Studi Psiko Feminis Terhadap Peran Hawa Sebagai Penolong dalam Kejadian 2: 18
Oleh
Selfisina Tetelepta NIM 71 2011 016
TUGAS AKHIR Diajukan kepada program studi Teologi, Fakultas Teologi Guna memenuhi sebagaian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Teologi (S.SiTeol)
PROGRAM STUDI TEOLOGI
FAKULTAS TEOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2016
1
Studi Psiko Feminis Terhadap Peran Hawa Sebagai Penolong dalam Kejadian 2: 18
Abstrak Tujuan tulisan ini adalah untuk memahami makna Hawa sebagai penolong dalam Kejadian 2: 18 yang ditinjau menurut hermeneutik dan psiko feminis. Tulisan ini hendak merekonstruksi Kejadian 2: 18 dengan melihat kondisi psikologi Hawa sebagai simbol seluruh perempuan. Hasil analisa yang dilakukan menunjukan bahwa penolong yang dimaksudkan dalam Kejadian 2: 18 sangat berbeda dengan makna layaknya pembantu. Penolong dalam Kejadian 2: 18 menggambarkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang sifatnya saling membutuhkan untuk menutupi kekurangan dan keterbatasan. Analisa ini kemudian digunakan untuk merekonstruksi relasi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Israel Kuno. Penelitian ini melalui hermeneutik dan psiko feminis ingin menunjukan bahwa perempuan memiliki peranan yang luar biasa karena memiliki sumber daya manusia yang berlimpah untuk menolong pihak lain, dalam hal ini laki-laki dalam menjalankan segala urusan yang ada dalam keluarga dan komunitas. Dengan demikian, maka kajian psiko-feminis hendaknya dapat meningkatkan status dan rasa percaya diri perempuan terutama di Indonesia untuk terlibat aktif dalam ranah domestik dan publik. Kata kunci: perempuan, kesetaraan, hermeneutik, psikologi feminis
1. Pendahuluan Penulisan Alkitab berlangsung panjang dan penulisan tersebut memiliki latar belakang. Latar belakang penulisan Alkitab secara khusus Perjanjian Lama dipengaruhi oleh latar belakang sosial dan budaya masyarakat Israel kuno. Keadaan sosial dan budaya mempengaruhi penulisan teksteks kitab suci yang dibuat demi kepentingan kaum laki-laki yang bertugas sebagai imam, pengajar dan juga pemberita.1 Bahkan penulisan teks-teks kitab suci dibuat dari sudut pandang laki-laki. Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya 1.426 nama tokoh namun nama perempuan hanya 111 (Meyers 1998. 251-252).2 Nama-nama perempuan yang disebutkan merupakan perempuan yang berkaitan dengan laki-laki kaum elite seperti raja, imam dan nabi.
1
Philip J. King & Lawrence E. Strager, Kehidupan Orang Israel Alkitabiah(Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2001), 4. 2 Jennie R. Ebeling, Women’s Lives in Biblical Times(New York: T&T Clark International, 2010), 8. 2
Budaya ini dimulai ketika kehidupan sosial masyarakat Israel berbentuk hirarki atau piramida.3 Kehidupan sosial yang berbentuk piramida membuat masyarakat setempat dibagi menjadi dua golongan, yaitu kaum elite yang berada pada bagian puncak piramida dan kaum miskin yang berada pada bagian dasar piramida. Kaum elite menggambarkan orang-orang yang memiliki kekuasaan, kekayaan dan berpendidikan. Sedangkan kaum miskin adalah mereka yang tidak memiliki kekuasaan, tidak berpendidikan, dan banyak yang berprofesi sebagai buruh atau budak. Bentuk hirarki atau piramida yang dianut oleh masyarakat Israel menghasilkan sistem patriarki dalam keluarga. Sistem patriarki dijalani oleh kepala keluarga atau kaum laki-laki.4 Sistem ini menyebabkan laki-laki memiliki fungsi yang sangat dominan dan mempunyai hak yang lebih istimewa dari perempuan. Budaya ini juga membuat perbedaan tugas antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki bertugas untuk berperang, memerintah dalam keluarga dan masyarakat, memenuhi kebutuhan ekonomi dalam keluarga dan bertugas untuk memimpin ritual keagamaan. Sedangkan tugas utama perempuan adalah melakukan pekerjaan domestik seperti menyiapkan makanan, mencuci piring, menenun, membuat tembikar dan keranjang dan menjalankan peran sebagai ibu serta istri. Perempuan pada zaman Israel juga dinyatakan sebagai masyarakat golongan kelas dua, tertindas, lemah dan harus tunduk pada laki-laki.5 Menjadi golongan kelas dua, membuat perempuan tidak dapat menjalani kehidupannya secara bebas untuk menjalani tanggungjawabnya. Akibatnya dari budaya semacam ini ternyata memberi pengaruh terhadap status sosial kaum perempuan. Perempuan yang mandul akan mengancam statusnya sebagai istri dan dipandang sebagai orang yang tidak memiliki kehormatan.6 Perempuan yang tidak perawan sebelum menikah, dianggap sebagai kejahatan bagi ayahnya dan calon suaminya. 7 Perempuan janda yang belum memiliki keturunan harus melakukan perkawinan levirat yaitu menikahi saudara suami.8 Bahkan perempuan yang sedang berada pada masa menstruasi dianggap sebagai perempuan
3
Robert Coote & Mary P. Coote, Kuasa, Politik & Proses Pembuatan Alkitab.I (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 15. 4 Pater = bapak, arkhe = asal mula yang menentukan. Laki-laki yang berkuasa atas semua anggota masyarakat yang lain dan mempertahankan kekuasaan. 5 Carol Pratt Bradley, Women in Ancient Israel. Journal International Studia Antiqua, Vol. 3 No. 1, Winter 2013. 3 6 Jennie R. Ebeling, Women’s Lives in Biblical Times. (New York: T&T Clark International, 2010) 97-98. 7 Ebeling, Women’s Lives, 84-85. 8 Philip J. King & Lawrence E. Stager, Kehidupan Orang, 63. 3
najis, karena darah merupakan hal yang berbahaya.9 Selain itu perempuan juga sering disamakan dengan budak dan benda. Status sosial yang melekat pada diri perempuan membuatnya seperti berada dalam kekangan dan aturan ini seakan-akan mengikat perempuan. Di dalam Alkitab terdapat beberapa ayat yang sangat dipengaruhi oleh sistem Patriarki, seperti kisah perkawinan Levirat yang terdapat dalam Rut 3: 9-12. Kisah perempuan yang digunakan sebagai penebus, untuk menebus keluarga yang dijual sebagai budak karena terlibat hutang, terdapat dalam Imamat 25: 48-49. Kisah perempuan yang hanya bertugas untuk melakukan pekerjaan domestik, terdapat dalam 2 Samuel 13: 8, Keluaran 2: 16, Kejadian 24: 11, Rut 2; 21-23, Kejadian 29: 9, Yeremia 9: 17. Kisah tentang hubungan laki-laki dan perempuan dalam Efesus 5: 22, 1 Timotius 2:15. Perempuan tidak mempunyai hak untuk berbicara di depan umum terdapat dalam 1 Korintus 14: 34-35. Selain ayat-ayat dalam teks kitab suci yang mengangkat kisah tentang ketidaksederajatan antara laki-laki dan perempuan, ada juga ayat yang mengangkat derajat perempuan. Salah satu ayatnya terdapat dalam Kejadian 2:18. Namun, Kejadian 2: 18 dapat ditafsirkan dengan menggunakan dua sudut pandang. Sudut pandang pertama adalah penafsiran yang dilakukan dengan pengaruh budaya patriakal.10 Sudut pandang yang kedua tanpa melihat pengaruh budaya patriakal atau dengan menggunakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. 11 Sudut pandang oleh karena budaya patriakal merupakan pemahaman yang sangat sering terjadi dalam kehidupan bermasyarakat yang telah banyak mendiskreditkan kaum perempuan. Lebih lanjut dalam budaya Patriakal, Kejadian 2: 18 ditafsirkan bahwa Allah membuat orang yang kedua sebagai pembantu sedangkan orang yang pertama sebagai manusia yang utama.12 Dalam kisah penciptaan yaitu Kejadian 1: 27, Allah menciptakan manusia menurut gambarNya yaitu laki-laki dan perempuan. Berdasarkan urutan penyebutannya, perempuan merupakan manusia kedua yang diciptakan setelah laki-laki oleh Allah. Manusia kedua menandakan ketidaksejajaran, sehingga perempuan sebagai penolong dikonotasikan sebagai pembantu oleh manusia pertama yaitu laki-laki. Kejadian 1: 27 menerangkan tentang hubungan
Ebeling, Women’s Lives, 68-69. Marie C. Barth Frommel, Hati Allah Bagaikan Hati seorang Ibu. (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2006) 44. 11 Yonkky Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009) 45. 12 Frommel, Hati Allah, 44. 9
10
4
yang setara antara laki-laki dan perempuan namun dalam Kejadian 2 secara keseluruhan menjelaskan tentang hubungan timbal balik laki-laki dan perempuan secara hirarkis. Bahkan Paulus dalam surat-suratnya juga menekankan tentang hubungan yang hirarki antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan berumah tangga. Penekanan Paulus terhadap hubungan yang hirarki antara laki-laki dan perempuan disebabkan karena adanya pengaruh mazab Farisi yang dianutnya.13 Mazab Farisi merupakan pemahaman yang dianut oleh kaum Farisi. Kaum Farisi merupakan salah satu kelompok keagamaan dalam masyarakat Yahudi dan mereka merupakan kaum yang memegang teguh Perjanjian Lama, terlebih hukum Taurat.14 Hal tersebut membuat mereka menerima julukan sebagai ahli-ahli kitab Taurat. Mazab Farisi yang dianut secara keras oleh Paulus adalah ketaatan pada hukum taurat dan pelaksanaannya. Mazab yang dianut oleh Paulus membuat hubungan hirarki antara laki-laki dan perempuan tidak setara. Laki-laki biasanya diidentikan sebagai pemimpin, sedangkan perempuan diidentikan sebagai pengikut. Padahal dalam Kejadian 2: 18 memakai istilah kata penolong untuk menjelaskan tentang tugas dari seorang perempuan. Dalam bahasa Ibrani, kata yang digunakan untuk menjelaskan kata penolong adalah ‘ezer dan untuk kata sepadan yang digunakan adalah kenegeddo.15 „Ezer kenegeddo digunakan untuk menjelaskan makna tugas seorang perempuan. Oleh karena itu, kata ‘ezer keneggedo perlu dikaji secara lebih dalam untuk memahami kekayaan arti dan maknanya dalam konteks kesetaraan peran. Sebab jika perempuan digambarkan sebagai seorang penolong, maka perempuan memiliki kualitas diri yang tinggi dan otoritas yang penting. Perempuan adalah penolong yang memilliki sumber daya manusia berlebih dan material berlebih untuk meringankan beban pihak lain. Perempuan adalah saluran pertolongan Allah bagi dunia dan Allah adalah penolong umat manusia.16 Perempuan dinyatakan sebagai saluran pertolongan Allah yang menandakan bahwa perempuan merupakan rekan kerja Allah yang dapat memberikan pertolongan kepada sesamanya yang membutuhkan. Allah memberikan mandat dan wewenang kepada perempuan untuk bertindak sebagai penolong yang sepadan kepada sesamanya termasuk kaum laki-laki. Tak jarang pemakaian kata ‘ezer memberikan ambiguitas dikalangan para penafsir dan masyarakat 13
Frommel, Hati Allah,123-128. C. Groenen, Pengantar ke dalam Perjanjian Baru(Yogyakarta: Kanisius,1984), 44-45. 15 Emmanuel Gerrith Singgih, Dari Eden ke Babel. (Yogyakarta: Kanisius, 2011) 93. 16 Sartika, Jurnal Teologi dan Gereja, Feminisme Penuntun, 377. 14
5
awam. Berdasarkan ambiguitas itu maka muncul pertanyaan, apakah seorang perempuan merupakan seorang pembantu? Atau menjadi penolong serta rekan sesamanya. Pertanyaan tersebut menjadi sangat penting dan krusial, karena pada kenyataannya keadaan yang dialami oleh perempuan bukanlah sebagai seorang penolong melainkan sebagai pembantu. Diperlakukan sebagai seorang pembantu, membuat perempuan mengalami penyiksaan secara fisik dan juga psikis. Penyiksaan secara fisik yang dialami oleh seorang perempuan seperti kekerasaan dalam keluarga, pelecehan seksual, atau hanya diperbolehkan untuk melakukan pekerjaan domestik. Sedangkan penyiksaan secara psikis seperti pelabelan yang diberikan oleh masyarakat bahwa perempuan terlalu mudah dipengaruhi perasaannya. Penyiksaan yang dialami oleh perempuan, khususnya secara psikis membuat perempuan mengalami gangguan kesehatan mental.17 Kesehatan mental merupakan kemampuan individu untuk berinteraksi satu sama lain untuk mendapatkan kesejahteraan. Jika perempuan tidak memiliki kesehatan mental maka perempuan tidak akan memiliki kesejahteraan dalam menjalani kehidupannya dan membuat perempuan akan kehilangan makna hidupnya. Gangguan kesehatan mental dapat ditandai dengan adanya kecemasan pada diri perempuan. Jika kecemasan sering terjadi maka perempuan mudah untuk mengalami depresi.
18
Depresi yang dialami oleh perempuan juga akan mengakibatkan rasa tidak percaya diri pada perempuan. Rasa tidak percaya diri merupakan penghayatan hidup yang hampa karena merasa tidak berharga.19 Rasa tidak percaya diri dapat membuat perempuan tidak dapat mengekspresikan dirinya. Jika perempuan hanya mampu untuk menerima maka citra dirinya akan menurun. Karena menurut Al-Bahsein, 2009 seperti yang dikutip oleh Engel, dijelaskan bahwa citra diri memiliki peran besar dalam kejiwaan seseorang.20 Penurunan citra diri seorang perempuan, hanya akan membuatnya selalu menerima dan berdiam diri terhadap berbagai perlakuan terhadap dirinya. Idealnya gangguan kesehatan mental yang dialami perempuan akan membuatnya kesulitan dalam menjalani tanggungjawabnya. Sikap perempuan untuk berdiam diri dan hanya menerima berbanding terbalik dengan kemampuan yang ada dalam dirinya. Pada hakikatnya, perempuan mampu untuk melawan Michele A. Paludi Editor. Joy Rice & Nancy Felipe Russo. Feminism and Women’s Right Worldwide Vol 2. Mental and Physical Health. International Perspectives on Women and Mental Health. (Santa Barbara; California, 2010) 1-3 18 Paludi, Feminism and Women’s, 1-3 19 Jacob Daan Engel, Nilai dasar Logo Konseling. (Yogyakarta: Kanisius, 2014) 57. 20 Engel, Nilai dasar, 52-53. 17
6
ketidakadilan yang terjadi padanya. Hal itu disebabkan karena perempuan memiliki sifat asertif dan juga non konform.21 Sifat asertif akan membuat perempuan mampu mengutarakan keinginannya dan sifat non konform membuat perempuan memiliki pengetahuan tentang sesuatu yang alami untuk dipertahankan dan yang harus diubah ditengah-tengah lingkungan sosial. Berdasarkan penjelasan di atas, maka kajian terhadap Kejadian 2: 18 ternyata masih cenderung ditinjau hanya dari segi hermeneutik teks saja dan tidak disertai dengan studi psiko feminis. Oleh Karena itu, penelitian ini dilakukan untuk memahami keduanya sekaligus yakni melakukan studi hermeneutik teks dan psiko feminis secara bersamaan. Adapun pertanyaan sentral yang digunakan dalam penelitian ini adalah bagaimana peran Hawa sebagai penolong dalam Kejadian 2: 18 yang dikaji dari perspektif hermeneutik dan psiko-feminis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan peran Hawa sebagai penolong dalam Kejadian 2: 18 melalui proses hermeneutik dan psiko-feminis. Manfaat penulisan ini untuk memberikan pengetahuan kepada kaum awam tentang peran Hawa sebagai penolong dalam Kejadian 2: 18 yang telah dikaji melalui proses perspektif dan psiko-feminis. Selain itu penulisan ini akan memberikan sumbangan pemikiran kepada Gereja dalam rangka menolong Gereja untuk membangkitkan kesadaran gender. Penulisan ini menggunakan metode hermeneutik dengan pendekatan sinkronik dan diakronik. Sinkronik merupakan pendekatan yang memperhatikan teks-teks kitab suci sebagai satu kesatuan tanpa mempersoalkan unsur di luar teks seperti permasalahan redaksi dan sumber. Sedangkan diakronik merupakan pendekatan yang digunakan dengan asumsi bahwa teks-teks kitab suci memiliki sejarah dan membutuhkan pertimbangan yang cermat. Selain itu juga digunakan pendekatan psiko feminis untuk mengetahui faktor psikologi yang dialami Hawa. Pendekatan psiko feminis yang digunakan adalah untuk menganalisa pengaruh ketidaksetaraan dalam relasi gender.22 Tujuannya untuk memahami individu dalam aspek sosial dan politik yang lebih besar dalam masyarakat. Sistematika dalam penulisan ini diuraikan
sebagai berikut: Bagian pertama berisikan
Pendahuluan, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penulisan, dan Sistematika Penulisan. Pada bagian kedua, berisikan Landasan Teori tentang Peran Perempuan dalam Israel Kuno, Peran Perempuan dalam Budaya Patriakal dan Psiko-Feminis. Pada bagian 21 22
Saparinah Sadli, Berbeda tapi Setara. (Jakarta: Buku Kompas, 2010) 9. Eti Nurhayati, Psikologi Perempuan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012) XX. 7
ketiga terdapat dua langkah yang dilakukan untuk membahas tentang pesan peran Hawa sebagai penolong dalam Kejadian 2: 18. Langkah pertama yang dibahas adalah menganalisa peran Hawa sebagai penolong dari perspektif hermeneutik, langkah kedua yang dilakukan adalah menganalisa Hawa sebagai penolong dari perspektif psiko feminis. Bagian keempat berisi kesimpulan dan saran.
2. Perempuan dalam Israel kuno, budaya patriakal dan psiko-feminis Berbicara mengenai studi Psiko Feminis terhadap Kejadian 2: 18 tidak terlepas dari budaya yang melatar belakangi penulisan ayat ini. Dengan demikian, untuk merekonstruksi kembali ayat ini, penulis menggunakan teori Peranan perempuan dalam Israel kuno, Pengaruh peran perempuan dalam budaya patriakal dan Psiko feminis. 2.1 Peran Perempuan dalam Israel Kuno Di dalam budaya masyarakat Israel Kuno, kehidupan mereka diatur dalam bentuk suku-suku. Kekuasaan masyarakat Israel Kuno di atur dari bawah ke atas bukan dari atas ke bawah seperi pada umumnya. Kekuasaan dari bawah ke atas ini ditandai dengan kekuasaan keluarga atau rumah tangga sebagai kekuasaan yang tertinggi.23 Keluarga menjadi penguasa tertinggi dalam masyarakat. Kehidupan keluarga Israel kuno memiliki keseharian sebagai masyarakat agraris. Masyarakat agraris menandakan bahwa masyarakat Israel kuno bekerja sebagai petani.24 Hidup sebagai masyarakat agraris membuat keluarga Israel Kuno atau masa Israel pra-monarki memiliki tiga aktivitas kerja utama yang dibagi dan juga diperankan oleh laki-laki dan perempuan. Ketiga aktivitas itu adalah prokerasi (reproduksi), produksi, dan proteksi.25 Prokreasi atau reproduksi adalah tugas kerja yang diperankan oleh perempuan.26 Tugas kerja ini ditandai dengan proses kehamilan, melahirkan dan membesarkan serta merawat anak-anak yang telah dilahirkan.
23
Carol Meyers, Families in Ancient Israel (Louisville, Kentucky: Westminster John Knox Press,
1997), 3. 24
Meyers, Families in, 7-9. Ira D. Mangililo, Saudari-saudari yang hilang dalam ruang publik: kajian sosiao-teologis Kristen terhadap peran politik perempuan, jurnal perempuan, vol.19. no.3, 2014. 69-70. 26 Meyers, Discovering Eve,56. 25
8
Produksi dilakukan oleh laki-laki.27 Tugas kerja ini dilakukan saat laki-laki membuka lahan dan bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tugas produksi dilakukan oleh laki-laki karena jarang terjadi peperangan dan membuat tenaga laki-laki menjadi meningkat. Tugas kerja ketiga adalah proteksi dan ini dilakukan oleh laki-laki. Proteksi merupakan pertahan atau perlindungan yang dilakukan laki-laki terhadap keluarganya. Berdasarkan pembagian tugas kerja yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Israel Kuno, maka secara tidak langsung status perempuan menjadi tersudut dan terpinggirkan. Hal tersebut dikarenakan laki-laki memiliki dua aktivitas kerja yang menandakan laki-laki sangat kuat, sedangkan perempuan memiliki satu aktivitas kerja dan diartikan perempuan tidak memiliki kekuatan seperti laki-laki. Kondisi seperti ini membuat laki-laki menjadi dominan.28Selanjutnya membuat hubungan laki-laki dan perempuan menjadi tidak seimbang. Jika laki-laki yang menjadi dominan, maka perempuan dapat dianggap tidak menjadi bagian yang penting. Artinya peranan laki-laki menjadi yang paling utama dalam masyarakat. Pembagian aktivitas kerja seperti yang telah dijelaskan di atas, tidak berlangsung lama. Pada saat terjadi peperangan dalam kehidupan masyarakat Israel dan kurangnya prajurit militer yang memadai maka laki-laki dalam keluarga direkrut untuk menjadi prajurit peperangan.29 Pemanggilan laki-laki dalam keluarga membuat mereka harus pergi meninggalkan keluarga untuk berperang. Saat berperang, maka pembagian tugas laki-laki dan perempuan menjadi berubah. Perempuan menolong laki-laki dan mengambil alih untuk melakukan prokreasi dan produksi.30 Selain berperang, untuk memperluas daerah territorial bangsa Israel, tenaga laki-laki juga digunakan untuk membuka lahan-lahan wilayah Israel. Keadaan yang dialami oleh laki-laki semacam ini membuat tugas kerja perempuan menjadi bertambah. Perempuan melakukan prokreasi dan produksi yaitu perempuan mengurus kehidupan rumah tangga dengan melakukan pekerjaan domestik dan publik dengan cara membuka lahan untuk bercocok tanam memenuhi kebutuhan keluarga.31 Dua aktivitas perempuan menandakan bahwa perempuan tidak hanya boleh berada di rumah, dia harus membuka lahan dan membentuk lahan pertanian untuk bercocok tanam dan dia juga yang meramu hasil pertanian menjadi bahan 27
Meyers, Discovering Eve,56. Meyers, Discovering Eve, 48. 29 Mangililo, Saudari-saudari, 69-70. 30 Meyers, Discovering Eve,61. 28
31
Meyers, Families in, 25.
9
makanan. Pemenuhan kebutuhan keluarga tanpa adanya bantuan laki-laki juga dilakukan oleh perempuan seperti mempelajari teknologi untuk membuka lahan pertanian, menanam gandum atau tumbuhan lainnya, terampil mengelola bahan mentah makanan menjadi siap untuk dikonsumsi, memiliki keahlian untuk membuat benang dan pakaian, dan membuat keranjang dan keramik.32 Prokreasi dan produksi yang dilakukan oleh perempuan, membuatnya memiliki beban kerja yang sangat tinggi. Oleh karena itu, perempuan dapat melakukan banyak pekerjaan dalam satu waktu atau multitasking. Beban kerja yang sangat tinggi membuat perempuan Israel Kuno memiliki keahlian untuk melakukan perencanaan, keterampilan dan pengetahuan teknologi yang sangat berguna untuk melangsungkan kehidupannya bersama keluarga setiap hari.33 Laki-laki cenderung menggunakan fisik dan tenaga saat memerankan tugas yang dikerjakannya sedangkan perempuan menggunakan
keahlian,
penilaian
dan
keterampilannya
saat
melakukan
tugas
kerjanya.34Keahlian, keterampilan dan pengetahuan teknologi ini dilakukan dan ditunjukan oleh perempuan pada saat meramu makanan atau membuat kerajinan tangan. Oleh karena itu, tidak salah jika tugas kerja antara laki-laki menjadi seimbang. Perempuan memiliki dua tugas yaitu prokreasi untuk memperbesar jumlah keturunan dan melakukan pekerjaan domestik serta membuka lahan untuk bercocok tanam demi kebutuhan keluarga. Sementara laki-laki juga mempunyai dua tugas yaitu melakukan pertahanan atau perlindungan terhadap keluarga dan membuka lahan pertanian untuk memperluas daerah Israel.35 Pembagian tugas kerja yang merata membuat hubungan perempuan dan laki-laki menjadi seimbang. Lakilaki tidak lagi menjadi pihak yang dominan. Penjelasan di atas merupakan kehidupan masyarakat Israel pada masa pra-monarki. Kehidupan masyarakat Israel mengalami perubahan pada masa monarki. Masa monarki Israel ditandai dengan hadirnya kerajaan yang bersifat hirarki. Jika pada masa pra-monarki kekuasaan keluarga merupakan kekuasaan tertinggi maka pada masa monarki kekuasaan tertinggi adalah kekuasaan raja.36 Peranan perempuan dan laki-laki yang tadinya seimbang menjadi bergeser sebab tidak ada lagi produksi yang dikerjakan perempuan. Perempuan hanya melakukan aktivitas
32
Philip J. King & Lawrence E. Stager, Kehidupan Orang, 55-58.
33
Meyers, Families in,26.
34
Mangililo, Saudari-saudari, 74. Meyes, Discovering Eve, 56. 36 Mangililo, Saudari-saudari, 74. 35
10
kerja reproduksi dan melakukan pekerjaan domestik. Dampak dari masa Israel monarki ini adalah hadirnya sistem patriakal. Sistem ini ditandai dengan kekuasaan raja atau laki-laki dalam kehidupan rumah tangga dan juga bernegara. Sistem patriakal ini kemudian membuat perempuan menjadi kaum nomor dua yang cenderung diabaikan. Carol Meyers berpendapat bahwa jika kehidupan seorang perempuan terbatas pada kehidupan rumah tangga maka ia akan melakukan hal-hal yang terfokus pada kebutuhan rumah tangga seperti memasak, mengasuh anak dibandingkan dengan tugas yang dilakukan oleh para laki-laki. Karena Di dalam kehidupan rumah tangga, laki-laki adalah kepala keluarga, sehingga hal tersebut akan membuka peluang bagi perempuan untuk mengalami ketertindasan karena lakilaki bahwa mewajibkan perempuan untuk hal itu dan membatasi peran-peran lainnya.37 Oleh karena itu, ketertindasan yang dialami perempuan dalam kehidupan rumah tangga disebabkan tidak adanya kesempatan untuk dapat keluar dari ranah domestik untuk mengekspesikan dirinya melakukan tugas kerja produksi. 2.2 Perempuan dalam Budaya Patriakal Secara umum, patriarki dapat didefinisikan sebagai sebuah sistem yang bericirikan laki-laki (ayah). Sylvia Walby (1990) dalam bukunya, Theorising Patriarchy menyebut patriarki “sebagai suatu sistem dari struktur dan praktik-praktik sosial yang mana kaum laki-laki menguasi, menindas dan mengeksploitasi perempuan”. Sebagai sebuah sistem, patriarki memiliki dua bentuk, yaitu patriarki domestik (private patriarchy) dan patriarki publik (public patriarchy). Patriarki domestik menitikberatkan kerja dalam rumah tangga sebagai suatu bentuk stereotipe yang melekat pada kaum perempuan. Sedangkan tekanan terhadap kaum perempuan pada patriarki
publik berasal
dari sistem
yang terbentuk
di
tempat
kerja dan dalam
pemerintahan/Negara.38 Patriaki domestik membuat perempuan akan menerima stigma bahwa melakukan pekerjaan domestik merupakan tugas utamanya, sementara patriaki publik akan membuat perempuan hanya pantas untuk menjadi bawahan dan menerima perintah. Carol Meyers dalam bukunya Discovering Eve Ancient Israelite menyatakan bahwa patriakal merupakan ideologi yang timbul dari kekuatan pria dalam kelompok kekerabatan, sebagai bentuk
37
Bradley, Women in, 5-6. Sylvia Walby, dalam May Lan, Pers, Negara dan Perempuan (Yogyakarta: Kalika 2002) 14.
38
11
prinsip simbolis laki-laki dan menandakan kekuasaan laki-laki.39 Meyers juga berpendapat bahwa Patriaki berkaitan dengan ide-ide dari dominasi laki-laki. Sehingga laki-laki yang menguasai dan mengendalikan kehidupan perempuan. Dominasi laki-laki tidak dapat disamakan dengan perempuan pasif.40Artinya, dominasi laki-laki tidak dapat dilakukan dan tidak dapat terjadi saat perempuan mampu melakukan keinginannya. Pengaruh budaya patriakal dalam kehidupan masyarakat Israel sangat dirasakan oleh kaum perempuan. Budaya patriakal membuat perempuan dianggap sebagai properti dalam keluarga dan hanya bertugas untuk mengurusi kehidupan rumah tangga.41 Dalam masyarakat patriakal perempuan berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Sebelum menikah seorang perempuan adalah milik ayahnya. Jika ayahnya telah meninggal, maka perempuan menjadi milik saudara laki-lakinya. Selanjutnya, pada saat perempuan telah menikah, ia akan menjadi milik suaminya.42Kehidupan perempuan yang menjadi jandapun tidak mengenakan. Seorang perempuan janda akan lebih mudah menjadi korban dan sangat gampang untuk hidup melarat. Bahkan janda dapat dikenali karena cara berpakaiannya dibedakan dengan perempuan yang bukan janda.43 Perempuan janda yang belum memiliki keturunan harus melakukan perkawinan levirat yaitu menikahi saudara suami supaya mendapatkan bagian dalam struktur masyarakat.44 Akhirnya, budaya patriakal ini membuat perempuan menjadi milik dan hak laki-laki secara penuh. Budaya ini bersifat mengikat dan membuat perempuan berada dalam kekangan. Budaya patriakal juga memberi pengaruh terhadap status sosial kaum perempuan. Perempuan yang mandul akan mengancam statusnya sebagai istri dan dipandang sebagai orang yang tidak memiliki kehormatan.45 Perempuan yang tidak perawan sebelum menikah, dianggap sebagai kejahatan bagi ayahnya dan calon suaminya.46 Bahkan perempuan yang sedang berada pada masa menstruasi dianggap sebagai perempuan najis, karena darah merupakan hal yang berbahaya.47 Selain itu perempuan juga sering disamakan dengan budak dan benda. Kemudian dalam masyarakat patriakal, keseluruhan tubuh seorang perempuan dan juga kesuburannya 39
Meyers, Discovering Eve, 26. Bradley, Women in, 6 41 Philip J. King & Lawrence E. Stager, Kehidupan Orang, 55. 42 Philip J. King & Lawrence E. Stager, Kehidupan Orang, 58. 43 Philip J. King & Lawrence E. Stager, Kehidupan Orang, 59. 44 Philip J. King & Lawrence E. Strager, Kehidupan Orang, 63. 45 Ebeling, Women’s Lives, 97-98. 46 Ebeling, Women’s Lives, 84-85. 47 Ebeling, Women’s Lives, 68-69. 40
12
merupakan milik dari suami. Jika ada perempuan yang menodai tubuhnya dengan cara berhubungan dengan laki-laki lain yang bukan suaminya maka perempuan itu akan mendapat hukuman.48 Oleh karenanya, berbagai aturan diberlakukan terhadap perempuan telah membuatnya tidak dapat menjalani hidupnya dengan kebebasan. Keadaan seperti ini membuat perempuan mengalami tekanan dalam kehidupannya.
2.3 Peran Psiko Feminis Maraknya pengaruh budaya patriakal yang membuat perempuan mengalami berbagai penyiksaan secara fisik dan psikis, membuat pejuang-pejuang tergerak dan membentuk kaum feminis. Kaum Feminis ini berjuang untuk menyetarakan kembali status perempuan dan lakilaki. Teori Feminis lahir pertama kali di Universitas-universitas di Amerika Utara pada tahun 1970an.49 Feminis merupakan suatu gerakan sosial yang berguna untuk menyetarakan status sosial laki-laki dan perempuan dalam bidang politik, ekonomi dan bidang lainnya.50 Serene Jones, dalam bukunya Feminist Theory and Christian Theology, menyatakan bahwa fungsi dari teori Feminis ini adalah untuk membebaskan perempuan dari penindasan dan berguna untuk pemberdayaan mereka.51 Teori Feminis lahir bukan karena tanpa alasan. Teori Feminis lahir dan berkembang dengan alasan untuk mengidentifikasikan berbagai penindasan yang mengatur kehidupan
para
perempuan
dan
berupaya
untuk
menciptakan
masa
depan
tanpa
penindasan.52Feminis lahir dan berkembang untuk membantu perempuan hidup tanpa mengalami penindasan atau kekerasan, untuk menyetarakan dan mendapat kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam bidangan sosial, politik, ekonomi. Pergerakan feminis akan membebaskan manusia laki-laki dan perempuan,
dan dalam
kenyataan yang sering terjadi di masyarakat perempuanlah yang sangat sering mengalami ketidakadilan. Teori Feminis hadir dengan fokus utama pada perempuan bukan karena kelompok masyarakat lainnya. Hal ini dilakukan karena perempuan mengalami penindasan atau kekerasan
48
Frommel, Hati Allah, 59. Serene Jones, Feminist Theory and Christian Theology (USA: Augsburg, 2000) 3. 50 Soejono Soekamto, Kamus Sosiologi (Jakarta: CV. Rajawali, 1983), 189. 51 Jones, Feminist Theory, 3. 52 Jones, Feminist Theory, 3. 49
13
dalam kurun waktu yang sangat lama dan selama ini kondisi perempuan menjadi tidak dipedulikan. Dalam Dictionary Feminist Theologies karangan Letty M. Russel & J. Shannon Clarkson menjelaskan bahwaberbagai teori feminis muncul dan berkembang dari keadaan-keadaan yang diterma oleh perempuan dalam bidang akademik maupun sosial dan politik.53 Hal ini membuktikan bahwa penindasan yang terjadi pada diri perempuan tidak hanya dilakukan dalam kehidupan rumah tangga, melainkan terjadi juga dalam lingkungan akademik, sosial dan politik. Shulamith Firestone, Kate Millet and Mary Daly mendeskripsikan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi dalam ranah seksisme dan untuk mengatasinya maka seksisme harus dihilangkan.54 Penindasan yang dialami perempuan, terjadi karena kebencian terhadap jenis kelamin atau gender dan dalam hal ini adalah perempuan. Ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan adalah karena adanya superioritas lakilaki yang menganggap perlakukan kasar terhadap perempuan merupakan hal yang wajar. Kate Millet (1970) merupakan seorang feminis Amerika menggarisbawahi bahwa kekerasan terhadap perempuan terjadi pada sistem patriarkal di mana distribusi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan timpang.
55
Seperti yang telah dijelaskan bahwa kekuasaan laki-laki membuatnya
menjadi dominan dan akhirnya terjadi ketidakseimbangan relasi perempuan dan laki-laki. Para pejuang hak-hak perempuan mengemukakan bahwa berbagai analisa tentang ketertindasan perempuan dilakukan di luar ruang akademik. Permasalahan penindasan terhadap perempuan dalam kaitannya dengan soal seksualitas, keluarga, kerja, hukum, politik, budaya dan seni.56 Hal ini menggambarkan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi di banyak bidang dalam masyarakat. Berdasarkan pemahaman di atas, maka terdapat diskriminasi pada perempuan dari segi akademik, sosial dan politik serta dari segi seksisme dalam masyarakat luas. Akibatnya terjadi tekanan secara psikologis dalam diri perempuan. Lebih lanjut dalam perkembangannya pendekatan Psikologi Feminis merupakan pendekatan psikologi yang kemudian bertujuan untuk menganalisa pengaruh ketidaksetaraan dalam relasi
53
Letty M. Russel & J. Shannon Clarkson, Dictionary of Feminist Theologies (Kentucky : Westminster John Knox Press, 1996) 116-117. 54 Letty M. Russel & J. Shannon Clarkson, Dictionary of Feminist, 117-118 55 Gadis Arivia, Feminisme: Sebuah Kata Hati. (Jakarta: Kompas, 2006) 191-192. 56 Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis. (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003) 81. 14
gender dan perilaku antara dua jenis kelamin yang berbeda.57Psikologi merupakan disiplin ilmu dengan banyak teori dan bersifat klinis, berkaitan dengan perkembangan kognitif, intelektual dan emosional; perspektif psikologi feminis berusaha untuk menunjukan bias gender dan androsentrisme untuk menentukan identitas gender.58Psikologi feminis akan membantu untuk menganalisa bias gender yang terjadi dalam masyarakat dan akan membantu untuk menentukan dan memberikan identitas gender pada perempuan. Dalam penulisan ini, teori psiko feminis digunakan untuk menganalisa kondisi psikologis perempuan terhadap berbagai penindasan yang dialami perempuan. Selain itu teori psiko feminis ini digunakan untuk menganalisa kondisi psikologis perempuan terhadap relasi yang terjadi antara sesamanya baik laki-laki maupun perempuan. Menganalisa relasi antara perempuan dan sesamanya, dari sisi perempuan sebagai korban penindasan. Michele Fine berpendapat bahwa psikologi feminis merupakan strategi perubahan sosial. Psikologi feminis bertujuan untuk mengakhiri penindasan sosial dan politik terhadap perempuan dan laki-laki.59 Oleh karena itu, psikologi feminis menjadi sangat penting sebagai salah satu cara untuk menghentikan penindasan sosial yang terjadi pada perempuan dan laki-laki. Menurut American Psychological Assosiation (1979, 1982), Psikologi perempuan adalah salah satu rancangan riset psikologi yang menempatkan cara penampilan wujud perempuan sebagai tema sentral. Psikologi perempuan tidak hanya berkaitan dengan pengalaman nyata seorang perempuan tetapi dapat membantu kehidupan perempuan.60 Psikologi perempuan tidak hanya cukup dideskripsikan melalui penjelasan tetapi harus melalui proses pemahaman diri dalam kehidupan sosial dan budaya.61 Artinya bahwa psikologi perempuan dapat bermanfaat saat perempuan menyadari dan memahami keadaan dirinya melalui kehidupan sosial dan budaya yang nyata. Bukan hanya menjadi wacana. Joy Beras dan Nancy Felipe juga menyatakan bahwa perempuan memiliki hak untuk mencapai dan menikmati standart tertinggi kesehatan fisik dan mental. Kenikmatan hak ini sangat penting untuk hidup dan juga kesejahteraan serta kemampuan perempuan untuk 57
Carole Wode & Carol Tavris, Psikologi Edisi 9, Jilid 1 (Jakarta: Erlangga, 2008) 24. Letty M. Russel & J. Shannon Clarkson, Dictionary of Feminist, 231. 59 Dennis Fox & Isaack Prilleltensky, Psikologi Kritis: Metaanalisa Psikologi Modern. (Jakarta: Teraju, 2005) 236. 60 Nani Nurrachman, Kontekstualisasi dan konstrutivisme dalam psikologi. Jurnal Psikologi Perempuan Vol VII, No 1, 2010. 2. 61 Nurrachman, 3. 58
15
berpartisipasi dalam semua bidang atau aspek kehidupan.62 Selain itu, menurut Joy Beras dan Nancy Felipe, seorang perempuan harus memiliki kesehatan mental. Kesehatan mental bukanlah tidak adanya penyakit secara fisik, melainkan adanya kesejahteraan yang dimiliki dan diperlihatkan.63 Perempuan pantas untuk merasakan kesejahteraan dan berhak untuk melakukan berbagai bidang dalam hidupnya. Kesejahteraan inilah yang akan membuat perempuan memiliki kesehatan mental. Selanjutnya, Maslow juga berpendapat bahwa perempuan yang meyakini bahwa ia memiliki kekuatan dan berharga di dalam ruang lingkup keluarga dan masyarakat akan memiliki sifat mandiri, kesuksesan, asertif, sehat dan memiliki orientasi seksual yang sehat.64 Kekuatan dan rasa berharga yang dimiliki oleh perempuan dapat membuatnya bersifat lebih sadar untuk memberikan pertolongan dalam bentuk pemberian dukungan secara emosional dan interpersonal pada setiap ruang lingkup.65 Perempuan yang telah menyadari kekuatan karena memiliki kesejahteraan dalam hidupnya akan lebih mudah untuk berinteraksi dan membantu sesamanya. Dengan pendeskripsian di atas, maka dibagian selanjutnya penulis akan menganalisa makna peran Hawa di dunia Israel Kuno. 3. Analisa Hermeneutik-psiko feminis 3.1 Makna Hawa sebagai ‘ezer di dalam dunia Israel kuno Upaya untuk menafsirkan peranan Hawa sebagai „ezer telah dilakukan oleh banyak teolog. Penafsiran-penafsiran yang ada merupakan penafsiran yang dipengaruhi oleh androsentrisme dan menuju kepada misogini. Misalnya saja penafsiran yang dilakukan oleh Paulus, Augustine dan Calvin.66 Penafsiran yang dilakukan oleh tiga teolog tersebut merupakan penafsiran tanpa mempertimbangkan latar belakang dan percaya pada penafsiran secara harafiah. Paulus percaya kepada isi teks Kejadian 2-3 secara harafiah. Dia tidak melihat keadaan sosial masyarakat pada masa penulisan Kejadian 2-3. Dalam tulisan-tulisan Paulus banyak sekali penekanan yang dilakukan karena adanya persoalan jenis kelamin. Menurutnya perbedaan jenis
Paludi, Feminism and Women’s,1-3. Paludi, Feminism and Women’s, 1-3.
62 63 64
Howard S. Friedman & Miriam W. Schustack, Kepribadian Jilid 2. (Jakarta: Erlangga, 2006) 29.
65 66
Howard S. Friedman & Miriam W. Schustack, Kepribadian, 29. Tom Delbridge, Adam and Eve The Search for The True Story. (Tom Delbidge, 2013) 249.
16
kelamin merupakan perbedaan yang hirarki dan kontras.67 Berdasarkan hubungan yang hirarki ini maka Paulus menekankan hubungan yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan. Pendapat Paulus merupakan gambaran yang menggunakan acuan dari Kejadian 2: 17, 21-22. Melalui Kejadian 2: 17, 21-22 Paulus berpendapat bahwa Adam adalah orang pertama dan Hawa merupakan orang kedua. Berdasarkan kisah ini maka Paulus memperlihatkan perbedaan kedudukan laki-laki dan perempuan dan menuliskan 1 Korintus 11: 3, Efesus 5: 23. 68 Dengan demikian Paulus berpendapat bahwa laki-laki merupakan yang utama, digambarkan sebagai seorang pemimpin, sementara perempuan hanya pelengkap kehidupan. Jika paulus melihat bahwa laki-laki adalah seorang pemimpin maka perempuan tidak akan diberikan kesempatan untuk menjadi berbicara dihadapan banyak orang, tidak dapat memerintah dan harus tunduk pada laki-laki serta tidak menutup kemungkinan untuk mendapatkan hukuman. Paulus juga berpendapat dalam 1 Timotius 2: 13-15, bahwa selain hanya menjadi pelengkap maka Hawa sebagai simbol perempuan pertama adalah sumber segala dosa dan akan mendapatkan pengampunan saat dia melakukan kegiatan reproduksi.69 Meyakini bahwa Hawa adalah sumber segala dosa karena Hawa tertipu dan melanggar perintah Tuhan dengan memakan buah yang terlarang. Dengan demikian, pendapat Paulus sangat dipengaruhi oleh androsentrisme dan menurutnya Hawa hanyalah orang kedua yang berperan sebagai pelengkap dan merupakan sumber kejatuhan manusia di dalam dosa. Setelah Paulus, Augustine (354-430) yang merupakan seorang Uskup Hippo di pantai Afrika Utara dalam bab XII, XIII dan XIV dalam bukunya The City of God memberikan pandangan tentang Adam dan Hawa.70 Pendapat Augustine merupakan pendapat yang tidak berbeda jauh dengan Paulus. Augustine juga percaya pada teks Kejadian 2-3 secara harafiah. Menurutnya benar bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan setara, akan tetapi pada saat Hawa tertipu dan melanggar perintah Tuhan, Hawa menjadi sumber segala dosa. Hawa menjadi sumber segala dosa karena ketidakpatuhannya dan membuat semua orang mendapatkan kehancuran.71 Berdasarkan pendapat yang diberikan oleh Augustine, maka sangat terlihat bahwa Hawa merupakan satu-satunya orang yang bersalah. Bahkan Augustine juga setuju dengan ajaran 67
Herman Ridderbos, Paul An Outline of His Theology. (USA: William B. Eerdmans Publishing Company,
1975), 93.
68
Delbridge, Adam and Eve, 32. Delbridge, Adam and Eve, 34. 70 Delbridge, Adam and Eve, 36. 71 Delbridge, Adam and Eve, 40. 69
17
Paulus dalam 1 Timotius 2: 14 dan Roma 5: 12.72 Augustine juga bersikap sama seperti Paulus. Augustine menyalahkan Hawa sebagai sumber kejatuhan manusia dalam dosa. Sikap ini merupakan sikap yang juga dipengaruhi oleh androsentrime. John Calvin sebagai bapak gereja juga memberikan pendapatnya tentang Hawa. Calvin setuju pada pendapat Paulus dan juga Augustine. Calvin juga menegaskan bahwa Hawa adalah sumber dosa bagi semua orang dan memilih Roma 5: 12, 23 untuk menguatkan argumennya. 73 Calvin menyalahkan Hawa karena Hawa telah tertipu dan melanggar perintah untuk tidak memakan buah yang terlarang. Sikap Hawa akhirnya menyusahkan dan menghancurkan seluruh isi dunia. Berbeda dari Paulus, Augustine dan Calvin, sebagai penulis saya memiliki pendapat yang sangat berbeda. Menurut penulis, penafsiran yang dilakukan oleh mereka belum mampu untuk memberikan perhatian sepenuhnya pada kekayaan makna yang ditawarkan oleh kata penolong atau ‘ezer. Hal ini penulis katakana mengingat bahwa kisah mengenai Hawa memiliki latar belakang sejarah yang panjang dan akibatnya terdapat banyak dimensi makna mengenai dirinya. Kisah ini tidak hanya ditulis dan muncul begitu saja tanpa adanya makna. Oleh karena itu, kisah ini tidak hanya dapat dilihat berdasarkan interpretasi tradisional melainkan dilihat juga dengan menggunakan interpretasi feminis.74 Gabungan interpretasi tradisional dan interpretasi feminis dapat membentuk kembali makna Hawa dalam kisah di Alkitab. Ditinjau dari kajian sosio-teologis kisah Hawa dalam penulisan Alkitab khususnya Kejadian 2: 18, dikategorikan sebagai bagian dari teori sumber Y. Sumber Y ditulis kira-kira 1000-970an sebelum zaman bersama dan di dalam Sumber Y berisikan sejarah bangsa Israel dibawah kepemimpinan Daud sebagai raja. 75 Selain itu kisah ini juga ditulis pada saat bangsa Israel keluar dari Mesir dan dan perkembangannya di tanah Kanaan.76 Kisah sumber Y dimulai pada saat Allah menciptakan bumi dan manusia untuk melayaniNya sebagai para pekerja di taman.77 Gambaran Allah yang menciptakan bumi dan memperkerjakan manusia di dalam tamanNya mengungkapkan keadaan masyarakat Israel yang bekerja sebagai buruh tani yang menghasilkan tanaman makanan, membuat pakaian,
72
John Calvin, The Institues of Christian Religion. (USA: Baker Book House, 1987), 90. John Calvin, The Institues, 86-91.
73
74
Berquist, Reclaiming Her,37-39.
75
Robert Coote & David Robert Ord, Sejarah Pertama Alkitab: Dari Eden hingga Kerajaan Daud Berdasarkan sumber Y. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 3. 76 77
J. Bloomendal, Pengantar Kepada Perjanjian Lama. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012) 18. Coote & Ord, Sejarah Pertama,25.
18
membangun bangunan dan monumen, dan menghasilkan atau menghimpun hasil perdagangan masyarakat.78 Bahkan pernyataan tersebut diperkuat oleh Michael Grant, yang berpendapat bahwa masyarakat Israel berada dalam keadaan Israel pramonarki. Israel pramonarki ditandai dengan keadaan masyarakat agraris dan nomaden.79 Keadaan masyarakat agraris membuat pekerjaan utama masyarakat Israel adalah petani. Saat itu kondisi alam mereka subur dan mereka harus membuka lahan untuk bercocok tanam. Kehidupan mereka yang nomaden adalah salah satu cara untuk memperluas wilayah Israel. Dengan keadaan seperti ini, keluarga dalam masyarakat Israel saling tolong-menolong untuk melakukan tugas kerja mereka. Teks kejadian 2: 18 menggunakan kata ibrani „ezer atau yang diartikan oleh Lembaga Alkitab Indonesia sebagai penolong. Bahkan selain kata penolong, terdapat juga keterangan tambahan yang digunakan yaitu sepadan atau dalam bahasa Ibrani menggunakan kata „kenegeddo. Kata ‘ezer digunakan sebanyak 21 kali. 3 kali menunjuk pada pertolongan manusia, 16 kali sehubungan dengan pertolongan langsung Allah atas hidup manusia dan 2 kali digunakan untuk menyebut Hawa.80 Lazimnya kata ‘ezer digunakan untuk menerangkan tentang pertolongan yang diberikan Allah kepada manusia. Kata „ezer tidak banyak dipakai untuk menerangkan tentang pertolongan manusia kepada manusia. Dengan demikian, benar jika di dalam Alkitab Ibrani, pertolongan yang diberikan oleh Allah kepada manusia menggunakan kata „ezer. Bahkan menurut sumber lain, kata ‟ezer digunakan sebanyak 118 kali, 55 kali untuk menerangkan pertolongan Allah, 68 kali untuk menerangkan pertolongan manusia dan 9 kali untuk menerangkan tiada pertolongan pada manusia.81 Artinya sekarang hanya tergantung seperti apa interpretasi dari para pembaca. Lebih lanjut penggunaan kata „ezer yang biasanya dipakai untuk menerangkan pertolongan yang dilakukan oleh Allah, selain itu kata „ezer digunakan juga untuk menjelaskan tugas Hawa sebagai objek terakhir yang diciptakan. Penggunaan kata „ezer dapat diartikan bahwa terdapat makna tugas Hawa sebagai penolong. Namun, pada kenyataannya, dalam keseharian oleh para teolog dan juga kaum awam, kata penolong sering diinterprertasikan sebagai pembantu. Istilah pembantu karena teks ini diinterpretasikan secara tradisional bahwa
78
Coote & Ord, Sejarah Pertama, 46.
79
Michael Grant, The History of Ancient Israel (New York: Charles Scribner‟s Sons, 1984), 96-
103. 80 81
Sartika, Jurnal Teologi dan Gereja, Feminisme Penuntun, 377. Frommel, Hati Allah, 44.
19
Hawa adalah pelengkap kehidupan Adam seperti pemahaman Paulus, Augustine dan Calvin. Berdasarkan interpretasi seperti itu, maka terjadilah diskriminasi-diskriminasi tugas Hawa. Diskriminasi itu terbukti dengan adanya ayat-ayat Alkitab yang mengesampingkan kedudukan perempuan. ‘Ezer keneggedo atau yang diterjemahkan penolong yang sepadan menggambarkan adanya masalah 2 masalah. Masalah bertama berkaitan dengan dengan masalah reproduksi, sedangkan masalah kedua berkaitan dengan masalah produksi. Hawa sebagai penolong yang sepadan digambarkan hidup pada masa pra monarki yang tidak jauh berbeda dengan masa monarki. Masa pra monarki dan monarki merupakan keadaan dimana seluruh masyarakat hidup sebagai masyarakat agraris. Sebagai masyarakat agraris terdapat tigas tugas kerja yang dilakukan, yaitu prokreasi, produksi dan proteksi. Penolong yang sepadan ini menggambarkan bahwa pada kisah penciptaan seluruh ciptaan Allah diciptakan berpasang-pasangan. Adam yang merupakan manusia pertama yang diciptakan ternyata hanya seorang diri dan tidak memiliki pasangan yang sepadan dengan dia. Dengan demikian, Hawa sebagai penolong yang sepadan adalah untuk menjadi rekan yang setara. Rekan yang setara inilah yang akan membantu Adam untuk memperbanyak keturunan. Memperbanyak keturunan dapat dilakukan oleh Hawa sebagai perempuan. Jumlah keturunan yang semakin banyak berguna untuk membawa nama keluarga dan menjadi ahli waris, dan memperbanyak masyarakat Israel. Penggambaran Hawa sebagai penolong yang sepadan berkaitan dengan kehidupan rumah tangga antara Hawa dan Adam untuk memperbanyak jumlah keturunan mereka. Dengan demikian, telah terjawab masalah pertama dalam teks Kejadian 2: 18 yang berkaitan dengan masalah reproduksi. Berkaitan dengan masalah reproduksi, maka Kejadian 2: 18 menggambarkan bahwa Hawa merupakan penolong yang sepadan untuk melakukan tugas kerja prokreasi. Hawa sebagai penolong yang sepadan yang hidup pada masa agraris dan nomaden, membantu laki-laki untuk melakukan tugas kerja produksi. Hal itu terjadi pada saat mereka harus berpindah tempat tinggal dan laki-laki bertugas untuk berperang demi memperluas daerah Israel. Pada saat laki-laki Israel harus berperang, laki-laki akan meninggalkan keluarga. Setelah ditinggalkan laki-laki untuk berperang, maka untuk mempertahankan kebutuhan hidup perempuan harus mengambil alih tugas kerja produksi. Perempuan yang melakukan tugas kerja produksi mewajibkan perempuan untuk mengeluarkan tenaga ekstra. Tugas produksi yang dilakukan adalah membuka lahan dan bercocok tanam sebagai bagian dari pekerjaan petani. Tugas kerja produksi ini dilakukan untuk membantu laki-laki demi mencukupi kebutuhan dalam 20
keluarga. Tugas kerja produksi ini merupakan solusi terhadap masalah kedua yaitu Hawa sebagai penolong yang sepadan, memiliki sumber daya manusia dan materi yang berlebih yang digunakan untuk meringankan beban orang lain. Berdasarkan pernyataan di atas, terlihat bahwa Hawa melakukan tugas kerja ganda dan memberikan tenaga yang berlebih. Tugas kerja ganda yang dilakukannya adalah prokreasi yaitu untuk menolong, melengkapi Adam dalam ranah rumah tangga demi memperbanyak keturunan sebagai bentuk pekerjaan domestik. Selain itu, tugas kerja Hawa adalah melakukan tugas kerja produksi yaitu menolong Adam untuk membuka lahan dan bercocok tanam sebagai bentuk pekerjaan publik. Pertolongan yang ditugaskan pada Hawa adalah untuk menjadi rekan yang setara dan memiliki kekuatan yang berlebih untuk meringankan beban pihak lain yaitu Adam. Oleh karena itu, tepat jika untuk menggambarkan Hawa termasuk seluruh perempuan lainnya untuk bertanggungjawab menjadi seorang penolong dan bukan pembantu. Makna kata penolong lebih dari sekedar membantu seseorang. Pertolongan yang dilakukan seorang penolong berdampak untuk memberikan keringanan pada pihak yang mengalami kesulitan dan tekanan yang akan memberikan kebebasan, kelegaan dan kemudahan. Membantu cenderung untuk menerangkan sesuatu yang tidak alami, sementara menolong merupakan sesuatu yang alami, yang berasal dari dalam diri manusia dan dilakukan kapan saja, dimana saja dan kepada siapa saja. Dengan demikian makna lain dari kata penolong atau „ezer adalah seseorang yang memiliki sumber saya manusia dan materi yang berlebih yang digunakan untuk meringankan beban orang lain. Namun, pada kenyataannya saat teks ini dipahami berdasarkan interpretasi tradisional, perempuan yang bertugas sebagai penolong atau orang yang memiliki sumber daya manusia yang berlebih dan akan memberi kebebasan, kelegaan, kepuasan dan memberi kemudahan yang setara dianggap tidak lebih dari seorang pembantu dan pelengkap. Dianggap sebagai pembantu merupakan salah satu ketidakadilan yang terjadi pada diri perempuan. Seperti yang telah dijelaskan bahwa terdapat interpretasi tradisional di dalamnya. Interpretasi tradisional yang terjadi diakibatkan karena adanya budaya patriakal yang terus menerus berkembang dalam kehidupan masyarakat sampai dengan saat ini. Budaya patriakal ini mengakibatkan dan membenarkan bahwa perempuan merupakan seorang pembantu dan hanya sekedar pelengkap kehidupan laki-laki.
21
Budaya ini berkembang dalam masyarakat dengan ideologi bahwa laki-laki adalah seorang penguasa dan pemimpin. Budaya ini mengakibatkan bahwa laki-laki yang pantas untuk mendominasi struktur dalam masyarakat. Perkembangan budaya patriakal membuat kedudukan perempuan menjadi kelas nomor dua. Perempuan diwajibkan untuk melakukan pekerjaan domestik yaitu hanya berfungsi untuk melakukan prokreasi dan sulit untuk bekerja pada ranah publik, yaitu untuk melakukan produksi dan akibatnya cenderung menerima perlakuanperlakukan tidak menyenangkan. Ketidakadilan yang terjadi pada diri perempuan berkaitan dengan teks terkait, membuat perempuan mengalami tindakan tidak menyenangkan secara psikis dan juga fisik. Secara psikis perempuan hanya akan diperintah untuk melakukan pekerjaan domestik, tidak mendapat penghargaan terhadap hasil pekerjaannya, diri perempuan tidak dihargai, dianggap sebagai properti, tidak memiliki hak waris, atau bahkan dianggap hanya sebagai pemuas kebutuhan seks laki-laki. Bahkan budaya patriakal menganggap bahwa penindasan atau kekerasan yang terjadi pada perempuan yang bekerja pada ranah domestik merupakan hal yang wajar. Ketika teks ini diartikan dengan interpretasi tradisonal maka seperti itulah keadaan yang dialami oleh kaum perempuan. Gambaran perempuan sebagai penolong hanyalah teks sebab dalam pelaksanaannya tidak terjadi seperti yang dituliskan. Maraknya ketidakadilan yang dialami oleh perempuan membuat para pejuang feminis mengambil tindakan untuk memperbaiki keadaan perempuan dalam masyarakat. Mereka berjuang untuk menyetarakan kembali derajat perempuan dan meyakini bahwa perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk mengekpresikan dirinya untuk menjadi setara dengan laki-laki. 3.2 Makna Hawa sebagai ‘ezer ditinjau dari psiko feminis Ketidakadilan yang terjadi akibat penafsiran pada teks dalam Kejadian 2:18 belum memberikan perhatian utuh pada peran perempuan pada saat teks ini ditulis, menimbulkan stigma negatif yang dikenakan pada perempuan. Stigma-stigma negatif membuat perempuan tidak berperan aktif dalam masyarakat. Stigma negatif tanpa sadar membuat perempuan mengalami gangguan kesehatan mental. Hal tersebut dikarenakan perempuan mendapatkan dan mengalami tekanan-tekanan dari pihak luar dalam bentuk fisik atau bahkan psikis. Tekanantekanan yang dialami oleh perempuan membuatnya mengalami gangguan kesehatan mental.
22
Gangguan kesehatan mental yang terjadi diakibatkan karena adanya tekanan dari pihak luar tentang keadaan sosial perempuan. Misalnya saja jika perempuan hanya bertugas sebagai pemuas kebutuhan seks laki-laki, maka perempuan akan mengalami tekanan dan merasa diri tidak berharga. Rasa tidak berharga dalam diri perempuan inilah yang akan merusak citra dirinya. Perempuan akan merasa tidak percaya diri untuk mengekpresikan dirinya untuk berada pada ranah publik. Rusaknya citra diri perempuan akan memberikan dampak buruk dalam kesehariannya. Rusaknya citra diri perempuan akan membuatnya menerima begitu saja semua perlakukan pada dirinya baik yang menyenangkan atau yang tidak menyenangkan. Menerima berbagai perlakukan yang menyenangkan ataupun tidak menyenangkan nyatanya mempengaruhi sifat asertif yang dimiliki perempuan. Secara alami, sifat asertif yang dimiliki oleh perempuan, akan membuatnya mampu untuk menolak dan membela diri pada saat mengalami hal buruk atau hendak mengungkapkan keinginannya. Di saat sifat ini tidak lagi berfungsi perempuan akan mengalami krisis percaya diri dan mengalami tekanan dalam dirinya. Tekanan inilah yang membuat kesehatan mental perempuan semakin memburuk. Gangguan kesehatan mental pada diri perempuan, dapat membuatnya stress, depresi hingga ke tahap gila. Gangguan kesehatan mental seperti stress dan depresi berkaitan dengan teks ini, terjadi dalam kehidupan rumah tangga dan juga bergereja. Dalam kehidupan rumah tangga, saat perempuan dianggap layaknya pembantu, dia hanya akan bertugas untuk mengurus suami, anak dan rumah. Perempuan tidak diberikan penghargaan sebagai pihak yang setara dengan laki-laki, dan tidak dihargai sebagai sumber daya manusia yang memiliki berlebih dan material. Dalam kehidupan bergereja, suara perempuan tidak didengarkan, perempuan tidak diperkenankan untuk menjalani pelayanan, tidak dapat memberikan pertimbangan atau tidak diperkenankan untuk mengambil keputusan. Kondisi psikologi perempuan akan mengalami gangguan saat dia tidak mendapatkan kesempatan dan penghargaan. Perempuan yang tadinya mampu melakukan banyak hal dalam satu waktu atau multitasking menjadi sosok yang seakan-akan tidak mempu dalam melakukan tugasnya. Bahkan tugas yang dilakukan perempuan dapat memberikan hasil yang tidak maksimal. Berbeda halnya jika perempuan mendapatkan haknya untuk memiliki kesempatan dan penghargaan. Pada saat mendapatkan kesempatan untuk melakukan keinginannya, dan mendapatkan penghargaan terhadap hasil pekerjaannya, mendapatkan penghargaan karena 23
menjadi rekan setara dengan laki-laki akan membuat perempuan memiliki dan menikmati standart tertinggi kesehatan fisik dan mental. Kenikmatan yang dialami dan dirasakan oleh perempuan akan membuatnya merasa sejahtera dan bahagia. Ketika kesejahteraan dimiliki oleh perempuan, maka dia dapat melakukan tugasnya secara baik dan memperoleh hasil yang baik juga. Melalui seluruh penjelasan di atas, maka makna kata penolong dalam kejadian 2: 18 berdasarkan proses hermeneutik dan psiko feminis memiliki pengertian bahwa perempuan adalah pihak yang memiliki sumber daya manusia berlebih dan material yang akan mendampingi dan memberikan kebebasan, kemudahan, kenyamanan, kelegaan kepada laki-laki. Penolong tidaklah bertugas dan berfungsi layaknya pembantu. Penolong merupakan suatu bentuk kesetaraan peran dalam relasi manusia. Adanya kesetaraan peran ini dikarenakan pihak yang menolong dan ditolong merasa saling membutuhkan, sebab mereka memiliki kekurangan dan keterbatasan. Oleh karena itu, melalui seluruh penjelasan di atas maka di sinilah makna baru yang telah penulis berikan dari Kejadian 2: 18. Kiranya penulisan ini dapat memberikan sumbangsih positif terhadap kedudukan perempuan. Hal ini terjadi karena ternyata perempuan memiliki sumber daya manusia berlimpah dalam bentuk tenaga dan material yang sangat berguna untuk memberi kemudahan, kebebasan dan kelegaan terhadap laki-laki dan komunitas. Melalui penulisan ini, kiranya jangan ada lagi anggapan atau bahkan perlakukan yang menggambarkan perempuan adalah pembantu. Jika dalam keluarga dan gereja perempuan hanya dianggap sebagai pembantu maka itu akan mengakibatkan gangguan kesehatan mental, dan tentu saja membuat perempuan tidak dapat melaksanakan tugasnya sebagai penolong dalam Kejadian 2: 18 dengan baik dan maksimal. 4. Kesimpulan dan Saran Teks Kejadian 2: 18 tidak memiliki pengaruh yang besar di Indonesia. Budaya Indonesia masih banyak yang menganggap perempuan sebagai harta atau benda yang bisa diperjualbelikan. Budaya Indonesia juga masih sangat terpengaruh dengan budaya timur yang mana menganggap perempuan tidak memiliki hak untuk menyetarakan dirinya dengan laki-laki. Banyak aturan tertulis dalam hukum dan parlemen yang membedakan kedudukan perempuan dan laki-laki. Secara khusus, selain dianggap sebagai harta atau benda, perempuan hanyalah kaum kelas nomor dua. Kedudukan perempuan di Indonesia, juga hampir sama dengan kedudukan perempuan dan 24
laki-laki dalam masyarakat Israel monarki. Kedudukan perempuan di Indonesia dalam bidang sosial, ekonomi dan budaya tidak sebanyak kedudukan kaum laki-laki. Masih terdapat banyak ketimpangan yang terjadi. Teks Kejadian 2: 18 juga tidak begitu banyak berpengaruh dalam kehidupan bergereja. Para teolog dan bapak gereja masa kini, masih banyak yang menganggap perempuan hanyalah pelengkap dan tidak memberikan kesempatan kepada perempuan untuk berkarya dengan bebas. Hal yang dilakukan oleh gereja adalah hal yang dianut berdasarkan pemahaman Paulus dan Calvin. Mereka hanya mempercayai teks-teks kitab suci secara harafiah dan menutup diri untuk melaksanakan teks ini. Penulisan ini menggunakan kajian psiko feminis yang berguna untuk mengangkat kembali derajat perempuan, untuk menyetarakan kembali kedudukan perempuan dan laki-laki. Kajian ini juga menggunakan proses hermenutik. Sehingga hasil dari penulisan ini adalah untuk merekonstruksi kondisi perempuan Israel kuno. Setelah di rekonstruksi maka penulisan ini dapat membingkai kembali teks Kejadian 2: 18 sebagai teks yang harus dilakukan. Setelah rekonstruksi dilakukan maka perempuan adalah seorang penolong yang sepadan, yang memiliki sumber daya manusia berlebih dan memiliki materi yang berguna untuk membantu pihak lain. Sebagai penolong yang sepadan, tentu saja perempuan memiliki peranan yang luar biasa untuk dapat dijalankan. Oleh karena itu, melalui penulisan ini sudah saatnya semua orang dan lembaga termasuk gereja membuka diri untuk memperlakukan perempuan sebagai seorang penolong dan memberikan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam bidang sosial, budaya atau ekonomi.
25
DAFTAR PUSTAKA Atkinson, David. The Message of Genesis 1-11. Leicester, England: De Monfort Street, 1996. Arivia, Gadis. Filsafat Berperspektif Feminis.Yayasan Jurnal Perempuan, 2003. __________, Feminisme: Sebuah Kata Hati. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006. Barth, M. C. Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006. Barnhouse, Ruth Tiffany. Identitas Wanita Bagaimana mengenal dan Membentuk Citra Diri. Yogyakarta: Kanisius, 1988. Blommendal, J. Pengantar Kepada Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012. Bradley, Carol Pratt. Women in Ancient Israel. Journal International Studia Antiqua, Vol 3 No 1, Winter, 2013. Berquist, Jon. L. Reclaiming Her Story. St. Louis, Missouri: Chalice Press, 1992. Beurden, Leo van. How to Enjoy Holy Bible. Jakarta: Penerbit obor, 2004. Calvin, John. The Institutes of Christian Religion. USA: Baker Book House, 1987. Crawford, Mary. Transformation Women, Gender and Psychology. New York: McGraw-Hill, 2006. Celia Kitzinger, 1998. “Feminist Psychology in an Interdisiplinary Context” International Journal of Gender Studies, Vol. 7, No. 2, pp 199-207. Christine Griffin & Ann Phoenix, 1994. “The Relationship Between Qualitative and Quantitative Research: Lesson from Feminist Psychology”, International Journal of Community & Applied Social Psychology, Vol. 4, pp 287-298. Clifford, A. M. Memperkenalkan Teologi Feminis. Maumere : Ledalero, 2002. Coote, Robert. B & Mary P. Coote. Kuasa, Politik dan Pembuatan Alkitab. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.
26
____________, Sejarah Pertama Alkitab Dari Eden Hingga Kerajaan Daud Berdasarkan Sumber Y. Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2015. Deen, Edith. All of The Women of The Bible. New York: Harper & Brothers Publisher, 1955. Ebeling, J. R. Women’s Lives in Biblical Times. New York: T&T Clark International, 2010. Engel, Jacob Daan. Nilai Dasar Logo Konseling. Yogyakarta: Kanisius, 2014. Evans, Mary J. Women in The Bible. USA: InterVarsity Press, 1983. Fox, Dennis & Isaack Prilletensky. Psikologi Kritis: Metaanalisa Psikologi Modern. Jakarta: Teraju, 2005. Gandhi, Mahatma. Kaum Perempuan dan ketidakadilan Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Graham, Helen The Human Face of Psychology: Humanistic Psychology in Its Historical, Social, and Cultural Context, Open University Press, Milton Keynes, 1986. Grant, Michael. The History of Ancient Israel. New York: Charles Scribner‟s Sons, 1984. Groenen OFM, C. Pengantar Ke Dalam Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius, 1984. Hiebert, Theodore. The Yahwist Landscape Nature and Religion in Early Israel. New York: Oxford University Press, 1996. Holley Angelique & Ann Mulvey, 2012. “Feminist Community Psychology: The Dinamic CoCreation of Identities in Multilayered Context”, IInternational Journal of Community Psychology, Vol. 40, No. 1 pp 1-8. Horney, Karen. Feminine Psychology. USA:Norton, 1973. Karman, Yonkky. Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2009. King, Philip. J. & Lawrence E. Strager. Kehidupan Orang Israel Alkitabiah. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
27
Mangililo, Ira. D. Saudari-saudari yang hilang dalam ruang publik: kajian sosio-teologis Kristen terhadap peran politik perempuan. Jurnal perempuan, Vol.19. No.3, 2014. Matlin, Margaret W. The Psychology of Women. USA: Thomson Higher Education, 2004. Martha T. Mednick, Psychology of Women: Currents and Futures in American Feminist Psychology. (Washington DC: Howard University, 1991) 611-621. Meyers, Carol. Discovering Eve. Oxford University Press, 1991. Meyers, Carol, Leo G. Perdue, Joseph Blenkinsopp, John J. Collins. Families in Ancient Israel. New York: Westminster John Knox Press, 1997. Miller, Jean Baker. Toward a New Psychology of Women. USA: Beacon press books, 1976. Nadeak, Wilson. Perempuan-perempuan Pemberani. Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 2005. Niwa, N Asnath. Ketika Perempuan Berteologi. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2012. Nurhayati, Eti. Psikologi Perempuandalam berbagai Perspektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012. Nurrachman, Nani. Jurnal Psikologi Perempuan vol VII, No 1, 2010. Gottwald K N. Sociological Method in the Study of Acient Israel. Edited by Norman K. Gottwald. The Bible and Liberation – Political and Sosial Hermeneotics (Maryknoll New York : Orbis Books, 1983). Paludi. Michele A. Editor. Joy Rice & Nancy Felipe Russo. Feminism and Women’s Right Worldwide Vol 2. Mental and Physical Health. International Perspectives on Women and Mental Health. Santa Barbara: California, 2010. Ridderbos, Herman. Paul An Outline of His Theology. USA: William B. Eerdmans Publishing Company, 1975. Ruth Novrina Rade Gah. (2010). Sikap Tuhan Yesus terhadap Perempuan. Universitas Kristen Satya Wacana.
28
Saadawi, El Nawal. Perempuan dalam Budaya Patriarki. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Sadli, Saparinah. Berbeda tapi Setara. Jakarta : Buku Kompas, 2010. Santrock, John W. Life Span Development-13th ed, The McGraw-Hill Companies: New York, 2011. Sharma, Arvind. Today’s Woman in World Religions. New York: University of New York Press, 1994. Singgih, Emmanuel Gerrits. Dari Eden ke Babel. Yogyakarta: Kanisius, 2011. Soekarno. Sarinah. Yogyakarta: Yayasan Bung Karno, 2014. Soekamto, Soejono. Kamus Sosiologi. Jakarta: CV. Rajawali, 1983. Whelehan, Imelda. Modern Feminist Thought. Edinburgh University Press, 1995. Wode, Carole & Carol Tavris. Psikologi Edisi 9, Jilid 1. Jakarta: Erlangga, 2008.
29