I.
Pembahasan
Disolusi Suatu obat yang di minum secara oral akan melalui tiga fase: fase farmasetik (disolusi), farmakokinetik, dan farmakodinamik, agar kerja obat dapat terjadi. Dalam fase farmasetik, obat berubah menjadi larutan sehingga dapat menembus membran biologis, proses ini di sebut disolusi. Jadi, disolusi adalah suatu proses perpindahan molekul zat dari dalam bentuk padat ke dalam bentuk cairan (proses melarutnya suatu obat) (Shargel, 1998). Disolusi berguna sebagai prediksi awal untuk mengetahui absorpsi suatu obat dan tahap penentu bagi zat aktif yang sukar larut. Disolusi dapat mengakibatkan perbedaan aktivitas biologi dari suatu zat obat mungkin diakibatkan oleh laju dimana obat menjadi tersedia untuk diserap tubuh.Sedangkan laju disolusi adalah jumlah zat aktif yang dapat larut dalam waktu tertentu pada kondsisi antar permukaan cairpadat, suhu dan komposisi media yang dibakukan. Tetapan laju disolusi merupakan suatu besaran yang menunjukkan jumlah bagian senyawa obat yang larut dalam media per satuan waktu (Shargel, 1998). Bila suatu obat di minum, disolusi (melarut) merupakan fase pertama dari kerja suatu obat. Dalam saluran GI, obat perlu dilarutkan agar dapat diabsorpsi. Obat dalam bentuk padat harus disintegrasi menjadi partikel-partikel kecil supaya dapat larut dalam cairan. Jadi disintegrasi adalah pemecahan sediaan obat padat menjadi partikel-partikel yang lebih kecil, disolusi melarutnya partikel-partikel yang lebih kecil itu dalam cairan GI untuk diabsorpsi, dan deagregasi adalah pemecahan agregat menjadi partikel-partikel halus (Ansel, 1989). Tahapan-tahapan disintegrasi, disolusi, dan difusi obat.
disintegra si
Disolus
Disolus
deagreg
Absorp si
Disolus
Dalam USP cara pengujian disolusi tablet dinyatakan dalam masing-masing monografi obat. Pengujian merupakan alat yang objekif dalam menetapkan sifat disolusi suatu obat yang berada dalam tubuh sangat besar tergantung pada adanya obat dalam keadaan melarut. Karakteristik disolusi biasa merupakan sifat yang penting dari produk obat yang memuaskan. Setiap tablet harus memenuhi persyaratan seperti yang terdapat di dalam monografi untuk kecepatan disolusi (Anonim, 2002). Pada pengujian disolusi dan penentuan bioavailabilitas dari obat dengan bentuk sediaan padat menuju pada pendahuluan dari sistem yang sempurna bagi analisa dan pengujian disolusi tablet. Uji disolusi memperhatikan fasilitas modern untuk mengontrol kualitas, digunakan untuk menjaga terjaminnya standar dalam produksi tablet. Uji disolusi untuk mengetahui terlarutnya zat aktif dalam waktu tertentu menggunakan alat disolution tester (Ansel, 1989). Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi. Uji disolusi yaitu uji pelarutan invitro mengukur laju dan jumlah pelarutan obat dalam suatu media aqueous dengan adanya satu atau lebih bahan tambahan yang terkandung dalam produk obat. Pelarutan obat merupakan bagian penting sebelum kondisi absorbsi sistemik. Uji disolusi ini digunakan untuk menentukan kesesuaian dengan persyaratan disolusi yang tertera dalam masing-masing monografi untuk sediaan tablet dan kapsul,
kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah. Persyaratan disolusi tidak berlaku untuk kapsul gelatin lunak kecuali bila dinyatakan dalam masingmasing monografi (Shargel, 1998). Alat uji disolusi menurut Farmakope Indonesia edisi IV: -
Alat uji tipe keranjan (basket)
-
Alat uji disolusi tipe dayung (paddle)
Sedangkan alat untuk uji pelepasan obat menurut USP 25, NF 24: 1. Alat uji pelepasan obat tipe keranjang (basket) 2. Alat uji pelepasan obat tipe dayung (paddle) 3. Alat uji pelepasan obat tipereciprocating cylinder 4. Alat uji pelepasan obat tipe flow through cell 5. Alat uji pelepasan obat tipe paddle over disk 6. Alat uji pelepasan obat tipe silinder 7. Alat uji pelepasan obat tipe reciprocating holder
(Anonim,2002). Kedua alat disolusi diatas hampir sama kecuali bahwa pada gambar (b) luas permukaan tablet atau bahan kompak (bahan yang dipadatkan ) tersebut tetap konstan ketika melarut. Desain ini menguntungkan dalam penelitian dan formulasi produk. Selain itu keadaan termodinamik yang tepat dijaga oleh posisi pengaduk yang tetap dan pemegang sampel (sample holder). Alat paddle pada gambar (a) dikenal sebagai alat disolusi 2 dari USP dan alat keranjang putar dikenal sebagai alat disolusi 1 dari USP (Agoes, 2008).
Menurut Farmakope Indonesia alat yang digunakan untuk uji disolusi ada 2, yaitu pengaduk bentuk keranjang (alat 1) dan pengaduk bentuk dayung (alat 2). Alat 1 terdiri dari dari sebuah wadah bertutup yang terbentuk dari kaca atau bahan transparan lain yang inert, suatu motor, suatu batang logam yang digerakkan oleh motor dan keranjang berbentuk silinder. Wadah tercelup sebagian di dalam suatu tangas air yang sesuai berukuran sedemikian sehingga dapat mempertahankan suhu dalam wadah pada 37o ±0,5o C selama pengujian berlangsung dan menjaga agar gerakan air dalam tangas air halus dan tetap. Suatu alat pengatur kecepatan digunakan sehingga memungkinkan untuk memilih kecepatan yang dikehendaki. Alat yang digunakan pada percobaan kami yaitu alat uji disolusi tipe 2. Pada alat ini digunakan dayung yang terdiri dari daun dan batang sebagai pengaduk. Batang berada berada pada posisi sedemikian sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada setiap titik dari sumbu vertical wadah dan berputar dengan halus tanpa goyangan yang berarti. Daun melewati diameter batang sehingga dasar daun dan batang rata (Agoes, 2008).
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi disolusi, yaitu : 1.) Temperatur Naiknya temperatur umumnya memperbesar kelarutan (Cs) zat yang endotermis, serta memperbesar harga koefisiensi difusi zat. Menurut Einstein, koefisien difusi dapat dinyatakan dengan persamaan berikut:
Keterangan: = koefisien difusi
= konstanta Boltzman
= temperatur absolut
= viskositas pelarut = jari-jari molekul 2.) Viskositas Turunnya viskositas pelarut akan memperbesar kecepatan disolusi suatu zat sesuai dengan persamaan Einstein. Naiknya temperatur juga akan menurunkan viskositas sehingga memperbesar kecepatan disolusi. 3.) pH pelarut pH pelarut sangat berpengaruh terhadap kelarutan zat-zat yang bersifat asam lemah atau basa lemah. Untuk asam lemah:
Kalau (H+) kecil atau pH besar maka akan meningkatkan kelarutan zat, sehingga kecepatan disolusi besar. Untuk basa lemah:
Kalau (H+) besar atau pH kecil maka akan menurunkan kelarutan suatu zat sehingga kecepatan disolusi kecil. 4.) Pengadukan Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi tebal lapisan difusi ini. Bila pengadukan cepat maka tebal lapisan difusi berkurang sehingga menaikkan kecepatan disolusi. 5.) Ukuran Partikel
Bila partikel zat terlalu kecil maka luas permukaan efektif besar sehingga menaikkan kecepatan disolusi suatu zat. 6.) Polimorfisma Kelarutan suatu zat dipengaruhi oleh adanya polimorfisma karena bentuk kristal yang berbeda akan mempunyai kelarutan yang berbeda pula. Kelarutan bentuk kristal metastabil akan lebih besar daripada yang bentuk stabil sehingga kecepatan disolusi besar. 7.) Sifat Permukaan Pada umumnya zat-zat yang digunakan sebagai bahan obat bersifat hidrofob. Dengan adanya surfaktan di dalam pelarut akan menurunkan tegangan permukaan antara partikel zat dengan pelarut sehingga zat mudah terbasahi dengan kecepatan disolusi bertambah (Alache, 1993). Dalam praktikum ini, bahan obat yang digunakan adalah Metformin HCl dengan medium disolusi larutan dapar posfat yang terbuat dari NaH2PO4 dan K2HPO4 900 mL dan volume sampel 5 mL, digunakan operating time yaitu 15 dan 30 menit dan persamaan kurva baku Y = 8,2.10-3 + 0,3106 X pada panjang gelombang 233 nm. Dalam proses disolusi dipengaruhi beberapa faktor, yaitu luas permukaan padatan (obatnya), dimana massa yang sama ukuran lebih kecil, maka luas permukaan lebih besar, dispersibilitas (keterbagian) serbuk padatan dalam medium, porositas porinya banyak. Maka, apabila semakin luas permukaannya, pada proses ini ukuran partikel selalu berubah, semakin lama semakin kecil. Faktor kedua yang mempengaruhi adalah kelarutan, dimana konsentrasi jenuh (besaran yang statis dengan kenaikan waktu akan tetap, tetapi termodinamik yang dipengaruhi oleh pH dan suhu). Konsentrasi ditentukan apabila volume rendah, kadar obat akan tinggi. Kelarutan tidak dipengaruhi oleh proses pengadukan, karena pengadukan hanya mempengaruhi proses melarutnya zat itu. Obat atau bahan obat yang memerlukan solven banyak untuk larut, berarti kelarutannya kecil, begitu juga sebaliknya. Dapat dinyatakan bahwa pH mempengaruhi kelarutan, asam-asam dengan kelarutan rendah akan mengendap (dalam ukuran kecil) tetapi akan terjadi redisolusi yang cepat terlarut (Alache, 1993).
Uji disolusi pada praktikum ini menggunakan alat disolusi dengan menggunakan 900 mL, medium disolusi pH 6,8 pada suhu 370C ± 0,50C dengan kecepatan putar 100 putaran permenit. Grafik hubungan W/A (massa terlarut persatuan luas) versus t (waktu) akan menghasilkan kurva yang mendekati gradient nol pada waktu ke-… yaitu …. menit, sebagai pendekatan Cs dan Ct. Cs merupakan kadar jenuh atau maksimal solute pada temperatur. Dari pengeplotan hasil praktikum, maka diperoleh sebuah garis lurus dari regresi linier t vs W/A yang merupakan slope, dan inilah yang dinamakan laju disolusi intrinsik. Persamaan kurva baku yang didapat yaitu ………………… sehingga didapatkan harga slope yang merupakan kecepatan disolusi intrinsik sebesar …….. mg/menit/cm2. Kecepatan disolusi intrinsik lebih dari 0,1 mg/menit/cm2 menunjukkan tidak ada masalah serius pada absorbansinya. Dari model fisikanya, merupakan model lapisan difusi karena terlihat bahwa kecepatan disolusi berbanding lurus dengan luas permukaan bahan obat dan kelarutannya. Dari hasil praktikum ini, didapatkan bahwa metformin HCl terdisolusi dengan baik dalam medium dapar basa, menunjukkan metformin HCl dapat diabsorpsi dengan baik dalam lambung. Sedangkan menurut literatur, hal ini sudah sesuai karena metformin HCl terdisolusi dengan baik pada suasana basa, yaitu dalam medium dapar fosfat, yang menunjukkan metformin HCl diabsorpsi dengan baik dalam usus kecil.
DAFTAR PUSTAKA Agoes. 2008. Seri Farmasi Industri Sistem Penghantaran Obat Pelepasan Terkendali. ITB. Bandung Alache. 1993. Farmasetika 2 Biofarmasetika, Edisi kedua. Airlangga University Press. Surabaya. Anonymous. 2002. United State Pharmacopeia 25. Volume 2. Washington DC : USP Convention, Inc. Anonim. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Ansel. 2008. Pengantar Sediaan Farmasi. Jakarta: UI Press. Shargel. 1998. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Airlangga University Press. Surabaya