TANGGAPAN KENABIAN ATAS NUBUAT YANG GAGAL
Studi teologis-eksegetis atas Yesaya 56-661 Indra Tanureja
Abstract: Prophet and prophecy are common terminologies in the world’s religions. A prophet is normally understood as a person sent by God to deliver a message to the people concerning the future events. Therefore, a prophet’s words claims to have divine quality. A big problem would then arouse when a prophecy (or prophecies) uttered by person claimed to be God’s prophet fails to materialize. This paper tries to critically analyze the common response to the problem of unfulfilled prophecy, which consists of a blaming-the-other strategy, and offers fresh responses to such a problem based on an exegetical work on the third part of the Book of Isaiah, namely Isa 56-66.
Kata kunci: nubuat yang gagal, hermeneutika, reinterpretasi, cognitive dissonance 1.
Pendahuluan
Pada bulan Nopember 2003, di Bandung tampillah seorang pendeta yang mengaku mendapatkan pewahyuan pribadi dari Allah dan menyebut dirinya sebagai Rasul Paulus II. Ia menyampaikan sebuah nubuat bahwa kiamat akan terjadi pada tanggal 10 Nopember 2003. Untuk menyambut hari besar itu, ia membentuk sebuah komunitas bernama Pondok Nabi (orang menyebutnya Sekte Kiamat Pondok Nabi). Ia berhasil mengumpulkan sekitar 300 pengikut yang bersedia meninggalkan kehidupan normal mereka dan bergabung bersama kelompok ini dengan harapan akan diangkat ke surga pada hari istimewa tersebut. Hari yang dinubuatkan tiba dan tidak terjadi apa-apa! Tentu saja ini bukan kasus yang baru. Ada terlalu banyak kasus seperti ini dan rasanya akan terus terjadi lagi, di mana pun dan kapan pun.2 Setiap generasi akan menyaksikan munculnya nabi seperti itu yang menubuatkan kehancuran dunia sekarang dan lahirnya zaman baru. Yesus mungkin akan mengatakan, ”Karena para milenialis selalu ada padamu.”3 Itu berarti, orangorang sederhana bersama dengan pengharapannya yang dibina oleh nubuat-
Tanggapan Kenabian atas Nubuat yang Gagal
— 1
nubuat seperti itu, juga akan menjadi korban. Hal seperti ini menjadi pacuan dan picuan untuk merefleksikan lebih lanjut topik ini. 2.
Topik, Jangkauan dan Batasan
Jika judul diperhatikan maka akan kelihatan bahwa pada prinsipnya, topik tulisan ini adalah ”nubuat yang gagal” (nubuat yang tidak kesampaian). Menurut pendapat populer, seorang nabi adalah pribadi yang mendapat anugerah spesial untuk meramalkan masa depan.4 Kendati tidak sepenuhnya benar, gagasan ini juga tidak sama sekali keliru. Di dalam Alkitab, para nabi memang juga meramalkan masa depan. Di sinilah letak persoalannya. Di satu pihak, sebuah nubuat menjadi penting karena disampaikan oleh seorang yang ”berkompeten”, dalam hal ini melibatkan Allah sendiri; tetapi di lain pihak, meramalkan masa depan selalu mengandung resiko.5 Dengan kata lain, ”nubuat yang gagal” menimbulkan suatu problem yang harus ditangani. Topik tulisan ini sebenarnya diinspirasikan oleh dua buku yang terbit sekian puluh tahun yang lalu. Yang pertama adalah tulisan Leon Festinger When Prophecy Fails dari tahun 1956,6 yang sebenarnya berbicara di bidang psikologi sosial; sementara yang kedua adalah karya Robert P. Carroll, When Prophecy Failed dari tahun 1979 yang berusaha menerapkan teori cognitive dissonance dari Festinger dalam lingkup tradisi kenabian alkitabiah. Karena ”nubuat yang gagal” sebagai suatu topik masih amat luas, maka dibutuhkan pembatasan-pembatasan sehingga karya ini bisa masuk akal. Dalam konteks ini, bagian pertama dari judul, ”Tanggapan Kenabian”, merupakan batasan pertama. Ungkapan ini mengandung dua pokok yang menjadi orientasi kita. Pertama, yang mau ditelusuri dalam tulisan ini adalah sebuah ”tanggapan” atau ”tanggapan” terhadap problem yang ditimbulkan oleh nubuat yang tidak kesampaian. Dengan demikian, tidak akan lagi didiskusikan di sini apakah ”nubuat yang gagal” memang benar-benar ada. Saya hanya mengambil saja hasil penelitian banyak ahli yang menyatakan bahwa beberapa nubuat alkitabiah memang tidak terlaksana. Secara praktis, usaha untuk membuktikan ada tidaknya ”nubuat yang gagal” tidak banyak membantu. Jika berhasil dibuktikan bahwa ”nubuat yang gagal” memang ada, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana hal itu harus dihadapi. Jika berhasil ditunjukkan bahwa sebenarnya ”nubuat yang gagal” itu tidak ada, usaha ini sebenarnya sudah bisa dikategorikan sebagai suatu ”tanggapan” atau strategi terhadap problem yang ditimbulkan oleh nubuat yang tidak kesampaian. Kalau tidak ada nubuat yang gagal, maka tidak akan muncul problem! Bagi banyak orang, bisa saja solusi seperti ini dianggap menutup mata pada kenyataan.
2 —
ORIENTASI BARU, VOL. 18, NO. 1, APRIL 2009
Pokok kedua menyangkut jangkauan tulisan ini. Kata sifat yang terdapat dalam ungkapan ”tanggapan kenabian” menunjukkan bahwa tanggapan yang mau kita cari adalah tanggapan yang berasal dari lingkup kenabian. Yang dimaksud di sini adalah sastra kenabian yang terdapat dalam Alkitab. Dengan demikian response yang dicari tidak berasal dari tulisan Alkitab non-kenabian dan juga tidak dari ”kenabian” yang non-Alkitab. Tradisi kenabian alkitabiah kiranya juga masih merupakan suatu bidang yang terlalu luas untuk bisa dieksplorasi secara memadai dalam suatu karya tulis. Oleh karena itu, pembatasan lain perlu dibuat. Dalam hal ini, sub-judul tulisan ini menyajikan pembatasan yang dimaksud. Dari sekian banyak tulisan kenabian yang terdapat dalam Alkitab, perhatian akan dipusatkan pada suatu ”kitab” tertentu, yaitu bab 56-66 dari kitab nabi Yesaya, yang biasa disebut Trito-Yesaya atau Yesaya Ketiga. Kalau dirumuskan dengan sebuah pertanyaan, maka topik tulisan ini adalah ”bagaimana Trito-Yesaya menanggapi nubuat pendahulunya yang ternyata tidak terpenuhi?” Harus diakui bahwa pilihan objek studi ini mengandaikan pemahaman tertentu tentang Yes 56-66. Saya tidak mulai segalanya dari nol dan hanya memanfaatkan beberapa gagasan yang sudah ditelorkan oleh para ahli. Beberapa gagasan pokok tentang Trito-Yesaya yang begitu saja saya ambil dari hasil penelitian para ahli adalah: a. Kendati ada trend untuk membaca kitab nabi Yesaya secara utuh, dari bab 1 sampai bab 66, sebagai satu kesatuan, pendapat yang menyatakan bahwa Yes 56-66 merupakan suatu bagian tersendiri yang berbeda dari bagian-bagian sebelumnya,7 walaupun tidak berarti tanpa kaitan, tetap bisa dipertahankan.8 b. Banyak ahli mencatat bahwa nubuat Deutero-Yesaya bahwa bangsa Israel akan kembali dari pembuangan dengan gilang gemilang ternyata tidak terpenuhi. Memang benar bahwa gagalnya nubuat Deutero-Yesaya tidak pernah menjadi topik utama bagi banyak orang. Biasanya para ahli hanya menyebut sepintas lalu saja dan kemudian membahas topik yang lain. c.
Yes 56-66 disusun dengan maksud menanggapi nubuat Deutero-Yesaya yang tidak terpenuhi.9 Carroll merumuskan, ”Although the various oracles in 56-66 date from different periods and belong to various literary genres together they constitute a pattern of dissonance resolution which clearly indicates some of the problem caused by the failure of the predicted salvation.”10
d. Saya menerima bahwa Yes 60-62 mempunyai tempat khusus dalam corpus Trito-Yesaya. Bagian ini merupakan suatu kesatuan tersendiri yang menjadi inti Trito Yesaya. Tiga bab ini lebih dekat dengan pewartaan
Tanggapan Kenabian atas Nubuat yang Gagal
— 3
Deutero-Yesaya dan tidak tampak adanya problem yang diakibatkan oleh nubuat yang gagal.11 Oleh karena itu, Yes 60-62 saya singkirkan dari pembahasan ini. Pokok di atas membatasi objek yang akan dibahas dalam usaha mencari tanggapan atas nubuat yang tidak terpenuhi. Setelah pembatasan ini disajikan maka kita bisa maju selangkah lagi.
3.
Dosa Manusia sebagai Penyebab Gagalnya Nubuat?
Mengapa sebuah nubuat seorang nabi tidak kesampaian? Bukankah nubuat itu merupakan Firman Allah sendiri yang disampaikan dengan perantaraan para nabi? Terhadap pertanyaan seperti ini bisa muncul jawaban spontan yang membela sang nabi dan nubuatnya seraya mempersalahkan orang lain. Bukan nubuat sang nabi yang gagal, melainkan umatlah yang berdosa! Demikianlah, dalam perjalanan saya, sebenarnya jalan itu juga yang ditempuh. Secara konkret sebenarnya saya bertitik tolak pada Yes 59:1-3 yang merupakan ekspresi amat bening dari strategi menunjuk atau mempersalahkan orang lain. Kalau orang meyakini apa yang dikatakan Yes 55:10-11 bahwa firman yang keluar dari mulut-Nya tidak akan kembali dengan sia-sia, teks seperti ini menjadi sebuah teodise kenabian untuk membela kemujaraban Firman Allah via nabi-Nya. Problem yang menyebabkan suatu nubuat tidak kesampaian tidak terletak pada YHWH tetapi pada kedosaan manusia! Bagaimana kita mengevaluasi gagasan ini? Apakah pendapat ini memang valid untuk menanggapi problem yang muncul? Yes 59:1-3 sebenarnya bukan satu-satunya teks yang berbicara tentang kedosaan umat Israel. Jika Trito-Yesaya disisir dari awal, kita temukan teksteks yang berbicara tentang pokok ini. Menilik rumusannya, mungkin baik jika kita mengartikan Yes 59:1-3 sebagai suatu summarium dari semua teks yang berbicara tentang kedosaan umat Israel sebagaimana ditemukan dalam bagian ketiga kitab nabi Yesaya ini. Sebagai summarium, teks ini memang tidak bisa menggambarkan aneka macam dosa yang ditampilkan di seantero Trito-Yesaya. Untuk menilai Yes 59:1-3 sebagai jawaban (spontan) atas masalah yang muncul, saya menganalisis semua teks yang berbicara tentang dosa Israel, yang bisa dikategorikan ke dalam dua golongan: dosa sosial dan dosa religius. Dosa sosial adalah dosa yang terjadi di lingkungan hidup sosial; sementara dosa religius adalah dosa yang terjadi dalam lingkup religius. Harus diakui, pembagian ini hanya bersifat artifisial karena dalam banyak kasus kedua jenis dosa itu bercampur menjadi satu: yang satu mempengaruhi yang lain.
4 —
ORIENTASI BARU, VOL. 18, NO. 1, APRIL 2009
Analisis atas teks-teks seperti 56:9-57,2; 58:1-14 dan 59:4-8 menunjukkan bahwa pada dasarnya dosa sosial mau tidak mau melibatkan dua pihak: pihak yang menindas maupun yang tertindas. Demikianlah dalam 56:9-57,2 kelalaian para penjaga12 (ay. 10 s opâw Q his watchmen) dan para gembala (ay. 11b roîm shepherds) yang tidak menjalankan tugasnya sebagai mana mestinya mengakibatkan ”orang benar” menjadi korban (57:1). Keculasan dan dusta yang merebak di pengadilan (59:4-8) menghancurkan pilar keadilan dalam masyarakat. Fakta seperti ini menunjukkan bahwa dosa umat yang dianggap menjadi biang keladi gagalnya nubuat ternyata bukanlah dosa seluruh umat, melainkan hanya dosa segelintir umat saja. Jika demikian halnya, maka Yes 59:1-3 tidak memadai sebagai jawaban kenabian terhadap persoalan nubuat yang tidak kesampaian karena melalaikan mereka yang menjadi korban penindasan sesama. Tanggapan seperti itu merupakan sebuah strategi blaming-the-victim. Lalu bagaimana dosa religius yang juga dibicarakan dalam teks-teks yang berserakan di seluruh corpus Trito-Yesaya? Teks-teks yang berbicara tentang hal ini adalah 57:5-9; 65:3b-5a.7.11; 66:3 dan 66:17. Bagian ini merupakan bagian yang sulit dipahami secara tekstual. Berdasarkan analisis kami berpendapat bahwa 57:5-9 melukiskan tiga praktik religius yang ilegal, yaitu (1) kultus kesuburan (ay. 5a.7-8); (2) kultus orang mati (ay. 6)13 dan (3) pengorbanan anak (ay. 5b.9). Teks-teks yang lain menggambarkan beberapa ritus ilegal lainnya, yang sulit untuk diklarifikasi. Apa artinya semua ini? Yang jelas, bisa dikatakan bahwa tujuan segala ritus itu adalah untuk keuntungan yang melaksanakannya. Memang tidak ada bukti tekstual yang amat kuat, tetapi kita bisa mempertanyakan apakah tidak mungkin bahwa ritus-ritus ilegal itu dilaksanakan oleh komunitas Israel post-pembuangan justru karena situasi buruk yang mereka alami? Kalau demikian maka dosa religius bukan penyebab gagalnya nubuat, tetapi sebaliknya, disebabkan oleh gagalnya nubuat (bdk. kisah Saul di Endor dalam 1Sam 28). Beberapa teks mungkin bisa mendukung gagasan ini. Yang pertama, 57:13 ”Ketika engkau berteriak (minta tolong), biarlah kumpulan (berhala-berhalamu) melepaskan (menolong) engkau.” Teks semacam ini mengandaikan bahwa orang Israel memang pernah berteriak minta tolong (z‘q) kepada (kumpulan) berhala (qibbûs ) mereka. Kita juga bisa memperhatikan teks-teks seperti 63:17 ”Ya TUHAN mengapa Engkau menyebabkan 14 kami tersesat dari jalan-Mu; dan mengapa Engkau tegarkan hati kami, sehingga tidak takut kepada-Mu” dan 64:5 ”Sesungguhnya, Engkau murka, dan kami berdosa.”15 Kemurkaan Tuhan yang hadir dalam bentuk tidak terwujudnya nubuat membuat orang Israel berdosa. Dengan demikian, praktik ritus-ritus tidak sah ini bukanlah penyebab gagalnya nubuat
Tanggapan Kenabian atas Nubuat yang Gagal
— 5
tetapi justru merupakan pilihan yang salah untuk menanggapi problem yang muncul karena nubuat yang gagal! Dengan demikian, penelitian serius atas dosa sosial dan dosa religius menunjukkan bahwa sebagai tanggapan atas problem tentang nubuat yang tidak kesampaian, Yes 59,1-3 tidak memadai karena mengabaikan banyak aspek. Dan karena tanggapan ini tidak memuaskan, maka perlu dicari tanggapan lain yang lebih positif dan dapat diterima banyak pihak. Untuk itu kita perlu menelusuri teks-teks Trito-Yesaya dari awal sampai akhir. 4.
Tawaran Tanggapan
Sudah dikatakan bahwa Trito-Yesaya memang disusun untuk menanggapi komunitas yang dilanda masalah karena keadaan gilang gemilang yang dinubuatkan oleh Deutero-Yesaya ternyata tidak terlaksana. Situasi seperti ini rasanya juga berpengaruh pada kredibilitas para nabi di hadapan jemaat. Dalam arti tertentu jemaat bisa juga mempunyai semacam resistensi terhadap kata-kata yang disampaikan oleh para nabi. Dengan demikian, penyusun Trito-Yesaya berhadapan dengan kesulitan yang tidak mudah diatasi. Di satu pihak, dia ingin mendampingi jemaat; tetapi di lain pihak, tidak mudah menyampaikan firman kenabian kepada jemaat yang sedang mengalami krisis kepercayaan terhadap firman kenabian. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kredibilitas ini perlu dipulihkan dulu sebelum firman penghiburan bisa disampaikan. Satu teks, Yes 59:21 bisa dipandang sebagai teks yang merupakan presentasi dan pertanggungjawaban Trito-Yesaya. Mengingat tempat dan waktu, uraian eksegetis ketat atas ayat ini tidak bisa disajikan secara utuh di sini. Cukuplah satu dua hal saja dikedepankan. Pertama, frase ”Roh-Ku yang di atasmu” (rûh î a s er a lêka ) mirip dengan yang terdapat dalam 42:1 (”Aku telah menaruh Roh-Ku ke atasnya”) dan 61:1 (”Roh Tuhan ALLAH ada padaku”). Tampaknya 59:21 dipengaruhi oleh 61:1 dan dengan demikian menunjukkan bahwa 59:21 berada sejalan dengan tradisi 61:1. Kedua, frase ”firman-Ku yang kutaruh dalam mulutmu” tampaknya dipengaruhi, entah langsung atau tidak, oleh Ul 18:18 (”Aku akan menaruh firman-Ku dalam mulutnya”).16 Jika konteks Ul 18,18 diperhatikan, maka frasa ini mau menunjukkan bahwa (1) sang nabi yang terdapat dalam 59:21 adalah satu-satunya medium yang legitim antara Allah dan manusia dan (2) penggunaan Ul 18:18 dalam 59:21 merupakan sesuatu yang berani karena kredibilitas sang nabi sekali lagi dipertaruhkan. Berdasarkan Ul 18:21-22 nubuat seorang nabi yang nubuatnya tidak kesampaian menjadi petunjuk bahwa yang bersangkutan adalah seorang nabi palsu. Dengan demikian, Yes 59:21 secara amat jelas mau mempertanggungjawabkan firman kenabian yang disampaikan dalam Trito-Yesaya yang dimaksudkan untuk menanggapi problem yang tengah melanda jemaat post-pembuangan. 6 —
ORIENTASI BARU, VOL. 18, NO. 1, APRIL 2009
Setelah ada pertanggungjawaban sang nabi, barulah kita bisa mendengarkan firmannya yang terdapat di seantero Yes 56-66. Secara agak teknis dan mendetil, dibuat analisis atas teks-teks: 56:1-8; 57:14-2; 58:5-14; 59:9-20; 63:1-6; 63:7-64:11; 65:1-25 dan 66:1-24. Dengan banyak pertimbangan, pemaparan analisis eksegetis dari semua teks tersebut tidak bisa dibuat di sini. Hanya beberapa pokok penting yang bisa disajikan. Pada dasarnya, tugas utama seorang nabi adalah menyampaikan firman YHWH kepada pihak ketiga, yaitu jemaat. Idealnya, kita mesti berbicara tentang ketiga pihak itu, sang nabi, Allah serta jemaat.17 Akan tetapi, karena firman kenabian yang selalu berada dalam konteks komunikasi antara Allah dan manusia, mau tidak mau ia berbicara juga tentang Allah dan pada saat yang sama tentang jemaat yang menjadi alamat firman tersebut. Oleh karena itu, cukuplah gambaran tentang Allah dan jemaat yang mau ditampilkan oleh firman kenabian itu dibahas dalam kesempatan yang sama. Tidak perlu ada pembedaan antara gambaran tentang Allah dan gambaran tentang jemaat. Kita melihat dua teks: ”Aku bersemayam di tempat tinggi dan di tempat kudus tetapi juga bersama-sama orang yang remuk dan rendah hati, untuk menghidupkan semangat orang-orang yang rendah hati dan untuk menghidupkan hati orang-orang yang remuk.” (57,15b) ”Tetapi kepada orang inilah Aku memandang: kepada orang yang tertindas dan patah semangatnya dan yang gentar kepada firman-Ku.” (66,2b)
Dari dua teks di atas dinyatakan bahwa di satu pihak, YHWH berada di tempat yang maha tinggi, tetapi di lain pihak, Ia berdiri di pihak yang tersingkir. Dalam konteks ini orang yang remuk (dk’) dan rendah hati (s pl) dalam 57:15 bukanlah orang yang secara sukarela merendahkan diri di hadapan Tuhan, melainkan mereka yang menjadi korban penindasan. Sikap YHWH ini mau tidak mau mengandung dua aspek. Pertama, keberpihakan YHWH kepada satu kelompok di dalam komunitas Israel post-pembuangan yang ditindas oleh saudara-saudara mereka secara otomatis menghasilkan pemisahan di dalam komunitas. Ada kelompok yang benar dan ada kelompok yang jahat. Ekspresi paling kelihatan dari perpecahan ini terdapat dalam Yes 65:13-14 di mana ”hamba-hamba-Ku” dengan ”kamu” dipertentangkan secara frontal. Kedua, keberpihakan YHWH tidak hanya berhenti pada sikap mental, tetapi juga diterjemahkan dalam tindakan. YHWH tidak akan tinggal diam dan siap untuk membalas: ”Aku tidak akan tinggal diam, malah Aku akan mengadakan pembalasan, ya, pembalasan terhadap diri mereka” (65:6). Kini Ia siap untuk campur tangan sebagai ”pembalas” (nqm avenger) dan ”penebus” (go e l redeemer) (bdk. 59:20; 63:4). Dengan cara ini, YHWH menjawab umat yang mempertanyakan niat serta kemampuan-Nya untuk menolong mereka (63:1-6; 66:7-17).
Tanggapan Kenabian atas Nubuat yang Gagal
— 7
Karena YHWH sudah menyatakan diri berpihak pada satu kelompok, maka pesan kenabian pun bisa dikelompokkan menjadi dua: 4.1. Pesan kepada Yang Benar Secara garis besar, janji keselamatan kepada Yang Benar terwujud dalam bentuk (1) Menegaskan Kembali Janji Lama dan (2) Pemberian Nama Baru. Hal ini dibuat dengan entah dengan mengambil kembali bahan-bahan lama, khususnya dari Deutero-Yesaya, kemudian mengolahnya kembali supaya cocok dengan situasi baru atau dengan merumuskan pesan baru.
4.1. Menegaskan Kembali Janji Lama Kepenuhan sudah Dekat
Salah satu aspek yang muncul dalam mengolah bahan lama adalah penekanan bahwa kepenuhan nubuat sudah dekat. Kendati demikian, perlu disadari bahwa sebagai keterangan waktu ”dekat” tetap mengandung sisi ketidakjelasan. Betapa pun dekatnya, pemenuhan suatu janji tetap berada di masa depan yang tak bisa ditentukan. Dalam 56:1 kita temukan kata keterangan waktu, ”sebentar lagi” (qero ba h) yang menekankan sudah dekatnya keselamatan dari YHWH.18 Rujukan pada ”keturunan” (zera) dan ”pewaris” (yôre s) yang akan mewarisi Gunung YHWH juga menunjuk ke masa depan. Demikian juga gambaran luka yang akan segera pulih (58:6-9) serta perempuan bersalin (66:7-14) menegaskan kembali bahwa janji yang sudah disampaikan akan segera dipenuhi. Jelaslah bahwa Trito-Yesaya berusaha untuk meyakinkan pendengarnya bahwa janji yang terdahulu tetap berlaku, dan sekarang ini akan segera dipenuhi. Akan tetapi pemenuhan ini masih diwarnai oleh ketidakpastian. Nubuat Bersyarat
Salah satu aspek penting yang ditemukan dalam Trito-Yesaya adalah bahwa janji-janji keselamatan yang disampaikan tidak lagi merupakan janji tanpa syarat, tetapi sudah menjadi janji bersyarat. Dengan demikian, pemenuhannya tergantung pada terpenuhi tidaknya syarat yang diajukan. Dalam kasus Yes 56:1-2, analisis menunjukkan bahwa jangkauan keterangan waktu ”sebentar lagi” (q ero ba h) sebenarnya tidak tergantung pada sesuatu yang berada di luar manusia, tetapi tergantung pada pelaksanaan ”keadilan” (mis pa t ) dan ”kebenaran” (s eda qa h) di dalam komunitas. Pelaksanaan ”keadilan” dan ”kebenaran” lalu menjadi syarat lahirnya keselamatan di tengah masyarakat. Dalam 58:5-14 puasa sebagai salah satu aktivitas religius ditolak sejauh puasa ini mewakili teologi ex opere operato. Agar berkenan kepada Allah, puasa harus
8 —
ORIENTASI BARU, VOL. 18, NO. 1, APRIL 2009
dibarengi oleh tindakan solidaritas konkret dengan sesama yang relevan. Dengan kata lain, perwujudan solidaritas di tengah komunitas menjadi syarat bagi efektivitas kegiatan rohani yang mereka lakukan. Dalam kasus 56:1-2, syarat pemenuhan janji yaitu ”mentaati keadilan dan melaksanakan kebenaran” sebenarnya tidak lain adalah isi keselamatan itu sendiri, karena janji keselamatan meliputi kesejahteraan dalam masyarakat yang ditandai dengan hadirnya ”keadilan” (mis pa t ) dan ”kebenaran” (s eda qa h) di dalam komunitas. Jika demikian, maka sebenarnya pemenuhan janji ini tidak lagi tergantung pada Allah, melainkan tergantung pada komunitas itu sendiri. Ketika komunitas mulai mewujudkan keadilan dan melaksanakan kebenaran, pada saat itulah shalom, yang adalah keselamatan yang dijanjikan, mulai mewujud. Pada gilirannya, hal ini juga mengandung konsekwesi lainnya. Jika pemenuhan janji tergantung pada persyaratan etis yang harus dipenuhi oleh jemaat, maka terbukalah kemungkinan gagal. Di sini terbukalah jalan bagi campur tangan langsung dari Yang Ilahi, ide yang nanti juga dikembangkan dalam tanggapan Trito-Yesaya. Dengan menggantungkan pemenuhan janji pada perilaku individu di dalam komunitas maka harus dikatakan bahwa sebenarnya komunitas sendiri yang menjadi agen pemenuhan janji. Mereka tidak lagi secara pasif menantikan terlaksananya nubuat, tetapi secara aktif bekerja sama mewujudkannya. Nubuat lalu menjadi self-fulfilling prophecy atau Oediphus Effect dari nubuat, yaitu bahwa nubuat mempunyai pengaruh pada peristiwa yang dinubuatkan. Dalam terang interpretasi ini, kita sekarang bisa mengartikan Yes 59:1-3 secara lebih jernih. Dengan menempatkan dosa umat sebagai penghalang terlaksananya keselamatan, mau ditunjukkan bahwa problem tentang nubuat ini tidak terletak di luar kompentensi manusia, misalnya di tangan Yang Ilahi, tetapi berada di dalam jangkauan kemampuan manusia. Jika suatu kegagalan disebabkan oleh kesalahan seseorang dan bukan pada kekurangmampuan Yang Ilahi, misalnya, maka tetap ada harapan untuk masa depan asal saja, kesalahan manusiawi itu diperbaiki.19 Perwujudan janji menjadi mungkin asal terjadi juga perubahan sikap dari pihak anggota komunitas.
4.1.2 Nama Baru bagi Komunitas Perpecahan dalam komunitas mau tidak mau berakibat juga pada penggunaan sebutan bagi komunitas. Sebutan tradisional seperti ”para hamba” (a ba dîm 65:8-9.13-14.15) atau ”yang terpilih” (behîrîm 65:9.15.22) kini dipakai dalam arti yang terbatas. Sebutan ini tidak lagi menunjuk pada seluruh komunitas Israel post-pembuangan seperti di dalam Deutero-Yesaya (42:1; 43:20;
Tanggapan Kenabian atas Nubuat yang Gagal
— 9
45:4), melainkan hanya pada satu kelompok dalam komunitas, yang mereka Yang Benar atau ”mereka yang mencari Aku” (65:10b). Reinterpretasi atas sebutan tradisional ini menjadi penting karena dengan demikian, tetap ditunjukkan bahwa umat tetap berada dalam kesinambungan dengan umat yang terdahulu, kendati sekarang tidak seluruh umat yang dimaksudkan. Mereka tetap merupakan pewaris janji lama yang kini diperbaharui; bahkan sekarang mereka adalah satu-satunya pewaris karena kelompok lain disingkirkan. Di samping kesinambungan ini, kita juga bisa melihat ketidaksinambungan karena adanya perpecahan di dalam komunitas. Nama baru seperti ”mereka yang gentar kepada firman-Nya” (hah a re dîm 66:2.5) atau ”orang-orang yang terluput” (pelêtîm 66:19) menandai kelompok ini sebagai suatu entitas baru di dalam komunitas sebagai akibat tindakan YHWH yang berpihak kepada salah satu kelompok. Lebih lanjut kita bisa melukiskan gambaran tentang komunitas yang muncul dari analisis teks-teks Trito-Yesaya. Ketika pertimbangan etik-moral menjadi syarat yang harus dipenuhi oleh komunitas (56:1-2) maka kriteria untuk menjadi bagian dari komunitas itu pun berubah. Bukan lagi ikatan darah, tetapi keputusan moral pribadi yang menjadi kriteria seseorang masuk menjadi anggota komunitas yang baru ini. Ada pergeseran dari a chosen community menjadi a choosing community. Tidak mengherankan bahwa TritoYesaya memberi kemungkinan untuk menjadi anggota komunitas baru ini bagi kelompok orang yang menurut hukum Yahudi tidak bisa menjadi anggota komunitas, yaitu ”orang asing” (ben-hannekar) dan ”orang kebiri” (saris) (56:1-8). Hanya dalam komunitas yang inklusif seperti ini tindakan misioner seperti dilukiskan dalam 66:18-21 menjadi masuk akal. 4.2. Pesan kepada Yang Jahat Di dalam Trito-Yesaya nubuat untuk atau tentang kelompok ini terjalin erat dengan nubuat yang lebih positif (59:15b-19; 63:1-6; 65:6.11-14; 66:5b-6.1517). Yang perlu dicatat adalah bahwa nubuat-nubuat yang menggambarkan penghukuman ilahi ini dilukiskan dalam bahasa figuratif, seperti misalnya, YHWH sebagai pahlawan perang (63:1-6), yang berpakaian perlengkapan perang (59:15b-19) dan datang dalam api dengan kereta dan pedang (66:15-17). Sulit dipahami bahwa campur tangan ilahi memang diharapkan persis seperti yang dilukiskan dalam teks-teks ini. Lebih mudah memahami bahwa gambaran seperti ini merupakan suatu keyakinan eskatologis. Gambaran seperti ini tidak bermaksud menyampaikan nubuat tentang apa yang akan terjadi dan bagaimana jika YHWH turun tangan, tetapi hanya mau mengungkapkan keyakinan bahwa satu saat nanti di masa depan YHWH akan bertindak. Rasanya amat sulit untuk menggambarkan peristiwa yang mampu menggambarkan penghukuman YHWH
10 —
ORIENTASI BARU, VOL. 18, NO. 1, APRIL 2009
yang hanya akan menyentuh kelompok yang memang mau dijadikan sasaran, yaitu kelompok yang jahat dan meluputkan mereka yang baik. Perlu juga dicatat bahwa dalam teks-teks tersebut, tindak penghukuman itu akan dilaksanakan oleh YHWH seorang diri. YHWH adalah subjek tunggal! Di beberapa teks lain, memang ada gambaran bahwa YHWH menjalankan pengadilannya melalui tangan manusia sebagai instrumen-Nya (misalnya, Koresy dalam 45:1). Akan tetapi mengingat penghakiman via perang atau serbuan oleh bangsa lain tidak akan membedakan korban, tampaknya harus disimpulkan bahwa YHWH bertindak sendiri bukan karena tidak ada instrumen yang bisa dipakai (e.g. bangsa-bangsa lain). Lalu apa? Dalam dua teks 59:15b-20 dan 63:1-6 ditekankan secara jelas bahwa YHWH bertindak sendirian (59:16; 63:3) karena tidak ada seorang pun ( ên) yang datang membantu. Penggunaan partikel negasi ên di dalam kedua teks itu agak istimewa karena muncul tidak kurang dari 6 kali [59:15b.16 (2x); 63:3.5 (2x)]. Di dalam semua teks itu – kecuali satu – partikel ini menunjuk pada tidak adanya seseorang yang membantu YHWH dalam menegakkan keadilan (mis pa t ) di dalam masyarakat. Di dalam 59:15b, tidak adanya keadilan (mis pa t ) juga dirumuskan dengan menggunakan partikel ini. Dengan demikian kiranya jelas bahwa tidak adanya keadilan (mispat) di dalam kehidupan sosial dan tidak adanya manusia (ên mapgîa ”tidak ada seorang pun yang tampil” 59:16; ên o ze r ”tidak ada yang menolong” 63:5; ên sôme k ”tidak ada yang membantu” 63:5) yang seharusnya memulihkan keadilan itu telah mendorong YHWH untuk campur tangan sendirian! Kelihatan bahwa persoalannya bukan karena tidak ada instrumen yang membantu YHWH menjalankan penghakiman, tetapi tidak adanya instrumen yang menumbuhkan keadilan! Pemahaman seperti membawa dua konsekwensi: pertama, hal ini berkaitan dengan pokok yang sudah disinggung sebelumnya yaitu tentang nubuat bersyarat. Seperti sudah disinggung, sekali pemenuhan nubuat digantungkan pada dimensi etik manusia, maka bisa saja terjadi kegagalan. Dan ketika komunitas gagal, YHWH sendiri yang akan turun tangan! Dengan demikian campur tangan langsung YHWH mengisi gap yang ditinggalkan oleh tuntutan moral sebagai syarat terpenuhinya nubuat. Kedua, terlalu menekankan dimensi etik dari nubuat berarti juga mengakui bahwa tanggapan manusia memainkan peranan menentukan dalam menciptakan masa depan. Gagasan ini bisa saja bermuara pada ideologi yang melulu humanistik, di mana semuanya bisa dibereskan oleh kemampuan manusia sehingga Yang Ilahi tidak lagi main peranan dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini, untuk menghindarkan kesan bahwa masa depan semata-mata tergantung pada keputusan-keputusan manusia, pendekatan ”humanis” ini perlu
Tanggapan Kenabian atas Nubuat yang Gagal
— 11
dilengkapi oleh dimensi transendental dari nubuat, yaitu campur tangan langsung dari YHWH sendiri. Dengan demikian, walaupun terutama ditujukan kepada mereka yang jahat, nubuat tentang campur tangan langsung YHWH juga merupakan hal pokok dalam membentuk tanggapan terhadap nubuat yang tidak kesampaian. Karena sang nabi yakin bahwa dirinya adalah pengantara antara Allah dan manusia yang bertugas menyampaikan firman ilahi kepada manusia, maka dia juga mesti menjangkarkan pengharapan terakhirnya di dalam diri YHWH sendiri sebagai sumber segala nubuat. Dimensi transendental akan menyelesaikan segala persoalan. Demikianlah rangkuman dari Trito-Yesaya di hadapan problem nubuat yang tidak kesampaian. Seperti kita lihat, tanggapan yang bisa ditarik dari analisis teks tidak merupakan satu tanggapan yang seragam, yang sejenis, melainkan terdiri dari aneka macam gagasan yang berbeda-beda dengan tekanan yang bervariasi pula. Lepas dari bentuk tanggapan yang dikemukakan oleh Trito-Yesaya di hadapan problem yang dihadapi komunitas, mungkin penting digarisbawahi di sini adalah metode yang dipakai. Cara utama yang digunakan oleh Trito-Yesaya dalam merumuskan pesannya adalah dengan mengambil bahan-bahan yang sudah ada, dalam hal ini terutama dari DeuteroYesaya tetapi bisa saja dari tradisi lain, kemudian mengolahnya, menafsirkannya secara baru agar sesuai dengan konteksnya yang baru. ”Dissonance gives rise to hermeneutic” demikian dikatakan oleh Robert Carroll. Praktik menafsirkan bahan lama secara baru yang dibuat oleh Trito-Yesaya merupakan salah satu tahap dari rangkaian sejarah penafsiran tradisi Yesaya. Blenkinsopp mencatat bahwa ”the history of the interpretation of Isaiah actually begins in the book itself”20 saat komentar atau penafsiran seperti itu masih bisa ditambahkan ke dalam teks itu sendiri. Dari sudut pandang lain, di sini kita juga melihat adanya pergeseran dari inspirasi langsung menjadi penafsiran atas material yang terinspirasi. Kita tidak tahu sejauh mana efektivitas Trito-Yesaya dalam menanggulangi problem nubuat yang gagal. Kita tidak mempunyai, katakanlah ”QuartoYesaya”, yang bisa dijadikan sarana untuk mengetahui keberhasilan TritoYesaya. Tidak adanya ”Quarto-Yesaya” tampaknya menunjukkan bahwa dinamika nubuat dan penafsirannya tidak berlangsung terus. Tampaknya pada titik tertentu dalam sejarah karunia kenabian berhenti. Hal ini mungkin tidak terlalu mengherankan karena dalam masyarakat Israel post-pembuangan yang menjadi inti adalah Hukum Taurat. ”There may have been some awareness of dissonance among prophetic circles but for the average Judean citizen such esoteric matters were relatively unimportant because keeping the regulations of Torah was the focus of life.”21
12 —
ORIENTASI BARU, VOL. 18, NO. 1, APRIL 2009
5.
Penutup
Salah satu pokok yang diakibatkan oleh terjadinya nubuat yang gagal adalah kekecewaan. Tidak jarang penganut kelompok religius tertentu mengharapkan sesuatu dari agama mereka, entah yang bersifat duniawi atau trans-dunia. Ketika yang diharapkan tidak terjadi lahirlah dissonance. Dalam konteks kita, buntut dari kekecewaan ini bisa saja berupa migrasi anggota komunitas religius yang satu ke komunitas religius yang lain, entah komunitas baru ini merupakan komunitas resmi atau komunitas yang lebih bersifat popular. Pada titik ini, saya percaya bahwa menemukan tanggapan terhadap kegagalan pengharapan mereka – atau mungkin lebih baik, kegagalan untuk memberi penjelasan yang memadai dan masuk akal mengapa pengharapan mereka itu tidak terwujud – merupakan sesuatu yang penting untuk diperhatikan, khususnya dalam situasi di mana komunitas religius popular sudah bersiap sedia untuk menawarkan sesuatu yang tidak tersedia dalam komunitas religius resmi. Kata-kata Kristus kepada Bapa-Nya mungkin bisa menjadi inspirasi bagi kita ”I did not lose a single one of those whom you gave me” (Yoh 18:9 NRSV). Indra Tanureja Program Studi Ilmu Teologi, Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma, Yogjakarta; Seminari Tinggi St. Paulus, Kotak Pos 1194, Yogyakarta 55011; E-mail:
[email protected]
Catatan Akhir: 1 Tulisan ini merupakan cuplikan singkat dari disertasi doktoral penulis yang dibuat di Fakultas Teologi Universitas Gregoriana Roma; lengkapnya: A Prophetic Response to Unfulfilled Prophecy. 2 Belum lama ini juga muncul sebuah buku berjudul Namaku Nafiri: Lihatlah Anak Domba Allah! (2008). Catatan pada cover berbunyi (garis miring dari penulis): ”Sebuah kesaksian, penglihatan, dan nubuatan tentang berbagai kejadian menjelang kedatangan Yesus Kristus yang kedua kalinya (akhir zaman). Waktu-Nya sudah dekat dan dengarlah pesan-Nya!” 3 J.R. Stone, Expecting Armageddon, 1. 4 Oxford Advanced Learner’s Dictionary, misalnya, memberikan makna pertama pada kata ‘prophet’ (1) person who tells, or claims to be able to tell, what will happen in the future. 5 Menurut Ambrose Bierce (1842-1914) seorang satiris Amerika, Prophecy (n) adalah ”The art and practice of selling one’s credibility for future delivery” (The Devil’s Dictionary). 6 Juga karyanya yang lain, A Theory of Cognitive Dissonance. 7 Pembagian kitab nabi Yesaya menjadi 3 bagian, yaitu Yes 1-39, Yes 40-55, dan Yes 56-66 berasal dari Bernhard Duhm. B. Duhm, Das Buch Jesaia. 8 Bab II dalam disertasi saya disajikan karya-karya yang membahas Trito-Yesaya sejak tahun 1990. Karya-karya tersebut bisa digolongkan dalam 3 kelompok: (1) One-Prophet Interpretation; (2) Two/Three-Books Interpretation dan (3) One-Book Interpretation. 9 Lihat antara lain, W. Zimmerli, ”Zur Sprache Tritojesajas”, dalam W. Zimmerli, Gottes Offenbarung: Gesammelte Aufsätze zum Alten Testament, 217-233; H-.J. Kraus, ”Die ausgebliebene Endtheophanie”, ZAW 78 (1966) 317-332; P.D. Hanson, The Dawn of Apocalyptic. The Historical and Sociological Roots of Jewish Apocalyptic Eschatology. Revised Edition. 10 R.P. Carroll, When Prophecy Failed, 152.
Tanggapan Kenabian atas Nubuat yang Gagal
— 13
11 Ruszkowski dalam monografnya tentang Trito-Yesaya bahkan mengatakan bahwa Yes 56-59 dan 63-66 merupakan reaksi atas tidak terpenuhinya nubuat yang terdapat dalam Yes 60-62 dan bukan Deutero-Yesaya. L. Ruszkowski, Volk und Gemeinde im Wandel. Eine Untersuchung zu Jesaja 56-66, 15-18. 12 Harafiah: ”para penjaganya.” ”Nya” menunjuk pada bangsa Israel pada ay. 8. Terjemahan LAI ”pengawal-pengawal umat-Ku” tampaknya menerjemahkan usulan yang terdapat dalam apparatus kritik BHS ym[ ypc. 13 Kalimat behalqê-nahal helqêk pada ay. 6 sulit diterjemahkan. Akar kata hlq bisa mempunyai 3 arti: I. to be smooth; II. to divide; III. to die, to perish. LAI yang menerjemahkan ”Padamu hanya ada batu-batu licin dari sungai” memilih hlq I tetapi harus menambahkan kata ”batu-batu” karena tidak terkandung dalam kata to be smooth. Tidak jelas apa yang dimaksudkan. Mengingat kata nah al bisa menunjuk pada kuburan (grave, tomb) (bdk. Ayub 21,33; 28,4) mungkin lebih tepat memahami hlq dalam arti ketiga, to die; dan menerjemahkan seluruh kalimat ”With the dead of the graves is your portion” (”Bersama dengan orang-orang mati yang di kuburan adalah bagianmu”). 14 Versi LAI: ”Ya TUHAN, mengapa Engkau biarkan kami tersesat” mereduksi nuansa causatif dari bentuk hiphil dari kata kerja th. ”Membiarkan tersesat” tidak sama dengan ”menyebabkan tersesat.” 15 Versi LAI: ”Sesungguhnya, Engkau ini murka, sebab kami berdosa” menghubungkan kedua kalimat ini dengan hubungan kausal (bdk. KJV). Gramatika bahasa Ibrani sebenarnya tidak mengizinkan pemahaman seperti itu; bahkan sebaliknya seharusnya kedosaan umat yang disebabkan oleh Tuhan yang murka. Childs menerjemahkan ”It is because you have been angry that we have sinned” (bdk. TNK). B.S. Childs, Isaiah, 525. 16 Dalam AlkitabYahudi, frasa yang tersusun dari kata kerja ”meletakkan” (šym atau ntn) + objek + ”mulut” (peh) hanya muncul 11 x (Kel 4,15; Bil 22,38; 23,12.16; Ul 18,18; 31,19; 2Sam 14,3.19; Yes 51,16; 59,21; Yer 1,9). Sembilan kali kata kerja šym digunakan, sisanya dipakai kata ntn. YHWH menjadi subjek dalam 8 kesempatan, sementara manusia menjadi subjek dalam 3 teks: Kel 4.15 (Musa) dan 2Sam 14,3.19 (Yoab). 17 H.M. Barstad, ”No Prophets? Recent Development in Biblical Prophetic Research and Ancient Near Eastern Prophecy”, JSOT 57 (1993) 46. 18 R.P. Carroll, When Prophecy Failed, 153; juga H.-J. Hermisson, ”Einheit und Komplexität Deuterojesajas” dalam H.-J. Hermisson, Studien zu Prophetie und Weisheit. Gesammelte Aufsätz. 19 D.L. Smith-Christopher, A Biblical Theology of Exile, 8. 20 J. Blenkinsopp, Opening the Sealed Book, xvii.7. Penafsiran paling awal dari teks kitab nabi Yesaya adalah pesharim Yesaya yang ditemukan di Qumran yang hanya berbentuk fragment. 21 R.P. Carroll, When Prophecy Failed, 122.
Daftar Pustaka Pilihan: Barstad, H.M., ”No Prophets? Recent Development in Biblical Prophetic Research and Ancient Near Eastern Prophecy,” JSOT 57 (1993) 39-60. Berges, U., 1998
Das Buch Jesaja: Komposition und Endgestalt, Herder, Freiburg.
Blenkinsopp, J., 1996
A History of Prophecy in Israel, Westminster John Knox, Louisville
2000
Isaiah 1-39, Doubleday, New York.
2002
Isaiah 40-55; Doubleday, New York.
14 —
ORIENTASI BARU, VOL. 18, NO. 1, APRIL 2009
2003
Isaiah 56-66 Doubleday, New York.
2006
Opening the Sealed Book: Interpretations of the Book of Isaiah in Late Antiquity William B. Eerdmans, Grand Rapids – Cambridge.
Carroll, R.P., 1979
When Prophecy Failed, SCM Press, London.
Childs, B.S., 2000
Isaiah, Westminster, Louisville.
Duhm, B., 3
1914
Das Buch Jesaia, Vandenhoeck und Ruprecht, Göttingen.
Festinger, L., 1957
A Theory of Cognitive Dissonance, Stanford University Press, Stanford.
Festinger, L. - Riecken, H.E. - Schachter, S., 1956
When Prophecy Fails, University of Minnesota Press, Minneapolis.
Hanson, P.D., 1979
The Dawn of Apocalyptic. The Historical and Sociological Roots of Jewish Apocalyptic Eschatology. Revised Edition, Fortress Press, Philadelphia.
1996
Isaiah 40-66, John Knox, Louisville.
Hermisson, H-.J., 1998
Studien zu Prophetie und Weisheit. Gesammelte Aufsätze, Mohr-Siebeck, Tübingen.
Koenen, K., 1990
Ethik und Eschatologie im Tritojesajabuch. Eine literarkritische und redaktionsgeschichtliche Studie, Neukirchener Verlag, Neukirchen-Vluyn.
Koole, J.L. 2001
Isaiah III/3, Leuven, Peeters.
Kraus, H-.J., ”Die ausgebliebene Endtheophanie,” ZAW 78 (1966) 317-332. Lau, W., 1994
Schriftgelehrte Prophetie in Jesaja 56-66, de Gruyter, Berlin.
Muilenburg, J., ”Isaiah 40-66,” IB V (Nashville: Abingdon, 1956) 652-773. Pontifical Biblical Commission, 2002
The Jewish People and Their Sacred Scriptures in the Christian Bible, Libreria Editrice Vaticana, Vatican.
Tanggapan Kenabian atas Nubuat yang Gagal
— 15
Ruszkowski, L., 2000
Volk und Gemeinde im Wandel. Eine Untersuchung zu Jesaja 56-66, Vandenhoek & Ruprecht, Göttingen.
Smith-Christopher, D.L., 2002
A Biblical Theology of Exile, Augsburg Fortress, Minneapolis.
Stone, J.R. (ed.), 2000
Expecting Armageddon. Essential Reading in Failed Prophecy, Routledge, New York – London.
Zimmerli, W., 1963
16 —
”Zur Sprache Tritojesajas”, in Gottes Offenbarung: Gesammelte Aufsätze zum Alten Testament, TB 19, Kaiser, Munich, 217-233.
ORIENTASI BARU, VOL. 18, NO. 1, APRIL 2009