BAB I LATAR BELAKANG
1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia sedang mengalami perkembangan yang baik, kondisi ini mendorong suatu industri di Indonesia mulai tumbuh. Seiring dengan ketatnya persaingan di era globalisasi perusahaan berlomba-lomba memasarkan produknya dengan kualitas produk yang terbaik agar menjadi market leader baik dalam bentuk produk ataupun jasa. Untuk dapat mencapai semua itu tidaklah mudah apabila tidak disertai dengan sistem yang baik dalam perusahaan tersebut. Salah satu komponen utama agar produk dapat selalu mendapatkan kepercayaan
dan
menarik
perhatian
konsumen
adalah
kualitas.
Demi
menghasilkan produk yang berkualitas semua itu didukung dengan adanya keunggulan sistem informasi, manajemen, dan juga teknologi yang telah diterapkan oleh perusahaan. Permasalahan yang akan muncul apabila suatu perusahaan tidak dapat mengontrol kualitas suatu produk dengan baik, yaitu muncul biaya perbaikan terhadap produk cacat, dan berkurangnya tingkat kepercayaan konsumen terhadap produk yang mengakibatkan customer loyalty jadi menurun terhadap suatu produk. Oleh karena itu, perlu suatu inspeksi untuk mengendalikan kualitas dari produk tersebut. Pada saat ini sudah banyak perusahaan yang mengimplementasikan sistem pengendalian kualitas salah satunya adalah PT. PRIMISSIMA yang bergerak di industri tekstil. Pada saat observasi dilakukan di perusahaan, permasalahan yang tampak sering muncul yaitu berada pada bagian weaving yaitu lini yang bertugas untuk memproduksi kain grey. Sering sekali ditemukan kain cacat pada produk akhir, permasalahan ini muncul di bagian loom yang memproduksi kain grey shuttle loom. Berdasarkan permasalahan tersebut, untuk dapat mengatasinya perlu adanya pengendalian kualitas produk bagi perusahaan. Pengendalian kualitas tidak hanya berfokus pada akhir produksi saja, namun harus mencakup
1
2
keseluruhan produksi mulai bahan baku hingga barang setengah jadi sampai barang jadi. Oleh karena itu, pengendalian kualitas harus dilakukan dengan benar sehingga meminimasi kecacatan produk dan dapat meningkatkan kepuasan konsumen. Beberapa metode yang dapat dipakai untuk mengurangi jumlah cacat dan menghasilkan produk yang baik kualitasnya seperti TQC (Total Quality Control), TQM (Total Quality Management),ISO 9000 dan juga six sigma. Namun saat ini metode TQC dan TQM sudah sangat jarang digunakan dikarenakan beberapa kelemahan dalam metode ini yaitu implementasi menciptakan pemahaman bahwa masalah kualitas adalah masalahnya departemen quality control, padahal masalah kualitas biasanya berasal dari ketidakmampuan departemen lain dalam perusahaan yang sama dan penekanan umumnya pada standar minimum kualitas produk, bukan pada bagaimana meningkatkan kinerja produk. Pada saat ini rata-rata industri di Indonesia berada pada level 3-sigma dimana tingkat DPMO (Defect Per Milion Oppurtunity) yaitu sekitar 66.807. Dari hal tersebut, penelitian ingin dilakukan agar mengetahui sejauh mana tingkat level sigma pada PT. PRIMISSIMA saat ini. Dengan
demikian,
pada
penulisan
penelitian
ini
diusulkan
sistem
pengendalian kualitas dengan pendekatan metode six sigma DMAIC (Define, Measure, Analysis, Improve, dan Control) sebagai teknik yang dapat mengevaluasi pengendalian dan peningkatan kualitas dengan harapan menuju tingkat kegagalan nol (zero defect). Six sigma merupakan konsep statistik yang mengukur suatu proses yang berkaitan dengan cacat atau kerusakan mencapai enam sigma berarti proses mengahasilkan hanya 3,4 cacat per sejuta kesempatan (DPMO).
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan akan berfokus pada bagaimana cara pengendalian kualitas di perusahaan dengan tujuan untuk mengurangi produk cacat. Sehingga, dalam penelitian ini digunakan suatu metode dalam pengendalian kualitas yaitu dengan metode six sigma dengan menerapkan
3
tahapan DMAIC (Define, Measure, Analysis, Improve, dan Control) untuk dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan cacat pada suatu produk.
1.3 Asumsi dan Batasan Masalah Dalam penelitian ini terdapat beberapa batasan yang diberikan agar penelitian ini lebih lugas dan fokus. Adapun asumsi dan batasan basalah dalam penelitian ini yaitu: 1. Penelitian ini dilakukan di PT. PRIMISSIMA, Daerah Istimewa Yogyakarta. 2. Penelitian ini menggunakan metode six sigma (DMAIC). 3. Penelitian ini dilakukan pada produk akhir. 4. Penelitian ini menggunakan data atribut. 5. Pada penelitian ini tidak sampai tahap control. 6. Analisis difokuskan pada kain hasil dari shuttle loom.
1.4 Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu: 1. Mengindentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan suatu produk dapat mengalami kecacatan. 2. Menganalisis penyebab kecacatan produk dengan metode six sigma (DMAIC) dengan maksud untuk mengurangi cacat produksi. 3. Memberikan
rekomendasi
kepada
perusahaan
dengan
menggunakan
pendekatan six sigma sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas produk.
1.5 Manfaat Penelitian Manfaat untuk penulis: a. Dapat mengaplikasikan sebagian ilmu yang diperoleh di bangku kuliah pada dunia industri nyata khusunya pada sistem pengendalian kualitas. b. Mengetahui lebih dalam mengenai kesulitan ataupun permasalahan di dunia industri dalam pengendalian kualitas produk di perusahaan. Manfaat bagi organisasi:
4
a. Dari segi perusahaan dapat memberikan informasi cara untuk mengurangi cacat pada produk. b. Memberikan gambaran kepada perusahaan mengenai bagaimana cara mengevaluasi program-program pengendalian kualitas yang telah diterapkan selama ini.
1.6 Sejarah Perusahaan PT. Pabrik Cambrics PRIMIISSIMA (disingkat PT. PRIMISSIMA) didirikan pada tanggal 22 Juni 1971 dengan Notaris R. Soerojo Wongsowidjojo Jakarta No. 31/1971, merupakan patungan antara Pemerintah sebesar 60% dengan gabungan Koperasi Batik Indonesia sebesar 40%. Pabrik sudah mulai beroperasi sejak 2 Februari 1972, dengan awal produksi mencapai 4 juta yards per tahun dengan jumlah karyawan sebanyak 252 orang. Perluasan area pabrik perusahaan dimulai awal bulan Maret 1974 dan mulai berproduksi pada awal tahun 1976. Pada tahun 1976 pencapaian produksi pabrik sudah mencapai 7,5 juta yards per tahun, bahnkan mengalami peningkatan pada tahun 1979 mencapai 10 juta yards per tahun dengan jumlah karyawan sebanyak 560 orang. Untuk meningkatkan kapasitas produksi perusahaan melakukan perluasan tahap kedua yang dimulai pada bulan Juni 1981 dan perluasan area pabrik selesai pada tahun 1984. Dengan adanya perluasan area pabrik pencapaian produksi dapat meningkat mencapai 20 juta yards per tahun dengan jumlah karyawan sebanyak 1050 orang. Perusahaan mempunyai 2 komoditi utama yaitu berupa kain dan benang. Selain dipasarkan di dalam negeri, produk seperti benang dan kain juga di ekspor ke berbagai negara seperti Amerika, Jepang, dan Cina.
1.7 Proses Produksi Proses produksi dibagi menjadi 2 bagian yaitu proses spinning (pemintalan) benang yang berasal dari kapas dan proses weaving (tenun) yaitu proses pertenunan benang menjadi kain. Berikut ini adalah penjelasan masing-masing proses produksi di pabrik:
5
1.7.1 Proses Spinning Proses produksi spinning terbagi menjadi 3 tahapan yaitu: 1.7.1.1 Blowing Pada tahap ini merupakan tahap awal bahan baku yaitu kapas siap untuk dipintal. Pemasok bahan baku kapas berasal dari luar negeri seperti Brazil, Australia, Afrika Selatan, maupun Amerika. Pada awalnya kapas masih berbentuk bale yaitu dalam bentuk kapas press. Tahapan ini sangat berperan penting dalam membersihkan kapas dari kotoran-kotoran yang melekat pada kapas. Pada tahap ini terdapat beberapa mesin yang berperan penting terhadap proses bahan baku kapas diantaranya: a. Mesin Bale Opener Memiliki fungsi membuka ataupun mengurai kapas press untuk dikembalikan kebentuk semula dan pada mesin ini kotoran-kotoran yang melekat pada kapas dibersihkan agar tidak terbawa pada ke tahapan selanjutnya. Pada mesin ini kotoran yang besar jatuh dan yang halus akan terhisap oleh suatu fan, disamping itu kotoran yang berwujud metal akan dihisap oleh suatu magnet yang terdapat pada mesin. b. Mesin Waste Opener Memiliki fungsi yang sama dengan bale opener, namun input ataupun muatannya berupa sisa-sisa kapas (waste) yang berasal dari tahapan prespinning dan spinning. Bentuk dari sisa kapas tersebut berupa gulungan kapas (sliver lap) yang masih memilki panjang serat kapas yang memenuhi syarat untuk diproses lagi. c. Monocylinder Cleaner Memilki fungsi untuk membersihkan kotoran yang masih tertinggal, bagian utama mesin ini adalah cylinder berpaku yang berputar oleh suatu motor. d. Automixer Memiliki fungsi untuk mencampur kapas agar kualitas benang dapat lebih merata. Distribution conveyer berjalan bolak-balik untuk membagi kapas dalam 40 - 60 lapisan campuran. e. ERM Cleaner
6
Memliki fungsi untuk membersihkan kotoran dan memisahkanya sebelum di proses pada mesin carding pada tahapan selanjutya yaitu pre-spinning. Seratserat panjang diteruskan ke mesin berikutnya, sedang serat pendek dihisap oleh fan.
1.7.1.2 Pre-Spinning 1.7.1.2.1 Proses carding Pada tahapan ini merupakan proses awal untuk mengubah bentuk kapas menjadi gulungan yang rapi (sliver) yang dikenal dengan proses carding, pada proses ini serat kapas akan dibersihkan dan dipisahkan. Pada proses ini sudah sudah kapas sudah memiliki nomor benang atau dikenal dengan sebutan nomor benang (NE), pada proses carding NE benang sebesar 0,130. Beberapa mesin yang berperan penting dalam proses carding yaitu: a. Flock feeder Mesin ini adalah bagian akhir dari proses blowing, memiliki fungsi untuk membersihkan kapas dengan silinder yang berpaku. b. Mesin Carding Memiliki fungsi sebagai pengurai kapas, kemudian membersihkan kapas yang terakhir dan memisahkan serat-serat yang pendek. Pada mesin ini berkas kapas diurai kedalam bentuk serat-serat individu tanpa merusak berkas kapas, selanjutnya melakukan distribusi serat-serat individu kepada bentuk seperti jaringan serat-serat panjang atau dikenal dengan sebutan web. Pada akhirnya serat-serat panjang tersebut akan berubah bentuk menjadi draftable sliver (sumbu panjang).
1.7.1.2.2 Proses Drawing Setelah selesai pada proses carding kemudian akan masuk ke proses selanjutnya yaitu proses drawing. Proses ini bertujuan untuk meratakan serat, karena serat hasil dari mesin carding sudah tidak rata lagi. Pada proses ini terjadi peregangan kapas dengan tujuan penutupan serat-serat kapas agar menghasilkan kapas yang berkualitas baik, selain itu dilakukan perangkapan 8 sliver hasil dari
7
proses carding dengan tujuan menutupi serat-serat kapas yang kurang baik dikarenakan pada proses carding akan menghasilkan sliver dengan kualitas yang berbeda-beda,
sehingga
dengan
proses
perangkapan
diharapkan
akan
menghasilkan sliver dengan serat kapas yang baik. Di proses ini juga terjadi puntiran semu yang mengkibatkan kapas memiliki puntiran, disebut puntiran semu dikarenakan mudah untuk diurai kembali. Terdapat 2 passage pada proses ini yaitu passage 1 dan passage 2, passage 1 dengan NE sebesar 0,130 dan passage 2 dengan NE 0,133.
1.7.1.2.3 Proses Roving Pada proses ini berfungsi untuk mengubah bentuk sliver kapas menjadi roving. Pembentukan roving dibantu menggunakan mesin flyer dengan mengaitkan sliver pada mesin flyer kemudian sliver dililitkan pada sebuah bobin yang merupakan wadah bagi sliver yang sudah terlilit sehingga menjadi roving. Roving yang dihasilkan pada proses ini memiliki panjang 11,25 meter yang berasal dari 1 meter sliver, sedangkan NE pada roving akan meningkat menjadi 1,12.
1.7.1.3 Spinning 1.7.1.3.1 Ring-spinning Pada proses ini dikenal dengan proses pengecilan bahan dikarenakan benang sudah mulai dipintal pada mesin spinning sehingga akan mengubah bentuk roving menjadi benang. Benang akan mendapatkan perlakuan seperti puntiran permanen sehingga diameter akan semakin kecil dan nilai NE benang akan semakin besar menjadi 40, apabila sudah dilakukan puntiran permanen maka benang sudah tidak akan terurai. Benang yang dipintal pada proses ini masih menghasilkan benang yang tebal maupun tipis dikarenakan adanya slub (kotoran) yang terikut selama proses ataupun saat proses tidak berjalan dengan baik. Proses ini akan menghabiskan waktu 5 - 6 jam.
8
1.7.1.3.2 Winding Pada proses ini dikenal dengan proses mengubah gulungan yang berasal dari bobin ring-spinning ke dalam bentuk cones. Proses winding berfungsi untuk menyeleksi benang tipis dan benang besar yang terbawa saat proses sebelumnya, benang tipis dan benang besar secara otomatis akan terbuang selama proses ini. Untuk dapat menyeleksi benang mesin winding dilengkapi dengan sebuah sensor yang akan memotong secara otomatis dengan air splacher sehingga akan menghasilkan benang dengan kualitas yang baik. Pada umumnya berat cones benang di proses ini mencapai 1,95 kg.
1.7.2 Proses weaving Proses produksi weaving terbagi menjadi 3 tahapan: 1.7.2.1 Weaving preparation 1.7.2.1.1 Proses Hani Pada tahapan ini merupakan tahapan awal menyiapkan benang lusi (benang memanjang) dan benang pakan (benang melintang). benang yang disiapkan untuk proses tenun merupakan benang yang berasal dari cones hasil winding. Benang dalam bentuk cones tersebut kemudian diletakkan pada sebuah mesin yaitu mesin warper. Mesin ini berfungsi untuk menggulung benang lusi yang berasal dari 585 benang cones ke dalam sebuah beam dengan panjang 17.700 meter. Pada proses ini juga bertujuan untuk mengetahui angka putus dari benang tersebut saat proses hani berlangsung, sehingga dapat mengetahui kekuatan benang. beberapa kejadian yang mengakibatkan benang tersebut putus antara lain: a. Pada cone: cone silang, cone lengket, cone bengkok, cone tak rata, cone putus, cone ribbon, dasar cone putus, pinggiran jelek, empty cone. b. Benang lemah: sambungan lolos, thin pieces, NE tinggi, lost twist. c. Benang bebas. d. Fly waste. e. Slub. f. Rami.
9
1.7.2.1.2 Proses Kanji Proses kanji merupakan proses untuk menambah kekuatan benang, agar benang tahan gesekan sewaktu ditenun dan bulu-bulu benang tidak mudah keluar. Pada proses ini dilakukan pelipatan beberapa boom menjadi sebuah boom yang sekaligus dikanji. Untuk mendapatkan benang yang lebih kuat, benang akan dicelupkan ke dalam cairan kanji dengan menggunakan mesin kanji. Bahan yang diperlukan untuk membuat cairan kanji adalah: a. Compound AT - 8E. b. Anti jamur. c. Air. Bahan tersebut kemudian dimasak ke dalam mixer, untuk dimasak secara bersamaan sesuai dengan urutan dan juga takaran yang sudah ditentukan. Proses pengadukan bahan dibutuhkan waktu selama 10 menit serta dipanaskan mencapai suhu 80o C. Apabila cairan kanji telah siap, kemudian akan dikirim ke size box yang berfungsi menampung cairan kanji.
1.7.2.1.3 Proses Cucuk Proses ini merupakan tahap akhir dari preparation, benang yang sudah melewati proses kanji selanjutnya akan dilakukan proses cucuk. Hasil dari proses kanji akan menghasilkan benang yang lebih kaku sehingga benang lebih kuat dan juga tidak mudah putus saat akan ditenun. Pada proses ini mesin cucuk berperan penting untuk memasukkan benang lusi ke dalam gun, ketang, dan juga sisir.
1.7.2.2 Looming Looming merupakan tahapan kedua dari proses weaving, pada tahapan ini benang yang sudah melewati proses cucuk siap untuk ditenun menjadi kain. Terdapat 2 jenis kain yang dihasilkan dari proses ini yaitu: a. Kain shuttle loom. b. Kain air jet loom (AJL). Jenis kain tersebut berbeda dikarenakan pada kain shuttle loom masih dibantu dengan menggunakan shuttle atau teropong saat proses tenun berlangsung,
10
sedangkan kain air jet loom dengan menggunakan bantuan tekanan udara saat proses berlangsung.
1.7.2.3 Grey Finishing Tahap akhir dari proses weaving adalah grey finishing yaitu berperan penting sebagai inspeksi hasil akhir dari proses loom. Semua kain yang telah jadi kemudian di inspeksi dengan tujuan produk yang cacat tidak sampai kepada pelanggan. Grey finishing bertugas mencukur bulu-bulu serta mengadakan reparasi pada terhadap cacat yang dihasilkan dari proses sebelumnya. Mesin yang digunakan untuk melakukan inspeksi yaitu: a. Mesin cukur Berfungsi untuk mencukur bulu-bulu pada kain sehingga mudah untuk dilakukan inspeksi. b. Mesin inspecting folding Berfungsi untuk memeriksa kain apabila terdapat cacat dan sekaligus menggulungnya.
11
1.8 Alur Produksi Benang
Gambar 1.1 Alur Produksi Benang
12
Gambar 1.1 Alur produksi benang (lanjutan)
13
1.9 Alur Produksi Kain
Gambar 1.2 Alur Produksi Kain
14
1.10
Struktur organisasi
Gambar 1.3 Struktur Organisasi Perusahaan