WP/14/2013
WORKING PAPER
SUSTAINABILITAS DEFISIT TRANSAKSI BERJALAN PEREKONOMIAN INDONESIA
Triono Widodo Lutzardo Tobing Wahyu Yuwana
2013
Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank Indonesia.
SUSTAINABILITAS DEFISIT TRANSAKSI BERJALAN PEREKONOMIAN INDONESIA Triono Widodo, Lutzardo Tobing, Wahyu Yuwana1 Abstract Before the crisis of 1997/1998, Current Account Deficit (CAD) had been the norm in Indonesia’s economy. Post 1997, in general, its current account recorded surpluses. However since the last quarter of 2011 CAD reemerged, raising concerns among policy makers and observers. This paper contains an empirical investigation of the sustainability of current account in Indonesia. Quarterly data 1970-2012 is used in this research using ARDL model to investigate whether current account deficit Indonesia is persistent or temporary. This research finds that Indonesia current account deficit is sustainable in the short-term as well as in the long-term. In the short-term such deficit could be financed by surplus in the capital and financial account. However, such protracted deficit could weigh on the economy in the longterm, as it will lead to increasing liabilities to the rest of the world which needs to be paid back. In addition, it could face the availability of foreign financing due to market imperfections. Therefore at least in the short terms, authorities should maintain market confidence as it will ensure the smooth flow of capital and financial account needed to finance the deficit.
JEL Classification : F32 Keywords
: Bank Indonesia, Current Account
Author’s E-Mail Address:
[email protected];
[email protected];
[email protected] 1The authors thank Putriana Nurman and Jimmi Adhe Kharisma for econometric works.
2
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Sejak kuartal IV 2011, transaksi berjalan Indonesia kembali mencatat defisit yang terus berlanjut sampai dengan akhir kuartal IV 2012 (Grafik 1). Sejak terjadinya krisis tahun 1997, sebetulnya transaksi berjalan juga pernah mencatat defisit pada tahun 2008 namun hanya berlangsung temporer yaitu selama tiga kuartal yaitu kuartal II sd kuartal IV. Oleh karena itu, defisit transaksi berjalan yang kembali muncul dan nampaknya akan berlangsung secara persisten menimbulkan kekhawatiran
bahwa
perkembangan
tersebut
dapat
mengganggu
stabilitas
perekonomian Indonesia; dengan kata lain dikhawatirkan defisit tersebut tidak sustainabel. Miliar USD 15
15
10
10
90,0 Inflation (rhs) CAD/GDP
5
GDP growth
5
80,0 70,0 60,0
0
50,0 0 40,0
-5 -5
30,0
-10 20,0
-10
-15 Tw II
Tw III 2010
* Angka Sementara
Tw IV
Nrc. Perd. Migas Transfer Berjalan
Tw I
Tw II
Tw III
Tw IV
2011 Nrc. Perd. Non Migas Pendapatan
Tw I
Tw II Jasa
Tw III
Tw IV
10,0
2012*
Transaksi Berjalan
Grafik 1. Current Account Indonesia
-15
1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Tw I
0,0
Grafik 2. Indikator Makroekonomi Indonesia (%)
Melihat sejarah defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) dalam 40 tahun terakhir diketahui bahwa Indonesia lebih sering mencatat defisit yang sebagian besar terjadi pada periode sebelum krisis 1997 (Lihat Grafik 2). Sebaliknya, pada periode sesudah krisis 1997, kondisi CA pada umumnya mencatat surplus. Kekhawatiran tersebut cukup beralasan karena apabila CAD terjadi dan berlangsung secara persisten biasanya akan diikuti dengan tekanan depresiasi terhadap nilai tukar dan penurunan cadangan devisa, bahkan dalam kasus tertentu dapat berakhir dengan krisis. Beruntungnya, meskipun terjadi CAD dalam beberapa kuartal terakhir masih dapat ditutup dengan kuatnya arus modal masuk pada transaksi modal dan finansial (TMF), sehingga dampaknya terhadap Neraca 3
Pembayaran Indonesia (NPI) tidak terlalu mengkhawatirkan (Grafik 3). CAD yang terjadi pada triwulan IV 2011 sebesar USD2,3 miliar masih dapat ditutup oleh surplus pada kuartal-kuartal sebelumnya sehingga secara keseluruhan CAD tahun 2011 masih mencatat surplus sebesar USD1,78 miliar. Ditambah dengan surplus pada TMF sebesar USD13,6 miliar sehingga NPI sepanjang 2011 masih mengalami surplus USD11,9 miliar dan cadangan devisa diakhir tahun tercatat sebesar USD110,12 miliar. Miliar USD 15
Miliar USD 140 120
10 100 5
80
60
0
40 -5 20 -10
0 Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I
Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV
2010
* Angka Sementara
2011
2012*
Trs. Berjalan
Trs. Modal dan Finansial
NPI keseluruhan
Cadangan Devisa(RHS)
Grafik 3. Neraca Pembayaran Indonesia Namun perkembangan pada tahun 2012 dampaknya tidak segera berubah membaik. NPI masih mengalami surplus USD0,21 miliar yang berasal dari CAD USD24,1 miliar dan surplus TMF USD25,0 miliar. Perkembangan terakhir tersebut memperkuat kekhawatiran bahwa CAD tersebut cenderung persisten. Meski NPI masih mengalami surplus, telah muncul salah satu dampak yang kurang menguntungkan dari CAD tersebut yaitu terdepresiasinya nilai tukar rupiah pada tahun 2012 sekitar 6,64%. Dampak CAD terhadap perkembangan makroekonomi berbeda-beda antar negara. Ada yang dapat berdampak segera mengganggu kinerja makroekonominya misalnya ditandai dengan pelemahan tajam nilai tukar, inflasi yang meningkat dan terganggunya pertumbuhan ekonomi. Namun secara empiris terdapat juga negara yang tidak mengalami hal demikian meskipun secara empiris jarang terjadi, contohnya adalah Australia yang secara persisten mengalami CAD tetapi kinerja makroekonominya masih cukup baik, bahkan nilai tukarnya sempat menguat. Sementara Vietnam yang mengalami CAD terus menerus dampaknya secara tajam terlihat pada depresiasi nilai tukarnya dan merosotnya cadangan devisa yang dimiliki. 4
Selama kurun waktu 32 tahun terakhir Vietnam mengalami CAD secara persisten dalam periode 1980–2012 (lihat Grafik 4). Dalam periode waktu tersebut, pertumbuhan ekonomi Vietnam tercatat rata-rata 6,5% per tahun. Namun di sisi lain, inflasi yang terjadi pernah mencapai angka sangat tinggi 453,54% (hiperinflasi) yaitu pada tahun 1986. Cadangan devisa pernah mengalami penurunan signifikan dari USD23 miliar pada tahun 2008 menjadi USD19,0 miliar tahun 2012 (Grafik 5) Sementara itu, nilai tukar cenderung melemah dari 0,205 Dong/USD pada tahun 1980 menjadi 6.483 pada tahun 1990, 14.168 pada tahun 2000, dan 20.812 tahun 2012, atau melemah rata-rata 5,5% pertahun (Grafik 6). Hal ini berbeda dengan Australia yang selama kurun waktu 32 tahun terakhir mengalami CAD (Grafik 7), namun pertumbuhan ekonomi dapat mencapai sebesar 3,2% rata-rata setahun, cukup tinggi sebagai negara maju. Cadangan devisa tahun 2012 tercatat sebesar AUD44,9 miliar menurun dari tahun 2006 yang mencapai sebesar AUD55,1 miliar (Grafik 5). Namun demikian, nilai tukar tidak mengalami pelemahan yang terlalu signifikan hanya sebesar 0,3 persen pertahun, dari sebesar 0,88USD/AUD tahun 1980 menjadi 0,97 USD/AUD tahun 2012, bahkan 12 tahun terakhir nilai tukar cenderung menguat (Grafik 6). 15
500,0
60
450,0 10 400,0 350,0 5
50
Australia Vietnam
40
300,0 0
250,0
30
200,0
20
-5 150,0
1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
GDP growth -15
100,0
CAD/GDP
Grafik 4. Indikator Makro: Vietnam (%)
10
50,0 0,0
0 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
CPI (rhs) -10
Grafik 5. Cadangan Devisa: Australia dan Vietnam
5
25.000
2,1 8
12,0
1,9 20.000
6
1,7 1,5
15.000
10,0
4 8,0
1,3 10.000
1,1
0,9 5.000 0,7
2 Inflation (rhs)
0
CAD/GDP
6,0
GDP growth
-2 4,0
-4 2,0
1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
0,5
Dong/USD
AUD/USD (RHS)
Grafik 6. Nilai Tukar: Australia dan Vietnam
-6 -8
1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
0
0,0
Grafik 7. Indikator Makro: Australia (%)
Secara umum dapat dikatakan bahwa CAD berdampak negatif kepada kebanyakan negara berkembang. Beberapa negara emerging market yang mengalami CAD yang lebih besar daripada Indonesia (Grafik 8) mengalami dampak kurang menguntungkan bagi perekonomiannya, seperti: India, Brasil, dan Turki. India, dengan rata-rata CAD sebesar 1,23% dalam kurun waktu 32 tahun terakhir mengalami pertumbuhan ekonomi tahun 2012 diperkirakan sebesar 4,5% turun dibandingkan tahun 2009 yang mencatat sebesar 8,2%. Terlihat pada Grafik 9, inflasi di India mencapai 9,3% (2012) meningkat dari tahun 2007 sebesar 6,4%. Sedangkan untuk nilai tukar rupee India terhadap dollar Amerika (Grafik 10) cenderung melemah dari sebesar 43,5 INR/USD tahun 2008 menjadi 48,4 INR/USD di tahun 2009 dan bahkan menjadi 53,4 INR/USD pada tahun 2012 atau rata-rata terdepresiasi sebesar 5,2% pertahun. Brasil, dengan rata-rata CAD sebesar 1,93% dalam kurun waktu 32 tahun terakhir diperkirakan mengalami pertumbuhan ekonomi 2,5% tahun 2012 setelah pada tahun 2010 mencatat pertumbuhan 7,5%. Inflasi tahun 2012 yang diukur dengan CPI meningkat menjadi 5,4% setelah tahun 2007 hanya mencatat 3,6% (Grafik 9). Nilai tukar mata uang domestik Brasil (Grafik 10) melemah berawal di tahun 1993 sebesar 0,038 BRL/USD menjadi 1,0 BRL/USD di tahun 1996 dan terus melemah menjadi 1,953BRL/USD pada tahun 2012. Sama halnya dengan Turki, dengan rata-rata CAD sebesar 2,16% dalam kurun waktu 32 tahun terakhir mengalami pertumbuhan ekonomi 3,0% (2012) dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 8,5%. Inflasi Turki (Grafik 9) menunjukkan peningkatan 8,9% pada tahun 2012 setelah pada tahun 2009 hanya mencatat inflasi sebesar 6,2%. Sedangkan nilai tukar TRY/USD (Grafik 10) terus mengalami pelemahan seiring
6
dengan defisit CAD yang terus membengkak seperti defisit CAD yang berawal di tahun 2008 dari 1,3 TRY/USD menjadi 1,8 TRY/USD di tahun 2012. 4
120
3500
2
India
100
0
Turki
3000
2500
80
-2
Brasil (RHS) 2000
-4
60 1500
-6 Brasil -8 -10
40 1000
India 20
Turki
1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
-12
Grafik 8. Current Account Defisit: Brasil, India, & Turki (%PDB)
500
0
0 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012
Grafik 9. Inflasi: Brasil, India, dan Turki (%)
60
4 India
50
Brasil (RHS)
3
Turki (RHS)
3
40
2 30 2 20 1 10
1
0 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
0
Grafik 10. Nilai Tukar: Brasil, India, dan Turki Penelitian-penelitian terdahulu mengenai sustainabilitas transaksi berjalan telah banyak dilakukan. Penelitian tersebut lebih banyak memfokuskan pada penentuan batas kritikal level current account defisit yang sustainabel (yang sebaiknya tidak dilampaui) untuk negara tertentu atau kelompok negara tertentu. Namun kritik terhadap penelitian tersebut adalah meski satu negara atau kelompok negara telah melampaui batas kritikal tersebut namun belum terjadi kondisi negatif sebagaimana yang dikhawatirkan akan terjadi. Misalnya meskipun batas kritikal telah dilampaui pertumbuhan ekonomi masih positif atau bahkan lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya. Atau dalam kondisi yang berkebalikan, suatu negara masih belum mengalami CAD yang melampaui batas kritikal, namun telah mengalami krisis. Oleh karena itu, diperlukan penelitian yang mampu menjawab 7
apakah terdapat CAD yang sustainabel baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang aman. Apabila tidak sustainabel selanjutnya diperlukan langkah-langkah kebijakan tertentu untuk memperbaiki agar pertumbuhan ekonomi dapat berkelanjutan.
1.2. Tujuan Penelitian Dampak CAD terhadap perekonomian dapat dikatakan beragam. Beberapa negara mengalami defisit CA secara persisten (jangka panjang) namun tidak mengalami masalah stabilitas makroekonomi. Sementara itu beberapa negara lain mengalami defisit CA secara temporer (jangka pendek) namun mengalami instabilitas makroekonomi. Pada periode sebelum krisis 1997, sejak tahun 1967 Indonesia secara persisten mengalami defisit CA, namun baru pada tahun 1997 mengalami krisis. Sesudah tahun 1997 secara persisten mengalami surplus. Namun sejak triwulan akhir 2011 dan berlanjut kembali pada tahun 2012 menunjukkan defisit. Oleh karena itu, penelitian ini bermaksud untuk:
Untuk mengetahui apakah defisit CA pada tahun 2012 dikategorikan sebagai defisit yang temporer atau persisten.
Untuk mengetahui apabila defisit CA yang terjadi secara terus menerus apakah berpotensi mengganggu stabilitas perekonomian Indonesia.
1.3. Metodologi
Untuk menjawab tujuan penelitian tersebut akan dilakukan studi dengan menggunakan teknik ekonometrik autoregressive distributed lags (ARDL) yang dikembangkan oleh Pesaran, Shin, Smith (2001) terhadap model hubungan ekspor dan impor yang dikembangkan oleh Steven Husted (1992).
Data akan dipergunakan data kuartalan neraca pembayaran dari tahun 1970 s.d. 2012.
1.4. Sistematika Penulisan Pada Bab I dijelaskan beragam dampak CAD terhadap perekonomian, meskipun secara umum terjadinya CAD kurang menguntungkan terutama bagi perekonomian negara-negara berkembang. Selanjutnya, pada Bab II dibahas tinjauan literatur mengenai berbagai faktor yang menentukan sustainabilitas CAD, 8
dan literatur mengenai threshold CAD yang ideal pada beberapa negara. Bab III membahas Metodologi Penelitian yang akan digunakan yaitu hubungan jangka panjang (kointegrasi) antara ekspor dan impor. Selain itu, pada bab tersebut akan dibahas
mengenai
Auto
Regresive
Distibuted
Lags
(ARDL)
dan
beberapa
keunggulannya, sehingga menjadi pilihan metodologi yang akan dipakai dalam penelitian. Pengujian empiris mengenai apakah CAD Indonesia adalah sustainabel atau tidak akan dibuktikan pada Bab IV. Selanjutnya pada Bab V akan dibahas mengenai dampak dan risiko pembiayaan CAD berdasarkan masing-masing tipe instrumen yaitu utang, penanaman modal asing, dan investasi portofolio. Kesimpulan dan rekomendasi dapat dilihat pada Bab VI.
9
II. TINJAUAN LITERATUR
Sejak berakhirnya Perang Dunia II, diskusi terkait CAD telah menjadi perhatian sejumlah ekonom di dunia. Beberapa ekonom memfokuskan penelitian mereka
pada
sustainabilitas
dan
dampak
dari
CAD
terhadap
stabilitas
makroekonomi pada suatu negara. Dampak dari CAD terhadap perekonomian dapat dikatakan beragam. Secara umum terdapat beberapa negara yang mengalami CAD secara persisten dan beberapa mengalami CAD temporer dengan efek yang berbeda pada masing-masing negara. Para pakar masih belum memiliki kesatuan pendapat mengenai dampak CAD terhadap perkonomian. Beberapa analis berpendapat bahwa CAD tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap terjadinya krisis. Summers (2000) salah satunya yang mengatakan bahwa tingkat inflasi yang tinggi adalah sebagai dampak monetary easing, fiscal deficit yang tinggi atau bahkan CAD yang tinggi, tidak dapat secara langsung menjadi penyebab terjadinya krisis. Belkar, Cockerell dan Kent (2007) melakukan penelitian terhadap CAD di Australia antara tahun 1949-2005 berdasarkan teori ‘Consenting Adults or Pitchford Thesis’ yang menyatakan bahwa CAD tidak merupakan persoalan asalkan disebabkan oleh sektor swasta. Pitchford Thesis didasarkan pada tesis bahwa keseimbangan current account yang terjadi karena hasil keputusan saving dan investment yang optimal yang dibuat oleh pelaku-pelaku ekonomi bukanlah merupakan persoalan. Keputusan dikatakan optimal (welfare maximizing) jika keputusan tersebut dibuat dengan ekspektasi bahwa mereka akan memiliki kemampuan untuk membayar kembali utang-utangnya (ability to pay). Dengan demikian, menurut teori tersebut, maka CAD bukanlah suatu ancaman. Oleh karena itu, tidak perlu dilakukan suatu policy shift atau kebijakan makro yang dimaksudkan
untuk
mengurangi
CA
defisit.
Namun
sebaliknya
teori
ini
menyarankan agar kebijakan lebih difokuskan untuk menghilangkan hambatan dan externatilies yang mempengaruhi keputusan dari pelaku swasta. Dalam penelitian empiris tersebut mereka juga memasukan dalam modelnya dua inovasi yaitu pembukaan pasar modal (the capital market opening) dan deregulasi pasar keuangan pada tahun 1984, sehingga perekonomian suatu negara menjadi terintegrasi dengan perekonomian negara lain. Hasil penelitian mereka mendukung teori Consenting Adults or Pitchford Thesis yang menyatakan bahwa setelah pembukaan pasar modal pada tahun 1983, CAD di Australia adalah sejalan 10
dengan perilaku keputusan consumption smoothing yang optimal dengan level utang luar negeri yang sustainabel adalah sebesar 86% dari GDP. Lebih lanjut mereka juga mengungkapkan bahwa justru yang harus diperhatikan adalah faktor spesifik pada suatu negara seperti pemerintahan yang stabil, kebijakan moneter dan fiskal yang kredibel dan sistem keuangan yang kokoh yang didukung dengan peraturan dan pengawasan yang efisien, sistem hukum yang memadai dan ketentuan pencatatan akuntansi yang efektif, serta pasar yang terbuka dan transparan, untuk menjaga tingkat kepercayaan investor asing. Sahminan, Ibrahim dan Yanfitri (2009) melakukan studi untuk mencari faktor-faktor yang menentukan sustainabilitas CA Indonesia periode 1994-2008 dengan metode pendekatan intertemporal. Mereka menemukan bahwa dinamika CA Indonesia telah optimal sesuai dengan pendekatan intertemporal. Faktor-faktor yang menentukan sustainabilitas CA Indonesia adalah konsumsi, investasi dan real effective exchange rate. Berdasarkan data historis, mereka mengasumsikan bahwa threshold CA Indonesia yang sustainabel adalah 2%. Peningkatan rasio konsumsi dan investasi terhadap PDB sebesar 4,5% akan memperburuk rasio CAD terhadap PDB sebanyak 2%. Tentunya apabila hal tersebut dibandingkan dengan CAD Indonesia tahun 2012 sebesar 2,73% dari GDP, hal tersebut seharusnya sudah menjadi perhatian bagi otoritas makro ekonomi. Ferretti dan Razin (1996) mengemukakan suatu kerangka konseptual untuk mengukur sustainabilitas perekonomian berdasarkan konsep willingness-to-lend and ability-to-pay. Dalam kerangka tersebut ditentukan faktor-faktor yang menentukan investor asing agar mau meminjamkan kepada suatu negara (willingness to lend). Interaksi dari faktor-faktor tersebut dan faktor lain, dapat mempengaruhi kemampuan suatu negara untuk memenuhi kewajiban eksternalnya (ability to pay). Mereka juga menjelaskan adanya pengalaman dari suatu negara yang meskipun memiliki CAD yang persistent selama beberapa tahun tetapi tidak perlu melakukan policy shift atau mengalami krisis. Hal ini dapat diartikan bahwa negara-negara tersebut memiliki CA yang sustainabel karena dipahami CA yang tidak sustainabel dapat mendorong terjadinya policy shift, atau policy reversal seperti pengetatan kebijakan fiskal yang pada akhirnya dapat memperbaiki posisi CA. Lebih lanjut, mereka menjelaskan bahwa negara-negara yang memiliki CAD yang persisten dapat mengakibatkan ketidakmampuan untuk membayar hutang dan terjadinya krisis, misalnya di Chili tahun 1977 – 1982 dan Meksiko 1977 – 1982 dan 1991 – 1995. 11
Selanjutnya Ferretti mengemukakan bahwa, untuk mengevaluasi kondisi sustainabilitas CAD suatu negara, perlu dipertimbangkan indikator-indikator sebagai berikut: 1.
Indikator pokok makroekonomi negara tersebut (Structural Features yang meliputi: tabungan (savings), investment, keterbukaan perekonomian (economic openness) dan perdagangan, komposisi utang luar negeri, kondisi pasar keuangan dan rejim devisa).
2.
Stance kebijakan ekonomi makro yang mencakup: fleksibilitas nilai tukar, kebijakan nilai tukar dan kondisi keuangan pemerintah.
3.
Kestabilan politik, kepastian kebijakan dan kredibilitas pemerintah.
4.
Ekspektasi dari pelaku pasar. Ades dan Kaune (1997) mengungkapkan untuk mengukur sustainabilitas CA
dalam jangka panjang, dilakukan perhitungan dengan menggunakan konsep solvabilitas
antar
waktu
(intertemporal).
Pengukuran
dilakukan
dengan
menggunakan data tahun 1997 yang mencakup 25 negara emerging termasuk salah satunya adalah Indonesia. Berdasarkan perhitungan, level CAD yang sustainabel bagi Indonesia adalah sebesar 3,4% dari PDB. Padahal pada tahun 1997, CAD Indonesia baru mencapai 3,0% dari PDB namun justru pada tahun tersebut Indonesia mengalami krisis. Sebetulnya krisis tersebut dapat dijelaskan dengan telah terjadinya CAD selama bertahun-tahun yang dibiayai dengan pinjaman pemerintah, pinjaman swasta, dan dalam beberapa tahun terakhir menjelang krisis 1997 dibiayai dengan portofolio investment. Level sustainabilitas CAD Indonesia tersebut lebih rendah dari Thailand (4,5%) dan relatif mirip dengan Malaysia (3,4%). Reisen (1998) melakukan studi untuk mengukur sustainabilitas CA dalam jangka panjang untuk beberapa negara Amerika Latin dan Asia dengan menggunakan pendekatan debt dynamics. Sustainabilitas CA diukur dengan solvabilitas intertemporal berdasarkan kondisi PDB potensial, nilai tukar riil dan level cadangan devisa yang diinginkan. Helmet Reisen menemukan bahwa untuk Indonesia, level steady state CA pada tahun 1994 sebesar defisit 3,0% dari PDB, di atas Malaysia (1,7%), dan Thailand (2,8%). Selain itu, Reisen menyatakan dalam studinya bahwa level CAD yang melampaui steady state perlu diwaspadai baik yang disebabkan oleh swasta dan pemerintah. Peranan swasta yang lebih besar daripada peranan pemerintah terhadap terjadinya CAD tidak menjamin bahwa tidak akan terjadi krisis. 12
Beberapa peneliti memiliki pendapat yang berbeda tentang efek CAD. Beberapa dari mereka berpendapat bahwa CAD yang tinggi perlu diwaspadai karena dapat menjadi penyebab currency crisis misalnya Sebastian Edward (2001) mengatakan dalam penelitiannya yang melibatkan 120 negara selama 25 tahun menyimpulkan bahwa defisit transaksi berjalan dapat berpotensi mengganggu perekonomian. Dampak negatif dapat berupa turunnya pertumbuhan ekonomi per kapita. Selain itu defisit transaksi berjalan juga meningkatkan probabilitas terjadinya krisis. Meskipun hal ini tidak harus diartikan bahwa setiap defisit akan mengakibatkan krisis, atau setiap krisis selalu disebabkan oleh defisit transaksi berjalan. Mann (2002) mendefinisikan current account yang sustainabel sebagai kondisi dimana ketidakseimbangan eksternal yang terjadi tidak menimbulkan dorongan ekonomi yang akan mengubah kondisi saat ini (the external imbalance generates no economic forces that change its trajectory). Sebagai contoh, apabila transaksi berjalan defisit menyebabkan nilai tukar melemah cukup dalam atau perlu dilakukan devaluasi (jika menganut rejim nilai tukar tetap) maka impor atau ekspor akan terpengaruh sehingga defisit transaksi berjalan terkoreksi pada periode berikutnya, maka kondisi tersebut dikatakan current account tidak sustainabel. CAD yang besar dan persisten menunjukan net posisi investasi internasional negatif yang semakin besar. Pembayaran finansial dari net posisi investasi negatif seperti bunga dan dividen dapat membengkak sehingga dapat memotong konsumsi berjalan dan investasi bisnis. Pada kasus ini CAD dapat mendorong perubahan pertumbuhan PDB dan pembiayaan impor yang akan menjadikan ketidakstabilan perekonomian. CAD yang besar dan berkelanjutan memaksa investor global untuk bersedia membeli aset pada harga berlaku termasuk dengan bunga dan pada nilai tukar yang berlaku. Jika permintaan global terhadap aset lebih rendah daripada jumlah aset yang ditawarkan dalam suatu perekonomian yang mengalami CAD akan mengakibatkan investor asing meminta return atau suku bunga yang lebih tinggi. Malah mereka justru mungkin ingin menjual aset/surat-surat berharga, sehingga pada akhirnya dapat menimbulkan tekanan depresiasi mata uang negara yang mengalami CAD tersebut. Dengan kata lain, CAD yang terjadi terus menerus dan nilainya besar dapat menimbulkan persepsi investor global bahwa CAD tidak sustainabel. Gosh dan Ramakrishnan (2006) berpendapat meskipun suatu negara tersebut solvable dalam jangka panjang dalam arti hutang luar negeri masa kini 13
dapat dibayar kembali dengan penerimaan di masa mendatang, kondisi negara tersebut mungkin saja tidak sustainabel apabila CAD nya dalam jangka pendek tidak mendapatkan sumber pembiayaan. Memang terdapat beberapa negara seperti Australia dan New Zealand yang dapat terus sustainabel meskipun mengalami CAD 4,5% sd 5% dari GDP dalam jangka waktu beberapa dekade. Namun beberapa negara lain seperti Thailand pada 1997 dan Mexico pada 1995 mengalami pembalikan aliran modal setelah terhentinya sumber pembiayaan dari sektor swasta sehingga berimbas buruk pada perekonomiannya. Dengan demikian, kehati-hatian tetap diperlukan meskipun defisit tersebut dipergunakan untuk kegiatan produktif, agar tidak mengalami kesulitan dalam pembiayaannya. Sementara itu, Polat (2010) melakukan penelitian terhadap sustainabilitas CAD di Turki dengan menggunakan metode ARDL bound testing dengan menggunakan data bulanan dari periode Januari 2000 sampai dengan Juni 2010, dengan merujuk pada model yang sebelumnya dibangun oleh Husted (1992) untuk kasus AS. Dalam penelitian tersebut, Polat menemukan bahwa perekonomian Turki adalah sustainabel secara weak form, tetapi tidak sustainabel secara strong form. Artinya, current account boleh defisit dalam jangka pendek tetapi harus ditutup dengan utang luar negeri. Akan tetapi, dalam jangka panjang hal tersebut tidak sustainabel karena akan ada penumpukan utang luar negeri sehingga tidak sustainabel secara strong form. Oleh karena itu, penelitian ini bermaksud melengkapi penelitian-penelitian yang telah dilakukan yang sebagian besar lebih memfokuskan pada penghitungan threshold dari CAD. Sementara penelitian ini lebih memfokuskan pada kondisi intertemporal yang tejadi, serta bagaimana cara menyikapinya apabila terjadi CAD secara persisten.
14
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Sumber data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari publikasi statistik neraca pembayaran Bank Indonesia. Data yang diolah merupakan data kuartalan sejak tahun 1970 s.d. 2012.
Untuk
menghilangkan pengaruh seasonal data kuartal disetahunkan sehingga misalnya data kuartal 1 merupakan penjumlahan data kuartal 2, kuartal 3, kuartal 4 tahun sebelumnya ditambah kuartal 1 pada tahun yang diobservasi. Data ekspor (X) merupakan penjumlahan ekspor barang dan ekspor jasa. Data impor (M) merupakan data impor barang, impor jasa, net pembayaran bunga dan net pembayaran transfer. Dengan demikian selisih X dan M merupakan nilai surplus/defisit transaksi berjalan. Pengolahan data dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Microfit 5.0.
3.2. Metodologi Metodologi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan yang disusun oleh Husted (1992) untuk melihat hubungan jangka panjang antara ekspor (X) dan impor (M) di Amerika Serikat. Hasil temuan di AS, data X dan M tidak akan selisih terlalu jauh, sampai dengan tahun 1983 atau dalam periode awal diperkirakan terdapat kointegrasi antara kedua variabel tersebut. Akan tetapi pada periode berikutnya telah terjadi pergeseran sehingga terdapat kecenderungan defisit lebih dari USD100 miliar pertahun. Pengujian kointegrasi dilakukan dengan menggunakan metode Autoregressive Distributed Lags (ARDL) yang dikembangkan oleh Pesaran et al. (2001) sebagaimana halnya dengan pengujian serupa yang dilakukan oleh Polat (2010) untuk kasus Turki. Hasil temuannya adalah CAD di Turki dinilai sustainabel dalam jangka pendek karena dapat ditutup oleh utang luar negeri tetapi dalam jangka panjang CAD dapat menyebabkan krisis ekonomi. 3.2.1. Analisis Sustainabilitas CAD dengan Metode Kointegrasi Husted (1992) melakukan analisis statistik terhadap hubungan jangka panjang (kointegrasi) antara ekspor dan impor barang dan jasa mengacu pada model yang dikembangkan oleh Hakkio dan Rush (1991). Asumsi yang digunakan dalam model Husted yaitu: small open economy, negara dapat memproduksi barang yang 15
dapat
dikonsumsi
maupun
diekspor,
memiliki
akses
kepada
pasar
uang
internasional, dan maksimisasi kepuasan dengan keterbatasan anggaran. Mengacu pada Husted (1992), Budget constraint pada periode sekarang adalah sebagai berikut: (1)
Ct = Yt + Bt − It − (1 + rt )Bt−1
Dimana 𝐶𝑡 , 𝑌𝑡 , 𝐼𝑡 , 𝑟𝑡, 𝐵𝑡 dan (1 + 𝑟𝑡 )𝐵𝑡−1 merupakan konsumsi, output, investasi, suku bunga dunia dan pinjaman luar negeri pada periode t dan t-1. Dengan metode forward pada setiap periode maka dapat diperoleh sebagai berikut: (1 − 𝑟𝑡 )𝐵𝑡−1 = ⏟ 𝑌𝑡 − 𝐶𝑡 − 𝐼𝑡 + 𝐵𝑡 𝑇𝐴𝑡
Dimana 𝑇𝐴𝑡 = 𝑋𝑡 − 𝑀𝑡 (= 𝑌𝑡 − 𝐶𝑡 − 𝐼𝑡 ) merupakan neraca perdagangan di periode t. 𝑋𝑡 adalah ekspor, 𝑀𝑡 adalah impor, 1
1
𝑖 𝑛 ∞ 𝐵𝑡 = ∑∞ 𝑖=1 ∏𝑗=1 (1+𝑟 ) 𝑇𝐴𝑡+𝑖 + ∑𝑛=1 ∏𝑗=1 (1+𝑟 ) 𝐵𝑡+𝑛 𝑡+𝑗 𝑡+𝑗 ⏟ ⏟ 𝜇𝑡
(2)
𝜇𝑛
𝐵𝑡 = ∑∞ 𝑖=1 𝜇𝑡 𝑇𝐴𝑡+𝑖 + lim 𝜇𝑛 𝐵𝑛
(3)
𝑛→∞
Persamaan (3) dikenal dengan Intertemporal Budget Constraint. Jika 𝜆𝑡 = 1/(1 + 𝑟𝑡 ), dan 𝜇𝑡 adalah discount factor yang diidentifikasi sebagai produk periode pertama dari λ0 . lim 𝜇𝑛 𝐵𝑛 = 0 𝑛→∞
Persamaan (3) diturunkan lebih lanjut untuk mendapatkan persamaan empiris sebagai berikut: (1 + rt )Bt−1 = ⏟ Yt − Ct − It + Bt Xt −Mt
(1 + rt )Bt−1 = X t − Mt + Bt Jika Zt = Mt + (rt − r)Bt−1 . (4)
Zt + (1 + r)Bt−1 = X t + Bt 𝑗+1 𝐵𝑡−1 = ∑∞ (𝑋𝑡+𝑗 − 𝑍𝑡+𝑗 ) + lim 𝜆𝑡+𝑗 𝐵𝑡+𝑗 𝑗=0 𝜆
(5)
𝑗→∞
Mengacu kepada Hakio dan Rush (1991), maka persamaan bisa (5) ditulis kembali menjadi : 𝑗−1 𝑀𝑡 + 𝑟𝑡 𝐵𝑡−1 = 𝑋𝑡 + ∑∞ [Δ𝑋𝑡+𝑗 − Δ𝑍𝑡+𝑗 ] + lim 𝜆𝑡+𝑗 𝐵𝑡+𝑗 𝑗=0 𝜆 𝑗→∞
(6)
dimana 𝜆 = 1/(1 + r). 16
𝑋𝑡 = 𝛼 + 𝑀𝑀𝑡 − lim 𝜆𝑡+𝑗 𝐵𝑡+𝑗 + 𝜀𝑡 𝑗→∞
(7)
dimana 𝑀𝑀𝑡 = 𝑀𝑡 + 𝑟𝑡 𝐵𝑡−1 , Jika limit di persamaan (8) dianggap nol, maka persamaan regresi dapat ditulis sebagai berikut: 𝑋𝑡 = 𝑎 + 𝑏𝑀𝑀𝑡 + 𝜀𝑡
(8)
Hipotesa Nol dari persamaan (8) adalah kondisi ekonomi negara yang bersangkutan memenuhi inter-temporal budget constraint. Dalam hal ini kita akan melakukan uji terhadap hipotesa b = 1 dan εt stasioner. Untuk tercapainya posisi inter-temporal budget constraint, maka kondisi 𝜀𝑡 harus stasioner (weak form). Jika kondisi weak form terpenuhi, maka perekonomian akan berjalan dengan semestinya, yaitu dapat menyesuaikan dengan kemampuan anggaran dan mampu untuk membayar kembali hutangnya (Narayan dan Narayan, 2005). Kondisi weak form tersebut hanya berlaku pada kondisi tahun berjalan, dimana pembayaran impor barang dan jasa ditambah pembayaran bunga dan transfer neto sebagian dapat dibiayai dari hasil ekspor barang dan jasa, dan selebihnya melalui dana pinjaman atau dana asing. Sementara itu, jika 𝜀𝑡 stasioner dan b = 1, maka kondisi perekonomian di negara yang bersangkutan dapat memenuhi inter-temporal budget constraint (Baharumshah et al., 2002). Pada kondisi strong form tersebut pembayaran impor barang dan jasa ditambah pembayaran bunga dan transfer neto dapat dibiayai sepenuhnya dari hasil ekspor barang dan jasa. 3.2.2 Auto Regresive Distributed Lags (ARDL) Hubungan jangka panjang (kointegrasi) pada persamaan 8 dapat diuji dengan menggunakan metode Engle Granger dan Vector Error Correction Model (VECM). Namun pada penelitian ini metode ARDL yang dikembangkan oleh Pesaran, Shin, dan Smith (2001) dipilih karena memiliki keunggulan-keunggulan dibandingkan dengan metode lainnya. Pertama, metode ini memiliki prosedur yang cukup sederhana, dimana dapat diaplikasikan pada jumlah sampel yang kecil sehingga uji bound dapat diterapkan. Kedua, ARDL mengestimasi komponen jangka pendek dan jangka panjang secara simultan dan menghilangkan masalah yang timbul terkait dengan autokorelasi dan omitted variable. Ketiga, model ARDL adalah estimator dari koefisien jangka panjang yang bersifat super konsisten dan inferensi yang valid terhadap koefisien jangka panjang yang dibuat menggunakan teori standar normal 17
asimptotik. Keempat, uji Wald atau uji F statistic yang digunakan pada uji bound memiliki distribusi non-standar dengan hipotesis nol tidak adanya kointegrasi tanpa memperdulikan variabel yang diuji memiliki akar unit I(0) dan atau I(1) atau saling terkointegrasi serta tidak harus memiliki derajat integrasi yang sama. Kelima, ARDL mampu menghasilan estimasi yang tidak bias dari model jangka panjang dan statistik t yang valid meskipun beberapa variabel merupakan variabel endogen. Keenam, setelah jumlah lag ditentukan dalam ARDL, estimasi kointegrasi dapat dilakukan
menggunakan
metode
sederhana
ordinary
least
square
(OLS).
Berdasarkan Monte Carlo experiment pada Gerard dan Godfrey (1998), pendekatan ARDL lebih baik digunakan untuk mengestimasi koefisien jangka panjang dari hubungan kointegrasi. Sebelum melakukan uji ARDL bound testing method, perlu dilakukan uji unitroot untuk mengetahui derajat integrasi pada variable-variabelnya. Dalam penelitian ini, uji unit root terhadap X dan M akan dilakukan dengan menggunakan metode Augmented Dickey-Fuller test (ADF test). Uji akar unit perlu dilakukan untuk memberi keyakinan agar variabel tidak stasioner pada derajat integrasi dua I(2), karena hasil uji F-statistic menggunakan metode ARDL Pesaran et. al. (2001) tidak akan valid pada variabel dengan derajat integrasi I(2). Dengan kata lain, pada uji bound testing mensyaratkan variabel dengan derajat integrasi I(0) atau I(1). Untuk mencari kointegrasi, akan dilakukan estimasi terhadap unrestricted error correction model yang dikembangkan oleh Husted (1992) pada persamaan (8) diatas, sebagai berikut: 𝑝 𝑞 ∆𝑙𝑛𝑋𝑡 = 𝛽0 + ∑1 𝛽1 ∆𝑙𝑛𝑋𝑡−𝑖 + ∑0 𝛽2 ∆𝑙𝑛𝑀𝑀𝑡−𝑖 + 𝛽3 𝑙𝑛𝑋𝑡−1 + 𝛽4 𝑙𝑛𝑀𝑀𝑡−1 + 𝜀𝑡
(9)
Sebelumnya dilakukan uji stabilitas menggunakan CUSUM dan CUSUMQ, sehingga persamaan perlu ditambah dummy jika terdapat structural break pada periode pengamatan sehingga persamaan (9) menjadi : 𝑝 𝑞 ∆𝑙𝑛𝑋𝑡 = 𝛽0 + ∑1 𝛽1 ∆𝑙𝑛𝑋𝑡−𝑖 + ∑0 𝛽2 ∆𝑙𝑛𝑀𝑀𝑡−𝑖 + 𝛽3 𝑙𝑛𝑋𝑡−1 + 𝛽4 𝑙𝑛𝑀𝑀𝑡−1 + 𝛽5 𝐷𝑈𝑀 + 𝜀𝑡 (9a)
Jumlah lags yang akan dipakai pada persamaan di atas ditentukan dengan menggunakan kriteria Schwarz Bayesian Criterion (SBC). Uji F-test dilakukan untuk mengecek join significance dari koefisien 𝛽3 dan 𝛽4 . Kemudian persamaan (9) diestimasi dengan menggunakan Ordinary Least Least Squares (OLS). Pada uji F-test ini, hipotesa nol adalah 𝐻0 : 𝛽3 = 𝛽4 = 0, dan 𝐻1 ∶ 𝛽3 ≠ 𝛽4 ≠ 0. Jika F-statistic melewati batas atas nilai kritis, maka hipotesa nol bahwa tidak terdapat hubungan kointegrasi antar variabel dapat ditolak. Apabila F-test 18
berada kurang dari batas bawah nilai kritis, maka hipotesa nol tidak dapat ditolak. Sedangkan, jika F-statistic berada diantara batas atas dan batas bawah, maka hasilnya tidak dapat disimpulkan (inconclusive). Setelah pada persamaan (9) dibuktikan terdapat hubungan kointegrasi antar variabel, pada tahap berikutnya adalah dengan menyusun persamaan ARDL jangka panjang, sebagai berikut: 𝑝 𝑞 𝑙𝑛𝑋𝑡 = 𝛽0 + ∑1 𝛽1𝑖 𝑙𝑛𝑋𝑡−𝑖 + ∑0 𝛽2𝑖 𝑙𝑛𝑀𝑀𝑡−𝑖 + 𝜀𝑡
(10)
Untuk menentukan berapa lag optimal yang akan dimasukkan kedalam persamaan (10) akan dilakukan pengujian dengan metode Schwarz Bayesian Criterion (SBC) karena berdasarkan Monte Carlo Evidence Pesaran dan Smith (1998) menemukan bahwa SBC lebih baik dari AIC karena SBC memilih lag terkecil yang paling memungkinkan, sedangkan AIC menerapkan maksimisasi lag yang relevan. Selanjutnya dari hasil estimasi dari persamaan (10) dapat diketahui elastisitas jangka pendek yaitu koefisien pada variabel 𝑙𝑛𝑀𝑀𝑡 . Begitu pula dengan elastisitas jangka panjang dapat diketahui elastisitasnya dengan menggunakan Wald test. Pengujian Wald test dilakukan pada seluruh koefisien dengan mengasumsikan bahwa dalam jangka panjang (steady state) 𝑙𝑛𝑀𝑀𝑡 = 𝑙𝜀𝑀𝑀𝑡−1 = 𝑙𝑛𝑀𝑀𝑡−2 = ⋯ . = 𝑙𝑛𝑀𝑀𝑡−𝑖 dan 𝑙𝑛𝑋𝑡 = 𝑙𝑛𝑋𝑡−1 = 𝑙𝑛𝑋𝑡−2 = ⋯ . = 𝑙𝑛𝑋𝑡−𝑖 , dan menggunakan hipotesa 𝐻0 : 𝐵 = 1 dan 𝐻1 : 𝐵 ≠ 1 (𝐵 adalah koefisien elastisitas ekspor terhadap impor), dimana B adalah koefisien estimasi 𝑙𝑛𝑀𝑀𝑡 jangka panjang, sesuai dengan penjelasan dibawah ini: 𝑝 𝑞 𝑙𝑛𝑋𝑡 = 𝛽0 + ∑1 𝛽1𝑖 𝑙𝑛𝑋𝑡 + ∑0 𝛽2𝑖 𝑙𝑛𝑀𝑀𝑡 + 𝜀𝑡
(11)
𝑝 𝑞 𝑙𝑛𝑋𝑡 − ∑1 𝛽1𝑖 𝑙𝑛𝑋𝑡 = 𝛽0 + ∑0 𝛽2𝑖 𝑙𝑛𝑀𝑀𝑡 + 𝜀𝑡
(12)
𝑝 𝑞 (1𝑡 − ∑1 𝛽1i ) 𝑙𝑛𝑋𝑡 = 𝛽0 + ∑0 𝛽2𝑖 𝑙𝑛𝑀𝑀𝑡 + 𝜀𝑡
𝑙𝑛𝑋𝑡 =
𝛽0 𝑝 (1𝑡 − ∑1 𝛽1i )
𝑞
+
∑0 𝛽2𝑖 𝑝
(1𝑡 − ∑1 𝛽1i )
𝑙𝑛𝑀𝑀𝑡 +
(13)
1 𝑝 (1𝑡 − ∑1 𝛽1i )
dimana B =
𝜀𝑡
(14)
𝑞
∑0 𝛽2𝑖 𝑝
(1𝑡 − ∑1 𝛽𝑖1 )
Bagan proses langkah-langkah metode ARDL dapat dilihat pada Lampiran 2 (Hal. 39).
19
IV. HASIL PENGUJIAN EMPIRIS 4.1. Uji Unit Root Berdasarkan hasil uji akar unit (unit root test) Augmented Dickey-Fuller ditemukan bahwa data ekspor (lnX) dan impor (lnMM) yang digunakan dalam penelitian memiliki derajat integrasi I(0) dengan menggunakan Augmented DickeyFuller with intercept and trend pada α=5% seperti dapat dilihat pada Tabel 1. dibawah. Oleh karena itu dapat dipastikan bahwa kedua variabel tersebut adalah bukan I(2). Dengan demikian, pengujian dapat dilanjutkan dengan metode ARDL bound testing untuk menganalisa kointegrasi antara variabel ekspor dan impor.
Tabel 1. Hasil Uji Unit Root Test Augmented Dickey-Fuller dengan α=5% Variabel
With intercept
With intercept & Trend
Hasil
lnX
-2.7179
-3.6464*
I(0)
lnMM
-2.3698
-3.5069*
I(0)
4.2. Uji Kointegrasi dengan Metode Bound Testing Sebelum dilakukan uji kointegrasi, pengujian stabilitas terhadap persamaan (10) dilakukan untuk mendeteksi keberadaan structural break dari fungsi tersebut. Pengujian tersebut dilakukan dengan uji CUSUM dan CUSUMQ (Brown, Durbin, dan Evans (1975)). Pengujian ini dilakukan terhadap residu dari model. Pengujian CUSUM
berdasarkan
cumulative sum of
recursive residual
dan
CUSUMQ
berdasarkan cumulative sum of squares of recursive residual. Jika plot dari CUSUMQ berada didalam 5% signifikansi level (digambarkan oleh dua garis lurus) maka koefisien yang diestimasi dapat dikatakan stabil. Dari Grafik 11 menyajikan plot CUSUM sementara dari Grafik 12 terlihat bahwa ketidakstabilan terjadi selama periode kuartal 3 1982 sampai dengan kuartal 4 1994. Untuk mengatasi masalah ketidakstabilan tersebut maka ditambahkan variabel dummy.
20
Plot of Cumulative Sum of Recursive Residuals 40 30 20 10 0 -10 -20 -30 -40 1970Q4
1981Q2
1991Q4
2002Q2
2012Q4
The straight lines represent critical bounds at 5% significance level
Grafik 11. Plot CUSUM Plot of Cumulative Sum of Squares of Recursive Residuals 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 1970Q4
1981Q2
1991Q4
2002Q2
2012Q4
The straight lines represent critical bounds at 5% significance level
Grafik 12. Plot CUSUMQ Setelah mengetahui structural break dan diperbaiki dengan memasukkan variabel dummy kemudian dilakukan uji kointegrasi menggunakan model bound testing unrestricted error correction pada persamaan (9) atau (9a) dengan memasukkan variabel dummy. Dengan menggunakan kriteria Schwarz Bayesian Criterion (SBC) pada ARDL, estimasi terhadap unrestricted error correction model diketahui ordo lag yang optimal sebanyak (3,2,0). Estimasi terhadap unrestricted error correction untuk mengetahui hubungan jangka panjang diperoleh hasil hitung uji F-statistics (6.0797) yang lebih besar daripada upper bound test (4.385-5.615) dengan derajat signifikansi α=1% (lihat hasil estimasi selengkapnya pada Lampiran 1 Hal.30). Dengan demikian, dapat diketahui berdasarkan uji statistik dibuktikan terdapat hubungan jangka panjang (kointegrasi) antara variabel ekspor (lnX) dan variabel impor (lnMM). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa dengan metode bound testing menunjukkan bahwa 𝜀𝑡 stasioner (weak form). Artinya meskipun mengalami CAD, dalam jangka pendek perekonomian Indonesia dapat berjalan 21
dengan sustainabel yang dibiayai sebagian dari ekspor dan sebagian dari dana pinjaman internasional. Dengan kata lain perekonomian berkesinambungan dalam jangka pendek.
Tabel 2. Hasil Uji Bound Test Terhadap Kointegrasi Critical Values Lower Upper Bound Bound 4.385 5.615 3.219 4.378 2.711 3.800
Computed F-Statistics: 6.0797 1% significance level 5% significance level 10% significance level
Notes: Bound critical values diperoleh dari Table B.1 Time Series Econometrics, 2009, Pesaran & Pesaran, hal 544.
4.3. ARDL Jangka Panjang Setelah
diketahui
terdapat
hubungan
kointegrasi,
tahap
berikutnya
dilakukan pengujian terhadap persamaan (10). Kriteria Schwarz Bayesian Criterion (SBC) menunjukkan bahwa ordo lag ARDL yang paling minimum adalah ARDL (3,2,0) dengan hasil estimasi dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah:
Tabel 3. Estimasi ARDL (3,2,0) Independent Variable C lnXt-1 lnXt-2 lnXt-3 lnMMt lnMMt-1 lnMMt-2 DUM
Coefficient
Standard error
-0.01068 1.8333 -1.1671 0.25304 0.60551 -0.87181 0.34830 0.01038
0.021040 0.071772 0.11721 0.062668 0.066691 0.12338 0.075216 0.0042978
T-ratio [Prob] -0.50752 [0.612] 25.5437[0.000] -9.9570 [0.000] 4.0378 [0.000] 9.0793 [0.000] -7.0661 [0.000] 4.6306 [0.000] -2.4194[0.017]
Dari Tabel 3 terlihat bahwa variabel lag ekspor, variabel impor dan lagnya, serta variabel dummy signifikan secara statistik, hanya intersep yang tidak signifikan secara statisik.
4.4. Elastisitas Jangka Pendek dan Panjang Berdasarkan Tabel 4, dapat segera diketahui elastisitas jangka pendek signifikan sebesar 0,60551. Dalam jangka pendek impor hanya dapat dibiayai dari ekspor sebesar 60,0% atau seluruh transaksi pengeluaran hanya dapat dibiayai sebesar 60,0% dari transaksi penerimaan. Sementara itu, elastisitas jangka panjang (B dalam persamaan 14) melebihi 1,00 dan berdasarkan uji statistik 𝐻0 : 𝐵 = 1 ditolak 22
atau dapat disimpulkan elastisitas jangka panjang tidak sama dengan satu yaitu sebesar 1.0161 atau mendekati satu. Hal tersebut mencerminkan bahwa dalam jangka panjang CAD memenuhi inter-temporal budget constraint yaitu perekonomian dapat membiayai seluruh perubahan pengeluaran impornya dengan menggunakan perubahan penerimaan ekspornya. Dengan kata lain, apabila penerimaan impor naik sebesar 1% maka ekspor juga akan meningkat sebesar 1,0161%. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa transaksi berjalan akan sustainabel dalam jangka panjang. Namun surplus baru akan diperoleh dalam waktu yang lama (long-term). Dalam jangka pendek perlu diupayakan bahwa defisit transaksi berjalan dapat dipenuhi kebutuhan pembiayaannya. Namun hal ini perlu disikapi dengan hati-hati. Dalam kasus Indonesia, pembiayaan terdiri dari other investment (pinjaman luar negeri), penanaman modal asing (FDI), dan investasi portofolio. Dampak dari pembiayaan tersebut dan risikonya yang berkembang secara dinamis dalam jangka panjang akhirnya juga akan membebani transaksi berjalan akan dijelaskan lebih lanjut pada Bab 5.
Tabel 4. Elastisitas Jangka Pendek dan Panjang 𝑲𝒐𝒆𝒇𝒊𝒔𝒊𝒆𝒏 𝑬𝒍𝒂𝒔𝒕𝒊𝒔𝒊𝒕𝒂𝒔
β10 short run
B long run
0.60551
1.0161 47.0412 [0.000]
𝑯𝟎 : 𝑩 = 𝟏
Untuk memastikan kestabilan model ARDL dilakukan pengujian CUSUM dan CUSUMQ. Hasilnya dapat dilihat pada Grafik 13 dan Grafik 14. Baik CUSUM maupun CUSUMQ pada model ARDL (3,2,0) memiliki koefisien hasil estimasi yang stabil. Plot of Cumulative Sum of Recursive Residuals 40 30 20 10 0 -10 -20 -30 -40 1970Q4
1981Q2
1991Q4
2002Q2
2012Q4
The straight lines represent critical bounds at 5% significance level
Grafik 13. Plot CUSUM
23
Plot of Cumulative Sum of Squares of Recursive Residuals 1.2
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
-0.2 1970Q4
1981Q2
1991Q4
2002Q2
2012Q4
The straight lines represent critical bounds at 5% significance level
Grafik 14. Plot CUSUMQ
24
V. ANALISIS PEMBIAYAAN TRANSAKSI BERJALAN Apabila mencermati neraca pembayaran Indonesia secara lebih lanjut, akan diperoleh informasi bahwa defisit yang terjadi pada transaksi berjalan dapat dibiayai oleh aliran modal finansial dan cadangan devisa. Seiring dengan dinamika yang terjadi pada perekonomian Indonesia, komposisi pembiayaan pada aliran modal finansial juga menggambarkan terjadinya pergeseran komposisi. Dinamika yang terjadi pada transaksi finansial dapat terjadi dengan cepat sebab Indonesia sejak awal tahun 1970 telah menganut rezim open capital account sehingga aliran modal dapat keluar-masuk dengan bebas. 10 8
%
Investasi Portofolio Investasi Lainnya
6
Investasi Asing Langsung
4 2 0 -2 -4 -6
-10
1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
-8
Grafik 15. Komposisi Transaksi Finansial (%PDB) Grafik 15 memperlihatkan komposisi transaksi finansial pada neraca pembayaran dalam rasio terhadap PDB. Dapat dilihat bahwa pada awal 1980, komposisi yang berasal dari other investment dominan yang terutama bersumber dari aliran modal yang berkaitan dengan pinjaman pemerintah. Tingginya harga minyak sejak awal 1970-an telah meningkatkan surplus anggaran pemerintah, sehingga hampir sebagian besar kebutuhan pembangunan dapat dibiayai oleh pemerintah. Meskipun pada tahun 1967 pemerintah menerbitkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA) untuk memperbesar peranan swasta dalam perekonomian, namun peranan arus modal asing masih belum dapat menggantikan peran pemerintah. Pinjaman luar negeri yang masuk untuk membiayai CAD terutama bersumber dari pinjaman pemerintah yang ditarik oleh pemerintah dengan konsep APBN berimbang yaitu kekurangan pembiayaan APBN dipenuhi dengan
25
sumber dana yang berasal dari pinjaman luar negeri yang berbunga rendah dan berjangka panjang. Dalam perkembangannya, resesi ekonomi dunia yang terjadi pada awal tahun 1980-an menciptakan situasi yang kurang memungkinkan bagi pemerintah untuk terus melanjutkan memegang peran yang besar dalam perekonomian dan menggantungkan
pada
penerimaan
minyak.
Oleh
sebab
itu,
dikeluarkan
serangkaian kebijakan deregulasi pada tahun 1983-1996 untuk menciptakan iklim usaha yang mendorong peran swasta yang lebih besar. Dampak dari serangkaian kebijakan tersebut adalah masuknya aliran modal asing yang sebagian besar dalam bentuk Investasi Asing Langsung (PMA/FDI) sebagaimana terlihat pada Grafik 15. Aliran modal asing yang masuk tersebut berlangsung sejalan dengan defisit transaksi berjalan yang meningkat pada beberapa periode sebelum krisis 1997/98. Selain karena rangkaian kebijakan deregulasi, tingginya aliran PMA yang masuk pada periode tersebut juga disebabkan oleh relokasi industri padat karya yang berasal dari Korea dan Taiwan terutama yang masuk ke dalam industri tekstil dan garmen. Perkembangan penting yang juga perlu dicermati adalah aliran modal asing masuk berupa investasi portofolio yang menunjukkan peningkatan yang berarti, terutama dalam bentuk pembelian asing terhadap surat-surat berharga (debt securities) jangka pendek swasta seperti Promisory Notes dan Medium Term Notes. Sementara itu, investasi portofolio dalam bentuk pembelian saham masih relatif rendah karena kapitalisasi pasar saham Indonesia pada saat itu masih kecil. Sejak tahun 1990 rasio pinjaman bersih pemerintah terhadap PDB mulai menurun sedangkan pinjaman bersih swasta mulai meningkat. Pada periode krisis dan pasca krisis (1997-2012) transaksi finansial Indonesia cukup berfluktuasi. Krisis yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 memberikan dampak signifikan terhadap transaksi finansial Indonesia. Pada tahun awal terjadinya krisis, transaksi finansial yang semula mencatat surplus berubah menjadi defisit yang semakin membesar akibat defisit pada investasi portofolio sejalan dengan terjadinya pembalikan arus modal dan other investment, sedangkan PMA masih surplus. Namun kemudian, pada tahun 1998 kondisi semakin memburuk sehingga seluruh komponen transaksi finansial mencatat defisit. Barulah pada tahun 2002 aliran modal PMA mulai memperlihatkan surplus sedangkan investasi portofolio dan investasi lainnya mulai pulih pada tahun 2008. Pada tahun 2012, komposisi PMA menjadi paling dominan, disusul oleh investasi portofolio dalam bentuk obligasi pemerintah yang dibeli asing dan penarikan 26
pinjaman luar negeri oleh sektor swasta. Selain karena perbaikan faktor-faktor fundamental ekonomi Indonesia (pull factors), masuknya kembali seluruh aliran modal juga disebabkan oleh push factors yakni terjadinya krisis keuangan dunia yang ditandai dengan kebijakan suku bunga rendah mendorong para investor untuk melirik negara-negara berkembang yang memelihara suku bunga lebih tinggi untuk mengalokasikan penanaman investasinya ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Dalam 32 tahun terakhir, terlihat bahwa pembiayaan pada transaksi finansial
maupun
peranan/pergeseran
masing-masing
komponen
transaksi
finansial di Indonesia semata-mata tidak terjadi akibat surplus atau defisit pada transaksi berjalan, melainkan lebih disebabkan oleh faktor eksternal dan faktor internal. Hal ini dapat terjadi karena Indonesia sejak awal tahun 1970an telah menganut rezim capital/financial account yang terbuka dan bebas, Sementara itu liberalisasi transaksi berjalan tidak berlangsung secepat transaksi finansial. Dapat dikatakan sequencing liberalisasi di Indonesia terbalik, sebab liberalisasi transaksi berjalan seharusnya dilakukan terlebih dahulu baru kemudian liberalisasi transaksi finansial. Sistem devisa yang bebas sejauh ini membawa keuntungan yakni apabila transaksi berjalan mengalami defisit maka dapat dengan segera dibiayai dengan pinjaman/utang
luar
negeri.
Namun
demikian
sistem
devisa
bebas
juga
mengandung risiko untuk terjadinya pelarian modal apabila kondisi eksternal memburuk meskipun transaksi berjalan mencatat surplus. Kondisi current account yang cenderung defisit dalam jangka panjang juga mencerminkan bahwa ketergantungan pada sumber dana luar negeri sebagai financing selalu mengandung resiko yang membahayakan perekonomian. Kondisi transaksi berjalan yang sustainabel secara “weak form” dimana dibiayai oleh transaksi finansial, perlu diwaspadai karena mempunyai dampak negatif dimasa yang akan datang. Berikut ini penjelasan perilaku dari masingmasing komponennya. 1. Investasi Asing Langsung (FDI) Bentuk transaksi finansial masuk yang dianggap ideal dan relatif stabil dan tidak membebani adalah FDI. Namun kedepannya, inflows FDI dapat meningkatkan beban pembayaran profit transfer yang membebani transaksi berjalan khususnya apabila tidak ditanamkan kembali di Indonesia. Secara total, net transaksi pendapatan (income transfer) investasi di Indonesia mengalami defisit yang semakin membesar setiap tahunnya. Semakin besarnya aliran investasi asing yang masuk 27
menyebabkan pula semakin besarnya pembayaran keluar pengembalian investasi yang tercermin pada transaksi berjalan. Pada Grafik 16, terlihat dari ketiga komponen investasi (FDI, PI dan OI), dan dapat diketahui bahwa komponen terbesar adalah net pendapatan investasi FDI, terutama untuk pembayaran profit transfer. Secara umum, selain merupakan yang terbesar, tren pembayaran keluar net pendapatan investasi langsung semakin meningkat. 8 USD Miliar 7 6 5 4 3 2 1 0 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Pendapatan Investasi Langsung
Pendapatan Investasi Portofolio
Pendapatan Investasi Lainnya
Total Pendapatan Investasi
Grafik 16. Aliran Keluar Transaksi Pendapatan 2. Investasi Lainnya Bentuk kedua yang lebih dipilih adalah investasi lainnya yang dikenal juga dengan nama pinjaman (loan) dari luar negeri. Pembiayaan jenis ini mempunyai kelebihan yaitu telah direncanakan dengan baik dan mempunyai skedul pembayaran kembali. Namun disisi lain yang perlu diwaspadai adalah pada saat jatuh tempo akan diperlukan pembayaran pokok beserta bunganya (debt service). Semakin besarnya penarikan pinjaman yang dilakukan membawa implikasi semakin besarnya pembayaran pokok dan bunga di tahun yang akan datang. Grafik 17 memperlihatkan rasio pembayaran utang pembayaran pokok dan bunga terhadap
penerimaan
ekspor
(DSR).
Rasio
pembayaran
utang
mengalami
peningkatan setiap tahunnya dan terlihat peningkatan signifikan dari tahun 2011 ke 2012.
28
45
25
USD Miliar
% 40 35
20
Pembayaran Pokok (RHS) Pembayaran Bunga (RHS)
30
DSR(%)
15
25 20 10
15 10
5
5 0
0 Q1Q2Q3Q4Q1Q2Q3Q4Q1Q2Q3Q4Q1Q2Q3Q4Q1Q2Q3Q4Q1Q2Q3Q4Q1Q2Q3Q4Q1Q2Q3Q4Q1Q2Q3Q4 2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Grafik 17. Rasio dan Pembayaran Utang Luar Negeri 3. Investasi Portofolio Bentuk ketiga yang muncul belakangan yang mulai terjadi secara signifikan sejak pertengahan tahun 1980an sejalan dengan diluncurkannya kebijakan deregulasi adalah masuknya aliran investasi portofolio (hot money). Hot money mempunyai kelebihan yaitu dapat menutup CAD dalam jangka pendek namun hot money memiliki potensi yang merugikan bagi negara penerima. Pada saat terjadi arus masuk akan menimbulkan tekanan apresiasi terhadap nilai tukar sehingga dapat mengganggu daya saing ekspor meski disisi positifnya perkembangan tersebut dapat membantu upaya pengendalian inflasi. Untuk mengatasi hal tersebut, bank sentral perlu melakukan “sterilized intervention” yaitu membeli dolar di pasar valas dan menyedot kembali ekses likuiditas yang ditimbulkannya dengan surat berharga bank sentral. Hal ini dapat meningkatkan beban biaya operasi moneter. Dan yang paling berbahaya adalah adanya risiko pembalikan (abrupt reversal) yang dapat terjadi sewaktu-waktu sehingga dapat menimbulkan kekacauan bahkan krisis seperti pembalikan yang terjadi pada tahun 1997, 2006(Q2), 2007(Q4), 2008(Q4), dan 2011(Q3) hal ini dapat dilihat pada Grafik 15 dan 18. Grafik 18 menunjukkan sangat rentannya investasi portofolio terhadap reversal dan sudden stop. Sebagai contoh, penurunan yang signifikan baik terhadap net surat utang ataupun net saham terjadi pada saat krisis ekonomi global 2008.
29
10 USD Miliar 8 Surat Utang (Pemerintah & Swasta)
6
Saham
4 2
0 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
-2 -4 -6
Grafik 18. Portofolio Investasi Net
30
VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1. Kesimpulan Dengan menggunakan data kuartalan yang disetahunkan sejak tahun 1970 Tw I sd. 2012 Tw IV dan menggunakan metode ARDL diperoleh kesimpulan bahwa defisit transaksi berjalan yang terjadi di Indonesia sustainabel dalam jangka pendek dan jangka panjang. Hal tersebut dapat terjadi karena penerimaan ekspor dalam jangka pendek hanya mampu membiayai sekitar 60% dari kebutuhan impor. Dalam jangka pendek, CAD dapat dikatakan sustainabel apabila ditopang oleh adanya arus modal masuk pada capital and financial account. Pengalaman membuktikan bahwa current account yang pada umumnya defisit yang berlangsung sejak tahun 1970, bahkan dengan nilai defisit yang terus membesar, berakhir dengan krisis ekonomi pada tahun 1997 karena berbalik keluarnya investasi portofolio. Hal ini menunjukkan meskipun dalam jangka panjang defisit transaksi berjalan tersebut sustainabel apabila tidak tersedia pembiayaan maka dapat berakhir dengan krisis ekonomi. Koefisien elastisistas jangka panjang sebesar 1(1,0161) meski menurut Husted (1992) dapat dikatakan sustainabel, namun untuk perekonomian Indonesia dibutuhkan koefisien yang jauh lebih besar dari 1. Mengingat ekspor berada pada tingkat yang lebih rendah dari impor sehingga diperlukan persentase pertumbuhan ekspor yang lebih besar dari impor. Pembiayaan CAD yang berasal dari PMA meskipun dapat menunjang keseimbangan neraca pembayaran dalam jangka pendek kedepannya dapat meningkatkan beban pembayaran profit transfer yang membebani transaksi berjalan khususnya apabila tidak ditanamkan kembali ke Indonesia. Demikian juga pembiayaan yang berasal dari Investasi lainnya (terutama pinjaman luar negeri) dapat membawa implikasi semakin besarnya pembayaran pokok dan bunga dimasa yang akan datang. Terlebih lagi pembiayaan yang berasal dari investasi portofolio (hot money) memiliki potensi risiko yang merugikan bagi negara penerima karena dapat menimbulkan tekanan apresiasi nilai tukar pada saat masuk, dan terdapat risiko pembalikan (abrupt reversal). Dalam 5 tahun terakhir komposisi rasio TMF terhadap PDB adalah 1,8% untuk FDI, 1,4% investasi portofolio, dan 0,6% pinjaman luar negeri. Masih cukup besarnya investasi portofolio perlu diwaspadai karena sewaktu-waktu dapat 31
berbalik arah. Sementara itu, meski FDI dan pinjaman luar secara relatif masih stabil namun di masa mendatang akan menimbulkan beban pembayaran kembali utang luar negeri dan meningkatnya profit transfer yang berasal dari FDI.
6.2. Rekomendasi Apabila transaksi berjalan mengalami defisit terus menerus dalam jangka panjang semakin membesar dan kondisi defisit tersebut telah mempengaruhi variabel-variabel makroekonomi lainnya seperti pertumbuhan ekonomi, nilai tukar dan inflasi, maka harus dilakukan serangkaian kebijakan ekonomi (economic measures) untuk mengurangi tekanan defisit transaksi berjalan, untuk mencegah agar ekonomi tidak terseret ke dalam periode krisis. Selain itu, dalam jangka pendek perlu menjaga iklim investasi yang kondusif agar dapat mengakomodasi masuknya FDI, investasi lainya (pinjaman), dan investasi portofolio. Oleh karena itu upaya menjaga sustainabilitas defisit transaksi berjalan harus lebih bertumpu pada peningkatkan ekspor daripada penurunan impor. Kondisi saat ini menunjukkan bahwa perkembangan ekspor Indonesia masih tergantung pada sumber daya alam (kehutanan dan pertanian) maupun sumber daya alam tak terbarukan (pertambangan).
32
DAFTAR PUSTAKA
Ades, Alberto and Federico Kaune, 1997,“A New Measure of Current Account Sustainability for Developing Countries.” Goldman-Sachs Emerging Markets Economic Research. Baharumshah, AZ, Lau E, Fountas S, 2002, “On the Sustainability of Current Account Deficits: Evidence from Four ASEAN Countries”, J. Asian Econ., 14(3) : 465 - 487. Belkar, Rochelle, Lynne Cockerell, and Christoper Kent, 2007, “Current Account Deficit: The Australian Debate”, Research Discussion 2007-02, Reserve Bank of Australia, Australia. Binatli, Ayla Ogus and Niloufer Sohrabji, 2008, “Analyzing The Present Sustainability of Turkey’s Current Account Position, The Journal of International Trade and Diplomacy 2(2). Brown, R.L., J.Durbin and J.M. Evans, 1975, “Techniques for testing the constancy of regression relations over time”, Journal of The Royal Statistical Society B, 37:149-163 Edwards, Sebastian, 2001,”Does Current Account Matter?”, Working Paper 8275, NBER, Massachusetts, USA. Ghosh, Atish, and Ramakrishnan, Uma, 2006, “Do Current Account Deficits Matter?”, Finance and Development, 43(4), (Washington, DC : International Monetary Fund) Hakkio, S. Craig, and Mark Rush, 1991, “Is The Budget Deficit “Too Large?””, Economic Inquiry, 29(3) : 429-445. Husted, Steven,1992, The Emerging US Current Account Deficit in the 1980s: A Cointegration Analysis. Rev. Econ. Stat., 74 (1): 159-166. Isard, Peter, Hamid Faruqee, G. Russell Kincaid and Martin Fetherston, 2001, “Methodology for Current Account and Exchange Rate Assessments”, (Washington, DC: International Monetary Fund). Mann, L. Catherine , 2002, “Perspective on the U.S. Current Account Deficit and Sustainability”, Journal of Economic Perspectives, 16(3) : 131-152. Medina, Leandro, Jordi Prat, and Alun Thomas, 2010, “Current Account Balance Estimates for Emerging Market Economies”, IMF Working Paper 10/43 (Washington, DC: International Monetary Fund). Milesi-Ferretti, Gian Maria, and Assaf Razin, 1996, “Current–Account Sustainability” International Finance Section, Princeton University, New Jersey, USA. Narayan, P.K., Narayan, S, 2005, “Are Exports and Imports Cointegrated? Evidence from 22 Least Developed Countries” Appl. Letters, 12:375-378. Nugroho, M. Noor, Ibrahim, Tri Winarno, Meily Ika Permata, 2012, ”Perilaku dan Dampak Capital Reversal serta Current Account Threshold Terhadap NilaiTukar Rupiah”, Working Paper 09/2012, Bank Indonesia, Indonesia. Pesaran, H. M. and Y. Shin, 1998, An Autoregressive distributed lag modeling approach to cointegration analysis, in: S. Storm, ed., Econometrics and Economic Theory in the 20th Century : The Ragnar Frisch Centennial Symposium, Cambridge University Press. 33
Pesaran, H. M., Y. Shin, and R.J. Smith, 2001, Bounds Testing Approaches to The Analysis of Level Relationships. J. Appl. Econ., 16(3) : 289-326. Pesaran B, Pesaran MH, 2009, Time Series Econometrics Using Microfit 5.0. New York: Oxford University Press Inc. Polat, Ozgur, 2010, “Sustainabilitiy of Current Account Deficit in Turkey”, African Journal of Business Management Vol. 5(2), pp. 577-581. Reisen, Helmut, 1998, “Net capital inflows: How much to accept, how much to resist?”, Managing Capital Flows and Exchange Rates: Perspectives from the Pacific Basin, pp.289-319, Cambridge University Press, USA. Reisen, Helmut, 1999, “Sustainable and Excessive Current Account Deficits”, The Mixed Blessing of Financial Inflows: Transition Countries in Comparative Perspective, pp.29-49, International Institute for Applied Systems Analysis, Northampton, Massachusetts, USA. Sahminan, Ibrahim, Yanfitri, 2009, “Determinants and Sustainability of Indonesia’s Current Account Balance”, Working Paper 09/2009, Bank Indonesia, Indonesia. Summers, H. Lawrence, 2000, “International Financial Crises: Causes, Prevention, and Cures”, American Economic Review, 90(2) : 12-28.
34
Lampiran 1 UJI KOINTEGRASI
Bahram Pesaran
Variable Addition Test (OLS case) ******************************************************************************* Dependent variable is DLNX List of the variables added to the regression: LNX(-1) LNMM(-1) 168 observations used for estimation from 1971Q1 to 2012Q4 ******************************************************************************* Regressor Coefficient Standard Error T-Ratio[Prob] INPT -.3558E-3 .021971 -.016194[.987] DLNX(-1) .89095 .075710 11.7679[.000] DLNX(-2) -.19184 .097759 -1.9624[.051] DLNX(-3) -.11239 .065786 -1.7084[.090] DLNMM .60485 .066948 9.0347[.000] DLNMM(-1) -.37585 .091326 -4.1155[.000] DLNMM(-2) .083883 .078726 1.0655[.288] DUM -.0089490 .0043517 -2.0565[.041] LNX(-1) -.062316 .022484 -2.7715[.006] LNMM(-1) .062690 .023840 2.6296[.009] ******************************************************************************* Joint test of zero restrictions on the coefficients of additional variables: Lagrange Multiplier Statistic CHSQ(2)= 12.0050[.002] Likelihood Ratio Statistic CHSQ(2)= 12.4555[.002] F Statistic F(2,158)= 6.0797[.003] *******************************************************************************
ARDL SHORT RUN Bahram Pesaran Autoregressive Distributed Lag Estimates ARDL(3,2,0) selected based on Schwarz Bayesian Criterion ******************************************************************************* Dependent variable is LNX 169 observations used for estimation from 1970Q4 to 2012Q4 ******************************************************************************* Regressor Coefficient Standard Error T-Ratio[Prob] LNX(-1) 1.8333 .071772 25.5437[.000] LNX(-2) -1.1671 .11721 -9.9570[.000] LNX(-3) .25304 .062668 4.0378[.000] LNMM .60551 .066691 9.0793[.000] LNMM(-1) -.87181 .12338 -7.0661[.000] LNMM(-2) .34830 .075216 4.6306[.000] DUM -.010398 .0042978 -2.4194[.017] INPT -.010678 .021040 -.50752[.612] ******************************************************************************* R-Squared .99971 R-Bar-Squared .99969 S.E. of Regression .021876 F-Stat. F(7,161) 78282.0[.000] Mean of Dependent Variable 10.2961 S.D. of Dependent Variable 1.2495 Residual Sum of Squares .077047 Equation Log-likelihood 410.2783 Akaike Info. Criterion 402.2783 Schwarz Bayesian Criterion 389.7587 DW-statistic 1.9957 *******************************************************************************
35
Diagnostic Tests ******************************************************************************* * Test Statistics * LM Version * F Version * ******************************************************************************* * * * * * A:Serial Correlation*CHSQ(4) = 23.9713[.000]*F(4,157) = 6.4875[.000]* * * * * * B:Functional Form *CHSQ(1) = 1.8481[.174]*F(1,160) = 1.7690[.185]* * * * * * C:Normality *CHSQ(2) = 18.3541[.000]* Not applicable * * * * * * D:Heteroscedasticity*CHSQ(1) = 8.3664[.004]*F(1,167) = 8.6980[.004]* ******************************************************************************* A:Lagrange multiplier test of residual serial correlation B:Ramsey's RESET test using the square of the fitted values C:Based on a test of skewness and kurtosis of residuals D:Based on the regression of squared residuals on squared fitted values
ARDL LONG RUN Bahram Pesaran Estimated Long Run Coefficients using the ARDL Approach ARDL(3,2,0) selected based on Schwarz Bayesian Criterion ******************************************************************************* Dependent variable is LNX 169 observations used for estimation from 1970Q4 to 2012Q4 ******************************************************************************* Regressor Coefficient Standard Error T-Ratio[Prob] LNMM 1.0161 .021599 47.0412[.000] DUM -.12884 .049288 -2.6139[.010] INPT -.13231 .24008 -.55109[.582] *******************************************************************************
36
Lampiran 2 Proses Analisa ARDL Uji Akar Unit ADF (variabel boleh I(0) atau I(1) tetapi bukan I(2))
Uji Stabilitas (kalau terjadi structural break, perlu ditambahkan dummy)
CUSUM
CUSUMQ Uji OLS Eq.(12)
Uji Kointegrasi (Tes F statistik , Pesaran apakah lebih besar dari batas atas kriteria)
ARDL Ho = Koef . Jangka Pendek =1
Ho = Koef. Jangka Panjang = 1
37