Siahaan, Studi tentang Pengelolaan Sekolah ...
STUDI TENTANG PENGELOLAAN SEKOLAH MENENGAH UMUM TERBUKA (SMU TERBUKA) Sudirman Siahaan WBP. Simanjuntak
Through Open and Distance Learning (ODL), the constraints of time, geographical conditions, transportation means, as well as problem of distance can be overcome. ODL is applied by many countries to provide educational services or opportunities both in-and-out of school education system. One of the innovative educational alternatives implemented by the Ministry of National Education, Republic of Indonesia, which is still in the pilot stage, is Open Senior Secondary School (OSSS). In the pilot stage, the conduct of a study focusing on the management of the OSSS model or system will be valuably important for its further improvement before being disseminated. The Local Governments agreed that the feasibility and flexibility of the OSSS system will be able to increase the participation rate and to provide greater learning opportunities for Junior Secondary School graduates and Senior Secondary School drop-outs. Key words: Open Senior Secondary School,ODL, Learning Opportunities
Data kependidikan Departemen Pendidikan Nasional tahun 1998/1999 menunjukkan bahwa hanya 1.778.100 siswa dari 2,66 juta (66,9%) lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) yang melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Pada tahun yang sama, jumlah siswa putus sekolah pada SLTA sebanyak 243.100 siswa dari 5.610.000 siswa (9,03%) (Balitbang-Depdiknas, 1999). Pada tahun 1999, terdapat jumlah lulusan SLTP yang tidak melanjutkan pendidikan ke SLTA yang cukup besar di Jawa Barat 43,99%, Jawa Tengah (46,49%), Nusa Tenggara Timur Sudirman Siahaan dan WBP. Simanjuntak adalah peneliti pada SEAMOLEC 59
Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, Vol. 5, No.1, Maret 2004, 59-82
(53,77%), Sumatera Barat (20,16%), dan Sulawesi Selatan (23%) (Pustekkom, 1999). Bagi sebagian lulusan SLTP, faktor kemampuan sosial ekonomi dan waktu merupakan penyebab utama mereka tidak melanjutkan pendidikan ke SLTA reguler. Faktor ini juga merupakan penyebab siswa putus sekolah di SLTA reguler. Artinya, para siswa harus bekerja mencari nafkah membantu keluarga pada saat yang bersamaan dengan jam-jam sekolah di SLTA reguler (pagi dan siang hari) sekalipun memiliki minat dan motivasi belajar yang besar untuk menyelesaikan pendidikan SLTA. Model pendidikan alternatif setingkat SLTA yang bersifat fleksibel yang dapat diikuti oleh para lulusan SLTP dan siswa putus sekolah di SLTA masih belum tersedia sampai dengan tahun 2001 kecuali model Ujian Persamaan (UPERS). Berdasarkan pertimbangan masih besarnya jumlah lulusan SLTP yang tidak melanjutkan pendidikan ke SLTA dan masih tingginya persentase jumlah siswa putus sekolah pada SLTA maka merintis penyelenggaraan sistem pendidikan SLTA yang bersifat non konvensional menjadi sangat penting dan strategis. Sistem pendidikan yang dimaksudkan adalah Sekolah Menengah Umum Terbuka (SMU Terbuka). Dari hasil studi kelayakan, telah ditetapkan 6 (enam) propinsi sebagai lokasi perintisan SMU Terbuka, yaitu: (1) Jawa Barat, (2) Jawa Tengah, (3) Jawa Timur, (5) Riau, (6) Kalimantan Timur, dan (7) Sulawesi Selatan (Siahaan dan Christanto, 2000). Perintisan penyelenggaraan pendidikan SMU Terbuka telah dimulai pada tahun 2002. Sebagai tahun pertama perintisan, tentunya masih ada aspekaspek tertentu mengenai SMU Terbuka yang perlu ditingkatkan. Berbagai aspek yang dimaksudkan dapat berupa: adanya komponen sistem SMU Terbuka yang belum dapat dilaksanakan, kendala yang mungkin belum sepenuhnya terselesaikan, kegiatan pembelajaran yang mungkin belum berjalan lancar, dan hambatan yang bersifat administratif. Memperhatikan hal yang demikian ini, dipandang perlu untuk melakukan penelitian guna mendapatkan berbagai masukan terhadap penyempurnaan pengelolaan SMU Terbuka. Artikel ini ditulis berdasarkan hasil studi tentang “Pengelolaan SMU Terbuka”. Tujuan umum pelaksanaan studi ini adalah untuk mendapatkan data/informasi yang dapat menjadi dasar pengembangan rekomendasi bagi perbaikan/penyempumaan pengelolaan SMU Terbuka sebelum didiseminasikan. Dalam artikel ini akan dibahas tentang (1) pengelolaan SMU Terbuka di tingkat Kabupaten/Kota, (2) pengelolaan SMU Terbuka di tingkat sekolah, dan (3) faktor penghambat dan pendukung dalam pengelolaan SMU Terbuka.
60
Siahaan, Studi tentang Pengelolaan Sekolah ...
Pendidikan terbuka dan pendidikan jarak jauh, memiliki beberapa perbedaan. Ros Morpeth (1999), mengemukakan bahwa “... open learning adalah "an umbrella term for any scheme of education or training that seeks systematically to remove barriers to learning, whether they are concerned with age, time, place or space, With open learning, individuals take responsibility for what they learn, how they learn, where they learn, how quickly they learn, who helps them and when they have their learning assessed" (Morpeth, 2004). Sedangkan "distance learning" menurut Nursel Selver Ruzgar yang merujuk pada pemikiran Desmond Keegan ditandai dengan adanya unsur-unsur, seperti: "the separation of teacher and learner which distinguishes it from face to face lecturing, the influence of an educational organization which distinguishes it from private study, the use of technical media, usually print, to unite teacher and learner and carry the educational content, the provision of twoway communication so that the student may benefit from or even initiate dialogue, the possibility of occasional meetings for both didactic and socialization purposes, and the participation in an industrialized form of education, which if accepted, contains the genus of radical separation of distance education from other forms" (Ruzgar, 2004 dan Keegan, 1990). Untuk kesamaan pemahaman akan istilah pendidikan terbuka dan pendidikan jarak jauh maka istilah yang digunakan di dalam artikel ini adalah pendidikan terbuka/jarak jauh dengan pengertian sebagai berikut. 1) Adanya keterpisahan antara peserta didik dengan guru/instruktur . 2) Sebagian besar kegiatan belajar peserta didik dilakukan melalui berbagai bahan pembelajaran yang dirancang secara khusus yang memungkinkan mereka belajar secara mandiri di samping memanfaatkan berbagai bahan belajar lainnya yang tersedia di lingkungannya. 3) Peserta didik belajar mandiri (individual maupun kelompok), baik di Tempat Kegiatan Belajar (TKB) maupun tempat lain. 4) Peserta didik dimungkinkan untuk mengikuti kegiatan pembelajaran tatap muka dengan guru/instruktur secara terbatas. 5) Adanya institusi yang melakukan akreditasi terhadap hasil belajar peserta didik (peserta didik mendapat ijazah yang sama dengan yang diterima oleh peserta didik SMU konvensional. Indonesia termasuk salah satu negara di Asia Tenggara yang telah menerapkan pendekatan pendidikan terbuka/jarak jauh dalam memecahkan masalah pendidikan. Pendidikan terbuka/jarak jauh telah dikembangkan di 61
Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, Vol. 5, No.1, Maret 2004, 59-82
Indonesia sejak tahun 1950-an sebagai salah satu bentuk layanan pendidikan yang ditujukan bagi para guru Sekolah Dasar (SD), SLTP dan SLTA yang belum memenuhi persyaratan kualifikasi mengajar di (SD), SLTP atau SLTA (Siahaan, 2000). Pendidikan dan pelatihan terbuka/jarak jauh terus berkembang. Demikian juga dengan bahan belajarnya. Penggunaan siaran radio yang ditunjang oleh media cetak telah dirintis untuk penataran guru SD pada tahun 1976 (Pustekkom, 1999). Sedangkan pada satuan pendidikan SLTP, dikenal adanya SLTP Terbuka yang dirintis pada tahun 1979 dengan tujuan untuk mengakomodasikan luapan lulusan SD. Luapan lulusan SD ini terjadi sebagai akibat pembangunan SD Inpres secara besar-besaran beberapa tahun sebelumnya. Model SLTP Terbuka dijadikan sebagai salah satu model pendidikan untuk mensukseskan program Wajib Belajar (Wajar) Dikdas 9 Tahun. SLTP Terbuka terus dikembangkan dan ditingkatkan sesuai dengan tuntutan kebutuhan. Sementara itu lulusan SLTP yang tidak dapat diakomodasikan di SLTA terus meningkat jumlahnya. Demikian juga halnya dengan jumlah siswa SLTA yang putus sekolah. Untuk mengatasi keadaan yang demikian ini, telah dirintis penyelenggaraan SMU Terbuka pada tahun 2002 di enam propinsi. Model pembelajarannya tidak berbeda dengan SLTP Terbuka. SMU Terbuka diselenggarakan atas tanggungjawab bersama Departemen Pendidikan Nasional dengan Pemda. Pada jenjang pendidikan tinggi terdapat Universitas Terbuka (UT) yang didirikan pada tahun 1984. Kegiatan pembelajaran yang dikembangkan oleh UT memungkinkan para mahasiswanya untuk tetap dapat bekerja sambil belajar di tempatnya masing-masing sesuai dengan ketersediaan waktu dan kecepatan belajarnya (UT, 1998). SMU Terbuka adalah pola pendidikan terbuka/jarak jauh pada jenjang pendidikan menengah yang kegiatan pembelajarannya dilaksanakan secara fleksibel melalui penerapan prinsip belajar mandiri. Pada hakikatnya, SMU Terbuka sama dan sederajat dengan SMU reguler/konvensional. Perbedaannya terletak pada aspek pembelajaran SMU Terbuka yang fleksibel dan kemandirian siswanya dalam belajar (Pustekkom-Depdiknas, 2000). Ada lima konsep dasar yang melandasi pengertian SMU Terbuka sebagai berikut. 1) Belajar pada prinsipnya adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil interaksi seseorang dengan sumber belajar, baik yang dirancang secara khusus maupun melalui pemanfaatan sumber belajar yang tersedia; 2) Kegiatan belajar dapat terjadi di mana dan kapan saja, serta tidak sepenuhnya hanya tergantung pada guru dan gedung sekolah. 62
Siahaan, Studi tentang Pengelolaan Sekolah ...
3) Kegiatan belajar-mengajar akan mencapai tujuannya apabila berpusat pada siswa dan melibatkan siswa secara aktif. 4) Penggunaan media pembelajaran yang dirancang secara benar dan tepat akan dapat memberi hasil belajar yang maksimal sesuai dengan karakteristik media itu sendiri. 5) Peserta didik pada prinsipnya mempunyai peluang yang sama untuk berhasil dalam belajarnya apabila diberikan kesempatan dan perlakuan yang sesuai dengan karakteristiknya (Pustekkom-Depdiknas, 2000). Perintisan penyelenggaraan SMU Terbuka dilandasi oleh beberapa faktor, antara lain. 1) Tingginya angka lulusan SLTP yang tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan menengah (33,1%). 2) Besarnya jumlah siswa SLTA yang putus sekolah (9,03%). 3) Keberadaan SMU konvensional masih terbatas pada tingkat kabupaten/ kota terutama di luar Jawa (faktor jarak dan geografis). 4) Anak-anak usia SLTA, terutama yang tinggal di daerah pedesaan (rural areas) dan daerah-daerah padat penduduk dan kumuh di perkotaan (urban areas), harus bekerja membantu orangtua mencari nafkah (faktor kemampuan finansial orangtua dan waktu). 5) Pengalaman menyelenggarakan pendidikan terbuka jarak jauh untuk peserta didik SLTP dan guru SD. Perintisan SMU Terbuka dilaksanakan di tujuh lokasi yang tersebar di 6 enam propinsi. Ke tujuh lokasi perintisan adalah: (1) SMU Terbuka Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, (2) SMU Terbuka Moga, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, (3) SMU Terbuka Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur, (4) SMU Terbuka Surabaya, propinsi Jawa Timur, (5) SMU Terbuka Rupat, Kabupaten Bengkalis, Riau, (6) SMU Terbuka Samarinda, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, dan (7) SMU Terbuka Bungoro, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Berdasarkan berbagai pertimbangan dan keterbatasan yang ada, secara sengaja studi mengambil tiga lokasi penyelenggaraan SMU Terbuka yaitu Kabupaten Bogor, (propinsi Jawa Barat), Kota Surabaya, (propinsi Jawa Timur), dan Kota Samarinda, (propinsi Kalimantan Timur). Beberapa pertimbangan dalam penentuan sampel studi adalah sebagai berikut. 1) Mengingat ada enam propinsi tempat perintisan SMU Terbuka, maka sebagai sampel studi diambil tiga propinsi. Ketiga propinsi yang dijadikan sampel mewakili daerah Jawa dan luar Jawa. Masing-masing propinsi diwakili oleh satu lokasi SMU Terbuka. 2) Sampel studi mewakili daerah perkotaan, baik yang ada di Jawa (kepadatan penduduk relatif tinggi) maupun di luar Jawa (kepadatan 63
Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, Vol. 5, No.1, Maret 2004, 59-82
penduduk relatif rendah) dan yang mewakili daerah kabupaten. Untuk kabupaten, diambil sampel lokasi SMU Terbuka yang relatif jauh dari ibukota kabupaten (berjarak sekitar 45 sampai 50 km). Dengan demikian, Surabaya mewakili daerah kota di Jawa, Samarinda mewakili daerah kota di luar Jawa, dan kabupaten Bogor mewakili daerah kabupaten. 3) Sampel studi mewakili jumlah lulusan SLTP yang tidak tertampung di SLTA untuk kategori kelompok tinggi, sedang, rendah, dan jumlah siswa putus sekolah di SLTA untuk kategori kelompok tertinggi, sedang, dan rendah. Data tentang jumlah lulusan SLTP yang tidak tertampung di SLTA dan jumlah siswa putus sekolah di SLTA pada kurun waktu 1997/98 sampai dengan 1999/2000 yang terdapat di ketujuh lokasi disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Rata-rata Jumlah Lulusan SLTP yang Tidak Tertampung di SLTA dan Jumlah Siswa Putus Sekolah di SLTA Tahun 1997/1998-1999/ 2000.
No.
Propinsi
1. 2.
Jabar Jateng
3.
Jatim
4.
Kaltim
5.
Riau
6.
Sulsel
Kabupaten/ Kota Kab. Bogor Kab. Pemalang Kab. Malang Kota Surabaya Kota Samarinda Kab. Bengkalis Kab. Pangkep
Lulusan SLTP Tidak Tertampung di SLTA 25.112 6.749
Siswa Putus Sekolah di SLTA 294 567
11.251 3.157
446 896
612
20
5.633
313
1.066
9
Instrumen pengumpulan data/informasi yang digunakan adalah pedoman wawancara, kuesioner, dan diskusi kelompok terfokus. Pengumpulan dan pengolahan data/informasi yang diperoleh melalui ke tiga jenis instrumen ini berlangsung selama bulan November dan Desember 2002. Rincian penggunaan instrumen dapat dilihat pada Tabel 2.
64
Siahaan, Studi tentang Pengelolaan Sekolah ...
Tabel 2.Klasifikasi dan Jumlah Responden yang Menjadi Sampel Studi
Klasifikasi dan Jumlah Responden No. 1. 2. 3.
Nama SMU Terbuka Kabupaten Bogor Surabaya Samarinda Jumlah
Dinas Pend. 1 1 1 3
Kepala Sekolah 1 1 1 3
Guru Bina 7 7 7 21
Siswa 17 17 17 51
Secara umum, data/informasi yang telah dikumpulkan diolah, dianalisis, dan disajikan secara deskriptif dengan menggunakan persentase (frekuensi). Sedangkan data/ informasi yang didapatkan dari Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota atau yang mewakili, diolah, dianalisis, dan disajikan secara kualitatif sesuai dengan visi dan persepsi mereka tentang SMU Terbuka, baik berupa permasalahan, prospek ke depan, dan tantangan yang akan dihadapi dalam penyelenggaraan SMU Terbuka. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pelaksanaan studi Pengelolaan SMU Terbuka ini disambut positif oleh Dinas Pendidikan di ke tiga lokasi perintisan yang menjadi sampel studi. Hasil studi mengungkapkan berbagai aspek, baik yang sifatnya positif maupun yang bersifat negatif. Hasil studi dapat menjadi bahan pertimbangan/masukan terhadap perbaikan/penyempurnaan pengelolaan SMU Terbuka di tahuntahun berikutnya. Pengelolaan SMU Terbuka di Tingkat Kabupaten/Kota Sambutan positif Pemda (Pemda) terhadap pelaksanaan perintisan SMU Terbuka didasarkan pada kondisi objektif perkembangan pendidikan yang ada di wilayah masing-masing antara lain: 1) Angka Partisipasi Kasar (APK) untuk jenjang pendidikan menengah yang dinilai masih relatif rendah; 2) Angka putus sekolah di SLTA yang dinilai masih tinggi; 3) Jarak SLTA yang ada relatif jauh dari tempat tinggal sebagian besar masyarakat sehingga menuntut biaya yang relatif tinggi untuk menghadirkan anak secara reguler setiap hari ke sekolah; 4) Sarana transportasi yang tersedia di beberapa daerah relatif sangat terbatas; dan 65
Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, Vol. 5, No.1, Maret 2004, 59-82
5) Kondisi geografis yang ada, dan tuntutan ekonomi keluarga agar anak turut membantu orangtua mencari nafkah sehari-hari. Selain kondisi objektif tersebut di atas, sambutan positif Pemda juga didasarkan pada prinsip penyelenggaraan pendidikan SMU Terbuka itu sendiri yang bersifat fleksibel dan mengoptimalkan pemanfaatan berbagai sumber daya yang ada di masyarakat. Contoh sumber daya yang dimaksud antara lain, bangunan sekolah beserta fasilitasnya, tenaga guru dan anggota masyarakat yang berpotensi, serta berbagai industri rumah tangga yang dikembangkan masyarakat. Dengan fleksibilitas SMU Terbuka, para siswa belajar secara mandiri (baik individual maupun kelompok), baik di TKB maupun di Sekolah Induk. Para siswa juga tidak dituntut berpakaian seragam apabila datang belajar ke TKB maupun ke Sekolah Induk sehingga tidak menambah beban pembiayaan para orangtua siswa. Dengan pertimbangan tersebut Pemda mengharapkan penyelenggaraan SMU Terbuka dapat meningkatkan APK dan menurunkan angka putus sekolah pada jenjang pendidikan menengah. Pemda juga telah mengalokasikan dana di APBD masing-masing untuk penyelenggaraan SMU Terbuka sejak tahun pertama perintisan. Komitmen Pemda ini akan terus berlanjut, baik selama perintisan maupun dalam penyebarluasannya. Sejauh ini, dana Pemda masih terbatas untuk pembayaran honorarium pengelola, mulai dari tingkat kabupaten/kota sampai ke tingkat sekolah. Berkaitan dengan tahap perintisan, Pemda mengusulkan agar perintisan SMU Terbuka dilaksanakan selama tiga tahun, yaitu sampai menghasilkan lulusan yang pertama. Pertimbangannya adalah bahwa selama masa perintisan, telah dilakukan berbagai upaya perbaikan dan penyempurnaan terhadap berbagai kekurangan dan kelemahan yang ada dalam pengelolaan SMU Terbuka. Dengan demikian pada tahun keempat Pemda menilai telah cukup memadai untuk menyebarluaskan SMU Terbuka ke daerah yang membutuhkan. Selanjutnya, pengelolaan SMU Terbuka di tingkat Kabupaten/Kota tidak terlepas dari aspek penentuan kebijakan yang akan menjadi landasan bagi pengembangan SMU Terbuka, mulai dari tahap perintisan sampai dengan penyebarluasannya. Kebijakan Pemda yang berkaitan dengan penyelenggaraan SMU Terbuka dapat dikemukakan sebagai berikut. Masa Perintisan Dalam tahap perintisan, kegiatan monitoring dan supervisi dinilai Pemda sangat berperan terhadap upaya perbaikan atau peningkatan kualitas pengelolaan SMU Terbuka. Peranserta aktif Pemda dan berbagai pihak terkait diharapkan akan dapat meningkatkan daya tampung SLTA. Salah 66
Siahaan, Studi tentang Pengelolaan Sekolah ...
satu prinsip penyelenggaraan SMU Terbuka adalah memberikan kesempatan yang lebih luas kepada para lulusan SLTP agar dapat melanjutkan pendidikannya pada jenjang pendidikan menengah. Karena itu, penerimaan siswa baru SMU Terbuka dilakukan setelah penerimaan siswa baru SLTA reguler (negeri dan swasta) berakhir. Kebijakan ini sekaligus juga untuk menepis pemikiran para pengelola SLTA swasta bahwa kehadiran SMU Terbuka akan dapat mengurangi jumlah calon siswa mereka sehingga akan dapat mematikan keberadaan SLTA swasta. Sesuai dengan rancangan yang ada, jumlah siswa baru yang akan diterima di masing-masing SMU Terbuka pada tahun pertama berkisar antara 40 sampai 80 siswa. Kenyataannya, masing-masing SMU Terbuka, terutama di tiga daerah sampel studi, siswa baru yang diterima jumlahnya melebihi yang ditetapkan sebagaimana yang disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Jumlah Siswa Baru SMU Terbuka di Tiga Lokasi Perintisan No. 1. 2. 3.
Nama SMU Terbuka
Jumlah Siswa Baru
SMU Terbuka Leuwiliang, Cibinong, Jawa Barat SMU Terbuka Surabaya, Jawa Timur SMU Terbuka Samarinda, Kalimantan Timur
149 111 93
Dinas Pendidikan di ke tiga lokasi perintisan mengemukakan bahwa biaya pengelolaan SMU Terbuka adalah tanggungjawab Pemda masingmasing. Komitmen Pemda untuk memajukan pendidikan di daerahnya tercermin dari pengalokasian anggaran untuk pengelolaan SMU Terbuka semenjak tahap perintisan. Sebagai contoh, pada Tabel 4 disajikan besarnya anggaran yang dialokasikan Pemda untuk penyelenggaraan SMU Terbuka pada tahun pertama perintisan. Tabel 4. Dana Pemda untuk Pengelolaan SMU Terbuka No.
Nama SMU Terbuka
1.
SMU Terbuka Leuwiliang, Cibinong, Jawa Barat SMU Terbuka Surabaya, dan SMU Kipanjen Malang, Jawa Timur SMU Terbuka Samarinda, Kalimantan Timur
2. 3.
Dana Pemda (Rp.) 100.000.000,-
130.000.000,-
244.146.000,-
631.070.000,-
54.000.000,- Akan ditingkatkan dan dipadukan ke dalam anggaran Sekolah Induk
67
Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, Vol. 5, No.1, Maret 2004, 59-82
Penyebarluasan SMU Terbuka Pada tahun 2004, Pemda merencanakan penyebarluasan SMU Terbuka secara bertahap ke berbagai wilayah di masing-masing propinsi dan Kabupaten/Kota yang menjadi tempat perintisan SMU Terbuka. Masingmasing Dinas Pendidikan akan mendiseminasikan SMU Terbuka ke berbagai lokasi sehingga memperluas kesempatan belajar bagi para lulusan SLTP yang belum tertampung di berbagai SLTA yang ada dan para siswa SLTA yang putus sekolah. Penyebaran SMU Terbuka akan dilakukan bertahap, di daerah perkotaan maupun pedesaan. Direncanakan setiap SMU Terbuka setidak-tidaknya akan menerima sekitar 120 siswa baru setiap kelas. Apabila di setiap propinsi perintisan didirikan sekitar empat atau lima lokasi baru SMU Terbuka maka pada tahun pertama penyebarluasan, setidaktidaknya akan terlayani sekitar 2.880 sampai 3.600 lulusan SLTP atau siswa SLTA putus sekolah. Dengan model SMU Terbuka, APK untuk pendidikan SLTA di Kabupaten/Kota yang menjadi lokasi perintisan SMU Terbuka akan dapat ditingkatkan. Dalam kaitan ini, faktor sosialisasi SMU Terbuka, baik secara internal di lingkungan Pemda maupun langsung kepada masyarakat melalui media massa dan tradisional, akan turut menentukan tingkat keberhasilan penyelenggaraan SMU Terbuka. Yang menjadi prioritas untuk dibenahi dalam penyelenggaraan SMU Terbuka menurut responden adalah yang berkaitan dengan aspek pengelolaan SMU Terbuka itu sendiri. Pengelolaan SMU Terbuka akan dapat meningkat apabila para pengelolanya terutama di tingkat sekolah merasa diperhatikan, yaitu misalnya bahan belajar diterima tepat waktu dan jumlahnya, biaya operasional diterima secara teratur, dan adanya pembinaan para guru secara berkesinambungan. Dengan semakin membaik atau meningkatnya pengelolaan SMU Terbuka maka akan semakin terbuka lebih luas kesempatan memperoleh layanan pendidikan. Pengelolaan SMU Terbuka di Tingkat Sekolah Ketenagaan Guru Pamong adalah seseorang yang dipilih dari anggota masyarakat setempat yang menyediakan waktu untuk mendampingi para siswa SMU Terbuka belajar di TKB. Guru Pamong memang tidak dirancang untuk mengajar sehingga tidak perlu harus berkualifikasi mengajar di SLTA. Tugasnya sehari-hari adalah mengorganisasikan kegiatan belajar siswa di TKB, seperti antara lain: membagikan modul yang akan dipelajari dan mengumpulkan modul yang sudah selesai dipelajari siswa, memotivasi siswa untuk disiplin dan giat belajar, mendorong siswa untuk melakukan diskusi, 68
Siahaan, Studi tentang Pengelolaan Sekolah ...
dan mengatur siswa untuk memanfaatkan sumber belajar lainnya. Sedangkan guru Bina adalah guru mata pelajaran yang mengajar di SMU Induk. Berdasarkan dokumen yang tersedia terdapat sekitar 27,17% Guru Bina wanita dan 14,29% Guru Pamong wanita di ketiga lokasi perintisan sampel. Sedangkan di empat lokasi perintisan SMU Terbuka Iainnya terdapat sekitar 29,80% Guru Bina wanita dan 15,00% Guru Pamong wanita. Apabila ditinjau dari keseluruhan lokasi perintisan SMU Terbuka maka terdapat sekitar 31,50% Guru Bina wanita dan 14,30% Guru Pamong wanita sebagaimana yang disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Jumlah TKB Guru Bina dan Guru Pamong di 3 Lokasi Sampel Studi No.
Propinsi
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur (Surabaya) Jawa Timur (Malang) Riau Kalimantan Timur Sulawesi Selatan Jumlah Jumlah
Jumlah TKB 9 6 5 5 3 4 5 37
Guru Bina Pr. 6 4 4 5 6 5 4 34
Lk. 11 9 9 8 8 10 8 63 97
Guru Pamong Pr. Lk. 1 6 3 3 2 3 -5 -3 -8 -6 6 36 42
Jumlah Pr. 7 7 6 5 6 5 4 40
Lk. 19 12 12 13 11 18 14 99 139
Mengingat spesifikasi tenaga yang berperanserta dalam pengelolaan SMU Terbuka di tingkat sekolah adalah Kepala Sekolah dan wakil, Guru Bina, Guru Pamong, dan tenaga Tata Usaha (administrasi) maka keadaan tenaga di masing-masing lokasi perintisan SMU Terbuka bervariasi seperti yang disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Jumlah Guru Bina, Guru Pamong, dan Tenaga Tata Usaha SMU Terbuka di 3 Daerah Sampel Studi No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Nama SMU Terbuka Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur (2 lokasi) Riau Kalimantan Timur Sulawesi Selatan Jumlah
Kepala Sekolah
Wakil Kasek
Guru Bina
Guru Pamong
Staf TU
1 1 2 1 1 1 7
1 1 2 1 1 1 7
17 13 26 14 15 12 97
9 6 10 3 8 6 42
4 7 5 4 6 3 29
69
Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, Vol. 5, No.1, Maret 2004, 59-82
Latar belakang pendidikan Guru Bina dan Guru Pamong, balk di lokasi sampel penelitian maupun di empat lokasi perintisan lainnya tidak jauh berbeda. Di ke tiga lokasi sampel studi, hampir semua Guru Bina (95,55%) berpendidikan Sarjana (S-1), Guru Pamong (76,20%) berpendidikan Sarjana (S-1), dan sekitar (23,80%) berpendidikan Sarjana Muda (BA) atau yang lebih rendah. Di empat daerah perintisan lainnya sebagian besar Guru Bina (93,81%) berlatar belakang pendidikan Sarjana (S-1) dan sisanya (6,19%) berlatar belakang pendidikan BA. Sedangkan Guru Pamong umumnya 76,20% berpendidikan S-1 dan sekitar 23,80% berpendidikan BA atau yang lebih rendah. Tabel 7. Latar Belakang Pendidikan Guru Bina dan Guru Pamong SMU Terbuka No. Nama SMU Terbuka Sampel studi (3 lokasi) 1. Jawa Barat 2. Jawa Timur (Surabaya) 3. Kalimantan Timur Sub Total (1) Peerintisan lainnya (4 lokasi) 4. Jawa Tengah 5. Jawa Timur (Malang) 6. Riau 7. Sulawesi Selatan Sub Total (2) TOTAL
Guru Bina
Guru Pamong
Jumlah
1 --1
16 13 14 43
-----
4 -1 5
5 5 6 16
-----
26 18 21 65
1 -3 -5
12 13 11 12 43
------
--2 2 5
5 5 1 3 16
1 -----
19 18 17 17 65
Apabila ditinjau dari keseluruhan lokasi perintisan SMU Terbuka maka sekitar 75,00% dan jumlah Guru Pamong berpendidikan S-1 dan 22,50% berpendidikan BA atau yang lebih rendah. Bahan Belajar dan Pembelajaran Kurikulum yang digunakan di SMU Terbuka sama dengan yang digunakan di SMU reguler. Menurut Kepala Sekolah SMU Terbuka, modul sebagai bahan belajar utama yang digunakan oleh siswa Kelas I SMU Terbuka dinilai telah mencakup sebagian besar dari kurikulum yang berlaku. Sejauh ini, para siswa SMU Terbuka di tiga lokasi studi belum mendapatkan bahan belajar modul yang mengandung muatan lokal. Sekalipun modul untuk mata pelajaran agama, kesenian, dan pendidikan jasmani belum ada, namun kepada para siswa SMU Terbuka tetap diberikan pelajaran pendidikan agama, kesenian, pendidikan jasmani. Bahan belajar lain yang digunakan 70
Siahaan, Studi tentang Pengelolaan Sekolah ...
adalah program VCD (masih dalam jumlah yang terbatas), buku paket, dan buku-buku penunjang yang tersedia di perpustakaan Sekolah Induk. Modul yang diterima SMU Terbuka selama semester I tahun 2002 hanya mencakup sekitar 75% dari jumlah keseluruhan siswa. Bahan-bahan belajar tersebut seluruhnya terlambat diterima, bahkan untuk mata pelajaran tertentu tidak ada modulnya sama sekali. Inisiatif yang ditempuh para pengelola di tingkat sekolah untuk mengatasi keterlambatan bahan belajar adalah dengan membagikan buku paket yang tersedia di Sekolah Induk. Sesuai dengan rancangan SMU Terbuka, pada umumnya para siswa belajar secara mandiri dengan menggunakan modul dibawah supervisi Guru Pamong. Sekali atau dua kali seminggu, para siswa ini mendapat kesempatan untuk bertemu dengan guru mata pelajaran guna mengikuti kegiatan belajar tutorial tatap muka yang diselenggarakan di Sekolah Induk. Sekalipun demikian, masih terbuka kemungkinan untuk melaksanakan tutorial tatap muka di salah satu TKB atau di tempat lain. Persyaratannya adalah tempat pelaksanaan tutorial tatap muka tersebut sejauh mungkin memang layak dan menunjang kelancaran tutorial serta disepakati bersama oleh Guru Bina dan para siswa. TKB adalah tempat kegiatan belajar mandiri sehari-hari para siswa SMU Terbuka yang lokasinya relatif terjangkau oleh siswa. Selain sebagai tempat belajar, TKB berfungsi juga sebagai wahana bersosialisasi bagi para siswa SMU Terbuka. TKB dapat berupa gedung sekolah atau bangunan lainnya yang mendukung pelaksanaan kegiatan belajar dan tidak digunakan pada siang/sore hari. Para siswa SMU Terbuka pada umumnya berkumpul dan belajar setiap hari sekitar pukul 14.00 - 17.00 WIB di TKB dengan didampingi oleh Guru Pamong. Sekolah yang dijadikan sebagai Sekolah Induk SMU Terbuka adalah SMU Negeri yang dinilai mempunyai fasilitas pembelajaran yang memadai di samping memang memiliki potensi atau kemampuan untuk berfungsi sebagai Sekolah Induk. Kegiatan tutorial tatap muka setiap minggunya berlangsung sekitar dua sampai enam jam. Sekitar 75% siswa SMU Terbuka datang dan aktif mengikuti tutorial tatap muka ini. Kegiatan tutorial tatap muka disediakan untuk setiap mata pelajaran. Di samping tutorial tatap muka, para siswa juga mendapatkan layanan bantuan untuk mengatasi berbagai kesulitan, baik yang menyangkut kegiatan pembelajaran maupun yang bersifat pribadi (bimbingan dan konseling). Selama satu semester kegiatan pembelajaran berlangsung, siswa mengikuti 5 (lima) jenis tes, yaitu (1) tes mandiri (siswa menilai tingkat penguasaannya sendiri melalui tes yang terdapat di dalam modul dengan menggunakan kunci jawaban yang disediakan), (2) tes akhir unit (tes 71
Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, Vol. 5, No.1, Maret 2004, 59-82
kelompok modul), (3) tes tengah semester, (4) tes akhir semester, dan (5) ulangan harian. Sistem Rekruitmen Siswa dan Latar Belakang Pendidikannya Rekruitmen siswa baru SMU Terbuka dilakukan dengan cara calon siswa sendiri yang datang ke Sekolah Induk untuk mendaftarkan dirinya masing-masing. Sedangkan tahapan kegiatan yang dilakukan sebelum penerimaan siswa baru SMU Terbuka adalah melakukan sosialisasi SMU Terbuka kepada para pimpinan SLTP yang dinilai potensial untuk menjadi sumber siswa SMU Terbuka dan para tokoh, anggota masyarakat serta aparat kelurahan. Dari hasil penerimaan siswa baru tahun ajaran 2002/2003, jumlah siswa baru yang ditargetkan tercapai 100%, bahkan melebihi karena masih ada siswa yang mendaftar sekalipun pembelajaran telah berlangsung. Siswa SMU Terbuka yang menjadi responden di dalam studi ini sebanyak 51 orang, yaitu 27 siswa pria dan 24 siswa wanita. Apabila dilihat dari usia sekolah untuk SLTA (16-18 tahun) maka lebih dari separoh (67,74%) siswa SMU Terbuka adalah berusia sekitar 16-18 tahun sebagaimana yang disajikan pada Tabel 8. Artinya, masing-masing lokasi perintisan tetap memprioritaskan anak-anak usia sekolah SLTA untuk menjadi siswa SMU Terbuka sesuai dengan disain perintisan SMU Terbuka. Hal ini tampak dari jumlah siswa SMU Terbuka yang sebagian besar (67,74%) berusia sekolah SLTA. Sekalipun demikian, pengelola SMU Terbuka pada tingkat sekolah tetap memberikan kesempatan kepada anak-anak di bawah maupun di atas usia sekolah SLTA (32,26%) untuk menjadi siswa SMU Terbuka. Tabel 8. Latar Belakang Usia Siswa SMU Terbuka No. 1. 2. 3.
Rentangan Usia Siswa Di bawah Usia Sekolah SLTA (< 16 tahun) Usia Sekolah SLTA (16-18 tahun) Di atas Usia Sekolah SLTA (> 18 tahun) Jumlah
Jumlah Siswa 4 33 14 51
% 07,64 64,71 27,45 100,00
Perintisan SMU Terbuka tidak hanya dilaksanakan di daerah yang bernuansa pedesaan (Kabupaten) tetapi juga di daerah perkotaan (Kota). Daerah pedesaan dan perkotaan yang dipilih adalah daerah yang memiliki lulusan SLTP yang tidak melanjutkan pendidikannya ke SLTA dan yang putus sekolah di SLTA yang jumlahnya relatif masih tinggi. Bekerja membantu orangtua mencari nafkah untuk kehidupan seharihari adalah faktor lain yang menyebabkan para lulusan SLTP tidak dapat 72
Siahaan, Studi tentang Pengelolaan Sekolah ...
mengikuti pendidikan di SLTA reguler. Keadaan yang demikian ini tidak menjadi masalah di SMU Terbuka sebab para siswa akan tetap dapat bekerja membantu orangtua mencari nafkah dan sekaligus juga dapat bersekolah. Ternyata hanya sebagian kecil saja dari responden yang mengemukakan bahwa mereka tidak bekerja. Kegiatan mereka memang hanya belajar di SMU Terbuka. Latar belakang pendidikan siswa SMU Terbuka adalah lulusan SLTP yang karena ketidakmampuan keuangan orangtua terpaksa tidak dapat segera melanjutkan pendidikannya ke SLTA reguler yang ada. Kelompok inilah yang lebih banyak menjadi siswa SMU Terbuka seperti pada Tabel 9. Tabel 9. Latar Belakan Pendidikan Siswa SMU Terbuka No. 1. 2. 3.
Pendidikan Siswa Sebelumnya Siswa yang baru lulus SLTP Siswa yang lulus SLTP pada tahun-tahun sebelumnya tetapi belum melanjutkan ke SLTA Siswa putus sekolah di SLTA Jumlah
Jumlah Siswa % 18 35,30 30 58,80 3 51
5,90 100,00
Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh siswa yang tidak melanjutkan ke SLTA reguler adalah keharusan hadir setiap hari di sekolah sedangkan tempat tinggal siswa relatif jauh dari lokasi SLTA yang ada. Inilah salah satu faktor yang mendorong lulusan SLTP memilih SMU Terbuka sebagai pendidikan lanjutan karena mereka tidak harus hadir setiap hari di sekolah (SLTA reguler) tetapi cukup di TKB yang lokasinya relatif terjangkau. Dilihat dari segi jarak tempat tinggal siswa SMU Terbuka dengan Sekolah Induk (SMU Negeri yang ditunjuk), sebagian besar (78,43%) siswa yang menjadi responden studi ini tinggal sekitar 2 km lebih. Sedangkan yang jarak tempat tinggalnya dengan TKB lebih dari 2 km dikemukakan oleh sebagian kecil responden (21,57%). Erat kaitannya dengan faktor jarak ini adalah ketersediaan sarana transportasi dan dukungan finansial orangtua. Ke dua komponen ini, (jarak dan ketersediaan sarana transportasi), sangat menentukan keteraturan siswa bersekolah. Mempertimbangkan kondisi yang demikian ini maka siswa SMU Terbuka hanya dituntut datang ke Sekolah Induk sekali seminggu untuk bertemu dengan guru mata pelajaran dan mengikuti kegiatan tutorial tatap muka. Apabila dirasakan sulit untuk mendatangkan siswa ke Sekolah Induk sekali seminggu maka para Guru Bina (guru mata pelajaran) akan mengunjungi para siswa di TKB atau di tempat lain yang lebih memungkinkan 73
Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, Vol. 5, No.1, Maret 2004, 59-82
para siswa untuk berkumpul dan belajar. Keadaan yang demikian ini juga yang menjadi pertimbangan sehingga para siswa SMU Terbuka setiap harinya melakukan kegiatan belajar mandiri di TKB. Dengan demikian, biaya transportasi untuk mengikuti kegiatan tutorial tatap muka di Sekolah Induk yang seminggu sekali dirasakan para siswa menjadi mahal. Salah satu alternatif yang dilakukan pengelola SMU Terbuka terhadap kendala biaya transportasi ke Sekolah Induk adalah menugaskan para Guru Bina mendatangi para siswa di TKB/TBM atau tempat lainnya yang disepakati bersama oleh guru dan siswa. Dengan cara demikian ini diharapkan kegiatan mengikuti tutorial tatap muka tidak lagi terlalu memberatkan para siswa SMU Terbuka. Berkaitan dengan kegiatan pembelajaran, sebagian besar responden (80,40%) mengemukakan bahwa mereka memperoleh bahan tentang petunjuk belajar di SMU Terbuka. Selain itu, sekitar 19,60% dari para siswa mengemukakan mendapatkan penjelasan tentang kegiatan belajar mandiri di SMU Terbuka dari Guru Bina. Penjelasan Guru Bina ini diberikan kepada siswa sebelum kegiatan pembelajaran dimulai. Ditambahkan lebih lanjut oleh siswa bahwa kegiatan pembelajaran di SMU Terbuka dimulai lebih lambat setelah kegiatan belajar di SLTA reguler berjalan. Menurut responden sebelum mendaftarkan diri menjadi siswa SMU Terbuka, sebagian besar dari mereka (60,80%) memperoleh informasi tentang SMU Terbuka dari teman, sebagian lagi (31,40%) dari guru SLTP tempat mereka belajar sebelumnya, dan sebagian lagi mengemukakan bahwa informasi tentang SMU Terbuka mereka peroleh dari orangtua dan pengurus RT/RW (7,80%). Sebagian besar dari para siswa ini (66,70%) mendaftarkan diri secara langsung di Sekolah Induk (SMU Negeri yang ditunjuk) dan sebagian lagi melakukan pendaftaran melalui petugas pendaftaran siswa baru SMU Terbuka. Sebanyak 54,90% dari para siswa mengatakan bahwa pendaftaran siswa baru SMU Terbuka dilakukan beberapa hari sebelum kegiatan pembelajaran dimulai dan sebagian kecil responden mengemukakan bahwa pendaftaran sebagai siswa SMU Terbuka mereka lakukan setelah kegiatan pembelajaran dimulai. Informasi ini menegaskan kembali bahwa penerimaan siswa baru SMU Terbuka dilakukan setelah SLTA reguler selesai menerima siswa baru. Artinya, SMU Terbuka memang bertujuan untuk menerima para lulusan SLTP yang tidak diterima di SLTA reguler yang ada atau yang putus sekolah di SLTA.
74
Siahaan, Studi tentang Pengelolaan Sekolah ...
Distribusi Bahan Belajar Bahan belajar merupakan salah satu komponen yang sangat berperan dalam kegiatan pembelajaran di SMU Terbuka. Sebagian besar kegiatan pembelajaran di SMU Terbuka dilakukan melalui interaksi siswa dengan bahan belajar. Bahan belajar yang digunakan di SMU Terbuka dirancang secara khusus sehingga dapat dipelajari secara mandiri. Pada umumnya, para siswa terlambat menerima bahan belajar modul. Keterlambatan penerimaan bahan belajar modul ini bervariasi, mulai dari 2 minggu sampai 2 bulan setelah kegiatan pembelajaran dimulai. Terhadap keterlambatan penerimaan bahan belajar modul ini, solusi yang ditempuh para pengelola SMU Terbuka adalah menganjurkan agar para siswa SMU Terbuka menggunakan buku paket dengan cara meminjam dari siswa SMU yang ada di lingkungannya. Bagi Sekolah Induk yang mempunyai persediaan buku paket, maka buku paket yang ada dipinjamkan kepada para siswa SMU Terbuka untuk digunakan. Setelah bahan belajar modul diterima di sekolah, hanya sebagian kecil dari para siswa (37,30%) mengemukakan menerima modul secara lengkap. Ada sekitar 37,30% dari para siswa yang menerima sebagian besar modul, dan sebagian kecil siswa lainnya (25,50%) mengatakan hanya menerima sebagian kecil dari jumlah modul yang seyogianya mereka terima. Kegiatan tutorial tatap muka yang seminggu sekali di Sekolah Induk diketahui oleh hampir semua responden (98,00%). Ternyata sebagian besar responden (76,40%) mengemukakan bahwa mereka mengikuti kegiatan tutorial tatap muka secara teratur setiap minggunya. Sedangkan siswa yang mengikuti kurang dari separoh kegiatan tutorial tatap muka berjumlah sekitar 23,50%. Kegiatan Belajar Tutorial Lebih dari separuh siswa (58,80%) mendiskusikan dengan Guru Bina atau Guru Pamong dan petugas yang menangani pelayanan siswa jika mengalami masalah atau kesulitan. Sebagian responden (41,20%) mendiskusikannya dengan orang yang terdekat dengan mereka, seperti orangtua dan teman. Pelayanan bantuan siswa yang diberikan pihak pengelola SMU Terbuka diakui oleh sebagian besar siswa (64,70%) cukup memuaskan. Berkaitan dengan kegiatan tutorial, responden mengakui bermanfaat dan dapat membantu mempermudah memahami materi pelajaran. Manfaat kegiatan tutorial tatap muka yang demikian ini dikemukakan oleh hampir semua responden (98,00%). Mengenai ujian selama belajar satu semester di SMU Terbuka, menurut pengakuan siswa terdiri atas (a) tes ulangan harian, (b) tes tengah semes75
Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, Vol. 5, No.1, Maret 2004, 59-82
ter, dan (c) tes akhir semester. Menurut lebih dari separoh siswa (54,90%), pertanyaan yang diajukan di dalam tes sesuai dengan materi modul yang telah mereka pelajari. Sedangkan yang mengatakan hanya sebagian saja dari pertanyaan yang terdapat di dalam tes yang sesuai dengan modul adalah kurang dari separoh responden (45,10%). Sebagian besar siswa menyatakan bahwa penyampaian hasil tes kepada siswa terlambat. Kelambatan penyampaian umpan balik hasil tes ini diakui siswa akan dapat menurunkan minat atau motivasi belajar para siswa. Informasi tentang hasil tes yang lambat kepada siswa merupakan salah satu masalah yang dihadapi siswa di samping masalah yang menyangkut keuangan untuk biaya transportasi mengikuti tutorial di Sekolah Induk dan masalah pribadi. Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Pengelolaan SMU Terbuka Beberapa di antara faktor pendukung dan penghambat dalam penyelenggaraan SMU Terbuka dapat dikemukakan sebagai berikut. Aparat Pemda Dikemukakan oleh Pemda Kabupaten/Kota bahwa rencana pelaksanaan perintisan SMU Terbuka di kabupaten/kota disambut positif oleh aparat kecamatan, dan aparat desa. Sosialisasi rencana perintisan SMU Terbuka disambut secara responsif oleh masyarakat. Respons positif dari masyarakat ini tampak dari jumlah siswa SMU Terbuka yang semula ditetapkan sebanyak 40-80 siswa untuk setiap lokasi perintisan, ternyata pada kenyataannya mengalami peningkatan jumlah siswa yang diterima. Pada awalnya, hasil studi kelayakan lokasi SMU Terbuka hanya merekommendasikan enam daerah kabupaten/kota sebagai lokasi perintisan. Namun, Pemda Jawa Timur mengusulkan satu lokasi lain lagi yaitu Kabupaten Malang (salah satu sampel yang potensial di antara sampel studi kelayakan tetapi berada di luar sampel yang telah direkommendasikan. Dengan demikian, Propinsi Jawa Timur mempunyai dua lokasi perintisan SMU Terbuka, yaitu di Surabaya dan kabupaten Malang. Pada tingkat kabupaten/kota, biaya yang dibutuhkan untuk membayar honorarium para pengelola SMU Terbuka ditanggapi secara konkrit dengan dialokasikannya sejumlah dana dalam APBD di semua lokasi (tujuh lokasi) perintisan untuk pengelolaan SMU Terbuka. Sebagai contoh, dana yang dialokasikan Pemda Kabupaten Bogor untuk pengelolaan SMU Terbuka selama tahun 2002 adalah sebanyak Rp. 100.000.000.- (seratus juta rupiah) melalui Anggaran Belanja Tambahan (ABT) Pemda. Untuk SMU Terbuka 76
Siahaan, Studi tentang Pengelolaan Sekolah ...
di Surabaya dan Kabupaten Malang, Pemda mengalokasikan anggaran sebanyak Rp. 54.000.000.- (limapuluh empat juta rupiah). Untuk pengelolaan SMU Terbuka pada tahun anggaran 2003, Pemda Kabupaten Bogor telah mengalokasikan anggaran sebanyak Rp. 130.000.000.(seratus tigapuluh juta rupiah). Sedangkan, Pemda Jawa Timur mengalokasikan Rp. 631.070.000.- di dalam APBD-nya untuk pengelolaan 2 lokasi SMU Terbuka. Di Samarinda, Pemda setempat merencanakan kenaikan anggaran pengelolaan SMU Terbuka yang dialokasikan secara terpadu di dalam anggaran Sekolah Induknya. Sekolah Induk SMU Terbuka Baik Kepala Sekolah maupun para guru pada SMU Negeri yang dijadikan sebagai Sekolah Induk SMU Terbuka menyambut gembira gagasan penyelenggaraan SMU Terbuka. Di samping itu, mereka juga merasa mendapat kepercayaan dan Pemda untuk berperan serta sebagai pengelola SMU Terbuka di tingkat sekolah. Komitmen para Kepala Sekolah dan guru ini dibuktikan dan tampak pada pelaksanaan kegiatan orientasi pengelolaan SMU Terbuka. Dikemukakan bahwa Kepala Sekolah dan para guru yang ditunjuk untuk berperan serta dalam mengelola SMU Terbuka telah mengikuti kegiatan orientasi secara penuh dan tekun. Melalui kegiatan orientasi ini, Kepala Sekolah dan guru menjadi lebih menghayati apa yang menjadi konsep SMU Terbuka dan apa yang juga menjadi peran serta tanggungjawab mereka selaku pengelola di tingkat sekolah. Tanggungjawab pengelola di tingkat sekolah ini mencakup antara lain kegiatan mensosialisasikan SMU Terbuka, mempersiapkan perangkat penerimaan siswa baru, memberikan orientasi kegiatan belajar kepada para siswa baru SMU Terbuka, mengelola kegiatan pembelajaran termasuk pemberian bantuan layanan belajar siswa, mengelola dan mendistribusikan bahan belajar, serta penyelenggaraan evaluasi kegiatan belajar siswa. Khusus mengenai pelaksanaan kegiatan penerimaan siswa baru SMU Terbuka dan penyelenggaraan evaluasi kegiatan belajar siswa, dikemukakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota telah berjalan dengan balk. Kepala Sekolah dan guru telah melaksanakan tugasnya penuh dedikasi. Menurut Kepala Sekolah, dengan berbagai fasilitas yang dimiliki SMU Negeri yang menjadi Sekolah Induk siap untuk dimanfaatkan bagi kepentingan kegiatan pembelajaran oleh para siswa SMU Terbuka. Kepala Sekolah dan para guru secara individual juga melakukan penyebarluasan informasi tentang rencana perintisan SMU Terbuka kepada anggota masyarakat yang ada di lingkungan mereka masing-masing.
77
Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, Vol. 5, No.1, Maret 2004, 59-82
Pengawas Pendidikan SLTA Kabupaten/Kota Dikemukakan bahwa melalui informasi yang diperoleh melalui berbagai pertemuan kedinasan di tingkat Kabupaten/Kota, para pengawas pendidikan menengah diminta untuk turut berperanserta dalam penyelenggaraan perintisan SMU Terbuka. Peranserta para pengawas ini terutama difokuskan pada aspek pemantauan kegiatan pembelajaran. Hasil pemantauan para pengawas ini dilaporkan kepada Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Masyarakat dan Orangtua Informasi tentang rencana perintisan penyelenggaraan SMU Terbuka disambut gembira oleh masyarakat orangtua. Dengan menyekolahkan anaknya di SMU Terbuka, berarti anak-anak mereka masih tetap akan dapat bekerja membantu orangtua mencari nafkah. Di samping itu, pengeluaran biaya untuk menyekolahkan anak-anak mereka di SMU Terbuka relatif lebih ringan karena mereka tidak dituntut untuk membayar uang pembangunan gedung, pakaian seragam, dan buku-buku pelajaran. Di samping berbagai faktor pendukung sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, pengelolaan SMU Terbuka tidak terlepas dari faktorfaktor penghambat yang antara lain adalah sebagai berikut. Bahan Belajar Dikemukakan oleh para pengelola SMU Terbuka bahwa jumlah bahan belajar yang diterima tidak sesuai dengan jumlah siswa pada tahun pertama perintisan. Selain jumlah bahan belajar yang tidak mencukupi, waktu penerimaannya juga terlambat. Sebagian bahan belajar diterima di lokasi SMU Terbuka setelah kegiatan belajar berjalan. Keterlambatan penerimaan modul ini bervariasi antara lokasi yang satu dengan lainnya, mulai dari yang terlambat sekitar 2 minggu sampai dengan 2 bulan. Kegiatan Belajar Tutorial Tatap Muka Sesuai dengan rancangan pembelajaran di SMU Terbuka, kegiatan tutorial tatap muka diselenggarakan sekali seminggu di salah satu SMU Negeri yang ditunjuk sebagai Sekolah Induk. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari para Kepala Sekolah dan Guru Bina, tidak semua siswa dapat mengikuti kegiatan tutorial tatap muka secara teratur setiap minggunya karena harus membayar ongkos kendaraan umum. Hanya sekitar 23,50% dad siswa SMU Terbuka yang mengikuti kurang dari separoh kegiatan tutorial tatap muka.
78
Siahaan, Studi tentang Pengelolaan Sekolah ...
Tenaga Pengembang Bahan Belajar Modul Tenaga pengembang bahan belajar modul untuk SMU Terbuka hanya terdapat di pusat (Departemen Pendidikan Nasional). Pengelola di daerah (khususnya para guru) belum ada yang dilatih mengenai cara-cara pengembangan bahan belajar modul. Mengingat daerah juga bertanggungjawab mengembangkan mated pembelajaran yang bersifat lokal (kurikulum muatan lokal); maka diperlukan tenaga terlatih di bidang pengembangan modul. Tenaga terlatih yang demikian inilah yang masih belum dimiliki daerah. Ketiadaan tenaga terlatih ini akan merupakan kendala atau faktor penghambat untuk penyelenggaraan kegiatan pembelajaran pada tahun-tahun berikutnya.
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil wawancara dan diskusi yang dilakukan dengan berbagai sumber data di tiga lokasi sampel studi, dapat disimpulkan bahwa, Pemda Kabupaten/Kota secara umum menyambut positif pelaksanaan SMU Terbuka di wilayah mereka yang telah dilakukan oleh Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan, Departemen Pendidikan Nasional (Pustekkom-Depdiknas). Walaupun pada saat ini baru bersifat perintisan, SMU Terbuka dirasakan sebagai suatu sistem pembelajaran yang inovatif. SMU Terbuka diakui merupakan satu altematif pendidikan yang bersifat fleksibel dan juga fisibel untuk diimplementasikan dan didisseminasikan secara nasional. Pertimbangan yang disampaikan antara lain adalah bahwa daerah tidak perlu merekrut tenaga baru (guru dan tenaga administratif) untuk mengelola SMU Terbuka dan mengadakan berbagai fasilitas lainnya untuk menunjang kelancaran kegiatan pembelajaran. Yang dibutuhkan adalah mengoptimalkan pendayagunaan tenaga dan berbagai fasilitas pendidikan yang telah ada. Memperhatikan fleksibilitas dan fisibilitas pengelolaan SMU Terbuka, pihak Pemda bertanggungjawab penuh untuk setiap tahun mengalokasikan sejumlah dana untuk pengelolaan SMU Terbuka. Anggaran dapat diambilkan baik dari dalam maupun dari luar APBD, balk untuk anggaran operasional (proses belajar-mengajar) SMU Terbuka maupun anggaran untuk pengelolaan di tingkat kabupaten/kota dan di tingkat sekolah. Kegiatan belajar mandiri yang merupakan salah satu ciri khas SMU Terbuka (yang memungkinkan para siswa mengatur dirinya masing-masing untuk belajar sesuai dengan kondisinya) akan sangat membantu siswa SMU Terbuka yang umumnya belajar sambil bekerja. Selain belajar mandiri, para siswa juga mempunyai kesempatan untuk berinteraksi secara tatap muka 79
Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, Vol. 5, No.1, Maret 2004, 59-82
(tutorial tatap muka) dengan para guru mata pelajaran untuk mendiskusikan berbagai kesulitan yang dihadapi selama belajar mandiri. Kegiatan tutorial tatap muka ini diakui para siswa memberikan manfaat dan dapat membantu mempermudah mereka memahami materi pelajaran sayangnya, pada umumnya, bahan belajar yang berupa modul terlambat diterima oleh para siswa angkatan pertama perintisan SMU Terbuka. Keterlambatan penerimaan bahan belajar modul ini bervariasi di daerah sampel, mulai dari yang hanya terlambat 2 minggu sampai dengan yang terlambat 2 bulan setelah kegiatan pembelajaran dimulai. Berdasarkan berbagai keterbatasan atau kelemahan yang ditemukan dalam studi ini maka beberapa rekomendasi dapat diajukan. Penyelenggaraan rapat koordinasi, baik di tingkat daerah antar berbagai instansi yang terkait dalam pengelolaan SMU Terbuka, maupun antara pengelola di tingkat daerah dengan pengelola di tingkat pusat perlu dilakukan secara periodik. Pengelolaan berbagai dokumen yang mudah diakses perlu menjadi salah satu perhatian dalam pengelolaan SMU Terbuka, baik di tingkat sekolah, maupun kabupaten/kota atau propinsi. Pelatihan/penataran yang diusulkan untuk dipertimbangkan adalah terutama yang bertujuan meningkatkan peranserta Guru Bina dalam membelajarkan para siswa SMU Terbuka. Ada 2 jenis pelatihan/penataran yang disarankan, yaitu: (a) di bidang pengembangan bahan belajar mandiri (modul) agar melalui pelatihan ini para Guru Bina memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam mengembangkan bahan belajar mandiri yang menyangkut mated muatan lokal, dan (b) yang menyangkut berbagai aspek pengelolaan SMU Terbuka agar pengelolaan SMU Terbuka semakin meningkat dari waktu ke waktu. Pengadaan sumber belajar yang berupa bahan belajar mandiri (modul) hendaknya disesuaikan dengan jumlah siswa. Apabila setiap siswa memiliki modul yang lengkap maka keadaan yang demikian ini akan membantu mempermudah siswa untuk belajar. Modul yang telah ada disarankan juga agar lebih diperkaya dengan visualisasi dan dilengkapi dengan penjelasan tentang berbagai istilah sulit atau istilah baru yang digunakan. Pengadaan sumber-sumber belajar lainnya yang sesuai dengan tuntutan perkembangan, seperti kaset audio dan VCD akan sangat membantu siswa dalam kegiatan belajarnya. Apabila dimungkinkan perlu diadakan majalah siswa yang kemudian didistribusikan kepada semua siswa. Media komunikasi seperti ini akan dapat membantu siswa untuk saling berbagi informasi dan pengalaman sekaligus juga menjadi wahana untuk bersosialisasi. Mengingat kebutuhan akan pengetahuan dan keterampilan di bidang komputer cenderung meningkat di 80
Siahaan, Studi tentang Pengelolaan Sekolah ...
masyarakat, maka para siswa sangat mengharapkan diadakannya pelajaran di bidang komputer. Pelajaran ini tampaknya dapat dilaksanakan sebagai salah satu muatan lokal karena seperangkat komputer telah dimiliki oleh Sekolah Induk. Pengadaan beasiswa sangat diharapkan oleh para siswa karena beasiswa yang mereka terima akan dapat memperlancar keteraturan kehadiran mereka mengikuti kegiatan belajar, baik di TKB untuk belajar mandiri maupun Sekolah Induk untuk tutorial tatap muka. Setidak-tidaknya, para siswa akan tertolong untuk menutupi biaya transportasi ke Sekolah Induk untuk mengikuti kegiatan belajar tutorial tatap muka. Para pengelola SMU Terbuka terutama para guru perlu dilatih tentang cara-cara pengembangan bahan belajar modul. Dengan bekal pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh para guru melalui pelatihan akan memungkinkan mereka untuk mengembangkan bahan belajar modul yang akan mencakup materi kurikulum muatan lokal.
REFERENSI Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional. (1999). Statistik pendidikan tahun 1998/1999. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional. Keegan, D. (1990). Foundations of distance education, (2nd Edition). Routledge, London and New York. Morpeth, R. (2004). What is Distance Learning?. University of London Distance Learning. (sumber Internet: http//www.server.studentpages. com/dl/what_is_dl.cfm). Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan-Departemen Pendidikan Nasional. (1999). Survei penjajagan kebutuhan akan pendidikan sekolah menengah Terbuka (SMU Terbuka). Jakarta: Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan-Departemen Pendidikan Nasional. Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan-Departemen Pendidikan Nasional. (1999). Sekolah Menengah Umum Terbuka (SMU Terbuka) tipe 1. Bahan-bahan Lokakarya tentang Pendidikan Menengah Terbuka. Jakarta: Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan-Departemen Pendidikan Nasional. Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan-Departemen Pendidikan Nasional. (2000). SMU Terbuka. Sekolah menengah umum pola pendidikan terbuka. Sekolah Alternatif Membentuk Generasi Yang Disiplin dan Mandiri. Jakarta: Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidik-an -Departemen Pendidikan Nasional. 81
Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, Vol. 5, No.1, Maret 2004, 59-82
Ruzgar, N. S. (2004). Turkish Online Journal of Distance Education TOJDE April 2004 ISSN 1302-6488 Volume: 5 Number: 2 (sumber internet: http://tojde.anadolu.edu.tr/index.html). Siahaan, S & Christanto, I. (2000). Studi kelayakan penentuan lokasi Sekolah Menengah Umum pola pendidikan terbuka (SMU Terbuka). Jakarta: Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan-Departemen Pendidikan Nasional. Siahaan, S. (2000). “Program pendidikan dan pelatihan terbuka/jarak jauh di Indonesia: perkembangan dan tantangannya”, makalah hasil kajian, disajikan dalam Seminar Nasional tentang Peranan Pendidikan dan Pelatihan Terbuka/Jarak Jauh dalam Menunjang Pelaksanaan Otonomi Daerah, kerjasama Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan (Pustekkom) dengan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, Indonesian Distance Learning Network (IDLN), dan SEAMEO Regional Open Learning Center, di Surabaya, Jawa Timur, pada tanggal 14 s.d 15 November 2000. Universitas Terbuka. (1998). Leaflet on general information. Ciputat: Universitas Terbuka.
82