Kajian Kerelawanan Laporan lapangan-‐1: Medan
FIELD REPORT STUDY ON VOLUNTEER INSTITUTIONALISATION IN PNPM-‐UPP MEDAN -‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐ KEL. KARANG BEROMBAK, KEC. MEDAN BARAT A.
Gambaran Umum
Kelurahan Karang Berombak berada di sebelah barat Kota Medan. Kelurahan ini termasuk kelurahan yang padat penduduknya. Jumlah total penduduk Kelurahan Karang Berombak sebesar 27.413 jiwa terdiri dari 13.852 jiwa penduduk laki-‐laki dan 13.561 jiwa penduduk perempuan, keseluruhan mencakup 6.849 KK. Dari 6.849 KK tersebut, 1.185 KK termasuk dalam kategori KK miskin. Luas wilayah Kelurahan Karang Berombak adalah 105 Ha dengan kepadatan penduduk 261 jiwa per Ha. Jika dilihat dari mata pencaharian penduduk, sebagian besar penduduk yang tergolong fakir miskin tidak memiliki mata pencahatian tetap. Secara rinci dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 1. Jumlah Penduduk Usia Bekerja di Kelurahan Karang Berombak Berdasarkan Mata Pencaharian per Januari 2009
Mata Pencaharian 01. 02. 03. 04. 05. 06. 07. 08. 09. 10.
WNI
WNA
Jumlah
Pegawai dan ABRI Tani Pedagang/pengusaha Nelayan Buruh dan tani Karyawan Swasta Pensiunan PNS Pengangguran Fakir miskin
147 11 158 11 5.261 207 605 1.615 31 11.933
-‐ -‐ 218 -‐ 124 -‐ -‐ -‐ -‐ 190
147 11 376 11 5.385 207 605 1.615 31 12.123
Total
19.979
532
20.511
Selintas melewati jalan-‐jalan di Kelurahan Karang Berombak, tidak tampak adanya segregasi sosial yang tinggi. Dan memang jika dilihat dari stratifikasi sosial
Hal. 1
Kajian Kerelawanan Laporan lapangan-‐1: Medan
masyarakatnya, jumlah penduduk yang tergolong mampu dan kurang mampu tidak terlalu menonjol. Demikian halnya dengan keberadaan perumahan elit yang banyak dihuni oleh pejabat dan mantan pejabat di Sumatera Utara, nyatanya tidak menunjukkan adanya perbedaan yang runcing dengan kelompok masyarakat tidak mampu. Namun begitu memasuki gang-‐gang di antara 19 (sembilang belas) lingkungan di kelurahan ini, masih banyak dijumpai masyarakat yang tinggal dengan kondisi rumah berlantai tanah atau semen seadanya, beratap rumbai, dan berdinding tepas atau papan. Beberapa pejabat propinsi yang sempat bertemu dan berbincang tentang kondisi Kelurahan Karang Berombak sempat menyangkal keberadaan rumah tangga miskin di sana dan menganggap kelurahan ini tidak ada masyarakat miskin. Maka tidak mengherankan jika usulan masyarakat untuk memperbaiki “titi gantung” di Lingkungan I tidak pernah mendapat respon, bahkan hingga saat titi gantung ini telah memakan korban, jatuhnya seorang siswa SD saat melintasi titi karena terperosok akibat papan titi yang telah lapuk. Kelurahan Karang Berombak sebenarnya cukup heterogen. Namun demikian, etnis Jawa yang mencapai 2/3 dari jumlah penduduk sangat menonjol sebagai kelompok etnis terbesar. Tampilnya kelompok etnis jawa ini utamanya dipengaruhi oleh kuantitas yang lebih besar dibandingkan etnis-‐etnis lainnya yang ada (seperti: Batak, Melayu, China, dsb.). Selain itu, faktor guyub (memiliki rasa kebersamaan dan solidaritas yang tinggi) juga mempengaruhi dominasi etnis ini di Karang Berombak. Dampak positif lain adalah kebersihan lingkungan yang seringkali memang identik dengan budaya orang Jawa “pawuhan” (tempat pembuangan sampah) pun bersih. Guyup dan nilai-‐nilai kebersamaan inilah yang mendorong lahirnya relawan-‐relawan tanpa pamrih di Kelurahan Karang Berombak. Sifat dasar gotong royong pada umumnya diakui masyarakat sangat tinggi di kalangan etnis Jawa. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya kegiatan keswadayaan masyarakat untuk kepentingan bersama. Contohnya, jika ada anggota masyarakat mengalami kemalangan dibantu dengan cara “ngutip” (menarik iuran) dari warga. Kegiatan bersama telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dalam bentuk kegiatan “wirid”, PKK, posyandu, PKB, dan arisan. Kegiatan PKK, posyandu, dan PKB diikuti oleh kelompok perempuan saja, sedangkan wirid dan arisan dilakukan oleh kelompok laki-‐laki maupun perempuan. Kegiatan bersama ini biasanya berada pada tingkat lingkungan. Hanya PKK dan Posyandu yang cakupannya tingkat kelurahan. Kegiatan ini dimanfaatkan masyarakat sebagai media bertemu, saling berbagi, dan bersilaturahmi.
Hal. 2
Kajian Kerelawanan Laporan lapangan-‐1: Medan
Penokohan dalam masyarakat tidak terjadi pada elit non formal. Bagi masyarakat Karang Berombak, tokoh yang mampu menjembatani persoalan dan kebutuhan mereka adalah lurah. Meskipun beberapa urusan mereka selesaikan melalui kepala lingkungan (Kepling), namun kenyataannya lurah yang dianggap masyarakat sebagai tokoh utama, sedangkan kepling hanya perantara. Keberadaan BKM sebagai lembaga baru di masyarakat juga belum banyak dikenali, namun sebagian masyarakat mulai menjadikan BKM sebagai tempat untuk mencari solusi bagi masalah yang dihadapi. Gambar 1. Elite Capture Kelurahan Karang Berombak
Masya rakat
BKM
Kepling
Lurah
Ada 3 jenis usaha kecil yang tumbuh di lingkungan masyarakat miskin di Kelurahan Karang Berombak, yaitu: usaha pembuatan sofa dari kayu-‐kayu bekas (peti kemas), tas, dan usaha pembuatan sepatu. Dari ketiga jenis usaha tersebut, usaha pembuatan sofa tampak sudah cukup besar dan melibatkan beberapa tenaga kerja. B.
Tinjauan Umum Program P2KP
Program P2KP mulai masuk di Kelurahan Karang Berombak pada bulan 2006. Sosialisasi pertama dilakukan di Kantor Lurah Karang Berombak diikuti oleh seluruh Kepling dan perwakilan 19 lingkungan. Dari sosialisasi pertama inilah dilakukan pemilihan relawan di masing-‐masing lingkungan. Setelah relawan tingkat lingkungan selesai dipilih, maka dilakukan pelatihan dasar relawan di sekolah. P2KP di Kelurahan Karang Berombak ditangani oleh 5 (lima) orang fasilitator kelurahan (faskel) berdasarkan spesifikasi bidang (unit pelaksana). Satu
Hal. 3
Kajian Kerelawanan Laporan lapangan-‐1: Medan
diantaranya adalah senior fasilitator (SF). Kelurahan Karang Berombak telah melewati hampir semua siklus P2KP yang meliputi Tahapan Sosialisasi, Rembug Kesiapan Masyarakat (RKM), Refleksi Kemiskinan (RK), Pemetaan Swadaya (PS), Penyusunan PJM Pronangkis, Pembangunan BKM, dan Pembentukan KSM serta pelaksanaanya dengan basis program sesuai dengan rumusan PJM Pronangkis yang telah disepakati. Sampai saat studi ini dilakukan, sebagian prioritas yang telah ditetapkan dalam PJM Pronangkis, program lingkungan dan sosial tahap #1 telah direalisasikan. Sementara untuk program yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi produktif berupa program pinjaman hingga studi ini selesai, masih dalam tahap menunggu pencairan dana. Namun disadari benar oleh koordinator BKM, bahwa selama ini ada kecenderungan bahwa BLM untuk kegiatan ekonomi produktif seolah-‐olah diarahkan kepada peran BKM sebagai lembaga perbankan, dengan orientasi memenuhi target pengembalian pinjaman, bukan memikirkan bagaimana masyarakat miskin penerima manfaat mampu mengembalikan pinjamannya dengan memberikan alternatif solusi apabila terjadi kemacetan dan menggugah hati sesama anggota masyarakat untuk peduli kepada warga miskin di sekitarnya. P2KP di Karang Berombak tergolong berhasil. Hal ini salah satunya disebabkan oleh hubungan yang sangat baik antara pelaku program dengan pemerintah lokal. Relawan dan BKM selalu melibatkan lurah dan aparat kelurahan dalam setiap melaksanakan program. Demikian pula sebaliknya, lurah (aparat kelurahan) juga sangat pro aktif terhadap pelaksanaan kegiatan dengan turut hadir dan terlibat langsung dalam setiap pelaksanaan program sekali pun hari libur. Kondisi ini mengakibatkan tidak ada rasa saling mencurigai antara pelaku program dengan pemerintah kelurahan. “Kita bukan munafik, ya. Uang proyeknya kurang misalnya, kita bilang sama warga. Mau, warga tuh iuran. Proyek juga yang ngerjakan warga, masih ada yang kasih makan siang, pakai ayam goreng lagi. Murni betul. Maksud saya peran serta masyarakat dalam PNPM di kelurahan ini, sangat baik. Ya, gotong royongnya, menyediakan makan juga. Saya juga ga segan ikut datang setiap ada kegiatan. Saya juga yang menjelaskan ke warga bahwa program ini sifatnya swadaya, jadi sebagian biaya harus ditanggung warga. Biaya kan tidak harus berupa uang, tapi tenaga warga untuk mengerjakan juga termasuk biaya. Warga menyumbangkan tenaganya, sama dengan biaya tenaga kerja. Belum lagi yang menyediakan makanan dan minuman.” “..... saya paling tidak mau mengganggu sesuatu yang sudah jelas komposisinya masing-‐masing, sudah jelas tupoksinya. Kecuali jika dana sudah keluar dan mau didistribusikan, saya baru bicara. Saya jelaskan tentang keterbatasan program dan perlunya partisipasi masyarakat. Saya juga jelaskan bahwa tim BKM itu bekerja tanpa gaji.”
Hal. 4
Kajian Kerelawanan Laporan lapangan-‐1: Medan
(Seperti yang dituturkan Bapak Edwin Faisal, Lurah Karang Berombak, 19 Mei 2009, jam 10.30-‐11.15 di kantor Kelurahan Karang Berombak, Jl. Karya Dalam No. 23, Kecamatan Medan Barat). Kegiatan P2KP yang telah dilaksanakan di Kelurahan Karang Berombak tersebar di hampir seluruh lingkungan yang ada. Secara rinci program infrastruktur yang ada sebagai berikut: Linkungan I
: tidak ada usulan. Betonisasi parit yang direncanakan diambil alih oleh Dinas Perumahan dan Permukiman; Lingkungan II : pembuatan drainase; Lingkungan III : drainase; Lingkungan IV : rehabilitasi jembatan; Lingkungan V : tahap II, menolak; Lingkungan VI : rehabilitasi jembatan; Lingkungan VII : rehabilitasi jembatan; Lingkungan VIII : drainase; Lingkungan IX : tidak ada program, lingkungan orang kaya; Lingkungan X : betonisasi parit; Lingkungan XI : gorong-‐gorong, selokan; Lingkungan XII : drainase (betonisasi parit); Lingkungan XIII : tidak mau; Lingkungan XIV : instalasi air bersih (saluran PDAM); Lingkungan XV : tidak ikut (clash dengan faskel); Lingkungan XVI : parit dan betonisasi; Lingkungan XVII : rehabilitasi jembatan; Lingkungan XVIII : tidak ada; dan Lingkungan XIX : instalasi air bersih. Pemimpin/elit formal sebagai pihak yang paling banyak didengar masyarakat, memiliki peran dan pengaruh besar bagi masyarakat. Gaya kepemimpinan yang sangat egaliter dari lurah, berpengaruh bagi transparansi dan partisipasi pelaksanaan P2KP. Aparat kelurahan tidak memberikan intervensi terhadap pelaksanaan program dan pelaku program. Dalam penilaian aparat kelurahan, relawan dinilai “di atas jujur”. Kerjasama yang baik antara BKM dan pemerintah kelurahan, ditunjukkan dengan hubungan baik diantara keduanya yang bersifat transparan dan tidak struktural. BKM dalam melaksanakan kegiatannya selalu melibatkan lurah dan aparat kelurahan, demikian halnya lurah dan aparat kelurahan juga peduli terhadap kegiatan P2KP.
Hal. 5
Kajian Kerelawanan Laporan lapangan-‐1: Medan
Kriteria miskin yang diterapkan di Kelurahan Karang Berombak: -‐ -‐
Berpenghasilan kurang dari Rp 20.000,-‐/hari Pekerjaan tidak tetap
-‐
Rumah masih menyewa/numpang
-‐
Beli baju sekali dalam setahun
-‐
Banyak hutang
-‐
Rumah tidak bersemen, beratap tepas
-‐
Makan sekali sehari
-‐
Banyak anak
-‐
Malas kerja
-‐
Banyak bekerja di rumah tangga.
C.
Kerelawanan
1.
Jati Diri Relawan
Dalam kajian kerelawanan, jatidiri diuraikan ke dalam 4 faktor penting yang dapat mempengaruhi identitas dan kinerja relawan, di antaranya: (1) Status sosial-‐ budaya; (2) Usia dan pendidikan; (3) Mata pencaharian; (4) Stratifikasi sosial. Ke-‐4 faktor tersebut tidak ada yang berdiri sendiri, masing-‐masing memiliki hubungan; tetapi kualitas antar-‐hubungan tidak dalam keseragaman. Ada gradasinya. Bisa berwujud hubungan secara mutlak, jelas, dan mengikat; tetapi ada juga yang berhubungan secara “tersembunyi” (tidak langsung). Pada kasus di Kelurahan Karang Berombak, jatidiri kerelawanan saat ini lebih identik dengan BKM. Jadi, bila kita berbicara mengenai P2KP, yang diketahui dan banyak dikenali masyarakat adalah anggota BKM. Sedangkan relawan terdaftar lain yang dulu terlibat sebelum pembangunan BKM, seolah-‐olah tenggelam, meskipun dalam setiap kegiatan P2KP, mereka tetap menjadi ujung tombak di lapangan. Jatidiri relawan yang tampil di masyarakat bukan merupakan hal yang luar biasa, karena semua anggota BKM adalah orang-‐orang yang memang sudah dikenal dan berkecimpung dalam keorganisasian masyarakat maupun kelurahan. Sebelum terlibat di P2KP, relawan-‐relawan ini telah aktif di PKK, kegiatan posyandu, PKB, wirid, dan kegiatan sosial lainnya di lingkungannya masing-‐masing. Beberapa diantaranya baru saling mengenal ketika sama-‐sama menjadi relawan di P2KP. Di organisasi seperti PKK atau PKB, mereka mendapatkan pengetahuan tentang gizi yang baik untuk balita, mengolah makanan yang
Hal. 6
Kajian Kerelawanan Laporan lapangan-‐1: Medan
memenuhi kebutuhan gizi keluarga, demo memasak, dsb. Di P2KP mereka juga mendapatkan pelatihan serupa, seperti kursus menjahit, salon, dan membuat kue. Yang membedakan adalah di P2KP bahan disediakan dan mereka langsung praktek, sedangkan di PKK atau PKB sifatnya hanya demo. Dari pelatihan tersebut, hingga saat ini penerima manfaat baru menerapkan untuk kebutuhan konsumsi keluarga, misalnya membuat kue pada waktu lebaran, punya hajat, atau pada waktu ada kegiatan masak bersama di lingkungan. Yang menonjol di kelurahan ini adalah dari 40 orang relawan terdaftar, hanya 4 orang diantaranya laki-‐laki, sedangkan 36 orang lainnya perempuan. Relawan tersebut rata-‐rata berusia hampir 40 tahun dan tidak sedikit yang berumur lebih dari 50 tahun bahkan di atas 60 tahun. Sebut saja, Pak Suyoto (67 tahun), kakek berdarah Jawa ini sekaligus menjadi sesepuhnya BKM Rose, memainkan peran untuk menghadapi masyarakat dari kelompok umur tua. Ada definisi menarik yang dilontarkan atau menjadi selorohan di kalangan relawan Kelurahan Karang Berombak, yakni relawan adalah orang yang rela dan tidak melawan. Di mata peserta FGD relawan perempuan, relawan dipandang sebagai mereka yang kerja tanpa pamrih, tidak mengharapkan imbalan apa-‐apa, dengan ikhlas dan sukarela. Ketika fasilitator diskusi mencoba menggali lebih jauh tentang kerelawanan ini, salah seorang peserta dengan tegas mengatakan bahwa dirinya benar-‐benar ikhlas. Bahkan dia seringkali marah kalau kalau ada yang menganggapnya punya pamrih. Kami nih kerja tanpa pamrih, yang penting sehat. Kami begini karena benar-‐benar ini bermanfaat buat lingkungan kami, apalagi buat orang miskin. Biarpun sudah tua, saya tak mau ketinggalan. Anak saya bilang, “Sudahlah Mak, di rumah saja. Mamak nih sudah tua, nanti Mamak sakit pula.” Marah aku sama Si Butet itu. Malah kuajaknya dia ikut. Sekarang dia yang aktif di BKM. Yang penting buat kami, bisa membantu yang lain. Benar-‐benar kami ini ikhlas. (Sebagaimana dituturkan oleh Ibu Musdalifah dalam FGD Relawan Perempuan, 23 Mei 2009 pukul 14.00-‐16.00 di Kantor BKM “Rose”, Lingkungan XVII). Beberapa anggota BKM mengatakan bahwa keterlibatanya secara terus menerus menjadi relawan karena rasa penasaran. Seperti diceritakan oleh Pak Harun (41 tahun) sebagai berikut: Awalnya penasaran Mbak ..... Kepling : Run, nanti kamu datang ke sana, ada pertemuan Harun
: Pertemuan apa?
Hal. 7
Kajian Kerelawanan Laporan lapangan-‐1: Medan
Kepling : Saya gak tau. Cuma dari semua lingkungan diundang Dari awal saya tengok gak ada uangnya. Faskel pada waktu itu mengatakan, “..... kita akan bangun kampung kita dengan P2KP, Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan.” Dari awal kita ditanya relawan-‐ relawan, duitnya gak ada. Ini prosesnya lama loh, Mbak. Satu tahun ini. Saya penasaran, ini ujungnya itu kayak mana? Saya penasaran, ikut terus. Sampe orang rumah bilang, Isteri
: Udahlah Bang, gak ada kerjaan itu. Ngapain sih ikut-‐ikut gitu?
Harun
: Udahlah, wong aku ga ada kerjaan juga kok, lagian ga jauh dari rumah
Ya udah, tak ikuti-‐tak ikuti, akhirnya. Sampai ada Kepling yang bilang, “..... kalian itu sudah dibodoh-‐bodohi oleh si Rosa.” Dulu faskelnya namanya Rosa. “..... dia yang untung, dia digaji. Lah, kalian ngerjain kerjaan dia.” Ya udahlah, masa orang dibohongi satu kampung. Sejak pertemuan di masjid itu, kenallah saya dengan Pak Yoto ini. Sampai kemudian terbentuk BKM dan beberapa bulan kemudian, betul ada duitnya. Tapi duit ini tidak untuk BKM, tapi untuk masyarakat. Tapi ya sudahlah, kita jalani. Kok lama-‐lama uenak.... Enaknya, ada semacam kebanggaan. Ini yang kita buat dari dana itu. Ini kalau gak ada BKM, belum jalan ini. Kalau ngarepin BOP yang 3 juta, kita gak jalan. Sampai-‐sampai ada yang ikut mulai dari anaknya bayi, sampai bisa jalan. Kalau buat BAPUK itu sampai jam 01.00 malam. Nanti waktunya menyusui anaknya, dia ijin pulang dulu. Sekarang anaknya sudah umur 3 tahun. (Diceritakan kembali oleh Pak Harun, 19 Mei 2009 pukul 11.00 – 12.30 di ruang kerja Lurah Karang Berombak). Dalam FGD yang dilakukan bersama relawan perempuan di Kelurahan Karang Berombak, diketahui bahwa motivasi menjadi relawan adalah didorong keinginan untuk menambah banyak kawan, memajukan lingkungan, membantu orang miskin, dan kondisi lingkungan yang memang membutuhkan penanganan dan dirasa hanya ada di P2KP. Di tempat kami, dulu susah air. Kalau cuci dan mandi di sungai. Apalagi kalau musim kemarau. Untuk beli air, mahal, banyak yang tidak mampu. Waktu kami dapat sosialisasi di sekolah SD dulu, dikatakan kalau nanti bisa kita merencanakan untuk membangun sarana air bersih ini. Sejak itu lah, kami dengan ikhlas terlibat jadi relawan. Karena benar-‐benar terasa manfaatnya. Kami ikut senang melihat masyarakat tuh bisa mendapatkan air. Rasanya gimana gitu ..... ya, senang pokoknya.
Hal. 8
Kajian Kerelawanan Laporan lapangan-‐1: Medan
(Seperti dituturkan oleh Ibu Sumarni dalam FGD relawan perempuan, di Kantor BKM Rose, Kelurahan Karang Berombak, Lingkungan XVII, 23 Mei 2009 pukul 14.00 – 16.00)1 2.
Pembentukan Relawan
P2KP pertama kali muncul di Kelurahan Karang Berombak sejak bulan April 2006, diawali dengan kegiatan sosialisasi. Tahapan sosialisasi yang dilakukan faskel dilaksanakan dengan mengunjungi lurah dan perangkat kelurahan untuk meminta dukungan dari pemerintahan kelurahan. Dari kunjungan ini, faskel memperoleh keterangan tentang kondisi sosial kemasyarakatan dan juga meminta data potensi Kelurahan Karang Berombak. Selain dukungan berupa data, kelurahan juga memfasilitasi tempat untuk mengadakan pertemuan awal dengan orang-‐orang atau tokoh-‐tokoh potensial yang dapat mendukung keberadaan P2KP di wilayah ini. Tokoh yang dimaksud disini adalah Kepling, tokoh pemuda, dan kader PKK atau kegiatan lain di wilayah setempat. Setelah mengadakan pertemuan tingkat kelurahan, selanjutnya sosialisasi dilakukan di tingkat lingkungan yang difasilitasi oleh Kepling masing-‐masing. Biasanya dilakukan di masjid/musholla. Adanya keterbatasan waktu dengan capaian target yang ditetapkan, maka sosialisasi di masing-‐masing lingkungan hanya sempat dilakukan 1 (satu) kali. Proses yang harus dilalui untuk mencapai tahapan BLM 1, memakan waktu yang sangat panjang. Dana BLM 1 cair pada bulan April 2007. Genap 1 (satu) tahun pencairan tahap pertama baru bisa dirasakan. Keterlibatan relawan pertama kali adalah 40 orang, terdiri dari 4 orang relawan laki-‐laki dan 36 orang relawan perempuan. Dari 40 orang tersebut, tinggal 15 orang. Dari 15 orang ini, 13 orang terpilih menjadi anggota BKM dengan 4 orang relawan laki-‐laki semuanya terpilih. Dari 13 orang tersebut hingga saat ini menyisakan 10 orang anggota BKM aktif. Di tahap awal ini, peran pemerintahan kelurahan sangat besar. Sosialisasi yang berangkat dari tingkat lingkungan, mau gak mau menuntut banyak keterlibatan Kepling. Kepling-‐lah yang kemudian mendorong orang-‐orang seperti Pak Yoto dan Pak Harun menjadi relawan. Umumnya karena disebabkan Kepling juga tidak mau direpotkan untuk melakukan seleksi, sehingga mekanisme menunjuk orang yang dirasa memiliki waktu dan kemampuan cukup, adalah hal yang sangat mungkin dilakukan. 1
Apa yang disampaikan oleh Ibu Sumarni juga dibenarkan oleh peserta FGD yang lain. Bahwa keikhlasannya menjadi relawan murni tanpa pengharapan imbalan dalam bentuk apapun.
Hal. 9
Kajian Kerelawanan Laporan lapangan-‐1: Medan
Ini kan berangkat dari lingkungan. Kepling gak mau kalau disuruh yang ribet. Ya sudahlah, dari lingkungannya Pak Yoto, dimintalah Pak Yoto ini, hadir. Di lingkungan saya, saya ini kan kerjanya malam, kalau siang, penuh di rumah aja. Jadi dimintalah saya. Ya sudah, hadir. (Seperti dituturkan oleh Pak Harun dan Pak Suyoto, 19 Mei 2009 pukul 11.00 – 12.30 di ruang kerja Lurah Karang Berombak). Proses yang panjang dan melelahkan, menyebabkan sebagian anggota BKM juga mengundurkan diri. Proses pelaksanaan siklus yang panjang hingga satu tahun belum menunjukkan kejelasan, membuat beberapa relawan jenuh, kemudian mengundurkan diri. Di samping itu, salah satu diantaranya diterima menjadi PNS sehingga mengundurkan diri. Tetapi tidak bisa dipungkiri, kegiatan program yang banyak menyita waktu dan sukarela (relawan = rela dan tidak melawan) membuat sebagian relawan terdaftar tidak aktif. Apalagi setelah terbentuk BKM, relawan lain yang semula aktif, sangat tergantung pada ritme kegiatan. Mereka tetap aktif kalau digerakkan, kalau gak digerakkan ya tidak aktif. Sampe dibilang, “Ngapain itu, nggak ada... nggak ada duitnya. Nggak jelas itu.” Atau karena dana gak cair-‐cair, setiap kali kawan-‐kawan bertanya, “Bagaimana Pak Harun, ada kelanjutannya nggak? Ada pencairan nggak?” (Seperti dituturkan oleh Pak Harun dan Pak Suyoto, 19 Mei 2009 pukul 11.00 – 12.30 di ruang kerja Lurah Karang Berombak). Persoalan etnisitas dinilai turut menentukan lahirnya nilai-‐nilai luhur kerelawanan. Relawan di Karang Berombak bisa dikatakan bagus, karena mayoritas masyarakatnya Jawa, jadi “..... ya manut manut wae lah. Yuk gotong royong, yuk. Iki danane enek, neng gajine ra ono. Yo wis, ra popo. Jadi rame-‐rame jalan.” (Ya nurut nurut saja. Mari bergotong royong, mari. Ini tersedia dana, tapi tidak ada gaji. Ya sudah, gak masalah. Jadi ramai-‐ramai masyarakat melaksanakan). (Seperti dituturkan oleh Pak Harun dan Pak Suyoto, 19 Mei 2009 pukul 11.00 – 12.30 di ruang kerja Lurah Karang Berombak). Pak Harun (41 tahun) dan Pak Suyoto (67 tahun) mengatakan bahwa ada beberapa lingkungan yang warganya lebih banyak orang Batak. Apabila mereka diberi pekerjaan, yang Jawa lebih cepet siap, lebih rapi, dan gak ada masalah. Sementara yang Batak ini, siapnya siap, tetapi memakan waktu lama dan banyak masalah. Contohnya, kalau pekerjaan tersebut dikerjakan oleh masyarakat dari
Hal. 10
Kajian Kerelawanan Laporan lapangan-‐1: Medan
etnis Jawa, maka tiga hari selesai. Tapi jika dikerjakan oleh kelompok etnis Batak, pekerjaan yang sama membutuhkan waktu satu minggu.2 3.
Relawan Dalam Pandangan Pemerintah
Aparat pemerintah Kelurahan Karang Berombak, Edwin Faisal (lurah) mengatakan bahwa relawan di Karang Berombak ini “lebih dari jujur.” Argumentasinya, mana ada masyarakat yang mau gabung menjadi relawan di program P2KP kalau tidak ada uangnya. Sedangkan relawan disini, terutama ditunjukkan oleh BKM, mereka bekerja keras dan benar-‐benar tanpa pamrih. Mereka juga sangat transparan. Setiap ada pencairan atau memulai kegiatan, secara terbuka mereka melaporkan kepada aparat kelurahan dan warga. Oleh karena itulah, lurah pun tak mau ketinggal untuk terlibat aktif dalam kegiatan yang dilaksanakan oleh program. Baginya, kegiatan yang dilakukan para relawan ini sangat baik bagi pembangunan kelurahan. Sehingga dia tidak akan mempersulit atau melakukan intervensi dalam bentuk apapun. “BKM ini orang-‐orangnya di atas jujur. Juuujur sekali, mereka. Apa pun kegiatannya mereka lapor ke lurah. Mereka juga memiliki hubungan yang baik dengan elit non formal di Kelurahan Karang Berombak.” (Seperti dituturkan oleh Pak Edwin Faisal, 19 Mei 2009, jam 10.30-‐11.15 di kantor Kelurahan Karang Berombak, Jl. Karya Dalam No. 23, Kecamatan Medan Barat). Fungsi Lurah dalam program P2KP adalah menghimpun masyarakat dan menyarankan masyarakat mengikuti kegiatan P2KP. Kalau sosialisasinya baik pasti hasilnya juga baik. Jadi fungsi Lurah di sini dipahami sebagai “pendorong” masyarakat untuk mengikuti kegiatan kerelawanan. “Kalau bapak/ibu bertanya kepada saya, “Siapa itu relawan?” maka saya jawab, “Saya salah satu contoh relawan.” Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang hasilnya untuk mereka juga apa bukan kegiatan relawan? Jadi, relawan jangan diartikan orang yang ‘harus’ ada dalam kelembagaan; walaupun ia tidak dalam kelembagaan – tetapi jika ia 2
Seperti diceritakan oleh Pak Harun dan Pak Suyoto dalam wawancara di Kantor Kelurahan Karang Berombak, 20 Mei 2009. Pernyataan ini juga dibenarkan oleh Pak Edwin Faisal, Lurah Karang Berombak yang mengatakan bahwa karena 2/3 warganya adalan etnis Jawa, maka menurutnya nilai-‐nilai gotong royong dan kebersamaan masih sangat kental. Meskipun dirinya juga berasal dari etnis Batak, Pak Edwin mengakui bahwa orang Batak cenderung malas. “Karakteristik Jawa adalah masyarakat yang senang bekerja dan suka bergotong royong, sehingga setiap kali ada kegiatan, cepat selesai dan tidak ada masalah. Berbeda dengan kelompok Batak yang dinilai malas, lamban dan banyak masalah. Jika ada kegiatan hadir 100 orang, 40 bekerja, 60 sisanya hanya berdiri saja.”
Hal. 11
Kajian Kerelawanan Laporan lapangan-‐1: Medan
aktif membantu baik hanya tenaga, pikiran, maupun finansial; maka orang itu bisa kita sebut relawan.” (Seperti dituturkan oleh Pak Edwin Faisal, 19 Mei 2009, jam 10.30-‐11.15 di kantor Kelurahan Karang Berombak, Jl. Karya Dalam No. 23, Kecamatan Medan Barat). Menurutnya, sebelum Lurah meminta masyarakat untuk aktif dalam kegiatan kerelawanan, Lurah itu sendiri yang terlebih dahulu harus memberi contoh kepada masyarakat bahwa dirinya memiliki nilai “kerelawanan” untuk masyarakatnya. Hal inilah yang membuat kegiatan P2KP di Kelurahan ini berjalan. “BKM atau relawan itu bekerja 100% tanpa gaji. Apalagi di sini BKM-‐nya jujur. Ada kegiatan apapun lapor ke Lurah, termasuk dana P2KP turun. Oleh karena itu, Lurah (maksudnya Ybs.) tidak tega untuk meminta ‘gaji’ kepada BKM apabila dana turun. Hal inilah yang harus ditanamkan pada diri Lurah-‐lurah. Ada kejadian, Lurah yang tidak mengerti kegiatan P2KP, sehingga ketika dana turun dia minta ‘gaji’ ke BKM. Beritanya sampai ke wartawan, masuk koran, kan, memalukan.” (Seperti dituturkan oleh Pak Edwin Faisal, 19 Mei 2009, jam 10.30-‐11.15 di kantor Kelurahan Karang Berombak, Jl. Karya Dalam No. 23, Kecamatan Medan Barat). 4.
Relawan Dalam Pandangan Masyarakat Miskin
Informan : Nenek Rikem, 83 tahun Nenek Rikem adalah salah seorang penerima bantuan sembako bagi masyarakat yang sudah jompo. Nenek Rikem memiliki 8 orang anak, 2 sudah meninggal, dan sekarang tinggal bersama anak kelimanya. Karena faktor usianya, Nenek Rikem tidak tahu siapa yang memberikan bantuan itu (P2KP), tetapi Nenek Rikem ingat bahwa dia harus pergi ke Lingkungan “Pinggir Sungai” (Lingkungan 17) untuk mengambil bantuan berupa beras, minyak, dll. Nenek Rikem harus mengambil sendiri bantuan sembako itu. Nenek Rikem menceritakan bahwa pada waktu itu ia harus jalan kaki bersama Nenek Painem ke Lingkungan 17. Selebihnya Nenek Rikem tidak mengetahui siapa relawan dan P2KP. Informan : Muhammad Ari Saputro, 16 tahun Ari adalah penerima manfaat bantuan sosial berupa beasiswa untuk anak sekolah. Ari seorang yatim piatu dan saat ini tinggal bersama saudaranya. Untuk kebutuhan sehari-‐hari (uang jajan dan ongkos ke sekolah), Ari bekerja di tempat pembuatan kaki kursi. Tidak seperti
Hal. 12
Kajian Kerelawanan Laporan lapangan-‐1: Medan
kebanyakan remaja seusianya, Ari lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja. Untuk mendapatkan beasiswa dari P2KP, Ari memperoleh informasi dari Kepling dengan syarat menyerahkan foto copy KK. Penerimaan beasiswa diambil di Lorong Duri, “tepi sungai.” Karena kebutuhan ekonomi yang harus dia penuhi, Ari tidak pernah mengikuti kegiatan P2KP. Dia tidak tahu persis apa itu relawan di P2KP, tapi Ari mengenal benar sosok relawan (Evi) di lingkungannya. Baginya, apa yang dilakukan Evi sangat bermanfaat bagi masyarakat, terutama masyarakat miskin seperti dirinya dan orang-‐orang jompo yang menerima bantuan sembako. Setelah mengetahui bahwa yang dilakukan Evi dan relawan lain tanpa gaji dan imbalan dalam bentuk apapun, Ari mengatakan tidak tertarik untuk menjadi relawan karena tidak mendapat imbalan apa-‐apa, sementara dia harus memenuhi kebutuhannya, apalagi dia tidak mempunyai orang tua lagi. Kakaknya semata mayang tidak lagi tinggal bersamanya, karena juga harus mengadu nasib di tempat lain. Namun demikian, Ari merasa sangat terbantu dengan beasiswa yang diterimanya. Informan : Ibu Rosita, 25 tahun Ibu muda ini memiliki 3 orang anak. Suaminya bekerja di sebuah restoran di Medan. Ibu yang tamatan SD ini pernah terlibat dalam sosialisasi kegiatan P2KP di Lingkungan II, namun tidak diprioritaskan untuk mendapatkan bantuan dari P2KP saat ini karena dia sudah sangat sering mendapatkan bantuan dari program yang lain. Selebihnya Ibu Rosita tidak bisa menceritakan apa yang dia ketahui tentang P2KP, karena tidak pernah tahu lagi kegiatannya. Dia juga tidak ingin terlibat menjadi relawan, karena tidak mendapatkan apa-‐ apa. Informan : Ibu Haryati, 40 tahun Ibu Haryati memiliki 3 orang anak, 1 sudah bekerja, 1 kelas 5 SD, dan 1 lagi kelas 2 SD. Sehari-‐hari Ibu Haryati bekerja sebagai pembantu rumah tangga, pergi pagi pulang malam hari. Menurutnya, rumah hanya atap buat tidur. Dari P2KP, Ibu Haryati mendapatkan bantuan beruapa beasiswa untuk pendidikan anaknya. Ibu Haryati menerima bantuan ini karena didaftar oleh Kepling. Uang sebesar Rp 200.000,-‐ yang diterimanya digunakan untuk membeli buku, pensil, baju sekolah, dan sepatu. Hal. 13
Kajian Kerelawanan Laporan lapangan-‐1: Medan
Meskipun cukup dekat dengan kantor BKM Rose, Ibu Haryati mengatakan tidak banyak tahu kegiatan P2KP dan relawan karena dia sibuk bekerja di tempat majikannya dari pagi hingga malam. Dia sangat mengenal sosok Pak Harun (koordinator BKM) sebagai tetangganya, tetapi tidak pernah mengetahui bahwa Pak Harun seorang relawan. Dalam pandangan Ibu Haryati, orang-‐orang yang telah membantunya mendapatkan beasiswa buat biaya sekolah anaknya, adalah orang baik. Hanya sebatas itu yang bisa dijelaskan Ibu Haryati, karena keterbatasannya secara ekonomi dan pengetahuan. Informan : Pak Idan (35 tahun), pengrajin sepatu. Menurut Pak Idan, kegiatan P2KP seperti membangun titi gantung dan parit di Karang Berombak, tidak pernah melibatkannya. Sepengetahuannya, kegiatan itu dilakukan oleh orang-‐orang yang tidak dikenalnya. Masyarakat tidak bergotong royong, tapi sepertinya diserahkan sama orang yang dibayar. Namun apa yang disampaikan Pak Idan ini setelah ditelusuri lebih jauh, tidak dibenarkan oleh masyarakat lain. Memang benar ada orang-‐orang yang secara khusus digaji untuk pengerjaan infrastruktur karena pekerjaan tersebut membutuhkan keahlian khusus, namun di bagian lain kegiatan tersebut selalu melibatkan warga. Menurut penjelasan Pak Harun dalam kegiatan membersihkan parit, juga mendapatkan sponsor dari Yamaha dan melibatkan beberapa orang dari pihak sponsor yang notabene memang bukan warga Karang Berombak. 5.
Hubungan Relawan dengan Pemerintah Kelurahan
Salah satu faktor penting keberhasilan program P2KP adalah kerjasama antara BKM dengan Pemerintah Lokal (Kelurahan, maksudnya Lurah). Faktor penting tersebut ditindaklanjuti dengan peran aktif Pemerintah Daerah (Lurah) dalam mengikuti kegiatan relawan (BKM). Argumentasinya, mana ada masyarakat yang mau gabung menjadi relawan di program P2KP kalau tidak ada uangnya. Di sinilah peran Lurah diperlukan untuk aktif mensosialisasikan dan mendorong warganya untuk ikut menyambut – bahkan berperan di dalam program. Tujuannya adalah membantu BKM yang secara kependudukan masuk ke dalam warga kami (Kelurahan). Jadi, membantu BKM sama saja dengan membantu warga masyarakat kami (Kelurahan) juga.
Hal. 14
Kajian Kerelawanan Laporan lapangan-‐1: Medan
Relawan dan BKM selalu melibatkan lurah dan aparat kelurahan dalam setiap melaksanakan program. Demikian pula sebaliknya, lurah (aparat kelurahan) juga sangat pro aktif terhadap pelaksanaan kegiatan dengan turut hadir dalam setiap pelaksanaan program sekali pun hari libur. Kondisi ini mengakibatkan tidak ada rasa saling mencurigai antara pelaku program dengan pemerintah kelurahan. “Berjalannya P2KP ini berkat lurahnya juga. Bukan kita mau bangga-‐ banggain gak. Tapi misalnya kalau minggu kita gotong royong, buat selokan, Pak Lurah tetap hadir. Kalau dilain-‐lain, ada juga yang ngomong, “... cem mana lurahnya? Kita nih kan harus bikin LPJ-‐LPJ. Itulah masalahnya, susah kita dapat tanda tangan. Saya bilang, kita gak ada masalah. Walaupun mau minta tanda tangan seabrek, gak masalah lurahnya, bahkan tanda tangannya di bawah, gak di kantornya.” (Seperti dituturkan oleh Pak Harun, 19 Mei 2009 pukul 11.00 – 12.30 di ruang kerja Lurah Karang Berombak). Pemimpin/elit formal sebagai pihak yang paling banyak didengar masyarakat, memiliki peran dan pengaruh besar bagi masyarakat. Gaya kepemimpinan yang sangat egaliter dari lurah, berpengaruh bagi transparansi dan partisipasi pelaksanaan P2KP. Aparat kelurahan tidak memberikan intervensi terhadap pelaksanaan program dan pelaku program. 6.
Hubungan Relawan dengan Lingkungan Sosial Belum selesai ditulis!
7.
Penghargaan Yang Diterima Relawan
Menjadi relawan ternyata syarat dengan suka duka. Menurut penuturan Pak Suyoto (67 tahun), pertama kali menjadi relawan, keluarga baik-‐baik saja – tidak ada masalah. Lama-‐kelamaan mereka mulai protes, karena kasihan kepadanya. Karena apa yang dikerjakannya dianggap tidak ada hasilnya (maksudnya, tidak menghasilkan uang layaknya orang yang bekerja). Tetapi hingga saat studi ini dilakukan, Pak Suyoto masih terus terlibat aktif sebagai anggota BKM. Menurutnya hal ini dilakukan karena rasa “penasaran” sampai sejauh mana program ini masih dan bisa berjalan – dan kelanjutannya seperti apa. “Pak, wis nang omah wae, … wis tua, arep golek opo maneh?” kata anak Pak Suyoto. (“Pak, sudahlah di rumah saja, …. (bapak) sudah tua, mau apa lagi (kalau tidak ada hasilnya),” kata anak Pak Suyoto. (Seperti yang diutarakan oleh pak Suyoto, 19 Mei 2009) Hal serupa juga dialami oleh relawan lain, ditentang oleh isteri, anak, atau anggota keluarga lainnya. Namun tidak jarang diantaranya malah kemudian ikut terlibat. Pak Harun misalnya, keikutsertaannya menjadi relawan semula ditentang
Hal. 15
Kajian Kerelawanan Laporan lapangan-‐1: Medan
oleh isterinya, karena dianggap sia-‐sia, tidak menghasilkan uang, buang-‐buang waktu dan tenaga. Tapi malah sekarang isterinya yang paling hafal semua hal tentang P2KP. Bagi para relawan seperti Pak Suyoto, tanggapan masyarakat biasa saja. Tidak ada perubahan perlakuan sebelum dan sesudah menjadi relawan. Paling perubahannya kalau sebelumnya Pak Suyoto ini tidak dikenal di Lingkungan XIX, sekarang orang kenal Pak Yoto, “Ooo .... Bapak ini yang dulu masangin air PAM.” Yang tadinya kepling gak kenal, sekarang kalau hajatan diundang. Manfaat lain yang diutarakan oleh relawan dalam FGD BKM dan UP adalah pembelajaran yang diterima selama menjadi relawan. “Saya sekarang tidak takut lagi kalau ketemu polisi. Saya berani ngomong dengan polisi. Sebelumnya kalau ketemu polisi, saya takut.” (Dituturkan oleh Ibu Musrifah dalam FGD BKM dan UP di BKM “Rose”, 21 Mei 2009 jam 14.30 – 17.00). Diantara para relawan terdapat juga penerima manfaat. Selain merasakan manfaat sebagaimana dijelaskan oleh relawan lain di atas, relawan penerima manfaat memiliki pengharapkan mendapatkan pinjaman dari dana BLM kegiatan ekonomi produktif. “Di P2KP bisa pinjam uang untuk tambahan modal usaha. Di tempat kami ni, biasanya masyrakat pinjam sama “koperasi” (kosipa = koperasi simpan pinjam, atau kredit harian), semacam rentenir lah. Kalau di P2KP kan tidak ditagih tiap hari dan bunganya juga tidak seperti jika pinjam sama koperasi itu.” (Disampaikan oleh peserta FGD Relawan Perempuan di BKM “Rose”, 23 Mei 2009, pukul 14.00 – 16.00). KEL. HAMDAN KEC. MEDAN MAIMUN A.
Gambaran Umum
Kelurahan Hamdan berada di tengah kota Medan. Dengan posisi tersebut, membuat Kelurahan Hamdan menjadi daerah yang strategis; terutama untuk bisnis, perdagangan, dan perumahan mewah kelas atas. Harga tanah di Kelurahan Hamdan menjadi sangat tinggi – walaupun demikian, tetap menjadi incaran para pengusaha maupun spekulan kelas atas. Namun, mereka yang ‘memperebutkan’ kepemilikan tanah di Kelurahan Hamdan tidak hanya terbatas pada para mengusaha kelas atas maupun orang-‐orang berkantong tebal. Para warga miskin kota juga tampil untuk ‘memeriahkan’ penguasaan tanah tadi.
Hal. 16
Kajian Kerelawanan Laporan lapangan-‐1: Medan
“Sejarah pertanahan di Kelurahan Hamdan berawal dari kepemilikan tanah tersebut atas nama Sultan (maksudnya, Kesultanan Deli). Kemudian dijual ke pengembang. Oleh karena itu, 40% tanah di Kelurahan Hamdan dimiliki oleh para pengembang. Namun, tanah itu kini menjadi tanah sengketa. Ceritanya, pengembang yang belum memiliki rencana membangun di atas tanahnya – membiarkan tanahnya begitu saja, yang pada akhirnya tanah itu digarap oleh masyarakat miskin. Mulai dari membuat gubuk seadanya, lama-‐kelamaan mereka mendudukinya secara permanen, dan menjadi lingkungan yang padat dan kumuh. Untuk bisa menggunakan tanahnya, pengembang harus mengeluarkan uang lagi dalam jumlah yang besar, karena masyarakat yang menduduki tanahnya meminta ganti-‐rugi yang sulit dipenuhi. Bayangkan, mereka meminta Rp.5.000.000/meter.” (Seperti yang dituturkan ibu Rina, Lurah Hamdan, 19 Mei 2009, jam 14.00-‐ 15.55 di kantor Kelurahan Hamdan, Jl. Kantil No.11, Kecamatan Medan Maimun). Berdasarkan informasi di atas, dapat dipahami bahwa permasalahan penggunaan dan penguasaan ruang yang terjadi di Kelurahan Hamdan sangat kompleks dan timpang. Permasalahan yang kompleks lebih kepada masalah hukum dan kekuatan masyarakat yang “mengikat” kebebasan pengembang untuk menggunakan tanahnya sendiri. Sedangkan permasalahan yang timpang lebih kepada zoning (mintakat ruang) kota yang terjadi di Kelurahan Hamdan. Tidak ada gradasi yang landai, yang ada curam dan tajam, bahkan ekstrim. Maksudnya, batas antara daerah bisnis, perdagangan, dan rumah elite menempel dengan daerah kumuh dan bangunan liar. Keragaman etnik juga terlihat jelas di sini. Ada orang Batak (Toba, Dairi, Simalungun, dsb.), Karo, Deli, Jadel (Jawa Deli), Jabat (Jawa Batak), Jawa (sebagai suku terbanyak), Nias, Padang, Aceh; hingga Cina dan India (Orang Keling). Dari bermacam-‐macam etnis yang ada, ada 4 etnis yang hidupnya berkelompok, artinya mereka tidak tinggal berpencar-‐pencar dan selalu ada di setiap lingkungan. Keempat etnis itu adalah Jawa, Nias, Cina, dan India. Dari keempat etnis tadi, hanya etnis Cina yang sebagian besar warga masyarakatnya hidup di lingkungan menengah atas. Sisanya, etnis Nias, Jawa, dan India hidup dan menetap di lingkungan menengah bawah atau miskin. Lingkungan IX adalah lingkungan yang paling “menarik”. Pengelompokan etnis terjadi di sini; Jawa, Nias, dan India. Setiap etnis memiliki patronnya masing-‐ masing. Setiap kelompok etnis tidak mau tahu atau tidak mau ikut campur urusan
Hal. 17
Kajian Kerelawanan Laporan lapangan-‐1: Medan
etnik lainnya3. Namun, pada lingkungan ini bukan berarti orang India sebagai etnis dominan; baik patron maupun warga etnisnya ditakuti oleh etnis lainnya. Justru yang terlihat, Erwin sebagai warga dari etnis Karo dan Ucok dari etnis Jabat cukup disegani di Lingkungan IX. B.
Tinjauan Umum Program P2KP
Seperti yang telah diutarakan pada Bagian II mengenai Kondisi Lingkungan; tingkat kepadatan penduduk, sengketa tanah, tingkat ekonomi yang kontras antara warga di setiap lingkungan, masalah kriminalitas, keragaman etnik, zoning yang bergradasi curam, adalah faktor-‐faktor yang membuat kegiatan P2KP menjadi terhambat atau tidak berjalan. Jika faktor-‐faktor itu diuraikan ke dalam tiap-‐tiap lingkungan, maka masing-‐masing lingkungan memiliki masalah-‐masalah yang rumit dan berbeda-‐beda. Penjelasannya4, di Kelurahan Hamdan ada 10 Kepling – dalam pengertian ini berarti ada 10 lingkungan (= semacam RW). Dari 10 Kepling5 yang ada, hanya Kepling IV dan IX saja yang lancar kegiatan BKM-‐nya; sedangkan lingkungan lainnya tidak lancar dengan berbagai permasalahan, di antaranya: (a)
Lingkungan I dan II: kegiatan kerelawanan sama sekali tidak berjalan, karena pada lingkungan ini tidak ada lagi perumahan warga miskin – 100% ruko (rumah toko). Catatan: walaupun bentuk jenis usaha ruko, tetapi bangunan tersebut tidak dihuni layaknya konsep ruko. Kalaupun ada yang menempati, sifatnya hanya menunggu saja, bukan oleh anggota keluarga; hanya pelayan toko atau satpam. Di antara kedua kategori yang menunggu ruko, semuanya bersikap tertutup – bahkan untuk menjadi penghubung (semisal, antara BKM dengan pemilik ruko).
(b)
Lingkungan III: belum selesai ditulis!
3
Hal ini dibuktikan ketika kami berada di Lingkungan IX (tepatnya di depan rumah Erwin) pada hari Sabtu, tanggal 23 Mei 2009, jam 1.42. Saat itu terjadi perang-‐mulut ibu-‐ibu dari dua keluarga beretnis orang Jawa. Kata-‐kata makian yang kotor terucap lantang dan keras, hingga terdengar jelas dari posisi kami duduk dengan tempat kejadian yang berjarak 20 meter. Namun, di sisi yang lainnya lagi, ada acara pernikahan dengan adat yang cukup meriah dari kelompok etnis Nias, dengan jarak sekitar 8 meter dari tempat kami duduk. Dua kejadian yang saling bertolak belakang itu (ada yang marah dan ada yang bahagia) berjalan natural (seolah-‐olah tidak ada pengaruhnya terhadap yang lain). Masyarakat India yang menjadi komuniti etnis dominan bisa “memilih” mau menonton yang perang-‐mulut atau yang sedang menikah, dengan sikap yang biasa saja.
4
Berdasarkan informasi dari ibu Rina (Lurah) dan beberapa anggota BKM (Budi, Chandra, Erwin, dan Wawan).
5
Masyarakat di Kelurahan Hamdan pada umumnya sering menyebut istilah kepling untuk mengatakan “lingkungan” (= luasan wilayah untuk satu RW).
Hal. 18
Kajian Kerelawanan Laporan lapangan-‐1: Medan
(c)
Lingkungan V dan VI: sama seperti Lingkungan I & II, kegiatan kerelawanan sama sekali tidak berjalan, karena pada lingkungan ini tidak ada lagi perumahan warga miskin – 100% merupakan lingkungan rumah orang kaya.
Lalu, yang menjadi pertanyaan tim peneliti, ”Apakah ada partisipasi warga dari lingkungan orang kaya yang mau menjadi relawan atas dasar kekayaannya?” Berikut jawaban seorang BKM: “Tidak ada satupun orang kaya dari lingkungan itu (maksudnya Lingkungan V dan VI) yang mau ikut. Beberapa surat ajakan sering kita kirim, tetapi tidak pernah ada tindak lanjutnya. Mereka itu tidak mau tahu dengan program di sini (maksudnya, P2KP). Dari pengalaman kita sebagai BKM dan sebagai warga masyarakat di sini, alasan orang kaya tidak mau bergabung dengan kegiatan kerelawanan karena: (1)
Bila ada orang miskin6 yang mau/dekat dengan orang kaya, mereka (orang kaya) selalu beranggapan bahwa kita ‘tebar pancing’ (maksudnya, punya siasat buruk yang berhubungan dengan uang) – jadi mereka belum apa-‐apa sudah mundur karena curiga terlebih dahulu.
(2)
Takut komunikasi akan berkelanjutan. Orang kaya sangat membatasi diri untuk berkomunikasi dengan kita; itulah alasannya. Artinya, kalaupun ada komunikasi, cukup sekali saja, jangan ada buntutnya.
Begitulah kira-‐kira pandangan orang kaya di lingkungan itu kepada kami. Kita bisa bicara seperti ini karena pengalaman.” (Seperti yang dituturkan P’Erwin, pada hari rabu, 20 Mei 2009) (d)
Lingkungan VII dan VIII: adalah lingkungan “banyak proyek”, atau daerah perumahan padat yang rentan terhadap penggusuran dari pihak penembang.
(e)
Lingkungan X: adalah lingkungan yang “banyak masalah”7. Menurut ibu Rina (Lurah), BKM yang ada di lingkungan ini sering berselisih paham dengan dirinya. Tapi sekarang sudah tidak terlalu besar masalahnya; kalau pada tahap awal justru perselisihan antara BKM dengan pihak kelurahan begitu tajam. Hal ini sebenarnya dipicu oleh kinerja Faskel yang memberikan pengarahan kepada para anggota BKM.
6
Maksudnya, bukan dari kelompok ekonomi seperti mereka.
7
Istilah banyak masalah adalah istilah yang diberikan oleh Rina (Lurah); sementara “daerah Texas” adalah istilah yang sering digunakan oleh masyarakat (terutama kelompok anak muda) di kelurahan Hamdan untuk menyebut lingkungan 10. Daerah Texas maksudnya daerah “hitam” yang merdeka dan berbuat semaunya.
Hal. 19
Kajian Kerelawanan Laporan lapangan-‐1: Medan
“Mohon maaf, kalau pada awalnya bapak/ibu memperkenalkan diri – saya menyambutnya kurang suka. Saya ini kalau mendengar kata “P2KP” langsung pening (= sakit kepala karena tidak suka akan suatu hal). Begitu banyak masalah. Sekarang pening saya sudah agak berkurang, walau kadang-‐kadang masih pening juga – kalau pada awal pening-‐nya tak karuan8. Kegiatan P2KP di sini banyak masalah, hal ini dipicu oleh seorang Faskel yang bernama Julia. Dia itu Faskel pertama di kelurahan Hamdan. Setiap bertemu dengan para relawan dan anggota BKM, dia selalu bilang “Lurah tidak ada sangkut-‐pautnya dengan kegiatan P2KP, jadi tidak perlu bicara program kalian (BKM) kepada Lurah. Itulah yang membuat saya ini sebagai Lurah tidak dianggap.” “Puncaknya pada Juni 2007. Saya mengusir angota BKM dari kelurahan (lantai 2). Pengusiran itu sebenarnya karena keberadaan mereka dalam kantor kelurahan seperti membuat “kelurahan baru”. Lurah tidak pernah diberitahu program mereka, kalau ditanya semuanya diam; tapi kalau urusan tanda tangan Lurah untuk SPJ dan sebagainya – mereka baru bicara. Kalau saat pengusiran itu, saya kesal karena ketika saya datang mereka terlihat tidak senang dan satu-‐satu pergi. Kalau begitu, sekalian saja saya suruh bubar semua.” (Seperti yang dituturkan ibu Rina, Lurah Hamdan, 19 Mei 2009, di kantor Kelurahan Hamdan, jl. Kantil No.11, Kecamatan Medan Maimun). Menurut ibu Rina, “..... pada saat itu, saya sempat memiliki pemikiran, sebaiknya kegiatan P2KP di lingkungan kelurahan Hamdan ditiadakan saja. Terlalu banyak masalah.” Ibu Rina membeberkan fakta tantang carut-‐marutnya kegiatan P2KP menurut versi kelurahan, di antaranya: pengembalian bantuan dana bergulir pada tahap #1 cuma 25%. Itupun pada awalnya BKM tidak memiliki keinginan untuk menarik pengembalian dana bergulir yang ada di masyarakat. Akhirnya Lurah yang berupaya untuk menarik dana itu dari masyarakat. Caranya, kebetulan pada waktu itu ada “program beras murah”. Jadi, warga miskin yang mau membeli beras murah harus sudah mengembalikan dana bergulir dahulu. Masalah dana bergulir ini yang menjadi puncak pemicu dari perselisihan antara BKM dengan kelurahan. Waktu itu pihak kelurahan ingin mengetahui nama-‐ nama warga yang mendapatkan bantuan dana bergulir (warga yang telah menyetor dan yang menunggak), namun ada anggota BKM tidak mau memberikan 8
Ibu Rina memberikan penilaian terhadap kegiatan yang dilakukan oleh BKM. Menurutnya, Tahap I = kegiatan dinilainya berantakan, kacau. Namun, pada Tahap II = kegiatan lumayan, karena sebagian besar anggota BKM sudah mau mendengarkan dirinya (diutarakan pada tanggal 19 Mei 2009).
Hal. 20
Kajian Kerelawanan Laporan lapangan-‐1: Medan
dengan berbagai alasan. Waktu itu ibu Rina mengusulkan agar anggota BKM yang kinerjanya dianggap tidak baik (penilaian oleh pihak kelurahan) sebaiknya diganti saja, tetapi mereka tidak mau, alasannya, “..... tidak enak sama kawan sendiri.” Menurut Ibu Rina, lingkungan 4 dan 9 dinilai sebagai lingkungan yang lebih lancar kegiatan BKM-‐nya dibandingkan dengan lingkungan yang telah disebutkan di atas. Alasannya, para anggota BKM di kedua lingkungan ini bisa diajak bekerja sama. “Mereka mau diarahan, saran saya mau mereka ikuti,” kata ibu Rina. Hal itu bukan karena di kedua lingkungan itu warganya mudah diatur; tetapi semata-‐mata BKM-‐nya mau bekerja. “Mereka (maksudnya, BKM di Lingkungan IV dan IX) mau terlibat kondisi kerja di lingkungannya – bahkan lingkungan lainnya. Tidak seperti BKM dari lingkungan lainnya. BKM dari Lingkungan IV dan IX berani capek, walau seperti kita ketahui, sifat masyarakat di sini yang sendiri-‐sendiri (maksudnya, hanya mementingkan kepentingannya sendiri). Kerelawanan masyarakat muncul kalau ada untungnya secara langsung dan nyata buat mereka9.” (Seperti yang dituturkan ibu Rina, Lurah Hamdan, 19 Mei 2009, di kantor Kelurahan Hamdan, jl. Kantil No.11, Kecamatan Medan Maimun). Berdasarkan pengamatan di lapangan, kondisi Lingkungan IV dan IX bukan suatu lingkungan yang mudah dikendalikan. Berbagai masalah etnis, sosial, dan kriminal sangat lekat dengan kedua lingkungan ini. Lingkungan IX misalnya, merupakan daerah ‘kaya’ etnis (50% India; 35% Jawa; 15% campuran = Batak, Nias), dengan karakter masyarakat yang apatis dan tertutup. Belum lagi masalah sosialnya. Kegemaran minum tuak para lelaki dari etnis India memberi pengaruh terhadap tingkat sosialisasi antar-‐etnis yang jadi bersifat tertutup10. Lain di Lingkungan IX – lain pula di Lingkungan IV. Permasalahan di lingkungan ini juga cukup rumit. Tidak seperti Lingkungan IX yang lebih menonjol dengan permasahan karakter etnis; Lingkungan IV lebih kepada masalah sosial dan 9
Pernyataan ibu Rina dibenarkan oleh sebagian besar BKM yang ada di kelurahan Hamdan. “Jangankan kegiatan yang tidak ada untungnya; kegiatan yang ada untungnya saja buat mereka – tetap saja ada warga yang tak mau tahu. Contohnya, ketika perbaikan saluran pembuangan air, tidak semua warga keluar membantu – walaupun depan rumahnya. Ada yang menonton orang kerja, ngobrol-‐ngobrol di depan rumahnya seolah-‐olah tidak ada apa-‐apa, sampai yang menutup pintu, hingga mencurigai kita (BKM) yang ‘memakan’ uang program.” (Seperti yang diutarakan oleh: ibu Najli, Erwin, Budi, Chandra, dan Wawan – pada waktu dan kesempatan yang berbeda, antara tanggal 20-‐25).
10
Seorang informan dari Etnis Jawa di lingkungan 9 mengatakan,”Kalau mau dekat dengan Orang Keling, belikan mereka tuak. Kalau perlu minum bersama mereka. Maka jadilah kau temannya.”
Hal. 21
Kajian Kerelawanan Laporan lapangan-‐1: Medan
kriminalitas. Masalah itu adalah masalah hunian para perempuan pekerja seksual, narkoba dan perjudian. Menurut beberapa informasi yang berhasil kami dapatkan, dalam Lingkungan IV banyak kontrakan yang dihuni oleh para perempuan ‘malam’. Mereka memang tidak ‘beroperasi’ di lingkungan ini, tetapi mereka tinggal di lingkungan ini. Mengenai masalah narkoba, lingkungan ini dikenal dengan peredaran narkobanya. Jika kita berbicara mengenai masalah sosial dengan warga dari lingkungan lainnya di kelurahan Hamdan, yang berhubungan dengan Lingkungan IX atau jalan Multatuli, maka yang langsung ada di kepala mereka adalah narkobanya. Bentuk tata ruang perumahan yang berliku-‐liku – tak bermodul (tersusun rapih) menjadi nilai keuntungan tersendiri bagi para pengedar narkoba untuk menghilangkan jejak dari kejaran polisi. Tidak hanya pihak kepolisian yang sudah mengetahui keberadaan lingkungan ini sebagai lingkungan basis peredaran narkoba di Kelurahan Hamdan, tetapi pihak Kelurahan juga mengetahuinya. Namun, menurut ibu Rina (Lurah) untuk pemberantasannya sangat sulit, karena narkoba sudah menjadi mata pencaharian utama mereka. C.
Kerelawanan
1.
Awal Pembentukan Relawan
Pembentukan relawan di kelurahan Hamdan dimulai dengan datangnya Faskel yang bernama Julia11. Oleh Julia, para warga diundang ke kantor kelurahan untuk mendengarkan mengenai rencana diadakannya kegiatan P2KP. Di akhir acara, Julia menawarkan, “Siapa yang mau ikut jadi relawan?” Pada waktu itu, warga yang jumlahnya sekitar 40. Karena dalam pembicaraan Faskel disebutkan “kerja tidak dibayar” maka warga yang hadir tidak ada yang berminat. Sejalan dengan waktu, Faskel merasa program yang ditawarkan tidak berjalan dengan baik. Mendapatkan kenyataan itu, Julia memprakarsai diadakannya pemilihan ketua kerelawanan di masing-‐masing lingkungan, yang tujuannya merangsang para warga untuk duduk dalam keanggotaan BKM. Syaratnya bebas; boleh mencalonkan dan memilih diri sendiri, saudara, keluarga, dsb. Dari kegiatan ini terbentuk enam orang yang mau duduk dalam keanggotaan BKM – yang masing-‐masing mewakili lingkungannya; walaupun demikian, masih ada juga warga dari lingkungan lainnya yang tidak berminat sama sekali, sehingga lingkungan tersebut tidak memiliki wakil yang duduk dalam keanggotaan BKM. Mendapatkan kenyataan tersebut, Kepling turun tangan, yaitu dengan menunjuk langsung warga yang dianggap mau dan mampu duduk dalam 11
Berdasarkan informasi dari Budi (33 th), pada hari Kamis, tanggal 21 Mei 2009.
Hal. 22
Kajian Kerelawanan Laporan lapangan-‐1: Medan
pengurusan. Berdasarkan informasi dari Budi (33 th), saat itu ada 2 kemungkinan orang itu mau duduk dalam BKM, yang pertama: karena “terpaksa” dan “dipaksa” oleh Kepling-‐nya. Jadi, dia mau duduk dalam kepengurusan BKM karena merasa tidak sanggup menolak permintaan Kepling-‐nya. Kedua: memang pada dasarnya orang itu mau; tetapi karena pada waktu pencalonan dan pemilihan anggota BKM, ia tidak hadir karena kesibukannya atau karena tidak tahu ada ke kegiatan tersebut, maka ia tidak bisa menjadi anggota BKM. Dari penunjukkan itu, terbentuk 11 orang anggota BKM, dengan komposisi: empat laki-‐laki dan tujuh perempuan – yang masing-‐masing mewakili lingkungannya. Kondisi program yang serba tidak jelas, terutama masalah turunnya anggaran, membuat beberapa anggota perlahan-‐lahan mengundurkan diri. Anggota BKM yang tersisa kemudian jumlahnya menjadi sembilan orang, di antaranya: (1) Ibu Nazli (Kordinator), (2) Budi, (3) Zulfikar, (4) Yono, (5) Ibu Lena, (6) Ibu Herawati, (7) Ibu Silvy, (8) Chandra, dan (9) Erwin. Saat ini (Mei 2009), anggota BKM yang aktif hanya tinggal tiga orang, yaitu: Budi, Erwin, dan Chandra. Anggota yang lainnya “mati suri”, maksudnya tidak akan aktif sebelum ada pencairan dana maupun insentifnya. Kurangnya pemahaman tentang kerja kerelawanan ini menurut Erwin (32 th) diyakini karena 2 hal, yaitu: (1) Relawan tidak mengerti fokus program, dan (2) Relaan sibuk mencari nafkah. Khusus untuk ibu Silvy, ketidak-‐aktifannya dikarenakan lingkungan yang diwakilinya sudah tergusur oleh proyek pengembang untuk pembangunan Ruko (rumah toko) – begitu pula dengan dirinya yang terpaksa pindah rumah12. Menurut Erwin (32 th), jika dilihat dari anggota BKM yang masih bisa dihubungi, maksudnya masih bisa diajak berkomunikasi mengenai P2KP jumlahnya ada 6 orang. Mereka adalah (1) Ibu Nazli (Kordinator), (2) Budi, (3) Zulfikar, (4) Ibu Herawati, (5) Chandra, dan (6) Erwin. Hal ini terbukti ketika kami melakukan FGD BKM di kelurahan Hamdan, hanya keenam orang inilah yang masih bisa dihubungi teleponnya. Namun, ketika acara berlangsung, Zulfikar tidak bisa hadir tanpa pemberitahuan. Dilihat dari etnisitasnya, komposisi etnis dari keenam anggota BKM yang masih bisa dihubungi itu adalah: empat orang dari Jawa, satu orang Karo, dan satu orang Cina. Namun hal ini bukan berarti masing-‐masing anggota BKM dengan etnisnya mewakili lingkungan mayoritas etnisnya juga. Maksudnya, jika Erwin berasal berasal dari Karo – bukan berarti bahwa ia mewakili Lingkungan IX yang warganya dominan beretnis Karo. Pada kenyataannya, Lingkungan IX justru secara 12
Berdasarkan wawancara dengan Bpk. Erwin (32 th), pada hari Rabu tanggal 20 Mei 2009.
Hal. 23
Kajian Kerelawanan Laporan lapangan-‐1: Medan
kuantitas dimiliki oleh etnis India (Orang Keling). Keterwakilan Erwin sebagai anggota BKM yang mewakili Lingkungan IX lebih kepada: (a)
sangat sulit mencari masyarakat yang berminat menjadi anggota BKM atau relawan (terdaftar) di Lingkungan IX. “Mencari uang untuk kehidupan sehari-‐hari saja sudah sulit, apalagi mau ikut kerja tidak dibayar,” kata salah seorang warga India di Lingkungan IX.
(b)
Sikap Erwin yang berani berhadapan dengan warga di lingkungannya tanpa memandang etnis; mayoritas atau minoritas.
2.
Jatidiri Relawan Siapa yang disebut Relawan?
Definisi “kerelawanan” (volunteerism) secara umum dipahami sebagai kondisi seorang atau sekelompok orang yang secara ikhlas karena panggilan nuraninya memberikan apa yang dimilikinya tanpa mengharapkan imbalan/ upah ataupun karier. Relawan didedikasikan untuk penanggulangan kemiskinan di lingkungan tinggal mereka, dimana mereka bersedia mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, dan bahkan materi sebagai bagian dari keterlibatan mereka dalam proses pemberdayaan masyarakat pada Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP). Namun, apakah definisi tersebut sejalan dengan definisi yang diberikan oleh relawan itu sendiri. Menurut Budi (33 th), relawan itu “siap pakai”, dalam pengertian, sebenarnya tidak bisa dibilang nyata (terlihat) ada di masyarakat; tetapi jika dibutuhkan baru ada dan siap bekerja. Pendapat Budi ini merupakan pengalam dirinya sebagai relawan/BKM yang menemui kendala untuk menentukan atau menunjukkan relawan yang terdaftar di lingkungannya. Tetapi, jika ada kegiatan gotong royong untuk P2KP, menurutnya, para warga bertindak sebagai relawan – dengan cara membantu kegiatan tersebut tanpa pamrih. Sifat relawan yang “siap pakai” merupakan jatidiri manusia yang mempunyai keinginan demi kepentingan masyarakat. Sedangkan menurut Chandra (26 th), relawan berhubungan dengan kepuasan pribadi dan hati nurani jika semua yang telah dikerjakan ada hasilnya untuk masyarakat. Contohnya pembuatan jalan lingkungan. Walaupun saya belum tentu memakai jalan itu, tetapi saya merasa bahagia bahwa jaln yang telah dibuat bisa bermanfaat buat warga lainnya. Lain Budi; lain Chandra; lain Erwin (32 th). Menurutnya, relawan adalah rela jika dilawan. Maksudnya, seorang relawan harus rela bekerja dan siap dilawan oleh warga yang tidak puas dengan pekerjaan yang telah dilakukannya. Ibaratnya,
Hal. 24
Kajian Kerelawanan Laporan lapangan-‐1: Medan
berbuat baikpun kita masih tidak disenangi orang. Tetapi tidak masalah. Ibaratnya, pekerjaan relawan itu sama saja dengan “satu langkah kaki kita telah berpijak di surga.” Berbeda dengan ketiga kawannya di BKM, Zulfikar (42 th) lebih “berani” dalam mendefinisikan dirinya sebagai relawan. Menurutnya, relawan adalah amanah dari masyarakat atau orang yang bekerja demi masyarakat; supaya ada tanggungjawab dari apa yang dikerjakannya terhadap masyarakat, sebaiknya relawan diberi penghargaan – entah apa bentuknya. Sehari kemudian, di sela waktu penelitian, kami mendatangi lagi Budi, Chandra, dan Erwin. Pada akhirnya mereka bertiga mengakui bahwa relawan dalam program P2KP yang kebanyakan berasal dari masyarakat kurang mampu memang membutuhkan penghargaan; dan penghargaan tersebut sebaiknya uang yang diberikan dalam bentuk gaji bulanan. Pernyataan ini kemudian keluar lagi pada acara FGD BKM dan relawan dalam acara yang terpisah. Seperti paduan suara yang saling bersahutan (mendukung), mereka akhirnya menekankan bahwa relawan perlu gaji. Tujuannya, sehingga kerja relawan menjadi lebih teng dan fokus; tanpa memikirkan uang makan untuk anak dan istri. Berbeda dengan pendapat para anggota BKM dan relawan yang hadir dalam acara FGD, Zulfikar13 memiliki definisi khusus terhadap relawan, yaitu orang yang mau bekerja dan berpikir untuk masyarakat. Menurutnya, seorang relawan harus memiliki keseimbangan antara bekerja dan berpikir. Jadi, bila keduanya tidak sejalan maka aka nada benturan pada dirinya sendiri dan mungkin juga berpengaruh terhadap tindakan kerelawanannya. Zulfikar juga memiliki pendapat yang lain mengenai jatidiri relawan yang dilihat dari sudut pandang harapan-‐ harapan relawan itu sendiri, seperti: (a)
agar jatidiri relawan wujudnya nyata di masyarakat, kegiatan P2KP sebaiknya berkesinambungan. Jangan seperti sekarang, P2KP tidak jelas;
(b)
berilah keterwakilan masyarakat (maksudnya, BKM) kebebasan untuk mengaspirasikan apa yang diinginkan masyarakat. Kami (BKM/ relawan) bertanggungjawab, dan bersedia ditindak jika ada penyimpangan hukum. Kenapa mau menjadi Relawan?
Menurut Zulfikar, alasan menjadi relawan pada dirinya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Di antaranya: 13
Pada saat dua kali acara FGD berlangsung dengan waktu yang berbeda-‐beda, Zulfikar tidak pernah hadir sama sekali, walaupun undangan telah diberitahukan kepadanya. Seorang anggota BKM yang hadir mengatakan bahwa Zulfikar orangnya kritis, sehingga ia sering berdebat dengan hamper semua anggota BKM lainnya. Hal ini membuat ia merasa tidak sejalan dengan kami.
Hal. 25
Kajian Kerelawanan Laporan lapangan-‐1: Medan
(1)
Prihatin dengan kemampuan warga masyarakat di sekelilingnya yang tidak sama, sehingga ada keinginan untuk membantu;
(2)
Sudah biasa berkecimpung dalam kegiatan sosial14. Menurutnya, orang yang hobie berorganisasi, tingkat sosialnya pasti tinggi. Tapi harus juga dibedakan dengan orang yang masuk organisasi untuk mencari makan dari organisasi itu; dan
(3)
Pengabdian terhadap nilai-‐nilai keagamaan, yang ditampilkan dalam kalimat sufi,”Setelah kau belajar, apakah kau ajarkan?”
Berbeda dengan Zulfikar yang menjadi relawan karena dipengaruhi oleh banyak faktor yang langsung bersentuhan dengan nilai-‐nilai yang ada pada dirinya, seperti: jiwa sosial dan masalah kepercayaan; Chandra secara terus-‐terang mengatakan bahwa ia menjadi relawan karena direkrut oleh Budi. Pada waktu yang sama, kami mempertanyakan alasan Budi merekrut Chandra. “Chandra saya rekrut karena dia masih muda dan orangnya mudah diatur,” kata Budi. Di kelurahan Hamdan, masalah tunjuk-‐menunjuk seseorang untuk menjadi anggota BKM bukan hanya terjadi pada diri Chandra. Budi pun pernah mengalaminya. “Saya sebenarnya tidak ikut pelatihan menjadi anggota relawan. Setelah yang lainnya lepas pelatihan, pada waktu itu saya datang ke kantor kelurahan untuk mengurus surat. Secara tidak sengaja saya bertemu dengan ibu Nazli. Di sana ibu Nazli langsung memperkenalkan saya dengan ibu Julia (Faskel). Mereka berdua langsung menunjuk saya untuk masuk ke dalam kegiatan kerelawanan P2KP, hingga saat ini saya sebagai anggota BKM.” (Seperti yang dituturkan Budi, pada tanggal 20 Mei 2009). 3.
Jatidiri Relawan Di Masyarakat
Membahas mengenai jatidiri atau identitas relawan tidak hanya berhubungan dengan data biographic-‐nya saja; dalam kajian kualitatif yang mengarah kepada studi sosial, jatidiri atau identitas relawan lebih dari itu. Menurut Suparlan (2004:27)15, Jatidiri diperkuat oleh suatu “atribut”; dimana atribut bisa berupa ciri-‐ciri yang mencolok dari benda atau tubuh orang, sifat-‐sifat seseorang, pola-‐pola tindakan, atau bahasa yang digunakan. Dalam kajian ini, penekanannya pada atribut yang berhubungan dengan sifat-‐sifat dan pola-‐pola 14
Kebiasaannya ikut dalam kegiatan sosial mengakibatkan orangtuanya pernah meledek (bukan tujuan menghina tetapi bercanda),”Kau lebih baik kerja di Depsos,karena kau ada bakat.” Pengalaman Zulfikar dalam berorganisasi disebutkan olehnya, seperti: PKPW (Program Kesejahteraan Pemberdayaan Wanita), dll.
15
Suparlan, Parsudi, 2004. Hubungan antar Sukubangsa. Jakarta: YPKIK.
Hal. 26
Kajian Kerelawanan Laporan lapangan-‐1: Medan
tindakannya. Sifat-‐sifat dan pola-‐pola tindakan seorang relawan mempengaruhi jatidirinya dalam masyarakat atau komunitinya; jatidiri relawan dalam masyarakat atau komunitinya dapat mempengaruhi sifat-‐sifat dan pola-‐pola tindakan relawan itu sendiri. Hal ini dapat dipahami karena jatidiri membutuhkan “atribut”, sementara, “atribut” mempengaruhi jatidiri16. Dalam kajian kerelawanan, jatidiri diuraikan ke dalam 4 faktor penting yang dapat mempengaruhi identitas dan kinerja relawan, di antaranya: (1) Status sosial-‐ budaya; (2) Usia dan pendidikan; (3) Mata pencaharian; (4) Stratifikasi sosial. Ke-‐4 faktor tersebut tidak ada yang berdiri sendiri, masing-‐masing memiliki hubungan; tetapi kualitas antar-‐hubungan tidak dalam keseragaman. Ada gradasinya. Bisa berwujud hubungan secara mutlak, jelas, dan mengikat; tetapi ada juga yang berhubungan secara “tersembunyi” (tidak langsung). Pada kasus di kelurahan Hamdan, jatidiri kerelawanan lebih menonjol kepada relawan yang terdaftar. Secara khusus, BKM. Jadi, bila kita berbicara mengenai P2KP dan kerelawan, yang hanya diketahui dan muncul di masyarakat adalah BKM17. Jatidiri relawan (khususnya BKM) yang tampil di masyarakat bukan merupakan hal yang luar biasa, karena semua anggota BKM adalah orang-‐orang yang memang sudah dikenal dan berkecimpung dalam keorganisasian masyarakat maupun kelurahan. Sebut saja, Ibu Nazli (50 th) selain sebagai kordinator BKM, sebelumnya (hingga kini) ia juga menjabat sebagai Ketua PKK; Zulfikar (42 th) selain dikenal sebagai tokoh masyarakat di lingkungannya (Lingkungan X), ia juga aktif dalam kegiatan LSM dan partai politik (PDI-‐P); Budi (33 th) ia adalah mantan Ketua Karang Taruna; Chandra (26 th) sebagai pengurus masjid di lingkungannya,
16
Atribut-‐atribut itu bertindak sebagai stimuli yang berfungsi untuk menjelaskan status sosial para pelakunya Lihat: Goffman, Erving, 1959, The Presentation of Self in Everyday Life. Garden City, N.Y.: Doubleday Anchor. Juga, 1986, “The Presentation of Self in Everyday Life”, Social Interaction: Readings in Sociology – Third Edition (Clark, Candace & Robboy, Howard, eds.). New York: St. Martin’s Press.
17
Masyarakat menganggap BKM sama dengan relawan. Begitu juga dengan anggota BKM, sulit menentukan yang mana warga masyarakatnya yang mau menjadi relawan. Oleh karena itu, masyarakat yang ikut berpartisipasi dalam pekerjaan fisik lingkungan yang diselenggarakan P2KP, anggota BKM menganggapnya “relawan”. Hal ini memang masih perlu dipertanyakan. Menurut kami, apakah orang yang ikut bekerja sesaat itu dapat dikategorikan sebagai relawan? Mungkin saja sewaktu warga itu ikut bekerja karena tidak enak dengan warga lainnya yang sudah ikut bekerja. Jadi, sifatnya hanya accident atau spontanitas sementara belaka; sedangkan pekerjaan relawan berhubungan dengan hati nurani dan bersifat tetap (terkuak dalam FGD Relawan Kelompok Laki-‐Laki di Kelurahan Hamdan, tanggal 24 Mei 2009.
Hal. 27
Kajian Kerelawanan Laporan lapangan-‐1: Medan
dan aktif dalam kegiatan Karang Taruna; Erwin (32 th) dikenal sebagai tokoh pemuda yang berani18 di lingkungannya. Dari Sembilan jumlah anggota BKM yang ada (terdaftar), hanya dua orang saja yang menurut ibu Rina (Lurah) dianggap aktif. Mereka adalah Budi dan Erwin. Sisanya (tujuh orang) hanya ikut-‐ikutan saja; bahkan ada yang cuma ‘pasang nama’. Selama tidak ada anggaran – mereka tidak mau bekerja, tetapi jika anggarannya ada – mereka baru mau datang. Mereka menganggap P2KP ini “proyek”, karena anggarannya belum turun, mereka mundur – jika anggarannya turun, mereka maju lagi. Erwin (32 th), salah satu anggota BKM yang masih aktif, mengatakan sebagai berikut: “Motivasi saya sampai saat ini bertahan di BKM karena saya yakin dana itu ada. Dana itu saya anggap sebagai “kompetisi” untuk perbaikan kampung (maksudnya, lingkungan) saya sendiri. Kalau BKM di sini musnah, maka musnah juga harapan saya dan beberapa warga untuk bisa mendapatkan dana, yang akhirnya akan didapatkan oleh daerah yang lainnya.” Erwin (32 th) juga menjelaskan alasannya untuk tetap aktif sebagai salah satu anggota BKM. Selain karena masalah “kompetisi” memperebutkan dana dengan lingkungan lainnya, keikut-‐sertaannya sebagai anggota aktif BKM berdampak positif pada dirinya. Ia yang kerja serabutan (kerja sektor informal apa saja – yang tidak tentu kapan datangnya dan berapa jumlah uangnya) bisa lebih banyak mendapatkan kerja sampingan di kantor Kelurahan. Contohnya, kini ia bekerja sebagai Ketua BPS Kelurahan untuk Pilpres, 2009. 4.
Jatidiri Relawan Dalam Keluarga
Tidak mudah menjadi relawan. Ucapan itu sering kami dengar beberapa anggota BKM. Budi mengatakan, “..... walaupun ia sudah kerja dan mempunyai penghasilan yang lumayan. Kepergiannya keliling lingkungan 4 sebagai anggota BKM membuat istrinya sempat tidak senang. Istrinya merasa apa yang ia lakukan hanya membuang-‐buang waktu dan tidak ada hasilnya (maksudnya, uang).” 18
Kami lebih memilih istilah “berani” dibandingkan dengan istilah “preman” (walaupun sebagian kecil warga menyebut ybs. dengan istilah itu). Istilah “preman” sering diartikan negatif dan berhubungan dengan cara kekerasan untuk mendapatkan uang sewaktu menjalankan pekerjaannya. Dalam kajian ini, berdasarkan pendalaman terhadap penggunaan istilah “preman” yang diberikan oleh beberapa warga – ternyata tidak dalam pengertian di atas. Oleh karena itu, kami lebih memilih menggunakan istilah “berani” agar maknanya menjadi tidak kabur dan salah persepsi. Penggunaan istilah berani maksudnya, ybs. Adalah orang yang tidak takut berhadapan dan berkelahi (jika memang dianggapnya penting) dengan masyarakat India (Orang Keling) yang dalam hitungan kuantitas – sebagai warga mayoritas.
Hal. 28
Kajian Kerelawanan Laporan lapangan-‐1: Medan
Memang, Budi adalah satu-‐satunya anggota BKM yang memiliki pekerjaan yang terbilang baik di antara anggota-‐anggota BKM lainnya. Dalam kesempatan khusus, Budi juga menyatakan keprihatinannya terhadap kondisi kawan-‐kawannya di BKM yang hidupnya masih kekurangan materi. “Harapan saya ke depan semoga progress P2KP tetap berjalan. Kelurahan Hamdan tetap diberikan kepercayaan. Selain itu, insentif anggota BKM harus dipikirkan, demi kepentingan anggota BKM dan keluarganya, karena sudah meluangkan waktu, tenaga, dan biaya untuk pertemuan-‐ pertemuan.” “Walau tidak dapat insentif, orangtua mendukung saya sebagai relawan karena sifatnya sosial. Sifat sosial yang saya miliki adalah turunan dari Bapak sehingga Bapak tidak pernah marah ketika saya masuk anggota BKM. Tetapi hal itu berbeda dengan istri saya. Meskipun kadang ia diam saja kalau saya keluar untuk urusan kerja relawan, tetapi jika saya pulang terlalu larut malam, misalnya di atas jam 12 malam, maka ‘pintu rumah dibuka – pintu kamar ditutup’ (maksudnya, diperbolehkan masuk rumah, tetapi tidak boleh masuk kamar untuk mendapatkan pelayanan seks dari istri).” (Seperti yang dituturkan Budi, pada tanggal 20 Mei 2009). 5.
Jatidiri Relawan Dalam Pandangan Pemerintah
Pihak kelurahan, khususnya Lurah (ibu Rina), menyatakan,”Sulit mencari orang menjadi relawan di kelurahan Hamdan. Oleh karena itu, tidak perlu standar tinggi untuk merekrut relawan – mau saja kita sudah untung.” Kalimat itulah yang menjadi jawaban kami untuk mengetahui perspektif pihak kelurahan dalam menentukan standar relawan ideal. Lurah merasa sulit untuk menentukan standar relawan. “Sulit menentukan siapa yang sebaiknya menjadi relawan, orang yang bagaimana yang menjadi relawan. Berdasarkan pengalaman saya di sini. Orang yang tidak kerja (maksudnya, pengangguran) kalau jadi relawan – nanti uangnya ‘dimakan’. Relawan ideal, sebaiknya datang dari orang yang mampu secara ekonomi, karena sudah tidak perlu memikirkan kebutuhan rumahtangganya. Kalau bukan orang kaya datang menjadi relawan pasti ada apa-‐apanya di belakang. Tapi kalau di kelurahan sini, mana ada orang kaya yang mau jadi relawan. Selain itu, menurut saya, cara meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan kerelawanan tidak hanya dengan janji-‐janji apa yang akan warga masyarakat dapatkan; tetapi juga harus ditunjang dengan pendidikan kepada warga masyarakat yang akan terkena dampak program.”
Hal. 29
Kajian Kerelawanan Laporan lapangan-‐1: Medan
(Seperti yang dituturkan ibu Rina, Lurah Hamdan, 19 Mei 2009, di kantor Kelurahan Hamdan, jl. Kantil No.11, Kecamatan Medan Maimun). Walaupun kerap diposisikan sebagai “BKM bermasalah” oleh ibu Rina (Lurah), kali ini Zulfikar memiliki pendapat yang serupa dengan ibu lurah tersebut. “Di lingkungan masyarakat, mereka tidak merasakan adanya perbedaan antara relawan aktif maupun relawan pasif; yang penting buat mereka adalah adanya dana bantuan bergulir yang ditujukan untuk mereka – pribadi per pribadi.” 6.
Hubungan Antar Relawan
Berdasarkan kenyataan di lapangan, ditemukan bahwa peran lurah begitu dominan dalam menentukan berjalannya kegiatan P2KP. Dominasi ini menimbulkan dualisme dalam struktur BKM. Ada yang menganggapnya wajar, karena kesuksesan kegiatan P2KP juga mempengaruhi penilaian kinerja lurah. Oleh karena itu, tindakan lurah yang dominan dirasakan wajar karena ia ingin menunjukkan rasa tanggungjawabnya. Sedangkan kubu yang lainnya lagi merasa bahwa dominasi lurah dianggap berlebihan. Selain membuat hirarki kerja dalam pengurus BKM menjadi kacau, suasana kerja juga menjadi serba-‐salah. Dari pihak lurah sendiri mengatakan bahwa sebagian anggota BKM memang harus mendapatkan perhatian khusus; apalagi menyangkut program kerja dan anggaran. Pengalaman dari carut-‐marutnya kegiatan P2KP tahap I memberikan pengalaman bagi dirinya untuk tidak begitu saja melapaskan ‘pandangannya’ kepada setiap pelaksanaan kegiatan P2KP – apalagi yang menyangkut pemakaian dana. Dari sikap ibu Rina (lurah) ini membuat BKM seakan-‐akan terpecah menjadi 2 kubu; yaitu kubu pro-‐lurah dan kubu anti-‐lurah. Ibu Rina jelas mengetahui adanya 2 kubu ini, bahkan dia memberikan gambaran tentang karakteristik masing-‐masing kubu menurut versinya, yaitu: kubu pertama adalah kubu yanggota BKM yang “masih bisa diatur”; sedangkan kubu kedua adalah kubu anggota BKM yang “bermasalah”. Diagram 1. Pembagian Kubu BKM dan Pengaruhnya Pada Stratifikasi Dalam Masyarakat.
LURAH
Kepling
BKM
PKK
Hal. 30
BKM
BKM Masih bisa
Kajian Kerelawanan Laporan lapangan-‐1: Medan
Melalui penggalian informasi yang intensif, akhirnya dapat terkuak bahwa kategori BKM bermasalah yang ‘diciptakan’ oleh lurah bukan hanya pada masalah bisa diatur atau tidak bisa diatur oleh lurah; tetapi menyangkut juga masalah penggunaan dana P2KP yang tidak sebagaimana mestinya. Anggota BKM yang mengelola dana tersebut dinilai oleh lurah tidak benar dalam penggunaan dan pertanggungjawaban. Beberapa anggota BKM yang kami temui juga membenarkan kategori lurah tersebut – sebagaimana adanya. Mereka yang membenarkan ini adalah BKM dari kategori “masih bisa diatur”. BKM yang “masih bisa diatur” mendapatkan posisi yang baik di mata lurah. Tidak hanya dari penilaian, tetapi juga dari kesempatan-‐kesempatan yang diberikan oleh lurah. Contohnya, Budi dan Erwin yang menurut lurah sebagai anggota BKM yang “masih bisa diatur”, diberikan pekerjaan oleh lurah sebagai panitia Pemilu calon legislatif dan Pilpres. Budi menanggapi “pekerjaan tambahan” ini sebagai hal biasa yang bermanfaat untuk menambah penghasilan; sementara Erwin sangat bahagia karena bisa mendapatkan pekerjaan dan uang – sebagai mana kami ketahui bahwa Erwin bekerja serabutan. Hubungan antar-‐kategori BKM yang tidak harmonis ini membuat BKM dan kegiatan kerelawan menjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Acara rapat BKM menjadi tidak lancar, bahkan sering dihadiri oleh 3 atau 4 orang saja. Orangnya itu-‐itu juga, yaitu Budi, Erwin, Chandra, dan ibu Nazli (kadang-‐kadang hadir). Kesemuanya merupakan BKM kategori “masih bisa diatur”. Kondisi disharmoni ini membuat kinerja BKM tersegmentasi, sehingga setiap anggota BKM tidak mau terlibat dengan kondisi kerja BKM dari lingkungan lainnya. Namun dari sisi yang lain, ibu Rina (Lurah) menilai bahwa, hal ini disebabkan karena ciri masyarakat kota yang tidak mau melakukan interfensi ke orang lain. Ada gossip yang beredar di kalangan anggota BKM yang juga berimbas kepada masyarakat di lingkungan BKM itu tinggal. Bahwa kedekatan BKM “masih bisa diatur” dengan lurah membuat mereka mendapat prioritas dari lurah dalam setiap penyetujuan pemakaian dana.
Hal. 31
Kajian Kerelawanan Laporan lapangan-‐1: Medan
“Ada pilih kasih dari lurah kepada lingkungan tertentu dimana BKM dekat dengannya. Dulu semua lingkungan dapat program kerja P2KP, sekarang hanya Lingkungan IV. Bahkan lurah telah menyarankan kepada Bpk. Benny Basri (developer) untuk melibatkan BKM dan warga dari Lingkungan IV dalam pelaksanaan kerja proyeknya.” 7.
Hubungan Antara Relawan dengan Pemerintah
Berdasarkan informasi yang berhasil dikumpulkan, dahulu (sekitar tahun 2007), kedudukan BKM dalam tatanan masyarakat di kelurahan Hamdan sangat strategis; dengan kata lain, BKM menjadi “organisasi” dominan yang ada dalam masyarakat. Kondisi ini dimaknai sebagai hal yang tidak menyenangkan oleh beberapa orang atau kelompok orang (baik formal maupun informal). Dari perorangan/kelompok formal; contohnya, kelurahan. Menurut pendapat Ibu Rina (Lurah) keberadaan BKM seolah menjadi tandingan kelurahan. Pernah ada kejadian, program kerja kelurahan untuk masyarakat ditentang oleh BKM karena dianggap mengganggu pekerjaan mereka. Masih menurut Ibu Rina (Lurah), waktu itu ada program kelurahan untuk menaruh pot dan tanaman di pinggir jalan untuk penghijauan; tetapi ada anggota BKM yang pada kami (pihak kelurahan). Alasannya, daerah yang ditaruh tanaman itu untuk program P2KP. Sehingga, pot-‐pot dan tanamannya kami angkat kembali untuk dipindahkan. Hal ini juga diperparah dengan adanya Faskel yang ikut-‐ikutan ‘memanas-‐manasi’ kondisi yang pada dasarnya memang sudah panas. “Faskel yang bernama Julia itu biang keladinya. Dia itu Faskel pertama di sini, dia masuk kira-‐kira tahun 2007. Katanya, Lurah tidak boleh ikut campur urusan P2KP – Lurah tidak tahu apa-‐apa tentang P2KP. Lurah hanya kerja di kelurahan; dan BKM kerja di masyarakat. Lurah punya program – kita (maksudnya, BKM) punya program; setiapprogram tidak ada sangkut-‐pautnya. Ucapan Faskel itu yang membuat BKM seolah-‐olah memusuhi pihak kelurahan. Tapi kalau ada perlunya, BKM dan Faskel baru menemui saya. Pastinya untuk urusan tanda tangan. Itupun caranya seperti orang menodong. Belum lagi urusan administrasi dan perlakuan mereka ke saya (Lurah), ada lagi masalah yang lain. Beberapa Faskel kadang datang berganti-‐ganti orang. Setiap proyek ganti orang – hal ini membuat saya jadi bingung. Ditambah, saya tidak pernah diajak diskusi mengenai proyek yang mau mereka kerjakan. Tapi kalau tanda tangan, saya dikejar. Ini yang membuat kepala saya jadi pening19.” 19
Permasalahan antara pihak kelurahan (khususnya dengan ibu Rina sebagai Lurah) juga telah dibicarakan dalam perspektif yang lain pada bagian II: Kondisi Lingkungan, dengan permasalahan pada Lingkungan X.
Hal. 32
Kajian Kerelawanan Laporan lapangan-‐1: Medan
(Seperti yang dituturkan ibu Rina, Lurah Hamdan, 19 Mei 2009, di kantor Kelurahan Hamdan, Jl. Kantil No.11, Kecamatan Medan Maimun). Zulfikar (42 th) yang selalu disebut oleh ibu Rina (Lurah) sebagai BKM yang bermasalah, menuturkan bahwa lurah kadang mencampur-‐adukkan programnya dengan program kemasyarakatan lainnya; entah dalam bentuk ‘titipan’ maupun perintah langsung. Contohnya, kegiatan arisan PKK yang menjadi program Kelurahan dititipkan ke program warga dengan menggunakan uang kas warga, padahal lurah sudah mempunyai anggaran untuk itu. Lurah juga kadang menginterfensi terlalu jauh kegiatan P2KP, karena ada rasa tidak senang secara pribadi dengan seseorang. “Kalau kami sudah dipercayakan oleh masyarakat untuk duduk dalam BKM melalui pemilu kecil – maka percayakanlah kami. Pantaulah kerja kami. Jangan ada interfensi baik dari Faskel-‐Faskel maupun pihak kelurahan. Contohnya, atas dasar musyawarah warga, kami mengusulkan ‘program penerangan lingkungan’”. Tetapi di tangan mereka program ini dianggap pemborosan. Alasannya, lampu sering mati, yang akhirnya akan membebankan masyarakat. Di situlah saya merasa kecewa. Sehingga, walau masih terdaftar sebagai anggota BKM, namun keikut-‐sertaan saya menjadi kendor.” (Seperti yang dituturkan Zulfikar, pada tanggal 20 Mei 2009, jam 16.00 – 18.00). Sejalan dengan Zulfikar; Wawan (32 th) juga merasakan adanya interfensi yang dilakukan pihak kelurahan (maksudnya ibu Rina) kepada BKM. Berikut penuturannya: “Sering kita tidak sejalan dengan lurah. Misalnya, pada waktu itu (dia tidak menyebutkan tanggal dan waktunya) kita membuat daftar rencana prioritas alokasi bantuan untuk masyarakat. Sampai di tangan lurah, langsung dicorat-‐coret dan dihapus tanpa ada penjelasan. Contohnya, dana untuk pendidikan anak yang belajar di sekolah swasta diupayakan mendapatkan bantuan dengan cara memberikan dana untuk pembelian buku. Tujuannya untuk meringankan beban keluarga miskin; tetapi ditolak tanpa alasan.” (Seperti yang dituturkan Wawan, pada tanggal 20 Mei 2009, jam 10.05 – 10.45). 8.
Hubungan Antara Relawan dengan Lingkungan Sosial
Menurut ibu Rina (Lurah), kegiatan relawan (terutama yang terdaftar) dalam lingkungannya tidak banyak mendapatkan apresiasi masyarakat. Selain karena sifat umum masyarakat di kelurahan Hamdan yang apatis (maksudnya,
Hal. 33
Kajian Kerelawanan Laporan lapangan-‐1: Medan
tidak mau tahu), hasil dari pekerjaan yang dilakukan para relawan faktanya mengecewakan beberapa warga. Tapi untuk saat ini, tidak separah kegiatan tahap #1. Pada tahap #2I dinilai lumayan; lanjut ibu Rina. Pendapat ibu Rina ini dibenarkan oleh Erwin (32 th). Menurutnya (bersadarkan pengalaman di lingkungannya), kerjasama antara relawan dengan masyarakat miskin tidak berjalan karena masyarakat hanya mau ikut dalam kegiatan kerelawanan jika ada makanannya, rokoknya, atau uangnya – walaupun hasil dari pekerjaan itu untuk mereka sendiri. Erwin mengeluarkan suatu kalimat untuk menggambarkan sikap masyarakat jika diajak mengikuti kegiatan kerelawan, “Dari apa yang bisa kita kerjakan, apa yang bisa kita makan?”20 Sikap masyarakat yang seperti ini membuat para relawan (khususnya BKM) seakan harus ‘berhadapan’ dengan masyarakatnya sendiri. Contohnya, kasus pengembalian dana bergulir yang dipinjam oleh warga. Dari total dana Rp.80 juta, yang kembali hanya Rp.20 juta. Warga yang tidak mau mengembalikan memiliki pandangan bahwa,”Untuk apa dikembalikan, dana itu kan seperti BLT.” Kalimat ini adalah salah satu gambaran warga yang secara frontal “siap berhadapan” dengan anggota BKM, tetapi ada juga warga yang sembunyi ketika anggota BKM datang. “Mereka pikir kita ini debt collector,” kata Erwin dengan wajah yang kesal. Mengenai hubungan antara para relawan (khususnya BKM) dengan masyarakat pasca proyek kegiatan fisik dan bantuan dana bergulir (tahap #2), Erwin mengilustrasikannya dengan kalimat,”Dari yang negur jadi tidak negur – dari yang tidak negur jadi negur.” Untuk dari yang negur jadi tidak negur terutama datang dari warga kategori usia tua. Hal yang membuat mereka demikian karena ada kecurigaan anggaran P2KP ada yang kami (BKM) makan. Alasan yang lain karena mereka (sebagai golongan tua) merasa tidak diajak. Sedangkan, dari yang tidak negur jadi negur datang dari kelompok usia remaja dan dewasa. Alasannya, karena mereka (anak muda) “senang ngumpul – bercanda – sambil kerja – dan makan-‐minum bersama.” Lain pengalaman Erwin mengenai kegiatan kerelawan di Lingkungan IX, lain lagi pengalaman Budi (33 th) mengenai kegiatan BKM di Lingkungan IV. Kegiatan BKM kebanyakan ‘mentah’ di masyarakat. Oleh karena itu, ia (Budi) merasa berat melaksanakan tugas kerelawanannya karena berhubungan dengan dengan 20
Kemiskinan suatu standar tingkat hidup yang rendah – yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung tampak pengaruhnya pada kesehatan, kehidupan moral dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin (Suparlan, 1993 (ed.). Kemiskinan di Perkotaan: Bacaan Untuk Antropologi Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor).
Hal. 34
Kajian Kerelawanan Laporan lapangan-‐1: Medan
warganya sendiri. Mendapati hal itu, Budi lebih mengintensifkan KSM agar lebih berkonsolidasi dengan para warga. Namun, itupun tidak maksimal. Menurut Fatma, warga yang tinggal di Lingkungan IV, tepatnya di jalan Multatuli no.132, “Memang ada manfaat yang kita rasakan dari pekerjaan relawan ini, seperti jalan yang tadinya kotor dan jorok, sekarang lebih rapih karena telah dibeton; tetapi untuk bantuan yang lain, seperti bantuan dana bergulir dan kursus-‐kursus, BKM asal kasih, tidak tengok orang-‐orang, sehingga yang diberi itu asal juga tingkahnya, seperti tidak mau mengembalikan dana bantuan bergulir.” Adalagi, Ngatini, seorang ibu yang tinggal di lingkungan 4, tepatnya di jalan Multatuli no.71, menyampaikan sebagai berikut: “Kalau kata aku pembetonan jalan aku nilai gagal. Buktinya rumahku kalau banjir jadi tambah dalam. Mereka itu kalau bekerja tidak memperhatikan tinggi rendahnya rumah orang, asal beton saja, jalanannya sekarang jadi tidak rata. Belum lagi masalah kursus-‐kursus dan dana bantuan bergulir, mereka itu pilih-‐pilih berinya untuk kalangan mereka sendiri.”21 Pendapat ibu Fatma dan ibu Ngatini tidak sejalan dengan ibu Dety. Ia menganggap para relawan, terutama BKM sudah bekerja dengan baik. Buktinya ia telah menerima dana bantuan bergulir dan memanfaatkannya untuk berdagang. Hasil keuntungan dari berdagang itu akhirnya bisa digunakan untuk mengembalikan bantuan itu ke pihak kelurahan. Sejalan dengan Dety; ibu Riswani alias ma’ We juga memiliki pendapat yang sama. Ia juga mendapatkan bantuan dana bergulir dan berhasil mengembalikan uang pinjamannya itu. Berikut ini petikan wawancara kami dengan ma’ We. Peneliti : “Menurut ma’ bagaimana kerja para relawan di lingkungan sini? Ma We’ : “Paten kali lah pun,…” (baik sekali) Peneliti : “Bagaimana dengan mereka yang bekerja tanpa dibayar?” Ma We’ : “Paten lah,… bagus, …. sukarela.” Peneliti : “Ma’ kenal Budi? Menurut ma’, bagaimana Budi itu?” Ma We’ : “Budi BKM? Iya itu?, … kalau ada tampak si Budi, aku ini merasa, … waaah ada chance apa kali ini.” (inti: Budi dilihat sebagai harapan warga miskin dalam wujud memberikan bantuan-‐bantuan yang dapat menguntungkan mereka). 21
Wawancara dengan masyarakat miskin dilakukan tanggal 22 Mei 2009.
Hal. 35
Kajian Kerelawanan Laporan lapangan-‐1: Medan
Belum lagi habis masalah dengan masyarakat miskin, kegiatan BKM (yang menurut kami sudah overlap – tidak sesuai dengan hakekat kerja BKM) juga menemui kendala dengan masyarakat kaya di Lingkungan V dan VI. “Jangankan partisipasi untuk P2KP, Pemilu saja mereka tidak mau merespon,” kata Erwin. Oleh karena itu, ia sengaja tidak melibatkan warga kaya dari Lingkungan V dan VI. Menurut pandangan Erwin, sebagai warga yang memiliki pengalaman berkomunikasi dengan masyarakat di lingkungan tersebut; warga kaya memiliki sikap tidak mau tahu dengan P2KP – lebih spesifik lagi, terhadap kegiatan kerelawan, karena: (a)
Mereka (orang kaya) menganggap: orang miskin yang datang ke orang kaya itu hanyalah “tebar pancing” (ada maksud buruk, mau menipu).
(b)
Orang kaya takut ada komunikasi yang berkelanjutan. Orang kaya hanya mau berkomunikasi sekali saja – setelah itu “putus” – jangan ada buntutnya.
D.
Kesimpulan
1.
Relawan di kelurahan Hamdan lebih banyak yang berasal dari warga miskin itu sendiri (kecuali ibu Nazli, ibu Atik, dan Budi).
2.
Relawan terdaftar dan BKM tidak bisa membangun afiliasi dengan potensi yang ada di lingkungannya, seperti: pertokoan, perdagangan, dsb. Hal ini disebabkan karena mereka menganggap “tidak perlu mencari dana, karena dana sudah ada dalam P2KP.”
3.
Dalam tataran masyarakat maupun anggota BKM sendiri, struktur BKM dimaknai sebagai ‘badan pemberi/penyalur dana P2KP’. Pemahaman ini dapat mempengaruhi sikap masyarakat terhadap anggota BKM; mulai dari yang senang – karena mendapatkan bantuan, hingga yang kecewa dan kesal – karena merasa tidak pernah diperhatikan.
4.
Relawan membutuhkan “gaji”, karena mereka banyak yang datang dari keluarga miskin.
5.
Warga masuk menjadi anggota relawan karena tidak punya pekerjaan (menganggur). Memiliki harapan, dengan masuk atau ikut dalam kegiatan kerelawan akan mendapatkan sesuatu yang sifatnya materi.
6.
Relawan di kelurahan Hamdan terpecah menjadi 2 kubu, yaitu kubu yang “masih bisa diatur” dan kubu yang “bermasalah”. Pembagian kubu ini pertama kali diutarakan oleh lurah, kemudian menyebar dan dipahami
Hal. 36
Kajian Kerelawanan Laporan lapangan-‐1: Medan
bersama oleh anggota BKM dan relawan sebagai sebuah kategori yang dapat digunakan sebagai pranata dalam bersikap dan bertindak di antara sesamanya dalam konteks yang berbeda-‐beda. 7.
Semua anggota BKM dan relawan terdaftar pernah memiliki keinginan untuk berhenti dari kegiatannya. Alasan utamanya adalah karena keberlanjutan program yang serba tidak jelas, terutama masalah pengucuran dana yang tertunda-‐tunda dan entah kapan munculnya.
Hal. 37