Lokakarya Nasional Pengembangan Jejaring Litkaji Sistem lntegrasi Tanaman - Ternak
PENGOLAHAN KOTORAN TERNAK DAN KULIT BUAH KAKAO UNTUK MENDUKUNG INTEGRASI KAKAO - TERNAK WISRI PUASTUTI
Balai Penelitian Ternak PO Box 221 Bogor 16002
ABSTRAK Pada integrasi temak-kakao terjadi hubungan yang sinergis . Ternak domba, kambing maupun sapi mampu mendatangkan pendapatan tambahan di samping kakao . Adapun kotoran temak dapat diolah menjadi pupuk organik dan dapat mensubstitusi penggunaan pupuk anorganik . Melalui pengolahan yang tepat, kotoran ternak dapat lebih cepat terdekomposisi sehingga unsur hara yang ada menjadi cepat tersedia bagi tanaman. Penggunaan pupuk organik bersama dengan pupuk anorganik dapat meningkatkan produktivitas pertanian. Produksi kakao yang meningkat sepanjang tahun diikuti pula dengan produk samping berupa kulit buah kakao . Hampir seluruh propinsi di Indonesia menghasilkan kakao kecuali Provinsi DKI . Kulit buah kakao merupakan limbah yang selama ini belum banyak dimanfaatkan kecuali sebagai pupuk . Bila ditinjau dari segi gizinya kandungan protein dan energi kulit buah kakao (8,75% PK; 46% TDN) sebanding dengan rumput gajah (9,06% PK dan 50% TDN) . Melalui sentuhan teknologi seperti amoniasi, silase, dan biofermentasi, kulit buah kakao dapat dijadikan sebagai pakan temak . Disamping meningkatkan kecernaan, dengan pengolahan dapat juga meningkatkan kadar protein kulit buah kakao. Penggunaan dalam ransum dapat mencapai 50% dari total kebutuhan bahan kering tanpa menimbulkan efek negatif. Penggunaan kulit buah kakao sebagai pakan dapat menghemat waktu untuk mencari rumput dan mengatasi kekurangan hijauan pakan di musim kemarau . Meningkatnya ketersediaan unsur hara dalam pupuk organik dan ketersediaan nutrien dari kulit buah kakao akan meningkatkan produktivitas pada sistem integrasi kakao-ternak . Kata kunci : Integrasi, kakao, ternak, pengolahan, pupuk
PENDAHULUAN Melalui program intensifikasi secara nyata diikuti dengan peningkatan pemakaian pupuk anorganik dan peningkatan produktivitas hasil pertanian. Penggunaan pupuk anorganik sangat dominan dalam memacu peningkatan produksi pangan . Namun demikian penggunaan pupuk anorganik yang berlebihan telah menimbulkan banyak masalah yang berkaitan dengan produksi, efisiensi, harga dan pendapatan petani . Fakta yang terjadi di lapang menunjukkan bahwa kenaikan produksi pertanian sudah tidak sebanding lagi dengan kenaikan penggunaan pupuk anorganik . Dengan kata lain efisiensi penggunaan pupuk anorganik telah menurun . Penurunan efisiensi penggunaan pupuk berkaitan erat dengan faktor tanah di mana telah terjadi kemunduran produktivitas lahan baik secara kimia, fisik maupun biologi . Untuk itu perlu diupayakan perbaikan melalui pengelolaan secara terpadu dari aspek kimia, fisik dan biologi, dimana pengelolaan bahan organik merupakan
200
komponen utama . Bahan organik tanah berperan penting dalam meningkatkan kemampuan tanah dalam menyimpan lengas dan unsur-unsur hara tanah (PUJIANTO, 1996) . Oleh karena itu penggunaan pupuk organik mempunyai peluang sebagai pupuk utama pada perbaikan kesuburan lahan . Melalui sistem integrasi tanaman dengan ternak diharapkan mampu menciptakan hubungan yang sinergis . Ternak merupakan salah satu komponen dalam mendukung perbaikan lahan pertanian guna meningkatkan produktivitas pertanian, karena kotoran yang dihasilkan oleh ternak dapat diolah menjadi pupuk organik. Adapun by product pertanian dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, terutama ruminansia . Pada integrasi ternak dengan perkebunan kakao juga terjadi hubungan sinergis . Selain meningkatkan produktivitas lahan perkebunan, melalui sistem integrasi membuka peluang cabang usaha dengan adanya ternak di dalamnya . Ternak domba, kambing maupun sapi mampu mendatangkan pendapatan
Lokakarya Nasional Pengembangan Jejaring Litkaji Sistem Integrasi Tanaman - Ternak
tambahan disamping kakao . Adapun kotoran ternak dapat diolah menjadi pupuk organik dan dapat mensubstitusi pupuk anorganik . Melalui pengolahan yang tepat, kotoran ternak dapat lebih cepat terdekomposisi sehingga unsur hara yang ada menjadi cepat tersedia bagi tanaman . Kulit buah kakao merupakan limbah yang selama ini belum banyak dimanfaatkan kecuali sebagai pupuk, akan tetapi penempatan kulit buah kakao di sekitar kebun lebih banyak mengotori lingkungan perkebunan bahkan menimbulkan banyak masalah terhadap tanaman perkebunan dibandingkan manfaatnya sebagai pupuk . Menumpuknya kulit buah kakao menimbulkan pembusukan karena kelembaban dan temperatur yang' tinggi, bahkan cendawan mikotoksin Phytopthora palmivora (Butler) dapat berkembang dengan baik . Cendawan ini dilaporkan dapat menjadi hama dan penyakit busuk buah, hawar daun dan kanker batang pada tanaman kakao (LoPEz et al., 1984). Oleh karena itu kulit buah kakao sebaiknya dikeluarkan darilokasi perkebunan agar tanaman kakao terhindar dari penyakit tersebut . Disamping diolah menjadi pupuk, kulit buah kakao juga dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak . Penggunaan kulit buah kakao sebagai pakan pengganti rumput dapat mengurangi dampak negatif dari pembusukan kulit buah kakao, mengatasi masalah kekurangan rumput pada musim kemarau dan mengurangi waktu petani mencari rumput, sehingga waktu yang ada bisa dimanfaatkan untuk kegiatan lain yang lebih produktif. PENGOLAHAN KOTORAN TERNAK SEBAGAI PUPUK ORGANIK Pupuk organik merupakan hasil dekomposisi bahan-bahan organik menjadi senyawa yang sederhana dengan bantuan mikroorganisme . Bahan dasar pembuatan pupuk organik secara umum adalah kotoran ternak, limbah pertanian, sampah sisa rumah tangga dan sampah pasar . Pada sistem integrasi tanaman-ternak, pupuk organik dapat dibuat dari kotoran ternak dan sisa hijauan pakan, sementara limbah pertanian diolah sebagai pakan ternak . Pada umumnya kotoran ternak dianggap sebagai pupuk dan Iangsung digunakan sebagai pupuk, tanpa pengolahan terlebih dahulu atau dibiarkan dalam waktu
lama baru kemudian digunakan . Pemberian bahan organik yang belum mengalami dekomposisi dengan sempurna pada tanaman kurang memberi manfaat bahkan dapat mengakibatkan efek negatif . Bahan organik yang belum terdekomposisi dengan sempurna memiliki keasaman yang tinggi dan unsurunsur hara yang ada belum tersedia, sehingga kurang bermanfaat bagi tanaman . 1 ton kotoran temak
1 Dicampur+2,5 kg Probiotik+2,5 kg urea+2,5 kg SP (Probiotik dengan nama Probion) Pembalikan (per m nggu hingga 3-4 kali)
1 1 Penggilingan dan penyaringan 1 Pengepakan 1 Siap digunakan pada lahan Pengeringan
Gambar 1 . Alur pembuatan pupuk organik Sumber : HARYANTO et al. (2002) Beberapa pengolahan pupuk organik telah banyak dilakukan, namun pada prinsipnya melalui proses dekomposisi dan melibatkan aktivitas mikrobiologis pada kondisi yang terkontrol . Salah satu contoh proses pembuatan pupuk organik dari kotoran ternak disajikan pada Gambar 1 . Penggunaan probiotik Ruminococcus bacillus dalam proses pengomposan dapat meningkatkan kandungan unsur N, K dan C organik dibanding tanpa probiotik dan mempercepat waktu pengomposan dari 6 minggu menjadi 2 minggu (SUKADANA et al ., 2003 ; AFANDI dan YUWONO, 2002) . Pembuatan pupuk organik dengan bahan dasar kotoran sapi 80-83% ditambah 5% serbuk gergaji, 0,25% mikroorganisme, abu sekam 10% dan kalsit 2% telah diproduksi dengan nama produk kompos super (ANONIMUS, 2000) . Sementara KASMAN el al. (2004) memproses campuran kotoran sapi, urine dan sisa pakan sebanyak I ton dengan penambahan 2,5 kg urea, 2,5 kg probiotik, 2,5 kg kalsit dan 100 kg abu sekam dengan kadar
20 1
Lokakarya Nasional Pengembangan Jejaring Litkaji Sistem Integrasi Tanaman - Ternak
air 65% selama 3 minggu . Hasil pengomposan kotoran ternak dengan metode pengolahan
yang berbeda disajikan pada Tabel 1 .
Tabel 1 . Komposisi pupuk organik No .
Komposisi
1.
pH Total N
Jumlah (%) ANONIMUS
2. 3. 4. 5. 6. 7.
P205
K2 0 CaO MgO C/N ratio PENGGUNAAN PUPUK ORGANIK
Salah satu usaha untuk memperbaiki kesuburan tanah dan untuk meningkatkan produktivitas lahan pertanian antara lain dengan konservasi lahan dan pemupukan berimbang antara pupuk organik dan anorganik . Pupuk organik mengandung mineral yang mudah tersedia sehingga cepat memberi respon pada tanaman . Pupuk organik mempunyai peluang sebagai pupuk utama karena mengandung unsur lengkap yang diperlukan oleh tanaman balk sebagai unsur mikro maupun makro (VERMA, 1993) . Akan tetapi unsur hara dari pupuk organik bersifat lepas lambat (slow release) . Oleh karena itu kondisi tanaman yang hanya diberi pupuk organik efektivitasnya sangat rendah. Dampak daripada lambatnya ketersediaan unsur hara disamping terjadi proses imobilisasi terutama unsur nitrogen dalam tanah juga tidak mencukupi kebutuhan mikroorganisme sehingga akan mengurangi porsi hara untuk tanaman . Seperti pernyataan SAMOSIR (2000) bahwa pemberian pupuk organik dapat meningkatkan retensi hara nitrogen yang kemudian akan dilepas secara perlahan-lahan dan tersedia bagi tanaman . Pemberian pupuk secara kombinasi akan memberikan basil yang lebih baik . Berdasarkan hasil penelitian pemberian pupuk organik, pupuk anorganik dan kombinasi keduanya menunjukkan bahwa dari segi pertumbuhan pupuk anorganik memberikan laju pertumbuhan yang paling cepat dan terendah pupuk organik, tetapi hal itu hanya terjadi pada
2 02
(2000)
>1,81 >1,89 >1,96 >2,96 >0,70 Maks 16
KASMAN et al.
(2004)
5 0,85 1,56 2,90 0,39 18 - 20
periode awal setelah masa tanam . Pada masa selanjutnya maka kombinasi kedua pupuk memberikan hasil yang paling balk (SYAM dan SARIUBANG, 2004) . Perlakuan penambahan pupuk organik pada tanaman lada meningkatkan produksi lada menjadi 576 kg/ha dibandingkan dengan yang tidak diberi pupuk organik yakni sebesar 266 kg/ha (SUPRAPTO et al., 2004). Penambahan 5 ton pupuk organik per hektar disertai dengan pemupukan NPK dapat menghasilkan peningkatan produksi padi sebesar 1 ton lebih banyak dibandingkan dengan yang dipupuk NPK saja (FAGI dan PARTOHARDJONO, 1982) . POTENSI KULIT BUAH KAKAO Tanaman kakao di Indonesia dibudidayakan oleh rakyat, swasta dan pemerintah . Masa depan komoditas kakao tampak cerah dengan semakin meningkatnya kebutuhan dunia akan coklat. Kakao merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang memegang peranan cukup penting dalam perekonomian Indonesia, yakni sebagai penghasil devisa negara, sumber pendapatan petani, mendorong agribisnis dan agroindustri serta pengembangan wilayah, terutama di pedesaan. Hampir seluruh propinsi di Indonesia menghasilkan kakao kecuali Provinsi DKI . Di bawah ini disajikan data luas lahan penanaman dan produksi kakao untuk 10 propinsi dengan produksi tertinggi di Indonesia tahun 2006 .
Lokakarya Nasional Pengembangan Jejaring Litkaji Sistem Integrasi Tanaman - Ternak
Tabel 2 . Luas tanam, produksi kakao, produksi kulit buah kakao dan perkiraan kapasitas tampung ternak tahun 2006 No:
Provinsi
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10 .
Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Barat Sumatera Utara Kalimantan Timur Lampung Jawa Timur N . Aceh Darussalam Nusa Tenggara Timur
Sumber :
Luas lahan (ha) 224 .755 180 .873 176 .335 132 .095 70 .797 38 .546 39 .600 46 .659 38 .242 38 .094
Produksikakao Produksi kulit buah Kapasitas tampung (ton/tahun) kakao (ton/tahun)' ternak (ST)b) 180.578 167 .781 93 .212 153 .955 143 .045 78 .381 101 .025 93 .866 51 .433 97 .500 90 .590 49 .639 55 .446 51 .517 28 .228 25 .079 23 .302 12 .768 22 .492 20 .898 11 .451 22 .053 20 .490 11 .227 16 .517 15 .346 8 .409 14 .503 13 .475 7 .384
DJREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN (2006) a) Hasil perhitungan dari kulit buah kering 40,7% dan biji kering 50,8% (HARYATI dan MARDJosuwiro, 1984) b) ST = Satuan temak = 250 kg, komposisi dalam ransum 50% dari total BK
Sementara untuk seluruh Indonesia sampai tahun 2006 luas penanaman mencapai 1 .191 .742 ha dengan produksi rata rata 779 .474 ton/tahun (DIREKTORAT JENERAL PERKEBUNAN (2006) . Produksi kakao yang meningkat setiap tahun sebesar 0,87%, diikuti pula dengan
meningkatnya produk samping (by product) yang dihasilkan . Besarnya komponen kulit buah kakao lebih kurang tiga kali berat biji . Pada Tabel 3 disajikan besarnya persentase kulit buah buah, plasenta dan biji dalam satu glondongan .
Tabel 3 . Persentase antara kulit buah buah, plasenta, dan biji kakao No : 1. 2. 3. Sumber:
Komponen Kulit buah buah kakao (%) Plasenta (%) Biji kakao (%)
Segar' 74 2 24
Segarb 75,67 2,59 21,74
Kering' 47,2 2 50,8
'HARYATI dan MARDJOSUWITO (1984) ; bDARwls et a!. (1988)
Melalui perhitungan dapat diperkirakan produksi kulit buah kakao dan ketersediaan kulit buah buah kakao sebagai pakan ternak (Tabel 2) . Rata-rata untuk setiap hektar luasan mampu menghasilkan 929 kg biji kakao (DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN, 2006), maka sebanding dengan 863 kg kulit buah buah kakao kering per tahun, sehingga mampu mendukung lebih kurang 0,5 ST (pemberian 5 kg kering/hari/ST setara dengan 20-30 kg rumput segar) . Bila ditinjau dari segi gizinya kandungan protein dan energi kulit buah kakao (8,75% PK ; 46% TDN) sebanding dengan rumput gajah (9,06% PK dan 50% TDN) (DARWIS et al ., 1988) sehingga kulit buah kakao dapat digunakan sebagai pengganti rumput.
PENGOLAHAN KULIT BUAH KAKAO SEBAGAI PAKAN TERNAK Berdasarkan aspek nutrien kulit buah buah kakao memiliki kandungan lignin yang tinggi (38,78%) sehingga dapat mempengaruhi daya cerna, adanya kandungan alkaloid theobromin (3,7-dimethyl xanthine) sebanyak 0,17-0,22% (WONG dan HASAN, 1988) dan kafein (1,3,7trimetilxanthine) sebanyak 1,8-2,1% (GOENADI dan PROWOTO, 2007) . Pada taraf rendah theobromin dalam pakan dapat menghambat pertumbuhan mikroba rumen sehingga menurunkan kemampuan mencerna serat dan menyebabkan diare, sedangkan pada level tinggi menyebabkan keracunan . Adapun kafein diketahui mempunyai efek diuretik .
20 3
Lokakarya Nasional Pengembangan Jejaring Litkaji Sistem Integrasi Tanaman - Ternak
Untuk meningkatkan ketersediaan nutrien kulit buah kakao diperlukan sentuhan teknologi untuk pengolahan. Beberapa teknik pengolahan kulit buah kakao telah dilaporkan, yaitu secara amoniasi, silase dengan penambahan tetes, biofermentasi dengan mikroba rumen dan Phanerochaete chrysosporium (LACONI., 1998), Aspergillus niger (SUTIKNO et al., 1994; ANONIMUS, 2007) dan Neurospora sitophyla (SUTIKNO et a!., 1994) . Secara umum pengolahan kulit buah kakao adalah sebagai berikut :
Kulit buah kakao diii is/dipotong-potong Di tambahkan urea atau diinokulasi starter Diaduk rata dan disimpan 1 minggu (kondisi anaeroh untuk amoniasi dan aerob untuk fermentasi) Dikeringkan
1
Digiling Siap diberikan atau disimpan Gambar 2 . Skema pengolahan kulit buah kakao sebagai pakan ternak
Tabel 4 . Komposisi kulit buah kakao dari beberapa teknik pengolahan Teknik pengolahan Komposisi Bahan organik (%) Protein kasar (%) Serat kasar Lemak kasar (1/6) Beta-N (%)
fanpa diolah 87,13 8 .35 55,67 2 .48 20,63
Amoniasi (+1,5% urea)
Silase
Mikroba rumen
87,74 9,58 50,92 2,24 25,00
87,22 8,76 49,12 0,35 28,99
87,37 8,34 40,42 0,24 38,38
Phanerochaete chrysosporium 87,87 9,96 45,56 1,61 30,62
Sumber: LACONI, 1998
Pada Tabel 4 disajikan perubahan komposisi kimia kulit buah kakao setelah pengolahan . Berdasarkan keempat teknik pengolahan tersebut tidak menyebabkan perubahan pada kandungan bahan organik, menurunkan kadar serat kasar tetapi meningkatkan protein kasar pada teknik biofermentasi dengan Phanerochaete chrysosporium dan amoniasi . Biofermentasi dengan Phanerochaete chrysosporium menghasilkan kecernaan in vitro bahan kering tertinggi sebesar 51,7% dibanding tanpa pengolahan sebesar 40,5% (LACONI, 1998) . Meningkatnya kecernaan merupakan hasil kerja enzim dari kapang Phanerochaete chrysosporium yang mampu melunakkan dan memecah dinding-dinding serat kulit buah kakao dan melepaskan pita-pita serat mikrofibrilnya, sehingga struktur serat menjadi rapuh dan lebih terbuka . Pengolahan kulit buah kakao melalui pembuatan silase dengan penambahan bahan 1% urea dan 6% tetes dengan lama
204
penyimpanan 1 minggu menunjukkan hasil terbaik yang ditunjukkan dengan produksi amonia sebesar 6,072 mM (SA'DIYAH, 1992) . Hasil fermentasi kulit buah kakao menggunakan kapang Aspergillus niger, Neurospora sitophyla dan campuran antara A niger dan N sitophyla selama 4 hari mampu meningkatkan kadar protein masing-masing sebesar 83 ; 65 dan 40% dari bahan awal dan kecernaan bahan kering 55,7 ; 57,2 dan 53,9% (SUTIKNO et a!., 1994) . Hasil lain dengan A . niger dilaporkan menghasilkan kenaikan kandungan protein kasar dari 9,23% menjadi 17,42% dan penurunan kadar serat kasar dari 16,42% menjadi 8,15% (ANONIMUS, 2007) . PEMANFAATAN KULIT BUAH KAKAO SEBAGAI PAKAN TERNAK Beberapa penelitian tentang pemanfaatan kulit buah kakao sebagai pakan ternak telah dilakukan baik pada ternak monogastrik maupun ruminansia . Kulit buah kakao yang dikeringkan dan dibuat tepung dapat men-
Lokakarya Nasional Pengembangan Jejaring Litkaji Sistem Integrasi Tanaman - Ternak
substitusi jagung sebesar 10-20% dalam ransum babi tanpa mempengaruhi keragaan dan kualitas karkas dibandingkan dengan yang diberi pakan konvensional jagung, kedelai dan ikan (HUTAGALUNG dan CHANG, 1978). Selanjutnya WOOD dan LASS (1985) melaporkan bahwa pemberian kulit buah kakao dapat mensubstitusi sebesar 20% dalam ransum unggas, 30-50% dalam ransum babi dan 50% untuk domba, kambing dan sapi . Sapi laktasi yang diberi kulit buah kakao sebanyak 15% tidak berpengaruh nyata terhadap produksi dan kualitas air susu . Produksi 4% fat corrected milk (FCM) dan produksi lemak tertinggi dicapai pada taraf 5% dalam ransum (GUSMINAR, 1993) . Pemberian kulit buah kakao yang difermentasi dengan Phanerochaete chrysosporium dan amoniasi dengan 1,5% urea sebanyak 35% di dalam ransum yang tidak mengandung rumput menghasilkan pertambahan bobot hidup harian (PBHH) sebesar 1,46 kg/e dan 1,56 kg/e pada sapi jantan FH . Besarnya PBHH ini jauh lebih tinggi dibandingkan kontrolnya (pemberian kulit buah kakao tanpa diolah) yakni sebesar 0,76 kg/e (LACONI, 1998) . Hal ini menggambarkan bahwa kulit buah kakao yang diolah lebih menyediakan nutriennya dibanding tanpa diolah . Melalui pengolahan baik dengan amoniasi maupun fermentasi mampu merombak struktur cincin aromatik lignin dengan cara melunakkan dan memecah dinding-dinding serat kulit buah kakao dan melepas pita-pita serat mikrofibrilnya . Sebagai konsekuensinya dinding sel menjadi rapuh dan mempermudah untuk dicerna oleh mikroba di dalam rumen . Dengan amoniasi juga dapat memasok nitrogen bagi mikroba rumen untuk sintesis tubuhnya sehingga pada akhirnya meningkatkan kecernaan serat . Hasil penelitian lain dilaporkan bahwa pemberian kulit buah kakao yang difermentasi dengan Aspergillus niger sebanyak 100-200 g/h pada anak kambing umur 0-6 bulan meningkatkan PBHH dibandingkan dengan yang hanya diberi rumput saja (119 g/h vs 64 g/h) . Kulit buah kakao dalam ransum kambing ini berfungsi sebagai pakan tambahan (ANONIMUS, 2007) . Hasil penelitian pada sistem integrasi kakao-kambing di Provinsi Lampung menunjukkan bahwa pemberian kulit buah buah kakao segar yang dicacah sebanyak
2-3 kg/hari pada kambing dewasa mampu menghemat tenaga kerja penyedia hijauan rumput sebesar 50% (PRIYANTO et al ., 2004) . Berdasarkan hasil-hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa kulit buah kakao pada dasarnya aman untuk diberikan pada ternak dalam keadaan segar sebagai pendamp ng rumput, walau demikian akan lebih baik apabila dilakukan pengolahan terlebih dahulu . Melalui pengolahan dapat meningkatkan ketersediaan nutrien dan meningkatkan daya simpan kulit buah kakao . Hal ini sangat bermanfaat terutama pada saat panen raya dimana produksi kulit buah kakao berlimpah dan tidak akan habis apabila diberikan pada ternak dalam keadaan segar . Kulit buah kakao yang sudah diolah dapat disimpan untuk digunakan sewaktu-waktu atau sebagai cadangan pada musim kemarau di saat ketersediaan hijauan terbatas . KESIMPULAN 1 . Melalui pengolahan dapat meningkatkan dan mempercepat ketersediaan unsur hara pupuk organik asal kotoran ternak . Penggunaan pupuk organik bersama dengan pupuk anorganik dapat meningkatkan produktivitas pertanian . 2 . Kulit buah kakao segar dapat diberikan pada ternak dan dengan pengolahan yang tepat dapat meningkatkan kecernaan dan nilai nutrien kulit buah kakao . 3 . Penggunaan kulit buah kakao sebagai pakan dapat menghemat waktu untuk mencari rumput dan mengatasi kekurangan hijauan pakan di musim kemarau . 4 . Meningkatnya ketersediaan unsur hara dalam pupuk organik dan ketersediaan nutrien dari kulit buah kakao akan meningkatkan produktivitas pada sistem integrasi kakao-ternak. DAFTAR PUSTAKA dan YUWONO. 2002 . Ilmu kesuburan tanah . Penerbit Kanisius . Yogyakarta .
AFANOi
2000 . Pupuk kompos super . Lembar Informasi Pertanian IPPTP Mataram . http ://www .pustaka-deptan .Qo .id/agritech/ ntbr0107 .pdf.20/7/2007 .
ANONIMUS .
205
Lokakarya Nasional Pengembangan Jejaring Litkaji Sistem Integrasi Tanaman - Ternak
ANONIMUS. 2007. htty://ditjenbun, deptan.go .id// rempahbun/rempah/pdf/pengolahan limbah untuk pakan.pdf 10/07/07 . DARwis, A .A ., E . SuKARA, TuN TEJA dan R . PURNAWATI . 1988 . Biokonservasi Iimbah lignoselulosa oleh Trichoderma viride dan Aspergillus niger . Laboratorium Bioidustri . PAU Bioteknologi . Institut Pertanian Bogor, Bogor. DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN . 2006 . h ttp : //www.det tan.go.id/infoeksekutif/bun/Pr o d-Kakai06.htm tanggal16/07/2007 . FAG], A .M. and S . PARTOHARDJONO . 1982 . Fertilizer management practice and research on soil fertilizer and fertilizer use on lowland rice in Indonesia. Proceeding of the Insffer Workshop in Indonesia . 23-24 Februari . IRRI, Manila, Philippines . GOENADI, D .H. dan A .A . PRowoTo. 2007 . Kulit buah kakao sebagi bahan pakan temak . Makalah Seminar dan Ekspose Sistem Integrasi Tanaman Pangan dan Ternak 22-23 Mei 2007 . KP Muara . Bogor. GusMINAR, N . 1993 . Penggunaan kulit buah buah cacao (Theobroma cacao L) dalam ransum sapi laktasi . Thesis . Program Pascasarjana . Institut Pertanian Bogor, Bogor . HARYANTO, B ., I . INOUNu, I.G .M . BUDIARSANA dan K . DIwYANTo . 2002 . Panduan teknis sistem integrasi padi-temak . Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian . Departemen Pertanian. HARYATI, T . dan B . MARDJOSUWITO . 1984 . Pemanfaatan limbah cokelat sebagai bahan dasar pembuatan pektin, menara perkebunan . Balai Penelitian Perkebunan, Bogor . HUTAGALUNG, R.I . dan C.C . CHANG . 1978 . Utilization of cocoa by products as animal feed . Int. Conf. on Cocoa dan Coconuts . Kuala Lumpur . KASMAN, A . ELLA dan A . NURHAYU . 20004 . Kontribusi kotoran sapi dalam sistem usaha tani padi sawah irigasi di Sulawesi Selatan . Pros . Seminar Nasional . Sistem Integrasi Tanaman-Ternak . Denpasar, 20-22 Juli 2004 . Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Him: 182-185 . LACONI, E .B . 1998 . Peningkatan mutu pod cacao melalui amoniasi dengan urea dan biofermentasi dengan Phanerochaete chrysosporium serta penjabarannya ke dalam formulasi ransum ruminansia . Disertasi .
206
Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor . LopEz, A .S ., H .I.S . FERREIRA, A.L. AIRTON, and P . OMEU. 1984. Present status of cocoa by product utilization in Brazil . In: Procceding. International Cocoa Research Conference . Lome Togo, Brazil. PRIYANTO, D ., A. PRIYANTI dan I. INOUNU . 2004 . Potensi dan peluang pola integrasi ternak kambing pada perkebunan kakao rakyat di Propinsi Lampung . Pros. Seminar Nasional . Sistem Integrasi Tanaman-Temak . Denpasar, 20-22 Juli 2004 . Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor . Him: 381388. PUJIANTO . 1996. Status bahan organik tanah pada perkebunan kopi dan kakao di Jawa Timur. Warta Pusat Penelitian Kopi Kakao, 12 : 115119. SA'IDAH, A.M. 1992 . Evaluasi kualitas silase kulit buah cacao (Theobroma cacao L) sebagai pakan temak Ruminansia. Skripsi . Fakultas Peternakan . Institut Pertanian Bogor, Bogor . SAMOSIR, S .R . 2000 . Kimia tanah. Jurusan Ilmu Tanah . Fakultas Pertanian Universitas Hasanudin. Ujung Pandang. SUKADANA, I .M ., I .NYM. SUYASA, S . WIDIYAZID dan S . GuNTORO. 2003 . Penerapan pupuk organik dan anorganik pada tanaman cabai cecil di lahan sawah. Makalah Seminar Nasional Revitalisasi Teknologi Kreatif dalam Mendukung Agribisnis dan Otonomi Daerah . Denpasar, 7 Oktober 2003 . Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian . SUPRAPTO, SURACHMAN, A . PRABowo dan M . SILALAHI . 2004. Pemanfaatan kotoran kambing sebagai bahan baku pupuk kompos pada tanaman lada. Prosiding Seminar Nasional . Sistem Integrasi Tanaman-Ternak . Denpasar, 20-22 Juli 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor . Him : 350-357. SuTIKNO, A .I ., T . HARYATI dan J . DARMA. 1994 . Perbaikan kualitas gizi pod coklat melalui proses fermentasi . Pros . Seminar Nasional Sain dan Teknologi Peternakan . Ciawi Bogor 25-26 Januari 1994 . Buku 2 :753-761 . SYAM, A . dan M . SARIUBANG. 2004 . Pengaruh pupuk organik (kompos kotoran sapi) terhadap produktivitas padi di lahan sawah irigasi . Pros. Seminar Nasional Sistem Integrasi TanamanTemak. Denpasar, 20-22 Juli 2004 . Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Him : 93-103 .
Lokakarya Nasional Pengembangan Jejaring Litkaji Sistem Integrasi Tanaman - Ternak
VERMA, L .N. 1993 . Biofertilizer in agriculture . In : WGNG, H .K. and O .A . HASAN. 1988. Nutritive value Organic in Soil Health and Crop Production and rumen fermentation profile of sheep fed (Ed . P .K. THAMPAN) Peekay Crops ev . Found., on dried cocoa pod husk based diets . J. of India. Mardi Res. 16(2) :147-154 . WOOD G .A.R., and LASS RA . 1985 . Cocoa, 4`h Edn . Longman Scientific & Technical, New York, USA.
207