PENDAHULUAN
I. 1. Latar Belakang
Komoditas hortikultura merupakan komoditas yang sangat prospektif untuk dikembangkan melalui usaha agribisnis, mengingat potensi serapan pasar di dalam negeri dan pasar internasional terus meningkat. Komoditas hortikultura, khususnya sayuran mempunyai beberapa peranan strategis, yaitu: (1) sumber bahan makanan bergizi bagi masyarakat yang kaya akan vitamin dan mineral; (2) sumber pendapatan dan kesempatan kerja, serta kesempatan berusaha; (3) bahan baku agroindustri; dan (4) sebagai komoditas potensial ekspor yang merupakan sumber devisa negara; dan (5) pasar bagi sektor non pertanian, khususnya industri hulu. Indonesia memiliki berbagai jenis tanaman sayuran unggulan yang diproduksi di berbagai wilayah. Produksi tanaman sayuran di Indonesia sangat berfluktuasi, terdapat beberapa jenis sayuran mengalami peningkatan produksi, tetapi ada pula sayuran yang mengalami penurunan produksi setiap tahunnya. Perkembangan produksi sayuran di Indonesia selama kurun waktu lima tahun terakhir yaitu 2009-2013 terdapat pada tabel sebagai berikut. Tabel 1. 1 Perkembangan Produksi (Ton) Sayuran di Indonesia Tahun 20092013 No. 1
Komoditas
Bawang Merah 2 Bawang Putih 3 Bawang Daun 4 Kentang Kubis 5 Kubis 6 Kembang Kol 7 Petsai/Sawi 8 Wortel 9 Lobak 10 Kacang Merah 11 Kacang Panjang 12 Cabe Besar 13 Cabe Rawit 14 Paprika 15 Jamur 16 Tomat 17 Terung
2009 965.164
2010 1.048.934
Tahun 2011 893.124
2012 964.195
2013 1,010,773
15.419 515.419 1.176.304 1.358.113 96.038 562.838 358.014 29.759 110.051
12.295 541.374 1.060.805 1.385.044 101.205 583.770 403.827 32.381 116.397
14.749 526.774 955.488 1.363.741 113.491 580.969 526.917 27.279 92.508
17.630 596.805 1.094.232 1.450.037 135.824 594.911 465.527 39.048 93.409
15,766 579,973 1,124,282 1,480,625 151,288 635,728 512,112 32,372 103,376
483.793
489.449
458.307
455.562
450,859
787.433 591.294 4.462 38.465 853.061 451.564
807.160 521.704 5.533 61.376 891.616 482.305
888.852 594.227 13.068 45.854 954.046 519.481
954.310 702.214 8.610 40.886 893.463 518.787
1,012,879 713,502 6,833 44,565 992,780 545,646
1
18 19 20 21 22
Buncis Mentimun Labu Siam Kangkung Bayam
290.993 583.139 321.023 360.992 173.750
336.494 547.141 369.846 350.879 152.334
334.659 521.535 428.197 355.466 160.513
322.097 511.485 428.061 320.093 155.070
327,378 491,636 387,617 308,477 140,980
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013 Tabel 1.1 menunjukkan bahwa perkembangan produksi sayuran di Indonesia tertinggi yaitu kubis. Kubis merupakan salah satu produk pertanian yang sangat banyak dibutuhkan sebagian besar masyarakat. Produksi kubis selain untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri juga merupakan komoditas ekspor yang termasuk kelompok enam besar sayuran komoditi ekspor unggulan Indonesia (Rukmana, 1994). Sayuran merupakan produk pertanian yang dikonsumsi setiap saat, sehingga mempunyai nilai komersial yang cukup tinggi. Salah satu jenis sayuran daun yang cukup popular dan banyak diusahakan para petani di daerah sentra produksi sayuran dataran tinggi adalah tanaman kubis (Brassica oleracea var. capitata). Kubis banyak dibudidayakan di daerah tropis seperti Indonesia, sampai saat ini berasal dari daerah beriklim dingin atau berhawa sejuk. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila kubis di Indonesia
umumnya
diusahakan
secara
intensif
di
dataran
tinggi
(pegunungan) mulai ketinggian 800 meter diatas permukaan laut (dpl), dan yang mempunyai penyebaran hujan yang cukup setiap tahunnya. Kebutuhan masyarakat terhadap kubis akan terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan daya belinya. Kebutuhan pangan dapat terpenuhi dari bermacam-macam hasil pertanian, salah satunya adalah melalui konsumsi sayuran. Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) (2013), perkembangan konsumsi kubis selama periode 2009-2013 terlihat berfluktuasi, secara umum rata-rata konsumsi rata-rata sebesar 1,543 kg/kapita/tahun. Penurunan terbesar terjadi di tahun 2012 dimana
konsumsi
dalam
rumah
tangga
kubis
turun
sekitar
0,365
kg/kapita/tahun. Prediksi yang dilakukan untuk tahun 2014 konsumsi kubis di tingkat rumah tangga akan mengalami sedikit peningkatan yaitu menjadi 1,408 kg/kapita/tahun dibandingkan tahun 2013 secara rinci dapat dilihat pada tabel sebagai berikut.
2
Tabel 1. 2 Perkembangan Konsumsi Kubis/Kol dalam Rumah Tangga di Indonesia Tahun 2009-2013
Tahun
Konsumsi Seminggu (kg/kapita/minggu) 2009 0,030 2010 0,031 2011 0,035 2012 0,028 2013 0,024 Rata-rata 0,030 2014*) 0,027 Sumber :Susenas, BPS Keterangan : *) Angka Prediksi Pusdatin
Konsumsi Setahun (kg/kapita/tahun) 1,564 1,616 1,825 1,460 1,251 1,543 1,408
Kubis merupakan sayuran yang mempunyai peran penting untuk kesehatan manusia. Kubis banyak mengandung vitamin dan mineral yang sangat dibutuhkan tubuh manusia. Sebagai sayuran kubis dapat membantu pencernaan, menetralkan zat-zat asam (Pracaya, 2001). Kubis tidak dapat dilepaskan dari berbagai hidangan kuliner yang ada di Indonesia, hampir semuanya menggunakan kubis sebagai bahan bakunya, seperti salad, mi jawa, cap cay dan lainnya. Semakin berkembangnya industri makanan jadi, maka akan terkait pula peningkatan kebutuhan terhadap kubis yang berperan sebagai salah satu bahan pembantunya. Agar kebutuhan kubis selalu terpenuhi maka harus diimbangi dengan jumlah produksinya maka petani dituntut untuk mengelola usahataninya agar produksi yang diperoleh lebih tinggi dan pendapatan yang diperoleh menjadi lebih besar. Pengembangan sayuran, khususnya kubis sebagai sayuran dataran tinggi memerlukan penanganan yang khusus sejak pra sampai pasca panennya. Kubis dikategorikan sebagai jenis sayuran yang memiliki risiko kegagalan produksi paling tinggi yang dikaitkan dengan risiko kehilangan hasil panen akibat serangan hama cukup tinggi yakni dapat mencapai 100% oleh Pluttela xylostella (Rukmana, 1994). Kerusakan yang dihasilkan sangat khas, pada daun akan terbentuk suatu lubang
3
dengan diameter 0,5 cm sehingga daun berlubang-lubang dan apabila serangan cukup berat, tanaman kubis gagal membentuk krop dan gagal panen. Oleh karena itu, penerapan sistem usahatani kubis sangat diperlukan, sehingga pendapatan yang diperoleh petani kubis menjadi lebih baik. Sampai saat ini pengembangan sayuran kubis sebagian besar masih dilakukan secara tradisional pada skala pemilikan lahan yang relatif kecil dan belum adanya upaya penanganan panen dan pasca panen dengan baik. Hal ini mengakibatkan produktivitas menjadi rendah dan tidak memberikan pendapatan yang optimal bagi petani. Salah satu daerah penghasil kubis di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.3 bahwa produksi kubis tertinggi yaitu propinsi Jawa Tengah dibandingkan dengan propinsi lainnya, sehingga Jawa Tengah merupakan sentra penghasil kubis di Indonesia. Tabel 1. 3 Perkembangan Produksi Kubis (Ton) di Indonesia Tahun 2009-2013
Propinsi Bengkulu Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Sumatera Utara
2009 47.866 298.332 348.616 197.985 210.239
2010 76.772 286.647 383.686 181.344 196.718
Tahun 2011 73.865 270.780 384.685 182.899 173.565
2012 69.065 301.241 370.599 236.816 180.162
2013 102.013 319.492 398.318 197.475 165.589
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) dan Direktorat Jenderal Hortikultura, 2013
Salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah adalah Kabupaten Magelang merupakan penghasil kubis terbesar kedua setelah Kabupaten Banjarnegara (Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jawa Tengah, 2013). Tanaman kubis banyak dijadikan sebagai komoditi utama oleh petani untuk meningkatkan pendapatan. Perkembangan luas panen, produktivitas dan produksi tanaman kubis di Kabupaten Magelang dari tahun 2009 sampai dengan 2013 dapat dilihat pada tabel 1.4. Berdasarkan
Tabel 1.4 keadaan luas panen, produksi, dan produktivitas
berfluktuasi dari tahun ke tahun. Penurunan terbesar pada tahun 2013 luas panen yang ditanami kubis seluas 2.704 ha dengan produksi mencapai 50.683,1 ton. Tabel 1. 4 Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Kubis di Kabupaten Magelang Tahun 2009-2013
4
Tahun
Luas Panen (Ha)
Produktivitas (Ton/Ha) 18,07 18,08 18,91 20,33 18,74 Perkebunan dan Kehutanan
Produksi (Ton)
2009 3.689 66.645,5 2010 3.866 69.8940 2011 3.871 73.203,8 2012 3.293 66.931,4 2013 2.704 50.683,1 Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Kabupaten Magelang, 2013
Salah satu kecamatan yang menghasilkan produksi kubis tertinggi di Kabupaten Magelang adalah Kecamatan Pakis dapat dilihat pada Tabel 1.5. Perkembangan produksi kubis berfluktuasi, sehingga Petani di Kecamatan Pakis menghadapi adanya risiko produksi pada kegiatan budidaya kubis. Produksi terendah
mencapai 29.382 ton pada tahun 2013 sedangkan
produksi tertingginya mencapai 41.336 ton pada tahun 2011. Tabel 1. 5 Perkembangan Produksi Kubis (Ton) Per Kecamatan di Kabupaten Magelang Tahun 2009-2013
Kecamatan
2009 6.541 21.002 3.079
2010 5.170 19.831 3.216
Tahun 2011 3.667 15.476 3.236
2012 6.861 16.264 2.930
2013 4.688 9.109 2.135
Dukun Ngablak Sawanga n Pakis 30.225 34.730 41.336 32.875 29.382 Kaliangkri 2.443 2.323 3.387 2.525 2.315 k Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Magelang, 2013 Menurut Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Kecamatan Pakis, Desa Kaponan merupakan salah satu desa yang memproduksi sayuran kubis terbesar di Kecamatan Pakis, selain itu juga dari ketinggian tempat sangat mendukung untuk usahatani kubis.
Usahatani kubis di Kecamatan Pakis dimulai pada tahun 1980-an petani dituntut untuk bisa memenuhi kebutuhan sendiri bertanam hortikultura yaitu kubis. Pada tahun tersebut banyak petani yang tertarik untuk budidaya kubis, karena beberapa alasan yaitu berumur relatif pendek sehingga dapat cepat menghasilkan, sehingga dapat diusahakan dengan mudah hanya
5
menggunakan teknologi sederhana, ketinggian tempat yang cocok untuk usahatani kubis, dan hasil produksi sayuran dapat cepat terserap pasar karena merupakan salah satu komponen susunan menu keluarga yang tidak dapat ditinggalkan. Oleh karena itu, para petani lebih terdorong untuk memilih mengusahakan tanaman sayuran sebagai strategi untuk dapat bertahan hidup. Kelompok Tani Gemah Ripah yang terletak di Desa Kaponan merupakan kelompok tani sebagai basis sayuran diantara kelompok tani lainnya.
Kelompok
Tani
Gemah
Ripah
melakukan
budidaya
kubis
menggunakan dua sistem tanam, yaitu monokultur (kubis) dan tumpangsari (kubis-cabai). Dari dua sistem tanam tersebut, dapat dilihat risiko dan pendapatan dari usahatani kubis sehingga hasil analisis tersebut bisa dijadikan bahan masukan untuk para petani risiko mana yang lebih rendah dari dua sistem tanam usahatani kubis.
2. Perumusan Masalah Kecamatan Pakis merupakan salah satu daerah yang memproduksi kubis terbesar di Kabupaten Magelang pada tahun 2013. Tanaman kubis diusahakan oleh petani di Kelompok Tani Gemah Ripah yang terletak di Desa Kaponan Kecamatan Pakis yang melakukan budidaya kubis menggunakan dua sistem tanam, yaitu sistem tanam secara monokultur dan tumpangsari. Alasan sebagian petani melakukan sistem tanam tumpangsari karena luas pertanaman rata-rata yang relatif sempit dan menggunakan sisa lahan yang bisa ditanami dengan tanaman lain dengan harapan untuk menambah pendapatan. Sistem tanam tumpangsari usahatani kubis yang dilakukan adalah dengan cabai merah, dimana tanaman kubis memiliki risiko tinggi sehingga perlu mendapatkan pengelolaan risiko yang lebih baik. Sebagai usaha yang penuh risiko, pertanian perlu mendapat perlindungan dari kegagalan. Kubis dikategorikan sebagai jenis sayuran yang memiliki risiko kegagalan produksi paling tinggi, terutama dikaitkan dengan risiko kehilangan hasil panen akibat serangan hama dan penyakit mengakibatkan fluktuasi hasil produksi yang merupakan risiko dalam usahatani. Berdasarkan risiko yang dihadapi petani maka
6
perlu dilakukan identifikasi terhadap berbagai risiko yang mempengaruhi produksi dan pendapatan usahataninya. Risiko produksi bisa disebabkan faktor penggunaan input produksi yaitu bibit, pupuk, dan pestisida.
Produksi petani kubis sangat ditentukan oleh penggunaan input produksi dan pengaruh kondisi lingkungan. Penggunaan input produksi seperti benih/bibit, pupuk, pestisida dan luas lahan akan berpengaruh terhadap jumlah produksi yang dihasilkan. Perbedaan penggunaan input antar petani akan mengakibatkan perbedaan hasil yang diperoleh, selain itu juga penggunaan input yang tidak sesuai dengan standar yang dianjurkan juga dapat mempengaruhi hasil yang diperoleh. Hal tersebut menunjukkan bahwa penggunaan faktor input yang tidak tepat dapat menyebabkan adanya risiko dalam kegiatan produksi kubis. Penggunaan faktor produksi dalam usahatani dilaksanakan secara turun-menurun, sehingga penggunaan faktor produksi tidak ditakar secara persis. Hal ini yang menyebabkan penggunaan faktor produksi tidak efisien. Tidak efisiennya penggunaan faktor produksi disebabkan pula oleh permasalahan seperti, rendahnya modal petani untuk membeli pupuk dan pestisida dalam jumlah yang memadai, penggunaan input kimia yang tinggi, tidak tersedianya bibit yang berkualitas di tingkat petani dan tingkat serangan hama dan penyakit yang cukup tinggi. Sehingga petani di Kelompok Tani Gemah Ripah menghadapi adanya risiko produksi pada kegiatan budidaya kubis. Hal ini disebabkan karena fluktuasi produksi kubis yang dibudidayakan oleh petani. Kegiatan produksi kubis yang dilakukan oleh petani dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat mengakibatkan produksi yang dihasilkan masih rendah dan berfluktuasi sehingga akan berpengaruh pada pendapatan petani. Sejumlah kendala ditemukan dalam usaha meningkatkan nilai jual kubis. Selain itu kondisi iklim yang cocok untuk keberhasilan tanaman tumbuh dan berproduksi secara baik merupakan hal yang perlu diperhatikan. Faktor produksi yang diamati dalam usahatani kubis secara monokultur dan tumpangsari adalah bibit, pupuk, pestisida, tenaga kerja dan sistem usahatani. Perbedaan sistem usahatani kubis monokultur dan tumpangsari mengakibatkan tingkat risiko kegagalan panen juga berbeda. Selain itu juga,
7
adanya risiko produksi dan risiko harga baik harga input maupun harga output selanjutnya mengakibatkan pendapatan yang diterima petani dari usahatani kubis juga berisiko. Risiko dan ketidakpastian yang diperoleh petani senantiasa terjadi karena terbatasnya penguasaan iklim, pasar tempat untuk menjual, dan lingkungan tempat usaha. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa petani kubis menghadapi risiko produksi yang diduga oleh faktor produksi adalah jumlah bibit pupuk, pestisida, tenaga kerja, dan sistem usahatani. Adanya risiko produksi akan berdampak pada pendapatan usahatani petani kubis. Sehingga dapat dirumuskan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: 1. Berapa biaya dan pendapatan dalam usahatani kubis sistem monokultur dan tumpangsari? 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usahatani kubis sistem monokultur dan tumpangsari? 3. Risiko produksi usahatani kubis sistem monokultur dan tumpangsari? 3. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui besarnya biaya dan pendapatan usahatani kubis sistem monokultur dan tumpangsari. 2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usahatani kubis sistem monokultur dan tumpangsari. 3. Menentukan besarnya
risiko produksi usahatani kubis sistem
monokultur dan tumpangsari. 4. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini dapat berguna dalam memberikan informasi dan masukan terhadap berbagai pihak yang berkepentingan, antara lain : 1. Dapat membantu petani dalam mengidentifikasi pengaruh faktor produksi terhadap risiko produksi pada kegiatan budidaya usahatani kubis sehingga dapat membantu petani dalam mengambil keputusan terkait dengan alokasi penggunaan faktor produksi dan pengelolaan budidaya kubis supaya terhindar dari risiko produksi.
8
2. Dapat memberikan informasi dan pengetahuan sehingga dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi pihak yang membutuhkan serta sebagai literatur bagi penelitian selanjutnya.
9