SUPLEMENTASI SABUN KALSIUM DALAM PAKAN TERNAK RUMINANSIA SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIF UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI DAGING YANG BERKUALITAS
GODLIEF JOSEPH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya dengan judul Suplementasi Sabun Kalsium dalam Pakan Ternak Ruminansia sebagai Sumber Energi Alternatif untuk Meningkatkan Produksi Daging yang Berkualitas adalah benar-benar asli karya saya dengan arahan komisi pembimbing, dan bukan hasil jiplakan atau tiruan dari tulisan siapapun serta belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun.
Bogor, Januari 2007 Godlief Joseph NIM. D 016014021
ABSTRAK GODLIEF JOSEPH. Suplementasi Sabun Kalsium dalam Pakan Ternak Ruminansia sebagai Sumber Energi Alternatif untuk Meningkatkan Produksi Daging yang Berkualitas. Dibimbing oleh AMINUDDIN PARAKKASI, TIEN MUCHTADI dan RUDY PRIYANTO Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pemberian lemak dalam bentuk sabun kalsium (Ca-Soap) pada ternak ruminansia. Penelitian dilakukan selama 18 bulan dalam tiga tahap. Penelitian tahap pertama adalah pembuatan sabun kalsium dengan bahan dasar minyak ikan lemuru dan minyak sawit kasar (Crude Palm Oil, CPO). Penelitian tahap kedua adalah uji in vitro untuk mempelajari efektifitas sabun kalsium melindungi asam lemak poli tak jenuh dari biohidrogenasi mikroorganisma rumen. Penelitian tahap ketiga adalah uji in vivo untuk mempelajari pengaruh pemberian sabun kalsium dalam ransum penggemukan terhadap sistem pencernaan fermentatif di rumen, penampilan produksi serta sifat-sifat karkas dan daging. Penelitian ini menggunakan 15 ekor ternak domba jantan lokal dengan tiga jenis ransum sebagai perlakuan yaitu ransum A, (ransum basal tanpa penambahan sabun kalsium) sebagai kontrol; ransum B, (ransum kontrol + sabun kalsium 5%) dan ransum C, (ransum kontrol + sabun kalsium 10%). Ransum basal dalam bentuk pelet dan terdiri atas 40% rumput lapangan dan 60% konsentrat. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan tiga perlakuan dan lima ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sabun kalsium dengan bahan dasar minyak ikan lemuru mempunyai kandungan asam lemak poli tak jenuh lebih tinggi dibanding CPO. Teknologi sabun kalsium juga efektif melindungi asam lemak poli tak jenuh dari biohidrogenasi mikroorganisma rumen. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa teknologi sabun kalsium dengan bahan dasar minyak ikan lemuru yang disuplementasikan dalam pakan ternak domba efektif sebagai sumber energi, sistem pencernaan fermentatif di rumen tetap normal, penampilan pertumbuhan ternak cukup baik dan dapat meningkatkan kualitas daging serta dapat menurunkan kandungan kolesterol pada serum dan daging domba. Kata kunci : Sabun kalsium, minyak ikan, domba asam lemak, kolesterol.
ABSTRACT
GODLIEF JOSEPH. Suplementation of Ca-Soap on Ruminant Diet as Energy Alternative Source to Improve Meat Quality Production. Under the direction of AMINUDDIN PARAKKASI, TIEN MUCHTADI and RUDY PRIYANTO The experiment was conducted to find out an efect of lipids in form of ca-soap given to the ruminant. The study was carried out for 18 months in three steps. The first step was ca-soap making wich based on lemuru fish oil and crude palm oil (CPO). The second step was in vitro experiment to study the effectifity of ca-soap in protecting polyunsaturated fatty acid (PUFA) from biohydrogenation of rumen microorganisms. The third step was in vivo experiment to study the effect of ca-soap supplementation in to ruminant fattening diet on fermentative digestion system in rumen, production performance and characteristic of carcass and its meat. The study used 15 local male sheep were divided into three treatments, namely : RA (basal diet without ca-soap) as control; RB (control diet + 5% ca-soap); and RC (control diet + 10% ca-soap). The basal diet was in pellet form wich consisted of 40% field roughage and 60% concentrate. The experiment design used was Randomized Block Design with three diet treatments and five replications. The results showed that ca- soap with using lemuru fish oil had more PUFA than CPO. The ca-soap technology was also effective protecting PUFA from biohydrogenation of rumen microorganisms. More over the research showed this technology effective as energy source as indicated by fermentative digestion in rumen was still normal, growth performance was good and even it increased meat quality, otherwise it decrease serum and meat cholesterol. Key words : Ca-Soap, fish oil, sheep, fatty acid, cholesterol
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apapun, baik cetak, fotocopi, microfilm, dan sebagainya
SUPLEMENTASI SABUN KALSIUM DALAM PAKAN TERNAK RUMINANSIA SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIF UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI DAGING YANG BERKUALITAS
GODLIEF JOSEPH
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ternak
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
Judul Disertasi
: Suplementasi Sabun Kalsium dalam Pakan Ternak Ruminansia sebagai Sumber Energi Alternatif untuk Meningkatkan Produksi Daging yang Berkualitas.
Nama
: Godlief Joseph
NIM
: D 016014021
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof.Dr.drh. H. Aminuddin Parakkasi, MSc. Ketua
Prof.Dr.Ir. Tien R. Muchtadi, MS. Anggota
Dr.Ir. Rudy Priyanto Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Ternak
Dr.Ir. Nahrowi, MSc.
Tanggal Ujian : 26 Januari 2007
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala dan kasih karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan disertasi ini. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2004 adalah sabun kalsium, dengan judul : Suplementasi Sabun Kalsium dalam Pakan Ternak Ruminansia sebagai Sumber Energi Alternatif untuk Meningkatkan Produksi Daging yang Berkualitas. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. drh. H. Aminuddin Parakkasi, MSc. sebagai ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, MS. dan Dr. Ir. Rudy Priyanto, masing-masing sebagai anggota komisi atas bimbingan dan masukan selama ini sehingga penulisan disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik.
Terima kasih juga penulis
sampaikan kepada Dr. Ir. Komang G. Wiryawan,MSc, Dr.Ir. Slamet Budijanto, MAgr dan Bapak Edy Lucas, PhD. sebagai penguji luar komisi yang banyak memberikan masukan yang sangat berarti dalam penyempurnaan penulisan disertasi ini. Pada kesempatan ini juga penulis sampaikan terima kasih kepada teman-teman seperjuangan terutama Ir. John Randa, MSc. dan Dr. Ir. Indyah Wahyuni, MSi serta staf Laboratorium NTDK yaitu Pak Darmawan, Pak Jaja dan Pak Misbah atas segala bantuannya. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Papa dan Mama (alm) dan seluruh keluarga serta istri dan anak-anak, Venda, Joy dan Jean. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2007 Godlief Joseph
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 23 Desember 1962, dari ayah Paulus Joseph dan Ibu Elizabeth Batseba Rikumahu.
Pendidikan
sarjana ditempuh di Fakultas Pertanian, Jurusan Peternakan, Universitas Pattimura Ambon, lulus pada tahun 1987.
Pada tahun 1993 penulis
diterima di Program Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ternak pada Program Pascasarjana IPB dengan biaya TMPD dan menamatkannya pada tahun 1996.
Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada
program studi dan pada perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2002
dengan
mendapat
beasiswa
BPPS
dari
Direktorat
Jenderal
Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Pertanian, Jurusan Peternakan, Universitas Pattimura Ambon sejak tahun 1988. Sebuah artikel telah diterbitkan dengan judul : Status Asam-Basa pada Ternak Kerbau Lumpur (Bubalus Bubalis) yang Diberi Pakan Jerami Padi dan Konsentrat dengan Penambahan Natrium pada Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner tahun 2001. Karya Ilmiah dengan judul : Status Kolesterol Itik Mandalung dengan Pemberian Serat Kasar dan Vitamin E telah dipresentasikan pada Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner di Ciawi, Bogor pada bulan Oktober 2002. Karya Ilmiah lain berjudul : Efek Pemberian Sabun Kalsium terhadap Penampilan Pertumbuhan Ternak Domba yang merupakan bagian dari disertasi ini juga telah dipresentasikan pada Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Berwawasan Agribisnis Mendukung Pembangunan Pertanian Wilayah Kepulauan di Ambon pada bulan November 2005. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari studi program S3 penulis.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL
………………………………………………………….
ix
………………………………………………………
x
……………………………………………………
xii
………………………………………………………….
1
…………………………………………………..
1
………………………………………………..
4
……………………………………………..
4
………………………………………………………….
4
…………………………………………………..
5
DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian Hipotesis TINJAUAN PUSTAKA
Kondisi Umum Usaha Peternakan
…………………………….
5
Domba sebagai Ternak Percobaan
……………………………
9
Sistem Pencernaan Lemak pada Ternak Ruminansia
…………
12
…………………………………..
15
………………………………………….
18
Lemak sebagai Sumber Energi Biosintesis Asam Lemak
Pengaturan Kolesterol pada Hewan dan Manusia
………………
22
Kualitas Karkas dan Daging Ternak Ruminansia
……………….
29
………………………………………..
33
…………………………………………………...
39
Teknologi Sabun Kalsium BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
…………………………………….
Tahap I : Pembuatan Sabun Kalsium Prosedur Analisis
…………………………….
39
…………………………………………………..
40
Tahap II : Percobaan in Vitro Prosedur Analisis
……………………………………….
43
…………………………………………………..
44
Tahap III : Percobaan in Vivo
………………………………………
45
………………………………………………….
49
………………………………………………………
53
Prosedur Analisis Analisis Data
39
HASIL DAN PEMBAHASAN
………………………………………………
55
Efektifitas Sabun Kalsium Melindungi Asam Lemak Poli tak Jenuh ………………………………………………………
55
Bilangan Iod
…………………………………………………
55
Bilangan Penyabunan Rendemen
……………………………………
56
…………………………………………………
56
Kandungan Asam Lemak
…………………………………
Perlindungan Asam Lemak (Percobaan In Vitro) Penampilan Pertumbuhan
………..
59
………………………………………..
66
Konsumsi Bahan Kering dan Bahan Organik
……………
66
Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik
…………..
68
…………………………………………..
69
…………………………………………
70
……………………………………………..
71
pH Cairan Rumen Produksi VFA Total Produksi N-NH3
Pertambahan Bobot Badan Harian
……………………….
72
………………………….
75
……………………………………………..
75
Efisiensi Penggunaan Ransum Feed Cost/Gain
Komposisi Karkas dan Daging Domba
………………………….
76
Bobot Potong
……………………………………………….
76
Bobot Karkas
……………………………………………….
76
Persentasi Karkas
…………………………………………..
Luas Urat Daging Mata Rusuk
77
…………………………….
78
……………………………………
78
Kandungan Lemak Intramuskuler (Marbling) ………………
79
Tebal Lemak Punggung
Komposisi Asam Lemak pada Otot Longisimus dorsi
…….
80
Kandungan Kolesterol pada Serum, Daging dan Feses ….
82
PEMBAHASAN UMU
………………………………………………………..
SIMPULAN DAN SARAN
85
………………………………………………….
90
………………………………………………………..
91
…………………………………………………………………..
96
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
57
DAFTAR TABEL Halaman 1 Perkembangan produksi dan kebutuhan pangan
………………..
2 Kebutuhan energi dan protein per ekor/hari domba lokal
8
……….
11
………………….
36
4 Karakteristik sabun kalsium berbahan dasar minyak ikan lemuru ….
45
5 Komposis dan kandungan nutrient ransum penelitian
……………..
46
6 Komposisi dan kandungan nilai gizi topmix per 10 kg
…………..
47
7 Bilangan iod, bilangan penyabunan dan rendemen dari minyak ikan lemuru dan CPO ………………………………………
56
8 Kandungan asam lemak dari minyak ikan lemuru dan CPO (gram/100 gram) ………………………………………………………
57
9 Kandungan asam lemak dari sabun kalsium dengan bahan dasar minyak ikan lemuru dan CPO (gram/100 gram) …………………….
58
3 Jenis, nama dan titik cair beberapa asam lemak
10 11 12
Konsumsi dan kecernaan bahan kering dan bahan organik pada ternak domba jantan lokal ……………………………………………
68
Pengaruh perlakuan terhadap fermentasi mikroba di rumen pada ternak domba jantan lokal …………………………………..
70
Pengaruh perlakuan terhadap penampilan pertumbuhan pada ternak domba jantan lokal ……………………………………….
73
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Grafik pertumbuhan domba lokal jantan
………………………..
2 Skema sistem pencernaan lemak pada ternak ruminansia
12
…….
14
3 Diagram rantai transformasi energi ransum pada hewan ruminansia …………………………………………………………..
17
4 Struktur ikatan asam lemak dan gliserol
18
…………………………
5 Biosintesis asam lemak dari karbohidrat, protein dan lemak
…..
20
……………………………………………………
23
7 Metabolisme kolesterol pada hewan dengan ransum bebas kolesterol …………………………………………………………….
27
8 Lemak intramuscular yang diekstraksi dengan ether (Metode Soxhlet) untuk menentukan derajat marbling ……………………..
30
9 Hubungan antara derajat marbling, tingkat kedewasaan dan mutu daging …………………………………………………………..
31
6 Struktur kolesterol
10
Proteksi dan penyerapan asam lemak dari sabun kalsium pada ternak ruminansia …………………………………………..
35
11
Tahapan pembuatan sabun kalsium
40
12
Peralatan pembuatan sabun kalsium dan uji in vitro
……………
44
13
Kandang dan ternak domba jantan lokal di lokasi penelitian laboratorium lapangan, Fapet IPB …………………………………
48
Pemotongan ternak domba penelitian di lokasi penelitian laboratorium lapangan, Fapet IPB …………………………………
49
15
Tahapan pelaksanaan penelitian
……………………………….
53
16
Pengambilan cairan rumen
…………………………………….
54
17
Pengumpulan feses
……………………………………………….
54
18
Kandungan asam lemak dari minyak ikan lemuru pada rumen dan pasca rumen ……………………………………………………
62
Kandungan asam lemak dari sabun kalsium minyak ikan lemuru pada rumen dan pasca rumen …………………………
63
Kandungan asam lemak dari CPO pada rumen dan pasca rumen …………………………………………………………………
64
Kandungan asam lemak dari sabun kalsium CPO pada rumen dan pasca rumen …………………………………………………..
65
14
19 20 21
………………………………
22
Rataan bobot potong, bobot karkas, persentasi karkas, luas urat daging mata rusuk dan tebal lemak punggung antar perlakuan ……………………………………………………………..
77
23
Kandungan lemak intramuskuler (marbling) antar perlakuan
……
80
24
Komposisi kandungan asam lemak antar perlakuan
……………
82
25
Kandungan kolesterol dalam serum, daging dan feses antar perlakuan pada ternak domba jantan lokal …………………….
83
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Standar 74 dan 84
.....................................................................
2 Analisis statistik konsumsi bahan kering
97
.................................
98
3 Analisis statistik konsumsi bahan organik
..............................
98
4 Analisis statistik kecernaan bahan kering
.............................
99
5 Analisis statistik kecernaan bahan organik
............................ 100
6 Analisis statistik pH cairan rumen
........................................ 100
7 Analisis statistik produksi VFA Total 8 Analisis statistik produksi N-NH3
.................................... 101 ......................................... 102
9 Analisis statistik pertambahan bobot badan harian
................. 103
10
Analisis statistik efisiensi penggunaan ransum
..................... 103
11
Analisis statistik bobot potong
12
Analisis statistik bobot karkas panas
13
Analisis statistik persentasi karkas
14
Analisis statistik luas urat daging mata rusuk
15
Analisis statistik tebal lemak punggung
16
Analisis statistik lemak intramuskuler
17
Analisis statistik kandungan kolesterol pada serum
............... 108
18
Analisis statistik kandungan kolesterol pada daging
.............. 109
19
Analisis statistik kandungan kolesterol pada feses
............................................... 104 ..................................... 105 ........................................ 105 ......................... 106 ............................... 107 ..................................... 107
................. 110
PENDAHULUAN Latar Belakang Produktivitas ternak di daerah tropis termasuk di Indonesia sangat rendah sehingga tidak dapat memenuhi permintaan konsumennya. Salah satu penyebab utamanya adalah nutrisi yang kurang baik. Pakan konsentrat masih cukup mahal karena bahan-bahannya sebagian besar diimpor
dan masih dikonsumsi oleh masyarakat
Indonesia. Selain itu hijauan makanan ternak juga masih menjadi kendala utama. Menurut Simatupang (2004) bahwa sebagai negara kepulauan, Indonesia
kurang
mempunyai
keunggulan
komparatif
untuk
mengembangkan sistem peternakan berbasis pakan rumput (grass fed livestock farming) seperti sapi potong, kerbau, kambing dan domba. Bagi ternak ruminansia hijauan makanan ternak merupakan sumber energi utama selain konsentrat.
Energi merupakan komponen yang
sangat
esensial bagi kehidupan ternak tetapi merupakan komponen yang paling sering kekurangan dalam ransum ternak karena itu perlu diusahakan pakan alternatif untuk mencukupi kebutuhan nutrisi yang berfungsi sebagai sumber energi (Piliang, 1997). Disamping itu permintaan akan produk peternakan seperti telur, daging dan susu baik secara kuantitas maupun secara kualitas terus meningkat seiring dengan laju pertambahan penduduk, peningkatan kesejahteraan serta kesadaran masyarakat akan gizi. Keadaan ini menyebabkan impor produk peternakan seperti daging terus meningkat (Yudohusodo, 2003). Minyak kelapa sawit kasar (Crude Palm Oil, CPO) dan miyak ikan merupakan bahan-bahan yang masih mengandung lemak terutama asam lemak poli tak jenuh (Polyunsaturated Fatty Acid, PUFA) cuku tinggi sehingga dapat digunakan sebagai pakan ternak sumber energi dan asam lemak tak jenuh (PUFA). Penggunaan CPO dan minyak ikan perlu diwaspadai mengingat ternak ruminansia sangat peka terhadap kandungan lemak yang tinggi
dalam ransumnya karena dapat memberikan efek negatif pada ternak terutama
dalam
proses
fermentasi
rumen,
seperti
:
membatasi
pencernaan serat, merupakan racun bagi bakteri selulolitik, menurunkan aktivitas enzim dan menurunkan absorpsi beberapa kation.
Selain itu
mikroorganisma rumen juga dapat menghidrogenasi asam lemak poli takjenuh sehingga dapat meningkatkan kolesterol (Parakkasi, 1995). Kolesterol dapat menyebabkan penyempitan bahkan penyumbatan pembuluh darah yang disebut atherosclerosis menyebabkan pembekuan darah dan serangan jantung (Linder, 1992). Tingginya kadar lemak dan kolesterol ini sering merupakan faktor pembatas bagi konsumen untuk mengurangi atau bahkan tidak sama sekali mengkonsumsi produk peternakan ini. Fenomena demikian merupakan kondisi yang dilematis bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan pangan, mengingat daging sebagai sumber protein hewani dengan asam-asam amino esensialnya masih sangat diperlukan bagi masyarakat Indonesia.
Selain itu asam
lemak poli tidak jenuh dapat menurunkan kadar kolesterol darah (Soewardi, 2005). Dari uraian ini maka penggunaan CPO dan minyak ikan yang mengandung lemak dengan asam lemak poli tak jenuh yang tinggi dalam pakan
ternak
melindunginya
ruminansia dari
proses
sebagai
sumber energi
biohidrogenasi
alternatif
mikroorganisme
serta rumen
merupakan hal yang menarik untuk dikaji. Parakkasi (1995) menyatakan bahwa sifat lemak ruminan dapat dipengaruhi bila dapat mengubah reaksi mikroba atau pemberian lemak yang tidak mendapat proses dalam rumen yaitu dengan mekanisme : rumen by pass. Lemak by-pass merupakan sumber energi yang tidak mempunyai efek terhadap fermentasi rumen dan siap diasimilasi oleh ternak dalam sistem pencernaannya dan lolos atau terpintas dari proses degradasi mikroba dalam retikulo rumen atau disebut lemak terlindung. Teknologi sabun kalsium (Ca-Soap) merupakan salah satu teknologi perlindungan lemak yang akhir-akhir ini banyak dikembangkan. Teknologi
sabun kalsium adalah suatu proses kimiawi untuk menyabunkan bahan lemak dan alkali yang dikenal dengan proses saponifikasi, dan ditambah mineral Kalsium (Ca) dengan tujuan mengubah bentuk minyak ikan dan CPO menjadi bentuk padat yang dapat dicampur dengan pakan ternak. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan : 1.
Memepelajari penggunaan teknologi sabun kalsium (Ca-soap) dengan bahan dasar minyak ikan lemuru dan minyak sawit kasar (CPO) sebagai sumber energi alternatif dan asam lemak esensial.
2.
Mempelajari penggunaan teknologi sabun kalsium untuk melindungi asam lemak poli tak jenuh (PUFA) dari biohidrogenasi mikroorganisme rumen.
3.
Mempelajari sejauh mana penggunaan sabun kalsium (Ca-soap) terhadap produksi daging pada ternak ruminansia baik secara kuantitas maupun secara kualitas.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi tambahan informasi ilmiah mengenai peran sabun kalsium dalam melindungi asam lemak poli tak jenuh dari biohidrogenasi rumen.
Manfaat aplikatifnya adalah
penemuan bahan dan formula ransum untuk meningkatkan kandungan asam lemak poli tak jenuh yang dapat menurunkan kandungan kolesterol daging pada ternak ruminansia sehingga dapat meningkatkan kualitas daging tersebut. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah bahwa penggunaan sabun kalsium (Ca-Soap) dalam ransum ternak ruminansia dapat melindungi asam lemak poli tak jenuh (PUFA) dari biohidrogenasi mikroorganisma rumen dan meningkatkan produksi dagingnya baik kuantitas maupun kualitasnya.
BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan selama 18 bulan dalam 3 tahap yaitu : tahap pertama pembuatan sabun kalsium, tahap kedua adalah percobaan in-vitro, dan tahap ketiga adalah percobaan in vivo. Penelitianini dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Ternak Potong dan Kerja dan Laboratorium Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan,
Laboratorium
Kimia Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian serta Laboratorium Fisiologi, Fakultas Kedokterna Hewan IPB, Bogor. Tahap I : Pembuatan sabun kalsium Bahan yang digunakan untuk pembuatan sabun kalsium terdiri dari minyak ikan lemuru dan minyak kelapa sawit kasar (CPO) sebagai sumber asam lemak, Natrium hidroksida (NaOH), Kalsium Khlorida (CaCl2) serta aquades. Sebelum pembuatan sabun kalsium (Ca-Soap), dilakukan pengamatan terhadap beberapa parameter yaitu : bilangan iod, bilangan penyabunan dan kandungan asam lemak dari minyak ikan lemuru dan CPO kemudian rendemen dari sabun kalsium yang dihasilkan. Setelah mengetahui bilangan iod dan bilangan penyabunan dari minyak ikan lemuru dan CPO maka dilanjutkan dengan pembuatan sabun kalsium dengan bahan dasar minyak ikan lemuru dan CPO. Adapun tahapan pembuatan pembuatan sabun kalsium ini dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini. Tahap II : Percobaan In Vitro Percobaan secara in vitro ini dilakukan untuk mempelajari efektifitas penggunaan sabun kalsium dalam melindungi asam lemak poli tak jenuh dari proses biohidrogenasi oleh mikroorganisme rumen. Parameter yang diukur adalah kandungan asam lemak dari minyak ikan lemuru, CPO, sabun kalsium dengan bahan dasar minyak ikan lemuru dan sabun kalsium dengan bahan dasar CPO. Untuk mengetahui efektifitas sabun kalsium melindungi asam lemak poli tak jenuh dari proses biohidrogenase mikroorganisme dalam rumen maka dilakukan peng-
amatan terhadap kandungan asam lemak poli tak jenuh di rumen dan pasca rumen. Asam lemak Pemanasan pada Heater Penambahan larutan NaOH Penambahan larutan CaCl2 Pendinginan pada suhu ruang Pengeringan pada oven 70°C, 18 jam Sabun Kalsium (Lemak Terlindung) Gambar 1 Tahapan pembuatan sabun kalsium. Tahap III : Percobaan In Vivo. Penelitian ini bertujuan untuk mengaplikasikan pemberian sabun kalsium dengan sumber asam lemak poli tak jenuh yang terbaik (in-vitro). Penelitian ini menggunakan 15 ekor ternak domba jantan lokal yang berumur dibawah satu tahun (belum terjadi pergantian gigi seri susu), dengan bobot badan berkisar antara 9 –22 Kg dan digemukkan selama ± 3 bulan.
Ternak domba tersebut ditempatkan dalam kandang individu
berbentuk panggung yang dilengkapi dengan tempat pakan dan air minum serta sarana untuk menampung urine dan feses.
Ransum penelitian
sebanyak tiga perlakuan yaitu : Ransum A (RA) = ransum kontrol (tanpa penambahan sabun kalsium) Ransum B (RB) = ransum kontrol + sabun kalsium 5% dan Ransum C (RC) = ransum kontrol + sabun kalsium 10%. Ransum
penelitian
terdiri
dari
rumput
dan
konsentrat
dengan
perbandingan 40 : 60 dan tersusun dari bahan-bahan rumput, jagung
kuning, bungkil kedelei, pollard, dedek padi, minyak kelapa sawit premix dan sabun kalsium. Kompossi ransum dan kandungan nilai gizi ransum dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2. Tabel 1. Komposisi Ransum Penelitian Ransum A (RA)
Ransum B (RB)
Ransum C (RC)
40
40
40
Jagung Kuning
12.5
10
7
Bungkil Kedelei
21
22.5
24.3
Pollard
7
7
7.7
Dedak Padi
13
9
4.5
Minyak kelapa sawit
5.5
5.5
5.5
Premix
1
1
1
Sabun Kalsium
0
5
10
Bahan Ransum (%)
Rumput
Tabel 2. Kandungan nutrien ransum penelitian Ransum A (RA)
Ransum B (RB)
Ransum C (RC)
Bahan kering (%)
87.03
86.50
87.28
Protein kasar (%)
16.7
16.64
15.15
Serat kasar (%)
17.30
15.04
17.85
Lemak kasar (%)
7.53
9.18
10.67
Ca (%)
0.51
1.21
1.27
P (%)
0.30
0.80
0.75
Energi (kkal/kg)
3790
3956
4069
Kandungan nutrien
Ternak domba ditimbang setiap minggu pada pagi hari sebelum diberi makan agar diketahui pertambahan berat badannya.
Ransum
diberikan dua kali sehari yaitu pagi pukul 08.00 dan sore pukul 15.00 dan diberikan dalam jumlah yang terbatas yaitu 3.8% dari bobot badan dan
disesuaikan setiap minggu agar sesuai dengan kebutuhannya. Air minum diberikan secara ad libitum, tetapi setiap hari diukur agar diketahui jumlah pemberiannya. Parameter yang diukur adalah : konsumsi bahan kering dan bahan organik, kecernaan bahan kering dan bahan organik, pertambahan berat badan harian, efisiensi penggunaan ransum, feed cost per gain, pH cairan rumen, VFA Total dan N-NH3. Setelah perlakuan penggemukan selesai, sampel darah diambil kemudian dipuasakan selama 24 jam untuk mengurangi isi saluran pencernaan dan hanya diberi air minum saja kemudian ternak domba tersebut dipotong. Untuk mengevaluasi kualitas karkas dan daging serta mempelajari inkorporasi asam lemak poli tak-jenuh pada karkas dan daging domba penelitian maka sampel daging otot longisimus dorsi pada potongan dari persendian thoracic vertebrata ke 12-13 sampai dengan lumbar vertebrata ke-6 dari setengah karkas bagian kiri dipisahkan. Sampel ini kemudian disimpan dalam freeser untuk analisis lebih lanjut. Parameter yang diamati adalah bobot potong, bobot karkas panas, persentase karkas, luas urat daging mata rusuk, lemak intermuskuler (marbling), kandungan asam lemak daging dan kandungan kolesterol dalam darah, daging dan feses. Secara ringkas tahapan penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2 dibawah ini. Analisis Data Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga perlakuan pakan yaitu RA, RB dan RC dan masingmasing perlakuan mendapat lima ekor ternak domba sebagai ulangan. Model matematiknya adalah sebagai berikut : Yij = μ + τi + βj + εij Keterangan : Yij = nilai pengamatan dari perlakuan ke-i dalam kelompok ke-j μ = nilai tengah populasi
τi = pengaruh aditif dari perlakuan ke-i βj = pengaruh aditif dari kelompok ke-j εjk = pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke-i pada kelompok ke-j Selanjutnya data yang diperoleh diolah dengan analisis sidik ragam (anova) dan perbedaan antar perlakuan diuji dengan Uji Wilayah Berganda Duncan (Steel dan Torrie, 1991).
Pembuatan Sabun Kalsium dan Percobaan In Vitro Minyak ikan
Percobaab in-vivo
CPO
Ransum Penelitian + Sabun Kalsium
Sabun Kalsium
Domba Jantan Lokal
Uji in-vitro
Parameter Bil. Iod minyak ikan dan cpo Bil. penyabun m ikan & cpo Rend.sab kalsium m.ikan Rend sab kalsium cpo Kand asam lemak m.ikan Kand asam lemak cpo Kand as lemak pd sab.kalsium m. Ikan dan cpo Kand asam lemak m.ikan di rumen & pasca rumen. Kand as lemak sab kal m.ikan di rumen & pasca rumen
Kand as lem cpo di rumen & pasca rumen Kand as lem sab kal cpo di rumen & pasca rumen Kons bhn kering & bhn org. Kec. Bhn kering & bhn org. Pertamb brt bdn harian Efisensi pengg ransum Feed cost per gain pH cairan rumen VFA total N-NH3
Gambar 2 Tahapan Pelaksanaan Penelitian
Bobot potong Bobot karkas panas Persentasi karkas Luas urat daging mata rusuk Tebal lemak punggung Lemak marbling Kand asam lemak pd daging Kand kolesterol pd darah Kand kolesterol pd daging Kand kolesterol pd feses
HASIL DAN PEMBAHASAN Efektifitas Sabun Kalsium Melindungi Asam Lemak Poli Tak Jenuh Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari efektifitas sabun kalsium melindungi asam lemak poli tak jenuh (PUFA) dari biohidrogenasi mikroorganisma rumen.
Penelitian ini terdiri dari dua kegiatan yaitu : 1)
Pembuatan sabun kalsium dengan bahan dasar minyak ikan lemuru dan minyak sawit kasar (CPO). Parameter yang diukur adalah bilangan iod, bilangan penyabunan, rendemen dan kandungan asam lemak pada minyak ikan lemuru dan CPO. 2) Percobaan in vitro untuk mempelajari efektifitas sabun kalsium melindungi asam lemak poli tak jenuh dari biohidrogenasi mikroorganisme rumen.
Parameter yang diukur adalah
kandungan asam lemak dari minyak ikan lemuru dan CPO di rumen dan pasca rumen serta kandungan asam lemak dari sabun kalsium minyak ikan dan CPO di rumen dan pasca rumen. Bilangan Iod Hasil penelitian menunjukkan bahwa bilangan iod pada minyak ikan lemuru adalah 10,4112 gram dan CPO adalah 4,2225 gram (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa minyak ikan lemuru mempunyai ikatan rangkap yang lebih banyak dari CPO. Ini berarti bahwa minyak ikan lemuru lebih banyak mengandung asam lemak poli tak jenuh dibanding CPO. Bilangan Penyabunan Minyak ikan lemuru dan CPO untuk pembuatan sabun kalsium diukur bilangan penyabunannya guna mengetahui bobot NaOH optimum untuk reaksi penyabunan pada perlakuan penelitian ini. Pada Tabel 3 dapat dilihat nilai bilangan penyabunan pada bahan yang digunakan adalah : 294.5488 mg KOH untuk minyak ikan lemuru dan 281. 2237 mg KOH untuk CPO. Melalui perbandingan bobot molekul, dapat diketahui keperluan penambahan NaOH dan CaCl2 dari bobot bahan dasar yang digunakan.
Tabel 3 Bilangan iod, bilangan penyabunan dan rendemen dari Minyak Ikan Lemuru dan CPO Parameter
Minyak ikan lemuru
CPO
10.41 294.55 46.58
4.22 281.22 45.50
Bilangan Iod (gram) Bilangan Penyabunan (mg KOH) Rendemen (%) Sumber : Data Primer. Rendemen
Pengukuran terhadap rendemen produk sabun kalsium dimaksudkan untuk mengetahui tingkat efisiensi formula sabun kalsium tersebut. Nilai rendemen dari sabun kalsium pada penelitian ini adalah 46,58% untuk minyak ikan lemuru dan 45,50% untuk CPO (Tabel 3).
Nilai
rendemen dari hasil penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian Waskito (1996) yang menggunakan minyak ikan lemuru sebagai bahan dasar pembuatan sabun kalsium yaitu sebesar 40%. Kandungan Asam Lemak Hasil analisis kandungan asam lemak dari minyak ikan lemuru dan CPO pada Tabel 4 menunjukkan bahwa perbandingan kandungan asam lemak antara minyak ikan lemuru dan CPO mempunyai perbedaan yang cukup tinggi yaitu 348.9049 mg/gram untuk minyak ikan dan 56.3150 mg/gram untuk CPO. Tingginya kandungan asam lemak dari minyak ikan ini disebabkan karena kandungan jenis asam lemak dari minyak ikan lebih banyak dari kandungan jenis asam lemak pada CPO. Selain itu minyak ikan mempunyai rantai hidrokarbon dengan jumlah atom karbon yang mempunyai ikatan rangkap lebih banyak yaitu sampai 22:6 (DHA) sedangkan pada CPO, rantai hidrokarbon dengan jumlah atom karbon yang mempunyai ikatan rangkap hanya sampai pada 18:3 (linolenat).
Tabel 4 Kandungan asam lemak dari minyak ikan lemuru dan CPO.
Jenis Asam Lemak Laurate (12:0) Myristate (14:0) Myristoleic (14:1) Pentadecanoate (15:0) Palmitate (16:0) Poelmitoleic (16:1) Heptadecanoate (17:0) Stearate (18:0) Oleat (18 : 1) Linoleate (18:2) Linolenat (18:3) Arrachidate (20:0) Eicosenoate (20:1) (20 : 4) (20 : 5) Behenate (22:0) Erucic Acid (22:1) (22:6) Total Sumber : Data Primer
Kandungan Asam Lemak (mg/g) Minyak Ikan CPO 2.9556 0.4645 27.7000 0.3153 11.8181 2.4674 83.7968 5.6571 23.0066 4.0112 3.9936 25.2417 7.2013 73.8502 20.3291 11.1597 13.5496 5.4373 4.8045 2.1810 2.1310 5.0147 1.9616 28.2790 14.8484 23.0445 348.9049 56.3150
Hasil analisis kandungan asam lemak dari sabun kalsium dengan bahan dasar minyak ikan lemuru dan CPO menunjukkan bahwa kandungan asam lemak pada produk sabun kalsium yang dihasilkan mengalami penurunan yaitu
89.1211 mg/gram untuk sabun kalsium
dengan bahan dasar minyak ikan lemuru dan 14.4753 mg/gram untuk sabun kalsium dengan bahan dasar CPO (Tabel 5). Hal ini disebabkan karena
adanya
penambahan
NaOH,
CaCl2
dan
akuades
yang
mengakibatkan kandungan asam lemak dari produk sabun kalsium yang dihasilkan lebih rendah dibanding bahan dasarnya.
Tabel 5 Kandungan Asam Lemak (mg/g) dari Sabun Kalsium dengan bahan dasar minyak ikan lemuru dan CPO.
Jenis Asam Lemak Laurate (12:0) Myristate (14:0) Myristoleic (14:1) Pentadecanoate (15:0) Palmitate (16:0) Poelmitoleic (16:1) Heptadecanoate (17:0) Stearate (18:0) Oleat (18:1) Linoleate (18:2) Linolenat (18:3) Arrachidate (20:0) Eicosenoate (20:1) (20:4) (20:5) Behenate (22:0) Erucic Acid (22:1) (22:6) Total Sumber : Data Primer
Sabun Kalsium Minyak Ikan CPO 0.5053 0.0936 4.2339 0.0815 4.2105 0.2992 12.9084 2.1197 4.7102 3.3025 3.3883 4.1574 0.2006 17.2261 3.1588 22.0143 4.2537 6.3012 1.1791 0.4763 0.5424 0.0104 0.1375 2.8957 2.8935 2.2964 89.1211 14.4753
Perlindungan Asam Lemak (Percobaan In Vitro). Setelah memperoleh sabun kalsium dari penelitian tahap I (pembuatan sabun kalsium), maka dilanjutkan dengan uji fermentablitas (in vitro) untuk mempelajari efektifitas sabun kalsium melindungi asam lemak poli tak jenuh (PUFA). Pada penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap kandungan asam lemak terutama asam lemak poli tak jenuh di rumen dan pasca rumen. Asam lemak poli tak jenuh (PUFA) merupakan asam lemak yang sangat penting karena termasuk asam lemak esensial yaitu berasal dari makanan dan tidak dapat disintesis di dalam tubuh. Ada dua jenis asam lemak ini yang penting ialah asam lemak omega-3 dan asam lemak omega-6.
Asam lemak omega-6 seperti asam lemak linoleat (18:2)
merupakan asam lemak esensial sedangkan asam lemak linolenat (18:3)
dan arakidonat (20:0) dapat disintesa dari asam lemak linoleat (Piliang dan Djojosoebagio, 2002). Hasil penelitian (in-vitro) menunjukkan bahwa kandungan asam lemak poli tak jenuh dari minyak ikan lemuru (tanpa sabun kalsium) pada rumen dan pasca rumen mengalami penurunan (Gambar 13).
Asam
lemak oleat (18:1) dan linoleate (18:2) mengalami penurunan dari 11.20 dan 63.36 mg/gram menjadi 0.26 dan 0.95 mg/gram. Sedangkan asam lemak linolenate (18:3) dan DHA (22:6) mengalami penurunan dari 10.84 dan 4.14 mg/gram menjadi sangat kecil (trace) dan tidak terdeteksi. Hasil analisis kandungan asam lemak dari sabun kalsium dengan bahan dasar minyak ikan lemuru pada rumen dan pasca rumen menunjukkan bahwa kandungan asam lemak juga mengalami penurunan dari rumen ke pasca rumen (Gambar 14).
Asam lemak oleat (18:1) dan
linoleate (18:2) mengalami penurunan dari 12.04 dan 34.54 mg/gram menjadi 1.53 dan 5.31 mg/gram.
Sedangkan asam lemak linolenate
(18:3) dan DHA (22:6) juga mengalami penurunan tetapi masih dapat terdeteksi yaitu dari 3.46 dan 6.18 mg/gram menjadi 1.95 dan 2.52 mg/gram. Pola yang sama juga terjadi pada kandungan asam lemak dari CPO dan sabun kalsium dengan bahan dasar CPO.
Hasil analisis
kandungan asam lemak dari CPO (tanpa sabun kalsium) pada rumen dan pasca rumen menunjukkan bahwa kandungan asam lemak mengalami penurunan dari rumen ke pasca rumen (Gambar 15). Asam lemak oleat (18:1) dan linoleate (18:2) mengalami penurunan dari 11.0 dan 2.50 mg/gram menjadi 0.34 dan 0.40 mg/gram.
Sedangkan asam lemak
linolenate (18:3) mengalami penurunan dari 1.54
mg/gram menjadi
sangat kecil (trace) dan tidak terdeteksi. Hasil analisis kandungan asam lemak dari sabun kalsium dengan bahan dasar CPO pada rumen dan pasca rumen menunjukkan bahwa kandungan asam lemak juga mengalami penurunan dari rumen ke pasca rumen (Gambar 16).
Asam lemak oleat (18:1) dan linoleate (18:2)
mengalami penurunan dari 15.95 dan 11.39 mg/gram menjadi 12.80 dan
3.72 mg/gram. Sedangkan asam lemak linolenate (18:3) juga mengalami penurunan tetapi masih dapat terdeteksi yaitu dari 2.30 mg/gram menjadi 1.02 mg/gram. Tabel 4. Kandungan asam lemak (mg/g) dari minyak ikan dan CPO tanpa proses penyabunan
Jenis Asam Lemak Laurate (12:0) Myristate (14:0) Myristoleic (14:1) Pentadecanoate (15:0) Palmitate (16:0) Poelmitoleic (16:1) Heptadecanoate (17:0) Stearate (18:0) Cis-9-Oleic (18:1) Linoleate (18:2) Linolenat (18:3) Arrachidate (20:0) Eicosenoate (20:1) Behenate (22:0) (22:6)
Minyak ikan Rumen Pasca Rumen 3.62 33.54 0.74 12.01 2.42 110.32 2.27 28.93 0.60 2.61 2.44 32.79 0.75 9.89 0.23 63.36 0.95 10.84 1.98 3.10 6.77 4.14 326.33 7.98
CPO Rumen Pasca Rumen 0.38 0.42
13.99
1.51
2.53 1.72 9.71 2.50 1.54
2.14 0.31 0.30 0.40
32.79
4.65
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa teknologi sabun kalsium dapat melindungi asam lemak poli tak jenuh dari proses biohidrogenasi mikro-organisme rumen.
Kandungan asam lemak poli tak jenuh yang
lolos dari proses pencernaan di rumen dan masuk ke proses pencernaan pasca rumen pada perlakuan dengan teknologi sabun kalsium lebih tinggi dibanding dengan tanpa penggunaan sabun kalsium.
Pada perlakuan
dengan teknologi sabun kalsium kehilangan asam lemak poli tak jenuh adalah 60.35% sedangkan pada perlakuan tanpa sabun kalsium yaitu 95.91%.
Hal ini menunjukkan bahwa asam-asam lemak yang masuk
ke rumen akan mengalami biohidrogenasi oleh mikroorganisme rumen. Sebaliknya sabun kalsium tidak mengalami proses biohidrogenasi oleh mikroorganisme rumen (mekanisme : rumen by-pass), dan ini sesuai dengan
yang
dikemukakan
oleh
Parakkasi (1995) bahwa lemak
by-pass merupakan sumber energi yang tidak mempunyai efek terhadap fermentasi rumen dan siap diasimilasi oleh ternak dalam sistem pencernaannya dan lolos atau terpintas dari proses degradasi mikroba dalam retikulo rumen atau disebut lemak terlindung. Tabel 5. Kandungan asam lemak (mg/g) dari Sabun kalsium dengan bahan dasar minyak ikan lemuru dan CPO.
Jenis Asam Lemak Laurate (12:0) Myristate (14:0) Myristoleic (14:1) Pentadecanoate (15:0) Palmitate (16:0) Poelmitoleic (16:1) Heptadecanoate (17:0) Stearate (18:0) Cis-9-Oleic (18:1) Linoleate (18:2) Linolenat (18:3) Arrachidate (20:0) Eicosenoate (20:1) Behenate (22:0) (22:6)
Minyak ikan Rumen Pasca Rumen 2.18 23.33 4.11 8.44 1.23
CPO Rumen Pasca Rumen 0.38 0.39 0.52 0.41
1.61 78.53 25.90
13.54 4.31
21.95
11.67
2.53 28.81 10.63 34.54 3.46 1.84 2.97 7.85 6.18 238.81
2.46 4.83 1.35 5.30 1.95 0.73 1.18 3.12 2.52 46.65
2.46 2.31 14.08 11.39 2.30
2.43 1.09 11.30 3.72 1.02
55.39
32.04
Jenkins (1993) mengatakan bahwa lemak akan dihidrolisis dalam rumen menjadi asam lemak terbang (Free Fatty Acid, FFA) dan glycerol. Selanjutnya Chalupa et al., (1986) mengatakan bahwa asam lemak poli tak jenuh akan mengalami biohidrogenasi oleh mikro-organisme rumen menjadi asam lemak jenuh dan glyserol kemudian glyserol ini akan dikonversikan menjadi asam lemak volatyl (Volatile Fatty Acid, VFA). Penelitian ini juga menunjukkan bahwa sabun kalsium dapat memproteksi asam lemak poli-tak jenuh dari biohidrogenasi oleh mikroorganisme rumen.
Hasil penelitian Kook, et al., (2002) yang menggunakan
suplementasi minyak ikan tanpa proteksi pada ternak sapi menunjukkan bahwa kandungan asam lemak terutama oleat, linoleate dan linolenate
pada otot longissimus dorsi tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan minyak ikan tanpa diproteksi tidak akan berpengaruh terhadap kandungan asam lemak poli tak jenuh pada daging ternak ruminansia. Dari penelitian tahap I ini dapat disimpulkan bahwa kandungan asam lemak poi tak jenuh (PUFA) pada minyak ikan lemuru lebih tinggi dibanding pada CPO.
Teknologi sabun kalsium (Ca-Soap) efektif
melindungi/memproteksi asam lemak poli tak jenuh (PUFA) dari biohidrogenasi mikroorganisme rumen.
Selanjutnya
disarankan
untuk
perlu
dilakukan penelitian in-vivo yang menggunakan sabun kalsium dengan bahan dasar minyak ikan lemuru untuk mengetahui inkorpoasi asam lemak poli-tak jenuh ke dalam karkas ternak ruminansia. Penampilan Pertumbuhan Penelitian ini dilakukan untuk mengaplikasikan hasil penelitian in vitro yaitu pemberian ransum penggemukan kepada ternak domba yang disuplementasikan dengan sabun kalsium yang berbahan dasar minyak ikan lemuru.
Pada penelitian ini dilakukan dua tahap kegiatan penga-
matan yaitu : 1) Penampilan pertumbuhan. Parameter yang diukur adalah konsumsi dan kecernaan bahan kering dan bahan organik, fermentasi mikroba rumen (pH , VFA Total dan N-NH3 cairan rumen), pertam-bahan bobot badan harian, efisiensi penggunaan ransum dan feed cost/ gain. 2) Karakteristik karkas dan daging domba. Parameter yang diukur adalah bobot potong, bobot karkas, persentasi karkas, luas urat daging mata rusuk, tebal lemak punggung, lemak intramuskuler, kandungan asam lemak dan kandungan kolesterol. Konsumsi Bahan Kering dan Bahan Organik Hasil penelitian pada tabel 10,
menunjukkan bahwa tingkat
konsumsi ransum adalah 521.51; 645.74 dan 650.42 (gram/ekor/hari), masing-masing untuk perlakuan RA, RB dan RC.
Hasil analisis sidik
ragam menunjukkan bahwa tingkat konsumsi bahan kering tidak ada
perbedaan antar perlakuan. Hal ini disebabkan karena pemberian ransum bagi ternak domba dalam penelitian ini adalah sama yaitu 3,8% dari bobot badan hidup.
Konsumsi bahan kering selama penelitian ini setelah
dianalisis setara dengan 3% bobot badan. Walaupun konsumsi bahan kering ini tidak berbeda nyata namun konsumsim bahan kering pada perlakuan RC cenderung lebih tinggi, kemudian RB dan RA. menunjukkan meningkatkan
bahwa kualitas
suplementasi ransum
sabun
sehingga
kalsium
ternyata
konsumsinya
Hal ini dapat
meningkat.
Parakkasi (1995) menyatakan bahwa ransum yang berkualitas baik, tingkat konsumsinya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan ransum berkualitas inferior. Nilai rataan konsumsi bahan kering yang dilaporkan oleh Mathius et al., (1997) yaitu berkisar dari 640.0 dan 703.0 (g/ekor/hari), dan juga oleh Kaunang (2004) yaitu berkisar dari 609.64 dan 741.20 (g/ekor/hari), serta Uhi (2005) yaitu berkisar dari 543.93 dan 572.98 (g/ekor/hari). Hasil yang sama juga terjadi pada konsumsi bahan organik. Konsumsi bahan organik pada perlakuan RA, RB dan RC seperti yang terlihat pada Tabel 10, berturut-turut adalah 479.41; 562.95 dan 555.10. Peningkatan konsumsi bahan kering dan bahan organik yang terjadi pada perlakuan RB dan RC diduga karena adanya suplementasi sabun kalsium. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan lemak dalam bentuk sabun kalsium dapat meningkatkan palatabilitas ransum sehingga konsumsi meningkat, dan hal ini sesuai dengan pendapat Parakkasi (1995) yang menyatakan bahwa salah satu sifat positif dari penambahan lemak dalam ransum ruminan adalah dapat meningkatkan palatabilitas ransum, dengan demikian tingkat konsumsi ransum dapat ditingkatkan dengan segala akibatnya terhadap penampilan ternak bersangkutan. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa tingkat konsumsi bahan organik tidak ada perbedaan antar perlakuan.
Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Kualitas ransum ditentukan juga oleh tingkat kecernaan zat-zat makanan yang terkandung dalam ransum tersebut. Tingkat kecernaan zat-zat makanan dapat memberikan gambaran tentang kualitas ransum yang digunakan, karena bagian yang dicerna merupakan selisih antara kandungan zat makanan dalam ransum tersebut dengan zat makanan yang keluar melalui feses. Tabel 10 Pengaruh perlakuan terhadap konsumsi dan kecernaan bahan kering ternak domba jantan lokal Parameter
RA
RB
RC
Konsumsi BK (g/ekor/hari)
525.51
645.74
650.42
Konsumsi BO (g/ekor/hari)
479.41
562.95
555.10
Kecernaan BK (%)
58.40
61.83
64.83
Kecernaan BO (%)
59.36
63.27
61.15
Sumber : Data Primer Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan nilai kecernaan bahan kering (KCBK) pada perlakuan RA, RB dan RC adalah 58.40;61.83 dan 64.83 sedang rataan nilai kecernaan bahan organik (KCBO) pada perlakuan RA, RB dan RC adalah 59.36; 63.27 dan 61.15 (Tabel 10). Menurut Parakkasi (1995) bahwa penambahan lemak dalam ransum ternak ruminan dapat meningkatkan konsumsi, tapi bila berlebihan dapat berakibat negatif dan mengganggu pencernaan.
Kadar lemak ransum
ruminan yang melebihi 7–8% dapat menyebabkan gangguan pencernaan, terutama penurunan konsumsi yang disebabkan oleh gangguan fungsi mikroorganisme dalam rumen. Hasil analisis kandungan nutrien ransum penelitian (tabel 5) menunjukkan bahwa kandungan lemak pada perlakuan RB dan RC yang ditambah sabun kalsium masing-masing 5% dan 10% adalah 9.18 dan 10.67 %.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan lemak dalam bentuk sabun kalsium pada perlakuan RB dan RC masing-masing 5% dan 10% ternyata dapat meningkatkan konsumsi dan kecernaan baik bahan kering maupun bahan organik. Hal ini berarti bahwa suplementasi lemak pada ransum ruminan dalam bentuk sabun kalsium, dapat melindungi lemak dari sistem pencernaan dalam rumen sehingga dapat meningkatkan konsumsi dan kecernaan ransum. pH Cairan Rumen Nilai pH cairan rumen memegang peran penting dalam mengatur beberapa proses dalam rumen, baik dalam mendukung pertumbuhan mikroba rumen maupun dalam menghasilkan produk berupa asam lemak atsiri atau Volatile Fatty Acid (VFA) dan amonia (NH3). Kondisi normal pH cairan rumen adalah antara 5.5 – 7. Hasil penelitian pada Tabel 11 menunjukkan bahwa rataan nilai pH cairan rumen yang relatif sama yaitu 6.26; 6.68 dan 6.56 masing-masing untuk perlakuan RA, RB dan RC. Rataan nilai pH cairan rumen dalam penelitian ini masih berada dalam kisaran normal. Salah satu sifat negatif
dari penambahan lemak dalam ransum
ruminan adalah lemak dan minyak dapat menurunkan kecernaan dalam rumen.
Analisis sidik ragam menunjukkan tidak ada perbedaan antar
perlakuan.
Hal ini berarti bahwa dengan penambahan lemak pada
ransum ternak domba dalam bentuk sabun kalsium pada perlakuan RB dan RC tidak memberikan suatu kondisi yang negatif. Sebaliknya dengan penambahan sabun kalsium ternyata dapat meningkatkan kecernaan dan pH cairan rumen dibanding perlakuan RA (kontrol). Produksi VFA Total Caiarn Rumen Pakan ternak ruminansia mengandung sejumlah nutrien seperti protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral.
Di dalam alat
pencernaan, bahan makanan tersebut mengalami perombakan bentuk dan sifat-sifat fisik dan kimianya melalui proses pencernaan mekanik di
mulut, pencernaan mikroba (fermentatif) di rumen serta pencernaan enzimatik dengan bantuan enzim dalam saluran pencernaan pasca rumen. Pencernaan fermentatif merupakan usaha merombak senyawa yang komplek menjadi bahan mudah diserap dengan bantuan mikroba rumen dan menghasilkan asam lemak volatile (Volatille Fatty Acid, VFA) yang telah diketahui merupakan sumber energi utama bagi ternak ruminansia. Hasil rataan nilai VFA Total pada penelitian ini adalah 122.8; 141.6 dan 170.0 (mM) masing-masing untuk perlakuan RA, RB dan RC (Tabel 11).
Produksi VFA Total yang layak bagi kelangsungan hidup yang
normal adalah 80 - 160 (mM) (Sutardi, 1980). Hasil penelitian ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Kook, et al., (2002) bahwa pada ternak Sapi Korean yang mendapat tambahan minyak ikan dalam ransumnya mempunyai produksi VFA Total yang lebih tinggi yaitu 70.20 (mM) dibanding yang tidak mendapat tambahan minyak ikan (kontrol) yaitu 49.86 (mM). Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa produksi VFA Total antar perlakuan mempunyai perbadaan yang nyata (P < 0.01). Uji lanjut (Duncan) menunjukkan bahwa produksi VFA Total pada perlakuan RA (kontrol) lebih rendah (P < 0.01) dibanding perlakuan RC, sedang antara perlakuan RA dan RB tidak berbeda nyata. Tingginya produksi VFA Total pada perlakuan RC disebabkan karena penambahan lemak dalam bentuk sabun
kalsium
sebanyak
10%
pada
perlakuan
sehingga
dapat
meningkatkan energi ransum dan ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Parakkasi (1995) bahwa dipandang dari segi energi, lemak mengandung energi 2,25 kali lebih tinggi dari energi karbohidrat sehingga dalam jumlah sedikit saja yang ditambahkan dalam ransum ruminan dapat meningkatkan kadar energi ransum. Selain itu peningkatan produksi VFA Total diduga karena ada peningkatan fraksi-fraksi dalam VFA yaitu asetat, propionat dan butirat.
Broster
et al., (1965) melaporkan bahwa
pemberian minyak ikan meningkatkan produksi propionat. Peningkatan propionat yang merupakan fraksi dari VFA mengakibatkan peningkatan VFA secara keseluruhan.
Tabel 11 Pengaruh perlakuan terhadap fermentasi mikroba rumen pada ternak domba jantan lokal. Parameter
RA
RB
RC
pH Cairan Rumen
6.26
6.68
6.56
122.8b
141.6b
170.0a
7.66
8.35
7.27
Produksi VFA Total (mM) Produksi N-NH3 (mM) Sumber : Data Primer Produksi N-NH3 Cairan Rumen
Produksi amonia (N-NH3) merupakan produk utama dari proses deaminasi asam amino dan kecukupannya dalam rumen untuk pertumbuhan mikroba merupakan prioritas utama dalam mengoptimalkan fermentasi hijauan (Leng, 1990).
Kadar N-NH3 yang mendukung pertumbuhan mikroba
dalam rumen adalah 4 sampai 14 mMol, dan apabila nilai N-NH3 kurang dari 4 mMol maka proses fermentasi akan terganggu (Preston and Leng, 1987). Konsentrasi N-NH3 ini antara lain ditentukan oleh tingkat protein pakan yang dikonsumsi, derajat degradabilitasnya, lamanya makanan berada di dalam rumen dan pH rumen (Ørskov, 1982). Kadar N-NH3 dalam penelitian ini adalah 7.66, 8.35 dan 7.27 (mM) masing-masing untuk perlakuan RA, RB dan RC (Tabel 11).
Hal ini
menunjukkan bahwa kadar N-NH3 dalam penelitian ini masih berada dalam kisaran normal. Analisis sidik ragam menunjuk-kan bahwa kadar N-NH3 tidak berbeda nyata antar perlakuan.
Dengan demikian
penambahan lemak pada ransum ternak domba dalam bentuk sabun kalsium tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan mikroba sehingga proses deaminasi asam amino dan fermentasi hijauan dapat berlangsung secara optimal. Pertambahan Bobot Badan Harian Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan pertambahan bobot badan harian adalah 74,29; 104,0 dan 106,29 (gram/ekor/hari) masing-
masing untuk perlakuan RA, RB dan RC (Tabel 12). Analisis sidik ragam rataan pertambahan bobot badan harian antar perlakuan menunjukkan tidak ada perbedaan.
Hal ini berarti bahwa pemberian sabun kalsium
tidak mempunyai pengaruh terhadap pertambahan bobot badan ternak domba. Pertambahan bobot badan harian (PBBH) merupakan manifestasi dari
kualitas
pakan
yang
diberikan.
Tidak
adanya
perbedaan
pertambahan bobot badan harian antara perlakuan dalam penelitian ini disebabkan karena pemberian pakan yang sama yaitu 3.8% dari bobot badan.
Meskipun demikian pertambahan bobot badan harian ternak
domba yang mendapat tambahan sabun kalsium 5% dan 10% pada perlakuan RB dan RC memberikan pertambahan bobot badan harian yang lebih baik yaitu 104,0 dan 106,29 (gram/ekor/hari). Dalam pertumbuhan ternak, sangat dipengaruhi oleh dua faktor penting yaitu genetik dan lingkungannya. Hasil penelitian dari Sabrani dan Levine (1993) tentang ternak kambing dan domba di Indonesia, melaporkan bahwa untuk ternak domba jantan lokal, pertambahan bobot badan akan terjadi dengan cepat sampai umur delapan bulan, dan pada saat itu mencapai berat 23 kg, kemudian sampai umur 17 bulan tidak ada pertambahan bobot badan lagi. Setelah itu berat badan tertinggi adalah 25 kg yang dicapai pada umur 18 bulan. Tabel 12 Pengaruh perlakuan terhadap penampilan pertumbuhan pada ternak domba jantan lokal
Parameter
RA
RB
RC
PBBH (g/ekor/hari)
74.29
104.0
106.29
EPR
0.1454
0.1653
0.1593
Feed Cost/Gain (Rp)
14.787
17.065
20.615
Sumber : Data Primer Hasil penelitian Rachmadi (2003), Kaunang (2004) dan Uhi (2005) melaporkan bahwa rataan pertambahan bobot badan tertinggi pada ternak
domba jantan lokal masing-masing adalah 54.97; 61.00 dan 75,89 (gram/ekor/hari). Tingginya pertambahan bobot badan harian pada perlakuan RB dan RC dalam penelitian ini terkait dengan konsumsi serta kecernaan bahan kering dan bahan organik yang tinggi.
Selain itu suplementasi
sabun kalsium pada perlakuan RB dan RC meningkatkan produksi VFA Total dibanding RA.
Peningkatan VFA Total diduga karena terjadi
peningkatan propionat yaitu fraksi dari VFA. Produk akhir berupa VFA ini dalam jaringan tubuh akan dimanfaatkan sebagai sumber energi dan bahan sintesis lemak. Asam propionat diabsorbsi melalui epitel rumen dan masuk ke sirkulasi darah, kemudian dibawa ke hati untuk selanjutnya diubah menjadi glukosa dan bagian cadangan glukosa hati. Pada proses anabolis di dalam tubuh, ternak memerlukan energi dalam bentuk glukosa. Pada ternak ruminansia, glukosa dapat disintesis dari sumber-sumber bukan karbohidrat yaitu dari asam lemak atau asam amino melalui proses glukoneogenesis.
Komponen asam lemak atsiri (VFA) yang termasuk
glukogenik adalah asam propionate yang dalam proses metabolismenya menjadi precursor glukosa, sedangkan asam asetat dan asam butirat tidak termasuk metabolit glukogenik melainkan metabolit ketogenik. Disamping itu pertambahan bobot badan harian yang tinggi pada perlakuan RB dan RC disebabkan karena kandungan energi ransum pada kedua perlakuan ini lebih tinggi dibanding perlakuan RA.
Hal ini
disebabkan karena pada ransum B (RB) dan ransum C (RC) ada penambahan lemak dalam bentuk sabun kalsium sebanyak 5% dan 10%. Lemak ini disamping sebagai sumber asam-asam lemak esensiel juga berfungsi sebagai sumber energi. Energi yang dikonsumsi oleh ternak, dipergunakan
pertama-tama
untuk
memenuhi
kebutuhan
untuk
mempertahankan metabolisme basal atau untuk hidup pokok dan untuk tumbuh
atau
maintenens.
berproduksi
bila
konsumsinya
melebihi
kebutuhan
Hal ini sesuai dengan pendapat Fernandez (1999) yang
menyatakan bahwa lemak terlindung dalam bentuk sabun kalsium tidak mempunyai efek negatif terhadap keseimbangan mikroba dalam rumen
tapi tetap mengantarkan dosis energi yang tinggi untuk membantu produksi ternak ruminansia.
Disamping itu sabun kallsium tidak
mempengaruhi pencernaan serat walaupun diberikan dalam jumlah yang besar dalam ransum serta akan terhindar dari penjenuhan asam lemaknya oleh bakteri rumen sehingga kandungan lemak susu dan daging dari ternak ruminansia mengandung asam-asam lemak tidak jenuh yang mungkin aman untuk dikonsumsi. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa penambahan lemak dalam bentuk sabun kalsium efektif melindungi asam-asam lemak poli takjenuh yang merupakan asam-asam lemak esensiel sehingga dapat diserap dan dimanfaatkan oleh ternak tanpa didegradasi oleh mikroba rumen.
Asam lemak esensiel dibutuhkan untuk pertumbuhan dan
mempertahankan kesehatan karena asam lemak esensiel merupakan pembangun struktur sel dan integritas struktur membran sel. Defisiensi asam lemak esensiel menyebabkan hiperkeratosis pada usus yang dapat menyebabkan gangguan penyerapan nutrien.
Hal ini sesuai dengan
pendapat Jenkins dan Palmquist (1984) yang menyatakan bahwa sabun kalsium merupakan bentuk lemak terlindung dan merupakan sumber lemak yang efektif dalam bahan pakan ternak ruminansia, karena sistem fermentasi rumen tetap normal dan kecrnaan asam lemaknya tinggi. Efisiensi Penggunaan Ransum Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan nilai efisiensi penggunaan ransum (EPR) adalah 0.1454; 0.1653 dan 0.1593 masing-masing untuk perlakuan RA, RB dan RC (Tabel 12), dan hasil analisis sidik ragam menunjukkan tidak ada perbedaan. Nilai EPR ini jika dikon-versikan akan memperoleh nilai konversi pakan yaitu : 6.88; 6.05 dan 6.28 masingmasing untuk perlakuan RA, RB dan RC. Menurut Speedy (1980), nilai konversi pakan ideal untuk domba yang diberi biji-bijian adalah 7 - 8, sedang untuk sapi potong program finish adalah 7 : 1 (F/G) (Parakkasi, 1995). Walaupun nilai EPR ini tidak berbeda nyata antar perlakuan tetapi nilai konversi pakan pada perlakuan RB dan RC lebih baik dibanding
perlakuan RA. Hal ini menunjukkan bahwa suplementasi sabun kalsium dapat meningkatkan nilai efisiensi penggunaan ransum. Feed Cost/Gain Nilai feed cost per gain (FC/G) dalam penelitian ini adalah untuk perlakuan RA (Rp 14 787,-/kg), RB (Rp 17 065,-/kg) dan RC (Rp 20 615,/kg).
Nilai FC/G dipengaruhi oleh banyaknya konsumsi pakan, harga
bahan pakan dan besarnya PBBH yang dihasilkan. Semakin kecil nilai FC/G semakin baik, karena untuk menghasilkan PBBH yang sama dibutuhkan biaya pakan yang relatif lebih murah.
Nilai FC/G pada
perlakuan RB dan RC lebih tinggi karena harga minyak ikan dan bahan kimia yang mahal sehingga untuk pembuatan dibutuhkan Rp 11 720,-.
1 kg sabun kalsium
Nilai FC/G ini hampir sama dengan yang
dilaporkan Sukadi et al., (2002) yaitu Rp 11 232,-; Rp 17 940,- dan Rp 21 068,- masing-masing untuk perlakuan kontrol dan penambahan zat pemacu pertumbuhan phytogenic 1 dan 0.5 gram/ekor Komposisi Karkas dan Daging Ternak Domba Penelitian ini dilaksanakan untuk mengevaluasi kualitas karkas dan daging serta mempelajari inkorporasi asam lemak poli tak jenuh pada karkas dan daging ternak domba penelitian. Bobot Potong Hasil penelitian rataan bobot potong, bobot karkas, persentase karkas, luas urat daging mata rusuk dan tebal lemak punggung dapat dilihat pada Gambar 17.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan
bobot potong pada ternak domba jantan lokal yang digunakan dalam penelitian ini adalah 19.40 kg, 23.68 kg dan 24.24 kg masing-masing untuk perlakuan RA, RB dan RC. Rataan bobot potong pada perlakuan RB dan RC yang mendapat tambahan sabun kalsium, lebih tinggi dari perlakuan RA, yang tidak mendapat tambahan sabun kalsium, namun analisis sidik ragam menunjukkan tidak ada perbedaan. Hal ini diduga terkait dengan konsumsi dan pertambahan bobot badan harian dimana
perlakuan RB dan RC lebih tinggi dibanding perlakuan RA namun tidak berbeda nyata. Hasil penelitin ini hampir sama dengan hasil penelitian Sabrani dan Levine (1993) yang melaporkan bahwa bobot badan tertinggi untuk domba jantan lokal adalah 25 kg, karena itu disarankan agar pemasaran segera dilakukan setelah mencapai bobot badan tersebut. Rataan bobot potong yang dilaporkan oleh Rachmadi (2003) yaitu berkisar dari 18.7 kg dan 19.2 kg. Bobot Karkas Hasil penelitian juga memperlihatkan rataan bobot karkas antar perlakuan yaitu 8.0 kg, 10.24 kg dan 11.16 kg masing-masing untuk perlakuan RA, RB dan RC. Bobot karkas yang diamati dalam penelitian ini adalah bobot karkas panas dimana rataan
bobot karkas pada
perlakuan RB dan RC yang mendapat tambahan sabun kalsium, lebih tinggi dibanding perlakuan RA, yang tidak mendapat tambahan sabun kalsium, namun analisis sidik ragam tidak menunjukkan adanya perbedaan. Rataan bobot karkas yang dilaporkan oleh Rachmadi (2003), yaitu bahwa pada lama penggemukkan sembilan minggu berkisar dari 6.90 – 7.58 kg. Tingginya bobot karkas pada perlakuan RB dan RC ini sesuai dengan tingginya bobot potong.
Hal ini berarti semakin tinggi
bobot potong yang diperoleh menyebabkan bobot karkas akan meningkat.
60 50 40 RA
30
RB
20
RC
10 0 Bbt Potong
Bbt karkas % karkas
Luas Tbl lemak Udamaru pgg
Gambar 22 Rataan bobot potong, bobot karkas, persentasi karkas, luas urat daging mata rusuk dan tebal lemak punggung antar perlakuan. (Sumber : Data Primer)
Persentasi Karkas Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan persentasi bobot karkas yaitu 40.82%; 52.24% dan 56.93%.
Rataan persentasi bobot
karkas pada perlakuan RB dan RC lebih tinggi dibanding RA, namun hasil analisis sidik ragam menunjukkan tidak ada perbedaan. Hasil penelitian Setiyono dan Soeparno (1992) terhadap domba lokal jantan yang dipotong pada berat 12, 14 dan 16 kg melaporkan bahwa perentasi bobot karkas tertinggi diperoleh pada bobot potong 16 kg yaitu 41.88 kg ± 1.98% dan terendah pada bobot potong 12 kg yaitu 38.33 ± 2.37%.
Hasil
penelitian Rachmadi (2003) terhadap domba lokal jantan dengan lama penggemukkan sembilan minggu melaporkan bahwa persentasi bobot karkas tertinggi adalah 49,68% dan terendah adalah 48,36%. Romans et al., (1994) melaporkan bahwa persentasi karkas domba adalah 50%, sedang menurut Amsar et al (1984) bahwa persentasi karkas domba lokal adalah 47.5 - 60%. Rataan persentasi bobot karkas dalam penelitian ini sesuai dengan rataan bobot potong dan bobot karkas dimana bobot potong dan bobot karkas yang tinggi akan menghasilkan persentase bobot karkas yang tinggi pula. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Berg dan Butterfield (1976) yang menyatakan bahwa persentasi karkas dipengaruhi oleh bobot potong dan bobot karkas. Luas Urat Daging Mata Rusuk Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas urat daging mata rusuk pada perlakuan RC lebih tinggi dibanding perlakuan RA dan RB yaitu 11.83 dibanding 7.48 dan 7.84 (Cm2) dan tidak berbeda nyata antara perlakuan. Hasil penelitian Rachmadi (2003) melaporkan luas urat daging mata rusuk pada ternak domba jantan yaitu 11.27; 11.50 dan 9.88 (Cm2) masing-masing untuk lama penggemukkan 3, 6 dan 9 minggu. Besarnya proporsi urat daging karkas dapat ditentukan dari luas urat daging mata rusuk, yaitu makin luas urat daging mata rusuk berarti makin besar proporsi urat daging pada karkas (Romans et al., 1974).
Tebal Lemak Punggung Tebal lemak punggung merupakan indikator untuk menentukan perlemakan tubuh atau karkas. Makin tebal lemak punggung berarti makin besar proporsi lemak karkas (Romans et al., 1974).
Soeparno (1992)
menyatakan bahwa dengan bertambahnya umur serta konsumsi energi, deposisi lemak juga terjadi di antara otot (lemak intermuskuler), lapisan bawah kulit (lemak sub-kutan) dan terakhir di antara ikatan serabut yaitu lemak intramuskuler atau marbling. Demikian juga Priyanto et al (1999) menyatakan bahwa daging berlemak mempunyai palatabilitas yang disukai, terutama tenderness dan juiciness karena adanya peningkatan marbling dalam daging. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataa tebal lemak punggung adalah 2.2, 2.875 dan 2.4 masing-masing untuk perlakuan RA, RB dan RC dan tidak berbeda nyata antar perlakuan. Hal ini diduga karena pertumbuhan lemak pada ternak domba mengarah ke rongga perut sehingga lemak subkutannya tetap rendah walaupun terjadi kenaikan bobot badan. Kualitas karkas dalam penelitian ini memperlihatkan hasil yang cukup baik karena persentasi karkasnya tinggi yang diikuti dengan proporsi urat daging yang tinggi tetapi lemaknya rendah. Kualitas karkas yang baik adalah karkas dengan urat daging yang maksimum, lemak yang minimum dan otot yang optimum. Karkas dengan proporsi urat daging yang tinggi dan tingkat perlemakan yang minimum akan lebih disukai konsumen karena mempunyai kualitas daging yang baik (Berg et al., 1978). Kandungan Lemak Intramuskuler (Marbling) Dalam menentukan mutu daging (quality grade) menurut USDA maka derajat marbling merupakan salah satu faktor penting dan biasanya dihubungkan dengan tingkat kedewasaan (maturity). Pada penelitian ini penilaian derajat marbling dilakukan pada sayatan melintang rusuk ke 12 dan 13 pada otot longisimus dorsi, kemudian dilakukan ekstraksi lemak dengan ether (Metode Soxhlet).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
rataan kandungan lemak intramuskuler (marbling) pada perlakuan RA, RB dan RC adalah 2.42%; 3.63% dan 3.98%. Ilustrasi ini dapat dilihat pada Gambar 23.
4 3 2 1 0 RA
RB
RC
Gambar 23 Kandungan lemak intramuskuler (marbling) antar perlakuan. (Sumber : Data Primer). Derajat marbling pada perlakuan yang mendapat tambahan sabun kalsium yaitu RB dan RC lebih tinggi dibanding perlakuan RA (kontrol), tetapi hasil analisis sidik ragam menunjukkan tidak ada perbedaan. Meskipun demikian derajat marbling pada perlakuan RB dan RC lebih tinggi dan masuk kategori Sligt (Sl) sedang pada prlakuan RA lebih rendah dan masuk kategori trace (TR).
Hal ini berarti bahwa dengan
penambahan sabun kalsium pada perlakuan RB dan RC dapat meningkatkan derajat marbling. Dengan demikian mutu daging juga dapat ditingkatkan, jika pada perlakuan RA mutu daging dikategori kedalam kelas Chois sebaliknya pada perlakuan RB dan RC mutu daging lebih tinggi dan masuk dalam kategori kelas Super. Komposisi Asam Lemak pada Otot Longisimus dorsi Kandungan asam lemak daging domba yang diamati pada otot longisimus dorsi adalah asam lemak jenuh, asam lemak tunggal tidak jenuh dan asam lemak ganda tidak jenuh.
Asam lemak jenuh (SFA),
terdiri dari myristat (14:0), pentadecanoate (15:0), palmitat (16:0), stereat (18:0) dan arachidate (20:0). Asam lemak tunggal tidak jenuh (MUFA), terdiri dari myristoleat (14:1), palmitoleat (16:1), oleat (18:1) dan
eicosenoate (20:1). Asam lemak ganda tidak jenuh (PUFA), terdiri dari linoleate (18:2) dan linolenate (18:3). Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi asam lemak pada masing-masing perlakuan secara komposit dapat dilihat pada Gambar 24 dibawah ini.
Kandungan asam lemak jenuh pada perlakuan RA lebih
tinggi yaitu 32.02% dibanding perlakuan RB dan RC yang mendapat tambahan sabun kalsium yaitu 30.09% dan 12.35%.
Sebaliknya
kandungan asam lemak tidak jenuh pada perlakuan RA,
yang tidak
mendapat tambahan sabun kalsium lebih rendah yaitu 67.98% dibanding perlakuan RB dan RC yaitu 69.92% dan 87.65%. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kandungan asam lemak ganda tidak jenuh pada perlakuan RB dan RC lebih tinggi yaitu 38.60% dan 36.55% dibanding RA yakni 6.77%.
Hal ini menunjukkan bahwa
penam-bahan sabun kalsium secara proporsional dapat menurunkan kandungan asam lemak jenuh karena sabun kalsium yang dipakai sebagai bahan dasar dalam pembuatan sabun kalsium kaya akan asam lemak ganda tidak jenuh.
Tingginya kandungan asam lemak jenuh ini dapat
meningkatkan kolesterol dalam darah. Asam lemak tunggal tidak jenuh tidak berpengaruh nyata terhadap status kolesterol dalam darah, sedangkan jumlah asam lemak ganda tidak jenuh dapat menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Rasio asam lemak ganda tidak jenuh terhadap asam lemak jenuh juga merupakan salah satu factor penting dalam upaya untuk menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Katchadurin (1979) mengelompokkan rasio asam lemak ganda tidak jenuh dengan asam lemak jenuh kedalam lima kelompok yaitu : kurang dari 0.1; 0.1-0.5; 0.5-1.5; 1.5-2.5 dan lebih dari 2.5.
Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian akhir-akhir ini maka
disarankan agar rasio antara asam lemak ganda tidak jenuh dengan asam lemak jenuh sebaiknya berkisar dari 1.5 – 2.0. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio asam lemak ganda tidak jenuh dengan asam lemak jenuh adalah 0.21; 1.28 dan 2.96 masingmasing untuk perlakuan RA, RB dan RC.
Hal ini berarti bahwa
penambahan lemak dalam bentuk sabun kalsium dengan bahan dasar minyak ikan lemuru pada perlakuan RB dan RC masing-masing 5% dan 10% dapat meningkatkan rasio asam lemak ganda tidak jenuh dengan asam lemak jenuh. Dengan demikian proteksi asam lemak ganda tidak jenuh dalam bentuk sabun kalsium yang dilakukan dalam penelitian ini, efektif melindungi asam lemak ganda tidak jenuh dari biohidrogenase mikro-organisme rumen sehingga asam lemak ganda tidak jenuh dapat lolos sampai ke usus halus, diserap dan akhirnya diinkorporasi masuk ke dalam daging.
100% 80% 60% 40% 20% 0% RA
RB
RC
Asam Lemak Ganda Tdk Jenuh Asam Lemak Tunggal Tdk Jenuh Asam Lemak Jenuh
Gambar 24 Komposisi kandungan asam lemak antar perlakuan (Sumber : Data Primer)
Kandungan Kolesterol pada Serum, Daging dan Feses Kandungan kolesterol yang diamati dalam penelitian ini adalah kandungan kolesterol dalam serum, daging dan feses.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa rataan kandungan kolesterol pada serum darah ternak domba percobaan yaitu 140.32; 95.69 dan 69.37 (mg/dl) masing-
masing untuk perlakuan RA, RB dan RC dan masih berada dalam kisaran normal (50-140) mg/dl. Ilustrasinya dapat dilihat pada Gambar 25. Analisi sidik ragam menunjukkan ada perbedaan yang sangat nyata (P < 0.01) antar perlakuan. Hasil analisis uji lanjut dengan Uji Duncan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata (P < 0.01) antara perlakuan RA dibanding dengan perlakuan RB dan RC, sedang antara perlakuan RB dan RC tidak berbeda (P > 0.05).
Hal ini
menunjukkan bahwa pemberian lemak dalam bentuk sabun kalsium dengan bahan dasar minyak ikan pada perlakuan RB dan RC dapat menurunkan kolesterol dalam serum ternak domba karena kandungan asam lemak ganda tidak jenuh yang banyak terdapat pada minyak ikan. Ini sesuai dengan pernyataan Soewardi (2005) bahwa laporan penelitian dari Amerika, Canada, Australia, Jepang, Norwegia, Inggris dan negaranegara lain menunjukkan bahwa asam lemak ganda tidak jenuh seperti omega-3 mempunyai peranan yang sangat penting untuk kesehatan manusia karena membantu pencegahan diabetes, menurunkan kadar kolesterol, mencegah pengerasan pada pembuluh arteri dan penyakit jantung. Hasil penelitian Kook et al., (2002) tentang efek suplemen minyak ikan pada sapi Korea melaporkan bahwa kandungan kolesterol pada serum darah berbeda sangat nyata (P < 0.01). Pada sapi yang mendapat tambahan minyak ikan, kandungan kolesterol serumnya adalah 171.33 mg/dl dibanding kontrol adalah 125.67 mg/dl.
Hal ini diduga karena
minyak ikan yang diberikan tidak dilindungi sehingga asam lemak tidak jenuhnya mengalami proses hidrogenasi oleh mikroorganisme dan meningkatkan kolesterol plasma. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan kandungan kolesterol pada daging ternak domba percobaan yaitu 104.47; 36.73 dan 15.39 (mg/dl) masing-masing untuk perlakuan RA, RB dan RC. Analisis sidik ragam menunjukkan ada perbedaan yang sangat nyata (P < 0.01) antar perlakuan.
Hasil analisis uji lanjut dengan Uji Duncan menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata (P < 0.01) antara perlakuan
RA dibanding dengan perlakuan RB dan RC, sedang antara perlakuan RB dan RC tidak berbeda.
Hal ini menunjukkan bahwa pemberian lemak
dalam bentuk sabun kalsium dengan bahan dasar minyak ikan pada perlakuan RB dan RC dapat menurunkan kolesterol pada daging ternak domba.
150 125 100 75 50 25 0 serum
daging RA
RB
feses RC
Gambar 25 Kandungan kolesterol dalam serum, daging dan feses antar perlakuan pada ternak domba jantan lokal (Sumber : Data Primer). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan kandungan kolesterol dalam feses ternak domba antar perlakuan yaitu 16.26; 55.45 dan 40.21 (mg/dl) masing-masing untuk perlakuan RA, RB dan RC. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata namun kandungan kolesterol pada perlakuan RB dan RC cenderung lebih tinggi. Hal ini berarti penambahan sabun kalsium dengan bahan dasar minyak ikan lemuru dapat meningkatkan kandungan kolesterol feses pada ternak domba.
Kolesterol yang tidak diperlukan akan dikeluarkan
bersama-sama dengan feses dan kurang lebih setengahnya dalam bentuk garam-garam empedu dan sisanya dalam bentuk hormon-hormon steroid netral.
PEMBAHASAN UMUM Pemberian lemak dalam pakan ternak ruminansia sebagai sumber energi perlu diwaspadai mengingat ternak ruminansia sangat peka terhadap kandungan lemak yang tinggi dalam ransumnya. Kandungan lemak dalam ransum ternak ruminansia yang melebihi 7-8% dapat memberikan dampak yang negatif terutama dalam proses fermentasi rumen, seperti : membatasi pencernaan serat, merupakan racun bagi bakteri selulolitik, menurunkan aktivitas enzim dan menurunkan absorpsi beberapa kation.
Disamping itu mikroorganisma rumen juga dapat
menghidrogenasi asam lemak poli tak-jenuh (Lloyd. et al., 1978). Dengan adanya proses biohidrogenasi ini menyebabkan daging pada ternak ruminansia mempunyai kandungan asam lemak jenuh yang tinggi yang dapat meningkatkan kolesterol. Tingginya kadar lemak dan kolesterol ini sering merupakan faktor pembatas bagi konsumen untuk mengurangi atau bahkan tidak sama sekali mengkonsumsi produk peternakan ini. Fenomena demikian merupakan kondisi yang dilematis bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan pangan, mengingat daging sebagai sumber protein hewani dengan asam-asam amino esensialnya masih sangat diperlukan bagi masyarakat Indonesia. Dari uraian ini maka penggunaan lemak dengan asam lemak poli tak jenuh yang tinggi dalam pakan ternak ruminansia sebagai sumber energi alternatif serta melindunginya dari proses biohidrogenasi mikroorganisma rumen merupakan hal yang menarik untuk dikaji. Teknologi sabun kalsium (Ca-Soap) merupakan salah satu teknologi perlindungan lemak yang akhir-akhir ini banyak dikembangkan. Teknologi
sabun
kalsium
adalah
suatu
proses
kimiawi
untuk
menyabunkan bahan lemak dan alkali yang dikenal dengan proses saponifikasi, dan ditambah mineral Kalsium (Ca) dengan
tujuan
mengubah bentuk minyak ikan dan CPO menjadi bentuk padat yang dapat dicampur dengan pakan ternak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan asam lemak pada minyak ikan lemuru lebih tinggi dari CPO. Secara in-vitro hasil penelitian
juga menunjukkan bahwa sabun kalsium efektif melindungi asam lemak poli tak jenuh dari biohidrogenasi mikroorganisme ruman.
Kandungan
asam lemak poli tak-jenuh masih cukup tingi pada perlakuan sabun kalsium dibanding dengan tanpa perlakuan sabun kalsium pada daerah pasaca rumen. Suplementasi sabun kalsium dengan bahan dasar minyak ikan lemuru sebanyak 5% dan 10% pada perlakuan RB dan RC dalam ransum penggemukan ternak domba ini mempunyai dampak terhadap komposisi bahan ransum yang digunakan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
perlakuan RB dan RC mempunyai kandungan energi yang lebih tinggi di banding perlakuan RA (kontrol). Hasil penelitian juga menunjukan bahwa konsumsi pada perlakuan RB dan RC cenderung lebih tinggi.
Hal ini
berarti bahwa pemberian lemak sebagai sumber energi dengan minyak ikan lemuru tidak mempunyai dampak terhadap peningkatan panas dalam tubuh ternak domba sehingga ternak tersebut tetap merasa nyaman dan konsumsinya meningkat. Hasil penelitian juga meunjukkan bahwa pemberian sabun kalsium dengan bahan dasar minyak ikan lemuru yang disuplementasikan kedalam pakan ternak domba jantan lokal sebanyak 10%, nyata meningkatkan produksi VFA total, pertambahan bobot badan harian lebih baik, meningkatkan kualitas karkas dan menurunkan kadar kolesterol dalam serum dan daging ternak tersebut. Peningkatan produksi VFA total ini diduga karena pemberian lemak dalam bentuk sabun kalsium efektif sebagai sumber energi. Hal ini disebabkan karena dipandang dari segi energi, lemak mengandung energi lebih tinggi dari karbohidrat dan protein sehingga dalam jumlah sedikit saja yang ditambahkan dalam ransum ruminan dapat meningkatkan kadar energi ransum (Parakkasi, 1995). Produksi VFA ini merupakan energi dalam bentuk glukosa yang akan diserap di saluran pencernaan setelah retikulo rumen. dikonsumsi
dipergunakan
oleh
ternak
pertama
untuk
Energi yang memenuhi
kebutuhan untuk mempertahankan metabolisme basal, dan untuk tumbuh atau produksi bila konsumsinya melebihi kebutuhan maintenans. Oleh
karena itu konsumsi energi yang tinggi juga akan diikuti dengan pertumbuhan yang lebih baik. Selain itu peningkatan produksi VFA Total diduga karena ada peningkatan fraksi VFA yaitu propionat yang mengakibatkan peningkatan VFA secara keseluruhan. Asam propionat diabsorbsi melalui epitel rumen dan masuk ke sirkulasi darah, kemudian dibawa ke hati untuk selanjutnya diubah menjadi glukosa dan bagian cadangan glukosa hati. Pada proses anabolis di dalam tubuh, ternak memerlukan energi dalam bentuk glukosa. Pada ternak ruminansia, glukosa dapat disintesis dari sumber-sumber bukan karbohidrat yaitu dari asam lemak atau asam amino melalui proses glukoneogenesis.
Komponen asam lemak atsiri (VFA) yang termasuk
glukogenik adalah asam propionat yang dalam proses metabolismenya menjadi precursor glukosa, sedangkan asam asetat dan asam butirat tidak termasuk metabolit glukogenik melainkan metabolit ketogenik. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa produksi VFA total yang lebih tinggi pada perlakuan RC tidak memberikan dampak terhadap pH cairan rumen.
pH cairan rumen pada perlakuan RC cenderung lebih
rendah dibanding RB tetapi masih berada pada kisaran normal untuk terjadinya fermentasi di dalam rumen. Hal ini disebabkan karena kandungan serat pada perlakuan RC lebih tinggi dari perlakuan RB. Kondisi ini
mengharuskan
ternak
domba
banyak
melakukan
aktivitas
pengunyahan (mastikasi) sehingga saliva yang disekresikan dan yang masuk ke dalam retikulorumen lebih banyak.
Saliva pada ternak
ruminansia banyak mengandung bikarbonat dan fosfat
serta berperan
sebagai larutan penyangga atau buffer sehinga pH dapat dipertahankan pada kisaran normal. Pemberian lemak dalam bentuk sabun kalsium juga dapat meningkatkan
lemak
intramuskuler
(marbling),
sedangkan
lemak
punggung (tebal lemak punggung) relatif sama. Marbling dan lemak punggung merupakan lemak yang paling terakhir terdeposit sedangkan lemak ginjal dan pelvic merupakan yang paling awal dan lemak intermuskuler adalah di tengah (intermediate) (Boggs and Merkel, 1984).
Hal ini menunjukkan bahwa tingginya energi perlakuan RB dan RC
yang terkandung pada
diikuti dengan pertumbuhan yang tinggi pula
bahkan masih tersisa dan dideposit sebagai lemak intramuskuler. Kandungan lemak daging sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain macam dan jenis makanan, aktifitas fisik, stres dan turunan.
Makanan yang mengandung asam lemak poli tak jenuh
dapat menurunkan kolesterol dalam serum darah (Soewardi, 2005). Oleh karena itu pemberian sabun kalsium dengan bahan dasar minyak ikan lemuru yang kaya akan asam lemak poli tak januh dan lolos dari biohidrogenasi mikroorganisma rumen sehingga dapat menurunkan kolesterol serum. Dalam penelitian ini juga terlihat bahwa penambahan lemak dalam bentuk sabun kalsium dapat menurunkan kadar kolesterol serum dan darah sebaliknya meningkatkan kolesterol pada feses. Hal ini menunjukkan bahwa sabun kalsium efektif melindungi lemak sehingga lemak ini tidak semuanya didegradasi tetapi masih ada yang lolos. Hal ini berarti istilah lemak langsung lewat rumen (rumen by-pass fat) kurang tepat dan mungkin lebih baik dengan istilah lemak yang kurang tercerna dalam rumen (rumen lessdegradable fat).
Dengan adanya lemak yang lolos
sampai ke usus halus maka produksi cairan empedu akan meningkat. Cairan empedu ini berfungsi untuk mengemulsifikasi lemak dan dapat dibentuk melalui sintesa kolesterol. Peningkatan caiaran empedu sebagai zat pengemulsi (emulsifier) juga akan meningkatkan sintesa kolesterol untuk pembentukannya dan secara tidak langsung dapat menurunkan kolesterol di darah yang selanjutnya juga menurunkan kolesterol yang terinkorporasi di dalam daging. Selanjutnya kolesterol ini akan dikeluarkan bersama-sama dengan feses yang mengakibatkan kolesterol feses meningkat.
DAFTAR PUSTAKA Amsar, Natasasmita A, Sastradipradja D, Gurnadi RE, Parakkasi A. 1984. Komposisi Karkas Domba Lokal Priangan Berdasarkan Jenis Kelamin dan Bobot Badan. Prosiding Pertemuan Ilmiah Penelitian Ruminansia Kecil. 22 – 23 November 1984. Bogor. Berg RT, Butterfield RM, 1976. New concepts of cattle growth. Sidney University Press. Broster WH, Sutton JD, Tuck VJ, Balch CC. 1965. J. Agric. Sci. 65:227. Chalupa W et al . 1986. Ruminal Fermentation in vitro as Influenced by Long Chain Fatty Acid. J. Dairy Sci. 69:1293 Jenkins TC, Palmquist DL. 1984. Effect of fatty acids or Calcium Soaps on Rumen and Total Nutrient Digestibility of Dairy Rations. J Dairy Sci. 67:978-986 Jenkin TC. 1993. Lipid Metabolism in The Rumen. J. Dairy Sci. 76:3851. Kaunang CL. 2004. Respons ruminan terhadap pemberian hijauan pakan yang dipupuk air belerang [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Kook K., Choi BH, Sun SS, Garcia F, Myung KH. 2002. Effect of Fish Oil Supplement on Growth Performance, Ruminal Metabolism and Fatty Acid Composition of Longissimus Muscle in Koren Cattle. Asian Australian Journal Animal Science. Vol. 15 no. 1 : 1-156. Joinly Published with Korean Sociaty of Anim Sci and TechnologyOfficial Journal of The Asian-Australian Association of Animal Production Societies (AAAP). Lawrie RA. 1995, Ilmu Daging, Edisi Kelima, penerjemah; Parakkasi A, editor. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Meat Science Linder MC. 1992. Nutrisi dan Metabolisme Lemak. Di dalam: Maria C Linder ,editor. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Penerjemah Aminuddin Parakkasi. UI Press. Leng RA. 1990. Factor Affecting the Utilization of “poor quality” Forages by Ruminants Particulary Under Tropical Condition. Di dalam: Smith RH, editor. Nutrition Research Review. Vol 3. Cambridge : Cambridge University Press. Lloyd LE, McDonald BE, Crampton, EW. 1978. Fundamentals of Nutrition. Second Edition. W.H. Freeman and Company. San Francisco
Lubis MI. 1993. Pengaruh minyak ikan lemuru dalam pakan terhadap respons vaskuler kera ekor panjang (Macaca fascicularis) yang hiperkolesterol-emik. Disertasi Program Pascasarjana IPB Bogor. Mathius IW, Lubis D, Wina E, Nurhayati DP, Budiarsana IGM. 1997. Penambahan kalsium karbonat dalam konsentrat untuk domba yang mendapat silase rumput raja sebagai pakan dasar. J. Ilmu Ternak dan Veteriner. Vol. 2 : 164 - 169. Ørskov ER. 1982. Protein Nutrition in Ruminants, Academic Press Limited. London. Palmquist DL, Jenkins TC, Joyner AE Jr. 1986. Effect of Dietary Fat and Calcium Source on Insoluble Soap Formation in the Rumen. J Dairy Sci. 69 : 1020 - 1025. Parakkasi A. Press.
1995.
Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. UI
Piliang WG. 1997. Strategi penyediaan pakan ternak berkelanjutan melalui pemanfaatan energi alternatif. Orasi ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Nutrisi Ternak. Fakultas Peternakan IPB Bogor. Piliang WG, Djojosoebagio Al Haj S. 2002. Fisiologi nutrisi Vol I.Edisi ke 4. IPB Press. Preston TR, Leng RA. 1987. Matching ruminant production system with available resources in the tropics and sub-tropics. Armidale: Penambul Books. Priyanto R, Johnson ER, Taylor DG. 1999. The Importance of Genotype in Steers Fed Pasture or Lucerne Hay and Prepared for The Australian and Japanese Beef Markets. New Zealand J. Of Agric. Res. 42:393-404. Rachmadi D. 2003. Dampak pemberian bungkil inti sawit dan konsentrat yang dilindungi formaldehida pada domba terhadap kinerja dan kandungan asam lemak poli tak jenuh daging [disertasi]. Bogor: Program Pasca-sarjana, Institut Pertanian Bogor. Romans JR, Costello WJ, Carlson CW, Greaser ML, Jones KW. 1994. The Meat we eat. Danville, Illinois: Interstate Publishers, Inc.
Sabrani M, Levine JM. 1993. Pendekatan sistem pertanian untuk produksi ruminansia kecil. Di dalam: Manika WodzickaTomaszewska, IM Mastika, A Djajanegara, S Gardiner dan TR Wiradarya, editor. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Sebelas Maret University Press. Simatupang P. 2004. Daya saing usaha peternakan menuju 2020 [abstrak]. Di dalam: Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 4 - 5 Agustus 2004. Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengem-bangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press Soewardi K. 2005. Ketahanan Pangan Berbasis Perikanan dan Kelautan. Semiloka Strategi Pemantapan Produksi dan Ketersediaan Pangan. Bogor, 7 September 2005. Speedy AW. 1980. Sheep Production. Longman, London. Steel RGD, Torrie, JH. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu pendekatan biometrik. PT. Gramedia Pusaka Utama, Jakarta. Sukadi, Purbowati E, Sri Lestari CM. 2002. Aplikasi Teknologi Zat Pemacu Pertumbuhan Phytogenic untuk Penggemukkan Ternak Domba. Di dalam: Inovasi teknologi peternakan dan veteriner dalam menunjang keterpaduan usaha peternakan yang berdaya saing. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner; Bogor, 30 September - 1 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Hlm 87-90. Sutardi T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi I. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Uhi HT. 2005. Suplemen katalitik berbahan dasar gelatin sagu, NPN dan mineral mikro untuk ruminansia di daerah marginal [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Waskito A. 1996. Teknologi Formula Lemak Terlindung (Ca-Coated Fat) dengan cara kimia [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Yudohusodo S. 2003. Pembangunan Indonesia berbasis pertanian. Butir-butir Pemikiran. Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Forum Mahasiswa Pascasarjana, IPB. Bogor, 4 September 2003.
PENDAHULUAN Latar Belakang Produktivitas ternak di daerah tropis termasuk di Indonesia sangat rendah sehingga tidak dapat memenuhi permintaan konsumennya. Salah satu penyebab utamanya adalah nutrisi yang kurang baik.
Sebaliknya
permintaan akan produk peternakan seperti telur, daging dan susu baik secara kuantitas maupun secara kualitas terus meningkat seiring dengan laju pertambahan penduduk, peningkatan kesejahteraan serta kesadaran masyarakat akan gizi. Umumnya
usaha
peternakan
sering
menghadapi
masalah,
terutama dalam pemenuhan kebutuhan akan bahan pakan yang baik dan bermutu, seperti bahan pakan konsentrat sebagai sumber energi. Bahan pakan konsentrat ini sering diproduksi dari bahan-bahan seperti jagung dan kedelai, serta berbagai jenis biji-bijian lain. Padahal bahan tersebut masih merupakan bahan pangan yang hingga kini masih dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dan sejumlah besar bahan-bahan tersebut masih diimport. Hal ini menyebabkan bahan pakan ini masih cukup mahal dan sulit dijangkau oleh peternak. Pada usaha ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing dan domba, hijauan makanan ternak biasanya juga menjadi kendala utama. Hal ini disebabkan karena makin berkurangnya lahan yang digunakan untuk menanam rumput atau hijauan makanan ternak.
Disamping itu
pada daerah-daerah tertentu yang luasan daratannya sangat terbatas, ditambah pengaruh musim yang pada akhirnya bermuara pada keterbatasan hijauan makanan ternak sehingga suplai hijauan pakan ternak sering tidak mencukupi baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Bagi ternak ruminansia hijauan makanan ternak merupakan sumber energi utama selain konsentrat.
Energi merupakan komponen yang
sangat
esensial bagi kehidupan ternak karena diperlukan untuk hidup pokok, berproduksi dan bereproduksi.
Sebaliknya energi juga merupakan
komponen yang paling sering kekurangan dalam ransum ternak . Selain
itu untuk penggemukan diperlukan ransum yang tinggi akan energi, oleh karena itu perlu diusahakan mencari bahan pakan alternatif untuk mencukupi kebutuhan nutrisi yang befungsi sebagai sumber energi. Minyak kelapa sawit kasar (Crude Palm Oil, CPO) dan miyak ikan merupakan bahan-bahan yang masih mengandung lemak cukup tinggi sehingga dapat dipakai sebagai bahan pakan ternak sumber energi. Disamping itu bahan-bahan ini juga diketahui masih mempunyai kandungan asam lemak poli tak jenuh (Polyunsaturated Fatty Acid, PUFA) cukup tinggi yang dapat digunakan dalam pakan ternak ruminansia sebagai sumber asam lemak poli tak-jenuh dalam upaya memperbaiki kualitas dagingnya.
Penggunaan CPO dan minyak ikan dengan
kandungan lemak yang tinggi dalam pakan ternak ruminansia perlu diwaspadai karena dapat memberikan efek negatif pada ternak terutama dalam proses fermentasi rumen, seperti : membatasi pencernaan serat, merupakan racun bagi bakteri selulolitik, menurunkan aktivitas enzim dan menurunkan absorpsi beberapa kation. Mikroorganisma rumen juga dapat menghidrogenasi asam lemak poli tak-jenuh. Hidrogenasi asam lemak tidak jenuh oleh mikroorganisma rumen
menyebabkan
asam
lemak
yang
masuk
ke
usus
halus
mengandung asam lemak bebas jenuh dalam proporsi yang tinggi dan sedikit monogliserida (Lloyd et al. 1978). Dengan adanya proses biohidrogenasi ini menyebabkan daging pada ternak ruminansia mempunyai kandungan asam lemak jenuh yang tinggi yang dapat meningkatkan kolesterol. Akhir-akhir ini mutu atau kualitas dari produk peternakan seperti kadar lemak dan kolesterol juga sudah mulai dipertimbangkan. Hal ini disebabkan
karena beberapa penelitian terakhir membuktikan bahwa
kadar kolesterol dan low density lipoprotein (LDL) yang tinggi dalam darah merupakan faktor resiko utama terjadinya penyakit jantung koroner (Choronery Heart Disease, CHD).
Kolesterol dapat menyebabkan
penyempitan bahkan penyumbatan pembuluh darah yang disebut atherosclerosis menyebabkan pembekuan darah dan serangan jantung.
Sebaliknya asam lemak poli tidak jenuh dapat menurunkan kadar kolesterol darah.
Tingginya kadar lemak dan kolesterol ini sering
merupakan faktor pembatas bagi konsumen untuk mengurangi atau bahkan tidak sama sekali mengkonsumsi produk peternakan ini. Fenomena demikian merupakan kondisi yang dilematis bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan pangan, mengingat daging sebagai sumber protein hewani dengan asam-asam amino esensialnya masih sangat diperlukan bagi masyarakat Indonesia. Dari uraian ini maka penggunaan CPO dan minyak ikan yang mengandung lemak dengan asam lemak poli tak jenuh yang tinggi dalam pakan ternak ruminansia sebagai sumber energi alternatif serta melindunginya dari proses biohidrogenasi mikroorganisme rumen merupakan hal yang menarik untuk dikaji. Parakkasi (1995) menyatakan bahwa sifat lemak ruminan dapat dipengaruhi bila dapat mengubah reaksi mikroba atau pemberian lemak yang tidak mendapat proses dalam rumen yaitu dengan mekanisme : rumen by pass. Lemak by-pass merupakan sumber energi yang tidak mempunyai efek terhadap fermentasi rumen dan siap diasimilasi oleh ternak dalam sistem pencernaannya dan lolos atau terpintas dari proses degradasi mikroba dalam retikulo rumen atau disebut lemak terlindung. Teknologi sabun kalsium (Ca-Soap) merupakan salah satu teknologi perlindungan lemak yang akhir-akhir ini banyak dikembangkan. Teknologi sabun kalsium adalah suatu proses kimiawi untuk menyabunkan bahan lemak dan alkali yang dikenal dengan proses saponifikasi, dan ditambah mineral Kalsium (Ca) dengan tujuan mengubah bentuk minyak ikan dan CPO menjadi bentuk padat yang dapat dicampur dengan pakan ternak.
Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan : 1.
Mempelajari penggunaan teknologi sabun kalsium (Ca-soap) dengan bahan dasar minyak ikan lemuru dan minyak sawit kasar (CPO) sebagai sumber energi alternatif dan asam lemak esensial.
2.
Mempelajari penggunaan teknologi sabun kalsium untuk melindungi asam lemak poli tak jenuh (PUFA) dari biohidrogenasi mikroorganisme rumen.
3.
Mempelajari sejauh mana penggunaan sabun kalsium (Ca-soap) terhadap produksi daging pada ternak ruminansia baik secara kuantitas maupun secara kualitas.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi tambahan informasi ilmiah mengenai peran sabun kalsium dalam melindungi asam lemak poli tak jenuh dari biohidrogenasi rumen.
Manfaat aplikatifnya adalah
penemuan bahan dan formula ransum untuk meningkatkan kandungan asam lemak poli tak jenuh yang dapat menurunkan kandungan kolesterol daging pada ternak ruminansia sehingga dapat meningkatkan kualitas daging tersebut. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah bahwa penggunaan sabun kalsium (Ca-Soap) dalam ransum ternak ruminansia dapat melindungi asam lemak poli tak jenuh (PUFA) dari biohidrogenasi mikroorganisma rumen dan meningkatkan produksi dagingnya baik kuantitas maupun kualitasnya.
TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Usaha Peternakan Dalam sistem pengembangan pertanian secara menyeluruh, posisi peternakan sangat sentral dan merupakan usaha yang berada di hulu dan di hilir. Usaha peternakan dapat berkedudukan sebagai penarik dan juga sebagai pendorong untuk subsektor pertanian lainnya.
Pada umumnya
di beberapa negara, modernisasi pertanian sangat erat dengan upaya memodernisasi peternakan. Produksi jagung, kedelai dan bahan pakan lainnya selalu diorientasikan kepada usaha produk ternak.
Sebagai
contoh aktual di Brazil pengembangan komoditas jagung dan kedelai ditujukan untuk memperkuat industri peternakan, khususnya unggas. Kini Brazil menjadi negara kedua terbesar pengekspor unggas. Ternak sudah lama dikenal sebagai produsen pupuk organik yang sangat potensial dengan kualitas yang baik dan input biaya rendah serta mudah diproses.
Dengan fungsi ini maka ternak mempunyai peranan
yang sangat vital dalam sistem pertanian zero waste, pertanian organik dan
pertanian
mendukung
berkelanjutan.
program
pertanian
Pengembangan organik
Departemen Pertanian pada tahun 2010.
yang
peternakan telah
dapat
dicanangkan
Penggunaan pupuk kimia
secara berlebihan dan berlangsung lama telah menurunkan kualitas kesuburan tanah dan merusak sifat fisik tanah. Hal ini ditengarai telah terjadi di Pulau Jawa, dimana lahan Pulau Jawa saat ini kandungan bahan organik sudah pada level kritis yaitu 1%, padahal kandungan minimum bahan organik tanah seharusnya 3%.
Dengan memanfaatkan pupuk
organik (kompos) yang berasal dari limbah usaha peternakan, diharapkan kondisi ini dapat diperbaiki. Pengembangan peternakan, khususnya peternak unggas dapat menarik sektor perikanan karena produk maupun limbah perikanan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak.
Pada tahun 2000 impor
tepung ikan mencapai volume 111 068 ton dengan nilai US $ 50 779. Penghematan devisa dapat dilakukan bila produksi tepung ikan dapat
6
dipenuhi di dalam negeri. Dengan demikian, pengembangan perikanan sebaiknya dapat disinergikan dengan pembangunan peternakan. Dahulu dalam pengembangan transmigrasi, komponen peternakan pernah mendapat perhatian cukup signifikan dari pemerintah.
Hal ini
karena sangat disadari bahwa ternak dapat berperan sebagai sumber tenaga kerja, penyubur tanah, meningkatkan pendapatan masyarakat dan sebagai tabungan dengan nilai yang terus meningkat. Pada saat ini produksi peternakan Indonesia masih rendah. Cukup besar produk peternakan yang harus diimpor, demikian pula dengan bahan pakan dan obat-obatan. Untuk mencukupi kebutuhan akan bahan baku pakan dan input produksi lainnya, maka pengembangan peternakan perlu didukung oleh pengembangan pertanian dan agroindustri.
Bila
peternakan dikembangkan sehingga dapat memenuhi kebutuhan produk peternakan dengan produksi sendiri (self sufficient) tanpa harus mengimpor, maka semua sub sektor pertanian lain akan ikut berkembang. Usaha peternakan harus didukung oleh ketersediaan sarana produksi ternak termasuk didalamnya ketersediaan pakan yang murah dan mudah didapat. Hal ini disebabkan karena pakan ternak merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha tersebut karena pada setiap usaha peternakan, biaya untuk bahan pakan ternak meliputi lebih dari 70% biaya produksi. Selain itu kendala lain yang dihadapi terkait dengan bahan pakan ternak meliputi ketersediaannya, kecukupannya, kualitasnya serta kontinuitasnya.
Umumnya usaha peternakan sering menghadapi
masalah, terutama dalam pemenuhan kebutuhan akan bahan pakan yang baik dan bermutu, seperti bahan pakan konsentrat sebagai sumber energi. Bahan pakan konsentrat ini sering diproduksi dari bahan-bahan seperti jagung dan kedelai, serta berbagai jenis biji-bijian lain. Padahal bahan tersebut masih merupakan bahan pangan yang hingga kini masih dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dan sejumlah besar bahan-bahan tersebut masih diimport. Hal ini menyebabkan bahan pakan ini masih cukup mahal dan sulit dijangkau oleh peternak.
7
Pada usaha ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing dan domba, hijauan makanan ternak biasanya juga menjadi kendala utama. Hal ini disebabkan karena makin berkurangnya lahan yang digunakan untuk menanam rumput atau hijauan makanan ternak.
Disamping itu
pada daerah-daerah tertentu yang luasan daratannya sangat terbatas, ditambah
pengaruh
musim
yang
pada
akhirnya
bermuara
pada
keterbatasan hijauan makanan ternak sehingga suplai hijauan pakan ternak sering tidak mencukupi baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya.
Padahal bagi ternak ruminansia hijauan makanan ternak
merupakan sumber energi utama selain konsentrat. Menurut Simatupang (2004) bahwa sebagai negara kepulauan, Indonesia kurang mempunyai keunggulan
komparatif
untuk
mengembangkan
sistem
peternakan
berbasis pakan rumput (grass fed livestock farming) seperti sapi potong, kerbau, kambing dan domba. Di lain pihak, upaya peningkatan produk peternakan terus digalakkan, mengingat daging dan susu merupakan sumber protein hewani yang sangat dibutuhkan bagi kehidupan manusia. Daging dan susu merupakan produk primer ternak sumber protein yang sangat dibutuhkan untuk pembentukkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia yang lebih baik. Sumberdaya manusia (SDM) adalah modal dasar utama untuk pembangunan nasional. Berdasarkan data UNDP (2003) saat ini kualitas SDM Indonesia masih sangat rendah, berada di peringkat ke 112 diantara 147 negara-negara lainnya di dunia. Selain itu konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia masih jauh dari yang diharapkan. Konsumsi protein hewani rakyat Indonesia khususnya daging dan susu berturut-turut 9.1 dan 3.7 Kg/kapita/tahun, masih sangat rendah bila dibandingkan dengan negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang yang konsumsi daging dan susunya berturut turut 122 dan 119; dan 42.1 dan 42.8 kg/kapita/ tahun.
Bahkan Malaysia konsumsi daging dan
susunya masih lebih tinggi daripada Indonesia, yakni berturut-turut 52.3 dan 24.4 kg/kapita/tahun.
Adapun peringkat kualitas SDM Malaysia,
Amerika dan Jepang adalah berturut-turut ke 58, 7 dan 9.
8
Daging dan susu merupakan produk dari usaha peternakan ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing dan domba yang permintaannya terus meningkat dari tahun ke tahun sejalan dengan laju pertambahan penduduk, peningkatan kesejahteraan serta kesadaran masyarakat akan gizi. Dilain pihak produksi daging dalam negeri sendiri sangat rendah dan untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka pemerintah menerapkan kebijakan impor. Diproyeksikan pada tahun 2020 Indonesia masih akan mengalami defisit produksi daging sekitar 2.7 juta ton (Simatupang 2004). Dengan meningkatnya impor daging maka ditakutkankan hal ini akan menjadi jebakan pangan (food trap) karena dengan bertambahnya jumlah penduduk dari tahun ke tahun maka impor daging akan semakin meningkat pula dengan cepat dan diperkirakan kebutuhan daging di Indonesia untuk tahun 2035 akan mencapai 6 juta ton sementara sampai tahun 2001 produksi daging hanya sebesar 2.2 juta ton, seperti terlihat pada tabel dibawah ini. Tabel 1 Perkembangan produksi dan kebutuhan pangan Komoditas
Produksi dalam Negeri
Kebutuhan
Tahun 2001
Tahun 2035
Beras
29 juta ton
36 juta ton
Gula
1.9 juta ton
10 juta ton
Daging
2.2 juta ton
6 juta ton
Susu
1.2 milyar liter
4.8 milyar liter
Telur
12.6 milyar butir
36 milyar butir
Sumber : Yudohusodo 2003 Dari kenyataan ini maka perlu dilakukan upaya-upaya untuk mencari bahan pakan alternatif yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak.
Saat ini orientasi pengelolaan dan penyediaan pakan ternak
adalah pada pencapaian standar kualitas dari produk yang dihasilkan. Kecenderungan ini muncul sebagai akibat dari berkembangnya tingkat
9
pengetahuan dan orientasi konsumsi pangan asal ternak sebagian besar masyarakat. Karena itu, pemanfaatan limbah atau hasil ikutan industri pertanian sebagai sumber pakan alternatif bagi ternak ruminansia pada saat ini tidak dapat dihindari. Domba sebagai Ternak Percobaan Ternak domba termasuk salah satu ternak ruminansia seperti juga ternak sapi, kerbau dan kambing yang banyak dipelihara dan dikembangkan di Indonesia. Umumnya pemeliharaan ternak domba terutama untuk memperoleh bahan pangan berupa daging disamping produk lain yaitu susu dan bulu/wool. Selain itu hasil ikutan lain yang dapat dimanfaatkan antara lain adalah kulit dan tanduk untuk bahan baku industri. Klasifikasi domba menurut Blakely dan Bade (1991) adalah sebagai berikut : Kingdom
: Animal
Phylum
: Chordata (hewan bertulang belakang)
Class
: Mamalia (hewan menyusui)
Sub Class
: Ungulata
Ordo
: Artiodactyla (hewan berkuku genap)
Sub ordo
: Ruminansia
Family
: Bovidae (tanduk berongga)
Sub family
: Caprinae
Genus
: Ovis
Species
: Ovis aries
Ada beberapa karakteristik yang digunakan untuk mengklasifikasi bangsa domba di daerah tropis antara lain : 1) bentuk dan tipe ekor (gemuk, tipis dan panjang), 2) bulu yang menutupi tubuh (wool atau bulu), 3) ukuran dan bentuk tubuh, 4) warna bulu dan jumbai, 5) ada atau tidaknya tanduk, 6) prolificacy, (perkembangbiakannya, kesuburannya), dan 7) tergantung tujuan pemeliharaan (daging, susu, wool atau kulit) (Gatenby 1986).
10
Ada tiga jenis domba yang dikenal di Indonesia yaitu : 1) Domba Jawa ekor kurus (JEK); 2) Domba Jawa ekor gemuk (JEG); dan 3) Domba Sumatera ekor kurus (SEK) (Iniguez et al. 1993). Perbedaan masingmasing jenis domba ini dapat dilihat dari sifat-sifat luarnya antara lain domba JEK dan SEK mempunyai ekor kurus dan panjang, warna bulu domba JEK bervariasi, pada yang jantan umumnya bertanduk. Domba SEK umumnya berwarna coklat muda dan pada yang jantan jarang bertanduk, kedua jenis domba ini rata-rata bulunya (wool) kasar dan tersebar tidak teratur di bagian tubuhnya . Ternak domba pada dasarnya adalah ternak pemakan rumput, kurang selektif dan memanfaatkan rumput lebih efisien dibanding kambing. Sistem pencernaannya berbeda dengan ternak non-ruminansia seperti babi dan ayam karena mempunyai perut majemuk yaitu : reticulum, rumen, omasum dan abomasum.
Ternak ini memamah kembali dan
mengunyah pakannya serta telah beradaptasi secara fisiologis untuk mengkonsumsi pakan yang berserat kasar tinggi seperti rumput dan hijauan tanaman makanan ternak lain yang tidak dapat dimanfaatkan langsung oleh manusia dan ternak non-ruminansia lainnya. Pakan yang beserat kasar tinggi yang diberi kepada ternak domba, diubah menjadi daging dan susu, produk yang kaya akan protein, lemak, vitamin dan mineral yang sangat berguna untuk dikonsumsi oleh manusia. Sistem produksi ternak domba di Indonesia umumnya adalah sistem tradisional dimana pemberian pakan tergantung pada hijauan tanaman makanan ternak yang tersedia seperti rumput-rumputan dan semak dengan sedikit atau tidak ada makanan tambahan/pelengkap. Disamping itu usaha ternak ini merupakan usaha tambahan dari produksi tanaman pangan dan memanfaatkan limbah pertanian lainnya. Kebutuhan zat-zat makanan untuk domba pada berbagai kondisi fisiologis sudah ada, tetapi berasal dari daerah beriklim sedang (empat musim) dengan domba yang berasal dari daerah tersebut dan tidak meliputi kebutuhan ternak domba lokal yang hidup di daerah tropis. Ternak domba lokal ini umumnya mempunyai ukuran tubuh lebih kecil dan
11
berat badannya lebih rendah. Berikut ini adalah tabel untuk mengestimasi kebutuhan protein dan energi untuk ternak domba dengan mempergunakan data hasil penelitian yang dilaksanakan di Indonesia.
Tabel 2 Kebutuhan energi dan protein per ekor/hari domba lokal Berat badan (kg) 10
12
14
16
18
20
Pertambahan Energi berat badan DE ME (g/hari) (Mkal) (Mkal)
Protein TP DP (g) (g)
Bahan Kering (kg) Total Persen Berat badan
0
1.00
0.82
44.7
16.5
0.34
50
1.49
1.22
73.7
35.2
0.51
100
1.98
1.62
102.7
54.0
0.68
0
1.17
0.96
51.3
24.9
0.40
50
1.65
1.35
80.3
43.6
0.56
100
2.14
1.75
109.3
62.3
0.73
0
1.33
1.09
57.9
33.2
0.45
50
1.81
1.49
86.9
52.0
0.62
100
2.30
1.89
116.0
70.7
0.79
0
1.49
1.22
64.5
41.6
0.51
50
1.97
1.62
93.6
60.3
0.68
100
2.46
2.02
122.6
79.1
0.84
0
1.65
1.35
71.2
40.0
0.56
50
2.14
1.75
100.2
68.7
0.73
100
2.62
2.15
129.2
87.4
0.90
0
1.81
1.49
77.8
58.4
0.62
50
2.30
1.88
106.8
77.1
0.78
100
2.78
2.28
135.8
95.8
0.95
3.4
3.3
3.2
3.2
3.1
3.1
Sumber : Haryanto dan Djajanegara 1993. Dalam hal pertumbuhannya, ternak domba jantan menunjukkan peningkatan tajam dalam berat badan dari saat lahir sampai umur 8 bulan
12
dan saat itu mencapai berat badan ± 23 kg. Setelah itu, antara 8 sampai 17 bulan, domba jantan tidak bertambah berat lagi dan berat badan pada umur 17 bulan hampir sama dengan berat badan umur 18 bulan. Berat badan tertinggi adalah 25 kg yang dicapai pada umur 18 bulan (Gambar 1). 25 24 23 22 21 20
Berat hidup (kg)
19 18 17 16 15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 1
4
7
10
13
16
19
22
Umur (bulan)
Gambar 1 Kurva pertumbuhan domba lokal jantan (Sabrani dan Levine 1993).
Sistem Pencernaan Lemak pada Ternak Ruminansia Pada sistem pencernaan ruminansia, energi diperoleh dari karbohidrat struktural melalui mikroorganisme simbiotik yang menyebabkan ruminansia tersebut sensitif terhadap adanya lemak yang tinggi di dalam ransum. Padahal lemak ini dapat diharapkan meningkatkan energi ransum tanpa harus tergantung hanya pada produksi asam lemak terbang (Volatile Fatty Acid, VFA) (Parakkasi 1995). Ternak ruminansia sangat
13
sensitif dengan taraf lemak yang tinggi dalam ransum karena dapat memberikan efek yang negatif dalam proses fermentasi di rumen seperti : membatasi pencernaan serat, merupakan racun bagi bakteri selulolitik, menurunkan aktifitas enzim dan menurunkan absorpsi beberapa kation. Pada ruminansia dewasa, sesungguhnya semua pencernaan lemak dihidrolisis menjadi asam lemak bebas (Free Fatty Acid, FFA) dan gliserol oleh mikro organisme rumen. Banyak sekali hidrogenasi dari asam lemak tak jenuh juga terjadi di rumen. Jadi asam lemak yang masuk ke usus halus mengandung proporsi yang tiggi dari asam lemak bebas jenuh dan sedikit monogliserida (Lloyd et al. 1978). Setelah masuk ke dalam usus halus, asam lemak ini akan bergabung dengan lysolecithin dan garam empedu
membentuk
misel.
Lysolecithin
menggantikan
fungsi
monogliserida dan garam empedu bertindak sebagai zat pengemulsi yang memungkinkan lemak tersebut dapat melewati media air dan siap untuk diabsopsi melalui dinding usus halus. Di dalam mukosa usus beberapa reaksi terjadi tergantung pada tipe asam lemak yang diabsorpsi.
Trigliserida dengan rantai pendek dan
menengah mengalami hidrolisis oleh enzim lipase membentuk produk gliserol dan asam-asam lemak rantai pendek dan menengah akan langsung masuk ke dalam vena porta dan disimpan di dalam hati. Sementara itu asam-asam lemak dengan rantai panjang akan mengalami esterifikasi, dan sintesis kembali trigliserida dalam epithelium usus halus terjadi melalui L-α- glicerolphosphat pathway (Lloyd et.al. 1978). Triglicerida yang terbentuk ini bersama-sama dengan sejumlah kecil protein, kolesterol, phospholipid dan vitamin-vitamin yang larut dalam lemak bergabung membentuk chylomicron.
Chylomicron merupakan
partikel yang kaya akan lemak dan merupakan bentuk utama transport lemak yang terdapat dalam makanan (Gambar 2). Chylomicron masuk ke dalam sistem limpa melalui lacteal yang terdapat dalam villi usus. Pembuluh limpha biasanya mendeposit isinya ke dalam sirkulasi darah melalui ductus toracicus, yaitu suatu jalur tempat
14
masuknya chylomicron ke dalam sirkulasi, kemudian oleh arteri hati akan dibawah ke hati.
Lecithin
Phospholipase
Lysolecithin + Free fatty acids (FFA)
FFA Lecithin Lysolecithin
Digesta/FFA complex
Micelle
Bile Salts
- - - - - - Brush border - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Lysolecithin
Glucose FFA ATP
L-α-Glycerophosphate AMP + PP
Fatty acyl CoA Phosphatidic acid Diglyceride
Triglyceride Lecithin Lipoprotein Chylomicron
- - - - - - - - - - - Basement membrane - - - - -- - - - - - - - - - - - - - Lymph
Gambar 2 Skema sistem pencernaan lemak pada ternak ruminansia (Lloyd et al. 1978).
15
Hati juga merupakan tempat terakhir dari transport gliserol serta asam-asam lemak rantai pendek dan menengah, kemudian diangkut langsung melalui pembuluh kapiler dan vena porta. Jika terjadi kelebihan lemak yang tidak diperlukan oleh sel dalam hati, akan diangkut ke dalam jaringan-jaringan lain termasuk jaringan adiposa lipoprotein (Piliang dan Djojosobagio 2002). Lemak sebagai Sumber Energi Lemak atau lipid adalah zat makanan yang tidak larut dalam air tetapi dapat larut dalam pelarut organik seperti eter, kloroform atau benzena.
Berdasarkan sifat fisik pada temperatur kamar lemak dapat
dibedakan dalam bentuk lemak (fat) adalah bentuk lemak yang berupa padatan misalnya lemak asal hewani dan minyak (oil) adalah bentuk lemak yang berupa cairan misalnya lemak asal nabati (Piliang dan Djojosoebagio 2002) Banyak fungsi lemak tubuh yang sangat tergantung pada lemak. Secara makro beberapa fungsi lemak antara lain sebagai sumber energi, membantu transport vitamin yang larut dalam lemak, berfungsi sebagai bahan insulasi serta pelindung organ-organ dan jaringan bagian dalam (Pond et al. 1995).
Umumnya usaha peternakan sering menghadapi
masalah, terutama dalam pemenuhan kebutuhan akan bahan pakan yang baik dan bermutu, seperti bahan pakan konsentrat sebagai sumber energi. Energi merupakan komponen yang
sangat esensial bagi kehi-
dupan ternak karena diperlukan untuk hidup pokok, berproduksi dan bereproduksi. Sebaliknya energi juga merupakan komponen yang paling sering kekurangan dalam ransum ternak (Parakkasi 1986).
Selain itu
untuk penggemukan diperlukan ransum yang tinggi akan energi. Menurut Piliang (1997) bahwa penyusunan bahan-bahan pakan yang siap diberikan pada ternak dalam bentuk ransum, ataupun penyediaan bahanbahan makanan yang siap santap, minimal 50% dari formula ransum yang
16
dikonsumsi merupakan bahan sumber energi, karena itu perlu diusahakan mencari bahan pakan alternatif untuk mencukupi kebutuhan nutrisi yang befungsi sebagai sumber energi. Energi dapat diartikan sebagai suatu tenaga atau kekuatan yang memungkinkan terjadinya aktivitas. Kebutuhan energi dipengaruhi oleh fungsi tubuh normal, aktivitas, bobot badan dan jenis kelamin. Lemenager et al. (1980) menyatakan bahwa kondisi bobot badan dan tingkat produksi ternak dapat dipakai untuk menduga kebutuhan energi. Kebutuhan energi pada ternak dapat dibagi dua yaitu untuk hidup pokok dan berproduksi. Kebutuhan energi untuk hidup pokok adalah energi yang diperlukan untuk memelihara kelestarian hidup dan mempertahankan keutuhan alat-alat tubuh.
Kebutuhan untuk produksi dimanfaatkan untuk proses-prose
produksi yang meliputi pertumbuhan seperti pembentukan daging, penumpukan lemak, produksi susu dan lain-lain (Tillman et al. 1984). Frisch (1978) mengemukakan bahwa kebutuhan energi utnuk hidup pokok akan dipenuhi terlebih dahulu sebelum energi tersebut digunakan untuk produksi. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 3. Salah satu komponen lemak yang paling penting adalah asam lemak. Asam lemak adalah suatu rantai hidrokarbon yang mengandung gugus metil pada salah satu ujungnya dan satu gugus asam atau gugus karboksil pada ujung yang lain. Secara umum formula kimia suatu asam lemak adalah : CH3(CH2)nCOOH. Asam lemak yang mempunyai rantai hidrokarbon dengan jumlah atom karbon berkisar dari 4 sampai 6 disebut asam lemak rantai pendek, sedang jumlah atom karbon berkisar dari 8 sampai 12 disebut asam lemak rantai sedang dan jumlah atom karbon dari 14 sampai 26 disebut asam lemak rantai panjang. Bila ternak kekurangan energi, maka asam lemak dalam jaringan lemak dapat dirombak untuk memenuhi kebutuhan energi. Asam lemak yang kaya energi ini dirombak menjadi CO2 dan H2O pada jaringan hewan. Asam lemak akan mengalami perpendekan rantai, pada tahap pertama asam lemak mengalami pelepasan unit dua karbon berturut-turut secara oksidatif, mulai dari ujung karboksil rantai asam lemak dengan
17
berulang-ulang melewati rangkaian enzim yang melepaskan satu unit asetil dua karbon sebagai asetil -CoA. Asetil-CoA akan masuk siklus Kreb dan menghasilkan energi untuk ternak bersangkutan (Lehninger 1994).
Feses Energi dapat Dicerna
Urin dan gas metan
Bahan Terbuang
Pertahanan integritas Tubuh (kebutuhan energi basal)
Energi metabolik
Usaha mendapatkan makanan (makan, pergerakan, pencernaan dan sebagainya termasuk peningkatan suhu karena makan)
Panas
Melawan cekaman lingkungan (iklim, penyakit, depresi dan sebagainya)
Energi untk Produksi (energi netto)
Aneka ragam (tenaga tarik, kulit dan sebagainya) Kebuntingan Laktasi
Panas dan hasil-hasil yang bernilai ekonomis
Pertumbuhan
Depot lemak
Gambar 3 Diagram rantai transformasi energi ransum pada hewan ruminansia (Frisch 1978).
18
Biosintesis Asam Lemak Asam-asam lemak merupakan unit dasar dari pada lemak dan selalu terikat dengan gliserol yang disebut gliserida. Gliserol mempunyai tiga grup hidroksil dan setiap molekul gliserol dapat berkombinasi dengan satu, dua atau tiga asam lemak membentuk monogliserida, digliserida dan trigliserida dengan struktur umum seperti pada Gambar 4 dimana R1, R2 dan R3 adalah asam lemak. H2COH H
COH
H2COH H
H2COOCR1
COOCR2 H2COOCR1
H2COOCR3 H
COOCR2 H2COOCR1
Gambar 4 Struktur ikatan asam lemak dan gliserol (Pond et al. 1995). Jika ketiga asam lemak ini sama (identik) maka akan dihasilkan trigliserida sederhana dan jika ketiga asam lemak ini berbeda maka akan dihasilkan trigliserida campuran. Setiap lemak di dalam bahan makanan terdiri dari bermacam-macam trigliserida campuran dan di alam tidak ada lemak yang ditemukan hanya mengandung satu trigliserida (Anwar dan Piliang 1992).
Lemak dalam jaringan lemak hewan yang sudah
berkembang maksimum terutama terdiri dari trigliserida (90-98%), sedikit diglserida (1-2%), fosfolipid (0,25%) dan kolesterol (0,25%) (Linder 1992 ; Piliang dan Djojosoebagjo 2002). Asam lemak mempunyai formula CH3 (CH2)n COOH, dimana n dapat terdiri dari 1 samapi 23. Asam lemak dikelompokkan kedalam tiga kelompok yaitu asam lemak jenuh (Saturated Fatty Acid, SAFA), asam lemak tunggal tidak jenuh (Monounsaturated Fatty Acid, MUFA) dan asam lemak poli tidak jenuh (PUFA).
Asam lemak jenuh yaitu bila rantai
hidrokarbonnya dijenuhi oleh hidrogen. Termasuk didalamnya antara lain asam laurat, asam miristat, asam palmitat dan asam stearat. Sedangkan asam lemak tidak jenuh yaitu bila rantai hidrokarbonnya tidak dijenuhi oleh hidrogen dan oleh karena itu mempunyai satu ikatan rangkap atau lebih.
19
Termasuk didalamnya antara lain asam palmitoleat, asam oleat, asam linoleat, asam linolenat dan asam arachidonat.
Diantara asam-asam
lemak tersebut ada yang esensial antara lain asam linoleat, asam linolenat dan asam arachidonat. Asam lemak tidak jenuh mempunyai titik cair lebih rendah dari pada asam lemak jenuh dengan jumlah atom karbon yang sama. Titik cair dari suatu asam lemak tergantung dari struktur molekulnya, panjang dari rantai karbon dan tipe ikatannya (Fernandez 1999). Asam lemak yang terdapat pada hewan umumnya adalah asam lemak dengan jumlah atom karbon genap, yaitu antara 14-22, sedangkan asam lemak yang banyak dijumpai mempunyai jumlah atom karbon sebanyak 16 dan 18.
Lemak daging
terutama mengandung asam-asam lemak jenuh dan mono tidak jenuh. Sebagian besar lemak hewan mengandung asam-asam lemak jenuh yaitu asam palmitat (C16:0) dan asam stearat (C18:0), kemudian asam laurat (C12:0) dan asam miristat (C14:0) terdapat dalam jumlah yang lebih sedikit. Asam lemak tidak jenuh dari hewan atau daging yang dominan adalah asam palmitoleat (C16:1), asam oleat (C18:1), asam linoleat (C18:2) dan asam linolenat (C18:3). Biosintesis
asam
lemak
dimulai
dengan
acetyl-CoA
yang
merupakan prazat atau prekursor yang berasal dari metabolisme karbohidrat, protein dan lemak (Gambar 5). Beberapa kofaktor berperan penting dalam proses ini yaitu NADPH, CO2, biotin, Acyl Carrier Protein (ACP) dan malonyl-CoA. Malonyl-CoA merupakan precursor yang lebih potensial dibanding dengan acetyl-CoA dalam proses sintesis asam lemak. Hal ini disebabkan pembentukan asam-asam lemak rantai panjang berawal dari penambahan dua atom karbon pada asam-asam lemak dengan rantai yang lebih pendek. Dalam hal ini dua atom karbon yang digunakan untuk maksud tersebut berasal dari malonyl-CoA. Biosintesis asam lemak terjadi di hampir semua bagian tubuh hewan terutama di dalam jaringan hati, jaringan lemak serta kelenjar susu dan berlangsung di dalam sitoplasma. Acetyl-CoA tidak dapat menembus membran mitokhondria untuk masuk ke dalam sitoplasma. Acetyl-CoA
20
bereaksi dengan oksaloasetat yang akhirnya membentuk sitrat yang dapat menembus membran mitokondria. Ini merupakan tahap pertama di dalam siklus asam sitrat oleh enzim sitrat sintase dengan reaksi sebagai berikut : Acetyl-CoA + Oksaloasetat + H2O
Sitrat + CoA + H+
Fosforilasi Karbohidrat
Glukosa 6 P Fruktosa 6 P Fruktosa 1,6 di P Dihidroxy aseton fosfat Gliseraldehid 3 P 3 Fospogliseral fosfat 3 Fospogliserat 2 Fospogliserat
Protein makanan (Deaminasi)
Asam lemak makanan (β oksidasi) Fospoenolpiruvat Piruvat Asetil-KoA
Oksaloasetat
Sitrat
Malat Fumarat Suksinat
Mitokondria
Sitrat
Asetil-KoA
Isositrat
Malonil-KoA
Ketoglutarat
Palmitat C15 H31COOH
Sitoplasma
Gambar 5 Biosintesis asam lemak dari karbohidrat, protein dan lemak (Lehninger 1994).
21
Sitrat yang terbentuk masuk ke dalam sitoplasma dan di dalam sitoplasma acetyl-CoA dibentuk kembali dari sitrat dengan bantuan enzim sitratliase dengan reaksi sebagai berikut : Sitrat + ATP + CoA
Acetyl-CoA + ADP + Pi + Oksaloasetat
Pembentukan malonyl-CoA dari acetyl-CoA terjadi dalam sitosol dan berlangsung dalam dua tahap. Tahap pertama adalah karbon dioksida (CO2) diaktifkan oleh adanya biotin. Tahap kedua adalah CO2 ditransfer dari biotin coplex ke dalam acetyl-CoA untuk pembentukan malonyl CoA. Proses biosintesis asam lemak ini diawali dengan pembentukan malonyl-ACP complex dan acetyl-ACP.
Malonyl-CoA yang merupakan
donor dua atom karbon dikonversi menjadi senyawa ACP oleh adanya kegiatan enzim yang disebut “transacylase”. Kondensasi malonyl – S – ACP dangan acetyl ACP adalah langkah pertama dari empat reaksi berurutan dalam lingkaran biosinteis asam lemak. Pada reaksi kedua, senyawa β-keto direduksi menjadi β-hydroxy-acyl-ACP. Proses reduksi ini mentransferkan dua elektron dan satu proton dari NADPH. Reaksi ketiga dari lingkaran biosintesis ini adalah dehidrasi yang menghasilkan senyawa α, β tak jenuh. Reaksi ini merupakan analogi dari reaksi hydratase dalam jalur katabolik yang berlawanan arah.
Pada reaksi terakhir, terbentuk
senyawa fatty-acyl ACP dengan dua atom karbon lebih panjang dari asam lemak awal. Reduksi akan terjadi dengan penambahan dua proton dan dua elektron yang didominasikan oleh NADPH. Proses biosintesis ini akan berlansung terus menurut lingkaran lingkaran yang telah ditentukan, berulangkali sama dengan proses pertama kali, sampai asam lemak rantai panjang yang dikehendaki terbentuk.
Misalnya dalam biosintesis salah satu asam lemak rantai
panjang yaitu palmitat, dimana setiap kali lingkaran proses ditambahkan dua atom karbon, maka setelah tujuh kali lingkaran akan menghasilkan palmityl-ACP. Asam palmitat akan terbentuk dari palmityl-ACP dengan cara hidrolisa. Reaksi seluruhnya dari sintesa asam lemak palmitat yang berawal dari acetyl-CoA adalah sebagai berikut :
22
8 H3 -C-COSCoA + 7 CO2 + 14 H+ + 7 ATP
H3 C (CH2)14 COOH
+ 8 CoASH + 7 CO2 + 14 NADP+ + 7 ADP + 7 Pi + 6 H2O Reaksi tersebut diatas menunjukkan bahwa dalam proses sintesa asam lemak palmitat dibutuhkan 14 molekul NADPH dan 7 molekul ATP. Proses ini membutuhkan energi yang banyak dimana 14 NADPH equivalen dengan 14 x 3 senyawa fosfat berenergi tinggi. Selain itu 8 acetyl-CoA, yang setara dengan 96 ATP juga digunakan sehingga energi tersebut terpakai untuk keperluan ini dan menjadi tidak tersedia untuk keperluan katabolik yang segera. Asam lemak linoleat adalah salah satu asam lemak tidak jenuh dengan dua ikatan rangkap tidak dapat disintesis oleh jaringan hewan. Asam linoleat
diperlukan untuk pertumbuhan normal dan untuk
mempertahankan kesehatan. Selain itu asam ini merupakan prekursor untuk sintesa prostaglandin, yaitu suatu asam lemak yang mengandung 20 atom karbon dan yang mempunyai fungsi seperti hormon. Penelitianpenelitian terakhir membuktikan bahwa meskipun asam lemak linolenat sangat penting dalam proses pertumbuhan, tetapi asam lemak ini dapat disintesis dari asam lemak linoleat. Begitu juga asam lemak arachidonat yang mempunyai kemampuan tiga kali lebih efektif dalam mempercepat pertumbuhan, dapat disintesis dari asam linoleat dalam tubuh (Piliang dan Djojosoebagio 2002). Asam lemak linoleat tidak dapat disintesis dalam tubuh maka asam lemak ini perlu ada didalam makanan dan oleh karena itu asam lemak ini digolongkan dalam asam lemak esensial. Pengaturan Kolesterol pada Hewan dan Manusia Kolesterol merupakan lemak yang sangat berbeda dengan lemak yang tergolong trigliserida atau fosfolipid, karena tidak mengandung gliserol melainkan terdiri atas inti steroid yang mengandung satu gugus OH, seperti terlihat pada Gambar 6. Menurut Pond et al. (1995) bahwa kolesterol dengan formula C27H45OH adalah sterol terpenting yang terdapat dalam jaringan hewan, sedangkan sterol itu sendiri termasuk golongan lipida (Anggorodi 1979).
23
Dengan demikian metabolisme kolesterol erat hubungannya dengan metabolisme lipid. Kolesterol mempunyai fungsi fisiologis yang penting dan muncul pada semua jaringan-jaringan ternak baik dalam bentuk bebas ataupun bentuk ester (Price dan Schweigert 1971). CH3 CH3 CH3
CH3
CH3 HO
Gambar 6 Struktur kolesterol (Pond et al. 1995). Lemak makanan diserap di bagian atas usus kecil setelah dihidrolisis menjadi gliserida parsial dan asam-asam lemak yang terdispersi dalam micelle dengan pertolongan garam empedu.
Residu
lipid terdifusi ke dalam epitel mukosa kemudian dikonversi kembali menjadi trigliserida-trigliserida dan terinkorporasi ke dalam butir lemak yang besar diselimuti oleh fosfolipid yang amfifilik dan protein yang disebut chylomicron, tersekresi ke dalam ruang intertisial, masuk ke dalam lakteal kemudian masuk ke dalam darah melalui ductus thoracicus (Parakkasi 1995). Jumlah chylomicron yang dibentuk setiap hari tergantung pada banyaknya lemak (trigliserida) yang dikonsumsi. Sebagian chylomicron dimetabolisme didalam pembuluh kapiler oleh enzim sehingga trigliserida terbagi menjadi asam-asam lemak yang kemudian disimpan didalam jaringan sebagai cadangan energi, sedangkan sebagian lagi chylomicron berbentuk sisa (remnants) diangkut ke dalam hati guna pembentukan kolesterol kembali berupa VLDL dan LDL.
Sebagaimana chylomicron,
“chylomicron remnants” banyak mengandung kolesterol ester, bersifat aterogenik dan sangat berbahaya apabila terserap oleh dinding pembuluh darah karena dapat merupakan cikal bakal pembentukan aterosklerosis.
24
Beberapa komponen kolesterol dalam darah, diantaranya yang berperan dalam arterosklerosis adalah fraksi lipoprotein berdensitas tinggi (Hight Density Lipoprotein, HDL) dan lipoprotein berdensitas rendah (Low Density Lipoprotein, LDL). Fungsi utama HDL yaitu membawa kolesterol yang terdapat pada perifer ke hati, selanjutnya dapat dikelurkan melalui usus, sedang LDL membawa kolesterol ke perifer. Semakin meningkat kadar LDL, semakin banyak tumpukan kolesterol di dinding pembuluh darah (Sastri dan Sahim 1990). Kandungan kolesterol dalam serum darah dipengaruhi oleh macam dan jumlah makanan berlemak.
Perubahan dari makanan yang
mengandung asam lemak jenuh menjadi makanan berasam lemak tidak jenuh akan menurunkan kadar kolesterol dalam serum darah. Kolesterol yang ada didalam tubuh selain berasal dari makanan asal hewani atau eksogenous, juga dapat disintesis oleh sel-sel tubuh sendiri atau endogenous.
Pada mamalia, jaringan-jaringan yang diketahui mampu
mensintesis kolesterol antara lain adalah hati, kortek adrenal, kulit, usus, testis, lambung, otot, jaringan adiposa dan otak.
Sedangkan yang
bertanggung jawab atas sintesis kolesterol adalah fraksi mikrosom dan sitosol sel. Asetil-Ko A merupakan sumber seluruh atom karbon pada kolesterol. Biosintesis kolesterol berlangsung dalam empat tahap. 1) Konversi asam asetat menjadi mevalonat. 2) Konversi mevalonat menjadi squalen. 3)
Konversi squalen menjadi lanosterol.
4) Metabolisme lanosterol
menjadi kolesterol (Wirahadikusumah 1985) Konversi asam asetat menjadi mevalonat.
Mevalonat adalah
senyawa enam karbon yang merupakan kondensasi dari tiga molekul asetil-CoA.
Pembentukan
asam
mevalonat
ini
diawali
dengan
pembentukan asetoasetil-KoA dari dua molekul asetil-KoA yang kemudian akan membentuk senyawa antara yaitu 3-hidroksi-3-metilglutaril-CoA (HMG-CoA) dengan masuknya satu gugus asetil-CoA.
Kedua tahap
reaksi ini masing-masing dikatalisis oleh enzim HMG-CoA sintase dan
25
HMG-KoA reduktase. Selanjutnya HMG-CoA akan direduksi oleh NADPH untuk menghasilkan mevalonat. Konversi asam mevalonat menjadi squalen.
Pada tahap ini
mevalonat terfosforilasi menjadi 3-fosfo-5-pirofosfat mevalonat dan kemudian membentuk isopentenil pirofosfat dengan melepaskan CO2 dan fosfat.
Tahap berikutnya adalah reaksi yang melibatkan kondensasi
molekul-molekul isopentenil pirofosfat untuk membentuk farnesil pirofosfat. Dua molekul parnesil pirofosfat berkon-densasi pada ujung pirofosfat dalam reaksi yang melibatkan reduksi oleh NADPH dengan mengeluarkan radikal pirofosfat. Senyawa yang dihasilkan adalah squalen. Konversi squalen menjadi lanosterol. Perubahan squalen menjadi lanosterol melalui zat-antara yang disebut 2,3-oksidosqualen. Proses ini me-rupakan penutupan atau pelingkaran spontan untuk menjadi lanosterol dan dika-talisis oleh enzim skualin epoksida lanosterol-siklase. Sebelum penutupan terjadi, gugus metil pada C14 dipindah ke C13 dan yang ada pada C8 ke C14, dan dihidroksilasi pada C3. Pada tahap ini terbentuk empat lingkaran yang merupakaninti steroid. Reaksi terakhir melibatkan molekul oksigen, dan reaksi ini dikatalisis oleh sistem hidroksilase mikrosom. Metabolisme lanosterol menjadi kolesterol.
Tahap reaksi ini
melibatkan perubahan inti steroid dan rantai samping. Gugus metil pada C14 dioksidasi menjadi CO2 untuk membentuk 14-desmetil lanosterol. Begitu juga dua gugus metil lainnya pada C4 dibuang untuk membentuk zimosterol oleh pemindahan ikatan rangkap antara C8 dan C9 ke posisi antara C8 dan C7.
Kolesterol dihasilkan setelah ikatan rangkap pada
rantai samping direduksi. Kandungan normal kolesterol dalam serum darah pada ternak domba jantan adalah 110 mg/dl (50 - 140) mg/dl (Mitruka et al. 1977) dan dalam daging adalah 79 mg/dl (Lawrie 1995).
Kolesterol dan bahan
makan yang dapat menjadi sumber kolesterol merupakan salah satu penyebab utama terjadinya kenaikan kolesterol dalam serum darah. Responsnya akan berbeda antar spesies (Gustafson et al. 1977). Pada
26
ternak
ruminan,
kandungan
kolesterol
dalam
tubuh
seluruhnya
endogenous dan penting sebagai prekursor pembentukan zat-zat pengatur seperti hormon steroid, vitamin D dan asam empedu. Ada suatu mekanisme homeostasis kolesterol plasma pada beberapa mamalia (Parakkasi 1995). Kolesterol dalam tubuh ditentukan oleh kesetimbangan antara kolesterol yang masuk (input) dan yang keluar (output). Kolesterol yang masuk bersumber pada penyerapan dari usus dan sintesis kolesterol dari berbagai organ tubuh. Kolesterol disintesis dalam banyak jaringan tubuh dan semua jaringan yang mengandung sel bernukleus seperti kortek adrenal, kulit, usus, testes dan aorta mampu mensintesis kolesterol.
Selanjutnya Davis et al. (1985) menyatakan
bahwa hati dan usus adalah dua jaringan yang paling aktif memproduksi kolesterol pada manusia. Sedangkan pengeluaran kolesterol dari tubuh melalui beberapa jalan yaitu : kolesterol hati membentuk cairan empedu, dikeluarkan ke dalam usus dan selanjutnya dengan kolesterol mewarnai dan hilang bersama feses, hilang dalam mukosa usus dan kulit, bergabung dengan hormon-hormon steroid dan dikeluarkan dari tubuh bersama urine.
Beynen (1986) menyatakan bahwa mekanisme
kompensasi yang dipacu oleh kolesterol akan meningkatkan pengambilan kolesterol sendiri sehingga kolesterol mengalir ke dalam hati dan terjadi peningkatan kolesterol hati. Akibatnya hati memberikan respons untuk menghentikan sintesis kolesterol.
Disamping itu hati juga dapat
mengeluarkan ekses kolesterol melalui jalur pembentukan cairan empedu yang selanjutnya membentuk asam empedu dan dibuang melalui urine. Kolesterol dalam tubuh berasal dari dua sumber yaitu dari makanan yang dimakan atau disebut kolesterol eksogenous dan hasil biosintesis di dalam tubuh yang disebut kolesterol endogenous.
Pada ternak rumi-
nansia dengan ransum bebas kolesterol, maka semua kolesterol dalam usus halus adalah murni kolesterol endogenous. Kolesterol pada usus halus dapat diabsorpsi atau disekresikan bersama dengan feses. Mekanisme metabolisme kolesterol pada hewan dengan ransum bebas kolesterol dapat dilihat pada Gambar 7.
27
Orang dewasa rata-rata membutuhkan 1.1 gram kolesterol untuk memelihara dinding sel dan fungsi lain seperti untuk sintesis hormonhormon steroid, garam-garam empedu dan vitamin D.
Dari jumlah
tersebut 25-40% (200 - 300 mg) secara normal berasal dari makanan dan selebihnya disintesis didalam tubuh.
Menurut Linder (1992) bahwa
sumber makanan utama yang mengandung kolesterol adalah daging, telur dan produk-produk air susu. Jumlah total kolesterol serum pada manusia sekitar 200 mg/dl.
Jumlah ini dapat meningkat dengan bertambahnya
umur dan bervariasi antar individu.
Disamping itu konsumsi makanan
setiap hari yang mengandung 600-900 mg kolesterol diduga dapat meningkatkan serum kolesterol (Piliang dan Djojosoebagjo 2002). Meningkatnya kadar kolesterol dalam darah dihubungkan dengan terjadinya atherosclerosis.
Gambar 7 Metabolisme kolesterol pada hewan dengan ransum bebas Kolesterol (Beynen 1986). Atherosclerosis
merupakan
suatu
penyakit
yang
akhirnya
mengarah pada terjadinya penyakit jantung koroner. Penyakit ini terjadi akibat adanya akumulasi lemak yang dideposit, terutama gumpalangumpalan kolesterol dan esternya pada dinding bagian dalam pembuluh arteri, yang kemungkinan disebabkan timbul pada awal kehidupan.
28
Sehubungan dengan deposit lemak, yang lama kelamaan dikelilingi oleh tumbuhnya otot-otot halus dan jaringan-jaringan ikat, maka terjadi gumpalan-gumpalan berserat dan beberapa luka lain dalam pembuluh arteri.
Dalam proses ini, yang dikenal sebagai pengerasan pembuluh
darah arteri, maka lubang arteri menjadi mengecil, dan hal ini mengganggu efisiensi sirkulasi darah karena memberikan tekanan besar terhadap kerja jantung.
Otot jantung akan bekerja lebih keras untuk
memompa darah ke seluruh tubuh. Dalam keadaan lebih parah, lumen pembuluh darah arteri secara tiba-tiba dapat menutup, dan hal ini menyebabkan penurunan tajam sirkulasi darah ke jaringan-jaringan (ischemia), dan secara langsung menyebabkan jantung atau otak untuk berhenti berfungsi. Salah satu cara untuk menurunkan kadar kolesterol dalam serum adalah kolesterol dalam makanan harus dikurangi secara drastis. Suatu penelitian yang dilakukan pada tahun 1960 oleh National diet-Heart Study melaporkan bahwa seorang pria dewasa yang mengkonsumsi makanan mengandung kadar kolesterol rendah yaitu sebesar 350-450 mg dan dengan perbandingan asam-asam lemak poli tidak jenuh (PUFA) dan asam-asam lemak jenuh dalam makanan sebesar 1.5-2.0 dapat menurunkan kadar kolesterol serum rata-rata 11% sampai pada kadar kolesterol serum yang dianggap aman yaitu sedikit diatas 200 mg/dl. Penelitian lain menunjukkan adanya suatu perkecualian, yaitu masukan kolesterol tinggi tidak selamanya menyebabkan peningkatan kolesterol dalam serum.
Misalnya penelitian dengan orang-orang Afrika yang
mengkonsumsi daging dan telur yang merupakan sumber kolesterol tinggi ternyata tidak menimbulkan penyakit jantung koroner, seperti halnya jika makanan
yang
sama
dikonsumsi
oleh
orang-orang
Amerika.
Kemungkinan hal ini disebabkan karena beberapa faktor yang meliputi konsumsi serat kasar, aktivitas fisik tinggi pada orang-orang Afrika dan juga faktor genetik.
29
Kualitas Karkas dan Daging Ternak Ruminansia Pemotongan ternak akan menghasilkan karkas dan offal . Karkas adalah bagian tubuh ternak hasil pemotongan setelah dikurangi kepala, keempat kaki pada bagian bawah (mulai dari carpus dan tarsus), kulit, darah, organ dalam seperti hati, jantung paru-paru limpa saluran pencernaan beserta isinya, dan saluran reproduksi (Berg and Buttrfield 1976; Lewrie 1985).
Istilah yang umum digunakan untuk menyatakan
hasil karkas adalah persentase karkas, yaitu perbandingan antara bobot karkas dengan bobot potong (bobot badan) yang dinyatakan dalam persen (Forest et al. 1975; Tulloh 1978 dan Cole 1982).
Persentasi
karkas dapat ditentukan berdasarkan bobot karkas panas (segar) atau karkas layu (Forrest et al. 1975). Menurut Tulloh (1978), karkas
yang ditimbang pada saat
pemotongan disebut karkas panas, selanjutnya bila karkas ini disimpan pada
temperature dingin (refrigerator) selama 24 jam atau lebih akan
terjadi penyusutan bobot akibat penguapan di permukaan karkas yang berkisar 1-3% tergantung dari lamanya penyimpanan. Karkas inilah yang disebut dengan karkas layu atau karkas dingin. Pada dasarnya ada dua tipe penilaian karkas (grading) menurut USDA (United States Department of Agriculture), yaitu : (1) penilaian untuk menentukan mutu daging (quality grade) dan (2) penilaian untuk menentukan perdagingan pada karkas (yield grade).
Penilaian mutu
daging (quality grade) ditujukan untuk menentukan mutu atau kualitas daging tersebut. Faktor-faktor yang penting dan dipakai dalam penilaian mutu daging ini adalah lemak intramuskuler (marbling) dan kedewasaan (maturity). Sedangkan penilaian perdagingan pada karkas (yield grade) ditujukan untuk mengidentifikasi karkas dalam menentukan jumlah daging yang terdapat pada karkas tersebut terutama daging di daerah paha (round), lulur (loin) dan daging yang terdapat di bagian depan (leher, dada dan bahu).
Faktor-faktor yang penting dan dipakai dalam penilaian
perdagingan pada karkas untuk ternak domba adalah ketebalan lemak subkutan, persentasi lemak ginjal dan pelvik terhadap berat karkas dan
30
kode skor konfirmasi paha (Soeparno 1992).
Besarnya proporsi urat
daging karkas dapat ditentukan dari urat daging mata rusuk, sedangkan proporsi lemak karkas oleh tebal lemak punggungnya (Romans et al. 1994; Berg dan Butterfield 1976; Minish dan Fox 1979). Makin luas urat daging mata rusuk dan makin tebal lemak punggungnya berarti makin besar proporsi urat daging dan lemak karkas (Romans et al . 1994). Lemak yang terdapat didalam serat daging atau yang dikenal dengan “marbling” merupakan salah satu faktor yang turut mempengaruhi kualitas karkas pada ternak domba. Penentuan derajat marbling ini dapat dilakukan secara subjektif tapi juga dapat ditentukan secara objektif . Penilaian secara objektif yaitu berdasarkan extraksi dengan ether (Metode Soxhlet), maka derajat marbling dapat diklasifikasi seperti yang ditunjukkan pada gambar dibawah ini (Romans et al. 1994).
Gambar 8 Lemak intramuscular yang diekstraksi dengan ether (Metode Soxhlet) untuk menentukan derajat marbling pada daging sapi (Romans et al. 1994). Derajat kedewasaan (maturity) juga perlu diperhatikan dalam penilaian
mutu daging, karena dapat mempengaruhi warna, tekstur
daging, keempukan dan konsistensi daging.
Sebagai indikator tingkat
31
kedewasaan adalah dengan melihat warna, besar dan bentuk dari tulang rusuk pada karkas, osefikasi (pertulangan) dari tulang rawan, serta warna dan tekstur daging. Dengan bertambahnya tingkat kedewasaan maka mutu daging makin menurun, sebaliknya semakin banyak derajat marbling makin tinggi kualitasnya (Forrest et al. 1975).
Hubungan antara derajat marbling,
maturity dan mutu daging menurut USDA adalah seperti yang terlihat pada gambar dibawah ini.
Gambar 9 Hubungan antara derajat marbling, tingkat kedewasaan dan mutu daging sapi (Romans et al. 1994). Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah
pemotongan.
Faktor
sebelum
pemotongan
yang
dapat
mempengaruhi kualitas daging antara lain adalah genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan termasuk bahan aditif dan stres. Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain meliputi metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk daging, hormon dan antibiotik, lemak intramuskuler atau marbling, metode penyimpanan dan preservasi, macam otot daging dan lokasi otot daging.
32
Daging terutama dari ternak ruminansia, susunan asam lemaknya telah menyimpang dari beberapa rekomendasi yang sudah ada yang biasanya mengandung terlampau banyak asam lemak jenuh atau sebaliknya terlampau sedikit asam lemak poli tak jenuh (Parakkasi 1995). Hal ini disebabkan karena pada ternak ruminansia, asam lemak poli tak jenuh yang masuk ke rumen akan mengalami biohidrogenasi oleh mikro organisme rumen.
Jadi asam lemak yang masuk ke usus halus
mengandung proporsi yang tinggi dari asam lemak bebas jenuh dan sedikit monogliserida (Lloyd et al. 1978). Pada ternak ruminansia yang mengkonsumsi ransum yang mengandung lemak tidak jenuh, kecil sekali pengaruhnya terhadap penyimpanan lemak tidak jenuh dalam tubuhnya karena adanya mikroorganisme
rumen
yang
dapat
menghidrolisis
gliserol
dan
menghidrogenasi asam-asam lemak tidak jenuh dan hasil terbesar dari proses yang terjadi dalam rumen adalah asam stereat (Parakkasi 1995). Selanjutnya dikatakan bahwa hidrogenasi asam lemak tidak jenuh (sempurna maupun sebagian) oleh mikroorganisme rumen menyebabkan semua lemak yang memasuki duodenum terutama terdiri dari asam lemak jenuh.
Dengan adanya proses hidrogenasi tersebut menyebabkan
adanya perbedaan kualitas lemak ruminan dan monogastrik dimana lemak ruminan mempunyai aspek yang relatif lebih keras dibanding dengan monogastrik. Berhubung banyak mengandung asam lemak jenuh maka sering mendapat sorotan negatif dari pihak yang bertanggung jawab atas kesehatan manusia karena menyebabkan problem pembuluh darah pada manusia. Komponen lemak yang terkait langsung dengan problem di atas adalah kolesterol dan asam lemak poli tidak jenuh.
Kolesterol dapat
menyebabkan penyempitan bahkan penyumbatan pembuluh darah yang disebut atherosclerosis menyebabkan pembekuan darah dan serangan jantung. Sebaliknya asam lemak ganda tidak jenuh dapat menurunkan kadar kolesterol darah.
33
Teknologi Sabun Kalsium Dalam rangka meningkatkan produktivitas ternak, terutama ternak ruminansia, berbagai upaya telah dilakukan antara lain adalah upaya aplikasi teknologi pemanfaatan sabun kalsium dalam ransum ternak ruminansia. dapat
Penggunaan sabun kalsium dalam ransum ini diharapkan
mempercepat
pertumbuhan
ternak,
memperbaiki
efisiensi
penggunaan ransum dan meningkatkan kualitas daging ternak tersebut. Sabun kalsium terdiri dari asam-asam lemak jenuh dan tidak jenuh, digabung dengan ion kalsium untuk membentuk garam. Pembuatan sabun kalsium (Ca-Soap) ini dilakukan melalui proses kimiawi yaitu dengan mereaksikan bahan lemak dengan larutan NaOH yang dikenal dengan proses saponifikasi (penyabunan).
Setelah itu
direaksikan lagi dengan larutan CaCl2 supaya diperoleh sabun kalsium yang bersifat tidak larut dalam air. Reaksi pembentukan sabun kalsium (Ketaren, 1986) adalah sebagai berikut : O R
C
O O
CH2
R
O R
C C
O
CH2 + NaOH
R
O
CH2
R Basa
C
O
Na
R
C
O
Na
+ CHOH
C
O
Na
CH2OH Gliserol
C
O
Ca
O
Ca
O
Ca
O O
Na
+ 3 CaCl2
R
O R
C
O
O R
CH2OH
Sabun Natrium
O C
Na
O
Trigliserida
R
O
O
O R
C
C O
O
Na
R
C
Sabun Kalsium
+ 3 NaCl
34
Sabun kalsium merupakan bentuk lemak terlindung dan merupakan sumber lemak yang efektif dalam bahan pakan ternak ruminansia, karena sistem fermentasi rumen tetap normal, kecrnaan asam lemaknya tinggi, dan sabun ini dapat dengan mudah dicampur pada beberapa jenis bahan pakan (Jenkins dan Palmquist 1984). Mekanisme proteksi rumen terhadap sabun kalsium ini tidak didasarkan pada titik cair asam lemak tapi berdasarklan pada level keasaman atau pH rumen dan usus halus. Sabun kalsium ini akan tetap utuh pada lingkungan netral, pH 7 misalnya, tapi akan terurai dalam lingkungan asam, pH 3 misalnya. Normalnya pH rumen 6.5 – 6.8 dimana keutuhan akan sabun kalsium ini tetap terjaga. Sabun kalsium ini akan lolos dari proses biohidrogenasi oleh mikroorganisme rumen, tidak mengganggu aktivitas rumen yang normal dan langsung melewati rumen. Di daerah abomasum, sabun kalsium ini berjumpa dengan suatu lingkungan asam, pH 2 - 3, dan langsung dipisahkan dalam bentuk kalsium dan asam lemak.
Pada saat ini asam lemak akan terbebas,
mudah dipecah dan diserap (Gambar 10).
Rumen-reticulum (pH 6-7) Calcium Fatty acids Forage
Omasum Abomasum (pH 2-3) Small intestine
Gambar 10 Proteksi dan penyerapan asam lemak dari sabun kalsium pada ternak ruminan (Fernandez 1999).
35
Minyak kelapa sawit kasar (CPO) dan minyak ikan merupakan hasil samping dari industri minyak goreng dan industri pengalengan ikan. Kandungan lemaknya masih cukup tinggi sehingga dapat dipakai sebagai bahan pakan ternak sumber energi. Disamping itu bahan-bahan ini juga diketahui masih mempunyai kandungan asam lemak poli tak jenuh yang cukup tinggi sehingga dapat digunakan dalam pakan ternak ruminansia sebagai sumber asam lemak poli tak jenuh dalam upaya memperbaiki kualitas dagingnya.
Namun demikian pemberian minyak sawit kasar
(CPO) dan minyak ikan secara langsung kepada ternak kurang menguntungkan karena mikroorganisme rumen dapat menghidrolis asam lemak poli tak jenuhnya sehingga perlu suatu teknologi untuk melindungi asam lemak ini. Pada ternak ruminansia yang mengkonsumsi ransum yang mengandung lemak tidak jenuh, kecil sekali pengaruhnya terhadap penyimpanan lemak tidak jenuh dalam tubuhnya karena adanya mikroorganisme
rumen
yang
dapat
menghidrolisis
gliserol
dan
menghidrogenasi asam-asam lemak tidak jenuh dan hasil terbesar dari proses yang terjadi dalam rumen adalah asam stearat (Parakkasi 1995). Selanjutnya dikatakan bahwa hidrogenasi asam lemak tidak jenuh (sempurna maupun sebagian) oleh mikroorganisme rumen menyebabkan semua lemak yang memasuki duodenum terutama terdiri dari asam lemak jenuh. Teknologi sabun kalsium (Ca-Soap) adalah suatu proses kimiawi untuk menyabunkan bahan lemak dan alkali yang dikenal dengan proses saponifikasi dan ditambah mineral Kalsium (Ca) dan merupakan bentuk lemak terlindung dengan sumber lemak yang efektif dalam bahan pakan ternak ruminansia karena sistem fermentasi rumen tetap normal, kecernaan asam lemaknya tinggi, dan sabun ini dapat dengan mudah dicampur pada beberapa jenis bahan pakan (Jenkins dan Palmquist 1984).
36
Sifat lemak ruminan dapat dipengaruhi bila dapat mengubah reaksi mikroba atau pemberian lemak yang tidak mendapat proses dalam rumen (mekanisme : rumen by pass).
Lemak by-pass dapat dibuat serupa
dengan perlindungan protein berkualitas tinggi dari proses degradasi oleh mikroorganisme rumen (Parakkasi 1995).
Lemak by-pass merupakan
sumber energi yang tidak mempunyai efek terhadap fermentasi rumen dan siap diasimilasi oleh ternak dalam sistem pencernaannya dan lolos atau terpintas dari proses degradasi mikroba dalam retikulo rumen atau disebut lemak terlindung.
Lemak terlindung tersebut dapat melalui abomasum
dan secara normal masih bisa dimanfaatkan.
Fernandez (1999)
menyatakan bahwa lemak terlindung tidak mempunyai efek negatif terhadap keseimbangan mikroba dalam rumen tapi tetap mengantarkan dosis energi yang tinggi untuk membantu produksi ternak ruminansia. Disamping itu lemak terlindung tidak mempengaruhi pencernaan serat walaupun diberikan dalam jumlah yang besar dalam ransum serta akan terhindar dari penjenuhan asam lemaknya oleh bakteri rumen sehingga kandungan lemak susu dan daging dari ternak ruminansia mengandung asam-asam lemak tidak jenuh yang mungkin aman untuk dikonsumsi. Mekanisme proteksi rumen dari ransum yang mengandung bahanbahan lemak didasarkan pada titik cair. Adapun nama dan jenis asam lemak beserta titik cairnya dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Jenis , nama dan titik cair dari beberapa asam lemak Jenis Asam lemak jenuh
Asam lemak mono tak jenuh Asam lemak poli tak jenuh Sumber : Fernandez 1999.
Nama Laurat Miristat Palmitat Stearat Oleat Linoleat Linolenat
Nomor rantai karbon C12:0 C14:0 C16:0 C18:0 C18:1 C18:2 C18:3
Titik cair (°C) 44 54 63 70 13 -5 - 15
37
Dari tabel ini terlihat bahwa titik cair dari suatu asam lemak tergantung dari struktur molekulnya, panjang dari rantai karbon dan tipe ikatannya. Pada kondisi normal, temperatur rumen tetap stabil pada 38-39°C, dengan demikian asam-asam lemak tidak jenuh sudah dicerna dalam rumen sehingga sedikit saja yang tersisa yang sampai pada abomasum dan usus halus. Wilson dan Brigstocke (1981) menyatakan bahwa selama proses pencernaan lemak akan pecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan pada jumlah tertentu, lemak dalam bahan pakan tidak akan mengganggu sistem pencernaan dari mikroorganisma dalam rumen. Tetapi bila jumlahnya berlebih akan menimbulkan gangguan dimana partikel serat akan tertutupi bagian permukaannya oleh lemak sehingga sulit dicapai oleh mikroorganisme untuk dicerna, mengakibatkan kecernaan serat akan menurun secara drastis. Upaya untuk memaximumkan penyerapan lemak di usus halus pada ruminansia ini mengarah pada pengembangan lemak terlindung yang dicampur dengan garam kalsium. Mineral kalsium yang dicampur dengan asam lemak telah dikenal sebagai sabun kalsium.
Bahan ini
dibentuk dari asam-asam lemak jenuh dan tidak jenuh digabung dengan ion kalsium untuk membentuk garam (Soedarmo et al. 1988) Sabun kalsium ini merupakan bentuk lemak terlindung dan merupakan sumber lemak yang efektif dalam bahan pakan ternak ruminansia, karena sistem fermentasi rumen tetap normal, kecrnaan asam lemaknya tinggi, dan sabun ini dapat dengan mudah dicampur pada beberapa jenis bahan pakan (Jenkins dan Palmquist 1984). Disamping itu, banyak penelitian melaporkan bahwa peningkatan kadar kalsium dalam bahan pakan dapat menurunkan pengaruh negatif yang terjadi pada pencernaan serat. Keadaan ini terjadi karena bentuk formasi sabun kalsium yang bersifat non toksik terhadap bakteri rumen (Palmquist et al. 1986). Kandungan lemak yang masih cukup tinggi pada minyak kelapa sawit kasar (CPO) dan minyak ikan lemuru perlu dipertimbangkan mengingat sistem pencernaan pada ternak ruminansia yang sangat peka
38
terhadap kandungan lemak yang tinggi dalam pakannya.
Selain itu
pencampuran CPO dan minyak ikan secara langsung ke dalam pakan ternak akan menimbulkan beberapa kerugian antara lain : 1) mikroorganisme rumen dapat menghidrolisis asam lemak poli tak jenuh menjadi asam lemak jenuh, 2) mudah teroksidasi, 3) bau amis dari minyak ikan menyebabkan pemanfaatannya dalam ransum menjadi terbatas dan yang 4) karena bentuknya yang encer sehingga struktur ransum menjadi lengket dan bergumpal, bentuk seperti ini sangat menyulitkan dalam pencampuran ke dalam pakan, penyimpanan, penanganan, pengangkutan dan pemberiannya ke ternak. Agar pemberian CPO dan minyak ikan lemuru
dalam ransum
ternak ruminansia sebagai sumber asam lemak poli tak jenuh lebih efektif dan efisien maka bahan tersebut perlu dilindungi. Proses perlindungan asam
lemak
selama
ini
yang
sudah
dilakukan
adalah
dengan
menggunakan formaldehid, mikroenkapsulasi dan sabun kalsium (CaSoap).
Akhir-akhir
dikembangkan.
ini
teknologi
sabun
kalsium
lebih
banyak
Teknologi sabun kalsium adalah suatu proses kimiawi
untuk menyabunkan bahan lemak dan alkali yang dikenal dengan proses saponifikasi, dan ditambah mineral Kalsium (Ca) dengan
tujuan
mengubah bentuk minyak ikan dan CPO menjadi bentuk padat yang dapat dicampur dengan pakan ternak.
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 18 bulan dalam 3 tahap yaitu : tahap pertama pembuatan sabun kalsium, tahap kedua adalah percobaan in-vitro, dan tahap ketiga adalah percobaan in vivo. Penelitianini dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Ternak Potong dan Kerja dan Laboratorium Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan,
Laboratorium
Kimia Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian serta Laboratorium Fisiologi, Fakultas Kedokterna Hewan IPB, Bogor. Tahap I : Pembuatan sabun kalsium Bahan yang digunakan untuk pembuatan sabun kalsium terdiri dari minyak ikan lemuru dan minyak kelapa sawit kasar (CPO) sebagai sumber asam lemak, Natrium hidroksida (NaOH), Kalsium Khlorida (CaCl2) serta aquades. Sebelum pembuatan sabun kalsium (Ca-Soap), dilakukan pengamatan terhadap beberapa parameter yaitu : bilangan iod, bilangan penyabunan dan kandungan asam lemak dari minyak ikan lemuru dan CPO kemudian rendemen dari sabun kalsium yang dihasilkan. Setelah mengetahui bilangan iod dan bilangan penyabunan dari minyak ikan lemuru dan CPO maka dilanjutkan dengan pembuatan sabun kalsium dengan bahan dasar minyak ikan lemuru dan CPO. Pembuatan sabun kalsium (Ca - Soap) ini dilakukan melalui proses kimiawi yaitu dengan mereaksikan bahan lemak dengan larutan NaOH yang dikenal dengan proses saponifikasi (penyabunan), kemudian direaksikan lagi dengan larutan CaCl2 hingga diperoleh sabun kalsium yang bersifat tidak larut di dalam air dan berwarna putih kekuningan. Adapun tahapan pembuatan pembuatan sabun kalsium ini dapat dilihat pada Gambar 11.
40
Asam lemak Pemanasan pada Heater Penambahan larutan NaOH Penambahan larutan CaCl2 Pendinginan pada suhu ruang Pengeringan pada oven 70°C, 18 jam Sabun Kalsium (Lemak Terlindung) Gambar 11 Tahapan pembuatan sabun kalsium.
Prosedur Analisis Bilangan Iod ,Metode Hanus (Apriyantono et al. 1989). Penentuan bilangan Iod dilakukan dengan cara titrasi. Sejumlah bahan ditimbang (0.1 – 0.5 gram) dalam erlenmeyer bertutup dan ditambahkan dengan 10 ml khloroform untuk melarutkan sampel dan 25 ml pereaksi Hanus kemudian biarkan selama 1 jam di tempat gelap sambil sekali-kali dikocok.
Kemudian larutan KI 15% ditambahkan 10 ml lalu dikocok.
Erlenmeyer dan tutupnya dicuci dengan 100 ml akuades. Titrasi dengan larutan standar Na2S2O3 O.1 N sampai warna kuning Iod hampir hilang kemudian 2 ml larutan pati 1% ditambahkan sebagai indikator. dilanjutkan sampai warna biru hilang.
Titrasi
Disamping itu juga dilakukan
penetapan blanko.
ml titrasi (blanko - sampel) x N Na2S2O3 x 12.69 Bilangan Iod = berat sampel (gram)
41
Bilangan Penyabunan, Metode Titrasi (Apriyantono et al. 1989). Penentuan bilangan penyabunan dilakukan dengan cara titrasi. Sejumlah bahan (1-5 gram) dalam erlenmeyer 300 ml dan ditambahkan dengan 50 ml KOH beralkohol. Kemudian dihubungkan dengan pendingin tegak dan direfluks hingga tersabunkan sempurna.
Larutan didinginkan dan
ditambahkan 1 ml indikator fenolftalein. Kemudian dititrasi dengan HCl 0.5 N sampai warna merah jambu hilang. Buat penetapan blanko seperti penetapan contoh. (Titer blanko-titer contoh) x N HCl x 56.1 Bilangan Penyabunan = Berat contoh (gram) Rendemen. Setelah memperoleh sabun kalsium maka dilakukan pengukuran terhadap rendemen yaitu dengan menghitung berat produk, kemudian dibandingkan dengan berat bahan awal.
Bahan awal
pembuatan sabun kalsium ini terdiri dari minyak ikan lemuru, CPO, NaOH, CaCl2 dan akuades. Berat Produk Rendemen =
x 100% Berat Bahan Awal
Kandungan Asam Lemak, Metode Kromatografi Gas (GC) Identifikasi asam lemak dengan metode Kromatografi gas (GC) dilakukan dalam dua cara yaitu : 1) ekstraksi lemak dari sabun kalsium yaitu bahan yang bukan minyak/lemak dengan menggunakan metode Folchs. 2) metilasi asamk lemak dari minyak ikan lemuru dan CPO dengan menggunakan metode IUPAC. 1. Ekstraksi lemak metode Folchs (Sudarmadji et al. 1984). Sampel ditimbang 3 - 5 gram pada erlenmeyer/beaker glass, kemudian larutan kloroform metanol (2:1) ditambahkan sebanyak 20 ml lalu distirer selama ± 1 jam. Setelah itu disaring dengan kertas saring Whatman No 1, dan ditampung filtratnya ke dalam tabung bertutup. Ampasnya diekstrak ulang sekali lagi. 0.88%.
Seluruh filtrat hasil ekstraksi ditambah dengan 4 ml NaCl
Filtrat dimasukkan ke tabung pemisah, dikocok kemudian
42
didiamkan hingga terbentuk dua lapisan.
Lapisan bawah yang
mengandung lipid/lemak ditampung dengan melalui Na2SO4 anhidrous untuk dianalisis asam lemak, sedang lapisan atasnya dibuang. 2. Metilasi asam lemak (IUPAC 1987 dan AOCS 1992).
Pada prinsip-
nya trigliserida disabunkan untuk membebaskan asam-asam lemak yang kemudian diesterifikasi dengan metanol dengan bantuan katalisator BF3 (Boron Triflorida). Untuk kuantifikasi digunakan standar internal (asam margarat, C17 : 0). Prosedur metilasi adalah mula-mula lemak ditimbang ± 25 - 30 mg dalam tabung reaksi. Kemudian ditambah asam margarat 10 12 mg dan 1ml Hexan lalu divorteks. Sesudah itu ditambah 1.5 ml larutan NaOH/metanol 0.5 N dan divorteks. Kemudian dihembuskan dengan gas N2 kira-kira 1 menit, lalu dipanaskan dalam penangas air suhu ± 800 C selama 5-10 menit. Dinginkan dengan air mengalir, kemudian ditambah dengan 2 ml BF3 metanol lalu divorteks. Dihembuskan kembali dengan N2 kira-kira 1 menit dan dipanaskan dalam penangas air suhu ± 800 C selama 25-30 menit. Dinginkan dengan air mengalir kemudian ditambah dengan 2 ml heksan, lalu divorteks. Kemudian ditambahkan dengan 3 ml NaCl jenuh, lalu divorteks selama 1 menit.
Diamkan sampai terbentuk dua
lapisan, lapisan atas diambil dan dimasukkan kedalam vial yang sudah berisi Na2SO4 anhidrous.
Dihembus lagi dengan N2 untuk mengusir
oksigen. Sampel siap disuntik pada kromatografi gas. Kromatografi gas dapat memisahkan komponen yang bersifat volatil pada suhu oven yang diterapkan atau komponen non volatil yang dapat diubah menjadi volatil dengan derivatisasi, contohnya asam lemak. Fase bergerak adalah gas, sedangkan fase diam dapat berupa padatan (GC) atau cairan yang dilekatkan pada kolom (GLC). Kondisi kromatografi gas yang digunakan yaitu gas yang digunakan sebagai fase bergerak adalah gas Helium dengan aliran bertekanan 1 kg/cm2 dan sebagai gas pembakar adalah hidrogen dan oksigen dengan aliran 0.5 kg/cm2. Kolom yang digunakan adalah kolom kapiler DB 23 yang panjangnya 50m dengan diameter dalam 0.32 mm dan tebal lapisan film 0.25 μm. Temperatur terprogram yang digunakan adalah suhu 140
0
C yang
43
dipertahankan selam 6 menit kemudian suhu dinaikkan 3 0C per menit hingga suhu akhir mencapai 230 0C, yang dipertahankan selama 25 menit. Identifikasi asam lemak dilakukan dengan cara membandingkan Retention Time asam lemak standar dengan Retention Time asam lemak sampel.
Retensi Time asam lemak standar yang digunakan adalah
standar 74 dan 87. Perhitungan kandungan asam lemak pada sampel dapat dihitung sebagai berikut : Jumlah asam lemak X mg Standar Internal Area As lemak X (mg as. lemak/g lemak) = X RF X g lemak/minyak Area Stand Intern. Nilai RF (Respons Faktor) dihitung dari kromatogram standar 74 atau standar 84 sebagai berikut : Area SI RF asam lemak X =
mg Asam lemak X X
mg SI
Area Asam lemak X
Tahap II : Percobaan In Vitro
Percobaan secara in vitro ini dilakukan untuk mempelajari efektifitas penggunaan sabun kalsium dalam melindungi asam lemak poli tak jenuh dari proses biohidrogenasi oleh mikroorganisme rumen. Parameter yang diukur adalah kandungan asam lemak dari minyak ikan lemuru, CPO, sabun kalsium dengan bahan dasar minyak ikan lemuru dan sabun kalsium dengan bahan dasar CPO. Untuk mengetahui efektifitas sabun kalsium melindungi asam lemak poli tak jenuh dari proses biohidrogenase mikroorganisme dalam rumen maka dilakukan pengamatan terhadap kandungan asam lemak poli tak jenuh di rumen dan pasca rumen.
44
Gambar 12 Peralatan untuk pembuatan sabun kalsium dan uji in-vitro.
Prosedur Analisis. Pencernaan fermentatif (anaerob), di rumen (Metode Tilley and Terry 1969). Sampel yang digunakan adalah minyak ikan lemuru, CPO, sabun kalsium minyak ikan lemuru dan sabun kalsium CPO. sebanyak 1 gram dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse.
Sampel
Kemudian
ditambahkan larutan Mc Dougall sebanyak 12 ml dan cairan rumen segar sebanyak 8 ml, lalu dikocok dengan CO2 selama 30 detik. Sesudah itu tabungnya ditutup rapat dengan dengan penutup karet yang berventilasi lalu dimasukkan ke dalam shaker bath dan difermentasikan selama 4 jam. Setelah itu tutup karet dibuka dan ditambahkan 0.2 ml HgCl2 jenuh. Kemudian tabungnya disentrifuse dengan kecepatan 10 000 rpm selama 10 menit. Supernatan ditampung untuk dianalisis. Pencernaan hidrolitik (aerob), di pasca rumen (Metode Tilley and Terry 1969). Prosedurnya sama seperti pada pencernaan fermentatif di rumen, namun fermentasi dilanjutkan hingga 24 jam. Setelah 24 jam (an aerob), tutup karet dibuka dan ditambahkan 0.2 ml HgCl2 jenuh, kemudian
45
disentrifuse dengan kecepatan 10 000 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang dan endapan dibiarkan dalam tabung, kemudian tambahkan 20 ml larutan pepsin 0.2% dan diinkubasi selama 24 jam tanpa tutup karet. Setelah itu sampel siap dianalisis.
Tahap III : Percobaan In Vivo. Penelitian ini bertujuan untuk mengaplikasikan pemberian sabun kalsium dengan sumber asam lemak poli tak jenuh yang terbaik (in-vitro). Penelitian ini menggunakan 15 ekor ternak domba jantan lokal yang berumur dibawah satu tahun (belum terjadi pergantian gigi seri susu), dengan bobot badan berkisar antara 9 – 22 Kg dan digemukkan selama 3 bulan.
Ternak domba tersebut ditempatkan dalam kandang individu
berbentuk panggung yang dilengkapi dengan tempat pakan dan air minum serta sarana untuk menampung urine dan feses.
Ransum penelitian
sebanyak tiga perlakuan yaitu : Ransum A (RA) = ransum kontrol (tanpa penambahan sabun kalsium) Ransum B (RB) = ransum kontrol + sabun kalsium 5% dan Ransum C (RC) = ransum kontrol + sabun kalsium 10%. Ransum
penelitian
terdiri
dari
rumput
dan
konsentrat
dengan
perbandingan 40 : 60 dan tersusun dari bahan-bahan rumput, jagung kuning, bungkil kedelei, pollard, dedak padi, minyak kelapa sawit premix dan sabun kalsium. Sabun kalsium yang digunakan adalah sabun kalsium dengan bahan dasar minyak ikan lemuru dengan komposisi seperti pada Tabel 4. Tabel 4 Karakteristik sabun kalsium berbahan dasar minyak ikan lemuru Bahan Abu Kering (%) (%) 93.11 25.37 Sumber : Data Primer
Lemak Kasar (%) 32.20
Ca(%)
NaCl (%)
7.34
3.83
Energi (kkal/kg) 4835
46
Kompossi ransum dan kandungan nilai gizi ransum dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Komposisi dan kandungan nutrien ransum penelitian Ransum A (RA)
Ransum B (RB)
Ransum C (RC)
40
40
40
Jagung Kuning
12.5
10
7
Bungkil Kedelei
21
22.5
24.3
Pollard
7
7
7.7
Dedak Padi
13
9
4.5
Minyak Kelapa Sawit
5.5
5.5
5.5
Premix
1
1
1
Sabun Kalsium
0
5
10
Bahan Kering (%)
87.03
86.50
87.28
Protein Kasar (%)
16.7
16.64
15.15
Serat Kasar (%)
17.30
15.04
17.85
Lemak Kasar (%)
7.53
9.18
10.67
Ca (%)
0.51
1.21
1.27
P (%)
0.30
0.80
0.75
3790
3956
4069
Bahan Ransum (%)
Rumput
Kandungan Nutrien
Energi (kkal/kg) Sumber : Data Primer
Premix yang digunakan adalah merek Topmix produksi PT Medion Bandung-Indonesia dengan komposisi dan kandungan nilai gizi setiap 10 kg seperti yang terdapat pada Tabel 6.
47
Tabel 6 Komposisi dan kandungan nilai gizi Topmix per 10 kg No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
Komposisi nilai gizi Vitamin A Vitamin D3 Vitamin E Vitamin K Vitamin B1 Vitamin B2 Vitamin B6 Vitamin B12 Vitamin C Calcium-D-pantothenate Niacin Cholin cloride Methionine Lysine Manganese Iron Iodine Zinc Cobalt Copper Sentoquin (Antioxidant) Zinc bacitracin
Kandungan 12.000.000IU 2.000.000 IU 8.000 IU 2.000 mg 2.000 mg 5.000 mg 500 mg 12.000 μg 25.000 mg 6.000 mg 40.000 mg 10.000 mg 30.000 mg 30.000 mg 120.000 mg 20.000 mg 200 mg 100.00 mg 200 mg 4.000 mg 10.000 mg 21.000 mg
Ternak domba ditimbang setiap minggu pada pagi hari sebelum makan agar diketahui pertambahan berat badannya. Ransum diberikan dua kali sehari yaitu pagi pukul 08.00 dan sore pukul 15.00 dan diberikan dalam jumlah yang terbatas yaitu 3.8% dari bobot badan dan disesuaikan setiap minggu agar sesuai dengan kebutuhannya. Air minum diberikan secara ad libitum, tetapi setiap hari diukur agar diketahui jumlah pemberiannya. Parameter yang diukur adalah : konsumsi bahan kering dan bahan organik, kecernaan bahan kering dan bahan organik, pertambahan berat badan harian, efisiensi penggunaan ransum, feed cost per gain, pH cairan rumen, VFA Total dan N-NH3. Setelah perlakuan penggemukan selesai, maka ternak domba jantan lokal sebanyak 15 ekor ini dipotong tanpa pembiusan (stuning). Sebelum dipotong, sampel darah diambil kemudian dipuasakan selama 24 jam untuk mengurangi isi saluran pencernaan dan hanya diberi air minum
48
saja. Sampel darah diambil dengan spoit dari vena jugularis kemudian disimpan dalam freeser untuk analisis kandungan kolesterol serum.
Gambar 13 Kandang dan ternak domba jantan lokal di lokasi penelitian Laboratorium Lapangan, Fapet IPB.
Pemotongan dilakukan pada bagian leher atas dekat rahang bawah sampai semua pembuluh darah, trachea dan oesophagus terputus. Kepala dipisah dari tubuh pada sendi occipito atlantis, kaki depan dipotong pada sendi carpo metacarpal dan kaki belakang pada sendi tarso metatarsal. Sampel daging otot longisimus dorsi pada potongan dari persendian thoracic vertebrata ke 12-13 sampai dengan lumbar vertebrata ke-6 dari setengah karkas bagian kiri diambil untuk mengevaluasi kualitas karkas dan daging serta mempelajari inkorporasi asam lemak poli tak jenuh pada karkas dan daging domba penelitian. Sampel ini kemudian disimpan dalam freezer untuk analisis lebih lanjut. Parameter yang diamati adalah bobot potong, bobot karkas panas, persentase karkas, luas urat daging mata rusuk, lemak intermuskuler (marbling), kandungan asam lemak daging dan kandungan kolesterol dalam darah, daging dan feses.
49
Gambar 14 Pemotongan ternak domba penelitian di lokasi penelitian Laboratorium Lapangan, Fapat IPB.
Prosedur Analisis Konsumsi bahan kering ransum: dihitung berdasarkan konsumsi ransum dikalikan dengan bahan kering ransum. Konsumsi bahan organik ransum: dihitung berdasarkan konsumsi ransum dikalikan dengan bahan organik ransum. Kecernaan bahan kering ransum: dihitung berdasarkan selisih antara bahan kering yang dikonsumsi dengan jumlah bahan kering yang terkandung dalam feses, kemudian dibagi dengan bahan kering ransum yang dikonsumsi selama satu minggu Kecernaan bahan organik ransum: dihitung berdasarkan selisih antara bahan organik yang dikonsumsi dengan jumlah bahan organik yang terkandung dalam feses, kemudian dibagi dengan bahan organik ransum yang dikonsumsi selama satu minggu. Feses dikoleksi selama satu minggu.
50
Pertambahan
berat
badan
harian:
dihitung
berdasarkan
pertambahan berat badan setiap minggu dibagi jarak waktu (7 hari). Efisiensi Penggunan Ransum : dihitung berdasarkan perbandingan antara pertambahan berat badan harian dengan konsumsi bahan kering ransum. Feed cost per gain : dihitung berdasarkan perbandingan antara biaya pakan yang dikonsumsi dengan pertambahan berat badan. pH Cairan rumen: cairan rumen ternak domba diambil melalui mulut pada waktu ± empat jam setelah pemberian makan.
Cairan rumen
ditampung didalam tabung plastik bertutup dan langsung diukur pH nya dengan menggunakan pH meter. Volatile Fatty Acid Total: kadar VFA Total ditentukan dengan destilasi uap (General Laboratory Procedures 1966).
Sebanyak 5 ml
supernatan dimasukkan ke dalam tabung destilasi yang dipanaskan dengan uap air mendidih. Tabung destilasi segera ditutup rapat setelah ditambahkan dengan 1 ml H2SO4 15%. Uap panas akan mendesak VFA melalui tabung pendingin terkondensasi dan ditampung dalam glas erlenmeyer yang berisi 5 ml NaOH 0.5 N sampai mencapai volume sekitar 300 ml. Selanjutnya tambahkan indikator phenolphtalein (PP) sebanyak 2 tetes dan dititrasi dengan HCl 0.5 N. Titrasi berakhir pada saat titik awal perubahan warna dari merah menjadi bening. Titrasi blanko dilakukan terhadap 5 ml Na OH. Kadar VFA Total dihitung dengan rumus: VFA Total = (b - s) x N HCl x 1000/5 Ket.
: b = volume titran blanko s = volume titran sampel N = normalitas larutan HCL
Produksi N-NH3: metode mikrodifusi Conway (Tilley dan Terry 1969).
Konsentrasi N-NH3 ditentutakan dengan metode mikrodifusi
Conway (General Laboratory Procedures 1966).
Sebanyak 1 ml
supernatan diletakan dalam salah satu sekat cawan conway. Pada sisi yang lain diletakan 1 ml larutan Na2CO3 jenuh. Cawan conway diletakan dengan posisi miring sehingga kedua larutan tidak tercampur sebelum
51
cawan ditutup rapat. Masukan 1 ml asam borat berindikator di bagian tengah cawan conway kemudian cawan ditutup rapat dengan bantuan vaselin.
Supernatan dan larutan Na2CO3 jenuh dicampur rata dengan
cara menggoyang cawan. Amonia yang dibebaskan dari reaksi antara kedua bahan tersebut akan ditangkap oleh asam borat yang diperlihatkan oleh adanya perubahan warna. Didiamkan selama 24 jam, setelah itu amonium borat dititrasi dengan larutan HCl 0.01 N sampai terjadi perubahan warna menjadi warna asal asam borat. Konsentrasi N-NH3 dihitung dengan rumus : N-NH3 = (ml titrasi HCl x N HCl x 1000) mM. Bobot potong : diperoleh dari penimbangan bobot domba sebelum dilakukan pemotongan Bobot karkas panas : diperoleh dari penimbangan setelah ternak dipotong, dikuliti, dipisahkan kepala, keempat kaki bagian bawah, isi rongga dada dan saluran perut. Persentase karkas : diperoleh dari bobot karkas dibagi bobot potong dikali 100% Luas urat daging mata rusuk : pengukuran dilakukan dengan membuat irisan melintang pada otot longisimus dorsi antara tulang rusuk ke 12 dan 13, kemudian ditempel dengan plastik transparan dan digambar dengan spidol. Selanjutnya luas otot urat daging mata rusuk dapat diukur dengan mengukur luas gambar dengan planimeter. Tebal lemak punggung : ditentukan dengan cara mengukur tebal lemak pada ± ¾ panjang irisan penampang melintang urat daging mata rusuk antara rusuk ke 12 dan 13, dengan menggunakan jangka sorong. Lemak intramuskuler (marbling) : metode soxhlet (Apriantono et al. 1979). Sampel daging pada otot dihaluskan terlebih dulu. Ambil labu lemak yang ukurannya sesuai dengan alat ekstraksi Soxhlet yang akan digunakan, keringkan dalam oven, dinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kemudian timbang sampel daging yang telah halus sebanyak 5 gram langsung dalam saringan timbel yang sesuai ukurannya, kemudian dibungkus dengan kertas saring.
Letakkan kertas saring yang berisi
52
sampel tersebut dalam alat ekstraksi Soxhlet, kemudian pasang alat kondensor diatasnya dan labu lemak dibawahnya.
Lakukan refluks
selama minimum 5 jam sampai pelarut yang turun kembali ke labu lemak berwarna jernih. Destilasi pelarut yang ada di dalam labu lemak, tampung pelarutnya.
Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi
dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC. Setelah dikeringkan sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator, timbang labu beserta lemaknya tersebut. Berat lemak dapat dihitung sebagai berikut : B - A Kadar lemak =
X 100% X
Keterangan : B = Bobot akhir labu pengekstrak A = Bobot awal labu pengekstrak X = Banyaknya sampel (gram) Kandungan asam lemak daging : metode Folks untuk ekstraksi serta metode IUPAC 1987 dan AOCS 1992 untuk metilasi. Kandungan kolesterol dalam daging, serum dan feses : metode CHOD-PAP. Sampel daging/ feses diekstraksi terlebih dahulu. Sampel daging/feses ditimbang sebanyak 0.5 gram kemudian ditambah 5 ml diethylether, dikocok dan diuapkan selama ± 24 jam sampai tersisa endapan, kemudian ditambah 2 ml larutan PBS pH 7.2. Supernatan ini disimpan dalam evendorf dan siap dianalisa. Kolesterol dianalisis dengan metode CHOD-PAP (Cholesterol Oxidase Phenol Amino Phenazone) menggunakan kit yang dibuat oleh Human. Prinsip pengukuran kolesterol dengan
metode
ini
adalah
melibatkan
enzim
yang
mempunyai
kemampuan untuk mengoksidasi kolesterol dan reaksi berikutnya menghasilkan perubahan warna yang diukur pada panjang gelombang 500 nm. Sampel (serum/daging/feses) diambil 10 μl kemudian ditambah 1 ml reagent kolesterol (Human) dan divortex supaya homogen. Setelah itu diinkubasi pada suhu kamar (20 - 25 oC) selama 10 menit kemudian dibaca absorbance dan konsentrasinya pada panjang gelombang 500 nm pada alat spectrophotometer merk Hitachi tipe UV-VIS 2001.
53
Secara ringkas tahapan penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 15. Pembuatan Sabun Kalsium dan Percobaan In Vitro Minyak ikan
Percobaan in-vivo
CPO
Ransum Penelitian + Sabun Kalsium
Sabun Kalsium
Domba Jantan Lokal
Uji in-vitro
Parameter Bil. Iod minyak ikan dan cpo Bil. penyabun minyak ikan dan cpo Rendemen.sabun kalsium minyak ikan dan cpo Kandungan asam lemak pada minyak ikan dan cpo Kandungan asam lemak pada sabun kalsium minyak ikan dan cpo Kand asam lemak minyak ikan di rumen dan pasca rumen. Kand as lemak sab kal m.ikan di rumen & pasca rumen
Kandungan asam lemak sabun kalsium minyak ikan di rumen dan pasca rumen Kandungan asam lemak cpo di rumen dan pasca rumen Kandungan asam lemak sabun kalsium cpo di rumen dan pasca rumen Konsumsi bahan kering dan bahan organik ransum Kecernaan bahan kering dan bahan organik ransum Pertambahan bobot badan harian
Efisiensi penggunaan ransum Feed cost per gain pH cairan rumen VFA Total N-NH3 Bobot potong Bobot karkas panas Persentasi karkas Luas urat daging mata rusuk Tebal lemak punggung Lemak marbling Kand asam lemak pd daging Kand kolesterol pd darah, daging dan feses
Gambar 15 Tahapan pelaksanaan penelitian. Analisis Data Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga perlakuan pakan yaitu RA, RB dan RC dan masingmasing perlakuan mendapat lima ekor ternak domba sebagai ulangan. Model matematiknya adalah sebagai berikut : Yij = μ + τi + βj + εij Keterangan : Yij = nilai pengamatan dari perlakuan ke-i dalam kelompok ke-j μ = nilai tengah populasi τi = pengaruh aditif dari perlakuan ke-i βj = pengaruh aditif dari kelompok ke-j εjk = pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke-i pada kelompok ke-j
54
Selanjutnya data yang diperoleh diolah dengan analisis sidik ragam (anova) dan perbedaan antar perlakuan diuji dengan Uji Wilayah Berganda Duncan (Steel dan Torrie 1991).
Gambar 16 Pengambilan cairan rumen.
Gambar 17 Pengumpulan feses.
HASIL DAN PEMBAHASAN Efektifitas Sabun Kalsium Melindungi Asam Lemak Poli tak Jenuh Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari efektifitas sabun kalsium melindungi asam lemak poli tak jenuh (PUFA) dari biohidrogenasi mikroorganisma rumen.
Penelitian ini terdiri dari dua kegiatan yaitu : 1)
Pembuatan sabun kalsium dengan bahan dasar minyak ikan lemuru dan minyak sawit kasar (CPO). Parameter yang diukur adalah bilangan iod, bilangan penyabunan, rendemen dan kandungan asam lemak pada minyak ikan lemuru dan CPO. 2) Percobaan in vitro untuk mempelajari efektifitas sabun kalsium melindungi asam lemak poli tak jenuh dari biohidrogenasi mikroorganisme rumen.
Parameter yang diukur adalah
kandungan asam lemak dari minyak ikan lemuru dan CPO di rumen dan pasca rumen serta kandungan asam lemak dari sabun kalsium minyak ikan dan CPO di rumen dan pasca rumen. Bilangan Iod Bilangan Iod adalah jumlah (gram) Iod yang dapat diikat oleh 100 gram lemak. Ikatan rangkap yang terdapat pada asam lemak yang tidak jenuh akan bereaksi dengan iod atau senyawa-senyawa Iod. Besarnya jumlah iod yang diserap menunjukkan banyaknya ikatan rangkap atau ikatan tidak jenuh. Adapun bilangan Iod
pada minyak lemuru dan CPO yang
digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 7. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bilangan iod pada minyak ikan lemuru adalah 10.4112 gram dan CPO adalah 4.2225 gram. Hal ini menunjukkan bahwa minyak ikan lemuru mempunyai ikatan rangkap yang lebih banyak dari CPO. Ini berarti bahwa minyak ikan lemuru lebih banyak mengandung asam lemak poli tak jenuh dibanding CPO.
56
Bilangan Penyabunan Bilangan penyabunan ialah jumlah alkali yang dibutuhkan untuk menyabunkan sejumlah bahan minyak atau lemak. Bilangan penyabunan dinyatakan dalam jumlah miligram kalim hidroksida (mg KOH) yang dibutuhkan untuk menyabunkan satu gram minyak atau lemak. Minyak ikan lemuru dan CPO untuk pembuatan sabun kalsium diukur bilangan penyabunannya guna mengetahui bobot NaOH optimum untuk reaksi penyabunan pada perlakuan penelitian ini. Pada Tabel 7 dapat dilihat nilai bilangan penyabunan pada bahan yang digunakan adalah : 294.5488 mg KOH untuk minyak ikan lemuru dan 281. 2237 mg KOH untuk CPO. Melalui perbandingan bobot molekul, dapat diketahui keperluan penambahan NaOH dan CaCl2 dari bobot bahan dasar yang digunakan.
Rendemen Pengukuran
terhadap
rendemen
produk
sabun
kalsium
dimaksudkan untuk mengetahui tingkat efisiensi formula sabun kalsium tersebut. Nilai rendemen dari sabun kalsium pada penelitian ini adalah 46.58% untuk minyak ikan lemuru dan 45.50% untuk CPO (Tabel 7). Nilai rendemen dari hasil penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian Waskito (1996) yang menggunakan minyak ikan lemuru sebagai bahan dasar pembuatan sabun kalsium yaitu sebesar 40%. Tabel 7 Bilangan iod, bilangan penyabunan dan rendemen dari Minyak Ikan Lemuru dan CPO Parameter
Minyak Ikan Lemuru
CPO
Bilangan Iod (gram)
10.41
4.22
Bilangan Penyabunan (mg KOH)
294.55
281.22
Rendemen (%)
46.58
45.50
Sumber : Data Primer.
57
Kandungan Asam Lemak Hasil analisis kandungan asam lemak dari minyak ikan lemuru dan CPO pada Tabel 8 menunjukkan bahwa kandungan asam lemak pada CPO lebih tinggi yaitu 64.09 gram/100 gram dibanding pada minyak ikan lemuru yaitu 34.90 gram/100gram.
Hal ini disebabkan karena pada
minyak ikan lemuru yang digunakan tidak dilakukan pemurnian sehingga masih mengandung bahan lain. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kandungan asam lemak poli tak jenuh pada minyak ikan lemuru lebih tinggi dibanding CPO. Minyak ikan lemuru mempunyai ikatan rangkap lebih banyak yaitu sampai 22:6 (DHA) sedangkan pada CPO, rantai hidrokarbon
dengan jumlah
atom karbon yang mempunyai ikatan rangkap hanya sampai pada 18:3 (linolenat). Tabel 8 Kandungan asam lemak dari Minyak Ikan Lemuru dan CPO (gram/100 gram) Jenis asam lemak Laurate (12:0) Myristate (14:0) Myristoleic (14:1) Pentadecanoate (15:0) Palmitate (16:0) Poelmitoleic (16:1) Heptadecanoate (17:0) Stearate (18:0) Oleat (18 : 1) Linoleate (18:2) Linolenat (18:3) Arrachidate (20:0) Eicosenoate (20:1) (20 : 4) (20 : 5) Behenate (22:0) Erucic Acid (22:1) (22:6) Total Sumber : Data Primer
Minyak Ikan Lemuru 0.30 2.77 1.18 0.25 8.38 2.30 0.40 2.52 7.39 1.12 0.54 0.22 0.21 0.50 0.20 2.83 1.49 2.30 34.90
CPO 0.10 1.19
28.93 0.40 3.30 23.0 6.69 0.48
64.09
58
Kandungan asam lemak dari sabun kalsium dengan bahan dasar minyak ikan lemuru dan CPO dapat dilihat pada Tabel 9. Hasil analisis kandungan asam lemak dari sabun kalsium dengan bahan dasar minyak ikan lemuru dan CPO menunjukkan bahwa kandungan asam lemak pada produk sabun kalsium yang dihasilkan mengalami penurunan yaitu 8.92 gram/100 gram untuk sabun kalsium dengan bahan dasar minyak ikan lemuru dan 19.43 gram/100 gram untuk sabun kalsium dengan bahan dasar CPO.
Hal ini disebabkan karena adanya penambahan NaOH,
CaCl2 dan akuades yang mengakibatkan kandungan asam lemak dari produk sabun kalsium yang dihasilkan lebih rendah dibanding bahan dasarnya. Tabel 9 Kandungan asam lemak dari sabun kalsium dengan bahan dasar Minyak Ikan Lemuru dan CPO (gram/100 gram)
Jenis Asam Lemak Laurate (12:0) Myristate (14:0) Myristoleic (14:1) Pentadecanoate (15:0) Palmitate (16:0) Poelmitoleic (16:1) Heptadecanoate (17:0) Stearate (18:0) Oleat (18:1) Linoleate (18:2) Linolenat (18:3) Arrachidate (20:0) Eicosenoate (20:1) (20:4) (20:5) Behenate (22:0) Erucic Acid (22:1) (22:6) Total Sumber : Data Primer
Sabun Kalsium Minyak Ikan CPO 0.05 0.02 0.42 0.31 0.42 0.03 1.29 10.84 0.47 0.33 0.34 0.42 0.09 1.72 3.57 2.20 2.10 0.63 1.12 0.05 0.05 0.01 0.01 0.29 0.29 0.23 8.92 18.09
59
Perlindungan Asam Lemak (Percobaan In Vitro). Setelah memperoleh sabun kalsium dari penelitian tahap I (pembuatan sabun kalsium), maka dilanjutkan dengan uji fermentablitas (in vitro) untuk mempelajari efektifitas sabun kalsium melindungi asam lemak poli tak jenuh (PUFA). Pada penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap kandungan asam lemak terutama asam lemak poli tak jenuh di rumen dan pasca rumen. Asam lemak poli tak jenuh (PUFA) merupakan asam lemak yang sangat penting karena termasuk asam lemak esensial yaitu berasal dari makanan dan tidak dapat disintesis di dalam tubuh. Ada dua jenis asam lemak ini yang penting ialah asam lemak omega-3 dan asam lemak omega-6.
Asam lemak omega-6 seperti asam lemak linoleat (18:2)
merupakan asam lemak esensial sedangkan asam lemak linolenat (18:3) dan arakidonat (20:0) dapat disintesa dari asam lemak linoleat (Piliang dan Djojosoebagio 2002). Hasil penelitian (in-vitro) menunjukkan bahwa kandungan asam lemak poli tak jenuh dari minyak ikan lemuru (tanpa sabun kalsium) pada rumen dan pasca rumen mengalami penurunan (Gambar 18).
Asam
lemak oleat (18:1) dan linoleate (18:2) mengalami penurunan dari 11.20 dan 63.36 mg/gram menjadi 0.26 dan 0.95 mg/gram. Sedangkan asam lemak linolenate (18:3) dan DHA (22:6) mengalami penurunan dari 10.84 dan 4.14 mg/gram menjadi sangat kecil (trace) dan tidak terdeteksi. Hasil analisis kandungan asam lemak dari sabun kalsium dengan bahan dasar minyak ikan lemuru pada rumen dan pasca rumen menunjukkan bahwa kandungan asam lemak juga mengalami penurunan dari rumen ke pasca rumen (Gambar 19).
Asam lemak oleat (18:1) dan
linoleate (18:2) mengalami penurunan dari 12.04 dan 34.54 mg/gram menjadi 1.53 dan 5.31 mg/gram.
Sedangkan asam lemak linolenate
(18:3) dan DHA (22:6) juga mengalami penurunan tetapi masih dapat terdeteksi yaitu dari 3.46 dan 6.18 mg/gram menjadi 1.95 dan 2.52 mg/gram.
60
Pola yang sama juga terjadi pada kandungan asam lemak dari CPO dan sabun kalsium dengan bahan dasar CPO.
Hasil analisis
kandungan asam lemak dari CPO (tanpa sabun kalsium) pada rumen dan pasca rumen menunjukkan bahwa kandungan asam lemak mengalami penurunan dari rumen ke pasca rumen (Gambar 20). Asam lemak oleat (18:1) dan linoleate (18:2) mengalami penurunan dari 11.0 dan 2.50 mg/gram menjadi 0.34 dan 0.40 mg/gram.
Sedangkan asam lemak
linolenate (18:3) mengalami penurunan dari 1.54
mg/gram menjadi
sangat kecil (trace) dan tidak terdeteksi. Hasil analisis kandungan asam lemak dari sabun kalsium dengan bahan dasar CPO pada rumen dan pasca rumen menunjukkan bahwa kandungan asam lemak juga mengalami penurunan dari rumen ke pasca rumen (Gambar 21).
Asam lemak oleat (18:1) dan linoleate (18:2)
mengalami penurunan dari 15.95 dan 11.39 mg/gram menjadi 12.80 dan 3.72 mg/gram. Sedangkan asam lemak linolenate (18:3) juga mengalami penurunan tetapi masih dapat terdeteksi yaitu dari 2.30 mg/gram menjadi 1.02 mg/gram. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa teknologi sabun kalsium dapat melindungi asam lemak poli tak jenuh dari proses biohidrogenasi mikro-organisme rumen.
Kandungan asam lemak poli tak jenuh yang
lolos dari proses pencernaan di rumen dan masuk ke proses pencernaan pasca rumen pada perlakuan dengan teknologi sabun kalsium lebih tinggi dibanding dengan tanpa penggunaan sabun kalsium.
Pada perlakuan
dengan teknologi sabun kalsium kehilangan asam lemak poli tak jenuh adalah 60.35% sedangkan pada perlakuan tanpa sabun kalsium yaitu 95.91%.
Hal ini menunjukkan bahwa asam-asam lemak yang masuk
ke rumen akan mengalami biohidrogenasi oleh mikroorganisme rumen. Sebaliknya sabun kalsium tidak mengalami proses biohidrogenasi oleh mikroorganisme rumen (mekanisme : rumen by-pass), dan ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Parakkasi (1995) bahwa lemak
by-pass
merupakan sumber energi yang tidak mempunyai efek terhadap fermentasi rumen dan siap diasimilasi oleh ternak dalam sistem
61
pencernaannya dan lolos atau terpintas dari proses degradasi mikroba dalam retikulo rumen atau disebut lemak terlindung. Jenkins (1993) mengatakan bahwa lemak akan dihidrolisis dalam rumen menjadi asam lemak terbang (Free Fatty Acid, FFA) dan glycerol. Selanjutnya Chalupa et al. (1986) mengatakan bahwa asam lemak poli tak jenuh akan mengalami biohidrogenasi oleh mikroorganisme rumen menjadi asam lemak jenuh dan glyserol kemudian glyserol ini akan dikonversikan menjadi asam lemak volatyl (Volatile Fatty Acid, VFA). Penelitian ini juga menunjukkan bahwa sabun kalsium dapat memproteksi asam lemak poli-tak jenuh dari biohidrogenasi oleh mikroorganisme rumen.
Hasil penelitian Kook et al. (2002) yang menggunakan
suplementasi minyak ikan tanpa proteksi pada ternak sapi menunjukkan bahwa kandungan asam lemak terutama oleat, linoleate dan linolenate pada otot longissimus dorsi tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan minyak ikan tanpa diproteksi tidak akan berpengaruh terhadap kandungan asam lemak poli tak jenuh pada daging ternak ruminansia. Dari penelitian tahap I ini dapat disimpulkan bahwa kandungan asam lemak poi tak jenuh (PUFA) pada minyak ikan lemuru lebih tinggi dibanding pada CPO.
Teknologi sabun kalsium (Ca-Soap) efektif
melindungi/memproteksi asam lemak poli tak jenuh (PUFA) dari biohidrogenasi mikroorganisme rumen. Selanjutnya disarankan untuk perlu dilakukan penelitian in-vivo yang menggunakan sabun kalsium dengan bahan dasar minyak ikan lemuru untuk mengetahui inkorpoasi asam lemak poli-tak jenuh ke dalam karkas ternak ruminansia.
62
JANGAN DIPRINT
63
GAMBAR 19 JANGAN DIPRINT
64
GAMBAR 20 JANGAN DIPRINT
65
GAMBAR 21
JANGAN DIPRINT
66
Penampilan Pertumbuhan Penelitian ini dilakukan untuk mengaplikasikan hasil penelitian in vitro yaitu pemberian ransum penggemukan kepada ternak domba yang disuplementasikan dengan sabun kalsium yang berbahan dasar minyak ikan lemuru.
Pada penelitian ini dilakukan dua tahap kegiatan penga-
matan yaitu : 1) Penampilan pertumbuhan. Parameter yang diukur adalah konsumsi dan kecernaan bahan kering dan bahan organik, fermentasi mikroba rumen (pH , VFA Total dan N-NH3 cairan rumen), pertambahan bobot badan harian, efisiensi penggunaan ransum dan feed cost/ gain. 2) Karakteristik karkas dan daging domba. Parameter yang diukur adalah bobot potong, bobot karkas, persentasi karkas, luas urat daging mata rusuk, tebal lemak punggung, lemak intramuskuler, kandungan asam lemak dan kandungan kolesterol. Konsumsi Bahan Kering dan Bahan Organik Pemberian pakan kepada ternak perlu diketahui kemampuan hewan tersebut untuk mengkonsumsinya dimana pemberian pakan yang terlalu sedikit atau terlalu banyak akan merugikan. Pakan harus tersedia secara cukup baik kuantitas maupun kualitasnya karena pemberian pakan bagi ternak dimaksudkan untuk dapat memenuhi kebutuhan ternak akan hidup pokok dan berproduksi. Jumlah pakan yang dapat dikonsumsi oleh seekor ternak mempunyai kaitan yang erat dengan bobot badannya dimana bobot badan yang tinggi mampu mengkonsumsi makanan relatif lebih banyak dari pada bobot badan yang lebih rendah.
Umumnya pakan untuk ternak
ruminansia diperkirakan sebanyak ± 3% BK dari bobot badannya. Menurut Haryanto dan Djajanegara (1993) bahwa kebutuhan bahan kering utnuk ternak domba di Indonesia dengan bobot badan 14-16 kg dan pertambahan berat badan harian sebesar 50 - 100 gram adalah 3.2% dari bobot badan. Konsumsi adalah faktor esensial yang merupakan dasar untuk hidup dan menentukan produksi. Hal ini antara lain disebabkan karena
67
dari segi ekonomis, dengan fixed maintenance cost, tingkat konsumsi penting dimaksimumkan guna memaksimumkan produksi.
Konsumsi
bahan kering domba periode pertumbuhan yang baru disapih yakni sebesar 600 (gram/ekor/hari) (NRC 1985). Hasil penelitian pada tabel 10,
menunjukkan bahwa tingkat
konsumsi ransum adalah 521.51; 645.74 dan 650.42 (gram/ekor/hari), masing-masing untuk perlakuan RA, RB dan RC.
Hasil analisis sidik
ragam menunjukkan bahwa tingkat konsumsi bahan kering tidak ada perbedaan antar perlakuan. Hal ini disebabkan karena pemberian ransum bagi ternak domba dalam penelitian ini adalah sama yaitu 3.8% dari bobot badan hidup.
Konsumsi bahan kering selama penelitian ini setelah
dianalisis setara dengan 3% bobot badan. Walaupun konsumsi bahan kering ini tidak berbeda nyata namun konsumsim bahan kering pada perlakuan RC cenderung lebih tinggi, kemudian RB dan RA. menunjukkan meningkatkan
bahwa kualitas
suplementasi ransum
sabun
sehingga
kalsium
ternyata
konsumsinya
Hal ini dapat
meningkat.
Parakkasi (1995) menyatakan bahwa ransum yang berkualitas baik, tingkat konsumsinya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan ransum berkualitas inferior. Nilai rataan konsumsi bahan kering yang dilaporkan oleh Mathius et al. (1997) yaitu berkisar dari 640.0 dan 703.0 (g/ekor/hari), dan juga oleh Kaunang (2004) yaitu berkisar dari 609.64 dan 741.20 (g/ekor/hari), serta Uhi (2005) yitu berkisar dari 543.93 dan 572.98 (g/ekor/hari). Hasil yang sama juga terjadi pada konsumsi bahan organik. Konsumsi bahan organik pada perlakuan RA, RB dan RC seperti yang terlihat pada Tabel 10, berturut-turut adalah 479.41; 562.95 dan 555.10. Peningkatan konsumsi bahan kering dan bahan organik yang terjadi pada perlakuan RB dan RC diduga karena adanya suplementasi sabun kalsium. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan lemak dalam bentuk sabun kalsium dapat meningkatkan palatabilitas ransum sehingga konsumsi meningkat, dan hal ini sesuai dengan pendapat Parakkasi (1995) yang menyatakan bahwa salah satu sifat positif dari penambahan lemak dalam
68
ransum ruminan adalah dapat meningkatkan palatabilitas ransum, dengan demikian tingkat konsumsi ransum dapat ditingkatkan dengan segala akibatnya terhadap penampilan ternak bersangkutan. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa tingkat konsumsi bahan organik tidak ada perbedaan antar perlakuan. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Kualitas ransum ditentukan juga oleh tingkat kecernaan zat-zat makanan yang terkandung dalam ransum tersebut. Tingkat kecernaan zat-zat makanan dapat memberikan gambaran tentang kualitas ransum yang digunakan, karena bagian yang dicerna merupakan selisih antara kandungan zat makanan dalam ransum tersebut dengan zat makanan yang keluar melalui feses. Tabel 10 Pengaruh perlakuan terhadap konsumsi dan kecernaan bahan kering ternak domba jantan lokal Parameter
RA
RB
RC
Konsumsi BK (g/ekor/hari)
525.51
645.74
650.42
Konsumsi BO (g/ekor/hari)
479.41
562.95
555.10
Kecernaan BK (%)
58.40
61.83
64.83
Kecernaan BO (%)
59.36
63.27
61.15
Sumber : Data Primer Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan nilai kecernaan bahan kering (KCBK) pada perlakuan RA, RB dan RC adalah 58.40;61.83 dan 64.83 sedang rataan nilai kecernaan bahan organik (KCBO) pada perlakuan RA, RB dan RC adalah 59.36; 63.27 dan 61.15 (Tabel 10). Menurut Parakkasi (1995) bahwa penambahan lemak dalam ransum ternak ruminan dapat meningkatkan konsumsi, tapi bila berlebihan dapat berakibat negatif dan mengganggu pencernaan.
Kadar lemak ransum
ruminan yang melebihi 7–8% dapat menyebabkan gangguan pencernaan, terutama penurunan konsumsi yang disebabkan oleh gangguan fungsi mikroorganisme dalam rumen.
69
Hasil analisis kandungan nutrien ransum penelitian (tabel 5) menunjukkan bahwa kandungan lemak pada perlakuan RB dan RC yang ditambah sabun kalsium masing-masing 5% dan 10% adalah 9.18 dan 10.67 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan lemak dalam bentuk sabun kalsium pada perlakuan RB dan RC masing-masing 5% dan 10% ternyata dapat meningkatkan konsumsi dan kecernaan baik bahan kering maupun bahan organik. Hal ini berarti bahwa suplementasi lemak pada ransum ruminan dalam bentuk sabun kalsium, dapat melindungi lemak dari sistem pencernaan dalam rumen sehingga dapat meningkatkan konsumsi dan kecernaan ransum. pH Cairan Rumen Nilai pH cairan rumen memegang peran penting dalam mengatur beberapa proses dalam rumen, baik dalam mendukung pertumbuhan mikroba rumen maupun dalam menghasilkan produk berupa asam lemak atsiri atau Volatile Fatty Acid (VFA) dan amonia (NH3). Kondisi normal pH cairan rumen adalah antara 5.5 - 7. Kisaran pH cairan rumen yang ideal untuk proses pencernaan selulosa adalah 6.4 - 6.8 dimana pada pH rumen yang lebih rendah dari 6.2 maka proses pencernaan serat mulai terganggu.
Bakteri celullolitic dalam rumen yang mencerna serat
tanaman, sensitif dalam lingkungan asam.
Jika pH rumen menurun,
bakteri-bakteri ini akan terhambat perkembangannya. Sebaliknya bakteri amylolitic yaitu bakteri pencerna pati menjadi asam laktat meningkat. Asam laktat dalam jumlah tertentu dalam rumen dapat termetabolisme lebih lanjut secara sempurna.
Problema akan timbul bila asam laktat
terakumulasi dalam jumlah yang banyak terutama asam laktat bentuk disomer yang dikenal dengan lactic acidosis (Joseph 1996). Hasil penelitian pada Tabel 11 menunjukkan bahwa rataan nilai pH cairan rumen yang relatif sama yaitu 6.26; 6.68 dan 6.56 masing-masing untuk perlakuan RA, RB dan RC. Rataan nilai pH cairan rumen dalam penelitian ini masih berada dalam kisaran normal.
70
Salah satu sifat negatif
dari penambahan lemak dalam ransum
ruminan adalah lemak dan minyak dapat menurunkan kecernaan dalam rumen.
Analisis sidik ragam menunjukkan tidak ada perbedaan antar
perlakuan.
Hal ini berarti bahwa dengan penambahan lemak pada
ransum ternak domba dalam bentuk sabun kalsium pada perlakuan RB dan RC tidak memberikan suatu kondisi yang negatif. Sebaliknya dengan penambahan sabun kalsium ternyata dapat meningkatkan kecernaan dan pH cairan rumen dibanding perlakuan RA (kontrol). Tabel 11 Pengaruh perlakuan terhadap fermentasi mikroba rumen pada ternak domba jantan lokal Parameter
RA
RB
RC
pH Cairan Rumen
6.26
6.68
6.56
122.8b
141.6b
170.0a
7.66
8.35
7.27
Produksi VFA Total (mM) Produksi N-NH3 (mM) Sumber : Data Primer
Produksi VFA Total Cairan Rumen Pakan ternak ruminansia mengandung sejumlah nutrien seperti protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral.
Di dalam alat
pencernaan, bahan makanan tersebut mengalami perombakan bentuk dan sifat-sifat fisik dan kimianya melalui proses pencernaan mekanik di mulut, pencernaan mikroba (fermentatif) di rumen serta pencernaan enzimatik dengan bantuan enzim dalam saluran pencernaan pasca rumen. Pencernaan fermentatif merupakan usaha merombak senyawa yang komplek menjadi bahan mudah diserap dengan bantuan mikroba rumen dan menghasilkan asam lemak volatile (Volatille Fatty Acid, VFA) yang telah diketahui merupakan sumber energi utama bagi ternak ruminansia. Hasil rataan nilai VFA Total pada penelitian ini adalah 122.8; 141.6 dan 170.0 (mM) masing-masing untuk perlakuan RA, RB dan RC (Tabel 11).
Produksi VFA Total yang layak bagi kelangsungan hidup yang
71
normal adalah 80 - 160 (mM) (Sutardi 1980). Hasil penelitian ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Kook et al. (2002) bahwa pada ternak Sapi Korean yang mendapat tambahan minyak ikan dalam ransumnya mempunyai produksi VFA Total yang lebih tinggi yaitu 70.20 (mM) dibanding yang tidak mendapat tambahan minyak ikan (kontrol) yaitu 49.86 (mM). Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa produksi VFA Total antar perlakuan mempunyai perbadaan yang nyata (P < 0.01). Uji lanjut (Duncan) menunjukkan bahwa produksi VFA Total pada perlakuan RA (kontrol) lebih rendah (P < 0.01) dibanding perlakuan RC, sedang antara perlakuan RA dan RB tidak berbeda nyata. Tingginya produksi VFA Total pada perlakuan RC disebabkan karena penambahan lemak dalam bentuk sabun
kalsium
sebanyak
10%
pada
perlakuan
sehingga
dapat
meningkatkan energi ransum. Hal ini membuktikan bahwa dipandang dari segi energi, lemak mengandung energi 2.25 kali lebih tinggi dari energi karbohidrat sehingga dalam jumlah sedikit saja yang ditambahkan dalam ransum ruminan dapat meningkatkan kadar energi ransum.
Selain itu
peningkatan produksi VFA Total diduga karena ada peningkatan fraksifraksi dalam VFA yaitu asetat, propionat dan butirat. Pemberian minyak ikan meningkatkan produksi propionat.
Peningkatan propionat yang
merupakan fraksi dari VFA mengakibatkan peningkatan VFA secara keseluruhan (Parakkasi 1995). Produksi N-NH3 Cairan Rumen Produksi amonia (N-NH3) merupakan produk utama dari proses deaminasi asam amino dan kecukupannya dalam rumen untuk pertumbuhan mikroba merupakan prioritas utama dalam mengoptimalkan fermentasi hijauan (Leng 1990). Kadar N-NH3 yang mendukung pertumbuhan mikroba dalam rumen adalah 4 sampai 14 mMol, dan apabila nilai N-NH3 kurang dari 4 mM maka proses fermentasi akan terganggu (Preston and Leng 1987). Konsentrasi N-NH3 ini antara lain ditentukan oleh tingkat protein pakan yang dikonsumsi, derajat degradabilitasnya, lamanya makanan berada di dalam rumen dan pH rumen (Ørskov 1982).
72
Kadar N-NH3 dalam penelitian ini adalah 7.66, 8.35 dan 7.27 (mM) masing-masing untuk perlakuan RA, RB dan RC (Tabel 11).
Hal ini
menunjukkan bahwa kadar N-NH3 dalam penelitian ini masih berada dalam kisaran normal. Analisis sidik ragam menunjuk-kan bahwa kadar N-NH3 tidak berbeda nyata antar perlakuan.
Dengan demikian
penambahan lemak pada ransum ternak domba dalam bentuk sabun kalsium tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan mikroba sehingga proses deaminasi asam amino dan fermentasi hijauan dapat berlangsung secara optimal. Pertambahan Bobot Badan Harian Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan pertambahan bobot badan harian adalah 74.29; 104.0 dan 106.29 (gram/ekor/hari) masingmasing untuk perlakuan RA, RB dan RC (Tabel 12). Analisis sidik ragam rataan pertambahan bobot badan harian antar perlakuan menunjukkan tidak ada perbedaan.
Hal ini berarti bahwa pemberian sabun kalsium
tidak mempunyai pengaruh terhadap pertambahan bobot badan ternak domba. Pertambahan bobot badan harian (PBBH) merupakan manifestasi dari
kualitas
pakan
yang
diberikan.
Tidak
adanya
perbedaan
pertambahan bobot badan harian antara perlakuan dalam penelitian ini disebabkan karena pemberian pakan yang sama yaitu 3.8% dari bobot badan.
Meskipun demikian pertambahan bobot badan harian ternak
domba yang mendapat tambahan sabun kalsium 5% dan 10% pada perlakuan RB dan RC memberikan pertambahan bobot badan harian yang lebih baik yaitu 104.0 dan 106.29 (gram/ekor/hari). Dalam pertumbuhan ternak, sangat dipengaruhi oleh dua faktor penting yaitu genetik dan lingkungannya. Hasil penelitian dari Sabrani dan Levine (1993) tentang ternak kambing dan domba di Indonesia, melaporkan bahwa untuk ternak domba jantan lokal, pertambahan bobot badan akan terjadi dengan cepat sampai umur delapan bulan, dan pada saat itu mencapai berat 23 kg, kemudian sampai umur 17 bulan tidak ada
73
pertambahan bobot badan lagi. Setelah itu berat badan tertinggi adalah 25 kg yang dicapai pada umur 18 bulan. Tabel 12 Pengaruh perlakuan terhadap penampilan pertumbuhan pada ternak domba jantan lokal Parameter
RA
RB
RC
PBBH (g/ekor/hari)
74.29
104.0
106.29
EPR
0.1454
0.1653
0.1593
Feed Cost/Gain (Rp)
14.787
17.065
20.615
Sumber : Data Primer Hasil penelitian Rachmadi (2003), Kaunang (2004) dan Uhi (2005) melaporkan bahwa rataan pertambahan bobot badan tertinggi pada ternak domba jantan lokal masing-masing adalah 54.97; 61.00 dan 75,89 (gram/ekor/hari). Tingginya pertambahan bobot badan harian pada perlakuan RB dan RC dalam penelitian ini terkait dengan konsumsi serta kecernaan bahan kering dan bahan organik yang tinggi.
Selain itu suplementasi
sabun kalsium pada perlakuan RB dan RC meningkatkan produksi VFA Total dibanding RA.
Peningkatan VFA Total diduga karena terjadi
peningkatan propionat yaitu fraksi dari VFA. Produk akhir berupa VFA ini dalam jaringan tubuh akan dimanfaatkan sebagai sumber energi dan bahan sintesis lemak. Asam propionat diabsorbsi melalui epitel rumen dan masuk ke sirkulasi darah, kemudian dibawa ke hati untuk selanjutnya diubah menjadi glukosa dan bagian cadangan glukosa hati. Pada proses anabolis di dalam tubuh, ternak memerlukan energi dalam bentuk glukosa. Pada ternak ruminansia, glukosa dapat disintesis dari sumber-sumber bukan karbohidrat yaitu dari asam lemak atau asam amino melalui proses glukoneogenesis.
Komponen asam lemak atsiri (VFA) yang termasuk
glukogenik adalah asam propionate yang dalam proses metabolismenya menjadi precursor glukosa, sedangkan asam asetat dan asam butirat tidak termasuk metabolit glukogenik melainkan metabolit ketogenik.
74
Disamping itu pertambahan bobot badan harian yang tinggi pada perlakuan RB dan RC disebabkan karena kandungan energi ransum pada kedua perlakuan ini lebih tinggi dibanding perlakuan RA.
Hal ini
disebabkan karena pada ransum B (RB) dan ransum C (RC) ada penambahan lemak dalam bentuk sabun kalsium sebanyak 5% dan 10%. Lemak ini disamping sebagai sumber asam-asam lemak esensiel juga berfungsi sebagai sumber energi. Energi yang dikonsumsi oleh ternak, dipergunakan
pertama-tama
untuk
memenuhi
kebutuhan
untuk
mempertahankan metabolisme basal atau untuk hidup pokok dan untuk tumbuh
atau
maintenens.
berproduksi
bila
konsumsinya
melebihi
kebutuhan
Hal ini sesuai dengan pendapat Fernandez (1999) yang
menyatakan bahwa lemak terlindung dalam bentuk sabun kalsium tidak mempunyai efek negatif terhadap keseimbangan mikroba dalam rumen tapi tetap mengantarkan dosis energi yang tinggi untuk membantu produksi ternak ruminansia.
Disamping itu sabun kallsium tidak
mempengaruhi pencernaan serat walaupun diberikan dalam jumlah yang besar dalam ransum serta akan terhindar dari penjenuhan asam lemaknya oleh bakteri rumen sehingga kandungan lemak susu dan daging dari ternak ruminansia mengandung asam-asam lemak tidak jenuh yang mungkin aman untuk dikonsumsi. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa penambahan lemak dalam bentuk sabun kalsium efektif melindungi asam-asam lemak poli takjenuh yang merupakan asam-asam lemak esensiel sehingga dapat diserap dan dimanfaatkan oleh ternak tanpa didegradasi oleh mikroba rumen.
Asam lemak esensiel dibutuhkan untuk pertumbuhan dan
mempertahankan kesehatan karena asam lemak esensiel merupakan pembangun struktur sel dan integritas struktur membran sel. Defisiensi asam lemak esensiel menyebabkan hiperkeratosis pada usus yang dapat menyebabkan gangguan penyerapan nutrien.
Hal ini sesuai dengan
pendapat Jenkins dan Palmquist (1984) yang menyatakan bahwa sabun kalsium merupakan bentuk lemak terlindung dan merupakan sumber
75
lemak yang efektif dalam bahan pakan ternak ruminansia, karena sistem fermentasi rumen tetap normal dan kecrnaan asam lemaknya tinggi. Efisiensi Penggunaan Ransum Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan nilai efisiensi penggunaan ransum (EPR) adalah 0.1454; 0.1653 dan 0.1593 masing-masing untuk perlakuan RA, RB dan RC (Tabel 12), dan hasil analisis sidik ragam menunjukkan tidak ada perbedaan. Nilai EPR ini jika dikon-versikan akan memperoleh nilai konversi pakan yaitu : 6.88; 6.05 dan 6.28 masingmasing untuk perlakuan RA, RB dan RC. Menurut Speedy (1980), nilai konversi pakan ideal untuk domba yang diberi biji-bijian adalah 7 - 8, sedang untuk sapi potong program finish adalah 7 : 1 (F/G) (Parakkasi 1995). Walaupun nilai EPR ini tidak berbeda nyata antar perlakuan tetapi nilai konversi pakan pada perlakuan RB dan RC lebih baik dibanding perlakuan RA. Hal ini menunjukkan bahwa suplementasi sabun kalsium dapat meningkatkan nilai efisiensi penggunaan ransum. Feed Cost/Gain Nilai feed cost per gain (FC/G) dalam penelitian ini adalah untuk perlakuan RA (Rp 14 787,-/kg), RB (Rp 17 065,-/kg) dan RC (Rp 20 615,/kg).
Nilai FC/G dipengaruhi oleh banyaknya konsumsi pakan, harga
bahan pakan dan besarnya PBBH yang dihasilkan. Semakin kecil nilai FC/G semakin baik, karena untuk menghasilkan PBBH yang sama dibutuhkan biaya pakan yang relatif lebih murah.
Nilai FC/G pada
perlakuan RB dan RC lebih tinggi karena harga minyak ikan dan bahan kimia yang mahal sehingga untuk pembuatan dibutuhkan Rp 11 720,-.
1 kg sabun kalsium
Nilai FC/G ini hampir sama dengan yang
dilaporkan Sukadi et al., (2002) yaitu Rp 11 232,-; Rp 17 940,- dan Rp 21 068,- masing-masing untuk perlakuan kontrol dan penambahan zat pemacu pertumbuhan phytogenic 1 dan 0.5 gram/ekor
76
Komposisi Karkas dan Daging Ternak Domba Penelitian ini dilaksanakan untuk mengevaluasi kualitas karkas dan daging serta mempelajari inkorporasi asam lemak poli tak jenuh pada karkas dan daging ternak domba penelitian. Bobot Potong Hasil penelitian rataan bobot potong, bobot karkas, persentase karkas, luas urat daging mata rusuk dan tebal lemak punggung dapat dilihat pada Gambar 17.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan
bobot potong pada ternak domba jantan lokal yang digunakan dalam penelitian ini adalah 19.40 kg, 23.68 kg dan 24.24 kg masing-masing untuk perlakuan RA, RB dan RC. Rataan bobot potong pada perlakuan RB dan RC yang mendapat tambahan sabun kalsium, lebih tinggi dari perlakuan RA, yang tidak mendapat tambahan sabun kalsium, namun analisis sidik ragam menunjukkan tidak ada perbedaan. Hal ini diduga terkait dengan konsumsi dan pertambahan bobot badan harian dimana perlakuan RB dan RC lebih tinggi dibanding perlakuan RA namun tidak berbeda nyata. Hasil penelitin ini hampir sama dengan hasil penelitian Sabrani dan Levine (1993) yang melaporkan bahwa bobot badan tertinggi untuk domba jantan lokal adalah 25 kg, karena itu disarankan agar pemasaran segera dilakukan setelah mencapai bobot badan tersebut. Rataan bobot potong yang dilaporkan oleh Rachmadi (2003) yaitu berkisar dari 18.7 kg dan 19.2 kg. Bobot Karkas Hasil penelitian juga memperlihatkan rataan bobot karkas antar perlakuan yaitu 8.0 kg, 10.24 kg dan 11.16 kg masing-masing untuk perlakuan RA, RB dan RC. Bobot karkas yang diamati dalam penelitian ini adalah bobot karkas panas dimana rataan
bobot karkas pada
perlakuan RB dan RC yang mendapat tambahan sabun kalsium, lebih tinggi dibanding perlakuan RA, yang tidak mendapat tambahan sabun kalsium, namun analisis sidik ragam tidak menunjukkan adanya
77
perbedaan. Rataan bobot karkas yang dilaporkan oleh Rachmadi (2003), yaitu bahwa pada lama penggemukkan sembilan minggu berkisar dari 6.90 – 7.58 kg. Tingginya bobot karkas pada perlakuan RB dan RC ini sesuai dengan tingginya bobot potong.
Hal ini berarti semakin tinggi
bobot potong yang diperoleh menyebabkan bobot karkas akan meningkat. 60 50 40 RA
30
RB
20
RC
10 0 BobotPotong (kg)
BobotKarkas (kg)
%Karkas
Luas Udamaru Tebal Lemak (cm2) Punggung(cm)
Gambar 22 Rataan bobot potong, bobot karkas, persentasi karkas, luas urat daging mata rusuk dan tebal lemak punggung antar perlakuan. (Sumber : Data Primer) Persentasi Karkas Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan persentasi bobot karkas yaitu 40.82%; 52.24% dan 56.93%.
Rataan persentasi bobot
karkas pada perlakuan RB dan RC lebih tinggi dibanding RA, namun hasil analisis sidik ragam menunjukkan tidak ada perbedaan. Hasil penelitian Setiyono dan Soeparno (1992) terhadap domba lokal jantan yang dipotong pada berat 12, 14 dan 16 kg melaporkan bahwa perentasi bobot karkas tertinggi diperoleh pada bobot potong 16 kg yaitu 41.88 kg ± 1.98% dan terendah pada bobot potong 12 kg yaitu 38.33 ± 2.37%.
Hasil
penelitian Rachmadi (2003) terhadap domba lokal jantan dengan lama penggemukkan sembilan minggu melaporkan bahwa persentasi bobot karkas tertinggi adalah 49.68% dan terendah adalah 48.36%. Romans et al. (1994) melaporkan bahwa persentasi karkas domba adalah 50%, sedang menurut Amsar et al. (1984) bahwa persentasi karkas domba lokal adalah 47.5 - 60%. Rataan persentasi bobot karkas dalam penelitian
78
ini sesuai dengan rataan bobot potong dan bobot karkas dimana bobot potong dan bobot karkas yang tinggi akan menghasilkan persentase bobot karkas yang tinggi pula. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Berg dan Butterfield (1976) yang menyatakan bahwa persentasi karkas dipengaruhi oleh bobot potong dan bobot karkas. Luas Urat Daging Mata Rusuk Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas urat daging mata rusuk pada perlakuan RC lebih tinggi dibanding perlakuan RA dan RB yaitu 11.83 dibanding 7.48 dan 7.84 (Cm2) dan tidak berbeda nyata antara perlakuan. Hasil penelitian Rachmadi (2003) melaporkan luas urat daging mata rusuk pada ternak domba jantan yaitu 11.27; 11.50 dan 9.88 (Cm2) masing-masing untuk lama penggemukkan 3, 6 dan 9 minggu. Besarnya proporsi urat daging karkas dapat ditentukan dari luas urat daging mata rusuk, yaitu makin luas urat daging mata rusuk berarti makin besar proporsi urat daging pada karkas (Romans et al. 1994). Tebal Lemak Punggung Tebal lemak punggung merupakan indikator untuk menentukan perlemakan tubuh atau karkas. Makin tebal lemak punggung berarti makin besar proporsi lemak karkas (Romans et al. 1994).
Soeparno (1992)
menyatakan bahwa dengan bertambahnya umur serta konsumsi energi, deposisi lemak juga terjadi di antara otot (lemak intermuskuler), lapisan bawah kulit (lemak sub-kutan) dan terakhir di antara ikatan serabut yaitu lemak intramuskuler atau marbling. Demikian juga Priyanto et al. (1999) menyatakan bahwa daging berlemak mempunyai palatabilitas yang disukai, terutama tenderness dan juiciness karena adanya peningkatan marbling dalam daging. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataa tebal lemak punggung adalah 2.2, 2.875 dan 2.4 masing-masing untuk perlakuan RA, RB dan RC dan tidak berbeda nyata antar perlakuan. Hal ini diduga karena pertumbuhan lemak pada ternak domba mengarah ke
79
rongga perut sehingga lemak subkutannya tetap rendah walaupun terjadi kenaikan bobot badan. Kualitas karkas dalam penelitian ini memperlihatkan hasil yang cukup baik karena persentasi karkasnya tinggi yang diikuti dengan proporsi urat daging yang tinggi tetapi lemaknya rendah. Kualitas karkas yang baik adalah karkas dengan urat daging yang maksimum, lemak yang minimum dan otot yang optimum. Karkas dengan proporsi urat daging yang tinggi dan tingkat perlemakan yang minimum akan lebih disukai konsumen karena mempunyai kualitas daging yang baik (Berg et al. 1978). Kandungan Lemak Intramuskuler (Marbling) Dalam menentukan mutu daging (quality grade) menurut USDA maka derajat marbling merupakan salah satu faktor penting dan biasanya dihubungkan dengan tingkat kedewasaan (maturity). Pada hewan muda, pertulangan vertebrae dan tulang-tulang rusuk masih terdiri dari tulang rawan, warnanya merah dan berpori, warna dagingnya merah muda dan tekstur dagingnya halus, dagingnya sangat empuk dan tidak kenyal. Dengan meningkatnya tingkat kedewasaan, pertulangan karkas menjadi lebih keras, bewarna putih dan massif, warna daging menjadi lebih tua dan teksturnya lebih kasar, keempukan dagingnya berkurang dan lebih kenyal.
Karena itu makin bertambahnya tingkat kedewasaan, mutu
daging makin menurun, sebaliknya dengan semakin banyaknya marbling, kualitas daging makin meningkat.
Dengan demikian pada tingkat
kedewasaan yang sama, mutu daging masih dapat berbeda dengan adanya perbedaan dalam derajat marbling. Pada penelitian ini penilaian derajat marbling dilakukan pada sayatan melintang rusuk ke 12 dan 13 pada otot longisimus dorsi, kemudian dilakukan ekstraksi lemak dengan ether (Metode Soxhlet). Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
rataan
kandungan
lemak
intramuskuler (marbling) pada perlakuan RA, RB dan RC adalah 2.42%; 3.63% dan 3.98%. Ilustrasi ini dapat dilihat pada Gambar 23.
80
4
(%) Lemak
3
2
1
0 RA
RB
RC
Gambar 23 Kandungan lemak intramuskuler (marbling) antar perlakuan. (Sumber : Data Primer). Derajat marbling pada perlakuan yang mendapat tambahan sabun kalsium yaitu RB dan RC lebih tinggi dibanding perlakuan RA (kontrol), tetapi hasil analisis sidik ragam menunjukkan tidak ada perbedaan. Meskipun demikian derajat marbling pada perlakuan RB dan RC lebih tinggi dan masuk kategori Sligt (Sl) sedang pada prlakuan RA lebih rendah dan masuk kategori trace (TR).
Hal ini berarti bahwa dengan
penambahan sabun kalsium pada perlakuan RB dan RC dapat meningkatkan derajat marbling. Dengan demikian mutu daging juga dapat ditingkatkan, jika pada perlakuan RA mutu daging dikategori kedalam kelas Chois sebaliknya pada perlakuan RB dan RC mutu daging lebih tinggi dan masuk dalam kategori kelas Super. Komposisi Asam Lemak pada Otot Longisimus dorsi Kandungan asam lemak daging domba yang diamati pada otot longisimus dorsi adalah asam lemak jenuh, asam lemak tunggal tidak jenuh dan asam lemak ganda tidak jenuh.
Asam lemak jenuh (SFA),
terdiri dari myristat (14:0), pentadecanoate (15:0), palmitat (16:0), stereat (18:0) dan arachidate (20:0). Asam lemak tunggal tidak jenuh (MUFA), terdiri dari myristoleat (14:1), palmitoleat (16:1), oleat (18:1) dan eicosenoate (20:1). Asam lemak ganda tidak jenuh (PUFA), terdiri dari linoleate (18:2) dan linolenate (18:3).
81
Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi asam lemak pada masing-masing perlakuan secara komposit dapat dilihat pada Gambar 24 dibawah ini.
Kandungan asam lemak jenuh pada perlakuan RA lebih
tinggi yaitu 32.02% dibanding perlakuan RB dan RC yang mendapat tambahan sabun kalsium yaitu 30.09% dan 12.35%.
Sebaliknya
kandungan asam lemak tidak jenuh pada perlakuan RA,
yang tidak
mendapat tambahan sabun kalsium lebih rendah yaitu 67.98% dibanding perlakuan RB dan RC yaitu 69.92% dan 87.65%. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kandungan asam lemak ganda tidak jenuh pada perlakuan RB dan RC lebih tinggi yaitu 38.60% dan 36.55% dibanding RA yakni 6.77%.
Hal ini menunjukkan bahwa
penam-bahan sabun kalsium secara proporsional dapat menurunkan kandungan asam lemak jenuh karena sabun kalsium yang dipakai sebagai bahan dasar dalam pembuatan sabun kalsium kaya akan asam lemak ganda tidak jenuh.
Tingginya kandungan asam lemak jenuh ini dapat
meningkatkan kolesterol dalam darah. Asam lemak tunggal tidak jenuh tidak berpengaruh nyata terhadap status kolesterol dalam darah, sedangkan jumlah asam lemak ganda tidak jenuh dapat menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Rasio asam lemak ganda tidak jenuh terhadap asam lemak jenuh juga merupakan salah satu factor penting dalam upaya untuk menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Wood and Enser (1997) mengelompokkan rasio asam lemak ganda tidak jenuh dengan asam lemak jenuh kedalam lima kelompok yaitu : kurang dari 0.1; 0.1-0.5; 0.5-1.5; 1.5-2.5 dan lebih dari 2.5. Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian akhir-akhir ini maka disarankan agar rasio antara asam lemak ganda tidak jenuh dengan asam lemak jenuh sebaiknya berkisar dari 1.5 – 2.0. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio asam lemak ganda tidak jenuh dengan asam lemak jenuh adalah 0.21; 1.28 dan 2.96 masingmasing untuk perlakuan RA, RB dan RC.
Hal ini berarti bahwa
penambahan lemak dalam bentuk sabun kalsium dengan bahan dasar minyak ikan lemuru pada perlakuan RB dan RC masing-masing 5% dan
82
10% dapat meningkatkan rasio asam lemak ganda tidak jenuh dengan asam lemak jenuh. Dengan demikian proteksi asam lemak ganda tidak jenuh dalam bentuk sabun kalsium yang dilakukan dalam penelitian ini, efektif melindungi asam lemak ganda tidak jenuh dari biohidrogenase mikroorganisme rumen sehingga asam lemak ganda tidak jenuh dapat lolos sampai ke usus halus, diserap dan akhirnya diinkorporasi masuk ke dalam daging.
100% 80% 60% 40% 20% 0% RA Asam Lemak Jenuh
RB
RC
Asam Lemak Tunggal Tak Jenuh
Asam Lemak Poli Tak Jenuh
Gambar 24 Komposisi kandungan asam lemak antar perlakuan (Sumber : Data Primer).
Kandungan Kolesterol pada Serum, Daging dan Feses Kandungan kolesterol yang diamati dalam penelitian ini adalah kandungan kolesterol dalam serum, daging dan feses.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa rataan kandungan kolesterol pada serum darah ternak domba percobaan yaitu 140.32; 95.69 dan 69.37 (mg/dl) masingmasing untuk perlakuan RA, RB dan RC dan masih berada dalam kisaran normal (50-140) mg/dl. Ilustrasinya dapat dilihat pada Gambar 25.
83
Analisi sidik ragam menunjukkan ada perbedaan yang sangat nyata (P < 0.01) antar perlakuan. Hasil analisis uji lanjut dengan Uji Duncan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata (P < 0.01) antara perlakuan RA dibanding dengan perlakuan RB dan RC, sedang antara perlakuan RB dan RC tidak berbeda (P > 0.05).
Hal ini
menunjukkan bahwa pemberian lemak dalam bentuk sabun kalsium dengan bahan dasar minyak ikan pada perlakuan RB dan RC dapat menurunkan kolesterol dalam serum ternak domba karena kandungan asam lemak ganda tidak jenuh yang banyak terdapat pada minyak ikan. Ini sesuai dengan pernyataan Soewardi (2005) bahwa laporan penelitian dari Amerika, Canada, Australia, Jepang, Norwegia, Inggris dan negaranegara lain menunjukkan bahwa asam lemak ganda tidak jenuh seperti omega-3 mempunyai peranan yang sangat penting untuk kesehatan manusia karena membantu pencegahan diabetes, menurunkan kadar kolesterol, mencegah pengerasan pada pembuluh arteri dan penyakit jantung. 150 125 100 mg/dl
75 50 25 0 SERUM
DAGING
RA
RB
FESES
RC
Gambar 25 Kandungan kolesterol dalam serum, daging dan feses antar perlakuan pada ternak domba jantan lokal (Sumber : Data Primer). Hasil penelitian Kook et al. (2002) tentang efek suplemen minyak ikan pada sapi Korea melaporkan bahwa kandungan kolesterol pada serum darah berbeda sangat nyata (P < 0.01). Pada sapi yang mendapat
84
tambahan minyak ikan, kandungan kolesterol serumnya adalah 171.33 mg/dl dibanding kontrol adalah 125.67 mg/dl.
Hal ini diduga karena
minyak ikan yang diberikan tidak dilindungi sehingga asam lemak tidak jenuhnya mengalami proses hidrogenasi oleh mikroorganisme dan meningkatkan kolesterol plasma. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan kandungan kolesterol pada daging ternak domba percobaan yaitu 104.47; 36.73 dan 15.39 (mg/dl) masing-masing untuk perlakuan RA, RB dan RC. Analisis sidik ragam menunjukkan ada perbedaan yang sangat nyata (P < 0.01) antar perlakuan.
Hasil analisis uji lanjut dengan Uji Duncan menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata (P < 0.01) antara perlakuan RA dibanding dengan perlakuan RB dan RC, sedang antara perlakuan RB dan RC tidak berbeda.
Hal ini menunjukkan bahwa pemberian lemak
dalam bentuk sabun kalsium dengan bahan dasar minyak ikan pada perlakuan RB dan RC dapat menurunkan kolesterol pada daging ternak domba. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan kandungan kolesterol dalam feses ternak domba antar perlakuan yaitu 16.26; 55.45 dan 40.21 (mg/dl) masing-masing untuk perlakuan RA, RB dan RC. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata namun kandungan kolesterol pada perlakuan RB dan RC cenderung lebih tinggi. Hal ini berarti penambahan sabun kalsium dengan bahan dasar minyak ikan lemuru dapat meningkatkan kandungan kolesterol feses pada ternak domba.
Kolesterol yang tidak diperlukan akan dikeluarkan
bersama-sama dengan feses dan kurang lebih setengahnya dalam bentuk garam-garam empedu dan sisanya dalam bentuk hormon-hormon steroid netral.
PEMBAHASAN UMUM Permintaan akan produk peternakan seperti telur, daging dan susu terus meningkat dari tahun ke tahun baik kuantitas maupun kualitasnya seiring dengan pertambahan penduduk, peningkatan kesejahteraan serta kesadaran masyarakat Indoneia akan gizi.
Sebaliknya produktivitas
ternak di Indonesia masih sangat rendah sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan konsumennya. Salah satu penyebabnya adalah manajemen yang kuarang baik utamanya nutrisi yaitu pakan dan pemberiannya. Pada usaha ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing dan domba, bahan pakan konsentrat dan hijauan makanan ternak merupakan sumber energi biasanya merupakan kendala utama dalam upaya pengembangan ternak ini. Energi merupakan komponen yang sangat esensiel bagi kehidupan ternak karena diperlukan untuk hidup pokok, berproduksi dan reproduksi. Sebaliknya energi juga merupakan komponen yang paling sering kekurangan dalam ransum ternak ruminansia.
Oleh karena itu perlu
diusahakan mencari bahan pakan alternative untuk mencukupi kebutuhan nutrisi
yang
berfungsi
sebagai
sumber
energi.
Ternak
dapat
menggunakan karbohidrat (sederhana atau complex), lemak atau protein sebagai
sumber
energi.
Dibanding
dengan
karbohidrat,
lemak
menghasilkan energi 2.5 kali lebih besar. Penggunaan bahan pakan bagi ternak ruminansia dengan kandungan lemak yang tinggi perlu diwaspadai karena dapat memberikan pengaruh yang negative terutama dalam proses fermentasi di rumen. Disamping itu mikroorganisme rumen dapat menghidrogenasi asam lemak poli tak jenuh. biohidrogenasi
ini
menyebebkan
daging
Dengan adanya proses
pada
ternak
ruminansia
mempunyai kandungan asam lemak jenuh yang tinggi yang dapat meningkatkan kolesterol. Hal ini sering merupakan faktor pembatas bagi konsumen
untuk
mengurangi
atau
bahkan
tidak
sama
sekali
mengkonsumsi produk peternakan ini. Fenomena demikian merupakan kondisi yang dilematis bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan pangan, mengingat daging sebagai sumber protein hewani dengan asam-
86
asam amino esensielnya masih sangat diperlukan bagi masyarakat Indonsia. Sifat lemak ruminant dapat dipengaruhi bila dapat mengubah reaksi mikroba atau pemberian lemak yang tidak mendapat proses dalam rumen (mekanisme : rumen by pass). Lemak by pass merupakan sumber energi yang tidak mempunyai efek terhadap fermentasi rumen dan siap diasimilasi oleh ternak dalam sistem pencernaannya dan lolos atau terpintas dari proses degradasi mikroba dalam retikulo rumen atau disebut lemak terlindung.
Teknologi sabun kalsium adalah suatu teknologi
perlindungan lemak melalui proses kimiawi untuk menyabunkan bahan lemak dan alkali yang dikenal dengan proses saponifikasi dan ditambah mineral kalsium (Ca) dengan tujuan mengubah bentuk minyak menjadi bentuk padat agar dapat dicampur dengan bahan pakan ternak lainnya. Penelitian ini menggunakan minyak sawit kasar (CPO) dan minyak ikan lemuru sebagai bahan dasar pembuatan sabun kalsium.
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kandungan asam lemak pada minyak ikan lemuru lebih tinggi dari CPO.
Hal ini disebabkan karena minyak ikan
lemuru mengandung jenis asam lemak yang lebih banyak dibanding CPO. Selain itu minyak ikan lemuru mempunyai rantai hidrokarbon dengan jumlah atom karbon yang mempunyai ikatan rangkap lebih banyak. Dengan kata lain minyak ikan lemuru mempunyai kandungan asam lemak poli tak-jenuh lebih tinggi dibanding CPO. Secara in-vitro hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sabun kalsium efektif melindungi asam lemak poli tak jenuh dari biohidrogenasi mikroorganisme ruman.
Kandungan
asam lemak poli tak-jenuh masih cukup tinggi pada perlakuan sabun kalsium dibanding dengan tanpa perlakuan sabun kalsium pada daerah pasaca rumen. Suplementasi sabun kalsium sebanyak 5% dan 10% pada perlakuan RB dan RC dalam ransum penggemukan ternak domba ini mempunyai dampak terhadap komposisi bahan ransum yang digunakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan RB dan RC mempunyai kandungan energi yang lebih tinggi di banding perlakuan RA (kontrol).
87
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa konsumsi pada perlakuan RB dan RC cenderung lebih tinggi. Hal ini berarti bahwa pemberian lemak sebagai sumber energi dengan minyak ikan lemuru tidak mempunyai dampak terhadap peningkatan panas dalam tubuh ternak domba sehingga ternak tersebut tetap merasa nyaman dan konsumsinya meningkat. Hasil penelitian juga meunjukkan bahwa pemberian sabun kalsium dengan bahan dasar minyak ikan lemuru yang disuplementasikan kedalam pakan ternak domba jantan lokal sebanyak 10%, nyata meningkatkan produksi VFA total, pertambahan bobot badan harian lebih baik, meningkatkan kualitas karkas dan menurunkan kadar kolesterol dalam serum dan daging ternak tersebut. Peningkatan produksi VFA total ini diduga karena pemberian lemak dalam bentuk sabun kalsium efektif sebagai sumber energi. Hal ini disebabkan karena dipandang dari segi energi, lemak mengandung energi lebih tinggi dari karbohidrat dan protein sehingga dalam jumlah sedikit saja yang ditambahkan dalam ransum ruminan dapat meningkatkan kadar energi ransum (Parakkasi 1995). Produksi VFA ini merupakan energi dalam bentuk glukosa yang akan diserap di saluran pencernaan setelah retikulo rumen. dikonsumsi
dipergunakan
oleh
ternak
pertama
untuk
Energi yang memenuhi
kebutuhan untuk mempertahankan metabolisme basal, dan untuk tumbuh atau produksi bila konsumsinya melebihi kebutuhan maintenans. Oleh karena itu konsumsi energi yang tinggi juga akan diikuti dengan pertumbuhan yang lebih baik. Selain itu peningkatan produksi VFA Total diduga karena ada peningkatan fraksi VFA yaitu propionat yang mengakibatkan peningkatan VFA secara keseluruhan. Asam propionat diabsorbsi melalui epitel rumen dan masuk ke sirkulasi darah, kemudian dibawa ke hati untuk selanjutnya diubah menjadi glukosa dan bagian cadangan glukosa hati. Pada proses anabolis di dalam tubuh, ternak memerlukan energi dalam bentuk glukosa. Pada ternak ruminansia, glukosa dapat disintesis dari sumber-sumber bukan karbohidrat yaitu dari asam lemak atau asam amino melalui proses glukoneogenesis.
Komponen asam lemak atsiri (VFA) yang termasuk
88
glukogenik adalah asam propionate yang dalam proses metabolismenya menjadi precursor glukosa, sedangkan asam asetat dan asam butirat tidak termasuk metabolit glukogenik melainkan metabolit ketogenik. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa produksi VFA total yang lebih tinggi pada perlakuan RC tidak memberikan dampak terhadap pH cairan rumen.
Pada perlakuan RC, pH cairan rumen cenderung lebih
rendah dibanding RB tetapi masih berada pada kisaran normal untuk terjadinya fermentasi di dalam rumen. Hal ini disebabkan karena kandungan serat pada perlakuan RC lebih tinggi dari perlakuan RB. Kondisi ini
mengharuskan
ternak
domba
banyak
melakukan
aktivitas
pengunyahan (mastikasi) sehingga saliva yang disekresikan dan yang masuk ke dalam retikulorumen lebih banyak.
Saliva pada ternak
ruminansia banyak mengandung bikarbonat dan fosfat
serta berperan
sebagai larutan penyangga atau buffer sehinga pH dapat dipertahankan pada kisaran normal. Pemberian lemak dalam bentuk sabun kalsium juga dapat meningkatkan
lemak
intramuskuler
(marbling),
sedangkan
lemak
punggung (tebal lemak punggung) relatif sama. Marbling dan lemak punggung merupakan lemak yang paling terakhir terdeposit sedangkan lemak ginjal dan pelvic merupakan yang paling awal dan lemak intermuskuler adalah di tengah (intermediate) (Boggs and Merkel 1984). Hal ini menunjukkan bahwa tingginya energi perlakuan RB dan RC
yang terkandung pada
diikuti dengan pertumbuhan yang tinggi pula
bahkan masih tersisa dan dideposit sebagai lemak intramuskuler. Kandungan lemak daging sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain macam dan jenis makanan, aktifitas fisik, stres dan turunan.
Makanan yang mengandung asam lemak poli tak jenuh
dapat menurunkan kolesterol dalam serum darah.
Oleh karena itu
pemberian sabun kalsium dengan bahan dasar minyak ikan lemuru yang kaya akan asam lemak poli tak januh dan lolos dari biohidrogenasi mikroorganisme rumen sehingga dapat menurunkan kolesterol serum.
89
Dalam penelitian ini juga terlihat bahwa penambahan lemak dalam bentuk sabun kalsium dapat menurunkan kadar kolesterol serum dan darah sebaliknya meningkatkan kolesterol pada feses. Hal ini menunjukkan bahwa sabun kalsium efektif melindungi lemak sehingga lemak ini tidak semuanya didegradasi tetapi masih ada yang lolos. Hal ini berarti istilah lemak langsung lewat rumen (rumen by-pass fat) kurang tepat dan mungkin lebih baik dengan istilah lemak yang kurang tercerna dalam rumen (rumen lessdegradable fat).
Dengan adanya lemak yang lolos
sampai ke usus halus maka produksi cairan empedu akan meningkat. Cairan empedu ini berfungsi untuk mengemulsifikasi lemak dan dapat dibentuk melalui sintesa kolesterol. Peningkatan caiaran empedu sebagai zat pengemulsi (emulsifier) secara tidak langsung dapat menurunkan kolesterol di darah yang selanjutnya juga menurunkan kolesterol yang terinkorporasi di dalam daging. Selanjutnya kolesterol ini akan dikeluarkan bersama-sama dengan feses yang mengakibatkan kolesterol feses meningkat.
DAFTARA PUSTAKA Alexander G, Prabhakara ZR, Rama JP. 2002. Effect of suplementing with sunflower acid oil or its calcium soap on nutrient utilization. AJAS Vol. 15 No. 9 :1283-1293. Amsar, Natasasmita A, Sastradipradja D, Gurnadi RE, Parakkasi A. 1984. Komposisi Karkas Domba Lokal Priangan Berdasarkan Jenis Kelamin dan Bobot Badan. Prosiding Pertemuan Ilmiah Penelitian Ruminansia Kecil. 22 – 23 November 1984. Bogor. Anggorodi R. 1979. Ilmu Makanan Ternak Umum. Jakarta: Gramedia. Anwar HM, Piliang WG. 1992. Biokimia dan Fisiologi Gizi. Ditjen Dikti. PAU Ilmu Hayat. IPB Bogor. AOAC. 1984. Official Methods of Analysis. Analytical Chemist. Washington, D.C.
Association of Official
AOCS Official Method Ce 1b-89, 1992. Fatty Acid Composition by GLC (Marine Oils). Sampling and Analysis Of Comercial Fats and Oils, Official Methods and Recommended Practices of the American Oil Chemists’ Society, 4th edn., Broadmoor Drive, Champaign, Illinois. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989. Analisis Pangan. PAU Pangan dan Gizi - IPB. IPB Press. Berg RT, Butterfield RM, 1976. New concepts of cattle growth. Sidney University Press. Beynen AC. 1986. Nutritional Effects on Cholesterol Metabolism. Departmen of Laboratory Animal Science, State University Utrecht, Netherlands. Transmondial Voorthuizen. Blakely J, Bade DH. Press.
1991. Ilmu Peternakan. Gajah Mada University
Boggs DL, Merkel RA. Live animal carcass evaluation and selection manual. Iowa. Kendall/Hunt Publising Company. Chalupa W et al . 1986. Ruminal Fermentation in vitro as Influenced by Long Chain Fatty Acid. J Dairy Sci 69:1293 Cole VG. 1982. Beef Cattle Production Guide. NSWUP ed. Mac Arthur Press. Parramatta, New South Wales. Davis LD, Mc Gilliard AD, Richard MJ, Jacobson NL. 1985. Quantitation of Fat and Cholesterol Transport in The Mesenteric Lymph and Bile of The Rument Calf. J Nutr 115:436
92
Estiasi T, Suparno, Noor Z. 1996. Mikroenkapsulasi konsentrat asam lemak Omega 3 dari limbah cair pengalengan ikan lemuru (Sadinela longiceps). Jogyakarta. Gajah Mada University Press. FAO. 1998. Statistical Profile of Livestock Development in Asia-Pacific Region. Regional Office for Asia and the Pacific (RAPA), FAO, Bangkok. RAPA Publication. Fernandez JI. 1999. Rumen by-pass fat for dairy diets: When to use which type. Feed International. August. P:18-21 Forrest JC, Aberle ED, Hendrik HB, Judge MD, Merkel RA. 1975. Principle of Meat Science. W.H. Freeman and Company, San Francisco, USA. Frisch JE. 1978. Adaptation, nutrition and agronomy. Di dalam: W.A.T. Bowker, R.G. Dumsday, J.E. Frisch, R.A. Swan and N.M. Tulloh, editor. A Course manual in beef cattle management and economics. A.V.V.C - A.A.U.C.S. Academic Press. Brisbane. Gatenby RM. 1986. Sheep Production in the Tropics and Sub-Tropics. Tropical Agriculture Series. Longman, London and New York. Gustafson GE, Angelin, BO Einarson, K, Gustafson JA. 1977. Effect of Cholesterol Feeding on Synthesis and Metabolism of Cholesterol and Bile Acid in Germfree Rats. J Lipid Res 18:717. Haryanto B, Djajanegara A. 1993. Pemenuhan kebutuhan zat-zat makanan ternak ruminansia kecil. Di dalam: Manika WodzickaTomaszewska, IM Mastika, A Djajanegara, S Gardiner dan TR Wiradarya, editor. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Sebelas Maret University Press Iniguez L, Pattie WA, Gunawan B. 1993. Aspek-Aspek Pemuliaan Domba Ditekankan Terutama pada Lingkungan Tropis yang Lembab di Indonesia. Di dalam: Manika Wodzicka-Tomaszewska, IM Mastika, A Djajanegara, S Gardiner dan TR Wiradarya, editor. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Sebelas Maret University Press IUPAC, Method 2.301, 1987. Standard Methods for Analysis of Oils, Fats and Derivatives. International Union of Pure and Applied Chemistry, 7th edn., Blackwell Scientific Publications Jenkins TC, Palmquist DL. 1984. Effect of fatty acids or Calcium Soaps on Rumen and Total Nutrient Digestibility of Dairy Rations. J Dairy Sci 67:978-986 Jenkins TC. 1993. Lipid Metabolism in The Rumen. J Dairy Sci 76:3851.
93
Joseph G. 2001. Status asam basa pada ternak kerbau lumpur (Bubalus bubalis) yang diberi pakan jerami padi dan konsentrat dengan penambahan natrium. JITV 6 : 254. Kaunang CL. 2004. Respons ruminan terhadap pemberian hijauan pakan yang dipupuk air belerang [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Kook K., Choi BH, Sun SS, Garcia F, Myung KH. 2002. Effect of Fish Oil Supplement on Growth Performance, Ruminal Metabolism and Fatty Acid Composition of Longissimus Muscle in Koren Cattle. AJAS Vol. 15 no. 1 :65-71. Lawrie RA. 1995, Ilmu Daging, Edisi Kelima, penerjemah; Parakkasi A, editor. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Meat Science Lehninger AL. 1994. Principles of Biochemestry. Jilid II. Terjemahan : M Thenawidjaja. Penerbit Erlangga, Jakarta. Lemenager RP, Nelson LA, Hendrix KS. 1980. Influence of cow size and breed type on energy requirement. J Anim Sci 51:566. Leng RA. 1990. Factor Affecting the Utilization of “poor quality” Forages by Ruminants Particulary Under Tropical Condition. Di dalam: Smith RH, editor. Nutrition Research Review. Vol 3. Cambridge : Cambridge University Press. Linder MC. 1992. Nutrisi dan Metabolisme Lemak. Di dalam: Maria C Linder ,editor. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Penerjemah Aminuddin Parakkasi. UI Press. Lloyd LE, McDonald BE, Crampton, EW. 1978. Fundamentals of Nutrition. Second Edition. W.H. Freeman and Company. San Francisco Lubis MI. 1993. Pengaruh minyak ikan lemuru dalam pakan terhadap respons vaskuler kera ekor panjang (Macaca fascicularis) yang hiperkolesterolemik. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Mathius IW, Lubis D, Wina E, Nurhayati DP, Budiarsana IGM. 1997. Penambahan kalsium karbonat dalam konsentrat untuk domba yang mendapat silase rumput raja sebagai pakan dasar. JITV Vol. 2 : 164 - 169. Mitruka BM, Rawnsley HM, Vadehra BV. 1977. Clinical biochemical and hematological reference in normal experimental animals. New York: Masson Publising USA, Inc. NRC, 1985. Nutrient Requirement of Sheep. Ed ke 6. National Academy Press, Washington
94
Ørskov ER. 1982. Protein Nutrition in Ruminants. Academic Press Limited. London. Palmquist DL, Jenkins TC, Joyner AE Jr. 1986. Effect of Dietary Fat and Calcium Source on Insoluble Soap Formation in the Rumen. J Dairy Sci 69 : 1020 - 1025. Parakkasi A. 1986. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Monogastrik. Vol IB. UI Press. Parakkasi A. Press.
1995.
Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. UI
Piliang WG. 1997. Strategi penyediaan pakan ternak berkelanjutan melalui pemanfaatan energi alternatif. Orasi ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Nutrisi Ternak. Fakultas Peternakan IPB Bogor. Piliang WG, Djojosoebagio Al Haj S. 2002. Fisiologi nutrisi Vol I.Edisi ke 4. IPB Press. Pond WG, Church DC, Pond KR. 1995. Basic animal nutrition and feeding. Fourth Edition. New York: John Wiley & Sons Preston TR, Leng RA. 1987. Matching ruminant production system with available resources in the tropics and sub-tropics. Armidale: Penambul Books. Price JR, Schweigert BS. 1971. The Science of Meat and Meat Products. 2nd ed. W.H. Freeman and Company, San Francisco. Priyanto R, Johnson ER, Taylor DG. 1999. The Importance of Genotype in Steers Fed Pasture or Lucerne Hay and Prepared for The Australian and Japanese Beef Markets. New Zealand. J Of Agric Res. 42:393-404. Rachmadi D. 2003. Dampak pemberian bungkil inti sawit dan konsentrat yang dilindungi formaldehida pada domba terhadap kinerja dan kandungan asam lemak poli tak jenuh daging [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Romans JR, Costello WJ, Carlson CW, Greaser ML, Jones KW. 1994. The Meat we eat. Danville, Illinois: Interstate Publishers, Inc. Sabrani M, Levine JM. 1993. Pendekatan sistem pertanian untuk produksi ruminansia kecil. Di dalam: Manika WodzickaTomaszewska, IM Mastika, A Djajanegara, S Gardiner dan TR Wiradarya, editor. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Sebelas Maret University Press.
95
Sastri S Sahim A. 1990. Hbungan HDL dan LDL Kolesterol dengan Penyakit Jantung Koroner. Di dalam: Julius, editor. Kapita Selekta Kedokteran. Pusat Penelitian Universitas Andalas, Padang. Hal 181-207. Setiabudi E. 1990. Pengaruh waktu penyimpanan dan jenis filter pada jumlah omega-3 dalam minyak limbah hasil pengalengan dan penepungan ikan lemuru (Sardinella longiceps). [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Simatupang P. 2004. Daya saing usaha peternakan menuju 2020 [abstrak]. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 4 - 5 Agustus 2004. Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Soedarmo DM dkk. 1988. Penuntun Praktikum Biokimia. Pusat Antar Universitas IPB, Bogor. Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press Soewardi, K. 2005. Ketahanan Pangan Berbasis Perikanan dan Kelautan. Semiloka Strategi Pemantapan Produksi dan Ketersediaan Pangan. Bogor, 7 September 2005. Speedy AW. 1980. Sheep Production. Longman, London. Steel RGD, Torrie, JH. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu pendekatan biometrik. PT. Gramedia Pusaka Utama, Jakarta. Sudarmadji S, Haryono B, Suhardi. 1984. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Edisi ketiga. Liberty, Yogyakarta. Sukadi, Purbowati E, Sri Lestari CM. 2002. Aplikasi Teknologi Zat Pemacu Pertumbuhan Phytogenic untuk Penggemukkan Ternak Domba. Di dalam: Inovasi teknologi peternakan dan veteriner dalam menunjang keterpaduan usaha peternakan yang berdaya saing. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 30 September - 1 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Hlm 87-90. Supardi F. 1989. Peranan hasil laut dalam pencegahan penyakit jantung koroner di Indonesia. Seminar Nasional Obat dan Pangan Kesehatan Laut. Jakarta, Juni 1989.
96
Sutardi T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi I. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Tilley JM, Terry RS. 1969. A Two Stage Technique for In Vitro Digestion of Forage Crops. J. British Grassland Soc : 104-111. Tillman AD, Hatardi H, Reksohadiprojo S, Kusumo SP, Lebdosoekojo S. 1989. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gajah Mada University Press. Jogyakarta. Tulloh NM. 1978. Growth, Development, Body Composition, Breeding and Management. Di dalam: Tulloh NM, editor. A Course Manual in Beef Cattle Management and Economics. AAUCS, Canbera. Uhi HT. 2005. Suplemen katalitik berbahan dasar gelatin sagu, NPN dan mineral mikro untuk ruminansia di daerah marginal [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. UNDP .2003. Human Development Reports. UNDP. Waskito A. 1996. Teknologi Formula Lemak Terlindung (Ca-Coated Fat) dengan cara kimia [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Wilson PN, Brigstocke TDA. 1981. Sheep. Granada London.
Improved Feeding of Cattle and
Wirahadikusumah M. 1985. Biokomia : metabolisme energi, karbohidrat dan lipid. Bandung : ITB. Wood JD, Enser M. 1997. Factor influencing fatty acid in meat and the rule of antioxidant in improving meat quality. British J of Nut 78. Suppl (1). S 49 – S 60. Yudohusodo S. 2003. Pembangunan Indonesia berbasis pertanian. Butir-butir Pemikiran. Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Forum Mahasiswa Pascasarjana, IPB. Bogor, 4 September 2003.
96 Lampiran 1. Standar 74 dan 84 Standar 74 Jenis Asam Lemak
Standar 84 Konsentrasi (%) 6.67
16
: 0
Konsentrasi (%) 10
10 : 0
6.67
17
: 0
5
12 : 0
6.67
18
: 0
10
13 : 0
6.67
18
: 1
5
14 : 0
6.67
18
: 2
20
15 : 0
6.67
18
: 3
5
16 : 0
6.67
20
: 0
10
16 : 1
6.67
20
: 1
10
17 : 0
6.67
20
: 4
15
18 : 0
6.67
20
: 6
10
18 : 1
6.67
18 : 2
6.67
18 : 3
6.67
20 : 0
6.67
22 : 0
6.67
Total
100
8
: 0
Jenis Asam lemak
Total
100
97 Lampiran 2. Analisis statistik konsumsi bahan kering Rataan Konsumsi bahan kering (gram/ekor/hari) antar perlakuan Perlakuan Kelompok
RA
RB
RC
Total Kelompok
1
538,7141
440,4819
515,2780
1494.4740
2
518,2825
622,6455
595,2421
1736.1701
3
395,7857
635,5182
624,4754
1655.7793
4
622,9067
707,0696
560,7046
1890.6809
5
551,8517
822,9751
956,4205
2331.2473
2627.5407
3228.6903
3252.1206
9108.3516
Total Perlakuan Rataan
525.50814
645.73806
650.42412
607,2235
Analysis of Variance Source
DF
Seq SS
Adj SS
Adj MS
F
P
PERLK
2
67084
67084
33542
2.18
0.175
Kelompok
4
178722
178722
44681
2.91
0.093
Error
8
122946
122946
15368
Total
14
368753
Lampiran 3. Analisis statistik konsumsi bahan organik Rataan konsumsi bahan organik antar perlakuan Perlakuan Kelompok
RA
RB
RC
Total Kelompok
1
491,4585
384,0112
439,7622
1315,2319
2
472,8191
542,8209
508,0072
1523,6472
3
361,0677
554,0434
532,9562
1448,0673
4
568,2657
616,4218
478,5313
1663,2188
5
503,4436
717,4679
816,2536
2037,1651
2397,0546
2814,7652
2775,5115
7987,3303
479,4109
562,9530
555,1021
532,4887
Total Perlakuan Rataan
98 Analysis of Variance Source
DF
Seq SS
Adj SS
Adj MS
F
P
PERLK
2
21283
21283
10642
1.21
0.347
Kelompok
4
101695
101695
25424
2.89
0.094
Error
8
70285
70285
8786
Total
14
193264
Lampiran 4. Analisis statistik kecernan bahan kering Rataan kecernaan bahan kering antar perlakuan Perlakuan Kelompok
RA
RB
RC
Total Kelompok
1
55,5384
57,6365
59,8989
173,0737
2
58,8735
58,8824
55,9354
173,6912
3
59,7740
58,8475
62,2195
180,8410
4
60,5527
64,2431
65,6230
190,4188
5
56,4590
68,5366
58,8747
183,8702
Total Perlakuan
291,1975
308,1461
302,5513
901,8949
Rataan
58,2395
61,6292
60,5103
60,1263
Analysis of Variance Source
DF
Seq SS
Adj SS
Adj MS
F
P
PERLK
2
29.83
29.83
14.92
1.37
0.307
BLOK
4
70.43
70.43
17.61
1.62
0.260
Error
8
86.95
86.95
10.87
Total
14
187.21
99 Lampiran 5. Analisis statistik kecernan bahan organik Rataan kecernaan bahan organik antar perlakuan Perlakuan Kelompok
RA
RB
RC
Total Kelompok
1
56,9534
59,4859
61,1500
177,5893
2
60,0230
59,3153
56,8766
176,2149
3
59,7950
60,6154
62,3404
182,7508
4
61,6835
65,7174
65,8678
193,2687
5
57,7506
69,8806
59,5235
187,1546
296,2055
315,0146
305,7583
916,9783
59,2411
63,0029
61,1517
61,1319
Total Perlakuan Rataan
Analysis of Variance Source
DF
Seq SS
Adj SS
Adj MS
F
P
PERLK
2
35.381
35.381
17.691
1.78
0.229
BLOK
4
65.766
65.766
16.442
1.65
0.252
Error
8
79.493
79.493
9.937
Total
14
180.641
Lampiran 6. Analisis statistik pH cairan rumen Rataan pH cairan rumen antar perlakuan Perlakuan Kelompok
RA
RB
RC
Total Kelompok
1
6,49
6,45
6,45
19,39
2
6,37
6,49
6,46
19,32
3
6,33
6,70
6,51
19,54
4
6,52
6,93
6,56
20,01
5
6,59
6,83
6,81
19,23
Total Perlakuan
31,30
33,40
32,79
97,49
Rataan
6,24
6,68
6,56
6,50
100 Analysis of Variance Source
DF
Seq SS
Adj SS
Adj MS
F
P
PERLK
2
0.46681
0.46681
0.23341
2.59
0.136
BLOK
4
0.12636
0.12636
0.03159
0.35
0.837
Error
8
0.72152
0.72152
0.09019
Total
14
1.31469
Lampiran 7. Analisis statistik produksi VFA total Rataan produksi VFA total antar perlakuan Perlakuan Kelompok
RA
RB
RC
Total Kelompok
1
128
120
150
398
2
110
150
160
420
3
124
140
170
434
4
122
140
170
432
5
130
158
200
488
Total Perlakuan
614
708
850
2172
Rataan
122,8
141,6
170
144,8
Analysis of Variance Source
DF
Seq SS
Adj SS
Adj MS
F
P
PERLK
2
5646.4
5646.4
2823.2
22.92
0.000
BLOK
4
1470.4
1470.4
367.6
2.98
0.088
Error
8
985.6
985.6
123.2
Total
14
8102.4
Uji lanjut Duncan's Multiple Range Test for variable: VFA NOTE: This test controls the type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate Alpha= 0.05 df= 12 MSE= 204.6667
101 Number of Means 2 3 Critical Range 19.71 20.63 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
A
170.000
5 RC
B B B
141.600
5 RB
122.800
5 RA
N PERLK
Lampiran 8. Analisis statistik produksi N-NH3 Rataan produksi N-NH3 antar perlakuan Perlakuan Kelompok
RA
RB
RC
Total Kelompok
1
5,90
11,68
11,27
28,85
2
8,85
7,79
5,72
22,36
3
10,74
4,84
6,02
21,60
4
5,07
8,73
7,55
21,35
5
7,73
8,73
5,78
22,24
Total Perlakuan
38,29
41,77
36,34
116,40
Rataan
7,658
8,354
7,268
7,760
Analysis of Variance Source
DF
Seq SS
Adj SS
Adj MS
F
P
PERL
2
3.027
3.027
1.513
0.22
0.803
BLOK
4
13.167
13.167
3.292
0.49
0.744
Error
8
53.821
53.821
6.728
Total
14
70.014
102 Lampiran 9. Analisis statistik pertambahan bobot badan harian (PBBH) Rataan pertambahan bobot badan harian (PBBH) antar perlakuan Perlakuan Kelompok
RA
RB
RC
Total Kelompok
1
87,14
74,29
110
271,43
2
65,71
130
95,71
291,42
3
91,43
121,43
90
302,86
4
111,43
110
42,86
264,29
5
15,71
84,29
192,86
292,86
Total Perlakuan
371,42
520,01
531,43
1.422,86
Rataan
74,29
104
106,23
94,86
Analysis of Variance Source
DF
Seq SS
Adj SS
Adj MS
F
P
PERLK
2
3187
3187
1593
0.66
0.541
KELMPK
4
345
345
86
0.04
0.997
Error
8
19194
19194
2399
Total
14
22726
Lampiran 10. Analisis statistik efisiensi penggunaan ransum (EPR) Rataan efisiensi penggunaan ransum antar perlakuan Perlakuan Kelompok
RA
RB
RC
Total Kelompok
1
0,1618
0,1686
0,2135
0,5439
2
0,1268
0,2088
0,1608
0,4964
3
0,2310
0,1911
0,1441
0,5662
4
0,1789
0,1556
0,0764
0,4109
5
0,0285
0,1024
0,2017
0,3326
Total Perlakuan
0,7270
0,8265
0,7965
2,3500
Rataan
0,1454
0,1653
0,1593
0,1567
103 Analysis of Variance Source
DF
Seq SS
Adj SS
Adj MS
F
P
PERLK
2
0.001044
0.001044
0.000522
0.15
0.866
KLMPK
4
0.012598
0.012598
0.003149
0.88
0.516
Error
8
0.028582
0.028582
0.003573
Total
14
0.042223
Lampiran 11. Analisis statistik bobot potong Bobot potong antar perlakuan Perlakuan Kelompok
RA
RB
RC
Total Kelompok
1
19,6
17,2
20,2
57,0
2
19,6
24,6
22,2
66,4
3
15,4
24,0
21,8
61,2
4
23,8
25,2
21,0
70,0
5
18,6
27,4
36,0
82,0
Total Perlakuan
97
118,4
121,2
336,6
Rataan
19,4
23,68
24,24
22,44
Analysis of Variance Source
DF
Seq SS
Adj SS
Adj MS
F
P
PERLK
2
70.10
70.10
35.05
1.90
0.212
BLOK
4
122.50
122.50
30.62
1.66
0.252
Error
8
147.90
147.90
18.49
Total
14
340.50
104 Lampiran 12. Analisis statistik bobot karkas panas Rataan bobot karkas antar perlakuan Perlakuan Kelompok
RA
RB
RC
Total Kelompok
1
8.2
6.8
9
24
2
7.6
10
9.2
26.8
3
6
10
10
26
4
11
11.2
10.6
32.8
5
7.2
13.2
17
37.4
Total Perlakuan
40
51.2
55.8
147
Rataan
8
10.24
11.16
9.8
Analysis of Variance Source
DF
Seq SS
Adj SS
Adj MS
F
P
PERLK
2
26.416
26.416
13.208
2.73
0.125
BLOK
4
41.013
41.013
10.253
2.12
0.170
Error
8
38.731
38.731
4.841
Total
14
106.160
Lampiran 13. Analisis statistik persentasi karkas Persentasi karkas antar perlakuan Perlakuan Kelompok
RA
RB
RC
Total Kelompok
1
41.84
34.69
45.92
122.45
2
38.78
51.02
46.94
136.74
3
30.61
51.02
51.02
132.65
4
56.12
57.14
54.02
167.28
5
36.73
67.35
86.73
190.81
Total Perlakuan
204.08
261.22
284.63
749.93
Rataan
40.816
52.244
56.926
49.99533
105
Analysis of Variance Source
DF
Seq SS
Adj SS
Adj MS
F
P
PERLK
2
687.6
687.6
343.8
2.73
0.125
BLOK
4
1067.3
1067.3
266.8
2.12
0.170
Error
8
1008.3
1008.3
126.0
Total
14
2763.3
Lampiran 14. Analisis statistik luas urat daging mata rusuk Luas urat daging mata rusuk (Udamaru) antar perlakuan Perlakuan Kelompok
RA
RB
RC
Total Kelompok
1
8.385
4.644
9.546
22.575
2
5.354
9.804
9.611
24.768
3
7.353
6.579
8.256
22.188
4
10.578
7.837
15.609
34.0237
5
5.741
10.320
16.125
32.1855
Total Perlakuan
37.411
39.1837
59.1465
135.7402
Rataan
7.482
7.83674
11.8293
9.049347
Analysis of Variance Source
DF
Seq SS
Adj SS
Adj MS
F
P
PERLK
2
58.276
58.276
29.138
4.30
0.054
BLOK
4
41.277
41.277
10.319
1.52
0.283
Error
8
54.160
54.160
6.770
Total
14
153.713
106 Lampiran 15. Analisis statistik tebal lemak punggung Tebal lemak punggung antara perlakuan Perlakuan Kelompok
RA
RB
RC
Total Kelompok
1
2
2
2
6
2
3
3
2
8
3
3
3
1
7
4
1
2.5
2
5.5
5
2
3.5
5
10.5
Total Perlakuan
11
14
12
37
Rataan
2.2
2.8
2.4
2.467
Analysis of Variance Source
DF
Seq SS
Adj SS
Adj MS
F
P
PERLK
2
0.933
0.933
0.467
0.46
0.645
KLMPK
4
5.233
5.233
1.308
1.30
0.348
Error
8
8.067
8.067
1.008
Total
14
14.233
Lampiran 16. Analisis statistik lemak intramuskuler (marbling) Lemak intramuskuler antar perlakuan Perlakuan Kelompok
RA
RB
RC
Total Kelompok
1
2.1246
3.6313
1.2201
6.976
2
2.692
3.6311
3.8523
10.1754
3
3.5512
6.5691
4.0083
14.1286
4
2.7279
1.9593
6.5067
11.1939
5
1.0027
2.378
4.2998
7.6805
Total Perlakuan
12.0984
18.1688
19.8872
50.1544
Rataan
2.41968
3.63376
3.97744
3.343627
107 Analysis of Variance Source
DF
Seq SS
Adj SS
Adj MS
F
P
PERLK
2
6.698
6.698
3.349
1.36
0.309
BLOK
4
11.007
11.007
2.752
1.12
0.411
Error
8
19.655
19.655
2.457
Total
14
37.360
Lampiran 17. Analisis statistik kandungan kolesterol pada serum Kandungan kolesterol pada serum antar perlakuan Perlakuan Kelompok
RA
RB
RC
Total Kelompok
1
150.7
81.35
76.94
308.99
2
146.7
129.2
64.98
340.88
3
110.8
68.35
74.95
254.1
4
120.8
103.25
51.03
275.08
5
172.6
96.3
78.94
347.84
Total Perlakuan
701.6
478.45
346.84
1526.89
Rataan
140.32
95.69
69.368
101.7927
Analysis of Variance Source
DF
Seq SS
Adj SS
Adj MS
F
P
PERLK
2
12864.8
12864.8
6432.4
17.72
0.001
BLOK
4
2208.0
2208.0
552.0
1.52
0.284
Error
8
2904.2
2904.2
363.0
Total
14
17976.9
Uji lanjut Duncan's Multiple Range Test for variable: KOLSER NOTE: This test controls the type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate Alpha= 0.05 df= 12 MSE= 426.0099
108 Number of Means 2 3 Critical Range 28.44 29.77 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
A
140.32
B B B
95.69
5 RB
69.37
5 RC
N PERLK
5 RA
Lampiran 18. Analisis statistik kandungan kolesterol pada daging Kandungan kolesterol pada daging anta4r perlakuan Perlakuan Kelompok
RA
RB
RC
Total Kelompok
1
136.1
95
15.4
246.5
2
130.3
32.38
26.42
189.1
3
72.62
6.3
15.95
94.87
4
78.82
37.3
0.756
116.876
5
104.5
12.67
18.41
135.58
Total Perlakuan
522.34
183.65
76.936
782.926
Rataan
104.468
36.73
15.3872
52.19507
Analysis of Variance Source
DF
Seq SS
Adj SS
Adj MS
F
P
PERLK
2
21632.2
21632.2
10816.1
23.93
0.000
BLOK
4
4989.6
4989.6
1247.4
2.76
0.103
Error
8
3615.2
3615.2
451.9
Total
14
30237.0
109 Uji lanjut Duncan's Multiple Range Test for variable: KOLDGN Alpha= 0.05 df= 12 MSE= 717.0624 Number of Means 2 3 Critical Range 36.90 38.62 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
A
104.47
B B B
36.73
5 RB
15.39
5 RC
N PERLK
5 RA
Lampiran 19. Analisis statistik kandungan kolesterol pada feses Kandungan kolesterol pada feses antar perlakuan Perlakuan Kelompok
RA
RB
RC
Total Kelompok
1
13.33
48.53
29.08
90.94
2
2.5
77.3
50.8
130.6
3
21.7
50.67
34.19
106.56
4
13.72
90.72
35.6
140.04
5
30.05
10.03
51.37
91.45
Total Perlakuan
81.3
277.25
201.04
559.59
Rataan
16.26
55.45
40.208
37.306
Analysis of Variance Source
DF
Seq SS
Adj SS
Adj MS
F
P
PERLK
2
3902.8
3902.8
1951.4
3.88
0.066
BLOK
4
675.9
675.9
169.0
0.34
0.846
Error
8
4021.4
4021.4
502.7
Total
14
8600.1
110