Suara Komuntas Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung
SULITNYA MERAIH KEADILAN
i
Koalisi Komunitas Korban Lingkungan (K3L)
Suara Komuntas Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung
SULITNYA MERAIH KEADILAN Pengantar: Donny Setiawan Penulis: Wulandari Deni Riswandani Umar Alam Nusantara M. Jefry Rohman Rifal Zaelani Atep Kamaludin Alramadhan Muhamad Efendi Udin Saripudin Mulyana Heri Ferdian Khadafi Dede Juhari Madani
Diterbitkan Oleh:
Kerja sama dengan
ii
Koalisi Komunitas Korban Lingkungan Suara Komunitas Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; Sulitnya Meraih Keadilan – Wulandari, Deni Riswandani, Umar Alam Nusantara, Euis Widia, M. Jefry Rohman, Rifal Zaelani, Akmal, Muhamad Efendi, Udin Saripudin, Mulyana, Heri Ferdian, Khadafi, Dede Juhari, Madani/Pengantar: Donny Setiawan/Penyunting: Donny Setiawan/Bandung: Perkumpulan Inisiatif dan Yayasan Bengkel Komunikasi kerja sama dengan Uni Eropa, Juni 2007 125 halaman, xxi, 14,5 X 21 cm ISBN 979-2521-02-X
Hak cipta 2007 © Perkumpulan Inisiatif Cetakan Pertama, Juni 2007 Rancang Sampul: Donny Setiawan
Diterbitkan oleh: Perkumpulan Inisiatif Jl. Guntur Sari IV No. 16 Bandung 40264 Telp/Fax: +62 22 7309987 E-mail:
[email protected]
Yayasan Bengkel Komunikasi Jl. Kebon Waru Utara No. 6 Bandung 40271 Telp/Fax: +62 22 7208409 E-mail:
[email protected]
iii
KATA PENGANTAR
Buku ini merupakan kumpulan kesaksian dari beberapa orang yang menjadi korban kerusakan lingkungan di cekungan Bandung yang tergabung dalam Koalisi Komunitas Korban Lingkungan (K3L). Buku ini diterbitkan dengan maksud untuk mengakomodasi pengalaman lapangan dari beberapa orang yang selama ini menjadi korban kejahatan lingkungan di wilayah tempat tinggal mereka masing-masing. Mereka ini kemudian menghimpun diri dalam satu wadah bersama untuk memperjuangkan keyakinan mereka dalam mendorong penegakan hukum lingkungan, utamanya di cekungan Bandung. Bekerja sama dengan Perkumpulan Inisiatif dan Yayasan Bengkel Komunikasi, K3L melakukan upaya-upaya kritis untuk mendorong proses penegakan hukum lingkungan di Cekungan Bandung. Semoga buku ini semakin menyadarkan kita untuk bersama-sama memperjuangkan tegaknya keadilan dalam proses penegakan hukum lingkungan di negeri ini. Menjadi kebanggaan kami apabila buku ini kemudian memberikan inspirasi bagi masyarakat lainnya yang selama ini menjadi korban kejahatan lingkungan untuk tampil menyuarakan dirinya. Buku ini diterbitkan tidak dengan tujuan untuk diperjualbelikan. Terima kasih kepada pihak Uni Eropa yang telah mendanai penerbitan buku ini.
Bandung, Juni 2007
Diding Sakri Direktur Eksekutif Perkumpulan Inisiatif
iv
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
iv
Daftar Isi
v
Pengantar Penegakan Hukum Lingkungan di Cekungan Bandung; BAGAI MENEGAKKAN BENANG BASAH, Oleh: Donny Setiawan
vii
Pencemaran Limbah Industri; HADIAH PENYAKIT BAGI RAKYAT
1
QUO VADIS HUKUM LINGKUNGAN; PENEGAKAN DAN KEBERPIHAKAN, Oleh: Wulandari
2
MAJALAYA DI AMBANG BATAS, Oleh: Deni Riswandani
31
JANGAN MENUNGGU TRAGEDI MINAMATA TERJADI DI SAGULING, Oleh: Umar Alam Nusantara
35
AWAN MENDUNG DI RANCAEKEK, Oleh: Euis Widia
40
PERMASALAHAN TPA DAN INISIATIF PENGELOLAAN SAMPAH OLEH WARGA
48
PARADIGMA PENGELOLAAN SAMPAH DI CEKUNGAN BANDUNG, Oleh: M. Jefry Rohman
49
TPA MEMAKAN KORBAN, Oleh: M. Jefry Rohman
52
SULITNYA MENCARI LAHAN UNTUK TPA, Oleh: M. Jefry Rohman
56
BELUM ADANYA KEBIJAKAN YANG JELAS TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH, Oleh: M. Jefry Rohman
64
INISIATIF WARGA DALAM MENGELOLA SAMPAH (Inisiatif vs Kebijakan), Oleh: Rifal Zaelani
66
“Perang Air”; PEMODAL vs RAKYAT
72
RADUG : PERANG AIR, Oleh: Umar Alam Nusantara
73
SECERCAH EMPATI UNTUK ALAM, Oleh: Atep Kamaludin Alramadhan
77
KOMERSIALISASI AIR DI KAWASAN MANGLAYANG JATINANGOR, Oleh: Muhamad Efendi
81
Fenomena Lahan Kritis; KESALAHAN TATA KELOLA HUTAN
84
LAHAN KRITIS AKIBAT KESALAHAN TATA KELOLA HUTAN, Oleh : Udin Saripudin
85
KERUSAKAN HUTAN DAN KEMISKINAN MASYARAKAT DESA SEKITAR HUTAN, Oleh: Mulyana
96
MEMBANGUN HUTAN, Oleh : Heri Ferdian
101
DERITA PETANI LAHAN HUTAN, Oleh: Khadafi
106
v
HUTAN LINDUNG (Hutan Titipan Bukan Warisan), Oleh: Dede Juhari
111
BERITA DARI KAWAN; TUJUH HUTAN CEKUNGAN BANDUNG (Sebuah Catatan dari Perjalanan Jelajah Tujuh Gunung di Cekungan Bandung), Oleh: Madani
115
ANTOLOGI CURHAT CITARUM LEWAT SMS
119
GERENTES HATE
120
TENTANG PENULIS
121
vi
PENGANTAR
Penegakan Hukum Lingkungan di Cekungan Bandung;
BAGAI MENEGAKKAN BENANG BASAH Oleh: Donny Setiawan1
PENDAHULUAN aya mewakili kawan-kawan di Perkumpulan Inisiatif merasa sangat senang mendapat kesempatan untuk mengantarkan dan menerbitkan buah pena dari sahabat-sahabat kami yang selama ini tanpa mengenal lelah telah konsisten memperjuangkan keyakinan mereka. Sahabatsahabat yang menjadi penulis buku ini adalah “para pejuang lingkungan” yang bekerja di akar rumput bersama komunitas mereka yang selama ini menjadi korban ketidakadilan dan tindak kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh para pemodal dan penguasa. Mereka selama ini hidup di lingkungan dimana udara sehat, air yang jernih, hutan yang lestari serta permukiman yang asri menjadi barang mahal yang sulit didapat. Buku ini tergolong unik karena yang menjadi penulis bukan dari kalangan akademisi ataupun aktivis LSM melainkan “warga biasa” yang merasa dirinya perlu menyuarakan pengalaman pahitnya untuk bisa didengar oleh para pihak, utamanya para penegak hukum di negeri ini. Istimewanya, apabila kita selami tulisan-tulisan yang ada di buku ini akan kita dapati bahwa mereka menulis dengan “benar” sebagaimana para akademisi atau intelektual kita membuat tulisan. Namun demikian, “kepolosankepolosan” khas akar rumput menjadi warna tersendiri yang kadang-kadang hadir pada setiap tulisan. “Antologi curhat lewat SMS” misalnya, adalah satu realita yang nyata dialami penulis tentang bagaimana penulis berbagi keluh kesah dengan sejawatnya melalui fasilitas teknologi yang sekarang sedang marak digunakan. Beberapa kalimat dalam tulisan pada buku ini disajikan dalam bahasa sunda. Hal ini disajikan oleh penulis sebagai bagian dari ekspresi kekesalan dan kegundahan yang dialami oleh penulis seperti terlihat pada kalimat “kamana meberken layar lamun angin geus teu jadi Sa-Udara” atau penggunaan idiom idiom “leuweung rusak, cai beak, runtah pabalatak, manusa balangsak”.
CEKUNGAN BANDUNG DAN PERMASALAHAN LINGKUNGAN HIDUP Buku ini banyak mengupas tentang permasalahan lingkungan hidup yang terjadi di Cekungan Bandung. Permasalahan lingkungan tersebut terkategorikan dalam empat isu lingkungan yang cukup menonjol di wilayah Cekungan Bandung. Isu-isu yang disajikan terkait dengan; isu pencemaran limbah, pengelolaan sampah, krisis air dan fenomena lahan kritis. 1
Penulis adalah anggota Perkumpulan Inisiatif. Saat ini bertanggung jawab sebagai Project Coordinator untuk program “Increasing Public Pressure to Promote Environmental Law Enforcement through Developing Coalition of Communities”, Kerja sama program antara Perkumpulan Inisiatif – Yayasan Bengkel Komunikasi dengan European Initiative for Democracy and Human Right (EIDHR), European Commission
vii
Cekungan Bandung secara administratif terbagi ke dalam wilayah Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kota Cimahi dan sebagian Kabupaten Sumedang dengan luas seluruhnya lebih dari 326.000 hektar. Pusat Cekungan Bandung adalah Kota Bandung yang sekaligus menjadi ibu kota Provinsi Jawa Barat. Sebagai kota terbesar di Jawa Barat, Kota Bandung dengan beberapa kelebihan sarana dan prasarana memiliki daya tarik yang sangat kuat. Karena perencanaan kota yang tidak baik maka Kota Bandung saat ini menjadi kota dengan multi-fungsi yang menampung berbagai aktivitas. Antara lain sebagai pusat pemerintahan Jawa Barat, pusat perdagangan lokal dan regional, pusat pendidikan dan pengetahuan, kota pariwisata, kebudayaan dan konferensi, dan pusat industri. Keberadaan fungsi-fungsi tersebut memang menjadi daya tarik investor untuk melakukan investasi. Dengan demikian, akan mempercepat laju pertumbuhan ekonomi yang selama ini dijadikan salah satu indikator kemajuan kota. Namun, meningkatnya investasi tersebut pada gilirannya mendorong makin meningkatnya arus migrasi. Predikat Bandung sebagai “Kota Jasa” yang sekarang ini menjadi identitasi kota yang digaungkan oleh pemerintah kota malah membuat tata ruang kota Bandung menjadi sangat semrawut. Wilayah fisik Kota Bandung memiliki beberapa keterbatasan walaupun sudah lima kali mengalami perluasan wilayah. Ketika pertama kali dibentuk sebagai Gemeente, 1 April 1906, penduduknya berjumlah sekitar 38.403 jiwa dengan luas wilayah sebesar 1.922 hektar. Menurut data Registrasi Penduduk sampai dengan Maret 2004, dengan luas wilayah sekitar 16.729 hektar, jumlah penduduknya 2,5 juta jiwa. Ini berarti, kepadatan rata-rata penduduk sekitar 155 jiwa per hektar, jauh di atas standar yang ditetapkan PBB, 60 jiwa per hektar. Bandingkan dengan kepadatan penduduk di Kota Cimahi rata-rata 1.331 jiwa/km2. Sementara itu kepadatan penduduk di Kabupaten Bandung rata-rata 1.308 jiwa/km2 dan Kabupaten Sumedang rata-rata 954 jiwa/km2. Kota Bandung khususnya, dan Cekungan Bandung pada umumnya, menghadapi masalah serius dalam kependudukan. Meningkatnya jumlah penduduk akan menuntut penyediaan lapangan kerja, perumahan, utilitas, dan fasilitas kota. Pada sisi lain, secara geologis wilayah fisik Cekungan Bandung memiliki beberapa keterbatasan. Bentang alam Cekungan Bandung berbeda dengan kota-kota besar lainnya yang umumnya terletak di dekat pantai. Cekungan Bandung yang berada di atas ketinggian 600 meter lebih dikelilingi jajaran gunung, termasuk gunung berapi yang masih aktif. Wilayah Cekungan Bandung sebelah utara, pada ketinggian di atas 700 meter di atas permukaan laut sudah lama dinyatakan sebagai daerah resapan, yang menjadi andalan persediaan cadangan air tanah untuk memenuhi kebutuhan penduduk wilayah ini sebagaimana dituangkan dalam dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah. Sampai tahun 1950-an, air di Kota Bandung masih "cur-cor" di mana-mana. Hanya dalam kurun waktu beberapa periode, cadangan air baku di Cekungan Bandung merosot tajam, dari segi kuantitas maupun kualitas. Padahal, Cekungan Bandung memiliki banyak sumber mata air yang diantaranya adalah mengalir menjadi aliran sungai dan sejumlah anak sungainya yang melintasi berbagai wilayah di Cekungan Bandung. Wilayah Cekungan Bandung sebelah timur dan selatan berkembang menjadi kawasan industri. Wilayah Majalaya, Rancaekek serta Cileunyi merupakan konsentrasi industri tekstil dan produk tekstil. Industri tersebut memang telah mengangkat pamor Jawa Barat menjadi daerah penghasil utama yang memberikan kontribusi sekitar 70 persen produksi tekstil nasional. Industri tekstil menggunakan sumber daya air cukup besar, baik itu yang menggunakan air tanah maupun air permukaan. Pemanfaatan air tanah yang tidak terkendali oleh industri dan perumahan menjadikan ketersediaan air baku berkurang sangat tajam. Dalam beberapa tulisan pada buku ini disebutkan terjadi tarik menarik kepentingan dalam pemanfaatan air baku. Peristiwa rebutan sumber air, yang diantaranya berujung pada kekerasan, terjadi antara kalangan industri, petani dan warga masyarakat lainnya. Berkembangnya kawasan industri di wilayah Bandung timur dan selatan ini memunculkan permasalahan lainnya untuk rakyat, yaitu pencemaran limbah industri. Pemanfaatan Instalasi
viii
Pengelolaan Air Limbah (IPAL) yang tidak optimal mengakibatkan bahwa pabrik yang membuat limbah cair ke sungai. Pencemaran yang berasal dari limbah rumah tangga dan industri ini telah menurunkan kualitas air permukaan. Sungai Citarum diantaranya, adalah sungai besar yang sejak dari hulu dicemari dengan limbah-limbah buangan dari industri. Di Majalaya seringkali ditemukan bahwa warna aliran air Sungai Citarum berubah pada waktu-waktu tertentu akibat sisa cairan tinta kain yang dibuang oleh pabrik ke sungai tersebut. Belakangan ini, pasca harga Bahan Bakar Minyak naik tajam di pasaran dunia, pemerintah kemudian menganjurkan penggunaan bahan bakar batu bara oleh industri. Inipun memberikan implikasi pencemaran yang cukup tinggi. Proses pembakaran batu bara yang tidak sempurna membuat debu sisa pembakaran menjadi sangat berbahaya. Tidak sedikit buruh pabrik dan masyarakat disekitar pabrik tersebut yang menderita penyakit pernafasan akibat dari debu sisa pembakaran tersebut. Pencemaran limbah oleh industri secara langsung merusak areal pesawahan serta menyebabkan gangguan kesehatan masyarakat di sekitar pabrik. Dampak lebih luasnya, pencemaran tersebut mengganggu proses produksi para peternak ikan di Waduk Saguling serta Pembangkit Tenaga listrik (PLTA) saguling. Terjadinya penurunan muka air tanah di Cekungan Bandung juga dipengaruhi oleh makin kecilnya daerah tangkapan air. Sebagian besar imbuhan yang berasal dari air hujan lebih banyak menjadi air larian yang mengakibatkan terjadinya banjir. Hal ini terjadi disebabkan adanya perubahan tata guna lahan di kawasan yang selama ini menjadi wilayah resapan air untuk Cekungan Bandung. Wilayah Bandung sebelah utara yang dulunya berfungsi sebagai wilayah tangkapan air karena dinilai memiliki nilai ekonomis tinggi, dalam beberapa tahun terakhir dimanfaatkan untuk pembangunan perumahan mewah serta tempat wisata terpadu. Pemanfaatan wilayah Bandung Utara untuk kawasan hunian ini sebetulnya melanggar tata guna lahan seperti yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah. Luas lahan kritis di Cekungan Bandung mencapai 94.139 Ha dari 348.789 Ha luas Cekungan Bandung. Perubahan fungsi lahan juga terjadi di beberapa kawasan hutan di Cekungan Bandung. Beberapa kawasan hutan yang menurut peruntukkannya menjadi hutan konservasi/lindung berubah fungsi menjadi hutan produksi dan perkebunan. Sebagian besar lahan hutan yang dikelola oleh Perhutani ditanami oleh tanaman produksi yang diambil kayunya, seperti pohon pinus. Sebagian lagi dialihkan pengelolaannya dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) kepada para petani pemodal untuk dijadikan lahan perkebunan. Parahnya, lahan hutan yang dijadikan lahan perkebunan ini berada pada kemiringan lahan diatas 40% yang seharusnya ditanami oleh tanaman keras. Beberapa tulisan pada buku ini secara terang-terangan menyorot kinerja Perhutani yang dinilai gagal dalam mengelola hutan, utamanya pada kawasan hutan di Gunung Wayang Windu, Gunung Mandalawangi dan Gunung Manglayang. Pada sisi lain, ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan seperti di Kota Bandung dan Cimahi maupun Kabupaten Bandung luasnya terus menyusut karena beralih fungsi menjadi kawasan permukiman dan kawasan komersial. Ruang terbuka hijau yang diharapkan menjadi paru-paru kota sekaligus sebagai wilayah tangkapan air keberadaannya tersisih oleh kebutuhan pengembangan untuk kawasan hunian dan komersial. Menurut Peraturan Pemerintah No. 63/2003 tentang Hutan Kota, luas hutan kota minimum sebesar 10% dari luas kota tersebut. Luas Kota Bandung adalah 16.500 hektar, sementara kawasan yang berfungsi sebagai hutan kota kurang dari 2%. Masalah lain yang sekarang sedang ramai dibicarakan di Cekungan Bandung adalah terkait dengan pengelolaan sampah. Data Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung tahun 2004 menunjukkan jumlah sampah di Kota Bandung adalah sekitar 7500 m3/hari, atau setara dengan 1875 ton/hari (dengan asumsi berat jenis sampah sebesar 0.250 ton/m3). Tahun 2005 yang lalu pasca longsornya TPA Leuwigajah, di Kota Bandung diberlakukan “Darurat Sampah” karena pemerintah kota tidak mampu menyediakan tempat pembuangan akhir sampah sementara TPS-TPS di Kota Bandung sudah dipenuhi dengan gunungan-gunungan sampah.
ix
Sampai dengan saat ini, pengelolaan sampah di Cekungan Bandung masih sepenuhnya bertumpu paradigma penyelesaian di hilir berupa penyediaan Tempat Pengelolaan Akhir (TPA). Tarik menarik kepentingan antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota mengakibatkan tata kelola persampahan menjadi semrawut. Pemilihan lokasi TPA yang dipengaruhi oleh dominasi kepentingan ekonomi telah mengabaikan aturan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) baik di provinsi maupun di kabupaten/kota yang berada di wilayah Cekungan Bandung. Buruknya tata kelola sampah bahkan telah melahirkan tragedi kemanusiaan yang hanya terjadi di Cekungan Bandung. Ratusan orang meninggal karena tertimbun sampah dari TPA Leuwigajah pada tahun 2004. Baru-baru ini Pemerintah Kota Bandung sedang mengupayakan didirikannya Pembangkit Listrik Tenaga Sampah di kawasan Gede Bage yang didanai oleh investor. Upaya ini mendapat tentangan dari warga sekitar Gede Bage karena dikhawatirkan dapat menimbulkan dampak kerusakan lingkungan. Pada sisi lain, beberapa kelompok masyarakat telah mempraktekkan inovasi pengelolaan sampah di wilayah hulu (sumber). Pengelolaan sampah berbasis masyarakat ini telah dipraktekkan oleh masyarakat di Sangkan Hurip, Rancamanyar, Katapang, Cibangkong dan Ciateul serta di beberapa kawasan permukiman lainnya. Namun demikian, dukungan pemerintah terhadap inisiatif-inisiatif ini dirasakan masih sangat kurang. Secara umum, menurunnya kualitas lingkungan hidup di Cekungan Bandung tercermin dari kondisi Sungai Citarum sebagai sungai terbesar yang mengalir di Cekungan Bandung. Aliran sungai yang semakin dangkal dan menyempit akibat sedimentasi membuat luapan air menggenangi sebagian wilayah yang memiliki ketinggian rendah utamanya di Bandung Selatan seperti Majalaya, Baleendah, Dayeuh Kolot, dan Bojongsoang. Sebagian penduduk di sekitar kawasan ini hampir pasti menjadi pengungsi akibat banjir yang terjadi setiap musim penghujan. Saat musim kemarau, volume air Sungai Citarum pun berkurang. Bahkan di beberapa tempat dasar sungai dapat digunakan sebagai arena bermain bola karena volume airnya menurun drastis.
PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN DI CEKUNGAN BANDUNG Tulisan-tulisan yang disajikan dalam buku ini juga banyak mengungkapkan fakta-fakta bahwa proses penegakan hukum untuk menindak tegas pelaku kejahatan lingkungan belum berjalan dengan efektif. Kinerja aparat penegak hukum maupun pemerintah dalam mengawal regulasi tentang pengelolaan lingkungan hidup dinilai oleh penulis masih sangat rendah. Semua permasalahan lingkungan yang terjadi di Cekungan Bandung yang disajikan dalam buku ini bermuara pada pelanggaran terhadap Undang-Undang No. 24 Tahun 1994 yang telah diubah menjadi Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Barat serta Undang-Undang No.23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pelanggaran terhadap peraturan perundangundangan tersebut dapat dikategorikan sebagai kejahatan lingkungan. Pelanggaran-pelanggaran terhadap rencana tata ruang menjadi titik awal permasalahan kerusakan lingkungan muncul di Cekungan Bandung. Ketidaksesuaian dengan peruntukan lahan serta prosedur perizinan yang tidak transparan disertai praktek-praktek KKN sangat mewarnai awal mula pelanggaran terhadap tata ruang. Hal ini kemudian berimplikasi pada munculnya tindak-tindak kejahatan lingkungan di Cekungan Bandung. Kasus-kasus kejahatan lingkungan yang terjadi di Cekungan Bandung telah memakan banyak korban, baik korban jiwa, materi maupun psikis. Melihat pengalaman-pengalaman yang terjadi, pada umumnya masyarakat korban tersebut tidak tinggal diam. Mereka telah melakukan berbagai upaya penyelesaian, namun selalu memperoleh hasil yang tidak diharapkan. Upaya-upaya yang dimaksud
x
mulai dari penyelesaian langsung dengan pihak pelaku sampai dengan penyampaian aduan kepada aparat penegak hukum dan instansi yang berwenang seperti Dinas Lingkungan Hidup, Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah, Kementrian Lingkungan Hidup, DPRD, DPR-RI bahkan sampai ke Komnas HAM. Namun demikian, sedikit sekali dari aduan tersebut yang ditindak lanjuti oleh pihak aparat penegak hukum dan instansi yang berwenang. Beberapa kasus kejahatan lingkungan di Cekungan Bandung memang sudah masuk ke wilayah pengadilan, dan beberapa diantaranya sudah ada putusan dari majelis hakim. Tetapi sangat disayangkan, hukuman bagi pelaku kejahatan lingkungan sangatlah ringan. Apalagi apabila yang menjadi terdakwa adalah para pemodal dan oknum aparat pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kasus seperti pencemaran oleh PT. Senayan Sandang Makmur di Kecamatan Batujajar yang dikenai hukuman 4 bulan kurungan dengan masa percobaan 8 bulan serta denda sepuluh juta rupiah. Selain itu kasus pencemaran yang dilakukan oleh PT. Multi Growth di Kecamatan Batujajar yang diganjar hukuman 5 bulan kurungan dengan masa percobaan 10 bulan dan denda sepuluh juta rupiah. Ringannya hukuman terhadap pelaku juga tercermin dari putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung tanggal 9 september 2006 terhadap Direktur PD. Kebersihan Kota Bandung atas kasus longsor TPA Leuwigajah yang menyebabkan ratusan korban tewas. Majelis hakim hanya menjeratnya dengan pasal tentang kelalaian yang menghilangkan nyawa orang dan mengakibatkan sejumlah orang menderita luka–luka. Hukumannya pun sangatlah ringan yaitu 9 bulan kurungan dan 18 bulan masa percobaan dengan ketentuan terdakwa tidak harus menjalani masa penahanan. Ada kesan bahwa penegak hukum lebih bergigi apabila dihadapkan dengan pelaku kerusakan lingkungan yang berasal dari golongan ”masyarakat biasa”. Kejadian ini seperti yang dialami oleh masyarakat sekitar hutan di kawasan Bandung Selatan. Upaya mereka untuk melakukan pertanian tumpang sari di areal Perhutani selalu dibayang-bayangi oleh pengusiran dan penangkapan. Masyarakat penggarap di Kecamatan Kertasari misalnya, pada awal tahun 2007 dicekam ketakutan karena ancaman akan di tangkap polisi jika masih bercocok tanam di kawasan Perhutani. Fakta–fakta di atas menggambarkan sebuah ironi dalam proses penegakan hukum terhadap kasuskasus kerusakan lingkungan. Hukum dapat cepat ditegakkan apabila pelaku kerusakan lingkungan adalah masyarakat kecil. Sementara untuk pelaku kerusakan lingkungan ”kelas kakap” yang menimbulkan dampak kerusakan untuk skala luas dan waktu yang lama, proses penegakan hukum cenderung sulit dan bertele-tele, bahkan tidak sedikit yang dari hukuman. Terakhir, apabila pemerintah memiliki keseriusan untuk menyelamatkan Cekungan Bandung dari kehancuran, maka tidak ada jalan lain kecuali dengan melakukan penegakan hukum lingkungan secara tegas, adil dan konsisten. Hal ini dapat dimulai dengan menangkap dan mengadili para pelaku kejahatan lingkungan kelas kakap. Bukan hanya pelakunya, oknum-oknum penegak hukum dan pejabat pemerintah yang memberi jalan dan melindungi tindak perusakan lingkungan harus ikut di di proses secara hukum.
PENUTUP: KOALISI KOMUNITAS KORBAN LINGKUNGAN SEBAGAI ALAT PERJUANGAN WARGA UNTUK PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN DI CEKUNGAN BANDUNG Untuk menutup pengantar buku, perkenankan saya secara sekilas mengupas tentang profil Koalisi Komunitas Korban Lingkungan yang menjadi wadah dari para penulis buku ini untuk memperjuangkan keyakinannya. Saya sendiri cukup mengikuti perkembangan tentang Koalisi ini mulai sejak pertama terbentuk hingga saat ini. Apa yang saya tulis tentang K3L ini tentu hanya lah berupa kesan singkat dari apa-apa yang telah mereka lakukan selama ini untuk perbaikan proses penegakan hukum lingkungan di Cekungan Bandung
xi
Koalisi Komunitas Korban Lingkungan (K3L) adalah koalisi yang dibangun oleh organisasiorganisasi lokal di tingkat komunitas di Cekungan Bandung yang menjadi korban kejahatan lingkungan. Koalisi ini dibangun atas kesamaan visi dan orientasi untuk mendorong dan memperjuangkan upaya-upaya penyelesaian masalah lingkungan hidup yang mereka hadapi di wilayahnya. K3L dibentuk pada pertengahan tahun 2006 memalui kegiatan workshop antar komunitas korban kerusakan lingkungan yang penyelenggaraannya di fasilitasi oleh Perkumpulan Inisiatif. Awal mulanya, sebagian komunitas korban ini telah menghimpun diri dalam Pusat Sumber Daya Komunitas yang memiliki wilayah kerja di Kabupaten Bandung. Namun, setelah workhop ini disepakati bahwa kelompok masyarakat yang terlibat harus diperluas dengan wilayah kerja yang juga diperluas, yaitu mencakup seluruh Cekungan Bandung. Maka pada saat itu disepakatilah terbentuknya Koalisi Komunitas Korban Lingkungan di Cekungan Bandung. K3L sampai saat ini beranggotakan kelompok-kelompok komunitas yang aktif memperjuangkan hakhak mereka terkait dengan aspek lingkungan di Cekungan Bandung. Keanggotaan K3L akan terus berkembang seiring dengan munculnya kasus-kasus baru yang terkait dengan kerusakan lingkungan di Cekungan Bandung. Mereka yang saat ini menjadi anggota K3L ini adalah: 1. Radio Komunitas Citra di Desa Cibeureum Kecamatan Kertasari 2. Kelompok Pecinta Alam Wanapasa 3. Kelompok Tani Hutan Kertasari 4. Forum Pecinta Lingkungan SAMSAKA di Kecamatan Ibun 5. Masyarakat Peduli Sumber Air di Desa Tarumajaya Kecamatan Kertasari 6. Komunitas Peduli Lingkungan di Majalaya dan sekitarnya 7. Masyarakat Desa Sukamukti, Biru, Padaulun, Sukamaju, Padamulya, Kecamatan Majalaya 8. Masyarakat korban limbah Rancaekek 9. Forum Manglayang 10. BEM YAMISA 11. Komunitas Pengelola Sampah di Kecamatan Bale Endah 12. Unit Peduli Lingkungan di Kecamatan Banjaran 13. Forum Peduli Cireundeu Pojok 14. Forum Stop TPA Citatah 15. Forum Komunikasi Warga Ciateul 16. Forum Peduli Sampah Sarimukti 17. Karang Taruna Warga Mekar di Jelekong Dalam melaksanakan aktivitasnya, K3L memiliki jaringan kerja dengan lembaga-lembaga seperti Koalisi Masyarakat Bandung Bermartabat (KMBB), Lembaga Pemberdayaan Warga Cibangkong, Wahana Peduli Lingkungan, Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tata Sunda, LBH Bandung, WALHI Jabar, Keswadayaan Masyarakat Memantau Mutu Air Sungai (KM3AS), Radio Mara, Jaringan Radio Komunitas – Jabar, Forum Diskusi Wartawan Bandung serta pihak-pihak yang yang dianggap sesuai dengan visi dan orientasi K3L.¤
Pustaka Silalahi, M. Daud, 2001, Hukum Lingkungan: Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia, Bandung, PT. Alumni Shiva, Vandhana, 2002, Water War: Privatisasi, Profit dan Polusi, Yogyakarta, Insist Press – WALHI Koalisi Komunitas Korban Lingkungan, Dokumen Hasil Assessment dan Studi Pendalaman Kasus Lingkungan di Cekungan Bandung, Perkumpulan Inisiatif, 2006-2007 Profil Kota/Kabupaten di Jawa Barat, www.jabarprov.go.id Kumpulan Artikel tentang Lingkungan dan Cekungan Bandung di Harian Umum Pikiran Rakyat, 2005-2007
xii
Pencemaran Limbah Industri; HADIAH PENYAKIT BAGI RAKYAT
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
1
QUO VADIS HUKUM LINGKUNGAN; PENEGAKAN DAN KEBERPIHAKAN Oleh: Wulandari1 1. LATAR BELAKANG Hak atas lingkungan yang sehat merupakan hak asasi manusia. Sayangnya, hak ini sulit untuk dijamin oleh pemangku kebijakan di negeri ini. Proses pembangunan yang dijalankan sama sekali tidak memperhatikan kelestarian lingkungan dan prinsip-prinsip tata ruang. Padahal, secara hakiki, lingkungan hidup merupakan sumber yang memberikan berbagai manfaat bagi keberlangsungan kehidupan manusia, diantaranya: manfaat ekologi (ecological benefit), manfaat ekonomi (economical benefit) dan manfaat sosial (social benefit). Tapi kemudian yang terjadi adalah eksploitasi sumber daya alam tanpa memikirkan dampak jangka panjang. Proses industrialisasi hanya mengejar keuntungan semata tanpa memperhatikan nasib kelestarian lingkungan, mengikis habis kearifan budaya lokal masyarakat dan mengesampingkan masa depan generasi berikutnya. Akibatnya, sungai tercemar limbah industri, air sulit didapat karena habis dikuras untuk kebutuhan industri dan udara kotor karena banyaknya zat pencemar yang keluar dari cerobong-cerobong pabrik industri. Pencemaran air dan udara merupakan dampak negatif yang ditimbulkan dari proses industrialisasi. Akibat dari pencemaran itu tentu saja menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia serta mahluk hidup lainnya, contoh kasus di Majalaya, Rancaekek dan Saguling. Gugatan dan tuntutan dari warga korban pencemaran limbah industri ataupun kelompok pemerhati lingkungan banyak didengungkan supaya industri melakukan produksi bersih dan teknologi yang ramah lingkungan, tapi hal itu tidak pernah digubris. Proses pengawasan, pembinaan pengendalian limbah industri yang dilakukan oleh pemerintah dinilai sangat lemah dan tidak efektif sebab membuka ruang praktek-praktek kolusi, termasuk juga pada proses penyidikan dan penegakan hukum yang syarat dengan kolusi pula. Kolaborasi pun terjadi antara birokrasi dengan kaum pemodal (pengusaha) serta aparat penegak hukum dengan kaum pemodal(pengusaha), sehingga beberapa kasus pencemaran limbah industri diselesaikan secara damai tanpa sanksi hukum yang berat. Kolaborasi ini terjadi karena kasus pencemaran limbah industri merupakan sumber uang bagi para oknum di pemerintah dan aparat penegak hukum. Akibatnya, keadilan bagi warga korban pencemaran limbah industri dan keadilan bagi lingkungan tidak pernah ada dalam sejarah kasus-kasus penyelesaian pencemaran limbah industri. Kondisi ini tentu saja menjadi tanda tanya besar bagi kita. Apakah benar pemerintah, kepolisian, kejaksaan, kehakiman telah berpihak pada pengusaha, kaum pemodal? Benarkah dengan alasan investasi, perluasan lapangan kerja, Pendapatan Asli Daerah (PAD), uang dalam jumlah besar yang masuk ke kocek pribadi, pemerintah dan para penegak hukum kita lemah dalam menegakkan aturan pembuangan limbah industri? Untuk memulai menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis tersebut, ada banyak gambaran yang coba penulis paparkan mulai dari peraturan hukum limbah industri, kesaksian warga korban pencemaran limbah industri, penyelesaian sengketa lingkungan hidup, penegakan hukum lingkungan dan evaluasi program-program pemerintah dalam mengendalikan pencemaran limbah industri.
1 Penulis adalah warga Kp. Kondang Ds. Majalaya Kec. Majalaya, aktif di Perkumpulan Inisiatif sebagai Kepala Divisi Penguatan Inisiatif Lokal. Terlibat aktif menginisiasi pembentukan Komunitas Peduli Lingkungan (KPL) Majalaya, Pusat Sumber Daya Komunitas (PSDK) dan Koalisi Komunitas Korban Lingkungan (K3L) Cekungan Bandung.
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
2
2. GAMBARAN UMUM PERATURAN HUKUM LIMBAH INDUSTRI Sebenarnya pengelolaan sumber daya alam yang berwawasan lingkungan sudah diatur dalam UUD 1945 Pasal 33 yang berbunyi: x Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. x (ayat 4) Perekonomian Nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi keadilan, berkelanjutan berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Kemudian dalam UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU ini secara substansi mengatur dan memberikan perlindungan terhadap sumber daya alam yaitu udara, tanah, air, pesisir dan laut, keanekaragaman hayati, pedesaan, perkotaan, lingkungan sosial agar tidak mengalami kerusakan dan atau pencemaran. Untuk mengatasi pencemaran air dan udara, ada beberapa peraturan hukum yang mengatur, yaitu: 1. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara 2. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 Tentang AMDAL 3. Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan B3 4. Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air 5. Peraturan Pemerintah No. 150 Tahun 2000 Tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa 6. Kep-51/MENLH/10/1995 Tentang Baku mutu Limbah Cair Untuk Kegiatan Industri. 7. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 17 Tahun 2001 Tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan AMDAL. 8. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 197 Tahun 2004 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Lingkungan hidup di Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. 9. Keputusan Gubernur Nomor 6 Tahun 1999 Tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri di Jawa Barat. 10. Perda Kabupaten Bandung Nomor 5 Tahun 2001 Tentang Ijin Pembuangan Limbah Cair 11. Perda Kabupaten Bandung Nomor 27 Tahun 2001 Tentang Retribusi Ijin Pengelolaan Limbah Padat
3. PENGAWASAN PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP
LIMBAH
OLEH
PEJABAT
PENGAWAS
Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mengendalikan pencemaran limbah industri, diantaranya melalui pengawasan lingkungan hidup yaitu kegiatan yang dilaksanakan secara langsung atau tidak langsung oleh Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) untuk mengetahui tingkat ketaatan penanggungjawab usaha dan atau kegiatan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan pengendalian pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup. Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup di singkat PPLH. Wewenang untuk melakukan pengawasan lingkungan hidup berada di tangan Menteri. Kemudian Menteri menetapkan PPLH yang pada pelaksanaannya diserahkan kepada pemda, kepala daerah (gubernur, walikota, bupati). Peraturan hukum tentang PPLH diatur dalam Keputusan Menteri Negara No. 7 Tahun 2001 Tentang Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah. Kewenangan PPLH yaitu: melakukan pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan, memasuki tempat tertentu, mengambil Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
3
contoh, memeriksa peralatan, memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi, serta meminta keterangan dari pihak yang bertanggung jawab atas usaha dan/atau kegiatan. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dimintai keterangan, wajib memenuhi permintaan petugas pengawas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setiap pengawas wajib memperlihatkan surat tugas dan/atau tanda pengenal serta wajib memperhatikan situasi dan kondisi tempat tersebut.2 Selanjutnya, pemerintah membentuk lembaga khusus yang bertanggungjawab melakukan pengendalian dampak lingkungan hidup yaitu; Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) di tingkat nasional, Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLHD) ditingkat Provinsi, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) di tingkat Kabupaten/Kota.
4. PENYIDIKAN (PPNS DAN PEJABAT PENYIDIK POLRI) Proses penyidikan terhadap pencemaran lingkungan diatur dalam Pasal 40 UU No. 23 tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam ayat 1 dijelaskan: yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik lingkungan hidup sesuai UU Hukum Acara Pidana yaitu: Penyidik Pejabat Polisi Negara RI dan Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup dan tanggung jawabnya di bidang pengelolaan lingkungan hidup. Ayat 2, menjelaskan: 1) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil berwenang: a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan dan keterangan berkenaan dengan tindak pidana lingkungan hidup. b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana dibidang lingkungan hidup. c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang lingkungan hidup. d. Melakukan pemeriksaan atas pembuktian, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana dibidang lingkungan hidup. e. Melakukan pemeriksaan ditempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang didapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana dibidang lingkungan hidup. f. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana dibidang lingkungan hidup. 2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara RI. 3) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara RI. 4) Penyidikan tindak pidana lingkungan hidup di perairan Indonesia dan zona ekonomi eksklusif dilakukan oleh penyidik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. PERATURAN HUKUM LIMBAH INDUSTRI VERSUS KESAKSIAN WARGA KORBAN PENCEMARAN LIMBAH INDUSTRI 5.1
AMDAL Asal-Asalan Banyaknya pencemaran limbah industri yang meracuni sungai-sungai dan udara di bumi ini diakibatkan oleh tidak konsistennya pemerintah dalam menegakkan peraturan hukum tentang limbah industri. Sebagai contoh dalam soal AMDAL. Pada dasarnya AMDAL
2
UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 24. Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
4
adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Manfaat AMDAL yaitu sebagai “environmental safe guard” (penjaga lingkungan), studi kelayakan untuk proses pengambilan keputusan, pengembangan wilayah dan rekomendasi dalam proses perijinan. Dokumen AMDAL merupakan dokumen publik yang menjadi acuan dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat lintas sektoral, lintas disiplin, dan dimungkinkan lintas teritorial administratif. Parameter penilaian AMDAL ini meliputi fisika, kimia, demografi, hidrologi, biologi (flora & fauna), fisiografi, hidro-oceanografi, ruang, lahan, sosial (budaya, ekonomi, pertahanan keamanan), kesehatan warga. Ketika AMDAL disebut sebagai dokumen publik, secara otomatis harus ada jaminan hukum bagi warga untuk terlibat dalam proses penyusunannya dan harus ada keterbukaan informasi. Keterlibatan warga dalam penyusunan AMDAL dijamin oleh kebijakan di PP No. 27/1999 khususnya pasal 33 yang menjelaskan tentang kewajiban pemrakarsa untuk mengumumkan kepada publik. Saran, pendapat, masukan publik wajib untuk dikaji dan dipertimbangkan dalam AMDAL. Kemudian, pasal 34 menegaskan bagi kelompok masyarakat yang berkepentingan wajib dilibatkan dalam proses penyusunan kerangka acuan, penilaian kerangka acuan, Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL), Rencana PengelolaanLingkungan Hidup (RPL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RKL). Tetapi pada kenyataannya warga tidak pernah diajak bicara, dilibatkan dalam proses penyusunan AMDAL ini. Warga menjadi pihak yang marjinal, tersisihkan, terlupakan dalam proses pengambilan keputusan AMDAL yang sesungguhnya akan berpengaruh besar terhadap kondisi lingkungan sekitarnya. Hal ini bisa dibuktikan dari hasil-hasil diskusi Komunitas Peduli Lingkungan (KPL) dengan warga korban limbah industri di Majalaya. Warga banyak yang tidak tahu tentang AMDAL, bahkan singkatannya pun mereka tidak mengenal, apalagi membaca dokumennya. Sosialisasi dari pihak industri, pemerintah dan konsultan kepada warga tentang AMDAL tidak pernah ada. Dalam sebuah lokakarya regional koordinasi tata lingkungan wilayah Kalimantan, Ir Hermien Roosita MM, Asisten Deputi Urusan Pengkajian Dampak Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan bahwa hanya 119 kabupaten/kota yang memiliki komisi penilai AMDAL dari 474 kabupaten/kota di Indonesia. Dari angka tersebut, hanya 50% yang berfungsi menilai AMDAL. Sementara 75% dokumen AMDAL yang dihasilkan berkualitas buruk sampai sangat buruk. (#/ timpakul, 25 April 2006) Paparan tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah dan konsultan-konsultan AMDAL banyak yang meninggalkan prinsip-prinsip dasar yang harusnya dijalankan dalam proses penyusunan AMDAL yaitu: (1) Kesetaraan posisi di antara pihak-pihak yang terlibat; (2) Transparansi dalam pengambilan keputusan; (3) Penyelesaian masalah yang bersifat adil dan bijaksana; dan (4) Koordinasi, komunikasi, dan kerjasama dikalangan pihak-pihak yang terkait. Parahnya lagi, AMDAL dijadikan komoditas ekonomi oleh oknum di aparatur pemerintah, pemrakarsa, konsultan, bukan sebagai bagian dari sebuah studi kelayakan, sehingga sering kali ditemui banyak AMDAL yang justru melanggar tata ruang. Jelaslah sudah, bahwa ada praktek KKN dalam persetujuan AMDAL ini. Dengan demikian, warga di komunitas lokal, sudah saatnya berani bersuara tentang ketidakadilan dan penipuan yang berlangsung secara berkelanjutan hingga saat ini. Karena suatu saat, penerima dampak pertama dari usaha/kegiatan yang seolah-olah telah lulus AMDAL adalah komunitas lokal.
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
5
5.2
Industri Membuang Limbah Cair ke Sungai Pada dasarnya semua peraturan hukum mengatur tentang hak, kewajiban, larangan dan sanksi hukum. Sama halnya dengan peraturan hukum tentang limbah yang dihasilkan industri, itu pun diatur. Ada beberapa kewajiban yang harus ditaati oleh setiap penanggungjawab usaha/kegiatan yang menghasilkan limbah, diantaranya: Pertama, kewajiban untuk melakukan pengelolaan limbah hasil usaha/kegiatan sesuai standar baku mutu yang ditetapkan pemerintah. Pengelolaan limbah diterapkan dengan memakai IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah). Keputusan Gubernur Jawa Barat mengatur tentang detail pengelolaan limbah, diantaranya: (1) Kewajiban untuk melakukan pengelolaan limbah cair sesuai baku mutu; (2) Kewajiban untuk membuat saluran pembuangan limbah cair yg kedap air sehingga tidak terjadi perembesan limbah cair ke lingkungan; (3) Memasang alat ukur debit limbah dan pencatatan debit harian limbah; (4) Tidak melakukan pengenceran limbah cair; (5) Memeriksakan kadar parameter baku mutu limbah cair secara periodik 1 kali dalam 1 bulan atas biaya perusahaan pada laboratorium rujukan berdasarkan Keputusan Gubernur; (6) Memisahkan saluran pembuangan limbah cair dengan saluran limpahan air hujan; (7) Melakukan pencatatan produksi dan atau bahan baku bulanan senyatanya; (8) Menyampaikan laporan tentang catatan debit harian, kadar parameter baku mutu limbah cair, produksi/bahan baku bulanan sekurang-kurangnya 3 bulan sekali kepada Gubernur dengan tembusan kepada instansi terkait.3 Kedua, kewajiban untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya pencemaran air. 4 Ketiga, kewajiban bagi setiap usaha/kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, melakukan kajian AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) untuk memperoleh ijin melakukan usaha/kegiatan. Adapun jenis industri yang wajib AMDAL sudah ditetapkan oleh pemerintah. Kajian itu meliputi sekurang-kurangnya bagaimana pengaruh terhadap pembudidayaan ikan, hewan, dan tanaman. Pengaruh terhadap kualitas tanah dan air tanah. Pengaruh terhadap kesehatan warga. Ada beberapa kriteria mengenai dampak besar dan penting suatu usaha/kegiatan terhadap lingkungan hidup, yaitu: (1) jumlah manusia yang terkena dampak; (2) Luas wilayah persebaan dampak; (3) Intensitas dan lamanya dampak berlangsung. (4) Banyaknya komponen lingkungan lainnya yang terkena dampak; (5) Sifatnya kumulatif dampak; (6) Berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak. Adapun yang bertanggungjawab melakukan hal ini adalah Kepala Instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.5 Keempat, kewajiban mentaati persyaratan yang ditetapkan dalam ijin pembuangan air limbah. Persyaratan itu meliputi: (1) Kewajiban untuk mengolah limbah; (2) Persyaratan mutu dan kuantitas air limbah yang boleh dibuang ke media lingkungan; (3) Persyaratan cara pembuangan air limbah; (4) Persyaratan untuk mengadakan sarana dan prosedur
3
Keputusan Gubernur No. 6 Tahun 1999 Tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri di Jawa Barat pasal 3 4 PP 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air pasal 37 5 UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 15. Kemudian PP 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air pasal 41 dan PP No. 27 Tahun 1999 Tentang AMDAL pasal 5. Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
6
penanggulangan keadan darurat. (5) Persyaratan untuk melakukan pemantauan mutu dan debit air limbah. (6) Persyaratan lain yang ditentukan oleh hasil pemeriksaan analisis mengenai dampak lingkungan yang erat kaitannya dengan pengendalian pencemaran air bagi usaha dan atau kegiatan yang wajib melaksanakan AMDAL. (7) Larangan pembuangan secara sekaligus dalam satu saat atau pelepasan dadakan; (8) Larangan untuk melakukan pengenceran air limbah dalam upaya penataan batas kadar yang diperyaratkan; (9) Kewajiban melakukan swapantau dan kewajiban untuk melaporkan hasil swapantau. 6 Kelima, kewajiban untuk memperhatikan rencana tata ruang, pendapat warga, pertimbangan dan rekomendasi pejabat yang berwenang yang berkaitan. dengan usaha dan/atau kegiatan tersebut. 7 Keenam, kewajiban untuk memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup.8 Ketujuh, kewajiban untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu apabila melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup. 9 Untuk memeriksa apakah industri taat terhadap peraturan tersebut, berikut akan dipaparkan kesaksian warga korban pencemaran limbah industri di Majalaya. 5.3 Kesaksian Warga Korban Pencemaran Limbah Industri Kawasan industri polutif di Majalaya Kabupaten Bandung jaraknya berdekatan dengan permukiman warga. Hal ini disebabkan karena pemerintah tidak pernah punya perhatian yang serius ke Majalaya, termasuk ketika tahun 1950-an Majalaya sudah dikenal sebagai kota industri, tidak ada kebijakan pemerintah tentang tata ruang untuk pengaturan penggunaan lahan di Majalaya. Tak heran jika penggunaan lahan industri, pertanian, permukiman di Majalaya acak-acakan. Kondisi ini pernah disikapi oleh Forum Masyarakat Majalaya Sejahtera (FM2S) dengan cara mengusulkan penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) secara partisipatif pada tahun 2002. Tetapi sayang, ketika hasilnya sudah mengerucut, Pemerintah Kabupaten Bandung tidak serius untuk menindaklanjuti hasil RDTRK Majalaya ini dalam sebuah kebijakan misalnya Perda ataupun SK Bupati, termasuk konsultan RDTRK yang tidak serius memformulasikan gagasan-gagasan warga ke dalam sebuah dokumen yang sistematis. Tak heran jika kondisi lingkungan hidup Majalaya sekarang berada di ambang kematian. Ada sebuah pengalaman berharga yang pernah dilakukan oleh Komunitas Peduli Lingkungan (KPL) sebagai sebuah wadah yang peduli terhadap masalah pencemaran limbah industri di Majalaya. Mereka melakukan penelitian tentang pencemaran limbah industri dengan melibatkan komunitas korban pencemaran limbah industri yaitu di Desa Sukamaju, Desa Sukamukti, Desa Padamulya, Desa Biru, Desa Padaulun, Desa Majalaya. Tanpa disangka sebelumnya, ternyata warga mampu mengidentifikasi sendiri sebab, akibat dan pelaku pencemaran industri diwilayahnya.
6
PP 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air pasal 38 UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 19. 8 UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 6 ayat 2. 9 UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 34 ayat 1. 7
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
7
Tabel 1. Hasil Identifikasi Pencemaran Limbah Industri Berdasarkan Perspektif Komunitas No 1
Lokasi
Masalah
Desa Padamulya RW 05 Kp. Sukahaji
Pembuangan limbah industri diduga tidak melalui proses IPAL, dibuang melalui gorong-gorong dibawah Jalan Gang Kp. Sukahaji kemudian masuk ke Sungai Cikacembang. Penggunaan batu bara sebagai bahan bakar mesin boiler industri, menimbulkan kekhawatiran warga sebab debu batu bara tersebut diduga mengandung B3. Tidak ada tempat pembuangan sisa pembakaran batu bara. Bahkan terkadang dipakai untuk menutupi jalan yang berlobang. Pembuangan limbah industri diduga tidak melalui proses IPAL, dibuang ke Sungai Cikacembang Pembuangan limbah industri diduga tidak melalui proses IPAL, dibuang ke Sungai Ciwalengke Limbah batu bara Pabrik industri membangun sumur-sumur artesis dan kolam penampungan air yang airnya diambil dari sungai sehingga sumur warga kekeringan Kebisingan karena getaran mesin yang kuat Pembuangan limbah industri diduga tidak melalui proses IPAL, dibuang ke Sungai Cipadalun Limbah batu bara
Desa Padamulya RW 02 dan RW 03 Kp. Cimaranggi
2
Desa Padaulun RW 03 Kp. Warusatangkal
3
Desa Sukamaju RW 12 Kp. Patrol
Desa Sukamaju RW 09 Kp. Ciwalengke
4
5
Desa Sukamukti RW 06 Kp. Pangkalan Raja dan RW 10 Kp. Sukaasih
Desa Biru RW 11 Kp. Pasir
Pembuangan limbah industri diduga tidak melalui proses IPAL, dibuang ke gorong-gorong mulai dari RW 15 melewati RW 14, RW 12, RW 09, lalu masuk ke Sasak Benjol dan bermuara ke Sungai Citarum Limbah batu bara Pembuangan limbah industri diduga tidak melalui proses IPAL, dibuang ke gorong-gorong di RW 09 sedangkan lokasi pabriknya di RW lain. Limbah batu bara Pembuangan limbah industri diduga tidak melalui proses IPAL, dibuang ke Sungai Cikacembang Desa Sukamukti sedangkan pabriknya berada di Desa Padamulya. Limbah batu bara Limbah batu bara
Dugaan Sumber Pencemaran CV. Sinar Baru, Rama Putra, Purnama, Padamulyatex (PMTI), Nirwana, Himalaya, Istanatex, H. Ama, Carik Makmur CV. Sinar Baru, Sungai Indah, Bimajaya, Himalaya, Nirwana, Rama Putra.
PT. Sipatex, Sinar Sari
Tawekal, Harapan, Nirwana, Chiang PT. Sipatex, Sinar Sari PT. Sipatex
PT. Sipatex PT. Tri Bintang Loka, Jasatex, SPTI, CBIP, Hegar Manah, BSU, Usaha PT. Tri Bintang Loka, CBIP, Hegar Manah TMP, WIS, IBM, DML, Jatayu, Nasatex
TMP, WIS, IBM, DML TMP, WIS, IBM, DML, Jatayu, Nasatex, Dewi Sakti.
TMP, WIS, IBM, DML, Himalaya Tawekal, PT. Purnama, PT. Nirwana, PMTI.
PT. Purnama, PT. Nirwana, PMTI PT. Ganesha, Panca Agung, Binter
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
8
6
Desa Majalaya RW 07 Kp. Mekar Rahayu dan RW 10 Kp. Kondang
Pabrik membangun sumur-sumur artesis yang menyedot banyak air dari sumbernya sehingga sumur warga kering. Dua kampung tersebut berada di aliran Sungai Citarum sehingga dua kampung tersebut menerima limbah buangan dari seluruh pabrik di Kecamatan Majalaya. Limbah batu bara
PT. Ganesha, Panca Agung, Binter Seluruh pabrik di Kecamatan Majalaya
Padasuka
Sumber: Hasil Riset Partisipatif Komunitas Peduli Lingkungan Tahun 2004, up dates 2006
Setiap hari, warga melihat pabrik industri yang membuang limbah cair di sepanjang Citarum dan anak-anak sungainya yaitu Cikacembang, Cipadaulun, Ciwalengke yang beragam warna dan bau. Biasanya pabrik membuang limbah cair ke sungai pada malam hari sekitar jam 02.00 s/d 05.00 ketika orang sedang terlelap tidur. Hal ini diutarakan oleh AS, ”kasus pembuangan limbah industri ke sungai sudah dari dulu terjadi. Siang tidak dibuang, begitu malam apalagi kalau hujan gede dibuang. Saya punya teman, mantan SATPAM CV. PURNAMA, tahu persis tentang proses tersebut. Sudah menjadi rahasia umum ada backing-backing dari aparat-aparat atau dari pemerintah baik di tingkat Kecamatan, Kabupaten, Provinsi, Pusat.. Karena tidak mungkin kalau pengusaha tidak mempunyai pendekatan seperti itu mereka bisa lolos dari jeratan hukum”10 Hal yang sama diutarakan oleh AT, “masyarakat Desa Sukamaju dilanda pencemaran air sareng udara, kumargi dilingkup ku limbah-limbah pabrik. Jumlah pabrik seueur ti mulai Dangdeur, Patrol, Leuwidulang. Demi nyalametkeun masyarakat Sukamaju, ieu teh kedah disalametkeun ku pamarentahan. Salametkeun masyarakat ulah nepikeun ka korban, ulah aya masyarakat anu cilaka. Nembe jelas ti KPL aya penerangan tentang lingkungan hidup. Ti kepala desa, kecamatan, kabupaten mah belum pernah ada, non sen. Terjadi sesuatu antara masyarakat jeung pabrik oge malah dikambinghitamkeun masyarakatmah” (masyarakat Desa Sukamaju dilanda pencemaran air dan udara karena dilingkupi oleh limbah-limbah pabrik. Jumlah pabrik cukup banyak, dari mulai Dangdeur, Patrol, Leuwidulang. Demi menyelamatkan masyarakat Sukamaju, harus diselamatkan oleh pemerintahan. Selamatkan masyarakat jangan sampai jadi korban, jangan ada masyarakat yang celaka. Baru jelas dari KPL ada penerangan tentang lingkungan hidup. Dari kepala desa, kecamatan, kabupaten belum pernah ada, non sen. Terjadi sesuatu antara masyarakat dengan pabrik, malah masyarakat yang dikambinghitamkan)11 Asap-asap hitam pun keluar dari cerobong pabrik industri yang menimbulkan pencemaran udara serta bau menyengat. Pak AS memaparkan “mangga kontrol ku pengusaha atanapi ku pamarentah, lantai mesjid kebul ku debu batu bara, hideung pisan. Unggal poe dikepel ku barudak mesjid. Eta saeutik ageung na teh ngajantenkeun panyakit jeung pencemaran udara khususna di Kp. Sukahaji. Kapungkur aya sosialisasi ti pihak pamarentah jeung pengusaha industri, cenah tilu sasih sakali bade diparios pembuangan emisi mesin boiler batu bara industri nu aya di wilayah ieu. Gening buktosna teu aya. Permasalahan limbah batu bara, kumaha pencegahan pencemaran nana, teu dijelaskeun ka masyarakat, boh ku pihak perusahaan atawa pamarentah. Sapertos Pabrik Himalaya, dugi ka ayeuna kalah si Pengusaha teh nantang, sok rek tepi kamana hukum? Kan kalahkah nantang. Lain mikirkeun kumaha carana jeung kumaha saena naggulangi masalah pencemaran tina batu bara. (Silahkan kontrol oleh pengusaha atau pemerintah, lantai mesjid kotor oleh debu batu bara, hitam sekali. Tiap hari dipel oleh anak-anak mesjid. Sedikit besarnya itu menimbulkan penyakit dan pencemaran udara khususnya di Kp. Sukahaji. Dulu ada sosialisasi dari ihak pemerintah dan pengusaha industri, katanya tiap tiga bulan sekali akan ada pemeriksaan pembuangan emisi mesin boiler batu bara industri yang ada di wilayah sini. Tetapi buktinya 10 11
Hasil FGD (Focus Grup Disscusion) KPL di Kp. Sukaasih Desa Sukamukti, 28 April 2006. Hasil FGD (Focus Grup Disscusion) KPL di Kp. Ciwalengke Desa Sukamaju, 5 Mei 2006. Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
9
tidak ada. Permasalahan limbah batu bara, bagaimana pencegahan pencemaran tersebut, tidak dijelaskan ke masyarakat baik oleh pengusaha maupun pemerintah. Seperti Pabrik Himalaya, malah pengusahanya nantang, mau sampai kemana hukum? Bukannya memikirkan bagaimana caranya menanggulangi pencemaran batu bara tersebut).12 Kalaupun warga sakit akibat pencemaran limbah batu bara, sulit juga untuk dibuktikan sebab harus ada keterangan dari dokter dan dokter mungkin punya kesulitan untuk memastikan penyebab penyakit pasien apakah dari limbah batu bara atau bukan karena membutuhkan penelitian yang cukup lama. Seperti yang Pak AG nyatakan “semuanya harus dikembalikan pada hati nurani dokterna. Saupami dokter wantun ngutarakeun anu saeunyana, sae pisan. Tapi memang lah ku sim kuring ge tos kapikir, dokter oge arusaha. Kadang-kadang ti instansi pemerintah oge aya tekanan-tekanan, teu mungkin pami teu aya tekanan mah” (semuanya harus dikembalikan pada hati nurani dokternya. Apabila dokternya berani mengutarakan yang sebenarnya, bagus sekali. Tapi saya berpikir dokter pun usaha. Kadang-kadang dari instansi pemerintah menekan, tidak mungkin kalau tidak ada tekanan)13 Pipa-pipa besi besar, paralon-paralon tertancap dibawah tanah, menyedot sumber air bawah tanah dan sungai untuk memenuhi kebutuhan industri yang mengakibatkan warga kekurangan air. Cobalah dengar pengalaman AK, “Sateuacan aya perusahaan, halodo salapan sasih ge, sumur teh tara saat. Ayeunamah halodo dua minggu oge, sumur langsung saat. Upami usum hujan, tos hujan sasasih, dua sasih, nembe cai ayaan deui. Lamun hujan saminggon mah, sumur teh moal caian” (Sebelum ada perusahaan, walaupun kemarau sembilan bulan, sumur tidak pernah kering. Tapi sekarang, kemarau dua minggu saja, sumur langsung kering. Kalau musim hujan, sudah hujan satu bulan, dua bulan, baru air sumur keluar. Tetapi kalau hujan seminggu, sumur tidak ada airnya).14 Ada upaya-upaya yang dilakukan oleh masyarakat, diantaranya pengaduan ke pemerintah maupun bermusyawarah dengan pengusaha yang mencemari lingkungan. Tapi upaya itu belum bisa menanggulangi pencemaran air dan udara yang terjadi. Pak AS menjelaskan “Perjalanan yang sudah-sudah, mengajukan ke pemerintah, si A, si B, tetep tidak ada jalan keluar. Jadi warga mah kagencet deui - kagencet deui. Akhirna warga masyarakat, nya menta kompensasi, habis we kompensasi, nyegak deui. Tapi tetep nu tadi tea, walaupun kompensasi sudah diturunkeun, sungai mah anggeur we hideung, jadi panyakit, tatar lingkunganna teu diperbaiki, angger wae” (Perjalanan yang sudah-sudah, mengajukan ke pemerintah si A, si B, tetap tidak ada jalan keluar. Warga terinjak lagi-terinjak lagi. Akhirnya warga masyarakat minta kompensasi. Kalau kompensasi sudah habis, menuntut lagi. Tapi tetap, walaupun kompensasi sudah diturunkan, sungai tetap saja hitam, jadi penyakit, lingkungan tidak diperbaiki, tetap saja)15 Mengenai uang kompensasi, Pak AK berpendapat ”Jadi mun dibagikeun uangna mah, urang nu ngenah tapi anak incu urang anu jadi korban pencemaran limbah kahareupna” (jadi mun diberikan uangnya, kita enak tapi anak cucu kita yang jadi korban pencemaran limbah yang akan datang) 16 Posisi masyarakat dalam kasus pencemaran limbah industri memang selalu tersisihkan, hal ini diungkapkan oleh Pak AS “masyarakat mah saleresna parantos kesel, seueur dibobodo. Tipayun aya petugas ti pemerintah nu marios sumur anu tercemar limbah, dicandak conto 12
Hasil FGD (Focus Grup Disscusion) Hasil FGD (Focus Grup Disscusion) 14 Hasil FGD (Focus Grup Disscusion) 15 Hasil FGD (Focus Grup Disscusion) 16 Hasil FGD (Focus Grup Disscusion) 13
KPL di Kp. Sukahaji Desa Padamulya, 30 April 2006. KPL di Kp. Sukahaji Desa Padamulya, 30 April 2006. KPL di Kp. Sukaasih Desa Sukamukti, 28 April 2006. KPL di Kp. Ciwalengke Desa Sukamaju, 21 April 2006. KPL di Kp. Sukaasih Desa Sukamukti, 28 April 2006.
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
10
caina, belecet, tos aya mang bulan-bulan kereles, teu datang deui. Kitu jeung kitu, dugi ka dicarekan ku Bapak ge. Tepi kaayeuna teu aya buktosna. Jadi tungtung na rakyat teh dideudeutkeun wae. Akibatna, euweuh rasa hormat rakyat ka pamimpin. Boboraah Kades atawa Camat, aya Bupati oge, euweuh wibawaan, da garejul pemerintahna, terus terang we. Da pemerintahna ngabobodo wae rakyat, jadi euweuh wibawa we. Kapungkurmah aya Kades, Camat atawa Bupati teh masyarakat bungah kadatangan tamu kahormatan. Tah ayeunamah aya Bupati ge acuh, teu aya wibawan kusabab loba dibobodo tea, janten acuh masyarakat teh” (Masyarakat sudah kesal, banyak dibodohi. Dulu pernah ada petugas dari pemerintah memeriksa sumur yang tercemar limbah, dibawa contoh airnya, menghilang, tidak datang lagi. Terus seperti itu sampai saya marahin. Sampai sekarang belum ada buktinya. Jadi akhirnya rakyat yang selalu ditekan. Akibatnya, tidak ada rasa hormat dari rakyat kepada pemimpin. Jangankan Kades atau Camat, Bupati pun tidak ada wibawanya, karena pemerintahnya tidak bener, terus terang saja. Pemerintahnya selalu membodohi rakyat, sehingga tidak ada wibawanya. Dulu, ada Kades, Camat atau Bupati, masyarakat senang kedatangan tamu kehormatan. Namun sekarang, ada Bupati juga, acuh, tidak ada wibawa karena selalu membodohi masyarakat sehingga masyarakat acuh). 17 Korupsi, Kolusi dan Nepotisme pun biasa muncul dalam penyelesaian kasus pencemaran limbah industri. Hal ini diutarakan oleh salah satu Anggota DPRD Kab. Bandung yaitu Pak AA, “kalau kita lihat UU Pengelolaan Lingkungan Hidup, kebijakan tentang limbah industri, ini sangat ketat aturannya tapi di lapangan sulit direalisasikan. Ketika ada kasus pencemaran limbah industri kemudian perusahaan diajukan ke pengadilan, kapok, dendanya 5 juta tapi biaya “itunya” lebih dari 5 juta , perusahaan juga bebas. Ketika hukum itu kena ke orang kuat jadi kebal hukum. Jadi posisi dewan hanya mendorong, bukan eksekutor” 18 Menyimak berbagai pengalaman warga tersebut, terlihat jelas bahwa ada rasa khawatir, gelisah terhadap kondisi pencemaran limbah industri yang terjadi. Warga mengetahui bahwa limbah industri itu berbahaya bagi kesehatan manusia, menimbulkan penyakit, menurunkan kualitas padi bahkan menyebabkan gagal panen dan ikan mati. Kondisi ini nyata dirasakan sendiri oleh mereka. Disisi lain memang harus diakui bahwa warga kurang memahami istilah fisika dan kimia yang terdapat dalam polutan limbah industri, misalnya timbal, karbon, merkuri, krom, dll. Hal ini disebabkan oleh lemahnya pemerintah dalam mensosialisasikan bahaya-bahaya zat pencemar limbah industri kepada masyarakat. Lihat saja peraturan hukum tentang limbah khususnya tentang standar baku mutu limbah industri, yang hanya menuliskan istilah fisika, kimia yang kurang dimengerti oleh masyarakat luas. Tidak ada penjelasan bahaya zat pencemar/polutan yang terkandung dalam limbah industri terhadap kesehatan manusia, misalnya bahaya timbal, krom, seng, merkuri, hidrokarbon, partikulat, karbonmonoksida, dsb. Menurut hasil penelitian pakar lingkungan, diketahui bahwa limbah industri dapat menghasilkan bahan toksik terhadap lingkungannya yang berdampak negatif terhadap manusia dan komponen lingkungan lainnya. Limbah cair industri paling sering menimbulkan masalah lingkungan seperti kematian ikan, keracunan pada manusia dan ternak, kematian plankton, akumulasi dalam daging, ikan dan moluska, terutama bila limbah cair tersebut mengandung racun seperti: As, CN, Cr, Cd, Cu, F, Hg, Pb, atau Zn (Supraptini, Center for Research and Development of Health Ecology, NIHRD 2002). Kondisi pencemaran di Majalaya diperkuat juga oleh kajian Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung bekerjasama dengan lembaga Penelitian dan Pemberdayaan (LPPM) 17
Hasil FGD (Focus Grup Disscusion) KPL di Kp. Sukahaji Desa Padamulya, 30 April 2006. Hasil FGD (Focus Grup Disscusion) antara anggota DPRD Kab. Bandung dengan PSDK (Pusat Sumber Daya Komunitas), 3 Agustus 2006.
18
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
11
ITB, Desember 2002, yang menyatakan bahwa pencemaran limbah industri di Majalaya sangat parah karena limbahnya diatas baku mutu limbah cair industri tekstil sesuai dengan Kep 51/MEN-LH/1995. Dari data debit air 48 industri yang sudah diperiksa saja, total debit air limbah adalah 154,87 liter/detik, sangat luar biasa. Adapun parameternya sebagi berikut: (1) BOD (biochemical oxygen demand) 15 s/d 720 mg/l; (2) COD (chemical oxygen demand) 138 s/d 1750 mg/l; (3) TSS (total suspended solid) 32 s/d 416 mg/l; (4) Fenol total tak terdeteksi (tt) s/d 225 mg/l; (5) krom total tt s/d 76 mg/l; (6) NH3-N 0,023 s/d 19,8 mg/l; (7) sulfur tt s/d 20 mg/l; (8) minyak dan lemak tt s/d 10,4mg/l; (8) PH5 s/d 11,9. Kecamatan Majalaya memiliki sekira 240 industri kering dan 59 industri basah, sedangkan Kec. Solokanjeruk (eks bagian Majalaya) memiliki 56 industri kering dan 5 industri basah. Industri kering meliputi sebagian besar industri tenun, sebagian kecil industri pemintalan, konveksi, industri erelan benang, dan garmen. Industri basah didefinisikan sebagai industri tekstil atau celup benang yang menghasilkan limbah cair dalam jumlah relatif banyak. Adapun nama-nama sungai di Majalaya yang menerima limbah industri sebagi berikut: Citarum 33%, Cipadaulun 9,5%, Cikacembang 31%, Ciwalengke 11,9%, Cijunti 2,4% dan Citarik 2,4%. Perbandingan industri yang melakukan pengolahan air limbah adalah memiliki IPAL 81%, hanya bak penampung 9,5%, sedang membangun 4,8%, dan tidak memiliki IPAL 4,7%. Adanya sekira 81% industri yang memiliki IPAL bukan berarti ketaatan mereka terjamin 100%. Kemungkinan industri bermain kucing-kucingan tetap ada, misalnya mereka menggunakan IPAL saat diperiksa, tetapi melakukan by pass ke sungai ketika tidak diperiksa, kata Kepala DLH Kabupaten Bandung Ir. Mulyaningrum (Pikiran Rakyat, 8 Desember 2003) 5.4
Pencemaran Udara Selain pencemaran air, pencemaran udara pun sudah sangat memprihatinkan. Secara umum, terdapat dua sumber pencemaran udara, yaitu pencemaran akibat sumber alamiah (natural sources), seperti letusan gunung berapi, dan yang berasal dari kegiatan manusia (anthropogenic sources), seperti yang berasal dari transportasi, emisi pabrik, dan lain-lain. Di dunia, dikenal 6 jenis zat pencemar udara utama yang berasal dari kegiatan manusia (anthropogenic sources), yaitu karbon monoksida (CO), oksida sulfur (SOx), oksida nitrogen (NOx), partikulat, hidrokarbon (HC), dan oksida fotokimia, termasuk ozon. Pencemaran udara yang banyak dibicarakan di Majalaya adalah tentang limbah batu bara yang berupa fly ash (abu terbang) berupa partikulat, tidak terlihat oleh mata, langsung terbang ke udara, dihirup oleh manusia, dikategorikan sebagai limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3). Jenis kedua adalah bottom ash (sisa pembakaran batu bara) yang jatuh kebawah. Menurut data dari DLH Kabupaten Bandung, lebih dari 120 industri pengguna batubara di Kabupaten Bandung dengan penggunaan batu bara sekira 1.200 ton/hari, timbunan limbah batubara sekira 120 ton per hari. Limbah batu bara tergolong limbah B3 berdasarkan PP No. 18 Tahun 1999 juncto PP No. 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, dan merupakan kewenangan pemerintah pusat. Kebijakan Umum Bidang Energi (KUBE) Nasional menetapkan batu bara sebagai energi alternatif sebab persediaan BBM Indonesia mulai menipis. Dengan ditetapkannya kebijakan tersebut, pengusaha industri di Majalaya mulai beralih dari BBM yang harganya mahal ke batu bara yang harganya murah. Ber ton-ton truk besar yang mengangkut batu bara masuk ke Majalaya. Berpuluh-puluh pabrik menggunakan boiler batu bara dan mengeluarkan emisi gas buang yang mencemari udara. Kondisi ini tentu saja menjadi perhatian warga, karena warga sangat khawatir terhadap bahaya yang ditimbulkan oleh pembuangan limbah batu bara terhadap kesehatan manusia. Beberapa perusahaan industri yang menggunakan boiler batu bara sering mendapatkan surat Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
12
keberatan dari warga setempat dan warga menuntut beberapa hal, diantaranya: sosialisasi terbuka atas dampak limbah pencemaran batu bara terhadap kesehatan warga, jaminan kesehatan warga apabila terkena penyakit akibat limbah batu bara dan ganti rugi. Banyak surat pengaduan yang disampaikan warga kepada Kepala Desa, Camat, Bupati, DLH. Ketakutan warga pun bukan tanpa alasan. Beberapa alasan ilmiah tentang dampak negatif batu bara terhadap kesehatan manusia banyak ditulis oleh pakar-pakar lingkungan. Menurut World Coal Institute, dampak yang perlu diperhatikan dari batu bara terutama pada pencemaran udara yaitu: (1) Particulat emissions, dapat menyebabkan gangguan pada sistem pernafasan manusia, gangguan visibilitas; (2) Trace elements, emisi elemen seangin dari pembakaran batu bara yang perlu diperhatikan adalah berasal dari merkuri,selenium dan arsen. Logam berat ini berbahaya bagi manusia dan lingkungan; (3) Nox (oksida nitrogen), senyawa ini berkontribusi terhadap pada terjadinya smog, ground level ozone, hujan asam, emisi gas rumah kaca; (4) Sox (oksida sulfur), emisi Sox ini akan menyebabkan hujan asam dan acidic aerosols (extremely fine airbone particles). Berdasarkan hal tersebut maka dampak pencemaran limbah batu bara terhadap kesehatan manusia bersifat kronik, dimana pengaruhnya tidak langsung atau tidak segera tampak setelah terpapar, berupa fibrosis paru mulai dari pneumoconiosis biasa sampai ke fibrosis progesif massif yang merupakan penyebab kematian akibat kegagalan paru. Untuk menyikapi masalah tersebut, Komunitas Peduli Lingkungan (KPL) melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Kecamatan Tahun 2005 mengusulkan penelitian limbah batu bara terhadap kesehatan warga melalui Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung sebesar 50 juta rupiah melalui APBD Kabupaten Bandung. Sebelum kegiatan penelitian dilaksanakan, KPL secara pro aktif mengusulkan kepada pihak DLH untuk membuka ruang partisipasi warga yang ingin mengetahui skema penelitian dan ingin menyampaikan gagasan, ide, harapan seputar penelitian tersebut. Dalam menjalankan penelitian ini, DLH bekerjasama dengan pihak ketiga yaitu LPM UNPAD serta ahli kesehatan masyarakat yaitu Dr. Ardini S Raksanagara , dr, MPH. Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologis observasional dengan rancangan cross sectional terhadap pekerja dan warga sekitar industri pengguna batu bara dan bukan pengguna batu bara. Adapun tujuan penelitian ini adalah: (1) Meneliti pengaruh penggunaan batu bara pada gangguan fungsi paru pada pekerja dan warga sekitar industri pengguna batu bara; (2) Meneliti pengaruh faktor apa saja yang berpengaruh terhadap gangguan kesehatan pekerja dan warga sekitar industri pengguna batu bara. J umlah industri pengguna batu bara yang diteliti berjumlah 12 yaitu: PT. Himalaya Tunas Tex, PT. Unggul Bukit Kencana, PT. Nirwana Gunajaya, PT. Purnama tirtatex, PT. Putera Mulya TI, PT. Sinar Baru, PT. Sipatex, PT. Sungai Indah, PT. Iwamatex, PT. Cita Bahana IP, PT. Ferinatex, PT. Hegarmanah Lestari. Sedangkan industri bukan pengguna batu bara yang diteliti berjumlah 4 yaitu: Firman Jaya, Pertenunan Bagja, Tribakti, dan Laju Sejati. Jumlah responden yang diperiksa kesehatannya sebanyak 100 orang melalui : (1) foto rontgent untuk mengetahui kelainan pada foto thorax; (2) spirometer yang digunakan untuk mengetahui fungsi paru; (3) kuesioner untuk menjaring data umum dan data kesehatan subjek penelitian. Kegiatan ini berlangsung pada tanggal 24-25 Juli 2006 di GOR Desa Padamulya. Hasil dari penelitian tersebut disosilisasikan oleh Dr. Ardini S Raksanagara , dr, MPH sebagai ahli kesehatan warga sekaligus peneliti, bertempat di Aula Kecamatan Majalaya pada tanggal 20 September 2006. Kesimpulan umum dari hasil dari penelitian tersebut yaitu: 1. Sebagian besar responden (64 %) mempunyai lingkungan rumah yang padat dan sebanyak 80 % dari responden mempunyai lokasi rumah yang berdekatan dengan Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
13
2.
3.
4. 5.
6.
7.
industri. 60.24 % dari responden di lokasi penelitian dimana terdapat industri pengguna batubara mengalami keluhan yang sering ditemukan berhubungan dengan saluran pernafasan sedangkan pada lokasi kontrol hanya 23,53 % yang mengalami keluhan yang berhubungan dengan saluran pernafasan. Setelah dilakukan uji statistik didapatkan kemaknaan 0,016 (<0,05) Kelainan pada foto thorax ditemukan bahwa 5,9% (1 orang) dari responden di lokasi kontrol mengalami kelainan yang berhubungan dengan saluran pernafasan, sedangkan pada lokasi penelitian sebesar 20,5 % (17 orang). Setelah dilakukan uji statistik didapatkan kemaknaan 0,009 (<0,05) Dari 56 responden terdapat 15 orang (26,8 %) yang menderita kelainan fungsi paru. Kelainan pada fungsi paru ditemukan bahwa dari 15 orang terdapat 10 orang responden dengan kelainan fungsi (66,7 %) pada lokasi penelitian dan 5 orang (33,3 %) pada lokasi kontrol . Setelah dilakukan uji statistik didapatkan kemaknaan 0,033 (<0,05) Kelainan pada fungsi paru ditemukan bahwa dari 15 orang terdapat 6 orang responden dengan kelainan fungsi (40 %) pada status gizi yang baik, 4 orang (26,7%) pada status gizi kurang dan 5 orang (33,3% pada status gizi berlebih . Setelah dilakukan uji statistik didapatkan kemakaan 0,019 (<0,05) Terdapat hubungan bermakna dengan nilai p <0.05 antara timbulnya gangguan fungsi paru pada responden dengan lokasi responden berada dan status gizi mereka. Makin dekat dengan industri pengguna batubara dan makin buruk gizi responden maka kemungkinan terjadinya gangguan fungsi paru semakin tinggi.
6. UPAYA-UPAYA WARGA KORBAN PENCEMARAN LIMBAH INDUSTRI Melihat kondisi yang memprihatinkan tersebut, ada beberapa upaya yang dilakukan oleh warga, mulai dari pengaduan pencemaran limbah industri kepada: Kepala Desa, Camat, Dinas lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bandung, Bupati, DPRD Kab. Bandung, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup (BPLHD) Jabar, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), bahkan DPR RI. Tapi pemerintah tidak pernah menunjukkan kerja yang maksimal terhadap laporan pengaduan masyarakat korban tersebut. Buktinya, pencemaran limbah industri terus terjadi tiap hari. Berikut ini, ada beberapa contoh upaya dari warga Majalaya yang memberikan surat pengaduan ke pihak-pihak yang berwenang, diantaranya: Tabel 2. Pengaduan Kasus Tanggal 4/9/2004
Perihal Pengaduan Warga Surat pengaduan warga RW 16 Kp. Pasir Kiara Ds. Padamulya Kec. Majalaya, kepada Camat Majalaya , ditembuskan ke Bupati, Kapolsek,Danramil, Kades, PT. PMTI, CV. Purnama Tirtatex, PT. Nirwana. Masalah: sumur-sumur dipermukiman warga sudah tidak layak pakai karena tercemar air limbah dari pabrik industri CV. Purnama Tirtatex, PT. PMTI, dan PT. Nirwana. Akibat dari pencemaran limbah tersebut warga kesulitan mendapatkan air bersih sehingga harus membeli air bersih.Tuntutan warga ketiga pabrik tersebut adalah meminta air bersih yang layak pakai sampai ke rumah-rumah warga.
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
14
25/7/2004
Surat pengaduan warga RT 01 RW 12 Ds. Sukamaju Kec. Majalaya kepada Kades Sukamaju perihal pembuangan air limbah celup yang melalui solokan di lingkungan RW 12 yang sangat kotor dan bau sekali sehingga mengganggu warga. Oleh sebab itu pengurus RW 12 beserta para warga mengadakan musyawarah dan menghasilkan kesepakatan: 1. Setiap perusahaan yang membuang air limbah celup ke solokan yang melalui RW 12 diwajibkan memakai IPAL sesuai standar baku mutu pemerintah. 2. Setiap perusahaan diharuskan membantu warga mengobati yang sakit yang diakibatkan oleh pencemaran limbah yang melewati solokan RW 12. 3. Guna menjalin kerjasama dan timbal balik antara perusahaan dengan warga maka perusahaan diharuskan menerima warga dalam hal kebutuhan tenaga kerja. 4. Setiap pengusaha yang membuang air limbah ke sauran yang melewati RW 12 diharuskan memelihara sarana pembuangan air limbah dan membersihkan gorong-gorongnya minimal 1 kali dalam satu tahun.
14/8/2004
Surat pengaduan warga RT 4 RW 10 Desa Sukamaju kepada Pengusaha PT. Rama Putra perihal keberatan warga atas rencana penggantian bahan bakar solar ke batu bara karena menurut persepsi warga emisi gas buang dari boiler batu bara mengganggu kesehatan warga. Atas dasar itu, warga meminta pengusaha PT. Rama Putra sebelum melaksanakan rencana tersebut bermusyawarah terlebih dahulu kepada warga RT 4 RW 10 Desa Sukamaju yang jaraknya kurang lebih 75m dari PT. Rama Putra. Pengaduan kasus pencemaran limbah cair dan batu bara di Kec. Majalaya oleh KPL melalui audensi kepada Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung Pengaduan kasus limbah di Majalaya oleh KPL melalui audensi kepada Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Prov. Jabar Mengirimkan surat aduan kepada Kementrian Lingkungan Hidup dengan dilampiri daftar pabrikpabrik bermasalah di Kec. Majalaya Audensi dan pengaduan kasus-kasus yang diperoleh melalui assesmen dengan Menteri Lingkungan Hidup di Kantor Kementrian LH Jakarta. Audiensi dengan Agung Laksono (Ketua DPR RI) membahas tentang permasalahan lingkungan di Cekungan Bandung Audiensi dengan Komisi III DPR-RI yang menangani bagian penegakan Hukum dan HAM. membahas tentang permasalahan lingkungan di Cekungan Bandung
2005-2006 2005-2006 2006 2007 2007 2007
7. SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP 7.1. ADR (Alternative Disputes Resolution) Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan oleh adanya atau diduga adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. (PP No. 54/2000). Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa. (UU No. 23/1997). Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui proses pengadilan, terdiri dari: a. Melalui Perangkat Hukum Perdata. (Pasal 34 s/d 39 UU No. 23/1997) 1. Gugatan ganti rugi 2. Gugatan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan hidup b.
Melalui Perangkat Hukum Pidana. (Pasal 41 s/d 48 UU No. 23/1997) 1. Tuntutan penjara, kurungan, denda. 2. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui perangkat hukum pidana harus memperhatikan asas subsidaritas artinya baru dapat digunakan apabila sanksi administrasi, sanksi perdata dan penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan tidak efektif dan/atau tingkat kesalahan pelaku relatif besar, dan/atau akibat perbuatannya relatif besar, dan/atau perbuatannya meresahkan warga. Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
15
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan (Alternative Disputes Resolution – ADR) dalah mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan hidup di dalam forum dan dengan prosedur yang disepakati oleh para pihak. (Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 32/2000). Prinsip umum ADR adalah: bersifat pilihan secara sukarela, hanya diterapkan untuk penyelesaian sengketa yang bersifat perdata, tidak dapat dilaksanakan secara simultan dengan proses penyelesaian dipengadilan untuk kasus yang sama, dan tidak terbatas pada tuntutan ganti rugi, tetapi dapat mencakup pula pada upaya-upaya lain untuk melindungi lingkungan hidup. Bentuk-bentuk ADR, yaitu: (1) Negosiasi: bentuk perundingan yang dilakukan secara langsung oleh para pihak untuk memperoleh kesepakatan mengenai hal tertentu; (2) Mediasi: bentuk perundingan yang dilakukan oleh para pihak untuk memperoleh kesepakatan mengenai hal tertentu dengan dibantu oleh pihak ketiga yang netral (mediator) yang tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan. (3) Arbitrase: bentuk perundingan yang dilakukan oleh para pihak untuk memperoleh kesepakatan mengenai hal tertentu dengan dibantu oleh pihak ketiga yang netral yang memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan. Prosedur ADR, yaitu: (1) Para pihak yang bersengketa melaksanakan perundingan untuk mencapai kesepakatan penyelesaian sengketa lingkungan hidup (Tata cara penyelesaian sengketa yang memakai bantuan pihak ketiga berpedoman pada PP No. 54/2000); (2) Apabila telah dicapai kesepakatan, maka kesepakatan dibuat dalam bentuk tertulis diatas kertas bermaterai. (3) Selambat-lambatnya 30 hari sejak penandatanganan, surat kesepakatan didaftarkan di Pengadilan Negeri. Sifat Kesepakatan ADR bersifat final dan mengikat, artinya tidak ada proses hukum lainnya terhadap kesepakatan yang telah dicapai dan didaftarkan di Pengadilan Negeri serta kesepakatan tersebut wajib dilaksanakan oleh para pihak yang terlibat dalam kesepakatan. Demikianlah beberapa point penting yang bisa disimpulkan dari peraturan hukum ADR. Kita coba hubungkan antara pasal ADR ini dengan konteks kasus pencemaran limbah industri. Menurut saya ADR ini adalah pasal adu domba. Konteksnya adalah antara warga dengan pihak pengusaha industri yang diduga telah mencemari lingkungan. Sedangkan pemerintah cuci tangan terhadap situasi tersebut. Jadi ketika warga menduga telah terjadinya pencemaran limbah industri, kesimpulan awal saya adalah pihak industri tidak menjalankan aturan hukum yang ditetapkan dan pemerintah lemah dalam melakukan monitoring dan evaluasi terhadap industri tersebut. Dengan kondisi seperti itu seharusnya pemerintah menindaklanjuti masalah tersebut sebab pemerintah punya kewenangan, punya tenaga ahli, punya dana untuk menyelesaikannnya. Saya melihat pasal ADR ini sebagai bentuk ketidakberdayaan pemerintah dalam memaksimalkan sanksi hukum yang ada baik administrasi, perdata maupun pidana. Disanksi administrasi sangat jelas sekali bahwa pemerintah punya kewenangan yang besar untuk melakukan paksaan pemerintahan (baik oleh Gubernur, Bupati/Walikotamadya) kepada penanggungjawab usaha/kegiatan untuk melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, pemulihan pencemaran/kerusakan lingkungan hidup, atas beban biaya penanggung jawab usaha/ kegiatan. Disamping itu pemerintah punya kewenangan untuk mencabut ijin usaha jika si pelanggar tidak melakukan pemulihan kerusakan lingkungan tersebut. Dengan demikian, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah daerah tidak mampu mengemban wewenang untuk melakukan kewajiban pengawasan dampak pencemaran dan secara luas telah gagal melakukan pengelolaan lingkungan di Jawa Barat.
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
16
Sebagian orang berpendapat bahwa ADR merupakan tanggungjawab sosial perusahaan kepada warga sekitar dan pelestarian lingkungan hidup. Tapi untuk kondisi Majalaya, biasanya tanggungjawab sosial perusahaan itu muncul kepada warga setelah warga menuntut, protes. Tapi ketika warga diam, tanggung jawab sosial pun tidak dilakukan. Bentuk tanggungjawab sosial perusahaan yang direalisasikan kepada warga sekitar industri diantaranya membangun prasarana umum (mesjid, MCK, pemeliharaan jalan gang), bantuan untuk kegiatan hari-hari besar nasional misalnya hari kemerdekaan 17 Agustus, bantuan untuk kegiatan RW, bantuan untuk kegiatan pemerintah desa, dll. Tetapi sungguh disayangkan, bentuk tanggungjawab perusahaan industri terhadap pelestarian lingkungan hidup sangat minim sekali. Tabel 3. Contoh Kesepakatan ADR Kesepakatan antara Warga Kecamatan Rancaekek Kabupaten Bandung yang diwakili oleh Ketua TGPLKR (Tim Gabungan Penanganan Limbah Kecamatan Rancaekek) sebagai Pihak ke-1 dengan PT. Kahatek, PT. Insan Sandang Internusa dan PT. Five Star sebagai Pihak ke-2 tentang upaya penyelesaian masalah pencemaran limbah industri dari ketiga perusahan tersebut. Kesepakatan ini dilakukan pada tanggal 6 Agustus 2002 dengan Nomor surat: 660.3/631/1/2002. Secara singkat isi kesepakatannya yaitu: 1. Pihak ke-2 bersedia untuk melaksanakan: a. Optimalisasi IPAL sesuai dengan standar teknis yang direkomendasikan oleh BPLHD Provinsi Jabar yang dalam pelaksanaan dan operasionalnya akan diawasi secara intensif melalui koordinasi Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup (DPLH) Kabupaten Sumedang. b. Normalisasi Sungai Cikijing yang perencanaan dan pelaksanaannya akan dikoordinasikan oleh instansi yang kompeten (Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Provinsi Jawa Barat). Dalam pelaksanaan kegiatan tersebut, pihak perusahaan baru bersedia memberikan kompensasi untuk pelaksanaan normalisasi Sungai Cikijing dengan biaya masing-masing: x PT. Kahatex sebesar Rp 100.000.000,- (Seratus Juta Rupiah) x PT. Insan Sandang Internusa sebesar Rp 8.000.000,- (Delapan Juta Rupiah) x PT. Five Star sebesar Rp 7.500.000,- (Tujuh Juta Lima Ratus Ribu Rupiah) 2. Kesediaan perusahaan untuk melaksanakan hal-hal tersebut beserta segala implikasi pembiayaan akan dilaksanakan dalam jangka waktu 1 bulan. 3. Dalam rangka menyelesaikan masalah pencemaran di Rancaekek secara lebih terintegrasi, perlu dilakukan pembahasan intensif tentang: a. Penjajagan pembangunan IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) terpadu. b. Pengembangan program community development (air bersih, sarana medis dan pengalihan mata pencaharian warga selain sawah ke usaha lain). c. Fasilitasi dan pembinaan untuk pengembangan peluang dan potensi usaha warga. d. Segala tindakan yang dilakukan Pihak ke-2 dalam kesepakatan ini, secara tanggung renteng merupakan tanggungjawab pihak ke-2. 4. a. Pihak ke-2 diwajibkan untuk: mengelola lumpur IPAL sesuai dengan peraturan bagi limbah B3. b. Selama kegiatan normalisasi Sungai Cikijing, Pihak ke-2 wajib membantu/menyediakan air bersih sesuai kebutuhan warga Rancaekek. c. Pengawasan terhadap implementasi surat kesepakatan ini dilakukan oleh Bupati Bandung dan Bupati Sumedang dibawah koordinasi Gubernur Jabar serta TGPLKR (Tim Gabungan Penanganan Limbah Kecamatan Rancaekek) selaku perwakilan warga Rancaekek yang terkena dampak dibawah koordinasi Camat Rancaekek. 5. Hal-hal yang belum diatur dalam kesepakatan ini, akan diatur kemudian secara musyawarah dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kesepakatan ini. Kesepakatn ini ditandatangani oleh kedua belah pihak dan ditandatangani juga oleh saksi-saksi dari Kepala BPLHD Jabar, Kepala Dinas PSDA Provinsi Jabar, Kepala BPLH Kab. Bandung, Kepala DPLH Kab. Sumedang, Camat Rancaekek, Camat Jatinangor, perwakilan warga Desa Linggar, jelegong, Bojongloa, Sukamulya. Kemudian didaftarkan ke Pengadilan Negeri Bale Bandung pada tanggal 27 Agustus 2002.
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
17
Dari contoh kesepakatan ADR Rancaekek, muncul pertanyaan: apakah setelah ADR ini dibuat, pencemaran limbah ketiga pabrik tersebut berhenti? Jawabannya tidak. Sungai Cikijing masih tercemar limbah industri. Air limbah dari sungai itu digunakan para petani Rancaekek untuk mengairi sawah. Alhasil, padi hasil petani Rancaekek tidak layak konsumsi karena tercemar logam berat, para petani pun takut untuk mengkonsumsinya. 7.2. Kesepakatan-Kesepakatan Lokal Berbeda dengan Rancaekek, sengketa lingkungan hidup di Majalaya banyak diselesaikan secara lokal antara perwakilan warga ditingkat RW/Kampung dengan pihak pengusaha industri di RW/Kampung tersebut. Kesepakatannya ditandatangani oleh kedua belah pihak. Dari data-data kesepakatan warga dengan industri di Majalaya yang dikumpulkan, terdapat beberapa hal yang berbeda dengan ADR Rancaekek. Kesepakatan di tingkat lokal biasanya tidak ditandatangani oleh pemerintah lokal baik Kades maupun Camat walaupun Kades dan Camat ikut menghadiri musyawarah tersebut. Hasil kesepakatan tidak diketahui dan ditandatangani oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung, dan tidak didaftarkan ke pengadilan negeri. Model penyelesaiannya adalah musyawarah melalui proses negosiasi. Warga Majalaya punya istilah sendiri yaitu ”HO” ketika ada sengketa lingkungan hidup dengan industri, baik pencemaran limbah cair ke sungai maupun pencemaran limbah batu bara. Pada hakikatnya HO (Hinder Ordonantie) adalah Undang-Undang Gangguan yang muncul pada zaman Belanda, kemudian diwujudkan dalam lembaran hukum Stbl. Tahun 1926 Nomor 226 yang telah diubah dan ditambah dengan Stbl. 1940 Nomor 14 dan 15. Berdasarkan Perda Kabupaten Bandung Tahun 2001 Tentang Ijin Undang-Undang Gangguan, definisi ijin Undang-Undang Gangguan adalah ”Ijin yang diberikan bagi tempat-tempat usaha yang dapat menimbulkan gangguan dan tercemarnya lingkungan, dikecualikan kepada tempat usaha yang lokasinya telah ditunjuk oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah meliputi Kawasan Industri dan Zona Industri”. Daftar jenis industri yang wajib memiliki ijin gangguan ini terlampir dalam Perda tersebut. Industri tekstil (pemintalan, pertenunan, pengelantangan, pencelupan, percetakan, penyempurnaan), industri garmen dengan pencucian, industri mesin tekstil, mesin percetakan, mesin jahit dan sejenisnya.merupakan contoh dari sekian banyak jenis industri yang wajib memiliki Ijin Undang-Undang Gangguan karena jenis industri ini termasuk dalam perusahaan yang menggunakan mesin dengan intensitas gangguan besar/tinggi. Tetapi sayang sekali, warga disekitar industri sebagian besar kurang memahami makna dari HO tersebut. Persepsi warga tentang HO adalah uang kompensasi/uang kebijaksanaan perusahaan sebagai bentuk timbal balik dari perusahaan ke warga sebab warga sudah memberikan ijin beroperasinya industri tersebut. Kalimat itu biasanya dibahasakan ku orang Majalaya dalam bahasa sunda ”HO teh nyaeta uang pangolo ti perusahaan ka warga ameh dibere ijin ku warga pabrikna bisa beroperasi”. Bahasa orang Majalaya itu kalau kita hubungkan dengan persyaratan Ijin Undang-Undang Gangguan atau HO memang ada hubungannya, sebab persetujuan tetangga/atau warga yang berdekatan merupakan faktor utama dari sekian persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu industri apabila ingin mendapatkan ijin tersebut. Jadi kalau ada penolakan dari warga sekitar, kemungkinan ijin tersebut tidak akan keluar. Kebiasaan warga menerjemahkan HO itu adalah uang disebabkan oleh dijalankannya strategi industri yang tidak mau repot-repot menjawab pertanyaan warga seputar hal-hal penting yang ingin diketahuinya (misalnya ijin usaha, jenis mesinnya, jumlah karyawan yang diperlukan, pengelolaan limbahnya, dll), seolah-olah seperti ada rahasia yang tidak Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
18
mau terbongkar. Pemerintah maupun industri tidak membuka ruang publik bagi warga untuk berpartisipasi dan berada dalam posisi setara dalam pengambilan keputusan, apakah warga keberatan atau tidak. Pemerintah dan industri selalu menggunakan cara cepat untuk mendapatkan ijin warga yaitu dengan memberikan uang. Pemerintah maupun industri tidak pernah memberikan pembelajaran yang baik kepada warga, sehingga warga paham betul bahwa keputusannya untuk mengijinkan industri berada diwilayahnya tidak merugikan lingkungan. Jadi wajar saja kalau sekarang warga bersikap materialistis, asal ada uang, tanda tangan pun diberikan, karena memang diajarkan seperti itu oleh pemerintah dan industri. Ada keanehan lain yang ditunjukkan industri apabila terjadi sengketa lingkungan hidup. Ketika munculnya kesadaran warga untuk menuntut pihak industri agar mengelola IPALnya secara benar, tidak membuang langsung limbah ke sungai dan menuntut teknologi bersih yang ramah lingkungan, pengusaha industri selalu mengancam akan dilakukannya PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) bagi karyawan. Padahal secara hukum aturan pengelolaan limbah cair berbeda dengan aturan tenaga kerja. Pada kenyataannya hal ini selalu dikait-kaitkan dan dijadikan alat untuk menakut-nakuti warga oleh pihak industri. Berikut akan digambarkan tentang model penyelesaian lingkungan di tingkat lokal antara warga dengan pihak industri di Majalaya.
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
19
Tabel 4. Contoh Kesepakatan Warga Majalaya dengan Perusahaan Industri Tanggal September 1998
Pihak yang bernegosiasi Pimpinan Perusahaan CV.Purnama Tirtatex sebagai Pihak ke-1 dan Ketua RW 16 Kp. Pasirkiara Desa Padamulya Kec. Majalaya Kab. Bandung yang berfungsi sebagai perwakilan masyarakat dan selanjutnya disebut Pihak ke-2
Deskripsi kasus
Hasil kesepakatan
Tuntutan dari warga RW 16 Kp. Pasir Kiara Ds. Padamulya terhadap CV. Purnama Tirtatex yang membuang air limbah ke Sungai Cikacembang, sehingga air sumur warga tercemar limbah. Tuntutan warga adalah permintaan air bersih.
1. Pihak ke-1 telah menyerahkan uang sebesar Rp 2.000.000,- kepada Pihak ke-2untuk keperluan pembayaran pembuatan 2 buah sumur bor berikut bangunan MCK nya yang berada diwilayah RW 16 Kec. Majalaya Kab. Bandung, yang satu buah sumur bor dilengkapi dengan pompa air biasa (Dragon), untuk dipergunakan oleh masyarakat, khususnya masyarakat di wilayah RW tersebut. 2. Bangunan berikut perlengkapan/peralatannya (butir 1 diatas) untuk pengurusan/perawatan sesuai fungsinya, dan kerusakan, perbaikan, penggantian semuanya yang ada ditempat tersebut menjadi tanggungjawab Pihak ke-2. 3. Pihak ke-2 menerima sepenuhnya dari Pihak ke-1 sesuai dengan bunyi pernyataan butir 1 dan 2 diatas. 4. Pihak ke-2 tidak keberatan dan mengijinkan pembuangan air limbah yang sudah melalui proses pengolahan IPAL dari Pihak ke-1 melalui Sungai Cikacembang. 1. Pihak perusahaan bersedia memberikan uang kebijaksanaan kepada warga masyarakat RT 01 RW 11 Desa Biru yang telah disepakati bersama. 2. Pihak perusahaan akan memperhatikan masyarakat disekitarnya untuk mendapatkan kesempatan menjadi karyawan dengan syarat sebagai berikut: a) Memenuhi syarat-syarat yang diperlukan perusahaan; b) Memenuhi standar keterampilan kerja; c) ada lowongan kerja. 3. Pihak perusahaan akanmemberikan jaminan kesehatan kepada masyarakat yang penyebabnya ditimbulkan dari pabrik. 4. Pihak perusahaan akan membantu untuk biaya pembangunan yang bersifat sarana sosial/sarana umum. Surat pernyataan dan persetujuan dari warga RW 03 Kp. Warusatangkal Ds. Padaulun Kec. Majalaya yang menyatakan tidak berkeberatan dan menyetujui atas beroperasinya mesin boiler milik PT. Citabahana Intipersada yang menggunakan bahan bakar batu bara maupun bahan bakar lainnya dalam arti luas dengan persyaratan: 1. Mesin boiler tersebut tidak menimbulkan polusi atau hal-hal lain yang berdampak merugikan warga setempat. 2. Apabila timbul gangguan yang dapat merugikan warga maka pihak
29/5/2002
Pengusaha PT. Panca Mitra Sandang Indah sebagai Pihak ke-1 dengan Ketua RW 11 Kp. Cidawolong Desa Biru Kec. Majalaya Kab. Bandung yang berfungsi sebagai perwakilan masyarakat dan selanjutnya disebut Pihak ke-2
Ijin perluasan pabrik/benteng
17/2/2004
Pengusaha PT. Citabahana Intipersada dengan warga RW 03 Kp. Warusatangkal Ds. Padaulun Kec. Majalaya
Penggunaan boiler batu bara oleh PT. Citabahana Intipersada
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
20
Peruntukkan uang kebijaksanaan perusahaan
Tanggal
Pihak yang bernegosiasi
Deskripsi kasus
Hasil kesepakatan
Peruntukkan uang kebijaksanaan perusahaan
pengusaha segera mengambil langkah-langkah perbaikan. Yang membuat surat pernyataan dan persetujuan tersebut yaitu Kepala Desa Padaulun, Ketua RW 03, Ketua RT 02/RW 03, Ketua RT 01/RW 03 dan 8 orang tokoh masyarakat. 18/5/2004
Pengusaha PT. Dewi Sakti sebagai Pihak ke1 dan lima orang perwakilan warga di Kp. Ciwalengke RT 04 RW 09 Ds. Sukamaju Kec. Majalaya Kab. Bandung, sebagai Pihak ke-2.
Penutupan saluran air pabrik PT. Dewi Sakti oleh warga di Kp. Ciwalengke RT 04/RW 09 Ds. Sukamaju. Latar belakang warga menutup saluran air pabrik tersebut dikarenakan PT. Dewi Sakti mengeluarkan limbah ke solokan di wilayah permukiman.
1. Pihak ke-1 akan memberikan uang kompensasi sebesar Rp 15.000.000 kepada Pihak ke-2 setelah perusahaan aktif kembali yaitu pada Hari Kamis, 20 Mei 2004 dan akan diserahkan langsung oleh pihak perusahaan kepada Pihak ke-2. 2. Air yang ditutup oleh warga akan segera dibuka kembali pada Hari Rabu, 19 Mei 2004 dan tidak akan melakukan penutupan lagi dimasa mendatang. 3. Masalah penerimaan karyawan apabila diperlukan akan meminta melalui Ketua RW sesuai dengan kebutuhan. 4. Segala aktivitas pabrik termasuk mesin boiler yang baru dapat dijalankan secara normal (siang malam). 5. Masalah sampah supaya dikoordinasikan oleh pengurus Pihak ke-2 kepada H. Iyat dan Ibu Wawat. Apabila dikemudian hari ketentuan kesepakatan tersebut tidak dilaksanakan maka masing-masing pihak bersedia menerima sangsi hukum yang berlaku dinegara RI.
Berdasarkan hasil musyawarah pada tanggal 20 Mei 2004 disepakati tentang prosedur pembagian uang kompensasi dari PT. Dewi Sakti sebesar Rp 15.000.000. Dasar petimbangan yang diambil adalah: (1) jarak jumlah penduduk dari lokasi pabrik; (2) penduduk musiman (pendatang); (3) Kepala Keluarga yang bersatu dengan lainnya. Rincian pembagiannya: (1) VIP Rp 130.000; (2) Kelas 1 Rp 50.000; Kelas 2 Rp 35.000; (3) Kelas 3 Rp 15.000; (4) Kelas 4 Rp 10.000.
15/7/2004
Manajer Personalia CV. Sungai Indah sebagai Pihak ke-1 dengan Ketua RW 05 Kp. Sukahaji Desa Padamulya Kec. Majalaya Kab. Bandung sebagai Pihak ke-2
Tuntutan warga RW 05 Kp. Sukahaji Ds. Padamulya terhadap mesin boiler batu bara CV. Sungai Indah yang mengeluarkan emisi gas buang batu bara. Warga keberatan sebab emisi gas buang batu bara tersebut menimbulkan pencemaran udara dan mengganggu kesehatan warga.
1. Pihak ke-1 bersedia membantu biaya pengobatan warga apabila mengalami sakit yang diakibatkan oleh emisi gas buang boiler batu bara yang dibuktikan secara medis dan secara hukum. 2. Pihak ke-1 akan mengutamakan tenaga kerja dari warga masyarakat sekitar lingkungan perusahaan, bilamana diperlukan dengan kriteria persyaratan dari perusahaan. 3. Pihak ke-1 memberikan uang kebijaksanaan kepada masyarakat lingkungan RW 05 sebesar 16.000.000 untuk masyarakat yang berdekatan dengan benteng perusahaan. 4. Pihak ke-2 menerima atas kebijaksanaan dari Pihak ke-1 dan Pihak ke-2 tidak akan melakukan pengajuan lagi kepada Pihak ke-1 karena sudah diselesaikan secara musyawarah. 5. Pihak ke-2 bersedia menjaga keamanan, ketertiban baik dilingkungan perusahaan maupun dilingkungan RW 05. 6. Kesepakatan bersama tersebut disaksikan oleh 9 orang yang
Berdasarkan hasil musyawarah warga, pembagian uang diklasifikasikan berdasarkan radius/jarak rumah warga dengan perusahaan. Ada 5 kelas yaitu kelas 1, 2, 3, pengikut/umpi dan pendatang. Kelas 1, mendapatkan uang Rp 120.000/KK Kelas 2, mendapatkan uang Rp 90.000/KK Kelas 3, mendapatkan uang Rp 60.000/KK Pengikut/umpi, mendapatkan uang Rp 45.000/KK
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
21
Tanggal
Pihak yang bernegosiasi
Deskripsi kasus
Hasil kesepakatan mewakili masyarakat RW 05 dan menyetujui hasil kesepakatan tersebut.
27/10/2004
Kepala Divisi Personalia dan Umum CV. Bima Jaya sebagai Pihak ke-1 dan Ketua RW 05 Kp. Sukahaji Desa Padamulya Kec. Majalaya Kab. Bandung sebagai Pihak ke-2
Tuntutan warga RW 05 Kp. Sukahaji Ds. Padamulya terhadap mesin boiler batu bara CV. Bima Jaya yang mengeluarkan emisi gas buang batu bara. Warga keberatan sebab emisi gas buang batu bara tersebut menimbulkan pencemaran udara dan mengganggu kesehatan warga.
4/8/2005
Pengusaha PT. Tri Bintang Loka Warna sebagai Pihak ke-1 dan Ketua RW 03 Kp. Warusatangkal Desa Padaulun Kec. Majalaya Kab. Bandung sebagai Pihak ke-2
Tuntutan warga RW 03 Kp. Warusatangkal Ds. Padaulun terhadap mesin boiler batu bara PT. Tri Bintang Loka Warna yang mengeluarkan emisi gas buang batu bara. Warga keberatan sebab emisi gas buang batu bara tersebut menimbulkan pencemaran udara dan mengganggu kesehatan warga.
1. Pihak ke-1 dan ke-2 menyepakati pengoperasian boiler batu bara milik perusahaan. 2. Pihak ke-1 akan selalu memperhatikan prosedur pengoperasian mesin batu bara guna mencegah dampak lingkungan yang disebabkannya. 3. Pihak ke-1 bersedia menanggung biaya pengobatan pihak warga secara gotong royong dengan pengusaha lain yang menggunakan mesin batu bara disekitar lingkungan RW 05, apabila ada warga yang mengalami sakit yang disebabkan oleh emisi gas buang boiler batu bara , setelah dibuktikan secara media maupun hukum. 4. Pihak ke-1 akan lebih mengutamakan tenaga kerja dari pihak warga bilamana diperlukan yang disesuaikan dengan kriteria atau persyaratan yang berlaku diperusahaan. 5. Pihak ke-1 akan memberikan uang kebijaksanaan sebesar Rp 10.000.000,- kepada pihak warga sebagai bentuk terimakasih karena secara tidak langsung telah memberikan dukungan moral demi kelangsungan aktivitas perusahaan. 6. Bahwa setelah ditandatangani dan dilaksanakan surat persetujuan bersama ini kedua belah pihak tidak akan menuntut apapun dikemudian hari. Kesepakatan dilakukan kedua belah pihak didepan MUSPIKA (Camat, Kapolsek, Danramil) yang bertempat di Kantor Polsek Majalaya, tanggal 4 Agustus 2005 yang menghasilkan kesepakatan: 1. Pihak ke-1 dengan berbagai upaya akan mengusahakan mengurangi pencemaran udara/bau tidak sedap serta akan mengurangi asap yang dikeluarkan oleh cerobong pabrik PT. Tri Bintang Loka Warna dan Pihak ke-2 menyetujuinya. 2. Sebagai upaya dari Pihak ke-1 untuk mengurangi rasa bau tak sedap dan mengurangi asap yang ditimbulkan dari cerobong pabrik maka akan segera untuk menambah ketinggian cerobong PT. Tri Bintang Loka Warna, Pihak ke-2 menyetujuinya. 3. Bilamana setelah ada upaya tersebut ditas masih ada keluhan maka Pihak ke-1 akan menanggapi keluhan Pihak ke-2 dengan akan mengontrol secara bersama tentang keluhan tersebut dan Pihak ke-1
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
22
Peruntukkan uang kebijaksanaan perusahaan Pendatang mendapatkan uang Rp 10.000/KK Berdasarkan hasil musyawarah warga, pembagian uang diklasifikasikan berdasarkan radius/jarak rumah warga dengan perusahaan. Ada 4 kelas yaitu kelas 1, 2, pengikut, kontrakan. Kelas 1, mendapatkan uang Rp 65.000/KK Kelas 2, mendapatkan uang Rp 55.000/KK Pengikut, mendapatkan uang Rp 30.000/KK Kontrakan, mendapatkan uang Rp 5.000/KK
Tanggal
Pihak yang bernegosiasi
Deskripsi kasus
Hasil kesepakatan akan segera memperbaiki kembali untuk mengurangi keluar asap dan bau tak sedap dari cerobong PT. Tri Bintang Loka Warna. 4. Bilamana masing-masing pihak tidak mematuhi isi pernyataan ini maka kedua belah pihak bersedia untuk dilaporkan kepada pihak yang berwajib dan dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia.
3/11/2007
Pengusaha CV. Sinar Baru sebagai Pihak ke-1 dan Ketua RW 05 Kp. Sukahaji Desa Padamulya Kec. Majalaya Kab. Bandung yang berfungsi sebagai perwakilan masyarakat dan selanjutnya disebut Pihak ke-2
Tuntutan warga RW 05 Kp. Sukahaji Ds. Padamulya terhadap mesin boiler batu bara CV. Sinar Baru yang mengeluarkan emisi gas buang batu bara. Warga keberatan sebab emisi gas buang batu bara tersebut menimbulkan pencemaran udara dan mengganggu kesehatan warga.
1. Pihak ke-1 bersedia menangani biaya pengobatan bersama-sama dengan pengusaha yang telah menggunakan boiler batu bara di wilayah RW 05 Kp. Sukahaji apabila ada warga yang mengalami sakit yang diakibatkan oleh emisi gas buang boiler batu bara dari perusahaan yang ada di wilayah RW 05 (CV. Sinar Baru, CV. Himalaya, CV. Sungai Indah, CV. Bima Jaya). 2. Pihak ke-1 akan mengutamakan tenaga kerja dari warga dan masyarakat sekitar lingkungan khususnya RW 05. 3. Pihak ke-1 akan menyediakan air bersih untuk warga RW 05. 4. Pihak ke-1 akan mengutamakan bingkisan lebaran Hari Raya kepada 8 rumah yang dekat dengan perusahaan . 5. Pihak e-1 akan melakukan tes pengujian terhadap emisi gas buang boiler batu bara dengan disaksikan oleh pengurus RW 05 yang dilaksanakan oleh instansi terkait agar boiler batu bara yang dipakai CV. Sinar Baru benar-benar ramah lingkungan. 6. Pihak ke-1 telah memberikan uang sebesar Rp 32.000.000 untuk warga masyarakat RW 05 dan jajaran pengurus. 7. Pihak ke-2 menerima atas kebijaksanaan dari Pihak ke-1 dan Pihak ke-2 tidak akan melakukann pengajuan lagi kepada Pihak ke-1 karena sudah diselesaikan secara musyawarah 8. Kesepakatan bersama ini disaksikan oleh 2 orang yatu perwakilan masyarakat dan perusahaan.
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
23
Peruntukkan uang kebijaksanaan perusahaan
Dari gambaran diatas menunjukkan bahwa warga memiliki semangat yang gigih untuk memperjuangkan hak-haknya atas lingkungan yang telah dirusak dan dicemari industri. Mereka melakukan perlawanan sekalipun dalam posisi yang tertekan, karena berada pada pihak yang lemah jika dibandingkan dengan perusahaan. Posisi pun menjadi tidak seimbang. Perusahaan posisinya kuat sebab keberadaannya amat dibutuhkan oleh pemerintah sebagai penyumbang PAD. Upaya untuk penyelesaian sengketa lingkungan menjadi tidak mudah karena kurang ada niat baik dari perusahaan dan juga kehendak politik pemerintah sehingga penyelesaiannya memakan waktu lama, berlarut-larut dan hasilnya tidak mencerminkan keadilan bagi warga korban dan keadilan lingkungan.
8. SANKSI HUKUM 8.1
Gambaran Aturan tentang Sanksi Hukum Apabila penanggung jawab usaha/kegiatan melanggar kewajiban yang tertulis dalam peraturan hukum tersebut, maka dikategorikan sebagai tindakan kejahatan. Julukan bagi si pelanggar ini adalah penjahat lingkungan. Sanksi hukumnya bisa termasuk dalam sanksi administrasi, perdata dan juga pidana. Sanksi administrasi, diatur dalam UU No 23 Tahun 1997 (pasal 25 s/d 27), diantaranya: (1) Melakukan paksaan pemerintahan oleh Gubernur, Bupati/Walikotamadya kepada penanggung jawab usaha/kegiatan untuk melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, pemulihan pencemaran/kerusakan lingkungan hidup, atas beban biaya penanggung jawab usaha/ kegiatan; (2) Tindakan penyelamatan, penanggulangan, pemulihan dapat diganti dengan pembayaran sejumlah uang tertentu; (3) Pencabutan ijin usaha/kegiatan Sanksi Perdata, diatur dalam UU No 23 Tahun 1997 (pasal 34 s/d 39), diantaranya gugatan ganti rugi dan gugatan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan hidup Sanksi pidana, sudah diatur Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta dalam UU No. 23 Tahun 1997 (pasal 41 s/d 48). Dalam UU tersebut dijelaskan tentang kategorisasi sanksi pidana. Ada beberapa contoh kategorisasi sanksi pidana, antara lain: (1) sengaja melakukan pencemaran lingkungan hidup, diancam pidana penjara 10 tahun dan denda maksimal Rp 500.000.000; (2) sengaja melakukan pencemaran lingkungan hidup dan menyebabkan orang mati atau luka berat, diancam pidana penjara 15 tahun dan denda maksimal Rp 750.000.000; (3) Kealpaan melakukan pencemaran lingkungan hidup, diancam pidana penjara 3 tahun dan denda maksimal Rp 100.000.000; (4) Kealpaan melakukan pencemaran lingkungan hidup dan mengakibatkan orang mati atau luka berat, diancam pidana penjara 5 tahun dan denda maksimal Rp 150.000.000; Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Kitab UU Hukum Pidana dan UU 23 Tahun 1997 (pasal 49), terhadap pelaku tindak pidana LH dapat pula dikenakan tindakan tata tertib berupa: (1) Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau (2) penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau (3) perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau (4) mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau (5) meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau (6) menempatkan perusahaan dibawah pengampuan paling lama 3 tahun.
8.2 Putusan Pengadilan dalam Kasus Pencemaran Limbah Menyimak paparan diatas, saya berkesimpulan bahwa perhatian pemerintah ataupun aparat Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
24
yang berwenang dalam melakukan pengelolaan, pengawasan dan pengendalian pencemaran dirasakan masih lemah. Tindakan proaktif dari pemerintah ataupun aparat seperti kepolisian, kejaksaan, ataupun kehakiman sendiri dalam menangani kasus sangat kurang. Keberpihakan pemerintah ataupun aparat lebih condong pada kepentingan investasi ataupun modal, daripada akibat langsung pencemaran tersebut terhadap masyarakat ataupun lingkungan. Sekalipun undang-undang lingkungan telah mencantumkan ketentuan ganti rugi yang begitu besar dan sanksi hukuman yang begitu berat, namun ketentuan tersebut ternyata dalam prakteknya belum menjamin para pencemar lingkungan dapat dijerat dengan hukuman yang memadai. Hal ini dapat dilihat dari beberapa data putusan pengadilan pidana lingkungan hidup. Sangat jelas sekali, pihak yang didakwa melakukan pencemaran lingkungan hidup dapat lolos dari jeratan hukum. Dibawah ini, dituliskan contoh putusan pengadilan pidana lingkungan hidup. Tabel 5. Contoh Putusan Pidana Lingkungan Hidup Pengadilan Negeri Bale Bandung dalam Surat Amar Putusan, tangal 6 Mei 2004, Nomor. 50/Pid.B/2004/PN BB memutuskan perkara pidana lingkungan hidup kepada: Terdakwa 1 : Rino Turino Chernawan sebagai Direktur Utama PT. Senayan Sandang Makmur dan Terdakwa 2: Djuwito Bin Margono sebagai Kabag Maintenance PT. Senayan Sandang Makmur, yang beralamat di Desa Pasir Paku Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung. Terdakwa dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 42 ayat (1) Jo. Pasal 46 UU No. 23 tahun 1997 Jo. Pasal 55 (1) ke 1e KUHP, yaitu ”melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, karena kealpaannya melakukan perbuatan membuang zat yang berbahaya kedalam air permukaan, padahal mengetahui bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran/perusakan lingkungan hidup”. Menghukum terdakwa dengan pidana penjara masing-masing 4 bulan, dengan ketentuan bahwa pidana tersebut tidak perlu dijalankan, kecuali jika dikemudian hari dalam putusan hakim ditentukan lain yaitu terdakwa-terdakwa dipersalahkan melakukan suatu tindak pidana sebelum berakhir masa percobaan selama 8 bulan dan membayar denda sebesar Rp10.000.000,- (Sepuluh Juta Rupiah), barang bukti dimusnahkan, serta membayar ongkos perkara sebesar Rp 10.000,- (Sepuluh Ribu Rupiah). Pengadilan Negeri Bale Bandung dalam Surat Amar Putusan, tanggal 13 Mei 2004, Nomor 51/Pid.B/2001/PN BB memutuskan perkara pidana lingkungan hidup kepada: Terdakwa 1: Chu Chu Jung alias Kevin Chu sebagai Presiden Direktur PT. Multi Growth dan Terdakwa 2: Dra. Erna Rosmalia sebagai Manager Personalia dan Umum PT. Multi Growth. Terdakwa dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 42 ayat (1) Jo. Pasal 46 UU No. 23 Tahun 1997 jo. Pasal 55 (1) ke 1e KUHP, yaitu ”melanggar ketentuan perundangan-undangan yang berlaku, karena kealpaannya melakukan perbuatan yang menyebabkan tercemarnya lingkungan hidup”. Menghukum Terdakwa 1 dengan pidana penjara selama 5 bulan dengan ketentuan pidana tersebut tidak perlu dijalankan kecuali jika dikemudian hari dalam putusan hakim ditentukan lain yaitu karena Terdakwa dipersalahkan melakukan suatu perbuatan pidana sebelum berakhir selama 10 bulan dan membayar denda sebesar Rp 10.000.000,(Sepuluh Juta Rupiah). Menghukum Terdakwa 2 dengan pidana penjara selama 3 bulan dengan ketentuan bahwa pidana tersebut tidak perlu dijalankan kecuali jika dikemudian hari dalam putusan hakim ditentukan lain yaitu karena Terdakwa tersebut dipersalahkan melakukan suatu perbuatan pidana sebelum berakhir selama 6 bulan. Terdakwa 1 dan 2 membayar ongkos perkara sebesar Rp 10.000,- (Sepuluh Ribu Rupiah), serta menetapkan barang bukti dimusnahkan.
Kenyataan itu menunjukkan bahwa tindakan pencemaraan lingkungan belum dianggap sebagai tindakan kejahatan yang bisa mengancam manusia dan lingkungan. Sebagian para penegak hukum kita berpandangan bahwa tindakan mencemari lingkungan dianggap sesuatu yang sepele, bisa diselesaikan secara damai dibelakang meja, dan kalaupun Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
25
dihukum, hukumannya ringan sekali. Putusan itu mengindikasikan bahwa pemerintah dan aparat penegak hukum terlalu melindungi dan memanjakan tindak kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh industri pencemar, sehingga penegakan hukum lingkungan pun dilakukan setengah hati.
9. PENEGAKAN HUKUM SETENGAH HATI Intensitas penanganan kasus-kasus tindak kejahatan lingkungan, salah satunya dipengaruhi oleh anggaran yang disediakan pemerintah, karena ternyata anggaran untuk menegakkan hukum lingkungan sangat besar dengan rincian untuk pengumpulan barang bukti, biaya uji Laboratorium, biaya operasional penyidik, pembuatan dan rapat koordinasi BAP (berita acara penyidikan) dan gelar perkara. Berdasarkan laporan tahunan dari Komisi Ombudsman Nasional menunjukkan bahwa tumpulnya penegakan hukum di Indonesia disebabkan oleh perbuatan maladministrasi (maladministration) yang dilakukan penyelenggara negara, khususnya aparat penegak hukum (law enforcer) dan lembaga peradilan seperti penanganan yang berlarut-larut, bertindak sewenang-wenang, pemalsuan dokumen, dan lain-lain. Yang dimaksud dengan maladministrasi (maladministration) dalam suatu instansi pemerintah, yaitu adanya keputusan atau tindakan yang janggal (inappropriate), yang sewenang-wenang (arbitrary), menyimpang (deviate), bahkan melanggar ketentuan hukum, dan telah terjadi penyalahgunaan wewenang atau kesewenangan (abuse of power, detournament de puvoir), juga jika terasa ada pelanggaran kepatutan (equity) yaitu sekalipun menurut hukum dapat dibenarkan, akan tetapi nyata-nyata atau dapat dirasakan telah terjadi ketidakadilan.19 Faktor yang menyebabkan tumpulnya penegakan hukum juga disebabkan oleh sulitnya menemukan formula yang ampuh dalam memberantas korupsi yang sudah membudaya. Hal ini disebabkan karena korupsi sudah bersifat endemik dan sistemik. Pengertian dari endemik adalah dimana korupsi sudah menyebar secara luas (widespread) ke seluruh lapisan birokrasi, khususnya ke lembaga peradilan (judicial corruption), dan definisi dari sistemik adalah korupsi sudah masuk ke seluruh sistem pemerintahan dan perekonomian negara Indonesia. Permasalahan dalam penegakan hukum juga disebabkan oleh bergesernya nilai-nilai dari pengemban profesi hukum (advokat) dan penegak hukum sendiri (hakim, advokat, jaksa) yang cenderung lebih condong ke arah bisnis (Robert H. Aronson, “Professional Responsibilities in A Nutshell”, (Minnesota: West Publishing), Page 7). Padahal E.Y. Kanter dalam bukunya yang berjudul “Etika Profesi Hukum” menyatakan bahwa tujuan utama sebuah profesi bukanlah untuk menciptakan uang semata-mata, tetapi terutama untuk menyebarluaskan kesehatan (dokter), ilmu pengetahuan (ilmuwan), serta ketertiban umum atau penerapan hukum yang baik (ahli hukum) ke segenap lapisan masyarakat (E.Y. Kanter, “Etika Profesi Hukum”, (Jakarta: Penerbit Storia Grafika, 2001), hal. 64). Lemahnya penegakan hukum di Indonesia juga diakibatkan oleh belum adanya keinginan dari aparat penegak hukum sendiri untuk melakukan perubahan internal, dimana telah bergesernya nilai-nilai yang dianut pengembang profesi hukum, degradasi kualitas penegak hukum sendiri dan belum adanya niat untuk melakukan pembaruan (reform) terhadap instansinya masing-masing. Kendala lain dalam penegakan hukum lingkungan adalah belum adanya kesamaan persepsi antara 19
Artikel yang ditulis oleh Frans Hendra Winata. Disampaikan pada diskusi dengan tema “Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Secara Sistematik” yang diselenggarakan oleh Komisi Ombudsman Nasional di Hotel Ambhara, 11 April 2005.
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
26
Penyidik Polri, Penyidik PNS, Jaksa dan Hakim sehingga seringkali putusan hakim jauh dari harapan Penuntut. Kepolisian sebagai ujung tombak dalam penegakan hukum juga tidak pernah secara proaktif melakukan penanganan kasus-kasus lingkungan. Selain itu, kasus-kasus lingkungan tidak dijadikan sebagai kasus prioritas dikalangan penegak hukum sehingga berakibat pada lamanya proses penyelesaian kasus. Belum adanya langkah sinergis dari pemerintah dan aparat penegak hukum dalam mengatasi permasalahan lingkungan menjadi kendala dalam proses penyelesaian kasus-kasus pencemaran. Peranan pemerintah provinsi, pemerintah kota/ kabupaten belum dapat menggambarkan proses penanganan secara jelas. Pola penanganan yang tidak jelas ini pula yang menghambat ditingkat masyarakat untuk berperan serta dalam pengelolaan, pengendalian dan pengawasan terhadap pencemaran. Kondisi penegakan hukum seperti itu tentu saja menyebabkan warga dibuat seperti putus asa, tidak tahu harus berbuat apa. Namun, dalam kondisi keputusasaan, masih ada warga yang bersemangat, pantang menyerah, mereka terus melakukan kampanye-kampanye yang mampu menggugah kesadaran masyarakat. Diantara sekian banyak komunitas yang berani berjuang di bumi ini, ada satu upaya yang dilakukan oleh Koalisi Komunitas Korban Lingkungan (K3L) Cekungan Bandung, Pusat Sumber Daya Komunitas (PSDK) yang terus menerus mendorong proses penegakan hukum lingkungan.
10.
EVALUASI PROGRAM-PROGRAM PEMERINTAH Dalam mengatasi masalah pencemaran limbah industri, ada berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah melaui program-program diantaranya: 10.1 Proper (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan) Program ini bertujuan untuk mendorong penaatan perusahaan dalam dalam pengelolaan lingkungan melalui instrumen insentif reputasi/citra bagi perusahaan yang mempunyai kinerja pengelolaan lingkungan yang baik, dan instrumen disinsentif reputasi/citra bagi perusahaan yang mempunyai kinerja pengelolaan lingkungan yang buruk. Kegiatan dalam program ini mencakup pengendalian pencemaran air, udara dan pengelolaan limbah B3. Manfaat Proper: 1) Mengetahui sejauhmana industri taat kepada Peraturan Undang-Undang 2) Media informasi bagi masyarakat dan investor untuk mengetahui kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup. 3) Meningkatkan kemauan politik anggota legislatif untuk memprioritaskan kegiatan pelestarian lingkungan hidup di daerah/sektor masing-masing; 4) Sebagai informasi bagi suppier/vendor untuk memasarkan alat/bahan baku ramah lingkungan dalam rangka penerapan teknologi bersih. Peringkat Proper: 1) Peringkat Emas, bagi usaha yang telah berhasil melaksanakan upaya pengendalian pencemaran dan atau melaksanakan produksi bersih dan telah mencapai hasil yang sangat memuaskan. 2) Peringkat Hijau, bagi usaha yang telah melaksanakan produksi bersih dan berhasil meminimisasi dampak sampai pada tingkat yang berarti. 3) Peringkat Biru, bagi usaha yang telah melaksanakan upaya pengendalian pencemaran dan telah mencapai hasil yang sesuai dengan persyaratan minimum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
27
4) Peringkat Merah, bagi mereka yang telah melaksanakan upaya pengendalian pencemaran tetapi belum mencapai persyaratan minimum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. 5) Peringkat Hitam, bagi mereka yang belum berusaha melaksanakan upaya pengendalian pencemaran yang menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan Berdasarkan Laporan Menteri Negara Lingkungan Hidup pada Rapat Kerja dengan Komisi VIII DPR-RI di Jakarta pada tanggal 25 Juni 2003, menyebutkan bahwa di Tahun 2002 ada 12 industri manufaktur di Kabupaten Bandung/Kota Bandung yang mengikuti program Proper Kemudian di tahun 2003 jumlah industri yang mengikuti program Proper bertambah, mencapai 21 industri. Berikut nama-nama perusahaan yang mengikuti Proper. Tabel 6. Proper Industri Manufaktur di Kabupaten Bandung/Kota Bandung Tahun 2002 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Nama Perusahaan PT. Papyrus Sakti Paper Mill PT. Bintang Agung Jawa Barat PT. Grandtex Jawa Barat PT. Daliatex Jawa Barat PT. Indorama Syntetic Jawa Barat PT. Prodomo Jawa Barat PT. Kahatex II Jawa Barat PT. KTSM Jawa Barat PT. Pulau Mas Textile Jawa Barat PT. Adetex 1 Jawa Barat PT. Unilon Jawa Barat PT. Insan Sandang Internusa Jawa Barat
Jenis Industri Pulp and Paper Tekstil Tekstil Tekstil Tekstil Tekstil Tekstil Tekstil Tekstil Tekstil Tekstil
Lokasi Kab/Kota Kab. Bandung Kab. Bandung Kab. Bandung Kab. Bandung Kab. Bandung Kab. Bandung Kab. Bandung Kab. Bandung Bandung Bandung Kab. Bandung Sumedang
Tabel 7. Proper Industri Manufaktur di Kabupaten Bandung/Kota Bandung Tahun 2003 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Nama Perusahaan PT. Pulau Mas Textile Jawa Barat PT. Melvin PT. Adetex 1 Jawa Barat PT. Bintang Agung Jawa Barat PT. Grandtex Jawa Barat PT. Daliatex, Jawa Barat PT. Indorama Syntetic, Jawa Barat PT. Prodomo, Jawa Barat PT. Unilon, Jawa Barat PT. KTSM PT. Papyrus Sakti PT. Dewa Sutratex PT. Giri Asih Jaya PT. Insan Sandang Internusa PT. Kahatex I PT. Kahatex II PT. Kahatex III PT. Kewalram Indonesia PT. Five Star Textile PT. Sansan Saudaratex PT. Kertas Padalarang
Jenis Industri Tekstil Tekstil Tekstil Tekstil Tekstil Tekstil Tekstil Tekstil Tekstil Tekstil Kertas Tekstil Tekstil Tekstil Tekstil Tekstil Tekstil Tekstil Tekstil Tekstil Pulp and Paper
Lokasi Kab/Kota Bandung Bandung Kab. Bandung Kota Bandung Kota Bandung Kab. Bandung Kab. Bandung Kab. Bandung Kab. Bandung Kab. Bandung Kab. Bandung Kab. Bandung Kab. Bandung Sumedang Sumedang Sumedang Sumedang Sumedang Sumedang Sumedang Padalarang
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
28
10.2 Super Kasih Suatu program guna mendorong percepatan pentaatan industri terhadap ketentuan peraturan perundangundangan di bidang lingkungan hidup yang berlaku, dengan membuat Surat Pernyataan Tertulis industri untuk melakukan upaya penaatan dalam batas waktu tertentu, dengan memperhatikan faktor teknis dan administrasi yang disaksikan oleh Pejabat Pusat, Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Untuk tahun 2003 ini pelaksanaan program Super Kasih dikonsentrasikan pada tiga provinsi yaitu Jawa Barat (DAS Citarum), Jawa Timur (DAS Brantas), Riau (DAS Siak), dengan jumlah 100 perusahaan yang melibatkan pemerintah daerah dan pusat. Pelaksanaan program Super Kasih dilatarbelakangi oleh beberapa hal antara lain: perkembangan industri di Daerah Aliran Sungai (DAS), meningkatnya pencemaran air akibat air limbah industri dan domestik dan upaya meningkatkan kualitas air pada DAS. Tujuan Superkasih: Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, meningkatkan kesadaran pihak industri untuk menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku, meningkatkan semua pihak dalam pengendalian dampak lingkungan. Sasaran Superkasih: Meningkatkan kinerja pihak industri dalam upaya pengendalian dampak lingkungan, menurunkan beban pencemaran dari air limbah industri, meningkatkan kualitas air DAS, mengembangkanteknologi dan efesiensi IPAL. Berdasarkan data dari BPLHD Jawa Barat Tahun 2003, jumlah industri yang mengikuti program Super Kasih sebanyak 25 industri, terdiri dari 24 industri tekstil dan 1 industri elektronik. Adapun daftar nama perusahaan industri tersebut, yaitu: Tabel 8. Industri yang Mengikuti Program Superkasih NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
NAMA INDUSTRI PT. Asia Agung Central Parahyangan PT. Anata Nusindo PT. Arthabhama Textindo PT. Citabahana Intipersada PT. Comodo Textile Mills PT. Dewi Sakti Anugrah PT. Ferinatex Jaya CV. Firman Jaya PT. Hesterindo Sentosa PT. Himalaya Tunas Texindo NV. Padasuka Textile Mills PT. Pelangi Jaya Mandiri PT. Putra Mulya Terang Indah PT. Rukun Citra Tekstindo CV. Sekawan PT. Senotexindo Jayalestari PT. Shinetama Interfashion PT. Sinar Baru PT. Sinar Domas Textile PT. Sinar Sari Sejati PT. Terus Maju Jaya Perkasa CV. Timbul Jaya
JENIS INDUSTRI Tekstil Tekstil Tekstil Tekstil Tekstil Tekstil Tekstil Tekstil Elektronik Tekstil Tekstil Tekstil Tekstil Tekstil Tekstil Tekstil Tekstil Tekstil Tekstil Tekstil Tekstil Tekstil
ALAMAT Jl. Rancaekek Km. 24,15 Bandung Jl. Raya Laswi-Warusatangkal No. 7 Majalaya Jl. Raya Bandung-Garut Km. 28 Jl. Raya Laswi No. 11 Majalaya Jl. Raya Laswi No. 2 Majalaya Jl. Raya Laswi No. 220 Majalaya Jl. Cihaneut No. 16/26 Majalaya Jl. Raya Laswi-Ciwalengke No. 163/168 Majalaya Jl. Buah Dua No. 168 Jl. Pangkalan Raja No. 20 Majalaya Jl. Setra Indah III No. 20 Bandung Jl. Raya Laswi No. 2/10 Majalaya Jl. Rancajigang No. 220 Majalaya Jl. Raya Laswi No. 1 Majalaya Jl. Randukurung No. 1 Majalaya Jl. Raya Bandung-Garut Km. 25,5 Jl. Raya Cicalengka Km. 3 Jl. Rancajigang No. 20 Majalaya Jl. Raya Laswi No. 51/75 Majalaya Jl. Raya Laswi No. 97 Majalaya Jl. Balekambang No. 291 Majalaya Jl. Raya Laswi-Ciwalengke No. 99 Majalaya
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
29
23 24 25
PT. Tri Bhakti PT. Unggul Bukit Kencana PT. Warna Indah Samajaya
Tekstil Tekstil Tekstil
Jl. Raya Laswi No 5 Majalaya Jl. Rancajigang No. 88 Majalaya Jl. Balekambang No. 29 Majalaya
Pada kenyataannya program Proper maupun Superkasih belum menunjukan hasil yang maksimal. Buktinya, pencemaran limbah industri terus terjadi dan belum ada keberhasilan-keberhasilan kecil yang bisa ditunjukkan oleh pemerintah dalam menyelesaikan kasus-kasus pencemaran limbah industri. Pemerintah masih seperti ”macan ompong” yang tidak berdaya menghadapi pelanggaran lingkungan yang dilakukan oleh kaum pemodal. Posisi tawar pemerintah sangat rendah sekali. Program-program itu hanya dijadikan sumber uang oleh oknum-oknum pemerintah. Warga mengalami kesulitan untuk mengakses informasi hasil evaluasi program Proper maupun Superkasih. Informasi ini tertutup, layaknya sebuah rahasia. Warga tidak pernah dilibatkan dalam memberikan penilaian terhadap pengelolaan limbah yang dilakukan oleh suatu industri. Penilaian program Proper dan Superkasih sangat formalistik, prosedural dan mengabaikan keterlibatan warga sekitar yang terkena dampak pencemaran limbah industri.
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
30
MAJALAYA DI AMBANG BATAS Oleh : Deni Riswandani20
ajalaya sebagai salah satu kota Industri di Jawa Barat, walaupun kedudukannya sebagai kota kecil dan berada di wilayah otonomi Kabupaten Bandung, namun diera tahun 1960 sampai dengan era tahun 1980-an Industri Majalaya telah menorehkan sejarah sebagai kota industri tekstil “unggulan“ yang mampu menempatkan dan memantapkan posisinya sebagai daerah “Supply” nasional, dan sebagai kawasan “Export” internasional. Maka tidak heran apabila Majalaya pernah menyandang julukan sebagai “Kota Dollar”. Seiring dengan perkembangan dan kemajuan jaman, maka di awal tahun 1990-an telah terjadi “Ekspansi“ industri tekstil yang besar-besaran ke kawasan Majalaya. Banyaknya para “Investor“ pengusaha asing yang mendirikan industri tekstil di Majalaya, semakin memperkokoh “Status Quo“ Majalaya sebagai kawasan zona industri tekstil di Jawa Barat. Berdasarkan prosentase penyebaran industri per kecamatan di Kabupaten Bandung, Kecamatan Majalaya menduduki peringkat tertinggi yaitu hampir 30%. Peringkat tertinggi dimaksud adalah jumlah terbanyak mencapai 174 industri. Dengan rincian 70 industri tergolong besar dan 104 industri tergolong kecil. Adapun komposisi jenis kegiatan industri terbanyak di Majalaya adalah industri pemintalan dan pertenunan yaitu sebanyak 139 industri (DLH. Kab Bandung 2005). Bahkan sampai menyerap 33.000 tenaga kerja atau 17% penduduk Majalaya ( LPPM. ITB 2003). Tidak dapat dipungkiri bahwa “Paradigma“ pembangunan ala kapitalis yang lebih berorentasi pada pertumbuhan dan pemupukan “Surplus“ ekonomi telah menimbulkan persoalan yang amat sangat serius terhadap kerusakan lingkungan. Tidak dapat ditutupi juga bahwa kini keadaan ekosistem lingkungan Majalaya telah terjadi penurunan yang signifikan. Hal tersebut dikarenakan sebagai dampak dari ketidakdisiplinan pengelolaan industri dan lingkungan hidup.
1.
PENCEMARAN LINGKUNGAN “diluhur pinuh kukebul, dihandap loba limbah, akibatna jadi panyakit, masyarakat bati ngajerit”. 1.1
Pencemaran Air Dampak tidak dioperasikannya Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) secara terpadu, maka sungai di Majalaya menjadi tercemar, karena sungai selalu dijadikan media pembuangan limbah industri. Dari hasil survey pemantauan di 30 anak sungai mulai dari ruas Gunung Wayang sampai Jembatan Dayeuh Kolot, termasuk sungai-sungai di Majalaya tahun 2004, maka dapat teridentifikasi bahwa kualitas air buruk dan lebih buruk lagi ketika musim hujan, adapun indikasi pencemaran yaitu: (1) akibat pembuangan limbah tanpa pengolahan; (2) pembuangan sampah; (3) penggelontoran saluran limbah dengan parameter pencemaran BOD, COD, TSS, COL (DLH Kab. Bandung, 2005).
20
Penulis adalah warga Kp. Warusatangkal Ds. Padaulun Kec. Majalaya. Aktif di Komunitas Peduli Lingkungan (KPL) Majalaya sebagai Kepala Divisi Pengembangan Kapasitas. Aktif di Pusat Sumber Daya Komunitas (PSDK) dan Koalisi Komunitas Korban Lingkungan (K3L) Cekungan Bandung. Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
31
Dari hasil investigasi KPL (26 Mei 2006) DAS Sasak Benjol, DAS Ciwalengke, DAS Cikacembang, dan DAS Padaulun, warna airnya hitam pekat dan baunya menyengat, namun kami kesulitan mendeteksi pabrik industri pembuang limbah mengingat sangat tersembunyi dan rapinya saluran pembuangan limbah tersebut. Akan tetapi kami berhasil mendata penyebaran pabrik industri penghasil limbah di tiga daerah aliran sungai (DAS): a. DAS Sasak Benjol: PT. TMP, PT. WIS, PT. IBM, PT.Jatayu, PT. Nasatex, PT. Dewi Sakti, PT. Firman Jaya, dan PT. Dusantex. b. DAS Ciwalengke: PT. Satya Sumba, PT. Budi Asih, PT. Unggul Bukit Kencana, PT. Ama Suganda, PT. Nasatex, PT. Nirwana, PT. Harapan Jaya, PT. Majatex, PT. Tawekal, PT. Timbul Jaya dan PT. Sinar Sari. c. DAS Cikakembang: PT. TMPI, PT. Tawekal, PT. Purnama, PT. Nirwana, PT. Himalaya, PT. Sinar Baru, PT. Sungai Indah, PT. Surya Abadi, PT. Iwamatex, PT. Sumber Baru, PT. Setia Cahaya Lestari, PT. Sari Sandang, PT. Sinar Laju dan PT.Sipatex. Menurut data Lembaga Penelitian Pemberdayaan Masyarakat ITB (LPPM ITB, 2002) menguraikan bahwa frekuensi pembuangan limbah oleh industri berlangsung setiap 2-4 jam sampai setiap hari. Jumlah limbah cair yang dibuang setiap 2-8 jam mencapai 60 %, sedangkan limbah yang dibuang kesungai setiap hari mencapai 17 % dan limbah yang dibuang setiap saat (tanpa waktu) berjumlah 12 %. Kita ketahui bahwa dampak dari limbah cair industri tekstil dapat mengakibatkan penyakit kulit. Berdasarkan data 10 penyakit terbesar di Puskesmas Baru Majalaya bahwa jumlah penderita penyakit kulit atau Dermatitis dari tahun 2005 (Januari – Desember) dan tahun 2006 (Januari – Mei) berjumlah 7357. Namun tidak diperoleh keterangan dari pimpinan Puskesmas tersebut tentang penyebab terjadinya penyakit Kulit atau Dermatitis. (Puskesmas Majalaya Baru 2005-2006). 1.2
Pencemaran Udara Akibat tidak dioperasikannya pengendalian pencemaran udara secara optimal, maka menurut data laporan analisis udara Ambien, ada 3 tiga pabrik industri diatas nilai ambang batas yaitu PT. Purnama dengan parameter pencemaran partikulat (Desember, 2004), PT. Nirwana dengan parameter pencemaran SO2 (Februari, 2005) dan PT. Sipatex dengan parameter pencemaran debu (Februari, 2005). Selain itu juga kualitas ambien di zona industri Majalaya diatas ambang batas dengan parameter pencemaran debu dan PM10 (DLH Kab.Bandung, 2005). Perlu diketahui juga, sekarang ini di Majalaya ada sekitar 139 industri yang telah menggunakan batu bara sebagai bahan bakarnya, ratusan kubik batu bara setiap harinya didatangkan untuk memenuhi kebutuhan industri di Majalaya. Sudah pasti kebutuhan akan batu bara oleh industri akan semakin terus meningkat, mengingat cadangan dan pasokan BBM yang semakin berkurang, sehingga menyebabkan harga BBM melambung tinggi. Serta didukung pula oleh anjuran pemerintah untuk menggunakan batu bara sebagai pengganti bahan bakar minyak (BBM). Berdasarkan data 10 besar penyakit yang didapat dari Puskesmas Majalaya Baru maka dapat diketahui bahwa penderita penyakit ISPA dari tahun 2005 (Januari – Desember) dan tahun 2006 (Januari–Mei) merupakan kasus terbesar dengan jumlah penderita Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
32
terbanyak yaitu berjumlah 24.734 orang. Dari temuan investigasi KPL pada tanggal 28 Mei 2006, ke rumah-rumah masyarakat di zona industri, seperti Kp. Ciwalengke, Kp. Sukahaji, dan Kp. Pelangi maka dapat ditemukan setiap pagi di teras beranda rumah banyak berceceran debu batu bara (akan lebih kelihatan apabila teras berandanya berkeramik putih), demikian juga dengan jemuran pakaian di tiga kampung tersebut banyak terkena debu batu bara. Sudah menjadi rahasia umum bahwa mesin boiler yang digunakan oleh pabrik industri di Majalaya tidak sesuai dengan standar baku mutu karena mesin boilernya adalah hasil rekayasa atau rakitan (dari bahan bakar solar atau residu dirubah ke batu bara) dan diperparah lagi dengan penggunaan batu bara yang kualitas kalorinya rendah dibawah 6000 kalori, semestinya yang bagus adalah diatas 7000 kalori. Sebagian besar pabrik industri, diawal proses pembakaran batu baranya harus dipanaskan dulu dengan kayu bakar.
2.
KRISIS AIR “ Cai Jero Taneh di Sedot, Cai susukan di cokot, akibatna cai jadi beak masyarakat bati ngoceak ”. 2.1
Eksploitasi Air Bawah Tanah (ABT) Dari 174 industri di Majalaya, semuanya melakukan eksploitasi air bawah tanah melalui sumur artesis. Pengambilan ABT yang tidak terkendali menyebabkan terjadinya penurunan muka air bawah tanah yang signifikan. Menurut sumber rencana pengambilan air tanah (SRPAT) menyebutkan bahwa kedudukan muka air bawah tanah (MABT) di Majalaya berkisar 31,72 sampai 50,17 dengan fluktuasi penurunan dari 0,32 sampai 3,9 meter pertahun. (LPPM ITB Bandung, 2002).
2.2
Eksploitasi Air Permukaan Selain melakukan eksploitasi ABT sebagian industri di Majalaya juga melakukan eksploitasi air permukaan yang pengambilan debit airnya sangat besar, maka pantaslah kalau wilayah Majalaya sekarang ini masuk pada “ Zona Krisis Air”. Dari hasil investigasi 25 Mei 2006 dapat ditemukan ada 11 industri yang melakukan eksploitasi air permukaan (air sungai) yaitu : a) PT. Rama Putra, PT. Sungai Indah, PT. Nirwana melakukan eksploitasi air dari DAS Citarum dan DAS Ciwalengke. b) PT. Bambu Sakti, PT.Sipatex, PT. Dayung Mas melakukan eksploitasi dari DAS Citarum. c) PT. Bima Jaya, PT.Sinar Sari, PT.Dewi Sakti, PT.Sinar Baru, PT.Sidotex melakukan eksploitasi dari DAS Ciwalengke. (Hasil Investigasi KPL, 2006) Akibat banyaknya eksploitasi air bawah tanah (ABT) dan eksploitasi air permukaan Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
33
sungai, maka dampaknya sangat dirasakan bagi masyarakat diwilayah zona Industri. Sumur-sumur masyarakat menjadi kering dan jatah air bagi masyarakat menjadi berkurang bahkan susah didapat. Kasus kekeringan sumur sering terjadi didaerah zona industri seperti Kp. Pangkalan Raja, Kp. Sukahaji, Kp. Ciwalengke, Kp. Pelangi, Kp. Kebon Tiwu, dll. Sementara kasus kekeringan air untuk kebutuhan bercocok tanam sering dialami oleh masyarakat bagian hilir Majalaya yaitu : Kp. Kebon Tiwu, Kp. Jayanti, Kp. Loa dan Kp. pungkur yang dimana merupakan wilayah bercocok tanam (pertanian dan perkebunan). Bila musim kemarau tiba, sangat sering terjadi konflik antara warga dengan industri, demikian juga antara petani dengan industri. Akhirnya Penulis sependapat dengan Robinson (1988), Smith (1987), dan Hanson (1981), bahwa beroperasinya kegiatan proyek ekonomi besar yang kapitalis dengan karakter eksploitatif di negara yang sedang berkembang (NSB) cenderung mengenyampingkan kepentingan sosial, ekonomi, dan budaya penduduk setempat. Peringatan juga datang dari pemikir di Massachusett Institute of Technology dan para pemikir dari dari Club of Rome yang memperingatkan bahwa jika laju pembangunan dunia dan pertumbuhan dunia tetap seperti ini, maka suatu ketika akan tercapai batas ambang (threshold) pertumbuhan dan akan terjadi kehancuran planet bumi ini sebagai suatu sistem. Dari sisi ekonomi, dijadikannya Majalaya sebagai kawasan zona industri tekstil memang dapat menambah “Income Devisa Negara“. Namun akibat ekpansi industrialisasi yang besar-besaran ke wilayah Majalaya, ternyata dapat menimbulkan berbagai permasalahan, khususnya masalah lingkungan dari mulai masalah tata ruang, eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA), pencemaran lingkungan, sampai pada penurunan kualitas ekosistem.
.
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
34
JANGAN MENUNGGU TRAGEDI MINAMATA TERJADI DI SAGULING Oleh: Umar Alam Nusantara21
aduk Saguling salah satu waduk yang paling terkenal di Indonesia. Waduk ini membendung Sungai Citarum selama 3 tahun dari tahun 1982-1984. Mampu menenggelamkan 31 desa di 6 kecamatan dengan luas 6.176 hektar, Kecamatan Cipongkor, Padalarang, Batujajar, Cihampelas, Sindangkerta dan Cililin Kabupaten Bandung Barat, ketika itu masih Kabupaten Bandung. Dengan volume ± 875 juta m3. Waduk Saguling mempunyai 5 fungsi yaitu sebagai pembangkit listrik, industri, pariwisata, air minum dan perikanan. Sebagai Pembangkit Tenaga Listrik Air beroperasi mulai tahun 1985 merupakan jaringan interkoneksi Jawa-bali dengan kapasitas 4 x 175 MW. Sebagai fungsi perikanan, disini dikembangkan pusat budi daya ikan dengan sistem keramba jaring apung. Kalau kita jalan-jalan ke Desa Bongas Kecamatan Cililin, kita akan banyak melihat pemandangan keramba jaring apung. Disini memang yang paling banyak populasinya, selain di daerah Ciangkrong, Ciakar, Cirambai, Cilengkrang, dan Maroko. Awalnya, hanya ada 20 petani ikan saja. Diantara mereka adalah H. Arifin, H. Mulyana, H. Ma’sum dan H. Majid. Untuk mengawali ini pihak PT. Indonesia Power sebagai pengelola waduk memberikan pelatihan untuk calon petani ikan. Pelatihan ini dilakukan di Jatiluhur Purwakarta selama 18 hari dengan materi cara pembenihan ikan, cara pembibitan ikan, pembuatan pakan dan pemasaran. Untuk menjalankan budi daya ikan ini, pemerintah memberikan pinjaman modal usaha kepada petani ikan melalui Bank Rakyat Indonesia, masing-masing sebesar Rp 2,5 juta. Selain BRI ada juga bantuan modal dari Bank Dunia sebesar 250 juta, dari yang dijanjikan 500 juta. Modal usaha ini dijanjikan bersamaan dengan kedatangan Menteri Penerangan ketika itu Harmoko dan Gubernur Bank Indonesia, Arifin M. Siregar. Awalnya petani ikan di Bongas hanya diberikan izin kapling satu orang itu 4 keramba (1 unit) dan hanya untuk warga sekitar Saguling. Seiring perkembangan usaha, petani ikan bebas membuat keramba jaring apung. Untuk mendapatkan izin harus membayar retribusi kepada PT. Indonesia Power Rp 73 ribu dan R .50 /kg kepada Dinas Perikanan dan Peternakan Kab. Bandung. Dimulailah masa-masa kejayaan petani ikan di Saguling. Jumlah petani ikan berkembang mencapai sekitar 2000-an petani ikan, yang sekarang hanya tinggal 200-an itu. Dari hasil budi daya ikan, petani bisa mendapatkan laba sekitar 500 ribu sekali panen atau setara 5 juta kalau nilai sekarang dengan harga pakan 15 ribu/kintal, panen ikan bisa dilakukan dalam 2 bulan. Taraf kehidupan sosial dan ekonomi petani ikan meningkat secara signifikan, sempat dijuluki desa dolar karena besarnya jumlah uang yang beredar disitu. Dari hasil ini petani ikan desa Bongas bisa menunaikan ibadah haji, sekitar 18-26 orang sekali berangkat dan 60% petani ikan pergi menunaikan ibadah haji. Petani ikan mendapat bimbingan teknis dari Otto Soemarwoto, Badrul Hayat, Otay, Sutandar, dan Ir. Yan yang membimbing dari tahun 1984-1988 sampai petani ikan benar-benar maju dan bisa mandiri.
21
Penulis adalah warga Kp. Saparako Ds. Majalaya Kec. Majalaya. Aktif di Komunitas Peduli Lingkungan (KPL) Majalaya, menjabat sebagai Ketua Badan Pelaksana. Aktif di Pusat Sumber Daya Komunitas (PSDK) sebagai Koordinator Advokasi serta aktif di Koalisi Komunitas Korban Lingkungan (K3L) Cekungan Bandung sebagai Koordinator.
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
35
Petani ikan tergabung dalam beberapa kelompok tani. Untuk mengelola ini dibentuk koperasi yang bernama Koperasi Jaring Terapung Saguling yang disingkat KOPRIJATS. Ketika itu koperasi perikanan satu-satunya di Kabupaten Bandung, terakhir masih eksis sampai tahun 1999. Koperasi menentukan harga ikan dari petani dan memenuhi kebutuhan pakan ikan kepada anggota. Tapi sayang, koperasi yang seharusnya menjadi wadah untuk kemajuan anggota malah dijadikan lahan bisnis pribadi oleh bendahara koperasi. Koperasi hanya dijadikan tameng untuk kepentingan bisnisnya yaitu menjual pakan. Menurut data dari produsen pakan kira-kira dari tahun 1986-1996 sudah 160.000 ton yang dijual kepada petani ikan. Bayangkan, berapa laba yang bisa didapatkan dari hasil penjualan ini. Kondisi ini diperparah lagi dengan pengelolaan koperasi yang tidak optimal sehingga koperasi bangkrut, dan sampai sekarang belum ada laporan pertanggungjawaban dari pengurus. Gedung koperasi yang sudah kumuh menjadi saksi bisu sejarah masa kejayaan petani ikan Saguling. Keterpurukan berawal dari krisis moneter tahun 1997. Nilai tukar rupiah terhadap dolar yang terus melemah mengakibatkan harga pakan ikan terus merangkak ke harga yang tinggi, sebabnya pakan ini diimpor. Harga merangkak dari kisaran Rp.190 ribu/ton sekarang sudah mencapai Rp.3.146.000/ton. Untuk mengurangi beban ini petani ikan berinisiatif membuat pakan sendiri yang terbuat dari keju, indomi, promina yang semuanya jenis kadaluarsa dicampur dengan hu’ut. Kondisi ini sementara masih bisa dipertahankan karena petani masih bisa menjangkau harga pakan walaupun mahal, hanya tingkat ekonomi mulai mengalami penurunan. Kondisi ini diperparah dengan banyaknya wabah penyakit yang menyerang ikan emas pada tahun 1999. Ikan emas akan kelihatan mabuk dan kulitnya terkelupas seperti luka borok dan akhirnya mati. Awalnya hanya beberapa keramba, tapi lama-kelamaan menyebar luas secara massif tanpa terkendali. Begitupun petani ikan di Cirata dan Jatiluhur bernasib sama, kondisi ini terus terjadi sampai sekarang. Belum lagi kondisi cuaca yang sangat berpengaruh. Ada dua kondisi cuaca yang ekstrim, kalau musim kemarau yang disertai angin atau cuaca mendung yang terus-menerus akan mengakibatkan ikan mati. Kerugian petani ikan bisa mencapai milyaran rupiah. Matinya ribuan hingga jutaan ekor ikan salah satu indikator biologis menurunnya mutu air. Kematian ikan di Saguling sudah menjadi hal yang biasa dan kecendrungannya semakin parah. Penyebab matinya ikan itu antara lain karena kekurangan oksigen dalam air, akibat dari tingginya konsentrasi limbah di sekitar Waduk Saguling. Di Citarum hilir ada dua bendungan, Cirata dan Jatiluhur. Dengan melihat posisi seperti itu Saguling bukan hanya merupakan waduk terdepan, tetapi sekaligus menjadi filter atau penyaring bagi kedua waduk lainnya. Di Citarum hulu, hidup lebih enam juta jiwa manusia hidup di kota Bandung dan Kabupaten Bandung. Disini berdiri ratusan pabrik dari berbagai macam industri tekstil, kosmetik, kertas, makanan dan minuman, kimia, korek api dan susu. Semuanya merupakan industri yang berpotensi menghasilkan limbah. Hampir 60 persen produksi tekstil nasional dihasilkan dari sini dan semuanya menjadi industri pencemar yang membuang limbah ke Citarum beserta anak sungainya. Mulai dari Majalaya, Banjaran, Rancaekek, Deyeuhkolot, Batujajar, Cimahi, dan Padalarang. Dan semuanya menuju sebuah penampungan limbah raksasa, Waduk Saguling. Berdasarkan data sekunder hasil penelitian dan pemantauan periodik yang dilakukan oleh UNPAD, ITB, LIPI, dan UI. Dari pemantauan mutu air di DAS Citarum Hulu, diatas Waduk Saguling selama periode 2005-2006 diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut : a. Pengukuran mutu air menunjukkan status mutu air bagi peruntukan air baku air minum (Golongan B) termasuk sedang, peruntukan perikanan (Golongan C) termasuk buruk dan peruntukan PLTA Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
36
(Golongan D) termasuk sedang. b. Parameter yang tidak memenuhi baku mutu umumnya pada Golongan B adalah H2S, DO, COD, DOD, Se dan Endrin. Parameter pada Golongan C yang tidak memenuhi baku mutu adalah H2S, NH3, NO2, Cl2, DO, Surfaktan dan DDT, sedangkan parameter pada Golongan D yang tidak memenuhi baku mutu adalah Na dan RSC. c. Secara umum, indeks diversitas plankton diperairan waduk lebih besar dari 0,6 menunjukkan bahwasanyasanya perairan waduk masih dapat mendukung kelangsungan hidup organisme plankton. d. Kadar unsur hara N, P dan BOD air sungai/waduk mengindikasikan tingkat kesuburan yang berlebihan, sehingga perairan bersifat eutrofik. Ekses pengayaan unsur hara tersebut akan mengakibatkan pencemaran perairan. e. Hasil pengukuran tingkat kesadahan menunjukkan bahwasanyasanya air sungai/ waduk termasuk kategori perairan sedang, karena niai rata-rata kandungan CaCO3 air berada pada kisaran 61 – 120 mg/l. Kesadahan sedang dapat mengakibatkan korosi dan kerak pada instalasi metal. f. Pola distribusi vertikal H2S pada kolom air sungai/waduk menunjukkan pola ortograde. Kadar H2S air waduk masih memenuhi syarat baku mutu Gol. B, tetapi tidak memenuhi syarat baku mutu Gol. C. g. Reaksi air sungai/waduk menunjukkan pola distribusi vertikal pH yang bersifat clinograde. h. Secara umum, pola distribusi vertikal ion bikarbonat air sungai/waduk menunjukkan sifat ortograde. Ion bikarbonat erat kaitannya dengan nilai pH air dan ketersediaan CO2. i. Pola distribusi vertikal kadar CO2 menunjukkan sifat ortograde. Rendahnya kadar CO2 di beberapa stasiun pengukuran dipengaruhi oleh kondisi pH air. j. Kadar rata-rata oksiden terlarut pada kolom air permukaan sungai/waduk tergolong baik, dengan konsentrasi lebih besar dari 6 mg/l. Pada strata yang lebih dalam konsentrasi cenderung menurun dan menyebabkan kondisi air anoksik. Hal tersebut dipengaruhi oleh konsentrasi CO2 yang tinggi pada kolom air lebih dari 5 m. Pola distribusi vertikal oksigen terlarut bersifat clinograde yang mengindikasikan perairan yang tercemar. k. Timbulnya stratifikasi parameter kimiawi di sungai/waduk, terutama disebabkan oleh stratifikasi panas yang terjadi di perairan. Perbedaan temperatur air tertinggi terdapat pada kolom air antara permukaan (0,2 m) dan dekat dasar waduk dengan rata-rata perbedaan 2,9 0C dan kisarannya 1,4 – 4,2 0C. Secara umum, pola distribusi vertikal temperatur air bersifat clinograde. Data bulan Agustus 2005 menunjukkan nilai BOD yang rata-rata di atas baku mutu. Demikian juga dengan data bulan April 2005, Maret 2006, dan Agustus 2006, walaupun relatif lebih rendah. Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor pengenceran akibat naiknya volume air waduk. Baku Mutu Peruntukan Sungai Gol C untuk parameter BOD adalah < 6 mg/L, DO adalah < 4 mg/L, dan Hg adalah 0.001 mg/L.Yang sangat mengkhawatirkan adalah fenomena yang ditunjukkan oleh parameter COD dan merkuri (Hg). Merkuri telah melebihi nilai baku mutu untuk semua lokasi pengamatan baik pada tahun 2005 dan 2006. Sangat mengkhawatirkan tingkat pencemaran yang begitu tinggi di Saguling. Selain akan mempengaruhi kegiatan budidaya perikanan yang mengakibatkan matinya ikan, lebih mengkhawatirkan adalah terjadinya biomagnifikasi agen pencemar pada biota akuatik yang dikonsumsi manusia. Keberadaan agen pencemar seperti logam berat pada tubuh biota air seperti ikan akan berpotensi menimbulkan masalah kesehatan masyarakat kelak di kemudian hari. Ketika musim kemarau masyarakat menyedot air Saguling dengan mesin pompa disalurkan melalui pipa-pipa dan ditampung dalam sumur. Air dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kebutuhan air produksi (perkebunan) serta untuk konsumsi sehari-hari seperti minum, masak, mandi, dan kakus. Dampak jangka panjang akibat pencemaran logam berat adalah munculnya penyakit degeneratif. Kenaikan kadar merkuri melewati ambang batas yang diijinkan untuk dikonsumsi baik langsung airnya maupun ikan yang berada dalam air tersebut. Fenomena ini seakan mengingatkan kita terjadinya sebuah bencana penyakit yang aneh, penyakit Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
37
Minamata (minamatabyo). Sebuah tragedi yang telah membangkitkan kesadaran kemanusiaan dan pentingnya menjaga lingkungan. Nama penyakit minamata berasal dari Teluk Minamata, sebelah barat daya Jepang. Awalnya pada tanggal 21 April 1956, sebuah klinik kesehatan disana memeriksa seorang anak perempuan 5 tahun yang mengeluhkan rasa sakit pada otaknya. Seminggu kemudian, giliran adiknya yang berusia 3 tahun mengeluhkan rasa sakit yang sama. Dokter saat itu kebingungan dan merekomendasikan kedua pasien anak itu ke Minamata Health Center. Bukan hanya kedua anak tadi, ternyata penyakit dengan gejala yang sama terjadi juga kepada orang lain. Untuk menyelidiki penyakit aneh ini maka dibentuk Tim Studi Medis Penyakit Minamata di Kumamoto University. Akhirnya, tim ini berhasil mendeteksi bentuk keracunan logam berat akibat dari mengkonsumsi ikan dan kerang. Baru pada Juli 1959, menurut hasil penelitian tim dipastikan sumber racun itu adalah merkuri atau air raksa (Hg). Setahun kemudian menjadi lebih jelas sejumlah pasien menderita kelumpuhan saraf otak. Mereka berasal dari lokasi yang sama dan masih satu generasi. Alhasil, semakin jelas lagi kalau penyakit itu ternyata menurun yang menyerang laki-laki dan perempuan, memiliki ciri antara lain degenerasi sel-sel saraf di otak kecil yang menguasai koordinasi saraf. Gejala penyakit ini diawali gatal-gatal dan kejang pada tubuh penderita, kemudian muncul benjolan. Benjolan muncul dalam banyak varian pada sejumlah penderita, yakni di tangan, kaki, tengkuk, pantat, kepala, atau payudara. Rata-rata penderita mengalami gejala tersebut. Pada level yang lebih ringan orang-orang mengeluh mulutnya kebal sehingga tidak peka terhadap rasa dan suhu, hidung tidak peka bau, mudah lelah, dan sering sakit kepala. Pada level berikutnya, mereka yang terserang sistem sarafnya, termasuk otak, tidak bisa mengendalikan gerakan-gerakan tangan dan kakinya, telinga berdenging sampai tuli, daya pandang mata menyempit, bicara susah, dan gerakan tubuh secara keseluruhan jadi sulit. Sebagian lagi pingsan, gila, atau mati dalam sebulan setelah serangan penyakit ini. Yang mengerikan, banyak bayi-bayi yang dilahirkan dengan cacat bawaan. Rupanya ibu mereka saat mengandung banyak mengonsumsi ikan dan kerang dari hasil laut Teluk Minamata. Kebanyakan korban penyakit Minamata adalah nelayan dan keluarganya yang berasal dari desa-desa nelayan sekitar Minamata. Ini semua akibat dari pabrik-pabrik yang membuang limbah selama bertahun-tahun ke Teluk Minamata. Dalam perairan dan sedimennya, aktivitas bakteri mengubah merkuri menjadi bentuk organiknya, metil merkuri (methylmercury). Metil merkuri mengendap dalam rantai makanan di perairan yang terkontaminasi. Ikan dan biota air sebagai ujung dari rantai makanan itu memiliki kadar yang paling berbahaya dari metil merkuri. Ikan-ikan yang telah terkontaminasi itu menjadi sebuah ancaman kesehatan serius bagi manusia ketika rantai makanan itu menyambung ke manusia. Sekali berada dalam tubuh, metil merkuri sangat lambat tercuci. Bayi dan anak-anak kecil adalah yang paling sensitif terhadap keracunan merkuri dibanding manusia dewasa. Metil merkuri bahkan dapat beredar hingga ke plasenta dan berakumulasi di otak calon bayi. Kadarnya ditemukan pula di air susu ibu. Pada wanita hamil gejala-gejala mungkin tidak akan dirasakan, tetapi sebaliknya, dengan potensi yang akan diderita bayinya. Pada bayi dan anak-anak kecil, metil merkuri terbukti mencegah perkembangan normal sistem saraf dan menyebabkan luka pada otak. Merkuri dalam bentuk logam sebenarnya tidak begitu berbahaya, karena hanya sampai 15 persen yang bisa terserap tubuh manusia. Tetapi begitu terekspose ke alam, dalam suasana asam ia bisa teroksidasi menjadi metil merkuri. Merkuri baik logam maupun metilmerkuri, biasanya masuk tubuh manusia lewat pencernaan. Bisa dari ikan, kerang, udang, maupun air yang terkontaminasi. Namun bila dalam bentuk logam biasanya sebagian besar bisa disekresikan. Sisanya akan menimpuk di ginjal dan sistem saraf yang berbahaya jika terakumulasi. Metil merkuri makin berbahaya pada ibu hamil. Meski semua merkuri dapat menembus plasenta, namun metil merkuri diserap bayi 30 persen lebih tinggi daripada di darah ibunya. Akibatnya bila tidak keguguran, bayi yang dilahirkan akan banyak masalah. Keseimbangan terganggu, terlambat gerak motoriknya, IQ rendah, cacat, dan sebagainya. Sementara bila terisap bisa berdampak akut seketika tetapi juga bisa terakumulasi dan terbawa ke organ-organ tubuh lainnya, bronkitis, sampai paru-paru. Sangat menakutkan apa yang terjadi di Minamata, tapi bukan suatu hal yang mustahil Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
38
terjadi juga di tempat lain. Seperti yang terjadi juga di desa Buyat, Ratatotok, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Akibat pencemaran yang terjadi di Teluk Buyat karena terkontaminasi logam berat dan merkuri. Teluk Buyat menjadi tempat pembuangan tailing penambangan emas PT. Newmont Minahasa Raya (NMR). Dampak logam berat yang bersifat bioakumulasi pada kesehatan manusia, tidak hanya akan menimpa masyarakat sekitar wilayah yang tercemar saja, tetapi juga pada masyarakat di luar wilayah tersebut karena mengkonsumsi ikan hasil budidaya di wilayah tercemar. Terkait dengan ikan merupakan budidaya sebagian besar masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar Waduk Saguling dan bagian dari rantai makanan yang akan dikonsumsi oleh masyarakat lokal. Pada saat-saat tertentu, ketika debit air dari Sungai Citarum sangat besar, material limbah dan bahan organik berlebih yang semula mengendap di dasar bisa terangkat naik (upweilling) sehingga meracuni ikan-ikan yang berada di waduk. Selain dampak terhadap kehidupan biota air, dampak lain semakin menurunnya mutu air Sungai Citarum adalah terganggunya operasionalisasi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Saguling. Akan menimbulkan korosi dan kerak pada instalasi metal dan peningkatan sendimentasi yang berdampak pada berkurangnya umur waduk dari prediksi sampai 100 tahun, hanya mampu bertahan 52 tahum. Ada pengurangan 48 tahun. Akibat dari pencemaran air Waduk Saguling yang mengandung sifat eurotrofit, menyebabkan tumbuh suburnya tanaman gulma Enceng Gondok. Hal ini menyebabkan masalah baru yaitu sedimentasi. Sedimentasi terjadi karena berubahnya fungsi lahan di Citarum hulu. Hingga saat ini volume air waduk Saguling mengalami penurunan hingga 23% dikarenakan penguapan air yang berlebihan hingga 5 kali dari keadaan normal. Untuk membuktikan apakah terjadi pencemaran lingkungan hidup, bukti kunci terletak pada baku mutu ambient lingkungan hidup. Apakah akibat masuk atau dimasukkannya suatu benda/bahan atau zat ke dalam lingkungan hidup (air/tanah/udara). Baku mutu lingkungan hidup (ambient) yang ditetapkan bagi suatu media lingkungan hidup yang kemasukan tersebut menjadi terlanggar atau tidak. Jika jawabannya terlanggar, maka dapat dipastikan telah terjadi pencemaran lingkungan hidup. Baku mutu air sungai diatur dalam PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air dimana di dalamnya diatur tentang baku mutu badan air sesuai dengan golongan peruntukkannya. Walaupun hampir semua parameter menunjukkan melebihi baku mutu yang telah ditetapkan PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Namun demikian, data tersebut tidak akan bermakna apa-apa apabila tidak memberikan informasi mengenai upaya apa yang harus dilakukan. Sebagai bagian dari upaya pengendalian pencemaran di Saguling, dibutuhkan mulai dari peningkatan kesadaran dan pengetahuan akan nilai penting sumberdaya air. Berdasarkan analisis kualitatif terhadap kondisi ini dan hasil pengamatan lapangan, kontribusi industri terhadap peningkatan beban pencemaran lebih dominan dibandingkan dari kegiatan domestik. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan. Pencemaran harus segera dihentikan dengan cara penegakkan hukum yang adil, karena Indonesia negara hukum? Oleh karena itu, penegakkan hukum lingkungan hidup sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi dan ditunda-tunda lagi. Menurut Pengadilan Negeri Bale Bandung, baru dua kasus pencemaran dari sekian kasus pelanggaran yang mendapatkan vonis hukuman. Mau tahu vonis hukumannya? 5 bulan percobaan dan denda Rp. 10 juta. Bayangkan, sangat tidak sebanding dengan akibat dari pencemaran. Jangan menunggu tragedi Minamata terjadi di Saguling, kalau ingin menegakkan hukum lingkungan hidup. Itu juga kalau mau menggunakan akal sehat bukan akal yang sudah terkontaminasi limbah (uang).
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
39
AWAN MENDUNG DI RANCAEKEK Oleh: Euis Widia22
GAMBARAN UMUM Rancaekek terletak di daerah perbatasan antara Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang. Menurut data monografi kecamatan tahun 2004, Rancaekek memiliki 13 desa, 124 RW dan 800 RT, pendidikan masyarakatnya rata-rata SMP, profesi kebanyakan petani dan buruh pabrik. Rancaekek merupakan kawasan industri paling besar di Provinsi Jawa barat dimana mempunyai 28 industri besar dan menengah. Luas wilayah Rancaekek sekitar 100 hektar yang menampung sekitar 36.000 karyawan buruh pabrik, jelas hal ini dapat meningkatkan perekonomian di Kabupaten Bandung. Ironisnya, disatu sisi bisa menguntungkan tapi disisi lain menimbulkan dampak kerugian yang sangat besar sekali terutama bagi lingkungan, pertanian dan peternakan. Karena Sungai Cikijing yang merupakan sumber utama untuk mengairi sawah menjadi kotor, sawah jadi tercemar, ikan-ikan banyak yang mati, timbul berbagai penyakit, terutama hasil panen sangat turun drastis, akibat limbah. Jelas sudah, akibat proses industrialisasi yang tidak ramah lingkungan warga menjadi korban dan menanggung kerugian yang sangat besar. Menurut Pak EE, salah seorang petani di Kp. Bojong Loa, menuturkan bahwa dulu pernah dilakukan penelitian oleh Dinas Pertanian, hasilnya yaitu limbah di Rancaekek mengandung unsur natrium yang sangat tinggi dan mencemari sawah, lumpur limbah mencapai 70 cm dan menggenangi pesawahan. Dari tahun ke tahun endapan lumpur ini akan terus meninggi dan menyebabkan sawah menjadi rusak dan tidak bisa ditanami lagi, tamat sudah riwayat para petani Rancaekek. Sebenarnya, pencemaran limbah di Rancaekek diakibatkan oleh tiga industri besar yang berada di Kabupaten Sumedang seperti PT. Kahatex, Five Star dan Insan Sandang. Ketiga pabrik tersebut membuang limbahnya ke Sungai Cikijing yang mengalir ke Kabupaten Bandung dan mengakibatkan 4 desa menjadi tercemar, diantaranya: Desa Linggar, Bojong Loa, Jelegong dan Rancaekek Wetan. Kondisi yang parah dan memprihatinkan bisa kita temui di Kampung Babakan Jawa Desa Bojong Loa. Jika dilihat dari tata ruang Kabupaten Bandung, Rancaekek merupakan lahan pertanian (lumbung padi). Sedangkan menurut tata ruang Kabupaten Sumedang, Rancaekek adalah lahan industri. Telah keluar SK Bupati Sumedang yang menyatakan bahwa industri diperbolehkan membuang limbah ke sungai, sehingga Sungai Cikijing beralih fungsi menjadi sarana pembuangan limbah. Kalau melihat kondisi yang seperti itu nampaknya sulit untuk diselesaikan karena ulah birokrat keparat. Masing-masing tiga industri besar di Rancaekek mengaku sudah menggunakan IPALnya dengan benar. Lalu darimanakah datangnya limbah kental seperti oli yang mengalir di Sungai Cikijing?
22
Penulis adalah warga Kp. Warusatangkal Ds. Padaulun Kec. Majalaya. Aktif di Komunitas Peduli Lingkungan (KPL) Majalaya dan menjabat sebagai Sekretaris Badan Pelaksana. Aktif di Pusat Sumber Daya Komunitas (PSDK) dan Koalisi Komunitas Korban Lingkungan (K3L) Cekungan Bandung.
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
40
OPINI MASYARAKAT TENTANG PENCEMARAN LIMBAH INDUSTRI Rancaekek dulunya adalah daerah agraris dan tidak ada ikan yang paling enak selain di Rancaekek, sampai menanam ikan di sawahpun bisa menjadi enak seperti di kolam. Jaman dulu, Rancaekek ini adalah gudang beras dan ikan mas. Pada tahun 1989 mulai berdiri pabrik-pabrik diantaranya PT. Kwaram, Five Star, Kahatex. Pencemaran industri terasa mulai parah pada tahun 1991, limbah mencemari sungai sehingga ikan banyak yang mati, sawah-sawah petani sering gagal panen. Sehingga gudang beras dan ikan mas yang enak kini tinggal kenangan. Untuk mengetahui kondisi pencemaran di Rancaekek terutama di Sungai Cikijing, penulis yang juga aktif di Komunitas Peduli Lingkungan (KPL) melakukan penelitian dengan melibatkan komunitas korban pencemaran limbah industri. Pak EE, petani yang punya lahan sawah cukup luas dan aktif di kelompok tani menjelaskan bahwa PT. Kahatex membuang limbah seperti oli yang sangat kental. Masyarakat yang mengetahui kejadian itu cepat-cepat menutup saluran air yang menuju ke lahan sawahnya. Tapi bagi yang tidak tahu, tanaman padinya menjadi rusak terbakar akibat air limbah tersebut. Lumpur dari limbah industri yang mengendap di sawah menempel pada kulit dan menyebabkan penyakit gatal-gatal. Warna hitam pada kulit ini sangat sulit kalau dihilangkan, untuk menghilangkannya harus dicuci pakai air panas dan baru bisa hilang setelah dua hari. Warga melakukan aksi demo ke kecamatan, tapi sayangnya ada yang mematahkan akibat dari ulah oknum LSM dan dan aparat setempat, sehingga akhirnya warga melampiaskan kekesalannya lewat aksi corang-coreng Agustusan. Kemudian Ibu Neni, warga Kampung Babakan Jawa menceritakan bahwa pernah ada kejadian jatuhnya seorang anak ke Sungai Cikijing sampai dirawat di Rumah Sakit Majalaya selama 7 hari. Karena terjatuh ke sungai, otomatis air limbah Sungai Cikijing terminum oleh anak tersebut sehingga mengakibatkan penyakit gangguan usus. Pihak Kahatex memberikan uang ganti rugi sebesar Rp 100.000,Wakil Bupati Bandung Yadi Sri Mulyadi menjelaskan bahwa kondisi lingkungan Rancaekek sangat rusak pada tahun 1992. Sedangkan para petani asal Desa Jelegong mengungkap bahwa pencemaran air irigasi ini berdampak pada penurunan produksi padi. Pada musim hujan, panen bisa mencapai 800 kg pertumbak tetapi pada musim kemarau paling hanya sekitar 250 kg per 100 tumbak. Disisi lain ada kebijakan Bupati Sumedang yang mengeluarkan Surat Keputusan, isinya memperbolehkan industri membuang limbah ke sungai, padahal hal tersebut jelas bertentangan dengan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup No 23 Tahun 1997. Perbedaan pengelolaan aliran sungai tersebut telah melahirkan ketimpangan sosial. Bagi pelaku industri di Rancaekek, SK Bupati Sumedang jelas sangat menguntungkan. Namun sebaliknya bagi masyarakat petani hal tersebut jelas merugikan karena aliran Sungai Cikijing yang selama ini mereka gunakan menjadi tercemar limbah industri dan berpengaruh terhadap pertanian mereka. (Republika, 28 Maret 2007) Kawasan Rancaekek adalah daerah studi yang direncanakan sebagai pusat pertumbuhan. Untuk mempercepat pertumbuhan, pemerintah mengembangkan kegiatan industri. Menurut Maryono (Master Theses from JBPTITBPP/2007-04-09 19:21:24) dari Pemkab Sumedang, kawasan perkotaan Rancaekek direncanakan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dengan mengembangkan kegiatan industri. Pada akhir dekade 80-an dan awal 90-an, perkembangan industri di kawasan Rancaekek berlangsung secara pesat. Hal ini disebabkan oleh adanya dukungan kebijakan makro ekonomi nasional pada waktu itu dan potensi ke ruang kawasan sehingga banyak menarik investor. Namun tuntutan penawaran, permintaan, pengembangan industri, kegiatan industri tersebut tidak diikuti oleh kebijakan pengelolaan lingkungan yang memadai. Kebijakan pemerintah Kabupaten Sumedang yang memperbolehkan Sungai Cikijing sebagai badan penerima limbah cair industri (golongan D) belum disertai pengelolaan dengan kebijakan pengelolaan sungai yang kooperatif mengingat pemerintah Kabupaten Bandung sebelumnya telah mengoleksikan pemanfaatan Sungai Cikijing sebagai sumber irigasi kegiatan perikanan, pertanian masyarakat di hilir sungai (Golongan C). Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
41
Adapun dampak yang dirasakan oleh masyarakat petani di kawasan Rancaekek Kabupaten Bandung yang berada di kawasan hilir Sungai Cikijing tepatnya yaitu Desa Linggar, Bojong Loa, Jelegong dan Sukamulya terjadi kerusakan areal pesawahan akibat dari adanya pencemaran yang berasal dari tiga perusahaan industri pelaku pencemaran yaitu PT. Kahatex, PT. Insan Sandang dan PT. Five Star. (Sindo 01/04/2007) Selain itu juga perusahaan yang bergerak dibidang garmen itu telah menyalahgunakan pengelolaan air. Perusahaan-perusahaan tersebut mengambil air dari dalam tanah, ada dugaan bahwa Kahatex memiliki 33 sumur artesis. Melihat kondisi Rancaekek yang sudah semakin kritis sepertinya masyarakat petani Rancaekek harus alih profesi karena lahan pertanian sudah beralih fungsi menjadi lahan industri. Kasihan sekali nasib para petani yang tidak memiliki keahlian lain, tamat sudah riwayat hidupnya karena tidak punya penghasilan. Menurut Dadang Kepala Sub Dinas Pengolahan dan Pemasaran Hasil Dinas Pertanian Kabupaten Bandung, saat ini sekitar 700 ha sawah sudah tercemar limbah dengan kategori 20 ha tidak bisa ditanami, 270 ha rusak berat dan lebih dari 400 ha rusak sedang dan ringan. Dari berbagai hasil temuan oleh berbagai kalangan sebagaimana telah terpapar, sangat jelas terlihat bahwa telah terjadi pencemaran lingkungan yang tergolong cukup kritis khususnya pada aliran Sungai Cikijing yang sangat berpengaruh terhadap lahan pertanian dan mengarah pada tingkat perekonomian pendapatan masyarakat petani Kecamatan Rancaekek. Selain itu juga pencemaran aliran Sungai Citarum dalam hal ini BPLHD Jabar Ratno Sardinata menyebutkan, dari 5,6 ton sumbangan limbah terbesar datang dari pabrik textile terbesar di wilayah Kecamatan Rancaekek “pabrik itu menyumbang limbah sebanyak 300 liter/detik dari keseluruhan limbah industri di kecamatan tersebut sebanyak 759 liter/detik”. Diungkapkannya pula bahwa pencemaran limbah dipesawahan sangat membahayakan kesehatan karena dikhawatirkan hasil padinya kelak akan mengandung logam berat, jika terakumulasi ditubuh manusia bisa mengakibatkan tragedi kemanusiaan bahkan limbah cair juga bisa mematikan mahluk hidup lainnya sepeerti ikan. Ada empat desa yang cukup rawan terkena dampak langsung yaitu: Desa Linggar, Babakan Jawa, Bojong Loa dan Jelegong, ungkap Ketua Tim Kecil Penanganan Limbah Kawasan Industri CicalengkaYazid Salman di gedung DPRD Provinsi Jabar, Jl Diponogoro Bandung Menurutnya, akibat pencemaran tersebut, produksi pertanian di desa-desa tersebut melorot hingga 80 % bahkan para petani juga enggan mengkonsumsi hasil panennya sendiri. Dari hasil penelitian IPB September 2004 di Rancaekek terdapat merkuri. (Detikcom, 30//5/2005). Bukan hanya Rancaekek, kawasan industri Cicalengka Bandung pun perlu diwaspadai, sebab perusahaan-perusahaan di kawasan itu telah mengakibatkan pencemaran lingkungan. Kawasan sekitar Cicalengka menerima limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) dari kawasan industri itu. Dampak pencemaran ini luar biasa, sekitar 400 hektar area pesawahan tidak dapat ditanami lagi, sungai-sungai juga telah tercemar beberapa logam berat dan menyebabkan ikan-ikan mati, air tanah dikawasan industri Cicalengka juga diduga sudah tercemar logam berat, Merkuri dan Krom. Rencananya tim kecil yang terdiri dari komisi A, B dari DPRD Provinsi Jawa Barat itu akan membentuk panitia khusus untuk menyelidiki tingkat kerawanan pencemaran dikawasan industri Cicalengka itu. Saat ini, ada sekitar 80 perusahaan besar yang beroperasi, rata-rata perusahaan tersebut membuang limbahnya kesungai. Dari data buang limbah Cicalengka saat ini, sebanyak 220 ton limbah berasal dari limbah domestik, 40 ton limbah industri dan rata-rata limbah itu dibuang melalui air sungai yang hilirnya menuju Sungai Citarum. Yazid mengaku hal ini memang harus diketahui publik meski dirinya sering mendapatkan teror kondisinya sudah sangat rawan, saya juga sudah mendapat ancaman teror melalui telepon agar tidak mengungkapkan kejadian ini. Secara kasat mata perubahan akibat pencemaran tersebut juga dapat Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
42
dilihat salah satu antara lain jalur tol Rancaekek- Cicalengka sudah terjadi amblasan sedalam 4 meter. Ada beberapa upaya yang dilakukan oleh warga Rancaekek untuk mengatasi masalah pencemaran limbah industri, diantaranya melalui TGPLKR yaitu Tim Gabungan Penanganan Limbah Kecamatan Rancaekek yang dibentuk oleh dan atas nama warga Rancaekek untuk mengupayakan solusi pencemaran yang diakibatkan oleh limbah industri yang mengalir ke Sungai Cikijing dengan tuntutan diantaranya normalisasi Sungai Cikijing. TGPLKR merupakan gabungan dari LSM-LSM yang berada di Rancaekek dengan harapan bisa membawa solusi bagi masyarakat korban pencemaran limbah industri. Tetapi saying, TGPLKR ini ternyata tidak bisa diharapkan, tim ini hanya berjuang untuk kelompoknya saja dalam meningkatkan ekonomi pribadinya yaitu dengan menangani sampah pabrik dimana hasilnya pun bukan untuk masyarakat melainkan untuk kepentingan kelompoknya. Sebenarnya Tim TGPLKR sudah membuat MoU dengan ketiga industri besar tersebut, istilahnya adalah penyelesaian sengketa lingkungan diluar pengadilan atau lebih dikenal dengan ADR (Alternative Disputes Resolution). Beberapa tuntutan warga diantaranya adalah normalisasi Sungai Cikijing dan penyerapan tenaga kerja. Tapi sayangnya, penyerapan tenaga kerja ini malah dijadikan peluang sumber pendapatan bagi para oknum di LSM yang menjadi calo tenaga kerja. Warga yang mau bekerja di Kahatek harus menyogok uang sebesar Rp 4.500.000 untuk laki-laki dan Rp 2.500.000 untuk perempuan. Hal ini tentu saja merugikan warga Rancaekek karena bagi warga yang tidak punya uang jadi tidak bisa bekerja dan akhirnya jumlah pengangguran di Kecamatan Rancaekek mencapai 40 %. Sedangkan para buruh pabrik kebanyakan datang dari luar daerah Rancaekek yang mengaku sebagai warga Rancaekek. Sungguh ironis sekali, yang terkena dampak sangat besar dari proses industrialisasi malah tidak mendapatkan apa-apa dan seharusnya ini menjadi perhatian perusahaan maupun pemerintah karena ternyata masyarakat di sekitar industri mengalami kemiskinan, melarat hampir sekarat. Berbagai hambatan datang menerpa warga Rancaekek dalam menyelesaikan masalah pencemaran limbah industri, diantaranya: adanya para oknum LSM yang menjelma menjadi premanisme dan ingin mencari keuntungan dari pihak industri. Kemudian, adanya warga yang tidak konsekuen terhadap tuntutan dan mau saja menerima uang kompensasi. Serta banyaknya lahan pesawahan yang dimiliki oleh orang luar daerah Rancaekek. Kondisi ini tentu saja melemahkan gugatan warga untuk mengadvokasi terhadap industri yang mencemari lingkungan dan merugikan warga. Sebenarnya kalau pemerintah menegakan aturan hukum pembuangan limbah industri dengan tegas, pencemaran air dan udara bisa diminimalisir. Salah satu contohnya adalah ketentuan tentang IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) yang wajib dimiliki, ditaati oleh setiap penanggungjawab usaha/kegiatan apabila akan mendirikan industri. Pertanyaannya kemudian, lalu mengapa IPAL ini tidak difungsikan oleh pihak industri? Mengapa pihak industri sepertinya tidak takut dengan aturan pemerintah? Mengapa aparat pemerintah malah mengeluhkan perbuatan industri yang melanggar, padahal seharusnya pemerintah mengambil tindakan tegas karena punya kewenangan dalam penegakan hukum? Menurut KLH, pencemaran limbah industri di Kabupaten Bandung merupakan salah satu yang terparah di Indonesia. Hal tersebut berdasarkan hasil evaluasi program peningkatan kinerja perusahaan. KLH menyambut positif upaya alih produksi lahan yang terkena limbah. Sedangkan menurut Otto Sumarwoto (pemerhati lingkungan) pemerintah tidak tegas dalam menegakan aturan mengenai pembuangan limbah ke sungai sampai keadaannya parah. Selama ini pemerintah tidak tegas padahal aturan sudah ada. Secara kritis WALHI memaparkan bahwa: pertama, pemerintah maupun lembaga peradilan belum Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
43
serius menangani dan menyelesaikan kasus-kasus pencemaran lingkungan. Dari tahun 1996 belum melihat upaya yang serius dari berbagai pihak yang berkompeten untuk menegakan hukum lingkungan. Kedua, lemahnya penyelesaian kasus-kasus pencemaran berpangkal dari lemahnya komitmen politik pemerintah untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan sehingga pelaksanaan dan penegakan hukum menjadi lemah. Ketiga, selama ini pemerintah lebih dominan melakukan pendekatan persuasif dibanding upaya pengakan hukum misalnya melalui Program Kali Bersih (PROKASIH) atau Peringkat Kinerja Perusahaan dalam lingkungan PROKASIH (PROPER- PROKASIH). Keempat, akses masyarakat tentang informasi yang dimiliki Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL) sangat kecil sehingga keterlibatan masyarakat dalam mendorong industri agar taat aturan tidak berlangsunlg seperti yang diharapkan misal: informasi mengenai PROPER PROKASIH tidak dapat diakses masyarakat secara mudah dari Bapedal dengan alasan data tersebut merupakan rahasia negara.
UPAYA-UPAYA YANG DILAKUKAN BERBAGAI PIHAK Mengingat kondisi pencemaran dari aliran Sungai Cikijing telah mencapai tahap kritis dan dapat melumpuhkan pertanian masyarakat maka berbagai pihak baik instansi terkait maupun tokoh pemerhati lingkungan seperti KLH, BPLHD, PEMKAB, DLH, DPRD, DISPERTAN, berbagai LSM seperti WALHI dan KOMNAS HAM telah melakukan investigasi terhadap masalah ini guna mencari benang merah sekaligus memberikan kontribusi positif dalam melakukan konservasi terhadap lahan pertanian yang terancam lumpuh. Masing-masing pihak memiliki pola penanggulangan yang berbeda berdasarkan sudut pandang masing-masing, namun memiliki tujuan yang sama yaitu menekan tingkat pencemaran di Sungai Cikijing dan memperbaiki lahan pertanian guna menyelamatkan perekonomian masyarakat petani di Kecamatan Rancaekek Kabupaten Bandung.
UPAYA MASYARAKAT Berbagai upaya yang dilakukan masyarakat yaitu: 1) Mendorong terciptanya normalisasi Sungai Cikijing. 2) Meminta ganti rugi atas kerugian akibat sawahnya rusak karena tercemar limbah walaupun sebenarnya seringkali tidak memadai bahkan tidak sampai ke warga. 3) Penyerapan tenaga kerja 4) Melaporakan kasus pencemaran limbah industri ke instansi Pemerintah terkait, Komnas Ham dan Walhi. 5) Berjejaring dengan LSM di luar Rancaekek.
UPAYA PEMERINTAH DPRD Jawa Barat berdasarkan penelitian dari pusat penelitian pengembangan tanah dan agroklimat tahun 2001 dimana tanah pesawahan di Rancaekek mengandung Natrium (Na) dengan konsentrasi tinggi yaitu: 203, 12, 97 me/100 g tanah sebagai kadar perbandingan kadar Na dalam tanah yang tidak tercemar limbah industri tekstil hanya 0,92 me/100 g tanah, selain itu unsur logam berat pencemaran lainnya yang terdeteksi adalah Hg,Cd,Cr,Cu,Co dan Zn. Lokasi pesawahan yang tercemar terletak di 4 desa dengan luas 400 ha dengan penurunan produksi gabah sebesar 1-2 ton /ha itupun dalam kualitas buruk. Bertitik tolak dari hasil pertanian tersebut maka komisi A, D, B DPRD Jabar dengan BPLHD, DINKES, DISTAMBANG, PSDA dan SATPOL PP membentuk Pansus Penanganan Pencemaran Cikijing. Adapun langkah pertama dari Pansus ini adalah: Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
44
1) Melakukan kunjungan langsung ke lapangan berdasarkan laporan dan pengaduan petani setempat dan hasil penelitian pakar lingkungan dari IPB. 2) Mempertemukan petani dengan pelaku industri guna membuat komitmen namun sayang upaya ini tidak berhasil karena ada yang tidak konsisten terhadap komitmen. 3) Melakukan pengawasan atas limbah di Rancaekek yaitu melalui difungsikannya IPAL walaupun penuntasan hasilnya belum maksimal, masih perlu penuntasan. 4) Melaksanakan IPAL terpadu yang di dukung pengalokasian dana yang proporsional. 5) Dijajaki penggalangan dana yang bersumber dari investasi. 6) Adanya pemberitaan terhadap publik akan eksploitasi air tanah secara besar-besaran oleh pihak perusahaan seperti PT. Kahatex yang memuat 33 sumur artesis namun cara ini selalu mendapat intimidasi dari pihak radikal. 7) Pengerukan ditahun 2004 sepanjang sungai Cikijing. Penanganan limbahnya diserahkan kepada BPLHD sedangkan untuk pengerukan air sungainya diserahkan pada PSDA dan dibiayai oleh PT. Kahatex sebesar Rp 100.000.000, PT. Five Star Rp 7.500.000, dan Insan Sandang Rp 8.000.000.
UPAYA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BANDUNG Mengingat luasnya pencemaran areal pesawahan seluas 700 ha sawah maka Pemda Kab. Bandung melakukan beberapa hal yaitu: 1. Mendesak petani korban limbah mengalih fungsikan areal tanaman dari padi ke mendong sebagai tanaman alternatif mengingat hanya ikan sapu saja yang dapat hidup di air tercemar. 2. Bekerjasama dengan Dewan Kerajinan Nasional Daerah Kabupatean Bandung membuat pelatihan tikar dari mendong. 3. Melakukkan pengamatan dan pengawasan secara terus menerus mengenai pencemaran Sungai Cikijing yang mencemari ratusan hektar sawah dari mulai tahun 1989 sampai dengan sekarang. 4. Melakukan teguran bahkan mempermasalahkan pencemaran hingga ketingkat DPR Pusat walaupun selalu mentok karena banyak birokrat dan anggota dewan yang menjadi backing. 5. Menjalin kerjasama dengan Balai Penelitian Tanah IPB Bogor untuk meneliti dan mengatasi lahan sawah yang tidak bisa ditanami dengan rekomendasi para petani harus mencuci terlebih dahulu sawah mereka dengan air yang disedot dari dalam tanah, baru tanah ditumbuhi benih dan tumbuh normal, namun hal tersebut membutuhkan ongkos produksi besar.
UPAYA KOMNAS HAM 1. Mendatangi lokasi pencemaran sebagai tindak lanjut atas laporan warga yakni flying ash (debu beterbangan) yang keluar dari mesin boiler menyebabkan penyakit kulit dan ISPA. 2. Meninjau unit pembakaran untuk mengklarifikasi indikasi pencemaran oleh sebuah perusahaan mengingat pencemaran adalah pelanggaran Ham jika dibiarkan 3. Menemui Bupati Sumedang guna mencari data hasil investigasi tes laboratorium maupun kimiawi yang dilakukan Pemkab. 4. Segera membangun IPAL terpadu di wilayah Kecamatan Rancaekek Kabupaten Bandung dimana rencana tersebut telah disepakati Pemkab Sumedang, Bandung, PT Kahatex, PT Insan sandang dan PT Five Star. 5. Akan mengusulkan perubahan tata ruang di kawasan lahan pertanian tercemar. 6. Dari hasil pemantauan Komnas Ham ke perusahaan, yang disinyalir membuang limbahnya ke sungai ternyata perusahaan tersebut mempunyai landasan hukum berupa SK Bupati Sumedang untuk membuang limbah ke Sungai Cikijing tersebut di dapat dari hasil temuan PT Kahatex. Berkenaan dengan SK Bupati tersebut Komnas Ham menilai perlu dilakukan pembicaraan antara kedua Pemda bahkan dibawa ke tingkat yang lebih tinggi.
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
45
PANDANGAN PENULIS Selama penulis melakukan investigasi di Kecamatan Rancaekek, kasus yang sering diperdebatkan oleh masyarakat yaitu kasus limbah cair, padahal kenyataannya di Rancaekek itu terjadi beberapa kasus yang seharusnya mencuat seperti pencemaran limbah batu bara, penjarahan air dalam tanah dan lain sebagainya. Jika diungkap akan lengkaplah sudah penderitaan masyarakat Rancaekek. Pencemaran limbah cair dari ketiga perusahaan besar seperti PT. Kahatex, PT. Insan sandang, PT. Five star selalu menjadi bahan gunjingan dikalangan warga masyarakat Rancaekek terutama Kampung Babakan Jawa mengingat Kecamatan Rancaekek menurut tata ruang Kabupaten Bandung adalah lahan pertanian sehingga masih banyak warga yang berprofesi sebagai petani dan buruh tani. Sungai Cikijing adalah jantung kehidupan bagi masyarakat petani Rancaekek karena sungai ini adalah saluran irigasi inti bagi lahan pertanian Rancaekek, namun apa yang terjadi? Sungai Cikijing yang dulunya bersih, jernih kini sudah tidak nampak lagi karena semenjak tahun 1991 mulai berdiri industri-industri raksasa yang sangat besar sehingga mencemari Sungai Cikijing yang bersih. “ Kini Sungai Cikijing Tinggal Kenangan “ air jernih menjadi berwarna dan mengeluarkan bau yang sangat menyengat. Semua industri mengelak membuang limbah ke sungai, mereka mengaku telah memfungsikan IPALnya dengan baik, Kalau memang ternyata industri telah memfungsikan IPALnya dengan baik lalu darimana datangnya limbah yang sangat pekat, bau menyengat yang mengalir di Sungai Cikijing? Tak ada yang mau menjawab dan nampaknya Pemerintah pun kebingungan untuk menjawab hal ini. Kemungkinan di satu sisi memang mereka betul-betul tidak tahu atau pura-pura tidak tahu karena mendapat uang suap. Para petani semakin menjerit dengan kondisi sungai yang menjadi sumber kehidupan sudah beralih fungsi, dari yang tadinya sebagai irigasi pertanian sekarang menjadi tempat pembuangan limbah. Kemana para petani ini harus mencari air guna mengairi sawahnya agar tidak kekeringan? Coba kita hitung berapa nominal kerugian para petani! Dari mulai kasus seringnya gagal panen karena padi terbakar akibat air limbah, tanah sawah menjadi rusak akibat endapan lumpur yang tebal, hasil panen semakin berkurang, mahluk hidup yang ada disungai menjadi musnah. Lalu kemana petani harus menuntut ganti rugi??? Mengadu pada pemerintah sepertinya tak ada tanggapan, mengadu keperusahaan dihadang oleh preman. Ketika semua ini sudah terjadi, apa yang harus dilakukan oleh warga Rancaekek? Mau bertani tidak bisa, mau mencari ikan di sungai sudah tidak ada, tenaga kerja juga sulit karena harus pakai uang sogok lewat calo-calo, sehingga tetap saja tingkat pengangguran di Rancaekek masih tinggi. Kalau sudah seperti itu mereka harus makan apa? Karena mereka pun tidak mau mengkonsumsi hasil panennya, karena padinya diairi oleh air limbah sehingga hasil panennya langsung dijual keluar, ada rasa ketakutan bagi warga untuk mengkonsumsi beras yang diairi limbah karena dikhawatirkan kandungan kimianya sangat berat, apalagi Rancaekek di vonis tercemar Na (Natrium). Dari hasil temuan sebenarnya ada kompensasi dan uang penggantian atas lahan pertanian yang tercemar, namun sayangnya hal ini tidak sampai kepada para petani karena selalu dimanfaatkan oleh oknum LSM-LSM yang menjelma menjadi premanisme. Sala satu contoh, setiap satu tahun sekali warga diberi hadiah selimut dari Kahatex namun kenyataannya selimut itu selalu tidak cukup untuk dibagikan ke warga, entah nyangkut dimana? Akhirnya warga berinisiatif menjual selimut itu dan hasilnya dibagikan uangnya, per KK mendapatkan Rp 3.000 rupiah. Contoh lain, ada pemberian bibit cuma-cuma dari Kahatex tapi itupun tidak memadai, mereka tidak tahu apakah memang dari Kahatexnya sedikit atau hilang di jalan?
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
46
Kemudian. TGPLKR yang diharapkan membawa solusi tentang normalisasi Sungai Cikijing malah ribut meningkatkan kesejahteraan perekonomian dalam bidang limbah industri yang berupa sampah rongsokan dan itu pun tidak sampai kontribusinya terhadap 4 desa yang tercemar, melainkan hanya mengutamakan kepentingan kelompoknya saja. Berbagai upaya masyarakat telah dilakukan untuk mengatasi pencemaran limbah industri yang mengalir ke Sungai Cikijing seperti mengadu keperusahaan tapi akhirnya malah menjadi bulan bulanan sang premanisme, ulah para oknum LSM yang tidak bertanggung jawab, yang selalu memanfaatkan kelemahan warga. Kondisi seperti ini sering dijadikan sumber mata pencaharian bagi para oknum LSM yang mengalami krisis moral. Warga Rancaekek sudah mengadu ke Kabupaten, mengadu ke BPLHD, mengadu ke Pemerintah Provinsi termasuk Gubernur, mengadu ke WALHI dan terakhir ke KOMNAS HAM karena sudah bertentangan dengan UU Lingkungan Hidup No. 23 Tahun 1997 yang melanggar hak hidup masyarakat untuk hidup dilingkungan yang bersih dan sehat, namun sepertinya belum ada titik terang. Penulis mengamati bahwa upaya penegakan hukum di pemerintahan lemah, antara tingkatan pemerintahan pun terkadang saling menyalahkan, padahal seharusnya mereka tidak boleh seperti itu karena disisi lain mereka punya kewenangan untuk menindak industri yang melanggar supaya melakukan tindakan yang benar tapi kenyataannya ini malah sebaliknya justru industri dibiarkan untuk melanggar karena pelanggaran tersebut merupakan sumber mata pencaharian bagi para Birokrat Keparat. Seperti halnya SK Bupati Sumedang yang memperbolehkan industri membuang limbah ke Sungai Cikijing. Kemudian bagi Pemda Kab. Sumedang kawasan perkotaan Rancaekek direncanakan sebagai pusat petumbuhan ekonomi dengan mengembangkan kegiatan industri dengan adanya dukungan kebijakan makro ekonomi nasional sehingga kasus limbah di Rancaekek ini sepertinya tidak akan pernah selesai. Lemahnya penyelesaian kasus-kasus pencemaran berpangkal dari lemahnya komitmen politik pemerintah untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan sehingga pelaksanaan dan penegakan hukum menjadi lemah. Kemudian juga sulitnya bagi warga masyarkat untuk mengakses data kasus pencemaran karena pemerintah selalu berulah kalau ini adalah data rahasia. Memilukan sekali nasib warga Rancaekek, mereka sangat mencintai kampung halamannya sebagai lahan pertanian, tiba-tiba sekarang mereka harus terusir karena kebijakan makro ekonomi nasional, apakah ini adil bagi mereka? karena siapapun pasti sangat mencintai kampung halamannya.
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
47
PERMASALAHAN TPA DAN INISIATIF PENGELOLAAN SAMPAH OLEH WARGA
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
48
PARADIGMA PENGELOLAAN SAMPAH DI CEKUNGAN BANDUNG Oleh: M. Jefry Rohman23
erdasarkan terjemahan atau definisi dalam Kamus Istilah Lingkungan, 1994, sampah adalah bahan yang tidak mempunyai nilai atau tidak berharga bercacat atau ditolak atau buangan. Setiap aktivitas manusia cenderung menghasilkan sampah, apalagi dalam kehidupan modern yang serba instant seperti saat ini. barang-barang dan makanan yang diproduksi menjadikan plastik sebagai alat pembungkusnya. Sumber-sumber penghasil sampah yang kita ketahui seperti dari pasar, industri, pertambangan, rumah sakit, rumah tangga, perkantoran, pertanian turut berperan sebagai penyumbang sampah setiap harinya. Di samping beberapa hal seperti diatas, gaya hidup masyarakat perkotaan dewasa ini yang cenderung konsumtif. Serta diperparah dengan tingkat kesadaran dan kurangnya kepedulian dalam memperlakukan sampah sebagaimana mestinya. Apalagi sampah jenis plastic yang tidak mudah lapuk dalam jangka pendek, maka apabila sisa pembungkus barang atau makanan ini tidak diperlakukan dengan baik, dampaknya akan secara langsung bertambahnya kuantitas sampah itu sendiri. Kondisi ini menyedot perhatian pemerintah dengan membentuk lembaga yang bertugas mengelola sampah. Sebagaimana kita ketahui, kita mengenal nama Perusahaan Daerah (PD) Kebersihan atau Dinas Kebersihan. Lembaga ini yang keseharianya bertugas mengangkut sampah dari sumbernya atau TPSS-TPSS yang kemudian dibawa kesebuah lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Dibeberapa kota besar di Indonesia, penggunaan lahan TPA sebagai sarana pembuangan sampah, seperti halnya Pemerintah DKI Jakarta yang memanfaatkan TPA Bantar Gebang Bekasi yang dibangun pada tahun 1994 Pemerintah Kota Surabaya dengan volume sampahnya mencapai 8.800 meter kubik per-harinya, menggunakan TPA Keputih yang selama itu jadi andalan pemerintah kota Surabaya yang kemudian pada tahun 2004 dialihkan ke TPA Benowo. Di Bandung sendiri, Pemkot Bandung membebaskan lahan di daerah Leuwi Gajah Kota Cimahi seluas 25,1 hektar yang dibangun pada tahun 1987. Kabupaten Bandung mengandalkan TPA Babakan Ciparay Desa Babakan kecamatan Ciparay dan Desa Ranca Kole Kecamatan Arjasari dengan luas sekitar 10,2 Ha. TPA yang merupakan milik Pemkab Bandung ini dibangun mulai dari tahun 1989 dan beroperasi tahun 1992. Memang, sampai dengan saat sekarang kota-kota besar tersebut masih berkutat dan mengandalkan lahan TPA sebagai sarana pembuangan sampah akhir. Alasan yang biasa masyarakat dengar adalah bahwa, untuk membangun instalasi pengelolaan sampah yang modern dan ramah lingkungan tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan.. Selain itu, pemerintahan daerah khusushya ketiga pemerintahan yang berada di wilayah cekungan bandung seperti Pengkot Bandung, Cimahi dan Pemkab. Bandung, masih berorientasi profit oriented dalam hal penanganan sampah. Artinya, penanganan sampah saat ini dilakukan karena disana ada retribusi yang bisa didapat sebagai jasa pengangkutan. Indikasi ini dilihat dari pola penanganan sampah selama ini, dimana PD. Kebersihan atau Dinas Kebersihan misalnya hanya melakukan rutinitas angkut dan buang saja. Bahkan, menurut sumber yang bisa dipercaya, pengadaan lahan yang dimanfaatkan untuk sarana pembuangan sampah dikarenakan bahwa, disana ada peluang mendapatkan proyek pengadaan lahan yang selama ini dilakukan oleh calon pengelola TPA bersama pemerintah. 23 Penulis adalah warga kampung Junti Hilir Desa Sangkan Hurip Kecamatan Katapang kabupaten Bandung. Penulis adalah aktif mengelola sampah di desa , Pegiat di Desa dan Pusat Sumber Daya Komunitas (PSDK) serta Koalisi Komunitas Korban Lingkungan (K3L)
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
49
Aktivitas pengelolaan sampah di TPA, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang kita lakukan sehari-hari saat membuang sampah. Atau dengan kata lain, pengelolaan sampah di TPA hanya melakukan kegiatan penumpukan sampah menggunakan alat berat seperti yang dipaparkan diatas. Janji yang biasa terlontar dari walikota atau bupati bahwa, pola penanganan sampah yang akan dibuang ke TPA menggunakan pola dengan istilah sannitary landfill. Namun, janji itu hanya dilidah saja, fakta dilapangan ternyata lain. Pola yang dilakukan di TPA adalah pembuangan terbuka (open dumping), di mana truk pengangkut sampah langsung dumping sampah di TPA dan tidak ada pengelolaan antara sampah baru dan lama. Akibatnya, timbunan sampah dapat mencapai puluhan meter. TPA Leuwi Gajah maupun Bantar Gebang Bekasi Jawa Barat, sebenarnya didesain sebagai TPA yang menggunakan metode sanitary landfill sebagaimana yang rencanakan sebelumnya. Pelaksanaan metode ini tidak hanya berupa kegiatan penumpukan dan penimbunan sampah, tetapi juga melakukan usaha agar sampah dimaksud tidak berbahaya lagi bagi lingkungan, baik fisik maupun biologi. Jadi, diperlukan syarat untuk desain maupun operasi pelaksanaan metode sanitary landfill yang mencakup: lokasi TPA secara geologi dan hidrogeologi harus memenuhi syarat. Untuk mengetahuinya diperlukan penyelidikan teknis geologi lingkungan, ada kontrol permanen terhadap operasional TPA serta ada rencana penumpukan sampah dan pemadatan yang benar. Setelah sampah diratakan, seharusnya ditebarkan lapisan lempung kemudian dipadatkan. Dua kegiatan terakhir ini tidak dilaksanakan dengan berbagai alasan yang tak jelas. TPA Cigeudig misalnya, TPA yang berada di kawasan hutan PERUM PERHUTANI petak 12 RPH Rajamandala Desa Sarimukti Kecamatan Cipatat, sebagaimana dalam MoU antara Pemprop. Jawa Barat dengan Perum Perhutani ini direncanakan akan mengelola sampah di TPA Cigeudig menjadi kompos dengan cara memberdayakan masyarakat desa hutan. Tapi, rencana ini tak terlaksana sampai sekarang. Artinya, walaupun sudah ada kesepakatan antara pihak terkait, tetap saja pengelolaan sampah di TPA kembali pada kebiasaan lama. Dibawah ini, digambarkan belum seriusnya pemerintah dalam ngokolakeun runtah di TPA baik yang masih dipakai ataupun TPA yang tidak dipakai kembali: 1. TPA Cicabe Kecamatan Cicaheum Kota Bandung; TPA Cicabe sudah tidak digunakan lagi. Proses reklamasi yang dilakukan oleh Pemkot Bandung belum optimal dilakukan, kegiatan penghijauan yang dilakukan belum berjalan sebagaimana yang direncanakan. 2. TPA Babakan Ciparay; Dengan adanya TPA banyak warga yang menderita gangguan kesehatan yang dikarenakan oleh bau tak sedap yang berasal dari TPA, Gangguan kesehatan yang dialami warga saat ini adalah penyakit pernafasan seperti; batuk, sesak nafas, paru-paru dan lainnya. Dari proses pembelokan sungai lembang ke sungai Cicangri banyak warga yang tinggal di sepanjang sungai Cicangri mengalami kerugian karena lahan milik warga sering erosi terbawa arus air Cicangri. Air lindi dari TPA telah mencemari 18 kolam ikan sehingga para pemilik kolam mengalami kerugian karena puluhan ribu ikan-ikan pada mati. Disamping pencemaran air permukaan. TPA juga mencemari air tanah. Pencemaran air tanah dirasakan oleh warga sekitar. 3. TPA Jelekong; TPA Jelekong, yang dari awal direncanakan pola pengelolaan sampah dengan metode sanitary landfill, tapi pada prakteknya adalah oven dumping. Sedangkan, pada saat TPA Jelekong ini habis Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
50
masa aktifnya per-30 Desember 2005, pemerintah kota bandung selaku penanggung jawab TPA ini, berjanji akan memulihkan kondisi TPA dengan cara remedi asi lahan bekas TPA dengan cara ditanami kembali oleh bibit pohon. Tapi, janji itu belum terlaksana sampai sekarang Dampak yang terjadi paska ditutupnya TPA Jelekong ini adalah tercemarnya Air lindih dari TPA mengalir ke 680 tumbak sawah milik warga di Kp cilayung RW 04 yang menyebabkan kerugian pihak petani dan pemilik kolam ikan, karena hasil panen dari pesawahan tersebut jadi menurun dan kadang-kadang petani mengalami gagal panen serta ikan-ikan dikolam ikan pada mati. menurut warga peristiwa tersebut adalah akibat dari air lindih TPA yang mengalir ke lokasi pesawahan. Disamping pencemaran air permukaan. TPA juga mencemari air tanah. Pencemaran air tanah dirasakan juga oleh warga yang tinggal sekitar 1,5 KM dari lokasi TPA. Pemerintahan daerah sebagai lembaga pelaksana dan berwenang mengelola sarana pembuangan akhir sampah, cenderung mengindahkan pengelolaan yang berkelanjutan. Ditambah dengan tarik ulurnya kewenangan atau kepentingan daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota dengan dalih otonomi daerah. Indikasi ini terlihat tatkala Pemprop Jabar menggulirkan program Greater Bandung Weste Managment Corporation (GBWMC) atau pengelolaan sampah terpadu yang meliputi beberapa daerah: Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, Kota Bandung dan Kabupaten Garut. Program ini ditawarkan kebeberapa daerah tersebut, bahkan telah terjadi kesepakat diantara daerah tersebut pada tanggal 7 Maret 2005. Namun, diantara daerah yang ditawari bahkan menyepakati program GBWMC ini ternyata belum sepaham dan sepakat atas rencana Pemprop ini. Berbenturannya kewenangan dan kepentingan provinsi dengan kabupaten/kota menjadi salah kendala belum terlaksananya program ini. Indikasi ini terlihat, tatkala pengelolaan sampah yang dilakukan oleh daerah-daerah berjalan sendiri-sendiri seperti halnya; Pemerintah Kota Bandung berrencana membangun PLTSa yang menggaet PT. BRILL sebagai investornya. Pabrik pengelolaan sampah sebagai pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa), ini direncanakan berlokasi di wilayah Gede Bage. Sementara itu, Kabupaten Bandung masih mempertahankan TPA Babakan Ciparay di Kecamatan Ciparay serta TPA. Kondisi diatas, memperlihatkan pada kita belum sepahamnya daerah-daerah akan pentingnya suatu pengelolaan sampah yang terpadu dimana semua unsure terkait dibeberapa daerah di cekungan Bandung saling bahu membahu dan bekerjasama memikirkan permasalahan sampah ini. Salah satu faktor penghambat program ini adalah OTONOMI daerah, dimana daerah-daerah mengklaim mampu dan berwenang mengurus masalah yang satu ini. Lantas, kapan kondisi ini bisa berubah? Dan sampai kapan pula, permasalahan sampah cekungan Bandung bias teratasi. Kita tunggu saja gebrakan pemerintah yang bijaksana tentunya.
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
51
TPA MEMAKAN KORBAN Oleh: M. Jefry Rohman
ungkin kita tak merasa asing mendengar istilah ”Bandung Lautan Api”. Kenapa tidak, istilah tersebut diambil dari secarik sejarah perjuangan nan heroik rakyat Bandung dalam mengusir kolonial Belanda yang terjadi pada tanggal, 24 Maret 1946. Dari peristiwa tersebut, melahirkan tokoh fenomenal seperi Mohammad Toha yang berani mati menghancurkan salah satu gudang persenjataan milik Belanda di daerah Dayeuh Kolot. Julukan peristiwa diatas menambah pembendaharaan julukan Kota Bandung dari mulai sebutan istilah ”Paris Van Java”, Kota Kembang dan masih banyak lagi sebutan yang diemban kota tua ini. Namun, pada saat menginjak tahun 2006, sebutan kota Bandung berubah negatif dengan julukan ”BANDUNG LAUTAN SAMPAH”. Kini julukan Kota Bandung sungguh jauh dari Kota Bermartabat alias Bersih, Makmur, Taat dan Bersahabat. Julukan tersebut lebih tepatnya disebut Kota Sampah, karena tumpukan sampah yang tingginya hampir mencapai lima meter tersebar di berbagai sudut Kota Bandung. Penanganan tumpukan sampah itu hanya diberi terpal dan ditaburi kapur untuk mengurangi bau menyengat. Suatu sebutan yang memberi-gambaran, bahwa situasi kota dipenuhi sampah diberbagai tempat. Misalnya; di Jalan Aruna, Kecamatan Cicendo, gunungan sampah telah mencapai ketinggian tiga meter, dengan panjang timbunan sekitar 15 meter dan lebarnya sekitar tiga meter. Timbunan sampah itu memenuhi hingga separuh badan jalan sehingga mengakibatkan kemacetan lalu lintas. Di Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan A Yani Bandung, misalnya, timbunan sampah menyebar di ruas-ruas jalan. Tumpukan sampah di pinggir jalan menimbulkan bau tak sedap, dan membuat orang yang lewat terpaksa menutup hidung. Di tumpukan sampah itu tampak sejumlah belatung dan lalat. Di sejumlah pasar, pedagang dan pembeli mengeluhkan bau busuk dan belatung akibat timbunan sampah. Di Pasar Cihaurgeulis, sejumlah belatung telah memasuki kios-kios dan toko sehingga mengganggu aktivitas perdagangan. Produksi sampah di Kota Bandung dalam sehari mencapai 7.500 meter kubik sampah. Dengan demikian, penggunaan kedua TPA tersebut masih menyisakan sekitar 3.300 meter kubik sampah di tempat penampungan sampah (TPS). Kompas (14/04/2005) Persoalan sampah Kota Bandung telah menimbulkan keresahan masyarakat dan menghambat aktivitas masyarakat. Onggokan sampah tidak lagi terpusat di sejumlah TPS, tetapi meluas hingga ke jalan raya dan tempat-tempat umum. Bahkan, terdapat sejumlah TPS dadakan yang dibuat warga karena TPS yang tersedia tidak lagi cukup menampung sampah. Itulah gambaran pemandangan Kota Bandung sehari-hari Kenyataan diatas, diakibatkan dari kecerobohan pengelolaan TPA Leuwi Gajah yang tidak memiliki konsep pengelolaan lingkungan berkelanjutan. Lebih-lebih mengakibatkan korban jiwa hampir seratus orang. Bicara tentang penyebab longsornya TPA Leuwi Gajah. Henky Sutanto dari Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan BPPT menunjukkan, bagian dasar timbunan sampah tidak dilengkapi lapisan kedap air yang mencegah tergelincirnya sampah dan merembesnya cairan lindi ke sumber air tanah. Sedangkan ledakan yang muncul, menurut Joko Heru Martono dari BPPT, adalah dampak lanjutan dari masuknya air ke tumpukan sampah. Air yang masuk menimbulkan rekahan sehingga gas metan yang tertahan di dalamnya keluar dalam bentuk ledakan. Gas metan (CH4) itu terbentuk akibat proses Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
52
penguraian sampah organik oleh mikro-organisme. Ledakan membuat longsor makin jauh, hampir 100 meter. Kejadian longsor TPA Leuwi gajah dibulan Februari 2005 atau lebih tepatnya pada tanggal 12 Februari 2005 dini hari. Di Leuwi gajah sendiri, sebetulnya bukan kali pertama bencana itu terjadi. Ditahun 1990 TPA Leuwi gajah pernah kejadian serupa tapi tak ada korban jiwa dari kejadian itu. Berdasarkan pendapat warga Kp. Cireundeu yang lokasi sangat berdekatan atau bersebelahan dengan TPA Leuwi gajah, mereka sempat mengingatkan pengelola TPA bahwa ada indikasi akan datangnya longsor, tapi pihak pengelola tidak mengambil tindakan atas laporan warga tersebut. A. Kronologis Penempatan Leuwi Gajah sebagai Sarana Pembuangan Sampah sampai Terjadinya Bencana Longsor TPA ini merupakan tempat pembuangan sampah dari 3 wilayah administratif yaitu Kota Bandung, Kota Cimahi dan Kab. Bandung. Luas lahan yang digunakan TPA sekitar 25,1 ha; 17 ha milik Kota Bandung; 5,5 ha milik Kab. Bandung; 2,6 ha milik Kota Cimahi. TPA ini resmi beroperasi pada tahun 1987. Sebelum membangun TPA, warga dibohongi. Awalnya, informasi yang diberikan kepada masyarakat, lokasi tersebut akan digunakan untuk penghijauan dan membangun vila, sehingga warga pun menjual tanahnya. Warga kaget, karena ternyata tempat tersebut dipakai TPA. Warga protes tapi tidak pernah ditanggapi. Akhirnya warga pun pasrah. Awalnya, konsep pengelolaan TPA ini memakai sistem sanitary landfill, tapi hanya berlangsung kurang dari dua tahun saja, setelah itu open dumping yang serampangan tanpa kontrol dan pengawasan. Lama-lama volume sampah semakin banyak, menyamai bukit dan ada indikasi membahayakan dan longsor Warga cemas dan mengadukan masalah tersebut, tapi tetap saja tidak ditindaklanjuti. Akhirnya longsor pun terjadi pada tanggal 21 Feb 2005. Sebenarnya ada beberapa peristiwa yang seharusnya menjadi warning pemerintah yaitu: 1. Tahun 1987 TPA Leuwigajah dioperasikan secara resmi. 2. Tahun 1990 terjadi longsor pertama yang mengakibatkan beberapa petak sawah tertimbun sampah. Tidak ada korban jiwa. 3. 1 Februari 1994 terjadi longsor kedua yang mengakibatkan beberapa petak sawah dan tujuh rumah tertimbun. 4. 21 Februari 2005 pukul 02.00 dini hari terjadi longsor ketiga yang mengakibatkan 147 orang tewas, rumah, tanah, sawah, kebun tertimbun. Pasca bencana, masyarakat korban dibagi 2 kategori: 1. Wilayah tertimbun yaitu wilayah yang rumahnya tertimbun longsoran sampah dan paling banyak memakan korban jiwa. Wilayahnya yaitu Kp. Cilimus RT 02/09 Ds. Batujajar Timur. 2. Wilayah Bahaya 1 (B1) yaitu wilayah yang dianggap berbahaya dan tidak layak huni. Wilayahnya yaitu: Kp. Cilimus RT 01/09 Batujajar Timur Kp. Gunung Aki RT 03/08 Ds. Batujajar Kp. Cireundeu Pojok Sekarang, kasus ini diselesaikan melalui proses hukum, yaitu: 1. Gugatan masyarakat korban dengan bantuan hukum dari Kantor Pengacara Jonhson Siregar, Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
53
SH dan rekan (JSDR). 2. Gugatan class action yang dilakukan oleh DPLKTS 3. Kasus pidana yang sudah diajukan pengadilan dengan terdakwa yaitu: Kepala Dinas Kebersihan Kota Cimahi, Kab. Bandung dan Kota Bandung
B. Korban Kasus Longsor Leuwi Gajah 1. Korban Langsung Timbunan longsor sampah ini meliputi 4 RW yaitu: 1. RW 8 & RW 9 Ds. Batujajar Timur 2. RW 11 & 12 Kelurahan Leuwigajah. Yang paling parah berada di: 1. RT 02/RW 09 Kp. Cilimus , rumah tertimbun dan 115 jiwa tewas. 2. Kp. Cireundeu Pojok RW 12, Kel. Leuwigajah, ada 2 buah rumah tertimbun, 1 rumah kosong dan 1 rumah tertimbun dengan 5 orang penghuni yang seuanya meninggal 2. Korban Tidak Langsung 1. Pemilik tanah yang tertimbun longsoran sampah. 2. Petani 3. Pemulung sampah
C. Perkembangan Terakhir Kasus Longsor Leuwi Gajah Kasus longsor leuwi gajah yang terjadi pada tahun 2005, bulan 12 Februari yang merenggut korban sebanyak 143 jiwa, sampai sekarang masih belum tuntas baik proses litigasinya ataupun ganti rugi. Maupun keempat tuntutan yang menjadi aspirasi warga sebagai korban longsor yaitu: evakuasi, ganti rugi, penegakan hukum, relokasi itu-pun belum sepenuhnya dilaksanakan oleh ketiga pemerintahan Dalam hal evakuasi, menurut warga seperti yang dituturkan oleh Ridwan salah seorang anggota Forum Peduli Cireundeu Pojok (FPCP) pemerintah belum sepenuhnya melakukan evaluasi bersama warga korban. Dalam hal penegakan hukum beliau mengatakan kekecewaannya terhadap kedua tersangka yang masih berkeliaran mereka diantaranya adalah Sudirman Wiriadimaja (Kepala Dinas Kebersihan Kab. Bandung), Sutisna Sumantri (Kepala UPTD Kota Cimahi), serta Awan Gumelar Direktur PD Kebersihan Kota Bandung. Mereka (tersangka red), dijatuhi hukuman masing-masing 5 tahun. Kalau kita mengamati berbagai permasalahan menyangkut pengelolaan sampah lewat metode konfensiaonal ini. Sudah banyak dampak yang rasakan baik langsung ataupun tidak langsung. Bukan hanya suasana kumuh dan menjijikan seperti peristiwa “Bandung Lautan Sampah” bahkan yang sangat fatal tatkala warga Kampung Cireudeu yang tidak berdosa menjadi korban seperti kasus longsornya sampah di TPA Leuwi Gajah. Lebih dari itu, penempatan atau penggunaan lahan TPA sering kali menggabaikan potensi yang ada contohnya seperti, potensi sumber-sumber mata air yang dimanfaatkan penduduk sekitar TPA, potensi kawasan resapan air akibat dari dibabadnya pepohonan atau tumbuhan guna pembukaan lahan untuk TPA tersebut. Sehingga lambat laun, fungsi kawasan hutan sebagai kawasan resapan air yang dibuka sebagai sarana pembuangan sampah akan terus berkurang yang pada akhirnya akan berakibat pula berkurang sumber daya air. Indikasi-indikasi dampak yang ditimbulkan dari penempatan TPA secara serampangan ini baik ekologi ataupun yang lainnya. Bahkan, dari peristiwa longsornya TPA Leuwi Gajah, yang sungguh sangat mencorengan Indonesia dimata dunia internasional bahwa baru kali ini kejadian banyaknya korban jiwa yang terenggut akibat dari sampah, ironis memang. Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
54
Bahkan pemerintah dan pengelola TPA tak mau belajar dari peristiwa di Leuwi Gajah. Rangkaian peristiwa yang memprihatinkan itu terjadi lagi di TPA Bantar gebang Bekasi yang memakan korban jiwa akibat longsoran sampah melebihi kapasitas. Sedikitnya 3 orang meninggal, satu orang di antaranya ibu hamil, dan 4 orang dirawat di rumah sakit. Peristiwa ini membuktikan bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memang tidak pernah mau belajar dari peristiwa longsoran sampah TPA Leuwi Gajah, Cimahi Jawa Barat. Tragedi longsor di tempat pembuangan sampah ini, merupakan potret buruk dari pengelolaan sampah di Jakarta, yang selalu saja mengorbankan keselamatan rakyat. Peristiwa longsornya sampah yang masih hangat dipendengaran kita terjadi juga di Desa Sarimukti yaitu, longsornya TPA Kp. Cigedig Desa Sarimukti Kecamatan Cipatat Kabupaten Bandung. Peristiwa longsornnya TPA Sarimukti walaupun tak merenggut korban jiwa tapi, korban materi dalam hal ini sawah penduduk seluas 3 hektar tak terselamatkan dari longsoran sampah. Padahal, pesawahan yang dimiliki oleh 23 keluarga itu yang sedang menguning menunggu sang pemiliknya menuai. Kenapa kejadian demi kejadian itu terus terjadi, padahal khusus TPA Cigedig di Desa Sarimukti akan dikembangkan menjadi TPA penghasil kompos sebagai mana yang rencanakan dan dijanjikan pemerintah semula bahwa pemerintah akan bekerjasama dengan masyarakat setempat dalam mengolah sampah menjadi kompos. Keputusan pemerintah ini tertuang dalam Meetting off Undrestanding (MoU) antara pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan Perum Perhutani Nomor: 658.1/14Desen tentang Pengelolaan Sampah Menjadi Kompos didalam 31/SJ/Dir/2006 area kawasan hutan kesepakatan ini ditanda tangani pada tanggal 4 Agustus 2006. ruang lingkup kesepakatan bersama itu meliputi: 1. Penempatan sampah didalam kawasan hutan 2. Pengolahan dan pemanfaatan sampah dikawasan hutan 3. Pemberdayaan masyarakat desa sekitar hutan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sampah Lantas, akankah pemerintah mengambil kebijakan yang jelas agar supaya korban-koran yang lain tidak berjatuhan? Wallahu alam bishawab.
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
55
SULITNYA MENCARI LAHAN UNTUK TPA Sebuah Kajian Mendalam Hasil Riset Pusat Sumber Daya Komunitas (PSDK), Atas Berbagai Penolakan Warga dari Berbagai Tempat Yang Tempatnya Akan Dijadikan TPA Oleh: M. Jefry Rohman
endengar kata sampah, mungkin kita akan langsung membayangkan suasana kumuh, kotor, bau, banyaknya lalat ijo berterbangan yang bisa menyebarkan penyakit dan lain sebagainya. Sehingga orang akan langsung menolaknya mentah-mentah apabila dihadapannya atau lingkungan rumahnya berserakan sampah. Bahkan, di masyarakat kita masih punya prinsip “biarkan sampah bertebaran atau beserakan di tempat orang lain asal jangan dilingkungan saya”. Prinsip ini sering kali diperlihatkan oleh orang-orang yang membuang sampah dari jendela mobil ke jalanan atau orang-orang yang tak sadar dengan seenaknya membuang sampah ke sungai. Begitupun, kalau kita amati dari maraknya berbagai penolakan warga atas rencana penempatan TPA di daerahnya oleh pemerintah. Warga akan menolak dengan keras apabila daerahnya dijadikan tempat pembuangan sampah, mereka takut akan dampak-dampak negative yang ditimbulkan dari sampah bagi kesehatan lingkungannya. Suasana yang nampak akan terjadi di lokasi pembuangan akhir sampah atau TPA, mungkin suasananya tidak akan jauh berbeda dengan apa yang di asumsikan diatas bahkan akan sangat jelas apabila volume sampahnya sangat banyak. Inilah potret penerimaan warga atas rencana TPA tersebut. Namun, dari berbagai hasil penelitian dilapangan membuktikan bahwa, bukan hanya dampak yang seperti dipaparkan diatas alasan warga dalam menolak rencana pengelolaan sampah tersebut. Banyak alasan mendasar yang membuat mereka enggan kalau daerahnya dijadikan tempat pengelolaan sampah diantaranya; Pertama, masyarakat sering di nomor duakan artinya, pemerintah selalu berpihak pada investor yang akan mengelola sampah ketimbang melakukan dan musyawarah dengan warga, walaupun pemerintah selama ini berpendapat bahwa proses sosialiasi sudah dilakukan bahkan sudah ada kesepakatan warga. Memang, selama ini proses itu dilakukan, tapi yang menjadi peserta pertemuan tersebut hanya mengundang orang-orang yang punya kepentingan sesaat seperti pemilik lahan, aparat desa beserta tokoh masyarakat saja. Bicara tentang tokoh masyarakat, sebetulnya didaerah-daerah sulit sekali mendapatkan tokoh-tokoh masyarakat yang betul-betul ditokohkan oleh masyarakat yang apabila salah satu omongannya selalu dihormati oleh masyarakat itu sendiri. Kebanyakan dari mereka, hanya ditokohkan oleh pemerintah maupun menokohkan diri. Kenyataan ini bukan hanya pada proses sosialisasi saja, pada saat penelitian AMDAL masyarakat selalu tidak dilibatkan dalam tim peneliti. Padahal, dalam aturan dalam PP No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) Pasal 9 ayat (1): “Komisi penilaian sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1) huruf a terdiri atas unsur–unsure instansi yang ditugasi mengelola lingkungan hidup, instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan, Departemen Dalam Negeri, instansi yang ditugasi bidang kesehatan, instansi yang ditugasi bidang Pertahanan Keamanan, intansi yang ditugasi perencanaan pembangunan nasional, intansi yang ditugasi bidang penanaman modal, instansi yang ditugasi bidang pertahanan, instansi yang ditugasi bidang ilmu pengetahuan. Ayat (1) dari pasal 9 ini diakhiri dengan kalimat; organisasi lingkungan hidup sesuai dengan bidang usaha dan atau kegiatan yang dikaji, wakil masyarakat terkena dampak, serta anggota lain yang dipandang perlu Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
56
Kedua, selalu melakukan intimidasi dan pemaksaan kehendak, menakut-nakuti dengan berbagai ancaman baik langsung maupun tidak langsung. Ketiga, selalu melakukan kebohongan public. Ini dibuktikan, tatkala pemerintah daerah akan mendirikan TPA Leuwi gajah, warga dibohongi. informasi yang diberikan kepada masyarakat, lokasi tersebut akan digunakan untuk penghijauan dan membangun vila, sehingga warga pun menjual tanahnya. Warga kaget, karena ternyata tempat tersebut dipakai TPA. Keempat, hilangnya kepercayaan masyarakat pada pemerintah, seperti banyak janji yang selalu diinkarinya sendiri apalagi sering mengabaikan peraturan-peraturan yang nota bene dibuat oleh mereka sendiri. Bencana longsornya gunungan sampah Leuwi Gajah diawal tahun 2006 lalu, menjadi klimak, bukti hilangnya kepercayaan masyarakat atas pemerintah yang tidak bertangungjawab atas kewajiban mereka untuk mengelola sampah yang berakibat berjatuhannya korban yang tidak berdosa. Kondisi ini diperlihatkan dari berbagai penolakan yang diperlihatkan warga terhadap rencana penempatan TPA di daerahnya. Seperti kasus penolakan warga Bojong atas Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST), penolakan warga Pasir Bajing Nagreg, penolakan warga Kampung Cimerang Desa Citatah, penolakan warga Cireunde atas rencana diaktifkannya kembali TPA Leuwi gajah, dan yang paling dekat adalah penolakan warga Cipanileuman/Babakan Sayang Desa Cibiru hilir Kec. Cileunyi Wetan Kab. Bandung dan warga Perum Cempaka Arum Kota Bandung atas rencana PLTSa Gede bage. Terkait dengan penolakan warga Cipanileuman/Babakan Sayang Desa Cibiru hilir Kec. Cileunyi Wetan Kabupaten Bandung dan warga Perum Cempaka Arum Kota Bandung atas rencana PLTSa Gede bage. Ini membuktikan, bahwa secanggih apapun rencana pemerinah dalam hal penanggulangan sampah, warga atau masyarakat sudah tidak percaya lagi karena melihat dari pengalaman yang lalulalu, pemerintah selalu saja ingkar janji. Bahkan, aturan dan hukum yang berkenaan dengan pelanggaran lingkungan bisa dimainkannya. Contoh yang nyata dari asumsi ini, proses hukum atas tersangka longsor Leuwi gajah masih terkatung-katung dan terkesan dikesampingkan.
A. REAKSI PEMERINTAH ATAS MARAKNYA PENOLAKAN Dari berbagai penolakan warga atas rencana tersebu, justru ditanggapi pemerintah tidak diterima dengan kepala dingin bahkan terkesan emosional, seperti misalnya tanggapan wali kota bandung (Dada Rosada) atas aksi demo yang dilakukan warga Perum Cempaka Arum Kota Bandung dan warga Kampung Cipanileuman dan Babakan sayang Kabupaten Bandung. Sebagaimana kebanyakan dikutip beberapa media cetak pertengahan Mei/2007 lalu, bahwa, dia menantang akan diadakannya referendum untuk menentukan apakah rencana pabrik sampah ini diterima oleh semua warga Kota Bandung. Begitu pula sikap pemerintah provinsi yang dari mulut orang nomor dua Jawa Barat ini mengatakan, bahwa sikap warga ini tidak demokratis. Meski ada penolakan warga, Wagub Jabar Nu’man Abdul Hakim justru meminta Kab/Kota Bandung dan Kota Cimahi agar secepatnya melakukan penanganan lebih lanjut untuk mewujudkan tempat pengolahan sampah di bekas TPA Leuwigajah.Wagub malah menilai penolakan warga sebagai sikap yang tidak demokratis dan menghambat penyelesaian masalah sampah. ” Segala Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
57
bentuk pengolahan sampah yang dikerjakan akan menggunakan teknologi, bukan asal buang,” kata Nu’man di Gedung Graha Manggala Siliwangi Sebagai pemimpin sikap itu sebetulnya yang tidak demokratis dan terkesan emosional.yang harus dilakukan pemerintah adalah dijadikan itu sebagai peringatan keras dan pengalaman berharga buat pemerintah agar supaya dukungan dan kepercayaan masyarakat bisa tumbuh. Untuk itu, pemerintah tinggal memperbaiki kebiasaan buruk yang dijadikan alasan masyarakat sebagaimana yang dipaparkan diatas. Turun kelapangan langsung dan berdialog dengan warga merupakan sikap yang bijaksana. *** Sebagai bahan pendukung dari catatan diatas, selanjutnya dibawah ini saya cantumkan hasil riset partisipatif yang dilaksanakan di daerah citatah beberapa waktu yang lalu;
B. KRONOLOGIS PENOLAKAN WARGA TERHADAP RENCANA TPA Gambaran Umum Wilayah Desa Citatah merupakan daerah administrative dari Kecamatan Cipatat Kabupaten Bandung dengan luas 1.533,492 ha yang terbagi pada 4 (empat) Kepala Dusun (Kadus), 21 RW, 80 RT. Daerahnya kalau dilihat dari peta topografi memiliki ketinggian 600 dpl, merupakan daerah pebukitan yang sebagian besar bukit-bukit kapur dan kapur, ini telah dijadikan kawasan galian oleh perusahaanperusahaan tambang. Di Desa Citatah ini, terdapat kampung yang bernama Cimerang RW 12 dengan ketinggian 400 dpl, yang oleh pemerintah daerah (Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kab. Bandung) rencananya akan dijadikan Tempat Pembuangan Sampah (TPA) dengan menggandeng PT. BRIL sebagai pengembangnya. Namun, kalau kita lihat dari unsur Sosial Ekonomi dan Parawiata, sebetulnya rencana penempatan TPA ini tidak sesuai terlebih kalau kita mencermati dampak lingkungan yang akan terjadi dikemudian hari. Kp. Cimerang RW 12 sendiri, dibatasi oleh beberapa Kampung/RW antara lain: sebelah barat dan sebagian sebelah utara RW 05 Kampung Cimerang, sebelah selatan RW 07 Kampung Ciparang, sebelah timur RW 17. Kp. Margaluyu mekar. Penempatan TPA ini, rencananya ditempatkan dilahan yang sebagian besar milik warga luar (Budi) yaitu orang Kabupaten Bogor. Berikut dibawah ini daftar nama pemilik lahan beserta besarannya : No
Nama Pemilik Lahan
Luas Lahan
1
Budi
14 hektar
2
H. Komarudin
5 hektar
3
Mardi
4 hektar
4
Manta
1,5 hektar
5
Agus
1,5 hektar Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
58
6
Sarono
1 hektar
7
Ino
I hektar
8
Nandang
I hektar
9
Pupu
I hektar
10 Cicih
I hektar
11 Wawan
I hektar
12 Dede
I hektar
13 Kaman
0,5 hektar
Sebagian besar lahan pertaniannya ditanami palawija sejenis umbi kayu (singkong)dengan luas sebaran mencapai 45 ha, sawah tadah hujan 10 ha. Warganya yang kebanyakan etnis jawa ini, sebagian besar buruh tani ladang-ladang palawija. Selain itu, di kampung ini, berjejer kios-kios warga yang menjajakan makanan khas setempat seperti tape dan kerajinan tanggan yang terbuat dari kayu. Kasus dan Penyelesaian Masalah Sebagaimana disebutkan diatas, bahwa Pemkab Bandung merekomendasikan pada PD. Kebersihan Kota Bandung untuk menggunakan TPA Citatah yang terletak di Kampung Cimerang RW 12 sebagai alternative darurat tempat pembuangan sampah. Warga setempat, lansung bereaksi menolak atas rencana tersebut. Warga Kampung Cimerang, yang dimotori oleh Ir. Yudi (Konsultan Kehutanan), Aep warga (Guru Olahraga) di salah satu SMP di Raja Mandala, mereka adalah warga RT 02/12, Ustadz Atim warga RT 01/12, serta Wawan warga RT 04/12, melakukan konsolidasi dengan warga yang lain untuk nelakukan aksi penolakan atas rencana TPA. Selain, melakukan konsolidasi dengan warga, mereka melakukan jejaring dengan warga lintas RW dan lintas Desa, LSM, LBH Bandung, serta Media Massa, yang jadi kerjaan pertama mereka adalah membujuk Ketua RW setempat beserta RTnya yang telah terbujuk rayuan pengembang dan pemerintah, supaya mencabut pernyataan dan sikap pro terhadap rencana TPA. Selain itu, mereka juga membujuk warga yang telah disuap oleh pihak pengembang supaya berbalik arah menolak rencana TPA. Dibawah ini, beberapa hal kronologis atau alasan penolakan warga: 1. Kurang lebih seminggu sebelum tanggal 27 Desember 2005, Ketua RT 04/12 bersama beberapa orang, membagikan uang sebesar Rp. 50.000/0rang, yang dikenal dengan uang sampah, uang silaturahmi, atau uang rapat sampah. Bagi warga yang ingin mendapatkan uang tersebut, disyaratkan harus menyerahkan KTP dan menandatangani sebuah blangko folmulir, 2. Selasa, 27 Desember 2005, dilaksanakan Sosialisasi Pengelolaan TPA Sampah di Citatah oleh pihak pengembang PT. BRIL (Bandung Raya Indah Lestari) kepada masyarakat Citatah bertempat dirumah Ketua RW 12 yang dihadiri Mupika Cipatat dan Aparat Pemerintah Desa Citatah. Ternyata yang mendapatkan undangan hanya sebagian warga dan tokoh dari RW 12 Kp. Cimerang, sementara warga/tokoh RW dari 20 lainnya tidak hadir, karena memamang tidak diundang. Setelah PT. BRIL memaparkan rencana dan strategi pengelolaan sampah dengan tekhnologi canggih dari China seluruh warga yang hadir spontan menyatakan penolakan atas rencana tersebut dan langsung menyerahkan Nota Penolakan disertai dengan copy tanda tangan penolakan sebanyak 240 warga Cimerang. Nota Penolakan tersebut diserahkan pada Camat Cipatat, Kapolsek Cipatat, Danramil Cipatat, dan kepala Desa Citatah, Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
59
1. Sabtu, 7 Januari 2006; pada Harian Galamedia diberitakan bahwa Camat Cipatat dalam rapat Muspida Kabupaten Bandung di Kantor Bupati Bandung di Soreang, hari Kamis, 5 Januari 2006, menyatakan bahwa Setelah TPA di Jelekong pada 31 Desember, masyarakat seputar Citatah telah mengizinkan Kawasan Cimerang dan Cileungsi untuk dijadikan TPA dari Kota Bandung dan Kota Cimahi. Juga diberitakan bahwa PT. BRIL sudah mengantongi izin dari Pemkab Bandung untuk memindahkan alat-alat berat ke Citatah, sehingga dalam waktu 10 hari TPA Citatah siap diopersionalkan sebagai TPA darurat, 2. Sabtu, 7 Januari 2006; tokoh masyarakat seputar Citatah, dari RW 12 Cimerang & Margaluyu mekar RW 17, RW 05 dari Cimerang kaler, serta RW 07 Kp. Ciparang. Menggelar musyawar yang bertempat di RT 02/12, untuk menanggapi pernyataan Camat tersebut. Hasilnya adalah Pernyataan Camat Cipatat Bertolak Belakang dengan Sikap Warga Seputar Citatah, Karena Warga Seputat Citatah Menolak Tegas TPA tanpa Kompromi dan Tanpa Syarat Apapun, 3. Senin, 9 Januari 2006; kembali digelar musyawarah di RT 02/12 Kp. Cimerang, dihadiri tokoh masyarakat 4 (empat) RW sebagai mana disebutkan diatas, dengan dukungan RW 11 Margaluyu Desa Citatah, Desa Gunung Masigit dan Desa Mandala sari. Hasilnya adalah, Terbentuknya Forum Stop TPA Citatah yang Mewadahi Aspirasi Seputar Citatah yang Menolak Rencana TPA Sampah Citatah. Nota Penolakan Forum Stop TPA Citatah langsung disampaikan langsung disampaikan pada DPRD Kabupaten Bandung, berbagai LSM, serta Media Masa, 4. Selasa, 10 Januari 2006; Forum Stop TPA Citatah melakukan sosialisasi pada warga mengenai dampak negatif yang akan timbul dari adanya pengangkutan dan penimbunan samapah berdasarkan data-data dari beberapa TPA yang sudah ada. Dari situ, warga mulai terkonsolidasi dengan, dan pada waktu itu juga warga langsung memasang spanduk penolakan, 5. Jum’at 13 Januari 2006; bertempat di Rumah Makan Katineung Rasa Raja Madala PT. BRIL bersama Muspika Cipatat, melakukan Sosialisasi Pengelolaan Sampah dengan Tehnologi German dan China. Hadir dalam acara tersebut; Kepala Desa Citatah, Unsur BPD, LKMD, Ormas, OKP, dan tokoh masyarakat se-Kecamatan Cipatat, Tanpa Mengundang Warga Yang Menolak. Hasilnya, hadirin tetap menolak TPA, apalagi mesin pengolah sampah dari German, baru dapat dioperasikan dua tahun kemudian, berarti selama dua tahun Pemkot Bandung & Cimahi hanya membuang sampah, 6. Sabtu 14 Januari 2006 pukul 18.45, Bandung TV menayangkan pernyataan Camat Cipatat yang seolah-olah sudah mendapatkan persetujuan dari 240 KK warga RW 12 Cimerang, berupa tanda tangan di atas materai, 7. Sabtu, 14 Januari 2006; beberapa tokoh, ulama dan warga yang telah menandatangani uang silaturahmi, mulai memahami bahwa adanya TPA akan mendatangkan kemudorotan terlebih dahulu sebelum datang kemanfaatan di kemudian hari (ushul fiqh), juga bobot mudorot-nya jauh lebih besar dari bobot manfaatnya, sehingga sikap mereka pada akhirnya Tetap Menolak Sampah, 8. Minggu, 15 Januari 2006 bertempat di Mesjid Jami Nurul Hikmah dan Senin, tanggal 16 Januari 2006 bertempat di Mesjid Jami Miftahul Huda, dilaksanakan musyawarah yang dihadiri oleh Ketua RW 12, seluruh Ketua RT/wakilnya, unsur BPD, para Ketua DKM, Tokoh Ulama, Tokoh Masyarakat, Tokoh Pemuda serta warga masyarakat. Hasilnya adalah Seleruh Warga RW 12 Kampung Cimerang Desa Ciatath Kec. Cipatat Kab. Bandung, Baik yang Menolak Maupun yang Menerima Uang Silaturahmi, Sepakat Untuk Bersama-sama Menolak Dengan Tegas Rencana Pembangunan Tempat Pembuangan/ Pengolahan Akhir (TPA) Sampah, Tanpa Kompromi dan Tanpa Syarat Apapun Juga, Dimanapun Diseluruh Kecamatan Cipatat Sikap tersebut didukung oleh warga seputar Citatah, baik warga dari RW-RW di dalam Desa Citatah, maupun warga dari luar Desa Citatah; seperti Desa Gunung Masigit, Desa Cipatat, Desa Ciptaharja, Desa Kertamukti, Desa Rajamandala Kulon, Desa Mandalawangi dan Desa Mandalasari. Hanya sekira empat atau lima keluarga warga RW 12 Cimerang yang belum menolak TPA, antara lain keluarga penjaga tanah calon TPA, warga yang tanah/rumahnya akan dibeli oleh pengembang dan warga yang mendapat keuntungan dari pihak pengembang.
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
60
Perlu diketahui, TANAH CALON TPA Citatah Bukanlah Tanah Milik Warga Setempat, melainkan tanah hak milik pribadi orang luar Kabupaten Bandung yang dijual kepada Pemkot Bandung. 9. Selasa, 17 Januari 2006; Harian Galamedia melaporkan bahwa Mentri Negara Lingkungan Hidup menolak untuk mengeluarkan surat rekomendasi darurat sampah seperti yang diminta Pemkot Bandung, Pemkot Cimahi dan Pemkab Bandung. Persoalan sampah yang terjadi di Kota Bandung dan Kota Cimahi juga seharusnya telah dapat diprediksi dan dicarikan jalan keluarnya pada waktu lalu. Selama belum ada kajian lingkungan, pembangunan tidak bisa dilaksanakan. Berarti perijinan yang telah dikeluarkan oleh Pemkab Bandung yang berkaitan dengan TPA Citatah harus batal demi hukum. Jumlah warga masyarakat seputar Citatah yang menolak rencana pembuangan sampah dari kota Bandung dan kota Cimahi ke wilayah kecamatan Cipatat kabupaten Bandung seluas 50 ha s/d 90 ha, yang sudah terkumpul hingga saat ini berjumlah lebih dari 1.500 orang, yang berasal dari warga Desa Citatah, Desa Gunungmasigit, Desa Cipatat, Desa Ciptaharja, Desa Rajamandala Kulon, Desa Mandalawangi dan Desa Mandalasari. Dasar dari penolakan mereka (warga) atas rencana TPA, seperti apa yang dikatakan Yudi (Penasehat Forum) bahwa rencana Pembangunan TPA CITATAH bukanlah isu lokal Desa Citatah, namun isu wilayah, karena yang akan berpotensi terkena dampak negatif, langsung maupun tidak langsung, adalah wilayah yang membentang mulai dari Padalarang, Ciburuy, Gunungmasigit, dan Citatah di sebelah Timur, hingga ke sebelah Barat, yaitu Cipatat, Ciptaharja, Kertamukti, Rajamandala, Mandalawangi, Mandalasari, Sarimukti hingga ke sungai Citarum. Namun Muspika Cipatat dan Pemerintah Desa Citatah bersama PT. BRIL hanya melaksanakan sosialisasi mengenai manfaat pembangunan pabrik pengolah sampah hanya kepada masyarakat Desa Citatah dan sebagian warga di Kecamatan Cipatat. Pencemaran Air Calon Lokasi TPA Citatah berada pada ketinggian ± 400 m dpl (dari permukaan laut), keadaan topogarfinya menurun ke arah Utara dan Barat, sedangkan pemukiman warga, kebun, ladang dan sawah di sebalah Utara dan Barat berada pada ketinggian yang lebih rendah hingga ± 300 m dpl. Akibatnya, rembesan berbagai macam limbah akan masuk kedalam saluran irigasi yang menuju ke Cipatat, Nyomplong, Citapen, Rajamandala, Mandalasari dan Mandalawangi hingga ke Sungai Ciatrum; sebagian lagi akan merembes ke Sungai Cimeta di sebelah Utara hingga ke Sungai Citarum. Akibatnya, kebun, ladang dan sawah akan serta kualitas air sumur akan tercemar rembesan berbagai macam limbah sampah yang meresap ke dalam tanah. Yang lebih parah lagi, rembesan berbagai macam limbah akan mencemari sumber air dan sumur warga yang berada di sekitar Cimerang dan yang berada di sebelah bawah tercemar rembesan berbagai macam limbah sampah yang meresap ke dalam tanah.
C. DAMPAK NEGATIF YANG AKAN TIMBUL AKIBAT PENGANGKUTAN SAMPAH x
Gangguan terhadap Kenyamanan Berkendara dan Pencemaran Udara Volume sampah Kota Bandung adalah ± 7.500 m3/hari dan sampah Kota Cimahi adalah ± 1.200 m3/hari. Bila kapasitas angkut truk sampah rata-rata 10 m3/truk, maka dibutuhkan 870 rit/hari untuk mengangkut sampah ke TPA Citatah melalui jalur Bandung-Cimahi-Padalarang-CiburuyGunungmasigit-Citatah. Maka warga masyarakat yang setiap hari melalui rute tersebut, baik dari Timur maupun dari Barat, akan senantiasa menghirup bau sampah dan menghirup berbagai macam sumber penyakit, dalam situasi lalu lintas yang lebih macet, sehingga menimbulkan ketidak-nyamanan dalam berkendara. Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
61
x
Halaman Rumah Menjadi Kotor, Bau dan Banyak Lalat Ijo Bagi warga masyarakat yang berada di tepi jalan angkutan truk sampah, maka halaman rumahnya akan kotor, bau sampah dan dihinggapi ribuan hingga jutaan lalat ijo setiap harinya selama bertahun-tahun, karena dipastikan sampah dan air sampah akan tercecer sepanjang jalan, dan lalat ijo akan masuk ke rumah. Sementara itu, banyaknya lalat ijo dan bau sampah dari truk yang lewat akan bersifat permanen, akibat truk pengangkut sampah bolak-balik hingga 870 rit/hari selama bertahun-tahun.
x
Usaha Akan Bangkrut Para pedagang, khususnya di sepanjang jalur Padalarang-Citatah tidak akan didatangi pembeli lagi karena lingkungannya kotor, bau sampah dan lalat ijo hinggap pada barang dagangan. Jambu dan alpukat Ciburuy serta tape gantung Pamucatan, Gunungmasigit, Tagogmunding dan Cimerang, warnanya akan menjadi hitam kehijauan karena dikerubuti ribuan lalat ijo. Bila pedagang buah-buahan di Ciburuy bangkrut, maka petani buah-buahanpun akan bangkrut pula, jika tape gantung tidak laku, maka petani singkong pun gigit jari.
Seharusnya sosialisasi dilakukan secara menyeluruh pada seluruh Desa yang berada di wilayah Kecamatan Cipatat, Ciburuy dan Padalarang. Alasannya adalah, berdasarkan kenyataan yang terjadi di TPS-TPS (Tempat Pengumpulan Sampah Sementara) dan TPA-TPA seperti Cicabe, Pasir Impun, Jelekong, Leuwigajah, Bojong, Bantar Gebang, dll., dampak negatif yang potensial akan timbul terhadap warga masyarakat Kecamatan Cipatat, Ciburuy dan Padalarang dengan adanya TPA Citatah, antara lain adalah sebagai berikut:
D. DAMPAK NEGATIF AKIBAT PENIMBUNAN SAMPAH DI TPA x
Kuman dan Penyakit Mengintai Kehidupan Kita dan Anak Cucu Akibat dari bercecerannya sampah dan air sampah serta serbuan jutaan lalat ijo, akibat lingkungan yang kotor, kumuh dan bau, maka kuman-kuman sebagai sumber penyakit akan tumbuh subur dimana-mana mengancam kesehatan warga.
x
Gangguan terhadap Kenyamanan Berkendara Sekitar 870 rit truk angkutan sampah setiap hari yang keluar masuk lokasi TPA Citatah, akan menimbulkan kemacetan terutama pada ruas Cibogo-Cimerang di sebelah Timur dan ruas Rajamandala-Cimerang di sebelah Barat.
x
Gangguan Kamtibmas Dengan adanya TPA Citatah seluas 50 ha - 90 ha, ribuan pemulung akan berbondong-bondong masuk ke wilayah seputaran Citatah mendirikan gubug-gubug kumuh di dalam kawasan TPA Citatah dan membangun lapak di tepi jalan seputaran Citatah, selain itu kebun, ladang, kolam dan sawah menjadi rawan terhadap berbagai gangguan. Akibatnya akan timbul masalah-masalah kamtibmas dan masalah sosial lainnya.
x
Pencemaran Tanah Tanah, kebun dan sawah di sekitar TPA Citatah dan di wilayah di bawahnya, baik yang berada di sebelah Barat (Cipatat-Rajamandala), Utara (Gugunturan) dan Selatan (Ciparang) akan menjadi 'panas' atau masam, akibat rembesan berbagai macam limbah (limbah kimia, limbah rumah sakit, 'dedek' minyak tanah, dll) yang mengumpul di TPA, sehingga tanah menjadi tidak subur. Hal tersebut diperparah dengan datangnya musim hujan, tercemar rembesan berbagai macam limbah sampah yang meresap ke dalam tanah. Yang lebih parah lagi, rembesan berbagai macam limbah akan mencemari sumber air dan sumur warga yang berada di sekitar Cimerang dan yang berada di Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
62
sebelah bawah Cimerang, melalui rembesan limbah ke dalam tanah dan rembesan kedalam saluran air permukaan. Akibatnya berbagai macam penyakit kulit dan pencernaan akan mengancam warga melalui perantaraan air sumur. Sumur dan sumber air di sekitar Margaluyumekar, Gugunturan, Cimerang, Sekip, Cipatat, Nyomplong dan Sukarame adalah yang pertama kali akan tercemar. x
Pencemaran Udara Berdasarkan kenyataan dari TPA-TPA yang sudah ada dan kondisi wilayah TPA Citatah yang berupa lembah yang dibentengi perbukitan kapur di sebelah Selatan, maka bau sampah akan terbawa angin hingga jarak ± 10 km ke sebelah Barat hingga ke Sungai Citarum, ke sebelah Timur hingga ke Ciburuy, dan ke sebelah Utara hingga ke Cirawa Mekar, Kertamukti dan Sarimukti. Buktinya, bau dari Bendungan Saguling bisa tercium hingga jarak sejauh ± 22 km.
x
Pedagang pada Radius ± 5 km seputar TPA Citatah akan Bangkrut Serbuan jutaan lalat ijo ternyata dapat mencapai radius ± 5 km dari TPA Citatah, sehingga seluruh warung, toko dan tempat usaha pada jarak tersebut akan dipenuhi lalat ijo. Akibatnya pembeli tidak akan mampir, ujung-ujungnya bangkrut. Yang bangkrut bukan hanya pedagang, tapi termasuk pemasoknya.
x
Harga Tanah Akan Turun Drastis Dengan kondisi yang bau sampah, banyak lalat ijo dan kumuh, maka tentu saja harga tanah dan bangunan akan turun drastis.
E.
REAKSI PEMERINTAH PENOLAKAN WARGA
DAN
PENGEMBANG
TERHADAP
GELOMBANG
Setelah ada reaksi penolakan dari warga Pemerintah terutama Pengembang (PT. BRIL), melalakukan berbagai intimidasi misalnya, Pertama melakukan kebohongan public dengan cara mengklaim bahwa tanda tangan yang diserahkan oleh kelompok penolakan TPA yang intinya menolak, diubah dan diekspos dimedia massa menjadi tanda tangan warga yang pro. Kedua Mencabut beberapa spanduk penolakan yang dibuat oleh warga dan menggantinya dengan tulisan/pernyataan bahwa rencana TPA jadi direalisasikan dengan kalimat; Dulur TPA téh Bakal Jadi.
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
63
BELUM ADANYA KEBIJAKAN YANG JELAS TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH Oleh: M. Jefry Rohman
ndang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, sebagai landasan payung hukum utama dan atau sebagai koridor dalam hal pengendalian, pengawasan, pemeliharaan, dan bahkan penegakan hukum lingkungan. Penjelasan tersebut tertuang dalam pasal 1 ayat (2), bahwa: “Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup” Turunan dari undang-undang ini lebih dijabarkan lagi kedalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) ataupun Kepmen. Kita tahu ada PP No. 41/1999 tentang Pencemaran Udara, PP No. 74 tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), PP No. 54 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan, PP No.82/2001 tentang: Pengelolaan Kualitas Air dan Pengedalian Pencemaran Air. Sedangkan kebijakan yang terkait dengan UU Lingkungan Hidup diturunkan kembali dalam bentuk Keputusan Presiden (Keppres) dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup (Kepmen LH), seperti: Keppres No. 123 tahun 2001 tentang Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air, atau Kepmen LH No. KEP-30/MENLH/10/1999 tentang Panduan Pedoman Pengelolaan Lingkungan Hidup.Dari sejumlah kebijakan sebagai turunan dari undang-undang lingkungan hidup yang ada, tak satupun ditemukan PP atau Keppres ataupun Kepmen yang menjelaskan tentang pengendalian permasalahan SAMPAH. Padahal, baik PP ataupun Kepmen, akan menjadi acuan bagi daerah untuk mengelola masalah persampahannya masing-masing. Namun, dalam Undang-undang No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, akan kita temukan pasal yang menyebutkan bahwa daerah berwenang mengurusi yang menjadi urusan-urusan wajibnya seperti hal lingkungan hidup. Pernyataan ini tertuang dalam pasal 13 ayat (1) poin (j) untuk pemerintahan provinsi dan pasal 14 ayat (1) poin (j) untuk pemerintahan kabuten/kota yang berbunyi; “Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi”: (a) perencanaan dan pengendalian pembangunan; (b) perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;(c) penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; (d) penyediaan sarana dan prasarana umum; (e) penanganan bidang kesehatan; (f) penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; (g) penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; (h) pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; (i) fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; (j) pengendalian lingkungan hidup; (k) pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; (l) pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; (m) pelayanan administrasi umum pemerintahan; (n) pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; (o) penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota ; dan (p) urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Walaupun undang-undang no. 32 ini sedang dalam proses perbaikan (revisi), tentunya masih ada peluang bagi daerah untuk membuat kebijakan yang berkenaan dengan pengelolaan sampah. Namun dalam perjalannya, pemerintahan daerah sebagai daerah otonom selalu berpatokan pada kebijakan diatasnya tatkala akan membuat suatu kebijakan. Artinya, tidak ada upaya dan keseriusan pemerintahan daerah untuk menanggulangi permasalahan ini Kalaupun ada daerah seperti Kabupaten Bandung dengan mengeluarkan kebijakan tentang retribusi pengelolaan limbah padat no. 27 tahun 2001, sedangkan Pemerintah Kota Bandung mengeluar perda Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
64
K3 no. 3 tahun 2005. Namun peraturan daerah tersebut tak secara eksplisit menjelaskan tentang pengelolaan sampah. Seperti halnya, perda kabupaten hanya menjelaskan proses izin pembuangan limbah padat pada perusahaan yang menghasilkan limbah yang berkarekter tinggi, itupun hanya sebatas angkut dan buang saja. Ada juga pasal yang menyebutkan tentang pengelolaan, namun maksud pengelolaan tersebut tidak dijelaskan bagaimana proses pengelolaannya. Begitu pula dengan perda K3 Kota Bandung No. 3/2005, walaupun persoalan sampah menjadi salah satu hal yang diatur, tapi tidak dijelaskan bagaimana masyarakat mampu mengelola sampah mulai dari sumber, serta bagaimana pula peran pemerintah sebagai pelayan masyarakat untuk memperlancar proses pengelolaan di sumber sampah itu. Seperti yang tertuang dalam pasal 26 ayat (1) Penyelenggaraan kebersihan lingkungan dilaksanakan melalui koordinasi RT dan RW meliputi kegiatan pewadahan dan/atau pemilahan, penyapuan dan pengumpulan serta pemindahan sampah dari lingkungannya ke TPS. Dari pasal tersebut, tidak ada penjelasan bagaimana peran pemerintah supaya koordinasi ditingkat RT atau RW bisa lancar terutama pada saat pengelolaannya. Malahan, pemerintah hanya memperjelas pada bagian retribusinya saja sebagaimana ditegaskan pada pasal 27 ayat (3). Perda yang dibuat kabupaten/kota maupun provinsi tentang tata ruang, juga tidak ada pasal yang menyebutkan perihal dimana tempat yang layak untuk dijadikan sarana pengelolaan sampah yang tidak berakibat buruk bagi lingkungan sekitarnya. Malahan pemerintah, banyak melanggar peraturan Tata Ruang yang dibuatnya. Seperti penempatan TPA Sarimukti dan TPA Jelekong. Kedua tempat ini sebetulnya tidak direncakan dari semula kedalam bentuk peraturan Tata Ruang baik kabupaten/kota maupun provinsi. Perlunya ada aturan khusus yang menangani permasalahan sampah dirasakan sangat mendesak dimana permasalah sampah diperkotaan khususnya dihadapkan pada masa sulit, kejadian longsornya TPA Leuwi Gajah disusul berbagai penolakan warga atas rencana TPA menjadi bukti bahwa persoalan sampah bukan masalah sepele. Dibutuhkanya peratuaran yang menangani khusus permasalahan sampah dimaksud, agar supaya; (1) menjadi control pemerintah atas pihak-pihak yang terlibat dalam proses pengelolaan di tempat akhir baik swasta ataupun lembaga terkait supaya bertanggung jawab dan konsisten atas proses pengelolaan. Kasus leuwi gajah diharafkan menjadi contoh ketika peran pemerintah tidak jalan, (2) menjadi konsep acuan dalam pengelolaan sampah mulai dari sumber, sampai tempat akhir pengelolaan. Artinya bagaimana aturan itu mengatur peran pemerintah atas banyaknya warga masyarakat yang telah berdaya mengelola sampah di beberapa tempat yang telah jalan, sehinggga aturan itu mendukung atas peran masyarakat tersebut, (3) untuk memperjelas hak dan tanggung jawab pemerintah dalam menjalankan tugas sebagai pelayan masyarakat. Hak disini diartikan, hak untuk ditaati oleh masyarakat lewat beberapa aturan yang dibuat. Hak untuk dihormati dan lain sebagainya. Adapun tanggungjawab yang dimaksud adalah; bagaimana kewajiban pemerintah dalam menjalankan aturannya itu selalu diikuti dengan memberikan solusi yang terbaik. Contoh masalah yang paling sederhana, ketika ada aturan yang menyebutkan “Dilarang membuang sampah sembarangan dijalan/ke badan sungai” yang disertai dengan bentuk tindakan terhadap pelanggar solusi yang dimaksud diatas adalah bagaimana pemerintah berusaha menyediakan sarana pembuangannya (tongs sampah) ditempat-tempat yang mudah terjangkau. Artinya; bagaimana masyarakat akan taat pada hukum kalau semua aturan tak memberikan solusinya. Kabar baik bagi kita semua pemerintah daerah, bahwasannya kini telah lahir RUU Pengelolaan Sampah yang sedang digodok di Dewan Perwakilan Rakyat. Mudah-mudahan RUU ini cepat disahkan menjadi undang-undang agar semua persoalan yang menguras para kepala daerah cepat teratasi lahirnya. Namun ini semua kembali lagi kepada daerah apakah mereka serius dalam mengatasi permasalahan sampah? Apakah sampah selama ini dipandang oleh daerah sesuatu yang harus diatasi supaya dampak-dampaknya tidak merugikan? Atau sampah ini hanya dipandang ada nilai kontribusi pemasukan sebagai PAD? Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
65
INISIATIF WARGA DALAM MENGELOLA SAMPAH ( INISIATIF Vs KEBIJAKAN ) Oleh: Rifal Zaelani 24
1. SAMPAH DAN PERMASALAHANNYA Sampah adalah merupakan bahan padat sisa konsumsi atau produksi dari kegiatan pemenuhan kebutuhan rumah tangga masyarakat sehari–hari yang sudah tidak memiliki kelayakan secara langsung untuk pemakaian yang sama. Permasalahan sampah yang saat ini sedang berkembang di tengah-tengah masyarakat Bandung pada dasarnya dipengaruhi oleh meningkatnya perkembangan penduduk dan perubahan pola kemas kebutuhan konsumsi masyarakat. Meningkatnya perkembangan penduduk di Cekungan bandung dipengaruhi oleh laju perkembangan pembangunan di Cekungan bandung yang begitu pesat sehingga bandung menjadi lahan untuk mengadu nasib masyarakat luar bandung yang di daerah asalnya kurang memiliki potensi atau ketersediaan lapangan pekerjaan. Perubahan pola kemas kebutuhan masyarakat menjadi permasalahan yang sangat mendasar dalam permasalahan sampah pada saat ini. Makanan, Minuman, peralatan mandi dan lain sebagainya sebagian besar telah menggunakan bahan kemasan yang sulit membusuk atau di musnahkan dengan pembakaran secara manual, contohnya bahan kemasan shampoo, kopi, bahkan ada juga terasi yang sudah mengunakan bahan kemasan plastik alumunium, atau banyak lagi barang-barang lainnya yang banyak kita temui di warung-warung atau took-toko. Permasalahan sampah pada saat ini terus berkambang dan pemerintah pun belum bisa menemukan cara yang efektif dalam upaya penanganan masalah tersebut, permasalahan sampah menjadi semakin kompleks saat ini dikarenakan oleh beberapa hal diantaranya adalah : 1. Trauma masyarakat akibat longsor sampah Leuwi Gajah. 2. Terbatasnya sarana dan prasarana Pengelolaan kebersihan. 3. Masih rendahnya tingkat kesadaran dan perilaku masyarakat dalam mengelola sampah. 4. Tidak adanya UU, Perda atau produk hukum lainnya yang mengatur tentang masalah sampah secara khusus. Penumpukan sampah di TPS-TPS Sampah Pasca longsornya TPA Leuwi Gajah adalah merupakan Klimaks dari permasalahan sampah yang sampai saat ini belum bisa teratasi. Penumpukan sampah di TPS terjadi karena pemerintah kesulitan untuk menetapkan TPA yang baru. Penolakan-penolakan masyarakat sekitar TPA/rencana TPA pun masih gencar dilakukan oleh masyarakat dengan alasan bahwa masyarakat tidak ingin menjadi korban berikutnya setelah warga Leuwi Gajah yang menjadi korban dari ketidak becusan pemerintah dalam melakukan pengelolaan sampah.
2. KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM UPAYA PENANGANAN MASALAH SAMPAH Permasalahan sampah akan terus berlanjut dan semakin berkembang jika pemerintah tidak memiliki keinginan atau berani melakukan perubahan pola pengelolaan sampah yang saat ini cenderung terpaku pada pola pengelolaan berbasis TPA yang sebenarnya sudah tidak lagi efektif untuk dilakukan mengingat sudah hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pola pengelolaan tersebut. Konsep 24
Penulis adalah warga Desa Rancamanyar Kecamatan Bale Endah kabupaten Bandung. Penulis aktif mengelola sampah di desa dan serta aktif di Pusat Sumber Daya Komunitas (PSDK) Koalisi Komunitas Korban Lingkungan (K3L) Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
66
apapun yang ditawarkan pemerintah kepada masyarakat tetap tidak akan dapat diterima, masyarakat akan terus melakukan perlawanan penolakan terhadap TPA yang berada dilingkungannya yang cenderung berdampak negatif terhadap kondisi lingkungan sekitarnya yang akan berdampak pada terjadinya konflik anatara masyarakat dan pemerintah. Dibawah ini adalah dampak negatif terhadap lingkungan sekitar TPA menurut warga sekitar TPA : 1. Membahayakan keselamatan jiwa masyarakat sekitar TPA ( Leuwi Gajah ) 2. Harga jual tanah menjadi murah 3. Lahan pertanian menjadi tidak produktif 4. Pencemaran air bawah tanah 5. Pencemaran air permukaan 6. Bising dengan hilir mudiknya angkutan mobil pengangkutan sampah 7. Lalat dimana-mana 8. Pencemaran udara (bau) 9. Mengundang bibit penyakit 10. Gangguan pernafasan 11. Jalan rusak 12. Berpengaruh kumuh (sampah yang terjatuh dari truk akan berserakan di sepanjang jalan), dan lain sebagainya Solusi pengelolaan sampah tidak perlu atau harus dengan mengunakan biaya yang mahal. Berapa besar biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk pembelian lahan seluas puluhan hektar untuk lahan TPA, fasilitas transportasi mobil pengangkut dan alat berat lainnya di lokasi TPA, perbaikan atau pengadaan jalan menuju TPA, membayar kompensasi kepada masyarakat yang merasa terganggu, mesin pengomposan, insenerator raksasa untuk pembakaran sampah anorganik yang kapasitasnya banyak, pembangunan pabrik PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah), biaya operasional pengelolaan ataupun penarikan, dan kebutuhan lainnya akan terus bermunculan. Pertanyaannya dana untuk apa/siapa yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut, apakah akan cukup jika hanya mengandalkan uang dari hasil retribusi masyarakat. Solusi pemecahan masalah sampah dapat diawali dengan upaya yang kuat melakukan pemberdayaan terhadap masyatakat pengelola sampah yang ada di lokal yang sebenarnya telah memiliki inisiatif sendiri sebelum permasalahan sampah ini menjadi isu yang berkembang, dengan kenyataan potensi yang ada pemerintah dapat mengembangkan sebuah konsep pengelolaan sampah berbasis masyarakat, pemikiran sederhananya masyarakat didorong untuk dapat mengelola sampah di lokal dengan sumber daya yang ada di lokal, dengan kapasitas sampah yang ada di lokal. Dalam pola pengelolaan ini pemerintah hanya berperan sebagai pendukung kegiatan dan mendukung kebutuhan masyarakat.
3. INISIATIF–INISIATIF WARGA YANG PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS TPA
TERTIMBUN
KEBIJAKAN
POLA
Pola/konsep pengelolaan sampah yang digagas oleh pemerintah dalam upaya penanganan masalah saat ini cenderung bersifat tender dan menghambur-hamburkan biaya yang sebetulnya dapat digunakan untuk kebutuhan kesejahteraan masyarakat lainnya. Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
67
Dengan melakukan penguatan kapasitas masyarakat pengelola sampah yang telah ada serta mengembangkan pola pengelolaan sampah berbasis masyarakat ditempat/lokasi yang belum terbangun inisiatif tersebut adalah tindakan yang paling memungkinkan bagi pemerintah untuk menjawab permasalahan sampah saat ini. dibawah ini adalah profil-profil dari beberapa kelompok masyarakat pengelola sampah yang telah berjalan di tingkat RW/lokal :
3.1 Pengelolaan sampah KBWM Kp. Penclut Desa Rancamanyar, Kec. Bale Endah, Kab. Bandung Berdirinya KBWM Desa Rancamanyar diawali dengan aktivitas penanganan sampah warga oleh pengurus RW dan Karang Taruna pada tahun 2002 dengan menggunakan pasilitas yang seadanya dengan menggunakan swadaya murni dari warga setempat. Aktivitas warga dalam penanganan sampah mendapatkan simpati dari WPL (Warga Peduli Lingkungan) yang telah mengembangkan system pengelolaan sampah berbasis masyarakat di beberapa desa di Kab. Bandung, dan akhirnya system pengelolaan sampah KBWM pun dikembangkan di Desa Rancamayar tepatnya di Kp. Punclut RW 05. Bentuk-bentuk pengelolaan sampah yang telah dan sedang berjalan dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. (Penarikan) Petugas menarik sampah dari rumah ketempat pengelolaan sampah dengan 2 Orang tim operasional 2. (Pemilahan) Petugas memilah dan memisahkan antara sampah. Sampah hasil pemilahan dipisahkan menjadi 3 jenis sampah diantaranya 1. sampah organik 2. sampah anorganik layak jual 3. sampah anorganik layak bakar 3. (Pengkomposan) Sampah organik yang telah dipisahkan melalui proses pemilahan dimasukan ke box kompos untuk dijadikan pupuk Kompos 4. (Pembakaran) Sampah an organik/tidak laku jual di bakar di tungku pembakaran Tabel 1. Cakupan Wilayah PelayananOrganisasi/Komunitas Wiayah Layanan
Total RT
Jumlah RT yang Terlayani
Jumlah KK yang Terlayani
RW 05
2 RT
2 RT
140 kk
Volume Sampah Yang Dikelola -
Tabel 2. Potensi Organisasi KBWM Desa Rancamanyar (internal) NO
POTENSI
PENJELASAN
1
Tim Pengelola (SDM)
-
2 orang penarik 2 orang pengelola di TPS
2
Lokasi TPSS yang Kondusif
-
Bangunan permanen Luas bangunan 4x8 m2 Luas areal pengelolaan sampah 8x10 m2
3
Sarana Prasarana
-
2 buah roda pengangkut 1 buah yungku pembakaran
4
Keterlibatan
-
PKK Sebagai tim sosialisasi 140 warga menjadi pelanggan KBWM
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
68
Sementara itu untuk pendanaan pengelolaan adalah: Swadaya murni masyarakat berbentuk iuran warga sebesar 3000,00/KK/bulan Swadaya dan sumbangan donatur 1. Swadaya untuk : a) Pembuatan tungku pembakaran sampah b) Peralatan Lainnya Presentase
25%
2. Sumbangan donatur untuk
: a) Pembuatan dangunan pengelolaan sampah b) Roda sampah c) Fasilitas pengomposan
Presentase
75%
Kendala yang dihadapi dalam pengelolaan sampah di Kp. Penclut Desa Rancamanyar dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 3. Kendala yang Dihadapi dalam Pengelolaan Sampah NO 1
ASPEK Dana
2
Sarana dan prasarana
3
Pengelolaan
4
Pelatihan/pening katan Kapasitas
5
Partisipasi masyarakat
PENJELASAN Pendapatan dari retribusi tidak cukup untuk biaya pengelolaan dan biaya perawatan Fasilitas, Pendapatan dari retribusi hanya memadai untuk gaji tim operasional sebanyak 4 orang. Sudah banyak peralatan yang sudah tidak layak pakai yang masih digunakan Ukuran Tungku Pembakaran tidak sesuai dengan volume sampah Boks Kompos yang sudah rusak tidak dapat diperbaiki Pengelolaan tidak optimal karena sarana dan prasarana kurang memadai
KET Warga membayar retribusi sebesar Rp. 3000,-/bulan
Pendapatan retribusi dari warga tidak mencukupi untuk pengadaan maupun perawatan sarana dan prasarana
-
tidak adanya tempat pengomposan yang memadai
-
kurang memadainya tungku pembakaran yang ada
Belum memiliki sistem pengelolaan SDM Belum memiliki program pengembangan kapasitas SDM x Menurunnya partisipsi warga untuk terlibat dalam aktivitas ini x Lemahnya kesadaran warga untuk melakukan pemilahan jenis sampah x Lemahnya kesadaran masyrakat dalam memenuhi kewajiban membayar retribusi
3.2 Pengelolaan Sampah Kp. Cilebak Desa Rancamanyar Kec. Baleendah Inisiatif pengelolaan sampah di Kp. Cilebak Desa Rancamanyar adalah merupakan suatu tindakan masyarakat dalam upaya penanganan masalah banjir yang setiap tahunnya melanda di kampung Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
69
tersebut yang menurut persepsi masayarakat permasalahan banjir dikampung tersebut adalah akibat dari tersumbatnya saluran air dan pendangkalan sungai Citarum lama yang sebagian besar diakibatkan oleh sampah dari warga yang dibuang dengan sembarangan kesungai aktivitas penanganan sampah warga di Kp. Cilebak dikelola oleh pengurus RW dengan menggunakan pasilitas yang seadanya dan menggunakan swadaya murni dari warga setempat. Pola pengelolaan yang dilakukan adalah dengan menggunakan pola penarikan dari warga, pemilahan, pengomposan, dan pembakaran.
3.3 Pengelolaan Sampah di Cibangkong Keberadaan pengelolaan sampah Cibangkong dimulai pada tahun 2002 atau tepatnya pada tanggal 10 Februari 2002 Pengelolaan sampah di PTPS Cibangkong pada awalnya menerapkan sistem 3R Mengurangi (reduce), memakai kembali (re-use), dan mendaur ulang (recycle). 1. Para petugas yang dibentuk/ditugaskan oleh RW/LPW memungut sampah dari tiap rumah, lalu membawanya ke TPSS yang telah ditentukan 2. Setelah sampah sampai di TPS, para petugas penarik sampah memilah sampah pada dua jenis sampah. Pertama; sampah basah (organik) yang peruntukannya untuk bahan pembuatan kompos. Kedua; sampah kering (anorganik) yang pemilahannya terbagi lagi pada dua jenis yaitu layak jual dan residu. Sampah yang layak jual (palstik kresek, kaleng bekas, bahan dari kaca, kertas, dll) kemudian dikumpulkan. Setelah terkumpul cukup banyak, sampah ini dijual kepada bandar. Adapun residu yang didapat dari sisi pemilahan ini dibakar. Sampah yang ditarik dari warga yang mencapai 80 KK ini setiap harinya bisa mencapai 3 ton/hari. Potensi yang ada serta upaya yang pernah dilakukan oleh warga dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 4. Potensi dan Upaya yang Dilakukan No
Potensi
1
Volume sampah yang melimpah sebanyak 60%
2
Tenaga kerja penilah sampah
3
Sarana TPSS walaupun sangat terbatas
4
Potensi Pertanian yang mengarah pada pertanian organik sehingga lahan perlahan bisa memasarkan hasilnya Figur seorang pimpinan Pengelola TPSS (Suarjim an) yang tetap sabar-konsisten
5
Upaya yang Dilakukan Mempromosikan upaya yang dilakukan pada pemerintah Bekerjsama lewat beberapa program yang digulirkan pemerintah Mencoba menularkan ilmunya pada beberapa komunitas masyarakat
Kebutuhan Informasi Pemasaran hasil olahan sampah Advokasi kebijan pengelolaan sampah
Bantuan sarana yang memadai
3.4 KBWM Kp. Cikambuy Desa Sangkan Hurip Kecamatan Katapang
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
70
Diatas adalah beberapa kegiatan/inisiatif kelompok masyarakat dalam melakukan pengelolaan sampah dalam skala lokal yang seharusnya dijadikan pertimbangan oleh pemerintah dalam upaya penanganan masalah sampah saat ini, selain beberapa kelompok penggiat sampah diatas mungkin masih banyak lagi kelompok-kelompok penggiat sampah lainnya yang melakukan aktivitas tersebut seperti pengelolaan yang dilakukan oleh FOKUSTEL di Ciateul Kota Bandung, pengelolaan sampah di Cijerah Kota Cimahi dan masih banyak lagi inisitif-inisiatf masyarakat lainnya yang layak mendaptkan dukungan dari pemerintah dalam upaya mengembangkan gagasan tersebut.
4. INDIKASI KEBERHASILAN MASYARAKAT
POLA
PENGELOLAAN
SAMPAH
BERBASIS
Dalam penanganan masalah sampah saat ini pola pengelolaan sampah berbasis masyarakat adalah merupakan strategi yang efektif mengingat banyaknya kelompok-kelompok masyarakat lokal yang melakukan kegiatan tersebut jauh dari sebelum isu sampah menjadi isu primadona di Cekungan Bandung indikasi tersebut menunjukan bahwa masyarakat memiliki kesadaran dan memiliki keinginan berpartisipasi dalam mengelola lingkungannya sendiri. Pola hidup masyarakat yang masih berpegang pada kegiatan pertanian dapat mempengaruhi jenis sampah kota/domestik yang ada di Cekungan Bandung maka jenis sampah yang akan mendominasi adalah jenis sampah organik, dengan pola pengomposan di lokal maka distribusi penjualan kompos akan dapat dilakukan juga kepada para petani yang ada dilokal. Upaya pengelolaan sampah di Cekungan Bandung tidak harus selalu dilakukan dengan menggunakan tekhnologi tapi akan lebih baik jika diselaraskan dengan kearifan budaya serta kondisi alam di Cekungan Bandung yang memiliki kekayaan alam yang berlimpah yang seharusnya dipupusti bukan dicemari oleh limbah air lindi dari TPA. Keberhasilan pengelolaaan sampah berbasis masyarakat akan berhasil jika terbangun pola kerjasama antar mayarakat dan pemerintah yang berkesinambungan, berfikir bersama-sama dalam menangani masalah dan hambatan serta berpikir bersama-sama dalam mengembangkan potensi yang ada.
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
71
“Perang Air”; PEMODAL vs RAKYAT KECIL
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
72
RADUG: PERANG AIR Oleh: Umar Alam Nusantara
alam sejarah peradaban umat manusia, perang pada hakekatnya pertarungan memperebutkan sumber daya alam. Alam dapat memenuhi semua kebutuhan manusia untuk menjamin keberlangsungan eksistensinya. Bumi, air dan udara merupakan kebutuhan yang sangat mendasar, tanpa ini tak akan ada kehidupan. Ternyata, sedikit atau banyak tidak pernah memuaskan manusia, sekelompok manusia akan menyerang sekelompok manusia lain untuk menguasai sumber daya alam. Ini salah satu alasan orang-orang Eropa datang ke nusantara karena motivasi menguasai hasil alam. Tentu ini juga alasan Amerika dan sekutunya menyerang Irak, demi minyak bumi. Tidak peduli harus mengeluarkan biaya perang jutaan dollar, sangat kasat mata. Dominasi kekuasaan, baik itu kekuasaan politik dan kekuasaan modal menjadi syarat untuk memenangkan peperangan. Logika perang adalah siapa yang paling kuasa itu yang akan menang, yang lemah hanya akan menjadi mangsa yang kuat. Eksploitasi manusia terhadap manusia lain sepertinya sudah menjadi bagian dari perjalanan peradaban manusia itu sendiri. Dan ke depan kecenderungan ekskalasi perang ini akan semakin meningkat dengan cara dan bentuk yang berbeda. Bukan saja perang dengan senjata tetapi juga perang paradigma. Perang karena perbedaan dalam melihat fungsi dan ditribusi sumber daya alam yang semakin terbatas jumlahnya. Begitupun sumber daya air yang semakin terbatas. Karena alam tidak memproduksi air. Alam hanya mendaur ulang untuk digunakan kembali yang tak henti-hentinya memperbaharui sumber air dalam bentuk hujan, dalam sebuah siklus air. Melalui air hujan turun ke bumi terus mengalir mengisi ulang resapan air dan mata air di bumi, dan akhirnya membentuk hujan kembali. Air membantu manusia untuk terus bereproduksi, memberi kesuburan tanah, terlibat dalam semua proses produksi dan konsumsi bahkan mampu menjadi penerang di kegelapan. Air adalah kehidupan, sumber inspirasi dan identitas budaya manusia. Lihat saja, bagaimana cara bangsa India menghormati Gangga, bangsa Mesir begitu bangga dengan Nil, bangsa Irak merasa dirinya anak kandung dari Tigris dan Eufrat. Begitu pun orang Sunda sangat erat dengan budaya air. Tidak heran kalau banyak tempat di Tatar Sunda berhubungan dengan air atau Cai/Ci. Misalnya ada daerah bernama Cibeureum, Cihawuk, Cijapati, Cigondewah, Ciparay, Cikoneng, Cibolerang atau nama daerah berdasarkan letak geografis air seperti solokan, bojong, ranca, leuwi, sapan, daerahdaerah dengan nama ini akan mudah ditemui di Tatar Sunda. Sejarah dan mitos sunda juga banyak kaitannya dengan air seperti Dewi Sumur Bandung (Bandung), Talaga Sangiang (Majalengka), Talaga Pancawarna (Puncak Bogor), Talaga Pancuran (Situ Lembang), Situ Bagendit (Garut), Sangkuriang (cerita membendung Citarum), Situ Lengkong (Panjalu), Situ Cangkuang (Leles Garut), Curug Tujuh (Cimanganten Garut), Curug Panganten (Cimahi) dan lain-lain. Bagi orang Sunda, air diibaratkan seperti manusia yang sedang tidur, kakinya mengarah ke manamana. Maksudnya, air dari kepala (hulu) mengalir ke mana-mana menjadi ci nyusu, sungai kecil (solokan), sungai besar (walungan), talaga dan danau. Di sekitar sirah cai itu ditumbuhi aneka ragam tumbuhan yang sangat khas. Ada caringin, loa, teureup, picung, jati, hampelas, awi tamiang, awi tali, dan awi gombong. Karena itu, daerah-daerah tebing bukit (gawir) yang rimbun pepohonan, dari dalam tanah, celah-celah batu, atau akar-akar tumbuhan keluar air sebagai sirah cai. Biasanya tempat-tempat keluarnya sumber air tanah tersebut diberi nama berdasarkan pohon utama di wilayah tersebut ataupun kekhasan lainnya, misalnya Cipicung, Ciloa, Citeureup, Citaming dan Cipasantren. Sebab, sumber air tersebut keluar dari bawah pohon picung, loa, teureup, awi taming atau di dekat pesantren. Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
73
Karena itu air dianggap sakral, sehingga sirah cai senantiasa dikeramatkan dan tidak ada yang berani merusaknya. Sebagai upaya untuk menjamin keberhasilan bertani, petani sebelum memulai menggarap lahan sawah melakukan selamatan sirah cai. Diteruskan dengan memperbaiki parit-parit, memperkokoh tanggul-tanggul, simpangan air di parit, dan mengatur saluran-saluran untuk membagi air ke sawah sesama petani. Semuanya dilakukan dengan semangat solidaritas yang tinggi antar sesama. Pada tingkat tertentu, petani mampu membuat prediksi perubahan cuaca atau musim. Untuk meramalkan tibanya musim hujan, para petani umumnya menggunakan pertanda rasi bintang di alam, kehadiran beberapa jenis hewan, dan masa berbuah atau berbunga. Orang Sunda juga telah mempunyai berbagai prediksi tentang perubahan musim dengan karakteristiknya. Misalnya, dikenal daur ulang musim dalam delapan tahunan, yang biasa dinamakan windu. Windu tersebut terdiri dari bulan Alip, Ehe, Jimawal, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir dengan masing-masing karakteristik dan kesesuaiannya untuk bertani. (Hasan Mustafa;1913). Sumber daya alam yang paling bernilai ini berada dalam ancaman seiring dengan terjadinya degradasi lingkungan. Alam sudah tidak mampu lagi mendukung terjadinya siklus air. Hutan sudah tidak mampu berfungsi sebagai bendungan alami yang menampung air dan mengeluarkan secara perlahan melalui mata air dan sungai. Walaupun dua per tiga planet ini terdiri dari air, kelangkaan air menjadi sebuah keniscayaan. Tapi di sisi lain semakin banyak manusia yang membutuhkan dengan kepentingan yang berbeda. Artinya, masing-masing akan memastikan atas jaminan mendapatkan air, dengan cara apapun. Melalui kekuasaan, modal, bahkan intervensi terhadap kebijakan negara dalam mengelola air. Tidak salah kalau ada yang mempredeksikan perang di masa depan akan dipicu oleh perebutan air, bukan minyak bumi seperti yang terjadi di Perang Irak. Konsep pembangunan yang berorientasi pada industri telah menggerus nilai-nilai kearifan budaya, kalah oleh kepentingan modal. Negara yang punya kewajiban untuk mengelola air ini untuk kemakmuran rakyat (UUD 1945) ternyata tunduk takluk oleh kepentingan pemodal. Negara lebih berpihak kepada mereka (kapitalis) dari pada kepada rakyatnya sendiri (petani). UU No 7 Tahun 2003 menjadi legitimasi bagi para pemodal dan orang kaya untuk menguasai air, sehingga petani dan rakyat miskin tertutup pintu airnya. Kalau petani dan rakyat miskin ingin terbuka pintu airnya silahkan beli, harganya sesuai dengan biaya produksi ditambah keuntungan. Pada tahun 1940-1942, Sungai Citarum di Radug dibendung untuk irigasi. Secara administratif Radug termasuk Desa Wangisagara Kecamatan Majalaya Kabupaten Bandung. Irigasi ini mengalirkan air Citarum ke Desa Padamulya dan Desa Sukamaju Kecamatan Majalaya hingga ke Desa Mekar Sari Kecamatan Ciparay. Irigasi terbagi menjadi dua saluran, saluran primer untuk kedaerah pertanian hilir dan saluran sekunder untuk lahan pertanian sekitar hulu. Lahan pertanian yang memanfaatkan irigasi seluas 50 ha di Desa Padamulya dan Desa Sukamaju seluas 50 ha Kecamatan Majalaya dan Desa Mekarsari Kecamatan Ciparay luas lahan 100 ha. Artinya, nasib petani sangat tergantung kepada suplai air Radug. Radug adalah harapan dan masa depan petani. Untuk mengatur pembagian air irigasi biasa dinamakan mantri ulu atau ulu-ulu yang diambil dari kata hulu cai. Karena tugasnya mengatur hulu cai, kira-kira begitu. Radug seperti sebuah arena pertarungan dalam memperebutkan sumber air. Karena disini lumbung air yang berlimpah. Air mengalir di atas permukaan melalui Citarum ditambah banyaknya mata air atau cai nyusu. Tidak hanya petani, masyarakat pun sangat tergantung kepada Radug dalam memenuhi kebutuhan air untuk konsumsi, mandi, cuci dan sanitasi. Masyarakat di beberapa Desa Sukamaju, Padamulya, Wangisagara, mengambil air dari Radug. Salah satu mata air yang terkenal adalah Ciburial yang sudah dimanfaatkan dari tahun 1962. Atas prakarsa seorang pengusaha lokal yang bernama H.Syukur (alm), melakukan pipanisasi dari Radug sampai Balekambang Sukamaju sepanjang 1,5 km. Selain untuk memenuhi air masyarakat sekitar, juga digunakan untuk proses produksi pabrik tekstil milik Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
74
H.Syukur. Selain memiliki pabrik, H.Syukur mengelola Yayasan Pesantren Syukur yang bergerak di bidang pendidikan dari mulai SD, Tsanawiyah dan Aliyah yang bertahan sampai sekarang. Sehingga Balekambang sangat identik dengan H.Syukur, sampai jembatan yang menyebrangi Citarum disebut sasak H. Syukur. Namun setelah pabriknya gulung tikar, air yang berlebih disalurkan kepada penduduk sekitar dengan kosekuensi timbal balik dari konsumen berupa infak hasil mufakat. Sampai saat ini konsumen di Balekambang berjumlah 150 kk dari 8 RW dengan infak Rp.7000/bulan, dan konsumen MCK di Wangisagara dan Padamulya dengan infak seikhlasnya. Dibagian hilir Radug merupakan daerah industri, disini berdiri pabrik-pabrik tekstil yang dalam proses produksinya membutuhkan air dalam jumlah banyak. Setidaknya ada 11 pabrik tekstil yang mengambil air dari Radug yaitu: Sipatex, Tawekal, Sinarsari, Sidotex, Harapan, Sungai Indah, Himalaya, Guna jaya, BCP, Dewi sakti, IBM. Pipa-pipa besar dan kolam-kolam raksasa menjadi bagian dari pemandangan di Radug. Dengan pompa berkekuatan besar, pipa-pipa itu menyalurkan air untuk diteruskan ke masing-masing pabrik melewati sawah petani dengan angkuhnya. Seakan-akan, petani hanya bisa mempersilahkan dengan segala kerendahan diri (bukan kerendahan hati). Pemodal, seperti tidak mau kehilangan setetes air pun untuk sebuah proses produksi yang akan memberikan keuntungan besar. Pertanian dan industri mempunyai paradigma berbeda dalam melihat fungsi dan nilai air. Bagi petani air tidak hanya mempunyai nilai sosial tapi juga spiritual. Air tidak hanya untuk sekedar mengairi sawah tapi air juga menjadi inspirasi untuk menebar keberkahan bagi sesama. Sebaliknya bagi industri air tidak lebih dari barang komoditas, hanya untuk memuaskan hasrat tidak peduli dengan sesama. Perbedaan paradigma ini menjadi pemicu terjadinya konflik air. Siapa yang menguasai air, itu yang berkuasa, yang kalah akan tersisihkan. Perang petani melawan pemodal, kearifan melawan teknologi, selokan melawan pipa raksasa, cangkul melawan mesin penghisap air, kesederhanaan melawan kesombongan. Perang memperebutkan air yang langka tapi banyak dibutuhkan. Sumber-sumber air menjadi kancah pertarungan manusia menurut kepentingan masing-masing. Air yang kaya dengan nilai-nilai spiritual dan simbol sebuah ikatan persaudaraan berubah menjadi pemicu konflik. Masing-masing memasang strategi untuk menguasai sumber air. Apapun akan dilakukan, tak peduli dengan hukum bahkan penuh intrik dan praktek kotor. Karena khawatir kepentingannnya terganggu, sampai-sampai pabrik harus membayar para jawara kampung alias preman untuk menjaga kolam dan pipa-pipa. Semakin banyak air yang dikuasai semakin licin jalan roda bisnis pemodal. Artinya, bagi pemodal Radug harus dikuasai. Pengambilan atau lebih tepatnya perampokan air Radug oleh pabrik-pabrik mengakibatkan sawah para petani kekurangan air, terutama pada musim kemarau. Menurut hasil kajian Pusat Sumber Daya Komunitas (PSDK) persentase tingkat pemakaian air antara industri dan petani (80% > 20%). Padahal sebelum berdirinya pabrik, petani tidak pernah kesulitan air di musim kemarau sekalipun. Desa Mekar Sari Kecamatan Ciparay yang paling sering tidak kebagian jatah air. Sehingga pada musim kemarau para petani harus beralih komoditas ketanaman yang tidak terlalu memerlukan air banyak bahkan harus menyewa mesin diesel senilai Rp 200.000/100 tumbak untuk satu kali panen sekitar 4-6 bulan. Jenis tanaman: jagung, bawang daun, buncis, mentimun, dan buah pare. Pemodal ternyata belum puas hanya dengan mengambil air petani, mereka juga meracuni air dengan racun limbah. Menurut hasil penelitian Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung bekerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan (LPPM) ITB, Desember 2002, menyatakan bahwa pencemaran limbah industri di Majalaya sangat parah karena limbahnya diatas baku mutu limbah cair industri tekstil sesuai dengan Kep 51/MEN-LH/1995. Dari data debit air 48 industri yang sudah diperiksa saja, total debit air limbah adalah 154,87 liter/detik, sangat luar biasa. Kecamatan Majalaya memiliki sekira 240 industri kering dan 59 industri basah, sedangkan Kec. Solokanjeruk (eks bagian Majalaya) memiliki 56 industri kering dan 5 industri basah. Industri kering meliputi sebagian besar industri tenun, sebagian kecil industri pemintalan, konveksi, industri erelan benang, dan garmen. Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
75
Industri basah didefinisikan sebagai industri tekstil atau celup benang yang menghasilkan limbah cair dalam jumlah relatif banyak. Sungai Citarum dan anaknya yang tercemar sekitar; Citarum 33%, Cipadaulun 9,5%, Cikacembang 31%, Ciwalengke 11,9%, Cijunti 2,4% dan Citarik 2,4%. Perbandingan industri yang melakukan pengolahan air limbah adalah memiliki IPAL 81%, hanya bak penampung 9,5%, sedang membangun 4,8%, dan tidak memiliki IPAL 4,7%. Lengkap sudah penderitaan petani. Seakan-akan pemodal paham betul bagaimana melemahkan, menindas dan memperdaya petani. Ketika air tidak tersedia, pemodal tahu petani tidak punya pilihan selain terpaksa memakai air racun limbah itu untuk sawah mereka. Yang terjadi tanah menjadi terkontaminasi dan menurunnya produksi padi bahkan seringkali gagal panen. Jika kondisi ini terus terjadi, kekecewaan yang terakumulasi akan menjadikan petani putus asa dan menjual tanah terbesit dalam pikiran petani. Maka dengan itu, pemodal akan memberikan penawaran harga untuk sawah petani setelah itu mereka akan membangun pabrik baru di sawah petani. Itu kira-kira yang ada dalam strategi pemodal. Petani selalu ada dalam posisi lemah ketika melawan pemodal. Relasi kekuasaan yang tidak adil telah memposisikan petani dalam posisi marjinal termasuk akses kepada air. Padahal sejatinya air adalah hak semua manusia, mempunyai nilai sosial yang memenuhi prinsip keadilan. Lembaga-lembaga formal yang dibentuk untuk pengelolaan irigasi ini tidak bisa berbuat apa-apa. PU Pengairan sebagai lembaga pemerintah dan Mitra Air yang dibentuk petani malah beradu kekuatan guna menguasai air itu dikarenakan adanya kontribusi tertentu dari pihak industri. Mitra Air yang sejatinya membela kepentingan petani menjadi pembela pabrik, lupa akan amanat yang diembannya yang harus membela sekitar 4000 petani. Karena Mitra Air didanai oleh pabrik dan itu sangat menyulitkan mereka untuk memihak kepada para petani. Besarnya sumber daya yang dimiliki industri-industri, saat ini menjadi sebuah tantangan yang berat bagi para petani, karena dengan dukungan modal yang cukup besar setiap pabrik mampu membeli siapa saja untuk kepentingannya. Salah satu upaya petani adalah melakukan ronda membagi jatah air satu malam untuk Desa Sukamaju, Desa Padamulya Kecamatan Majalaya dan dua malam untuk Desa Mekasari Kecamatan Ciparay. Beberapa petani yang mencoba melakukan perlawanan terhadap perilaku Mitra Air yang lebih berpihak ke pabrik. Pak Oteng dan Hermana warga Desa Padamulya dan empat warga desa diantaranya: Desa Padaulun, Desa Padamulya, Desa Sukamaju Kecamatan Majalaya, dan Desa Mekarsari Kecamatan Ciparay, berinisiatif membentuk Mitra air yang nantinya akan lebih memihak kepada para petani. Inisiatif tersebut kerapkali dimusyawarahkan oleh ke-empat warga, guna untuk menanggulangi permasalahan kurangnya air yang dirasakan oleh para petani. Musyawarah warga di lakukan di Kampung Kebon Tiwu Desa Padaulun.
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
76
SECERCAH EMPATI UNTUK ALAM Oleh: Atep Kamaludin Alramadhan 25
etika bumi masih kosong bertanyalah Tuhan pada segenap mahluknya, “siapa yang sanggup mewakiliku memelihara dan memimpin dibumi ciptaanku”, ditanyalah gunung, lautan, bebatuan, tumbuhan dan mahluk ciptaan Tuhan yang lainya mereka menolak dengan kecemasan dan keberatan tetapi ada salah satu mahluk yang bernama masusia berteriak kegirangan menyanggupi dan menerima tawaran Tuhan untuk memelihara dan memanfaatkan alam dengan kasih sayang. Semenjak itu berlakulah hukum alam. Ditundukkanlah gunung, lautan, dan elemen-elemen alam pada sang penerima titipan. Namun adakah manusia yang begitu semangat menerima titipan Tuhan itu melaksanakan kewajiban memelihara bumi dengan penuh kasih sayang atau malah sebaliknya menyakiti alam, mengeruk kekayaannnya tanpa belas kasihan menimbulkan kerusakan, wabah penyakit dan bencana alam. Heran sungguh heran, gunung yang malang, lautan menjerit kesakitan menggelengkan kepalanya dengan keheranan melihat manusia yang bertugas memelihara alam berkelakuan lebih hina dari hewan, bukan menyayangi alam malah meningkatkan ketamakan. Parahnya lagi, mengkambinghitamkan Tuhan atas bencana alam dan kesengsaraan manusia lainya yang jadi korban akibat kerusakan yang dibuat oleh mereka sendiri. Bukankah hukum alam telah berjalan, bukankah alam telah ditundukan untuk dipelihara dan dimanfaatkan sebagai tempat persinggahan dalam perjalanan menuju Tuhan. Bukankah Tuhan telah menyediakan alam kekal dengan penuh kenikamatan bagi manusia? Tentunya sedikit cercaan diatas patut ditujukan pada para penjahat lingkungan yang menjadi penyebab kerusakan lingkungan. Karena kerusakan lingkungan saat ini sebagian besar diakibatkan oleh penjahat lingkungan, baik itu para pengusaha yang tamak maupun pemerintah yang tidak konsisten pada kebijakan yang sudah ada. Merupakan suatu kehormatan jika kita tidak termasuk dalam golongan manusia yang dicerca alam, dimusuhi lingkungan dan dimurkai Tuhan. Alangkah beruntungnya jika kita menjadi sahabat alam yang senantiasa bercengkrama, saling memberi manfaat, menepati perjanjian dengan Tuhan untuk mengelola alam dengan penuh kasih sayang. Sungguh nista manusa yang menerkam alam dengan keganasan dan kebuasan. Sungguh tak berperasaan manusia yang memperkosa alam tanpa belas kasihan, meneguk kenikmatannya tanpa belas kasihan, lantas mendapat upah dan penghargaan. Kitapun telah terbiasa melihat berita di media, bagaimana sengsaranya masyarakat yang menjadi korban akibat dari kejahatan lingkungan. Namun masalah lingkungan semakin hari bukan berkurang malah semakin kompleks, semakin sulit untuk diselesaikan. Salah satu contohnya di Kecamatan Majalaya Kabupaten Bandung yang dikenal kota industri karena banyak sekali pabrik industri tekstil. Sudah merupakan langganan apabila turun hujan pasti banjirpun datang, bahkan banjir pada tahun ini (akhir April 2007) lebih parah dari tahun-tahun sebelumnya, selain menimbulkan banyak kerugian juga menelan korban jiwa. Namun sebaliknya, apabila musim kemarau datang, banyak sekali perkampungan yang kekeringan, para petani gagal panen malah
25
Penulis adalah warga Kp. Sukahaji Ds. Neglasari Kecamatan Majalaya. Aktif di Komunitas Peduli Lingkungan (KPL) Majalaya sebagai anggota divisi informasi dan data. Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
77
pernah terjadi peristiwa pertikaian yang berujung kematian gara-gara perebutan air antara buruh dengan buruh yang ditugaskan oleh pabrik untuk menjaga serta mengatur air. Selain fenomena banjir, diperparah juga dengan masalah limbah batu bara dan limbah cair yang dihasilkan oleh industri. Selain itu, tempat pembuangan sampah sementara (TPS) dan petugas kebersihan yang sangat kurang, menyebabkan masyarakat buang sampah sembarangan bahkan dibuang ke sungai-sungai. Kondisi ini membuat lingkungan hidup di Majalaya semakin semrawut. dan masyarakat Majalaya pun secara langsung ataupun tidak langsung merasakan dampak negatif dari proses industrialisasi yang tidak ramah lingkungan. Permasalahan lingkungan tersebut mendorong sebagian warga untuk peduli dan mengkritisi tata kelola lingkungan yang dijalankan oleh pemerintah. Salah satunya adalah Komunitas Peduli Lingkungan (KPL) Majalaya mempunyai idiom “leuweung rusak, cai beak, runtah pabalatak, manusa balangsak”. Kalau musim hujan, di Majalaya khususnya daerah perkotaan pasti kebanjiran yang diakibatkan oleh ”leuwung” rusak yaitu lahan-lahan kritis dari mulai hulu Sungai Citarum sampai kebawah, illegal logging dan lain-lain. Sedangkan kalau musim kemarau ”cai beak” yang diakibatkan oleh banyaknya pabrik yang membutuhkan air dalam jumlah yang banyak, melakukan pemboran untuk mendapatkan air dalam tanah dan penyedotan sungai hingga kadang petani yang membutuhkan air tidak kebagian. Runtah juga ”pabalatak” sebab sangat kurangnya tempat pembuangan sampah sementara (TPS) dan petugas kebersihan. Ceuk kasarna mah “keurmah masyarakat kurang ditekenkeun supaya ulah miceun runtah dimana wae katambah euweuh tempatna” Akibat dari semua itu, masyarakatlah yang menjadi korban. Manusa ”balangsak” karena dampak negatif lingkungan yang airnya, udaranya, tanahnya rusak ditambah aparatnya, pengusahanya yang tak berakhlak sehingga membuat masyarakat korban semakin sengsara. Fenomena lingkungan hidup di Majalaya yang semrawut, merupakan sebuah bukti moralitas yang rendah di beberapa pegiat usaha industri. Membuktikan ketidakbecusan pemerintah dalam mengelola lingkungan, serta tidak konsekuennya pemerintah dalam menegakan kebijakan lingkungan. Serta membuktikan banyaknya aparat yang nakal yang melindungi para penjahat lingkungan, maupun aparat pemeintah yang menjadi penjahat lingkungan demi memuaskan ketamakan. Semua hal itu membuat lingkungan dan masyarakat korban hampir tidak bermasa depan. Oleh sebab itu, sebelum benar-benar hancur tak bermasa depan nampaknya menjadi suatu kewajiban untuk bangkit menjadi pembaharu lingkungan. Siapapun kita nampaknya harus segera menyingsingkan lengan baju untuk jadi pribadi yang solutif bagi lingkungan. Kita harus segera bangkit, bangkit, bangkit…..memperbaiki keadaan alam yang tentunya akan berbuah kebahagian bagi kita dan generasi yang akan datang.
BANGKIT JUANG HANCURKAN TIRANI PEMBELENGGU, PERBAIKI LINGKUNGAN, TEGAKKAN KEADILAN ! Inti permasalahan lingkungan hidup, disebabkan oleh: 1. Rendahnya moralitas, tidak konsekuen dalam menjalankan peraturan hukum lingkungan, serta kurangnya pemahaman sebagian aparat terkait masalah lingkungan hidup. Kenapa? sebab kalau mereka terampil, konsekuen pada kebijakan, moralnya tinggi, masalah lingkungan akan teratasi meski setahap demi setahap. 2. Rendahnya moral beberapa pegiat usaha yang ingin meraup keuntungan sebesar- besarnya tanpa Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
78
mempedulikan dampak negatif bagi lingkungan dan masyarakat. 3. Kurangnya pendidikan yang dimulai sejak dini untuk melestarikan lingkungan bagi masyarakat. Kemungkinan besar degradasi moral dan kurangnya keterampilan akan pengelolaan lingkungan disebabkan oleh minimnya pendidikan sejak dini mengenai agama, moral dan wawasan mengenai menejemen lingkungan. Oleh karena itu, selain menangkap dan mengadili para penjahat lingkungan, memperbaiki kebijakan, diperlukan juga pendidikan sejak dini yang mengarah pada pembentukan karakter peduli lingkungan dan pendidikan keterampilan dalam mengelola lingkungan, baik itu pendikan formal maupun pendidikan non formal yang berupa pelatihan, seperti pelatihan advokasi lingkungan yang pernah diselenggarakan oleh Perkumpulan Inisiatif dan pelatihan lainnya. Ada sebuah pepatah yang mengatakan “taburlah gagasan tuailah perbuatan, taburlah perbuatan tuailah kebiasaan, taburlah kebiasaan tuailah karakter, dan taburlah karakter tuailah nasib”. Maka nampaklah suatu kebenaran bahwa karakter menuai nasib seseorang, hingga pantaslah Allah SWT berfirman: ”Bahwasanya Ia tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum merubah nasibnya sendiri”, artinya nasib manusia akan dirubah menjadi baik bila perilaku dan moral yang merupakan cermin karakternya diperbaiki, sedangkan karakter dan moralitas itu dibentuk oleh kebisaan sejak kecil. Jadi bila semenjak kecil terbiasa konsekuen akan pemahaman dan nilai moral yang tinggi, hingga menjadi suatu karakter atau kepribadian seseorang maka setelah dewasa akan semakin konsekuen. Apalagi jika di topang denga nilai keimanan pada Tuhan yang kuat, niscaya moralitas yang tinggi akan terbiasa dalam kehidupan, hingga terciptalah suatu keharmonisan dalam sebuah lingkungan hidup. Pada intinya, dengan pendidikan sejak dini yang mengarah pada pembentukan karakter peduli lingkungan dan pendidikan keterampilan dalam memenej lingkungan, diharapkan generasi mendatang setelah maut menjemput para penjahat lingkungan lahirlah generasi yang moralitasnya tinggi, handal dan profesional dalam mengelola lingkungan, serta kritis terhadap kebijakan dan pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah dan pengusaha yang merusak lingkungan hingga tidak lahir kembali generasi penjahat lingkungan. Namun untuk memulai membuktikan empati kita terhadap masalah lingkungan yang semakin hari semakin kompleks, sebagai langkah pertama harus kita siapkan pribadi kita menjadi pribadi yang solutif, handal dan terampil dalam menyelesiakan masalah lingkungan. Siap menyadarkan para penjahat lingkungan, menjebloskan mereka ke ruang tahanan sesuai hukum yang berlaku, serta bisa memberikan solusi untuk penyelesaian masalah lingkungan. Untuk itu saya paparkan beberapa hal yang membuat kita menjadi pribadi solutif baik bagi masalah lingkungan ataupun masalah lainnya, yaitu: Pertama, kita harus benar-benar sadar bahwa masalah pasti akan selalu ada baik itu sebagai ujian dari Tuhan untuk meningkatkan kualitas diri kita maupun teguran atas kesalahan kita. Yakinilah bahwa Tuhan jualah yang akan membimbing kita menyelesaikannya. Dengan begitu mental kita selalu siap, kita jadi lebih tenang, tidak panik dan bisa berpikir lebih jernih untuk menemukan solusi–solusi yang kongkrit untuk penyelesaian masalah lingkungan. Setelah mental kita siap, petakan masalah hingga kita paham betul masalah yang terjadi, apa yang menjadi akar masalahnya misalkan saja banjir, cari tahu penyebabnya, apakah sumber masalahnya kebijakan atau pembalakan kayu, bahas dari berbagai sisi, bila kita tidak paham akan masalah tersebut tanyakan pada ahlinya, lakukan observasi dan diskusikan dengan orang-orang yang peduli lingkungan . Kedua, yakinlah bahwa setiap masalah ada jalan keluarnya. Asal kita sungguh-sungguh mengoptimalkan usaha dan doa kita, kita harus yakin dengan firman Allah SWT: ”Bahwasannya setelah kesulitan itu ada kemudahan atau kesempatan”. (QS. Alinsyirah 5-8). Dengan begitu kita akan bersemangat mencari solusi permasalahan lingkungan. Namun dalam mencari solusi masalah lingkungan jangan terpaku pada satu hal atau satu penyelesaian umum, carilah alternatif solusi Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
79
sebanyak-banyaknya. Dapatkan solusi dari berbagai sumber, dari buku-buku, dari internet atau orang yang berkompeten dalam bidang tersebut. Selain kalangan masyarakat yang peduli, pemerintah juga harus kita jadikan sebagai alat/media solusi masalah lingkungan, karena sesungguhnya pemerintahlah yang berkewajiban dan mempunyai wewenang/kekuatan yang besar dalam menyelesaikan masalah lingkungan. Selain itu perlu diperhatikan juga, dalam mencari solusi carilah solusi yang paling ringan biayanya, paling dekat pada tujuan dan paling sedikit resikonya. Karena solusi yang kita pilih nantinya akan banyak mempengaruhi keterlibatan kita dalam rentetan tanggung jawab atas segala hal yang diakibatkan. Jika mental sudah siap, masalah sudah dipahami, solusipun sudah tersedia, langkah ketiga, segera rencanakan aksi reaksi yang terarah dan terukur. Kemudian segara tuntaskan masalah lingkungan yang ada dengan penuh semangat dan kesungguhan tinggi. Yakini bahwa keterbatasan bukanlah penghalang. Komitmenkan diri pada perjuangan, pantang putus asa, dan yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi disetiap tahap penyelesaian masalah lingkungan. Serta yakinilah bahwa Tuhan bersama orang-orang yang bersabar dalam menghadapi ujian titipan alam. Langkah-langkah diatas hanya sebuah ilustrasi alur penyelesaian permasalahan lingkungan secara umum. Belum merupakan sebuah bentuk yang riil dari sebuah empati terhadap alam yang begitu baik terhadap manusia, melayani segala kebutuhan manusia meski dia tersiksa. Bahkan bencana alam juga bukan keinginan alam untuk menghukum manusia tapi semua bencana, wabah penyakit itu disebabkan ulah tangan manusia sendiri. Jadi jangan menyalahkan alam apalagi menyalahkan Tuhan yang Maha Penyayang. Salahkanlah dan tangkaplah para penjahat lingkungan, tingkatkan mutu pendidikan sejak dini yang mengarah pada kesadaran dan pemahaman serta kritis terhadap keadaan lingkungan.
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
80
KOMERSIALISASI AIR DI KAWASAN MANGLAYANG JATINANGOR Oleh: Muhamad Efendi26
danya kerusakan di muka bumi ini tiada lain karena ulah manusia itu sendiri, baik itu perbuatan yang bersentuhan dengan alam langsung ataupun karena berdosa kepada Allah SWT. Seorang pelaku yang tidak pernah memikirkan keseimbangan alamnya karena terlalu memikirkan kepentingan bisnis untuk kepentingan pribadi dan terus mengeksplorasinya niscaya tak ada yang mustahil apabila alam mulai memutuskan tali persahabatannya dengan manusia, begitu pula kalau manusia telah banyak berdosa kepada Allah maka Allah akan menurunkan azab yang sangat ditakuti oleh manusia. Mari kita renungkan ayat Al Qur’an ini yang berarti “Dialah yang menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebagiannya untuk minum dan sebagainnya untuk menyuburkan tanaman yang pada tumbuhan itu kamu mengembalakan ternak”. Nah kira-kira gambaran seperti ini masih adakah di daerah kita khususnya di Bandung Raya ini. Sangat sulit untuk ditunjukkan sebab alamnya sudah berubah hampir keseluruhannya kecuali daerah-daerah yang sangat curam dan sulit untuk di huni oleh manusia. Sangat sedikit ataukah memang tidak ada yang memperhatikan Ayat Al Qur’an tadi, Padahal Allah telah memberikan petunjuk yang baik. Banyak masyarakat mengeluh karena tertimpa kekeringan, sawah-sawah berubah jadi ladang yang hanya ditanam ketika musim hujan saja. Banyak ibu-ibu yang berjalan jauh untuk mendapatkan air bersih untuk minum. Sangar terasa apalagi ketika melihat rumah warga yang bak airnya kosong karena menunggu giliran tetatangganya padahal itu masih berada di pegunungan yang dikatakan orang memiliki sumber air yang subur. Kini menjadi terbalik, sementara di perkotaan tidaklah susah untuk itu. Kebutuhan air di kota sudah memadai walaupun harus dibayar dengan harga mahal. Karena itulah air ini menjadi sumber alam yang sangat dibutuhkan manusia. Bagi mereka yang peka terhadap ekonomi dengan cepatnya peluang ini dimanfaakan dan dikembangkan dengan teknologi yang agak lumayan agak baik disisi lain ada sebagaian masyarakat yang terkena dampak dari proses penguasaan air untuk kepentingan komersial, karena penyaluran air itulah kontribusi air yang biasa digunakan masyarakat menjadi kurang atau sebagian dibatasi. Tidak ada manusia yang bisa membuat atau menciptakan air hanya saja manusia itu berupaya untuk menjaga kelestaraian air, kemudian ada pengusaha air dan pasti mengkonsumsi air. Berbicara tentang privtiasi air memang sangat riskan karena sangat buruk dampaknya, salah satu contoh banyak pabrik yang membuat kolam-kolam penampungan air di hulu sungai dan dialirkan ke pabrik melalui pipa-pipa sehingga banyak lahan yang kekurangan air. Jelas ini sangat merugikan masyarakat banyak walaupun telah melalui perizinan dari masyarakat dan pemerintah. Itu pun hanya segelintir orang saja yang berpengaruh sedangkan hati nurani rakyat kecil yang terprovokasi menjadi serba salah antara menerima dan menolak atas kebijakan yang didominasi oleh orang yang mempunyai kepentingan finansial bak pengusaha atau pemberi ijin karena kebanyakan si pemberi ijin itu adalah ketua kelompok ataupun pemerintah bukan sepenuhnya demi masyarakat tapi demi bangsaku yaitu “bang saku” sendiri. Bagi mereka yang mempertuhankan uang, uang itu merupakan
26
Penulis adalah Petani penggarap Lahan Hutan Manglayang di Kampung Cibeusi Desa Cileunyi Wetan Aktif sebagai Tutor PKBM dan Guru Honor di SD Suka Asih dan pegiat di Koalisi Komunitas Korban Lingkungan (K3L)Cekungan Bandung
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
81
hal yang segalanya tertumpu di situ maka ketika ada gali potensi hasilnya adalah uang. Ketika ada pengusaha yang minta perijinan dengan nada merayu manis itu pasti uang. Masalah kepentingan masyarakat itu bisa ditanggulangi di balik tangan dengan kata sharing atau bagi hasil, ternyata dampak dari itu lebih celaka lagi. Kekurangan air di masyarakat dampaknya lebih besar daripada sharing yang di dapat bahkan di daerah tertentu sharingnya tidak sampai ke masyarakat . Oknum inilah yang sering disumpahi oleh masyarakat karena dia dianggap sindikat air. Belum tahu kalo air telah menghakimi manusia, jangan coba-coba satu pulau aja bisa tenggelam di telan air. Ketika musim kemarau panjang semua rumput mengering sangatlah ngeri kelihatannya warna alam kuning semua tapi ada sehamparan tanah lapang yang luas hijau royo-royo. Oh itunya katanya lapangan golf singkatan dari golongan orang-orang lagi pusing. Beberapa meter kubik air yang ditarik ke sana, berapa hektar sawah yang kering, berapa petak kolam yang kosong airnya kemudian habitat lainnya seperti itik, entok angsa kerbau yang kerap ada di sekitar kali tak muncul lagi karena kali telah menjadi wadah sampah. Pernah aku kerja di golf tapi aku keluar karena aku pikir aku hidup di atas kekeringan sawah orang lain. Walaupun tidak secara langsung aku sebagai penyalur atau pembuat kontruksi saluran pipa tapi yang ada disana minimal sudah ada pada sistem makanya aku segera keluar dan ingin mendengar rintihan warga yang sawahnya kering kerontang tak ada yang sanggup padi tumbuh di situ. Hak masyarakat kini telah berada pada posisi yang terseret oleh kebijakan orang-orang yang punya kepentingan sekelompok atau perorangan. Misalkan saya punya uang banyak atau sebagai investor tidak akan susah untuk menguasai air tinggal dibeli saja mata air yang ada di hulu sungai yang biasanya kalau hulu sungai itu berada di kawasan Perhutani atau tanah penduduk, lewat perijinanperijinan dari pemerintah setempat dengan iming-iming bagi hasil atau sharing ataupun bisa saja langsung tanah yang mengandung air itu dibeli dengan harga yang menggiurkan agar tanah itu lepas dari tangan pemiliknya. Itu nanti otomotis kebutuhan masyarakat sekitar pengguna air akan terbatasi oleh aturan baru yang diterapkan oleh pengusaha. Masyarakat mulai tertekan tapi tak berani melawan yang akhirnya kalau ada dampak kekeringan tinggalah mengurut dada, kepada siapa lagi mengajukan usulan, pihak desa sendiri sudah mengizinkannya. Tolong ini dipikirkan baik-baik, diantara hak memiliki air pasti orang yang ada dibawahnya yang dialiri air itu memiliki hak atas air itu. Ketika musim kemarau tiba, semua rumput mengalami kekeringan tapi saya lihat lapangan golf yang luasnya tak dapat saya hitung itu dalam kondisi yang sangat indah dan hijau rumput-rumputnya, karena disiram terus itu sangat memerlukan air. Apakah mereka akan mendengar rintihan warga yang sedang lapar atau sedang bingung karena banyak utang atau mereka putus sekolah. Wah, dampaknya dari penguasaan air oleh sekelompok orang sangat menyengsarakan masyarakat banyak. Padahal dari air yang dijelaskan dalam Al Qur’an ini tidaklah termasuk dalam lapangan golf, karena memang lapangan golf ini adalah tempat yang melalaikan ibadah kepada Allah dan disana dijadikan sarana kemaksiatan, ada perjudian ada prostitusi dan lain sebagainya. Kalau dilihat dari manfaatnya dan madharat-nya jelas lebih banyak 80% madharat-nya. Lain halnya dengan pipanisasi air yang dilarian ke perumahan secara komersil. Itu untuk kepentingan hajat hidup orang banyak, kalau berupaya untuk mendapatkan air, untuk kebutuhan rumah tangga itu wajar tapi kalau sudah masuk dalam bentuk usaha memanfaatkan situasi perumahan yang tidak punya sumber air kemudian dijualbelikan, itu masuk dalam penguasaan air. Sehingga masyarakat perumahan merasa terbebani untuk membayar air dalam setiap bulannya. Melihat kejadian seperti itu, saya tergugah untuk ingin jadi penasehat mereka yang sok nguasai air, ya kalau bisa sedangkan saya hanya dapat bicara dengan mulut asam sedangkan mereka bicara dengan pulsa. Perbuatan mengeksploitasi itu jenis dan bentuk apapun itu tidak baik sebab di antara seseorang itu ada juga hak orang lain yang sama-sama harus ada kesimbangan, berarti suatu produk hukum baik hukum dari kitabullah ataupun peraturan yang tujuannya mempermudah urusan manusia mutlak itu harus dijunjung tinggi oleh setiap yang rasa kemanusiaan. Ataupun minimal punya rasa solidaritas Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
82
dan hubungan timbal balik komunikasi yang harmonis sehingga tidak menimbulkan ketidakseimbangan disebelah pihak seperti contoh-contoh yang tadi sebagai gambaran kehidupan pasca adanya penguasaan air yang tidak peduli terhadap kebutuhan akan air yang sangat erat hubunganya dengan nyawa. Pengusaha banyak berdatangan ke lokasi-lokasi hulu sungai yang masih dianggap bersih airnya maksudnya sumber air tersebut hendak dibeli untuk kepentingan usaha sendiri tapi kalau mereka diminta sedikit saja kepeduliannya terhadap upaya untuk pelestarian sumber daya air mereka sedikit sekali merespon sebab itu dia pikir tidak efektif untuk usaha dia sekarang. Sudah berebut lahan untuk para pengembang perumahan, wisata dan air minum, mereka akan sanggup bersaing untuk mendapatkannya. Sebab dilihat dari segi keuntungan yang besar mereka sudah bisa memperhitungkannya walaupun itu awal-awalnya harus mengeluarkan dana yang besar. Saya tidak pernah untuk menghalangi usaha-usaha seperti itu, tapi usahakan dalam batas-batas yang wajar karena korban kini sudah nampak dan banyak sehingga kalau akan seperti ini masih terus berlanjut dampaknya. Bukan hanya sekedar kekurangan air tapi rawan pangan dan terjadilah kondisi sosial yang buruk tak terkendali. Saya anggap hebat kalo saudara bisa mengembangkan usaha lewat air bersih ini, tapi kalau bisa saudara olah tuh air sungai yang lecek atau air laut supaya jernih kembali kalo bisa saya acungkan jempol atau mengelola sampah yang sangat menjadi masalah di bumi Bandung ini biar bersih dan indah. Marilah kita pahami ayat-ayat Al Qur’an surat An Nahl ayat 10. Insya Allah kita akan diberi ketenangan dan dijamin keselematan oleh Allah SWT dan kalau sudah memahaminya mari kita memelihara alam ini menjadi alam yang bersahabat dengan kita.
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
83
Fenomena Lahan Kritis; KESALAHAN TATA KELOLA HUTAN
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
84
LAHAN KRITIS AKIBAT KESALAHAN TATA KELOLA HUTAN (Study Kasus Pengelolaan Hutan di Kecamatan Ibun dan Paseh Kabupaten Bandung Kawasan Pegunungan Guntur) Oleh : Udin Saripudin27
1.
PENDAHULUAN
Dulu negara Indonesia terkenal dengan kekayaan alamnya yang melimpah ruah, hutanya yang lebat, dan tanahnya yang subur, sehingga mayoritas penduduk Indonesia menggantungkan hidupnya dari kekayaan alam tersebut terutama dalam sektor pertanian, sehingga Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena mayoritas penduduknya tersebut bermata pencaharian sebagai petani. Tapi sungguh ironis sekali, dari mayoritas penduduk yang bermatapencaharian sebagai petani dan luasnya areal pertanian yang ada hanya sebagian kecil petani saja yang memiliki lahan garapan pribadi, sebagian besar dari mereka adalah petani penggarap yang menggarap lahan-lahan milik orang lain dan sebagian lagi menggarap lahan hutan sebagai media untuk bercocok tanamnya karena tidak memiliki lahan untuk diolah. Namun seiring dengan kerusakan hutan yang terjadi akhir-akhir ini, masyarakat yang bertani di lahan hutan ini kemudian selalu dijadikan kambing hutan penyebab terjadinya kerusakan hutan di Indonesia ini, penebangan liar, perambahan hutan dan pembakaran hutan oleh masyarakat selalu dijadikan alasan oleh pihak pemerintah dan pihak-pihak terkait lainya. Di Jawa Barat saja dari 816.603 Ha hutan negara, 152.000 Ha atau sekitar 19% diantaranya mengalami kerusakan yang cukup parah dan perlu segera di reboisasi (Dishut, 2003). Padahal jika kita melihat sejarah, bercocok tanam di lahan hutan ini sudah dimulai sejak jaman nenek moyang kita, dan kenyataanya hutan pada waktu itu tidak mengalami kerusakan yang sangat signifikan seperti saat sekarang ini, padahal pada waktu itu belum ada lembaga yang mengurus masalah hutan, tapi kenapa setekah adanya lembaga yang mengurus bidang kehutanan dan BUMN yang mengelola hutan justru hutan Indonesia ini menjadi rusak.
2.
PERMASALAHAN LAHAN KRITIS DI IBUN DAN PASEH
Ibun dan Paseh merupakan kecamatan yang terdapat di selatan Kabupaten Bandung, topografinya terdiri dari daerah dataran tinggi dan pegunungan yang masih merupakan gugusan Gunung Guntur, sehingga Ibun memilki kawasan hutan yang cukup luas. Ada sekitar 7 desa di Kecamatan Ibun dan Paseh yang wilayahnya berbatasan langsung dengan areal hutan, yaitu; Mekarwangi, Laksana, Ibun, Dukuh, Neglasari, Loa dan Drawati yang semuanya berada dalam kawasan RPH Mandalawangi BKPH Ciparay KPH Bandung Selatan Perum Perhutani Unit III Jabar Banten. Kawasan hutan di kecamatan Ibun dan Paseh merupakan salah satu kawasan lahan kritis di kabupaten Bandung yang kerusakanya terbilang cukup parah, selain Gunung Wayang dan Manglayang, mulai dari kawasan Gunung Pulus Desa Drawati kecamatan Paseh sampai Kamojang Kecamatan Ibun. Kerusakan berawal pada tahun 1982-1985-an yaitu dengan adanya penebangan hutan pinus oleh Perhutani yang terjadi di kawasan Ibun dan Paseh RPH Mandalawangi, yang menyebabkan hutan 27
Penulis adalah warga Desa Mekarwangi Kecamatan Ibun Kabupaten Bandung. Penulis adalah aktif melakukan reboisasi di kawasan hutan, Pegiat di desa dan Koalisi Korban Kerusakan Lingkungan Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
85
gundul sehingga terjadi kekeringan pada musim kemarau dan pada musim hujan berpotensi terjadi bencana banjir, seperti yang terjadi di sungai Cikiang Desa Mekarwangi Kecamatan Ibun yang menyebabkan 1 rumah dan jembatan hanyut terbawa banjir, 2 orang meninggal dunia serta hektaran sawah tertimbun material banjir. Selain ditebang guna kepentingan produksi oleh Perhutani sebagian juga terjadi karena angin topan yang melanda kawasan Ibun pada tahun 1984 sehigga pohon-pohon pinus pada waktu itu roboh, disamping itu ada juga kerusakan yang diakibatkan oleh penebangan liar masyarakat, namun jumlahnya maih sangat kecil jika dibandingkan dengan yang dilakukan oleh Perhutani. Selain itu sejak tahun 2003-sekarang terdapat aktivitas penggalian pasir di daerah aliran sungai Cibeureum yang dilakukan oleh masyarakat yang di backing oleh oknum petugas Perhutani dan kepolisian. Aktivitas ini menyebabkan terbentuknya lereng disepanjang DAS yang menyebabkan rawan terjadi longsor pada musim hujan serta terganggunya pengairan untuk sawah dan ladang karena airnya dipakai untuk mengalirkan pasir tersebut. Berikut ini tabel kronologis kerusakan serta peta pelaku penyebab kerusakan hutan di Ibun dan Paseh : Tabel 1. Uraian Kronologis Kerusakan Hutan TAHUN 1982 – 1984
1984/85an
2003
LOKASI/ BLOK Cijangkar Legoktangkalak Cibentang Cigincu Batugandawesi Monteng Batugede Legokdemplon Karamat
Daerah aliran sungai Cibeureum
URAIAN KEJADIAN
DAMPAK
Penebangan pohon pinus secara besar-besaran oleh PERHUTANI.
Hutan gundul Debet air sungai menurun pada musim kemarau.
PERHUTANI
Angin topan merobohkan sebagian besar pohon pinus di areal tersebut.
Hutan gundul Terjadi banjir bandang. (1987). Satu rumah dan satu jembatan hayut, 2orang meninggal dunia, dan hektaran sawah tertimbun material banjr. Terbentuk lereng disepanjang DAS yang menyebabkan rawan terjadinya longsor pada musim hujan Air sungai yang dipakai untuk mengairi areal pertanian dan pesawahan terganggu
Bencana alam Cat. Pinus pada waktu itu sedang dalam keadaan di sadap oleh PERHUTANI
Penggalian pasir yang dialirkan melalui sungai Cibeureum
PELAKU
Sebagian masyarakat, namun diteggarai ada oknum Petugas Perhutani dan kepolisian yang terlibat
Catatan: Sebagian kecil dari sisa penebangan oleh Perhutani dan angin topan dijarah oleh masyarakat. Sumber : Hasil riset PSDK dalam rangka Gakumling 2006
Tabel 2. Peta Pelaku Penyebab Kerusakan Hutan. PELAKU PERHUTANI
KEPENTINGAN Produksi
Sebagian masyarakat
Ekonomi /untuk bertahan hidup
PERAN DALAM PERUSAKAN Perhutani sebagai pemilik proyek, pelaksana lapangan masyarakat yang diupah untuk kerja. Sebagai penebang, namun ditenggarai ada oknum petugas Perhutani yang terlibat. (lemahnya kinerja petugas Perhutani)
Sumber : Hasil riset PSDK dalam rangka Gakumling 2006
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
86
Untuk menanggulangi kerusakan yang terjadi berbagai upaya telah dilakukan baik itu melalui program Perhutani maupun Dinas Kehutanan yang pada intinya merupakan kegitan penanaman kembali lahan kosong/reboisasi. Ada beberapa program penghijauan yang dilakukan di kecamatan Ibun dan Paseh untuk menanggulangi kerusakan hutan tersebut, diantaranya: PHBM, GNRHL dan GRLK. Namun program-program tersebut ternyata tidak efektif dan di lapangan tidak berjalan dengan baik, sehingga hutan tetap saja rusak. Kerusakan hutan yang terjadi ternyata telah menyeret masyarakat ke posisi sulit, masyarakat dijadikan kambing hitam penyebab segala kerusakan yang terjadi, dampak yang sangat menyesakan dada seluruh masyarakat sekitar hutan adalah dengan turunya SE Gubernur Jabar No. 522/ 2003 tentang Perlindungan dan Pengamanan Kawasan Hutan Jawa Barat. Bagaimana tidak masyarakat sekitar hutan yang mata pencaharianya bertani di kawasan hutan diharuskan turun dan tidak boleh lagi mengelola lahan hutan tersebut, sehingga mereka harus kehilangan mata pencaharianya. Hal ini berakibat pada menurunya daya beli masyarakat sehingga masyarakat miskin bertambah banyak bahkan di beberapa lokasi seperti di Palintang Gunung Manglayang ada masyarakat yang sampai mengalami kelaparan. Sungguh ironis bukan Indonesia yang katanya subur, kaya akan sumber daya alam tapi masyarakatnya harus kelaparan lantas sumber daya alam yang melimpah itu dikemanakan? Jika kita membandingkan mengapa hutan di Ibun dan Paseh dahulu bisa bagus dan sekatang menjadi rusak? Jika kita telaah lebih dalam lagi, sebenarnya ada satu hal yang mendasar disamping masalah perambahan hutan baik itu yang dilakukan Perhutani maupun masyarakat dan tumpang tindihnya kebijakan mengenai pengelolaan hutan, ada satu nilai yang dahulu dikembangkan oleh masyarakat tetapi seiring dengan banyaknya kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat menyebabkan nilai-nilai tersebut tidak mungkin diterapkan dalam system pengelolaan seperti sekarang ini. Nilai tersebut dinamakan “kearifan budaya lokal" yang isinya antara lain: Lamping = Awian Dataran = Sawahan Hambalan = Kebonan Legok caian = Balongan, dst. Jika kita menyimak kearipan budaya lokal tersebut itu artinya masyarakat sunda khususnya dari dulu sudah mempunyai konsep tersendiri mengenai pengelolaan hutan, bagaimana orang tua dulu melakukan klasipikasi tanah dan konsep tersebut telah terbukti efektif dalam pelestarian hutan, nilainilai inilah yang kemudian tidak diperhatikan dan diadopsi oleh pemerintah sekarang dalam upaya perbaikan hutan sehingga setiap program perbaikan hutan yang digulirkan tidak pernah ada yang berhasil. Berikut ini tabel beberapa program dan kebijakan dalam rangka memperbaiki kondisi hutan dan tingkat keberhasilanya (di Ibun dan Paseh): Tabel 3. Program Dan Kebijakan Dalam Rangka Memperbaiki Kondisi Hutan WAKTU -
PROGRAM Rebnoisasi
DESKRIPSI KONSEP Hutan gundul yang tinggal semak belukar dibabat berjalur, jaluran tersebut ditanami dengan pohon pinus
TINGKAT KEBERHASILAN Kurang berhasil, pertumbuhan terhambat oleh semak belukar
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
87
1985-1987
Reboisasi dengan tumpang sari sayuran
Masyarakat dibolehkan menggarap lahan hutan (sewa) dengan catatan harus menanam pinus
1999-2003
PHBM
Masyarakat dibolehkan menggarap lahan hutan (sewa) dengan catatan harus menanam pinus
2003
SE 522
Masyarakat yang menggarap lahan hutan harus segera menghentikan garapanya, tidak boleh lagi tumpang sari sayuran.
2003
GNRHL
Dibentuk beberapa kelompok tani hutan untuk melaksanakan proyek penghijauan.(pembuatan jalur tanam, lubang tanam, pengangkutan bibit,penanaman dan pemeliharaan)
2004
GRLK
Bibit disediakan oleh Disbun dan diserahkan pada pasilitator di tingkat Desa. Oleh fasilitator Bibit langsung dibagikan pada masing-masing pemilik lahan
2005
PHBM
Masyarakat boleh menggarap lahan Perhutani dengan tumpangsari tanaman kopi dan lainya yang dibolehkan yang tidak memerlukan olah tanah secara terus-menerus
Kurang berhasil Bibit tidak mencukupi Waktu tumpangsari singkat. (Tanaman masih kecil semak ke buru tinggi) Berhasil Bibit mencukupi Waktu TS relatif lama. (tegakan sudah besar ketika TS berhenti) Tidak berhasil memperbaiki kerusakan hutan Hutan terlantar, terjadi penebangan liardan kebakaran hutan. Tidak berhasil Bibit datang menjelang kemarau Sistim proyek, orientasinya untung/rugi, kerja borongan, terkesan asalasalan Kualitas bibit jelek Kurang pemeliharaan dari pihak-pihak terkait Kurang berhasil Bibit datang menjelang kemarau Kualitas bibit jelek
Untuk hutan /Perhutani sejauh ini cukup berhasil mengurangi Tingkat penjarahan kayu Untuk masyarakat PHBM ini menjadi masalah karena kopi memerlukan waktu yang relatif lama untuk mencapai panen
Sumber : Hasil riset PSDK dalam rangka Gakumling 2006
3.
ANALISIS KEBIJAKAN
Jika kita menganalisa beberapa kebijakan mengenai pengelolaan hutan yang ada sekarang ini, kebijakan-kebijakan tersebut masih belum memperhitungkan keterkaitan dan dinamika antara masyarakat dan lingkungan hidupnya, sehingga kebijakan satu sector dapat menimbulkan dampak kurang menguntungkan bagi sektor lainya atau bagi masyarakat tertentu maupun masyarakat luas. Disamping itu pengembangan peraturan perundang-undangan yang menyangkut pengelolaan hutan ini selalu dikembangkan secara parsial tanpa diselaraskan dengan aspek kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Kalaupun ada, aturan yang memperhatikan aspek kesejahteraan masyarakat sekitar, pada prakteknya tidak pernah berjalan dengan baik. Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
88
Ada beberapa pasal dalam sejumlah kebijakan mengenai pengelolaan lingkungan dan hutan yang perlu kita analisis, baik dari segi isi maupun implementasi di lapangan.
3.1 Surat Edaran Gubernur Jawa Barat No. 522 Tahun 2003 Tentang Pelarangan Tumpang Sari Indonesia adalah Negara hukum, dimana segala sesuatu harus berdasarkan hukum, “katanya”. Hukum di Indonesia harus bersumber pada UUD1945 yang notabene merupakan sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia ini. Di Indonesia terdapat hirarki hukum mulai tingkat yang tinggi dampai bawah, dimana hokum yang berada di tukatan dawah tidak boleh bertentangan dengan hukum yang berada di atasnya, jika bertentangan berarti aturan tersebut memiliki cacat hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum. Adapun hirarki tersebut adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
UUD1945 Tap MPR Undang-undang Peraturan Pemerintah Perpu Perda
Jika kita menganalisa SE Gubernur Jabar No. 522 Tahun 2003 tentang pelarangan tumpang sari, kebijakan tersebut nyata-nyata bertentangan dengan kebijakan-kebijakan yang ada diatasnya, yaitu: a.
UU No. 23/1997 tentang pengelolaan lingkingan hidup Dalam pasal 5 ayat 3 UU No. 23/1997 dijelaskan bahwa setiap orang punya hak untuk berperan dalam rangka pengeloaan lingkungan hidup, dan masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup (pasal 7 ayat 1 UU No. 23/1997). Dengan adanya SE No. 522 Tahun 2003 masyarakat tidak boleh lagi mengelola lahan hutan yang merupakan bagian dari lingkungan hidupnya, itu artinya ada pelanggaran terhadap hak masyarakat, dan itu berarti SE No. 522 Tahun 2003 bertentangan dengan UU No. 23/1997 tentang pengelolaan lingkingan hidup.
b.
UU No. 41/1999 tentang kehutanan pasal 68 -70 tentang peran serta masyarakat Dalam UU No. 41/1999 tentang kehutanan pasal 68 -70 dijelaskan bagaimana peran serta masyarakat dalam mengelola hutan. Jika kita mencermati dari SE No. 522 tahun 2003 isinya sangat bertentangan dengan UU tersebut, dimana dengan adanya SE tidak memberi peluang kepada masyarakat untuk berperan serta dalam pengelolaan hutan sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 41/1999 tentang kehutanan.
c.
UUD 1945 Pasal 33 Dalam pasdal 33 UUD 1945 dijelaskan bahwa “ Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” namun pada kenyataanya sekarang ini sumberdaya alam tersebut digunakan untuk kepentingan para pemilik modal, sementara masyarakat sendiri dibiarkan terlantar.
Dari analisis subtansial SE Gubernur Jabar No. 522 Tahun 2003 yang dibandingkan dengan beberapa pasal dari kebijakan-kebijakan yang ada diatasnya jelas bahwa SE tersebut bertentangan dengan kebijakan yang ada diatasanya, itu artinya SE Gubernur Jabar No. 522 tahun 2003 cacat hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum bahkan bisa batal demi hukum.
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
89
3.2 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan Pasal 68 tentang Peran Serta Masyarakat Berikut kutipan pasal 68 UU No. 41/1999 tentang kehutanan: Pasal 68; (1) Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan. (2) Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masyarakat dapat: a. memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan; c. memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan; dan d. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung. (3) Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4) Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Daerah dapat dibantu oleh forum pemerhati kehutanan. Jika kita telaah pasal 68 tersebut diatas, banyak sekali hak-hak masyarakatyang telah diatur dalam undang-undang namun pada prakteknya tidak dijalankan sebagaimana mestinya, seperti: 1. Hak untuk menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan 2. Hak untuk memanfaatkan hutan dan hasil hutan,mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan,informasi kehutanan, memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan; dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung. Dengan diberikannya HPH hutan kepada BUMN masyarakat tidak bisa lagi memamfaatkan hutan dan hasil hutan yang ada karena sudah diserahakan pengelolaanya kepada BUMN tersebut, disamping itu pemerintah juga kurang transparan kepada masyarakat sehingga masyarakat kurang mendapatkan informasi mengenai kehutanan dan wawasanya tentang hutanpun sempit, delain itu masyarakat juga tidak pernah diajak dalam perencanaan, sunbang saran, dan ikut mengawasi program pembangunan hutan, sehingga progran-program yang dibuat seringkali tidak sesuai dengan keinginan masyarakat, yang menyebabkan program tersebut gagal. 3. Hak untuk memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan Masyarakat sekitar hutan mayoritas memempatkan lahan kawasan hutan untuk bertani guna menghidupi keluarganya. Namun dengan adanya penetapan kawasan hutan, akses mereka terhadap lahan hutan tersebut menjadi tertutup dan mata pencaharianya pun hilang begitu saja, padahal mereka memiliki keluarga yang harus dinafkahinya. Untuk itu dalam UU No. 41/1999 tentang kehutanan pasal 68 ayat 3 telah diatur mengenai kompendadi untuk hal itu. Namun lagi-lagi dalam prakteknya tudak dijalankan sama sekali, jangankan mendapat kompensasi, untuk mengajukan bantuan pinjaman modal pun sangatlah sulit sekali. Pertanyaanya mengapa hak-hak masyarakat tersebut yang telah secara nyata diatur dalam undangundang pada kenyataanya tidak pernah dijalankan sama sekali? ada apa dengan pemerintahan kita? Lalu siapa yang salah masyarakat yang bodoh atau pemerintah yang telah membodohi rakyatnya?
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
90
3.3 UUD 1945 Dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 1 telah dijelaskan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Namun kenyataan yamg terjadi sekarang tidak relepan lagi dengan isi pasal 33 tersebut, dengan diserahkanya HPH hutan kepada BUMN, Perkebunan dan pihak swasta lainya telah membuka peluang kapitalisme masuk ke hutan sehingga pengelolaan hutan ini dikuasai oleh orang tertentu yang memiliki modal dan hasilnya pun untuk kepentingan mereka sendiri akibatnya peluang masyarakat untuk memanfaatkan dari hutan dangat kecil dan tergantung kebijakan pengelola. Pemerintah lebih berpihak kepada kaum kapitalisme dari pada masyarakatnya. Kalau benar kekayaan alam Indonesia yang salah satunya adalah berupa hutan ini dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat mengapa tidak langsung saja diserahkan pengelolaanya kepada masyarakat, kenapa harus repot-repot diberikan pada pemilik modal yang nyata-nyata mengeksploitasi hutan sehingga hutan menjadi rusak. 4.
ANALISIS TERHADAP KINERJA PERHUTANI DI IBUN DAN PASEH
PERHUTANI sebagai salah satu BUMN secara otomatis orientasinya adalah profit/keuntungan, bagaimana mencari keuntungan sebesar-besarnya sementara aspek pelestarian lingkungan yang notabene merupakan kewajiban pemegang HPH sedikit terabaikan. Maka untuk mewujudkan hal itu, di Ibun dan Paseh antara tahun 1982-1986 PERHUTANI melakukan kegiatan penebangan di areal-areal yang menjadi HPH-nya (lihat tabel 1 uraian kronologis kerusakan hutan di Ibun dan Paseh), ternyata kegiatan serupa bukan hanya terjadi di Ibun dan Paseh saja, di Gunung Wayang, Manglayang juga terjadi kegiatan serupa. Bahkan di Gunung wayang penebangan bukan hanya di kawasan hutan produksi saja, hutan lindung pun asal dalam HPH-nya ikut menjadi objek penebangan, sehingga hutan-hutan di kawasan tersebut menjadi gundul. Setelah hutan-hutan tersebut gundul PERHUTANI berusaha untuk menghijaukanya kembali dengan cara memperbolehkan masyarakat sekitar hutan untuk bertani dengan sistim sewa lahan dan harus menanam pohon pinus yang telah disediakan PERHUTANI bahkan ada juga oknum PERHUTANI yang menjualnya kepada masyarakat.Namun sayangnya progtam ini sifatnya sementara, paling lama sekitar 2 tahun kemudian ditutup kembali padahal pohon pinusnya masih kecil-kecil. Setelah tidak dikelola oleh masyarakat, otomatis pohon-pohon pinus yang masih kecil tersebut tidak terpelihara sehingga pertumbuhanya lambat dan kembali tertutup semak belukar, jika musim kemarau datang semak belukar tersebut mengering yang kemudian dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab membakar hutan tersebut sehingga terjadilah kebakaran hutan dan hutan itu pun kenbali gundul. Begitulah kejadian tersebut berulang, hingga sampai pada saat krisis moneter terjadi tahun 2007, karena desakkan ekonomi masyarakat pada saat itu memaksa untuk betani di lahan PERHUTANI yang kemudian mendapat persetujuan dari pihak PERHUTANI meskipun lagi-lagi masyarakat harus sewa dan menanam pohon pinus yang telah disediakan. Bukaan ini berlangsung cukup lama yaitu sampai tahun 2003 seiring dengan dikeluarkannya Surat Edaran Gubernur Jawa Barat R. Nuriana, yang kemudian lebih dikenal dengan SE No. 522/ 2003 yang isinya menghimbau kepada seluruh petani lahan hutan untuk turun dan meninggalkan garapannya. Pohon-pohon pinus pada saat itu sudah cukup besar dan hutan-hutan sudah mulai terlihat hijau kembali, namun lagi-lagi dengan tidak dikelola lagi oleh masyarakat keamanan hutan tidak terjamin, petugas PERHUTANI yang ada tidak menjalankan tugasnya dengan baik sehingga hutan kembali rusak.
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
91
Untuk menanggulangi hal itu kembali PERHUTANI menggulirkan program yang dinamakan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang intinya mengedepankan 3 opsi yang ditawarkan PERHUTANI, yaitu: 1. Alih lokasi; masyarakat harus pindah bercocok tanam dari lahan hutan. 2. Alih komoditi; kalaupun masyarakat mau tetap bertani di lahan hutan mereka harus beralih komoditas dari tanaman semusin ke tanaman keras seperti kopi. 3. Alih profesi; masyarakat harus beralih profesi dari petani ke profesi lain. Namun pada kenyataanya 3 opsi yang ditawarkan PERHUTANI ini tidak mampu menjawab kebutuhan masyarakat dan sama sekali tidak ada implementasinya di masyarakat, program itu dibiarkan bergulir tanpa ada dampingan dan pembinaan yang benar dan serius, serta bantuan permodalan dari pihak PERHUTANI sebagai pemilik program. Disamping 3 opsi tersebut, ada 10 prinsip dalam PHBM, yaitu: 1. prinsip perencanaan partisipatif 2. prinsip kesesuaian pengelolaan dengan karakteristik wilayah 3. prinsip keadilan dan demokratis 4. prinsip keterbukaan dan kebersamaan 5. prinsip pembelajaran bersama dan saling memahami 6. prinsip perusahaan sebagai fasilitator 7. prinsip kesederhanaan sistim dan prosedur 8. prinsip kejelasan hak dan kewajiban 9. prinsip pemberdayaan ekonomi kerakyatan 10. prinsip kerjasama kelembagaan. (Makalah Perhutani, 2005) Namun lagi-lagi pada prakteknya 10 prinsip tersebut tidak dijalankan dengan sebenarnya, masyarakat tidak pernah diajak untuk musyawarah perencanaan PHBM, kemudian pengelolaan hutan tidak sesuai dengan karakteristik wilayah, tidak ada keterbukaan dari pihak PERHUTANI, kerjasamanya cenderung merugikan pihak masyarakat, apalagi yang namanya pemberdayaan masyarakat itu hanya menjadi omong kosong belaka, pada kenyataanya tidak ada upaya dari PERHUTANI untuk memberdayakan masyarakat. Parahnya lagi BUMN yang namanya PERHUTANI itu lebih banyak ruginya daripada untungnya, padahal jika kita bandingkan dengan eksploitasi kekayaan hutan yang selama ini mereka lakukan tidak mungkin PERHUTANI itu sering mengalami rugi daripada untung. Pertanyaanya kemana hasil eksploitasi kekayaan hutan yang selama ini telah dilakukan dan jika demikian masih pantaskah BUMN seperti PERHUTANI itu dipertahankan?
5.
ANALISIS PROGRAM GRLK DAN GNRHL
Kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia bukan hanya terjadi di kawasan PERHUTANI saja melainkan juga merembet ke kawasan hutan lindung yang berada di bawah Dinas Kehutanan yang dikelola oleh BKSDA. Untuk menanggulangi kerusakan hutan yang demikian parahnya pemerintah pusat melalui Departmen Kehutanan dan juga provinsi melalui dishut provinsi melakukan program penghijauan yang dikenal dengan nama Gerakan Nasional Reboisasi Lahan Hutan dan Gerakan Reboisasi Lahan Kritis yang menghabiskan dana dampai miliaran rupiah. Kecamatan Ibun dan Paseh merupakan desa-desa yang menerima program tersebut, mulai tahun 2003 program tersebut dilaksanakan di kawasan hutan Ibun dan Paseh.
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
92
Namun seperti halnya program-program sebelumnya, program inipun tidak berjalan dengan baik, program tersebut hanya menghambur-hamburkan uang negara dan dijadikan ajang proyek pihak tertentu, sehingga hasilnya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, dalam hal ini lagi-lagi keseriusan pemerintah dalam menjalankan setiap programnya patut kita pertanyakan. Hal itu bisa dilihat dari praktek penghijauan itui sendiri di lapangan, mulai dari waktu tanam, kualitas bibit dan pelibatan masyarakat. Berdasarkan hasil temuan kami di lapangan terdapat beberapa kejanggalan yang mengindikasikan ketidak seriusan pemerintah dalam program penghijauan ini, diantaranya: 1. Datangnya bibit selalu menjelang akhir musim penghujan sehingga tanaman yang baru ditanam tidak cukup mendapatkan pengairan hal ini menyebabkan tingkat kematian tanamanpun akibat kekeringan tinggi. 2. Kualitas bibit yang ditanam jelek banyak yang rusak dan tidak dapat tumbuh dengan baik. 3. Masyarakat yang dipercaya di lokal adalah masyarakat yang tidak bertanggungj awab dan pelibatan masyarakat kurang. Jika melihat fenomena lapangan yang seperti itu, terbersit dibenak penulis mungkinkah hal-hal teknis yang seperti itu dilakukan secara sengaja oleh mereka supaya proyeknya berkelanjutan? Namun terlepas dari pertanyaan tersebut, intinya program GNRHL dan GRLK di Jawa Barat telah gagal total, dana yang dikeluarkan sangat besar namun hasilnya tidak sesuai dengan biaya yang telah dihabiskan tersebut. Disamping hal-hal di atas masih banyak lagi pelanggaran yang terjadi dalam GRLK, salah satunya yaitu dalam hal penyediaan bibit. Berdasarkan Perda Provinsi Jawa Barat No. 7 tahun 2005 tentang Pengendalian dan Rehabilitasi Lahan Kritis Bab IV pasal 14, disana diatur bahwa masyarakat harus masyarakat harus dilibatkan dalam penyediaan bibit tanaman, tetapi ternyata penyediaan bibit diserahkan kepada perusahaan penangkaran bibit. Hal ini yang menyebabkan kwalitas bibit jelek selain karena jarak angkut yang jauh menyebabkan bibit rusak, hal ini juga sangat rentan dengan markup dana penyediaan bibit (KKN).
6.
PANDANGAN, HARAPAN, SERTA UPAYA YANG PERNAH DILAKUKAN MASYARAKAT DALAM RANGKA MEMPERBAIKI KONDISI HUTAN
Berbagai kontroversi muncul sehubungan dengan bergulirnya berbagai program yang implementasinya tidak jelas tersebut, masyarakat memandang program-program tersebut tidak pernah berpihak pada masyarakat, hanya sebagai ajang bagi-bagi proyek di kalangan birokrasi dan hanya menghambur-hamburkan uang negara, sementara hasil yang diharapkan tidak pernah tercapai. Harapan masyarakat sendiri mengenai pengelolaan hutan sebenarnya sangat simple, bagaimana mereka bisa melakukan tumpangsari sayuran sambil menanam pohon untuk memperbaiki kondisi hutan, supaya hutan hijau dan masyarakat sendiri tetap bisa makan. Masyarakat cukup disediakan bibit tanaman untuk ditanam di lahan hutan dengan catatan masyarakat bisa tumpang sari. Tabel 4. Pandangan Masyarakat terhadap Konsep dan Praktek-Praktek Program Pemerintah/Perhutani dalam Rehabilitasi Lahan Kritis dan Pengelolaan Hutan PROGRAM SE 522 /2003 PHBM 2005
PANDANGAN Kurang epektif Tidak berpihak pada masyarakat Kurang berpihak pada masyarakat Tidak sesuai dengan kebiasaan masyarakat
HARAPAN Cabut SE 522/2003 Masyarakat diperbolehkan melakukan tumpang sari sayuran selama menunggu kopi bisa dipanen
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
93
GNRHL & GRLK
Tidak epektif Hanya menghambur-hamburkan uang negara
Masyarakat disediakan bibit untuk ditanam dilahan hutan, dengan catatan masyarakat boleh tumpang sari sayuran selama menunggu kopi dipanen
Sumber : Hasil riset PSDK dalam rangka Gakumling 2006
Sebetulnya sejauh ini masyarakat sendiri telah melakukan berbagai upaya dalam rangka mencegah dan menanggulangi kerusakan hutan yang lebih parah, diantaranya dengan melarang penebangan pohon, penggalian pasir dan lain-lain. Gerakan masyarakat tersebut ternyata berhasil menghentikan penebangan liar yang terjadi serta penggalian pasir ilegal. Namun inisiatif masyarakat tersebut kurang mendapat dukungan dari pihak terkait, baik itu pemerintah maupun PERHUTANI selama ini disinyalir terdapat oknum-oknum petugas yang bermain dalm kegiatan tersebut. Contoh kasus yang terjadi di mekarwangi yaitu ketika masyarakat mengumpulkan dukungan masyarakat untuk menghentikan penggalian pasir illegal di sepanjang aliran sungai Cibeureum, ternyata pihak terkait tidak bisa bertindak tegas dalam hal tersebut seolah-olah memberikan perlindungan pada pelaku kegiatan tersebut, sehingga hampir mengakibatkan konflik horisontal antara warga dan pelaku-pelaku penggalian pasir ilegal tersebut. Tabel 5. Inisiatif Warga Ibun dalam Memperbaiki Kondisi Hutan INISIATIF WARGA Melarang dan menasihati para renebang liar
DAMPAK Penebangan kayu liar 90% berhenti
Melakukan patroli penangkapan penebang liar Melarang dan menasihati para penggali pasir ilegal Melaporkan setiap pelanggaran ke pihak terkait
SIKAP PIHAK TERKAIT Kurang dukungan dari pihak terkait Setiap laporan tidak pernah ditindaklanjuti
Penggalian pasir ilegal berhenti untuk hutan di wilayah Mekarwangi
Jadi ada kesan mau mengadu dombakan masyarakat
Sumber : Hasil riset PSDK dalam rangka Gakumling 2006
Selain Inisiatif warga tersebut ada pula upaya kelompok pemuda dalam rangka memperbaiki kerusakan hutan yang terjadi, khususnya di Kp. Sindangpala Desa Mekarwangi, pemuda-pemuda disana membentuk satu kelompok yang dinamakan “Forum Remaja Pecinta Lingkungan SAMSAKA”. Nama SAMSAKA sendiri diambil dari bahasa sansekerta yaitu dari kata SAM yang artinya pemuda/pemudi dan SAKA yang artinya pembela masyarakat dan lingkungan. Sesuai dengan arti dari nama SAMSAKA itu sendiri maka SAMSAKA ini pula bergerak dalam bidang lingkungan hidup. Beberapa kegiatan telah dilakukan oleh SAMSAKA ini salah satunya dengan mengadakan Pelatihan Advokasi Lingkungan Hidup serta mengusulkan kegiatan penghijauan melalui jalur Musrenbang. Selain itu program lingkungan hidup yang sekarang lagi dilakukan adalah program penghijauan yang diberi nama “SAMSAKA Menanam”. Kelompok ini akan membuat persemaian tanaman buahbuahan secara swadaya yang kemudian akan ditanam di kawasan hutan kritis yang terdapat di kecamatan ibun. Tahun pertamanya program ini dipokuskan pada kawasan hutan Desa Mekarwangi, saat ini program tersebut baru sampai riset mengenai luasan kawasan hutan kritis di kecamatan Ibun dan kegiatan ini direncanakan akan selesai sanpai tidak ada lagi lahan kritis di kawasan Ibun dan Paseh.
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
94
7.
REKOMENDASI PENULIS MENGENAI PENGELOLAAN HUTAN
Jika kita mencermati pemaparan di atas, sebenarnya ada beberapa hal yang menjadi menjadi sumber kerusakan hutan di Indonesia, khususnya Jawa Barat, yaitu : 1. Kurangnya akses masyarakat terhadap lahan hutan, padahal riset kami membuktikan bahwa penghijauan itu berhasil ketika masyarakat boleh tumpang sari di lahan hutan, hal itu yang sekarang ini diabaikan pemerintah demi kepentingan kaum-kaum kapitalis. 2. Kebijakan yang ada tidak mengadopsi nilai-nilai/kebiasaan yang terdapat di masyarakat, padahal salah satu ciri hukum yang baik itu harus mengadopsi nilainilai/kebiasaan yang terdapat di masyarakat. 3. Masyarakat tidak pernah dilibatkan dalam membuat kebijakan, perencanaan dan pelaksanaan serta pengawasan dalam bidang pembangunan hutan. Jika mencermati beberapa faktor penyebab kerusakan hutan tersebut diatas, itu artinya harus ada beberapa hal yang diubah oleh pemerintah dalam mengelola hutan agar tetap lestari. a. Membuka akses masyarakat terhadap lahan hutan seluas-luasnya; Sebagaimana telah terbukti bahwa dengan menutup akses masyarakat terhadap lahan hutan ternyata tidak bisa membuat hutan kembali hijau malah kerusakan hutan yang terjadi semakin parah lagi. Pemerintah harus lebih bijak lagi, biarkan masyarakat menjalnkan haknya untuk mengelola hutan dengan kearifan budaya lokalnya, yang telah terbukti bisa membuat hutan hijau dan lestari jauh sebelum banyaknya aturan mengenai pengelolaan hutan, karena masyarakat di sekitar hutan lebih tahu bagaimana memperlakukan hutanya dari pada pemerintah yang tidak pernah ke hutan. b. mengganti undang-undang/kebijakan/aturan yang tidak mengakomodir aspirasi masyarakat; c. lebih membuka ruang-ruang bagi masyarakat untuk dapat terlibat dalam membuat kebijakan, perencanaan, dan pelaksanaan, serta pengawasan dalam bidang pembangunan hutan; d. Sekarang ini masyarakat tidak pernah dilibatkan dalam membuat kebijakan, perencanaan, dan pelaksanaan, serta pengawasan dalam bidang pembangunan hutan, sehingga program/kebijakan yang dihasilkan tidak pernah berpihak pada masyarakat dan bukan berdasarkan kebutuhan masyarakat. Maka agar program/kebijakan yang dihasilkan berpihak pada masyarakat dan berdasarkan kebutuhan masyarakat, pemerintah harus mau membuka ruang bagi masyarakat untuk dapat terlibat dalam membuat kebijakan, perencanaan, dan pelaksanaan, serta pengawasan dalam bidang pembangunan hutan, supaya tidak terjadi miss communication antara pemerintah dan masyarakat dan dapat bekerja bersama-sama dalam membangun hutan kembali sehingga hutan kita itu menjadi hijau kembali; Demikian tulisan singkat sebagai refleksi dari aktivitas keseharian penulis sebagai petani penggarap, mudah-mudahan tulisan ini bisa menggugah para pembaca tulisan ini juga pihak-pihak terkait untuk lebih bisa mempertimbangkan keterkaitan antara masyarakat dan hutan dalan membuat kebijakan, dan memberikan ruang pada masyarakat untuk terlibat dalam segala bentuk upaya kegiatan pengelolaan hutan dan lingkunganya serta pihak terkait bisa lebih baik dalam menjalankan kebijakan yang ada, jangan hanya kebijakan itu dibuat untuk dilanggar.
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
95
KERUSAKAN HUTAN DAN KEMISKINAN MASYARAKAT DESA SEKITAR HUTAN Oleh: Mulyana28
erum Perhutani adalah perusahaan umum kehutanan negara, suatu usaha milik negara (BUMN) yang berada dibawah Departemen Kehutanan. Perum Perhutani didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor15 Tahun 1972 yang telah diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1986. Wilayah kerja Perum Perhutani meliputi seluruh kawasan hutan pulau Jawa dan Madura, kecuali hutan di Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan luas kawasan hutan sekitar 3juta hektar, yang tersebar di unit I Jawa Tengah, Unit II Jawa Timur,dan Unit III Jawa Barat. Perhutani ditugasi untuk mengelola hutan produksi, menjaga hutan lindung juga menjaga ekosistem. Visi Perum Perhutani adalah mengelola sumberdaya hutan sebagai ekosistem di pulau jawa secara adil, demokratis, efisien dan profesional guna menjamin keberlanjutan fungsi dan manfaatnya untuk kesejahteraan masyarakat. Sedangkan Misi Perum Perhutani adalah: a. Melestarikan dan meningkatan mutu sumberdaya hutan dan mutu lingkungan hidup. Menyelenggarakan usaha di bidang kehutanan, berupa barang dan jasa guna memupuk keuntungan perusahaan dan memenuhi hajat hidup orang banyak b. Mengelola hutan sebagai ekosistem secara partisipatif sesuai dengan karakteristik wilayah untuk mendapatkan manfaat yang optimal bagi perusahaan dan masyarakat c. Memberdayakan sumberdaya manusia melalui lembaga perekonomian masyarakat untuk mencapai kesejahtraan dan kemandirian. Kawasan hutan yang dikelola dan diusahakan Perhutani terletak berbatasan dengan kurang lebih 6.172 desa, dengan jumlah penduduk yang tinggal di desa-desa sekitar hutan menggantungkan hidupnya pada sumber daya hutan Sudah dari jaman dahulu, sebelum hutan diambil alih oleh Perhutani, secara turun temurun masyarakat sekitar hutan sudah menggarap lahan hutan. Penduduk membuka ladang, menebang kayu perkakas, mengambil kayu bakar serta mengumpulkan rumput/daun pakan ternak yang dilakukan secara lestari dan menjaga keberadaan hutannya Menurut Undang-Undang Dasar tahun 1945 Pasal 33 ayat 3, disebutkan bahwa ”Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan di manfaatkan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat”. Dikuasai bukan berarti dimiliki, tapi dikuasai pembagiannya. Hutan dikuasai oleh Negara,dan diwakili oleh Pemerintah dan kepanjangannya adalah BUMN antara lain Perum Perhutani di pulau Jawa, dimana ada amanat untuk kemakmuran rakyat. Jadi Perhutani mengemban amanat dan wajib mengelola hutan untuk kemakmuran rakyat. Hal ini dikarenakan lembaga yang mendapat mandat untuk menegakan keadilan dan kesejahtraan masyarakat sekitar hutan adalah Perhutani. Kesesehjahtraan masyarakat menjadi tujuan utama dalam mengelola sumber daya hutan disamping tujuan meningkatkan produktivitas lahan dan menjaga kelestarian hidup. Hal ini sejalan dengan UUD 28 Penulis adalah petani penggarap di Kampung Cikoneng Desa Cileunyi Kulon Kecamatan Cileunyi. Aktif sebagai di Forum Manglayang dan pegiat di Koalisi Komunitas Korban Lingkungan Cekungan Bandung dan Pusat Sumber Daya Komunitas (PSDK)
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
96
45 pasal 33 bahwa dalam pengelolaan sumber daya hutan haruslah memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi kemakmuran rakyat. Perusahaan hutan seperti Perhutani mempunyai tugas khusus selain memberi keuntungan kepada Negara. Tugas khusus tersebut berkaitan dengan memberi peluang kerja dan berusaha kepada penduduk miskin, kurang lahan dan yang bergantung kepada lahan hutan serta menjaga keseimbangan air tanah dan lingkungan secara umum. Tugas khusus tersebut sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Poko Agraria Tahun 1960 dimana negara berhak mengatur peruntukkan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan lahan pertanian bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Peningkatan kesejahteraan masyarakat bukan satu-satunya menjadi tanggung jawab pihak Perhutani, tetapi secara perinsip menjadi tanggung jawab semua komponen bangsa yang harus bisa ikut meningkatkan kesejahtraan masyarakat desa yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Perhutani merupakan salah satu lembaga BUMN yang yang didirikan oleh orde baru dimana orde baru ini adalah orde yang merampas hak-hak rakyat serta menyelewengkan UUD 45. Perhutani bukannya menjalankan hak dan kewajibannya untuk meningkatkan kesehjahtraan masyarakat, malah menjadi salah satu penyebab kemiskinan masyarakat sekitar hutan. Perhutani bukannya menjalankan apa yang diamanatkan oleh UUD pasal 33 dan UUPA pasal 2 tahun 1960, justru menjadi salah satu lembaga yang menyelewengkan undang-undang tersebut. Perhutani bukannya menyediakan lahan pertanian bagi masyarakat sekitar hutan, justru Perhutani-lah yang mengusir masyarakat dari hutan dan melarang masyarakat masuk kedalam kawasan hutan. Instrumen hukum UU No.5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan yunto Pengurus Pusat No.28 tahun 1985 Tentang Perlindungan Hutan dalam Pasal 9 Pengurus Pusat No.28 Tahun 1985 ditegaskan: a. Selain dari petugas-petugas hutan atau kepentingannya dibenarkan berada di dalam kawasan hutan, siapapun dilarang membawa alat-alat yang lajim digunakan untuk memotong, menebang dan membelah pohon di dalam kawasan hutan. b. Setiap orang dilarang melakukan penebangan pohon-pohon dalam hutan tampa ijin dari pejabat yang berwenang. c. Setiap orang dilarang mengambil/memungut hasil hutan lainnya tampa ijin dari pejabat yang berwenang. Hal diatas merupakan ekspresi dari hukum yang bersifat represif yang dicirikan dengan penggunaan pendekatan sekuriti, menekan sanksi-sanksi dan mengedepankan tampilnya petugas-petugas polisi khusus kehutanan untuk membatasi atau bahkan menggusur akses sumber daya masyarakat sekitar hutan. Konsekuensi yuridis yang muncul kemudian adalah setiap penduduk desa yang mengakses, memanfaatkan dan menggunakan sumber daya hutan untuk kebutuhan hidup, dikualifikasi atau stigmatisasi sebagai pelanggar hukum, perambah hutan, penjarah hasil hutan, peladang liar, pencuri kayu, perusuh keamanan hutan, perumput liar, pengembala liar,dll. Stigma seperti ini lebih merupakan kreasi ideologi dari suatu bingkai budaya kontrol terhadap sumberdaya hutan.(Peluso1992). Manajemen konvesional yang dilaksanakan oleh Perhutani sejak awal pendiriannya tanpa disadari telah menciptakan aparat yang cenderung otoriter atau setidak-tidaknya paternalistik terhadap masyarakat pedesaan. Model pengelolaan dan pengusahaan hutan warisan jaman Belanda yang menekankan pendekatan keamanan tanpa disadari telah menempatkan Perhutani berdiri di luar masyarakat. Selain itu eksistensi perusahaan menjadi ekslusif dimata petani dan pamong desa karena memiliki kekuasaan untuk memonopoli kawasan hutan di Jawa. Perhutani merasa menjadi pihak paling penting dalam konservasi kawasan hutan serta merasa paling berjasa dalam penyediaan pendapatan/devisa negara. Oleh karena itu Perhutani menjadi terlalu percaya diri, tinggi harga diri dan semakin menjadi eksklusif dikalangan masyarakat desa.(Sunito,1996). Seolah-olah Perhutani adalah penguasa tunggal hutan di Jawa dan terjadilah konflik di mana-mana antara masyarakat sekitar hutan dan Perhutani. Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
97
Praktek Pengelolaan Hutan Oleh Perhutani Apakah selama ini Perhutani sudah menjalankan Hak dan Kewajibannya sebagai Perusahaan Umum Milik Negara dan kepanjangan tangan Pemerintah,untuk mengelola kelestarian hutan dan membantu mensejahterakan masyarakat sekitar hutan? Jawabannya: TIDAK. Mayarakat yang berada di dalam kawasan hutan sekarang ini kehidupannya paling terbelakang. Padahal disekitar mereka tinggal ada sumber daya alam hutan yang bertugas menyumbang kesejahteraan masyarakat. Sebagian mereka miskin dan sangatlah ironis, jika kemiskinan terjadi merata di desa-desa sekitar hutan. Apabila kita amati dan cermati, kemiskinan masyarakat yang berada di sekitar hutan muncul setelah Perhutani masuk ke dalam kawasan hutan dan mengambil alih pengelolaan hutan. Padahal sudah dari dulu masyarakat sekitar hutan menggantungkan hidupnya pada lahan hutan dengan cara menanam palawija, seperti padi gogo/huma, kentang, jagung, bawang merah dan lain-lain untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Masyarakat sekitar hutan belum pernah mengalami krisis rawan pangan karena hutan sudah memberikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat sekitar hutan. Tetapi setelah perhutani masuk ke dalam kawasan hutan,terjadilah rawan pangan dan kelaparan di masyarakat desa sekitar hutan. Jika ditelusuri sejarahnya, sebelum menjadi Perum Perhutani, intitusi yang diberi wewenang mengelola dan mengusahakan hutan di Jawa bernama Perusahaan Kehutanan Negara Jawa Timur (berdasarkan pengurus pusat No.18 tahun 1961) dan Perusahaan Kehutanan Negara Jawa Tengah (berdasarkan pengurus pusat No.19 tahun1961). Kemudian dengan pengurus pusat No.15 tahun 1972 Perusahaan Kehutanan Negara berganti menjadi Perum Perhutani yang memiliki dua unit produksi, yaitu Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah dan Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Dalam perkembangan selanjutnya, unit produksi Perum Perhutani ditambah dengan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat berdasarkan Peraturan Pemerintah No.2 tahun 1978 yunto peraturan pemerintah No.36 tahun 1986. Jawa Barat mempunyai kawasan hutan seluas 816.603 hektar. Kabupaten bandung berada di wilayah Jawa Barat memiliki luas hutan sekitar 88.030,16 hektar mengelilingi sekitar 440 desa dengan luas wilayah 4.074 km persegi. Mayoritas masyarakat yang berada di sekitar hutan adalah petani. Kebutuhan hidup sehari-hari bergantung pada lahan petanian. Ada yang bertani palawija dan ada yang bertani padi. Kehidupan masyarakat desa selalu berhubungan dengan hutan. Lahan pertanian yang berada di Jawa Barat, khususnya di Kabupaten Bandung sangatlah sempit. Oleh kerena itu, masyarakat yang berada di sekitar hutan memanfaatkan lahan hutan untuk bercocok tanam dan itu sudah berlangsung sejak jaman dahulu. Selain bercocok tanam juga bertujuan untuk menjaga kelestarian hutanya dan terbukti hutan yang dikelola oleh masyarakat tumbuh subur tanpa ada kerusakan. Tetapi setelah hutan di ambil alih pengelolaannya oleh Perhutani, masyarakat dilarang memanfaatkan lahan hutan karena masyarakat kita yang taat dengan pelaturan menuruti apa yang di katakan mantri-mantri hutan. Dan apa yang terjadi setelah hutan di kelola oleh Perhutani hutan-hutan yang berada di Kabupaten Bandung kondisinya sangat memprihatinkan, banyak yang gundul. Hal ini disebabkan oleh kelakuan Perhutani yang menebang kayu secara habis-habisan tanpa ada penundaan. Tahun 1998, Perhutani memperbolehkan lagi masyarakat sekitar hutan untuk menggarap lahan hutan mulai membersihkan lahan hutan dari alang-alang dan mencangkul untuk menggemburkan tanah, dengan cara bertumpang sari.dan itu berlangsung sampai tahun 2003. Pada tahun 2003 pemerintah yang diwakili oleh Gubernur Jawa Barat waktu itu R. Nuriana mengeluarkan Surat Edaran No.522/1224/Binprod dan surat itu keluar setelah kunjungan Komisi B dan Komisi F DPRD Provinsi Jawa Barat tanggal 18 dan 19 Februari 2003 ke beberapa kawasan di Jawa Barat. Setelah terbitnya Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
98
surat edaran ini terjadi lagi pengusiran-pengusiran secara berutal oleh Perhutani. Banyak tanaman petani yang belum dipanen kemudian dibabat habis bahkan ada petani yang melawan ditodong dengan senjata. Dampak dari Surat Edaran No 522/2003 baru terasa pada tahun 2005. Terjadi peristiwa rawan pangan di Kabupaten Bandung dan sangat disayangkan surat itu keluar setelah kunjungan para dewan. Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa lembaga yang mengatasnamakan rakyat yaitu DPRD merekomendasikan kebijakan yang merugikan masyarakat desa sekitar hutan dan menyebabkan kelaparan di masyarakat. Dengan adanya surat edaran tersebut menurut sumber dari LBH Bandung bahwa surat edaran tersebut secara politik tidak ada kekuatan hukum dan sampai sekarang masih di jadikan dasar oleh Perhutani untuk melarang masyarakat bertumpang sari. Pemerintah harus segera mencabut surat edaran tersebut karena bertentangan dengan UUD 45 Pasal 33. Pemerintah sudah tahu bahwa lahan pertanian yang ada di Jawa Barat sangat sempit, seharusnya pemerintah menyediakan lahan pertanian untuk masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Pemerintah seharusnya tahu masyarakat menggarap lahan hutan dalam keadaan hutan sudah rusak, gundul tetapi mengapa pemeritah menyalahkan masyarakat dalam keruksakan hutan. Sudah jelas bahwa yang merusak hutan bukan masyarakat tapi mengapa setiap ada kesalahan pemerintah masyarakatlah yang jadi korbannya. Kalau kita menelaah setiap perundang-undangan pasti ada kata-kata untuk kemakmuran rakyat atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tapi apa yang terjadi di masyarakat desa sekitar hutan, mereka tambah miskin.dan kemiskinan mereka bukan disebabkan oleh takdir dan nasib, tapi disebabkan kesalahan menajemen pemerintah.
Kemiskinan dan Kelaparan di Palintang Dampak Salah Urus Hutan Oleh Perhutani Kampung Palintang, Desa Cipanjalu Kecamatan Cilengkrang berada di wilayah Bandung Timur kaki Gunung Manglayang. Pekerjaan masyarakat Palintang 90% adalah bertani menggunakan lahan hutan Gunung Manglayang untuk becocok tanam, menanam tanaman palawija seperti kentang, tomat, bawang merah, cabe keriting, kol, wortol, jagung dan lain-lain.Hal itu berlangsung sejak dari dulu. Masyarakat Palintang mengandalkan hidupnya pada lahan hutan Gunung Manglayang. Tetapi bukan masyarakat Palintang saja yang memanfaatkan hutan Gunung Manglayang, hampir semua masyarakat yang berada di kawasan Manglayang menggunakannya. Setelah pemerintah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 522/2003, surat edaran tersebut dijadikan dasar oleh Pehutani untuk melarang masyarakat Palintang menggarap di lahan hutan Gunung Manglayang tanpa ada pengganti lahan untuk bertani. Masyarakat kemudian berhenti bertani karena tidak adanya lahan pertanian. Apabila Perhutani mau mengacu kepada surat edaran tersebut, yang tidak diperbolehkan itu di kemiringan 40, sementara di hutan Gunung Manglayang masih banyak di bawah kemiringan 40. Tapi tetap saja Perhutani melarang masyarakat Palintang untuk bertumpang sari. Dan apa yang terjadi kemudian, dampak dari surat edaran itu, terjadilah musibah kelaparan pada tahun 2006. Setelah terjadi kelaparan, masyarakat diperbolehkan lagi untuk menggarap lahan hutan Gunung Manglayang dengan cara menanam pohon-pohon keras seperti kopi, nangka, alpukat, pisang dan rumput gajah. Hal ini terjadi di semua wilayah hutan Gunung Manglayang. Tetapi sebagian masyarakat yang sudah menanam pohon-pohon di hutan Gunung Malayang ada yang masih merasa ketakutan apabila pohon-pohon yang mereka tanam sudah besar kemudian Perhutani mengusir lagi. Oleh karena itu, harus di buat satu payung hukum untuk melindung petani penggarap hutan. Itu juga kalau pemerintah masih ingin pempertahankan keberadaan Perhutani. Tetapi alangkah baiknya pemerintah mengembalikan pengelolaan hutan seperti semula,yaitu kepada masyarakat lokal yang sudah terbukti bisa menjaga kelestarian hutan. Waktu hutan masih dikelola oleh masyarakat lokal, hutan tumbuh subur dan lestari, tidak pernah mendengar kekurangan pangan, di musim kemarau tidak pernah kekurangan air serta tidak pernah terjadi longsor. Tetapi setelah pengelolaan hutan dirampas dari masyarakat oleh Pehutani, apa yang terjadi kemudian? Hutan-hutan Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
99
banyak gundul, di musim hujan banyak hutan yang longsor ,banjir dimana-mana, di musim kemarau sering terjadi krisis air serta sungai-sungai banyak yang kering. Harus ada evaluasi tentang keberadaan Perum Perhutani. Karena walaupun sudah di reformasi di tubuh Perhutani, tapi praktek-praktek di lapangan masih menggunakan gaya-gaya lama. Cara-cara di lapangan masih menggunakan cara militer, masyarakat yang mengambil kayu untuk bahan bakar di todong dengan senjata. Dan apabila aparatur Perhutani jalan-jalan ke sekitar rumah mereka, petugas Perhutani me-longhok-longok ke kolong rumah penduduk untuk mencari kayu. Masyarakat dianggap sebagai maling. Hal itu yang membuat antipati masyarakat sekitar hutan kepada aparat Perhutani. Kenapa terjadi demikian? karena orang-orang yang direkrut menjadi aparat kehutanan tidak memahami undang-undang yang ada. Bahkan visi dan misi yang dihasilkan dari lokakarya tahun 1998 di Yogyakarta tidak dijadikan pedoman oleh aparat-aparat Perhutani di tingkat lapangan. Dan sudah terbukti yang menyebabkan kemiskinan di masyarakat desa sekitar hutan adalah Perhutani.
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
100
MEMBANGUN HUTAN Oleh : Heri Ferdian29
PENYELENGGARAAN KEHUTANAN Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan serta bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, diantaranya melalui : 1. Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; 2. Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi yang seimbang dan lestari; 3. Meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; 4. Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Itulah isi dari kutipan UU no 41 tahun 1999. Subtansi yang semestinya menjadi kerangka acuan pengelolaan hutan selama ini dan sampai kapan pun adalah bagaimana hutan khususnya dan sumber daya alam pada umumnya, harus tetap mengarah pada kemakmuran rakyat. Langkah yang selama ini dilakukan belum sepenuhnya bisa menumbuhkan kesadaraan ditingkatan masyarakat. Bahwasanya hutan merupakan sesuatu hal yang harus dibangun, itu dikarenakan menurunnya kualitas hutan, baik dari sisi pengelolaan dan pemeliharan kawasan hutan serta dari sisi pengendalian dan penanggulangan kerusakan hutan. Realisasi pemanfaatan hutan demi kemakmuran rakyat dengan pengertian lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan akan sangat menyentuh apabila masyarakat sekitar terutama penggarap lahan hutan menjadi pelaku utama dalam penataan dan pengelolaan hutan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara yang tidak mengabaikan aspek kelestarian ekosistem dan sumber daya alam hayati yang ada dikawasan hutan. Lebih luas lagi memperhitungkan kemungkinan terkait kondisi lingkungan hidup disepanjang DAS hulu dan hilir Adapun bentuk keterlibatan yang mengikat tanggung jawab penggarap lahan hutan adalah kultur dan filosofis budaya lokal serta keyakinan agama yang dianut mengarahkan pada pelestarian hutan dan daya dukung air atas sumber mata air yang ada di kawasan hutan tersebut. Penetapan status hutan dan pengaturan hukumnya merupakan batasan yang bertitik tolak pada kepentingan nasional tanpa mengeliminasi suku dan budaya yang menjadi catatan sejarah dan pernah berkembang di suatu wilayah dalam rangka menjunjung tinggi warisan leluhur berupa hutan, air dan kekayaan alamnya. Disinilah peranan pemerintah yang semestinya mempertegas kawasan hutan yang 29
Penulis adalah petani penggarap pahan hutan di Desa Tarumajaya Kecamatan Kertasari dan aktif sebagai pegiat di Koalisi Komunitas Korban Lingkungan (K3L) Cekungan Bandung dan Pusat Sumber Daya Komunitas (PSDK)
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
101
sudah ditetapkan berdasarkan aturan yang berlaku, sehingga ada kejelasan dan kriteria kawasan lahan hutan yang dapat secara langsung dikelola dengan pola pelestarian yang bersifat ekonomis jangka pendek, menengah dan jangka panjang yang dapat diterapkan oleh penggarap lahan hutan dari sisi kultur tanaman kayu sebagai fungsi resapan air. Wujud pemerintahan yang adil adalah bagaimana melakukan pendekatan terhadap masyarakat demi tercipatnya kesadaran yang menyeluruh, melalui : 1. Penyadaran berbasis religius oleh pemuka agama di tingkatan lokal, regional bahkan nasional sekalipun 2. Penyelarasan khasanah budaya lokal terhadap jalan kesinambungan tatakrama yang diakui dan dihormati. 3. Kesetaraan persepsi tentang pelestarian hutan dan air dari berbagai unsur masyarakat dan pemerintahan. 4. Keserasian aturan dengan harapan masyarakat sehingga dirasakan seimbang dengan kondisi masyarakat setempat.
PERANAN NEGARA Kewenangan negara untuk menguasai hutan dan yang terkandung didalamnya merupakan akuntabilitas yang seakan-akan mutlak dan sentralitis sehingga spesifikasi kondisi lokal kerap terabaikan. Hal ini mengakibatkan kemakmuran rakyat yang menjadi tujuan penyelenggaran kehutanan belum tercapai secara menyeluruh, karena kemakmuran yang dimaksudkan belum tentu sepenuhnya dapat dirasakan masyarakat sekitar hutan apalagi masyarakat secara umum. Dengan terbitnya UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, mungkin ini merupakan salah satu cara untuk menapis sentralisasi menjadi desentralisasi dengan adanya otonomi daerah Tetapi permasalahannya apakah pemerintah provinsi dan kabupaten/kota konsisten untuk tidak menyalahgunakan kewenangan yang telah dilimpahkan pemerintahan pusat tentang keberlanjutan hutan dan sumber daya alam mulai dari sisi perizinan, pengelolaan, pengendalian dan pengawasannya. Mungkin tak ada salahnya apabila pemerintah pusat dan daerah bersama-sama melakukan evaluasi terkait kinerja dan produk hukum yang telah dibuat, demi mengakomodir kepentingan nasional dengan cara membuka lebar ruang publik untuk peran serta dan partisipasi masyarakat. Untuk memperoleh manfaat yang optimal dari pengelolaan hutan bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara adil dengan tetap menjaga kelestariannya merupakan tanggung jawab pengelola lahan hutan yang mendapat izin usaha pemanfaatan kawasan hutan baik perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia dan BUMN/BUMD, untuk tetap memperhatikan sistematika pelestarian hutan yang menjadi aturan hukum. Diantaranya mengecualikan pemanfaatan dikawasan hutan cagar alam, zona inti, dan zona rimba pada taman nasional. Jenis-jenis pemanfaatan kawasan hutan yang berlaku menurut perundang-undangan sekarang yang berlaku diantaranya : x Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. x Pemanfaatan hutan produksi pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Namun persoalannya apakah mayarakat sekitar hutan terlibat disana dan mengetahui batas-batas dan sistematika kawasan hutan yang ada? jawabannya tidak, mengapa? karena kesadaraan ditingkatan masyarakat baru sampai tahapan pemanfaatan lahan dan melakukan pengelolaan menurut kemampuan yang dimiliki. Artinya, ada kendala informasi yang kurang, sehingga pengelolaan yang dilakukan saat ini masih sepihak-sepihak, contohnya antara Perhutani selaku BUMN dan penggarap lahan hutan Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
102
selaku masyarakat sekitar hutan masih berjalan sendiri-sendiri. Contoh kasus tersebut terjadi di beberapa wilayah diantaranya: Gunung Wayang Kecamatan Kertasari, Gunung Gede Sukarame Kecamatan Pacet, Gunung Guntur Kecamatan Ibun, Gunung Manglayang Cileunyi, Bukit Cirumamis dan Cimarel Kecamatan Rongga. Membangun hutan merupakan permasalahan yang harus ditangani bersama-sama. Jauh dari harapan apabila diantara pelaku langsung yang berinteraksi dan melakukan aktivitas di hutan terus menerus saling menyalahkan. Namun alangkah lebih vital lagi dari sisi perizinan. Bagaimana negara atau salah satu fungsinya menteri yang memiliki kewenangan untuk memberikan pengaturan, pembinaan dan pengembangan pengolahan hasil hutan yang bersifat tidak melebihi daya dukung hutan yang lestari. Apapun bentuk perizinan, baik izin usaha atau pengelolaan merupakan bentuk peralihan yang harus dipertanggungjawabkan menurut aturan hukum yang berlaku. Apa yang menjadi objek peralihan merupakan kekayaan negara yang bertujuan untuk kesejahteraan rakyat yang sampai detik ini masih dinantikan seluruh rakyat Indonesia. Namun tuntutan secara filosofis dari kemakmuran itu sendiri adalah bagaimana kewajiban semua pihak melestarikan/memakmurkan apa yang terkandung dikawasan hutan itu sendiri. Pengelolaan kawasan hutan terbagi kedalam beberapa peruntukkan : x Kepentingan masyarakat adat untuk perwujudan sejarah budaya lokal yang ada. x Kepentingan lembaga pendidikan sebagai wahana edukasi dan pendekatan pemahaman siswa akan pelestarian sumber daya alam dikawasan hutan. x Kepentingan lembaga penelitian untuk melakukan riset serta kajian ilmiah tentang keberlangsungan ekosistem, ekologi dan hayati yang terkadung dikawasan hutan. x Kepentingan lembaga sosial dan keagamaan guna membudidayakan hutan dalam rangka pelestrian yang berbasis kepentingan nasional. Namun bahwasanya dilapangan itu belum terjadi, kenyataannya siapa saja baik perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia dan BUMN/BUMD asalkan memiliki kedekatan dengan pemberi izin atau lebih jelasnya pemerintah apa yang seharusnya tidak terjadi itu bisa saja terjadi. Salah satu contohnya pengadaan lahan untuk kepentingan penambangan yang jelas-jelas itu merugikan kawasan hutan secara utuh apalagi itu dilakukan dikawasan hutan lindung, seperti halnya PT. Magma yang berlokasi di Desa Margamukti Kecematan Pangalengan untuk kepentingan penambangan gas bumi. Di kawasan tersebut terdapat sumber mata air Danau Aul yang bermuara ke sungai Ciseke yang nantinya akan berpadu dengan Sungai Citarum di Desa Tarumajaya Kecamatan Kertasari. Maka dalam permasalahan kerusakan hutan itu tidak bertitik pada satu pihak. Apalagi kenyataan itu pernah dituduhkan kepada penggarap lahan hutan yang berada di beberapa wilayah di Cekungan Bandung. Bahkan pada pertengahan tahun 2003 Gubernur Jawa Barat, R. Nuriana mengeluarkan SK No.522 yang berisi tentang pelarangan tumpang sari dikawasan hutan lindung dan konservasi dengan batas kemiringan 400. SK tersebut berdampak pada penurunan penggarap dari lahan hutan sehingga kawasan hutan yang tadinya digarap masyarakat dibiarkan terlantar. Sedangkan masyarakat penggarap diberikan pilihan dengan tiga program peralihan diantaranya meliputi: x Alih profesi: ternak domba dengan kegiatan pembagian domba kepada mantan penggarap lahan hutan, namun tidak sebanding dengan pengahasilan pertanian sehingga tak satupun penggarap yang kompeten dibidang peternakan melainkan raib. x Alih komoditi: tanaman keras yang memiliki nilai ekonomis, tidak dilakukan menyeluruh dikawasan hutan yang terkantar. Karena tidak semua penggrap dilibatkan. x Alih lokasi: ke kawasan lahan pertanian namun persolannya apakah warga setempat tidak membutuhkan lahan pertaian tersebut. Menteri selaku pemberi izin pinjam pakai penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan diharapkan sebelumnya telah menguasai kondisi hutan yang akan dijadikan sasaran Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
103
pertambangan demi terjaminnya asas keadilan, pemerataan, dan lestari, maka izin usaha pemanfaatan hutan dibatasi dengan mempertimbangkan aspek kelestarian hutan dan aspek kepastian usaha. Itu dapat dilkukan melalui beberapa cara : x Cross-check data dan fakta dilapangan x Menampung aspirasi penggarap lahan hutan dalam sistematika pengelolaan hutan, serta menjadikan masyarakat setempat dan masyarakat secara umum sebagai input demi terwujudnya kepentingan nasional atas pelestarian sumber daya alam.
POSISI PENGGARAP LAHAN HUTAN Agar manfaat yang didapat bisa dirasakan optimal maka keterlibatan semua pihak merupakan alternatif yang bisa diandalkan, dengan cara: x Pemerintah memberikan perlindungan secara hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada penggarap lahan hutan yang melakukan upaya pengelolaan hutan dengan pola tanam yang memperhatikan aspek pelestarian fungsi hutan sebagai resapan air. x Pemerintah memberikan legitimasi tentang peranan penggarap lahan hutan di setiap periode pemulihan/rehabilitasi hutan. Selaku pemegang izin baik perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia dan BUMN/BUMD sebagaimana diatur dalam Pasal 27 dan Pasal 29 UU no 41 Tahun 1999 berkewajiban untuk menjaga, memelihara dan melestarikan hutan tempat usahanya. Ini bisa dilakukan dengan cara memposisikan penggarap lahan hutan sebagaimana rekan yang diajak untuk turut serta dalam beberapa proses terkait program atau kegiatan yang sifatnya memfungsikan kembali kawasan hutan sebagaimana mestinya. Diharuskan adanya pelibatan kongkrit tentang partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan terkait porgram yang akan dijalankan. Dan ketika program tengah berjalan, penggarap lahan hutan diberikan hak untuk mengkondisikan kelompok penggrap dan luasan lahan yang menjadi sasaran penanaman. Ketika wilayah lahan hutan yang tengah digarap masyarakat telah ditanami. Baru kemudian pihak Perhutani mengadakan musyawarah kembali guna menyikapi kondisi lahan hutan yang dipandang kritis dan harus dilakukan rehabilitasi. Rehabilitasi hutan dengan istilah reboisasi, penghijauan, pemeliharaan pengayaan tanaman atau penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis pada lahan kritis dan tidak produktif, dari pengamatan selama ini penggarap menyadari hak itu dan mulai mempraktekannya dilahan garapannya. Walau ditingkatan penggarap sendiri tidak mengelak ketika ditemui mayoritas penggarap melakukan pola tumpang sari sayuran namun meski seperti itu adanya para penggarap lahan hutan menjalankan pula kaidah pelestarian kawasan hutan seperti yang diamanatkan peraturan dan kebijakan yang ada. Contoh pola tersebut tengah dilakukan penggarap lahan hutan di Kawasan Petak 71 dan petak-petak lainnya di kawasan Gunung Wayang Kertasari. Kalau kita cermati bagaimana penggarap lahan hutan menunjukan kesadarannya tinggal begaimana pemerintah sendiri memberikan dukungan yang kongkrit serta dapat segera dimplementasikan menurut teknis penggrap sendiri sebagai pihak langsung dilapangan. Ditingkatan penggarap pun kini tengah melakukan penilaian terhadap program reboisasi yang dilakukan pemerintah beserta jajaran pihak pengelola. Hal yang disayangkan oleh penggarap yakni pola penanaman selalu dilakukan menjelang musim kemarau sehingga tak ada hasil yang begitu signifikan. Apalah menanam sejuta bahkan satu triliun pohon apabila hasilnya nihil, tapi meskipun hanya satu, sepuluh, dan seratus jika itu terus tumbuh dan memberi keteduhan seperti adanya hutan, maka itulah yang diharapkan. Membangun hutan dengan jalan reboisasi diharapkan bukan hanya simbolis dan proyek semata tapi bagaimana itu menjadi salah satu bentuk solidarutas dan tanggungjawab atas rusaknya kawasan hutan. Dampak terbesar dari itu adalah tuduhan bagi masyarakat sekitar hutan khususnya penggarap lahan hutan yang kerap kali dijadikan tersangka atas kerusakan yang ada dan mereka selalu dipersalahkan.
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
104
Pertanyaan yang besar saat ini adalah apakah tak pernah ada kepercayaan pemerintah untuk secara langsung menyentuh penggarap lahan hutan dalam melakukan rehabilitasi lahan hutan? Sangatlah mungkin hutan bisa dibangun apabila pemerintah selaku pemangku kebijakan memiliki kemauan mendukung partisipasi masyarakat yang terbangun selama ini. Hal itu merupakan satu-satunya cara untuk mencapai pembangunan hutan salah satunya umumnya pembangunan di segala bidang yang adil dan merata di segenap sisi dan aspek sosial yang ada demi tercapainya kemakmuran rakyat dengan segala yang dimaksud atas kepentingan nasional itu sendiri. Hampir di setiap peraturan yang ada selalu memuat tentang peran serta masyarakat. Sekarang ini tinggal bagaimana pemerintah selaku pemegang izin pengelolaan hutan mengajak penggarap lahan hutan untuk tidak lagi saling meragukan satu sama lain walaupun kenyataannya yang salah tetap harus ditindak siapapun itu dan kebenaran harus tetap ditegakkan apa pun konsekuensinya.
PERSEPSI KOMUNITAS LOKAL Kreatifitas penggarap yang sadar akan pelestarian hutan lebih jauhnya lagi lingkungan hidup butuh perhatian khusus dari pemerintah apalagi jika mengejar target kebijakan pencapaian (45%) kawasan lindung dan ruang kawasan budi daya (55%) dari seluruh luas Jawa Barat yang meliputi kawasan hutan dan non hutan. Atas kesepakatan Gubernur dan Bupati/Walikota tentang sinergitas penyelenggaraan dan pembangunan di Jawabarat tahun 2004-2008, kesadaran masyarakatlah yang harus ditingkatkan. Untuk rencana penetapan kawasan lindung dan kawasan budi daya, maka proporsi penggunaan lahan yaitu: 1. Kawasan Lindung, seluas 1.656.414 Ha (45%) a. Kawasan hutan konservasi : 110.976 Ha (3%) b. Kawasan hutan lindung : 590.860 Ha (16%) c. Areal non hutan : 854.578 Ha (26%) 2. Kawasan Budidaya, seluas 2.043.773 Ha (55%) a. Kawasan hutan produksi : 102.942 Ha (3%) b. Areal non hutan : 1.940.831 Ha (52%)
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
105
DERITA PETANI LAHAN HUTAN Oleh: Khadafi30
A. DERITA PETANI Indonesia merupakan negara kaya akan sumber daya alam, begitu melimpahnya kekayaan negara yang kita cintai ini baik kekayaan darat maupun laut. Melihat kekayaan sumber daya alam yang dimiliki negara kita ironi kalau sampai terjadi kemiskinan apalagi kelaparan. Seiring dengan perkembangan jaman yang semakin maningkatnya jumlah populasi manusia, ini mengakibatkan keterbatasan lahan pertanian yang dimiliki para petani, maka hutanlah yang menjadi pilihan utama untuk lahan pertanian. Ketergantungan masyarakat sekitar hutan akan lahan pertanian sangatlah besar karena kehidupan masyarakat sekitar hutan adalah bertani (bercocok tanam). Bagi kalangan petani lahan hutan, Impian “Habis Gelap Terbitlah Terang” Tidak lebih dari suara yang masuk telinga kanan dan keluar melalui telinga kiri. Mimpi untuk mengubah Nasib, belum kunjung datang, sudah disibukan dengan keberadaannya yang semakin memilukan. Betapa tidak, belum usai masalah yang dihadapi menyangkut nasibnya dan memperbaiki hidupnya untuk lebih serba mancukupi, persoalan baru datang harus turun dari lahan hutan (SK Gubernur Jabar No. 522 Tahun 2003). Karena petani lahan hutan dianggap sebagai penyebab utama kerusakan lingkungan, apalagi erosi dan banjir. SK Gubernur sendiri menjadi momok bagi kalangan petani lahan hutan. Dampak dari keluar SK No. 522 ini banyak dari kalangan petani yang menjadi pengangguran, kemiskinan, dan yang lebih parahnya kriminalisme dengan banyaknya yang menjadi pencuri. Sementara turunnya SK No. 522 Tahun 2003 ini tidak dibarengi dengan solusi yang bisa menjadi pengganti kehidupan bagi para petani. Terlalu naïf untuk mengatakan bahwa inilah kenyataan yang sudah digariskan (takdir) pada petani lahan hutan. Padahal pemerintahan orde baru sudah lewat, yang selalu menempatkan masalah dan kepentingan petani sebagai masalah kecil demi membangun struktur ekonomi untuk kaum feodalisme dan imperialisme. Kita kutip pidato Bung Karno pada 17 Agustus 1960 yang berjudul ”Jalan revolusi kita” Untuk membangun Indonesia yang demokratis itu merupakan syarat pertama yang mutlak, demi menghilangkan feodalisme dan imperealisme. Ini Reformasi yang seharusnya para petani lebih tenang untuk hidup, tak perlu dikejar kejar karena petani bukanlah PKI, sekelompok anti pembangunan atau yang kita kenal dengan DI/TII, petani hanya ingin melangsungkan hidupnya dan keluarganya demi hidup yang enih sejahtera. Sebagaimana manusia lainnya, petani dan keluarganya berhak atas hidup, sebagaimana dijamin dalam dalam UUD pasal 28a tentang hak asasi manusia, (setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya) maka petani berhak untuk membangun keluarga secara pantas dan menentukan kehidupan yang layak, serta menjaga dan mengembangkannya menurut apa yang dikehendakinya sesuasi dengan tuntutan kemanusiaan yang adil dan beradab. Petani dan keluarganya juga berhak akan pendapatan yang cukup untuk menopang kebutuhannya yang tak lepas dari UUD 1945. Petani dan keluarganya berhak akan tanah untuk tempat tinggal yang memadai dari lingkungan yang sehat, budaya, pekerjaan, dan kepantasan bermasyarakat. Terutama petani dan keluarganya berhak akan perlindungan hukum atas lahan pertanian dan tempat tinggalnya serta sumber-sumber alam dan 30
Penulis adalah warga kampung Sukasari Desa Cibeureum Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung. Penulis aktif melakukan upaya reboisasi di lahan hutan, Pegiat di KPA WANAPASA, Radio Komunitas Citra, Koalisi Komunitas Korban Lingkungan dan Pusat Sumber Daya Komunitas (PSDK) Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
106
keanekaragaman hayati tanpa ada feodalisme dan imperialisme termasuk pembangunan yang tidak berbasis masyarakat. Persoalan-persoalan ini berawal dari paradigma pengelolaan terhadap hutan yang tidak memperhatikan dampak terhadap sosial (masyarakat sekitar hutan) dan lingkungan. Paradigma pengelolaan hutan yang berorientasi pada eksploitasi, kenapa tidak? Penguasaan lahan dikuasai oleh pemegang HPH selain itu juga dalam skala sangat besar hutan yang awalnya berstatus hutan lindung atau konservasi menjadi hutan produksi karena pohon pohon yang ditanam dilahan tersebut pohon pohon yang biasa diproduksi. Kehidupan para petani seperti risalah Soekarno yang berjudul “Mentjapai Indonesia Merdeka” Beliau berkata kita bergerak karena ingin hidup lebih layak dan sempurna, kita bergerak karena ingin perbaikan nasib. Perbaikan nasib ini hanya bisa datang ketika ditubuh masyarakat (warga negara) sudah tidak ada feodalisme dan imperealisme. Feodalisme dan imperealisme sekarang ini seakan akan ditumbuh kembangkan untuk dijadikan jalur ekonomi para pemangku kebijakan, apapun yang jadi konsekuensi tehadap rakyat bukanlah sebuh masalah, karena masyarakat bukanlah jalur yang tepat untuk dijadikan patner pertumbuhan ekonominya.
B. UPAYA PENYELESAIAN Sejauh ini sudah ada upaya untuk menyelesaikan permasalahan agar petani tidak lagi menanam sayur mayur dilahan hutan, yaitu program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Bentuk kegiatannya TIGA (3) OPSI! 1. Alih Komoditi a. Murbei; Dimana kegiatan yang pertama sampai ke masyarakat ALIH KOMUDITI dengan menanam MURBEI, namun sayang ini tidak menjawab permasalahan yang ada di lahan hutan dan hanya menghambur hamburkan anggaran. Karena kebanyakan petani tidak tahu bagaimana perawatan dan pemasarannya, yang akhirnya murbai yang sudah di tanam dan hampir panen dibiarkan karena tidak tahu harus di kemanakan. b. Kopi; Para petani dituntut untuk menanam kopi sebagai pengganti sayur mayur. Namun pendistribusiannya tidak jelas, ada yang diberikan secara cuma cuma dan ada juga diantara petani yang harus membeli. Sudah barang tentu Petani juga merasa keberatan kalau harus langsung alih komoditi dari sayuran menjadi kopi. Kerena untuk panen kopi petani harus menunggu selama tiga tahun. 3. Alih Profesi Sementara untuk alih profesi para petani lahan hutan pernah mendapatkan bantuan ternak domba, meski tidak merata dan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Ini juga tidak menjawab permasalahan karena untuk alih profesi dari petani menjadi peternak bukan hal yang semudah membalikan telapak tangan. 4. Alih Lokasi Untuk alih lokasi sejauh ini masyarakat sekitar hutan tidak menerima kalau seandainya harus pindah dari tempat tinggalnya. Sejauh ini program tersebut masih belum bisa dirasakan masyarakat khususnya petani lahan hutan. Ini bukan berarti program yang dibuat pemerintah tidak baik. Tapi walaupun program itu baik, apabila Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
107
tidak disertai mekanisme dan inplementasi yang tepat, terukur dan realistis maka program itu tidak akan memberikan dampak yang baik, misal : Pengelolaan hutan tidak hanya berisi wewenang untuk pemanfaatannya saja, tetapi harus ada keterlibatan masyarakat sebagai pemberdayaan. Memberdayakan masyarakat adalah upaya peningkatan harkat dan martabat lapisan (stratifikasi) masyarakat dalam kondisi yang seperti sekarang ini yaitu kemiskinan dan keterbelakangan, ini demi menuju kemandirian dalam masyarakat. Sebagai contoh paradigma berbagai dana, sarana dan prasarana yang dialokasikan untuk masyarakat harus ditempatkan sebagai peningkatan sumber daya masyarakat (capacity building). Sementara konsep pemberdayaan masyarakat ialah: Masyarakat tidak dijadikan objek dari berbagai projek pembangunan, tetapi juga sebagai Subjek dari upaya pembangunan. Kenapa signifikan peran serta masyarakat? Suatu proses yang melibatkan masyarakat, umum dikenal peran serta! Didefinisikan sebagai alat komunikasi dan informasi dua arah yang sustainability (berkesinambungan). Tujuannya untuk lebih mengetahui kebutuhan, harapan, transparansi dan konsekuensi yang nantinya dituangkan dalam suatu konsep para pemangku kebijakan termasuk penegakan hukum. Bukankah selama 32 Tahun Indonesia mempunyai cita-cita menjadi negara yang demokratis sehabis masa Orde Baru yang otoriter? Terkait dengan lahan kritis yang terjadi di lahan hutan, itu sangat tidak wajar karena telah ada berbagai perangkat hukum yang seharusnya dapat ditegakan untuk menjamin tidak terjadinya lahan kritis. Namun peraturan peraturan itu tidak berjalan secara efektif, berbagai prosedur dan mekanisme yang telah digariskan oleh perundang undangan tidak berjalan. Ini membuktikan bahwa perangkat hukum tidak melibatkan dan ketidak berpihakan kepada masyarakat, apalagi masyarakat kecil. Sangat ironi, ketika Indonesia di mata luar negeri yang sangatlah kaya dengan sumber daya alam tetapi rakyatnya masih meringis kelaparan dan keterbelakangan. Sebagai contoh Undang Undang Dasar Republik Indonesia dan aturan yang lainnya. Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 tentang pokok Agraria (sumber daya alam) menyebutkan: “ bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. REGULASI UU NO. 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN BAB X PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 68 (1) Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan. (2) Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masyarakat dapat: a. memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan; c. memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan; dan d. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung. (3) Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4) Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pasal 69 (1) Masyarakat berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga kawasan hutan dari gangguan Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
108
dan perusakan. (2) Dalam melaksanakan rehabilitasi hutan, masyarakat dapat meminta pendampingan, pelayanan, dan dukungan kepada lembaga swadaya masyarakat, pihak lain, atau Pemerintah. Pasal 70 (1) Masyarakat turut berperan serta dalam pembangunan di bidang kehutanan. (2) Pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna. (3) Dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat dibantu oleh forum pemerhati kehutanan. Isi pasal pasal ini mengatakan bahwa pemanfaatan sumber daya alam sudah seharusnya ditujukan untuk kepentingan masyarakat banyak pada umumnya. Undang-undang dan aturan yang lainnya ini mengedepankan peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan dan bisa memanfaatkannya. Namun kenyataannya sejauh ini peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan tidak dilibatkan sesuai dengan isi undang-undang dan apa yang dicita-citakan masyarakat. Dengan mekanisme yang sesuai dengan UUD dan aturan yang lainnya seharusnya tidak akan terjadi adanya lahan kritis, sebab setiap kali terjadi lahan kritis maka telah jelas apa yang harus dilakukan. Sekarang yang jadi pertanyaan mengapa aturan hukum yang telah dibuat itu gagal? Dalam ilmu hukum dikenal adanya syarat keberlakuan hukum. Ada tiga syarat supaya hukum itu bisa berlaku di masyarakat, yaitu: x
Syarat yuridis; Setiap peraturan hukum harus dibuat berdasarkan aturan yang sesuai dengan perundangundangan yang ada.
x
Syarat sosiologis; Setiap warga negara sebagai keberlakuan hukum, memiliki sumber penghidupan yang layak, supaya tidak mengganggu hutan. Sebagai contoh pelarangan tumpang sari, itu tidak akan berlaku secara efektif apabila para petani lahan kritis tidak difasilitasi untuk bisa melangsungkan hidupnya tanpa mengganggu hutan.
x
Syarat filosofis; Setiap aturan hukum akan berlaku apabila aturan hukum yang dibuat sesuai dengan apa yang dicita citakan masyarakat (tanggung jawab dan kebutuhannya). Misalkan peran serta masyarakat dalam pembangunan atau dalam pengelolaan hutan itu dilakukan bersama masyarakat. Maka aturan hukum akan berlaku dan dapat diterima oleh semua masyarakat apabila sesuai dengan ketiga syarat tersebut.
Ketiga syarat tersebut harus menjadi landasan Majelis Konstitusi (MK) Presiden Anggota DPR/DPRD dan para pemangku kebijakan yang lainnya ketika pembuatan undang-undang atau perangkat hukum yang lainnya. Proses penyusunan pelbagai kebijakan, peraturan perundang undangan dan implementasinya haruslah dijalankan secara demokratis. Persoalan ini tidak akan lepas dari peran serta masyarakat petani. Bahkan menurut pemikiran Jacques Rousseau (masyarakatlah yang dapat membuat aturan yang sesuai dengan kepentingannya). Sebab peran serta masyarakat petani dimaksimalkan melalui berbagai cara dan di berbagai tingkatan, bukan hanya dalam pemilihan partai saja serta pemilihan umum. Sudah seharusnya Demokrasi diperluas ke tempat tempat dimana ia berada, harus menjadi pemberantasan foedalisme dominasi imperialisme di daerahnya masing-masing. Bahkan para feodalisme sekarang mencari legitimasi melalui pemangku kebijakan yang menguntungkan bagi kapitalis kapitalis.
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
109
Dengan demikian persoalan persoalan antara kebijakan dan implementasi tetap berbasis pada warga negara pada umumnya, dan masyarakat para petani lahan hutan pada khususnya. Sekarang tinggal bagaimana pemerintah dari tingkat yang paling tinggi sampai tingkat bawah bisa memberikan keleluasan kepada masyarakat. Pemanfaatan sumber daya alam (hutan) yang dilakukan tiga elemen antara pemerintah pemangku kebijakan, Perhutani dan masyarakat yang mencari kehidupan dari lahan hutan. juga menimbulkan konflik, persoalan persoalan ini berawal dari paradigma pengelolaan terhadap hutan yang tidak memperhatikan dampak terhadap sosial (masyarakat sekitar hutan) dan lingkungan. Paradigma pengelolaan SDA yang berorientasi pada eksploitasi, kenapa tidak? Penguasaan SDA dikuasai dan dikelola oleh peruasahaan negara, swasta nasional dan pihak asing. Selain itu juga dalam skala sangat besar hutan yang awalnya berstatus hutan lindung atau konservasi menjadi hutan produksi karena pohon-pohon yang ditanam dilahan tersebut pohon pohon yang biasa diproduksi. Pada awalnya program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat merupakan jawaban dari persoalan terjadinya lahan kritis, namun sayangnya kegiatan kegiatan yang disuguhkan tidah sesuai dengan apa yang diharapkan. Impian untuk terus bisa bertani menjadi harapan yang sangat besar bagi masyarakat sekitar hutan, karena sumber pendapatan yang bisa mempertahankan kehidupannya dan dapat memenuhi kebutuhan keluarganya hanyalah bercocok tanam (pertanian). Saat ini belum adanya kebijakan yang menjamin maryarakat untuk pengelolaan sumber daya alam. Karena selama ini SDA di Kab. Bandung sebagian besar di kuasai dan dikelola oleh perusahaan negara, swasta nasional bahkan pihak asing. Akibat salah penerapan kebijakan, masyarakat sekitar hutan tersisihkan. Maka alternatif masyarakat sekitar hutan adalah dengan menggarap lahan hutan. Ini menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah, bagaimana reforma agraria dijalankan untuk menjadikan tatanan negara ini lebih baik, salah satunya memperbaiki tatanen, tatanian (pertanian). Karena negara ini negara agraris maka menjadi penting perbaikan struktur lahan pertanian, Karena merebaknya persoalan lingkungan hidup ini bukan semata - mata karena rendahnya kesadaran dan kepedulian masyarakat untuk menjaga lingkungan. Akar permasalahan justru bersumber dari kebijakan. Maka menjadi penting pemerintah sebagai pemangku kebijakan harus sebisa mungkin menerapkan kebijakan yang benar-benar berpihak pada masyarakat.
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
110
HUTAN LINDUNG (Hutan Titipan Bukan Warisan) Oleh: Dede Juhari31
1. GAMBARAN WILAYAH SEKITAR HUTAN GUNUNG WAYANG (DESA TARUMAJAYA, CIBEUREUM DAN CIKEMBANG) DAN GUNUNG PAPANDAYAN (DESA PACET, CIHAWUK DAN CIKEMBANG) Kondisi saat ini Gunung Wayang dinyatakan kawasan hutan lindung tidak lagi sebagai kawasan hutan produksi. Di Gunung Wayang saat ini diharuskan bersih dari penggarapan atau olah tanah dan yang diperbolehkan adalah tanaman yang sifatnya tidak boleh olah tanah atau tanaman keras. Tetapi dalam kenyataan saat ini kerusakan hutan masih terjadi akibat pengawasan kurang dan penegakan hukum masih lemah. Hutan Gunung Papandayan dikelola oleh Perhutani dan BKSDA. Kerusakan masih terjadi di kawasan Papandayan terutama di punggung areal BKSDA oleh PT CEVRON berupa pengupasan punggung kawasan BKSDA untuk pengeboran magma/panas bumi. Ini menunjukan eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan oleh perusahaan yang dinaungi oleh pihak pemerintah.
2. SEJARAH KERUSAKAN GUNUNG WAYANG Sejarah kerusakan hutan lindung dan konservasi sumber daya alam di Zona Inti DAS Citarum Hulu dari tahun 1982-1984, hutan masih cukup terkendali. Masyarakat belum mengetahui apa fungsi huatan lindung, yang diketahui masyarakat saat itu ada dua hutan yaitu; hutan produksi sebagai hutan tutup buka masyarakat bisa tumpang sari berupa sayuran selama 1-4 tahun. Hutan Pagar Alam (PA) kalau sekarang disebut daerah KSDA (Konservasi Sumber Daya Alam) hutan pagar alam berfungsi sebagai paku bumi Tahun 1984-1991, masyarakat penggarap di lahan PERHUTANI tidak mengindahkan lagi tentang tutup buka tetapi terus menerus dikuasai oleh masyarakat penggarap tanpa ada ketentuan-ketentuan yang berlaku. Peraturan diabaikan menjadi tidak menentu terutama pihak pengelola hutan produksi yaitu pihak PERUM PERHUTANI. Tahun 1991-1997, sebelum era reformasi hutan masih bisa terkendali terutama kawasan Alam/KSDA yang pada waktu itu masyarakat masih awam tentang hutan lindung dan fungsi lindung. Kedaan kondisi seperti ini lahan hutan lindung seperti disengaja oleh PERHUTANI memperluas areal hutan produksi. Masyarakat dibiarkan membabat hutan lindung dijadikan pertanian.
Pagar hutan untuk lahan
31
Penulis adalah penggarap kolam resapan di Desa Tarumajaya Kecamatan Kertasari. Aktif di Masyarakat Peduli Sumber Air (MPSA) dan sebagai pegiat di Koalisi Komunitas Korban Lingkungan Cekungan Bandung
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
111
Tahun 1997 sampai akhir 2002, pasca reformasi dengan adanya program Kredit Usaha Tani (KUT) program ini memperparah kerusakan hutan lindung dan pagar alam/KSDA. Lagi-lagi PERHUTANI membiarkan masyarakat menggarap kawasan hutan lindung dan hutan Pagar Alam/KSDA tidak luput dari penggarapan oleh masyarakat dengan dalih untuk mengatasi krisis moneter yang menimpa negeri ini. Pada waktu itu Presiden B.J. Habibie menyatakan bahwa “tidak boleh ada lahan nganggur semua harus ditanami tanaman pangan”. Bulan April 2003, terbit SK Gubernur Jawa Barat No. 522/2003 tentang penutupan tumpang sari sayuran dilahan PERHUTANI. Dari penutupan ini ada solusi Alih Komodoti, Alih Lokasi dan Alih Profesi. Sebagian masyarakat yamg tadinya menggarap lahan PERHUTANI memberanikan diri menggarap lahan perkebunan PTPN VIII Talun Santosa. Upaya penggarapan lahan ini supaya masyarakat yang tadinya menggarap di lahan Perhutani pindah ke lahan perkebunan. Tapi apa yang terjadi, lahan perkebunan gundul, lahan PERHUTANI pun digarap lagi oleh penggarap bekas garapannya masingmasing dikarenakan pihak PERHUTANI tidak jelas/konsisten terhadap penegakan hukum. Untuk mengalihkan dari hutan produksi menjadi hutan lindung bukan barang yang gampang. Mulai dari tahun 1982-1984, masyarakat Kecamatan Kertasari dan Kecamatan Pacet yang menjadi sorotan utama semua instansi yang merasa penting terhadap hutan lindung sebagai hutan penyangga. Untuk mengembalikan fungsi hutan sebagai lahan tangkapan air di kawasan zona inti DAS Citarum hulu, banyak pihak-pihak yang peduli terhadap kelestarian hutan yang sudah dinyatakan bahwa kawasan Bandung Selatan sebagai kawasan hutan lindung. Hal itu disepakati 37 instansi/pemda dan Perhutani sebagai pemangku kebijakan baik dalam keputusan maupun sebagai pengelolaan hutan. Perhutani dan pemda terkesan tergesa-gesa karena alasan desakan dari luar dan dalam yang merasa penting untuk membangun kawasan-kawasan hutan yang rusak. Pada bulan April 2003, Perhutani memasang plang peringatan yang isinya berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 522/2003 tentang penutupan tumpang sari di lahan Perhutani hampir di semua jalan yang bisa dilewati oleh masyarakat yang masuk kawasan lahan Perhutani dipasang plang tersebut. Ganti hari, ganti bulan, ganti tahun, plang mulai hilang. Masyarakat sekitar pun merasa bahwa hutan produksi sudah menjadi tempat mencari makan sehari-hari dari mulai buruh tani pedagang sampai petaninya. Puluhan ribu masyarakat yang sangat tergantung terhadap keberadaan lahan hutan yang dikelola oleh pihak perhutani. Dari tahun 1932-an masyarakat sangat menggantungkan diri terhadap lahan hutan. Ini terbukti masyarakat banyak yang berdomisili di lahan Perhutani ini menandakan bahwa masyarakat sudah merasa memiliki lahan dan sangat bergantung terhadap lahan tersebut. Apalagi latar belakang Kecamatan Kertasari lahan masyarakat lebih sempit dibandingkan lahan Perhutani dan perkebunan yang dikuasai oleh negara. Faktor manusia juga yang semakin hari semakin bertambah akibatnya, semua persoalan tersebut segalanya harus segera diatasi yang pada awalnya tidak sesuai dengan rencana walaupun sampai turun beberapa menteri ke kawasan KRPH Wayang Windu. Tapi rencana tinggal rencana, yang baru diatasi secara riil di lapangan baru satu petak saja, itupun baru penutupan belum sampai pengawasan yang terus menerus oleh ketiga belah pihak yaitu, Perhutani, desa atau pemda dan masyarakat. Sampai saat ini baru pihak Perhutani yang ingin-ingin saja tanpa upaya bagaimana supaya lahan yang dikelola oleh Perhutani itu sendiri bisa sesuai dengan pola yang sudah dipampang atau yang sudah disosialisasikan ditiap-tiap desa tentang pengelolaan hutan bersama masyarakat sesuai dengan kemauan masyarakat, perhutani dan pemda. Tapi sayangnya orientasi Perhutani lebih kepada bagi hasilnya sedangkan yang penting tidak dilaksanakan tanpa mengupayakan bagaimana supaya masyarakat lebih memiliki tempatnya sendiri. Artinya hutan milik masyarakat bukan milik bangsa lain dengan arti kata kita jangan asing di negeri sendiri. Hasil yang dikeluarkan oleh hutan lindung mulai dari air sampai untuk makanan untuk di makan. Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
112
Siapapun banyak yang tergantung pada hutan ini. Ini menandakan masyarakat jangan jadi sumber masalah. Seharusnya masyakat menjadi benteng kekuatan supaya mengelola, menjaga dan melestarikan agar hutan hijau masyarakat sejahtera. Kesalahan-kesalahan yang diulang-ulang, contoh kasus nyata di lapangan masyarakat yang menanam kayu, bagus kayunya tanpa ada penghargaan sama sekali dikarenakan yang tidak menanam kayu saja aman-aman saja. Jadi kerusakan tidak terkendali ini menunjukan tidak seriusnya Perhutani yang menjaga hutan lindung terutama di dua kecamatan yaitu kecamatan Kertasari dan Kecamatan Pacet. Walaupun Perhutani sudah membentuk LMDH, tapi Perhutani tidak transparan kepada LMDH sebagai mitra binaan Perhutani. LMDH dibentuk bukan oleh kelompok-kelompok masyarakat tapi dibentuk atas desakan bukan kebutuhan masyarakat. Alhasil terjadilah miss komunikasi yang belum tentu masyarakat setuju terhadap si A. bentukan Perhutani. Boleh dilihat pada kenyataan saat ini penggarapan lahan Perhutani sudah tidak singkron lagi, kesepakatan tinggal kesepakatan MOU tinggal MOU, ini dikarenakan pihak Perhutani tidak percaya kepada masyarakat dan desa sekitar hutan yang lebih potensial menyelesaikan masalah hutan. Perhutani tidak mengharapkan kekuatan kelompok-kelompok masyarakat sebagai personil Perhutani malah yang dibina pengurus LMDH-nya yang belum tentu sebagai panutan masyarakat atau yang dipercaya oleh masyarakat. Ini dibuktikan situasi saat ini yang namanya hutan lindung yang harus dilindungi oleh Perhutani dan masyarakat sebagai pengelola hutan lindung malah seakan-akan kembali lagi ke tahun 2002. Fungsi hutan lindung yang harus dilindungi dan memberi manfaat kepada semua masyarakat baik yang ada di hulu maupun di hilir.
3. HARAPAN MASYARAKAT DALAM MENGELOLA HUTAN Adanya penegakan hukum dengan menempatkan masyarakat sebagai benteng kekuatan untuk menjaga, mengelola dan melestarikan kekayaan alam yang berada di kawasan-kawasan hutan lindung dan putera daerah yang harus diperhatikan. Masyarakat jangan dijadikan sebagai penonton tanpa ada perhatian sama sekali dari perusahaan Perhutani sebagai pihak pengelola hutan lindung.
4. UPAYA MASYARAKAT Upaya masyarakat selama ini yang telah dilakukan: a. Pada tahun 2003 sebagian kelompok masyarakat membuat kolam-kolam resapan sebagai embung-embung air yang berada di zona inti DAS Citarum Hulu. Kolam resapan ini berfungsi untuk menampung air di musim hujan sebagai cadangan pada musim kemarau, serta bisa dimanfaatkan sebagai tempat peternakan ikan untuk menambah penghasilan masyarakat dan menambah protein masyarakat. Dari segi lingkungan kelompok kolam resapan ini sudah menampung air di musim hujan trilyunan liter air. b. Penanaman rumput gajah yang dilakukan oleh kelompok peternak sapi perah. Rumput gajah selain dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak juga berfungsi sebagai penguat tanah sehingga tidak mudah erosi. c. Penguatan kelompok tani dilahan Perhutani petak 71 melalui Focus Group Discussion (FGD) dan pelatihan-pelatihan. d. Penanaman pohon secara swadaya oleh kelompok. e. Untuk mengurangi ketergantungan terhadap kayu bakar, mendorong kelompok peternak membuat bio-gas mini yang bahannya terbuat dari plastik ini sudah tersebar di enam desa Kecamatan Kertasari. f. Mendorong pemerintah untuk membuat septic-tank bio-gas komunal di beberapa titik sebagai percontohan supaya kelompok peternak melakukan hal yang sama untuk mengurangi beban pengeluaran dan pengambilan kayu bakar yang berasal dari kawasan hutan lindung. Upaya ini sudah dilakuakn oleh pihak pemerintah, terutama oleh dinas-dinas yang bersangkutan dengan program lingkungan. Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
113
g. Limbah ternak sapi yang sudah keluar dari reaktor bio-gas yang sudah tidak mengandung gas diolah dijadikan pupuk organik untuk pupuk dasar pertanian sayuran dan tanaman keras h. Melakukan pembuatan pakan ikan yang berasal dari sampah rumah tangga dan sampah pasar untuk mengurangi beban DAS Zona Inti Sungai Citarum Hulu. Dari sudut manfaat sampah kalau sudah dikelola secara benar dapat menjadi penghasilan bagi masyarakat, bisa menyerap tenaga kerja untuk mengurangi angka pengangguran dan untuk menjaga kelestarian lingkungan.
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
114
BERITA DARI KAWAN TUJUH HUTAN CEKUNGAN BANDUNG (Sebuah Catatan dari Perjalanan Jelajah Tujuh Gunung di Cekungan Bandung) Oleh: Madani32
pa jadinya kalau orang gunung sudah kebanjiran, kelaparan, tak punya pekerjaan, krisis kepercayaan, kehilangan kebudayaannya sendiri, tak boleh lagi mengelola hutan dan hanya dijadikan objek yang selalu disalahkan terhadap segala kerusakan hutan. Hal itu ternyata terjadi dan dialami oleh masyarakat yang berada di beberapa daerah pinggiran hutan 7 gunung di Bandung. Ada apa dengan hutan dan gunung? Ironis sekali, kenapa orang gunung mengalami persoalan yang tak seharusnya terjadi? Di sisi lain permasalahan yang terjadi telah menimbulkan kesenjangan, saling menyalahkan antara daerah hulu dan daerah hilir, dan seabrek persoalan-persoalan yang akhirnya energi habis terbuang tanpa mendapatkan solusi yang maslahat bagi kedua belah pihak (masyarakat dan pemerintah). Kenapa ada dua pihak yang disebutkan? Jawabannya adalah karena persoalan tersebut bertumpu pada dua subjek tersebut. Hutan adalah sumber potensi ekonomi bagi masyarakat yang berada di kawasan sekitarnya. Bagaimana cara melestarikannya tergantung bagaimana pula masyarakat di sekitar mempunyai tanggung jawab untuk mengelolanya. Sebagus dan secanggih apapun program dari pemerintah tanpa partisipasi masyarakat didalamnya, akhir-akhirnya hutan tetap tidak hijau bahkan masyarakatnya pun mengalami bencana-bencana. Longsor yang terjadi di Cirumamis, Desa Bojong Salam Kecamatan Rongga terjadi karena ada tata kelola hutan yang salah. Kang Apud warga Kp. Cirumamis menuturkan kepadaku lahan yang seharusnya dijadikan lahan konservasi, kok ditanami pohon pinus? Padahal kampung-kampung masyarakat yang ada disekitar daerah tersebut berada di tebing-tebing bahkan dalam apitan bukitbukit yang menjulang disekelilingnya. Kerusakan hutan berawal dari penebangan pohon-pohon pinus yang dilakukan oleh Perhutani secara besar-besaran, kemudian sebagian masyarakat memanfaatkan bekas tebangan tersebut dengan melakukan olah tanah untuk tumpang sari. Sebetulnya sejak dulu seharusnya hutan tersebut pengelolaannya harus oleh Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), karena kecocokkan hutan tersebut harusnya dijadikan hutan lindung. Lain halnya dengan Hutan Buru Gunung Masigit Kareumbi. Kerusakan berawal dari pelimpahan HGU (Hak Guna Usaha) yang salah sasaran. Seharusnya saat HGU Perhutani usai, pengembalian urusan pengelolaan tersebut kepada BKSDA, karena hutan tersebut adalah hutan lindung. Menurut Eem warga Leuwi Liang, kurang lebih seluas 12.008 Ha hutan Kareumbi Masigit dahulu adalah hutan lindung (eks). Petugas lapangan tidak tetap BKSDA itupun menuturkan bahwa kondisi saat ini Hutan Masigit Kareumbi setelah pengelolaannya dikerjasamakan dengan Perum Perhutani menjadi dua wilayah yaitu hampir 60 % menjadi hutan lindung dan sebagiannya lagi hutan produksi. Sama halnya dengan apa yang dikatakan oleh Uwa warga Leuwi Liang semasa pengelolaan Perhutani sebagian masyarakat banyak yang merasa diuntungkan, karena mempunyai pendapatan sampingan dari hasil sadapan getah pinus.
32 Penulis adalah warga Kp. Sukasari Ds. Cibeureum Kec. Kertasari yang merupakan wilayah Gunung Wayang sebagai hulu Sungai Citarum. Aktif di Radio Komunitas Citra 107,9 FM, Pusat Sumber Daya Komunitas (PSDK) dan di Koalisi Komunitas Korban Lingkungan (K3L) Cekungan Bandung.
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
115
Sebetulnya tidak ada permasalahan bagi masyarakat sekitar semasa pengelolaan hutan Masigit Kareumbi oleh Perhutani dan BKSDA. Namun setelah pengelolaan hutan tersebut dikerjasamakan dengan PT. Prima Sakti, Hutan Masigit Kareumbi menjadi rusak. Menurut data dari Ujang Sar’um, pada prinsipnya izin Taman Buru Masigit Kareumbi untuk pengelola atau perusahaan adalah untuk penyelenggaraan usaha sarana prasarana perburuan serta kegiatan berburu di Taman Buru yang juga berkewajiban untuk menjaga kelestarian fungsi Taman Buru dan satwa yang terdapat didalamnya (pasal 14 huruf i keputusan Menteri Kehutanan No. 591/kpts-II/1996), surat balasan Sekertaris Jendral Kementrian Kehutanan No : 733/II-KUM/1998 yang ditujukan kepada Direktur Utama PT. Prima Sakti Multi Jasa Sarana}. Pengelolaan Hutan Masigit Kareumbi oleh PT. Prima Sakti pada awalnya memang seperti demikian bahkan pernah mendatangkan binatang-binatang untuk pengadaan kebutuhan Taman Buru sebagai objek wisata. Padahal itu hanya untuk mengelabui warga saja ungkap Ujang Sar’um. Tapi dengan kekuatan tersebut ternyata perusahaan tersebut melakukan praktek Illegal loging besar-besaran. Setelah terbukti mereka bersalah ternyata hukum yang harusnya menindak secara tegas malah menjatuhkan hukuman yang tak setimpal dengan perbuatannya. Pelaku kasus illegal loging Hutan Masigit Kareumbi ditangani dan diproses hukum oleh yang berwajib. Selain dari pihak PT. Prima Sakti dalam hal ini penanggung jawab lapangan Yudi Iskandar diganjar hukuman penjara yang kemudian bebas dengan jaminan uang sekitar Rp 100.000.000,- . Hal lain yang menjadi permasalahan adalah ternyata dari sisi kebijakan pemerintah, desa yang harusnya mempunyai kewenangan untuk turut mengatur pengelolaan hutan seakan tidak mau ikut campur. Ate Sekretaris Desa Sindulang, menurutnya sejak jaman dahulu warga masyarakat memang ketergantungan akan hutan, setelah ada Perhutani dengan pengelolaan getah pinus pun hanya sebagian masyarakat saja yang menikmati itu, kasus yang terjadi memang dilakukan oleh PT. Prima Sakti. Permasalahan itu tidak membingungkannya karena permasalahan tersebut urusan perum dan pemerintah pusat, tidak ada hubungannya dengan pemerintah desa. Begitupun dengan kawanku yang berada di Gunung Wayang, pemerintah desa hanya bisa mendesak supaya petani penggarap hutan turun sesuai SE Gubernur Jawa Barat No. 522/2003, tapi hanya bisa menurunkan saja karena dalam proses dampingan program penanggulangan akibat dari turunnya petani, tiga opsi (alih lokasi, alih komoditi dan alih profesi) tidak efektif. Kawanku Dede warga Kp. Sukasari anggota Kelompok Tani Hutan (KTH) Sukasari mengatakan, “aneh naha ari kasalahankasalahan Perhutani meni teu di ungkit-ungkit, ari ka perambah meni diudag-udag komo tepi di duduki polisi?” (aneh, kenapa kesalahan-kesalahan Perhutani tidak diungkit-ungkit sedangkan perambah dikejar-kejar malahan sampai diduduki polisi). Penegakkan hukum yang tidak adil buat masyarakat, karena kerusakan yang terjadi berawal dari ”pembukbakan” (awal penebangan pohon) besar-besaran yang dilakukan oleh Perhutani dengan alasan pembaruan hutan pinus yang sudah tua, ungkap Wa Oon warga Cibeureum yang pernah menggarap hutan dari masa ke masa. Terus lagi waktu ada proyek SUTET daerah Blok Sada Tapa pun mengalami penebangan pohon-pohon yang sudah keluar dari aturan dan itupun masyarakat yang menjadi sasaran yang disalahkan, padahal masalah tersebut sebenarnya sudah menjadi rahasia umum yang melakukan illegal loging untuk SUTET adalah Perhutani. Di Gunung Reregan Cimaung Banjaran, Kang Ahmad Kurnia telah menjalankan sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Perhutani dengan LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan)-nya dalam proses pengelolaan hutan bersama masyarakat, namun secara teknis dilapangan baik dari awal; penurunan perambah sampai sekarang program-program rehabilitasi kadang-kadang salah waktu, kemarau reboisasi, bibit pohon-pohon tidak sesuai dengan yang diharapkan bahkan tidak sesuai dengan apa yang telah menjadi plot bibit dari pemerintah. Perhutani seakan-akan tidak memperhatikan secara serius terhadap petani penggarap, beda halnya dengan Pemerintah Daerah Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
116
Kabupaten Bandung yang mempunyai program GRLHLK di lahan kritis milik masyarakat, ungkap Pak Oting. Di Cipelah Kecamatan Rancabali, kondisi hutan hampir sama dengan hutan lainnya, lagi-lagi kerusakan berawal dari penebangan hutan produksi oleh Perhutani. Cucu Pak Ahmad di Kp. Cipelah pernah berurusan dengan pihak berwajib karena menebang tiga pohon untuk keperluan rumah, tapi kenapa pihak yang berwenang melakukan penebangan yang besar tidak di apa-apakan? Pak Enjang Harun warga Kp. Cijagong Desa Sukarame Kecamatan Pacet memaparkan bahwa kerusakan hutan diakibatkan karena perambahan oleh masyarakat akibat dari gundul oleh peluru canon jaman sejarah perjuangan. Kemudian terbawa arus kecemburuan dari masyarakat daerah lain yang serasa bebas menggarap lahan hutan dan persoalan yang hampir sama juga dengan gununggunung yang lain yaitu kurangnya akses lahan. Selanjutnya Pak Enjang menjelaskan penyebab tidak suksesnya program-program rehabilitasi hutan, antara lain: pertama, program tidak bisa diserap oleh masyarakat secara utuh utamanya oleh petani penggarapnya. Kedua, masih mengharapkan adanya tumpang sari. Ketiga, pelibatan masyarakat kurang dalam proses perumusan programnya. Beliau berharap agar gunung/hutan dikembalikan pada masyarakat untuk pengelolaannya. Perjalanan terakhirku di Kecamatan Ibun Batugandawesi, Cijangkar, Legoktangkalak, Cibentang, Cigincu, Monteng. Kerusakan hutan berawal dari penebangan hutan produksi yang dilakukan oleh Perhutani yang berdampak luas pada gundulnya hutan dan berkurangnya debet air, dan terjdi banjir bandang yang menghanyutkan rumah dan jembatan. Tabel 1. Peta Pelaku Penyebab Kerusakan Hutan PELAKU PERHUTANI
KEPENTINGAN Produksi
Sebagian masyarakat
Ekonomi/untuk bertahan hidup
PERAN DALAM PERUSAKAN Perhutani sebagai pemilik proyek, pelaksana lapangan masyarakat yang diupah untuk kerja. Sebagai penebang, namun ditenggarai ada oknum petugas Perhutani yang terlibat. (lemahnya kinerja petugas Perhutani)
Tabel 2. Program dan Kebijakan dalam Memperbaiki Kondisi Hutan dan Tingkat Keberhasilanya WAKTU
PROGRAM Reboisasi
19851987
Reboisasi dengan tumpang sayuran PHBM
19992003
2003
SE 522
sari
DESKRIPSI KONSEP TINGKAT KEBERHASILAN Hutan gundul yang tinggal semak Kurang berhasil, pertumbuhan terhambat belukar dibabat berjalur, jaluran oleh semak belukar tersebut ditanami dengan pohon pinus Masyarakat dibolehkan x Kurang berhasil menggarap lahan hutan (sewa) x Bibit tidak mencukupi dengan catatan harus menanam x Waktu tumpangsari singkat. (tanaman pinus masih kecil semak keburu tinggi) Masyarakat dibolehkan x Berhasil menggarap lahan hutan (sewa) x Bibit mencukupi dengan catatan harus menanam x Waktu tumpang sari relatif lama. pinus (tegakan sudah besar ketika tumpang sari berhenti). Masyarakat yang menggarap x Tidak berhasil memperbaiki kerusakan lahan hutan harus segera hutan menghentikan garapannya, tidak x Hutan terlantar, terjadi penebangan liar boleh lagi tumpang sari sayuran. dan kebakaran hutan.
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
117
2003
GNRHL
Dibentuk beberapa kelompok tani hutan untuk melaksanakan proyek penghijauan.(pembuatan jalur tanam, lubang tanam, pengangkutan bibit,penanaman dan pemeliharaan)
2004
GRLK
2005
PHBM
Bibit disediakan oleh Disbun dan diserahkan pada fasilitator di tingkat desa.. Oleh fasilitator bibit langsung dibagikan pada masingmasing pemilik lahan Masyarakat boleh menggarap x Untuk hutan /Perhutani sejauh ini lahan Perhutani dengan cukup berhasil tumpangsari tanaman kopi dan x Mengurangi tingkat penjarahan kayu lainya yang dibolehkan yang x Untuk masyarakat, PHBM ini menjadi tidak memerlukan olah tanah masalah karena kopi memerlukan secara terus-menerus waktu yang relatif lama untuk mencapai panen.
x Tidak berhasil x Bibit datang menjelang kemarau x Sistim proyek, orientasinya untung/rugi, kerja borongan, terkesan asal-asalan x Kualitas bibit jelek x Kurang pemeliharaan dari pihak-pihak terkait x Kurang berhasil x Bibit datang menjelang kemarau x Kualitas bibit jelek
Tabel 3. Dampak Intervensi Program pada Tatanan Sosial dan Budaya Masyarakat PROGRAM SE 522 2003
PHBM 2005
URAIAN DAMPAK Masyarakat tidak bisa melakukan tumpang sari di lahan Perhutani, kehilangan mata pencaharian, tidak memiliki penghasilan yang tetap, daya beli masyarakat melemah, kesejahteraan masyarakatpun menurun. x Pada awalnya masyarakat cukup antusias menyambut program ini, namun setelah berjalan kira-kira satu tahun, masyarakat mulai mengeluh dari mana untuk mencukupi kebutuhan hidupnya selama menunggu panen kopi. x Masyarakat yang biasa tumpang sari sayuran tidak bisa melakukan alih komoditi secara sekaligus.
Tabel 4. Pandangan Masyarakat terhadap Konsep dan Praktek-Praktek Program Pemerintah/Perhutani dalam Rehabilitasi Lahan Kritis dan Pengelolaan Hutan PROGRAM SE 522 /2003 PHBM 2005
GNRHL & GRLK
PANDANGAN Kurang efektif Tidak berpihak pada masyarakat Kurang berpihak pada masyarakat Tidak sesuai dengan kebiasaan masyarakat Tidak efektif Hanya menghambur-hamburkan uang negara
HARAPAN Cabut SE 522/2003 Masyarakat diperbolehkan melakukan tumpang sari sayuran selama menunggu kopi bisa dipanen Masyarakat disediakan bibit untuk ditanam dilahan hutan, dengan catatan masyarakat boleh tumpang sari sayuran selama menunggu kopi dipanen
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
118
Dari puncak-puncak ketinggian,suara ini berseteru menjadi satu gelombang ”tunggu aku dalam keheningan hijau apel di kaki-kaki langit Bandung”.
ANTOLOGI CURHAT CITARUM LEWAT SMS Curhat dalam SMS : Abu nuju sono dibales ku Aten Abu Rifal : imut anjeun meni manjang, geulis! Anjeun kumolebat sakedapan lebah arak2an awan Terus ngereles lebah paamprokna Cisanti jeung Citarum Aten : Sieup pisan silayung dina sonten ieu kasep. Da bewara anu katampa teu bisa mere imut nu manjang sabab Cisanti jeung Citarum caina siga ninggalken paninengan iraha rasa kasono ditepungken. Curhat aten ka raina : Aten : Bandg...panas d, skls p’putaran cuaca sdh td mjd indktr, aqpun td bs bsandar kmbl pd pohon brngin saat lelah mdkapku, apakah dsana sperti bdg jg, d ..? Jawaban SMS dari Tuti Utari (Bu Guru SMK Baleendah) Aten : makash.., mga qt bs mlukis cekrma dbeningnya Citarum, slama kekuatan dn kbranian msh mnghiasi ranah brpkr qt, harapan itu bkn hnya pnorama tp krinduan dlm teranyata Sms rindu : Aten
: kubw rindu kepunck gng wyang malam ni ..cha,pendakian ini hnya sjnak krn tanpa blukar menyimpn byangmu..!knapa sulit rsnya menaklukn htmu, tk smudh menaklukn punck gng wyang?
Sms Rindu di Gunung Ibun (Sindang pala) Aten : Sry madm...m’late agn. Ad rona mrana, ad sabuk m’lingkar, ad rndu m’nusuk, ad hrpn yg trsisa. Bskh qt mngjar lampu2 mlam bukit kmojng lg?aknkh jejak2 itu kmbl?sebab .. (lanjutan) sat wkt menepi, ktrlmbtn itu hnya jd penyesln. Aq brhrp bi2r yg trucap hrs bs mmbuahkn syap. Nada yg prnh mngalun hrs mjd irama pmandu dr klmbutn wirahmnya. Icha : oia,lupa tlg smpaikn slam kngenku tuk bukit b’bintg, sabuk m’lingkar,n’ tbing b’bukit itu, srta krmhan mnusiannya, katakn smpn knangan dl sprt ku mngingatnya..
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
119
GERENTES HATE Gerentes hate ieu lir upama kingkilaban ngusap gulidagna cai jeng taneuh nu mapay-mapay lembur, mepende tingkaroceakna leuweung anu nyorangan ngabrang-brangkeun runtah anu pada ngusir teu ditarima kubumi ngeprak-ngeprak limbah tong milu ka cai, da cai geus dipenta ku PLN duhh ..peurih, kagambar dina silayung pasosore kamana nitipken rasa, lamun rasa geus teu di piboga kamana meberken layar lamun angin geus teu jadi Sa-Udara hayang... teh, nanyakeun ka curuk nu sok tutunjuk naha sok nununjuk? Da geuning teu rumasa lamun ditutunjukmah na teu era ku indung leungeun? Anu depe-depe. Ngadon cape ngabudal, ciga sirah cai anu ditandasa ciga leuweung anu di perkosa ciga gunung anu balaga ciga talaga anu sangsara ciga sampah anu marakayangan Ciga gerentes hate anu eureun, sabab caritana kawengku. Dan Aten Madani Gerentes hate 24 Mei 2007
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
120
TENTANG PENULIS
l.
Madani. Dadan Ahmad Hamdani nama lengkapnya. Aktif sebagai pegiat Kelompok Pencinta Alam Wanapasa dan Radio Komunitas Citra FM di Kampung Sukasari Desa Cibeureum Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung. Keprihatinannya terhadap kerusakan kawasan hutan di Gunung Wayang Kabupaten Bandung mendorong lajang berusia 30 tahun ini untuk menjadikan Wanapasa dan Radio Citra FM sebagai alat penyadaran dan pengorganisasian masyarakat. ”Masyarakat harus diberi akses mengelola lahan hutan secara legal agar mereka tergerak untuk merehabilitasi dan menjaga kelestarian hutan”, itulah tekad dari pegiat Divisi Hutan dan Air Koalisi Komunitas Korban Lingkungan (K3L) Cekungan Bandung ini. Obsesinya untuk mendalami konsepsi masyarakat sunda tentang tata pemerintahan dan pengelolaan dan pelestarian sumberdaya alam membuatnya besemangat untuk menjelajahi pegunungan–pegunungan di seputar Cekungan Bandung.
1. Khadafi. Meski kuliah di Jurusan Syariah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Siliwangi di pusat kota Bandung namun tidak mengurangi keterlibatannya dalam melakukan advokasi persoalan lingkungan hidup di kampung halamannya. Aktif di Kelompok Pencinta Alam WANAPASA dan Radio Komunitas Citra. Pemuda kelahiran Kp. Sukasari Desa Cibeureum Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung Tahun 1981 ini terus berupaya untuk terlibat dalam perbaikan kondisi lingkungan hidup Hulu Sungai Citarum. Selain melakukan kampanye dan pengorganisasian, Dafi ,demikian panggilannya, juga aktif mendorong pemerintahan setempat untuk memasukkan agenda penyelesaiaan masalah lingkungan hidup dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) yang akan menjadi landasan penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten. ”Suatu saat mungkin saya harus menjadi Kepala Desa, agar arah pembangunan desa berpihak pada masyarakat miskin, perempuan dan pelestarian lingkungan hidup” ujarnya anggota Divisi Hutan dan Air Koalisi Komunitas Korban Lingkungan (K3L) ini mantap.
2. Heri Ferdian. Tidak pernah menolak untuk dikatakan sebagai perambah lahan hutan, karena faktannya, Heri memang menggarap sebidang tanah di areal hutan Gunung Wayang di Kawasan Bandung Selatan. Seperti sebagian besar masyarakat di Kampung Goha, Desa Tarumajaya Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung, jejaka lulusan Sekolah Teknologi Menengah (STM) Wirakarya Ciparay ini juga memanfaatkan lahan hutan sebagai sandaran ekonominya. “Masyarakat sekitar hutan seperti di Kecamatan Kertasari ini, tidak mungkin bisa dipisahkan sumber kehidupannya dari areal hutan. Jangan memandang penggarapan lahan hutan sebagai tindak kriminal yang harus dipenjarakan. Gagalnya perbaikan kondisi hutan yang rusak di Hulu Sungai Citarum karena Perhutani gagal melibatkan masyarakat dalam mengelola lahan hutan” papar anak bungsu kelahiran tahun 1984 ini. Sebagai petani penggarap yang mendambakan hijaunya kembali Gunung Wayang, Heri menerapkan pola tumpang sari dengan menanam kopi dan kayu sebagai tanaman jangka panjang. Aktivitas lainnya adalah sebagai pegiat Masyarakat Peduli Sumber Air (MPSA) dan pengelola data base pada Pusat Sumberdaya Komunitas (PSDK) Kabupaten Bandung dan Koalisi Komunitas Korban Lingkungan (K3L).
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
121
3. Dede Juhari. Bapak tiga anak ini adalah petani penggarap yang mengembangkan kolam resapan pada areal Perhutani di Gunung Wayang. Dije, demikian sapaan akrabnya termasuk orang yang sangat concern dengan persoalan lingkungan di Zona Inti DAS Citarum Hulu. Selain mengembangkan kolam resapan, dia juga membidani kelahiran organisasi Masyarakat Peduli Sumber Air (MPSA) di Kecamatan Kertasari. Warga Kampung Babakan Citarum Desa Tarumajaya Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung ini juga getol mendesak dinas dan instansi terkait di Provinsi Jawa Barat agar realisasi program–program rehabilitasi di Hulu Sungai Citarum melibatkan masyarakat lokal. ”Masyarakat lokal jangan di hanya cap sebagai perusak lingkungan tanpa diajak bicara. Sebenarnya masyarakat lokal memiliki potensi besar untuk melakukan perbaikan kondisi lingkungan hidup kalau dilibatkan secara maksimal. Sayangnya selama ini program penanganan Hulu Sungai Citarum banyak didominasi oleh pihak luar daerah. Mereka pada umumnya hanya memanfaatkan program–program itu untuk kepentingan sendiri”, gugat lelaki kelahiran 15 Januari tahun 1966 ini. 4. Udin Saripudin. Petani kopi di lahan hutan seluas 1 hektar di Kawasan Gunung Guntur Desa Mekarwangi Kecamatan Ibun Kabupaten Bandung ini memiliki obsesi menjadi seorang pengacara. Tekad ini didorong oleh rasa prihatin terhadap praktek penegakan hukum lingkungan yang masih pandang bulu. ”Penjahat lingkungan baru identik dengan masyarakat yang menggarap sebidang tanah di lahan Perhutani atau menebang sebatang pohon di hutan saja. Banyak pelaku perusakan lahan konservasi dalam skala luas di kawasan Bandung Utara yang lolos dari jerat hukum bahkan terkesan mendapat perlindungan hukum” ungkap pria jangkung kelahiran 6 April 1982 ini. Dalam rangka mencapai obsesi tersebut, Sarjana Hukum Islam lulusan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Yapata Aljawami tahun 2005 ini, tengah mengikuti Kursus Bantuan Hukum Struktural yang diselenggarakan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung. Di tingkat lokal, bersama rekan–rekan sekampungnya, Udin mendirikan organisasi pemuda yang bernama Samsaka dan Kharisma. 5. Mulyana. Pendidikan formalnya hanya sampai kelas satu sekolah dasar. Bapak satu anak kelahiran 9 september 1977 ini kegiatannya sebagai aktivis gerakan tani sejak tahun 1997 membawa Moel berkeliling Jawa Barat, melakukan pendampingan terhadap para petani yang dirampas haknya. Dalam kurun waktu tahun 1998 – 1999, penduduk Kampung Cikoneng Desa Cileunyi Kulon Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung ini ”mesantren” selama 8 bulan di Lembaga Pemasyarakatan Cianjur . Dia ditahan dan diadili bersama belasan petani dari Kecamatan Agrabinta di Cianjur Selatan dalam sengketa tanah antara rakyat tani dengan PT. Perkebunan Nusantara VIII. Kini Moel lebih berkonsentrasi mengelola lahan garapannya di kaki Gunung Manglayang. Bersama dengan pegiat lingkungan di Desa Gunung Manglayang, dia mendirikan Forum Manglayang sebuah organisasi yang punya konsen terhadap pengelolaan sumberdaya alam di Manglayang. ”Lamun masyarakat teu meunang ngiluan ngelola leuweung, kajadian kalaparan jiga di Palintang pasti bakal ngalobaan ” ungkapnya dalam bahasa sunda. 6. Muhammad Effendi. Akrab di panggil Pandi. Adalah seorang petani penggarap lahan hutan di Desa Cileunyi Wetan. Disamping bertani, Bapak tiga anak ini mencoba mewujudkan cita-citanya untuk menjadi guru setelah mengenyam pendidikan di PGSD D-II. Kesempatan pun datang padanya dan memulainya dengan menjadi guru honorer di SDN Yasahidi II dan tutor Keaksaraan Fungsional (KF). Disela-sela kesibukannya, pria yang tinggal di Kp. Cibeusi Cileunyi Wetan ini pun aktif sebagai Kader Kesehatan Lingkungan (Kesling). Disamping itu, kegelisahannya terhadap persoalanpersoalan lingkungan hidup yang tidak pernah mencerminkan keadilan bagi masyarakat korban Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
122
maupun keadilan bagi lingkungan mendorong dia untuk aktif di sebuah organisasi yang dibentuk oleh masyarakat di kaki Gunung Manglayang, bernama Forum Manglayang. 7. Umar Alam Nusantara. Nama yang identik dengan lingkungan hidup. Jalan hidupnya pun terbilang unik. Lahir tanggal 5 Januari 1975 di Majalaya Kabupaten Bandung. Lulus dari Jurusan Komputer Politeknik ITB Bandung tahun 1999, sempat bekerja pada Divisi Teknologi Informasi pada kantor BNI di Jakarta selama 3 tahun. Tahun 2005 merintis usaha sebagai pedagang gorden di Pulau Bangka namun tidak bertahan lama karena memilih kembali konsentrasi dengan tugasnya sebagai Ketua Komunitas Peduli Lingkungan (KPL) Majalaya sampai sekarang. Pemuda yang tinggal di Kampung Saparako Desa Majalaya Kecamatan Majalaya Kabupaten Bandung ini, memiliki obsesi yang kuat untuk melakukan pemberdayaan dan penguatan masyarakat marjinal. Marjinalisasi masyarakat bawah adalah keseharian yang ditemuinya di kawasan Majalaya sebagai basis industri di Kabupaten Bandung. Kepentingan pemilik modal yang sangat kuat telah meminggirkan kepentingan penduduk lokal terhadap lingkungan hidup yang baik. Selain memiliki concern terhadap persoalan lingkungan hidup, Umar juga aktif di organisasi Generasi Muda Majalaya (GMM) serta turut membidani lahirnya Paguyuban Becak Majalaya. Di tingkat yang lebih luas, pemuda lajang ini juga menjadi Koordinator Divisi Advokasi pada Pusat Sumberdaya Komunitas (PSDK). ”Penegakkan hukum lingkungan hidup harus dimulai dengan menangkap dan mengadili para penjahat lingkungan kelas kakap. Mereka adalah para pemilik modal yang telah menimbulkan kerusakan lingkungan dalam skala luas dan para birokrasi yang telah memberi jalan pada tindak kejahatan lingkungan tersebut” Ujar Koordinator Koalisi Komunitas Korban Lingkungan (K3L) itu dengan nada geram. 8. Deni Riswandani, S.Sos. Menjadi guru spiritual pada Majelis Zikir Attoyibah tidak mengikis kepeduliannya terhadap permasalahan pencemaran limbah industri di Majalaya. Alumnus Fisipol Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak tahun 1999 ini merupakan korban langsung dari perilaku industri pencemar di kawasan industri terbesar di Cekungan Bandung. Pada awal tahun 2005, bersama dengan masyarakat Majalaya lainnya melakukan penelitian partisipatif tentang permasalahan pencemaran. Upaya ini dilanjutkan dengan pembentukan organisasi Komunitas Peduli Lingkungan (KPL) Majalaya pada tanggal 27 Maret 2005. Melalui organisasi KPL inilah gerakan perlawanannya terhadap para industri pencemar terus berlanjut. ”Tekanan dan intimidasi adalah hal yang biasa kita temui dalam praktek advokasi di lapangan. Sebagai masyarakat korban yang memiliki pemikiran kritis, kita tidak boleh berhenti berjuang. Nasib suatu kaum hanya dapat dirubah oleh dirinya sendiri.” Papar pria kelahiran Majalaya Juni 1972 ini tenang. 9. Wulandari. Adalah satu dari sedikit aktivis gerakan mahasiwa 98 yang memilih kembali ke kampung halamannya. Kembali ke kampung bukan berarti berhenti menjalankan cita–cita perubahan. Lulus dari IKIP Bandung Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan tahun 2001 Wulandari langsung terlibat dalam dinamika sosial di Majalaya. Kiprahnya di mulai membentuk Forum Masyarakat Majalaya Sejahtera (FM2S) dengan fokus perhatian pada pada penyelesaian permasalahan lokal Majalaya baik dengan cara pengorganisasian masyarakat maupun melalui kerja advokasi perubahan kebijakan. Meski sudah dikaruniai satu orang putra berusia 3 tahun, Wulan, masih terus melakukan kerja- kerja tersebut. Tahun 2002 bersama dengan para tokoh masyarakat Majalaya mendirikan Radio Komunitas Majalaya Sejahtera yang lebih dikenal sebagai Radio MASE. Tidak berhenti di situ, melihat kerusakan lingkungan hidup Majalaya yang semakin parah akibat pencemaran limbah cair dan batubara, perempuan kelahiran 6 Januari 1979 pun memfasilitasi masyarakat korban untuk mengorganisir diri dalam sebuah organisasi yang bernama Komunitas Peduli Lingkungan (KPL). Pernyataannya di sebuah media massa nasional tentang Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
123
praktek suap oleh pabrik pencemar terhadap oknum petugas Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bandung mengundang kemarahan Kepala Dinas Lingkungan Hidup. Wulan pun didatangi oleh tiga orang staf dinas dan diminta menghadap sang kepala dinas. Permintaan itu tidak digubris. Upayanya membongkar kolusi dalam praktek pengawasan limbah pabrik terus dilakukan bersama para pegiat KPL. ”Keyakinan bahwa yang dilakukan ini adalah benar serta akan membawa dampak baik terhadap Kota Majalaya dan warganya, membuat saya bertekad terus melangkah, apalagi saya mendapat dukungan penuh dari suami” ujar warga Kampung Kondang Majalaya yang oleh para pegiat K3L akrab dipanggil Bu Haji ini. Di tingkat yang lebih luas, Wulan terlibat di Perkumpulan Inisiatif sebagai Kepala Divisi Penguatan Inisiatif Lokal. 10. Euis Widia. Meski tidak secara khusus mendalami wacana gender, kodratnya sebagai perempuan tak menghalangi Euis untuk melakukan kegiatan yang beresiko. Perempuan lajang kelahiran 19 November 1977 ini dikenal sebagai salah satu pegiat Komunitas Peduli Lingkungan (KPL) Majalaya yang aktif menentang praktek pencemaran oleh pelaku industri di Majalaya. Langkahnya ini sempat menuai reaksi balik dari pihak industri maupun aparat pemerintah yang merasa terganggu. Namun anggota organisasi Generasi Muda Majalaya (GMM) ini tetap bergeming. ”Jika kita berhenti maka tidak akan pernah ada keadilan terhadap para korban pencemaran dan Kota Majalaya tidak akan pernah bisa menghadirkan kondisi lingkungan yang sehat bagi warganya” papar dara lulusan SMEA Muhammadiyah Majalaya tahun 1996 ini. 11. Atep Kamaludin Alramadhan. Disela kesibukannya mempersiapkan ujian Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB), Akmal, masih menyempatkan diri untuk menulis. Lelaki muda yang lahir pada tanggal 13 Maret 1986 ini, merupakan salah satu anggota Komunitas Peduli Lingkungan (KPL) Majalaya. Kesadarannya untuk melakukan advokasi terhadap pesoalan lingkungan hidup tumbuh karena posisinya sebagai korban langsung dari pencemaran industri di Majalaya. Kesadaran itu semakin berkembang setelah mengikuti Pelatihan Pendamping Masyarakat Bidang Lingkungan Hidup yang diselenggarakan oleh KPL. Akmal pun mulai mengembangkan kesadaran yang sama di kalangan Gerakan Pramuka yang selama ini di binanya. ”Dasa Darma Pramuka sesungguhnya mengajarkan hal yang sama, namun penerapannya saja yang masih tertinggal jauh”, ujar Alumnus SMK Karya Pembangunan 1 Majalaya ini. 12. M. Jefry Rohman. Kiprahnya dalam persoalan lingkungan hidup setelah terlibat sebagai panitia Pameran Lingkungan Hidup Tingkat Jawa Barat yang diselenggarakan oleh Warga Peduli Lingkungan Hidup (WPL) pada tahun 2003. Semenjak itu lelaki bujang kelahiran Bandung, 8 Agustus 1977 ini merasa tergerak untuk terlibat dalam advokasi permasalahan lingkungan hidup. Pada tahun 2005 bersama pegiat lingkungan dari beberapa komunitas yang concern dengan persoalan Citarum mendirikan Pusat Sumber Daya Komunitas (PSDK) yang berkedudukan di Baleendah Kabupaten Bandung. Hingga kini lulusan Madrasah Tsanawiyah Al Ikhlas Bojongkunci Kecamatan Pameungpeuk ini masih dipercaya sebagai koordinator. Isu Persampahan merupakan bidang yang menjadi perhatian khusus. Dalam dinamika advokasi persampahan di Cekungan Bandung dia terlibat aktif mendampingi warga Citatah yang menolak pembangunan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah pada awal tahun 2006. 13. Rival Zaelani. Para pegiat K3L Cekungan Bandung sering memanggilnya Si Bungsu. Mungkin karena perawakannya kecil mungil dan tingkahnya yang terkesan innocent. Namun dibalik kesan itu, Rival termasuk pemuda yang memiliki peran penting dalam dinamika di kampungnya. Jabatannya adalah sebagai Ketua Karang Taruna Desa Rancamanyar Kecamatan Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
124
Baleendah Kabupaten Bandung. Tumbuh dan berkembang di pemukiman yang berhadapan langsung dengan Sungai Citarum membuat lelaki kelahiran Bandung 24 Mei 1983 dan mahasiswa Jurusan Syariah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Yamisa Baleendah ini sangat akrab dengan permasalahan Citarum sehari–hari. Pendangkalan, banjir, bau limbah dan sampah adalah pemandangan yang hadir setiap hari di hadapan matanya. Kondisi tersebut membawanya terlibat dalam pengembangan program Kawasan Bersih Warga Mandiri (KBWM) di Desa Rancamanyar. Program ini bertujuan membangun keswadayaan masyarakat dalam mengangkut, memilah dan mengelola sampah. Bukan hanya itu, bersama kawan sejawatnya di karang taruna Rival tengah melakukan penelitian partisipatif tentang persoalan lingkungan hidup di desanya. ”Menurut Rival mah, Karang Taruna itu tidak hanya identik dengan penyelenggaraan pesta agustusan saja. Lebih jauh lagi harus terlibat dalam menyelesaikan permasalahan–permasalahan lain yang ada di desa, termasuk soal kerusakan lingkungan hidup” ujarnya.
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SULITNYA MERAIH KEADILAN
125