FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KELELAHAN KERJA PADA KARYAWAN DI INSTALASI GIZI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH (RSUD) PASAR REBO JAKARTA TAHUN 2011
SKRIPSI
Oleh :
Sulistya Virgy NIM: 106101003358
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2011
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KELELAHAN KERJA PADA KARYAWAN DI INSTALASI GIZI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH (RSUD) PASAR REBO JAKARTA TAHUN 2011
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Oleh :
Sulistya Virgy 106101003358
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2011
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1.
Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Maret 2011
Sulistya Virgy R.L
i
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT Skripsi, Maret 2011 SULISTYA VIRGY, NIM : 106101003358 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kelelahan Kerja pada Karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011 (xxiv + 177 halaman, 43 tabel, 27 gambar, 3 bagan, 3 lampiran)
ABSTRAK Kelelahan kerja biasanya menunjukkan kondisi yang berbeda-beda dari setiap individu, tetapi semuanya bermuara kepada kehilangan efisiensi dan penurunan kapasitas kerja serta ketahanan tubuh. Karyawan di Instalasi gizi Rumah Sakit merupakan salah satu pekerja yang berisiko mengalami kelelahan, karena pekerjaan di Instalasi gizi umumnya merupakan pekerjaan yang dinamis, beban kerja yang berat dimana persediaan makanan harus ada bagi pasien dan pegawai, pekerjaan berulang pada satu jenis otot, pada bagian pengolahan makanan (memasak) berinteraksi dengan benda tajam seperti pisau dan gunting, terjadi paparan panas pada proses pengolahan (memasak), panas dari peralatan dalam mengolah makanan. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada 10 karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo diketahui sebanyak 7 responden merasakan kelelahan kerja kategori sedang. Penelitian ini merupakan studi analitik observasional dengan pendekatan Cross Sectional dengan tujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kelelahan kerja pada karyawan di instalasi gizi. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 32 karyawan yang diambil dari total seluruh karyawan yang ada di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo. Kelelahan ini diukur dengan Reaction Timer Test dan wawancara menggunakan kuesioner IFRC yang dilakukan pada saat sebelum dan setelah bekerja, dan observasi aktifitas kerja karyawan. Data dianalisis secara univariat untuk mengetahui gambaran masing-masing variabel dan analisis secara bivariat dengan menggunakan uji kruskall wallis untuk mengetahui hubungan antara umur dengan kelelahan kerja dan chi square untuk mengetahui hubungan variabel jenis kelamin, masa kerja, status gizi, shift kerja, beban kerja, dan risiko ergonomi pekerjaan terhadap kelelahan kerja. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo tahun 2011 termasuk dalam kategori kelelahan kerja berat lebih banyak yaitu sebanyak 17 orang (53,1%). Kelelahan Kerja yang dialami oleh karyawan pada saat setelah bekerja sebagian besar disertai gejala menguap (97%), lelah pada seluruh badan (94%), mengantuk
ii
(91%). Variabel yang menunjukkan adanya hubungan dengan kelelahan kerja yaitu jenis kelamin (Pvalue 0,036) dan beban kerja (Pvalue 0,035). Untuk mereduksi kelelahan kerja pada karyawan Instalasi Gizi disarankan agar Rumah Sakit memberikan materi pelatihan dan penyuluhan pada karyawan tentang kelelahan kerja dan dampak kelelahan kerja serta pencegahannya, menyesuaikan kemampuan fisik dan kapasitas kerja yang dapat diterima masing-masing karyawan dalam melakukan aktifitas kerja agar hasil kerja yang dicapai dapat maksimal. Kata Kunci : Kelelahan Kerja, Instalasi Gizi
Daftar bacaan : 52 (1988 - 2010)
iii
JAKARTA STATE ISLAMIC UNIVERSITY FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM OF PUBLIC HEALTH Undergraduated Thesis, March 2011
SULISTYA VIRGY, NIM : 106101003358 Factors Associated With Work Fatigue In Employees Working At The Installation Of Nutrition RSUD Pasar Rebo Jakarta In 2011 (xxiv + 177 pages, 43 tables, 27 pictures, 3 diagram, 3 attachments)
ABSTRACT Fatigue is usually show differents condition by individu, but all disembogue to lost eficiency, reduction in work capacity and endurance. Employees at the Installation of nutrition is one of the workers who are at risk of fatigue, because the work on nutrition Installation is generally a dynamic work, heavy workload where food supplies should be available to patients and employees, repetitive work on one type of muscle, on the part of food processing (cooking) interacting with sharp objects like knives and scissors, heat exposure occurred in the processing (cooking), the heat from the equipment in food processing. Installation of Nutrition is part of medical support in Pasar Rebo Hospital which is divided into 5 parts warehouse, production, Inpatient Clinical Nutrition, Nutrition Outpatient Clinic, and R & D (Research and Development) Nutrition. Based on preliminary studies conducted on 10 employees at Pasar Rebo Hospital Installations Nutrition is known as much as 7 respondents felt the fatigue of work middle categories. This study is an observational analytic study with Cross Sectional approach with the aim to determine the factors associated with work fatigue in employees working at the installation of nutrition. The sample in this study as many as 32 employees are taken of the total employees in Installation of Nutrition RSUD Pasar Rebo. This research data obtained from the measurement results of Reaction Timer Test and interviews using questionnaires IFRC conducted at the time before and after work, besides that the data obtained from measurements of weight, height, and observations of employee activities. Data were analyzed by univariate to look the description of each variable and bivariate analysis using kruskall wallis test to look at the relationship between the age variable with work fatigue and chi square to look the relationship variables of sex, period of employment, nutritional status, shift work, workload , and ergonomic risk job of work fatigue. The result show that most employees in the Installation of Nutrition RSUD Pasar Rebo in 2011 included in the category of more severe fatigue work as many as 17 people (53.1%).
iv
Work fatigue experienced by employees at the time after work mostly accompanied by symptoms of yawning (97%), fatigue on the whole body (94%), drowsiness (91%). Variables that showed an association with the work fatigues are sex (Pvalue 0.036) and workload (Pvalue 0.035). Suggestions put forward by researchers is recommended that the Hospital provides training materials and counseling to employees on work fatigue and their effects and prevention, adjusting the physical ability and work capacity that can be accepted by each employee in performing work activities so that results can be achieved maximal work. Key words: Work Fatigue, Installation of Nutrition
Reference : 52 (1988 - 2010)
v
PERNYATAAN PERSETUJUAN Skripsi Dengan Judul
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KELELAHAN KERJA PADA KARYAWAN DI INSTALASI GIZI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH (RSUD) PASAR REBO JAKARTA TAHUN 2011
Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, Maret 2011
Mengetahui,
Dr. Arif Sumantri, SKM, M.Kes
Iting Shofwati, ST, MKKK
Pembimbing Skripsi I
Pembimbing Skripsi II
vi
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Jakarta, Maret 2011
Penguji I
(Dr. Arif Sumantri, SKM, M.Kes)
Penguji II
(Iting Shofwati, ST, MKKK)
Penguji III
(Ir. Rulyenzi Rasyid, MKKK)
vii
Lembar Persembahan “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap” (Al Insyirah 6-8) “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna” (An Najm 39-41) ”Kembalilah kepada keduanya (orang tuamu). Buatlah keduanya tertawa sebagaimana kamu telah membuat keduanya menangis” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Syekh Al-Albani)
Dengan cinta dan kasih sayang karena ALLAH Kupersembahkan karya ini untuk Mama dan Papa Tercinta, Sofiyah dan Romli P “The Greatest oF My Spirit”, My bBYaN “loVeLY”, dan adik-AdikKu teRsayang “RyandiKa” n ”taNty”, serta semua yang ku sayang dan sayang aku yang telah melimpahkan kasih sayang dan Do’a kalian ....
viii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP (Curriculum Vitae)
Data Pribadi Nama Alamat / Address
: :
Kode Post / Postal Code Nomor Telepon / Phone Email Jenis Kelamin / Gender Tanggal Kelahiran Warga Negara / Nationality Agama / Religion
: : : : : : :
Sulistya Virgy R.L Jln. H. Rean No. 51 RT 007/05 Desa Benda Baru Kec. Pamulang, Tangerang Selatan 15416 0857 8250 7513
[email protected] Perempuan 01 September 1988 Indonesia Islam
Riwayat Pendidikan dan Pelatihan Educational and Professional Qualification Jenjang Pendidikan Education Information 1994 – 2000 2000 – 2003 2003 – 2006 2006 – sekarang
:
: SDN 03 Serua Ciputat : SMPN 02 Pamulang : SMAN 01 Pondok Aren : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Program Studi Kesehatan Masyarakat
Pendidikan Non Formal / Training – Seminar 1. 2. 3. 4. 5.
Kursus English New Concept Seminar Pengembangan Profesi K3 “Ergonomi pada Penggunaan Laptop“ Seminar Pengembangan Profesi K3 “Kontroversi PLTN” Seminar Pengembangan Profesi Gizi “Gizi Pra Nikah” Training/ Pelatihan ISO 14001 : 2004 dan OHSAS 18001 : 2007
Riwayat Organisasi Tahun 2000-2003 : Anggota Madya PMR di SMPN 02 Pamulang Tahun 2003-2006 : Ketua PMR di SMAN 01 Pondok Aren Tahun 2008-2009 : Anggota Paduan Suara Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
ix
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahiim, Alhamdulillahi Rabbil „alamin, segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan dan karunia-Nya sehingga Skripsi ini dapat terselesaikan sebagai slah satu syarat dalam menyelesaikan jenjang pendidikan Strata-1 pada program studi Kesehatan Masyarakat peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Program Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Shalawat serta salam semoga senantiasa Nabi Muhammad SAW, keluarga, dan para sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Atas kekuasaan dan izin Allah SWT, Laporan Penelitian dengan judul “”, telah selesai ditulis. Dalam penulisan laporan ini tidak luput dari kekurangan dan kelemahan. Namun dengan bantuan berbagai pihak, laporan ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, tiada ungkapan yang lebih pantas diucapkan kecuali puji syukur dan rasa terimakasih yang tak terhingga dengan ketulusan dan kerendahan hati yang dihaturkan kepada : 1.
Mama papaku tercinta yg selalu memberikan dukungan baik moril, materil hingga spiritual sehingga anakmu ini bisa mandiri dalam mengahadapi masalah dan menyelesaikan laporan magang ini. Teruntuk do‟a kalian yang tidak pernah putusputusnya kalian berikan untuk anakmu ini. Luv u, so much mom n dad.. Adik-adik ku Ryandika Hadi Saputra dan Tanti Riandiany Putri. Semoga kalian bisa lebih baik dari kakak. Jangan ngecewain mama sama papa ya sayang…
2.
Bpk Prof. DR. dr. Hc. M.K. Tadjudin Spd. Md. Selaku Dekan Fakultas Kedeokteran dan Ilmu Kesehatan
x
3.
Bpk Yuli Satar, Mars. Selaku Kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat
4.
Ibu Iting Sofwati, SKM, MK3 selaku Penanggung Jawab Peminatan Kesehatan dan Keselamatan Kerja
5.
Bpk. Dr. H. Arif Sumantri SKM, M.Kes selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang senantiasa memberikan waktu dan bimbingannya kepada penulis selama penyusunan laporan Skripsi
6.
Teman-teman KESMAS „06 K3 dan Gizi: Iyum, Nda, Nur, Lenie, Hikmah, Iik dan semua yang tidak bisa di sebutkan satu persatu.
7.
Untuk sahabat-sahabatku Pipit, Anti, Inna, Yuli, Putry, Dian, Eka, Trie, Dewi, Ayu, Bunny thanks atas spirit yang kalian kasih sma qu dan udah ngasih persahabatan begitu luar biasanya, juga untuk Bbyan, makasih atas spirit yang kaw berikan. kalian begitu berarti bwt q. makasih yaa… Smoga Allah swt membalas semua kebaikan kalian sahabatsahabatku… Dengan segala rasa kerendahan hati, penyusun menyadari bahwa kesempurnaan tidak
akan mutlak di dapat pada setiap hal apapun di dunia ini. Demikian juga dengan hasil laporan ini yang masih jauh dari sempurna. Namun, penulis mengharapkan semoga karya ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan serta keselamatan dan kesehatan kerja khususnya. Untuk itu, mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan maupun dalam penyampaian. Penyusun Sulistya Virgy
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................................
i
ABSTRAK .................................................................................................................
ii
ABSTRACT ...............................................................................................................
iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN ...........................................................................
vi
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI .....................................................................
vii
LEMBAR PERSEMBAHAN ...................................................................................
viii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP .................................................................................
ix
KATA PENGANTAR ...............................................................................................
x
DAFTAR ISI ..............................................................................................................
xii
DAFTAR TABEL .....................................................................................................
xviii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................
xxi
DAFTAR BAGAN .....................................................................................................
xxiii
LAMPIRAN ...............................................................................................................
xxiv
PENDAHULUAN .....................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ...........................................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................
6
1.3 Pertanyaan Penelitian .................................................................................
8
1.4 Tujuan Penelitian .......................................................................................
9
1.4.1 Tujuan Umum ..................................................................................
9
BAB I
xii
1.4.2 Tujuan Khusus .................................................................................
9
1.5 Manfaat Penelitian .....................................................................................
10
1.5.1 Bagi Institusi Tempat Penelitian (RSUD Pasar Rebo) .....................
10
1.5.2 Bagi karyawan Instalasi Gizi ..........................................................
10
1.5.3 Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat FKIK UIN ...................
11
1.5.4 Bagi Peneliti .....................................................................................
11
1.6 Ruang Lingkup Penelitian .........................................................................
11
TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................
13
2.1 Kelelahan Kerja .........................................................................................
13
2.1.1 Definisi Kelelahan Kerja .................................................................
13
2.1.2 Dampak Kelelahan Kerja .................................................................
15
2.1.3 Metode Pengukuran Kelelahan Kerja ..............................................
16
2.2 Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kelelahan Kerja ........................
23
2.2.1 Umur ................................................................................................
23
2.2.2 Jenis Kelamin ...................................................................................
25
2.2.3 Masa Kerja .......................................................................................
27
2.2.4 Status Gizi ........................................................................................
29
2.2.5 Status Kesehatan ..............................................................................
32
2.2.6 Jam Kerja .........................................................................................
35
2.2.7 Kerja Shift .........................................................................................
36
1) Definisi kerja shift ......................................................................
36
2) Alasan diterapkannya Kerja Shift ...............................................
37
BAB II
xiii
3) Sistem Kerja Shift .......................................................................
38
4) Strategi dalam Penyusunan Shift Kerja ......................................
47
2.2.8 Keadaan yang Monoton ...................................................................
56
2.2.9 Beban Kerja .....................................................................................
57
2.2.10 Risiko Ergonomi Pekerjaan ...........................................................
61
1) Metode Pengukuran RULA ..............................................................
61
2) Metode Pengukuran REBA .............................................................
72
2.2.11 Faktor Lingkungan Kerja ..............................................................
84
1) Suhu ..................................................................................................
84
2) Kebisingan ........................................................................................
85
3) Penerangan/Pencahayaan .................................................................
86
4) Getaran .............................................................................................
86
2.3 Upaya penanggulangan Kelelahan Kerja ..................................................
87
2.4 Pelayanan Gizi Rumah Sakit (PGRS) .......................................................
90
2.4.1 Pengertian PGRS .............................................................................
90
2.4.2 Ketenagaan .......................................................................................
91
2.4.3 Kegiatan Penyelenggaraan Makanan ...............................................
91
2.4.4 Kegiatan Pengadaan dan Penyiapan Makanan .................................
91
2.4.5 Pengolahan dan Distribusi Makanan ................................................
92
2.5 Kerangka Teori ..........................................................................................
93
xiv
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS ............................................................................................
95
3.1 Kerangka Konsep .....................................................................................
95
3.2 Definisi Operasional ..................................................................................
97
3.2.1 Variabel Dependen ...........................................................................
97
3.2.2 Variabel Independen ........................................................................
98
3.3 Hipotesis ....................................................................................................
102
METODOLOGI PENELITIAN ..........................................................
103
4.1 Desain Penelitian ......................................................................................
103
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................................
103
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ................................................................
103
4.4 Pengumpulan Data ....................................................................................
105
4.5 Instrumen Penelitian .................................................................................
107
4.6 Pengolahan Data ........................................................................................
111
4.7 Analisis Data ............................................................................................
113
BAB IV
BAB V 5.1
HASIL PENELITIAN ...........................................................................
115
Gambaran Umum RSUD Pasar Rebo .................................................
115
5.1.1 Sejarah Berdirinya RSUD Pasar Rebo .........................................
115
5.1.2 Visi dan Misi Rumah Sakit .....................................................
116
5.1.3 Motto RSUD Pasar Rebo ........................................................
116
5.1.4 Kebijakan Mutu .....................................................................
116
xv
5.1.5 Gambaran Umum Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo ...................
116
a. Visi dan Misi Instalasi Gizi ................................................
116
b. Struktur Organisasi Instalasi Gizi ........................................
117
c. Gambaran Penerapan Shift Kerja Karyawan Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo .............................................................. d. Gambaran Alur/Proses Kerja Instalasi Gizi ......................... 5.2
Hasil Analisis Univariat ....................................................................
118 118 127
5.2.1 Gambaran Kelelahan Kerja pada Karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011 .........................................
127
5.2.2 Gambaran Karakteristik Pekerja (Umur) pada Karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011 ...................
131
5.2.3 Gambaran Karakteristik Pekerja (Jenis Kelamin, Masa Kerja, Status Gizi) pada Karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011 ........................................................................
131
5.2.4 Gambaran Karakteristik Pekerjaan (Shift Kerja, Beban Kerja, Risiko Ergonomi Pekerjaan) pada Karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011 ......................................... 5.3
Analisis Bivariat ..............................................................................
133 135
5.3.1 Hubungan antara Karakteristik Pekerja (Umur) dengan Kelelahan Kerja pada Karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011 ....................................................................................
xvi
135
5.3.2 Hubungan antara Karakteristik Pekerja (Jenis Kelamin, Masa Kerja, Status Gizi) dengan Kelelahan Kerja pada Karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011 ....................
136
5.3.3 Hubungan antara Karakteristik Pekerjaan (Shift Kerja, Beban Kerja, Risiko Ergonomi Pekerjaan) dengan Kelelahan Kerja pada Karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011
139
BAB VI
PEMBAHASAN .....................................................................................
143
6.1
Keterbatasan Penelitian ...........................................................................
143
6.2
Kelelahan Kerja .......................................................................................
144
6.3
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kelelahan Kerja ..................
146
6.3.1 Hubungan Antara Umur dengan Kelelahan Kerja .........................
146
6.3.2 Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Kelelahan Kerja ...........
149
6.3.3 Hubungan Antara Masa Kerja dengan Kelelahan Kerja ................
152
6.3.4 Hubungan Antara Status Gizi dengan Kelelahan Kerja ................
155
6.3.5 Hubungan Antara Shift Kerja dengan Kelelahan Kerja ................
158
6.3.6 Hubungan Antara Beban Kerja dengan Kelelahan Kerja ..............
166
6.3.7 Hubungan Antara Risiko Ergonomi Pekerjaan dengan Kelelahan Kerja ...........................................................................................
168
BAB V11 SIMPULAN DAN SARAN ...................................................................
171
7.1 Simpulan ..........................................................................................
171
7.2
172
Saran ................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................
xvii
174
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kelebihan dan Kekurangan Metode Pengukuran Kelelahan Kerja ........
21
Tabel 2.2 Klasifikasi Status Gizi berdasarkan IMT menurut WHO (2003) ..........
30
Tabel 2.3 Klasifikasi Status Gizi berdasarkan IMT menurut Depkes RI (2003) ..
31
Tabel 2.4 Metropolitan Rota Shift System .............................................................
43
Tabel 2.5 Continental Rota Shift System ...............................................................
44
Tabel 2.6 Sistem 4 orang siklus 32 jam .................................................................
45
Tabel 2.7 Circadian Strategy (Richard M. Coleman) ...........................................
48
Tabel 2.8 Anchor Sleep Strategy (Richard M. Coleman) .......................................
49
Tabel 2.9 Penilaian pekerjaan ................................................................................
58
Tabel 2.10 NAB Iklim Kerja Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB) Berdasarkan TLV 2007 ...........................................................................................
59
Tabel 2.11 Tingkat Metabolik Tubuh Berdasarkan TLV 2007 .............................
60
Tabel 2.12 Skor Bagian Lengan Atas (Upper Limb) .............................................
63
Tabel 2.13 Skor Lengan Bawah (lower Arm) ........................................................
64
Tabel 2.14 Skor Pergelangan Tangan ....................................................................
65
Tabel 2.15 Skor Group A ......................................................................................
66
Tabel 2.16 Skor Aktifitas
.....................................................................................
67
Tabel 2.17 Skor Beban ..........................................................................................
67
Tabel 2.18 Skor Bagian Leher (Neck) ...................................................................
68
Tabel 2.19 Skor Bagian Batang Tubuh (Trunk) ....................................................
69
xviii
Tabel 2.20 Skor bagian Kaki (legs) .......................................................................
70
Tabel 2.21 Skor Group B Trunk Posture Score ....................................................
70
Tabel 2.22 Skor Aktifitas ......................................................................................
71
Tabel 2.23 Skor Beban ..........................................................................................
71
Tabel 2.24 Grand Total Score Table .....................................................................
72
Tabel 2.25 Kategori Tindakan RULA ...................................................................
72
Tabel 2.26 Penilaian Skor Tabel A ........................................................................
77
Tabel 2.27 Penilaian Skor Beban ...........................................................................
78
Tabel 2.28 Penilaian Skor Tabel B .........................................................................
80
Tabel 2.29 Penilaian Skor Coupling ......................................................................
80
Tabel 2.30 Penilaian Skor C ...................................................................................
81
Tabel 2.31 Penilaian Skor Aktivitas .......................................................................
82
Tabel 2.32 Level aksi dari skor REBA ..................................................................
82
Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Dependen ...............................................
97
Tabel 3.2 Definisi Operasional Variabel Independen ............................................
98
Tabel 4.1 Tenaga Kerja Di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Jabatan Tahun 2011 ....................................................
104
Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Kelelahan Kerja pada Karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011 ...........................
128
Tabel 5.2 Prevalence Rate pada Keluhan Kelelahan Kerja Sebelum dan Setelah Bekerja Pada karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011 ...........................................................................................
xix
129
Tabel 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Pekerja (Umur) pada Karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011 ....
131
Tabel 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Pekerja (Jenis Kelamin, Masa Kerja, Status Gizi) pada Karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011 ................................................
132
Tabel 5.5 Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Pekerjaan (Shift Kerja, Beban Kerja, Risiko Ergonomi Pekerjaan) pada Karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011 ..........................
133
Tabel 5.6 Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Pekerja (Umur) dengan Kelelahan Kerja pada Karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011 .....................................................................
135
Tabel 5.7 Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Pekerja (Jenis Kelamin, Masa Kerja, Status Gizi) dengan Kelelahan Kerja pada Karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011 .....
136
Tabel 5.8 Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Pekerjaan (Shift Kerja, Beban Kerja, Risiko Ergonomi Pekerjaan) dengan Kelelahan Kerja pada Karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011 ...........................................................................................
xx
139
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Postur Tubuh Bagian Lengan Atas (Upper Arm) ............................
63
Gambar 2.2 Postur Tubuh Bagian Lengan Bawah (Lower Arm) .........................
64
Gambar 2.3 Postur Tubuh Pergelangan Tangan (Wrist) ....................................
65
Gambar 2.4 Postur Tubuh Putaran Pergelangan Tangan (wrist twist) .................
65
Gambar 2.5 Postur Tubuh Bagian Leher (Neck) ...............................................
68
Gambar 2.6 Postur Tubuh Bagian Batang Tubuh (Trunk) ...................................
69
Gambar 2.7 Posisi Kaki (Legs) ......................................................................
70
Gambar 2.8 Penilaian Group A Posisi Leher ........................................................
76
Gambar 2.9 Penilaian Group A Posisi Punggung .................................................
76
Gambar 2.10 Penilaian Group A Posisi kaki ........................................................
77
Gambar 2.11 Penilaian Group A Posisi Lengan Atas ...........................................
79
Gambar 2.12 Penilaian Group A Posisi Lengan Bawah .......................................
79
Gambar 2.13 Penilaian Group A Posisi Pergelangan Tangan ...............................
79
Gambar 5.1 Postur kerja pada proses penerimaan bahan makanan dari supplier ..
119
Gambar 5.2 Postur kerja ketika pembagian bahan makanan kering untuk pengeluaran kepada juru masak .......................................................
119
Gambar 5.3 Postur kerja ketika penaataan bahan makanan kering ke dalam rak
120
Gambar 5.4 Postur kerja ketika pencucian bahan makanan lauk
121
Gambar 5.5 Postur kerja ketika pengupasan dan pemotongan Bahan makanan
121
sayur
xxi
Gambar 5.6 Postur kerja ketika pemotongan bahan makanan sayur
122
Gambar 5.7
122
Postur kerja ketika pemotongan bahan makanan sayur dengan menggunakan mesin potong
Gambar 5.8 Postur kerja pada proses memasak bahan makanan nasi, bubur, dan
124
Tim Gambar 5.9 Postur kerja pada proses memasak bahan makanan sayur dan snack
124
Gambar 5.10 Postur kerja pada proses pemorsian
125
Gambar 5.11 Postur kerja pada proses pemorsian
126
Gambar 5.12 Postur kerja pada proses pendistribusian makanan ke pasien
126
Gambar 5.13 Postur kerja pada pekerja kantor
142
Gambar 5.14 Postur kerja ketika pencatatan menu rekapan harian pasien ..........
142
xxii
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Kerangka Teori Kelelahan Kerja .........................................................
94
Bagan 3.1 Kerangka Konsep Kelelahan Kerja ....................................................
96
Bagan 5.1 Struktur Organisasi Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo tahun 2011 .....
117
xxiii
LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuesioner Lampiran 2 Output Hasil SPSS Lampiran 3 Hasil Perhitungan Beban Kerja
xxiv
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Kelelahan kerja menurut Suma’mur (1996) merupakan proses menurunnya
efisiensi, performance kerja dan berkurangnya kekuatan / ketahanan fisik tubuh untuk terus melanjutkan kegiatan yang harus dilakukan. Sedangkan Tarwaka (2004) mendefinisikan kelelahan kerja yaitu merupakan suatu mekanisme perlindungan agar terhindar dari kerusakan lebih lanjut, sehingga dengan demikian terjadilah pemulihan setelah istirahat. Kelelahan kerja adalah suatu yang lazim dijumpai pada kehidupan tenaga kerja. Lelah tersebut mempunyai arti sendiri bagi setiap individu dan sangat subyektif sifatnya (Suma’mur, 1989). Kelelahan kerja merupakan bagian dari permasalahan umum yang sering dijumpai pada tenaga kerja. Permasalahan kelelahan kerja selayaknya mendapatkan perhatian khusus dari pihak perusahaan maupun instansi yang memperkerjakan tenaga kerja. Hal itu dikarenakan kelelahan pada pekerja yang tidak teratasi akan berdampak negatif yaitu menurunnya produktifitas kerja yang ditandai dengan menurunnya motivasi kerja, menurunnya fungsi fisiologis motorik, serta menurunnya semangat kerja. Selain itu, dapat juga berdampak terhadap menurunnya konsentrasi ketika melakukan pekerjaan. Dan kemudian tentu saja hal ini dapat menimbulkan kesalahan dalam bekerja. Menurut beberapa peneliti, kelelahan secara nyata dapat mempengaruhi kesehatan tenaga kerja dan dapat menurunkan produktifitas. Investigasi di beberapa negara menunjukkan bahwa kelelahan (fatigue) memberi kontribusi yang signifikan terhadap kecelakaan 1
2
kerja. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kementrian Tenaga Kerja Jepang terhadap 12.000 perusahaan yang melibatkan sekitar 16.000 pekerja di negara tersebut yang dipilih secara acak telah menunjukkan hasil bahwa ditemukan 65% pekerja mengeluhkan kelelahan fisik akibat kerja rutin, 28% mengeluhkan kelelahan mental dan sekitar 7% pekerja mengeluh stres berat dan merasa tersisihkan. (Hidayat, 2003) Menurut Silaban (1998), kelelahan kerja seringkali terjadi pada saat pelaksanaan proses kerja. Berdasarkan hasil survey di negara maju, dilaporkan bahwa antara 10-50% penduduk mengalami kelelahan. Kelelahan merupakan masalah bagi K3, yang apabila tidak ditangani dengan baik dan benar dapat mengakibatkan gangguan kesehatan bagi tenaga kerja dan pada akhirnya akan mengakibatkan penurunan produktifitas. Oleh karena itu, kelelahan pada tenaga kerja tidak boleh diabaikan begitu saja mengingat tenaga kerja merupakan aset utama yang menjalankan operasional produksi. Di dalam proses kerja, banyaknya faktor-faktor yang dapat menjadi pencetus timbulnya kelelahan kerja. Faktor-faktor penyebab tersebut antara lain seperti yang disebutkan oleh Grandjean (1988) dalam Budiono, dkk (2003) yaitu intensitas dan lamanya kerja, status kesehatan dan nutrisi, serta lingkungan kerja. Menurut Suma’mur (1989) yang menjadi penyebab kelelahan akibat kerja yaitu keadaan monoton, beban dan lamanya pekerjaan baik fisik maupun mental, keadaan lingkungan seperti cuaca kerja, penerangan dan kebisingan, keadaan kejiwaan seperti tanggung jawab, penyakit, perasaan sakit dan keadaan gizi. Silaban (1998) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kelelahan kerja adalah karakteristik pekerja (jenis kelamin, usia, masa kerja, status gizi, beban kerja, kondisi kesehatan, dan waktu kerja). Menurut Tarwaka et al (2004) kelelahan kerja dipengaruhi oleh postur kerja, keadaan monoton, lingkungan
3
kerja, dan waktu kerja. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa faktor individu seperti umur, pendidikan, masa kerja, dan status gizi mempunyai hubungan yang signifikan terhadap terjadinya kelelahan kerja (Oentoro, 2004). Apabila pengaruhpengaruh ini terkumpul di dalam tubuh maka akan berakibat pada terjadinya kelelahan. Hasil studi penelitian di Amerika Serikat yang dilakukan Claire (2004) menyatakan bahwa jenis kelamin dapat mempengaruhi tingkat kelelahan seseorang. hal ini dapat dilihat dari waktu kerja lembur yang mempengaruhi wanita. Penelitian yang dilakukan Akerstdt et al (2002) yang menyebutkan bahwa dari 58.115 sampel 18.828 (32,8%) menderita kelelahan (Fatigue). Studi lain oleh yang dilakukan oleh Ades (1998) kelelahan hebat (Intense Fatigue) dilaporkan 15% pada pekerja shift siang dan 30% pada pekerja shift malam. Masalah yang berkaitan dengan kelelahan kerja pada pekerja juga terjadi di Indonesia dan sudah dilakukan penelitian. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Nugraha (2009) mengenai kelelahan pada pekerja di Instalasi Gizi Rumah Sakit (studi pada pekerja Instalasi Gizi RS. Pusdik Gasum Porong), diperoleh bahwa sebanyak 100% pekerja mengalami kelelahan kerja subjektif. Penelitian menunjukkan bahwa semua pekerja (100%) di instalasi gizi Rumah Sakit Bhayangkara Pusdik Gasum Porong mendapatkan beban kerja ringan. Semua pekerja (100%) juga membutuhkan kalori 1200–2399 Kcal. Kemudian asupan kalori pekerja 40% telah mencukupi kebutuhan kalorinya dan 60% pekerja masih belum dapat mencukupi kebutuhan kalorinya. Terdapat 80% pekerja memiliki status gizi normal dan 20% memiliki status gizi tinggi. Penelitian lain dilakukan oleh Farida (2008) yaitu tentang hubungan beban kerja dan tekanan panas dengan tingkat kelelahan pada pekerja pembuatan tahu di kelurahan
4
jomblang kecamatan candi sari kota semarang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari sampel sebanyak 30 orang diperoleh data beban kerja tertinggi yang diukur dengan pengukuran denyut nadi adalah 134,50 denyut/menit dan terendah 82,50 denyut/menit; tekanan panas terendah 26,7 0C dan tekanan panas tertinggi 34,9 0C; kelelahan tertinggi 452,69 millidetik dan terendah 206,38 millidetik. Hasil uji Korelasi Product Moment antara beban kerja dengan tingkat kelelahan diperoleh nilai p = 0,001 yang berarti ada hubungan yang bermakna antara beban kerja dengan tingkat kelelahan. Hasil uji Rank Spearman antara tekanan panas dengan tingkat kelelahan diperoleh nilai p = 0,001 yang berarti ada hubungan yang bermakna antara tekanan panas dengan tingkat kelelahan. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2005) pada pekerja yang terpapar tekanan panas di PT. Baja Kurnia Ceper, hasil penelitian menunjukkan rata-rata umur 34,35 tahun; rata-rata status gizi 19,89; rata-rata masa kerja 8,23 tahun; rata-rata denyut nadi kerja 127,98 denyut per menit; rata-rata waktu reaksi rangsang cahaya sebelum kerja 352,46 milidetik; rata-rata waktu reaksi rangsang cahaya sesudah bekerja 500,78 milidetik; 27 pekerja dari 43 sampel yang diamati (63%) dalam kondisi sehat dan 16 pekerja (27%) dalam kondisi tidak sehat. Berdasarkan hasil uji statistik yang dilakukan menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara umur dengan waktu reaksi rangsang cahaya dengan nilai pvalue 0,028, ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan waktu reaksi rangsang cahaya (pvalue=0,001), ada hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan waktu reaksi rangsang cahaya (p=0,022), ada hubungan yang bermakna antara beban kerja dengan waktu reaksi rangsang cahaya (p=0,004).
5
Pelayanan Gizi Rumah Sakit (PGRS) merupakan tanggung jawab Instalasi Gizi. Dalam SK Menkes No. 134/MenKes/SK/1978 dinyatakan bahwa Instalasi Gizi merupakan salah satu unit penunjang medis dimana kedudukannya dibawah wakil direktur Penunjang Medis dan bertanggung jawab kepada Direktur. PGRS adalah pelayanan gizi yang diberikan kepada pasien untuk mencapai kondisi yang optimal dalam memenuhi kebutuhan gizi orang sakit, baik untuk keperluan metabolisme tubuh, peningkatan kesehatan ataupun untuk mengoreksi kelainan metabolisme dalam upaya penyembuhan pasien dirawat dan berobat jalan (Dep.Kes RI, 1991). Instalasi Gizi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pasar Rebo merupakan bagian penunjang medik di RSUD Pasar Rebo yang terbagi dalam 5 bagian yaitu gudang, produksi, Gizi Klinik Rawat Inap, Gizi Klinik Rawat Jalan, dan Litbang (Penelitian dan Pengembangan) Gizi. Bagian produksi terbagi menjadi produksi makanan diet dan produksi makanan non diet. Instalasi gizi mencakup kegiatan penyelenggaraan makanan bagi pasien dan pegawai, pelayanan gizi rawat jalan dan rawat inap, penelitian dan pengembangan gizi klinik. Proses penyelenggaraan makanan dilakukan di instalasi gizi dimulai dari proses penerimaan bahan makanan, persiapan bahan makanan, produksi, sampai pendistribusian makanan kepada pasien. Karyawan di Instalasi gizi merupakan salah satu pekerja yang berisiko mengalami kelelahan, karena pekerjaan di Instalasi gizi umumnya merupakan pekerjaan yang dinamis, beban kerja yang berat dimana persediaan makanan harus ada bagi pasien dan pegawai, pekerjaan berulang pada satu jenis otot, pada bagian pengolahan makanan (memasak) berinteraksi dengan benda tajam seperti pisau dan gunting, terjadi paparan panas pada proses pengolahan (memasak), panas dari peralatan dalam mengolah makanan.
6
Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti berdasarkan subjective self rating test dari Industrial Fatigue Research Committee (IFRC) dengan pengukuran secara subyektif diketahui dari 10 pekerja di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo didapatkan bahwa sebanyak 7 responden (70%) mengalami kelelahan kerja. Hal ini dimungkinkan karena pekerja mendapatkan beban kerja yang berat, pekerjaan yang terlalu banyak dimana seorang pekerja melakukan banyak pekerjaan. Mengingat pentingnya uraian diatas, maka perlu dilakukan upaya pencegahan agar tidak terjadi kelelahan kerja dimana akan terjadi penurunan produktifitas pekerja yang akan berkaitan dengan hasil kerja. Faktor tersebut dapat disebabkan oleh pekerja, pekerjaannya, maupun lingkungan kerjanya. Berdasarkan gambaran tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor seperti umur, jenis kelamin, masa kerja, status gizi, shift kerja, beban kerja, risiko ergonomi pekerjaan terhadap kelelahan kerja pada karyawan di Instalasi Gizi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011. Belum adanya penelitian serupa juga mendorong penulis untuk melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kelelahan kerja pada karyawan di Instalasi Gizi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011. 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas dan dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan
oleh peneliti berdasarkan subjective self rating test dari Industrial Fatigue Research Committee (IFRC) dengan pengukuran secara subyektif diketahui dari 10 pekerja di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo didapatkan bahwa sebanyak 7 responden (70%) mengalami kelelahan kerja kategori sedang. Di duga banyak faktor yang dapat
7
menyebabkan terjadinya kelelahan kerja tersebut. Misalnya umur, jenis kelamin, masa kerja, status gizi, status kesehatan, shift kerja, beban kerja, risiko ergonomi pekerjaan, sebagaimana yang telah dikemukakan pada beberapa sumber dan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Permasalahan kelelahan kerja selayaknya mendapatkan perhatian khusus dari pihak perusahaan maupun instansi yang mempekerjakan tenaga kerja. Hal itu dikarenakan kelelahan pada pekerja yang tidak teratasi akan berdampak negatif yaitu menurunnya produktifitas kerja yang ditandai dengan menurunnya motivasi kerja, menurunnya fungsi fisiologis motorik, serta menurunnya semangat kerja. Selain itu, dapat juga berdampak terhadap menurunnya konsentrasi ketika melakukan pekerjaan. Dan kemudian tentu saja hal ini dapat menimbulkan kesalahan dalam bekerja. Berdasarkan gambaran tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor seperti umur, jenis kelamin, masa kerja, status gizi, shift kerja, beban kerja, postur kerja terhadap kelelahan kerja pada karyawan di Instalasi Gizi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011. Belum adanya penelitian serupa juga mendorong penulis untuk melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kelelahan kerja pada karyawan di Instalasi Gizi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011.
8
1.3
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, disusun pertanyaan sebagai berikut: 1.
Bagaimana gambaran kelelahan kerja pada karyawan di instalasi gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011?
2.
Bagaimana gambaran karakteristik pekerja (umur, jenis kelamin, masa kerja, status gizi) pada karyawan di instalasi gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011?
3.
Bagaimana gambaran karakteristik pekerjaan (shift kerja, beban kerja, risiko ergonomi pekerjaan) pada karyawan di instalasi gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011?
4.
Apakah ada hubungan antara umur dengan kelelahan kerja pada karyawan di instalasi gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011?
5.
Apakah ada hubungan antara jenis kelamin dengan kelelahan kerja pada karyawan di instalasi gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011?
6.
Apakah ada hubungan antara masa kerja dengan kelelahan kerja pada karyawan di instalasi gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011?
7.
Apakah ada hubungan antara status gizi dengan kelelahan kerja pada karyawan di instalasi gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011?
8.
Apakah ada hubungan antara shift kerja dengan kelelahan kerja pada karyawan di instalasi gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011?
9.
Apakah ada hubungan antara beban kerja dengan kelelahan kerja pada karyawan di instalasi gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011?
9
10. Apakah ada hubungan antara risiko ergonomi pekerjaan dengan kelelahan kerja pada karyawan di instalasi gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011? 1.4
Tujuan Penelitian 1.
Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kelelahan kerja pada karyawan di instalasi gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011.
2.
Tujuan Khusus a. Diketahuinya gambaran kelelahan kerja pada karyawan di instalasi gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011. b. Diketahuinya gambaran karakteristik pekerja (umur, jenis kelamin, masa kerja, status gizi) pada karyawan di instalasi gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011. c. Diketahuinya gambaran karakteristik pekerjaan (shift kerja, beban kerja, risiko ergonomi pekerjaan) pada karyawan di instalasi gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011. d. Diketahuinya hubungan antara umur dengan kelelahan kerja pada karyawan di instalasi gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011. e. Diketahuinya hubungan antara jenis kelamin dengan kelelahan kerja pada karyawan di instalasi gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011. f. Diketahuinya hubungan antara masa kerja dengan kelelahan kerja pada karyawan di instalasi gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011.
10
g. Diketahuinya hubungan antara status gizi dengan kelelahan kerja pada karyawan di instalasi gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011. h. Diketahuinya hubungan antara shift kerja dengan kelelahan kerja pada karyawan di instalasi gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011. i. Diketahuinya hubungan antara beban kerja dengan kelelahan kerja pada karyawan di instalasi gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011. j. Diketahuinya hubungan antara risiko ergonomi pekerjaan dengan kelelahan kerja pada karyawan di instalasi gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011. 1.5
Manfaat Penelitian 1. Bagi Intitusi tempat penelitian (RSUD Pasar Rebo) Dapat menjadi bahan masukan mengenai kelelahan kerja dan faktor-faktor yang menyebabkan kelelahan kerja dan evaluasi kelelahan kerja sebagai solusi pencegahan untuk mengurangi tingkat guna perencanaan, pengembangan, pengorganisasian dalam meningkatkan pelayanan dan produktifitas kerja pada karyawan serta menambah bahan kepustakaan RSUD Pasar Rebo Jakarta. 2. Bagi karyawan Instalasi Gizi Memperoleh gambaran nyata tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kelelahan kerja sehingga pekerja dapat mengelola agar tidak terjadi kelelahan kerja yang akan berakibat pada menurunnya produktifitas kerja dan tidak terjadi kesalahan kerja.
11
3. Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Sebagai sarana pemantapan keilmuan bagi mahasiswa dengan mempraktekkan ilmu yang didapat di Dunia Kerja. Sarana pengembangan keilmuan K3 dan media untuk menyalurkan lulusan S1 kedunia kerja. Serta menambah bahan-bahan informasi dan pengembangan keilmuan yang berkelanjutan khususnya pada penelitian yang sejenis selanjutnya. 4. Bagi Peneliti Dapat menerapkan keilmuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang diperoleh di perkuliahan dalam praktek pada kondisi kerja yang sebenarnya. Selain itu dapat mengembangkan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan dalam menganalisa masalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kelelahan kerja serta dapat menambah wawasan dan pengalaman terutama dalam penelitian. Selain itu penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi peneliti selanjutnya. 1.6
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan studi analitik observasional dengan pendekatan cross
sectional dengan tujuan untuk mengetahui gambaran dari variabel independen (umur, jenis kelamin, masa kerja, status gizi, shift kerja, beban kerja, risiko ergonomi pekerjaan) yang berhubungan dengan variabel dependen yaitu kelelahan kerja pada karyawan di instalasi gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011 mengingat kelelahan pada pekerja yang tidak teratasi akan berdampak negatif yaitu menurunnya produktifitas kerja yang ditandai dengan menurunnya motivasi kerja, menurunnya fungsi fisiologis motorik, serta menurunnya semangat kerja. Selain itu, dapat juga berdampak terhadap menurunnya
12
konsentrasi ketika melakukan pekerjaan. Dan kemudian tentu saja hal ini dapat menimbulkan kesalahan dalam bekerja. Yang menjadi sasaran dalam penelitian ini adalah karyawan Instalasi Gizi Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Rebo. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2010 s.d Maret 2011. Data yang digunakan yaitu data primer dengan wawancara menggunakan lembaran kuesioner yaitu mengenai umur, jenis kelamin, masa kerja, status gizi, shift kerja, dan kelelahan kerja (diukur dengan Reaction Timer Test). Selain itu dilakukan wawancara terhadap kuesioner skala IFRC untuk mengetahui gejala kelelahan kerja yang diukur pada saat sebelum bekerja dan pada saat setelah bekerja; pengukuran Berat Badan dan Tinggi Badan untuk menghitung IMT yang hasil akhirnya didapatkan distribusi pekerja berdasarkan status gizi; pengukuran beban kerja yang di dapat dari aktivitas pekerja; pengukuran risiko ergonomi pekerjaan dari beberapa aktivitas kerja responden dengan penilaian metode RULA dan REBA. Kemudian dilakukan analisis univariat dan analisis bivariat terhadap variabel independen yang di duga berhubungan dengan variabel dependennya menggunakan uji statistik dengan rumus uji Kruskall Wallis, uji Chi Square dan uji Paired T-test. Selain itu juga digunakan data sekunder yaitu data mengenai profil Instalasi Gizi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pasar Rebo Jakarta, distribusi karyawan menurut shift kerja, data profil K3 Rumah Sakit, dan profil mengenai instalasi gizi Rumah Sakit serta data terkait yang relevan dengan penelitian.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kelelahan Kerja
2.1.1 Definisi Kelelahan Kerja Kelelahan dapat diartikan sebagai suatu kondisi menurunnya efisiensi, performa kerja, dan berkurangnya kekuatan atau ketahanan fisik tubuh untuk terus melanjutkan kegiatan yang harus dilakukan (Wignjosoebroto, 2003). Perasaan atau kondisi lemah merupakan kondisi yang sering dialami oleh seseorang setelah melakukan aktifitasnya. Perasaan capek, ngantuk, bosan dan haus biasanya muncul beriringan dengan adanya gejala kelelahan. Selain kondisi-kondisi tersebut pada sebagian orang disertai pula dengan gejala fisik seperti pegal-pegal, kesemutan bahkan nyeri pada anggota tubuhnya. Kondisi ini bisa pulih apabila kita beristirahat sejenak dari aktivitas yang sedang kita lakukan. Menurut Grandjean (1997) kelelahan kerja merupakan gejala yang ditandai adanya perasaan lelah dan kita akan merasa segan dan aktifitas akan melemah serta ketidakseimbangan. Selain itu, keinginan untuk berusaha melakukan kegiatan fisik dan mental akan berkurang karena disertai perasaan berat, pening dan capek. Istilah kelelahan biasanya menunjukkan kondisi yang berbeda-beda dari setiap individu, tetapi semuanya bermuara kepada kehilangan efisiensi dan penurunan kapasitas kerja serta ketahanan tubuh. (Tarwaka et al, 2004). Suma’mur (1996) menyatakan bahwa kelelahan kerja merupakan proses menurunnya efisiensi, performance kerja dan berkurangnya kekuatan/ketahanan fisik tubuh untuk terus melanjutkan kegiatan yang harus dilakukan. Kelelahan kerja menurut 13
14
Nurmianto (2003) akan menurunkan kinerja dan menambah tingkat kesalahan kerja. Meningkatnya kesalahan kerja akan memberikan peluang terjadinya kecelakaan kerja dalam industri. Kelelahan berbeda dengan kejemuan, sekalipun kejemuan adalah suatu faktor dari kelelahan (Suma’mur, 1999). Kelelahan adalah suatu kondisi yang disertai penurunan efisiensi dan kebutuhan dalam bekerja (Budiono, 2003). Jadi dapat disimpulkan bahwa kelelahan kerja bisa menyebabkan penurunan kinerja yang dapat berakibat pada peningkatan kesalahan kerja dan kecelakaan kerja. Menurut Nurmianto (2003), kelelahan merupakan akibat dari kebanyakan tugas pekerjaan yang sama. Pada pekerjaan yang berulang, tanda pertama kelelahan merupakan peningkatan dalam ratarata panjang waktu yang diambil untuk menyelesaikan suatu siklus aktivitas. Waktu pendistribusian yang hati-hati sering menunjukkan kelambatan performansi sebagaimana yang tampak dalam pendistribusian proporsi yang lebih besar dari siklus lambat yang tidak normal. Setiap orang pernah mengalami kondisi lelah baik lelah fisik maupun lelah mental, karena kemampuan tubuh untuk tetap terjaga memiliki batas tertentu. Hampir seluruh orang merasakan kondisi lelah setelah melakukan aktifitasnya seharian. Begitupun dengan para pekerja yang harus tetap terjaga selama 8 jam demi memenuhi tugas dan shift kerjanya. Job dan Dalziel (2001) dalam Australian Safety and Compensation Council (2006) mendefinisikan kelelahan berdasarkan pada tingkatan keadaan otot tubuh, viscera atau sistem syaraf pusat dimana didahului oleh aktifitas fisik dan proses mental, serta waktu istirahat yang mencukupi, sebagai hasil dari kapasitas sel yang tidak mencukupi atau cakupan energi untuk memelihara tingkatan aktifitas yang alami dan
15
atau diproses dengan menggunakan sumber-sumber yang normal. Kondisi kelelahan di tempat kerja memang tidak bisa dipandang sebelah mata, karena sangat berpengaruh terhadap efektifitas, produktifitas serta keselamatan pekerja pada umumnya. Suma’mur (1996) menyatakan bahwa produktifitas mulai menurun setelah empat jam bekerja terus menerus (apapun jenis pekerjaannya) yang disebabkan oleh menurunnya kadar gula di dalam darah. Itulah sebabnya istirahat sangat diperlukan minimal setengan jam setelah empat jam bekerja terus menerus agar pekerja memperoleh kesempatan untuk makan dan menambah energi yang diperlukan tubuh untuk bekerja. Manuaba (1990) menjelaskan bahwa jam kerja berlebihan, jam kerja lembur diluar batas kemampuan akan mempercepat timbulnya kelelahan, menurunkan ketepatan, dan ketelitian. Oleh karena itu setiap fungsi tubuh memerlukan keseimbangan yang ritmis antara asupan energi dan penggantian energi (kerja-istirahat), maka diperlukan adanya waktu istirahat pendek dengan sedikit kudapan (15 menit setelah 1,52 jam kerja) untuk mempertahankan efisiensi dan performa kerja.
2.1.2 Dampak Kelelahan Kerja Kelelahan kerja merupakan bagian dari permasalahan umum yang sering dijumpai pada tenaga kerja. Permasalahan kelelahan kerja selayaknya mendapatkan perhatian khusus dari pihak perusahaan maupun instansi yang memperkerjakan tenaga kerja. Hal itu dikarenakan kelelahan pada pekerja yang tidak teratasi akan berdampak negatif yaitu menurunnya produktifitas kerja yang ditandai dengan menurunnya motivasi kerja, menurunnya fungsi fisiologis motorik, serta menurunnya semangat kerja. Selain itu, dapat juga berdampak terhadap menurunnya konsentrasi ketika melakukan pekerjaan.
16
Dan kemudian tentu saja hal ini dapat menimbulkan kesalahan dalam bekerja. Menurut beberapa peneliti, kelelahan secara nyata dapat mempengaruhi kesehatan tenaga kerja dan dapat menurunkan produktifitas. Investigasi di beberapa negara menunjukkan bahwa kelelahan (fatigue) memberi kontribusi yang signifikan terhadap kecelakaan kerja. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kementrian Tenaga Kerja Jepang terhadap 12.000 perusahaan yang melibatkan sekitar 16.000 pekerja di negara tersebut yang dipilih secara acak telah menunjukkan hasil bahwa ditemukan 65% pekerja mengeluhkan kelelahan fisik akibat kerja rutin, 28% mengeluhkan kelelahan mental dan sekitar 7% pekerja mengeluh sres berat dan merasa tersisihkan. (Hidayat, 2003)
2.1.3 Metode Pengukuran Kelelahan Kerja Sampai saat ini belum ada cara untuk mengukur tingkat kelelahan secara langsung. Pengukuran-pengukuran yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya hanya berupa indikator yang menunjukkan terjadinya kelelahan akibat kerja. Grandjean (1993) yang dikutip oleh Tarwaka et al (2004) mengelompokkan metode pengukuran kelelahan kedalam 6 kelompok yang berbeda, yaitu: 1) Kualitas dan kuantitas kerja yang dilakukan Metode ini kadang digunakan sebagai cara pengukuran kelelahan kerja. Pada metode ini, kuantitas output digambarkan sebagai jumlah proses kerja, waktu yang digunakan setiap item atau jumlah operasi yang dilakukan setiap unit waktu. Kelelahan dan jumlah produksi tentu saja saling berhubungan dengan beberapa tingkatan namun demikian metode ini tidak bisa digunakan sebagai pengukuran langsung karena banyak
17
faktor yang harus dipertimbangkan seperti target produksi, faktor sosial, dan perilaku psikologis dalam kerja. Terkadang kelelahan membutuhkan pertimbangan dalam hubungannya dengan kualitas output (kerusakan produk, penolakan produk) atau frekuensi kecelakaan dapat menggambarkan terjadinya kelelahan, tetapi faktor tersebut bukanlah merupakan causal factor. 2) Pengujian psikomotorik Pada metode ini melibatkan fungsi persepsi, interpretasi dan reaksi motorik. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan pengukuran waktu reaksi. Waktu reaksi adalah jangka waktu dari pemberian suatu rangsang sampai kepada suatu saat kesadaran atau dilaksanakan kegiatan. Dalam uji waktu reaksi dapat digunakan nyala lampu, denting suara, sentuhan kulit atau goyangan badan. Terjadinya pemanjangan waktu reaksi merupakan petunjuk adanya perlambatan pada proses faal syaraf dan otot. Sanders dan McCormick (1987) yang dikutip oleh Tarwaka et al (2004) menyatakan bahwa waktu reaksi adalah waktu untuk membuat suatu respon yang spesifik saat suatu stimulasi terjadi. Waktu reaksi terpendek biasanya berkisar antara 150 s/d 200 milidetik. Waktu reaksi tergantung dari stimuli yang dibuat; intensitas dan lamanya perangsangan; umur subjek; dan perbedaan-perbedaan individu lainnya. Alat ukur waktu reaksi telah dikembangkan di Indonesia biasanya menggunakan nyala lampu dan denting suara sebagai stimuli. Kroemer (1997) menyatakan bahwa kerugian dari uji psikomotorik yakni muncul suatu kenyataan bahwa pada uji ini seringkali membuat permintaan yang sulit pada subyek yang diteliti, sehingga dapat mengakibatkan peningkatan ketertarikan, pada
18
pandangan sebelumnya, sangat memungkinkan bila uji ini akan menyebabkan beberapa jenis kegiatan yang berhubungan dengan penggunaan otak, dimana dapat memungkinkan untuk menimbulkan kelelahan. Menurut Koesyanto dan Tunggul
(2005), tingkat kelelahan kerja dapat
diklasifikasikan berdasarkan waktu reaksi yang diukur dengan reaction timer yaitu : a. Normal (N)
: waktu reaksi 150.0-240.0 milidetik
b. Kelelahan Kerja Ringan (KKR)
: waktu reaksi >240.0-<410.0 milidetik
c. Kelelahan Kerja Sedang (KKS)
: waktu reaksi 410.0-<580.0 milidetik
d. Kelelahan Kerja Berat (KKB)
: waktu reaksi >580.0 milidetik
3) Mengukur frekuensi subjektif kelipan mata (flicker fusion eyes test) Dalam kondisi yang lelah, kemampuan tenaga kerja untuk melihat kelipan akan berkurang. Semakin lelah akan semakin panjang waktu yang diperlukan untuk jarak antara dua kelipan. Uji kelipan, disamping untuk mengukur kelelahan juga menunjukkan keadaan kewaspadaan tenaga kerja (Tarwaka et al, 2004). Frekuensi kerlingan mulus (Flicker Fusion Frequency) dari mata adalah kemampuan mata untuk membedakan cahaya berkedip dengan cahaya kontinu. Cara mengujinya ialah sebagai berikut: responden yang diteliti kemampuannya didudukan di depan sumber cahaya yang berkedip. Kedipan dimulai dari lambat (frekuensi rendah), kemudian perlahan-lahan dinaikkan semakin cepat dan cahaya tersebut dianggap bukan sebagai cahaya kedipan lagi, melainkan sebagai cahaya yang kontinu (mulus). Frekuensi batas/ambang dari kelipan itulah disebut “frekuensi kelipan mulus”. Bagi orang yang tidak lelah, frekuensi ambang itu 2 Hertz jika memakai cahaya pendek atau 0,6 Hertz jika memakai cahaya siang (day light). Jika seseorang dalam keadaan lelah,
19
maka angka frekuensi berkurang dari 2 Hertz atau 0,6 Hertz. Pada seseorang yang lelah sekali atau setelah menghadapi pekerjaan monoton, angka frekuensi kerling mulus bias antara 0,5 Hertz atau lebih dibawah frekuensi kerling mulus dari orang yang sedang dalam keadaan tidak lelah (Suyatno, 1985). 4) Perasaan kelelahan secara subjektif Subjective Self Rating Test dari Industrial Fatigue Research Committee (IFRC) Jepang, merupakan salah satu kuesioner yang dapat untuk mengukur tingkat kelelahan subjektif. Kuesioner tersebut berisi 30 daftar pertanyaan yang terdiri dari: a) 10 pertanyaan tentang pelemahan kegiatan: 1. Perasaan berat di kepala 2. Lelah di seluruh badan 3. Berat di kaki 4. Menguap 5. Pikiran kacau 6. Mengantuk 7. Ada beban pada mata 8. Gerakan canggung dan kaku 9. Berdiri tidak stabil 10. Ingin berbaring b) 10 pertanyaan tentang pelemahan motivasi: 1. Susah berfikir 2. Lelah untuk bicara 3. Gugup 4. Tidak berkonsentrasi 5. Sulit untuk memusatkan perhatian 6. Mudah lupa 7. Kepercayaan diri berkurang 8. Merasa cemas 9. Sulit mengontrol sikap 10. Tidak tekun dalam pekerjaan
20
c) 10 pertanyaan tentang gambaran kelelahan fisik: 1. Sakit dikepala 2. Kaku di bahu 3. Nyeri di punggung 4. Sesak nafas 5. Haus 6. Suara serak 7. Merasa pening 8. Spasme di kelopak mata 9. Tremor pada anggota badan 10. Merasa kurang sehat
Metode pengukuran kelelahan menggunakan skala yang dikeluarkan oleh Industrial Fatigue Research Committee (IFRC) atau dapat disebut Subjective Symptoms Test (SST) dimana berisi sejumlah pertanyaan yang berhubungan dengan gejala-gejala kelelahan. Skala IFRC ini terdapat 30 gejala kelelahan yang disusun dalam bentuk daftar pertanyaan (Susetyo, 2008). Jawaban untuk kuesioner IFRC tersebut terbagi menjadi 4 kategori besar yaitu sangat sering (SS) dengan diberi nilai 4, sering (S) dengan nilai 3, kadang-kadang (K) dengan nilai 2, dan tidak pernah (TP) dengan nilai 1. Dalam menentukan tingkat kelelahan, jawaban tiap pertanyaan dijumlahkan kemudian disesuaikan dengan kategori tertentu. Kategori yang di berikan antara lain : - Nilai 30
= Tidak Lelah
- Nilai 31-60
= Kelelahan ringan
- Nilai 61-90
= Kelelahan menengah/sedang
- Nilai 91-120
= Kelelahan Berat
(Putri, 2008)
21
5) Pengujian mental Pada metode ini konsentrasi merupakan salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menguji ketelitian dan kecepatan menyelesaikan pekerjaan. Bourdon Wiersma test merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk menguji kecepatan, ketelitian dan konsentrasi. Hasil test akan menunjukkan bahwa semakin lelah seseorang maka tingkat kecepatan, ketelitian dan konsentrasi akan semakin rendah atau sebaliknya. Namun demikian Bourdon Wiersma test lebih tepat untuk mengukur kelelahan akibat aktivitas atau pekerjaan yang lebih bersifat mental. Dari uraian metode pengukuran kelelahan kerja di atas dapat disimpulkan bahwa masing-masing metode pengukuran tersebut memiliki kelebihan maupun kekurangan yang disajikan dalam tabel 2.1 di bawah ini: Tabel 2.1 Kelebihan dan Kekurangan Metode Pengukuran Kelelahan Kerja No. 1.
Metode
Kelebihan
Kekurangan
Kualitas dan
Kuantitas output digambarkan
- Banyak
faktor
yang
harus
kuantitas kerja
sebagai jumlah proses kerja,
dipertimbangkan seperti target
yang dilakukan
waktu yang digunakan setiap
produksi, faktor sosial, dan
item atau jumlah operasi yang
perilaku psikologis dalam kerja.
dilakukan setiap unit waktu - Terkadang
kelelahan
membutuhkan dalam
pertimbangan
hubungannya
kualitas
output
dengan
(kerusakan
produk, penolakan produk) atau frekuensi
kecelakaan
menggambarkan
dapat
terjadinya
22
kelelahan, tetapi faktor tersebut bukanlah
merupakan
causal
factor. 2.
Pengujian
Dapat di amati secara langsung Pada pengukuran ini, waktu reaksi
psikomotorik
seseorang mengalami kelelahan tergantung kerja
dari
stimuli
yang
dibuat, intensitas dan lamanya perangsangan, umur subjek, dan perbedaan-perbedaan lainnya,
serta
individu
muncul
suatu
kenyataan bahwa pada uji ini seringkali membuat permintaan yang sulit pada subyek yang diteliti,
sehingga
mengakibatkan ketertarikan,
dapat
peningkatan pada
pandangan
sebelumnya, sangat meungkinkan bila uji ini akan menyebabkan beberapa
jenis
kegiatan
yang
berhubungan dengan penggunaan otak,dimana dapat memungkinkan untuk menimbulkan kelelahan. 3.
Mengukur
Disamping
frekuensi
kelelahan
subjektif kelipan
keadaan
mata (flicker
kerja
untuk juga
mengukur Bisa
terjadi
bias
dalam
menunjukkan menentukan besar frekuensi yang
kewaspadaan
tenaga dihasilkan pada pengukuran.
fusion eyes test) 4.
Perasaan
Kelelahan
dapat
di
analisis Pengukuran bersifat subjektif
kelelahan secara
langsung dari gejala-gejala yang
subjektif
dirasakan oleh seseorang
23
5.
Pengujian mental
Pengukuran pengujian
berdasarkan Lebih mental
tepat untuk mengukur
yaitu kelelahan akibat aktivitas atau
didapatkan hasil test yang akan pekerjaan menunjukkan
bahwa
yang
lebih
bersifat
semakin mental
lelah seseorang maka tingkat kecepatan,
ketelitian
dan
konsentrasi akan semakin rendah atau sebaliknya
2.2
Faktor - faktor yang berhubungan dengan Kelelahan Kerja
2.2.1 Umur Faktor individu seperti umur juga dapat berpengaruh terhadap waktu reaksi dan perasaan lelah tenaga kerja. Pada umur yang lebih tua terjadi penurunan kekuatan otot, tetapi keadaan ini diimbangi dengan stabilitas emosi yang lebih baik dibanding tenaga kerja yang berumur muda yang dapat berakibat positif dalam melakukan pekerjaan (Setyawati, 1994). Menurut Hidayat (2003) Faktor individu yaitu umur mempunyai hubungan yang signifikan terhadap terjadinya kelelahan, bukti di negara jepang menunjukkan bahwa pekerja yang berusia 40-50 tahun akan lebih cepat menderita kelelahan dibandingkan dengan pekerja yang relatif lebih muda. Permaesih (2000), peningkatan kekuatan otot pada usia 12 tahun pada pria lebih banyak dibandingkan pada wanita dan akan maksimal ketika berusia 25 tahun. Pada usia 65-70 tahun secara berangsur-angsur akan menurun dan kekuatan otot yang dimilikinya hanya sekitar 65-70% daripada yang dimiliki oleh orang yang berusia 20-30 tahun.
24
Penurunan kekuatan otot ini dipengaruhi oleh aktifitas fisik yang dilakukan dan dipercepat jika seseorang tidak melakukan latihan. Caffin dalam Tarwaka et al, 2004, kelelahan kerja biasanya mulai dirasakan lebih menonjol pada usia 25-65 tahun dimana tingkat keluhan atau kelelahan akan bertambah seiring dengan bertambahnya umur. Hal ini dikarenakan terjadi penurunan kekuatan dan ketahanan otot, sehingga ririko terjadinya kelelahan akan semakin meningkat. Hasil penelitian Mulyana, dkk (2006) menunjukkan adanya hubungan yang tidak selalu linier antara usia dengan kelelahan kerja. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa kelelahan kerja paling besar terjadi pada kelompok usia 20-29 tahun dan pada kelompok usia > 29 tahun. Kebanyakan kinerja fisik mencapai puncak dalam usia pertengahan dua puluhan dan kemudian menurun dengan bertambahnya usia (Lambert, 1996). Departemen Kesehatan RI menyebutkan bahwa usia produktif adalah antara 15-54 tahun (www.Depkes-RI.go.id). Proses menjadi tua serta kurangnya kemampuan kerja oleh karena perubahan-perubahan pada alat tubuh, sistem kardiovaskular, hormonal (Suma’mur, 1996). Untuk wanita kekuatan otot yang optimal ada pada usia 20-39 tahun. Menurut Suma’mur (1989), pekerja yang telah berusia lanjut akan merasa cepat lelah dan tidak bergerak dengan gesit ketika melaksanakan tugasnya sehingga mempengaruhi kinerjanya. Kemampuan untuk dapat melakukan pekerjaan dengan baik setiap individu berbeda dan dapat juga dipengaruhi oleh usia individu tersebut. Misalnya pada umur 50 tahun kapasitas kerja tinggal 80% dan pada umur 60 tahun menjadi 60% dibandingkan dengan kapasitas yang berumur 25 tahun. Kemudian Suma’mur (1999) menambahkan bahwa umur dapat mempengaruhi kelelahan kerja. Semakin tua umur
25
seseorang semakin besar tingkat kelelahan. Fungsi faal tubuh yang dapat berubah karena faktor usia mempengaruhi ketahanan tubuh dan kapasitas kerja seseorang. Dalam Amalia (2007), kemampuan kerja seseorang dapat ditentukan oleh beberapa faktor salah satunya adalah usia. Usia seseorang mempengaruhi BMR (Basal Metabolisme Rate) individu tersebut, semakin bertambahnya usia maka BMR akan semakin menurun dan kelelahan akan mudah terjadi. BMR adalah jumlah energi yang digunakan untuk proses metabolisme dasar untuk mengolah bahan makanan dan oksigen untuk mempertahankan kehidupan individu, apabila BMR menurun maka kemampuan untuk melakukan metabolisme tersebut menurun sehingga kemampuan individu tersebut untuk mempertahankan kehidupan juga menurun. Pada penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2005) pada 43 sampel pekerja yang terpapar tekanan panas di PT. Baja Kurnia Ceper Klatena, didapatkan hasil bahwa rata-rata umur pekerja yaitu 34,35 tahun yang mengalami kelelahan dengan pengukuran waktu reaksi rangsang cahaya. Berdasarkan hasil uji statistik diketahui bahwa umur memiliki hubungan bermakna dengan tingkat kelelahan (waktu reaksi rangsang cahaya) dengan nilai pvalue sebesar 0,028. Tetapi berdasarkan hasil akhir uji regresi linier berganda menunjukkan bahwa umur tidak berhubungan dengan kelelahan. 2.2.2 Jenis Kelamin Penggolongan jenis kelamin terbagi menjadi pria dan wanita. Secara umum wanita hanya mempunyai kekuatan fisik 2/3 dari kemampuan fisik atau kekuatan otot laki-laki. Dengan demikian, untuk mendapatkan hasil kerja yang sesuai maka harus diusahakan pembagian tugas antara pria dan wanita. Hal ini harus disesuaikan dengan kemampuan, kebolehan, dan keterbatasannya masing-masing (Tarwaka et, al, 2004). Menurut Depkes
26
RI (2003), kapasitas kerja adalah kemampuan bekerja seseorang yang dipengaruhi oleh jenis kelamin. Kapasitas yang dimiliki seorang pekerja erat hubungannya dengan pekerjaannya. Jenis kelamin berpengaruh dalam melakukan pekerjaan, sebab laki-laki dan perempuan berbeda dalam kemampuan fisiknya dan kekuatan ototnya. Ukuranukuran tubuh juga mempengaruhi dalam menjalankan sebuah aktivitas kerja. Laki laki dan wanita berbeda dalam hal kemampuan fisiknya, kekuatan kerja ototnya. Menurut pengalaman ternyata siklus biologi pada wanita tidak mempengaruhi kemampuan fisik, melainkan lebih banyak bersifat sosial dan kultural (Depnaker, 1993). Jenis kelamin dapat menentukan tingkat kelelahan kerja. Biasanya wanita lebih mudah lelah dibanding pria. Hal tersebut dikarenakan ukuran tubuh dan kekuatan otot tenaga kerja wanita relatif kurang dibanding pria, secara biologis wanita mengalami siklus haid, kehamilan dan menopouse, dan secara sosial kultural, yaitu akibat kedudukan sebagai ibu dalam rumah tangga dan tradisi-tradisi sebagai pencerminan kebudayaan (Suma’mur PK, 1996). Menurut Harrington dan Gill (2003) pekerja wanita lebih teliti dan lebih tahan atau lentur dibandingkan dengan laki-laki, seperti pada wanita yang telah menikah dan bekerja, waktu kerjanya lebih lama 4-6 jam jika dibandingkan dengan pria (suaminya) karena selain mencari nafkah wanita juga bertanggung jawab terhadap keluarga dan rumah. Studi di Amerika Serikat yang dilakukan Claire (2004) menyatakan bahwa jenis kelamin dapat mempengaruhi tingkat kelelahan seseorang. hal ini dapat dilihat dari waktu kerja lembur yang mempengaruhi wanita. Wanita yang menjalani kerja lembur ternyata memiliki potensi yang lebih besar terjadi kelelahan, hal ini dikarenakan posisi wanita didalam rumah tangga yang mengharuskannya untuk selalu menyediakan waktu
27
bagi keluarga. Biasanya setelah menjalankan lembur kerja, tenaga kerja wanita sesampainya di rumah masih mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti mengasuh anak, mencuci dan lain-lain. Sehingga mengakibatkan kurangnya waktu bagi tenaga kerja wanita untuk beristirahat dan memulihkan kondisi dari kegiatan pekerjaan. Masih dalam Claire (2004) Hasil studi dari Fredrikson (1999) menyatakan bahwa resiko kerusakan otot akan meningkat, jika jam kerja yang panjang (lembur) ditambah dengan kerja di rumah. Dan ternyata siklus biologi pada wanita tidak mempengaruhi kemampuan fisik, melainkan lebih banyak bersifat sosial dan kultural, kecuali pada mereka yang mengalami kelainan haid (dysmenorrhoea). 2.2.3 Masa Kerja Salah satu faktor yang termasuk ke dalam komponen ilmu kesehatan kerja yakni masa kerja. Pekerjaan fisik yang dilakukan secara kontinyu dalam jangka waktu yang lama akan berpengaruh terhadap mekanisme dalam tubuh (sistem peredaran darah, pencernaan, otot, syaraf dan pernafasan). Dalam keadaan ini kelelahan terjadi karena terkumpulnya produk sisa dalam otot dan peredaran darah di mana produk sisa ini bersifat membatasi kelangsungan kegiatan otot (Soedarmayanti, 1996). Masa kerja merupakan akumulasi waktu dimana pekerja telah menjalani pekerjaan tersebut. Semakin banyak informasi yang kita simpan, semakin banyak keterampilan yang kita pelajari, akan semakin banyak hal yang kita kerjakan (Malcom, 1998). Masa kerja dapat mempengaruhi pekerja baik positif maupun negatif. Akan memberikan pengaruh positif bila semakin lama seseorang bekerja maka akan berpengalaman dalam melakukan pekerjaannya. Sebaliknya akan memberikan pengaruh negatif apabila semakin lama bekerja akan menimbulkan kelelahan dan kebosanan.
28
Semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak seorang pekerja telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut. Secara garis besar masa kerja dapat dikategorikan menjadi 3 (Budiono, 2003), yaitu: 1. Masa kerja < 6 tahun 2. Masa kerja 6-10 tahun 3. Masa kerja >10 tahun Tingkat pengalaman kerja seseorang dalam bekerja akan mempengaruhi terjadinya kelelahan kerja. Hal ini dikarenakan orang yang lebih berpengalaman mampu bekerja secara efisien. Mereka dapat mengatur besarnya tenaga yang dikeluarkan oleh karena seringnya melakukan pekerjaan tersebut. Selain itu, mereka telah mengetahui posisi kerja yang terbaik atau nyaman untuk dirinya, sehingga produktifitasnya terjaga. Hal tersebut diperkirakan dapat mencegah atau mengurangi terjadinya kelelahan kerja (Sutjana dalam Mulyana, dkk 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Purnawati, et al (2006) di PT “X” diperoleh bahwa kelelahan banyak terjadi pada pekerja yang memiliki masa kerja > 5 tahun dengan Pvalue 0,839 yang menyatakan tidak ada hubungan bermakna antara masa kerja dengan kelelahan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2009), hasil menunjukkan bahwa rata-rata pekerja memiliki masa kerja 8,23 tahun sebagian besar mengalami kelelahan tingkat berat. Berdasarkan hasil uji statistik diketahui bahwa masa kerja memiliki hubungan bermakna dengan tingkat kelelahan dengan nilai pvalue sebesar 0,022. Berdasarkan hasil akhir uji regresi linier berganda dapat disimpulkan bahwa variabel masa kerja juga merupakan salah satu faktor yang paling dominan mempengaruhi tingkat kelelahan pada pekerja.
29
2.2.4 Status Gizi Status gizi berhubungan erat dan berpengaruh pada produktifitas dan efisiensi kerja. Dalam melakukan pekerjaan tubuh memerlukan energi, apabila kekurangan baik secara kualitatif maupun kuantitatif kapasitas kerja akan terganggu (Tarwaka et, al, 2004). Menurut Suma’mur (1982) dan Grandjean (1993) dalam Tarwaka (2004) bahwa selain jumlah kalori yang tepat, penyebaran persediaan kalori selama masa bekerja adalah sangat penting. Menurut Annis & McConville dalam Tarwaka et al (2004) merekomendasikan bahwa penggunaan energi tidak melebihi 50% dari tenaga aerobik maksimum untuk kerja 1 jam, 40% untuk kerja 2 jam dan 33% untuk kerja selama 8 jam terus-menerus. Nilai tersebut didesain untuk mencegah kelelahan yang dipercaya dapat meningkatkan risiko cidera otot skeletal pada tenaga kerja. Adanya gejala kekurangan gizi pada pekerja wanita tentunya sangat tidak diharapkan, karena gangguan gizi pekerja itu akan menurunkan tingkat produktivitas mereka (Clerc, 1985; Grandjean, 1985; Soerjodibroto, 1993). Status gizi merupakan salah satu penyebab kelelahan. Seorang pekerja dengan keadaan gizi yang baik akan memiliki kapasitas kerja dan ketahanan tubuh yang lebih baik, begitu juga sebaliknya (Budiono, 2003). Pada keadaan gizi buruk dengan beban kerja berat akan mengganggu kerja dan menurunkan efisiensi serta ketahanan tubuh sehingga mudah terjangkit penyakit dan mempercepat timbulnya kelelahan. Tubuh memerlukan zat-zat dari makanan untuk pemeliharaan tubuh, dan diperlukan juga untuk pekerjaan yang meningkat sepadan dengan lebih beratnya pekerjaan. Menurut teori Hartz et al (1999) dalam safitri (2008) kelelahan terjadi pada IMT yang lebih tinggi
30
yaitu obesitas. Secara persentase dapat dilihat bahwa kelelahan kerja berat yang dialami oleh karyawan lebih banyak terjadi pada karyawan yang memiliki status gizi obesitas. Status gizi dapat di hitung dengan Indeks Masa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI) yang merupakan perbandingan antara berat badan dalam kilogram dengan kuadrat tinggi badan dalam meter (Kg/m2) (WHO, 2000), yaitu: IMT =
Berat badan (kg)
Tinggi badan (m) x Tinggi badan (m) WHO (2003) mengklasifikasikan status gizi berdasrkan nilai Indeks Massa Tubuh (IMT) seseorang dikatakan overweight (kelebihan berat badan) jika IMT ≥ 25 dan dikatakan obesitas jika IMT ≥ 30. Tabel 2.2 Klasifikasi Status Gizi berdasarkan IMT menurut WHO (2003) Indeks Massa Tubuh < 18,5 18,5 – 24,9 ≥ 25 25 – 29,9 30,0 – 34,9 35,0 – 39,9 ≥ 40 Sumber: WHO, 2003
Klasifikasi Underweight (kurus) Normal Overweight (gemuk) Pre-obese Obese tingkat 1 Obese tingkat 2 Obese tingkat 3
Depkes RI (2003) juga mengklasifikasikan status gizi berdasarkan IMT. Pengklasifikasian
status
gizi
oleh
Depkes
lebih
sederhana
dibandingkan
pengklasifikasian oleh WHO, hal ini didasari oleh postur tubuh orang indonesia yang lebih kecil dibandingkan postur tubuh orang luar sehingga pengklasifikasian WHO tidak
31
cocok dengan keadaan fisik orang Indonesia. Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT menurut Depkes dapat dilihat pada tabel 2.3. Tabel 2.3 Klasifikasi Status Gizi berdasarkan IMT menurut Depkes RI (2003) Perempuan
Laki-laki
Indeks Massa Tubuh
Indeks Massa Tubuh
Kurus
‹ 17 kg/m2
‹ 18 kg/m2
Normal
17-23 kg/m2
18-25 kg/m2
Kegemukan
23-27 kg/m2
25-27 kg/m2
Obesitas
› 27 kg/m2
› 27 kg/m2
Kategori
Sumber : Pedoman praktis terapi gizi medis Departemen Kesehatan RI, 2003 Ada beberapa faktor yang mempengaruhi status gizi seseorang menurut indeks massa tubuh, diantaranya faktor biologis (umur, jenis kelamin, genetik dan hormon), faktor psikologis (emosi), faktor sosial budaya (ekonomi, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan dan pengetahuan gizi), pola konsumsi makanan, faktor perilaku (kebiasaan merokok dan aktifitas fisik) dan keadaan kesehatan. Menurut cicih (1996), status gizi yang baik dengan asupan kalori dalam jumlah dan waktu yang tepat berpengaruh secara positif terhadap daya kerja pekerja. Sebaliknya status gizi yang kurang atau berlebihan dan asupan kalori yang tidak sesuai dengan jumlah maupun waktu menyebabkan rendahnya ketahanan kerja ataupun perlambatan gerak sehingga menjadi hambatan bagi tenaga kerja dalam melaksanakan aktifitasnya. Artinya apabila asupan kalori tenaga kerja tidak sesuai dengan kebutuhannya maka tenaga kerja tersebut akan lebih cepat merasakan lelah dibandingkan dengan tenaga kerja dengan asupan kalori yang memadai, sehingga tenaga kerja tersebut harus
32
mendapatkan masukan kalori yang optimal terutama pada pagi hari karena kalori yang terpenuhi pada saat memulai pekerjaan akan berdampak terhadap kelelahan pada saat ia bekerja terutama kelelahan menjelang siang hari. Hasil riset menunjukkan bahwa secara klinis terdapat hubungan antara status gizi seseorang dengan performa tubuh secara keseluruhan, orang yang berada dalam kondisi gizi yang kurang baik dalam arti intake makanan dalam tubuh kurang dari normal maka akan lebih mudah mengalami kelelahan dalam melakukan pekerjaan (Oentoro, 2004). Sejalan dengan itu, pada penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2005) Berdasarkan hasil menunjukkan bahwa responden yang memiliki status gizi normal sebagian besar mengalami kelelahan. Berdasarkan hasil uji statistik diketahui bahwa masa kerja memiliki hubungan bermakna dengan tingkat kelelahan dengan nilai pvalue = 0,001. Untuk menyeimbangkan keadaan gizi tenaga kerja, biasanya pihak perusahaan menyediakan makanan tambahan dengan meperhatikan gizi kerja. Gizi kerja berarti nutrisi yang diperlukan oleh para pekerja untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan jenis pekerjaan. Gizi pekerjaan ditujukan untuk kesehatan dan daya kerja tenaga kerja yang setinggi-tingginya. Pekerjaan memerlukan tenaga yang sumbernya berasal dari makanan. 2.2.5 Status Kesehatan Status kesehatan dapat mempengaruhi kelelahan kerja yang dapat dilihat dari riwayat penyakit yang diderita. Beberapa penyakit yang mempengaruhi kelelahan, yaitu: 1) Penyakit Jantung Penyakit jantung dan pembuluh darah merupakan salah satu penyebab penyakit dan kematian yang paling tinggi pada populasi pekerja, khususnya di negara industri
33
dan di negara berkembang tampak meningkat terus
(Departemen Kesehatan RI,
2003:MI-5:8). Penyakit jantung meliputi gangguan pada pembuluh darah koroner (pembuluh darah yang menyuplai darah ke seluruh jaringan jantung yang mengalami penyempitan atau penyumbatan) serta gangguan jaringan jantung (otot jantung) akibat yang ditimbulkannya (berkurang dan berhenti aliran darah). Penyumbatan ini menimbulkan gangguan jantung berupa rasa sakit/nyeri pada dada (Sitepoe, Mangku, 1997:3-4). Ketika bekerja, jantung dirangsang sehingga kecepatan denyut jantung dan kekuatan pemompaannya menjadi meningkat (Arthur C. Guyton, 1997:319). Selain itu jika ada beban ekstra yang dialami jantung misalnya membawa beban berat, dapat mengakibatkan meningkatnya keperluan oksigen ke otot jantung. Kekurangan suplai oksigen ke otot jantung menyebabkan dada sakit (Iman Soeharto, 2004:41). Kekurangan oksigen jika terus menerus, maka terjadi akumulasi yang selanjutnya terjadi metabolisme anaerobik dimana akan menghasilkan asam laktat yang mempercepat kelelahan (Gempur Santoso, 2004:48). 2) Penyakit Gangguan ginjal Pengaruh kerja terhadap faal ginjal terutama dihubungkan dengan pekerjaan yang perlu mengerahkan tenaga dan yang dilakukan dalam cuaca kerja panas. Kedua– duanya mengurangi peredaran darah kepada ginjal dengan akibat gangguan penyediaan zat–zat yang diperlukan oleh ginjal (Suma’mur P.K., 1996:318). Terdapat mekanisme multipel yang mengendalikan kecepatan ekskresi urin. Cara paling penting yang dilakukan oleh tubuh dalam mempertahankan keseimbangan asupan dan keluaran cairan seperti juga keseimbangan asupan dan keluaran hampir semua elektrolit dalam tubuh ialah dengan mengendalikan kecepatan ginjal dalam
34
mengekskresi zat-zat ini (Arthur C. Guyton, 1997:376). Penambahan air yang berlebihan pada cairan ekstraselular akan menyebabkan penurunan konsentrasi natrium plasma. Kondisi yang dapat menyebabkan hilangnya natrium pada dehidrasi hipoosmotik dan berhubungan dengan penurunan volume cairan ekstraselular yaitu dengan berkeringat (Arthur C. Guyton, 1997:388). Pengeluaran keringat yang banyak dapat meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung meningkat (Suma’mur P.K., 1996:91) sehingga kelelahan akan mudah terjadi. 3) Penyakit Asma Asma dikenal karena adanya gejala sesak napas, batuk dan mengi. Gejala tersebut sebagai akibat adanya bronkokontriksi pada asma, diameter bronkiolus lebih banyak berkurang selama ekspirasi daripada selama inspirasi, karena peningkatan tekanan dalam paru selama ekspirasi paksa menekan bagian luar bronkiolus (W.F. Ganong, 1999:673). Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi. Penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat tetapi sukar sekali melakukan ekspirasi (Arthur C. Guyton, 1997:675). Keadaan ini menyebabkan dispnea atau kekurangan udara. Aktivitas otot pernapasan yang kurang seringkali membuat seseorang merasa dalam keadaan dispnea berat (Arthur C. Guyton, 1997:678) sehingga diperlukan banyak tenaga untuk bernapas. Hal ini yang akan dapat menyebabkan terjadinya kelelahan. 4) Tekanan darah rendah Penurunan kapasitas karena serangan jantung mungkin menyebabkan tekanan darah menjadi amat rendah sedemikian rupa, sehingga menyebabkan darah tidak cukup
35
mengalir ke arteri koroner maupun ke bagian tubuh yang lain (Iman Soeharto, 2004:48). Dengan berkurangnya jumlah suplai darah yang dipompa dari jantung, berakibat berkurang pula jumlah oksigen sehingga terbentuklah asam laktat. Asam laktat merupakan indikasi adanya kelelahan (Eko Nurmianto, 2003:16). 5) Tekanan darah tinggi Tekanan darah tinggi atau hipertensi merupakan salah satu faktor risiko penyakit jantung koroner. Tekanan darah yang tinggi
secara terus menerus menyebabkan
kerusakan sistem pembuluh darah arteri dengan perlahan–lahan. Arteri tersebut mengalami suatu proses pengerasan. Pengerasan pembuluh–pembuluh tersebut dapat juga disebabkan oleh endapan lemak pada dinding. Proses ini menyempitkan lumen (rongga atau ruang) yang terdapat di dalam pembuluh darah, sehingga aliran darah menjadi terhalang (Iman Soeharto, 2004:97-99). Terbatasnya aliran darah pada otot (ketika berkontraksi), otot menekan pembuluh darah dan membawa oksigen juga semakin memungkinkan terjadinya kelelahan (Gempur Santoso, 2004:47). 2.2.6 Jam kerja Orang bekerja maksimal 40 jam per minggu atau 8 jam sehari. Setelah 4 jam kerja seorang tenaga kerja akan merasa cepat lelah karena pengaruh lingkungan kerja yang tidak nyaman (Budiono, 2003). Waktu kerja bagi seseorang menentukan efisiensi dan produktifitasnya. Lamanya bekerja seseorang sehari secara baik pada umumnya 6-8 jam dan sisanya untuk istirahat, kehidupan dalam berkeluarga dan masyarakat, tidur dan lainlain. Memperpanjang waktu kerja lebih dari kemampuan tersebut biasanya tidak disertai efisiensi yang tinggi, bahkan biasanya terlihat penurunan produktifitas serta kecenderungan untuk timbulnya kelelahan, penyakit dan kecelakaan kerja (Suma’mur,
36
1996). Jika diteliti suatu pekerjaan yang biasa, tidak terlalu berat atau ringan produktifitas mulai menurun sesudah 4 jam bekerja. Keadaan ini terutama sejalan dengan menurunnya kadar gula dalam darah, untuk itu perlu bahan bakar dalam tubuh, maka dari itu istirahat setengah jam sesudah 4 jam bekerja terus-menerus sangat penting artinya. Di Indonesia telah ditetapkan lamanya waktu kerja sehari maksimum 8 jam kerja dan sisanya untuk istirahat/kehidupan dalam keluarga dan masyarakat. Memperpanjang waktu kerja lebih dari itu hanya akan menurunkan efisiensi kerja, meningkatkan kelelahan kerja, kecelakaan dan penyakit akibat kerja (Tarwaka et al, 2004). 2.2.7 Kerja Shift 1) Definisi kerja Shift Banyak teori yang mendefinisikan kerja shift, yaitu diantaranya International Labour Organization (ILO, 1998), membuat suatu ciri khas dari kerja shift yaitu terdapatnya kontinuitas, pergantian kerja secara bergilir dan terdapat jadwal khusus. Kerja bergilir dikatakan kontinyu apabila dikerjakan selama 24 jam setiap hari termasuk hari minggu dan hari libur. Colligan et al (1997) mendefinisikan bahwa kerja shift merupakan jadwal jam kerja yang berada diluar jam kerja normal yang dimulai dari sekitar pukul 07.00 sampai pukul 18.00, dengan lamanya jam kerja untuk seorang pekerja 7-8 jam dalam setiap shiftnya. Kemudian La Dou (1994) mendefinisikan kerja shift sebagai pekerjaan yang dilakukan terutama di luar jam kerja normal. Simanjuntak (1997) menjelaskan bahwa dalam terminologinya yang dimaksud dengan kerja shift adalah kerja yang dibagi secara bergiliran dalam waktu 24 jam. Secara terminologi menurut Nasution, dkk (1989), yang dimaksud dengan
37
shift kerja adalah kerja 24 jam dibagi secara bergiliran dalam waktu 2 jam. Para pekerja dibagi atas kelompok kerja dan pada umumnya dibagi atas tiga kelompok dimana lama giliran kerja yaitu 8 jam. Menurut Center for Disease Control and Prevention, US Department of Health and Human Service, 15.5 juta orang di US adalah pekerja shift (dalam Mardi, 2008). 2) Alasan Diterapkannya Kerja Shift Alasan diterapkannya kerja shift dibagi menjadi tiga bagian berdasarkan kepentingan kelompok, yaitu : a)
Kepentingan Sosial Perusahaan yang bergerak dibidang jasa pelayanan masyarakat bertujuan
untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang dibutuhkan setiap saat seperti Rumah Sakit, transportasi, pemadam kebakaran, polisi, tenaga listrik, tenaga air, dan lain sebagainya. b) Kepentingan Ekonomi Hal ini terutama terjadi pada industri yang menggunakan mesin-mesin mahal sehingga dibutuhkan operasional secara kontinyu untuk mencapai profit yang tinggi dan efisiensi penggunaan dari mesin-mesin tersebut. Bagi perusahaan yang bergerak di bidang industri berlakunya kerja shift disebabkan karena proses produksi yang lama yaitu lebih dari 8 jam sehingga mesin harus dioperasikan secara terus menerus seperti pada industri kimia, industri manufaktur, pertambangan, dan lain-lain.
38
c)
Kepentingan Individu Walaupun sebagian besar orang tidak menginginkan bekerja secara shift
terutama shift malam, namun tidak jarang yang menginginkan kerja shift dengan alasan ingin memperoleh gaji atau upah yang lebih baik, jumlah pegawai atau supervisor lebih sedikit, dapat berkumpul dengan keluarga pada siang hari, bekerja pada malam hari lebih tenag, transportasi lancar atau tidak macet, atau memang tidak tersedia pekerjaan lain untuk mereka. 3) Sistem Kerja Shift Biasanya kerja shift disusun tergantung pada pekerjaan dan dari perusahaan atau industri yang bersangkutan. Berbagai macam model shift kerja dapat diterapkan di berbagai perusahaan. Colligan et al (1997) menyebutkan bahwa terdapat beberapa karakteristik dalam penyusunan jadwal kerja, yaitu: a)
Waktu Shift Pembagian waktu kerja shift menjadi 2 atau 3 shift biasanya diterapkan untuk
perusahaan yang beroperasi selama 24 jam. Sedangkan pengaturan jadwal mulai dan akhir tergantung dari lamanya shift. Pembagian jadwal kerja dapat dilihat sebagai berikut: 1. Shift pagi (shift pertama), dimulai antara pukul 05.00-08.00 dan berakhir antara pukul 14.00-18.00. 2. Shift sore (shift kedua), dimulai antara pukul 14.00-18.00 dan berakhir antara pukul 22.00-02.00. 3. Shift malam (shift ketiga), dimulai antara pukul 22.00=02.00 dan berakhir antara pukul 05.00-08.00.
39
b) Jadwal shift permanen atau rotasi Pekerja yang bekerja secara permanen shift malam tidak mudah beradaptasi walaupun telah bekerja dalam waktu lama. Memang untuk beberapa orang kadang-kadang mudah untuk beradaptasi. Dari pengalaman, orang-orang yang bekerja malam permanen mempunyai metode untuk melawan kelelahan pada malam hari. Tapi walau bagaimanapun pekerja malam permanen tersebut masih akan merasakan lelah dan mengantuk pada malam berikutnya selain itu shift Kelelahan terjadi karena banyak pekerja malam kembali bekerja siang harinya yang semestinya mereka harus beristirahat, sehingga mereka tidak pernah sempurna dalam memenuhi waktu tidur dan istirahatnya dalam upaya mengadaptasikan irama tubuh untuk bangun pada malam hari. Kelelahan ini dapat terjadi dari hari hari ke hari sehingga kelelahan tersebut dapat terakumulasi sampai pada level yang tidak aman. Sedangkan pada pekerja yang bekerja dengan jadwal shift rotasi dihadapkan pada permasalahan yang hampir sama dengan shift permanen. Karena waktu shift yang selalu berubah, mereka tidak pernah secara sempurna untuk beradaptasi pada satu set jadwal kerja tersebut. Dengan demikian biasanya jadwal rotasi diterapkan atas dasar keadilan terhadap pekerjanya. c)
Kecepatan dan Arah Rotasi Adaptasi terhadap shift dipengaruhi oleh kecepatan rotasi dan arah dari rotasi.
Kecepatan rotasi artinya jumlah shift pagi, siang dan malam yang berturut –turut sebelum terjadinya perubahan shift. La Dou (1994) kecepatan rotasi kerja shift terbagi menjadi dua macam yaitu rotasi lambat dan rotasi cepat. Rotasi lambat
40
dimana pekerja mendapat giliran kerjanya setiap 5 hari, hal ini memberikan waktu kepada pekerja untuk beradaptasi baik secara fisiologik maupun sosial. Sedangkan rotasi cepat dimana pekerjanya mendapat giliran kerjanya setiap 1-3 hari, hal ini menyebabkan pekerja tidak pernah puas beradaptasi terhadap shift malam dan menyebabkan gangguan terhadap irama sirkardian. Sedangkan arah rotasi berarti: 1. Rotasi maju adalah menurut arah jarum jam yaitu mulai dari shift pagi ke siang kemudian malam. 2. Rotasi mundur adalah perubahan berlawanan arah jarum jam yaitu mulai dari shift pagi ke malam kemudian siang. Beberapa penelitian menganjurkan bahwa rotasi maju lebih baik daripada rotasi mundur. Karena rotasi maju lebih memudahkan untuk tidur lebih lambat dan bangun lebih telat sehingga tubuh akan merasa lebih segar dan siap untuk bekerja. d) Rasio istirahat kerja Orang yang bekerja selama 8 jam mempunyai 16 jam untuk istirahat dan melakukan aktifitas lainnya, sedangkan yang bekerja selama 12 jam hanya mempunyai sisa waktu selama 12 jam untuk istirahat, selain itu mereka masih mempunyai tanggung jawab dan tugas lain di rumah yang tidak dapat digantikan, sehingga mereka mengalami ketidakpuasan dengan waktu istirahat dan tidurnya. Oleh karena itu istirahat yang sering tapi pendek lebih bermanfaat daripada istirahat yang panjang tapi jarang, jadi perlu adanya pertimbangan tentang bagaimana istirahat selama shift dan lamanya istirahat.
41
e)
Shift yang teratur dan dapat diprediksikan Dengan melakukan penyusunan jadwal kerja shift yang teratur dan dapat
diprediksikan maka akan memudahkan bagi pekerja untuk membuat jadwal kegiatan di luar jam kerja.
Klasifikasi shift kerja berdasarkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia dalam Handayani (2008) : 1. Permanen atau tertutup Yaitu shift yang bersifat permanen atau tetap. Misalnya perawat, polisi, dan lain-lain. 2. Rotasi La Dou (1994) menggolongkan kerja shift berdasarkan beban kerja dengan rincian sebagai berikut: 1. Kontinyu dengan cakupan seimbang 24 jam sehari, 365 hari setahun, dengan beban kerja yang tetap seperti pada pabrik pembangkit tenaga nuklir, perusahaan pertambangan, kilang minyak dan lain-lain. 2. Kontinyu dengan cakupan tidak seimbang 24 jam sehari, 365 hari pertahun. Memiliki beban kerja yang tidak seragamdengan cakupan lebih banyak dibutuhkan pada shift pagi seperti industri jasa, rumah sakit, kantor polisi. 3. Cakupan shift sesuai dengan kebutuhan ekonomis, dimana waktu kerja tidak selalu 24 jam per hari, 7 hari per minggu. Shift dapat dihentikan tergantung pada iklim bisnis bila pada jam atau hari tertentu tidak perlu dilakukan, artinya
42
shift dapat dihentikan bila bisnis ekonomi sedang lesu seperti pada industri mobil, manufaktur, dan lain-lain. 4. Kerja shift yang tidak teratur, dikarenakan kerja shift hanya diperlukan sewaktu-waktu dan jadwalnya tidak bisa diperirakan seperti pada petugas kereta api, dan lain-lain.
Menurut ILO (1998), desain dari sistem kerja shift adalah sebagai berikut: 1. Permanen Yaitu kerja shift yang tidak bergilir atau tetap dimana apabila seorang pekerja mendapat shift malam maka ia akan shift malam terus. Shift malam yang permanen ini mempunyai efek negatif terhadap kehidupan keluarga, misalnya pekerja yang terkena shift malam permanen harus dapat menyesuaikan gaya hidup keluarganya dengan jadwal shiftnya, efek terhadap kehidupan seksual dan kemampuannya dalam melaksanakn tugasnya di dalam keluarga dan yang lainnya. Selain memiliki efek negatif shift malam permanen juga memiliki efek positif diantaranya pekerja memperoleh penghasilan yang lebih. Namun, pada dasarnya shift malam yang permanen tersebut dapat merusak fungsi tubuh, tidur dan kesejahteraan. Oleh karena itu sistem ini tidak dianjurkan dipakai. 2. Rotasi Sistem shift rotasi cepat lebih menguntungkan dibandingkan dengan shift yang berotasi seminggu sekali, karena shift ini dapat menjaga irama circardian sesuai dengan yang seharusnya. Selain itu sistem shift ini memungkinkan pekerja
43
memiliki lebih banyak waktu luang di sore hari untuk melakukan kegiatan sosialnya baik dengan keluarga maupun orang lain.
Pembagian menurut jumlah hari kerja malam yang berturut-turut paling sedikit ada tiga jenis (Kuswadji, 1997): 1. Metropolitan rota Pada sistem ini pekerja bekerja menurut giliran 2-2-2 (pagi, pagi, siang, siang, malam, malam, libur, libur). Sistem ini banyak dipakai di Inggris. Pada sistem ini hari libur Sabtu dan Minggu hanya terjadi sekali dalam seminggu. Tabel 2.4 Metropolitan Rota Shift System Minggu I
Minggu 2
Minggu 3
Senin Selasa Rabu Kamis Jum’at Sabtu Minggu Senin Selasa Rabu Kamis Jum’at Sabtu Minggu Senin Selasa Rabu Kamis Jum’at Sabtu Minggu
Pagi Pagi Sore Sore Malam Malam Libur Libur Pagi Pagi Sore Sore Malam Malam Libur Libur Pagi Pagi Sore Sore Malam
Minggu 5
Minggu 6
Minggu 7
Senin Selasa Rabu Kamis Jum’at Sabtu Minggu Senin Selasa Rabu Kamis Jum’at Sabtu Minggu Senin Selasa Rabu Kamis Jum’at Sabtu Minggu
Malam Malam Libur Libur Pagi Pagi Sore Sore Sore Malam Malam Libur Libur Pagi Sore Sore Malam Malam Libur Libur Pagi
44
Minggu 4
Senin Malam Minggu 8 Senin Pagi Selasa Libur Selasa Sore Rabu Libur Rabu Sore Kamis Pagi Kamis Malam Jum’at Pagi Jum’at Malam Sabtu Sore Sabtu Libur Minggu Sore Minggu Libur Keterangan : Pagi pukul 06.00 – 14.00; sore pukul 14.00 – 22.00; malam pukul 22.00 – 06.00 (waktu untuk memulai shift dapat berubah sesuai kondisi perusahaan). 2. Continental rota Pada sistem ini pekerja bekerja menurut giliran 2-2-3 (pagi, pagi, siang, siang, malam, malam, malam, libur, libur). Sistem ini banyak dipakai di negara-negara daratan Eropa. Pada sistem ini hari libur Sabtu dan Minggu akan terjadi setiap 4 minggu. Tabel 2.5 Continental Rota Shift System 1
Minggu I
Senin Pagi Minggu 3 Senin Malam Selasa Pagi Selasa Malam Rabu Sore Rabu Libur Kamis Sore Kamis Libur Jum’at Malam Jum’at Pagi Sabtu Malam Sabtu Pagi Minggu Malam Minggu Pagi Minggu 2 Senin Libur Minggu 4 Senin Sore Selasa Libur Selasa Sore Rabu Pagi Rabu Malam Kamis Pagi Kamis Malam Jum’at Sore Jum’at Libur Sabtu Sore Sabtu Libur Minggu Sore Minggu Libur Keterangan : Pagi pukul 06.00 – 14.00; sore pukul 14.00 – 22.00; malam pukul 22.00 – 06.00 (waktu untuk memulai shift dapat berubah sesuai kondisi perusahaan).
45
3. Sistem 4 orang siklus 32 jam Dalam sistem ini lepas jaga tidak ada dan tidak ada libur. Keuntungannya adalah setiap orang akan mengalami tidak kerja pagi sebanyak lima kali seminggu (baik buat mereka yang sekolah di pagi hari). Pergantian pada tengah malam, sehingga pekerja dapat selalu tidur pada malam hari (sebelum bekerja atau sesudah bekerja). Tabel 2.6 Sistem 4 orang siklus 32 jam Shift
Hari dalam seminggu SS RKJSA SS RKJSA SS RKJSA Malam ABCDABC DABCDAB CDABCDA Pagi DABCDAB CDABCDA BCDABCD Sore CDABCDA BCDABCD ABCDABC Malam BCDABCD ABCDABC DABCDAB Pagi ABCDABC DABCDAB CDABCDA Sore DABCDAB CDABCDA BCDABCD Keterangan : malam pukul 00.00 – 08.00; pagi pukul 08.00 – 16.00; sore pukul 16.00 – 24.00 (waktu untuk memulai shift dapat berubah sesuai kondisi perusahaan). ABCD : orang pertama sampai orang ke empat
Menurut awal dan akhir jam kerja shift, lama satu shift, dan keteraturannya sistem (Kuswadji, 1997) dapat dibagi sebagai berikut : 1. Sistem 3 shift biasa Masing-masing pekerja akan mengalami 8 jam kerja yang sama selama 24 jam : pagi antara pukul 06.00 – 14.00; sore antara pukul 14.00 – 22.00; malam antara pukul 22.00 – 06.00. shift pagi memungkinkan keluarga dapat makan bersama pada malam harinya, bisa mengerjakan hobby baik pada sore hari atau malamnya. Bila shift pagi dimulai terlalu pagi misalnya pukul 04.00, akan sangat melelahkan
46
dan tidur malam menjadi lebih singkat. Shift sore sangat tidak baik untuk kehidupan sosial, namun sebaliknya untuk tidur sangat menguntungkan. Shift malam buruk dipandang dari berbagai segi. Tidur terganggu akibat berbagai sebab: bising di siang hari, tidur terputus karena harus makan siang, tidur terus sampai sore. Akhirnya mereka mengalami kelelahan karena tidur yang tidak pulas. 2. Sistem Amerika Menurut sistem ini Shift pagi mulai pukul 08.00 – 16.00, shift sore antara pukul 16.00 – 24.00 dan shift malam antara pukul 24.00 – 08.00. sistem ini memberikan keuntungan fisiologik dan sosial. Kesempatan tidur akan banyak terutama pada pekerja pagi dan sore. Setiap shift akan mengalami makan bersama keluarga paling sedikit sekali dalam sehari. 3. Sistem 12-12 Di penambangan minyak lepas pantai dipakai sistem 12 – 12. Selama 12 jam shift pagi dan selama 12 jam shift malam. Jadwal antara 07.00 – 19.00 dan 19.00 – 07.00. satu minggu kerja siang dan satu minggu kerja malam. Setelah dinas 2 minggu, biasanya setelah shift malam, pulang ke rumah dan tinggal dengan keluarga. Dipandang dari sudut kesehatan kerja dan ergonomi kerja menurut cara demikian tidak baik, namun beberapa perkecualian dapat dilakukan, misalnya bila pekerjaan i ni tidak terlalu berat. Bila pekerjaan shift baik siang atau malam, harus diikuti dengan istirahat 2 hari.
47
4) Strategi dalam Penyusunan Shift Kerja Menurut La Dou (1994) terdapat beberapa strategi dalam penyusunan kerja shift, yaitu : a)
Zombie Strategy Metode ini digunakan pada perusahaan yang memiliki model kerja yang tidak
dapat diubah-ubah sesuai kebutuhan perusahaan. Sehingga dalam metode ini tubuh pekerjalah yang harus mneyesuaikan diri dengan keadaan yang ada. Metode ini cocok untuk shift yang bersifat permanen, dalam metode ini disarankan agar pekrja tidur secara bergantian dan pihak perusahaan menyediakan tempat untuk pekerja beristirahat. b) Throught-it-out Strategy Pada metode ini pekerja yang melaksnakan shift malam akan berotasi dengan cepat. Jam kerja shift malam yaitu sekitar pukul 20.00 sampai pukul 24.00. metode ini memberikan jeda waktu istirahat sebelum pekerja menjalani shift malam selala tiga hari berturut-turut kemudian diikuti dengan hari libur dan memulai kerja pada minggu berikutnya.
48
c)
Circadian Strategy Strategi ini berawal dari penyesuaian irama tubuh dan bertujuan memberikan
peluang sosialisasi bagi pekerja. Pada strategi ini pekerja melaksanakan pola shift dimulai dengan dua minggu pertama shift pagi, dua minggu kemudian shift sore dan shift malam pada minggu keliam. Dengan metode ini tubuh bisa lebih beradaptasi dengan baik. Tabel 2.7 Circadian Strategy (Richard M. Coleman) Hari
Minggu
Hari
Minggu
S
S
R
K
J
S
M
S
S
R
K
J
S
M
1
P
P
P
P
P
-
-
2
P
P
P
P
P
-
-
3
S
S
S
S
S
-
-
4
S
S
S
S
S
-
-
5
M
M
M
M
M
M
M
6
M
M
M
-
-
-
-
Sumber: scheduling Shift Work (Richard M. Coleman) Keterangan : P : Shift pagi S : Shift sore M : Shift malam : Libur d) Anchor Sleep Strategy Strategi ini merupakan kombinasi antara Zombie strategy dan circadian strategy. Pekerja dapat tidur terlambat sampai pukul 03.00 dan terbangun pada pukul 11.00, hal ini disebut owl strategy karena pekerja tidur pada siang hari seperti burung hantu. Biasanya strategi ini disukai oleh pekerja yang tidak
49
menyukai sosialisasi dan strategi ini tidak disukai oleh pekerja yang sudah berkeluarga. Tabel 2.8 Anchor Sleep Strategy (Richard M. Coleman) Anchor Sleep
Anchor Sleep
Minggu ke – 1
Minggu ke – 2
S
S
R
K
J
S
M
S
S
R
K
J
S
M
M
M
-
-
M
M
M
-
-
M
M
-
-
-
Sumber: scheduling Shift Work (Richard M. Coleman) Keterangan : M
: Shift malam
: Libur : pada hari rabu dan kamis minggu pertama serta hari senin dan selasa minggu kedua, pekerja akan tidur terlambat hingga pukul 03.00 dan terbangun sampai pukul 11.00.
e)
Fixed- shift Strategy Strategi ini lebih diutamakan pada jumlah tim yang relatif kecil dan efektif
untuk pekerja yang menjalani shift pagi dan sore namun tidak untuk pekerja shift malam.
50
Dalam Al’qur’an, Allah SWT juga telah menjelaskan bahwa Dia telah menciptakan waktu siang agar manusia bekerja dan mencari nafkah dan waktu malam merupakan waktu yang disediakan untuk istirahat. Sebagaimana tertuang dalam surat Al-Qashash : 73, Ar-Ruum : 23, dan An-Naba’ : 9-11 Al-Qashash ayat 73
Artinya: “Dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada malam itu dan supaya kamu mencari sebahagian dari karuniaNya (pada siang hari) dan agar kamu bersyukur kepada-Nya.” Pergantian siang dan malam dengan fungsinya masing-masing yaitu siang yang digunakan untuk berusaha mencari rezeki dan malam digunakan untuk istirahat melepaskan lelah, sehingga pulih kembali tenaga yang telah dipergunakan pada siang harinya, adalah suatu rahmat besar dari Allah SWT yang tak ternilai harganya, yang wajib di syukuri. Sesuatu nikmat yang tak dapat disyukuri akan hilang lenyap dicabut dan ditarik kembali oleh Allah SWT.
51
AR Ruum ayat 23
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karuniaNya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan.” Ayat ini masih membicarakan tentang tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah, alam semesta dan hubungannya dengan keadaan manusia. Pergantian siang dan malam, serta tidurnya manusia di malam hari dan bangunnya mencari rezeki di siang hari. Manusia tidur di malam hari agar badannya mendapatkan ketenangan dan istirahat, untuk memulihkan tenaga-tenaga yang digunakan waktu bangunnya. Tidur dan bangun itu silih berganti dalam kehidupan manusia, seperti silih bergantinya siang dan malam di alam semesta ini. Dengan keadaan yang silih berganti itu seperti tidur dan bangun bagi manusia. Ia akan mengetahui nikmat Allah serta kebaikan Nya. Di waktu tidur manusia akan mendapatkan makanan yang baik bagi organ tubuhnya begitu juga dia akan mendapatkan di waktu bangun pergerakan anggota tubuhnya dengan leluasa. Dalam ayat ini tidur di dahulukan dari bangun, padahal kelihatannya bangun itu lebih penting dari pada tidur. Karena di waktu bangun itu orang bekerja berusaha dan melaksanakan tugas. Tugas dan kewajibannya dalam hidup, yang terkandung dalam perkataan Nya. “dan usahamu mancari sebagian dari karunia Nya”. Agar nikmat tidur
52
itu diperhatikan. Pada umumnya manusia itu sedikit sekali yang memperhatikannya. Tidur merupakan pengasingan manusia dan kesibukan-kesibukan hidup, dan terputusnya hubungan antara jiwanya dengan Zatnya sendiri. Seakan-akan identitasnya hilang di waktu itu. Dari segi inilah kebanyakan manusia memandang tidur itu sebagai suatu hal yang tidak penting. Ini adalah pengertian yang sudah salah dalam memahami nikmat yang besar itu yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Apabila tidur dianggap sebagai nikmat nyata, maka sesungguhnya Allah SWT telah menyediakan malam sebagai waktu yang tepat untuk tidur. Tidur adalah nikmat yang jelas seperti terbaca dalam firman Allah SWT dalam Q.S Al-Qashash ayat 72 :
Artinya: Katakanlah : “Terangkanlah kepadaku, jika Allah menjadikan untukmu siang itu terus menerus sampai hari kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan malam kepadamu yang kamu beristirahat padanya? Maka apakah kamu tidak memperhatikan?”. Malam itu tak ubahnya sebagai layar yang menutupi makhluk-makhluk hidup termasuk manusia. Lalu Dia mengantarkan mereka kepada ketenangan, kemudian tidur. Sesungguhnya malam itu merupakan kekuasaan yang memaksakan kehendaknya. Sebagaimana siang yang juga merupakan kekuasaan yang memaksakan kehendaknya kepada semua makhluk hidup. Yang terdahulu untuk tidur, dan yang terakhir untuk bangun. Yang tedahulu adalah mati kecil, karena dalam waktu tidur itu Allah memegang
53
jiwa manusia kemudian dilepaskannya di wkatu dia bangun di siang hari, agar ia dapat bekerja, dan disempurnaknnya ajalnya yang telah di tentukan Nya. Allah berfirman dalam Q.S ayat Al-An’am ayat 60 :
Artinya: “Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan (umurmu) yang telah di tentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu kembali”. An-Naba’ ayat 9-11 Ayat 9:
Artinya: “Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat,” Dan Kami jadikan tidurmu pada malam hari untuk beristirahat dari kesibukan pekerjaan pada siang hari, agar mengahasilkan berbagai-bagai mata pencaharian, supaya dengan istirahat waktu tidur itu, dapat mengembalikan daya dan kekuatan untuk melangsungkan pekerjaanmu pada keesokan harinya. Seandainya tidak diselingi oleh istirahat tidur tentu kekuatan akan merosot sehingga tidak dapat melangsungkan tugas sehari-hari.
54
Ayat 10:
Artinya : “Dan Kami jadikan malam sebagai pakaian[1546],” [1546]. Malam itu disebut sebagai pakaian karena malam itu gelap menutupi jagat sebagai pakaian menutupi tubuh manusia. Dan Kami jadikan malam sebagai pakaian. Maksudnya malam itu gelap menutupi permukaan bumi sebagaimana pakaian menutup tubuh manusia. Hal itu berarti bahwa malam itu berfungsi sebagai pakaian bagi manusia yang dapat menutupi aurat manusia di waktu tidur dari pandangan orang-orang yang mungkin melihatnya. Demikian pula sebagai pakaian, maka gelap malam itu dapat melindungi dan menyembunyikan seseorang yang tidur dari bahaya atau musuh yang sedang mengancam. Ayat 11:
Artinya: “Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan,” Dan kami jadikan siang untuk berusaha dan mencari rezeki yang diperlukan dalam kehidupan dan untuk hidup bermasyarakat. Begitulah Allah memberikan umat islam nikmat begitu luar biasanya dan ajaran islam yang sangat menganjurkan kepada manusia agar menggunakan waktu dengan tepat dan sesuai dengan kebutuhan. Manusia dianjurkan untuk senantiasa hidup dengan penuh keteraturan dan keseimbangan. Namun tidak semua sektor pekerjaan yang mampu menerapkan firman Allah SWT tersebut dengan beberapa alasan, dan terkadang ada sesuatu pekerjaan tertentu yang menuntut pekerjanya untuk bekerja pada waktu malam,
55
misalnya pekerja-pekerja di Rumah Sakit. Keinginan akan hasil produksi yang maksimal mengharuskan suatu perusahaan atau instansi yang memperkerjakan tenaga kerja melakukan kerja bergilir (Shift Work) pagi, siang, dan malam yang mengharuskan karyawan dipekerjakan 24 jam dengan penjadwalan atau rotasi tertentu (Astrand, 1986). Colligan et al (1997) menyebutkan bahwa efek yang ditimbulkan dari shift kerja yaitu efek dalam waktu singkat maupun efek dalam jangka waktu yang lama. Efek kerja shift dalam waktu singkat terdiri dari perubahan irama sirkadian, terganggunya pola tidur dan gangguan psikososial. Sedangkan efek untuk jangka panjang yaitu gangguan pencernaan dan gangguan jantung. Kuswadji (1997) dalam penelitiannya mengenai pengaturan kerja pekerja shift dijelaskan bahwa terdapat beberapa gangguan kesehatan yang dirasakan oleh pekerja shift salah satunya adalah 80% akan mengalami kelelahan. Pheasant (1991) menyatakan bahwa para pekerja di sektor industri pada negara berkembang menggunakan shift kerja antara 15% dan 30%. Setiap sistem shift memiliki keuntungan dan kerugian. Dari sistem tersebut dapat menimbulkan akibat pada kenyamanan, kesehatan, kehidupan sosial, dan performance kerja. Pada penelitian yang dilakukan Yusri (2006), menunjukkan bahwa pekerja pada shift
malam mengalami kelelahan tingkat sedang yaitu sebesar 53,3%, sedangkan
pekerja pada shift pagi sebanyak 33,3% mengalami kelelahan sedang. Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kerja shift dengan kejadian kelelahan dengan p value = 0,000. Penelitian lain oleh Tarigan (2006), diketahui bahwa pekerja merasa sangat lelah paling banyak pada pekerja shift malam yaitu sebesar 50%. Pada hasil uji statistik menunjukkan bahwa shift kerja berpengaruh terhadap terjadinya kelelahan kerja.
56
Ketika bekerja shift merupakan keharusan dan tidak bisa memilih, maka ada beberapa strategi yang dapat dilakukan agar tetap sehat. Diantaranya, usahakan untuk cukup tidur agar kualitas tidur terjaga. Olahraga teratur juga sangat dianjurkan untuk menjaga daya tahan tubuh. Beberapa teknik relaksasi juga dipercaya akan menurunkan beban mental dan tingkat stress. Pilih teknik relaksasi yang paling mudah seperti mendengarkan musik yang menenangkan, bersosialisasi dengan teman, atau menekuni hobi. Selain itu, tentunya dianjurkan pula untuk mengkonsumsi diet yang sehat.
2.2.8 Keadaan yang Monoton Menurut Tarwaka et al, (2004) kelelahan yang disebabkan oleh karena kerja statis berbeda dengan kerja dinamis. Pada kerja otot statis dengan pengerahan tenaga 50% dari kekuatan maksimum otot hanya dapat bekerja selama 1 menit. Sedangkan pada pengerahan tenaga < 20% kerja fisik dapat berlangsung cukup lama. Tetapi pengerahan otot statis sebesar 15-20% akan menyebabkan kelelahan dan nyeri jika pembebanan berlangsung sepanjang hari. Pembebanan otot secara statis jika dipertahankan dalam waktu yang cukup lama akan mengakibatkan Repetitif Strain Injuries (RSI), yaitu nyeri otot, tulang, tendon, dan lain-lain yang diakibatkan oleh jenis pekerjaan yang bersifat berulang (repetitive). Pembebanan kerja fisik atau kerja otot akibat gerakan otot, baik dinamis maupun statis dapat mempengaruhi kelelahan tubuh. Kerja otot statis terjadi menetap untuk periode waktu tertentu yang menyebabkan pembuluh darah tertekan dan peredaran darah berkurang (Marfu’ah, 2007). Menurut Sisinta (2005), tidak adanya variasi kerja akan menimbulkan kejenuhan kerja. Kejenuhan ini dapat terjadi karena pekerja melakukan
57
pekerjaan yang selalu sama setiap harinya, keadaan seperti ini cukup berpotensi untuk menyebabkan terjadinya kelelahan kerja. Silaban (1998) mengemukakan bahwa kebosanan (kelelahan mental) merupakan komponen penting dalam psikologis lingkungan kerja yang disebabkan menghadapi pekerjaan yang berulang-ulang, monoton & aktifitas yang tidak menyenangkan. Keadaan ini biasanya meningkat pada pertengahan jam kerja dan menurun di akhir jam kerja.
2.2.9 Beban Kerja Merupakan volume pekerjaan yang dibebankan kepada tenaga kerja. Beban kerja yang melebihi kemampuan akan mengakibatkan kelelahan kerja (Depkes, 1991). Beban Kerja adalah beban fisik maupun non fisik yang ditanggung oleh seorang pekerja dalam menyelesaikan pekerjaannya. Dalam hal ini harus ada keseimbangan antara beban kerja dengan kemampuan individu agar tidak terjadi hambatan maupun kegagalan dalam pelaksanaan pekerjaan (Depkes, 2003) Aktivitas responden dalam menerima beban dari luar tubuhnya berupa beban kerja fisik dan beban mental (Tarwaka, et al, 2004). Tubuh manusia dirancang untuk dapat melakukan aktifitas sehari-hari. Pada saat bekerja, seseorang akan menerima beban dari luar tubuhnya. Beban tersebut dapat berupa beban fisik maupun mental. Setiap beban kerja harus sesuai dengan kemampuan fisik, kemampuan kognitif, maupun keterbatasan manusia yang menerima beban tersebut. Berat ringannya beban kerja yang diterima oleh seseorang tenaga kerja dapat digunakan untuk menentukkan berapa lama orang tersebut dapat melakukan pekerjaannya sesuai dengan kemampuandan kapasitas kerja yang bersangkutan. Semakin berat beban kerja yang diterima, maka semakin pendek waktu
58
pekerja untuk bekerja tanpa kelelahan dan gangguan fisiologis yang berarti (Tarwaka, et al, 2004). Seorang tenaga kerja memiliki kemampuan tersendiri dalam hubungannya dengan beban kerja. Mungkin diantara mereka lebih cocok untuk beban fisik, mental, atau sosial. Namun sebagai persamaan yang umum, mereka hanya mampu memikul beban sampai suatu berat tertentu. Bahkan ada beban yang dirasa optimal bagi seseorang. Inilah maksud penempatan seorang tenaga kerja yang tepat pada pekerjaan yang tepat (Depnaker, 1990). Beban kerja dapat ditentukan dengan merujuk kepada jumlah kalori yang dikeluarkan dalam melakukan pekerjaan per satuan waktu. Beban kerja dihitung dengan menggunakan rumus estimating metabolic heat production rates by task analysis, seperti yang tertera pada tabel 2.9 : Tabel 2.9 Penilaian pekerjaan A.
B.
Posisi dan pergerakan badan Sitting Standing Walking Walking uphill Type of Work Hand Work Light Heavy Work, one arm: Light Heavy Work, both arms: Light Heavy
kcal/min 0,3 0,6 2,0-3,0 Add 0,8 kcal per meter rise Average Range (kcal/min) (kcal/min) 0,4 0,9
0,2-1,2
1,0 1,8
0,7-2,5
1,5 2,5
1,0-3,5
59
Work, whole body 3,5 Light 5,0 2,5-9,0 Moderate 7,0 Heavy 9,0 Very Heavy 1,0 1,0 C. Basal Metabolism 2 *For a “standard” worker of 70 kg body weight (154 lbs) and 1,8 m body surface (19,4 ft2). Sumber: Criteria for recommended Standard Occupational Exposure to Hot Environments. Revised Standard 1986, NIOSH
Tabel 2.10 NAB Iklim Kerja Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB) Berdasarkan TLV 2007 Pengaturan waktu kerja Setiap jam Waktu kerja Ringan Sedang Berat 75% - 100% 31,0 28,0 50% - 50% 31,0 29,0 27,5 25% - 50% 32,0 30,0 29,0 0 - 25% 32,5 31,5 30,5 Sumber: TLV and BEIs Tahun 2007 Catatan: - Beban kerja ringan membutuhkan kalori 180 Kkal/jam - Beban kerja sedang membutuhkan kalori 180 – 300 Kkal/jam - Beban kerja berat membutuhkan kalori 300 – 415 Kkal/jam - Beban kerja sangat berat membutuhkan kalori 520 Kkal/jam
Sangat Berat
27,9 30,0
60
Perkiraan panas metabolik dapat dilakukan dengan menggunakan estimasi panas metabolik berdasarkan TLV 2007. Tabel berikut dibawah ini menunjukkan klasifikasi tingkat metabolisme tubuh berdasarkan aktivitas. Tabel 2.11 Tingkat Metabolik Tubuh Berdasarkan TLV 2007 Kategori
Tingkat Metabolik
Istirahat
115 Kkal/jam
Ringan
180 Kkal/jam
Sedang
300 Kkal/jam
Berat
415 Kkal/jam
Sangat Berat
520 Kkal/jam
Penelitian mengenai beban kerja dengan kelelahan kerja yang dilakukan diperoleh hasil bahwa pekerja yang mengalami kelelahan kerja lebih banyak pada pekerja dengan beban kerja berat yaitu sebanyak 41 orang (60,3%). Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan nilai pvalue 0,042 yang berarti bahwa ada hubungan bermakna antara beban kerja dengan kelelahan kerja atau semakin berat beban kerja semakin berat tingkat kelelahan kerja. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Farida (2008) pada pekerja pembuatan tahu, berdasarkan hasil uji statistik yang disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara beban kerja dengan tingkat kelelahan dengan nilai pvalue = 0,001. Handayani (2005) dalam penelitiannya didapatkan hasil bahwa rata-rata denyut nadi kerja yaitu 127,98 denyut/menit. Hasil uji statistik menyatakan bahwa ada hubungan bermakna anatara beban kerja dengan tingkat kelelahan (p=0,004).
61
2.2.10 Risiko Ergonomi Pekerjaan Postur tubuh dapat didefinisikan sebagai orientasi reaktif dari bagian tubuh terhadap ruang. Untuk melakukan orientasi tubuh tersebut selama beberapa rentang waktu dibutuhkan kerja otot untuk menyangga atau menggerakkan tubuh. Postur yang diadopsi manusia saat melakukan beberapa pekerjaan adalah hubungan antara dimensi tubuh pekerja dengan dimensi beberapa benda dalam lingkungan kerjanya (pheasant, 1991). Posisi dalam kerja sangat ditentukan oleh jenis pekerjaan yang dilakukan, masingmasing posisi kerja mempunyai pengaruh yang berbeda-beda terhadap tubuh. Menurut Soeripto (1989), perencanaan dan penyesuaian alat yang tepat bagi tenaga kerja dapat meningkatkan produktifitas, menciptakan keselamatan dan kesehatan kerja serta kelestarian lingkungan kerja, dan juga memperbaiki kualitas produk dari suatu proses produksi. 1) Metode Pengukuran RULA RULA atau Rapid Upper Limb Assessment Tool adalah sebuah penilaian yang mudah terhadap beban otot rangka pada anggota tubuh atas (upper limb) yaitu leher dan tangan. RULA digunakan untuk menilai postur, beban dan gerakan yang berhubungan dengan pekerjaan statis. Empat kegunaan RULA adalah: a. Mengukur resiko gangguan otot rangka, biasanya sebagai investigasi ergonomi pendahuluan. b. Membandingkan beban otot rangka pada desain tempat kerja (workstation) aktual dan dimodifikasi. c. Evaluasi outcome seperti produktivitas dan kelayakan peralatan. d. Mendidik pekerja tentang risiko otot rangka karena postur kerja yang berbeda.
62
RULA adalah salah satu dari beberapa alat penilaian observasi postur yang berguna dalam analisis pekerjaan. RULA penting sebagai sebuah alat investigasi ergonomi awal. Saat menilai pekerjaan yang terdapat manual handling, gerakan seluruh tubuh atau risiko tulang belakang dan kaki, maka dibutuhkan tambahan alat penilaian seperti REBA (McAtamney dan Corlett, 1993). Kelebihan RULA adalah dapat menilai postur kerja dan hubungan tingkatan risiko dalam waktu singkat; tidak membutuhkan peralatan, kecuali pulpen dan kertas; dapat digunakan untuk menilai sebagian tugas atau postur individu atau kelompok tertentu; membandingkan keberadaan serta tujuan disain tempat kerja untuk dilakukan suatu perubahan ergonomi; dan menyediakan pengukuran objektif yang perubahannya dapat disarankan dan diinvestigasi dengan tujuan utama yaitu mengimplementasikan solusi praktek terbaik. Sedangkan kekurangan RULA adalah: tidak didisain untuk menyediakan postur secara rinci; dan membutuhkan tools lain untuk investigasi ergonomi yang lebih rinci. a. Penilaian postur tubuh group A Postur tubuh grup A terdiri atas lengan atas (upper arm), lengan bawah (lower arm), pergelangan atas (wrist) dan putaran pergelangan tangan (wrist twist). 1. Lengan atas (Upper arm) Penilaian terhadap lengan atas (upper arm) adalah penilaian yang dilakukan terhadap sudut yang dibentuk lengan atas pada saat melakukan aktivitas kerja. Sudut yang dibentuk lengan atas pada saat melakukan aktivitas kerja. Sudut yang dibentuk oleh lengan atas diukur menurut posisi batang tubuh. Adapun postur lengan atas (upper arm) dapat dilihat pada gambar 2.1
63
Gambar 2.1 Postur Tubuh Bagian Lengan Atas (Upper Arm) Skor penilaian untuk postur tubuh bagian lengan atas (upper arm) dapat dilihat pada tabel 2.11. Tabel 2.12 Skor Bagian Lengan Atas (Upper Arm) Pergerakan
Skor
20 (ke depan maupun ke belakang dari tubuh)
1
Skor perubahan
0
› 200 (ke belakang) atau 200 - 450 450 - 900 › 900
2
+ 1 jika bahu naik + 1 jika lengan berputar bengkok
3 4
2. Lengan Bawah (lower arm) Penilaian terhadap lengan bawah (lower arm) adalah penilaian yang dilakukan terhadap sudut yang dibentuk lengan bawah pada saat melakukan aktivitas kerja. Sudut yang dibentuk oleh lengan bawah diukur menurut posisi
64
batang tubuh. Adapun postur lengan bawah (lower arm) dapat dilihat pada gambar 2.2.
Gambar 2.2 Postur Tubuh Bagian Lengan Bawah (Lower Arm) Skor penilaian untuk bagian lengan bawah (lower arm) dapat dilihat pada tabel 2.12. Tabel 2.13 Skor Lengan Bawah (lower arm) Pergerakan 0
0
60 - 100 0
‹ 60 atau 100
0
Skor
Skor Perubahan
1
Jika lengan bawah bekerja melewati garis tengah atau keluar dari sisi tubuh
2
3. Pergelangan Tangan Penilaian terhadap pergelangan tangan (wrist) adalah penilaian yang dilakukan terhadap sudut yang dibentuk oleh pergelangan tangan pada saat melakukan aktivitas kerja. Sudut yang dibentuk oleh pergelangan tangan diukur menurut posisi lengan bawah. Adapun postur pergelangan tangan (wrist) dapat dilihat pada gambar 2.3.
65
Gambar 2.3 Postur Tubuh Pergelangan Tangan (Wrist) Skor penilaian untuk bagian pergelangan tangan (wrist) dapat dilihat pada tabel 2.13. Tabel 2.14 Skor Pergelangan Tangan (wrist) Pergerakan Posisi netral
Skor 1
Skor perubahan
00-150 (ke atas maupun ke bawah)
2
+ 1 jika pergelangan tangan putaran menjauhi sisi tengah
› 150 (ke atas maupun ke bawah)
3
4. Putaran Pergelangan Tangan (wrist twist) Adapun postur putaran pergelangan tangan (wrist twist) dapat dilihat pada gambar 2.4.
Gambar 2.4 Postur Tubuh Putaran Pergelangan Tangan (wrist twist)
66
Untuk putaran pergelangan tangan (wrist twist) postur netral di beri skor : 1 = Posisi tengah dari putaran 2 = Pada atau dekat dari putaran Nilai dari postur lengan atas, lengan bawah, pergelangan tangan, dan putaran pergelangan tangan dimasukkan ke dalam tabel postur tubuh grup A untuk memperoleh skor seperti terlihat pada tabel ... Tabel 2.15 Skor Group A Wrist Upper Lower Arm Arm
1
2
3
4
5
6
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
1
2
3
4
Wrist Twist Wrist Twist Wrist Twist Wrist Twist 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 2 2 2 3 3 3 2 2 2 2 3 3 3 3 2 3 2 3 3 3 4 4 2 2 2 3 3 3 4 4 2 2 2 3 3 3 4 4 2 3 3 3 3 4 4 5 2 3 3 3 4 4 5 5 2 3 3 3 4 4 5 5 2 3 3 4 4 4 5 5 3 4 4 4 4 4 5 5 3 4 4 4 4 4 5 5 3 4 4 5 5 5 6 6 5 5 5 5 5 6 6 7 5 6 6 6 6 7 7 7 6 6 6 7 7 7 7 8 7 7 7 7 7 8 8 9 7 8 8 8 8 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
67
2. Penambahan Skor Aktivitas Setelah diperoleh hasil skor untuk postur tubuh grup A pada tabel 2.14, maka hasil skor tersebut ditambahkan dengan skor aktivitas. Penambahan skor aktivitas tersebut berdasarkan kategori yang dapat dilihat pada tabel 2.15. Tabel 2.16 Skor Aktivitas Aktivitas Postur statik
Skor +1
Keterangan Satu atau lebih bagian tubuh statis/diam
Pengulangan
+1
Tindakan dilakukan berulang-ulang lebih dari 4 kali permenit
3. Penambahan Skor Beban Setelah diperoleh hasil penambahan dengan skor aktivitas untuk postur tubuh grup B pada table 2.15, maka hasil skor tersebut ditambahkan dengan skor beban. Penambahan skor beban tersebut berdasarkan kategori yang dapat dilihat pada tabel 2.16. Tabel 2.17 Skor Beban Beban ‹ 2 Kg 2 Kg – 10 Kg › 10 Kg
Skor 0 1 3
Keterangan + 1 jika postur statis dan dilakukan berulang-ulang -
68
b. Penilaian Postur Tubuh Group B Postur tubuh grup B terdiri atas leher (neck), batang tubuh (trunk), dan kaki (legs). 1. Leher (neck) Penilaian terhadap leher (neck) adalah penilaian yang dilakukan terhadap posisi leher pada saat melakukan aktivitas kerja apakah harus melakukan kegiatan ekstensi atau fleksi dengan sudut tertentu. Adapun postur leher (neck) dapat dilihat pada gambar 2.5.
Gambar 2.5 Postur Tubuh Bagian Leher (Neck) Skor penilaian untuk leher (neck) dapat dilihat pada tabel 2.17. Tabel 2.18 Skor Bagian Leher (neck) Pergerakan 00 - 100 100 - 200 › 200 Ekstensi
Skor 1 2 3 4
Skor Perubahan + 1 jika leher berputar/bengkok + 1 batang tubuh bengkok
69
2. Batang Tubuh (Trunk) Penilaian terhadap batang tubuh (trunk), merupakan penilaian terhadap sudut yang dibentuk tulang belakang tubuh saat melakukan aktivitas kerja dengan kemiringan
yang sudah diklasifikasikan. Adapun klasifikasi
kemiringan batang tubuh saat melakukan aktifitas kerja dapat dilihat pada gambar 2.6
Gambar 2.6 Postur Tubuh Bagian Batang Tubuh (Trunk) Skor penilaian bagian batang tubuh (trunk) dapat dilihat pada tabel 2.18. Tabel 2.19 Skor Bagian Batang Tubuh (Trunk) Pergerakan Skor Posisi normal (900) 1 0 0 0 - 20 2 0 0 20 - 60 3 › 600 4
Skor Perubahan +1 jika leher berputar/bengkok +1 jika batang tubuh bungkuk
3. Kaki (Legs) Penilaian terhadap kaki (legs), merupakan penilaian yang dilakukan terhadap posisi kaki pada saat melakukan aktivitas kerja apakah bekerja dengan posisi normal/seimbang atau bertumpu pada satu kaki lurus. Adapun posisi kaki dapat dilihat pada gambar 2.7.
70
Gambar 2.7 Posisi Kaki (Legs) Skor penilaian untuk kaki (legs) dapat dilihat pada tabel 2.19. Tabel 2.20 Skor Bagian Kaki (Legs) Pergerakan Posisi normal/seimbang Tidak seimbang
Skor 1 2
Nilai dari skor postur tubuh leher, batang tubuh, dan kaki dimasukkan ke tabel 2.20 untuk mengetahui skornya. Tabel 2.21 Skor Group B Trunk Posture Score
1 Legs
Neck 1 2 3 4 5 6
1 1 2 3 5 7 8
2 Legs 2 3 3 3 5 7 8
1 2 2 3 5 7 8
2 3 3 4 6 7 8
Trunk Posture Score 3 4 Legs Legs 1 2 1 2 3 4 5 5 4 5 5 5 4 5 5 6 6 7 7 7 7 8 8 8 8 8 8 9
5 Legs 1 6 6 6 7 8 9
6 Legs 2 6 7 7 7 8 9
1 7 7 7 8 8 9
2 7 7 7 8 8 9
71
4. Penambahan Skor Aktifitas Setelah diperoleh hasil skor untuk postur tubuh grup B pada tabel 2.20, maka hasil skor tersebut ditambahkan dengan skor aktivitas. Penambahan skor aktivitas tersebut berdasarkan kategori yang dapat dilihat pada tabel 2.21. Tabel 2.22 Skor Aktivitas Aktivitas
Skor
Keterangan
Postur statik
+1
Satu atau lebih bagian tubuh statis/diam
Pengulangan
+1
Tindakan dilakukan berulang-ulang lebih dari 4 kali permenit
5. Penambahan Skor Beban Setelah diperoleh hasil penambahan dengan skor aktivitas untuk postur tubuh grup B pada tabel 2.21, maka hasil skor tersebut ditambahkan dengan skor beban. Penambahan skor beban tersebut berdasarkan kategori yang dapat dilihat pada tabel 2.22. Tabel 2.23 Skor Beban Beban ‹ 2 Kg
Skor 0
2 Kg – 10 Kg
1
› 10 Kg
3
Keterangan + 1 jika postur statis dan dilakukan berulang-ulang -
72
Tabel 2.24 Grand Total Score Table Score Group A 1 2 3 4 5 6 7 +8
Score Group B 1
2
3
4
5
6
7
1 2 3 3 4 4 5 5
2 2 3 3 4 4 5 5
3 3 3 3 4 5 6 6
3 4 4 4 5 6 6 7
4 4 4 5 6 6 7 7
5 5 5 6 7 7 7 7
5 5 6 6 7 7 7 7
Hasil skor dari tabel 2.23 tersebut diklasifikasikan kedalam beberapa kategori level resiko pada tabel 2.24. Tabel 2.25 Kategori Tindakan RULA Kategori Tindakan 1-2
Level Resiko
Tindakan
Minimum
Aman Diperlukan beberapa waktu ke depan Tindakan dalam waktu dekat Tindakan sekarang juga
3-4
Kecil
5-6
Sedang
7
Tinggi
2) Metode Pengukuran REBA Stanton et, al (2005) menyatakan Rapid Entire Body Assesment (REBA) telah mengembangkan untuk menilai jenis dari postur pekerjaan yang tidak bisa diprediksi, ini didapat pada jasa pelayanan kesehatan dan jasa industri lainnya. Data dikumpulkan mengenai postur tubuh, besarnya gaya yang digunakan, tipe dari pergerakan aksi, gerakan berulang-ulang, dan rangkaiannya. Hasil dari skor REBA
73
adalah dihasilkan untuk memperlihatkan sebuah indikasi dari tingkat risiko dan kondisi penting untuk tindakan yang akan diambil. Metode REBA digunakan untuk menilai postur pekerjaan. Metode REBA dapat digunakan ketika mengidentifikasi penilaian ergonomi di tempat kerja yang membutuhkan analisa postural lebih lanjut adalah diwajibkan dan untuk: 1. Keseluruhan tubuh pekerja digunakan, 2. Postur statis, dinamis, perubahan cepat dan tidak stabil, 3. Barang dengan beban berat atau tidak berat yang ditangani merupakan salah satu yang sering dilakukan atau yang tidak sering dilakukan. 4. Modifikasi di tempat kerja, peralatan, pelatihan, atau risiko perilaku yang diambil pekerja yang diamati sebelum atau sesudah pengamatan. Dalam prosedur penilaian dengan menggunakan metode REBA terdapat 6 tahap (Stanton et al, 2005), yaitu: a. Mengamati tugas (observasi pekerjaan) Mengamati tugas untuk merumuskan sebuah penilaian tempat kerja ergonomi yang umum, termasuk akibat dari tata letak dan lingkungan pekerjaan, penggunaan peralatan-peralatan dan perilaku pekerja dengan menghitungkan risiko. Jika mungkin, rekam data menggunakan kamera atau video kamera. b. Memilih Postur untuk Penilaian Menentukan postur mana yang akan digunakan untuk menganalisis pengamatan pada langkah 1. Kriteria berikut ini dapat digunakan: 1. Postur yang paling sering diulang, 2. Postur yang alami dipertahankan,
74
3. Postur yang membutuhkan aktivitas otot atau tenaga paling besar, 4. Postur yang menyebabkan ketidaknyamanan, 5. Postur ekstrim, tidak stabil, terutama ketika tenaga dikerahkan, 6. Postur ditingkatkan melalui intervensi, pengukuran kendali atau perubahan lainnya. Keputusan dapat didasari pada satu atau lebih dari kriteria diatas. Kriteria untuk memutuskan postur yang dianalisis harus dilaporkan dengan mencantumkan hasil atau rekomendasi. c. Memberi Nilai pada Postur Gunakan lembar penilaian dan nilai bagian tubuh untuk menilai postur. Nilai awal adalah untuk kelompok A yaitu batang tubuh, leher, dan kaki. Kelompok B yaitu lengan atas, lengan bawah, dan pergelangan tangan. Untuk postur kelompok B dinilai terpisah untuk sisi kiri dan kanan. Catat poin tambahan yang dapat ditambahkan atau dikurangi, tergantung pada posisi. Sebagai contoh, dikelompok B lengan atas dapat ditunjang pada posisinya, sehingga nilainya dikurangi 1 dari nilai lengan atas tersebut. d. Memproses Nilai Tabel A digunakan untuk mendapatkan nilai tunggal dari batang tubuh, leher dan kaki. Nilai ini di catat di tabel lembar penilaian dan di tambah dengan nilai beban untuk mendapatkan nilai A, untuk tabel B merupakan penilaian dari lengan atas, lengan bawah, dan pergelangan tangan. Bagian-bagian dari tabel B yang diukur yaitu bagian kanan dan kiri. Nilai kemudian ditambah dengan nilai genggaman tangan untuk menghasilkan nilai B. Nilai A dan B dimasukkan ke
75
dalam tabel C, kemudian di dapatkan sebuah nilai tunggal, yaitu nilai C, kemudian di perolehlah nilai REBA sesuai tabel level hasil REBA. e. Menetapkan nilai REBA Jenis aktivitas yang dilakukan diwakili oleh nilai aktivitas yang ditambahkan dengan nilai C untuk memberi nilai REBA (akhir). f. Menentukan action level Nilai level risiko REBA kemudian dibandingkan dengan nilai level perubahan, yaitu kumpulan nilai yang paling sering berhubungan untuk mengetahui tingkat pentingnya membuat suatu perubahan. g. Penilaian Ulang Jika tugas berubah menjadi pengukuran pengendalian prosesnya dapat diulang. Nilai REBA yang baru dapat dibandingkan dengan yang sebelumnya untuk memonitor efektifitas perubahan. Berdasarkan REBA Employee Assesment Worksheet (Hignett McAtamney, 2000 dalam stanton, 2005) Pertimbangan mengenai tugas atau pekerjaan kritis dari pekerjaan. Untuk masing-masing tugas, menilai faktor postur untuk menetapkan skor kepada masing-masing bagian tubuh, lembar data telah menyediakan sebuah format untuk proses penilaian ini. Skor dari tabel A dihasilkan dari nilai group A skor postur (tubuh, leher, dan kaki) yaitu:
76
1) Postur Leher Penilaian posisi leher yaitu skor 1 (posisi leher 00 - 200 ke depan), skor 2 (posisi leher > 200 ke depan dan ke belakang), skor +1 (jika leher berputar atau miring ke kanan dan atau ke kiri, serta ke atas dan atau ke bawah).
Sumber : www.human.conell.edu Gambar 2.8 Penilaian Group A Posisi Leher 2) Postur Punggung Penilaian posisi punggung adalah skor 1 (posisi punggung lurus atau 00), skor 2 (posisi 00 - 200 ke depan dan ke belakang), skor 3 (posisi 200 - 600 ke depan dan > 200 ke belakang), skor 4 (posisi > 600 ke depan), skor +1 (jika punggung berputar atau miring ke kanan dan atau ke kiri, serta ke atas dan atau ke bawah).
Sumber : www.human.conell.edu Gambar 2.9 Penilaian Group A Posisi Punggung
77
3) Postur Kaki Penilaian posisi kaki yaitu skor 1 (tubuh bertumpu pada kedua kaki, jalan, duduk), skor 2 (berdiri dengan satu kaki, tidak stabil), skor +1 (jika lutut ditekuk 300 - 600), skor +2 (jika lutut ditekuk > 600 ke depan).
Sumber : www.human.conell.edu Gambar 2.10 Penilaian Group A Posisi kaki Tabel 2.26 Penilaian Skor Tabel A Tabel A
Trunk
Legs 1 Posture 2 3 4 Score 5
Neck 2
1 1 1 2 2 3 4
2 2 3 4 5 6
3 3 4 5 6 7
4 4 5 6 7 8
1 1 3 4 5 6
2 2 4 5 6 7
3 3 5 6 7 8
3 4 4 6 7 8 9
1 1 4 5 6 7
2 2 5 6 7 8
3 3 6 7 8 9
4 4 7 8 9 9
Tabel A merupakan penggabungan nilai dari group A untuk skor postur tubuh, leher dan kaki. Sehingga didapatkan skor tabel A. Kemudian skor tabel A dilakukan penjumlahan terhadap besarnya beban atau gaya yang dilakukan operator dalam melaksanakan aktifitas.
78
Tabel 2.27 Penilaian Skor Beban Score Load/Force
0 ‹ 5 Kg
1 5-10 Kg
2 › 10 Kg
Plus 1 Bila ada gerakan
perputaran
atau
Skor A adalah penjumlahan dari skor tabel A dan skor beban atau besarnya gaya. Skor tabel A ditambah 0 (nol) apabila berat badan atau besarnya gaya dinilai < 5 Kg, ditambah 1 (satu) bila berat badan atau besarnya gaya antara kisaran 5-10 Kg, ditambah 2 (dua) bila berat badan atau besarnya gaya dinilai > 10 Kg. Pertimbangan mengenai tugas atau pekerjaan kritis dari pekerja, bila terdapat gerakan perputaran (twisting) hasil skor berat beban ditambah 1 (satu). Melihat skor dari tabel B untuk Group B postur (lengan atas, lengan bawah, dan pergelangan tangan). 1) Postur Lengan Atas Penilaian posisi bahu (lengan atas) yaitu skor 1 (posisi bahu 00 - 200 ke depan dan ke belakang), skor 2 (posisi bahu > 200 ke belakang, dan 200 - 400 ke depan), skor 3 (posisi bahu antara 450 - 900), skor 4 (posisi bahu > 900 ke atas), skor +1 (jika lengan berputar atau bahu dinaikkan atau di beri penahan), skor -1 (jika lengan di bantu oleh alat penopang terdapat orang yang membantu).
79
Sumber : www.human.conell.edu Gambar 2.11 Penilaian Group A Posisi Lengan Atas 2) Postur Lengan Bawah Penilaian area siku yaitu skor 1 (posisi lengan 600 - 1000 ke depan), skor 2 (posisi lengan antara 00 - 600 ke bawah, dan > 1000 ke atas).
Sumber : www.human.conell.edu Gambar 2.12 Penilaian Group A Posisi Lengan Bawah 3) Postur Pergelangan Tangan Penilaian area pergelangan tangan yaitu skor 1 (posisi pergelangan tangan 00 150 ke depan dan ke belakang), skor 2 (posisi pergelangan tangan > 150 ke depan dan ke belakang), skor +1 (jika terdapat penyimpangan pada pergelangan).
Sumber : www.human.conell.edu Gambar 2.13 Penilaian Group A Posisi Pergelangan Tangan
80
Kemudian untuk menghasilkan skor B mengikuti tabel lembar pengumpulan data untuk grup B : Tabel 2.28 Penilaian Skor Tabel B Tabel B
Lower Arm/Elbows 1
2
Upper
Wrist 1 2 3 1 2 3 1 1 2 2 1 2 3 Arm 2 1 2 3 2 3 4 3 3 4 5 4 5 5 4 4 5 5 5 6 7 5 6 7 8 7 8 8 Score 6 7 8 8 8 9 9 Tabel B merupakan penggabungan nilai dari group B untuk skor postur lengan atas, lengan bawah, dan pergelangan tangan. Sehingga didapatkan skor tabel B. Kemudian skor tabel B dilakukan penjumlahan terhadap perangkai atau coupling dari setiap masing-masing bagian tangan. Tabel 2.29 Penilaian Skor Coupling Score 0
Kategori Good
1
Fair
2
Poor
3
Unacceptable
Pertimbangan Penilaian Well Fitting Handle and a Mid-Range Power Grip Hand Hold is Acceptable but not Ideal or Coupling is Accessible via another part of the body Hand hold is not Acceptable although possible Awkward, Unsafe Grip, no handles, coupling is unaceptable using any other parts of the body
81
Skor B adalah penjumlahan dari skor tabel B dan perangkai atau coupling dari setiap masing-masing bagian tangan. Skor tabel B di tambah 0 (nol) yang berarti good atau terdapat pegangan pada beban dan operator mengangkat beban hanya dengan menggunakan separuh tenaga, di tambah 1 (satu) yang berarti fair atau terdapat pegangan pada beban walaupun bukan merupakan tangakai pegangan dan operator mengangkat beban dengan dibantu menggunakan tubuh lain, di tambah 2 (dua) yang berarti poor atau tidak terdapat pegangan pada beban, dan ditambah 3 (tiga) yang berarti unacceptable atau tidak terdapat pegangan yang aman pada beban dan operator mengangkat beban tidak dapat dibantu oleh anggota tubuh lain. Skor C adalah dengan melihat tabel C, yaitu memasukkan skor tersebut dengan skor A dan skor B. Berikut ini adalah tabel skor C. Tabel 2.30 Penilaian Skor C Score B 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 1 1 1 2 3 3 4 5 6 7 2 1 2 2 3 4 4 5 6 6 7 3 2 3 3 3 4 5 6 7 7 8 4 3 4 4 4 5 6 7 8 8 9 5 4 4 4 5 6 7 8 8 9 9 6 6 6 6 7 8 8 9 9 10 10 7 7 7 7 8 9 9 9 10 10 11 8 8 8 8 9 10 10 10 10 10 11 9 9 9 9 10 10 10 11 11 11 12 10 10 10 10 11 11 11 11 12 12 12 11 11 11 11 11 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 Skor REBA adalah penjumlahan dari skor C dan skor aktivitas.
11 7 7 8 9 9 10 11 11 12 12 12 12
12 7 8 8 9 9 10 11 11 12 12 12 12
82
Berikut ini adalah tabel untuk skor aktivitas. Tabel 2.31 Penilaian Skor Aktivitas Score
Criteria Activity Score
Plus 1
One or Body parts are static for longer than 1 minute
Plus 1
Repeated small range actions e.g. repeated more than 4 times per minute (not including walking)
Plus 1
Action causes rapid large change in posture or an unstable base
Skor C di tambah 1 (satu) dengan skor aktifitas apabila satu atau beberapa bagian tubuh bergerak secara statis untuk waktu yang lebih dari satu menit, terdapat beberapa pengulangan pergerakan 4 (empat) kali dalam satu menit (belum termasuk berjalan), dan pergerakan atau perubahan postur lebih cepat dengan dasar yang tidak stabil. Tahap terakhir dari REBA menilai action level dari hasil final skor REBA. Berikut ini adalah tabel Action level dari metode REBA. Tabel 2.32 Level aksi dari skor REBA REBA Score
Risk Level
Action (Including Further Assessment)
1
Sangat rendah
Tidak perlu diubah
2 s/d 3
Rendah
Mungkin butuh perubahan
4 s/d 7
Sedang
Butuh perubahan
8 s/d 10
Tinggi
Secepatnya diubah
11 s/d 15
Sangat tinggi
Harus diubah sekarang juga
Level risiko dinilai sangat rendah bila skor REBA sama dengan 1 (satu) sehingga tidak perlu ada tindakan pengendalian. Tingkat risiko rendah bila skor REBA antara
83
2 sampai dengan 3, maka dimungkinkan perlu dilakukan pengendalian. Tingkat risiko sedang bila skor REBA antara 4 sampai dengan 7, maka perlu dilakukan tindakan pengendalian. Tingkat risiko sedang bila skor REBA antara 8 sampai dengan 10, maka perlu dilakukan tindakan pengendalian segera. Tingkat ririko sangat tinggi bila skor REBA antara 11 sampai dengan 15, maka perlu dilakukan tindakan pengendalian sekarang juga dan perlu mendapat perhatian lebih lanjut. Melihat keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa kelebihan menggunakan metode REBA adalah sebagai alat analisis postur yang cukup sensitif untuk postur kerja yang sukar diprediksi dalam bidang perawatan kesehatan dan industri lainnya. REBA melakukan assessment berdasarkan postur-postur yang terjadi dari beberapa bagian tubuh dan melihat beban atau tenaga yang dikeluarkan serta aktifitasnya. Perubahan nilai-nilai disediakan untuk setiap bagian tubuh, yang dimaksud untuk memodifikasi nilai dasar jika terjadi perubahan atau pertambahan faktor risiko dari setiap pergerakan atau postur yang dilakukan. Berdasarkan
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Asmara
(2008)
dengan
menggunakan metode REBA yaitu menunjukkan bahwa sebesar 4,34% postur dengan action level 1; 73,91% postur dengan action level 2; 21,73% postur dengan action level 3 untuk stasiun pemasakan dan penyaringan pada tangan kanan. 30,43% postur dengan action level 1; 56,52% postur dengan action level 2; 13,04% postur dengan action level 3 untuk stasiun pemasakan dan penyaringan pada tangan kiri. Dan terdapat 84,61% postur dengan action level 2; 15,38% postur dengan action level 3 untuk stasiun pemotongan pada tangan kanan. 15,38% postur dengan action
84
level 1; 76,92% postur dengan action level 2; 7,69% postur dengan action level 3 untuk stasiun pemotongan pada tangan kiri. 2.2.11 Faktor Lingkungan Kerja Di tempat kerja terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi lingkungan kerja seperti faktor fisik, faktor kimia, faktor biologis dan faktor psikologis. Semua faktor tersebut dapat menimbulkan gangguan terhadap suasana kerja dan berpengaruh terhadap kesehatan dan keselamatan tenaga kerja (Tarwaka et, al, 2004). Menurut Fitriarni (2000) dalam Umyati (2009) bahwa faktor lingkungan seperti suhu, kebisingan, pencahayaan dan getaran akan berpengaruh terhadap kenyamanan fisik, sikap mental, dan kelelahan kerja. Faktor fisik merupakan komponen yang terdapat dilingkungan kerja seperti iklim kerja, kebisingan, penerangan, getaran dan radiasi, yang biasanya mempengaruhi tenaga kerja (Dep.Naker, 2004). 1) Suhu Suhu nikmat bekerja sekitar 24-260C bagi orang-orang indonesia. Suhu dingin mengurangi efisiensi dengan keluhan kaku atau kurangnya koordinasi otot. Suhu panas terutama berakibat menurunnya prestasi kerja pikir. Penurunan sangat hebat sesudah 320C. Suhu panas mengurangi kelincahan, memperpanjang waktu reaksi dan waktu pengambilan keputusan, mengganggu kecermatan kerja otak, mengganggu koordinasi syaraf perasa dan motoris (Suma’mur, 1996). Standar suhu lingkungan kerja menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 405/Menkes/SK/XI/2002 yaitu 18-300C. Dari suatu penyelidikan diperoleh hasil bahwa produktivias kerja manusia akan mencapai tingkat yang paling tinggi pada temperatur sekitar 24 derajat Celsius sampai 27 derajat Celsius (Sritomo Wigjosoebrata, 2003).
85
Suma’mur (1992) dalam Umyati (2009) menyatakan pada suhu udara yang panas dan lembab, makin tinggi kecepatan aliran udara malah akan makin membebani tenaga kerja. Pada tempat kerja dengan suhu udara yang panas maka akan menyebabkan proses pemerasan keringat. Beberapa hal buruk berkaitan dengan kondisi demikian dapat dialami oleh tenaga kerja, salah satunya kelelahan kerja. Pekerja yang mengalami kondisi demikian, sulit untuk mampu bereproduksi tinggi. Akibat kelelahan kerja tersebut, para pekerja menjadi kurang bergairah kerja, daya tanggap dan rasa tanggung jawab menjadi rendah, sehingga seringkali kurang memperhatikan kualitas produk kerjanya. 2) Kebisingan Kebisingan merupakan suara atau bunyi yang tidak dikehendaki karena pada tingkat atau intensitas tertentu dapat menimbulkan gangguan, terutama merusak alat pendengaran. Kebisingan akan mempengaruhi faal tubuh seperti gangguan pada saraf otonom yang ditandai dengan bertambahnya metabolisme, bertambahnya tegangan otot sehingga mempercepat kelelahan (Setiarto, 2002). Menurut Suma’mur (1996) bunyi didengar sebagai rangsangan pada telinga oleh getaran-getaran melalui media elastis, dan manakala bunyi-bunyi tersebut tidak dikehendaki, maka dinyatakan sebagai kebisingan. Terdapat dua hal yang menentukkan kualitas suatu bunyi, yaitu frekuensi dan intensitasnya. Frekuensi dinyatakan dalam jumlah getaran per detik atau disebut hertz (Hz) dan intensitas atau arus energi persatuan luas biasanya dinyatakan dalam desibel.
86
3) Penerangan /Pencahayaan Menurut Suma’mur (1996) Penerangan ditempat kerja merupakan salah satu sumber cahaya yang menerangi benda-benda ditempat kerja. Banyak objek kerja beserta benda atau alat dan kondisi di sekitar yang perlu dilihat oleh tenaga kerja. Hal ini penting untuk menghindari kecelakaan yang mungkin terjadi. Selain itu penerangan yang memadai memberikan kesan pemandangan yang lebih baik dan keadaan lingkungan yang menyegarkan. Penerangan yang baik adalah penerangan yang memungkinkan tenaga kerja melihat pekerjaan dengan teliti, cepat dan tanpa upaya yang tidak perlu serta membantu menciptakan lingkungan kerja yang nikmat dan menyenangkan. Penerangan tempat kerja yang tidak adekuat juga bisa menyebabkan kelelahan mata, akan tetapi penerangan yang terlalu kuat dapat menyebabkan kesilauan. (Rasjid, dkk. 1989) dalam 4) Getaran Getaran adalah beresonansinya tubuh manusia akibat adanya sumber getaran yang dapat menimbulkan gangguan berupa ganguan kesehatan (Depnaker, 1993). Getaran adalah gerakan yang teratur dari benda atau media dengan arah bolak- balik dari kedudukan kesetimbangannya. Getaran terjadi saat mesin atau alat dijalankan dengan motor, sehingga pengaruhnya bersifat mekanis. Pengaruh getaran pada tenaga kerja (Budiono, 2003) yaitu : a. Gangguan kenikmatan dalam bekerja b. Mempercepat terjadinya kelelahan c. Gangguan kesehatan
87
2.3
Upaya Penanggulangan Kelelahan Kerja Timbulnya rasa lelah dalam diri manusia merupakan proses yang terakumulasi dari
berbagai penyebab dan mendatangkan ketegangan (stress) yang dialami tubuh manusia. Untuk menghindari akumulasi kelelahan yang terlalu berlebihan, diperlukan adanya keseimbangan antara sumber datangnya kelelahan (faktor penyebab kelelahan) dengan proses pemulihan (recovery). Proses pemulihan dapat dilakukan dengan cara memberikan waktu istirahat yang cukup dan terjadwal. Mengelola kelelahan kerja bisa dilakukan oleh setiap individu dan atau secara terorganisasi. Tujuannya adalah meningkatkan kinerja individu melalui pemulihan kondisi fisik dan mental. Secara individu bisa dilakukan dengan prakarsa karyawan bersangkutan. Merekalah yang sangat mengetahui jenis dan bobot kelelahan yang dihadapinya mulai dari yang ringan sampai yang berat. Sementara organisasi atau perusahaan dapat melaksanakan program peningkatan kinerja karyawan secara terencana dan reguler dimana di dalamnya ada subprogram mengurangi kelelahan kerja karyawan. Pendekatannya cenderung beragam yang sangat bergantung pada jenis kelelahan dan penyebabnya. Untuk itu diperlukan langkah-langkah sistematis (Hiukencana, 2010). Untuk melakukan pemulihan kelelahan kerja secara spesifik maka harus berdasarkan pertimbangan lingkup, frekuensi dan bobot kelelahan kerja. Namun secara umum langkah-langkah yang perlu dilakukan individu karyawan adalah: menelaah penyebab mengapa terjadi kelelahan kerja, kapan saja, dimana, dan ketika mengerjakan apa, jika dirasa terlalu berat perlu melakukan konsultasi dengan orang yang ahli dan berpengalaman, melakukan pemulihan kelelahan dengan cara berolahraga secara teratur,
88
tidur yang cukup, bersosialisasi, relaksasi, dan bila dianggap perlu berobat ke dokter; dan meminta cuti kerja (Hiukencana, 2010). Sementara itu mengatasi kelelahan kerja oleh perusahaan dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut: melakukan analisis kinerja karyawan dan organisasi, menelaah hubungan kinerja dengan kelelahan kerja karyawan, menganalisis jenis uraian kerja dan beban kerja hubungannya dengan kinerja, menyusun program peningkatan kinerja khususnya subprogram mengurangi kelelahan kerja termasuk menentukan beban kerja optimum dan membangun lingkungan kerja yang nyaman, melaksanakan program peningkatan kinerja secara teratur, dan mengevaluasi keberhasilan pelaksanaan program dan kinerja karyawan/organisasi (Hiukencana, 2010). Kelelahan dapat dihilangkan dengan berbagai cara yaitu melakukan rotasi sehingga pekerja tidak melakukan pekerjaan yang sama selama berjam-jam, memberi kesempatan pada pekerja untuk berbicara dengan rekannya, meningkatkan kondisi lingkungan kerja seperti memperbaiki lingkungan kerja, memberikan waktu istirahat yang cukup (Budiono, 2003). Kelelahan dapat dikurangi dengan berbagai cara yang ditujukan kepada keadaan umum dan lingkungan fisik di tempat kerja, misalnya dengan pengaturan jam kerja, pemberian kesempatan istirahat yang tepat (Suma’mur P.K., 1996:192). Penerapan ergonomi sangat membantu, monotoni dan tegangan dapat dikurangi dengan penggunaan warna serta dekorasi pada lingkungan kerja. Demikian pula organisasi proses produksi yang tepat, selanjutnya usaha ditujukan kepada kebisingan, tekanan panas, pengudaraan dan penerangan yang baik (Suma’mur P.K., 1996:193).
89
Untuk mencegah dan mengatasi memburuknya kondisi kerja akibat faktor kelelahan pada tenaga kerja disarankan agar (A.M. Sugeng Budiono, dkk, 2003:91): 1) Memperkenalkan perubahan pada rancangan produk 2) Merubah metode kerja menjadi lebih efisien dan efektif 3) Menerapkan penggunaan peralatan dan piranti kerja yang memenuhi standar ergonomi 4) Menjadwalkan waktu istirahat yang cukup bagi seorang tenaga kerja 5) Menciptakan suasana lingkungan kerja yang sehat, aman, dan nyaman bagi tenaga kerja 6) Melakukan pengujian dan evaluasi kinerja tenaga kerja secara periodik 7) Menerapkan sasaran produktivitas kerja berdasarkan pendekatan manusiawi dan fleksibilitas yang tinggi.
Pusat Kesehatan Kerja Depkes RI, Berikut merupakan upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kelelahan: 1) Lingkungan kerja bebas dari zat berbahaya, penerangan memadai sesuai dengan jenis pekerjaan yang dihadapi, pengaturan udara yang adekuat, bebas dari kebisingan, getaran, serta ketidaknyamanan. 2) Waktu kerja diselingi istirahat pendek dan istirahat untuk makan. 3) Kesehatan umum dijaga dan di monitor. 4) Pemberian gizi kerja yang memadai sesuai dengan jenis pekerjaan dan beban kerja. 5) Beban kerja berat tidak berlangsung lama. 6) Tempat tinggal diusahakan sedekat mungkin dengan tempat kerja, kalau perlu bagi tenaga kerja dengan tempat tinggal jauh diusahakan transportasi dari perusahaan. 7) Pembinaan mental secara teratur dan berkala dalam rangka stabilitas kerja dan kehidupannya.
90
8) Disediakan fasilitas rekreasi, waktu reaksi dan istirahat dilaksanakan secara baik. 9) Cuti dan liburan diselenggarakan sebaik-baiknya. 10) Diberikan perhatian khusus pada kelompok tertentu seperti tenaga kerja beda usia, wanita hamil dan menyusui, tenaga kerja dengan kerja gilir di malam hari, tenaga baru pindahan. 11) Mengusahakan tenaga kerja bebas alkohol, narkoba dan obat berbahaya.
2.4
Pelayanan Gizi Rumah Sakit
2.4.1 Pengertian PGRS Pelayanan Gizi Rumah Sakit (PGRS) adalah pelayanan yang diberikan untuk mencapai pelayanan gizi yang optimal dalam memenuhi kebutuhan gizi orang sakit, baik untuk kebutuhan metabolisme tubuh, peningkatan kesehatan ataupun untuk mengoreksi kelainan metabolisme dalam upaya penyembuhan pasien rawat inap dan berobat jalan (Dep.Kes RI, 1993). Berdasarkan mekanisme kerja pelayanan gizi di Rumah Sakit, maka kegiatan PGRS dikelompokkan ke dalam 4 kelompok yaitu: kegiatan pengadaan dan penyediaan makanan bagi orang sakit dan atau petugas, pelayanan gizi ruang rawat inap, penyuluhan/konsultasi dan rujukan gizi serta kegiatan penelitian dan pengembangan gizi terapan. Pengelompokkan kegiatan tersebut berbeda untuk setiap kelas Rumah Sakit tergantung dari besar instalasi gizi, luas pelayanan kesehatan yang diberikan serta beban kerja yang ditetapkan.
91
2.4.2 Ketenagaan Menurut Depkes RI (2007), tenaga profesi gizi adalah tenaga dengan latar belakang pendidikan gizi (D1 gizi dan D4 gizi) serta S1/S2 gizi yang berpengalaman di bidang penyelenggaraan makanan. Tenaga profesi non-gizi adalah tenaga profesi lain yang dibutuhkan untuk kelancaran kegiatan penyelenggaraan makanan seperti akuntan, perhotelan, administrasi, teknik, dsb. Sedangkan tenaga pelaksanaan teknis meliputi tenaga dengan latar belakang pendidikan tataboga (SMKK), SMA/SMP, dan sebagainya. 2.4.3 Kegiatan Penyelenggaraan Makanan Menurut Depkes RI (2007), penyelenggaraan makanan dibagi tiga, yaitu swakelola, outsourching, dan kombinasi. Swakelola artinya sistem penyelenggaraaan makanan yang dilakukan menggunakan seluruh sumber daya yang disediakan oleh institusi tersebut begitu juga pengelolaan dan kebijakan yang berjalan di dalam insitusi. Outsourching yaitu sistem yang memanfaatkan perusahaan jasa boga atau catering untuk penyelenggaraan makanan. Sistem kombinasi merupakan perpaduan antara swakelola dan out-sourching dipilih sebagai upaya memaksimalkan sumberdaya yang ada dengan segala keterbatasannya dimana sebagian jenis makanan dikelola oleh pihak jasaboga atau catering. 2.4.4 Kegiatan Pengadaan dan Penyiapan Makanan Yang dimaksud dengan pengadaan makanan adalah serangkaian kegiatan yang dimulai dari perencanaan macam dan jumlah bahan makanan, pengadaan bahan makanan hingga proses penyediaan makanan matang bagi pasien dan karyawan di Rumah Sakit.
92
Proses kegiatan ini meliputi sepuluh kegiatan, yaitu perencanaan anggaran belanja, perencanaan menu, perhitungan kebutuhan bahan makanan, prosedur pembelian bahan makanan, prosedur penerimaan bahan makanan, prosedur penyimpanan bahan makanan, teknik persiapan bahan makanan, pengaturan pemasakan makanan, cara pelayanan dan distribusi makanan, pencatatan, pelaporan dan evaluasi. 2.4.5 Pengolahan dan Distribusi Makanan Pengolahan makanan adalah salah satu fungsi manajemen dalam pengadaan makanan, dan merupakan kegiatan merubah bahan makanan mentah menjadi makanan yang berkualitas tinggi melalui beberapa proses yang saling berkaitan yaitu persiapan bahan makanan, pemasakan dan penyaluran makanan. Tujuan dari pengolahan bahan makanan adalah mempertahankan nilai gizi makanan, meningkatkan nilai cerna, meningkatkan dan mempertahankan warna, bau, rasa, keempukan dan penampilan makanan. Setelah bahan makanan mengalami proses pemasakan, maka makanan akan disalurkan untuk disampaikan pada pasien. Sistem penyaluran yang digunakan sangat mempengaruhi makanan yang disajikan, tergantung pada jenis dan jumlah tenaga, peralatan dan perlengkapan yang ada. Sistem penyaluran yang biasa dipergunakan di Rumah Sakit ada dua macam yaitu penyaluran makanan yang dipusatkan (sentralisasi) dan penyaluran yang tidak dipusatkan (desentralisasi). Kedua cara tersebut dapat saja digunakan secara bersamaan oleh Rumah Sakit menurut kebutuhannya.
93
2.5
Kerangka Teori Kerangka teori dalam penelitian ini yaitu di modifikasi dari teori-teori yang
menyebutkan bahwa faktor yang dapat menyebabkan kelelahan kerja antara lain Grandjean (1988) dalam Budiono, dkk (2003) yaitu intensitas dan lamanya kerja, status kesehatan dan nutrisi, serta lingkungan kerja. Menurut Suma’mur (1989) yang menjadi penyebab kelelahan akibat kerja yaitu keadaan monoton, beban dan lamanya pekerjaan baik fisik maupun mental, keadaan lingkungan seperti cuaca kerja, penerangan dan kebisingan, keadaan kejiwaan seperti tanggung jawab, penyakit, perasaan sakit dan keadaan gizi. Silaban (1998) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kelelahan kerja adalah karakteristik pekerja (jenis kelamin, usia, masa kerja, status gizi, beban kerja, kondisi kesehatan, dan waktu kerja). Menurut Tarwaka et al (2004) kelelahan kerja dipengaruhi oleh postur kerja, keadaan monoton, lingkungan kerja, dan waktu kerja.
94
Berdasarkan teori yang dikemukakan diatas, maka secara skematis kerangka teori dapat dilihat pada bagan 2.1 sebagai berikut : Karakteristik Pekerja : 1. Umur 2. Jenis Kelamin 3. Masa Kerja 4. Status Gizi 5. Status Kesehatan Karakteristik Pekerjaan :
KELELAHAN KERJA
1. Jam Kerja 2. Kerja Shift 3. Keadaan yang Monoton 4. Beban Kerja 5. Risiko ergonomi pekerjaan 6. Lingkungan kerja: a. Suhu b. Kebisingan c. Pencahayaan d. Getaran Sumber : Modifikasi dari teori Grandjean (1988) dalam Budiono dkk (2003), Suma’mur (1989), Silaban (1998), dan Tarwaka et al (2004).
Bagan 2.1 Kerangka Teori Kelelahan Kerja
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS
3.1
Kerangka Konsep Agar tujuan penelitian dapat terlaksana, maka diperlukan kerangka konsep sebagai
dasar untuk melakukan penelitian dan menjawab permasalahan yang ada. Kerangka konsep ini mengacu kepada kerangka teori Grandjean (1988) dalam Budiono dkk (2003), Suma’mur (1989), Silaban (1998), dan Tarwaka et al (2004). Kerangka konsep yang akan menjadi pengarah dalam penelitian ini yaitu terdiri dari variabel dependen dan variabel independen. Variabel independen terdiri dari umur, jenis kelamin, masa kerja, status gizi, Shift kerja, beban kerja, risiko ergonomi pekerjaan. Sedangkan variabel dependennya adalah kelelahan kerja. Namun dalam penelitian ini variabel status kesehatan tidak di teliti karena homogen seluruh responden memiliki kesehatan yang baik, variabel jam kerja tidak diikutsertakan karena terdapat homogenitas pada responden dimana seluruh responden mengalami kerja selama 8 jam kerja; keadaan yang monoton tidak masuk dalam penelitian karena pekerjaan pada karyawan instalasi gizi bersifat dinamis dan tidak monoton; faktor lingkungan pekerjaan (suhu, kebisingan, pencahayaan dan getaran) tidak diikutsertakan oleh peneliti karena bersifat homogen dan keterbatasan penelitian.
95
96
Hubungan antara beberapa variabel tersebut digambarkan dalam bagan 3.1 sebagai berikut : Variabel Independen
Karakteristik pekerja : Variabel Dependen
Umur Jenis kelamin Masa kerja Status gizi
Karakteristik pekerjaan :
Kelelahan Kerja Pada Karyawan di Instalasi Gizi Rumah Sakit Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011
Kerja Shift Beban kerja Risiko ergonomi pekerjaan
Bagan 3.1 Kerangka Konsep Kelelahan Kerja
3.2
Definisi Operasional
3.2.1 Variabel Dependen Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Dependen Variabel Kelelahan Kerja
Definisi Operasional
Cara Ukur
Keadaan menurunnya kapasitas Reaction Timer kerja dan ketahanan kerja yang Test ditandai oleh sensasi lelah dan reaksi motor yang dihasilkan dari pengukuran waktu reaksi pada karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo.
97
Alat Ukur
Hasil Ukur
Pengukuran langsung
0. Kelelahan Kerja Berat (KKB) : waktu reaksi > 580.0 milidetik 1. Kelelahan Kerja Sedang (KKS) : waktu reaksi 410.0-<580.0 milidetik 2. Kelelahan Kerja Ringan (KKR) : waktu reaksi >240.0-<410.0 milidetik 3. Normal (N) : waktu reaksi 150.0-240.0 milidetik
Skala Ukur Ordinal
98 3.2.2 Variabel Independen Tabel 3.2.2 Definisi Operasional Variabel Independen No.
Variabel
1.
Umur
2.
Jenis Kelamin
3.
Masa Kerja
Definisi Operasional
Cara Ukur
Jumlah tahun yang Wawancara dihitung mulai dari responden lahir hingga saat penelitian berlangsung (Sisinta, 2005) Dengan pembulatan > 6 bulan masuk ke tahun berikutnya Perbedaan biologis dan Wawancara fisologis yang dibawa sejak lahir dan tidak dapat diubah yang terdiri dari perempuan dan laki-laki (Putri, 2008) dimana perempuan lebih berisiko terjadinya kelelahan kerja. Akumulasi waktu dimana Wawancara pekerja telah menjalani pekerjaan sebagai karyawan di instalasi gizi (Malcom, 1998).
Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala Ukur
Kuesioner
Tahun
Rasio
Kuesioner
0. Perempuan 1. Laki-laki
Ordinal
Kuesioner
0. Jika responden bekerja selama > 10 tahun di Instalasi Gizi 1. Jika responden bekerja selama 6-10 tahun di Instalasi Gizi 2. Jika responden bekerja selama < 6 tahun di Instalasi Gizi (Budiono, 2003)
Ordinal
99 No.
Variabel
Definisi Operasional
Cara Ukur
Alat Ukur
4.
Status Gizi
Ukuran tubuh pekerja yang didapatkan dari perbandingan Berat Badan (BB) dan Tinggi Badan (TB) dikelompokkan menjadi 3, yaitu Underweight, Normal & Over Weight dibandingkan dengan standar yang ditetapkan Depkes RI, 2003.
Pengukuran (Berat Badan & Tinggi Badan), menilai status gizi dengan IMT = Berat badan (kg)/ Tinggi badan (m) x Tinggi badan (m)
Kuesioner (Timbangan dan Meteran)
5.
Shift Kerja
Pergantian kerja yang Wawancara dilakukan oleh pekerja secara bergilir (jadwal shift rotasi) dan terdapat jadwal khusus. Kerja bergilir dikatakan kontinyu apabila dikerjakan selama 24 jam setiap hari termasuk hari minggu dan hari libur dengan waktu 3 shift. (ILO, 1998)
Kuesioner
Hasil Ukur - Laki-laki 0. Obesitas (IMT > 27 kg/m2) 1. Overweight/ Gemuk (IMT 25-27 kg/m2) 2. Normal (IMT 18-25 kg/m2) 3. Kurus (IMT < 18 kg/m2) - Perempuan 0. Obesitas (IMT > 27 kg/m2) 1. Overweight/Gemuk (IMT 23-27 kg/m2) 2. Normal (IMT 17-23 kg/m2) 3. Kurus (IMT < 17 kg/m2) 0. Shift 3/ shift Malam (22.00 – 06.00) 1. Shift 2/ shift Siang (14.00 – 22.00) 2. Shift 1/ shift Pagi (06.00 – 14.00)
Skala Ukur Ordinal
Ordinal
100 No.
Variabel
Definisi Operasional
Cara Ukur
6.
Beban Kerja
Aktivitas responden dalam menerima beban dari luar tubuhnya berupa beban kerja fisik (tarwaka, et al, 2004)
Observasi, wawancara & Menilai aktifitas kerja
7.
Risiko Ergonomi Pekerjaan berdasarkan RULA
Skor akhir dari hasil 1. Merekam mengidentifikasi risiko aktivitas kerja ergonomi pekerjaan dengan dengan menggunakan menggunakan metode RULA. kamera 2. Menilai postur responden dengan menggunakan metode RULA serta mengukur dengan menggunakan busur. 3. Menghitung lamanya waktu melakukan aktivitas pekerjaan.
Alat Ukur Tabel Penilaian pekerjaan
- Kamera - Busur - Stopwatch - Timbangan
Hasil Ukur
Skala Ukur
0. Beban kerja sangat berat = 520 Kkal/jam 1. Beban kerja berat = 300-415 Kkal/jam 2. Beban kerja sedang = 180-300 Kkal/jam 3. Beban kerja ringan = < 180 Kkal/jam (TLV and BEIs, 2007) 0. Resiko tinggi, skor 7 1. Resiko sedang, skor 56 2. Resiko rendah, skor 34 3. dapat di terima, skor 12
Ordinal
Ordinal
101 Risiko Ergonomi Pekerjaan berdasarkan REBA
Skor akhir dari hasil 1. Merekam mengidentifikasi risiko aktivitas kerja ergonomi pekerjaan dengan dengan menggunakan menggunakan metode REBA. kamera 2. Menilai postur responden dengan menggunakan metode REBA serta mengukur dengan menggunakan busur. 3. Menghitung lamanya waktu melakukan aktivitas pekerjaan.
- Kamera - Busur - Stopwatch - Timbangan
0. Resiko sangat tinggi, skor 11-15 1. Resiko tinggi, skor 810 2. Resiko sedang, skor 47 3. Resiko rendah, skor 23 4. dapat di abaikan, skor 1
Ordinal
102
3.2
Hipotesis 1. Ada hubungan antara umur dengan kelelahan kerja pada karyawan di instalasi gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011. 2. Ada hubungan antara jenis kelamin dengan kelelahan kerja pada karyawan di instalasi gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011. 3. Ada hubungan antara masa kerja dengan kelelahan kerja pada karyawan di instalasi gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011. 4. Ada hubungan antara status gizi dengan kelelahan kerja pada karyawan di instalasi gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011. 5. Ada hubungan antara Shift kerja dengan kelelahan kerja pada karyawan di instalasi gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011. 6. Ada hubungan antara beban kerja dengan kelelahan kerja pada karyawan di instalasi gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011. 7. Ada hubungan antara risiko ergonomi pekerjaan dengan kelelahan kerja pada karyawan di instalasi gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011.
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1
Desain Penelitian Penelitian ini merupakan studi analitik observasional dengan pendekatan Cross
Sectional dimana variabel-variabel independen dan variabel dependen diamati secara bersamaan pada periode waktu yang sama. 4.2
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan oktober 2010 s.d Maret 2011 dan lokasi
penelitian bertempat di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta. 4.3
Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh karyawan di Instalasi Gizi Rumah
Sakit Pasar Rebo Jakarta berjumlah 32 karyawan, yaitu dapat di lihat pada tabel 4.1:
103
104
Tabel 4.1 Tenaga Kerja Di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Jabatan Tahun 2011 No Pendidikan 1 S1 Kesehatan Masyarakat
Jabatan Ka.Gizi PJ. Rawat jalan PJ Rawat Inap Ahli gizi PJ.Produksi PJ. Diet Ahli gizi PJ.Litbang gizi Admininstrasi Distribusi Juru masak Distribusi
Jumlah 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 8 orang 1 orang
2 3
S1 Gizi DIII Gizi
4 5 6
DIII Perbankan D1 Gizi SMKK
7
SMTA
Juru masak Distribusi
6 orang 4 orang
8
SMTP
Distribusi Juru masak
1 orang 1 orang
9
SD
Juru masak Jumlah
1 orang 32 orang
Sumber: Data Sekunder
Sedangkan sampel dalam penelitian ini diambil berdasarkan perhitungan rumus besar sampel dengan rumus uji hipotesis beda dua proporsi mengingat bahwa tujuan penelitian adalah untuk menguji hipotesis, dengan asumsi dari penelitian sebelumnya yaitu bahwa proporsi pekerja yang bekerja dengan sistem shift dan mengalami kelelahan kerja (P1) adalah 76,6% dan proporsi pekerja yang bekerja dengan sistem non shift dan mengalami kelelahan kerja (P2) adalah 28,6% (Nurhidayati, 2009). Pada penelitian ini, peneliti menginginkan tingkat kepercayaan sebesar 95% dengan menggunakan derajat kemaknaan 5% dengan kekuatan uji 80% sebagai berikut :
105
Sampel (n) = { [Z(1-α/2) x √2P(1-P)] + [Z1-β x √P1(1-P1)] + [P2 (1-P2)] }2 (P1-P2)2 Keterangan : n
: Besar sampel minimum yang dibutuhkan dalam penelitian
Z(1-α/2)
: Derajat kepercayaan (Confident Interval/CI) = 95%
d
: Derajat kemaknaan yang diinginkan = 5% (0,05)
Z1-β
: Kekuatan Uji = 80%
P1
: Proporsi pekerja yang bekerja dengan sistem shift dan mengalami kelelahan kerja (P1) = 76,6% (0,766)
P2
: Proporsi pekerja yang bekerja dengan sistem non shift dan mengalami kelelahan kerja (P2) = 28,6% (0,286)
P
: (P1 + P2) / 2 = % (0,526)
Berdasarkan rumus diatas maka besar sampel yang dibutuhkan yaitu sebesar : n = { [1,96 x √2 x 0,526 (1-0,526)] + [1,64 x √0,766 (1-0,766) + 0,286 (1-0,286)] }2 (0,766–0,286) 2 Karena rumus besar sampel yang digunakan adalah uji hipotesis beda dua proporsi maka n masing-masing kelompok = 25,04 ≈ 25, Sehingga n total = 2 x 25 = 50. Karena jumlah populasi berjumlah 32, maka sampel dalam penelitian ini diambil dari keseluruhan populasi (total populasi). 4.4
Pengumpulan data Data yang dikumpulkan merupakan data primer dan data sekunder. 1.
Data Primer Data primer dikumpulkan secara langsung guna mendapatkan data yang dibutuhkan dengan cara wawancara menggunakan lembaran kuesioner kepada pekerja untuk mendapatkan data mengenai umur, jenis kelamin, masa kerja,
106
status gizi, shift kerja, dan kelelahan kerja yang diukur dengan Reaction Timer Test yang merupakan alat untuk mengukur tingkat kelelahan berdasarkan kecepatan waktu reaksi terhadap rangsang cahaya. Prinsip kerja dari alat ini adalah memberikan rangsang tunggal berupa signal cahaya atau lampu yang kemudian direspon secepatnya oleh tenaga kerja, kemudian dapat dihitung
waktu
reaksi tenaga
kerja
yang
mencatat
waktu
yaang
dibutuhkan untuk merespon signal tersebut. Pengukuran dilakukan sebanyak 5 kali, setiap hasil
pengukuran dijumlahkan, kemudian diambil nilai
rata-ratanya. Selain itu dilakukan wawancara terhadap kuesioner skala IFRC untuk mengetahui gejala kelelahan kerja yang diukur pada saat sebelum bekerja dan pada saat setelah bekerja; pengukuran Berat Badan dan Tinggi Badan untuk menghitung IMT yang hasil akhirnya di dapatkan distribusi pekerja berdasarkan status gizi; pengukuran beban kerja yang di dapat dari aktivitas pekerja dengan melakukan observasi pekerjaan; pengukuran risiko ergonomi pekerjaan dengan penilaian metode RULA dan REBA dengan melakukan observasi pekerjaan. 2.
Data Sekunder Data sekunder diperlukan untuk mendapatkan profil Instalasi Gizi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pasar Rebo Jakarta, distribusi karyawan menurut shift kerja, data profil K3 Rumah Sakit, dan profil mengenai instalasi gizi Rumah Sakit serta data terkait yang relevan dengan penelitian.
107
4.5
Instrumen Penelitian Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk pengumpulan data
(Notoatmodjo, 2002). Pada penelitian ini pengukuran variabel dilakukan dengan menggunakan instrumen kuesioner yang terdiri dari beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan variabel dependen dan independen yaitu faktor-faktor yang berhubungan dengan kelelahan kerja dan observasi. Pertanyaan dalam kuesioner sesuai dengan variabel yang diteliti yaitu: 1. Pengukuran variabel Kelelahan Kerja yaitu berdasarkan perhitungan reaction timer test yaitu hasil pengukuran dibandingkan dengan standar pengukuran kelelahan kerja : 1) Kelelahan kerja berat (waktu reaksi ≥ 580,0 mili detik) 2) Kelelahan kerja sedang (waktu reaksi >410,0 – <580,0 mili detik) 3) Kelelahan kerja ringan (waktu reaksi >240,0 - <410,0 mili detik) 4) Normal (waktu reaksi 150,0 – 240,0 mili detik). Selain itu dilakukan wawancara menggunakan kuesioner skala IFRC untuk mengetahui gambaran gejala kelelahan kerja pada saat sebelum bekerja dan pada saat setelah bekerja serta mengetahui perbedaan bermakna antara gejala kelelahan kerja karyawan pada saat sebelum bekerja dengan gejala kelelahan kerja pada saat setelah bekerja. 2. Variabel umur, jenis kelamin, masa kerja, dan shift kerja yaitu didapat dari jawaban responden pada kuesioner karakteristik responden. Hasil yang di dapat yaitu variabel umur dalam tahun; variabel jenis kelamin yaitu perempuan dan laki-laki; masa kerja yaitu dikategorikan menjadi masa kerja > 10 tahun, 6-10
108
tahun, < 6 tahun; dan shift kerja dengan pembagian kategori shift 3, shift 2 dan Shift 1. 3. Pengukuran variabel status gizi dengan pengukuran Berat Badan dan Tinggi badan dengan menggunakan timbangan dan meteran. Timbangan yang digunakan dilakukan kalibrasi pada setiap pengukuran pada tiap-tiap responden. Kemudian tahap selanjutnya adalah menghitung nilai IMT dengan rumus : IMT =
Berat badan (kg) Tinggi badan (m) x Tinggi badan (m)
Sehingga didapatkan hasil kategori status gizi menurut IMT: - Laki-laki 0. Obesitas (IMT > 27 kg/m2) 1. Gemuk (Indeks Masa Tubuh (IMT 25-27 kg/m2) 2. Normal (Indeks Masa Tubuh (IMT 18-25 kg/m2) 3. Kurus (IMT < 18 kg/m2) - Perempuan 0. Obesitas (IMT > 27 kg/m2) 1. Gemuk (Indeks Masa Tubuh (IMT 23-27 kg/m2) 2. Normal (Indeks Masa Tubuh (IMT 17-23 kg/m2) 3. Kurus (IMT < 17 kg/m2) 4. Pengukuran variabel beban kerja : Pengukuran beban kerja dilakukan dengan metode observasi dan wawancara kepada karyawan tentang proses kerja (aktifitas kerja) dan posisi saat bekerja. Hasil tersebut akan dibandingkan dengan standar dari NIOSH. Menurut NIOSH,
109
beban kerja diklasifikasikan menjadi beban kerja ringan, beban kerja sedang, beban kerja berat. Sedangkan panas metabolik dilihat dari postur kerja yang akan disesuaikan dengan jumlah kalori/jam yang digunakan berdasarkan standar. Alat yang digunakan adalah kuesioner. Cara penilaian beban kerja : Menurut Palupi (2005), penilaian beban kerja dilakukan dengan pengukuran berat badan pekerja, pengamatan aktivitas pekerja, dan perhitungan jumlah kalori sesuai tabel perhitungan beban kerja. 1) Amati setiap aktivitas pekerja (jenis pekerjaan dan posisi kerja) yang diambil sebagai sampel setiap jam/minimal 4 jam kerja 2) Hitung dan catat setiap posisi dan lama gerakan dengan menggunakan stopwatch. 3) Hitung beban kerja yang dikeluarkan sesuai rumus dibawah ini : - Rerata beban kerja dihitung dengan rumus sebagai berikut : Rata-rata BK = (BK1 x T1) + (BK2 x T2) + ..... + (BKn x Tn) (T1 + T2 + .... + Tn) Keterangan : BK
= Beban Kerja
BK1, BK2, BKn
= Beban Kerja sesuai aktivitas kerja 1, 2, n
T1, T2, Tn
= Waktu sesuai aktivitas kerja 1, 2, n
- Rumus Metabolisme Basal MB
= Kkal (laki-laki/wanita) x W T
110
Keterangan : MB untuk laki-laki
= 1 Kkal per Kg berat badan perjam
MB untuk laki-laki
= 0,9 Kkal per Kg berat badan perjam
MB
= Metabolisme Basal
Kkal
= Kalori yang dikeluarkan per Kg berat badan
W
= Berat Badan dalam Kg
T
= Waktu dalam menit
- Rumus total beban kerja Total BK = Rata-rata BK + MB Untuk menilai beban kerja pada karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo, hasil total beban kerja dalam kalori yang digunakan pekerja akan dibandingkan dengan NIOSH sehingga hasil yang didapatkan yaitu berdasarkan kategori Beban kerja sangat berat = 520 Kkal/jam, Beban kerja berat = 300-415 Kkal/jam, Beban kerja sedang = 180-300 Kkal/jam dan Beban kerja ringan = < 180 Kkal/jam (TLV and BEIs, 2007). 5. Pengukuran variabel risiko ergonomi pekerjaan: setelah dilakukan observasi pekerjaan pada pekerja kemudian diukur dengan menggunakan metode RULA dan REBA dari masing-masing postur tubuh. Sehingga hasil yang di dapatkan dari perhitungan RULA yaitu dikategorikan menjadi Resiko tinggi (skor 7), Resiko sedang (skor 5-6), Resiko rendah (skor 3-4), dapat di terima (skor 1-2) dan hasil perhitungan REBA yaitu di kategorikan menjadi Resiko sangat tinggi (skor 11-15), Resiko tinggi (skor 8-10), Resiko sedang (skor 4-7), Resiko rendah (skor 2-3), dapat di abaikan (skor 1).
111
4.6
Pengolahan data 1. Coding: Kegiatan pengklasifikasian data memberikan kode pada jawaban responden yang ada untuk mempermudah dalam proses pengelompokkan dan pengolahan. Dimana coding dilakukan pada kuesioner baik variabel dependen maupun variabel independen. Variabel dependen yaitu kelelahan kerja dan variabel independen yaitu terdiri dari umur, jenis kelamin, masa kerja, status gizi, shift kerja, beban kerja dan postur kerja. a. Variabel kelelahan kerja berdasarkan perhitungan reaction timer yaitu: 1) Kelelahan kerja berat (waktu reaksi ≥ 580,0 mili detik), maka kode = 0; 2) Kelelahan kerja sedang (waktu reaksi >410,0 – <580,0 mili detik), maka pengkodean = 1; 3) Kelelahan kerja ringan (waktu reaksi >240,0 - <410,0 mili detik), maka pengkodean = 2; 4) Normal (waktu reaksi 150,0 – 240,0 mili detik), maka pengkodean = 3. b. Variabel umur : dalam tahun; c. Variabel jenis kelamin: jika Perempuan = 0, Laki-laki = 1; d. Variabel masa kerja: jika masa kerja > 10 tahun = 0, jika masa kerja 6-10 tahun = 1, jika masa kerja < 6 tahun = 2; e. Variabel status gizi: 1) Laki-laki: Obesitas (IMT > 27 kg/m2) = pengkodean 0, Gemuk (IMT < 25-27 kg/m2) = pengkodean 1, Normal (IMT = 18-25 kg/m2) = pengkodean 2, dan Kurus (IMT < 18 kg/m2) = pengkodean 3.
112
2) Perempuan: Obesitas (IMT > 27 kg/m2) = pengkodean 0, Gemuk (IMT < 23-27 kg/m2) = pengkodean 1, Normal (IMT = 17-23 kg/m2) = pengkodean 2, dan Kurus (IMT < 17 kg/m2) = pengkodean 3. f. Variabel shift kerja: jika Shift 3/shift Malam (22.00 – 06.00) = 0, jika Shift 2/shift Siang (14.00 – 22.00) = 1, jika Shift 1/shift Pagi (06.00 – 14.00) = 2; g. Variabel beban kerja: Beban kerja sangat berat (520 Kkal/jam), maka pengkodean = 0; Beban kerja berat (300-415 Kkal/jam), maka pengkodean = 1; Beban kerja sedang (180-300 Kkal/jam), maka pengkodean = 2 dan Beban kerja ringan (< 180 Kkal/jam) = 3; h. Variabel risiko ergonomi pekerjaan RULA: jika Resiko tinggi (skor 7) maka pengkodean = 0, Resiko sedang (skor 5-6) maka pengkodean = 1, Resiko rendah (skor 3-4) maka pengkodean = 2, dapat di terima (skor 1-2) maka pengkodean = 3 & REBA: jika Resiko sangat tinggi (skor 11-15) maka pengkodean = 0, Resiko tinggi (skor 8-10) maka pengkodean = 1, Resiko sedang (skor 4-7) maka pengkodean = 2, Resiko rendah (skor 2-3) maka pengkodean = 0, dapat di abaikan (skor 1) maka pengkodean = 0. 2. Editing: Kegiatan penyuntingan data yang dilakukan setiap kali responden selesai mengisi kuesioner dan pengumpulan kuesioner dilakukan. Hal ini guna memeriksa kelengkapan, kesinambungan, dan keseragaman data sehingga data yang meragukan dan tidak lengkap dapat diklarifikasi lagi kembali kepada responden. Melihat kembali data yang diperoleh apakah ada missing atau tidak. 3. Entry data: Setelah semua isian kuesioner terisi penuh dan sudah dilakukan pengkodingan, langkah selanjutnya adalah memproses data dilakukan dengan
113
meng-entry data dari kuesioner kedalam komputer dengan menggunakan program komputer SPSS sesuai dengan kode yang telah ditetapkan. 4. Cleaning data: Untuk memastikan data tersebut telah bersih dari kesalahan maka dilakukan pembersihan data (cleaning) sebelum dilakukan analisa data. 4.7
Analisis data Setelah data diolah dan di entry, kemudian data dianalisis secara statistik dengan menggunakan program SPSS. Analisis dilakukan secara bertahap, yaitu : 1.
Analisis Univariat Analisis
yang
menghasilkan
gambaran
distribusi
frekuensi
variabel
independen dan variabel dependen. Variabel independen terdiri dari umur, jenis kelamin, masa kerja, status gizi, Shift kerja, beban kerja, postur kerja. Sedangkan variabel dependennya yaitu kelelahan kerja pada karyawan di instalasi gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta. Hasil kemudian dapat dilihat dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. 2.
Analisis Bivariat Analisis Bivariat dilakukan terhadap variabel independen yang di duga berhubungan dengan variabel dependennya. Teknik analisis yang dilakukan yaitu uji Kruskall Wallis, uji Chi Square, uji Wilcoxon dan uji Paired T-test. a.
Uji Kruskall Wallis digunakan untuk melihat hubungan antara variabel umur dengan kelelahan kerja. Sebelumnya terlebih dahulu dilakukan uji kenormalan data, kemudian didapatkan hasil bahwa data tidak normal. Sehingga digunakan uji Kruskall Wallis (Uji Statistik Non Parametrik).
114
b.
Uji Chi Square digunakan untuk melihat hubungan antara jenis kelamin, masa kerja, status gizi, Shift kerja, beban kerja, postur kerja dengan kelelahan kerja dengan menggunakan derajat kepercayaan 95% dan α sebesar 5%.
c.
Uji Paired T-test digunakan untuk melihat perbedaan kemaknaan dari 30 item gejala kelelahan kerja pada saat sebelum bekerja dengan pada saat setelah bekerja. Sebelumnya terlebih dahulu dilakukan uji kenormalan data, kemudian didapatkan hasil bahwa data normal. Sehingga digunakan uji Paired T-test (Uji Statistik Parametrik).
Dengan demikian, hasil perhitungan statistik bermakna (signifikan) atau menunjukkan ada hubungan signifikan atau bermakna pada uji Kruskall Wallis dan uji Chi Square antara variabel dependen dengan variabel independen jika nilai P (pvalue) < α (0,05), dan apabila nilai P (pvalue) ≥ α 0,05 berarti hasil perhitungan statistik tidak bermakna atau tidak ada hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen. Sedangkan
hasil
perhitungan
statistik
bermakna
(signifikan)
atau
menunjukkan ada perbedaan bermakna pada uji Paired T-test antara gejala kelelahan kerja pada saat sebelum bekerja dengan kelelahan kerja pada saat setelah bekerja jika nilai P (pvalue) < α (0,05), dan apabila nilai P (pvalue) ≥ α 0,05 berarti hasil perhitungan statistik tidak bermakna atau tidak ada hubungan antara gejala kelelahan kerja pada saat sebelum bekerja dengan kelelahan kerja pada saat setelah bekerja.
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1
Gambaran Umum RSUD Pasar Rebo
5.1.1 Sejarah Berdirinya RSUD Pasar Rebo RSUD Pasar Rebo terletak di JL.TB Simatupang No.30, Jakarta Timur. Dengan luas tanah 13.000 m2. Transformasi RSUD Pasar Rebo yaitu sebagai berikut pada tahun 1945-1957 masih berbentuk POS P3K yang terletak di Bidara Cina (kini jalan Otto Iskandar Dinata Cawang), pada tahun 1957 berganti nama menjadi Rumah Sakit Karantina yang berlokasi di Pasar Rebo (Lokasi sekarang), pada tahun 1964 di ganti kembali menjadi Rumah Sakit Tuberkulosa Paru, pada tahun 1987 menjadi Rumah Sakit tipe C berdasarkan (SK Menkes no 303, 1987), pada tahun 1992-1996 menjadi Rumah Sakit Unit Swadana daerah, tahun 1997 bangunan dengan gedung baru berlantai delapan, pada tahun 1998 status RSUD Pasar Rebo ditingkatkan sebagai Rumah Sakit tipe B dan terakreditasi, pada tahun 2004 perubahan Badan Hukum Perseroan Terbatas (PT) Perda No. 15 tahun 2004, dan kemudian tahun 2006 berdasarkan ketetapan MA No.05P/HUM/2006 tanggal 21 februari 2006, tentang hak uji materi perda DKI mengenai perubahan badan hukum 3 RSUD batal, maka perda ini dicabut tanggal 16 agustus 2006, tahun 2007 UPT DINKES (PPK-BLUD secara penuh) sesuai dengan SK Gubernur 249/2007, kemudian tanggal 9 februari tahun 2008 mendapatkan Sertifikasi ISO 9001, lalu pada tanggal 12 maret tahun 2009 mendapat sertifikasi ISO 9001 LTD bertanggung jawab kepada gubernur melalui Sekda-PERGUB No.72 tahun 2009.
115
116
5.1.2 Visi dan Misi Rumah Sakit Visi Menjadi Rumah Sakit yang terbaik dalam memberikan pelayanan prima kepada semua lapisan masyarakat Misi Melayani semua lapisan masyarakat yang membutuhan layanan kesehatan individu yang bermutu dan terjangkau 5.1.3 Motto RSUD Pasar Rebo “Kami Peduli Kesehatan Anda” 5.1.4 Kebijakan Mutu Memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu oleh SDM professional dan meningkatkan pelayanan secara bertahap yang didukung oleh sistem manajemen mutu bagi seluruh lapisan masyarakat. 5.1.5 Gambaran Umum Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo a. Visi dan Misi Instalasi Gizi Visi Instalasi gizi menjadi yang terbaik dalam memberikan pelayanan gizi kepada pelanggan Misi Melayani semua pelanggan yang membutuhkan pelayanan gizi sesuai kebutuhan dengan berkualitas
117
b. Struktur Organisasi Instalasi Gizi Bagan 5.1 Struktur Organisasi Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo tahun 2011 Direktur RSUD Pasar Rebo Wakil direktur pelayanan Ka.Bag.Penunjang Medik Ka. Instalasi gizi Administrasi
PJ. Gudang
PJ. Produksi
PJ. Makanan Diet
PJ Gizi klinik Ranap
PJ. Makanan Non Diet
Sumber: Data Sekunder
PJ Gizi klinik Rajal
PJ.Litbang gizi
118
c. Gambaran penerapan shift Kerja Karyawan Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Untuk mengoptimalkan pelayanan terhadap pasien khususnya dalam rangka pengolahan makanan, Instalasi Gizi Rumah Sakit Pasar Rebo memberlakukan Shift Kerja. Shift kerja yang di diberlakukan yaitu dengan sistem 3 shift. Shift pagi dimulai dari pukul 07.00 – 14.00 WIB dengan rata-rata jumlah karyawan sebanyak 21 orang. Kemudian Shift sore dimulai dari pukul 13.00 – 20.00 WIB dengan rata-rata jumlah karyawan 8 orang. Dan shift malam dimulai dari pukul 20.00 – 07.00 WIB dengan rata-rata jumlah karyawan 3. Untuk menutupi kekurangan tenaga diadakan sistem nerus. Hari kerja dari senin sampai Minggu serta hari libur besar. d. Gambaran Alur/Proses Kerja Instalasi Gizi Alur atau proses kerja di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo terdiri dari tahapan kegiatan kerja yaitu : penerimaan & penyimpanan bahan makanan, persiapan bahan makanan, pengolahan makanan, pendistribusian makanan. Selengkapnya akan dijelaskan sebagai berikut: 1.
Penerimaan & Penyimpanan Bahan Makanan Petugas Gizi merekap form DPMP yang telah diisi oleh perawat untuk
kebutuhan pasien yang datang dan dirawat, untuk mengetahui jumlah pesanan bahan makanan. Dari sinilah alur/proses kerja di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo yaitu penerimaan bahan makanan dimulai. Setelah itu bahan makanan dipesan melalui supplier, kemudian diterima oleh petugas gudang pada pukul 07.00-08.00 WIB untuk dilakukan pengecekan berdasarkan spesifikasi dan
119
jumlah bahan makanan. Untuk bahan makanan basah seperti sayur-sayuran yang telah di terima kemudian di tata dan diletakkan di tempatnya masingmasing agar segera dibawa menuju dapur untuk proses persiapan bahan masakan. Bahan makanan daging diambil dri lemari pendinging pada gudang tempat penyimpanan bahan makanan basah. Sedangkan bahan makanan kering disimpan di gudang penyimpanan bahan makanan kering, dipesan satu bulan sekali dan diterima sesuai dengan permintaan (5-7 kali).
Gambar 5.1 Postur kerja pada proses penerimaan bahan makanan dari supplier
Gambar 5.2 Postur kerja ketika pembagian bahan makanan kering untuk pengeluaran kepada juru masak
120
Gambar 5.3 Postur kerja ketika penaataan bahan makanan kering ke dalam rak 2.
Persiapan Bahan Makanan Bahan makanan basah dipersiapkan dahulu sebelum diolah. Persiapan
bahan makanan dan bumbu makanan sebelum dilakukan kegiatan pemasakan didalamnya termasuk proses pemotongan, pengirisan, pengupasan, bahan makanan, pencucian bahan makanan, penumbukan, pengadukan, pengasinan bahan makanan mentah ataupun membuat adonan sesuai dengan resep hidangan. Kemudian bahan makanan di pindahkan ke dalam wadah. Kegiatan ini dilakukan 1-2 jam sebelum pemasakan bahan makanan. Tahap ini dilakukan oleh juru masak.
121
Gambar 5.4 Postur kerja ketika pencucian bahan makanan lauk
Gambar 5.5 Postur kerja ketika pengupasan dan pemotongan Bahan makanan sayur
122
Gambar 5.6 Postur kerja ketika pemotongan bahan makanan sayur
Gambar 5.7 Postur kerja ketika pemotongan bahan makanan sayur dengan menggunakan mesin potong
123
3.
Pengolahan/ Pemasakan Makanan Selanjutnya dilakukan proses pengolahan/pemasakan bahan makanan.
Proses pengolahan/pemasakan makanan yaitu suatu proses kegiatan terhadap bahan makanan yang telah dipersiapkan dan bumbu yang sudah siap saji untuk diperlukan sesuai dengan resep dengan media air, lemak, udara atau kombinasi dalam meningkatkan cita rasa dan nilai cerna bahan makanan. Proses pemasakan ini meliputi mengambil dan meletakkan peralatan masak pada kompor, menuang bahan makanan ke dalam wadah penggorengan/panci, kegiatan menggoreng dan merebus, memindahkan makanan yang telah di masak ke dalam wadah. Kegiatan ini dilakukan 3-4 jam sebelum waktu makan. Pada pemasakan makanan juga dilakukan penghangatan makanan segera setelah proses pemasakan selesai dan pewadahan makanan ke dalam wadah makanan. Pada proses ini dipisahkan antara makanan biasa dan makanan diet. Kemudian setelah selesai, dilakukan proses pencucian peralatan masak. Tahap ini dilakukan oleh juru masak.
124
Gambar 5.8 Postur kerja pada proses memasak bahan makanan nasi, bubur, dan Tim
Gambar 5.9 Postur kerja pada proses memasak bahan makanan sayur dan snack
125
4.
Pendistribusian Makanan Proses selanjutnya adalah penyaluran makanan/pendistribusian makanan
kepada pasien. Penyaluran makanan/pendistribusian makanan adalah suatu proses kegiatan yang mencakup pembagian makanan dan penyimpanan makanan kepada pasien dan pegawai sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tahap ini dilakukan oleh bagian pendistribusian. Karyawan yang menangani proses penyaluran ini akan segera membawa makanan ke kamar/ruangan pasien. Setelah proses pendistribusian selesai, karyawan yang tersisa akan mempersiapkan kembali bahan makanan mentah untuk proses pemasakan sore hari. Karyawan yang bertugas pada shift kedua (shift sore) akan mempersiapkan dan mengolah bahan makanan untuk pasien pada waktu sore hari dan snack sore. Karyawan yang bertugas shift ketiga (shift malam) bertugas mempersiapkan dan mengolah bahan makanan untuk makan pagi untuk pasien.
Gambar 5.10 Postur kerja pada proses pemorsian
126
Gambar 5.11 Postur kerja pada proses pemorsian
Gambar 5.12 Postur kerja pada proses pendistribusian makanan ke pasien
127
Alur Kegiatan / Proses Kerja
Penerimaan & Penyimpanan Bahan Makanan
Persiapan Bahan Makanan
Pengolahan/Pemasakan Bahan Makanan
Pendistribusian Makanan
5.2
Hasil Analisis Univariat
5.2.1 Gambaran Kelelahan Kerja pada Karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011 Untuk mengetahui distribusi kelelahan kerja pada responden dilakukan pengukuran melalui Reaction Timer Test. Skor yang diperoleh pada hasil Reaction Timer Test yang dilakukan pada karyawan di Instalasi Gizi yaitu meliputi Kelelahan kerja berat (waktu reaksi ≥ 580,0 mili detik), Kelelahan kerja sedang (waktu reaksi >410,0 – <580,0 mili detik), dan Kelelahan kerja ringan (waktu reaksi >240,0 - <410,0 mili detik). Distribusi responden berdasarkan kelelahan kerja yang di hasilkan yaitu dapat dilihat pada tabel 5.1 berikut :
128
Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Kelelahan Kerja pada Karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011 Kelelahan Kerja
Jumlah (N)
Persentase (%)
Kelelahan Kerja Berat
17
53.1
Kelelahan Kerja Sedang
9
28.1
Kelelahan Kerja Ringan
6
18.8
Total
32
100
Sumber : data primer yang diolah oleh peneliti, 2011 Berdasarkan tabel 5.1 diatas, didapatkan hasil bahwa responden yang mengalami kelelahan kerja berat lebih banyak yaitu sebanyak 17 orang (53,1%), kelelahan kerja sedang sebanyak 9 orang (28,1%) dan sebanyak 6 orang (18,8%) responden mengalami kelelahan kerja ringan. Kemudian dilakukan pula wawancara terhadap 30 gejala kelelahan kerja yang termuat dalam kuesioner IFRC (International Fatigue Research Comitte), kemudian diperkuat dengan pengukuran secara objektif yaitu dilakukan observasi atau pengamatan dalam melihat gejala kelelahan kerja pada responden. Wawancara terhadap kuesioner ini dilakukan untuk melihat gejala yang sering dialami oleh karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta tahun 2011 untuk memperkuat hasil pengukuran secara objektif yaitu dengan reaction timer test. Pengukuran kelelahan kerja dengan kuesioner IFRC dilakukan pada saat sebelum dan sesudah bekerja dapat dilihat pada tabel 5.2.
129
Tabel 5.2 Prevalence Rate pada Keluhan Kelelahan Kerja Sebelum dan Setelah Bekerja Pada karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Jakrta Tahun 2011
I.
Pelemahan Kegiatan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Merasa berat di bagian kepala Lelah pada seluruh badan Kaki terasa berat Menguap Pikiran terasa kacau Mengantuk Beban pada mata Kaku atau canggung dalam gerakan 9. Sempoyongan / berdirinya tidak stabil 10. Ingin berbaring II.
Pelemahan Motivasi 1. Merasa susah berfikir 2. Lelah untuk berbicara 3. Menjadi gugup 4. Tidak dapat berkonsentrasi 5. Tidak bisa memusatkan perhatian 6. Cenderung untuk lupa 7. Merasa tidak mudah terhadap sesuatu 8. Cenderung untuk membuat kesalahan 9. Tidak dapat mengontrol sikap 10. Tidak berenergi
Persentase Keluhan Kelelahan (%) Sebelum Setelah bekerja bekerja 3.12 72 9.38 94 9.38 88 3.12 97 0.0 50 3.12 91 0.0 69
P value 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
3.12
62
0.000
0.0
66
0.000
3.12
91
0.000
0.0 0.0 0.0 0.0
75 59 44 69
0.000 0.000 0.000 0.000
0.0
66
0.000
0.0
81
0.000
0.0
62
0.000
0.0
69
0.000
0.0 0.0
59 81
0.000 0.000
130
Persentase Keluhan Kelelahan (%) III. Kelelahan Fisik Sebelum Setelah bekerja bekerja 1. Merasa sakit di kepala 3.12 75 2. Kaku di bagian bahu 0.0 81 3. Nyeri di punggung 0.0 72 4. Pernafasan tertekan 0.0 53 5. Sangat haus 18.8 88 6. Suara terasa serak 0.0 53 7. Merasa pening 0.0 62 8. Kelopak mata terasa kaku 0.0 62 9. Anggota badan terasa getar 0.0 59 10. Merasa kurang sehat 0.0 72 Sumber : data primer yang diolah oleh peneliti, 2011
P value 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Berdasarkan tabel 5.2 diketahui bahwa prevalence rate pada keluhan kelelahan kerja pada saat sebelum bekerja diketahui bahwa presentase karyawan mengalami kelelahan kerja rata-rata dengan gejala sangat haus (18,8%), lelah pada seluruh badan dan kaki terasa berat (9,38%) serta merasa berat di bagian kepala, menguap, mengantuk, kaku dan canggung dalam gerakan, ingin berbaring merasa sakit di kepala dengan persentase sebesar 3,12%. Sedangkan pada saat setelah bekerja di dapatkan hasil persentase karyawan mengalami kelelahan kerja rata-rata dengan gejala lelah pada seluruh badan (94%), menguap (97%), mengantuk (91%), merasa sangat haus (88%), kaku di bagian bahu (81%). Berdasarkan hasil uji statistik, diketahui bahwa kelelahan kerja yang terjadi pada karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta tahun 2011 memiliki perbedaan bermakna antara kelelahan kerja yang terjadi pada saat sebelum bekerja dengan kelelahan kerja pada saat setelah bekerja dengan nilai Pvalue 0,000. Kemudian
131
berdasarkan hasil statistik pada masing-masing kategori (kategori I, kategori II, kategori III) juga di dapatkan hasil ada perbedaan bermakna dengan Pvalue 0,000. 5.2.2 Gambaran Karakteristik Pekerja (Umur) pada Karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011 Tabel 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Pekerja (Umur) pada Karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011 Variabel
Median
Min-Max
Umur
36.00
26-55
Sumber : data primer yang diolah oleh peneliti, 2011
Berdasarkan tabel 5.3 diatas, dapat diketahui bahwa gambaran distribusi didapatkan bahwa nilai tengah umur karyawan adalah 36 tahun (26-55).
5.2.3 Gambaran Karakteristik Pekerja (Jenis Kelamin, Masa Kerja, Status Gizi) pada Karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011 Berdasarkan hasil yang diperoleh dari jawaban pada instrumen kuesioner didapatkan bahwa gambaran karakteristik pekerja (Jenis Kelamin, Masa Kerja, Status Gizi) pada karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2010 yaitu terlihat pada tabel 5.4 sebagai berikut :
132
Tabel 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Pekerja (Jenis Kelamin, Masa Kerja, Status Gizi) pada Karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011 No.
1.
2.
3.
Karakteristik Pekerja
Jenis Kelamin
Masa Kerja
Kategori
Jumlah
Persentase (%)
Perempuan
24
75.0
Laki-laki
8
25.0
Total
32
100
› 10 tahun
11
34.4
6-10 tahun
13
40.6
‹ 6 tahun
8
25.0
Total
32
100
Obesitas
4
12.5
Gemuk
6
18.8
Normal
22
68.8
Total
32
100
Status Gizi
Sumber : data primer yang diolah oleh peneliti, 2011
a. Variabel Jenis Kelamin Berdasarkan hasil analisis univariat pada tabel 5.4 diatas, dapat diketahui bahwa sebagian besar responden dengan kategori jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 24 orang (75,0%) dan 25,0% (8 orang) dari responden dengan kategori jenis kelamin lakilaki.
133
b. Variabel masa Kerja Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.4 diatas, didapatkan distribusi responden dengan masa kerja 6-10 tahun yaitu 13 orang (40,6%), responden dengan masa kerja < 6 tahun yaitu 11 orang ( 34,4%) dan 8 orang (25,0%) dengan masa kerja > 10 tahun. c. Variabel Status Gizi Berdasarkan hasil pada tabel 5.4 diatas, didapatkan bahwa sebagian besar responden yang memiliki status gizi normal yaitu sebanyak 22 orang (68,8%), 6 orang (18,8%) memiliki status gizi gemuk dan 4 orang (12,5%) memiliki status gizi obesitas. 5.2.4 Gambaran Karakteristik Pekerjaan (Shift Kerja, Beban Kerja, Risiko Ergonomi Pekerjaan) pada Karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011 Berdasarkan hasil yang diperoleh dari jawaban pada instrumen kuesioner dan observasi aktivitas kerja responden didapatkan bahwa gambaran karakteristik pekerjaan (shift kerja, beban kerja, risiko ergonomi pekerjaan) pada karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2010 yaitu dapat dilihat pada tabel 5.5 berikut : Tabel 5.5 Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Pekerjaan (Shift Kerja, Beban Kerja, Risiko Ergonomi Pekerjaan) pada Karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011 No.
1.
Karakteristik
Kategori
Pekerjaan
Jumlah
Persentase (%)
Shift malam
5
15,6
Shift siang
6
18,8
Shift pagi
21
65,6
Total
32
100
Shift Kerja
134
2.
3.
Beban Kerja
Risiko Ergonomi Pekerjaan
Beban kerja Sedang
10
31,2
Beban kerja Ringan
22
68,8
Total
32
100
Resiko sedang
6
18,8
Resiko rendah
26
81,2
Total
32
100
Sumber : data primer yang diolah oleh peneliti, 2011
a. Variabel shift Kerja Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.5 diatas, dapat diketahui bahwa sebagian besar responden yang bekerja dengan sistem shift pagi terdapat sebanyak 21 orang (65.6%), sedangkan responden yang bekerja dengan sistem shift siang yaitu sebanyak 6 orang (18,8%), dan 15,6% (5 orang) responden yang bekerja dengan sistem shift malam. b. Variabel Beban Kerja Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.5 diatas, dapat diketahui bahwa sebagian besar responden yang memiliki beban kerja ringan yaitu sebanyak 22 orang (68,8%) dan 31,2 % (10 orang) responden yang memiliki beban kerja ringan. c. Variabel Risiko Ergonomi pekerjaan Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.5 diatas, dapat diketahui bahwa risiko ergonomi pekerjaan dengan metode RULA dan REBA terbagi menjadi 5 kategori yaitu risiko sangat tinggi, risiko tinggi, risiko sedang, risiko rendah, risiko sangat rendah. Untuk mengetahui risiko ergonomi pekerjaan pada karyawan di Instalasi Gizi tentunya
135
terlebih dahulu harus mengetahui kegiatan atau aktifitas pekerjaan yang dilakukan. Dalam distribusi risiko ergonomi pekerjaan pada karyawan di Instalasi Gizi hanya dibagi menjadi dua kategori yaitu meliputi risiko sedang dan risiko rendah karena merupakan risiko tertinggi pada perhitungan dengan metode RULA dan REBA dari setiap kegiatan/aktifitas kerja yang dilakukan, sebagian besar distribusi risiko ergonomi pekerjaan pada karyawan di Instalasi Gizi adalah risiko rendah sebanyak 26 orang (81,2%) dan risiko sedang sebanyak 9 orang (18,8%).
5.3
Hasil Analisis Bivariat
5.3.1 Hubungan antara Karakteristik Pekerja (Umur) dengan Kelelahan Kerja pada Karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011 Tabel 5.6 Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Pekerja (Umur) dengan Kelelahan Kerja pada Karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011 Variabel
Kategori
N
Pvalue
Umur
Kelelahan Kerja Berat
17
0.450
Kelelahan Kerja Sedang
9
Kelelahan Kerja Ringan
6
Sumber : data primer yang diolah oleh peneliti, 2011 Berdasarkan tabel 5.6 diatas pada hasil uji statistik, didapatkan Pvalue sebesar 0,450, artinya pada α = 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara umur dengan kelelahan kerja.
136
5.3.2 Hubungan antara Karakteristik pekerja (Jenis Kelamin, Masa Kerja, Status Gizi) dengan Kelelahan Kerja pada Karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011 Tabel 5.7 Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Pekerja (Jenis Kelamin, Masa Kerja, Status Gizi) dengan Kelelahan Kerja pada Karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011
Karakteristik
Kelelahan
Pekerja Kategori
Jenis Kelamin
Masa Kerja
Status Gizi
Kelelahan
Kelelahan
Kelelahan
Berat
Sedang
Ringan
P value Total
N
%
N
%
N
%
N
%
Perempuan
10
41.7
8
33.3
6
25.0
24
100
Laki-laki
7
87.5
1
12.5
0
0
8
100
Total
17
53.1
9
28.1
6
18.8
32
100
› 10 tahun
7
63.6
1
9.1
3
27.3
11
100
6-10 tahun
5
38.5
5
38.5
3
23.1
13
100
‹ 6 tahun
5
62.5
3
37.5
0
0
8
100
Total
17
53.1
9
28.1
6
18.8
32
100
Obesitas
3
75.0
0
0
1
25.0
4
100
Gemuk
3
50.0
1
16.7.
2
33.3
6
100
Normal
11
50.0
8
36.4
3
13.6
22
100
Total
17
53.1
9
28.1
6
18.8
32
100
Sumber : data primer yang diolah oleh peneliti, 2011
0.036
0.135
0.354
137
1. Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Kelelahan Kerja Berdasarkan pada tabel 5.7 diatas, didapatkan hasil bahwa dari 8 responden dengan kategori jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 7 orang (87,5%) sebagian besar mengalami kelelahan berat dan sebanyak 1 orang (12,5%) mengalami kelelahan sedang. Sedangkan dari 24 responden dengan kategori jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 10 orang (41,7%) mengalami kelelahan kerja berat, 8 orang (33,3%) mengalami kelelahan sedang dan 6 orang (25%) mengalami kelelahan ringan. Dari hasil tersebut secara persentase karyawan dengan kategori laki-laki lebih banyak mengalami kelelahan berat jika dibandingkan dengan karyawan dengan kategori jenis kelamin perempuan. Berdasarkan hasil uji statistik, didapatkan Pvalue sebesar 0,036, artinya pada α = 5% dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kelelahan kerja. 2. Hubungan Antara Masa Kerja dengan Kelelahan Kerja Berdasarkan tabel 5.7 diatas, didapatkan hasil bahwa dari 11 responden dengan masa kerja › 10 tahun yaitu sebanyak 7 orang (63,6%) sebagian besar mengalami kelelahan berat, 1 orang (9,1%) mengalami kelelahan kerja sedang, dan 3 orang (27,3%) mengalami kelelahan kerja ringan. Responden dengan masa kerja ‹ 6 tahun sebanyak 5 orang (62,5%) sebagian besar mengalami kelelahan berat, sebanyak 3 orang (37,5%) mengalami kelelahan sedang. Sedangkan responden dengan masa kerja 6-10 tahun yaitu sebanyak 5 orang (38,5%) mengalami kelelahan berat juga kelelahan sedang dan 3 orang (23,1) mengalami kelelahan ringan.
138
Berdasarkan hasil uji statistik, didapatkan Pvalue sebesar 0,135, artinya pada α = 5% dapat disimpulkan bahwa masa kerja tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kelelahan kerja. 3. Hubungan Antara Status Gizi dengan Kelelahan Kerja Berdasarkan tabel 5.7 diatas, didapatkan hasil bahwa dari 4 responden yang memiliki status gizi obesitas yaitu sebanyak 3 orang (75%) sebagian besar mengalami kelelahan berat, 1 orang (25%) mengalami kelelahan ringan. Responden yang memiliki status gizi gemuk yaitu sebanyak 3 orang (50%) sebagian besar mengalami kelelahan berat, 1 orang (16,7%) mengalami kelelahan kerja sedang dan 2 orang (33,3%) mengalami kelelahan kerja ringan. Sedangkan dari 22 responden yang memiliki status gizi normal yaitu sebanyak 11 orang dengan status gizi normal (50%) sebagian besar mengalami kelelahan berat, 8 orang (36,4%) mengalami kelelahan kerja sedang, dan 3 orang (13,6%) mengalami kelelahan kerja ringan. Berdasarkan hasil uji statistik, didapatkan Pvalue sebesar 0,354, artinya pada α = 5% dapat disimpulkan bahwa status gizi tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kelelahan kerja.
139
5.3.3 Hubungan antara Karakteristik Pekerjaan (Shift Kerja, Beban Kerja, Risiko Ergonomi Pekerjaan) dengan Kelelahan Kerja pada Karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011 Tabel 5.8 Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Pekerjaan (Shift Kerja, Beban Kerja, Risiko Ergonomi Pekerjaan) dengan Kelelahan Kerja pada Karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta Tahun 2011 Karakteristik
Kelelahan
Pekerjaan Kategori
Shift Kerja
Beban Kerja
Kelelahan
Kelelahan
Kelelahan
Berat
Sedang
Ringan
P value Total
N
%
N
%
N
%
N
%
Shift malam
2
40.0
2
40.0
1
20.0
5
100
Shift siang
5
83.3
1
16.7
0
0
6
100
Shift pagi
10
47.6
6
28.6
5
23.8
21
100
Total
17
53.1
9
28.1
6
18.8
32
100
8
80.0
2
20.0
0
0
10
100
9
40.9
7
31.8
6
27.3
22
100
17
53.1
9
28.1
6
18.8
32
100
4
66.7
1
16.7
1
16.7
6
100
13
50.0
8
30.8
5
19.2
26
100
17
53.1
9
28.1
6
18.8
32
100
Beban Kerja Sedang Beban Kerja Ringan Total
Risiko
Resiko
Ergonomi
Sedang Resiko rendah Total
Sumber : data primer yang diolah oleh peneliti, 2011
0.373
0.035
0.723
140
1. Hubungan Antara Shift Kerja dengan Kelelahan Kerja Berdasarkan tabel 5.8 diatas, didapatkan hasil bahwa diantara 6 responden yang bekerja dengan sistem shift siang yaitu sebanyak 5 orang (83,3%) sebagian besar mengalami kelelahan berat, 1 orang (16,7) mengalami kelelahan kerja sedang. Responden yang bekerja dengan sistem shift pagi yaitu sebanyak 10 orang (47,6%) sebagian besar mengalami kelelahan berat, 6 orang (28,6%) mengalami kelelahan kerja sedang dan sebanyak 5 orang (23,8%) mengalami kelelahan kerja ringan. Sedangkan responden yang bekerja dengan sistem shift malam sebagian besar mengalami kelelahan berat dan sedang sebanyak 2 orang (40%) dan 1 orang (20%) mengalami kelelahan ringan. Berdasarkan hasil uji statistik, didapatkan Pvalue sebesar 0,373, artinya pada α = 5% dapat disimpulkan bahwa Shift kerja tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kelelahan kerja. 2. Hubungan Antara Beban Kerja dengan Kelelahan Kerja Berdasarkan tabel 5.8 diatas, didapatkan hasil bahwa dari 10 responden yang memiliki beban kerja sedang yaitu sebanyak 8 orang (80%) sebagian besar mengalami kelelahan berat, 2 orang (20%) mengalami kelelahan kerja sedang. sedangkan dari 22 responden yang memiliki beban kerja ringan yaitu sebanyak 9 orang (40,9%) sebagian besar mengalami kelelahan berat, 7 orang (31,8%) mengalami kelelahan kerja sedang dan 6 orang (27,3%) mengalami kelelahan kerja ringan.
141
Berdasarkan hasil uji statistik, didapatkan Pvalue sebesar 0,035, artinya pada α = 5% dapat disimpulkan bahwa beban kerja memiliki hubungan yang bermakna dengan kelelahan kerja. 3. Hubungan Antara Risiko Ergonomi Pekerjaan dengan Kelelahan Kerja Berdasarkan tabel 5.8 diatas, didapatkan hasil bahwa dari 6 responden dengan tingkat resiko ergonomi pekerjaan yang sedang yaitu sebanyak 4 orang (66,7%) sebagian besar mengalami kelelahan berat 1 orang (16,7%) masingmasing mengalami kelelahan kerja sedang dan ringan. Sedangkan dari 26 responden dengan tingkat resiko ergonomi pekerjaan yang rendah yaitu sebanyak 13 orang (50%) sebagian besar mengalami kelelahan berat, 8 orang (30,8%) mengalami kelelahan kerja sedang, dan 5 orang (19,2%) mengalami kelelahan kerja ringan. Dari hasil tersebut secara persentase pekerja dengan tingkat resiko ergonomi pekerjaan yang sedang lebih banyak mengalami kelelahan berat jika dibandingkan dengan pekerja dengan resiko ergonomi pekerjaan yang rendah. Berdasarkan hasil uji statistik, didapatkan Pvalue sebesar 0,723, artinya pada α = 5% dapat disimpulkan bahwa risiko ergonomi pekerjaan tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kelelahan kerja.
142
Gambar 5.13 Postur kerja pada pekerja kantor
Gambar 5.14 Postur kerja ketika pencatatan menu rekapan harian pasien
BAB VI PEMBAHASAN
6.1
Keterbatasan Penelitian Dalam melakukan penelitian, peneliti menyadari terdapat keterbatasan dan
kelemahan dalam penelitian ini yaitu : 1.
Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional yang hanya menggambarkan variabel yang diteliti yaitu independen terhadap dependen pada waktu yang sama sehingga memiliki hubungan kausal (sebab akibat) yang lemah.
2.
Bagian kerangka konsep dalam penelitian ini hanya menghubungkan variabel-variabel independen yang diperkirakan memiliki hubungan dengan variabel dependen.
3.
Pengambilan gambar aktifitas pekerjaan tidak maksimal karena dokumentasi berupa foto hanya menggunakan kamera yang memiliki resolusi rendah.
4.
Perhitungan beban kerja menggunakan nilai estimasi dari NIOSH dengan standar berat badan pekerja 70 kg, sedangkan karyawan instalasi gizi tidak seluruh nya dengan berat badan 70 kg sehingga perhitungan dengan menggunakan nilai estimasi NIOSH kurang sesuai.
143
144
6.2
Kelelahan Kerja Kelelahan dapat diartikan sebagai suatu kondisi menurunnya efisiensi, performa
kerja, dan berkurangnya kekuatan atau ketahanan fisik tubuh untuk terus melanjutkan kegiatan yang harus dilakukan (Wignjosoebroto, 2003). Menurut Grandjean (1997) kelelahan kerja merupakan gejala yang ditandai adanya perasaan lelah dan akan merasa segan dan aktifitas akan melemah serta ketidakseimbangan. Selain itu, keinginan untuk berusaha melakukan kegiatan fisik dan mental akan berkurang karena disertai perasaan berat, pening dan capek. Istilah kelelahan biasanya menunjukkan kondisi yang berbeda-beda dari setiap individu, tetapi semuanya bermuara kepada kehilangan efisiensi dan penurunan kapasitas kerja serta ketahanan tubuh (Tarwaka et al, 2004). Suma’mur (1996) menyatakan bahwa kelelahan kerja merupakan proses menurunnya efisiensi, performance kerja dan berkurangnya kekuatan/ ketahanan fisik tubuh untuk terus melanjutkan kegiatan yang harus dilakukan. Berdasarkan tabel 5.3 hasil penelitian yang dilakukan pada 32 karyawan Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo tahun 2011 menunjukkan bahwa sebanyak 17 pekerja (53,1%) mengalami kelelahan berat, responden yang mengalami kelelahan kerja sedang sebanyak 9 orang (28,1%) dan sebanyak 6 orang (18,8%) responden mengalami kelelahan kerja ringan. Pengukuran kelelahan kerja yaitu dengan reaction timer test, dilakukan dalam 5 kali pengukuran, kemudian dilihat pada hasil rata-rata kelima pengukuran tersebut. Berdasarkan hasil wawancara terhadap kuesioner dan pengamatan gejala kelelahan kerja serta pengukuran secara objektif yang mendukung hasil pengukuran pada saat wawancara yang termuat dalam kuesioner IFRC (International Fatigue Research
145
Comitte) pada tabel 5.4 yaitu pertanyaan nomor B4 yang dilihat langsung oleh peneliti, B22 dengan meminta karyawan menggerakkan bahunya kemudian peneliti melihat pergerakan bahu sekaligus menanyakan apakah bahu terasa kaku, dan B29 dengan meletakkan dua buah buku ke tangan pekerja kemudian dilihat apakah bergetar. Berdasarkan hasil tersebut didapatkan bahwa prevalence rate pada keluhan kelelahan kerja pada saat sebelum bekerja diketahui bahwa presentase karyawan mengalami kelelahan kerja rata-rata dengan gejala sangat haus (18,8%), lelah pada seluruh badan dan kaki terasa berat (9,38%) serta merasa berat di bagian kepala, menguap, mengantuk, kaku dan canggung dalam gerakan, ingin berbaring merasa sakit di kepala dengan persentase sebesar 3,12%. Sedangkan pada saat setelah bekerja di dapatkan hasil persentase karyawan mengalami kelelahan kerja rata-rata dengan gejala lelah pada seluruh badan (94%), menguap (97%), mengantuk (91%), merasa sangat haus (88%), kaku di bagian bahu (81%). Berdasarkan hasil uji statistik, diketahui bahwa kelelahan kerja yang terjadi pada karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta tahun 2011 memiliki perbedaan bermakna antara kelelahan kerja yang terjadi pada saat sebelum bekerja dengan kelelahan kerja pada saat setelah bekerja dengan nilai Pvalue 0,000. Setiap orang pernah mengalami kondisi lelah, karena kemampuan tubuh untuk tetap terjaga memiliki batas tertentu. Hampir seluruh orang merasakan kondisi lelah setelah melakukan aktifitasnya seharian. Begitupun dengan para pekerja yang harus tetap terjaga selama 8 jam demi memenuhi tugas dan shift kerjanya. Job dan Dalziel (2001) dalam Australian Safety and Compensation Council (2006) mendefinisikan kelelahan berdasarkan pada tingkatan keadaan otot tubuh, viscera atau sistem syaraf pusat dimana didahului oleh aktifitas fisik dan proses mental, serta waktu istirahat yang
146
mencukupi, sebagai hasil dari kapasitas sel yang tidak mencukupi atau cakupan energi untuk memelihara tingkatan aktifitas yang alami dan atau diproses dengan menggunakan sumber-sumber yang normal. Kondisi kelelahan di tempat kerja memang tidak bisa dipandang sebelah mata, karena sangat berpengaruh terhadap efektifitas, produktifitas serta keselamatan pekerja pada umumnya. Timbulnya rasa lelah dalam diri manusia merupakan proses yang terakumulasi dari berbagai penyebab dan mendatangkan ketegangan (stress) yang dialami tubuh manusia. Untuk menghindari akumulasi kelelahan yang terlalu berlebihan, diperlukan adanya keseimbangan antara sumber datangnya kelelahan (faktor penyebab kelelahan) dengan proses pemulihan (recovery). Proses pemulihan dapat dilakukan dengan cara memberikan waktu istirahat yang cukup (sekitar 30-60 menit) dan terjadwal. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden dapat diketahui bahwa kelelahan kerja di duga dapat dipengaruhi oleh faktor umur, jenis kelamin, masa kerja, status gizi, status kesehatan, beban kerja, shift kerja, dan risiko ergonomi kerja. Agar kelelahan kerja pada karyawan menjadi lebih rendah, disarankan agar Rumah Sakit memberikan materi pendidikan dan pelatihan pada pekerja tentang kelelahan kerja dan dampak dari kelelahan kerja serta pencegahannya guna meningkatkan kesadaran karyawan agar kondisi kelelahan kerja dapat di minimalkan. 6.3
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kelelahan Kerja
6.3.1 Hubungan Antara Umur dengan Kelelahan Kerja Faktor individu seperti umur juga dapat berpengaruh terhadap waktu reaksi dan perasaan lelah tenaga kerja sama halnya pada karyawan di instalasi gizi RSUD Pasar Rebo tahun 2011 yang diduga bahwa umur merupakan faktor terjadinya kelelahan kerja.
147
Berdasarkan tabel 5.5 menunjukkan bahwa umur karyawan di instalasi gizi berada pada nilai tengah umur 36,00. Umur karyawan terendah yaitu 26 tahun, sedangkan umur karyawan yang tertinggi yaitu 55 tahun. Hal ini sesuai dengan teori Caffin dalam Tarwaka et al, 2004 yang menyatakan bahwa kelelahan kerja biasanya mulai dirasakan lebih menonjol pada usia 25-65 tahun dimana tingkat keluhan atau kelelahan akan bertambah seiring dengan bertambahnya umur. Rentang umur terjadinya kelelahan kerja pada karyawan instalasi gizi RSUD Pasar Rebo yaitu berkisar antara 26-55 tahun yang mengalami kelelahan kerja berat, sedang, maupun kelelahan kerja ringan. Kebanyakan kinerja fisik mencapai puncak dalam usia pertengahan dua puluhan dan kemudian menurun dengan bertambahnya usia (Lambert, 1996). Departemen Kesehatan RI menyebutkan bahwa usia produktif adalah antara 15-54 tahun (www.Depkes-RI.go.id). Proses menjadi tua serta kurangnya kemampuan kerja oleh karena perubahan-perubahan pada alat tubuh, sistem kardiovaskular, hormonal (Suma’mur, 1996). Untuk wanita kekuatan otot yang optimal ada pada usia 20-39 tahun. Menurut Suma’mur (1989), pekerja yang telah berusia lanjut akan merasa cepat lelah dan tidak bergerak dengan gesit ketika melaksanakan tugasnya sehingga mempengaruhi kinerjanya. Kemampuan untuk dapat melakukan pekerjaan dengan baik setiap individu berbeda dan dapat juga dipengaruhi oleh usia individu tersebut. Misalnya pada umur 50 tahun kapasitas kerja tinggal 80% dan pada umur 60 tahun menjadi 60% dibandingkan dengan kapasitas yang berumur 25 tahun. Berdasarkan tabel 5.8 hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara umur dengan kelelahan dengan nilai pvalue 0,450. Hal ini sejalan dengan Hasil penelitian Mulyana, dkk (2006) yang menunjukkan adanya hubungan yang
148
tidak selalu linier antara umur dengan kelelahan kerja. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa kelelahan kerja paling besar terjadi pada kelompok usia 20-29 tahun dan pada kelompok usia > 29 tahun. Kemudian pada penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2005), didapatkan hasil bahwa rata-rata umur pekerja yaitu 34,35 tahun yang mengalami kelelahan dengan pengukuran waktu reaksi rangsang cahaya. Berdasarkan hasil uji statistik analisis multivariat menunjukkan bahwa umur tidak berhubungan dengan kelelahan. Namun, hal ini tidak sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Suma’mur (1999) yaitu umur dapat mempengaruhi kelelahan kerja. Semakin tua umur seseorang semakin besar tingkat kelelahan. Fungsi faal tubuh yang dapat berubah karena faktor umur mempengaruhi ketahanan tubuh dan kapasitas kerja seseorang. Hal ini dapat disebabkan oleh umur yang tidak selalu berkontribusi terhadap terjadinya kelelahan kerja pada karyawan di instalasi gizi RSUD Pasar Rebo. Pendistribusian umur pada karyawan instalasi gizi yang sebagian besar mengalami kelelahan kerja berada pada rentang umur 26-55 tahun. Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan, distribusi karyawan dalam melakukan aktifitas kerja dan beban kerja yang ditanggungnya tidak berdasarkan jenjang umur. Sehingga kelelahan kerja yaitu kelelahan kerja berat, kelelahan kerja sedang, dan kelelahan kerja ringan yang dirasakan oleh seluruh umur baik karyawan yang memiliki umur muda maupun karyawan yang memiliki umur lebih tua adalah sama besarnya. Hal ini mungkin juga dipengaruhi oleh masa kerja karyawan, dimana semakin masa kerja yang panjang/lama maka umur karyawan berada pada kategori lebih tua. Sebaliknya karyawan dengan masa kerja baru maka umur karyawan berada pada kategori muda. Selain itu dapat mungkin
149
juga dipengaruhi oleh shift kerja yang di jalani oleh karyawan, dimana seluruh karyawan pada semua jenjang umur pernah menjalani ketiga shift kerja yang ada di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo tahun 2011. Sehingga kelelahan kerja yang dialami oleh karyawan selalu sama, kemudian juga karyawan sering mengalami sistem kerja nerus (shift pagi nerus ke shift sore). 6.3.2 Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Kelelahan Kerja Penggolongan jenis kelamin terbagi menjadi laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin juga merupakan salah satu faktor yang diduga berhubungan dengan kelelahan kerja pada karyawan di instalasi gizi RSUD Pasar Rebo tahun 2011. Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan bahwa karyawan dengan kategori perempuan lebih banyak yaitu 24 orang (75,8%) dibandingkan karyawan laki-laki yaitu sebesar 24,2% (8 orang). Berdasarkan tabel 5.9 diketahui bahwa dari 8 responden dengan kategori jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 7 orang (87,5%) sebagian besar mengalami kelelahan berat dan sebanyak 1 orang (12,5%) mengalami kelelahan sedang. Sedangkan dari 24 responden dengan kategori jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 10 orang (41,7%) mengalami kelelahan kerja berat, 8 orang (33,3%) mengalami kelelahan sedang dan 6 orang (25%) mengalami kelelahan ringan. Dari hasil tersebut secara persentase karyawan dengan kategori laki-laki lebih banyak mengalami kelelahan berat jika dibandingkan dengan karyawan dengan kategori jenis kelamin perempuan. Walaupun menurut jumlah diketahui bahwa kelelahan kerja berat lebih banyak dialami oleh karyawan dengan ketegori jenis kelamin perempuan, namun hasil ini tidak sejalan dengan teori Suma’mur PK (1996), yang menjelaskan bahwa biasanya wanita lebih mudah lelah dibanding pria. Hal tersebut dikarenakan ukuran tubuh dan kekuatan otot
150
tenaga kerja wanita relatif kurang dibanding pria, secara biologis wanita mengalami siklus haid, kehamilan dan menopouse, dan secara sosial kultural, yaitu akibat kedudukan sebagai ibu dalam rumah tangga dan tradisi-tradisi sebagai pencerminan kebudayaan. Menurut Harrington dan Gill (2003) yang menyatakan bahwa pekerja wanita lebih teliti dan lebih tahan atau lentur dibandingkan dengan laki-laki, seperti pada wanita yang telah menikah dan bekerja, waktu kerjanya lebih lama 4-6 jam jika dibandingkan dengan pria (suaminya) karena selain mencari nafkah wanita juga bertanggung jawab terhadap keluarga dan rumah. Dapat disimpulkan bahwa hasil pada penelitian ini juga tidak sejalan dengan penelitian Harrington dan Gill tersebut di atas. Kemudian tidak sejalan pula dengan teori Tarwaka et al, 2004 yang menambahkan bahwa secara umum wanita hanya mempunyai kekuatan fisik 2/3 dari kemampuan fisik atau kekuatan otot laki-laki. Dengan demikian, untuk mendapatkan hasil kerja yang sesuai maka harus diusahakan pembagian tugas antara pria dan wanita. Hal ini harus disesuaikan dengan kemampuan, kebolehan, dan keterbatasannya masingmasing. Menurut Depkes RI (2003), kapasitas kerja adalah kemampuan bekerja seseorang yang dipengaruhi oleh jenis kelamin. Kapasitas yang dimiliki seorang pekerja erat hubungannya dengan pekerjaannya. Jenis kelamin berpengaruh dalam melakukan pekerjaan, sebab laki-laki dan perempuan berbeda dalam kemampuan fisiknya dan kekuatan ototnya. Ukuran-ukuran tubuh juga mempengaruhi dalam menjalankan sebuah aktivitas kerja. Menurut pengalaman ternyata siklus biologi pada wanita tidak
mempengaruhi kemampuan fisik, melainkan lebih banyak bersifat sosial dan kultural (Depnaker, 1993). Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan, menunjukkan bahwa
151
tidak ada perbedaan aktifitas kerja/beban kerja yang dilakukan antara karyawan dengan kategori jenis kelamin laki-laki dan karyawan dengan kategori jenis kelamin perempuan. Baik karyawan laki-laki maupun perempuan melakukan aktifitas kerja dengan beban kerja yang sama. Dari hasil uji statistik pada tabel 5.9 dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kelelahan kerja dengan nilai pvalue sebesar 0,036. Hal ini sejalan dengan Studi di Amerika Serikat yang dilakukan Claire (2004) menyatakan bahwa jenis kelamin dapat mempengaruhi tingkat kelelahan seseorang. Hal ini dapat dilihat dari waktu kerja lembur yang mempengaruhi wanita. Wanita yang menjalani kerja lembur ternyata memiliki potensi yang lebih besar terjadi kelelahan, hal ini dikarenakan posisi wanita didalam rumah tangga yang mengharuskannya untuk selalu menyediakan waktu bagi keluarga. Biasanya setelah menjalankan lembur kerja, tenaga kerja wanita sesampainya di rumah masih mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti mengasuh anak, mencuci dan lain-lain. Sehingga mengakibatkan kurangnya waktu bagi tenaga kerja wanita untuk beristirahat dan memulihkan kondisi dari kegiatan pekerjaan. Masih dalam Claire (2004) Hasil studi dari Fredrikson (1999) menyatakan bahwa resiko kerusakan otot akan meningkat, jika jam kerja yang panjang (lembur) ditambah dengan bekerja di rumah. Dan ternyata siklus biologi pada wanita tidak mempengaruhi kemampuan fisik, melainkan lebih banyak bersifat sosial dan kultural, kecuali pada wanita yang mengalami kelainan haid (dysmenorrhoea). Hal tersebut mungkin disebabkan karena status gizi karyawan. Pada karyawan yang memiliki status gizi obesitas dan mengalami kelelahan berat, sebagian besar dengan kategori perempuan (75%). Pada karyawan dengan yang memiliki status gizi
152
gemuk dan mengalami kelelahan kerja berat sebagian besar kategori perempuan (50%). Pada karyawan dengan kategori laki-laki, seluruhnya memiliki status gizi normal dan mengalami kelelahan berat (87,5%). Untuk mendapatkan hasil kerja yang baik dan sesuai serta pekerjaan tersebut tidak menimbulkan kelelahan kerja, maka harus diusahakan pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan pada karyawan di instalasi gizi dengan penyesuaian kemampuan, kebolehan, keterampilan, serta keterbatasannya masing-masing (Tarwaka et al, 2004). Kemudian, agar di sesuaikan juga dengan status gizi karyawan. 6.3.3 Hubungan Antara Masa Kerja dengan Kelelahan Kerja Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kelelahan kerja yaitu masa kerja. Pekerjaan fisik yang dilakukan secara kontinyu dalam jangka waktu yang lama akan berpengaruh terhadap mekanisme dalam tubuh (sistem peredaran darah, pencernaan, otot, syaraf dan pernafasan). Dalam keadaan ini kelelahan terjadi karena terkumpulnya produk sisa dalam otot dan peredaran darah di mana produk sisa ini bersifat membatasi kelangsungan kegiatan otot (Soedarmayanti, 1996). Masa kerja merupakan akumulasi waktu dimana pekerja telah menjalani pekerjaan tersebut. Semakin banyak informasi yang kita simpan, semakin banyak keterampilan yang kita pelajari, akan semakin banyak hal yang kita kerjakan (Malcom, 1998). Berdasarkan tabel 5.9, didapatkan hasil bahwa dari 11 responden dengan masa kerja › 10 tahun yaitu sebanyak 7 orang (63,6%) sebagian besar mengalami kelelahan berat, 1 orang (9,1%) mengalami kelelahan kerja sedang, dan 3 orang (27,3%) mengalami kelelahan kerja ringan. Responden dengan masa kerja ‹ 6 tahun sebanyak 5 orang (62,5%) sebagian besar mengalami kelelahan berat, sebanyak 3 orang (37,5%)
153
mengalami kelelahan sedang. Sedangkan responden dengan masa kerja 6-10 tahun yaitu sebanyak 5 orang (38,5%) mengalami kelelahan berat juga kelelahan sedang dan 3 orang (23,1) mengalami kelelahan ringan. Secara persentase di ketahui bahwa lebih banyak kelelahan kerja berat terjadi pada karyawan dengan masa kerja lebih dari 10 tahun. Namun hal ini tidak sejalan dengan teori yang diungkapkan oleh Sutjana dalam Mulyana, dkk 2006, menyatakan bahwa tingkat pengalaman kerja seseorang dalam bekerja akan mempengaruhi terjadinya kelelahan kerja. Hal ini dikarenakan orang yang lebih berpengalaman mampu bekerja secara efisien. Mereka dapat mengatur besarnya tenaga yang dikeluarkan oleh karena seringnya melakukan pekerjaan tersebut. Selain itu, mereka telah mengetahui posisi kerja yang terbaik atau nyaman untuk dirinya, sehingga produktifitasnya terjaga. Hal tersebut diperkirakan dapat mencegah atau mengurangi terjadinya kelelahan kerja. Penelitian yang dilakukan oleh Purnawati, et al (2006) di PT “X” diperoleh bahwa kelelahan banyak terjadi pada pekerja yang memiliki masa kerja > 5 tahun. Berdasarkan hasil uji statistik, didapatkan Pvalue sebesar 0,135, artinya pada α = 5% dapat disimpulkan bahwa masa kerja tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kelelahan kerja. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Purnawati, et al (2006) di PT “X” diperoleh bahwa kelelahan banyak terjadi pada pekerja yang memiliki masa kerja > 5 tahun dengan Pvalue 0,839 yang menyatakan tidak ada hubungan bermakna antara masa kerja dengan kelelahan. Namun tidak sejalan dengan Budiono (2003),yang menyatakan bahwa masa kerja dapat mempengaruhi pekerja baik positif maupun negatif. Akan memberikan pengaruh positif bila semakin lama seseorang bekerja maka akan berpengalaman dalam melakukan pekerjaannya.
154
Sebaliknya akan memberikan pengaruh negatif apabila semakin lama bekerja akan menimbulkan kelelahan dan kebosanan. Semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak seorang pekerja telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut. Kemudian tidak sejalan pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2009), hasil menunjukkan bahwa rata-rata pekerja memiliki masa kerja 8,23 tahun sebagian besar mengalami kelelahan tingkat berat. Berdasarkan hasil uji statistik diketahui bahwa masa kerja memiliki hubungan bermakna dengan tingkat kelelahan dengan nilai pvalue sebesar 0,022. Berdasarkan hasil akhir uji regresi linier berganda dapat disimpulkan bahwa variabel masa kerja juga merupakan salah satu faktor yang paling dominan mempengaruhi tingkat kelelahan pada pekerja. Hal ini mungkin disebabkan oleh umur karyawan yang berkorelasi ter hadap masa kerja untuk terjadinya kelelahan kerja berat, dimana semakin tua umur karyawan berarti karyawan tersebut memiliki masa kerja lama. Sebaliknya karyawan yang memiliki umur muda maka masa kerja karyawan tersebut dikategorikan baru. Berdasarkan hasil kuesioner, dapat diketahui bahwa karyawan yang bekerja di instalasi gizi memiliki masa kerja yang beragam, masa kerja baru yaitu 4 tahun dan masa kerja paling lama yaitu 22 tahun. Sehingga dapat disimpulkan bahwa antara karyawan dengan masa kerja > 10 tahun, karyawan dengan masa kerja < 6 tahun maupun masa kerja antara 6-10 tahun memiliki peluang yang sama untuk mengalami kelelahan kerja berat. Selain itu dapat pula dipengaruhi oleh beban kerja yang diterima oleh karyawan. Semakin panjang/lama masa kerja karyawan, beban kerja karyawan pula semakin berat untuk kemudian mengalami kelelahan kerja berat.
155
6.3.4 Hubungan Antara Status Gizi dengan Kelelahan Kerja Status gizi merupakan salah satu faktor yang diduga berhubungan untuk terjadinya kelelahan kerja pada karyawan di instalasi gizi RSUD Pasar Rebo tahun 2011. Berdasarkan tabel 5.9, didapatkan hasil bahwa dari 4 responden yang memiliki status gizi obesitas yaitu sebanyak 3 orang (75%) sebagian besar mengalami kelelahan berat, 1 orang (25%) mengalami kelelahan ringan. Responden yang memiliki status gizi gemuk yaitu sebanyak 3 orang (50%) sebagian besar mengalami kelelahan berat, 1 orang (16,7%) mengalami kelelahan kerja sedang dan 2 orang (33,3%) mengalami kelelahan kerja ringan. Sedangkan dari 22 responden yang memiliki status gizi normal yaitu sebanyak 11 orang dengan status gizi normal (50%) sebagian besar mengalami kelelahan berat, 8 orang (36,4%) mengalami kelelahan kerja sedang, dan 3 orang (13,6%) mengalami kelelahan kerja ringan. Menurut teori Hartz et al (1999) dalam safitri (2008) kelelahan terjadi pada IMT yang lebih tinggi yaitu obesitas. Secara persentase dapat dilihat bahwa kelelahan kerja berat yang dialami oleh karyawan lebih banyak terjadi pada karyawan yang memiliki status gizi obesitas. Dengan demikian hasil penelitian ini sesuai dengan teori tersebut. Kemudian berdasarkan jumlah, sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2005) yaitu berdasarkan hasil menunjukkan bahwa responden yang memiliki status gizi normal sebagian besar mengalami kelelahan. Namun secara persentase, hasil ini tidak sejalan dengan teori Budiono (2003) yang menyatakan bahwa seorang pekerja dengan keadaan gizi yang baik akan memiliki kapasitas kerja dan ketahanan tubuh yang lebih baik, begitu juga sebaliknya. Pada keadaan gizi buruk dengan beban kerja berat akan mengganggu kerja dan menurunkan efisiensi serta ketahanan tubuh sehingga mudah terjangkit penyakit dan mempercepat
156
timbulnya kelelahan. Tubuh memerlukan zat-zat dari makanan untuk pemeliharaan tubuh, dan diperlukan juga untuk pekerjaan yang meningkat sepadan dengan lebih beratnya pekerjaan. Berdasarkan hasil uji statistik, didapatkan Pvalue sebesar 0,354, artinya pada α = 5% dapat disimpulkan bahwa status gizi tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kelelahan kerja. Namun tidak sejalan dengan itu, penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2005) berdasarkan hasil uji statistik diketahui bahwa status gizi memiliki hubungan bermakna dengan tingkat kelelahan dengan nilai pvalue = 0,001. Dan tidak sejalan juga dengan teori yang diungkapkan oleh Oentoro (2004) dimana hasil riset menunjukkan bahwa secara klinis terdapat hubungan antara status gizi seseorang dengan performa tubuh secara keseluruhan, orang yang berada dalam kondisi gizi yang kurang baik dalam arti intake makanan dalam tubuh kurang dari normal maka akan lebih mudah mengalami kelelahan dalam melakukan pekerjaan. Hal ini mungkin disebabkan oleh persentase karyawan di instalasi gizi menurut status Gizi (IMT) paling besar berada pada status gizi obesitas dan lebih banyak yang mengalami kelelahan kerja berat dibandingkan dengan status gizi Gemuk dan normal dengan persentase 75%. Kemudian mengingat karyawan dengan status gizi gemuk dan normal memiliki persentase yang sama untuk mengalami kelelahan kerja berat yaitu sebesar 50%. Sehingga ada kemungkinan bahwa kelelahan kerja berat yang dialami karyawan yang memiliki status gizi obesitas, status gizi gemuk dan status gizi normal tidak memiliki perbedaan yang bermakna. Dapat pula dikarenakan variabel lain yang tidak diteliti oleh peneliti yaitu faktor biologis (genetik dan hormon), faktor psikologis (emosi), faktor sosial budaya (ekonomi,
157
status perkawinan dan pengetahuan gizi), pola konsumsi makanan, dan faktor perilaku (kebiasaan merokok dan aktifitas fisik). Selain itu, dalam Tarwaka et, al, 2004 menyebutkan bahwa status gizi berhubungan erat dan berpengaruh pada produktifitas dan efisiensi kerja. Dalam melakukan pekerjaan tubuh memerlukan energi, apabila kekurangan baik secara kualitatif maupun kuantitatif kapasitas kerja akan terganggu. Menurut Suma’mur (1982) dan Grandjean (1993) dalam Tarwaka (2004) bahwa selain jumlah kalori yang tepat, penyebaran persediaan kalori selama masa bekerja adalah sangat penting. Menurut cicih (1996), status gizi yang baik dengan asupan kalori dalam jumlah dan waktu yang tepat berpengaruh secara positif terhadap daya kerja pekerja. Sebaliknya status gizi yang kurang atau berlebihan dan asupan kalori yang tidak sesuai dengan jumlah maupun waktu menyebabkan rendahnya ketahanan kerja ataupun perlambatan gerak sehingga menjadi hambatan bagi tenaga kerja dalam melaksanakan aktifitasnya. Artinya apabila asupan kalori tenaga kerja tidak sesuai dengan kebutuhannya maka tenaga kerja tersebut akan lebih cepat merasakan lelah dibandingkan dengan tenaga kerja dengan asupan kalori yang memadai, sehingga tenaga kerja tersebut harus mendapatkan masukan kalori yang optimal terutama pada pagi hari karena kalori yang terpenuhi pada saat memulai pekerjaan akan berdampak terhadap kelelahan pada saat ia bekerja terutama kelelahan menjelang siang hari. Kemudian variabel lain yang tidak diteliti yaitu penggunaan energi terkait dengan tenaga aerobik. Menurut Annis & McConville dalam Tarwaka et al (2004) merekomendasikan bahwa penggunaan energi tidak melebihi 50% dari tenaga aerobik maksimum untuk kerja 1 jam, 40% untuk kerja 2 jam dan 33% untuk kerja selama 8 jam
158
terus-menerus. Nilai tersebut didesain untuk mencegah kelelahan yang dipercaya dapat meningkatkan risiko cidera otot skeletal pada tenaga kerja. Untuk menyeimbangkan keadaan gizi tenaga kerja, pihak Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Rebo menyediakan makanan tambahan dengan memperhatikan gizi kerja karyawan. Gizi kerja berarti nutrisi yang diperlukan oleh para pekerja untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan jenis pekerjaan. Gizi pekerjaan ditujukan untuk kesehatan dan daya kerja tenaga kerja yang setinggi-tingginya. Pekerjaan memerlukan tenaga yang sumbernya berasal dari makanan. Hal ini berarti RSUD Pasar Rebo juga memperhatikan kesehatan dan kesejahteraan para karyawannya. 6.3.5 Hubungan Antara Shift Kerja dengan Kelelahan Kerja Berdasarkan tabel 5.10, didapatkan hasil bahwa diantara 6 responden yang bekerja dengan sistem shift siang yaitu sebanyak 5 orang (83,3%) sebagian besar mengalami kelelahan berat, 1 orang (16,7) mengalami kelelahan kerja sedang. Responden yang bekerja dengan sistem shift pagi yaitu sebanyak 10 orang (47,6%) sebagian besar mengalami kelelahan berat, 6 orang (28,6%) mengalami kelelahan kerja sedang dan sebanyak 5 orang (23,8%) mengalami kelelahan kerja ringan. Sedangkan responden yang bekerja dengan sistem shift malam sebagian besar mengalami kelelahan berat dan sedang masing-masing sebanyak 2 orang (40%) dan 1 orang (20%) mengalami kelelahan ringan. Kuswadji (1997) dalam penelitiannya mengenai pengaturan kerja pekerja shift dijelaskan bahwa terdapat beberapa gangguan kesehatan yang dirasakan oleh pekerja shift salah satunya adalah 80% akan mengalami kelelahan. Pheasant (1991) menyatakan bahwa para pekerja di sektor industri pada negara berkembang menggunakan shift kerja antara 15% dan 30%. Setiap sistem shift memiliki keuntungan
159
dan kerugian. Dari sistem tersebut dapat menimbulkan akibat pada kenyamanan, kesehatan, kehidupan sosial, dan performance kerja. Sejalan dengan itu pada penelitian yang dilakukan Yusri (2006), menunjukkan bahwa pekerja pada shift malam mengalami kelelahan tingkat sedang yaitu sebesar 53,3%, sedangkan pekerja pada shift pagi sebanyak 33,3% mengalami kelelahan sedang. Penelitian lain oleh Tarigan (2006), diketahui bahwa pekerja merasa sangat lelah paling banyak pada pekerja shift malam yaitu sebesar 50%. Kelelahan kerja yang terjadi pada karyawan di instalasi gizi RSUD Pasar Rebo karena banyak karyawan pada shift pagi kembali bekerja siang harinya yang semestinya mereka harus beristirahat dikarenakan adanya sistem nerus, sehingga mereka tidak pernah sempurna dalam memenuhi waktu tidur dan istirahatnya dalam upaya mengadaptasikan irama tubuh untuk bangun pada malam hari ketika mendapat bagian shift malam pada keesokan harinya. Kelelahan kerja ini dapat terjadi dari hari ke hari sehingga kelelahan tersebut dapat terakumulasi sampai pada level yang tidak aman. Sedangkan pada pekerja yang bekerja dengan jadwal shift rotasi dihadapkan pada permasalahan yang hampir sama dengan shift permanen. Karena waktu shift yang selalu berubah, karyawan tidak pernah secara sempurna untuk beradaptasi pada satu set jadwal kerja tersebut. Dengan demikian biasanya jadwal rotasi diterapkan atas dasar keadilan terhadap pekerjanya. Dalam Al-qur’an dan dalam tafsir Al-Misbah, Allah SWT juga telah menjelaskan bahwa Dia telah menciptakan waktu siang agar manusia bekerja dan mencari nafkah dan waktu malam merupakan waktu yang disediakan untuk istirahat. Sebagaimana tertuang dalam surat Al-Qashash : 73, Ar-Ruum : 23, dan An-Naba’ : 9-11
160
Al-Qashash ayat 73
Artinya: “Dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada malam itu dan supaya kamu mencari sebahagian dari karuniaNya (pada siang hari) dan agar kamu bersyukur kepada-Nya.” Pergantian siang dan malam dengan fungsinya masing-masing yaitu siang yang digunakan untuk berusaha mencari rezeki dan malam digunakan untuk istirahat melepaskan lelah, sehingga pulih kembali tenaga yang telah dipergunakan pada siang harinya, adalah suatu rahmat besar dari Allah SWT yang tak ternilai harganya, yang wajib di syukuri. Sesuatu nikmat yang tak dapat disyukuri akan hilang lenyap dicabut dan ditarik kembali oleh Allah SWT. Ar Ruum ayat 23
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karuniaNya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan.”
161
Ayat ini masih membicarakan tentang tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah, alam semesta dan hubungannya dengan keadaan manusia. Pergantian siang dan malam, serta tidurnya manusia di malam hari dan bangunnya mencari rezeki di siang hari. Manusia tidur di malam hari agar badannya mendapatkan ketenangan dan istirahat, untuk memulihkan tenaga-tenaga yang digunakan waktu bangunnya. Tidur dan bangun itu silih berganti dalam kehidupan manusia, seperti silih bergantinya siang dan malam di alam semesta ini. Dengan keadaan yang silih berganti itu seperti tidur dan bangun bagi manusia. Ia akan mengetahui nikmat Allah serta kebaikan Nya. Di waktu tidur manusia akan mendapatkan makanan yang baik bagi organ tubuhnya begitu juga dia akan mendapatkan di waktu bangun pergerakan anggota tubuhnya dengan leluasa. Dalam ayat ini tidur di dahulukan dari bangun, padahal kelihatannya bangun itu lebih penting dari pada tidur. Karena di waktu bangun itu orang bekerja berusaha dan melaksanakan tugas. Tugas dan kewajibannya dalam hidup, yang terkandung dalam perkataan Nya. “dan usahamu mancari sebagian dari karunia Nya”. Agar nikmat tidur itu diperhatikan. Pada umumnya manusia itu sedikit sekali yang memperhatikannya. Tidur merupakan pengasingan manusia dan kesibukan-kesibukan hidup, dan terputusnya hubungan antara jiwanya dengan Zatnya sendiri. Seakan-akan identitasnya hilang di waktu itu. Dari segi inilah kebanyakan manusia memandang tidur itu sebagai suatu hal yang tidak penting. Ini adalah pengertian yang sudah salah dalam memahami nikmat yang besar itu yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Apabila tidur dianggap sebagai nikmat nyata, maka sesungguhnya Allah SWT telah menyediakan malam sebagai waktu yang tepat untuk tidur. Tidur adalah nikmat yang jelas seperti terbaca dalam firman Allah SWT dalam Q.S Al-Qashash ayat 72 :
162
Artinya: Katakanlah : “Terangkanlah kepadaku, jika Allah menjadikan untukmu siang itu terus menerus sampai hari kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan malam kepadamu yang kamu beristirahat padanya? Maka apakah kamu tidak memperhatikan?”. Malam itu tak ubahnya sebagai layar yang menutupi makhluk-makhluk hidup termasuk manusia. Lalu Dia mengantarkan mereka kepada ketenangan, kemudian tidur. Sesungguhnya malam itu merupakan kekuasaan yang memaksakan kehendaknya. Sebagaimana siang yang juga merupakan kekuasaan yang memaksakan kehendaknya kepada semua makhluk hidup. Yang terdahulu untuk tidur, dan yang terakhir untuk bangun. Yang tedahulu adalah mati kecil, karena dalam waktu tidur itu Allah memegang jiwa manusia kemudian dilepaskannya di wkatu dia bangun di siang hari, agar ia dapat bekerja, dan disempurnaknnya ajalnya yang telah di tentukan Nya. Allah berfirman dalam Q.S ayat Al-An’am ayat 60 :
Artinya: “Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada
163
siang hari untuk disempurnakan (umurmu) yang telah di tentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu kembali”. An-Naba’ ayat 9-11 Ayat 9:
Artinya: “Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat,” Dan Kami jadikan tidurmu pada malam hari untuk beristirahat dari kesibukan pekerjaan pada siang hari, agar mengahasilkan berbagai-bagai mata pencaharian, supaya dengan istirahat waktu tidur itu, dapat mengembalikan daya dan kekuatan untuk melangsungkan pekerjaanmu pada keesokan harinya. Seandainya tidak diselingi oleh istirahat tidur tentu kekuatan akan merosot sehingga tidak dapat melangsungkan tugas sehari-hari. Ayat 10:
Artinya : “Dan Kami jadikan malam sebagai pakaian[1546],” [1546]. Malam itu disebut sebagai pakaian karena malam itu gelap menutupi jagat sebagai pakaian menutupi tubuh manusia. Dan Kami jadikan malam sebagai pakaian. Maksudnya malam itu gelap menutupi permukaan bumi sebagaimana pakaian menutup tubuh manusia. Hal itu berarti bahwa malam itu berfungsi sebagai pakaian bagi manusia yang dapat menutupi aurat manusia di waktu tidur dari pandangan orang-orang yang mungkin melihatnya.
164
Demikian pula sebagai pakaian, maka gelap malam itu dapat melindungi dan menyembunyikan seseorang yang tidur dari bahaya atau musuh yang sedang mengancam. Ayat 11:
Artinya: “Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan,” Dan kami jadikan siang untuk berusaha dan mencari rezeki yang diperlukan dalam kehidupan dan untuk hidup bermasyarakat. Begitulah Allah memberikan umat islam nikmat begitu luar biasanya dan ajaran islam yang sangat menganjurkan kepada manusia agar menggunakan waktu dengan tepat dan sesuai dengan kebutuhan. Manusia dianjurkan untuk senantiasa hidup dengan penuh keteraturan dan keseimbangan. Namun pada kenyataannya tidak semua sektor pekerjaan yang mampu menerapkan firman Allah SWT tersebut dengan beberapa alasan, dan terkadang ada sesuatu pekerjaan tertentu yang menuntut pekerjanya untuk bekerja pada waktu malam, misalnya pekerja-pekerja di Rumah Sakit termasuk juga pada karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta. Keinginan akan hasil produksi yang maksimal mengharuskan suatu perusahaan atau instansi yang memperkerjakan tenaga kerja melakukan kerja bergilir (Shift Work) pagi, siang, dan malam yang mengharuskan karyawan dipekerjakan 24 jam dengan penjadwalan atau rotasi tertentu (Astrand, 1986).
165
Berdasarkan hasil uji statistik, didapatkan Pvalue sebesar 0,373, artinya pada α = 5% dapat disimpulkan bahwa Shift kerja tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kelelahan kerja. Namun tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Yusri (2006), menunjukkan bahwa berdasarkan uji statistik diketahui terdapat hubungan yang bermakna antara kerja shift dengan kejadian kelelahan dengan pvalue = 0,000. Penelitian lain oleh Tarigan (2006), diketahui bahwa pekerja merasa sangat lelah paling banyak pada pekerja shift malam yaitu sebesar 50%. Pada hasil uji statistik menunjukkan bahwa shift kerja berpengaruh terhadap terjadinya kelelahan kerja. Hal ini mungkin disebabkan oleh penerapan shift kerja yang diterapkan oleh pihak Rumah Sakit khususnya untuk di Instalasi Gizi yaitu menerapkan sistem nerus, karyawan pada shift pagi dan shift siang memiliki jam kerja (7 jam) yang berbeda dengan jam kerja karyawan pada shift malam (11 jam), setiap sistem shift yang diberlakukan di Instalasi gizi ada waktu libur selama dua hari setelah 4 hari kerja, namun tidak terjadwal dengan baik. Seluruh karyawan pernah bekerja pada semua shift sehingga kemungkinan karyawan mengalami kelelahan kerja yang sama setiap waktunya. Selain itu, karyawan juga di hadapkan oleh beban kerja yang semakin berat. Sehingga karyawan sebagian besar mengalami kelelahan kerja berat. Hal ini terlihat pada karyawan dengan shift kerja malam sebagian besar memiliki beban kerja sedang (66,7%). Kemudian karyawan dengan shift kerja pagi sebagian besar memiliki beban kerja sedang sebesar 66,7%, dan karyawan dengan shift kerja siang sebagian besar memiliki beban kerja sedang (27,3%).
166
6.3.6 Hubungan Antara Beban Kerja dengan Kelelahan Kerja Beban Kerja merupakan volume pekerjaan yang dibebankan kepada tenaga kerja, baik fisik maupun mental dan tanggung jawab. Beban kerja yang melebihi kemampuan akan mengakibatkan kelelahan kerja (Depkes, 1991). Beban Kerja adalah beban fisik maupun non fisik yang ditanggung oleh seorang pekerja dalam menyelesaikan pekerjaannya. Dalam hal ini harus ada keseimbangan antara beban kerja dengan kemampuan individu agar tidak terjadi hambatan maupun kegagalan dalam pelaksanaan pekerjaan (Depkes, 2003: MD-3). Berdasarkan tabel 5.10, didapatkan hasil bahwa dari 10 responden yang memiliki beban kerja sedang yaitu sebanyak 8 orang (80%) sebagian besar mengalami kelelahan berat, 2 orang (20%) mengalami kelelahan kerja sedang. sedangkan dari 22 responden yang memiliki beban kerja ringan yaitu sebanyak 9 orang (40,9%) sebagian besar mengalami kelelahan berat, 7 orang (31,8%) mengalami kelelahan kerja sedang dan 6 orang (27,3%) mengalami kelelahan kerja ringan. Tidak sejalan dengan penelitian mengenai beban kerja dengan kelelahan kerja yang dilakukan diperoleh hasil bahwa pekerja yang mengalami kelelahan kerja lebih banyak pada pekerja dengan beban kerja berat yaitu sebanyak 41 orang (60,3%). Berdasarkan hasil secara persentase menunjukkan bahwa responden yang memiliki beban kerja sedang lebih banyak mengalami kelelahan berat dibandingkan dengan responden yang memiliki beban kerja ringan. Hal ini mungkin disebabkan oleh masa kerja dan shift kerja yang dijalani oleh responden. Semakin panjang/lama masa kerja karyawan, beban kerja karyawan pula semakin berat untuk kemudian mengalami kelelahan kerja berat begitupun sebaliknya. Tidak hanya itu, karyawan juga di hadapkan oleh beban kerja yang semakin berat.
167
Sehingga karyawan sebagian besar mengalami kelelahan kerja berat. Hal ini terlihat pada karyawan dengan shift kerja malam sebagian besar memiliki beban kerja sedang (66,7%). Kemudian karyawan dengan shift kerja pagi sebagian besar memiliki beban kerja sedang sebesar 66,7%, dan karyawan dengan shift kerja siang sebagian besar memiliki beban kerja sedang (27,3%). Selain itu mungkin juga dipengaruhi oleh responden dengan beban kerja berat memiliki beban kerja tidak hanya secara fisik namun juga beban kerja secara mental yaitu beban tugas dan tanggung jawab yang tidak di teliti oleh peneliti. Berdasarkan hasil uji statistik, didapatkan Pvalue sebesar 0,035, artinya pada α = 5% dapat disimpulkan bahwa beban kerja memiliki hubungan yang bermakna dengan kelelahan kerja. Tidak sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Farida (2008) pada pekerja pembuatan tahu, berdasarkan hasil uji statistik yang disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara beban kerja dengan tingkat kelelahan dengan nilai pvalue = 0,001. Handayani (2005) dalam penelitiannya didapatkan hasil bahwa rata-rata denyut nadi kerja yaitu 127,98 denyut/menit. Hasil uji statistik menyatakan bahwa ada hubungan bermakna antara beban kerja dengan tingkat kelelahan (p=0,004). Setiap beban kerja harus sesuai dengan kemampuan fisik, kemampuan kognitif, maupun keterbatasan manusia yang menerima beban tersebut. Berat ringannya beban kerja yang diterima oleh seseorang tenaga kerja dapat digunakan untuk menentukkan berapa lama orang tersebut dapat melakukan pekerjaannya sesuai dengan kemampuan dan kapasitas kerja yang bersangkutan. Semakin berat beban kerja yang diterima, maka semakin pendek waktu pekerja untuk bekerja tanpa kelelahan dan gangguan fisiologis yang berarti (Tarwaka, et al, 2004).
168
Seorang tenaga kerja memiliki kemampuan tersendiri dalam hubungannya dengan beban kerja. Mungkin diantara mereka lebih cocok untuk beban fisik, mental, atau sosial. Namun sebagai persamaan yang umum, mereka hanya mampu memikul beban sampai suatu berat tertentu. Bahkan ada beban yang dirasa optimal bagi seseorang. Inilah maksud penempatan seorang tenaga kerja yang tepat pada pekerjaan yang tepat (Depnaker, 1990). Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi terjadinya kelelahan kerja karena beban kerja yaitu dapat dilakukan pembagian tugas dengan menyesuaikan kemampuan fisik dan kapasitas kerja yang dapat diterima masing-masing karyawan dalam melakukan aktifitas kerja agar hasil kerja yang dicapai dapat maksimal. Selain itu merotasi karyawan yang melakukan aktifitas/beban kerja lebih berat dan memiliki masa kerja lama ke bagian kerja yang aktifitas/beban kerja yang lebih ringan. Sebaiknya karyawan yang melakukan aktifitas/beban kerja lebih ringan dan memiliki masa kerja baru ke bagian kerja yang aktifitas/beban kerja nya lebih berat. 6.3.7 Hubungan Antara Risiko Ergonomi dengan Kelelahan Kerja Proses kerja di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta dilakukan dengan sistem 3 shift. Shift pagi dimulai dari pukul 07.00 – 14.00 WIB. Kemudian Shift sore dimulai dari pukul 13.00 – 20.00 WIB. Dan shift malam dimulai dari pukul 20.00 – 07.00 WIB. Untuk menutupi kekurangan tenaga, selalu diadakan sistem nerus pada karyawan. Namun proses kerja yang dilakukan untuk ketiganya sama. Pekerjaan yang dilakukan di Instalasi Gizi bersifat dinamis. Maka untuk menentukan postur yang akan dinilai dengan metode RULA dan REBA, dipilihlah postur yang dianggap mewakili masing-masing tahap pekerjaan berdasarkan postur yang paling lama dipertahankan.
169
Berdasarkan tabel 5.10, didapatkan hasil bahwa dari 6 responden dengan tingkat resiko ergonomi pekerjaan yang sedang yaitu sebanyak 4 orang (66,7%) sebagian besar mengalami kelelahan berat 1 orang (16,7%) masing-masing mengalami kelelahan kerja sedang dan ringan. Sedangkan dari 26 responden dengan tingkat resiko ergonomi pekerjaan yang rendah yaitu sebanyak 13 orang (50%) sebagian besar mengalami kelelahan berat, 8 orang (30,8%) mengalami kelelahan kerja sedang, dan 5 orang (19,2%) mengalami kelelahan kerja ringan. Dari hasil tersebut secara persentase pekerja dengan tingkat resiko ergonomi pekerjaan yang sedang lebih banyak mengalami kelelahan berat jika dibandingkan dengan pekerja dengan resiko ergonomi pekerjaan yang rendah. Berdasarkan hasil observasi peneliti terhadap responden, menunjukkan bahwa hanya sedikit karyawan yang bekerja dengan postur tubuh yang janggal. Akan tetapi hal tersebut seharusnya dapat dikurangi yaitu dengan desain tempat kerja yang sesuai dengan antropometri masing-masing karyawan agar dapat senyaman mungkin melakukan pekerjaannya dengan baik sehingga dapat meningkatkan produktifitas karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Asmara (2008) dengan menggunakan metode REBA yaitu menunjukkan bahwa sebesar 4,34% postur dengan action level 1 (sangat rendah); 73,91% postur dengan action level 2 (rendah); 21,73% postur dengan action level 3 (sedang) untuk stasiun pemasakan dan penyaringan pada tangan kanan. 30,43% postur dengan action level 1; 56,52% postur dengan action level 2; 13,04% postur dengan action level 3 untuk stasiun pemasakan dan penyaringan pada tangan kiri. Dan terdapat 84,61% postur dengan action level 2; 15,38% postur dengan
170
action level 3 untuk stasiun pemotongan pada tangan kanan. 15,38% postur dengan action level 1; 76,92% postur dengan action level 2; 7,69% postur dengan action level 3 untuk stasiun pemotongan pada tangan kiri. Berdasarkan hasil uji statistik, didapatkan Pvalue sebesar 0,723, artinya pada α = 5% dapat disimpulkan dapat disimpulkan bahwa resiko ergonomi pekerjaan tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kelelahan kerja. Posisi dalam kerja sangat ditentukan oleh jenis pekerjaan yang dilakukan, masing-masing posisi kerja mempunyai pengaruh yang berbeda-beda terhadap tubuh. Menurut Soeripto (1989), perencanaan dan penyesuaian alat yang tepat bagi tenaga kerja dapat meningkatkan produktifitas, menciptakan keselamatan dan kesehatan kerja serta kelestarian lingkungan kerja, dan juga memperbaiki kualitas produk dari suatu proses produksi.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut : 1.
Kelelahan Kerja pada karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo tahun 2011 sebagian besar termasuk dalam kategori kelelahan kerja berat lebih banyak yaitu sebanyak 17 orang (53,1%), kelelahan kerja sedang sebanyak 9 orang (28,1%) dan sebanyak 6 orang (18,8%) responden mengalami kelelahan kerja ringan.
2.
Gambaran faktor karakteristik pekerja : Distribusi responden menurut variabel umur yaitu nilai tengah umur karyawan 36 tahun dan umur terendah karyawan yaitu 26 tahun serta umur tertinggi yaitu 55 tahun, untuk variabel jenis kelamin yaitu sebagian besar responden dengan kategori perempuan sebanyak 24 orang (75,0%), untuk variabel masa kerja yaitu sebagian besar responden dengan masa kerja 6-10 tahun yaitu 13 orang (40,6%), dan distribusi responden menurut status gizi yaitu sebagian besar responden memiliki status gizi normal sebanyak 22 orang (68,8%).
3.
Gambaran faktor pekerjaan : Distribusi responden berdasarkan Shift Kerja yaitu sebagian besar responden yang bekerja dengan sistem shift pagi sebanyak 21 orang (65.6%), untuk variabel beban kerja yaitu sebagian besar responden memiliki beban kerja ringan yaitu sebanyak 22 orang (68,8%), risiko ergonomi pekerjaan yaitu
171
172
sebagian besar distribusi risiko ergonomi pekerjaan pada karyawan di Instalasi Gizi adalah risiko rendah sebanyak 26 orang (81,2%). 4.
Variabel yang memiliki hubungan dengan kelelahan kerja pada karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo tahun 2011 yaitu jenis kelamin dengan Pvalue = 0,036 dan beban kerja (Pvalue = 0,035).
5.
Variabel yang tidak memiliki hubungan dengan kelelahan kerja pada karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo tahun 2011 yaitu umur, masa kerja, status gizi, shift kerja, risiko ergonomi pekerjaan.
7.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah di uraikan pada bab sebelumnya, maka dapat disarankan sebagai berikut : 1.
Bagi RSUD Pasar Rebo a. Disarankan agar Rumah Sakit memberikan materi pelatihan dan penyuluhan pada karyawan tentang kelelahan kerja dan dampak kelelahan kerja serta pencegahannya. b. Diusahakan pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan pada karyawan di instalasi gizi dengan penyesuaian kemampuan, kebolehan, keterampilan, serta keterbatasannya masing-masing. c. Pembagian tugas dengan menyesuaikan kemampuan fisik dan kapasitas kerja yang dapat diterima masing-masing karyawan dalam melakukan aktifitas kerja agar hasil kerja yang dicapai dapat maksimal. Selain itu merotasi karyawan yang
173
melakukan aktifitas/beban kerja lebih berat dan memiliki masa kerja lama ke bagian kerja yang aktifitas/beban kerja yang lebih ringan. Sebaiknya karyawan yang melakukan aktifitas/beban kerja lebih ringan dan memiliki masa kerja baru ke bagian kerja yang aktifitas/beban kerja nya lebih berat. 2.
Bagi Karyawan Instalasi Gizi Disarankan malam agar dapat dijaga pola tidur dan waktu istirahat yang cukup agar
dapat melanjutkan pekerjaannya dengan baik dan dapat meningkatkan produktifitas kerja. 3.
Bagi Penelitian selanjutnya a. Untuk peneliti selanjutnya diharapkan agar dapat mengikutsertakan variabelvariabel lain yang diduga berhubungan dengan kelelahan kerja yang tidak diteliti pada penelitian ini, misalnya status pernikahan, upah/gaji karyawan. b. Diharapkan melakukan penelitian pada suatu instansi atau lembaga yang menerapkan sistem shift berbeda sehingga diperoleh perbandingan gambaran kelelahan kerja pada sistem shift yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Akerstedt et al. Work Load and Work Hours in Relation to Disturbed Sleep and Fatigue in a Large Representative Sample. Abstract Jurnal of Psychosomatic Reasearch Online. Accessed Oktober 2010, 2002 Amalia, Dina. Tinjauan Tingkat Kelelahan Kerja pada Pekerja Unit Produksi Industri Garment PT. INTI GRAMINDO PERSADA Tahun 2007. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007. Andiningsari, Pratiwi. Hubungan Faktor Internal dan Eksternal terhadap Kelelahan pada Pengemudi Travel X Trans Jakarta Trayek Jakarta-Bandung. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2009. Ariani, Diah Nova. Tinjauan Faktor-Faktor yang mempengaruhi Tingkat Kelelahan (Fatigue) pada Pengemudi Bulk Truck PT. BCS Subkontraktor PT. Holcim Indonesia, Tbk Plant Narogong Tahun 2009. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2009. Asmara, Deddy Yudha (2008) ANALISA POSTUR KERJA DENGAN MENGGUNAKAN METODE RAPID ENTIRE BODY ASSESSMENT (REBA) (Studi kasus: Industri Rumah Tangga Pembuatan Tahu di Kartosuro). Skripsi thesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2008. Australian Safety and Compensation Council. Summary of Recent Indicative Research: Work-Related fatigue. Australia: Australian Governemnt, 2006. Budiono, AM Sugeng dkk. Kelelahan (Fatigue) pada Tenaga Kerja. Bunga Rampai Hiperkes dan Keselamatan Kerja Edisi ke-2. Semarang: Badan penerbit Universitas Diponegoro, 2003. Cicih, Dewi. Kebutuhan Asupan Kalori Pekerja. Jakarta: UI Press, 1996. Depkes RI Pusat Kesehatan Kerja. Promosi Kesehatan. Available: http:// www. Depkes.go.id, 2006. Depnaker. Training Material Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Bidang Keselamatan Kerja. Jakarta: Depnaker, 2004. Djajakusli, R. Pengaruh faktor Non Kerja terhadap Kelelahan di Perusahaan Kayu Ujung Pandang. Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia. Tahun XXV No. 11, 1997. Dowell, Chad H & Tapp. Loren C. Evaluation of heat stress at a Glass Bottle Manufacturer. Department of Health and Human Service. National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH). Cincinnati, Ohio. [ cited 2010 October 21th]. Available : http://www.cdc.gov/niosh/hhe/reports/pdfs/20030311-3052.pdf, 2007. Farida, Ummi. Hubungan Antara Beban Kerja Dan Tekanan Panas Dengan Tingkat Kelelahan Pada Pekerja Pembuatan Tahu Di Kelurahan Jomblang Kecamatan Candi Sari Kota Semarang. Tesis Universitas Muhammadiyah
174
175
Semarang, 2008. [cited 2010 October 21th]. Available: http://digilib.unimus.ac.id/gdl.php? Fitrihana, Noor. Kelelahan Kerja. [cited 2010 October 21th]. Available : http://blog.uny.ac.id/noorfitrihana/2008/08/, 2008. Grandjean, Etienne. Fitting the Task to the Man 4th Edition. Taylor & Francis Publisher: London, 1988. Grandjean, Etienne, et al. Encyclopedia of Occupational Health and Safety. Volume 1, 4th . International Labour Office. Geneva, 1998. Gyton, Arthur dan Hall, John E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (alih Bahasa: Irawati Setiawan. Jakarta: ECG, 1999. Harrington, J. M dan Gill, F. S. Buku Saku Kesehatan Kerja. Edisi ketiga. Jakarta: EGC, 2003. Hidayat, T. Bahaya Laten Kelelahan Kerja. Jakarta: Harian pikiran Rakyat, 2003. Hiukencana. Kelelahan Kerja (Occupational Fatigue). [cited 2010 October 21th]. Available: http://hiukencana.wordpress.com/2010/03/31/kelelahan-kerjaoccupational-fatigue/, 2010. ILO. Encyclopedia of Occupational Health and Safety 4th edition Vol. 1-2-4 Kepmenkes. Kesehatan Lingkungan Kerja Industri. No. 405/Menkes/SK/XI/2002, 2002. Kroemer, K.H.E and Etienne Grandjean. Fitting the Task to the Human 5th Edition. Taylor & Francis Publisher: London, 1997. Kuswadji, Sudjako. Pengaturan Tidur Pekerja Shift. Cermin Dunia Kedokteran No. 116. Jakarta. [cited 2010 October 21th]. Available: http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/12PengaturanTidurPekerjaShift116.pdf/ 12PengaturanTidurPekerjaShift116.html La Dou, Joseph & Richard M. Coleman. Occupational Health and Safety 2 nd Edition. National Safety Council, 1994. Lambert, David. Tubuh manusia. Jakarta: Arcan, 1996. Manuaba, A. Bunga Rampai Ergonomi Vol 11. Program Studi Ergonomi Fisiologi Kerja Universitas Udayana, 1998. Mardi, Dian. Jika bekerja shift menjadi pilihan. [cited 2010 November 19th]. Available: http://dianmardi.multiply.com/jurnal/item/209, 2008 Marfu’ah, Umi. Ergonomi cegah terjadinya penyakit akibat kerja. Majalah KATIGA, Bisnis, K3, 2007. Mulyana, Ryan Saktika, dkk. Prevalensi Kelelahan Pada Pengrajin Patung di Desa Tegallalang Gianyar Agustus 2006. [cited 2010 October 21th]. Available: http://ryan-mul.blogspot.com/2006/09/prevalensi-kelelahan-padapengerajin_07.html Notoatmodjo, Soekidjo. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta, 2002. Nugraha, Andhika. Kelelahan Pada Pekerja di Instalasi Gizi Rumah Sakit (Studi Pada Pekerja Instalasi Gizi RS. Pusdik Gasum Porong).
176
Surabaya:Perpustakaan Universitas Airlangga [cited 2010 October 21th]. Available: http://adln.lib.unair.ac.id/files/disk1/253/gdlhub-gdl-s1-2010nugrahaand-12646 fkm158-k.pdf, 2009. Nurmianto, Eko. Ergonomi Konsep Dasar Dan Aplikasinya. Surabaya: Guna Widya, 2003. Nurmianto, Eko. Manajemen Shift Kerja. Ergonomi Konsep Dasar Dan Aplikasinya. Edisi kedua. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh November, 2004. Nurhidayati, Puti. Hubungan Antara Penerapan Shift Kerja dengan Kelelahan Kerja pada Pekerja di Bagian Produksi PT. Tifico, Tbk Tahun 2009. Skripsi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009. Oentoro, S. Kampanye Atasi Kelelahan Mental dan Fisik. UI Press: Jakarta, 2004. Permaesih, Dewi. Kaitan Kesegaran Jasmani, Kesehatan & Olahraga Keterampilan. Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia (MKMI) tahun XXVIII No. 10: 569-573 Pheasant, Stephen. Ergonomics, Work, and Health. USA: Aspen Publisher Inc., 1991 Purnawati et al. Kelelahan Umum pada Pekerja Shift Pabrik Minuman Botol PT X Bali. Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 56 No. 9. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006. Puspita, Irma Giri. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Kelelahan Berdasarkan Karakteristik Pekerja di Bagian Produksi Jahit Garmen PT. Lestari Busana Anggun Mahkota Tahun 2009. Skripsi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009. Putri, Duhita Pangesti. Hubungan faktor internal dan eksternal terhadap kelelahan pada operator alat besar PT. Indonesia Power Unit bisnis pembangkitan Suralaya periode Tahun 2008. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008. Rodahl, K. The Analysis of Organizational as a Conceptual Tool for Ergonomics Practitioners. Edited by Wilson, J.R. &Corlett, E. N. 1992. Evaluation of Human Work a Practical Ergonomics Methodology. Tailor & Francis. London, Washington DC, 1992 Safitri, Dian Sustana. Hubungan antara Pola Kerja dengan Kelelahan Kerja pada Karyawan perusahaan Migas X Kalimantan Timur. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008. Saito, Kazuo. Industrial Health 37 page 134-142: Measurement of Fatigue in Industries. Japan: Hokkaido University, 1999 Salim, Emil. Green Company Pedoman Pengelolaan Lingkungan, Keselamatan & Kesehatan Kerja. Jakarta: PT. Astra Internasional TBK, 2002. Silaban, Gery. Kelelahan Kerja. Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia (MKMI) Tahun XXVI No. 10: 539-544, 1998.
177
Silastuti, Ambar. Hubungan Antara Kelelahan dengan Produktifitas Tenaga Kerja di Bagian Penjahitan PT. Bengawan Solo Garment Indonesia. Skripsi Fakulats Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Semarang, 2006. Sisinta, Tiaraima. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kelelahan pada Pekerja di Departemen Weaving PT. ISTEM Tangerang. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2005. Soedarmayanti. Tata Kerja & Produktifitas Kerja. Bandung: Mandar maju. Soeripto. Ergonomi dan Produktifitas Kerja. Majalah Hiperkes dan Keselamatan Kerja. Vol XXII No. 1 Januari-Maret: 29-32, 1989. Stanton, Neville et al. Handbook of Human Factors and Ergonomics Methods. London: CRC Press, 2005. Suma’mur. Ergonomi untuk Meningkatkan Produktifitas Kerja. Jakarta: CV. Haji Masagung, 1989. Suma’mur PK. Higiene Perusahaan Dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 1996. Suma’mur PK. Ergonomi Untuk Produktivitas Kerja. Jakata: CV Haji Masagung, 1999. Susetyo, et al. Prevalensi Keluhan Subjektif atau Kelelahan Karena Sikap Kerja yang Tidak Ergonomis pada Pengrajin Perak. Jurnal Teknologi; Volume 1 No. 2: 141-149, 2008. Tarigan Lina, Kalsum. Kerja Bergilir dan Kelelahan Kerja pada Tenaga Kerja di Bagian Produksi Seksi Penuangan Subseksi Casting Operation PT Inalum Kuala Tanjung Tahun 2006. Penelitian Departemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja FKM USU, 2006 Tarwaka et al. Ergonomi untuk Kesehatan, Keselamatan Kerja, dan Produktivitas Edisi Ke-1. Surakarta: UNIBA Press, 2004. Umyati. Faktor-Faktor yang berhubungan Dengan Kelelahan Kerja pada Pekerja Penjahit Sektor Usaha Informal di Wilayah Ketapang Cipondoh Tangerang Tahun 2009. Skripsi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010. Wignjosoebroto, Sritomo. 2003. Ergonomi Studi Gerak dan Waktu. Surabaya : Guna Widya Yusri. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kejadian Kelelahan Karyawan Produksi Kulkas di PT LG Electronics Indonesia Tahun 2006. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2006. http://www.depkes.go.id/downloads/Ergonomi.PDF.
LAMPIRAN
LEMBARAN KUESIONER
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KELELAHAN KERJA PADA KARYAWAN DI INSTALASI GIZI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH (RSUD) PASAR REBO JAKARTA TAHUN 2011
Oleh Sulistya Virgy 106101003358 Peminatan Kesehatan Dan Keselamatan Kerja Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2011
Assalamu’alaikum Wr. Wb. / Selamat Pagi/Siang/Sore.
Saya
Sulistya
Virgy
bermaksud
meneliti
tentang
“FAKTOR-FAKTOR
YANG
BERHUBUNGAN DENGAN KELELAHAN KERJA PADA KARYAWAN DI INSTALASI GIZI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH (RSUD) PASAR REBO JAKARTA TAHUN 2011”. Penelitian ini merupakan tugas akhir untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada penelitian ini peneliti akan bertanya mengenai karakteristik pekerja, kelelahan kerja. Responden diharapkan menjawab setiap pertanyaan dengan sejujur-jujurnya. Setiap jawaban anda akan dijaga kerahasiaannya dari siapapun dan tidak akan mempengaruhi penilaian terhadap kinerja anda, kemudian kuesioner akan disimpan oleh peneliti. Partisipasi responden bersifat sukarela, responden dapat menolak untuk menjawab atau tidak melanjutkan wawancara. Untuk itu dimohon kesediaan kepada Bapak/Ibu di Instalasi Gizi Rumah Sakit Pasar Rebo selaku responden untuk mengisi kuesioner ini. Akhir kata saya mengucapkan terimakasih yang mendalam untuk kesediaan Anda menjadi responden pada penelitian ini. Semoga bantuan dan kerjasama Anda menjadi amal ibadah yang bernilai disisi-Nya.
FORMULIR PERSETUJUAN TERTULIS SETELAH PENJELASAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
:
............................................................................................................... Alamat
:
............................................................................................................... No. Telepon/HP
:
...............................................................................................................
Bersedia secara sukarela untuk menjadi subyek penelitian dengan judul “FAKTORFAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KELELAHAN KERJA PADA KARYAWAN DI INSTALASI GIZI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH (RSUD) PASAR REBO JAKARTA TAHUN 2011”. Telah mendengarkan penjelasan mengenai kegiatan yang akan
dilakukan dan sadar akan manfaat dan adanya risiko yang mungkin terjadi dalam penelitian ini. Saya akan memberikan informasi yang benar sejauh yang saya ketahui dan saya ingat. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa tekanan dari pihak manapun.
Jakarta,
Tanda Tangan Peneliti
(Sulistya Virgy)
Januari 2011
Yang membuat pernyataan
(..................................................) Tanda tangan dan nama terang
Nomor Responden :
LEMBAR KUESIONER PENELITIAN A. KARAKTERISTIK PEKERJA A1 Nama Responden .................................
(Diisi oleh Peneliti)
A2 Jenis Kelamin : 1. Perempuan 2. Laki-laki A3 Kelahiran : Tanggal ........... / Bulan ........... / Tahun ..............
[
] A2
[
] [ ] A3
A4 Berat Badan Responden ............................ Kg Nb. DIISI OLEH PENELITI A5 Tinggi Badan Responden ............................ cm Nb. DIISI OLEH PENELITI A6 Pada Tahun Berapa Bapak / Ibu masuk kerja di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo? ..................................
[
] [ ] A4
[
] [
[
] A6
A7 Apakah Bapak/Ibu pernah bekerja di Instalasi Gizi di Rumah Sakit Lain? 1. Ya, ke pertanyaan A8 2. Tidak, ke pertanyaan A9
[
] A7
A8 Berapa lama Bapak/Ibu bekerja di Instalasi Gizi tersebut? ........................... tahun
[
] A8
A9 Shift kerja yang sedang Bapak/Ibu jalani? 1. Shift 3 2. Shift 2 3. Shift 1
[
] A9
] [ ] A5
B. KELELAHAN KERJA Petunjuk Pengisian Keterangan : Sangat sering
: jika hampir tiap hari terasa
Sering
: jika 3-4 hari terasa dalam satu minggu
Kadang-kadang
: jika 1-2 hari terasa dalam satu minggu
Tidak pernah
: jika tidak pernah terasa
B. KELELAHAN KERJA 1. Pelemahan Kegiatan B1 Apakah Bapak/Ibu merasa berat di bagian kepala setelah bekerja? 1. Tidak pernah 3. Sering 2. Kadang-kadang 4. Sangat sering
(Diisi oleh Peneliti) [
] B1
B2 Apakah Bapak/Ibu merasa lelah pada seluruh badan setelah bekerja? 1. Tidak pernah 3. Sering 2. Kadang-kadang 4. Sangat sering
[
] B2
B3 Apakah kaki Bapak/Ibu terasa berat setelah bekerja? 1. Tidak pernah 3. Sering 2. Kadang-kadang 4. Sangat sering
[
] B3
B4 Apakah Bapak/Ibu menguap setelah bekerja? 1. Tidak pernah 3. Sering 2. Kadang-kadang 4. Sangat sering
[
] B4
B5 Apakah pikiran Bapak/Ibu terasa kacau setelah bekerja? 1. Tidak pernah 3. Sering 2. Kadang-kadang 4. Sangat sering
[
] B5
B6 Apakah Bapak/Ibu menjadi mengantuk setelah bekerja? 1. Tidak pernah 3. Sering 2. Kadang-kadang 4. Sangat sering
[
] B6
B7 Apakah Bapak/Ibu merasakan ada beban pada mata (sakit di sekitar mata, rasa berat pada kelopak mata, mata berair, penglihatan kabur) setelah bekerja? 1. Tidak pernah 3. Sering 2. Kadang-kadang 4. Sangat sering
[
] B7
B8 Apakah Bapak/Ibu merasa kaku atau canggung dalam gerakan setelah bekerja? 1. Tidak pernah 3. Sering 2. Kadang-kadang 4. Sangat sering
[
] B8
B9 Apakah Bapak/Ibu merasa sempoyongan / berdirinya tidak stabil setelah bekerja? 1. Tidak pernah 3. Sering 2. Kadang-kadang 4. Sangat sering
[
] B9
B10 Apakah Bapak/Ibu ada perasaan ingin berbaring setelah bekerja? 1. Tidak pernah 3. Sering 2. Kadang-kadang 4. Sangat sering
[
] B10
[
] B11
B12 Apakah Bapak/Ibu merasa lelah untuk berbicara setelah bekerja? 1. Tidak pernah 3. Sering 2. Kadang-kadang 4. Sangat sering
[
] B12
B13 Apakah Bapak/Ibu menjadi gugup setelah bekerja? 1. Tidak pernah 3. Sering 2. Kadang-kadang 4. Sangat sering
[
] B13
2. Pelemahan Motivasi (Kesulitan Berkonsentrasi) B11 Apakah Bapak/Ibu merasa susah berfikir setelah bekerja? 1. Tidak pernah 3. Sering 2. Kadang-kadang 4. Sangat sering
B14 Apakah Bapak/Ibu tidak bisa berkonsenterasi setelah bekerja? 1. Tidak pernah 3. Sering 2. Kadang-kadang 4. Sangat sering
[
] B14
B15 Apakah Bapak/Ibu tidak bisa memusatkan perhatian terhadap sesuatu setelah bekerja? 1. Tidak pernah 3. Sering 2. Kadang-kadang 4. Sangat sering
[
] B15
B16 Apakah Bapak/Ibu punya kecenderungan untuk lupa setelah bekerja? 1. Tidak pernah 3. Sering 2. Kadang-kadang 4. Sangat sering
[
] B16
B17 Apakah Bapak/Ibu merasa tidak mudah terhadap sesuatu setelah bekerja? 1. Tidak pernah 3. Sering 2. Kadang-kadang 4. Sangat sering
[
] B17
B18 Apakah Bapak/Ibu cenderung untuk membuat kesalahan dalam bekerja? 1. Tidak pernah 3. Sering 2. Kadang-kadang 4. Sangat sering
[
] B18
B19 Apakah Bapak/Ibu merasa tidak dapat mengontrol sikap tubuh setelah bekerja? 1. Tidak pernah 3. Sering 2. Kadang-kadang 4. Sangat sering
[
] B19
B20 Apakah Bapak/Ibu merasa tidak berenergi setelah bekerja? 1. Tidak pernah 3. Sering 2. Kadang-kadang 4. Sangat sering
[
] B20
3. Kelelahan Fisik B21 Apakah Bapak/Ibu merasa sakit dikepala? 1. Tidak pernah 3. Sering 2. Kadang-kadang 4. Sangat sering
[
] B21
B22 Apakah Bapak/Ibu merasa kaku dibagian bahu setelah bekerja? 1. Tidak pernah 3. Sering 2. Kadang-kadang 4. Sangat sering
[
] B22
B23 Apakah Bapak/Ibu nyeri di punggung setelah bekerja? 1. Tidak pernah 3. Sering 2. Kadang-kadang 4. Sangat sering
[
] B23
B24 Apakah nafas Bapak/Ibu terasa tertekan setelah bekerja? 1. Tidak pernah 3. Sering 2. Kadang-kadang 4. Sangat sering
[
] B24
B25 Apakah Bapak/Ibu merasa sangat haus setelah bekerja? 1. Tidak pernah 3. Sering 2. Kadang-kadang 4. Sangat sering
[
] B25
B26 Apakah suara Bapak/Ibu terasa serak setelah bekerja? 1. Tidak pernah 3. Sering 2. Kadang-kadang 4. Sangat sering
[
] B26
B27 Apakah Bapak/Ibu merasa pening setelah bekerja? 1. Tidak pernah 3. Sering 2. Kadang-kadang 4. Sangat sering
[
] B27
B28 Apakah kelopak mata Bapak/Ibu terasa kaku setelah [ bekerja? 1. Tidak pernah 3. Sering 2. Kadang-kadang 4. Sangat sering B29 Apakah anggota badan Bapak/Ibu terasa bergetar setelah [ bekerja? 1. Tidak pernah 3. Sering 2. Kadang-kadang 4. Sangat sering
] B28
] B29
B30 Apakah Bapak/Ibu merasa kurang sehat setelah bekerja? 1. Tidak pernah 3. Sering 2. Kadang-kadang 4. Sangat sering
[
] B30
(Diisi oleh peneliti)
C. Tingkat Kelelahan (REACTION TIMER)
1
Tingkat Kelelahan Tingkat Kelelahan berdasarkan waktu reaksi yang di tempuh? Pengukuran 1 2 3 4 5 Ratarata
Kategori : 1. KKB 3. KKR
2. KKS 4. N
Kode C1
Nomor Responden :
LEMBARAN OBSERVASI
A. BEBAN KERJA & RISIKO ERGONOMI PEKERJAAN No.
Aktifitas responden yang dilakukan (selama 8 jam) Jenis Pekerjaan
Lama waktu (Menit)
Frekuensi
Keterangan
a.
Hasil Analisis Univariat
Kelelahan Kerja Frequencies Statistics kelelahan kerja rsponden N
Valid
32
Missing Mean Median Mode Std. Deviation Minimum Maximum
0 .66 .00 0 .787 0 2 kelelahan kerja rsponden Frequency
Valid
kelelahan kerja berat
Percent
Cumulative Percent
Valid Percent
17
53.1
53.1
53.1
kelelahan kerja sedang
9
28.1
28.1
81.2
kelelahan kerja ringan
6
18.8
18.8
100.0
32
100.0
100.0
Total
Umur Responden Explore Case Processing Summary Cases Valid N umur responden
Missing
Percent 32
100.0%
N
Total
Percent 0
.0%
N
Percent 32
100.0%
Descriptives Statistic umur responden
Std. Error
Mean
38.16
95% Confidence Interval for Lower Bound Mean Upper Bound
35.19
5% Trimmed Mean
37.92
Median
36.00
Variance
67.878
1.456
41.13
Std. Deviation
8.239
Minimum
26
Maximum
55
Range
29
Interquartile Range
11
Skewness
.790
.414
Kurtosis
-.330
.809
Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic umur responden
Df
.195
Jenis Kelamin Frequencies Statistics jenis kelamin responden N
Valid Missing
Mean Median Mode Std. Deviation Minimum Maximum
Sig. 32
a. Lilliefors Significance Correction
32 0 .25 .00 0 .440 0 1
Shapiro-Wilk .003
Statistic .899
df
Sig. 32
.006
jenis kelamin responden Frequency Valid
perempuan laki-laki Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
24
75.0
75.0
75.0
8
25.0
25.0
100.0
32
100.0
100.0
Masa Kerja Frequencies Statistics masa kerja responden N
Valid Missing
Mean Median Mode Std. Deviation Minimum Maximum
32 0 .91 1.00 1 .777 0 2 masa kerja responden Frequency
Valid
Valid Percent
Cumulative Percent
Masa kerja > 10 thn
11
34.4
34.4
34.4
Masa kerja 6-10 thn
13
40.6
40.6
75.0
Masa kerja < 6 thn
8
25.0
25.0
100.0
32
100.0
100.0
Total
Status Gizi Frequencies Statistics status gizi responden N
Percent
Valid Missing
Mean Median Mode Std. Deviation Minimum Maximum
32 0 1.56 2.00 2 .716 0 2
status gizi responden Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
obesitas
4
12.5
12.5
12.5
Gemuk
6
18.8
18.8
31.2
Normal
22
68.8
68.8
100.0
Total
32
100.0
100.0
Shift Kerja Frequencies Statistics shift kerja responden N
Valid
Missing Mean Median Mode Std. Deviation Minimum Maximum
32 0 1.50 2.00 2 .762 0 2 shift kerja responden Frequency
Valid
Valid Percent
Cumulative Percent
shift 3/shift malam
5
15.6
15.6
15.6
shift 2/ shift sore
6
18.8
18.8
34.4
shift 1/ shift pagi
21
65.6
65.6
100.0
Total
32
100.0
100.0
Beban Kerja Frequencies Statistics beban kerja responden N
Percent
Valid Missing
Mean Median Mode Std. Deviation Minimum Maximum
32 0 .69 1.00 1 .471 0 1
beban kerja responden Frequency Valid
Percent
Cumulative Percent
Valid Percent
beban kerja sedang
10
31.2
31.2
31.2
beban kerja ringan
22
68.8
68.8
100.0
Total
32
100.0
100.0
Risiko Ergonomi pekerjaan Frequencies Statistics risiko ergonomi kerja N
Valid Missing
Mean Median Mode Std. Deviation Minimum Maximum
32 0 .81 1.00 1 .397 0 1 risiko ergonomi kerja Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
risiko ergonomi sedang
6
18.8
18.8
18.8
risiko ergonomi rendah
26
81.2
81.2
100.0
Total
32
100.0
100.0
b.
Hasil Analisis Bivariat
Umur * Kelelahan Kerja NPar Tests Descriptive Statistics N umur responden kelelahan kerja rsponden
Mean 32 32
Std. Deviation
38.16 .66
Minimum
8.239 .787
Maximum
26 0
55 2
Kruskal-Wallis Test Ranks kelelahan kerja rsponden umur responden
N
kelelahan kerja berat
Mean Rank 17
17.38
kelelahan kerja sedang
9
13.28
kelelahan kerja ringan
6
18.83
Total
32
Test Statisticsa,b umur responden Chi-Square Df Asymp. Sig.
1.597 2 .450
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: kelelahan kerja rsponden
Jenis Kelamin * Kelelahan Kerja Crosstabs Case Processing Summary Cases Valid N jenis kelamin responden * kelelahan kerja rsponden
Missing
Percent 32
100.0%
N
Total
Percent 0
.0%
N
Percent 32
100.0%
jenis kelamin responden * kelelahan kerja rsponden Crosstabulation kelelahan kerja rsponden kelelahan kerja berat jenis kelamin responden
perempuan Count % within jenis kelamin responden laki-laki
Total
Total
8
6
24
41.7%
33.3%
25.0%
100.0%
7
1
0
8
87.5%
12.5%
.0%
100.0%
17
9
6
32
53.1%
28.1%
18.8%
100.0%
Count % within jenis kelamin responden
kelelahan kerja ringan
10
Count % within jenis kelamin responden
kelelahan kerja sedang
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Asymp. Sig. (2sided)
df
5.298a 6.676
2 2
.071 .036
4.856
1
.028
32
a. 4 cells (66,7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,50.
Masa Kerja * Kelelahan Kerja Crosstabs Case Processing Summary Cases Valid N masa kerja responden * kelelahan kerja rsponden
Missing
Percent 32
100.0%
N
Total
Percent 0
.0%
N
Percent 32
100.0%
masa kerja responden * kelelahan kerja rsponden Crosstabulation kelelahan kerja rsponden kelelahan kelelahan kelelahan kerja berat kerja sedang kerja ringan masa kerja Masa kerja > 10 Count responden thn % within masa kerja responden Masa kerja 6-10 Count thn % within masa kerja responden Masa kerja < 6 thn Total
7
1
63.6%
9.1%
5
5
38.5%
38.5%
5
3
62.5%
37.5%
17
9
53.1%
28.1%
Count % within masa kerja responden Count % within masa kerja responden
Total
3
11
27.3% 100.0% 3
13
23.1% 100.0% 0
8
.0% 100.0% 6
32
18.8% 100.0%
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Asymp. Sig. (2sided)
df
5.104a 7.014
4 4
.277 .135
.356
1
.551
32
a. 7 cells (77,8%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,50.
Status Gizi * Kelelahan Kerja Crosstabs Case Processing Summary Cases Valid N status gizi responden * kelelahan kerja rsponden
Missing
Percent 32
100.0%
N
Total
Percent 0
.0%
N
Percent 32
100.0%
status gizi responden * kelelahan kerja rsponden Crosstabulation kelelahan kerja rsponden kelelahan kerja berat status gizi responden
obesitas
Count % within status gizi responden
gemuk
normal
Count % within status gizi responden
Total
Count % within status gizi responden
kelelahan kerja ringan
Total
3
0
1
4
75.0%
.0%
25.0%
100.0%
3
1
2
6
50.0%
16.7%
33.3%
100.0%
11
8
3
22
50.0%
36.4%
13.6%
100.0%
17
9
6
32
53.1%
28.1%
18.8%
100.0%
Count % within status gizi responden
kelelahan kerja sedang
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Asymp. Sig. (2sided)
df
3.418a 4.402
4 4
.490 .354
.004
1
.952
32
a. 7 cells (77,8%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,75.
Shift kerja * Kelelahan Kerja Crosstabs Case Processing Summary Cases Valid N shift kerja responden * kelelahan kerja rsponden
Missing
Percent 32
100.0%
N
Total
Percent 0
.0%
N
Percent 32
100.0%
shift kerja responden * kelelahan kerja rsponden Crosstabulation kelelahan kerja rsponden kelelahan kelelahan kelelahan kerja berat kerja sedang kerja ringan shift kerja shift 3/shift responden malam shift 2/ shift sore shift 1/ shift pagi Total
Count % within shift kerja responden
2
2
40.0%
40.0%
5
1
83.3%
16.7%
10
6
47.6%
28.6%
17
9
53.1%
28.1%
Count % within shift kerja responden Count % within shift kerja responden Count % within shift kerja responden
Total
1
5
20.0% 100.0% 0
6
.0% 100.0% 5
21
23.8% 100.0% 6
32
18.8% 100.0%
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Asymp. Sig. (2sided)
df
3.261a 4.248
4 4
.515 .373
.202
1
.653
32
a. 7 cells (77,8%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,94.
Beban Kerja * Kelelahan Kerja Crosstabs Case Processing Summary Cases Valid N beban kerja responden * kelelahan kerja rsponden
Missing
Percent 32
100.0%
N
Total
Percent 0
.0%
N
Percent 32
100.0%
beban kerja responden * kelelahan kerja rsponden Crosstabulation kelelahan kerja rsponden kelelahan kerja berat beban beban kerja kerja sedang responden
Count % within beban kerja responden
8
2
80.0%
20.0%
9
7
40.9%
31.8%
17
9
53.1%
28.1%
beban kerja ringan Count % within beban kerja responden Total
Count % within beban kerja responden
kelelahan kelelahan kerja sedang kerja ringan
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Asymp. Sig. (2sided)
df
5.046a 6.707
2 2
.080 .035
4.884
1
.027
32
a. 3 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,88.
0
Total 10
.0% 100.0% 6
22
27.3% 100.0% 6
32
18.8% 100.0%
Risiko Ergonomi Pekerjaan * Kelelahan Kerja Crosstabs Case Processing Summary Cases Valid N
Missing
Percent
risiko ergonomi kerja * kelelahan kerja rsponden
32
N
Total
Percent
100.0%
0
N
.0%
Percent 32
100.0%
risiko ergonomi kerja * kelelahan kerja rsponden Crosstabulation kelelahan kerja rsponden kelelahan kelelahan kelelahan kerja berat kerja sedang kerja ringan risiko risiko ergonomi ergonomi sedang kerja
Count
risiko ergonomi rendah
Count
Total
% within risiko ergonomi kerja % within risiko ergonomi kerja Count % within risiko ergonomi kerja
4
1
66.7%
16.7%
13
8
50.0%
30.8%
17
9
53.1%
28.1%
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Asymp. Sig. (2sided)
df
.617a .649
2 2
.735 .723
.291
1
.590
32
a. 4 cells (66,7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,13.
1
Total 6
16.7% 100.0% 5
26
19.2% 100.0% 6
32
18.8% 100.0%
Tingkat Kelelahan berdasarkan Waktu Reaksi yang di tempuh No. Responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
1 0.722 0.351 0.677 1.564 0.403 0.486 0.957 2.279 0.647 1.765 0.595 0.632 0.493 1.233 0.053 0.660 1.542 1.285 0.491 1.325 0.397 0.476 1.347 0.568 0.391 0.509 0.843 0.584 1.849 0.548 0.463 0.303
Pengukuran ke- (dalam sekon) 2 3 4 5 Rata-rata 0.558 0.592 0.666 1.081 0.724 0.333 0.497 0.371 0.427 0.396 0.489 0.401 0.873 0.471 0.582 1.194 0.426 0.882 0.168 0.847 0.695 0.521 0.517 0.461 0.519 0.518 0.515 0.433 0.584 0.507 0.735 0.872 1.601 0.486 0.930 0.427 0.794 0.685 0.633 0.964 0.716 0.543 0.467 0.358 0.546 0.579 0.481 1.276 0.477 0.916 0.539 0.765 0.575 0.611 0.617 0.257 0.741 1.053 0.905 0.718 0.583 0.572 0.623 0.484 0.551 0.997 0.578 0.597 0.959 0.873 1.485 0.437 0.843 0.455 0.655 0.605 0.538 0.536 0.320 0.532 0.692 0.369 0.409 0.366 0.676 0.871 0.427 0.833 0.723 0.828 0.527 0.581 0.332 0.634 0.513 1.520 0.958 0.907 0.255 0.993 0.712 0.491 0.519 0.481 0.520 0.618 0.415 0.473 0.674 0.531 1.067 0.921 0.755 0.881 0.994 0.367 0.438 0.382 0.279 0.407 0.343 0.323 0.323 0.299 0.336 0.360 0.565 0.894 0.784 0.622 0.878 0.365 1.153 0.505 0.749 0.343 0.324 0.386 0.278 0.383 0.705 0.549 0.589 0.653 0.869 0.330 0.358 0.352 0.288 0.375 0.685 0.561 0.537 0.491 0.547 0.323 0.276 0.303 0.276 0.296
Ket: KKB : Kelelahan Kerja Berat KKS : Kelelahan Kerja Sedang KKR : Kelelahan Kerja Ringan
Kategori kelelahan KKB KKR KKB KKB KKS KKS KKB KKB KKS KKB KKB KKB KKS KKB KKB KKS KKB KKB KKS KKB KKS KKS KKB KKR KKR KKB KKB KKR KKB KKR KKS KKR