjadi peristiwa Madiun. Retaknya Dwitunggal, setelah pemilu, pengunduran diri Hatta, Desember l955, memberi pertanda tentang retaknya suatu sistem politik, dengan timbulnya pemberontakan yang melahirkan proklamasi PRRI, pemerintahan yang terdiri dari separuh sipil, separuh militer. Dengan diumumkannya SOB, Sukarno menggunakan angkatan bersenjata, yang tepecah akibat peristiwa PRRI, untuk menjahit kembali tenunan politik tersebut. Berbagai institusi baru yang disiapkan dan akan membentuk Demokrasi Terpimpin, diukir menurut model angkatan bersenjata. Pada saat yang sama angkatan bersenjata menjadi kutub atraksi dari seluruh kekuatan yang melihatnya sebagai perisai yang ampuh untuk melawan kekuatan PKI. Nasution tampil seperti menggantikan Hatta dalam bentuk semacam dwitunggal SukarnoNasution. Tapi keseimbangan yang ditampilkan oleh gambaran triumvirat SukarnoNasution-Aidit, peran serta angakatan bersenjata dalam pemerintahan dan seluruh eselon aparatus negara disatu pihak, dan aliansi NASAKOM di lain pihak (tapi perjuangan antara komposan NASAKOM sendiri menggugurkan efek dari persekutuan tersebut), kemudian meletus pada tahun l965. Namun Angkatan Bersenjata (Tapi Nasution tidak lagi menjadi panglima) tetap menjadi penguasa lapangan.
142
Catatan 1) Ruth McVey, The Rise of Indonesian Communism, Ithaca, Cornel University Press, l966. hal. l92. 2) Ibid., hlm. 258. 3) Ibid., hlm. l87. 4) Ibid., hlm. l94. 5) Manifes Komunis India, Bab 8: Usaha untuk mencapai maksud kita. 6) M Hatta, Berpartisipasi Dalam Perjuangan Kemerdekaan nasional Indonesia, Idayu, Jakarta, l980, h. l3. 7) Harry Poeze, Tan Malaka, lavensleop l897-l945. Den Haag, Nijhoff l980, h. l3. 8) Abdurachman Soerjomihardjo, Budi Utomo Cabang Betawi, Idayu, Jakarta, l983. 9) John Ingleson, “Bound hand and Foot: Railways Workers and l923 Strike In Java,” Indonesia, No 31, April, l98l. 10) Lihat karya Sartono Kartodirjo tentang pemberontakan l926 di Jawa Barat, “The Bantan Report,” dalam H.J Benda dan Ruth Mcvey (ed). The Communist Uprising of l926-l927 In Indonesia, Key Documents, Cornell Modern Indonesia Project, Ithaca, l960. 11) A.M Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, l967, hlm. 32. 12) Jean Dubois, Le Vocabulaire Politique et Social en France l869-l872, Paris, Larousae, 1962. 13) Konstitusi Republik Prancis 24 Juni l793, “Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warganegara”, pasal 35. 14) G.H Bousquet, Le Politique …. (?) et Coloniale des Paya-Bas, CEPE, Paris, l939. 15) “Lahirnya PKI Dan Perkembangannya”, Bintang Merah, No 7, l5 November l950, hlm. l99. 16) “Sebutan Yang Berbahaya,” Red Front, Suara official PKI seksi luar negeri, No 3, Desember, l944. 17) Lihat tulisan saya, “Aidit dan Soal Partai Pada Tahun l950,” Prisma, No 7, Juli l982.
143
Kehormatan Bagi Yang Berhak
oleh : Manai Sophiaan Agustus 1994
144
AWAL SEBUAH TRAGEDI UNGKAPAN berbagai peneliti mengenai "Gerakan 30 September 1965" di Indonesia, berbeda-beda. Antonie C.A. Dake dalam bukunya "In the Spirit of the Red Banteng", mengungkapkan tragedi ini dengan banyak mengacu kepada keterlibatan PKI sebagai perencana, Bung Karno mengetahui dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sebagai pensuplai senjata untuk persiapan apa yang disebut Angkatan ke-V, yang dituduhkan akan menjadi kekuatan bersenjata PKI. Ada 22 juta sukarelawan yang sudah mendaftarkan diri di Front Nasional, memenuhi seruan Bung Karno mobilisasi kekuatan rakyat untuk mengganyang Malaysia. Mereka inilah katanya yang akan disaring untuk dimasukkan ke dalam Angkatan ke-V. Pembentukan Federasi Malaysia dirancang oleh Perdana Menteri Inggeris, Harold McMillan, dan Perdana Menteri Malaya, Tungku Abdul Rahman, dalam perundingan di London pada bulan Oktober 1961 dan dilanjutkan bulan Juli 1962, itulah yang mengawali provokasi politik dan militer meng-contain Indonesia. Ganis Harsono, jurubicara Departemen Luar Negeri R.l. selama 8 tahun di era Sukarno, menulis dalam bukunya "Recollections of an Indonesian Diplomat in the Sukarno Era" yang diterbitkan oleh University of Queensland Press, Australia, tahun 1977 dan kemudian pada tahun 1985 diterbitkan edisi Indonesianya oleh Inti Idayu Press Jakarta dengan judul "Cakrawala Politik Era Sukarno", menulis bahwa Inggris memberitahukan kepada Indonesia mengenai rencananya membentuk Federasi Malaysia. Indonesia tidak menentang, karena dipahami bahwa ide pembentukkannya ialah untuk memberikan kemerdekaan kepada wilayah-wilayah jajahan Inggeris di Kalimantan Utara. Tetapi setelah Presiden Macapagal dari Filipina mengajukan tuntutan supaya dalam proses pemberian kemerdekaan tersebut, wilayah Sabah dikembalikan kepada Filipina, karena memang tadinya adalah wilayah kekuasaan Kasultanan Sulu di Filipina Selatan yang dicaplok oleh Inggeris ketika menjajah Kalimantan Utara, justru timbul reaksi keras dari Kuala Lumpur, yang disampaikan oleh Duta Besarnya di Manila, Zaiton Ibrahim, dengan mengatakan kepada Presiden Macapagal bahwa situasi akan menjadi gawat, apabila Filipina menuntut wilayah Sabah. Malahan Menteri Pertahanan Malaya, Najib Tun Razak, memberikan reaksi yang lebih keras lagi: "Kami siap pergi berperang mempertahankan Sabah dalam naungan Malaysia". Tadinya Sabah hanya disewa oleh Inggeris dari Sultan Sulu, Jamal Alam, yang akhirnya jatuh ke bawah penguasaan The British North Borneo Company. Waktu itu Indonesia tidak memberikan reaksi apa-apa, diam saja. Tapi pada tanggal 8 Desember 1962, setelah Azhari yang dituduh memberontak di Brunai dan memproklamasikan kemerdekaan Kalimantan Utara yang terdiri dari Brunai, Serawak dan Sabah di Manila, di tempat mana ia melarikan diri bersama teman- temannya, dan menyatakan dirinya sebagai Perdana Menteri Negara Kalimantan Utara, cepat sekali Tungku Abdul Rahman menuding Indonesia sebagai biang keladinya. Padahal duduk persoalannya, Azhari yang memimpin Partai Rakyat Brunai, dalam Pemilihan Umum Agustus 1962, memenangkan 54 dari 55 kursi di Dewan Distrik dan 16 dari 33 kursi di Dewan Legislatif. 1) 1) JAC Mackie, Konfrontasi, The Indonesia-Malaysia Dispute 1963-1966 Oxford University Press, Kuala Lumpur -London, hal. 37
145
Apa yang dilakukan oleh Azhari setelah partainya ditumpas dan dia dikejar--kejar sebagai pemberontak, ialah selalu mengadakan kontak dengan Wakil Presiden merangkap Menteri Luar Negeri Filipina, Immanuel Pelaez, dan sama sekali bukan dengan Indonesia. Ketua Umum Partai Nasional Indonesia (PNI), Ali Sastroamidjojo, memberikan reaksi menolak tudingan Tungku. Tungku pun menjadi marah oleh adanya reaksi dari Ali Sastroamidjojo dan langsung menyerang secara pribadi kepada Bung Karno dengan mengatakan: "Jangan campuri urusan Kalimantan Utara!" Serangan ini sebenarnya datang dari Inggeris, tapi Tungku yang menjadi jurubicaranya. Oleh karena itu, pada bulan April 1963, Bung Karno di hadapan Konperensi Wartawan Asia Afrika di Jakarta menjawab ancaman Tungku dengan mengatakan: "Perjuangan rakyat Serawak, Brunai dan Sabah, adalah bagian dari perjuangan negara-negara "the new emerging forces" yang membenci penghisapan manusia oleh manusia. Karena Jepang melihat bahwa proses pembentukan Federasi Malaysia sudah menjurus pada kecurigaan Indonesia sebagai proyek neokolonialisme Inggeris, maka pada tanggal 3 1 Mei sampai 1 Juni 1963, Tokyo menyediakan tempat pertemuan antara Presiden Sukarno dan Perdana Menteri Tungku Abdul Rahman, untuk mengusahakan pendekatan. Tujuannya ialah untuk menghilangkan kecurigaan mengenai rencana pembentukan Federasi Malaysia, yang terdiri dari Federasi Malaya sebagai induknya digabungkan dengan Singapura dan tiga wilayah lainnya di Kalimantan Utara. Pertemuan Tokyo menyepakati sebuah prinsip, yaitu tetap memelihara Semangat Perjanjian Persahabatan Indonesia- Malaya tahun 1959. Untuk merumuskan lebih lanjut hasil pertemuan Tokyo, diadakan lagi pertemuan para Menteri Luar Negeri tiga negara, yaitu: Indonesia, Malaya dan Filipina, di Manila dari tanggal 7 sampai 11 Juni 1963. Ketiga Menteri Luar Negeri itu, semuanya mempunyai jabatan rangkap, yaitu: Subandrio di samping Menteri Luar Negeri, juga Wakil Perdana Menteri I, Tun Abdul Razak, Menteri Luar Negeri dan Deputy Perdana Menteri dan Immanuel Pelaez, Menteri Luar Negeri dan sekaligus Wakil Presiden. Dalam pertemuan Manila, Indonesia dan Filipina menyatakan tidak keberatan dibentuknya Federasi Malaysia, asal hal itu dilakukan atas dasar Hak Menentakan Nasib Sendiri bagi rakyat di wilayah- wilayah yang hendak digabungkan, dan ditentukan oleh otoritas yang bebas dan tidak berpihak, yaitu Sekretaris Jenderal PBB. Pertemuan itu juga mengembangkan pemikiran Presiden Filipina, Macapagal, yaitu pembentukan Konfederasi tiga negara serumpun Melayu yang disebut MAPHILINDO (Malaysia-Philipina-lndonesia), gagasan yang langsung ditentang oleh Amerika dan Inggeris. Ironisnya, dari Peking, Menteri Luar Negeri Chen Yi menuduh MAPHILINDO sebagai proyek Nekolim. Pertemuan tingkat Menteri Luar Negeri ini, diperkuat dengan diadakannya Konperensi Tingkat Tinggi antara Perdana Menteri Tungku Abdul Rahman, Presiden Macapagal dan Presiden Sukarno yang dilangsungkan di Manila dari tanggal 31 Juli sampai 1 Agustus 1963, yang hakekatnya hanya mengesahkan hasil-hasil yang telah dicapai dalam pertemuan tingkat Menteri Luar Negeri sebelumnya. Dalam perundingan tersendiri antara Presiden Sukarno dan Presiden Macapagal, disetujui apa yang dikenal dengan Doktrin Sukarno - Macapagal yang menegaskan bahwa Masalah Asia supaya diselesaikan oleh bangsa Asia sendiri. 146
Doktrin ini dengan serta merta ditolak oleh Amerika Serikat dan Inggeris, karena dinilai dapat menggagalkan tujuan pembentukan Federasi Malaysia yang dirancang di London yang sebenarnya untuk meng-contain Indonesia. Hasil KTT Manila ternyata menggelisahkan London dan Kuala Lumpur. Dengan adanya gagasan Presiden Macapagal yang mengusulkan pembentukan Konfederasi MAPHILINDO dan doktrin Sukarno- Macapagal yang menghendaki supaya masalah Asia diselesaikan oleh bangsa Asia sendiri, maka anasir Inteligen Inggeris dan Malaysia melansir satu berita bahwa Federasi Malaysia akan dibentuk pada tanggal 31 Agustus 1963, 2) mendahului pelaksanaan Persetujuan Manila yang menghendaki supaya pembentukan itu dilakukan atas dasar Hak Penentuan Nasib Sendiri dari rakyat bersangkutan, yang akan diatur oleh Sekretaris Jenderal PBB, waktu itu U Thant. 2) Dr. Hidayat Mukmin, TNI dalam politik luar negeri Studi kasus penyelesaian konfrontasi Indonesia - Malaysia, hal. 95. Dilansirnya berita itu, makin meyakinkan Indonesia bahwa memang ada udang di balik batu dengan pembentukan Federasi Malaysia yang dirasakan sebagai sangat tergesagesa. Oleh karenanya, Sekjen PBB segera mengirimkan Misi PBB ke Serawak dan Sabah untuk meneliti sejauh mana rakyat Kalimantan Utara bersedia bergabung dalam Federasi Malaysia, seperti yang dituntut oleh KTT Manila. Tapi Misi sudah distel demikian rupa, dengan ketuanya diambilkan dari Amerika yaitu Laurence Michaelmore, dibantu oleh delapan anggota yang diambilkan dari berbagai negara. Indonesia, Malaya dan Filipina menyertakan juga wakil-wakilnya sebagai peninjau. Karena Misi sedang bekerja, maka Kuala Lumpur berusaha meredakan kemarahan Indonesia dan mengumumkan penundaan pembentukan Federasi Malaysia sampai tanggal 16 September 1963, yaitu tanggal yang diperkirakan Misi PBB sudah menyelesaikan tugasnya dengan hasil yang menguntungkan London dan Kuala Lumpur. Penundaan tanggal, dianggap oleh Indonesia sebagai proforma belaka, karena hasilnya sudah ditentukan sesuai dengan keinginan Kuala Lumpur dan London. Memang sebelum itu, Inggeris sudah mengadakan penjajagan di Kalimantan Utara dengan sebuah komisi yang diketuai oleh Lord Cobbold dan anggotanya terdiri dari: Sir Anthony Abell, Sir David Watherston, Dato Wong Po Nee dan Enche Gazali bin Sofie. Hasil penjajagan ini diumumkan dalam Report of the Commission of Inquiry North Borneo and Serawak 1962 yang menyebutkan: 1. Sepertiga penduduk menyetujui tanpa syarat, merdeka dalam Federasi Malaysia. 2. Sepertiga menyetujui dengan syarat supaya kepentingan daerah mereka terjamin. 3. Sisa yang lain, ingin mendapatkan kemerdekaannya dulu, sebelum bergabung dalam Federasi Malaysia. Tapi ini semua adalah versi Komisi Cobbold. Sebelum itu sudah ditentukan supaya diadakan Pakta Pertahanan antara Inggeris dan Federasi Malaysia. Dengan demikian, dari segi pertahanan, Federasi Malaysia dianggap oleh Inggeris lebih sederhana, karena Federasi dapat dikelola bersama sebagai satu unit strategik. Karena Federasi berada dalam lingkungan Persemakmuran Inggeris, maka Inggeris berkewajiban tetap memberikan perlindungan militer. Ketika Malaya baru merdeka, di sana hanya ada 2000 tentara Inggeris dan Australia. Tapi setelah Federasi Malaysia dibentuk, kekuatan Militer itu cepat ditambah menjadi 50.000. 3) 3) Ibid haL 115.
147
Strategi pertahanan ini mencemaskan Indonesia, karena perlindungan militer Inggeris yang begitu besar, merupakan ancaman serius bagi keamanan Indonesia. Apalagi dalam mempertahankan Malaysia, sudah tersiar berita bahwa Inggeris akan mendapat dukungan dari Pakta Pertahanan ANZUS (Australia - New Zealand - United States), untuk menghadapi Sukarno yang sudah lama dicap sebagai "trouble maker" di Asia, yang kegiatannya harus dicegah jangan sampai merembet mempengaruhi negara-negara Afrika dan Amerika Latin. Sebenarnya di Malaysia, Singapura dan British North Borneo (Kalimantan Utara), terdapat kekuatan-kekuatan politik yang menentang pembentukan Federasi Malaysia menurut konsep McMillan - Tungku Abdul Rahman, tapi mereka ditindas sehingga tidak bisa berbuat banyak. Kekuatan menentang pembentukan Federasi Malaysia di Malaya ialah: Front Sosialis Malaya yang terdiri dari Partai Rakyat Malaya dan Partai Buruh, serta Partai Islam seMalaya. Di Singapura: Barisan Sosialis, Partai Pekerja dan Partai Rakyat. Di Kalimantan Utara: Partai Rakyat Brunai dan Serawak United People's Party. Partai Rakyat Brunai sejak 1956 di bawah pimpinan Azhari, sudah mempunyai program hendak mengusir Inggeris dari Kalimantan Utara. 4) 4) Ibid hal. 115. Dan apa yang terjadi kemudian? Misi PBB yang dipimpin oleh Michaelmore, tanpa penyelidikan seksama, langsung menyatakan bahwa rakyat Kalimantan Utara (Serawak dan Sabah) menyetujui merdeka dalam Federasi Malaysia. Hasil Kerja Misi PBB ini segera disahkan oleh Sekjen PBB. Sebaliknya Indonesia, setelah mendengarkan laporan dari peninjau- peninjaunya yang menyertai penyelidikan Misi PBB, menuduh adanya kecurangan-kecurangan yang menyolok, sehingga laporan Misi PBB itu tidak bisa dianggap sah. Akibatnya, mudah dipahami. Karena Indonesia menolak hasil penyelidikan Misi PBB yang disahkan oleh Sekjen PBB, ditambah lagi tersiar berita bahwa sesudah Federasi Malaysia diresmikan pada tanggal 16 September 1963, negara federasi baru itu segera akan diterima menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, maka Jakarta langsung memutuskan hubungan diplomatik dengan Kuala Lumpur. Oleh perkembangan yang sangat cepat, dan usaha diplomatik untuk mencoba meredamnya mengalami kegagalan, maka konfrontasi Indonesia - Malaysia tidak terhindarkan lagi. Dr. Subandrio dalam kedudukannya sebagai Wakil Panglima Besar KOTI (Komando Tertinggi Indonesia) dan Kepala Badan Pusat Inteligen (BPI), mulai menerjunkan gerilyawan di Semenanjung Malaya dan Kalimantan Utara, untuk memberikan tekanan kepada Kuala Lumpur supaya mau merubah sikapnya dengan mengemukakan aproach baru yang bisa mengatasi deadlock. Malaysia didirikan tanpa ikut sertanya Brunai, sedang Singapura yang tadinya. ikut bergabung, kemudian memisahkan diri dan menyatakan dirinya merdeka sendiri. Tapi tindakan Dr. Subandrio itu, justru memberikan alasan kepada Inggeris dan sekutunya Pakta ANZUS untuk bersiap - siap menyerang Indonesia, kemungkinan yang sebenarnya sudah lebih awal disinyalir oleh Bung Karno. Sebelum itu, dalam bulan Oktober 1963, Presiden Kennedy dari Amerika, mengirimkan surat kepada Presiden Sukarno yang menganggap sikap Indonesia terhadap Malaysia, menempatkannya pada posisi yang amat sulit untuk mewujudkan keinginannya membantu usaha-usaha Indonesia ke arah pembangunan dan pemulihan ekonominya. Setelah menerima surat tersebut, Presiden Sukarno langsung mengadakan pertemuan dengan 10 orang menteri seniornya, yaitu: Ir. Djuanda, Dr. Subandrio, Chaerul Saleh, Dr. J. Leimena, Sudibyo, disertai dengan menteri-menteri militer yaitu: A.H. Nasution, A. Yani, E. Martadinata, Omar Dhani dan Sucipto. Pertemuan merumuskan jawaban yang paling 148
tepat untuk Surat Presiden Kennedy dengan sebuah kalimat yang tegas: "Go to hell with American aid". 5) 5) Ganis Harsono, Cakrawala Politik Era Sukarno, hal. 160 -161 Dengan surat Presiden Kennedy tersebut, makin menjadi jelas bahwa bukan saja Inggeris, melainkan juga Amerika ikut ambil bagian dalam merekayasa pembentukan Federasi Malaysia. Tapi cara mengelola ketegangan akibat pembentukan Federasi Malaysia, akhirnya menggiring Indonesia terjaring masuk perangkap konfrontasi militer yang sudah dipasang oleh Inggeris dan Amerika. Bung Karno segera melihat bahaya akan makin meningkatnya eskalasi konfrontasi, maka berusaha mencari upaya mengendorkannya dengan mengusulkan segera diselenggarakannya KTT 3 negara yang terkait. Upaya Bung Karno terlambat, karena segera sesudah itu, bom waktu yang sudah lama dipasang oleh persekutuan Nekolim di Indonesia, tidak bisa ditangkal lagi. Meletuslah "Gerakan 30 September 1965", yang mengundang Amerika makin terangterangan berkiprah melaksanakan rencana menghancurkan revolusi Indonesia dan kepemimpinan Bung Karno yang dijuluki oleh Barat sebagai "Hitler Baru" seusai Perang Dunia II. Itulah lihainya Nekolim yang tidak secara dini bisa diantisipasi. Meski pun demikian, pada bulan Februari 1966 Presiden Sukarno masih menugaskan Duta Besar Keliling R.l., Supeni, pergi ke Manila membicarakan dengan Presiden Ferdinand Marcos yang sudah menggantikan Macapagal, mengenai perlunya segera diadakan KTT MAPHILINDO dan minta supaya Filipina jangan dulu memberikan pengakuan kepada Federasi Malaysia. Tujuan Bung Karno untuk segera menyelenggarakan KTT MAPHILINDO, ialah mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia dan menyelesaikan dispute Sabah yang di claim oleh Filipina, atas dasar semangat MAPHILINDO. Tapi rencana Bung Karno ini, sebelum bisa dilaksanakan, sudah kedahuluan dicegat oleh keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 (SUPERSEMAR), yang berakibat kekuasaan berpindah ke tangan Letnan Jenderal Soeharto sebagai pengemban SUPERSEMAR yang segera saja melakukan penahanan terhadap menteri-menteri yang penting, sehingga Presiden Sukarno kehilangan pembantu- pembantunya dan Kabinet Baru harus dibentuk bersama Pengemban SUPERSEMAR. Praktis Bung Karno sudah kehilangan kekuasaannya. Dr. Suharto, dokter pribadi Bung Karno, dalam bukunya "Saksi Sejarah" memastikan bahwa konfrontasi dengan Malaysia tidak termasuk dalam calender of event Bung Karno 6). Barangkali Komando Dwikora (konfrontasi dengan Malaysia) adalah imposed (desakan) pihak lain, mungkin musuh dalam selimut yang mengetahui psycho emosional Bung Karno. Dengan menggunakan metode psycho analisa, dilakukan berbagai tipu muslihat, yang bertujuan mempengaruhi Bung Karno dalam mengambil keputusan melakukan suatu tindakan.7) 6) Dr. Suharto, SaksiSejarah, hal. 135. 7) Ibid, hal. 189 Setelah Malaysia diangkat menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, Indonesia memberikan reaksi yang sangat keras dan langsung menyatakan keluar dari keanggotaan PBB, meski pun disadari bahwa putusan ini adalah satu imbalan yang sangat mahal. Putusan ini diumumkan oleh Bung Karno pada 7 Januari 1965 dalam rapat umum Anti Pangkalan Militer Asing, di ISTORA Jakarta. 149
Pada awal Bab ini, sudah disinggung adanya 22 juta sukarelawan yang mendaftarkan diri untuk melawan serbuan Inggeris dan sekutunya ke Indonesia, jika konfrontasi mencapai puncaknya. Tujuan seruan Bung Karno mengadakan mobilisasi kekuatan rakyat, sangat jelas yaitu untuk apa yang dirumuskan secara populer: Ganyang Malaysia!. Sama sekali tidak ada kaitannya dengan tuduhan sebagai persiapan untuk pembentukan Angkatan ke V. Prosedur yang harus dipenuhi untuk pembentukan Lembaga semacam itu, bukan saja belum pernah ditempuh, bahkan dibicarakan saja dalam sidang Kabinet sebagai Lembaga kekuasaan eksekutif, DPRGR sebagai Lembaga kekuasaan Legislatif, maupun dimintakan pertimbangan dari Dewan Pertimbangan Agung, sebagai Lembaga Tinggi Negara, belum pernah. Untuk membentuk Angkatan ke-V yang begitu prinsipil, tidak mungkin dilakukan tanpa disetujui oleh ketiga Lembaga Tinggi Negara seperti yang disebutkan di atas. Gagasan Angkatan ke-V sebenarnya hanya move politik yang dilontarkan oleh Bung Karno, yang ide pokoknya bertolak dari ketentuan UUD 1945 pasal 30 tentang bela negara, dikaitkan dengan gerakan "ganyang Malaysia". Hanya pihak pers tertentu yang membesarbesarkannya dan meminta reaksi dari Menteri/ Panglima Angkatan Darat yang tentu saja menentangnya. Dengan demikian, move politik ini segera di ekspos seolah-olah Bung Karno sudah memerintahkan pembentukan Angkatan ke-V, yang kemudian dituding sebagai salah satu alasan keterlibatan Bung Karno dalam G30S/PKI. Rekayasa lain untuk mencoba membuktikan keterlibatan Bung Karno dalam G30S/PKI, ialah keterangan Brigadir Jenderal H.R. Sugandhi, (ajudan Presiden 19481962) yang memberikan pengakuan kepada Team Pemeriksa Pusat (TEPERPU) di bawah sumpah, bahwa ia telah berbicara langsung dengan ketua CC PKI, D.N. Aidit, dan sekretaris CC, Sudisman, pada tanggal 27 September 1965, di mana kedua tokoh PKI itu katanya memberitahukan kepadanya bahwa PKI akan melakukan coup d'état atau tindakan untuk membenahi revolusi Indonesia yang dirongrong oleh "Dewan Jenderal". Rencana itu hendak dilaksanakan dalam tempo satu- duatiga hari lagi. Sugandhi diajak ikut bergabung, karena kata Aidit, rencana ini sudah diberitahukan kepada Bung Karno. Sugandhi, katanya menolak ajakan itu. Dalam pengakuannya, ia mengatakan bahwa pada tanggal 30 September 1965, yakni sesudah tiga hari pembicaraannya dengan Aidit dan Sudisman, dilaporkannyalah berita ini kepada Presiden Sukarno di Istana Merdeka. Menurut pengakuan Sugandhi, Bung Karno tidak mau percaya pada laporan itu, bahkan Bung Karno menuduhnya "PKI-phobi". Dikatakan dalam pengakuan itu, pada tanggal yang sama, ia melaporkan juga pembicaraannya dengan Aidit dan Sudisman, kepada Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal A. Yani. Namun tidak dijelaskan bagaimana jawaban atau perintah A. Yani sebagai reaksi atas laporan tersebut. Menurut Sugandhi, pada tanggal 1 Oktober 1965, ia melaporkan juga kepada Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan Jenderal A.H. Nasution. Juga tidak dijelaskan apa reaksi Jenderal Nasution. Bila diteliti dengan seksama, pengakuan di bawah sumpah Brigadir Jenderal H.R. Sugandhi tersebut, terasa sangat aneh dan mengandung tanda tanya. Dia diketahui sebagai seorang prajurit pilihan sehingga diangkat menjadi Jenderal, di samping juga ia orang terhormat sebagai anggota MPRS/DPRGR. Mengapa dikatakan sangat aneh dan mengandung tanda tanya, karena pertama, menurut akal sehat, tidak mungkin seseorang, apalagi seorang ketua CC PKI dan sekretaris CC, begitu saja membicarakan suatu rencana yang kadar kerahasiaannya paling tinggi, kepada seseorang, apalagi dari jajaran pihak lawannya. Kedua, sudah begitu rapuhkah semangat Sapta Marga dan Sumpah Prajurit dalam diri seorang prajurit pilihan, sehingga suatu informasi yang kadar nilainya sangat tinggi, serta diperoleh secara langsung dari pimpinan PKI yang paling kompeten, harus disimpan sendiri selama tiga kali 24 jam baru disampaikan kepada atasannya, di mana suhu politik dalam negeri waktu itu sedang 150
panas? Apakah ini suatu kelalaian atau suatu kesengajaan? Ketiga, makna apa yang tersirat dalam sentuhan hubungan antara Brigjen Sugandhi dengan Aidit dan Sudisman, yang masing-masing sebagai ketua CC PKI dan Sekretaris Jenderal CC? Dapat dimengerti bahwa pada tahun-tahun awal sesudah terjadinya G30S/PKI, suasana masih dalam serba emosional, sehingga pertimbangan kelayakan satu informasi kadangkadang subyektivitasnya lebih menonjol. Apa lagi tidak dibentuk satu Komisi yang ditugaskan untuk memeriksa benar tidaknya pengakuan Sugandhi tersebut, yang akhirnya pengakuan ini digunakan untuk memvonis Sukarno terlibat G30S/PKI. Sebaliknya, Sugandhi mendapat nama baik. Sidang Istimewa MPRS 7 Maret 1967 yang anggota-anggotanya banyak dipecat dan diganti serta ditambah dengan orang-orang yang menguntungkan, termasuk pimpinan lama diganti dengan Jenderal A.H. Nasution sebagai ketua baru, itulah yang mencabut mandat Ir. Sukarno sebagai Presiden, serta melarangnya melakukan kegiatan politik. Dan apa yang terbukti kemudian? Sesudah nasi menjadi bubur, komandan Detasemen Kawal Pribadi Presiden Sukarno, Letnan kolonel polisi H. Mangil Martowidjojo, baru mengungkapkan dengan mengemukakan bukti-bukti bahwa keterangan Sugandhi di bawah sumpah itu, sepenuhnya kebohongan dan fitnah. 8) 8 ) Majalah PETA, edisi September/Oktober 1992, Jakarta, hal. 3-6. Baca juga: Soegiarso Soerojo, Siapa menabur angin akan menuai badai, hal. 236-237, yang mengutip dialog antara Sugandhi dengan Aidit-Sudisman dan dialog antara Bung Kamo dengan Sugandhi menurut versi yang diceritakan oleh Sugandhi. Memang sayang sekali Mangil tidak segera menyampaikan kebohongan Sugandhi kepada Bung Karno, padahal ia sudah mendengar "Geruchten" (desas-desus)nya, jauh sebelum Sukarno dijatuhkan oleh MPRS. Mangil mengatakan, karena ia penasaran, maka tanggal yang disebutkan oleh Sugandhi melaporkan hasil pembicaraannya dengan Aidit dan Sudisman kepada Presiden, yaitu tanggal 30 September 1965, diperiksanya kembali buku catatan tamu Istana, apakah betul waktu itu Sugandhi datang. Ternyata tidak ada nama Sugandhi masuk Istana pada hari itu. Bukan saja Mangil yang selalu mengawal Bung Karno tidak melihat Sugandhi menemui Presiden hari itu, juga di buku catatan tamu yang harus diisi oleh setiap tamu yang masuk Istana, baik ia tamu dipanggil atau tamu yang mendadak datang, nama Sugandhi tidak ada. Di "wachtrooster" (buku jaga) yang harus diisi oleh setiap tamu sesuai dengan peraturan yang ditentukan oleh ajudan, mau pun dalam buku Detasemen Kawal Pribadi yang selalu memasukkan dalam catatan semua tamu yang masuk Istana, tidak ada nama Sugandhi pada 30 September 1965 masuk Istana. Beberapa hari sesudah meletusnya Gerakan 30 September, melalui Menteri Penerangan Ahmadi, Bung Karno berpesan supaya Sugandhi datang ke Istana Bogor, karena Bung Karno memerlukan masukan mengenai gerakan tersebut, tapi ia tidak mau datang. Bahkan berkata kepada Ahmadi supaya menyampaikan kepada Bung Karno kalau ia tidak berhasil menemuinya. Sesudah penolakan Sugandhi atas panggilan Bung Karno, pada suatu hari ia datang ke Istana Jakarta, saat Bung Karno sedang berolahraga pagi jalan kaki mengelilingi Istana diikuti oleh beberapa anggota staf Istana dan para pengawal. Sugandhi terus bergabung dengan rombongan dan dari belakang Bung Karno, ia melaporkan kehadirannya. Tapi mengetahui kedatangan Sugandhi ini, Bung Karno malah langsung memerintahkannya supaya keluar. "Deruit, deruit" perintah Bung Karno. Karena Sugandhi belum juga keluar dan masih terus mengikuti dari belakang, sekali lagi Bung Karno memerintahkannya supaya keluar. Barulah Sugandhi keluar. 151
Kata Mangil: Rasanya koq tidak masuk akal dan tidak logis Aidit dan Sudisman sembarangan begitu saja memberitahukan rencananya yang begitu rahasia kepada orang yang tidak sepaham. Kecuali kalau Sugandhi itu memang orang PKI". Meski pun Mangil terlambat mengungkapkan fitnah terhadap Bung Karno ini, tapi ungkapan itu sama sekali tidak berkurang arti pentingnya, karena ia menambah satu bukti lagi dari sekian banyak bukti yang sudah ada, bahwa Bung Karno digulingkan melalui rakayasa yang skenarionya sudah dirancang demikian rupa. Keterangan lain yang menarik, dikemukakan oleh Prof. Peter Dale Scott, seorang diplomat Kanada, Guru Besar dan Doctor dalam ilmu politik, ketika ia diundang pada bulan Desember 1984 untuk mengemukakan makalahnya dalam sebuah forum di "University of California", Berkeley, yang dihadiri juga oleh tokoh-tokoh terkemuka antaranya terdapat bekas direktur CIA periode 1962- 1966 untuk bagian Timur Jauh, di mana ia membahas sebuah judul "The United States and the Overthrow of Sukarno, 19651967" - Amerika Serikat dan penggulingan Sukarno, 19651 967. la memulai uraiannya dengan mengatakan bahwa subjek yang akan dibahasnya, adalah subjek besar tapi menjengkelkan, karena kisah yang lengkap mengenai periode yang rumit dan kurang dimengerti ini, akan tetap berada di luar jangkauan analisis tertulis yang paling lengkap sekali pun. Banyak yang telah terjadi, tidak mungkin bisa didokumentasi, sedang catatan-catatan yang bisa diselamatkan, banyak hal yang bersifat kontroversial yang tak mungkin diverifikasi. Namun demikian, setelah pertimbangan-pertimbangan tersebut dikemukakan, maka intisari kisah yang rumit dan bermakna ganda itu, mengenai suatu tragedi yang berdarah. Setelah mempelajari referensi-referensi yang ada, sebenarnya bersifat sederhana saja dan lebih mudah dimengerti ketimbang keterangan-keterangan akademis dari sumbersumber Indonesia mau pun Amerika Serikat. Kesimpulan dari keterangan-keterangan mereka yang bersifat problematis itu, hanya mengatakan bahwa pada musim gugur 1965, golongan kiri di Indonesia telah menyerang pihak kanan yang menyebabkan diadakannya restorasi kekuasaan dan pembantaian golongan kiri oleh golongan tengah. Peter Dale Scott memberikan catatan betapa sukarnya melakukan analisis yang pada pokoknya hanya bersandar pada apa yang dinamakan bukti-bukti yang disajikan dalam sidang-sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (MAHMILLUB) yang bertentangan dengan studi CIA 1968, yang agak kurang bersifat khayalan. 9) 9) Termuat dalam "Pacific Affair': Summer 1985, hal. 239. Juga H. W. Brands menulis dalam "Journal of American History" bahwa waktu pengaruhnya tengah memuncak di Asia Tenggara, Amerika telah ambil bagian dalam kup yang gagal terhadap Sukarno di tahun 1958. Pemerintah Johnson tidak menyembunyikan kecemasannya bahwa Sukarno dapat mengantar Indonesia pada suatu posisi yang penting, sementara Amerika Serikat sendiri sedang berusaha menyelamatkan Vietnam Selatan. Maka pada waktu Amerika Serikat di tahun 1966 telah memperoleh keyakinan bahwa Soeharto telah berhasil mengesampingkan Sukarno dan menghancurkan PKI, pemerintah Amerika secara mencolok memberi selamat kepada penguasa baru, karena telah melakukan suatu tugas dengan baik sekali. Meski pun demikian, Brands mengatakan bahwa penggulingan Sukarno, tidak ada hubungannya dengan Amerika Serikat, padahal diakuinya bahwa selama beberapa bulan, pejabat-pejabat Amerika Serikat telah mendesak pihak Tentara di Indonesia supaya bertindak, tapi tidak berhasil. Pada musim panas 1965 (sebelum G30S), kelihatan Pemerintah Johnson sudah putus asa. Selama satu dekade lebih, Sukarno dapat mengatasi beberapa tantangan, termasuk affair 17 Oktober 1952, satu kup yang tidak langsung, di mana A.H. Nasution hendak memaksa 152
Sukarno mem- bubarkan kekuasaan Eksekutif dengan jalan membubarkan kekuatan- nya di Parlemen, untuk memberikan peluang bagi Tentara supaya bisa tampil. Sukarno berhasil menggagalkan pemberontakan di Sumatera (PRRI) yang dibantu oleh CIA dengan 300 orang tentara Amerika, Filipina dan Tiongkok Nasionalis, lengkap dengan pesawat udara transport dan Bomber B-26. 10) 10) Baca: H. W. Brands dalam "Journal of American History", The Organization of Historians, vol. 76, No. 3, Desember 1989. Geoffrey Robinson (Boston, Massuchusetts) dalam makalahnya (1990) yang berjudul "Some Arguments Concerning U. S. Influence and Complicity in the Indonesian Coup of October 1, 1965 - Beberapa argumen mengenai keterlibatan A.S. dalam kudeta 1 Oktober 1965 di Indonesia--, mengatakan bahwa sejak dari awal, "Gerakan 30 September" itu kelihatannya seperti sebuah kup yang direncanakan untuk gagal, kudeta itu di disain sedemikian rupa sehingga mampu menyimpan sebuah dalih untak mengadakan suatu pameran kekuatan dan meraih kekuasaan. Kata Geoffrey Robinson, laporan CIA yang menyatakan PKI lah penanggungjawab tunggal atas kup, adalah hal yang sukar didukung. Tapi logika argumentasi yang dikemukakannya, tidak membuang sama sekali kemungkinan adanya peran PKI. Dikatakan, baik strategi yang digunakan maupun bukti dorongan yang membawa PKI ke dalam peristiwa tersebut, semuanya menunjukkan kecenderungan bahwa keikut-sertaan PKI, tidak lebih dari sesuatu yang marginal, lebih banyak didorong oleh kesalahan informasi mengenai rencana coup d'état "Dewan Jenderal". Dengan mengutip Mortimer, ia menyimpulkan bahwa asal-usul Gerakan 30 September hendaklah dicari dalam kegiatan kelompok perwira dissident (berpendapat lain) Divisi Diponegoro. Bukan suatu koinsidensi (kebetulan) bahwa hasil kudeta itu ialah kehancuran PKI, jatuhnya Sukarno dan tampilnya Angkaran Darat sebagai pelaku politik kunci, pembukaan kembali pintu Indonesia bagi investasi modal asing dan reorientasi politik luar negeri Indonesia persis seperti apa yang selama beberapa tahun direncanakan dalam berbagai macam skenario kebijaksanaan, berbagai prospektus politik dan berbagai laporan situasi yang disiapkan oleh National Security Council, State Department dan "country team" Kedutaan Besar Amerika di Jakarta. Kekurang-jelian PKI menilai kebenaran informasi yang diterimanya sekitar rencana coup d'etat "Dewan Jenderal" sehingga langsung mempercayainya dan bertindak mendahului, itulah yang menghantarkan partai ini ke liang kehancurannya. Argumentasi yang dikemukakan oleh Geofrey Robinson untuk mendukung kesimpulan di atas, ialah kenyataan bahwa coup d'etat tampil pada saat titik kritis polarisasi antara Angkatan Darat di satu pihak dan apa yang disebutnya aliansi Sukarno-PKI di pihak lain. Sedang faktor-faktor lain yang dimanipulasi, antaranya intervensi Amerika Serikat di Vietnam Utara dengan memulai pemboman, dukungan Amerika Serikat kepada Inggris mengenai konfrontasi Malaysia, serangan terhadap Sukarno oleh anggota-anggota Kongres dan tulisan-tulisan pers Amerika yang provokatif untuk memancing kemarahan Sukarno dan PKI agar menyerang balik. Dalam keadaan demikian, tidak banyak lagi apa yang harus dilakukan oleh Amerika, karena semuanya sudah dikerjakan dengan terjadinya polarisasi "kanan" dan "kiri" yang telah ditingkatkan oleh kedua belah pihak. Pola umum yang tampil dari studi atas periode ini, mempunyai dua dimensi yang saling berhubungan. Pertama, kegiatan agen-agen Amerika yang sengaja mengembangkan sejenis politik tertentu terhadap Indonesia yang sedang berada dalam polarisasi politik yang sudah serius. Jenis politik itu ialah merupakan tekanan-tekanan ekonomi dan tekanan- tekanan lainnya secara selektif dengan tujuan melemahkan yang "kiri" dan memperkuat yang "kanan" -- yang disebut sebagai sahabat kita". 153
Kedua, bulan-bulan terakhir menjelang kudeta, para penasehat Amerika Serikat, sudah sampai pada titik mem- pertimbangkan pembalasan militer langsung terhadap pemerintah Sukarno, karena cara lain dianggap sudah gagal secara essensial, termasuk perebutan kekuasaan oleh Tentara, sebuah rencana yang diharap-harap dan lama direnungkan oleh Amerika; sebagai jawaban atas ancaman "kiri" yang menghantui. Ralph McGehee, seorang pensiunan CIA, dalam hubungan ini menyarankan supaya metode yang dipakai CIA di Indonesia, yang dinilai penuh kepiawaian, dapat digunakan sebagai satu tipe atau denah untuk operasioperasi terselubung lainnya di masa yang akan datang. Secara khusus metode ini memang sudah dipraktekkan dalam kasus keterlibatan CIA menggulingkan Presiden Alende dari Chili. Terbukti dipakainya rancangan atau denah tipe Jakarta ini, mencapai hasil yang baik. 11) 11) "The CIA and the White Paper on El-Salvador", The Nation April 11, 1981, hal. 423. Dengan pengakuan-pengakuan yang diuraikan di atas, jelas menunjukkan bahwa keterlibatan Amerika Serikat dengan ClA-nya dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965, dengan sasaran pokoknya menghancurkan PKI dan menggulingkan Sukarno, tidak terbantah lagi. Bagi kita di Indonesia, tentu lebih mudah memahami peristiwa itu karena ikut mengalaminya, meski pun pengalaman-pengalaman itu tidak semua bisa dikemukakan secara terbuka. Sebagai pelengkap, berbagai referensi berupa bukubuku atau tulisan-tulisan, telah diterbitkan. Misalnya, buku yang ditulis oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto (Kepala Pusat Sejarah Militer AD), Soegiarso Soerojo (Seorang Intel), Memoir Jenderal Yoga Sugomo, seorang yang sangat berpengalaman di bidang Intel dan mantan kepala BAKIN serta banyak buku lainnya yang umumnya menunjuk biang keladi G30S: PKI, Bung Karno dan RRT. Tidak satu pun yang menyebutkan keterlibatan Amerika Serikat. Bahkan sudah di-release film "Pengkhiatan G30S/PKI" yang setiap tanggal 30 September ditayangkan ulang di TVRI, meski pun efeknya seperti angin ribut yang lekas berlalu. Sayangnya di Indonesia sendiri, meski pun sudah 30 tahun kejadiannya, belum pernah diselenggarakan SEMINAR yang dapat mengungkapkan peristiwa itu secara utuh dan objektif, bahkan terasa masih tabu. Sebuah analisis yang tajam dikemukakan oleh Bung Karno dalam "Pelengkap Nawaksara" yang disampaikannya kepada MPRS 10 Januari 1967, sebagai Pelengkap "Amanat Nawaksara" mengenai terjadinya G30S sebagai berikut: "Berdasarkan penyelidikanku yang seksama, menunjukkan bahwa peristiwa Gerakan 30 September itu, ditimbulkan oleh pertemuannya tiga sebab, yaitu: 1. Kebelingeran pimpinan PKI 2. Kelihaian subversi Nekolim 3. Memang adanya oknumoknum yang tidak benar". Ketiga sebab yang disebutkan oleh Bung Karno itu meski pun tidak diperinci, tapi dari hasil penelitian yang luas di kemudian hari, membuktikan kebenarannya. Kebelingeran pemimpin-pemipin PKI, diakui oleh tokoh-tokoh PKI sendiri, yang akan diuraikan pada bab berikut. Kelihaian subversi Nekolim, dibenarkan oleh begitu banyak pengakuan tokoh-tokoh Barat dan Amerika, dan dokumen- dokumen resmi yang terungkap mengenai keterlibatan Amerika Serikat dan CIA di Indonesia. Terakhir, dalam bulan Desember 1992 di Monash University Melburne, Australia, telah diseminarkan topik yang bertema "Indonesian Democracy 1950's and 1990's". Prof. George McT. Kahin dari Cornell University (AS), adalah salah seorang dari 300 pakar tentang Indonesia yang ambil bagian dalam Seminar itu, mengemukakan terus terang dalam makalahnya "Impact of US Policy on Indonesian Politics" (Dampak kebijaksanaan politik Amerika Serikat terhadap Indonesia), betapa jelas campur tangan pemerintah 154
Amerika Serikat dalam soal-soal politik Indonesia, karena kekhawatiran Washington tentang kemungkinan Indonesia jatuh ke tangan komunis. Dengan mengutip catatan mantan Duta Besar Amerika untuk Indonesia, Hugh S. Cumming Jr, yang tersimpan di Arsip Nasional Amerika, Prof. Kahin mengatakan bahwa Presiden Dwight Eisenhower meminta Cumming supaya waspada atas kenyataan sebuah negara seperti Indonesia yang katanya merupakan masalah besar karena tidak mempunyai tradisi memerintah sendiri, sehingga bisa jatuh ketangan komunis atau terpecah-pecah menjadi bagian lebih kecil. Dalam konteks perang dingin, Eisenhower lebih suka memilih Indonesia terpecah-pecah ketimbang jatuh ke tangan komunis. Maka setelah Cumming bertugas di Indonesia, Presiden Eisenhower memerintahkan supaya merealisasikan keinginannya meredam kemajuan komunis dengan memperhatikan dua perkembangan di lapangan. Pertama, sikap Sukarno yang dinilai lebih dekat dengan Beijing, lebih-lebih setelah mengunjungi RRT di tahun 1956, ia mengagumi dan ingin meniru kemajuan Cina dalam membangun ekonominya. Kedua, PKI dalam PEMILU 1955 meraih 20,6% suara di Jawa dan malah 27,4% dalam pemilihan tingkat propinsi bulan Juli dan Agustus 1957. Perkembangan ini meningkatkan kecemasan Washington tentang kemungkinan Jawa jatuh ke tangan komunis. Malahan Kahin mengakui, masih banyak arsip Amerika Serikat mengenai keterlibatan CIA di Indonesia yang sampai sekarang masih dirahasiakan, meski pun sudah melewati batas waktu kerahasiaan 30 tahun.` Dengan premis bahwa komunis di Jawa sudah menjadi suatu mayoritas absolut, maka Badan Keamanan Nasional mendorong CIA membantu memperkuat gerakan pemberontakan di daerah- daerah. Menurut perhitungan Washington, sekiranya pemberontak kuat karena mendapat bantuan Amerika Serikat, maka bisa terjadi perang saudara dan Amerika Serikat pasti memihak kekuatan anti komunis. Dalam makalahnya sepanjang 31 halaman itu, Kahin mengungkap- kan, CIA kemudian segera beraksi dengan menghubungi tokoh- tokoh militer pembangkang di daerah. Hanya dalam tempo 1 minggu, seorang agen CIA tiba di Padang untuk menyerahkan dana kepada Kolonel Simbolon sebagai bantuan bagi pasukannya yang digulingkan di Sumatera Utara. Kolonel Simbolon dan beberapa perwira staf Letnan Kolonel Ahmad Husein, komandan tentara di Sumatera Barat, diundang oleh CIA ke pangkalannya di Singapura, kemudian diikuti dengan pengiriman senjata dan dana dalam jumiah besar ke Padang. Lima bulan kemudian, Amerika Serikat memberikan alat komunikasi dan persenjataan modern kepada 8000 pemberontak di Sumatera. Bantuan itu diserahkan secara sembunyi-sembunyi dan pemberontak mengambilnya sendiri dari kapal selam yang nongkrong di lepas pantai Padang. CIA juga membawa sejumlah anak buah letnan kolonel Ahmad Husein untuk dilatih komunikasi dan penguasaan menggunakan senjata- senjata modern di berbagai fasilitas militer Amerika Serikat di Pasifik Barat. Amerika Serikat juga memberikan bantuan serupa kepada pem- berontak PERMESTA di Sulawesi. Tapi bantuan dana dan senjata Amerika Serikat kepada gerakan pemberontak di Sumatera dan Sulawesi, ternyata tidak cukup kuat untuk memaksa Sukarno dan Pemerintah Jakarta memenuhi keinginan Washington. 12) 12) Laporan wartawan "KOMPAS' Ratih Hardjono dan Rikard Bagun yang meliput jalannya Seminar di Australia, "KOMPAS" 21 Desember 1992, Jakarta. Uraian Prof. George McT. Kahin sangat menarik para peserta seminar. Campur tangan Amerika Serikat di Indonesia tidak bisa dibantah lagi, karena yang mengemukakan tokoh 155
Amerika sendiri dan klimaksnya ialah keterlibatan negara Uncle Sam ini dalam perencanaan dan pencetusan Gerakan 30 September 1965 yang berhasil menggulingkan Sukarno dan menghancurkan PKI. Amerika Serikat yang menjadikan dirinya Polisi Dunia, fungsi yang seharusnya hanya menjadi milik PBB, di manamana terus mencampuri urusan dalam negeri negara lain. Kenyataan bahwa 20 Januari 1993, hanya beberapa jam sebelum Presiden George Bush melepaskan jabatannya dan menyerahkan tongkat kepresidenan kepada penggantinya yang menang dalam Pemilihan Umum, Bill Clinton, ia masih melancarkan aktifitasnya yang terakhir, mendesak pemerintah-pemerintah di seluruh dunia supaya mendukung usaha yang dirintisnya yaitu menggulingkan Presiden Irak, Saddam Hussein, membuktikan betapa tradisi Amerika Serikat campur tangan urusan dalam negeri negara lain, makin melembaga dan tidak lagi dijalankan secara diam-diam. Pembantu Pusat Keamanan Presiden Bush, Brent Scowcraft, dengan terang-terangan mengakui bahwa Washington memang telah mendukung usaha coup d'etat terhadap Saddam Hussein.13) 13) Disiarkan oleh Kantor Berita "Reuter" dan "AFP" pada tanggal 21 Januari 1993 Apa yang dilakukan oleh Bush terhadap Saddam Hussein, itu pula yang telah dilakukan Amerika Serikat terhadap Sukarno sejak 1956 dan akhirnya sukses pada tahun 1966
156
Insipirasi Dari Aljazair DUNIA dikejutkan oleh siaran Radio Aljir 19 Juni 1965 yang mengumumkan bahwa telah terjadi pengambil-alihan kekuasaan dari tangan Presiden Ben Bella oleh kolonel Houari Boumedienne, Panglima Tentara Pembebasan Aljazair. Dunia gempar, terutama negaranegara Asia-Afrika, karena ketika itu di Aljir, ibukota Aljazair, sedang disiapkan Konperensi Asia-Afrika II, dengan gedung konperensinya yang baru dan megah dibangun atas bantuan Uni Soviet. Timbul kekhawatiran kalau-kalau penyelenggaraan konperensi akan gagal. Oleh perkembangan di Aljazair yang mendadak itu, Jakarta pun terlibat dalam kesibukan. Penentuan Konperensi AA-II diputuskan di Indonesia sewaktu Peringatan Dasawarsa Konperensi Asia-Afrika (KAA) April 1965. Dari Duta Besar Rl di Aljir, Assa Bafagih, segera diterima laporan mengenai perkembangan politik di Aljazair. Duta Besar melaporkan bahwa perubahan pemerintahan di Aljazair, dinilainya tidak negatif bagi penyelenggaraan KAA-II. Tanggal 19 Juni 1965 dinihari, Presiden Ben Bella yang sedang tidur nyenyak di Istananya, tiba-tiba diserbu sepasukan tentara bersenjata lengkap dan Presiden itu diambil dari tempat tidurnya. Gerakan militer ini hanya berlangsung 10 menit, tanpa ada perlawanan dari pasukan pengawal Istana. Sejak saat itu berakhirlah kekuasaan Ben Bella dan ia digantikan oleh kolonel Houari Boumedienne, Panglima Tentara Pembebasan Aljazair yang merencakan semua gerakan pengambilalihan kekuasaan. Suasana waktu subuh dinihari yang sepi, sebentar diramaikan oleh suara brondongan senapan mesin serta deru beberapa panser yang bergerak sepanjang jalan membawa prajurit-prajurit yang bertugas memutuskan semua kawat telepon yang ada hubungannya ke Istana. Terasa aneh, karena tidak ada perlawanan sedikit pun, baik dari pasukan Pengawal Istana mau pun pasukan lainnya. Sesudah semua terjadi, juga tidak ada perlawanan. Hal ini membuktikan bahwa semua pasukan tentara dikuasai oleh Kolonel Houari Boumedienne. Manyadari kekhawatiran negara-negara Asia-Afrika akan nasib Konperensi AA-II di Aljir, pemimpin coup d‘état Kolonel Houari Boumedienne segera mengeluarkan pengumuman bahwa penyelenggaraan konperensi dijamin bisa berjalan terus sesuai dengan jadwal. Presiden Ben Bella digulingkan menurut tuduhan resminya seperti yang disiarkan oleh Radio Aljir, karena ia selalu bertindak sewenang- wenang selama masa kekuasaannya 641 hari. Ia dinilai mau kuasa sendiri, seorang diktator yang meninggalkan dasar musyawarah. Menteri-menteri yang dianggap beroposisi, akan digeser dan pertama- tama hendak disingkirkan ialah Menteri Luar Negeri Bouteflika. Rencana tersebut dicegah oleh Kolonel Houari Boumedienne dengan mengemukakan pertimbangan, supaya jangan mengambil tindakan yang bisa berakibat luas, mengingat waktu itu Aljir akan menjadi tuan rumah KAA-II, di mana Menteri Luar Negeri sangat penting perannya. Pertimbangan yang diajukan oleh Boumedienne ditolak, bahkan ia diancam akan disingkirkan juga. Tapi di luar dugaan Ben Bella, keadaan justru membalik. Komandan pasukan yang ditugaskan Ben Bella menangkap Kolonel Houari Boumedienne malah melapor kepadanya. Kemudian perwira itu ditugaskan oleh Boumedienne menangkap Ben Bella. Tentu Ben Bella tidak pernah memperhitungkan bahwa orang yang begitu dipercayainya, dengan mudah bisa berbalik haluan. Dengan berpedoman pada laporan Duta Besar Rl di Aljazair, Kabinet segera bersidang membicarakan perkembangan yang dilaporkan dan kemudian memutuskan: Rezim Kolonel Houari Boumedienne diakui. Pengakuan ini dinilai tepat, karena juga didukung oleh ber- bagai informasi lainnya yang masuk. Indonesia adalah negara kedua yang mengakui rezim Kolonel Houari Boumedienne. Yang pertama memberikan pangakuan ialah Syria dan beberapa jam sesudah pengakuan Indonesia, menyusul Republik Rakyat Tiongkok sebagai negara 157
ketiga. Laporan yang diterima dari Duta Besar Rl di Aljazair mengatakan bahwa politik yang dianut oleh Boumedienne mengenai gerakan Asia-Afrika, pada dasarnya tidak berbeda dengan apa yang dianut oleh Ben Bella. Bagi Indonesia, soal terjadinya coup d‘état, tidak terlalu merisaukan, apalagi setelah diterima laporan bahwa tidak ada keributan yang terjadi dan juga tidak ada perlawanan. Semua tenang dan terkendali, pemerintahan berjalan normal dan demontrasi yang terjadi justru mendukung Boumedienne. Kontra demontrasi, sama sekali tidak ada. Oleh karena itu, Kabinet memutuskan, delegasi Indonesia ke KAA-II, segera berangkat menuju Aljir, yang dipimpin oleh Presiden Sukarno sendiri. Rombongan bertolak dari Bandar Udara Kemayoran 23 Juni 1965 pukul 06.00 pagi dengan pesawat Garuda Convair Jet 990-A, diterbangkan oleh Kapten Pilot Sumedi. Penerbangan dari Jakarta langsung ke Dacca, yang waktu itu masih masuk wilayah Pakistan (Timur). Dari sana menuju Karachi. Ketika rombongan Bung Karno singgah di Karachi untuk mengisi bahan bakar, pejabat- pejabat tinggi Pakistan yang menyambut di airport, segera melaporkan kepada Presiden Sukarno bahwa baru saja diterima berita dari Aljir, Gedung Konperensi diledakkan dengan bom dan belum diketahui siapa pelakunya. Presiden Pakisatan Jenderal Ayyub Khan dan Menteri Luar Negeri Zulfikar Ali Buttho, waktu itu sedang ke London menghadiri konperensi negara-negara Persemakmuran. Meski pun terjadi malapetaka di Aljir, Presiden Sukarno memutuskan, perjalanan diteruskan ke Kairo. Di sana telah menunggu Presiden Gamal Abdul Nasser dari Republik Persatuan Arab (Mesir) dan Perdana Menteri Chou En lai dari RRT. Ada pun Presiden Ayyub Khan akan dicegat di Kairo dalam perjalanannya kembali dari London, supaya ikut merundingkan dengan Presiden Sukarno, Presiden Gamal Abdul Nasser dan Perdana Menteri Chou Enlay, mengenai sikap bersama yang harus diambil menanggapi kejadian di Aljir. Tapi ternyata Presiden Ayyub Khan tidak bisa ikut dalam perundingan itu, karena ia sudah ditunggu oleh tugas yang tidak bisa ditunda di tanah airnya dan sebagai gantinya, menugaskan Menteri Luar Negeri Zulfikar Ali Buttho mewakilinya dalam pertemuan Kairo. Pertemuan Kairo yang disebut “Konperensi Tingkat Tinggi Kecil” , menyetujui keputusan yang telah diambil oleh beberapa delegasi yang sudah berada di Aljir (termasuk delegasi Aljazair), supaya penyelenggaraan KAA-II ditunda. KTT kecil di Kairo memutuskan menundanya untuk kurang lebih 6 bulan dengan memutuskan juga supaya tempatnya tetap di Aljir. Setelah terjadi ledakan bom, Menteri Luar Negeri RRT, Chen Yi, yang memimpin delegasi Cina dan lengkap sudah berada di Aljir, adalah orang pertama yang mengusulkan supaya konperensi ditunda saja, karena katanya, mereka datang ke Aljazair bukan untuk dibunuh. Persiapan akhir KAA-II sendiri sebetulnya belum begitu tuntas. Masalah mengundang atau tidak Malaysia dan Uni Soviet, belum ada kesepakatan bulat. Indonesia menolak mengundang Malaysia karena alasan “konfrontasi” , sedang Cina menolak kehadiran Uni Sovyet dengan alasan bahwa meski pun Uni Sovyet mempunyai wilayah di Asia, tapi pusat pemerintahannya berada di Eropa. Jadi, Uni Sovyet tidak bisa dianggap “Asia”, Mesir dan India mendukung kehadiran Malaysia, sedang Aljazair sebagai tuan rumah, akan mengundang Uni Sovyet, apalagi Sovyetlah yang membangun gedung konperensi atas permintaan Aljazair. Dalam kedudukan saya sebagai Duta Besar Rl di Moskow, mengalami Lobbying yang sulit mengenai undangan kepada Uni Sovyet, karena Indonesia berat menolak usul RRT yang tidak menghendaki Uni Sovyet diundang, sebagai imbalan dukungan RRT terhadap Indonesia yang menolak Malaysia. Kalau KAA-II jadi diselenggarakan, Menteri Luar Negeri Indonesia Dr. Subandrio, sudah siap dengan satu pengumuman yang akan disampaikan dalam konperensi itu, yaitu bahwa Amerika dan Inggris sudah membuat satu komplot (persekongkolan) akan 158
mengadakan serangan militer terhadap Indonesia dan mengakhiri kekuasaan Sukarno. Bukti-bukti tentang persekongkolan ini, ada di tangan Subandrio, katanya. Karena konperensi tidak jadi diadakan, Subandrio hanya memberikan interview kepada wartawan harian terbesar d Kairo “Al-Ahram”, mengenai rencana Amerika-lnggris tersebut. Setelah adanya putusan penundaan, Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio ditugaskan oleh Presiden Sukarno mengunjungi berbagai negara di Timur Tengah dan Afrika yang dikenal dengan sebutan “Safari Berdikari” untuk menjelaskan mengenai penundaan KAA-II serta berkampanye tentang akan diselenggarakannya “Conference of the New Emerging Forces” (CONEFO) di Jakarta, sesudah KAA-II usai. Gedung konperensinya sedang dibangun atas bantuan RRT. Presiden Sukarno sendiri setelah urusan di Kairo selesai, bersama rombongannya menuju Paris. Di sana dikumpulkannya semua Duta Besar Rl yang berada di Eropa dan Amerika Serikat, untuk mendapatkan Briefing mengenai penundaan KAA-II serta persiapan penyelenggaraan CONEFO. Dalam delegasi Indonesia yang berunsurkan NASAKOM, ikut juga ketua PKI, D. N. Aidit. Selama berada di Paris, Aidit diketahui menggunakan kesempatan mengadakan kontak dengan pimpinan Partai Komunis Perancis. Juga ia berkunjung ke kantor harian “Le Humanité” (organ Partai Komunis Perancis), di tempat mana ia berjumpa dengan enam orang tokoh Partai Komunis Aljazair yang melarikan diri ke Paris, karena takut ditangkap Boumedienne. Sekembalinya dari kunjungan ini, Aidit dicegat oleh wartawan A. Karim D.P., Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang ikut rombongan Presiden, menanyakan apa yang dibicarakannya dengan kamerad-kameradnya di Paris. Aidit menerangkan bahwa ia memberitahukan kepada enam orang tokoh Partai Komunis Aljazair yang melarikan diri ke Paris, supaya segera kembali ke negerinya dan memobilisasi massa rakyat untuk memberikan dukungan kepada Boumedienne. Tindakan yang diambil oleh Boumedienne, adalah benar dan progresif. “Jika satu coup d‘etat didukung sedikitnya 30% rakyat, maka coup yang demikian, bisa bermutasi menjadi revolusi, kata Aidit”. 14} Ternyata kemudian, teori Aidit ini telah memberikan inspirasi dan merangsang terjadinya malapetaka nasional G30S/PKI, yang disebut oleh Bung Karno salah satu penyebabnya ialah karena keblingerannya pemimpin-pemimpin PKI. Aidit sejak di Paris, sudah memisahkan diri dari rombongan Bung Karno, tapi tidak memberitahukan kepada saya bahwa ia akan ke Moskow. Padalah waktu itu saya juga hadir di Paris dan ia mengetahui. 14) A. Karim DP, Safari Berdikari, Surya Prabha Jakarta, 1965. Sebelum itu, sudah juga diceritakannya kepada saya ketika kami bertemu di Paris, Juli 1965. Setelah saya tiba kembali di Moskow dari Paris, datang telegram dari Jakarta yang memerintahkan supaya Aidit dan Nyoto, segera disuruh kembali ke Indonesia. Saya terkejut, karena tidak mengetahui kalau Aidit dan Nyoto ada di Moskow. Kedutaan besar tidak menerima laporan tentang kedatangan kedua tokoh PKI itu, padahal keduanya adalah Menteri. Nyoto kemudian tiba-tiba saja muncul di rumah kediaman Duta Besar, namun tidak memberitahukan kalau Aidit juga ada di Moskow. Oleh karena itu saya berusaha menemukannya dan ternyata Aidit ada di Kremlin. Saya sampaikan kepadanya, bahwa ada telegram dari Jakarta yang memerintahkan supaya ia dan Nyoto segera kembali ke Indonesia. Mengenai kunjungan Aidit ke Kremlin, saya diberitahu oleh Duta Besar Korea di Moskow, katanya menurut informasi yang diterimanya, antara Aidit dengan orang-orang Kremlin, terjadi semacam “perang besar”. Apa persisnya yang terjadi, tidak jelas. Hanya diperkira- kan Aidit mengemukakan teorinya tentang coup d’état yang bisa dirubah menjadi revolusi, jika didukung 30% rakyat. 159
Teori ini bisa dipastikan ditolak oleh Kremlin, karena menurut keterangan, tidak ada dalam ajaran Marxisme, kemungkinan semacam itu. Revolusi harus selalu bersumber dari kemauan rakyat dengan dukungan syarat-syarat objektif yang ada di dalam masyarakat, bukan dipaksakan dari atas dengan satu rekayasa coup d‘etat. Tapi ada keterangan lain bahwa kedatangan Aidit ke Moskow, untuk mengurus kasus cinta antara Nyoto dengan seorang gadis Rusia yang bekerja di Kementerian Luar Negeri Uni Sovyet. Aidit menghendaki supaya hubungan cinta itu diputuskan, mengingat Nyoto sudah mempunyai isteri. Jika diteruskan, akan merusak citra seorang komunis, apa lagi Nyoto sebagai seorang tokoh komunis Internasional, harus menjunjung tinggi moralitas. Nyoto sendiri dikenal sebagai tokoh komunis Indonesia yang orientasi ideologinya lebih condong ke Sovyet ketimbang ke RRT. Karena mayoritas pimpinan PKI condong ke RRT dan menganggap Sovyet sebagai ‘revisionist’ gara-gara politik ko-eksistensinya dengan Amerika Serikat dianggap sudah terlalu jauh, maka kabarnya Nyoto sudah dipersiapkan untuk dicopot dari kedudukannya sebagai wakil ketua II, bahkan sudah dicopot dari jabatannya sebagai kepala Departemen AGITPROP (Agitasi Propaganda) dan digantikan oleh Bismark Oloan Hutapea, direktur Akademi llmu Sosial Ali Archam (AISA), yang tewas di Blitar Selatan dalam Operasi Trisula, pada tahun 1968.
160
PUTUSAN DEWAN HARIAN POLITBIRO 30 SEPTEMBER 1965 dipilih oleh Dipa Nusantara Aidit sebagai moment yang tepat untuk menguji kebenaran teorinya yang bersumber dari keberhasilan coup d‘état Boumedienne di Aljazair. Teori ini didukung oleh Syam Kamaruzzaman dan anggota-anggota Biro Ketentaraan Departemen Organisasi PKI lainnya, yang menjadi arsitek Gerakan 30 September 1965. Departemen Organisasi PKI yang membawahi Biro Kententaraan, diketuai oleh Aidit. Anggota-anggota Biro Ketentaraan ialah: Sudisman, Oloan Hutapea, Munir dan Syam sebagai ketuanya. Dalam meniru keberhasilan Boumedienne di Aljazair, rupanya Aidit lupa mempertimbangkan bahwa Boumedienne bukanlah seorang komunis, meski pun ia dianggap progresif. Partai Komunis Aljazair sendiri tidak mempunyai peran menentukan dalam revolusi kemerdekaan Aljazair. Revolusi Kemerdekaan Aljazair dipimpin oleh satu Front Nasional. Biro Ketentaraan inilah yang kemudian dikenal sebagai “Biro Khusus” yang mempunyai jaringan luas dalam Angkatan Bersenjata di bawah koordinasi trio Syam, Pono dan Bono. Pembentukkannya tidak pernah diumumkan, sehingga eksistensinya pun tidak diketahui oleh organ-organ PKI yang lain, apalagi anggota. Berbagai bekas tokoh PKI lepasan pulau Buru yang diwawancarai, mengatakan bahwa Biro ini ilegal. Pembentukkannya tidak pernah diputuskan dalam rapat-rapat CC PKI, yaitu badan formal dalam PKI yang menjalankan kebijaksanaan tertinggi antara 2 kongres. Bahkan adanya Biro Ketentaraan, tidak pernah dilaporkan dalam sidang-sidang CC PKI. Kedudukan Syam dalam partai sangat strategis, justru karena jabatannya sebagai ketua Biro Ketentaraan. Kata teman-temannya, dialah satu-satunya tokoh PKI yang apabila kehendaknya ditentang, dengan mudah mengeluarkan pistol dan meletakkan di meja untuk menggertak. Ada pun Syam Kamaruzzaman, menurut seorang mantan anggota CC PKI yang diwawancarai, ayahnya adalah seorang Naib (penghulu pengganti) di Tuban. Waktu pendudukan Jepang, ia masuk Sekolah Dagang di Yogyakarta dan sejak itu ia sudah belajar politik dari Djohan Syahroesyah dan Wijono (kedua-duanya kemudian menjadi tokoh Partai Sosialis Indonesia). Di awal revolusi, Syam bergabung dengan apa yang dikenal “Kelompok Pathuk”. di Yogya. Kelompok inilah yang memilih Soeharto (sekarang Presiden) memimpin penyerbuan tangsi Jepang di Kota Baru (Yogya) dan berhasil melucuti serdadu-serdadu Jepang dalam tangsi itu dan menawannya. Ketika terjadi perpecahan dalam tubuh Partai Sosialis (1948) antara Sutan Syahrir dengan Amir Syarifuddin, Syam memihak Amir Syarifuddin. Sesudah pemberontakan PKI di Madiun ditumpas oleh TNI, Syam bersama dua orang temannya masuk Jakarta. Di Jakarta ia ikut memimpin Serikat Buruh Pelabuhan dan Pelayaran (SBPP) di Tanjung Priok. D. N. Aidit dan Moh. Lukman, meski pun keduanya tokoh Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang berontak di Madiun, tidak tertangkap. Keduanya berusaha masuk Jakarta, tapi harus diusahakan supaya juga bersih dari tuduhan sebagai pemberontak di Madiun. Rencana ini direkayasa dengan sempurna oleh Syam, di mana Aidit dan Lukman dinaikkan kapal dari salah satu pelabuhan dan diturunkan di Tanjung Priok. Keduannya mengaku datang dari Vietnam sebagai penumpang gelap karena tidak punya paspor. Setelah mendarat di Priok, keduannya ditangkap, tapi dengan kecerdikan Syam, bisa dibebaskan. Setelah Aidit berhasil merebut jabatan, ketua PKI dari tangan tokoh-tokoh tua seperti Alimin dan Tan Ling Djie, ia tidak melupakan Syam. Syam dinaikkan kedudukannya dari SBPP, ditugaskan memimpin di SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). Lalu ia dikirim ke RRT untuk mempelajari soal-soal kemiliteran. Sekembalinya dari RRT tidak diketahui persisnya kapan), ia ditempatkan oleh Aidit memimpin Komite Militer dalam organisasi PKI, menggantikan pimpinan lama, Soehadi, yang meninggal dunia. Dalam Komite Militer inilah ia berkiprah yang berakhir dengan terjadinya G30S/PKI. 161
Pengalaman Syam dalam kemiliteran ialah dalam “Lasykar Tani” pada awal revolusi. Dengan pengalaman itu, ia berangkat ke RRT memperdalam soal-soal kemiliteran. Untuk menggambarkan sampai di mana kekuasaan Biro Khusus, ada sebuah cerita yang disampaikan oleh seorang bekas anggota CC sebagai berikut: Pada suatu hari, seorang anggota CC PKI dari Jakarta,ditugaskan ke Padang untuk urusan partai. Ketika datang di kantor CDB (Comite Daerah Besar) Sumatera Barat di Padang, ia heran karena tidak bisa menemukan seorang pun fungsionaris partai yang berada di tempat. Setelah diusutnya, ketahuan bahwa semua fungsionaris partai diperintahkan supaya mengungsi, karena ada berita bahwa kantor CDB akan diserbu oleh lawan-lawan PKI. Dengan cekatan sekali, semua dokumen diamankan, bahkan mesinmesin tulis semua dibawa pergi. Setelah ditelusuri lebih lanjut duduk persoalannya, ternyata yang memerintahkan pengungsian ialah orang-orang Biro Khusus. Karena kemudian terbukti tidak ada apa-apa yang terjadi, maka yang mengungsi diperintahkan supaya kembali bekerja seperti biasa. Katanya, perintah mengungsi datang dari petugaspetugas keamanan partai (yang tidak lain dari Biro Khusus), ialah untuk menguji sampai di mana kecekatan para fungsionaris dan kader menyelamatkan partainya jika ada bahaya. Anggota CC dari Jakarta itu jadi bengong, karena tindakan tersebut sama sekali tidak di koordinasikan dengan CC di Jakarta. Inilah Biro Khusus yang dibentuk oleh Aidit dengan kekuasaan yang begitu luas. Seluruh kegiatannya terselubung dan hanya boleh berhubungan dengan ketua Aidit. Issue “Dewan Jenderal” sudah berbulan-buian beredar sebelum meletusnya G30S/PKI. PKI katanya mengetahui kalau Angkatan Darat sudah siap memukulnya, dengan mengeksploitasi makin buruknya kesehatan Bung Karno. PKI sudah lama menyadari bahwa Angkatan Darat makin tidak suka kepadanya dan terus berusaha menghancurkannya. Oleh karena itu PKI makin giat juga bekerja di kalangan Angkatan Darat dan Aidit membanggakan bahwa pendukungnya di Angkatan Darat kuat, sambil menunjuk hasil Pemilihan Umum 1955, pencoblos tanda gambar palu arit dalam lingkungan Angkatan Darat tercatat 25 %. Di asrama CPM Guntur, Jakarta, banyak sekali pemilih Palu-Arit, katanya. Karena rencana penghancuran PKI -menurut PKI-dirumuskan oleh sekelompok jenderal AD, maka kelompok inilah yang didesas-desuskan sebagai “Dewan Jendral”. Kelompok Jenderal ini pula—menurut PKI—yang selalu merumuskan sikap politik Angkatan Darat yang menjadi garis menteri-rnenteri dari AD dan wakil-wakil mereka yang duduk dalam berbagai Lembaga Negara. Tapi kalau ditanya, bagaimana susunan organisasinya, mereka tidak bisa menjelaskan selain menduga-duga bahwa dewan ini dipimpin oleh Jenderal A.H. Nasution dan Jenderal A. Yani. Setelah Aidit memperkenalkan teorinya tentang kemungkinan coup d‘etat bermutasi menjadi revolusi, maka sikapnya yang selama ini nampak loyal kepada Pemerintah dan Bung Karno, tiba-tiba saja berubah. Sudah mulai kedengaran suara-suara supaya Bung Karno dikritik. Biro Khusus yang menjalin kerjasama dengan apa yang disebut “Kelompok Perwira Muda yang Maju”, sepakat melaksanakan putusan Dewan Harian Politbiro, mendahului mengadakan gerakan memukul Angkatan Darat sebelum PKI dihancurkan. Gerakan ini finalnya diputuskan dalam rapat Dewan Harian Politbiro tanggal 28 September 1965, yang menurut keterangan seorang yang ikut hadir, sidang dihadiri juga oleh eriskre aris CD[1]arisg kbetulan akardi Jakarta yaitu: CDB Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan Barat. Adapun anggota Politbiro ialah: Aidit, Lukman, Nyoto, Sudisman, B.O. Hutapea, Ir. Sakirman, Nyono, Munir, Ruslan Wijayasastra dan Rewang. Ada keterangan bahwa tidak semua anggota Politbiro hadir dalam rapat penentuan itu. Menurut sebuah keterangan, dalam rapat Politbiro ini, ada beberapa peserta yang menyatakan tidak setuju dengan rencana gerakan yang disampaikan olen Aidit, tapi cara mereka menentangnya, hanya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai keraguan mereka tentang efektifnya diadakan satu gerakan mendahului. Tapi setelah Aidit 162
menjawab dengan mengajukan alasan-alasan yang mematahkan pertanyaan-pertanyaan tersebut, perdebatan tidak berkepanjangan lagi, karena segala persiapan sudah diadakan. Diantara mereka yang jelas menentang ialah Sekretaris CDB Jawa Barat dan Sekretaris CDB Kalimantan Barat. Kedua CDB itu kemudian mengeluarkan pernyataan mengenai sikap mereka yang menentang Gerakan 30 September. Menurut pleidooi anggota Politbiro Rewang yang ditangkap di Blitar, di muka sidang pengadilan militer yang mengadilinya, 18 Desember 1971, mengatakan bahwa dalam bulan Agustus 1965, telah dilangsungkan rapat Politbiro CC PKI yang membicarakan masalah gerakan. Dalam rapat itu tidak diambil putusan mengenai akan dibentuknya Dewan Revolusi sebagai pengganti Kabinet Dwikora. Sesudah rapat Politbiro, Aidit memanggil anggota-anggota CC PKI yang ada di Jakarta (tidak disebutkan waktunya), dalam satu pertemuan yang bersifat briefing. Dalam pertemuan itu, tidak ada diambil keputusan apa pun, apalagi keputusan mendahului mengadakan gerakan. Terdakwa mengatakan bahwa ia menyetujui kebijaksanaan mendukung sikap golongan “Perwira Muda yang Maju” hendak menentang kudeta segolongan Jenderal. Sesudah itu, pimpinan partai menugaskan kepada sementara anggota CC pergi ke daerah-daerah guna membantu CDB-CDB menjelaskan situasi politik dalam negeri dan sikap politik pimpinan partai menghadapi situasi itu. Pada tanggal 30 September malam, terdakwa menerima pemberitahuan dari pimpinan atasannya mengenai akan diadakannya gerakan oleh perwira-perwira muda yang maju. Terdakwa menyangkal kalau gerakan itu diputuskan oleh Politbiro. Tapi dikatakan, pada lazimnya, pelaksanaan keputusan Politbiro dilakukan oleh Dewan Harian Politbiro atau ketua partai. Meski pun demikian, sampai terjadinya Gerakan 30 September 1965, Politbiro tidak lagi dipanggil bersidang untuk menerima laporan dari Dewan Harian dan ketua partai, mengenai pelaksanaan keputusan Politbiro menilai kebijaksanaan ketua, atau Dewan Harian Politbiro dalam melaksanakan keputusan Politbiro. Terdakwa mengakui bahwa ditinjau dari kejadian gerakan mendemisionerkan Kabinet Dwikora, memang dapat diartikan pengambil-alihan kekuasaan mengenai pemerintahan yang ada pada Presiden Sukarno. Tapi gerakan itu sendiri menyatakan tetap setia kepada Presiden Sukarno dan garis politiknya. Bahkan pada tanggal 1 Oktober 1965, kata terdakwa, tokohtokoh gerakan berusaha beraudiensi kepada Presiden Sukarno dan mentaati segala perintahnya. Terdakwa mengatakan, ia setuju dengan Kritik Oto Kritik (KOK) Politbiro CC PKI yang mengakui bahwa pimpinan PKI telah menjalankan avonturisme di bidang ideologi, teori, politik dan organisasi, sehubungan dengan terjadinya Gerakan 30 September. Gerakan itu tidak bisa dibenarkan ditinjau dari perjuangan revolusioner, secara teknis mau er, secara teknis mau pun prinsip. Terdakwa membenarkan pernyataan Presiden Sukarno dalam Pelengkap Nawaksara bahwa Gerakan 30 September ditimbulkan oleh 3 faktor: 1. Keblingeran pemimpinpemimpin PKI 2. Lihainya Nekolim 3. Memang ada oknum-oknum yang tidak benar Menurut terdakwa, penilaian Bung Karno diberikan atas dasar pandangan seorang non komunis, sebagai landasan untuk mengambil tindakan sesuai dengan dasar-pandang dan politiknya. 15} Yang banyak juga dibicarakan, ialah keterlibatan RRT dalam gerakan. Tapi pembuktiannya yang konkrit tidak ada, selain dari analisa politik. Salah satu bukti yang ditunjuk. Ialah bahwa Perdana Menteri Chou En lai sudah mengetahui kejadian di Jakarta pada tanggal 1 Oktober 1965 pagi dan menyampaikannya kepada wakil ketua MPRS, Ali Sastroamidjojo, yang sedang berada di Peking, sebelum sumber resmi di Jakarta mengetahui duduk persoalannya secara jelas. Sebenarnya hal ini mudah dimengerti, karena di Jakarta ada cabang Kantor Berita Xinhua yang mempunyai hubungan telex langsung Jakarta-Peking. Segala kejadian di Jakarta sudah disiarkan oleh Xinhua yang diterima secara lengkap di Peking pagi tanggal 1 163
Oktober itu, yang bersumber dari pimpinan Gerakan 30 September. 15) Pleidooi Rewang, dicuplik dan naskah aslinya(tulisan tangan), hal.28, 31, 32, 33 dan 34 Sepanjang yang diketahui, RRT tidak penah mengeluarkan pernyataan mendukung gerakan itu. Apa yang dilakukan oleh RRT ialah Radio Peking menyiarkan secara lengkap KOK Politbiro CC PKI dan menyatakan persetujuannya dengan KOK itu. KOK menyalahkan Gerakan 30 September dan menyatakan sebagai avonturisme di bidang ideologi, politik, teori dan organisasi. Dari analogi ini, bisa disimpulkan bahwa RRT tidak mendukung Gerakan 30 September 1965. Kesimpulan ini bisa dimengerti apabila dikaji bahwa Rl dan RRT kemudian bisa menormalisasi kembali hubungan diplomatiknya yang sejak terjadinya G30S, dibekukan. Sementera persoalan G30S sendiri di Indonesia belum ditutup. Bahkan selanjutnya RRT menyatakan tidak lagi mengakui eksistensi PKI yang di Indonesia memang sudah dinyatakan sebagai partai terlarang. Mengapa Dewan Harian Politbiro CC PKI memutuskan mendahului mengadakan gerakan? Menurut keterangan, karena mereka memanfaatkan momentum kehadiran 2 batalyon pasukan yang pro “Kelompok Perwira Muda yang Maju” yang didatangkan oleh KOSTRAD dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, untuk ambil bagian dalam peringatan Hari Angkatan Perang 5 Oktober 1965. Momentum semacam ini dianggap tidak akan berulang lagi, oleh karena itu kesempatan yang ada harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Tapi justru yang tidak diantisipasi, kekuatan induk yang ada di Jakarta, dianggap sudah beres begitu saja. Padahal dalam kenyataannya, kekuatan rieel yang berhasil digerakkan dari Tjakrabirawa, hanya 1 kompi, Brigade Infantri I dibawah kolonel A. Latief hanya 1 pleton, dari AURI hanya bertugas menjaga lapangan Udara Halim Perdana Kusumah, sedang 1 batalyon Infantri dari Tangerang di bawah komandan mayor Sigit, dan satu Batery Artileri Pertahanan Udara di Jakarta di bawah komandan Kapten Wahyudi, yang semula sanggup ikut bergerak, sama sekali tidak muncul. Sukarelawan yang hanya menerima latihan kemiliteran secara kilat, meski pun jumlahnya 4 batalyon bersenjata lengkap, tapi tidak bisa diandalkan. Betul di antara mereka ada 1 kompi yang sudah menerima latihan menggunakan peluncur roket yang berlaras banyak, senjata yang mempunyai daya penghancur besar, tapi pada tanggal 2 Oktober, setelah acla perintah cease fire dari Panglima Tertinggi, semua senjata diperintahkan oleh AURI supaya dikumpulkan di gudang, termasuk roket. Tindakan ini untuk mentaati perintah Presiden/Panglima Tertinggi supaya menghindarkan pertempuran. Adapun cerita 1 juta massa PKI yang dijanjikan oleh Syam akan menguasai kota Jakarta begitu gerakan dimulai, ternyata hanya omong kosong. Juga bantuan yang diperhitungkan akan datang dari Bandung dan Cirebon, tidak terbukti. Tanggal 2 Oktober pagi, di Jakarta, praktis Gerakan 30 September sudah lumpuh. Penanggungjawab gerakan di Jakarta, dipercayakan kepada 3 orang yaitu: Nyono sebagai orang pertama Komite Daerah Besar Jakarta Raya, Sukatno ketua Pemuda Rakyat dan Cugito anggota CC PKI. Analisa tokoh-tokoh PKI setelah melihat gerakan mereka gagal, menyimpulkan bahwa Aidit sebetulnya terjebak dalam perangkap yang dipasang oleh Syam, tokoh yang misterius itu, tapi yang paling dipercayainya dalam rangka memenuhi ambisinya hendak berkuasa. Hal ini terungkap ketika Mayor (U) Soejono ditahan di RTM (Rumah Tahanan Militer) Budi Utomo (sebelum menjalani eksekusi) menceritakan kepada teman-temannya sesama tahanan bahwa pada tanggal 30 September 1965 malam, ia ditugaskan menjemput D.N. Aidit dari rumahnya dibawa ke Pangkalan Udara Halim, dimana G30S menempatkan Sentral Komandonya. Dalam perjalanan di dalam mobil, Soejono menanyakan kepada Aidit mengenai beberapa hal penting menyangkut “gerakan” yang disampaikan melalui Syam untuk di teruskan kepadanya. Syam membuat ketentuan bahwa persoalan yang akan disampaikan kepada 164
Aidit, tidak boleh disampaikan langsung, melainkan harus lewat dirinya. Syamlah yang akan menyampaikan kepada Aidit. Ternyata berbagai pertimbangan militer yang harus disampaikan kepada Aidit, tidak disampaikan oleh Syam, sehingga banyak hal yang tidak bisa dikoordinasi dengan baik. Semua pertimbangan, hanya Syam sendiri yang menampung dengan akibatnya, setelah gerakan dimulai, terjadi kesimpang-siuran. Disinilah Syam menjalankan peran sesuai dengan misinya yang misterius dan ia berhasil. Bagi Angkatan Darat, sikap PKI mendahului mengadakan gerakan, malah dianggap kebetulan, karena malah dianggap kebetulan, karena sudah diperhitungkan, PKI tidak mungkin bisa menang melawan AD. Sebaliknya dengan kenekatan PKI itu, AD sudah diperhitungkan, PKI tidak mungkin bisa menang melawan AD. Sebaliknya dengan kenekatan PKI itu, AD mendapatkan alasan yang sah untuk menghancurkan PKI sampai ke akar-akarnya. Demikian analisa tokoh-tokoh PKI setelah mereka meringkuk dalam penjara. Menurut pengakuan tokoh-tokoh PKI yang pernah ditahan atau diadili tapi kemudian dikembalikan ke masyarakat, mereka tidak mempunyai rencana hendak membunuh para Jenderal. Tugas gerakan yang dikendalikan oleh Biro Khusus, hanya bertindak sebagai polisi, menangkap perwira-perwira tinggi yang dituduh anggota “Dewan Jenderal”, sesudah itu menyerahkannya kepada Presiden/Panglima Tertinggi untuk menentukan tindakan apa yang harus diambil terhadap mereka. Ternyata dalam pelaksanaan terjadi penyimpangan, yang diperkirakan karena akibat rencana terselubung yang memanfaatkan gerakan ini. Tadinya diharapkan supaya pengambilan para Jenderal berjalan mulus saja. Akan tetapi didalam pelaksanaan, bukan saja para Jenderal dibunuh dengan kejam atas perintah Syam, dimasukkan ke dalam sumur tua, bahkan berkelanjutan dengan mengambil tindakan politik yang memberikan warna bahwa tindakan ini betul-betul suatu tindakan coup d‘état. Dewan Revolusi dibentuk untuk menjeiaskan bahwa yang terjadi adalah sebuah revolusi dan Kabinet Dwikora didemisioner-kan, dengan catatan boleh bekerja terus menjalankan tugas rutin yang tidak bertentangan dengan garis yang ditetapkan oleh Dewan Revolusi. Kemudian mengumumkan program utuk segera menyiapkan penyelenggaraan Pemilihan Umum dan dari hasil Pemilu, akan dibentuk Kabinet Front Nasional yang adil, di mana PKI tentu harus menjadi bagian yang penting didalamnya. Sebetulnya semua itu hanya angan-angan yang dicoba untuk dimaterialisasikan, tapi pelaksanaannya amburadul. Penyusunan Dewan Revolusi dilakukan sembarangan saja, tanpa konsultasi dengan orang-orang yang namanya dicantumkan dalam susunan Dewan. Dengan demikian, maka susunan Dewan hanya fiktif belaka, sekedar nama-namanya diumumkan lewat RRI yang waktu itu mereka kuasai, tapi tidak pernah efektif walau sejenak. Walau pun Kabinet sudah dinyatakan demisioner, tetap saja menjalankan kekuasaan eksekutifnya tanpa campur tangan Dewan Revolusi. Memang politik tidak sesederhana seperti apa yang sering dipikirkan orang naif. Untuk mendapatkan sedikit gambaran awal mengenai tanda-tanda akan terjadinya peristiwa G30S, ada baiknya kita menengok ke belakang dengan memperhatikan beberapa keterangan berikut: 1. Pada suatu hari di bulan Agustus 1965, Ny. Umi Sarjono, ketua umum GERWANI, dan anggota DPRGR, minta tolong kepada Menteri/Wakil ketua DPRGR Mursalin Daeng Mamanggung untuk menyampaikan kepada Menko/Ketua MPRS Chaerul Saleh supaya mencegah Aidit (Menko/Wakil ketua MPRS) melaksanakan satu rencana yang tidak disebutkan apa bentuknya. Setelah pesan itu disampaikan oleh Mursalin kepada Chaerul, reaksinya tidak serius, sehingga tidak terkesan adanya sesuatu yang penting. Dikira hal itu urusan pribadi saja. 165
2. Dalam rangka peringatan Hari ABRI, 5 Oktober 1965, atas prakarsa Men/Pangad Letnan Jenderal A. Yani, Presiden Sukarno dimohon bersedia menerima satu pawai SEKBERGOLKAR (Sekretariat Bersama Golongan Karya). Bung Karno menjawab, bersedia saja menerima, asal panjangnya barisan lima Km. Yani menyanggupinya. Tentu saja untuk menghimpun massa SEKBERGOLKAR dalam barisan yang begitu panjang, diperlukan satu pengorganisasian yang luas. Mursalin terlibat dalam kegiatan ini, karena ia adalah seorang anggota pimpinan SEKBERGOLKAR. Lukman, wakil ketua PKI yang juga Menteri/Wakil ketua DPRGR, mendengar keterlibatan Mursalin dalam rencana itu, minta kepadanya supaya tidak usah ikut-ikut campur tangan. Tapi Mursalin menjawab bahwa keikut-sertaannya, karena statusnya sebagai anggota pimpinan SEKBERGOLKAR. 3. Ceramah Prof. Dr. Wertheim dalam satu pertemuan 23 September 1990 di Amsterdam, di mana diuraikannya bahwa ketika ia dan istrinya pada tahun 1957 mengajar sebagai Guru Besar Tamu di Bogor, ia sempat bertemu dengan Aidit dan beberapa tokoh PKI lainnya. Aidit memberitahukan kepadanya tentang kunjungannya ke RRT. Dari sumber lain Wertheim mendengar bahwa ketika Aidit di Peking dan menemui Mao Zedong, Aidit ditanya: “Kapan ia akan mundur ke daerah pedesaan” 16) 16) Majalah „Arah „ Suplemen, No, 1, 1990, Amsterdam. Tentang pembicaraan Aidit dengan Mao Zedong ini, seorang bekas mahasiswa Indonesia yang pernah belajar di Peking dan berhasil menyelesaikan studinya dalam jurusan Sinologi, menceritakan bahwa rumor yang tersiar dikalangan mahasiswa Indonesia di Peking waktu itu, pertama-tama Mao Zedong menanyakan kepada Aidit, apakah ia sudah pernah mencopot dasinya dan terjun ke desa memimpin gerakan tani, mengingat Indonesia adalah negara agraris yang 80% rakyatnya terdiri dari petani? Menurut cerita ini, Aidit merasa agak dipermalukan oleh Mao Zedong, karena ia tidak bisa memberikan keterangan yang memuaskan mengenai gerakan tani di Indonesia. Mungkin karena pengalaman buruk ini, maka pada tahun 1964, Aidit memimpin satu gerakan riset besarbesaran untuk meneliti gerakan tani di Jawa dengan melibatkan kurang lebih 3300 kader PKI, yaitu 3000 kader tingkat kecamatan dan desa, 250 kader tingkat propinsi dan 50 kader tingkat pusat. Proyek ini diselesaikan dalam 4 bulan, yaitu Pebruari sampai Mei 1964. Menurut perkiraan waktu itu di Jawa ada 45 juta kaum tani. Yang diriset ialah desadesa di 124 kecamatan. Masing-masing kader melakukan riset 45 hari, kemudian menyusun kesimpulan. Aidit sendiri mengatakan bahwa ia melakukan perjalanan dengan mobil sepanjang 6000 Km selama memimpin pekerjaan riset itu. Laporan hasil risetnya, disampaikan dalam ceramahnya dihadapan para dosen, mahasiswa dan undangan Akademi llmu Politik “Bachtaruddin” (milik PKI) tanggal 28 Juli 1964 di Balai Prajurit “Diponegoro”, Jakarta. Dari hasil riset ini, kata aidit, telah bisa dipusatkan sasaran gerakan tani di seluruh tanah air melawan apa yang disebutnya “7 setan desa”: tuan tanah jahat, lintah darat, tengkulak jahat, tukang ijon, penguasa jahat, kapitalis birokrat di desa dan bandit desa. Hasil riset tersebut telah memperkuat kesimpulan PKI bahwa di Indonesia terdapat 4 ciri sisa-sisa feodalisme, yaitu: 1. Monopoli tuan tanah atas tanah. 2. Sewa tanah dalam wujud hasil bumi. 3. Sewa tanah dalam bentuk kerja di tanah tuan tanah. 4. Utang-utang yang mencekek leher kaum tani. 17) Maka mulailah diatur supaya Barisan Tani di Indonesia (BTI) melakukan latihan revolusioner di desa, yang dikenal dengan Aksi Sepihak, untuk menguji sampai dimana militansi kaum tani yang diorganisasi oleh BTI. Di daerah Klaten, Jawa Tengah, misalnya. Yang menjadi sasaran ialah kaum tani yang sawahnya luas, melebihi 5 ha. Menurut Aidit, Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang- Undang Pokok Bagi Hasil, sesuai ketentuan Menteri Pertanian dan Agraria, tahun 1963 adalah tahun 166
terakhir pelaksanaannya di Jawa, yaitu tanah tuan tanah dinasionalisasi dan seorang petani tidak boleh mempunyai tanah lebih dari 5 ha. Itulah alasannya mengapa Aksi Sepihak dilancarkan, karena sampai tahun 1964, ketentuan UU tersebut tidak dilaksanakan oleh Pemerintah. 17) Majalah „llmu Marxis‘, triwulan ketiga, tahun ke-VII, No. 3 Jakarta, 1964 Tapi apa yang terjadi di Jawa Tengah, BTI melakukan Aksi Sepihak tanpa persetujuan Pemerintah. Kebetulan yang menjadi sasaran ialah petani-petani anggota PNI. Tentu saja orang-orang PNI melakukan perlawanan dan akibatnya jatuh korban. Dalam ceramah Wertheim yang disinggung di atas, ia juga mengatakan bahwa pada tahun 1964, menerima kunjungan wakil ketua PKI Nyoto di Amsterdam. Nyoto bersama tokoh-tokoh PKI lainnya, waktu itu sedang berada di Eropa, menghadiri satu konperensi di Helsinki. Sewaktu bertemu dengan Nyoto, kata Wertheim, ia teringat kembali pertanyaan Mao Zedong kepada Aidit “Kapan akan mengundurkan diri ke daerah pedesaan?”, sambil mengingatkan kepadanya bahwa situasi Indonesia sekarang, mirip dengan keadaan di Tiongkok sebelum coup d‘état Generalisimo Chiang Kaisyek. Menurut Wertheim, di Indonesia juga akan ada bahaya besar seperti di Tiongkok tahun 1927, di mana PKI akan dihancurkan. Oleh karena itu dianjurkannya dengan keras supaya golongan kiri di Indonesia mempersiapkan diri untuk menyusun perlawanan di bawah tanah dan mundur ke pedesaan. Jawaban Nyoto, menurut Wertheim, untuk menghancurkan PKI sekarang sudah terlambat, karena PKI sudah terlalu kuat dan juga mempunyai kekuatan di lingkungan ABRI”. Wertheim mengatakan, ia tidak berhasil meyakinkan Nyoto. 18) 18) Ceramah Prof. Dr. W.F. Wertheim, seperti yang dimuat dalam rnayalah “Arah”, Supplement, No. 1, 1990, Amsterdam. Biro Ketentaraan Departemen Organisasi PKI atau yang dikenal dengan “Biro Khusus” bersama sekutunya “Perwira Muda yang Maju”, sebelum 30 September 1965, sudah berkali- kali mengadakan pertemuan, tempatnya berganti-ganti, di rumah kapten Wahyudi dari ARHANUD (Artileri Pertahanan Udara), di rumah kolonel Latief (komandan Brigade Infantri I KODAM V Jaya) dan rumah Syam, untuk mengkonsolidasi kekuatan sampai pada tahap persiapan akhir. Seorang komandan batalyon yang ikut dalam rapat-rapat itu dan akhirnya ditahan di Rumah Tahanan Khusus Salemba, yang kemudian berganti nama menjadi INREHAB (Instalalasi Rehabilitasi) Salemba, sudah mengemukakan keraguannya mengenai kemungkinan keber- hasilan gerakan. Secara perhitungan militer, gerakan yang dipersiapkan hendak mendahului itu, tidak bisa menjamin kemenangan mutlak, karena pasukan yang hendak digerakkan, tidak konkrit, baru perhitungan di atas kertas. Diperkirakan, akan lebih banyak yang meng- gabung, jika gerakan sudah dimulai. Tapi Syam berkata: „masa tidak percaya kepada kekuatan massa PKI yang sudah teruji militansinya, siap rnenguasai ibukota begitu gerakan dimulai“. Ketika gerakan siap dimulai dengan menjadikan desa Lubang Buaya sebagai pangkalan, perwira yang ragu tadi tidak muncul dan juga tidak menyiapkan pasukannya untuk bergerak, seperti yang diputuskan dalam rapat. Ia seorang militer profesional yang merasa bertanggung jawab penuh atas nasib prajurit. Ia tidak mau mengorbankan anak buah, karena yakin persiapan tidak matang.
167
Senada dengan apa yang diakui oleh anggota Politbiro Rewang dalam pleidooinya dimuka sidang pengadilan, sebelum semua persiapan kegiatan itu, ada sidang CC PKI yang dihadiri anggota-anggota CC yang berada di Jakarta dengan menghadirkan juga Sekretaris-Sekretaris tingkat Propinsi di Jawa, pada bulan Agustus 1965. Dalam rapat itu Aidit menguraikan situasi politik dalam negeri yang dinilainya sudah semakin kritis, karena katanya, sudah diketahui akan ada rencana coup d‘etat “Dewan Jenderal” yang dini terhadap Bung Karno dan sekaligus menghancurkan PKI. Gerakan ini akan dilancarkan oleh “Dewan Jenderal”, sehubungan dengan kesehatan Bung Karno yang makin buruk, yang diketahui dari laporan team dokter RRT yang merawatnya. PKI, kata Aidit, harus bersiap menghadapi bahaya itu, karena bagaimana pun, PKI pasti terancam. Mengenai gerakan, mantan ketua Mahkamah Agung Rl, Ali Said, SH., dalam ceramahnya di depan mahasiswa Akademi Hukum Militer/Perguruan Tinggi Hukum Militer Jakarta 23 Nopember 1992 mengatakan bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan tim dokter RRT yang pernah mengobati Bung Karno, menyimpulkan bahwa apabila datang serangan lagi, akan berakibat fatal bagi Bung Karno, yaitu lumpuh atau meninggal dunia. Berdasarkan hasil pemeriksaan tim dokter RRT ini, Aidit menyelenggarakan pertemuan berturut-turut dengan Politbironya untuk membahas: 1. Keadaan Presiden/PBR (Pemimpin Besar Revolusi) yang makin memburuk. 2. Adanya suatu Dewan Jenderal di lingkungan AD yang siap mengambil alih kekuasaan setelah Presiden tidak berdaya lagi, bahkan kemudian menginformasikan Politbironya bahwa Dewan Jenderal akan lebih dulu bertindak sebelum Presiden wafat, dan tindakan itu akan dilancarkan sekitar Hari Angkatan Perang 5 Oktober 1965. 3. Adanya kelompok perwira progresif di lingkungan Angkatan Darat yang akan mencegah serangan/ menggagalkan upaya coup Dewan Jenderal. 4. Kepada rekan-rekannya ditanyakan oleh Aidit, bagaimana seyogianya sikap yang harus diambil PKI. Membiarkan Dewan Jenderal bergerak dulu untuk kemudian dilawan, ataukah lebih tepat apabila PKI menyerang terlebih dahulu. Aidit sendiri lebih berat meletakkan pilihannya “Mendahului” gerakan Dewan Jenderal. 19) 19) Berita Buana, 25 Nopember 1992, Jakarta. Ali Said, SH., tidak menjelaskan sumber keterangan butir-butir yang diuraikannya, terutama mengenai butir 2 sampai 4. Butir 1 sudah umum diketahui. Tapi menurut keterangan seorang yang hadir dalam pertemuan CC yang diperluas, dan kemudian ditahan, Aidit tidak menjelaskan apa bentuk gerakan yang akan ditempuhnya untuk menyelamatkan PKI. Ia hanya minta persetujuan sidang supaya memberikan kepercayaan kepadanya mengambil langkah-langkah yang diperlukan, permintaan mana diluluskan. Berdasarkan kepercayaan inilah, Dewan Harian Politbiro dalam sidangnya tanggal 24 September 1965, menyusun rencana hendak mendahului gerakan apa yang mereka tuduhkan sebagai rencana coup d‘etat yang hendak dilancarkan oleh “Dewan Jenderal”. Dewan Harian yang dimaksud ialah para ketua Partai Kepala Sekretariat dan tentu saja ditambah dengan Syam Kamaruzzaman. Pada hari itu juga Komite Jakarta Raya mengadakan rapat yang dipimpin oleh sekretarisnya, Nyono, dihadiri oleh seluruh pimpinan Seksi Komite di seluruh Daeral Jakarta Raya, untuk membagi tugas masingmasing.
168
Jakarta Raya dibagi dalam beberapa Sektor dan Komandan Sektor sudah diangkat begitu selesai latihan kemiliteran di Lubang Buaya. Pembagian wilayah sudah ditentukan. Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI) yang berafiliasi dengan PKI, ditugaskan menyediakan konsumsi dengan membuka dapur umum. Pada saat gerakan dimulai, nasi bungkus dengan lauk pauknya supaya disediakan untuk melayani prajurit yang bergerak. Beras dan uang lauk pauk sudah didrop. Tapi pada saat gerakan dimulai, tidak satu pun dapur umum yang berfungsi. Akibatnya, semua prajurit dari sukarelawan yang sudah menerima latihan kemiliteran di Lubang Buaya dan siap disektornya masing-masing, jac kelaparan. Ini membuktikan bahwa pengorganisasian gerakan itu tidak beres dan tidak cukup dipahami oleh massa bawahan. Menurut keterangan seorang perwira Batalyon Infantri 454/Diponegoro yang ikut bergerak pada 1 Oktober 1 965 itu, uang Batalyon yang dibawa dari Semarang, terpaksa dikeluarkan membeli makanan, karena prajurit-prajurit sudah kelaparan. Begitulah gambaran betapa kacaunya pengaturan gerakan itu. Seorang mantan anggota CC PKI yang pernah ke pulau Buru, menceritakan bahwa 2 hari sebelum gerakan dicetuskan, ia sudah mendengar akan adanya gerakan. Maka ia pun segera menemui Nyono, orang pertama PKI Jakarta Raya, minta dengan sangat supaya gerakan dibatalkan. Tapi Nyono menjawab bahwa itu sudah menjadi putusan yang tidak mungkin dirubah lagi. Karena orang itu merasa dirinya mempunyai kedudukan yang penting dan seharusnya ikut menentukan dalam Partai, yeitu sebagai anggota CC, maka ia bertanya: Putusan siapa? Karena ia sebagai anggota CC PKI tidak pernah merasa ikut merundingkan apalagi menyetujuinya. Ketika Nyono akhirnya ditangkap dalam satu operasi pembersihan di sekitar percetakan Negara Jakarta, ia diadili sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (MAHMILLUB) dan dijatuhi hukuman mati. Sebelum dieksekusi, Nyono ditahan di Rumah Tahanan Militer (RTM) jalan Budi Utomo Jakarta dan kebetulan mantan anggota CC yang pernah memperingatkannya supaya membatalkan pelaksanaan „Gerakan 30 September“ itu, juga ditahan di tempat yang sama. Karena ia mendengar bahwa eksekusi terhadap Nyono akan dilaksanakan besoknya, maka diperlukannya menemui Nyono dengan cara sembunyi-sembunyi, untuk menyampaikan berita sedih itu. Nyono hanya menjawab bahwa ia belum lupa nasehat temannya ini, tapi sekarang nasi sudah menjadi bubur. Risikonya adalah yang terpahit: Menghadapi regu tembak, sesuai dengan vonnis yang dijatuhkan oleh MAHMILLUB. Gerakan ini berakibat fatal bukan saja tidak mendapat dukungan rakyat, tapi juga pelaksanaannya tidak lewat perencanaan yang akurat, sehingga yang tampil ke permukaan hanyalah ketakaburan dengan menganggap bahwa gerakan pasti berhasil. Sama sekali tidak diperhitungkan kemungkinan gagal. Dengan demikian, gerakan ini secara militer sepenuhnya avonturisme, menyimpang dari teori revolusi seperti yang dimaksudkan oleh pencetusnya. Itulah sebabnya, setelah Letnan Jenderal Soeharto menumpas gerakan ini, hanya dalam tempo 5 hari seluruh kekutan inti gerakan, telah dihancurkan. PKI mundur dan hanya berusaha menolong situasi dengan mengeluarkan pernyataan seolah-olah mereka tidak terlibat dan apa yang terjadi semata-mata persoalan intern Angkatan Darat. PKI mengeluarkan seruan kepada seluruh anggota dan simpatisannya supaya mempertahankan legalitas sambil waspada. Untuk mendukung prinsip ini, PKI menyerukan kepada anggota-anggotanya supaya mendaftarkan diri di Front Nasional, satu seruan 169
yang sebenarnya bunuh diri. Karena ternyata, semua yang datang mendaftarkan diri, tak seorang pun lagi yang bisa kembali, mereka langsung ditahan. Dalam waktu yang relatif singkat, beribu-ribu pengikut PKI sudah berada dalam tahanan dan gerakan perlawanan yang berarti, sudah tidak ada lagi. Di Yogyakarta dan Solo ada sedikit perlawanan karena D.N. Aidit berada di sana setelah diterbangkan oleh pesawat AURI dari Halim atas perintah Menteri/Panglima Angkatan Udara, Omar Dhani.
170
APEL LEWAT TENGAH MALAM 28 SEPTEMBER1965, Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), melangsungkan resepsi penutupan kongresnya di Istana Olahraga (ISTORA) Senayan, dengan mengundang Bung Karno dan beberapa Menteri untuk memberikan amanat. Gedung yang bisa menampung 10.000 audience itu, penuh sesak oleh mahasiwa anggota CGMI dan anggotaanggota pemuda seazas. Yel-yel yang mereka teriakkan: “Bubarkan HMI (Himpunan Mahasiwa Islam) yang dikenal sebagai organisasi mahasiswa yang mendukung MASYUMI, partai Islam yang sudah dibubarkan karena dituduh terlibat pemberontakkan PRRI di Sumatera Barat (1958). Itulah sebabnya CGMI menuntut pula supaya HMI dibubarkan. Seolah- olah kongres ini diselenggarakan, terutama untuk menuntut pembubaran HMI. Biasa, kalau Bung Karno diminta memberikan amanat, selalu didahului dengan sambutan seorang atau dua orang menteri. Sebagai gongnya, barulah Bung Karno tampil. Pertamatama tampil Menteri Penerangan Ahmadi. Tapi ternyata suaranya tenggelam dalam gemuruhnya yel-yel yang menuntut pembubaran HMI. Audience tidak sabar dan minta Ahmadi cepat- cepat saja menyatakan mendukung pembubaran HMI. Karena pidatonya terus diganggu oleh gemuruh yang berlebih-lebihan, akhirnya ia hentikan setelah diam 10 menit menantikan redanya suara yang gemuruh, tapi tidak juga berhenti. Suasana terasa sekali sangat menekan. Sesuai dengan acara, tampillah pembicara berikutnya, Wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena, berbicara menurut gayanya yang tidak agitatif. Ia dengan tenang dan jelas menyampaikan sikap Pemerintah berkenaan dengan tuntutan pembubaran HMI. Inilah kata-kata Dr. Leimena: “Pemerintah tidak mempunyai niat untuk membubarkan HMI. HMI adalah organisasi yang nasionalistis, patriotik dan loyal kepada Pemerintah. Pemerintah banyak mendapat sokongan dari HMI dalam perjuangan melawan NEKOLIM” . Mendengar pernyataan Dr. Leimena yang sangat jelas itu, meski pun diucapkan dalam gaya seorang pendeta, tapi cukup mengejutkan. Suasana di seluruh tanah air waktu itu yang diciptakan oleh PKI dan para pendukungnya, sepertinya memastikan bahwa HMI malam itu dibubarkan. Tibalah giliran Bung Karno menyampaikan amanatnya. Massa CGMI - mengharapkan Bung Karno berbicara lain. Bung Karno memulai pidatonya dengan mengatakan: “Sebelum memulai pidato saya, saya ingin menyampaikan hal berikut ini. Saudarasaudara baru saja mendengar tentang kebijaksanaan Pemerintah yang disampaikan oleh Pak Leimena sebagai wakil Perdana Menteri II, mengenai kedudukan HMI. HMI tidak akan dibubarkan. Karena saudara-saudara sudah mendengar kebijaksanaan Pemerintah, mungkin saudara-saudara ingin pula mengetahui sikap ketua Partai Komunis Indonesia, saudara Aidit. Dia hadir sekarang di sini. Walau pun ia tidak tercantum dalam daftar yang akan berpidato malam ini, ada baiknya kalau kita mendengar bagaimana sikapnya, sebelum saya melanjutkan dengan pidato saya. Setuju ?” Tentu saja di jawab “setuju”. Maka Aidit pun berdiri mendampingi Bung Karno. Suaranya menggemuruh melalui pengeras suara. Katanya: “Kalau Pemerintah tidak akan membubarkan HMI, maka janganlah kalian berteriak-teriak menuntut pembubaran HMI. Lebih baik kalian bubarkan sendiri saja. Dan kalau kalian tidak mampu melakukan itu, lebih baik kalian jangan pakai celana, tapi tukar saja dengan sarung”. Aidit meneruskan pidatonya dengan berkobar-kobar dan akhirnya berkata kepada mahasiswa-mahasiswa komunis itu tentang adanya pemimpin-pemimpin palsu yang merampok uang rakyat dan memelihara isteri empat sampai lima. 20) 20) Cuplikan pidato Wakil Perdana Menteri 11 Dr Leimena, pidato Bung Karno dan pidato Aidit, dikutip dari
rekaman Ganis Harsono yang dimuat dalam bukunya Cakrawala Politik Era Sukarno, hal. 202 Pidato Aidit ini betul-betul satu tantangan dan juga satu komando yang menentang kebijaksanaan Pemerintah. Pada waktu itu, PKI sudah memutuskan siap bertindak, tapi rencana itu tidak segera bisa diantisipasi oleh aparat keamanan Negara. Dua hari kemudian, terjadilah apa yang harus terjadi, seperti yang memang sudah direncanakan oleh PKI. Peristiwa 28 September 1965 malam di ISTORA, adalah klimaks dari akumulasi ketegangan politik yang sejak berbulan-bulan sudah dirasakan dan akhirnya meletus lewat cara antagonis dengan “Gerakan 30 September 1965“. Alasan mencetuskan G30S difokuskan pada melawan apa yang disebut “rencana Dewan Jenderal hendak melakukan coup d‘etat terhadap Presiden Sukarno”. Bukan mustahil bahwa kebijaksanaan untuk tidak membubarkan HMI seperti yang dituntut oleh CGMI, juga dianggap sebagai satu rangkaian dari rencana keberhasilan “Dewan Jenderal”, padahal sikap itu sangat jelas adalah sikap Bung Karno dan Kabinet Memang PKI sudah dirasakan oleh kalangan politik, beberapa bulan menjelang G30S, makin agresif dalam sikap dan tindakannya. Meski pun tidak langsung menyerang Bung Karno, tapi serangan yang sangat kasar misalnya terhadap apa yang disebut “kapitalis birokrat” terutama yang bercokol di perusahaan-perusahaan negara, pelaksanaan UU Pokok Agraria yang tidak menepati waktunya sehingga melahirkan „Aksi Sepihak“ dan istilah “7 setan desa”, serta serangan-serangan terhadap pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang dianggap hanya bertitik berat kepada “kepemimpinan”-nya dan mengabaikan “demokrasi”-nya, adalah pertanda meningkatnya rasa superioritas PKI, sesuai dengan statementnya yang menganggap bahwa secara politik, PKI merasa telah berdominasi. Dilupakannya bahwa seumpama benar dibidang politik partai ini sudah berdominasi, tapi dalam kenyataan sama sekali tidak berhegemoni, sehingga anggapan berdominasi, tidak lebih dari satu ilusi. Ada pun Gerakan 30 September 1965, secara politik dikendalikan oleh sebuah Dewan Militer yang diketuai oleh D.N. Aidit dengan wakilnya Kamaruzzaman (Syam), bermarkas di rumah sersan (U) Suyatno di komplek perumahan AURI, di Pangkalan Udara Halim. Sedang operasi militer dipimpin oleh kolonel A. Latief sebagai komandan SENKO (Sentral Komando) yang bermarkas di Pangkalan Udara Halim dengan kegiatan operasi dikendalikan dari gedung PENAS (Pemetaan Nasional), yang juga instansi AURI dan dari Tugu MONAS (Monumen Nasional). Sedang pimpinan gerakan, adalah letkol. Untung Samsuri. Menurut keterangan, sejak dicetuskannya gerakan itu, Dewan Militer PKI mengambil alih semua wewenang Politbiro, sehingga instruksi politik yang dianggap sah, hanyalah yang bersumber dari Dewan Militer. Tapi setelah nampak bahwa gerakan akan mengalami kegagalan, karena mekanisme pengorganisasiannya tidak berjalan sesuai dengan rencana, maka dewan ini tidak berfungsi lagi. Apa yang dikerjakan ialah bagaimana mencari jalan menyelamatkan diri masing-masing. Aidit dengan bantuan AURI, terbang ke Yogyakarta, sedang Syam segera menghilang dan tak bisa ditemui oleh teman-temannya yang memerlukan instruksi mengenai gerakan selanjutnya. Kolonel A. Latief yang juga gagal menemukannya, terpaksa mencari jalan penyelamatan sendiri. Wishnu Djajeng Minardo, komandan pangkalan Halim sewaktu meletusnya G30S dalam percakapan dengan saya mengatakan, ketika Bung Karno pada tanggal 1 Oktober 1965 berada di Halim, ia melihat Suparjo duduk di ubin sambil termenung. Wishnu memang mengenalnya. Supardjo mengatakan kepadanya: „Kita sudah kalah“. Ucapan Supardjo membuktikan dengan jelas bagaimana perintah cease fire dari Bung Karno, tidak bisa 172
berarti lain kecuali bahwa G30S memang tidak diketahui oleh Bung Kamo sebelum terjadi, oleh karena itu ia menolak memberikan dukungan, ketika diminta oleh Supardjo. Gerakan dimulai dengan sebuah apel lewat tengah malam, sudah masuk tanggal 1 Oktober 1965, karena jarum jam menunjukkan pukul 02.00 pagi dengan berpangkalan di desa Lubang Buaya, di luar Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah. Apel diikuti oleh semua pasukan yang sudah disiapkan akan bergerak pagi buta itu menuju sasaran. Tugas pokoknya menangkap para Jenderal yang dituduh tidak loyal kepada Presiden/ Panglima Tertinggi. Ternyata satu regu tidak hadir, yaitu yang ditentukan untuk sasaran Jenderal A. H. Nasution, kabarnya dari AURI. Tapi ketidak hadiran regu itu, bukan sesuatu yang tidak bisa diatasi, karena kemungkinan yang demikian dalam gerakan militer, selalu diperhitungkan. Regu cadangan selalu siap untuk setiap saat mengambil alih tugas pihak yang berhalangan. Regu cadangan yang dipimpin oleh letnanDjahurup dari „Tjakrabirawa“ mempunyai kelemahan, yang berhalangan. Regu cadangan yang dipimpin oleh letnan Djahurup dari „Tjakrabirawa“ mempunyai kelemahan, yaitu belum pernah melakukan survey medan yang akan menjadi sasaran. Untuk sasaran lain, sudah disurvey oleh masing-masing regu yang bersangkutan. Ternyata ketidak-hadiran regu untuk sasaran Jenderal A.H. Nasution dan digantikan regu cadangan yang tidak menguasai medan, berakibat fatal. Sebelum regu-regu sasaran bergerak dengan bantuan pasukan pendukungnya masingmasing, komandan memberikan pengarahan dan instruksi mengenai tugas yang harus dilaksanakan, serta menjelaskan alasan-alasannya. „Tugas ini adalah tugas mulia“, kata komandan, sebagaimana ditirukan oleh seorang prajurit yang ikut dalam apel itu. Perintahnya, supaya para Jenderal yang sudah ditentukan dan fotonya dibagikan kepada para komandan regu, harus dibawa untuk dihadapkan kepada Presiden/Panglima Tertinggi, dalam keadaan hidup atau mati. Karena ternyata 3 Jenderal dibawa dalam keadaan tidak bernyawa, maka diberikanlah alasan: Mereka melakukan perlawanan! Kolonel A. Latief di muka sidang MAHMILTI (Mahkamah Militer Tinggi) II Jawa Bagian Barat yang mengadilinya, memberikan keterangan bahwa Letnan Kolonel Untung memberitahukan kepadanya, para Jenderal diambil untuk kemudian diserahkan kepada Presiden/Panglima tertinggi. Tapi setelah tiba dalam pelaksanaan, tidaklah seperti rencana semula, karena tiga Jenderal lainnya yang dibawa dalam keadaan hidup, kemudian juga dibunuh. Ketika Latief minta penjelasan mengenai hal ini kepada Untung, dijawab bahwa itu semua menjadi tanggung jawabnya. Kolonel Latief juga mengatakan bahwa Syam mengakui di muka sidang MAHMILTI yang mengadilinya, bahwa dialah yang memerintahkan membunuh semua Jenderal yang dibawa masih dalam keadaan hidup di Lobang Buaya. 21) 21) Dikutip dari pembelaan kolonel A. Latief, hal. 94. Pelaksanaan operasi seperti yang diuraikan di atas, sesuai dengan perintah komandan, semua dilaksanakan tanpa ragu-ragu. Menurut ketentuan, Perintah Militer, baik tertulis mau pun lisan, nilainya sama. Jika ada yang belum jelas, harus ditanyakan pada saat perintah itu diberikan. Sesudah itu, semua dianggap sudah jelas dan dipahami untuk langsung dilaksanakan. Jika ada sesuatu keberatan, perintah harus dilaksanakan dulu, baru alasan keberatannya diajukan kepada komandan atasannya. Menyimpang dari prosedur ini, berarti pembangkangan yang bersanksi Hukuman Militer. Oleh karena itu dikemudian hari timbul masalah hukum, yaitu setelah kasus G30S/PKI dinyatakan sebagai tindak makar yang diajukan ke sidang Pengadilan Militer, timbul pertanyaan: Apakah prajurit yang bertindak menjalankan perintah komandan atasan yang tidak bisa dibantah, harus ikut bertanggungjawab atas akibat tindakan yang dilaksanakan sesuai dengan perintah komandan atasan itu? Bukankah jika perintah ini diingkari, berarti pelanggaran 173
Sumpah Prajurit, yang juga akan mendapat hukuman berat? Bukankah dalam hal ini, seharusnya yang bertanggungjawab hanyalah komandan yang memerintahkan tindakan itu? Ada pula pendapat lain yaitu bahwa sesudah kejadian, semua prajurit yang terlibat, langsung dipecat dari dinas tentara, karena dinyatakan sebagai pemberontak melawan kekuasaan yang sah. Oleh karena itu, semua anggota yang terlibat, tidak terbatas pada komandan yang memerintahkan saja, semua anak buah harus dianggap sebagai hoofddader (pelaku utama). Argumentasi ini disangkal lagi dengan mengatakan bahwa perbuatan itu dilakukan masih dalam status mereka sebagai tentara resmi dan karenanya semua dilakukan atas dasar tugas. Mereka bergerak ber- dasarkan Perintah Militer, bagaimana mereka bisa disebut hoofddader? Akhirnya, semua prajurit anggota regu sasaran divonnis, umumnya hukuman mati. Waktu menyerbu rumah Jenderal A. H. Nasution, komandan regu (cadangan), tidak mengetahui di mana persisnya letak rumah itu. Oleh karenanya, rumah yang diserbu justru yang tidak ada hubungan apa-apa dengan tugas yang harus dilaksanakan, yaitu rumah Wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena, yang kebetulan diselingi rumah lain dari rumah Jenderal A. H. Nasution. Setelah menyadari terjadi kekeliruan, mereka segera menuju ke rumah Jenderal Nasution. Karena setelah pintu diketuk tidak dibuka, maka kunci pintu ditembak sehingga terbuka. Sebelum pintu terbuka, ibu Nasution sudah menyuruh suaminya meninggalkan rumah, lewat lubang angin terjun ke pekarangan Kedutaan Besar Irak yang berdampingan dengan rumahnya. Meski pun kakinya terkilir sewaktu melompat ke tanah, ia masih dapat berjalan dan menyelamatkan diri mencari perlindungan. Suara tembakan masih terdengar dan sebuah peluru nyasar mengenai putrinya, Ade Irma, yang sedang digendong ibunya. Kemudian Ade Irma meninggal akibat tembakan itu. Menjelang Maghrib, Jenderal A. H. Nasution berhasil mencapai Markas KOSTRAD di jalan Merdeka Timur dan bergabung dengan Panglima KOSTRAD, Jenderal Soeharto, yang sementara itu sudah mengambil langkah penumpasan terhadap Gerakan 30 September. Adapun Gerakan 30 September yang dipimpin oleh Letkol Untung Samsuri, komandan batalyon I Resimen Tjakrabirawa, setelah berhasil mengambil para Jenderal, kecuali Jenderal A.H. Nasution yang lolos, maka Brigadir Jenderal Suparjo dengan ditemani oleh Letnan Kolonel (U) Heroe Atmodjo (deputy direktur bagian operasi khusus AURI), keduanya termasuk anggota Presidium G30SlPKI, pada tanggal 1 Oktober pagi itu pergi ke Istama Merdeka, hendak melaporkan kepada Presiden/Panglima Tertinggi apa yang telah terjadi. Ternyata Presiden tidak ada di Istana, dan keduanya pergi ke Halim, setelah mengetahui Presiden ada di sana. Menurut keterangan kolonel Maulwi Saelan, Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa, pada tanggal 30 September 1965 pukul 19.00, Presiden menghadiri resepsi penutupan Musyawarah Nasional Kaum Teknisi Indonesia di ISTORA Senayan sampai pukul 21.00. Saelan ma!am itu memegang tanggungjawab seluruh pengamanan Presiden, karena komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur pergi ke Bandung dan tidak diketahui apa urusannya. Yang ditugaskan oleh Saelan mengamankan sekitar ISTORA ialah batalyon I Resimen Tjakrabirawa yang dipimpin langsung oleh komandannya, letkol Untung Samsuri. Saelan mengatakan bahwa malam itu ia sempat memarahi Untung karena salah satu pintu ISTORA yang seharusnya ditutup, tidak diperintahkannya supaya ditutup. Saelan memastikan bahwa pada malam itu, ia selalu berada di dekat Bung Karno, sehingga tidak ada gerakgerik Presiden yang lepas dari pengamatannya. Menurut ajudan Presiden Sukarno, kolonel (KKO) Bambang S. Widjarnako yang memberikan kesaksian didepan petugas pemeriksa, pada tanggal 30 174
September 1965 malam pukul 22.00, Presiden menerima surat dari letkol Untung diserahkan oleh Sogol atau Nitri (anggota Detasemen Kawal Pribadi) lewat kolonel Bambang yang langsung diserahkannya kepada Bung Karno. Setelah menerima surat itu, Bung Karno berdiri dan pergi ke toilet yang diiringi oleh Saelan, AKBP Mangil (Komandan Detasemen Kawal Pribadi) dan Bambang Widjarnako. Diberanda muka, Bung Karno membaca surat itu, kemudian memasukan ke dalam sakunya. 22) 22) Memori Jenderal Yoga, PT Bina Rena Pariwara, Jakarta 1990, hal. 173 Keterangan Bambang Widjarnako ini dibantah keras oleh kolonel Maulwi Saelan. Ia memastikan, pada malam itu sama sekali tidak ada adegan seperti yang diceriterakan oleh Bambang Widjarnako, karena Saelan sendiri sebagai penanggungjawab keamanan Presiden malam itu, tidak pernah jauh dari Presiden selama berada di Senayan sampai kembali ke Istana. Kesaksian Bambang Widjanarko dianggapnya sangat aneh dan direkayasa. Keterangan yang direkayasa ini mendapat imbalan, Bambang Widjarnako tidak ditahan dan Saelan yang di depan pemeriksa membantah dengan tegas keterangan Bambang Widjarnako, ditahan. Kolonel Maulwi Saelan menceritakan bahwa setelah selesai acara di Senayan, Presiden kembali ke Istana Merdeka. Karena tak ada lagi sesuatu yang perlu mendapat perhatian dan Presiden sendiri tidak memerintahkan supaya Saelan tetap berada di Istana, maka pukul 24.00 ia pamit kembali ke rumahnya di jalan Birah II, Kebayoran Baru. Pukul 01.00 ia tidur. Pukul 05.15 Subuh, ia dibangunkan oleh deringan telepon dari Komisaris Besar Polisi Sumirat, salah seorang ajudan Presiden, yang menyampaikan bahwa barusan diterima berita dari Komisaris Besar Polisi Anwas: Tanumiharja dari KOMDAK Jaya, tentang terjadinya penembakan di rumah Wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena dan di rumah Jenderal A.H. Nasution, dua duanya di jalan Teuku Umar. Saelan menjawab, berita itu segera akan diceknya. Lima belas menit kemudian, ia terima telepon lagi dari Sumirat yang memberitahukan bahwa disekitar Istana kelihatan banyak tentara yang tidak diketahui kesatuannya, disamping menyampaikan bahwa penembakan juga terjadi di rumah Brigadir Jenderal Panjaitan. Menerima laporan yang bertubi-tubi ini, Saelan mengatakan kepada Sumirat bahwa ia segera berangkat ke Istana. Sumirat minta supaya mampir di rumahnya, agar bersama-sama kesana. Selagi Saelan bersiap-siap berangkat, tiba-tiba datang Kapten Suwarno, komandan Kompi I Batalyon I Tjakrabirawa; yang saat itu kompinya sedang giliran tugas menjaga Istana. Kapten Suwarno langsung menanyakan: Presiden ada di mana? Dilaporkan- nya bahwa di sekitar Istana, banyak kesatuan tentara yang tidak dikenalnya. Saelan sendiri menjawab bahwa ia tidak tahu persis dimana Presiden bermalam, karena semalam ketika ia meninggalkan Istana, Bung Karno ada di Istana. Oleh karena itu ia perintahkan Kapten Suwarno supaya mengikutinya bersama-sama mencari dimana Bung Karno berada. Menurut Saelan, kebiasaan Bung Karno, kalau tidak berada di Istana pada malam hari, berarti ia bermalam di rumah salah seorang isterinya, di Grogol atau di Slipi. Atas dasar keterangan inilah, maka Saelan ber- sama Kapten Suwarno dan asisten-asistennya menuju Grogol, ke rumah Haryati. Ternyata Bung Karno malam itu, tidak bermalam di situ. Lalu rombongan ini akan pergi ke Slipi, ke rumah isteri Bung Karno, Ratnasari Dewi, tapi baru sampai di jalan besar menuju Slipi (sekarang: jalan S. Parman), rombongan bertemu 175
dengan jeep Detasemen Kawal Pribadi yang dilengkapi dengan radio transmitter & receiver „Lorenz“. Saelan segera menanyakan, di mana posisi Presiden sekarang? Dijawab: Presiden beserta pengawal sedang menuju Istana dari Slipi. Segera Kolonel Saelan mengadakan kontak dengan Mangil, Komandan Detasemen Kawal Pribadi melalui pembicaraan radio „Lorenz“, yang menanyakan posisinya sekarang berada di mana. Dijawab, sudah membelok ke jalan Budi Kemuliaan, tidak jauh lagi dari Istana. Saelan memerintahkan supaya jangan masuk Istana, karena di sekitar Istana ada pasukan tentara yang tidak dikenal, agar iring- iringan memutar di air mancur, kemudian dibavva ke Grogol dulu, di mana Saelan mengatakan, ia tetap menunggu ditempat itu. Pukul 07.00 Presiden sampai di Grogol dan Saelan langsung melaporkan semua berita yang diterima dari Komisaris Besar Sumirat. Bung Karno lalu bertanya dalam bahasa Belanda: „wat wil je met me doen?“ saya mau dikemanakan? Dijawab oleh Saelan: „Sementara kita tunggu di sini saja dulu, Pak! Kami segera mencari keterangan ke luar, mengenai berita-berita tersebut dan menanyakan tentang situasi“. Pertanyaan Bung Karno: „wat wil je met me doen?“, menunjukkan bahwa Bung Karno sama sekali belum tahu apa yang telah terjadi. Kemudian Presiden berkata: „Kita tidak boleh lama berada di sini“ Jawab Saelan: „Memang betul, kami segera akan mencari tempat lain yang lebih aman“. Setelah merundingkan dengan AKBP Mangil dan letnan kolonel Suparto (seorang staf ajudan Presiden), bagaimana sebaiknya menyelamatkan Presiden dalam situasi yang belum jelas ini, maka diputuskanlah tempat penyelamatan sementara, di rumah seorang kenalan Mangil di jalan Wijaya, Kebayoran Baru. Saelan langsung memerintahkan kepada Mangil supaya segera mengirimkan beberapa anggota Detasemen Kawal Pribadi ke tempat tersebut, mengadakan persiapan. Di samping itu kolonel Saelan memerintahkan juga kepada letnan kolonel Suparto untuk mencari hubungan ke luar, dengan menghubungi PanglimaPanglima Angkatan bersenjata. Semua hubungan ini harus dikerjakan langsung, tidak bisa melalui telepon, karena hubungan telepon dari Grogol putus. Sementara itu, Jaksa Agung Muda Brigadir Jenderal Sunaryo dan Komisaris Besar Polisi Sumirat (ajudan), datang juga ke Grogol, diantar oleh Inspektur polisi Djoko Suwarno. Presiden Soeharto dalam Otobiografinya mengatakan bahwa pukul 06.00 pagi (1 Oktober 1965),- letkol Sadjiman atas perintah Panglima Kodam V Jaya, Umar Wirahadikusumah, melaporkan bahwa di sekitar MONAS dan Istana, banyak pasukan yang tidak dikenalnya. „Saya percepat merapihkan pakaian yang sudah kenakan, loreng lengkap, tapi belum mengenakan pistol, pet dan sepatu. Kepada letkol Sadjiman saya berkata bahwa saya sudah mendengar tentang adanya penculikan terhadap Pak Nasution dan Jenderal A. Yani serta PATI (Perwira Tinggi) Angkatan Darat lainnya. Segera kembali saja dan laporkan kepada Pak Umar, saya akan cepat datang ke KOSTRAD dan untuk sementara mengambil pimpinan Komando Angkatan Darat. Dengan segala yang sudah siap pada diri saya, saya siap menghadapi keadaan“. Demikian tulis Pak Harto. 23) Ketika Pak Harto masuk Markas KOSTRAD, segera medapat laporan dari Piket bahwa orang terpenting, Bung Karno, tidak jadi ke Istana, tetapi langsung ke Halim Perdana Kusumah. Disebutkan, Bung Karno menggunakan kendaraan kombi putih, berputar di Prapatan Pacoran, di depan Markas Besar AURI. Piket menerima laporan telepon dari Intel yang sedang bertugas“ 24) 23) Soeharto,Otobiografi, hal. 11&119. 24) Ibid, hal. 119
176
Jadi, Panglima KOSTRAD yang mengambil sendiri untuk sementara pimpinan Angkatan Darat, sudah mengetahui apa yang terjadi sejak pukul 06.00 pagi, tapi tidak disebutkan bahwa ia berusaha menghubungi Presiden. Laporan yang disampaikan kepada Pak Harto mengenai perjalanan Presiden, berbeda dengan keterangan Kolonel Siaelan yang mengikuti terus perjalanan itu sampai di Halim. Pukul 08.30 Letkol Suparto datang melaporkan bahwa ia hanya mendapatkan kontak dengan MEN/PANGAU Omar Dhanidi Pangkalan Halim Perdana Kusumah. Panglima yang lain tidak berhasil ditemui. Karena dipertimbangkan bahwa di Halim terdapat pesawat Kepresidenan „Jet Star“ yang selalu standby dan setiap saat siap membawa Presiden untuk penyelamatan jika dianggap perlu, maka diputuskan sebaiknya Presiden dibawa ke Halim saja. Hal ini sesuai dengan „Operating Standing Procedure“ (OSP) Resimen Tjakrabirawa yang menyebutkan bahwa salah satu cara untuk menyelamatkan Kepala Negara bila situasi memerlukan, adalah dengan pesawat „Jet Star“ yang ada di Halim, disamping bisa juga dengan kapal laut Kepresidenan „R.l. Varuna“ (Admiral Sloep) yang ada di Tanjung Priok atau kalau darat dinaikkan pantser berlapis baja anti peluru. Kemungkinan-kemungkinan itu dilaporkan oleh Saelan kepada Presiden dan Presiden memutuskan: Pergi ke Halim saja. Saelan langsung memerintahkan kepada letkol Suparto supaya mengadakan persiapan di Halim. Pukul 09.00 Presiden meninggalkan Grogol menuju Halim dan sampai disana pukul 09.30, di sambut oleh Omar Dhani dan Leo Wattimena yang langsung membawanya ke ruangan Komando Operasi. Kurang lebih pukul 10.00, datang Brigadir Jenderal Suparjo yang tadinya berusaha menemui Presiden di Istana Merdeka. Ia memberikan laporan kepada Presiden, tapi Saelan tidak bisa mendengarkan dengan jelas pembicaraan antara Presiden dengan Brigjen Supardjo. Yang kedengaran, hanya menyebut-nyebut „Dewan Jenderal“ dan terjadinya korban ketika menangkap beberapa Jenderal. Presiden kemudian memerintahkan kepada ajudan, Komisaris Besar Sumirat, untuk memanggil MEN/PANGAK (Menteri Panglima Angkatan Kepolisian), MEN/PANGAL (Menteri Penglima Angkatan Laut) dan Panglima KODAM V Jaya, Umar Wirahadikusumah. Sekitar pukul 11.30 komandan Resimen Tjakbirawa brigadir Jenderal Sabur, baru muncul di Halim dari Bandung. Ia minta laporan kepada kolonel Saelan, apa yang telah terjadi dan disampaikan seperti apa yang diuraikan di atas. Presiden juga memerintahkan memanggil Wakil Perdana Menteri II Dr J. Leimena beserta Jaksa Agung Brigadir Jenderal Sutardio. Wakil Perdana Menteri I Dr. Subandrio sedang tourney ke Sumatera, dan Wakil Perdana Menteri III Dr. Chaerul Saleh selaku ketua MPRS belum kembali dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT), memimpin delegasi MPRS ke negara itu. Apa yang dibicarakan oleh Presiden dengan semua pembesar yang dipanggil itu, tidak bisa didengar oleh Saelan, karena ia tidak boleh berada di ruangan pertemuan. Presiden kemudian beristirahat di rumah Komodor Udara Susanto (pilot Jet Star) dan kolonel Saelan ikut ke rumah itu. Tidak lama kemudian, datanglah Wakl Perdana Menteri II Dr. J. Leimena dan Jaksa Agung Sutardio, yang kemudian mengadakan pembicaraan dengan Presiden. Apa yang dibicarakan, tidak bisa didengar oleh Saelan. Pukul 12.00 siang, Saelan mendengarkan siaran RRI dari radio transistor yang dipinjamkan oleh Komodor Udara Susanto, di mana diumumkan pengumuman letkol Untung selaku ketua Gerakan 30 September, tentang pembentukan Dewan Revolusi dan pendemisioneran Kabinet. Pengumuman lewat RRI ini segera dilaporkan oleh ajudan senior dan komandan Resimen Tjakrabirawa Brigadir Jenderal Moh. Sabur kepada Presiden. 177
Tidak lama kemudian, Sabur memberitahukan kepada Saelan bahwa Presiden/Panglima Tertinggi ABRI mengangkat Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra sebagai Care-Taker MEN/PANGAD (Menteri Panglima Angakatan Darat). Ajudan Presiden, Kolonel (KKO) Bambang Widjarnako, saat itu juga diperintahkan oleh Presiden memanggil Pranoto menghadap ke Halim. Tapi sampai pukul 17.00, Pranoto belum juga muncul, karena tidak diizinkan oleh Panglima KOSTRAD Mayor Jenderal Soeharto yang telah mengambil alih pimpinan Komando Angkatan Darat. Berdasarkan laporan-laporan yang makin banyak masuk mengenai situasi, dan setelah yakin bahwa justru Presiden berada di sarang Gerakan 30 September, maka diusulkan supaya Presiden segera meninggalkan Halim menuju Istana Bogor. Tapi Presiden ingin menunggu sampai kolonel - (KKO) Bambang Widjarnako yang diperintahkan mernanggi Pranoto datang dan menyampaikan juga hasil pembicaraannya dengan Panglima KOSTRAD Mayor Jenderal Soeharto, yang atas kehendaknya sendiri sudah lebih dulu mengambil alih pimpinan Komando Angkatan Darat. Setelah Bambang Widjarnako datang, ia melaporkan bahwa Mayor Jenderal Soeharto telah memberikan ultimatum kepada pasukan-pusukan yang berada di sekitar Istana dan MONAS untuk menyerahkan diri dan masuk KOSTRAD sebelum puku119.00. Setelah menerima laporan itu, Presiden didesak supaya segera saja berangkat ke Istana Bogor. Sebelum itu puteriputeri Presiden yang masih berada di Istana Merdeka, dijemput dengan mobil dibawa ke Halim. Mereka tiba pukul 17.30 dan segera diterbangkan oleh kolonel Udara Kardjono dengan helikopter ke Bogor. Pukul 22.30, Presiden keluar dari Halim menuju Istana Bogor, tapi tidak lewat jalan raya biasa Jakarta - Bogor, melainkan melalui jalan tikus, yaitu lewat sela-sela pohon karet. Mobil Presiden Rl-1 dengan pengawalan seperti biasa keluar dari Halim melalui jalan raya, sehingga umum mengira Bung Karno berada dalam mobil itu menuju ke salah satu tempat. Yang mengetahui kalau Bung Karno dengan kendaraan lain mengambil jalan belakang pergi ke Bogor, hanyalah para pengawal yang ditugaskan khusus untuk keperluan itu. Sementara itu kolonel Saelan memerintahkan seorang anggota Detasemen Kawal Pribadi melaporkan kepada Mayor Jenderal Soeharto bahwa Presiden sudah menuju Bogor. Pukul 23.45 iring-iringan Presiden tiba di Istana Bogor dengan selamat. Pukul 24.00 Kolonel Saelan menerima telepon dari Mayor Jenderal Soeharto yang menanyakan perjalanan Presiden dan segera saja dilaporkan bahwa Presiden sekarang telah berada di Istana Bogor dalam keadaan selamat. Sesudah itu kolonel Saelan menghubungi Mayor Jenderal Ibrahim Adjie, Panglima KODAM Vl/Siliwangi dengan telepon, melaporkan bahwa Presiden sekarang berada di Istana Bogor, yang masuk wilayah kekuasaan KODAM Vl/ Sillwangi. Sementara itu Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra yang diangkat oleh Presiden menjadi Care-Tàker MEN/PANGAD, tidak berhasil memenuhi panggilan Presiden supaya datang ke Halim, karena ada yang mencegah. Di kemudian hari ia mengeluarkan pernyataan tertulis dan ditandatanganinya, sekitar peristiwa yang dialaminya, mau pun yang diketahuinya, mengenai Gerakan 30 September 1965 yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965. Urut-urutannya sebagai berikut: 1. Pada tanggal 1 Oktober 1965, kurang lebih pada pukul 06.00, pada saat Pranoto sedang mandi, datanglah Brigadir Jenderal dr.Amino (Kepala Departemen Psychiatri Rumah Sakit Gatot Soebroto) yang memberitahukan diculiknya Letnan Jenderal A. Yani 178
beserta beberapa Jenderal lainnya, oleh sepasukan bersenjata yang belum , dikenal, sedang nasib para Jenderal itu belum diketahui. Sesudah mandi, Pranoto segera berangkat ke MBAD (Markas Besar Angkatan Darat) dengan mengenakan pakaian dinas lapangan. 2. Setibanya di MBAD dan setelah menampung berita dari beberapa sumber, maka oleh karena saat itu hanya dia dari antara perwira-perwira tinggi lainnya (yang ada di MBAD) yang berpangkat senior, maka ia segera memprakarsai mengadakan rapat darurat dengan para Asisten MEN/PANGAD atau wakilnya yang pada saat itu hadir di MBAD, yaitu para pejabat teras Staf Umum Angkatan Darat, mulai dari Asisten I MEN/PANGAD sampai Asisten Vll termasuk Irjen P.U. dan pejabat Sekretariat. Setelah menampung beberapa laporan dan keterangan dari sumber-sumber yang dapat dipercaya, maka rapat menyimpulkan: Secara positif Letnan Jenderal A. Yani beserta 5 Jenderal lainnya, telah diculik oleh sepasukan penculik yang pada saat itu belum dapat dikenal secara nyata. Oleh karena itu rapat memutuskan menunjuk Mayor Jenderal Soeharto, Panglima KOSTRAD, agar bersedia mengisi pimpinan Angkatan Darat yang vacuum. Melalui kurir khusus, keputusan rapat disampaikan; kepada Mayor Jenderal Soeharto di MAKOSTRAD pagi Itu juga. 3. Kemudian Pranoto menerima laporan dari seorang perwira Menengah MBAD (namanya lupa) yang mengatakan bahwa menurut siaran RRI, 25) dirinya ditunjuk oleh Presiden/ PANGTI untuk menjabat sebagai Care-Taker MEN/PANGAD. Oleh karena hal itu baru merupakann berita, maka Pranoto tetap tinggal di Pos Komando MBAD untuk menunggu perintah lebih lanjut. 25) Menurut keterangan lain, bukan RRI yang menyiarkan berita itu, tapi Radio AURI 4. Sesudah Pranoto menerima berita tentang penunjukannya menjabat Care-Taker MEN/ PANGAD, maka berturur-turut datang utusan dari Presiden/PANGTI yang memanggilnya supaya datang menghadap ke Halim, yaitu: Pertama: Letnan Kolonel Infantri Ali Ebram, Kepala Seksi I Staf Resimen Tjakrabirawa. Kedua: Brigadir Jenderal Sutardio, Jaksa Agung, bersama Brigadir Jenderal Soenarjo, Kepala Reserse Pusat Kejaksaan Agung. Ketiga: Kolonel (KKO) Bambang Widjarnako, Ajudan Presiden/ PANGTI. Semuanya menyampaikan perintah Presiden/PANGTI supaya menghadap ke Halim. Oleh karena Pranoto merasa sudah terlanjur masuk dalam hubungan Komando Taktis di bawah Mayor Jenderal Soeharto, maka ia tidak bisa secara langsung menghadap Presidenl PANGTI tanpa izin Mayor Jenderal Soeharto sebagai pengganti pimpinan Angkatan Darat saat itu. Atas dasar panggilan dari utusan-utusan Presiden/PANGTI, Pranoto pun berusaha mendapatkan izin dari Mayor Jenderal Soeharto. Akan tetapi Mayor Jenderal Soeharto melarangnya menghadap, dengan alasan bahwa Mayor Jenderal Soeharto tidak berani meriskir kemungkinan tambahnya korban Jenderal lagi, jika dalan keadaan sekalut itu pergi menghadap Presiden/PANGTI Pranoto mentaati perintah itu dan tetap tinggal di MBAD. 5. Pada malam harinya sekira pukul 19.00 Pranoto dipanggil oleh Jenderal A.H. Nasution, Kepala Staf Angkatan Bersenjata, supaya datang ke Markas KOSTRAD untuk menghadiri rapat. Selain Jenderal A. H. Nasution hadir juga Mayor Jenderal Soeharto, Mayor Jenderal Mursyid, Mayor Jenderal Satari dan Brigadir Jenderal Umar Wirahadikusumah, Panglima KODAM V/Jaya. Jenderal A.H. Nasution secara resmi menjelaskan bahwa mulai hari ini (1 Oktober 1965) Mayor Jendera Pranoto Reksosamodra ditunjuk oleh Presiden/PANGT sebagai Care-Taker MEN/PANGAD dan menanyakar bagaimana pendapat Pranoto secara pribadi. Pranoto menjawab bahwa ia belum menerima pengangkatannya secara resmi, 179
hitam di atas putih. Oleh karena itu berpendapat, sebelum ada pengangkatan resmi yang tertulis entah nantinya siapa di antara kita yang akar diangkat, lebih baik kita menaruh perhatian dalam usaha menertibkan kembali keadaan darurat waktu itu, yang ditangani langsung oleh Panglima KOSTRAD, Mayor Jenderal Soeharto, yang juga kita percayakan untul sementara menggantikan Pimpinan Angkatan Darat. Akan tetapi mengingat saat itu ada suara dan kesan dari media massa yang memuat berita-berita adanya usaha menentang keputusan Presiden/PANGTI tentang penunjukkan Pranoto sebagai Care-Taker MEN/PANGAD, maka oleh Jenderal A.H. Nasution ia diminta agar pada tanggal 2 Oktober 1965 pagi, mengadakan wawancara pers, yang direncanakan tempatnya di Senayan. Pranoto bersedia. 6. Tanggal 2 Oktober 1965, menjelang waktu Pranoto akan mengadakan wawancara pers, tiba-tiba Mayor Jenderal Soeharto dan Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra mendapat penggilan dari Presiden/PANGTI yang saat itu sudah meninggalkan Pangkalan Udara Halim dan menempati Istana Bogor. Oleh karena itu, wawancara pers terpaksa ditunda. Mayor Jenderal Soeharto bersama Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra ditemani Brigadir Jenderal Soedirgo (Direktur Polisi Militer) segera berangkat ke Bogor menghadap Presiden/PANGTI. Di Istana Bogor diadakan rapat, di mana hadir juga wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena, MEN/KASAL Martadinata, MEN/PANGAU Omar Dhani, MEN/PANGAK Soetjipto Yudodihardjo, Mayor Jenderal Mursyid, Menteri M. Yusuf dan beberapa Menteri lagi. Hasil rapat, Presiden/PANGTI memutuskan bahwa pimpinan Angkatan Darat langsung dipegang oleh PANGTI, sedangkan Mayor Jenderal Soeharto diperintahkan untuk menjalankan tugas operasi militer dan Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra ditugaskan sebagai Care-Taker MEN/PANGAD dalam urusan sehari-hari (dayly duty). 7. Tanggal 14 Oktober, setelah melalui macam-macam proses kejadian, maka Mayor Jenderal Soeharto diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat dengan membentuk susunan stafnya yang baru. Pranoto menjadi Perwira Tinggi yang diperbantukan pada KSAD. 8. Tanggal 16 Februari 1966, atas perintah KSAD Mayor Jenderal Soeharto, Pranoto ditahan di Blok F Kabayoran Baru, dengan tuduhan terlibat dalam G30S/PKI Penahanan itu berdasarkan Surat Perintah Penangkapan, Penahanan No. 37/2/1966, tanggal 16 Pebruari 1966. 9. Kemudian terjadi perubahan status penahanan dari Ketua Team Pemeriksa Pusat, dalam Surat Perintahnya No. Print. 018/TP/3/1966, ia mendapatkan penahanar rumah mulai tanggal 7 Maret 1966. 10. Dengan Surat Perintah Penangkapan/Penahanan No.Print. 212/TP/I/1969, Pranoto ditahan di INREHAB Nirbaya, tetap dalam tuduhan yang sama. 11. Dengan Surat Keputusan Menteri HANKAM Panglima ABRI yang termuat dalam keputusan No Kep./E/ 645/ll/1970 tertanggal 20 Nopember 1970 yang ditandatangani oleh Jenderal M.Panggabean, Pranoto mulai dikenakan schorsing dalam statusnya sebaga anggota Angkatan Darat yang diikuti pada bulan Januar 1975, tidak lagi menerima gaji schorsing dan penerimaar lainnya. Sedang Surat Pemberhentian atau pun Pemecatan secara resmi dari keanggotaan Angkatan Darat, tidak pernah diterimanya. Setelah mengalami semua perlakuan di atas, akhirnya berdasarkan Surat Keputusan Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (KOPKAMTIB) No. SKEP /04/ KOPKAM/I/1981, dalam pelaksanaannya oleh Kepala TEPERPU dengan Surat Perintah No. SPRIN/481 /II/1981 /TEPERPU, Pranoto Reksosamodra dibebaskan dari tahanan 180
terhitung mulai tanggal 16 Pebruari 1981. Jadi masa penahanannya berlangsung selama 15 tahun, yaitu dari 16 Pebruari 1966 sampai 16 Pebruari 1981. Selama dalam masa penahanan, Pranoto mengatakan tidak pernah mengalami pemeriksaan melalui proses dan pembuatan Berita Acara yang resmi. Ia hanya mengalami interogasi secara lisan yang dilakukan oleh Team Pemeriksa dari TEPERPU pada tahun 1970 dan sesudah itu tidak pernah diinterogasi lagi, sampai akhirnya dibebaskan. Ketika saya menemui dia di rumahnya yang sangat sederhana di daerah Kramatjati, dengan mantap ia mengatakan: “Ya, saya harus berani menelan pil yang sepahit ini dan harus pula berani membaca kenyataan dalam hidup yang sudah menjadi suratan Takdir”. la tidak direhabilitasi dan tidak juga menerima pensiun sampai wafatnya.
181
BUNG KARNO MENOLAK MEMBERIKAN DUKUNGAN ADA PUN Pimpinan Gerakan 30 September setelah mengetahui tidak ada dukungan massanya sendiri seperti yang dijanjikan oleh Syam dalam rapat dengan kelompok “Perwira Maju” terhadap gerakan mereka, menjadi panik dan kocar-kacir. Desas-desus bahwa PKI akan mengerahkan 1 juta massanya menguasai jalan- jalan di Jakarta, setelah gerakan dimulai, sama sekali tidak terbukti. Massa PKI malah ketakutan setelah melihat reaksi ABRI dan massa rakyat lainnya, yang sangat cepat mengutuk gerakan tersebut dan mulai dengan pembakaran gedung-gedung PKI dan organisasi- organisasi yang berafiliasi dengan PKI. Usaha G30S untuk mendapat dukungan dari Presiden Sukarno lewat Brigadir Jenderal Supardjo yang menghadap ke Halim, tidak berhasil. Presiden malah memerintahkan kepada Supardjo supaya menghentikan semua operasi militer dan mencegah terjadinya pertempuran. Ultimatum Panglima KOSTRAD kepada pasukan yang mengepung Istana dan yang berada di sekitar Taman MONAS supaya menyerah sebelum pukul 19.00, ditaati. Mereka segera masuk komplek KOSTRAD sebelum batas waktunya berakhir, kecuali sebagian anggota batalyon 454/Diponegoro dengan membawa senjata berat, terlanjur menuju Pangkalan Udara Halim, karena ada permintaan dari SENKO untuk membantu AURI menahan kemungkinan serangan RPKAD. Tapi kemudian juga mereka mentaati perintah PANGKOSTRAD supaya menyerah. Pasukan-pasukan yang menyerah itu terdiri dari Batalyon 530/Brawijaya dan Batalyon 454/Diponegoro, Kedua Batalyon didatangkan ke Jakarta masing-masing berdasarkan perintah dengan radiogram tanggal 19 September 1965 No.T.220/9 dan 21 September 1 965 No.T.239 oleh PANGKOSTRAD yang memerintahkarn pemberangkatan dengan seluruhnya membawa, perlengkapan tempur garis I dan sudah harus berada di Jakarta pada tanggal 28 September 1965. Setelah Untung mengumumkan lewat RRI tujuan gerakannya, serta mengumumkan pula susunan Dewan Revolusi dan men- demisionerkan Kabinet Dwikora, tapi kemudian mengetahui juga bahwa pengangkatan Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra sebagai Care-Taker MEN/PANGAD tidak bisa direalisasi, padahal dialah satusatunya harapan setelah Bung Karno menolak mem-berikan dukungan kepada G30S/PKI, maka ia pun menghilang dan tidak memperdulikan lagi anak buahnya yang sudah berantakan dalam keadaan tanpa pimpinan. Terpaksa mereka melakukan„longmarch“ ke Jawa Tengah di bawah pimpinan letnan Dul Arip. Tapi Dul Arip sendiri dengan beberapa pengawalnya, memisahkan diri dari pasukan, namun kabarnya disergap oleh ABRI di daerah Cilacap dan tewas dalam penyergapan itu. Ada pun anggota-anggota „Tjakrabirawa“ lainnya, berusaha melanjutkan perjalanan ke Semarang untuk bergabung dengan teman-teman mereka di sana, tapi baru sampai di daerah Brebes, sudah dihadang oleh pasukan yang setia kepada Pak Harto dan digiring kembali ke Jakarta untuk dimasukkan tahanan di Rumah Tahanan Khusus Salemba. Akhirnya Gerakan 30 September 1965 hanya bisa dinilai tidak lebih dari suatu avonturisme militer yang menculik 6 Jenderal lalu membunuhnya. Sedang pendukung politik di belakangnya, PKI, tidak lebih dari pelaku petualangan politik yang berakibat runtuhnya struktur kenegaraan yang ada dan sekaligus kepemimpinan Bung Karno. Letkol. Untung sendiri menurut laporan pers, berusaha menyelamatkan diri ke Jawa Tengah, dengan berpakaian preman naik bus dari Jatinegara, untuk bergabung dengan teman-temannya di sana. G30S Jawa Tengah, terutama Yogyakarta dan Solo, masih sempat berkuasa beberapa hari, bahkan di Yogyakarta berhasil menculik kolonel Katamso, komandan KOREM di sana dan membunuhnya. Tapi sial, dalam perjalanan dengan bus itu, ia melihat dalam bus ada beberapa anggota tentara yang menurut perasaannya, selalu memperhatikan dia dan dikiranya hendak menangkapnya. Maka sebelum terjadi apa-apa, ia pun meloncat dari bus yang sedang melaju ke jurusan Tegal, dan sekali lagi sial menimpanya, ia menghantam tiang telepon sehingga kesakitan. Rakyat yang melihat kejadian ini, mengira ada copet meloncat dari bus, oleh karena itu mereka -ramai-ramai hendak mengeroyok- nya. Terpaksalah Untung 182
berterus terang bahwa ia bukan pencopet melainkan Letnan Kolonel Untung dari „Tjakrabirawa“. Rakyat curiga, lalu menyerahkannya kepada petugas keamanan untuk mengurusnya lebih lanjut. Ia segera diserahkan kepada CPM setempat dan setelah mengusut seperlunya, langsung membawanya ke Jakarta dengan panser yang akhirnya dimasukkan blok isolasi di Rumah Tahanan Khusus Salemba (Blok N), dalam keadaan tangannya diborgol dan kakinya dirantai. Presiden Soeharto dalam Otobiografinya mengatakan bahwa Gerakan 30 September 1965 yang dipimpin oleh Letkol. Untung Samsuri, bukan sekedar gerakan yang menghadapi Angkatan Darat dengan alasan untuk menyelamatkan Presiden Sukarno, tapi mempunyai tujuan yang lebih jauh, yaitu ingin menguasai Negara secara paksa atau kup. Pasukan RPKAD segera disiapkan untuk menguasai kembali RRI yang digunakan oleh G30S menyiarkan pengumumannya dan Pusat Telkom (Kantor Telepon) yang juga mereka kuasai. Pukul 15.00 sore 1 Oktober 1965, di ruangan KOSTRAD dibuatkan rekaman pidato Pak Harto untuk siaran di RRI, jika pemancar itu sudah dikuasai kembali. Rekaman menggunakan tape recorder besar. Brigadir Jenderal Ibnu Subroto, Kepala Pusat Penerangan Angkatan Darat dan Brigadir Jenderal Sucipto, SH., dari KOTI menyaksikannya. Menjelang senja, kira-kira pukul setengah enam, muncullah Jenderal A.H. Nasution di KOSTRAD, setelah ia lolos dari penculikan pasukan G30S. Ia dalam keadaan pincang dan memakai tongkat. Sejurus lewat Magrib, satuan RPKAD berangkat menyerang RRI dan Telkom, masing-masing dipimpin kapten Heru dan kapten Urip. Kolonel Sarwo Edhie, Komandan RPKAD menunggu di halaman KOSTRAD. Setengah jam kemudian diterima laporan kalau kedua sasaran itu sudah dikuasai kembali sepenuhnya tanpa perlawanan dan tak sebutir peluru pun dilepaskan. Anak buah Untung telah melarikan diri. (Menurut keterangan lain, mereka sebelumnya memang sudah menarik pasukannya dari RRI). Lalu Brigjen Ibnu Subroto dengan beberapa pengawal menuju RRI membawa rekaman pidato Pak Harto. Sebelum berangkat, Ibnu Subroto mengucapkan „Bismillah“ dengan agak keras. Maka pukul 19.0 tepat (malam), siaran pidato Pak Harto dikumandangkan lewat RRI. Bunyinya sebagai berikut: „Para pendengar sekalian di seluruh tanahair, dari Sabang sampai Merauke. Sebagaimana telah diumumkan, maka pada tanggal 1 Oktober 1965 yang baru lalu, telah terjadi di Jakarta suatu peristiwa yang dilakukan oleh suatu gerakan kontra revolusioner, yang menamakan dirinya „Gerakan 30 September“. Pada tanggal 1 Oktober 1965, mereka telah menculik beberapa Perwira Tinggi Angkatan Darat, ialah : 1. Letnan Jenderal A. Yani, 2. Mayor Jenderal Soeprapto, 3. Mayor Jenderal S Parman, 4. Mayor Jenderal Haryono M.T., 5. Brigadir Jenderal D.l. Panjaitan, 6. Brigadir Jenderal Soetojo Siswomihardjo. Mereka telah dapat memaksa dan menggunakan studio RRI Jakarta untuk keperluan penteroran mereka. Dalam pada itu perlu kami umumkan kepada seluruh rakyat Indonesia, baik di dalam mau pun di luar negeri bahwa P.Y.M. Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata R.l./Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno dan Yang Mulia MENKO HANKAM/KASAB, dalam keadaan aman dan sehat wal‘afiat. Para pendengar sekalian. Kini situasi telah dapat kita kuasai, baik di pusat mau pun di daerah- daerah. Dan seluruh slagorde Angkatan Darat ada dalam keadaan kompak bersatu. 183
Untuk sementara pimpinan Angkatan Darat kandii pegang. Antara Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Kepolisian Rl, telah terdapat saling pengertian, bekerjasama dan kebulatan tekad penuh, untuk menumpas perbuatan kontra revolusioner yang dilakukan oleh apa yang menamakan dirinya „Gerakan 30 September“. Para pendengar sebangsa dan setanahair yang budiman, Apa yang menamakan dirinya „Gerakan 30 September“ telah membentuk apa yang mereka sebut „ Dewan Revolusi Indonesia“. Mereka telah mengambil alih kekuasaan Negara atau lazimnya disebut coup dari tangan Paduka Yang Mulia Presiden/ Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno dan melemparkan Kabinet Dwikora ke kedudukan demisioner, di samping mereka telah menculik beberapa Perwira Tinggi Angkatan Darat. Para pendengar sekalian, Dengan demikian jelaslah bahwa tindakan-tindakan mereka itu kontra revolusioner yang harus diberantas sampai ke akar-akarnya. Kami yakin, dengan bantuan penuh dari massa rakyat yang progresif- revolusioner, gerakan kontra revolusioner 30 September, pasti dapat kita hancurleburkan dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pasti tetap jaya dibawah pimpinan PYM Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/ Pemimpin Besar Revolusi kita yang tercinta Bung Karno. Diharap masyarakat tetap tenang dan tetap waspada, siap siaga serta terus memanjatkan do´a ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, semoga PYM Presiden/ Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno terus ada dalam lindunganNya. Kita pasti menang karena kita tetap berjuang atas dasar Pancasila dan diridoi Tuhan Yang Maha Esa. 26) 26) Ibid,hal. 127-128. Demikian Pak Harto yang mengemukakan juga dalam Otobiografinya bahwa tengah malam 1 Oktober 1965, ia perintahkan RPKAD dengan kekuatan 5 kompi kurang lebih 600 personil, bergerak menuju Halim Perdanakusumah lewat Klender, dan menguasai lapangan terbang itu dengan sedikit pertempuran. Dari RPKAD seorang yang gugur dan AURI 2 orang. Sebetulnya secara rasional tidak terdapat kondisi yang memaksa PKI melakukan coup d‘etat, karena partai ini sendiri sudah duduk dalam Pemerintahan, mulai dari Kabinet sampai ke tingkat daerah. Malahan M.H. Lukman, seorang wakil ketua PKI, dalam sebuah bukunya menulis bahwa PKI secara politik sudah berdominasi. Mudah dipahami mengapa Bung Karno mengatakan bahwa PKI dengan tingkahnya ini, benar-benar keblinger. Bahkan berbagai pengamat luar negeri yang tidak bisa memahami mengapa PKI bersikap sebodoh itu, menganggap bahwa bukan mustahil pimpinan partai ini kesusupan agenagen provocateurs yang berhasil menciptakan sesuatu yang „ready made“ dan bekerja dengan kecerdikan yang prima Prof. Dr. W.F. Wertheim dalam interviunya dengan mingguan Belanda „De Nieuwe Linie“ 8 April 1976 mencatat beberapa kecurigaan termasuk kecurigaannya terhadap peran Letkol Untung dan Brigjen Supardjo, dua tokoh penting dalam peristiwa coup d‘etat tersebut. PKI duduk dalam Kabinet dengan 4 Menterinya, yaitu Aidit, Lukman, Nyoto dan Ir. Setiadi. Kalau memang akan ada usaha coup d‘etat dari „Dewan Jenderal“ seperti yang dituduhkan oleh G30S/PKI, dapat dipastikan bahwa kewibawaan Bung Karno dan kekuasaan Pemerintah, di tambah dengan bantuan massa PKI yang militan dan massa PNI yang setia kepada Bung Karno, akan mampu mengatasinya. Apalagi sudah dapat dipastikan bahwa dalam usaha coup seperti yang terjadi pada 17 Oktober 1952, pihak ABRI tidak akan kompak. Pengalaman sepanjang sejarah kemerdekaan kita, mulai dari peristiwa 3 Juli 1946 (Persatuan Perjuangan) sampai peristiwa PRRI/PERMESTA, siapa saja yang mendahului mengadakan gerakan semacam itu, pasti dapat di tumpas. 184
Sebelum G30S, memang PKI sudah memperlihatkan sikap-sikap yang ekstra agresip, namun sikap politiknya secara umum tetap menunjukkan komitmen yang kuat mendukung Pemerintah dan politik Bung Karno sebagai pemimpin bangsa. Sejak 1954 PKI memperlihatkan sikap yang positip dengan menurunkan semua gerombolan bersenjatanya yang selama ini beroperasi dari gunung-gunung dan hutanhutan, seperti MMC (Merapa Merbabu Complex) di Jawa Tengah, BSA (Barisan Sakit Ati) dan Pasukan Siluman di Jawa Barat dan di beberapa daerah lainnya lagi di luar Jawa. Dengan demikian, PKI sebetulnya sudah menempuh langkah untuk melucuti dirinya sendiri. Penurunan gerombolan bersenjata ini, didahului dengan satu per-nyataan dari D.N. Aidit bahwa tidak mungkin mengkombinasikan perjuangan bersenjeta di satu pihak dengan perjuangan legal- parlementer di pihak lain. PKI sudah menentukan sikap, hanya menempuh perjuangan secara legal-parlementer. Juga Aidit sudah minta kepada SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) yang berafiliasi dengan PKI, supaya sedapat mungkin mencegah terjadinya pemogokan kaum buruh, senjata yang biasanya digunakan oleh PKI sebagai alat politik untuk menekan Pemerinah. Dengan demikian, PKI telah diarahkan menempuh perjuangan legal-parlementer seperti partai-partai komunis di India dan Eropa Barat. Ini semua adalah keberhasilan taktik yang diterapkan oleh Bung Karno dalam upayanya menjinakkan PKI untuk menggalang persatuan dan menciptakan stabilitas nasional, meski pun cara yang ditempuh oleh Bung Karno itu tidak bisa diterima oleh pihak lain yang a priori anti komunis. Tapi PKI terus berkembang. Ada pun cepat berkembangnya PKI tidak semata-mata seperti apa yang dikemukakan oleh Jenderal Yoga Sugomo dalam memorinya, yaitu karena militansi pendukungnya dan tidak sempatnya dituntaskan peberontakkan PKI di Madiun, karena 3 bulan kemudian (19 Desember 1948), kita sudah harus meng- hadapi agresi militer Belanda ll, sehingga situasi kacau itu di- manfaatkan oleh PKI dengan cepat sekali melakukan konsolidasi. 27) Secara objektif perlu dicatat, Amerika dan sekutu Baratnya, juga turut membesarkan PKI, karena sikap mereka yang memihak Belanda dalam sengketa Irian Barat dengan Indonesia. Amerika dan negara-negara Barat menolak menjual senjata kepada Indonesia untuk membebaskan Irian Barat, menyebabkan Bung Karno tidak mempunyai pilihan lain kecuali berpaling kepada Uni Sovyet yang komunis. 27) Memori Jenderal Yoga, hal. 74. Kompensasinya, sangat masuk akal bahwa Bung Karno menolak tuntutan Konperensi Palembang 4 September 1957 yang diseleng-garakan oleh Dewan Gajah dari Sumatera Utara, Dewan Banteng dari Sumatera Barat, Dewan Lambung Mangkurat dari Kalimantan Selatan, PERMESTA dari Sulawesi, Front Pemuda Sunda dari Jawa Barat serta beberapa Panglima, yang menghendaki supaya PKI dilarang dengan undang-undang. 28) 28) H. Ahmad Muhsin, Perang Tipu Daya antara Bung Karno dengan, tokoh-tokoh komunis. Golden Troyan Press, Jakarta 1969, hal. 28. Mana mungkin negara-negara sosialis yang dipimpin oleh Uni Sovyet mau memberikan bantuan senjata, jika PKI dilarang. Tapi dalam Pelengkap Nawaksara yang disampaikan oleh Presiden Sukarno di muka sidang MPRS 10 Januari 1967, dikatakan bahwa salah satu sebab terjadinya G30S, ialah karena keblingeran pemimpin- pemimpin PKI. Presiden tidak merinci bentuk keblingeran PKI itu, tapi kemudian jelas dari beberapa hasil penelitian bahwa sebenarnya D.N. Aidit terperangkap dalam strategi „Biro Ketentaraan“ yang dibentuk oleh Politbiro PKI yang dipimpinnya sendiri, tapi sehari-hari oleh Kamaruzzaman alias Syam, tokoh yang berperan double agent 29) yang mempunyai jaringan luas. Mingguan „TEMPO“ yang terbit di Jakarta misalnya, mengutip studi yang dilakukan oleh pakar Indonesia di Cornell University, seperti Benedict R. Anderson dan Ruth McVey yang dikenal dengan nama 185
Cornell Paper (1966) mengatakan bahwa Gerakan 30 September itu, tadinya adalah persoalan dalam tubuh Angkatan Darat, tapi pada saat- saat terakhir ada upaya memancing supaya PKI ikut terseret. Berbagai tulisan lain yang dikutip, misalnya dari Prof. Dr. W.F. Wertheim yang berjudul „Soeharto and Untung Coup - The Missing Link“ (1970) dan Prof. Dale Scott dari California University (1984), menunjuk peran CIA dalam gerakan ini. Sebaliknya Dr. Anthonie C.A. Dake dalam bukunya In The Spirit of The Red Banteng, justru; menuduh Bung Karno sebagai dalang Gerakan 3Q September, berdasarkan pengakuan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) KOPKAMTIB terhadap ajudan Presiden Sukarno, kolonel (KKO) Bambang S. Widjarnako. Juga John Hughes dalam bukunya The End of Sukarno (1967) menyimpulkan demikian.30) Yang mengejutkan, justru ada seorang pengacara di. Jakarta Sunardi, SH., tanggal 10 desember 1981 mengirimkan surat kepada 500 alamat pejabat tinggi termasuk Presiden Soeharto, menuduh Presiden Soeharto terlibat G30S/PKI, satu tuduhan yang dinilai tidak logis, karena Pak Hartolah orang pertama yang bertindak dalam kedudukannya sebagai Panglima KOSTRAD mengambil alih untuk sementara pimpinan Angkatan Darat, menumpas Gerakan 30 September. Oleh karena itu tuduhan Sunardi, SH. dinyatakan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang mengadilinya dalam sidang 7 Oktober 1982, sebagai penghinaan terhadap Presiden dan ia dituntut hukuman 4 tahun 6 bulan penjara potong masa tahanan. 31) 29) Harian „Sinar Harapan“ Jakarta, 13Maret 1967. Menuut Prof Dr. Wertheim, istilah ini hanya digunakan sekali dan sesudah itu tidak pemah lagi diulangi. 30) Mingguan „Tempo“ Jakarta, 8 Oktober 1980. 31) Harian „Pos Kota“ Jakarta, 8 Oktober 1982. Dalam pembelaannya, Sunardi mengatakan bahwa coup d‘etat Gerakan 30 September 1965 yang dikatakan gagal, justru berhasil dengan baik sesuai dengan rencana yang lebih dulu telah diatur dan diperhitungkan dengan cermat, yaitu menjatuhkan kekuasaan Presiden Sukarno sebagai pemegang Pemerintahan yang sah. Menurut Sunardi yang mengutip pembelaan Kolonel A. Latief, Komandan Brigade Infantri I KODAM V Jaya, 2 hari sebelum kejadian, ia sudah datang kepada Pak Harto melaporkan akan adanya gerakan. Tapi laporan itu dianggap tidak serius. Tanggal 30 September 1965 sekitar pukul 10 malam kolonel A. Latief datang lagi menemui Pak Harto di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat„Gatot Subroto“ yang sedang menunggui putranya, Tommy yang dirawat disana karena tersiram sup panas dan melaporkan tentang akan dicetuskannya gerakan pada malam itu juga. Karena Pak Harto diam saja, Latief menganggap sebagai menyetujuinya. Tapi keterangan Latief ini dibantah oleh Pak Harto dalam Otobiografinya dan mengatakan bahwa kedatangan Latief ke Rumah Sakit „Gatot Subroto“, ialah untuk mencek apakah Pak Harto benar berada di sana malam itu. Kolonel Latief saja yang sangat naif menarik kesimpulan bahwa Pak Harto tidak akan mengadakan kontra aksi atas gerakan yang hendak dilakukannya. Dikemudian hari masih muncul lagi orang lain yang menuduh Pak Harto seperti apa yang dituduhkan oleh Sunardi, SH., yaitu dari Drs. Wimanjaya K. Liotohe, pada awal September 1993 di umumkannya di Amsterdam ketika ia berkunjung ke Nederland. Menanggapi tuduhan ini, direktur BAKIN, Letnan Jenderal TNI Sudibyo, dalam dengar pendapat dengan Komisi I DPR 7 Pebruari 1994 mengatakan: „Hanya orang gila yang menuduh Pak Harto yang mendalangi G30S/PKl.“ Sebuah pertanyaan muncul: „Mengapa PKI begitu dungu menentukan jalan perjuangannya dengan menempuh jalur coup d‘etat yang berakibat kehancurannya? 186
PKI tidak mampu menilai dengan tepat kondisi masyarakat Indonesia“. Sambil mengintrospeksi diri dengan pernyataan „Kritik; dan Otokritik“ yang disusun segera setelah kekalahan PKI, tokoh-tokoh bekas PKI yang masih hidup, dan bisa saya temui, mengatakan bahwa gerakan mereka kesusupan unsur provokasi, sebagai akibat masih lemahnya organisasi. PKI sebenarnya hanya terbuai oleh puas diri dengan anggapan sudah berdominasi secara politik. Padahal anggapan itu tidak mengandung kebenaran, karena kualitas dan status masyarakat Indonesia, tidak pernah berubah sesuai dengan keinginan PKI. Syaratsyarat yang dapat mendukung berdominasinya PKI di bidang politik, ternyata tidak konkrit.
187
CAMPUR TANGAN CIA DAN KGB SEORANG Peneliti tentang Indonesia, Gabriel Kolko, mengungkapkan dalam laporannya dengan mengutip dokumen-dokumen State Department (Kementerian Luar Negeri A.S.) dan CIA (Central Intelligence Agency) mengenai debat tentang peran Amerika Serikat dalam kasus Gerakan 30 September 1965 di Indonesia, mengemukakan keterlibatan A.S. yang isinya sangat mengejutkan dan berbeda sekali dengan apa yang kita ketahui melalui sumber resmi. Dokumen yang digunakannya antara lain mengutip arsip dari perpustakaan mantan Presiden A.S., Lindon B. Johnson yang sudah diumumkan Tuduhan letnan kolonel Untung tentang keterlibatan CIA di Indonesia, dibenarkan oleh dokumendokumen yang terungkap di A.S. Ke-tidak-senangan Amerika terhadap Bung Karno dan Republik Indonesia yang dipimpinnya, sudah muncul ketika kunjungannya yang pertama ke negara Uncle Sam pada bulan Mei 1956 Waktu itu Bung Karno menjelaskan kepada Menteri Luar Negeri A.S., John Foster Dulles, dasar politik Indonesia "Kami tidak mempunyai hasrat untuk meniru Uni Sovyet, juga tidak mau mengikuti dengan membabi buta jalan yang direntangkan oleh Amerika untuk kami. Kami tidak akan menjadi satelit dari salah satu blok, kata Bung Karno kepada Menlu Dulles. Tapi politik seperti ini mudah sekali disalah-artikan oleh Amerika. Amerika hanya menyukai apabila kita memilih pihak seperti yang dikehendakinya. Kalau tidak sependirian dengan dia, secara otomatis dianggapnya tergolong dalam blok Uni Sovyet. Jawaban yang tajam datang dari John Foster Dulles: "Politik Amerika Serikat bersifat global. Suatu negara harus memilih salah satu pihak. Aliran yang netral adalah immoral (tidak bermoral)," katanya. Ini dialog antara Bung Karno dengan Dulles : Kemudian Bung Karno menyampaikan isi hatinya kepada Presiden Eisenhower yang mengaku kesenangannya nonton film koboi, yang dilakukannya tiap malam. Lebih dulu Bung Karno mengatakan bahwa ia menonton film hanya 3 kali seminggu dan yang disukainya ialah film-film yang menceriterakan pengalaman sejarah dan biografi. Di antara adegan-adegan dalam film Amerika, menunjukkan bahwa A.S. tidak dapat memahami masalah Asia. Benua Asia sekarang sedang "dimabuk" kemerdekaan. Seluruh benua itu merasakan kemerdekaan dengan kegembiraan yang amat sangat. Jadi, tolonglah sampaikan kepada rakyat Amerika agar memahami, bahwa jikalau suatu bangsa selama hidupnya menderita kepahitan hidup; kutukan, laknatan dan penindasan terhadap hasrat untuk merdeka, maka ia tidak akan melepaskan kemerdekaan itu lagi, apabila sekali telah berhasil merebutnya. "Sebagai sahabat yang bijaksana dan lebih tua, jika Amerika memberi kami nasehat, itu bisa! Akan tetapi mencampuri persoalan kami, jangan! Kami telah menyaksikan kapitalisme dan demokrasi Barat pada orang Belanda. Kami tidak mempunyai keinginan untuk memakai sistim itu. Kami akan menumbuhkan suatu cara baru yang hanya cocok dengan kepribadian kami. Ia bukanlah barang yang bisa diekspor ke luar, akan tetapi sebaliknya juga kami tidak bisa menerima barang impor berupa ajaran yang mengikat". 32) Demikian Bung Karno. 32) Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, hal. 409-410
188
Lama sebelum itu kekhawatiran Amerika terhadap kepemimpinan Sukarno di Indonesia, sudah nampak. Mula-mula Amerika terkejut, begitu cepat persetujuan KMB yang arsiteknya Amerika, dibatalkan begitu saja oleh Indonesia secara sepihak. Peter Dale Scott mengatakan, nampaknya sudah sejak 1953, Amerika berkepentingan untuk membantu mencetuskan krisis regional di Indonesia, yang telah diakui sebagai penyebab langsung yang merangsang Sukarno untuk pada tanggal 14 Maret 1957 meniadakan sistem Parlementer di Indonesia dan menyatakan berlakunya keadaan darurat militer, serta memasukkan korps perwira secara legal ke dalam kehidupan politik. Pada tahun 1953, Menteri Luar Negeri John Foster Dulles sudah mengatakan kepada Duta Besar Amerika di Jakarta, Hugh S. Cumming Jr, supayà dia jangan berbicara tidak bisa menarik kembali politik keterikatan Amerika memelihara persatuan Indonesia. Dipeliharanya persatuan sesuatu bangsa bisa menimbulkan bahaya, sebagai contohnya: Cina. 33) Program aksi politik khusus yang mendukung pemberontakan regional, secara resmi telah disetujui di Washington pada bulan Nopember 1957. Tapi perwiraperwira dan agen-agen CIA sudah melakukan kegiatan di kalangan kaum pembangkang, jauh sebelum itu. 34) Keputusan NSC (National Scurity Counsil) 171/1 20 Nopember 1953, sudah mempertimbangkan latihan-latihan militer sebagai suatu cara meningkatkan pengaruh Amerika Serikat, walau pun usaha-usaha utama CIA ditujukan kepada partai-partai politik moderat sayap kanan, khususnya MASYUMI dan PSI (Partai Sosialis Indonesia). Jutaan dollar yang telah dituangkan oleh CIA kepada kedua partai itu dalam pertengahan 1950, merupakan faktor yang berpengaruh atas peristiwa 1965, di mana seorang bekas kader PSI, Syam (Kamaruzzaman) didalihkan sebagai otaknya G30S/PKI. 35) Slanjutnya Peter Dale Scott mengatakan bahwa di tahun 1957-1958, CIA telah menginfiltrasikan senjata-senjata dan personil dalarn mendukung pemberontakan regional PRRI/PERMESTA melawan Sukarno. Sebuah pesawat terbang militer A.S. (B25) ditembak jatuh oleh APRI di Ambon dan pilotnya seorang penerbang Amerika, Allan Pope, ditangkap. Usaha-usaha CIA ini didukung oleh sebuah task force lepas pantai dari Armada ke-VII (AL A.S.) 33) Peter Dale Scott mengutip Mosley (1978) hal. 437. 34) Memorandum 7 April 1961 dari Direktur CIA, Allen W. Dulles, Hal. 1: Indonesia 22 (Oktober 1976) hal. 168. 35) Peter Dale Scott mengutip studi CIA hal. 107 dan Wertheim (1979) hal. 203. Dalam tahun 1957, suatu Komisi Khusus Senat yang mempelajari kegiatan CIA, telah menemukan apa yang dinamakanya "beberapa bukti tentang keterlibatan CIA dalam rencana hendak membunuh Presiden Sukarno". Tapi setelah melakukan suatu pemeriksaan awal atas usaha pembunuhan itu, komisi memilih sikap untuk menghentikan pemeriksaanya. 36) Sebenarnya Bung Karno mengetahui semua rencana ini meski pun tidak terperinci dari laporan-laporan Intelligen dan membacanya dari surat-surat kabar Amerika yang sering membocorkan rahasia, misalnya majalah "US World and News Report" sering disebut oleh Bung Karno sebagai salah satu sumber informasinya. Memang Bung Karno sering mendapat pertanyaan, apakah sikapnya anti Amerika? Bung Karno menjawab: "Bertahun-tahun lamanya aku sangat ingin menjadi sahabat Amerika, akan tetapi sia-sia". 37) 36) Dokumen-dokumen yang di-deklasifikasi, 1982, 002386, seperti yang dikutip oleh Peter Dale Scott 37) Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, hal. 430. 189
Puncak penghinaan Amerika terhadap Bung Karno terjadi pada tahun 1960, ketika ia diundang mengunjungi Washington oleh Presiden Dwight Eisenhower. Pertama sudah terasa, ketika Bung Karno mendarat di lapangan terbang Washington, Presiden Eisenhower tidak datang menyambutnya seperti yang menjadi kelaziman protokol kenegaraan yang berlakù waktu itu. Dengan kejadian ini, Bung Karno belum berkata apaapa. Kemudian ia menuju Gedung Putih dan mengira bahwa Eisenhower akan menyambutnya di pintu Gedung Putih. Tapi ternyata tidak juga. Terhadap perlakuan ini pun Bung Karno masih sabar, karena mungkin Eisenhower terlalu sibuk dan tidak bisa meninggalkan tempatnya. Tapi ketika Eisenhower membiarkan Bung Karno menunggu di luar, di ruang tunggu, Bung Karno merasa, ini sudah keterlaluan. Setelah menunggu hampir satu jam, dengan tajam ia menyampaikan kepada protokol: "Apakah saya harus menunggu lebih lama lagi? Kalau harus begitu, saya akan berangkat sekarang juga". Orang itu pucat mukanya dan berkata: "Saya mohon dengan sangat kiranya tuan dapat menunggu barang satu menit", dan dengan gugup ia berlari ke dalam. Kemudian keluarlah Eisenhower, dia tidak minta maaf. Bung Karno menceritakan kemudian bahwa hanya Presiden Kennedy pada tahun 1961 yang berjanji akan datang ke Indonesia di musim semi 1964. "Aku begitu gembira", kata Bung Karno, "sehingga aku membentuk satu team arsitek dan insinyur untuk membangun Gedung Tamu Agung, siap menyambut kedatangannya, terletak dalam lingkungan pekarangan Istana". Tapi, kata Bung Karno, secara umum memang Amerika memperhatikan negara-negara Asia yang terbelakang, karena dua alasan. Pertama, negara-negara itu merupakan pasar yang baik untuk melemparkan barang- barang hasil industrinya. Kedua, Amerika takut negara-negara itu menjadi komunis. Oleh karena itu, ia mencoba membeli kesetiaan negara-negara tersebut kepadanya, dengan membagi-bagikan pinjaman disertai peringatan bahwa pinjaman tidak akan diteruskan lagi, kecuali si penerima pinjaman tetap "berkelakuan baik". Menanggapi sikap Amerika yang demikian itu, Bung Karno mengutip ucapan Manuel Quezon dari Filipina yang mengatakan: "Lebih baik pergi ke neraka tanpa Amerika, dari pada pergi ke sorga bersama dia". Anthonie A.C. Dake yang anti Sukarno, mengatakan bahwa pertemuan 4 mata antara Sukarno dengan Perdana Menteri RRT, Chou Enlay, bulan Nopember 1964, setelah RRT meledakkan bom atomnya yang pertama, Indonesia dijanjikan akan mendapat Atom Device dalam tahun 1965. Kunjungan Menteri Luar Negeri Chen Yi ke Indonesia sesudah pertemuan Nopember antara Sukarno dan Chou Enlay (di Shanghai, dalam perjalanan dari Korea Utara), juga membicarakan soal ini. Brigjen Hartono, Kepala Logistik Angkatan Darat, dikutip oleh Dake, mengatakan bahwa semuanya tergantung dari Sukarno, karena Indonesia sudah mempunyai ahli- ahli untuk membuat atom. 33) Bahkan dikatakannya dengan mengutip sumber kantor berita "Antara" bahwa 200 ahli Indonesia bekerja untuk memproduksi bom atom dan akan terjadi surprise pada 5 Oktober 1965 (Hari Angkatan Perang). 38) Dake mengatakan mengutip dari "Indonesian Observer" 23 Desember 1964. Dikatakannya sebuah delegasi di bawah pimpinan Wu Heng, wakil ketua Komisi Atom RRT, tiba di Jakarta berunding dengan Prof. Soedjono Djuned Pusponegoro sebagai Menteri Riset Nasional. 39) 190
Menurut pendapat saya, cerita tentang bom atom dari RRT ini, bertentangan dengan kenyataan lain, di mana saya waktu itu sebagai Duta Besar Indonesia di Moskow, ditugaskan menandatangani atas nama Pemerintah Rl, Perjanjian Sedunia tentang Non Proliferation Nuclear (tidak mengembang-biakkan senjata nuklir). Jadi tuduhan Dake bahwa Indonesia akan mengadakan percobaan bom atom di pulau Mentawai, 40) tidak benar, meski pun katanya persetujuan itu telah ikut ditandatangani oleh Prof. Soedjono. 39) In the Spirit of the Red Benteng, hal. 335. 40) Ibid, hal. 328. Ini semua tujuannya untuk dijadikan dalih supaya Amerika Serikat segera bertindak terhadap Sukarno, karena rencana-rencananya dianggap sudah terlalu berbahaya. Rencana penyelenggaraan Konperensi Asia Afrika kedua di Aljazair, bulan Juni 1965, juga dikacau oleh CIA, dimana bertepatan dengan saat-saat persiapan akhir, tibatiba terjadi ledakan di gedung konperensi. Guy Pauker, yang dipercaya sebagai tokoh CIA, adalah orang Amerika yang di setiap peristiwa internasional penting selalu muncul, tepat waktu itu berada di Aljir dan memerlukan mengunjungi Ny Supeni, Duta Besar Keliling Rl yang waktu itu sudah berada di Aljir untuk ambil bagian dalam konperensi sebagai anggota delegasi Rl. Pauker mengatakan, keberadaannya di Aljir untuk memantau KAA-II secara langsung, karena peristiwa ini penting bagi Amerika.41) 41) Supeni Wanita Utusan Negara, hal. 220. Setelah terjadi ledakan bom di gedung konperensi, Menteri Luar Negeri RRT, Chen Yi, yang memimpin delegasi negaranya dan sudah lebih awal tiba di Aljir, langsung mengusulkan supaya konperensi ditunda saja, karena katanya, mereka datang ke Aljazair bukan untuk dibunuh. Usul ini disetujui oleh Aljazair dan negara- negara peserta lainnya, yang kemudian disetujui pula oleh 3 kepala Negara/Pemerintahan yang sedang menunggu di Kairo, yaitu Presiden Sukarno, Perdana Menteri Chou Enlay dan Presiden Gamal Abdel Nasser. Kalau KAA-II jadi dilangsungkan, Menteri Luar Negeri Indonesia, Dr. Subandrio, sudah siap dengan satu pengumuman yang akan disampaikan dalam konperensi itu, bahwa Indonesia mempunyai bukti adanya satu plot Amerika-lnggeris akan mengadakan serangan militer terhadap Indonesia. Karena konperensi tidak jadi diadakan, oleh Subandrio hanya diberikan interview kepada wartawan harian terbesar di Kairo, Al-Ahram (dipimpin Heykal), mengenai rencana Amerika- lnggeris tersebut. Semenjak itu ketegangan makin terasa mencekam. Presiden Sukarno dalam pidatonya di depan rapat Panglima TNI Angkatan Darat seluruh Indonesia bertempat di Markas Besar GANEFO Senayan 28 Mei 1965, sudah memperingatkan kemungkinan yang bakal terjadi. la menunjuk kepada makin meningkatnya kegiatan Nekolim (Neo kolonialisme/ imperialisme) untuk memukul revolusi Indonesia, sambil memperingatkan bahwa dalam negeri pun sudah ada kaki- tangan yang mereka tanam. Beberapa bagian pidato itu kutipannya sebagai berikut: Kaum imperialis sejak mereka bisa mengadakan peacefull coexistence dengan Moskow, mereka mempunyai anggapan bahwa yang menjadi musuh bukan lagi Moskow, melainkan kita: Indonesian Revolution, Sesudah the Indonesian Revolution naik aktivitas dan gengsinya, bahkan sesudah revolusi Indonesia benar-benar universal, suaranya mendapat resonansi di bangsa- bangsa lain. 191
Sesudah mereka melihat bahwa Indonesia adalah salah satu pokok dalam kesatuan AsiaAfrika, sesudah mereka melihat bahwa di dalam Dasa Warsa AA. (18 april 1965) Indonesia tidak tenggelam kedudukannya di dunia AA, malahan naik, malahan Indonesia oleh beberapa negara AA dianggap sebagai mercu suarnya, sesudah Indonesia menganjurkan agar supaya Konperensi AA-II di Aljazair lekas diadakan, sesudah Indonesia mengambil inisiatif untuk mengadakan CONEFO (Conference of the New Emerging Forces) dan ternyata inisiatif Indonesia ini mendapat sambutan yang hebat dari negara-negara AsiaAfrika, Amerika Latin dan negara-negara komunis, sesudah itu maka pihak imperialis boleh dikatakan terbuka matanya dan mengatakan: Here in Indonesia lies the danger. Revolusi Indonesia ini harus di-contain. Dulu mereka mencoba menghancurkan revolusi komunis di Rusia, karena Sovyetlah yang pertama memberontak terhadap sistim kapitalisme dan sistim kolonial. Pada waktu itu segala usaha diadakan oleh mereka untuk menghancurkan Sovyet Uni. Ini in geuren en kleuren (panjang lebar) diceritakan oleh Leon Trotzky dalam bukunya "Mein Leben". Bagaimana Trotzky sendiri memimpin ketahanan terhadap gempuran dari lima jurusan. Trotzky sebagai Panglima Besar tentara Sovyet mondar-mandir ke lima front itu dalam Markas Besarnya di gerbong Kereta Api. Sejak usaha itu gagal untuk menghancur-lemburkan Sovyet Uni, mulailah mereka mengadakan international campaign terhadap komunis. Maka tiap usaha dari bangsa apa pun yang anti imperialis, dicap komunis. Bahkan Petrus Bloemberger dalam bukunya "De Communistische Beweging In Nederlandsch Indie", Dr. Cipto Mangunkusumo dan Ir. Sukarno juga dikatakan: Ze Zijn communisten - mereka komunis. Dan sampai sekarang masih saja "the communist danger in Indonesia " Baca bukunya Arnold Brackman, wartawan Amerika dulu tinggal di Jakarta dan kawin dengan noni Jakarta, bukunya tebal, "Communism in Indonesia", kita semua dikatakannya komunis, di samping PKI. Sebutan komunis itu bagi kita sudah oude koek (basi). Kita sebenarnya sekedar mempertahankan tanahair kita, mempertahankan kemerdekaan kita dan mempertahankan revolusi kita. Oleh karena revolusi kita anti imperialisme, ; mereka sebut komunis. Dijual oleh mereka omongan bahwa Indonesia yang paling berbahaya, oleh karena Indonesia is going communist. Padahal tidak. Indonesia hanya ingin mempertahankan kemerdekaannya, hanya ingin menggabungkan semua tenaga anti imperialis di 3 dunia menjadi satu barisan yang berhasrat menentang imperialisme. Karena revolusi kita dianggap sebagai yang paling berbahaya, enemy number one musuh nomor satu, -. maka segala usaha mereka sebenarnya ditumpahkan kepada menghancurkan kita, revolusi kita. Itulah yang penting harus kita pahami. We are in the centre -kita berada di pusat aktivitas mereka untuk menghancurkan. Kita yang akan dihancurkan, dengan macam-macam jalan. Panglima Angkatan Darat sudah disclose (menyingkap) bahwa ada plan yang nyata bisa dibuktikan zwart op wit dari mereka untok menghantam kita. Ada plan yang nyata en jullie moet het weten (kalian harus tahu). Bukah sekedar plan yang nyata ada untuk mengadakan propaganda per radio dan surat kabar anti kita, tidak! Dan Jenderal Yani pun sudah berkata: Kita tidak gentar! Kalau; mereka serang kita, sekaligus kita hancur leburkan Singapura. Ya, memang karena Singapura adalah pokok, mile stone di dalam life line of imperialism. 192
Sebetulnya selain plan-plan itu, kita mengetahui juga macam-macam plan dari mereka untuk menghancurkan revolusi Indonesia, Salah satu plan itu untuk membunuh beberapa pemimpin Indonesia: Sukarno, Yani dan Subandrio. Itu yang pertama-tama harus dibunuh, malah kalau bisa, sebelum Konperensi AA - II di Alzajair (April 1965). Kalau tidak bisa, sesudah Konperensi di Aljazair, diadakan limited attack on Indonesiagempuran terbatas terhadap Indonesia. Dan pada waktu itu sedang ada limited attack, maka seperti disebutkan dalam mereka punya plan, kawan-kawan mereka (di dalam negeri) akan bertindak membantu menggulingkan Sukarno, Yani dan Subandrio. Kalau ini gagal juga, mereka akan berikhtiar lain untuk menggulingkan Sukarno, Yani dan Subandrio, yaitu membuka segala rahasia mereka terutama yang mengenai personal life (rahasia hidup pribadi), sehingga rakyat akan bertindak memberontak terhadap Sukarno, Yani dan Subandrio. Kita mengetahui: "They are preparing an attack of Indonesia. They are going to try to kill Sukarno, Yani and Subandrio. They are going to make a limited attack on Indonesia. They have the* friends here" - mereka mempersiapkan serangan terhadap Indonesia. Mereka mencoba hendak membunuh Sukarno, Yani dan Subandrio. Mereka akan melakukan serangan terbatas terhadap Indonesia. Dan mereka mempunyai teman-teman di sini " Demikian kutipan sebagian dari isi pidato Bung Karno yang rekamannya setelah ditranskrip terdiri dari 14 halaman folio tik-tikan (2 spasi). Apa yang diuraikan oleh Bung Karno, ada kemiripannya dengan dokumen-dokumen State Department dan CIA yang diumumkan di Amerika dan dikutip oleh berbagai peneliti sejarah seperti Prof. Peter Dale Scott dan Gabriel Kolko yang sudah dicatat di atas. Dengan memperhatikan pidato Bung Karno di depan rapat Panglima Angkatan Darat seluruh Indonesia 28 Mei 1965, dipérkuat oleh dokumen-dokumen State Department dan CIA yang diumumkan di Amerika serta proses di pengadilan yang mengadili tokoh-tokoh G30S/PKI, membantu kita memahami konstatasi Bung Karno tentang terjadinya G30S/PKI dalam pidato "Pelengkap Nawaksara" yang disampaikan kepada MPRS pada 10 Januari 1967 yang mengatakan bahwa berdasarkan penyelidikannya yang seksama, peristiwa G30S/PKI itu ditimbulkan oleh pertemuannya 3 sebab: 1. Kebelingernya pemimpin-pemimpin PKI. 2. Kelihaian subversi Nekolim. 3. Memang adanya oknum-oknum yang tidak benar. Namun jauh sebelum Bung Karno mengucapkan pidatonya itu, Wakil Perdana Menteri/ Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio yang juga Kepala Badan Pusat Inteligen (BPI) dan karenanya tentu lebih banyak mengetahui detail situasi dari laporan-laporan Intel, pada tanggai 3 Januari 1965 dalam resepsi peringatan harian "Duta Masyarakat" sudah menyatakan bahwa tahun 1965, memang merupakan tahun gawat. Gawat bukan saja karena kaum Nekolim terus menambah gencarnya sorangan dan rongrongan terhadap revolusi Indonesia tapi juga berbagai macam hal lainnya, sebagai akibat keluarnya Indonesia dari keanggotaan PBB, karena PBB menjadikan "Malaysia" anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB yang ditentang keras oleh Indonesia. Tahun 1965 juga gawat karena kita dalam tahun ini akan berusaha memperbaiki perekonomian kita, sedangkan kaum Nekolim sudah. pasti tidak senang terhadap perbaikan ekonomi Indonesia itu dan akan terus menghalang-halanginya. Dikatakannya juga bahwa tahun 1965 adalah tahun kristalisasi dari kekuatan-kekuatan dalam revolusi Indonesia. "Jangan terkejut apabila saya katakan bahwa mungkin dalam tahun 1965 ini kawan-kawan seperjuangan kita terpaksa ada yang rontok dan kita tinggalkan, karena tidak lagi dapat mengikuti jalannya revolusi. Untuk meninggalkan 193
kawan-kawan yang tadinya merupakan kawan-kawan seperjuangan itu, memang hati kita menangis, tapi hal itu terpaksa kita lakukan, demi keselamatan revolusi kita", kata Subandrio. Mengenai usaha Pemerintah untuk memperbaiki keadaan ekonomi dikatakannya selain usaha kaum Nekolim merongrong, juga dari kalangan bangsa kita sendiri ada tanda-tanda ke arah itu. Pada saat ini tidak saja ada multimilyuner, tapi sudah terdengar pula adanya multi-milyarder yang hanya menggunakan ludah, lidah dan dengkul sebagai modalnya. Dr Subandrio di kemudian hari divonis hukuman mati oleh MAHMILLUB, tapi kemudian dirubah menjadi hukuman seumur hidup. Juga Menteri Penerangan Achmadi dalam sambutannya mengatakan bahwa bagi revolusi Indonesia, tahun 1965 adalah tahun to be or not to be, sebab Indonesia berhadapan dengan kaum Nekolim yang merongrong kita. Rongrongan itu tidak saja dari luar, tapi sudah di dalam tubuh kita sendiri, sebab sadar atau tidak, di tengah- tengah kita ada saudara-saudara yang ikut serta membantu rongrongan kaum Nekolim itu.42) 42) "Berita Indonesia", Jakarta, 5 Januari 1965. Juga Achmadi divonis 10 tahun penjara. Kecurigaan Bung Karno atas keterlibatan CIA di Indonesia, memuncak pada bulan Juni 1965, setelah menerima pemberitahuan dari Washington bahwa Marshall Green diangkat menjadi Duta Besar AS yang baru untu k Indonesia, menggantikan Howard Jones yang sudah 7 tahun bertugas. Pers Indonesia diinstruksikannya melalui ketua umum PWI Pusat, A. Karim DP, supaya menggerakkan public opinion untuk menolak kehadiran Marshall Green. Bung Karno mengatakan, sudah mempelajari riwayat hidup ; Marshall Green yang berperan dalam penggulingan Perdana Menteri Mohammed Mossadegh dari Iran yang menasionalisasi perusahaan minyak Abadan pada tahun 1956 Juga ia yang berperan dalam penggulingan Presiden Syngman Rhee di Korea Selatan pada tahun 1960. Tapi instruksi Bung Karno ini ditentang oleh Subandrio dan berusaha membujuk Bung Karno supaya melunakkan sikapnya dan jangan menolak Marshall Green, karena ia khawatir akibatnya yang tidak bisa terduga, misalnya Armada ke-VII AS tiba-tiba menampakkan diri di Teluk Jakarta. Akhirnya Bung Karno mengalah, tapi sikapnya tetap tidak sreg dengan kehadiran Marshall Green di Indonesia. Howard Jones juga ikut mendesak Bung Karno supaya tidak menolak Marshall Green. Gabriel Kolko mengungkapkan adanya sebuah laporan dari Duta Besar Howard Jones di Jakarta kepada Gedung Putih yang diterima tanggal 3 Juni 1964 pukul 09.20 waktu Washington,43) menjelaskan adanya pembicaraan antara Duta Besar Jones dengan Jendral A.H. Nasution selama 1 jam 10 menit. Jones mula-mula mengatakan bahwa ia datang membawa semangat yang bersahabat dengan Indonesia, tapi katanya, ia melihat badai sedang nampak di cakrawala dan oleh karenanya baik diperhatikan peribahasa lama: Secercah persiapan pencegahan lebih baik dari mengharapkan sekali penyembuhan. 43) Gabriel Kolko: Dokumen-dokumen State Department dan CIA mengenai debat tentang peranan Amerika Serikat di lndonesia 1965, 13 Agustus 1990 - mengutip dari copy Lyndon B. Johnson Library. 194
Nasution mendengarkan dengan sabar selama setengah jam uraian Jones tentang situasi ekonomi Indonesia yang sangat kritis. Situasi akan menjadi lebih serius kalaupembicaraan Bangkok (mengenai sengketa Rl dengan Malaysia), gagal. Keadaan yang demikian- akan berkembang menguntungkan PKI dengan me- ngambil langkah-langkah yang bisa berakibat putusnya hubungan Indonesia dengan "Dunia Bebas", tèrutama Amerika. Jones mengingatkan kepada Nasution bahwa bantuan kepada Indonesia akan terpaksa dihentikan dan kewajiban- kewajiban Amerika terhadap Pakta ANZUS {Australia, New Zealand dan Amerika Serikat) akan diberlakukan, kalau Australia dan Selandia Baru terlibat di dalamnya. Nasution menjawab bahwa ia membenarkan analisis itu karena ia juga menilai keadaan dalam dan luar negeri sangat gawat. Ia ingatkan bahwa beberapa bulan lalu ia telah menyatakan pandangannya yang sangat pesimistis tentang masalah Malaysia dan kemungkinan bahwa pembicaraan di Manila dan Tokyo tidak bisa menyelesaikan masalahnya. Ia mengakui dengan jujur bahwa konfrontasi dengan Malaysia, menyakitkan. Jones mengatakan bahwa ia sampai kepada satu kesimpulan: "Karena tidak ada penyelesaian politik (mengenai Malaysia), militer Indonesia bertekad melanjutkan konfrontasi, tapi dengan hati-hati akan mencegah eskalasi menjadi sengketa besar. Bagaimana pun akan diusahakan lewat penyelesaian politik. Nasution setidaknya sadar akan bahaya komunis dan karenanya mementingkan pembinaan ke dalam, agar militer Indonesia sudah siap kalau tantangan datang. Tentara Indonesia dipercaya, masih anti kominis. Meski pun demikian, ia menghindari dengan keras tentang kemungkinan tentara ambil alih kekuasaan, sekali pun masalah ini sudah menjadi issue". Jones menganggap pembicaraan ini konstruktif dan tidak pernah sekali pun Nasution menyatakan permintaan bantuan, kalau krisis datang. "Saya rencanakan", kata Jones, "untuk menghubungi lain-lain Jenderal dan yang pertama dengan Jenderal Yani" Jones melaporkan bahwa, Nasution menyatakan kepada saya, kata laporan Jones, "secara rahasia Angkatan Darat sedang mengembangkan suatu rencana istimewa untuk mengambil alih kekuasasn, yaitu pada saat Sukarno turun". Catatan lain dari H. W. Brands (The Journal of American History) mengatakan, 2 minggu kemudian Jones bertemu lagi dengan Nasution yang meyakinkan kepadanya bahwa militer Indonesia tetap pro Amerika dan anti PKI. Jones melaporkan juga bahwa dalam satu pertemuan seorang stafnya dengan Jenderal Parman, ia telah mendiskusikan suatu rencana dengannya. Dikatakan, sekali pun sudah ada rencana sehubungan dengan era post Sukarno, sentimen kuat memang tumbuh di antara golongan penting pimpinan puncak tentara, untuk ambil alih kekuasaan sebelum Sukarno meninggal. Kapan hal ini terjadi, tergantung dari perkembangan beberapa minggu mendatang. Tekanan-tekanan yang saling bertentangan tumbuh dengan cepat dan menurut pendapat Parman, Angkatan Darat mungkin akan mengambil tindakan dalam waktu 30 sampai 60 hari, untuk menghalangi kegiatan PKI. Kaum komunis sedang membangun kekuatan para militer dan mulai mempersenjatai kekuatan itu. Inte I tentara telah mengetahui lokasinya dan merencanakan sesuatu untuk menjalankan isolasi segera terhadap pusat kekuatan itu, kalau detik-detik bertindak sudah tiba. Tapi dikatakan, tidak ada sentimen di antara kepemimpinan militer untuk bergerak terhadap Sukarno. Kalau tentara bergerak, mungkin melakukan fait a acompli, coup akan dilakukan sedemikian rupa untuk mempertahankan kepemimpinan Sukarno. Mereka yang mengeritik kepemimpinan Sukarno sekali pun,- berpendapat bahwa tidak ada 195
kemungkinan akan berhasilnya sesuatu coup terhadap Sukarno. Ia masih dicintai oleh rakyat. Demikian laporan Jones yang disampaikan ke Gedung Putih di Washington pada tanggal 3 Juni 1964. Jones menyatakan kesannya: "Dalam pembicaraan itu Nasution menyadari, bahwa ia tidak perlu terkejut, oleh pandangan yang saya kemukakan kepadanya". Menurut buku "Indonesia Crisis and Transformation 1965- 1868" yang ditulis oleh Marshall Green sesudah ia bertugas sebagai Duta Besar AS di Jakarta,44) rasa anti Amerika yang dikobarkan oleh Sukarno mencapai puncaknya pada bulan Mei 1965. Sebelumnya, pada awal tahun 1965, Rl menyatakan keluar dari keanggotaan PBB. Selain itu Indonesia juga makin dekat dengan RRT, Korea Utara dan Vietnam Utara. Di luar negeri Sukarno juga sedang hebat hebatnya meng- galang persatuan negaranegara berkembang Asia dan Afrika guna menentang kaum imperialis. 44) Ringkasan dan resensi buku itu dimuat dalam harian "Suara Pembaruan" Jakarta berturut-turut tanggal 15, 16, 17 dan 18 Juni 1991 yang ditulis oleh wartawannya di Amerika Albert Kuhon. Kemudian terjemahan buku itu dalam bahasa Indonesia diterbitkan oleh "Grafiti". Jakarta, 1992. Di dalam negeri, Sukarno menolak bantuan Amerika yang disalurkan lewat program USAID (United State Aid), serta mengisyaratkan kemungkinan pengambil-alihan perusahaan Amerika Serikat seperti Calltex, Stanvac, Good Year dan Union Carbide. Pada saat-saat seperti itulah Marshall Green ditawari jabatan Duta Besar di Indonesia, menggantikan Howard Jones yang pensiun. Waktu itu ia menjabat Deputy Asisten Menteri luar negeri AS untuk Wilayah Timur Jauh, mendampingi sahabatnya sejak kecil, William Bundy, yang menjabat Asisten Menteri Luar Negeri untuk wilayah Tirnur Jauh. . Waktu itu Presiden Amerika Serikat dijabat oleh Lyndon Johnson. Dalam banyak hal langkah Duta Besar Howard Jones dinilai terlalu membela Sukarno. Bahkan hubungan Jones dengan Sukarno dianggap terlalu dekat, sehingga menutupi buruknya hubungan antara Rl dengan Pemerintah AS. Jones pula yang membujuk Sukarno agar bersedia menerima Marshall Green sebagai Duta Besar AS untuk Indonesia. Walau pun ketika itu Sukarno tegas- tegas mengatakan kepada pers bahwa Green yang dicalonkan menggantikan Jones, bukan NEFOS (New Emerging Forces), bahkan disebutnya Green adalah tokoh yang amat dekat dengan CIA. Setelah ada isyarat bisa diterima oleh Jakarta, maka Marshall Green diambil sumpahnya di Gedung Putih sebagai Duta Besar, pada tanggal 11 Juni 1965. Marshall Green dan Lisa, istrinya, serta putera bungsu mereka Grampton (14), berangkat ke Jakarta 13 Juli 1965. Mereka terbang melalui Honolulu dan Hongkong. Wakil Dubes AS di Jakarta, Frank Gilbraith, ketika itu mengirim kabar ke Washington, agar keberangkatan Green ditunda. Situasi agak keruh karena di Jakarta sedang berlangsung demonstrasi besar- besaran menentang kehadiran Marshall Green. Kabar itu diterima oleh Green di perjalanan. Akibatnya, Green rnenunggu sekitar seminggu di Hongkong, baru kemudian melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Mereka beruntung karena pesawatnya tertunda lagi di Singapura selama 2 jam. Pesawat tersebut baru tiba di Jakarta larut malam dan para demonstran yang menunggunya sudah menghilang. Bandar Udara ketika itu dijaga ketat, rombongan Marshall Green dikawal sampai kediaman Duta Besar AS di daerah Menteng. Poster-poster, menentang kehadiran Green masih tampak di berbagai tempat dalam perjalanan dari Bandar Udara Kemayoran ke tempat kediamannya di Jakarta Pusat kediamannya di Jakarta Pusat. 196
Sebagai layaknya pendatang baru, Green mengunjungi 3 Menteri untuk berkenalan, yaitu Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio, Menteri Koordinator Pertahanan/Keamanan Jenderal A.H. Nasution dan Menteri Negara Adam Malik. Green menilai Subandrio sebagai pelaksana politik yang cerdik dan merasa berpeluang besar menggantikan Presiden Sukarno. Jenderal Nasution dicatatnya sebagai pejuang yang menentang komunisme. Sedang Adam Malik merupakan politisi dan diplomat pendukung Sukarno, namun melihat betapa PKI menyelewengkan semua keputusan dan pendapat Sukarno. Marshall Green menuturkan betapa Duta Besar Jepang di Jakarta, Shizo Saito mempunyai jalur khusus ke Istana Merdeka, berkat bantuan Dewi, istri (wanita Jepang) ketiga Sukarno, Saito sempat membantu Green pada awal penugasannya sebagai Duta Besar AS di Indonesia. Tulis Green: Setidaknya ada beberapa kesan yang menggores sangat dalam ke hatinya. Pertama, waktu ia membacakan dan menyerahkan Surat Kepercayaan dari Presiden AS kepada Presiden Sukarno dalam upacara resmi di Istana Merdeka 26 Juli 1965, lima hari setelah rombongannya tiba di Jakarta. Sukarno dalam pidato sambutannya menyerang kebijaksanaan politik luar negeri Pemerintah AS, sehingga ia merasa amat tersinggung. Sebenarnya ia ingin meninggalkan begitu saja upacara itu, tapi tak berani melakukannya, karena takut dikenai persona non grata. Green secara diplomatis membalas dengan menggoda Ny. Supeni, seorang pejabat tinggi Departemen Luar Negeri Rl yang hadir dalam upacara itu. Dubes Green mengatakan betapa Ny. Supeni yang mengenakan kebaya hijau itu (green) memiliki daya tarik yang sangat hebat, sehingga ia tak sempat menangkap kalimat-kalimat terakhir yang diucapkan oleh Sukarno. Maksudnya, bagian yang menyerang kebijaksanaan luar negeri AS. Godaan itu diucapkan dengan suara yang sangat keras, sehingga tertangkap oleh mikrofon dan terdengar oleh seluruh hadirin. Tentu saja suasana jadi tegang. Tindakan Green ini ternyata berbuntut. Beberapa jam kemudian, ribuan demonstran berkumpul di dekat kediaman Duta Besar Green. Wakil demonstran yang diterima oleh Green mengemukakan banyak hal mengenai imperialisme Amerika Serikat, CIA dan berbagai hal lainnya yang mengecam Amerika Serikat. Kesan kedua yang diterima oleh Green dari Sukarno adalah betapa seringnya ia dikatakatai sebagai orang yang menolak sebutan sebagai Marshall of Air Force (Marsekal Udara). Karenanya Sukarno di hadapan orang banyak beberapa kali menyebut Green sebagai Marshall of CIA (Marsekal Intelligen AS). Bulan September 1965, hubungan Rl dengan beberapa negara tertentu memburuk, terutama dengan AS. Green segera mengirim telegram kepada Menteri Luar Negeri Dean Rusk di Washington meminta, supaya menyampaikan ultimatum kepada Indonesia. Isi ultimatum dirancang oleh Green sendiri. Bunyinya: Segala bentuk pengrusakan terhadap harta diplomatik dan konsuler AS, akan mengakibatkan ditutupnya Konsulat Jenderal Rl di New York serta tempat-tempat lainnya di Amerika Serikat. Green sengaja menekankan penutupan Konsulat Jenderal Rl di New York, karena ia tahu, Menlu Subandrio dan sebagian besar anggota Kabinet Indonesia ketika itu, mengharapkan peran khusus Konjen Rl di New York dalam bidang keuangan. Ultimatum yang diharapkan, didapat dari Washington dalam waktu kurang dari 24 jam. Green menyampaikannya kepada Dr. Subandrio tanggal 13 September 1965.
197
Ternyata Subandrio tidak marah menerima ultimatum itu. Bahkan menanyakan hal-hal apa yang bisa dibantu oleh Pemerintah Indonesia. Sejak itu tidak pernah ada lagi demonstrasi terhadap Kedutaan AS sampai akhir 1965. Menyinggung peristiwa G30S/PKI, analisis pertama dari Kedutaan Besar AS di Jakarta mengatakan, gerakan itu dilakukan oleh PKI karena khawatir mengenai kesehatan Sukarno yang memburuk. Karenanya, PKI buru-buru bertindak menghabisi lawanlawannya di lingkungan Angkatan Darat, selama Sukarno masih bisa melindungi PKI. Jika Sukarno harus turun dari kepemimpinan negara, PKI berasumsi bahwa Angkatan Darat tak punya lagi kesempatan untuk menyaingi komunis. Analisis kedua dari pihak Kedutaan Besar, adalah kecurigaan mereka terhadap peran Sukarno dalam coup d'état. Green menyatakan, kecurigaan itu antara lain disebabkan oleh munculnya Sukarno di Halim Perdanakusumah, di mana berada para perencana coup d'état. Green menambahkan, keterlibatan Sukarno dalam pembunuhan para perwira tinggi AD, dimungkinkan karena merekalah yang sejauh ini menghalangi Sukarno mencapai tujuan NASAKOM. Analisis ke tiga, menurut Green, yang lebih dicurigai lagi adalah pihak Cina Komunis. Pihak Cina tahu daftar nama para Jenderal yang terbunuh pada pukul 11 siang 1 Oktober 1965, satu jam sebelum daftar itu diumumkan di Jakarta. Dalam daftar yang diperoleh Cina, terdapat nama Jenderal A.H. Nasution sebagai yang terbunuh, sehingga muncul dugaan daftar Jenderal yang akan dijadikan sasaran, sebenarnya sudah ada di tangan pihak Cina sebelum G30S/PKI meletus. Dua hari setelah Marshall Green kembali dari Washington berkonsultasi dengan Presiden Lyndon Johnson, wakil Presiden Hubert Humprey serta Menlu Dean Rusk, tepatnya 7 Maret 1966, Presiden Sukarno berpidato di muka umum yang menyatakan Marshall Green akan di usir dari Indonesia. Tanggal 8 Maret 1966, kedutaan Besar AS di jalan Merdeka Selatan diserbu demonstran yang pro Sukarno. Dikatakan oleh Green, International Governmental Group on Indonesia (IGGI) merupakan realisasi dari rencana Deputy Asisten Menteri Luar Negeri AS, Robert Barnett pada awal tahun 1966. Dalam resepsi memperkenalkan bukunya "Indonesia Crisis and Transformation 1965-1968" di Gedung Asia Society Washington awal Juni 1991, Marshall Green mengatakan bahwa tujuannya menulis buku itu, terang-terangan ia sebutkan untuk membantah tuduhan sebagian pihak mengenai keterlibatan AS dalam pembantaian kaum komunis di Indonesia. "Amerika sama sekali tidak ikut campur dalam soal itu. Indonesia menyelesaikan kemelutnya dengan kemampuannya sendiri", kata Green. Marshall Green menunjukkan ketersinggungannya karena dituduh sebagai pihak yang bekerja untuk CIA. Tapi sebaliknya dalam kata sambutan di bagian awal buku karya Green itu, seorang rekan sejak kecilnya yang kemudian menjadi atasan Green, Asisten Menlu AS, William P. Bundy, mengakui bahwa Green pernah bekerja di lingkungan CIA. Wartawan "Suara Pembaruan " menutup resensinya sehubungan dengan apa yang dituliskan dalam buku itu, Green sama sekali tidak menyebut nama George Benson. Disekitar meletusnya G30S/PKI tahun 1965, Benson adalah seorang atase di lingkungan Kedutaan Besar AS yang mempunyai hubungan khusus dengan beberapa tokoh militer Indonesia. Green cuma mengatakan, salah seorang atasenya yang bernama Willis Ethel, mempunyai hubungan istimewa dengan ajudan Jenderal A.H. Nasution. Buku Green ini bisa menjadi pelengkap khazanah sejarah Indonesia, tapi tentu saja diperlukan kepastian akan kebenaran dan keruntutan urainnya, kata Albert Kuhon (Wartawan "Suara Pembaruan"), menutup tulisannya. Apa yang dikutip di sini hanya bagian-bagian yang terpenting saja. 198
Pengakuan Marshall Green di atas, membuktikan betapa beralasannya kecurigaan Bung Karno bahwa Amerika memang campur tangan mengenai persoalan dalam negeri Indonesia dengan tujuan akhirnya menggulingkan Presiden Sukarno yang terlalu anti imperialisme dan kapitalisme yang justru menjadi strategi dasar politik global Amerika Serikat. Bung Karno yang tadinya sudah bulat sikapnya menolak kehadiran Marshall Green, kemudian merubah sendiri sikap itu setelah dicairkan oleh Subandrio. Memang dikemudian hari menimbulkan pertanyaan juga, apa yang tersembunyi di balik peran Subandrio itu, yang sangat kuat mendesak Bung Karno supaya jangan menolak Marshall Green? Kelemahan Bung Karno, karena ia sendiri ambivalent (mendua) dalam sikapnya, sebagaimana umumnya orang-orang yang bernaung di bawah bintang Gemini, dan masih berpikir dapat merubah sikap agresif Amerika Serikat, jika saja ia memberikan konsesi. Padahal konsesi itu terbukti tidak menolong apa-apa. Cerita tentang penerbang Amerika, Allan Pope yang disewa oleh kaum pemberontak PRRI/PERMESTA dan dalam satu kali serangan saja sudah mernbunuh 700 rakyat di Ambon, akhirnya di ampuni oleh Bung Karno dengan menggunakan hak prerogatipnya sebagai Presiden, meski pun dengan imbalan yang tidak seimbang dengan subversi AS di Indonesia, adalah sebuah contoh. Juga kemurahan hati Bung Karno ini, sama sekali tidak merubah politik Amerika Serikat terhadap Indonesia. Tentu maksud Bung Karno hendak menunjukkan bahwa ia ingin nunjukkan bahwa ia ingin bersahabat dengan Amerika, tanpa memahami lebih jauh strategi politik Amerika yang justru hendak meruntuhkan kepemimpinannya. Ada baiknya kita kaji kembali kisah kebaikan hati Bung Karno menyelesaikan kasus Allan Pope. "Di satu pagi hari Minggu bulan April 1958" kata Bung Karno, penerbang Amerika, Allan Pope, yang disewa oleh kaum pemberontak PRRI/PERMESTA, melakukan serangan terhadap pulau Ambon, menyerang sebuah Gereja dan gedung itu hancur, yang di dalamnya jama'at sedang melakukan kebaktian dan terbunuh semua. Juga ditenggelamkannya sebuah kapal Republik dan semua awak kapal mengalami nasib yang malang. Serangan pagi itu telah membunuh 700 rakyat yang tak berdosa. Prajurit-prajurit kita yang menggunakan meriam penangkis serangan udara yang sudah tua menembak jatuh pesawat B-25 dan penerbangnya, Allan Pope, jatuh di pohon kelapa. Sebelah kaki dan tulang pahanya patah. Ia harus bersyukur karena jiwanya diselamatkan oleh Republik, ia diangkut ke rumah sakit. Bung Karno menanyakan kepada Duta Besar Amerika Serikat, mengapa penerbang itu memerangi kami? Jawab sang Duta Besar: "Oleh karena dia dengar tuan komunis dan dia hendak menyumbangkan tenaga dalam perjuangan melawan komunisme". Surat-surat Pope yang ditemukan di tempat dia jatuh, menyatakan bahwa ia seorang penerbang yang diberi ijin untuk angkutan udara sipil dengan menjelaskan haknya untuk menggunakan lapangan terbang Clark di pangkalan Amerika dekat Manila. Bung karno yakin, Allan Pope seorang agen CIA, meski pun tidak ditemukan bukti yang tertulis. Tentu ia tidak ; sebodoh itu untuk membawa bukti-bukti yang dapat memberatkan dirinya. Di setiap negara yang baru berkembang, orang akan melihat agen-agen Amerika banyak berkeliaran. Kami pun melihat mereka berkeliaran di Jakarta, kata Bung Karno. 199
Isteri Allan Pope, bekas pramugari pada perusahaan penerbangan PAN American Airways datang kepada Bung Karno dan menerimanya Dia menangis mencurahkan, seluruh kesedihannya dan memohon supaya suaminya diampuni. Bung karno tidak dapat memandangi air mata seorang perempuan, sekali pun dia seorang asing. Kemudian ibu dan saudara perempuannya juga datang dengan sedu-sedan yang melebihi dari perasaan yang dapat ditahankan oleh Bung Karno. Saat itu Allan Pope sudah keluar dari rumah sakit setelah dokter- dokter Indonesia menyelamatkan jiwanya tanpa memotong kakinya. Ia sedang berada dalam tahanan rumah menunggu pemindahannya ke penjara tentara untuk dihukum mati. Tapi Bung Karno menyampaikan kepadanya: "Atas kemurahan hati Presiden Republik Indonesia, engkau diberi ampun. Putusan ini dilakukan secara diam-diam. Saya tidak menghendaki propaganda mengenai hal ini. Pergilah dan sembunyikan dirimu di Amerika Serikat dengan diamdiam. Jangan bikin cerita-cerita sensasi di surat-surat dan sembunyikan dirimu di Amerika Serikat dengan diam-diam. Jangan bikin cerita-cerita sensasi di surat-surat kabar. Jangan buat pernyataan-pernyataan. Pulanglah, sembunyikan dirimu, kami akan melupakan semua yang telah terjadi".45) 45) Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, hal. 400-402 Begitu besar kemurahan hati Bung Karno, sampai-sampai ia menggunakan hak prerogatipnya mengampuni agen CIA yang telah membunuh ratusan mungkin ribuan rakyat Indonesia dan menenggelamkan banyak kapal Republik. Tergerakkah hati Pemerintah Amerika Serikat untuk membalas budi baik Bung Karno dengan menghentikan subversinya di Indonesia? Tidak! Justru Amerika meningkatkan kegiatannya hendak menggulingkan Bung Karno. Namun cukup mengejutkan pengakuan Ladislav Bittman, bekas kepala Departemen VIII Dinas Intelligen Cekoslowakia dalam bukunya "The Deception Game" -permainan curangyang kemudian disadur ke dalam bahasa Indonesia oleh Oejeng Soewargana. 46) Digambarkannya bahwa Dinas Intelligen Cekoslowakia dan KGB (Dinas Intelligen Uni Sovyet), pada saat- saat pengganyangan Amerika di Indonesia, nimbrung memancing di air keruh. 46) Diterbitkan oleh PT. Tjandramerta, Jakarta, 1973. Pengakuan itu mengatakan, Mayor Louda seorang perwira senior intel Ceko yang beroperasi di Indonesia, menyampaikan dokumen-dokumen palsu kepada pejabatpejabat Indonesia, pimpinan partai-partai politik dan pers, yang langsung memper- cayainya. Adegan dimulai dengan menyampaikan informasi palsu kepada Duta Besar Rl di Praha (yang tidak disebut namanya), mengenai apa yang dinamakannya "Operasi Palmer". Sang Duta Besar yang katanya juga seorang perwira intelligen BPI (Badan Pusat Intelligen), percaya kepada informasi itu dan meneruskannya ke Jakarta, karena memang pesan Mayor Louda, harus diketahui oleh Subandrio dan Bung Karno. Akibatnya, bukan Bill Palmer saja yang menghadapi kesulitan, juga "Peace Corps" Amerika yang banyak melatih di bidang olah raga, dituduh menjadi mata-mata CIA, diusir dàri Indonesia. Pada akhir bulan Maret 1965, Presiden Lyndon B. Johnson mengirim wakil khusus ke Indonesia, Ellsworth Bunker, untuk mengusahakan peredaan ketegangan antara Amerika dengan Indonesia. Misi Bunker gagal dan sesudah ia pulang, permusuhan terhadap AS makin menjadi-jadi. 200
Pada bulan April 1965 datang di Jakarta seorang Armenia yang tinggi langsing, dengan rambut dan kumis yang sudah mulai ubanan, sikapnya aristokratis dan tidak banyak menarik perhatian orang. Padahal dia sebenarnya Jenderal Agayant, kepala Departemen Berita berita Palsu KGB yang bekerja sama dengan Dinas Rahasia Cekoslowakia. Dia merasa puas melihat hasil- hasil yang dicapai oleh "Operasi Palmer". Hasilnya, hubungan Indonesia-Amerika telah mencapai taraf yang sangat kritis. Tanpa takut kemungkinan akan diketahui bahwa sumber kampanye anti Amerika didapat dari Dinas Berita Palsu Blok Sovyet, Jenderal Agayant memerintahkan siaran luar negeri Radio Moskow yang ditujukan ke Indonesia, meningkatkan siaran-siarannya dengan komentar-komentar yang sebelumnya sudah terbukti sangat berhasil. Salah satu komentar yang disiarkan 3 Juni 1965, merupakan contoh yang dinilai baik. Kutipannya sebagai berikut: "Pendengar-pendengar yang terhormat! Anda tentu banyak mengetahui tentang kegiatankeg atan subversif yang dilakukan oleh United States Intelligence Agency (Dinas Intelligen AS). Sejumlah besar agen-agen rahasianya ditempatkan di seluruh dunia Dalam mempekerjakan agen-agen yang dapat dilukiskan sebagai "pembunuh-pembunuh tersembunyi" (the knights of cloak and dagger), ahli-ahli subversi Amerika Serikat mengarahkan perhatian khusus mereka ke negara-negara Asia dan Afrika. Mereka sedang berusaha keras untuk mengubah suasana politik di negara-negara tersebut dengan subversi. Sebagai biasa, agen-agen rahasia CIA mendapat dukungan pasukan-pasukan AS di seluruh dunia. Hal ini dapat dibuktikan dengan kejahatan-kejahatan AS di Vietnam, Laos dan Konggo. Telah diketahui, bahwa sejak lama CIA merencanakan kejahatan- kejahatan yang sama di Indonesia. Belum lama berselang seorang agen rahasia CIA yang kerkemuka, Bill Palmer, telah tertangkap basah. Ia mengatur sebuah jaringan komplotan baru Palmer adalah seorang agen rahasia kawakan la menyamar sebagai wakil dari AMPAI (American Motion Picture Association in Indonesia). Selama 19 tahun ia melakukan kegiatan-kegiatan subversi di Indonesia. Menurut berita-berita pers, Palmer memelihara hubunganhubungan yang luas di Indonesia la menggunakan dana yang di sediakan oleh CIA dan iuran yang dikumpulkan dari pemutaran film-film Amerika di Indonesia, yaitu film-film yang mempropagandakan imperialisme dan aspek-aspek penghidupan Amerika, untok menyogok agen-agen rahasia Indonesia dan Amerika dan untuk membiayai unsur-unsur anti revolusioner yang merencanakan komplotan-komplotan. Tugas Palmer yang paling penting ialah merencanakan pemberontakan- pemberontakan di Indonesia antara tabun 1957 dan 1959, yang mengakibatkan hilangnya banyak harta benda dan ribuan jiwa orang Indonesia Palmer telah mengadakan kontak dengan pemimpin-pemimpin pemberontak seperti Simbolon, Kawilarang dan lain-lain di Bungalawnya di Puncak Palmer telah menyerahkan uang kepada mereka dan memberi nasehat Palmer di Bungalawnya juga telah mengatur sebuah pertemuan antara pimpinan CIA, Allen Dulles, dan pemimpin-pemimpin jaringan spionase, di mana mereka merencanakan komplotan untuk membunuh Presiden Sukarno dalam tabun 1957. Dalam beberapa tahun belakangan ini, Palmer giat sekali mengumpulkan orang-orang kontra-revolisioner di Indonesia untuk merencanakan petualangan-petualangan baru. Disamping itu ia merongrong perkembangan ekonomi Indonesia dengan gerakan subversi dan sabotase. Memang tepat, jika Indonesia menuduh CIA dan Palmer sebagai Indonesia 201
dengan gerakan subversi dan sabotase. Memang tepat, jika Indonesia menuduh CIA dan Palmer sebagai otak subversi pada kedudukan-kedudukan militer di Jawa dan Sumatera akhir bulan Maret dan awal bulan April yang baru lalu, yang mengakibatkan banyak korban jiwa. Kegiatan-kegiatan subversi di Jawa dan Sumatera dilaksanakan pada saat utusan Gedung Putih, Michael Forrestal, berada di Indonesia. Kantor berita Perancis AFP (Agency France Press) menghubung- hubungkan subversi di Jawa dan Sumatera itu dengan kunjungan Forrestal. Sangat besar kemungkinannya, Forrestal mengharapkan akan dapat menggunakan subversi itu sebagai alasan untuk melakukan tekanan-tekanan pada Pemerintah Indonesia dan memaksa Presiden Sukarrio supaya membatalkan maksudnya menasionalisasi perusahaan- perusahaan asing, termasuk perusahaanperusahaan AS di Indonesia. Pembukaan kedok Palmer mengungkapkan pula kegiatan-kegiatan yang tidak pantas, yang di lakukan oleh Duta Besar Howard Jones di Indonesia. Seperti diketahui, Howard Jones telah dipanggil pulang beberapa waktu yang Ialu untuk menghapus kegiatankegiatannya yang ilegal Jones telah menterapkan kolonialisme AS di Indonesia selama kira-kira 7 tahun la sendiri telah ikut serta mengorganisasi pemberontakan-pemberontakan terhadap pemerintah Indonesia dan memelihara kontak dengan agen-agen CIA serta memimpin kegiatan-kegiatan subversif mereka Seperti ditulis oleh wartawan-wartawan Ross dan Wise dalam buku mereka "The Invisible Government" (Pemerintahan yang tidak nampak), Jones telah mengambil bagian dalam komplotan-komplotan CIA di Indonesia. Ia mengetahui perincian siasat C/A untuk memberikan senjata kepada kaum pemberontak di Sumatera dan Jawa. Ia sendiri juga terlibat dalam pemberian senjata itu. Sejumlah besar kegiatan subversif yang dilakukan agenagen C/A di bawah pimpinan Palmer, yang berlangsung di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini, telah mendapat persetujuan Jones Pers International telah memuat artikel-artikel mengenai keterlibatan Jones dalam komplotan untuk membunuh Presiden Sukarno di Teluk Sulawesi Duta Besar Amerika, Howard Jones, menyerahkan jabatannya kepada Marshall Green. Jones akan mengepalai apa yang dinamakan " East-West Center" di Hawai. Palmer telah meninggalkan Indonesia karena takut akan pembalasan. Jones juga akan meninggalkan Indonesia, tetapi jaringan CIA tetap tinggal di Indonesia. Rakyat Indonesia selalu menuntut, agar pengaruh modal AS dan kegiatan-kegiatan CIA di Indonesia di hentikan " Demikian siaran radio Moskow. Buku "The deception game" juga mengatakan bahwa dokumen Gillchrist, Duta Besar Inggris di Jakarta, yang terkenal itu, katanya diproduksi oleh Dinas Rahasia Blok Sovyet, berupa sebuah surat kepada Kementerian Luar Negeri di London, yang dialamatkan kepada Sir Harold Cassia, Sekertaris Muda Kementrian Luar Negeri di London bertanggal 24 Maret 1965. Dokumen itu katanya, diteruskan kepada Wakil Perdana Menteri/ Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio dan Presiden Sukarno. Antara lain isinya seperti yang dikutip oleh Ladislav Bittman sebagai berikut: Saya telah mengadakan pembicaraan-pembicaraan dengan Duta Besar Jones mengenai masalah yang tersebut dalam surat No. 67785/65. Duta Besar Jones pada pokoknya sepakat dengan pendirian kita. Akan tetapi ia meminta lebih banyak waktu untuk mempelajari persoalan itu dari berbagai segi. 202
Menjawab sebuah pertanyaan, pengaruh apa yang akan timbul dari kunjungan Bunker, utusan istimewa Presiden Johnson ke Jakarta untuk membicarakan masalah perbaikan hubungan Amerika-lndonesia, Duta Besar Jones mengatakan, bahwa ia tidak melihat suatu kemungkinan untuk memperbaiki keadaan, dan bahwa hal itu akan memberikan waktu kepada kita untuk membuat persiapanpersiapan yang lebih mantap. Duta Besar Jones juga mengingatkan perlunya mengambil langkah-langkah baru untuk menciptakan koordinasi yang lebih baik dan ia mengatakan, tidak perlu menekankan keharusan membuat rencana itu menjadi sukses. Saya telah berjanji akan membuat persiapanpersiapan yang diperlukan dan saya akan melaporkan pendapat saya mengenai masalah ini dalam waktu yang tidak begitu lama. 47) Yang dimaksud ialah serangan bersama terhadap Indonesia dari pangkalan-pangkalan di Malaysia. Surat itu disangkal oleh Inggris. 47) Baca: Ladislav Bittman, Permainan Curang, bab: Bumerang Indonesia, hal. 123-141. 197 Dari pengakuan Ladislav Bittman, menunjukkan bahwa Dinas Rahasia Cekoslowakia dan KGB (Sovyet) juga ikut terlibat mendorong meletusnya G30S/PKI, meski pun diakui kemudian bahwa tindakan itu menjadi bumerang, karena akibatnya melampaui apa yang direncanakan. Rencana mereka hanyalah hendak menunggangi situasi anti Amerika yang meningkat di Indonesia untuk menghancurkan sama sekali pengaruh AS di negara tersebut. Akibat yang tidak mereka perhitungkan, justru yang hancur Partai Komunis Indonesia (PKI). Tapi seorang cendekiawan Inggris, Neville Haxwell, menemukan sepucuk surat dari seorang Duta Besar Pakistan di Paris yang ditujukan kepada Menteri Luar Negeri Pakistan waktu itu, Zulfikar Ali Bhuttho, yang melaporkan ucapan seorang pejabat Belanda di Nato pada bulan Desember 1964 yang mengatakan bahwa Indonesia akan jatuh ke tangan Barat seperti apel busuk. Agen- agen intelligen Barat punya rencana untuk mengorganisasi "premature communist coup" (kup komunis pradini), untuk memberi peluang kepada Angkatan Darat menumpas PKI dan menjadikan Sukarno sebagai sandera.48) 48) New York Review of Books, Juni 1978 Seorang peneliti, Geofrey Robinson (Boston, AS) dalam makalahnya "Some Arguments Concerning S. Influence and Complicity in Indonesia coup of October 1, 1965" (1990) mencatat bahwa surat Gillchrist yang kesohor itu terlihat sebagai dokumen yang tidak mengherankan dan akibat-akibatnya sama sekali bukan tak masuk akal. Apa yang dinamakan surat Duta Besar Inggris di Jakarta, Sir Andrew Gillchrist kepada Departemen Luar Negerinya, dilaporkan berisi alinea: .........Akan baik untuk menekankan sekali lagi kepada para sahabat kita di dalam Angkatan Darat, (our local army friends, pen.) bahwa kehati-hatian yang paling seksama, disiplin dan koordinasi, adalah esensial dari suksesnya usaha. 49) 49) New York Review of Books, Mei 1978 Orang-orang Inggris dan Amerika menyatakan bahwa surat ini palsu dan memang barangkali begitu. Tapi siapa yang memalsunya? Pada umumnya diperkirakan bahwa surat ini dimasak oleh jaringan Intelligen Subandrio yang akan digunakan dalam pertarungan politik di dalam negeri menghadapi Angkatan Darat dan sudah tentu juga 203
menghadapi Inggris (dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia). Tapi surat itu juga berguna (meski pun dikatakan palsu) untuk mempolarisasi politik Indonesia dan membuat PKI waspada terhadap desas-desus kemungkinan kudeta tentara. Sampai sejauh itu, ia juga agak berguna bagi tujuan-tujuan politik AS dalam menenangkan krisis politik ke arah yang tak terhindarkannya bentrokan antara Angkatan Darat dan PKI. Tapi jika dokumen Gillchrist itu di balik menjadi pemalsuan CIA dan sengaja diedarkan untuk menghasut PKI dan Sukarno, kita akan punya bukti yang meyakinkan bahwa usulusul pemerintah AS dan CIA, telah benar-benar dilaksanakan dengan atau melalui dokumen itu. Nyatanya, kita tidak punya bukti bahwa dokumen Gillchrist adalah produk CIA. Yang ada hanya bukti-bukti lingkungan keadaan dari upaya-upaya intelligen luar negeri untuk menggerakkan polarisasi dan saling curigamencurigai di kalangan pengomplotpengomplot kudeta, bulan dimana surat Duta Besar Pakistan beredar, Chaerul Saleh dianggap taruhan anti komunis yang baik oleh CIA, karena ia membongkar dokumen adanya rencana kudeta PKI 50) 50) Ruth McVey, Korespondensi pribadi dengan George Kahin, Benedict Anderson dan Prederick Bunnel. Namun "Harian Rakyat" (harian PKI 2 Januari 1965, mengatakan bahwa dokumen yang dimaksud adalah palsu. Ini dapat dimengerti karena kerjaan Chaerul Saleh itu, dianggap sebagai gerak awal dari Intelligen Barat untuk mengembangkan suasana curiga-mencurigai sehubungan dengan tanda-tanda bahaya dari "kiri" yang direncanakan untuk membangkitkan dan mempercepat reaksi Angkatan Darat. Surat Gillchrist dan kemudian desas-desus tentang akan adanya kup "Dewan Jenderal", kedua- duanya telah sengaja diedarkan untuk menghasut PKI masuk ke dalam komplotan mengadakan "kup pradini" atau apa yang dikenal dengan "kup Untung". Apa pun nilainya, suratsurat ini bersama- sama dengan bukti-bukti yang menyangkut CIA dan usul-usul pemerintah AS mengenai ancaman komunis, telah memberikan sejumlah kepercayaan kepada interpretasi yang memasukkan kegiatan AS dan asing lainnya, sebagai kegiatan sengaja menghasut atau memprovokasi suatu pertarungan terbuka antara "kiri" dan "kanan" dengan asumsi bahwa yang "kanan" dapat menang. Ralp McGehee mengatakan, strategi ini telah menjadi semacam trade mark dari CIA semenjak 1965.5l) 51) Ralp McGehee, wawancara pribadi dengan Geofrey Robinson, Nop. 1983 Namun perlu dicatat bahwa bertahun-tahun sebelum itu, AS dengan ClA-nya sudah bekerja keras untuk menggulingkan Sukarno, seperti secara terperinci diuraikan di atas. Amerika Serikat memang sudah lama menghendaki supaya Indonesia mengikuti petunjuknya, jangan anti imperialis mau pun kapitalis. Bahkan pemberontakkan PRRI/ PERMESTA yang dibantu oleh Amerika Serikat, adalah untuk menggulingkan Pemerintah Pusat di Jakarta yang dianggap radikal bersama dengan Sukarno yang anti imperialis dan anti kapitalis. Sesudah itu masih bertahun-tahun lagi Amerika Serikat memamerkan dukungannya terhadap Belanda di PBB, dengan menolak Irian Barat dikembalikan kepada Indonesia. Setelah Indonesia mulai menerjunkan gerilyawannya di daratan Irian Barat, dibantu kapalkapal selam yang bertebaran diperairan sekitarnya dan bomber-bomber jarak jauh menyerang sasaran tertentu di Irian Barat, barulah Amerika Serikat mendesak Belanda supaya menyerahkan saja Irian Barat kepada Indonesia, karena khawatir sengketa itu akan meluas menjadi konflik internasional. 204
Karena terlampau kasarnya campur tangan Amerika Serikat terhadap persoalan dalam negeri Indonesia, maka Pemerintah Indonesia merasa perlu membalas dengan menasionalisasi perusahaan-perusahaan minyak dan perusahaan-perusahaan Amerika lainnya. Alasan Amerika Serikat bahwa "Sosialisme Indonesia" yang dicanangkan oleh Bung Karno, dikhawatirkan akan merubah Indonesia menjadi komunis, sangat tidak realistis. Syarat-syarat untuk menjadi negara sosialis, sama sekali tidak tersedia. Disamping itu meski pun PKI dikatakan makin kuat dan makin agresif, tapi kekuatan yang anti PKI jauh lebih besar dan lebih kuat, termasuk ABRI. Seperti yang ditulis oleh Gabriel Kolko, kontroversi mengenai peran CIA dalam pergolakan politik di Indonesia Oktober 1965, telah menimbulkan perhatian yang lebih mendalam oleh adanya dokumen- dokumen rahasia yang terungkap di Amerika yang memastikan bahwa memang Amerika campur tangan dalam persoalan dalam negeri Indonesia. Hanya tuduhan Letnan Kolonel Untung tentang adanya "Dewan Jenderal" yang disponsori oleh CIA yang akan meng-kup Presiden Sukarno, adalah tuduhan yang tidak bisa dibuktikan di muka persidangan MAHMILLUB. Juga PKI yang menuduh seperti itu, tidak bisa membuktikan kebenaran tuduhannya. Tapi 20 Januari 1965, CIA sudah menyampaikan sebuah memorandum kepada Pemerintahannya, yang menyatakan bahwa "kita sekarang menghadapi bukan saja bahaya dari Sukarno, tapi juga ketidak-pastian suatu kemungkinan Indonesia tanpa Sukarno". Apa yang dicatat diatas, hanyalah untuk membuktikan bahwa Amerika Serikat dengan ClA-nya memang selalu terlibat dalam setiap pergolakan dan mencampuri persoalan dalam negeri Indonesia. Namun yang cukup menarik bahwa di luar negeri, terus saja terbit banyak buku atau makalah mengenai G30S/PKI dan hubungannya dengan gerakan menggulingkan Sukarno, bahkan sesudah seperempat abad peristiwa itu, pembahasannya masih berjalan terus. Sementara di Indonesia sendiri hal ini malah menjadi tabu, kecuali jika sekedar mencaci maki PKI dan mendiskreditkan Bung Karno tanpa me- ngaitkannya dengan ulasan yang berpandangan lain. Terakhir ada lagi makalah yang terbit di luar negeri (1990) mengenai G30S/PKI dan Keterlibatan Amerika dalam kudeta 1 Oktober 1965 di Indonesia, sebagian besarnya memuat pembahasan seberapa jauh keterlibatan PKI dalam apa yang dinamakan kudeta Untung. Masalah ini tetap penting, karena adanya pembenaran yang bersandar pada penerimaan kalangan politik yang menganggap PKI sebagai partai terlibat, dan anggapan keterlibatan PKI ini digunakan sebagai dalih membasmi kaum komunis, bahkan pendukung Sukarno, dan semua anggota organisasi yang berafiliasi dengan PKI. Dalam waktu kurang lebih 6 bulan sesudah kudeta Untung, antara 500.000 sampai 1.000.000 orang dibunuh dan mendekati 75.000 yang ditangkap dan ditahan.52) 52) Angka yang dikutip di sini berasal dari Amnesti Internasional Report, The New York Review of Books, 24 Nopember 1977. Isu keterlibatan PKI ternyata mempunyai arti lebih luas, karena tampaknya dijadikan tameng agar orang tidak melihat keterlibatan pelaku lain yang lebih penting, yaitu Pemerintah A.S. dan berbagai agennya. Makalah ini dimaksudkan untuk membuka dengan sebuah gambaran singkat mengenai bukti-bukti "domestik" dan "internal" yang mendukung berbagai penjelasan alternatif dari 205
kudeta itu. Dengan bahan-bahan tersebut akan tampak lebih terang pengaruh dari pasang surutnya hubungan AS - RI. Pendekatan yang demikian diharapkan akan memberikan gambaran yang lebih lengkap, karena akan menarik perhatian kita kepada akibat-akibat komplementer dari sejumlah faktor dalam negeri dan internasional, yang memungkinkan kita lebih baik menilai watak dan seberapa jauh keterlibatan AS dalam peristiwa itu. Lebihlebih jika hal ini dihubungkan dengan bantuan militer dan ekonomi dari CIA dalam pemberontakan PRRI/PERMESTA 1958, telah lama ada upaya AS menggulingkan Pemerintahan Sukarno. Pemberontakan daerah-daerah di luar Jawa merupakan hal yang penting bagi Amerika untuk menetapkan kembali politik dan strateginya terhadap komunisme di Indonesia. Beberapa Departemen melihat dalam pemberontakan itu, terbuka kesempatan baik untuk menjatuhkan Pemerintahan Sukarno dan dengan begitu, menghancurkan komunisme di Indonesia. Satu catatan lain yang dimuat dalam "The Journal of American History", tulisan H.W. Brands, dikatakan bahwa dalam pemberontakan di Sumatera (maksudnya: PRRI/ PERMESTA, PEN.), CIA membantu sekitar 300 serdadu yang terdiri dari orang-orang Amerika, Filipina dan Cina Taiwan, serta beberapa pesawat terbang transport dan beberapa bomber B-26. 53) 53) H.W. Brands, The Limits of Manipulation: How the United States Didn't Topple Sukarno, The Journal of American History, published by The Organisation of Historians, Vol. 76 No.3, Des. 1989, hal. 790. Tahun berbahaya, menurut Geofrey Robinson, ialah tahun terakhir sebelum kudeta Untung ditandai oleh mengentalnya tiga kecenderungan politik Indonesia yang kaitmengait. Pertama, politik luar negeri Sukarno yang makin bergeser ke kiri ini mencerminkan pertumbuhan polarisasi kekuatan politik di negeri itu.54) Kedua, perjuangan politik yang semakin berlangsung di luar lembaga dan jalur politik "normal". Ini sebagian besar karena reaksi atas kegiatan Sukarno dan PKI. Ketiga, selaku musuh utama, Sukarno dan PKI telah semakin menjadi titik peradikalan dan polarisasi pertarungan politik dalam negeri. AS disini menjadi semacam wakil dari negara asing lainnya, termasuk Inggris. Ia juga menjadi sasaran ancaman kekerasan politik yang serius dari kaum kiri. 54) Suasana ini dilukiskan oleh Mortimer sebagai satu "krisis dan histeria" serta sikap kekerasan yang sudah dipolarisasi dari segmen penduduk yang sudah dipolarisasikan, hal. 387. Serangan langsung terhadap Amerika, dimulai oleh Sukarno ketika mengeritik politik Amerika di Vietnam dan Malaysia dalam pidato 17 Agustus 1964. Kritik-kritik Sukarno ini telah membuka tutup bendungan banjir dan sikap anti Amerika menjadi pusat logika politik dalam negeri Indonesia. Misalnya AS dituduh terlibat dalam komplotan hendak membunuh Sukarno. Nasehat yang disampaikan oleh Washington kepada Kedutaan Besar AS di Jakarta sehubungan dengan tuduhan itu berbunyi: "Hasil yang baik mungkin akan tumbuh dengan sangkalan formal terhadap keterlibatan AS dalam komplotan pembunuhan. Bagaimana pun juga, kita ingin menghindar dari tuduhan berat yang tak pantas diucapkan oleh seorang Presiden". 206
Duta Besar Howard Palfrey Jones diinstruksikan supaya mengemukakan kepada Sukarno reaksi Presiden Johnson dengan mengatakan bahwa Presiden Johnson merasa terganggu oleh tuduhan itu dan bahwa ada unsur-unsur jahat yang sengaja berupaya meracuni suasana kemajuan hubungan antara Indonesia- Amerika yang telah ditegakkan oleh Kominike Bersama Sukarno dengan Duta Besar Keliling, Bunker.55) Dalam konteks pertarungan politik yang demikian, harus dinilai arti penting berbagai macam desas-desus akan adanya kudeta militer yang didukung AS, CIA dan Inggris dengan dibantu intervensi militer langsung terhadap Indonesia. 55) Departement of State: Telegram kepada Kedutaan Besar AS . di Jakarta, 3 Juni 1965, National Security Files, Indonesia, jilid III. Politik anti Amerika yang langsung dan keras telah memaksa pembuat politik di Amerika mempertimbangkan atau menilai kembali tujuan dan caranya Arnerika bertindak. Sebuah dokumen CIA bertanggal 26 Januari 1965, terang-terangan mengatakan bahwa kepentingan Amerika dan Sukarno bertabrakan di hampir setiap lapangan.56) 56) ClA-Office of National Estimates Special Memorandum No. 4-65 Principle Problems and Prospects in Indonesia", 26 Januari 1965 (Jones File) Walau pun ada perbedaan mengenai usul berbagai Departemen dan agen-agen, terdapat pengakuan yang meningkat sepanjang tahun 1965, mengenai sudah waktunya untuk mengurangi kepercayaan mengenai kemungkinan mempengaruhi Sukarno dan supaya memulai perencanaan yang serius bagi pemecahan krisis untuk keuntungan kekuatankekuatan anti komunis dan anti konfrontasi. Tapi sebuah telaah CIA yang lain (Office of National Estimates, 26 Januari 1965), memberikan perhatian yang lebih besar pada kurangnya persatuan di kalangan kekuatan non komunis yang diharapkan bisa menjadi sekutu Amerika. Sedang dokumen CIA lainnya menyimpulkan satu perkiraan yang suram terhadap alternatif dari krisis yang ada bahwa momentum dan arah yang telah ditanam Sukarno pada kecenderungan- kecenderungan yang- ada sekarang, telah membawanya ke arah kemungkinan perang dengan Inggris dan Amerika Serikat di mana Sukarno mengharapkan bantuan Cina (RRT) atau pengambil-alihan kekuasaan oleh PKI. Geofrey Robinson mengatakan bahwa fakta intervensi AS sesudah kudeta 1 Oktober 1965, dapat dibenarkan menjadi subjek studi yang terpisah dan berjilid-jilid, sambil menyimpulkan, ia di sini hanya membuat sketsa kasar, mengenai kemungkinan keterlibatan AS. Dikatakannya, tindakan AS mengambil tiga bentuk. Pertama, pengakuan politik langsung kepada pihak yang menumpas kudeta Untung, tanpa intervensi langsung. Kedua, memberikan bantuan militer dan ekonomi terselubung, sesuai dengan kebutuhan mendesak, untuk menghindari penampilan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. 57) Ketiga, bantuan propaganda tentang perkembangan Indonesia, di luar negeri. 57) Mengutip: Van Langenberg (1967) hal 8 Jadi, Amerika Serikat berkepentingan menjauhkan diri dari setiap campur tangan terangterangan atas peristiwa yang terjadi di Indonesia. Segala bantuan harus disalurkan melalui saluran tertutup. 207
Bulan-bulan sesudah kudeta Untung, walau pun Sukarno masih tetap Presiden, Amerika secara efektif menggeser pangakuan politiknya dari de jure Kepala Negara, kepada yang de facto berkuasa, politik yang memberikan keuntungan luar biasa bagi penentang Presiden Sukarno di tengah-tengah satu perubahan politik yang terus menerus. Secara publik, Administrasi Johnson jarang menyatakan kegirangannya atas "perubahan" di Indonesia, bahkan ia membentuk satu citra toleran non-intervensi, terhadap masalah "dalam negeri" negeri itu. Sebuah dokumen DOS (Department of State) menyatakan: "Sampai akhir Maret 1966, politik kita atas perkembangan di Indonesia, adalah diam 58) 58) Department of State: Post Mortem dari Kudeta, 1966, (D.D.1981). Tapi sambil melanjutkan posisi ini di hadapan umum, seluruhnya telah jelas bahwa pada waktu yang tepat, Amerika Serikat siap memberikan sumbangan materi untuk membantu tegaknya kepemimpinan baru.59). Inilah satu penyamaran yang mulia, liberal dan efektif, kata Geofrey Robinson. 59) Ibid hal. 4 Para pejabat Kedutaan Besat AS tampil menyerupai tokoh-tokoh dalam lukisan goa-goa Romawi, di mana mereka mengamati pertarungan di pinggir ring sambil mencatat "menjadijadinya perkembangan" sebagai berikut: 1) PKI sekarang sudah melarikan diri untuk pertama kalinya dan Aidit bersembunyi, organisasi Partai rontok, dokumen-dokumen bertebaran dan Markas Besar-nya dibakar. 2) Angkatan Darat telah memegang momentum pembasmiannya terhadap PKI dan menangkap beberapa ribu aktivis Partai.60) 60) Department of State: Laporan Situasi Kelompok Kerja Indonesia, 9 Oktober 1965. Geofrey Robinson menutup makalahnya dengan mengatakan bahwa atas dasar fakta yang dikemukakan, kita sungguh dapat memastikan bahwa Amerika Serikat telah berbuat apa yang dapat dilakukannya untuk memiliki kekuatan-kekuatan disertai peluang yang menguntungkan untuk bertindak (di Indonesia) dengan jaminan bahwa mereka dapat berbuat begitu dengan bebas dari hukuman.
208
SURAT PERINTAH MUKJIZAT DAN ADANYA OKNUM YANG "TlDAK BENAR" SEPULUH tahun lamanya Amerika mengupayakan penggulingan Sukarno. Hitung saja sejak suksesnya Konperensi Asia-Afrika April 1955 di Bandung, yang berhasil rnenjadikan Bung Karno pemimpin dunia, setidaktidaknya dunia Asia-Afrika, hal yang mengkhawatirkan Amerika. Kerja keras Amerika ini akhirnya menjadi sempurna setelah ketua MPRS Jenderal A.H. Nasution menandatangani Ketetapan MPRS No.XXXIII/MPRS11967, yang mencabut semua kekuasaan pemerintahan negara dari tangan Presiden Sukarno, bahkan melarangnya melakukan kegiatan politik untuk akhirnya dijebloskan ke dalam tahanan. Bung Karno dituduh terlibat G30S/PKI. Penyelesaian hukum menurut ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, sebagaimana tercantum dalam pasal 6 dari Ketetapan MPRS XXXIII, tidak diindahkan lagi, karena kalau prosedur hukum ini ditempuh, dikhawatirkan akan mencairkan kembali sasaran pokok Ketetapan tersebut, yaitu membenarkan pencabutan semua kekuasaan pemerintahan negara dan larangan melakukan kegiatan politik terhadap diri Bung Karno. Belakangan timbul pendapat yang meragukan mengenai prosedur yang ditempuh oleh MPRS menggulingkan Sukarno dengan alasan terlibat Gerakan 30 September 1965, karena alasan-alasan yang dikemukakan tidak didukung oleh pembuktian yang sah di muka sidang pengadilan. Sebagai contoh, keberadaan Presiden Sukarno di Kompleks Halim Perdana Kusumah misalnya, daerah yang dinyatakan sebagai sarang G30S/PKI, dianggap sebagai salah satu bukti keterlibatannya. Tentang tuduhan ini, Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa, kolonel Maulwi Saelan, yang membawa Bung Karno ke Halim, memberikan kesaksiannya bahwa tindakan itu diambil sesuai dengan ketentuan "Operating Standing Procedure" (OSP) Tjakrabirawa, yaitu dalam keadaan darurat, Presiden harus diselamatkan melalui cara yang paling mungkin. Dalam kasus ini setelah dipertimbangkan dengan seksama, diputuskan Presiden dibawa ke Halim, karena di sana selalu standby pesawat terbang Kepresidenan "Jet Star" yang setiap saat dapat menerbangkan Presiden ke tempat lain yang lebih aman. Tuduhan lain di samping keterangan Brigjen Sugandhi, mantan Ajudan Presiden, seperti yang sudah diuraikan di Bab I, juga ada keterangan dalam 14 Berita Acara Pemeriksaan (BAP) setebal 90 halaman, hasil interrogasi Team Pemeriksa Pusat (TEPERPU) atas diri mantan Ajudan Presiden Sukarno yang lain, letnan kolonel (KKO) Bambang Setyono Widjanarko yang menerangkan bahwa Presiden Sukarno pada malam 30 September menerima surat dari letnan kolonel Untung Samsuri, komandan batalyon I Resimen Tjakrabirawa yang memimpin Gerakan 30 September, di tengah- tengah penyelenggaraan acara penutupan Musyawarah Besar Teknik yang dihadiri oleh Presiden di ISTORA Senayan. Keterangan Widjanarko ini dibantah keras oleh Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa, kolonel Maulwi Saelan, yang malam itu bertanggungjawab atas pengawalan dan keselamatan Presiden, yang memastikan bahwa sama sekali tidak ada adegan seperti yang dikatakan oleh Widjanarko. Maulwi Saelan selama acara berlangsung di ISTORA Senayan, selalu berada di dekat Presiden. 209
Di kemudian hari, keterangar-keterangan yang dinyatakan sebagai bukti keterlibatan Bung Karno dalam Gerakan 30 September, dinilai oleh Jaksa Agung Singgih, SH., bersifat audita, artinya sekedar didengar atau diketahui dari orang lain, tanpa dikonfimmasikan atau dikuatkan oleh alat bukti lain, sehingga pembuktiannya mengambang.61) 61) Manai Sophiaan, Apa yang masih teringat, hal 454 Bisa dimengerti bahwa penilaian Bung Kamo dalam Pelengkap Nawaksara tentang "adanya oknum-oknum yang tidak benar" bisa saja dirasakan oleh Jenderal A.H. Nasution sebagai sindiran atas dirinya, mengingat adanya desas-desus negatif mengenai sikapnya. Hubungan Bung Karno dengan Nasution waktu itu memang kurang baik, sehingga dalam menentukan sikap, emosi masing-masing dimungkinkan sekali ikut berperan. Ini terbukti setelah keadaan menjadi lebih tenang, 25 tahun kemudian Nasution memberikan keterangan sambil mengutip pengakuan ajudan Presiden Sukarno, kolonel (KKO) Bambang Widjanarko, yang menyatakan bahwa Presiden Sukarno telah memerintahkan supaya Jenderal A. Yani datang menghadap ke Istana pada 1 Oktober 1965, memberi petunjuk bahwa Presiden Sukarno tidak mengetahui sebelumnya akan terjadi Gerakan 30 September, dan dengan demikian tidak mengetahui juga akan terjadinya pembunuhan atas 6 Jenderal di Lubang Buaya.62) 62) Ibid, hal. 455. Bahkan Presiden Sukarno mempertanyakan dalam Pelengkap Nawaksara, mengapa dia saja yang diminta pertanggungjawaban atas peristiwa G30S/PKI dan justru bukan Menteri Koordinator Pertahanan/Keamanan yang waktu itu dijabat oleh Jenderal A.H. Nasution? Lalu Presiden Sukarno bertanya: "Siapa yang bertanggungjawab atas usaha hendak membunuhnya dalam peristiwa Idul Adha di halaman Istana Jakarta?" "Siapakah yang bertanggungjawab atas pemberondongan dari pesawat udara atas dirinya (di Istana Jakarta) oleh Maukar?" "Siapakah yang bertanggungjawab atas pericegatan bersenjata atas dirinya di dekat gedung Stanvac (Jakarta) ?" "Siapakah yang bertanggungjawab atas pencegatan bersenjata atas dirinya di Selatan Cisalak (antara Jakarta-Bogor) ?" Presiden Sukarno menyebut 7 peristiwa usaha hendak membunuhnya dan siapa yang harus dimintai tanggungjawab atas semua kejadian itu? Tapi masih ada bukti lain mengenai "adanya oknumoknum yang tidak benar". Geofrey Robinson yang sudah banyak dikutip dalam Bab terdahulu, mengutip sebuah telegram dari Kedutaan Amerika Serikat di Jakarta, 21 Januari 1965, kepada Department of State (DOS) di Washington, di mana dilaporkan pertemuan yang baru saja diadakan antara seorang pejabat Kedutaan Besar dengan Jenderal S. Parman, yang mengungkapkan kuatnya "perasaan dalam Angkatan Darat" terhadap pengambilan alih kekuasaan sebelum meninggalnya Sukarno. Angkatan Darat, menurut telegram itu, sangat prihatin terhadap gerakan PKI untuk membangun Angkatan ke-V, karena itu merasa perlu mengambil tindakan langsung untuk 210
"mengimbangi gerakan PKI". Angkatan Darat menyadari bahwa bagaimana pun, tidak ada kup terhadap Sukarno yang akan berhasil. Oleh karena itu dianjurkan supaya kup dilakukan demikian rupa, seakan-akan menjaga kepemimpinan Sukarno tetap utuh.63) 63) Geofrey Robinson mengutip Departmenr of Defence, telegram dari Kedutaan Besar Amerika di Jakarta, 21 Januari 1965 (dari Jones File). Seperti diuraikan dalam Bab Vl, Gabriel Kolko yang menulis tentang Indonesia dengan mengutip dokumendokumen Kementerian Luar Negeri AS dan CIA yang tidak dirahasiakan lagi mengenai debat tentang peran Amerika Serikat di Indonesia 1965, mengatakan tentang adanya telegram dari Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta, Howard Jones 22 Januari 1965. Dengan menghilangkan nama orangnya dalam telegram, orang itu menerangkan kepada saya (Duta Besar) berita yang sangat rahasia, bahwa tentara mengembangkan rencana spesifik untuk mengambil alih kekuasaan pada saat Sukarno akan turun tahta. Orang itu baru datang dari pertemuan dengan Jenderal Parman yang mendiskusikan rencana itu dengannya. Ia berkata, sekali pun telah ada rencanarencana tentang contingency (kemungkinan) basis dengan perhatian kepada post Sukarno era, terdapat satu sentimen kuat di antara segment top military command untuk mengambil kekuasaan sebelum Sukarno turun. Dapat dipercaya, bagaimana pun dirahasiakannya, Presiden Sukarno menerima laporan mengenai kegiatankegiatan ini melalui jalur khusus, sehingga cukup alasan baginya untuk mengatakan bahwa salah satu sebab terjadinya Gerakan 30 September, karena "adanya oknum- oknum yang tidak benar". Pada tahun 1957 sewaktu seorang wartawan Belanda Willem Oltmans, beraudiensi ke Istana (dikatakannya sudah diulas dalam 2 bukunya, pen.), ia mengatakan kepada Bung Karno supaya tidak sepenuhnya mem- percayai Dr. Subandrio, tapi Bung Karno meneruskan saja percaya kepadanya. William Oltmans mengatakan bahwa Subandrio lah yang membakar-bakar Bung Karno mengenai konfrontasi terhadap Malaysia. William Oltmans menceritakan juga bahwa di dalam Tentara ada Jenderal-Jenderal yang menyuruh orang-orang seperti Oejeng Soewargana pergi ke Den Haag dan Washington untuk meyakinkan orang-orang Belanda dan Washington supaya menaruhkan kartunya pada Tentara, karena Jenderal A.H. Nasution siap menjadi Presiden dan Bung Karno akan diturunkan. Dikatakan, gerakan internasional dari Panjaitan dan Parman, telah dimulai sejak 1961. "Permainan ini berjalan terus dan Jenderal Parman pernah menjumpai saya di New York. Kolonel Sutikno yang mengatur pertemuan itu. Ia menghubungi saya dan seorang bekas agen CIA bernama Werner Verrips. Ternyata maksudnya, kami berdua harus dilenyapkan. Saya tetap hidup dan Verrips terbunuh".64) 64) Resensi Willem Oltmans atas buku "Otobiografi Soeharto", edisi bahasa Belanda. Amsterdam 24 Maret 1991. Demikian tulis Willem Oltmans, yang Mei 1994 kembali berkunjung ke Indonesia dalam rombongan Perdana Menteri Belanda, Lubbers. Mengapa Willem Oltmans dan Warner Verrips harus dilenyapkan? Karena keduanya sudah mengetahui adanya kegiatan mencari dukungan dari Belanda dan Washington atas rencana hendak menggulingkan Sukarno, rencana yang mereka tidak setujui dan dikhawatirkan akan melaporkannya kepada Sukarno. Mudah untuk dimengerti bahwa rencana ini akhirnya disampaikan oleh Willem Oltmans kepada Bung Karno. Dengan demikian, Bung Karno tidak asal menuduh begitu saja tanpa alasan yang kuat tentang "adanya oknumoknum yang tidak benar". 211
Ada pun tentang Dr. Subandrio, ketika ia sebagai Menteri Luar Negeri menyelesaikan sengketa Irian Barat dengan Belanda lewat Dewan Keamanan PBB dengan bantuan wakil Amerika di PBB, E. Buncker, pada 16 Agustus 1962, sehingga Indonesia tidak perlu lagi membebaskan Irian Barat dengan kekuatan militer, secara serius ia berbicara dengan seseorang yang dipercayainya, bahwa dengan prestasinya itu, pantaslah membuat dirinya diangkat menjadi Wakil Presiden, yang waktu itu memang lowong. Analisa CIA juga mengatakan bahwa jika Sukarno tidak lagi mampu menjalankan tugasnya, maka Dr. Subandriolah yang berambisi menggantikannya. Tapi Gerakan 30 September 1965 yang gagal, menyebabkan harapan Dr. Subandrio manjadi buyar. Dokumen Amerika mengungkapkan bahwa sebelum keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 yang menyebabkan banyak Menteri dari Kabinet 103 Menteri yang ditahan, ABRI sudah merencanakan hendak menangkap Dr. Subandrio, karena menganggap dia termasuk biang keladi peristiwa Gerakan 30 September 1965. Sebuah telegram dari Kedutaan Besar Amerika di Jakarta tanggal 26 Pebruari (1966) ditujukan kepada Menteri Luar Negeri di Washington menyatakan sebagai berikut: 1. Minta perhatian Departemen Luar Negeri dan Duta Besar Green untuk .... (tidak dikutip, pen.) sedang kita sudah tentu tidak dalam kedudukan untuk mengatakan apakah kegiatan kita sebenarnya harus di ambil terhadap Subandrio. Sumber laporan ini dapat dipercaya dan saya anggap harus diperhatikan dengan sungguh- sungguh. 2. Sudah ada laporan terdahulu, paling sedikit tanggal 10 Nopember yang lalu (1965) bahwa Tentara akan "mengambil" Subandrio. Ini ternyata palsu. Akan tetapi Tentara sekarang merasa lebih putus asa. Kelompok berhaluan keras memperbesar tekanan mereka untuk sesuatu bentuk tindakan dan Tentara mempunyai risiko untuk mendapat nama buruk, kalau gagal melakukan tindakan lanjut dengan kesempatan baik yang sudah diciptakan mahasiwa. Tambahan pula laporan menunjukkan bahwa pimpinan tertinggi Tentara jauh lebih bersatu dari pada sebelumnya dalam keputusan untuk menyingkirkan Subandrio. Ia menempel bagai lem pada Istana. Akan tetapi Tentara pasti mempunyai kekuatan untuk mendapatkan dengan salah satu cara, kalau memang mempunyai kemauan untuk melakukannya. 3. Penyingkiran Subandrio tidak akan seluruhnya mengubah kecenderungan sekarang di Indonesia. Tentara masih harus menghadapi Sukarno dan tujuannya tidak akan berubah. Akan tetapi, tanpa Subandrio sebagai wakilnya, Sukarno akan mempunyai jauh lebih banyak kesulitan untuk memaksakan rencananya (CONEFO, Poros Peking, kebangkitan neo-PKI). Lagi pula fakta tentara bertindak terhadap anteknya, akan mempunyai pengaruh yang menenangkan kepadanya dan dia mungkin akan lebih mudah dikendalikan. Bahkan kalau ia akan mencoba menyerang tentara sebagai pembalasan, kenyataan bahwa tentara sudah melakukan langkah pertama, akan memudahkan langkah kedua terhadap Sukarno sendiri. 4. Kami tidak tahu sifat atau penentuan waktu untuk bergerak, akan tetapi menurut perkiraan pendahuluan kami, Tentara mempunyai kemampuan untuk melakukannya tanpa me- nimbulkan perang saudara atau kerusuhan lokal yang serius. Gerakan cepat dan efektif terhadap Subandrio, mungkin tidak akan berulang, tidak akan ditentang oleh unit-unit militer yang lain, teristimewa kalau Sukarno tidak cedera. Akan tetapi selalu ada kemungkinan perkembangan yang tidak diduga atau ceroboh. Oleh karena itu kami mengulangi peringatan kepada orang- orang Amerika untuk sedapat mungkin berdiam diri dan kami akan mengambil tindakan selanjutnya untuk memperketat keamanan 212
perwakilan. Kami merasa tidak perlu mengulang, tidak perlu ada tindakan lebih lanjut pada waktu ini. CP-1 Lydman BT Catatan: Advance copy ke S/S-o pukul 1:27 pagi, 26/2/66 melewati Gedung Putih pukul 1:37 pagi, 2612166. Gedung Putih menasehatkan staf Kedutaan Besar Amerika "untuk berdiam diri" kalau Tentara Indonesia "mengambil" Subandrio, 65) 65) The Declassified Documents Respective Collection, 1977, # 129 D, 26 Pebruari 1966. Disunting oleh William L Bradley dan Mochtar Lubis dalam "Dokumen-dokumen pilihan tentang politik luar negeri Amerika Serikat di Asia", hal. 177-179. Pada tanggal 4 Maret 1966, Pak Harto minta izin kepada Presiden Sukarno hendak menangkap sejumlah Menteri yang dianggap terlibat G30S/PKI, tapi Presiden menolaknya. Menurut Jenderal Soemitro dalam bukunya (disunting oleh Ramadhan K.H.) "Soemitro, Dari PANGDAM Mulawarman Sampai PANGKOPKAMTIB" (terbit April 1994), Sebelum 11 Maret 1966, ada rapat staf SUAD yang dipimpin oleh Pak Harto. Rapat itu mendengarkan briefing dari Pak Harto, dan sampai pada keputusan hendak memisahkan Bung Karno dari apa yang disebut " Durno- durno"-nya. Diputuskan, sejumlah Menteri akan ditangkap, yang harus dilakukan oleh RPKAD pada saat ada sidang Kabinet di Istana Merdeka, 11 Maret 1966. Yang ditugaskan membuat Surat Penangkapan, Jenderal Soemitro selaku Asisten Operasi MEN/PANGAD, kemudian meneruskan kepada KOSTRAD dan RPKAD untuk pelaksanaannya. Namun sebelum penangkapan dilaksanakan, tiba-tiba datang perintah lagi dari Pak Harto kepada Jenderal Soemitro melalui Asisten Vll, Alamsyah, supaya Surat Perintah Penangkapan dicabut kembali. Jenderal Soemitro menyatakan, pencabutan tidak mungkin dilaksanakan, karena pasukan sudah bergerak. Sebelum itu, Panglima KOSTRAD Umar Wirahadikusumah sudah memerintahkan Kepala Stafnya, Kemal Idris, supaya membatalkan perintah menangkap Subandrio, tapi ditolaknya, dengan alasan perintah sudah jalan dan Istana sudah dikepung sehari sebelum sidang Kabinet. Meski pun demikian penangkapan Subandrio tidak berhasil dilaksanakan hari itu. Sesudah keluarnya Surat Perintah 11 Maret (SUPERSEMAR) 1966, Subandrio baru ditangkap di Wisma Negara dalam komplek Istana Jakarta, yang dilakukan setelah Presiden Sukarno lebih dulu disingkirkan oleh "Tjakrabirawa", dibawa ke Istana Bogor. Tjakrabirawa menolak penangkapan Subandrio dilakukan, selagi Presiden berada di Istana Jakarta. Ternyata Presiden Sukarno sendiri tidak berusaha menyelamatkan Subandrio dari penangkapan. Tentang usaha hendak menangkap Subandrio, dikemudian hari diceritakan oleh Letnan Jederal (purn.) Achmad Kemal Idris kepada mingguan "Tempo" (20 Oktober 1990) bahwa sehari sebelum sidang Kabinet 103 Menteri di Istana Merdeka, ia dalam statusnya sebagai Kepala Staf KOSTRAD, menempatkan pasukan RPKAD tanpa inisial mengelilingi Istana, dengan tugas untuk menangkap Subandrio yang dianggap salah satu tokoh G30S. 213
Dikatakannya bahwa Pak Harto-lah yang memerintahkan penangkapan itu, bagaimana caranya, terserah. Tapi ketika sidang Kabinet sedang berjalan (11 Maret 1966) Ajudan Senior Presiden, Brigadir Jenderal Moh. Sabur, melapor kepada Presiden bahwa ada pasukan yang tidak dikenal me- ngelilingi Istana dan ada kekhawatiran pasukan ini akan menyerbu. Oleh karena itu Presiden Sukarno segera diamankan ke Istana Bogor dengan Helicopter yang tersedia di halaman depan Istana. Subandrio yang menjadi sasaran hendak ditangkap, ikut dengan Bung Karno ke Bogor. Hari itu usaha menangkap Subandrio, gagal. Pada tahun 1993, Kemal Idris menceritakan lagi kepada wartawan "Forum Keadilan" 66) bahwa Amirmachmud sebagai Panglima KODAM V/Jaya mengetahui dialah yang menempatkan pasukan tanpa tanda-tanda pengenal di sekeliling Istana. Tapi kata Kemal Idris, dia memang yang bertanggungjawab mengenai penggerakan pasukan, sedang Amirmachmud sebagai Panglima KODAM, hanya melaksanakan tugas teritorialnya. 66) "Forum Keadilan", 22 Juni 1993 Waktu berkumpul di KOSTRAD, Kemal Idris dapat perintah supaya menarik pasukan itu. Yang memerintahkan penarikan pasukan, ialah Letnen Jenderal Maraden Panggabean (Pejabat Panglima Angkatan Darat) melalui Amirmachmud, Panglima KODAM V/jaya. Kemal Idris tidak mau melaksanakannya. " Kalau pasukan saya tarik, apa SUPERSEMAR akan jadi?", kata Kemal Idris. Menurut Kemal Idris, karena pasukan tetap berada di sekitar Istana, maka Bung Karno kabur ke Bogor. Setelah Bung Karno pergi, Pak Harto menulis surat kepada Bung Karno yang dibawa oleh 3 Jenderal (Basuki Rachmat, M. Yusuf dan Amirmachmud), isinya kirakira menyatakan tidak bisa bertanggungjawab mengenai keamanan, kalau tidak diberikan lebih banyak kekuasaan untuk menumpas G30S/PKI dan mempertanggung-jawabkan keamanan. Ketika ditanya, setelah keamanan pulih, haruskah kewenangan itu dikembalikan kepada Bung Karno?, Kemal Idris menjawab: "Iya, cuma sampai di situ saja, tidak berarti dia (Soeharto) me- ngambil alih kekuasaan. Jadi, setelah keamanan bisa dipulihkan, kekuasaan itu harus dikembalikan kepada Bung Karno. Tapi MPRS menghendaki lain". Sebelum sidang Kabinet dimulai, Presiden Sukarno bertanya kepada Amirmachmud, apakah situasi keamanan memungkinkan Sidang Kabinet diadakan?, yang dijawab "bisa", sambil memberikan jaminan: AMAN! Itulah sebabnya ketika 3 Jenderal yang diutus oleh Pak Harto menemui Bung Karno di Bogor, sekali lagi Bung Karno bertanya kepada Amirmachmud, bagaimana situasi sebenarnya, yang dijawab oleh Amirmachmud bahwa keadaan AMAN. Waktu itu ia dibentak oleh Bung Karno sambil mengatakan "Kau bilang aman, aman, tapi demonstrasi jalan terus".67) 67) H. Amirmachmud Menjawab, hal. 56. Kedatangan 3 Jenderal ke Bogor yang menurut Kemal Idris membawa surat Pak Harto menyebabkan lahirnya Surat Perintah 11 Maret. Tapi mantan Asisten Operasi MEN/ PANGAD Jenderal Soemitro mengatakan, bukan 3 Jenderal yang menyebabkan SUPERSEMAR keluar, melainkan karena RPKAD mengepung Istana. Ketika membaca teks SUPERSEMAR dalam perjalanan dari Bogor ke Jakarta untuk disampaikan kepada Pak Harto, Amirmachmud mengatakan: "Koq ini penyerahan kekuasaan".68) 214
Oleh karena itu dikatakannya, Surat Perintah tersebut adalah MUKJIZAT dari Allah SWT kepada rakyat dan bangsa Indonesia. 69) 68) H. Amirmachmud Menjawab, hal. 59. 69) Ibid, hal. 59. Istilah MUKJIZAT yang digunakan oleh Amirmachmud di sini, adalah istilah agama yang berarti: Kejadian yang menyimpang dari hukum-hukum alam (menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia yang diolah oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa). Mukjizat hanya diberikan oleh Allah SWT kepada Nabi dan Rasul. Akhirnya setelah pemegang SUPERSEMAR melaksanakan perintah itu, pertama-tama dilakukannya membubarkan PKI, disusul dengan penahanan 15 Menteri. Tindakan ini sangat mengejutkan Bung Karno, karena tidak dikonsultasikan dulu dengan Prèsiden/ Panglima Tertinggi ABRI, seperti yang dimaksud dalam Surat Perintah tersebut. Langkah pun dipercepat dengan memanggil Sidang Umum IV MPRS 25 Juli 1966, lalu membubarkan Kabinet Dwikora yang menteri- menterinya sudah ditangkap lebih dulu 15 orang, sesudah mana Jenderal Soeharto lalu membentuk Kabinet AMPERA dengan ia sendiri sebagai ketua Presidium Kabinet itu. Klimaksnya, diselenggarakan Sidang Istimewa MPRS dari tanggal 7 s/d 12 Maret 1967, yang mengangkat Jenderal Soeharto menjadi Pejabat Presiden, karena Presiden Sukarno sudah divonis oleh Sidang Istimewa MPRS dengan Ketetapan No.XXXIII/1967 yang mencabut semua kekuasaannya dari Pemerintahan Negara. Semua itu kata Amirmachmud, berhulu dari SUPERSEMAR.70) 70) H. Amirmachmud Menjawab, hal. 61. Sejak SUPERSEMAR diluncurkan, sebenarnya Bung Karno tidak mampu lagi mengantisipasi situasi secara tepat. Berikut ini kutipan penilaian Bung Karno yang meleset mengenai perkembangan situasi yang diucapkannya dalam Amanat Proklamasi 17 Agustus 1966. Bung Karno berkata: " .......Tahun 1966 ini, - kata mereka -, ha, eindelijk, eindelijk at long last, Presiden Sukarno telah dijambret oleh rakyatnya sendiri; Presiden Sukarno telah dikup; Presiden Sukarno telah dipreteli segala kekuasannya; Presiden Sukarno telah ditelikung oleh satu "triumvirat" yang terdiri dari Jenderal Soeharto, Sultan Hamengku Buwono dan Adam Malik. Dan " Perintah 11 Maret" kata mereka: "Bukankah itu penyerahan pemerintahan kepada Jenderal Soeharto?" Dan tidakkah pada waktu sidang MPRS yang lalu, mereka - reaksi musuh-musuh kita mengharapkan, bahkan menghasut-hasut, bahkan menujumkan, bahwa sidang MPRS itu sedikitnya akan menjinakkan Sukarno, atau akan mencukur Sukarno sampai gundul sama sekali, atau akan mengdongkel Presiden Sukarno dari kedudukannya semula? Kata mereka dalam bahasa mereka, "The MPRS session will be the final setlement with Sukarno", artinya sidang MPRS ini akan menjadi perhitungan terakhir - laatste afrekening terhadap Sukarno. Surat Perintah 11 Maret itu mula-mula, dan memang sejurus waktu, membuat mereka bertampik sorak-sorai kesenangan. Dikiranya Surat Perintah 11 Maret adalah satu penyerahan pemerintahan. Dikiranya Surat Perintah 11 Maret itu satu "transfer of authority". Padahal tidak! Surat Perintah 11 Maret adalah satu perintah pengamanan .......bukan penyerahan pemerintahan. Bukan transfer of authority. Mereka, musuh, sekarang kecele sama sekali, dan sekarang pun, pada hari Proklamasi sekarang ini, mereka kecele lagi: Lho, Sukarno masih Presiden, masih Pemimpin Besar Revolusi, masih Mandataris MPRS, masih Perdana Menteri: Lho, Sukarno masih berdiri lagi di mimbar ini! 71) 215
71) Presiden Sukarno, Amanat Proklamasi IV 1961-1966, Inti Idayu Press bekerjasama dengan Yayasan Pendidikan Soekarno, hal. 199-200. Demikian Cuplikan pidato Bung Karno yang mengevaluasi situasi waktu itu, penilaian mana meleset sama sekali. Yang benar justru penilaian musuh, yang diejek oleh Bung Karno. Urut-urutan kejadian yang mengikuti Surat Perintah 11 Maret, sama sekali tidak membuktikan kecelenya musuh, seperti yang digambarkan oleh Bung Karno. Baru belakangan, 10 Januari 1967, Bung Karno memberikan penilaian yang benar mengenai sebab musabab terjadinya Gerakan 30 September 1965, antara lain karena ada oknum- oknum yang tidak benar dalam tubuh kita sendiri.
216
LANDASAN YANG RAPUH PADA bulan Mei 1978, KOPKAMTIB di bawah Panglima Sudomo, pernah menerbitkan semacam BUKU PUTIH tentang G30S/PKI, yang isinya memastikan PKI sebagai dalang, juga menuduh Bung Karno sebagai pihak yang terlibat. Satu tuduhan yang sungguh mengandung risiko tinggi. Karena seperti sudah diuraikan pada bagian lain, tidak ada pengadilan yang pernah memastikan Bung Karno terlibat, padahal pengadilanlah satusatunya instansi yang kompeten untuk pemastian itu. Apa lagi persyaratan ini dicantumkan dalam Ketetapan MPRS No. XXXIII 1967, menyebutkan bahwa "penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut diri Dr. Ir. Sukarno, dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan". Mantan Jasa Agung dan Menteri Kehakiman, Ismail Saleh, S.H., dalam wawancara dengan mingguan "Detik" 16 Pebruari 1994 menanggapi tuduhan keterlibatan Bung Karno dalam G30S/PKI menyatakan bahwa kita harus membedakan antara sekedar memihak PKI dengan memihak dalam arti pemberontakan. Kalau memihak PKI sebagai Presiden untuk tujuan mempersatukan, dapat dipahami, karena semuanya harus dirangkul. Dan merangkul seperti itu, memang biasa dilakukan oleh pimpinan dan ini tidak berarti terlibat. Orang ingin mengatakan bahwa Bung Karno memihak (PKI). Ini sesuatu yang simplistik. Tidak demikian! Kita kan sudah bisa menilai peran Bung Karno dalam sejarah kita. Tidak patut serta merta turut menghakimi bakwa beliau terlibat, kata Ismail Saleh. Juga Mantan Panglima KOPKAMTIB Soemitro, menyatakan kepada wartawan "Amanah" 21 Maret 1994, bahwa meski pun ABRI kecewa atas sikap Bung Karno yang tidak mau membubarkan PKI, tapi tidak terlintas sedikit pun menuduh Bung Karno terlibat G30S/PKI. Sama sekali tidak! Jadi, penyidik hukum mana yang sudah memastikan bahwa Bung Karno terlibat G30S/ PKI, sehingga ketua MPRS waktu itu Jenderal A.H. Nasution berupaya keras menggiring MPRS supaya mengadakan Sidang Istimewa yang dibuka pada 7 Maret 1967 untuk menggulingkan Presiden Sukarno dengan alasan keterlibatan itu? Banyak yang berpendapat bahwa Jenderal A. H. Nasution meng- harapkan, sesudah Presiden Sukarno digulingkan, dialah yang berpeluang dipilih menggantikannya, sesuai dengan apa yang ditulis oleh wartawan Belanda, William Oltmans, bahwa rencana ini jauh hari sebélumnya, sudah dipolakan dan dikampanyekan di luar negeri. Tapi pada saat-saat yang menentukan, justru ia tidak berani mengambil inisiatif untuk tampil, sedang waktu itu yang diperlukan, di samping kemampuan, juga keberanian. Syarat ini dinilai ada pada Pak Harto. Itulah sebabnya yang diusulkan dan dipilih oleh MPRS untuk menggantikan Presiden Sukarno yang digulingkan, Jenderal Soeharto dan bukan Jenderal A.H. Nasution. Dengan tangkas Jenderal Soeharto pada 13 Maret 1967 mengucapkan pidato dalam rangka mengamankan pelaksanaan proses penggantian Presiden, dengan mengatakan: Kedudukan Presiden Sukarno telah ditegaskan oleh MPRS, oleh pemegang kekuasaan tertinggi, oleh pemegang kedaulatan rakyat yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, yang akan kami laksanakan sebaik-baiknya dengan bantuan dan kepercayaan dari seluruh rakyat. Marilah kita semua tidak lagi mempersoalkan kedudukan Bung Karno! Tidak terduga, sesudah Bung Karno terguling, Jenderal A. H. Nasution tidak lagi bisa melanjutkan kiprahnya, karena ia pun segera tersingkir dan di hari tuanya sakit-sakitan. 217
Ada pun bekas tahanan politik (Tapol) G30S/PKI, sesudah melalui masa seperempat abad, tetap saja dinyatakan sebagai bahaya laten dan komunisme meski pun sudah dilarang masih saja dinyatakan sebagai ancaman di Indonesia. Sebuah buku berjudul "Sekitar Padnas, Bahaya Laten & Tapol G30S/PKI" diterbitkan oleh Lembaga Pertahanan Nasional, memuat 16 tulisan yang menyoroti bahaya laten komunis dan sisa-sisa kekuatannya. Buku ini menjelaskan bahwa keruntuhan komunisme, tidaklah dengan sendirinya membawa kelumpuhan pada kekuatan sosial yang berorientasi kepada Marxisme, karena adanya 4 faktor pendukung: 1. Masalah sosial-ekonomi yang diidentifikasi dan dideskripsikan oleh analis Marxis sebagai kritik sosial, tetap menarik, seperti kesenjangan sosial, kemiskinan dan eksploitasi tenaga manusia. 2. Janji kesanggupan Marxisme untuk mengubah nasib hidup menuju emansipasi. 3. Perangkat teori Marxisme sebagai disiplin ilmu serta metodologi yang mendukungnya, telah berkembang dan menjadi daya tarik tersendiri, terutama di Barat. 4. Komunisme sebagai sistim, ajaran, metode dan gerakan, tetap menarik dan dapat saja dimanfaatkan oleh siapa pun dalam mencapai tujuannya, tanpa yang bersangkutan menjadi komunis. Marxisme sebagai filsafat dan teori sosial, tidak menghilang dengan runtuhnya sistim komunisme. Itulah sebabnya mengapa G30S/PKI tetap bahaya laten dan berbagai hak azasi ratusan ribu orang yang pernah ditahan karena kasus itu, direnggut dengan " Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 32/1981", dimana ditetapkan banyak ketentuan yang harus ditaati. Untuk menyebutkan sebagian kecil saja dari padanya, antara lain: 1. Keharusan mencantumkan kode ET (Eks Tapol) pada Kartu Tanda Penduduk. Pencantuman kode ET ini mengakibatkan dihambatnya yang bersangkutan mencari pekerjaan dan semua pasar kerja akan takut menerimanya. 2. Melakukan pembatasan pekerjaan bagi mereka untuk menjadi dosen/guru, wartawan, lembaga bantuan hukum, pendeta dan sebagainya yang tidak diperinci, sehingga sangat elastis. 3. Mencegah mereka memasuki kegiatan kemasyarakatan yang dianggap mungkin menimbulkan kerawanan di bidang sosial- politik, sosial-ekonomi, sosial-budaya dan KAMTIBMAS. 4. Untuk bepergian dalam negeri meninggalkan kelurahan/desa tempat domisilinya lebih dari 7 hari, harus dengan izin khusus. Warganegara biasa, tidak memerlukan izin itu. 5. Untuk bepergian ke luar negeri atau melakukan ibadah Haji, harus mempunyai konduite baik dan ada jaminan tertulis dari seseorang/instansi yang dapat dipertanggungjawabkan bahwa yang bersangkutan akan kembali ke daerah domisili semula, serta telah mendapat santiaji dari pejabat atau petugas setempat.
218
Meski pun Panglima ABRI Jenderal Faisal Tanjung dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR 13 Desember 1993 telah menyatakan tidak keberatan atas penghapusan kode ET yang terkesan tidak manusiawi itu, mengingat tidak ada lagi masalah dari segi keamanan, tapi Departemen Dalam Negeri tetap mempertahankan sistim hukuman tanpa putusan pengadilan itu, berlaku bagi orang-orang bekas tahanan politik. Berbagai lembaga yang bergerak di bidang Hak Azasi Manusia telah mengajukan persoalan ini kepada Komisi Nasioanal Hak Azasi Manusia untuk diperhatikan. Hukuman kolektif semacam ini, tidak mempunyai dasar hukum dalam sistim UUD 1945 dan bertentangan dengan Deklarasi Sedunia Tentang Hak Azasi Manusia yang diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB 10 Desember 1948. Dalam Mukaddimah Deklarasi itu antara lain dikatakan: Bahwa sikap tidak memperdulikan dan sikap menghina hak-hak azasi manusia, mengakibatkan tindakan biadab yang mendatangkan amarah pada hati nurani manusia. Bahwa penting sekali hak-hak azasi manusia dilindungi oleh hukum, supaya manusia tidak mengambil jalan lain yang terakhir, dengan pemberontakan terhadap tirani dan penindasan. Pasal 13: Setiap orang berhak untuk bergerak dan memilih tempat tinggalnya secara bebas dalam batas wilayah setiap negara. Pasal 23: Setiap orang berhak untuk bekerja, untuk memilih pekerjaan yang bebas, untuk mendapat syarat bekerja yang menguntungkan dan perlindungan terhadap pengangguran. Oleh karena itu apa yang diterapkan dengan instruksi Menteri Dalam Negeri No. 32/1981, tidak lain dari upaya untuk mempertahankan supaya G30S/PKI tetap menjadi issue bahaya laten. Bahwa PKI yang menggerakkan coup d'état yang gagal itu, tidak terbantahkan lagi. Hanya masalahnya tidak sederhana dan selesai sampai di situ, karena ternyata banyak juga jaringan lain yang disebut-sebut ikut terkait di dalamnya. Jika kasus ini tidak segera ditutup, akan makin merebak saja dan makin banyak lubang- lubang yang selama ini seolah-olah tertutup, potensial berpeluang terbuka. Yang jelas makin terungkap: Bahwa Bung Karno ternyata tidak terlibat kasus G30S/PKI, seperti tuduhan bertubi-tubi sebelumnya. Kasus G30S/PKI sendiri seperti yang disimpulkan MPRS dan dituduhkan kepada Bung Karno, tidak pernah dimasukkan dalam GBHN yang disampaikan kepada Mandataris supaya dipertanggung- jawabkan. Yang disampaikan kepada Presiden/ Mandataris, hanya NOTA PIMPINAN MPRS No. 2/1966 yang minta melengkapi Laporan Pertanggungjawaban Presiden yang dikenal dengan "Pelengkap Nawaksara", yang isinya dengan mudah saja ditolak oleh MPRS. Waktu menyampaikan " Pelengkap Nawaksara" itu, Presiden Sukarno sudah menegaskan bahwa sesuai dengan bunyi pasal 3 UUD 1945 dan penjelasannya, hanyalah Keputusan MPR mengenai GBHN yang harus dipertanggungjawabkan dan bukan tentang hal-hal yang lain. Sedang kasus G30S/PKI tidak masuk GBHN. Alasan bahwa Presiden sebagai Mandataris MPRS tidak dapat memenuhi pertanggungjawaban Konstitusionalnya (mengenai kasus G30S/PKI), menjadi tidak jelas, bahkan absurd. 219
Apa lagi alasan yang dicantumkan dalam TAP MPRS No. XXXIII 1967 yang menuduh Presiden/Mandataris tidak dapat memenuhi pertanggungjawaban Konstitusionalnya, sangat sumir, tidak dijelaskan apa bentuk konkrit pelanggaran yang dilakukan, padahal Ketetapan itu menyangkut perubahan ke-tata-negaraan yang sangat fundamental, yaitu menjatuhkan seorang Presiden Konstitusional. Ketetapan MPRS No. XXXIII/1967 itu, lebih dirasakan sebagai ketetapan emosional atau balas dendam. Oleh karena itu alasan keterlibatan Bung Karno dalam G30S/PKI yang diangkat oleh MPRS untuk menggulingkannya sebagai Presiden dan mencabut semua hak politiknya, dengan mengatas- namakan wewenang Konstitusi, landasannya sangat rapuh. Ketetapan MPRS No. XXXIII 1967, mengandung kekurang-cermatan Konstitusional yang memerlukan koreksi.
220
"SUKARNOISME" DAN "DE-SUKARNOISASI" SEGERA setelah Presiden Sukarno diturunkan dari tahta kekuasaan dan mencabut semua hak politiknya, ia pun dikenakan tahanan, resminya diumumkan .1968 tapi sebelumnya sudah dilakukan sampai wafatnya, 21 Juli 1970. Begitu ketatnya penahanan ini, sehingga jenazahnya pun tidak boleh dibawa ke rumah keluarganya (Ibu Fatmawati), tapi harus dibawa kembali ke tempat tahanannya di Wisma Yaso, sebelum dimakamkan. Banyak waktu untuk mengusut dan menyusun Berita Acara Pemeriksaan (BAP) bagi Bung Karno sebelum wafatnya, jika ia memang dianggap bersalah, untuk memenuhi ketentuan pasal 6 Ketetapan MPRS No. XXXIII/1967 yang berbunyi: Menetapkan penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut Dr. Ir. Sukarno, dilakukan menurut ketentuan- ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, dan menyerahkan pelaksanaannya kepada Pj. Presiden. Tapi ketentuan ini tidak pernah dilaksanakan, sedang vonnis sudah jatuh mendahului penyidikan hukum yang seharusnya dilakukan. Azas "praduga tak bersalah" yang dianut dalam sistim hukuom Republik Indonesia, tidak berlaku untuk kasus Bung Karno. Sesudah Bung Karno digulingkan, histeria atas semua yang berbau Sukarno, dikobarkan. Juli 1967 lahir apa yang dikenal dengan "Tekad Yogya", yaitu tekad para Panglima KODAM se-Jawa tentang "de-Sukarnoisasi". Jenderal A. H. Nasution dalam bukunya " Dari Kup 1 Oktober 1965 ke Sidang Istimewa MPRS 1967", menyambut "Tekad Yogya" dengan mengatakan bahwa sikap TNI dalam persoalan ini, dapat dimengerti (hal. 69). De-Sukarnoisasi cepat sekali merebak seperti epidemic yang menyerang ke mana-mana. Semua ajaran Bung Karno dinyatakan: Dilarang! Sampai-sampai Dasar Negara, "Pancasila" yang dirumuskan oleh Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945, harus diperlakukan sebagai bukan hasil pemikiran Bung Karno. Ketika jajaran Pembina Politik di Departemen Dalam Negeri berusaha menahan desakan arus bawah yang murni, bukan direkayasa, (di lingkungan GOLKAR katanya ada arus bawah yang direkayasa, Pen.), yang mendukung tampilnya Megawati Sukarnoputri memimpin Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang sedang mengalami krisis kepemimpinan dalam kongres ke-V (Kongres Luar Biasa) di Surabaya (2-6 Desember 1993), ditudinglah Mega sebagai pewaris "Sukarnoisme" akan menghidupkan kembali ajaran Sukarno yang selama ini tabu. Terutama yang paling ditakuti, dihidupkannya kembali NASAKOM. Ketakutan terhadap NASAKOM yang dianggap masih gentayangan, sangat tidak logis, karena KOM (komunis) dalam kenyataan telah dibasmi dan tidak ada lagi. Bukan saja Pemerintah telah membasminya, tapi juga golongan Agama dan Nasionalis sudah menolaknya, sehingga persekutuan itu tidak lagi terkondisi untuk direalisasi dan oleh karenanya tidak mungkin juga dimaterialisasikan. NASAKOM bukan suatu pandangan hidup yang mempunyai perangkat teori. Di masa hidupnya, hanya digunakan oleh masyarakat Indonesia waktu itu untuk satu tujuan tertentu: bersatu. Ketika kebutuhan itu sudah lewat dan kondisinya berubah, maka dasar hidupnya pun menjadi absurd. Istilah "Sukarnoisme" juga mempunyai sejarah yang berada di luar keinginan Bung Karno, bahkan ditolaknya. Rupanya orang pura-pura melupakan siapa yang merekayasa lahirnya istilah "Sukarnoisme' sebagai penamuan atas ajaran Bung Karno. Kalau para pembenci ajaran 221
Sukarno waspada, mereka tidak akan menggunakan "Sukarnoisme" sebagai senjata mengintimidasi Megawati, karena bisa menampar muka sendiri. Mengapa? Karena bukan saja sejak diperkenalkannya istilah "Sukarnoisme", sudah mendapat dukungan dari Angkatan Darat, juga " Sukarnoisme" adalah satu ajaran yang dimanfaatkan oleh satu gerakan yang bernama "Badan Pendukung Sukarnoisme" (BPS), menjelang kelahiran "Orde Baru". Organisasi ini bergerak di lingkungan pers, radio dan televisi. Tokoh-tokohnya antara lain B.M. Diah, Adam Malik, Sayuti Melik, J.K. Tumakaka, Harmoko, Sukowati, Djoehartono dan beberapa tokoh Angkatan Darat lainnya. Yang diterima menjadi anggota: surat kabar, majalah, wartawan profesional, orang-orang yang mengaku wartawan, atau yang baru diangkat menjadi wartawan dengan memenuhi syarat: Anti PKI. Mereka memperkenalkan diri sebagai organisasi persurat-kabaran, sama dengan Serikat Penerbit Suratkabar (SPS). Ini untuk menghindarkan supaya tidak dituduh sebagai organisasi tandingan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Tapi SPS sama sekali tidak menerima keanggotaan wartawan atau orang yang baru diangkat menjadi wartawan seperti yang dilakukan oleh BPS. Anggota SPS hanyalah perusahaan suratkabar, bukan perorangan. Organisasi ini bergerak di bidang bisnis. BPS didirikan pada 1 September 1964, setahun mendahului G30S dengan mempopulerkan "Sukarnoisme" sebagai senjata untuk mendukung penyelesaian revolusi dan terbentuknya masyarakat Sosialisme Indonesia berdasarkan Pancasila dan berpedoman MANIPOL/ USDEK. Menurut siaran BPS, simpati langsung diperolehnya dari Jenderal A.H. Nasution, di samping sejak awal juga sudah menerima dukungan dari Amerika Serikat. Tapi dukungan Washington dikritik oleh pers Amerika sendiri sebagai satu kekeliruan, karena terlalu cepat memberikan dukungan, sehingga menimbulkan kecurigaan rakyat Indonesia. Presiden Sukarno dalam Pidato Kenegaraan 17 Agustus 1965 mengatakan, tujuan BPS yang sebenarnya ialah memecah persatuan nasional dengan mengacau-balaukan pengertian NASAKOM. BPS malah dikatakan terlibat satu . BPS malah dikatakan terlibat satu rencana jahat. Organisasi ini melakukan kriminalitas politik dan kriminalitas biasa. Sebelum pidato ini, pada 17 Desember 1964 Presiden sudah membubarkan BPS dan pada 23 Pebruari 1965 memerintahkan supaya semua atribut BPS ditutup dan dihentikan kegiatannya. "Sukarnoisme" yang dimaksudkan sebagai ajaran Bung Karno, di tangan BPS menjadi lain artinya, yaitu menunggu momentum untuk menghancurkan ajaran itu. Tugas BPS sebenarnya, dinyatakan dalam program perjuangannya yaitu berperan sebagai champion social dengan melakukan economic reform dan political reform, satu tatanan baru yang menolak tatanan ekonomi dan politik yang sedang operasional, seperti yang digariskan oleh Bung Karno dan sudah disahkan menjadi Garis Besar Haluan Negara (GBHN) oleh MPRS. Oleh tindakan Bung Karno di atas, BPS merasa dirinya telah menjadi martir dari satu perjuangan. Maka pada 13 Nopember 1982, bertempat di kantor PWI (waktu itu beralamat jalan Veteran 7-C), diadakan pertemuan sehari yang dipimpin oleh ketua PWI (tokoh BPS) Harmoko (kemudian Menteri Penerangan 3 periode berturut-turut), dihadiri kurang lebih 50 wartawan bekas anggota BPS. Pertemuan ini mengangkat sejarah kepahlawanan orang-orang BPS melawan komunis dan sekutu-sekutunya, yang berhasil meruntuhkan PKI dan lahirlah ORDE BARU. Sepuluh tokoh BPS yaitu: 1. Sumantoro, 2. Asnawi Idris, 3. Suhartono, 4. Sutomo Sutiman, 5. Sumantri Martodipuro, 6. Tengku Sjahril, 7. H.A. Dahlan, 8. Arif Lubis, 9. 222
Sayuti Melik dan 10. Zein Efendi, dianugerahi Piagam Penghargaan "Satya Penegak Pers". Di samping itu pada 1983, diterbitkan buku yang berjudul "Perlawanan Pers Indonesia BPS terhadap gerakan PKI", ditulis oleh Tribuana Said dan D.S. Muljanto. Buku ini sangat menarik, karena membuka baju penyamaran BPS dan memakai baju aslinya sambil mengakui adanya hubungan BPS dengan unsur-unsur Angkatan Darat dan beberapa partai politik MURBA, NU, IPKI dan PSII. Tipu muslihat lain yang menyesatkan, ditampilkannya program ikut membantu, membela, memberikan penerangan dan mendukung kebijaksanaan Pemerintah Pusat (Orde Lama) sebagai konsekwensi berdirinya BPS di belakang Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno, untuk menyelesaikan revolusi serta sebagai pengemban "Sukarnoisme". Untuk mencapai semua ini, dijanjikan langkah menjaga pelaksanaan "Sukarnoisme" dengan seksama, berusaha mengumpulkan buku- buku ajaran Bung Karno sejak zaman perjuangan di masa penjajahan, sampai pada zaman kemerdekaan, guna disebar-luaskan dan dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat. Berusaha mengumpulkan ucapan-ucapan Bung Karno, baik yang tertulis mau pun tidak, dulu dan sekarang sampai pidato TAVIP dan ajaran-ajaran pada waktu-waktu selanjutnya Tapi dalam kenyataan, semua itu hanyalah jargon. Terbukti sesudah Bung Karno ditumbangkan, semua ajaran Bung Karno disapu bersih. Oleh karena itu Bung Karno tidak keliru menilai BPS sebagai gerakan "to kill Sukarnoisme" - hendak mematikan ajaran Sukarno. Ketika memerintahkan pelarangan seluruh atribut BPS dalam rapat umum PWI "Maju Tak Gentar", Bung Karno menegaskan lagi, BPS itu anti NASAKOM. NASAKOM adalah wadah yang diciptakan oleh Bung Karno untuk mempersatukan kekuatan nasional melawan neokolonialisme/imperialisme dan membangun tanah air. NASAKOM disetujui oleh 10 partai politik yang ada di Indonesia dalam pertemuan di Istana Bogor 12 Desember 1964: PNI, NU, PKI, PERTI, PARTINDO, PSII, MURBA, IPKI, Partai Kristen dan Partai Katolik yang melahirkan Ikrar 4 pasal: 1. Mendukung politik konfrontasi dengan Malaysia. 2. Memelihara persatuan nasional yang progresif revolusioner berporoskan NASAKOM. 3. Menempuh musyawarah dalam menyelesaikan sengketa tanah. 4. Membantah issue bahwa Bung Karno akan meletakkan jabatan. Tinggal seorang B.M. Diah dengan suratkabarnya "Merdeka", mantan pemimpin tertinggi BPS, sesudah ia tidak lagi menjadi Menteri Penerangan dalam Kabinet I Orde Baru, tampil membela Bung Karno dan ajarannya dari gilasan bekas kawan-kawan seperjuangannya yang - dulu berjuang bersama-sama dalam BPS. Ia dulu menjadikan BPS sebagai senjata untuk melawan komunis dan bukan rnelawan Sukarno, seperti yang dilakukan temantemannya yang lain. Sementara BPS sendiri semakin berterus terang membuka rahasia, dengan mengakui bahwa organisasinya memang gerakan kewartawanan dan bukan semacam SPS yang hanya mengurus masalah bisnis persurat-kabaran. Hal ini sudah diantisipasi oleh PWI sejak semula dan mengambil langkah-langkah untuk ditaatinya ketentuan Peraturan Dasar PWI, yang tidak membenarkan anggotanya merangkap menjadi anggota organisasi kewartawanan nasional selain PWI. Itulah sebabnya, pada waktu itu PWI menjatuhkan skorsing terhadap semua anggotanya yang menjadi anggota BPS. 223
Untuk selanjutnya BPS tidak perlu lagi berbicara banyak, karena tinggal menggarisbawahi apa yang ditulis pendukung mereka di luar negeri, seperti Ricklefs yang menyambut bahwa BPS dibentuk oleh sekelompok wartawan yang anti PKI, Van der Kroef mencatatnya sebagai organisasi anti PKI yang dilarang. Sedang Legge mengatakan, BPS adalah salah satu langkah dalam membangun tirai asap ideologis dari mana suatu kampanye anti PKI dapat diluncurkan. Semua pengakuan ini dapat dibaca dalam buku "Perlawanan Pers Indonesia BPS Terhadap Gerakan PKI". BPS-lah yang menciptakan "Sukarnoisme" dan sekarang menjelma menjadi hantu untuk menakut-nakuti orang.
224
PNI YANG MALANG SEBUAH film dokumenter yang diproduksi oleh ABC melukiskan kegiatan CIA di berbagai negara, dengan sasaran pokoknya menghancurkan komunis, bukan saja di negaranegara sosialis Eropa Timur dan Cina, tapi juga dinegara-negara bukan komunis yang kuat partai komunisnya, seperti Italia dan Indonesia. Mengenai Indonesia, film ini merekam ulang kunjungan Bung Karno ke Uni Sovyet dan Cina pada tahun 1956, di mana dilukiskan Bung Karno bermesraan dengan komunis. Tentu saja gerak-gerik Bung Karno dibayangi terus oleh CIA, bahkan merupakan obsesi yang makin lama makin memuncak dan akhirnya bermuara pada Gerakan 30 September yang membawa CIA kepada kemenangan sempurna di Indonesia. Untuk kemenangan itu, Presiden Richard Nixon (AS) menilai bahwa perubahan politik di Indonesia tahun 1966, merupakan kemenangan terbesar bagi Amerika di Asia Tenggara, sesudah sebelumnya mengalami kekalahan yang memalukan di Vietnam. Tampil sebagai salah satu narrator pada bagian mengenai Indonesia, Dewi Ratnasari (istri Bung Karno wanita Jepang) yang berpindah-pindah tinggal di Amerika, Perancis dan Jepang. Ia mengemukakan bagaimana kegiatan CIA menggulingkan Sukarno sambil mengemukakan pula bahwa dalam penumpasan Gerakan 30 September 1965, dua juta rakyat Indonesia dibantai. Mengenai pembantaian ini, pers atau penulis-penulis Barat hanya mencatat angka 500.000, meski pun angka yang lebih kecil ini, sudah lebih dari cukup untuk mendirikan bulu roma, namun tidak terlalu diributkan. Hardi, SH., salah satu ketua PNI dalam periode 1963-1966, bercerita bahwa pada bulan Mei 1965 ia merasa sangat gelisah melihat pesta peringatan 45 tahun berdirinya PKI. Waktu itu sinarnya sang surya mulai galak menggarang warga ibukota. Tapi sekali-sekali tampak langit kelabu sebagai tanda peralihan ke musim kemarau. Dalam pikirannya, suatu kekeringan dalam politik pun akan datang, kegersangan politik akan muncul, di mana PKI akan melancarkan perebutan kekuasaan. Ia berpikir dan berpikir terus. Satu firasat semakin merasuk pikirannya, apakah ini sekedar bayangan atau impian tanpa sadar. Tapi yang mendorong timbulnya firasat itu, ialah keinginannya memperoleh kesempatan bertemu muka dengan Bung Karno. Pada 18 Mei 1965, ia diterima oleh Bung Karno, katanya di kamar tidurnya di Istana Merdeka. Maka disampaikanlah perhitungan politiknya bahwa PKI akan merebut kekuasaan dengan mengemukakan sebagai alasan, terjadinya peristiwa Bandar Betsi di mana seorang Pembantu Letnan dibunuh oleh BTI karena sengketa tanah, aksi sepihak yang dilancarkan oleh BTI di Klaten (Jawa Tengah) dan Banyuwangi (Jawa Timur) melawan pemilik tanah anggota-anggota PNI. Semua itu adalah senamsenam revolusioner yang merupakan persiapan menuju perebutan kekuasaan. "Kita semua khawatir negara Rl atir negara Rl yang Pancasila, mau dirubah menjadi negara komunis, maka kita pasti akan yang Pancasila, mau dirubah menjadi negara komunis, maka kita pasti akan mengalami malapetaka dan perang saudara", kata Hardi kepada Bung Karno. Lalu Bung Karno minta, supaya ia berjuang terus dan "baik juga sekali-sekali datang ke mari berbicara dengan saya". kata Bung Karno kepadanya menurut Hardi. Hardi mengatakan, Bung Karno tidak mengoreksi atau menyanggah pendapat ini. Malah kata Bung Karno - Menurut Hardi -, "Ya, jika begitu, saya dapat mengikuti dan mengerti perasaanmu". "Dengan terjadinya peristiwa G30S/PKI sebagai perwujudan nyata firasat yang dikemukakan dalam pembicaraan dengan Bung Karno pada tanggal 18 Mei 1965, sering menimbulkan rasa penyesalan yang tidak habis-habisnya, karena Bung Karno ternyata 225
melupakan warning voice yang tersirat dalam firasat seorang muridnya". Hardi mengatakan bahwa ia adalah murid Bung Karno. Pada tahun 1968, sewaktu Bung Karno sudah dikenakan karantina politik di Istana Bogor, Hardi bersama istrinya diundang nonton wayang kulit di Istana Bogor dan kebetulan mendapat tempat duduk persis di kursi belakang Bung Karno. Bung Karno berbisik kepadanya, "Mas Hardi, achteraf heb je gelijk"(Mas Hardi, ternyata engkau benar). Hardi mengatakan, andaikata pikirannya diperhatikan oleh Bung Karno, G30S/PKI dapat dicegah.72) Dalam kasus ini, Hardi juga perlu disesali, mengapa "perhitungan politiknya yang begitu penting tidak disampaikan kepada aparat keamanan, padahal aparat keamananlah yang harus bertindak jika ada sesuatu yang membahayakan negara". Tapi berbeda dengan Hardi, Mayor Jenderal Alamsyah Ratu Prawiranegara, mantan Sekretaris Negara dan pernah Menteri Agama Rl, justru mempunyai penilaian, G30S/PKI tidak mungkin terjadi jika PNI tidak menjalankan politik yang mendekatkan diri kepada PKI. 73) 72) Hardi, Bung Karno Dalam Kenangan, hal. 32-38, disajikan dalam peringatan Hari Wafat Bung Kamo 21 Juni 1991 yang diselenggarakan oleh Yayasan MARINDA Jakarta. 73) Nazaruddin Sjamsuddin, PNI dan Kepolitikannya, hal. 142 Kedua penilaian yang berbeda itu, hakekatnya penilaian hitam- putih yang sederhana tanpa mempertimbangkan relasinya dengan aspek lain seperti peran Amerika, terutama CIA, yang berprespektif terjadinya tragedi nasional dan berakhir dengan digulingkannya Presiden Sukarno, yang bagi Amerika Serikat menjadi tujuan pokok. PNI yang mempunyai keterkaitan historis-ideologis dengan Bung Karno, yang seharusnya tampil melindungi pada saat-saat yang paling kritis dalam sejarah kepemimpinannya, justru bersikap munafik. Ketika Bung Karno dinista oleh komponen Orde Baru dan menuntutnya supaya di-MAHMILLUBKAN, PNI tidak membelanya. Pemimpin- pemimpin PNI yang bekerja sama dengan Orde Baru, dengan cara kasar mengambil alih kepemimpinan Partai dalam Kongres Pemersatuan yang dipenuhi intrig dan ancaman, dengan melibatkan unsur luar partai. Kongres Pemersatuan di Bandung dari tanggal 24 sampai 28 April 1966 itu, mengingkari komitmen PNI terhadap Bung Karno sebagai pendiri PNI dan Bapak Marhaenisme yang disahkan dalam 2 kali kongres, dengan klimaksnya mengeluarkan Pernyataan Kebulatan Tekad 21 Desember 1967. Pernyaratan kebulatan Tekad menegaskan bahwa di bidang ideologi, Marhaenisme bukan lagi ditafsirkan seperti rumusan penciptanya, yaitu sebagai Marxisme yang diterapkan sesuai dengan kondisi Indonesia dan alat persatuan anti imperialisme, kapitalisme dan feodalisme, melainkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi. Sedangkan di bidang politik dengan tegas PNI menyatakan melaksanakan ketetapan MPRS No. XXXIII/1967 yang tidak menghendaki lagi kembalinya kepemimpinan politik Sukarno dan menyatakan PNI tidak terikat pada pemikiran-pemikiran politik Sukarno Prediksi "Bapak Marhaenisme" yang selama ini melekat pada diri Bung Karno, ditiadakan.74) 74) Nazaruddin Sjamsuddin, PNI dan Kepolitikannya, hal. 197. Sebelum Pernyataan Kebulatan Tekad diambil, pada tanggal 11 Desember 1967, Dewan Pimpinan PNI yang diwakili oleh Hardi, SH., Mh. Isnaeni dan Gde Djaksa, SH., menghadap Soeharto. Mereka minta supaya Pak Harto membantu PNI mempercepat proses konsolidasi dan kristalisasi Partai. Soeharto mengatakan bahwa sikapnya terhadap PNI, akan tergantung bagaimana sikap Angkatan Darat. 226
Oleh karena itu pada tangal 14 Desember 1967, Osa Maliki, Mh. Isnaeni dan Gde Djaksa menemui pejabat Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal Maraden Panggabean, untuk menanyakan bagaimana sikap Angkatan Darat terhadap PNI. Jika PNI memang tidak diperlukan, maka partai ini segera dibubarkan. Panggabean menjawab bahwa dengan segala kejujuran dan keikhlasan, Angkatan Darat ingin memberikan bantuan kepada PNI dalam usahanya melakukan konsolidasi dan kristalisasi. Penegasan Panggabean ini, oleh PNI disampaikan lagi kepada Pak Harto dan pada tanggal 21 Desember 1967, datanglah Osa Maliki, Mh. Isnaeni dan Gde Djaksa menghadap Pak Harto dan menyerahkan Pernyataan Kebulatan Tekad. Sejak itu, Bung Karno sudah ditempatkan oleh PNI pada satu posisi yang tidak lagi didukung. Tapi sejak itu pula PNI mencatat bagaimana massanya berbondong- bondong meninggalkan partainya dan dalam Pemilihan Umum I yang diselenggarakan~oleh Orde Baru 1971, partai yang bertanda gambar "Banteng dalam segi tiga" ini mangalami kekalahan tragis dengan hanya kebagian 8% suara, untuk kemudian mengumumkan kematiannya dengan memasuki fusi ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI) tanpa melalui putusan Kongres, bergabung dengan partai-partai kecil: MURBA, IPKI, Partai Katolik dan Partai Kristen. PNI mengakhiri eksis- tensinya sebagai partai terbesar simbul nasionalisme Indonesia yang pernah menjadi partai nomor I dalam Pemilihan Umum I 1955. Sebetulnya PNI dibangun oleh Bung Karno bersama teman-teman sepahamnya, untuk mewadahi berbagai aliran politik yang ada di Indonesia, dipersatukan dalam satu ideologi baru yaitu MARHAENISME. Marhaenisme dirumuskan sebagai satu ajaran yang mempunyai konsep dasar perjuangan baru melawan penjajahan, kapitalisme dan feodalisme, setelah Bung Karno melihat terpecah belahnya tiga aliran politik besar yang ada, yaitu: Budi Utomo yang nasionalistis tapi Jawa sentris, Serikat Dagang Islam yang menekankan kesetiaan kepada agama, dan Partai Komunis Indonesia yang kebaratbaratan karena menganut paham sosialisme Barat dan Marxisme. Usaha Bung Karno mempersatukan aliran-aliran politik dalam Permufakatan Perhimpunan- Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), mengalami kegagalan. PNI dengan Marhaenismenya diharapkan bisa menjadi Partai Pelopor mepersatukan semua kekuatan politik yang ada. Tiga aliran besar yang merupakan realitas kekuatan politik di Indonesia, diperhitungkan akan mampu menumbangkan penjajahan, apabila berjuang bersamasama dalam satu koordinasi yang baik. Program ini mendapatkan rumusan yang lebih sempurna dalam Pidato 1 Juni 1945 yang dikenal dengan Pidato "Lahirnya Pancasila", yang kembali menekankan mutlaknya persatuan seluruh kekuatan rakyat untuk menopang kemerdekaan. 29 Mei sampai 1 Juni 1945, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau yang dalam bahasa Jepangnya disebut "Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai", bersidang di Jakarta di bawah pimpinan ketuanya, dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat. Sidang diminta oleh ketua supaya mengemukakan dasar bagi Negara Indonesia Merdeka. Bung Karno sebagai pembicara terakhir, mengemukakan secara terperinci mengenai dasar yang dimaksud, diucapkan tanpa teks dan isi pidatonya dicatat dalam suatu "stenografische verslag" secara lengkap. Radjiman Wediodiningrat ketika memberikan Kata Pengantar untuk penerbitan buku pidato yang bersejarah itu tertanggal Walikukun 1 Juli 1947 menulis:
227
".........Selama fasisme Jepang berkuasa di negeri kita, Democratische Idee tak pernah dilepaskan oleh Bung Karno, selalu dipegangnya teguh-teguh dan senantiasa dicarikannya jalan untuk mewujudkannya. 75) 75) Sukamo, Pancasila sebagai Dasar Negara, Inti Idayu Press Yayasan Pendidikan Sukamo, Jakarta, 1986. Democratische Idee yang dimaksud ialah Pidato Lahirnya Pancasila yang dikatakan oleh Bung Karno sebagai Philosofische grondslag daripada Indonesia Merdeka atau satu Weltanschauung di atas mana kita mendirikan negara Indonesia. Weltanschauung ini, Kata Bung Karno, harus kita bulatkan di dalam hati dan pikiran kita, sebelum Indonesia Merdeka datang. Kita bersama-sama mencari persatuan Philosofische grondslag, mencari Weltanschauung yang kita semua setujui. Ini berarti kita harus mendirikan suatu negara "semua buat semua". Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan mau pun golongan yang kaya, - tetapi "semua buat semua". Pendek kata, bangsa Indonesia, natie Indonesia bukanlah satu golongan yang hidup dengan "le desir d'etre ensemble" seperti yang dikatakan oleh Ernest Renan, di atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, Madura, Jawa, Sunda atau Bugis, tapi bangsa Indonesia yaitu seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung utara Sumatera sampai Irian. Seluruhnya, karena antara manusia 70.000.000 (waktu itu, pen) sudah ada "le desir d'etre ensemble": sudah jadi "Karakter- gemeinschaft", Natie Indonesia, bangsa Indonesia jumiah orangnya 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang menjadi satu. 76) 76) Sukarno, Pancasila Sebagai Dasar Negara, Inti Idayu Press. Yayasan Pendidikan Sukarno, Jakarta 1986. Pidato ini diterima oleh sidang dengan aklamasi dan kemudian dirumuskan menjadi Pancasila yaitu 5 dasar Negara Republik Indonesia yang didirikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dasar negaranya dulu yang dirumuskan, barulah di atas dasar itu didirikan Negara Republik Indonesia. Itulah sebabnya 1 Juni disebut sebagai hari lahirnya Pancasila yang menjadi dasar lahirnya Republik Indonesia. Namun Bung Karno ditentang oleh kekuatan besar dan dengan dibantu G30S/PKI yang sayap militernya dipimpin oleh kolonel A. Latief (Komandan Brigade Infantri I Kodam V Jaya) dan letnan kolonel Untung Samsuri (Komandan Batalyon I Resimen Tjakrabirawa) serta seorang tokoh sipil misterius yang bernama Kamaruzzaman, berhasil menciptakan momentum yang menentukan bagi terjungkirnya kekuasaan Sukarno. Ide besar yang diperjuangkan oleh Bung Karno, dipaksa mengubah nilai seperti dirumuskan oleh PNI gaya baru, dan kali ini Bung Karno tidak mampu lagi banting stir. Tragisnya, dengan sikap pimpinan PNI yang ikut mendiskreditkan Bung Karno, tokh tidak berhasil tampil sebagai juru selamat bagi PNI, meski pun sudah begitu banyak memberikan konsesi politik. Sikap Orde Baru terhadap PNI, tetap mencurigainya mempunyai keterkaitan ideologis dengan Sukarno. Oleh karena itu, untuk memastikan kehancuran Sukarno, PNI juga harus dihancurkan, karena bagaimana pun tetap ada kekhawatiran bahwa dalam tubuh PNI masih mengendap kekuatan Sukarno yang pada saatnya yang tepat, berusaha bangkit kembali.
228
Dr. Elisio Rocamora dari University of Phylippines dalam thesisnya untuk meraih gelar Doctor di Cornell Univesity (AS), menulis bahwa pada tahun 1966 dan 1967 Angkatan Darat melakukan pembersihan terhadap PNI dengan alasan yang dicari-cari bahwa PKI telah melakukan penyusupan ke dalam pimpinan PNI. Kalangan pimpinan Orde Baru yang melihat Sukarno sebagai bajingan besar, membayangkan PNI sebagai salah satu alat utamanya. Menurut tema propaganda ini, pimpinan PNI membiarkan dirinya diperalat Presiden Sukarno dan PKI, agar dapat memetik keuntungan dari dominasi keduanya, dalam politik Demokrasi Terpimpin setelah 1963. Memang mudah menangkis tuduhan ini dengan menyebutnya sebagai propaganda pemerintah yang seenaknya sendiri. Tapi sampai taraf tertentu, hal ini mencerminkan ketidak-percayaan yang mendalam terhadap PNI dan ke-tidak-sediaan untuk mempercayai bahwa partai ini sudah banyak berubah dan bukan lagi PNI yang terombang- ambing dan oportunistik.77) 77) J. Elisio Rocamora, Nasionalisme Mencari Ideologi. Grafiti, 1991, hal. 436. Bukan saja terus menerus dipompakan kepada masyarakat dengan sangat melebihlebihkan kekuatan PKI sebagai bahaya laten dan potensial, tapi sejak kembali ke UUD 1945 dan diberlakukannya UU Darurat (SOB), kegiatan partai-partai dibatasi dengan sangat ketat. Tokohtokoh partai yang duduk dalam Kabinet, harus menyatakan keluar dari partainya masing-masing, sehingga menutup kemungkinan bagi partai-partai membuat keputusan besar di tingkat nasional. Dalam sistim Demokrasi Terpimpin, yang mengendalikan kegiatan politik adalah Presiden. Dan karena berlakunya UU SOB, maka dalam prakteknya Angkatan Darat yang menjalankan kekuasaan, berperan membatasi kegiatan partai-partai politik. Dengan menggunakan UU SOB itu juga, Konstituante yang memang macet, terus dibubarkan dan diganti dengan MPRS yang anggota- anggotanya diangkat oleh Presiden. DPR hasil Pemilihan Umum 1955, diganti dengan DPR Gotong Royong yang anggotaanggotanya meski pun sebagian besar masih terdiri dari hasil PEMILU (1955), tapi semuanya diangkat oleh Presiden. Anggota-anggota MASYUMI dan PSI tidak dimasukkan lagi baik dalam DPR mau pun MPRS karena kedua partai itu dianggap terlibat pemberontakan PRRI/PERMESTA, maka kedudukan mereka digantikan oleh wakil-wakil golongan fungsional, misalnya fungsional politik, fungsional sarjana, fungsional Angkatan Bersenjata, fungsional buruh, fungsional tani, fungsional pemuda, fungsional wanita, fungsional wartawan dan sebagainya. Meski pun peran partai kemudian berangsur-angsur dilonggarkan, tapi PNI sudah cukup menjadi lemah, terutama karena adanya Peraturan Presiden No. 2/1959 yang melarang semua pegawai negeri golongan F- 1 ke atas menjadi anggota sesuatu partai. Di sini PNI sangat dirugikan, karena anggota-anggotanya banyak yang menduduki jabatan tinggi di jajaran birokrasi. Ada pun PKI tidak terlalu dirugikan, karena anggotaanggota mereka tidak banyak yang menduduki jabatan atas di birokrasi. Dengan pelonggaran itu, PNI bisa bangkit. Di samping bisa menduduki jabatan Gubernur di Jawa Tengah. (Mochtar), juga berhasil merebut 23 dari 34 Kepala Daerah. Dalam keadaan SOB, memang terasa pihak militer berusaha merebut pengaruh politik, karena wakil-wakil mereka duduk di DPRGR dan MPRS. Usaha ini dilakukan lewat Badan Kerjasama dengan militer dan Front Nasional. Namun kedua-duanya gagal, karena baik Bung Karno mau pun partai-partai enggan bekerja sama.78) 229
78) Ibid, hal. 345. Dalam laporan DPP PNI pada sidang Badan Pekerja Kongres (1961 ) dikatakan bahwa selama periode 1960-1961 , kegiatan anti partai Angkatan Darat merupakan satu-satunya rintangan paling penting bagi upaya PNI membangun kembali dirinya untuk memperoleh pengaruhnya yang dulu, terutama di daerah-daerah. Larangan kegiatan politik yang mula-mula diumumkan Juni 1959, diperpanjang masa berlakunya pada bulan September 1960 dan sekali lagi diperpanjang Januari 1961. Dengan kewenangan peraturan ini, Panglima Daerah Militer menghalangi PNI dan partaipartai lainnya menggelar rapat raksasa dan berbagai kegiatan yang diperlukan untuk memperoleh dukungan masyarakat. Malahan simbul semua partai pernah dilarang pemasangannya.79) 79) Suluh Indonesia, 8 September 1960 dan 18 Januari 1961. Pada waktu itu PNI berusaha memperkecil kekuasaan politik militer yang terasa makin besar. Pada 16 September 1960 DPP PNI mengirimkan telegram kepada Presiden/ Panglima Tertinggi, memprotes Peraturan Penguasa Perang Tertinggi (PEPERTI), yang melarang kegiatan politik. Dan pada bulan Agustus 1961, PNI mendesak diakhirinya undang-undang SOB. Juga PNI mempersoalkan lemahnya sikap Angkatan Darat terhadap sisa- sisa pemberontakan PRRI/PERMESTA.80) 80) Putusan Sidang BPK PNl, Agustus 1961. Mungkin karena sikap-sikap yang sedemikian itu, menyebabkan Angkatan Darat sangat mencurigai PNI setelah Orde Baru. Pukulan berat yang dirasakan oleh PNI ialah ketika DPP pada bulan April 1961 harus menyerahkan daftar anggotanya kepada Pemerintah memenuhi ketentuan Peraturan Presiden No.13/1960 untuk memastikan apakah sesuatu partai mempunyai hak hidup atau tidak. PNI hanya mampu menyampaikan daftar yang memuat 198.554 nama yang harus dilengkapi dengan tanda-tangan dari masing-masing nama. Jumiah ini dianggap memalukan, karena PNI dalam PEMILU 1955 keluar sebagai partai terbesar nomor satu dengan mengumpulkan 8.434.653 pemilih, mengungguli MASYUMI yang hanya mengumpulkan 7.903.886 pemilih. Baru dalam Kongres di Purwokerto (1963), DPP memberikan laporan, telah menyampaikan kepada Pemerintah 1.855.119 nama anggota PNI, Jumiah ini tetap masih kecil, tapi dianggap sudah ada kemajuan. Hal ini menimbulkan persoalan di kalangan partai-partai kecil, yang menuntut supaya PNI tidak lagi dianggap- sebagai partai besar dan dengan demikian jumiah kursi yang diberikan kepadanya di DPRGR dan MPRS harus dikurangi. Kursi yang diduduki PNI dalam DPRGR misalnya, bertambah jika dibandingkan dengan jumiah kursi yang diraihnya dalam PEMILU 1955 dari 57 menjadi 80 kursi. Ini dimungkinkan karena banyak anggota baru yang formalnya mewakili golongan fungsional, tapi mereka berasal dari organisasi kemasyarakatan PNI. Kemerosotan PNI juga dikarenakan pengaruh pembentukan Kabinet Kerja 9 Juli 1959 setelah Dekrit kembali ke UUD 1945 (5 Juli 1959); di mana semua Menteri Kabinet meski pun berasal dari sesuatu partai, diharuskan keluar dari keanggotaan partainya. D.engan ketentuan ini ditambah dengan dilarangnya semua pegawai negeri golongan F - 1 ke atas 230
menjadi anggota partai, aktifitas PNI terpengaruh menjadi kendor. Ini memang harus diakui juga sebagai akibat satu kelemahan di bidang managemen organisasi partai. Ditambah lagi dengan persoalan intern yang memperlemah posisi partai, yaitu beberapa tokoh tertentu dari PNI ikut dalam gerakan "Liga Demokrasi" bersarna dengan MASYUMI, PSI, IPKI dan Partai Kristen menentang pembubaran DPR hasil PEMILU 1955. Sikap ini tentu saja merugikan PNI ke dalam, karena partai sudah menentukan sikap tidak menolak pembentukan DPRGR sebagai pengganti DPR hasil PEMILU. Liga Demokrasi dibubarkan oleh Pemerintah. Kemudian palam merumuskan manifesto Dasar-dasar Pokok Marhaenisme, timbul lagi kesulitan, kali ini dengan Bung Karno sebagai Bapak Marhaenisme. Rumusan pertama yang disusun oleh Sayuti Melik, ditolak oleh Bung Karno. Kemudian dibentuk panitia Perancang yang dipimpin oleh Ali Sastroamidjojo (ketua umum PNI) dengan anggotaanggota intinya Roeslan Abdulgani, Sayuti Melik dan Osa Maliki. Memahami apa keberatan Bung Karno mengenai rumusan yang disusun oleh Sayuti Melik, maka panitia Ali memberikan konsesi identitas ke kiri dengan menyetujui dasar Marhaenisme ialah Pancasila, Demokrasi Terpimpin, Manipol (Manifesto Politik) dan Sosialisme Indonesia. Tapi Marxisme yang diterapkan sesuai dengan kondisi Indonesia yang diinginkan oleh Bung Karno supaya masuk sebagai identitas Marhaenisme, tidak masuk dalam rumusan. Yang keras menolaknya ialah Sayuti Melik dan Osa Maliki, sedang Ali Sastroamidjojo dan Roeslan Abdulgani bersedia memahami keinginan Bung Karno. Rumusan tersebut kembali tidak disetujui oleh Bung Karno. Dalam pidatonya pada peringatan ulang tahun ke36 lahirnya PNI (7 Juli 1963) di Stadion Utama Senayan, Ali Sastroamidjojo menegaskan bahwa Marhaenisme adalah doktrin dan program perjuangan berdasarkan sosialisme ilmiah yang dikembangkan di Indonesia.81) 81) Ali Sastroamidjojo, Mari Terus Menunaikan Kewajiban Kita, hal. 18 Akhirmya dasar-dasar pokok Marhaenisme dirumuskan dalam sidang Badan Pekerja Kongres PNI di Lembang pada bulan Nopember1964 yang dikenal sebagai "Deklarasi Marhaenis" dan diterima oleh Bung Karno, di mana ditegaskan antara lain: Bahwa perjuangan untuk membela kaum Marhaen menentang musuh-musuhnya, yaitu kapitalisme, Nekolim dan feodealisme adalah suatu perjuangan yang paling terhormat, suci dan mulia. Partai Nasional Indonesia/Front Marhaenis adalah alat bagi kaum Marhaen untuk memperjuangkan dan merealisasikan cita-citanya yaitu kemerdekaan penuh dan Dunia Baru. Oleh karena itu setiap Marhaenis harus senantiasa membajakan diri dan mendidik dirinya di dalam teori dan praktek perjuangan rakyat untuk menjadi Marhaenis yang lebih baik lagi sebagai murid-murid yang terbaik dan terpercaya dari Bapak Marhaenisme Bung Karno. Marhaenisme ajaran Bung Karno yang dicetuskan pada tahun 1927 bersamasn dengan berdirinya PNI yaitu sebagai hasil penarikan pelajaran yang tepat dari praktek perjuangan rakyat Indonesia dan rakyat-rakyat lainnya di muka bumi, yang ditindas dan dimelaratkan oleh sistim kapitalisme, imperialisme, kolonialisme, merupakan senjata ampuh di tangan kaum Marhaen sebagai azas dan cara perjuangan serta memberikan semua landasan yang kokoh kuat, yang menjamin kemenangan kaum Marhaen dengan menggalang semoa kekuatan nasional.
231
Untuk mendatangkan kemenangannya kaum Marhaen, mereka harus diorganisir dalam satu barisan Front Marhaenis yang teratur, dinamis dan berdisiplin yang di dalam segala haloya menyelamatkan kaum Marhaen. Disebutkan dalam Deklarasi, pada 1 Januari 1966 sampai dengan 31 Desember 1968 diselenggarakan kongres-kongres atau konperensi- konperensi di segala tingkat untuk melaksanakan retooling atas dasar penggeseran pimpinan partai ke tangan unsur-unsur yang membela kepentingan Marhaen. Bisa dimengerti bahwa "Deklarasi Marhaenis" menjadi masalah besar, terutama bagi pimpinan yang merasa terancam akan digeser, karena tidak memenuhi syarat bagi menegakkan PNI/Front Marhaenis sebagai Partai Pelopor. Menurut Dr. J. Eliseo Rocamora, para pemimpin konservatif PNI sangat sadar akan arti penerapan Deklarasi Marhaenis. Mereka berusaha sekuat tenaga menentangnya. PNI Jawa Tengah yang menjadi benteng kekuatan konservatif partai, menolak orientasi kegiatan partai harus sejalan dengan rencana kerja Deklarasi Marhaenis. Tapi perlawanan seperti itu, hanya mempercepat jatuhnya para pemimpin konservatif tersebut.82) 82) J. Eliseo Rocamora, Nasionalisme Mencari Ideologi, hal. 383 Perbedaan pendapat dalam tubuh PNI, sebetulnya bukanlah sesuatu yang perlu menjadi sensasi, jika saja hal itu dipahami sebagai kewajaran dalam sistim demokrasi. Tapi kalau perbedaan pendapat tidak lagi dapat dianggap sebagai kewajaran, maka sangat mudah dimanfaatkan oleh pihak ke tiga dan dimungkinkanlah terjadinya perubahan nilai. Golongan oposisi dalam PNI mengundang pihak ke tiga untuk membantunya dan tanpa disadari justru pihak ke tiga inilah yang memetik keuntungan. Dalam mengelola konflik intern partai, agaknya ke dua belah pihak yang berbeda pendapat, lalai mengantisipasi rekayasa dari luar yang sudah lama berusaha melemahkan PNI. Itulah yang menyebabkan Kongres Pemersatuan di Bandung dari tanggal 24 sampai dengan 28 April 1966, terjerumus dalam kekusutan, tidak berhasil menemukan solusi yang tepat dan arif untuk menyelesaikan perbedaan pendapat. Kongres digiring untuk melakukan "balas dendam" dengan bantuan rekayasa pihak ke tiga. Akibatnya, kepemimpinan PNI hasil Kongres Pemersatuan, tidak bisa bersikap mandiri lagi, hanyut terbawa arus. Terbukti dalam PEMILU pertama yang diselenggarakan oleh Orde Baru (1971), PNI yang ikut sebagai kontestan, terhempas habis-habisan, hanya kebagian 8% suara. Sebagian besar massanya berpaling memilih tanda gambar lain yang bukan "Kepala Banteng Dalam Segitiga", mereka memilih GOLKAR, kontestan baru dengan tanda gambar "Beringin", yang berhasil mengumpulkan 64.5% suara. Kepemimpinan PNI gaya baru, kehilangan pamor dan sekaligus menyebabkan: 1. Hancurnya PNI sebagai partai besar yang pernah menjadi simbol Nasionalisme Indonesia yang berjuang untuk demokrasi, anti kapitalisme, imperialisme dan feodalisme. 2. Ikut berperan menjatuhkan Bung Karno, Bapak Marhaenisme, dari tampuk kepemimpinan nasional. Alangkah malang nasib PNI Tapi penyesalan selalu datangnya terlambat. Bukankah Yudas Iskariot, murid Yesus yang mengkhianat, menebus penyesalannya dengan menggantung diri di pohon? Ia tewas bersama pengkhianatannya ....... Kongres Pemersatuan PNI yang ternyata tidak mempersatukan di Bandung akhir April 1966, disusul Nopember tahun itu juga dengan sidang Majelis Permusyawaratan Partai,yang tugas pokoknya mencabut " Deklarasi Marhaenis" rumusan Marhaenisme yang disahkan oleh sidang Badan Pekerja Kongres 232
PNI di Lembang, Nopember 1964. Rumusan itu dinyatakan sebagai penyelewengan, oleh karenanya harus dicabut. Deklarasi ini disetujui oleh Bung Karno, dan dianggap sebagai rumusan Marhaenisme yang benar, sesuai dengan pemikiran Bung Karno ketika menciptakan paham Marhaenisme. Sidang MPP PNI gaya baru, tidak memperdulikan rekomendasi dari Bung Karno dan tetap menganggap "Deklarasi Marhaenis" satu penyelewengan. Sidang membuat rumusan baru yang menyatakan bahwa Marhaenisme sebagai ideologi dan paham politik, hanya mengandung tiga unsur: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa 2. Sosio-Nasionalisme 3. Sosio-Demokrasi. lewat lembaga-lembaga Legislatip dan Eksekutip, di mana PNI dan Gerakan Massa Marhaen diwakili; Meningkatkan aktifitas-aktifitas di dalam masyarakat sebagai sumbangan yang kongkrit berupa amalan yang nyata dalam rangka mengadakan perbaikan-perbaikan di bidang-bidang termaksud di atas. Desember 1967 Pada bulan September 1966, Panitia Peneliti Ajaran Pemimpin Besar Revolusi yang dibentuk oleh MPRS, diketuai Osa Maliki, datang kepada Bung Karno. Ada Roelan Abdulgani, Sanusi Hardjadinata dan bersamaan itu kebetulan hadir juga Pak Harto dan Ibu Wachid Hasyim. Sebelum itu, Bung Karno baru saja mengatakan di depan pertemuan Angkatan 45, bahwa ia seorang Marxis. Oleh karena itu, dalam pertemuan ini, Ibu Wachid Hasyim minta: "mbok Bung Karno tidak usah menyatakan sebagai seorang Marxis, kami kan .tidak percaya kalau Bung Karno itu seorang Marxis" Menurut cerita Osa Maliki, menjelang penyelenggaraan sidang MPP, pimpinan PNI menghadap ke Istana dan Bung Karno berpesan, hendaknya Deklarasi Marhaenis terus berlaku. Tapi kata Osa, DPP PNI tidak dapat menerimanya. Namun Osa Maliki sebagai ketua umum PNI dalam ceramahnya yang berjudul "Marhaenisme berlawanan dengan Marxisme" yang dimuat dalam brosur "Keterangan Azas PNI" (1968), mengatakan bahwa Marxisme Bung Karno adalah Marxismenya Bung Karno sendiri, bukan Marxisme dari abad ke-19, bukan Dogmatic Marxis. Bung Karno adalah seorang Marxis Revisionis. Sepanjang ingatan saya, memang Bung Karno berulang-kali mengatakan bahwa ia seorang Marxis Revisionis, karena menolak filsafatnya yang atheis (mengingkari Tuhan). Bung Karno menyetujui Marxisme mengenai hukum dialektikanya, yaitu metode berpikir dalam memecahkan soal-soal masyarakat. Dalam uraiannya yang disampaikan di hadapan peserta kursus kaum ibu di Gedung Agung Yogyakarta pada tahun 1 946 (yang kemudian dibukukan menjadi "Sarinah")' Bung Karno sudah mengatakan - bahkan diulanginya dalam berbagai kesempatan -, bahwa dalam cita-cita politiknya, ia seorang nasionalis, dalam cita- cita sosialnya, ia seorang sosialis dan dalam cita-cita sukmanya, ia seorang theis yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Osa Maliki Sendiri mengakui bahwa Bung Karno sebagai seorang Marxis, menggunakan Marxisme untuk menghancurkan imperialisme dan kapitalisme. Dengan hancurnya kedua sistim ini, akan menguntungkan dan memberikan kebahagiaan kepada kaum Marhaen. 233
Bung Karno menyesuaikan Marxisme dengan kondisi Indonesia. Meski pun Marx mengajarkan bahwa imperialisme dan kapitalisme harus dilawan oleh proletar, tapi Bung Karno berkata: Apakah di Indonesia hanya proletar saja yang ada dan berjuang? Ajaran Marx dianalisa oleh Bung Karno dengan melihat sejarah bermacam-macam revolusi di dunia. Revolusi Amerika ( 1776), bukan revolusi rakyat, tapi revolusi militer. Angkatan Perang Amerika dengan kekuatan senjatanya melawan kolonialisme Inggris. Revolusi Perancis (1789), juga bukan revolusi rakyat, tapi revolusi kaum middenstand (golongan menengah) yaitu kaum borjuasi yang menggunakan kekuatan rakyat. Revolusi India juga revolusi kaum middenstand atau revolusi swadesi yang tidak berhasil. Revolusi Indonesia menurut analisa Bung Karno, bukan revolusi militer yang waktu itu tidak ada, bukan revolusi middenstand atau borjuasi, karena golongan ini di Indonesia sangat lemah. Yang ada ialah rakyat yang ditindas oleh penjajahan. Tapi tanya Bung Karno: Rakyat itu siapa? Apakah proletar atau bukan? Akhirnya ia sampai kepada studi bahwa yakyat Indonesia sebagian terbesar bukan proletar. Memang ada proletarnya sedikit yang hidupnya dengan menjual tenaga kepada pemilik modal, tapi lebih banyak petani kecil yang memiliki alat-alat produksi seperti tanah yang sempit, punya pacul dan cangkul, tapi hidupnya melarat dan sengsara. Banyak lagi golongan masyarakat lainnya seperti kaum kromo yang mempunyai rumah gubuk dan alat-alat pertanian, tapi hidupnya melarat. Mereka itulah yang terlibat dan mendukung revolusi. Golongan ini dinamakan oleh Bung Karno sebagai kaum Marhaen yang menjadi tulang punggung perjuangan nasional. Beda sekali dengan pengertian Marxisme yang menunjuk kepada proletar untuk menghancurkan imperialisme dan kapitalisme. Mereka dirugikan oleh imperialisme dan dihisap oleh kapitalisme/feodalisme, tapi mereka bukan proletar. Bung Karno menolak diktatur proletariat dan perjuangan klasnya, jadi bagaimana ia bisa dikatakan seorang Marxis. Inilah alasannya mengapa banyak orang keberatan, terutama tokoh-tokoh PNI gaya baru, jika Bung Karno mengaku seorang Marxis. Artinya, Bung Karno tidak tepat mengaku seorang Marxis, karena beberapa prinsip Marxisme ditolaknya. Mereka tidak memahami bahwa pengakuan "seorang Marxis" yang digunakan oleh Bung Karno itu, digunakan dalam pengertian metafora, pengakuan politis untuk kebutuhan politik, bukan dalam arti hakiki. Bahkan Bung Karno mengakui, dia seorang Marxis Revisionis. Padahal Amerika selalu berupaya membendung kegiatan politik Bung Karno, bukan semata-mata karena masalah "Marxis" atau "komunis", tapi terutama sekali karena Bung Karno tidak mau tunduk pada keinginan Amerika. Sampai sekarang pun Amerika tidak menolak bermesraan dengan komunis Cina dan Vietnam, karena kedua negara itu membuka pintu bagi penanaman modal Amerika dan pasarnya dibuka bagi pemasaran hasil industri Amerika. PNI gaya baru yang menyesuaikan diri dengan trend politik baru di Indonesia, dengan sikap pragmatis yang kaku dan dirayu ilusi, merasa tertarik untuk menyatakan bahwa Bung Karno BUKAN BAPAK MARHAENISME, sehingga dengan demikian, Marhaenisme yang menjadi asas PNI, rumusannya bisa direvisi, disesuaikan dengan selera baru, dengan tidak perlu lagi memperhitungkan sikap Bung Karno. Sejak 1927 ketika Marhaenisme pertama kali diperkenalkan oleh Bung Karno sampai 1965, paham ini diterima penuh dan tidak pernah diributkan. Setiap warga PNI dengan bangga meneriakkan: Marhaen Jaya dan Hidup Bung Karno Bapak Marhaenisme! 234
Setelah era Orde Baru, segalanya menjadi terbalik. Tokoh-tokoh PNI gaya baru, mengingkari Bapaknya, untuk sekedar mengharapkan "pengakuan". Tapi malangnya, semua itu tidak menolong. Sebaliknya yang terjadi ialah keruntuhan total PNI, sebuah partai besar simbol nasionalisme Indonesia. PNI tersungkur dalam posisi pimpinannya berkolaborasi dengan kekuatan yang justru hendak menghancurkannya. Berikut ini Pernyataan Kebulatan Tekad pemimpinpemimpin PNI gaya baru yang ikut menggulingkan Presiden Sukarno. Akibatnya, setelah Bung Karno di gulingkan, di luar perhitungan pemimpin- pemimpin PNI,PNI sendiri yang dihancurkan. PERNYATAAN KEBULATAN TEKAD DEWAN PIMPINAN PUSAT PARTAI NASIONAL INDONESIA Beserta SEGENAP DPP/PRESIDIUM ORGANISASI MASSA P.N.I. SETELAH menyadari sedalam-dalamnya bahwa: 1. Negara Republik Indonesia dan Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara hingga kini masih mendapatkan tantangan dan rongrongan baik dari sisa-sisa kekuatan G30S/ PKI atau pun dari kekuatan-kekuatan anti Pancasila lainnya. 2. Keadaan politik, ekonomi - kebudayaan - keagamaan dalam masyarakat Indonesia masih jauh dari apa yang dicita-citakan oleh rakyat Indonesia. KEMUDIAN dari pada itu, setelah meyakini, bahwa untuk menanggulangi masalahmasalah termaksud di atas, segenap potensi PNI - Organisasi Massanya: berlandaskan azas partai yaitu Marhaenisme dengan tatsiran dan perumusan yang asli/ murni dan bebas dari pengaruh- pengaruh Marxisme; yang terkonsolidasi dan telah mengalami Kristalisasi secara positip; harus ditingkatkan perjuangannya untuk mengamankan dan mengamalkan Pancasila, untuk menyumbangkan amal dan dharma baktinya kepada negara, bangsa dan masyarakat Indonesia guna mensukseskan Dwi Dharma dan Catur Karya Kabinet Ampera bersama-sama dengan kekuatan Pancasilais lainnya dalam keadaan rukun dan damai dengan semangat gotong royong sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi Pancasila. Dengan menegaskan kembali pendirian dan sikap sebagaimana telah diputuskan oleh kongres Persatuan/Kesatuan PNI tanggal 24 - 28 April 1966 di Bandung, Keputusan Sidang M.P.P. ke I dan Sidang MPP ke 11 dan sekaligus MENYATAKAN KEBULATAN TEKAD, sebagai berikut: A. BIDANG IDEOLOGI 1. Azas PNI adalah "MARHAENISME" yang rumusannya sebagaimana telah ditegaskan dalam Yudya Pratidina Marhaenis ialah: Ketuhanan Yang Maha Esa, Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi. 2. Rumusan termaksud di atas, sebagaimana telah ditegaskan dalam "Yudya Pratidina Marhaenis" sebagai pengganti "Demokrasi Marhaenis" adalah rumusan dan tafsiran asli/ murni sejak tabun 1927 dan sama sekali bebas dari pengaruh-pengaruh Marxisme. 3. Dengan azas Marhaenisme yang arti, sifat dan rumusannya sebagai dimaksud di atas itulah, maka PNI dengan segenap Organisasi Massa-nya secara konsekoen akan melanjutkan perjuangan untuk menegakkan, mengamalkan dan melaksanakan Pancasila serta melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen dalam rangka mengisi dan membina Orde Baru. 235
B. BIDANG POLITIK 1. Dengan melempar jauhjauh mental Orde Lama, PNI dengan Organisasi Massa-nya bertekad bulat untuk mengisi dan membina Orde Baru, yang tidak bisa lain dari pada Orde Pancasila. 2. P.N.I. dengan segenap Organisasi Massa-nya bertekad bulat untuk bersama-sama dengan kekoatan Pancasilais lainnya - mengikis habis sisa-sisa G.30.S./PKI dan kekuatan-kekuatan lainnya yang hendak merongrong/ meniadakan Pancasila. 3. PNI dengan segenap Organisasi Massa-nya berketetapan hati untuk melaksanakan Ketetapan MPRS No: XXXIII/MPRS/1967, secara konsekuen, halmana berarti tidak menghendaki kembalinya Dr. Ir. Soekarno dalam Kepemimpinan Negara/Pemerintah Nasional. 4. Mengingat hal-hal di atas, maka di dalam melaksanakan garis politiknya - PNI dan Organisasi Massanya sebagai Partai/Ormas bersikap bebas halmana berarti tidak terikat pada pola pemikiran politik Dr. Ir. Soekarno. C. MENGENAI MASALAH DR. IR. SOEKARNO 1. PNI dengan segenap Organisasi Massa-nya akan tetap menjauhkan diri dari sikap Kultus individu terhadap siapa pun juga termasuk ter- hadap Dr. Ir. Soekarno. 2. Sebagai konsekuensi dari pada pendirian termaksud di atas, dan untuk mencegah pensalah tafsiran terhadap gelar "Bapak Marhaenisme" sebagaimana diputuskan oleh Sidang MPP ke II dari PNI pada tanggal 20 - 25 Juli 1967, maka gelar "Bapak Marhaenisme" ditiadakan. D. BIDANG EKONOMI-SOSIAL-KEBUDAYAAN DAN KEAGAMAAN Dengan berpedoman kepada Yudya Pratidina Marhaenis dan Bina Dharma (Program Partai), PNI dengan segenap Gerakan Massa Marhaen akan terus berjuang sekuat tenaga memberikan amal dan dharma bakti kepada negara, bangsa dan masyarakat dalam bentuk: Konsepsi-konsepsi yang positip di bidang ekonomi-sosial- kebudayaan dan keagamaan, yang disalurkan Sosio-Nasionalisme yang dianut, ialah nasionalisme kemasyarakatan yang menolak chauvinisme. Yang dikembangkan, ialah paham kebangsaan gotong-royong yang berdasarkan hidup kemasyarakatan dan berperikemanusiaan. Paham ini anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, menolak segala macam bentuk kapitalisme, termasuk kapitalisme negara. Sosio-Demokrasi ditafsirkan sebagai demokrasi lengkap meliputi: demokrasi politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Demokrasi politik, mengakui hak setiap warganegara dan orang, hidup sama makmur, sama mengatur penghidupan dan kehidupan. Demokrasi ekonomi, mengakui hak setiap warganegara dan orang secara luas dan baik, dalam bidang perekonomian. Demokrasf sosial, mengakui hak setiap warganegara dan orang mendapat penghargaan yang sama sebagai makhluk sosial, mengakui hak setiap orang mencapai tingkat kemajuan dan kedudukan sosial, sesua! dengan bakat dan kemampunannya. 236
Demokrasi kebudayaan, mengakui hak setiap warganegara dan orang menikmati keindahan dan manfaat kebudayaan. E. MENGENAI KERJA SAMA DENGAN KEKUATAN- KEKUATAN PANCASILA-IS LAINNYA. 1. PNI dengan segenap Organisasi Massanya menyadari bahwa penunaian tugas nasional yang berat sebagaimana digambarkan di atas, tidak dapat dilaksanakan sendirian oleh satu kekuatan sosial politik dan atau oleh pemerintah saja. 2. Berhubung dengan hal-hal termaksud di atas, maka PNI dengan segenap Organisasi Massa-nya tidak akan berhenti-henti untuk berusaha bekerja sama dengan pemerintah beserta segenap aparaturnya, dengan segenap kehuatan sosial politik Pancasilais lainnya yang menunjuLkan itikad baik dan kesediaan untuk diajak bekerja sama dan memupuk partnership dengan ABRI. F. BIDANG ORGANISASI 1. Di dalam usaha mengisi dan membina Orde Baru ini, maka PNI dengan segenap Organisasi Massa-nya meyakini bahwa semua kekuatan sosial politik harus melaksanakan kristalisasi dan konsolidasi daiam tubuhnya masing-masing. 2. PNI dan segenap Organisasi Massanya menyadari bahwa dalam tubuh PNI dan Organisasi Massanya harus juga diadakan kristalisasi dan konsolidasi, agar supaya tubuh sehat, dewasa, militant dan trampil untuk dapat menunaikan tugas perjuangan yang berarti itu. 3. Konsolidasi dan kristalisasi yang dimaksud di atas meliputi: a. Menghilangkan mental Orde Lama dan menumbuhkan serta mengembangkan mental Orde Baru dalam arti kata yang sebenar-benarnya. b. Meningkatkan tenaga-tenaga pimpinan Partai/ Organisasi Massa PNI hingga terdiri dari pemimpinpemimpin yang memenuhi syarat- syarat dan mampu melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud di atas. c. Terus menerus mengadakan penyempurnaan di bidang Organisasi Partai/Organisasi Massanya. d. Membersihkan diri dari unsur-unsur negatip di dalam tubuh PNI/Organisasi Partai/ Organisasi Massanya, dan yang mengganggu pelaksanaan tugas suci sebagaimana digambarkan di atas. Semoga Tuhan Yang Maha Esa meridhoi perjuangan kita sekalian. Jakarta, 20 Desember 1967 Ditegaskan oleh sidang MPP, bahwa tidak ada satu pun basic ideas Marxisme yang dianut oleh Marhaenisme, meski pun Bung Karno mengatakan: ada! Dalam hal ini Orde Baru yang anti PKI, lebih rasional dibandingkan PNI gaya baru, karena ORBA tidak mengingkari, eksistensi Marxisme sebagai ilmu yang diakui oleh ilmuwan secara global. Ketua Umum PNI gaya baru, Osa Maliki, mengatakan dalam satu ceramahnya, baru pada tahun 1958 Bung Karno menjelaskan bahwa Marhaenisme adalah: het in Indonesia 237
toegepaste Marxisme- Marhaenisme adalah Marxisme yang diterapkan sesuai dengan kondisi Indonesia. Sesudah Kongres Pemersatuan di Bandung, Osa Maliki dan beberapa tokoh PNI lainnya menghadap Bung Karno di Istana Bogor. Osa Maliki berkata kepada Bung Karno dalam bahasa Jerman: "Im Marhaenisme leben wir und sterben wir allen?" Bung Karno menjawab: "Marhaenisme dalam arti Marxisme yang diterapkan di Indonesia". Osa Maliki lalu mengatakan lagi: "Kami mengerti, tapi persoalannya bukan itu. Pancasila sekarang sedang terancam, Pancasila dalam bahaya". Bung Kàrno lalu bertanya kepada yang lain, bagaimana pendapat mereka. Prof. Usep Ranumihardja (Sekjen) yang menjawab: "Bagi kami, Marhaenisme itu sesuai dengan apa yang pernah diterangkan oleh Bung Karno sendiri dalam satu kesempatan di Universitas Padjajaran Bandung, yaitu: Marxisme hanya sebagai metode berpikir saja. Bung Karno tidak membantah. DEWAN PIMPINAN PUSAT PARTAI NASIONAL INDONESIA Ketua Umum, Sekretaris Jenderal II (Osa Maliki) (I.G.N. Gde Djaksa) DEWAN PIMPINAN PUSAT/PRESIDIUM ORGANISASI MASSA PNI 1. Kesatuan Buruh Marhaenis (K.B.M.) Ketua, Sekretaris Jenderal, (Abdul Madjid) (Rasjid St. Radjamas) 2. Pesatuan Tani Nasional Indonesia (PETANI) Ketua, Sekretaris Jenderal, (Sadjarwo S.H.) (Sunardjo) 3. Gerakan Wanita Marhaenis (G.W.N.) Ketua, Sekretaris Jenderal, (Ny. A.S. Gani S.) (Ny. S. Abadi) 4. Gerakan Pemuda Marhaenis Ketua, Sekretaris Jenderal, (Daud Sembiring) (Hendrik Wangge) 5. Gerakan Sarjana Rakyat Indonesia (I.S.R.I.) Ketua, Sekretaris Jenderal, (Ir. A. Sarbini) (A. Nasution S.H.) 6. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (G.M.N.I) Ketua, Sekretaris Jenderal, (Soerjadi) (Budi Hardjono) 7. Gerakan Nelayan Marhaenis (G.N.M.) Ketua, Sekretaris Jenderal, (I.B.P. Manuaba) (Kusbara Bsc) 8. Gerakan Pendidik Marhaenis Ketua, Sekretaris Jenderal, (Karim M. Doerjat) (Ny: Samingatun K.) 238
9. Gerakan Siswa Nasional Indonesia (G.S.N.I.) Ketua, Sekretaris Jenderal, (Sopingi) (Sam Arajad) JAWABAN SOEHARTO Sehari kemudian, Pak Harto menjawab Pernyataan Kebulatan Tekad PNI sebagai berikut: Jakarta, 21 Desember 1967 Kepada Yth. DEWAN PIMPINAN PUSAT P.N.I di Jakarta Nomor: 6-57/PRES/12/1967 Sifat : PENTING/SEGERA Lampiran : Perihal : HAK HIDUP BAGI P.N.I. Memperhatikan surat DPP PNI No. 587/DPP/ Pol/040/67 dan Pernyataan Kebulatan Tekad PNI tanggal 20 Desember 1967, perihal seperti pada pokok surat ini, dengan ini saya sampaikan hal-hal berikut: 1. Mengenai hak hidup dan perlindungan hukum bagi partai-partai politik pada dasarnya saya berpegang teguh pada jiwa ketetapan MPRS No.XXII dihubungkan dengan pasal 5 ketetapan MPRS No. XIX, hal ini berarti bahwa kehidupan kepartaian dewasa ini tetap dijamin berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan yang masih berlaku. 2. Dengan sendirinya partai politik harus berdasarkan diri pada keseluruhan jiwa, semangat dan ketentuan hasil sidang Umum ke IV dan sidang Istimewa MPRS, khususnya di bidang ideologi dan politik, secara kongkrit partai-partai politik harus: a. Dibidang Ideologi: menerima, mempertahankan dan mengamalkan PANCASILA sebagai dasar falsafah negara secara murni dan konsekuen, sebaliknya tidak mendasarkan pandangan dan kegiatan secara langsung atau tidak pada MarxismeLeninisme; b. Dibidang politik: menerima dan mempertahankan Undang- Undang Dasar 1945, hal ini berarti menjunjung tinggi kehidupan konstitusionil dan melenyapkan segala bentuk kultus individu terhadap siapa pun juga: 3. Sangat disayangkan, bahwa dalam waktu-waktu yang lalu, PNI sebagai partai mau pun pemimpinpemimpinnya dan anggota- anggotanya telah melakukan tindakan-tindakan politik yang setidak- tidaknya bertentangan dengan jiwa, semangat dan ketentuanketentuan sidang Umum ke IV MPRS dan sidang istimewa MPRS itu, antara lain ialah: a. Niat DPP PNI untak menyerahkan piagam kepada Dr. Ir. Soekarno sebagai "Bapak Marhaenis"; b. Anggota PNI di daerah-daerah masih ingin mempertahankan kepemimpinan Dr. Ir. Soekarno, halmana berarti berusaha mengembalikan Orde Lama dan menentang Orde Baru; c. Terlibatnya anggota-anggota PNI dalam kegiatan-kegiatan gelap sisa-sisa G.30.S/PKI; 4. Disamping "Deklarasi Marhaenis" yang merumuskan Marhaenis sebagai Marxisme yang diteraphan dan disesuaikan dengan kondisi-kondisi Indonesia dianggap oleh keknàtan-kehuatan Orde Baru sebagai pola pikiran yang membahayakan PANCASILA. 239
5. Hal-hal tersebut pada angka 3 dan 4 di atas mengakibatkan kecurigaan golongangolongan lain terhadap PNI sehingga penguasa-penguasa di daerahdaerah terpaksa mengambil tindakan sementara terhadap PNI. 6. Secara keseluruhan dapat dinilai bahwa proses peng-Orba-an dalam tubuh PNI belum terlaksana. Dasar peng-Orba-an yang perlu dilakukan dan dibuktikan oleh PNI adalah: a. Di bidang Idiologi: Di hilangkannya segala bentuk pola pikiran Marxis dari cara berpikir PNI; b. Di bidang politik Di hentikan segala bentuk hubungan PNI dengan Dr. Ir. Soekarno; yang kesemuanya itu mutlak diperlukan untuk membuktikan kemauan dan maksud baik dari PNI, sebagai anggota keluarga- besar Orde Baru di satu pihak, dan di lain pihak, justru untuk menghilangkan kelemahan prinsipiil bagi PNI sendiri yang telah menimbulkan keraguraguan partner-partner Pancasilais lainnya. 7. Dengan telah dikeluarkannya Pernyataan Kebulatan Tekad DPP PNI beserta segenap DPP/Presidium Organisasi Massa PNI yang disampaikan kepada saya, maka saya menilai bahwa dilihat dari segi materinya PNI telah mampu meletakkan kembali landasanlandasan di bidang N deologi dan politik yang sesuai dengan semangat dan tekad Orde Baru seperti yang saya tunjukkan dalam angka 6 di atas. 8. Langkah-langkah nyata yang perlu segera dilakukan dan dibuktikan oleh PNI adalah melaksanakan dengan penuh kejujuran dan kesungguhan isi pernyataan Kebulatan Tekad tersebut sehingga meyakinkan kekuatan-kekuatan Orde Baru lainnya. Dengan adanya langkah itu maka penguasa-penguasa di daerah tidak perlu lagi mengambil tindakan yang dirasakan merugikan PNI dan Organisasi Massa PNI lainnya walau pun tindakan-tindakan itu telah terpaksa dan harus dilakukan untuk mengamankan perjuangan menegakkan Orde Baru. 9. Dengan adanya Pernyataan Kebulatan Tekad dan pengertian- pengertian tersebut pada angka 8 di atas, maka saya akan mengambil langkah-langkah yang perlu untuk memberi petunjuk- petunjuk kepada semua penguasa di daerah untuk membantu usaha usaha PNI dalam melakukan kristalisasi dan konsolidasi kekuatan Orde Baru dalam tubuhnya. 10.Demikianlah tanggapan saya terhadap surat DPP PNI tersebut di atas dan langkahlangkah yang perlu segera diwujudkan oleh PNI dan Organisasi-Organisasi Massa PNI, baik di tingkat pusat mau pun daerah, sehingga hak hidup dan perlindungan hukum bagi PNI dan Organisasi-Organisasi Massa PNI benar-benar dapat dijamin atas dasar-dasar yang kuat realistis dan menjamin keselamatan perjuangan menegakkan Orde Baru. PEJABAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd SOEHARTO JENDERAL - T.N.I Tembusan: 1. Menteri Pertahanan/Keamanan; 2. Menteri Dalam Negeri 3. Jaksa Agung 4. Arsip
240
CATATAN AKHIR: SEBERKAS TEKA-TEKI SEWAKTU hendak mengakhiri tulisan ini, kondisi di Indonesia kokoh bertahan pada penilaian tunggal mengenai "Gerakan 30 September 1965". Gerakan itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab PKI, apalagi tokoh-tokohnya yang diadili, mengakui demikian. Namun ironisnya, Sukarno, Presiden Republik Indonesia waktu itu, juga harus ikut bertanggungjawab, dituduh ikut terlibat gerakan yang hendak menjatuhkan kekuasaannya sendiri (coup d'etat). Sebuah logika aneh yang direkayasa. Penilaian ini sudah baku dan tidak kunjung surut sampai seperempat abad lebih lamanya. Sampai-sampai K.H. Abdurrahman Wahid, ketua Umum Pengurus Besar NU, penerima Magsaysay Award 1993, menganggap sangat menyedihkan bahwa tregedi 1965 itu tidak pernah muncul dalam teater kita 83). Karena teater bisa mengungkapkannya secara utuh dan lebih transparan. 83) "Kompas" 21 Oktober 1993 Penilaian tunggal yang selalu dinyatakan dalam "paduan suara", menyebabkan dilupakannya pertanyaan mendasar: Mengapa akan terjadinya Gerakan 30 September 1965 sama sekali tidak sempat diantisipasi oleh Inteligen ABRI, sehingga tidak ada pula tindakan preventif untuk menangkalnya? Kenyataan ini sangat rumit untuk dimengerti bisa terjadi dalam sistim Inteligen kita, karena persiapan gerakan, cukup transparan. Statement terbuka anggota Politbiro CC PKI, Anwar Sanusi, sebelum kejadian, yang menyatakan bahwa ibukota sudah hamil tua dan paraji (bidan) sudah tersedia untuk menolong kelahiran bayi yang ditunggu-tunggu, seharusnya dapat dianalisis oleh Intel ABRI, apa yang tersirat di balik kata- kata itu, mengingat situasi politik sudah begitu panas. Juga pidato ketua Politbiro CC PKI, D.N. Aidit pada penutupan kongres Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), sebuah organisasi kemahasiswaan yang berafiliasi dengan PKI, 28 September 1965 di ISTORA Senayan, menganjurkan kepada CGMI yang menuntut pembubaran Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), supaya membubarkannya sendiri saja, karena Pemerintah tidak mau melakukannya, seharusnya sudah diantisipasi sebagai satu tantangan terbuka. Di samping itu, Mayor Jenderal Sugandhi yang pada waktu itu Kepala Penerangan HAN KAM, seperti pengakuannya sendiri kepada tim pemeriksa yang mengintrogasinya, juga sudah mengetahui akan terjadinya coup d'état, yang disampaikan oleh D.N. Aidit kepadanya 3 hari sebelum peristiwa. Dengan keterangan ini saja, sebetulnya G30S bisa dicegah sebelum meletus. Sedang issue "Dewan Jenderal" hendak melakukan coup, sudah lebih lama didesasdesuskan di masyarakat, sehingga sudah harus dipertimbangkan apa tujuan desas-desus itu. Semua ini merupakan petunjuk yang lebih dari cukup untuk menarik kesimpulan bahwa ada sesuatu yang akan terjadi. Atau apakah memang ada kesengajaan meloloskan terjadinya G30S, meski pun dengan mengorbankan 6 Jenderal, agar ada alasan yang kuat untuk menghancurkan PKI dan menggulingkan Sukarno, seperti yang dikehendaki oleh Amerika? Oleh karena itu, keterlibatan Amerika Serikat dalam penyusunan skenario ini, patut dipertimbangkan. Kegiatan Marshall Green, Duta Besar Amerika di Jakarta waktu itu, sangat mencurigakan. Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk urusan Asia Timur dan Pasifik (1964-1969), William P. Bundy dalam kata pengantarnya pada penerbitan buku karya Marshall Green, "Dari Sukarno ke Soeharto" menulis,..... "apa yang dilakukan oleh 241
Pemerintah AS di Indonesia sejak pertengahan tahun 1965 hingga 1968, ialah pada dasarnya mengikuti nasehat Marshall Green mengenai pendekatan pokok dan beberapa hal lainnya tentang bagaimana melaksanakan pendekatan itu. Cerita itu dapat disebut keberhasilan suatu Misi yang membuat "Indonesia" menjadi kisah keberhasilan yang sejati".84) 84) Marshall Green, Dari Sukarno ke Soeharto, hal. 164 Pengakuan yang lain datang dari wartawan Amerika, Arnold G. Brackman. Ia menulis: "Apa yang terjadi di Indonesia pada hari- hari pertama yang menentukan dalam bulan Oktober 1965, mungkin yang paling mencolok dalam zaman ini di Asia sejak Mao bangkit berkuasa di daratan Cina pada 1949" 85). 85) Arnold G. Brackman, The Communist Collaps in Indonesia, hal. 1 Meski pun demikian, Marshall Green merasa perlu mengatakan bahwa AS tidak terlibat di Indonesia, hanya memperoleh manfaat besar dari hilangnya kekuatan komunis di negeri itu. Ia mengutip tulisan Lektor Kepala H. W. Brands dari Texas A & M University dalam Journal of American History (Desember 1989) bahwa Amerika Serikat tidak mendongkel Sukarno dan tidak bertanggungjawab terhadap ratusan ribu jiwa yang tewas dalam penumpasan PKI. Oleh karenanya, kata Green, "kita tidak punya alasan untuk meminta maaf karena masa lampau". Sangkalan Marshall Green cukup berani, karena bukti-bukti yang diungkapkan dalam dokumen-dokumen yang dikutip dari Presiden Johnson Library yang sudah diumumkan di Amerika, justru mengungkapkan keterlibatan AS di Indonesia. Bahkan menurut Russel H. Fifield dalam bukunya Southeast Asia in United States Policy (hal. 404-440), untuk menangkal perkembangan yang mengkhawatirkan di Indonesia, antara 1959- 1960 ahli-ahli strategi Amerika dan para Jenderalnya mengadakan 7 kali pertemuan. Council on Foreign Relations mendirikan apa yang dinamakan Study Group on Southeast Asia in U.S. Policy. Itulah rancangan awal berdirinya ASEAN yang disiapkan oleh Amerika, kemudian diresmikan pada bulan Agustus 1967 di Bangkok, di mana Indonesia masuk di dalamnya. Korban penumpasan G30S/PKI, sangat besar. K.H. Abdurrahman Wahid, ketua umum PB NU ketika diwawancarai majalah Mingguan Berita "Editor", mengakui bahwa orang Islam membantai 500.0 eks PKI 86). Tentu masih ada lagi yang dibunuh oleh yang tidak masuk "Orang Islam". Maka angka 1 juta seperti yang diumumkan oleh Panitia Amnesti Internasional 87), bisa dimengerti. 86) Editor No.49/Tahun Vl/4 September 1993 87) Amnesty International, Getting Away With Murder Political killings and "disappearances" in the 1990s, Amnesty International Publications, London Kata Abdurrahman Wahid dalam wawancara itu, meski pun sudah begitu besar korbannya, tidak ada sanak keluarga korban pembantaian yang masuk Islam. Malah mereka mencari keteduhan jiwa dalam dendam mereka kepada Islam, dengan masuk agama lain. Namun sisi lain yang menjadi noda dalam sejarah, dikaitkannya G30S/PKI dengan Bung Karno. Ada kekuatan yang menganggap Bung Karno sebagai dalangnya. Dalam keadaan terdesak, Bung Karno menandatangani Surat Perintah 11 Maret (SUPERSEMAR) yang terkenal itu. Tragisnya SUPERSEMAR itu juga yang menggiring Bung Karno ke keruntuhannya, setelah disulap menjadi Ketetapan MPRS No. IX/1966, 242
berdasarkan konsep yang disusun oleh Prof. Dr. Ismail Suny, SH. MCL., Adnan Buyung Nasution, SH., Dahlan Ranuwihardjo, SH., dibantu oleh K.H. Achmad Syaichu dan Subhan Z.E. yang disambut hangat oleh Ketua MPRS, Jenderal A.H. Nasution.88) Dengan demikian, Surat Perintah itu tidak bisa dicabut lagi dengan segala implementasinya yang terus bergulir sesuai dengan kebutuhan dan bermuara pada keluarnya Ketetapan MPRS No.XXXIII/1968 yang menggulingkan Bung Kamo sebagai Presiden R.l. 88) Keterangan Prof. Dr. Ismail Suny, SH., MCL. kepada "Forum Keadilan", 11 Nopember 1993. Padahal kenyataan menunjukkan bahwa yang menggagalkan gerakan lebih lanjut dari sayap militer G30S/PKI justru Bung Karno sendiri dengan dikeluarkannya Perintah Lisan sebagai Penglima Tertinggi kepada Brigadir Jenderal Soepardjo, pimpinan militer G30S/ PKI di Halim pada 1 Oktober 1965 pagi, supaya menghentikan semua operasi militer, pada saat G30S/PKI secara militer dalam posisi memegang inisiatif. Perintah Lisan Panglima Tertinggi ini mempunyai akibat langsung, di mana operasi militer G30S/PKI berhenti seketika. Senjata yang ada di tangan para militer yang berkekuatan 2 batalyon (unsur PKI), diperintahkan oleh AURI supaya dikumpulkan dalam gudang dan rnenghentikan semua gerakan militer. Rencana hendak menyerang KOSTRAD, langsung dibatalkan. Begitu juga rencana operasi militer lainnya. Dengan demikian, KOSTRAD dengan mulus dapat menghancurkan G30S/PKI tanpa menemui perlawanan. Soepardjo sendiri begitu menerima Perintah Lisan dari Panglima Tertinggi, langsung memastikan bahwa Gerakan 30 September sudah kalah. Seorang saksi mata yang berada di Halim pada tanggal 1 Oktober 1965 itu mengatakan bahwa D.N. Aidit yang berada di Sentral Komando G30S Halim begitu mendengar ada perintah supaya menghentikan operasi militer dan mencegah pertempuran, memberikan reaksi marah sekali. Laksamana Muda (Purn.) Wisnu Djayengminardo yang waktu itu komandan Pangkalan Udara Halim mengatakan bahwa ia mendengar sendiri ucapan Soepardjo yang dalam keputusasaannya mengatakan bahwa "kita sudah kalah", sambil duduk di atas ubin. Fakta ini semua tidak pernah dipertimbangkan sewaktu mengambil keputusan menuding Bung Karno terlibat G30S/PKI. Layaklah dalam peristiwa 30 September 1965 ini, tampil seberkas teka-teki. Setidaknya tiga pertanyaan besar memerlukan jawaban. 1. Mengapa Gerakan 30 September 1965 tidak bisa dicegah sebelum terjadi, padahal ada kesempatan? Petunjuk akan terjadinya gerakan itu, begitu transparan. 2. Mengapa Perintah Lisan Bung Karno untuk menghentikan semua Operasi Militer dan ditaati, tidak dipertimbangkan sebagai faktor utama yang menggagalkan G30S/PKI? 3. Mengapa SUPERSEMAR yang hendak ditarik kembali oleh Presiden Sukarno, secara mengejutkan disulap menjadi Ketetapan MPRS tanpa persetujuan pembuat Surat Perintah itu yang kemudian digunakan untuk menggulingkan Bung Karno sendiri? Tindakan menyulap itu terlalu jelas mengisyaratkan tujuan akhirnya: Menggulingkan Bung Karno. Hanya sejarah yang darahnya mengalir di sekujur tubuh bangsa, itulah yang dapat menjawab dengan tepat, jika saatnya telah tiba.
243
Namun seperempat abad setelah wafatnya, terdaftar 9 juta peziarah mendatangi makam Bung Karno di Blitar, untuk mengenang dan mendo'akan yang terbaik baginya. Wartawan Keith Loveard menulis dalam "Asia Week" 29 Juni 1994, ia heran dan sekaligus kagum, mengapa yang ditempelkan supir-supir taxi pada kaca mobil mereka bukan gambar Presiden Soeharto tapi gambar Bung Karno. Wartawan ini tidak memerlukan jawaban karena sepanjang perjalanannya menyusuri Indonesia sepanjang 5000 Km, ia menemukan hanya satu nama yang sinonim dengan Indonesia yaitu SUKARNO. Demikianlah, usul mencabut TAP MPR No. XXXIII/1968 yang menggulingkan Presiden Sukarno dengan alasan yang diciptakan, nampaknya terlalu berat untuk dikabulkan, karena akibat ke-tata- negaraannya di khawatirkan menggoncangkan dan memalukan. Tapi berbagai tindakan resmi untuk memperlemah secara berangsur- angsur makna TAP MPR itu, mulai ditempuh, misalnya: 1. Pengakuan formal bahwa Bung Karno adalah Proklamator Kemerdekaan bersama Bung Hatta. 2. Presiden Soeharto meresmikan makam Bung Karno di Blitar pada 21 Juni 1979, sebagai Makam Pahlawan. 3. Merubah nama Bandar Udara Internasional "Cengkareng" menjadi "Bandar Udara Sukarno-Hatta". Entahlah tindakan apa lagi selanjutnya yang akan diambil. Mungkin giliran " 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila" yang selama ini diingkari, akan diakui kembali. Memang terlampau pahit untuk mengakui kesalahan. Meski pun demikian, sejarah tidak pernah lalai mencatatnya.
244