II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan dipopulerkan melalui laporan Our Common Future yang disiapkan oleh World Commission on Environment and Development (WCED) atau Komisi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan atau dikenal pula dengan nama Komisi Bruntland (1987) (Mitchell et al. 2003). Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya (Sustainable development is development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs) (WCED 1987). The term sustainability expresses the human desire for an environment that can provide for our needs now and for future generations. Our collective journey to find a way to live harmoniously with each other and within our social, economic, and ecological environments is a quest for sustainability. Ilustrasi keterkaitan antara sub sistem sosial, ekonomi, dan ekologis satu sama lain dalam sistem pembangunan berkelanjutan adalah seperti tampak pada Gambar 2.
Sustainability
Ecological
Social
Economic
Gambar 2. Keterkaitan sosial, ekonomi, dan ekologis dalam pembangunan berkelanjutan (Brundtland Commission and Sustainable Development 2006)
9 Di dalam definisi pembangunan berkelanjutan terkandung dua gagasan penting: (1) gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan esensial kaum miskin se dunia, yang harus diberi prioritas utama; dan (2) gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan kini dan hari depan. Pemenuhan kebutuhan dan aspirasi manusia adalah tujuan utama pembangunan. Kebutuhan esensial sejumlah besar penduduk di negara-negara berkembang: pangan, sandang, rumah, pekerjaan, belum terpenuhi dan di luar kebutuhan dasar itu orang-orang tersebut mempunyai cita-cita akan kehidupan yang lebih baik. Dunia yang di dalamnya kemiskinan dan kepincangan sudah endemik akan selalu mudah terserang krisis ekologi dan krisis-krisis lainnya. Pembangunan berkelanjutan mengharuskan dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar bagi semuanya dan diberinya kesempatan kepada semua untuk mengejar cita-cita akan kehidupan yang lebih baik. Pertumbuhan ekonomi selalu membawa risiko kerusakan lingkungan, karena hal itu meningkatkan tekanan pada sumberdaya–sumberdaya lingkungan (WCED 1987). Menurut Munasinghe (1992),
tiga tujuan pembangunan berkelanjutan
yang harus dicapai secara simultan dengan kombinasi ketiganya sesuai dengan kondisi dan tingkat kemajuan masyarakat yaitu (1) tujuan ekonomi: pertumbuhan ekonomi, peningkatan output, pembentukan modal dan peningkatan daya saing; (2)
tujuan
sosial:
kesejahteraan
sosial,
pemerataan,
kenyamanan
dan
ketenteraman; (3) tujuan ekologis: pemeliharaan dan peningkatan kualitas lingkungan, mengurangi dampak eksternalitas negatif dan mendorong dampak ekternalitas positif dalam proses kegiatan pembangunan. Pembangunan yang berkelanjutan mempunyai 5 ciri yaitu: (a) menjaga kelangsungan hidup manusia dengan cara melestarikan fungsi dan kemampuan ekosistem yang mendukungnya, baik secara langsung maupun tidak langsung; (b) memanfaatkan sumber daya alam secara optimal dalam arti memanfaatkan sumber daya alam sebanyak alam dan teknologi pengelolaan mampu menghasilkannya secara lestari; (c) memberi kesempatan kepada sektor dan kegiatan lainnya di daerah untuk berkembang bersama-sama baik dalam kurun waktu yang sama maupun dalam kurun waktu yang berbeda secara sambung
10 menyambung; (d) meningkatkan dan melestarikan kemampuan dan fungsi ekosistem untuk memasok sumber daya alam, melindungi serta mendukung perikehidupan secara terus menerus (Darsono 1995). World Bank menjabarkan konsep pembangunan berkelanjutan dalam bentuk kerangka segitiga pembangunan berkelanjutan (sustainable development triangle) seperti tampak pada Gambar 3.
EKONOMI • •
• Assessmen lingkungan • Valuasi lingkungan • Internalisasi
Efisiensi Pertumbuhan
• Kesempatan kerja • Redistribusi pandapatan • Resolusi konflik • • •
Penanggulangan kemiskinan Pemerataan Kelestrarian
EKOLOGI • •
Sumberdaya alam Pertumbuhan
SOSIAL •
• Nilai-nilai budaya • Partisipasi • Konsultasi
•
Keadilan Pemerataan
Gambar 3. Segitiga konsep pembangunan berkelanjutan (Munasinghe 1993) Dalam kerangka segitiga tersebut ditunjukkan bahwa suatu kegiatan pembangunan dinyatakan berkelanjutan jika kegiatan tersebut secara ekonomi, ekologi, dan sosial bersifat berkelanjutan (Seregeldin, 1996). Berkelanjutan secara ekonomi berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan dapat mewujudkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital, dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologi mengandung arti bahwa kegiatan tersebut dapat memepertahankan intergitas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati. Sedangkan berkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemeratan hasil-hasil pembangunan,
11 mobilitas sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan. Bagi Indonesia, kebijakan berbasis pembangunan berkelanjutan terus ditingkatkan. Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dikembangkan sebagai upaya sadar dan berencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan (UU No. 23/1997). 2.2. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Penyakit DBD atau dengue haemorrhagic fever (DHF) adalah salah satu penyakit menular berbasis lingkungan (Sukowati 2007), yang menyerang manusia semua umur, yang dapat menimbulkan wabah dan kematian dengan cepat (Depkes. R.I. 2005a; Nerseri et al. 1998). Hasil penelitian Muchlastriningsih et al. (1998) di Jakarta menunjukkan bahwa tiga golongan umur yang paling banyak terserang penyakit DBD pada tahun 1990-1994 ialah golongan umur 1-5 tahun, diikuti golongan umur > 5-10 tahun, kemudian golongan umur > 10-15 tahun. Penyakit DBD tidak hanya terutama menyerang anak yang secara antropometrik mempunyai status gizi baik, tetapi bisa juga menyerang anak yang mempunyai status gizi kurang dan buruk (Bachtiar 1990). Masalah penyakit DBD adalah masalah kesehatan global, upaya-upaya pencegahan dan pengendalian penyakit DBD yang telah dilakukan hingga saat ini belum efektif,
aktivitas-aktivitas
pengendalian vektor penyakit DBD belum dapat mencegah penularan penyakit (Sopontammarak 2003; Figueiredo 2003). Di Indonesia penyakit DBD pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968 (Soedarmo 1988) tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Dari tahun 1968 sampai tahun 1972 wabah hanya dilaporkan di pulau Jawa. Epidemi pertama di luar Jawa dilaporkan pada tahun 1972 di Sumatera Barat dan Lampung, disusul pada tahun 1973 oleh epidemi di Riau, Sulawesi Utara, dan Bali. Pada tahun 1974, epidemi dilaporkan di Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Pada tahun 1975, dua puluh Provinsi telah melaporkan berjangkitnya epidemi DHF. Provinsi-provinsi yang sampai dengan tahun 1979 belum pernah melaporkan terdapatnya penyakit demam berdarah ialah Bengkulu,
12 Sulawesi Tenggara, dan Timor Timur. Sampai dengan tahun 1981, Provinsi Timor Timur merupakan satu-satunya Provinsi yang belum melaporkan terdapatnya kejadian DHF. Selama 39 tahun dalam periode tahun 1968 sampai dengan akhir tahun 2007, menurut catatan Depkes R.I., jumlah penderita penyakit DBD di Indonesia adalah 1.112.828 orang atau rata-rata 28.534 orang per tahun. Dari jumlah itu penderita yang meninggal adalah 22.905 orang (2,058 %) atau rata-rata 588 orang per tahun. 2.2.1. Penyebab Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue anggota genus flavivirus dan famili flaviviridae. Virus ini berukuran kecil (50 nm) (WHO 2003). Dengue fever is caused by the dengue virus which belongs to the genus Flavivirus, in the flaviviridae family There are four serotypes of this virus known as DEN-1, DEN2, DEN-3, and DEN-4 (Sriprom et al. 2003). Dengue fever (DF), and its more severe form known as dengue haemorrhagic fever (DHF) is the most important arthropod-transmitted viral disease of humans in the world to day with one third of the world’s population at risk (Fakeeh et al. 2003). Dengue virus (DEN) is a mosquito-borne flavivirus and the most prevalent arbovirus in tropical and subtropical regions of the globe (Liu et al. 2003). 2.2.2. Tanda atau Gejala Klinis Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Tanda atau gejala klinis penyakit DBD adalah: pertama, demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2 sampai 7 hari; kedua, manifestasi perdarahan (petekie, purpura, perdarahan konjungtiva, epistaksis, ekimosis, perdarahan mukosa, perdarahan gusi, hematemesis, melena, hematuri) termasuk uji tourniquet (rumple leede) positif; ketiga, trombositopeni (trombosit ≤ 100.000/μl); keempat, hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit ≥20%); dan kelima, disertai dengan atau tanpa pembesaran hati (hepatomegali) (Depkes. R.I. 2005a). WHO (1986) menyatakan bahwa dengue fever (DF) is an acute febrile viral disease frequently presenting with headaches, bone or joint and muscular pains, rash and leukopenia as symptons. dengue haemorrhagic fever (DHF) is
13 characterized by four major clinical manifestations, high fever, haemorrhagic phenomena, often with hepatomegaly and, in severe cases, signs of circulatory failure. Such patients may develop hypovolaemic shock resulting from plasma leakage. This is called dengue shock syndrome (DSS) and can be fatal. 2.2.3. Penularan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Di negara-negara Asia Tenggara, virus dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Albopictus (WHO 2003; Lee dan Rohani 2005). Penularan antar manusia melalui tusukan nyamuk Aedes aegypti pada siang hari. Nyamuk yang berperan sebagai agen virus dengue menusuk manusia, mentransfer virus dengue, mengisap darah manusia yang sebenarnya untuk mematangkan telurnya yang dibuahi oleh sperma nyamuk Aedes aegypti jantan (Soedarmo 1988). Nyamuk Aedes (stegomyia) yang betina biasanya terinfeksi virus dengue pada saat dia menghisap darah dari seseorang yang sedang dalam fase demam akut (viraemial). Setelah melalui periode inkubasi ekstrinsik selama 8 sampai 10 hari kelenjar ludah nyamuk yang bersangkutan akan terinfeksi dan virusnya akan ditularkan ketika nyamuk tersebut menggigit dan mengeluarkan cairan ludahnya ke dalam luka gigitan ke tubuh orang lain. Setelah masa inkubasi di tubuh manusia selama 3 sampai 14 hari (rata-rata 4 sampai 6 hari) timbul gejala awal penyakit secara mendadak, yang ditandai dengan demam, pusing, myalgia (nyeri otot), hilangnya nafsu makan, dan berbagai tanda atau gejala nonspesifik seperti nausea (mual-mual), muntah dan rash (ruam) pada kulit. Viraemia biasanya muncul pada saat atau persis sebelum gejala awal penyakit tampak dan berlangsung selama kurang lima hari setelah dimulainya penyakit. Saat-saat tersebut merupakan masa kritis di mana penderita dalam masa sangat infektif untuk vektor nyamuk yang berperan dalam siklus penularan jika penderita tidak terlindung terhadap kemungkinan digigit nyamuk. Itulah bukti pola penularan virus secara vertikal dengue
dari nyamuk-nyamuk betina yang terinfeksi ke
generasi berikutnya (WHO 2003). 2.2.4. Vektor Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Indonesia nyamuk penular (vektor) penyakit DBD yang penting adalah Aedes aegypti, Aedes albopictus, dan Aedes scutellaris, tetapi sampai saat ini yang menjadi vektor utama dari penyakit DBD adalah Aedes aegypti (Depkes. R.I.
14 2002a). Karakteristik nyamuk Aedes aegypti, yaitu pertama, seperti umumnya nyamuk lainnya, namun morfologi tubuhnya dengan bintik-bintik putih dengan pigmen dasar coklat-kehitaman; kedua, habitatnya di sekitar rumah dan bertelur pada air jernih di bak mandi, tempayan yang terbuka, tempat minum hewan peliharaan, dan vas bunga; ketiga, menusuk mangsanya pada siang hari; keempat, nyamuk ini bersembunyi di pakaian yang digantung di ruang rumah (Soedarmo 1988). Aedes aegypti is one of the most efficient mosquito vectors for arboviruses, because it is highly anthropophilic and thrives in close proximity to humans and often lives indoors (WHO 1997). Tempat perindukan (breeding habit) nyamuk Aedes aegypti berupa genangan-genangan air yang tertampung di suatu wadah yang biasa disebut kontainer dan bukan pada genangan-genangan air di tanah. Kebiasaan menggigit Aedes aegypti ialah pada pagi dan sore hari, yaitu pada pukul 08.00 sampai pukul 12.00 dan pukul 15.00 sampai pukul 17.00. Nyamuk ini lebih banyak menggigit di dalam rumah daripada di luar rumah. Kebiasaan hinggap istirahat, lebih banyak di dalam rumah, yaitu pada benda-benda yang bergantungan, berwarna gelap dan tempat-tempat lain yang terlindung; juga di dalam sepatu. Jarak terbang diperkirakan 50 sampai 100 meter (Depkes. R.I. 2002a). Soedarmo (1988) mengemukakan habitat, morfologi dan lingkaran hidup nyamuk Aedes aegypti bahwa nyamuk Aedes aegypti betina suka bertelur di atas permukaan air pada dinding vertikal bagian dalam tempat-tempat yang berisi sedikit air. Air harus jernih dan terlindung dari cahaya matahari langsung. Tempat air yang dipilih ialah tempat air di dalam dan dekat rumah. Larva Aedes aegypti umumnya ditemukan di drum, tempayan, gentong atau bak mandi di rumah keluarga Indonesia yang kurang diperhatikan kebersihannya. Di daerah yang sumurnya berair asin atau persediaan air minumnya tidak terdapat secara teratur, seperti di daerah pantai, penduduk biasanya menyimpan air hujan dalam drum berkapasitas 200 liter. Tempat air yang tertutup longgar lebih disukai oleh nyamuk betina sebagai tempat bertelur, dibandingkan dengan tempat air yang terbuka. Karena tutupnya jarang dipasang secara baik
dan sering dibuka
mengakibatkan ruang di dalamnya relatif lebih gelap dibandingkan dengan tempat air yang terbuka. Aedes aegypti dewasa berukuran kecil dengan warna dasar
15 hitam. Probosis bersisik hitam, palpi pendek dengan ujung hitam bersisik putih perak. Oksiput bersisik lebar, berwarna putih terletak memanjang. Femur bersisik putih pada permukaan posterior dan setengah basal, anterior dan tengah bersisik putih memanjang, tibia semuanya hitam. Tarsi belakang berlingkaran putih pada segmen basal kesatu sampai keempat dan segmen kelima berwarna putih. Sayap berukuran 2,5–3,0 mm bersisik hitam. Aedes aegypti bersifat antropofilik (senang sekali kepada manusia) dan hanya nyamuk betina yang menggigit. Nyamuk ini mempunyai kebiasaan menggigit berulang (multiple biters), yaitu menggigit beberapa orang secara bergantian dalam waktu singkat. Hal ini karena nyamuk Aedes aegypti sangat sensitif dan mudah terganggu. Keadaan ini sangat membantu Aedes aegypti dalam memindahkan virus dengue
atau DHF di satu rumah. Telur Aedes aegypti
berwarna hitam seperti sarang tawon, diletakkan satu demi satu di permukaan atau sedikit di bawah permukaan air dalam jarak ± 2,5 cm dari dinding tempat perindukan. Telur dapat bertahan sampai berbulan-bulan pada suhu –2 (minus dua) sampai 43 derajat Celcius. Namun bila kelembaban terlalu rendah, maka telur akan menetas dalam waktu 4 hari. Dalam keadaan optimal, perkembangan telur sampai menjadi nyamuk dewasa berlangsung selama sekirang-kurangnya 9 hari. Nyamuk betina yang mulai menghisap darah manusia, 3 hari sesudahnya sanggup bertelur sebanyak 100 butir. Dua puluh empat jam kemudian nyamuk itu menghisap darah lagi, selanjutnya kembali bertelur. Walaupun nyamuk betina berumur kira-kira 10 hari, waktu itu cukup bagi nyamuk untuk makan, bagi virus cukup untuk berkembang biak dan selanjutnya menyebarkan virus ke manusia lain. Pada saat nyamuk menghisap darah manusia, yang kebetulan menderita DBD, virus dengue
masuk ke saluran pencernaan, kemudian sampai di
haemocoelom dan kelenjar ludah (Soedarmo 1988). Nyamuk Aedes aegypti tidak ditemukan di tempat dengan ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut. Nyamuk akan menjadi vektor apabila: pertama, ada virus dengue pada orang yang dihisap darahnya, yaitu orang sakit DBD, 1 sampai 2 hari sebelum demam atau 4 sampai 7 hari selama demam; kedua, nyamuk hanya akan bisa menularkan penyakit apabila umurnya lebih dari 10 hari, oleh karena masa inkubasi ekstrinsik virus di dalam tubuh nyamuk
16 8 sampai 10 hari. Untuk nyamuk bisa mencapai umur lebih dari 10 hari perlu tempat hinggap istirahat yang cocok dengan kelembaban tinggi. Karena nyamuk bernafas dengan spiracle dengan demikian permukaan tubuhnya luas dan menyebabkan penguapan tinggi. Bila kelembaban rendah nyamuk akan mati kering; ketiga, untuk dapat menularkan penyakit dari orang ke orang nyamuk harus menggigit orang/manusia, dengan demikian nyamuk dimusuhi oleh manusia; keempat, untuk bisa bertahan hidup maka jumlah nyamuk harus banyak karena musuhnya banyak, dimusuhi manusia dan sebagai makanan hewan lain; kelima, nyamuk juga harus tahan terhadap virus, karena virus akan memperbanyak diri di dalam tubuh nyamuk dan bergerak dari lambung, menembus dinding lambung dan kelenjar ludah nyamuk. Dari suatu populasi nyamuk yang ada, pada musim penularan hanya beberapa persen saja yang menjadi vektor, mungkin kurang dari lima persen (Depkes. R.I. 2002a). 2.2.5. Hubungan antara Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan Lingkungan Yang dimaksud dengan lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain (UU 23/1997). Lingkungan alam dapat dibagi menjadi (a) lingkungan fisik dan kimia,(b) lingkungan biologi, dan (c) lingkungan manusia yang meliputi bentuk sosial-ekonomi, sosial-budaya (Suratmo 1991). Lingkungan alam ini dapat pula diartikan sebagai lingkungan fisik dan lingkungan biologik bagi virus dengue, nyamuk Aedes aegypti, dan manusia. Hasil penelitian para ahli kesehatan masyarakat menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat antara lingkungan hidup dengan kesehatan individu atau masyarakat. Baik buruknya keadaan atau kondisi lingkungan hidup akan turut mempengaruhi terhadap tinggi rendahnya angka kesakitan dan angka kematian penduduk yang disebabkan oleh
penyakit menular melalui air (water-borne
disease), melalui tanah (soil-borne disease), melalui udara (air-borne disease), dan melalui serangga (arthropod-borne disease). Blum (1981) mengemukakan : ….Clearly, the largest aggregate of forces resides in the person’s environment.One’s own behavior, in great part derived
17 from one’s experience with one’s environment, is seen as the next largest force affecting health. Medical care services have been segregated out from the environment because our great interest and investment in them. They make a modest contribution to health status. The contribution of heredity to health are harder to judge, but there is no doubt that we are templated at conception as to our basic weaknesses and strengths. Bahwa faktor terbesar yang mempengaruhi tinggi rendahnya derajat kesehatan individu atau masyarakat adalah lingkungan. Faktor besar kedua ialah perilaku, diikuti oleh faktor pelayanan kesehatan dan hereditas. Gordon dan Le Richt (1950) mengemukakan bahwa timbul atau tidaknya penyakit pada manusia dipengaruhi oleh tiga faktor utama yakni: pertama, faktor penjamu (host); kedua, faktor bibit penyakit (agent); dan ketiga, faktor lingkungan (environment). Faktor penjamu ialah semua faktor yang terdapat pada diri manusia yang dapat mempengaruhi timbulnya serta perjalanan suatu penyakit, antara lain: faktor keturunan, mekanisme pertahanan tubuh, umur, jenis kelamin, ras, status perkawinan, pekerjaan, dan kebiasaan hidup. Bibit penyakit (agent) ialah suatu substansi atau elemen tertentu yang kehadiran atau tidak kehadirannya dapat menimbulkan atau mempengaruhi perjalanan suatu penyakit, meliputi: golongan nutrien, golongan kimia, golongan fisik, golongan mekanik, dan golongan biologik. Lingkungan ialah agregat dari seluruh kondisi dan pengaruhpengaruh luar yang mempengaruhi kehidupan dan perkembangan suatu organisasi, meliputi lingkungan fisik, lingkungan nonfisik. Peranan lingkungan dalam menyebabkan timbul atau tidaknya penyakit dapat bermacam-macam. Salah satu di antaranya ialah sebagai reservoir bibit penyakit. Hubungan antara penjamu, bibit penyakit dan lingkungan dalam menimbulkan suatu penyakit amat kompleks dan majemuk. Disebutkan bahwa ketiga faktor ini saling mempengaruhi di mana penjamu dan bibit penyakit saling berlomba untuk menarik keuntungan dari lingkungan. Hubungan antara penjamu, bibit penyakit dan lingkungan ini diibaratkan seperti timbangan. Disini penjamu dan bibit penyakit berada di ujung masing-masing tuas, sedangkan lingkungan sebagai penumpunya. Seseorang disebut berada dalam keadaan sehat, jika tuas penjamu berada dalam keadaan seimbang dengan tuas bibit penyakit. Sebaliknya bila bibit penyakit lebih berhasil
18 menarik keuntungan dari lingkungan, maka orang tersebut berada dalam keadaan sakit (Gordon dan Le Richt 1950, diacu dalam Azwar 1987). Slamet (1996) mengemukakan bahwasanya lingkungan berpengaruh pada terjadinya penyakit sudah sejak lama diperkirakan orang. Interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya merupakan suatu proses yang wajar dan terlaksana sejak manusia itu dilahirkan sampai ia meninggal dunia. Hal ini disebabkan karena manusia memerlukan daya dukung unsur-unsur lingkungan untuk kelangsungan hidupnya. Di dalam lingkungan terdapat faktor-faktor yang dapat menguntungkan manusia (eugenik), ada pula yang merugikan manusia (disgenik). Dalam hubungannya dengan perkembangan kejadian penyakit DBD banyak sekali tempat-tempat di lingkungan kehidupan manusia yang dapat menjadi sarang nyamuk Aedes aegypti, mulai dari jambangan keluarga, kaleng ataupun potongan bambu yang terisi air hujan, sampai pada reservoir air bersih yang tidak tertutup. Mustafa (2003) mengemukakan bahwa setiap peralihan musim, terutama dari musim kemarau ke musim penghujan, kita menyaksikan berbagai masalah kesehatan melanda tanah air kita, termasuk yang paling sering terjadi adalah wabah demam berdarah (dengue fever). Sebagian masalah ini langsung atau tidak langsung terkait dengan perubahan lingkungan global. Hasil penelitian Bohra (2001), di wilayah Jalor, India, terdapat delapan variabel yang efektif berkontribusi terhadap kejadian penyakit DBD, yaitu frekuensi membersihkan wadah penampung air, pola permukiman, penggunaan pendingin air, frekuensi membersihkan pendingin air, wadah air yang tidak tertutup,
penggunaan
pelindung
nyamuk
baik
berupa
kawat
nyamuk,
penyemprotan insektisida dan penggunaan obat oles penolak nyamuk, frekuensi pengisian persediaan air dan frekuensi pembuangan sampah. Membersihkan wadah penampungan air mempunyai hubungan positif dengan kejadian penyakit DBD. Penelitian Bohra (2001) tersebut menyebutkan jika membersihkan wadah air lebih dari delapan hari maka positif berkontribusi pada kejadian penyakit DBD, dan mengganti air satu atau dua kali satu minggu mengurangi resiko tersebut. Demikian pula dengan wadah air yang tidak tertutup berhubungan positif dengan kejadian penyakit DBD. Dalam laporan tersebut juga dikatakan infrastruktur buruk termasuk salah satu penyebab mudahnya transmisi kejadian
19 penyakit DBD. Pola permukiman padat dalam rentang jarak terbang nyamuk Aedes aegypti tempat perkembangbiakannya menjadi hal yang positif penyebab tingginya kejadian penyakit DBD. Laporan tersebut juga menyatakan bahwa pembuangan sampah lebih dari 15 hari sekali mempunyai hubungan positif dengan kejadian penyakit DBD. Jarak pembuangan yang ideal adalah setiap tiga hari sekali sampah diangkut, tetapi jarak satu minggu satu kali sudah dianggap maksimum, dan lebih dari 15 hari sangat mengandung risiko. Di Asia tenggara ditemukan hubungan yang kuat antara curah hujan dengan kejadian DBD dengan puncak transmisi pada bulan-bulan dengan curah hujan dan suhu tinggi, karena banyaknya wadah sebagai penampung air bersih sebagai tempat hidup jentik Aedes aegypti. Di beberapa tempat, penyakit DBD datang sebelum musim hujan dan meningkat pada saat peralihan cuaca. Dampak curah hujan pada kepadatan vektor tidak sama pada setiap spesies (Gubler 2001, diacu dalam Sintorini 2006). Kenaikan jumlah curah hujan akan diikuti dengan peningkatan jumlah kasus DBD, demikian pula sebaliknya penurunan jumlah curah hujan akan diikuti dengan penurunan jumlah kasus di Kabupaten Pati (Munif 1998). Wahyuni (2004) mengemukakan bahwa penyakit DBD dapat dipastikan selalu muncul di musim penghujan setiap tahun hanya intensitasnya yang berbeda. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Sejati (2001) di Kota Padang bahwa tidak ada hubungan antara curah hujan dengan penyakit DBD. Perubahan iklim dan lingkungan secara luas, telah merubah perilaku dan sifat virus dengue maupun nyamuk penyebarnya (Chakravarti and Kumaria 2005; Nadesul 2004). Hasil penelitian Sintorini (2006) di Jakarta menyimpulkan bahwa kejadian penyakit DBD dipengaruhi curah hujan (p = 0,000), suhu lingkungan (p=0,000), kelembaban ruang (p = 0,003), kelembaban lingkungan (p = 0,000). Hasil penelitian Sumantri (2008) bahwa faktor-faktor yang berperan dalam pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Provinsi DKI Jakarta antara lain ialah: (a) lingkungan, mencakup curah hujan. suhu dan kelembaban, (b) vektor, mencakup TPA, dan (c) manusia, mencakup perilaku hidup bersih dan sehat. Hasil penelitian Fikri (2005) di Kota Bandar Lampung menunjukkan bahwa faktor sanitasi lingkungan yang berhubungan dengan kejadian penyakit
20 DBD ialah peubah jenis sarana air bersih (p = 0,003), tempat penampungan air (p = 0,000) dan sampah tergenang air (p = 0,011). Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Fathi et al. (2000) bahwa sanitasi lingkungan tidak berperan dalam terjadinya KLB penyakit DBD di kota Mataram (Chi-square, p > 0,05). Hal ini disebabkan karena kenyataan di lapangan menunjukkan kondisi sanitasi lingkungan yang tidak jauh berbeda antara daerah KLB penyakit DBD tinggi (daerah studi) dan daerah dengan KLB penyakit DBD rendah (daerah kontrol). Sebenarnya kondisi sanitasi lingkungan berperan besar dalam perkembangbiakan nyamuk Aedes, terutama apabila terdapat banyak kontainer penampungan air hujan yang berserakan dan terlindung dari sinar matahari, apalagi berdekatan dengan rumah penduduk (Sugijanto 2004, diacu dalam Fathi et al. 2000). Adapun antara penyakit DBD dengan kontainer di kota Mataram, terdapat hubungan yang bermakna
(Chi-square,
p < 0,05) dengan relative risk (RR) adalah 2,96.
Keberadaan kontainer sangat berperan dalam kepadatan vektor nyamuk Aedes aegypti, karena semakin banyak kontainer akan semakin banyak tempat perindukan dan akan semakin padat populasi Aedes aegypti. Semakin padat populasi nyamuk Aedes aegypti, maka semakin tinggi pula risiko terinfeksi virus penyakit DBD dengan waktu penyebaran lebih cepat sehingga jumlah kejadian penyakit DBD cepat meningkat yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya KLB penyakit DBD. 2.2.6. Hubungan antara Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan Partisipasi Masyarakat Beberapa hasil penelitian di berbagai lokasi menunjukkan pentingnya partisipasi masyarakat dalam program pencegahan penyakit DBD. Hasil penelitian Hidajat (2001) di Jakarta menunjukkan bahwa ketidakberhasilan program pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD dalam mencegah dan menurunkan tingginya angka kejadian penyakit DBD di daerah penelitian berhubungan erat dengan belum adanya peran serta warga masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan aktivitas-aktivitas program. Warga di daerah penelitian tidak memiliki akses langsung kepada informasi dan pengetahuan mengenai program, yang merupakan prakondisi bagi berperan sertanya warga. masyarakat dalam suatu program; karena penyuluhan belum berjalan baik.
21 Hasyimi (2000) mengemukakan bahwa keikutsertaan masyarakat dalam pelaksanaan PSN sangat menentukan tingkat angka larva nyamuk Aedes aegypti. Demikian pula hasil penelitian Fikri (2005) di kota Bandar Lampung menunjukkan faktor partisipasi masyarakat berhubungan dengan kejadian penyakit DBD; yaitu peubah kebiasaan 3M (p = 0,005) dan kebiasaan membersihkan rumah serta lingkungan (p = 0,016). Penelitian Fathi et al. (2005) mengenai sikap masyarakat terhadap penyakit DBD
menyimpulkan bahwa
semakin masyarakat bersikap tidak serius dan tidak berhati-hati terhadap penularan penyakit DBD akan semakin bertambah risiko terjadinya penularan penyakit DBD (Chi-square, p < 0,05). Hasil penelitian Fathi et al. (2005) lainnya menunjukkan bahwa tidak ada peran penyuluhan penyakit DBD yang bermakna terhadap KLB DBD di kota Mataram (Chi-square, p > 0,05). Hal ini disebabkan karena baik daerah KLB DBD maupun bukan daerah KLB DBD sama-sama kurang mendapatkan penyuluhan dari Dinas Kesehatan setempat. 2.2.7. Hubungan antara Penyakit Demam Berdarah Dengue dengan Kependudukan WHO (2003) mengemukakan bahwa salah satu faktor penyebab munculnya wabah dengue
ialah pertumbuhan jumlah penduduk yang tidak
memiliki pola tertentu dan urbanisasi yang tidak berencana dan terkontrol. Peningkatan penduduk perkotaan yang cepat, seperti kota Jakarta akan menimbulkan dampak sampingan yang cukup serius, yaitu dengan makin terbatasnya lahan untuk permukiman. Gejala yang tampak adalah makin tumbuhnya permukiman kumuh dan liar terutama di daerah yang padat penduduknya lebih dari rata-rata kepadatan penduduk DKI Jakarta, yaitu 13.557 jiwa setiap kilometer persegi
(Hasyimi
1996). Sementara itu kesimpulan
penelitian Fathi et al. (2000) bahwa kepadatan penduduk tidak berperan dalam terjadinya KLB DBD di kota Mataram (Chi-square, p > 0,05). Menurut Fathi et al. (2000), kepadatan penduduk bukan merupakan faktor kausatif tetapi hanya merupakan salah satu faktor risiko yang bersama dengan faktor risiko lainnya seperti mobilitas penduduk, sanitasi lingkungan, keberadaan kontainer perindukan nyamuk Aedes aegypti, kepadatan vektor, tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan terhadap penyakit DBD secara keseluruhan dapat menyebabkan KLB DBD. Fathi
22 et al. (2000) menyimpulkan bahwa mobilitas penduduk tidak ikut berperan dalam terjadinya KLB DBD di kota Mataram (Chi-square, p > 0,05). Mobilitas penduduk di daerah yang mengalami KLB DBD sama dengan mobilitas penduduk di daerah yang tidak mengalami KLB DBD. Mengenai faktor lingkungan dan perilaku masyarakat Fathi et al. (2005) menyimpulkan bahwa hanya variabel keberadaan kontainer air di dalam maupun di luar rumah yang berperan terhadap KLB DBD (Chi-square, p < 0,05) dengan relative risk (RR) sama dengan 2,96. 2.2.8. Hubungan antara Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan Pelayanan Kesehatan Menurut Blum (1981) faktor pelayanan kesehatan adalah faktor besar ketiga yang mempengaruhi tinggi rendahnya derajat kesehatan masyarakat, setelah dua faktor besar lainnya yaitu lingkungan dan perilaku. Di Indonesia, tingginya angka kematian, terutama kematian ibu dan kematian bayi, serta masih tingginya angka kesakitan yang akhir-akhir ini ditandai dengan munculnya kembali berbagai penyakit lama seperti malaria dan tuberkulosis paru, merebaknya berbagai penyakit baru yang bersifat pandemik seperti HIV (human immunodeficiency virus) atau AIDS (acquired immunodeficiency syndrome) dan flu burung serta belum hilangnya penyakit endemis seperti diare dan DBD menunjukkan masih rendahnya kualitas pelayanan kesehatan. Hasil penelitian Husein (2001) menunjukkan variabel yang paling berpengaruh terhadap cakupan program pencegahan penyakit DBD di kota Palembang adalah supervisi dari PUSKESMAS (p = 0,0434) dan input (p = 0.0157). Pelayanan kesehatan masyarakat adalah pelayanan yang bersifat publik (public goods) dengan tujuan utama memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Pelayanan kesehatan masyarakat di Indonesia antara lain adalah promosi kesehatan, pemberantasan penyakit, penyehatan lingkungan, perbaikan gizi, peningkatan kesehatan keluarga serta program kesehatan lainnya. Mengingat besarnya pengaruh pelayanan kesehatan tersebut terhadap derajat kesehatan masyarakat maka perlu terus dikembangkan upaya peningkatan frekuensi dan mutu pelayanan PUSKESMAS dalam kerjasama efektif dengan Dinas/Instansi yang terkait. Mutu pelayanan, bagi pasien dan masyarakat, berarti
23 suatu empati, respek dan tanggap akan kebutuhannya; pelayanan harus sesuai dengan kebutuhan mereka, diberikan dengan cara yang ramah pada waktu mereka berkunjung. Mutu pelayanan, bagi petugas kesehatan, berarti bebas melakukan segala sesuatu secara profesional untuk meningkatkan derajat kesehatan pasien dan masyarakat sesuai dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang maju, dan memenuhi standar yang baik (state of the art) (Wijono 1999). 2.2.9. Hubungan antara Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan Pendidikan Kesehatan Lingkungan dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Yang dimaksud dengan PHBS disini adalah semua perilaku kesehatan yang dilakukan atas kesadaran sehingga anggota keluarga atau keluarga dapat menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam kegiatankegiatan kesehatan di masyarakat. Sepuluh PHBS di rumah tangga yang perlu diwujudkan yaitu: (1) persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan, (2) memberi bayi Air Susu Ibu (ASI) eksklusif, (3) menimbang bayi dan balita, (4) menggunakan air bersih, (5) mencuci tangan dengan air bersih dan sabun, (6) menggunakan jamban sehat, (7) memberantas jentik di rumah, (8) makan buah dan sayur setiap hari, (9) melakukan aktivitas fisik setiap hari, dan (10) tidak merokok di dalam rumah (Depkes. R.I. 2007). Dari beberapa hasil penelitian diketahui bahwa ada hubungan antara penyakit DBD dengan faktor-faktor penyuluhan kesehatan masyarakat, termasuk penyuluhan kesehatan lingkungan. Widyana (1997) berpendapat bahwa masyarakat yang berpendidikan rendah mempunyai peluang resiko terkena DBD 1,90 kali dibandingkan dengan yang berpendidikan tinggi. Hasil penelitian Bohra (2001) menunjukkan bahwa peran perilaku sangat penting dalam mengendalikan resiko terjadinya kejadian DBD, dan diharapkan dapat menjadi prioritas program intervensi yang harus diupayakan maksimal pelaksanaannya. Hasil penelitian Hasyimi (1993a), dengan jumlah responden 63 orang, menunjukkan bahwa para responden pada umumnya telah mengetahui nyamuk penular DBD (65,0%), dan mengetahui warna nyamuk tersebut (56,3%), tempat perindukan (60,3%), dan mengetahui cara memberantas sarang dan jentik nyamuk (76,5%). Dari hasil observasi terlihat sikap yang positif, yaitu dengan banyaknya TPA yang tertutup
24 (82,8%) serta penggunaan obat nyamuk bakar (81,2%) karena mereka memahami konstruksi rumahnya. Hasil penelitian Maha et al. (1998), dengan jumlah responden 113 orang,
menunjukkan bahwa para responden yang pernah
mendengar tentang penyakit DBD (96,5%) dan kebanyakan mereka memperoleh informasi dari televisi (36,5%) dan surat kabar (31,3%). Masyarakat yang belum mengetahui gejala penyakit DBD sebesar 31,1%; yang berpengetahuan tentang pencegahan penyakit DBD sebesar 59,3%; pengenalan pemberantasan sarang nyamuk
(PSN)
47,8%.
Responden
yang
mengetahui
PSN
dan
yang
melaksanakannya 35,4%. Hasil penelitian Maha et al. (1998) juga menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat tentang penyakit DBD masih kurang, peran serta masyarakat dalam pencegahan penyakit DBD belum menggembirakan. Di samping itu, ada pula hasil penelitian yang menunjukkan lemahnya hubungan antara penyakit DBD dengan
pendidikan kesehatan lingkungan dan
perilaku masyarakat. Fathi et al. (2005) menyimpulkan tidak nampak adanya peran tingkat pengetahuan masyarakat tentang penyakit DBD terhadap KLB DBD di kota Malang (Chi-square p > 0,05). Hasil penelitian Fathi et al. (2005) juga menyimpulkan bahwa tidak ada peran penyuluhan penyakit DBD yang bermakna terhadap KLB DBD di kota Mataram (Chi-square p > 0,05). Hal ini disebabkan karena baik daerah KLB DBD maupun bukan daerah KLB DBD sama-sama kurang mendapatkan penyuluhan dari Dinas Kesehatan setempat; tambahan lagi, petugas kurang mengerti tentang apa yang harus dilakukan sebelum melakukan penyuluhan, seperti identifikasi hal-hal apa saja yang penting bagi masyarakat dan apa yang harus diimplementasikan pada tingkat masyarakat, tingkat wilayah, atau tingkat penentu kebijakan. 2.2.10. Hubungan antara Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan Ekonomi dan Kemiskinan Penduduk Dari beberapa hasil penelitian diketahui bahwa kenaikan jumlah populasi penduduk dan aktivitas ekonomi menyebabkan penggunaan bahan bakar fosil dan batubara semakin meningkat, sehingga komposisi gas-gas pada atmosfer lapis tengah dan bawah atau lapisan stratosfer dan troposfer ikut berubah secara perlahan. Perubahan perlahan-lahan inilah yang pada saatnya sampai pada suatu keadaan di mana sistim alam ikut berubah. Perubahan iklim global, meningkatnya
25 radiasi ultra violet adalah salah satu akibat dari situasi ini dan menipisnya lapisan ozon adalah bagian dari sistem kompleks lingkungan global yang berubah akibat aktivitas manusia. Kecenderungan akibat meningkatnya jumlah penduduk dan aktivitas ekonomi, termasuk emisi gas adalah meningkatnya suhu bumi sekitar satu sampai tiga setengah derajat Celcius dalam dekade terakhir yang mempengaruhi pola curah hujan dan variasi iklim. Secara umum, konsentrasi gasgas rumah kaca di atmosfer
secara global meningkat dengan mulainya
industrialisasi (sekitar tahun 1750-1800), terutama dari aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar minyak greenhouse gases
(CO2, CH4, N2O, O3)
terakumulasi di atmosfer karena perbedaan antara emisi tahunan dan kapasitas bumi, kecepatan pergerakan di udara dan kecepatan emisi yang berbeda (Maskell et al. 1993, diacu dalam Sintorini 2006). Perubahan dan peningkatan curah hujan, suhu dan kelembaban udara, secara langsung atau tidak langsung, akan mempengaruhi terhadap perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti. Walaupun timbul berbagai dampak negatif akibat kegiatan perekonomian, namun kegiatan ekonomi itu tidak boleh berhenti karena dapat menimbulkan dampak yang lebih buruk terhadap kehidupan masyarakat dan negara. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi sangat diperlukan dalam rangka pengentasan kemiskinan penduduk. Di Indonesia, seseorang dikategorikan miskin jika memiliki rata-rata penghasilan per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan yang ditentukan oleh Badan Pusat Statistik. Garis kemiskinan adalah jumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk memenuhi kebutuhan makanan setara 2.100 kilo kalori per orang per hari serta untuk memenuhi kebutuhan nonmakanan berupa perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan aneka barang atau jasa lainnya. Sayogyo (1976) menentukan garis kemiskinan berdasarkan nilai gizi minimal yang diperlukan rata-rata orang. Dari penelitiannya, ia menetapkan garis itu pada pendapatan per kapita setahun senilai 240 kg beras untuk daerah perdesaan dan 360 kg beras untuk daerah perkotaan (Sayogyo 1976, diacu dalam Soerjani et al. 1978). Kemiskinan penduduk diduga berhubungan dengan penyakit DBD. Orang miskin pada umumnya tidak mampu memenuhi keperluan gizi minimal bagi dirinya sendiri maupun bagi keluarganya, dengan akibat bahwa ia dan
26 keluarganya merana fisik dan mentalnya (Soerjani et al. 1978); di samping itu mereka pun kurang mampu mencukupi kebutuhan untuk pengadaan atau pemeliharaan sarana kesehatan rumah tangga dan lingkungannya; semua ini mengakibatkan menurunnya daya tahan tubuh mereka terhadap serangan penyakit. 2.3. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD, Depkes R.I. telah menetapkan kegiatan-kegiatan pokok di tingkat Pusat, Propinsi, Kabupaten, Kota, dan PUSKESMAS
mencakup (a) membuat standardisasi,
menyusun atau mendistribusikan pedoman atau petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis program; (b) menyediakan dan mendistribusikan: bahan/alat laboratorium/ diagnostik, cairan infus, mesin fog, mesin ultra low volume, insektisida, larvasida, pembersihan sarang nyamuk kit, bahan penyuluhan, kendaraan operasional khusus, dan lainnya; (c) menyelenggarakan pertemuan atau pelatihan atau training of trainer pengelola program Provinsi, Kabupaten, Kota, Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Kantor Kesehatan Pelabuhan; (d) menyelenggarakan pertemuan atau pelatihan atau training of trainer klinisi (dokter ahli penyakit anak & penyakit dalam) Rumah Sakit (RS) Provinsi atau Kabupaten atau Kota; (e) menyelenggarakan pertemuan atau pelatihan atau training of trainer petugas laboratorium Balai Latihan Kerja dan Balai Teknik Kesehatan Lingkungan; (f) melaksanakan penyuluhan melalui media massa; (g) memfasilitasi pertemuan lintas program dan lintas sektor, pertemuan regional Kelompok Kerja Nasional, secara berkala, dan lain-lain; (h) mengembangkan metode pemberantasan sarang nyamuk Aedes aegypti sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing daerah atau local area specific berdasarkan hasil survei atau penelitian; (i) melaksanakan surveilans epidemiologi penyakit DBD; (j) melaksanakan sistim kewaspadaan dini dan penanggulangan KLB; (k) melaksanakan supervisi atau pembinaan teknis program. (l) melaksanakan pemantauan dan evaluasi program serta pelaporan; (m) mengobati atau merawat atau merujuk tersangka atau penderita penyakit DBD ke RS; (n) melaksanakan pemeriksaan jentik berkala setiap tiga bulan; (o) menyelenggarakan pelatihan
27 petugas penyemprot di Desa atau Kelurahan; (p) menyelenggarakan pertemuan atau pelatihan atau pembinaan kader dan juru pemantau jentik atau jumantik dalam penggerakan PSN DBD (Depkes. R.I. 2005a). Metode pengendalian vektor penyakit DBD, yang dikemukakan oleh Renganathan et al. (2003) adalah : (a) Environmental sanitation measures to reduce mosquito breeding sites, such as the physical management of water containers (e.g. mosquito-proof covers for water storage containers, polystyrene beads in water tanks) better designed and reliable water supplies, and recycling of solid waste such as discarded tyres, bottles, and cans, (b) biological methods (e.g. fish, copepods, small crustaceans that feed on mosquito larvae) to kill or reduce larval mosquito populations in water containers, (c) chemical methods against the mosquito’s aquatic stages for use in water containers (e.g.temephos sand granules). (d) chemical methods directed against adult mosquitoes, such as insecticide space sprays or residual applications, (f) personal protection through use of repellents, vaporizers, mosquito coils, and insecticide-treated screens, curtains, and bednets (for daytime use against Aedes). Metode yang dikemukakan ialah metode pemeliharaan kesehatan lingkungan, pengendalian dengan metode biologik, pengendalian dengan metode kimia, dan pengendalian dengan metode perlindungan perorangan. Di antara metode-metode ini yang paling diyakini ialah penyemprotan insektisida untuk mengendalikan nyamuk dewasa. Metode ini harus diulang pada interval yang sering, biayanya tinggi, dan keberhasilannya bervariasi. Sejak beberapa tahun belakangan di Indonesia mulai dikembangkan pula suatu program yang dikenal dengan COMBI, singkatan dari Communications for Behavioral Impact, yaitu program pencegahan dan pengendalian penyakit DBD. Konsep ini adalah pendekatan baru yang dikembangkan oleh WHO untuk mengendalikan penyakit penyakit menular yang dipengaruhi oleh perilaku masyarakat. Metode COMBI adalah suatu rangkaian kegiatan untuk mengatasi dan pencegahan penyakit DBD dengan prinsip kegiatan dari, oleh dan untuk masyarakat. Di
Hulu Langat, Malaysia program ini berhasil dengan sukses
menurunkan indeks nyamuk Aedes. Pendekatan COMBI di Hulu Langat mempertunjukkan bahwa dengan identifikasi masalah dengan tepat yang
28 tersinergi dengan keikutsertaan masyarakat secara potensial dapat mengurangi perkembangan Aedes dan kesakitan DBD. The COMBI approach in Hulu Langat successfully demonstrated that correct problem identification synergized with community engagement can potentially reduce Aedes proliferation and dengue morbidity (Rozhan S. et al. 2006). Menurut Depkes. R.I. (1976) prinsip yang tepat dalam pencegahan penyakit DBD
ialah: (1) memanfaatkan perubahan keadaan nyamuk akibat
pengaruh alamiah dengan melaksanakan pemberantasan vektor pada saat sedikit terdapatnya kejadian DBD, (2) memutuskan lingkaran penularan dengan menahan kepadatan vektor pada tingkat yang sangat rendah untuk memberikan kesempatan penderita viremi sembuh secara spontan, (3) mengusahakan pemberantasan vektor di pusat daerah penyebaran, yaitu sekolah dan RS, termasuk pula daerah penyangga sekitarnya, dan (4) mengusahakan pemberantasan vektor di semua daerah yang berpotensi penularan tinggi (Depkes. R.I. 1976, diacu dalam Soedarmo 1988). WHO
(2003) mengemukakan bahwa pencegahan penyakit DBD di
Indonesia didasarkan pada prinsip pemutusan rantai penularan, karena sampai saat ini belum ada vaksin yang efektif terhadap virus dengue. Komponen-komponen yang terlibat dalam mata rantai penularan tersebut meliputi virus dengue (agent), Aedes aegypti (vektor) dan manusia (host). Dalam kaitan ini Sholihin (2004) mengemukakan bahwa keberadaan virus dengue bisa ditemukan di tubuh manusia dan di Aedes aegypti; oleh karena itu pencegahan dan pemberantasan DBD ditujukan pada dua sasaran pokok yaitu manusia dan vektor. Strategi yang direkomendasikan oleh WHO (2002) ialah pemantauan vektor terus menerus sehingga dapat memutuskan rantai penularan. Strategi ini telah dijabarkan dengan Kepmenkes R.I. Nomor: 581/MENKES/SK/-VII/1992, tentang Pemberantasan Penyakit DBD; dengan penegasan bahwa pemberantasan dilaksanakan oleh Pemerintah dan masyarakat di Desa atau kelurahan melalui kelompok kerja (POKJA) DBD dan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) yang dibina oleh kelompok kerja nasional (POKJANAL) Tim Pembina LKMD tingkat kecamatan sampai tingkat pusat. Untuk keperluan perencanaan pencegahan penyakit DBD, dapat digunakan semi average method yakni memperkirakan
29 jumlah kasus pada masa akan datang berdasarkan jumlah penderita pada tahun sebelumnya (Atmosukarto 1993). Upaya pemberantasan penyakit DBD yang telah dilaksanakan sampai saat ini dengan cara penanganan penderita dan pengendalian vektornya. Beberapa cara untuk menurunkan padat populasi telah dilaksanakan, yaitu untuk nyamuk tingkat dewasa dengan pengasapan (fogging) malathion dan tingkat pra-dewasa dilakukan dengan menggunakan larvisida seperti abate @ (temephos) serta PSN; bahkan PSN dengan program 3M telah dimodifikasi menjadi 3M Plus, antara lain dengan memelihara ikan, menghindari gigitan nyamuk, kemungkinan memasang ovitrap dan menyemprotkan insektida (Hasyimi et al. 2005). Meskipun dua cara terakhir ini telah menjadi program pemberantasan DBD secara nasional tetapi belum berhasil menurunkan angka kesakitan, terbukti setiap tahun masih terjadi KLB di beberapa kota (Hasyimi et al. 2000). Solusi terbaik untuk mengurangi masalah DHF di Jakarta adalah melalui intervensi public health (Siahaan 2002). Dalam program pencegahan penyakit DBD dilakukan pengamatan epidomiologi untuk menemukan kejadian secara cepat sehingga dapat dilakukan penanggulangan secepatnya (Bhattacharya et al. 2008). Survei vektor mencakup survei jentik dan survei nyamuk dewasa. Karena praktisnya, metodologi survei jentik adalah yang paling umum dipakai dibandingkan dengan metodologi survei telur atau survei nyamuk dewasa. Survei jentik dilakukan di semua rumah, jika wilayah kecil, atau pada minimal 50 rumah jika meliputi wilayah yang luas. Angka yang dihitung adalah indeks rumah atau house index (HI), indeks kontainer (container index) dan indeks breteau (breteau index) (Depkes. R.I. 2002). House index (HI) ialah persentase antara rumah ditemukan jentik terhadap seluruh rumah yang diperiksa. Container index (CI) ialah persentase antara kontainer yang ditemukan jentik terhadap seluruh kontainer yang diperiksa. Breteau index (BI) ialah jumlah kontainer yang positif per seratus rumah yang diperiksa. Banyak hal yang perlu diperhatikan dalam survei jentik nyamuk penular DBD. Kesalahan dalam menghitung ABJ harus dihindari. Hasyimi (1999) mengemukakan adakalanya kesalahan dalam menghitung ABJ disebabkan oleh kurang telitinya kader atau petugas. Hal ini berkaitan dengan faktor bentuk
30 formulir pemantauan jentik berkala (PJB) kurang tepat atau faktor belum memadainya pengetahuan kader dan masyarakat luas tentang Aedes aegypti. Dalam rangka upaya pencegahan dan pemberantasan DBD dikenal istilah AHJ (angka hinggap per jam) yaitu jumlah nyamuk Aedes aegypti dewasa yang tertangkap pada umpan orang per jam penangkapan dikalikan jumlah kolektor. Penghitungan ini dapat untuk mengetahui bagaimana populasi nyamuk dewasa di suatu wilayah. Pengukuran dilakukan satu minggu satu kali. Selain itu perlu diketahui pula istilah nyamuk istirahat per rumah (NIR) adalah jumlah nyamuk aedes dewasa tertangkap pada saat hinggap per jumlah rumah yang disurvei. Pemberantasan nyamuk dewasa yang menggunakan bahan kimia (thermal fogging) hingga saat ini masih dianggap sebagai strategi penting untuk memberantas nyamuk, namun berdampak kecil bagi upaya pemberantasan DBD jangka panjang. Fogging dilakukan jika ditemukan sekurangnya tiga penderita panas tanpa sebab dan kepadatan jentik tinggi. Campuran bahan kimia untuk pengasapan adalah malathion atau fenitrothion dalam dosis 438 gram per hektar dilarutkan dalam 4% solar atau minyak tanah, dilakukan minimal dua kali dalam jarak 10 hari di rumah penderita dan pada jarak 100 meter di sekelilingnya (Soedarmo 1988). Program pengasapan rumah dengan malathion untuk pengendalian Aedes aegypti telah dilakukan sejak tahun 1972 (Boesri et al. 1993), namun sampai saat ini vektor DBD belum dapat dikendalikan dengan baik. Pembasmian dengan larvasida dianggap lebih ekonomis dan lebih berkesinambungan karena memberantas jentik nyamuk. Larvasida yang digunakan adalah butir-butir abate 1% SG (sodium glutamate) yang ditaburkan pada tempat penyimpanan air dengan dosis satu ppm (part per million) yaitu 10 gram untuk 100 liter air. Pengulangan pada jarak dua atau tiga bulan kemudian (Soedarmo 1988). Dalam rangka pencegahan penyakit DBD dapat pula dikembangkan populasi binatang predator nyamuk Aedes aegypti dan jentiknya serta tumbuhtumbuhan anti nyamuk Aedes aegypti. Dari semua predator jentik nyamuk, yang terpenting adalah ikan pemakan jentik. Bermacam-macam jenis ikan pemakan jentik dan telah dikenal dan telah pula digunakan untuk pemberantasan jentik dengan sukses di berbagai negara untuk mengatasi masalah nyamuk. Di antara
31 vertebrata, anak katak dapat memangsa jentik nyamuk terutama di tempat perkembangbiakan yang kecil dengan air yang dangkal. Ikan pemakan jentik yaitu ikan kepala timah (panchax-panchax), beunteur (puntius binotatus), cecereh (rasbora lesteristriata), gendol jantan (poecilia recticulata), gendol betina (poecelia recticulata), julung-julung (dermogenys pusilus), cupang (ctenops vittatus), sepat (trichogaster trichopterus) (Depkes. R.I. 2004). Ekstrak tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai penangkal nyamuk, antara lain minyak serai, minyak sitrun dan minyak neem (WHO 2003). Mengenai efektifitas cara pencegahan penyakit DBD, hasil penelitian Fathi et al. (2000) menunjukkan bahwa 3M berperan positif terhadap pencegahan terjadinya KLB penyakit DBD di kota Mataram (Chi-square, p > 0,05) dengan relative risk (RR) = 2,65; demikian pula tindakan abatisasi (Chi-square, p > 0,05) dengan relative risk (RR) = 2,51; namun tidak tampak peran tindakan fogging (Chi-square, p > 0,05) dan juga tidak nampak adanya peran kepadatan vektor terhadap KLB penyakit DBD (Fischer’s exact probability test, p > 0,05). Penelitian Martomijoyo (1996) di Kecamatan Indramayu dan Kecamatan Sindang Kabupaten Indramayu Jawa Barat menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara angka bebas jentik (ABJ) desa atau kelurahan yang mendapatkan fogging massal dengan desa atau kelurahan yang tidak mendapatkan kegiatan fogging massal. 2.4. Kesehatan Perumahan dan Lingkungan Permukiman Dalam UU 4/1992 tersebut yang dimaksud satuan lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang prasarana dan sarana lingkungan yang terstruktur. Dalam Keputusan Menteri Kesehatan nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan dikemukakan bahwa kesehatan perumahan dan lingkungan permukiman adalah kondisi fisik, kimia dan biologik, di dalam rumah, di lingkungan rumah dan perumahan, sehingga memungkinkan penghuni mendapatkan derajat kesehatan yang optimal. Persyaratan kesehatan perumahan dan lingkungan permukiman adalah ketentuan tehnis kesehatan yang wajib dipenuhi dalam rangka melindungi penghuni dan masyarakat yang bermukim di perumahan dan/atau masyarakat sekitar dari bahaya atau gangguan
32 kesehatan. Persyaratan kesehatan perumahan dan lingkungan permukiman yang ditetapkan antara lain: (1) memiliki sarana drainase yang tidak menjadi tempat perindukan vektor penyakit; (2) tersedia cukup air bersih sepanjang waktu dengan kualitas air yang memenuhi syarat kesehatan; (3) pengelolaan limbah rumah tangga yang memenuhi syarat kesehatan; (4) pengelolaan pembuangan sampah rumah tangga harus memenuhi syarat kesehatan; (5) memiliki akses terhadap sarana pelayanan kesehatan, indeks jentik nyamuk di bawah lima persen. Adapun ketentuan persyaratan rumah tinggal antara lain : (1) lantai kedap air dan mudah dibersihkan; (2) dinding rumah memiliki ventilasi; (3) luas lubang ventilasi alamiah yang permanen ialah sepuluh persen dari luas lantai; (4) tidak ada lalat, nyamuk ataupun tikus yang bersarang di dalam rumah; (5) limbah cair yang berasal dari rumah tangga tidak mencemari sumber air, tidak menimbulkan bau dan tidak menimbulkan pencemaran tanah. Persyaratan kesehatan perumahan yang meliputi persyaratan lingkungan perumahan
dan permukiman serta persyaratan rumah itu sendiri sangat
diperlukan karena pembangunan berpengaruh besar terhadap peningkatan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat (Sanropie 1992). Dalam Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Republik Indonesia, nomor 403/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat) dikemukakan bahwa kebutuhan ruang per orang adalah 9 meter persegi dengan perhitungan ketinggian rata-rata langit-langit adalah 2,80 meter. Sinar matahari langsung dapat masuk ke dalam ruangan minimum satu jam setiap hari. Lubang cahaya minimum sepersepuluh dari luas lantai ruangan. Cahaya efektif dapat diperoleh dari jam 08.00 sampai jam 16.00. Lubang penghawaan minimal 5 persen dari luas lantai ruangan. Udara yang mengalir masuk sama dengan volume udara yang mengalir ke luar ruangan; dan udara yang masuk tidak berasal dari asap dapur atau bau kamar mandi. Departemen Kesehatan Republik Indonesia menetapkan bahwa yang termasuk rumah sehat ialah jika total hasil perkalian ”nilai komponen rumah” dengan ”bobot” di atas 1.068; sebaliknya nilai di bawah 1.068 adalah termasuk rumah tidak sehat. Nilai-nilai tersebut diperoleh dari keadaan komponen rumah (bobot 31), keadaan sarana sanitasi (bobot 25), dan perilaku penghuni (bobot 44).
33 Komponen rumah pertama ialah ”langit-langit”; diberi nilai 0 (nol) jika langit-langit tidak ada; diberi nilai 1 jika langit-langit ada tetapi kotor, sulit dibersihkan dan rawan kecelakaan; dan nilai 2 jika langit-langit ada, bersih dan tidak rawan kecelakaan. Komponen rumah kedua ialah ”dinding”; diberi nilai 1 jika dinding bukan tembok; diberi nilai 2 jika dinding semi permanen/setengah tembok/ pasangan bata atau batu yang tidak diplester/papan yang tidak kedap air; dan diberi nilai 3 jika dinding permanen (tembok/pasangan batu bata yang diplester) papan kedap air. Komponen rumah ketiga ialah ”lantai”; diberi nilai 0(nol) jika lantai rumah adalah tanah; diberi nilai 1 jika lantai adalah papan/ anyaman bambu dekat dengan tanah/plesteran yang retak dan berdebu; dan diberi nilai 2 jika lantai diplester/ubin/keramik/papan (rumah panggung). Komponen rumah keempat ialah ”jendela kamar tidur”; diberi nilai 0 (nol) jika tidak ada, dan diberi nilai 1 jika ada. Komponen rumah kelima ialah ”jendela ruang keluarga”; diberi nilai 0 (nol) jika tidak ada; dan diberi nilai 1 jika ada. Komponen rumah keenam ialah ”ventilasi”; diberi nilai 0 (nol) jika tidak ada; diberi nilai 1 jika ada dengan luas ventilasi permanen < 10% dari luas lantai, dan diberi nilai 2 jika ada dengan luas ventilasi permanen > 10% dari luas lantai. Komponen rumah ketujuh ialah ”lubang asap dapur”; diberi nilai 0 (nol) jika tidak ada; diberi nilai 1 jika ada dengan lubang ventilasi < 10% dari luas lantai dapur; dan diberi nilai 2 jika ada dengan lubang ventilasi > 10% dari luas lantai dapur (asap keluar dengan sempurna) atau ada exhaust fan atau ada peralatan lain yang sejenis. Komponen rumah kedelapan ialah ”pencahayaan”; diberi nilai 0 (nol) jika tidak terang, tidak dapat dipergunakan untuk membaca; diberi nilai 1 jika kurang terang, sehingga kurang jelas untuk membaca dengan normal; dan diberi nilai 2 jika terang dan tidak silau sehingga dapat dipergunakan untuk membaca dengan normal. Sarana sanitasi pertama ialah ”sarana air bersih” berupa sumur gali/sumur pompa tangan/perpipaan/kran umum/penampungan air hujan; diberi nilai 0 (nol) jika tidak ada; diberi nilai 1 jika ada tetapi bukan milik sendiri dan tidak memenuhi syarat kesehatan; diberi nilai 2 jika ada, milik sendiri dan tidak memenuhi syarat kesehatan; diberi nilai 3 jika ada, bukan milik sendiri dan memenuhi syarat kesehatan; dan diberi nilai 4 jika ada, milik sendiri dan memenuhi syarat kesehatan. Sarana sanitasi kedua ialah ”jamban (sarana
34 pembuangan kotoran); diberi nilai 0 (nol) jika tidak ada; diberi nilai 1 jika ada tetapi bukan leher angsa, tidak ada tutup, dan disalurkan ke sungai/kolam; diberi nilai 2 jika ada bukan leher angsa, ada tutup dan disalurkan ke sungai/kolam; dan diberi nilai 3 jika ada tetapi bukan leher angsa dan ada tutup dan septictank; dan diberi nilai 4 jika ada dengan lehar angsa dan septictank. Sarana sanitasi ketiga ialah ”sarana pembuangan air limbah (SPAL); diberi nilai 0 (nol) jika tidak ada sehingga tergenang tidak teratur di halaman rumah; diberi nilai 1 jika ada dan diresapkan tetapi mencemari sumber air (jarak dengan sumber air < 10 meter; diberi nilai 2 jika ada dan dialirkan ke selokan terbuka; diberi nilai 3 jika ada dan diresapkan dan tidak mencemari sumber air (jarak dengan sumber air > 10 meter; dan diberi nilai 4 jika ada dan dialirkan ke selokan tertutup (selokan kota) untuk diolah lebih lanjut. Sarana sanitasi keempat ialah ”sarana pembuangan sampah”; diberi nilai 0 (nol) jika tidak ada; diberi nilai 1 jika ada tetapi tidak kedap air dan tidak ada tutup; diberi nilai 2 jika ada dan kedap air namun tidak bertutup; diberi nilai 3 jika ada, kedap air, dan bertutup. Perilaku penghuni pertama yaitu ”membuka jendela kamar tidur”; diberi nilai 0 (nol) jika tidak pernah dibuka, diberi nilai 1 jika kadang-kadang, diberi nilai 2 jika setiap hari dibuka. Perilaku penghuni kedua yaitu ”membuka jendela ruang keluarga; diberi nilai 0 (nol) jika tidak pernah dibuka; diberi nilai 1 jika kadang-kadang; dan diberi nilai 2 jika setiap hari dibuka. Perilaku penghuni ketiga ialah ”membersihkan rumah dan halaman”; diberi nilai 0 (nol) jika tidak pernah; diberi nilai 1 jika kadang-kadang; diberi nilai 2 jika setiap hari. Perilaku penghuni keempat ialah ”membuang tinja bayi dan balita”; diberi nilai 0 (nol) jika dibuang ke sungai/kebun/kolam/sembarangan; diberi
nilai 1 jika kadang-kadang ke
jamban; dan diberi nilai 2 jika setiap hari dibuang ke jamban. Perilaku penghuni kelima ialah ”membuang sampah pada tempat sampah”; diberi nilai 0 (nol) jika dibuang ke sungai/kebun/kolam/sembarangan; diberi nilai 1 jika kadang-kadang dibuang ke tempat sampah; dan diberi nilai 2 jika setiap hari dibuang ke tempat sampah (Depkes. R.I. 2002b) 2.5. Pendidikan Kesehatan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001) pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
35 mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, pembuatan mendidik. Pendidikan adalah meningkatkan pengetahuan, pengertian, kesadaran, dan toleransi; meningkatkan "questioning skills" dan kemampuan menganalisis sesuatu, termasuk pendidikannya; meningkatkan kedewasaan individu. Pendidikan kesehatan kepada masyarakat adalah penting. Pemberian kesadaran dan pemberdayaan kepada masyarakat akan makna kesehatan adalah hak azasi manusia dan investasi di masa depan (Sardjono 2002). Success in improving health depends on specific efforts to promote appropriate behaviors and not just on the introduction of new drugs and technologies (Murphy 2004). Notoatmodjo (1993) mengemukakan bahwa semua petugas kesehatan telah mengakui bahwa pendidikan kesehatan itu penting untuk menunjang program-program kesehatan yang lain. Akan tetapi pada kenyataannya pengakuan ini tidaklah didukung oleh kenyataan; artinya dalam program-program pelayanan kesehatan kurang dilibatkan pendidikan kesehatan. Meskipun program itu mungkin telah melibatkan pendidikan kesehatan tetapi kurang berbobot. Pendidikan kesehatan adalah suatu penerapan konsep pendidikan di dalam bidang kesehatan. Media pendidikan, berdasarkan fungsinya dapat dibagi menjadi tiga yakni media cetak, elektronik dan media papan. Media cetak sebagai alat untuk menyampaikan pesan-pesan kesehatan sangat bervariasi, antara lain terdiri dari: booklet, leaflet, flyer, flip chart, rubrik, poster, foto dan sebagainya. Media elektronik antara lain: televisi, radio, video, slide dan film strip. Media papan (billboard) yang dipasang di tempat-tempat umum dapat diisi dengan pesan-pesan atau informasi-informasi kesehatan. Di Indonesia, program pendidikan kesehatan dan penyuluhan kesehatan telah dikembangkan dan ditetapkan menjadi promosi kesehatan. Kebijakan nasional promosi kesehatan itu ditetapkan dalam keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor: 1193/MENKES/ SK/X/2004. Pembangunan kesehatan di Indonesia dilandaskan kepada paradigma sehat; yakni paradigma yang akan mengarahkan pembangunan kesehatan untuk lebih mengutamakan upaya-upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit, tanpa mengenyampingkan upaya-upaya penanggulangan atau penyembuhan dan pemulihan.
36 WHO (1986) memberi pengertian promosi kesehatan sebagai the process of enabling individuals and communities to increase control over the determinants of health and thereby improve their health (proses mengupayakan individuindividu dan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan mereka mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan, sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatannya). Aktivitas utama promosi kesehatan menurut Piagam Ottawa adalah advokasi (advocating), pemberdayaan (enabling) dan mediasi (mediating).
Strategi
peningkatan
promosi
kesehatan
ialah
mencakup:
(1) pengembangan kebijakan promosi kesehatan daerah, (2) peningkatan sumber daya promosi kesehatan, (3) pengembangan organisasi promosi kesehatan, (4) integrasi dan sinkronisasi promosi kesehatan, (5) pendayagunaan data dan pengembangan sistem informasi promosi kesehatan, dan (6) peningkatan kerjasama dan kemitraan, (7) pengembangan metode, teknik dan media, dan (8) memfasilitasi
peningkatan promosi kesehatan (WHO 1986, diacu dalam
Depkes.R.I. 2005b). Dampak positif dari pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat dalam penyakit DBD pada dasarnya cukup besar (Kyu et al. 2005). Tram et al. (2003) mengemukakan bahwa a mother’s knowledge, attitude and practice (KAP) study before and after health education of dengue haemorrhagic fever (DHF) was carried out in four communes in Southern Viet Nam. The study showed that health education had made a strong impact on the mother’s KAP of DHF. The KAP of mothers (how to recognize the child with DHF, how to take care of the child at home, and how to prevent the disease) were improved significantly after health education. Menurut Green (1980) kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yakni faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non-behavior causes). Perilaku itu sendiri terbentuk dari 3 faktor, yakni: 1) Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors) Faktor-faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.
37 2) Faktor-faktor pemungkin (enabling factors) Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat, misalnya: air bersih, tempat pembuangan sampah, tempat pembuangan tinja, ketersediaan makanan yang bergizi, termasuk fasilitas pelayanan kesehatan seperti PUSKESMAS, RS, Poliklinik, Pos Pelayanan Terpadu (POSYANDU), Polindes, Pos Obat Desa (POD), Dokter atau Bidan Praktek Swasta, dan sebagainya. 3) Faktor-faktor penguat (reinforcing factors) Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat (TOMA), tokoh agama (TOGA), sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan; termasuk di sini undang-undang dan peraturan-peraturan. Dapat diringkaskan bahwa PHBS seseorang atau masyarakat tidak hanya ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan;
tetapi juga oleh kecukupan atau
ketersediaan fasilitas untuk melakukan perilaku itu; serta sikap, perilaku, dan mutu layanan dari provider serta dukungan positif dari tokoh masyarakat. 2.6. Pendekatan Sistem Menurut Eriyatno (1998), karena disebabkan pemikiran
sistem selalu
mencari keterpaduan antarbagian melalui pemahaman yang utuh, maka diperlukan suatu kerangka fikir baru yang terkenal
sebagai pendekatan sistem (system
approach). Pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhankebutuhan sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif. Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis (Marimin 2007). Pendekatan sistem merupakan cara pandang bersifat menyeluruh (holistik) yang memfokuskan pada integrasi dan keterkaitan antar komponen (Hartrisari 2007). Tahapan pendekatan sistem menurut Manetsch dan Park (1977) dalam Hartrisari (2007) yaitu: mulai, analisis kebutuhan, formulasi masalah, identifikasi sistem, pemodelan sistem, verifikasi dan validasi, implementasi dan selesai. Tahapan ini tidak banyak berbeda dengan tahapan pendekatan sistem yang dikemukakan oleh Pramudya (1989) yaitu: mulai, analisis kebutuhan, formulasi
38 permasalahan, identifikasi sistem (diagram lingkar sebab akibat, diagram inputoutput, diagram alir), pemodelan sistem, validasi model, implementasi dan evaluasi seperti tampak pada Gambar 4. Mulai Analisis kebutuhan Formulasi permasalahan Identifikasi sistem 1. Diagram lingkar sebab akibat 2. Diagram input-output 3. Diagram alir Pemodelan sistem Validasi model Tidak
Layak? Ya
Implementasi
Evaluasi Gambar 4. Tahapan kerja dalam pendekatan sistem (Pramudya 1989) 2.6.1. Analisis Kebutuhan Analisis ini akan dinyatakan dalam kebutuhan-kebutuhan yang ada, baru kemudian dilakukan tahapan pengembangan terhadap kebutuhan-kebutuhan yang dideskripsikan. Analisis kebutuhan selalu menyangkut interaksi antara respon yang timbul dari seorang pengambil keputusan terhadap jalannya sistem.
39 Analisis ini dapat meliputi hasil suatu survei, pendapat ahli, diskusi, observasi lapangan dan sebagainya (Eriyatno 1998). Pada tahap analisis kebutuhan ini diidentifikasi kebutuhan-kebutuhan dari masing-masing pelaku sistem (stakeholder). Setiap pelaku sistem memiliki kebutuhan yang dapat mempengaruhi kinerja sistem. Pelaku mengharapkan kebutuhan tersebut dapat terpenuhi jika mekanisme sistem tersebut dijalankan (Hartrisari 2007). Pada tahap analisis kebutuhan, dapat ditentukan komponenkomponen yang berpengaruh dan berperan dalam sistem. Komponen-komponen tersebut mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda sesuai dengan tujuannya masing-masing dan saling berinteraksi satu sama lain serta berpengaruh terhadap keseluruhan sistem yang ada (Marimin 2005). 2.6.2. Formulasi Permasalahan Formulasi
permasalahan
merupakan
identifikasi
dari
kebutuhan
stakeholder yang kontradiktif, yang dapat menyebabkan kejadian konflik pada pencapaian tujuan. Dari hasil analisis kebutuhan
akan tampak kebutuhan-
kebutuhan yang sejalan (sinergis) maupun yang kontradiktif (Hartrisari 2007). 2.6.3. Identifikasi Sistem Identifikasi sistem merupakan hubungan antara pernyataan kebutuhankebutuhan dengan pernyataan-pernyataan khusus dari masalah yang harus dipecahkan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan tersebut (Marimin 2007). Pada tahap identifikasi sistem, pengkaji sistem mencoba memahani mekanisme yang terjadi dalam sistem. Hal ini dimaksudkan untuk mengenali hubungan antara “pernyataan kebutuhan” dengan “pernyataan masalah” yang harus diselesaikan dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut. Pada tahap identifikasi sistem, salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah dengan menyusun diagram lingkar sebab-akibat (causal-loopdiagram) atau diagram input-output (black box diagram). Diagram lingkar sebab akibat menggambarkan hubungan antar elemen yang terlibat dalam sistem yang dikaji. Diagram ini berguna untuk : (1) secara cepat memberikan gambaran sifat dinamik dari sistem yang dikaji, (2) memberikan dasar untuk pembentukan persamaan pada model dan, (3) mengidentifikasi faktor penting dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan (Hartrisari 2007).
40 Diagram simpal kausal adalah pengungkapan tentang kejadian hubungan sebab akibat (causal relationship) ke dalam bahasa gambar tertentu. Bahasa tersebut adalah tanda-tanda panah yang saling mengait membentuk diagram simpal (causal loop) di mana hulu panah mengungkapkan sebab dan ujung panah mengungkapkan akibat. Keduanya baik unsur sebab maupun akibat harus merujuk keadaan yang terukur baik secara kualitatif
untuk
keadaan yang dirasakan
(perceived) maupun secara kuantitatif untuk keadaan nyata (actual). Proses (rate) sebagai sebab yang menghasilkan keadaan (level) sebagai akibat. Proses penstrukturan selanjutnya adalah merangkai hubungan sebab akibat tersebut menjadi sistem tertutup, sehingga menghasilkan simpal-simpal (loops). Untuk mengetahui apakah simpal tersebut bersifat positif atau negatif harus dilihat apakah keseluruhan interaksi panah-panah dalam suatu simpal menghasilkan proses searah atau berlawanan arah. Jika searah disebut simpal positif, jika berlawanan arah disebut simpal negatif (Muhammadi et al. 2001). Hal yang terpenting dalam mengidentifikasi sistem adalah melanjutkan interpretasi diagram lingkar ke dalam konsep kotak gelap (black box). Para analis harus mampu mengkonstruksi diagram kotak gelap (Marimin 2005). Kotak gelap atau disebut juga diagram input-output menggambarkan hubungan antara output yang akan dihasilkan dengan input berdasarkan tahapan analisis kebutuhan dan formulasi permasalahan (Hartrisari 2007). Diuraikan lebih lanjut oleh Hartrisari (2007) bahwa output merupakan tujuan kajian sistem. Output dikategorikan sebagai output yang diinginkan (desired output) dan output yang tidak diinginkan (undesired output). Output yang tidak diinginkan merupakan hal yang tidak dapat dihindari dan kadang-kadang diidentifikasi sebagai pengaruh negatif bagi kinerja sistem. Seorang sistem analis harus dapat mengenali mekanisme proses yang terjadi dalam sistem agar dapat meminimumkan output yang tidak diinginkan. Output yang tidak diinginkan perlu ditindaklanjuti melalui umpan balik. Dalam hubungan ini, input harus dimodifikasi agar menghasilkan output yang diinginkan. Input merupakan faktor yang mempengaruhi kinerja sistem yang dapat digolongkan pada input langsung dan tak langsung. Input langsung adalah semua faktor yang mempengaruhi kinerja sistem secara langsung. Input langsung terdiri dari input terkendali serta input tidak terkendali. Input tidak langsung
41 merupakan elemen-elemen yang mempengaruhi sistem secara tidak langsung dalam pencapaian tujuan. Input ini biasanya berada di luar batasan sistem sehingga sering disebut sebagai input lingkungan. Proses merupakan transformasi dari input menjadi output. Pada diagram input-output, proses masih tersembunyi dalam kotak gelap (black box). Hal ini menunjukkan bahwa kita belum tahu apa yang terjadi dalam kotak tersebut. Pengetahuan kita baru terbatas pada output yang dihasilkan berdasarkan input yang teridentifikasi. 2.6.4. Pemodelan Sistem Model adalah suatu abstraksi dari keadaan yang sesungguhnya atau merupakan penyederhanaan sistem nyata untuk memudahkan pengkajian suatu system (Pramudya 1989; Ma’arif et al. 2003). Model merupakan konsepsi mental, hubungan empirik atau kumpulan pernyataan-pernyataan matematik statistik atau dapat juga diartikan sebagai representasi sederhana dari suatu sistem dapat diabstraksi dalam bentuk hubungan sebab akibat dari peubah-peubah yang ditetapkan sesuai tujuan model. Model yang baik ialah model yang dapat menggambarkan semua hal penting dari dunia nyata dalam masalah tertentu. Model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses (Muhammadi et al. 2001). Model yang dibangun tidak akan sama persis dengan sistem sebenarnya. Semakin banyak variabel yang dimasukkan dalam model, semakin sulit untuk menjelaskan proses yang terjadi (Forrester 1965, diacu dalam Hartrisari 2007). Model merupakan penyederhanaan sistem. Karena sistem sangat kompleks tidak mungkin membuat model yang dapat menggambarkan seluruh proses yang terjadi dalam sistem. Muhammadi et al. (2001) mengelompokkan model menjadi tiga yakni model kuantitatif, kualitatif, dan model ikonik. Model kuantitatif adalah model yang berbentuk rumus-rumus matematik, statistik atau komputer. Model kualitatif adalah model yang berbentuk gambar, diagram, atau matriks, yang menyatakan hubungan antar unsur. Dalam model kualitatif tidak digunakan rumus-rumus matematik, statistik atau komputer. Model ikonik adalah model yang mempunyai bentuk fisik sama dengan barang yang ditirukan, meskipun skalanya dapat diperbesar atau diperkecil.
42 Menurut Pramudya (1989), ada empat keuntungan penggunaan model dalam
penelitian
dengan
menggunakan
pendekatan
sistem
yaitu:
(1) memungkinkan melakukan penelitian yang bersifat lintas sektoral dengan ruang lingkup yang luas, (2) dapat melakukan ekperimentasi terhadap sistem tanpa mengganggu (memberikan perlakuan) tertentu terhadap sistem, (3) mampu menentukan tujuan aktivitas pengelolaan dan perbaikan terhadap sistem yang diteliti, dan (4) dapat dipakai untuk menduga (meramal) perilaku dan keadaan sistem pada masa yang akan datang. Hartrisari (2007) mengemukakan bahwa model disusun untuk beberapa tujuan, yaitu : (1) pemahaman proses yang terjadi dalam sistem, (2) prediksi, (3) menunjang pengambilan keputusan. Selanjutnya dikemukakan bahwa pemodelan yang efektif merupakan keterkaitan antara dunia maya yang dinyatakan dalam model dengan dunia nyata sehingga tujuan model sebagai penyederhanaan sistem akan tercapai. Dalam proses penyusunan model perlu diperhatikan juga penentuan horison waktu (time horizon). Horison waktu dalam model harus “cukup panjang” agar dapat menunjukkan perubahan yang terjadi. Secara umum, horison waktu pada model didasarkan pada proses yang terjadi. Mengenai simulasi model Muhammadi et al. (2001) mengemukakan bahwa simulasi adalah peniruan perilaku suatu gejala atau proses. Simulasi bertujuan untuk memahami gejala atau proses tersebut dan membuat analisis serta peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan. Simulasi dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut: (1) penyusunan konsep, (2) pembuatan model, (3) simulasi, dan (4) validasi hasil simulasi. Tahap pertama simulasi adalah penyusunan konsep, yaitu menentukan unsur-unsur yang berperan dalam gejala atau proses tersebut. Unsur-unsur itu saling berinteraksi, saling berhubungan dan saling berketergantungan. Unsurunsur tersebut bersatu dalam melakukan suatu kegiatan. Dari keterkaitan unsurunsur dapat disusun gagasan atau konsep mengenai gejala atau proses yang akan disimulasikan. Gagasan tersebut selanjutnya dirumuskan sebagai model yang berbentuk uraian, gambar atau rumus. Simulasi dapat dilakukan dengan menggunakan model yang telah dibuat. Dalam model kuantitatif, simulasi dilakukan dengan memasukkan data ke dalam model, di mana perhitungan
43 dilakukan untuk mengetahui perilaku gejala atau proses. Dalam model kualitatif, simulasi dilakukan dengan menelusuri dan mengadakan analisis hubungan sebab akibat antar unsur dengan memasukkan data atau informasi yang dikumpulkan untuk mengetahui perilaku gejala atau proses. Dalam model ikonik, simulasi dilakukan dengan mengadakan percobaan secara fisik dengan menggunakan model tersebut untuk mengetahui perilaku model dalam kondisi yang berbeda. Setelah dibuat model, dilakukan validasi untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi dengan gejala atau proses yang ditirukan. Model dinyatakan baik apabila kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang ditirukan kecil. Hasil simulasi tersebut selanjutnya digunakan untuk memahami perilaku gejala atau proses serta mengetahui kecenderungannya di masa mendatang (Muhammadi et al. 2001). Untuk melakukan simulasi diperlukan perangkat lunak (software) yang dapat dengan cepat melihat perilaku (behavior) model yang dibuat. Perangkat lunak yang mudah digunakan untuk membangun dan melakukan simulasi model dinamik adalah powersim. Pada perangkat lunak powersim, sistem yang menggambarkan hubungan antara variabel-variabel itu dinamakan diagram alir (flow diagram). 2.6.5. Validitas dan Sensitivitas Model Schlesinger, et al. (1979), mengemukakan bahwa model validation is usually defined to mean “substantiation that a computerized model within its domain of applicability possesses a satisfactory range of accuracy consistent with the intended application of the model”. Model verfication is often defined as “ensuring that the computer program of the computerized model and its implementation are correct” (Schlesinger et al. 1979, di acu dalam Sargent 1998). Hartrisari (2007) mengemukakan bahwa seseorang pengkaji sistem perlu menetapkan tolok ukur model yang baik untuk mengetahui kinerja model. Ia perlu meyakinkan pengguna bahwa model yang dibangun sesuai untuk penyelesaian permasalahan yang dihadapi sehingga hasil eksekusi model dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Pengujian model seharusnya dilakukan juga untuk mengenali keterbatasan kinerja model sehingga dapat ditentukan kesesuaian penggunaan model dalam rangka penyelesaian masalah yang dihadapi.
44 Lebih lanjut dikemukakan bahwa secara umum pengujian model terdiri dari tahap verifikasi dan validasi. Verifikasi dan validasi model yang biasanya dilakukan hanyalah menguji kebenaran struktur model untuk menunjukkan kesalahan minimal dibandingkan dengan data aktual termasuk menggunakan berbagai teknik statistika. Validasi harus ditunjang oleh kebenaran yang bersifat obyektif (Hartrisari 2007). Tahap awal dari pengujian model difokuskan pada pertanyaan “apakah model yang disusun memang berguna”. Muhammadi et al. (2001) mengemukakan bahwa pengetahuan ilmiah yang bersifat obyektif harus taat fakta. Validitas atau keabsahan adalah salah satu kriteria penilaian keobyektivan dari suatu pekerjaan ilmiah. Dalam pekerjaan pemodelan, obyektif itu ditunjukkan dengan sejauh mana model dapat menirukan fakta. Model yang baik adalah model yang valid atau lulus uji validitas. Model yang telah melewati uji validitas struktur akan menghasilkan keyakinan pemodel tentang bangunan model yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (building confidence), dan model yang melewati uji validitas kinerja akan menghasilkan keyakinan pemodel tentang tingkat ketelitian metode yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (level of confidence). Ringkasnya model ilmiah yang baik adalah yang memenuhi kedua syarat tersebut yaitu logis-empiris (logico-empirical). Jenis uji yang digunakan ialah uji validasi struktur atau validasi kinerja.Validasi struktur meliputi dua pengujian yaitu validitas konstruksi dan validitas kestabilan. Validitas konstruksi melihat apakah konstruksi model yang dikembangkan sesuai dengan teori. Uji validitas konstruksi ini bersifat abstrak, tetapi konstruksi model yang benar secara ilmiah berdasarkan teori yang ada akan terlihat dari konsistensi model yang dibangun. Validitas kinerja/ output model bertujuan untuk memperoleh keyakinan sejauh mana kinerja model sesuai (compatible) dengan kinerja sistem nyata; caranya ialah dengan memvalidasi kinerja model denga data empiris, untuk melihat sejauh mana perilaku output model sesuai dengan perilaku data empiris (Muhammadi et al. 2001). Untuk memverifikasi penyimpangan keluaran model dengan data empirik dilakukan dengan uji KF (Kalman Filter). Tingkat kecocokan (fitting) hasil simulasi kenyataan yang dapat diterima secara statistik adalah 47,5-52,5%. Persamaan uji
45 statistik KF yaitu KF = Vs/(Vs+Va); dimana Vs adalah varian nilai simulasi, dan Va adalah varian nilai aktual. Selain uji validitas juga diperlukan uji sensitivitas model. Muhammadi et al. (2001) mengemukakan bahwa uji sensitivitas model dapat dilakukan dengan dua macam intervensi yaitu
intervensi fungsional dan intervensi struktural.
Intervensi fungsional ialah dengan memberikan fungsi-fungsi khusus terhadap model dengan menggunakan fasilitas, antara lain: fungsi step, pulse, graph, dan delay. Intervensi struktural ialah dengan mempengaruhi hubungan antar unsur atau struktur model dengan cara mengubah struktur modelnya. Sensitivitas model mengungkapkan hasil-hasil intervensi terhadap unsur dan struktur sistem. di samping itu, analisis sensitivitas model juga berfungsi dalam menemukan alternatif tindakan atau kebijakan, baik untuk mengakselerasi kemungkinan pencapaian hasil positif maupun untuk mengantisipasi kemungkinan dampak negatif. 2.7. Teori Keputusan dan Model serta Teknik Analisis Marimin (2005) mengemukakan pada prinsipnya terdapat dua basis dalam pengambilan keputusan, yaitu pengambilan keputusan berdasarkan intuisi dan pengambilan keputusan rasional, berdasarkan hasil analisis keputusan. Mengambil atau membuat keputusan adalah suatu proses yang dilaksanakan orang berdasarkan pengetahuan dan informasi yang ada padanya pada saat tersebut dengan harapan bahwa sesuatu akan terjadi. Keputusan dapat diambil dari alternatif-alternatif keputusan yang ada. Alternatif keputusan tersebut dapat dilakukan dengan adanya informasi yang diolah dan disajikan dengan dukungan sistem penunjang keputusan. Marimin (2005) mengemukakan beberapa teknik pengambilan keputusan berbasis indeks kinerja, di antaranya ialah Proses Hierarki Analitik
(Analytical Hierarchy Process-AHP)
dan Interpretative Structural
Modelling (ISM). AHP dikembangkan oleh Dr.Thomas L. Saaty dari Wharton School Of Business pada tahun 1970-an untuk mengorganisasikan informasi dan judgment dalam memilih alternatif yang paling disukai (Marimin 2005). Analisis ini ditujukan untuk membuat model permasalahan yang tidak terstruktur dan
46 biasanya diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah terukur maupun masalah-masalah yang memerlukan pendapat (judgement) (Ma’arif et al. 2003). Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, stratejik, dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menata dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibandingkan dengan variabel yang lain. Dari berbagai pertimbangan tersebut kemudian dilakukan sintesis untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut. Adapun ide dasar prinsip kerja AHP menurut Marimin (2005) yaitu penyusunan hierarki, penilaian kriteria dan alternatif, penentuan prioritas dan konsistensi logis. Penjelasan langkah tersebut adalah sebagai berikut: (a) Persoalan yang akan diselesaikan, diuraikan menjadi unsur-unsurnya, yaitu kriteria dan alternatif, kemudian disusun menjadi struktur hierarki, (b) Kriteria dan alternatif dinilai melalui perbandingan berpasangan. Menurut Saaty (1983), untuk berbagai persoalan, skala 1 sampai 9 adalah skala terbaik dalam mengekspresikan pendapat. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty tampak dalam Tabel 1. Tabel 1.
Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan menurut Saaty (1983)
Nilai
Keterangan
1 3
Kriteria atau alternatif A sama penting dengan kriteria atau alternatif B A sedikit lebih penting dari B
5
A jelas lebih penting dari B
7
A sangat jelas lebih penting dari B
9
A mutlak lebih penting dari B
2,4,6,8
Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan
Nilai perbandingan A dengan B adalah 1 (satu) dibagi dengan nilai perbandingan B dengan A (Saaty T.L. 1983, diacu dalam Marimin 2005). (c)
Penentuan prioritas. Untuk setiap kriteria dan alternatif, perlu dilakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparisons). Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh
47 alternatif. Baik kriteria kualitatif maupun kriteria kuantitatif, dapat dibandingkan sesuai dengan judgement yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas. Bobot atau prioritas dihitung dengan manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematik. (d) Konsistensi logis. Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis. Consistency ratio merupakan parameter yang digunakan untuk memeriksa apakah perbandingan berpasangan telah dilakukan dengan konsekuen atau tidak. Pengolahan pendapat pakar berdasarkan AHP dapat dilakukan dengan bantuan perangkat lunak. Adapun diagram air metoda AHP ialah seperti tampak pada Gambar 5. Mulai
Identifikasi sistem Penyusunan hierarki Pengisian matriks pendapat individu Tidak
Revisi pendapat
CR memenuhi Ya
Menyusun matriks gabungan Pengolahan vertikal Menghitung vektor prioritas Selesai Gambar 5. Diagram alir metoda AHP (Saaty T.L.1980, diacu dalam Ma’arif et al. 2003)
Teknik Permodelan Interpretasi Struktural (Interpretative Structural Modelling-ISM) adalah salah satu teknik permodelan yang dikembangkan untuk perencanaan kebijakan strategis. Menurut Eriyatno (1998) ISM adalah proses
48 pengkajian kelompok (group learning process) di mana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis serta kalimat. Teknik ISM merupakan salah satu teknik permodelan sistem untuk menangani kebiasaan yang sulit diubah dari perencana jangka panjang yang sering menerapkan secara langsung teknik penelitian operasional dan atau aplikasi statistik deskriptif. ISM dikembangkan pertama kali oleh Warfield (1971): (1) berkenaan dengan interpretasi dari hubungan antar elemen dari suatu sistem yang didasarkan atas hubungan kontekstual tertentu (is a process that transform unclear, poorly articulated mental models of system into visible, well-defined models useful for many purpose); (2) adalah studi tentang sistem yang kompleks; (3) digunakan karena perlu pemahaman yang utuh tentang sistem yang dikaji; (4) digunakan karena perlu metodologi untuk menggambarkan struktur dan sistem yang dikaji; (5) digunakan karena perlu menggambarkan pengaturan dari elemen-elemen dan hubungan antar elemen dalam memebentuk suatu sistem. ISM berkenaan penggambaran struktur dari sistem yang sedang dikaji serta interpretasi dari hubungan antar elemen dari suatu sistem yang didasarkan atas hubungan kontekstual tertentu. Salah satu tujuan utamanya ialah menentukan elemen kunci dalam sistem. ISM adalah salah satu metodologi berbasis komputer yang membantu kelompok mengidentifikasi hubungan antara ide dan struktur tetap pada isu yang kompleks. ISM dapat digunakan untuk mengembangkan beberapa tipe struktur, termasuk struktur pengaruh (misalnya : dukungan atau pengabaian), struktur prioritas (misalnya: ”lebih penting dari”, atau ”sebaiknya dipelajari sebelumnya”) dan kategori ide (misalnya: ”termasuk dalam kategori yang sama dengan”) (Broome dalam Kanungo dan Bhatnagar 2002, diacu dalam Marimin 2007). Marimin (2005), mengemukakan deskripsi singkat langkah-langkah ISM sebagai berikut: (1) Identifikasi elemen. Hal ini dapat diperoleh melalui penelitian, brainstorming, dan lain-lain; (2) Hubungan kontekstual. Sebuah hubungan kontekstual antar elemen dibangun, tergantung pada tujuan dari pemodelan;
49 (3) Matriks interaksi tunggal terstruktur (structural self interaction matrix/SSIM). Matriks ini mewakili elemen persepsi responden terhadap elemen hubungan yang dituju. Empat simbol yang digunakan untuk mewakili tipe hubungan yang ada antara dua elemen dari sistem yang dipertimbangkan adalah : V : Hubungan dari elemen Ei terhadap Ej, tidak sebaliknya A : Hubungan dari elemen Ej terhadap Ei, tidak sebaliknya X : Hubungan dari elemen Ei terhadap Ej, dapat sebaliknya O : Hubungan dari elemen Ei terhadap Ej, tidak berkaitan (4) Matriks reachability (reachability matrix/RM): sebuah RM yang dipersiapkan kemudian mengubah simbol-simbol SSIM ke dalam sebuah matriks biner. Aturan-aturan konversi berikut menerapkan : a) Jika hubungan Ei terhadap Ej
=
V dalam SSIM, maka elemen Eij = 1
=
A dalam SSIM, maka elemen Eij = 0
=
X dalam SSIM, maka elemen Eij = 1
=
O dalam SSIM, maka elemen Eij = 0
dan Eji = 0 dalam RM b) Jika hubungan Ei terhadap Ej dan Eji = 1 dalam RM c) Jika hubungan Ei terhadap Ej dan Eji = 1 dalam RM d) Jika hubungan Ei terhadap Ej dan Eji = 0 dalam RM RM awal dimodifikasi untuk menunjukkan seluruh direct dan indirect reachability, yaitu jika Eij=1 dan Ejk=1 maka Eik=1. (5) Tingkat partisipasi dilakukan untuk mengklasifikasi elemen-elemen dalam level-level yang berbeda dari struktur ISM (6) Matriks Canonical, berupa pengelompokan elemen-elemen dalam level yang sama mengembangkan matriks ini. (7) Digraph adalah konsep yang berasal dari directional graph, sebuah grafik dari elemen-elemen yang saling berhubungan secara langsung, dan level hierarki. ISM dibangkitkan dengan memindahkan seluruh jumlah elemen dengan deskripsi elemen aktual. Oleh sebab itu ISM memberikan gambaran yang sangat jelas dari elemen-elemen sistem dan alur hubungannya. Secara keseluruhan proses teknik ISM seperti tampak pada Gambar 6.
50 Program Uraikan program menjadi perencanaan program Uraikan setiap elemen menjadi subelemen Tentukan hubungan kontekstual antara subelemen pada setiap elemen Susunlah SSIM untuk setiap elemen Bentuk reachability matrix setiap elemen Uji matriks dengan aturan transitivity Tidak
Modifikasi SSIM
OK ? Ya
Tetapkan Dependence dan Drive power setiap subelemen
Tentukan level melalui pemilihan Tentukan rank dan hierarki dari subelemen
Tentukan Drive dependence matrix setiap elemen Susun ISSM dari setiap elemen
Tentukan rank dan hierarki dari subelemen Tentukan Drive dependence matrix setiap elemen Plot subelemen pada empat sektor Klasifikasi subelemen pada empat peubah kategori
Gambar 6. Diagram teknik ISM (Saxena 1992, diacu dalam Marimin 2004) Dalam penelitian ini digunakan analisis deskriptif dan analisis hubungan bivariat dengan uji T, ANOVA, uji korelasi, uji regresi, dan uji Chi-square. Uji T dan ANOVA digunakan untuk melakukan analisis hubungan variabel kategorik dengan variabel numerik. Uji T dan ANOVA digunakan untuk menarik
51 kesimpulan apakah parameter dua populasi berbeda atau tidak. Uji korelasi dan regresi linier sederhana digunakan untuk melakukan analisis hubungan variabel numerik dengan variabel numerik. Uji korelasi digunakan terutama untuk mengetahui derajat/keeratan hubungan dua variabel apakah kuat, sedang, atau lemah. Uji regresi linier sederhana digunakan terutama untuk mengetahui bentuk hubungan antara dua variabel apakah positif atau negatif (Amsyari 1981; Walpole 1990). Kekuatan hubungan antara kedua variabel dapat dikuantifikasi melalui suatu koefisien yang dikenal sebagai koefisien korelasi (dari Pearson). Koefisien r akan berkisar antara 0 sampai 1. Besaran koefisien ini menunjukkan kekuatan hubungan, yaitu bila r sama dengan nol berarti tidak ada hubungan linier. Bila r sama dengan satu berarti hubungan linier sempurna. Makin mendekati angka satu berarti semakin kuat hubungannya; dan semakin mendekati nol maka semakin lemah hubungannya. Yang penting diperhatikan adalah bila r kecil, tidak berarti tidak ada hubungan antara kedua variabel, namun mungkin hubungan berbentuk non-linier misalnya lengkung parabolik, atau lengkung eksponensial (Amsyari 1981; Walpole 1990). Uji Chi-square digunakan untuk melakukan analisis hubungan variabel kategorik dengan variabel kategorik. Dengan uji Chi-square dapat diuji perbedaan proporsi atau persentase antara beberapa kelompok data. Proses pengujian Chisquare adalah membandingkan frekuensi. Prinsip dasar dari Chi-square ialah membandingkan frekuensi yang diamati dengan frekuensi yang terjadi; atau frekuensi yang terjadi (observed) dengan frekuensi harapan (expected). Bila nilai frekuensi observasi dengan nilai frekuensi harapan sama, maka dikatakan tidak ada perbedaan yang bermakna (signifikan). Sebaliknya, bila nilai frekuensi observasi dan nilai frekuensi harapan berbeda, maka dikatakan ada perbedaan yang bermakna (Wonnacott & Wonnacott 1972; Walpole 1990; Singarimbun et al. 1995). Chisquare: a measure of statistical significance for a contingency table (Bailey 1987). Keputusan uji statistik hipotesis nol (Ho) ditolak jika p-value
alpha (Wonnacott & Wonnacott 1972). 2.8. Analisis Kebijakan Dari studi kepustakaan diketahui banyak pengertian tentang
analisis
kebijakan. Muhammadi et al. (2001) menjelaskan bahwa analisis adalah suatu
52 pekerjaan intelektual untuk memperoleh pengertian dan pemahaman, sedangkan kebijakan adalah suatu upaya atau tindakan untuk mempengaruhi sistem mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam analisis, pekerjaan intelektual tersebut adalah suatu proses memilah dan mengelompokkan obyek ke dalam bagian yang lebih rinci sehingga diperoleh pengetahuan tentang ciri dan cara kerja dari obyek tersebut. Oleh karena sasaran kebijakan
adalah mempengaruhi sistem, maka
tindakan tersebut bersifat strategis, yaitu bersifat jangka panjang dan menyeluruh. Dengan demikian, batasan analisis kebijakan adalah pekerjaan intelektual memilah dan mengelompokkan upaya atau tindakan untuk memperoleh pengetahuan tentang cara-cara yang strategis dalam mempengaruhi sistem mencapai tujuan yang diinginkan. Barker (1996) menjelaskan bahwa policies are expressed in a whole series of practices, statement, regulations and even laws
which are the result of
decisions about how are will do things. Policy making is the stuff of good management, and characterises the manager, a proactive, strategic thinker, over and above the administrator, a servant of the policies elaborated by others. Health care policy may be seen as the networks of interrelated decisions which together form an approach or strategy in relation to practical issues concerning health care delivery. David (2002) mengemukakan bahwa kebijakan merupakan cara untuk mencapai sasaran tahunan. Kebijakan termasuk pedoman, peraturan, dan prosedur yang ditetapkan untuk mendukung usaha mencapai sasaran yang sudah dinyatakan. Kebijakan adalah pedoman untuk membuat keputusan dan menghadapi situasi yang berulang atau terjadi lagi. Salah satu aspek penting dalam proses analisis kebijakan dengan metode sistem dinamis adalah simulasi model. Simulasi model adalah tiruan perilaku sistem nyata. Dengan menirukan perilaku sistem nyata tersebut proses analisis akan lebih cepat, bersifat menyeluruh, hemat, dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebaliknya, analisis kebijakan dengan eksperimental terhadap sistem nyata akan lebih lama, bersifat terbatas, mahal dan risikonya kurang diperhitungkan (Muhammadi et al. 2001). 2.9. Stakeholder dan Provider Menurut Freeman (1984) stakeholder ialah sebagai kelompok atau individu
53 yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu. Stakeholder sering diidentifikasi dengan suatu dasar tertentu, yaitu dari segi kekuatan dan kepentingan relatif stakeholder terhadap isu atau dari segi posisi penting dan pengaruh yang dimiliki mereka (Ramirez 1999). Stakeholder adalah masyarakat yang memiliki daya untuk mengendalikan penggunaan sumber daya seolah-olah mereka tidak terkena pengaruh, tetapi kehidupannya dipengaruhi oleh perubahan penggunaan sumber daya tersebut. Stakeholder berbeda dengan pelaku (actor). Stakeholder adalah bagian yang secara langsung terkait dengan hasil kajian. Mereka menjadi pengguna di masa depan dari suatu hasil kajian; sedangkan pelaku semua masyarakat dalam suatu wilayah yang memainkan suatu peran dalam suatu sektor tertentu. Mereka bukan kelompok sasaran (target group) bagi hasil suatu kajian. Berdasarkan kekuatan, posisi penting, dan pengaruh stakeholder terhadap suatu isu, stakeholder dapat diketegorikan ke dalam beberapa kelompok. Overseas
Development
Administration
(ODA)
(1995)
mengelompokkan
stakeholder menjadi tiga : stakeholder utama (primer), stakeholder pendukung (sekunder) dan stakeholder kunci. Stakeholder utama (primer) merupakan stakeholder yang memiliki kaitan kepentingan secara langsung dengan suatu kebijakan, program, dan proyek. Mereka harus ditempatkan sebagai penentu utama dalam proses pengambilan keputusan yaitu (1) masyarakat dan tokoh masyarakat, dan (2) pihak manajer publik. Masyarakat yang terkait dengan proyek, yakni masyarakat yang diidentifikasi akan memperoleh manfaat dan yang akan terkena dampak (kehilangan tanah dan kemungkinan kehilangan mata pencaharian) dari proyek ini. Tokoh masyarakat yakni anggota masyarakat yang oleh masyarakat ditokohkan di wilayah itu sekaligus dianggap dapat mewakili aspirasi masyarakat. Pihak manajer publik yaitu lembaga atau badan publik yang bertanggung jawab dalam pengambilan dan implementasi suatu keputusan. Stakeholder pendukung (sekunder) adalah stakeholder yang tidak memiliki kaitan kepentingan secara langsung terhadap suatu kebijakan, program, dan proyek, tetapi memiliki kepedulian (concern) dan keprihatinan sehingga mereka turut bersuara dan berpengaruh terhadap sikap masyarakat dan keputusan legal Pemerintah. Lembaga-lembaga itu meliputi : (1) Lembaga (aparat) Pemerintah
54 dalam suatu wilayah tetapi tidak memiliki tanggung jawab langsung; (2) Lembaga Pemerintah yang terkait dengan isu tetapi tidak memiliki kewenangan secara langsung dalam pengambilan keputusan; (3) LSM setempat: bergerak di bidang yang bersesuai dengan rencana, manfaat, dampak yang muncul yang memiliki “concern” (termasuk organisasi massa yang terkait), (4) Perguruan tinggi: kelompok akademisi ini memiliki pengaruh penting dalam pengambilan keputusan pemerintah, (5) Pengusaha (Badan Usaha) yang terkait. Stakeholder kunci merupakan stakeholder yang memiliki kewenangan secara legal dalam hal pengambilan keputusan; misalnya, stakeholder kunci untuk suatu keputusan untuk suatu proyek level daerah kabupaten : (1) Pemerintah Kabupaten, (2) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Kabupaten, (3) Dinas yang membawahi langsung proyek yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan provider dalam penelitian ini ialah sektor-sektor yang bertanggung jawab secara teknis terhadap program-program yang dikembangkan (Mantra 2004). Di sektor kesehatan, termasuk provider ini ialah Departemen Kesehatan dengan semua aparatnya sampai dengan PUSKESMAS, termasuk lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang kesehatan dan mempunyai program langsung ke masyarakat. Pelayanan provider berarti segenap tindakan provider yang dimaksudkan untuk membantu masyarakat dalam program yang telah ditentukan berdasarkan SOP atau peraturan perundangan yang berlaku. 2.10. Focus Group Discussion (FGD) dan Wawancara Mendalam Focus group discussion
(FGD) adalah salah satu teknik dalam
mengumpulkan data kualitatif, di mana sekelompok orang berdiskusi dengan pengarahan dari seorang moderator atau fasilitator mengenai suatu topik. Karakteristik FGD : (a) peserta terdiri dari 6 sampai 12 orang, (b) peserta tidak saling mengenal, (c) FGD adalah suatu proses pengumpulan data, (d) FGD mengumpulkan data kualitatif, (e) FGD menggunakan diskusi yang terfokus. Lamanya FGD biasanya 60 sampai 90 menit. Tempat pelaksanaan FGD di suatu tempat secara bebas dan tidak merasa takut untuk mengeluarkan pendapatnya (Kresno et al. 1999).
55 Wawancara mendalam atau indepth interview merupakan salah satu teknik pengumpulan data kualitatif, di mana wawancara dilakukan antara seorang responden dengan pewawancara yang terampil, yang ditandai dengan penggalian yang mendalam dan menggunakan pertanyaan terbuka. Teknik ini tepat digunakan dalam keadaan: (a) masalah sensitif, bila kita ingin memperoleh informasi tentang hal-hal yang dianggap sensitif seperti masalah aborsi dan lain-lain akan sulit dengan teknik FGD, karena orang merasa malu untuk mengungkapkannya; (b) masalah rumit, yang sulit diperoleh dengan teknik FGD; (c) tekanan kelompok sebaya, bila tekanan kelompok sebaya akan mempengaruhi tanggapan yang diberikan
responden
sehingga
mengaburkan
informasi
yang
diberikan;
(d) responden terpencar, tempat tinggal responden secara geografis sangat berjauhan; dan (e) status responden, status sosial responden yang sulit dikumpulkan menjadi satu guna dilakukan FGD (Kresno et al. 1999).