SUARA PEREMPUAN DALAM NOVEL SUNDA PUPUTON ‘BUAH HATI’ KARYA AAM AMILIA Retty Isnendes1 INTISARI Abstrak: Penelitian ini bertujuan mengungkapkan suara perempuan dalam novel Sunda Puputon ‘Buah Hati’ karya sastrawati Sunda, Aam Amilia. Ada dua tujuan yang ingin dicapai, yaitu tujuan teoritis dan tujuan praktis. Tujuan teoritis adalah memanfaatkan teori Feminisme yang sedang berkembang pesat di dunia akademik dan bidang kehidupan lainnya. Tujuan teoritis tersebut digunakan untuk mengungkap dan menafsirkan suara-suara perempuan melalui: 1) tubuh dan seksualitas tokoh perempuan, 2) bahasa dipergunakan tokoh perempuan, 3) diksi yang ditampilkan tokoh perempuan, 4) reaksi tokoh perempuan atas relasi gender yang tidak seimbang, dan 5) budaya perempuan di antara budaya keseluruhan. Adapun tujuan praktis penelitian ini adalah timbulnya pemahaman dan kesadaran baru bagi perempuan untuk memperbaiki hidupnya di masa sekarang dan masa datang, serta kesadaran baru bagi laki-laki akan budaya androgini. Metode penelitian menggunakan cara deskriptif-analitik. Dimulai dari menelaah data yang berupa teks, lalu mendeskripsikan yang koheren, kemudian mengutip lalu menganalisisnya. Teknik yang digunakan adalah analisis gender, yaitu menelaah kehidupan masyarakat sebagai satu sistem yang berdasarkan pada struktur dan relasi sosial antara perempuan dan laki-laki. Hasil yang dicapai adalah pertama, kedudukan perempuan dalam sastra Sunda dan kedua, suara perempuan yang dicetuskan lewat tokoh sastra. Perempuan dalam sastra Sunda dalam penelitian ini mempunyai dua kedudukan, yaitu perempuan Sunda sebagai tokoh sastra dan perempuan Sunda sebagai penulis sastra. Manifestasi suara perempuan lewat tokoh utama dalam novel Puputon, Astri dan Mamay, dirangkum melalui butir-butir tentang: tubuh dan jiwa, bahasa, hak-hak istimewa, strategi yang dibangun dalam menghadapi konstruk sosial yang mendua, dan budaya perempuan di antara budaya keseluruhan, serta terekamnya proses kesadaran kedua tokoh. Butir-butir suara itu bisa sama antara Astri dan Mamay, juga bisa berbeda antara keduanya. Persamaan dan perbedaan itu bisa berada dalam ruang zona liar perempuan; perempuan dengan dirinya sendiri, ataupun dalam zona yang didominasi budaya patriarki, juga persentuhannya dengan budaya secara keseluruhan, sebagai bagian dari komunalitas dunia.*** Kata kunci: suara perempuan—gender—budaya Sunda
1
Retty Isnendes adalah Dosen Sastra Sunda Modern di Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah FPBS UPI Jl. Dr. Setiabudhi 229 Bandung.
PENDAHULUAN Novel karya perempuan yang selalu dipandang tidak berarti dan sebuah karya yang ‘lucu’ oleh George Eliot (Showalter, 1985:258), sebenarnya adalah sebuah gagasan yang membawa fakta kemanusiaan dengan dimediasi oleh pandangan dunia penulisnya, yaitu pandangan dunia perempuan dengan segenap pengalamannya. Pandangan dunia ini pula, yang menurut Humm (2002:312), menjadi dasar penulisan novel bagi perempuan karena hanya perempuan kelas menengah ke ataslah yang dapat mengekspresikan gagasannya yang tidak terlalu dirintangi oleh training ala klasik. Novel-novel karya perempuan merupakan arus terpendam dalam arus utama sastra. Novel-novel karya perempuan merupakan tulisan bersuara ganda, karena selain karyanya menciptakan dunia yang otonom juga selalu membawa warisan sosial dan budaya dari kelompok ‘bisu’ yang dominan. Tulisan perempuan dalam novelnya juga merupakan satu langkah pemahaman diri karena setiap langkah dari suatu budaya sastra perempuan dan suatu tradisi sastra perempuan merupakan signifikasi yang paralel pada bidang sejarah yang kritis dan tradisi yang kritis (Showalter, 1985:264). Novel Sunda Puputon karya Aam Amilia termasuk novel yang bersuara ganda karena selain menampilkan cerita imaginatif, novel itu juga menyuarakan pemahaman diri perempuan terhadap keadaan sosial-budaya sekaligus mereaksi kondisi sosial-budaya pada masanya. Aam Amilia adalah pengarang yang cakap dalam menangkap fenomena ketimpangan sosial pada waktu cerita itu ditulis. Tahun 1970-an ketika itu,
Indonesia sedang dihebohkan oleh Peraturan Pemerintah No. 10 atau PP 10. Peraturan itu menetapkan kehidupan perkawinan dan seksual pegawai negeri sipil (PNS). Peraturan itu mengatur pernikahan, poligami, dan praktik-praktik perceraian, menyinggung soal ketidaksetiaan dan perselingkuhan dalam perkawinan (Hellwig, 2003: 243). Khusus untuk masalah poligami, masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, tentu saja mereaksi hal yang melarang masalah menikah lagi. Hal itu karena dalam Islam, poligami diperbolehkan dengan syarat yang cukup berat, yaitu harus berlaku adil. Jadi, apabila suami tidak bisa adil, maka cukuplah satu istri baginya (Al-Quran surat An-Nisa ayat 3). Sebagai umat yang menjalankan syariat Islam, sekaligus mewakili kelompok mayoritas, Aam Amilia tidak menyetujui PP 10 yang dibuat pemerintah, sekaligus intervensi terhadap hak asasi manusia tersebut. Akan tetapi, sebagai perempuan dan sebagai individu, Aam Amilia mempunyai prinsip tersendiri mengenai poligami2. Situasi dan kondisi tersebut membuat dirinya terobsesi dan muncullah tulisan fiksi Puputon dalam bentuk cerita bersambung sebagai reaksi pada keadaan sosial-budaya pada masanya dan dimuat pada majalah Sunda Mangle. Pada tahun 1979, cerita ini dibukukan; menjadi sebuah novel. Jangkauan penelaahan dalam penelitian ini dibatasi dengan: (1) suara (2) perempuan, dan (3) novel Sunda.
2
Wawancara, Februari 2004
Suara atau voice adalah penggambaran suara dalam sastra yang merupakan strategi tekstual yang digunakan penulis perempuan untuk mendekonstruksi citra perempuan yang melekat dari sastra laki-laki. Suara perempuan menurut Cixous, bisa berarti feminitas yang perempuan tampilkan, sebagai hak istimewa suara perempuan, atau suara itu adalah bahasa menurut Kristeva dan Irigaray. Bahasa yang berbicara tentang ibu dan tubuh ibu; sebagai bagian dari ruang linguistik yang abadi (Humm, 2002: 488). Bila merujuk pada ciri tulisan perempuan menurut Showalter (1985), maka didapat empat suara perempuan yang ditampilkan, yaitu: melalui 1) tubuh, 2) bahasa, 3) jiwa, dan 4) budaya yang menjadi ciri khas perempuan. Keempat ciri itu dikembangkan dengan optimal dari data yang ditampilkan melalui: 1) tubuh dan seksualitas perempuan, 2) bahasa perempuan, 3) reaksi perempuan atas relasi gender yang timpang, dan 4) budaya perempuan. Adapun perempuan yang dimaksud adalah perempuan sebagai tokoh cerita, yaitu Astri dan Mamay. Melalui Astri dan Mamay, Aam Amilia menyuarakan pemahaman dan penjelasan keperempuanannya. Tokoh Astri dan Mamay merupakan tokoh yang berbicara atau bersuara. Astri dan Mamay adalah juga subjek yang menentukan nasibnya sendiri dalam dunianya (novel Puputon). Novel Sunda yang terpilih sebagai sample, sebagaimana judul, adalah Puputon atau bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah ‘Buah Hati’, karya Aam Amilia pengarang Sunda. Novel ini dianggap sebagai novel yang bersifat feminis dan memenuhi kriteria teks feminis, sebagaimana Register lewat Prabasmoro (2000) dan Hidayat (2001) sebutkan.
Respon terhadap novel Puputon di kalangan akademik terwujud melalui tugas akhir, skripsi, diskusi ilmiah, penelitian independen, dan penelitian yang dibiayai pemerintah. Apabila diperhatikan dari judul tugas akhir, skripsi, penelitian independen, dan penelitian dengan biaya pemerintah yang telah ada, bisa dimungkinkan deskripsi penelitian terhadap Puputon adalah dengan menggunakan teori struktural otonomik, struktural semiotik, dan strukturalekstrinsik (mimetik), sedangkan penelitian yang dilakukan oleh tim menggunakan teori gender dan sosiologi sastra sebagai pendekatannya. Akan tetapi, penelitian ini berbeda dengan penelitian yang telah ada sebelumnya karena menggunakan pendekatan Feminisme yang diharapkan dapat mencitrakan perempuan dengan positif dan menghadirkan suara perempuan yang baru yang menjadi dirinya sendiri.
TINJAUAN PUSTAKA Feminisme, Kritik Sastra Feminis, Suara Perempuan, Sosiologi Sastra, dan Strukturalisme Genetik Pengertian feminisme secara umum adalah ideologi pembebasan perempuan. Hal itu diyakini, karena dalam semua pendekatannya perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelaminnya (yang perempuan). (Humm, 2002:158).
Definisi
feminisme sebenarnya
cenderung bermacam-macam.
Kebermacamannya dibentuk oleh ideologi, politik, agama, ras, dan budaya masing-masing perempuan, sedangkan dasar pemikiran feminisme adalah pengalaman perempuan sendiri. Kebermacaman definisi itu bisa dilihat dari jenis
feminisme yang ada. Misalnya, dalam Ensiklopedia Feminisme (Humm: 2002), terdapat ± 15 jenis feminisme dengan masing-masing pengertiannya atau kebermacaman yang ditawarkan Tong dalam Feminist Thought (1998). Dalam penelitian ini, penulis memposisikan diri pada landasan pijak yang ditawarkan Tong, yaitu feminisme multikultural dan global. Feminisme multikultural dan global adalah faham yang muncul dari ketidakmampuan fahamfaham feminisme yang ada dalam mengakomodasi seluruh realitas perempuan. Feminisme ini menyadari dan mengakui perbedaan kondisi dan realitas perempuan pada tingkat antarbangsa adalah sebagai pemikiran dasar feminisme. Perbedaan realitas dan kondisi perempuan antarnegara membedakan bentuk feminisme yang ada. Pada dunia sastra, feminisme dijadikan pendekatan pada kritik atas karya sastra sehingga muncullah istilah Kritik Sastra Feminis atau KSF (Feminist Literary Criticism). Menurut Rutven (1984:30-56), kritik sastra feminis diharapkan mampu membuka pandangan baru, terutama yang berkaitan dengan bagaimana karakterkarakter perempuan diwakili dalam sastra. KSF menelusuri bagaimana kaum perempuan direpresentasi dan bagaimana teks terwujud dengan relasi gender dan perbedaan sosial yang ada. KSF juga membicarakan bagaimana perempuan dilukiskan dan bagaimana potensi perempuan diketengahkan di tengah kekuasaan patriarki di dalam karya sastra. KSF juga mempunyai tujuan politik yang jelas dan bukan tindakan melawan dekonstruksi. Sebaliknya, KSF secara politis membentuk self deconstruction. Self deconstruction berarti pendekatan feminis menisbikan konsep pusat dan satu subjek pusat, serta pendekatan ini meruntuhkan
sentralitas dan maskulinitas laki-laki. Dengan kata lain, pendekatan feminis membuat perempuan dan feminitasnya mengambil posisi sentral dari laki-laki dengan segala keterpusatannya yang ada, karena selama ini selama ini, yang terjadi adalah penentuan dan perebutan makna didominasi oleh laki-laki atau dalam
istilah
Culler (1983:50) perempuan
dialienasi
dari
pengalaman
perempuannya atau perempuan itu disebut kelompok bisu oleh Showalter (1985) yang mengutip istilah antropolog Ardener dari diagramnya yang terkenal. Gambar 1: Diagram Ardener
X
Y Laki-laki Perempuan
Lingkaran bisu Y berada pada batasan lingkaran dominan X. Bulan sabit Y berada di luar batasan dominan X disebut sebagai zona liar. Zona ini adalah wilayah perempuan secara spasial, pengalaman, dan metafisika. Secara spasial, bisa diartikan perempuan berada di luar bidang tanpa lakilaki; suatu tempat terlarang bagi laki-laki, perempuan bebas dengan dirinya sendiri. Secara pengalaman, zona liar ini adalah aspek-aspek gaya hidup perempuan yang berada di luar dan berbeda sama sekali dengan laki-laki. Secara metafisika atau kesadaran, perempuan tidak memiliki kesadaran penuh (karena lingkarannya pun berupa titik-titik) dalam berhubungan dengan laki-laki, sedangkan semua kesadaran laki-laki ada di dalam lingkaran penuh sebagai kelompok dominan. Kesadaran laki-laki ini dengan mudah dapat diterima oleh
perempuan karena perempuan mengetahui apa yang merupakan bulan sabit lakilaki walau mereka tidak melihatnya sekalipun –yang tentu saja karena laki-laki ada pada wilayah dominan perempuan. Sebaliknya, laki-laki tidak akan mengetahui zona liar metafisika perempuan dan tidak mengetahui semua ketidaktentuan perempuan karena kelompok dominan menganggap tidak perlu mengetahui kelompok bisu. Pada diagram itu, perempuan sebagai kelompok bisu mempunyai zona liar yang tidak diketahui oleh kelompok dominan (laki-laki). Zona liar perempuan ini oleh para feminis didekonstruksi menjadi suatu kekuatan, kelebihan, dan keunggulan perempuan, sebagai sesuatu yang baru bagi kesadaran perempuan. Kesadaran itu harus membuat yang tidak kelihatan menjadi kelihatan, yang diam menjadi bicara, zona liar menjadi tempat revolusioner bagi perempuan. Perempuan harus berbicara dengan bahasa mereka, dengan suara mereka dengan tulisan mereka. Ada empat hal yang membedakan tulisan perempuan dengan tulisan lakilaki. Empat hal tersebut menjadi ciri bagi perempuan untuk menguasai diri, kebebasan, dan kesadarannya. Empat hal tersebut adalah sebagai berikut: 1) tulisan perempuan dan tubuh perempuan; 2) tulisan perempuan dan bahasa perempuan; 3) tulisan perempuan dan jiwa perempuan; 4) tulisan perempuan dan budaya perempuan. Keempat ciri itu bisa tergambar pada perempuan tokoh sastra yang diciptakan penulis perempuan. Sosiologi sastra pada penelitian ini dipakai sebagai pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Novel adalah lembaga sosial yang menyusup menembus permukaan kehidupan dan menunjukkan cara-
cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya. Novel adalah sebuah struktur yang dinamis, yang merupakan produk dari proses sejarah yang terus berlangsung, yang merupakan proses strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat. Oleh karenanya, novel ini juga didekati dengan pendekatan strukturalisme-genetik yang ditawarkan Goldmann (Faruk, 1999). Strukturalisme genetik menganggap karya sastra sebagai semesta tokohtokoh, objek-objek, dan relasi-relasi secara imajiner. Strukturalisme-genetik apabila dirumuskan adalah teori sastra yang berkeyakinan bahwa karya sastra (dalam hal ini novel) adalah struktur dinamis yang lahir dari strukturasi struktur kategoris pikiran subjek pengarangnya atau subjek kolektif tertentu yang terbangun dari interaksi subjek tersebut dengan situasi sosial tertentu. Oleh karena itu, pemahaman mengenai struktur karya sastra tidak mungkin dapat dilakukan tanpa pertimbangan faktor sosial yang melahirkannya sebab faktor itulah yang memberikan kepaduan pada karya sastra (novel) tersebut (Faruk, 1999:12-13). Novel Sunda Puputon, pada akhirnya, akan didekati dengan sudut pandang feminisme dan strukturalisme genetik. Artinya, novel tersebut akan dikupas segala sesuatunya dengan berpusat pada sudut pandang keperempuanan Astri dan Mamay, tetapi kupasan tersebut akan berdialektika dengan situasi sosial dan juga budaya (culture) yang ditampilkan oleh pengarangnya, yaitu budaya Sunda. Jadi, sudut pandang yang terpusat pada tokoh perempuan Astri dan Mamay yang dikerangkai oleh lingkungan sosial dan budaya Sunda.
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik. Metode ini sepenuhnya
mengacu
pada
penelitian
kualitatif.
Penelitian
kualitatif
mengisyaratkan metode kualitatif. Metode kualitatif tiada lain adalah suatu prosedur penelitian yang berdasarkan dan menghasilkan data-data deskriptif berupa kata-kata tertulis (atau lisan yang ditulis) (Bogdan dan Taylor melalui Moleong, 1995:3). Adapun teknik penelitian yang digunakan adalah analisis gender. Teknik analisis gender adalah teknik yang digunakan untuk menelaah kehidupan masyarakat sebagai satu sistem berdasarkan struktur dan relasi sosial antara perempuan dan laki-laki (Sukesi, 2001:1). Akan tetapi, sekali lagi landasan pijak penelitian ini adalah perspektif feminis, sudut pandang yang berpusat pada perempuan di dalam berkehidupan, bersosialisasi, dan berkebudayaan. Secara keseluruhan, penelitian ini mencoba melacak data-data tertulis dalam teks sastra yang dianalisis, juga dari sumber kepustakaan yang berkaitan dengan penelitian, sedangkan data-data lisan diambil sebagai penunjang dan pelengkap bahan penelitian. Data-lisan tersebut diambil dari wawancara dengan para informan yang dianggap berhubungan dengan penelitian. Data-data dari teks berupa kutipan-kutipan yang diasumsikan mengandung muatan suara perempuan. Data-data tersebut akan ditelaah, diinterpretasi, dan direlasikan dengan sosial-budaya tempat tokoh berpijak. Data-data dari kepustakaan berupa pernyataan-pernyataan yang juga akan dikutip atau diolah kembali sehingga menjadi wujud yang menyempurnakan penelitian ini, baik
sebagai data primer ataupun data sekunder, terutama pada kajian sosiologi sastra. Demikian juga dengan data lisan, yang bisa berupa data primer dan data sekunder yang akan dijadikan bahan dalam penelitian ini.
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Pembicaraan mengenai suara perempuan dalam novel Sunda Puputon ‘Buah Hati’ karya Aam Amilia dimanifestasikan melalui dua hal, yaitu: pertama, kajian perempuan dalam sastra Sunda, dan kedua, suara perempuan itu sendiri, yaitu lewat tokoh perempuannya. Perempuan dalam sastra Sunda, dalam penelitian ini, mempunyai dua kedudukan, yaitu perempuan Sunda sebagai tokoh sastra dan perempuan Sunda sebagai penulis sastra. PEREMPUAN SUNDA SEBAGAI TOKOH SASTRA adalah sosok perempuan yang menjadi tokoh dalam karya sastra Sunda. Terjadi pergeseran kedudukan tokoh perempuan pada karya sastra dalam tiga periode3. Tiga periode itu adalah sebagai berikut. 1) Periode Sastra Sunda Kuno (Mangsa Kahiji ‘Periode Pertama’ tahun ….s.d. 16004), 2) Periode Sastra Sunda Kamari ‘Kemarin’ (Mangsa Kadua ‘Periode Kedua’ tahun 1600 s.d. 1800, Mangsa Katilu ‘Periode Ketiga’ tahun 1800 s.d. 1900, Mangsa Kaopat ‘Periode Keempat’ tahun 1900-1945).
3 4
Bila menggunakan periodisasi Ajip Rosidi. Bila menggunakan periodisasi Yus Rusyana.
3) Periode Sastra Sunda Kiwari ‘Sekarang’ (Mangsa Kalima ‘Periode Kelima’ 1945 s.d. Sekarang). Kedudukan perempuan pada (karya) sastra kuno, terutama pada cerita-cerita pantun, menempati urutan utama. Perempuan adalah simbol dari dunia atas dan dunia tengah, sedangkan laki-laki adalah simbol dari dunia tengah dan dunia bawah. Perempuan bersifat sakral, sedangkan laki-laki bersifat profan. Pada periode ini perempuan diyakini sebagai pemberi energi, ibu para dewata yang memberi kehidupan dan mencipta, lambang kasih sayang, dan cinta kasih di semesta raya. Kedudukan perempuan pada karya (sastra) kamari ‘kemarin’, bergeser kearah negatif. Pertarungan nilai-nilai yang terwujud dalam kompleks aktivitas dalam periode ini mempengaruhi kedudukan perempuan dengan sangat. Terutama sekali nilai-nilai religius (Islam) yang direalisasikan sejak penyebarannya secara tidak benar. Berbagai kepentingan politik dan kekuasaan mempengaruhi penyebarannya. Selain itu, ideologi yang datang dari Mataram dan diteruskan oleh kolonialisasi, menjadikan kedudukan perempuan sebagai inferiotif, stereotif, subordinatif, terepresif, dan menjadi obyek laki-laki. Akan tetapi, pada periode ini juga, terdapat wacana yang mendudukan perempuan sebagai subyek bagi dirinya sendiri. Wacana itu ada pada karya sastra yang berjudul Wawacan Purnama Alam (R. Suriadiredja, 1912). Konsep pada wacana ini adalah berpijak pada nilai lama dan mengawinkannya dengan pemikiran modern. Jadi, pergeseran kedudukan pada periode kemarin itu, sesungguhnya, adalah dari perempuan yang sempurna ke arah perempuan yang dibuat sempurna,
artinya adalah pengagungan sosok perempuan masih ada dalam karya sastra kemarin, walaupun pengagungan itu melalui usaha dinalarisasi. Kedudukan perempuan pada masa kiwari ‘sekarang’ adalah perempuanperempuan yang telah ‘berpijak di bumi nyata’ tetapi hidup pada suatu masa peralihan. Perempuan pada periode ini adalah perempuan yang dihadapkan pada kenyataan dan kemungkinan yang menjadi pilihannya. Dari delapan karya sastra modern (Novel: Baruang ka nu Ngarora karya D.K. Ardiwinata, Lain Eta karya Moh. Ambri, Sri Panggung karya Caraka, Pipisahan karya RAF, Dedeh karya Yus Rusamsi, Puputon karya Aam Amilia, Kembang-kembang Petingan karya Holisoh ME, dan cerita pendek Apun Gencay karya Yus Rusyana), perempuan pada periode sekarang dihadirkan melalui dua pencitraan, yaitu tokoh yang bercitra positif dan tokoh yang bercitra negatif. Pencitraan ini ditampilkan oleh penulis laki-laki dan penulis perempuan. Terdapat perbedaan pencitraan dari jenis kelamin penulisnya. Penulis lakilaki menggambarkan sosok perempuan sebagai jelmaan dari alam bawah sadarnya yang memberinya hak hidup atau tidak memberinya hak hidup, antara pemujaan dan penghinaannya, atau perempuan itu adalah perempuan idamannya bukan perempuan yang menjadi dirinya sendiri. Berbeda dengan penulis perempuan yang mencitrakan perempuan sebagai refleksi perempuan itu sendiri; perasaannya, pemikirannya, aktivitasnya, juga kemungkinan jawaban dari masalah yang dihadapinya. Selain itu, pada periode ini terdapat fenomena yang menarik, yaitu banyaknya judul karya (novel atau cerita pendek) yang yang merujuk pada
identitas diri perempuan. Karya tersebut, misalnya saja, adalah: Tjarita Eulis Atjih, Tjarita Agan Permas, Neng Yaya, dan Rusiah Nu Geulis karya Joehana, Siti Rayati dan Agan Sari Fatimah karya Muhammad Sanusi, Istri Pelit karya Moh. Ambri, Sri Panggung dan Kembang Rumah Tangga karya Caraka, Maryamah karya Suwarsih Djojopuspito, Dedeh karya Yus Rusamsi, Apun Gencay karya Yus Rusyana, Puputon dan Sekar Karaton karya Aam Amilia, serta Kembangkembang Petingan karya Holisoh ME. Dengan demikian, dari penelaahan di atas, terjadi lagi pergeseran kedudukan, yaitu dari perempuan yang sempurna bergeser ke arah perempuan yang dibuat sempurna dan menjadi perempuan yang apa adanya, perempuan yang mempunyai kelebihan juga mempunyai kekurangan sebagai manusia. Dari pergeseran kedudukan tokoh perempuan ini terdapat benang merah yang menghubungkannya dari periode sastra kuno sampai periode sastra sekarang yaitu nilai perempuan itu sendiri. Nilai perempuan sebagai manusia agung dan luar biasa tetap dianut dan yang ditampilkan dalam karya sastra, walaupun, tentu, dengan bahasa yang berbeda. PEREMPUAN
SUNDA
SEBAGAI
PENULIS
SASTRA
adalah
perempuan Sunda yang yang mempergunakan nilai-nilai budaya Sunda, mengaku dirinya dan diakui oleh orang lain sebagai orang Sunda yang tidak hanya menggunakan identitas kesundaannya secara intelektual tetapi juga secara emosional dan intuitif, yang melalui kreativitasnya mampu mengkristalisasikan pemikiran dan pengalamannya dalam memahami kehidupan dan kebudayaan Sunda, yang dalam hal ini berkreativitas melalui media bahasa. Perempuan Sunda
sebagai penulis sastra adalah subjek yang menentukan dunia yang akan dikarangnya. Perempuan Sunda sebagai penulis sastra tidak banyak bila dibandingkan dengan penulis Sunda laki-laki, yang mendominasi kesusastraan Sunda. Memang, dalam khasanah sastra Sunda, pada tahun 1875 telah tercatat nama Raden Ayu Lasminingrat. Beliau adalah penulis sebuah wawacan ‘macapat’ Tjarios Erman ‘Cerita Erman’ yang dikeluarkan oleh Batavia. Akan tetapi, gagasan kemandirian perempuan dan gagasan persamaan hak pendidikan, yang menjadi hipogram gagasan bagi perempuan-perempuan Sunda selanjutnya, adalah bermula dari Raden Dewi Sartika (lahir 4 Desember 1884 –lebih muda empat tahun dari R.A. Kartini--). Setelah perempuan-perempuan Sunda bersekolah dan berpendidikan, lahirlah karya-karya sastra dari perempuan-perempuan itu. Penulis perempuan pada masa sebelum Perang Dunia II, tercatat delapan nama. Berikut berturut-turut (dengan tahun terbit karyanya), yaitu: Rd. Lenggang Kencana (1912), Nyi Mas Lengkana (1922), R.H. Siti Hadijah (1922), Siti Royati (1923), Neng Hayani (1926), Nyi Rd. Sasmitadimadja Permasih (1926), J. Widasih (1928), dan Raden Ayu Dewi Pertama (?) (1930). Penulis perempuan setelah PD II sampai sekarang bermula dari Suwarsih Djojopuspito, dan seterusnya. Penulis mengklasifikasikan angkatan pengarang perempuan berdasarkan tahun mengumumkan karyanya. Penulis perempuan yang tidak berjumlah 50 orang itu terangkum dalam tiga angkatan. Yaitu sebagai berikut.
1. Angkatan 1950-1960, pengarang angkatan ini diwakili oleh Suwarsih Djojopuspito dan Suratmi Sudir. 2. Angkatan 1960-1980, pengarang-pengarang angkatan ini adalah: Tini Kartini, Tien Wirahadikusumah, Atie W.R., Aam Amilia, Hana RS, Yati M. Wihardja, Damarjanti, Ningrum Djulaeha, Etty S, Sukaesih Sastrini, Ami Raksanagara, Naneng Daningsih, En Henri Sinaga, Yooke Tjuparmah, Tetty Suharti, Dyah Padmini, Holisoh ME, dll. 3. Angkatan 1980-2000, pengarang-pengarang angkatan ini adalah: Etti RS, Tetti Hodijah, Nita Widiati Efsa, Risnawati, Imas Rohilah, Dian Ratnaningsih, Elis Ernawati, Chye Retty Isnendes, Pipiet Senja, dll. Aam Amilia adalah penulis perempuan yang dimasukkan pada angkatan kedua, yaitu yang karyanya mulai diumumkan pada tahun 1963. Aam Amilia adalah penulis sastra perempuan yang cakap menangkap fenomena-fenomena di sekitarnya. Dilatarbelakangi pandangan progresif-modern ibu dan konsevatif-klasik bapak, serta pandangan feminis ua istri ‘bude’, juga asal-usul status (menak ‘ningrat’) membuat karakter Aam Amilia unik dan rumit. Latar belakang kehidupan keluarga ini berperan terhadap emosionalitas dan spiritualitas Aam Amilia. Demikian juga, setting hidupnya yang berada di wilayah kota (Bandung), tingginya pendidikan yang ditempuh, dan pekerjaan yang ditekuninya, mempengaruhi wawasan; nalar; keintelektualitasan Aam Amilia. Semua nilai-nilai yang diserapnya menjadi budaya bagi Aam Amilia. Sehingga, tidak heran bila kemudian karya sastra yang ditulisnya selalu
memancarkan jiwa penulisnya. Tokoh-tokoh perempuan protagonisnya adalah refleksi dari jiwanya yang mendua; pencerapan dari pandangan dan karakter ua istrinya yang gagah, cerdas, mandiri, dan eksis, serta disempurnakannya lewat pandangan idealnya sifat seorang ibu –yang kurang didapat olehnya, yaitu: lembut, penuh kasih-sayang, melindungi, mengabdi, dan gampang tersentuh hati. Karakter ua istrinya yang demikian adalah tanggapan yang memberontak terhadap dunia dan budayanya, sedangkan karakter yang didapat dari ibu ideal adalah tanggapan yang menerima terhadap dunia dan budayanya. Tanggapantanggapan itu diakomodasi oleh Aam Amilia dan dicetuskannya menjadi suara yang dimanifestasikan lewat tokoh perempuan dalam karya sastra Puputon ‘Buah Hati’. Walaupun penulis mengkaji secara objektif teks Puputon ini, tetapi dari hasil yang didapat terepresentasikan suara pengarangnya yang diwakilkan pada tokoh Astri dan Mamay secara implisit. Jadi, terdapat korelasi antara pengarang dan karyanya. SUARA DARI PEREMPUAN TOKOH SASTRA yang diteliti (Astri dan Mamay) dimanifestasikan lewat: tubuh dan seksualitas, bahasa, reaksi atas relasi gender yang timpang, dan budaya perempuan. Tubuh dan seksualitas adalah dua hal penting yang tidak terpisahkan bagi perempuan dalam mencapai penyadaran dirinya (self consciousness) dan penyadaran atas takdirnya (self determinism).
Gambar 2: Proses Alur Kesadaran Tokoh Proses Kesadaran Astri Tidak Sadar
∼∼∼∼∼ Setengah Sadar ∼∼∼∼∼
Sadar Penuh
Proses Kesadaran Mamay Sadar Penuh ∼∼∼∼∼ Tidak Sadar
∼∼∼∼∼ Sadar Baru
Tubuh Astri adalah tubuh yang cantik dengan kekuatan femininnya. Tubuh Astri ini berhubungan dengan suaranya yang ditampilkan lewat: hak perempuan dalam rumah tangga, hak atas jaminan kesehatan, hak hidup, hak kepemilikan, dan hak berteman dengan sesama perempuan. Tubuh Mamay adalah tubuh yang bersinar karena kecerdasannya, bakat seninya, dan semangat hidupnya. Tubuh Mamay berinteraksi dengan lingkungan dan budayanya sehingga menghasilkan suara yang termanifestasikan lewat: hak memilih pasangan, hak menentukan kehamilan, hak merawat anak, hak atas jaminan kesehatan, dan hak menceraikan pasangan. Seksualitas Astri berpola pada kehidupan seksual modern, dan Astri bersuara dengan haknya untuk menikmati hubungan seksual dengan Ismet. Adapun seksualitas Mamay bicara lewat haknya menikmati hubungan seksual dan pengalaman seksualitasnya pada malam pertama, mengandung, dan melahirkan.
Gambar 3: Bagan Tubuh dan Seksualitas Tokoh Astri dan Mamay
Mamay
Astri
Tubuhnya bicara lewat: • Hak Mengurus Rumah Tangga • Hak Jaminan Kesehatan • Hak Hidup • Hak Kepemilikan pasangan • Hak Pertemanan dengan Sesama Perempuan
Seksualitasnya bicara lewat: • Hak Menikmati Hubungan Seks
Tubuhnya bicara lewat: • Hak Memilih Pasangan • Hak Menentukan Kehamilan • Hak Merawat Anak • Hak Jaminan Kesehatan • Hak Menceraikan Pasangan
Seksualitasnya bicara lewat: • Hak Menikmati Hubungan Seks • Pengalaman Seksualitas Perempuan (Malam Pertama, Mengandung, dan Melahirkan) •
Zona Liar Perempuan: Adanya Persamaan Secara • Pengalaman • Spasial …. = Adanya interaksi Bahasa perempuan bukan lagi sebagai subordinat, tetapi bahasa yang menjadi dirinya sendiri yang membebaskan perempuan dari kebisuannya. Apapun bentuk bahasa itu, verbal ataupun non-verbal. Bahasa Astri dan Mamay ditampilkan lewat tindak tutur (dalam wacana dialog), monolog, bahasa kinesik, dan diksi. Bahasa mereka dalam tindak tutur bersipat psikologis yang: expositives atau memaparkan pandangan, verdictives atau memberikan keputusan, commissives atau kesiapan melakukan sesuatu, exercitives atau menerapkan pengaruh atau kekuasaan, dan behabitives atau
bereaksi terhadap prilaku orang lain. Bahasa monolog Astri dan Mamay terdengar melalui monolog langsung dan monolog tak langsung. Adapun bahasa kinesik Astri dan Mamay dimanifestasikan lewat: emblem, illustrator, affect display, regulator, adaptor. Emblem adalah gerakan non verbal yang menerjemahkan kata atau frase secara langsung, Illustrator adalah gerakan yang dibarengi ilustrasi. Affect display adalah bahasa tubuh yang berhubungan dengan daerah atau roman muka. Regulator adalah bahasa tubuh yang berfungsi sebagai pengendali, menjaga, dan memeriksa gerakan. Adapun adaptor adalah bahasa tubuh yang berfungsi untuk mengkomunikasikan identitas seseorang.
Gambar 4: Skema Bahasa dan Bentuk Kalimat Tokoh = meliputi = hubungan dialektika Astri
1. Expositives (memaparkan pandangan) 2. Commissives (kesiapan melakukan sesuatu) 3. Exercitives (menerapkan pengaruh atau kekuasaan) 4. Verdictives (memberikan keputusan) 5. Behabitives (bereaksi terhadap prilaku)
Bahasa Perempuan
Tindak Tutur dalam Wacana Dialog
Mamay
1. Expositives (memaparkan pandangan) 2. -3. Exercitives (menerapkan pengaruh atau kekuasaan) 4. Verdictives (memberikan keputusan) 5. Behabitives (bereaksi terhadap prilaku)
Wacana Monolog 1. 2.
Monolog Tak Langsung Monolog Langsung (ditandai dengan kutip (“”))
1. 2. 3. 4. 5.
Emblem Illustrators Affect Display Regulator Adaptor
1. 2.
Monolog Tak Langsung Monolog Langsung (ditandai dengan kutip (“”))
1. 2. 3. 4.
Emblem Illustrators Affect Display Regulator Adaptor
Bahasa Kinesik
Diksi
5.
Adapun diksi yang dibicarakan dalam penelitian ini adalah diksi yang dipikirkan; dilontarkan; dipakai; dan dilekatkan pada tokoh Astri dan Mamay. Diksi yang diuraikan adalah kata yang mengekspresikan pengalaman batin Astri dan Mamay. Diksi-diksi itu berhubungan dengan alat-alat rumah tangga, alam, hewan, benda, makanan, dan sebagainya, yang menggambarkan budaya Sunda. Gambar 5: Tabel Diksi yang Ditampilkan No
Diksi dalam Bhs. Sunda
Arti Diksi
Hal Buku
1. 2.
Ngalotek ‘membuat lotek’ Buas
Hubungan suami-istri Mamay menyukai gaya bercinta Ismet
P.36 P.5
3. 4.
Maung ‘harimau;macan’ Jalan Pajagalan ‘jalan tempat pemotongan hewan’ Bégal ‘rampok’
i. o. 7. 8. 9. 10. 11.
12.
13.
Jalan Rikrik Sejahtera ‘jalan hemat-sejahtera’ Teu Nyeni ‘tidak bercita rasa seni’ Pamengan ‘halangan; sedang haid; menstruasi’ Cocoan ‘mainan’ Kekesed ‘keset’ Pangunggahan ‘pelampiasan/dermaga sementara’; Dilelece ‘diremehkan’; Handay ‘hina’; Bodo ‘bodoh’ Butek ‘tak rasional’ Endén ‘panggilan untuk perempuan bangsawan yang sudah sudah menikah’ Huntu koropok ‘gigi keropos; gigi berlubang’
14.
Dulang tinande ‘perabot dapur’
15. 16.
Ati ‘hati; kalbu; anak Mamay’ Puputon ‘mas batangan; buah hati; anak yang sangat diharap dan dicinta’
Mamay sebagai pembunuh kebahagiaan Astri Mamay merampok Ismet (kebahagiaan perkawinan) dari Astri Kehidupan ekonomi dari perkawinan Astri dan Ismet yang berkecukupan Bakat seni yang dipunyai Mamay Astri tidak bisa melakukan hubungan suami-istri Ketidaksanggupan Mamay menanggung tekanan-tekanan sebagai istri muda, sehingga Mamay menyalahkan dan memperingatkan dirinya sendiri dan perempuanperempuan lain agar jangan mau dijadikan permainan dan dihina oleh laki-laki.
P.19 P.9 P.38 P.18;87 P.25 P.27 P.38 P.57 PP.77-78
Status sosial Astri dan Mamay yang masih keturunan ningrat
P.48;62
Mamay merasa perkawinannya ternyata tidak bahagia, dan bila terus dipertahankan menjadi sumber penyakit jiwa baginya. Perempuan tidak punya kuasa; harus menurut terhadap kehendak suami Perpaduan cinta Mamay dan Ismet Ati menjadi puputon bagi semuanya; bagi Mamay, bagi Ismet; bagi Astri; bagi ibunya Ismet.
P.57
P.64 P.68 P.118
Retty Isnendes 23
17.
Si Jurig ‘Si Hantu’
18.
Si Nurustunjung ‘Si Tak Punya Malu’
19.
Lalaki Gedebul ‘Lelaki Pendusta/Raja Bohong’ Lalaki Gejul ‘Lelaki Gila’
20.
Mamay menganggap Ismet memperlakukan dirinya dengan sangat buruk Mamay menganggap Ismet tidak bertanggung jawab atas kelahiran putranya Ismet tidak dapat dipercaya; mengkhianati Astri. Kemarahan Astri yang tak terhingga
P.69
P.73
P.102 P.103
Pembahasan mengenai reaksi atas relasi jender yang timpang adalah reaksi tokoh perempuan terhadap perlakuan tokoh Ismet, sosial masyarakat, dan budayanya. Ketika Astri diperlakukan tidak adil dengan cara disubordinasi karena mandul, dirinya mereaksi subordinasi itu dengan cara melawan kemandulannya; Astri dilekati stereotipe ibu rumah tangga, dirinya mereaksi dengan cara membuktikan jati dirinya dengan etos kerja yang tinggi; Astri dimarjinalkan oleh suami yang menikah lagi, dirinya mereaksi dengan tindakan menolak poligami Ismet dan menerima Mamay dan Ati; Astri dilekati stereotipe sebagai istri tua dan sebagai ibu tiri, dirinya mereaksi dengan cara membuka diri dan menawarkan persahabatan dengan Mamay. Begitupun dengan Mamay. Ketika Mamay diperlakukan tidak adil, maka dirinya mereaksi ketidakadilan tersebut. Ketidakadilan yang ditampilkan pada Mamay adalah marjinalisasi, subordinasi, dan pelekatan stereotif sebagai istri muda. Mamay mereaksi ketidak adilan itu dengan cara resistansif dan representatif; Mamay selalu bersikap tegar dan berusaha terus membangun dirinya ke arah lebih baik.
Retty Isnendes 24
Gambar 6: Reaksi Tokoh atas Relasi Gender yang Timpang Astri 1. Disubordinasi karena Mandul Reaksi: Melawan Kemandulan 1. Memeriksakan diri ke dokter 2. Mendesak suami untuk menginzinkan dioperasi 3. Mengancam akan bunuh diri bila suami menikah lagi 4. Menerima dan menyayangi anak yang dibawa Ismet 5. Mempersalahkan diri
2. Pelekatan Stereotif Ibu Rumah Tangga Aksi-Reaksi: Etos Kerja yang Tinggi 1. Menunaikan tugas kerumahtanggan dengan baik 1. diri dokter penghasilan sendiri dengan keterampilannya 2. keMencari 2. Mendesak suami untuk menginzinkan dioperasi menyewa-nyewakan perabot rumah tangga 3. 4.
3.
Mengancam akan bunuh diri bila suami menikah lagi Menerima dan menyayangi anak yang dibawa Ismet
5. Mempersalahkan diri 6. Pemarjinalan: Suami Menikah
Lagi Reaksi: Penolakan dan Penerimaan 1. Marah dan menampar suami 2. Menerima keberadaan Ati dan Mamay 3. Tetap menolak poligami 4. Melepaskan diri dari Ismet tetapi tidak menceraikannya
Mamay
Marjinalisasi, Subordinasi, Pelekatan Stereotif sebagai Istri Muda Reaksi: Resistansi dan Representasi 1. Merasa bersalah sebagai perebut suami orang 2. Menjalani kehidupan sebagai istri sah dengan penuh ketegaran 3. Mamay ingin mengetahui dan berani bertemu dengan Astri 4. Bercerai dari Ismet (Aksi)
Retty Isnendes 25
Pembahasan mengenai budaya perempuan kedua tokoh itu diperdengarkan melalui budaya-budaya yang sama dan budaya-budaya yang berbeda yang terbentuk dari budaya secara keseluruhan. Budaya perempuan dihasilkan dari kehidupan perempuan bukan yang dianggap sesuai untuk perempuan, sehingga peran, aktivitas, perasaan, dan perilakunya ditentukan dari pengalaman perempuan itu sendiri. Budaya perempuan Astri dan Mamay adalah aktivitas dan tujuan dari sebuah titik pandang yang terpusat pada keduanya. Budaya perempuan adalah komunalitas, nilai, institusi, hubungan yang berjangkau luas, dan metode-metode komunikasi yang dipergunakan Astri dan Mamay Budaya Astri adalah budaya yang terkendali yang terbentuk dari keluarga ménak
‘ningrat’
dengan
pola
pengasuhan
ibu.
Budaya
ménak
yang
melatarbelakanginya, membentuk budaya kekerabatan yang sangat erat pada Astri dan keluarganya. Rasa memiliki, sadar identitas, kenyamanan, dan keluarga besar adalah hal terpenting bagi Astri. Astri pun terbiasa hidup cukup dan nyaman, sehingga orientasi hidupnya pun ke arah kebiasaannya. Untungnya Astri adalah pekerja keras yang mempunyai etos kerja yang tinggi, sehingga Astri mudah berinteraksi dan menjalin hubungan sosial. Hubungan sosial ini menguntungkan baginya Dengan keterampilannya menyewa-nyewakan perabotan rumah tangga, Astri yang bekerja di wilayah publik tetap bisa menunjukkan eksistensi dirinya. Sebagai perempuan yang mempunyai organ reproduksi, Astri mempunyai budaya yang sama dengan perempuan lain di dunia. Astri mempunyai emosi, intuisi, dan solidaritas. Emosi dan intuisinya segera muncul dan menyentuh
Retty Isnendes 26
hatinya ketika dihadapkan pada persoalan anak. Solidaritasnya segera terbangun ketika dirinya berempati terhadap dengan perempuan lain. Sebagai individu sekaligus bagian dari komunalitas, Astri memiliki budaya berbahasa yang unik. Bahasa Astri adalah bahasa yang lebih terikat pada konvensi kemenakan. Bahasa Astri terikat pada undak-usuk ‘tingkatan bahasa atau krama bahasa’ dan tatakrama yang sopan. Walaupun demikian, Astri masih mampu mengumpat dan menekankan eksistensi dirinya pada saat marah. Adapun budaya Mamay adalah budaya bebas yang lahir dari lingkungan yang membesarkannya. Walaupun Mamay terlahir dari keluarga menak ‘ningrat’ Priangan, tetapi karena ibu dan bapaknya meninggal, dan dirinya dibesarkan oleh wali, serta saudara-saudaranya, maka hal ini membentuk karakteristik yang tidak terikat pada Mamay. Mamay mempunyai karakter pemberontak tetapi mudah goyah dan tergoncang. Mamay yang lebih bebas selalu mempunyai banyak pilihan untuk hidupnya. Untungnya dengan kecerdasannya Mamay bisa mengakomodasi benturan-benturan nilai dan peristiwa yang menerpanya. Karena kecerdasannya pula Mamay bekerja di wilayah publik. Mamay adalah guru SD yang mempunyai bakat seni di bidang musik dan bahasa. Bakat seni ini menjadi penting ketika dirinya harus berhadapan dengan guncanganguncangan nilai dan peristiwa, setidaknya membuatnya berkontemplasi tentang apa yang terjadi pada dirinya, cintanya, dan harapannya. Mamay mempunyai solidaritas yang tinggi terhadap perempuan lain –Astri, karena dirinya pernah dikhianati pacarnya. Bila kemudian Mamay menikahi Ismet, suami Astri, itu justru karena Mamay selalu dihadapkan pada pilihan yang
Retty Isnendes 27
sulit; antara kesadarannya sebagai perempuan yang mempunyai hak mencintai dan hukum agama (Islam) yang merestui, serta solidaritasnya
yang terus
mempertanyakan kesadarannya dan lingkungan sosial yang tidak menerimanya.. Ternyata pada akhirnya, Mamay memilih solidaritas. Mamay juga mau berbagi kebahagiaan (anak) dengan Astri. Tentulah solidaritas itu timbul karena Mamay adalah perempuan yang mempunyai organ reproduksi pula, sama halnya dengan perempuan-perempuan di seluruh dunia. Karena organ itu pula yang mampu memunculkan emosi dan intuisi sebagai perempuan dan sebagai ibu. Emosi dan intuisi pulalah yang mendorong perempuan untuk berteman dan berbagi. Mengenai bahasa, bahasa Mamay berbeda dengan bahasa Astri. Bahasa Mamay lebih bebas, lugas, dan cenderung kasar. Bahasa Mamay, juga memperlihatkan kesetaraan gender yang sama antara perempuan dan laki-laki. Selain itu, bahasa Mamay sangat intim dan hangat. Gambar 7: Skema Budaya Tokoh Perempuan Astri
Budaya Astri: • Menak ‘ningrat’ • Pola pengasuhan ibu • Kekerabatan • Etos kerja • Hubungan sosial • Emosi dan intuisi • Solidaritas • Bahasa yang terikat … = Adanya interaksi
Mamay
Budaya Mamay: • Menak yang yatim-piatu • Pola pengasuhan lingkungan • Karir di bidang publik • Bakat seni • Solidaritas • Pengalaman • Bahasa yang intim dan hangat
Retty Isnendes 28
KESIMPULAN DAN SARAN Dari pembicaraan ini, disimpulkan bahwa perempuan dalam sastra Sunda telah mempunyai kedudukan yang bisa dikatakan sangat penting walaupun tidak dominan.
Perempuan
dalam
sastra
Sunda
bersuara
dengan
cara
mengaktualisasikan diri lewat tulisan sastranya dan, sebagian, melalui tokoh perempuannya seperti yang dimanifestasikan oleh Aam Amilia melalui tokoh utama novel Puputon, Astri dan Mamay. Suara kedua tokoh perempuan itu adalah gambaran kebingungan bagaimana perempuan mengidentitaskan diri di tengah budaya patriarki dan nilainilai yang mendua. Walaupun demikian, mereka terus membangun proses penyadaran diri keperempuanannya melalui bahasa, feminitas, dan budayanya. Yang terpenting lagi adalah adanya kesadaran tentang pentingnya solidaritas; pertemanan; persaudaraan; di antara sesama perempuan. Melalui kesadaran itu, perempuan akan menjadi dirinya sendiri dan membangun kekuatan baru untuk menciptakan budaya androgini. Karya sastra sebagai teks adalah arena terbuka yang bebas untuk terus diinterpretasi, tetapi karena berhubungan dengan keterbatasan –di antaranya waktu dan biaya studi— penulis harus bisa mengendalikan kebebasan itu. Karena itu, masih banyak kesempatan yang dapat dilakukan kepada peneliti yang lain, yang akan mengangkat karya sastra yang sama dengan pendekatan yang berbeda atau memakai pendekatan yang sama dengan karya yang berbeda, atau menyempurnakan penelitian ini dengan kajian feminis yang lain atau strukturalgenetika yang lebih eksplisit dan tajam.
Retty Isnendes 29
Akan tetapi, ada yang penting diperhatikan dari masalah teknis metodologis, yaitu pemupuan data teks yang terus akan berubah dan bertambah. Hal ini bisa dihindari bila sebelumnya peneliti menyiapkan slip data yang berupa teks-teks yang akan dikutip sebagaimana keperluan pembahasan. ***
DAFTAR PUSTAKA Amilia, Aam. 1995 (Cet ke-2). Puputon ‘Buah Hati’. Bandung: Rahmat Cijulang. Syuqqah, Abdul Halim Abu. 1999. Kebebasan Wanita. Jakarta: Gema Insani. Ayatrohaedi. 1992. ‘Citra Wanita dalam Sastra Sunda’ dalam Lembaran Sastra Jakarta: FSUI. Aziz, E. Aminudin. 2001. “Realisasi Tindak Tutur Menolak dalam Masyarakat Indonesia” dalam Jurnal Pendidikan: Bahasa dan Sastra. Bandung: Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas Pendidikan Indonesia. Culler, Jonathan. 1983. On Deconstructions, Theory and Criticsm after Structuralism. London and Henley: Routledge and Kegan Paul. Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud. Djajasudarma, T. Fatimah. 2004. “Bahasa Kinesik (Kinesics) dan Etika Sosial” (Makalah). Bandung: Jurusan Sastra Inggris-Fakultas Sastra Universitas Padjdjaran dan Kelompok Belajar Nalar Jatinangor. Edi S. Ekadjati. 1995. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah). Jakarta: Pustaka Jaya. ------------------- dan A. Sobana Hardjasaputra. 1989. Bibliografi Jawa Barat. Bandung: Universitas Padjadjaran. Fakih, Mansour. 1999 (Cetakan ke-3). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Faruk. 1999. Hilangnya Pesona Dunia: Sitti Nurbaya, Budaya Minang, Struktur Sosial Kolonial. Yoyakarta: Yayasan Untuk Indonesia. --------, Dr. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Retty Isnendes 30
Ghozali, Abdul Moqsit, dkk. 2002. Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan: Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda. Jakarta: RAHIMA. Hidayat, Rahayu Surtiati. 2001. “Penelitian Kualitatif Berperspektif Gender dalam Pendidikan” (Makalah). Jakarta: Depdiknas. Hellwig, Tineke. 2003. In The Shadow of Change (Citra Perempuan dalam Sastra Indonesia). Depok: Desantara. Humm, Magie. 2002. Ensiklopedia Feminisme. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru. Mufidah Ch. 2003. Paradigma Gender. Malang: Bayumedia. Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2000. “Pendekatan-pendekatan Analitis Tekstual Feminis” dalam Perempuan Indonesia dalam Masyarakat yang Tengah Berubah. Jakarta: Program Studi Kajian Perempuan-Program PascasarjanaUniversitas Indonesia. Rusyana, Yus. 1968. Galuring Sastra. Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah-FPBSIKIP Bandung. Rosidi, Ajip. 1966. Kesusastraan Sunda Dewasa Ini. Bandung: Penerbit Tjupumanik. ---------------. 1967. ‘Periodisasi Sajarah Sastra Sunda’ dalam Ngalanglang Kasusastraan Sunda 1983. Jakarta: Pustaka Jaya. Tong, Rosemary Putnam. 1998. Feminist Thought-A More Comprehensive Introduction. Colorado: Westview Press. Showalter, Elaine. 1985. “Feminist Criticsm in the Wilderness” dalam The New Feminist Criticsm. New York: Pantheon Books.