1
Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) adalah orang yang menjalani masa hukuman di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyebutkan bahwa Lapas adalah lembaga yang berfungsi untuk rehabilitasi, reintegrasi sosial, dan memberikan efek penjeraan. Pembinaan di Lapas memberi bekal pada WBP agar menyesali perbuatannya dan tidak lagi melakukan pelanggaran hukum saat kembali ke masyarakat. Sesuai dengan Pasal 1 nomor 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1995 yang menyatakan sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab (Republik Indonesia, 1995). Data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementrian Hukum & HAM (2015) menunjukkan ada 260 Lapas di Indonesia namun jumlah tersebut tidak sebanding dengan jumlah WBP yang terus meningkat seperti yang tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah WBP di Indonesia per 14 Juni 2015 Tahun Jumlah WBP
2012 151.848
2013 161.190
2014 171.210
2015 171.438
Sumber: Dirjen Pemasyarakatan Kementrian Hukum & HAM (Juni 2015) Hal tersebut menyebabkan kapasitas berlebih di Lapas, salah satunya yang ada di wilayah Yogyakarta. Hasil penelitian Hadjam (2014) menyebutkan di Lapas Yogyakarta besarnya ruangan sel dan jumlah fasilitas yang tersedia tidak sesuai dengan jumlah WBP. Hal senada terjadi di Lapas Wirogunan kelas II A yang merupakan satu-satunya Lapas yang menampung WBP perempuan di Yogyakarta. Penjelasan lebih lanjut mengenai jumlah WBP di Lapas Wirogunan dalam Tabel 2.
2
Tabel 2. Jumlah WBP di Lapas Wirogunan per 28 Mei 2015 No
Golongan Perempuan
1 2
Tahanan Narapidana
17 57
Jumlah Laki-laki
Total
33 281
74 314
Sumber : Data Lapas Wirogunan (Mei 2015) Kapasitas berlebih, proses adaptasi, kekerasan, adanya perilaku agresif sesama WBP, dan lama masa tahanan dapat mempengaruhi stress selama penahanan (Ekasari & Susanti, 2009; Fogel, 1993) yang berdampak buruk bagi kesehatan mental dan fisik. WBP harus beradaptasi dengan keterbatasan dengan dunia luar, kurangnya privasi, kehilangan kebebasan, kreatifitas, dan harga diri, jenuh, menghadapi stigma, dan perasaan aman akan masa depan (WHO & ICRC, 2007). Permasalahan-permasalahan psikologis WBP di Lapas wilayah Yogyakarta tersaji dalam Tabel 3: Tabel 3. Permasalahan Psikologis WBP di Lapas Yogyakarta Permasalahan yang Teridentifikasi Pikiran negatif akan kehidupan di dan masa depan setelah bebas. Aspek Khawatir tidak mampu menjalankan peran dalam keluarga dan pekerjaan. Kognitif Khawatir karena belum memiliki gambaran mengenai kehidupan setelah bebas, stigma, dan penolakan keluarga serta lingkungan. Aspek Cemas, takut, bingung, bersalah, terpaksa menjalani penahanan, rindu keluarga, Emosi tertekan, khawatir, kesepian, dendam, marah, tidak berdaya, dan kecewa. Kapasitas berlebih dan pelayanan kesehatan yang kurang memadai. Aspek Rentan terhadap penyebaran penyakit TBC dan HIV. Fisik Berat badan menurun, selera makan berkurang, dan sulit tidur. Simtom-simtom kecemasan, depresi, insomnia, dan psikosomatis. Masalah penyesuaian diri dengan WBP lain yang menimbulkan konflik. Aspek Terbatasnya interaksi dengan keluarga (tariff telepon mahal dan berkurangnya Sosial privasi) padahal WBP memerlukan dukungan sosial. Berakhirnya hubungan interpersonal yang dimiliki.
Sumber : Hadjam (2014) Harman, Smith,
dan Egan
(2007) menyatakan
WBP
mengalami
keterbatasan dalam kontak dan komunikasi sehingga merasa terisolasi yang menimbulkan kecemasan dikhianati, atau ditinggalkan pasangan. Rasa bersalah, malu, tidak percaya diri, menyalahkan orang lain dan keadaan, ditambah kontrol diri rendah memperbesar risiko penggunaan obat terlarang dan alkohol (Tangney, Stuewig, Mashek, & Hastings, 2011). WBP memiliki kecenderungan pikiran negatif mengenai stigma masyarakat yang akan mengucilkan dan menolaknya (Utari, Fitria, & Rafiyah, 2011; WHO &
3
ICRC, 2014). Hasil wawancara dengan WBP di Lapas X menunjukkan ada ketakutan menghadapi dampak negatif stigma lingkungan setelah bebas. WBP pasrah menghadapi masa depan dan tidak berharap hal-hal baik berjalan sesuai dengan keinginannya (Hasil wawancara, 4 Juni 2015). Putus asa membuat WBP kurang berusaha dalam mengembangkan kemampuan mencapai kondisi masa depan yang lebih baik (Handayani, 2010), mempengaruhi ekspektasi masa depan, persepsi diri (Ardilla & Herdiana, 2013; Ekasari & Susanti, 2011), dan menjadi pesimis akan masa depan (Heigel, 2009). Ekspektasi positif terhadap masa depan berkaitan dengan optimisme (Carver & Scheier, dalam Synder & Lopez, 2007). Konsep optimisme dan pesimisme berasal dari ekspektasi individu terhadap masa depannya (Carver & Scheier, dalam Synder & Lopez, 2007; Rand, 2009). Carver dan Scheier mendefinisikan optimisme sebagai sikap percaya bahwa sesuatu hasil yang baik akan terjadi di masa depan alih-alih hasil yang buruk (dalam Bryant, & Cvengros, 2004; Carr, 2004; Snyder & Lopez, 2007). Individu yang menganggap tujuannya berharga memiliki ekspektasi untuk mencapai tujuan tersebut dan bergerak menjauhi tujuan yang tidak diharapkan.
Individu
optimis
menunjukkan
kepercayaan
diri,
senantiasa
mempertahankan perilaku mencapai tujuan, lebih sukses mengatasi kesulitan hidup, lebih aktif, tidak berputus asa, lebih bahagia, efektif mengatasi stress, mudah menerima kondisi saat ini, lebih berani dalam mengambil risiko, percaya diri, dan berpikir positif dengan stressor yang dihadapi (Carr, 2004; Carver & Scheier, dalam Snyder & Lopez, 2005; Carver, Scheier, & Segerstom, 2010; Conversano dkk., 2010; Matthews & Cook, 2009; Nurtjahjanti & Ratnaningsih, 2011; Seligman, 1998). Optimisme berhubungan dengan rendahnya tingkat gangguan fisik dan mental (Ai & Park, 2005; Scheier, Carver & Bridges, 1994; Van Harreveld, Pligt, Claassen, & Dijk, 2007). Semakin tinggi tingkat optimisme semakin rendah tingkat stres WBP (Ekasari & Susanti, 2009) dan keluhan fisik yang dirasakan (Vandergriff, 2007). Individu terhindar dari risiko terjangkit penyakit, lebih cepat sembuh, kecil risiko mengalami depresi, dan keinginan bunuh diri saat menghadapi stressor (Heigel, Stuewig, & Tangney, 2010). Optimisme berkorelasi negatif dengan simtom insomnia. Durasi tidur 7-8 jam sehari berkaitan dengan optimisme
4
tinggi dan durasi tidur kurang dari 6 jam berkaitan dengan rendahnya optimisme. Kualitas tidur buruk berpengaruh pada hypothalamic-pituitary-adrenocortisol menyebabkan rendahnya sekresi cortisol (hormon stress) (Lemola, Räikkönen, Gomez, & Allemand, 2013) dan mempengaruhi sistem imun. Optimisme dapat berubah sehingga dapat ditingkatkan (Heigel, 2009; Seligman, 1998). Peneliti memutuskan memberikan intervensi psikologis untuk meningkatkan optimisme WBP sehingga tercipta kondisi psikologis lebih baik. Hal tersebut diperkuat pernyataan Kalapas X di Yogyakarta (Hasil wawancara, 25 Mei 2015) yang menyebutkan bahwa kebutuhan pelayanan kesehatan mental pada WBP bersifat mendesak karena belum optimalnya pelayanan psikologi di Lapas. Terapi yang digunakan dalam penelitian ini merupakan bagian dari penelitan payung yang dirancang sebagai bagian dari progam pengembangan kesehatan mental di Lapas. Peneliti memilih menggunakan WBP perempuan dalam penelitian ini. Pemilihan tersebut dilakukan selain karena keterbatasan kondisi di Lapas juga karena sistem yang ada di Lapas dirancang sedemikian rupa untuk dapat memfasilitasi WBP laki-laki sehingga kebutuhan spesifik perempuan banyak terabaikan (Covington, 1998; Haywood, Kravitz, Goldman & Freeman, 2000; Hermaleni, 2012) dan WBP perempuan memiliki kesempatan lebih kecil untuk dilibatkan dalam program yang ditawarkan di Lapas (Covington, 1998). WBP perempuan padahal memiliki risiko lebih besar mengalami gangguan kesehatan mental dan fisik karena mudah tertekan, menangis, curiga, merasa harga diri rendah, tidak berdaya, tertutup, merasa tidak aman, cenderung memiliki keinginan lebih untuk melukai diri, kemungkinan bunuh diri, gangguan penggunaan NAPZA, dan terlibat perilaku seks berisiko daripada laki-laki (Binswanger dkk., 2010; Haywood, dkk., 2000; MØller, Stöver, Jürgens, Gatherer, & Nikogosian, 2007; Utari, dkk., 2011). Hal tersebut tidak dipengaruhi keadaan geografis, sosio ekonomi, pendidikan, usia, ras, dan status pernikahan (Binswanger dkk., 2010). Optimisme penting dimiliki WBP perempuan untuk menghadapi situasi penuh stress terpisah dari keluarga, khawatir pada kesejahteraan anak yang ditinggalkan, hilangnya kontrol diri dalam hidup (Fogel, 1993), tidak menjadi residivis, dapat menghadapi transisi kehidupan setelah bebas berkaitan dengan membangun kembali kehidupan rumah tangga, mencari pekerjaan, menjalin
5
hubungan interpersonal dengan keluarga dan masyarakat, dan kewajiban membesarkan anak (Heigel, 2009; Rich, Cortina, Uvin, & Dumont, 2013). WBP dengan orientasi masa depan yang baik memiliki keseimbangan antara eskplorasi dan ekspektasi terhadap harapan, komitmen, dan kemampuan mengontrol diri (Ahmad, 2012). Selama ini terapi untuk meningkatkan optimisme banyak menggunakan terapi berbasis CBT karena terapi yang berfokus pada emosi dan penggunaan kognisi lebih efektif untuk meningkatkan optimisme (Agripinata, 2013). Penelitian Agripinata (2013) dilakuan pada WBP remaja melalui pelatihan ketrampilan regulasi emosi yang berfokus pada pengelolaan dan cara mengungkapkan emosi. Subjek penelitian adalah 16 WBP remaja (8 orang dalam kelompok kontrol dan 8 orang dalam kelompok eksperimen) di Lapas Anak Kelas IIA Kutoarjo. Hasil penelitian menyebutkan tidak ada pengaruh signifikan pelatihan ketrampilan emosi pada peningkatan optimisme WBP remaja. Peneliti menyarankan penggunaan terapi CBT karena terapi yang berfokus pada perubahan emosi saja tidak dapat memberikan pengaruh signifikan. Penelitian ini menggunakan intervensi CBT berbasis psikologi positif karena lebih efektif (10–21 %) untuk mengurangi permasalahan perilaku pada WBP (Huynh, Hall, Hurst, & Bikos, 2014). Asumsi dasar dalam terapi CBT adalah adanya hubungan timbal balik antara proses kognitif, afek, dan perilaku individu. Perubahan dan modifikasi proses kognitif menyebabkan perubahan pada perasaan dan perilaku yang dimiliki (Wilding & Milne, 2008). Terapi CBT mendorong individu mengenali dan menerima emosi yang dirasakan, mengenali dan mengevaluasi pola pikir yang salah sehingga individu belajar menghasilkan pikiran (thought) dan keyakinan (belief) yang realistik berdasarkan alternatif pikiran lain dan bukti-bukti yang mendukung (Curwen, Palmer, & Ruddell, 2000; Froggatt, 2009; Heigel, 2009). Mann (2001) melakukan penelitian CBT menggunakan future-oriented writing intervention untuk meningkatkan optimisme 40 pasien perempuan dengan HIV di Los Angeles. Subjek menuliskan tujuan positif yang dimilikinya di masa depan selama 10 menit, 2 kali seminggu, dalam waktu 4 minggu. Terapi terbukti efektif meningkatkan optimisme yang ditunjukkan hasil self report peningkatan
6
ketaatan dalam mengikuti pengobatan dan berkurangnya distress akibat efek pengobatan. Peneliti menyatakan teknik penentuan tujuan positif di masa depan dapat meningkatkan optimisme. Cheung, dkk (2013) melakukan penelitian mengenai terapi menulis naratif nostalgia dan optimisme pada mahasiswa di Southhampton, Inggris. Peneliti melihat apakah kata-kata yang digunakan dalam menulis pengalaman nostalgia berhubungan dengan kata-kata yang mengekspresikan optimisme. Subjek adalah 102 mahasiswa (92 perempuan dan 10 laki-laki). Subjek diminta untuk mengisi skala optimisme dan manipulation check kemudian menuliskan pengalamannya selama 5 menit sebelum kembali diberikan skala. Tulisan dianalisis dan dihitung perkata yang menunjukkan kategori optimis. Hasilnya kata-kata yang digunakan menunjukkan ekspresi optimisme yang lebih tinggi. Dapat disimpulkan menuliskan pengalaman masa lalu memiliki cakupan yang meluas di masa depan berkaitan dengan pengalaman optimis di masa lalu. Terapi selanjutnya adalah TIR (Traumatic Incident Reduction) yang berfokus pada perubahan kognisi dan manajemen simtom berkaitan pada 123 WBP perempuan (56 kelompok kontrol dan 56 kelompok eksperimen) selama 3 bulan di penjara Florida, Amerika Serikat. Hasilnya TIR efektif mengurangi perasaan pesimis dalam mencapai ekspektasi sukses di masa depan (Valentine & Smith, 2001). Penelitian lain dilakukan Meevissen, Peters, dan Alberts (2011) menggunakan terapi BPS (Best Possible Self) yang berfokus pada imagery positif masa depan untuk meningkatkan optimisme mahasiswa fakultas farmasi, kesehatan, lingkungan hidup, dan psikologi di Belanda. Subjek yang terdiri dari 54 orang mahasiswa (26 kelompok kontrol dan 28 kelompok eksperimen) diminta untuk membayangkan 3 hal yang berkaitan dengan kehidupan personal, relasional, dan profesional minimal 5 menit sehari selama 2 minggu. Berdasarkan self reported didapat kesimpulan bahwa terapi BPS mampu meningkatkan optimisme pada mahasiswa. Teknik imagery cocok digunakan untuk meningkatkan optimisme berdasarkan pada perubahan kognitif, afektif, dan perilaku. Penelitian oleh Naoi (2003) berfokus pada proses restrukturisasi kognitif, relaksasi napas, dan relaksasi otot pada atlet cedera yang sedang melakukan
7
rehabilitasi di Virginia Selatan, Amerika Serikat. Subjek terdiri dari 2 perempuan dan 5 laki-laki. Terapi dilaksanakan selama 10 menit, 3 kali seminggu, dalam waktu 2 minggu. Hasil menunjukkan hanya 3 subjek yang mengalami peningkatan optimisme dan hal tersebut dipengaruhi individual differencess. Peneliti menyimpulkan distress emosional, reaksi negatif fisik, dan psikologis dapat mempengaruhi turunnya sistem imun dan endokrin tubuh, hilangnya motivasi untuk rehabilitasi, dan menurunkan optimisme. Penelitian untuk meningkatkan optimisme di Indonesia dilakukan oleh Limono (2013) menggunakan terapi yang berfokus pada restrukturisasi kognitif dan relaksasi otot pada 2 pensiunan selama 5 sesi pertemuan. Hasilnya terapi dapat meningkatkan optimisme pada pensiunan karena dipengaruhi kemauan untuk berubah, kecermatan dalam menghadapi sumber masalah, dan adanya dukungan sosial. Penelitian lain adalah terapi ACT yang menekankan pada proses penerimaan dan mindfulness untuk meningkatkan optimisme pada 3 pasien kanker payudara. Terapi dilakukan sebanyak 4 sesi selama 2 kali seminggu. Hasilnya terapi ACT tidak dapat meningkatkan optimisme pada pasien karena waktu intervensi yang lebih singkat sehingga tidak efektif untuk meningkatkan optimisme (Saniatuzzulfa, 2014). Akuba (2014) melakukan penelitian untuk menguji pengaruh pelatihan pemaafan untuk meningkatkan optimisme 11 remaja dipanti asuhan Yogyakarta. Pelatihan dilakukan selama 3 hari, selama 265 menit, 295 menit, dan 105 menit. Hasilnya pelatihan pemaafan tidak mempengaruhi peningkatan optimisme karena dipengaruhi oleh kesiapan, komitmen, dan durasi waktu pelatihan. Peneliti menyarankan pelaksanaan intervensi dengan durasi waktu lebih panjang, dilakukan 1 sesi perhari agar lebih fokus pada materi, diberi jeda antar sesi, dan melakukan follow up untuk melihat efektivitas pelatihan. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa terapi pemaafan dengan pendekatan CBT dapat menjadi salah satu alternatif terapi untuk meningkatkan optimisme WBP. Terapi hendaknya memperhatikan berbagai hal seperti adanya jeda antar sesi, durasi waktu lebih panjang, adanya follow-up untuk melihat efektifitas terapi, dan memperhatikan kemauan untuk berubah pada WBP. Penahanan pada WBP merupakan pengalaman tidak menyenangkan yang menimbulkan emosi-emosi negatif seperti marah dan sedih sehingga kesulitan
8
dalam memaafkan (Raudatussalamah & Susanti, 2014). Emosi-emosi muncul kembali saat WBP menghadapi objek pemaafan. Hipokampus (menyimpan memori) dan amigdala (memberikan emosi pada memori) berinteraksi ketika menerima informasi dari panca indra. Rangsang (objek pemaafan) yang dianggap mengancam merangsang amigdala untuk mengaktifkan sinyal ke struktur batang otak yang mengontrol respon emosional (Pinel, 2012). Saat marah dan sedih perubahan reaksi fisik yang ditunjukkan tubuh serupa. Emosi tersebut merangsang kerja syarat simpatik ditandai dengan meningkatnya denyut jantung, tekanan darah, pernapasan, produksi air liur, dan hormon testosterone dan epinephrine, urat nadi menegang, produksi hormon cortisol (hormon stres) menurun, dan belahan otak sebelah kiri lebih terstimulasi (Ettinger, 2010; Herrero, Gadea, Alarcón, Espert, & Salvador, 2010). Kadar hormon stress yang rendah seperti hormon cortisol membuat sistem imun tubuh rentan sehingga mudah sakit. Sistem imun berhubungan
dengan
otak
melalui
neurotransmitter
(Seligman,
1998).
Neurotransmitter terdiri dari hormon atau senyawa dalam darah yang berfungsi untuk merambatkan impuls saraf ke sel saraf lainnya. Selain cortisol, norephinephrine
dan
serotonin
juga
bertindak
sebagai
hormon
stres.
Norephinephrine penting pada kontrol sistem saraf pusat (kognisi, mood, emosi, gerakan dan tekanan darah). Serotonin dengan kadar yang rendah berhubungan dengan rendahnya perasaan sejahtera, tidak bahagia, putus asa, dan menyebabkan seseorang menarik diri dari lingkungan sosial (Nevid, Rathus, & Greene, 2005). Pemaafan memberi efek penyembuhan karena membantu individu mengkaji ulang pengalaman yang dirasa menyakitkan terkait objek pemaafan (Menahem & Love, 2013). Pemaafan mengubah sudut pandang individu menjadi lebih positif dalam memberikan respon secara kognitif, emosional, dan perilaku terhadap kesalahan-kesalahan di masa lalu karena tidak berlama-lama terjebak pada pikiran, perasaan, dan perilaku negatif (Thompson dkk., 2005). Pemaafan dapat membantu mengurangi rasa marah, stress, kesepian, meningkatkan persepsi terhadap status kesehatan yang lebih positif sehingga dapat mengurangi keluhan fisik yang dirasakan, (Bishop, Randall, & Merten, 2014; Bono & McCullough, 2006; Haris, 2006). Terapi pemaafan melibatkan guided imagery meliputi pengenalan kembali rasa sakit pada peristiwa menyakitkan baik pikiran, perasaan, dan perilaku
9
(O’donohue & Graybar, 2009). Saat melakukan imagery saraf simpatetik menjadi aktif, detak jantung semakin cepat, immunoglobulin A (hormon imun) meningkat diikuti penurunan cortisol dan tekanan darah meningkat (O’donohue & Graybar, 2009). Pikiran memaafkan meningkatkan perasaan mampu mengontrol diri dan mengurangi respon fisik tubuh saat menghadapi stress (Lawler, 2003). Pemaafan dapat mempengaruhi kerja sistem endokrin dan hormon stress yang berakibat pada meningkatnya sistem imun tubuh, perasaan sejahtera, bahagia (Gani, 2011; Nevid, Rathus, & Greene, 2005), menurunkan sistem kerja simpatetis (Lawler, 2003), menciptakan rasa tenang yang mempengaruhi sistem kardiovaskular (Worthington, Witvliet, Pietrini, & Miller, 2007). Perasaan sejahtera dan bahagia tersebut membuat WBP mudah dalam menjalani kehidupan, mampu berpikir positif, dan produktif (Raudatussalamah & Susanti, 2014), terbebas dari kungkungan emosi negatif (rasa marah dan sedih) (Thompson dkk., 2005), dan meningkatkan perilaku positif (Bishop, Randall, & Merten, 2014). Individu yang memiliki emosi positif selama menghadapi masalahnya akan lebih optimis mengembangkan tujuan masa depan (Huppert, Baylis, & Keverne, 2005). Individu optimis memiliki sistem imun tubuh yang lebih baik dan merasa lebih bahagia (Heigel, Stuewig, & Tangney, 2010). Respon positif yang muncul dari pemaafan
membuat individu merasa
bahagia dan sejahtera yang membuatnya optimis melihat kehidupan saat ini dan masa depan sehingga secara tidak langsung terapi pemaafan dapat meningkatkan optimisme. Pemaafan dan optimisme memiliki hubungan positif dengan hubungan interpersonal yang baik dan perilaku hidup sehat (Lawler-Row & Piferi, 2006), hubungan negatif dengan kecemasan, depresi (Hebl & Enright, 1993), dan stress (Lawler-Row & Piferi, 2006). Pemaafan mampu memprediksi adanya perubahan tingkat optimisme pada individu (Vandergriff, 2007). Individu yang belum mampu memaafkan cenderung untuk menghindari masalah berkaitan dengan hal-hal menyakitkan terkait objek pemaafan di masa lalu (Enright, 2001). Sikap optimis pada individu dapat muncul ketika individu mampu merelakan situasi-situasi menyakitkan di masa lalu dengan cara memaafkan orang lain (Vandergriff, 2007), sehingga sikap optimis sulit didapatkan WBP yang masih dibayangi rasa marah,
10
sedih, kecewa, putus asa, dan takut menghadapi masa depan (Ahmad, 2012). Individu yang mampu memaafkan menunjukkan ciri individu optimis yaitu tangguh dan memiliki koping masalah yang lebih baik (Carver, Scheier, & Segerstom, 2010; Carver & Scheier, dalam Snyder & Lopez, 2005; Worthington, 2006). Individu menghadapi situasi serupa di masa datang dengan respon yang lebih positif dengan tidak melawan atau lari dari masalahnya (Worthington, 2006). Terapi pemaafan dalam penelitian ini menggunakan 4 tahap proses terapi pemaafan Enright (2001) dengan menggunakan teknik CBT yang berfokus pada penggalian emosi negatif dan melakukan restrukturisasi kognitif. Penelitian ini menggunakan metode-metode seperti sharing, latihan (reframing, teknik imagery, relaksasi, psikoedukasi, self-monitoring, dan Diari Pelaporan Diri atau DPD), penugasan, ceramah, refleksi, reviu, dan umpan balik (Beck, 2011; Bieling, McCabe, & Antony, 2006; Curwen, Palmer, & Ruddel, 2002; Enright, 2001; Friedman, 2009; O’donohue & Fisher, 2012; Wilding & Milne, 2008; Froggatt, 2009). Terapi pemaafan efektif untuk meningkatkan penerimaan diri pasien kanker payudara (Rahmandani, 2011), mengurangi kecemasan dan depresi (Subandi, Rahmandani, Zuhdiyati, Pebriartati, & Koeswardani, 2011), meningkatkan subjective well-being pada remaja yang orang tuanya bercerai (Zuhdiyati, 2010), meningkatkan kesejahteraan psikologis wanita bercerai (Pebriartati, 2010), menurunkan beban subjektif pendamping penderita skizofrenia (Koeswardani, 2011),
dan
meningkatkan
kesejateraan
psikologis
WBP
perempuan
(Raudatussalamah & Susanti, 2014). Konsep Thompson dkk., (2005) digunakan untuk memperoleh pemaafan yang inklusif meliputi pemaafan terhadap diri sendiri, orang lain, dan situasi. Huynh dkk., (2014) mengatakan keberhasilan intervensi tidak bergantung pada banyak sedikitnya jumlah intervensi. Pemberian waktu intervensi yang lebih pendek diasumsikan lebih efektif dan efisien untuk digunakan. Tahapan pemaafan disajikan dalam 6 sesi, 1 kali pertemuan setiap sesinya, dan berdasar modifikasi modul penelitian Rahmandani (2011) yang disesuaikan dengan konteks penelitian dan kebutuhan subjek. Pada sesi 1, mengidentifikasi emosi dan pikiran negatif dalam diri. Tujuan sesi ini adalah subjek dapat mengidentifikasi hubungan antara emosi negatif terkait peristiwa berkaitan dengan
11
objek pemaafan. Subjek mengeksplorasi dan mengidentifikasi dampak emosi negatif terhadap pikiran yang disfungsional dan perilaku (Froggatt; 2009; Wilding & Milne, 2008). Hal tersebut penting lantaran proses memaafkan baru bisa dimulai ketika subjek mampu mengidentifikasi emosi dan pikiran negatif yang dimiliki terhadap objek pemaafan. Kegiatan sharing, relaksasi, dan penugasan akan diberikan disetiap pertemuan. Sharing menjadi teknik yang dapat menciptakan kohesivitas kelompok, mendorong untuk saling belajar, bertukar informasi yang dapat meningkatkan insight, menyediakan dukungan sosial, dan memunculkan perasaan tidak sendiri dalam menghadapi masalah (Bieling, McCabe, & Antony, 2006; Dobson & Dobson, 2009; Beck, 2011; O’Donohue & Fisher, 2012). Relaksasi merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk mempermudah proses dalam terapi pemaafan (Friedman, 2009). Relaksasi mempengaruhi kerja sistem saraf para simpatik yang dapat mengurangi kecemasan, distress psikologis, keluhan dan ketegangan fisik yang muncul, meningkatkan kesadaran diri, berguna sebagai selfcontrol dan coping skill ketika menghadapi perasaan negatif (David, Eshelman & McKay, dalam Dobson & Dobson, 2009; O’donohue & Fisher, 2012), dan pada akhirnya dapat meningkatkan optimisme (Limono, 2013). Penugasan membantu subjek memantau perubahan dan perkembangannya serta mengingat ketrampilan yang dipelajari selama terapi agar dapat digunakan di masa depan (Wilding & Milne, 2009). Pada sesi 2, menghadapi emosi dan pikiran negatif yang paling dalam. Tujuan sesi ini adalah subjek dapat mengidentifikasi peristiwa negatif (adversity) terkait objek pemaafan di masa lalu yang mempengaruhi kepercayaan (belief) dan cara berpikir yang disfungsional (consequences), emosi, dan perilaku subjek (Froggatt; 2009; Wilding & Milne, 2008). Subjek dapat mengeksplorasi dampaknya pada perubahan di kehidupan dan pandangan terhadap dunia sekitar. Emosi dan pikiran negatif
menyebabkan subjek pesimis
dalam memandang hidup.
Mengidentifikasi distorsi kognitif membantu subjek memahami dampak negatif yang mengubah cara memandang masa depan. Pada sesi 3, memutuskan untuk memaafkan. Tujuan sesi ini adalah mengeksplorasi dan menguji keefektifan solusi yang selama ini dilakukan dalam
12
menghadapi emosi, pikiran, dan perilaku negatif. Sesi ini melibatkan restrukturisasi kognitif (Wilding & Milne, 2008) dimana subjek diminta untuk mengevaluasi keefektifan solusi-solusi yang telah dilakukan dalam menghadapi emosi negatif dan diharapkan untuk menyadari bahwa komitmen untuk memaafkan membantu subjek meraih pikiran dan emosi positif hingga merasa lebih bahagia, damai, dan optimis terhadap hidupnya. Pada sesi 4, memperoleh perspektif baru. Tujuannya subjek mampu memahami perspektif lain yang lebih luas dari sudut pandang objek pemaafan. Subjek melakukan reframing dengan mengkaji ulang perspektif yang digunakan melalui perspektif lain yang lebih luas, melihat adanya sisi positif dalam situasi negatif yang dihadapi, dan dapat membedakan antara objek pemaafan dan kesalahan yang diperbuat itu sendiri (Enright, 2001; Froggatt, 2009). Sesi ini diharapkan untuk merubah cara merasa dan berperilaku dari yang negatif menjadi lebih netral atau positif sehingga memiliki cara pandang baru dari yang pesimis menjadi optimis terhadap masa depan. Pada sesi 5, membangun emosi, pikiran, dan perilaku positif. Tujuan sesi ini adalah subjek menemukan makna dari pemaafan, merasakan adanya dukungan sosial, menerima rasa sakit hati, dan menumbuhkan empati pada objek pemaafan. Subjek diharapkan untuk menyadari bahwa tidak mungkin mengubah masa lalu akan tetapi subjek dapat mengubah sikap dalam menghadapi masa depan. Proses memaafkan bukan berarti mengucilkan diri dari orang lain dan menerima pengalaman rasa sakit sendirian. Dukungan sosial perlu dimiliki selama proses memaafan sehingga subjek menyadari bahwa orang lain peduli dan mencintainya. Hal tersebut pada akhirnya membuat subjek menjadi lebih optimis dalam menghadapi kehidupan saat ini maupun masa yang akan datang (Brissette, Scheier, & Carver, 2002; Cheung dkk., 2013). Teknik imagery dalam sesi ini diberikan untuk membantu subjek menerima rasa sakit hati dan menumbuhkan empati terhadap objek pemaafan. Teknik imagery cocok digunakan untuk subjek yang memiliki distorsi kognitif (Beck, 2011; Wilding & Milne, 2009) dan dapat meningkatkan optimisme berdasarkan pada perubahan kognitif, afektif, dan perilaku (Meevissen, Peters, & Alberts, 2011). Individu diminta membayangkan kejadian menyakitkan di masa lalu kemudian melakukan restrukturisasi kognitif
13
agar dapat mengembangkan strategi yang efektif dan adaptif dalam menghadapi akibat yang muncul dari peristiwa lampau tersebut (McGovern, 1999; Wilding & Milne, 2009). Pada sesi 6, menentukan tujuan hidup baru dan terbebas dari kungkungan emosional. Tujuan dari sesi ini adalah menentukan tujuan hidup yang baru dan terbebas dari kungkungan emosional. Subjek dapat memikirkan hambatan yang mungkin akan dialami dengan coping imagery. Penggunaan imagery sebagai bagian dari teknik simulasi mental secara berkala penting untuk mempertahankan sikap optimis (Meevissen, Peters, Alberts, 2011). Subjek merasakan manfaat proses memaafkan dalam membebaskan diri dari kungkungan negatif emosi dan membentuk sikap terhadap masa depan menjadi lebih optimis dan lebih terarah. Subjek diharapkan dapat menetapkan tujuan masa depan yang realistis dan dibekali dengan strategi koping (coping imagery). Individu yang diminta untuk menentukan dan mencapai tujuan yang realistis di masa depan berhubungan dengan peningkatan optimisme (Heigel, 2009; Mann, 2001). Coping imagery membantu subjek dalam mengenali hambatan-hambatan atau situasi sulit yang mungkin ditemui dan strategi yang bisa dilakukan untuk mencapai tujuan yang diharapkan di masa depan (Curwen, Palmer, & Ruddel, 2002; Froggatt, 2009; Wilding & Milne, 2008). Pham, Rivkin, dan Armor (dalam McGovern, 1999) mengatakan imagery membantu individu dalam mengorganisir, melatih, dan memanipulasi secara mental emosi dan perilaku berdasarkan pengalaman masa lalu. Emosi positif (seperti bahagia) tersebut mengarah pada perubahan perilaku dan berakibat pada peningkatan optimisme dalam mencapai tujuan di masa depan (McGovern, 1999). Terapi pemaafan dalam penelitian ini dilakukan dalam bentuk kelompok. Terapi kelompok memiliki faktor terapeutik seperti harapan, universalitas, altruism, pengembangan teknik sosialisasi, imitasi perilaku, pembelajaran interpersonal, kohesivitas kelompok, dan katarsis (Yalom, 1985). Terapi kelompok dapat membantu
anggotanya
mengatasi
permasalahan
psikologis
dan
masalah
interpersonal dalam hidup. Interaksi dalam kelompok menyediakan dukungan sosial, kepedulian, konfrontasi, pembelajaran ketrampilan sosial, dan pengetahuan baru (Corey, Corey, & Corey, 2014). Senada dengan penelitian Hermaleni (2012) yang memberikan terapi CBT kelompok pada WBP perempuan sebanyak 2 kali
14
seminggu, 5 kali pertemuan, selama 2 jam. Terapi melibatkan sharing, orientasi terhadap masa depan, dan diskusi. Hasil penelitian menyebutkan bahwa dukungan sosial dalam kelompok dapat meningkatkan resiliensi WBP perempuan. Dukungan sosial dibutuhkan untuk menjaga kesehatan mental, berkontribusi pada proses adaptasi positif, dan dapat meningkatkan optimisme (Brissette, Scheier, & Carver, 2002; Cheung dkk., 2013). Peserta merasa tidak sendiri, berharga, belajar menjadi bagian dari lingkungan, saling dukung, menemukan kelebihan diri dalam mengatasi masalah, belajar mengimitasi perilaku baru dan mempraktekkannya, dan belajar mengemukakan pendapat, kekhawatiran, rahasia, dan mimpi-mimpinya (Corey, dkk., 2014). Haywood dkk., (2000) menyatakan terapi kelompok dapat meningkatkan self-esteem, kemampuan mengontrol diri dan beradaptasi secara emosional dan sosial, meningkatkan kepercayaan diantara WBP perempuan, mengurangi keluhan fisik dan keinginan menarik diri dari WBP lain (Harner & Riley, 2013). Berdasarkan pemaparan di atas peneliti kemudian memberikan terapi pemaafan untuk meningkatkan optimisme WBP perempuan di Lapas X. Terapi pemaafan yang dilakukan berbasis CBT dan dilaksanakan dengan modalitas kelompok. Terapi dilaksanakan sebanyak 6 sesi, dilaksanakan selama 2 kali seminggu, dengan rata-rata pertemuan setiap sesinya adalah 90- 120 menit. Tujuan penelitian ini adalah menguji apakah terapi pemaafan dapat meningkatkan optimisme pada WBP. Hipotesis penelitian adalah terapi pemaafan dapat meningkatkan optimisme pada WBP. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada ilmu pengetahuan terutama di bidang psikologi mengenai psikologi forensik dan psikologi positif.
15
Terapi Pemaafan:
Warga Binaan Pemasyarakatan
Permasalahan psikologis: Emosi negatif : marah, sedih, kecewa, bersalah, putus asa, dan tidak percaya diri. Pikiran negatif : kekhawatiran akan masa depan dan stigma lingkungan (yakin hal buruk terjadi di masa depan). Fisik-perilaku : menunjukkan simtomsimtom depresi, psikosomatis, dan insomnia.
1. Mengidentifikasi emosi dan pikiran negatif dalam diri Psikoedukasi, sharing, dan relaksasi 2. Menghadapi emosi dan pikiran negatif yang paling dalam Psikoedukasi, sharing, dan relaksasi. 3. Memutuskan untuk memaafkan Restruturisasi kognitif, sharing, dan relaksasi 4. Memperoleh perspektif baru Reframing, sharing, dan relaksasi 5. Membangun emosi, pikiran, dan perilaku positif Psikoedukasi, relaksasi visual imagery dan sharing 6. Menentukan tujuan hidup baru dan terbebas dari kungkungan emosional Coping imagery dan sharing
Optimisme meningkat Emosi: terbebas dari rasa marah, sedih, kecewa, bersalah, putus asa, dan tidak percaya diri. Pikiran : didominasi pikiran positif untuk mengharapkan hasil positif menghadapi masa depan dan tidak pantang menyerah.
:Alur proses :Diberikan intervensi
Fisik-perilaku : efektif melakukan coping dalam mengatasi stress (kecil kemungkinan mengalami depresi, stress, dan insomnia), dan memiliki tujuan hidup baru sehingga bersemangat melakukan perubahan positif untuk mencapai tujuan tersebut.
Gambar 1: Kerangka Alur Pikir Peneliti