SURVEY AWAL DI SITUS PENINGGALAN PERANG DUNIA KE-2, KAPAL KARAM HMAS PERTH. PULAU PANJANG, BANTEN Oleh: Shinatria Adhityatama Pusat Arkeologi Nasional
1. Pendahuluan Perairan Indonesia memiliki potensi tinggalan arkeologi yang luar biasa, jutaan kapal karam bersemayam di dasar laut Indonesia. Hal ini terjadi karena Indonesia memiliki sejarah yang panjang pada dunia kemaritiman, sejak jaman pra-sejarah hingga sekarang. Salah satunya adalah di perairan Selat Sunda, perairan yang menghubungkan Pulau Jawa dengan Sumatra ini menyimpan banyak bukti sejarah dari peristiwa bersejarah kemaritiman Indonesia, keganasan perairan ini juga banyak menenggelamkan kapal-kapal yang memiliki nilai sejarah yang tinggi. Salah satu peristiwa yang terjadi di Perairan Selat Sunda adalah peristiwa Pertempuran Selat Sunda atau yang dikenal dengan Battle Of Sunda Strait di era Perang Dunia ke-2. HMAS Perth yang pada saat itu dikomandani oleh Kapten Hector Waller dan USS Houston yang dikomandani Kapten Albert H.Rock, mendapatkan perintah untuk berlayar secara bersamaan melalui Selat Sunda menuju Cilacap untuk mengamankan pantai Selatan Pulau Jawa dari armada angkatan laut Jepang dan menghindar dari Pertempuran Laut Jawa. Dalam Perjalanan menuju Cilacap kedua kapal tersebut dihadang oleh armada Angkatan laut Jepang di Selat Sunda dan terjadilah pertempuran laut yang sengit antara kedua kapal tersebut dengan armada angkatan laut Jepang. Setelah pertempuran yang memakan waktu beberapa hari itu, akhirnya HMAS Perth dan USS Houston pun berhasil ditenggelamkan oleh armada angkatan laut Jepang di Teluk Banten.
Pada saat ini kedua kapal tersebut terancam keberadaannya di bawah laut karena aktivitas penjarahan yang kerap terjadi di perairan Selat Sunda. HMAS Perth mulai diamputasi bagian atasnya, dipotong dan ditambang besi-besinya oleh para penjarah atau disebut juga salvagers liar untuk dijual ke pedagang besi tua. Nasib serupa pun menghantui keberadaan USS Houston yang letaknya berdekatan dengan HMAS Perth. Kabar terakhir yang kita terima bahwa besi-besi dari kedua kapal tersebut dijual bebas di Pasar Merak, para penambang tidak tahu bahwa besi-besi tua yang mereka amputasi memiliki nilai sejarah yang jauh lebih tinggi dari nilai ekonomi-nya. Aktivitas penambang besi tua dari kapal karam di perairan Indonesia telah menjadi perhatian dunia arkeologi bawah air beberapa tahun ini. Salah satu kapal karam yang mendapat perhatian dari dunia arkeologi internasional adalah kapal HMAS Perth di Selat Sunda. Perbuatan para penambang liar besi tua ini mendapat perhatian dari banyak media internasional dan dari kalangan arkeolog bawah air, yang paling mengecam dari perbuatan ini adalah dari media Australia dan para veteran dari Perang Dunia Ke2 di Australia. Australia yang merasa memiliki kapal karam tersebut mengeluhkan penjagaan dari pemerintah Indonesia dan Angkatan Laut Indonesia yang dianggap lemah dalam hal penjagaan kapal karam HMAS Perth. Mereka menganggap kapal ini memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi dan sangat memiliki arti penting bagi masyarakat Australia dan bagi para veteran Perang Dunia ke-2. Reaksi keras dari media dan masyarakat Australia ini membuahkan sebuah petisi untuk meng-klaim kapal karam HMAS Perth untuk dikelola Pemerintah Australia. Namun, hal itu tidak mungkin dilakukan karena semua benda cagar budaya yang ada di bawah air maupun darat di wilayah NKRI adalah milik Pemerintah Indonesia. Kedua Negara juga belum menandatangani perjanjian UNESCO Convention on the Protection of the Underwater Cultural Heritage tentang perlindungan warisan budaya bawah air, yang dimana salah satunya mengatur bahwa semua benda cagar budaya harus dikembalikan ke daerah asal.
Hal diatas menjelaskan bahwa Pemerintah Indonesia yang harus bertanggung jawab dalam hal penelitian, pelestarian, dan penjagaan bagi situs-situs arkeologi bawah air. Oleh sebab itu, pada tanggal 9 – 18 Juni 2014, gabungan tim dari Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kemendikbud, Pusat Arkeologi Nasional, dan dibantu dengan para penyelam dari Orca Diving, melakukan aktivitas survey dan penelitian guna peletarian kapal tersebut, yang nanti akan ditetapkan sebagai Situs Cagar Budaya yang akan dilindungi secara aman di bawah undang-undang. Usaha ini adalah bentuk tanggung jawab pemerintah Indonesia yang berkomitmen menjaga cagar budaya yang berada di bawah air. Kedua kapal perang milik sekutu di Perang Dunia ke 2 yang tenggelam di Selat Sunda merupakan saksi bisu peristiwa pertempuran laut yang menelan banyak korban. Kedua kapal tersebut adalah HMAS Perth dan USS Houston, yang tenggelam pada tanggal 1 Maret 1942. Ratusan awak dari kedua kapal tersebut telah menjadi korban keganasan armada perang angkatan laut Jepang di Selat Sunda, yang artinya kedua kapal tersebut memiliki makna yang mendalam bagi para veteran perang dan keluarga dari para korban, maupun bagi rakyat negara asal mereka. Peninggalan kapal-kapal tenggelam dari pertempuran Selat Sunda menjadi tugas bagi disiplin ilmu arkeologi untuk menelitinya dan melestarikannya, karena akan banyak data yang penting pada tinggalan kapal-kapal tenggelam tersebut yang akan membantu merekonstruksi peristiwa sejarah yang terjadi di Selat Sunda. Penelitian lebih lanjut juga dapat menggali lebih banyak informasi tentang teknologi kemiliteran yang ada pada era Perang Dunia ke-2, dan hal ini akan memperkaya data bagi arkeologi bawah air dan maritime. Pelestarian dilakukan untuk menjaga keutuhan dari kapal karam yang tenggelam dalam peristiwa Pertempuran Selat Sunda, agar dapat dinikmati salah satunya sebagai objek pariwisata yang beorientasi wisata sejarah dan edukasi.
2. Metode Penelitian Informasi tentang titik Koordinat dari kapal karam HMAS Perth ini didapatkan dari Pak Makmun, pelaut yang tinggal di Pulau Panjang. Namun, sebelumnya tim sudah mendapatkan titik koordinat tersebut dari komunitas penyelam internasional dan dari hasil survey sebelumnya, tim mencoba mencocokan dengan titik koordinat milik Pak Makmun. Setelah sampai di lokasi kapal karam HMAS Perth tersebut, ternyata di kapal tersebut sudah terdapat safety line untuk memasuki kawasan situs, karena banyak aktivitas nelayan di sekitaran situs dan mereka juga menaruh bubu (perangkap ikan). Oleh karena itu, tim tidak perlu lagi membuat safety line untuk menuju ke kedalaman dan memasuki kawasan situs. Metode yang tim gunakan untuk meneliti kapal karam HMAS Perth adalah dengan melakukan penyelaman dengan menggunakan peralatan selam SCUBA yang standar internasional dan sesuai dengan penelitian arkeologi bawah air. Penyelaman ini dilakukan guna melakukan observasi dan mengeksplorasi setiap bagian dari kapal karam ini. Melakukan pendokumentasian dengan menggunakan kamera bawah air beserta housing-nya dan video bawah air yang juga dilengkapi dengan housing bawah air. Tim juga melakukan pengukuran dengan menggunakan meteran 100 meter pada kapal karam HMAS Perth, untuk mengetahui ukuran lebar, panjang dan tinggi dari kapal karam HMAS Perth. Pada penelitian ini tim juga akan berusaha melakukan pemetaan kapal karam HMAS Perth, agar mengetahui sebaran situs ini dan mengetahui bentuk, dimensi, dan posisi kapal ini di dasar laut. Metode lainnya selain dengan melakukan observasi, penelitian ini juga melakukan studi pustaka sebagai data sekunder. Melakukan penelusuran terhadap dokumen-dokumen yang terkait dengan peristiwa Pertempuran Selat Sunda dan Pertempuran Laut Jawa pada Perang Dunia ke-2, dan dokumen tentang sejarah kapal perang HMAS Perth. Penelusuran gambar, peta, dan data tertulis lainnya melalui media internet, hal ini sangat perlu karena dengan menggunakan penelusuran melalui internet agar dapat menemukan data-data sejarah yang diperlukan untuk menunjang penelitian ini.
3. Pembahasan 3.1 Pertempuran Selat Sunda di Perang Dunia ke-2 Pada tahun 1942 disaat Perang Dunia ke-2 mulai berdampak secara global, Jepang dengan sangat agresif menyerang seluruh wilayah di Asia Tenggara, tidak luput dari sasaran penyerangan adalah kepulauan Indonesia. Kepulauan Indonesia dinilai sangat strategis oleh pihak Jepang untuk mengontrol perairan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik (Andrieu, 1965). Pada saat itu Indonesia yang masih dikoloni oleh Belanda dan mereka harus berpikir keras untuk mempertahankan wilayahnya. Belanda yang dibantu oleh pasukan sekutu mencoba mempertahankan Semenanjung Malaka dan Laut Jawa agar tidak jatuh ke tangan Pasukan Jepang. Pihak Sekutu akhirnya membentuk sebuah satuan pertahanan yang disebut dengan ABDA, satuan ini beranggotakan pasukan dari Amerika Serikat, Britania Raya, Belanda, dan Australia. Angkatan laut dari satuan ini memiliki dua markas yang berbeda, yaitu di Tanjung Priok Batavia (Jakarta) untuk mengamankan wilayah barat, dan di Surabaya untuk mengamankan wilayah timur. Satuan ABDA ini diawasi oleh Laksamana Madya (Vice Admiral) Conrad Helfrich, dia menilai armada perang yang dimiliki satuan ABDA tidak sebanding dengan yang dimiliki oleh armada perang yang dimiliki Kekaisaran Jepang. Satuan ABDA sangat jelas kalah dari jumlah armada kapal perang yang dimiliki oleh Jepang, karena Jepang mengirimkan dua satuan angkatan laut terbesar mereka untuk merebut Pulau Jawa dari pihak sekutu yang dipertahankan oleh Satuan ABDA tersebut (van Oosten, 1976). Armada Angkatan Laut Jepang wilayah timur berlayar dari Jolo di Filipina menuju ke perairan Indonesia, telah diketahui oleh pesawat tempur milik satuan ABDA yang berpatroli pada tanggal 25 Februari 1942. Hal ini membuat Laksamana Madya Conrad Helfrich bergabung dengan armada timur ABDA yang dipimpin oleh Laksamana Pertama (Rear Admiral) Karl Doorman's di Surabaya, guna
membentuk pasukan untuk menyerang armada angkatan laut Jepang yang menuju ke perairan Indonesia Van Oosten, 1976). Laksamana pertama Karl Doorman's mengadakan pertemuan dengan para kaptennya untuk mengukur kekuatan ABDA dan menyusun strategi penyerangan terhadap armada angkatan laut Jepang. Karl Doorman's memiliki armada dua kapal jenis heavy cruiser yaitu USS Houston & HMS Exeter, tiga kapal jenis light cruisers yaitu HNLMS De Ruyter, HNLMS Java, & HMAS Perth, dan beberapa kapal dengan jenis destroyer dari divisi 58 milik sekutu. Armada ini akan beroperasi di Pantai Utara Jawa dan perairan Madura untuk membendung Angkatan Laut Jepang yang terus mendekat ke Surabaya. Armada Angakatan laut Jepang cukup serius untuk merebut Pulau Jawa dari tangan pihak Sekutu, dipimpin oleh Laksamana Pertama Takeo Takagi yang berbekal dua kapal perang berjenis heavy cruisers Nachi & Haguro, dua kapal berjenis light cruisers Naka & Jintsu, dan empat belas kapal perang berjenis destroyer, perlahan berlayar menuju Surabaya (Andrieu, 1957).
Gambar 1. Ilustrasi pertempuran Selat Sunda (Battle of Sunda Strait) Sumber: www.perthone.com
Pertempuran yang sengit pun tidak terhindarkan di Laut Jawa, peristiwa ini disebut dengan Battle of Java Sea yang dimana armada perang Jepang terus membombardir pasukan sekutu. Pertempuran ini dimulai pada tanggal 27 Februari 1942. Dampak peperangan ini pun tidak berpusat di Laut Jawa saja, namun hingga perairan Madura, Selat Bali, dan Selat Sunda. Peperangan di Selat Sunda atau yang disebut dengan Battle of sunda strait ini merupakan bagian dari rangkaian pertempuran antara pihak sekutu dengan Jepang dalam memperebutkan Pulau Jawa. Peristiwa ini terjadi dari 28 February hingga 1 Maret 1942. Pertempuran ini mengorbankan dua kapal perang milik sekutu yang tergabung dalam
satuan ABDA yaitu kapal milik pasukan Australia HMAS Perth dan Kapal perang milik pasukan Amerika Serikat USS Houston (Walter G, 1984). a. Sejarah HMAS Perth Kapal perang HMAS Perth diproduksi pada tanggal 26 Juli tahun 1934 di Portsmouth, Inggris dan bergabung ke Angkatan Laut Inggris pada tanggal 15 Juni tahun 1936, pada awalnya dengan nama HMS Amphion dengan nomer lambung I29. Pada 18 Juli kapal perang ini bergabung ke 6th Cruiser Squadron, dan menjalani beberapa misi dengan Angkatan Laut Inggris, salah satunya di perairan Afrika. Pada tanggal 10 Juli tahun 1939, nama HMS Amphion berubah menjadi HMAS Perth, setelah pihak Britania Raya mencapai kesepakatan dengan Pemerintah Australia untuk mentransfer HMS Amphion bertugas untuk Royal Australia Navy (RAN). Sejak saat itu kapal perang ini diberi nama HMAS Perth 1 dengan nomer lambung D29, yang akan bertugas mengamankan perairan Australia hingga bagian barat Samudra Atlantik, dan jasanya bertambah hingga di Perang Dunia ke-2 (Whiting,1995).
Foto 1. Peresmian HMAS Perth setelah serah terima dari AL Inggris kepada AL Australia. Sumber:
(http://www.navy.gov.au/hmas-perth-i)
HMAS Perth merupakan hasil modifikasi dari jenis kapal perang Leander-class light cruiser yang terkenal sangat efektif untuk pertempuran laut, tipe kapal ini banyak diproduksi oleh Angkatan Laut Inggris di tahun 1930-an. Kapal HMAS Perth memiliki berat 6,830 ton dengan panjang 160 meter. Kapal ini memiliki mesin diesel dengan kekuatan 72,000 shaft tenaga kuda (54,000 kW), dan kapal ini mampu melaju diatas air dengan kecepatan 31.7 knots (58.7 km/per-jam; 36.5 mph), kapal ini mampu menempuh hingga jarak 6,060 nautical miles. HMAS Perth dipersenjatai peralatan perang yang cukup maju pada masa itu, seperti delapan buah BL 6 inch Mk XXIII naval guns, empat buah 4-inch Mk XVI guns, dan untuk pertahanan dan serangan jarak dekat kapal ini dilengkapi dengan 12 kaliber 50 machine
guns. Awak yang mengendalikan kapal perang ini sebanyak 646 awak, terdiri dari 35 berpangkat perwira dan 611 non-perwira dan ABK kapal. HMAS Perth juga mampu membawa satu pesawat terbang dengan tipe seaplane dengan nama Walrus amphibian dari squadron 9 RAAF. Dengan spesifikasi seperti yang sudah dijelaskan diatas, dapat dipastikan bahwa kapal perang HMAS Perth memiliki daya jelajah yang tinggi dan cukup tangguh dalam pertempuran di laut (http://www.navy.gov.au/hmas-perth-i).
Gambar 2. Cetak biru Kapal Perang HMAS Perth. Sumber: www.blueprint.com
Selama masa tugasnya bersama Royal Australia Navy (RAN) HMAS Perth banyak melakukan misi yang membawanya mengelilingi dunia. Dalam masa damai sebelum Perang Dunia ke-2 kapal HMAS Perth sempat berkunjung ke New York, Amerika Serikat guna mewakili Australia untuk acara World’s fair pada tanggal 4-6 Agustus tahun 1939. Sebelum pecahnya perang dunia HMAS Perth akan berlayar kembali ke Sidney, Australia. Namun, Perang Dunia ke-2 telah berkecamuk pada akhir Agustus, sehingga kepulangan HMAS Perth ditunda karena kapal ini ditugaskan untuk mengawal kapal tanker oli yang beroperasi di perairan antara Negara Trinidad dan Venezuela. Dalam 2 bulan ke depan HMAS Perth
memiliki tugas untuk mengawal dan berpatroli di bagian barat Samudra HIndia dan bagian barat Samudra Atlantik. Selama penugasan itu HMAS Perth berlalu lalang di perairan tersebut, salah satu tugasnya yaitu di dekat Kanal Panama untuk membantu mengisi bahan bakar Angkatan Laut Kanada ( Royal Canadian Navy) kapal berjenis destroyers dengan nama Ottawa dan Restigouche. Tugas pengawalan dan patroli ini berlanjut hingga awal bulan Maret tahun 1940, pada tanggal 2 Maret tahun 1940 kapal HMAS Perth berlayar kembali ke Sidney dan berhasil sampai dengan sampai di Australia pada tanggal 31 Maret 1940 (Whiting, 1995).
Foto 2. Kapal Perang HMAS Perth kembali ke Sidney setelah selesai bertugas. Sumber: http://www.navy.gov.au/hmas-perth-i)
Selama Bulan April tahun 1940 HMAS Perth melakukan modifikasi dan percobaan mesin-mesin baru yang diproduksi oleh Pemerintah Australia. Pada Bulan Mei 1940 HMAS Perth kembali bertugas di lautan kembali untuk melakukan pengawalan dan patroli tentara Angkatan Laut Amerika dan Australia ke Timur Tengah. Hingga tahun 1941 HMAS Perth banyak bertugas untuk melakukan pengawalan dan patrol untuk armada Sekutu yang akan menuju atau pulang dari daerah Timur Tengah. Dalam masa
operasi tersebut HMAS Perth banyak selamat dari serangan musuh, hanya pada bulan Mei 1941 HMAS Perth rusak parah karena terkena serangan dari pesawat tempur milik Jerman, Karena kerusakan itu HMAS Perth harus dibawa ke Alexandria untuk diperbaiki. Kapal perang ini kembali mengalami kerusakan ketika melakukan konvoy, dan di tengah perjalanan kapal ini tertembak torpedo musuh di bagian ruang mesin boiler, dua koki, 2 pelaut, dan delapan penumpang meninggal dunia, namun akhirnya kapal HMAS Perth berhasil kembali ke Alexandria untuk diperbaiki lagi. Melihat catatan perjalanan diatas dapat dikatakan bahwa kapal HMAS Perth sangat tangguh, dalam beberapa misi dan tugas yang ia jalani dan tertembak oleh senjata musuh, tapi kapal ini masih belum terkalahkan juga.
Gambar 3. Ilustrasi Pertempuran Laut Jawa dan Jalur Pelayaran HMAS Perth. Sumber: www.navy.gov.au
Pada tanggal 12 Februari tahun 1942 kapal perang HMAS Perth berlayar menuju Laut Jawa, bergabung dengan pasukan gabungan yang dibentuk oleh Amerka Serikat, Belanda, Australia, dan Britania Raya (ABDA). Pada saat itu perang Laut Jawa telah berkecamuk, pasukan Angkatan Laut Jepang bertubi-tubi memasuki wilayah perairan Indonesia dan berusaha merebut Pulau Jawa dari tangan Sekutu. Pada malam hari tanggal 27-28 Februari 1942, pasukan ABDA menyerang pasukan Angkatan Laut Jepang di
Laut Jawa, lima kapal perang Sekutu rusak dan tenggelam, beruntung HMAS Perth dan USS Houston dapat selamat dan kembali ke Tanjung Priok. Setelah melakukan beberapa perbaikan kedua kapal perang tersebut kembali berlayar (http://www.navy.gov.au/hmas-perth-i).
Foto 3. Dokumen Permintaan Bantuan dan Laporan Terakhir Dari Kapal Perang HMAS Perth. Sumber: http://www.navy.gov.au/hmas-perth-i
Tugas baru telah datang untuk HMAS Perth untuk berlayar ke Cilacap, bersama dengan dua kapal perang milik Sekutu yaitu kapal USS Houston dan kapal perang Belanda tipe destroyer Evertson. Namun, kapal perang Evertson mengalami keterlamabatan dan belum siap untuk berlayar, jadi yang menuju Cilacap terlebih dahulu adalah kapal perang HMAS Perth dan USS Houston. Pada saat mereka berlayar ada kabar bahwa sekitar 50 armada kapal perang milik Jepang telah berkumpul di Teluk Banten, dan kabar
itu
pun
terlambat
diterima
oleh
kedua
kapal
perang
milik
sekutu
tersebut
(http://www.awmlondon.gov.au). Pertempuran Selat Sunda pun terjadi, dua kapal perang Jepang berhasil dirusak oleh USS Houston. HMAS Perth mengalami kerusakan yang parah setelah terkena 4 torpedo di bagian haluan, buritan, dan lambung kanan kapal oleh kapal perang milik Jepang yang bernama Shirayuki, Murakumo, Harukaze, dan Hatakaze. Kerusakan yang dialami HMAS Perth tidak dapat ditanggulangi, akhirnya Kapten Hector Waller memerintahkan seluruh awak kapal untuk evakuasi. Kapal Perang HMAS Perth akhirnya pun tenggelam pada pukul 00.25 pada tanggal 1 Maret 1942 disusul kemudian dengan tenggelamnya USS Houston, setelah melewati banyak misi dan pertempuran di laut. Pada saat itu HMAS Perth mengangkut 681 orang termasuk awak kapal, warga sipil, dan tentara Angkatan Udara (RAAF) Australia (Whiting,1995).
Foto 4 & 5, Kapten Hector Waller dan awak kapal HMAS Perth tahun 1941. Sumber: www.navy.gov.au)
b. Pemaparan Data Hasil Survey Saat ini Kapal perang HMAS Perth berada di sebelah Utara Banten dengan titik koordinat 5˚51,581 BT 106˚7,485 LS. Kapal Perang HMAS Perth berada di dasar perairan Selat Sunda, pada kedalaman 20-38 meter di bawah permukaan laut. Kapal karam ini yang diduga sebagai HMAS Perth ini dapat dikonfirmasi identitasnya setelah melakukan analisa bentuk dan data sejarah, yang menjelaskan posisi tenggelamnya kapal perang tersebut. Kondisi lingkungan kapal perang HMAS Perth didominasi oleh lumpur dan pasir di bagian dasar, pada bagian kapal perang ini sudah ditumbuhi berbagai macam terumbu karang seperti gorgonian, dan di sekitar kapal ini banyak ditemui ikan-ikan laut seperti ikan Kue, ikan ekor kuning, dan ikan kakap merah yang mengelilingi kapal karam ini (Wahjudin, 2013). Kondisi Arus di situs ini cukup kencang antara 1-3 knot, sehingga penyelam harus menunggu waktu yang tepat saat arus mulai mengendor untuk melakukan penyelaman
di kapal HMAS Perth. Jarak pandang juga merupakan
hambatan untuk mengidentifikasi di situs ini, karena hanya berjarak 1-4 meter saja.
Gambar 4. Posisi Tenggelamnya Kapal Perang HMAS Perth Pada Saat Ini. Sumber: www.navy.gov.au
Kegiatan survey yang dilakukan dengan melakukan aktivitas penyelaman di kapal perang HMAS Perth bertujuan untuk mengidentifikasi dimensi dan bentuk dari kapal tersebut serta memastikan identitas dari kapal tersebut. Mengetahui kondisi dari kapal HMAS Perth dari saat kapal tersebut tenggelam hingga saat ini, selain itu untuk rekomendasi rencana strategis pelestarian kapal perang HMAS Perth di bawah laut. Pemaparan dari perbagian kapal perang HMAS Perth adalah sebagai berikut: a. Bagian Haluan
Pada bagian haluan kapal perang HMAS Perth kondisinya sudah cukup rusak, berada di kedalaman 30 35 meter di bawah permukaan air, dan bagian haluan kapal ini menghadap arah Timur. Setelah menunggu beberapa saat karena arus yang cukup kencang di pagi hari, akhirnya kegiatan observasi di bagian haluan baru dapat dilakukan pada siang hari. Kondisi arus di kedalaman 30-35 meter pada saat itu cukup tenang, namun karena berada di kedalaman tersebut maka penyelaman ini sudah masuk kategori selam dalam atau deep dive, yang artinya penyelam hanya memiliki waktu yang sempit untuk malakukan observasi hanya sekitar 20 menit penyelaman diperbolehkan untuk melakukan aktivitas di kedalaman. Jarak pandang di bagian haluan kapal HMAS Perth pada saat itu juga tidak terlalu bagus hanya berjarak 1-3 meter, sehingga penyelam harus berhati-hati dan tetap menjaga buddy menyelamnya masing-masing dan harus menggunakan tali pandu untuk menelusuri bagian ini karena jika tidak, akan kesulitan untuk melakukan navigasi bawah air.
Hasil observasi dari penyelaman di bagian haluan kapal perang HMAS Perth, tim mendapatkan bahwa ada indikasi pemotongan besi tua di bagian haluan, memang bagian haluan sudah terkena torpedo oleh kapal perang Jepang pada saat itu dan mengalami kerusakan yang parah. Namun, keadaan itu diperparah oleh ulah para penambang besi tua, bahkan cerita dari seorang informan mengatakan bahwak para penambang besi tua itu menggunakan bom untuk meledakan bagian haluan kapal
perang HMAS Perth ini. Akibat perbuatan penambang besi tua tersebut bagian depan atau haluan kapal perang HMAS Perth ini berserakan di dasar laut secara seporadis.
Foto 6. Keadaan Bagian Haluan Kapal Perang HMAS Perth. Sumber: PBCM
Dari melihat serpihan bagian haluan kapal perang HMAS Perth di dasar laut, masih dapat dijumpai dengan yang diduga lubang jangkar dari kapal ini walaupun sudah pecah dan hanya bagian kecil. Bagian yang diduga sebagai tempat menyimpan tali dan peralatan kapal masih dapat dijumpai di bagian depan kapal ini. Masih terdapat juga sebuah pintu yang diduga sebagai tempat masuk ke anjungan kapal, namun sudah terlepas dari bagian kapal. Bagian haluan juga terlihat ada sebuah bagian yang bertingkat yang diduga sebagai tempat meletakan meriam atau yang disebut dengan bow guns, dalam kondisi utuh seharusnya terdapat dua buah meriam yang terdapat dibagian haluan, tapi sekarang kedua meriam tersebut sudah hilang dipotong dan ditambang oleh para penambang besi tua.
Bagian anjungan sudah mengalami kerusakan yang cukup parah, bagian atap sudah dipotong secara keselurahan sehingga sudah tidak terlihat lagi bentuk ruangan kendali kapal ini atau yang sering disebut dengan bridge. Pintu anjungan sudah tergeletak jatuh diatas reruntuhan yang lain, bagian lainnya sudah tersebar di bawah laut dan hanya sebagian kecil yang dapat di identifikasi. Peraltan pengendali kapal juga sudah tidak terlihat, seperti kemudi kapal, alat pengatur kecepatan kapal, dan kompas kapal sebagai alat navigasi kapal dan alat yang akan memberikan informasi tentang estimasi waktu yang akan ditempuh sebuah kapal. Bagian yang tersisa dari anjungan saat ini hanya tiang-tiang yang merupakan kerangka luar dari ruang kendali ini, itupun sudah tidak utuh hanya sebagian kecil yang tersisa, namun masih dapat diidentifikasi bahwa itu merupakan bekas ruang kendali atau anjungan kapal.
b. Bagian Tengah Kapal Bagian tengah dari kapal karam HMAS Perth merupakan bagian yang paling banyak menyajikan data arkeologis, dan yang paling luas untuk dieksplorasi. Kapal ini terguling ke arah utara, sehingga para penyelam dan peneliti hanya dapat mengeksplorasi bagian lambung kapal dan bagian bawah dari kapal HMAS Perth ini. Panjang bagian tengah kapal ini diperkirakan sekitar kurang lebih 120 meter, tim tidak dapat melakukan pengukuran secara pasti karena kendala arus dan jarak pandang di situs. Bagian ini berada pada kedalaman bagian atas 20 meter dan bagian dasar sekitar 36 meter. Jarak pandang di bagian lebih baik daripada bagian haluan, namun hanya sekitar 4 meter saja. Keadaan arus di bagian ini yang sulit diprediksi, karena arus berjalan dari arah yang sulit untuk ditentukan, hal ini disebabkan karena arus menabrak kapal ini yang menyebabkan arus tidak menentu. Di bagian ini penyelam harus waspada dengan arus yang cukup kencang sekitar 1-3 knot dan arus yang tidak menentu.
Bagian tengah ini merupakan bagian paling luas dari kapal ini, tim banyak menemukan data yang menarik pada bagian ini. Kapal ini telah terguling ke arah utara, oleh karena itu bagian tengah kapal yang paling terlihat adalah bagian lambung hingga bagian bawah kapal. Di sekitar lambung kapal tim menemukan banyak amunisi dan benda-benda dari bagian dalam dan luar yang berserakan di bagian lambung kapal HMAS Perth. Terlihat sebuah amunisi yang masih utuh dan tim berhasil melakukan pengukuran pada amunisi ini, dengan hati-hati karena amunisi tersebut masih berpotensi meledak, akhirnya diketahui panjang amunisi ini sepanjang satu meter dengan diameter sekitar 30 cm. Bendabenda dari dalam dan luar kapal belum banyak yang di identifikasi, ada beberapa yang diduga berupa torpedo, rantai kapal, dan bagian kecil dari krain kapal. Tim menduga tersebarnya data-data tersebut di bagian lambung kapal dikarenakan aktivitas penambangan besi tua yang terjadi di kapal HMAS Perth, para penjarah mengambil besi tua dan meninggalkan benda-benda tersebut di bagian lambung dan menghilangkan konteks dari data tersebut.
Foto 7. Sisa Amunisi Dari Kapal HMAS Perth (Sumber: Direktorat PCBM)
Banyak data yang sangat menarik untuk diidentifikasi pada bagian tengah kapal ini, karena seperti yang dijelaskan diatas banyak sekali benda-benda yang berserakan di bagian ini. Namun, karena keterbatasan
waktu penyelaman yang dikarenakan kedalaman kapal ini cukup dalam sehingga membatasi waktu penyelaman. Akibat keterbatasan waktu tersebut tim tidak dapat memetakan dan mengidentifikasi dengan detail benda-benda yang berserakan di bagian tengah ini. Kendala arus yang sangat kencang juga menghalangi tim untuk mengeksplor bangiang tengah ini dnegan leluasa. Jika kondisi cuaca dan jumlah tim penyelaman memadai maka benda-benda yang berada di bagian tengah kapal ini akan sangat mudah untuk diteliti karena berada di ruang yang sudah cukup terbuka, dan pasti akan mendapatkan banyak informasi berupa data arkeologi yang sangat bermanfaat. c. Bagian Belakang Bagian belakang atau yang disebut dengan buritan kapal dari kapal perang HMAS Perth merupakan bagian dari kapal karam ini yang paling dapat dengan mudah diidentifikasi dan relatif masih utuh. Bagian patah ke bawah sehingga semakin menyelam ke bagian kapal ini akan semakin dalam. Bagian ini berada pada kedalaman sekitar 23-32 meter di bawah permukaan laut. Arus di bagian ini relative lebih tenang jika dibandingkan oleh bagian tengah maupun depan kapal, sekitar 1-2 knot. Jarak Pandang atau visibility di bagian ini sekitar 3-6 meter jika dalam kondisi terbaiknya. Jadi dapat dikatakan bagian belakang kapal karam ini adalah daerah yang paling aman untuk melakukan eksplorasi di kapal kapal HMAS Perth. Bagian ini belum terlalu parah ditambang oleh para penambang besi tua, karena masih dapat dilihat bentuk buritan dari kapal HMAS Perth ini.
Bagian ini mengalami patah di bagian belakang ada sedikit patahan dan retakan yang mungkin di akibatkan oleh para penambang besi tua. Dari data yang didapat dari studi pustaka ada laporan yang menyebutkan memang kapal HMAS Perth ini terkena torpedo jepang di bagian belakang kapal ini sehingga dapat diduga juga bahwa patahan dan retakan tersebut akibat dari ledakan torpedo yang mengenai kapal HMAS Perth ini, ditambah dengan kerusakan yang diperbuat oleh para penambang besi tua tadi. Di Bagian belakang ini masih dapat ditemui yang kita duga merupakan meriam belakang atau
disebut dengan stern gun pada kedalaman sekitar 27 meter, sejumlah satu meriam walaupun seharusnya di bagian belakang kapal ini terdapat dua meriam atau stern gun. Hilangnya meriam di bagian belakang ini menurut informasi yang di dapat adalah di angkat oleh para penambang besi tua sekitar tahun 2011. Di bagian ini yang sangat membantu dalam proses identifikasi bahwa bagian ini adalah bagian buritan adalah ditemukannya tiang propeler di bagian belakang sedikit ke bawah dari kapal karam ini. Temuan ini menjelaskan kita dan memastikan bahwa bagian yang kita eksplorasi adalah bagian belakang dari kapal HMAS Perth. Tiang propeler ini berada pada kedalaman 25 meter, namun daun propeler dari kapal ini sudah hilang dipotong oleh para penambang besi tua. Di bagian belakang yang hilang juga adalah yang sering disebut dengan port 0.5mg yang terletak di bagian paling belakang kapal ini juga sudah tidak kita ketemukan.
Gambar 5. Posisi Kapal HMAS Perth dan Bagian-Bagian Yang Hilang Dari Kapal Kara ini. Sumber: (www.navy.gov.au)
d. Bagian Dalam Kapal Bagian dalam dari kapal HMAS Perth ini adalah bagian dari kapal karam ini yang belum sempat kita telusuri. Keterbatasan waktu dan kondisi cuaca yang tidak memungkinkan tim untuk melakukan eksplorasi di bagian dalam kapal. Penetrasi ke dalam kapal dianggap sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kecelakaan bagi para penyelam. Besi yang berkarat dari kapal karam ini karena telah lebih dari 70 tahun terendam di dalam air menyebabkan korosi yang parah dan besi pun jadi rapuh. Kerapuhan dari besi tersebut dapat membahayakan bagi para penyelam karena besi tersebut dapat runtuh dan mengenai para penyelam, gelembung yang dikeluarkan dari nafas para penyelam juga dapat merangsang besi-besi tua tersebut untuk runtuh. Namun, eksplorasi dengan melakukan penetrasi ke dalam kapal juga diperlukan untuk mendapatkan lebih banyak data. Tetapi harus memperhatikan factor keselamatan, observasi harus dilakukan sebelum melakukan penetrasi ke bagian dalam. Melakukan orientasi pintu masuk dan keluar yang aman untuk para penyelam. Membuat tali pandu atau safety line jika diperlukan agar penyelam tidak disorientasi saat melakukan penyelaman di dalam kapal. Kondisi yang gelap dan jarak pandang yang terbatas dapat memicu disorientasi bagi penyelam, selain membuat tali pandu sangat disarankan penyelam membawa senter sebanyak dua buah dengan kapasitas setidaknya 200 lumen atau dengan jenis pencahayaan canister light yang memiliki daya yang kuat. 4. Kesimpulan 4.1. Saran Lokasi dari situs bawah air kapal karam HMAS Perth sudah diketahui dari sekitar akhir tahun 1990-an dan telah berhasil diidentifikasi sekitar tahun 2005 oleh para penyelam rekreasional yang senang menyelam di kapal karam. Arkeologi sebagai garda paling depan untuk menyelamatkan situs-situs bersejarah, khususnya situs arkeologi bawah air harus aktif dalam melakukan penelitian dan pelestarian
di situs-situs tersebut. Banyak situs arkeologi bawah air seperti situs kapal karam pada masa perang dunia ke-2 terancam rusak karena karena aktivitas penambangan liar besi tua yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Dengan rusaknya kapal-kapal karam tersebut arkeologi akan kehilangan data yang sangat penting dari banyak peristiwa yang memiliki nilai sejarah yang tinggi. Hilangnya banyak data juga akan berakibat sulitnya arkeologi untuk merekonstruksi kejadian bersejarah yang terjadi di laut Indonesia. Oleh karena itu, perlu dilakukan perlindungan terhadap situ-situs bawah air sebelum makin parah keadaannya. Memang masih banyak kendala dalam menetapkan situs arkeologi bawah sebagai situs cagar budaya yang sah dilindungi Negara. Masih banyak perdebatan dalam metode dan prosedur untuk menetapkan hal tersebut. Banyak perbedaan yang mendasar dalam menentukan situs cagar budaya yang dilindungi Negara yang ada di darat dan di bawah air. Namun, undang-undang cagar budaya yang baru meamanatkan untuk menjaga situs arkeologi yang berada di darat maupun berada di bawah laut. Seluruh stakeholder harus duduk bersama dan membicarakan hal-hal yang mendasar seperti metode dan prosedur penelitian dan pelestarian situs-situs bawah air, agar dapat bersinergi dalam implementasinya, serta perangkat regulasinya. Hal ini sangat mendesak mengingat banyak sekali situs arkeologi bawah air yang terancam keberadaannya, baik oleh penambang besi tua maupun oleh para pemburu harta karun yang berkeliaran illegal di perairan Indonesia. 4.2. Penutup Situs kapal karam HMAS Perth hanyalah satu dari ribuan atau jutaan situs arkeologi bawah air yang ada di perarian Indonesia, baik yang sudah ditemukan maupun yang belum ditemukan. Situs HMAS Perth ini adalah saksi bisu dari ganasnya peristiwa perang dunia ke-2 yang terjadi di perairan Indonesia. Seperti yang kita ketahui perang dunia ke-2 adalah peristiwa yang berdampak global di abad ke-20. Peninggalan kapal karam Perang Dunia ke-2 seperti HMAS Perth juga dapat menunjukkan puncak teknologi
tercanggih dalam peralatan kemiliteran pada era itu. Oleh karena itu, kapal HMAS Perth ini memiliki nilai sejarah yang sangat penting, bagi sejarah Indonesia dan dunia. Memang peristiwa ini belum lama terjadi, baru sekitar 70 tahun usia dari situs ini. Namun, melihat banyaknya kerusakan situs bawah air, tinggalan dari perang dunia ke-2 merupakan langkah awal yang baik untuk memulai perlindungan terhadap situs arkeologi bawah air. Dimulai dari situs perang dunia ke-2 yang memiliki umur relative lebih muda, mari kita selamatkan sisa-sisa dari peristiwa ini dengan baik. Situs ini memiliki perhatian internasional yang sangat luar biasa selain dari negara asal kapal ini berasal yaitu Australia yang memiliki keterikatan secara emosional, negara-negara lain seperti Amerika dan Inggris pun turut memperhatikan situs HMAS Perth ini. Tindakan yang paling nyata untuk perlindungan situs ini adalah dengan menetapkan sebagai cagar budaya, dengan begitu situs ini dapat dilindungi oleh undang-undang dan negara. Dengan penetapan ini akan mengurangi penjarahan dan penambangan besi tua di situs ini. Dalam hal penjagaan dapat bekerjasama dengan Angkatan Laut Banten yang menjaga perairan tersebut selama 24 jam, dan bekerjasama juga dengan masyarakat sekitar dan komunitaskomunitas selam dan elemen masyarakat lainnya untuk membantu dalam hal penjagaan dan pengawasan. Selain itu, membuat monumen atau museum bawah air juga dapat dilakukan, dan hal ini bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan karena banyak di negara lain seperti Australia, Amerika Serikat dan Swedia yang sudah membuat untuk melindungi situs tersebut, sehingga akan mudah bagi kita untuk mengikuti model desain museum bawah air yang telah dibuat oleh mereka. Monumen war grave juga perlu dibuat, mengingat kapal ini tenggelam dengan para awaknya, monumen tersebut bertujuan untuk menghormati para awak dan tentara yang meninggal di kapal tersebut, dan menjadikan kapal tersebut peristirahatan terakhir bagi mereka. Jadi, selain melindungi keutuhan kapal karam, monument ini juga akan melindungi
seluruh tinggalan yang berada di dalam kapal karam tersebut termasuk kerangka awak dari kapal karam, tentu dilindungi juga oleh regulasi hukum yang berlaku. Jika Indonesia kesulitan membuatnya karena segala keterbatasan, kerjasama internasional sangat mungkin untuk dilakukan, seperti dengan Australia sebagai pemilik kapal ini. Institusi dan pemerintah asing sudah memiliki banyak sumber daya dan pengalaman yang dapat kita adopsi ilmunya dan kita pelajari dengan seksama. Tentu kerjasama internasional ini juga harus mengikuti prosedur dan tidak menyalahi undang-undang yang berlaku di negara kita, dan diatur dengan MOU yang tidak merugikan kedua belah pihak. Dengan niat yang baik pasti juga akan menghasilkan sesuatu yang baik juga.
Daftar Pustaka D'Albas, Andrieu. 1965. Death of a Navy: Japanese Naval Action in World War II. USA. Devin-Adair Pub.
Van Oosten, F. C. 1976. The Battle of the Java Sea (Sea battles in close-up; 15).USA. Naval Institute Press.
Whiting, Brendan. 1995. Ship of Courage: The Epic Story of HMAS Perth and Her Crew. Australia. Allen & Unwin Pty., Limited.
Winslow, Walter G. 1984. The Ghost that Died at Sunda Strait. USA. Naval Institute Press.
Wahjudin, Judi. 2013. Varuna Jurnal Arkeologi Bawah Air:Potensi Warisan Budaya Bawah Air di Pulau Panjang, Banten, Hal:91-108. Jakarta. Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman
Daftar Internet yang diakses pada bulan Juli:
http://www.navyhistory.org.au/ http://www.ww2navalbattles.com/ http://www.awmlondon.gov.au/ http://en.wikipedia.org/ http://www.navy.gov.au