SUMMARY NATIONALLY DETERMINED CONTIBUTION (NDC) DAN PROGRES
1
2
SUMMARY NATIONALLY DETERMINED CONTIBUTION (NDC) DAN PROGRES
3
4
I. PENGANTAR
Nationally Determined Contribution (NDC) merupakan bagian penting dari Persetujuan Paris (Paris Agreement), yang berisi pernyataan komitmen negara pihak melalui Kerangka Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC). Sebagai tindak lanjut pernyataan komitmen Indonesia yang disampaikan oleh Presiden RI pada COP-21, Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement dengan UU No. 16/2016 pada tanggal 24 Oktober 2016. Dalam waktu yang hampir bersamaan Indonesia juga menyampaikan dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) ke Sekretariat UNFCCC, yang merupakan elaborasi dari dan mengganti dokumen Intended Nationally Determined Contribution (INDC) yang disampaikan ke Sekretariat UNFCCC menjelang COP-21. Sesuai dengan amanat UUD 1945, setiap orang berhak memperoleh hidup yang layak dan sehat. Dengan demikian komitmen Paris Agreement telah sejalan dengan mandat konstitusi. Pelaksanaan NDC yang merupakan bagian dari pelaksanaan Paris Agreement perlu dilaporkan ke Sekretariat UNFCCC. Hal ini sejalan dengan NAWACITA yang mengamanatkan untuk mengintensifkan kerjasama internasional dalam mengatasi masalah-masalah global yang mengancam umat manusia termasuk perubahan iklim. Bagian lainnya dari NAWACITA yang relevan dengan implementasi NDC adalah bagian yang mengamantkan untuk merancang isu perubahan iklim bukan hanya untuk isu lingkungan semata melainkan juga untuk perekonomian nasional. Booklet ini berisi ringkasan tentang NDC dan progres yang dicapai yang telah dapat dikumpulkan oleh KLHK sebagai National Focal Point (NFP) UNFCCC.
Jakarta, Juli 2017 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Dr. Siti Nurbaya
1
II. PARIS AGREEMENT, NDC DAN IMPLEMENTASINYA
Materi Pokok Paris Agreement
Kewajiban masing-masing Negara untuk menyampaikan kontribusi penurunan emisi GRK melalui NDC yang meningkat setiap periode, dan negara berkembang perlu mendapatkan dukungan untuk meningkatkan ambisi tersebut (Pasal 3). Komitmen Para Pihak melakukan upaya penurunan emisi GRK secepat mungkin melalui aksi mitigasi (Pasal 4). Pendekatan kebijakan dan insentif positif untuk aktivitas mitigasi sektor kehutanan termasuk melalui pembayaran berbasis hasil-REDD)+ (Pasal 5). Pengembangan kerja sama mitigasi secara sukarela antar-negara, termasuk melalui mekanisme pasar dan nonpasar (Pasal 6). Penetapan tujuan global adaptasi yang membutuhkan dukungan dan kerja sama internasional, khusunya bagi negara berkembang (Pasal 7). Pengakuan pentingnya meminimalkan dan mengatasi kerugian dan kerusakan (loss and damage) akibat dampak buruk perubahan iklim (Pasal 8). Kewajiban negara maju menyediakan sumber pendanaan untuk membantu negara berkembang dalam melaksanakan mitigasi-adaptasi. Selain itu, pihak lain dapat pula memberikan dukungan secara sukarela (Pasal 9). Peningkatan aksi kerja sama seluruh negara dalam pengembangan dan alih teknologi (Pasal 10). Perlunya kerja sama Para Pihak dan kewajiban negara maju untuk memperkuat dukungan bagi peningkatan kapasitas di negara berkembang (Pasal 11). Kerja sama Para Pihak dalam upaya penguatan pendidikan, pelatihan, kesadaran publik, partisipasi publik, dan akses publik terhadap informasi mengenai perubahan iklim (Pasal 12). Pembentukan dan pelaksanaan kerangka kerja transparansi yang merupakan pengembangan dari yang sudah ada di bawah Konvensi, meliputi aksi maupun dukungan dengan fleksibilitas bagi negara berkembang (Pasal 13). Pelaksanaan secara berkala inventarisasi dari implementasi PA untuk menilai kemajuan kolektif, dimulai tahun 2023 dan selanjutnya dilakukan setiap lima tahun (Pasal 14). Pembentukan mekanisme untuk memfasilitasi implementasi dan mendorong kepatuhan terhadap persetujuan Paris (Pasal 15).
2
Paris Agreement-NDC dan Implementasinya dalam Konteks Global dan Nasional
Transparency Framework
• Facilitative Dialogue • Global Stocktake • Facilitation and Compliance
Goal of Paris Agreement <2o C >1.52o C
Nationally Determined Contribution (NDC) • NatCom • BUR • FREL-MRV RED++
Mitigation – Adaptation and avert Lost and Damage MOI (Finance, Technology, Capacity Building)
POLICY AND MEASURES: • Policy & Regulations • Institutional setting • etc
TMS GHGs Inv-MRV-NRS
A.STRUKTUR NDC UNFCCC membuka fleksibilitas bagi Negara Pihak terkait dengan struktur NDC, akan tetapi harus menunjukkan kontribusi penurunan emisi GRK pada tahun 2030 yang ambisius dan tidak backsliding. NATIONAL CONTEXT
MITIGATION
ADAPTION
STRATEGIC APPROACH
PLANNING PROCESS
INFORMATION TO FACILITATE CLARITY TRANSPARENCY AND UNDERSTANDING
TRANSPARENCY FRAMEWORK
INTERNATIONAL SUPPORTS
INDONESIA LOW CARBON AND CLIMATE RESILIENCE STRATEGY
Dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia dapat diakses melalui: http://www.ditjenppi.menlhk.go.id
REVIEW AND ADJUSTMENT
A.1. KONTEKS NASIONAL Indonesia menuangkan kondisi nasionalnya sebagaimana tertuang dalam Gambar berikut ini.
3
National Context
Salah satu mandat UUD 1945 “bahwa setiap orang berhak memperoleh hidup yang layak dan sehat”. Nawa Cita yang mencakup 9 (sembilan) aksi prioritas pembangunan sejalan dengan komitmen nasional menuju arah pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim, dengan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sebagai satu prioritas yang terintegrasi dan lintas-sektoral dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.
Komitmen Pre-2020: Target penurunan emisi GRK sebesar 26% di tahun 2020 dan sampai dengan 41% apabila terdapat dukungan internasional, dibandingkan terhadap skenario business as usual di tahun 2020
2010
2011
Asumsi NDC: Indonesia memprioritaskan pengentasan kemiskinan dengan target pembangunan ekonomi per tahun sebesar 5% untuk menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 4% di tahun 2025.
NDC Indonesia menggambarkan transisi dan komitmen peningkatan aksi menuju pembangunan rendah emisi dan berketahanan iklim periode 2015-2019 yang menjadi landasan untuk menentukan tujuan lebih ambisius pasca-2020 dalam rangka pencegahan kenaikan temperature global sebesar 2oC dan berupaya membatasi kenaikan temperature global sebesar 1,5oC dibandingkan masa pra-industri.
Pasca-2020, Indonesia telah menetapkan target unconditional sebesar 29% dan target conditional sampai dengan 41% dibandingkan skenario business as usual di tahun 2030.
First Biennial Update Report (BUR) mengkomunikasikan emisi GRK nasional menunjukkan peningkatan sebesar 0,452 GtCO2e dari tahun 2000, yakni sebesar 1,453 GtCO2e di tahun 2012, dengan proporsi sumber emisi GRK sebesar 47,8% dari sektor LUCF termasuk kebakaran gambut dan 34,9% dari sektor energi.
Perangkat hukum pendukung pencapaian target 26% dan 41% pada tahun 2020: Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi GRK (PERPRES No. 61/2011) dan inventarisasi GRK (PERPRES No. 71/2011).
2016
REDD+ akan menjadi komponen penting dari target NDC Indonesia di sektor berbasis lahan. Untuk periode pre-2020 merujuk pada Forest Reference Emission Level (FREL) untuk REDD+ yang telah disubmit ke Secretariat UNFCCC. Pasal 5 dari Persetujuan Paris memberikan sinyal politis yang jelas mengenai pengakuan terhadap peranan hutan dan REDD+, melalui rangkaian Keputusan COP yang memberikan arahan yang cukup untuk implementasi REDD+.
Energi Baru Terbarukan: Minyak: harus lebih kecil dari setidaknya sebesar 23% di tahun 25% di tahun 2025 dan lebih kecil 2025 dan setidaknya sebesar 31% dari 20% di tahun di tahun Peraturan Pemerintah Nomor 79/2014 2050; 2050; tentang Kebijakan Energi Nasional
ambisi untuk melakukan transformasi, di Batubara: Gas: tahun 2025 dan 2050, bauran penyediaan paling setidaknya energi utama sedikit 30% paling di tahun sedikit 22% 2025 dan paling sedikit 25% di di tahun 2025 dan paling sedikit tahun 2050; 24% di tahun 2050.
Beberapa langkah signifikan dalam rangka reduksi emisi GRK sektor berbasis lahan adalah kebijakan moratorium penebangan hutan primer dan pelarangan konversi dari hutan yang tersisa dengan rangkaian kegiatan pendukungnya yang melibatkan partisipasi aktif sektor swasta, masyarakat termasuk Masyarakat Hukum Adat.
4
Pengembangan strategi komprehensif untuk meningkatkan kualitas kebijakan dan kapasitas institusi di tingkat lokal, meningkatkan kapasitas pengelolaan limbah cair perkotaan, mengurangi limbah yang dibuang ke landfill melalui pendekatan “Reduce, Reuse, Recycle”, dan pemanfaatan sampah dan limbah untuk energi.
A.2. MITIGASI Dengan baseline dan asumsi yang digunakan untuk proyeksi kebijakan tahun 20202030, BAU dan penurunan emisi yang diproyeksikan baik untuk penurunan emisi GRK secara unconditional (CM1) dan conditional (CM2) dengan asumsi yang digunakan dalam skenario seperti pada Tabel dan Gambar berikut.
BAU SEKTOR DAN SKENARIO MITIGAS (CM) 1 & 2 DALAM JUTA TON CO2e DAN %)
1800
1669
1600
70% dari BAU
19% dari BAU
1400 1200 1000 800 600
714
650
314 398 296
400
11
200 0
497
Energy
2.75 26
69.6
Waste Emission BAU (2030)
IPPU
3.25
119.66
9 4
Agriculture ER (CM1)
Foresty
ER (CM2)
5
Ringkasan Asumsi yang dipergunakan dalam skenario
Energi • Efisiensi Penggunaan Energi Final (75% dilaksanakan) • Pemanfaatan Teknologi Clean Coal technology - CCT (75% dilaksanakan) • Produksi Listrik EBT (sesuai RUPTL) • Penggunaan bahan bakar nabati - BBN (Mandatory B30) pada Sektor Transportasi (90% dilaksanakan) • Penambahan Jaringan Gas (100% dilaksanakan) • Penambahan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas - SPBG (100 & dilaksanakan)
Kehutanan • Penurunan Deforestasi* (< 0,45 ha-0,325 Mha/tahun di 2030) • Peningkatan penerapan prinsip pengelolaan hutan berkelanjutan, baik di hutan alam (penurunan degradasi) maupun di hutan tanaman* • Rehabilitasi 12 juta ha lahan terdegradasi pada tahun 2030 atau 800,000 ha/ tahun dengan survival rates sebesar 90% • Restorasi 2 juta ha gambut pada 2030 dengan tingkat kesuksesan sebesar 90% Catatan: * berada di bawah skema REDD+
Pertanian • Penggunaan varietas rendah emisi di lahan sawah • Penerapan sistem pengairan sawah lebih hemat air • Pemanfaatan limbah ternak untuk biogas • Perbaikan suplemen pakan
Limbah • Limbah padat (solid waste) • Limbah cair industri (target kuantitif masih perlu ditentukan oleh Kementerian Perindustrian dan KLHK) • Limbah cair domestik (target kuantitif masih perlu ditetapkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Kesehatan) • Peningkatan penerapan landill gas (LPG) recovery dari 2010-2030 dalam pengelolaan TPA • Peningkatan persentase pemanfaatan sampah melalui composting and 3R (paper) • Peningkatan persentase PLTSa/RDF (Refuse Derived Fuel), dibandingkan dengan total timbulan sampah
IPPU-Industrial Processes and Product Use • Industri semen melaksanakan aksi mitigasi melalui pengurangan “dinker to cement ratio” (blended cement) dari 80% di 2010 menjadi 75% di 2030 • Peningkatan efisiensi industri amonia melalui optimasi pemanfaatan gas bumi (feedstock) dan CO2 recovery pada Primary Reformer • Penambahan aksi mitigasi lainnya seperti CO2 recovery, improvement process pada smelter, dan pemanfaatan besi bekas (scrap) pada industri besi dan baja serta sisa klaim IPPU (PFGs) dan CDM alumunium smelter
6
A.3. ADAPTASI Adaptasi perubahan Iklim difokuskan pada upaya peningkatan ketahanan di bidang ekonomi, sosial dan livelihood serta ekosistem dan lanskap dengan prioritas pada sektor terdampak yakni pangan, air dan energi.
KERANGKA SASARAN NDC-ADAPTASI
KETAHANAN EKOSISTEM
• KETAHANAN PANGAN • KETAHANAN AIR • KETAHANAN ENERGI
KETAHANAN EKONOMI
KETAHANAN SISTEM KEHIDUPAN
Capacity Building, Technology Transfer, Finance and Regulations
Sasaran jangka menengah Indonesia dalam strategi adaptasi perubahan iklim adalah mengurangi resiko pada semua sektor pembangunan (pertanian, air, ketahanan energi, kehutanan, kelautan dan perikanan, kesehatan, layanan publik, infrastruktur, dan sistem perkotaan) pada 2030 melalui penguatan kapasitas lokal, pengelolaan pengetahuan, konvergensi kebijakan adaptasi perubahan iklim dan pengurangan resiko bencana (API-PRB) serta penerapan teknologi yang adaptif. Untuk mendukung upaya ini telah dikeluarkan Peraturan Menteri LHK No. P.33 Tahun 2016 tentang Tatacara Penyusunan Aksi Adaptasi Nasional dan Daerah, yang memberikan panduan dalam upaya mengintegrasikan adaptasi ke dalam perencanaan pembangunan. PermenLHK ini juga merupakan salah satu panduan dalam menyusun National Adaptation Plan (NAP) sebagaimana dimandatkan oleh Konvensi Perubahan Iklim. Sebelumnya, Indonesia juga telah menyusun Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) pada tahun 2014.
7
A.4. MEANS OF IMPLEMENTATIONS (MoI) Sesuai amanat Paris Agreement, komitmen negara berkembang dalam upaya pengendalian perubahan iklim perlu didukung dengan pendanaan, peningkatan kapasitas dan transfer teknologi yang disediakan oleh masyarakat internasional, untuk periode pre- dan pasca-2020.
A.5. TRANSPARENCY FRAMEWORK Sebagai bagian dari implementasi Pasal 13 Paris Agreement, maka dibangun Sistem Registri Nasional (SRN) yang dilengkapi dengan beberapa sistem terkait, yakni: Sistem Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional (SIGN- SMART), Sistem MRV untuk mitigasi termasuk REDD+, Sistem Informasi Safeguards REDD+ (SIS-REDD+), Sistem Informasi dan Data Indeks Kerentanan, dan aksi gabungan adaptasi-mitigasi di tingkat lokal melalui Program Kampung Iklim (PROKLIM).
8
III. STRATEGI IMPLEMENTASI NDC
Komitmen mengikat yang tertuang dalam NDC merupakan hal baru bagi negara berkembang termasuk Indonesia, maka untuk mengimplementasikannya diperlukan strategi yang sesuai dengan tingkat kesiapan masing-masing negara. Strategi implementasi NDC ini terbagi ke dalam 9 (sembilan) program mulai dari persiapan sampai tahap akhir termasuk review dan pembaruan komitmen dalam NDC pada setiap periode yang ditentukan. Kesembilan program tersebut dapat dilihat pada Bagan berikut. Strategi Implementasi NDC yang dtuangkan dalam 9 Program terintegrasi.
I. PENGEMBANGAN OWNERSHIP DAN KOMITMEN
• Kementerian/Lembaga Pemda Swasta, Masyarakat Sipil, Lembaga Keuangan
II. PENGEMBANGAN KAPASITAS
• Penguatan kelembagaan dan kapasitas SDM (elaborasi NDC_sektor dan wilayah, KRP, IGRK, MRV, SRN Implementasi NDC)
III. ENABLING ENVIRONMENT
• Peraturan-perundangan dan kebijakan terkait (UU No. 16/2016 ttg Ratifikasi Paris Agreement, PP.46/2016 ttg KLHS, dll)
IV. PENYUSUNAN KERANGKA KERJA DAN JARINGAN KOMUNIKASI
• Koordinasi dan sinergi antar sektor dan wilayah serta aktor/pelaku
V. KEBIJAKAN SATU DATA GRK
• SIGN-SMART : data inventariasasi GRK nasional • SRN (termasuk MRV) : aksi Mitigasi, Adaptasi, JMA dan Mol (pendanaan, teknologi, peningkatan kapasitas)
VI. PENYUSUNAN KEBIJAKAN, RENCANA DAN PROGRAM (KRP) INTERVENSI
• Penyelarasan NDC dengan perencanaan pembangunan di 5 kategori sektor mitigasi dan adaptasi sektoral dan wilayah > untuk menjamin penganggaran (APBN-APBD) dan mobilisasi sumberdaya baik dari dalam negeri maupun internasional
VII. PENYUSUNAN PEDOMAN IMPLEMENTASI NDC
• Pedoman untuk Pusat dan daerah (perencanaan, pelaksanaan, MRV dan review NDC);
VIII. IMPLEMENTASI NDC
• Didasarkan pada hasil penyusunan KRP serta rencana implementasi NDC • Dikoordinasikan oleh KLHK (terkait target pengurangan emisi dan kebijakan PI) dan BAPPENAS (terkait pembangunan nasional).
IX. PEMANTAUAN DAN REVIEW NDC
• Pemantauan progres implementasi NDC • Menjelang tahun 2020 akan dilakukan review dan adjustment NDC bila diperlukan (tidak ada backsliding)
9
IV. PROGRES IMPLEMENTASI NDC
Target penurunan emisi GRK di dalam NDC unconditional (CM1) telah ditindaklanjuti oleh Kementerian dengan menjabarkan ke dalam rencana aksi mitigasi serta mengembangkan aspek kelembagaan dan mekanisme pelaporan. A. MITIGASI Melalui rangkaian pertemuan termasuk NDC Kick Off: Translating NDC into Actions yang diselenggarakan pada tanggal 27 April 2017 di Jakarta, telah teridentifikasi kemajuan pembahasan mengenai NDC di setiap Kementerian/Lembaga dan institusi terkait termasuk dunia usaha dan masyarakat sipil.
A.1. SEKTOR KEHUTANAN Target reduksi emisi pada tahun 2030: 497 juta ton CO2e dari total penurunan emisi GRK sebesar 834 juta ton CO2e. Aksi Mitigasi
Progress
Penurunan deforestasi (< 0,45 ha0,325 juta ha per tahun pada tahun 2030)
Perlindungan kawasan konservasi, pemanfaatan jasa ekosistem,
Peningkatan pelaksanaan prinsip pengelolaan berkelanjutan pada hutan alam dan HTI (penurunan degradasi)
1. Peningkatan produksi kayu dari HTI, untuk mengurangi tekanan pada hutan alam 2. Pengelolaan konsesi restorasi ekosistem, rencana mekanisme sistem insentif 3. Implementasi RIL-C, penyiapan regulasi, mekanisme pemantauan
Rehabilitasi lahan terdegradasi 12 juta Ha pada tahun 2030 atau 800 000 ha per tahun dengan tingkat keberhasilan 90 %
Rehabilitasi lahan seluas 1,1 juta Ha yang melibatkan seluruh pihak termasuk K/L dan daerah
Restorasi gambut 2 juta ha pada tahun 2030 tingkat keberhasilan 90 %
1. Restorasi gambut 2. Implementasi RIL-C Rehabilitasi gambut di HTI 1 juta Ha
10
Penanggung jawab KLHK
KHLK, Dunia Usaha
KHLK
KLHK, BRG
Untuk mendukung upaya mitigasi tersebut di atas diperlukan keterlibatan semua pihak. Salah satu program yang diharapkan dapat menjamin tercapainya penurunan laju deforestasi adalah program REDD+ dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan. IMPLEMENTASI REDD+ Sebagai negara yang memiliki hutan alam dengan luas 113,2 juta hektar pada tahun 1990 dan terus menurun hingga mencapai angka 91,7 juta hektar di tahun 2012 sehingga terjadi emisi yang signifikan dari sektor kehutanan, upaya pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan sangat penting bagi Indonesia. REDD+ adalah salah satu aksi mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan, dan merupakan pendekatan kebijakan dan mekanisme insentif untuk pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, peran konservasi, pengelolaan hutan lestari dan peningkatan simpanan karbon (carbon stock). Sebagai suatu aksi mitigasi perubahan iklim berbasis lahan (LULUCF), REDD+ memegang peran penting dalam pencapaian target nasional dalam NDC, khususnya dari sektor kehutanan. Perkembangan REDD+ di Indonesia telah dimulai sejak awal terbangunnya mekanisme ini (sebelum COP13 UNFCCC di Bali), dan Indonesia dari waktu ke waktu berproses dalam mempersiapkan (readiness preparation) implementasi REDD+. Progres menuju kesiapan implementasi REDD+ telah dicapai oleh Indonesia dari berbagai aspek arsitektur REDD+, mulai dari strategi REDD+, Forest Reference Emission Level (FREL), kerangka pengaman (safeguards) REDD+ dan Sistem penyediaan Informasi mengenai pelaksanaan safeguards (SIS) REDD+, mekanisme pendanaan, hingga aspek kelembagaan, penguatan kapasitas, dan awareness raising.
11
Forest Reference Emission Level (FREL) FREL merupakan bagian penting dari implementasi REDD+ di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Sebelum proses nasional, FREL telah dibahas dalam seri perundingan COP.
Point-point penting terkait FREL dalam negosiasi perubahan iklim di UNFCCC
Proses pembangunan FREL untuk REDD+ di Indonesia telah dimulai sejak 2011. FREL dibangun sebagai benchmark untuk mengukur dan mengevaluasi kinerja penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi, dan sebagai dasar untuk pembayaran berbasis kinerja terhadap hasil kegiatan REDD+. FREL nasional Indonesia telah disampaikan ke Sekretariat UNFCCC pada Desember 2015 (http://redd.unfccc.int/submissions. html?country=idn atau http://ditjenppi.menlhk.go.id/berita-ppi/2655-tingkat-emisi-rujukandeforestasi-dan-degradasi-hutan-frel) dan telah melalui proses Technical Assessment oleh tim pakar UNFCCC dari Februari s.d. November 2016 (http://unfccc.int/resource/ docs/2016/tar/idn.pdf).
12
Hal-hal penting terkait penyusunan FREL Indonesia
Hasil FREL - Emisi tahunan dan emisi rata-rata historis dari deforestasi dan degradasi hutan, serta dekomposisi gambut sebagai akibat deforestasi dan degradasi hutan di lahan gambut (dalam MtCO2e per tahun) di Indonesia sejak 1990 sampai dengan 2012. Untuk implementasi phase Result Based Payment dari REDD+, maka perlu ditentukan wilayah FREL yang mencakup “Semua area (baik di tanah mineral maupun di gambut) yang pada tahun 1990 tertutup oleh hutan alam, yaitu tercatat seluas 113.2 juta ha atau 60% dari luasan negara. Area ini mencakup hutan alam primer dan hutan alam sekunder, tanpa
13
memperhatikan status kawasan yang ditunjuk oleh Kementerian Kehutanan”. Wilayah FREL ini menjadi dasar dari semua aksi yang terkait dengan kegiatan REDD+ di Indonesia.
Sistem Informasi Safeguards REDD+ (SIS-REDD+) : Dalam rangka menterjemahkan hasil keputusan COP UNFCCC mengenai kerangka pengaman (safeguards) REDD+ ke dalam konteks nasional, sejak 2011 Indonesia telah membangun Sistem Informasi Safeguards (SIS) REDD+. Sistem yang dimaksudkan untuk menyediakan informasi mengenai bagaimana safeguards REDD+ dilaksanakan ini dibangun melalui serangkaian proses bersama para stakeholders.
14
Untuk operasionalisasi SIS-REDD+, telah disiapkan disain struktur kelembagaan, yang sejalan dengan alur penyediaan informasi mengenai pelaksanaan safeguards REDD+ yang sesuai dengan sistem pelaporan ke Sekretariat UNFCCC. Sekretariat UNFCCC UNFCCC (COP) Komunikasi terkait proses UNFCCC
NATCOM (ringkasan informasi pelaksanaan safeguards) Focal Point NATCOM (ringkasan informasi pelaksanaan safeguards)
Koordinasi K/L (Natcom dan Lap. Nas Lainnya)
Ringkasan informasi pelaksanaan safeguards
Koordinasi L/FMP
PSIS Nasional
Arahan/Supervisi QA/QC Data & Informasi Pelaksanaan Safeguards
Data dan informasi pelaksanaan safeguards PSIS/PDIS Sub Nasional
L/FMP
1. Penyampaian data dan informasi pelaksanaan safeguards, 2. Arahan/Supervisi, QA/QC data & informasi pelaksanaan safeguards Note : REDD+ di dalam hutan konservasi yang kewenangannya ada di ada di Pusat dapat menggunakan 2 jalur (langsung dan berjenjang)
Fase 3 (Full Implementation)
PS Nasional
PS/PDIS Prop Fase 1-2 (Readiness dan transisi ke fase II)
PS/PDIS Kab
PS/PDIS “Site”
15
Demonstration Activities/pilot/project/kegiatan terkait REDD+ di Indonesia : Sejumlah Demonstration Activities/pilot/project/kegiatan terkait REDD+ telah terbangun sejak 2008 di Indonesia, diinisiasi oleh berbagai stakeholders, dan melibatkan kerjasama antar pihak termasuk dengan dukungan para mitra pembangunan (mitra internasional). Berbagai inisiatif ini memberikan kontribusi berupa lessons learned bagi penyiapan implementasi REDD+ di Indonesia, baik secara teknis metodologis maupun dalam hal pembangunan kapasitas.
DISTRIBUSI DEMONSTRATION ACTIVITY REDD+
REL /RL
Incentive
Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation
MRV
Safeguards
Enhancing Carbon Stock
Institution
Conservation
Sustainable Forest Management
DAN KEGIATAN TERKAIT REDD+ LAINNYA
DI INDONESIA 01
28 27
02 20
03 04
18
05
06 07 08
26 30
19
17
11
15
32
31 33
16
10
29
14
22
25
23 21
34 35
24
09
36
12 13
37
01. TFCA Sumatera Kehati, WWF, TNC, NGO Lokal
06. Giam Siak Sinar Mas Forestry, KLHK, LIPPI, Pemprov. Riau
11. RECA Central & East Java JICA, KLHK, FORDA, LIPPI, Unsri, Univ. Kuningan
16. Rehabilitation of the Sungai Putri Peat Swamp Forest WHNFFI, Marquarie, Bioarbon
21. Rimba Raya Biodiversity Reserve REDD PT. RRC, Infinite Earth, Ltd., OFI
26. REDD in HoB WWF, BMU, MoF
31. Pengelolaan Kawasan Konservasi Gambut Pokja TKLH-LK REDD, Bioma, Disbunhut
36. Papua Avoided Deforestation in Initiatives Sekala, PCSSF, WRI, Telapak
02. Batang Toru CII, OCSP, Australia MC, Yayasan EL
07. Berbak/Jambi ZSL, Mof, TN Berbak, Darwin Initiatives
12. Reforestation Bromo, Tengger, Semeru Sumitomo, TN Bromo Tengger Semeru
17. IJ-REDD West Kalimantan JICA, TN Gunung Palung
22. CCP for Lamandau WR RARE, YAYORIN, Clinton Foundation, Orangutan Foundation
27. BFCP TNC, ICRAF, UNMUL, Sekala, Winrock Int’l, Univ. of Quensland
32. Gorontalo REDD+ Project with Safeguard Program Kanematsu, Panasonic Gobel
37. Towards Enabling Mitigation of CC KYEEMA Foudation, AusAid, YPS, YTM
03. Kampar Ring April
08. MRPP Global Alam Lestari Co. Ltd., Agrinergy
13. Meru Betiri East Java Puslitbang Kebitjakan dan Perubahan Iklim, TNM, Latin, ITTO
18. Community Carbon Pool RARE, YAYORIN, Clinton Foundation, Orangutan Foundation
23. Katingan Peat RCP PT. RMU, Starling Resource
28. Program Setapak Stabil, Pionir, TAF
33. Indonesia UNREDD Programme FAU, UNDP, UNEP, Dishut Sulteng
04. Tesso Nilo WWF, BTN Tesso Nilo
09. Harapan Rain Forest Burung Indonesia, RSPB, Birdlife Int’l
14. TFCA Kalimantan Kehati, WWF, TNC, NGO Lokal
19. Danau Siawan Belida WHN, FFI, Marquarie
24. Sebangau Restoration Project WWF, TN Sebangau
29. Adopsi Pengelolaan SDH Bioma
34. Preparation of REDD+ Involving Comunity in Jayapura WWF KLHK
05. Tasik Besar Serkap KLHK, KFS, Dishut. Prov. Riau
10. CFES Jambi, Kalimantan & Lombok
15. RED from deforestation caused by Oil palm Sector
20. Forclime West & East Kalimantan
25. ERC on Production Forest Concession
30. Transforming Kutai Barat Spatial Planning Toward FLC
35. The Memberamo BCCCP CI, Pemprov Papua, CSIRO, CIFOR, PT. MAU
FFI
FFI, PT. KALL, PT. CUS
KFW, GIZ, KLHK, GFA, Pemda
PT. RHOI
WWF, Bebsic, Bioma, KLHK
Demonstration Activities/pilot/project/kegiatan terkait REDD+ di Indonesia (dari berbagai sumber)
Pengelolaan Hutan Lestari (SFM) – FLEGT License Penguatan penegakan hukum untuk melawan illegal logging dan perbaikan tata kelola hutan merupakan dua diantara berbagai upaya yang dilakukan oleh Indonesia sebagai bagian dari komitmen negara untuk mengurangi deofrestasi dan degradasi hutan. Untuk melengkapi upaya law enforcement tersebut, Indonesia mengembangkan SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) melalui proses multi stakeholder yang komprehensif sejak 2003, sejak mulai dibangunnya kesepakatan FLEGT-VPA. SVLK memberikan insentif bagi legalitas kayu melalui promosi akses pasar bagi produk legal yang terverifikasi dan blocking terhadap pasar produk-produk illegal. SVLK juga mempromosikan reformasi tata kelola yang lebih luas, diantaranya informasi yang lebih baik, peningkatan transparansi, kapasitas dan hak-hak masyarakat.
16
Sebagai bagian dari Perjanjian Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Produk Kehutanan (FLEGT-VPA) antara Indonesia dengan Uni Eropa, mulai September 2016 Uni Eropa membuka pasar terhadap kayu asal Indonesia yang telah memperoleh lisensi ekspor kayu legal. Telah disepakati oleh Indonesia dan Uni Eropa, bahwa mulai 15 November 2016, Indonesia menerbitkan FLEGT License atas produk-produk kayu legal yang sudah diverifikasi dan diekspor ke Uni Eropa. Dengan keputusan ini, Indonesia menjadi negara pertama di dunia yang mencapai FLEGT License, dan dengan demikian memperkuat komitmen Indonesia dalam berkontribusi terhadap upaya global memberantas pembalakan liar serta perdagangan kayu ilegal. Perjanjian FLEGT-VPA melibatkan empat Kementerian, yakni Kementerian Luar Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian.
Sumber: MFP3
Dengan menyediakan insentif pasar untuk produk-produk kayu yang berkelanjutan, SVLK konsisten dengan pendekatan mekanisme REDD+, yaitu mendorong dan memberikan insentif ekonomi terhadap penerapan pengelolaaan hutan yang berkelanjutan dalam rangka menurunkan emisi GRK dari kehutanan.
17
Rehabilitasi dan Restorasi Gambut Kegiatan rehabilitasi dan restorasi gambut di Indonesia menjadi bagian dari area kegiatan yang dilaksanakan Indonesia dalam rangka mencapai penurunan net emisi di sektor kehutanan, sesuai target yang dicanangkan dalam NDC. Sebagai upaya terkait hal ini, Pemerintah Indonesia sejak sejak tahun 2014 telah melakukan reformasi kebijakan terkait dengan ekosistem gambut, yaitu dengan diperbaharuinya PP tentang gambut yang diikuti lahirnya beberapa Peraturan Menteri LHK untuk penataan pengelolaan ekosistem gambut, termasuk didalamnya kegiatan restorasi. Selain dari sisi kebijakan dan peraturan, Pemerintah juga meningkatkan keterlibatan masyarakat lokal dalam perencanaan pengelolaan hutan, rehabilitasi lahan dan restorasi gambut, termasuk pengakuan terhadap hak adat serta pengalokasian lahan untuk masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan.
IMPLEMENTASI PROGRAM PENGENDALIAN KARHUTLA Reduksi emisi pada tahun 2030: 497 juta ton CO2e melalui aksi mitigasi seperti REDD+, rehabilitasi hutan dan lahan serta restorasi ekosistem gambut akan berhasil jika dan hanya jika kebakaran hutan dan lahan khususnya di lahan gambut dapat dicegah, ditekan dan dikendalikan. Pemerintah melalui kolaborasi antar Kementerian/ Lembaga, swasta dan masyarakat merumuskan arah kebijakan dan strategi dalam pengendalian karhutla ini yang memenuhi prinsip (1) permanen, (2) lintas Sektor, (3) terpadu, (4) komprehensif, (4) cepat dan responsif, dan (5) tepat sasaran. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam arah kebijakan tersebut dijabarkan menjadi lima strategi utama untuk tujuan yang lebih spesisifik yakni: (1) Menyediakan insentif dan disinsentif ekonomi; (2) Penguatan peranan masyarakat desa dan/atau pranata sosial dengan membangun jaringan hingga tingkat tapak; (3) Penegakan hukum, sinkronisasi peraturan perundang-undangan dan penertiban perizinan di sektor berbasis lahan; (4) Pengembangan infrastruktur di wilayah rawan terbakar; dan (5) Penguatan early fire response hingga di tingkat tapak. Selanjutnya setiap tahunnya Presiden RI memberikan arahan implementasi dari kebijakan dan strategi tersebut di lapangan sejak tahun 2016 dan untuk tahun 2017 difokuskan melalui : 1. Penetapan status siaga darurat lebih dini pada provinsi yang rawan karhutla. 2. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan karhutla.
18
3. Meningkatkan kesiagaan operasi udara dalam pencegahan karhutla. 4. Penegakan hukum secara tegas serta penyelesaian kasus-kasus karhutla secara cepat. 5. Perbaikan tata kelola hutan dan lahan, serta 6. Meningkatkan koordinasi dan sinergisitas pemerintah dari tingkat pusat sampai dengan daerah. Dalam beberapa aktifitas pada tingkat lapangan upaya-upaya yang telah dilakukan untuk mengantisipasi agar kejadian karhutla tidak terulang lagi sebagaimana yang terjadi pada tahun 2015, yakni: 1. Menetapkan paradigma baru yaitu melakukan prioritas upaya Pencegahan karhutla lebih awal dengan mendayagunakan SDM, Anggaran dan sarana prasarana di tiap K/L dan pemerintah Propinsi, Kabupaten/kota. 2. Meningkatkan sinergitas dan koordinasi antara Pasukan Manggala Agni KLHK, TNI, Polri, Kepala Desa, LSM dan media massa dalam upaya pencegahan Karhutla pada tingkat tapak/desa dalam bentuk patroli terpadu 3. Meningkatkan kegiatan penyadartahuan masyarakat atas ancaman dan bahaya karhutla serta upaya-upaya yang dapat dilakukan masyarakat dalam kegiatan pengendalian karhutla, melalui kegiatan kampanye, pameran pengendalian Karhutla, sosialisasi melalui media cetak dan elektronik, SMS blast dan talkshow di media televisi. 4. Meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia, melalui kegiatan bimbingan teknis terkait dalkarhutla yang mengikutsertakan TNI, Polri, masyarakat, dan pihak swasta 5. Menerapkan kegiatan keteknikan untuk mendukung upaya pencegahan karhutla melalui pembangunan sekat kanal, sumur bor, dan embung terhadap seluruh stakeholder yang mengelola kawasan hutan atau lahan. 6. Melakukan monitoring dan deteksi dini dengan menggunakan satelit NOAA dan MODIS /Tera /aqua 7. Meningkatkan upaya penegakan hukum terhadap perusahaan yang membakar hutan dan lahan dengan menerapkan prinsip strick liabilty (tanggung jawab mutlak) terhadap ijin yang dimiliki perusahaan. 8. Meningkatkan jangkauan kegiatan patroli terpadu pencegahan Karhutla dengan melibatkan TNI, Polri dan masyarakat 9. Meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pencegahan Karhutla di tingkat tapak, melalui pembentukan dan pembinaan Masyarakat Peduli Api (MPA) 10. Membentuk dan meningkatkan kapasitas brigade dalkarhutla pada setiap unit pengelola kawasan hutan (hutan tanaman atau hutan alam, tambang, wisata) atau lahan (perkebunan) 11. Dalam rangka memperkuat kerjasama ASEAN di bidang pengendalian kebakaran hutan dan lahan, Pemerintah Indonesia berinisiatif untuk menjadi tuan rumah the ASEAN Coordinating Centre for Transboundary Haze Pollution Control.
19
Upaya lain yang terus dilakukan adalah pengaturan tata kelola hutan, khususnya gambut dan langkah pencegahan lainnya seperti pemantauan titik panas (hot spot) dan penegakan hukum. Pada tahun 2016 tidak ada gangguan asap di beberapa provinsi rawan kebakaran sehingga pada tahun 2017 dan tahun-tahun yang akan datang tetap diupayakan tidak terjadi kebakaran. Pada tahun 2016 secara nasional asap tidak menyebabkan gangguan ekologi, sosial, budaya, pertahanan dan kemanan seperti tahun 2015 dan secara regional tidak dilaporkan adanya asap melintas batas. Terjadi penurunan luas Karhutla yang signifikan, pada tahun 2015 luas Karhutla sebesar 2,6 juta hektar turun signifikan pada tahun 2016 menjadi hanya sebesar 0,43 juta hektar. Sedangkan luas kebakaran hutan dan lahan Tahun 2017 (periode bulan Jan-Jun 2017) luas kebakaran hanya 20.290 Ha saja (turun drastis dibanding thn 2015 dan 2016).
Jumlah hotspot sampai dengan tanggal 16 Juli 2017, telah terdeteksi sebanyak 618 titik diseluruh Indonesia (deteksi satelit NOAA 19) dan 157 titik (deteksi satelit TERRA/ AQUA NASA confidence 80%). Sebagai perbandingan kondisi tahun 2015 pada periode yang sama terdeteksi 3.653 titik (satelit NOAA) dan 1896 titik (satelit TERRA/ AQUA NASA), untuk tahun 2016 terdeteksi 1.075 titik (satelit NOAA) dan 2.070 (satelit TERRA/AQUA NASA). Dari angka tersebut terjadi penurunan hotspot dari satelit NOAA-18/19 yaitu 42,51% dibandingkan tahun 2016 dan 83,08% dibandingkan tahun 2015; sedangkan berdasarkan satelit TERRA/AQUA NASA (Conf 80%) turun 91,72% dibandingkan tahun 2016 dan turun 92,2741% dibandingkan tahun 2015
A.2. SEKTOR ENERGI Kementerian ESDM telah menetapkan kebijakan mengenai energi yang memberikan kontribusi langsung terhadap penurunan emisi GRK. Gambar di bawah ini menunjukkan target konservasi energi dan target pengembangan energi terbarukan sampai tahun 2025.
20
Target of Energy Conservation by 2025 Energy Conservation Target: • To achieve energy elasticity less than one in 2025; • To reduce energy intenisty 1% per year until 2025; • To achieve final energy saving 17% in 2025 Final Energy Consumption 2500 2000
BaU
2162
Juta SBM
1500 830
17%
1000 398
500 0
● Energy Saving: 366 million BOE (17%) ● Potential of emission reduction: 195 million Ton CO2
Final Energy Saving 17%
Efficient
1796
366 17%
NDC target 314-398 million ton CO2 by 2030
296 2015
2025
Target of Energy Development by 2025 Electricity 69 MTOE
Gas
RE 22%
30% Coal
23%
25% Oil
94 MTOE
Biofuel Biomassa
25 MTOE
Biogas CBM
45 GW 15,6 Million KL 8,3 Million ton 489,8 Million m3 46,0 mmscfd
Energy Efficiency ● Energy Elastisy < 1 in 2025 ● Save 17% Final Energy in 2025 TOTAL POWER PLANT 2015
2025
Total Cap: 55 GW
Total Cap: 135 GW
RE: 8,7 GW (15,7%)
RE: 45 GW (33%)
21
Untuk sub-sektor transportasi, Kementerian Perhubungan telah menetapkan kebijakan perubahan iklim yang berkaitan langsung dengan penggunaan energi sebagaimana tercantum pada gambar berikut
KEBIJAKAN PERUBAHAN IKLIM DAN ENERGI NASIONAL DI SEKTOR TRANSPORTASI Peningkatan efisiensi pemanfaatan energi Peningkatan penggunaan tenaga listrik, bahan bakar gas, bahan bakar nabati Penerapan sistem transportasi perkotaan yang efisien dengan menerapkan pembatasan pengguna kendaraan pribadi serta penggunaan moda transportasi hemat energi dan bersih lingkungan
Beberapa aksi mitigasi yang telah diidentifikasi untuk mendukung pencapaian target NDC adalah sebagai berikut:
Potensi Dukungan NDC : RUEN (Rencana Umum Energi Nasional) Sektor Transportasi • Kebijakan pemanfaatan sumber energi matahari untuk transportasi • Akselerasi pengembangan transportasi massal dan kendaraan pribadi pengguna gas • Akselerasi penggunaan listrik untuk transportasi (2.200 unit kendaraan roda 4 dan 2,1 juta kendaraan roda 2) • Mengembangkan system angkutan umum massal (KA dan bus) -> Share 30 % • Rencana pengembangan jalur Kereta Api Nasional, MRT, Trem Kereta Api Bandara dalam RTRW (13 Kota) • ITS di 24 kota dan ATCS di 50 lokasi • Menerapkan Eco airport di 15 bandara • Membangun sistim Tol laut dengan menyediakan 150 kapal dan membangun green sea-port • Menyusun master plan rencana pembangunan pelabuhan terpadu batubara
Saat ini telah diidentifikasi aksi mitigasi yang dapat berkontribusi langsung pada penurunan emisi GRK sebagaimana tercantum pada tabel dan gambar berikut:
22
Progress
Penanggung jawab
Umum
Kebijakan penurunan emisi GRK pada RUEN 2016 dan bauran energi pada RUPTL 2016
Kementerian ESDM
Efisiensi Konsumsi energi Final/bahan bakar
1. Manajemen energi, audit energi, program hemat energi dan air, LED untuk PJU, EE label 2. Kebijakan dan kegiatan efisiensi transportasi 3. Bangunan ramah lingkungan (Total target penurunan emisi sebesar 96,33 juta Ton CO2e)
Kementerian ESDM, Kementerian Perhubungan, Kementerian PUPR
Penerapan teknologi clean coal technology (CCT) di pembangkit listrik
4. Penerapan teknologi clean power: PLTSa, cogen pada PLTG/PLTU BBM 5. Rencana pembangunan pembangkit ultra-super critical (USC) dan integrated gasification combined cycle (IGCC) (Total target penurunan emisi sebesar 31,80 juta Ton CO2e)
Kementerian ESDM
Aksi Mitigasi
Penggunaan EBT pada pembangkit listrik Penggunaan bahan bakar nabati (BBN) (Mandatory B30) di sektor transportasi
Penambahan jaringan gas Penambahan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) Reklamasi lahan bekas tambang (*)
Penerapan tenaga air, geothermal, bio energy, tenaga surya/solar PV, tenaga angin Pengembangan penggunaan BBN untuk sektor transportasi
Kementerian ESDM
(Total target penurunan emisi sebesar 170,42 juta Ton CO2e)
Kementerian ESDM, Kementerian Perhubungan
Pengembangan jaringan gas untuk perumahan dan transportasi dan pengalihan minyak tanah ke LPG (Total target penurunan emisi sebesar 10,02 juta Ton CO2e)
Kementerian ESDM
Target penurunan emisi GRK 5,46 juta Ton CO2e
(*) akan dicatat dan dilaporkan dalam sektor kehutanan
Activity NDC Energy Sector
23
A.3. SEKTOR LIMBAH Penurunan emisi GRK pada sektor limbah yang terdiri atas sub-sektor limbah cair dan limbah padat didasarkan kepada beberapa kebijakan berikut ini:
KEBIJAKAN PENGELOLAAN SAMPAH MENURUT UU 18/2008 PRODUSEN (PABRIK) PENGURANGAN LIMBAH
PRODUK
• MEMBATASI (REDUCE)
• CAIR • PADAT • GAS
KONSUMEN
SAMPAH
TPA/TPST
• MEMBATASI (REDUCE) • GUNA ULANG (REUSE) • DAUR ULANG (RECYCLE)
PENANGANAN 1. PEMILAHAN 2. PENGUMPULAN 3. PENGANGKUTAN 4. PENGOLAHAN 5. PEMROSESAN AKHIR
Target Kebijakan Nasional Pengelolaan Sampah Penurunan Emisi GRK • Fokus pada kebijakan dan program yang dapat menurunkan emisi GRK - Bank Sampah - Intervensi Fisik : Fasilitasi pembangunan sarana dan prasarana, misal : Pusat Daur Ulang Sampah, Rumah Kompos, Instalisasi penangkapan dan pemanfaatan gas metan TPA - Profram Adipura
24
Strategi Mitigasi Perubahan Iklim Permen PU No. 11/PRT/M/2012 Mendorong penerapan teknologi dan pengelolaan limbah dan sampah yang ramah lingkungan Sub Sasaran 2012-2014
Sub Sasaran 2015-2020
● Pengembangan model revitalisasi tempat pemrosesan akhir sampah melalui landfill mining, reuseable landfill, semi-aerobik landfill dan pengembangan teknologi sampah terpadu berbasis 3R pada kawasan perkotaan
● Fasilitasi pengembangan penerapan mekanisme pembangunan bersih CDM untuk pengelolaan limbah, terutama ntuk pengembangan tempat pembuangan akhir sampah (TPAS) untuk megurangi produksi emisi karbon dan metan
● Pengkajian kinerja TPAS dan penerapan 3R dalam upaya penunjangan konsep (Clean Development Mechanism) CDM
● Fasilitasi dalam peningkatan pengelolaan persembahan di TPAS dari open dumping menjadi controlled landfill dan sanitary landfill
● Penerapan tekhnologi pengolahan air limbah dengan system biodigester
● Penerapan teknologi pengolahan air limbah dengan system
Mendorong penerpan teknologi pengolahan air limbah dengan penangkap gas Sub Sasaran 2012-2014 ● Replika program sanitasi berbasis masyarakat (SANIMAS) dengan teknologi Decentralized Wastewater Treatment System (DEWATS)
Sub Sasaran 2015-2020 ● Replikasi program sanitasi berbasis masyarakat (SANIMAS) dengan teknologi Decentralized Wastewater Treatment System/DEWATS (berkelanjutan)
Mendorong penerpan teknologi pengolahan air limbah dengan penangkap gas Sub Sasaran 2012-2014 ● Penelitian dan penyusunan metode MRV dalam kegiatan terkait perubahan iklim di perkotaan
Sub Sasaran 2015-2020 ● Capacity building dan fasilitasi penerapan MRV kegiatan terkait perubahan iklim diperkotaan kepada pemda
25
Kontribusi Pembangunan Infrastruktur Terhadap Pengurangan Potensi Emisi Gas Rumah Kaca Sub Bidang Persembahan Domestik
Sub Bidang Air Limbah Domestik
Peningkatan Fasilitas Pembuangan Akhir Sampah
Pembangunan fasilitas pengolahan air limbah terpusat/off-site
a) Rehabilitasi/Pengembangan TPA Open Dumping menjadi Sanitary Landfill (dengan pengelolaan gas TPA) b) Oprasional TPA Open Dumping menjadi TPA Controlled Landfill (dengan pengelolaan gas TPA) c) Operasional TPA Anaerobik dan Pengelolaan Gas TPA
a) Pembangunan IPLT dan/atau IPAL skala kota (sistem Aerobik, atau Anaerobik dengan pemanfaatan gas metana)
Pengelolaan Sampah Terpadu Reduce, Reuse and Recycle (3R) Komposting dan Bank Sampah
a) Pembangunan dan Operasional Sanimas yang dikategorikan MCK++ (MCK yang dilengkai dengan pengolahan limbah dan pemanfaatan gas metana (biodigester) b) IPAL Komunal yang dilengkapi dengan pemanfaatan gas metana
a) Pembangunan dan Operasional TPS Terpadu 3R/Komposting b) Pendirian dan Operasional Bank Sampah
Pembangunan fasilitas pengelolaan air limbah setempat/ on-site
Penurunan emisi GRK dari limbah cair industri, dilakukan sebagai co-benefit dari upaya pengendalian pencemaran yang dilakukan oleh perusahaan khususnya melalui Program Penilaian Peringkat Kinerja Pengelolaan Lingkungan atau PROPER, berdasarkan Permen LH No. 3 tahun 2014:
ISU PERUBAHAN IKLIM DI DALAM KRITERIA PROPER Permen LH No. 3 Tahun 2014 tentang Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup: Tata Cara Penilaian Ketaatan dan Penilaian Kinerja Lebih dari Ketaatan No.
Nilai
Dokumen Ringkasan Pengelolaan Lingkungan
150
2
Sistem Manajemen Lingkungan
100
3
Pemanfaatan sumber daya a) Efisiensi energy b) Penurunan emisi dan gas rumah kaca c) 3R sampah d) Keanekaragaman
100
Pengembangan masyarakat a) Tingkat penilaian Hijau b) Tingkat penilaian Emas
100
4
26
KOMPONEN PENILAIAN
1
Kemajuan yang dicapai pada NDC sektor limbah padat tercantum pada tabel berikut: Aksi Mitigasi
Progress
Peningkatan penerapan landfill gas (LFG) Recovery dari 2010 ke 2030 dalam pengelolaan sampah Peningkatan pemanfaatan sampah melalui pengomposan dan 3R kertas
Rencana pengembangan LFG Recovery
Kompos: 100.612 3R kertas: 6.314 (dalam Ton CO2e/tahun)
Penanggung jawab KLHK, PUPR KLHK, PUPR
Peningkatan PLTSa/refused derived fuel (RDF) dibandingkan dengan total timbulan sampah
177.585 (dalam Ton CO2e/tahun)
KLHK
Pengelolaan limbah cair domestik pada 3.732.084 jiwa dan pengelolaan pencemaran air sungai
1. Penurunan beban pencemaran sungai 2. Penerapan teknologi pengolahan air limbah
PUPR
75.663.410 (dalam Ton CO2e/tahun)
Pengelolaan limbah cair industri
KLHK
A.3. SEKTOR PERTANIAN Kebijakan Kementerian Pertanian terkait dengan mitigasi perubahan iklim sektor pertanian pada tahun 2015-2019 yang menjadi dasar pelaksanaan NDC digambarkan sebagai berikut:
ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI KEMENTAN 2015 - 2019
Strategi 1.Melakukan Upaya percepatan pengingkatan produksi melalui pemanfaatan secara optimal sumberdaya pertanian
2. Melaksanakan koordinasi Kebijakan di bidang peningkatan diverifikasi pangan dan pemantapan ketahanan pangan
Arah Kebijakan 3. Membangun dengan pendekatan kawasan, pengarusutamaan gender dan menjalin kerjasama luar negeri
4. Memperkuat factor pendukung kesuksesan pembangunan pertanian
a) Meningkatkan ketersediaan dan pemanfaatan lahan b) Meningkatkan infastruktur dan sarana pertanian c) Mengembangkan dan memperluas logistic benih/bibit d) Mendorong penguatan kelembangan petani e) Memperkuat kelembagaan penyuluhan pertanian f) Mengembangan dan mendorong pembiayaan pertanian g) Mempekuat jaringan pasar produk pertanian h) Melakukan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, penanganan pasca bencana alam serta perlindungan tanaman i) Mengelola dan mendorong pemanfaatan subsidi dan kredit pembiayaan usaha pertanian j) Mendorong upaya perlindungan usaha pertanian melalui asuransi pertanian k) Meningkatkan dukungan inovasi dan teknologi pertanian
27
Aksi mitigasi yang sedang akan terus dilaksanakan adalah sebagai berikut:
Penyesuaian dan pengembangan sistem usaha tani terhadap perubahan iklim (Sistem budidaya PADI hemat air(intermitten), tanam jajar legowo, GP-PTT, GP-PHT dan SRI) Pengembangan dan penerapan teknologi adaptif terhadap cekaman iklim (SL-iklim, varietas rendah emisi, Pengolahan energi terbarukan melalui Model Pertanian Bioindustri, BATAMAS & UPPO, 1000 Desa Organik dan 100 Desa Mandiri Benih) Optimalisasi penggunaan sumberdaya lahan, air dan genetik (Perluasan/ pembukaan lahan tanpa bakar (zero burning), pencegahan kebakaran lahan gambut, pemanenan air hujan dan aliran permukaan melalui pembuatan embung). Penguatan peran semua pemangku kepentingan (stakeholders) melalui rembug petani di tingkat lokal (dalam perencanaan awal tanam serentak yang mengadopsi kalender tanam (KATAM) terpadu dan antisipasi perubahan iklim).
A.4. SEKTOR INDUSTRIAL PROCESSES AND PRODUCT USE (IPPU) Penurunan emisi GRK sektor IPPU secara umum didasarkan kepada UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian Pasal 77-83 sebagaimana digambarkan berikut ini:
• Dasar Hukum :
UU No 3 Tahun 2014 tentanf Perindustrian Pasal 77-83
• Definisi Industri Hijau :
Industri yang dalam proses produksinya mengutamakan upaya efisiensi dan efektifitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan sehingga mampu menyelaraskan pembangunan industrii dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat memberi menfaat bagi masyarkat
• Strategi Industri Hijau: Greening of Existing Industries Mengembangkan Industri yang sudah ada menuju Industri Hijau Creation of New Green Industries Mengembangkan Industri baru dengan prinsip Industri Hijau
28
STANDAR INDUSTRI HIJAU Pemenuhan terhadap standar Industri Hijau sebagai wujud penerapan prinsip industri hijau
Peningkatan daya saing: • Sistem produksi yang efisien • Keberterimaan pasa
Penerapan Reduce Reuse Recycle Revovery
Praktik terbaik
Proses Produksi: • Hemat bahan baku, bahan penolong, energi dan air • Penggunaan energi alternatif • Penggunaan kemasan yang dapat didaur ulang dan ekonomis
• Pencegahan Pencemaran Industri • Penurunan GRK
Teknologi terbaik
Kemajuan pelaksanaan NDC sektor IPPU secara garis besar tercantum pada tabel berikut: Aksi Mitigasi
Progress
Umum
1. Penetapan peraturan terkait penurunan emisi GRK 2. Penetapan standard dan pedoman teknis, petunjuk teknis pelaksanaan penurunan emisi GRK
Pengurangan clinker to cement ratio
Pengurangan clinker di dalam rasio semen secara bertahap, penurunan konsumsi panas, substitusi bahan bakar fosil
Peningkatan efisiensi industri amonia
Pemanfaatan waste heat boiler, recovery condensate, optimalisasi unit reformer, pembangunan CO2 plant
CO2 recovery, improvement process pada smelter, pemanfaatan besi bekas
Pemanfaatan besi bekas, perbaikan proses pada smelter
Sisa klaim IPPU (PFCs) dari CDM smelter aluminium
Perhitungan ulang penurunan emisi GRK pada smelter aluminium
Penanggung jawab Kementerian Perindustrian
Kementerian Perindustrian, dunia usaha
29
Beberapa peraturan dan kebijakan yang telah, sedang dan akan dilaksanakan dalam mendukung pelaksanaan NDC adalah sebagai berikut:
Telah dilakukan • Pedoman Teknis Konservasi Energi dan Pengurangan Eniisi GRK di Industri Pupuk, Keramik, Kimia, tekstik, Agrokimia, Makanan dan Minuman, • Pedoman Perhitungan Karbon di Industri Baja dan Industri Pulp Kertas • Petunjuk Teknis Perhitungan dan Pelaporan Emisi CO2 Industri Semen • Panduan MRV Sektor Industri Semen • Pedoman Standar dan Kriteria Refused Derived Fuel (RDF) • Penetapan 8 Standar Industri Hijau pada industri pengolahan susu bubuk, crumb rubber, pipik, pengasapan karet, semen portland, ubin keramik, pulp dan pulp terintegrasi kertas, dan tekstil • [pilot project] Penurunan intensitas emisi GRK spesifiasi sebesar 12,65 Kg CO2/ton cementitius di subsektor insustri semen pada tahun 2015 • Peningkatan Kapasitas SDM tentang Sistem Optimasi Pengelolaan Energi (ISO 50001) KEPADA 500 ORANG sdm Industri, termasuk 23 orang tenaga ahli nasional
Sedang dilakukan
Akan dilakukan
• Penyusunan Peraturan Menteri Perindustrian tentang: Pedoman Petunjuk Teknis Perhitungan dan Pelaporan Emisi CO2 Industri Semen, Pedoman, MRV Industri Semen dan Standar dan Kriteria RDF untuk Industri Semen • Mengembangkan sistem informasi dan monitoring data aktifitas sumber emisi GRK di sektor industri secara online; • Bmbingan teknis perhitungan emisi GRK untuk Sektor Industri secara online • Pilot Project Energy Management System (EnMS) di Sektor Industri kerjasama dengan Energy Conservation Center Japan di 9 Perusahaan Industri • Penghargaan Industri Hijau • Penyusunan dan Penetapan Standar Industri Hijau • Sertifikasi IndustrI Hijau
• Menyusun Baseline Emisi GRK untuk Sektor IPPU, Energi Industri, dan Limbah di Sub Sektor Semen, Pupuk, dan Pulp Ketas • Menyusun Nationally Appropriate Mitigation Action (NAMAs) untuk Industri Pupuk
B. ADAPTASI Dibandingkan dengan mitigasi, aksi adaptasi masih dalam tahap yang sangat awal. Oleh karena itu pada acara Kick Off NDC tanggal 27 April 2017, direkomendasikan beberapa tindak lanjut sebagai berikut : 1. Menentukan baseline untuk adaptasi, dengan rekomendasi tahun 2010 2. Kebutuhan data, dimana wali data terkait perubahan iklim adalah KLHK yang dapat diakses
30
3. Usulan membentuk kelompok kerja di tingkat nasional 4. Melakukan analisis status risiko berdasarkan parameter yang ada di NDC. B.1. IMPLEMENTASI PERMENLHK NO. 33/2016 Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) yang diterbitkan oleh BAPPENAS (2014) didesain untuk memberikan kontribusi kepada RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) sejak RPJMN 2015-2019 telah menjadi bagian dari program lintas sektor. Sesuai dengan perkembangan baik di tingkat nasional maupun internasional, KLHK menerbitkan Permen LHK No: P.33 Tahun 2016 sebagai pedoman teknis integrasi adaptasi dalam pembangunan yang mencakup Kajian dampak, kerentanan dan risiko iklim di wilayah/sektor strategis. Proses implementasi Permen LHK No. P.33 Tahun 2016 dapat diilustrasikan pada Gambar berikut.
Proses implementasi Permen LHK No. P.33 Tahun 2016
Implementasi Permen No. P.33 Tahun 2016 dilakukan melalui Capacity Building (CB) kepada Pemerintah Daerah (provinsi dan kabupaten/Kota dengan memanfaatkan Sistem SIDIK sebagai informasi dasar tingkat kerentanan desa/Kelurahan. Berikut contoh usulan strategi aksi adaptasi hasil dari CB “Strategi adaptasi salah satu Desa dengan konsep integrasi pembangunan.
31
B.2. SIDIK DAN PENGGUNAANNYA
5,94%
2,92%
10,18% 8,62%
72,34%
1 (sangat rendah) 2 (rendah) 3 (sedang) 4 (tinggi) 5 (sangat tinggi)
Proporsi Tingkat Kerentanan Desa/Kelurahan Nasional di Indonesia
32
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Aceh Bali Banten Bengkulu DI. Yogyakarta DKI Jakarta Gorontalo Jambi Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Kalbar Kalsel Kalteng Kaltim Kaltara Kep. Babel Kep. Riau Lampung Maluku Maluku Utara NTB NTT Papua Papua Barat Riau Sulbar Sulsel Sulteng Sultra Sulut Sumbar Sumsel Sumut
Sistem Informasi Data Indeks Kerentanan (SIDIK) merupakan sistem yang dikembangkan oleh KLHK dalam menyediakan informasi tentang tingkat kerentanan Desa/Kelurahan seluruh Indonesia. Tingkat kerentanan menggambarkan tingkat keterpaparan (exposure), sensitivitas (sensitivity) dan kapasitas adaptasi (adaptive capacity) desa/kelurahan yang dianalisis berdasarkan data fisik, sosial dan ekonomi yang berkontribusi terhadap risiko perubahan iklim seperti banjir, longsor, kekeringan, dsb. SIDIK - dapat diakses secara online dan ditambahkan indikator lokal - diharapkan dapat mempercepat proses aksi adaptasi seluruh Indonesia. Informasi tentang tingkat kerentanan yang disediakan oleh SIDIK secara nasional antara lain seperti pada Gambar berikut.
Distribusi Tingkat Kerentanan Desa per Provinsi di Indonesia
SIDIK telah dimanfaatkan sejak tahun 2012 untuk Capacity Building bagi pemerintah daerah (Provinsi dan Kabupaten) dalam menyusun dan memanfaatkan indikator kerentanan guna menyusun rencana strategi adaptasi dalam pembangunan, adaptasi perubahan iklim dikaitkan dengan resiko kebakaran hutan dan lahan di beberapa kabupaten di Sumatera dan Kalimantan, dengan memanfaatkan Data dan Informasi Kerentanan terkait kebakaran hutan dan lahan FRS (Fire Risk System). SIDIK juga sudah dimanfaatkan dalam pemilihan lokasi proyek APIK –USAID di 3 Provinsi Jawa Timur, Sulawesi Tenggara dan Maluku; Pilot proyek TNC di 10 lokasi (Kabupaten Bandung, Kab. Pangandaran, Kab. Karawang, Kab. Indramayu, Kab. Malang, Danau Singkarak Kab Solok, Taman Nasional Banatimurung-Bulusaraung Sulsel, Taman Nasional Wakatobi Sultra, Kab. Tana Toraja Sumut dan Ekosistem Lebah Madu Sumbawa).
B.3. PROKLIM ProKlim adalah gerakan nasional gabungan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim (joint adaptation and mitigation) di level komunitas. ProKlim juga merupakan salah satu instrumen pengumpulan data dan informasi mengenai good practises di tingkat masyarakat yang berjalan secara berkelanjutan dan memberikan manfaat terhadap upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Data dan informasi yang terkumpul dapat dimanfaatkan oleh pemerintah dan seluruh pihak terkait (termasuk dunia usaha) untuk mengembangkan kebijakan dan program/ kegiatan penguatan aksi lokal adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Tujuan pelaksanaan ProKlim adalah untuk meningkatkan pemahaman mengenai perubahan iklim dan dampaknya serta mendorong partisipasi aktif seluruh pemangku kepentingan untuk melaksanakan kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sehingga dapat meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap dampak perubahan iklim serta berkontribusi terhadap pengurangan emisi Gas Rumah Kaca. Ruang lingkup dan tahapan pelaksanaan ProKlim dapat dijelaskan pada Gambar berikut.
33
Ruang Lingkup dan Tahapan Pelaksanaan ProKlim
Program Kampung Iklim dapat dilaksanakan di pedesaan maupun perkotaan, dengan memperhatikan tipologi wilayah seperti dataran tinggi, dataran rendah, pesisir dan pulau kecil. Program Kampung Iklim mencakup tinjauan terhadap pelaksanaan kegiatan dan aspek sebagaimana ditunjukkan pada Gambar berikut.
Komponen PROKLIM
Komponen Program Kampung Iklim (ProKlim)
34
Landasan hukum pelaksanaan ProKlim adalah Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.84/MENLHK-SETJEN/KUM.1.11/2016 Tentang ProKlim. Pada tahun 2016, ProKlim telah ditetapkan sebagai program strategis gerakan nasional pengendalian perubahan iklim berbasis masyarakat. Pelaksanaan ProKlim diperkuat pelaksanaannya, tidak hanya sebatas pada pemberian penghargaan tetapi juga mencakup kegiatan pendampingan dalam membangun kampung iklim. Sebagai tindak lanjut maka telah ditetapkan Peraturan Dirjen Nomor P.1/PPI/SET/ KUM.1/2/2017 Tentang Pedoman Pelaksanaan ProKlim. Sejak tahun 2012-2017, telah tercatat 1375 pengusulan lokasi ProKlim yang tersebar di 27 provinsi di Indonesia. Verifikasi lapangan terhadap pengusulan ProKlim dilaksanakan pada lokasi yang memenuhi kriteria untuk dilakukan pengecekan lebih lanjut, dengan tujuan untuk melihat keberadaan kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, kelompok masyarakat serta dukungan keberlanjutan kegiatan pada lokasi yang diusulkan.
Perkembangan Pengusulan ProKlim Tahun 2012-2017
35
PENYEBARAN PROKLIM 2012-2017
Keterangan : Jumlah Pendaftaran Lokasi Proklim Setiap Provinsi
Pelaksanaan ProKlim telah mendapat dukungan dari Pemda Provinsi/Kabupaten/Kota melalui penyelenggaraan kegiatan sosialisasi, peningkatan kesadaran dan kapasitas pemangku kepentingan daerah sertam pembinaan teknis. Beberapa daerah telah mengeluarkan peraturan untuk implementasi ProKlim. Selain itu beberapa perusahaan juga memberikan dukungan terhadap pengembangan aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di lokasi-lokasi yang diusulkan untuk mengikuti ProKlim.
C. TRANSPARENCY FRAMEWORK Sebagai bagian pelaksanaan transparency framework di bawah Paris Agreement dalam konteks nasional, telah dibangun Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI), yang diperlengkapi dengan sistem-sistem lainnya yaitu MRV (Measuring, Reporting dan Verifying), dan Sistem Inventarisasi GRK Nasional Sederhana, Mudah, Akurat, Ringkas, Transparan (SIGN-SMART). Sistem yang sudah dibangun tersebut merupakan modalitas bagi pelaksanaan transparency framework. C.1. SISTEM REGISTRI NASIONAL PENGENDALIAN PERUBAHAN IKLIM Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI) merupakan sistem pengelolaan dan penyediaan data dan informasi berbasis web tentang aksi dan sumber daya untuk Adaptasi dan Mitigasi perubahan iklim di Indonesia. Sistem Registri Nasional dikembangkan dengan tujuan sebagai berikut: 1. Pendataan aksi dan sumber daya Adaptasi dan Mitigasi perubahan iklim di Indonesia. 2. Pengakuan pemerintah atas kontribusi berbagai pihak terhadap upaya pengendalian perubahan iklim di Indonesia. 3. Penyediaan data dan informasi kepada publik tentang aksi dan sumber daya Adaptasi dan Mitigasi perubahan iklim serta capaiannya. 4. Menghindari penghitungan ganda (double counting) terhadap aksi dan sumber daya Adaptasi dan Mitigasi perubahan iklim sebagai bagian pelaksanaan prinsip clarity, transparency dan understanding (CTU).
36
SRN PPI akan menjadi wadah pengelolaan data dan informasi aksi dan sumberdaya Adaptasi dan Mitigasi perubahan iklim di Indonesia untuk mengurangi persoalan data yang selama ini terjadi seperti akurasi data yang rendah, redundasi, ketidakmuktahiran dan inkonsistensi data.
Alur Pengelolaan data dan informasi SRN PPI
SRN PPI disiapkan untuk dapat mengakomodir setiap data dan informasi dari berbagai inisiatif kegiatan pengendalian perubahan iklim yang diinisiasi oleh berbagai pihak/ skema baik dari kalangan pemerintah, pelaku usaha, skema REDD+ maupun inisiatif lain. Setiap pelaksana kegiatan (selanjutnya disebut penanggung jawab kegiatan) pengendalian perubahan iklim yang mendaftar di SRN akan melalui empat tahapan secara bertingkat mulai dari pendaftaran, penginputan data, validasi dan verifikasi.
Tahapan pemprosesan data kegiatan pengendalian perubahan iklim dalam SRN PPI
37
Sejak peluncuran SRN PPI pada tanggal 1 Nopember 2016, pertumbuhan pendaftar sampai bulan Juli 2017 sebanyak 310 proponent, dengan rata rata kenaikan per bulan +34 proponent.
Dari jumlah pendaftar sebanyal 310 tersebut, yang telah memasukan data umum untuk memperoleh nomor akun sebanyak 562 aksi. Dari jumlah tersebut yang telah melanjutkan ke pengisian data teknis sebanyak 74 dan yang telah terverifikasi 51 aksi. Adapun status data aksi yang telah terdaftar dalam SRN PPI seperti disajikan berikut ini.
38
C.2. MEASURING-REPORTING-VERIFYING (MRV) Transparency Framework pada dasarnya merupakan bagian penting dari berbagai isu/tema yang dibahas di dalam perundingan internasional. Rangkaian MRV untuk setiap kegiatan M (Measuring), R (Reporting) dan V (Verifying), khususnya domestic MRV adalah mencakup elemen seperti pada Gambar berikut:
Rangkaian Kegiatan MRV
Domestic MRV disesuaikan dengan kondisi nasional/national circumstances dari negara yang terkait. Untuk domestic MRV di Indonesia, telah disusun skema MRV Nasional sebagaimana Gambar berikut:
Skema MRV Nasional
39
C.3. SIGN-SMART Sistem Inventarisasi GRK Nasional - Sederhana, Mudah, Akurat, Ringkas, Transparan (SIGN-SMART) dilaksanakan untuk meningkatkan efektifitas dalam pengelolaan data dan estimasi emisi GRK dengan sistem basis data yang terintegrasi. SIGN-SMART didesain untuk memenuhi prinsip Transparency, Accuracy, Completeness, Comparability, dan Consistency (TACCC), dengan basis elektronik-online dan informasi teknologi (IT). SIGN-SMART dapat diakses secara luas baik nasional maupun internasional melalui website http://signsmart.menlhk.go.id/ . SIGN-SMART menghasilkan informasi mengenai tingkat, status dan kecenderungan emisi dan serapan GRK di tingkat nasional, sektor (energi, proses industri dan penggunaan produk, pertanian, kehutanan dan perubahan penggunaan lahan, serta limbah), provinsi dan kabupaten kota. Output SIGN-SMART berupa informasi emisi dan serapan GRK tahunan yang disajikan dalam bentuk grafik, tabel ringkasan emisi dan serapan GRK (common reporing format/SRF), Worksheet Hasil Perhitungan, Key Category Analysis, Uncertainty Analysis, Status Input, Input Log, dan Rekap Input seperti pada Gambar (a) – (d) berikut.
40
SIGN-SMART juga telah menyajikan Emission Factor Database (EFDB) dengan sistem Aplikasi Online melalui website http://signsmart.menlhk.go.id/ signsmart_new/ efdb/. Input data EFDB pada SIGN-SMART sampai saat ini sebanyak 140 data untuk sektor lahan dan non lahan.
C.4. EXISTING NATIONAL SYSTEM Data yang tercatat dalam SRN harus mengacu pada metodologi penghitungan yang disepakati dan dapat diterima secara internasional. Hal ini penting, karena pada gilirannya capaian komitmen Indonesia akan diakumulasikan dengan capaian dari Para Pihak lainnya untuk mendapatkan gambaran pencapaian global sebagai bagian dari proses global stocktaking. Untuk mendukung pelaksanaan NDC, sejauh ini sudah banyak sistem yang dibangun di tingkat nasional yang dapat diintegrasikan dengan tujuan saling menguatkan dan membangun sinergi menuju sistem yang credible. Pengintegrasian sistem merupakan salah satu konsep kunci yang sangat penting untuk memperkuat SRN PPI. Dengan langkah integrasi existing national system, SRN PPI dijadikan sebagai sistem terpusat yang menjadi pintu utama clearing mechanism semua data terkait aksi dan sumberdaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Pemikiran Awal Integrasi Existing Nasional System
41
SRN PPI sebagai system terpusat
Dengan operasionalisasi SRN secara penuh serta terbangunnya link/sinergi diharapkan akan menghasilkan sistem yang kredibel, sebagai sistem terpusat sebagai penghubung pelaksanaan ICA (International Consultation and Analysis), Pelaporan National Communication dan Biennial Update Report (BUR), MRV activities dan Connection to Public Registry UNFCCC.
D. MEANS OF IMPLEMENTATIONS (MOI) Unsur-unsur utama Means of Implementation – pendanaan, pengembangan dan alih teknologi, serta peningkatan kapasitas –menjadi bagian integral dari Paris Agreement. Paris Agreement menggariskan komitmen yang jelas untuk meningkatkan pendanaan, alih teknologi dan upaya peningkatan kapasitas untuk memenuhi kebutuhan pelaksanaan aksi mitigasi dan adaptasi. Ketiga unsur tersebut juga dibutuhkan untuk menciptakan keadaan yang kondusif (enabling environment) bagi terciptanya pembangunan dan masyarakat rendah karbon.
42
D.1. TECHNOLOGY TRANSFER AND DEVELOPMENT TEKNOLOGI RENDAH KARBON
Penerapan alih teknologi Tidak hanya membutuhkan perangkat keras
CARA DAN METODE MENUJU RENDAH KARBON/ BEBAS KARBON
Beberapa kebutuhan teknologi yang diklasifikasi berdasarkan sektor, a.l: (i) AFOLU: teknologi restorasi gambut, pengendalian kebakaran hutan, citra satelit dan pemetaan, pertanian varietas rendah emisi, dan biogas. (ii) Energi: teknologi pembangkit berupa Clean Coal Technology (CCT), energi Baru Terbarukan (EBT), penggunaan energi di transportasi dan industry. (iii) Limbah: 3R, LFG recovery, PLTSa/RDF, pengolahan limbah cair domestik dan industri (iv) IPPU: teknologi bagi aksi mitigasi di industri (semen, ammonia, dsb).
Pengetahuan
Pengangkutan
Contoh penerapan teknologi rendah karbon
Setelah tahun 2020, Indonesia memiliki visi menjadi negara kepulauan yang tangguh sebagai hasil dari program adaptasi dan mitigasi yang komprehensif, serta penerapan strategi pengurangan risiko bencana. Indonesia menetapkan target yang ambisius untuk keberlanjutan produksi dan konsumsi pangan, air dan energi. Seluruh target tersebut serta target pengurangan emisi gas rumah kaca pada sektor-sektor utama sebagaimana ditetapkan dalam NDC Indonesia hanya dapat dicapai melalui penerapan teknologi dan gaya hidup rendah karbon serta dukungan pendanaan yang memadai. Strategi penerapan alih teknologi sangat penting untuk dapat mencapai pembangunan rendah karbon. Bagan berikut adalah gambaran umum strategi pelaksanaan alih teknologi.
43
Pelaksanaan Alih Teknologi
Penerapan Kebijakan dan Peraturan
Pelaksanaan Alih Teknologi
- Alih teknologi membutuhkan kebijakan dan peraturan yang mendukung pelaksanaan di tingkat lokal dan nasional
Dukungan Teknologi
- Memetakan kondisi eksisting - Alih pengetahuan (teknologi, desain, instalasi, operasional dan pemantauan) - Inovasi (R&D) Laboratorium (testing, standarisasi dan sertifikasi)
Demonstration Project
- Pembelajaran untuk pelaksanaan alih teknologi; peningkatan kapasitas untuk pakar lokal.
Mekanisme Pendanaan - Mengembangkan skema pendanaan - Melibatkan lembaga pendanaan - Menciptaan akses terhadap sumber pendanaan domestik dan internasional
Dukungan Kelembagaan
- Lembaga standarisasi dan sertifikasi - Kolaborasi dan koordinasi antar stakeholder di tingkat nasional dan internasional
Strategi Penerapan Alih Teknologi Rendah Karbon
Sebagai pelaksanaan dari paragraf 4.5 dan 4.7 Konvensi, negara berkembang diminta untuk mengidentifikasi kebutuhan teknologi untuk aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, dalam bentuk Technology Needs Assessment/TNA), sebagai dasar penerapan alih teknologi dari negara maju ke negara berkembang. Pada tahun 2010, Indonesia mengeluarkan dokumen TNA untuk mitigasi. Tujuan dari TNA tahun 2010 adalah sebagai berikut: - - - -
Identifikasi potensi emisi gas rumah kaca pada saat itu untuk berbagai sektor Identifikasi teknologi untuk mitigasi emisi gas rumah kaca dari berbagai sektor Prioritisasi teknologi yang dibutuhkan oleh Indonesia untuk berbagai sektor Penghitungan potensi pengurangan emisi gas rumah kaca melalui penerapan teknologi yang dipilih - Perkiraan biaya investasi masing-masing teknologi yang diterapkan dan alih teknologi di setiap sektor - Identifikasi hambatan dan tantangan
44
Pada tahun 2012, Indonesia memperbarui TNA 2010 untuk mitigasi, menyusun dokumen TNA untuk adaptasi dan Technology Action Plans/TAPs, serta usulan proyek. Dokumen ini juga merangkum dan memperbarui pandangan nasional yang dinamis berkaitan dengan isu alih teknologi. Tujuan dari dokumen Technology Needs Assessment (TNA) dan Technology Action Plans (TAPs) mitigasi adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisa kebutuhan teknologi prioritas, yang akan menjadi dasar bagi alih teknologi berupa proyek dan program environmentally sound technology (EST) untuk Indonesia. Pada tahun 2017, Indonesia dalam proses memperbarui dokumen TNA, yang akan digabungkan dengan kebutuhan peningkatan kapasitas, sehingga merupakan dokumen Capacity Building and Technology Needs Assessment (CBTNA).
D.2. CAPACITY BUILDING Kegiatan peningkatan kapasitas telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, dengan jenis kegiatan, tema, kedalaman materi, aktor dan audiens yang beragam. Peningkatan kapasitas telah berkembang lebih dari sekedar pelatihan satu arah yang diinisiasi oleh pemerintah, menjadi berbagai macam kegiatan kreatif yang dikelola oleh berbagai pemangku kepentingan. Hal ini sejalan dengan hasil Kesepakatan Paris yang mengarahkan enam jenis kegiatan peningkatan kapasitas, yaitu pendidikan, pelatihan, kesadaran masyarakat, akses informasi, partisipasi publik dan kerjasama internasional.
D.3. PENDANAAN Untuk mendukung pencapaian target NDC dalam penurunan emisi GRK dan peningkatan ketangguhan terhadap perubahan iklim sampai tahun 2030, mobilisasi sumberdaya pendanaan yang sesuai kebutuhan sangat diperlukan. Sumberdaya pendanaan perubahan iklim dapat berasal dari pendanaan dalam negeri (publik dan swasta) dan pendanaan luar negeri (publik dan swasta melalui kerjasama bilateral ataupun multilateral). Mobilisasi pendanaan perubahan iklim secara transparan dapat dilakukan secara langsung oleh pemerintah atau melalui kemitraan/kerjasama, baik bilateral maupun multilateral. Bagan berikut menjelaskan secara umum mobilisasi pendanaan perubahan iklim untuk mencapai target NDC.
45
kebutuhan sangat diperlukan. Sumberdaya pendanaan perubahan iklim dapat berasal dari pendanaan dalam negeri (publik dan swasta) dan pendanaan luar negeri (publik dan swasta melalui kerjasama bilateral ataupun multilateral). Mobilisasi pendanaan perubahan iklim secara transparan dapat dilakukan secara langsung oleh pemerintah atau melalui kemitraan/kerjasama, baik bilateral maupun multilateral. Bagan berikut menjelaskan secara umum mobilisasi pendanaan perubahan iklim untuk mencapai target NDC.
TRANSPARANSI
(SISTEM REGISTRY NASIONAL)
Mobilisasi Pendanaan Perubahan Iklim
Mobilisasi Pendanaan Perubahan Iklim
Saat ini kerjasama yang ada dalam kerangka pengendalian perubahan iklim meliputi kerjasama bilateral dengan beberapa pihak/Negara dan kerjasama multilateral melalui operating entity pendanaan multilateral dibawah kerangka UNFCCC. Bagan (a) dan (b) berikut adalah kerjasama yang sudah/sedang Saat berjalan ini kerjasama ada dalam kerangka pengendalian di Indonesia yang yang telah teridentifikasi oleh KLHK sebagai NFP-UNFCCC.perubahan iklim meliputi
kerjasama bilateral dengan beberapa pihak/Negara dan kerjasama multilateral melalui operating entity pendanaan multilateral dibawah kerangka UNFCCC. Bagan (a) dan (b) berikut adalah kerjasama yang sudah/sedang berjalan di Indonesia yang telah teridentifikasi oleh KLHK sebagai NFP-UNFCCC.
Pemerintah Indonesia-Kerajaan Norwegia Sejak 2011 (masih berlanjut) Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi dan Degradasi Hutan
Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia 2013 2017 Enhancing Smallholder Benefits from Reduced Emission from Deforestation and Forest Degradation in Indonesia
Pemerintah IndonesiaPemerintah Korea Selatan 2012-2016 REDD+ Joint Project at Tasik Besar Serkap
Pemerintah IndonesiaPemerintah Jerman 2013-2016 Biodiversity and Climate Change Project (BIOCLIME)
Pemerintah IndonesiaPemerintah Jerman 2016-2020 Forest and Climate Change Progaramme Financial Coorporation (FORCLIME-FC)
Project of Introduction High Efficiency Refrigerator to a Food Industry Cold Storage in Indonesia-Pemerintah &Swasta Jepang 2015
Pemanfaatan Gas Metan di TPA Puuwatu - Kemintraan Pemerintah Pusat & Daerah 2016
Rehabilitasi boiler dan turbingenerator di unit 2 PLTU Suralaya - Swasta 2011 - 2014
Indonesia - USAID Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketangguhan (APIK) 2015 - 2019
(a). Beberapa Kerjasama Bilateral/Kemitraan dalam Pengendalian Perubahan Iklim
46
Indonesia - ITTO Tropical Forest Conservation for Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation and Enhancing Carbon Stock in Meru Betiri National Park 2009 - 2014
Indonesia - Worldbank Forest Carbon Facility (FCPF) Readlines Fund Grant : REDD+ Readliness Preparation 2011 - 2016
Indonesia - UNDP Strategic Planning and Action to strengthen limate resilience of Rural Communities in NTT 2013 - 2016
Indonesia - ADB Institutional Strengthening for Integrated Water Resource Management in the 6 Cis River Basin Territory 2010 - 2014
Global Environment Facilty’s (GEF) 2016
Indonesia - European Union Support to Indonesia’s Climate Change Respon (SICCR) 2016 - 2018
(b) Beberapa Kerjasama Multilateral/Kemitraan dalam Pengendalian Perubahan Iklim
Kelembagaan pendanaan perubahan iklim merupakan salah satu instrument untuk memobilisasi pendanaan perubahan iklim. Saat ini sedang disusun kelembagaan pendanaan lingkungan hidup dalam bentuk Badan Layanan Umum (BLU) dengan salah satu jendela pendanaan perubahan iklim yang merupakan bagian dari pendanaan LH (mandat UU No. 32 Tahun 2009). Mekanisme pembiayaan yang telah disusun dibawah jendela Pendanaan Perubahan Iklim adalah mekanisme pembiayaan REDD+. Bagan berikut menggambarkan secara umum BLU dengan beberapa jendela di bawahnya, dimana salah satunya adalah jendela pendanaan perubahan iklim.
Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup dengan salah satu jendela Pendanaan Perubahan Iklim
47
Instrumen Pendanaan REDD+ Pendanaan REDD+ merupakan bagian dari pendanaan perubahan iklim yang berada di bawah Pendanaan Lingkungan Hidup, yang berdasarkan UU No. 32/2009, pendanaan lingkungan hidup merupakan salah satu dari Instrument Ekonomi. Mengingat kesiapan infrastruktur REDD+ Indonesia yang telah dibangun cukup lama, maka dalam rangka percepatan implementasi REDD+ secara penuh dengan ‘pembayaran berbasis kinerja’, secara parallel dengan pembangunan instrument pendanaan perubahan iklim, saat ini tengah dibangun instrumen pendanaan untuk REDD+, yang diharapkan siap dijalankan begitu Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) operasional.
D.4. DUKUNGAN ILMIAH/THINK TANK Masyarakat ilmiah merupakan komponen yang penting dalam pelaksanaan aksi mitigasi dan adaptasi baik di tingkat subnasional, nasional, dan global. Peranan kelompok ini dapat masuk dalam hampir semua elemen proses kegiatan aksi, mulai dari memberikan input ilmiah, pendampingan ilmiah para stakeholder, identifikansi gaps dan needs assessment, menyusun rencana aksi, melaksanakan peningkatan kapasitas, sampai dengan melakukan evaluasi kegiatan aksi adaptasi dan mitigasi. Masyarakat ilmiah terdiri dari para ahli terkait perubahan iklim yang berada di perguruan tinggi, asosiasi ahli, praktisi, lembaga penelitian, maupun di lembaga pemerintah. Sampai saat ini belum banyak perguruan tinggi di Indonesia yang mempunyai jurusan khusus perubahan iklim, namun substansi tentang iklim dan perubahan iklim sudah menjadi bagian dari mata kuliah di banyak perguruan tinggi dengan cakupan bidang ilmu yang cukup luas. Universitas Indonesia (UI) mempunyai Pusat Studi Ilmu Lingkungan (PSIL) yang juga mencakup perubahan iklim. Institut Teknologi Bandung (ITB) memiliki Pusat Perubahan Iklim yang mempelajari fenomena iklim dan perubahan iklim termasuk dalam pemanfaatan energi yang merupakan sektor penyumbang emisi tertinggi di Indonesia. Centre for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia Pasific (CCROM - SEAP), yang berada di Institut Pertanian Bogor (IPB) merupaka lembaga penelitian yang berfokus pada peningkatan kemampuan masyarakat untuk lebih memahami perubahan iklim dan dampaknya termasuk untuk manajemen resiko guna meningkatkan kesejahteraan manusia dan lingkungan. Lembaga ini aktif mendukung pemerintah dalam melaksanakan tugas-tugasnya dalam menyusun kebijakan pengendalian perubahan iklim di Indonesia. Ahli perubahan iklim Indonesia juga cukup aktif di lingkup global, salahsatunya adalah keterlibatannya dalam kegiatan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). IPCC merupakan lembaga internasional yang dibentuk untuk dapat memberikan masukan ilmiah dalam kebijakan perubahan iklim global. Saat ini terdapat 32 (tiga puluh dua) ahli terkait perubahan iklim Indonesia dari berbagai bidang ilmu yang terlibat dalam penyiapan Laporan IPCC ke VI.
48
Di Indonesia juga telah terbentuk Asosiasi Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan (APIK) Indonesia Network. APIK Indonesia Network yang dibentuk pada 2013, beranggotakan perwakilan berbagai perguruan tinggi, lembaga penelitian dan lembaga diklat se-Indonesia merupakan salahsatu aset yang sangat penting dalam mendukung peningkatan peran ahli dalam aksi perubahan iklim nasional. Gambar berikut menunjukkan sebaran lembaga asal anggotaan APIK Indonesia Network.
Sebaran Lembaga Asal Anggota Asosiasi Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan (APIK) Indonesia Network.
49
50
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PERUBAHAN IKLIM GEDUNG MANGGALA WANABAKTI BLOK VII LT. 12 JL. JEND. GATOT SUBROTO - JAKARTA PUSAT 10270 TELP. 021 - 5730144, FAX. 021 - 5720194 WWW.DITJENPPI.MENLHK.GO.ID Email:
[email protected] [email protected]