Laporan Kasus SWEET SYNDROME YANG DIDUGA SEBAGAI KEGANASAN Merlinda Nur Annissa, Ineke Winda Feryanasari, Yono Hadi Agusni Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Padjadjaran/RSUP dr. Hasan Sadikin, Bandung
ABSTRAK Sweet syndrome (SS) merupakan dermatosis netrofilik yang bersifat akut dan dapat rekuren. Gambaran klinis SS dapat menyerupai keganasan pada kulit, misalnya cutaneous T cell lymphoma (CTCL) atau leukemia kutis. Pada 50% kasus SS terdapat penyakit yang mendasarinya, infeksi, keganasan, atau autoimun. Dilaporkan satu kasus SS pada laki-laki berusia 46 tahun. Kelainan kulit timbul sejak 4 bulan sebelumnya, berupa plak keunguan pada wajah, dada, dan punggung serta nodus pada kedua lengan dan tungkai yang terasa nyeri. Keluhan disertai malaise, penurunan berat badan drastis, dan demam hilang timbul. Limfadenopati generalisata didapatkan pada pemeriksaan fisis, sehingg a p ada awa lny a d idu ga pro ses ke gan asa n. Pemeriksaa n h istopa tologis d an imunohistokimia tidak menunjukkan keganasan pada kulit, melainkan gambaran dermatosis netrofilik. Pemeriksaan antinuclear antibody, SS-A, dan dsDNS positif, serta didapatkan proteinuria, netrofilia, anemia, dan trombositopenia, mendukung diagnosis lupus eritematosus sistemik (LES). Diagnosis SS ditegakkan berdasarkan dua kriteria mayor, yaitu lesi kulit khas dan gambaran histopatologis sesuai SS, serta tiga kriteria minor, yaitu netrofilia, terdapat penyakit yang mendasari, dan memberi respons baik dengan terapi kortikosteroid sistemik. Lupus eritematosus sistemik pada kasus ini ditegakkan berdasarkan empat kriteria American College Rheumatology yang positif, yaitu artralgia, kelainan darah, proteinuria, serta ANA, SS-A, dan dsDNS positif. Setiap ka sus SS me merluk an b erb aga i p eme rik saa n p enu nja ng untuk meng eta hui pe nya kit ya ng mendasarinya, yaitu keganasan, autoimun, atau infeksi. (MDVI 2011; 38/s: 49s - 54s) Kata kunci : Sweet syndrome, keganasan, autoimun
ABSTRACT
Korespondensi: Jl. Pasteur 38 Bandung Telp. 022 -2032426 Email:
[email protected]
Sweet syndrome (SS) is an acute neutrophillic dermatoses which can be reccurent. Clinical appearances of SS can resemble some cutaneous malignancy, such as cutaneous T cell lymphoma (CTCL) or leukemia cutis. About 50% SS has underlying diseases, which can be either infection, malignancy, or autoimmunity. A case of SS in a-46-year-old man is reported. Skin lesions occured since 4 months before admission, consisting of painful violaceous plaque on the face, neck, back, and chest, and nodus on both extremities. The patient also complained of malaise, dramatical weight loss, and fever. Physical examination showed generalized lymphadenopathy. These findings supported suspicion of ma lignancy. There were also ane mia, neutrophilia, thrombocytopenia, a nd protein uria. Histopatological and immunohistochemical examinations revealed no cutaneous malignancy, but a neutrophillic dermatosis. Positive antinuclear antibody, SS-A, and dsDNS, supported the diagnosis of systemic lupus erythematosus (SLE). Diagnosis of SS in this case was based on two mayor criteria, typical lesions and appropriate histopathologic appearances, and three minor criteria, such as neutrophillia, positive underlying disease, and a good response to systemic corticosteroid therapy. Diagnosis of SLE was based on American College Rheumatology (ACR) criteria, such as arthralgia, hematological disorders, proteinuria, and positive ANA, SS-A, and dsDNS. On every SS cases further examination should be performed to find the underlying disease, such as malignancy, autoimmunity, or infection. (MDVI
2011; 38/s: 49s - 54s) Keyword: Sweet syndrome, malignancy, autoimmunity
49 S
MDVI
Vol 38 No. Suplemen Tahun 2011; 49 s - 54 s
PENDAHULUAN Sweet syndrome (SS) pertama kali dijabarkan oleh Robert Sweet Douglas pada tahun 1964, merupakan salah satu dermatosis netrofilik yang bersifat akut dan dapat rekuren.14 Manifestasi klinis SS berupa papul, plak, serta pseudovesikular atau pustul.4,5 Penyakit ini dapat pula disertai demam, artralgia, konjungtivitis, leukositosis, netrofilia, dan peningkatan laju endap darah (LED).2,5-7 Gambaran klinis SS dapat menyerupai keganasan pada kulit, misalnya cutaneous T cell lymphoma (CTCL) atau leukemia kutis.7,8 Pada 50% kasus SS terdapat penyakit yang mendasarinya, yaitu infeksi, keganasan (terutama gangguan mielodisplastik atau mieloproliferatif), dan autoimun (lupus eritematosus sistemik (LES), drug induced lupus, subacute cutaneous lupus erythematosus (SCLE), dan pediatric lupus).3,5,6,9 Sekitar 50% SS dapat bersifat idiopatik.6 Dari data rawat jalan dan rawat inap Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung sejak 1 Januari 2004 – 31 Desember 2009, belum pernah ditemukan kasus SS. Berikut ini dilaporkan satu kasus SS disertai LES pada seorang lakilaki berusia 46 tahun yang pada awalnya diduga suatu keganasan kulit.
LAPORAN KASUS Seorang laki-laki, 46 tahun, pemetik teh, pendidikan SMP, menikah, suku Sunda, beragama Islam, datang dengan keluhan utama bercak-bercak keunguan pada wajah, leher, dada, dan punggung, serta benjolan-benjolan pada kedua lengan dan tungkai yang terasa nyeri. Sejak empat bulan sebelum masuk rumah sakit (SMRS), timbul bercak eritematosa di wajah, leher, dada, dan punggung, serta di lengan dan kedua tungkai yang terasa nyeri, yang kemudian berubah berwarna keunguan. Keluhan disertai dengan demam dan lemas. Pasien berobat ke Puskesmas, didiagnosa sebagai tifus, diobati dengan kapsul hijau putih yang diminum empat kali dalam sehari selama satu minggu, namun tidak didapatkan perbaikan. Sejak satu bulan SMRS, bercak keunguan pada wajah bertambah besar, di bagian tengah terdapat krusta serosa. Kelainan kulit terasa nyeri, disertai demam, nyeri sendi, dan lemas, sehingga pasien sulit bangun dari tempat tidur. Keluhan disertai pula dengan pembesaran kelenjar getah bening leher, ketiak, dan lipat paha. Pasien mengalami berat badan menurun drastis, namun menyangkal gejala perdarahan sebelumnya; pasien sering terpajan sinar matahari. Tidak terdapat nausea, vomitus, diare lama, atau penggunaan narkoba suntik. Tidak ada riwayat promiskuitas maupun luka atau kutil di kemaluan. Kusta dan tuberkulosis paru tidak ditemukan, namun pernah mengalami ulkus di oral dan artralgia. Keadaan umum pasien tampak sakit berat, kompos mentis, febris, dan didapatkan limfadenopati generalisata.
50 S
Foto 1
Foto 2
Foto awal 1 dan 2. Tampak plak violaceus yang terasa nyeri pada wajah.
Pada pemeriksaan fisis lidah tampak lesi multipel, berkonfluensi, bentuk tidak teratur, dan berwarna putih. Pada wajah, leher, dada, punggung, kedua lengan, dan kedua tungkai tampak lesi multipel, diskret, bentuk tidak teratur, berukuran 1 x 1 x 0,1 cm sampai 3 x 3 x 1 cm, berbatas tegas, sebagian menimbul, dan kering. Juga ditemukan makula eritematosa, plak keunguan, krusta serosa, dan nodus. Tidak didapatkan penebalan saraf. Dari pemeriksaan kerokan lidah dengan pewarnaan KOH 20% dan tinta Parker ® biru hitam tidak didapatkan pseudohifa. Pasien didiagnosis banding sebagai cutaneous T cell lymphoma (CTCL) atau mikosis fungoides stadium plak, leukemia kutis, sarkoma Kaposi dan dugaan infeksi human immunodeficiency virus (HIV), lupus eritematosus sistemik, sifilis stadium II, eritema nodosum, metastasis dari keganasan organ internal, serta Sweet syndrome dengan penyebab keganasan. Diagnosis kerja adalah CTCL (mikosis fungoides stadium plak). Pada pemeriksaan foto Röntgen toraks diperoleh hasil dalam batas normal. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia (hemoglobin 9,1 g/dl), leukopenia (1.700/ mm3), trombositopenia (65.000 /mm3), netrofilia (basofil 0/ eosinofi 1/ batang 0/segmen 73/limfosit 25/monosit 1), dan peningkatan kadar lactat dehydrogenase (LDH) sebesar 1470 IU/L. Pemeriksaan VDRL dan TPHA nonreaktif serta anti-HIV negatif; antinuclear antibody (ANA) positif dengan pola speckled, antistreptolisin (ASTO) negatif; serta pemeriksaan panel ANA anti SS-A dan dsDNS positif. Pada sediaan apus darah tepi ditemukan sel Sézary. Pada analisis urin rutin terdapat granular cast dan proteinuria, sedangkan aspirasi sumsum tulang didapatkan dry tap. Hasil pemeriksaan fine needle aspiration biopsy (FNAB) dari kelenjar getah bening colli anterior tidak ditem ukan sel ganas, melainkan gambaran limfadenitis granulomatosa. Pemeriksaan histopatologis tidak menunjukkan keganasan, melainkan gambaran dermatosis neutrofilik. Pada pemeriksaan imunohistokimia tidak didapatkan CD3, CD20, kappa, maupun lambda. Pasien didiagnosis akhir sebagai Sweet syndrome dan lupus eritematosus sistemik.
Merlinda Nur Annissa dkk.
Sebaran obat topikal diberikan krim desoksimetason 0,25%, sedangkan terapi sistemik diberikan metilprednisolon 24 mg (24-0-0)/hari per oral (selama 4 minggu) dan ranitidin 1x150 mg/hari per oral. Prognosis pada pasien ini quo ad vitam dubia ad bonam, quo ad functionam dubia ad bonam, dan quo ad sanationam dubia ad malam. Pengamatan lanjutan setelah 4 minggu menunjukkan perbaikan klinis pada pasien dengan lesi kulit makula hiperpigmentasi.
PEMBAHASAN Pada Sweet syndrome yang berhubungan dengan keganasan tidak dijumpai predisposisi jenis kelamin tertentu, dan dapat merupakan manifestasi awal keganasan yang didiagnosis bertahun-tahun sebelumnya. 4,6 Keganasan yang paling sering berhubungan dengan SS adalah leukemia mielogenik akut, serta karsinoma genitourinaria, mammae, dan traktus gastrointestinal.4,9-13 Hou dkk. Pertama kali pada tahun 2005 melaporkan kasus SS yang berhubungan dengan awitan awal LES. Sweet syndrome tersebar di seluruh dunia, tidak terdapat predisposisi ras tertentu. Tipe klasik SS seringkali berhubungan dengan infeksi (saluran nafas bagian atas atau saluran gastrointestinal), inflammatory bowel disease, atau kehamilan. 4,10 Sweet syndrome dapat bersifat idiopatik, paraneoplastik, atau berhubungan dengan kehamilan, drug induced, kelainan jantung, infeksi, maupun kelainan sistem imun. 11,12 Varian SS yang berhubungan dengan drug induced, antara lain disebabkan oleh granulocytecolony stimulating factor (G-CSF), asam retinoid, minosiklin, trimetoprim-sulfametoksazol, karbamazepin, kontrasepsi oral, propiltiourasil, imatinib mesylate, bortezomib, nitrofurantoin, litium, dan celecoxib.1,4,6,11 Sweet syndrome lebih sering mengenai perempuan, dengan perbandingan 3:1.4,14 Rentang usia pasien antara 30 hingga 60 tahun dan pasien SS paling muda dilaporkan berusia 10 hari.4,14 Patogenesis SS belum diketahui secara pasti, namun diduga berkaitan dengan perubahan imunologis, 6 yaitu reaksi hipersensitivitas dalam mengeliminasi bakteri, virus, antigen tumor, atau obat. 2,4,6,15 Mekanisme leukotaktik, dendrosit dermis, sirkulasi autoantibodi, kompleks imun, serotipe HLA, dan berbagai sitokin berperan dalam patogenesis SS, di antaranya granulocyte macrophage colony-stimulating factor, interferon-γ, interleukin (IL)-1, IL-3, IL-6, dan IL-8.4 Interleukin-1 berperan dalam aktivitas pirogen endogen, sebagai kemotaktik netrofil, menginduksi leukositosis netrofil dan pembentukan prostaglandin E2.1 Komplemen diduga tidak berpengaruh dalam patogenesis SS. Antibodi terhadap antigen sitoplasma netrofil ditemukan pula pada SS. 4 Gambaran klinis, histopatologis, dan perjalanan lesi kulit menunjukkan hal tersebut serta respons
Sweet Syndrome yang diduga sebagai keganasan
baik terhadap terapi kortikosteroid.4,6 Diagnosis SS terdiri atas dua kriteria mayor dan dua dari empat kriteria minor.1,11 Kriteria mayor terdiri atas (1) lesi kulit yang khas berupa papul eritematosa atau keunguan, nodus akut, dan nyeri. (2) pada pemeriksaan histopatologis terdapat infiltrat netrofil di dermis tanpa gambaran vaskulitis leukositoklastik.1,11 Kriteria minor terdiri atas (1) demam atau infeksi yang mendahului lesi kulit, (2) demam hilang timbul, malaise, artralgia, konjungtivitis, dan penyakit keganasan yang mendasari, (3) leukositosis > 8000/mm3 atau netrofilia > 70%, peningkatan laju endap darah, C-reactive protein (4) menunjukkan respons baik terhadap terapi kortikosteroid sistemik, tetapi tidak terhadap antibiotika.1,11,14 Lesi kulit SS dapat timbul pada lokasi trauma (patergi positif), berupa papul, plak atau nodus eritematosa hingga keunguan yang terasa nyeri, dapat pula vesikel, bula, dan ulkus.1,4,11,14 Di bagian tengah plak dapat timbul perubahan warna menjadi kekuningan, memberi gambaran targetoid.6 Lesi kulit dapat tunggal atau multipel dengan distribusi asimetris, namun dapat pula generalisata misalnya pada kasus keganasan.4,6 Kelainan kulit makin meluas dalam beberapa hari membentuk plak dengan batas tidak teratur.4 Pada kasus ini, pasien adalah seorang laki-laki berusia 46 tahun dengan predisposisi SS diduga kelainan autoimun, yaitu LES. Keadaan umum pasien sakit berat, tidak dapat menjalankan aktivitas sehari-hari, terdapat malaise, artralgia, artritis, mialgia, nyeri kepala, dan riwayat demam. Kelainan kulit timbul sejak empat bulan sebelumnya, berupa makula eritematosa pada wajah, leher, dada, dan punggung, serta nodus pada lengan dan kedua tungkai yang terasa nyeri. Makula eritematosa lama kelamaan berubah menjadi plak keunguan. Setelah tiga bulan, plak keunguan yang telah ada sebelumnya di wajah bertambah besar, sebagian pada bagian tengahnya terdapat krusta serosa. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan leukositosis, peningkatan LED, namun pernah pula dilaporkan kasus SS tanpa demam dan leukositosis.1,4,6 Leukopenia dapat timbul bila terdapat kelainan sumsum tulang, demikian pula
Foto 3
Foto 4
Foto 3 dan 4. Perbaikan klinis berupa makula hiperpigmentasi pada wajah, setelah pemberian kortikosteroid oral selama 4 minggu
51 S
MDVI
proteinuria.1,3 Gambaran histopatologis SS menunjukkan infiltrat netrofil di dermis superfisial, edema papilar dermis, dengan atau tanpa vaskulitis leukositoklastik, dapat pula ditemukan limfosit.2,6,14,16,18 Gambaran yang paling sering ditemukan ialah neutrophil karyorrhexis atau fragmented neutrophil nuclei. 6 Pada satu penelitian, 74% hasil pemeriksaan histopatologis menunjukkan gambaran vaskulitis, yaitu gambaran pembuluh darah yang dikelilingi netrofil leukositoklastik dan fibrin di sekitar pembuluh darah, serta ekstravasasi eritrosit.6 Pemeriksaan histopatologis pada kasus ini ditemukan infiltrat netrofil pada dermis superfisial, fragmented nuclei, tanpa gambaran vaskulitis leukositoklastik, dan mengarah pada dermatosis netrofilik. Pada kasus ini diagnosis SS ditegakkan berdasarkan dua kriteria mayor dan dua kriteria minor. Kriteria mayor yang terpenuhi yaitu lesi kulit yang khas dan gambaran histopatologis sesuai dengan SS. Kriteria minor yang terpenuhi pada kasus ini berupa riwayat demam, malaise, netrofilia, dan berespons baik terhadap terapi kortikosteroid. Diagnosis banding pada kasus ini, antara lain cutaneous T-cell lymphoma (CTCL/mikosis fungoides stadium plak), leukemia kutis, sarkoma Kaposi dengan kecurigaan infeksi HIV, lupus eritematosus sistemik, sifilis stadium II, eritema nodosum, dan metastasis keganasan organ internal. Mikosis fungoides (MF) merupakan transformasi keganasan sel T pada kulit 18,19 dengan bentuk CTCL yang paling sering ditemukan.8,20,21 Proses keganasan berawal di kulit, yang kemudian dapat menyebar ke sistem limforetikular, termasuk kelenjar getah bening dan organ internal lain.18 Manifestasi klinis MF terdiri atas empat stadium, 20 yaitu stadium patch, plak, tumor, 8,18,20,21 dan sindrom Sezary.8,20,21 Stadium plak ditandai oleh gambaran plak eritematosa hingga keunguan, disertai skuama dan plak berbentuk anular8,20 atau arsiformis yang dapat asimtomatik atau gatal.20 Facias leonina dapat ditemukan pada stadium ini, sebagai akibat infiltrasi sel tumor paa kulit. Pemeriksaan histopatologis MF menunjukkan infiltrat limfosit di epidermis dengan epidermotropism, dan mikroabses Pautrier. Limfosit menunjukkan gambaran atipia yang bervariasi, mulai dari pleomorfik, hiperkromatik, dan convoluted nuclei cerebriform. 8,21,22 Pemeriksaan imunohistokimia CD-20 menghasilkan ekspresi positif pada sel T atau sel B, sedangkan CD-3 terhadap sel B. 23 Pemeriksaan imunohistokimia kappa-lambda dapat diketahui proses keganasan. Diagnosis awal kasus ini adalah MF stadium plak, berdasarkan kelainan kulit plak keunguan pada wajah, dada, punggung. Kelainan kulit disertai dengan penurunan berat badan yang drastis, riwayat demam, limfadenopati generalisata, pada pemeriksaan fisis dan temuan sel Sezary pada pemeriksaan apus darah tepi. Diagnosis MF pada pasien ini disingkirkan karena pemeriksaan histopatologis tidak sesuai dengan MF, tidak didapatkan sel ganas dan
52 S
Vol 38 No. Suplemen Tahun 2011; 49 s - 54 s
atipik, pada pemeriksaan FNAB tidak ditemukan sel ganas, dan hasil negatif pada pemeriksaan imunohistokimia CD-3, CD-20, dan kappa lambda. Pasien ini pada awalnya didiagnosis banding dengan leukemia kutis, sebab didapatkan penurunan berat badan yang drastis, limfadenopati, serta plak keunguan pada wajah dan batang tubuh. Namun pemeriksaan histopatologis tidak sesuai dengan gambaran leukemia kutis, tidak didapatkan sel-sel blast dan atipik, tidak ditemukan sel-sel ganas pada pemeriksaan FNAB, pemeriksaan imunohistokimia didapatkan hasil yang negatif, dan pemeriksaan sumsum tulang menunjukkan dry tap. Dengan demikian diagnosis leukemia kutis pada pasien ini dapat disingkirkan. Diagnosis banding sarkoma Kaposi dan dugaan infeksi HIV dipikirkan pada kasus ini, sebab didapatkan plak keunguan pada wajah, dada, punggung serta nodus pada kedua tungkai. Kelainan kulit disertai dengan penurunan berat badan yang drastis, riwayat demam, artralgia, dan lemah badan. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan anemia, leukopenia, trombositopenia, serta peningkatan LDH. Diagnosis banding sarkoma Kaposi dan suspek HIV pada kasus ini dapat disingkirkan, sebab pemeriksaan histopatologis tidak sesuai dan pemeriksaan VCT (volentary counselling and testing) didapatkan hasil yang negatif. Pada pasien ini ditegakkan pula diagnosis lupus eritematosus sistemik berdasarkan kriteria American Collage of Rheumatology (ACR) dengan empat kriteria ACR yang positif, yaitu discoid rash, artritis, kelainan darah, dan ANA positif pola speckled, serta pada pemeriksaan panel ANA ditemukan anti-Ro dan dsDNA. Kasus ini didiagnosis banding dengan sifilis stadium II, sebab didapatkan kelainan kulit berupa plak keunguan pada wajah, dada, punggung, serta nodus pada kedua tungkai. Kelainan kulit disertai dengan riwayat demam, limfadenopati generalisata, gangguan muskuloskeletal, dan gangguan traktus genitourinarius berupa proteinuria. Diagnosis banding sifilis stadium II pada kasus ini dapat disingkirkan karena pemeriksaan VDRL dan TPHA negatif. Diagnosis banding eritema nodosum (EN) didasarkan atas kelainan kulit berupa plak keunguan pada wajah, dada, punggung, dan nodus yang terasa nyeri pada kedua tungkai. Diagnosis EN pada pasien ini dapat disingkirkan karena dari pemeriksaan laboratorium didapatkan leukopenia, pemeriksaan ASTO negatif, pada toraks foto tidak didapatkan kelainan, serta gambaran histopatologis tidak sesuai dengan gambaran EN. Kasus ini didiagnosis banding dengan metastasis keganasan dari organ lain ke kulit, karena didapatkan kelainan kulit berupa plak keunguan pada wajah, dada, punggung dan nodus yang terasa nyeri pada kedua tungkai, penurunan berat badan drastis, demam hilang timbul, lemah badan. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan LDH. Diagnosis metastasis keganasan dari organ lain ke kulit pada pasien ini disingkirkan, sebab belum dapat dibuktikan
Merlinda Nur Annissa dkk.
keganasan dari organ lainnya, serta pada pemeriksaan histopatologis tidak didapatkan sel atipik dan ganas. Pengobatan utama SS dengan kortikosteroid sistemik, yaitu prednison selama 4 hingga 6 minggu, namun seringkali diperlukan pengobatan yang lebih lama untuk mencegah rekurensi.1,3,6 Dosis kortikosteroid yang diberikan setara dengan prednison 1 mg/kg berat badan/hari. 10 Obat lain adalah kolkisin, kalium iodida, klofazimin, dapson, siklosporin, talidomid, asitretin, imunoglobulin intravena, interferon-α, diaminodifenilsulfon (DDS), dan etretinat/ retinoid.1,3,6 Terapi kortikosteroid topikal atau intralesi dapat diberikan pada lesi lokalisata atau sebagai terapi tambahan.6 Pada kasus ini diberikan terapi metilprednisolon 24 mg/hari per oral selama empat minggu, serta terapi tambahan berupa krim desoksimetason 0,25% yang dioleskan pada lesi kulit. Lesi kulit menyembuh setelah pemberian kortikosteroid selama empat minggu, dan meninggalkan makula hiperpigmentasi. Kelainan kulit SS dapat mengalami resolusi spontan dalam waktu satu hingga tiga bulan tanpa terapi.1,4 Lesi kulit tidak meninggalkan sikatriks, meskipun hiperpigmentasi pascainflamasi dapat menetap.1,4 Terdapat sekitar 20% kasus SS disertai keganasan hematologis.13,25-27 Sweet syndrome dapat timbul bersamaan atau sebelum mielodisplasia, dapat relaps, dan menjadi petanda awal leukemia mieloid, sehingga diperlukan pemeriksaan dan pengamatan berkala untuk menyingkirkan adanya keganasan.1,27 Sweet syndrome tidak mengancam jiwa, dan pada pasien ini diduga didasari oleh proses autoimun, sehingga prognosis quo ad vitam pada kasus ini dubia ad bonam. Prognosis quo ad functionam pada kasus ini dubia ad bonam, karena kelainan kulit tidak meninggalkan sikatriks, namun hiperpigmentasi dapat menetap. Prognosis quo ad sanationam pada pasien ini dubia ad malam karena LES yang diduga mendasari SS pada kasus ini membutuhkan terapi teratur, dan tetap diperlukan pengamatan secara berkala untuk menyingkirkan kemungkinan timbul keganasan di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA 1. Tarawneh AA. Sweet’s syndrome: clinicopathological study of 16 cases. Bahrain Med Bull. 2003; 25: 1-6. 2. Waltz KM, Long D, Marks JG, Billingsley EM. Sweet’s syndrome and erythema nodosum. Arch Dermatol. 1999; 135: 62-6. 3. Altomare G, Capella GL, Frigerio E. Sweet’s syndrome in a patient with idiopathic myelofibrosis and thymomamyasthenia gravis-immunodeficiency complex: efficacy of treatment with etretinate. Haematologica. 1996; 81: 54-8. 4. Cohen PR. Hõnigsmann H, Kurzrock R. Acute febrile neutrophilic dermatosis (Sweet syndrome). Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, penyunting. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York: McGraw Hill Company; 2008. h.289-95.
Sweet Syndrome yang diduga sebagai keganasan
5. Fernandes NF, Soccio LC, Kim EJ, Werth VP. Sweet syndrome associated with new-onset systemic lupus erythematosus in a 25-year-old man. Arch Dermatol. 2009;145:608-9. 6. Cox NH, Jorrizo JL, Bourke JF, Savage COS. Vasculitis, neutrophilic dermatoses and related disorders. Dalam: Burns T, Breatnach S, Cox N, Griffiths C, penyunting. Rook’s textbook of dermatology. Edisi ke-8. Singapore: Wiley & Blackwell. 2010. h. 50.74-80. 7. Malone JC, Slone SP. Sweet syndrome - a disease in histologic evolution? Arch Dermatol. 2005; 141: 893-5. 8. Girardi M, Heald PW, Wilson LD. The pathogenesis of mycosis fungoides. N Engl J Med. 2004; 350:1978-88. 9. Lipsker D, Saurat JH. Neutrophilic cutaneous lupus erythematosus. Dermatology. 2008; 216: 283-6. 10. Boivin S, Segard M, Piette F, Delaporte E, France L. Sweet syndrome associated with pasteurella multocida bronchitis. Arch Intern Med. 2000;160:1869. 11. Owen CE, Malona JC, Callen JP. Sweet-like dermatosis in 2 patients with clinical features of dermatomyositis and underlying autoimmune disease. Arch Dermatol. 2008;144:1486-90. 12. Tatebe S, Iwaki H, Kuraoka S, Iijima S. A ball thrombus in the left ventricle in association with Sweet syndrome. J Thorac Cardiovasc Surg. 2003;125: 209-11. 13. Pennamen MD, Juillard C, Rybojad M, Wallach D, Daniel MT, Morel T, dkk. Chronic recurrent lymphocytic Sweet syndrome as a predictive marker of myelodysplasia. Arch Dermatol. 2006;142:1170-6. 14. Corazza M, Lauriola MM, Borghi A, Mazola A, Virgili A. Sweet’s syndrome: a retrospective clinical, histopathological and immunohistochemical analysis of 11 cases. Acta Derm Venereol. 2008; 88: 601-6. 15. Brady RC, Morris J, Beverly L, Boiko S. Sweet’s syndrome as an initial manifestation of pediatric human immunodeficiency virus infection. Pediatrics. 1999;104:1142-4. 16. Malone JC, Slone SP, Wills FL, Fearneyhough FH, Lear SC, Goldsmith LJ, dkk. Vascular inflammation (vasculitis) in Sweet syndrome. Arch Dermatol. 2002;138:345-9. 17. Chow S, Pasternak S, Green P, Tremaine R, Reardon M, Murray S, dkk. Histiocytoid neutrophilic dermatoses and panniculitides: variation on a theme. Am J Dermatopathol. 2007; 29:334-41. 18. Reddy K, Bhawan J. Histologic mimickers of mycosis fungoides: a review. J Cutan Pathol. 2007; 34: 519-25. 19. Friss AB, Cohen PR, Bruce S, Duvic M. Chronic cutaneous lupus erythematosus mimicking mycosis fungoides. J Am Acad Dermatol. 1995;33: 891-5. 20. Gadenne AS, Blanco R. Mycosis fungoides: clinical presentations and diagnosis. J Geriatr Dermatol. 1997; 5: 331-4. 21. Assaf C, Sterry W. Cutaneous lymphoma. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, penyunting. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York: McGraw Hill Company. 2008. h. 1386-402. 22. Candiago E, Marocolo D, Manganoni MA, Leali C, Faccheti F. Nonlymphoid intraepidermal mononuclear cell collections (pseudo-Pautrier abscesses). Am J Dermatopathol. 2000; 22:1-6. 23. Bõni R, Xin H, Kamarshev J, Utzinger E, Dummer R, Kempf W, dkk. Allelic deletion at 9p21-22 in primary cutaneous CD30+ large cell lymphoma. J Invest Dermatol.
53 S
MDVI
2000;115:1104-7. 24. Wick MR, Swanson PE, Patterson JW. Immunohistology of skin tumors. Dalam: Dabbs DJ, penyunting. Diagnostic immunohistochemistry. Edisi ke-2. Pittsburgh: Elsevier; 2006. h. 405-30. 25. Schneider LA, Schmid M, Staib G, Weiss T, Kochanek KS, Weber L. Cutaneous infiltrations can herald an apparent
54 S
Vol 38 No. Suplemen Tahun 2011; 49 s - 54 s
myelodysplastic syndrome. Acta Derm Venereol. 2006; 86:172-3. 26. Kawakami, et al. Sweet syndrome subsequent to relapsing polychondritis and myelodysplastic syndrome in a Japanese patient. Acta Derm Venereol. 2008; 88: 517-9. 27. Gan GG, Pasagna JJF, Eow GI, Nadarajan VS. Chronic neutrophilic leukaemia. Singapore Med J. 2007;48:e74-6.