STOCKTAKING ASSESSMENT
SVLK DALAM KONTEKS OTONOMI KHUSUS PROVINSI PAPUA 5 Kasus Terkait Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat Hukum Adat
Disusun Oleh : Paramita Iswari Edi Suprapto Max J. Tokede Lyndon B. Pangkali
Ringkasan Eksekutif
Dalam rangka mewujudkan tata-kelola kehutanan yang baik (Good Forestry Governance/GFG) menuju Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) Kementrian Kehutanan memberlakukan Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu (dalam assessment ini disingkat dengan sebutan SVLK). Kebijakan ini diterapkan pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009 yang disempurnakan melalui P.68/Menhut-II/2011. Konsekuensinya adalah adanya kondisi yang mewajibkan setiap pemegang hak, pemegang izin pemanfaatan hasil hutan, pemegang izin usaha pengolahan kayu lanjutan dan pedagang ekspor, untuk melaksanakan SVLK, termasuk di Provinsi Papua. Papua sebagai provinsi terluas di Indonesia yang 85,05%nya adalah hutan, memiliki kondisi spesifik yang tidak dimiliki wilayah lain di Indonesia. Dilatarbelakangi dengan sejarah politik yang kerap diwarnai dengan ketegangan, saat ini Papua dinaungi oleh Otonomi Khusus yang secara legal dipayungi dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Dengan latar belakang kekhususan Papua tersebut, secara ‘teoritik’ dapat diasumsikan bahwa tidak seluruh kebijakan nasional maupun peraturan turunannya dapat berlaku begitu saja. Sudah tentu dalam praktek memerlukan penyesuaian dengan berbagai kebijakan dan aturan lain, seperti UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan Peraturan Menteri Kehutanan No 38 Tahun 1999 jo. No 68 Tahun 2011 Tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak. Berdasarkan asumsi tersebut, assessment ini dilakukan dalam rangka menciptakan kondisi di mana sistem Penilaian Kinerja PHPL dan Verifikasi Legalitas Kayu dapat bekerja dengan optimal di Papua, sehingga tata-kelola kehutanan yang baik (Good Forestry Governance) dalam rangka mencapai sistem pengelolaan hutan lestari dapat diwujudkan. Untuk mendalami terutama terkait bagaimana masyarakat mengelola hutannya, assessment ini mengambil lima kasus industri kayu rakyat yaitu KSU Lwagubin Srem dan KSU Jibogol di Jayapura, KSU Yera Asai di Yapen, Kelompok Pengelolaan Hasil Hutan Mo Make Unaf di Merauke dan KSU Nuwoa Baru di Nabire. Dari assessment ini diperoleh 3 (tiga) kesimpulan utama yaitu : 1.
Pengakuan atas otonomi khusus Papua adalah keniscayaan. Tanpa ‘pengakuan’ atas otonomi khusus, maka SVLK hanya akan menjadi instrumen penyingkiran peran masyarakat adat Papua dalam pengelolaan dan pengusahaan hutan (atau disebut dengan legal exclusion).
1
2. 3.
SVLK akan menjadi instrumen tata kelola hutan yang baik (good forest governance apabila terdapat kejelasan kewenangan antara UU 41/1999 dan kebijakan-kebijakan di tingkat daerah. Kebijakan-kebijakan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus akan dapat berperan optimal dalam mengakui dan menghargai hak-hak masyarakat adat serta melestarikan sumberdaya alam Papua jika menerapkan prinsip afirmatif yang optimal.
Apabila ketiga hal di atas berhasil diatasi, maka akan ada konsekuensi yang harus dihadapi, termasuk melakukan sejumlah penyesuaian terhadap implementasi SVLK apabila akan dilaksanakan di Provinsi Papua dan mengevaluasi efektif tidaknya kebijakan di daerah berdasarkan implementasinya selama ini. Tanpa hal ini, tujuan mewujudkan tata kelola kehutanan yang baik (good forest governance) dalam kerangka mencapai pengelolaan hutan lestari akan jauh dari harapan. Bahkan kebijakankebijakan ini hanya akan menjadi instrumen yang akan menghambat kemajuan pengelolaan hutan terutama yang berbasis masyarakat adat di Provinsi Papua. Diharapkan usulan intervensi program yang dilakukan di Papua seperti yang menjadi hasil assessment ini, dapat menciptakan kondisi yang mendukung optimalnya implementasi sistem Penilaian Kinerja PHPL dan Verifikasi Legalitas Kayu demi tata kelola kehutanan yang baik (Good Forestry Governance) dalam rangka mencapai sistem pengelolaan hutan lestari di Papua.
2
DAFTAR ISI
Bagian I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan dan Keluaran 1.3 Metodologi 1.4 Sistematika Laporan Bagian II Konteks Umum Kehutanan Papua 2.1 Luas dan Potensi Hutan Papua 2.2 Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Dalam Konteks Otonomi Khusus 2.3 Kelembagaan Kepengurusan Hutan Papua 2.4 Pemanfaatan Hutan dan Industri Kehutanan di Provinsi Papua 2.4.1 Perusahaan IUPHHK 2.4.2 Industri Primer Hasil Hutan Kayu 2.5 Tata Niaga Hasil Hutan Kayu Bagian III Analisis Pemangku Kepentingan dan Problem Pengelolaan Hutan Lestari di Papua 3.1 Pemangku Kepentingan Dalam Pengelolaan Hutan Lestari di Papua 3.1.1 Identifikasi Pemangku Kepentingan 3.1.2 Peran dan Fungsi Pemangku Kepentingan 3.2 Permasalahan dalam Pengelolaan Hutan dan Penerapan SVLK di Papua 3.2.1 Permasalahan Terkait Harmonisasi Kebijakan 3.2.2 Permasalahan Terkait Kapasitas Organisasi dan Sumberdaya Manusia 3.2.3 Permasalahan Lain Terkait Implementasi SVLK 3.3 Potret Kesiapan IUPHHK-MHA dalam Implementasi SVLK (5 Kasus) 3.3.1 Penyiapan Kelembagaan 3.3.2 Penataan Kawasan 3.3.3 Peran dan Dukungan Multipihak 3.3.4 Monitoring dan Evaluasi Bagian IV Analisis Kesesuaian SVLK dalam Konteks Pengelolaan Hutan di Papua 4.1 Analisis Kesesuaian Standard SVLK dengan Konteks Pengelolaan Hutan Papua 4.1.1 Analisis Kesesuaian Standard SVLK Terkait Pengelolaan Hutan dan Industri Hasil Hutan Kayu oleh Masyarakat Hukum Adat 4.1.2 Analisis Kesesuaian Standard SVLK Terkait Pengelolaan
7 11 12 14 16 20 28 29 29 30 31
33 34 35 39 39 47 50 53 53 58 62 66
69 69
3
Hutan dan Industri Hasil Hutan Kayu oleh Pihak Lain 4.2 Analisis Kesesuaian Tata Kelembagaan SVLK dengan Konteks Pengelolaan Hutan Papua 4.3 Analisis Kesesuaian Terkait Pengajuan dan Penanganan Keluhan dan Banding
77
Bagian V Usulan Kegiatan Strategis
85
79 82
Lampiran
4
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Alur Stocktaking Assessment Papua Gambar 2 Potensi Tegakan per-Hektar Pada Hutan Produksi di Papua Berdasarkan Kelas Diameter Gambar 3 Hubungan Antar Aktor yang Terlibat dalam Pengelolaan Hutan di Papua Gambar 4 Struktur Organisasi Koperasi Serba Usaha Lwagubin Srem Kampung Beniek, Distrik Unurum Guay Kabupaten Jayapura
13 19 34 55
5
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Luas Kawasan Hutan dan Perairan Berdasarkan Fungsi Tabel 2 Luas Tutupan Hutan Papua Tabel 3 Potensi Tegakan per-Hektar Pada Hutan Produksi di Papua Berdasarkan Kelas Diameter Tabel 4 Potensi Hasil Hutan Non-Kayu Tabel 5 Peran dan Fungsi Pemangku Kepentingan Dalam Pengelolaan Hutan di Provinsi Papua Dalam Rangka Implementasi Perdasus dan SVLK Tabel 6 Karakter Khusus Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan di Provinsi Papua era Otonomi Khusus Tabel 7 Perbandingan Kebijakan Terkait IUPHHK HA/HTI/RE dengan IUPHHK MHA Tabel 8 Perbandingan Kebijakan Terkait IUPHHK HTR dengan IUPHHK HTRMHA Tabel 9 Perbandingan Kebijakan Terkait IUIPHHK dengan IUIPHHK Rakyat Tabel 10 Ketersediaan GANIS PHPL s/d Desember 2010 Tabel 11 Analisis Kesesuaian SVLK pada Hutan Negara yang Dikelola Pemegang Izin dan Pemegang Hak Pengelolaan Tabel 12 Analisis Kesesuaian SVLK pada Hutan Negara yang Dikelola Masyarakat (HTR, HKm, HD) Tabel 13 Kegiatan Pengembangan Kapasitas di Tingkat Sistem Kelembagaan Tabel 14 Kegiatan Pengembangan Kapasitas di Tingkat Organisasi Kelembagaan Tabel 15 Kegiatan Pengembangan Kapasitas di Tingkat Individu
17 18 18 19 37 40 41 42 43 49 70 74 86 89 92
6
Bagian I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
Dalam rangka mewujudkan tata-kelola kehutanan yang baik (Good Forestry Governance/GFG) menuju Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) Kementrian Kehutanan memberlakukan Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu (umumnya dikenal dengan sebutan SVLK). Kebijakan ini diterapkan pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009 yang disempurnakan melalui P.68/Menhut-II/2011 (untuk selanjutnya akan disingkat dengan P.38 jo P.68), dan beberapa aturan turunannya. Berbeda dari sistem sertifikasi yang bersifat sukarela (voluntary), kebijakan ini lahir utamanya sebagai bagian dari upaya perbaikan tata kelola internal (internal governance) kehutanan. Seiiring dengan itu, berkenaan dengan kepentingan internasional, terdapat upaya penegakan hukum, perdagangan dan tata kelola kehutanan (European Union-Forest Law Enforcement, Trade and Governance/EU-FLEGT), dimana upaya ini dimaksudkan untuk mendorong peran serta pemerintah dari negara baik produsen maupun konsumen, untuk melakukan pembaruan guna mencegah terjadinya kejahatan kehutanan dan masuknya kayu ilegal ke pasar Uni Eropa, melalui skema yang disebut dengan Perjanjian Kemitraan Sukarela (Voluntary Partnership Agreements/VPA). Indonesia telah menandatangani VPA ini pada bulan Mei tahun 2011 lalu, dengan P.38 jo P.68 sebagai salah satu instrumennya. Diharapkan melalui kebijakan ini, kayu tidak hanya sekedar dapat terbukti legalitasnya, namun lebih jauh lagi bahwa unit usaha kehutanan dapat meningkatkan performanya untuk melakukan praktek - praktek pengelolaan hutan lestari.1 Namun, berdasarkan hasil serangkaian studi maupun pengalaman berbagai pihak dalam beberapa waktu terakhir, terdapat sejumlah tantangan dalam pencapaian tujuan sistem tersebut. Konsekuensi dari hal tersebut di atas adalah adanya kondisi yang mewajibkan bagi setiap pemegang hak, pemegang izin pemanfaatan hasil hutan, pemegang izin usaha pengolahan kayu lanjutan (bahkan termasuk industri rumah tangga/pengrajin), dan pedagang ekspor, untuk melaksanakan SVLK sebagai sistem penjaminan legalitas yang diakui secara internasional. 1 Berdasarkan butir Menimbang bagian D dalam P 38, disebutkan bahwa Standard Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak ditetapkan dalam rangka menuju Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), penerapan tata kelola kehutanan serta pemberantasan penebangan liar dan perdagangannya.
7
SVLK Beserta Tantangan terkait Implementasinya SVLK sebagaimana diatur dalam P.38 jo P.68, dan peraturan turunannya merupakan sistem sertifikasi yang bersifat wajib (mandatory). Dalam arti, penilaian suatu pemegang ijin merupakan permintaan atau persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah yang harus dilaksanakan. Dalam hal ini hasil penilaian dari pihak ketiga merupakan informasi yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk pembinaan dan pengambilan keputusan perpanjangan maupun persetujuan ijin usaha pemegang ijin terkait. Kelahiran SVLK ini disebut-sebut merupakan ‘jalan tengah’ yang ditempuh Kementerian Kehutanan, di tengah tuntutan green market yang memiliki prinsip, kriteria dan indikator yang masih sulit dapat dipenuhi oleh unit manajemen dan masih lemahnya sistem tata kelola (governance system) sektor kehutanan Indonesia. Sulitnya unit manajemen memenuhi prinsip, kriteria dan indikator dari sistem yang bersifat sukarela (voluntary) yang ada sebagian bersumber dari masih buruknya sistem tata kelola hutan (forest governance system). Dengan SVLK yang bersifat wajib (mandatory) maka pemerintah memiliki alat (tools) untuk memperbaki kinerja forest governance system.2 Namun, dalam perjalanan implementasi SVLK, beberapa hasil studi3 maupun pengalaman4 dari berbagai pihak menemukan adanya sejumlah tantangan. Secara umum, berdasarkan temuan studi yang dilakukan oleh Institut KARSA (2010), tantangan dikelompokkan menjadi: a. Terkait pada pemenuhan syarat penting, yang meliputi kebijakan, tata kelembagaan, kriteria dan indikator sampai kepada standard operational procedure (SOP) yang terkandung di dalam sistem; b. Terkait pada pemenuhan syarat cukup, meliputi kewenangan (authority), sosialisasi, ketrampilan individu (personal skill), independen (independency), keterbukaan alur informasi dan pembiayaan. Keseluruhan tantangan tersebut jelas muncul akibat sejumlah ketidakjelasan pengaturan dan kesimpangsiuran pemahaman dari berbagai pihak terhadap SVLK. Dampaknya sebagian aturan mengalami kebuntuan sehingga implementasi SVLK menjadi tidak optimal. Sebagai upaya untuk mengatasi tantangan di atas, telah dilakukan Selengkapnya lihat Institut KARSA, 2010 Beberapa studi yang diacu diantaranya adalah studi yang dilakukan oleh Institut KARSA terkait SVLK seperti “Studi Komparasi Model Kelembagaan Penyelesaian Keberatan di Indonesia dan Relevansinya dengan Pengembangan Mekanisme Penyelesaian Keberatan (Dispute Resolution Mechanism) dalam Konteks SVLK (Kasus : KOMNAS HAM, Ombudsman RI, PNPM dan BPN)” Maret 2010, “Kajian atas Kebijakan dan Perundang-Undangan sebagai Alas Legalitas dari Mekanisme Penyelesaian Keberatan dalam Konteks SVLK” Maret 2010, “Studi Membangun Model Kelembagaan Penyelesaian Keberatan Dalam Penilaian Kinerja PHPL dan Verifikasi LK” Desember 2010, “Kajian Yuridis Kebijakan Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja PHPL dan Verifikasi LK, PKBH UGM – Institut KARSA” Juni 2011. 4 Lihat kumpulan tulisan mengenai pengalaman empiris Pemantauan Independen dan/atau Pengajuan Serta Penyelesaian Keberatan di Regio Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua yang difasilitasi Institut KARSA, Juli 2011 2 3
8
revisi5 P.38/2009 yang melahirkan P.68/2011 beserta aturan turunannya. Dalam aturan terbaru hasil revisi, telah dilakukan perubahan dan penambahan terhadap beberapa klausul dalam P.38 yang menimbulkan ketidakjelasan dan penafsiran beragam, kriteria dan indikator, pengayaan terhadap pedoman operasional, khususnya terkait penilaian, pemantauan serta pengajuan dan penanganan keluhan serta banding. Misalnya terkait Kriteria dan Indikator, disebutkan bahwa bagian ini tidak dirumuskan dengan baik karena selain menimbulkan kerancuan di beberapa indikator, banyak hal belum tercakup menjadi indikator, verifiernya tidak jelas dan ketiadaan norma/nilai kematangan verifikasi. Namun hal ini telah diatasi dengan lahirnya Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : P.8/VI-BPPHH/2011 tentang Standard dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK) sebagai revisi atas Kriteria dan Indikator sebelumnya. Terkait dengan kelembagaan, ditemukan bahwa dengan pelibatan Komite Akreditasi Nasional (KAN) maka terdapat 3 (tiga) kecenderungan yang berbeda dari sistem terkait, yaitu : 1. Merupakan bagian dari pengaturan internal (internal governance); 2. Merupakan bagian dari sebuah gerakan pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management movement); dan 3. Merupakan bagian dari sebuah rejim standarisasi internasional. Di mana masing-masing memiliki konsekuensinya tersendiri, yang tentunya berbeda satu dengan yang lainnya dan berimplikasi pada sejumlah kontradiksi dan implementasi di lapangan yang problematik. Sedangkan terkait mekanisme pengajuan dan penanganan keluhan dan banding, juga ditemukan sejumlah tantangan di mana mekanisme terkait tidak dapat memenuhi sejumlah prinsip penyelesaian sengketa yaitu Legitimate, Accessible, Predictable, Equitable, Rights-Compatible, dan Transparant. Seiring dengan hal tersebut, mekanisme pengajuan dan penanganan keluhan dan banding tidak dapat bekerja secara efektif, diukur dari 7 (tujuh) tolok ukur efektifitas sebuah mekanisme yaitu –Subject Clearity, Receiver, Filtering, Processing, Decision Making, Acceptance, Post Resolution dan Feed Back. Selain temuan studi yang dijabarkan di atas, pengalaman dari berbagai inisiatif yang perhatian terhadap isu ini, juga mendeskripsikan sejumlah tantangan yang ditemui di lapangan. Sebagai contoh pengalaman pendampingan persiapan hutan rakyat di Jawa Tengah menyebutkan bahwa kesulitan utama di lapangan dalam pemenuhan SVLK adalah terkait kelembagaan hutan rakyat (status badan hukum organisasi tidak jelas, belum memiliki aturan main organisasi), administrasi dari segala bentuk dokumen legalitas pengangkutan kayu dan penjualan yang sama sekali tidak baik, 5 Proses revisi P38/2009 tidaklah semudah membalik telapak tangan. Diawali dengan membangun proses diskusi P38/2009 di berbagai pihak. Berbagai kajian dilakukan dari berbagai sudut pandang. Kemudian diikuti dengan sebuah konsultasi publik di regio Sumatera, Jawa-Bali-NTT-NTB, Kalimantan, Sulawesi dan Papua dan konsultasi nasional. Maka sebuah Tim yang diwakili berbagai pihak mencoba mengakomodir segala masukan sehingga kemudian lahir P68/2011 dan peraturan turunannya.
9
pembiayaan yang masih belum mandiri sampai kepada keterbatasan pemahaman pemilik hutan hak tentang sertifikasi dan tata kelola kehutanan.6 Berdasarkan tantangan tersebut, maka beberapa organisasi non pemerintah (Ornop) pendamping hutan rakyat memfokuskan pada kerjakerja pendampingan dalam persiapan menuju SVLK. Selain itu peningkatan kapasitas baik untuk pelaku industri maupun pendamping secara terusmenerus diselenggarakan . Konteks Otonomi Khusus Papua Papua sebagai provinsi terluas di Indonesia yang 85,05%-nya adalah hutan, memiliki kondisi spesifik yang tidak dimiliki wilayah lain di Indonesia, baik tatanan adat-istiadatnya, karakteristik ekologis-nya bahkan latar belakang politiknya. Dilatarbelakangi dengan sejarah politik yang penuh warna dan kerap diwarnai dengan ketegangan-ketegangan politik, maka pada tahun 2001 sebagai penawaran tertinggi dalam mengatasi ketegangan politik tersebut, Pemerintah memberikan status Otonomi Khusus (selanjutnya akan disingkat dengan otsus) bagi Provinsi Papua. Secara legal otsus ini dinaungi melalui payung Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Satu poin penting dari UU ini adalah adanya klausul yang memberikan penghargaan dan pengakuan atas hak masyarakat adat dan masyarakat hukum adat (selanjutnya akan disingkat dengan MHA) di Papua. Berdasarkan UU Otsus tersebut, Gubernur Provinsi Papua diwajibkan menyusun sejumlah Peraturan Daerah Khusus (selanjutnya disebut Perdasus) dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi). Bahkan kemudian lahir beberapa Perdasus yang menjadi tonggak pengakuan hak masyarakat adat, yakni Perdasus Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua dan Perdasus Nomor 23 Tahun 2008 Tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah. Ditambah lagi dengan adanya Keputusan Bersama Gubernur Papua dan Papua Barat yang telah melarang ekspor kayu bulat (zero log) pada 19 Desember 2008 dengan tujuan untuk meningkatkan nilai tambah di Tanah Papua, khususnya bagi masyarakat adat Papua. Dengan latar belakang kekhususan situasi Papua tersebut,7 secara ‘teoritik’ dapat diasumsikan bahwa tidak seluruh kebijakan nasional maupun peraturan turunannya dapat berlaku begitu saja. Dengan situasi ini, tentu dalam praktek memerlukan penyesuaian dengan berbagai kebijakan dan 6 Presentasi ARuPA mengenai pengalaman pendampingan hutan rakyat dalam acara “Sosialisasi SVLK Menuju Implementasi FLEGT VPA dan Perdagangan Global Produk Kayu Legal Indonesia Bagi Pelaku Usaha Industri Kayu Kecil-Menengah dan Asosiasi se-Jawa Tengah”, di Surakarta 19-20 Januari 2012. 7 Berdasarkan prinsip hukum yang berlaku di Indonesia, Undang-Undang Otsus di Papua bersifat Lex Specialis dan hanya berlaku di Provinsi Papua dan Papua Barat beserta dengan segala kewenangan yang telah diberikan oleh Pemerintah untuk menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan di Provinsi Papua dan Papua Barat.
10
peraturan lain, dalam hal ini khususnya UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Peraturan Menteri Kehutanan No 38 Tahun 1999 jo. No 68 Tahun 2011 Tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin atau Pada Hutan Hak. Membaca kedua hal di atas (tantangan dalam implementasi SVLK serta kondisi spesifik Papua), ditambah lagi dengan berbagai permasalahan umum8 yang mewarnai pengelolaan sektor kehutanan maka lahirlah beberapa pertanyaan seperti : Permasalahan apa saja yang menonjol dalam pengelolaan sumberdaya hutan di Papua saat ini? Kebijakan-kebijakan khusus apa yang muncul sebagai akibat pemberlakuan Otonomi Khusus di Papua yang perlu diperhatikan dalam penerapan SVLK cq. P38 jo. P68? Apa implikasi kebijakan-kebijakan khusus itu terhadap Kriteria dan Indikator, sistem kelembagaan, dan mekanisme pengajuan dan penanganan keluhan dan banding sebagaimana telah diatur dalam P38/2009 Jo. P 68/2011 dan kebijakan-kebijakan lain yang menyertainya? Sejauh mana kesiapan para pihak, termasuk pelaku industri hasil hutan kayu dari kalangan masyarakat hukum adat di Papua dalam menerapkan SVLK di masa yang akan datang? Kegiatan-kegiatan strategis apa saja yang perlu dilaksanakan dalam mengatasi tantangan dan permasalahan yang dihadapi dalam implementasi SVLK di Papua? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, maka sebuah upaya berupa stocktaking assessment9 dilakukan oleh Multistakeholder Forestry Programme II (MFP II). Upaya ini sekaligus akan menjadi bahan masukan untuk persiapan program MFP III di Papua. Diharapkan, melalui assessment ini maka tujuan pencapaian pengelolaan hutan lestari di Papua khususnya dan Indonesia pada umumnya dapat maju selangkah lagi. 1.2 Tujuan dan Keluaran Outcome dari program ini adalah menciptakan kondisi di mana sistem Penilaian Kinerja PHPL dan Verifikasi Legalitas Kayu dapat bekerja dengan optimal di Papua, sehingga tata-kelola kehutanan yang baik (Good Forestry Governance) dalam rangka mencapai sistem pengelolaan hutan lestari dapat diwujudkan. Berdasarkan outcome, maka tujuan dari program ini adalah : 8 Permasalahan umum yang terkait dengan tata kelola kehutanan, diantaranya: tarik menarik wewenang antara pusat dan daerah, tidak sinkronnya substansi kebijakan dan peraturan turunannya antar sektor maupun antara pusat dan daerah, masalah terkait ketidaksiapan kelembagaan dan sumberdaya manusia, dan lain sebagainya. Selengkapnya mengenai hal ini dapat dilihat pada Bagian 2 dan 3 laporan ini. 9 Stocktaking adalah sebuah istilah yang umumnya digunakan terkait kegiatan ekonomi, yaitu physical verification of the quantities and condition of items held in an inventory, as a basis for accurate inventory audit and valuation (selengkapnya lihat www.businessdictionary.com). Dalam kegiatan ini, stocktaking assessment dimaknai sebagai assessment untuk memberikan gambaran informasi terkini yang dimaksudkan untuk memahami permasalahan, mengangkat kisah sukses berdasarkan praktek di lapangan untuk perbaikan ke depan.
11
1. Memberikan informasi terkini terkait permasalahan yang menonjol dalam pengelolaan sumberdaya hutan di Papua. 2. Menelaah implikasi kebijakan-kebijakan khusus yang muncul sebagai akibat pemberlakuan otsus di Papua dikaitkan dengan SVLK (meliputi Kriteria dan Indikator, Sistem Kelembagaan, dan Mekanisme Pengajuan dan Penanganan Keluhan dan Banding). 3. Menggambarkan kesiapan para pihak, termasuk pelaku industri hasil hutan kayu dari kalangan masyarakat hukum adat di Papua dalam implementasi SVLK di masa yang akan datang. 4. Mengidentifikasi kegiatan-kegiatan strategis yang perlu dilaksanakan dalam mengatasi tantangan dan permasalahan yang dihadapi dalam implementasi SVLK di Papua. Dalam rangka pencapaian tujuan tersebut, maka output yang akan dicapai adalah rekomendasi intervensi program yang dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi MFP III ke depan 1.3 Metodologi Alur yang akan dilakukan dalam stoctaking assessment ini dapat dilihat pada Gambar 1. Stocktaking assessment diawali dengan melakukan telaah terhadap berbagai hal terkait kehutanan di Papua, seperti situasi dan kondisi terkini kehutanan Papua, kebijakan terkait kehutanan baik kebijakan nasional dikaitkan dengan lokal, kelembagaan kepengurusan hutan di Papua serta tata niaga kayu termasuk di dalamnya mengenai sumber bahan baku dan produknya. Selain itu juga digambarkan potret pengelolaan hutan dan industri kayu yang dikelola oleh Masyarakat Hukum Adat. Bahan yang digunakan untuk bagian ini adalah data sekunder berupa berbagai hasil studi, data-data statistik, informasi dari media massa, dan lain sebagainya. Berdasarkan penelaahan tersebut, dirumuskan pernyataan masalah (problem statement) awal terkait tujuan assessment. Hasil tahap awal ini akan menjadi Laporan Draft 0. Kemudian tahap selanjutnya akan diselenggarakan diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion/FGD) I yang dihadiri pihak-pihak kunci terkait. Dalam proses FGD ini akan dipetakan permasalahan yang dihadapi para pihak dalam rangka implementasi SVLK dan kemudian dirumuskan berbagai upaya pemecahannya beserta dukungan yang dibutuhkan. Hasil FGD ini akan menyempurnakan problem statement yang dihasilkan dalam proses sebelumnya. Hasil dari tahap ini akan menjadi Laporan Draft 1
12
Gambar 1 Alur Stoctaking Assessment Kehutanan Papua
Mengumpulkan dan Menganalisa Konteks Kehutanan Papua berdasarkan Data Sekunder
Problem Statement
Draft Nol Laporan : - Pendahuluan - Konteks Kehutanan Papua o Situasi dan Kondisi Terkini o Kebijakan (Nasional vs Lokal) o Kelembagaan o Tata Niaga Kayu - Potret Industri Kehutanan Masyarakat Hukum Adat
Draft 1 Laporan : - Pendahuluan - Konteks Kehutanan Papua - Potret Industri Kehutanan Masyarakat Hukum Adat - Analisis Para Pihak
Focus Group Discussion I Pemetaan Masalah Dari Perspektif Key Stakeholders berikut dengan Usulan Pemecahannya
Pengumpulan Data Primer : - Interview - FGD dengan kelompok masy - Observasi lapangan
Draft 2 Laporan : - Pendahuluan - Konteks Kehutanan Papua - Potret Industri Kehutanan Masyarakat Hukum Adat - Analisis Para Pihak - Analisis Kesesuaian - Analisis Kesesuaian - Rekomendasi
Focus Group Discussion II Presentasi Hasil Studi untuk Mendapatkan Masukan guna Penyempurnaan Laporan
- Laporan Final
Tahap berikutnya akan dilakukan pengumpulan data primer dengan instrumen wawancara, FGD di kampung untuk masyarakat serta observasi lapangan. Wawancara untuk memperdalam laporan akan dilakukan kepada berbagai pihak terkait, seperti Dinas Kehutanan (baik Provinsi maupun Kabupaten), Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi (BPPHP,) organisasi masyarakat hukum adat, akademisi dan organisasi masyarakat sipil. Kemudian kunjungan lapangan akan dilakukan ke-lima lokasi pengelolaan hutan oleh masyarakat hukum adat yang ditetapkan menjadi
13
studi kasus di awal studi. Dengan berbagai pertimbangan seperti representasi lokasi, model pengelolaan serta perijinannya maka di awal ditentukan lima industri kayu rakyat yang akan disajikan sebagai kasus dalam assessment ini. Lima kasus tersebut adalah Distrik Unurum Guay (KSU Lwagubin Srem dan KSU Jibogol), Yapen (KSU Yera Asai), Merauke (Kelompok Pengelolaan Hasil Hutan Mo Make Unaf) dan Nabire (KSU Nuwoa Baru). Keseluruhan data yang diperoleh kemudian akan dianalisis secara deskriptif kualitatif dan menjadi bahan utama dalam menyempurnakan isi laporan sebelumnya yang hanya bersumber dari data sekunder dan hasil FGD. Kemudian akan dilakukan juga analisis kesesuaian yang mecari kesesuaian antara kekhususan situasi Papua dengan sistem yang terdiri dari kriteria dan indikator, kelembagaan serta mekanisme pengajuan dan penanganan keluhan dan banding. Keseluruhan analisis ini kemudian akan melahirkan kegiatan-kegiatan strategis yang akan menjadi program yang diusulkan di Papua. Hasil dari tahap ini akan menjadi Laporan Draft 2. Hasil dari assessment ini kemudian dikonsultasikan dalam diskusi terbatas (FGD 2) untuk memperoleh masukan dari berbagai pihak. Dan masukan dari diskusi terbatas tersebut menjadi bahan utama dalam menghasilkan laporan final. 1.4
Sistematika Laporan
Laporan assessment ini terdiri dari 5 (lima) bagian. Bagian I, Pendahuluan, memuat uraian tentang latar belakang kerangka pikir perlunya stocktaking assessment, tujuan dan keluaran yang hendak dicapai, metodologi, serta uraian sistematika laporan. Dijelaskan pula bahwa stocktaking assessment ini merupakan upaya MFP II untuk mendapatkan bahan masukan bagi pelaksanaan program MFP III maupun program institusi lain yang terkait sektor kehutanan. Bagian II berisi potret terkini situasi dan kondisi kehutanan Papua. Di dalamnya termuat informasi mengenai luasan dan potensi hutan, kebijakan kehutanan di Papua, kelembagaan kepengurusan hutan di Papua, pemanfaatan hutan dan industri kehutanan serta tata niaga kayu termasuk di dalamnya sumber bahan baku dan produknya. Selanjutnya Bagian III mendeskripsikan hasil pemetaan pemangku kepentingan kunci (key stakeholder) beserta dengan peran dan kepentingannya. Juga diuraikan mengenai permasalahan umum yang merupakan hasil keluaran FGD 1. Dalam bagian ini juga digambarkan potret dan permasalahan dari industri kayu yang dikelola oleh Masyarakat Hukum Adat pada lima lokasi. Kemudian pada bagian IV, dideskripsikan hasil analisis kesesuaian SVLK dalam konteks pengelolaan hutan di Papua. Analisis dilakukan pada tiga bagian penting dalam sistem yaitu, Kriteria dan Indikator, kelembagaan serta mekanisme pengajuan dan penanganan keluhan dan banding. Dalam analisis
14
ini diuraikan hal-hal apa saja dari ketiga hal tersebut yang sesuai ataupun tidak sesuai dengan kekhususan Papua. Pada bagian akhir (bagian V), disajikan kesimpulan dan sejumlah usulan kegiatan strategis yang sebaiknya dilakukan untuk menciptakan kondisi yang mendukung implementasi SVLK di Papua untuk mencapai tatakelola kehutanan yang baik dan pengelolaan hutan lestari.
15
Bagian II KONTEKS UMUM KEHUTANAN PAPUA Provinsi Papua (selanjutnya disebut Papua) dengan luas wilayah 31.903.605 hektar atau mencapai 2.5 kali luas pulau Jawa merupakan provinsi terluas di Indonesia.10 Papua merupakan provinsi yang terletak di paling timur wilayah Indonesia dan berbatasan langsung dengan negara tetangga Papua New Guinea. Secara administratif pemerintahan, Papua dibagi menjadi 28 kabupaten dan 1 kota. Sejak dulu Papua dihuni oleh beragam suku bangsa. Setidaknya tercatat 264 macam bahasa yang mencirikan suku bangsa dan dan adat istiadatnya.11 Pada tahun 2009, provinsi ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 2.851.999 jiwa (hasil Sensus Penduduk Provinsi Papua 2010).12 2.1
Luas dan Potensi Hutan Papua
Luas tutupan hutan Papua selalu mengalami perubahan dari masa ke masa. Akan tetapi perubahan tersebut bukan ke arah positif melain ke arah pengurangan tutupan hutan. Di seluruh wilayah Indonesia, pengurangan luas tutupan hutan bukan hal baru. Berdasar hasil analisis Forest Watch Indonesia luas tutupan hutan di seluruh wilayah Indonesia telah dimulai sejak masa pra-pertanian. Hingga pada tahun 1950 pembukaan hutan dilakukan untuk kepentingan membuka lahan pertanian terutama untuk budidaya padi. Berdasar peta yang diterbitkan oleh pemerintah pada tahun 1950, 84% luas daratan Indonesia atau sekitar 145 juta hektar tertutup hutan primer dan sekunder. Khusus untuk Irian Jaya pada masa itu luas hutannya adalah 40.700.000 ha dari 41 juta ha luas wilayah daratan. Setelah tahun 1950, luas hutan tersebut terus mengalami penyusutan Tercatat sejak tahun 1970 pengurangan luas hutan mengalami percepatan akibat penebangan hutan secara komersial. Menurut hasil survei yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk pengembangan program transmigrasi, tutupan hutan pada tahun 1985 turun menjadi 119 juta hektar. Ini menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan luas hutan sebesar 27 persen dari luas kawasan hutan pada tahun 1950. Antara tahun 1970-an dan 1990-an, laju deforestasi diperkirakan antara 0,6 dan 1,2 juta ha (Sunderlin dan 10 Buku Statistik Indonesia Tahun 2011, Badan Pusat Statistik. Sebelum tahun 2001 provinsi ini bernama Irian Jaya. Sebelum terjadi pemekaran, wilayah Irian Jaya meliputi Provinsi Papua dan Papua Barat sekarang yang luasnya hampir mencapai 3.5 kali luas Pulau Jawa. 11 Max J. Tokede, 2005. Dampak Otonomi Khusus di Sektor Kehutanan Papua: Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat dalam Pengusahaan Hutan di Kabupaten Manokwari 12 Buku Hasil Sensus Penduduk 2010 Provinsi Papua., BPS Provinsi Papua. Sedangkan Buku Statisitik Indonesia 2011 melaporkan penduduk Papua pada tahun 2010 adalah sebesar 2.833.381 jiwa.
16
Resosudarmo, 1996). Melalui kegiatan pemetaan tutupan hutan pada tahun 1999, pemerintah Indonesia menyimpulkan bahwa bahwa laju deforestasi rata-rata dari tahun 1985-1997 mencapai 1,7 juta ha. Laju deforestasi terberat terjadi di pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Dalam periode yang sama, hutan di Irian Jaya mengalami pengurangan sebesar 5% yaitu dari 34.958.300 hektar menjadi 33.160.231 hektar.13 Berdasar SK No. 891/Kpts-II/99 luas kawasan hutan dan perairan Provinsi Papua dan Papua Barat adalah sebesar 42.224.840 ha yang meliputi 40.546.360 ha kawasan hutan dan 1.678.480 ha perairan. Dari kedua data tersebut dapat diketahui bahwa pada tahun 1999 luas tutupan hutan Papua dan Papua Barat adalah 81% dari luas kawasan hutan. Pada saat era desentralisasi dan pemberlakukan Otonomi Khusus, nama provinsi Irian Jaya diganti dengan nama Papua. Selanjutnya terjadi pemekaran wilayah provinsi yang membagi Papua menjadi dua provinsi yaitu Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Berdasar hasil pendataan BPKH Wilayah X Jayapura, luas kawasan hutan dan perairan yang masuk wilayah Papua setelah proses pemekaran adalah seluas 30.930.643 hektar.14 Pada tahun 2011 setelah dilakukan pemutakhiran data dan rekomendasi yang dibuat oleh Tim Terpadu yang dibentuk oleh Kementerian Kehutanan melalui surat keputusan menteri (Kepmenhut No. SK.598/MenhutVII/2010 Tanggal 21 Oktober 2010) dalam rangka penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Papua 2011 – 2031, luas kawasan hutan di Provinsi Papua adalah 30.916.637 Ha, dengan pembagian fungsi sebagai berikut: Tabel 1 Luas Kawasan Hutan dan Perairan Berdasarkan Fungsi No Fungsi Hutan 1 Hutan Lindung (HL) 2 Hutan Produksi (HP) 3 Hutan Produksi Terbatas (HPT) 4 Hutan Produksi Konversi (HPK) 5 Kawasan Konservasi (KSA/KPA) 6 Kawasan Hutan 7 APL 8 Tubuh Air 9 Bukan Kawasan Hutan TOTAL KAWASAN Sumber : Tim Terpadu, 2011
Luas 8,133,488 4,783,076 5,984,244 4,242,432 7,773,397 30,916,637 1,306,386 551,290 1,857,676 32,774,313
Prosentase 24,82 % 14,59 % 18,26 % 12,94 % 23,72 % 94,33% 3,99% 1,68 % 5,67 % 100 %
Pengurangan luas tutupan hutan terus berlanjut pada era desentralisasi dan pemberlakukan Otonomi Khusus. Berdasar buku Statistik BPPHP Wilayah XVII Jayapura 2010, luas tutupan hutan Provinsi Papua adalah seluas 25.306.505 hektar dari 30.930.643 hektar luas kawasan hutan dan perairan. Hampir 6.5 juta hektar kawasan hutan di Papua saat ini tidak 13 Potret Keadaan Hutan Indonesia, Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch, 2001 hal.8- 11 14 Buku Statistik BPPHP Wilayah XVII Jayapura Tahun 2010 hal 14 – 15. Dalam penyusunan buku statistik tersebut BPPHP bersumber pada data dari BPKH Wilayah X Papua
17
berupa hutan. Berikut adalah tabel penutupan lahan hutan Papua yang dikutip dari Statistik BPPHP Wilayah XVII Jayapura Tahun 2010. Tabel 2 Luas Tutupan Hutan Papua Penutupan Hutan Luas tutupan hutan Hutan Primer 15,518,919.61 Hutan Sekunder 3,279,206.03 Hutan Rawa Primer 4,626,353.33 Hutan Rawa Sekunder 629,302.03 Hutan Mangrove Primer 1,177,992.07 Hutan Mangrove Sekunder 71,085.77 Hutan Tanaman 3,646.16 Jumlah 25,306,505.00 Sumber : Buku Statistik BPPHP Wilayah XVII Jayapura 2010
Jika dibandingkan dengan data yang dirilis oleh BPKH X Jayapura tahun 2007, pengurangan luas tutupan hutan paling luas justru terjadi pada kategori hutan primer dimana pada tahun tersebut tercatat luas hutan primer di Papua adalah 20.971.610 hektar.15 Beberapa kegiatan yang teridentifikasi sebagai penyebab perubahan luas tutupan hutan antara lain kegiatan HPH, kebakaran, perluasan areal pertanian/perkebunan dan perluasan areal pemukiman serta transmigrasi. Hutan Papua memiliki potensi yang besar, baik berupa potensi hasil hutan kayu, non kayu maupun jasa lingkungan. Di dalam hutan Papua terdapat banyak jenis kayu komersial, menurut Statistik Dinas Kehutanan Papua 2007 setidaknya terdapat 16 jenis komersial yaitu Bintangur, Bipa, Dahu, Gia, Hopea, Kelat, Kenari, Ketapang, Lancat, Merbau, Mersawa, Nyatoh, Piak, Resek dan jenis lain-lain. Potensi tegakan per hektar pada hutan produksi di Papua berdasar kelas diameter dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 3 Potensi Tegakan per-Hektar Pada Hutan Produksi di Papua Berdasarkan Kelas Diameter Kelas Diameter (cm) 10 - 20 20 - 30 30 - 40 40 - 50 50 - 60
60 up
N/ha
141.32
33.94
17.12
9.62
4.35
4.22
V/ha (m3)
9.128
8.386
13.059
12.344
9.734
14.874
Sumber : Statistik Dinas Kehutanan Papua 2007
15
Statistik Kehutanan Provinsi Papua 2008, BPKH X Jayapura hal.4
18
Gambar 2 Potensi Tegakan per-Hektar Pada Hutan Produksi di Papua Berdasarkan Kelas Diameter
Sumber : Statistik Dinas Kehutanan Papua 2007
Menurut buku Neraca Sumber Daya Hutan Papua tahun 2009, potensi kayu komersial pada kawasan hutan produksi di Papua adalah sebesar 229,37 juta m3 dengan rincian: • • •
Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi HP yang dapat dikonversi
: 22,31 juta m3 (9,73%) : 106,40 juta m3 (46,39%) : 100,66 juta m3 (43,88%)
Dari sekian banyak jenis komersial yang terdapat pada hutan produksi di Papua jenis merbau dan meranti merupakan jenis paling dominan. Khusus untuk jenis merbau, Dinas Kehutanan Papua menyebutkan potensi jenis kayu tersebut yang berdiameter 50 up adalah sebesar 16,87 m3/ha16. Selain memiliki potensi kayu17, hutan Papua juga memiliki potensi hasil hutan non kayu yang melimpah. Beberapa hasil hutan non kayu yang teridentifikasi antara lain gambir, masohi, lawang, rotan, bakau, sagu, nipah, buah merah dan lain sebagainya. Tabel 4 Potensi Hasil Hutan Non-Kayu Jenis Komoditas Potensi Gambir 17,67 juta Masohi 35,33 juta Rotan 2,14 miliar Bakau 65 juta Sagu 496,09 juta Nipah 51,90 juta Kulit lawang tidak ada data Buah merah 11,53 juta Sumber: Buku Neraca Sumber Daya Hutan Papua 2009
Satuan kg kg kg m3 kg m3 buah
Statistik Dinas Kehutanan Papua 2007 Selengkapnya mengenai pemanfaatan hasil hutan kayu di Papua dapat dilihat pada Sub Bab 2.3 16 17
19
2.2
Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Dalam Konteks Otonomi Khusus
Kebijakan pengelolaan hutan Papua sebelum era desentralisasi (otonomi daerah) tidak berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia. Kebijakan pengelolaan pada masa itu bersifat sentralistik. Dalam rejim yang sentralistik tersebut peran dan kewenangan pemerintah provinsi, kabupaten/kota dalam pengelolaan hutan sangat terbatas. Pengaturan peran Pemerintah Daerah dalam pengelolaan hutan pada masa itu berpangkal pada sejumlah undangundang seperti UU Nomor 5 tahun 1967 Tentang Undang Undang Pokok Kehutanan dan UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Undang Undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan UU Nomor 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Asing (PMA).18 Peran Pemerintah Daerah Tingkat II pun hanya terbatas hanya pada pemanfaatan hutan untuk kepentingan non-komersial, seperti penghijauan, konservasi tanah dan air, persuteraan alam, perlebahan, pengelolaan hutan rakyat atau hutan milik, dan pelatihan keterampilan masyarakat di bidang kehutanan, apabila mengacu pada Keputusan Menteri No. 86/Kpts-II tahun 1994 Pada era pengusahaan hutan ini, jumlah unit dan luas konsesi HPH di Papua selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada periode 1983 – 1997 setidaknya terdapat 67 unit HPH dan 7 unit industri terpadu beroperasi di Papua. Beberapa ciri dari pola sentralistik kebijakan pengelolaan hutan pada masa itu antara lain terjadinya konglomerasi dalam pemanfaatan hutan, dimana Papua hanya dijadikan sebagai penyedia bahan baku industri skala besar dan padat modal, sementara pendapatan dan penerimaan sektor kehutanan dikuasai oleh pemerintah pusat. Konsekuensi logis dari kondisi tersebut adalah kebijakan yang terbit cenderung tidak berpihak kepada keterwakilan kepentingan dan kebutuhan masyarakat di daerah. Masyarakat tidak terlibat sebagai pelaku utama dalam pemanfaatan hutan dan termarginalkan. Konglomerasi dalam pemberian izin konsesi HPH cenderung tidak transparan, koruptif dan kolutif. Dengan demikian, kebijakan pengelolaan hutan pada era sebelum otonomi khusus belum memenuhi prinsip-prinsip good forest governance. Runtuhnya kekuasaan Soeharto pada pertengahan 2008 merupakan titik tolak mulainya era reformasi. Dalam era reformasi ini segala kebijakan merupakan antitesis kebijakan pada era sebelumnya. Begitu juga dalam pengelolaan hutan berubah dari yang bersifat sentralistik ke arah desentralisasi. Desentralisasi sektor kehutanan telah merubah kebijakan pengelolaan hutan dari state based forest management ke community based forest management 18 Undang-undang No.5 tahun 1967 memberikan landasan yang sangat luas kepada pemerintah mulai dari penentuan kawasan, pembagian areal tebang, sampai penyetoran kewajiban pengusaha kepada pemerintah. Sedangkan dua undang-undang lain yang lebih popular dengan sebutan undang-undang penanaman modal memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk memberikan izin konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) kepada pihak swasta yang hanya cukup melalui pengajuan permohonan kepada menteri.
20
dan dari timber management ke arah ecosystem based forest management. Perubahan kebijakan ini berawal diterbitkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (sekarang UU Nomor 32 Tahun 2004) dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah (sekarang UU Nomor 33 Tahun 2004). Khusus bagi Papua, pelaksanaan otonomi daerah juga diperkuat dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Di sektor kehutanan perubahan yang paling menonjol adalah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menggantikan UU No.5 tahun 1967. Terjadi pro-kontra mewarnai pemberlakuan undang-undang baru tersebut. Sebagian kalangan beranggapan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan semangat desentralisasi karena memperkuat kewenangan pemerintah pusat (Departemen Kehutanan) dalam pengurusan hutan. Pemberian kewenangan ’setengah hati’ ini diantaranya dapat dilihat dalam Pasal 66 berikut ini: 1. Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah. 2. Pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan efektifitas pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah. 3. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Namun demikian UU Nomor 41 tahun 1999 memberikan pengakuan terhadap hak-hak MHA dalam pengelolaan hutan.19 Seperti tercantum dalam Pasal 67 ayat 1: Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak: (a) melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; (b) melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan (c) mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Dan Pasal 67 ayat 2: Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah Setidaknya dari sana, UU ini telah memberikan peluang bagi masyarakat adat
19 Walaupun bagi sebagian pihak pengakuan ini masih bersifat setengah hati, bahkan cenderung klausul ini menafikkan esensi apa yang disebut dengan masyarakat hukum adat, terbukti dari permohonan Judicial Review atas UU 41/1999 yang diajukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ke Mahkamah Konstitusi dikarenakan anggapan bahwa undang-undang ini bertentangan dengan pasal 18B UUD 1945 mengenai pengakuan atas masyarakat adat.
21
untuk mengelola hutan Negara yang berstatus hutan adat.20. Selain itu terdapat beberapa peraturan perundangan maupun kebijakan lain yang dirancang untuk memperkuat desentralisasi dalam pengelolaan hutan.21 Akan tetapi harus diakui bahwa sebagian kebijakan tersebut pada akhirnya justru melemahkan otonomi daerah. Sehingga yang muncul adalah tarik menarik kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi Tarik menarik kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi juga terjadi dalam kebijakan pemberian IUPHHK. Semangat otonomi daerah memunculkan keinginan daerah untuk terlibat aktif dalam pengelolaan sumber daya hutan. Hal ini ditanggapi dengan dikeluarkannya SK Menteri Kehutanan Nomor 051/Kpts-II/2000 tentang Kriteria dan Standarisasi Perizinan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dan Perizinan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Alam Produksi. Berdasarkan keputusan ini, Gubernur dan Bupati/Walikota diberi wewenang dalam proses pemberian perijinan pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan dalam bentuk IUPHHK. Akan tetapi sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, maka pemberian IUPHHK pada hutan alam dan hutan tanaman menjadi kewenangan Menteri Kehutanan berdasarkan Rekomendasi Bupati/Walikota dan Gubernur. Konsekuensi diterbitkannya PP No. 34 Tahun 2002, maka diterbitkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 541/Kpts-II/2002 yang mencabut Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 051/KptsII/2000. Dalam konteks Papua, semangat desentralisasi di Papua disambut dengan terbitnya Surat Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Nomor 522.1/1401 tanggal 04 Agustus 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan HPHH Masyarakat Hukum Adat. Penerbitan surat keputusan ini mengacu pada Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 317/KptsII/1999 tanggal 7 Mei 1999 tentang Hak Pemungutan Hasil Hutan Masyarakat Hukum Adat pada Areal Hutan Produksi dan Surat Keputusan Dirjen PH Nomor 199/Kpts/VI-SET/1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Hak Pemungutan Hasil Hutan Masyarakat Hukum Adat pada Areal Hutan Produksi. Kebijakan yang diambil oleh Dinas Kehutanan inilah yang menjadi dasar oleh masyarakat adat untuk mengajukan IPK-MA melalui wadah KOPERMAS. Pada Tahun 2002 dalam rangka menjalankan amanah otonomi khusus, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua menerbitkan Surat Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Nomor KEP.522/1648 tanggal 22 20 Selengkapnya dapat dibaca pada Devolusi dan Undang-Undang Kehutanan Baru Indunesia oleh Wollemberg dan Kartodihardjo dalam Buku Kemana harus Melangkah? “Masyarakat, Hutan dan Perumusan Kebijakan di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, 2003. 21 Selengkapnya mengenai beberapa peraturan perundangan dan kebijakan dalam pengelolaan hutan yang mencerminkan semangat desentralisasi disajikan dalam tabel pada Lampiran 1
22
Agustus 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Ijin Pemungutan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat/Ijin Pemungutan Kayu Masyarakat Adat. Penerbitan SK ini mengacu pada Surat Edaran Gubernur Provinsi Papua Nomor 522.2/3386/SET tanggal 22 Agustus 2002 tentang Pengaturan Pemungutan Hasil Hutan Kayu oleh Masyarakat Adat. Akan tetapi pada tahun 2003, melalui Surat Menteri Kehutanan Nomor 112/VI-PHA/2003 Menteri Kehutanan meminta penangguhan pemberlakukan IPK-MA. Dan sejak akhir tahun 2004, Dinas Kehutanan Provinsi Papua menyatakan bahwa IPK-MA tidak beroperasi lagi. Melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.07/Menhut-II/2005, pengelolaan hutan masyarakat adat melalui IPK-MA KOPERMAS dihentikan seluruhnya. 22 Kemudian terbit Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan sebagai pengganti PP Nomor 34 tahun 2002. Diharapkan melalui PP pengganti ini, konflik kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, konflik kepentingan antara pengusaha dengan masyarakat adat dapat teratasi. Khususnya bagi pengelolaan hutan alam produksi, dengan lahirnya PP ini diharapkan paradigma pengelolaan hutan berbasis sumberdaya dan pengelolaan hutan lestari berbasis masyarakat dapat terimplementasikan secara efektif menuju pencapaian tujuan pengelolaan hutan lestari dan berkelanjutan. Dalam peraturan pemerintah tersebut diatur pula kewenangan pemberian izin industri primer hasil hutan. Khusus untuk izin usaha industri penggergajian kayu dengan kapasitas produksi sampai dengan 2.000 meter kubik per tahun dapat diberikan kepada perorangan dan koperasi. Peluang ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan industri kayu rakyat dalam kerangka pemberdayaan ekonomi kerakyatan di sektor Kehutanan23. Untuk itu pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.35/Menhut-II/2008 tentang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan (IUIPHH). Berdasarkan peraturan ini Gubernur dan atau Bupati/Walikota diberi kewenangan untuk memberikan izin IUIPHHK sampai dengan kapasitas 2.000-6.000 meter kubik per-tahun dan skala industri kecil yang memiliki tenaga kerja kurang dari 50 orang. Dengan alas kewenangan ini, pemerintah daerah Papua mengembangkan dan memberdayakan masyarakat melalui IUPHHK-MHA dan IUIPHHK-MHA untuk hutan adatnya. Dampak dari ‘ketegangan’ terkait pemberian kewenangan pemerintah daerah dalam hal pemberian izin pengelolaan hutan, khususnya di Papua, menghasilkan konflik kewenangan yang berkepanjangan dan konflik terkait akses masyarakat adat dalam mengelola hutan adatnya yang akhirnya hanya menuai kemiskinan di atas kekayaan hutannya sendiri. Dengan kata lain, ketegangan ini menjadi hambatan bagi pemerintah daerah untuk 22 Lebih jelasnya mengenai hal ini dijelaskan pada Boks tentang Kasus IPK-MHA di Provinsi Papua pada Bagian III Sub Bagian 3.21 23 Salah satu landasan legitimasi yang digunakan oleh Tokede, et.all. 2007. Dalam mengusulkan salah satu model PHMA yang diusulkan untuk Papua pada era desentralisasi.
23
mewujudkan tanggung jawabnya dalam memberikan pengakuan dan pemberdayaan hak-hak masyarakat adat atas sumberdaya hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat di wilayahnya. Dinamika perubahan kebijakan pengelolaan hutan di provinsi Papua terus berlanjut. Setelah penangguhan IPK-MA dan pencabutan kewenangan Gubernur dan Bupati/Walikota dalam penerbitan IUPHHK pada tanggal 22 Desember 2008 sesuai mandat UU No 21 tahun 2001, pasal 38 yaitu : 1. Perekonomian Provinsi Papua yang merupakan bagian dari perekonomian nasional dan global, diarahkan dan diupayakan untuk menciptakan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Papua, dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan pemerataan. 2. Usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan yang pengaturannya ditetapkan dengan Perdasus. Maka pemerintah Provinsi Papua menerbitkan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Provinsi Papua Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua24 yang didukung juga dengan keberadaan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 23 tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah.25 Kebijakan baru kehutanan di Papua ini menjadi tonggak sejarah baru dalam pengelolaan hutan berkelanjutan di Papua ke depan. Gubernur Papua Barnabas Suebu menyatakan bahwa : Beberapa pertimbangan penerbitan Perdasus tersebut antara lain: a. Pengelolaan hutan di Provinsi Papua selama ini belum meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua, khususnya MHA Papua dan belum memperkuat fiskal pemerintah di Provinsi Papua; b. Hutan di Provinsi Papua wajib dimanfaatkan secara bijaksana bagi kesejahteraan umat manusia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang; c. Dengan diberlakukannya otonomi khusus bagi Provinsi Papua, negara dan rakyat Indonesia mengakui, menghormati dan menghargai hak-hak MHA Papua atas sumber daya alam termasuk sumber daya hutan 25 Sayangnya Perdasus Nomor 23 Tahun 2008, substansinya sama sekali tidak mengatur hakhak MHA atas kawasan hutan yang berada dalam wilayah hukum adatnya, termasuk sistem penguasaan dan kepemilikan serta hak-hak pengelolaannya. Perdasus ini lebih banyak mengatur hak kepemilikan tanah masyarakat hukum adat dan sistem pengalihan hak atas tanah baik tanah komunal maupun tanah milik. Seharusnya dalam perdasus inilah prinsip afirmatif secara optimal berperan dalam pengakuan hak-hak masyarakat adat Papua dituangkan. Hak ulayat MHA adalah masalah/beban (sebagai penyebab penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan dan penggunaan lahan, dan peningkatan konflik) ketimbang ‘modal budaya’ yang dapat dikembangkan menjadi modal pokok masyarakat adat Papua dalam meningkatkan taraf kehidupannya. Niat baik ‘pengakuan’ hak ulayat masyarakat yang tertuang dalam perdasus No. 23 tahun 2008 bisa bermuara pada ‘penihilan’ yang akan mengarah pada ‘pengakuan negatif’. Lebih lanjut mengenai hal ini dapat diperiksa pada “Catatan atas perdasus Nomor 23 tahun 2008 tetang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan masyarakat Hukum Adat Tanah” oleh R. Yando Zakaria, KARSA, Yogyakarta. 24
24
“Papua mempunyai aturan kebijakan pengelolaan hutan di Papua, dimana kepemilikan hutan yang selama ini dikuasai oleh negara maka saat ini kepemilikan itu dikembalikan kepada masyarakat adat Papua dan pengaturannya yang lestari akan dilaksanakan bersama pemerintah daerah” 26
Permasalahan keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan bagi MHA Papua menjadi salah satu isu yang dominan dalam perdasus ini. Hal ini tampak sekali dalam tujuan pengelolaan hutan berkelanjutan yang diatur dalam perdasus tersebut adalah untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan MHA Papua pada khususnya dan rakyat Papua pada umumnya. Dalam pasal 4 dari perdasus ini juga disebutkan bahwa Peraturan Daerah Khusus ini mengatur tentang keberpihakan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat. Beberapa klausul yang mengatur mengenai hal tersebut antara lain: Dalam Pasal 5 menyebutkan : Masyarakat hukum adat di Provinsi Papua memiliki hak atas hutan alam sesuai dengan batas wilayah adatnya masing-masing Pasal 9 juga mendukung dengan klausul : Dalam hal pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan oleh pihak lain, masyarakat hukum ada berhak o mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan; o memberi informasi, saran serta pertimbangan dalam pemanfaatan hutan o memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan dan tanah miliknya akibat pemanfaatan kawasan hutan o memperoleh manfaat sosial dan ekonomi o menikmati lingkungan yang berkualitas dari kawasan hutan Pasal 11 perihal pemberian perlindungan, sebagai berikut : 1. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota memberikan perlindungan atas hakhak masyarakat hukum adat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan 2. Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan membentuk dan melaksanakan peraturan dan kebijakan yang berpihak dan memberdayakan masyarakat hukum adat untuk mencapai kemandirian.
Pasal 32, ayat 2 : Masyarakat hukum adat berhak memanfaatkan kawasan hutan dan hasil hutan Pasal 31 : Pemanfaatan hutan oleh MHA dalam bentuk kegiatan usaha dapat dilaksanakan pada semua kawasan hutan sesuai jenis perizinan pada fungsi kawasan hutan
26
Disampaikan dalam Salah Satu Sesi pada Kongres Kehutanan IV, tahun 2006
25
Dan Pasal 34 : Untuk menyelenggarakan pengelolaan hutan berorientasi secara komersial, masyarakat hukum adat dapat membentuk badan usaha Selain itu, dalam Perdasus diatur pelarangan peredaran kayu bulat ke luar Papua, seperti yang dinyatakan oleh Gubernur Papua: “ ......kalau dulu Papua adalah provinsi bahan baku karena hanya menyiapkan bahan baku untuk industri pengolahan kayu di Jawa,, maka sekarang dan ke depan sudah tidak lagi. Semua produk kayu log harus diolah di Papua untuk meningkatkan nilai tambahnya sebelum diperdagangkan antar pulau atau diekspor ke luar Papua” 27 Hal tersebut diatur dalam Pasal 52 pada ayat 1 dan 2 : Kayu bulat dan hasil hutan lainnya wajib di olah di Provinsi Papua untuk optimalisasi Industri Kehutanan, meningkatkan nilai tambah, menciptakan lapangan kerja, menambah peluang usaha, meningkatkan pengetahuan dan teknologi 2. Untuk menjamin keseimbangan ketersediaan bahan baku dan kapasitas industri, maka dibuat zona-zona industri perkayuan disesuaikan dengan daya dukung hutan. 1.
Pemerintah Provinsi Papua juga telah mengeluarkan Peraturan Pelaksanaan Perdasus melalui Peraturan Gubernur. Salah satunya adalah Peraturan Gubernur Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Peredaran dan Pengolahan Hasil Hutan Kayu, yang isinya sebagai berikut : Pada Pasal 2 ayat 1 dan 2 : Setiap produksi kayu bulat yang berasal dari IUPHHK/IPK wajib di olah seluruhnya di wilayah Provinsi Papua, 2. IUPHHK/IPK wajib memiliki industri primer pengolahan hasil hutan kayu di Provinsi Papua dan atau bekerjasama dengan pemegang industri primer hasil hutan kayu di Provinsi Papua. 1.
Pada Pasal 3 ayat 1 dan 2 : 1.
Peredaran hasil hutan kayu ke luar Provinsi papua hanya diperkenankan bagi hasil hutan kayu olahan. Kebijakan ini diperjelas lagi dalam Peraturan Gubernbur Nomor 12 Tahun 2010 Bab II Tentang Peredaran hasil Hutan
2. Setiap produksi kayu bulat yang berasal dari IUPHHK/IPK wajib di olah seluruhnya di wilayah Provinsi Papua. Berdasarkan hal tersebut, diharapkan kebijakan baru ini akan membuka ruang untuk peningkatan lapangan kerja, peningkatan nilai pajak daerah, meningkatkan keterampilan dan keahlian masyarakat adat Papua, yang pada akhirnya akan meningkatkan taraf hidup masyarakat adat Papua ke arah yang lebih sejahtera. Berbagai peraturan pelaksanaan dari Perdasus Nomor 21 Tahun 2008 27
Ibid
26
pun disiapkan oleh Pemerintah Provinsi Papua melalui Peraturan Gubernur, yang terdiri dari : •
• •
• • • • •
•
Peraturan Gubernur Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Hutan Tanaman Rakyat Masyarakat Hukum Adat; Peraturan Gubernur Nomor 12 Tahun 2010 tentang Peredaran dan Pengolahan Hasil Hutan Kayu Peraturan Gubernur Nomor: 13 Tahun 2010 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat (IUPHHK-MHA)28 Peraturan Gubernur Nomor 14 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemanfaatan Kayu Limbah Pembalakkan Peraturan Gubernur Nomor 15 Tahun 2010 tentang Tata Cara Industri Primer Hasil Hutan kayu Rakyat Peraturan Gubernur Nomor 16 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemetaan Hutan Masyarakat Hukum Adat Peraturan Gubernur Nomor 17 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perizinan Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu Peraturan Gubernur Nomor 18 tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu (IPHHK) di Provinsi Papua Peraturan Gubernur Nomor: 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara dan Prosedur Pemberian izin Pemasukan dan Penggunaan Peralatan.
Keseluruhan peraturan di atas dilahirkan atas amanat Otonomi Khusus maupun oleh peraturan nasional. Memperhatikan kondisi terkini dalam pengelolaan hutan di Provinsi Papua, berbagai regulasi dan kebijakan pusat terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan hutan di Provinsi Papua belum sepenuhnya mengakomodir kekhususan sebagaiman yang diamanatkan oleh UU Nomor 21 Tahun 2001. Tarik ulur kewenangan perizinan antara pusat dan daerah telah menjadikan pemerintah daerah belum dapat menjalankan tanggung jawabnya untuk memberdayakan dan meningkatkan kemandirian ekonomi masyarakat hukum adat dalam pengelolaan hutan pada era pasca desentralisasi dan otonomi khusus bagi Provinsi Papua. Lebih lanjut mengenai kesesuaian kebijakan nasional dengan kebijakan atas amanat otonomi khusus Papua ini dapat dilihat pada Bab 4. 28 Masyarakat adat diberi kesempatan untuk memperoleh IUPHHK-MHA dengan luasan 2000 ha sampai 5000 ha dengan syarat potensi jenis komersial minimal 20 m3/ha dengan limit diameter tebang >40 cm untuk hutan rawa dan >50 cm untuk hutan kering. IUPHHKMHA diizinkan mengolah langsung kayu bulat di dalam hutan dengan menggunakan Portabel Sawmill setelah mendapat ijin Usaha Industri Penggergajian Kayu untuk skala produksi< 2000 m3/tahun dan 2000-6000m3/tahun. Peraturan Gubernur Nomor : 15 Tahun 2010 tentang tatacara Ijin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu Rakyat telah mengakomodir izin untuk industri kayu rakyat ini dengan masa waktu izinh 10 tahun sama dengan IUPHHK-MHA terutama yang memasok bahan baku dari usaha sendiri. Jenis produk yang diusahakan adalah sortimen gergajian, moulding dan flooring dan dapat dipasarkan secara lokal, regional dan ekspor.
27
2.3
Kelembagaan Kepengurusan Hutan Papua
Pada awal tahun 1960an, kepengurusan hutan Papua berada dibawah Dinas Perekonomian Rakyat Sub Dinas Kehutanan. Kondisi ini terus bertahan hingga tahun 1974 pada saat terbentuk Dinas Kehutanan. Selanjutnya pada masa-masa awal pengusahaan hutan Papua yaitu pada tahun 1983 Kanwil Kehutanan sebagai representasi pemerintah pusat dibentuk. Lembaga ini terus bertahan hingga tahun 1997, kemudian dilikuidasi dan diintegrasikan dengan Dinas Kehutanan. Pada tahun 2008, Dinas Kehutanan Provinsi mengalami perubahan nomenklatur, yang disesuaikan dengan penambahan tanggung jawab untuk turut bertanggung jawab atas kawasan konservasi di Papua. Perubahan nomenklatur dari Dinas Kehutanan Provinsi Papua menjadi Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi serta pada saat bersamaan kebijakan pembentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (selanjutnya akan disingkat dengan KPH) diimplementasikan. Berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : SK. 481/Menhut-II/2009 tentang Penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) Provinsi Papua, di Provinsi Papua telah ditetapkan 56 unit KPH yang terdiri atas 31 unit KPHP dan 25 unit KPHL dan KPHK dengan luasan keseluruhan 18.180.201 hektar atau 58,49% dari luas kawasan hutan di Provinsi Papua. Menurut Kepala Dinas Kehutanan dan Provinsi Papua, pada tahun 2012 ini seluruh hutan berada di wilayah Provinsi Papua sudah akan teregistrasi dalam wilayah KPH dan telah ditetapkan Unit KPH Model di Provinsi Papua. Berdasarkan Strategi Umum Pembangunan Kehutanan di Provinsi Papua, bahwa kepengurusan hutan diselenggarakan dan diintegrasikan dengan kelembagaan KPH. Pembentukan KPH di Provinsi Papua, bukan semata-mata menjalankan kebijakan pemerintah pusat melainkan sekaligus sebagai bentuk implementasi Perdasus tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua. Pembentukan KPH di wilayah Provinsi Papua merupakan amanat otonomi khusus. Pengaturan mengenai KPH, di dalam Perdasus 21 tahun 2008 dapat dijumpai pada Bab IV yang meliputi pasal 17 sampai dengan pasal 20. Dalam pasal 17 ayat (1) secara eksplisit disebutkan: Pelayanan pemerintah terdepan dan terdekat kepada masyarakat hukum adat dan pengguna hutan lainnya dilakukan melalui KPH.
Hal tersebut adalah karena dalam unit-unit HPH dapat dialokasikan areal kelola bagi masyarakat hukum adat yang wilayahnya berada dalam unit KPH bersangkutan. Pada sisi lain, dengan model KPH pengorganisasian kawasan dalam unit-unit managemen tingkat tapak lebih pasti dan disesuaikan dengan fungsi dan tujuan pengelolaanya. Dinamika kelembagaan pengelolaan hutan di Papua ini diupayakan untuk mewujudkan tata kelola kehutanan yang lebih baik dibandingkan pada masa-masa sebelumnya. Sedangkan khusus kelembagaan pengelolaan hutan dalam kawasan hutan produksi, selengkapnya akan disajikan dalam sub bab berikut.
28
2.4
Pemanfaatan Hutan dan Industri Kehutanan di Provinsi Papua
Kegiatan pemanfaatan hutan meliputi kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya. Kawasan hutan Produksi Papua yang telah dimanfaatkan untuk kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu berupa Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dan Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) 2.4.1 Perusahaan IUPHHK. Berdasarkan data BPPHP, di Provinsi Papua hingga Februari 2012 terdapat 26 unit IUPHHK-HA dengan luas areal konsesi 5.442.218 ha. Jumlah ini jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan tahun 2007 yang berjumlah 34 unit dengan luas hutan 6 .391.679 hektar (daftar lengkap perusahaan IUPHHK-HA yang terdaftar di Provinsi Papua keadaan hingga Februari 2012 disajikan pada Lampiran 2, Tabel L2-1). Dari 26 unit IUPHHK-HA yang terdaftar tersebut yang aktif hanya 15 unit , dan yang tidak aktif (stagnasi) 9 unit. Sementara yang belum beroperasi sejumlah 2 unit. Jumlah unit IUPHHK-HA terbesar berada di Kabupaten Bovendigul sebanyak 6 unit dengan luas 1.384.935 ha sedangkan pemegang terluas adalah PT Memberamo Alas Mandiri di Kabupaten Memberamo dengan luas areal hutan 677.310 hektar. Selain IUPHHK-HA, terdapat pula IUPHHK-HT, terdiri atas 2 IUPHHK-HTI seluas 376. 200 ha dan 3 Unit IUPHHK- HTR dengan luas 16.892,35 ha. Dari 2 unit IUPHHK-HTI yang ada kedua-duanya telah memperoleh SK Definitif begitu pula halnya dengan 3 unit IUPHHK-HTR.29 Berdasar SK 71/Menhut-II/2009 di Kabupaten Biak Numfor terdapat 3.185 ha areal pencadangan untuk IUPHHK-HTR dan berdasar SK 278/MenhutII/2009 di kabupaten Nabire areal pencadangan untuk IUPHHK-HTR seluas 26.165 hektar30 (data selengkapnya dari IUPHHK-HT di Provinsi Papua disajikan pada Lampiran 2, Tabel L2-2). Di samping ke dua jenis IUPHHK tersebut terdapat pula Izin Pemanfaatkan Kayu (IPK) hasil land clearing areal hutan konversi untuk menjadi areal non kehutanan. Jenis izin ini berjumlah 6 unit dengan luasan areal 9.419 ha. Khusus untuk tiga unit IUPHHK-HTR di Kabupaten Nabire, sekalipun telah memperoleh izin areal dari Menteri Kehutanan, namun hingga saat ini belum beroperasi (berproduksi). Alasannya adalah bahwa pemilik izin dalam hal ini Koperasi MHA tidak memiliki modal usaha dan belum ada mitra kerja yang akan berkolaborasi dengan masyarakat sebagai ‘bapak angkat’ yang dapat membantu baik dalam bentuk modal usaha
29 30
Sumber: Laporan Kinerja BPPHP XVII Bulan Februari 2012 (www.bpphp17.web.id) Sumber: Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan, Dirjen Planologi Kehutanan 2009
29
maupun peralatan31 2.4.2 Industri Primer Hasil Hutan Kayu Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IPHHK) adalah pengolahan kayu bulat dan/atau kayu bahan baku serpih menjadi barang setengah jadi atau barang jadi. Jenis IPHHK, terdiri dari : industri penggergajian kayu, industri serpih kayu, industri kayu lapis, industri LVL (laminated veneer lumber), dan industri veneer. Industri primer tersebut, termasuk industri primer yang dibangun dengan industri kayu lanjutannya (integrated wood industry) yang menggunakan bahan baku kayu bulat dan/atau kayu bulat kecil. Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK) adalah izin untuk mengolah kayu bulat dan atau kayu bulat kecil menjadi satu atau beberapa jenis produk pada satu lokasi tertentu yang diberikan kepada satu pemegang izin oleh pejabat yang berwenang. IUIPHHK ini diatur dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.35/Menhut-II/2008 jo P.9/MenhutII/2009. Berdasar peraturan tersebut, penerbitan IUIPHHK dengan kapasitas produksi sampai dengan 6.000 (enam ribu) meter kubik per-tahun merupakan kewenangan Gubernur. Gubernur dapat melimpahkan kewenangan penerbitan IUIPHHK dengan kapasitas produksi sampai dengan 2.000 (dua ribu) meter kubik per-tahun kepada Bupati/Walikota. Saat ini, IUIPHHK dengan kapasitas produksi 2.000 s/d 6.000 m3 per tahun di Provinsi Papua yang aktif sebanyak 28 unit dan yang tidak aktif sebanyak 2 unit. Industri-industri tersebut tersebar di lima Kabupaten Provinsi Papua, dengan perincian di Kabupaten Jayapura 15 unit, Kabupaten Keerom 3 unit, Kabupaten Sarmi 2 unit, Kabupaten Nabire 7 unit, Kabupaten Timika 1 unit. Dua unit industri yang tidak aktif berproduksi masing–masing satu unit di Jayapura dan satu unit di Keerom. Sedangkan penerbitan IUIPHHK kapasitas produksi diatas 6.000 (enam ribu) meter kubik per-tahun berada merupakan kewenangan perizinan oleh Menteri Kehutanan. Jumlah Industri Primer Hasil Hutan Kayu di Provinsi Papua Tahun 2010 dengan kapasitas produksi diatas 6.000 m3/thn sebanyak 6 unit (daftar selengkapnya disajikan pada Lampiran 2, Tabel L2-3). Produksi kayu olahan pada tahun 2010 berdasarkan data Laporan Produksi yang dikirimkan ke BPPHP Wilayah XVII Jayapura adalah sebesar 499,474.2367m³, dimana 459,182.2600 m³ diproduksi oleh IUIPHHK dengan kapasitas produksi > 6000 m³ per tahun dan 40,291.9767 m³ diproduksi oleh IUIPHHK dengan kapasitas produksi sampai dengan 6000 M³ per tahun. Produksi Kayu Olahan terbesar dalam bentuk Plywood yaitu sebesar 275.130,79 m³, produk Chips 123.682,02 m³, Sawn Timber sebesar 92.006,72 m³ dan Veneer sebesar 8.654,70 m³. Produksi kayu olahan terbesar dihasilkan oleh PT. Sinar Wijaya Plywood Industry di Kabupaten Kepulauan Yapen yaitu sebesar 172.326,48 m³. 31 Hasil interview dengan Kabid Potensi Hutan (Bpk Natzir Mutari) Dinas Kehutanan Nabire, 19 April 2012.
30
2.5
Tata Niaga Hasil Hutan Kayu
Berdasar buku Statistik BPPHP Wilayah XVII Jayapura kayu bulat yang dihasilkan dari hutan alam (IUPHHK-HA dan IPK) Provinsi Papua pada tahun 2010 adalah sebesar 1.010.412,01 m3 dengan rincian produksi per jenis kayu sebagai berikut : untuk jenis kayu Merbau sebesar 291.244,75 m3; kelompok Meranti sebesar 369.647,17 m3; kelompok Rimba Campuran sebesar 346.807,98 m3 dan untuk kelompok Kayu Indah sebesar 2.712,11 m3. Jika dibandingkan dengan produksi kayu bulat tahun-tahun sebelumnya, terjadi penurunan yang sangat tajam. Dinas Kehutanan Papua melaporkan produksi kayu bulat (log) secara berangsung-angsur mengalami penurunan sejak tahun 2002 hingga 2007 dari 803.861,84 m3 hingga menjadi 285.091,99 m3. Penurunan ini disebabkan banyaknya IUPHHK-HA yang tidak beroperasi lagi (stagnasi) dan juga sebagai akibat dari kebijakan untuk tidak menjual lagi kayu bulat keluar Papua dan kewajiban bagi pemegang IUPHHK untuk membangun IPHHK untuk mengolah kayu log menjadi kayu olahan sesuai dengan izin yang dimiliki. Sebagai penjelasan, pemerintah Provinsi Papua sesuai dengan semangat Otonomi Khusus yang dituangkan dalam Perdasus Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua khususnya Pasal 52 dan peraturan pelaksananya32 telah menetapkan untuk meniadakan peredaran kayu bulat ke luar Papua. Dengan ini secara praktis dan legal semua kayu bulat yang bersumber dari Hutan Alam Produksi melalui IUPHHK/IPK hanya dimanfaatkan untuk kepentingan pemenuhan bahan baku industri. Namun tidak demikian halnya dengan Provinsi Papua Barat, karena peredaran kayu bulat yang berasal dari IUPHHK/IPK di Provinsi Papua Barat masih diperbolehkan dengan prosentase tertentu, sampai industri primer hasil Hutan mampu mengolah semua kayu bulat yang diproduksi. Perbedaan kebijakan ini menjadikan kemungkinan masih ada kayu bulat yang secara ilegal keluar dari Provinsi Papua melalui Papua Barat. Modusnya adalah kayu bulat itu dikirim untuk memenuhi bahan baku industri perkayuan di Sorong, Provinsi Papua Barat. Setelah tiba di Sorong, perusahaan IUPHHK pemasok bahan baku kayu bulat tersebut merubah dokumen SKSKB seakan-akan kayu bulat tersebut adalah hasil produksinya (terutama dari jenis Merbau). Kayu tersebut kemudian dikirimkan antar pulau dengan tujuan di beberapa daerah di luar Papua. Sebagai gambaran perdagangan kayu bulat merbau asal Papua tahun 2003 – 2005 berdasarkan Laporan Peredaran Kayu BSPHH Wilayah XVII, disebutkan bahwa berdasarkan Lembar 3 SKSHH diketahui seluruh kayu bulat hanya beredar di dalam negeri, yaitu untuk kebutuhan lokal Papua dan perdagangan antar pulau. Sebanyak 64,14 % jumlah kayu bulat merbau yang 32 Dalam hal ini yang terkait langsung adalah yaitu Peraturan Gubernur Nomor 12 Tahun 2010 tentang Peredaran dan Pengolahan Hasil Hutan Kayu khususnya pasal 2, Peraturan Gubernur Nomor 13 Tahun 2010 tentang Izin Usaha pemanfaatan Hasil Hutan kayu masyarakat Hukium Adat (IUPHHK-MHA), Peraturan Gubernur Nomor 15 Tahun 2010 tentang tatacara Ijin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu Rakyat
31
diperdagangkan dalam kurun waktu tiga tahun terakhir diperuntukkan untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku industri yang ada di Papua, termasuk Irian Jaya Barat (sekarang Papua Barat). Sisanya sebesar 35,86% diperdagangkan antar pulau dengan tujuan utama Jawa Timur, Maluku, Kalimantan dan Jakarta. Ke-empat daerah tujuan tersebut diketahui sebagai daerah pusat industri perkayuan (penggergajian kayu) di Indonesia. Pada tahun 2003, berdasarkan Laporan BSPHH Wilayah XVII, bahwa negara tujuan ekspor kayu olahan asal Tanah Papua adalah Jepang, Korea, Saudi Arabia, Kuwait, Dubai, Doha, Dammam, Bahrain dan Jeddah dengan total volume eksport 102.915,93 m3. Sebagian besar kayu olahan yang diekspor dengan negara tujuan teraebut adalah jenis produk Kayu Lapis (Plywood). Sedangkan untuk tujuan peredaran antar pulau dengan tujuan kebutuhan lokal, Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi (Makasar), Maluku dan Sumatera dengan volume 576.693,98 m3. Jenis produk kayu olahan adalah Kayu Lapis (Plywood) dan sortimen kayu gergajian (Sawn Timber). Sortimen gergajian ini umumnya jenis merbau. Tata niaga kayu gergajian untuk pemenuhan lokal umumnya berasal dari Industri Kayu Rakyat yang langsung dijual ke konsumen atau melalui depot-depot penjualan kayu atau ke industri meubel. Sedangkan bila dikirim antar pulau, umumnya bersumber dari Industri Kayu Limbah dan Indutri Kayu Rakyat melalui Industri Primer Hasil Hutan Kayu sebagai penampung. Kayu-kayu olahan setengah jadi produksi masyarakat selanjutnya diolah kembali menjadi sortimen tertentu (sesuai pesanan), kemudian diperdagangkan ke luar Papua. Selengkapnya mengenai hal ini akan disajikan pada Bagian 3. Berdasarkan peredaran dan tata niaga kayu yang diuraikan di atas maka SVLK dipandang sebagai suatu hal penting untuk diterapkan ke depan. Dengan demikian penting untuk mempersiapkan agar SVLK dapat diimplementasikan dan dipenuhi oleh semua pelaku usaha baik pemegang izin konsesi maupun izin industri primer dan industri lanjutan, termasuk izin kios penyalur dan mebel. Bagaimana dengan IUPHHK-MHA dan IUIPHHKMHA? Selengkapnya untuk menjawab pertanyaan ini akan disajikan dalam bagian berikutnya.
32
Bagian III ANALISIS PEMANGKU KEPENTINGAN DAN PROBLEM PENGELOLAAN HUTAN LESTARI DI PAPUA
3.1
Pemangku Kepentingan Dalam Pengelolaan Hutan Lestari di Papua
Identifikasi dan analisis pemangku kepentingan kehutanan ini dilakukan dengan pendekatan Analisis Kwadran33. Analisis kwadran ini dimaksudkan untuk mengenali peran kunci yang dimainkan oleh pemangku kepentingan dalam rangka mengimplementasikan sebuah program. Tujuan dari analisis ini adalah mengetahui kepentingan dan pengaruh pemangku kepentingan. Dari sini akan terlihat siapa yang paling perlu diakomodasikan dalam rangka perencanaan dan implementasi program terkait penfelolaan hutan lestari di Provinsi Papua Berdasarkan pendekatan ini maka pihak-pihak yang terlibat di dalam pengelolaan hutan di Papua dibagi penjadi 4 (empat) kelompok, yaitu 1. Kwadran 1 pihak yang memiliki kepentingan tinggi dan power rendah 2. Kwadran 2 pihak yang memiliki kepentingan tinggi dan power tinggi 3. Kwadran 3 pihak yang memiliki kepentingan rendah tetapi power tinggi 4. Kwadran 4 pihak yang memiliki kepentingan rendah dan power rendah Analisis Kwadran ini dilakukan dalam diskusi bersama-sama pemangku kepentingan yang menjadi rangkaian dalam proses assessment. Dalam diskusi ini diidentifikasi siapa saja yang menjadi pemangku kepentingan dan diposisikan dimana dalam sebuah gambar kwadran. Hasil analisis kwadran disajikan pada gambar 3 :
33
Bahan bacaan terkait analisis ini adalah Reed, et.all (2009)
33
Gambar 3 Hubungan Antar Aktor yang Terlibat dalam Pengelolaan Hutan di Papua
I
IV
II
III
3.1.1 Identifikasi Pemangku Kepentingan Berdasarkan identifikasi dengan pendekatan analisis kwadran tersebut tampak bahwa pada kwadran I dan II adalah kelompok pemangku kepentingan yang tergolong sebagai subyek dan aktor utama dalam mengimplementasikan perdasus kehutanan di Provinsi Papua atau disebut dengan pemangku kepentingan primer. Kelompok pemangku kepentingan ini adalah pihak-pihak yang sangat berkepentingan tinggi dengan tingkat kekuasaan rendah sampai tinggi. Sedangkan pihak-pihak yang berada pada kwadran III dan kwadran IV adalah kelompok pemangku kepentingan pendukung implementasi perdasus kehutanan dari aspek politik, pendanaan dan pendampingan, atau disebut dengan pemangku kepentingan sekunder. Kelompok pemangku kepentingan ini sekalipun memiliki kepentingan rendah, namun memiliki kekuasaan yang rendah sampai tinggi untuk mendukung implementasi pengelolaan hutan di Provinsi Papua. Semua kelompok pemangku kepentingan ini diharapkan memiliki pemahaman bersama mengenai perdasus kehutanan di Provinsi Papua sebagai kebijakan pengelolaan hutan yang ditujukan untuk mengimplementasikan pengelolaan hutan yang secara murni memiliki keberpihakan pada masyarakat hukum adat dan keberlanjutan kelestarian hutan Papua. Penjelasan lebih lanjut dua kelompok besar di atas adalah sebagai berikut : a.
Pemangku Kepentingan Primer Pihak-pihak yang tergolong sebagai subyek dan sekaligus aktor utama dalam pengelolaan hutan di Provinsi Papua berkenaan dengan implementasi perdasus kehutanan adalah para pemegang izin konsesi, izin Industri dan kios penyalur kayu/depot kayu, masyarakat hukum
34
adat (MHA), tokoh adat, Menteri Kehutanan, Gubernur, Bupati/Wali Kota, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi dan Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota. Pemangku kepentingan primer yang berperan sebagai subyek , yaitu pihak-pihak yang memiliki kepentingan tinggi tetapi kekuasaan yang terbatas untuk pengambilan keputusan. Pihak-pihak ini adalah pelaksana teknis pengelolaan hutan dan pemanfaatan hasil hutan yang diberi izin oleh pemerintah. Pemangku kepentingan primer yang berperan sebagai pelaku kunci pengelolaan hutan, yaitu pihakpihak yang memiliki kepentingan besar dan memiliki kekuasaan untuk mengambil keputusan dalam proses pengelolaan hutan. b.
Pemangku Kepentingan Sekunder Pihak-pihak yang tergolong dalam pemangku kepentingan sekunder ini terbagi dua, yaitu pertama, pihak-pihak yang memiliki kepentingan rendah tetapi memiliki kekuasaan yang besar dalam proses pengambilan keputusan politik dan penganggaran serta regulasi/kebijakan terkait dengan pengelolaan hutan di Provinsi Papua. Kedua, pihak-pihak yang memiliki kepentingan rendah dan kekuasaan rendah dalam implementasi perdasus. Pihak-pihak ini umumnya berperan sebagai pendamping teknik, pengamanan dan membantu dalam proses penegakan hukum serta berperan pendamping dalam proses pengawasan terhadap penyelenggaraan pengelolaan hutan lestari dengan mengimplementasikan perdasus kehutanan.
3.1.2 Peran dan Fungsi Pemangku Kepentingan
Untuk merealisasikan Perdasus Kehutanan, dan peraturan teknis turunannya serta kaitannya dengan implementasi SVLK tentunya masih memerlukan prakondisi dan sosialisasi dengan mengacu pada dasar pemikiran berikut: 1) pelaku utama/subyek adalah masyarakat adat yang tidak memiliki kapasitas yang cukup baik dari segi teknis kehutanan maupun segi kelembagaan (ekonomi dan sosial), 2) tujuan akhir yang diharapkan adalah kesejahteraan masyarakat adat, maka harus berorientasi pada pengembangan ekonomi jangka panjang yang tidak lain menuntut kemandirian masyarakat adat dalam pengelolaan hutan adatnya, 3) semua pelaku utama harus ikut serta dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Pemahaman bersama antar pemangku kepentingan baik utama maupun pendukung tentang perdasus kehutanan dan peraturan teknis turunannya serta peraturan nasional terkait dengan kriteria dan indikator SVLK masih dibutuhkan dan sunguh-sungguh dipersiapkan dengan baik. Mengacu kepada kebutuhan pemahaman bersama terhadap pengakuan hak masyarakat dalam pengelolaan hutan sesuai dengan amanat perdasus
35
kehutanan dan peraturan tenis turunannya, maka strategi yang harus dijalankan disarankan sebagai berikut :34 1.
Masyarakat adat diberikan hak sepenuhnya untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutannya, sedangkan pemerintah bertindak sebagai regulator, motivator dan evaluator.
2.
Masyarakat diberikan hak sepenuhnya menentukan apakah hutan akan dikelola sendiri atau bekerjasama dengan pihak luar /pemodal. Bentuk pendekatan pengusahaan adalah Silvo Bisnis (Usaha Kehutanan), dimana hutan adatnya dikelola tidak hanya untuk produksi kayu saja, tetapi juga hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan dapat diusahakan sekaligus dalam areal hutan adatnya.
3.
Menerapkan sistem silvikultur yang dapat menjamin kelestarian hasil dan kelestarian lingkungan. Strategi ini diterapkan melalui pengaturan dan penataan areal, pengaturan panenan untuk periode produksi tertentu.
4.
Meningkatkan kapasitas masyarakat melalui pendidikan dan pelatihan serta pendampingan terutama pada aspek manajemen bisnis dan pengetahuan teknis kehutanan. Strategi ini ditempuh melalui peningkatan peran instansi teknis, LSM dan akademisi untuk memberdayakan dan membangun kapasitas masyarakat ke arah kemandirian.
5.
Meningkatkan keterlibatan masyarakat adat dalam kegiatan usaha. Strategi ini ditempuh dengan mewajibkan pengusaha swasta atau investor yang bekerjasama dengan masyarakat adat untuk melibatkan secara aktif dalam seluruh kegiatan dan memposisikan masyarakat setara.
6. Meningkatkan pemahaman dan membangun koordinasi yang lebih baik antara Gubernur, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi, Dinas Kehutanan Kabupaten, Bupati, Tokoh Adat dan MHA, dengan tetap memperhatikan kewenangan masing-masing pihak. Demikian pula koordinasi antara intansi teknis terkait perlu ditingkatkan terutama dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi dari regulasi sektoral.
Peran pemangku kepentingan baik primer maupun sekunder yang terindentifikasi pada Gambar 3 dideksripsikan seperti pada tabel berikut :
34 Tokede, et.all. 2007. Pengelolaan Hutan Alam Lestari Berkeadilan : Implementasi Pengelolaan Hutan Untuk Kesejahteraan Masyarakat Adat. Fakultas Kehutanan – Unipa, Manokwari
36
Tabel 5 Peran dan Fungsi Pemangku Kepentingan Dalam Pengelolaan Hutan di Provinsi Papua Dalam Rangka Implementasi Perdasus dan SVLK Pemangku No. Fungsi Peran Kepentingan 1. Koperasi • Organisasi usaha ekonomi • Sarana untuk meningkatkan Masyarakat masyarakat posisi tawar masyarakat adat • Representasi masyarakat atas sumberdaya hutannya adat • Wadah untuk • Wadah masyarakat adat mengorganisasikan dan untuk berperan dalam mendistribusikan manfaat pengelolaan hutan di yang diperoleh kepada wilayah hukum adat anggota masyarakat adat secara merata dan berkeadilan 2. Kepala Suku/Ketua • Mewakili masyarakat adat • Pengambil keputusan Adat/Ketua Klan dalam pengambilan tertinggi dalam suku, keputusan kelompok marga dan marga • Menyelesaikan konflik • Memberi pertimbangan horizontal dalam marga dalam kemitraan masyarakat • Pemilik hutan adat adat dan pihak ke tiga (luar) • Menyuarakan pendapat masyarakat adat • Legitimasi areal hutan adat 3. Masyarakat • Pemilik hutan • Menentukan subyek dan Adat/Kelompok adat/marga obyek hak adat Marga • Anggota pemilik hutan • Merumuskan dan adat/marga memutuskan pemanfaatan sumberdaya hutan dan mendistribusikan manfaat kepada masyarakat adat/anggota marga 5. Lembaga • Lembaga Representasi • Memberi pertimbangan dan Musyawarah Masyarakat adat persetujuan pola Adat/Dewan Adat pemanfaatan dan pendistribusian manfaat kepada anggota masyarakat adat • Wadah penyaluran aspirasi masyarakat adat 6. Pemerintah, • Regulator, Fasilitator, • Merumuskan, menetapkan Pemerintah Pengontrol dan Evaluator dan mensosialisasikan Daerah/Intansi pelaksanaan pengelolaan perturan dan kebijakan dalam Teknis Terkait dan hutan oleh masyarakat pengelolaan hutan Legislator adat dan investor masyarakat adat • Penyediaan • Memberikan pertimbangan Anggaran/Pendanaan dan penyediaan pengganggaran • Memberi dan menolak permohonan ijin usaha pengelolaan hutan oleh masyarakat adat • Menfasilitasi dan memonitoring kemitraan masyarakat adat dengan investor • Monitoring dan evaluasi
37
7.
Investor/Mitra Kerja/Swasta/ Pemegang Izin Konsesi
•
Membawa modal dan teknologi profesional pengelolaan hutan
• • •
8.
LSM, Akademisi dan lembaga penelitian
•
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengelolaan hutan lestari (IUPHHKMHA, PHPL, SVLK)
•
•
•
• 9.
Penegak Hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan TNI)
• • •
Menyelenggarakan penegakan hukum Pengamanan dan perlindungan masyarakat Pengamanan aset negara
• • •
pelaksanaan ijin usaha pengelolaan hutan oleh masyarakat adat Pelaksana pengelolaan dan pengusahaan hutan Sumber pajak pengelolaan dan pengusahaan hutan Pelaksana reboisasi dan rehabilitasi hutan paska izin usaha Perumusan model pengelolaan hutan masyarakat adat yang lebih sesuai dengan kondisi oyektif wilayah Pendampingan untuk pemberdayaan masyarakat adat Fasilitator bagi masyarakat adat dan pemerintah (advokasi) Pelaksana Pelatihan teknis PHPL dan SVLK Menyelenggarakan penuntutan hukum Melaksanakan penyidikan pelanggaran pidana Melaksanakan bantuan pengamanan
Fungsi dan peran yang dideskripsikan tersebut akan dapat dijalankan secara optimal apabila selalu dilakukan koordinasi dan komunikasi secara terus menerus sejak perencanaan sampai pada evaluasi. Pemangku kepentingan primer yang berada pada Kwadran I dan II yang telah disebutkan di atas menjadi motor untuk melakukan koordinasi dan komunikasi sejak awal sehingga proses pengambilan keputusan berjalan demokratis, transparan dan berkeadilan. Membangun kapasitas masyarakat adat untuk menerapkan pengelolaan hutan secara lestari disadari tidaklah mudah. Strategi yang telah diuraikan di atas tentunya tidak dapat diimplementasikan bila tidak didukung oleh semua pemangku kepentingan. Untuk itu setiap pemangku kepentingan harus memerankan perannya secara optimal yang bersimpul pada tujuan menumbuhkan kemandirian masyarakat dalam meningkatkan taraf hidupnya dengan tetap memperhatikan aspek kelestarian lingkungan yang berkelanjutan.
38
3.2 Permasalahan Dalam Pengelolaan Hutan dan Penerapan SVLK di Papua Pengalaman pengelolaan hutan selama ini di Papua belum juga memberikan kabar yang menggembirakan, khususnya bila dilihat dari aspek pengelolaan hutan secara lestari. Walaupun kebijakan pemerintah Provinsi Papua mendukung terlaksananya pengelolaan hutan lestari namun dalam prakteknya masih jauh dari harapan. Di sisi lain, terdapat realita bahwa SVLK secara mandatory harus diimplementasikan di Papua dalam rangka mencapai pengelolaan hutan lestari. Berikut ini identifikasi permasalahan secara umum terkait pengelolaan hutan dan terkait implementasi SVLK ke depan di Papua :35 3.2.1 Permasalahan Terkait Harmonisasi Kebijakan Dalam bab sebelumnya telah dijelaskan bagaimana situasi terkini pengelolaan hutan di Provinsi Papua dalam rangka implementasi UndangUndang No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Dimana terdapat sejumlah peraturan daerah khusus dan juga peraturan gubernur berkaitan dengan pengelolaan hutan Papua. Semangat dari Perdasus dan beberapa Peraturan Gubernur tersebut adalah menata pengelolaan hutan di Provinsi Papua untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua khususnya masyarakat hukum adat, menghormati dan menghargai hak-hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alam, keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat guna mencapai kesejahteraan dan kemandirian. Sebagai peraturan dan kebijakan yang bersifat khusus sudah tentu ada hal-hal yang sesuai dengan kebijakan nasional tetapi tentu juga tidak bisa dihindari beberapa perbedaan sebagai implikasi dari sifat khusus tersebut yang menyebabkan ketidakhamonisan kebijakan. Hal ini disebabkan karena Departemen Kehutanan Republik Indonesia masih tetap berprinsip bahwa untuk Tata Kepengurusan Hutan di Indonesia tetap mengacu kepada undang-undang sektoral yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sedangkan Pemerintah Daerah Provinsi Papua berdiri pada prinsip bahwa undang-undang otonomi khusus bersifat lex specialis, sehingga segala hal tentang kewenangan-kewenangan terkait tata kepemerintahan dalam berbagai bidang, terkecuali lima kewenangan yang masih di urus oleh Pemerintah, sudah secara langsung diurus oleh Pemerintah Daerah Provinsi Papua. Untuk lebih jelasnya, karakter-karakter khusus pengelolaan dan pemanfaatan hutan di Provinsi Papua pada era Otonomi Khusus yang menjadi sumber ketidakharmonisan dideskripsikan 35 Pemetaan permasalahan ini diperoleh berdasarkan hasil Focus Group Discussion yang melibatkan pemangku kepentingan kunci dalam pengelolaan hutan di Papua. FGD yang diselenggarakan pada tanggal 3-4 April 2012 di Hotel Aston Jayapura ini sendiri merupakan bagian dari rangkaian proses assessment. Selengkapnya mengenai hasil FGD, khususnya terkait pemetaan permasalahan yang dirumuskan oleh pemangku kepentingan kunci dapat dilihat pada Lampiran 3
39
secara singkat pada tabel berikut : Tabel 6 Karakter Khusus Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan di Provinsi Papua era Otonomi Khusus
Nasional
Papua
Kebijakan Daerah Pendukung
Ketidakharmonisan Dengan Kebijakan Pusat • Kewenangan Pengurusan • Sumber penerimaan Negara • Hubungan Pusat dan daerah
Bentuk-Bentuk Pengusahaan
IUPHHK-HA IUPHHK-HTI IUIPHHK-KR IUI TDI HKm HD HTR
1. IUPHHKMHA 2. IUPHHHTRMHA 3. IUIPHHKMHA
Perdasus No. 21/2008, Perdasus,No.23/ 2008 Pergub.No.11/2010 Pergub No. 12/2010 Pergun. No. 16/2010
Mekanisme Perizinan dan Pengawasan
Pusat, Cq. Meteri Kehutanan, atas Pertimbangan teknis Dinas Kehutanan Provinsi, Kab. Kota
Gubernur cq. Dinas kehutanan Provinsi, Verifikasi Pusat.
Pergub. No.13/2010 Pergub. No. 15/2010 Pergub. 17 /2010 Pergub,No.19/2010
• Kewenangan perizinan • Tanggung jawab pengawasan • Penetapan kriteria dan indikator
Keterlibatan Masyarakat
Obyek Pengelolaan Hutan Negara/ Pemegang Izin SI-PUHH On Line/Mannual (SKSHH hutan Negara –SAKKB/ Cap Kalok,/Cap KR);SAK-KO Hutan HakSKAU (FakKB/FAKO)
Pemilik Hutan Adat, Subyek/ Pelaku Utama Pengelolaan SI-PUHH On Line/Manual SKSHH hutan Negara –SAKKB/ Cap Kalok,/Cap KR);SAK-KO Hutan Hak-SKAU (FakKB/FAKO
• Masyarakat Asli Papua • Koperasi • Bermitra Pergub. No. 12/2010
• Kepemilikan • Kepentingan dengan swasta
Tata Niaga
Keabsahan Verifier PHPL dan VLK
Berdasarkan tabel di atas, tergambar sejumlah ketidakharmonisan kebijakan di tingkat nasional dengan kekhususan Papua yang berpotensi konflik ke depan. Untuk lebih detailnya, sebagai contoh kecil ketidakharmonisan terkait pengelolaan hutan oleh masyarakat. Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Kehutanan menyusun sejumlah kebijakan dengan mengaju pada PP Nomor 6 tahun 2007 sebagaimana diatur pada Bagian Kesebelas mengenai Pemberdayaan Masyarakat Setempat. Pada bagian kesebelas ini, mulai dari pasal 83 sampai dengan pasal 99 diatur mengenai bagaimana pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui tiga skema pengelolaan yaitu melalui Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (Hkm) dan Hutan Tanaman Industri (HTI) Kemitraan. Sejumlah peraturan menteri kehutanan untuk mengatur hal tersebut juga sudah diterbitkan. Namun demikian dalam skema tersebut, hak adat atas hutan dalam wilayah
40
masyarakat hukum tidak diakui, bahkan disebutkan bahwa baik skema hutan desa, hutan kemasyarakan maupun HTI kemitraan semuanya adalah hutan Negara yang pengelolaannya diserahkan pada Lembaga Desa, Perorangan, Kelompok Masyarakat Adat dan /atau Bermitra Dengan Masyarakat Adat36 Persepsi pemerintah ini bertentangan dengan persepsi pemerintah daerah dan MHA dengan kata lain pandangan UU Nomor 41 Tahun 1999 tidak sesuai dengan semangat UU Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 dan Perdasus Nomor 21 tentang Kehutanan. Hal inilah yang dikuatirkan menjadi sumber konflik kewenangan perizinan dan pengawasan dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Keberpihakan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat yang secara normatif termuat dalam Perdasus Kehutanan Provinsi Papua disebutkan dalam pasal 5, sebagai berikut : Masyarakat hukum adat memiliki hak atas hutan alam sesuai dengan batas wilayah adatnya masing-masing
Selanjutnya dalam pasal 8 juga disebutkan bahwa : Masyarakat hukum adat berhak mengelola dan memanfaatkan hutan yang berada di dalam wilayah hukum adatnya.
Sebenarnya tidak ada pengaturan secara khusus bentuk-bentuk pemberdayaan seperti yang diatur dalam PP 6 tahun 2007. Hal ini mengandung arti bahwa dalam rangka perlindungan hak-hak MHA dan pemberdayaan MHA segala bentuk pemanfaatan hasil hutan yang diatur melalui perdasus ini dimungkinkan untuk dilakukan oleh MHA. Berdasarkan Perdasus Nomor 21 Tahun 2008 dan sejumlah Peraturan Gubernur tersebut, model pemanfaatan hutan yang khusus untuk Provinsi Papua adalah : Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan pada Hutan Tanaman Rakyat Masyarakat Hukum Adat (IUPHHHTR-MHA), Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat (IUPHHK-MHA), Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu (IPHHK) dan Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat (IUIPHHK-MHA). Hal ini berbeda dengan model pengusahaan yang diakomodir dalam kebijakan nasional. Beberapa perbedaan antara model pemanfaatan hutan kebijakan nasional dengan kebijakan pengelolaan khusus Papua dapat dicermati dalam tabel berikut : Tabel 7 Perbandingan Kebijakan Terkait IUPHHK HA/HTI/RE dengan IUPHHK-MHA
Dasar Kebijakan
36
Kebijakan Nasional Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No : P.50/Menhut-II/2010 tentang Tata
Kebijakan Khusus Papua Pergub Papua No 13 tahun 2010 tentang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat di
Sebagaimana didefinisikan dalam penjelasan umum Permenhut No. P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemesyarakatan dan Permenhut No: P.48/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa.
41
Bentuk Izin Lokasi
Pemohon
Penerbit SK
Luas Areal Pengolahan hasil hutan kayu
Cara Pemberian dan Perluasan Areal Kerja IUPHHK dalam Hutan Alam, IUPHHK Restorasi Ekosistem, atau IUPHHK HTI Pada Hutan Produksi. IUPHHK HA/HTI/RE • Kawasan hutan produksi yang tidak dibebani izin/hak • Untuk IUPHHK-HTI dan RE diutamakan pada hutan produksi yang tidak produktif • Pencadangan/penunjukan oleh Menteri Untuk IUPHHK HA/HTI/RE pemohon adalah Perorangan; Koperasi; Badan Usaha Milik Swasta Indonesia (BUMSI); Badan Usaha Milik Negara (BUMN); atau Badan Usaha Milik Daerah. Khusus untuk HTI, pemohon perorangan tidak diperbolehkan. Menteri Kehutanan dengan Rekomendasi dari Gubernur. Rekomendasi Gubernur didasarkan pada: • Pertimbangan Bupati/ Walikota yang didasarkan pada pertimbangan teknis Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota, bahwa areal dimaksud tidak dibebani hak-hak lain; • Analisis fungsi kawasan hutan dari Kepala Dinas Kehutanan Provinsi dan Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan, yang berisi fungsi kawasan hutan sesuai IUIPHHK di dalam areal kerja dapat diberikan kepada pemegang IUPHHK dengat syarat telah memperoleh Sertifikat PHPL secara mandatory dengan peringkat baik atau sangat baik dan/atau memperoleh Sertifikat PHPL secara voluntary
Provinsi Papua
IUPHHK MHA • Kawasan hutan produksi tetap, • Hutan produksi yang dapat dikonversi, • Kawasan Budidaya Non Kehutanan/ Areal Penggunaan Lain • Apabila areal telah dibebani perizinan usaha pemanfaatan hutan kayu dilakukan pola kerjasama kemitraan Untuk IUPHHK-MHA • Koperasi masyarakat pemilik hak ulayat • Badan usaha milik masyarakat hukum adat
Gubernur Papua dengan rekomendasi dari Bupati/Walikota dan pertimbangan teknis dari Kepala Dinas Kehutanan dan Konservasi Papua
2000 – 5000 ha Pemegang ijin wajib memiliki IUIPHHK yang diterbitkan oleh Gubernur. IUIPHHK dengan peralatan berupa portable sawmill berada di dalam areal kerja IUPHHK
Tabel 8 Perbandingan Kebijakan Terkait IUPHHK HTR dengan IUPHHK HTR-MHA
Dasar Kebijakan
Bentuk Izin
Kebijakan Nasional Permenhut Nomor : P.23/MenhutII/2007 jo. Permenhut Nomor : P.5/Menhut-II/2008 tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada HTR dalam Hutan Tanaman IUPHHK HTR
Kebijakan Khusus Papua Pergub Provinsi Papua No 11 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Hutan Tanaman Rakyat Masyarakat Hukum Adat (HTR-MHA)
IUPHHK HTR-MHA
42
Lokasi
• Kawasan hutan produksi yang tidak produktif dan • Tidak dibebani izin/hak lain • Letaknya diutamakan dekat dengan industri hasil hutan.
Pencadangan dan Perijinan
• Pencadangan lokasi oleh Menteri • Perijinan diterbitkan oleh Bupati/Walikota Pemohon IUPHHK HTR adalah: • Perorangan • Koperasi
Pemohon
Luas
Lama ijin
Kewajiban Pemegang Ijin
• Maksimal 15 ha untuk setiap keluarga • Bagi koperasi luasnya disesuaikan kemampuan 60 tahun dan dapat diperpanjang satu kali untuk jangka waktu selama 35 (tiga puluh lima) tahun. Menyusun RKU IUPHHK HTR dan RKT.
• Tanah hak ulayat yang merupakan lahan kritis, tidak produktif, baik yang berada di dalam kawasan hutan produksi atau kawasan budidaya non kehutanan • Tidak dibebani izin/hak lain • Letaknya diutamakan dekat dengan lokasi industri hasil hutan. • Pencadangan lokasi oleh Gubernur • Perijinan diterbitkan oleh Bupati/Walikota Pemohon IUPHHK HTR-MHA • Kelompok tani atau koperasi atau badan usaha yang dibentuk oleh pemilik hak ulayat yang telah memperoleh pengesahan dari lembaga adat, kepala kampung dan diketahui oleh kepala distrik • Kelompok tani/ koperasi/ badan usaha yang dibentuk masyarakat suku lain selain pemilik hak ulayat yang diberi izin oleh pemilik hak ulayat dan disahkan oleh lembaga adat, ketua kampung dan diketahui oleh kepala distrik Maksimal 5000 ha untuk setiap ijin
30 tahun dan dapat diperpanjang
• Membayar iuran kehutanan • Menyusun rencana kerja PHHK yang terdiri dari rencana umum dan rencana operasional • Melaksanakan kegiatan selambatlambatnya 3 bulan sejak ijin terbit • Melaksanakan PUHH sesuai ketentuan • Menyampaikan laporan kegiatan pada pemberi izin
Tabel 9 Perbandingan Kebijakan Terkait IUIPHHK dengan IUIPHHK Rakyat
Dasar Kebijakan Pemohon ijin
IUIPHHK Permenhut No: P.35/Menhut-II/2008
IUIPHHK Rakyat Pergub Papua No 15 tahun 2010
• Kapasitas produksi s/d 6.000 m3/tahun, dapat diberikan kepada perorangan, koperasi, BUMS, BUMN, dan BUMD, • Kapasitas produksi s/d 2.000 m3 per-tahun hanya dapat diberikan kepada perorangan dan koperasi.
Untuk IUIPHHK Rakyat, pemohon adalah: perorangan, koperasi dan badan usaha milik masyarakat adat (BUMMA). Hanya mengatur pemberian ijin dengan kapasitas dibawah 6000 m3
43
Wajib memiliki RPBBI Sumber Bahan Baku
Jenis Produk
• • • • •
Kayu gergajian; Serpih Kayu (Wood Chip); Vinir (Veneer); Plywood; dan Laminated Veneer Lumber
Tujuan Pemasaran
Permohonan Diajukan Pada
Persyaratan Administrasi
Persyaratan Teknis
• Permohonan IUIPHHK kapasitas produksi s/d 6.000 m3/tahun disampaikan kepada Gubernur dengan tembusan kepada Menteri dan Bupati/Walikota. • Gubernur dapat melimpahkan kewenangan penerbitan IUIPHHK dengan kapasitas produksi s/d 2.000 m3/tahun kepada Bupati/Walikota. • Rekomendasi teknis Bupati/walikota • Akte pendirian Perusahaan/Koperasi beserta perubahannya atau copy KTP untuk pemohon perorangan; • NPWP; • Izin Gangguan; • Izin Lokasi; • Izin Tempat Usaha; • Laporan kelayakan investasi pembangunan industrinya; • Jaminan pasokan bahan baku. • Dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL)
Penerbit Ijin
Lama Ijin
• Berlaku selama industri yang bersangkutan beroperasi yaitu apabila industri berproduksi secara kontinyu, berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan paling sedikit 1 kali dalam 3 tahun
RPBBI sebagai syarat teknis dalam permohonan ijin • IUPHHK/IUPHHK-MHA/IPK • Limbah Pembalakan • IPHHK • Kayu Lelang • Hutan Tanaman Rakyat • ISL • Kayu Gergajian • Moulding • Flooring
• Pemasaran lokal, regional, nasional dan eksport • Khusus bahan baku dari IPHHK hanya untuk pemasaran lokal • Bupati/walikota untuk kapasitas dibawah 2000 m3/tahun • Gubernur untuk kapasitas 2000 – 6000 • Dapat diberikan bersamaan dengan IUPHHK MHA
• Rekomendasi Kepala Dinas Kabupaten/Kota • Fotocopy KTP untuk pemohon perorangan dan akte pendirian beserta perubahannya untuk Koperasi • SIUP • SITU
• RPBBI • Daftar nama, tipe dan jenis peralatan • Perjanjian kerjasama suplai bahan baku dengan pemegang ijin pemanfaatan/pemungutan hasil hutan kayu • Rencana pengelolaan lingkundan dan rencana pemantauan lingkungan • Gubernur/Bupati/Walikota • Dapat dilimpahkan kepada Kepala Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten/Kota • 10 tahun bagi yang tidak memiliki jaminan suplai bahan baku • Selama jangka waktu perijinan IUPHHK-MHA bagi yang memiliki jaminan suplai bahan baku
44
• Apabila industri tidak beroperasi selama satu tahun dikenakan sanksi pencabutan izin usaha industrinya.
Perbedaan di atas hanya potret kecil dari sejumlah perbedaan lainnya yang berpotensi menimbulkan permasalahan.37 Contoh permasalahan lainnya adalah terkait alas hak atas tanah di mana peraturan yang dibuat oleh Departemen Kehutanan secara kontekstual tidak sesuai dengan kondisi di Papua. Seperti Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-II/2006 tentang Penggunaan Surat Keterangan Asal Usul Kayu (SKAU) untuk Pengangkutan Hasil Hutan Kayu Yang Berasal Dari Hutan Hak, yang diperkirakan akan menimbulkan chaos di Papua, jika diterapkan.38 Hal ini dikarenakan alat pembuktian untuk hutan hak adalah berdasarkan alas titel/ hak atas tanah berupa sertifikat hak milik dan lain. Di negara Indonesia, sertifikat hak milik tanah diberikan kepada perorangan, atau badan hukum, dan lain-lain, tetapi belum bisa diberikan kepada masyarakat adat pemilik adat atas sumberdaya hutan mereka berupa sertifikat yang bersifat komunal. Hal ini dikarenakan sistem kepemilikan tanah adat di Papua adalah bersifat komunal. Seharusnya alas hak yang sesuai dengan kondisi Papua yang telah diakomodir dalam UU Otonomi Khusus dan Perdasus Kehutanan lah yang digunakan sebagai landasan untuk implementasi berbagai kebijakan di Papua. Karena pemaksaan penerapan kebijakan nasional dapat menimbulkan konflik horizontal di antara masyarakat adat Papua Permasalahan lain yang cukup besar dan berdampak luas di Papua adalah terkait IPKMHA yang diberikan oleh Pemerintah Provinsi Papua kepada masyarakat adat Papua yang memiliki Koperasi/Kopermas. Sesungguhnya kebijakan yang diterbitkan sebagai dasar pelaksanaan dari bentuk keberpihakan dan keterlibatan masyarakat dalam pembangunan kehutanan secara nasional sudah diterapkan tetapi masih terjadi kegamangan di pihak pemerintah sehingga kebijakan tersebut setelah diterbitkan kemudian ditarik kembali. Selengkapnya mengenai hal ini dapat dilihat pada Boks.
37
Diperlukan sebuah studi khusus untuk membedah dan menemukan ketidaksinkronan peraturan di level nasional dengan Papua untuk kemudian merumuskan langkah-langkah menuju sinkronisasi dan harmonisasi keduanya. 38 Dalam sebuah acara sosialisasi peraturan-peraturan kehutanan yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan di Jayapura, semua pemangku kepentingan yang terlibat menyatakan bahwa P.51 tahun 2006 tidak bisa dilaksanakan di Papua.
45
Ketidakharmonisan ini ditunjukkan juga pada saat diterbitkannya Peraturan Gubernur Boks Provinsi Papua Nomor Kasus IPKMHA di Provinsi Papua 72 Tahun 2002 tentang Menjelang akhir tahun 1998, masyarakat khususnya masyarakat adat atau Ketentuan Ekspor masyarakat lokal memperoleh tempat dalam kaitannya dengan pengelolaan Kayu Bulat Jenis hutan dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan (HPHKm), Merbau di Provinsi yakni sejak diterbitkan dan diberlakukannya SK Menhut No. 677/Kpts-II/1998. Bahkan pada awal tahun 1999, Pemerintah menerbitkan PP No. 6 Tahun 1999 Papua. Dengan tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan berbagai Produksi, yang pada intinya membatasi luas HPH bagi setiap pemegang HPH. pertimbangan, Dari kebijakan ini selanjutnya Pemerintah melakukan redistribusi sumberdaya hutan dengan sasaran utama masyarakat dalam bentuk HPHKm dan Hak terutama berdasarkan Pemungutan Hasil Hutan Masyarakat Hukum Adat (HPHHMHA) pada Areal otonomi khusus, Hutan Produksi. pemerintah Daerah Pengelolaan hutan di Provinsi Papua selama ini dilaksanakan dalam bentuk HPH dan sejak tahun 1999 Pemerintah memberikan kesempatan Provinsi Papua kepada masyarakat khususnya masyarakat pemilik hak ulayat dalam membuat peraturan pengelolaan hutan. Dalam rangka desentralisasi pengelolaan sumberdaya tersebut tetapi hutan di Papua, Pemerintah Daerah telah menempuh langkah awal dengan memberikan IHPHHMHA (Ijin Hak Pemungutan Hasil Hutan oleh Masyarakat kemudian mendapat Hukum Adat) kepada Kopermas dengan luas 250 hektar, dimana masa berlaku pertentangan dari dari ijin ini hanya 1 (satu) tahun. Dasarnya adalah dengan diterbitkannya SK Departemen Menhut No. 317/Kpts-II/1999 tanggal 7 Mei 1999 tentang HPHHMHA pada Areal Hutan Produksi. Sebagai tindak lanjut SK Menhutbun tersebut, Gubernur Kehutanan. Sebenarnya sebagai upaya mengatasi potensi konflik dikarenakan perbedaan-perbedaan tersebut, pada tahun 2006, Menteri Kehutanan membentuk Tim Harmonisasi yang melibatkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah Provinsi Papua untuk membahas kebijakan kehutanan di Provinsi Papua. Tim pemerintah c.q. Departemen Kehutanan diisi oleh para pejabat Eselon I Departemen
Provinsi Papua menerbitkan surat Nomor : 522.2/ 3386/SET tanggal 22 Agustus 2002 tentang Pengaturan Pemungutan Hasil Hutan oleh Masyarakat Hukum Adat dalam bentuk IPKMHA dengan petunjuk pelaksanaannya sesuai Surat Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Nomor : KEP522.1/1648 tanggal 22 Agustus 2002. Secara legalitas, pengusahakan hutan dengan izin IPKMHA oleh masyarakat adat Papua melalui badan-badan usaha yang dibentuk (koperasi/kopermas) tetap jalan sejak digulirkan pada tahun 1999. Akan tetapi dengan terbitnya regulasi tentang IPKMHA yang belum dibarengi dengan peraturan teknis yang memadai yang diharapkan dapat mewujudkan pengelolaan hutan lestari di Tanah Papua, telah terjadi penyalahgunaan perizinan, dimana sering ditemukan kasus pemilik izin “menggadaikan” izinnya kepada pihak luar atau pihak investor untuk menggarap hutan yang berada di wilayah /teritori adat mereka. Proses ini kemudian memicu terjadinya aktivitas illegal logging masif di Tanah Papua. Proses ini berlanjut terus tanpa ada perbaikan atau perhatian dari Pemerintah. Bahkan oleh beberapa pihak sebagai pemerhati lingkungan menengarai kalau ada proses pembiaran selama beberapa tahun yang dilakukan oleh Pemerintah. Akan tetapi kondisi tersebut diatas kemudian menimbulkan reaksi dari pemerintah pusat dengan mencabut SK Menhutbun No. 317/ Kpts-II/1999 tanggal 7 Mei 1999 tentang Hak Pemungutan Hasil Hutan Masyarakat Hukum Adat pada Areal Hutan Produksi pada tahun 2005 melalui Peraturan Menteri Kehutanan nomor P07/Menhut-II/2005. Kemudian kegiatan logging yang dilakukan Kopermas semakin dianggap sebagai kegiatan illegal. Sebagai tindak lanjut peraturan tersebut, maka sejak tanggal 1 Januari 2005 IPKMHA ditutup dan hanya bisa melakukan stock opname sampai 31 Januari 2005, dan hasil perhitungan stok opname hanya diijinkan sampai tanggal 31 Maret 2005. Langkah ini diambil Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua berdasarkan Surat Keputusan 522.1/072 tertanggal 12 Januari 2005 sebagai upaya memberantas illegal logging yang banyak dikaitkan dengan praktek kopermas ini (Patay 2005:55).
Kehutanan sedangkan di pihak Pemerintah Provinsi Papua diisi oleh para pimpinan SKPD, akademisi dan LSM. Dalam membahas kebijakan-kebijakan tersebut masih terus ada perbedaanperbedaan pandangan akan prinsip-prinsip dalam tata kepengurusan hutan 46
yang ada dalam draft perdasus tentang pengelolaan hutan lestari di Papua. Perbedaan prinsip yang tajam di antara kedua belah pihak inilah yang menyebabkan dead lock dalam pertemuan terakhir di Hotel Salak Bogor. Satu hal penting lainnya terkait topik ini, adalah ketika segala bentuk kebijakan (UU Otonomi Khusus, Perdasus No 21 dan 23, dan segala peraturan turunannya), belum ‘dimanfaatkan’ secara efektif untuk mengimbangi kebijakan nasional. Seolah-olah masih ada ‘sesat pikir’ dalam keseluruhan kebijakan yang sifatnya policy affirmative, atau bahkan minim pemahaman dari publik di Provinsi Papua terhadap isi kebijakan yang melindunginya . Contoh kecil tersebut menunjukkan bahwa selain pada substansi kebijakan yang tidak harmonis, juga sebenarnya terdapat ketidaksiapan institusi (baik di level pusat maupun daerah) dalam implementasi kebijakan. Lebih lanjut mengenai permasalahan terkait hal ini dapat dilihat pada sub bab berikut. 3.2.2 Permasalahan Terkait Kapasitas Organisasi dan Sumberdaya Manusia Beberapa permasalahan yang teridentifikasi terkait kapasitas organisasi dan sumber daya manusia diantaranya adalah sebagai berikut : a.
Penataan dan Pemancangan Batas Luar Kawasan IUPHHK-MHK untuk Kepastian Hukum Kawasan. Penataan kawasan hutan merupakan suatu tahapan penting dalam sistem silvikultur yang berlaku di Indonesia. Maksud dilakukannya penataan areal kerja adalah memberikan tanda pada blok kerja tahunan dan petak kerja dalam mengatur areal kerja agar kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan/pengawasan kegiatan pengusahaan hutan dapat berjalan dengan tertib/baik dan efisien. Ini merupakan syarat keharusan karena kegiatan ini merupakan bagian atau tahapan dari legalitas kawasan. Berdasarkan areal yang telah ditata batas maka izin itu sah dan ruang kelola yang sah hanya di dalam areal tersebut. Dengan demikian areal yang dikelola mempunyai kepastian hukum yang jelas. Bila mengelola di luar areal tersebut dianggap ilegal. Penataan kawasan pada suatu unit manajemen biasa dilakukan pada tahapan-tahapan awal dari rangkaian proses pengusahaan hutan. Penataan batas ini biasa dilakukan oleh unit manajemen pengelolaan hutan dengan pendampingan dari instansi terkait. Salah satu tugas pokok dan fungsi dari Badan Pemantapan Kawasan Hutan adalah melakukan penataan batas. Sehingga bila suatu unit manajemen ataupengelola IUPHHK - MHA ingin melakukan tata batas maka pimpinan badan usaha masyarakat (Koperasi) mengajukan surat permintaan tenaga pendamping untuk melakukan penataan batas areal kelola masyarakat pada kawasan hutan yang akan dikelola. Ada pertanyaan-pertanyaan yang muncul, bila selama ini usaha-usaha mandiri yang dilakukan oleh masyarakat dengan dukungan LSM
47
melakukan penataan batas pada areal kerja apakah sudah bisa mendapat legitimasi dari pemerintah tentang kepastian kawasan hutannya? Ataukah harus dilakukan penataan batas ulang? Alasan mendasarnya pada efisiensi biaya bagi kelompok masyarakat adat. Ataukah bila diharuskan untuk melakukan penataan batas areal kerja ulang tetapi dengan dukungan pendanaan dari pemerintah. Sebab sering yang menjadi pertimbangan dalam melakukan pendampingan masyarakat dalam usaha pengelolaan hutan lestari bersama masyarakat adat adalah efisiensi pendanaan dan waktu serta tenaga serta ketepatan informasi. Hal ini yang sering menjadi kendala atau masalah bagi masyarakat adat saat ini. b.
Kurangnya Tenaga Teknis (Ganis) dan Pengawas Tenaga Teknis (Wasganis) Pengesah LHP serta Tenaga Teknis (Pembuat LHP) di Kabupaten Kota Penatausahaan hasil hutan adalah suatu rangkaian kegiatan yang meliputi penatausahaan tentang perencanaan produksi, pemanenan atau penebangan, penandaan, pengukuran dan pengujian, pengangkutan/ peredaran dan penimbunan, pengolahan dan pelaporan. Suatu proses yang panjang dalam mengikuti aliran kayu, akan tetapi dalam setiap tahapan aliran kayu terjadi legalisasi dokumen oleh petugas-petugas tenaga teknis (Ganis) yang terlatih dan bersertifikat. Para Ganis ini mempunyai kualifikasi masing-masing sesuai dengan rantai alir kayu dari hutan (TPn) hingga ke industri. Ganis ada yang disiapkan oleh unit manajemen (perusahaan pemegang izin) dan ada juga Ganis yang disiapkan oleh pemerintah, dalam hal ini Dinas Kehutanan setempat. Masing-masing Ganis memiliki sertifikat dan kartu identitas sebagai Ganis. Pada beberapa tahun lalu, sebelum diterapkannya otonomi khusus di Papua, jumlah HPH/IUPHHK-HA di Papua cukup banyak, lebih dari 60 unit. Dan setelah pemekaran Papua dan Papua Barat, jumlah HPH/IUPHHK-HA di Papua menjadi berkurang dan hingga tahun 2011 lalu ada sekitar 31 unit HPH/IUPHHK-HA di Papua. Dari jumlah itu masih ada yang aktif dan ada juga yang stagnan atau belum beroperasi. Hal ini berkaitan dengan penugasan Ganis dan pengawas tenaga teknis (Wasganis) di unit-unit manajemen ini. Bila jumlah kecukupan Ganis dan Wasganis terpenuhi maka pelaksanaan penatausahaan hasil hutan di Papua akan lancar bila kurang, maka akan menghambat kelancaran usaha dari unit manajemen yang sedang berproduksi. Kenyataannya di Provinsi Papua, perbandingan Ganis yang tersedia dengan sekitar 31 unit manajemen HPH/IUPHHK-HA di Papua, terasa masih sangat kurang. Apalagi bila jumlah Ganis yang ada diharapkan dapat mendukung kebijakan pemerintah daerah dalam mendorong kelompok-kelompok masyarakat yang akan mengelola areal hutan adat
48
di tanah adat mereka melalui izin IUPHHK-MHA. Saat ini sudah ada 5 unit koperasi di Papua yang telah mendapatkan izin IUPHHK-MHA, tetapi tidak menutup kemungkinan pemerintah daerah provinsi akan memberikan atau mengeluarkan izin IUPHHK-MHA kepada kelompok masyarakat adat lain di Papua dan kecenderungan pengeluaran izin IUPHHK-MHA akan terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini akan menjadi permasalahan tersendiri bagi pemerintah untuk merencanakan dan mempersiapkan tenaga-tenaga Ganis dan Wasganis yang baru. Ganis dan Wasganis yang dipersiapkan oleh pemerintah c.q. Dinas Kehutanan setempat, telah memiliki kecakapan atau keahlian khusus pada bidangnya, sedangkan bagi HPH/IUPHHK-HA hanya mempersiapkan Ganis sesuai kebutuhan perusahaan. Ganis dan Wasganis yang dipersiapkan ditempatkan sesuai keahliannya dalam suatu sistem pengelolaan hutan lestari. Ada Ganis dan Wasganis yang ditempatkan dalam proses Penatausahaan Hasil Hutan, dan juga dalam bidang-bidang tertentu dalam kegiatan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL). Ketersediaan Ganis Pengelolaan Hutan Produksi Lestari sesuai dengan kualifikasi, maka dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 10 Ketersediaan GANISPHPL s/d Desember 2010
Kendala utama saat ini bagi pemegang IUPHHK-MHA adalah mempersiapkan tenaga teknis dalam perusahaan mereka (koperasi) secara mandiri. Hal ini disebabkan karena untuk memulai usaha pengelolaan hutan lestari dibutuhkan modal yang cukup besar bagi mereka sehingga saat ini dengan keterbatasan modal, pemegang izin IUPHHK-MHA belum dapat mengirimkan tenaga-tenaga mereka untuk dilatih pada pusat-pusat pelatihan resmi yang dimiliki oleh pemerintah. Oleh sebab itu diharapkan ada kerjasama diantara para pihak untuk juga melatih tenaga-tenaga masyarakat agar kelak menjadi Ganis di perusahaan masyarakat (koperasi) atau di IUPHHK lainnya di luar kampung mereka.
49
c.
Pengendalian dan Pengamanan Peredaran Hasil Hutan Kegiatan pengendalian dan pengamanan peredaran hasil hutan sangat perlu dilakukan di Papua saat ini. Hal ini disebabkan karena pada saat ini belum diterapkan kebijakan pengelolaan hutan lestari di Papua secara baik dan benar, sehingga telah terjadi “kebocoran-kebocoran” dalam hal peredaran hasil hutan. Banyak terjadi pemanfaatan kayukayu yang bersumber dari sumber yang tidak jelas, tetapi setelah diproses dalam industri pengolahan kayu, diberikan dokumen sah dan dapat dipasarkan keluar wilayah Papua. Praktek-praktek pemanfaatan hasil hutan kayu masih berorientasi kepada hanya jenis tertentu, seperti jenis Merbau (Intsia spp), dengan intensitas eksploitasi yang tinggi dapat menyebabkan kelangkaan jenis tersebut pada beberapa waktu ke depan. Selain itu, penggunaan dokumen-dokumen kayu tanpa mengetahui asal-usul kayu yang jelas, juga telah memberikan ruang terjadinya peredaran kayu ilegal yang dijual antar pulau di Indonesia dan bahkan diekspor ke luar negeri. Bagai satu mata rantai dalam peredaran hasil hutan kayu, kayu-kayu yang diangkut dari sumber yang tidak jelas, hanya dengan sejumlah uang yang dibayarkan kepada petugas pada pos-pos penjagaan, baik dari pos-pos kehutanan maupun pos-pos yang dibangun oleh POLRI dan TNI seperti yang terjadi di sepanjang jalan Sarmi – Jayapura, maupun jalur Lereh – Jayapura serta di beberapa tempat lain di Papua. Oleh sebab itu, dalam rangka mendorong praktek-praktek legal dalam pengelolaan hutan lestari di Papua ke depan, maka diperlukan suatu sistem PHPL yang legal dan transparan serta akuntabel yang dapat diketahui dan diterima semua pihak sehingga dapat meningkatkan pendapatan negara dari sektor kehutanan secara signifikan pada masamasa yang akan datang dengan memangkas biaya-biaya yang tidak diperlukan dan meningkatkan sumber-sumber penerimaan resmi di bidang kehutanan di Papua. Bila hal ini yang akan dituju, maka pengendalian dan peredaran hasil hutan, baik kayu maupun bukan kayu, perlu dilakukan berdasarkan peraturan yang benar dengan standar operasional prosedur (SOP) yang benar dengan petugas yang terlatih.
3.2.3 Permasalahan Lain Terkait Implementasi SVLK a.
Ketidaksesuaian Sistem Dengan Kondisi Papua Terkait Penatausahaan dan Peredaran Hasil Hutan Kayu untuk Masyarakat Pengelola IKR/IUPHHK-MHA Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2006 tentang Penataan Hasil Hutan yang Berasal dari Hutan Negara, Penatausahaan Hasil Hutan didefinisikan sebagai kegiatan yang meliputi penatausahaan tentang perencanaan produksi, pemanenan atau penebangan, penandaan, pengukuran dan pengujian,
50
pengangkutan/ peredaran dan penimbunan, pengolahan dan pelaporan. Penataan hasil hutan ini merupakan suatu rangkaian proses yang harus dilaksanakan dalam memenuhi aspek legalitas dari proses alir kayu dari hutan sampai ke konsumen. Penatausahaan hasil hutan dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dan pedoman kepada semua pihak yang melakukan usaha atau kegiatan di bidang kehutanan, sehingga penatausahaan hasil hutan berjalan dengan tertib dan lancar, agar kelestarian hutan, pendapatan negara, pendapatan masyarakat adat dan pemanfaatan hasil hutan secara optimal dapat tercapai. Ruang lingkup penatausahaan hasil hutan meliputi obyek dari semua jenis hasil hutan berupa kayu bulat, kayu bulat kecil, hasil hutan bukan kayu, hasil hutan olahan yang berasal dari perizinan sah pada hutan negara. Dalam kaitan dengan proses sertifikasi legalitas kayu maka semua prosedur/proses yang terdapat dalam tahapan-tahapan penatausahaan hasil hutan harus diikuti. Setiap tahapan dalam prosedur penatausahaan hasil hutan selalu diikuti oleh dokumen-dokumen legalitas kayunya. Suatu produk kayu dikatakan legal atau sah bila telah melalui berbagai tahapan dalam penatausahaan hasil hutannya. Dengan kata lain dalam SVLK, syarat-syarat kelengkapan administrasi sangatlah penting sebagai dokumen legal dari suatu unit manajemen. Sehingga tingkat kesiapan dari suatu unit manajemen/unit kelola sangat menentukan. Di sisi lain, dalam rangka pelaksanaan Otsus terdapat kegiatan-kegiatan atau usaha afirmasi yang dilakukan agar terjadi keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan orang asli Papua dalam segala tahapan pembangunan. Demikian halnya dalam pengelolaan hutan berkelanjutan di Papua, salah satu bentuk afirmasi adalah memberikan perlindungan terhadap orang asli Papua dalam melindungi usaha pengelolaan hutan mereka agar dapat dikelola secara lestari. Bentuk perlindungan yang dilakukan kepada masyarakat adat Papua dalam usaha IIUPHHK-MHA, dimana sistem pengelolaan hutan lestari pada hutan mereka harus tetap dijaga agar tidak ada intervensi dari para investor yang langsung masuk ke dalam hutan dan membeli kayu di dalam hutan (areal konsesi).39 Pada tingkat kesiapan masyarakat adat dalam menyambut kebijakan khusus dalam pengelolaan hutan lestari di Papua dengan skema SVLK, prosedurnya harus disesuaikan berdasarkan pertimbangan kondisi lokal di Papua dalam Otsus. Sebagai contoh, perlu penyederhanaan prosedural penatausahaan hasil hutan pada unit manajemen IUPHHKMHA karena pemegang izin ini adalah masyarakat adat Papua yang 39
Karena berdasarkan pengalaman masa lalu dengan Kopermas , para investor masuk jauh sampai kedalam hutan dan membeli kayu yang masih dalam keadaan berdiri (standing stock) dan memprosesnya sesuka mereka. Hal ini perlu dihidari dan tidak diulang untuk waktu sekarang. Kayu yang dihasilkan oleh IUPHHK-MHA haruslah berasal dari sumber kayu yang legal dan dikelola dalam suatu unit manajemen yang baik
51
tinggal di kampung. Keberadaan mereka di kampung dengan tingkat aksesibilitas yang kurang baik dan tingkat pendidikan yang belum terlalu baik, akan sangat mempengaruhi kualitas dan kinerja dari kelompok masyarakat adat tersebut dalam melaksanakan semua kegiatan dalam rantai prosedur penatausahaan hasil hutan. Karena bila memperhatikan syarat-syarat yang harus ada menjadi keharusan dalam prosedur penatausahaan hasil hutan maka sepertinya hanya dapat dilaksanakan oleh suatu unit manajemen yang sudah mapan dan padat modal. Selain itu, skala luasan kawasan dan orientasi bisnis dari IUPHHKMHA adalah hanya sampai pada produk kayu setengah jadi atau kayu olahan di dalam areal konsesinya. Sehingga rantai peredaran kayu atau kegiatan penatausahaan kayunya lebih pendek bila dibandingkan dengan mata rantai peredaran hasil hutan yang dilaksanakan oleh IUPHHK HA. Salah satu faktor penting yang menentukan mata rantai prosedur penatausahaan hasil hutan kayu adalah kecukupan modal usaha, sementara masyarakat adat tidak memiliki modal/kapital finansial yang cukup sehingga input peralatan yang digunakan adalah yang sesuai dengan kemampuan seperti mudah dalam hal pengoperasian dan perawatan alat. b.
Minimnya Pemahaman Terkait SVLK dan Kurangnya Pendampingan untuk Masyarakat Saat ini informasi tentang SVLK belumlah banyak diketahui oleh masyarakat adat di hampir seluruh tanah Papua, hanya sebagian kecil dari kelompok masyarakat yang telah mendengar dan bahkan mengetahui SVLK ini. Hal ini dikarenakan isu SVLK sendiri tergolong masih baru, walaupun proses dalam mempersiapkan sistem sertifikasinya juga telah digulirkan sejak beberapa tahun lalu. Dalam hubungannya dengan program pengelolaan hutan berkelanjutan di tanah Papua dimana telah diwajibkan kepada semua badan usaha/unit manajemen pengelolaan hutan lestari wajib memiliki SVLK agar produknya dapat dipasarkan baik dalam pasar lokal, pasar antar pulau dan bahkan pasar internasional. Kebijakan pengelolaan hutan lestari di Provinsi Papua, terutama bagi masyarakat adat Papua, tergolong masih baru sehingga perhatian kepada SVLK juga belumlah menjadi prioritas. Karena yang saat ini menjadi prioritas bagi kelompok masyarakat adat dengan IUPHHKMHAnya adalah membangun sistem pengelolaan hutan lestarinya dan pengorganisasian masyarakat adat. Sementara ketersediaan pendamping atau fasilitator yang bekerja dengan masyarakat di kampung terkait implementasi SVLK sangatlah minim, sehingga perlu mendapat pelatihan atau kursus yang intensif sebagai fasilitator dalam melakukan pendampingan.
52
c.
Kendala Biaya dan Peningkatan Kapasitas Terkait Implementasi SVLK Bagi Industri Menengah dan Kecil yang Memiliki Modal Usaha Terbatas. Membangun suatu unit manajemen pengelolaan hutan yang berorientasi kepada pengelolaan hutan lestari membutuhkan tingkat pendampingan yang intensif dimana semua tahapan dan prosedur pengelolaan hutan lestari harus dibangun sejak unit manajemen IUPHHK-MHA dibentuk. Hal ini sangat penting agar sistem pengelolaan hutannya terbangun sehingga juga akan membangun etos kerja dan tingkat kesadaran dari para pengelola IUPHHK-MHA. Selain itu perlu dipikirkan ke depan bagaimana perihal pembiayaan dalam proses SVLK yang bersifat mandatory ini untuk industri menengah dan kecil yang memiliki modal usaha terbatas.
3.3 Potret Kesiapan IUPHHK-MHA Dalam Implementasi SVLK (5 Studi Kasus)40 Untuk melihat sejauhmana kesiapan IUPHHK-MHA di dalam implementasi SVLK, maka tim memotret 5 kasus IUPHHK-MHA di Jayapura (KSU Lwagubin Srem dan KSU Jibogol), di Yapen (KSU Yera Asai), di Merauke (Kelompok Pengelolaan Hasil Hutan Mo Make Unaf) dan di Nabire (KSU Nuwoa Baru) dengan menggunakan instrumen pengumpulan data (selengkapnya instrumen ini dapat dilihat pada Lampiran 4). Hasilnya adalah sebagai berikut : 3.3.1 Penyiapan Kelembagaan Dalam membangun sebuah usaha, sudah seharusnya pengurus dan anggota dari unit pengelola IUPHHK-MHA menentukan arah langkah mereka untuk kurun waktu jangka panjang dan apa saja langkah untuk kurun waktu jangka pendek. Berkenan dengan hal ini, dalam membangun IUPHHK-MHA di Papua hendaknya diarahkan juga, baik oleh pendamping atau pihak pemerintah, agar dapat menentukan cita-cita mereka untuk jangka waktu tertentu. Merupakan suatu prasyarat keharusan dari pemegang izin IUPHHKMHA untuk menentukan apa visi mereka untuk jangka panjang, misalnya untuk 10 tahun atau 20 tahun, sesuai dengan masa izin konsesi mereka. Apa yang menjadi visi dari masing-masing pemegang IUPHHK-MHA ini kemudian dijabarkan menjadi misi. Dengan misi dari masing-masing pemegang izin IUPHHK kemudian dikonkritkan dalam berbagai aktivitas yang dilakukan dalam jangka waktu pendek, misalnya kegiatan dilakukan 40 Potret kesiapan IUPHHPK-MHA ini diambil berdasarkan kunjungan lapangan tim assessment ke-lima lokasi pengelolaan hutan oleh masyarakat hukum adat yang ditetapkan menjadi studi kasus. Lima kasus tersebut adalah Jayapura (KSU Lwagubin Srem dan KSU Jibogol), Yapen (KSU Yera Asai), Merauke (Kelompok Pengelolaan Hasil Hutan Mo Make Unaf) dan Nabire (KSU Nuwoa Baru).
53
per-tahun. Berdasarkan pengalaman tinjauan lapangan yang dilakukan oleh tim peneliti, dari 5 unit IUPHHK-MHA yang dikunjungi, ternyata hanya beberapa IUPHHK-MHA saja yang telah memiliki visi dan misi. Koperasi Serba Usaha (KSU) Jibogol misalnya, sebagai pemegang izin IUPHHK-MHA di Distrik Unurum Guay Kabupaten Jayapura, telah memiliki Visi : “Nen Abdekan Syaltan Handeb Naban” yang berarti “Bekerja bersama-sama memanfaatkan alam secara lestari sampai ke anak cucu”. Sedangkan Misi yang diemban oleh KSU Jibogol adalah : • •
• •
Menjalankan koperasi sebagai wadah bagi pemberdayaan ekonomi masyarakat adat Mengelola tanah ulayat sebagai sumber pendapatan dan kesejahteraan masyarakat adat, yang akan dikelola secara hati-hati, bertanggungjawab dan terus menerus sebagai warisan untuk anak cucu. Menjaga kepastian pemanfaataan sumberdaya hutan sebagai hak ulayat masyarakat dan berperan nyata dalam pembangunan. Melaksanakan sistem pengelolaan hutan lestari dengan bimbingan pemerintah dan pihak lainnya.
Koperasi sebagai pemegang izin IUPHHK-MHA dalam menterjemahkan visi dan misinya harus menyesuaikan bentuk kelembagaan dari IUPHHK-MHA yang dikelola. Hal ini diperlukan karena bentuk kelembagaan dan fungsi dari masing-masing posisi yang dibuat akan menjalankan aktivitas masing-masing untuk menjawab visi dan misi yang telah disepakati. Dalam kunjungan lapangan yang dilakukan oleh tim peneliti ke KSU Lwagubin Srem di Kampung Beneik, Distrik Unurum Guay, Kabupaten Jayapura, tim menemukan bentuk kelembagaan yang cukup representatif dalam mendukung usaha masyarakat dalam usaha pengelolaan hasil hutan secara lestari. Bentuk kelembagaan yang dibuat disesuaikan dengan rencana kerja yang akan dikelola ke depan. Bahkan untuk setiap posisi yang yang dibuat dalam kelembagaan di bawah diuraikan juga apa saja yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari masing-masing posisi tersebut. Adapun bentuk kelembagaan dari KSU Lwagubin Srem tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah.
54
Gambar 4 Struktur Organisasi Koperasi Serba Usaha Lwagubin Srem Kampung Beniek, Distrik Unurum Guay Kabupaten Jayapura RAPAT UMUM ANGGOTA Badan Pembina dan Pelindung
Badan Pengurus
Pendamping Teknis
MANAJER UPHHK
Badan Pengawas Koperasi
Tata Usaha
Bid. UMUM dan TUK
Dalam penyiapan Divisi Perencanaan Mandor perencanaan 1. Regu Tata Batas dan Perpetaan 2. Regu Inventarisasi 3. Regu Pembukaan Wilayah Hutan
Divisi
kelembagaan usaha Divisi Pembinaan Hutan
Produksi a. Kayu Bulat a.1. Mandor tebang a.1.1. Regu Tebang a.1.2. Regu Sarad a.1.3. Regu Angkut b. Industri b.1. Mandor Sawmill b.1.1. Operator Lucas Mill
Bid. Keuangan (Akunting)
Mandor Pembinaan Hutan 1. Regu Pesemaian 2. Regu Penanaman 3. Regu Pemeliharaan dan Perlindungan Hutan
Divisi Pengembangan SDM 1. Pendidikan dan Pelatihan 2. Penelitian dan Pengembangan
Divisi Pemasaran & Pengawasan 1. Pemasaran Hasil 2. Pengawasan Mutu
masyarakat adat sebagai pemegang izin IUPHHK-MHA aspek legalitas usaha sangatlah penting agar usaha yang sedang dibangun dan akan dijalankan oleh kelompok masyarakat adat ini dapat berjalan dengan baik sesuai dengan aturan yang berlaku. Dari hasil temuan dalam kunjungan lapangan yang dilakukan, hasil temuan yang diperoleh oleh tim peneliti di beberapa lokasi khususnya di Kabupaten Kepulauan Yapen, KSU Yera Asai, ternyata kelengkapan dokumen dalam memenuhi aspek legalitas usahanya belum selengkap beberapa kelompok masyarakat di kabupaten lain di Papua. Masyarakat Kampung Asai difasilitasi oleh Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua dalam membentuk sebuah unit manajemen masyarakat berbadan hukum koperasi yang diberi nama Koperasi Serba Usaha (KSU) Yera Asai. Pada saat didirikan koperasi ini memiliki anggota sebanyak 35 orang. Pada tanggal 14 Oktober 2009 koperasi ini mendapat pengesahan pendirian dari Dinas Koperasi Usaha Kecil Menengah, Industri dan Perdagangan Kabupaten Yapen dengan nomor pengesahan 148/BH/XXXII-10/2009, dengan tujuan : (1) meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup anggota pada khususnya dan masyarakat daerah kerja pada umumnya; dan (2) menjadi gerakan ekonomi rakyat serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional. Oleh karena pendampingan dari Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua dan Dinas Kehutanan Kabupaten Yapen, maka Koperasi Yera Asai telah melengkapi beberapa dokumen 55
persyaratan pengajuan permohonan IUPHHK-MHA dan sekaligus IUIPHHK-MHA. Pada tanggal 28 Januari 2011, Koperasi mengirimkan surat permohonan IUPHHK-MHA dan IUIPHHK-MHA disertai dengan dokumendokumen pendukungnya seperti akte koperasi, surat keterangan dan persetujuan dari ketua lembaga adat dan lain sebagainya. Selanjutnya pada 19 Juli 2011, Gubernur Provinsi Papua menyetujui permohonan Koperasi Yera Asai dengan menerbitkan Keputusan Gubernur Nomor 92 tahun 2011 tentang Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat (IUPHHK-MHA) Kepada Koperasi Yera Asai. Pada hari yang sama juga diterbitkan Keputusan Gubernur Papua No 98 Tahun 2001 tentang Pemberian Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu Rakyat Masyarakat Hukum Adat (IUIPHHKR-MHA) Kepada Koperasi Yera Asai. Selain itu, syarat lainnya yang sama pentingnya yang harus dimiliki oleh pemegang izin IUPHHK-MHA di Provinsi Papua agar koperasi masyarakat adat ini dapat menjadi badan usaha resmi yang dapat melakukan transaksi bisnis ke depan adalah NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) dan Tanda Daftar Perusahaan Koperasi (TDP-K). NPWP ini penting bagi masyarakat adat sebagai pengejawantahan dari pertanggungjawaban masyarakat adat terhadap negara dengan membayar pajak secara bertanggung jawab. Sedangkan TDP-K penting bila unit-unit koperasi sebagai pemegang IUPHHK-MHA akan melakukan transaksi bisnis, terutama kayu, dimasa yang akan datang, dokumen ini menjadi prasyarat dalam berbisnis. Selain itu dokumen SITU/SIUP yang diberikan oleh Bupati/Walikota juga menjadi prasyarat penting dalam melakukan bisnis. Sayangnya temuan lapangan menyatakan bahwa tidak seluruh IUPHHKMHA memiliki keseluruhan dokumen-dokumen tersebut di atas. Sebagaimana telah dijelaskan di atas terutama berdasarkan hasil tinjauan lapangan ke beberapa kelompok masyarakat pengelola kayu di Papua, ada beberapa temuan tim peneliti bahwa pada kasus legalitas usaha pengelolaan hutan lestari oleh masyarakat adat Papua dalam rangka Otonomi Khusus, terdapat beberapa tipe perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Izin kehutanan yang diberikan teridiri dari : a) Penyelenggaraan Hutan Tanaman Rakyat Masyarakat Hukum Adat (HTR-MHA), b) Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat (IUPHHK-MHA), c) Petunjuk Pelaksanaan Pemanfaatan Kayu Limbah Pembalakan, d) Tata cara Perizinan Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu, dan Petunjuk Pelaksanaan Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu (IPHHK). Semua jenis perizinan ini haruslah dikaji dengan baik agar dalam pelaksanaannya tidak terjadi saling kontradiktif. Hal ini disebabkan karena visi utama dari pembangunan kehutanan di Papua, juga merupakan cita-cita yang sama dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kehutanan di Indonesia, yaitu pengelolaan hutan yang lestari sehingga masyarakat yang hidup di dalam maupun di sekitar hutan menjadi sejahtera. Hendaknya semua jenis perizinan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Papua harus berorientasikan kepada kelestarian produksi, sosial dan lingkungan. Bila disimak pada berbagai jenis perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah provinsi maka yang berpeluang besar mendapat perhatian dalam 56
pengelolaan intensif adalah tipe izin IUPHHK-MHA. Sebagai tindak lanjut dari peraturan tentang IUPHHK-MHA yang dikeluarkan oleh Gubernur Papua (Peraturan Gubernur Papua Nomor 13 Tahun 2010 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat, tanggal 18 November 2010) maka Gubernur telah mengeluarkan beberapa surat keputusan tentang pemberian izin IUPHHK-MHA kepada 5 (lima) koperasi di Papua. Adapun kelima koperasi yang menerima izin IUPHHK-MHA dari Gubernur papua adalah : a) Koperasi Serba Usaha (KSU) Lwagubiun Srem Jayapura, b) KSU Yera Asai- Kepulauan Yapen, c) KSU Jibogol-Jayapura, d) KSU Mo Make Unaf-Merauke dan e) Kopermas Tetom Jaya – Sarmi. Izin IUPHHK-MHA diberikan dalam paket kebijakan secara bersamaan dengan Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu Rakyat (IUIPHHKR). Hal ini merupakan hal-hal yang khusus hanya terjadi dan dilaksanakan di Papua. Dengan kebersahajaan orang asli Papua Pemerintah Daerah Papua memberikan sentuhan-sentuhan kebijakan yang bersifat afirmatif dalam mengantar masyarakat adat Papua untuk berpikir dan melaksanakan prinsipprinsip pengelolaan hutan lestari di Indonesia khususnya di Papua dengan kondisi dan karakteristik yang khas atau khusus di Papua. Pemberian izin IUPHHK-MHA dan IUIPHHKR diberikan hanya kepada masyarakat adat Papua pemilik hak adat atas wilayah adat tersebut dan yang tinggal dikampungnya. Sehingga kepastian usaha mereka di atas teritori adat mereka sendiri. Kepemilikan tanah adat adat dalam kampung tersebut harus juga dilakukan pemetaaan partisipatif di wilayah tersebut untuk mendapat legitimasi dai marga pemilik hak adat dalam kampung yang wilayah kepemilikannya termasuk dalam rencana pengelolaan hutan lestari dalam kampung mereka. Pengelolaan hutan lestari di Papua telah bergaung dan telah mendapatkan tanggapan serius dari berbagai lapisan masyarakat adat namun dalam mengaktualisasikan program pengelolaan hutan lestari bersama masyarakat adat di Papua saat ini masih berifat sporadis dan belum terarah dengan baik. Agar memadukan semua perencanaan dari setiap tahapan dalam rencana pengelolaan sampai dengan produksi maka Pemerintah Daerah Provinsi Papua c.q. Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua pada tanggal 18 Maret 2011 telah mengeluarkan Peraturan Kepala Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua Nomor: SK.522.1/1185 tentang Petunjuk Teknis Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat. Walau pun kebijakan ini telah dikeluarkan pada bulan November tahun 2011, namun kebijakan ini baru secara resmi di berikan kepada publik pada saat diadakannya Rapat Koordinasi Pembangunan Kehutanan Provinsi Papua pada bulan April di Asmat, Papua. Sehingga bila diharapkan kebijakan ini menjadi panduan atau rujukan dalam menyusun rencana pengelolaan hutan dalam waktu dekat belum bisa berharap banyak karena kebijakan ini harus disosialisasikan lebih luas agar dapat diketahui dan dipahami dengan baik oleh segenap pemangku kepentingan yang terlibat dalam pembangunan kehutanan lestari di Papua. Distribusi pengetahuan dan informasi tentang syarat minimum yang harus dipunyai oleh sebuah badan usaha koperasi masyarakat agar dapat 57
mengelola hutan lestari secara legal masih belum merata, sebagai misal, apakah untuk memproduksi kayu secara legal dan dapat dipasarkan secara legal cukup dengan memiliki dokumen koperasi (badan hukum/akte koperasi saja, atau masih harus diusahakan untuk mendapatkan dokumen lain seperti SITU/SIUP, Tanda Daftar Perusahaan Koperasi , dan dokumen pendukung lainnya. Ternyata bahwa tidak cukup dengan hanya memiliki badan hukum koperasi. Potret keadaan ini terlihat jelas pada koperasi KSU Yera Asai, KSU Jibogol, KSU Mo Make Unaf dan KSU Nuowa Baru. Sedangkan untuk 2 (dua) koperasi KSU Lwagubin Srem dan Kopermas Tetom Jaya, sudah memiliki beberapa dokumen yang disebutkan di atas. Dari hasil rekaman komunikasi yang dilakukan dengan masyarakat di wilayah kerja KSU Lwagubin Srem ternyata bahwa kelompok masyarakat ini masih menunggu dokumen kayu berupa Faktur Angkutan Kayu Olahan Rakyat (FAKOR) agar mereka dapat berproduksi dan dapat menjual hasil hutan kayu mereka dengan sah (legal). Agar sistem yang dibangun dalam pengelolaan hutan lestari di Papua dapat berjalan dengan baik dan dapat dikelola secara mandiri oleh kelompokkelompok masyarakat adat Papua melalui fasilitas perizinan yang ada, maka perlu dipikirkan tentang ketersediaan Ganis pada setiap pemegang IUPHHKMHA. Karena belum seluruh pihak terkait memahami perannya dalam SVLK, kecuali pihak perusahaan IUPHHK, Industri Primer Kehutanan, Dinas Kehutanan dan Koperasi yang bergerak di bidang pengolahan kayu, terutama mereka yang terlibat langsung dalam penatausahaan dan pengawas peredaran kayu (Ganis dan Wasganis). Mereka memahaminya karena dalam setiap pelatihan penyegaran Ganis dan Wasganis, perkembangan regulasi terbaru terkait dengan penatausahaan dan peredaran hasil hutan selalu disampaikan oleh instruktur. Akan tetapi bagi pemegang IUPHHK-MHA, hal-hal mengenai ketersediaan Ganis maupun Wasganis belum menjadi prioritas dalam rencana-rencana jangka pendek mereka karena konsentrasi berpikir mereka adalah bagaimana memobilisasi tenaga kerja di kampung dan bagaimana mengorganisir modal kerja. Sehingga hal-hal mengenai ketersediaan ganis dan wasganis sering dipikirkan sepihak oleh pemerintah daerah, c.q. Dinas Kehutanan Kabupaten dan Provinsi saja. Kondisi ini harus serius dipikirkan juga oleh para pemegang izin IUPHHK-MHA karena dalam SVLK, kecukupan Ganis dan Wasganis juga menjadi salah satu item penilaian oleh para auditor. 3.3.2 Penataan Kawasan Dalam konsep pengelolaan hutan lestari, penataan kawasan hutan perupakan tahapan proses yang sangat penting karena pada tahapan proses perencanaan dilakukan agar dapat diperoleh hasil yang optimum. Penataan kawasan hutan dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang potensi dan keadaan hutan serta cara-cara menentukan pengaturan pemanfaatan serta pembinaan hutan agar diperoleh hasil hutan
58
secara optimum dan berkelanjutan atau lestari.41 Dari hasil penelusuran dokumen dan informasi dari beberapa kelompok masyarakat pemegang izin IUPHHK-MHA yang dikunjungi oleh tim peneliti, ternyata bahwa ada beberapa KSU pemegang izin IUPHHK-MHA yang telah memiliki kemajuan dalam kegiatan penataan kawasan hutan. Salah satu tahapan yang telah dilakukan oleh beberapa KSU diantaranya pemetaan partisipatif yang dilakukan pada kawasan hutan yang akan dikelola. Pemetaan partisipatif merupakan salah satu syarat keharusan dalam pengelolaan hutan bersama masyarakat di era otsus. Kegiatan pemetaan partisipatif ini diantaranya telah dilakukan oleh KSU Lwagubin Srem, KSU Jibogol dan KSU Mo Make Unaf. Pada areal yang telah dilakukan pemetaan partisipatif kemudian dilanjutkan dengan melakukan analisis kawasan hutan bernilai konservasi tinggi atau High Conservation Value Forest (HCVF).42 Dengan menggunakan alat HCVF, maka pembuatan perencanaan kawasan hutan lestari dari IUPHHK-MHA akan jauh lebih mudah. Karena dengan pendekatan perencanaan kawasan berbasis HCVF, pengelola IUPHHK-MHA lebih mudah merencanakan areal efektif dalam ‘konsesi’nya yang dapat dikelola secara lestari setelah mengeluarkan areal hutan yang memiliki nilai konservasi tinggi. Areal hutan yang memiliki nilai HCVF kemudian dibuatkan perencanaan untuk mengelola kawasan tersebut. Untuk areal efektif hutan yang dapat dikelola di atasnya dibuatkan perencanaan pengelolaan hutan lestari untuk kelola produksi, sedangkan pada areal hutan bernilai konservasi tinggi akan dibuatkan rencana kelola sosial dan lingkungan. Dari hasil kajian yang dilakukan oleh tim pada pemegang izin IUPHHK-MHA, ternyata hanya 2 (dua) KSU yang telah melakukan analisis 41
Menurut Wanggai, F (p. 126, 2009), disebutkan bahwa pada dasarnya penataan kawasan hutan adalah satu kesatuan kegiatan yang terdiri atas penataan batas, inventarisasi hutan, pembagian hutan, pembukaan wilayah hutan serta pengukuran dan perpetaan. Adapun hasil yang diperoleh dari kegiatan penataan kawasan hutan dapat dicirikan sebagai berikut : a. Memiliki batas-batas luar dan batas-batas dalam yang jelas serta permanen; b. Terbagi ke dalam petak-petak dengan batas-batas yang permanen; c. Memiliki sarana dan prasarana yang memadai berupa jalan-jalan angkutan, jembatan, tempat penimbunan kayu, kantor-kantor dan sarana lain yang diperlukan; d. Memiliki identitas, baik di lapangan maupun di dalam peta dan sifat-sifat atau keadaan dari setiap petak atau kesatuan pengelolaan terkecil lain yang dibuat; e. Seluruh batas, fasilitas dan sifat-sifat lain yang diperlukan dalam seluruh kesatuan pengusahaan hutan itu telah diukur dan dipetakan serta hasilnya disajikan dalam peta-peta yang diperlukan sebagai panduan dalam pelaksanaan kegiatan; f. Memiliki dokumen rencana penataan kesatuan pengusahaan hutan yang memuat uraian kegiatan-kegiatan, seperti penetapan batas-batas, penetapan luas dan batas-batas bagian serta penetapan jumlah, luas dan batas-batas petak yang terdapat dalam kesatuan pengusahaan hutan tersebut (Wanggai, F dalam Pedoman TPTI, 1989) 42 HCVF merupakan prinsip ke-9 dari lembaga sertifikasi hutan Forest Stewardship Council (FSC). HCVF diperkenalkan pada tahun 1999 untuk menghindari perdebatan konservasi hutan atau perdebatan tentang metode pembalakan. Pada hakekatnya hutan bernilai konservasi tinggi atau High Conservation Value Forest (HCVF) merupakan hakekat prinsip atau nilai-nilai konservasi tinggi atau yang disebut High Conservation Value’s (HCV’s).
59
HCVF, yaitu KSU Lwagubin Srem dan KSU Jibogol. Sedangkan beberapa KSU lainnya belum melakukan analisis HCVF pada kawasan hutan kelola mereka. Selain itu, masih terkait penataan kawasan, beberapa masalah seputar peta menjadi salah satu isu. Seperti diketahui bahwa perencanaan hutan yang akan dilaksanakan oleh pemegang izin IUPHHK-MHA dituangkan dalam peta areal kerja. Namun belum ada standar baku yang dapat digunakan oleh para pemegang izin IUPHHK-MHA dalam pembuatan peta, sehingga masing-masing pemegang Izin IUPHHK-MHA membuat petanya sendiri untuk dilampirkan pada SK Gubernur Papua untuk jenis perizinan IUPHHK-MHA. Namun sering skala peta yang dicantumkan tidak sesuai dengan skala peta saat pencetakan peta. Demikian halnya dengan standar penggunaan warna tidak konsisten karena ketiadaan referensi pemberian warna pada peta. Berhubungan dengan peta areal kerja, dari hasil kajian yang dilakukan, ternyata tidak semua pemegang izin IUPHHK-MHA telah memiliki peta areal kerja. KSU Nuwoa Baru sampai dengan saat ini belum memiliki peta areal kerja. Padahal dari segi kekuatan yang dimiliki oleh KSU ini, dimana koperasi ini telah menerima 1 (satu) unit Portable Sawmill merek Lucas Mill dan hibah modal usaha dari pemerintah daerah c.q. Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua, tetapi belum memiliki perizinan IUPHHK-MHA. Sebaliknya KSU Jibogol di Distrik Unurum Guay Kabupaten Jayapura, telah memiliki izin IUPHHK-MHA dan IUIPHHKR dimana peta areal kerja menjadi lampiran pada izin tersebut, namun tidak memperoleh peralatan Portable Sawmill dan belum memiliki dana untuk modal usaha mereka dari Pemerintah Daerah. Dari informasi yang terekam dalam kajian yang dilakukan oleh tim, hanya KSU Lwagubin Srem yang telah menyusun RKU (Rencana Karya Umum) untuk rencana pengelolaan hutan selama 20 tahun. Akan tetapi dalam kebijakan yang dikeluarkan oleh Gubernur Papua melalui Peraturan Gubernur yang ada, ternyata izin pengelolaan yang diberikan hanyalah selama 10 tahun dan akan diperpanjang kembali pada 10 tahun berikutnya. Berdasarkan kebijakan tersebut maka perlu ada kajian yang lebih intensif dan holistik untuk merekomendasikan sistem silvikultur untuk kasus IUPHHKMHA. Terkait penyusunan Rencana Karya Tahunan (RKT) bagi setiap pengelola hutan lestari, yang menjadi syarat keharusan bagi pemegang IUPHHK-MHA untuk melakukan Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (ITSP)43, dari hasil kajian lapangan, ternyata KSU Lwagubin Srem telah melakukan kegiatan ITSP tetapi baru pada sebagian petak tebangan tahunan sedangkan sebagian lainnya belum dilakukan karena kendala pendanaan. 43
Inventarisasi hutan untuk ITSP manggunakan Intensitas Sampling 100%. Hasil inventarisasi ini akan dipakai untuk melakukan perencanaan dan penyusunan detail RKT
60
Sebagai rangkaian kegiatan penataan kawasan, penataan batas merupakan satu hal penting lain. Penataan batas merupakan kegiatan yang perlu dilakukan untuk mendapatkan areal kelola secara definitif di lapangan. Semua kegiatan pembalakan akan terjadi dalam areal definitif tersebut di lapangan. Dari hasil kajian yang dilakukan, ternyata hanya KSU Lwagubin Srem yuang telah melakukan kegiatan penataan batas. Akan tetapi kegiatan tata batas yang dilakukan belumlah maksimal karena keterbatasan pendanaan sehingga penataan batas ini baru dilakukan pada areal hutan yang direncanakan sebagai areal RKT. Kegiatan penataan batas dilakukan sebagai suatu rangkaian dalam Penataan Areal Kerja, dimana tim survey tata batas akan dilakukan dengan dukungan pendampingan teknis dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) wilayah X Papua. Tetapi pada proses penataan batas dan inventarisasi hutan yang dilakukan oleh pemegang IUPHHK-MHA telah menggunakan Ganis pendamping yang berasal dari Dinas Kehutanan Kabupaten setempat tetapi juga Ganis yang berasal dari Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Manokwari, dan Fakultas Kehutanan UNIPA Manokwari. Dalam perencanaan kawasan hutan, rencana pembangunan jalan dalam areal kerja merupakan syarat mutlak dalam pengelolaan hutan. Semua proses pembalakan yang terjadi untuk mengeluarkan kayu, diperlukan kendaraan penyarad, dan pengangkut, sehingga diperlukan pembuatan jalan hutan. Hal ini biasa terjadi dalam perusahaan pemegang izin HPH/ IUPHHK-HA, dengan skala usaha yang besar. Tetapi dalam kebijakan khusus yang dikeluarkan melalui Peraturan Gubernur Papua, untuk jenis izin IUPHHKMHA, tidak diperkenankan menggunakan peralatan berat. Sepintas lalu tampak bahwa kebijaan ini cukup baik karena dapat mengurangi dampak kerusakan lingkungan yang cukup berat di lapangan. Akan tetapi apabila diterapkan dalam waktu yang lama, tampaknya implementasi kebijakan ini kurang atau bahkan tidak efisien dan juga tidak manusiawi. Karena dengan jarak pikul yang jauh dan medan yang cukup sulit akan terasa sangat berat bagi para pemegang izin IUPHHK-MHA. Untuk tahap awal mungkin akan mudah bagi pemegang izin IUPHHK-MHA untuk mem-plot-kan rencana RKT-nya pada kawasan hutan yang terletak dekat dengan jalan umum. Tetapi akan semakin berat bila areal hutan yang menjadi rencana RKT-nya terletak semakin jauh dari fasilitas jalan umum. Sebagaimana diketahui bahwa kondisi topografi Papua yang sangat bervariasi mulai dari topografi yang datar hingga topografi yang berat dengan kondisi lapangan yang bergelombang berat (bergunung-gunung). Oleh sebab itu dalam beberapa tahun kedepan, setelah diberlakukannya izin IUPHHK-MHA ini, maka perlu dilakukan pengkajian yang lebih komprehensif untuk memberikan solusi dalam rencana penggunaan jalan angkut dalam hutan kepada pemegang IUPHHK-MHA.
3.3.3 Peran dan Dukungan Multipihak Dalam perjalanan pendampingan bagi koperasi pemegang izin 61
IUPHHK-MHA, sejak awal perjalananya ada komitmen atau kesepakatan diantara para pemangku kepentingan dalam pengelolaan hutan yang lestari, untuk menjadikan Koperasi/Kopermas pemegang izin IUPHHK-MHA sebagai contoh pengelolaan yang lestari oleh Mayarakat Adat di Papua. Beberapa pihak yang selama ini memiliki peran dalam mendukung IUPHHKMHA adalah : a.
Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua dan Dinas Kehutanan Kabupaten Dinas Kehutanan Provinsi Papua dan Dinas Kehutanan di beberapa Kabupaten seperti Kabupaten Jayapura, Nabire dan Kabupaten Kepulauan Yapen sangat antusias dengan pengelolaan hutan oleh masyarakat bahkan memberikan dorongan agar masyarakat juga mendapat akses untuk mengelola hutan. Hal ini dibuktikan dengan beberapa kebijakan daerah yang secara hukum memberikan hak pengelolaan juga kepada masyarakat. Selain kebijakan daerah, Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua telah memfasilitasi beberapa koperasi di Papua dengan memberikan beberapa unit portable sawmill merek Lucasmill serta masing-masing kelompok diberikan 1 (satu) unit chainsaw dan sejumlah dana sebagai modal kerja. Selain itu, demi meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia dari pengurus Koperasi/KSU sebagai pemegang izin IUPHHK-MHA, Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua bekerjasama dengan BPPHP Wilayah XVII Papua mengadakan pelatihan Ganis Kehutanan dan memberikan sertifikat kepada peserta latih yang berasal dari masyarakat adat maupun yang berasal dari perusahaan-perusahaan di Papua. Dalam rangka peningkatan Ganis dan Wasganis, Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua masih terus merencanakan pelatihan Ganis dan Waganis kehutanan untuk tahuntahun yang akan datang. Langkah ini diambil sebagai tanggung jawab pemerintah untuk memenuhi kecukupan Ganis dan Wasganis pada pemegang izin IUPHHK-MHA di Papua. Untuk menambah wawasan dalam pengelolaan hutan lestari, pada bulan Desember 2011, Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua juga telah memfasilitasi perkunjungan anggota pengurus Koperasi pengelola hutan adat di Papua ke Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL) di Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Dalam kunjungan terjsebut, peserta diarahkan untuk mempelajari proses pendampingan yang dilakukan oleh LSM pendamping dan apa saja yang telah dilakukan oleh anggota koperasi dalam mengelola hutan tanaman lestari di Konawe Selatan. Selain sistem pengelolaan lestari yang telah dilakukan, juga peserta diarahkan untuk mempelajari proses pengolahan kayu jati di industri milik koperasi.
b.
Dinas Koperasi Usaha Kecil dan Menengah Provinsi Papua Dinas Koperasi Usaha Kecil dan Menengah Provinsi Papua juga telah 62
memberikan dukungan baik moril dan materil bagi kopermas ini. Dari segi kebijakan yang lahir adalah dengan mengacu pada Keputusan Menteri Koperasi Pengusaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia sesuai SK Menkop PKM No 014/BH/KDK.26.1/I/1999 tanggal 07 Januari 1999 tentang Pengesahan Akte Pendirian Koperasi. Sebagai konsekuensi dengan keluarnya keputusan menteri tersebut, Dinas Koperasi Usaha Kecil dan Menengah membangun programprogram pembinaan bagi kopermas-kopermas termasuk beberapa Kopermas/KSU sebagai pemegang izin. Namun belum ada dukungan materiil, seperti yang sudah diberikan oleh Dinas Koperasi UKM kepada koperasi-koperasi yang akan menjadi model, sampai dengan saat ini. Belum ada kegiatan pelatihan manajemen koperasi yang diberikan oleh Dinas Koperasi kepada pengurus KSU/Kopermas sebagai pemegang izin IUPHHK-MHA. Akan tetapi pada tahun 2003, Dinas Koperasi Provinsi pernah memberikan sejumlah peralatan dan modal kerja kepada beberapa Kopermas di Papua, diantaranya beberapa unit portable sawmill merek Peterson kepada beberapa kelompok Kopermas yang disertai masingmasing 1 (satu) unit chainsaw dan sejumlah uang sebagai modal kerja. Pada tahun yang sama, Dinas Koperasi PKM Provinsi Papua juga mendanai suatu proses belajar dengan mengadakan perkunjungan ke beberapa site di Papua New Guinea yang telah memiliki sertifikat Ecolabel yang diterbitkan oleh FSC, untuk menambah wawasan dari para pengurus Kopermas. c.
Balai Sertifikasi Penguji Hasil Hutan (BSPHH) Wilayah XVII Papua Keberadaan Balai Sertifikasi Penguji Hasil Hutan (BSPHH) Wilayah XVII Papua sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan Departemen Kehutanan di daerah penting untuk melaksanakan Sertifikasi Personel Penguji dan Pengawas Penguji Hasil Hutan, Penilaian Sarana dan Metode Pengujian Hasil Hutan, penerapan PHPL serta pengembangan Sistem Informasi Hasil Hutan atau secara garis besar disebutkan sebagai pengembangan profesionalisme Penguji Hasil Hutan dan Pengawas Penguji Hasil Hutan serta penerapan Sistem PHPL. Terkait dengan perannya tersebut, maka BSPHH wilayah XVII Papua terlibat dalam pemberian materi pada pelatihan Pengelolaan Hutan Lestari. Konkritnya instansi ini melatih masyarakat adat pemilik ulayat sebagai pemegang izin IUPHHK-MHA agar dapat mengukur kubikasi kayu secara tepat, baik berupa volume kayu log, maupun volume kayu gergajian. Hal ini dilakukan sebab pengetahuan ini merupakan suatu kebutuhan yang sangat diperlukan oleh masyarakat agar dapat mengetahui kubikasi kayu dan bila dikonversi dengan nilai uang berapa nilai uang yang dapat mereka terima. Terlebih lagi, menyediakan Ganis kehutanan di setiap unit manajemen, 63
terutama pemegang IUPHHK-MHA merupakan suatu syarat keharusan untuk setiap unit manajemen agar tujuan pengelolaan hutan lestari dapat terwujud. Oleh sebab itu, pada beberapa kegiatan pada beberapa tahun lalu, BPPHP bersama dengan Dinas Kehutanan dan Konservasi Papua dan WWF Indonesia, telah mengadakan beberapa pelatihan ganis untuk mendapatkan keahlian dalam berbagai bidang yang dibutuhkan dalam pemenuhan ganis pada beberapa pengurus kopermas/KSU sebagai pemegang IUPHHK-MHA di Papua. d.
Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah X Papua Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah X Papua juga berperan aktif dalam mendukung dan mendorong kebijakan Pemerintah Provinsi Papua dalam upaya pengelolaan hutan lestari bersama masyarakat adat Papua. Sebagai bukti komitmennya, BPKH wilayah X Papua telah terlibat dalam beberapa kegiatan pelatihan manajemen hutan lestari di areal konsesi pemegang izin IUPHHK-MHA, seperti yang dilakukan di areal konsesi KSU Lwagubin Srem. Konkritnya ada beberapa staf BPKH wilayah X Papua yang dilibatkan, baik dengan mengirim stafnya untuk melatih masyarakat tentang teknik penggunaan peralatan survey, dan juga terlibat kegiatan tata batas. Karena kepastian kawasan bagi pemegang IUPHHK-MHA sangatlah perlu untuk menjamin pengelolaan hutan lestari kedepan. Dalam pekerjaan-pekerjaan kartografis juga BPKH wilayah X Papua terlibat, dan akan terlibat dalam pekerjaan-pekerjaan pemetaan partisipatif ke depan, terutama yang berkaitan dengan pemetaan tanah adat pada beberapa kelompok masyarakat adat pemegang izin IUPHHK-MHA. Pada tahun 2002-2004, BPKH Wilayah X Papua telah terlibat aktif bersama beberapa LSM di Papua dalam beberapa kegiatan pemetaan partisipatif tanah-tanah adat dari beberapa kelompok masyarakat adat di Papua.
e.
Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Manokwari Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Manokwari memiliki komitmen yang besar dalam mendukung dijadikannya KSU Lwagubin Srem sebagai contoh pengelolaan hutan produksi lestari di Papua. BPK Manokwari selalu terlibat dalam kegiatan pendampingan selama ini yang dilakukan oleh pt. PPMA sebagai pendamping masyarakat adat suku besar Orya di Distrik Unurum Guay, baik dalam kegiatan pengkajian maupun pelatihan yang diadakan oleh pt.PPMA Papua. Hal ini sesuai dengan tugas pokok dan fungsi dari BPK adalah melakukan pengkajianpengkajian di bidang kehutanan. Untuk mewujudkan pengelolaan hutan produksi lestari di Papua, khususnya di KSU Lwagubin Srem, BPK Manokwari dan Fahutan UNIPA serta Dinas Kehutanan Kabupaten Jayapura merupakan mitra
64
strategis yang akan terlibat dalam proses sertifikasi kedepan. Sebagai wujud komitmen antar para pihak yang terlibat maka akan dibangun kerjasama pengelolaan hutan multipihak. f.
Universitas Negeri Papua – Manokwari Universitas Negeri Papua (UNIPA) sebagai salah satu Perguruan Tinggi yang memiliki Fakultas Kehutanan di Papua juga terlibat dalam mendukung proses pengelolaan hutan lestari bersama masyarakat adat di Papua. Sebagaimana BPK Manokwari, UNIPA juga berperan sebagai lembaga ilmiah yang akan telibat dalam mendorong proses sertifikasi pada unit-unit manajemen IUPHHK-MHA di Papua. Sebagai bukti nyata dan komitmennya, staf-staf Unipa sering terlibat dalam pelatihan-pelatihan yang difasilitasi oleh pt.PPMA, WWF Indonesia, maupun lembaga lain terutama dalam hal pengelolaan hutan alam produksi lestari. Dalam membangun sistem dan kajian-kajian ilmiah tentang model pengelolaan hutan lestari berbasis masyarakat adat di Papua, Fahutan UNIPA akan terlibat bersama beberapa pemangku kepentingan yang lain.
g.
Masyarakat Adat (Lembaga Musyawarah Adat) Sebagai pemilik atas hutan-hutan secara adat, terutama masyarakat adat yang mempunyai hak adat yang terdapat dalam areal yang mendapat izin pengelolaan dari Gubernur Papua, beberapa koperasi sebagai pemegang izin IUPHHK-MHA juga mendukung pengelolaan hutan yang berkelanjutan karena menurut mereka hutan harus tetap ada agar mereka dapat berburu, dapat mengambil bahan bangunan dan juga dapat memperoleh nilai ekonomi dari hasil kayu dan hasil hutan bukan kayu yang dapat dijual.
h.
Lembaga Swadaya Masyarakat Lembaga-lembaga non pemerintah seperti LSM, khususnya yang bergerak dalam bidang lingkungan dan penguatan kapasitas masyarakat adat dan pengembangan ekonomi rakyat telah terlibat dan memiliki komitmen untuk mendorong pengelolaan hutan secara berkelanjutan di Papua. Untuk menambah wawasan bahwa pengelolaan hutan lestari dapat dilakukan oleh masyarakat adat maka telah diadakan kunjungan ke negara tetangga Papua New Guinea (PNG) untuk melihat dari dekat bagaimana praktek-praktek pengelolaan hutan oleh masyarakat adat yang dilakukan di PNG yang mengarah ke sertifikasi hutan dengan menggunakan sistem sertifikasi yang dikembangkan oleh FSC. Kunjungan ini difasilitasi oleh Forum Ecoforestry Papua (baru diinisiasi pada saat itu yang terdiri dari beberapa LSM, seperti WWF Indonesia Region Sahul Papua, YPPWP, pt.PPMA Papua, MFP-DFID) bekerjasama dengan Papua New Guinea 65
Eco-Forestry Forum. Sharing pengalaman dengan melakukan kunjungan silang, walaupun cukup mahal, tetapi ini merupakan sarana belajar yang sangat efektif untuk menumbuhkan etos kerja yang baik. Terlebih dari itu, ini berguna untuk media belajar yang efektif dan membuka wawasan bagi pemegang izin IUPHHK-MHA di Papua dalam hal pengelolaan hutan lestari. Peran utama yang dimainkan oleh LSM adalah memfasilitasi dan memediasi antara Kopermas/koperasi KSU dan Pihak Pemerintah dan pelaku pasar. Demikian juga secara bersama-sama dengan Pemerintah Daerah dan DPRP akan mendorong lahirnya kebijakan daerah yang mengakomodir pengelolaan hutan secara lestari oleh masyarakat adat di Papua. Saat ini peran LSM cukup besar dalam mendorong proses-proses pengelolaan hutan lestari di Papua. WWF Indonesia Regio Papua bersama Dinas Kehutanan dan Konservasi Papua serta UPT Kementerian Kehutanan terkait, seperti BPPHP wilayah XVII Papua, BPKH Wilayah X Papua, dalam mendorong pelatihan-pelatihan dan pendampingan kepada kelompok masyarakat adat Papua sebagai pengelola Kopermas/KSU dalam meningkatkan SDM mereka sebagai Ganis kehutanan. Demikian halnya dengan beberapa LSM lain, seperti pt.PPMA Papua yang mengorganisir dan menginisiasi terbentuknya beberapa koperasi masyarakat adat sebagai dengan mendorong pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan di wilayah/teritori adat mereka masingmasing. Pintu masuk yang ditempuh adalah melalui kegiatan pemetaan partisipatif tanah adat dari kelompok masyarakat adat Papua dan dilanjutkan dengan kegiatan perencanaan wilayah adat dan dilanjutkan dengan inventarisasi potensi partisipatif dalam wilayah kelola masyarakat adat. Dan satu hal pokok yang dilakukan adalah proses pengorganisasian masyarakat adat Papua pada beberapa kelompok masyarakat pengelola Kopermas/KSU dalam melakukan reorientasi pengelolaan sumberdaya alam agar berorientasi kepada asas-asas keberlanjutan (sustainability). 3.3.4 Monitoring dan Evaluasi Kegiatan monitoring dan evaluasi perlu dilakukan dalam pengelolaan hutan lestari yang dilakukan terhadap sistem yang dibangun. Pada masa lalu, pada saat masih ada praktek pemanfaatan hutan oleh masyarakat adat Papua dengan menggunakan izin IPKMHA, maka yang bertugas untuk melakukan monitoring atau pengawasan terhadap semua kegiatan pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh para pemegang izin IPKMHA adalah Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota. Namun tingkat implementasi kegiatan monitoring di tingkat tapak sangat rendah.44 44 Tokede, et al (2005) dan Yufuai (2006) dalam Tokede, et al (2008) melaporkan bahwa implementasi pembinaan dan pengawasan yang rendah oleh instansi teknis tersebut disebabkan oleh berbagai faktor antara lain : tenaga dan biaya operasional lapangan kurang
66
Pada saat ini, sistem monitoring dan evaluasi yang telah dibangun oleh pemerintah daerah Provinsi Papua melalui Peraturan Gubernur Provinsi Papua Nomor 13 Tahun 2010 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Papua, disebutkan bahwa Pemberian IUPHHK-MHA tersebut dilaksanakan selama 3 tahun dan akan dievaluasi setiap 6 bulan oleh Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua dan Dinas Kehutanan Setempat. Selain itu, harus merealisasikan pelaksanaan industri dalam batas waktu 3 bulan sejak tanggal ditetapkan IUIPHHKR-MHA serta menyampaikan laporan kemajuan setiap bulan kepada Dinas KehutananProvinsi dan Kabupaten. IUIPHHKR-MHA berlaku 3 tahun dan dievaluasi setiap 6 bulan oleh Dinas Kehutanan Provinsi dan Dinas Kehutanan Kabupaten. Kenyataannya meskipun sudah lebih dari 6 bulan sejak keputusan mengenai IUPHHK-MHA tersebut terbit hingga saat ini beberapa KSU yang mendapat izin IUPHHK-MHA belum beroperasi. Belum ada kegiatan seperti yang tercantum dalam surat keputusan tersebut yang dijalankan. Pernah dilakukan uji coba mengoperasikan peralatan sawmill namun hanya untuk kebutuhan membangun rumah, seperti yang dilakukan oleh KSU Yera Asai di Kepulauan Yapen dan KSU Mo Make Unaf di Merauke. Beberapa KSU pemegang izin IUPHHK-MHA juga telah melakukan uji coba alat dengan mencoba memproduksi beberapa jenis sortimen kayu sesuai dengan permintaan pembeli, seperti yang pernah dilakukan oleh KSU Lwagubin Srem, dan sempat dijual tetapi dengan harga yang murah karena alasan kayu yang dijual belum memiliki izin/dokumen kayu yang sah. Apa pun persoalan internal yang dibangun oleh pemegang izin IUPHHK-MHA, dalam mendorong kegiatan pengelolaan hutan lestari ke depan diharapkan dapat dibangun sistem monitoring dan evaluasi pada pemegang izin IUPHHK-MHA, baik secara internal dalam unit manajemen tetapi juga secara eksternal oleh para penilai independen. Harus dibangun sistem yang akuntabel dan transparan agar dapat dinilai oleh para penilai independen pada saat diikutkan dalam sistem sertifikasi PHPL ke depan. Oleh sebab itu, setiap pemegang izin IUPHHK-MHA harus dan merupakan satu syarat keharusan dalam unit manajemennya dibangun SOP Monitoring dan Evaluasi dengan mempertimbangkan faktor-faktor karakteristik lokal Papua. Saat ini, belum banyak kelompok masyarakat adat pemegang izin IUPHHK-MHA yang mengetahui dan membangun SOP monitoring dan evaluasi dalam kelembagaan mereka, kecuali 1 (satu) unit manajemen IUPHHK-MHA yang sedang dalam proses membangun SOP yaitu KSU Yera Asai di Kepulauan Yapen, yang didampingi oleh mitranya dari Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL) dari Konawe Selatan – Sulawesi Tenggara.
sedangkan Kopermas tidak memiliki biaya. Alasan lain yang dikemukakan bahwa masyarakat dan mitra kerjanya tidak melaporkan kegiatannya kepada instansi teknis.
67
Bagian IV Analisis Kesesuaian SVLK dalam Konteks Pengelolaan Hutan di Papua P38 jo. P68 memuat sistem yang diimplementasikan guna menuju pengelolaan hutan lestari dan legalitas kayu/produk kehutanan. Peraturan ini merupakan terobosan untuk memberikan kepastian bagi para pelaku usaha kehutanan dan juga pemangku kepentingan terkait lainnya dalam mencari kesepakatan mengenai apa yang disebut lestari dalam pengelolaan hutan dan mana produk kehutanan yang legal. Berkaitan dengan lestari dan legal muncul pemahaman bahwa aspek legalitas adalah syarat bagi terwujudnya pengelolaan hutan lestari. Maka tidak dapat dihindari, sistem ini harus sesuai dengan peraturan dan kebijakan pemerintah baik dari pemerintah pusat maupun daerah. Di sinilah pentingnya untuk menguji kesesuaian antara sistem terkait dengan peraturan dan kebijakan pemerintah khususnya pemerintah daerah yang memiliki otonomi khusus seperti Provinsi Papua. Bagian ini akan mengulas sistem yang terdiri dari Standard Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu (meliputi seperangkat kriteria dan indikator), tata kelembagaan yang termuat di dalamnya, serta mekanisme pengajuan dan penanganan keluhan dan banding yang merupakan bagian dari sistem tersebut. Ketiga hal tersebut akan dianalisis, disebut di sini dengan analisis kesesuaian, dengan situasi termasuk kebijakan yang berlaku di Papua. 4.1 Analisis Kesesuaian Standard SVLK dengan Konteks Pengelolaan Hutan Papua 4.1.1 Analisis Kesesuaian Standard SVLK Terkait Pengelolaan Hutan dan Industri Hasil Hutan Kayu oleh Masyarakat Hukum Adat Standard Penilaian Kinerja PHL dan VLK yang berlaku saat ini memiliki kecenderungan hanya mengacu pada kebijakan pengelolaan hutan nasional. Berdasarkan analisis kesesuaian, jika kebijakan tersebut akan dilaksanakan di Provinsi Papua tentunya akan menimbulkan beberapa implikasi dan masalah yang serius. Permasalahan pokok yang menjadi temuan adalah tidak tersedianya standar penilaian dan/atau verifikasi yang mengakomodir model pengelolaan hutan oleh masyarakat hukum adat Papua yang dijamin legalitasnya oleh Perdasus.45 Saat ini SVLK hanya mengakomodir 3 model pengelolaan hutan oleh masyarakat yaitu HKm, HTR dan Hutan Desa. Pertanyaannya adalah standar penilaian dan verifikasi yang mana yang akan 45
Selengkapnya mengenai model-model pengelolaan hutan oleh masyarakat di Provinsi Papua telah dijelaskan pada Bagian III
68
dipergunakan untuk IUPHH-HTRMHA, IUPHHK-MHA, dan IUIPHHK Rakyat? Jelasnya mengenai perbandingan model ini dapat dilihat di Tabel 7 dan 8 pada Bagian III. Apabila penyesuaian terhadap model pemanfaatan hutan di Papua tidak dilakukan, maka ke depan kita akan berhadapan pada masalah berikutnya yaitu ketidaksesuaian sejumlah kriteria, indikator dan verifier. Beberapa ketidaksesuaian kriteria dan indikator penilaian/verifikasi dengan kekhususan Papua ini dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 11 Analisis Kesesuaian SVLK pada Hutan Negara yang Dikelola Pemegang Izin dan Pemegang Hak Pengelolaan Kriteria Indikator Prinsip 1 Kepastian Areal dan Hak Pemanfaatan Kriteria 1.1 Indikator 1.1.1 Areal unit Pemegang izin mampu manajemen menunjukkan keabsahan hutan terletak Izin Usaha Pemanfaatan di kawasan Hasil Hutan Kayu hutan produksi
Analisis Kesesuaian
Secara normatif kriteria dan indikator ini bisa diimplementasikan pada pemanfaatan hutan IUIPHHK-MHA. Ketidaksesuaian justru terletak pada referensi peraturan/ kebijakan yang berkaitan dengan kriteria ini. Sejumlah ketidak sesuaian tersebut antara lain: 1. Bila mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No : P.50/Menhut-II/2010 areal yang dapat dimohonkan adalah • Kawasan hutan produksi yang tidak dibebani izin/hak • Untuk IUPHHK-HTI dan RE diutamakan pada hutan produksi yang tidak produktif Sedangkan menurut Pergub Papua 13 Tahun 2010 pasal 3 ayat 4, selain pada kawasan hutan produksi tetap, ada beberapa lokasi yang dapat diusulkan untuk menjadi areal IUPHHK-MHA yaitu • Hutan produksi yang dapat dikonversi, • Kawasan Budidaya Non Kehutanan/Areal Penggunaan Lain dan • Termasuk pada areal telah dibebani perizinan usaha pemanfaatan hutan kayu. Khusus untuk pada areal yang telah dibebani izin hanya dapat dilakukan melalui pola kerjasama/kemitraan 2. Ketidaksesuaian yang kedua adalah berkaitan dengan proses pencadangan/penunjukan lokasi. Dalam kebijakan nasional, pencadangan/penunjukan areal dilakukan oleh Menteri. Sedangkan dalam kebijakan Otsus pencadangan diterbitkan oleh Gubernur dengan pertimbangan teknis dari Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua berdasar pada usulan Bupati/Walikota.
69
3. Ketidaksesuaian yang ketiga adalah dalam hal pemberian/penerbitan ijin. Menurut P.50/MenhutII/2010 ijin diterbitkan oleh Menteri Kehutanan dengan rekomendasi dari Gubernur. Sedangkan menurut Pergub 13 Tahun 2010 ijin IUPHHK-MHA diterbitkan oleh Gubernur Papua dengan rekomendasi dari Bupati/Walikota dan pertimbangan teknis dari Kepala Dinas Kehutanan dan Konservasi Papua. Sejumlah ketidaksesuaian antara kebijakan nasional dengan lokal Papua seperti tersebut diatas menimbulkan ketidakjelasan verifier. Sebagai contoh apakah ijin IUPHHK-MHA yang diterbitkan oleh Gubernur Papua dapat dikatakan memenuhi syarat keabsahan? Ketidakpastian hukum ini membingungkan berbagai pihak seperti auditor maupun unit manajemen Prinsip 2 Memenuhi Sistem dan Prosedur Penebangan yang Sah Kriteria 2.1. Indikator 2.1.1 Pemegang izin RKUPHHK/RPKH dan Ada kesamaan antara kebijakan nasional dan lokal memiliki RKT disahkan oleh pejabat Papua dimana keduanya sama-sama mewajibkan rencana yang berwenang para pemegang ijin untuk memiliki rencana penebangan penebangan yang tertuang dalam RKU ataupun pada areal RKT dan disahkan oleh petugas yang berwenang. tebangan yang disahkan oleh Ketidaksesuaiannya terletak pada pejabat yang pejabat yang berwenang untuk mensahkan RKU dan RKT. berwenang Menurut Pergub 13 Tahun 2010, pasal 6: RKU IUPHHK-MHA disahkan oleh Kepala Dinas Provinsi dan RKT disahkan oleh Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota. Sedangkan Menurut Permenhut 56 Tahun 2009, RKU disetujui oleh Menteri Kehutanan sedangkan RKT disetujui oleh Kepala Dinas Provinsi. Kriteria 2.2. Indikator 2.2.1. Pemegang Untuk indikator 2.2.1 analisisnya sama dengan Adanya izin mempunyai rencana indikator 2.1.1 rencana kerja kerja yang sah sesuai yang sah dengan peraturan yang berlaku Indikator 2.2.2 Indikator ini dapat diimplementasikan di Papua. Seluruh peralatan kerja Pasal 5 Pergub 13 Tahun 2010 menyebutkan salah yang dipergunakan dalam satu kelengkapan administrasi dalam pengajuan kegiatan pemanenan telah IUPHHK adalah daftar peralatan kerja yang memiliki izin penggunaan dipergunakan. Kemudian dalam pasal 13, peralatan dan dapat penebangan pohon dilakukan secara manual dibuktikan kesesuaian fisik dengan alat berupa kapak, gergaji tangan atau di lapangan gergaji rantai tanpa peralatan berat. Mengenai ijin alat berat ini diatur secara khusus dalam Pergub 19 Tahun 2010. Ketidaksesuaian terkait dengan perizinan penggunaan alat terletak pada referensi peraturan yang dipergunakan. Jika mengacu pada Permenhut No: P.54/Menhut-II/2007, Permohonan Izin Pemasukan dan Penggunaan Peralatan diajukan
70
oleh pemohon kepada Direktur Jenderal c.q. Direktur dengan tembusan kepada Kepala Dinas Provinsi dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota. Sedangkan dalam Pergub Papua No 19 Tahun 2010 ijin diajukan pemohon kepada Gubunur cq. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua dengan tembusan kepada Direktur Jenderal, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota dan kepada Kepala Balai. Prinsip 3: Keabsahan Perdagangan atau Pemindahtanganan Kayu Bulat Kriteria 3.1 Indikator 3.1.1 Kriteria dan seluruh indikator yang ada sesuai Pemegang Ijin Seluruh kayu bulat yang dengan Pergub 13 Tahun 2010 khususnya pasal menjamin ditebang/dipanen atau bagian keenam (penatausahaan hasil hutan) yang bahwa semua dimanfaatkan telah di terdiri dari pasal 15 – 22. kayu yang LHPkan. diangkut dari Pada pasal 15 Pergub Tahun 2010 disebutkan Indikator 3.1.2 Tempat bahwa penatausahaan hasil hutan sesuai dengan Seluruh kayu yang Penimbunan peraturan perundang-undangan yang berlaku. diangkut keluar areal izin Kayu (TPK) Dengan demikian tidak ada persoalan berkaitan dilindungi dengan surat hutan ke TPK dengan indikator ini. keterangan sahnya hasil Antara dan hutan dari TPK Potensi persoalan ke depan terkait implementasi Indikator 3.1.3 antara ke Pembuktian asal usul kayu adalah menyangkut ketersediaan sumber daya Industri manusia terkait dengan PUHH baik pada bulat dari pemegang Primer Hasil pemegang IUPHHK-MHA ataupun pada dinas IUPHHK-HA/IUPHHKHutan kehutanan. Tenaga yang harus disiapkan meliput HTI/RE/ Pemegang hak (IPHH)/pasar tenaga pengukuran dan penguji hasil hutan, pengelolaan mempunyai pembuat LHP, pejabat pengesah LHP, petugas Indikator 3.1.4 identitas fisik penerbit FAKO dll. Pemegang izin mampu dan dokumen membuktikan adanya yang sah catatan angkutan kayu ke luar TPK Kriteria 3.2 Indikator 3.2.1 Kriteria dan indikator ini sesuai dengan ketentuan Pemegang izin Pemegang izin Pasal 23 Pergub 13 Tahun 2010 yang menyebutkan telah melunasi menunjukkan bukti bahwa penyetoran iuran kehutanan dilaksanakan kewajiban pelunasan DR dan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan. pungutan PSDH Dengan demikian tidak ada persoalan berkaitan pemerintah dengan indikator ini. yang terkait dengan kayu Kriteria 3.3 Indikator 3.3.1 Kriteria dan indikator ini tidak relevan karena Pengangkutan Pemegang izin yang berdasar Pergub 12 Tahun 2010 tentang Peredaran dan mengirim kayu bulat antar dan Pengolahan Hasil Hutan Kayu, yang perdagangan pulau memiliki pengakuan menyebutkan seluruh produksi kayu bulat wajib antar pulau sebagai pedagang kayu diolah di wilayah Provinsi Papua. Setiap pemegang antar pulau terdaftar IUPHHK/IPK wajib memiliki industri primer pengolahan hasil hutan kayu di wilayah provinsi Indikator 3.3.2 papua dan atau bekerjasama dengan pemegang ijin Pengangkutan kayu bulat industri primer yang ada di Provinsi Papua. yang menggunakan kapal harus kapal yang Berkaitan dengan IUPHHK-MHA, setiap kayu berbendera Indonesia dan bulat yang ditebang langsung diolah di dalam areal memiliki izin yang sah kerja IUPHHK. Dengan demikian pemegang IUPHHK wajib memiliki IUIPHHK yang diterbitkan oleh Gubernur. Peraturan ini tidak sesuai dengan P.35/MenhutII/2008 mengatur bahwa pemberian IUIPHHK di
71
dalam area IUPHHK apabila IUPHHK tersebut telah memperoleh Sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari secara mandatory dengan peringkat baik dan sangat baik dan atau memperoleh Sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari secara voluntary. Prinsip 4: Pemenuhan Aspek Lingkungan dan Sosial yang Terkait dengan Penebangan Kriteria 4.1 Indikator 4.1.1 Berdasar Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Pemegang izin Pemegang izin telah kegiatan kehutanan dengan luas dibawah 5000 ha telah memiliki memiliki Dokumen tidak wajib Amdal. Dengan demikian ini tidak Analisa AMDAL/DPPL/UKL-UPL relevan. Mengenai meliputi Analisa Dampak Dampak Lingkungan (ANDAL), Lingkungan Rencana Kelola (AMDAL)/ Lingkungan (RKL), dan Dokumen Rencana Pemantauan Pengelolaan Lingkungan (RPL) yang dan telah disahkan sesuai Pemantauan peraturan yang berlaku Lingkungan meliputi seluruh areal (DPPL)/ kerjanya. Upaya Indikator 4.1.2 Pengelolaan Pemegang izin memiliki Lingkungan laporan pelaksanaan RKL (UKL) dan dan RPL yang Upaya menunjukkan penerapan Pemantauan tindakan untuk mengatasi Lingkungan dampak lingkungan dan (UPL) & menyediakan manfaat melaksanakan sosial. kewajiban yang dipersyaratkan dalam dokumen lingkungan tersebut Prinsip 5 Pemenuhan terhadap Peraturan Ketenagakerjaan Kriteria 5.1 Indikator 5.1.1 Pemenuhan Prosedur dan Kriteria dan indikator ini mungkin untuk dipenuhi ketentuan implementasi K3 Keselamatan dan Kesehatan kerja (K3) Kriteria 5.2 Indikator 5.2.1 Pemenuhan Kebebasan berserikat bagi Kriteria dan indikator ini mungkin untuk dipenuhi hak-hak pekerja karena tidak ada pertentangan dengan kekhususan tenaga kerja Papua. Yang dibutuhkan adalah pendampingan. Indikator 5.2.2 Adanya kesepakatan kerja bersama atau peraturan perusahaan Indikator 5.2.3 Perusahaan tidak mempekerjakan anak di bawah umur
72
Tabel 12 Analisis Kesesuaian SVLK pada Hutan Negara yang Dikelola Masyarakat (HTR, HKm, HD) Kriteria Indikator Analisis Kesesuaian Prinsip 1 Kepastian Areal dan Hak Pemanfaatan Kriteria 1. Indikator 1.1 Kriteria dan indikator ini secara normatif dapat Areal unit Pemegang izin diimplementasikan di Papua. manajemen mampu hutan terletak menunjukkan Ketidaksesuaian terletak pada referensi peraturan yang di kawasan keabsahan Izin dipergunakan untuk menentukan kelulusan verifier. Pada hutan Usaha Pemanfaatan kebijakan nasional IUPHHK HTR menggunakan produksi Hasil Hutan Kayu Permenhut 23 tahun 2007 jo. Permenhut No: P.5/MenhutII/2008 Dalam kebijakan nasional HTR dapat dilaksanakan pada areal kawasan hutan produksi yang tidak produktif dan tidak dibebani izin/hak lain yang letaknya diutamakan dekat dengan industri hasil hutan. Sedangkan dalam kebijakan lokal Papua berdasar pada Pergub Papua no 11 tahun 2010 pasal 5, areal HTRMHA meliputi tanah hak ulayat yang merupakan lahan kritis dan/atau tidak produktif, baik yang berada di dalam kawasan hutan produksi atau kawasan budidaya non kehutanan dan tidak dibebani izin/hak lain dan letaknya diutamakan dekat dengan lokasi industri hasil hutan. Ketidaksesuaian kedua terletak pada proses pencadangan areal untuk kegiatan HTR. Dalam Pergub 11 Tahun 2010 pencadangan areal HTR-MHA merupakan kewenangan Gubernur sedangkan dalam Permenhut 23 Tahun 2007 hal ini merupakan kewenangan Menteri Kehutanan. Ketidaksesuaian yang ketiga adalah dalam menentukan subyek yang dapat mengajukan permohonan IUPHHK HTR. Dalam kebijakan nasional pemohon IUPHHK HTR adalah perorangan dan koperasi. Sedangkan dalam kebijakan lokal Papua, IUPHH HTRMHA dapat diberikan pada • Kelompok tani atau koperasi atau badan usaha yang dibentuk oleh pemilik hak ulayat yang telah memperoleh pengesahan dari lembaga adat, kepala kampung dan diketahui oleh kepala distrik • Kelompok tani/koperasi/badan usaha yang dibentuk masyarakat suku lain selain pemilik hak ulayat yang diberi izin oleh pemilik hak ulayat dan disahkan oleh lembaga adat, ketua kampung dan diketahui oleh kepala distrik Kesamaan kedua peraturan tersebut terletak pada pemberian ijin, dimana kedua peraturan ini menyebutkan bahwa keputusan penerbitan IUPHHK HTR adalah kewenangan Bupati/Walikota.
73
Prinsip 2 Memenuhi Sistem dan Prosedur Penebangan yang Sah Kriteria 2.1 Indikator 2.1.1 Kriteria ini sesuai dengan Pergub Papua no 11 tahun 2010 Pemegang RKUPHHK/RPKH pasal 11 yang mewajibkan pemegang IUPHHK-HTRMHA izin memiliki dan RKT disahkan memiliki rencana umum dan rencana operasional. rencana oleh pejabat yang Penggunaan istilah tersebut sedikit berbeda dengan istilah penebangan berwenang dalam HTR versi Kementerian Kehutanan yang pada areal menggunakan istilah RKU PHHKHTR dan RKTU tebangan yang PHHKHTR. RKUPHHK HTR dan RKTUPHHK HTR disahkan oleh disetujui oleh pejabat yang berwenang dalam kehutanan di pejabat yang kabupaten/kota. Sedangkan IUPHHK HTRMHA, Rencana berwenang umum disahkan oleh Bupati/Walikota dan Rencana Operasional disahkan oleh Dinas Kehutanan.
Kriteria 2.2 Adanya rencana kerja yang sah
Kriteria 2.3 Pemegang Ijin menjamin bahwa semua kayu yang diangkut dari Tempat Penimbunan Kayu (TPK) hutan ke TPK Antara dan dari TPK antara ke Industri Primer hasil hutan
Indikator 2.2.1 Pemegang izin mempunyai rencana kerja yang sah sesuai dengan peraturan yang berlaku Indikator 2.2.2 Seluruh peralatan kerja yang dipergunakan dalam kegiatan pemanenan telah memiliki izin penggunaan peralatan dan dapat dibuktikan kesesuaian fisik di lapangan (tidak berlaku bagi pemegang hak pengelolaan) Indikator 2.3.1 Seluruh kayu bulat yang ditebang/dipanen atau dimanfaatkan telah di LHPkan. Indikator 2.3.2 seluruh kayu yang diangkut keluar areal izin dilindungi dengan surat keterangan sahnya hasil hutan Indikator 2.3.3 Pembuktian asal usul kayu bulat
Untuk verifier 2 yaitu peta areal yang tidak boleh ditebang pada RKT berkesesuaian dengan Pergub 11 Tahun 2010 yang melarang pemegang ijin untuk menebang tegakan alam dan hanya boleh menebang tanaman hasil kegiatan penanaman. Sama dengan atas
Dalam Pergub tidak diatur mengenai penggunaan alat kerja. Mengenai ijin alat berat ini diatur secara khusus dalam Pergub 19 Tahun 2010. Dengan demikian indikator ini relevan dengan situasi Papua
Pergub 11 Tahun 2010 tidak mengatur secara detail bagaimana PUHH untuk kayu hasil kegiatan HTR MHA. Hanya disebutkan bahwa pemegang ijin berhak mendapatkan pelayanan hasil hutan sesuai dengan ketentuan
74
(IPHH)/pasar mempunyai identitas fisik dan dokumen yang sah
dari pemegang IUPHHKHA/IUPHHKHTI/RE/ Pemegang hak pengelolaan Indikator 2.3.4 Pemegang izin mampu membuktikan adanya catatan angkutan kayu ke luar TPK Indikator 2.4.1 Pemegang izin menunjukkan bukti pelunasan DR dan atau PSDH
Kriteria 2.4 Kriteria dan indikator ini sesuai dengan ketentuan pasal 23 Pemegang Pergub 13 Tahun 2010. izin telah melunasi kewajiban pungutan pemerintah yang terkait dengan kayu Prinsip 3: Pemenuhan Aspek Lingkungan dan Sosial yang Terkait Dengan Penebangan Kriteria 3.1 Indikator 3.1.1 Berdasar Peraturan Menteri Lingkungan Hidup kegiatan Pemegang Pemegang izin kehutanan dengan luas dibawah 5000 ha tidak wajib izin telah telah memiliki Amdal. Dengan demikian ini tidak relevan. memiliki dokumen dokumen lingkungan yang lingkungan telah disahkan sesuai sesuai peraturan peraturan yang berlaku yang berlaku meliputi seluruh areal kerjanya Indikator 3.1.2 Pemegang izin memiliki laporan pengelolaan dan pemantauan lingkungan
Sementara itu, hasil analisis kesesuaian SVLK pada Pemegang IUIPHHK, IUI/dan DI menunjukkan bahwa secara substansial kebijakan Provinsi Papua mengenai hal tersebut telah sesuai dengan kebijakan nasional. Pergub Papua Nomor 15 Tahun 2010 tentang IUIPHHK Rakyat merupakan kebijakan khusus Papua untuk mengatur perijinan industri primer dengan kapasitas produksi di bawah 6000 m3. Tidak banyak ditemukan ketidaksesuaian antara kebijakan nasional, karena dalam Permenhut No : P.35/Menhut-II/2008 pada pasal 3 disebutkan bahwa permohonan IUIPHHK kapasitas produksi s/d 6.000 m3 per-tahun disampaikan kepada Gubernur. Perbedaan kecil antara kedua kebijakan tersebut adalah berkaitan dengan kewenangan pemberian ijin IUIPHHK. Dalam Permenhut Nomor 35 Tahun 2008 disebutkan bahwa IUIPHHK diterbitkan oleh Gubernur. Untuk
75
industri dengan kapasitas produksi dibawah 2000 m3 per-tahun penerbitan IUIPHHK dapat dilimpahkan pada Bupati/Walikota. Dalam Pergub Papua Nomor 15 Tahun 2010, pada pasal 13 ayat 3 disebutkan Gubernur/Bupati/ Walikota dapat melimpahkan kewenangan pemberian IUIPHHK Rakyat kepada Kepala Dinas Provinsi dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota. Berdasar pada beberapa ketidaksesuaian seperti yang disebutkan di atas apabila SVLK khususnya untuk hutan atau industri hasil hutan kayu yang dikelola oleh rakyat akan dilaksanakan di Provinsi Papua harus ada sejumlah penyesuaian. Tanpa ada penyesuaian-penyesuaian, SVLK bukanlah alat untuk mewujudkan good forest governance tetapi justru merupakan alat (tools) yang akan menghambat kemajuan pengelolaan hutan berbasis masyarakat di Papua. Apabila dalam proses VLK hanya mengacu pada kebijakan nasional maka dapat dipastikan tidak akan ada IUPHHK-MHA yang memperoleh sertifikat. 4.1.2 Analisis Kesesuaian Standard SVLK Terkait Pengelolaan Hutan dan Industri Hasil Hutan Kayu oleh Pihak Lain Dalam bagian II, telah diuraikan mengenai situasi pengelolaan hutan Papua saat ini. Meskipun saat ini berjalan beberapa kebijakan dan praktekpraktek pengelolaan hutan yang merupakan kekhususan Papua, namun masih terdapat pihak lain yang terdiri dari sejumlah perusahaan pemegang ijin yang beroperasi berdasar pada kebijakan nasional seperti IUPHHK HA, IUPHHK HT, IUIPHHK dan juga IPK. Perdasus Kehutanan Papua dan juga Peraturan Gubernur turunannya tidak secara eksplisit mengatur mengenai pemanfaatan hutan oleh pihak lain ini. Telah menjadi kesadaran bagi pemerintah dan masyarakat Provinsi Papua, bahwa kehadiran perusahaan tersebut juga cukup berkontribusi bagi pendapatan daerah dan bagi masyarakat. Akan tetapi sebagai bentuk pelaksanaan mandat otonomi khusus terdapat sejumlah aturan yang juga mengikat pemanfaatan hutan oleh pihak lain. Berikut adalah sejumlah aturan yang wajib diperhatikan bagi pemegang ijin yang beroperasi di Papua yang termuat dalam Perdasus dan Pergub khusus Papua : 1.
Peredaran dan pengolahan hasil hutan yang diatur secara detail dalam Pergub 12 Tahun 2010 berisi beberapa hal berikut: - Mewajibkan setiap produksi kayu bulat yang berasal dari IUPHHK/IPK diolah seluruhnya di wilayah Provinsi Papua. - Mewajibkan setiap IUPHHK/IPK untuk memiliki industri primer pengolahan hasil hutan kayu di Provinsi Papua dan/atau bekerjasama dengan pemegang industri primer hasil hutan kayu di Provinsi Papua - Peredaran hasil hutan kayu ke luar Provinsi Papua hanya diperkenankan bagi hasil hutan kayu olahan - Kalau hal tersebut tidak dipenuhi oleh IUPHHK/IPK dikenakan sanksi pencabutan ijin. 76
2.
3.
- Bahkan di dalam Perdasus Kehutanan Berkelanjutan Nomor 21 Tahun 2008 pasal 52 disebutkan bahwa pelanggaran berupa tidak melakukan pengolahan kayu bulat di Provinsi Papua merupakan kejahatan yang dapat dikenakan sanksi sesuai ketentuan perundangundangan. Izin usaha industri pimer hasil hutan kayu yang diatur dalam Pergub 15 Tahun 2010 mengatur: - Setiap pemegang IUPHHK/IPHHK, pemenang lelang kayu temuan, sitaan dan rampasan wajib mengalokasikan sebagian realisasi produksi kayu bulatnya untuk memasok industri pimer hasil hutan kayu rakyat - Ketentuan yang berlaku untuk hal tersebut diatas adalah IUPHHK paling sedikit 5%, IPK paling sedikit 50% dan izin lainnya paling sedikit 50%. Tata cara dan prosedur pemberian izin pemasukan dan penggunaan peralatan. Berdasarkan analisis, terdapat perbedaan pengaturan yang cukup penting untuk diperhatikan. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.54/MENHUT-II/2007, Permohonan Izin Pemasukan dan Penggunaan Peralatan diajukan oleh pemohon kepada Direktur Jenderal c.q. Direktur dengan tembusan kepada Kepala Dinas Provinsi dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota. Sedangkan dalam Pergub Papua no 19 tahun 2010 ijin diajukan pemohon kepada Gubernur cq. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua dengan tembusan kepada Direktur Jenderal, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota dan kepada Kepala Balai.
Melihat keseluruhan kebijakan di level lokal, maka sebenarnya kedudukan dan kekuatan hukum dari peraturan yang dibentuk Pemerintah Daerah yang berupa Peraturan Daerah atau Peraturan Gubernur diakui keberadaaannya dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.46 Dengan demikian segala bentuk ijin yang diterbitkan berdasar pada kebijakan nasional seperti IUPHHK HA/RE/HTI dan IPK yang beroperasi di wilayah Provinsi Papua terikat dan wajib patuh pada sejumlah peraturan dan kebijakan dalam rangka implementasi Otsus Papua seperti Perdasus Papua Nomor 21 Tahun 2008, Perdasus Papua Nomor 23 Tahun 2008 dan sejumlah Peraturan Gubernur turunannya. Begitu juga halnya dengan implementasi SVLK. Oleh karena itu, wajib hukumnya bagi LPVI, auditor ataupun pengambil keputusan yang melakukan penilaian/verifikasi pada pemegang ijin yang beroperasi di wilayah Provinsi Papua untuk menjadikan segala peraturan/kebijakan khusus Papua tersebut sebagai referensi hukum dalam menentukan hasil penilaian/verifikasi. Jika hal ini tidak dilakukan maka SVLK selain akan berdampak buruk bagi pengelolaan hutan Papua juga telah melecehkan kekhususan Papua yang telah diakui secara nasional melalui 46 Lihat pasal 8 dari UU nomor 11 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan
77
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001. 4.2 Analisis Kesesuaian Tata Kelembagaan SVLK dengan Konteks Pengelolaan Hutan Papua Tata kelembagaan SVLK dalam hal ini dapat diartikan sebagai susunan lembaga-lembaga dan aturan main yang mengatur hubungan antar lembaga dalam penyelenggaraan SVLK. Berdasar P38 jo. P68, beberapa lembaga yang terlibat antara lain adalah: Kementerian Kehutanan (cq. Dirjen BUK), Komite Akreditasi Nasional (KAN); Lembaga Penilai PHPL dan Lembaga VLK (LP PHPL dan LVLK), termasuk di dalamnya adalah Auditor, Pengambil Keputusan dan Tim Ad-Hoc Penanganan Keluhan dan Banding; Auditee (Pemegang Ijin dan Pemegah Hak Pengelolaan); dan Pemantau Independen (PI). Pengaturan mengenai pengertian, kewenangan, peran dan aturan main beberapa lembaga tersebut telah diatur dengan cukup memadai dalam Permenhut Nomor 38 Tahun 2009, Permenhut Nomor 68 Tahun 2011 dan lebih detail lagi dalam Perdirjen No. P.8/VI-BPPHH/2011. Berikut adalah beberapa potensi permasalahan tata kelembagaan penyelenggara SVLK untuk diimplementasikan di Provinsi Papua. a.
Kementerian Kehutanan cq. BUK Kementerian Kehutanan berdasar kedudukannya adalah pemilik atau pengembang SVLK. Dalam sebuah sistem sertifikasi yang bersifat mandatory, Kementerian Kehutanan merupakan pihak yang memiliki kewenangan memerintahkan atau mewajibkan setiap pemegang ijin untuk dinilai atau diverifikasi berdasar standar dan pedoman penilaian yang ditetapkan. Tujuan dari penilaian kinerja pengelolaan hutan adalah untuk mengetahui atau mendapatkan informasi apakah pemegang ijin telah memenuhi norma-norma pengelolaan hutan lestari yang ditetapkan sebagai kriteria dan indikator. Tujuan verifikasi legalitas kayu adalah untuk mengetahui apakah pemegang ijin dalam kegiatan pemanfaatan hasil hutan atau proses produksinya telah menjalankan semua ketentuan-ketentuan legal yang ditetapkan oleh Pemerintah. Kementerian Kehutanan dapat menggunakan hasil penilaian/verifikasi sebagai informasi dalam pembinaan, perpanjangan ijin ataupun pencabutan ijin. Berkaitan dengan implementasi SVLK di Provinsi Papua, bisa jadi tidak ada masalah terkait langsung dengan kebijakan ini. Kebijakan ini sebenarnya juga senada dengan Perdasus Papua Nomor 21 Tahun 2008 yang mewajibkan sertifikasi dalam mewujudkan pengelolaan hutan lestari di Papua. Seperti yang telah disebutkan dalam sub bab sebelumnya, permasalahan justru terletak pada ketidaksesuaian sejumlah kebijakan Kementerian Kehutanan yang dipergunakan sebagai acuan dalam menentukan penilaian kriteria dan indikator dengan
78
Perdasus dan Peraturan Gubernur Papua. Sampai saat ini belum ada pernyataan atau sikap yang bisa dipergunakan sebagai acuan legal apakah Kementerian Kehutanan menerima atau menolak sejumlah peraturan dan kebijakan khusus Papua yang berkaitan dengan pengelolaan hutan. Apabila persoalan ini tidak segera dicarikan solusinya tentu akan berdampak pada ketidakpastian bagi pihak-pihak lain seperti LP PHPL dan LVLK, Pemegang Ijin dan Pemantau Independen. Bagi LP PHPL dan LVLK dengan situasi yang berkembang saat ini pasti akan kesulitan dalam menentukan hasil penilaian/verifikasi. Pertanyaannya adalah peraturan atau kebijakan yang mana yang dipergunakan sebagai acuan hukum dalam menentukan norma penilaian suatu kriteria indikator. Apakah aturan nasional atau aturan khusus Papua. Begitu juga halnya dengan Pemegang Ijin, tentu akan menghadapi pertanyaan aturan hukum yang mana yang harus menjadi acuan dalam menjalankan usahanya. Sedangkan bagi Pemantau Independen kepastian hukum ini menjadi penting karena sebagai dasar dalam merumuskan laporan pemantauan baik yang berupa input bagi penilaian maupun berupa laporan keberatan. b.
Komite Akreditasi Nasional (KAN) Berdasar kedudukan dan perannya dalam SVLK bisa jadi KAN merupakan pihak yang tidak terlalu memiliki permasalahan terkait dengan implementasi SVLK di Provinsi Papua. Permasalahan bagi KAN bersifat teknis yaitu bagaimana memantau atau mendapatkan informasi yang memadai terkait dengan kinerja LP PHPL dan LVLK dalam melakukan penilaian atau verifikasi di Provinsi Papua.
c.
LP PHPL dan LVLK Boleh dikatakan LP PHPL dan LVLK merupakan pihak yang memiliki peran sentral dalam SVLK karena proses penilaian dan kelulusan suatu unit managemen dalam penilaian atau verifikasi berada ditangannya. Terkait dengan implementasi SVLK di Papua beberapa potensi masalah yang akan terjadi antara lain: • Dalam melakukan penilaian maupun dalam menentukan hasil penilaian LP PHPL dan LVLK harus mengacu pada begitu banyak peraturan dan kebijakan baik yang nasional maupun lokal. Terkait dengan hal ini masalah terjadi manakala LP PHPL dan LVLK tidak cukup mengetahui peraturan-peraturan yang telah diterbitkan oleh pemerintah khususnya pemerintah Papua. • Berkaitan dengan masalah di atas, bagi LP PHPL dan LVLK dan auditor yang sebagian besar berada di pulau Jawa akan mendapat kesulitan dalam mengakses dan mendapatkan informasi kebijakan-
79
kebijakan apa saja yang sudah diterbitkan oleh pemerintah Provinsi Papua. • Ketika terdapat ketidaksesuai antara peraturan nasional dan lokal Papua seperti dalam situasi yang ada saat ini, LP PHPL dan LVLK akan kesulitan dalam menentukan kebijakan atau peraturan yang mana yang akan dijadikan acuan dalam penilaian atau verifikasi. • Saat ini KAN telah memberikan akreditasi kepada 12 LPPHPL dan 8 LVLK.47 Permasalahan dan pertanyaannya adalah apakah jumlah ini cukup memadai untuk melaksanakan SVLK pada seluruh pemegang ijin yang ada di Papua. Belum ada informasi yang pasti berapa orang jumlah auditor yang tersedia. Pertanyaan yang sama, apakah jumlah auditor yang ada saat ini juga telah memadai? • Hampir seluruh LP PHPL dan LVLK beralamat di pulau Jawa khususnya Jakarta dan Bogor. Begitu juga halnya dengan auditor. Hal ini tentunya menjadikan hambatan bagi pemegang ijin di Papua yang akan melakukan penilaian atau verifikasi. Selain masalah biaya audit yang menjadi mahal, situasi ini juga menjadikan hambatan bagi LP PHPL dan LVLK dalam memberikan pengumuman atau informasi kepada publik terkait rencana dan hasil audit suatu unit manajemen. d.
Pemegang Ijin Permasalahan bagi pemegang ijin dapat terjadi pada saat sebelum audit atau saat penyiapan pemenuhan kriteria dan indikator. Permasalahan juga terjadi terkait proses audit. Berikut masalah yang dihadapi pemegang ijin: • Seperti halnya yang dihadapi oleh LP PHPL dan LVLK, adanya dualisme peraturan atau kebijakan menyebabkan kebingungan pemegang ijin dalam menjalankan usahanya. Pemegang ijin dihadapi pada pertanyaan peraturan yang mana yang harus dipenuhi dalam menjalankan usahanya? • Terkait dengan proses audit, keterbatasan LP PHPL dan LVLK yang ada saat ini menyebabkan biaya audit yang harus ditanggung menjadi mahal. Hal ini tentunya memberatkan auditee.
e.
Pemantau Independen Walaupun tidak terkait langsung dengan proses penilaian/verifikasi sesungguhnya pemantau independen mempunyai peran yang penting dalam sebuah sistem sertifikasi. Kehadiran pemantau independen dibutuhkan dalam menjaga kredibilitas SVLK. Berikut adalah permasalah pemantau independen dalam implementasi SVLK di Papua: • Saat ini SVLK belum banyak diketahui oleh publik atau masyarakat Papua termasuk LSM atau pemerhati kehutanan. Hal ini
47
Lebih lengkapnya mengenai Lembaga Penilai PHPL dan Lembaga Verifikasi LK yang telah diakreditasi disajikan dalam Lampiran 5.
80
menyebabkan rendahnya partisipasi publik dalam SVLK sebagai pemantau independen. Dalam kondisi Papua dimana cukup banyak terdapat pemegang ijin pemanfaatan hasil hutan beroperasi semestinya terdapat pemantau independen dalam jumlah yang banyak pula. • Seperti masalah pemantau independen di wilayah lain, pemantau independen Papua juga menghadapi masalah kesulitan dalam mendapatkan informasi terkait rencana audit, proses audit dan pengumuman hasil audit. • Pemantau independen juga menghadapi masalah dalam dukungan pendanaan baik untuk kegiatan pemantauan maupun peningkatan kapasitas pemantauan. 4.3 Analisis Kesesuaian Terkait Pengajuan dan Penanganan Keluhan dan Banding Untuk mewujudkan tata-kelola kehutanan yang baik (good forest governance), dalam pemberlakuan SVLK diatur mengenai pedoman pengajuan dan penyelesaian sengketa48 yang dimuat dalam Lampiran 5 P.8/VI-BPPHH/2011 tentang Pedoman Pengajuan dan Penyelesaian Keluhan dan Banding dalam Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu. Bagaimana pun sebuah sistem adalah modelling dari fenomena di lapangan yang kompleks. Oleh sebab itu pula P 38 Jo. P68 dilengkapi pula dengan mekanisme pengajuan dan penyelesaian sengketa para pihak.49 Melalui mekanisme ini, para pihak dapat menyampaikan keluhan dan bandingnya atas hal - hal yang berkaitan dengan penilaian kinerja PHPL dan verifikasi LK ini. Sehingga tata kelola kehutanan memperoleh kontrol dari para pemangku kepentingan, yang tentunya menjadi nilai strategis bagi kredibilitas kebijakan yang bersangkutan sebagai alat yang menjamin terwujudnya tata kelola kehutanan yang baik, terbuka dan bertanggungjawab, dalam rangka mewujudkan PHL. Berikut ini beberapa hal terkait pengajuan dan penanganan keluhan dan banding yang dianalisis berdasarkan konteks Papua : a.
Proses Pengajuan Keluhan dan Banding Dalam Butir 1e Bagian D Lampiran 5 P.8, tentang Tata Cara Pengajuan Keluhan dan Banding disebutkan bahwa : Keluhan atau banding disampaikan secara tertulis dengan dilengkapi data
48 Dari segi aktor, sengketa dapat terjadi antara masyarakat dengan pemegang izin, masyarakat dengan LP&VI, pemegang izin dengan LP&VI, antar pemegang izin, dan sebagainya. Dari segi proses, sengketa dapat terjadi sebelum proses sertifikasi, dalam proses verifikasi atau setelah keluar keputusan paska proses verifikasi. 49 Sesuai dengan UU No.25 Tahun 2009 mengenai Pelayanan Publik, setiap penyelenggara pemerintahan (termasuk segala layanan yang dibangunnya) diwajibkan untuk membangun mekanisme pengelolaan pengaduan (mulai dari penyeleksian, penelaahan, pengklasifikasian sampai dengan kepastian penyelesaiannya) demi meningkatkan pelayanan pada publik, karena dengan itu publik secara langsung memiliki akses terhadap kontrol dari layanan lembaga pemerintahan.
81
pendukung berupa bahan bukti yang relevan dan disertai identitas yang mengajukan keluhan atau banding secara jelas, sekurang-kurangnya nama individu atau lembaga, bukti identitas, alamat dan nomor telepon, serta pernyataan bahwa informasi yang disampaikan adalah benar.
Terkait dengan klausul di atas, perlu dipertimbangkan mengenai kondisi Papua dimana angka buta aksara masih tinggi yakni mencapai 23% dari total jumlah penduduk propinsi Papua (Dinas Pendidikan Propinsi Papua, 2010). Selain itu, hal lain yang tak kalah penting adalah masih banyaknya penduduk yang tidak memiliki KTP sebagai kartu identitas. Tidak dimilikinya kartu identitas ini selain karena masalah lokasi pemukiman di Papua banyak yang terpencil, sehingga jarak yang harus ditempuh untuk pengurusan kartu identitas berupa KTP tidaklah mudah dan membutuhkan biaya yang sangat tinggi, juga lebih pada alasan politis. Dengan situasi Papua tersebut, maka klausul di atas potensi melanggar prinsip aksesibilitas. Karena dengan begitu tidak semua pihak, terutama yang buta aksara dan tak memiliki kartu identitas, memperoleh akses dalam pengajuan keluhan. b.
Pemilihan Media Informasi untuk Pengumuman Keluhan atau banding atas keputusan sertifikasi, baru dapat diajukan setelah keluar pengumuman hasil keputusan sertifikasi. Terkait dengan pengumuman ini, sistem menggunakan media informasi berbasis internet dan media massa (asumsi media massa cetak lokal), seperti tercantum dalam Butir 8 Bagian F Lampiran 3.1 P.8 tentang Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari yang menyebutkan bahwa : Pengumuman hasil keputusan penilaian disertai dengan resume hasil penilaian dilakukan melalui website LPPHPL dan website Kementerian Kehutanan atau media massa.
Termasuk juga Butir 5 dan 6 Bagian G Lampiran 3.1 P.8, tentang Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari LPPHPL menyampaikan rekapitulasi penerbitan S-PHPL kepada Direktur Jenderal setiap 3 (tiga) bulan, untuk selanjutnya dipublikasikan melalui website Kementerian Kehutanan (www.dephut.go.id). LPPHPL mempublikasikan setiap penerbitan, perubahan, penangguhan dan pencabutan S-PHPL di website LPPHPL dan website Kementerian Kehutanan (www.dephut.go.id) atau di media massa selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kalender setelah penetapan keputusan.
Sama halnya pada Lampiran 3.2 tentang Pedoman Pelaksanaan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang IUPHHK-HA/HT/RE/Hak Pengelolaan/IPK, Hutan Negara yang Dikelola oleh Masyarakat dan Hutan Hak, maupun Lampiran 3.3 tentang Pedoman Pelaksanaan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang IUIPHHK dan IUI/TDI. Keseluruhan klausul tersebut menggunakan internet sebagai media
82
utama penyampaian informasi, selain media massa (diasumsikan media cetak/koran). Mempertimbangkan situasi dan kondisi Papua, internet bahkan media massa berupa koran lokal tidak dapat menjangkau seluruh masyarakat, terutama yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Sehingga penyampaian informasi dengan pemilihan media seperti yang tercantum pada klausul tersebut, tidak akan sampai pada tujuannya.
83
Bagian V USULAN KEGIATAN STRATEGIS Papua sebagai provinsi terluas di Indonesia yang 85,05%nya adalah hutan, memiliki kondisi spesifik yang tidak dimiliki wilayah lain di Indonesia. Dilatarbelakangi dengan sejarah politik yang kerap diwarnai dengan ketegangan, saat ini Papua dinaungi oleh Otonomi Khusus yang secara legal dipayungi dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Dengan latar belakang kekhususan Papua tersebut, secara ‘teoritik’ dapat diasumsikan bahwa tidak seluruh kebijakan nasional maupun peraturan turunannya dapat berlaku begitu saja. Sudah tentu dalam praktek memerlukan penyesuaian dengan berbagai kebijakan dan aturan lain, seperti UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan Peraturan Menteri Kehutanan No 38 Tahun 1999 jo. No 68 Tahun 2011 Tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak. Berdasarkan assessment ini, maka diperoleh 3 (tiga) kesimpulan utama yaitu : 4. Pengakuan atas otonomi khusus Papua adalah keniscayaan. Tanpa ‘pengakuan’50 atas otonomi khusus, maka SVLK hanya akan menjadi instrumen penyingkiran peran masyarakat adat Papua dalam pengelolaan dan pengusahaan hutan (atau disebut dengan legal exclusion).51 5. SVLK akan menjadi instrumen tata kelola hutan yang baik (good forest governance apabila terdapat kejelasan kewenangan antara UU 41/1999 dan kebijakan-kebijakan di tingkat daerah. 6. Kebijakan-kebijakan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus akan dapat berperan optimal dalam mengakui dan menghargai hak-hak masyarakat adat serta melestarikan sumberdaya alam Papua jika menerapkan prinsip afirmatif yang optimal. Apabila ketiga hal di atas berhasil diatasi, maka akan ada konsekuensi yang harus dihadapi, termasuk melakukan sejumlah penyesuaian terhadap implementasi SVLK apabila akan dilaksanakan di Provinsi Papua dan mengevaluasi efektif tidaknya kebijakan di daerah berdasarkan implementasinya selama ini. Tanpa itu, tujuan mewujudkan tata kelola kehutanan yang baik (good forest governance) dalam kerangka mencapai pengelolaan hutan lestari akan jauh dari harapan. Bahkan kebijakan50 Pengakuan yang dimaksud di sini bukan sekedar diucapkan di bibir saja, namun sesungguhnya benar-benar menerima termasuk dengan segala konsekuensinya. Menerima UU Otonomi Khusus berikut dengan segala peraturan turunannya kemudian melakukan penyesuaian segala bentuk kebijakan aturan yang berlaku di tingkat Nasional dengan aturan lokal tersebut. 51 Lihat Hall, Hirsch & Li, 2010
84
kebijakan ini hanya akan menjadi instrumen yang akan menghambat kemajuan pengelolaan hutan terutama yang berbasis masyarakat adat di Provinsi Papua. Secara lebih detail, kegiatan strategis yang diusulkan dilakukan di Papua dalam kerangka implementasi SVLK adalah sebagai berikut :52 Tabel 13 Kegiatan Pengembangan Kapasitas di Tingkat Sistem Kelembagaan53 No
Pengembangan Kapasitas yang Dibutuhkan
Identifikasi Masalah
Permasalahan Mendasar 1. Tidak harmonisnya UU Nomor 41 Tahun 1999 dan Peraturan Turunannya dengan UU Nomor 21 Tahun 2001 dan Peraturan Turunannya (khususnya Perdasus Nomor 21 Tahun 2008)
Men-sinkronisasi kebijakan terkait melalui rangkaian kegiatan: -
Pelaksana
Dinas Kehutanan Provinsi Papua dan DKN
Studi untuk memetakan ‘gap’ yang terjadi secara lebih detail Rangkaian diskusi dan lobby untuk menemukan ‘titik temu’ mengatasi gap Merumuskan penyesuaian khususnya terkait peraturanperaturan teknis pengelolaan hutan yang menjadi turunan kebijakan terkait (legal drafting)
Sebagai catatan, seharusnya tidak perlu ada perdebatan yang panjang karena pada prinsipnya kebijakan tersebut sama-sama mengemban misi yang mulia yaitu melestarikan hutan dan memberdayakan masyarakat hukum adat. Secara Khusus Terkait Konsep IUPHHK-MHA 2. Ketiadaan konsep Mengadopsi IUPHHK-MHA dan IUPHHK-MHA dan IUPHHK HTR-MHA sebagai IUPHHK HTR-MHA salah satu model pengelolaan sebagai salah satu model hutan khususnya di Papua, dalam pengelolaan hutan, kebijakan nasional. Proses
Dinas Kehutanan Provinsi Papua dan DKN
52 Usulan kegiatan strategis sebagai implikasi hasil analisis dalam stocktaking assessment ini menggunakan pendekatan kerangka kerja pengembangan kapasitas. Di sini pengembangan kapasitas didefinisikan sebagai : Capacity building as understood to the need for adjusting (1) policies and regulations, (2) institutional reforms, (3) modification of work procedures and mechanism of coordination, (4) improvement of human resources, (5) skills and qualifications, (6) change of the value system and attitudes. Lihat GTZ- SfDM, Support for Decentralization Measures. Guidelines on Capacity Building in the Regions. Module C: Supplementary Information and References. SfDM Report 2005-4 (2005) 53 Termasuk di dalamnya pengembangan kerangka hukum dan kebijakan baru atau perubahan/harmonisasi hukum/kebijakan yang ada, sehingga memungkinkan berbagai pihak menjalankan perannya dan kebijakan terkait mencapai tujuannya
85
khususnya di Papua Sebagai catatan perbedaan nyata tampak dari konsep IUPHHK-MHA dan IUIPHHK HTR-MHA dengan konsep yang saat ini diakui dalam kebijakan nasional (lihat tabel 9 dan 10 pada Bagian III)
Secara Khusus Terkait SVLK 3. Kriteria dan Indikator yang berlaku saat ini dalam SVLK tidak sesuai dengan konteks Papua. Sebagai catatan tidak memperdebatkan esensi sertifikasi, karena sudah ada kesesuaian seperti tercantum dalam Perdasus Nomor 21 Tahun 2008 pasal 65 ayat 1 yang menyebutkan dalam rangka pengelolaan hutan lestari wajib dilakukan sertifikasi terhadap pemanfaatan hutan. Pernyataan normatif ini senada dengan kebijakan Kementerian Kehutanan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.38/Menhut-II/2009 jo P.68/Menhut-II/2011
pengakuan ini ditempuh melalui rangkaian kegiatan diskusi dan lobby yang melibatkan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Papua, serta pihak lain seperti Akademisi dan Masyarakat Hukum Adat Pengakuan ini tentunya berimplikasi pada seluruh peraturan turun terkait dengan konsep IUPHHK-MHA dan IUIPHHK HTR-MHA, termasuk konsekuensi pengakuan alas hak yang komunal. Penyesuaian seperangkat Kriteria dan Indikator dengan konteks pengelolaan hutan Papua termasuk kebijakan dan peraturan yang berlaku di Papua, ditempuh melalui : -
-
Dinas Kehutanan Provinsi Papua dan DKN
Rangkaian diskusi untuk membahas ketidaksesuaian Kriteria dan Indikator dalam konteks Papua (dengan bahan diskusi seperti tertulis pada Bagian IV laporan ini) Merumuskan Kriteria dan Indikator, termasuk menambahkan verifier (drafting) yang sesuai dengan konteks Papua termasuk kebijakan yang berlaku di Papua*
* Berdasarkan catatan dalam analisis kesesuaian di Bagian IV, PP 68/2011 dapat diterapkan bagi IUPHHK-HA, IUPHHK-HTI dan IUPHHK-HTR, IUIPHHK, IUI dan TDI dengan memperhatikan berbagai kebijakan khusus daerah. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain tentang kebijakan tidak mengeluarkan kayu bulat ke luar Papua, kewajiban untuk membangun industri primer bagi IUPHHKHA, atau kewajiban bagi IUPHHK-HA untuk kontrak karya pembelian bahan baku dengan Industri Primer yang ada di Papua. Dengan kata lain, konkritnya melalui penambahan satu prinsip baru yakni Prinsip Kesesuaian dengan Peraturan dan
86
kebijakan Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Daerah/Kota dalam rangka menjalankan mandat Otonomi Khusus Papua ke dalam Standar Verifikasi Legalitas Kayu pada Hutan Negara yang Dikelola Pemegang Izin dan Pemegang Hak Pengelolaan. Sementara untuk IUPHHK-MHA dan IUIPHHK-MHA atau IUPHTR-MHA seharusnya memiliki Kriteria dan Indikator PHPL dan SVLK khusus yang disesuaikan dengan karakter khusus berdasarkan perdasus dan peraturan turunannya. 4.
Ketidaksesuaian mekanisme yang berlaku dalam SVLK dengan konteks Papua, yang berimplikasi pada : -
-
Pelanggaran prinsip aksesibilitas dalam pengajuan keluhan pada sistem SVLK, karena tidak semua pihak, terutama yang buta aksara dan tak memiliki kartu identitas, memperoleh akses. Tidak sampainya informasi kepada tujuan karena pemilihan media informasi yang tidak sesuai dengan situasi dan kondisi Papua
Terkait Peraturan di Daerah 5. Tidak efektifnya affirmative policy di tingkat daerah seperti Perdasus No 21 dan 23 untuk diberlakukan sesuai dengan tujuannya* *Lebih lengkapnya mengenai hal ini disinggung pada Bagian 2 dan 3 laporan ini
6.
Ketiadaan aturan yang cukup detail di tingkat
Penyesuaian mekanisme ini ditempuh melalui : -
-
Diskusi untuk membahas ketidaksesuaian yang termuat dalam SVLK dengan konteks Papua, Merumuskan klausul tambahan (drafting) terkait mekanisme yang sesuai dengan konteks Papua*
Dinas Kehutanan Provinsi Papua dan DKN
* Berdasarkan analisis kesesuaian yang dilakukan pada Bagian IV, dirasakan perlunya mengajukan isu perwalian, yang dapat berlaku khusus di Papua untuk menjamin prinsip aksesibilitas pengaju keluhan dalam sistem. Selain itu perlunya menekankan pentingnya pemilihan media radio untuk penyampaian informasi di Papua, sehingga sampai pada sasarannya Perlunya monitoring dan evaluasi atas affirmative policy di tingkat daerah yang ada saat ini. Evaluasi ini ditempuh melalui -
-
Dinas Kehutanan, DPRP, DPR, MRP,LSM, PT
Rangkaian diskusi untuk menemukan akar masalah dari tidak efektifnya kebijakan afirmatif terkait Merumuskan revisi (legal drafting) baik untuk kebijakan itu sendiri maupun peraturan pelaksananya
Penyusunan Juknis dan Juklak
Dinas Kehutanan,
87
daerah terkait penataan hasil hutan
(legal drafting) mengenai : -
-
BPKH dan BPPHP
Penataan areal kegiatan IUPHHK-MHA Jumlah minimal tenaga teknis (SK Dinas terkait) pada tiap IUPHHK-MHA, minimal 4 orang (cruser, pembuat LHP, penerbit SK SKB, penerbit faktur angkut kayu). Spesifikasi kayu olahan primer yang diperluas hingga flooring dan ukuran khusus lainnya. Sehubungan dengan nilai tambah dari produk yang dihasilkan, yang tidak terbatas hanya pada kayu gergajian kebutuhan lokal.
Penyusunan kebijakan mengenai PUHH pada bentuk-bentuk pemanfaatan hasil hutan kayu dan ijin lain yang berlaku khusus di Papua (legal drafting) 7.
Belum adanya pasar yang jelas untuk menampung hasil hutan kayu yang dikelolah oleh masyarakat melalui IUPHHK-MHA.
Melakukan serangkaian kegiatan yang terdiri dari : - Pembangunan tempat penampungan, distribusi dan informasi pasar - Melakukan kajian untuk analisis kebutuhan perkayuan kabupaten kota dan analisis pembangunan yang butuh kayu - Menyusun kebijakan (SK Gubernur) yang mewajibkan seluruh kebutuhan kayu untuk pembangunan fasilitas umum dan sosial agar mengambil bahan baku dari IUPHHK-MHA (legal drafting)
Dinas Kehutanan dan Mitra Kerja, LSM
Tabel 14 Kegiatan Pengembangan Kapasitas di Tingkat Organisasi54 No
Identifikasi Masalah
Secara Khusus Terkait SVLK 1. Rendahnya pemahaman internal Dinas Kehutanan dan UPT terkait di
Pengembangan Kapasitas yang Dibutuhkan Sosialisasi mengenai SVLK kepada Dinas Kehutanan dan UPT terkait di Provinsi Papua
Pelaksana
Lembaga yang telah memiliki akreditasi untuk melakukan
54 Termasuk di dalamnya perluasan struktur manajemen, proses dan prosedur kerja. Tidak hanya dalam organisasi tertentu, namun juga pengelolaan hubungan antara organisasi yang berbeda dan sektor (publik, swasta dan masyarakat)
88
Provinsi Papua mengenai SVLK
Verifikasi SVLK (MFP), Expert dari Kementrian Kehutanan.
2.
Rendahnya pemahaman instansi terkait lain atas SVLK
Sosialisasi mengenai SVLK kepada instansi terkait baik langsung maupun tidak langsung seperti kepolisian, bea cukai, eksekutif, legislatif, dll
3.
Rendahnya pemahaman • publik atau masyarakat Papua termasuk LSM atau pemerhati kehutanan atas SVLK
Sosialisasi mengenai SVLK Dinas Kehutananan kepada publik atau masyarakat dan Akademisi, LSM Papua termasuk LSM atau • pemerhati kehutanan atas SVLK (masuk melalui kurikulum perguruan tinggi misalnya)
4.
Kurikulum pelatihan SVLK yang tidak sesuai dengan konteks Papua
Membangun kurikulum pelatihan SVLK (baik untuk auditor, pemegang ijin termasuk IUPHHK-MHA, pemantau independen, dll) yang sesuai dengan koteks Papua
Dinas Kehutanan Provinsi Kabupaten/kota, BP2HP, Pemerhati Kehutanan, LSM, Koperasi, Praktisi Kehutanan. Tokoh masyarakat adat.
5.
Adanya gap pengetahuan dari auditor atas konteks Papua
Memasukkan konteks khusus Papua ke dalam kurikum pelatihan untuk auditor, sehingga proses dan hasil penilaian/verifikasi dapat lebih optimal, yang dilakukan melalui - Penyediaan info kit (drafting) terkait konteks Papua untuk digunakan sebagai bahan ajar dalam pelatihan - Lobby kepada lembaga-lembaga penyelenggara pelatihan SVLK untuk memasukkan konteks khusus Papua dalam kurikulum pelatihannya.
Dinas Kehutanan Provinsi Papua, BP2HP, LSM, Akademisi
6.
Masalah biaya implementasi SVLK terutama bagi industri menengah dan kecil yang memiliki modal usaha terbatas
-
Dinas Kehutananan dan Akademisi, LSM
-
-
-
Mendorong tumbuhnya LPPHPL dan LVLK di Papua Memperbanyak auditor di tingkat daerah khususnya Papua dengan menyelenggarakan pelatihan untuk auditor di Papua Mengupayakan fasilitasi dana pemerintah melalui dinas atau instansi terkait melalui kredit program Dukungan biaya dari pemerintah untuk SVLK, termasuk untuk PNBPPSDH/DR
Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua
89
Permasalahan Umum Lainnya 7. Penataan dan Pemancangan batas Luar Kawasan IUPHHK-MHA untuk kepastian hukum Kawasan
Penataan dan Pemancangan batas kawasan : - Pemetaan batas kawasan hutan masyarakat hukum adat secara partisipatif - Pengukuhan hasil pemetaan oleh kepala-kepala suku yang menguasai dan memiliki serta berbatasan dengan lahan hutan ybs. - Pemberian tanda pal batas (dapat menggunakan tumbuhan yang bernilai ekonomis dan yang berumur panjang, seperti pinang) Pengukuhan atau pengesahan : - Pengesahan hasil oleh pejabat publik sebagai dasar dokumen kepemilikan/penguasaan lahan Mengupayakan dukungan biaya dari pemerintah untuk tata batas, inventarisasi dan pemetaan - Pembangunan tempat penampungan, distribusi dan informasi pasar - Melakukan analisis kebutuhan perkayuan kabupaten kota dan analisis pembangunan yang butuh kayu - Membangun dialog lintas sektor, masyarakat adat dan stakeholder terkait dalam rangka penertiban, pengendalian peredaran hasil hutan (pos-pos pengamanan) - Membangun SOP bersama dengan punishment yang jelas bagi yang melanggar.
Dinas Kehutanan Provinsi Kabupaten/kota, BP2HP, Pemerhati Kehutanan, LSM, Koperasi, Praktisi Kehutanan. Tokoh masyarakat adat.
8.
Produksi dan Peredaran Kayu
Dinas Kehutanan Provinsi, Kabupaten/kota.
9.
Pengendalian dan Pengamanan Peredaran Hasil Hutan
10.
Ketidakjelasan status IUPHHK yang tidak aktif
Kajian hukum untuk IUPHHK yang sudah tidak aktif
Gubernur, Bupati, BIPD, Dinas Kehutanan, Kementrian Kehutanan.
11.
Ketiadaan kelembagaan untuk menjembatani komunikasi antar stakeholder kehutanan dan meredam potensi konflik di kawasan hutan
Fasilitasi terbentuknya Dewan Kehutanan Papua
Dinas Kehutanan, LSM, Praktisi Kehutanan, Masyarakat Adat.
Dinas Kehutanan, TNI, POLRI, Masyarakat Adat, LSM, Akademisi. Praktisi Hukum.
90
Tabel 15 Kegiatan Pengembangan Kapasitas di Tingkat Individu55 No
Identifikasi Masalah
1.
Rendahnya pengetahuan dan ketrampilan masyarakat terkait dengan usaha pengelolaan hutan dan kemampuan manajerial koperasi
-
-
-
2.
3.
4.
Minimnya Tenaga Teknis (Ganis) dan Pengawas Tenaga Teknis (Wasganis) Pengesah LHP serta Tenaga Teknis (Pembuat LHP) di Kabupaten Kota Minimnya tenaga pendamping untuk IUPHHK-MHA
-
Rendahnya kuantitas dan peran Pemantau Independen di Papua dalam melakukan pemantauan terkait SVLK
-
Minimnya (ketiadaan?) auditor yang berbasis di Papua
-
-
-
• 5.
Pengembangan Kapasitas yang Dibutuhkan Peningkatan kapasitas terkait kelembagaan (bagaimana mengelola sebuah koperasi, misalnya) Pendampingan intensif dan berkesinambungan untuk Kopermas/KSU dalam mengelola IUPHHK-MHA Magang dan studi banding ke lokasi lain yang telah memiliki SVLK Pendidikan dan Pelatihan untuk menjadi Ganis maupun Wasganis
Pelatihan tenaga pendamping untuk IUPHHK-MHA Magang dan studi banding ke wilayah lain yang memiliki pengalaman pendampingan Pelatihan terkait sistem, investigasi, pengelolaan informasi, dll Pertemuan-pertemuan konsolidasi dengan jaringan pemantau independen baik dengan Papua Barat maupun di wilayah lain di Indonesia Memperbanyak auditor di tingkat daerah khususnya Papua dengan menyelenggarakan pelatihan untuk auditor di Papua
Pelaksana LSM, DinHut, Dinperindagkop, Balai Latihan Kehutanan, Perusahaan (mitrakerja) (Prioritas)
BP2HP XVII Papua, PT, BPK (Prioritas)
DinPerindagkop, PT, BPKH, LSM, DinHut (Prioritas)
LSM, BP2HP Wil XVII, DinHut, PT, DinPerindagkop
Lembaga auditor terakreditasi, Badan Diklat Kehutanan
Berdasarkan diskusi FGD II pada tanggal 24-25 Mei 2012 yang diikuti para pemangku kepentingan berikut adalah beberapa kegiatan yang menjadi prioritas dan mendesak untuk dilakukan: 1. Sosialisasi yang lebih intensif kepada para pihak (Dinas Kehutanan Provinsi, Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota, pelaku industri, Termasuk di dalamnya serangkaian proses untuk melengkapi individu dengan keterampilan pemahaman, dan akses terhadap informasi, pengetahuan dan pelatihan yang memungkinkan mereka untuk bekerja efektif. 55
91
2.
3. 4.
5. 6. 7.
masyarakat hukum adat, pemegang IUIPHHK skala produksi dibawah 6000 m3, LSM, dan instansi lain) Pemerintah Provinsi Papua membangun komunikasi intensif dengan Kementerian Kehutanan agar kebijakan khusus kehutanan Papua dapat diterima dan disahkan oleh Kementerian Kehutanan sebagai model pengelolaan hutan yang berlaku khusus di Papua, seperti yang terungkap sebagai masalah mendasar di tingkat kebijakan Memasukkan kekhususan Papua dalam kriteria dan indikator SVLK atau setidaknya mensosialisasikan kebijakan-kebijakan khusus tersebut kepada LPVI. Peningkatan kapasitas bagi masyarakat hukum ada pemegang IUPHHK-MHA dalam hal kelembagaan (bagaimana mengelola sebuah koperasi), pemahaman dan implementasi SVLK. Peningkatan kapasitas dapat dilakukan melalui pelatihan, magang dan studi banding. Pelatihan bagi IUIPHHK skala produksi dibawah 6000 m3 pertahun mengenai SVLK Pelatihan tenaga teknis (GANIS) untuk mendukung implementasi SVLK. Tenaga teknis yang dimaksud adalah tenaga teknis terkait dengan penatausahaan hasil hutan. Pendampingan intensif dan berkesinambungan bagi masyarakat hukum adat pemegang IUPHHK-MHA
Diharapkan usulan intervensi program yang sebaiknya dilakukan di Papua, seperti dijabarkan di atas, dapat menciptakan kondisi yang mendukung optimalnya implementasi sistem Penilaian Kinerja PHPL dan Verifikasi Legalitas Kayu demi tata kelola kehutanan yang baik (Good Forestry Governance) dalam rangka mencapai sistem pengelolaan hutan lestari di Papua.
92
LAMPIRAN
93
Lampiran 1 Tabel L1-1 Beberapa Peraturan Perundangan dan Kebijakan Dalam Pengelolaan Hutan yang Mencerminkan Semangat Desentralisasi No 1.
2.
3.
4.
5.
6.
8.
Kebijakan Kepmen No.05.1/Kpts/II tahun 2000 tentang Kriteria dan Standarisasi Perizinan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dan Perizinan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Alam Produksi. Peraturan Pemerintah No.34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. Kepmen 541/kpts/II tahun 2002 tentang Pencabutan Kepmen No.05.1/Kpts/II/2000 Kepmenhut No.32/Kpts/II tahun 2003 tentang Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Alam atau Hutan Tanaman Melalui Penawaran dan Pelelangan Permenhut No.P.05/Menhut -II tahun 2004 Jo. Permenhut No.P.10/Menhut- II/2004 tentang Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Melalui Penawaran Dalam Pelelangan PP.No.6 tahun 2007 jo. PP.No.3 tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan, yang mengganti PP.No.34 tahun 2002
PP. No.38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Keterangan Gubernur dan Bupati/Walikota diberi wewenang dalam proses pemberian perijinan pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan dalam bentuk IUPHHK. Bupati/Walikota mempunyai kewenangan untuk memberikan perijinan IUPHHK sepanjang areal hutan produksi yang akan diusahakan masih dalam satu kabupaten atau kota yang menjadi wilayah kerjanya. Pemberian hak pengusahaan hutan dalam bentuk IUPHHK pada hutan alam dan hutan tanaman menjadi kewenangan Menteri Kehutanan berdasarkan Rekomendasi Bupati/Walikota dan Gubernur. Menyelesaikan konflik akibat Kepmen sebelumnya dan memperbaiki kinerja SDM kehutanan. Untuk memperoleh IUPHHK tidak dapat lagi diberikan melalui mekanisme permohonan, namun harus melalui mekanisme penawaran dalam pelelangan
Memberikan kesempatan seluas- luasnya kepada masyarakat yang ingin memanfaatkan hutan melalui IUPHHK dan untuk mendapatkan penawar profesional dan berkualitas serta memiliki komitmen tinggi dalam pemanfaatan hutan secara lestari
Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan di seluruh kawasan hutan merupakan kewenangan Pemerintah dan pemerintah daerah. Mengatur pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) melibatkan stakeholders di daerah secara partisipatif. Mengatur pemberdayaan masyarakat sekitar hutan sebagaimana melalui hutan desa, hutan kemasyarakatan dan kemitraan. Urusan kehutanan menjadi urusan pilihan bagi pemerintah daerah. Dalam lampiran PP. tersebut dibuat suatu matrik pembagian urusan pemerintahan bidang kehutanan
94
Lampiran 2 Tabel L2-1 Perusahaan IUPHHK-HA di Provinsi Papua 2012 SK IUPHHK No Perusahaan Nomor Tanggal Luas A. Kabupaten Asmat 303/Kpts-II/96 1 PT Rimba Megah Lestari 18/6/1996 250.000 70/Kpts-II/96 2 PT Kayu Pusaka Bumi 28/2/1996 171.100 Makmur Jumlah A 421.100 B. Kabupaten Bovendigul 57/Kpts-II/93 1 PT Bade Makmur Orissa 2/9/1993 462.600 SK 101/Menhut 2. PT Tunas Sawaerna 12/2/2009 214.935
AAC (M3)
76.000 198.000
Aktif Aktif Belum operasi Stagnasi 2002 Stagnasi
PT Digul Daya Sakti 1
II/2009 614/Kpts-II/95
15/11/95
102.200
152.670
4
PT Digul Daya Sakti 2
614/Kpts-II/95
15/11/95
244.800
52.930
5
PT Dharmali Mahkota Timber PT Tunggal Yudhi Unit II
248/Kpts-II/94
6/7/1994
156.800
489/Kpts-II/55
14/9/95
203.600
102.881
1.384.935
506.481
Jumlah B C. Kabupaten Keerom 1 PT. Hanurata Uni Jayapura 2 PT Risana Indah Forest Industri 3 PT Tunggal Yudhi Unit I 4
PT Batasan Jumlah C D. Kabupaten Merauke 1 PT. Damai Setia Tama Timber 2 PT Artika Optima Inti Unit IV 3 PT Mukti Artha Yoga Jumlah D E. Kabupaten Mimika 1 PT Diadyani Timber 2
Aktif stagnasi 2002
76.000
3.
6
Ket
Stagnasi 2002
228/Kpts-II/91
29/4/91
188.500
135.000
Aktif
18/Kpts-II/99
10/1/1990
197.000
146.230
Stagnasi
489/Kpts-II/55
14/9/95
69.400
50.384
342/Kpts-II/97
1/2/1997
106.643 561.543
52.155 383.769
Stagnasi 2003 Aktif
948/Kpts-II/91
30/1/91
305.000
96.400
Aktif
660/Kpts-II/95
30/11/95
110.700
58.694
SK 57/MenhutII/2007
22/2/2007
151.690
Stagnasi 2000 Aktif
567.390 SK 292/MenhutII/09 649/Kpts-II/95
PT Alas Tirta Kencana Jumlah E F. Kabupaten Nabire 69/Kpts-II/97 1 PT Jati Dharma Indah Jumlah F G. Kabupaten Mamberamo Raya 1071/Kpts-II/92 1 PT Mamberamo Alas Mandiri Jumlah G H. Kabupaten Sarmi 40/Kpts-II/91 1 PT Bina Balantak Utama SK 466/Menhu2 PT Mondialindo Setya II/06 Pratama SK 396/Menhut3 PT Salaki Mandiri
155.094
18/05/09
205.160
Aktif
30/11/95
87.500 292.660
22.599 22.599
Aktif
31/1/97
207.410 207.410
69.848 69.848
Aktif
9/11/1992
677.310
303.574
Aktif
677.310
303.574
16/1/1991 9/19/2006
325.300 94.500
146.230 69.029
Aktif Aktif
17/7/2006
79.130
61.197
Aktif
95
4 5
Sejahtera PT Wapoga Mutiara Timber II PT Sumber Mitra Jaya
Jumlah H I. Kabupaten Waropen 1 PT Wapoga Mutiara Timer III 2 PT Irmasulindo Unit I Jumlah I Total
No 1 2 3 4 5
No 1 2
3
4
5
6
II/06 744/Kpts-II/90 SK 555/MenhutII/06
13/12/90
196.900
75.148
Aktif
22/2/2006
52.150
56.115
Belum operasi
747.990
407.719
407.350
225.416
Stagnasi
174.540 581.890 5.442.218
125.330 225.416 2.275.830
Stagnasi
169/Kpts-II/97
25/3/97
05/Kpts-II/2001
11/1/2001
Tabel L2-2 Data IUPHHK Hutan Tanaman Provinsi Papua tahun 2012 SK IUPHHK-HT Luas Nama Perusahaan Nomor Tanggal (ha) SK.18/MenhutPT. Selaras Inti Semesta 22-Jan-09 169,400.00 II/2009 251/MenhutPT. Merauke Rayon Jaya 1-Jul-08 206,800.00 II/2008 KSU Nafa Aroa Indah 49 Tahun 2011 1-Apr-11 300.00 (Nabire) KSU AIWI (Nabire) 45 Tahun 2011 28-Mar-11 16,292.35 KSU Rondai Baru 13 Tahun 2011 10-Feb-11 300.00 Mandiri (Nabire) Tabel L2-3 Data IUIPHHK Kapasitas >6000 m3 di Provinsi Papua Nama Izin Jenis Lokasi Industri PT. Swastika 49/MenhutSawn timber Nabire Jaya II/2011 PT. Korindo 375/MenhutKayu Lapis Bovendigoel Abadi II/2010 Kayu Gergajian PT.Wapoga 4026/MenhutKayu lapis, Biak Mutiara VI/BPPHH/2006 LVL, Industry Veener, Kayu Gergajian PT.Sinar S.585/BPPHHKayu lapis Kepulauan Wijaya I/2009 LVL Yapen Plywood Veener Kayu Gergajian PT. Kayu Kab. Sarmi Mondialindo Gergajian Setya Pratama PT. Medco 677/MenhutSerpih Kayu Merauke Papua II/2009 Olahan lain Industri berbahan Lestari KBB/KBK
Keterangan IUPHHK-HTI IUPHHK-HTI IUPHHK-HTR IUPHHK-HTR IUPHHK-HTR
Kapasitas
Ket Aktif
18,000
Aktif
160.000 8.000
Aktif 190,000
Aktif 112,000
Aktif 35,000 2,000,000
Aktif
96
Lampiran 3 Hasil Diskusi Kelompok Identifikasi Permasalahan dan Usulan Pemecahannya Terkait Implementasi SVLK di Papua Focus Group Discussion, 4 April 2012, H.Aston – Jayapura Diskusi Kelompok Masyarakat Hukum Adat Identifikasi Permasalahan Implementasi SVLK Perdasus Pengelolaan Hutan Lestari dengan peraturan pusat belum sinkron
Masyarakat pengelola IKR/IUPHHKMHA belum memahami sepenuhnya Penatausahaan Peredaran Hasil Hutan Kayu
Adanya tambahan biaya implementasi SVLK bagi industri menengah dan kecil yang memiliki modal usaha terbatas Penataan dan pemancangan batas luar kawasan IUPHHK MHK untuk kepastian hukum kawasan
Pengawas tenaga teknis (Wasganis) pengesah LHP dan tenaga teknis (Pembuat LHP) di kabupaten kota masih sangat kurang
Belum adanya pasar yang jelas untuk menampung hasil hutan kayu yang dikelola oleh masyarakat melalui IKR/IUPHHK MHA.
Alternatif Pemecahan Masalah • Perlunya harmonisasi peraturan pelaksana antara pusat dan daerah berkaitan dengan pelaksanaan SVLK. • Perlu soasialisasi peraturan-peraturan Gubernur yang menyangkut pengelolaan hasil hutan (turunan perdasus 21 Tahun 2008). • Perlu adanya informasi yang lengkap untuk memberikan pemahaman secara baik tentang pelaksanaan IKR/IUPHHKMHA. • Diperlukan adanya pendampingan teknis secara continue kepada masyarakat pengelola IKR/IUPHHKMHA. • Diperlukan dukungan kerjasama untuk penguatan modal bagi implementasi SVLK dalam pelaksanaan IKR/IUPHHK-MHA. • Adanya kesepakatan batas antar marga pemilik hak atas kawasan IKR/IUPHHK MHA • Adanya kepastian kawasan IKR/IUPHHK MHA melalui tata batas yang dilakukan secara teknis. • Perlu adanya pelatihan bagi masyarakat sebagai pengelola hasil hutan kayu. • Perlu adanya kerjasama dengan pihak Pemerintah (Dinas Kehutanan) maupun stakeholder lain dalam pengelolan dan pengawasan hasil hutan kayu. • Diperlukan adanya kebijakan untuk pendirian pasar-pasar lokal oleh masyakat , misalnya : kios/warung kayu , khusus untuk memenuhi permintaan lokal (kebutuhan lokal). • Perlu adanya ketersediaan pasar antar pulau (dalam negeri) atas kerjasama masyarakat pemerintah daerah dan pendamping dan para pihak yang mendukung. • Perlu adanya ketersedian pasar luar negeri atas kerjasama masyarakat , pemerintah dan para pihak yang mendukung
97
Diskusi Kelompok Pemerintah Identifikasi Permasalahan Implementasi SVLK Perdasus Pengelolaan Hutan Lestari dengan peraturan pusat belum sinkron (belum sinkron dan harmonisnya Peraturan Teknis Kehutanan)
Masyarakat pengelola IKR/IUPHHKMHA belum memahami sepenuhnya Penatausahaan Peredaran Hasil Hutan Kayu Adanya tambahan biaya implementasi SVLK bagi industri menengah dan kecil yang memiliki modal usaha terbatas
Penataan dan pemancangan batas luar kawasan IUPHHK-MHA untuk kepastian hukum kawasan
Tenaga Teknis (Ganis) dan Pengawas Tenaga Teknis (Wasganis) Pengesah LHP serta Tenaga Teknis (Pembuat LHP) di kabupaten kota masih sangat kurang Produksi dan peredaran kayu
Alternatif Pemecahan Masalah Fasilitasi dialog dalam rangka sinkronisasi dan harmonisasi peraturan pelaksanaan berdasarkan Perdasus Kehutanan Papua dengan beberapa peraturan pelaksanaan berdasarkan peraturan menteri a.l.: 1. Industri Kayu Rakyat (IKR) 1.1. PNBP (DR dan PSDH) 1.2. Lisensi Fee (Rp/Ha) 2. Hutan Tanaman Rakyat (HTR) 3. Surat Keterangan Asal Usul Kayu (SKAU) 4. Dokumen Tata Usaha Kayu (TUK) 5. Kajian hukum terhadap HPH yang tidak aktif 6. Hutan desa 7. Pemetaan partisipatif hak ulayat MA 1. Sosialisasi 2. Pendidikan dan Pelatihan 3. Magang & Studi Banding 4. Pendampingan Berkesinambungan 5. Pelatihan tenaga pendamping IKR 1. Fasilitasi dana pemerintah melalui dinas atau instansi terkait melalui kredit program 2. Dukungan biaya dari pemerintah untuk SVLK, tata batas, inventarisasi, pemetaan, PNBP-PSDH/DR 3. Pelaksanaan penilaian SVLK dilakukan serentak pada beberapa industri dalam satu wilayah 4. Pelatihan auditor lokal untuk PHPL dan SVLK mengurangi biaya audit 1. Penataan dan pengukuhan batas kawasan pal batas dan pohon batas 2. Pemetaan partisipatif hak ulayat masyarakat adat kepastian kepemilikan 1. Pendidikan dan pelatihan khusus (penguji kayu bulat rimba dan penguji kayu gergajian) untuk masyarakat 1. 2.
Penguatan kapasitas dan kapabilitas PI dan VI dalam rangka PHPL
1.
Pengendalian dan pengamanan peredaran hasil hutan
2.
Pembangunan tempat penampungan, distribusi dan informasi pasar Melakukan analisis kebutuhan perkayuan kabupaten kota dan analisis pembangunan yang butuh kayu Fasilitasi pembentukan Dewan Kehutanan Daerah (DKD) untuk memperkuat kelembagaan PHPL Membangun dialog lintas sektor, masyarakat adat dan stakeholder terkait dalam rangka penertiban, pengendalian
98
peredaran hasil hutan (pos-pos pengamanan)
Diskusi Kelompok LSM, Akademisi, Pemerhati
1.
2. 3. 4. 5. 6.
Identifikasi Permasalahan Implementasi Alternatif Pemecahan Masalah SVLK Masyarakat pengelola IKR/IUPHHK‐ Perlu dipersiapkan adanya ganis MHA belum memahami sepenuhnya Penatausahaan peredaran hasil hutan kayu Kejelasan pemetaan batas hutan masyarakat hukum adat yang disahkan oleh pejabat publik sebagai dasar dokumen kepemilikan/penguasaan lahan. Minimal disetujui oleh kepala-kepala suku yang menguasai dan memiliki serta berbatasan dengan lahan hutan ybs. Kepastian areal pengelolaan hutan IUPHHK-MHA dan juknis penataan areal kegiatan. Tanda pal batas dapat menggunakan tumbuhan yang bernilai ekonomis dan yang berumur panjang, seperti pinang. Perlu adanya petunjuk teknis jumlah minimal tenaga teknis (SK Dinas terkait) pada tiap IUPHKK-MHA, minimal 4 orang (cruser, pembuat LHP, penerbit SK SKB, penerbit faktur angkut kayu). Peningkatan jumlah dan kualitas ganis asal masyarakat pelaku usaha. Kayu olahan primer diperluas spesifikasinya hingga flooring dan ukuran khusus lainnya dan dijabarkan dalam juknis dan juklak. Berhubungannya dengan nilai tambah dari produk yang dihasilkan, yang tidak terbatas hanya pada kayu gergajian kebutuhan lokal.
99
INSTRUMEN PENGUMPULAN DATA PRIMER
Lampiran 4
Tujuan : Memberikan informasi terkini mengenai pengelolaan industri hasil hutan kayu yang dilakukan oleh masyarakat hukum adat Papua Studi Kasus : KSU Lwagubin Srem dan KSU Jibogol, Jayapura (PI) KSU Year Asai, Yapen (ES) Kelompok Pengelolaan Hasil Hutan Mo Make Unaf, Merauke (LBP) KSU Nuwoa Baru, Nabire (MJT) Metodologi : FGD Interview Observasi Lapangan Variabel Temuan Lapangan dan Pertanyaan Kunci No 1.
2.
Variabel Profil Organisasi/ Koperasi
SWOT Analysis Strength (Kekuatan) atau Weakness (Kelemahan)
-
Pertanyaan Kunci Visi, Misi dan Tujuan Struktur Organisasi Sejarah Pembentukan Dll
- Perihal perijinan. Berupa apakah ijin formal yang dimiliki saat ini? - Apa upaya yang dilakukan agar memperoleh SK Gub Tentang Pemberian IUIPHHKR-MHA (seperti kepada KSU Jibogol di Jayapura) - Perihal penyiapan organisasi. Apa upaya yang telah dilakukan ? (peningkatan kapasitas? bidang apa?) - Terkait dengan penataan kawasan. Apa upaya yang telah dilakukan? Pemetaan partisipatif? Pembuatan Peta areal kerja? Penataan areal kerja? Penataan Batas? ITSP? Pembangunan jalur transportasi kayu di dalam hutan? - Perihal modal kerja. Peralatan apa yang dimiliki? Modal berupa uang? - Kerjasama dengan pihak lain? Pemkab? Perguruan Tinggi? LSM? Organisasi Masyarakat Sipil lain? - Terkait monitoring dan evaluasi, apakah secara rutin dilakukan monev? Oleh siapa dan bagaimana caranya?
Opportunity (Peluang/Kesempatan)
- Sejauh mana pengaruh dari Oronomi khusus dan kebijakan pengelolaan hutan yang lahir sebagai turuannya (Perdasus Kehutanan? Zero export log? dll) menjadi peluang
Threat (Tantangan/Ancaman)
- Bagaimana dengan pasar? Apa upaya yang dilakukan dalam rangka memasarkan produk selama ini? Apa upaya yang dilakukan dalam rangka membangun pasar ke
100
depan? Melibatkan siapa saja? - Terkait kriteria dan indikator SVLK, mana yang menjadi tantangan terbesar untuk dipenuhi? (Bagaimana dengan Faktur Angkutan Kayu Olahan (FAKO) - Masalah legalitas yang tidak harmonis (kasus izin IUPHHK-MHA dan IUIPHHKRMHA di Papua menjadi 1 paket sementara secara Nasional ini adalah dua hal berbeda) 3
Rantai Perdagangan
- Gambaran perjalanan kayu dari sumber bahan baku sampai dipasarkan Catatan : Terkait dengan pencarian informasi mengenai point ini, survey lapangan hendaknya sampai kepada aktor-aktor perantara bisnis kayu (seperti Victory, Mansinam Global Mandiri, dan perusahaan serupa lainnya)
Tujuan : Memberikan informasi terkini mengenai kesiapan para aktor kunci dalam implementasi SVLK di Papua dalam rangka menuju pengelolaan hutan lestari Sasaran : • • • • • • • •
Dinas Kehutanan Propinsi Papua (PI) Dinas Kehutanan Kabupaten Yapen (ES) Dinas Kehutanan Kabupaten Nabire (MJT) Dinas Kehutanan Kabupaten Merauke (LBP) Disperindagkop (LBP) Mansinam Global Mandiri (LBP) Victory (PI) Industri Kehutanan lain yang ditemukan dalam mata rantai perdagangan kayu
Metodologi : Interview Observasi Lapangan Variabel Temuan Lapangan dan Pertanyaan Kunci No 1.
Variabel Pemahaman
Pertanyaan Kunci Perihal pengetahuan tentang sistem - Apakah pihak terkait mengetahui perihal regulasi SVLK (Permenhut No. 38/Menhut-II/2009 Jo. No. 68/MenhutII/2011)? Perihal pemahaman (lebih jauh dari ‘tahu’) tentang perannya dalam sistem - Sejauh mana pihak terkait paham regulasi SVLK ? (tentunya terkait perannya)
2.
Kesesuaian/ Kompatibilitas
Perihal opini tentang sistem - Bagaimana tanggapan pihak terkait tentang regulasi SVLK tersebut? Perihal kesesuaian/kompatibilitas
101
3.
Upaya/dukungan dalam Implementasi Internal
-
Apakah tujuan dari sistem sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh stakeholder bersangkutan
-
Apakah keberadaan sistem sesuai dengan kebutuhan stakeholder
-
Apakah sesuai dengan proses yang ada di dalam stakeholder saat ini. Misalkan apa bentuk peraturan internal di instansi terkait yang “kompatible atau sejalan” dengan regulasi SVLK tersebut? Misalnya, berkaitan dengan pengaturan usaha industri pengolahan kayu lanjutan di daerahnya. Atau justru sebaliknya (bertentangan)?
-
Apakah sesuai dengan budaya masyarakat
-
Apakah sesuai dengan kebijakan kehutanan propinsi Papua
Perihal bentuk dukungan internal atas implementasi SVLK ‐ Apakah terdapat visi, misi dan strategi untuk mengimplementasikan tata kelola hutan lestari yang disetujui oleh manajemen tertinggi ? -
Adakah kebijakan yang secara khusus sengaja didisain untuk mendukung pelaksanaan regulasi SVLK?
‐
Apakah terdapat penugasan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk implementasi SVLK secara khusus atau mewujudkan tata kelola hutan lestari ?
‐
Apakah ada komunikasi intensif antara pimpinan tertinggi kepada pihak yang ditugaskan ?
‐ Bagaimana instansi terkait memfasilitasi pelaku usaha industri kayu/kehutanan dalam konteks implementasi regulasi SVLK? Misalnya, apakah ada policy affirmation terkait dengan pengurusan SIUP bagi pelaku usaha industri kayu/kehutanan di daerahnya? Atau yang paling sederhana, apakah telah melakukan sosialisasi mengenai berlakunya regulasi SVLK kepada pelaku usaha industri kayu/kehutanan? Hal mana berkaitan dengan peran yang harus mentransformasikan informasi sejelas mungkin kepada pelaku usaha—terutama yang kecil—mengingat justru peran ini lebih banyak dilakukan oleh broker ekspor yang tentu saja biasanya dengan memanfaatkan kondisi asymmetric information pada pelaku usaha kecil sebagai celah untuk rent seeking. ‐
Apakah ada dukungan finansial khusus untuk itu ? Misalnya berkaitan dengan biaya yang diperlukan untuk proses sertifikasi yang tidak kecil yang harus ditanggung oleh pemegang hak/ijin, apakah instansi sudah memulai memikirkan untuk memfasilitasi sertifikasi secara kolektif—melalui pembentukan kelembagaan koperasi hutan rakyat atau pelaku usaha/pengrajin industri kehutanan dalam skala yang lebih besar—sebagaimana SVLK memang memungkinkannya?
‐
Bagaimana dengan dukungan pengetahuan dan
102
teknologi? ‐
Apakah terdapat upaya untuk meningkatkan pemahaman terhadap SVLK atau tata kelola hutan lestari secara umum (misalnya melalui pelatihan)?
Perihal upaya koordinasi ‐ Bagaimana dengan upaya koordinasi lintas sektoral atau dengan instansi lain atau dengan pihak lain (LSM/Perguruan Tinggi/dll) Eksternal
4.
Permasalahan/Tantangan dan Usulan Pemecahannya
‐
Bagaimana dengan dorongan untuk memenangkan kompetisi di ‘pasar’? apakah konteks Papua mendukung?
‐
Bagaimana dengan dorongan untuk membangun citra ?
‐
Apakah ada paksaan oleh mitra kerja (buyer) untuk mengimplementasikan SVLK atau tata kelola hutan lestari secara umum.
‐
Sejauh mana dorongan dari pemerintah setempat?
‐
Atau ada desakan dari pihak lain? Misalkan LSM
-
Apa permasalahan/Tantangan ke depan yang ditemui dari pertanyaan-pertanyaan di atas?
-
Dan apa usulan pemecahannya
*Catatan : Pertanyaan kunci di atas tidak dapat diberlakukan secara general kepada sasaran yang diinterview. Silahkan dipilih mana yang sesuai untuk ditanyakan sesuai dengan peran dalam implementasi SVLK dalam mewujudkan PHL
103
Lampiran 5 Daftar LP PHPL yang Telah diakreditasi No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Nama PT. Ayamaru Certification PT. Sarbi International Certification PT. SUCOFINDO SBU (SICS) PT. Almasentra Certification PT. Rensa Global Trust PT. Forescitra Sejahtera PT. Mutuagung Lestari PT. Nusa Bakti Mandiri PT. Equality Indonesia PT. Multima Krida Cipta PT. TUV International Indonesia PT. Global Resource Sertifikasi
No. Akreditasi LPPHPL-001-IDN LPPHPL-004-IDN LPPHPL-005-IDN LPPHPL-006-IDN LPPHPL-007-IDN LPPHPL-009-IDN LPPHPL-008-IDN LPPHPL-010-IDN LPPHPL-013-IDN LPPHPL-015-IDN LPPHPL-016-IDN LPPHPL-017-IDN
Daftar LVLK yang Telah diakreditasi No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Nama PT. BRIK PT. Sucofindo PT. Mutuagung Lestari PT. Mutu Hijau Indonesia PT. TUV International Indonesia PT. Equality Indonesia PT. Sarbi Moerhani Lestari PT. SGS Indonesia
No. Akreditasi LVLK-001-IDN LVLK-002-IDN LVLK-003-IDN LVLK-004-IDN LVLK-005-IDN LVLK-006-IDN LVLK-007-IDN LVLK-008-IDN
104