SEMINAR HERITAGE IPLBI 2017 | DISKURSUS
Sudut Pandang Baru Terhadap Revitalisasi dan Adaptasi Kompleks Gedung Galeri Nasional Indonesia Jarot Mahendra
[email protected] Mahasiswa Program Studi Magister Manajemen Sumber Daya Budaya, Jurusan Arkeologi, Universitas Indonesia
Abstrak Galeri Nasional Indonesia (GNI) merupakan lembaga kebudayaan yang memiliki fungsi utama sebagai pusat perkembangan seni rupa nasional untuk seniman mengekspresikan karyanya dan sebagai museum seni rupa untuk menyimpan karya maestro seni rupa Indonesia maupun internasional yang memiliki nilai budaya, sejarah, pendidikan dan ekonomi yang tinggi. Kini, GNI telah menjadi salah satu destinasi pariwisata budaya yang diminati. Hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan pengunjung dalam setahun terakhir sebesar 84%. Kondisi gedung GNI saat ini belum representatif untuk menjalankan fungsi GNI sebagaimana mestinya. Sehingga diperlukan upaya revitalisasi dan adaptasi terhadap bangunan yang ada di kompleks gedung GNI. Dalam perencanaan revitalisasi dan adaptasi gedung GNI terlihat adanya demolisi bangunan bersejarah dan digantikan dengan bangunan baru yang disesuaikan dengan fungsinya saat ini. Metode yang digunakan yaitu metode kualitatif dengan pendekatan analisis konsep yang bersifat kondisional. Artikel ini bertujuan untuk memberikan sudut pandang baru sebagai konsideran pengambilan kebijakan, sehingga tidak menimbulkan konflik di kemudian hari. Kata-kunci : adaptasi, GNI, konservasi, revitalisasi, sudut pandang
Pendahuluan Kompleks gedung Galeri Nasional Indonesia (GNI) terdapat beberapa gedung bersejarah yang dibangun berdasarkan kebutuhan dari pemiliknya. Setidaknya terdapat empat bangunan yang memiliki nilai sejarah dalam perkembangan sejarah, pendidikan dan budaya di Indonesia. Berdasarkan fungsi awal pembangunannya, keempat bangunan tersebut terbagi atas dua periode waktu sejarah. Pertama gedung yang difungsikan sebagai rumah tinggal serta sarana pendukungnya. Kedua gedung yang difungsikan sebagai sarana pendidikan (sekolah). Gedung A dan gedung serbaguna adalah gedung awal yang dibangun dan difungsikan sebagai rumah tinggal serta sarana pendukungnya. Sedangkan gedung B dan C merupakan gedung yang dibangun setalahnya, yaitu ketika fungsi dari kompleks gedung ini telah beralih. Yang semula difungsikan sebagai rumah tinggal menjadi sarana pendidikan. Gedung A GNI merupakan salah satu bangunan tertua yang berada di kawasan Medan Merdeka dan masih berdiri hingga saat ini. Bangunan ini dibangun pada tahun 1817 oleh pemiliknya Gerardus Carolus van Rijck sebagai tempat tinggal dengan langgam Indiche Woonhuis. Rumah tinggal ini merupakan hasil adaptasi arsitektur klasisisme dengan tuntutan iklim tropis. Hal ini tercermin dari serambi luas dan pemakaian pintu dan jendela krepyak menunjukkan pengaruh lokal (Heuken, 2008). Umumnya Indiche Woonhuis terdiri dari beberapa bangunan, yaitu hoofdgebouw (bangunan induk) dan bijgebouwen (bangunan pendukung). Keluarga pemilik menempati bangunan utama yang terletak di tengah, sedangkan bangunan pendukung digunakan untuk kamar tamu, dapur, dan gudang (Heuken, 2008). Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | 247
Sudut Pandang Baru Terhadap Revitalisasi dan Adaptasi Kompleks Gedung Galeri Nasional Indonesia
Sedangkan gedung B GNI selasai dibangun pada tahun 1914 setalah terjadi pemindahan kepemilikan pada tahun 1912. Pemilik berikutnya yaitu Yayasan Sekolah Lanjutan untuk Pelajar Perempuan di Batavia yang dipimpin oleh A. Carpentier Alting, dan memfungsikan kompleks gedung ini sebagai sarana pendidikan atau sekolah khusus pelajar perempuan. Dimana gedung B difungsikan sebagai ruang kelas, gedung A difungsikan sebagai asrama dan gedung serbaguna difungsikan sebagai sarana pendukung lainnya (Purwestri, 2015). Pada tahun 1923, Yayasan Sekolah Lanjutan untuk Pelajar Perempuan di Batavia berganti nama menjadi Yayasan Carpentier Alting Strichting (CAS) dan nama sekolah berubah menjadi Carpentier Alting Stichting Scholen (Sekolah C.A.S). Kemudian pada tahun 1958, Yayasan CAS berubah menjadi Yayasan Raden Saleh, dan nama sekolah juga turut berubah menjadi Sekolah Pamardi Soenoe (Mardi Soenoe). Hingga pada tahun 1961, Yayasan Raden Saleh dianggap sebagai organisasi terlarang dan dihentikan (Purwestri, 2015). Pada tanggal 8 Mei 1998, kompleks gedung ini kemudian difungsikan sebagai Galeri Nasional Indonesia (GNI) yang sebelumnya telah difungsikan sebagai Gedung Pameran Seni Rupa Departeman Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1987. GNI merupakan lembaga kebudayaan yang secara garis besar memiliki dua fungsi, yaitu sebagai pusat perkembangan seni rupa nasional dan museum seni rupa. Sebagai pusat perkembangan seni rupa nasional, GNI menjadi parameter dari perkembangan seni rupa Indonesia. Sehingga para seniman di Indonesia menjadikan GNI sebagai target utama untuk menunjukkan eksistensinya dalam pameran seni rupa, sebelum mengembangkan karyanya dalam dunia seni rupa internasional. Hal ini dapat terlihat dengan banyaknya seniman dan karya yang dipamerkan selalu bertambah tiap tahunnya. Selain itu, GNI kini telah menjadi salah satu destinasi pariwisata budaya yang digemari untuk dikunjungi khususnya di kawasan Medan Merdeka. Dari data yang tercatat dalam buku registrasi pengunjung GNI, menunjukkan peningkatan jumlah pengunjung tiap tahunnya. Berikut data pengunjung GNI dalam empat tahun terakhir: Grafik. Jumlah Pengunjung Galeri Nasional Indonesia Sumber : Galeri Nasional Indonesia
300000
257.309
250000 200000 150000 100000
139.470 65.804
77.842
2013
2014
50000 0 2015
2016
Fungsi lain GNI adalah sebagai museum seni rupa yang menyimpan koleksi karya Maestro seni rupa Indonesia maupun internasional. Setidaknya terdapat 1800-an koleksi yang tersimpan di storage dan ruang pameran tetap GNI. Diantaranya terdapat karya Raden Saleh, S. Sudjojono, Affandi, Basoeki Abdullah dan karya maestro lain yang mempunyai nilai budaya, sejarah, pendidikan dan ekonomi yang tinggi. Karya para maestro ini sayangnya tersimpan pada ruang storage yang belum memiliki standar penyimpanan untuk koleksi seni rupa. Sehingga koleksi ini rentan terhadap kerusakan yang umumnya disebabkan oleh faktor lingkungan (ruang penyimpanan dan ruang pamer) dan faktor degradasi alami dari bahan penyusun koleksi itu sendiri yang secara usia sudah menua. 248 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
Jarot Mahendra
Dalam mengemban kedua fungsi diatas, GNI sebagai sebuah lembaga kebudayaan nasional mengalami tuntutan baru dan sekaligus menjadi permasalahan. Dimana, gedung yang ada ini belum memenuhi standar penyimpanan koleksi yang memiliki nilai budaya, sejarah, pendidikan dan ekonomi yang tinggi serta pelayanan bagi masyarakat baik itu seniman yang melakukan pameran maupun pengunjung. Permasalahan yang muncul diantaranya: 1. 2. 3.
4.
Storage koleksi yang tidak reprsentatif, sehingga menyulitkan dalam penataan ruang penyimpanan koleksi dan koleksi rentan terhadap kerusakan, Kondisi gedung C yang sudah retak pada dindingnya. Dimana gedung ini difungsikan sebagai ruang penyimpanan koleksi, laboratorium konservasi dan ruang pamer, Bentuk bangunan dan ruang pada gedung B yang menyulitkan dalam penataan Pameran Tetap Koleksi dan akses untuk masuk ke ruang Pameran Tetap (lantai 2) yang hanya satu, sehingga tidak adanya akses emergency exit jika terjadi bencana, Adanya keluhan dari masyarakat seni rupa yang melakukan pameran dan pengelola, disebabkan terbatasnya ruang pamer temporer yang ada, sehingga durasi pameran menjadi singkat karena banyaknya keinginan dari masyarakat untuk melakukan pameran di GNI.
Revitalisasi dan adaptasi bangunan menjadi sebuah pilihan dalam memberikan solusi permasalahan tersebut. Walaupun pada perencanaannya muncul permasalahan baru. Dalam penulisan artikel ini, metode yang digunakan yaitu metode kualitatif dengan pendekatan analisis yang bersifat kondisional. Suatu analisis kondisi permasalahan dengan penggunaan konsep yang sesuai (Kesuma, 2013). Artikel ini bertujuan memberikan sebuah analisa dan sudut pandang baru dalam menyikapi permasalahan yang muncul pada rencana revitalisasi dan adaptasi gedung GNI. Sehingga dapat dijadikan sebuah konsideran dalam pengamabilan kebijakan dan dapat diterima oleh semua pemangku kepentingan. Konservasi, Revitalisasi dan Adaptasi Bangunan Dalam Burra Charter (1999), konservasi merupakan bagian integral dari pengelolaan bangunan untuk mempertahankan nilai penting budaya. Konservasi mencakup aktivitas pemeliharaan bangunan yang didalamnya terdapat preservasi, restorasi, rekonstruksi dan adaptasi. Dalam prosesnya, konservasi memungkinkan adanya suatu perubahan fisik bangunan dalam rangka mempertahankan nilai penting budaya. Besarnya perubahan harus memperhatikan nilai budaya tempat (the cultural significance of the place) dan interpretasi yang sesuai. Tahun 2009 UNESCO mengeluarkan prinsip-prinsip proses konservasi terhadap warisan budaya yang harus diperhatikan, yaitu: (1) pemetaan ruang budaya, (2) wujud budaya asli, value dan nilai penting yang dipertahankan, (3) Keaslian (authenticity) yang terfokus pada karakteristik budaya yang hidup saat ini dan belum tentu keaslian pada materialnya, dan (4) Pemanfaatan warisan budaya dapat dimusyawarahkan agar memberikan penambahan ruang hidup budaya masyarakat saat ini (Engelhardit, 2009). Sedangkan revitalisasi adalah upaya pelestarian terhadap bangunan bersejarah dengan menempatkannya sesuai dengan kebutuhan saat ini. Revitalisasi seperti memberi sebuah “kehidupan kedua” pada bangunan bersejarah dengan menghubungkannya pada budaya masyarakat saat ini. Dalam pelaksanaannya revitalisasi dapat berupa adaptasi terhadap konstruksi fisik bangunan dengan kebutuhan fungsi sekarang. Proses penyesuaian dapat dilakukan dengan pelbagai pendekatan mulai dari perbaikan fisik, adaptive reuse, atau dengan demolisi dan pembangunan kembali. Revitalisasi harus memperhatikan pelbagai kepentingan, yaitu: (1) Pemerintah, meliputi perlindungan aset budaya, penciptaan landmark budaya baru dan mendorong keterlibatan masyarakat dalam perlindungan warisan budaya, (2) Masyarakat, meliputi budaya lokal yang dipertahankan, kesempatan memperbaiki lingkungan perkotaan, sumber daya budaya baru untuk edukasi dan Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | 249
Sudut Pandang Baru Terhadap Revitalisasi dan Adaptasi Kompleks Gedung Galeri Nasional Indonesia
rekreasi, serta peningkatan kepedulian masyarakat pada warisan budaya dan (3) Ekonomi, meliputi kesempatan lapangan pekerjaan dan sumber daya periwisata (Faculty of Architecture The University of Hongkong).
Heritage Council of New South Wales (2012) memberikan perbedaan definisi antara adaptasi (adaptation) dengan adaptive reuse. Menurut Heritage Council of New South Wales, adaptasi adalah modifikasi suatu tempat yang sesuai dengan fungsi yang ada sekarang atau fungsi yang baru dan dapat mencakup pembangunan struktur baru yang substansial. Sedangkan adaptive reuse merupakan penggunaan kembali dengan memodifikasi bangunan atau struktur sesuai dengan fungsi lama atau fungsi baru. Menurut Ramelan (2016), adaptasi bangunan secara prinsip dapat diterima apabila adaptasi memiliki dampak minimal pada nilai penting budaya setempat. Adapatasi dapat berupa penambahan ruang, pengenalan layanan baru, fungsi baru (reuse) atau perubahan untuk melindungi warisan budaya (Ramelan, 2016). Dalam konteks ini, adaptive reuse dipandang sebagai salah satu tindakan dari adaptasi. Konsep Place dan Sense of Place Konsep place dan sense of place memiliki beberapa definisi yang digunakan oleh beberapa ahli. Definisi umum disesuaikan dengan tujuan dari interdisipliner ilmu yang digunakan. Seperti Antropologi, mendefinisikan place sebagai hubungan simbolik yang dibentuk oleh orang dengan memberitahukan secara budaya dan makna untuk ruang atau sebidang tanah tertentu yang menjadi dasar bagi pemahaman individu dan kelompok dalam kaitannya pada lingkungan (Cross, 2001). Sedangkan sense of place dalam psikologi lingkungan dimaknai sebagai pengalaman sesorang dengan lingkungan disekitarnya baik berupa elemen fisik ataupun sosial (Cross, 2001). Menurut Cross, konsep place dan sense of place dapat dengan mudah kita pahami ketika adanya ikatan yang kuat antara seseorang dengan suatu tempat, tetapi pada lain sisi seseorang memiliki ikatan yang sangat lemah dengan tempat lainnya. Sehingga Cross melihat setidaknya ada dua aspek yang berbeda dalam konsep place dan sense of place. Aspek pertama relationship to place, yang terdiri dari cara seseorang berhubungan dengan suatu tempat dan jenis ikatan yang dimiliki seseorang dengan tempat tertentu. Jenis ikatan ini dapat dikatagorisasikan menjadi enam katagoriasi, yaitu: biografi, spiritual, ideologi, narasi, komodifikasi dan ketergantungan. Aspek kedua community attachment, terdiri dari kedalaman dan jenis rasa suka seseorang pada tempat tertentu. Cross menggambarkan empat tipe dari aspek ini, sesuatu yang sudah mengakar, alineasi, relativitas dan placelessness (Cross, 2001). Dengan banyaknya definisi dari place dan sense of place, Departeman Lingkungan dan Warisan Budaya Australia mendefinisikan place sebagai salah satu komponen identitas budaya. Sense of Place adalah respon seseorang terhadap lingkungan, sosial dan alam yang berkaitan dengan pengalamannya (Arnesen, 2006). Dalam kajian arsitektur perkotaan, place dapat menciptakan makna representasi dan makna simbolik yang menekankan pada pentingnya memori penggunanya. Menurut Castello, memori memiliki peran penting dalam mendefinisikan place (Arnesen, 2006). Gagasan dalam memaknai sebuah tempat (place) dalam kaitannya dengan warisan budaya, dapat memberikan sebuah sudut pandang seseorang dalam melihat warisan budaya sebagai sebuah identitas. Karena konsep warisan budaya saat ini, tidak secara langsung berhubungan dengan masa lalu. Tetapi warisan budaya dimaknai dalam konteks budaya saat ini. Sehingga dalam pelestarian warisan budaya perkotaan harus memperhatikan isu-isu sosial, sejarah, dan politik yang berkembang.
250 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
Jarot Mahendra
Revitalisasi dan Adaptasi Kompleks Gedung Galeri Nasional Indonesia: Sebuah Sudut Pandang Dalam perencanaan revitalisasi dan adaptasi bangunan gedung GNI, terdapat sebuah kebijakan yang berpotensi menimbulkan konflik. Kebijakan tersebut yaitu adanya demolisi dan pembangunan kembali gedung yang memiliki nilai sejarah dan budaya. Dalam perencanaan (gambar 1), gedung B dan C masuk ke dalam gedung yang akan di demolisi yang kemudian akan dibangun kembali gedung baru dengan desain yang lebih representatif untuk museum seni dan galeri.
(a) Gambar 1. (a) Kompleks Gedung Galeri Nasional Indonesia saat ini (b) Rencana Revitalisasi dan Adaptasi Gedung Galeri Nasional Indonesia (Sumber: Dok GNI)
(b)
Dalam perencanaan ini, saya melihat adanya dua pilihan yang harus dipilih oleh pengambil kebijakan seperti “dua sisi mata koin”. Dimana setiap pilihan mempunyai dampak tersendiri. Pilihan pertama adalah mempertahankan gedung yang ada dan pilihan lain mengganti gedung lama dengan gedung yang baru sesuai dengan fungsi yang dibutuhkan saat ini. Jika kebijakan untuk mempertahankan gedung lama tetap dipertahankan, maka permasalahan yang disebut diatas harus menjadi sebuah perhatian yang serius. Pertama, ruang penyimpanan koleksi atau storage yang tidak representatif karena storage yang ada tidak memenuhi standar untuk penyimpanan koleksi, diantaranya akses yang sulit untuk pemindahan koleksi, luas ruang yang tidak memadahi dengan jumlah koleksi yang ada, sistem pengaturan suhu dan kelembaban yang sulit diterapkan dan jalur evakuasi dalam kondisi darurat yang menyulitkan. Hal ini tentunya akan berdampak pada pelestarian dari koleksi itu sendiri. Kedua, kondisi fisik gedung C yang sudah mulai retak akibat pembangunan gedung pemerintahan yang berada di dekatnya. Gedung C saat ini difungsikan sebagai ruang pamer pada lantai 1 dan 2, storage koleksi lukisan dan patung pada lantai 3, dan laboratorium konservasi di lantai yang sama. Melihat dari pemanfaatannya, gedung C merupakan salah satu gedung yang memiliki fungsi vital. Dengan kondisi ketahanan gedung saat ini, pastinya akan membahayakan koleksi dan orang yang berkerja di dalamnya. Ketiga, gedung B yang awalnya berfungsi sebagai ruang kelas, kini difungsikan oleh GNI sebagai ruang seminar, media center dan ruang pamer pada lantai 1. Di lantai 2 digunakan sebagai ruang pameran tetap yang memamerkan karya seni dari koleksi GNI yang salah satunya terdapat karya maestro Raden Saleh, S. Sudjojono, Affandi, Basoeki Abdullah dan maestro lainnya. Gedung ini memiliki karakter seperti ruang kelas dengan satu akses tangga menuju lantai 2 yang berada tepat ditengah bangunan. Tentu ini dapat menimbulkan sebuah permasalahan baik dalam tata ruang pamer dan yang lebih penting Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | 251
Sudut Pandang Baru Terhadap Revitalisasi dan Adaptasi Kompleks Gedung Galeri Nasional Indonesia
jalur evakuasi pengunjung dan koleksi yang menyulitkan ketika dalam kondisi darurat. Keempat, mulai adanya keluhan baik itu dari GNI dalam mengatur jadwal pameran ataupun dari masyarakat seni rupa yang menganggap durasi pameran di GNI yang sangat singkat. Karena umumnya durasi pameran di luar negeri saja dapat mencapai satu hingga tiga bulan tiap pameran. Sedangkan di GNI durasi pameran umumnya hanya 10 hingga 21 hari. Hal ini lebih disebabkan karena ruang pameran temporer yang ada masih terbatas dibandingkan dengan banyaknya permintaan dari masyarakat untuk melakukan pameran seni rupa. Tetapi nilai positifnya adalah gedung bersejarah (gedung B dan C) dapat tetap lestari. Pilihan kedua yaitu melakukan demolisi pada gedung B dan C dan membangun kembali bangunan baru yang didesain secara spesifik untuk fungsi yang baru. Disini saya mencoba memberikan sudut pandang baru dalam menyikapi hal ini. Apa yang dilakukan oleh GNI merupakan sebuah tindakan konservasi terhadap bangunan bersejarah atau warisan budaya. Seperti diketahui bahwa UNESCO telah mengeluarkan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam konservasi warisan budaya. Pemetaan ruang budaya harus dilakukan dengan mempertahankan wujud budaya asli, value dan nilai penting yang ada. Pemetaan ruang budaya di kompleks gedung GNI dengan melihat periode pembangunan gedung. Periode yang dipilih untuk dipertahankan adalah periode awal dari fungsi pemanfaatannya, yaitu sebagai rumah tinggal. Periode ini terwakili dengan mempertahankan gedung A sebagai gedung utama dan gedung serbaguna sebagai gedung penunjangnya. Sehingga nilai budaya asli, value, dan nilai pentingnya tetap ada. Kemudian UNESCO juga memberikan perhatian terhadap keaslian (authenticity), yang menyatakan bahwa konsep keaslian (authenticity) harus terfokus pada karakteristik budaya yang hidup saat ini dan belum tentu keaslian dipandang selalu melekat pada materialnya. Hal ini tercermin ketika UNESCO menetapkan kota tua Warsawa, Polandia sebagai salah satu World Cultural Heritage pada tahun 1980. Dimana sebelumya kota tua Warsawa telah mengalami pembangunan kembali setelah dihancurkan – dengan tingkat kehancuran lebih dari 85% – oleh pasukan NAZI pada Perang Dunia II, Januari 1945 silam (Glinski, 2015; Mersom, 2016). Dalam prinsipnya, UNESCO juga memberikan ruang pada pemanfaatan warisan budaya yang dapat dimusyawarahkan untuk menambah ruang hidup budaya sekarang. Artinya UNESCO menempatkan bangunan warisan budaya sebagai proses budaya, sehingga bangunan tidak berhenti pada budaya di zamannya tetapi memberikan ruang bagi budaya yang berkembang saat ini. Sebagai contoh ketika China dihadapkan dengan sebuah dilema ketika menjadi tuan rumah perhelatan Olimpiade 2008 di Beijing, China. Pemerintah China harus menghancurkan beberapa situs sejarah untuk pembangunan Stadion Nasional Beijing, salah satunya Taoist Temple yang telah berusia 680 tahun. Pemerintah Beijing dihadapkan dengan kebutuhan sebuah state of the art stadion yang berada dipusat kota, dan bagi Beijing sulit untuk mendapatkan lahan yang luas untuk pembangunan ini. Sehingga Pemerintah Beijing harus membongkar dan menghancurkan beberapa situs bersejarah yang berada di lokasi untuk pembangunan stadion tersebut (Jelly, 2013). Menurut Holtorf, sebenarnya situs bersejarah dapat saja diganti dengan bangunan baru sepanjang informasi tentang situs tersebut sudah tercatat dalam laporan dan diarsipkan (Holtorf, 1998). Prinsip yang Holtorf sampaikan, sebenarnya juga dikenal dalam ilmu arkeologi Indonesia yang sering disebut dengan “preserve by record”. Revitalisasi dan adaptasi dalam perencanaan gedung GNI, harus memperhatikan budaya yang berkembang saat ini dengan tetap mengakomodasi pelbagai kepentingan. Perlindungan aset budaya yang dipertahankan (gedung A dan gedung serbaguna) dan adanya penambahan bangunan baru dapat menciptakan sebuah landmark baru sebagai penanda budaya yang berkembang saat ini. Sehingga masyarakat saat ini dapat merasakan keberadaan kebudayaannya di dalam bangunan tersebut. Dan dapat memunculkan hubungan antara place dan masyarakat. Sense of place masyarakat terhadap revitaslisasi dan adaptasi kompleks gedung GNI dapat dengan mudah tumbuh dan berkembang karena aspek community attachment yang kuat. Ini yang akan menjadi sebuah 252 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
Jarot Mahendra
identitas baru yang berkembang dari komodifikasi budaya masa lalu dengan budaya masyarakat saat ini. Dan kemudian dapat mendorong pertumbuhan kesadaran masyarakat terhadap pelestarian warisan budaya. Sudut pandang baru ini dianggap penting karena menjadi konsideran yang tepat dalam mengambil kebijakan revitalisasi dan adaptasi gedung GNI. Dan berharap sudut pandang ini dapat diterima oleh semua pemangku kepentingan, sehingga setiap orang dapat lebih bijak dalam menyikapi perubahan yang bertujuan semata-mata untuk kesejahteraan masyarakat. Kesimpulan Rencana revitalisasi dan adaptasi gedung GNI dipandang sebagai sebuah kebutuhan masyarakat saat ini dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip konservasi yang telah dikeluarkan oleh UNESCO. Sehingga tidak bertentangan dengan nilai-nilai pelestarian dan proses budaya masyarakat saat ini dapat terus berjalan. Dalam revitalisasi dan adaptasi warisan budaya harus dipandang secara utuh dari pelbagai sudut pandang. Sudut pandang ini dianggap kurang populer khususnya di kalangan pelestari bangunan bersejarah, tetapi proses perubahan budaya harus tetap dihormati. Setiap perubahan dalam sebuah sudut pandang tentu tidak mudah diterima oleh semua pihak. Tetapi setidaknya sudut pandang ini dapat menjadi sebuah awal untuk diterimanya sudut pandang lain yang mungkin berbeda dengan sudut pandang yang berkembang di masyarakat. Daftar Pustaka Arnesen, R.M. (2006). Reuse of Industrial Buildings in a Heritage-Led Regeneration Project. Glasgow: Masters of Science Cultural Heritage Studies Glasgow Caledonian University. Cheng, Z. (2015). Dilemmas of Change in Chinese Local Governance: Through the Lens of Heritage Conservation. Sheffield: Depatment of Town and Regional Planning University of Sheffield. Cross, J.E. (2001). What is Sense of Place?. Colorado: Department of Sociology Colorado State University. Ebgelhardt, R.A. (2009). “First Principles” in Conservation: The UNESCO Asia-Pacific Heritage Awards. APT Bulletin, Vol 41, No 2/3 (2010), pp 57-65. Diambil dari http://www.jstor.org/stable/20749124. Glinski, M. (2015). How Warsaw Came Close to Never Being Rebuilt. Diambil dari http://culture.pl/en/article/how-warsaw-came-close-to-never-being-rebuilt. Hall, S. (1999). The Heritage Reader. Graham Fairclough, Rodney Harrison, John H Jamenson Jnr, John Schofield (Ed.). Whose Heritage? Un-settling ‘The Heritage’, re-imagining the post-nation (pp. 219-228). New York: Routledge. Heuken, A.S.J. (2008). Medan Merdeka – Jantung Ibukota RI. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka. Holtorf, C.J. (1998). The Heritage Reader. Graham Fairclough, Rodney Harrison, John H Jamenson Jnr, John Schofield (Ed.). Is the Past a Non-renewable Resource? (pp. 125-133). New York: Routledge. Jelly, J. (2013). 10 Historically Significant Sites Destroyed For Awful Reasons. Diambil dari http://listverse.com/2013/06/19/10-historically-significant-sites-destroyed-for-awful-reasons/. Kesuma, D. (2013). Struktur Fundamental Pedagogi Paulo Freire Dan Relevansinya Untuk Pendidikan Indonesia. Diambil dari http://repository.upi.edu/3721/6/D_PU_0907863_Chapter3.pdf. Mersom, D. (2016). Story of Cities #28: How Postwar Warsaw Was Rebuilt Using 18th Century Paintings. Diambil dari https://www.theguardian.com/cities/2016/apr/22/story-cities-warsaw-rebuilt-18th-centurypaintings. Mitra, S.S, Sh Anil, G. Sh Rajesh, S. (2013). Handbook of Conservation of Heritage Buildings. New Delhi: Dicectorate General Central Public Works Department. Policy and Planning Section, Policy Information and Knowledge Branch, Country Culture and Heritage Division. (2012). Adaptive Reuse of Heritage Places Policy. Sydney: Office of Enviroment and Heritage, Department of Premier and Cabinet. Purwestri, N. (2015). Laporan Penelitan Arsitektur & Sejarah, Penelitian Gedung Cagar Budaya Gedung Pameran Utama dan Serbaguna Galeri Nasional Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Galeri Nasional Indonesia, Pusat Dokumentasi Arsitektur Indonesia. Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | 253
Sudut Pandang Baru Terhadap Revitalisasi dan Adaptasi Kompleks Gedung Galeri Nasional Indonesia Ramelen, W.D. (2016). Bahan Kuliah Manajeman Sumber Daya Budaya. Depok: Departeman Arkeologi Universitas Indonesia Reserarch Team, Faculty of Architecture The University of Hongkong. (n.d). Conservation & Revitalization of Historic Buldings [Teacher Notes]. Hongkong: Faculty of Architecture The University of Hongkong. Tunbridge, J.E. (1984). The Heritage Reader. Graham Fairclough, Rodney Harrison, John H Jamenson Jnr, John Schofield (Ed.). Whose Heritage to Conserve? Cross-cultural reflections on political dominance and urban heritage conservation (pp. 235-244). New York: Routledge. The Burra Charter The Australia ICOMOS Charter for Places of Cultural Significance. (1999). Australia: Australia ICOMOS Incorporated. Diambil dari http://worldheritageohio.org/wpcontent/support/docs/The%20Burra%20Charter%20on%20Cultural%20Significance.pdf The ICOMOS Charter for the Interpretation and Presentattion of Cultural Heritage Sites. (2008). Diambil dari http://icip.icomos.org/downloads/ICOMOS_Interpretation_Charter_ENG_04_10_08.pdf
254 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017