Jurnal Manajemen Sumber Daya Perairan, 1(1): 111-112
Studi Preferensi Habitat Siput Tutut (Bellamya javanica) di Desa Amonggedo Kabupaten Konawe [The study of tutut snail habitat preferences (Bellamya javanica) at Amonggedo Village, District of Konawe]
Wanti Puspita Sari1, Bahtiar2, Emiyarti3 1
Mahasiswa Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo Jl. HAE Mokodompit Kampus Bumi Tridharma Anduonohu Kendari 93232, Telp/Fax: (0401) 3193782 2 Surel:
[email protected] 3 Surel:
[email protected] Diterima: 22 Maret 2016; Disetujui : 18 Juli 2016
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui studi preferensi habitat siput tutut (Bellamya javanica) dan dilaksanakan selama satu bulan (Mei-Juni 2015) di Desa Amonggedo Kabupaten Konawe. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan kuadrat/plot berpetak dengan menempatkan kuadrat secara sistematis menurut garis transek. Hasil penelitian yang diperoleh pada stasiun lumpur mengalir dan lumpur tidak mengalir masing-masing adalah 1,37-1,5 ind/m2 dan 0,24-0,27 ind/m2. Keberadaan siput tutut di Desa Amonggedo melimpah karena disebabkan oleh karakteristik habitat yang relatife optimal. Pola penyebarannya mengelompok. Hasil pengukuran kualitas air pada masing-masing stasiun I−III yaitu rata-rata pH substrat 4,9 dan pada masing-masing stasiun IV−VI yaitu rata-rata 4,6; rata-rata suhu 260C; rata-rata kecerahan 0,3 dan 0,28 m. Tipe substrat pada masing-masing stasiun lumpur mengalir dan lumpur tidak mengalir didominasi oleh tekstur debu 74,77% dan 61,99% dengan kandungan bahan organiknya masing-masing 10,0117% dan 14,0337%. Berdasarkan analisis CA kualitas air yang paling mempengaruhi distribusi siput tutut dalam penelitian ini adalah kecepatan arus dengan nilai berkisar 0,52−1,05 m/detik. Kata Kunci: Preferensi, Distribusi, Siput Tutut, Lumpur Mengalir, Lumpur Tidak Mengalir
Abstract The purpose of the study was to know the habitat preference of Bellamya javanica. The study was conducted from May to June 2015 in Amonggedo, Konawe. The sampling technique used was a quadratic transect by placing a systematically quadrat according to line transect. The results of study found at the flowing mud station and the stagnan mud stasion ranged 1.37−1.50 ind/m2 and 0.24−0.27 ind/m2, respectively. The present of Bellamya javanica was dense due to relatively optimal of habitat characteristics. It was found that the distribution pattern of Bellamya javanica was clumped. The pH averages in both stations were 4.9 and 4.6, respectively while the water temperatures average was 26 oC. Its water transparency averages were 0.30 m and 0.28 m, respectively. The substrate texture in both stations was dominated by dust, namely 74.77 % and 61.99 % respectively. Its organic content was 10.0117 % and 14.0337 %, respectively. Coresponde based analysis (CA) waters quality that most affect the distribution of Bellamya javanica in this study in the current velocity with values ranging from 0.52−1.05 m/s. Keywords: Preference, Distribution, Tutut snail, Flowing mud, Grassy mud
Pendahuluan Gastropoda (keong dan siput) termasuk filum
moluska.
Moluska
adalah kelompok
hewan invertebrata yang dikenal sebagai hewan bertubuh lunak. Klasifikasi umum, moluska
Cephalopoda
(cumi-cumi)
dan
Gastropoda
(keong dan siput). (Marwanto, 2006; Jutting, 1956). Siput
tutut
(Bellamya
javanica)
dibagi dalam enam kelas yaitu Aplacophora,
merupakan jenis keong yang dikonsumsi oleh
Polyplacopora,
masyarakat. Kandungan protein didalam keong
Bivalvia
(kerang),
Scapoda,
Studi Preferensi Habitat Siput Tutut (Bellamya javanica)
tutut digunakan untuk memenuhi kebutuhan
Salah satu lokasi penyebaran siput tutut
protein hewani. Menurut Positive Deviance
adalah Desa Amonggedo Kabupaten Konawe yang
Resource Centre/PDRC (2014), keong tutut
cakupan wilayahnya cukup luas dan didominasi
mengandung protein 12%, kalsium 217 mg,
oleh areal persawahan dan beberapa potensi
rendah kolesterol, 81 gram air dalam 100 gram
perairan tawar seperti DAS (daerah aliran sungai)
tutut dan sisanya mengandung energi, protein,
dan rawa yang merupakan habitat dari siput tutut.
kalsium, karbohidrat dan fosfor. Kandungan
Pertumbuhan siput ini mengalami tekanan ekologi
vitamin pada keong tutut cukup tinggi, dengan
yang berasal dari aktivitas penangkapan yang
dominasi vitamin A, E, niacin dan folat serta
intensif sebagai upaya pemenuhan kebutuhan
kalsium yang tinggi. Kalsium dalam siput tutut
“bisnis kuliner tradisional khas tolaki” yang ada
kurang lebih 217 mg sebanyak 100 gram hampir
dan tersebar di beberapa daerah di Sulawesi
setara dengan segelas susu. Siput tutut biasa
Tenggara. Penelitian mengenai aspek biologi siput
dijadikan alternatif protein pengganti daging
tutut khususnya karakteristik habitat merupakan
ayam dan harganya juga relatif terjangkau.
penelitian yang belum pernah dilakukan. Oleh
Selain itu, siput tutut dapat mengobati berbagai
karena itu dilakukan penelitian mengenai studi
penyakit liver.
preferensi habitat siput tutut di Desa Amonggedo
Siput merupakan
tutut
(Bellamya
komoditas
siput
javanica)
yang
Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.
bernilai
Ketersediaan
siput
tutut
di
Desa
ekonomis penting di perairan tawar. Siput ini
Amonggedo Kabupaten Konawe relatif melimpah.
merupakan
Hal ini disebabkan oleh karakteristik habitat siput
sejenis siput air
tawar
anggota suku viviparidae yang sangat digemari
tutut
oleh seluruh lapisan masyarakat (Dinas Kelautan
Perikanan Konawe, 2012). Meningkatnya aktivitas
Perikanan Konawe, 2012). Siput tutut biasanya
penangkapan
ditemukan di sawah atau di sungai, disamping
berdampak pada kuantitas dan kualitas komoditas
itu pula siput tutut sering kali dikonsumsi
air tawar tersebut di alam. Berdasarkan data Dinas
sebagai sumber protein yang murah dan mudah
Kelautan Perikanan Konawe (2012) menyatakan
didapat, terutama di pedesaan (Sulianti, 2008).
bahwa
Beberapa
faktor
yang
membatasi
yang
relatif optimal (Dinas
siput
penangkapan
tutut
siput
Kelautan
secara
tutut
langsung
di
Desa
Amonggedo pada dasarnya untuk kepentingan
distribusi dan kepadatan jenis siput tutut di alam
“bisnis
dapat dikategorikan ke dalam dua faktor, yaitu
Tradisional Khas Suku Tolaki). Kebutuhan akan
faktor alam berupa sifat genetik dan tingkah
komoditas siput tutut saat ini masih sangat
laku ataupun kecenderungan suatu biota untuk
terbatas, sehingga ketersediaannya tersebut di alam
memilih tipe habitat yang disenangi. Oleh
masih berada dibawah daya dukung sumberdaya
karena itu, distribusi serta kepadatan siput tutut
tersebut. Informasi biologis terkait karakteristik
di alam dapat dijadikan indikasi kesesuaian
khusus habitat siput tutut merupakan beberapa
habitat terhadap biota tertentu (Doddy, 1998).
aspek ilmiah yang sampai saat ini belum banyak
Selain itu faktor ketersediaan makanan juga ikut
diketahui.
berpengaruh dalam menunjang keberlangsungan
menganalisis preferensi habitat siput tutut, dalam
hidup dan pertumbuhan siput tutut (Siregar,
hal ini kualitas air di Desa Amonggedo Kabupaten
2013).
Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara.
112
kuliner
tradisonal”
Penelitian
ini
(Rumah
bertujuan
Makan
untuk
Wanti Puspita et al.
Bahan dan Metode Penelitian ini dilaksanakan selama satu
terpilih pada dua tipe habitat yang berbeda
bulan pada bulan Mei - Juni tahun 2015.
disebabkan oleh keberadaan organisme yang
Penelitian
dituju yaitu siput tutut (Bellamya javanica).
terdiri
atas
dua
tahap
yaitu
pengambilan sampel di lapangan dan dilanjutkan dengan
analisis
sampel
kualitas
air
Stasiun
penelitian
dilakukan
secara
di
purposive random, yaitu stasiun penelitian
Laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu
ditentukan berdasarkan lokasi atau daerah yang
Kelautan Universitas Halu Oleo.
memiliki
Penelitian lapangan dilaksanakan di Desa Amonggedo Kabupaten Konawe, sedangkan analisis
kualitas
perairan
dilakukan
siput
tutut.
Karakteristik
kondisi
stasiun penelitian sebagai berikut: -
di
Stasiun I−III adalah habitat siput tutut dengan
karakteristik
habitat
lumpur
Laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu
mengalir, titik kordinat dari stasiun I−III
Kelautan Universitas Halu Oleo.
berdekatan dengan persawahan tepatnya pada
Kegiatan observasi awal atau survei pendahuluan gambaran
dilakukan
umum
untuk
lokasi
mengetahui
penelitian
memudahkan
Konawe, untuk
air
yang
kebutuhan persawahan (4
berupa
keberadaan siput tutut di Desa Amonggedo Kabupaten
penampungan
121 -
O
berguna O
untuk
10’ 5.05” LS -
36’ 29.6” BT).
Stasiun IV−VI adalah habitat siput tutut
sehingga
lebih
dengan karakteristik lumput tidak mengalir,
menentukan
stasiun
titik kordinat dari stasiun IV−VI berjarak
pengamatan (spot sampling).
antara 3−5 meter dari stasiun I−III, terdapat
Stasiun penelitian terbagi atas VI stasiun
banyak rerumputan tetapi tetap berada pada
yang terdiri dari III stasiun pada tipe habitat
lingkungan persawahan (4O 10’ 5.00” LS -
lumpur mengalir sedangkan III stasiun pada tipe
121O 36’ 29.0”BT).
habitat lumpur tidak mengalir, penentuan stasiun
Gambar 1. Stasiun penelitian Desa Amonggode Kabupaten Konawe (Sumber: google map) Keterangan : I−III adalah stasiun dengan karakteristik habitat lumpur mengalir; IV−VI adalah stasiun dengan karakteristik habitat lumpur tidak mengalir
113
Studi Preferensi Habitat Siput Tutut (Bellamya javanica)
Pengambilan sampel siput tutut dilakukan
Keterangan :
dengan metode transek kuadrat yang berukuran
Id
= indeks penyebaran morisita
1x1 meter yang ditempatkan di dua tipe stasiun
n
= jumlah satuan pengambilan sampel (plot)
yang berbeda. Stasiun pengambilan sampel
N
= jumlah total individu pada transek
terbagi atas 6 stasiun yang terdiri atas 3 stasiun
Xi
= jumlah individu pada tiap plot
pada tipe lumpur mengalir dan 3 stasiun pada tipe
Kriteria Nilai Indeks Morisita adalah :
lumpur tidak mengalir yang masing-masing
Id < 1 : pola penyebaran seragam
berukuran 25x25 cm. Setiap pengambilan sampel
Id = 1 : pola penyebaran acak
dilakukan
Id > 1 : pola penyebaran mengelompok
sebanyak
3
kali
pengulangan.
Pengambilan sampel yang terdapat dalam stasiun
Untuk melihat keterkaitan antara siput tutut
selanjutnya sampel dimasukkan ke dalam plastik
dan hubungannya dengan karakteristik habitat (fisika-
sampel.
kimia) dilakukan dengan menggunakan analisis
Pengambilan sampel parameter kualitas air meliputi suhu, kecerahan, kecepatan arus dan pH
faktorial koresponden (Correspondence Analysis, CA).
substrat. Pengambilan sampel substrat (sedimen)
Analisis
faktorial
koresponden
(CA)
digunakan untuk menganalisis bahan organik
merupakan salah satu bentuk analisis statistik
substrat dan fraksi tekstur sedimen. Pengukuran
multivariabel atau analisis statistik multidimensi.
dan pengamatan dilakukan secara langsung di
Analisis ini didasarkan atas matriks data 1 baris (siput
lapangan dan menganalisis
tutut), J kolam (stasiun pengamatan atau karakteristik
dengan
melakukan
2
di
(dua)
laboratorium kali
ulangan
(replication) pada setiap stasiun pengamatan. Kepadatan jenis siput tutut dihitung dengan menggunakan rumus:
Kelimpahan siput pada stasiun pengamatan atau modalitas karakteristik habitat J untuk siput tutut I. Dengan demikian, matriks data ini merupakan tabel kontigensi siput tutut x stasiun pengamatan atau x
𝑛
𝑋𝑖 𝑋=∑ 𝑁
habitat), yang ditemukan pada baris I dan kolom J.
modalitas karakteristik habitat.
… … … … … . . … … (1)
Dalam tabel kontigensi tersebut di atas, I dan
𝑖=1
J
mempunyai
peranan
yang
simetriks,
Keterangan :
membandingkan elemen-elemen I (untuk masing-
X = rata-rata jumlah individu per satuan luas
masing J) sama dengan membandingkan hukum
2
(ind/m )
probalitas bersyarat yang diestimasi dari nij/ni (untuk
Xi = jumlah individu pada pengambilan contoh
masing-masing nij/ni). ni = ∑ nij (jumlah jawaban
ke-i (ind)
karakter J). Selanjutnya pengukuran kemiripan antara 2
N = luasan satuan contoh (m )
dua elemen I1 dan I2 dari I dilakukan melalui
Pola penyebaran ini dihitung dengan menggunakan
indeks
penyebaran
dengan rumus :
Id =
n (∑ Xi2 ) − N … … … … … . (2) N (N − 1)
Morisita
pengukuran jarak khi-kuadrat (X2) dengan rumus sebagai berikut : D2 (i 2 j) = ∑ (Xij/Xi –Xi’j/Xi)2 / Xj………(3) Keterangan : Xi = jumlah baris ke-I untuk semua kolom j Xj = jumlah kolom untuk semua baris i
114
Wanti Puspita et al.
Gambar 2. Lokasi Penelitian tipe lumpur mengalir dan lumpur tidak mengalir (Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2015) Keterangan : Gambar A adalah lokasi dengan tipe lumpur mengalir; Gambar B adalah lokasi dengan tipe lumpur tidak mengalir
Hasil Desa Amonggedo Kecamatan Amonggedo Kabupaten
Konawe
satu
pada Desa Amonggedo yang merupakan daerah
kecamatan yang baru saja menjadi Kecamatan pada
persawahan yang di sekelilingnya terdapat saluran
awalnya Kecamatan Desa Amonggedo adalah
kecil dan bendungan besar untuk penampungan air
Kecamatan Pondidaha. Kecamatan Amonggedo
yang berguna untuk persawahan. Tempat ini di pilih
adalah
wilayah
sebagai tempat penelitian karena tempat tersebut
Kabupaten Konawe Propinsi Sulawesi Tenggara
terdapat banyak organisme yang di tuju yaitu siput
dan
tutut
Kecamatan
merupakan
merupakan
yang
berada
pemekaran
salah
Lokasi penelitian yang dilakukan terkhusus
di
dari
Kecamatan
(B.Javanica)
untuk
mengetahui
studi
Pondidaha yang resmi pada Tanggal 18 juli 2005.
preferensi habitat atau kesukaan hidup organisme
Sebelum pemekaran, Kecamatan Amonggedo hanya
tersebut.
terdiri dari 13 Desa 1 Kelurahan dan sekarang
Hasil pengamatan pada enam stasiun dengan
menjadi 14 Desa dan 1 Kelurahan setelah 1 desa
dua karakteristik habitat yang berbeda menunjukkan
persiapan menjadi definitif pada tanggal 13 Januari
kisaran
2012 dan akan mulai ikut berpartisipasi pada
signifikan. Kepadatan tertinggi berada pada stasiun
PNPM-MPd pada TA. 2012. Gambaran umum
I−III dengan karakteristik habitat lumpur mengalir
lokasi penelitian adalah sebagai berikut :
berada pada kisaran 1,37−1,5 ind/m2, sedangkan
Secara geografis kecamatan Amonggedo
rata-rata
perbedaan
kepadatan
yang
kepadatan terendah berada pada stasiun IV−VI
berada :
dengan karakteristik habitat lumpur tidak mengalir
1. Sebelah timur berbatasan dangan kawasan hutan
berada pada kisaran 0,24−0,27 ind/m2. Pola
negara. 2. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pondidaha. 3. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Wonggeduku dan Meluhu. 4. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Meluhu dan hutan Negara.
penyebaran spasial siput tutut (B. javanica) dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil perhitungan berdasarkan indeks Morisita, menunjukkan penyebaran siput tutut pada enam stasiun dengan dua karakteristik habitat yang berbeda, yaitu lumpur mengalir dan lumpur tidak mengalir adalah mengelompok,
Id >
1.
115
Studi Preferensi Habitat Siput Tutut (Bellamya javanica)
1,60 1,40
Kepadatan ind/m2
1,20 1,00
0,80 0,60 0,40 0,20 0,00 I
II
III Stasiun
IV
V
VI
Gambar 3. Kepadatan siput tutut pada enam stasiun pengamatan
Tabel 2. Pola penyebaran spasial siput tutut (B. javanica) dengan indeks morisita
Stasiun
Karakteristik Habitat
Indeks Morisita
Pola Distribusi
I – III
Lumpur mengalir
1,0021
Mengelompok
IV - VI
Lumpur tidak mengalir
1,4375
Mengelompok
Tabel 3. Nilai rata-rata kualitas perairan pada masing-masing stasiun
Stasiun
Karakteristik Habitat
Suhu (oC) 25,89
pH Substrat 5.05
Kecerahan (m) 0.27
Kecepatan Arus (m/detik) 1.05
Lumpur Mengalir
25,89
4.9
0.31
0.71
25,89
5.03
0.33
0.52
27,39
4.6
0.11
-
27,39
4.7
0.37
-
27,39
4.7
0.38
-
I II III IV
Lumpur Tidak
V
Mengalir
VI
Tabel 4. Rata-rata tekstur substrat dan kandungan BO pada masing-masing stasiun
Tekstur dan Kandungan Bahan Organik Stasiun I – III IV – VI
Karakteristik Habitat Debu (%)
Liat (%)
Pasir (%)
Kelas
BO (%)
Lumpur Mengalir
74,77
18,34
6,88
Debu
10,01
Lumpur Tidak Mengalir
61,99
36,91
1,09
Debu
14,03
Nilai rata-rata kualitas perairan pada
lumpur tidak mengalir tidak memiliki pergerakan
masing-masing stasiun, antara lain suhu berkisar
arus yang dapat diukur. Pengukuran nilai rata-rata
o
antara 25,89−27,39 C, pH substrat berkisar antara
parameter kualitas perairan yang menjadi lokasi
4,6−5,05, kecerahan berkisar antara 0,11−0,38 m.
pengambilan sampel siput tutut dan tekstur substrat
Adapun kecepatan arus pada stasiun lumpur mengalir
serta kandungan bahan organiknya masing-masing
berkisar antara 0,52−1,05 m/s, sedangkan stasiun
dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4.
116
Wanti Puspita et al.
2 1,5 Stasiun III
F2 (5,41 %)
1 Stasiun V Staasiun VI
0,5
Kecerahan pH SuhuBO
0
Stasiun II Arus
-0,5
Stasiun I -1 -1,5 Stasiun IV
-2 -2
-1,5
-1
-0,5
0 F1 (91,87 %)
0,5
1
1,5
2
Gambar 4. Distribusi siput tutut berdasarkan preferensi terhadap habitat melalui koresponden analisis
Berdasarkan hasil analisis laboratorium
stasiun lumpur mengalir dan kepadatan terendah
menunjukkan bahwa tekstur substrat pada masing-
terdapat pada stasiun lumpur tidak mengalir.
masing stasiun yang tertinggi adalah rata-rata
Kepadatan tertinggi berada pada stasiun I−III
kandungan debu berkisar antara 61,99−74,77 %;
dengan karakteristik habitat lumpur mengalir
kandungan rata-rata bahan organik tertinggi berada
berada pada kisaran 1,37−1,5 ind/m2
pada stasiun lumpur berumput 14,03 %.
disebabkan karena gastropoda lebih menyenangi
Informasi
penting
terhadap
hal ini
sumbu
perairan yang memiliki arus sehingga siput tutut
terpusat pada 2 sumbu utama (F1 dan F2) dengan
lebih melimpah dikarakteristik habitat lumpur
kontribusi masing-masing sumbu sebesar 91,87%
mengalir, sedangkan kepadatan terendah berada
untuk sumbu (F1) dan 5,41% untuk sumbu (F2).
pada stasiun IV−VI dengan karakteristik habitat
Sumbu F1 (positif) dicirikan oleh empat variabel
lumpur tidak mengalir berada pada kisaran 0,24-
utama yaitu arus (9,41), BO (0,43), pH (0,23) dan
0,27 ind/m2. Menurut Wahyono (2005) siput tutut
kecerahan (0,05). Sedangkan suhu, berkontribusi
umumnya hanya menyenangi habitat dengan
cukup besar terhadap pembentukan sumbu utama
substrat berlumpur.
(F2) negatif dengan nilai korelasi masing-masing
Selain karena kondisi substrat yang
sebesar -0,201. Gambar 4 menunjukkan bahwa
sesuai, kepadatan siput tutut juga dipengaruhi oleh
parameter arus memiliki hubungan yang kuat
banyaknya makanan yang terkandung dalam
(korelasi positif) terhadap distribusi siput tutut.
substrat
yang
kandungan Pembahasan
mengandung
bahan
organik
lumpur
dengan
masing-masing
10,0117% dan 14,0337%. Kepadatan siput tutut
Dari hasil perhitungan kepadatan siput
dikaitkan dengan kandungan bahan organik,
tutut (B. javanica) selama tiga minggu, dapat
karena pada umumnya gastropoda termasuk siput
diketahui bahwa kisaran rata-rata kepadatan siput
tutut
tutut pada enam stasiun dengan dua karakteristik
memanfaatkan bahan organik yang mengendap di
habitat yang berbeda menunjukan perbedaan yang
substrat dasar perairan sebagai makanannya.
signifikan. Berdasarkan Grafik 1 dapat dilihat
Menurut
kepadatan tertinggi siput tutut terdapat pada
makanan juga ikut berpengaruh dalam menunjang
merupakan
Siregar
deposit
(2013)
feeder
faktor
yang
ketersediaan
117
Studi Preferensi Habitat Siput Tutut (Bellamya javanica)
keberlangsungan hidup dan pertumbuhan siput
mengelompok karena nilai Indeks Morisita lebih
tutut.
akan
besar dari satu.
memberikan variasi kepadatan terhadap organisme
Suin
Ketersediaan
bahan
organik
yang ada (Perdana, dkk. 2013).
(1997)
kebanyakan
hewan
menyatakan dasar
bahwa
distribusinya
Berdasarkan data tersebut, kepadatan
mengelompok, karena mereka memilih hidup pada
yang diperoleh dalam penelitian ini hasilnya lebih
habitat yang paling sesuai baginya di dalam
tinggi dari penelitian yang dilakukan oleh Munarto
sedimen. Riyanto (2004) lebih lanjut menyatakan
(2010) di perairan Situ Salam Depok dengan nilai
bahwa pola distribusi keong mas (P. canaliculata)
2
kepadatanrata-rata sebesar 2,72 ind/m . Perbedaan
dan siput tutut umumnya mengelompok. Selain
kepadatan tersebut mungkin disebabkan oleh
karena tertarik terhadap sumber makanan dan
perbedaan tekanan lingkungan yang dialami oleh
tempat perlindungan (substrat) diduga disebabkan
siput tutut di lokasi yang berbeda. Perairan Desa
pula oleh peristiwa reproduksi pada kedua
Amonggedo dan Situ Salam merupakan perairan
organisme dewasa ini yang melakukan perkawinan
yang dijadikan obyek oleh masyarakat setempat
dalam populasi yang bersifat
untuk mengambil siput tutut sebagai kebutuhan
Kramadibratha (1994) dalam Sihombing dkk.,
komersil.
(2013)
Berbagai
faktor
lingkungan
menyatakan
mengelompok.
bahwa
terjadinya
mempengaruhi eksistensi siput tutut, selain karena
pengelompokan
kondisi substrat dan bahan organik (makanan)
disebabkan oleh populasi itu memberikan respon
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, faktor
yang sama pada suatu kondisi lokal yang baik
lain yang menyebabkan rendahnya kepadatan siput
untuk kelangsungan hidupnya, sehingga akan
tutut di perairan Situ Salam menurut Munarto
mempengaruhi
(2010),
perairan
Ayunda (2011) juga berpendapat bahwa pola
tersebut kurang mendukung, seperti banyaknya
sebaran yang mengelompok disebabkan oleh
sampah dan buih limbah sehingga mengurangi
beberapa
intensitas cahaya matahari yang masuk sampai ke
lingkungan,
dasar perairan.
berproduksi. Pola sebaran yang mengelompok
matahari
karena
yang
kondisi
lingkungan
Kurangnya intensitas cahaya masuk
menyebabkan
hal
individu-individu
kelimpahan
diantaranya kebiasaan
dapat
suatu
populasi.
adalah
makan
dan
kondisi cara
nilai
akan memudahkan individu untuk berhubungan
kecerahan rendah dan kekeruhan tinggi. Hal
satu sama lainnya untuk berbagai kebutuhan,
tersebut mempengaruhi kehidupan siput tutut
seperti bereproduksi dan mencari makan.
(gastropoda) yang hidup di dalamnya, karena
Beberapa jenis gastropoda air tawar
menurut Fardiaz (1992) kekeruhan mengurangi
dimanfaatkan oleh manusia sebagai sumber protein
kadar oksigen yang terlarut dalam air, sehingga
dan pakan ternak, beberapa jenis diantaranya dapat
dapat
digunakan sebagai indikator suatu perairan (Mote,
menghambat
pertumbuhan
dan
perkembangan gastropoda di suatu perairan.
2004). Komunitas gastropoda menjadi komponen
Pola penyebaran siput tutut pada enam
yang penting dalam rantai makanan air tawar,
stasiun dengan dua karakteristik habitat berbeda,
dimana organisme ini merupakan hewan dasar
lumpur mengalir dan lumpur tidak mengalir
pemakan zat organik yang diurai oleh detritus
masing-masing 1,0021 dan 1,4375 (Tabel 2).
(detritus feeder) (Saripatung, dkk. 2013). Menurut
Berdasarkan kriteria Indeks Morisita, bersifat
Dharma (1988), keberadaan Gastropoda sawah mempunyai peranan yang penting bagi ekosistem
118
Wanti Puspita et al.
sawah, baik yang menguntungkan ataupun yang
tepatnya di Desa Sungai Rengas 11,34%. Menurut
merugikan.
Mushthofa
Gastropoda
dapat
mempercepat
(2014)
dalam
penelitiannya
terjadinya penguraian bahan-bahan organik akan
menemukan adanya hubungan yang bersifat positif
tetapi
antara
keberadaannya
di
sawah
juga
dapat
merugikan karena bersifat sebagai hama.
bahan
organik
dengan
kepadatan
makrozoobenthos, artinya jika kandungan bahan
Umumnya perairan air tawar yang
organik
semakin
besar
maka
cenderung
kepadatan
merupakan habitat gastropoda adalah mulai dari
makrozoobenthos
saluran irigasi, sawah, sungai, rawa, danau dan
Tingginya bahan organik dalam penelitian ini juga
kolam-kolam ikan buatan masyarakat (Fadhilah,
kemungkinan
dkk. 2013). Siput tutut paling banyak ditemukan di
masyarakat sekitar (antropogenik).
berasal
semakin
dari
limbah
besar.
aktivitas
sawah dengan keadaan air sawah yang berlumpur
Menurut Nurracmi dan Marwan (2012)
dan perairan yang jernih maupun keruh. Distribusi
menyatakan bahwa hewan benthos erat kaitannya
siput tutut berada di perairan dangkal yang
dengan
berdasar lumpur serta tumbuh di rerumputan air
terkandung dalam substrat, karena bahan organik
dengan aliran air yang langsung seperti sawah,
merupakan sumber nutrien bagi biota yang pada
rawa-rawa, pinggir danau dan pinggir sungai kecil.
umumnya terdapat pada substrat dasar. Namun jika
Siput umumnya menyukai daerah yang terlindung
keberadaan bahan organik melebihi ambang batas
(Duria, 2001).
sewajarnya
tersedianya
Habitat yang umum adalah sungai,
tersebut
rawa, danau, sawah, kolam, aliran-aliran irigasi
Menurut
atau
merupakan
selokan,
parit
dan
anak-anak
sungai.
Beberapa jenis siput telah beradaptasi hingga
maka
bahan
organik
kedudukan
dianggap
sebagai
yang
bahan organik
bahan
pencemar.
Dewiyanti
(2004)
bahan
organik
sumber
makanan
bagi
moluska
(gastropoda).
mampu hidup di perairan dengan aliran air tenang
Susbstrat didefinisikan sebagai campuran
atau deras, kedalaman mulai < 0,25 m atau > 8 m.
dari lumpur, pasir dan tanah liat. Pada perairan
Selain habitat, substrat tempat siput melekatkan
yang arusnya kuat, lebih banyak ditemukan
dirinya juga salah satu hal yang penting untuk
substrat yang kasar yaitu pasir atau kerikil karena
diketahui dan dipelajari. Berbagai jenis substrat
partikel kecil akan terbawa arus air. Jika
seperti batu, kerikil, pasir, tumbuhan air, akar
perairannya tenang dan arusnya lemah, maka
tumbuhan sangat erat kaitannya dengan kehidupan
lumpur halus akan mengendap (Brower and Zar,
siput seperti yang berkaitan dengan jenis pakan,
1977).
tempat melekatkan telur atau melahirkan anak–
Tipe substrat yang banyak terkandung
anaknya dan tempat sembunyi dari predator dan
dalam penelitian ini pada masing-masing stasiun
cahaya matahari (Rosmarini, 2002).
lumpur mengalir dan lumpur tidak mengalir adalah
Kandungan bahan organik yang diperoleh
debu yaitu 74,77% dan 61,99%. Erlinda dkk.,
dalam penelitian ini berdasarkan pada Tabel 4 di
(2014) menyatakan bahwa substrat berlumpur
stasiun lumpur
tidak
sangat disukai oleh gastropoda. Hal tersebut
mengalir masing-masing yaitu 10,0117% dan
didukung oleh pernyataan Desroy dkk. (2007)
14,0337%. Adapun dalam penelitian sebelumnya
bahwa organisme bentos lebih menyukai substrat
oleh Rudianto, dkk. (2014) diperoleh kandungan
yang berlumpur dari pada substrat berpasir.
mengalir
dan lumpur
bahan organik tanah dipersawahan tadah hujan
119
Studi Preferensi Habitat Siput Tutut (Bellamya javanica)
tutut dengan nilai kisaran suhu 25,89−27,39
Selain siput tutut, gastropod lainnya yang
o
diketahui menyenangi substrat berlumpur adalah keong mas (Pomacea canaliculata). Keong mas
C.
3.
Nilai pH substrat pada dua karakteristik
menyukai perairan yang jernih dan substrat
habitat
berlumpur
ini
karakteristik habitat lumpur mengalir dan 4,6
didukung oleh pendapat Frasha (1925) yang
pada karakteristik habitat lumpur tidak
menyatakan bahwa keong mas menyukai perairan
mengalir, pH substrat pada dua karakteristik
yang jernih dan substrat yang berlumpur.
yang berbeda ini dikategorikan asam karena
(Riyanto,
2004).
Pernyataan
Berdasarkan analisis koresponden (CA) digunakan enam stasiun dengan dua karakteristik
yang
berbeda
yaitu
4,9
pada
nilai pH dibawah >7. 4.
Kecerahan pada dua karakteristik yang
habitat yang berbeda. Stasiun I−III merupakan
berbeda adalah 0,30 m pada karakteristik
habitat dengan karakteristik lumpur mengalir,
habitat lumpur mengalir dan 0,28 m pada
stasiun
karakteristik
IV−VI
merupakan
habitat
dengan
karakteristik lumpur tidak mengalir.
berdasarkan
Hasil analisis tersebut menunjukkan distribusi siput tutut pada masing-masing stasiun dipengaruhi
oleh
karakteristik
habitat
habitat klasifikasi
lumpur
tidak,
maka
kedua
karakteristik habitat ini merupakan perairan yang keruh.
pada
masing-masing stasiun. Stasiun I−III dengan karakteristik habitat lumpur mengalir, kualitas air yang paling mempengaruhi distribusi siput tutut adalah kecepatan arus. Hal ini dikarenakan stasiun lumpur mengalir memiliki karakteristik yang berbeda secara signifikan dibanding stasiun IV−VI lumpur tidak mengalir, selain itu juga kecepatan arus pada stasiun lumpur mengalir lebih tinggi dibanding dengan stasiun lumpur tidak mengalir yang tidak memiliki arus, dikarenakan habitat siput tutut pada stasiun tersebut ditumbuhi rumput.
Daftar Pustaka Arthington A. 1980. The Freshwater Environment. Kelvin Grove College. Quennsland. 59 hal. Ayunda R. 2011. Struktur Komunitas Gastropoda pada Ekosistem Mangrove di Gugus Pulau Pari Kepulauan Seribu. Skripsi. Program Studi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia. Depok. 54 hal. Brower JE., Zar JH. 1977. Field and Laboratory Method for General Ecology. Buduque. Brown Pulb. Desroy N, Jason AL, Denis L, Charrier S, Lesourd
Simpulan Simpulan yang dapat ditarik berdasarkan hasil penelitin ini yaitu : 1.
Siput
tutut
(Bellamya
javanica)
lebih
S. 2007. The Intraannual Variability of Soft-Bottom Macrobenthos Abudance Patterns in The North Channel of The Seine Estuary. Hydrobiologia, 2: 173-188.
menyenangi habitat dengan tipe substrat lumpur dengan sifat perairannya mengalir dibandingkan dengan tipe substrat berlumpur yang perairannya bersifat tenang. 2.
120
Parameter kualitas air yang diperoleh pada
Dewiyanti I. 2004. Struktur Komunitas Moluska (Gastropoda dan Bivalvia) Serta Asosisinya Pada Ekosistem Mangrove di Kawasan Pntai Ulee-Lheue Banda Aceh.
hasil penelitian yaitu menempati nilai kisaran
Skripsi. Program Studi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut
normal untuk kehidupan organisme siput
Pertanian Bogor. Bogor. 57 hal.
Wanti Puspita et al.
Dharma B. 1988. Indonesian Shells. Sarana Graha. Jakarta.
Barat. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 57 hal.
Dinas Kelautan Perikanan Konawe. 2012. Potensi Perikanan Darat (PERIDAR) Kabupaten
Jutting WSS. 1956. Systematic Studies on the Non Marine Mollusca of the Indo Australian
Konawe. Konawe. 124 hal. Doddy S. 1998. Distribusi Spasial dan Preferensi Habitat Kerang Darah (Anadara maculosa, Linnaeus 1758) di perairan Teluk Kontania Seram Barat Maluku. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. 80 hal. Duria RR. 2001. Studi Komunitas Gastropoda Bentik di Situ Puspa Kampus UI Depok. Skripsi. Universitas Indonesia. 68 hal. Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. Erlinda L. 2014. Struktur Komunitas Gastropoda di Danau Sipogas Kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau. Skripsi. Universitas Pasir Pengaraian. Riau. 64 hal. Fadhilah N, Masrianih, Sutrisnawati. 2013. Keanekaragaman Gastropoda Air Tawar di Berbagai Macam Habitat di Kecamatan Tanambulava Kabupaten Sigi. E-Jipbiol, 2: 13-19. Fardiaz S. 1992. Polusi air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta. 190 hal. Frasha. 1925. Anatomy of Common Indian Apple Snail. Pila Glubbosa Memories of the Indian Museum, 8: 12-17. Hamidah A. 2000. Keragaman dan Kelimpahan Komunitas Moluska di Bagian Utara Danau Kerinci Jambi. Tesis. Program Studi Biologi Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. 129 hal. Hynes HBN. 1978. The Biology of Polluted Waters. Liverpool University Press. London. xxiv + 555 hal. Iskandar. 2002. Struktur Makrozoobentos sebagai
Komunitas Indikator
Kualitas Perairan di Situ Tonjong Jawa
Archipelago. V. Critical. Revision on the Javanese Fresh Water. Gastropods. Treubia. Koryciniska A, Eyre D. 2012. Apple Snails Pomacea Species. Plant Pest Factsheet.fera.co.uk/plantclinic/documents /factsheets/pomacea.species.pdf. Diakses: 2 Januari 2014. Marwoto RM, Ayu SN. 2009. Keanekaragaman Keong Air Tawar Marga Filopaludina di Indonesia dan Status Taksonominya (Gastropoda: Viviparidae). Prosiding Seminar Nasional Moluska 2. Bogor. Mote M. 2004. Gastropoda Air Tawar di Taman Nasional Way Kambas. Tesis. Program Studi Biologi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. 116 hal. Munarto. 2010. Studi Komunitas Gastropoda di Situ Salam Kampus Universitas Indonesia Depok. Skripsi. Universitas Indonesia. 57 hal. Mushthofa A., Muskananfola MR., Rudiyanti S. 2014. Analisis Struktur Komunitas Makrozoobenthos sebagai Bioindikator Kualitas Perairan Sungai Wedung Kabupaten Demak. Management of Aquatic Resources. Diponegoro Journal of Maquares. 3(1): 81-88. Nurrachmi I, Marwan. 2012. Kandungan Bahan Organik Sedimen dan Kelimpahan Makrozoobenthos sebagai Indikator Pencemaran Perairan Pantai Tanjung Uban Kepulauan Riau. LIPI. Universitas Riau. Pekanbaru. Parsons TR, Takahashi M, Hargrave L. 1977. Biologycal Oceanographic Processes. 2nd ed. Pergamon Press, Oxfor. 341 p. Perdana T, Melani WR, Zulfikar A. 2013. Kajian Kandungan Bahan Organik terhadap 121
Studi Preferensi Habitat Siput Tutut (Bellamya javanica)
Kelimpahan Keong Bakau (Telescopium telescopium) di Perairan Teluk Riau Tanjungpinang. Skripsi. FIKP. UMRAH. Riau. 52 hal. Rahmawati R. 2014. Analisis Tingkat Pencemaran Berdasarkan Indeks Keragaman Populasi Gastropoda di Bagian Tengah Sungai Gajahwong dan Kali Kuning Yogyakarta. Skripsi. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 64 hal. Rakhmanda
A.
2011.
Estimasi
Populasi
Gastropoda di Sungai Tambak Bayan Yogyakarta. Jurnal Ekologi Perairan, 1:17. Riyanto. 2004. Pola Distribusi Populasi Keong Mas (Pomacea canaliculata L.) di Kecamatan Belitang Oku. Diponegoro Journal of Maquares, 3(1): 70-75. Rosmarini. 2002. Kelimpahan dan Sebaran Temporal Makrozobentos di Situ Mahoni Kampus UI Depok. Skripsi. Universitas Indonesia. 68 hal. Rudianto FN, Setyawati TR, Mukarlina. 2014. Struktur Komunitas Gastropoda pada Persawahan Pasang Surut dan Tadah Hujan di Kecamatan Sungai Kakap. Jurnal Protobiont, 3(2): 177-185.
122
Saripatung GL, Tamanampo JF, Manu G. 2013. Struktur Komunitas Gastropoda di Hamparan Lamun Daerah Intertidal Kelurahan Tongkeina Kota Manado. Jurnal Ilmiah Platax, 1(3): 102-108. Sihombing B, Nasution S, Efriyeldi. 2013. Distribusi Kelimpahan Gastropoda Telescopium telescopium di Ekosistem Mangrove Muara Sungai Dumai. Skripsi. FPIK. Universitas Riau. Pekanbaru. 47 hal. Siregar
NMA. 2013.
Skripsi
pada
Fakultas
Perikanan IPB, Bogor. (tidak diterbitkan). Suin NM. 1997. Ekologi Hewan Tanah. Jakarta. Bumi Aksara. Sulianti
A. 2008. Cooking Echinostoma-infected (B. javanica) for Safe Consumption. Proceedings of the Third ASEAN Congress of Tropical Medicine and Parasitology (ACTMP3). The Windsor Suites Hotel Bangkok. Thailand. 22-23 May 2008. Parasites: A Hidden Threat to Global Health 2009. p 28-32.
Wahyono
S.
2005.
Identifikasi
Populasi
Gastropoda Air Tawar di Waduk Saguling dan sekitarnya. Jurnal Teknologi Lingkungan, 6(1): 274-28.