DINAMIKA PARTISIPASI PETANI PADI SAWAH PESERTA PROGRAM PENINGKATAN MUTU INTENSIFIKASI (PMI) DI JAWA BARAT (Kasus Kabupaten Garut dan Kabupaten Cianjur Jawa Barat) Supadi Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161
Abstract From the national interest point of view the increasing paddy production is the most significant effort to do. Realistically, this means to increase paddy production in Java by improving its productivity. This could be carried out by intensification program through the application of recommended technology. The intensification program will produce good results if there are active responses (participation) from the farmers. Farmers involved in the intensification quality improvement program had shown their lack of participation and tend to go back to the former technology. The decrease of their participation is due to poor communication, elucidation and services by the official (elucidator). In this regard, they might face shortage of facilities, budget and administration management (good governance). With proper (optimal) elucidation, the farmers could increase their participation in the intensification program. For agricultural production improvement, the national policy should parallel with local direction. Farmers should also be included in such policy and counted as partners in the development process. Key words : farmer’s participation, paddy, intensification quality Abstrak Usaha peningkatan produksi padi sawah merupakan usaha terpenting dilihat dari segi kepentingan nasional. Untuk peningkatan produksi padi sawah terutama di Jawa yang lebih realistis adalah melalui peningkatan produktivitas. Upaya ini dilakukan melalui program intensifikasi dengan penerapan teknologi rekomendasi. Program intensifikasi akan berhasil baik bila ada partisipasi aktif dari petani. Petani/kelompok tani peserta program peningkatan mutu intensifikasi di Jawa Barat pasca program menunjukkan penurunan partisipasi karena mereka cenderung kembali kepada teknologi yang semula mereka gunakan. Menurunnya partisipasi petani ini karena belum optimalnya kegiatan pelayanan dan pembinaan terutama dari aparat penyuluh. Belum optimalnya kegiatan penyuluhan karena terbatasnya fasilitas, anggaran dan belum tertibnya disiplin dan administrasi kepegawaiannya. Selain penyuluhan yang dilaksanakan secara optimal, untuk mewujudkan partisipasi petani secara aktif dalam kegiatan intensifikasi maka tujuan peningkatan produksi yang berskala makro harus sejalan dengan kepentingan petani dalam berusahatani yaitu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarganya. Dengan kata lain partisipasi petani akan muncul bila kedua tujuan itu tercapai secara simultan. Kata kunci: partisipasi petani, padi sawah, mutu intensifikasi
PENDAHULUAN Beras memiliki peranan paling penting dalam konsumsi pangan rumah tangga. Pengadaan beras dalam jumlah yang sesuai kebutuhan merupakan upaya sangat penting dalam rangka membangun ketahanan pangan nasional. Akibat pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita maka kebutuhan beras secara nasional mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dalam rangka peningkatan stabilitas pengadaan pangan dan mendukung ketahanan pangan nasional maka upaya peningkatan produksi beras harus ditempuh. Secara teknis
upaya tersebut dapat diwujudkan melalui dua pendekatan yaitu: (a) Ekstensifikasi (perluasan areal) atau (b) Intensifikasi (peningkatan produktivitas usahatani). Peningkatan produktivitas usahatani melalui peningkatan mutu intensifikasi yang dilakukan dengan perbaikan teknologi usahatani merupakan pendekatan yang realitis karena upaya ekstensifikasi melalui pencetakan sawah membutuhkan biaya investasi yang sangat mahal. Upaya peningkatan mutu intensifikasi ini terutama paling realistis dilaksanakan di Jawa mengingat perluasan lahan sawah di Jawa semakin sulit dilakukan akibat terkendala oleh sumber daya lahan yang terbatas.
153
Pulau Jawa mempunyai peranan penting dalam produksi padi, karena selama 30 tahun terakhir Pulau Jawa rata-rata menyumbang 59,8 persen produksi padi nasional dengan kisaran 55-63 persen (Irawan et al., 2002). Peningkatan produksi padi sawah difokuskan di Jawa sangat beralasan karena: (1) lahan sawah di Jawa lebih subur dibandingkan luar Jawa sehingga introduksi teknologi baru di Jawa dianggap lebih efektif dan efisien dalam meningkatkan produktivitas usahatani padi dan (2) infrastrukur produksi lebih tersedia di Jawa. Sebagian besar (90-95 persen) produksi padi nasional berasal dari usahatani padi sawah, hal ini menunjukkan bahwa peningkatan produksi padi sawah melalui peningkatan produktivitas memiliki peranan penting dalam memenuhi kebutuhan beras nasional. Upaya ini dilaksanakan melalui pelaksanaan intensifikasi. Intensifikasi adalah lembaga/pola penerapan teknologi usahatani budidaya komoditas, yang dititik beratkan dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas serta produktivitas per hektar (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2002). Usaha intensifikasi bertujuan untuk meningkatkan produktivitas sumberdaya alam per satuan luas melalui penerapan teknologi tepat guna, peningkatan pemanfaatan semua sarana dan prasarana seperti air, benih unggul, pupuk dan pestisida (Departemen Pertanian, 2000). Pelaksanaan intensifikasi padi sawah di Jawa terutama untuk meningkatkan produktivitas melalui penerapan teknologi anjuran, sehingga produksi padi dapat meningkat. Semakin menciutnya lahan sawah di Jawa akibat derasnya konversi lahan sawah untuk kegiatan non-pertanian maka peningkatan produksi padi di Jawa hanya mungkin ditempuh melalui peningkatan produktivitas usahatani dan intensitas tanam padi per tahun (Irawan et al., 2002). Untuk meningkatkan produktivitas usahatani padi sawah sekaligus memberdayakan petani, Departemen Pertanian pada tahun anggaran 2000 melalui Program Peningkatan Ketahanan Pangan (PKP) telah memberikan bantuan fasilitas penguatan modal, pelatihan dan pembinaan agar petani mau bekerjasama dan mampu menerapkan teknologi sesuai rekomendasi dengan manajemen usahatani yang profesional. Fokus pemberdayaan adalah petani padi, karena sampai saat ini padi masih merupakan komoditas utama. Dengan upaya terse-
154
but diharapkan produktivitas dan pendapatan petani meningkat, sehingga berdampak positif pada peningkatan produksi beras yang mampu mendukung kemantapan ketahanan pangan nasional. Walaupun peranannya sangat penting, dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional namun para petani padi sawah termasuk yang kurang beruntung, karena sebagian dari mereka menguasai lahan yang sempit. Harga gabah turun di bawah harga dasar menyebabkan pendapatan mereka semakin merosot. Penghapusan KUT berdampak pada menurunnya kemampuan petani membeli input (pupuk, benih, obat-obatan) sesuai teknologi yang dianjurkan, sehingga menyebabkan produktivitas dan pendapatan petani menurun (Departemen Pertanian, 2000). Anggota kelompok tani/petani penerima program sebagian besar (75%) adalah petani berlahan sempit (< 0,50 ha) dan beberapa tahun terakhir belum menerapkan rekomendasi teknologi secara penuh, terutama pupuk dan benih. Pelaksanaan program PKP 2000, untuk tiap kabupaten mulai tahun 2002 dikelola oleh Bagian Proyek Peningkatan Mutu Intensifikasi Padi (PMI) ditekankan pada penerapan pemupukan berimbang dan penggunaan benih sesuai anjuran. Pada tahun 1984 produksi padi di Jawa mencapai 64,7 persen dari total produksi nasional. Namun setelah itu peranan Jawa sebagai penghasil padi terus mengalami penurunan sehingga pada tahun 1998 pangsa produksi Jawa terhadap produksi padi nasional hanya sebesar 56,3 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa Pulau Jawa semakin sulit diandalkan sebagai penyangga pengadaan beras di masa yang akan datang (Irawan et al., 2002). Sampai tahun 2000 Pulau Jawa masih memberikan kontribusi yang besar terhadap produksi beras nasional yaitu 56,10 persen atau turun 6,05 persen dalam kurun waktu 16 tahun sejak swasembada beras tahun 1984. Namun demikian kontribusi Pulau Jawa dalam kurun waktu tersebut tidak pernah kurang dari 50 persen, meskipun luasnya hanya 7 persen dari luas daratan total Indonesia, sehingga wajar bila Pulau Jawa masih tetap menjadi lumbung padi nasional (Ashari, 2001). Jumlah kabupaten di Jawa yang mengalami penurunan produksi padi mengalami peningkatan dari rata-rata 22 kabupaten per tahun selama 1981-1985 menjadi 41 kabupa-
ten per tahun pada periode 1996-2000. Hal ini mengungkapkan bahwa kasus penurunan produksi padi sawah di Jawa bukan saja semakin sering terjadi tetapi juga semakin meluas secara regional. Selama 1996-2000 produktivitas aktual padi sawah di Jawa mengalami penurunan (Irawan et al., 2002). Penurunan produktivitas padi pada tahun 2001 disebabkan (1) terjadinya kelangkaan dan kenaikan harga pupuk, (2) penurunan ketersediaan dan kualitas benih, (3) keterbatasan sumber pembiayaan, (4) penurunan insentif usahatani padi, (5) peningkatan intensitas serangan OPT dan banjir atau kekeringan, (6) penurunan efisiensi pemanfaatan air karena berkurangnya biaya pemeliharaan jaringan irigasi dan (7) penurunan kinerja penyuluhan pertanian (Sudaryanto et al., 2002), menurut Irawan et al. (2002) penurunan produktivitas aktual padi sawah di Jawa tidak hanya cukup dilakukan dengan introduksi varietas unggul tetapi harus didukung pula dengan peningkatan mutu intensifikasi usahatani. Selanjutnya diinformasikan bahwa seluruh kabupaten di Jawa Barat jika dibandingkan dengan rata-rata seluruh kabupaten di Jawa, memiliki mutu intensifikasi usahatani relatif rendah, tetapi sebagian besar kabupaten memiliki produktivitas potensial relatif tinggi. Ini mengungkapkan bahwa upaya peningkatan mutu intensifikasi usahatani seyogyanya lebih difokuskan di Jawa Barat, terutama untuk meningkatkan produktivitas usahatani. Faktor-faktor penghambat yang berpengaruh pada mutu intensifikasi (Adjid, 1980) adalah: (1) Penggunaan benih yang mutunya sudah menurun; (2) Proteksi tanaman yang belum intensif; (3) Penyuluhan yang belum intensif; (4) Tingkat penggunaan pupuk yang belum mencapai tingkat yang direkomendasikan; (5) Jaringan pengairan dan pengelolaan air di tingkat usahatani yang masih lemah; (6) Penyaluran sarana produksi yang belum mantap di wilayah unit desa. Salah satu penyebab perbedaan produktivitas terletak pada cara penerapan atau transfer teknologi yang tidak selalu berhasil baik (Satuan Pengendali Bimas, 1980). Dengan anggapan bahwa “anjuran berpanca usaha” sudah benar-benar tepat bagi lahan di mana petani berusahatani, maka tinggi rendahnya produktivitas adalah merupakan fungsi dari tingkat penerapan masing-masing unsur tekno-
logi panca usaha tersebut. Dengan perkataan lain keberhasilan petani/kelompok tani pada akhirnya dapat dinilai dari tingkat penerapan teknologi usahatani oleh anggota-anggotanya (Unpad, 1979). Karena pengetahuan tingkat panca usaha yang diterapkan oleh anggota kelompok tani akan memberikan pengaruh yang positif terhadap sikap dan gairah dari kelompok tersebut, maka para kelompok tani perlu diberi pelajaran untuk mengukur skor nilai panca usaha (Adjid, 1980). Menurut Adjid (1985) dalam proses pengelolaan usahatani maka penggunaan/penerapan teknologi anjuran (teknologi panca usahatani) secara sukarela dan sadar merupakan keterlibatan partisipasi petani (kelompok tani) untuk mewujudkan kepentingan bersama. Adanya partisipasi secara sukarela dan sadar (bukan ikut-ikutan) dari petani akan menimbulkan kemantapan usaha pada diri petani yang pada akhirnya dapat diharapkan produktivitas usahatani padi sawah meningkat. Dalam pelaksanaan program-program pemerintah nilai faktor-faktor yang menghambat/mempengaruhi keberhasilan pelaksanaannya perlu diamati lebih jauh khususnya untuk perbaikan di masa datang Berdasarkan hasil pengamatan lapang dan wawancara dengan petani/kelompok tani dan petugas pertanian terkait tampaknya persoalan mewujudkan partisipasi petani dan juga penyuluhan pertanian perlu mendapatkan perhatian yang serius dari pembuat kebijakan (terutama pemda) demi berhasilnya pelaksanaan program di masa datang. Makalah ini bertujuan menganalisis masalah partisipasi petani/kelompok tani peserta program (kooperator) pasca pelaksanaan program dan kaitannya dengan pelaksanaan kegiatan penyuluhan di Provinsi Jawa Barat dengan mengambil kasus Kabupaten Garut dan Kabupaten Cianjur. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk kebijakan yang berhubungan dengan upaya mengembangkan kegiatan intensifikasi yang bermutu sesuai dengan yang diharapkan. METODOLOGI PENELITIAN Sumber data dan informasi yang digunakan dalam tulisan ini berasal dari hasil kegiatan Penelitian Peningkatan Produktivitas
155
Padi di Jawa yang dilaksanakan tahun 2003 akhir di empat provinsi. Untuk Provinsi Jawa Barat, telah dipilih Kabupaten Garut dan Cianjur. Di tingkat kabupaten dipilih Kecamatan Kadungora dan Kecamatan Leles (Garut) dan Kecamatan Cianjur Kota dan Cikalong Kulon (Kabupaten Cianjur). Masing-masing kecamatan di tiap kabupaten tersebut mewakili lokasi keragaan pelaksanaan program dengan kriteria baik dan kurang. Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei dan RRA (Rapid Rural Appraisal). Data diambil dari petani responden yang merupakan peserta program, masing-masing 10 orang di tiap lokasi dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Juga dilaksanakan wawancara dan diskusi dengan kelompok tani, aparat pertanian terkait di tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan/desa digunakan kuesioner semi terstruktur. Selain itu untuk melengkapi data dilakukan pengamatan lapang di tiap lokasi penelitian. Metode analisis yang digunakan bersifat kualitatif. Pembahasan dan analisis terutama difokuskan pada petani peserta program (kooperator). Tingkat partisipasi petani dalam program peningkatan mutu intensifikasi diukur dari segi penerapan teknologi budidaya. Dalam kaitan ini terutama dilihat dari segi penerapan teknologi budidaya terutama penggunaan benih dan pupuk yang telah disediakan oleh program untuk kelompok tani tersebut apakah diterapkan sesuai anjuran atau tidak, sedangkan data dari hasil survey yang digunakan adalah hasil penghitungan besarnya B/C ratio. Kegiatan penyuluhan pertanian akan dilihat dari keragaannya secara umum yang terlihat dengan adanya pelayanan dan pembinaan.
rintah dalam hal ini aparatur pertanian sebagai fasilitator, akselerator dan regulator serta memberikan kesempatan lebih besar pada peran masyarakat untuk lebih mendorong usahausaha yang mengarah kepada pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian metoda yang diterapkan adalah pendekatan partisipatif yang bermuatan “community development” (pengembangan masyarakat) (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2002). Kegiatan kelompok tani dengan partisipasi aktif para anggotanya merupakan kunci keberhasilan usaha kelompok (Departemen Pertanian, 2000). Upaya membangun masyarakat tani secara cepat dan menghilangkan kendala-kendala sosial serta mengurangi disekonomi petani kecil dapat dilakukan dengan berkelompok (Nataatmadja, 1977). Untuk itu diperlukan kelompok tani yang hidup agar kemampuan mengelola yang berkaitan dengan penanaman komoditas, pengelolaan kredit, pengaturan/pengadaan saprotan, pengaturan air, pemasaran hasil dan pengelolaan sumberdaya manusia meningkat. Pada dasarnya semua pengaturan tersebut, tidak dapat diatasi oleh para petani secara individu. Menurut Soewardi (1980) perubahanperubahan dalam lingkup yang lebih luas untuk pengembangan kelembagaan akan sulit dan lambat terjadinya bila terjadi pada individu per individu. Perubahan perilaku akan sangat dipercepat bila terjadi pada individu–individu yang berkelompok dan sengaja dibina.
Petani adalah pelaksana utama pembangunan pertanian, maka keberhasilan pembangunan pertanian sangat ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusia pertanian (Kasryno, 2000). Sedangkan menurut Krishnamurthi (2003) yang dikutip Trubus, 80 persen keberhasilan pertanian ditentukan petani. Namun pemerintah tetap perlu dilibatkan untuk membangun infrastruktur (jalan, jaringan irigasi dan sebagainya).
Menurut Adjid (1985) partisipasi petani dapat diartikan sebagai keterlibatan petani (sebagai individu yang berada dalam suatu kelompok tani) dalam proses pengelolaan usahatani dengan menggunakan teknologi anjuran secara sukarela dan sadar untuk mewujudkan kepentingan atau rencana bersama. Atau partisipasi adalah menifestasi dari perilaku seseorang atau sekelompok masyarakat dalam mewujudkan peranannya sesuai dengan harapan dari masyarakat yang melakukan tindakan sosial untuk mencapai tujuan tertentu (Adjid, 1979). Adanya partisipasi secara sukarela dan sadar (bukan ikut-ikutan) dari petani sehingga menimbulkan kemantapan usaha pada diri petani. Dalam hal ini juga petani jangan disibukan dengan kegiatan partisipasi yang kurang/tidak produktif (Sudaryanto, 1996).
Paradigma baru manajemen pembangunan pertanian adalah menempatkan peme-
Dalam rangka intensifikasi padi, pemerintah telah mengembangkan inovasi usahatani
TINJAUAN PUSTAKA
156
yang dikenal dengan teknologi panca usaha dan berbagai kelembagaan yang diarahkan kepada terciptanya landasan yang kuat bagi petani untuk berswadaya. Salah satu kelembagaan yang dikembangkan tersebut adalah kelompok tani. Namun fakta menunjukkan bahwa kegiatan kelompok tani yang dicirikan oleh adanya peran serta anggotanya belum mencapai hasil yang diharapkan. Kelembagaan kelompok tani ternyata hanya namanya saja yang ada, kelompok tani tersebut sama sekali tidak mempunyai kekuatan dan sangat tergantung pada pemerintah. Berkaitan dengan teknologi usahatani, (Satari, 1999) mengemukakan bahwa teknologi yang diterapkan harus memenuhi 4 (empat) kriteria yaitu (1) secara ekonomis menguntungkan petani, (2) secara teknis mudah diterapkan, (3) secara sosial dapat diterima secara luas oleh sebagian besar petani dan tidak bertentangan dengan agama, budaya dan kepercayaan, dan (4) ramah terhadap lingkungan. Sedangkan menurut Budianto (1999) percepatan akseptabilitas teknologi pertanian oleh pengguna perlu memperhatikan aspek teknis, sosial budaya, ekonomi, lingkungan, ergonomik, legal, moral, serta keselamatan dan keserasiannya dengan teknologi “asli petani”. Dikaitkan dengan hal tersebut di atas Adjid (1979) telah menyampaikan bahwa iklim ekonomi yang menguntungkan tidak dengan sendirinya meningkatkan partisipasi petani. Disamping iklim ekonomi ada iklim lainnya yang mempengaruhi keputusan berpartisipasi dalam program intensifikasi yaitu iklim yang ditimbulkan oleh bekerjanya mekanisme kekuatan sosial, disamping adanya iklim lingkungan fisik. Dengan asumsi bahwa timbulnya motivasi atau hasrat petani untuk melibatkan diri dalam program yang datang dari luar adalah akibat adanya interaksi sosial antar unsurunsur struktural program dengan masyarakat tani. Berpijak dari keterangan tersebut maka dapat dikatakan bahwa selain lingkungan fisik dan iklim ekonomi yang menguntungkan usaha intensifikasi akan berhasil baik bila terdapat iklim yang ditimbulkan oleh bekerjanya mekanisme kekuatan sosial yang mendorong timbulnya motivasi atau hasrat petani untuk melibatkan diri dalam program intensifikasi yang pada dasarnya berasal dari luar. Dalam hal ini timbulnya motivasi tersebut dapat dianggap
sebagai adanya interaksi antara struktural program terutama penyuluh (PPL, dan aparat Dinas Pertanian) yang dalam menjalankan tugasnya sebagai komunikator, motivator dan edukator yang langsung berhadapan dengan petani/ kelompok tani. Selanjutnya Adjid (1980) juga mengemukakan bahwa perkembangan tingkat penerapan teknologi (adopsi teknologi) antara lain ditentukan oleh perkembangan tingkat penyuluhan. Perkembangan dari kelompok tani disamping ditentukan oleh aktivitas dari kelompok tani itu sendiri, juga dipengaruhi oleh kegiatan para penyuluh pertanian. Penyuluhan yang dilakukan secara intensif melalui pendekatan kelompok akan membuat petani mau dan mampu menerapkan teknologi baru pada usahataninya masing-masing. Sukses tidaknya penerapan teknologi pertanian adalah karena adanya kerja sama yang baik antar petani (yang dibina), antara penyuluh (yang membina) dan antar keduanya (petani dan penyuluh). Menurut Rasyid (2000) belum optimalnya peranan penyuluhan pertanian khususnya di tingkat lapang disebabkan oleh rendahnya tingkat partisipasi petani dalam penyuluhan pertanian sebagai akibat rendahnya mutu pelayanan penyuluhan pertanian. Di samping itu juga oleh lemah dan tidak sistematisnya sistem pendanaan sehingga menjadi salah satu penyebab rendahnya kinerja Penyuluh Pertanian dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Penyuluh Pertanian ke depan adalah penyuluh pertanian yang dapat menciptakan dirinya sebagai mitra dan fasilitator petani dengan melakukan peranan yang sesuai antara lain sebagai (a) penyedia jasa pendidikan (edukator), (b) motivator, (c) konsultan (pembimbing), (d) pendamping petani. Dari uraian yang telah disampaikan dapat dikemukakan bahwa antara partisipasi petani/kelompok tani terkait erat dengan kegiatan pembinaan dan pelayanan yang dilaksanakan aparat pertanian/penyuluh di lapangan. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi dan Matapencaharian Petani Sempitnya luas usahatani, apalagi dengan status penggarap (memaro/menyewa) menyebabkan usahatani tidak bisa diandalkan sebagai sumber pendapatan. Selain bertani pa-
157
di, mereka juga punya pekerjaan lain seperti dagang, tukang/buruh bangunan, ojeg dan buruh lainnya. Di Cikalong Kulon petani banyak yang bekerja di “Lio” membuat genting. Di Leles beberapa petani menyatakan bahwa bertani padi rugi atau keuntungannya paspasan. Meskipun demikian terdapat ungkapan menarik yang dikemukakan petani yaitu “tanam padi sudah tradisi, berhasil tidak berhasil tetap tanam”. Secara umum meskipun produktivitas dapat ditingkatkan, namun bila garapan sempit (< 0,50 ha) apalagi dengan status pemaro dan harga gabah yang merosot pada waktu panen maka pendapatan dari usahatani padi belum dapat diandalkan untuk menunjang ekonomi keluarga. Para petani mengeluh tidak seimbangnya antara harga gabah dengan harga sarana produksi (pupuk dan obat-obatan). Perkembangan tingkat penerapan teknologi (adopsi teknologi) antara lain ditentukan oleh perkembangan tingkat penyuluhan. Perkembangan dari petani/kelompok tani itu sendiri juga dipengaruhi oleh perkembangan tingkat penyuluhan. Perkembangan dari petani/kelompok tani di samping ditentukan oleh aktivitas petani/kelompok tani itu sendiri juga dipengaruhi oleh kegiatan para penyuluh pertanian (Adjid, 1980). Partisipasi Petani dalam Peningkatan Mutu Intensifikasi Respon Terhadap Penggunaan Sarana Produksi yang Disediakan Berdasarkan hasil penelitian, maka dalam pelaksanaan program peningkatan mutu intensifikasi di Jawa Barat belum terlihat adanya partisipasi aktif petani, hal ini dapat dilihat dari kasus-kasus berikut: (1) Di Leles stok benih (varietas Towuti, Widas dan Ciherang) yang disediakan tidak direspons petani. Benih tersebut terpaksa dijadikan gabah konsumsi. Hal seperti ini terjadi juga di Cikalong Kulon, (2) Di Cianjur Kota, KCl yang disediakan tidak diambil, sehingga kelompok tani menderita kerugian Rp.1,- juta. Sedangkan di Cikalong Kulon KCl dan ZA sampai saat penelitian (sesudah program bergulir) belum digunakan, (3) Petani belum kompak dalam tanam serentak. Ini menunjukkan bahwa partisipasi petani dalam perencanaan kurang dilibatkan, karena dalam kegiatan tersebut hanya melibatkan pengurus kelompok saja.
158
Setelah pelaksanaan program dalam arti kata kelompok tani telah mendapat bantuan fasilitas penguatan modal dan pelatihan (pembinaan) terdapat indikasi kuat bahwa mereka akan meninggalkan teknologi anjuran dan kembali ke teknologi semula yang mereka anggap telah cukup baik. Masalah yang dijumpai di lokasi penelitian dalam upaya peningkatan mutu intensifikasi adalah: (1) penerapan benih bermutu dan berlabel belum memasyarakat, (2) para petani padi sawah belum menggunakan KCl dan ZA (3) kelompok tani masih memerlukan pembinaan dan pemberdayaan, (4) ketersediaan pupuk di lapangan belum terjamin dan harga pupuk berfluktuasi, karena masih banyaknya spekulan, dan (5) serangan hama/ penyakit masih cukup tinggi. Masalah utama dari semua tersebut pada dasarnya adalah disebabkan keberadaan kelembagaan kelompok tani ternyata baru namanya saja, kelompok tani tersebut belum aktif dan kompak, keberadaan kelompok tani masih terkesan hanya untuk mendapatkan bantuan program saja. Tergabungnya para petani dalam kelompok tani yang aktif merupakan langkah awal yang sangat baik untuk meningkatkan produktivitas usahataninya dalam rangka menghadapi kendala-kendala yang tidak dapat diatasi oleh petani secara sendiri-sendiri, sehingga diharapkan dapat mencapai tujuan pembangunan pertanian yaitu peningkatan produksi dan juga terutama untuk meningkatkan taraf hidup petani melalui peningkatan pendapatan. Penerapan Penggunaan Benih Padi dan Pupuk dari tiap Kelompok Tani 1. Kadungora Kelompok Tani Cipajaran Desa Cikembulan. (1) Pemupukan sebelum ada program hanya didominasi oleh Urea dan TSP saja, sedangkan sesudah ada program jenis pupuk yang dipakai petani mengalami penambahan, yaitu KCl dan ZA, (2) Varietas padi yang ditanam sebelumnya adalah Sarinah dan IR-64, sedangkan saat program berlangsung diperkenalkan varietas Widas dan Ciherang. Sebelum dan sesudah mengikuti program produktivtas lahan relatif sama, namun kualitas dan rendemennya meningkat. Dari pengamatan dan hasil wawancara/diskusi setelah berakhirnya program terdapat
kecenderungan petani kembali kepada teknologi semula yang mereka gunakan, dengan alasan antara sebelum sesudah ada program produktivitas sama. 2. Leles, Kelompok Tani “Cempaka”, Desa Lembang. Desa Lembang merupakan daerah endemis penyakit tungro. Pemilihan lokasi dilakukan dengan pertimbangan untuk menanggulangi wabah tungro dengan menanam varietas tahan hama/penyakit dan penerapan tanam secara serentak. Dengan dipilihnya lokasi kegiatan program diharapkan produksi padi dapat diselamatkan sebesar 50 persen. Pada umumnya pupuk yang biasa digunakan hanya Urea saja. Terdapat kecenderungan bahwa petani kembali kepada teknologi semula. 3. Cianjur Kota, Kelompok Tani “Tugu Sukamaju”, Desa Sukamaju. (1) Sebelum ikut program, varietas dominan yang umum ditanam adalah Rojolele, Sariwangi dan IR64, (2) Petani pada umumnya lebih banyak menggunakan Urea dan TSP saja, (3) Pengawasan terhadap pemanen lemah, karena pemilik sawah tidak mengenal pemanen (yang ikut panen bebas, pemanen tidak dibatasi mereka datang dari luar desa/ kecamatan). Terdapat kecenderungan petani kembali menerapkan teknologi pertanian yang telah biasa mereka lakukan. 4. Cikalong Kulon, Kelompok Tani “Cikembar”, Desa Warudoyong. Pelaksanaan usahatani yang diterapkan petani baik sebelum dan sesudah program relatif sama yaitu: (1) Pengolahan tanah umumnya menggunakan kerbau, (2) Varietas yang ditanam petani umumnya pakai nama lokal seperti BTN, Sariwangi dan IR, (3) Tanam serentak dan pengendalian hama/penyakit belum diterapkan, (4) pupuk yang digunakan masih terbatas pada Urea dan TSP saja, (5) Buruh panen bebas, bisa datang dari luar desa, sehingga dalam hal ini pengawasan terhadap pemanen sangat lemah. Dari pengamatan lapang dan hasil wawancara/diskusi dengan petan kelompok tani dan aparat masih rendahnya partisipasi petani antara lain disebabkan (a) masih ada keengganan dalam artian petani banyak urusan, (b) teknologi anjuran yang disampaikan dianggap
tidak penting, karena mereka sudah tahu, (c) dalam penggunaan benih, mula-mula petani beli benih berlabel untuk selanjutnya membenihkan sendiri. Analisis B/C Ratio Hasil analisis perkembangan B/C ratio dan tingkat produktivitas untuk mengetahui adanya peningkatan manfaat program menunjukkan bahwa di desa-desa Kabupaten Cianjur terdapat kecenderungan kenaikan produktivitas belum disertai dengan peningkatan pendapatan. Sedangkan di desa-desa Kabupaten Garut terjadi sebaliknya. Keadaan ini diduga karena kenaikan produktivitas lahan tidak disertai perbaikan kualitas produk. Data menunjukkan sebagian besar kenaikan produktivitas lahan antar waktu di desa-desa sampel stagnan dan cenderung menurun (Tabel 1 dan Tabel 2). Secara umum penerapan teknologi masih belum memadai meskipun untuk lahan dengan kriteria keragaan baik. Penjualan hasil di Kabupaten Cianjur banyak dilakukan dengan cara tebasan. Tabel 1. Perbandingan B/C ratio Antar Waktu Petani Kooperator Kabupaten/Desa Cianjur - Sukamaju - Warudoyong Garut - Lembang - Cikembulan Rata-rata
Sebelum
Saat
Sesudah
2,28 1,80
2,38 1,90
2,30 1,88
1,65 2,05 1,95
1,65 2,33 2,07
1,85 2,40 2,18
Tabel 2. Perbandingan Produktivitas Waktu Petani Kooperator Kabupaten/Desa Cianjur - Sukamaju - Warudoyong Garut - Lembang - Cikembulan Rata-rata
(%)
Antar
Sebelum
Saat
Sesudah
101,0 78,50
107,50 81,00
120,50 83,50
122,50 109,00 102,75
157,50 135,50 120,38
150,00 127,50 120,38
Penyuluhan Pertanian Penyuluhan yang dilakukan secara intensif melalui pendekatan kelompok akan mem-
159
buat petani mau dan mampu menerapkan teknologi baru pada usahataninya masing-masing (Adjid, 1980). Bila dililhat dari sisi pelayanan dan pembinaan, pada saat ini petani belum mendapat perhatian yang optimal dari petugas lapangan (KCD, PPL, PHP, manajer dan aparat desa (kecamatan) . Hal ini dapat dilihat dari keadaan berikut: (1) para petugas lapangan yang bertugas (saat mulai dilaksanakannya PKP) dua tahun yang lalu telah dimutasi, (2) domisili petugas lapangan pada umumnya masih banyak yang berada di luar wilayah kerjanya, malah ada yang berada di luar kabupaten. Kondisi ini mungkin akibat dari seringnya mutasi petugas, (3) petugas lapangan belum mendapat fasilitas kendaraan bermotor, padahal wilayah kerjanya dan petani yang harus dibina tersebar pada wilayah yang cukup luas. Kalaupun fasilitas kendaraan tersedia tapi biaya operasional tidak ada sehingga harus ditanggung petugas, dan (4) kegiatan penyuluhan belum/tidak disertai demplot. Penyuluh Pertanian belum menjalankan peranannya secara optimal dan kegiatan pengkajian dan diseminasi teknologi masih terpisah. Belum optimalnya peranan penyuluhan pertanian khususnya di tingkat lapangan disebabkan oleh rendahnya tingkat partisipasi petani dalam penyuluhan pertanian sebagai akibat rendahnya mutu pelayanan penyuluhan pertanian. Di samping itu juga oleh lemah dan tidak sistematisnya sistem pendanaan sehingga menjadi salah satu penyebab rendahnya kinerja Penyuluh Pertanian dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Menurut Suprapto (2005) masalah penyelenggaraan penyuluhan pertanian saat ini adalah: (a) PPL menyusun program penyuluhan sendirian tanpa melibatkan petani sehingga program penyuluhan tidak menyentuh kepentingan petani; (b) Penyuluh jarang datang. Penyuluh pertanian ke depan adalah penyuluh pertanian yang dapat menciptakan dirinya sebagai mitra dan fasilitator petani dengan melakukan peranan yang sesuai antara lain: (a) sebagai penyedia jasa pendidikan (edukator), (b) sebagai motivator, (c) sebagai konsultan (pembimbing), (d) sebagai pendamping petani (Rasyid, 2001). Bila revitalisasi penyuluhan berjalan akan tercipta sosok penyuluh yang tanggap, mandiri, konsultan dan pendamping petani (Suprapto, 2005).
160
Langkah-langkah yang Perlu Diperhatikan Perkembangan tingkat penerapan teknologi (adopsi teknologi) antara lain ditentukan oleh perkembangan kegiatan penyuluhan. Perkembangan dari kelompok tani di samping ditentukan oleh aktivitas dari kelompok tani itu sendiri, juga dipengaruhi oleh kegiatan para penyuluh pertanian. Penyuluhan yang dilakukan secara intensif melalui pendekatan kelompok akan membuat petani mau dan mampu menerapkan teknologi baru pada usahataninya masing-masing (Adjid, 1980). Berdasarkan pengamatan lapangan dan informasi yang diperoleh, maka dalam rangka meningkatkan pelayanan dan pembinaan terutama yang harus dilakukan penyuluh, langkah-langkah yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut: (1) petugas lapangan jangan terlalu cepat dimutasi. Mutasi minimal dilakukan 5 tahun sekali, sehingga keberadaan petugas lapangan dapat dikenal baik oleh masyarakat petani, (2) petugas lapangan agar berdomisili di wilayah kerjanya, sehingga persoalan yang dihadapi petani dapat segera dipecahkan dan juga yang sangat penting komunikasi dan hubungan baik dengan para petani yang dibina lebih terjalin, (3) para petugas lapangan disediakan fasilitas kendaraan bermotor dan biaya operasionalnya untuk meningkatkan mobilitas dan aktivitasnya seiring dengan luas wilayah dan petani yang harus dibina, (4) meningkatkan koordinasi dan kerjasama antara petugas fungsional (PPL dan PHP) dengan petugas struktural (KCD), juga antara mereka dengan aparat desa/kecamatan sehingga terwujud hubungan yang harmonis dan suasana kerja yang kondusif, (5) untuk mempercepat adopsi teknologi, di lokasi proyek perlu diadakan demplot (teknologi anjuran lengkap dan modifikasinya) yang dikelola bersama oleh kelompok tani di bawah bimbingan petugas. Dengan adanya contoh (demplot yang berhasil) diharapkan dapat memberi kesempatan belajar dan melatih petani melaksanakan ilmunya dalam suatu rangkaian kegiatan belajar dan bekerja (learning by doing). Selain itu yang juga sangat mendukung pada saat ini adalah pengkajian teknologi spesifik lokasi, terutama untuk mengakomodasi kesenangan atau “fanatisme” petani terhadap varietas lokal seperti Rojolele, Sarinah, Juneng dan sebagainya melalui pemurnian varietas (dengan menunjuk penangkar benih resmi) di
tingkat lokal sehingga dihasilkan benih bermutu dan berlabel. Teknologi spesifik lokasi untuk mengakomodasi keinginan petani selain verietas adalah jarak tanam, banyaknya benih/ha, jumlah bibit per lubang, frekuensi pengolahan tanah dan pemupukan. Pada dasarnya alasan para petani tersebut logis karena selain mempertimbangkan pengalaman juga kondisi fisik dan kesuburan lahan, antisipasi terhadap serangan hama penyakit, kemudahan pemeliharaan dan sebagainya. Salah satu syarat untuk percepatan akseptabilitas teknologi pertanian oleh pengguna adalah keserasiannya dengan teknologi asli petani (Budianto, 1999).
Akibat adanya euforia Otonomi Daerah, banyak aktivitas koordinasi-koordinasi yang terhenti dan terputus-putus, baik koordinasi antar pusat dan daerah maupun koordinasi antar departemen. Untuk itu bulan Desember 2005 telah dicanangkan gerakan revitalisasi penyuluhan pertanian di Palembang. Pencanangan dilakukan karena penyelenggaraan penyuluhan pertanian dirasakan masih belum memberikan dukungan optimal untuk peningkatan kesejahteraan petani, juga karena belum adanya kesatuan gerak diantara penyelenggaranya, baik pusat maupun daerah, termasuk pedesaan maupun tingkat lapangan.
Beberapa peluang untuk perbaikan usahatani yang dikemukakan petani dapat dirangkum sebagai berikut: (1) penggunaan pupuk organik, (2) perbaikan pemupukan dengan pemupukan berimbang pada saat ini masih banyak petani yang hanya menggunakan Urea saja dan sebagian TSP sedangkan penggunaan KCl dan ZA belum membudaya, (3) perbaikan panen dan pasca panen. Di Cianjur, pengawasan pemilik terhadap pemanen lemah, karena jumlah pemanen tidak terbatas, siapa saja boleh ikut panen. Panen dan pasca panen yang tidak /kurang tertib, berdampak pada meningkatnya kehilangan hasil panen, (4) penanaman varietas unggul (tahan hama/penyakit, rasa nasi enak, produktivitas tinggi), (5) pengendalian OPT melalui pengendalian hama terpadu (PHT), (6) peningkatan kerjasama kelompok tani dalam perencanaan dan pelaksanaan (tanam serempak, pengaturan air dan sebagainya) dan (7) penyesuaian harga pupuk dengan harga gabah, karena saat ini harga pupuk dirasakan sangat mahal, sementara harga gabah rendah.
Revitalisasi penyuluhan pertanian ini muncul karena ada kemunduran atau kelesuan dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian. Hal ini terlihat dari adanya: 1) keragaman kelembagaan penyuluhan di kabupaten/kotakota; 2) tidak adanya satu kesatuan kelembagaan manajemen penyuluhan di kabupaten/ kota (Sembiring, 2005)
Revitalisasi Penyuluhan Pertanian Penelitian ini dilakukan pada awal tahun 2003 yang berarti, berada pada era otonomi daerah (UU No.2/1999), dimana secara perlahan-lahan penyuluhan pertanian mengalami penurunan yang sangat tajam. Hal ini terjadi terutama karena persepsi Bupati/Walikota beragam tentang penyuluhan pertanian. Pada tahun-tahun dimulainya Otonomi Daerah hingga 2005 kondisi PPL benar-bebar stagnan. Banyak kantor penyuluhan di Kabupaten dan Kecamatan berubah fungsi. Situasi tersebut sangat tidak kondusif untuk meningkatkan pembangunan di masa mendatang.
Penggalakan revitalisasi penyuluhan pertanian terutama dimulai dari penataan kelembagaan penyuluhan, peningkatan kuantitas dan kualitas penyuluh pertanian dan mengggiatkan kembali penyelenggaraan penyuluhan pertanian. Sasaran akhir dari revitalisasi penyuluhan pertanian adalah mewujudkan Bimas Jilid Dua dengan fokus mencapai swasembada pangan dan meningkatkan pendapatan petani untuk itu dilakukan sinergi program dengan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam hal upaya pemberdayaan penyuluhan pertanian atau revitalisasi penyuluhan pertanian. Karena keberhasilan Bimas ini sangat ditentukan oleh para penyuluh maka kebijakan Departemen Pertanian yang akan diprogramkan dalam Bimas Jilid Kedua adalah menempatkan di satu desa dengan seorang penyuluh (Suprapto, 2006). Dan pengembangan SDM Pertanian telah menetapkan tahun 2006 sebagai tahun awal bagi kebangkitan penyuluhan pertanian di Indonesia. Menurut Machmur (2007) sampai saat ini masih banyak penyuluh yang belum mengetahui perkembangan teknologi dan merasa minder dengan petani. Terlebih bila dengan petani maju. Para petani masih sangat miskin dan langka terhadap materi-materi penyuluhan pertanian.
161
Dengan lahirnya UU No.16/2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kelautan (SP3K) penyelenggaraan penyuluhan pertanian di Indonesia di masa mendatang diharapkan tidak terombang-ambingkan oleh kebijakan lokal. Dengan lahirnya payung hukum (undang-undang) diharapkan akan semakin berkembang baik karena dengan adanya undang-undang ini maka kelembangaan penyuluhan akan jelas, kebijakan ini juga jelas baik pusat dan daerah yang menyangkut kelembagaan, ketegasan, pendanaan sampai sarana dan prasarananya. Dengan adanya undang-undang ini dapat terbentuk satu kesatuan pengertian penyuluhan pertanian yang wajib dipatuhi semua pihak (pusat dan daerah), sehingga penyelenggaraan penyuluhan dapat berjalan dan berkembang dengan baik. Tugas yang harus segera dilakukan para penyuluh adalah membentuk dan mengaktifkan kelompok tani dan gabungan kelompok tani (gapoktan) untuk selanjutnya digerakkan penyuluh menyusun RDK dan RDKK (Suprapto, 2007). KESIMPULAN DAN SARAN Keberadaan kelompok tani kooperator yang telah dibentuk belum berhasil mewujudkan partisipasi aktif petani dalam peningkatan mutu intensifikasi. Terdapat kecenderungan penerapan teknologi rekomendasi setelah proyek selesai ditinggalkan petani. Penurunan partisipasi ini selain karena keragaan kelompok tani yang belum mantap di satu pihak juga belum optimalnya pelayanan/pembinaan dari pihak terkait terutama penyuluhan. Sampai saat ini penyelenggaraan penyuluhan melalui kegiatan pembinaan dan pelayanan (penyuluhan) masih dominan pada aspek teknis budidaya belum pada pemberdayaan. Dalam operasionalisasi program masih sangat menekankan pada aspek teknis belum pada aspek manajemen. Upaya pemberdayaan petani/kelompok tani perlu diprioritaskan untuk membentuk kelompok tani yang mantap dan mandiri. Untuk mewujudkan semua itu peranan pelayanan dan pembinaan yang berkelanjutan dari instansi terkait sangat diharapkan. Dalam hal ini jangan sampai terjadi proyek selesai, pelayanan dan pembinaan terhadap kelompok tani terabaikan. Perlu diingat bahwa partisipasi petani merupa-
162
kan unsur pemungkas terhadap pelaksanaan intensifikasi. Berhasilnya intensifikasi di suatu daerah merupakan pengalaman dan partisipasi petani. Dengan mulai bergulirnya revitalisasi penyuluhan pertanian dan didukung dengan lahirnya UU No.16/2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Peikanan dan Kehutanan (SP3K) diharapkan pemberdayaan petani/kelompok tani dan sekaligus penyuluh pertanian dapat diwujudkan sehingga antara petani yang dibina dan PPl sebagai pembina dapat terjalin dengan harmonis karena danya dukungan daerah maupun pusat. Peningkatan mutu intensifikasi ditujukan untuk peningkatan produktivitas lahan sawah melalui penerapan teknologi anjuran yang sesuai dengan kebutuhan di lokasi yang bersangkutan. Peningkatan produktivitas lahan sawah melalui intensifikasi terutama ditujukan untuk meningkatkan produksi padi nasional. Usaha peningkatan produksi padi sawah merupakan usaha terpenting dilihat dari segi kepentingan nasional. Dengan melaksanakan peningkatan mutu intensifikasi yaitu menerapkan teknologi anjuran secara baik dan berkelompok maka peluang untuk meningkatkan produksi padi sawah masih sangat besar, sehingga diharapkan dapat mencapai tujuan peningkatan produksi yang lebih cepat. Tetapi meskipun demikian dalam hal ini perlu mendapat perhatian bahwa petani sebagai pengusaha pertanian pada dasarnya kurang berkepentingan untuk mutlak meningkatkan produksinya, yang penting bagi mereka adalah pendapatan bersih yang sebesar-besarnya. Berdasarkan hal tersebut berarti bahwa tujuan peningkatan produksi yang berskala makro harus selalu sejalan dengan kepentingan petani dalam berusahatani. Kesesuaian dalam langkah-langkah penyelenggaraan yang memungkinkan pencapaian kedua tujuan tersebut secara simultan adalah suatu kondisi yang diperlukan untuk terwujudnya partisipasi petani dalam kegiatan intensifikasi tersebut. DAFTAR PUSTAKA Adjid, D.A., H. Soewardi, Melly G.Tan. 1979. Laporan Bidang Penelitian Partisipasi Petani. Survei Evaluasi Pelaksanaan Intensifikasi Padi dan Palawija Tahun 1971-1978. Kerjasama Badan Pengen-
dali Bimas dan Universitas Padjadjaran. Hal. 403-530. Adjid, D.A. 1980. Pola Operasional Intensifikasi dalam Pelita III. Dalam Capita Selecta Pengembangan dan Pembinaan Kelompok Tani dalam Intensifikasi Tanaman Pangan. Satuan Pengendali Bimas Jakarta. Hal. 62-92. Adjid, D.A. 1985 Pola Partisipasi Masyarakat Pedesaan dalam Pengembangan Pertanian Berencana. Kasus Usahatani Berkelompok Sehamparan dalam Intensifikasi Khusus (Insus) Padi. Suatu Survei di Jawa Barat. Disertasi Universitas Padjadjaran. Ashari. 2001. Hubungan Pertumbuhan Penduduk dan Ekonomi dengan Alih Fungsi Lahan Sawah ke Non-Sawah di Pulau Jawa. Tesis Program Studi Ekonomi Pertanian. Jurusan Ilmu-Ilmu Pertanian. Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Budianto J. 1999. Akseptabilitas Teknologi Pertanian Bagi Konsumen. Dalam: Tonggak Kemajuan Teknologi Produksi Tanaman Pangan Konsep dan Strategi Peningkatan Produksi Pangan. Simposium Penelitian Tanaman Pangan IV. Bogor 22-24 November 1999. Puslitbang Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian. Hal. 12-23. Departemen Pertanian Republik Indonesia. 1979. Survei Evaluasi Pelaksanaan Intensifikasi Padi dan Palawija. Ringkasan/Rangkuman Hasil-hasil Penemuan. Kesimpulan dan Saran-saran Buku I. Kerjasama Badan Pengendali Bimas dan Universitas Padjadjaran. Departemen Pertanian. Pedoman Umum Proyek Ketahanan Pangan. TA. 2000. Jakarta. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat. 2002. Pedoman Umum Peningkatan Mutu Intensifikasi Padi Provinsi Jawa Barat. TA. 2002, Bandung. Irawan B., Nizwar Syafa’at, Rosmijati Sajuti, Sri Wahyuni, B. Rahmanto, Adi Setyanto dan Deri Hidayat. 2002. Perumusan Program Peningkatan Produktivitas Padi di Jawa. Kerjasama Biro Perencanaan dan Keuangan Departemen
Pertanian dengan Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Kasryno F. 2000. Sumberdaya Manusia dan Pengelolaan Lahan Pertanian di Indonesia. FAE, Vol. 18 No. 1 dan 2, Desember 2000. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Hal. 25-51. Nataatmadja, H. 1977. Beberapa Segi Sosial Ekonomi Petani dalam Penelitian Constraints to Higher Yields. Lembaga Pusat Penelitian Pertanian, Bogor. Rasyid, M.A. 2001. Sangat Diperlukan Kegiatan Penyuluhan Pertanian. Ekstensia. Vol. 13 Tahun VIII, September 2001. Topik: Ekstensi Penyuluhan Pertanian di Era Otonomi Daerah. Hal. 8-14. Satari, S. 1999. Kebutuhan Teknologi untuk Program Intensifikasi Tanaman Pangan. Dalam: Tonggak Kemajuan Teknologi Produksi Tanaman Pangan Konsep dan Strategi Peningkatan Produksi Pangan. Simposium Penelitian Tanaman Pangan IV. Bogor 22-24 November 1999. Puslitbang Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian. Hal 24-27. Satuan Pengendali Bimas. 1980. Pengembangan Kelompok Tani Menuju Penerapan Panca usaha Lengkap Secara Swakarsa dan Swadaya (Inmas Murni). Dalam: Capita Selecta Pengembangan dan Pembinan Kelompok Tani dalam Intensifikasi Tanaman Pangan. Satuan Pengendali Bimas, Jakarta. Hal. 9-57. Soewardi, H. 1980. Kebangkitan Kelompok Tani: Jawaban Terhadap Masalah Penyambungan Kelembagaan Masyarakat Nasional dan Masyarakat Tradisional dalam Rangka Penerobosan “Stagnasi Pembangunan Pertanian”. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Sosiologi Pedesaan pada Universitas Padjadjaran. Sudaryanto T., N. Syafa’at, B. Irawan, B. Rachman, Handewi P. Saliem, H. Mayrowani, Saktyanu K.D, S. Mardianto dan Sumedi. 2002. Studi Dinamika Produksi Padi Tahun 2001 dan Identifikasi Faktor Penyebabnya.
163
Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian bekerjasama dengan ARMP II (Agriculture Research Management Project), Badan Litbang Pertanian. Sudaryanto, Totok. 1996. Kemitraan Usaha dalam Pengembangan Agribisnis Untuk Petani Kecil. Agritexts No.06 Th. II/1996. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Hal. 47 – 53. Suprapto, A. 2005. Revitalisasi Penyuluhan Pertanian. Sinar Tani. Edisi 13-19 Juli 2005, No. 3107 Tahun XXXV. Suryana, A., S. Mardianto dan M. Ikhsan. 2002. Dinamika Kebijakan Perberasan Nasional: Sebuah Pengantar. Dalam: Bunga Rampai Ekonomi Beras. Tim Pengkajian Kebijakan Perberasan Na-
164
sional. A. Suryana & S. Mardianto (Eds). Penerbit Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEMUI). Hal. XIX-XXXIII. Tim Survei Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. 1979. Laporan Hasil Survei Peranan dan Pembinaan Kelompok Tani dalam Rangka Intensifikasi di Jawa Barat. Dalam: Capita Selecta Pengembangan dan Pembinaan Kelompok Tani dalam Intensifikasi Tanaman Pangan. Satuan Pengendali Bimas, Jakarta. Hal.93-243. Trubus. 2003. Bergandeng Tangan Sambut AFTA. No.401, April 2003 XXXIV. Topik: Lobster Akuarium 10 Bulan Balik Modal. Hal.67.