Edisi Agustus-Oktober 2011
Daftar Isi Titik Toejoe: Lima Tahun “bp” Melawan E-ssei Kritik dan Emansipasi......... Rantau Tjatatan Dari Dulu, Goenawan Mohamad ..... Djedjak Mengurai Pusat Komunitas Sastra1 Puisi Imaji Merapi Doktor Plagiator, Kotor! Sandjak Kusprihyanto Namma Herry Lamongan Agustav Triono Kritik Sastra Sastra Jiplakan Tjerpen Opini Menjelang Jatuh
soesoenan redaksi
1 2 7 8
11
13 16
Pemred - Wowok Hesti Prabowo Redaktoer - Koesprihyanto Namma - Mahdi Duri - Saut Situmorang - Jumari HS - Gito Waluyo Perwadjahan - Idham Sirkoelasi - Sang Hyang Buana
Alamat Redaksi: Jl. Perum Sekneg No.46 Bona Sarana Indah Kebon Nanas Tangerang, Tlp. 085711200001. email:
[email protected]
T
Lima Tahun “bp” Melawan!
Oleh : Wowok H Prabowo
AK terasa Oktober 2011 ini “boemipoetra” (bp) genap lima tahun melawan arus utama kesusastraan Indonesia yang manipulatif, diskriminatif, kotor, dan jahat. Manipulatif dan diskriminatif karena di era reformasi ini justru kesusastraan Indonesia dipenuhi dengan praktik-praktik rekayasa, pembungkaman dan pembelokan. Hal ini seperti mengulang era 65-an berkombinasi dengan era orba! Kotor dan jahat karena kesusatraan Indonesia telah diperalat menjadi corong imperialis untuk melanggengkan penjajahan kebudayaan di Indonesia. Melalui KUK/TUK dengan sastra kelamin dan praktik penjiplakan terhadap pikiran-pikiran dan ideologi barat mereka secara sistemik merusak otak dan hati Indonesia agar tercerabut dari akar kebudayaannya sendiri. Di awal lahirnya “poemipoetra” banyak orang terperangah, kaget, gusar, tapi juga tak sedikit yang gembira. Inilah jurnal sastra pertama yang dengan gagah berani mengusung semangat menjaga kesusastraan Indonesia. Inilah jurnal sastra paling keren sepanjang sejarah kesusastraan Indonesia. Joernal bp selain mengembangkan kritik sastra dan sastra kritik juga mengemas fakta menjadi fiksi yang menawan. Esai-esainya yang bernas, berani, dan ilmiah sangat faktual, aktual, dan bisa dipertanggungjawabkan. Begitupun selengekannya yang menggelitik, menggigit, menggoda, dan mencerahkan. Suatu ketika Sitok Srengenge alias Sunarto menuduh bp berisi fitnah. Tapi ia tak bernyali ketika kami tantang menunjukkan tulisan mana yang ia anggap fitnah itu. Bila perlu melalui jalur hukum. Bahasa Sitok (Sunarto) yang berlindung di balik kata fitnah selain menunjukkan kegagapan seorang sastrawan juga mirip bahasa-bahasa yang dipakai para koruptor yang terbongkar kedoknya. Kami juga mendapat masukan dari banyak pihak mengapa bp kini menyerang banyak pihak dari yang semuala hanya TUK? Jawabnya adalah bp tidak akan menyerang/melawan orang-orang bersih dan baik hati dalam bersastra dan bernegara. Maka bp berpendapat anugerah sastra yang hadiahnya dari orang yang menenggelamkan Lapindo atau hadiah sastra yang merekayasa seolah sastra kelamin adalah sastra terbaik Indonesia itu tidak pantas. Praktik mafia kebudayaan/kesusastraan, plagiat, dan pembelokan sejarah, pengingkaran, dan pelecehan terhadap keberagaman tentu kami lawan. Terlebih, tentu yang utama tetap melawan/menyerang praktik jahat dari gerbang imperialis yang secara sistemik merusak, meracuni, menipu, memutarbalikkan fakta, dan memanipulasi kesusastraan Indonesia. Anda ingin mengetahui dunia kesusastraan Indonesia yang sesungguhnya? Bacalah boemipoetra! Huahahaha. Salam.
djoernal sastra
boemipoetra 2 Edisi Agustus-Oktober 2011
Terbukti plagiat guru besar diturunkan. Profesor II dari Universitas Riau yang terbukti menjiplak buku berjudul “Budaya Bahari” karya Joko Pramono menjadi buku “Sejarah Maritim” diberi sanksi berupa penurunan pangkat akademis, dari jabatan guru besar menjadi lektor kepala. (Kompas, 25 Agustus 2011) Lho kalau sastrawan yang doktor atau doktor honoris causa bila terbukti plagiat diturunkan jadi apa ya? Sastrawan gadungan kaleee...huahahahahahahahah. Dua media Australia, “Sidnay Morning Herald” dan “The Age” secara gamblang mengutip bocoran Wikileaks menyebutkan sejumlah politikus Indonesia diduga menyalahgunakan kekuasaan, korupsi, kegiatan sogok menyogok, hingga praktik intimidasi. Presiden Susilo Bambang Yudoyono dan Ani Yudoyono bahkan menjadi nama yang disebut. Semoga ketika politik kotor puisi membersihkannya. Para purnawirawan TNI didekati orang-orang utusan asing agar mengusung Sri Mulyani sebagai presiden 2014. Iming-imingnya, wakilnya dari militer. (Kompas, 18 Juli 2011) Operandi beginian biasanya kerjaan GM (Gundul Monyet) dari dulu!
STOP PRESS!!! INI joernal beroepa Non-profit Oriented Media, dikerdjaken setjara gotong rojong dan didanai dari oeroenan sastrawan jang pedoeli akan perkembangan sastra Indonesia.Djadi bagi anda jang ingin berpartisipasi dan ataoe berlangganan bisa menghoeboengi itoe redaksi. REDAKSI menerima toelisan (Tjerpen, Sandjak, dan ataoe Essei, serta Drawing) jang mengandoeng itoe semangat nasionalisme dan anti imperialisme. Khoesoesnya semangat anti KUK, itoe naskah dikirim lewat email:
[email protected], dengan menyertaken gambar diri. (tiap toelisan jang dimoeat, redaksi beloem bisa menyediaken honororioem).
E-ssei
Kritik dan Emansipasi: Kontribusi bagi Pendasaran Epistemologi Politik Kiri – Sebuah Kritik Umum atas Goenawan Mohamad Oleh : MARTIN SURYAJAYA Emansipasi telah lama dikaitkan dengan sikap kritis. Tapi apa itu emansipasi dan apa itu sikap kritis? Apa artinya emansipasi bila ia berarti pembebasan individu dari totalitas kolektif dan apa artinya sikap kritis jika itu berarti sikap berjarak terhadap daya kritis untuk melakukan perombakan total? Selama emansipasi dan sikap kritis masih dipahami dalam kerangka ini, maka kita sebetulnya berbicara tentang kebalikannya: pembelengguan dan dogmatisme. Kedua hal inilah yang kita jumpai dalam tulisan-tulisan Goenawan Mohamad. Keseluruhan karyanya merupakan testamen yang mengisahkan secara diam-diam bahwa esensi dari emansipasi dan kritik adalah pembelengguan dan dogmatisme.
N
AMUN biarlah pembaca mengerti di sini bahwa apa yang saya persoalkan bukan lah Goenawan Mohamad sebagai sosok. Apa yang saya persoalkan adalah suatu tipe umum cara berpikir yang diam-diam merasuki para aktivis, intelektual dan seniman kita yang, betapapun berlawanan secara politis dengan Goenawan Mohamad, sebetulnya berangkat dari asumsi yang sama dengannya. Asumsi itu adalah humanisme universal. Ini adalah sebuah asumsi yang bersumber dari filsafat zaman Pencerahan. Dalam asumsi ini, diyakini adanya esensi dasar yang mempertemukan semua manusia, yakni Rasio. Goenawan Mohamad, tentu saja, berangkat dari zaman yang lain. Ia berangkat dari zaman yang menyimpan trauma dan ketakutan paranoid terhadap Komunisme. Maka itu, kalaupun ia berbicara tentang hakikat manusia, maka itu ia pandang sebagai keterhinggaan atau ke-dhaif-an. Manusia mesti dipandang sebagai makhluk yang senantiasa berkekurangan agar Totalitarianisme (maksudnya: Marxisme-Leninisme) menjadi tidak masuk akal dan tertampik dengan sendirinya secara teoretis—begitu pikirnya. Kita tahu dia menulis dari awal tahun 60-an dari perspektif PSI yang begitu ketakutan terhadap PKI. Oleh karenanya, konsep kritik juga dimengertinya secara lain: tidak sebagai daya dobrak yang meruntuhkan tatanan dan membangun tatanan yang baru, melainkan sebagai sesuatu di antara keduanya—menolak bagian-bagian tertentu dari tatanan yang ada namun menolak juga untuk membangun sebuah tatanan yang baru. Emansipasinya, dengan demikian, merupakan pembebasan yang berhenti sebelum dimulai. Inilah versi spesifik dari doktrin humanisme universal Goenawan Mohamad yang juga meresapi tendensi pemikiran kaum intelektual Indonesia: manusia mesti dilihat pertama-tama sebagai makhluk yang terbatas sehingga lebih baik mengupayakan suatu konstruksi politik yang cocok dengan asumsi antropologi filosofis tentang keterhinggaan itu. Tulisan ini merupakan pembuktian argumentatif dari dugaan saya di muka. Orang bisa saja memandang tulisan ini sebagai tulisan yang dibuat oleh seorang “Marxis ortodoks”. Dengan senang hati saya menerimanya. Sebab saya sepakat dengan Georg Lukács: “Marxisme ortodoks [...] tidak mengimplikasikan penerimaan tidak kritis terhadap
hasil penelitian Marx. [...] Sebaliknya, ortodoksi mengacu sepenuhnya pada metode.”[1] Marxis ortodoks adalah Marxis yang berpegang pada metode Marx, yakni materialisme dialektis. Artinya, dalam tulisan ini saya akan memeriksa keterkaitan internal antara dimensi teoretik dan politis dari objek yang dibahas sedemikian sehingga artikulasi teoretik mesti dilihat dalam hubungannya dengan implikasi politiknya dan setiap gagasan politik mesti dikaji berdasarkan tesis teoretik yang dikandungnya. 1. Paradoks Kritik Kritik adalah paradigma orang Modern. Dalam kritik kita menemukan suatu laku destruksi kreatif: menghancurkan objek kritik sekaligus mengubahnya jadi baru. Dengan demikian, kritik meniscayakan adanya kebaruan. Dan dalam kebaruan itu kita temukan pembebasan. Itulah dimensi progresif dari kritik. Kritik sebagai emansipasi—itulah juga yang dikerjakan Marx dengan program kritik ekonomi-politiknya: menunjukkan dasar-dasar sistem ekonomi-politik kapitalis untuk kemudian membukakan jalan bagi transformasi radikal atasnya. Dari kritiklah sosialisme dibangun. Namun apakah yang terjadi dengan sikap kritis kita belakangan ini? Entah lewat para kritikusideologi maupun orang-orang pasca-modernis, entah lewat Kolakowski ataupun Lyotard, entah via Frankfurt maupun Paris, kita didorong untuk sampai pada keyakinan bahwa kritik mesti ‘diradikalkan’: kita mesti kritis terhadap sikap kritis kita. Kita didorong untuk percaya bahwa pretensi totalisasi dalam kritik justru harus dikritik. Dengan kata lain, kita dipaksa mengiya-iya pada dogma bahwa segala bentuk totalitas mesti ditinggalkan karena manusia adalah makhluk yang secara hakiki fragmentaris, secara kodrati berkekurangan. Di bawah panji ‘filsafat kurang’ ini, kita digiring untuk meninggalkan semua harapan pada emansipasi total yang dikandung dalam ide-ide Marxisme. Di bawah panji itu juga kita ditarik untuk yakin bahwa sosialisme adalah pelanggaran HAM, bahwa Marxisme adalah totalitarianisme—bahwa emansipasi radikal hanyalah utopia yang memakan banyak korban jiwa. Di sini kita saksikan paradoks. Apa yang awalnya bermula sebagai kritik atas segala batas dan
E-ssei belenggu justru berakhir pada pembatasan atas segala kritik total. Paradoks ini sudah bisa kita jumpai dalam ‘filsafat kritis’ Immanuel Kant. Baginya, menjadi modern berarti menjadi kritis—dan itu artinya: menjadi sadar dan maklum pada batasbatas pengetahuan kita sendiri. Pemahaman Kantian tentang kritik inilah yang nantinya dikawinkan dengan pengertian Marxian oleh Horkheimer dan Adorno. Manusia modern adalah manusia yang dengan kemampuan totalisasi rasionya dalam menjaring realitas justru pada akhirnya menjaring dirinya sendiri, membuat dirinya terasing, mengembara tak tentu arah seperti Odisius menuju Ithaka yang selalu hilang dari ujung cakrawala. Akhirnya, pemahaman Kantian inilah juga yang melandasi pemikiran pasca-modernisme Derrida dan Lyotard. Mereka, pada dasarnya, menggabungkan filsafat Hegelian tentang ‘relasi-relasi internal’ (yakni paham bahwa hakikat sebuah ikhwal secara inheren ditentukan dalam hubungannya dengan ikhwal lain) yang dibaca dalam optik filsafat bahasa Saussurean dengan pemahaman Kantian tentang das Ding an sich yang senantiasa luput dari jerat bahasa/pemikiran. Sehingga yang tersisa adalah perayaan atas kesemuan-kesemuan (simulacra) sambil tetap berharap pada kesejatian yang terus luput di horison. Demikianlah, kritik jadi punah dalam perayaan kekurangan manusia, dalam perayaan keterbatasan kritik. Apa yang mulanya dihidupi sebagai emansipasi justru diakhiri sebagai pembelengguan atas nama rasa ‘tahu batas’ di hadapan Sang Maha Misteri. Inilah alasan mengapa abad pasca-modern bagi saya tampak seperti zaman romantik. Inilah zaman ketika rasionalitas dan keilmiahan dianggap totaliter, sementara intuisi, sentimen moralis dan cara berpikir yang penuh teka-teki, yang penuh spekulasi, dianggap sebagai satu-satunya penanda kemanusiawian kita. Itulah alasan mengapa kegalauan hati pemuda Werther, kegilaan imajiner Don Quixote dan dilema eksistensial Baron von Münchhausen begitu memikat kita. Semua yang seolah mengelak dari birokrasi rasionalitas kita anggap luhur. Semua yang tak terengkuh totalisasi saintifik kita kuduskan sebagai Misteri. Dengan begitu, kritik sebagai saudara kandung rasionalitas menganulir dirinya ke dalam paranoia terhadap rasionalitas sekaligus fetisisme terhadap takhayul. Kesimpulannya: setiap kritik romantisis atas kritik niscaya berakhir dalam pembubaran kritik sama sekali. Tak ada kritik romantik atas kritik, yang ada hanya desas-desus romantik atas kritik—desasdesus bahwa Sosialisme Ilmiah adalah totalitarianisme, kejahatan terhadap kemanusiaan, fasisme sosial dan semua umpatan yang mampu dipikirkan oleh inteligensia “kritis” kita. Maka itu, kritik spekulatif atas kritik mesti ditransformasi menjadi kritik ekonomi-politik atas kritik apabila kritik yang berarti masih mau dimungkinkan sama sekali. Sebab setiap kritik spekulatif adalah kritik ornamental—ia mengkritik bentuk-bentuk penampakan (Erscheinungsformen) tapi sekaligus bungkam terhadap landasan yang darinya bentukbentuk penampakan itu mengada. Kritik ekonomipolitik adalah kritik atas fondasi yang darinya kritikkritik yang lain bertumbuh. Jadi kritik romantik atas alienasi hakikat-diri manusia mesti ditransformasi menjadi kritik ekonomi-politik yang membongkar dasar-dasar kenyataan. Dari pembongkaran dasar inilah kesan tentang alienasi hakikat individu dapat ditelanjangi sebagai ilusi optik yang menyembunyikan kenyataan penindasan kelas. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa setiap Goenawan Mohamad yang berdiam dalam kritik abstrak atas hilangnya kedaulatan individual di hadapan sistem dengan sendirinya anti-Marxis, betapapun ia bermain-main dengan istilah-istilah Marxisme. Goenawan Mohamad-Goenawan Mohamad zaman kita telah keliru pada satu segi yang mendasar dalam kritik mereka: mereka merancukan relasi antara kritik atas totalitarianisme dan kritik atas kapitalisme. Ketimbang melihat kritik atas totalitarianisme sebagai bagian dari kritik atas ka-
pitalisme, ketimbang memandang fenomena alienasi manusia sebagai akibat dari kapitalisme, mereka justru membalik persoalan—kritik atas kapitalisme adalah bagian dari kritik atas totalitarianisme dan bahwa kapitalisme adalah hasil dari alienasi manusia sebagai faktisitas—dan dengan demikianmempsikologiskan persoalan yang mulanya politis atau dengan kata lain, meromantisir penindasan kelas dengan mengindividualkan persoalan yang sejatinya struktural. Kritik atas totalitarianisme akan selamanya abstrak dan spekulatif selama totalitarianisme dimengerti sebagai fenomena universal ketertindasan manusia di dalam Sistem, entah apa persisnya Sistem itu. Dalam Marxisme dan ‘Aku’, Goenawan berbicara tentang alienasi untuk kemudian menulis bahwa “Marx [...] hanya separuh benar. Modal memang sebuah kekuasaan/kekuatan sosial, tapi kekuatan sosial tidak identik dengan modal. Bukan ada dan bertautnya modal dalam kelas itu yang penting, melainkan hadirnya kekuasaan lain, kekuasaan politik, yang seakan-akan berdiri sendiri, menyisihkan manusia darinya.”[2] Dengan kata lain, bukan kapitalisme yang penting untuk dipersoalkan, melainkan totalitarianisme. Kapitalisme, karenanya, dipandang sebagai kasus khusus dari totalitarianisme saja. Atas landasan inilah kemudian, seperti yang dengan gampang kita duga, ia bicara tentang alienasi di negeri-negeri komunis: di RRC akibat kultus Mao, di Soviet akibat kultus Stalin dan di seluruh belahan bumi komunis. Begitu kapitalisme dirumuskan sebagai varian dari totalitarianisme, dan bukan sebaliknya, maka Marxisme akan direduksi pada ideologi humanitarianborjuis yang, pada analisis terakhir, dipakai untuk melikuidasi Marxisme itu sendiri—sebagai totalitarianisme, sebagai pelanggaran HAM, sebagai birokratisme-kolektivisme. Artinya, dengan mereduksi kritik atas kapitalisme menjadi kasus khusus dari kritik atas totalitarianisme, setiap Goenawan Mohamad zaman ini menggiring kita diam-diam untuk mencurigai Marxisme itu sendiri. Goenawan menjalankan strategi penggusuran teoretik ini dengan bersembunyi di balik panji kutipan Marx: de omnibus dubitandum (“meragukan segalanya”).[3] Tujuan strategis dari pengutipan ini adalah untuk membuat kritisisme Marxian jadi reflektif, dengan kata lain menghantam Marxisme itu sendiri, yakni dengan mendelegitimasi segala capaian material dari Marxisme di abad ke-20 dengan anggapan bahwa kaum Marxis tak lagi kritis terhadap Marxisme itu sendiri. Goenawan, dengan mengangkat motto Marx, berbicara pada kita: setiap Marxis mesti kritis terhadap apapun termasuk Marxisme dan kritis berarti mengambil jarak, mengevaluasi dari sudut pandang eksternal. Dibahasakan secara lain, inilah ajaran ‘Marxis’ Goenawan Mohamad: setiap Marxis mesti punya kegagah-beranian untuk menjadi anti-Marxis, untuk bunuh-diri atau ganti profesi. Konsekuensinya, bagi Goenawan, esensi dari Marxisme adalah pembubaran Marxisme. Dengan kesadaran atas implikasi politik dari ‘operasi teoretik’ Goenawan inilah juga kita mesti mencermati pemakaian sistematisnya atas konsep ‘alienasi’ dalam Marx. Goenawan mengunci Marxisme ke dalam kerangka proyek penghapusan alienasi manusia. Karena alienasi dimengertinya sebagai ‘dehumanisasi’,[4] maka proyek Marxisme adalah proyek humanisasi. Di sini Marxisme dipakainya untuk membenarkan ajaran humanisme universal à la Sjahrir sekaligus untuk menganulir pencapian Marxisme historis, seperti Uni Soviet dan Cina, dengan menempatkannya dalam kerangka alienasi baru, yakni birokratisme partai. Untuk itu ia mengutip karya Milovan Djilas, Kelas Baru, yang pernah diterjemahkan ke bahasa Indonesia di tahun 50-an oleh Mochtar Lubis dalam rangka memerangi PKI. Model pembacaan seperti itu hanya mungkin bila Goenawan melepaskan konsep alienasi Marx dari akar ekonomi-politiknya. Dan memang itulah yang ia lakukan, misalnya dengan menempatkan alienasi dalam kerangka Weberian tentang rasio-
djoernal sastra
boemipoetra 3 Edisi Agustus-Oktober 2011
nalitas instrumental untuk kemudian menyimpulkan bahwa Marx masih menggunakan rasionalitas jenis itu dan secara tidak langsung menyimpulkan bahwa pemikiran Marx sendiri memang alienatif.[5] Inilah juga yang ia jalankan ketika dinyatakannya, seperti yang dikutip di muka, bahwa Marx hanya separuh benar, bahwa kapitalisme bukanlah persoalan utama melainkan justru totalitarianisme. Dengan begitu, Goenawan melokalisasi persoalan alienasi pada aras kebudayaan sambil mengabaikan akar ekonomi-politik dari alienasi tersebut. Akibatnya, ia dengan mudah berakhir dalam kritik spekulatif atas Sistem yang ‘menindas’, tanpa pernah jelas apa persisnya Sistem itu, tanpa pernah jelas problematik dari ‘penindasan’ itu. Marx mengajarkan kita untuk spesifik. Ia mengkritik kapitalisme sebagai sebuah sistem dengan elemen-elemen spesifik yang tak bisa dipukul rata dengan feodalisme ataupun dicampurkan dengan semua modus produksi lain ke dalam suatu citraan imajiner-paranoid bernama totalitarianisme. Yang Marx persoalkan bukan Sistem yang abstrak melainkan sistem yang konkrit dan tertentu, yang Marx persoalkan bukan Manusia yang universal melainkan manusia dalam konfigurasi sosialnya yang spesifik. Berhenti pada kritik abstrak-humanitarian atas Totalitarianisme sama artinya dengan mundur kembali ke pemikiran kaum luddite yang merusak mesin-mesin pabrik karena menganggap Mesin itulah sumber penindasan. Demikianlah kritik dan emansipasi menjadi kebalikannya. Di tangan Goenawan Mohamad, kritik digiring oleh litani kefanaan dan kedhaifan manusia. Dengan giringan itu, pembebasan melalui kritik justru berubah jadi pembebasan dari kritik: membebaskan realitas dari kritik—dengan kata lain, membiarkan segala sesuatunya ada sebagaimana mestinya. Emansipasinya, oleh karena itu, sejatinya berarti membebaskan pikiran berkelana dalam enigma dan teka-teki seraya membiarkan realitas berjalan seperti biasanya. Tenggelam dalam mimpi tentang emansipasi murni namun sekaligus membungkam kritik totalistik atas kenyataan yang ada. Kritik di tangannya menjadi sejenis “kritik panti jompo”, yakni kritik yang ditujukan untuk menghalang-halangi setiap kritik radikal atas realitas. Di sini kita menemukan kesamaan antara cara berpikirnya dengan posisi borjuis Prusia di sekitar Revolusi Maret 1848: “ tanpa kepercayaan pada diri mereka sendiri, tanpa kepercayaan pada rakyat, menggerutu terhadap yang di atas, merinding terhadap yang di bawah, egoistik terhadap kedua belah pihak dan sadar akan egoismenya, revolusioner dalam relasinya dengan yang konservatif dan konservatif dalam relasinya dengan kaum revolusioner, tak percaya kepada mottonya sendiri, penuh frase ketimbang ide, merasa terintimidasi oleh badai zaman, mengeksploitasi badai zaman, tak bersemangat di segala bidang, plagiarisme di segala bidang […] seorang jompo yang memandang dirinya terkutuk untuk membimbing dan mengalihkan dorongan-dorongan muda rakyat ke dalam kepentingan kolotnya sendiri—tanpa mata, tanpa telinga, tanpa gigi, tanpa apapun— itulah borjuasi Prusia yang berdiri di sekitar tahta negara Prusia sesudah Revolusi Maret.[6] Di tangan Goenawan Mohamad, pada akhirnya, sikap kritis jadi tak terbedakan dari sikap nrimo: menerima kedhaifan manusia, ‘kelemahsyahwatan’ manusia, dan mengkritik dalam batasbatas kedhaifan itu. Revolusioner dalam relasinya dengan yang konservatif dan konservatif dalam relasinya dengan kaum revolusioner—itulah tipe umum setiap Goenawan Mohamad zaman kita. Revolusioner dalam relasinya terhadap kaum fundamentalis religius tetapi konservatif dalam relasinya dengan kaum Marxis. Jika pada mulanya adalah kedhaifan, maka pada akhirnya adalah kritisisme nanggung, suatu semi-kritisisme—atau dengan kata lain, bukan kritisisme sama sekali
djoernal sastra
boemipoetra 4 Edisi Agustus-Oktober 2011
E-ssei
melainkan kepasrahan. 2. Emansipasi atau Konservasi? Dari paparan di muka, jelas bahwa Goenawan Mohamad bukan seorang Marxis. Tentu, tanpa perlu membaca tulisan inipun kita sudah bisa tahu bahwa ia memang bukan Marxis. Namun dalam tulisan-tulisannya—khususnya yang terkumpul dalam buku Marxisme, Seni, Pembebasan—ia nampak seperti sedang menjadi Marxis seraya menunjukkan alternatif lain untuk menjadi Marxis, yakni dengan menghindari Marxisme-Leninisme.[7] Ujung-ujungnya kita ditarik keluar dari Marxisme sama sekali ke dalam sejenis demokrasi sosial Fabian, ke dalam sebentuk sosialisme utopis. Dalam kerangka itu, kritik di muka perlu. Akan tetapi, kalaupun ia menghindar dengan menyatakan bahwa dirinya memang tidak berpretensi jadi Marxis, baiklah saya siapkan juga kritik untuk itu. Tentu tidak sepenuhnya fair untuk mengkritik posisi nonMarxis berdasarkan kriteria Marxis semata. Maka itu, satu-satunya syarat untuk melancarkan kritik yang sah dan telak atasnya adalah dengan menyelam ke dalam logika internalnya dan membuktikan berdasarkan kriteria internalnya sendiri bahwa pemikiran non-Marxis Goenawan Mohamad tentang emansipasi adalah keliru. Inilah yang akan kita jalankan. Apakah filosofi dasar Goenawan Mohamad? Keseluruhan pemikirannya adalah litani tentang ketakmurnian, keberlainan dan kedhaifan manusia. Konteks historisnya kita sudah tahu: Goenawan Mohamad sebagai bagian dari seniman yang diorganisir oleh PSI yang sedang kalah angin dari PKI di tahun 60-an. Karena konteks historis itulah tidak aneh jika ia begitu menekankan kegalauan hati individu di hadapan Sistem (entah birokrasi maupun revolusi), sebagaimana yang tercermin dalam puisi dan tulisan-tulisannya di tahun 60an. Dengan masuknya ide-ide pasca-strukturalisme dan pasca-modernisme di Indonesia, lirisisme individual Goenawan Mohamad seakan mendapatkan pembenaran teoretiknya. Individu itu kini disamarkan dalam nama “yang-lain”, atau liyan sebagaimana Goenawan menjawakannya. Ada yang lain dari Sistem, yang lain ditekan di balik penampakan Sistem: sesuatu yang obscene di balik scene yang tampak kukuh dan padu. Yang lain itu adalah individu dalam keunikan dan kerapuhannya, yang tak bisa sepenuhnya dipukulrata dalam kategori umum, seperti misalnya massa. Itulah mengapa pasca-modernisme—dengan segala glorifikasi repetitif yang nyaris jargonistik atas yang-lain—diterima oleh Goenawan Mohamad sebagai pembebasan. Sehingga jalan keluar ke arah pembebasannya adalah doktrin Heideggerian tentang kepasrahan meditatif (Gelassenheit) yang implisit dalam wacana pasca-modern, khususnya Derrida. Dengan kata lain, membiarkan yang-lain tampil dalam keberlainannya.[8] Di situ kita temukan visi emansipasi Goenawan Mohamad. Namun apa yang membuat emansipasi emansipatif? Apakah membebaskan yang-lain adalah suatu pembebasan? Tentu saja ya, bila kita berhenti pada terminologi—itu sama saja seperti menanyakan: apakah hijau adalah hijau? Keketatan berpikir setiap Goenawan Mohamad zaman kita tak pernah melampaui tautologi ini: pembebasan dengan sendirinya membebaskan. Mereka tak pernah repot-repot bertanya: yang-lain yang mana? Mereka tak pernah mencoba lebih spesifik: siapakah yang-lain itu, terbebas dari apakah dia dan terbebas untuk melakukan apa? Mereka tak pernah beranjak lebih dari sekedar jawaban: bebas dari Sistem yang menindas. Inilah dimensi abstrak dan spekulatif yang inheren dalam wacana mereka. Persoalannya dengan gampang diketengahkan: bagaimana jika yang-lain itu adalah Hitler, mestikah kita “membiarkannya tampil dalam keberlainannya”? Kalau tidak, maka tidakkah kita lantas mesti berkesimpulan bahwa—memparafrasekan George Orwell sekaligus menodongkannya
padanya—ada yang-lain yang lebih lain ketimbang yang-lain dan ada pula yang kurang lain daripada yang-lain? Inilah juga kebuntuan yang tak terjawab oleh setiap libertarian-humanis yang begitu memuja-muja kedaulatan dan keunikan individu di atas Sistem dengan mengutuk-sumpahi Sistem sebagai totaliter dan tidak manusiawi (baca: tidak sesuai dengan asumsi mereka tentang kodrat manusia sebagai individu-pemilik). Mereka lupa, atau sengaja menyembunyikannya dari pembaca, bahwa emansipasi yang-lain secara umum dari Sistem apapun, dalam kondisi sekarang, hanya berarti satu hal: kemenangan fundamentalisme pasar— kebebasan dari intervensi sistem negara atau sistem kolektif kerakyatan apapun. Sampai di sini kita baru mengerti pentingnya bertanya: apa yang emansipatif dari emansipasi? Tentu saja, setiap Goenawan Mohamad bisa mengelak: saya tidak mendukung fundamentalisme pasar, neoliberalisme atau apapun namanya, saya hanya mendukung pembebasan atas yanglain untuk tampil dalam keberlainannya. Dibahasakan ulang: mereka tidak setuju pada fundamentalisme pasar tapi setuju pada asumsi dasarnya. Inilah yang dimaksud dengan berontak terhadap bentuk-bentuk penampakan kapitalisme namun sepakat dengan conditio sine qua non (syarat kemungkinan) dari adanya kapitalisme. Gaya argumentasi ini sebetulnya tidak seasing kelihatannya. Argumentasi ini muncul dalam setiap pemikiran yang mengkritik ekses-ekses negatif dari kapitalisme—alienasi individu, komersialisasi kehidupan publik, leburnya masyarakat warga dengan pasar—tapi ikut mendukung syarat-syarat adanya kapitalisme itu sendiri: kepemilikan privat, asumsi antropologi-filosofis tentang self-interest sebagai kodrat manusia dan ide tentang individualitas yang diturunkan darinya. Ibaratnya: mereka bertidak-sepakat secara heboh tentang daun-daun tetapi setuju dengan keberadaan pohon itu sendiri. Dengan begitu, tak ada yang perlu diubah selain “nuansa”-nya. Emansipasi Goenawan Mohamad, karenanya, adalah suatu emansipasi dari emansipasi; melaluinya, kita terbebas secara intelektuil dari pembebasan nyata. Akhirnya, kalaupun Goenawan Mohamad bukan seorang Marxis, barangkali ia seorang Tengah dan melalui argumentasi di muka telah jelas bahwa esensi dari Tengah adalah Kanan, sebagaimana esensi dari emansipasi tautologis adalah emansipasi dari emansipasi. 3. Emansipasi dari Goenawan Mohamad Di Indonesia pasca-65, kita akan sulit menemukan adanya ajaran Marxisme. Yang kita temui lebih banyak adalah ajaranmoral-humanistik tentang penindasan dan semangat anti-otoritarianisme yang meliputinya. Tentu saja, dengan pernyataan ini saya tidak bermaksud mengatakan bahwa Marxisme berposisi anti terhadap etika ataupun nilai kemanusiaan. Yang saya persoalkan adalah metode. Humanisme dan moral tidak memiliki ‘peran penjelas’ (explanatory role) dalam Marxisme. Tentu keduanya dapat hadir sebagai ‘motif-motif tambahan’ (auxilliary motives) bagi perjuangan seorang Marxis, akan tetapi dalam melihat sebuah situasi seorang Marxis tidak memberikan putusanputusan moral atasnya—misalnya bahwa “kapitalisme itu kejam dan tidak berperikemanusiaan”— melainkan menghadirkan suatu pemahaman konkrit tentang hubungan-hubungan ekonomi-politik yang menjadi syarat bagi tindakan untuk mengubah situasi tersebut. Dengan itu, saya hanya mau menekankan bahwa Marxisme bukanlah sejenis ‘sains moral’ melainkan sebuah sains revolusioner dalam artinya yang paling utuh. Di Indonesia pasca-65, Marxisme yang kerapkali kita jumpai adalah sebagai ‘sains moral’. Apa yang dinamai dengan ‘Goenawan Mohamad’ dalam tulisan ini adalah representasi dari tren umum tersebut. Itulah juga sebabnya kenapa gerakan pembebasan yang berlandaskan pada Marxisme tak dapat sepenuhnya mengejawantahkan potensi re-
volusionernya di Indonesia pasca-65. Gerakan Marxis pasca-65 tidak berkembang bukan karena Marxisme-Leninisme dilarang pemerintah. Ia tak berkembang karena tidak pernah dilakukan suatu rekonstruksi atasmetode Marxis yang ketat dalam analisis situasi. Yang kerap kita jumpai justru retorika moralis yang berapi-api namun sejatinya membuat kontradiksinya kabur. Seolah berbicara tentang ‘Penindasan’, ‘Penghisapan’, sudah membuat segalanya jelas dengan sendirinya—sama seperti model ‘emansipasi tautologis’ yang diurai di muka. Tentu di sini saya tidak mempersoalkan diksi yang digunakan dalam suatu aksi massa, sebab diksi itu ditentukan oleh kekhasan massa dan tak ada yang salah dengan itu. Yang saya persoalkan adalah kategori pembacaan situasi yang ada dalam pikiran para kader gerakan Marxis. Ketika retorika moralis secara tak disadari berubah jadi metode pembacaan situasi, problemnya segera mengemuka: realitas tidak berjalan sesuai dengan moral narasi kita dan akibatnya semakin kita berbicara semakin jauhlah kita dari akar kontradiksi yang nyata di dalam masyarakat yang mau kita ubah. Maka itu, Marxisme mesti dikembalikan pada hakikat dasarnya, yakni sebagai sains revolusioner dan bukan sains moral. Itu artinya, semua kategori retoris-moralis (‘alienasi’, ‘ketertindasan di bawah Sistem yang menghisap’, ‘dehumanisasi’, dst.) harus dapat direfrase atau dirumuskan ulang ke dalam pernyataan yang ilmiah, yang mengemukakan kesalinghubungan antar elemen dalam situasi dan titik kontradiksinya agar kemudian kita dapat berpikir tentang emansipasi yang nyata. Mandeknya Marxisme ke dalam retorika moralis itulah juga yang menjelaskan mengapa disorientasi kader-kader Kiri, khususnya pasca-98, menjadi fenomena yang massif. Ketiadaan pemahaman tentang kespesifikan metode Marxis, ketiadaan pengertian yang realis tentang situasi politik, itulah yang pada akhirnya menjelaskan mengapa busa-busa retorika moralis tentang ‘Penindasan’ itu dengan cepat berfermentasi menjadi buih-buih retorika moralis tentang ‘Keanekaragaman’ dan ‘Kedaulatan Individu’. Singkatnya: tanpa metode Marxis tak akan ada gerakan revolusioner Marxis yang sesungguhnya. Berangkat dari analisis dalam tulisan ini, kini tiba waktunya untuk memberikan simpulan umum. Kesimpulan yang akan saya tarik adalah ini: prasyarat ideologis dari emansipasi nyata di Indonesia adalah emansipasi dari Goenawan Mohamad, dari setiap cercah Goenawan Mohamad dalam diri kita. Singkatnya: syarat kemungkinan dari emansipasi Indonesia adalah emansipasi dari Goenawan Mohamad. Kita masih dapat menyaksikan banyak cara berpikir Goenawan Mohamad dalam politik kita. Manakala kita mengelirukan relasi antara kritik atas kapitalisme dengan kritik atas totalitarianisme, maka kita terjatuh pada wacana romantik Goenawan. Manakala kita membalik logika “kapitalisme itu jahat karena ia bermasalah” menjadi logika “kapitalisme itu bermasalah karena ia jahat”, maka kita terjatuh pada moralisasi Marxisme seperti dalam wacana alienasi Goenawan. Manakala kita asyik berselancar dalam abstraksi tinggi dan generalisasi spekulatif tentang Humanisme seraya melupakan perbedaan spesifik dalam masyarakat dan kelas-kelasnya, maka kita terjatuh pada ilusi Hegelian-borjuis tentang rekonsiliasi universal yang implisit dalam pemikiran Goenawan. Manakala kita mengajukan problem emansipasi secara seakan jelas dengan sendirinya dan sepenuhnya mengabaikan syarat materialisasinya, maka kita terjatuh dalam emansipasi model Goenawan: pembebasan atas ide-ide yang akan menjadikan pembebasan realitas tidak mungkin. Maka itu, berpikir tentang emansipasi di Indonesia berarti berpikir tanpa Goenawan Mohamad. Apa yang kita butuhkan bukanlah kritik parsial atas Goenawan Mohamad. Agar mampu berpikir tentang relasi kritik dan emansipasi dalam kepenuhannya, apa yang kita perlukan adalah suatu “patahan epistemologis”, une coupure épistémo-
E-ssei logique, terhadap cara berpikir Goenawan Mohamad—sebuah patahan baik terhadap isi wacana maupun metode eksposisi-nya. Apa yang kita perlukan adalah sebuah kritik sinoptik, sebuah kritik total yang menyeluruh dan dari berbagai sudut, atas setiap Goenawan Mohamad: kritik atas ‘filsafat kurang’, kritik atas moralisasi politik, kritik atas lirisisme estetik, kritik atas humanisme (kedhaifan) universal, kritik atas kritik totalitarianisme dan kritik atas emansipasi tautologis. Dalam tulisan ini saya baru menjalankan dua kritik terakhir. Namun saya pikir dua kritik terakhir dapat menjadi dasar yang kuat bagi kritik sinoptik atas segala bentuk Goenawan Mohamad. Dengan bersenjatakan kritik yang tak mudah ditekuk ke dalam pasrahisme dan dengan mengerti kekeliruan visi emansipasi abstrak-tautologis, kita akan menang walau berhadapan dengan berjuta-juta Kolakowski dan bermilyar-milyar Goenawan Mohamad.*** Artikel ini nantinya akan terbit di Jurnal Problem Filsafat No. 10, oleh Komunitas Marx. Diterbitkan di sini untuk tujuan Pendidikan.
Martin Suryajaya, Aktif bergiat di Komunitas Marx, Jakarta [1] Georg Lukács, History and Class Consciousness diterjemahkan oleh Rodney Livingstone (London: Merlin Press), 1990, hlm. 1. [2] Goenawan Mohamad, Marxisme, Seni, Pembebasan (Jakarta: Tempo & PT Grafiti), 2011, hlm. 151. [3] Ibid., hlm. 159. [4] Lih. Ibid., hlm. 150. [5] “Dan kitapun ingat yang dikatakan Marx, ketika ia membedakan manusia, sang arsitek, dengan lebah: dalam produksi yang dilakukan manusia, kesadaran mengendalikan, bahkan menguasai, praxis. Dengan kata lain, yang dimaksud Marx sebagai ‘kesadaran’ pada dasarnya tak berbeda dengan ‘rasionalitas’, dan dalam hal ini, untuk memakai istilah Max Weber, ‘rasionalitas instrumental’. Sebuah dunia baru tumbuh dari rasionalitas ini—tapi dengan catatan: dunia modern itu tak membebaskan. Weber sebenarnya berbicara tentang alienasi.” Ibid., hlm. 159.
Rantau Oleh Katrin Bandel* “JUMLAH migran internasional diperkirakan 214 juta pada tahun 2010,” demikian informasi yang saya peroleh dari TOR untuk diskusi dalam rangka Europe Days ini. 3,1 persen dari penduduk dunia. Siapakah mereka? Seperti apa kehidupan mereka, pengalaman mereka, nasib mereka?
M
IGRASI (atau dalam bahasa Indonesia: rantau) kira-kira bisa didefinisikan sebagai gerak manusia dari satu wilayah/ negara ke wilayah/negara lain dengan tujuan untuk menetap di tempat baru tersebut. Betapa luasnya istilah itu! Sebagai orang Jerman yang sudah sekitar 10 tahun menetap di Yogyakarta, saya sendiri tentu saja termasuk dalam jumlah 214 juta di atas. Saya salah seorang perantau. Sebagai orang yang terbiasa bergelut dengan teks sastra, saya kurang akrab dengan angka. Bagi saya, yang terbayang di kepala saat mendengar kata “migrasi” bukanlah angka dan statistik, tapi pengalaman hidup. Dan karena saya sendiri termasuk dalam kategori migran atau perantau itu, pertanyaan yang sangat utama bagi saya adalah: Apa yang menyatukan pengalaman hidup saya dengan pengalaman hidup perantau lain? Dan apa yang membedakannya? Pertanyaan tersebut pada kesempatan ini ingin saya telusuri sekilas dengan memasuki pengalaman hidup beberapa perantau lain lewat karya sastra, yaitu perantau asal Indonesia. Karya yang saya pilih sebagai contoh di sini adalah kumpulan puisi Heri Latief berjudul Ilusiminimalis (2003) dan kumpulan puisi lima orang buruh migran Indonesia (Adepunk, Kristina Dian Safitry, Mega Vristian, Tanti, Tarini Sorrita) berjudul 5 kelopak mata bauhinia (2008). Saya ingin memulai penyelusuran saya dari sebuah puisi Heri Latief, penyair kelahiran Jakarta 1958 yang sudah lama menetap di Eropa. Heri kini tinggal di Belanda, tapi di awal perantauannya dia hidup di Jerman selama beberapa tahun (1982-86). Beberapa sajaknya dalam kumpulan Ilusiminimalis mengisahkan pengalamannya di Jerman, antara lain puisi berikut. “aku punya muka kulihat cermin yang kusam guram guratan di bawah mataku
bercerita banyak tentang hidup jadi auslander yang suka di-raus! padahal aku bukan monyet tapi mereka bersorak-sorak menyuruhku pulang ke rumah di hutan yang sudah gundul itu”, Tulisnya sebagai bait terakhir puisi berjudul “Aku, Anak Rantau” tersebut. Spontan, saya membayangkan Heri Latief menyusuri jalan-jalan kota di negeri asal saya. Adakah persamaan antara pengalaman kami? Tentu saja saya juga mengenal perasaan terusmenerus dibedakan karena warna kulit saya. “Halo londo!”, “Hello Mister!”, dan sapaan-sapaan serupa menjadi bagian tak terelakkan dari keseharian saya di Jogja. Namun berbeda dengan teriakan “Ausländer raus” (orang asing keluar!) yang disebut Heri Latief dalam sajaknya, saya tidak pernah dimusuhi dan disuruh pulang ke negara saya. Justru sebaliknya: sapaan tadi tidak jarang dilanjutkan dengan rayuan agar saya mampir membeli batik, menyewa becak, atau membeli ticket Ramayana Ballet. Membaca sajak Heri Latief, pikiran saya pun menerawang ke masa SMA saya. Saya teringat pada dua buah foto di buku biologi saya semasa SMA. Foto pertama adalah foto dua ekor monyet. Seekor monyet sedang berjongkok dengan santai, sedang monyet kedua berada di belakangnya, mencari kutu di kepala monyet pertama. Foto kedua adalah foto dua orang manusia dalam pose yang sama. “Orang Utan dan orang Bali sedang mencari kutu”, begitu keterangan di bawah kedua foto tersebut. Mengingat buku itu, tidak sulitlah saya memahami mengapa kawan saya Heri Latief merasa diperlakukan seperti monyet yang disuruh kembali ke hutan. Saya perantau seperti Heri Latief. Tapi tentu kami sangat berbeda satu sama lain. Dalam peta relasi kekuasaan global, saya berada di posisi yang diuntungkan. Saya adalah orang Eropa ber-
djoernal sastra
boemipoetra 5 Edisi Agustus-Oktober 2011
[6] Karl Marx, Bourgeoisie and Counter-Revolution dalam Karl Marx dan Frederick Engels, Selected Works Volume I(Moscow: Foreign Languages Publishing House), 1962, hlm. 69. [7] “Marxisme […] pernah menjadi inti dari pemikiran Partai Sosialis Indonesia”. Goenawan Mohamad, op.cit., hlm. 162. [8] “Dalam hal Gelassenheit, yang bisa diartikan sebagai sikap melepas, membiarkan, sikap kita adalah membuka diri padaliyan, yang hadir sebagaimana adanya dalam kekhususannya, bersama kita yang terbatas. Mungkin kita bisa menggunakan kata Jawa sikap sumeleh di sini—yang berarti, kurang-lebih, meletakka diri dalam posisi tidak bersikeras, karena kita pada akhirnya toh fana, terbatas: suatu orientasi yang memungkinkan kehadiran liyan dalam jamak, bergerak, tak hierarkis.” Ibid., hlm. 174. Sumber: http://indoprogress.com/2011/07/26/kritik-danem ansi pasi -k ontribus i-bagi -pendasaranepistemologi-politik-kiri/
kulit putih, dan saya berasal dari keluarga kelas menengah pula. Saya sampai di negeri ini dengan bekal pendidikan tinggi (S3) dan kemampuan bahasa yang memadai (bahasa Indonesia saya pelajari di bangku kuliah selama bertahun-tahun), sehingga beradaptasi sangat dimudahkan untuk saya. Dan di negeri ini, meskipun kerapkali direpotkan dengan urusan imigrasi yang berbelit-belit, dan meskipun sering dihadapkan dengan stereotipe yang menyebalkan (misalnya bahwa semua orang asing pasti kaya raya sehingga sah-sah saja ditipu dan diperas, atau bahwa perempuan Barat sudah barang tentu ber”seks-bebas” alias binal), posisi saya tetap relatif aman dan nyaman. Posisi Heri Latief di Eropa tentu saja jauh berbeda daripada posisi saya di sini. Seperti manusia berkulit berwarna lainnya di Eropa, sudah pasti dia bukan disangka kaya, tapi justru dicurigai datang ke Eropa semata-mata dalam rangka “mengemis”. Namun meskipun demikian, dibandingkan perantau-perantau lain, Heri Latief masih bisa dibilang beruntung. Di Jerman, dia sempat bekerja dan kuliah. Selama hampir 20 tahun merantau, dia hidup mandiri dan selalu mampu menghidupi dirinya dengan baik. Merantau pun sepenuhnya merupakan keputusan bebasnya sendiri. Posisi golongan perantau lain, yaitu mereka yang umumnya disebut “TKW” atau “buruh migran”, tidak seberuntung itu. Mereka umumnya berangkat keluar negeri disebabkan oleh desakan ekonomi. Dengan menjadi buruh rumah tangga di negeri orang, mereka berharap melepaskan diri dan keluarga mereka dari kemiskinan. Di negeri di mana mereka kemudian bekerja, mereka tidak dapat bebas dan mandiri seperti Heri Latief. 24 jam mereka hidup di rumah majikan mereka. “Ku harus bangun pukul 5:30 dipagi hari/ Dan pergi keperaduan pukul 2:00 dini hari”, tulis Tarini Sorrita dalam salah satu sajaknya (“Saat-saat Kepergian”, hlm. 61). Sungguh berat hidup seorang buruh migran! Puisi-puisi kelima buruh migran dalam kumpulan 5 kelopak mata bauhinia berkisah tentang kesepian mereka di rantau dan kerinduan mereka akan orang-orang yang mereka cintai, juga tentang kemarahan dan kesedihan atas perlakuan yang mereka terima. “jelas benar kemiskinan menggencet martabat keadilan hanyalah kata-kata manis bagi orang tak berdaya tak masuk hitungan dalam politik”, Tulis Mega Vristian dalam sajak “Roda Kereta Maut” yang ditulisnya untuk merespon peristiwa berakhirnya hidup seorang buruh migran Indonesia di tiang gantungan di Singapura tahun 2004. Betapa jauh berbedanya pengalaman migrasi
djoernal sastra
boemipoetra 6 Edisi Agustus-Oktober 2011
E-ssei
mereka daripada pengalaman saya, juga dari pengalaman Heri Latief! Dengan bekal bahasa yang sangat terbatas dan tanpa kebebasan untuk bertemu dengan teman senasib dan sebahasa kecuali sekali-sekali pada hari libur, mereka terpenjara di rumah majikan masing-masing. Tentu tak mengherankan kalau rasa kesepianlah yang mendominasi sajak-sajak mereka. Dan bahkan kebebasan untuk melakukan hal yang paling sederhana dan mendasar yang bisa dilakukan seorang manusia di saat dirinya tidak berdaya untuk berbuat apa-apa, yaitu mengadu pada Tuhan, pun dibatasi: “Ingin aku menangis diatas karpet biru Ingin aku mengadu dalam gema takbir untuk-MU Namun Jaring jaring kekejaman majikan memenjarakan aku di sini Terperangkap, tak bisa datang dirumahMU”, Tulis Kristina Dian Safitry dalam puisi “Dalam Gema Takbir” (hlm. 14). Larangan dan kekangan yang membatasi kebebasan buruh migran untuk beribadah pun disebut dalam beberapa karya lain, misalnya dalam puisi Mega Vristian berjudul “Elegi Rahayu” yang mengisahkan seorang buruh migran yang “rajin solat dan mengaji/ walau dari hasil mencuri-curi waktu/ jika ketahuan Geng Suk Wong akan memecatnya” (hlm. 34). Membaca puisi-puisi yang memilukan tersebut, pikiran saya kembali melayang. Spontan, sekali lagi saya tergoda membandingkan pengalaman saya di negeri mereka dengan pengalaman mereka di negeri asing. Betapa sering saya berhadapan dengan tatapan heran dan tidak mengerti saat saya mengatakan hal yang berada sama sekali di luar bayangan lawan bicara saya, yaitu bahwa saya tidak bertuhan. Namun meskipun mungkin sebagian orang Indonesia tidak habis pikir bagaimana orang bisa hidup tanpa agama, sejauh ini saya belum pernah menjumpai orang yang tidak berusaha untuk sekadar memaklumi perbedaan keyakinan tersebut. Berbeda daripada misalnya orang Ahmadiyah yang dimaki, dilecehkan atau bahkan dibunuh sekadar karena memuja Tuhan dengan cara yang sedikit berbeda, sebagai manusia kelas satu asal Eropa saya diberi hak dan kebebasan untuk berkeyakinan seaneh apa pun di negeri Pancasila yang mewajibkan ketuhanan yang maha esa ini. Merenungkan nasib buruk kelima penyair buruh migran Hongkong tersebut, saya teringat pada sebuah pengalaman di kapal terbang beberapa tahun lalu. Waktu itu saya sedang di jalan mudik ke Jerman. Di pesawat, saya kebetulan duduk berdekatan dengan sekelompok buruh migran asal Indonesia yang sedang dalam perjalanan ke Timur Tengah. Kami pun berkenalan. “Teman kalian di Hongkong banyak menulis dan menerbitkan karya sastra,” cerita saya dalam obrolan dengan salah satu dari mereka. “Saya pernah baca beberapa tulisan mereka.” “Mereka kan beda, Mbak,” jawab perempuan muda di samping saya itu. “Yang berangkat ke Hongkong biasanya minimal lulus SMA. Kami banyak yang hanya SD atau buta huruf.” Saya pun segera sadar bahwa nasib buruh migran di negara-negara Arab memang tidak bisa disamakan dengan yang di Hongkong atau Taiwan. Bahwa banyak di antara mereka buta huruf sudah saya saksikan sendiri. Dua kali dalam kesempatan serupa, yaitu dalam perjumpaan kebetulan dengan buruh migran asal Indonesia di pesawat, dengan malu-malu sang buruh migran meminta pertolongan saya untuk mengisi formulir keimigrasian. Mereka tidak mampu membaca formulir itu, dan bahkan tidak tahu apa yang tertulis dalam paspor mereka sendiri (misalnya, tanggal lahir palsu apa yang tercantumkan di sana). Rupanya, puisi-puisi memilukan dalam kumpulan 5 kelopak mata bauhinia pun tidak mewakili pengalaman terburuk yang bisa dibayangkan di belakang kata abstrak berbunyi “migrasi” tersebut. Di samping mereka yang mampu menuliskan pengalaman mereka, ada ribuan migran lain yang tidak punya kemampuan dan sarana untuk mengekspresikan diri. 214 juta manusia sama-sama disebut migran. Tapi betapa berbedanya nasib dan pengalaman hidup kami satu sama lain! Tentu saja saya bersyukur bahwa saya tidak di-raus seperti Heri Latief, atau ditindas dan diperas tenaga saya seperti para buruh migran. Namun kenyataan bahwa di luar kekuasaan saya, meskipun kami sama-sama perantau, asal dan warna kulit saya menempatkan saya pada posisi yang jauh lebih aman dan nyaman, tetap membuat hati saya perih dan tidak terima. Apa kelebihan saya dibanding mereka? Betapa tidak adilnya dunia ini! Dengan begitu beragamnya pengalaman migrasi, tentu saja kemampuan saya untuk membayangkan pengalaman hidup migran lain relatif terbatas. Sebagai perantau yang berada di posisi yang diuntungkan dalam relasi kekuasaan global, saya tidak akan pernah mampu sepenuhnya membayangkan apa yang dialami oleh seorang Heri Latief atau seorang Mega Vristian. Namun meskipun demikian, titik temu yang membuat saya merasa bisa nyambung dengan pengalaman migran-migran lain, seberbeda apa pun nasib kami, selalu ada. Bagaimanapun, kami sama-sama hidup di rantau, mengekspresikan diri dalam bahasa asing, dan mengalami kekagetan-kekagetan tertentu saat berhadapan dengan perbedaan budaya yang kerapkali hadir di saat dan dalam bentuk yang tidak terduga. Kami pun sama-sama menyaksikan dan memprotes ketidakadilan global, meskipun dari posisi yang sangat berbeda satu sama lain. Titik temu justru jauh lebih sulit saya cari dalam perjumpaan dengan 96,9
persen manusia lain di planet ini. Baik di Indonesia maupun di Jerman, saya cenderung kesulitan berkomunikasi dengan manusia yang tidak pernah beranjak dari tempat dan budaya asalnya. Begitu banyak aspek keseharian saya tidak tersampaikan pada mereka: Mereka tidak tahu bagaimana rasanya hidup dan mengekspresikan diri dalam bahasa asing, dan tidak pernah menyesuaikan diri dengan irama kehidupan, cuaca, budaya dan makanan yang berbeda. Mereka juga tidak digugat untuk menyadari dan mempertanyakan berbagai asumsi dasar budaya mereka sendiri sebagai akibat dari perjumpaan dengan budaya lain. Dan mereka tidak tahu betapa repot sekaligus asyik dan menantangnya terus-menerus menghadapi tuntutan untuk memposisikan dan mendefinisikan diri di tengah lingkungan beda budaya. Saya teringat pada sebuah video pendek yang dibuat oleh kelompok Kanak Attak, sebuah kelompok Jerman yang banyak bergerak seputar persoalan rasisme di Jerman. Video yang berjudul “Weißes Ghetto” (“Ghetto putih”) tersebut mereka buat di Köln-Lindenthal, yaitu bagian kota Köln yang penduduknya hampir 100% orang Jerman berkulit putih. Mereka mewawancarai orang di jalan dengan mengajukan pertanyaan berikit: “Apakah Anda merasa berada di sebuah ghetto kulit putih? Apakah orang Jerman mensegregasi diri di sini?” Tentu saja mayoritas responden mereka terbengong-bengong menghadapi pertanyaan yang tidak terduga dan terkesan tidak lazim tersebut. Setelah 10 tahun menetap di luar Jerman, saya yakin saya akan sangat tersiksa hidup di sebuah “ghetto putih” semacam Köln-Lindenthal. Seandainya suatu saat saya memutuskan untuk kembali hidup di Jerman, sudah pasti saya akan memilih tinggal di lingkungan yang majemuk. Hidup di antara manusia-manusia pelintas budaya yang lain sudah tentu bukan tanpa konflik. Tapi paling tidak saya tidak akan merasa seterasing hidup di ghetto putih. Berangkat dari rasa terasing di antara manusia-manusia penetap itu, spontan saya jengkel saat membaca kalimat pertama TOR acara ini: “Migration is one of the most pressing global issues of our time.” Mengapa migrasi langsung didefinisikan sebagai sebuah “issue” – sebuah persoalan atau masalah!? Dalam pengalaman hidup saya, merantau sama sekali bukan sebuah “persoalan”. Merantau memperkaya hidup saya dan mengubah diri saya. Saya tidak dapat dan tidak ingin membayangkan hidup saya tanpa pengalaman rantau tersebut. Tapi bukankah saya hanyalah perkecualian? Bagaimana pun, seperti yang saya sebut sendiri di atas, sebagai orang Eropa saya berada di posisi yang diuntungkan. Tentu saja mayoritas migran di dunia ini tidak sebebas saya dalam memilih bermigrasi, dan pengalaman mereka tidak sepositif pengalaman saya. Namun meskipun demikian, ada hal yang membuat saya ragu untuk serta merta mendefinisikan migrasi mereka sebagai sebuah “masalah” yang harus “diatasi”. Saat membaca karya Heri Latief, juga karya para buruh migran Indonesia di Hongkong, di luar segala kemarahan atas ketidakadilan yang mereka terima, saya tetap menemukan sejenis kegembiraan atas kesempatan mengunjungi tempat jauh dan berkenalan dengan budaya lain. Misalnya, kerapkali mereka menggambarkan keindahan alam, atau berkisah tentang adat asing yang baru mereka kenal. Dalam sekian banyak karya buruh migran yang saya baca (termasuk karya-karya lain di luar kumpulan puisi yang saya bicarakan di sini), saya tidak pernah menjumpai kebencian atau penolakan terhadap tempat perantauan mereka atau terhadap budaya setempat. Mereka memprotes ketidakadilan dan kemiskinan yang memaksa mereka berada pada posisi tidak berdaya. Tapi kesempatan untuk mengenal dunia di luar kampung halaman mereka sendiri tetap mereka sambut dengan senang hati. Hubungan dengan majikan pun tidak 100% digambarkan hanya sebagai hubungan penindas dengan budak. Simak misalnya puisi Tarini Sorrita berjudul “Saat-saat Kepergian” yang sudah sempat saya kutip sekilas di atas. Meskipun dituntut bekerja luar biasa keras seperti yang terlihat dari jam kerja yang saya sebut di atas, perpisahan dengan keluarga majikannya saat masa kontraknya habis dikisahkan penuh ekspresi kesedihan dan keharuan: “Oh aku akan merindukan semua itu Rindu akan teriakan bocah yang telah remaja Meminta air minum dan meminta ditunggui saat-saat mandi Rindu akan suaraku ketika membangunkan mereka Hei sen ah boyke hei sen you are late already Get up get up boyke mulut menggugah Tangan lincah menggelitik telapak kaki mereka Kini aku tersenyum sendiri mengingatnya Yah di rumah ini Disaat dua hari lagi kukan pergi Meninggalkan mereka dan semua kenangannya Kucoba menahan butiran bening biar tak jatuh” Bahkan dalam obrolan dengan buruh migran ke dunia Arab di pesawat yang saya sebut tadi pun saya tetap merasakan hadirnya sejenis kebanggaan tersendiri di saat mereka menceritakan pengalaman-pengalaman di rantau. Di luar segala penderitaan yang terpaksa mereka terima, perjumpaan antar-budaya tetap memperkaya hidup mereka. Dalam obrolan dengan saya, dengan gembira mereka memamerkan kemampuan bahasa dan pengetahuan
Tjatatan baru lainnya yang mereka peroleh. Dan saya pun merasa nyambung, seberbeda apa pun nasib kami. Mendefinisikan migrasi sebagai sebuah “masalah” bagi saya otomatis mengekspresikan harapan akan sebuah dunia di mana semua atau mayoritas manusia menetap “baik-baik” di tempat di mana mereka dilahirkan. Manusia tidak berpindah tempat, dan dengan demikian tidak saling bercampur, saling mengenal, atau saling “mengganggu”. Mengimajinasikan dunia memacam itu mem-
buat saya merinding. Bagi saya, berpindah-pindah tempat dan budaya sama sekali bukan masalah. Yang menjadi masalah bukan migrasi atau rantau itu sendiri, tapi ketidakadilan yang menyertainya. Maka yang perlu dilawan pun bukan migrasi, tapi ketidakadilan global. Utopia saya bukan sebuah dunia tanpa migrasi, tapi sebaliknya: sebuah dunia tanpa batas paspor dan visa di mana setiap manusia bebas merantau kapan pun dan ke mana pun, dan di
djoernal sastra
boemipoetra 7 Edisi Agustus-Oktober 2011
mana setiap perantau, apa pun asal usul dan warna kulitnya diperlakukan dengan baik dan dilindungi oleh undang-undang. *** *KATRIN BANDEL, kritikus sastra, tinggal di Jogjakarta **Makalah untuk acara diskusi tentang migrasi dalam rangka Europa Days, 12 Mei 2011, di Karta Pustaka, Jogjakarta
Dari Dulu, Goenawan Mohamad Itu Pembohong dan Licik (Diungkapkan Ajip Rosidi dalam buku “Hidup Tanpa Ijazah) Ternyata Goenawan Mohamad itu dari dulu pembohong, licik, dan tidak bisa dijadikan kawan baik. Setidaknya itulah yang disampaikan Ajip Rosidi dalam bukunya “Hidup Tanpa Ijazah” terbitan Pustaka Jaya. Buku setebal 1261 halaman ini menarik untuk dibaca dan penting bagi sastrawan Indonesia. Redaksi mengutip kisah-kisah menarik terutama tentang sepak terjang Goenawan Mohamad di mata Ajip Rosidi. Semoga bermanfaat.
1. Beda Ucapan Beda Tindakan ANUGERAH Seni itu diberikan setiap tahun dan aku setiap tahun menjadi anggota Dewan Juri, walaupun ada juga anggota juri yang diganti. Tahun 1972, Geonawan Mohamad tidak duduk sebagai juri, dan dia termasuk yang mendapat Anugerah Seni untuk kumpulan esainya “Potret Seorang Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang” yang diterbitkan oleh Pustaka Jaya. Tetapi kemudian aku baca tulisan Goenawan dalam SK Sinar Harapan yang menyatakan bahwa dia menolak hadiah tersebut karena menurut pendapatnya para seniman dan sastrawan belum patut mendapat penghargaan karena belum melahirkan karya yang berarti, padahal Anugerah Seni itu disertai dengan hadiah uang Rp 250.000- dua setengah kali bantuan kepada setiap desa yang besarnya Rp 100.000. Membaca tulisan itu timbul kekagumanku kepada Goenawan Mohamad. Dia masih muda dan ternyata memunyai sikap kerakyatan yang tegas. Dia membandingkan dirinya dengan rakyat desa yang dianggapnya harus mendapat penghargaan dan perhatian lebih besar dari pemerintah. Sebagai seniman dan sastrawan para penerima Anugerah Seni sepatutnya merasa malu. Tetapi ketika aku ke Jakarta, aku mendengar bahwa Goenawan sudah menerima uang hadiahnya dari Departemen P dan K. Bagaimana? Apa artinya? Dia kan menolak! Ketika aku secara kebetulan bertemu dengan dia di kantor redaksi Harian Kami, maka hal itu aku tanyakan kepadanya, “Goen, aku baca tulisanmu yang menolak Anugerah Seni itu. Bagus. Tapi aku dengar uang hadiahnya kauterima. Mengapa? “Habis perlu!” jawabnya pendek. Dia tidak perlu menjelaskan lebih jauh. Aku juga tidak bertanya lagi. Hanya dalam hati aku yakin bahwa menjadi manusia yang perkataan dan tindakannya selalu sejalan itu tidak mudah. (Dikutip dari buku “Hidup Tanpa Ijazah” Ajip Rosidi, halaman 421-422.)
2. Goenawan Memilih Endo Suanda karena istrinya Orang Amerika TERNYATA ketika aku baca berita tentang su-
sunan AJ yang baru, kedua orang yang aku calonkan itu masuk, tetapi namaku juga tercantum sebagai anggota. Jumlah anggota AJ bukan lagi sepuluh, melainkan 27 orang. Maka aku segera menulis surat kepada Iravati dan Rmadhan menanyakan, mengapa aku masuk padahal sudah menolak. Di samping itu juga aku menanyakan mengapa orang seperti Endo Suanda menjadi anggota AJ, padahal menurut pertimbangku prestasinya belum memadai. Kalau menjadi anggota DKJ mungkin bisa tetapi sebagi anggota AJ, aku anggap belum waktunya. Suratku itu tidak dibalas. Setelah aku pulang ke tanag air sebelum ke Pabelan, aku di Jakarta bertemu Atun dan Iravati. Aku bertanya mengapa aku dimasukkan juga menjadi anggota AJ padahal aku sudah menolaknya. “Bang Ali!” jawab Atun. “Bang Ali yang minta agar Ajip masuk menjadi anggota AJ. Kalau kau tidak suka, bicara saja sama Bang Ali.” “Kamu bagi kami sejak dulu juga sudah menjadi anggota AJ,” kata Iravati. Menurut dia, aku sudah diangkat menjadi anggota AJ pada tahun 2001 menggantikan Popo Iskandar anggota yang meninggal. Tapi aku tidak pernah diberi tahu soal itu. Tentang masuknya Endo Suanda, keterangan Atun ialah bahwa Goenawan Muhamad yang menjadi salah seorang Wakil Ketua AJ memasukkannya tanpa berkonsultasi dengan yang lain. Dia juga yang mengangkatnya menjadi Sekretaris. Atun sendiri menjadi Wakil Ketua AJ karena di AJ ada dua Wakil Ketua. Yang menjadi Ketua adalah Prof. Dr. H. Koesnadi Hardjasoemantri SH. “Apakah Pedoman Dasar mengenai AJ dirubah? Bukankah dulu AJ tidak punya Sekretasi?” tanyaku. “Pedoman Dasar akan dirubah. Untuk itu sudah ada Tim Tiga yaitu Goenawan Muhamad, Ignas, dan Endo. Dan AJ sudah menyediakan dananya, Rp 200 juta untuk perubahan Pedoman Dasar itu,” jawab Atun. “Aku dulu dua kali ikut membuat Pedoman Dasar Pusat Kesenian Jakarta, seingatku tidak ada biayanya. Kalau mau professional, mengapa tidak minta dibuatkan oleh ahlinya saja, misalnya kantor hukum Mochtar Kusuma-Atmadja atau Adnan Buyung Nasution? Kepada mereka mungkin kita bisa minta supaya gratis. Lagipula kalau Pedoman Dasar baru akan dirubah, mengapa sekretarisnya
sudah diangkat? Harusnya menunggu Pedoman Dasar dirubah dan disahkan Gubernur baru mengangkat sekretaris kalau dalam Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga yang baru memang diatur demikian.” “Memang harusnya begitu” Pada kesempatan lain waktu bercakap-cakap dengan Toeti Heraty mengenai AJ, dan tersinggung juga soal pengangkatan Endo, Toeti menerangkan bahwa Goenawan, Endo itu perlu sebab dia bisa memudahkan kalau nanti AJ mau meminta bantuan keuangan dari The Ford Foundation. Mendengar itu aku ingat bahwa istri Endo memang orang Amerika. Mungkin karena itu bisa memudahkan keluarnya bantuan dari The Ford Foundation. Tapi kalau benar demikian, alangkah anehnya kriteria untuk menjadi anggota AJ itu. (Dikutip dari buku “Hidup Tanpa Ijazah” Ajip Rosidi, halaman 1158 s/d 1159.)
3. Goenawan Menentang Pembangunan Masjid di TIM KAWAN-KAWAN sangat gembira ketika kusampaikan berita bahwa Gubernur setuju di lingkungan TIM dibangun masjid. Aku segera berangkat ke Bandung menemui Ir. Ahmad Noe’man yang dikenal sebagai “arsitek seribu masjid”, membuatkan desain masjid di TIM. Tidak semua kawan setuju di TIM akan dibangun masjid. Wahyu Sihombing misalnya, secara bergurau berkata, “Inikan komplek kesenian, kalau ada masjid nanti kiai-kiai ikut berkesenian, menari…..,” sambil tertawa. Yang kedua adalah Goenawan Mohamad. Dia sengaja meminta berbicara berdua denganku. Dia menanyakan tidaklah baik dibangun masjid di TIM karena TIM adalah komplek kesenian. Aku menyahut bahwa perlu ada masjid di TIM sebab pada hari Jumat banyak karyawan yang melaksanakan ibadah Jumat. “Kalau begitu harus didirikan gereja juga, dong,” katanya. “Untuk Apa?” “Kan ada juga karyawn yang Kristen,” jawabnya. “Tapi jumlahnya tidak banyak,” sahutku. ”Lagipula biasanya orang pergi ke gereja pada Ahad, sedang hari Ahad merekakan tidak masuk kerja. Mereka biasa pergi ke gereja dekat rumahnya. Di samping itu agama Kristen banyak sektenya yang masing-masing mempunyai gereja khusus. Apakah kita akan membangun gereja khusus buat semua sekte yang dipeluk oleh karyawan di sini?” (Dikutip dari buku “Hidup Tanpa Ijazah” Ajip Rosidi, halaman 666.)
djoernal sastra
boemipoetra 8 Edisi Agustus-Oktober 2011
Djedjak
Mengurai Pusat Komunitas Sastra1 Oleh : IWAN GUNADI Pengimbuhan nama komunitas sastra pada biografi para sastrawan generasi 1980an ke depan atau pada bagian identitas para sastrawan di akhir atau awal karya mereka yang dipublikasikan di suatu media cetak laksana pengimbuhan suatu otoritas. Artinya, nama itu memang punya wewenang dalam bidang tersebut. Ini seperti sebangun dengan kesan adanya otoritas ilmiah ketika seseorang mengidentifikasi dirinya sebagai alumnus suatu jenjang kesarjanaan tertentu pada akhir atau awal sebuah tulisan pada bidang yang berhubungan dengan gelar kesarjanaan tersebut, yang dipublikasikan suatu media cetak. Atau, ketika seseorang mengidentifikasi sebagai anggota suatu organisasi profesi tertentu yang memang membutuhkan gelar kesarjanaan tertentu untuk menjadi salah satu anggotanya. Misalnya, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), atau Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (Hiski). Kalau itu yang terjadi, boleh jadi, komunitas sastra menjadi semacam pemberi otoritas ilmiah.
K
ALAU tidak, minimal komunitas sastra da pat menjadi semacam pemberi otoritas praktis. Otoritas semacam ini selama ini biasanya “diberikan” oleh institusi formal terhadap anggota komunitasnya. Misalnya, seseorang yang tak memiliki latar belakang keilmuan tentang lingkungan menjadi anggota sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang lingkungan. Melalui LSM tersebut, ia banyak terlibat dalam pelbagai aktivitas pemeliharaan dan pengembangan lingkungan. Ia menguasai betul bidang yang digelutinya. Banyak orang mungkin sepakat bahwa ia memang tak punya otoritas ilmiah di bidang tersebut. Tapi, secara praktis, ia memilikinya. Karena itu, ia dianggap punya wewenang untuk berbicara atau menulis tentang bidang tersebut. Hal yang sama dikesankan dapat terjadi pada seseorang yang terlibat dalam komunitas sastra. Tapi tentu dengan catatan bahwa seseorang itu melewati prosedur sebagaimana yang dilewati seseorang yang terlibat di LSM tadi. Bila tidak, sangat mungkin yang muncul adalah otoritas semu yang terlalu dipaksakan atau direkayasa. Konsekuensi berikutnya adalah tong kosong yang nyaring bunyinya. Dalam kondisi pemaksaan atau perekayasaan itu, boleh jadi, yang muncul adalah kecenderungan seperti ini: seseorang yang merasa belum menjadi sastrawan menjadikan komunitas sastra sebagai “kendaraan” yang akan menyulapnya sebagai sastrawan. Komunitas sastra berperan sebagai legitimator status “kesastrawanan”. Atau, seseorang yang sudah merasa menjadi sastrawan menjadikannya sebagai “kendaraan” yang akan menguatkannya sebagai sastrawan besar. Besar di sini dapat bermakna sastrawan yang menghasilkan karya-karya bermutu tinggi, yang berpotensi memopulerkan namanya. Atau, besar juga dapat berarti nama besar yang dihasilkan dari politik sastra yang ditempuhnya, bukan lantaran karya-karyanya. Bahkan, boleh jadi, karya-karyanya tak seberapa atau bahkan bermutu rendah. Tapi, karena aktivitas politik sastranya lebih heboh, namanya menjadi besar dan terkenal. Fenomena semacam itu mengemuka lantaran tak sedikit komunitas sastra dibentuk dengan relasi yang tidak imbang antaranggotanya. Dalam bahasa politik, ia dikenal sebagai kekuasaan. Relasi yang tidak imbang tersebut mungkin lahir lantaran komunitas sastra itu sejak awal memang berfungsi sebagai sanggar atau wadah pembibitan atau pelatihan. Dalam kondisi demikian, potensi konflik antarkepentingan mungkin lebih kecil untuk terjadi atau bahkan tak ada celah. Sebab, komunitas semacam itu memang dibangun dengan kesadaran bahwa relasi antar anggotanya memang timpang
alias tidak imbang. Tak heran bila pihak yang terdominasi atau terhegemoni kekuasaan itu tak merasa dirugikan. Kekuasaan dengan citra positif sebagaimana dipahami Michel Foucault tampaknya cocok untuk kondisi seperti itu. Dalam relasi tak imbang seperti itu, biasanya, ada pemuka yang berperan sebagai pusat kekuasaan. Seluruh instrumen komunitas berputar dalam hegemoninya. Seluruh anggota komunitas biasanya berusaha mengidentifikasi diri sesuai dengan keinginan, pemikiran, dan sikap sang pemuka. Walaupun mungkin sang pemuka tak menghendaki hal-hal semacam itu terjadi, sikap feodalistik para anggota tak jarang membuat mereka sungkan atau “takut” mengidentifikasi diri menjadi sesuatu yang bertentangan dengan keinginan, pemikiran, dan sikap sang pemuka. “Takut” dinilai tak sopan, tak tahu diri, dan semacamnya seolaholah telah menjadi senjata yang dibikin mereka sendiri untuk membunuh keakuannya. Padahal, di sisi lain, di antara mereka banyak yang menyadari bahwa keakuan merupakan salah satu senjata kesenimanan, termasuk kesastrawanan. Kecenderungan seperti itu terjadi pada banyak komunitas besar. Ada seseorang yang menjadi as atau pusat. Semua orang yang ada di sekitar atau sekelilingnya mencoba mengidentifikasi diri seperti sang pusat. Tak heran kalau kemampuan kritis mereka terhadap sang pusat majal. Kalau hal ini terjadi, pertumbuhan dan perkembangan komunitas sastra selama 30-an tahun terakhir terasa paradoks. Di satu sisi, kehadiran pelbagai komunitas sastra itu seperti ingin menegasikan apa yang selama ini disebut pusat: Taman Ismail Marzuki di antara taman-taman kesenian lain, Jakarta di antara propinsi-provinsi lain, Majalah Horison di antara majalah-majalah lain atau Majalah Horison sebagai sebuah kesendirian, rubrik seni dan budaya Harian Kompas pada edisi Minggu di antara harianharian lain yang memiliki rubrik yang sama, dan seterusnya. Namun, di sisi lain, kehadiran pelbagai komunitas sastra seperti menciptakan pusat-pusat baru. Bedanya, pusat pertama bersifat institusional yang beragam. Karena itu, sifat acuannya pun samar. Karena acuannya samar, setiap proses kreatif yang mengacu kepadanya masih memiliki potensi keanekaan yang lebih luas. Sedangkan, pusat kedua bersifat personal individual. Karena itu, referennya tegas dan tunggal. Karenanya, setiap proses kreatif yang bertolak darinya memiliki peluang yang lebih sempit untuk menjadi penuh warna. Boleh jadi, hasil dari setiap proses kreatif itu hanyalah manifestasi dari isi kepala sang pusat atau varian-varian yang hanya sedikit ber-
beda dari karya-karya kreatif sang pusat. Kalau hal tersebut yang terjadi, pusat-pusat baru yang personal individual ini tentu “lebih berbahaya” untuk suatu kreativitas dan inovasitas. Sementara, bila relasi yang tidak imbang itu lahir bukan karena konsekuensi bentuk komunitas sastra, ketimpangan itu muncul biasanya lantaran pihak pendominasi atau penghegemoni memiliki kemampuan menjalin hubungan antarpersonal dan jaringan yang lebih luas. Ada juga memang sejumlah komunitas dengan hubungan antaranggota yang timpang karena pihak pendominasi atau penghegemoni memang memiliki pengetahuan sastra dan kemampuan menghasilkan karya sastra yang lebih baik. Tapi, yang terakhir ini tampaknya jauh lebih sedikit dari yang pertama. Komunitas sastra model pertama itu sendiri biasanya dibentuk lebih karena inisiatif pihak pendominasi atau penghegemoni. Dalam kondisi seperti itu, konflik antarkepentingan lebih berpeluang terjadi. Kalau hal ini mencuat, komunitas sastra tersebut terancam bubar. Ancaman yang sama juga dapat membayangi komunitas sastra yang bersandar pada satu figur tertentu sebagai pusat segalanya. Tapi, ancaman tersebut tak dilatarbelakangi konflik yang tajam antaranggota. Sebab, dalam komunitas dengan pusat satu tokoh tertentu, keberlangsungan hidup komunitas sastra cenderung tak dipengaruhi ada tidaknya konflik antaranggota. Apalagi bila konflik itu tak melibatkan sang pemuka atau sang pusat. Kalau hal itu terjadi dan kemudian diketahui sang pemuka—ia akan selalu tahu karena selalu saja ada orang yang loyal—sang pemuka akan berusaha mendamaikan konflik tersebut. Konfliks akan reda lebih karena wibawa dan kharisma sang pemuka. Bukan lantaran konflik telah terselesaikan secara tuntas. Kalau kemudian diketahui konflik belum selesai tuntas dan suatu saat muncul lagi, akhirnya, sang pemuka akan “mengeluarkan” orang yang dianggapnya salah atau membuat suasana yang memaksa orang tersebut keluar dengan sendirinya. Perlakuan yang sama juga akan diterima oleh anggota yang mencoba membuka konflik dengan sang pemuka, baik secara terbuka atau tertutup. Wibawa dan kharisma sang pemuka biasanya tak memungkinkan lahirnya konflik terbuka antara anggota dan sang pemuka. Yang lebih sering terjadi adalah konflik tertutup. Meski tertutup, sekali lagi, karena orang yang loyal selalu ada di sekeliling sang pemuka, konflik tertutup akan selalu terdeteksi oleh sang pemuka. Kalau hal itu terjadi, biasanya, si anggota akan mengundurkan diri dengan berbicara langsung dengan sang pemuka atau pergi secara diam-diam. Anggota seperti itu akan kerapkali berpikir, untuk apa saya tetap di sini kalau satu gagasan pun dari saya tak pernah dihiraukan atau dihargai. Namun, anggota pembangkang semacam itu memang makhluk langka dalam komunitas sastra dengan sentral tokoh yang berwibawa dan kharismatis. Sebab, setiap anggota yang masuk komunitas seperti itu tentu datang dengan niat untuk menggali pengetahuan sedalam-dalamnya dari sang pemuka. Pembelajaran semacam itu, baginya, hanya mungkin terlaksana dengan mulus bila ia tak menjadi pembangkang sang pemuka. Setiap anggota akhirnya memang menyimpan kesungkanan untuk berkonfrontasi dengan sang pemuka atau pendominasi. Setiap anggota cenderung manut alias taklid. Akhirnya, ancaman bubar bagi komunitas sastra semacam itu biasanya hanya muncul dari sang pemuka sendiri. Keberadaan komunitas sastra tetap akan terjaga dan bergairah selama sang pemuka tetap bergairah pula. Kalau sang pemuka tak lagi bergairah atau bahkan meninggal dunia, komunitas sastra itu dapat lebih dipastikan akan terancam bubar. Bubar biasanya tak berarti mati selama para mantan anggota masih ada dan berkiprah di dunia sastra. Mereka, terutama pihak pendominasi atau
Djedjak penghegemoni, cenderung tidak suka dengan kata mati tersebut. “Komunitas kami tak mati, tapi vakum untuk sementara,” kilahan mereka biasanya begitu. Padahal, yang dimaksud “vakum” di situ seringkali bermakna tak akan ada kegiatan lagi lantaran para anggota telah membentuk komunitas baru atau terlibat dengan komunitas lain. Relasi yang timpang itu tak jarang bukan hanya “merugikan” pihak terdominasi atau terhegemoni secara kognitif seperti itu, melainkan juga secara ekonomis. Sebab, biaya pelbagai kegiatan sastra yang diselenggarakan suatu komunitas sastra ditanggung bersama, misalnya. Tapi, “keuntungan” lebih banyak diperoleh oleh pihak pen-
dominasi atau penghegemoni. Contohnya saat suatu komunitas menerbitkan buku sastra. “Kerugian” mungkin kurang atau jarang dirasakan pihak terdominasi atau terhegemoni saat penerbitan buku antologi karya sastra bersama. Tapi, hal itu mungkin saja terjadi bila jatah karya sastra yang dimuat timpang antara pihak pendominasi atau penghegemoni dan pihak terdominasi atau terhegemoni. Atau, karya sastra pihak pendominasi atau penghegemoni tidak disertakan, tapi ia berperan dalam posisi yang lebih “tinggi”, penyunting atau pemberi kata pengantar. “Kerugian” makin membesar di pihak terdominasi atau terhegemoni bila buku antologi karya
djoernal sastra
boemipoetra 9 Edisi Agustus-Oktober 2011
sastra yang pertama diterbitkan suatu komunitas adalah karya tunggal pihak pendominasi atau penghegemoni. Apalagi, bila setelah itu, komunitas sastra itu “vakum” akibat muncul konflik antarkepentingan. Pengalaman semacam ini pernah menghinggapi sejumlah komunitas sastra.* Iwan Gunadi Pembaca Komunitas Sastra 1
(Footnotes) Tulisan ini merupakan satu bagian kecil dari tulisan panjang tentang komunitas sastra di Indonesia.
Puisi Imaji Merapi Oleh : BAMBANG WIDIATMOKO Gunung Merapi (3000 mdpl.) yang secara administratif terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki keistimewaan tersendiri. Dalam pandangan masyarakat Yogyakarta, Gunung Merapi terletak dalam garis imajiner yang terhubung dengan Tugu atau Pal Putih, Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Panggung Krapyak sampai dengan Parangkusuma di Pantai Selatan. Secara filosofis untuk memahami mitologi Gunung Merapi dapat dibagi menjadi dua jagat, yakni Jagat Alit dan Jagat Ageng. Jagat Alit dipahami untuk mengurai proses awal-akhir hidup dan kehidupan manusia dengan segala perilaku yang lurus dalam hakikat kehidupan manusia dan hubungannya dengan Sang Pencipta (Sangkan Paraning Dumadi). Jagat Ageng diyakini untuk mengurai tentang hidup dan kehidupan masyarakat sehingga mencapai kesempurnaan hidup (Manunggaling Kawula Gusti).
M
ASYARAKAT di sekitar Gunung Merapi meyakini bahwa pengalaman dalam kehidupannya sehari-hari telah melahirkan kearifan lokal. Kearifan lokal itu berupa mitos adanya penjaga Gunung Merapi yang gaib dan mistis. Mitos yang menjadi salah satu kearifan lokal itu membuat masyarakat di sekitar kawasan Gunung Merapi bertahan hidup dalam keharmonisan berdampingan dengan teknologi kegunungapian. Mitos itu disebarluaskan melalui cerita yang berkaitan erat dengan latar belakang tradisi lisan tentang siapa sosok gaib mistis Kyai Sapu Jagad, Empu Rama, Empu Ramadi, Krincing Wesi, Branjang Kawat, Sapu Angin, Mbah Lembang Sari, Mbah Nyai Gadhung Wikarti, Nyai Gadhung Melati, dan Kyai Megantoro. Nama tersebut menjadi mitos dan diyakini sebagai penguasa Gunung Merapi. Sehubungan dengan mitos tersebut, Kraton Yogyakarta Hadiningrat setiap tahun menyelenggarkan upacara Mitos Labuhan Merapi yang sarat mengandung makna simbolis, religius, dan magis. Kata labuhan dapat diinterpretasikan dari kata ‘pelabuhan’ yang berhubungan dengan kosmologis Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, dan dapat diartikan dari kata ‘larung’ yang artinya melarung atau membuang sesuatu ke dalam air yaitu sungai atau laut. Masyarakat yang tinggal di sekitar lereng Gunung Merapi berkedudukan sebagai makrokosmos (Jagat Ageng) dan Gunung Merapi sebagai lingkungan alam dan kehidupannya berkedudukan sebagai mikrokosmos (Jagat Alit). Hubungan timbal balik ini membuat masyarakat di lereng Gunung Merapi memiliki kearifan lokal dalam menjalani kehidupan sehari-hari sesuai dengan kepercayaan yang diyakininya. Lantas bagaimanakah jika seseorang merepresentasikan jagat ageng dan jagat alit seputar Gunung Merapi dalam bentuk puisi? Gunung Merapi diyakini dapat memberikan inspirasi dan imaji bagi penyair dan lantas membukukannya dalam antologi puisi berjudul Merapi Gugat, Antologi Puisi Etnik 13 Penyair. Ketiga belas penyair itu adalah Anisa Afsal, Arieyoko, Boedi Ismanto SA,
Gampang Prawoto, Hadi Lempe, Kurniawan Junaedhie, Nia Samsihono, Nunung Susanti, Ratu Ayu Neni Putra, Rini Intama, Soekamto, Susy Ayu, dan Sutirman Eka Ardhana. Buku terbitan Kosa Kata Kita, Jakarta, 20ll , setebal 157 halaman ini memuat puisi-puisi berbahasa Indonesia, Jawa, dan Sunda. Tentu kita bisa mempertanyakan apa sebenarnya yang disebut puisi etnik? Di dalam buku ini tidak terdapat penjelasan yang memadai, selain di dalam kata pengantar yang menjelaskan bahwa tercatat sebanyak 746 bahasa tradisi Indonesia yang kini nasibnya entah bagaimana. Erupsi Gunung Merapi, 26 Oktober 2010 menginspirasi Boedi Ismanto SA untuk menulis sajak berjudul “Merapi, 26 Oktober 2010”: tidak ada bulan, langit mendung pada malam hari itu, malam sehabis orang-orang mengabu, mimpi jadi kecemasan, dan kami, dari lereng hingga perkotaan, berjaga penuh sampai pagi, bencana sulit ditebak, seperti takdir meski bisa tapi siapa, kuasa memastikannya? merapi mengajar bersabar dalam doa dan ikhtiar, sebagaimana kalian di daerah musibah, ketika alam pun tengah tak ramah. Yogya, 2010 (hal. 32) Erupsi Gunung Merapi yang terjadi 26 Oktober 2010 meninggalkan luka yang mendalam bagi kita semua. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan mitos yang berkaitan dengan sosok juru kunci gunung Merapi yaitu Reden Ngabehi Surakso Hargo, sebutan nama yang diperoleh dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Surakso yang berarti penjaga dan Hargo artinya gunung. Penjaga Gunung Merapi yang lebih akrab dikenal dengan sebutan Mbah Maridjan itu kini telah meninggalkan kita untuk
selama-lamanya akibat terkena dampak letusan Gunung Merapi, 26 Oktober 2010 yang lalu. Mbah Maridjan (alm.) dikenal sebagai sosok fenomenal. Keteguhan sikap dan tanggung jawab atas keyakinan hati nurani secara modern mungkin dianggap naif. Cara kepergiannya menginspirasi banyak hal. Orang membuat penafsiran dan penilaian, menarik bahan belajar, di antaranya perlu bertemunya kearifan lokal dan pengamatan analisis-rasional, tradisionalitas dan modernitas. (Kompas, 31 Oktober 20l0, hal. 6). Boedi tidak secara khusus mengungkapkan adanya mitos yang berkaitan dengan Gunung Merapi. Tampaknya masih terbentang jarak sehingga imaji tentang dahsyatnya letusan Merapi tidak secara kuat menjiwai sajaknya. Posisi Boedi sebagai si aku lirik berada di luar lingkungan Merapi, sehingga dia hanya mampu menasihati masyarakat korban letusan Merapi://merapi mengajar bersabar/dalam doa dan ikhtiar, sebagaimana/kalian di daerah musibah, ketika alam/pun tengah tak ramah//. Nasihat yang secara umum dapat dikatakan oleh siapa saja, dari pejabat sampai ustadz. Berbeda jika seandainya penulis sajak adalah orang yang tinggal di sekitar lereng Gunung Merapi yang mengalami peristiwa itu, tentu penjiwaannya akan lebih kuat dan mendalam. Harry Aveling dalam komentarnya di cover belakang buku ini mengemukakan,. “Walaupun bahasa tidak bisa dipakai untuk menguasai alam raya ciptaan Yang Mahakuasa, manusia memang harus memakai bahasa dalam percobaannya untuk memahami dan merespon pada pengalamannya dalam dunia yang tetap bergolak.” Demikian pula yang diungkapkan Boedi melalui sajaknya berjudul “Di Barak Pengungsian”://di barak pengungsian, relawan membagi kebutuhan/sementara merapi, tengah diselesaikan tuhan// (hal. 37). Pendek dan menarik. Ungkapan “tengah diselesaikan tuhan” bermakna sangat panjang dan terkesan mengandung makna religius. Namun tidaklah relevan membeda-bedakan antara sifat religius dan bukan religius dalam memahami makna puisi tersebut dengan sikap sehari-hari masyarakat di sekitar Gunung Merapi. Sajak-sajak pendek dan menarik dapat kita temui dalam sajak Sutirman Eka Ardhana, seperti “Permintaan Subuh”. Susy Ayu dalam sajaknya “Tersulut”. Rini Intama berjudul “Pengungsi”, dan Nisa Samsihono dengan “Sajak Haiku”. Kita kutip “Sajak Haiku”: //Merasa sunyi/dalam dekapan rindu/hati meranggas//(Haiku-1, hal. 90) Tentu akan mengecewakan jika kita beranggapan bahwa keseluruhan puisi di dalam buku ini berbicara tentang Merapi. Sebut saja misalnya sajak Nia Samsihono berjudul “Acacia”. Nunung Susanti dengan sajaknya “Sega Jamblang”. Sutirman Eka Ardhana dengan sajak “Jalan Gondomanan, Menjelang Senja”. Susy Ayu dengan sajak “Seperti Makassar, Kini Kuterenggut Oleh Bisumu”. Soekamto dengan sajak “Permainan Luka: Semarang – Solo”. Beragam tema bisa kita temukan dalam antologi puisi Merapi Gugat ini.
djoernal sastra
boemipoetra 10 Edisi Agustus-Oktober 2011
Djedjak
Banyak fenomena menarik di seputar Gunung Merapi untuk ditulis dalam bentuk puisi. Misalnya fenomena tentang sosok yang disebut sebagai Kyai Petruk. Siapakah sosok mitos yang disebut Kyai Petruk? Ternyata muncul berita yang dimuat dan ditayangkan di pelbagai media massa. Seorang warga Magelang, Sugiharto, melihat sosok Kyai Petruk sebelum gunung Merapi meletus. Sosok itu berupa awan panas yang menyembul dari puncak Gunung Merapi yang menyerupai bentuk kepala Petruk, lelaki berhidung panjang. Konon masyarakat di sekitar lereng Merapi meyakini Petruk atau Kyai Petruk atau Mbah Petruk adalah jelmaan dari Sabdo Palon Naya Genggong, salah satu penasihat Prabu Brawijaya V yang pernah disia-siakan Kerajaan Demak. Sabdo Palon atau yang oleh masyarakat setempat disebut Mbah Petruk itu bersumpah suatu saat akan menagih janji pada penguasa tanah Jawa. Munculnya awan berbentuk Mbah Petruk ini meyakinkan warga bahwa letusan Gunung Merapi
akan besar. Kemunculan awan tersebut dimaknai sebagai pertanda dan peringatan agar masyarakat di lereng Gunung Merapi berhati-hati. Seperti nukilan sajak Sutirman Eka Ardhana berjudul “Senandung Merapi” berikut ini://inilah pedih tak terperi/awan panas menangkup bumi/anak-anak tak mampu sembunyi/hilang nyanyi/ratap pun tak terucap lagi//(hal. 149). Jika muncul pertanyaan mengapa penduduk lereng Merapi susah sekali diminta meninggalkan daerahnya untuk mengungsi berkaitan dengan bencana Gunung Merapi baik secara eksplosif (letusan) atau secara elusif (aliran)? Tentu jawabannya adalah adanya ikatan emosional yang kuat antara penduduk di lereng Gunung Merapi dengan keberadaan Gunung Merapi itu sendiri dalam hubungan timbal balik antara makrokosmos dan mikrokosmos. Penduduk lereng Gunung Merapi telah menjadi bagian dari Gunung Merapi dan sebaliknya Gunung Merapi telah menjadi bagian dari kehidupan kesehariannya.
Mitos dan kearifan lokal dalam kehidupan sehari-hari masyarakat lereng Gunung Merapi dengan kehadiran (folklor) makhluk-makhluk gaib penunggu Gunung Merapi membuat mereka dapat membaca “tanda-tanda” kapan Gunung Merapi bakal membahayakan kehidupan mereka, sehingga mereka harus mengungsi sesuai dengan anjuran dan kehadiran teknologi modern kegunungapian melalui Badan Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta. Seperti nukilan sajak Susy Ayu berjudul “Seorang Nenek Di Kaki Merapi, 2010”: //setelah seismologi dan laporan cuaca/setelah early warning system dan disaster management/seorang nenek bersikeras/ia tak beradu pendapat, ia diam/ mungkin ada yang tak kita mengerti/pejah gesang kersane Gusti//(hal. 137). Begitulah. Bambang Widiatmoko, penyair, dosen Universitas Mercu Buana, Jakarta
Doktor Plagiator, Kotor! GONJANG-GANJING terkuaknya penganugerahan gelar doktor honoris causa dari Universitas Indonesia (UI) kepada Raja Arab Saudi merembet juga pada penganugerahan gelar yang sama yang sudah diberikan kepada penyair Taufiq Ismail. Adalah Thamrin Tomagola, salah satu guru besar UI yang mengungkap bahwa ada dua Taufiq yang mendapat gelar doktor honoris causa. Yakni Taufiq Abdullah (sejarawan) dan Taufiq Ismail (sastrawan). Masih menurut Thamrin, anehnya gelar doktor (hc) untuk Taufiq Ismail direkomendasikan
oleh guru besar bidang teknik. Gonjang-ganjing sastrawan plagiat kini juga tengah ramai diperbincangkan kalangan sastrawan Indonesia. Apalagi boemipoetra pada edisi yang lalu yang mengungkap praktik plagiat yang dilakukan sastrawan yang bergelar doktor. Untuk polemik puisi yang diduga plagiat di ramaikan dengan munculnya tulisan Ilham Q Moehidin (Sejumlah Temuan dalam Telisik Literasi atas Polemik Plagiarisme Taufiq Ismail) dan kemudian disusul tulisan Akmal Nasery Basral (Dodolit Dodoltol-
stoy : Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010) Sampai saat ini boemipoetra belum mendapat sanggahan atau bantahan dari sastrawan yang diduga sebagai plagiator. Atau setidaknya klarifikasi apabila praktik penjiplakan itu tidak terjadi. Mungkin saja hanya kebetulan saja misalnya. Tapi yang jelas praktik penjiplakan karya sastra oleh sastrawan Indonesia sungguh kotor dan memalukan! Apalagi apabila praktik plagiat itu dilakukan oleh sastrawan bergelar DOKTOR!
boemipoetra dengan bangga dan tulus ikhlas memberi penghargaan
KAKUSLISTIWAAWARD Kepada
CERPEN DODOLIT DODOLIBRET Karya Doktor Seno Gumira Ajidarma (sebagai karya sastra yang lebih layak dibuang ke kakus/wc. Sebab sebagus apapun karya sastra jiplakan tetap lebih buruk dari sampah!
Sandjak
djoernal sastra
boemipoetra 11 Edisi Agustus-Oktober 2011
TAULADAN Betapa gembira bisa mengenalmu anak panah yang menancap di badan tak boleh dicabut sebelum tersempurnakan sujud karena cinta tak ada sakit. Tak ada lara Betapa gembira bisa mengenalmu tajam pedang yang merupakan jalan ajal tak jadi ditebaskan karena lawan telanjang rasa kasih tetap tertanam walau kepada lawan
Kusprihyanto Namma ELEGI ANGSA Angsa yang mati kutembak semalam subuh tadi kembali terbang mengisi awan paruhnya bagai pedang memotong sepotong rembulan di puncak bintang Menatap ketinggian aku melihat gambar-gambar langit ada gunung, ada pohon dan sarang-sarang juga laut yang menari bersama angsa yang mati kutembak semalam KABUT Begitu matahari muncul, kabut akan turun perlahan-lahan mengepung pepohonan memenuhi lembah dan hutan kerbau-sapi melenguh kedinginan Begitu kabut muncul, gunung tinggi menjulang akan lenyap sekejapan tak ada lagi sisa-sisa kegagahan selain suara tilang dan podang yang bertindihan IGAUAN RINDU
Betapa gembira bisa mengenalmu menyambut maut dengan senyuman HIKAYAT MAWAR Petikkan aku setangkai mawar, rayumu begitu melihat hamparan kembang menghias punggung kotaku tak lupa kau lilitkan lenganmu ke lingkar lenganku Aku pernah dirayu lebih hebat dari itu aku takkan terayu takkan kupetik mawar walau pasukan tangismu menyerbu menyeret dan menamparku Engkau tak tahu, bagaimana ibu memandangku KEMBANG & KUPU-KUPU Rahasia kembang terletak pada sayap kupu yang setia menjelajahi siang mengitari langit dan lenyap tanpa ada yang tahu di telaga mana ia menyelam di hutan mana ia tinggal
Sudah kuduga, engkau tak pernah tahu bahwa aku begitu mengharap tanganmu dan tanganku melekat di sebuah senja yang senyap
Kupu terbang tak semata-mata karena lapar ada rahasia yang tersimpan pada kedua sayapnya lintasan-lintasan sejarah masa lalu cinta dan kebencian yang membeku
Seikat kembang yang kutanam pada rambutmu Tak pernah mekar walau cuma selembar Segala rayu memetik layu Kepedihan! Bernyanyilah sepanjang waktu Agar sedihku tak menjadi ibu bagi sedihmu
LAWU
BUNGA ITU BERNAMA FERRA
Di puncak Lawu terbaring makam keramat dan sendang derajat sebagian pendaki niat ziarah lebih banyak yang ingin taklukkan Hargo Dumilah
Bunga itu bernama Ferra, lentik kuntumnya cantik nian Sebagaimana mawar, melati, kenanga, dan angsoka Harumnya juga menyebar ke sudut-sudut benoa Membangunkan para pangeran dengan kuda-kuda sembrana
Di puncak Lawu bermukim para pedagang Menjual makanan dan minuman Asal mengikut jalan setapak dan petunjuk jalak Takkan kau temui macannya yang galak
Di sebuah kebun bunga; seorang ibu ternyata berduka Menyaksikan tanamannya mengundang hama Cuma Ferra saja yang sebening embun, bahkan menari Dengan selendang duri mencapai gaib matahari
Kusprihyanto Namma penyair Kelahiran Ngawi, 30 Oktober 1965. Alumni FKIP-Univ. Sebelas Maret Surakarta, Guru Bahasa Indonesia MAN Ngawi, Pendiri Kelompok Peron FKIP-UNS Surakarta, Pimp. Teater Magnit Ngawi.
djoernal sastra
boemipoetra 12 Edisi Agustus-Oktober 2011
Sandjak
Herry Lamongan
AGUSTAV TRIONO
SINYAL SERATUS HARI
HUJAN MENGURUNGKU
dengan segala kereta siang mengeluh di rel penuh peluh engkau antar tilas luka itu melampaui seratus hari dan seratus hari lagi kota-kota semakin panas mengeras suara-suara lepas menimbun benih sajak-sajakku masih di sana stasiun masih pula sinyal, palang pintu, dan papan nama tapi jam tak menunggumu di peron hanya jejak tangan yang pernah lambai sebutir air mata dan cinta yang berantakan di lantai kita seperti telah berjumpa tapi pukul berapa engkau menangis apakah yang hendak pulih, sayangku kecuali robek air oleh gugur sebutir batu kita selalu tiba pada suasana lebih jauh daripada tempat-tempat yang pernah kita singgahi berlalu tanpa ada yang minta kita kembali
Hujan mengurungku dijalanan Kuterjang dengan hati pedang Nuju Rumah sunyiku Kini senyap beku Deras airMu masih terasa dingin Namun nikmat penuh hakekat Duhai kekasih Rinduku padaMu begitu menggoncang kalbu Pada sebuah kehangatan piatu
SEBUAH UJUNG inikah laut jawa di ujung paling timur pulau dimana pernah sidapaksa menyebabkan sungai wangi setelah menikam itu tubuh ia baringkan umur di air ia tengadahkan darah di muara inikah legenda dari pamor keris paling perih, seorang patih pernah melukis luka ke itu tubuh ia jenazahkan cuaca ia kekalkan dendang senyap istriku CATATAN PENAT sekolom lesung mengirim sayap pipitmu naik dokar menjelang siang ia masih meringkuk, barangkali tertidur semilir puting beliung membelaimu sejak berangkat kusir itu dengan dasi bercorak papan catur berhenti tepat di gerbang muka rumahku menurunkan bebanmu, kelepakmu yang penat tapi siapa telah membopongmu? kudapati engkau masih pejam saat sampai di serambi sajak-sajakku sekusir debat sia-sia memanggil senyummu tak ada yang menggendongmu tak ada tajuk puisi di suatu koran pagi Herry Lamongan karya-karyanya dimuat di: Panjebar Semangat, Jaya Baya, Djaka Lodang, Mekarsari, Berita Buana, Gadis dll. Antologi: Sang Penyair, Lamat, Surabaya Kotaku, Langkah, lan FP XII-1990, Lambaian Muara, Negeri Bayang-bayang, Bercermin Memecah Badai, Negeri Pantai, Rebana Kesunyian, dan sebagainya. Kumpulan puisi Jawa-nya: Kembang Saka Ketintang (1990), Pangastawa (1991), Ayang-ayang Wewayangan (1992), Kabar saka Bendulmrisi (2001), Gunem Suwung (2002).
Purwokerto,08 LURUH Air mataku memucat Mengurai cinta yang merembes dalam Dengan erang jiwa seluruh DihadapMu aku sungguh luruh Purwokerto,08 SIKLUS INI Seberapa dalamkah aku mengerti tentang siklus ini? Terus menggelinding tanpa tanding Menanda musabab pada tiap tahap Musim berputar Kemana ia hendak mengantar? Purwokerto,08 MARI BERSULANG Mari bersulang Nikmati jamuan ini malam Sekedar kopi pahit kehidupan Maaf ku tak bisa sajikan bir memabukan Arak,atau minuman kesejukan untuk kusajikan Sebab hutangku belum lunas terbayar Esok setelah kudapat uang lebih dari segala jerih Kan kuajak mampir tuk mabuk bersama Purwokerto 08 MENGHIKMATI MALAM Aku kembali pada hening ini Coba telusuri ruang Jarum jam detiknya bersahutan dengan detak jantung Mengurai makna malam Menghikmatinya dalam Apa guna dan daya kuperoleh
AGUSTAV TRIONO, tinggal di Jl. Jend.Soedirman 898 Purwokerto 53147. Sebagai Koordinator Komunitas Sastra Hujan Tak Kunjung Padam,Aktif di Teater TUBUH Purwokerto sebagai pengurus dan aktor.Tulisan-tulisannya pernah dimuat di Wawasan , Radar Banyumas, Penjebar Semangat, Majalah Ancas dan Majalah Islam SABILI.Menulis naskah teater dan menyutradarainya pada beberapa kelompok teater di Purwokerto.
Kritik Sastra
Sastra Jiplakan Oleh : Aliansi Kritikus Sastra Indonesia Sebagus apapun karya sastra tapi bila orisinalitas diragukan, apalagi nyata-nyata buah penjiplakan dari sastra orang lain maka karya sastra tersebut adalah sampah semata. Seperti cerpen “DODOLITDODOLITDODOLIBRET” yang ditulis Doktor Seno Gumira Ajidarma, seperti di bawah ini.
Dodolitdodolitdodolibret Cerpen Seno Gumira Ajidarma Kiplik sungguh mengerti, betapapun semua itu tentunya hanya dongeng. Mana ada orang bisa berjalan di atas air,” pikirnya. Namun, ia memang berpendapat bahwa jika seseorang ingin membaca doa, maka ia harus belajar membaca doa secara benar. ”BAGAIMANA mungkin doanya sampai jika kata-katanya salah,” pikir Kiplik, “karena jika katakatanya salah, tentu maknanya berbeda, bahkan jangan-jangan bertentangan. Bukankah buku Cara Berdoa yang Benar memang dijual di manamana?” Adapun dongeng yang didengarnya menyampaikan pesan, betapa siapa pun orangnya yang berdoa dengan benar, akan mampu berjalan di atas air. Kiplik memang bisa membayangkan, bagaimana kebesaran jiwa yang dicapai seseorang setelah mampu membaca doa secara benar, akan membebaskan tubuh seseorang dari keterikatan duniawi, dan salah satu perwujudannya adalah bisa berjalan di atas air. Namun, ia juga sangat sadar sesadar-sadarnya, pembayangan yang bagaimanapun, betapapun masuk akalnya, tidaklah harus berarti akan terwujudkan sebagai kenyataan, dalam pengertian dapat disaksikan dengan mata kepala sendiri. “Dongeng itu hanyalah perlambang,” pikirnya, “untuk menegaskan kebebasan jiwa yang akan didapatkan siapa pun yang berdoa dengan benar.” Justru karena itu, semenjak Kiplik memperdalam ilmu berdoa, kepada siapa pun yang ditemuinya, ia selalu menekankan pentingnya berdoa dengan benar. Adapun yang dimaksudnya berdoa dengan benar bukanlah sekadar kata-katanya tidak keliru, gerakannya tepat, dan waktunya terukur, selain tentu saja perhatiannya terpusat, melainkan juga
dengan kepercayaan yang mendalam dan tak tergoyahkan betapa sedang melakukan sesuatu yang benar, sangat benar, bagaikan tiada lagi yang akan lebih benar. Kebahagiaan yang telah didapatkannya membuat Kiplik merasa mendapatkan suatu kekayaan tak ternilai, dan karena itulah kemudian ia pun selalu ingin membaginya. Setiap kali ia berhasil membagikan kekayaan itu, kebahagiaannya bertambah, sehingga semakin seringlah Kiplik menemui banyak orang dan mengajarinya cara berdoa yang benar. Ternyata tidak sedikit pula orang percaya dan merasakan kebenaran pendapat Kiplik, bahwa dengan berdoa secara benar, bukan hanya karena cara-caranya, tetapi juga karena tahap kejiwaan yang dapat dicapai dengan itu, siapa pun akan mendapatkan ketenangan dan kemantapan yang lebih memungkinkan untuk mencapai kebahagiaan. Demikianlah akhirnya Kiplik pun dikenal sebagai Guru Kiplik. Mereka yang telah mengalami bagaimana kebahagiaan itu dapat dicapai dengan berdoa secara benar, merasa sangat berterima kasih dan banyak di antaranya ingin mengikuti ke mana pun Kiplik pergi. “Izinkan kami mengikutimu Guru, izinkanlah kami mengabdi kepadamu, agar kami dapat semakin mendalami dan menghayati bagaimana caranya berdoa secara benar,” kata mereka. Namun, Guru Kiplik selalu menolaknya.
djoernal sastra
boemipoetra 13 Edisi Agustus-Oktober 2011
“Tidak ada lagi yang bisa daku ajarkan, selain mencapai kebahagiaan,” katanya, “dan apalah yang bisa lebih tinggi dan lebih dalam lagi selain dari mencapai kebahagiaan?” Guru Kiplik bukan semacam manusia yang menganggap dirinya seorang nabi, yang begitu yakin bisa membawa pengikutnya masuk surga. Ia hanya seperti seseorang yang ingin membagikan kekayaan batinnya, dan akan merasa bahagia jika orang lain menjadi berbahagia karenanya. Demikianlah Guru Kiplik semakin percaya, bahwa berdoa dengan cara yang benar adalah jalan mencapai kebahagiaan. Dari satu tempat ke tempat lain Guru Kiplik pun mengembara untuk menyampaikan pendapatnya tersebut sambil mengajarkan cara berdoa yang benar. Dari kampung ke kampung, dari kota ke kota, dari lembah ke gunung, dari sungai ke laut, sampai ke negerinegeri yang jauh, dan di setiap tempat setiap orang bersyukur betapa Guru Kiplik pernah lewat dan memperkenalkan cara berdoa yang benar. Sementara itu, kadang-kadang Guru Kiplik terpikir juga akan gagasan itu, bahwa mereka yang berdoa dengan benar akan bisa berjalan di atas air. “Ah, itu hanya takhayul,” katanya kepada diri sendiri mengusir gagasan itu. Suatu ketika dalam perjalanannya tibalah Guru Kiplik di tepi sebuah danau. Begitu luasnya danau itu sehingga di tengahnya terdapatlah sebuah pulau. Ia telah mendengar bahwa di pulau tersebut terdapat orang-orang yang belum pernah meninggalkan pulau itu sama sekali. Guru Kiplik membayangkan, orang-orang itu tentunya kemungkinan besar belum mengetahui cara berdoa yang benar, karena tentunya siapa yang mengajarkannya? Danau itu memang begitu luas, sangat luas, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih luas, seperti lautan saja layaknya, sehingga Guru Kiplik pun hanya bisa geleng-geleng kepala. “Danau seluas lautan,” pikirnya, “apalagi yang masih bisa kukatakan?” Maka disewanya sebuah perahu layar bersama awaknya agar bisa mencapai pulau itu, yang konon terletak tepat di tengah danau, benar-benar tepat di tengah, sehingga jika pelayaran itu salah memperkirakan arah, pulau itu tidak akan bisa ditemukan, karena kedudukannya hanyalah bagaikan noktah di danau seluas lautan. Tiadalah usah diceritakan betapa lama dan susah payah perjalanan yang ditempuh Guru Kiplik. Namun, akhirnya ia pun sampai juga ke pulau tersebut. Ternyatalah bahwa pulau sebesar noktah itu subur makmur begitu rupa, sehingga penghuninya tiada perlu berlayar ke mana pun jua agar dapat hidup. Bahkan, para penghuninya itu juga tidak ingin pergi ke mana pun meski sekadar hanya untuk melihat dunia. Tidak terdapat satu perahu pun di pulau itu. “Jangan-jangan mereka pun mengira, bahwa dunia hanyalah sebatas pulau sebesar noktah di tengah danau seluas lautan ini,” pikir Guru Kiplik. Namun, alangkah terharunya Guru Kiplik setelah diketahuinya bahwa meskipun terpencil dan terasing, sembilan orang penduduk pulau sebesar noktah itu di samping bekerja juga tidak putusputusnya berdoa! “Tetapi sayang,” pikir Guru Kiplik, “mereka berdoa dengan cara yang salah.” Maka dengan penuh pengabdian dan perasaan kasih sayang tiada terkira, Guru Kiplik pun mengajarkan kepada mereka cara berdoa yang benar. Setelah beberapa saat lamanya, Guru Kiplik menyadari betapa susahnya mengubah cara berdoa mereka yang salah itu. Dengan segala kesalahan gerak maupun ucapan dalam cara berdoa yang salah tersebut, demikian pendapat Guru Kiplik, mereka justru seperti berdoa untuk memohon kutukan bagi diri mereka sendiri! “Kasihan sekali jika mereka menjadi terkutuk karena cara berdoa yang salah,” pikir Guru Kiplik. Sebenarnya cara berdoa yang diajarkan Guru
djoernal sastra
boemipoetra 14 Edisi Agustus-Oktober 2011
Kritik Sastra
Kiplik sederhana sekali, bahkan sebetulnya setiap kali mereka pun berhasil menirunya, tetapi ketika kemudian mereka berdoa tanpa tuntunan Guru Kiplik, selalu saja langsung salah lagi. “Jangan-jangan setan sendirilah yang selalu menyesatkan mereka dengan cara berdoa yang salah itu,” pikir Guru Kiplik, lagi. Guru Kiplik hampir-hampir saja merasa putus asa. Namun, setelah melalui masa kesabaran yang luar biasa, akhirnya sembilan orang itu berhasil juga berdoa dengan cara yang benar. Saat itulah Guru Kiplik merasa sudah tiba waktunya untuk pamit dan melanjutkan perjalanannya. Di atas perahu layarnya Guru Kiplik merasa bersyukur telah berhasil mengajarkan cara berdoa yang benar. “Syukurlah mereka terhindar dari kutukan yang tidak dengan sengaja mereka undang,” katanya
kepada para awak perahu. Pada saat waktu untuk berdoa tiba, Guru Kiplik pun berdoa di atas perahu dengan cara yang benar. Baru saja selesai berdoa, salah satu dari awak perahunya berteriak. “Guru! Lihat!” Guru Kiplik pun menoleh ke arah yang ditunjuknya. Alangkah terkejutnya Guru Kiplik melihat sembilan orang penghuni pulau tampak datang berlarilari di atas air! Guru Kiplik terpana, matanya terkejap-kejap dan mulutnya menganga. Mungkinkah sembilan penghuni pulau terpencil, yang baru saja diajarinya cara berdoa yang benar itu, telah begitu benar doanya, begitu benar dan sangat benar bagaikan tiada lagi yang bisa lebih benar, sehingga mampu bukan hanya berjalan, tetapi bahkan berlari-lari di
Bandingkan cerpen Seno Gumira Ajidarma tersebut dengan cerpen berjudul “THREE HERMITS” karya Leo Tolstoy seperti di bawah ini. Cerpen Leo Tolstoy sengaja tidak kami terjemahkan agar pembaca lebih leluasa mengambil kesimpulan.
Three Hermits by : LEO TOLSTOY 'And in praying use not vain repetitions, as the Gentiles do: for they think that they shall be heard for their much speaking. Be not therefore like unto them: for your Father knoweth what things ye have need of, before ye ask Him.' -- Matt. vi. 7, 8. A BISHOP was sailing from Archangel to the Solovétsk Monastery; and on the same vessel were a number of pilgrims on their way to visit the shrines at that place. The voyage was a smooth one. The wind favourable, and the weather fair. The pilgrims lay on deck, eating, or sat in groups talking to one another. The Bishop, too, came on deck, and as he was pacing up and down, he noticed a group of men standing near the prow and listening to a fisherman who was pointing to the sea and telling them something. The Bishop stopped, and looked in the direction in which the man was pointing. He could see nothing however, but the sea glistening in the sunshine. He drew nearer to listen, but when the man saw him, he took off his cap and was silent. The rest of the people also took off their caps, and bowed. ‘Do not let me disturb you, friends,’ said the Bishop. ‘I came to hear what this good man was saying.”The fisherman was telling us about the hermits,’ replied one, a tradesman, rather bolder than the rest.‘What hermits?’ asked the Bishop, going to the side of the vessel and seating him-
self on a box. ‘Tell me about them. I should like to hear. What were you pointing at?”Why, that little island you can just see over there,’ answered the man, pointing to a spot ahead and a little to the right. ‘That is the island where the hermits live for the salvation of their souls.’ ‘Where is the island?’ asked the Bishop. ‘I see nothing.’ ‘There, in the distance, if you will please look along my hand. Do you see that little cloud? Below it and a bit to the left, there is just a faint streak. That is the island.’ The Bishop looked carefully, but his unaccusomed eyes could make out nothing but the water shimmering in the sun. ‘I can-not see it,’ he said. ‘But who are the hermits that live there?’ ‘They are holy men,’ answered the fisherman. ‘I had long heard tell of them, but never chanced to see them myself till the year before last.’ And the fisherman related how once, when he was out fishing, he had been stranded at night upon that island, not knowing where he was. In the morning, as he wandered about the island, he came across an earth hut, and met an old man standing near it. Presently two others came out, and after having fed him, and dried his things, they helped him mend his boat. ‘And what are they like?’ asked the Bishop. ‘One is a small man and his back is bent. He wears a priest’s cassock and is very old; he must be more than a hundred, I should say. He is
atas air? Sembilan orang penghuni pulau terpencil itu berlari cepat sekali di atas air, mendekati perahu sambil berteriak-teriak. “Guru! Guru! Tolonglah kembali Guru! Kami lupa lagi bagaimana cara berdoa yang benar!” Ubud, Oktober 2009 / Kampung Utan, Agustus 2010. *) Cerita ini hanyalah versi penulis atas berbagai cerita serupa, dengan latar belakang berbagai agama di muka bumi. Cerpen ini pernah dimuat di Harian Umum Kompas pada Minggu, 26 September 2010
so old that the white of his beard is taking a greenish tinge, but he is always smiling, and his face is as bright as an angel’s from heaven. The second is taller, but he also is very old. He wears tattered, peasant coat. His beard is broad, and of a yellowish grey colour. He is a strong man. Before I had time to help him, he turned my boat over as if it were only a pail. He too, is kindly and cheerful. The third is tall, and has a beard as white as snow and reaching to his knees. He is stern, with overhanging eyebrows; and he wears nothing but a mat tied round his waist.’ ‘And did they speak to you?’ asked the Bishop. ‘For the most part they did everything in silence and spoke but little even to one another. One of them would just give a glance, and the others would understand him. I asked the tallest whether they had lived there long. He frowned, and muttered something as if he were angry; but the oldest one took his hand and smiled, and then the tall one was quiet. The oldest one only said: “Have mercy upon us,” and smiled.’ While the fisherman was talking, the ship had drawn nearer to the island. ‘There, now you can see it plainly, if your Grace will please to look,’ said the tradesman, pointing with his hand. The Bishop looked, and now he really saw a dark streak — which was the island. Having looked at it a while, he left the prow of the vessel, and going to the stern, asked the helmsman: ‘What island is that?’ ‘That one,’ replied the man, ‘has no name. There are many such in this sea.’ ‘Is it true that there are hermits who live there for the salvation of their souls?’ ‘So it is said, your Grace, but I don’t know if it’s true. Fishermen say they have seen them; but of course they may only be spinning yarns.’ ‘I should like to land on the island and see these men,’ said the Bishop. ‘How could I manage it?’ ‘The ship cannot get close to the island,’ replied the helmsman, ‘but you might be rowed there in a boat. You had better speak to the captain.’ The captain was sent for and came. ‘I should like to see these hermits,’ said the Bishop. ‘Could I not be rowed ashore?’ The cap-tain tried to dissuade him. ‘Of course it could be done,’ said he, ‘but we should lose much time. And if I might venture to say so to your Grace, the old men are not worth your pains. I have heard say that they are foolish old fellows, who understand nothing, and never speak a word, any more than the fish in the sea.’ ‘I wish to see them,’ said the Bishop, ‘and I will pay you for your trouble and loss of time. Please let me have a boat.’ There was no help for it; so the order was given. The sailors trimmed the sails, the steersman put up the helm, and the ship’s course was set for the island. A chair was placed at the prow for the Bishop, and he sat there, looking ahead.
Kritik Sastra The passengers all collected at the prow, and gazed at the island. Those who had the sharpest eyes could presently make out the rocks on it, and then a mud hut was seen. At last one man saw the hermits themselves. The captain brought a telescope and, after looking through it, handed it to the Bishop. ‘It’s right enough. There are three men standing on the shore. There, a little to the right of that big rock.’ The Bishop took the telescope, got it into position, and he saw the three men: a tall one, a shorter one, and one very small and bent, standing on the shore and holding each other by the hand. The captain turned to the Bishop. ‘The vessel can get no nearer in than this, your Grace. If you wish to go ashore, we must ask you to go in the boat, while we anchor here.’ The cable was quickly let out, the anchor cast, and the sails furled. There was a jerk, and the vessel shook. Then a boat having been lowered, the oarsmen jumped in, and the Bishop descended the ladder and took his seat. The men pulled at their oars, and the boat moved rapidly towards the island. When they came within a stone’s throw they saw three old men: a tall one with only a mat tied round his waist: a shorter one in a tattered peasant coat, and a very old one bent with age and wearing an old cassock — all three standing hand in hand. The oarsmen pulled in to the shore, and held on with the boathook while the Bishop got out. The old men bowed to him, and he gave them his benediction, at which they bowed still lower. Then the Bishop began to speak to them. ‘I have heard,’ he said, ‘that you, godly men, live here saving your own souls, and praying to our Lord Christ for your fellow men. I, an unworthy servant of Christ, am called, by God’s mercy, to keep and teach His flock. I wished to see you, servants of God, and to do what I can to teach you, also.’ The old men looked at each other smiling, but remained silent. ‘Tell me,’ said the Bishop, ‘what you are doing to save your souls, and how you serve God on this island.’ The second hermit sighed, and looked at the oldest, the very ancient one. The latter smiled, and said: ‘We do not know how to serve God. We only serve and support ourselves, serant of God.’ ‘But how do you pray to God?’ asked the Bishop. ‘We pray in this way,’ replied the hermit. ‘Three are ye, three are we, have mercy upon us.’ And when the old man said this, all three raised their eyes to heaven, and repeated: ‘Three are ye, three are we, have mercy upon us!’ The Bishop smiled. ‘You have evidently heard something about the Holy Trinity,’ said he. ‘But you do not pray aright. You have won my affection, godly men. I see
you wish to please the Lord, but you do not know how to serve Him. That is not the way to pray; but listen to me, and I will teach you. I will teach you, not a way of my own, but the way in which God in the Holy Scriptures has commanded all men to pray to Him.’ And the Bishop began explaining to the hermits how God had revealed Himself to men; telling them of God the Father, and God the Son, and God the Holy Ghost. ‘God the Son came down on earth,’ said he, ‘to save men, and this is how He taught us all to pray. Listen and repeat after me: “Our Father.“‘ And the first old man repeated after him, ‘Our Father,’ and the second said, ‘Our Father,’ and the third said, ‘Our Father.’ ‘Which art in heaven,’ continued the Bishop. The first hermit repeated, ‘Which art in heaven,’ but the second blundered over the words, and the tall hermit could not say them properly. His hair had grown over his mouth so that he could not speak plainly. The very old hermit, having no teeth, also mumbled indistinctly. The Bishop repeated the words again, and the old men repeated them after him. The Bishop sat down on a stone, and the old men stood before him, watching his mouth, and repeating the words as he uttered them. And all day long the Bishop laboured, saying a word twenty, thirty, a hundred times over, and the old men repeated it after him. They blundered, and he corrected them, and made them begin again. The Bishop did not leave off till he had taught them the whole of the Lord’s prayer so that they could not only repeat it after him, but could say it by themselves. The middle one was the first to know it, and to repeat the whole of it alone. The Bishop made him say it again and again, and at last the others could say it too. It was getting dark, and the moon was appearing over the water, before the Bishop rose to return to the vessel. When he took leave of the old men, they all bowed down to the ground before him. He raised them, and kissed each of them, telling them to pray as he had taught them. Then he got into the boat and returned to the ship. And as he sat in the boat and was rowed to the ship he could hear the three voices of the hermits loudly repeating the Lord’s prayer. As the boat drew near the vessel their voices could no longer be heard, but they could still be seen in the moonlight, standing as he had left them on the shore, the shortest in the middle, the tallest on the right, the middle one on the left. As soon as the Bishop had reached the vessel and got on board, the anchor was weighed and the sails unfurled. The wind filled them, and the ship sailed away, and the Bishop took a seat in the stern and watched the island they had left. For a time he could still see the hermits, but presently they disappeared from sight, though the island was still visible. At last it too vanished, and only the sea was to be seen, rippling in the moonlight. The pilgrims lay down to sleep, and all was
djoernal sastra
boemipoetra 15 Edisi Agustus-Oktober 2011
quiet on deck. The Bishop did not wish to sleep, but sat alone at the stern, gazing at the sea where the island was no longer visible, and thinking of the good old men. He thought how pleased they had been to learn the Lord’s prayer; and he thanked God for having sent him to teach and help such godly men. So the Bishop sat, thinking, and gazing at the sea where the island had disappeared. And the moonlight flickered before his eyes, sparkling, now here, now there, upon the waves. Suddenly he saw something white and shining, on the bright path which the moon cast across the sea. Was it a seagull, or the little gleaming sail of some small boat? The Bishop fixed his eyes on it, wondering. ‘It must be a boat sailing after us,’ thought he ‘but it is overtaking us very rapidly. It was far, far away a minute ago, but now it is much nearer. It cannot be a boat, for I can see no sail; but whatever it may be, it is following us, and catching us up.’ And he could not make out what it was. Not a boat, nor a bird, nor a fish! It was too large for a man, and besides a man could not be out there in the midst of the sea. The Bishop rose, and said to the helmsman: ‘Look there, what is that, my friend? What is it?’ the Bishop repeated, though he could now see plainly what it was — the three hermits running upon the water, all gleaming white, their grey beards shining, and approaching the ship as quickly as though it were not morning. The steersman looked and let go the helm in terror. ‘Oh Lord! The hermits are running after us on the water as though it were dry land!’ The passengers hearing him, jumped up, and crowded to the stern. They saw the hermits coming along hand in hand, and the two outer ones beckoning the ship to stop. All three were gliding along upon the water without moving their feet. Before the ship could be stopped, the hermits had reached it, and raising their heads, all three as with one voice, began to say: ‘We have forgotten your teaching, servant of God. As long as we kept repeating it we remembered, but when we stopped saying it for a time, a word dropped out, and now it has all gone to pieces. We can remember nothing of it. Teach us again.’ The Bishop crossed himself, and leaning over the ship’s side, said: ‘Your own prayer will reach the Lord, men of God. It is not for me to teach you. Pray for us sinners.’ And the Bishop bowed low before the old men; and they turned and went back across the sea. And a light shone until day-break on the spot where they were lost to sight. This story in many ways illustrates a very central aspect of the Orthodox Christian tradition, that of pure prayer of the heart, beyond words and transformation through direct encounter with God.
M
UNGKIN bila mengkritik kami kadang terlalu keras, tajam, dan blak-blakan, sungguh kami sama sekali tidak bermaksud melukai siapapun. Kami hanya ingin menegakkan kebenaran dan kejujuran dalam bersastra. Mungkin bila memegang prinsip dan mempertahankan pendapat kami terlalu teguh dan keras pendirian, fakta-fakta yang kami ungkap mungkin juga membuat membuat beberapa pihak kurang berkenan, tapi semua itu kami lakukan penuh kesadaran dan keiklasan demi KEHIDUPAN KESUSASTRAAN INDONESIA YANG SEHAT DAN DINAMIS.
SELAMAT IDUL FITRI Mohon Maaf Lahir dan Batin salam, boemipoetra
djoernal sastra
boemipoetra 20 Edisi Agustus-Oktober 2011
Tjerpen
Menjelang Jatuh Cerpen Negarawan Sastra
L
ELAKI itu memandangi mangga yang sudah masak itu dan berharap tak segera jatuh. Ia ingin mangga itu benar-benar matang. Ia tak bermaksud mengunduhnya buru-buru, meski orang-orang sekelilingnya menginginkan sebaliknya. Lelaki yang berperawakan tinggi besar itu kini lebih senang duduk di kursi goyangnya. Setiap hari ia ingin memastikan kursi kesayangan yang ia perjuangkan dengan segala cara itu benar-benar masih kuat dan tak ada orang lain mencoba mendudukinya. Di kursi itu, sambil menjaga mangga yang tak diharap jatuh itu ia biasa latihan deklamasi menjelang berpidato di televisi. Ia berlatih bagaimana cara mengeluh kepada penonton te-
levisi atau cara mengemis belas kasih. Di kursi itu pula kebohongan-kebohongan ia rancang untuk kemudian dijelmakan agar menjadi kebenaran. Kursi itu juga menjadikannya ahli menutup kebohongan lama dengan kebohongan baru. Kursi itu sungguh sangat berarti baginya. Tetapi sesungguhnya ia sangat berharap bisa lebih banyak tidur tanpa kursi itu berhenti bergoyang. Dengan kursi terus bergoyang orangorang akan mengira ia tak pernah berhenti bekerja siang-malam. Maka diikatlah kaki kursi itu di satu ujung dan kaki anjing di ujung yang lain. Rupanya upaya itu tak sia-sia. Kini ia bisa tidur pulas sembari ngorok kapan saja. Badannya pun melar seperti kerbau meski ia tak
SRI
mau para pendemo menyamakannya dengan binatang bodoh itu. Ia juga tetap punya alasan untuk meyakinkan orang-orang bahwa ia telah bekerja siang-malam, berharap orang-orang terus bersabar dan memaklumi gajinya yang tidak naik-naik. Entah mengapa belakangan ini ia mulai merasa tak nyaman lagi duduk di kursi itu. Ia merasa pantatnya ditusuk-tusuk ketika ia duduk sambil berlatih pidato untuk acara televisi. Pernah suatu ketika, saat ia mengarang lagu tibatiba salah satu kaki kursi itu patah. Beruntung ia tak sampai jatuh. Bila sudah begitu ia lantas menghitung kapan peristiwa itu terjadi. Tanggal berapa? Jam berapa? Wage atau Kliwon? Ia pun mengaitkannya dengan pesan singkat (sms) tentang dirinya atau rumor yang beredar di televisi tentang korupsi yang ia lakukan. Ia pun buru-buru berpidato di televisi untuk bersandiwara. Ia lupa bahwa acara-acara di televisi sekarang ini ternyata sudah banyak yang jauh lebih menarik dari pidato sandiwaranya itu. Orang-orang pun tak lagi memercayai omongannya dan perlahan mulai mengabaikannya. Tak sedikit yang menganggap omongannya sebagai kentut! Kini, dari waktu ke waktu, popularitasnya kian jeblok! Orang-orang lebih percaya bahwa sesungguhnya mereka selama ini telah salah memilih pembohong sebagai pemimpin mereka. Orang-orang semakin sadar bahwa ia yang biasa berpidato di televisi dengan gaya deklamasi itu ternyata otak segala kecurangan, bos segala maling, sumber segala mafia, dan sumber segala bencana! Lelaki itu mulai gundah karena kursi kesayangannya mulai rapuh. Apalagi mangga yang selama ini tak diharapkannya jatuh kini tinggal biji membusuk teronggok di sudut tempat sampah. Lelaki itu merasa memiliki firasat yang tidak baik. Ia merasa akan jatuh bila terus duduk di kursi itu. Apalagi anjing yang kakinya biasa menggoyang kaki kursi itu mulai sulit dikendalikan. Kini, adik iparnya ikut menjaga kursi itu ketika ia akan berpidato di televisi. Ia telah mencium munculnya Brutus-Brutus baru menjelang kejatuhannya. Demi citra yang sudah terlanjur didewakannya, keinginannya kini hanya agar ia tetap bisa duduk di kursi goyang, berpidato di televisi, dan berkaraok dengan biaya negara.(*)
OBRAL DOKTOR
Di sela rapat persiapan Jilfest beberapa waktu lalu sastrawan asyik ngobrol di sudut PDS HB Jassin. Penyair : Kau sudah baca ada Partai SRI belum? Cerpenis : Partai kok kaya nama perempuan saja. Penyair : Memang itu dipersiapkan untuk kendaraan perempuan jadi presiden. Cerpenis : Maksudmu Sri yang Koruptor itu? Sri yang IMF dan antek Amerika itu? Penyair : Siapa lagi. Cerpenis : Berarti SRI singkatan Serikat Revitalisasi (Antek) Imperialis ya? Bagus itu. Jadi gampang kita. Penyair : Kok malah bagus dan gampang? Cerpenis : Ya iyalah, semakin kelihatan mana antek imperialis dan mana yang bukan.
APAKAH Anda diktator, koruptor, plagiator, komparador, provokator, tidak masalah. Karena kami siap memberikan gelar DOKTOR. Proses mudah dan cepat, bisa selesai kurang dari satu jam. Harga damai. Bisa barter, bisa dipesan, tanpa perantara, bisa diantar dan dijemput. Tertanda Rektor Universitas di Indonesia
DIJAMIN DIDJAMIN BERTANGGUNG BERTANGGOENG JAWAB DJAWAB
DI SINI TOEAN DI SINI DAN ANDA NJONJA BEBAS BEBAS TERTAWA: TERTAWA: