TALENTA DAMAI Einar M Sitompul
Selama kita dicintai oleh orang lain, aku berani mengatakan bahwa kita sangat berharga; dan tidak akan ada orang yang sia-sia sepanjang ia memiliki seorang teman. (Robert Louis Stevenson)
Dunia kita sekarang dunia yang kompetitif Di dalam dua dekade terakhir ini saya merasakan suatu suasana percepatan melakukan/memperoleh sesuatu di semua sektor kehidupan. Teknologi informasi (IT) seperti mendesak kita untuk bertindak cepat: semakin cepat semakin hebat. Di jalanjalan raya yang padat kendara berbagai jenis, menurut pengamatan saya pada jamjam usai kantor, hampir semua orang seperti masih mengejar suatu pekerjaan/pertemuan yang maha penting, tidak boleh terlambat sedetik pun. Memperlambat kecepatan dianggap perilaku "bukan orang penting", padahal setibanya di rumah hanya duduk-duduk, mengobrol dan merokok. Mereka merasa amat berhak melakukan itu sebab mereka telah menjalankan pekerjaan maha urgen sehari penuh. Mereka telah "mengurus dunia" dengan baik dan berhak memperoleh imbalan; yang punya uang singgah dulu di kafe atau restoran, hang-out istilah kerennya, ada lagi yang mencari imbalan dengan mengkonsumsi psikotropika, narkotik dan obat terlarang (narkoba). Kegiatan dalam tempo cepat adalah akibat logis dari teknologi transportasi yang semakin cepat pelayanannya sehingga orang didorong berpikir jika bisa lebih cepat mengapa menjadi lambat. Gerak cepat informasi abad 21 sekarang amat berpengaruh di kalangan generasi muda; sementara kesan saya gereja tercecer mengikuti kemajuan IT, bahkan ada gejala alergi terhadap sesuatu yang baru. Menurut dugaan saya karena gereja terlalu didominasi kaum tua. Ada yang mengkonstatir mayoritas sintua HKBP adalah di atas lima puluh tahun. Sekilas saya ingat kami di awal dekade 1980-an, setelah berusaha keras meyakinkan majelis berhasil mengangkat seorang sintua dari kalangan kaum muda berumur 26 tahun. Menurut hemat saya selama tidak ada keseimbangan generasi di majelis, akan sulit mencari terobosan pelayanan. Sebab sudah tabiat alamiah bahwa orang tua lebih berorientasi ke masa lalu yakni dengan mempertahankan kebiasaan. Faktor lain agaknya struktur HKBP yang amat sangat hierarhis telah menciptakan mentalitas
"menunggu komando" di kalangan pendeta; kalau mau ambil inisiatif takut dimutasikan. Talenta damai mengandaikan setiap anggota gereja (setiap orang) memiliki kesempatan dan potensi untuk membangun hidup yang sejahtera dan mengatasi berbagai masalah sosial-ekonomi dan lingkungan dewasa ini. Pertanyaan: mengapa potensi itu tidak muncul? Bagaimana yang potensial diaktualkan? Bagaimana orang bisa kreatif apabila koridor pengap? Di sinilah kita perlu berbagi pendapat agar talenta menjadi gerakan. Dengan serba cepat semua orang merasa diri bagian integral kehidupan supermodern dan merasa kecepatan merupakan imbalan atas kemampuan menempatkan diri dalam sistem kontemporer; semua ingin mendapat pelayanan serba cepat. Kemajuan dalam bidang IT memperkuat gerak serba cepat dan ditambah dengan akurasi tinggi. Maka dampak berikut dari perkembangan teknologi ialah kompetisi, persaingan bebas, yang memang telah ditahbiskan oleh globalisasi yang berjantung neo-liberalisme. Kompetisi merupakan kata magis neo-liberalisme, seolah dengan itu penganjur sistem ini menempatkan persaingan bebas adalah jalan suci untuk mencapai kemakmuran. Inilah ilusi paling absurd sebab persaingan bebas hanya untuk yang kuat yang memiliki modal besar dan sarana yang serba canggih, rakyat miskin boro-boro bertambah makmur malah semakin miskin. Setiap pertambahan jumlah orang kaya itu - selama neo-liberalisme sebagai panglima berarti penambahan jumlah orang miskin dan peningkatan pengurasan sumber daya alam1. Kompetisi hanya layak untuk orang sehat; orang lemah dan miskin makin merasa malang sebab makin tertinggal, makin lama makin jauh. Karena dunia sekarang mewajibkan semua orang untuk kompetitif maka perhatian tentu semakin pada diri sendiri. Manusia yang pada dasarnya egosentris semakin mendapat koridor untuk lebih egosentris lagi; hampir tidak ada lagi tersisa di hati masyarakat solidaritas manusiawi. Bahkan, saya mengamati tumbuh semacam keyakinan "jika tidak bertambah aset dan investasi statis", itu dinilai kemunduran, bahkan potensi kerugian. Masyarakat kompetitif hanya mengenal langkah maju, semakin lama semakin makmur, berhenti berarti rugi dan mati. Dunia kompetitif tidak responsif terhadap penderitaan rakyat. Orang-orang kuat tidak merasa bersalah sebab telah mengikuti semua aturan; nurani mereka tidak terganggu, paling-paling merogoh kocek untuk menyantuni orang susah, dan ironisnya merasa telah beramal mulia dimana Tuhan wajib memberi berbagai kenikmatan selama di dunia dan setelah meninggal masuk surga. Dengan sistem religiositas seperti ini orang miskin "diperlukan" untuk melebarkan jalan ke surga sementara orang miskin tidak memiliki deposito surgawi yang banyak. Sudah Lebih jauh tentang dampak negatif neo-liberalisme, lihat studi WCC yang diterbitkan dengan judul AGAPE, Alternative Globalization Addressing Peoples and Earth, hasil Sidang Raya WCC di Porto Alegre Brazilia 2006, diterjemahkan dan diterbitkan oleh PMK HKBP 2008. 1
jalan mereka ke surga tersendat sementara itu selama hidup di dunia memikul kesusahan. Teologia sukses dan kemakmuran membelai-belai nurani mereka yang kuat dengan khotbah yang bergelora bahwa mereka diberkati Tuhan sebab telah rajin berdoa dan telah sumbang penginjilan. Dan yang paling memilukan hati apabila dianggap orang miskin dan orang susah adalah orang yang belum hidup baru, belum bertobat, dan kurang rajin berdoa. Kemapanan sosial ekonomi yang dinikmati kelas menengah-atas mencari pembenaran untuk kemakmuran mereka pada orientasi religius yang mengutamakan kesalehan ritual. Kebaktian semakin marak tetapi serentak pula dengan itu korupsi juga semarak. Sampai sekarang tidak ada gejala korupsi menyurut malah diduga makin masif di semua sektor. Zaman modern ditandai dengan bertumbuhnya institusi di semua bidang khususnya bidang sosial ekonomi. Maka yang berkembang mental institusionalisme; semua persoalan dianggap mampu diselesaikan oleh institusi terkait. Orang merasa sudah cukup apabila memiliki banyak gedung gereja, gedung serba guna, rumah sakit, sekolah, panti sosial, industri, pusat pelatihan, koperasi, dan sebagainya. Memang ini semua sulit dihindarkan bahkan sangat perlu walaupun sering muncul penyimpangan fungsi, tetapi yang meresahkan sifat spontan dalam solidaritas memudar. Bahkan keluarga sebagai lembaga paling tua dalam komunitas manusia yang paling tergerus di era globalisasi. Kita tidak saja prihatin dengan tingginya angka perceraian tetapi ada yang jauh lebih merisaukan ialah keluarga tidak lagi puncak kehidupan sosial kita2. Untuk mempunyai anak tidak berarti harus membentuk keluarga; sudah ada cara yang tak pernah terpikirkan oleh leluhur kita yakni inseminasi sesuai keinginan seseorang. Konsep ini saya rasa turut merapuhkan soliditas keberadaan kita dan pada gilirannya menambah masalah sosial. Gereja kita sudah sangat aktif tetapi belum pro-aktif Gereja-gereja di samping persekutuan ibadah tetapi juga persekutuan sosial, bahkan sudah menyatu. Banyak jenis ibadah kita jalankan dan selalu disertai ramah tamah alias makan minum yang dinilai bagian (utama) persekutuan. Setiap tahun punya tema besar untuk memfokuskan perhatian: tahun yang lalu HKBP meluncurkan Tahun Remaja-Pemuda, dan sekarang 2015 Tahun Perempuan. Seperti tahun-tahun sebelumnya akan banyak kebaktian di semua aras untuk mendukung tema tahunan. Tetapi semarak kebaktian tidak dibarengi tindak lanjut seperti seminar untuk menampung pandangan-pandangan kritis, pembinaan warga dan pelatihanpelatihan. Yang menggelisahkan hati saya, suatu tema diangkat tetapi pengamatan analitis-kritis tidak dilaksanakan. Tidak ada studi sebelum kegiatan. Sekarang Tahun Perempuan, seyogyanya kita mesti meletakkan di depan mata sampai dimana sudah pergerakan nasional, ekumenikal dan internasional tentang kesetaraan gender. Apa Lihat, Anthony Giddens, Transformation of Intimacy: Seksualitas, Cinta dan Erotisme dalam Masyarakat Modern, (Jakarta: Fresh Book), 2004. 2
yang telah dilakukan gereja-gereja di Sumut mengenai masalah wanita dikaitkan dengan adat, pluralisme agama, dan globalisasi. Apa harapan dan tindak lanjut jangka pendek-menengah tentang tema. Perlu studi. Sementara gereja kita terlalu banyak ibadah tetapi minim studi! Saya kuatir kita sejak dua dekade terakhir berjalan di tempat. Dengan istilah lain kita tidak bergerak evolutif (perlahan namun maju) melainkan involutif (berjalan di tempat tetapi cenderung mundur). Saya tidak mengatakan kebaktian-kebaktian berbagai kategorial tidak penting. Itu semua "aset sosial" gereja, namun suatu aset tidak berkembang jika tidak dikritisi dan dikembangkan. Memang banyak orang datang ke gereja tapi jika diukur dengan jumlah anggota HKBP, misalnya, yang diklaim empat juta (ada tokoh berani menyebut tujuh juta), maka yang datang kebaktian taksiran saya tidak lebih dari 30 persen. Kegiatan di luar yang rutin memang meriah dan waktu yang dihabiskan sangat luar biasa: 4 sampai 5 jam! Terdiri dari kebaktian, sambutan, menari dan menyanyi lagu-lagu pop Batak. Sudah pasti kaum muda sangat tidak nyaman dengan ini. Agaknya religiositas kita melihat: dengan banyak kebaktian dan sambutan sasaran tercapai dengan otomatis. Roh Kudus akan bekerja, begitu argumennya! Didalam berbagai pertemuan attitude yang merasuk kita, saya lihat ingin langsung menyusun program, tidak mau meninjau dulu perkembangan masyarakat: apa kecenderungan sekarang, mentalitas apa yang menonjol, apa minat kaum muda, apa kebutuhan utama masyarakat, dan mengapa aliran kharismatik berkembang pesat, dan dari analisis-deskriptif bersama maka akan muncul apa langkah atau tindak lanjut ke depan. Kita sering mendengar istilah pemberdayaan warga gereja, tentu maksudnya ialah agar anggota jemaat dimampukan berperan aktif sebagai garam dan terang dunia (Mat. 5:13-16). Aktivitas yang banyak apalagi hanya bersifat ritual bukanlah aktivitas melainkan aktivisme! Aktivitas lanjutan dari penetapan arah/tujuan yang hendak dicapai. Manusia ditentukan oleh sesamanya Talenta Damai lebih dari mendamaikan atau melakukan damai. Talenta mengandaikan setiap orang memiliki talenta dan talenta tu mengarah kepada orang orang lain dan unik, tidak boleh dihapuskan sebab setiap penghapusan keberadaan orang lain itu mengurangi potensi kualitas kemanusiaan. Setiap orang mampu berperan menjalankan damai karena ia adalah karunia (gift). Yang penting suatu karnia harus diarahkan untuk kepentingan bersama: membangun hidup! Jika kehadiran manusia disebut eksistensi (existence) maka dari etimologi artinya manusia hadir untuk yang lain. Ia makhluk yang tegak berdiri menghadap keluar (eksistensi berasal dari kata ex, keluar dan sistere, berdiri) kepada orang lain dan dunia.3 Kita terarah keluar, keluar dari diri sendiri dan berkembang oleh karena ia kita terarah keluar, ke arah orang lain, ke masyarakat dan ke arah dunia. Hardono Hadi ketika mengulas filsafat A N Whitehead penganjur filsafat proses dalam bukunya Jati Diri 3
P. Leenhouwers, Manusia dalam Lingkungannya, (Jakarta: Gramedia, 1988), hlm. 83.
Manusia Berdasar Filsafat Organisme Whitehead, mengatakan, "harus ditekankan bahwa di dalam hubungannya dengan masyarakat, setiap manusia adalah unik. Keunikannya inilah yang menjadi sumber bagi terbentuknya masyarakat dengan ciri khas tertentu".4 Pandangan ini membenarkan mengapa suatu kelompok berbeda dari yang lain terlepas dari penilaian etis mengenai kelompok-kelompok yang terdapat di masyarakat. Setiap kelompok terutama kelompok keagamaan selalu membangkitkan harapan untuk upaya peningkatan kualitas kehidupan atau terbuka kesempatan membina kelompok untuk memiliki kualitas tertentu sesuai ekspektasi kita. Tetapi harus dicatat bahwa kemunculan organisasi terutama keagamaan sering membangkitkan ketakutan oleh karena penampilan mereka yang vulgar dibarengi dalil-dalil agama yang berhawa kebencian. "Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya" (Ams. 27:17). Sastra hikmat memandang persahabatan bagian paling penting di dalam pengembangan diri manusia. Sesuatu yang tidak mungkin dan tidak boleh dihindarkan. Pengkhotbah menegaskan kebersamaan adalah syarat mutlak untuk bertahan hidup. "Berdua lebih dari seorang diri"; di samping berdua akan mengatasi bahaya, menghangatkan badan, tetapi juga untuk mengalahkan musuh (Pkh. 4:9-12). Keberadaan kitab-kitab hikmat seolah hendak menyuarakan bahwa beragama tanpa hikmat sia-sia. Jika kita mempercayai Tuhan maka harus menjalin kebersamaan ketidakpedulian justru akan mengundang kebinasaan. Hikmat paralel dengan hidup. "Carilah Tuhan, maka kamu akan hidup", kata Amos (5:6). Memiliki hikmat berarti memiliki hidup; keduanya mengarahkan diri untuk orang lain sehingga setiap orang punya bertumbuh karena adanya kebersamaan. Tradisi hikmat yang universal dalam perjalanan waktu, menurut pengamatan pakar PL Jerman Claus Westermann, mengkristal kedalam teks Kitab Suci tiga agama besar, Yudaisme (Perjanjian Lama), Islam dan Kekristenan, berbentuk nasihat untuk membantu orang lemah karena Tuhan akan membalas kebaikan mereka. Nasihat ini cukup kuat mewarnai ajaran ketiga agama tentang hubungan sesama terutama di antara yang kuat dan lemah5. Maka agaknya tidak berlebihan untuk mengatakan memberdayakan sesama adalah wujud dari kebijaksaan hidup umat manusia. Kebersamaan adalah syarat mutlak kehidupan, sendiri adalah kematian. Rekan-Sekerja Allah Walaupun Allah bekerja sendiri di dalam penciptaan manusia, menurut Martin Luther Dia membutuhkan manusia sebagai Rekan-Sekerja (Co-Workers). Allah menciptakan Hardono Hadi, Jati Diri Manusia: Berdasar Filsafat Organisme Whitehead, (Yogyakarta: Kanisius), hlm. 127. 5 Claus Westermann, Roots of Wisdom: The Oldest Proverbs of Israel and Other Peoples, (Edinburgh: T & T Clark, 1995), hlm. 132f. Di dalam konteks ini Westermann mengutip L. Nare yang mengatakan, "Biblical wisdom seems to have been built on the ground of a common human wisdom" (hlm. 133). 4
dan memelihara kita agar Ia bekerja di dalam kita dan bekerjasama dengan-Nya apakah itu untuk bekerja di luar kerajaan-Nya melalui kemahakuasaan-Nya yang mencakup semua maupun di dalam kerajaanNya dibekali oleh kebajikan khusus Roh Kudus. Roh Kudus menciptakan kita kembali (recreating) dan menjaga kita tanpa bantuan kita sedikit pun seperti yang dikatakan Yakobus, "Atas kehendak-Nya sendiri Ia telah menjadikan kita oleh firman kebenaran, supaya kita pada tingkat tertentu menjadi anak sulungdi antara semua ciptaan-Nya" (Yak. :1:18, LAI). Di dalam ketaatan kepada Tuhan, manusia bebas memilih untuk melakukam sesuatu atau tidak melakukannya. Di dalam relasi dengan sesama, Luther mempedomani Khotbah di Bukit (Mat. 5-7). Tidak ada milik atau perlengkapan kita sekecil apa pun yang boleh dilepaskan dari hubungan dengan sesama. Dia mengingatkan jemaat bahwa semuanya harus dimanfaatkan untuk kepentingan sesama6. Luther menekankan pemaknaan positif terhadap Hukum Taurat walaupun bunyi hukum itu kalimat negatif: Jangan! Contoh: Jangan engkau membunuh! Itu berarti menjamin perlindungan sebab disadari dunia ini sangat jahat. Allah menghendaki agar setiap orang dilindungi dan hidup aman dari kejahatan dan tindak kekerasan. Bahkan, ditegaskan lagi jika kita tahu cara dan sarana untuk menyelamatkan seseorang tetapi tidak menolong mereka, itu adalah dosa!7 Mengenai perintah jangan mencuri bukan hanya mengambil harta orang lain. Melakukan perbuatan yang merugikan orang lain, itu termasuk mencuri. Sedangkan pencuri ulung ialah para pejabat, orang terhormat dan tokoh yang berpura-pura menjalankan tugas tetapi mencuri, merekalah para pencuri ulung8. Hukum Taurat ingin memperkuat nilai hukum dengan mengarahkannya untuk berbuat maksimal. Mewujudkan potensi saja tanpa maksimalisasi, berarti kita belum sepenuhnya menjalankan kehendak Tuhan. Potensi manusia sebagai pewujud talenta damai sudah inheren (melekat) dalam kemakhlukannya dan kemuliaannya terletak pada posisi sebagai co-worker Allah agar ciptaan-Nya terjaga dan meningkatkannya untuk kesejahteraan semua makhluk. Menjaga, memelihara dan memberdayakan sesama adalah perintah kehidupan. Tuhan menuntut Kain akan tanggungjawabnya terhadap saudaranya Abel. Ia menolak kehidupan (Kej. 4). Ketika Firaun memerintahkan untuk membunuh semua anak laki-laki Israel, ia berniat memusnahkan kehidupan. Karena itu dosa Firaun bukan dosa politik dan etnik melainkan lebih dalam lagi: ia menentang Allah Sang Pemberi Hidup. Sebab itu Allah sendiri langsung turun untuk membebaskan orangorang tertindas (Kel. 3:7-8).
Lihat, Karl H. Hertz, ed., Two Kingdoms and One World: A Sourcebook in Christian Social Ethics, (Minneapolis: Augsburg Publishing House, 1976), hlm. 56f. 7 Lihat, Katekismus Besar Martin Luther di dalam Buku Konkord, Konfesi Gereja Lutheran, ed., Mangisi S. E. Simorangkir, (Jakarta: BPK, 2004), hlm. 525. 8 Ibid., hlm. 534ff 6
Saya teringat pada anak remaja teman sang tokoh seorang lelaki tua dalam novel karya Ernest Hemingway Lelaki Tua dan Laut, di saat silelaki tua bersungut-sungut karena perlengkapan mereka yang minim, sianak berkata, "Pikirkan tentang apa yang bisa kaukerjakan dengan apa yang ada saja"9. Kira-kira seperti itu yang Tuhan perbuat ketika Musa dilahirkan dan terancam dibunuh. Walau Tuhan tidak disebut tetapi cerita di dalam Keluaran, menjalin keterlibatan kakak perempuan Musa dengan keterlibatan putri Firaun sehingga bukan saja selamat tetapi lebih dari itu dibesarkan di istana Firaun (Kel. 2:1-10). Apa yang kita lihat ialah siibu tidak membiarkan semua jadi urusan Tuhan, dia dan putrinya aktif menjaga dan mengusahakan agar sang bayi selamat10. Kita pasti yakin keterlibatan sang putri terus berlangsung dengan mendidik Musa sampai dewasa. Ia memberdayakan Musa sehingga pada waktunya Musa dapat tampil mengerahkan segenap pikiran dan tenaga memimpin pembebasan sebagai co-worker Allah selama 40 tahun. Tuhan membutuhkan kita untuk mewujudnyatakan kehendak-Nya. Dia memakai kita "apa adanya" sebagai rekan sekerja. Oleh karena itu talenta damai adalah sifat kehadiran umat Tuhan. Sanders mengemukakan gambaran tentang Tuhan sebagai Pengambil Risiko (Risk Taker); menggeser gagasan dari Allah "yang-ingin-berkuasa" (will-to-power) kepada gagasan Allah "yang-ingin-bersekutu" (will-to-community). Hasrat Tuhan ialah membangun relasi dengan semua makhluk-Nya dan manusia suatu hubungan yang personal. Kita ditempatkan sebagai kolaborator agar bersama dengan Dia mencapai hubungan saling mengasihi, sebuah relasi yang disebut "relational theism". Dengan demikian Allah tidak hanya memberi tetapi juga menerima dari manusia, suatu giveand-take-relationship11. Sebagai imam terhadap sesama Luther mengkritik tajam struktur gereja Katolik Roma yang dipandangnya telah mencabut Firman dan Sakramen dari tangan masyarakat dan membangun kekuasaan di tangan para imam. Setiap orang Kristen adalah imam yang setiap saat dapat datang kepada Allah12. Sejalan dengan itu Konfesi HKBP merumuskan tentang pelayan gereja: "Semua orang Kristen, laki-laki atau perempuan, terpanggil untuk menjadi saksi Kristus di dunia ini, selaku kaum terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, kaum yang dipimpin oleh Kristus untuk memberitakan pendamaian yang dilakukan Kristus yang memanggil Gereja dari kegelapan ke terang. Jabatan Gerejawi semua orang Kristen adalah jabatan pelayanan. Tetapi untuk memelihara pelaksanaan pelayanan di tengah Gereja, Allah memanggil pelayan jemaat melalui Gereja untuk bekerja sesuai dengan tiga jabatan Kristus, yaitu Nabi, Imam, Raja (1 Ernest Hemingway, Lelaki Tua dan Laut, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), hlm. 110. John Sanders, The God Who Risks: A Theology of Providence, (Downers Grove: Inter Varsity Press, 1998), hlm. 57. 11 Ibid., hlm. 11f. 12 G. Dahlenburg, "Teologi Martin Luther", hlm. 5. 9
10
Kor. 12:28; 1Tim. 6:5; Yoh. 1:49; 1Pet. 2:9). Mungkin unsur paling utama pandangan Luther tentang gereja adalah nas 1Petrus 2:9; tugas imamat am ingin menegaskan semua orang Kristen terpanggil untuk mengajar dan bersaksi tentang kabar baik. Status para imam (termasuk pendeta dan para pelayan gereja) adalah orang dipisahkan dari antara anggota jemaat (primus interpares). "Tetapi imam-imam itu, sebagaimana kita menyebutnya, merupakan pelayan-pelayan yang dipilih dari antara kita, yang melakukan segala sesuatu atas nama kita", kata Luther13. Ungkapan "dipilih dari antara kita" dipakai Luther untuk mengatakan secara tidak langsung bahwa pandangan hierarkis tradisional tentang gereja harus ditinggalkan. Lebih lanjut diutarakan oleh Luther, "Semua orang Kristen adalah imam, semua perempuan adalah imam perempuan, muda atau tua, tuan atau budak, nyonya atau pembantu, terpelajar atau tidak terpelajar. Di sini tak ada perbedaan"14. Walaupun orang Kristen pada saat Surat Petrus ditulis di dalam penindasan, tetapi harus tetap mempertahankan karakter kehadiran orang Kristen yakni melakukan kasih dan damai (1Pet. 3:8-9). Khotbah di Bukit digemakan kembali yaitu tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, tetapi sebaliknya agar memberkati, "hendaklah kamu memberkati, karena untuk itulah kamu dipanggil, yaitu untuk memperoleh berkat" 1Pet. 3:9; Band., Luk. 6:27f). Saling memberkati itulah cara yang dianjurkan Petrus agar orang Kristen bukan hanya akan survive tetapi terlebih lagi akan saling meneguhkan. Saling memberkati akan semakin mendekatkan kita dengan Allah. Jauh di lubuk hati manusia terdapat kerinduan untuk diberkati, apa pun keyakinan seseorang termasuk yang tidak memiliki keyakinan, kerinduan itu telah ditanamkan Allah di dalam diri setiap orang15. Dua aspek terus mewarnai kehidupan kita: kita digerakkan oleh tugas (sense of mission) dan sekaligus memperoleh kepuasan hati (sense of satisfaction), memperoleh karunia pemberianNya yang mengisi hidup kita dengan sukacita serta tanggungjawab melayani16. Pandangan Luther jelas membuka ruang untuk warga gereja berpartisipasi penuh. Peranan pelayan diperlukan untuk memotivasi dan memperkuat orang-orang percaya mewujudnyatakan peranan keimaman melalui kegiatan-kegiatan kontekstual dengan tantangan dan peluang. Setiap perubahan pasti menyodorkan kedua hal itu; tantangan (krisis) dan peluang merupakan dua sisi dari satu mata uang. Tantangan atau krisis adalah peluang. Pertumbuhan pesat jemaat otonom dan kelompokkelompok keagamaan yang relatif sangat longgar dalam struktur dan organisasi
Dikutip di dalam Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, (Jakarta: BPK, 2003), 441. Dikutip di dalam, Ibid. 15 Robert Banks, art. "Blessing (Berkat)", di dalam The Complete Book of Everyday Christianity, ed., Robert Banks & Paul Stevens, (Bandung: Kalam Hidup, 2012), A-E, hlm. 131. 16 Interpreter's Bible, ed. G A Buttrick, et.al., (Nashville: Abingdon, 1978), Vol. XII, hlm. 126. 13 14
merupakan usaha sekelompok orang yang mengambil peluang. Orang-orang yang mengalami disorientasi rohani mencari persekutuan yang sejuk. Bagi kita peluangnya ialah untuk menggerakkan masyarakat untuk berbuat sesuatu dan sambil berbuat kita bertumbuh bersama. Saya berpendapat tugas pendeta bukan menumbuhkan spiritualitas warga melainkan tumbuh bersama merespons perubahan. Tugas gereja mengingatkan jemaat bahwa setiap orang memiliki talenta karena ia adalah karunia universal dan bersama kita membuatnya mekar oleh sentuhan Injil. Kita harus peka terhadap apa perubahan yang mendasar. Bangunan, perlengkapan dan teknologi hanyalah bentuk-bentuk fisik yang berubah; perubahan yang mendasar terletak pada perubahan nilai dan kebutuhan. Sambil lalu, Fukuyama dalam bukunya Guncangan Besar, mengamati dengan jeli tentang nilai dan kebutuhan keberagamaan: dalam beragama, keyakinan agama tidak lagi berperan sebagai dogma melainkan lebih berperan sebagai norma-norma yang dianut masyarakat dan keinginan untuk hidup tertib dan aman. "Dengan kata lain", lanjut Fukuyama, "orang akan kembali ke dalam tradisi keagamaan tidak perlu karena menerima kebenaran wahyu, melainkan karena mendambakan upacara keagamaan dan tradisi budaya, sebab dalam dalam dunia sekuler meka tidak menemukan kebersamaan, dan ikatan sosial pun rapuh. Mereka membantu orang miskin atau tetangga bukan karena doktrin agama mengharuskan demikian, melainkan karena mereka ingin melakukan sesuatu bagi kelompoknya dan merasa bahwa organisasi yang berlandaskan ajaran keagamaan adalah cara paling efektif untuk melakukannya"17. Masyarakat mencari ruang aktualisasi diri; itulah yang kurang pada mereka. Sementara gereja yang sarat pesan misi dan struktur, dinilai tidak memberi ruang yang cukup bagi mereka. Potensi yang terbuka sekarang adalah peluang gereja. Masyarakat pos-mo adalah masyarakat cerdas, mereka tidak butuh digurui melainkah butuh kesempatan. Gereja jangan lagi bertumpu pada organisasi tetapi pada manusia sekarang yang nota bene kebutuhan mereka sudah sangat berbeda dengan masyarakat empat dekade lalu. Pelayan yang diharapkan ialah pelayan yang mampu membangun kemitraan. Kemitraan itu sejalan dengan semboyan imamat am. Talenta Damai: Merekatkan kita dengan Dinamika Masyarakat Saya sangat mengapresiasi pilihan tema ini yang merupakan terobosan untuk mencari format kehadiran gereja di dunia khususnya di Indonesia yang bisa "nyambung" dengan realitas pergumulan masyarakat umum. Gagasan gerakan ekumenis yang menggelora setelah Perang Dunia Pertama dan berlanjut sampai mewujudnya dalam lahirnya WCC telah berhasil menyamakan arah perjalanan bersama kita dalam sebuah perahu ekumenis. Kalau dulu fokus kita pada ancaman Francis Fukuyama, Guncangan Besar: Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 342f. 17
bersama di laut yang sama sekarang kehadiran kita ibaratnya telah tiba di daratan yang padat penduduk. (Agaknya perahu ekumenis PGI sudah waktunya diganti dengan simbol berkaitan dengan daratan.) Sudah sangat banyak tema-tema ekumenis disuarakan melalui PGI, WCC, LWF, WARC, dan lain-lain mengenai seputar peranan kita sebagai gereja dan organisasi kristiani-ekumenis. Paradigma klasik selama ini seolah kita mempunyai sesuatu untuk disuguhkan kepada masyarakat majemuk dengan harapan akan direspons karena ada kesamaan aspirasi. Kelompok-kelompok lain diasumsikan memiliki yang hampir sama. Jadi, tidak ada masalah, kira-kira begitu perasaan orang yang berdialog. Talenta damai tidak mewacanakan pendekatan teologis/agama walaupun tetap dibutuhkan tetapi kita mengakui bahwa karunia (talenta, kemampuan) seseorang entah siapa pun dia atau apa pun agamanya, adalah sesuatu yang melekat di dalam kemakhlukan kita. Saya ingin berbagi catatan mengenai corak zaman pos-mo sekarang. Robert Webber mengetengahkan sejarah gereja dalam empat paradigma. Pada Zaman Kuno (Ancient) menonjolkan misteri, komunitas dan simbol. Masa Pertengahan menekankan institusi. Masa Reformasi menekankan Firman. Pada Zaman Modern yang diagungkan akal, sistematik dan analitik, wacana (verbal) dan individualistik. Dan pada Era Pos-mo kembali mengetengahkan misteri, komunitas dan simbol18. Makanya, sekarang orang mencari keindahan dalam seni dan kebudayaan. Orang menghargai tradisi lokal sehingga rela pergi ke pelosok yang jauh. Logika diganti oleh rasa! Generasi muda gandrung bergaul lintas budaya, etnik dan budaya, serta sangat menghargai perbedaan. Kelompok yang gelisah dewasa ini adalah kaum tua konvensional dan kelompok-kelompok fanatik (agama, etnik, ras dan budaya). Perhatikan bahasa kaum muda kita, tidak vulgar, kasar dan arogan melainkan halus tetapi mengena, tidak kaku tetapi terasa unsur funny, dan menjaga perasaan. Ini sejalan teknologi zaman kita; dulu teknologi plus otot, sekarang teknologi dengan sentuhan halus. Saran-saran Saya mengimbau para pelayan dan aktivitas gereja agar betul-betul memahami "bahasa pos-mo" agar mampu berkomunikasi dengan masyarakat terutama kaum muda. Ada yang mengatakan bahwa kita mesti menguasai keterampilan yang lembut (soft skills). Di dalam rangka ini, kita juga harus mempelajari dengan penuh rasa hormat adat, bahasa dan tradisi lokal, termasuk tradisi hikmatnya (local genius). Agama saja tidak cukup untuk menghadapi globalisasi; diperlukan penguatan masyarakat dengan melestarikan tradisi lokal. Orang Kristen atau anggota gereja Robert Webber, Ancient Future Faith: Rethinking Evangelicalism for a Postmodern World, (Michigan: Grand Rapids, 2000), hlm. 34. 18
sebagai bagian masyarakat umum, mesti belajar dari rakyat sebab rakyat sudah sejak awal kehidupan, telah membangun mekanisme pertahanan diri (self-defence mechanism) mengatasi guncangan; dengan cara itu kita akan tahu bertindak kontekstual. Perkembangan sosial-politik dan ekonomi tidak boleh diabaikan. Pelajari perubahan dan mengajak kelompok lain untuk mencermatinya melalui diskusi dan seminar. Yang paling mengenal dunia adalah rakyat sebab mereka yang setiap hari bergelut dengan manis pahitnya perjuangan hidup. Jangan ajar rakyat bekerja, bertani, berdagang dan berusaha. Petani, nelayan, dan pekerja, sangat tera pil bekerja sebab kearifan waktu telah menempa mereka menjadi ulet dan kreatif. Rakyat adalah mitra pelayan; agar pelayanan kita mengena, belajar dari mereka, cermati, olah, maka akan kita peroleh langkah terobosan. Peranan kita adalah advokasi, pelayanan yang mendampingi. Rakyat adalah mitra sejajar para pelayan. Ini merupakan sebagian wujud imamat. Gereja dianjurkan untuk mengurangi mekanisme struktur atas-bawah (top-down) tetapi memperkuat struktur horizontal (flat). Di dalam hubungan dialogislah akan lahir kreativitas dan langkah genius. Talenta Damai sebuah tema cerdas untuk mengatasi kegersangan kreativitas. Agama-agama sudah semestinya mendorong rakyat menemukan kekuatan dirinya sebab bukankah mereka mengklaim diri sebagai pengemban tugas ilahi. Jika masyarakat tidak lagi kreatif, yang salah adalah para pemimpin terutama pemuka agama, lebih khusus pemimpin tertinggi keagamaan. Salam Suku Ubuntu di Afrika menguatkan bahwa setiap orang mengeksiskan sesamanya, yang satu eksis karena yang lain. Jika bertemu akan muncul salam khas (Ubuntu), SAWU BONA ! (aku melihatmu), dijawab: SIKHONA ! (aku disini) Jakarta, kira-kira pertengahan Februari 2015