HIGIENE PEKERJA KANTIN DI DALAM KAMPUS INSTITUT PERTANIAN BOGOR DRAMAGA, BOGOR
NURUL AINI S. HARAHAP
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Higiene Pekerja Kantin di dalam Kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga, Bogor adalah karya saya dengan arahan dari komisis pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Sepetember 2012
Nurul Aini S. Harahap NIM B04080049
ii
ABSTRACT NURUL AINI S. HARAHAP. Hygiene of Food Handler in Bogor Agriculture University Dramaga, Bogor. Under direction of CHAERUL BASRI and HADRI LATIF. The aim of this study was to know the factors related with hygiene practices among food handlers at canteen in Bogor Agriculture University. Survey of KAP (knowledge, attitude, and practices) were used to know the relationship of knowledge and attitudes with their practices as its factors. Thirty nine food handlers were taken sampling randomly from sixty seven canteen in Bogor Agriculture University and become respondents for questionnaire about hygiene in handling food which is divided in to three aspect: personal hygiene, hygiene of production, and hygiene of facilities. The data were analyzed using the SPSS 16.0. A majority respondents have good knowledge (94.9%), attitude (100%), and practices (97.4%). Statistic analysis showed significant difference (p<0.05) between the relationship of knowledge, attitude, and main occupation with their practices. Keywords: Knowledge, Attitude, and Practices (KAP), food handler, hygiene practices
ii
iii
RINGKASAN NURUL AINI S. HARAHAP. Higiene Pekerja Kantin di Dalam Kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga, Bogor. Dibimbing oleh CHAERUL BASRI dan HADRI LATIF. Keamanan pangan asal hewan sangat terkait dengan orang yang menangani pangan tersebut, dalam hal ini adalah pekerja kantin. Pekerja kantin hendaknya memiliki pengetahuan, sikap, dan praktik yang baik dalam menangani makanan agar mencegah terjadinya keracunan pangan serta menjaga keamanan pangan. Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) Dramaga memiliki unit kantin yang menjual produk pangan asal hewan. Setiap unit kantin tidak dikontrol dalam satu pusat sehingga kemungkinan akan terdapat perbedaan pada pekerja kantin dalam penanganan produk pangan asal hewan di setiap kantin. Hal ini mendasari penelitian ini untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap terhadap praktik higiene pekerja kantin dalam menangani produk olahan pangan asal hewan. Penelitian ini diharapkan menjadi informasi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi praktik higiene pada pekerja kantin di kampus IPB Dramaga terkait keamanan pangan asal hewan. Penelitian dilakukan dengan metode survai melalui wawancara pekerja kantin terhadap pengetahuan, sikap, dan praktik yang berhubungan dengan 3 aspek higiene, yaitu higiene personal, higiene produksi, serta higiene fasilitas dan peralatan. Wawancara dilakukan menggunakan kuisioner terstruktur. Besaran sampel ditentukan dengan rumus pendugaan persentase menggunakan software WinEpiscope 2.0 dengan besar populasi 67, tingkat kepercayaan 95%, persentase dugaan 50%, dan tingkat kesalahan 10%. Besaran sampel yang dihasilkan yaitu 39 kios kantin yang menjajakan pangan asal hewan. Metode penarikan sampel dilakukan dengan menggunakan Metode Penarikan Contoh Acak Sederhana. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan kuisioner terstruktur. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan program SPSS 16.0. Hasil analisis berupa tabel yang berisi kategori pengetahuan, sikap, dan praktik responden. Selain itu juga digunakan uji korelasi untuk menguji korelasi antara karaktersitik responden terhadap praktik dan tingkat pengetahuan terhadap sikap terhadap praktik pekerja kantin. Responden terdiri dari 39 pekerja kantin di dalam kampus IPB Dramaga yang menjual produk pangan asal hewan. Mayoritas responden memiliki umur di bawah 33 tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa mayoritas pekerja mungkin akan lebih mudah dalam menerima penyuluhan atau pembinaan, namun juga terdapat kemungkinan lebih sedikit pekerja kantin yang memiliki tingkat pengetahuan dan pengalaman yang baik. Responden yang belum pernah mendapat penyuluhan atau pembinaan pengelolaan kantin lebih banyak dibandingkan yang sudah pernah mendapat penyuluhan atau pembinaan pengelolaan kantin. Penyuluhan atau pembinaan yang didapatkan oleh responden berasal dari pihak dalam kampus, namun persentase di atas memperlihatkan bahwa penyuluhan yang dilakukan oleh pihak kampus tersebut belum mencakup ke seluruh pekerja kantin. Rata-rata responden memiliki pengetahuan yang baik mengenai higiene pangan (94.9%) dan tidak ada responden yang masuk dalam kategori buruk (0.0%) mengenai pengetahuan higiene pangan. Hal ini menunjukkan bahwa iii
iv
responden telah mendapatkan pengetahuan yang baik meskipun tidak semua responden telah mengikuti pelatihan atau pembinaan mengenai pengelolaan kantin. Secara keseluruhan, responden memiliki sikap yang baik terhadap higiene pangan. Hal ini dapat dilihat bahwa 100% responden masuk dalam kategori baik. Tak jauh berbeda dengan sikap, sebanyak 97.4% responden masuk dalam kategori praktik yang baik dan tidak ada satupun responden yang masuk dalam kategori praktik yang buruk. Hal ini menunjukkan bahwa responden telah melakukan praktik higiene pangan dengan baik. Aspek praktik higiene personal yang masih buruk dilakukan oleh responden yaitu tidak memakai sarung tangan dan apron saat menangani makanan, memiliki kebiasaan merokok responden di dalam kantin dan tidak mencuci tangan setelah merokok, serta tetap bekerja ketika sakit. Aspek praktik higiene produksi yang masih buruk yaitu terkait penyimpanan bahan mentah di kantong plastik yang masih banyak dilakukan oleh responden. Secara kesuluruhan, aspek praktik higiene fasilitas dan peralatan telah dilakukan dengan baik oleh responden. Analisis data memperlihatkan adanya hubungan yang nyata antara pengetahuan dan sikap terhadap praktik higiene pekerja kantin (p<0.05) dengan tingkat hubungan yang sedang (0,40≤r<0,60). Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan dan sikap higiene responden berhubungan dengan praktik higiene responden. Karaktersitik pekerjaan utama responden juga menunjukkan hubungan yang nyata terhadap praktik higiene responden (p<0.05) dengan tingkat hubungan yang sangat lemah (r<0.2). Maka, dapat disimpulkan bahwa mayoritas pekerja kantin di kampus IPB Dramaga memiliki tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik higiene yang baik. Tingkat praktik higiene yang baik ini berhubungan dengan pengetahuan, sikap, dan pekerjaan utama. Kata kunci: Knowledge, Attitude, and Practice (KAP), Pekerja kantin, Praktik higiene
iv
v
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suati masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
v
vi
HIGIENE PEKERJA KANTIN DI DALAM KAMPUS INSTITUT PERTANIAN BOGOR DRAMAGA, BOGOR
NURUL AINI S. HARAHAP
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 vi
vii
Judul Skripsi : Higiene Pekerja Kantin di Dalam Kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga, Bogor Nama : Nurul Aini S. Harahap NIM : B04080049
Disetujui
drh. Chaerul Basri, M.Epid Ketua
Dr. drh. Hadri Latif, M.Si. Anggota
Diketahui
drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal Lulus:
vii
viii
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini yaitu mengenai faktor yang mempengaruhi praktik higiene pekerja kantin di dalam kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga, Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada drh. Chaerul Basri M.Epid dan Dr. drh. Hadri Latif M.Si selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan saran dan perbaikan selama penulisan skripsi ini, serta seluruh staf di laboratorium KESMAVET yang telah banyak membantu selama proses penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua penulis, abang, kakak, adik, serta kakak-kakak ipar dan keponakan yang selalu memberi semangat dan mendukung proses belajar di kampus IPB Dramaga. Terima kasih juga penulis ucapkan untuk Amatulloh Afifah selaku sahabat di kampus IPB yang telah banyak membantu dalam proses penelitian hingga terselesaikannya skripsi ini, Susi, Yuni, dan Melinda yang saling membantu dan memotivasi dalam proses penelitian, sahabat LC (Dhita, Ope, Bunda, Epri, dan Achan), sahabat Salsabila (Kiki, Epri, Jandi, Marlika, Titi, kak Lingga, Dea, Michelle, Amel, dan lain-lain), serta Mulatsih, Rika, Irma, Hana, Irna, dan Lili yang selalu memberikan motivasi dan membantu penulis dalam banyak hal. Tak lupa ungkapan terima kasih kepada seluruh sahabat Avenzoar selaku rekan angkatan 45 di Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Bogor, Juli 2012 Nurul Aini S Harahap
viii
ix
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Merauke pada tanggal 25 Mei 1990 dari ayah H. Anwar Syarief Harahap dan ibu Hj. Rukiah Lubis. Penulis merupakan putri kelima dari enam bersaudara. Penulis tinggal di Merauke selama 8 tahun, kemudian pindah ke Jakarta pada tahun 1998 sampai saat ini. Tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 91 Jakarta Timur dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Penerimaan Mahasiswa. Penulis memilih Fakultas Kedokteran Hewan sebagai bidang studinya. Selama mengikuti perkuliahan, penulis turut berpartisipasi dalam beberapa organisasi dalam dan luar kampus. Organisasi dalam kampus yang pernah diikuti oleh penulis yaitu LDK Al-Hurriyyah, DKM An-Nahl, Himpro HKSA Divisi Kuda, serta Rohis Avenzoar. Organisasi luar kampus yang pernah diikuti oleh penulis yaitu FARIS (Forum Aktivitas Rohis se-Duren Sawit) dan MPI (Mahasiswa Pecinta Islam) Jakarta.
ix
x
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...................................................................................................xi DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xii DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiii PENDAHULUAN Latar Belakang ............................................................................................. 1 Tujuan Penelitian ......................................................................................... 3 Manfaat Penelitian ....................................................................................... 3 Hipotesis Penelitian ..................................................................................... 3 TINJAUAN PUSTAKA Pangan Asal Hewan ..................................................................................... 5 Kantin ........................................................................................................... 8 Higiene ......................................................................................................... 9 Studi KAP (Knowledge, Attitude, Practice) .............................................. 16 BAHAN DAN METODE Kerangka Konsep Penelitian ...................................................................... 19 Waktu dan Tempat Penelitian .................................................................... 19 Disain Penelitian ........................................................................................ 20 Sampel........................................................................................................ 20 Pengumpulan Data ..................................................................................... 20 Kriteria dan Penelitian Kuisioner............................................................... 20 Analisis Data .............................................................................................. 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden ............................................................................ 23 Pengetahuan Responden ............................................................................ 25 Sikap Responden ........................................................................................ 27 Praktik Responden ..................................................................................... 29 Faktor yang Mempengaruhi Praktik Responden ........................................ 38 SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................... 42 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 43 LAMPIRAN ........................................................................................................... 48
x
xi
DAFTAR TABEL Halaman 1 Aktivitas yang disarankan untuk mencuci tangan............................................ 11 2
Pemilihan hipotesis korelatif berdasarkan jenis variabel ................................ 22
3
Panduan interpretasi hasil uji hipotesis berdasarkan kekuatan korelasi, nilai p, dan arah korelasi ................................................................................. 22
4
Karakteristik pekerja kantin di kampus IPB Dramaga .................................... 23
5
Karakteristik kios pedagang di kampus IPB Dramaga ................................... 25
6
Tingkat pengetahuan higiene responden dalam menangani makanan ............25
7
Tingkat pengetahuan higiene responden secara spesifik ................................ 26
8
Kategori sikap higiene responden dalam menangani makanan ...................... 27
9
Kategori sikap higiene responden secara spesifik ........................................... 28
10 Kategori praktik higiene responden dalam menangani makanan ...................29 11 Aspek praktik higiene personal pada pekerja kantin di kampus IPB Dramaga .......................................................................................................... 30 12 Aspek praktik higiene produksi pada pekerja kantin di kampus IPB Dramaga .......................................................................................................... 33 13 Aspek praktik higiene fasilitas pada pekerja kantin di kampus IPB Dramaga .......................................................................................................... 35 14 Kategori praktik higiene responden secara spesifik ........................................ 37 15 Hubungan karakteristik, pengetahuan, dan sikap responden terhadap tingkat praktik responden ............................................................................................ 38 16 Hasil uji normalitas jenis kelamin responden ................................................. 50 17 Hasil uji normalitas umur responden .............................................................. 50 18 Hasil uji normalitas pendidikan terakhir responden ....................................... 50 19 Hasil uji normalitas lama bekerja di kantin .................................................... 51 20 Hasil uji normalitas pekerjaan utama responden ............................................ 51 21 Hasil uji normalitas penyuluhan atau pembinaan responden ..........................51 22 Hasil uji normalitas skor pengetahuan responden ........................................... 52 23 Hasil uji normalitas skor sikap responden ...................................................... 52 24 Hasil uji normalitas skor praktik responden ................................................... 52
xi
xii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Zona suhu berbahaya dalam penyimpanan makanan (Anonim 2012) ..................7 2 Langkah-langkah mencuci tangan (WHO 2011) ................................................ 12 3 Kerangka Konsep Penelitian ............................................................................... 19 4 Kondisi kantin unit FPIK (kantin dolphin) ......................................................... 48 5 Kondisi kantin unit FKH ..................................................................................... 48 6 Kondisi kantin unit Rektorat ............................................................................... 49 7 Kondisi kantin unit FPIK (kantin biru) ............................................................... 49
xii
xiii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Gambaran kondisi kantin di kampus IPB Dramaga ............................................ 48 2 Hasil uji normalitas data ..................................................................................... 50
xiii
PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan dapat berfungsi sebagai media pembawa agen patogen yang dapat menyebabkan penyakit pada konsumen. Pangan asal hewan segar termasuk kategori pangan yang mudah rusak dan dikenal sebagai pangan yang berpotensi menimbulkan bahaya bagi kesehatan konsumen (potentially hazardous foods) (FR 2008; Setiowati dan Mardiastuty 2009). Center of Disease Control (CDC) melaporkan bahwa pangan asal hewan merupakan 50% penyebab dan media penular wabah foodborne disease (Beier & Pillai 2007). World Health Organization (WHO) mendefinisikan Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan atau dikenal dengan istilah “foodborne disease outbreak” sebagai suatu kejadian dimana terdapat dua orang atau lebih yang menderita sakit setelah mengonsumsi pangan yang secara epidemiologi terbukti sebagai sumber penularan (BPOM 2005). Tahun 2010 tercatat 132 kasus dan 13 insiden keracunan makanan/keracunan pangan terjadi dan terlaporkan di Sentra Informasi Keracunan Nasional Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (Fajar 2012). Menurut Sanlier et al. (2011), meskipun sulit untuk memprediksi jumlah insiden yang aktual berkaitan dengan keracunan pangan, fakta yang diketahui bahwa banyak kematian yang terjadi karena diare yang disebabkan oleh agen mikrobiologis yang terbawa dari makanan dan air, yaitu sekitar 1.8 juta anak di bawah umur selama tahun 1998 dan 2.1 juta orang selama tahun 2000, yang terjadi di negara berkembang (kecuali Cina). Menurut Sharif dan Al-Malki (2010), keracunan pangan dikaitkan dengan sejumlah besar bakteri, parasit, virus, dan bahan kimia beracun. Keracunan pangan ditandai dengan periode inkubasi yang singkat, penyakit akut, dan gejala klinis yang khas yaitu gangguan sistem pencernaan. Kesalahan penanganan makanan dalam tahap persiapan dan penyimpanan memainkan peranan penting dalam terjadinya keracunan pangan (Egan et al. 2007; Karabudak et al. 2008). Penyebab keracunan pangan asal hewan tak lepas dari higiene yang buruk dalam menangani pangan tersebut. Menurut Codex Alimentarius Commission (CAC) (2003), higiene pangan (food hygiene) adalah semua kondisi dan tindakan
2
yang diperlukan untuk menjamin keamanan dan kelayakan makanan pada semua tahap dalam rantai makanan, sedangkan keamanan pangan (food safety) adalah jaminan agar makanan tidak membahayakan konsumen pada saat disiapkan dan atau dimakan menurut penggunaannya. Praktik higiene yang baik dalam penanganan pangan untuk menjamin keamanan pangan diperlukan oleh pekerja yang menangani makanan karena mereka memiliki peran yang cukup besar terhadap pencemaran pangan dalam jumlah yang besar. Menurut CAC (2003), pekerja yang menangani makanan (food handler) adalah setiap orang yang secara langsung menangani makanan, peralatan makanan, atau berkontak langsung dengan makanan sehingga diharapkan untuk mematuhi persyaratan kebersihan makanan. Pekerja dapat memberikan kontribusi pada kondisi berbahaya dari makanan melalui penanganan makanan yang tidak aman (HITM 2006). Menurut Hall (1999) standar higiene personal pada pekerja sangat terkait pada praktik dalam menghasilkan pangan yang baik. Penelitian yang dilakukan oleh United State Food and Drug Administration memperlihatkan bahwa praktik higiene personal yang buruk akan memengaruhi penyediaan makanan yang berisiko terhadap pencemaran makanan (NFSMI 2009). Keterkaitan pekerja dalam praktik higiene yang baik dapat ditinjau dari pengetahuan, sikap, dan praktik (KAP-Knowledge, Attitude, Practice) dalam menangani makanan. Studi KAP didasari pada anggapan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan, sikap, dan praktik yang sangat berpengaruh satu sama lain. Tingkat pengetahuan seseorang sangat menentukan sikap dan tingkah lakunya. Demikian juga, sikap mungkin dapat memengaruhi tingkat laku dan keterbukaan untuk memperoleh pengetahuan baru (Blalock 2008). Metode penelitian yang dilakukan meliputi survai KAP kepada pekerja yang menangani makanan, yaitu pekerja kantin. Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) Dramaga memiliki beberapa unit kantin yang menjual produk pangan asal hewan. Setiap unit kantin tidak dikontrol dalam satu pusat sehingga kemungkinan akan terdapat perbedaan pada pekerja kantin dalam penanganan produk olahan pangan asal hewan di setiap kantin. Hal ini sangat menarik bagi peneliti untuk melihat hubungan pengetahuan dan sikap terhadap praktik higiene pekerja kantin dalam menangani produk olahan pangan asal hewan. Penelitian ini diharapkan
2
3
menjadi informasi mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan praktik higiene pada pekerja kantin di kampus IPB Dramaga terkait keamanan pangan asal hewan.
Tujuan 1. Mengetahui tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik higiene pekerja kantin di kampus IPB Dramaga. 2. Menganalisis hubungan antara karaktersitik responden terhadap praktik higiene pekerja kantin di kampus IPB Dramaga. 3. Menganalisis hubungan antara pengetahuan dan sikap responden terhadap praktik higiene pekerja kantin di kampus IPB Dramaga. 4. Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan praktik higiene pekerja kantin di kampus IPB Dramaga
Manfaat 1. Memberikan informasi kepada penyelenggara dan pekerja kantin mengenai kondisi higiene pekerja kantin di kampus IPB Dramaga sehingga dapat dijadikan bahan masukan kepada pihak yang terkait untuk mengadakan perbaikan melalui pelatihan atau pembinaan pengelolaan kantin. 2. Memberikan informasi kepada civitas akademik mengenai pentingnya aspek praktik higiene pekerja kantin yang perlu diperhatikan untuk menjamin keamanan pangan bagi konsumen. 3. Memberikan informasi kepada civitas akademik mengenai hubungan pengetahuan dan sikap, serta karakteristik sebagai faktor-faktor yang mungkin berhubungan dengan praktik higiene pekerja kantin di kampus IPB Dramaga.
Hipotesis 1. Terdapat hubungan yang nyata antara karakteristik responden (jenis kelamin, umur, pendidikan terakhir, lama bekerja di kantin, pekerjaan utama, penyuluhan pengelolaan kantin) terhadap praktik higiene pekerja kantin di kampus IPB Dramaga.
3
4
2. Terdapat hubungan yang nyata antara pengetahuan dan sikap responden terhadap praktik higiene pekerja kantin di kampus IPB Dramaga.
4
5
TINJAUAN PUSTAKA Pangan Asal Hewan Bahan pangan asal hewan adalah semua produk peternakan yang belum mengalami proses lanjutan. Daging dan telur adalah bahan makanan asal hewan. Daging merupakan bagian-bagian dari hewan yang disembelih dan lazim dimakan manusia, sedangkan telur adalah hasil dari unggas (SNI 01-6366-2000). Bahan pangan asal hewan merupakan bahan makanan yang banyak dikonsumsi manusia. Pangan asal hewan menjadi sumber makanan tidak hanya bagi manusia tetapi juga bagi mikroorganisme. Hal ini mengakibatkan bahan makanan yang berasal dari hewan pada umumnya bersifat mudah rusak (Setiowati & Mardiastuty 2009).
Keamanan Pangan Asal Hewan Pangan yang tidak aman telah menjadi masalah bagi kesehatan manusia. Diperkirakan setiap tahunnya 1.8 juta orang meninggal dikarenakan penyakit diare dan kebanyakan kasus tersebut dikaitkan karena kontaminasi makanan ataupun minuman (WHO 2006). Semua bahaya yang ditimbulkan dari pangan disebut sebagai keracunan pangan. Keracunan pangan dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang mencemari pangan dan masuk ke dalam tubuh, hidup dan berkembang biak, serta mengakibatkan infeksi pada saluran pencernaan (food infection). Keracunan pangan juga dapat disebabkan oleh toksin/racun yang dihasilkan oleh mikroorganisme pada pangan dan bahan kimia atau unsur alami (BPOM 2006). Menurut Sharif dan Al-Malki (2010), keracunan pangan dikaitkan dengan sejumlah besar bakteri, parasit, virus, dan bahan kimia beracun. Keracunan pangan ditandai dengan periode inkubasi yang singkat, penyakit akut, dan gejala klinis yang khas yaitu gangguan sistem pencernaan. Kesalahan penanganan makanan dalam tahap persiapan dan penyimpanan memainkan peranan penting dalam terjadinya keracunan pangan (Egan et al. 2007; Karabudak et al. 2008). World Health Organization mendefinisikan Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan atau dikenal dengan istilah “foodborne disease outbreak”
5
6
sebagai suatu kejadian dimana terdapat dua orang atau lebih yang menderita sakit setelah mengonsumsi pangan yang secara epidemiologi terbukti sebagai sumber penularan (BPOM 2005). Foodborne disease dibagi atas dua jenis, yaitu foodborne infection dan foodborne intoxication. Foodborne infection terjadi ketika manusia mengonsumsi mikroorganisme patogen yang kemudian berkembang biak di dalam tubuh. Gejala penyakit dapat terjadi tidak kurang dari 8 jam, namun biasanya memerlukan waktu 2 atau 3 hari sampai berminggu-minggu untuk infeksi mikroorganisme seperti Salmonella dan Shigella, virus norovirus atau hepatitis A, atau Giardia dan Cryptosporidium, berkembang biak di tubuh dan menyebabkan timbulnya penyakit (HITM 2006). Berbeda dengan foodborne infection, foodborne intoxication terjadi karena racun yang dibentuk oleh mikroorganisme dalam makanan. Contoh foodborne intoxication yaitu mengonsumsi racun yang dihasilkan oleh pertumbuhan mikroorganisme pada ikan setelah mereka ditangkap, mengonsumsi racun yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus pada daging dan produk susu, mengonsumsi racun yang dihasilkan oleh Bacillus cereus pada sereal dan produk susu, dan mengonsumsi racun yang dihasilkan oleh Clostridium botulinum pada daging, ikan, unggas, dan sayuran yang diproses, dikemas, dan disimpan dengan tidak benar (HITM 2006). Mikroorganisme penyebab keracunan seringkali secara alami terdapat dalam makanan. Pada keadaan yang tepat satu mikroorganisme dapat tumbuh menjadi lebih dari dua juta mikroorganisme hanya dalam waktu tujuh jam. Pada beberapa jenis makanan mikroorganisme tumbuh dan berkembang biak dengan lebih mudah dari pada pada jenis makanan lain. Bahan makanan yang berasal dari hewan pada umumnya bersifat mudah rusak dan berpotensi menimbulkan bahaya bagi kesehatan konsumen (potentially hazardous foods) (FR 2008; Setiowati & Mardiastuty 2009). Menurut Saparinto dan Hidayati (2006), keamanan pangan merupakan kondisi atau upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda fisik yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Keamanan pangan merupakan kepastian
6
7
bahwa makanan tidak akan menyebabkan kerugian bagi konsumen ketika disiapkan dan/atau dikonsumsi (CAC 2003). Perundingan putaran Uruguai mengenai General Agreemaent on Tariffs and Trade (GATT) yang diikuti oleh 125 negara pada tahun 1994 memiliki dampak yang sangat luas, antara lain mencakup kesepakatan mengenai aplikasi tindakan sanitary and phytosanitary (SPS). Kesepakatan ini mengatur tindakan perlindungan terhadap keamanan pangan dalam bidang kesehatan hewan dan tumbuhan yang perlu dijalankan oleh negara-negara anggota World Trade Organization (WTO). Tujuannya adalah untuk melindungi manusia dari risiko yang ditimbulkan oleh bahan makanan tambahan (aditif) dalam pangan, cemaran (kontaminan), racun (toksin) atau mikroorganisme penyebab penyakit dalam makanan atau dari penyakit zoonosis. Oleh karena itu, dalam perjanjian tersebut ditegaskan bahwa setiap negara harus melakukan upaya untuk menjamin keamanan pangan bagi konsumen dan mencegah penyebaran hama dan penyakit pada hewan dan tumbuhan (Bahri 2008). Salah satu upaya dalam menjaga keamanan pangan dapat dilakukan dengan menjaga makanan pada zona suhu yang tepat. Gambar 1 menunjukkan zona suhu berbahaya dalam penyimpanan bahan pangan.
Tidak ada pertumbuhan mikroorganisme Zona penyimpanan pada suhu panas Zona berbahaya dalam penyimpanan bahan pangan
Bakteri tumbuh dan berkembang biak
Zona penyimpanan pada suhu panas Pertumbuhan lambat bagi mikroorganisme
Gambar 1 Zona suhu berbahaya dalam penyimpanan makanan (HR 2012).
7
8
Zona suhu yang akan membuat mikroorganisme tumbuh dan berkembang biak disebut “Danger Zone” (zona berbahaya), yaitu dengan rentang suhu antara 4 °C sampai 60 °C (40 °F sampai 140 °F). Jika makanan disimpan dalam rentang suhu tersebut, maka mikroorganisme akan berkembang biak dan berlipat ganda setiap 20 menit. Oleh karena itu, penting untuk menjaga makanan dingin atau panas dan keluar dari danger zone untuk menghentikan pertumbuhan mikroorganisme (HR 2012). Menurut Unusan (2007), sebagian besar kasus penyakit keracunan pangan dapat dicegah jika prinsip-prinsip keamanan pangan diikuti dari mulai proses produksi sampai ke konsumsi. Saat ini tidak mungkin bagi produsen makanan untuk menjamin persediaan makanan yang bebas mikroorganisme patogen, maka produsen
makanan
perlu
tahu
bagaimana
meminimalkan
kehadiran
mikroorganisme patogen atau racun dalam makanan. Selain itu, keamanan pangan juga harus didukung oleh higiene personal, produksi, dan fasilitas.
Kantin Kantin merupakan salah satu tempat yang menyediakan makanan bagi banyak orang. Hal ini menjadi penting dalam manajemen kantin untuk memberikan layanan terbaik bagi konsumen, khususnya dari segi kualitas makanan yang disediakan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tidak adanya pelatihan pengelolaan kantin dapat berkontribusi dalam penyediaan makanan yang tidak aman bagi konsumen (Veiros et al. 2009).
Pekerja Kantin Pekerja kantin merupakan orang yang berkontribusi dalam menangani dan menyediakan makanan di kantin. Pekerja kantin terkadang berasal dari masyarakat umum dengan tingkat pengetahuan yang rendah (Veiros et al. 2009). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa mayoritas pekerja kantin belum memiliki pengetahuan yang baik dalam menyediakan pangan yang aman. Tingkat pengetahuan tersebut dapat berasosiasi dengan praktik higiene pekerja kantin, Penelitian lain menunjukkan penyebaran mikroorganisme dapat terjadi dari tangan pekerja kantin karena praktik higiene yang buruk. Hal ini menyebabkan bahan
8
9
pangan tersebut menjadi tidak aman untuk dikonsumsi (HITM 2006), maka penting bagi pekerja kantin untuk melakukan praktik higiene dalam penyediaan makanan agar menjadi aman untuk dikonsumsi.
Higiene Higiene adalah suatu pencegahan penyakit yang menitikberatkan pada usaha kesehatan perseorangan atau manusia beserta lingkungan tempat orang tersebut berada (Widyati & Yuliarsih 2002). Menurut CAC (2003), higiene pangan (food hygiene) adalah semua kondisi dan tindakan yang diperlukan untuk menjamin keamanan dan kelayakan makanan pada semua tahap dalam rantai makanan, sedangkan keamanan pangan (food safety) adalah jaminan agar makanan tidak membahayakan konsumen pada saat disiapkan dan atau dimakan menurut penggunaannya.
Higiene Personal Menurut Hall (1999) standar higiene personal sangat terkait pada praktik dalam menghasilkan pangan yang baik. Standar ini tidak hanya diberlakukan bagi konsumen tetapi juga bagi orang yang menangani makanan dalam menjaga kondisi higiene pangan. Pekerja yang menangani makanan harus memiliki penampilan yang bersih, rapi, tanpa infeksi kulit, kebersihan gigi yang baik, memiliki kuku pendek dan tidak memiliki kebiasaan menggigit kuku, tidak memakai perhiasan, tidak memakai riasan wajah, memakai sepatu dan seragam yang bersih, dan tetap berpegang pada praktik higiene yang baik (Bas et al. 2004). Menurut CAC (2003), higiene personal dalam menangani makanan meliputi: a) Status kesehatan Orang yang menderita suatu penyakit atau diduga menjadi pembawa penyakit yang mungkin ditularkan melalui makanan, seharusnya tidak diperbolehkan untuk memasuki area penanganan makanan. Pemeriksaan medis terhadap pekerja yang menangani makanan harus dilakukan jika menunjukkan gejala secara klinis maupun epidemiologis.
9
10
b) Sakit dan Cidera Menurut Bas et al. (2004), pekerja yang menangani makanan dapat menjadi sumber mikroorganisme, baik selama menderita penyakit gangguan pencernaan atau selama dan setelah masa pemulihan, meskipun tidak terlihat lagi gejala klinisnya. Kondisi yang harus dilaporkan oleh pekerja untuk mendapatkan pemeriksaan medis sehingga tidak dapat menangani makanan, yaitu:
Sakit kuning
Diare
Muntah
Demam
Sakit tenggorokan dengan demam
Lesio pada kulit (bisul, luka, dan lain-lain)
Discharge atau cairan yang keluar dari mata, telinga atau hidung
c) Kebersihan Personal Pekerja yang menangani makanan dapat menyebarkan mikroorganisme dari sumber yang terkontaminasi, misalnya dari bahan mentah ke makanan yang telah dimasak (Bas et al. 2004). Hal ini menjadi alasan sehingga pekerja harus selalu memperhatikan tingkat kebersihan pribadi dan bila perlu mengenakan pakaian khusus, penutup kepala, dan alas kaki. Menurut Hall (1999), menjaga kebersihan pakaian setiap kali memasuki area produksi makanan merupakan standar utama yang perlu diperhatikan pada setiap orang yang menangani makanan. Idealnya, semua pakaian harus diganti setiap selesai bekerja dan lebih sering diganti jika dalam keadaan berminyak. Selain itu, beberapa praktik kebersihan personal lainnya yaitu memotong dan membersihkan kuku, serta mengobati dan menutup luka terbuka (NFSMI 2009). Tangan pekerja yang menangani makanan dapat menjadi vektor dalam penyebaran penyakit keracunan pangan karena kebersihan diri yang buruk atau kontaminasi silang (Bas et al. 2004). Hal ini menjadi penting bagi pekerja untuk selalu mencuci tangan mereka. Tabel 1 memperlihatkan aktivitas-aktivitas yang disarankan untuk mencuci tangan.
10
11
Tabel 1 Aktivitas yang disarankan untuk mencuci tangan (Green et al. 2007) Waktu untuk mencuci tangan Sebelum memulai kegiatan
Setelah kegiatan dan sebelum memulai kegiatan lainnya
Jenis kegiatan
Deskripsi
Persiapan makanan
Terlibat dalam persiapan makanan, termasuk bekerja dengan makanan yang terbuka, peralatan bersih, dan bahan lain yang tidak terbungkus
Memakai sarung tangan untuk persiapan makanan
Memakai sarung tangan jika terlibat dalam persiapan makanan
Mempersiapkan produk bahan mentah
Mempersiapkan produk bahan mentah (produk hewani yang belum dimasak atau diolah, seperti: telur mentah, daging, unggas, dan ikan)
Makan, minum, merokok
Makan, minum, atau merokok (kecuali dari wadah minuman yang tertutup untuk mencegah kontaminasi pada tangan)
Batuk, bersin, memakai tisu
Batuk, bersin, atau menggunakan sapu tangan atau tisu sekali pakai
Penanganan peralatan kotor
Penanganan peralatan dan baju kotor
Menyentuh bagian tubuh
Menyentuh bagian tubuh manusia selain tangan yang bersih dan lengan yang tidak terpapar
Selain frekuensi, prosedur cuci tangan juga dianggap penting (Nel et al. 2004). Tahapan dalam mencuci tangan disajikan pada Gambar 2. Menurut HITM (2006), langkah-langkah yang tepat dalam mencuci tangan dengan benar, yaitu: 1) Basahi tangan hingga ke sela-sela jari. 2) Terapkan sekitar 1/2 sendok teh sabun untuk penyabunan. 3) Lakukan penyabunan hingga ke ujung jari. Tambahkan air dan sabun jika perlu. Gosok ujung jari dan di bawah kuku dengan sikat kuku. Jangan gunakan sikat kuku kecuali untuk jari agar tidak menyebarkan mikroorganisme pada ujung jari ke seluruh tangan.
11
12
Basahi tangan dengan air
Gunakan sabun
Gosokkan dengan kedua telapak tangan
Telapak kanan di atas telapak kiri
Jari-jari saling berkaitan
Ujung jari-jari saling mengunci
Gosokkan jempol dengan arah memutar
Gosokkan telapak dengan arah memutar
Bilas tangan dengan air
Keringkan tangan dengan handuk
Gunakan handuk untuk menutup keran
Tangan siap untuk menangani makanan
Gambar 2 Tahapan dalam mencuci tangan (WHO 2011).
4) Bilas sabun dan bersihkan mikroorganisme patogen dari sikat dan jari. Cara terbaik adalah untuk tidak menggunakan sabun antibakteri karena akan menghancurkan mikroflora alami yang sangat penting pada kulit tangan. Mikroflora alami ini menjaga tangan sehingga tetap sehat dan cenderung untuk menghancurkan dalam 2 sampai 4 jam setiap mikroorganisme asing seperti bakteri patogenik fekal yang terpapar ke kulit. 12
13
5) Sabun tangan hingga pergelangan tangan untuk kedua kalinya dengan sabun. 6) Lakukan hingga terbentuk busa yang banyak. 7) Bilas sabun dari tangan dan pergelangan tangan. 8) Keringkan tangan dengan menggunakan handuk. Pengeringan akan mengurangi jumlah mikroorganisme. Jangan menggunakan kain lap umum yang telah digunakan orang lain untuk mengeringkan tangan atau membersihkan peralatan lainnya. Selain mencuci tangan, pekerja yang menangani makanan juga disarankan untuk memakai sarung tangan. Sarung tangan tidak berarti menggantikan cuci tangan, tetapi untuk lebih memastikan keamanan pangan dan mencegah dari kontaminasi silang. Pemakaian sarung tangan plastik atau karet digunakan setelah mencuci tangan dengan bersih dan diganti setiap setelah menangani makanan (TPH 2004). d) Perilaku Personal Pekerja yang menangani makanan harus menahan diri dari perilaku yang dapat mengakibatkan kontaminasi makanan, misalnya:
Merokok
Meludah
Mengunyah atau makan
Bersin atau batuk Selain itu, pekerja juga harus menghindari pemakaian cat warna pada kuku
dan tidak menggunakan perhiasan apapun di tangan saat memasak karena akan memungkinkan pencemaran pada makanan (Nel et al. 2004; NFSMI 2009). Semua personal harus menyadari peran dan tanggung jawab dalam melindungi makanan dari kontaminasi atau kerusakan. Penangan makanan harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memungkinkan mereka untuk menangani makanan secara higienis. Penanganan dengan bahan kimia pembersih yang kuat atau bahan kimia yang berpotensi berbahaya lainnya harus diinstruksikan dalam teknik penanganan yang aman (CAC 2003).
13
14
Higiene Produksi Menurut BPOM (2003), produksi pangan adalah kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali dan atau mengubah bentuk pangan. Higiene produksi adalah kondisi dan perlakuan yang diperlukan untuk menjamin keamanan pangan saat dalam proses produksi pangan. Dampak dari kegiatan produksi yang mengancam keamanan dan kesesuaian pangan harus diperhatikan setiap saat. Hal ini dilakukan dengan mengidentifikasi setiap titik-titik tertentu dalam kegiatan produksi yang memungkinkan terjadinya kontaminasi. Kontrol kontaminasi yang terpenting adalah dari bahan pangan (CAC 2003). Kontaminasi silang terjadi ketika pangan yang aman untuk dikonsumsi berkontak dengan mikrooragnisme patogen, bahan kimia, atau bahan lain tidak diinginkan sehingga membuat pangan tidak aman untuk dikonsumsi. Hal ini biasanya terjadi dalam tiga cara: 1) Bahan mentah berkontak dengan bahan yang telah dimasak. 2) Penggunaan peralatan yang sama untuk menangani bahan mentah dan bahan yang telah dimasak 3) Tangan yang tercemar menyentuh makanan. Kontaminasi silang dapat dicegah dengan cara memisahkan bahan mentah dengan bahan yang telah dimasak, peralatan yang telah digunakan untuk bahan mentah harus dibersihkan terlebih dahulu sebelum digunakan lagi untuk bahan yang telah dimasak (TPH 2004). Good Manufacturing Practices (GMP) merupakan suatu pedoman bagi industri pangan mengenai cara memproduksi pangan yang baik. Good Manufacturing Practices mempersyaratkan agar dilakukan pembersihan dan disinfeksi dengan frekuensi yang memadai terhadap seluruh permukaan mesin pengolah pangan baik yang berkontak langsung dengan makanan maupun yang tidak. Mikroorganisme membutuhkan air untuk pertumbuhannya. Oleh karena itu persyaratan GMP yaitu mengharuskan setiap permukaan yang bersinggungan dengan makanan dan berada dalam kondisi basah harus dikeringkan dan
14
15
didisinfeksi. Persyaratan GMP lainnya yaitu mencegah kontaminasi produk dari udara, partikel, dan kotoran yang dapat mencemari produk (Learoyd 2005).
Higiene Fasilitas dan Peralatan Menurut BPOM (2003), persyaratan mengenai higiene fasilitas yaitu tata letak kelengkapan ruang produksi diatur agar tidak terjadi kontaminasi silang, tersedianya air bersih yang cukup dan memadai selama proses produksi, terdapat fasilitas mencuci tangan dan toilet dalam keadaan bersih, mengurangi kemungkinan masuknya hama ke ruang produksi yang akan mencemari pangan, dan tersedia tempat penyimpanan yang baik agar dapat menjamin mutu dan keamanan bahan dan produk pangan yang diolah. Penyimpanan bahan makanan yang baik yaitu menyimpan dalam wadah tertutup untuk mencegah kontaminasi dari hama (Cuprasitrut et al. 2010). Menurut CAC (2003), ketersediaan air yang cukup dengan tempat penyimpanan yang memadai dan kontrol suhu yang tepat harus tersedia untuk menjamin keamanan makanan. Air untuk diminum harus terpisah dari air yang digunakan untuk tujuan lain, seperti mencuci, agar tidak terjadi kontaminasi silang. Persyaratan higiene fasilitas lainnya yaitu peralatan harus mudah untuk dibersihkan (Aarnisalo et al. 2006). Peralatan yang berkontak dengan makanan harus dibersihkan sebelum dan setelah digunakan, khususnya untuk pisau dan talenan. Pisau yang kotor harus segera dibersihkan agar tidak berkarat. Pisau yang kotor dicuci dengan air sabun hangat dan dipisahkan dari peralatan yang lain sehingga tidak mengkontaminasi peralatan lainnya (HITM 2006). Begitu pula dengan talenan, mencuci talenan dengan sabun dan air panas atau pembersih sebelum penggunaan berikutnya akan mencegah kontaminasi silang antar makanan (Karabudak et al. 2008). Semua peralatan yang telah dicuci bersih sebaiknya tidak ditumpuk dalam keadaan basah. Hal ini dikarenakan air yang tertinggal dalam peralatan yang masih basah akan memungkinkan terdapat sisa mikroorganisme yang terus berkembang biak. Peralatan harus disimpan dalam keadaan kering (HITM 2006).
15
16
Masalah lain dari higiene fasilitas yaitu lantai yang kotor dan berdebu (Cuprasitrut et al. 2011). Lantai dan meja harus dibersihkan dan didesinfeksi secara teratur untuk mengurangi potensi kontaminasi silang dan meminimalkan infestasi hama (TPH 2004). Lantai dibersihkan menggunakan pel basah minimal sekali sehari. Kotoran dari bawah peralatan, di tiap sudut, dan daerah yang sulit dijangkau juga harus dibersihkan untuk mencegah dari kehadiran hama. Menurut HITM (2006), makanan disimpan dalam lemari atau wadah yang tertutup dengan jarak 15 cm dari lantai agar terjaga kebersihannya dan terhindar dari hama. Sedangkan menurut Cuprasitrut et al. (2011), meja untuk menyimpan dan menyajikan makanan harus memiliki tinggi lebih dari 60 cm untuk mencegah kontaminasi dari hama atau serangga pengganggu. Tempat sampah harus tersedia dan dibersihkan setiap kali pembuangan ke tempat pembuangan umum. Daerah sekitar tempat sampah juga harus dijaga kebersihannya untuk mengurangi bau dan penyebaran mikroorganisme berbahaya (TPH 2004).
Studi KAP (Knowledge, Attitude, Practice) Studi KAP didasari pada anggapan hubungan antara pengetahuan, sikap, dan praktik yang sangat berpengaruh satu sama lain. Tingkat pengetahuan seseorang sangat menentukan sikap dan tingkah lakunya. Demikian juga, sikap mungkin dapat memengaruhi tingkat laku dan keterbukaan untuk memperoleh pengetahuan baru (Blalock 2008). Menurut Sharif dan Al-Malki (2010), pengetahuan, sikap, dan praktik merupakan tiga faktor penting yang memainkan peran utama dalam kejadian keracunan makanan khususnya yang berkaitan dengan penangan makanan. Sehingga dengan melihat tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik pekerja dalam mempersiapkan, mendistribusikan, dan menjual produk makanan dapat memudahkan untuk mengontrol keamanan pangan (Pirsaheb et al. 2010). Arti dari kata pengetahuan merupakan subjek pada sejumlah interpretasi yang berbeda (Gao et al. 2008). Fernandez dan Sabherwal (2001) mengartikan pengetahuan (knowledge) sebagai hasil refleksi dan pengalaman seseorang,
16
17
sehingga pengetahuan selalu dimiliki oleh individu atau kelompok. Pengetahuan melekat dalam bahasa, aturan-aturan, prosedur-prosedur, serta konsep. Pengetahuan merupakan suatu kemampuan untuk menerima, menguasai, dan menggunakan informasi, sebagai gabungan dari pemahaman, pengalaman, dan keahlian. Pengetahuan yang alami bersandar pada perbedaan cara menerima gagasan berdasarkan persepsi, imajinasi, ingatan, penilaian, abstrak, dan alasan. Kriteria pengetahuan berpusat disekitar pemikiran yang memperkenankan kita untuk membedakan di antara benar dan salah, seperti pembelajaran berdasarkan logika dan metode ilmiah (Badran 1995). Pengetahuan diperlukan sebelum melakukan suatu perbuatan secara sadar. Namun, perbuatan yang dikehendaki mungkin tidak akan berlangsung sampai seseorang mendapat petunjuk yang cukup kuat untuk memicu motivasi berbuat berdasarkan pengetahuan tersebut. Menurut Hayek (2003), semua kegiatan ekonomi harus didasarkan pada pengetahuan, termasuk dalam hal ini perdagangan makanan. Pemahaman dan pengetahuan tentang risiko keracunan pangan dalam produksi dan perdagangan makanan sangat diperlukan agar dapat menjalankan praktik penanganan pangan yang tepat (Patil et al. 2005). Pengetahuan dapat diperoleh melalui pengalaman, informasi yang disampaikan tenaga profesional kesehatan, orang tua, guru, buku, media massa, dan sumber lainnya (WHO 2002). Pengetahuan juga bisa didapatkan dari pendidikan ataupun pelatihan. Pengetahuan yang diperoleh dari program pendidikan dan pelatihan penanganan makanan dapat meningkatkan dan mengontrol keamanan pangan (Ehiri & Morris 1996; Pirsaheb et al. 2010). Begitu pula menurut Fleet dan Fleet (2009), tingkat pendidikan mempunyai pengaruh positif terhadap pengetahuan dan sikap mengenai keamanan pangan. Pendidikan kesehatan tentang pencegahan penyakit keracunan pangan berdasar pada tiga hal: yaitu, peningkatan kebersihan bahan mentah dalam pertanian,
penerapan
teknologi
pengolahan
makanan
untuk
mengontrol
kontaminasi pada tingkat pengolahan, dan pendidikan kepada konsumen (Charlebois 2002). Informasi yang memadai dalam peningkatan pengetahuan dan praktik penanganan makanan sangat diperlukan untuk pengembangan program pendidikan kesehatan yang efektif (Fawzi & Shama 2009). Beberapa studi yang
17
18
telah dilakukan menunjukkan adanya intervensi pendidikan keamanan pangan terhadap perilaku keamanan pangan (Kang et al. 2010). Pendidikan atau pelatihan kadang tidak berhasil dikarenakan pelatihan tersebut dirancang tanpa mempelajari sosial tempat kerja dan faktor lingkungan yang memengaruhi target peserta pelatihan (Montenegro et al. 2006). Selain itu, efektivitas pendidikan ataupun pelatihan sangat tergantung pada sikap dan kesediaan untuk menerapkan praktik higiene yang baik. Pelatihan mengenai higiene pangan yang efektif perlu menargetkan perubahan perilaku yang berperan besar dalam keracunan pangan (Egan et al. 2007). Selain pengetahuan, sikap juga merupakan faktor penting dalam mencegah dan mengontrol keracunan pangan (Bas et al. 2004; Nee & Sani 2011). Rahayuningsih (2008) mengemukakan bahwa sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu. Sikap mengarahkan kepada kecenderungan untuk bereaksi pada cara yang tepat dalam situasi yang tepat. Sikap dibutuhkan untuk melihat dan menerjemahkan peristiwa sesuai kecenderungan yang tepat. Sikap juga dibutuhkan untuk membentuk opini yang masuk akal dan susunan yang saling berhubungan (Badran 1995). Kerapkali sikap berasal dari pengalaman kita sendiri atau pengalaman orang lain. Sikap juga bisa terbentuk berdasarkan pengalaman yang terbatas. Oleh karena itu, masyarakat dapat membentuk sikapnya tanpa memahami keseluruhan situasi (WHO 2002). Kata praktik atau perilaku menunjukkan manusia dalam aksinya, berkaitan dengan semua aktivitas manusia secara fisik, berupa interaksi manusia dengan sesamanya ataupun dengan lingkungan fisiknya (Laurens 2005). Menurut Bas et al. (2004), meningkatnya jumlah kasus-kasus keracunan pangan memperlihatkan kebutuhan akan praktik higiene pangan yang lebih baik. Maka diperlukan upaya peningkatan praktik dalam penanganan makanan untuk mengurangi kejadian keracunan pangan (Egan et al. 2007).
18
19
BAHAN DAN METODE Kerangka Konsep Penelitian Penelitian
ini
bertujuan
melihat
hubungan
antara
karakteristik,
pengetahuan, dan sikap pekerja kantin terhadap praktik higiene pekerja kantin di kampus IPB Dramaga. Karakteristik yang diamati meliputi jenis kelamin, umur, pendidikan terakhir, pengalaman, pekerjaan utama, dan pelatihan. Pengetahuan, sikap, dan praktik yang diamati meliputi higiene personal, higiene produksi, dan higiene fasilitas (Gambar 3). Karakteristik Pekerja Kantin
Jenis kelamin Umur Pendidikan terakhir Pengalaman Pekerjaan utama Pelatihan
Pengetahuan Pekerja Kantin
Higiene personal Higiene produksi Higiene fasilitas
Praktik Higiene Pekerja Kantin
Higiene personal Higiene produksi Higiene fasilitas
Sikap Pekerja Kantin
Higiene personal Higiene produksi Higiene fasilitas
Gambar 3 Kerangka Konsep Penelitian.
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan mulai Bulan Desember 2011 sampai dengan Mei 2012. Penelitian dilakukan dengan pengambilan sampel secara acak sederhana
19
20
pada 39 kantin yang menjual produk pangan asal hewan di dalam kampus IPB Dramaga, Bogor. Perancangan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Epidemiologi FKH IPB Dramaga, Bogor.
Disain Penelitian Penelitian dilakukan dengan metode survai melalui wawancara pekerja kantin terhadap pengetahuan, sikap, dan praktik yang berhubungan dengan 3 aspek higiene yaitu higiene personal, higiene produksi, serta higiene fasilitas. Wawancara dilakukan menggunakan kuisioner terstruktur. Pertanyaan pada kuisioner berisi mengenai karakteristik pedagang dan kios, pengetahuan, sikap, serta pekerja kantin mengenai higiene personal, produksi, dan fasilitas di kantin.
Sampel Besaran sampel ditentukan dengan rumus pendugaan persentase menggunakan software WinEpiscope 2.0 dengan besar populasi 67, tingkat kepercayaan 95%, persentase dugaan 50%, dan tingkat kesalahan 10%. Besaran sampel yang dihasilkan yaitu 39 kios kantin yang menjajakan pangan asal hewan. Tiap kantin yang terpilih diambil satu orang pekerja yang menangani langsung pangan asal hewan. Metode penarikan untuk pemilihan kantin dilakukan dengan menggunakan Metode Penarikan Contoh Acak Sederhana.
Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan kuisioner terstruktur yang berisi data primer responden, karakteristik responden, pengetahuan, sikap, serta praktik higiene responden. Data yang terkumpul dari hasil wawancara kuisioner ditabulasikan berdasarkan jenis variabel dan kategori variabel.
Kriteria dan Penilaian Kuisioner Pengetahuan
higiene
responden
dikategorikan menjadi
3 bagian
berdasarkan penilaian atas pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan pada responden. Pengukuran tingkat pengetahuan responden diberikan 3 pilihan yaitu benar, salah, dan tidak tahu (Hart et al. 2007). Pertanyaan mengenai pengetahuan
20
21
higiene berjumlah 18. Jika jawaban benar diberi nilai 1, jika jawaban salah dan tidak tahu diberi nilai 0 (Palaian et al. 2006). Nilai maksimum untuk pengetahuan adalah 18, maka penilaian mengenai pengetahuan higiene responden yaitu:
Pengetahuan dinilai buruk jika nilai < 6
Pengetahuan dinilai cukup jika nilai antara 6 – 11
Pengetahuan dinilai baik jika nilai > 11. Sikap higiene responden diukur berdasarkan tanggapan responden yaitu
setuju, tidak setuju, atau ragu-ragu. Pernyataan mengenai sikap responden terhadap higiene pangan berjumlah 18. Jika jawaban setuju diberi nilai 2, jika jawaban ragu-ragu diberi nilai 1 dan jika jawaban tidak setuju diberi nilai 0 sehingga nilai maksimum untuk sikap adalah 51. Penilaian mengenai sikap higiene responden yaitu:
Sikap dinilai negatif jika nilai < 18
Sikap dinilai netral jika nilai antara 18 – 33
Sikap dinilai positif jika nilai > 34. Kriteria tingkat praktik higiene responden ditentukan melalui penilaian
berdasarkan 42 pertanyaan yang diajukan kepada responden. Nilai minimum untuk tingkat praktik higiene pangan adalah 5, sedangkan nilai maksimalnya adalah 59. Penilaian mengenai praktik higiene responden yaitu:
Praktik dinilai buruk jika nilai < 24
Praktik dinilai sedang jika nilainya antara 25 – 41
Praktik dinilai baik jika nilai > 41.
Analisis Data Analisis data menggunakan program SPSS 16.0 dan Microsoft Excel 2007. Data yang telah dikumpulkan lalu dimasukkan ke dalam tabel beserta variabelnya. Hubungan antar variabel ditentukan dengan menggunakan uji korelasi. Uji korelasi yang digunakan disesuaikan dengan jenis variabel data dan sebaran distribusi normalnya. Tabel 2 memperlihatkan pemilihan uji korelasi berdasarkan jenis variabel-variabel yang diuji.
21
22
Tabel 2 Pemilihan hipotesis korelatif berdasarkan jenis variabel (Dahlan 2001) Variabel 1 Nominal Nominal Ordinal Ordinal Numerik
Variabel 2 Nominal Ordinal Ordinal Numerik Numerik
Uji Korelasi yang dipilih Koefisien kontingensi, Lambda Koefisien kontingensi, Lambda Spearman, Gamma, Somer’s Spearman Pearson
Variabel-variabel yang diuji yaitu karakteristik responden terhadap praktik higiene pekerja kantin serta tingkat pengetahuan dan sikap pekerja terhadap praktik higiene pekerja kantin. Hasil uji korelasi diinterpretasikan berdasarkan kekuatan korelasi, nilai p, dan arah korelasi (Tabel 3).
Tabel 3 Panduan interpretasi hasil uji hipotesis berdasarkan kekuatan korelasi, nilai p, dan arah korelasi (Dahlan 2001) No.
Parameter
1.
Kekuatan Korelasi (r)
Nilai 0.00-0.199 0.20-0.399 0.40-0.599 0.60-0.799 0.80-1.000 P < 0.05
2.
Nilai p P > 0.05 + (positif)
3.
Arah korelasi - (negatif)
Interpretasi Sangat lemah Lemah Sedang Kuat Sangat Kuat Terdapat korelasi yang bermakna antara dua variabel yang diuji Tidak terdapat korelasi yang bermakna antara dua variabel yang diuji Searah: semakin besar nilai satu variabel, semakin besar pula nilai variabel lainnya Berlawanan arah: semakin besar nilai satu variabel, semakin kecil nilai variabel lainnya
22
23
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Karakteristik Pedagang Responden terdiri dari 39 pekerja kantin di dalam kampus IPB Dramaga yang menjual produk pangan asal hewan. Karakteristik responden yang diamati dalam penelitian ini meliputi jenis kelamin, umur, pendidikan terakhir, lama bekerja di kantin, pekerjaan utama, dan penyuluhan atau pembinaan pengelolaan kantin. Tabel 4 memperlihatkan karakteristik pekerja kantin di kampus IPB Dramaga.
Tabel 4 Karakteristik pekerja kantin di kampus IPB Dramaga (n=39) No. 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Karakteristik responden Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Umur ≤ 33 tahun > 33 tahun Pendidikan terakhir Tidak selesai SD SD SMP SMA Universitas Lama bekerja di kantin ≤ 4 tahun > 4 tahun Pekerjaan utama Buruh Ibu Rumah Tangga Kantin Swasta Penyuluhan atau pembinaan pengelolaan kantin Belum Sudah
Jumlah responden
% dari total responden
10 29
25.6 74.4
21 18
53.8 46.2
3 16 10 8 2
7.7 41.0 25.6 20.5 5.1
26 13
66.7 33.3
1 3 34 1
2.6 7.7 87.2 2.6
25 14
64.1 35.9
23
24
Responden yang berjenis kelamin perempuan (74.4%) lebih mendominasi dibandingkan responden laki-laki (25.6%). Umur responden terbagi atas dua kategori, yaitu pekerja yang berumur kurang dari sama dengan 33 tahun (53.8%) dan pekerja yang berumur lebih atau sama dengan 33 tahun (46.2%). Hal ini mengindikasikan bahwa mayoritas pekerja mungkin akan lebih mudah dalam menerima penyuluhan atau pembinaan, namun juga terdapat kemungkinan lebih sedikit pekerja kantin yang memiliki tingkat pengetahuan dan pengalaman yang baik. Menurut Nee & Sani (2011), semakin meningkatnya umur maka semakin meningkat tingkat pengetahuan dan pengalaman seseorang. Umumnya pendidikan terakhir responden hanya sampai tingkat Sekolah Dasar (41.0%). Hal ini mungkin mengindikasikan bahwa bekerja di kantin merupakan pilihan pekerjaan bagi responden yang tidak memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Responden yang bekerja di kantin kurang dari sama dengan 4 tahun lebih mendominasi (66.7%) daripada responden yang bekerja lebih dari 4 tahun (33.3%). Hal ini mengindikasikan bahwa mayoritas responden masih memiliki pengalaman yang rendah. Pengalaman yang masih rendah akan berpengaruh terhadap pengetahuan seseorang (Nee dan Sani 2011). Responden yang belum pernah mendapat penyuluhan atau pembinaan pengelolaan kantin lebih banyak (64.1%) dibandingkan yang sudah pernah mendapat penyuluhan atau pembinaan pengelolaan kantin (35.9%). Penyuluhan atau pembinaan yang didapatkan oleh responden berasal dari pihak dalam kampus, namun persentase di atas memperlihatkan bahwa penyuluhan yang dilakukan oleh pihak kampus tersebut belum mencakup ke seluruh pekerja kantin. Pelatihan mengenai higiene pangan yang efektif perlu menargetkan perubahan perilaku yang berperan besar dalam keracunan pangan (Egan et al. 2007).
Karakteristik Kios Pengamatan mengenai karakteristik kios pedagang dilakukan untuk melihat produk pangan asal hewan dengan penjualan terbanyak dan tempat perolehan bahan pangan asal hewan tersebut. Karakteristik kios pedagang di kampus IPB Dramaga dapat dilihat dalam Tabel 5.
24
25
Tabel 5 Karakteristik kios pedagang di kampus IPB Dramaga (n=39) No. 1.
2.
Karakteristik kios Produk pangan asal hewan yang dijual Daging sapi Daging unggas Telur Ikan Lainnya Asal bahan pangan asal hewan Pasar Modern Pasar Tradisional RPH/RPU
Jumlah kios
% dari total responden
22 34 21 12 1
56.4 87.2 53.8 30.8 2.6
1 27 11
2.6 69.2 28.2
Karakteristik kios memperlihatkan lebih banyak kios yang menjual produk daging unggas (87.2%). Hal ini mengindikasikan bahwa bahan pangan asal hewan yang paling diminati oleh masyarakat di dalam kampus IPB adalah daging unggas. Selain itu, mayoritas kios memperoleh bahan pangan asal hewan dari pasar tradisional (69.2%), diikuti Rumah Potong Hewan (28.2%) dan pasar modern (2.6%).
Pengetahuan Responden Pengetahuan diperlukan sebelum melakukan suatu perbuatan secara sadar. Menurut Hayek (2003), semua kegiatan ekonomi harus didasarkan pada pengetahuan, termasuk dalam hal ini perdagangan makanan. Penilaian mengenai tingkat pengetahuan higiene responden dalam menangani makanan terdiri dari pengetahuan secara umum dan pengetahuan secara spesifik. Tingkat pengetahuan umum responden dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Tingkat pengetahuan higiene responden dalam menangani makanan Tingkat pengetahuan secara umum
Total n
%
Baik Cukup Buruk
37 2 0
94.9 5.1 0.0
Total
39
100.0
25
26
Responden yang menjawab pertanyaan pengetahuan higiene dikategorikan dalam 3 tingkat, yaitu baik, cukup, dan buruk. Rata-rata responden memiliki pengetahuan higiene yang baik (94.9%) dan tidak ada responden yang masuk dalam kategori buruk (0.0%). Hal ini menunjukkan bahwa responden telah mendapatkan pengetahuan yang baik meskipun tidak semua responden telah mengikuti pelatihan atau pembinaan mengenai pengelolaan kantin. Fernandez dan Sabherwal (2001) mengartikan pengetahuan (knowledge) sebagai hasil refleksi dan pengalaman seseorang, sehingga pengetahuan selalu dimiliki oleh individu atau kelompok. Pengetahuan melekat dalam bahasa, aturan-aturan, prosedurprosedur, serta konsep. Pengetahuan dapat diperoleh melalui pengalaman, informasi yang disampaikan tenaga profesional kesehatan, orang tua, guru, buku, media massa, dan sumber lainnya (WHO 2002). Pengetahuan secara spesifik meliputi higiene personal, higiene produksi, dan higiene fasilitas. Tingkat pengetahuan spesifik responden dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Tingkat pengetahuan higiene responden secara spesifik Tingkat pengetahuan spesifik Higiene Personal Higiene Produksi Higiene Fasilitas
Benar
Salah
Tidak tahu
Jumlah soal
Total jawaban
∑
%
∑
%
∑
%
10 3 5
390 117 195
342 110 180
87.7 94.0 92.3
32 5 13
8.2 4.0 6.7
16 2 2
4.1 2.0 1.0
Berdasarkan pertanyaan mengenai higiene personal, sebanyak 87.7% pertanyaan dijawab dengan benar oleh responden. Begitu pula dengan pengetahuan higiene produksi dan fasilitas yang dijawab dengan benar oleh responden sebesar 94.0% dan 92.3% pertanyaan. Hal ini menunjukkan responden telah mengetahui dengan baik mengenai higiene personal, produksi, dan fasilitas. Meskipun demikian, masih terdapat beberapa responden yang salah menjawab dan belum mengetahui dengan baik mengenai ketiga higiene tersebut. Persentase salah menjawab dan ketidaktahuan terbesar terlihat pada pengetahuan higiene personal, dimana 8.2% pertanyaan dijawab salah dan 4.1% pertanyaaan dijawab tidak tahu oleh responden.
26
27
Pengetahuan mengenai higiene personal yang masih dijawab salah dan tidak diketahui oleh responden yaitu terkait dengan pengetahuan mengenai kemungkinan kontaminasi tangan pada makanan, kebersihan tangan, pemakaian perhiasan yang memungkinkan kontaminasi, dan kemungkinan luka terbuka yang dapat mencemari makanan. Menurut Hall (1999) standar higiene personal sangat terkait pada praktik dalam menghasilkan pangan yang baik. Jika pengetahuan mengenai higiene personal masih belum diketahui, maka kemungkinan akan berpengaruh terhadap praktik yang buruk dalam penanganan pangan. Pemahaman dan pengetahuan tentang risiko keracunan pangan dalam produksi dan perdagangan makanan sangat diperlukan agar dapat menjalankan praktik penanganan pangan yang tepat (Patil et al. 2005).
Sikap Responden Selain pengetahuan, sikap juga merupakan faktor penting dalam mencegah dan mengontrol keracunan pangan (Nee dan Sani 2011). Sikap higiene responden diukur berdasarkan tanggapan responden yaitu setuju, tidak setuju, atau ragu-ragu. Kategori sikap higiene responden dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Kategori sikap higiene responden dalam menangani makanan Kategori sikap secara umum
Total n
%
Positif
39
100.0
Netral
0
0.0
Negatif
0
0.0
Total
39
100.0
Secara keseluruhan, responden memiliki sikap higiene yang positif dalam menangani makanan. Hal ini dapat dilihat bahwa 100.0% responden masuk dalam kategori sikap higiene yang positif. Sikap dapat dibentuk dari pengetahuan yang baik maupun hanya dari pengalaman. Kerapkali sikap berasal dari pengalaman kita sendiri atau pengalaman orang lain. Sikap juga bisa terbentuk berdasarkan pengalaman yang terbatas. Oleh karena itu, masyarakat dapat membentuk sikapnya tanpa memahami keseluruhan situasi (WHO 2002). Sikap secara spesifik
27
28
meliputi higiene personal, higiene produksi, dan higiene fasilitas. Tingkat sikap spesifik responden dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Kategori sikap higiene responden secara spesifik Setuju
Kategori sikap spesifik
Jumlah soal
Total jawaban
∑
%
Higiene Personal Higiene Produksi Higiene Fasilitas
10 3 5
390 117 195
350 100 187
89.7 85.5 95.9
Ragu-ragu ∑ 16 4 1
% 4.1 3.4 0.5
Tidak setuju ∑ 24 13 7
% 6.2 11.1 3.6
Berdasarkan sikap higiene personal, sebanyak 89.7% pernyataan diberikan tanggapan setuju oleh responden. Tidak jauh berbeda mengenai sikap higiene produksi dan fasilitas yang diberikan tanggapan setuju oleh responden sebesar 85.5% dan 95.9% pernyataan. Hal ini menunjukkan bahwa sikap mayoritas responden mengenai higiene personal, produksi, dan fasilitas masuk dalam kategori baik. Hal ini juga sesuai dengan tingkat pengetahuan responden yang masuk dalam kategori baik. Tingkat pengetahuan seseorang sangat menentukan sikap dan tingkah lakunya. Demikian juga, sikap mungkin dapat memengaruhi tingkat laku dan keterbukaan untuk memperoleh pengetahuan baru (Blalock 2008). Meskipun sebagian besar pernyataan higiene diberikan tanggapan setuju oleh responden, namun masih terdapat beberapa pernyataan higiene yang tidak disetujui oleh responden. Hal ini terlihat dari persentase pernyataan yang tidak disetujui oleh responden yaitu mengenai higiene personal (6.2%), higiene produksi (11.1%), dan higiene fasilitas (3.6%). Beberapa sikap higiene personal yang dijawab ragu-ragu bahkan tidak disetujui oleh beberapa responden yaitu terkait tidak diperbolehkannya memakai perhiasan saat menangani makanan karena dapat mengkontaminasi makanan dan tidak diperbolehkannya membiarkan luka terbuka pada kulit karena akan mencemari makanan. Begitu pula mengenai sikap higiene produksi yang terkait pemisahan bahan mentah dan bahan yang telah dimasak serta penyimpanan produk di kulkas, masih dijawab ragu-ragu dan tidak setuju oleh beberapa responden.
28
29
Praktik Responden Kata praktik atau perilaku menunjukkan manusia dalam aksinya, berkaitan dengan semua aktivitas manusia secara fisik, berupa interaksi manusia dengan sesamanya ataupun dengan lingkungan fisiknya (Laurens 2005). Kriteria tingkat praktik higiene responden dalam menangani makanan ditentukan berdasarkan sejumlah pertanyaan terkait praktik higiene yang dilakukan oleh responden. Kategori praktik higiene responden secara umum dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Kategori praktik higiene responden dalam menangani makanan Kategori praktik secara umum
Total n
%
Baik
38
97.4
Cukup
1
2.6
Buruk
0
0.0
Total
39
100.0
Sebanyak 97.4% responden masuk dalam kategori praktik higiene yang baik dan tidak ada satupun responden yang masuk dalam kategori praktik higiene yang buruk (0.0%). Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas responden telah melakukan praktik higiene dengan baik. Praktik higiene yang baik dalam penanganan makanan dapat mengurangi kejadian keracunan pangan sehingga dapat meningkatkan keamanan pangan (Ehiri & Morris 1996; Egan et al. 2007; Pirsaheb et al. 2010). Praktik higiene yang baik ini didukung oleh pengetahuan dan sikap yang baik pula. Praktik higiene responden secara khusus terdiri dari higiene personal, higiene produksi, dan higiene fasilitas. Ketiga praktik higiene ini memiliki masing-masing aspek penting dalam mencegah foodborne disease serta menjaga keamanan pangan (food safety). Aspek pertama yang akan dibahas yaitu mengenai aspek higiene personal. Tabel 11 memperlihatkan aspek praktik higiene personal yang menurut responden telah mereka lakukan saat bekerja di kantin kampus IPB Dramaga.
29
30
Tabel 11 Aspek praktik higiene personal pada pekerja kantin di kampus IPB Dramaga Aspek praktik higiene personal Mencuci tangan saat bekerja Tidak pernah Kadang-kadang Selalu Cara mencuci tangan Memakai air Memakai air dan sabun Mencuci tangan setelah keluar dari kamar mandi Tidak pernah Kadang-kadang Selalu Memakai sarung tangan ketika menangani makanan Ya Tidak, tapi memakai capitan Tidak memakai apapun Memotong kuku secara rutin Ya Tidak Frekuensi memotong kuku Seminggu lebih dari sekali Seminggu sekali Lebih dari seminggu sekali Memakai perhiasan di tangan ketika memasak Ya Tidak Memakai apron ketika memasak Tidak pernah Kadang-kadang Selalu Memiliki kebiasaan merokok Ya Tidak Tempat merokok Di dalam kantin Di luar kantin Mencuci tangan setelah merokok Ya Tidak Pernah sakit ketika bekerja Ya Tidak Tetap bekerja saat sakit Ya Tidak
Jumlah responden
Persentase (%)
0 7 32
0 17.9 82.1
3 36
7.7 92.3
1 3 35
2.6 7.7 89.7
4 31 4
10.3 79.5 10.3
33 6
84.6 15.4
11 22 6
28.2 56.4 15.4
11 28
28.2 71.8
11 10 18
28.2 25.6 46.2
11 28
28.2 71.8
31 8
79.5 20.5
5 34
12.8 87.2
23 16
59.0 41.0
20 19
51.3 48.7
30
31
Tabel 11 memperlihatkan hasil dari jawaban responden yang menyatakan bahwa mayoritas dari mereka selalu mencuci tangan ketika akan menangani makanan (82.1%) dan tak satupun yang menyatakan bahwa mereka tidak mencuci tangan (0%). Hampir seluruh responden mencuci tangan dengan menggunakan air dan sabun (92.3%), namun masih terdapat responden yang hanya mencuci tangan dengan air saja tanpa memakai sabun (7.7%). Mayoritas responden juga menyatakan bahwa mereka selalu mencuci tangan setelah keluar dari kamar mandi (89.7%), responden lainnya menyatkan bahwa mereka tidak selalu (kadang-kadang) (7.7%) bahkan tidak pernah (2.6%) mencuci tangan setelah keluar dari kamar mandi. Menurut Bas et al. (2004), tangan pekerja dapat menjadi vektor dalam penyebaran penyakit keracunan pangan karena kebersihan diri yang buruk atau kontaminasi silang. Hal ini menjadi penting bagi pekerja untuk selalu mencuci tangan mereka terutama ketika pada awal kegiatan penanganan makanan, segera setelah dari kamar mandi, dan sesudah menangani makanan mentah atau bahan terkontaminasi, di mana hal ini dapat mengakibatkan kontaminasi bahan makanan lainnya. Selain mencuci tangan, pekerja juga disarankan untuk memakai sarung tangan. Sarung tangan tidak berarti menggantikan cuci tangan, tetapi untuk lebih memastikan keamanan pangan dan mencegah dari kontaminasi silang (TPH 2004). Persentase responden yang menyatakan bahwa mereka memakai sarung tangan ketika menangani makanan tidak lebih dari 10.3%, sebagian besar menyatakan meski tidak memakai sarung tangan mereka menggunakan capitan sebagai pengganti sarung tangan (79.5%). Selain itu, masih terdapat juga responden yang menyatakan bahwa mereka tidak memakai sarung tangan maupun capitan ketika menangani makanan (10.3%). Aspek praktik higiene personal lainnya yang terkait kebersihan tangan, yaitu menjaga agar kuku tidak panjang saat menangani makanan dan tidak memakai perhiasan di tangan ketika memasak (Bas et al. 2004; NFSMI 2009). Mayoritas responden menyatakan bahwa mereka memotong kuku secara rutin (84.6%) dengan frekuensi memotong kuku paling banyak yaitu setiap seminggu sekali (56.4%). Mayoritas responden juga menyatakan bahwa mereka tidak memakai perhiasan ketika menangani makanan (71.8%). Pemakaian perhiasan di
31
32
tangan pada saat menangani makanan dapat memungkinkan pencemaran pada makanan (Nel et al. 2004; NFSMI 2009). Sebanyak 46.2% responden menyatakan bahwa mereka selalu memakai apron ketika memasak, 28.2% menyatakan tidak pernah, dan 25.6% menyatakan kadang-kadang memakai apron ketika memasak. Apron merupakan salah satu bentuk pakaian pelindung (protective clothes) seperti halnya sarung tangan yang yang harus digunakan pada orang yang menangani makanan. Aspek praktik higiene personal lainnya yang perlu diperhatikan yaitu kebiasaan merokok responden. Mayoritas responden menyatakan bahwa mereka tidak memiliki kebiasaan merokok (71.8%), sedangkan sebanyak 28.2% responden menyatakan bahwa mereka memiliki kebiasaan merokok. Kebiasaan merokok ini paling banyak dilakukan di dalam kantin (79.5%) dan mayoritas responden tidak mencuci tangan setelah merokok (87.2%). Menurut CAC (2003), setiap orang yang menangani makanan harus menahan diri dari kebiasaan merokok karena merokok dapat memungkinkan kontaminasi pada makanan. Kesehatan pekerja juga merupakan aspek penting dalam praktik higiene personal. Mayoritas responden yang menyatakan bahwa mereka pernah sakit selama bekerja di kantin (59.0%) dan tetap bekerja ketika sakit (51.3%). Hasil ini menunjukkan
bahwa
mayoritas
responden
masih
tidak
memperhatikan
pentingnya status kesehatan bagi orang yang menangani makanan. Orang yang menderita penyakit seharusnya tidak diperbolehkan untuk memasuki area penanganan makanan jika ada kemungkinan dalam mencemari makanan (CAC 2003; Bas et al. 2004). Menurut BPOM (2003), produksi pangan adalah kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali dan atau mengubah bentuk pangan. Higiene produksi adalah kondisi dan perlakuan yang diperlukan untuk menjamin keamanan pangan saat dalam proses produksi pangan. Aspek praktik higiene produksi yang akan dibahas yaitu mulai dari persiapan bahan hingga penyimpanan makanan. Tabel 12 memperlihatkan aspek praktik higiene produksi yang dilakukan responden.
32
33
Tabel 12 Aspek praktik higiene produksi pada pekerja kantin di kampus IPB Dramaga Praktik higiene produksi Melakukan pemeriksaan bahan baku yang digunakan Tidak pernah Kadang-kadang Selalu Memisahkan bahan mentah dan bahan jadi Ya Tidak Cara memisahkan bahan mentah dan bahan jadi Dalam wadah yang sama dipisahkan dengan jarak Di wadah yang berbeda Wadah untuk menyimpan bahan mentah Kantong plastik Wadah terbuka Wadah tertutup Wadah untuk menyimpan bahan yang sudah dimasak Kantong plastik Wadah terbuka Wadah tertutup Produk pangan selalu habis terjual Ya, selalu habis terjual Kadang tidak habis terjual Penyimpanan bahan/produk yang tidak habis terjual Lemari makanan Freezer/kulkas Berapa lama menyimpan bahan/produk yang tidak habis terjual 1-2 hari >2 hari
Jumlah responden
Persentase (%)
4 1 34
10.3 2.6 87.2
39 0
100.0 0.0
2
5.1
37
94.9
4 14 21
10.3 35.9 53.8
36
92.3
0 22 17
0.0 56.4 43.6
26 13
66.7 33.3
2 11
15.39 84.61
6 7
46.2 53.8
Praktik higiene produksi pertama yang penting untuk dilakukan yaitu melakukan pemeriksaan bahan baku yang akan digunakan. Mayoritas responden menyatakan bahwa mereka selalu melakukan pemeriksaan bahan baku tersebut (87.2%). Seluruh responden (100%) menyatakan bahwa mereka memisahkan bahan mentah dengan bahan yang sudah jadi dan mayoritas memisahkannya di dalam wadah yang berbeda (94.9%). Menurut TPH (2004), bahan mentah yang
33
34
berkontak dengan bahan yang telah dimasak akan memungkinkan kontaminasi silang sehingga membuat pangan tidak aman untuk dikonsumsi. Sebanyak 53.8% responden menyatakan bahwa mereka menggunakan wadah tertutup untuk menyimpan bahan mentah, namun masih terdapat responden yang menyimpan bahan mentah dalam wadah terbuka (35.9%) dan kantong plastik (10.3%). Berbeda dengan penyimpanan bahan mentah, mayoritas responden menyatakan bahwa mereka menyimpan bahan yang sudah dimasak dalam wadah yang terbuka (56.4%). Menurut Cuprasitrut et al. (2010), penyimpanan bahan makanan yang baik yaitu menyimpan dalam wadah tertutup untuk mencegah kontaminasi dari hama. Mayoritas responden menyatakan bahwa produk pangan yang mereka jual selalu habis (66.7%). Beberapa responden lainnya (33.3%) menyatakan bahwa produk pangan yang mereka jual tidak selalu habis dan mayoritas responden menyimpan bahan sisa tersebut dalam kulkas (84.61%). Mayoritas responden menyimpan bahan sisa tersebut selama lebih dari 2 hari (53.8%). Salah satu upaya dalam menjaga keamanan pangan dapat dilakukan dengan menjaga makanan pada zona suhu yang tepat. Menurut Unusan (2005), sebagian besar kasus penyakit keracunan pangan dapat dicegah jika prinsip-prinsip keamanan pangan diikuti dari mulai proses produksi sampai ke konsumsi. Dampak dari kegiatan produksi yang mengancam keamanan dan kesesuaian pangan harus diperhatikan setiap saat. Hal ini dilakukan dengan mengidentifikasi setiap titik-titik tertentu dalam kegiatan produksi yang memungkinkan terjadinya kontaminasi (CAC 2003). Menurut BPOM (2003), persyaratan mengenai higiene fasilitas yaitu tata letak kelengkapan ruang produksi diatur agar tidak terjadi kontaminasi silang, tersedianya air bersih yang cukup dan memadai selama proses produksi, terdapat fasilitas mencuci tangan dan toilet dalam keadaan bersih, dan mengurangi kemungkinan masuknya hama ke ruang produksi yang akan mencemari pangan. Aspek praktik higiene fasilitas yang akan dibahas meliputi seluruh kegiatan sanitasi fasilitas dan peralatan
yang digunakan di kantin. Tabel 13
memperlihatkan aspek praktik higiene fasilitas dan peralatan.
34
35
Tabel 13 Aspek praktik higiene fasilitas pada pekerja kantin di kampus IPB Dramaga Praktik higiene fasilitas dan peralatan Mencuci peralatan masak Tidak pernah Kadang-kadang Selalu Waktu mencuci peralatan Akhir setelah digunakan Awal dan akhir setelah digunakan Cara mencuci peralatan Memakai air tampungan Memakai air mengalir Jumlah wadah yang digunakan bagi yang memakai air tampungan Dua wadah Lebih dari dua wadah Tempat khusus untuk mencuci peralatan Ya, ada Tidak ada, mencuci perlatan di kamar mandi Tersedia fasilitas air bersih di kantin Ya Tidak Tersedia tempat pembuangan sampah Ya Tidak Waktu membersihkan lantai dan meja di sekitar dapur Sesudah bekerja Sebelum dan sesudah bekerja Setiap terlihat kotor
Jumlah responden
Persentase
0 0 39
0.0 0.0 100.0
15 24
38.5 61.5
6 33
15.4 84.6
2 4
33.3 66.7
38 1
97.4 2.6
36 3
92.3 7.7
39 0
100.0 0.0
18 15 6
46.2 38.5 15.4
Seluruh responden menyatakan bahwa mereka selalu mencuci peralatan yang digunakan dalam memasak (100%). Pencucian peralatan tersebut paling banyak dilakukan responden pada awal dan akhir setelah digunakan (61.5%). Peralatan yang berkontak dengan makanan harus dibersihkan sebelum dan setelah digunakan. Pembersihan peralatan sebelum penggunaan berikutnya sangat penting dilakukan karena akan mencegah kontaminasi silang antar makanan (HITM 2006; Karabudak et al. 2008).
35
36
Sebagian besar responden mencuci peralatan dengan menggunakan air mengalir (84.6%) dan sebanyak 15.4% responden yang memakai air tampungan. Responden yang menggunakan air tampungan menyatakan bahwa mayoritas dari mereka menggunakan lebih dari dua wadah dalam mencuci peralatan (66.7%). Sebanyak 97.4% responden menyatakan bahwa terdapat tempat khusus untuk mencuci peralatan dan sebanyak 2.6% responden masih menggunakan kamar mandi sebagai tempat mencuci peralatan. Menurut mayoritas responden (92.3%) telah tersedia fasilitas air bersih di kantin kampus IPB Dramaga. Menurut CAC (2003), ketersediaan air yang cukup dengan tempat penyimpanan yang memadai dan kontrol suhu yang tepat harus tersedia untuk menjamin keamanan makanan. Air untuk diminum harus terpisah dari air yang digunakan untuk tujuan lain, seperti mencuci, agar tidak terjadi kontaminasi silang. Seluruh responden menyatakan bahwa mereka menyediakan tempat pembuangan sampah di sekitar kantin mereka. Tempat sampah harus tersedia dan dibersihkan setiap kali pembuangan ke tempat pembuangan umum. Daerah sekitar tempat sampah juga harus dijaga kebersihannya untuk mengurangi bau dan penyebaran mikroorganisme berbahaya (TPH 2004). Masalah lain dari higiene fasilitas yaitu lantai yang kotor dan berdebu (Cuprasitrut et al. 2011). Lantai dan meja harus dibersihkan dan didisinfeksi secara teratur untuk mengurangi potensi kontaminasi silang dan meminimalkan infestasi hama (TPH 2004). Kotoran dari bawah peralatan, di tiap sudut, dan daerah yang sulit dijangkau juga harus dibersihkan untuk mencegah dari kehadiran hama. Lantai dibersihkan menggunakan pel basah minimal sekali sehari. Pembersihan lantai dan meja di sekitar dapur dilakukan oleh mayoritas responden setelah bekerja (46.2%). Aspek-aspek praktik higiene secara spesifik (higiene personal, produksi, dan fasilitas) yang dilakukan responden dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu baik, cukup, dan buruk. Tabel 14 memperlihatkan kategori praktik higiene responden secara spesifik.
36
37
Tabel 14 Kategori praktik higiene responden secara spesifik Kategori praktik spesifik Higiene Personal Higiene Produksi Higiene Fasilitas
Baik
Cukup
Buruk
Total
n
%
n
%
n
%
n
%
31 36 39
79.5 92.3 100.0
8 3 0
20.5 7.7 0.0
0 0 0
0.0 0.0 0.0
39 39 39
100.0 100.0 100.0
Praktik higiene personal yang dilakukan responden sebesar 79.5% masuk dalam kategori baik. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata responden telah melakukan praktik higiene personal dengan baik dan tidak satupun responden yang masuk dalam kategori praktik yang buruk. Meskipun demikian, masih terdapat beberapa responden yang masuk dalam kategori cukup (20.5%). Hal ini dapat dijelaskan pada aspek higiene personal yang masih belum dilakukan dengan baik oleh responden yaitu dalam hal memakai apron dan memiliki kebiasaan merokok. Praktik higiene produksi yang masuk dalam kategori baik adalah sebesar 92.3% . Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata responden telah melakukan praktik higiene produksi dengan baik. Namun, masih juga terdapat beberapa responden yang masuk dalam kategori cukup (7.7%). Hal ini dikarenakan terdapat aspek higiene produksi yang belum dilakukan dengan baik oleh responden yaitu dalam hal penyimpanan bahan mentah dan bahan yang telah dimasak. Berdasarkan praktik higiene fasilitas, seluruh responden masuk dalam kategori baik (100%). Hasil dari jawaban yang diberikan responden menunjukkan bahwa mereka telah melakukan praktik higiene fasilitas dengan baik. Menurut BPOM (2003), persyaratan mengenai higiene fasilitas yaitu tata letak kelengkapan ruang produksi diatur agar tidak terjadi kontaminasi silang, tersedianya air bersih yang cukup dan memadai selama proses produksi, terdapat fasilitas mencuci tangan dan toilet dalam keadaan bersih, mengurangi kemungkinan masuknya hama ke ruang produksi yang akan mencemari pangan, dan tersedia tempat penyimpanan yang baik agar dapat menjamin mutu dan keamanan bahan dan produk pangan yang diolah.
37
38
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Praktik Responden Faktor-faktor yang berhubungan dengan praktik higiene responden dapat ditinjau dari karakteristik, pengetahuan, serta sikap responden. Tabel 15 memperlihatkan hubungan karakteristik responden terhadap praktik higiene responden dalam menangani makanan.
Tabel 15 Hubungan karakteristik, pengetahuan, dan sikap responden terhadap tingkat praktik responden Karakteristik responden Jenis kelamin Umur Pendidikan terakhir Lama bekerja di kantin Pekerjaan utama Penyuluhan atau pembinaan pengelolaan kantin Pengetahuan Sikap
Praktik P 0.562 0.929 0.410 0.776 0.035 0.654 0.006 0.009
r 0.031 0.015 0.062 0.047 0.125* 0.031 0.435* 0.413*
Keterangan: *Menunjukkan hubungan yang nyata pada nilai p<0.05 (hubungan dua arah) Karakteristik pekerjaan utama memperlihatkan hubungan yang nyata terhadap tingkat praktik higiene responden dalam menangani makanan (p<0.05) dengan tingkat hubungan yang sangat lemah (r<0.2). Mayoritas pekerjaan utama responden adalah pekerja kantin sehingga hal ini mungkin memengaruhi keseriusan mereka dalam menangani pangan secara baik. Karakteristik lainnya, seperti jenis kelamin, umur, pendidikan terakhir, lama bekerja, dan pelatihan atau pembinaan, tidak memperlihatkan hubungan yang nyata terhadap tingkat praktik higiene responden dalam menangani makanan. Mayoritas responden berjenis kelamin perempuan. Namun tidak terlihat perbedaan antara praktik higiene yang dilakukan responden perempuan maupun responden laki-laki. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nee dan Sani (2011) yang menyatakan bahwa pekerja kantin perempuan memiliki tingkat praktik yang lebih baik daripada pekerja kantin laki-laki sehingga terlihat hubungan yang nyata antara jenis kelamin terhadap praktik pekerja kantin. Menurut Fawzi dan Shama (2009), perempuan memiliki peran
38
39
yang cukup besar dalam penanganan pangan di rumah sehingga penting bagi perempuan untuk memiliki pengetahuan dan praktik higiene yang lebih baik dalam menangani pangan. Responden dalam penelitian ini terbagi dalam dua kelompok umur. Namun tidak ada hubungan nyata antara umur terhadap praktik higiene responden dalam menangani pangan sehingga tidak ada perbedaan praktik antara responden yang berumur kurang dari sama dengan 33 tahun dan lebih dari 33 tahun. Hal ini berbeda dari hasil penelitian yang dilakukan Sharif dan Al-Malki (2010) serta Nee dan Sani (2011) yang menyatakan bahwa ada hubungan nyata antara umur terhadap praktik pekerja kantin. Semakin meningkat umur pekerja, semakin baik tingkat praktik pekerja dalam menangani pangan. Namun, peningkatan umur tidak selalu berdampak pada peningkatan praktik yang baik. Bas et al. (2004) dalam penelitiannya dengan mayoritas responden berumur lebih dari 31 tahun memperlihatkan praktik yang masih buruk dalam penanganan pangan. Begitu pula dalam penelitian Cuprasitrut et al. (2011) yang mayoritas respondennya berumur di atas 38 tahun namun hanya 15.2% responden yang menunjukkan praktik yang baik. Pendidikan terakhir tidak memperlihatkan hubungan nyata terhadap tingkat praktik. Mayoritas responden dalam penelitian ini memiliki tingkat pendidikan hanya sampai Sekolah Dasar, namun mayoritas telah memiliki tingkat pengetahuan yang baik. Hal ini berbeda dari yang dijelaskan oleh Fleet dan Fleet (2009) serta Pirsaheb et al. (2010) bahwa tingkat pendidikan mempunyai pengaruh positif terhadap pengetahuan mengenai keamanan pangan sehingga berpengaruh pula terhadap tingkat praktik dalam menangani pangan. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin baik pula tingkat praktik seseorang dalam menangani pangan. Responden dalam penelitian ini terbagi menjadi dua kelompok tingkat pengalaman dalam bekerja, yaitu kurang dari sama dengan 4 tahun dan lebih dari 4 tahun. Namun kedua kelompok tingkat pengalaman ini tidak memperlihatkan perbedaan praktik higiene sehingga pengalaman responden dalam penelitian ini tidak menunjukkan hubungan yang nyata terhadap tingkat praktik higiene dalam menangani pangan. Meskipun menurut Fernandez dan Sabherwal (2001)
39
40
pengetahuan dapat berasal dari pengalaman sehingga akan membentuk sikap dan praktik yang baik pula, namun tingkat pengalaman tidak selalu memengaruhi praktik seseorang. Hal ini dapat dijelaskan Cuprasitrut et al. (2011) dalam hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa meskipun mayoritas respondennya memiliki rata-rata tingkat pengalaman 5.7 ± 4.7 tahun, namun praktik yang baik dalam menangani pangan hanya dilakukan tidak lebih dari 16% responden. Begitu pula dalam penelitian Aarnisalo et al. (2006) yang mayoritas respondennya memiliki tingkat pengalaman di atas 10 tahun, namun masih terlihat adanya masalah higiene dalam proses produksi pangan. Tidak adanya hubungan antara pelatihan terhadap praktik dalam penelitian ini (p>0.05) berbanding terbalik dengan penelitian Bas et al. (2004) yang memperlihatkan adanya hubungan nyata yang menunjukkan perbedaan praktik pekerja yang belum dan sudah mendapatkan pelatihan (p<0.05). Hal ini dapat dijelaskan Nel et al. (2004) yang mengatakan bahwa meskipun respondennya telah mengikuti pelatihan tetapi 21.4% respondennya mengatakan bahwa pelatihan yang mereka dapatkan tidaklah efektif sehingga tidak berpengaruh terhadap praktik mereka. Bukti dari literatur lain menunjukkan bahwa pelatihan akan penanganan pangan yang baik dibatasi oleh kurangnya pemahaman akan faktor yang berkontribusi terhadap pelatihan tersebut. Maka ada kebutuhan untuk mengembangkan metode pelatihan yang dapat memengaruhi tingkat pengetahuan dan praktik yang akan dilakukan (Egan et al. 2007). Tingkat pengetahuan dan sikap higiene responden memiliki hubungan yang nyata terhadap praktik higiene responden (p<0.05) dengan tingkat hubungan yang sedang (0,40 ≤ r < 0,599). Penelitian yang dilakukan oleh Kang et al. (2010) juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara pengetahaun keamanan pangan terhadap praktik keamanan pangan (p<0.05). Cuprasitrut et al. (2011) juga mengatakan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan dan praktik serta antara sikap dan praktik sehingga pengetahuan dan sikap pekerja yang baik dalam penanganan pangan akan meningkatkan praktik mereka dalam penanganan pangan. Kesadaran akan memiliki pengetahuan yang tinggi memengaruhi responden untuk melakukan praktik sesuai dengan pengetahuannya. Pengetahuan
40
41
diperlukan sebelum melakukan suatu perbuatan secara sadar. Namun, perbuatan yang dikehendaki mungkin tidak akan berlangsung sampai seseorang mendapat petunjuk yang cukup kuat untuk memicu motivasi berbuat berdasarkan pengetahuan tersebut (WHO 2002). Hubungan nyata antara sikap dan praktik responden menunjukkan seberapa besar sikap yang diambil responden dapat memengaruhi responden dalam melakukan praktik higiene. Rahayuningsih (2008) mengemukakan bahwa sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu.
41
42
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 1. Sebagian besar pengetahuan, sikap, dan praktik pekerja kantin di kampus IPB masuk dalam kategori baik. 2. Masih terdapat beberapa responden yang belum memiliki pengetahuan, sikap, serta praktik higiene yang baik terutama pada aspek higiene personal. 3. Praktik higiene pekerja kantin di kampus IPB Dramaga berhubungan dengan tingkat pengetahuan, sikap, dan pekerjaan utamanya. 4. Jenis kelamin, umur, pendidikan terakhir, lama bekerja, dan pelatihan atau pembinaan tidak menunjukkan hubungan yang nyata terhadap tingkat praktik higiene pekerja kantin yang menjual pangan asal hewan di dalam kampus IPB Dramaga.
Saran 1. Penyelenggara kantin di kampus IPB Dramaga disarankan untuk mengadakan pembinaan mengenai pengelolaan kantin kepada seluruh pekerja kantin dikarenakan masih terdapatnya beberapa pekerja yang belum memiliki pengetahuan, sikap, dan praktik higiene yang baik. Pengadaan pembinaan ini juga disarankan untuk mencegah penurunan tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik higiene yang sudah baik pada pekerja kantin di kampus IPB Dramaga. 2. Pekerja kantin di kampus IPB Dramaga disarankan untuk mengadakan perbaikan praktik pada aspek higiene personal dan produksi yang masih belum sepenuhnya dilakukan.
42
43
DAFTAR PUSTAKA Aarnisalo K, Tallavaara K, Wirtanen G, Maijala R, Raaska L. 2006. The hygienic working practices of maintenance personnel and equipment hygiene in the Finnish food industry. J Food Contr 17: 1001–1011. Badran IG. 1995. Knowledge, attitude, and practice the three pillars of excellence and wisdom: a place in the medical profession. J East Med Health 1(1): 816. Bahri S. 2008. Beberapa aspek keamanan pangan asal ternak di Indonesia. Peng Inov Pertan 1(3): 226. Bas M, Ersun AS, Kivanc G. 2004. The evaluation of food hygiene knowledge, attitudes and practices of food handlers in food businesses in Turkey. J Food Contr 17: 317-322. Beier RC, Pillai SD. 2007. Future Directions in Food Safety. Di dalam: Simjee S, editor. Foodborne Diseases. New Jersey: Humana Pr. hlm 511-530. Blalock CL. 2008. A qualitative evaluation of a professional development program on teacher health knowledge, health attitudes, and health behaviors [tesis]. Texas: The University of Texas at San Antonio. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2003. Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia tentang Pedoman Cara Produksi Pangan yang Baik untuk Industri Rumah Tangga (CPPBIRT). Jakarta: BPOM. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2004. Lokakarya Jejaring Promosi Keamanan Pangan. Jakarta: BPOM. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2005. Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan. Jakarta: Sekretariat Jenderal Jejaring Intelijen PBPOM. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2006. Jejaring Promosi Keamanan Pangan dalam Sistem Keamanan Pangan Terpadu Nasional. Jakarta: BPOM. Charlebois R. 2002. Reviewed: Foodborne disease, a focus for health education. J Can Vet 43(9): 717. [CAC] Codex Alimentarius Commission. 2003. Recommended international code of practice general principles of food hygiene CAC/RCP 1-1969, Rev. 4. [terhubung berkala]. http://www.fao.org/docrep/006/y5307e/y5307e02. htm [28 Juni 2012].
43
44
Cuprasitrut T, Srisorrachatr, Malai D. 2011. Food safety knowledge, attitude and practice of food handlers and microbiological and chemical food quality assessment of food for making merit for monks in Ratchathewi District, Bangkok. Asia J Publ Health 1(2): 27-34. Dahlan SM. 2001. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika Egan MB et al. 2007. A review of food safety and food hygiene training studies in the commercial sector. J Food Contr 18: 1180–1190. Ehiri JE, Morris GP. 1996. Hygiene training and education of food handlers: Does it work. Eco Food Nutr 35: 243-251. Fajar. 2012. Keracunan makanan/keracunan pangan. [terhubung berkala]. http://indonesiabisasehat.blogspot.com/2012/04/keracunan-makanan-keracunan. html [16 April 2012]. Fawzi M, Shama ME. 2009. Food safety knowledge and practices among women working in Alexandria University, Egypt. J Egypt Publ Health Assoc 84(1-2): 95-117. Fernandez IB, Sabherwal R. 2001. Organizational knowledge management: a contingency perspective. J Man Inf Syst 18: 23-55. Fleet DVD, Fleet EWV. 2009. Food safety attitudes among well-educated consumers. Int J Food Saf 11: 88-97. [FR] Food Review. 2008. Ancaman patogen pada pangan asal hewan. [terhubung berkala]. http://www.foodreview.biz/login/preview.php?viewdanid=55639 [26 Juni 2012]. Gao F, Li M, Clarke S. 2008. Knowledge, management, and knowledge management in business operations. J Knowl Man 12(2): 3-17. Green LR et al. 2007. Factors related to food worker hand hygiene practices. J Food Protect 70(3): 661–666. Hall J. 1999. Personnel Hygiene Standars. Di dalam: Chesworth N, editor. Food Hygiene Auditing. Maryland: An Aspen Publication. hlm 112-119. [HR] Halton Region. 2012. Food Safety Definitions for Food Vendors at Special Events. [terhubung berkala]. http://www.halton.ca/cms/one.aspx?portalId =8310&pageId=37644 [28 Juni 2012]. Hart MB, Cathy MS, Neumann M, Veltri AT. 2007. Hand injury prevention training: Assessing knowledge, attitude, and behavior. J SHE Res 4:1-23.
44
45
Hayek FA. 2003. The use of knowledge in society. Am Econom Rev 34(4): 51930. [HITM] Hospitality Institute of Technology and Management. 2006. Food Safety Hazards And Controls For The Home Food Preparer. Minnesota: HITM. Kang NE, Kim JH, Kim YS, Ha AW. 2010. Food safety knowledge and practice by the stages of change model in school children. Nutr Res Pract 4(6): 535-540. Karabudak E, Bas M, Kiziltan G. 2008. Food safety in the home consumption of meat in Turkey. J Food Contr 19: 320–327. Laurens JM. 2005. Arsitektur dan Perilaku Manusia. Jakarta: PT Grasindo. Learoyd P. 2005. Good manufacturing practice. Sci Tech Train 040: 1-9. Montenegro SN, Brown JL, LaBorde LF. 2006. Using the health action model to plan food safety educational materials for hispanic workers in the mushroom industry. J Food Contr 17: 757–767. Nee SO, Sani NA. 2011. Assessment of knowledge, attitudes, and practices (kap) among food handlers at residential colleges and canteen regarding food safety. Sains Malay 40(0): 403-410. Nel S, Lues JFR, Buys EM, Venter P. 2004. The personal and general hygiene practices in the deboning room of a high throughput red meat abattoir. J Food Contr 15: 571-578. [NFSMI] National Food Service Management Institute. 2009. Food Safety Fact Sheet: Personal Hygiene. Mississippi: NFSMI. Palaian S et al. 2006. Knowledge, attitude, and practice outcomes: Evaluating the impact of counseling in hospitalized diabetic patients in India. J Pharmacol 31: 383-396. Patil SR, Cates S, Morales R. 2005. Consumer food safety knowledge, practices, and demographic differences: Findings from a meta-analysis. J Food Protect 68(9): 1884–94. Pirsaheb M, Almasi A, Rezaee M. 2010. The special health education course effects on knowledge, attitude and practice of preparation, distribution and sale centers food staff in Kermanshah. Iran J Health Environ 3(3): 299307. Purnawijayanti HA. 2001. Sanitasi, Higiene, dan Keselamatan Kerja dalam Pengolahan Makanan. Yogyakarta: Kanisius.
45
46
Rahayuningsih SU. 2008. Psikologi Umum. [terhubung berkala]. http://nurul_q.staff.gunadarma.ac.id/bab1-sikap-1.pdf (6 Agustus 2012). Sanlier N, Dagdeviren A, Celik B, Bilici S, Abubakirova A. 2011. Determining the knowledge of food safety and purchasing behavior of the consumers living in Turkey and Kazakhstan. Afr J Microbiol Res 5(18): 2724-2732. Saparinto C, Hidayati D. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Yogyakarta: Kanisius. Setiowati WE, Mardiastuty E. 2009. Tinjauan bahan pangan asal hewan yang ASUH berdasarkan aspek mikrobiologi di DKI Jakarta. Prosiding PPI Standarisasi 2009; Jakarta, 19 November 2009. Jakarta: Prosiding PPIS. 2009. hlm 12. Sharif L, Al-Malki T. 2010. Knowledge, attitude and practice of Taif University students on food poisoning. J Food Contr 21: 55–60. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 2000. Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan. SNI 016366-2000. Susilo. 2010. Food poisoning. [terhubung berkala]. http://susilo.typepad.com/ nurani/2010/02/food-poisoning-iii.html [26 Juni 2012]. Sutmoller P. 1997. Contaminated food of animal origin: hazards and risk management. Sci Tech Rev 16(2). [TPH] Toronto Public Health. 2004. Food Handler Certification Program 4th Edition. Toronto: TPH. Unusan N. 2007. Consumer food safety knowledge and practices in the home in Turkey. J Food Contr 18: 45-51. Veiros MB, Proenca RPC, Santos MCT, Kent-Smith L, Rocha A. 2009. Food safety practices in a Portuguese canteen. J Food Contr 20: 936-941. [WHO] World Health Organization. 2002. Penyakit Bawaan Makanan: Fokus Pendidikan Kesehatan. Jakarta: EGC. [WHO] World Health Organization. 2006. Five Keys to Safer Food Manual. Geneva: WHO [WHO] World Health Organization. 2011. Save lives: Clean your hands. [terhubung berkala]. http://lucireseller.com/wp-content/uploads/2011/nhswashing-hands-poster [9 Juni 2012]. Widyati R, Yuliarsih. 2002. Higiene dan Sanitasi Umum dan Perhotelan. Jakarta: Grasindo.
46
LAMPIRAN
48
Lampiran 1 Gambaran kondisi kantin di kampus IPB Dramaga
Gambar 4 Kondisi kantin unit FPIK (kantin dolphin).
Gambar 5 Kondisi kantin unit FKH.
48
49
Lampiran 1 (lanjutan)
Gambar 6 Kondisi kantin unit Rektorat.
Gambar 7 Kondisi kantin unit FPIK (kantin biru).
49
50
Lampiran 2 Hasil uji normalitas data a. Jenis kelamin Tabel 16 Hasil uji normalitas jenis kelamin responden Kolmogorov-Smirnova Statistic Jenis kelamin
df
Shapiro-Wilk
Sig.
.463
39
Statistic
.000
Df
Sig.
.545
39
.000
a. Lilliefors Significance Correction
b. Umur Tabel 17 Hasil uji normalitas umur responden Kolmogorov-Smirnova Statistic Umur
.147
Df
Shapiro-Wilk
Sig. 39
Statistic
.034
Df
.958
Sig. 39
.152
a. Lilliefors Significance Correction
c. Pendidikan terakhir Tabel 18 Hasil uji normalitas pendidikan terakhir responden Kolmogorov-Smirnova Statistic Pendidikan
.249
df
Shapiro-Wilk
Sig. 39
.000
Statistic .891
Df
Sig. 39
.001
a. Lilliefors Significance Correction
50
51
Lampiran 2 (lanjutan) d. Lama bekerja di kantin Tabel 19 Hasil uji normalitas lama bekerja di kantin Kolmogorov-Smirnova Statistic Lama kerja
df
Shapiro-Wilk
Sig.
.226
39
Statistic
.000
Df
Sig.
.770
39
.000
a. Lilliefors Significance Correction
e. Pekerjaan utama Tabel 20 Hasil uji normalitas pekerjaan utama responden Kolmogorov-Smirnova Statistic Pekerjaan utama
df
.511
Shapiro-Wilk
Sig. 39
Statistic
.000
Df
.394
Sig. 39
.000
a. Lilliefors Significance Correction
f. Penyuluhan atau pembinaan pengolahan kantin Tabel 21 Hasil uji normalitas penyuluhan atau pembinaan responden Kolmogorov-Smirnova Statistic Sudah mendapat penyuluhan
.411
df
Shapiro-Wilk
Sig.
39
.000
Statistic
.608
df
Sig.
39
.000
a. Lilliefors Significance Correction
51
52
Lampiran 2 (lanjutan) g. Pengetahuan Tabel 22 Hasil uji normalitas skor pengetahuan responden Kolmogorov-Smirnova Statistic Skor pengetahuan
Df
.148
Shapiro-Wilk
Sig. 39
Statistic
.031
df
.906
Sig. 39
.003
a. Lilliefors Significance Correction
h. Sikap Tabel 23 Hasil uji normalitas skor sikap responden Kolmogorov-Smirnova Statistic Skor sikap
Df
.194
Shapiro-Wilk
Sig. 39
.001
Statistic
df
.832
Sig. 39
.000
a. Lilliefors Significance Correction
i. Praktik Tabel 24 Hasil uji normalitas skor praktik responden Kolmogorov-Smirnova Statistic Skor praktik
.109
Df
Shapiro-Wilk
Sig. 39
.200*
Statistic .959
df
Sig. 39
.167
a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance.
52