PERSENTASE LARVA TREMATODA DAN HISTOPATOLOGI PADA TUTUT (Bellamya javanica) DI LIMA KECAMATAN SEKITAR KAMPUS INSTITUT PERTANIAN BOGOR DRAMAGA
GINA MEILISA SITORUS
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Persentase Larva Trematoda dan Histopatologi pada Tutut (Bellamya javanica) di Lima Kecamtan Sekitar Kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2016 Gina Meilisa Sitorus NIM B04110034
ABSTRAK GINA MEILISA SITORUS. Infestasi Larva Trematoda dan Histopatologi pada Tutut (Bellamya javanica) di Lima Kecamatan Sekitar Kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga. Dibimbing oleh RISA TIURIA dan BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO Bellamya javanica yang dikenal dengan nama tutut dalam bahasa Sunda banyak dikonsumsi oleh manusia merupakan inang antara dari beberapa cacing trematoda. Cacing trematoda merupakan salah satu cacing parasit yang menyebabkan zoonosis. Fasciola sp. merupakan salah satu diantaranya yang dapat menginfeksi manusia dan hewan ternak. Manusia dapat terinfeksi cacing tersebut sebagai akibat dari mengonsumsi tutut yang mengandung metaserkaria yang dimasak setengah matang. Sebanyak 150 sampel tutut diperiksa dengan cara mengeluarkan dan mencacah seluruh bagian tubuh kemudian dilakukan pewarnaan Semichon’s Acetocamine. Sebanyak 25 sampel tutut diperiksa secara histopatologi dan dilakukan pewarnaan Hematoksilin dan Eosin (HE). Tujuan penelitian ini adalah menghitung persentase larva trematoda dan melihat gambaran histopatologi pada tutut di lima kecamatan sekitar kampus IPB Dramaga. Berdasarkan persentase larva trematoda pada Bellamya javanica di lima kecamatan, Kecamatan Tejolaya memiliki persentase tertinggi (40%) dan Kecamatan Taman Sari memiliki persentase terendah (0%). Perubahan gambaran histopatologi tutut menunjukkan terjadinya enteritis, emfisema, vakuolisasi pada hepatopankreas, myositis, dan infestasi larva trematoda. Berdasarkan hasil di atas disimpulkan bahwa tutut di 4 kecamatan sekitar kampus IPB Darmaga telah terinfestasi larva cacing trematoda dan kondisi ini perlu mendapat perhatian karena berpotensi sebagai sumber penularan cacing trematoda pada hewan ruminansia dan juga manusia. Kata kunci: Bellamya javanica, Fasciola sp. , Trematoda
ABSTRACT GINA MEILISA SITORUS. Infestation of Trematode Larvae and Histopatological Lesions on Bellamya javanica in Five Subdistrics around Bogor Agricultural University Dramaga Campus. Supervised by RISA TIURIA and BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO. Bellamya javanica snail known as tutut in Sundanese language is widely consumed by human is among a host of the trematode worm a few. Trematode worm is one of the parasites that cause zoonoses. Fasciola sp. is one of them which can infect humans and animals. Humans can be infected with the worm as a result of consuming half cooked metacercaria infected-snail. A total number of 150 snail samples from five subdistricts surrounding the Dramaga IPB campus were analyze for the presence of the larvae by opening the operculum and minced the whole body and followed stained by Semichon's Acetocarmine. Twenty five samples were examined for histopathology by Hematoksilin-Eosin staining. The purpose of the present study is to determine the
percentage of trematode larvae infected-snail as well as the histopathological lesions. Result of the study showed that there was a redia stage of Fasciola sp. worm that infected the snails. Tenjolaya sub-district has the highest percentage (40%) of termatode larve infected-snails, while the Taman Sari subdistrict has the lowest percentage (0%). Histopatholocial lesions showed that there were enteritis, emphysema, vacuoles in hepatopancreas and myositis. Based on all mentioned above it could be concluded that 4 subdistrics surrounding IPB Dramaga Campus snails were infected by termatode larvae, we have to pay attention on this condition in accordance to the source of trematode worm infection in ruminants and human. Keywords: Bellamya javanica, Fasciola sp. , Trematode
PERSENTASE LARVA TREMATODA DAN HISTOPATOLOGI PADA TUTUT (Bellamya javanica) DI LIMA KECAMATAN SEKITAR KAMPUS INSTITUT PERTANIAN BOGOR DRAMAGA
GINA MEILISA SITORUS
Skripsi Sebaai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih dan segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2014 ini ialah Persentase Larva Trematoda dan Histopatologi pada Tutut (Bellamya javanica) di Lima Kecamatan Sekitar Kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Drh Risa Tiuria, MS, PhD dan Bapak Prof Drh Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, PhD, APVet, Dipl ACCM selaku pembimbing. Penulis mengucapkan terima kasih juga kepada kedua orang tua penulis, Bapak Solo Parulian Sitorus dan Ibu Herminta Agustina Purba, seluruh keluarga serta teman-teman atas segala doa dan dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan baik. Semoga penulis dapat menghasilkan karya ilmiah yang bermanfaat bagi penulis dan juga bagi pembaca. Bogor, Desember 2015 Gina Meilisa Sitorus
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
PENDAHULUAN Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
1
TINJAUAN PUSTAKA
2
METODE
4
Waktu dan Tempat Penelitian
4
Bahan
4
Alat
5
Prosedur Penelitian
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
6
Persentase Larva Trematoda pada B. javanica
6
Gambaran Histopatologi pada B. javanica
8
SIMPULAN DAN SARAN
10
Simpulan
10
Saran
11
DAFTAR PUSTAKA
11
RIWAYAT HIDUP
13
DAFTAR TABEL 1 Persentase Larva Trematoda pada B. javanica 2 Persentase Gambaran Histopatologi pada B. javanica
6 7
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Tutut (B. javanica) di Bogor Anatomi Fasciola sp. Morfologi dan Anatomi Stadium Larva Fasciola sp. Larva Fasciola sp. pada fase redia Vili usus yang mengalami peradangan Emfisema pada paru-paru Otot yang mengalami peradangan Vakuolisasi lemak di hepatopankreas Infestasi larva trematoda pada B. javanica
2 3 4 7 8 9 9 10 10
PENDAHULUAN Latar Belakang Keong air tawar genus Bellamya yang termasuk dalam famili Viviparidae, merupakan jenis keong yang umum dikenal di Asia Tenggara. Penyebaran Bellamya sangat luas meliputi daerah tropis dan subtropis. Indonesia memiliki banyak pulau besar seperti Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Jutting (1956) mengemukakan bahwa terdapat dua spesies Bellamya yang tersebar di Indonesia. Bellamya javanica tersebar luas terutama di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Bellamya sumatrensis yang hanya dilaporkan tersebar di Jawa dan Sumatera. Keong air tawar banyak dikonsumsi oleh masyarakat di daerah Jawa dan Sumatera. Masyarakat di daerah Jawa khususnya di Jawa Barat mengenal keong air tawar dengan istilah tutut. Kandungan protein di dalam B. javanica digunakan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Menurut Positive Deviance Resource Centre (2008) B. javanica mengandung protein 12%, air 81 gram dalam 100 gram tutut, kalsium yang sangat tinggi yaitu sebanyak 217 mg hampir setara dengan segelas susu, rendah kolesterol, dan sisanya mengandung energi, karbohidrat, dan fosfor. Kandungan vitamin pada B. javanica juga cukup tinggi, diantaranya vitamin A, E, niacin, dan folat. Bellamya javanica dapat dijadikan sebagai alternatif protein pengganti daging ataupun ayam dengan harga yang relatif terjangkau. Bellamya javanica juga dilaporkan dapat mengobati berbagai penyakit hati atau hepatitis A karena mengandung protein yang tinggi, selain itu dapat meningkatkan ketahanan tubuh. Bellamya javanica adalah jenis gastropoda yang memberikan manfaat kepada manusia, yaitu sebagai bahan makanan, sebagai pakan ternak unggas, dan cangkangnya dapat dibuat berbagai macam lukisan, cendramata, dan bungabungaan (Dharma 1988). Selain memiliki berbagai macam manfaat, B. javanica juga dapat menimbulkan kerugian yaitu sebagai hama pada tanaman muda misalnya padi dan berpotensi sebagai inang antara cacing trematoda, yang stadium dewasanya berparasit pada hewan ternak dan manusia (Sutrisnawati 2001). Fasciola sp. adalah parasit trematoda yang dapat menginfeksi sistem pencernaan hewan dan manusia serta menyebabkan penyakit fasciolosis. Parasit ini dapat menyebar saat manusia atau hewan memakan siput, ikan atau moluska yang terinfeksi dalam keadaan mentah atau setengah matang (Sulianti 2008). Beberapa penelitian tentang histopatologi dari infeksi cacing trematoda ini sudah pernah dilakukan pada inang definitif yang terinfeksi oleh larva trematoda, sedangkan penelitian histopatologi pada B. javanica belum pernah dilakukan. Berdasarkan hal tersebut dilakukan penelitian untuk mengetahui gambaran histopatologi pada B. javanica. Tujuan Penelitian Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk menghitung persentase larva trematoda dan gambaran histopatologi pada B. javanica di lima kecamatan sekitar kampus IPB Dramaga.
2
TINJAUAN PUSTAKA Tutut (B. javanica) Taksonomi Kingdom Filum Kelas Famili Genus Spesies
: Animalia : Mollusca : Gastropoda : Viviparidae : Bellamya : Bellamya javanica
Gambar 1 Tutut (Bellamya javanica) di Bogor Habitat Bellamya javanica adalah sejenis keong air tawar anggota famili viviparidae yang hidup sampai ketinggian 1.400 mdpl. Bellamya javanica termasuk dalam herbivorous dan ovoviviparous yang sering ditemukan menempel pada batu-batuan atau bersembunyi di dasar air tawar seperti danau, rawa, kolam, sungai, persawahan yang masih dalam keadaan tandur/berair, dan saluran-saluran irigasi (Safrida 2014).
Morfologi dan Anatomi Bentuk dari cangkang B. javanica menyerupai piramida yang arah putarannya ke kanan (dekstra). Jumlah putaran seluk 6–7 buah dan mulut cangkang berbentuk oval, pusar kecil berupa celah. Warna cangkang hijau atau kuning kecoklatan dan pada puncak cangkang berbentuk lancip serta terdapat garis spiral yang tipis. Penutup cangkang berwarna coklat yang terbuat dari khitin (Jutting 1956). Anatomi B. javanica diantaranya terdapat operkulum pada bagian luar, mantel, hati, ginjal, kelenjar albumen, ovarium, bantalan paru-paru, oviduk, dan anus (Safrida 2014).
3
Cacing Fasciola sp. Taksonomi Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus
: Animalia : Platyhelminthes : Trematoda : Echinostomida : Fasciolidae : Fasciola
Morfologi dan Anatomi Fasciola sp. merupakan cacing trematoda yang berukuran 20–30 mm × 10– 12 mm. Pada genus ini lebar ujung anteriornya tidak sama dengan bagian tubuh lainnya dan membentuk seperti kerucut. Cacing dewasa Fasciola sp. berbentuk pipih, seperti daun tanpa rongga tubuh (Noble et al.1989). Cacing ini memiliki alat penghisap yang berdekatan satu sama lain dan semua organ penting bercabang. Telur dari Fasciola sp. memliki kulit yang tipis dan mempunyai operkulum pada bagian anterior (Gambar 2a). Sporokist muda (Gambar 2b) yang berbentuk oval, memiliki ukuran panjang 0.11–0.15 mm dan lebar 0.10–0.11 mm, setelah sporokist menjadi dewasa ukurannya akan bertambah panjang (Gambar 2c-d). Redia terbagi atas redia induk (Gambar 2e) dan redia anak (Gambar 2f). Redia induk dan redia anak berbentuk silindris. Redia induk memiliki ciri khas pada bagian posterior berupa penonjolan dan redia induk mengandung banyak redia anak, sedangkan redia anak mengandung banyak serkaria. Serkaria memiliki ventral sucker pada bagian anterior dan memiliki ekor yang panjang (Gambar 2g) (Phalee et al. 2015).
b
e f
d
c a
g Gambar 2 Morfologi dan Anatomi Stadium Larva Fasciola sp. (Phalee et.al 2015) Siklus Hidup Fasciola sp. mengalami mata rantai siklus perkembangan atau stadium dalam siklus hidupnya sampai ke saluran empedu. Daur hidup cacing hati dimulai dari telur yang dikeluarkan dari uterus cacing masuk ke saluran empedu atau saluran hati dari induk semang. Telur terbawa ke dalam usus dan meninggalkan tubuh bersama feses (Soulsby 1986). Telur tidak dapat berkembang dibawah suhu 10ºC, tetapi dapat berkembang dengan baik pada suhu 10 ºC sampai 26 ºC (Levine 1990). Perkembangan dari stadium telur sampai metaserkaria hanya dapat terjadi pada lingkungan yang tergenang air (Noble et al.1989). Apabila telur masuk ke dalam air, operkulum akan terbuka dan mirasidium yang bersilia dibebaskan. Mirasidium berenang selama beberapa jam dan kemudian menembus tubuh siput air tawar.
4
Mirasidium hanya hidup dalam waktu singkat (24 jam) untuk mencari siput sebagai induk semang antara. Setelah mirasidium berhasil menembus jaringan siput, silia dilepaskan, kemudian mirasidium berkembang membentuk gelembung dengan dinding transparan yang disebut sporokista. Pada hari ke-12 redia induk mulai tampak dan pada hari ke-23 redia anak mulai terbentuk. Redia anak berkembang secara individual untuk membentuk serkaria. Serkaria bebas menempel di tanaman air dan menjadi metaserkaria. Metaserkaria berkembang di tumbuhan air, kemudian inang definitif akan terinfeksi jika memakan inang antara tersebut (Spithill 1999) (Gambar 3).
Gambar 3 Siklus Hidup Fasciola sp. (CDC 2013)
METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Helmintologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini juga dilakukan di Laboratorium Patologi Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi serta di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia-Pusat Penelitian Biologi. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian di Laboratorium Helmintologi dan Laboratorium Patologi adalah B. javanica yang masih hidup sebanyak 150 ekor untuk diperiksa keberadaan larva trematoda dan 25 ekor diperiksa untuk melihat gambaran perubahan histopatologi. Bahan lain yang digunakan adalah NaCl fisiologis, xylol, etanol 70%, alkohol bertingkat, BNF 10%, pewarna Semichon’s Acetocarmin, pewarna Hematoxylin dan Eosin.
5
Alat Alat yang digunakan dalam penelitian di Laboratorium Helmintologi dan Laboratorium Patologi adalah cawan petri, mortar, needle, keramik hitam, akuarium, plastik, kulkas, pinset, gunting, gloves, object glass, cover glass, water bath, mikrotom, mikroskop, refrigerator.
Prosedur Penelitian Desain Penelitian Penelitian ini dirancang menggunakan desain cross-sectional secara purposif. Pengambilan Sampel Pengambilan sampel dilakukan di lima kecamatan sekitar lingkar Kampus IPB Dramaga, yaitu: Kecamatan Dramaga Desa Cangkurawo, Kecamatan Ciampea Desa Cihideung Hilir, Kecamatan Tenjolaya Desa Cinangneng, Kecamatan Taman Sari Desa Suka Makmur, Kecamatan Ciomas Desa Ciapus. Bellamya javanica yang diperiksa berasal dari sawah padi yang kondisinya masih tandur dan berair, kemudian dimasukkan ke dalam plastik lalu disimpan dalam akuarium di Laboratorium Helmintologi agar B. javanica tersebut masih dalam keadaan hidup saat diperiksa. Pada pemeriksaan histopatologi, tutut yang sudah dikeluarkan dari cangkang disimpan pada larutan BNF 10% dan dilakukan pewarnaan Hematoxylin dan Eosin. Pemeriksaan Sampel Pemeriksaan sampel B. javanica di laboratorium Helmintologi dilakukan untuk memeriksa dan menghitung larva trematoda dalam tubuh B. javanica. Pemeriksaan dilakukan dengan membuka cangkang B. javanica dengan stemper dan mortar. Tubuh B. javanica diletakkan pada cawan petri yang berisi NaCl fisologis kemudian dicacah; diletakkan di atas keramik hitam kemudian diamati pada mikroskop. Larva yang ditemukan di simpan di dalam refrigerator selama 1– 2 hari untuk merelaksasikan tubuh larva sebelum diwarnai. Pewarnaan Larva Trematoda Pewarnaan larva trematoda dilakukan dengan pewarnaan Semichon’s Acetocarmine. Tahap pertama yang dilakukan adalah larva trematoda direndam dengan pewarna Semichon’s Acetocarmine selama 30–120 menit sampai larva berwarna merah cerah, kemudian dicuci dengan etanol 70% dan dibilas. Tahap berikutnya adalah tahap dehidrasi. Tahap dehidrasi dilakukan dengan cara, larva dimasukkan ke dalam alkohol bertingkat selama 5–10 menit pada masing-masing tingkatan, yakni: alkohol 70%, alkohol 85%, alkohol 95%, dan alkohol absolut. Tahap selanjutnya adalah larva direndam dalam xylol sampai menjadi transparan, kemudian dilakukan tahap terakhir, yaitu tahap mounting. Proses awal dari pewarnaan histopatologi adalah organ direndam dengan larutan Buffered Neutral Formalin (BNF) 10%. Proses pembuatan preparat
6
histopatologi diawali dengan memotong organ, kemudian melakukan proses dehidrasi, menghilangan udara, mencetak organ pada blok parafin, memotong blok parafin menggunakan mikrotom dengan ketebalan 5–7µ. Potongan yang telah mengenai bagian organ yang diinginkan, selanjutnya dimasukkan ke dalam water bath. Perendaman ke dalam water bath berguna untuk mengembangkan parafin yang terlipat dan memudahkan spesimen untuk diletakkan pada object glass. Langkah selanjutnya adalah mewarnai spesimen dengan pewarnaan Hematoxylin dan Eosin. Langkah pewarnaan Hematoxylin dan Eosin adalah spesimen direndam di dalam xylol selama 2 menit; alkohol absolut selama 2 menit; akohol 95% selama 1 menit; alkohol 80% selama 1 menit. Langkah berikutnya jaringan dicuci dalam air kran selama 30 detik; mayer hematoxylin selama 8 menit; air kran selama 30 detik; kemudian dicelupkan di dalam Eosin selama 3 menit; dibilas dengan air kran selama 30 detik; alkohol 95% 10 detik; alkohol absolut 10 detik; xylol selama 1 menit. Tahap tertakhir adalah jaringan ditutup dengan cover glass dan diberi perekat disetiap sisi pada cover glass. Prosedur Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan menghitung persentase infeksi larva trematoda dan persentase perubahan gambaran histopatologi B. javanica.
HASIL DAN PEMBAHASAN Persentase larva trematoda pada B. javanica Dari lima kecamatan disekitar Kampus IPB Dramaga, kecamatan yang memiliki nilai persentase paling tinggi adalah Tejolaya (40%), Kecamatan Ciampea (33.3%), Kecamatan Dramaga (20%), dan Kecamatan Ciomas (6.6%), Kecamatan Tamansari (0%). Rataan persentase B. javanica yang terinfeksi larva trematoda adalah sebesar 19.98%. Tabel 1 Persentase larva trematoda pada B.javanica Kecamatan Jumlah yang Jumlah yang Persentase diperiksa (ekor) terinfeksi (ekor) (%) Dramaga 30 6 20 Ciampea 30 10 33.3 Tejolaya 30 12 40 Taman Sari 30 0 0 Ciomas 30 2 6.6 Total 150 30 20 Rata-rata 19.98 Berdasarkan hasil penelitian persentase larva trematoda tertinggi terdapat di kecamatan Ciampea dan Tejolaya. Tingginya persentase tersebut diduga karena lokasi dari pengambilan sampel. Lokasi pengambilan sampel di kedua kecamatan berada di dekat selokan yang kurang bersih dan dekat dengan pemukiman penduduk.
7
Rendahnya persentase di Kecamatan Dramaga, Taman Sari, dan Ciomas disebabkan lokasi pengambilan sampel yang jauh dengan pemukiman dan kondisi sawah tidak dialiri air dari selokan yang berisi tumpukan sampah, serta lingkungan sekitar sawah relatif bersih. Keberadaan larva trematoda pada fase redia ini akan mempengaruhi tingkat keparahan dari terjadinya fasciolosis (Gambar 4). Hal ini dikarenakan, redia dapat memproduksi lebih banyak serkaria yang akan berkembang menjadi metaserkaria. Metaserkaria yang tertelan sangat banyak akan mengakibatkan kematian pada hewan ternak sebelum cacing tersebut mencapai dewasa (Soulsby 1986).
20 µm
Gambar 4 Larva Fasciola sp. pada fase redia (Bar = 20 µm; Semichon’s Acetocarmine) Lingkungan makro dan mikro merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi persentase keberadaan larva trematoda. Faktor lingkungan makro yang dapat mempengaruhi seperti kondisi geografis, tumbuhan, satwa air, sedangkan faktor lingkungan mikro yaitu habitat inang antara (Adjid 2004) Di Indonesia, fasciolosis merupakan salah satu penyakit hewan ruminansia yang telah lama dikenal dan tersebar secara luas. Keadaan alam Indonesia dengan curah hujan dan kelembaban yang tinggi memungkinkan redia untuk berkembang dengan baik. Hal ini juga perlu diperhatikan dalam pemeliharaan hewan ruminansia disekitar kecamatan yang memiliki persentase larva trematoda yang tinggi. Kecepatan perkembangbiakan Fasciola sp. didukung oleh sifat reproduksinya yang hermaprodit. Derajat keparahan Fasciola sp. pada manusia dan hewan tergantung pada banyak faktor, diantaranya jumlah cacing, patogenitas, dan status imunitas. Pada sapi dan domba, proses patogenik paling penting adalah fibrosis hepatis dan peradangan kronis saluran empedu (Balqis et al.2013). Strategi pengendalian fasciolosis secara umum didasarkan pada musim penghujan dan kemarau. Pada musim penghujan, populasi siput mencapai puncak dan tingkat pencemaran metaserkaria sangat tinggi (Martindah 2005). Tarmudi (2003) juga mengemukakan bahwa pengendalikan infeksi cacing Fasciola sp. dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu mengendalikan atau memberantas inang antara, memperbaiki manajemen pemeliharaan hewan ternak dan memberikan obat antelmentik secara periodik. Pengendalian pemberantasan populasi inang antara bertujuan untuk memutus daur hidup Fasciola sp. Cara yang sering dilakukan adalah menggunakan predator alami dan zat kimia.
8
Gambaran Histopatologi B.javanica Dari seluruh sampel pada pemeriksaan histopatologi, sampel yang dapat diidentifikasi hanya berjumlah delapan belas sampel dari dua puluh lima sampel. Hal ini dikarenakan tujuh sampel mengalami kerusakan sehingga tidak dapat dilakukan identifikasi gambaran histopatologi. Tabel 2 Persentase Gambaran Histopatologi pada B. javanica Total sampel perkecamatan
Dramaga Ciampea (n=5) (n=4)
HP (%) Persentase Enteritis Persentase Emfisema Persentase Myositis Persentase Hepatopankreas
Tejolaya (n=3)
Taman sari (n=2)
Ciomas (n=4)
40
50
66.6
50
25
40
50
66.6
0
0
40
20
66.6
0
50
60
50
33.3
0
75
Berdasarkan persentase tertinggi dari gambaran histopatologi yang mengalami enteritis terdapat di Kecamatan Tejolaya (Gambar 5). Enteritis merupakan peradangan akut atau kronis yang menyerang mukosa saluran pencernaan yaitu usus kecil yang ditandai dengan adanya infiltrasi sel radang. Penyebab enteritis biasanya disebabkan oleh cemaran lingkungan yang terkontaminasi dengan bakteri atau virus. Bakteri dan virus menetap di usus kecil dapat menyebabkan inflamasi dan pembengkakan. Tingginya persentase enteritis pada Kecamatan Tejolaya kemungkinkan disebabkan karena kondisi lingkungan di kecamatan tersebut kurang bersih, sehingga menkontaminasi usus. Selain itu, infestasi dari larva trematoda juga merupakan salah satu faktor penyebab enteritis. Menurut Eramus (1972), efek parasitisme terhadap inang antara dapat menghambat fungsi organ tubuh dan pertumbuhan.
20 µm
Gambar 5 Vili usus yang mengalami peradangan (Bar = 20 µm; Hematoxylin dan Eosin)
9
Gambaran histopatologi lainnya yang memiliki nilai persentase yang tinggi (66.6%) yaitu emfisema pada B. javanica yang berasal dari Kecamatan Tejolaya. Emfisema merupakan kondisi terjebaknya udara di dalam paru-paru dan menyebabkan robeknya alveol paru-paru (Gambar 6). Hal ini akan mengurangi luas permukaan paru-paru sehingga pada akhirnya, jumlah oksigen yang menuju paruparu berkurang. Paparan polusi udara melalui penggunaan pestisida merupakan salah satu penyebab terjadinya emfisema (Sninder et al. 2001). Berdasarkan hasil pengamatan ditemukan adanya peradangan pada otot atau miositis. Hal ini terjadi salah satunya dikarenakan penggunaan pestisida oleh petani di lima kecamatan tersebut. Menurut Panut (2000) yang menyatakan bahwa penggunaan pestisida yang dilakukan petani untuk membasmi hama tanaman padi. Pestisida yang masuk melalui kulit akan terakumulasi dan mengendap di permukaan kulit dan otot. Hal tersebut dapat mengakibatkan perag. dangan otot atau miositis yang membentuk struktur yang tidak beraturan (Gambar 7).
20 µm
Gambar 6 dan 7
20 µm
Emfisema pada paru-paru dan otot yang mengalami peradangan (Bar = 20 µm; Hematoxylin dan Eosin)
Gambaran histopatologi hepatopankreas ditemukan hampir disetiap sampel semua kecamatan. Hepatopankreas merupakan sistem pertahanan tubuh yang terdiri dari sel-sel pankreas dan sel-sel hati. Hepatopankreas berfungsi dalam memproduksi enzim pencernaaan, menyimpan sari makanan, membuang sisa metabolisme, dan menyebarkan nutrisi ke berbagai tubuh untuk fungsi fisiologis. Berdasarkan gambaran histopatologi yang diperoleh terdapat vakuolisasi lemak pada hepatopankreas. Gambaran ini ditemukan pada Kecamatan Dramaga (Gambar 8). Kerusakan hepatopankreas juga seringkali terjadi dan dapat menyebabkan pengelupasan jaringan, vakuolisasi, dan pengurangan glikogen (Noble et al. 1989). Vakuolisasi lemak yang melebihi 5% dari berat hati, akan menyebabkan lemak membebani lebih dari separuh jaringan hati. Hal ini juga dapat berpotensi menjadi penyebab sirosis hati (Talukde et al. 2010)
10
20 µm
Gambar 8 Vakuolisasi lemak di hepatopankreas (Bar = 20 µm; Hematoxylin dan Eosin) Berdasarkan pengamatan histopatologi pada B. javanica ditemukan di otot siput dalam bentuk larva. Larva Fasciola sp. yang ditemukan berupa larva pada fase redia yang akan berkembang menjadi serkaria dan metaserkaria (Gambar 9). Gambaran ini ditemukan di kecamatan Dramaga dan Ciampea.
20 µm
Gambar 9 Infestasi larva trematoda pada B. javanica (Bar = 20 µm; Hematoxylin dan Eosin)
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. 2. 3. 4.
Terdapat infeksi trematoda pada B. javanica di empat dari lima kecamatan di sekitar kampus IPB Dramaga. Persentase larva trematoda yang dipeoleh bervariasi mulai dari 0–40% dengan rataan 19.98%. Perubahan histopatologi yang ditemukan pada B. javanica berupa enteritis, emfisema, dan vakuolisasi lemak pada hepatopankreas. Ditemukan larva Fasciola sp. pada fase redia di kecamatan Dramaga dan Ciampea pada pemeriksaan histopatologi.
11
Saran 1.
2.
Tutut yang akan dikonsumsi harus dalam keadaan matang. Hal ini bertujuan untuk mencegah dan mengurangi kejadian penyebaran penyakit pada manusia dan hewan. Perlu dilakukan perbaikan cara pemeliharaan hewan ruminansia di kecamatan sekitar Kampus IPB Dramaga.
DAFTAR PUSTAKA Adjid RM. 2004. Strategi Alternatif Pengendalian Penyakit Reproduksi Menular untuk Meningkatkan Etisiensi Reproduksi Sapi Potong. WartaZoa. 14 (3): 125–132 . Balqis U, Darmawi, Aisyah S, Hambal M. 2013. Perubahan patologi anatomi hati dan saluran empedu sapi Aceh yang terinfeksi Fasciola gigantica. Agripet. 13(1): 53-58. Dharma B. 1988. Siput dan Kerang Indonesia I. Jakarta (ID): PT. Sarana Graha. Eramus DA. 1972. The Biology of Trematodes. New York (AS): Crane and Russak. Jutting BV. 1956. Systematic studies on the non-Marine mollusca of the IndoAustralian archipelago. Trebia. 23 (2): 259 ─ 477. Martindah E. 2005. Developing Extension Processes and Strategies in Conjunction with Technical services and Farmers to Control Fasciolosis in Yogyakarta Special Province, Indonesia [tesis]. Australia (AU) : University of Queensland. Noble ER, Noble GA. 1989. Parasitologi: Biologi Parasit Hewan Edisi Kelima. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Pr. Panut D. 2000. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian. Yogjakarta (ID): Kanisius [PDRC] Positive Deviance Resource Centre. 2008. Public Health Nutrition. Positive Deviance Resource Centre. [internet]. [diunduh 2015 aug 17]. Tersedia pada: www.positivedeviance.org/pdf/manuals/PD Module - part 01. Phalee A, Wangsawad C, Rojanapaibul A, Chai J. 2015. Experimental life history and biological characteristics of Fasciola gigantica (Digenea: Fasciolidae). Korean J Parasitol. 53(1): 59–64.doi: http://dx.doi.org/10.3347/kjp.2015.53. 1.59. Safrida. 2014. Pengenalan struktur morfologi dan anatomi keong tutut. Di dalam: Sains Membangun Karakter dan Berpikir Kritis untuk Kesejahteraan Masyarakat. Seminar Nasional Basic Science VI; 2014 Mei 7; Ambon. Ambon (ID): FMIPA Universitas Pattimura. hlm 393–398; [diunduh 2015 Sep 14]. Tersedia pada: http://paparisa.unpatti.ac.id/paperrepo/ ppr_iteminfo_lnk.php?id=706. Sninder GL, Lucey EC, Stone PJ. 2001. Animals models of emphysema. J state of art. 133: 149–159. Soulsby EJL. 1986. Helmints, Arthropods, and Protozoa of Domestic Animal 8th ed. hlm 175–390
12
Sulianti A. 2008. Cooking parasite infected Bellamya javanica for safe consumption. Di dalam: Parasites: a hidden threat to global health 2009. Proceedings of the Third ASEAN Congress of Tropical Medicine and Parasitology (ACTMP3); 2008 Mei 22–23; Bangkok (TH): Thailand. hlm 28–32. Sutrisnawati HJ. 2001. Beberapa Aspek Biologi Gastropoda Air Tawar serta potensinya sebagai inang perantara parasit cacing trematoda pada manusia di daerah Lembah Napu Sulawesi Tengah [tesis]. Bandung (ID): Universitas Padjajaran. Talukder S, Bhuiyan MJ, Hossain MM, Uddin MM, Paul S, Howlader MMR. 2010. Patho logical investigation of liverfluke infection of slaughtered Black Bengal Goat in a selected area of Bangladesh. J Med Vet Bangl.8(1): 35-40. Tarmudi J. 2003. Beberapa penyakit penting pada kerbau di Indonesia. WartaZoa. 13(3): 164-166.
13
RIWAYAT HIDUP Gina Meilisa Sitorus lahir di Medan pada tanggal 17 Mei 1994. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara yang lahir dari pasangan Bapak Solo Parulian Sitorus dan Ibu Herminta Agustina Purba. Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) di Santo Thomas Medan. Pada tahun 2011 penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) Undangan dengan Mayor Kedokteran Hewan. Selama menjadi mahasiswa, penulis tergabung dalam beberapa organisasi. Adapun organisasi yang diikuti yaitu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB (2011–2015), Himpunan Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik (HKSA) sebagai wakil ketua (2014–2015). Penulis juga mengikuti magang profesi dan beberapa kepanitiaan kegiatan kampus Fakultas Kedokteran Hewan IPB.