1
Studi Sistem Tambat FSO di Ladang Minyak Kakap Natuna I Gusti Putu Suantara; Wasis Dwi Aryawan Jurusan Teknik Perkapalan, Fakultas Teknologi Kelautan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 E-mail:
[email protected] Abstrak - Penelitian ini membahas sistem tambat FSO di lapangan minyak Kakap Natuna yang ditambat dengan single buoy mooring system. FSO yang berlokasi di laut china selatan ini memiliki ukuran utama panjang (Lpp) 272 meter, lebar (B) 43,4 meter, tinggi (H) 20,6 meter dan terhubung dengan buoy yang ditambat dengan 6 buah rantai. Analisa line tension pada rantai menggunakan time domain analysis. Perhitungan line tension dilakukan pada kondisi full load dan ballast dengan tali tambat utuh (intact) serta tali tambat terputus satu (one line damage). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa line tension maksimum terjadi pada kondisi full load sebesar 173,618 ton (segmen A kondisi intact) dan 258,464 ton (segmen A kondisi one line damage). Besar allowable tension 314,914 ton (intact) dan 411,823 ton (one line damage) dengan diameter rantai 76 mm. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa posisi pile baru dapat menghasilkan line tension yang lebih rendah. Rotasi pile 10o memberikan line tension yang minimum sebesar 144,514 ton (segmen A kondisi intact) dan 246,737 ton (segmen A kondisi one line damage). Dari hasil tersebut, didapatkan diameter rantai baru pada segmen A sebesar 60 mm dengan allowable line tension 194,776 ton (intact) dan 254,707 (one line damage). Kata Kunci : allowable tension, FSO, line tension,.
I. PENDAHULUAN
I
ndustri minyak dan gas mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini ditunjukkan oleh kegiatan eksplorasi yang sangat gencar dilakukan baik di darat maupun di laut lepas. Namun seiring dengan menipisnya sumber cadangan minyak dan gas di darat, maka saat ini kegiatan eksplorasi di laut lepas semakin berkembang. Banyak kegiatan pengeboran dilakukan di perairan laut dangkal. Fasilitasnya didukung oleh anjungan terpancang (fixed platform). Tetapi anjungan terpancang menjadi kurang ekonomis apabila dibandingkan dengan anjungan terapung (floating platform) pada perairan yang dalam. Oleh karena itu, suatu floating platform mempunyai peranan yang sangat penting dalam pengembangan ladang minyak di perairan dalam atau menengah dan menjadi suatu alternatif yang banyak dipilih daripada fixed platform. FSO (floating storage and offloading) merupakan anjungan terapung yang banyak dipakai dalam operasional kondisi seperti ini.
Pada saat beroperasi (storage, loading ataupun offloading), FSO mengalami gerakan yang disebabkan oleh beban lingkungan (arus, angin dan gelombang) dimana tempat FSO beroperasi. Oleh karena itu, dibutuhkan sistem tambat yang berguna sebagai pengikat FSO agar tetap pada posisinya. Gerakan dari FSO menyebabkan adanya gaya yang bekerja pada sistem tambat tersebut (tension force, restoring force dan damping) pada mooring system. Gaya-gaya yang terjadi pada mooring system sangatlah bergantung pada karakteristik motion FSO, begitu pula sebaliknya. Ini merupakan suatu alasan mengapa analisa kekuatan mooring system perlu dilakukan, sehingga operabilitas dan keselamatan sistem dapat tetap terjaga. Single buoy mooring adalah salah satu sistem yang dapat dipilih untuk pengoperasian FSO. Kelebihan dari sistem ini adalah FSO akan selalu mengikuti arah gelombang dimana posisi heading akan selalu mengikuti arah gelombang. Posisi tersebut akan meminimalisir beban yang bekerja pada kapal. Namun sistem ini tidak dapat menjaga kapal untuk tetap dalam posisi yang diharapkan (berputar 360o dengan buoy sebagai pusat rotasi). Dalam penelitian ini akan dilakukan studi sistem tambat yang dipakai pada FSO di lapangan minyak Kakap Natuna yang menggunakan single buoy mooring system. Analisa dilakukan untuk memastikan bahwa rantai yang ada saat ini mampu menahan beban yang dialami. Selain itu, pada penelitian ini akan dilakukan perhitungan spesifikasi rantai tambat yang memiliki diameter sekecil mungkin yang mampu menambat FSO pada kondisi ekstrim. II. DASAR TEORI A. Gerakan Kapal Akibat Eksitasi Gelombang Gerakan kapal dalam enam derajat kebebasan dapat dijelaskan dengan Gambar 1. Dengan memakai konversi sumbu tangan kanan tiga gerakan translasi pada arah sumbu x,y dan z, adalah masing-masing surge (ζ ), sway (ζ ) dan 1 2 heave (ζ ), sedangkan untuk gerakan rotasi terhadap ketiga 3 sumbu adalah roll (ζ ), pitch (ζ ) dan yaw (ζ ). 4
5
6
2
Gambar 1. Six Degree Of Freedom (SDOF) FSO
Dengan asumsi bahwa gerakan-gerakan osilasi tersebut adalah linier dan harmonik, maka enam persamaan diferensial gerakan kopel dapat dituliskan sebagai berikut [Chakrabarti,1987]:
Σ (m 6
k =1
jk
•• • + M jk ) X k + C jk X k + ( K jk + R jk ) X k = F j cos ωt ................ (1)
dimana :
mjk = komponen matriks massa kapal. Mjk , Cjk = matriks koefisien massa tambah dan redaman Kjk , Rjk = koefisien gaya hidrostatik pengembali. Fj = amplitudo gaya eksitasi dalam besaran kompleks. Ẍ dan Ẋ = percepatan dan kecepatan F1, F2, dan F3 adalah amplitudo gaya-gaya eksitasi yang mengakibatkan surge, sway, dan heave. Sedangkan F4, F5, dan F6 adalah amplitudo momen eksitasi untuk roll, pitch, dan yaw. Dengan menyelesaikan persamaan gerak ini dengan menggunakan teori difraksi didapatkan hasil berupa karakteristik gerakan kapal. Informasi ini pada umumnya disajikan dalam bentuk grafik, di mana perbandingan gerakan pada mode tertentu ζ dengan parameter tinggi (atau amplitudo i gelombang, ζ ) diberikan sebagai fungsi frekuensi encounter a ω dari sumber eksitasi. Informasi gerakan ini dinamakan e Response Amplitudo Operator (RAO). B. Tension pada Mooring Line Gerakan pada kapal dan pengaruh lingkungan menyebabkan adanya tarikan pada mooring line. Tarikan (tension) yang terjadi pada mooring line dapat dibedakan menjadi 2, yaitu: a. Mean tension. Tension pada mooring line yang berkaitan dengan mean offset pada vessel. b. Maximum tension. Mean tension yang mendapat pengaruh dari kombinasi frekuensi gelombang dan low-frequency tension.
a. Tlfmax >Twfmax, maka: Tmax =Tmean +Tlfmax +Twfsig ................................................. (2) b. Twfmax >Tlfmax, maka: Tmax =Tmean +Twfmax +Tlfsig ................................................. (3) dengan: Tmean = mean tension Tmax = maximum tension Twfmax = maximum wave frequency tension Twfsig = significant wave frequency tension Tlfmax = maximum low-frequency tension Tlfsig = significant low-frequency tension Breaking strength merupakan batasan tegangan maksimum dari chain line yang tidak boleh dilampaui, artinya chain line tidak boleh memiliki tegangan lebih dari breaking strength. D − 2∆Tcor ................................................... (4) BS cor = CBS nom Dnom
dengan: BS = breaking strength CBS = catalog breaking strength D = chain diameter ∆t = corrosion allowance T = service time Menurut API RP 2T untuk unity check tidak boleh melebihi nilai satu. Secara matematis persamaan unity check dapat dituliskan sebagai berikut: UC =
max. tension x SF < 1 ................................................... (5) MBL
dengan: UC = unity check MBL = maksimum breaking load SF = safety factor Kondisi batas tegangan ijin didapat dengan membagi yield strength dengan safety factor. σn 1 = SF BS
σ ijin =
σ
y
............................................................................ (6) ............................................................................ (7)
SF
dengan syarat σn <σijin, dengan: σijin = tegangan ijin SF = safety factor Batas dari tension dan safety factor untuk kondisi analisis mooring adalah sebagai berikut (API RP 2SK 2nd edition): Tabel 1. Batas tension dan safety factor kondisi ULS dan ALS
Condition
Percent of Breaking
SF
SF BKI
Strength
Menurut API RP 2SK 2nd edition, tarikan maksimum (maximum tension) dapat ditentukan dengan prosedur sebagai berikut:
Intact (ULS)
60
> 1,67
> 1,7
Damage (ALS)
80
> 1,25
> 1,3
3
C. Simpangan (offset) Offset adalah perpindahan posisi pada FSO dengan jarak sejauh x meter setelah terkena gelombang dan merupakan salah satu bentuk respon dari FSO pada saat mendapat beban lingkungan. Offset dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok, yaitu: a. Mean offset. Displasement dari kapal karena kombinasi dari pengaruh beban arus, mean wave drift dan angin. b. Maximum offset. Mean offset yang mendapat pengaruh dari kombinasi frekuensi gelombang dan low-frequency motion. Offset maksimum dapat ditentukan dengan prosedur dibawah ini: a. S lfma x > Swfmax , maka: Smax =Smean +S lfma x + S ..................................................... (8) b. S wfma x >S lfma x , maka: Smax =Smean +Swfmax +S lfs i g ..................................... (9) dimana : Smean = meanvesseloffset Smax =maximum vessel offset Swfmax = maximum wave frequency motion Swfsig = significant wavefrequency motion Slfmax = maximumlow-frequency motion Slfsig = significant low-frequency motion D. Metode Analisa Dinamis Tujuan dari rangkaian analisis dinamis penelitian ini pertama adalah untuk mendapatkan frekuensi alami struktur tanpa redaman dan kemudian mencari respon struktur terhadap pembebanan dinamis yang dalam hal ini menggunakan beban gelombang. Menurut API RP 2T, terdapat 2 metode analisis simulasi domain dalam analisis dinamis struktur lepas pantai, yaitu: a. Frequency domain analysis adalah simulasi kejadian pada saat tertentu dengan interval frekuensi yang telah ditentukan sebelumnya. Keuntungannya adalah lebih menghemat waktu perhitungan dan juga input atau output lebih sering digunakan oleh perancang. b. Time domain analysis adalah penyelesaian gerakan dinamis struktur berdasarkan fungsi waktu. Pendekatan yang dilakukan dalam metode ini menggunakan prosedur integrasi waktu dan akan menghasilkan time history response berdasarkan fungsi waktu x(t). III. METODOLOGI PENELITIAN Analisa dimulai dengan pengumpulan data yang diperlukan untuk penelitian seperti : data FSO, buoy, mooring layout, dan sebagainya. Dari data yang diperoleh, dilakukan pemodelan pada komputer untuk menghitung RAO. RAO diperlukan untuk menghitung besar line tension dan excursion dimana
keduanya dihitung menggunakan time domain analysis dengan simulasi minimal selama 3 jam (DNV-OS-E301, 2004). Penelitian dilakukan pada kondisi full load karena pada kondisi ini memiliki line tension yang paling optimum. Analisa dilakukan dengan melakukan rotasi pada posisi pile untuk mencari line tension yang minimum sehingga diameter rantai yang digunakan akan minimum. Perhitungan line tension dilakukan berdasarkan batasan sebagai berikut: a. Ultimate Limit State (ULS), untuk memastikan bahwa sebuah mooring lines cukup kuat untuk bertahan terhadap efek beban yang ditimbulkan oleh beban lingkungan pada kondisi ekstrim. b. Accidental Limit State (ALS), untuk memastikan bahwa suatu mooring system memiliki kapasitas yang cukup untuk bertahan pada kegagalan sebuah mooring line dimana penyebab dari terjadinya kegagalan tersebut tidak diketahui. A. Data struktur Tabel 2. Data utama FSO
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Description Length Overall Length Between Perpendicular Breadth Moulded Depth Moulded Full Load Draft Full Load KG Max. Displacement
Quantity
Unit
297,545 272,000 43,400 20,600 12,878 10,49 126,615
m m m m m m ton
Quantity
Unit
13,5 7,10 4,78 4,797
m m m m
Tabel 3. Data utama Buoy
No. 1. 2. 3. 4.
Description Diameter Height Draft KG
Tabel 4. Mooring line combination
Specification
PreTension
Line
Segment A (at buoy)
Segment B (at pile)
L1
Approx. 165 m
Approx. 289 m
31,9 MT
L2
Approx. 289 m
31,9 MT
L3
Approx. 165 m Approx. 165 m
Approx. 289 m
31,9 MT
L4
Approx. 165 m
Approx. 289 m
31,9 MT
L5
Approx. 165 m Approx. 165 m
Approx. 289 m
31,9 MT
Approx. 289 m
31,9 MT
L6
4 Tabel 5. Chain grade R4 specification (Segment A)
No. Description 1. Diameter
Quantity 0,076
Unit m
2. Proof Load
482,260
ton
Maximum Breaking Load 3. (MBL)
611,720
ton
4. Mass/unit Length
126,490
kg/m
493270400
N
5. Stiffness
Variasi dilakukan dengan merotasi posisi pile dengan sumbu putar pada pusat buoy. Rotasi dilakukan searah jarum jam (+) dengan interval 15o seperti tampak pada Gambar 2. Line tension yang maksimum terjadi pada arah pembebanan north east (timur laut) dan east (timur) maka perlu dilakukan variasi yang lebih detail yaitu sebesar 5o dan dilakukan analisa hanya pada arah pembebanan north east dan east untuk mendapatkan posisi yang optimum. IV. MENGHITUNG LINE TENSION
Tabel 6. Chain grade ORQ specification (Segment B)
Description
No.
A. Menghitung RAO
Quantity
Unit
1.
Diameter
0,1039
m
2.
Proof Load
554,151
ton
3.
Maximum Breaking Load (MBL)
829,050
ton
4.
Mass/unit Length
247,041
kg/m
5.
Stiffness
921910934
N
Perhitungan RAO hanya dibutuhkan hanya pada kondisi following seas karena kondisi kapal selalu berada pada kondisi ini yaitu mengikuti arah gelombang.
Response Amplitude Operators (RAO) Translation Direction 0o (Following Seas) 1,60 1,40 Surge (x)
Distance
1,20
Rantai yang terpasang pada buoy disusun secara simetris dengan sudut horizontal sebesar 60o.
1,00
Sway (y)
0,80 Heave (z)
0,60 0,40
B. Variasi Posisi Pile
0,20 0,00
1
0,00
15
0,10
0,15
0,20
0,25
0,30
Frequency (Hz)
15o Gambar 3.RAO translasi following seas
15o
6
0,05
o
15o
2 Response Amplitude Operators (RAO) Rotation Direction 0o (Following Seas) 0,70 0,60
Rotation
0,50
3
5
Roll (Rx) 0,40 0,30
Pitch (Ry)
0,20
Yaw (Rz)
0,10 0,00 0,00
0,05
0,10
0,15
0,20
0,25
0,30
Frequency (Hz)
4
= posisi saat ini = rotasi 15o searah jarum jam = rotasi 30o searah jarum jam = rotasi 45o searah jarum jam Gambar 2. Variasi koordinat pile
Gambar 4. RAO rotasi following seas
Persamaan (1) digunakan untuk menghitung RAO dengan menggunakan teori difraksi dimana struktur memiliki dimensi yang relatif lebih besar terhadap panjang gelombang. Pada gerakan translasi, gerakan surge memiliki respon yang paling dominan dan gerakan sway tidak berpengaruh secar signifikan. Pada gerakan rotasi, gerakan pitch adalah yang paling dominan sedangkan gerakan roll dan yaw memberikan respon yang jauh lebih kecil.
5
V. DESAIN VERIFIKASI
B. Menghitung Tension Tabel 7. Maksimum line tension pada kondisi intact full load
Maksimum Line Tension (ton) Rotasi Pile North East East North East East (deg.) (segmen A) (segmen A) (segmen B) (segmen B) -60 173,618 115,225 169,488 111,728 -55 159,178 122,792 155,272 118,927 -50 143,993 144,514 140,445 140,506 -45 128,911 168,560 125,831 163,400 -40 134,550 186,671 130,614 180,155 -35 150,326 196,380 146,155 188,915 -30 166,021 199,225 161,728 191,464 -25 180,196 195,778 175,821 188,344 -20 190,322 185,285 185,958 178,839 -15 195,523 166,796 191,199 161,677 -10 193,086 142,994 188,772 138,997 -5 185,274 122,833 181,022 118,978 0 173,618 115,225 169,488 111,728 5 159,178 122,792 155,272 118,927 10 143,993 144,514 140,445 140,506 15 128,911 168,560 125,831 163,400 20 134,550 186,671 130,614 180,155 25 150,326 196,380 146,155 188,915 30 166,021 199,225 161,728 191,464 35 180,196 195,778 175,821 188,344 40 190,322 185,285 185,958 178,839 45 195,523 166,796 191,199 161,677 50 193,086 142,994 188,772 138,997 55 185,274 122,833 181,022 118,978 60 173,618 115,225 169,488 111,728
Hasil perhitungan pada tabel diatas dapat disajikan dalam bentuk grafik seperti tampak pada Gambar 5: Line Tension Distribution 220
Persamaan (4) digunakan untuk menghitung besarnya breaking strength/breaking load rantai setelah FSO beroperasi selama 12 tahun yang akan datang (direncanakan FSO beroperasi selama 12 tahun) dengan asumsi laju korosi 4 mm/tahun. Nilai breaking load yang didapat dibagi dengan max. line tension untuk mendapatkan nilai safety factor. Nilai safety factor yang didapat harus lebih besar dari nilai safety factor yang diijinkan klas BKI yaitu 1,7 (intact) dan 1,3 (one line damage). Tabel 1 menunjukkan nilai safety factor minimal yang diijinkan oleh klas BKI. Tabel 8. Besar diameter dan MBL setelah terkorosi
After Corrosion (12 years)
Normal Condition Chain Grade
Nominal dia. Breaking Load Nominal dia. (mm) (ton) (mm)
Breaking Load (ton)
KI R4 Segment A
76
612,78
71,2
535,37
ORQ Segment B
103,9
829,05
99,1
752,44
Tabel 9. Perhitungan safety factor dan excursion
Segment
From “E”
Damage at Line #1
A B A
B
Full Load Condition Computed Breaking Maximum Load Line Tension (ton) (Ton) 144,514 535,37 (at line #3) 140,506 752,44 (at line #3) 246,737 (at line #2) 535,37 (from “NE”) 239,863 (at line #2) 752,44 (from “NE”)
Maximum Excursion SF
(Metre)
X =-33,740 (from “E”) Y = -25,605 5,36 (from “N”)
3,70
2,17
X = -43,436 (from “E”)
3,14
Y = -53,506 (from “NE”)
Line Tension (tonnes)
200 180 NE (segmen A)
160
E (segmen A)
140
NE (segmen B) E (segmen B)
120 100 -70 -60 -50 -40 -30 -20 -10
0
10
20
30
40
50
60
70
Rotation (degree)
Gambar 5. Distribusi maksimum line tension
Dari Tabel 7 dan Gambar 5 dapat dilihat bahwa line tension yang paling minimum terjadi pada perubahan posisi pile sebesar 10o searah jarum jam. Oleh karena itu, analisa lebih lanjut akan dilakukan pada posisi ini.
Catatan : 1. Minimum Safety Factor
= 1,7 (intact) = 1,3 (one line damage) Breaking load 2. Computed Safety Factor = Max. line tension Penempatan posisi pile pada posisi rotasi 10o memberikan line tension yang paling minimum. Pada posisi ini rantai mampu menahan beban yang terjadi seperti ditunjukkan pada Tabel 9. Namun, kondisi tersebut dapat dikatakan overdesign karena rantai terlalu kuat untuk menahan beban tersebut (nilai safety factor yang relatif besar).
6
Dengan nilai safety factor yang relatif besar tersebut, diduga penggunaan diameter rantai yang lebih kecil masih bisa untuk diterapkan. Pada Tabel 10 dan Tabel 11 ditampilkan perhitungan untuk diameter yang lebih kecil. Tabel 10. Besar diameter dan MBL setelah terkorosi
Normal Condition
After Corrosion (12 years)
Chain Grade Nominal dia. Breaking Load Nominal dia. (mm) (ton) (mm)
Breaking Load (ton)
KI R4 Segment A
60
394,19
55,2
331,119
ORQ Segment B
68
383,44
63,2
329,306
VI. KESIMPULAN a. Maksimum excursion pada kondisi intact full load searah sumbu X sebesar -33,740 m dan sumbu Y sebesar -25,605 m. sedangkan pada kondisi one line damage full load searah sumbu X sebesar -43,436 m dan sumbu Y sebesar -53,506 m. excursion pada berbagai posisi pile tidak mengalami perubahan yang signifikan. b. Diameter rantai yang digunakan saat ini mampu menahan beban yang terjadi pada rotasi posisi pile sebesar 10o. Namun nilai safety factor relatif jauh lebih besar dibandingkan terhadap safety factor yang diijinkan sehingga desain dapat dikatakan overdesain. c. Didapatkan diameter rantai yang lebih kecil dan memiliki nilai safety factor memenuhi kriteria dengan selisih yang relatif kecil. Diameter rantai yang dimaksud yaitu sebesar 60 mm untuk segmen A dan 68 mm untuk segmen B sebagai alternatif pengganti rantai yang lama.
Tabel 11 Analisa maksimum line tension terhadap allowable line tension (rantai baru ) pada kondisi intact full load
Full Load Condition Computed Maximum Breaking Load Segment Line Tension (Ton) (Ton) From “E”
Damage at Line #1
A B A
B
144,514 (at line #3) 140,506 (at line #3) 246,737 (at line #2) (from “NE”) 239,863 (at line #2) (from “NE”)
331,119
SF
[1]
API RP 2SK 2nd edition, 1996, “Recommended Practicefor Designand Analysis of Station Keeping Systems for Floating Structures”, Washington, DC.
2,29
[2]
Ariane 7,2009, “Theoritical Manual”. Bureau Veritas.
[3]
Baltrop N.D.P.,1991, Dynamics of Fixed Marine Structures
329,306
2,34
[4]
Bhattacharyya, R., 1978,“Dynamics of Marine Vehicles”, John Wiley & Sons.
331,119
1,34
[5]
BKI, Guidelines for the Construction and Classification/ Certification of Floating, Production, Storage and Offloading Units, Edition 2009.
[6]
Chakrabarti,S.K.,1987,“Hydrodynamics of Offshore Structures”
329,306
1,37
[7]
Design of a mooring system of a concrete caison. http://www.offshoremoorings.org/moorings/2005/Maas/index.html. [20 Februari 2012]
Catatan : 1. Minimum Safety Factor 2.
DAFTAR PUSTAKA
= 1,7 (intact) = 1,3 (one line damage) Breaking load Computed Safety Factor = Max. line tension
Dari Tabel 10 dan Tabel 11 didapatkan diameter rantai yang paling minimum yang dapat menahan beban yang terjadi yaitu rantai dengan diameter 60 mm pada segmen A dan 68 mm pada segmen B. Dengan adanya penelitian ini diharapkan bisa membantu pemilik FSO dalam memilih diameter rantai jika terjadi sebuah kegagalan dan akan melakukan pergantian rantai yang baru.
[8]
DNV-OS-E301, 2004, “PositioningMooring”,Norway.
[9]
GL Noble Denton Report, Report ND Indonesia DSLR South China Sea Metocean Data, September 2009.