STUDI POPULASI DAN PROFIL GENETIK KIMA (Bivalvia, Cardiidae, Tridacninae) DI PERAIRAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI
MUHAMMAD NUR FINDRA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Studi Populasi dan Profil Genetik Kima (Bivalvia, Cardiidae, Tridacninae) di Perairan Taman Nasional Wakatobi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2016 Muhammad Nur Findra NRP C251130041
RINGKASAN MUHAMMAD NUR FINDRA. Studi Populasi dan Profil Genetik Kima (Bivalvia, Cardiidae, Tridacninae) di Perairan Taman Nasional Wakatobi. Dibimbing oleh ISDRADJAD SETYOBUDIANDI, NURLISA ALIAS BUTET dan DEDY DURYADI SOLIHIN. Kima merupakan hewan moluska yang masuk dalam kelompok kekerangan dan hidup berasosiasi dengan terumbu karang. Ada yang tertanam dalam karang dan ada yang terhampar di atas substrat berpasir sekitar karang dan padang lamun. Kima merupakan salah satu jenis sumberdaya hayati perairan yang populasinya di alam sudah menurun. Aktivitas penangkapan oleh nelayan, baik untuk tujuan konsumsi maupun pemanfaatan cangkangnya merupakan faktor utama yang menyebabkan penurunan populasi kima di alam. Oleh karena itu, upaya pengeloaan sangat diperlukan untuk keberlanjutan sumberdaya ini. Pengelolaan sumberdaya membutuhkan informasi dari berbagai aspek, baik aspek bioekologi maupun aspek lainnya sehingga upaya tersebut akan lebih terarah dan berhasil. Pengelolaan populasi alami suatu organisme memerlukan informasi tentang distribusi, komposisi dan kepadatan organisme tersebut. Selain aspek populasi, aspek lain yang dibutuhkan adalah aspek genetik. Di Indonesia, aspek genetik dalam studi keanekaragaman hayati masih kurang diperhatikan bila dibandingkan keanekaragaman jenis dan ekosistem. Padahal peran adaptasi dan strategi perkembangan hewan sangat ditentukan oleh kemampuan genetiknya. Penelitian ini bertujuan mengkaji komposisi jenis, kepadatan populasi dan variasi ukuran kima di perairan Taman Nasional Wakatobi serta mengidentifikasi jenis kima secara molekuler dan mengkaji profil genetiknya berdasarkan marka genetik Cytochrome oxydase subunit I (COI) di perairan Taman Nasional Wakatobi. Pengamatan populasi kima dilakukan di sekitar tiga pulau utama Taman Nasional Wakatobi, yaitu kawasan Pulau Wangi-wangi, Kaledupa dan Tomia menggunakan transek kuadrat (belt transect). Lokasi pengamatan ditentukan secara purposive sampling yang didasarkan pada keberadaan kima. Kima yang ditemukan selanjutnya diidentifikasi jenisnya, dihitung jumlahnya berdasarkan jenis dan diukur panjang cangkangnya. Sampel berupa jaringan mantel juga diambil kemudian dianalisis secara molekuler di laboratorium. Hasil pengamatan menemukan bahwa terdapat dua genus kima di perairan Taman Nasional Wakatobi yaitu Tridacna dan Hippopus. Genus Tridacna yang teramati terdiri atas tiga jenis yaitu T. crocea, T. squamosa dan T. maxima, sedangkan genus Hippopus yang teramati hanya satu jenis yaitu jenis H. hippopus. Kepadatan populasi seluruh jenis kima paling rendah ditemukan pada wilayah perairan kawasan Wangi-wangi. Sebaliknya, populasi paling tinggi secara umum ditemukan di wilayah perairan kawasan Tomia. Di kawasan Wangi-wangi kepadatan populasi T. crocea, T. maxima, T. squamosa dan H. hippopus masingmasing adalah 5 ind/750m2, 1 ind/750m2, 2 ind/750m2 dan 1 ind/750m2, di kawasan Kaledupa kepadatan populasinya masing-masing adalah 11 ind/750m2, 5 ind/750m2, 11 ind/750m2 dan 5 ind/750m2, sedangkan di kawasan Tomia kepadatan populasinya masing-masing adalah 12 ind/750m2, 10 ind/750m2, 22 ind/750m2 dan 28 ind/750m2. Ukuran kima yang ditemukan bervariasi antar jenis dan lokasi
penelitian, kebanyakan kima yang ditemukan masih berukuran kecil sedangkan ukuran besar sudah menunjukkan kelangkaan. Analisis molekuler menunjukkan segmen gen target teramplifikasi menggunakan sepasang primer spesifik kima (LCO dan RCO) untuk genus Tridacna dan primer untuk invertebrata (LCO1490 dan HCO2198) untuk genus Hippopus. Basa nukleotida yang berhasil teramplifikasi sepanjang 522 bp untuk jenis T. crocea, T. squamosa dan T. maxima serta 702 bp untuk jenis H. hippopus. Penelitian ini mendapatkan 48 situs nukleotida spesifik, yang terdiri atas dua situs dari jenis T. crocea, tujuh situs dari jenis T. squamosa, delapan situs dari jenis T. maxima dan 31 situs dari jenis H. hippopus. Analisis genetik menunjukkan bahwa gen COI dapat membantu mengidentifikasi kima hingga tingkat jenis. Gen COI sebagai penanda genetik mampu memisahkan secara berkelompok tiap jenis kima dan menunjukkan kekerabatan diantara mereka. T. crocea asal Wakatobi memiliki variasi basa nukleotida yang tinggi jika dibandingkan dengan kima dari lokasi lain, sehingga dapat dijadikan sebagai sumber genetik dalam pengelolaan sumberdaya kima, baik untuk translokasi, restoking maupun domestikasi.
Kata Kunci : Cytochrome oxydase subunit I, Hippopus, kepadatan populasi, komposisi jenis, nukleotida spesifik, profil genetik, Taman Nasional Wakatobi, Tridacna, variasi ukuran
SUMMARY MUHAMMAD NUR FINDRA. Study of Population and Genetic Profile of Giant Clam (Bivalvia, Cardiidae, Tridacninae) in Wakatobi National Park Waters. Supervised by ISDRADJAD SETYOBUDIANDI, NURLISA ALIAS BUTET and DEDY DURYADI SOLIHIN. Giant clam is one of the bivalve molluscs and associated with coral reefs. It is attached to coral reefs, as well as burried on sandy substrate on the reefs and seagrass beds. The population has been decreased. Fishing activities either for consumption or utilization of its shell are the main factor that caused the decline of natural clam populations. Therefore, management is critical need for sustainability of this resource. Resource management requires information from various aspects, both bioecology and other aspects, so it would be more focused and successful. Management of natural populations of an organism requires information of its distribution, composition and density. Beside that, another aspect needed is genetic study. In Indonesia, genetic study is still less noticeable than diversity of species and ecosystem aspect. Whereas, the role of adaptation and animal development strategy is largely determined by genetic capabilities. This study was aimed at assessing species composition, population density and size variation of giant clams in Wakatobi National Park waters, identified species using molecular analyses and examined genetic profile base on Cytochrome oxydase subunit I (COI) genetic markers in Wakatobi National Park waters. Observation on population clam was conducted around three main islands of Wakatobi National Park, i.e., Wangi-wangi, Kaledupa and Tomia using squared transect (belt transect). Location was determined by purposive sampling based on existence of the giant clams. The giant clams that found subsequently were identified, calculated based on the species and measured their shell length. Samples of mantle tissue were also taken and then we analyzed base on molecular. The observations found that there were two genus of giant clams in Wakatobi National Park waters, i.e., Tridacna and Hippopus. Genus Tridacna observed consists three species, i.e., T. crocea, T. squamosa and T. maxima, while genus Hippopus observed was only one species, namely H. hippopus. The lowest population density of all types of giant clam was found in Wangi-wangi region waters. On the other hand, most population was dominant in Tomia region waters. Population density of T. crocea, T. maxima, T. squamosa and H. hippopus in Wangi-wangi were 5 ind/750m2, 1 ind/750m2, 2 ind/750m2 and 1 ind/750m2, respectively; population density in Kaledupa was 11 ind/750m2, 5 ind/750m2, 11 ind/750m2 and 5 ind/750m2, respectively; while population density in Tomia was 12 ind/750m2, 10 ind/750m2, 22 ind/750m2 and 28 ind/750m2, respectively. Their size were found differed by species and location, mostly clams found were still small, larger individuals were scarce. Molecular analysis showed that the target gene segments were amplified using pair of tridacnid specific primer (LCO and RCO) for genus Tridacna clams and primer of invertebrates (LCO1490 and HCO2198) for genus Hippopus. The successfully amplified nucleotide bases were along the 522 bp for T. crocea, T. maxima, T. squamosa, and 702 bp for H. hippopus. This research obtained 48 specific nucleotide sites. T. crocea, T. squamosa, T. maxima, and H. hippopus had
2, 7, 8, and 31 nucleotida specific sites, respectively. Genetic analysis showed that the COI gene may contribute in identifying the clams up to the species level. COI gene as genetic markers was able to separate groups of giant clams by species and showed relationship among species. Nucleotide variation of T. crocea originated from Wakatobi was the highest among other locations, so it could be used as genetic resource in resources management, such as translocation, restocking and domestication. Keywords: Cytochrome oxydase subunit I, genetic profile, population density, size variation, Hippopus, species composition, specific nucleotide, Tridacna, Wakatobi National Park
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
STUDI POPULASI DAN PROFIL GENETIK KIMA (Bivalvia, Cardiidae, Tridacninae) DI PERAIRAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI
MUHAMMAD NUR FINDRA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi Pembimbing pada Ujian Tesis : Dr Ir Etty Riani, MS
Judul Tesis : Studi Populasi dan Profil Genetik Kima (Bivalvia, Cardiidae, Tridacninae) di Perairan Taman Nasional Wakatobi Nama : Muhammad Nur Findra NIM : C251130041
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc Ketua
Dr Ir Nurlisa A. Butet, MSc Anggota
Dr Ir Dedy Duryadi Solihin, DEA Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 29 Juli 2016
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Karya ilmiah ini berjudul Studi Populasi dan Profil Genetik Kima (Bivalvia, Cardiidae, Tridacninae) di Perairan Taman Nasional Wakatobi. Karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh pihak. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan studi kepada penulis, Komisi Pembimbing yang terdiri atas Bapak Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc, Ibu Dr Ir Nurlisa A. Butet, MSc dan Bapak Dr Ir Dedy Duryadi Solihin, DEA yang telah banyak memberi saran, arahan dan masukan selama pelaksanaan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini, Ibu Dr Ir Etty Riani, MS selaku Penguji Luar Komisi Pembimbing yang telah memberikan saran sehingga karya ilmiah ini menjadi lebih baik lagi, serta Bapak Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan yang telah banyak membantu selama studi penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi melalui Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI) atas Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN) sehingga penulis dapat melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang ini, Coremap-CTI atas bantuan Beasiswa penulisan Tesis kepada penulis, Pemerintah Kabupaten Wakatobi dan Balai Taman Nasional Wakatobi atas izin dan bantuan materil selama penelitian berlangsung. Ucapan terima kasih juga kepada Bapak Muhammad Lukman, La Ode Orba, Aah, Hendrawan, La Ode Almar, La Engka dan Alfian Asmara yang telah membantu selama di lapangan, rekan-rekan di Labotatorium Biologi Molekuler Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB (Pak Jusmaldi, Ibu Sri Catur, Pak Jarulis, Pak Dwi, Bu Ani, Syamsul, Heri, Ajeng Dani, Robba, Kamila dan Endar), teman-teman di Laboratorium Biomolekuler MSP (Wahyu Muzammil, Lalu Panji, Yuyun, Lella, Agus, Dewi, Febi dan Fajrin) atas bantuan dan saran selama di laboratorium, Kanda Zulfikar Affandy atas bantuan dalam pembuatan peta penelitian, rekan-rekan seperjuangan SDP 2013 atas dukungan, semangat dan do’a, serta seluruh pihak yang turut membantu dalam penelitian dan penulisan tesis ini. Secara khusus penulis sampaikan terima kasih kepada orang tua penulis (Ibunda Fitrian Saidi dan Ayahanda Almarhum La Djoodjo), saudara-saudara serta keluarga besar lainnya atas do’a dan motivasi kepada penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan studi dan karya ilmiah ini. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2016 Muhammad Nur Findra
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Manfaat Penelitian
1 1 3
2 STUDI POPULASI KIMA (Bivalvia, Cardiidae, Tridacninae) DI PERAIRAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI 5 Latar Belakang 6 Bahan dan Metode 7 Hasil dan Pembahasan 8 Simpulan 15 3 PROFIL GENETIK KIMA (Bivalvia, Cardiidae, Tridacninae) BERDASARKAN MARKA GENETIK CYTOCHROME OXYDASE SUBUNIT I (COI) DI PERAIRAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI Latar Belakang Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan
16 17 17 21 29
4 PEMBAHASAN UMUM Keterkaitan antara Kepadatan Populasi dengan Profil Genetik Konektivitas Implikasi Pengelolaan
30 30 32 33
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
34 34 34
DAFTAR PUSTAKA
35
LAMPIRAN
38
RIWAYAT HIDUP
46
DAFTAR TABEL 1 Titik pengamatan dalam penelitian 2 Kepadatan populasi kima (ind/750m2) di Kawasan Taman Nasional Wakatobi 3 Kepadatan populasi kima di berbagai lokasi 4 Variasi ukuran (panjang cangkang) kima yang ditemukan (cm) 5 Jenis dan jumlah sampel kima yang dikoleksi 6 Hasil BLASTn basa nukleotida pada GenBank 7 Nukleotida spesifik setiap jenis kima 8 Jarak genetik fragmen gen COI kima menggunakan metode p-distance 9 Polimorfisme situs nukleotida T. crocea yang berasal dari Wakatobi, Spermonde dan P. Seribu 10 Polimorfisme situs nukleotida T. maxima yang berasal dari Wakatobi, P. Togian, Biak, P. Seribu dan Padang 11 Perbandingan kepadatan populasi dengan keragaman haplotipe dan keragaman nukleotida T. crocea Kaledupa dan Tomia
8 11 12 13 18 21 23 25 27 28 31
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13
Bagan alir penelitian 4 Peta sebaran kima (Sumber: Bin-Othman et al. 2010) 6 Peta lokasi penelitian 7 Jenis-jenis kima yang ditemukan (A-B = T. crocea, C = T. squamosa, D-E = T. maxima, F = H. hippopus) 9 Komposisi jenis kima pada masing-masing lokasi (A = Wangi-wangi, B = Kaledupa, C = Tomia) 10 Distribusi kima berdasarkan ukuran 14 Peta lokasi penelitian 18 Posisi penempelan primer dalam amplifikasi gen COI pada kima 20 Hasil elektroforesis beberapa DNA kima yang teramplifikasi PCR (Keterangan: M = marker ukuran 1 kb; 1 = T. crocea; 2 = T. squamosa; 3 = T. maxima; 4 = H. hippopus) 21 Rekonstruksi pohon filogenetik menggunakan metode Neighbour Joining dengan model P-distance, nilai bootstrap 1000 ulangan 26 Peta sebaran populasi sumberdaya kima di kawasan P. Wangi-wangi, P. Kaledupa dan P. Tomia Taman Nasional Wakatobi 30 Rekonstruksi pohon filogenetik T. maxima menggunakan metode Neighbour Joining dengan model p-distance, nilai bootstrap 1000 ulangan 32 Pola arus berdasarkan olahan data real time ocean surface current analyses NOAA selama tahun 2014 dan 2015 ( = Wakatobi) 32
DAFTAR LAMPIRAN 1 Kunci identifikasi kima (Knop 1996)
39
2 Uji Kruskal-Wallis dan Mann-Whitney U kepadatan populasi kima antar lokasi 3 Uji Kruskal-Wallis dan Mann-Whitney U ukuran kima antar lokasi 4 Konsentrasi dan kemurnian DNA total kima yang berhasil teramplifikasi
40 42 45
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kima adalah salah satu jenis hewan moluska yang masuk dalam kelompok kekerangan (Bivalvia, Cardiidae, Tridacninae). Hewan ini hidup berasosiasi dengan terumbu karang, ada yang tertanam dalam karang dan ada yang terhampar di atas substrat berpasir sekitar karang dan padang lamun (Knop 1996). Kima merupakan salah satu jenis sumberdaya hayati perairan yang populasinya di alam sudah menurun. Aktivitas penangkapan oleh nelayan, baik untuk tujuan konsumsi maupun pemanfaatan cangkangnya merupakan faktor utama yang menyebabkan penurunan populasi kima di alam (Shau-Hwai dan Yasin 2003; Romimohtarto dan Juwana 2005; Larrue 2006). Daya tarik komersial kima mendorong pemanfaatan kima (cangkang dan dagingnya) oleh nelayan sangat intensif dan melebihi daya dukung populasinya di alam (Panggabean 1991). Oleh karena populasinya yang semakin berkurang serta sangat perlunya untuk menjaga kelestariannya, kima telah dimasukkan dalam daftar biota yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1999. Di perairan Indonesia terdapat tujuh dari sebelas jenis kima yang ada di dunia, terdiri atas dua genera yaitu Tridacna dan Hippopus. Ketujuh jenis kima tersebut adalah Tridacna gigas, T. derasa, T. squamosa, T. maxima, T. crocea, Hippopus hippopus dan H. porcellanus (Mudjiono 1988; Bin-Othman et al. 2010; Hernawan 2012). Empat jenis lainnya yang tidak ditemukan di Indonesia adalah T. tevoroa (Lucas, Ledua dan Braley 1991), T. rosewateri (Sirenko dan Scarlato 1991), T. costata (Richter, Roa-Quiaoit, Jantzen, Al-Zibdah, Kochzius 2008) dan T. ningaloo (Penny dan Willan 2014). Kima dari genus Tridacna umumnya memiliki mantel dengan warna yang menarik dan cenderung mencolok yang melewati bagian tepi dari cangkangnya (Calumpong, 1992). Bentuk luar cangkang kima genus Tridacna dapat dibedakan atas dua kelompok, yaitu kelompok dengan cangkang memiliki sisik (scales), yaitu T. squamosa, T. maxima dan T. crocea dan kelompok dengan cangkang tanpa sisik, yaitu T. derasa dan T. gigas (Knop 1996). Kima dari genus ini juga memiliki ukuran dari kecil hingga besar. Kima dengan ukuran paling besar terdapat dalam genus ini, yaitu T. gigas yang dapat mencapai ukuran hingga lebih dari 100 cm. Berbeda dengan genus Hippopus yang cenderung memiliki mantel dengan warna yang lebih pucat dan cangkangnya lebih mulus tanpa sisik. Salah satu wilayah penyebaran kima di Indonesia adalah wilayah perairan Taman Nasional Wakatobi. Taman Nasional Wakatobi secara administratif termasuk dalam wilayah Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. Kawasan ini ditetapkan oleh pemerintah sebagai Taman Nasional melalui SK Menhut No. 7651/Kpts-II/2002, tanggal 19 Agustus 2002 dan dikelola dengan sistem zonasi. Setidaknya terdapat lima jenis kima ditemukan di perairan Taman Nasional Wakatobi, yaitu T. crocea, T. squamosa, T. maxima, T. gigas dan H. hippopus (Findra 2010). Pengelolaan sumberdaya membutuhkan informasi dari berbagai aspek, baik aspek bioekologi maupun aspek lainnya sehingga upaya tersebut akan lebih terarah dan berhasil. Pengelolaan populasi alami suatu organisme memerlukan informasi
2 tentang distribusi, komposisi dan kepadatan organisme tersebut (Lewis et al. 1988). Studi mengenai populasi kima di beberapa wilayah Indonesia telah dilaporkan, diantaranya populasi kima di perairan Kepulaun Seribu dan Manado (Yusuf et al. 2009), beberapa tempat di Wakatobi (Findra 2010) dan juga di beberapa tempat di Nusa Tenggara Timur (Tisera et al. 2012). Selain aspek populasi, aspek lain yang dibutuhkan adalah aspek genetik. Di Indonesia, aspek genetik dalam studi keanekaragaman hayati belum banyak dikaji bila dibandingkan keanekaragaman jenis dan ekosistem. Padahal peran adaptasi dan strategi perkembangan hewan sangat ditentukan oleh kemampuan genetiknya. Keanekaragaman genetik biota perairan dan laut Indonesia seharusnya sangat tinggi, jika diduga secara induktif berdasarkan kekayaan keanekaragaman spesiesnya. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa pada umumnya dalam satu spesies saja terkandung variasi genetik yang begitu besar, apalagi di negara kepulauan terbesar seperti Indonesia. Namun sayangnya, riset-riset yang berkaitan dengan identifikasi dan pemanfaatan keanekaragaman genetik biota perairan laut Indonesia belum banyak dilakukan, padahal penelitian pada tingkat molekuler menjanjikan harapan untuk memberikan kontribusi, baik bagi kesehatan lingkungan maupun bagi kemakmuran bangsa (Dahuri 2003). Informasi keragaman genetik dapat diperoleh dengan melakukan analisis terhadap gen penyandi protein dari DNA mitokondria. Bagian dari DNA mitokondria yang sering digunakan untuk studi spesies dan populasi hewan adalah Cytochrome oxydase subunit I (COI) (Solihin 1994). Gen COI merupakan gen yang berevolusi sangat lambat sehingga dapat digunakan sebagai DNA barcoding (Hebert et al. 2003). DNA barcoding merupakan metode yang efisien untuk identifikasi tingkat jenis dan berperan dalam taksonomi penelitian keanekaragaman hayati dan juga genetika populasi (Hajibabaei et al. 2007). Pada biota akuatik ditemukan terjadinya fenomena cryptic species (hampir mirip) dan complex species (berbagai spesies berasal dari nenek moyang yang sama) yaitu spesies yang secara morfologi sama tetapi secara genetik sangat berbeda atau sebaliknya. Fenomena ini dapat mengakibatkan terjadinya kesalahan dalam mengidentifikasi (Bickford et al. 2006). Fenomena tersebut juga terjadi pada kima, khususnya dari subgenus Chametracea yaitu T. crocea, T. maxima dan T. squamosa. Pemecahan masalah ketidakpastian taksonomi dan melihat kekerabatan kima tersebut dapat diuji secara molekuler berdasarkan marka genetik COI (Nuryanto et al. 2007). Informasi ilmiah tentang kima di perairan Taman Nasional Wakatobi masih sangat terbatas, baik dari aspek populasi maupun aspek lainnya, terlebih lagi aspek genetik. Oleh karena itu, studi mengenai populasi dan profil genetik kima di perairan Taman Nasional Wakatobi perlu dilakukan dalam rangka menunjang upaya pengelolaan sumberdaya kima di perairan tersebut.
Perumusan Masalah Masyarakat lokal di sekitar Taman Nasional Wakatobi masih cenderung melakukan eksploitasi terhadap kima yang merupakan biota yang dilindungi dan terancam punah. Padahal seluruh wilayah Wakatobi baik darat maupun lautnya telah ditetapkan menjadi Taman Nasional sejak tahun 2002 yang dikelola dengan sistem zonasi.
3 Di Taman Nasional Wakatobi terjadi perbedaan jumlah jenis dan ukuran kima antara zona pemanfaatan lokal dan zona pariwisata. Jumlah jenis kima yang ditemukan pada zona pemanfaatan lebih sedikit dan ukurannya lebih kecil jika dibandingkan zona pariwisata (Findra 2010). Perbedaan ini diduga karena adanya ekploitasi pada zona pemanfaatan lokal. Pemanfaatan kima oleh masyarakat yang masih mengandalkan sumberdaya yang tersedia di alam jika dibiarkan terus berlangsung maka dapat dipastikan sumberdaya kima kian menurun populasinya bahkan dapat mencapai kepunahan. Kondisi tersebut dapat diatasi dengan mengupayakan strategi pengelolaan sumberdaya kima dengan memperhatikan aspek kelestariannya. Mengingat kima adalah biota yang dilindungi dan dibatasi perdagangannya, maka strategi yang perlu dikedepankan adalah meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas penangkapan di alam, adanya upaya penangkaran, serta pengembangan budidaya untuk memproduksi benih, baik untuk restoking di alam maupun perdagangan. Upaya-upaya ini sangat memerlukan dukungan informasi fundamental mengenai populasi kima di kawasan tersebut. Studi mengenai populasi kima di tingkat spesies di wilayah ini telah dilakukan, namun pada tingkat genetik belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini selain mengkaji populasi kima, juga mengkaji aspek genetiknya sehingga diharapkan akan sangat membantu untuk membuat suatu kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya kima. Alur penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Tujuan Penelitian Penelitian kima di perairan Taman Nasional Wakatobi ini bertujuan: 1. Mengkaji komposisi jenis, kepadatan populasi dan variasi ukuran kima di perairan Taman Nasional Wakatobi. 2. Mengidentifikasi jenis kima secara molekuler dan mengkaji profil genetiknya berdasarkan marka genetik COI di perairan Taman Nasional Wakatobi.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi ilmiah mengenai aspek populasi dan genetik yang dapat menjadi landasan upaya konservasi dan rehabilitasi dalam pengelolaan sumberdaya hayati perairan, khususnya kima di Kawasan Taman Nasional Wakatobi.
4 Taman Nasional Wakatobi Zona Inti
Zona Perlindungan Bahari
Zona Pariwisata
Sumberdaya kima
Zona Pemanfaatan Lokal Eksploitasi
Kondisi populasi dan genetik?
Aspek Populasi: Komposisi Jenis Kepadatan populasi Variasi ukuran
Aspek Genetik: Profil genetik menggunakan marka genetik COI
Informasi populasi dan genetik
Pengelolaan Sumberdaya kima Gambar 1 Bagan alir penelitian
5
2 STUDI POPULASI KIMA (Bivalvia, Cardiidae, Tridacninae) DI PERAIRAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI Abstrak Pengelolaan sumberdaya perairan membutuhkan informasi dari berbagai aspek, baik aspek biologi maupun ekologi. Penelitian ini bertujuan mengkaji komposisi jenis, kepadatan populasi dan variasi ukuran kima di perairan Taman Nasional Wakatobi. Pengamatan dilakukan di sekitar tiga pulau utama, yaitu Pulau Wangi-wangi, Pulau Kaledupa dan Pulau Tomia menggunakan transek kuadrat. Terdapat empat jenis kima di lokasi penelitian yang terdiri atas genus Tridacna dan Hippopus, yaitu T. crocea, T. squamosa, T. maxima dan H. hippopus. Kepadatan populasi seluruh jenis kima paling rendah ditemukan pada wilayah perairan kawasan Wangi-wangi. Sebaliknya, populasi paling tinggi secara umum ditemukan di wilayah perairan kawasan Tomia. Di kawasan Wangi-wangi kepadatan populasi T. crocea, T. maxima, T. squamosa dan H. hippopus masing-masing adalah 5 ind/750m2, 1 ind/750m2, 2 ind/750m2 dan 1 ind/750m2, di kawasan Kaledupa kepadatan populasinya masing-masing adalah 11 ind/750m2, 5 ind/750m2, 11 ind/750m2 dan 5 ind/750m2, sedangkan di kawasan Tomia kepadatan populasinya masing-masing adalah 12 ind/750m2, 10 ind/750m2, 22 ind/750m2 dan 28 ind/750m2. Ukuran kima yang ditemukan bervariasi antar jenis dan lokasi penelitian, kebanyakan kima yang ditemukan masih berukuran kecil sedangkan yang besar sudah menunjukkan kelangkaan. Perbedaan kepadatan populasi dan ukuran kima yang ditemukan diduga berkaitan dengan masih adanya eksploitasi sumberdaya ini oleh masyarakat lokal. Kata kunci : Hippopus, kepadatan populasi, komposisi jenis, Taman Nasional Wakatobi, Tridacna, variasi ukuran Abstract Resource management requires information from various aspects, both biological and ecological. This study was aimed at assessing the species composition, population density and size variation of giant clam in Wakatobi National Park waters. Observation was conducted at around three main islands, i.e., Wangi-wangi, Kaledupa and Tomia using belt transect. There were four species of clam in the study site consisting genus Tridacna and Hippopus, i.e., T. crocea, T. squamosa, T. maxima and H. hippopus. The lowest population density of all types of giant clam was found in Wangi-wangi region waters. On the other hand, most population was dominant in Tomia region waters. Population density of T. crocea, T. maxima, T. squamosa and H. hippopus in Wangi-wangi were 5 ind/750m2, 1 ind/750m2, 2 ind/750m2 and 1 ind/750m2, respectively; population density in Kaledupa was 11 ind/750m2, 5 ind/750m2, 11 ind/750m2 and 5 ind/750m2, respectively; while population density in Tomia was 12 ind/750m2, 10 ind/750m2, 22 ind/750m2 and 28 ind/750m2, respectively. Size of giant clams were found to differ by species and research location, mostly giant clams found were still in small
6 size, whereas the large ones were scare. Differences in population density and size of giant clams may be due to exploitation of these resources by local communities. Keywords : Hippopus, population density, size variation, species composition, Tridacna, Wakatobi National Park Latar Belakang Kima merupakan salah satu komoditas perikanan yang sangat potensial, karena memiliki nilai komersial yang baik dan dagingnya mengandung protein yang tinggi, sehingga laku di pasaran dalam dan luar negeri (Panggabean, 1991; Romimohtarto dan Juwana, 2005). Hewan ini telah dimasukkan dalam daftar biota yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1999. Kima hidup di laut tropis, terutama tersebar luas di kawasan Indo-Pasifik (Gambar 2). Biasanya ditemukan di daerah terumbu karang dengan sebaran yang berbeda-beda (Copland dan Lucas, 1988). Di perairan Indonesia terdapat tujuh dari sebelas jenis kima yang ada di dunia yaitu Tridacna gigas, T. derasa, T. squamosa, T. maxima, T. crocea, Hippopus hippopus dan H. porcellanus (Mudjiono 1988; Bin-Othman et al. 2010; Hernawan 2012). Studi mengenai populasi kima di beberapa wilayah Indonesia telah dilaporkan, diantaranya populasi kima di perairan Kepulaun Seribu dan Manado (Yusuf et al. 2009), beberapa tempat di Wakatobi (Findra 2010) dan juga di beberapa tempat di Nusa Tenggara Timur (Tisera et al. 2012).
Gambar 2 Peta sebaran kima (Sumber: Bin-Othman et al. 2010) Taman Nasional Wakatobi secara administratif termasuk dalam wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara. Kawasan ini ditetapkan oleh pemerintah sebagai Taman Nasional melalui SK Menhut No. 7651/Kpts-II/2002, tanggal 19 Agustus 2002 dan dikelola dengan sistem zonasi. Wilayah ini adalah salah satu kawasan penyebaran terumbu karang yang juga merupakan habitat dari kima. Masyarakat lokal juga masih memanfaatkan kima baik pemanfatan dagingnya sebagai bahan
7 makanan maupun pemanfaatan cangkangnya. Hal ini tentu akan mempengaruhi keberadaan populasi kima, baik komposisi jenis, kepadatan populasi maupun ukuran kima di habitatnya. Namun informasi ilmiah mengenai bioekologi kima di Wakatobi belum banyak dikaji, sebagai contoh data populasi kima masih sangat terbatas. Oleh karena itu, sebagai informasi awal dalam pengelolaan sumberdaya kima di perairan Taman Nasional Wakatobi perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui kondisi populasi kima di perairan tersebut. Bahan dan Metode Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Mei 2015. Pengamatan dilakukan di sekitar tiga pulau utama Taman Nasional Wakatobi, yaitu kawasan Pulau Wangi-wangi, kawasan Pulau Kaledupa dan kawasan Pulau Tomia (Gambar 3).
Gambar 3 Peta lokasi penelitian Komposisi Jenis Pengamatan dilakukan menggunakan transek kuadrat (belt transect) dengan ukuran 50 m x 5 m. Pengamatan dilakukan sebanyak tiga transek pada tiap lokasi (Tabel 1), sehingga total area pengamatan tiap lokasi adalah 750 m2. Penentuan lokasi pengamatan secara purposive sampling yang didasarkan pada keberadaan kima. Kima yang ditemukan selanjutnya diidentifikasi jenisnya berdasarkan
8 deskripsi oleh Knop (1996) (Lampiran 1). Jenis dan jumlah kima dicatat berdasarkan kemunculannya dalam transek. Tabel 1 Titik pengamatan dalam penelitian No. Lokasi 1. Kawasan Pulau Wangi-wangi (Zona Pemanfaatan) 2.
3.
Koordinat 123°30’46.169”E, 5°20’55.763”S 123°31’1.534”E, 5°21’10.430”S 123°31’11.575”E, 5°21’28.509”S 123°42’55.279”E, 5°28’27.226”S 123°43’43.318”E, 5°28’27.875”S 123°45’25.238”E, 5°28’10.997”S 123°52’7.726”E, 5°46’41.733”S 123°52’23.306”E, 5°46’55.365”S 123°54’11.718”E, 5°46’49.523”S
Kawasan Pulau Kaledupa (Zona Pemanfaatan dan Zona Pariwisata) Kawasan Pulau Tomia (Zona Pemanfaatan dan Zona Pariwisata)
Kepadatan Populasi Kepadatan populasi tiap jenis kima dihitung dengan membandingkan jumlah individu yang ditemukan dengan luas area pengamatan. Adapun formulasi yang digunakan untuk menghitung kepadatan populasi adalah: Di = Keterangan : Di = Kepadatan populasi jenis ke-i ni = Jumlah individu jenis ke-i A = Luas daerah pengamatan
ni A
Ukuran Ukuran kima diukur menggunakan mistar ukur dan kaliper. Setiap kima yang ditemukan diukur panjang cangkangnya secara insitu. Analisis data Data kepadatan populasi dan ukuran kima dianalisis statistik menggunakan uji Kruskal-Wallis untuk mengetahui signifikansi perbedaan antar jenis kima atau lokasi penelitian. Jika perbedaannya signifikan maka dilakukan uji Mann-Whitney U untuk mengetahui spesies atau lokasi mana saja yang memiliki perbedaan signifikan. Analisis statistik tersebut menggunakan perangkat lunak SPSS 17. Hasil dan Pembahasan Komposisi Jenis Hasil pengamatan pada penelitian ini menemukan bahwa terdapat dua genus kima di perairan Taman Nasional Wakatobi yaitu Tridacna dan Hippopus. Genus Tridacna yang teramati terdiri atas tiga jenis yaitu T. crocea, T. squamosa dan T. maxima, sedangkan genus Hippopus yang teramati hanya satu jenis yaitu jenis H. hippopus (Gambar 4). Beberapa jenis lainnya seperti T. gigas, T. derasa dan H. porcellanus tidak temukan dalam penelitian ini. Tidak ditemukannya beberapa jenis
9 kima tersebut di lokasi pengamatan menunjukkan bahwa keberadaan kima jenis tersebut sudah semakin langka. Jenis-jenis tersebut memiliki ukuran yang lebih besar jika dibandingkan kima lainnya sehingga sangat diminati untuk diambil. Terlebih lagi cara hidupnya yang tidak tertanam dalam batu ataupun terumbu karang seperti T. crocea dan T. maxima sehingga sangat mudah untuk diambil. Menurut Knop (1996), T. gigas dapat mencapai ukuran lebih dari 150 cm dan beratnya berkisar 200 hingga 500 kg, T. derasa dapat mencapai lebih dari 60 cm, sedangkan H. porcelanus dapat mencapai lebih dari 40 cm. Ukuran tersebut jauh lebih besar jika dibandingkan dengan jenis T. crocea yang hanya dapat mencapai ukuran 13 hingga 15 cm serta T. squamosa dan T. maxima yang dapat mencapai 30 hingga 40 cm. Empat jenis lainnya juga yaitu T. tevoroa, T. rosewateri, T. costata dan T. ningaloo juga yang tidak ditemukan dalam penelitian ini. Hal ini disebakan karena jenis-jenis tersebut penyebarannya sangat terbatas di dunia, hanya ditemukan pada wilayah tertentu saja yang menjadi habitatnya (Richter et al. 2008; Bin-Othman et al. 2010; Penny dan Willan 2014) dan sampai saat ini belum pernah ditemukan di perairan Indonesia.
A
C
2 cm
B
2 cm
2 cm
D
E
F
2 cm
2 cm
2 cm
Gambar 4 Jenis-jenis kima yang ditemukan (A-B = T. crocea, C = T. squamosa, D-E = T. maxima, F = H. hippopus) Masing-masing lokasi, baik kawasan Pulau Wangi-wangi, Kaledupa maupun Tomia ditemukan keempat jenis kima tersebut. Namun memiliki perbedaan dalam hal komposisinya (Gambar 5). Di kawasan Wangi-wangi, jenis yang paling banyak ditemukan adalah T. crocea dan T. maxima, masing-masing sebanyak 56% dan 22%. Demikian juga pada kawasan Kaledupa, jenis yang paling banyak ditemukan adalah T. crocea dan T. maxima masing-masing sebanyak 34% sedangkan di kawasan Tomia jenis yang paling banyak ditemukan adalah H. hippopus sebanyak 39%, kemudian T. maxima, T. crocea dan T. squamosa masing-masing sebanyak 30%,
10 17% dan 14%. Hal ini disebabkan oleh perbedaan karakteristik habitat pada masing-masing lokasi. Pada kawasan Wangi-wangi (P. Kapota) dan Kaledupa (P. Hoga dan pesisir P. Kaledupa) lokasi pengamatan berupa daerah terumbu karang, sedangkan di kawasan Tomia (P. Sawa dan P. Tolandono) lokasi pengamatan didominasi oleh padang lamun dan sedikit terumbu karang. T. maxima, T. crocea dan T. squamosa lebih banyak hidup pada daerah terumbu karang karena membutuhkan substrat berupa batu atau terumbu karang untuk menempel dan membenamkan dirinya di dalam substrat tersebut, sedangkan H. hippopus lebih memilih hidup pada substrat berpasir, baik di sekitar padang lamun maupun di sekitar terumbu karang (Knop 1996; Neo et al. 2015). A
B
11%
C
16%
17%
Kaledupa34% 22%
39% 14%
16%
56% 34% 11%
34%
T. crocea
T. squamosa
34% 16% 16%
T. maxima
30%
H. hippopus
Gambar 5 Komposisi jenis kima pada masing-masing lokasi (A = Wangiwangi, B = Kaledupa, C = Tomia) Jenis kima yang ditemukan di beberapa lokasi lain di Indonesia juga hanya berkisar antara tiga hingga empat jenis saja. Diantaranya di perairan Kepulaun Seribu ditemukan tiga jenis yaitu T. maxima, T. crocea dan T. squamosa (Yusuf et al. 2009), di Manado ditemukan empat jenis yaitu T. maxima, T. crocea, T. squamosa dan T. gigas (Yusuf et al. 2009) dan di beberapa tempat di Nusa Tenggara Timur juga ditemukan empat jenis yaitu T. maxima, T. crocea, T. squamosa dan H. hippopus (Tisera et al. 2012). Hal ini menunjukkan bahwa beberapa jenis kima sudah mengalami kelangkaan bahkan tidak ditemukan lagi di berbagai tempat di Indonesia. Kepadatan Populasi Jumlah populasi kima yang ditemukan dalam penelitian ini pada tiga lokasi pengamatan adalah sebanyak 113 individu, dengan jumlah individu tiap jenisnya berbeda-beda tiap lokasi. T. crocea yang ditemukan sebanyak 26 individu, T. maxima sebanyak 37 individu, T. squamosa sebanyak 26 individu dan H. hippopus ditemukan sebanyak 34 individu. Adapun kepadatan populasi kima untuk masingmasing jenis dan masing-masing lokasi dapat dilihat pada Tabel 2.
11 Tabel 2 Kepadatan populasi kima (ind/750m2) di Kawasan Taman Nasional Wakatobi Jenis T. crocea T. squamosa T. maxima H. hippopus Total
Wangi-wangi 5a 1a 2a 1a 9a
Lokasi Kaledupa 11a 5a 11a 5a 32b
Tomia 12a 10a 22a 28a 72c
Angka-angka pada baris yang sama diikuti superscript yang berbeda menunjukkan berbeda signifikan pada taraf α = 0.1
Kepadatan populasi kima paling rendah ditemukan pada wilayah perairan kawasan Pulau Wangi-wangi, baik dari jenis T. crocea, T. maxima, T. squamosa, maupun H. hippopus, sedangkan populasi paling tinggi secara umum ditemukan di wilayah perairan kawasan Pulau Tomia. Di kawasan Wangi-wangi kepadatan populasi T. crocea, T. maxima, T. squamosa dan H. hippopus masing-masing adalah 5 ind/750m2, 1 ind/750m2, 2 ind/750m2 dan 1 ind/750m2 sedangkan di kawasan Tomia kepadatan populasinya masing-masing adalah 12 ind/750m2, 10 ind/750m2, 22 ind/750m2 dan 28 ind/750m2. Uji statistik kepadatan populasi kima berdasarkan jenis menggunakan uji Mann-Whitney U pada taraf α = 0.1 tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antar lokasi, namun kepadatan total kima (tanpa membedakan jenis) menunjukkan perbedaan yang signifikan (Lampiran 2). Perbedaan kepadatan populasi ini diduga berkaitan dengan tingkat eksploitasi secara liar oleh nelayan. Lokasi yang memiliki potensi adanya aktifitas penangkapan memiliki tingkat kepadatan populasi yang rendah. Lokasi pengamatan di wilayah Wangi-wangi adalah zona pemanfaatan lokal. Pada zona tersebut masyarakat sekitar boleh mengembangkan dan memanfaatkan sumberdaya alam laut (sumberdaya yang tidak dilindungi) secara tradisional untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Hal ini tentu mengakibatkan zona tersebut berpotensi adanya aktivitas eksploitasi kima. Berbeda dengan lokasi pengamatan di Kaledupa dan Tomia yang sebagian lokasi pengamatan adalah zona pariwisata, sehingga pengawasannya lebih intensif dan aktifitivitas pemanfaatannya juga terbatas. Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No. SK.149/IV-KK/2007, sistem zonasi Taman Nasional Wakatobi terdiri atas enam zona dengan peruntukan yang berbeda-beda. Zona-zona tersebut adalah zona inti, zona perlindungan bahari, zona pariwisata, zona pemanfaatan lokal, zona pemanfaatan umum dan zona khusus/daratan. Meskipun demikian, nelayan lokal Wakatobi masih mengambil kima yang berasal dari alam untuk di konsumsi. Ini terlihat dari masih ditemukannya daging kima kering yang dijual oleh masyarakat di beberapa tempat di Wakatobi. Tingginya kepadatan populasi kima di kawasan Tomia menunjukkan bahwa di kawasan tersebut kima berhasil melangsungkan reproduksinya sehingga jumlahnya banyak. Berbeda dengan kawasan lain utamanya di kawasan Wangiwangi, kima yang ditemukan sedikit jumlahnya sehingga kepadatan populasinya juga rendah. Banyaknya populasi kima menunjukkan bahwa ukuran populasinya besar. Ukuran populasi yang besar akan menjamin keberlangsungan proses
12 reproduksi kima. Demikian juga sebaliknya, jika ukuran populasinya kecil maka perkembangbiakan akan sulit berlangsung. Menurut Panggabean (1991), dalam keadaan normal saja kima lambat dalam perkembangbiakannya apalagi dalam keadaan yang tidak normal yang disebabkan oleh eksploitasi yang berlebih. Kepadatan populasi kima baik di Wakatobi maupun di berbagai lokasi lain tidak jauh berbeda. Perbandingan kepadatan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kima secara global telah mengalami kelangkaan. Tabel 3 Kepadatan populasi kima di berbagai lokasi No 1.
Lokasi Wakatobi, Indonesia Wangi-wangi
Kaledupa
Tomia
2.
Kep. Seribu, Indonesia
3.
Manado, Indonesia
4.
Singapura
Jenis
Kepadatan (ind/750m2)
T. crocea T. squamosa T. maxima H. hippopus
5 1 2 1
T. crocea T. squamosa T. maxima H. hippopus
11 5 11 5
T. crocea T. squamosa T. maxima H. hippopus T. crocea T. squamosa T. maxima T. crocea T. squamosa T. maxima T. gigas T. crocea T. squamosa
12 10 22 28 21 20 12 7 16 1 2 27 24
Sumber Referensi
Studi ini
Yusuf et al. (2009) Yusuf et al. (2009) Neo dan Todd (2012)
Variasi ukuran Kima yang ditemukan di perairan kawasan Taman Nasional Wakatobi baik di kawasan Pulau Wangi-wangi, Kaledupa maupun Tomia memiliki ukuran yang bervariasi untuk setiap jenisnya. Variasi ukuran kima tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.
13 Tabel 4 Variasi ukuran (panjang cangkang) kima yang ditemukan (cm) Jenis T. crocea T. squamosa T. maxima H. hippopus
Wangi-wangi Kaledupa Tomia Variasi Rata-rata Variasi Rata-rata Variasi Rata-rata ukuran ±SD ukuran ±SD ukuran ±SD a a 3.0-5.0 4.40±0.89 2.0-9.5 5.35±2.27 1.5-10.0 5.13±2.66a 6.0 6.00a 5.0-21.0 9.00±6.75a 4.5-12.0 7.45±2.49a 5.0-6.0 5.50±0.71a 3.0-18.5 7.68±4.84a 2.0-10.5 5.50±2.73a 9.6 9.60a 9.2-11.5 10.45±1.12a 10.0-20.0 15.32±2.83b
Angka-angka pada baris yang sama diikuti superscript yang berbeda menunjukkan berbeda signifikan pada taraf α = 0.1
Kima jenis T. crocea memiliki ukuran yang paling kecil di antara jenis kima lainnya yaitu dengan kisaran panjang cangkang 3-5 cm dan rata-rata 4.40 cm untuk kawasan Wangi-wangi, kisaran panjang cangkang 2-9.5 cm dan rata-rata 5.35 cm untuk kawasan Kaledupa serta kisaran panjang cangkang 1.5-10 cm dan rata-rata 5.13 cm untuk kawasan Tomia. T. crocea adalah jenis kima yang memiliki ukuran paling kecil dibandingkan jenis lainnya yaitu ukuran maksimalnya hanya mencapai 15 cm saja. Berdasarkan variasi ukuran tersebut dapat diketahui bahwa T. crocea yang ditemukan dalam lokasi penelitian memiliki stadia hidup yang bervariasi, mulai dari kima yang masih dalam stadia juvenil hingga dewasa. T. crocea yang berukuran <2 cm merupakan kima dalam stadia juvenil, 2-4 cm merupakan postjuvenil sedangkan >4 cm adalah kima dewasa dan telah memasuki masa hermaproditnya (Fitt 1999). Kima merupakan hewan hermaprodit yaitu setiap individu kima dilengkapi oleh sel-sel telur dan sperma namun pemijahannya selalu didahului oleh pengeluaran sperma, kemudian baru diikuti oleh pelepasan telurtelur. Telur-telur kemudian menyebar terbawa arus dan dapat merangsang indukinduk kima yang lain untuk memijah secara simultan. Telur kima masak yang dipijahkan mengandung zat yang dapat menghindarkan keadaan yang tidak diinginkan, yaitu fertilisasi atau pembuahan sendiri (self fertilization). Di lingkungan terumbu yang belum terjamah, kima yang sejenis biasanya hidup membentuk kelompok-kelompok sehingga memungkinkan terjadinya pembuahan secara optimal (Lucas 1988; Panggabean 1991; Soo dan Todd 2014). T. squamosa di perairan kawasan Wangi-wangi memiliki panjang cangkang 6 cm (ditemukan hanya satu individu), di kawasan Kaledupa memiliki kisaran panjang cangkang 5-21 cm dan rata-rata 9 cm serta di kawasan Tomia memiliki kisaran panjang cangkang 4.5-12 cm dan rata-rata 7.45 cm. Kima jenis ini yang ditemukan pada setiap lokasi juga dalam stadia juvenil, post-juvenil dan ada yang sudah memasuki fase dewasa. Menurut Fitt (1999), T. squamosa yang berukuran <10 cm merupakan stadia juvenil, 10-20 cm merupakan post-juvenil sedangkan >20 cm telah memasuki masa dewasa. T. maxima di perairan kawasan Wangi-wangi memiliki kisaran panjang cangkang 5-6 cm dengan rata-rata 5.50 cm, di kawasan Kaledupa memiliki kisaran panjang cangkang 3-18.5 cm dengan rata-rata 7.68 cm serta di kawasan Tomia memiliki kisaran panjang cangkang 2-10.5 cm dan rata-rata 5.50 cm. Kima jenis ini yang ditemukan pada setiap lokasi juga dalam stadia juvenil, post-juvenil dan ada yang sudah memasuki fase dewasa. T. maxima yang berukuran <4 cm merupakan
14 kima dalam stadia juvenil, 4-15 cm merupakan post-juvenil sedangkan >15 cm adalah kima dewasa dan telah memasuki masa dewasa (Fitt 1999). H. hippopus di perairan kawasan Wangi-wangi memiliki panjang cangkang 9.6 cm (ditemukan hanya satu individu), di kawasan Kaledupa memiliki kisaran panjang cangkang 9.2-11.5 cm dengan rata-rata 10.45 cm dan di kawasan Tomia memiliki kisaran panjang cangkang 10-20 cm dengan rata-rata 15.32 cm. Kima jenis ini yang ditemukan pada setiap lokasi sudah dalam stadia post-juvenil dan ada yang sudah memasuki fase dewasa. Menurut Fitt (1999), H. hippopus yang berukuran <7 cm merupakan stadia juvenil, 7-12 cm merupakan post-juvenil sedangkan >13 cm telah memasuki masa dewasa. Dari semua jenis kima yang ditemukan, secara umum kima yang memiliki ukuran lebih besar berada di kawasan Pulau Tomia. Namun berdasarkan uji statistik menggunakan Kruskal-Wallis (Lampiran 3), ukuran kima yang ditemukan di masing-masing lokasi menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan untuk jenis T. crocea, T. squamosa dan T. maxima. Hanya jenis H. hippopus saja yang menunjukkan perbedaan ukuran yang signifikan antar lokasi. Berdasarkan uji Mann-Whitney U (Lampiran 3), yang signifikan perbedaan ukurannya adalah H. hippopus yang berada di kawasan Pulau Kaledupa dan Tomia. Distribusi kima berdasarkan ukuran dapat dilihat pada Gambar 6. 19
20 17
18
Jumlah Individu
16 14 12
10 9
10
8 7
8 6
6 5
5 4 3
4 2
5
4 2
2
1
2
1 0
000
11 0000
0
0
0
0
0
000
0 1-7
8 - 14
15 - 21
1-7
Wangi-wangi
8 - 14
15 - 21
1-7
8 - 14
Kaledupa
15 - 21
Tomia
Kisaran Ukuran (cm) T. crocea
T. squamosa
T. maxima
H. hippopus
Gambar 6 Distribusi kima berdasarkan ukuran Semua jenis kima yang ditemukan di kawasan Pulau Wangi-wangi dan Kaledupa masih berukuran kecil (kisaran ukuran 1-7 cm), sedangkan yang berukuran sedang (kisaran ukuran 8-14 cm) dan besar (kisaran ukuran 15-21 cm) jumlahnya sedikit bahkan di kawasan Wangi-wangi tidak ditemukan lagi kima yang berukuran besar. Tidak ditemukannya kima yang berukuran besar diduga disebabkan oleh penangkapan, sehingga kima-kima tersebut saat ini sudah sulit
15 ditemukan lagi. Tidak hanya di Wakatobi, di lokasi lain juga kima sudah sangat jarang ditemukan yang berukuran besar. Diantaranya yang telah dilaporkan oleh Tisera et al. (2012), bahwa 63% kima (T. crocea) yang ditemukan di perairan Nusa Tenggara Timur masih berupa juvenil dan berukuran kecil dengan kisaran ukuran 2.1-4.6 cm.
Simpulan Jenis kima yang ditemukan di lokasi penelitian adalah T. crocea, T. squamosa, T. maxima dan H. hippopus yang terdiri atas dua genus yaitu Tridacna dan Hippopus. Kepadatan populasi kima paling rendah ditemukan pada wilayah perairan kawasan Pulau Wangi-wangi, baik dari jenis T. crocea, T. maxima, T. squamosa, maupun H. hippopus yaitu masing-masing 5 ind/750m2, 1 ind/750m2, 2 ind/750m2 dan 1 ind/750m2 sedangkan populasi paling tinggi secara umum ditemukan di wilayah perairan kawasan Pulau Tomia yaitu masing-masing 12 ind/750m2, 10 ind/750m2, 22 ind/750m2 dan 28 ind/750m2. Ukuran kima yang ditemukan bervariasi antar jenis dan lokasi penelitian, kebanyakan kima yang ditemukan masih berukuran kecil, sedangkan yang besar sudah menunjukkan kelangkaan. Oleh karena itu, sangat diperlukan upaya pengelolaan agar sumberdaya kima di Wakatobi tetap lestari.
16
3 PROFIL GENETIK KIMA (Bivalvia, Cardiidae, Tridacninae) BERDASARKAN MARKA GENETIK CYTOCHROME OXYDASE SUBUNIT I (COI) DI PERAIRAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI Abstrak Informasi genetik merupakan salah satu aspek yang diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya perairan, namun masih kurang diperhatikan. Padahal peran adaptasi dan strategi perkembangan hewan sangat ditentukan oleh kemampuan genetiknya. Penelitian ini bertujuan mengkaji profil genetik kima di perairan Taman Nasional Wakatobi menggunakan marka genetik Cytochrome oxydase subunit I. Segmen gen target diamplifikasi menggunakan sepasang primer spesifik kima (LCO dan RCO) untuk kima genus Tridacna dan primer invertebrata (LCO1490 dan HCO2198) untuk genus Hippopus. Basa nukleotida yang berhasil teramplifikasi sepanjang 522 bp untuk jenis T. crocea, T. squamosa dan T. maxima serta 702 bp untuk jenis H. hippopus. Penelitian ini mendapatkan 48 situs nukleotida spesifik, yang terdiri atas dua situs dari jenis T. crocea, tujuh situs dari jenis T. squamosa, delapan situs dari jenis T. maxima dan 31 situs dari jenis H. hippopus. Analisis genetik menunjukkan bahwa gen COI dapat membantu mengidentifikasi kima hingga tingkat jenis. Gen COI sebagai penanda genetik mampu memisahkan secara berkelompok tiap jenis kima dan menunjukkan kekerabatan diantara mereka. T. crocea asal Wakatobi memiliki variasi basa nukleotida yang paling tinggi jika dibandingkan dengan kima dari lokasi lain sehingga dapat dijadikan sebagai sumber genetik dalam pengelolaan sumberdaya kima, baik untuk translokasi, restoking, maupun domestikasi. Kata kunci: Cytochrome oxydase subunit I, Hippopus, nukleotida spesifik, profil genetik, Taman Nasional Wakatobi, Tridacna Abstract Genetic information is one of the aspects that is necessary in aquatic reseources management; but, it is still less noticeable. Whereas, the role of adaptation and animal development strategy is largely determined by genetic capabilities. This study was aimed at assessing the genetic profile of giant clam in Wakatobi National Park waters using COI genetic marker. Samples were collected from the three main islands, i.e., Wangi-wangi, Kaledupa, and Tomia. Fragment of COI gene was amplified using tridacnid specific primers (LCO and RCO) for Tridacna genus and invertebrates primer (LCO1490 dan HCO2198) for Hippopus genus. There were 522 bp nucleotide bases that succecfully amplified from T. crocea, T. squamosa and T. maxima, and 702 bp from T. crocea. The research found 48 specific nucleotide sites that became barcode of each species, T. crocea, T. squamosa, T. maxima, and H. hippopus had 2, 7, 8, and 31 sites, respectively. Genetic analysis using COI gene may contribute in identifying giant clams up to the species level and showed the relationship among species. COI gene as a
17 biological marker was able to separate groups of giant clam by species. Nucleotide variation of T. crocea from Wakatobi was the highest among other locations, so it could be used as a genetic source for tranlocation, restocking and domestication. Keywords : Cytochrome oxydase subunit I, genetic profile, Hippopus, Tridacna, Wakatobi National Park
Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya membutuhkan informasi dari berbagai aspek, baik aspek bioekologi maupun aspek lainnya sehingga upaya tersebut akan lebih terarah dan berhasil. Salah satu yang dibutuhkan adalah informasi genetik. Di Indonesia, aspek genetik dalam studi keanekaragaman hayati masih kurang diperhatikan bila dibandingkan keanekaragaman jenis dan ekosistem. Padahal peran adaptasi dan strategi perkembangan hewan sangat ditentukan oleh kemampuan genetiknya. Informasi keragaman genetik dapat diperoleh dengan melakukan analisis terhadap gen penyandi protein dari DNA mitokondria. Bagian dari DNA mitokondria yang sering digunakan untuk studi spesies dan populasi hewan adalah Cytochrome oxydase subunit I (COI) (Solihin 1994). Gen COI merupakan gen yang berevolusi sangat lambat sehingga dapat digunakan sebagai DNA barcoding (Hebert et al. 2003). DNA barcoding merupakan metode yang efisien untuk identifikasi tingkat jenis dan berperan dalam taksonomi penelitian keanekaragaman hayati dan juga genetika populasi (Hajibabaei et al. 2007). Pada biota akuatik ditemukan terjadinya fenomena cryptic species (hampir mirip) dan complex species (berbagai spesies berasal dari nenek moyang yang sama), yaitu spesies yang secara morfologi sama tetapi secara genetik sangat berbeda atau sebaliknya. Fenomena ini dapat mengakibatkan terjadinya kesalahan dalam mengidentifikasi (Bickford et al. 2006). Fenomena ini terjadi juga pada kima, khususnya dari subgenus Chametracea yaitu T. crocea, T. maxima dan T. squamosa. Pemecahan masalah ketidakpastian taksonomi dan melihat kekerabatan kima tersebut dapat diuji secara molekuler berdasarkan marka genetik COI (Nuryanto et al. 2007). Penelitian penggunakan gen COI sebagai penanda genetik pada kima telah dilakukan, diantaranya telah dilaporkan oleh Nuryanto et al. (2007) di beberapa tempat di Indonesia, Tisera et al. (2012) di Laut Savu Nusa Tenggara Timur serta Lizano dan Santos (2014) di Filipina. Namun, untuk wilayah perairan Wakatobi belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji profil genetik kima di perairan Taman Nasional Wakatobi menggunakan marka genetik COI.
Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2015 - Februari 2016. Pengoleksian sampel kima dilakukan di perairan Taman Nasional Wakatobi di sekitar tiga pulau utama, yaitu kawasan Pulau Wangi-wangi, kawasan Pulau
18 Kaledupa dan kawasan Pulau Tomia (Gambar 7). Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Terpadu Departemen Biologi FMIPA IPB.
Gambar 7 Peta lokasi penelitian Koleksi Sampel Sampel tiap jenis kima identifikasi berdasarkan deskripsi menurut Knop (1996) dan diambil sampelnya dari masing-masing lokasi (Lampiran 1). Jumlah dan jenis sampel yang diambil dapat dilihat pada Tabel 5. Sampel kima yang diambil berupa jaringan mantel dengan menggunakan gunting sebanyak ±1 cm. Pengambilan jaringan mantel tersebut dimaksudkan agar kima yang diambil jaringannya masih tetap hidup, sehingga tidak mengakibatkan kematian dan mengganggu populasinya. Sampel jaringan yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabung sampel dan diberi pengawet berupa alkohol 96%. Tabel 5 Jenis dan jumlah sampel kima yang dikoleksi No. Jenis 1. T. crocea
Lokasi Langgira, Kaledupa P. Hoga, Kaledupa P. Sawa, Tomia
Kode Sampel TcL TcH TcS
Jumlah 2 3 1
19 Tabel 5 Jenis dan jumlah sampel kima yang dikoleksi (lanjutan) No. Jenis 2. T. squamosa
3.
T. maxima
4.
H. hippopus
Lokasi P. Kapota, Wangi-wangi Langgira, Kaledupa P.Hoga, Kaledupa P. Sawa, Tomia
Kode Sampel TsW TsL TsH TsS
Jumlah 1 5 5 1
Langgira, Kaledupa P. Hoga, Kaledupa P. Sawa, Tomia
TmL TmH TmS
1 3 1
HW HL HH HO
5 2 3 5 39
P. Kapota, Wangi-wangi Langgira, Kaledupa P.Hoga, Kaledupa Onemobaa, Tomia Total sampel
Isolasi dan Ekstraksi DNA Total Sebelum dilakukan isolasi dan ekstraksi, sampel kima dicuci menggunakan Low TE agar sampel terbebas dari larutan alkohol sebagai pengawetnya. Selanjutnya sampel kima diisolasi dan diekstraksi menggunakan kit komersial GeneAid. Prosedur isolasi dan ekstrasi DNA total dilakukan mengikuti manual dari pabrik dengan beberapa prosedur yang telah dimodifikasi seperlunya. Visualisasi DNA Total Produk hasil ekstraksi dan purifikasi selanjutnya dielektoforesis pada 1.2% gel agarose dalam 1X TBE (Tris-borate-EDTA) buffer. Pewarnaan gel menggunakan Ethidium Bromida sebanyak 0.5 µg/l. Selanjutnya divisualisasi menggunakan UV transluminator (λ = 300 nm). Visualisasi ini bertujuan untuk mengetahui keberhasilan ekstraksi DNA. Selain divisualisasi, kualitas hasil ekstraksi DNA Total juga diuji secara kuantitatif dengan spektrofotometer menggunakan alat nanodrop pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm (Lampiran 4). Menurut Sambrook et al. (1989), DNA dengan tingkat kemurnian baik memiliki rasio A260/280 1.8-2.0. Amplifikasi dengan PCR Segmen gen target diamplifikasi menggunakan mesin PCR (Polymerase Chain Reaction). Primer yang digunakan adalah primer spesifik untuk kima yang telah didesain oleh Nuryanto et al. (2007), LCO: 5’-GGG TGA TAA TTC GAA CAG AA-3’ dan RCO: 5’-TAG TTA AAG CCC CAG CTA AA-3’. Jenis H. hippopus tidak dapat teramplifikasi menggunakan primer LCO dan RCO sehingga digunakan primer lain yaitu primer untuk invertebrata LCO1490: 5’-GGT CAA CAA ATC ATA AAG ATA TTG G-3’ dan HCO2198: 5’-TAA ACT TCA GGG TGA CCA AAA AAT CA-3’ (Folmer et al. 1994). Target gen COI yang teramplifikasi sepanjang ± 500 bp untuk primer LCO dan RCO serta ± 700 bp untuk primer LCO1490 dan HCO2198 (Gambar 8). Total volume reaksi adalah 25 µl yang terdiri atas 9.8 µl ddH2O, 4 µl Q5 Buffer, 5 µl Q5 Enhancher, 1 µl dNTP, 1µl Primer Forwards, 1 µl Primer Reverse, 3 µl Template DNA dan 0.2 µl Taq Hot Start Q5.
20
Gambar 8 Posisi penempelan primer dalam amplifikasi gen COI pada kima Amplifikasi dilakukan menggunakan mesin PCR dengan kondisi predenaturasi 95°C selama 5 menit, dilanjutkan dengan 35 siklus yang terdiri atas denaturasi 94°C selama 45 detik, annealing (penempelan) 49°C untuk jenis T. crocea dan T. maxima, 52°C untuk jenis T. squamosa serta 49°C untuk jenis H. hippopus selama 45 detik dan ekstensi 72°C selama 1 menit serta ekstensi akhir 72°C selama 7 menit. Hasil amplifikasi selanjutnya diuji elektroforesis menggunakan gel agarose 1.2% untuk mengetahui keberhasilan amplifikasi. Perunutan Fragmen DNA (Sequensing) Produk PCR yang baik berupa pita tunggal yang terlihat pada saat elektroforesis (berukuran 522 bp dan 708 bp) dilanjutkan ke tahap sekuensing untuk melihat runutan basa nukleotida pada gen target. Sekuensing produk PCR tersebut dikirim ke 1st BASE Sequencing, Malaysia. Pensejajaran Sekuen (Sequence Alignment) dan Analisis Data Hasil sekuensing dikoreksi dan disejajarkan menggunakan perangkat lunak MEGA 5.0 (Tamura et al. 2011). Sekuen dari setiap sampel dilakukan BLASTn pada GenBank untuk mengetahui kedekatan terhadap sekuen lain yang tersimpan dalam GenBank. Kedekatan tersebut yang menjadi data sekuen sekunder untuk dianalisa sehingga menghasilkan pohon filogenetik. Rekonstruksi pohon filogenetik menggunakan metode Neighbour Joining dengan model p-distance nilai bootstrap 1000 ulangan pada program MEGA 5.0. Analisis jarak genetik dan rekonstruksi pohon filogenetik menggunakan beberapa sekuen dari GenBank sebagai outgroup maupun ingroup-nya. Adapun sekuen yang digunakan adalah sekuen T. crocea yang berasal dari Kepulauan Spermonde (kode akses EU003606), T. crocea yang berasal dari Pulau Seribu (kode akses EU003608), T. maxima yang berasal dari Padang (kode akses EU003610), T. maxima yang berasal dari P. Togian (kode akses EU003612), T. maxima yang berasal dari Biak (kode akses EU003613), T. maxima yang berasal dari P. Seribu (kode akses EU003614), T. squamosa yang berasal dari Filipina (kode akses KJ202117), H. hippopus yang berasal dari Filipina (kode akses KJ202106) dan Pinctada maxima (kode akses AB259165) sebagai outgroup.
21 Hasil dan Pembahasan Hasil Amplifikasi PCR Sebelas sekuen berhasil teramplifikasi dengan baik (dari total 39 sampel) dan hasilnya sesuai target desain primer yaitu 522 bp dan 708 bp (Gambar 9), sedangkan sampel lainnya tidak berhasil teramplifikasi. Penyebab tidak teramplifikasinya sampel tersebut diduga disebabkan oleh proses ekstraksi yang tidak berhasil. Ketidakberhasilan ini disebabkan oleh adanya pengotor berupa sisa bahan pengawet dan lendir, juga karena adanya alga simbion zooxanthella yang terdapat pada jaringan mantel kima. Hal serupa dilaporkan oleh Haerul (2014), bahwa adanya alga simbion menjadi pengotor dalam proses ekstraksi DNA.
Gambar 9 Hasil elektroforesis beberapa DNA kima yang teramplifikasi PCR (Keterangan: M = marker ukuran 1 kb; 1 = T. crocea; 2 = T. squamosa; 3 = T. maxima; 4 = H. hippopus) Sekuen hasil pensejajaran sepanjang 522 bp dan 708 bp dilakukan BLASTn dengan data yang terdapat pada GenBank untuk verifikasi identitas molekulernya. Hasil dari proses tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Hasil BLASTn basa nukleotida pada GenBank No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Kode Sampel TcL 1 TcH 2 TcH 3 TcS 1 TcS 2 TsW 2 TsH 1 TsS 1
Query Cover 100% 100% 100% 100% 100% 98% 100% 97%
Identity 99% 98% 98% 98% 99% 97% 98% 99%
Species validation T. crocea T. crocea T. crocea T. crocea T. crocea T. squamosa T. crocea T. maxima
Accession DQ269479.1 DQ269479.1 DQ269479.1 DQ269479.1 DQ269479.1 KP205428.1 DQ269479.1 DQ155301.2
22
Tabel 6 Hasil BLASTn basa nukleotida pada GenBank (lanjutan) No. 9 10 11
Kode Sampel TmL 2 TmH 1 HO 5
Query Cover 97% 98% 99%
Identity 99% 99% 99%
Species validation T. maxima T. maxima H. hippopus
Accession DQ155301.2 DQ155301.2 KJ202106
Beberapa sampel yang semula teridentifikasi secara morfologi sebagai jenis T. squamosa setelah dilakukan BLASTn hasilnya menunjukkan jenis yang berbeda. Sampel dengan kode TsH 1 awalnya diidentifikasi sebagai jenis T. squamosa setelah dilakukan BLASTn menunjukkan bahwa sampel tersebut adalah jenis T. crocea. Demikian juga pada sampel dengan kode TsS 1 semula teridentifikasi sebagai jenis T. squamosa setelah dilakukan BLASTn menunjukkan bahwa sampel tersebut adalah jenis T. maxima. Pada biota akuatik sering ditemukan terjadinya fenomena cryptic species dan complex species, yaitu spesies yang secara morfologi sama tetapi secara genetik sangat berbeda atau sebaliknya. Fenomena ini dapat mengakibatkan terjadinya kesalahan dalam mengidentifikasi (Bickford et al. 2006). Penelitian ini menunjukkan bahwa kima merupakan cryptic species, memiliki kemiripan morfologi antara satu jenis dengan jenis lainnya namun secara genetik berbeda jenis, sehingga sering terjadi kesalahan dalam mengidentifikasi jika dilihat berdasarkan morfologinya. T. crocea, T. squamosa dan T. maxima termasuk dalam kelompok yang memiliki memiliki sisik (scale) dan umumnya tertanam dalam karang baik sebagian ataupun seluruh cangkangnya, sehingga yang terlihat hanya bagian mantelnya. Selain itu sampel yang diambil dalam penelitian ini juga beberapa diantaranya masih berupa anakan dan berukuran kecil sehingga sangat sulit untuk mengidentifikasi hingga tingkat jenis. Penelitian ini membuktikan bahwa analisis molekuler menggunakan marka genetik COI sangat membantu dalam mengidentifikasi suatu organisme hingga tingkat jenis. Nukleotida Spesifik Pensejajaran 11 sekuen gen COI semua jenis kima yang terdiri atas enam sekuen jenis T. crocea, satu sekuen jenis T. squamosa, tiga sekuen jenis T. maxima dan satu sekuen jenis H. hippopus menunjukkan bahwa sedikit nukleotida yang bervariasi (variable sites) yaitu 130 situs (27.31%) sedangkan nukleotida yang konservatif (conserve sites) sebanyak 346 situs (72.69%), situs parsimoni sebanyak 70 situs (14.71%) dan situs singleton sebanyak 27 situs (5.17%). Menurut Hebert et al. (2003), gen COI memiliki susunan basa nukleotida yang bersifat konservatif serta sedikit insersi, delesi dan variasi sehingga digunakan sebagai DNA barcoding. Pensejajaran sekuen pada penelitian ini dengan beberapa sekuen dari GenBank mendapatkan 48 situs nukleotida spesifik (Tabel 7). Kima jenis T. crocea memiliki dua situs nukleotida spesifik, T. squamosa memiliki tujuh situs nukleotida spesifik, T. maxima memiliki delapan situs nukleotida spesifik sedangkan H. hippopus memiliki 31 situs nukleotida spesifik. Situs-situs nukleotida inilah yang menjadi penciri spesifik atau pengkode genetik (barcode) yang membedakan antara satu jenis dengan jenis lainnya.
23 Tabel 7 Nukleotida spesifik setiap jenis kima Posisi basa nukleotida 0 0 0 0 0 3 3 4 5 6 4 7 6 8 4
0 0 1
0 0 4
0 0 7
0 1 0
0 2 2
0 3 2
0 9 1
1 0 9
1 1 2
1 1 9
1 2 1
T. crocea Langgira K 1
A
G
T
T
G
C
T
T
T
T
A
A
T
A
C
T
T. crocea Hoga K 2
A
G
T
T
G
C
T
T
T
T
A
A
T
A
C
T
T. crocea Hoga K 3
A
G
T
T
G
C
T
T
T
T
A
A
T
A
C
T
T. crocea P.Sawa T 1
A
G
T
T
G
C
T
T
T
T
A
A
T
A
C
T
T. crocea P.Sawa T 2
A
G
T
T
G
C
T
T
T
T
A
A
T
A
C
T
T. crocea P.Sawa T 3
A
G
T
T
G
C
T
T
T
T
A
A
T
A
C
T
T. crocea Spermonde GB
A
G
T
T
G
C
T
T
T
T
A
A
T
A
C
T
T. crocea P.Seribu GB
A
G
T
T
G
C
T
T
T
T
A
A
T
A
C
T
T. squamosa P.Kapota W 1
A
G
T
C
G
C
T
C
T
T
A
A
C
A
C
T
T. squamosa Filipina GB
A
G
T
C
G
C
T
C
T
T
A
A
C
A
C
T
T. maxima Langgira K 1
A
G
T
T
G
C
T
T
C
T
A
G
T
A
C
T
T. maxima P.Hoga K 2
A
G
T
T
G
C
T
T
C
T
A
G
T
A
C
T
T. maxima P.Sawa T 3
A
G
T
T
G
C
T
T
C
T
A
G
T
A
C
T
T. maxima Padang GB
A
G
T
T
G
C
T
T
C
T
A
G
T
A
C
T
T. maxima P.Seribu GB
A
G
T
T
G
C
T
T
C
T
A
G
T
A
C
T
T. maxima Spermonde GB
A
G
T
T
G
C
T
T
C
T
A
G
T
A
C
T
T. maxima P.Togian GB
A
G
T
T
G
C
T
T
C
T
A
G
T
A
C
T
T. maxima Biak GB
A
G
T
T
G
C
T
T
C
T
A
G
T
A
C
T
H. hippopus Onemobaa T 5
G
A
A
T
A
T
G
T
T
C
G
A
T
T
T
G
H. hippopus Filipina GB
G
A
A
T
A
G
A
T
T
T
G
1 2 4
1 3 3
1 3 9
1 5 1
1 5 7
T G T T C Posisi basa nukleotida 1 1 1 2 2 7 7 8 0 1 5 8 7 6 7
2 2 0
2 4 7
2 5 3
2 7 4
3 0 1
3 0 7
T. crocea Langgira K 1
A
A
A
A
C
A
G
T
T
G
T
T
A
T
T
T
T. crocea Hoga K 2
A
A
A
A
C
A
G
T
T
G
T
T
A
T
T
T
T. crocea Hoga K 3
A
A
A
A
C
A
G
T
T
G
T
T
A
T
T
T
T. crocea P.Sawa T 1
A
A
A
A
C
A
G
T
T
G
T
T
A
T
T
T
T. crocea P.Sawa T 2
A
A
A
A
C
A
G
T
T
G
T
T
A
T
T
T
T. crocea P.Sawa T 3
A
A
A
A
C
A
G
T
T
G
T
T
A
T
T
T
T. crocea Spermonde GB
A
A
A
A
C
A
G
T
T
G
T
T
A
T
T
T
T. crocea P.Seribu GB
A
A
A
A
C
A
G
T
T
G
T
T
A
T
T
T
T. squamosa P.Kapota W 1
A
A
A
A
T
A
G
T
C
G
T
T
A
T
T
C
T. squamosa Filipina GB
A
A
A
A
T
A
G
T
C
G
T
T
A
T
T
C
T. maxima Langgira K 1
A
A
A
G
C
G
G
T
T
A
T
T
A
T
T
T
T. maxima P.Hoga K 2
A
A
A
G
C
G
G
T
T
A
T
T
A
T
T
T
T. maxima P.Sawa T 3
A
A
A
G
C
G
G
T
T
A
T
T
A
T
T
T
Jenis
Jenis
24 Tabel 7 Nukleotida spesifik setiap jenis kima (lanjutan) Posisi basa nukleotida 1 1 2 2 2 7 8 0 1 2 8 7 6 7 0
1 2 4
1 3 3
1 3 9
1 5 1
1 5 7
1 7 5
2 4 7
2 5 3
2 7 4
3 0 1
3 0 7
T. maxima Padang GB
A
A
A
G
C
G
G
T
T
A
T
T
A
T
T
T
T. maxima P.Seribu GB
A
A
A
G
C
G
G
T
T
A
T
T
A
T
T
T
T. maxima Spermonde GB
A
A
A
G
C
G
G
T
T
A
T
T
A
T
T
T
T. maxima P.Togian GB
A
A
A
G
C
G
G
T
T
A
T
T
A
T
T
T
T. maxima Biak GB
A
A
A
G
C
G
G
T
T
A
T
T
A
T
T
T
H. hippopus Onemobaa T 5
G
G
C
A
C
A
A
G
T
G
G
C
G
A
C
T
H. hippopus Filipina GB
G
G
C
A
C
A
T
3 5 2
A G T G G C G A C Posisi basa nukleotida 3 3 3 3 3 3 3 4 4 4 5 6 6 7 7 7 9 1 1 2 5 1 7 0 3 6 4 2 6 4
3 1 0
3 2 5
3 4 0
3 4 3
4 3 0
T. crocea Langgira K 1
T
T
T
T
A
T
A
T
A
G
G
T
T
A
G
A
T. crocea Hoga K 2
T
T
T
T
A
T
G
C
A
G
G
T
T
A
G
A
T. crocea Hoga K 3
T
T
T
T
A
T
G
C
A
G
G
T
T
A
G
A
T. crocea P.Sawa T 1
T
T
T
T
A
T
G
C
A
G
G
T
T
A
G
A
T. crocea P.Sawa T 2
T
T
T
T
A
T
A
T
A
G
G
T
T
A
G
A
T. crocea P.Sawa T 3
T
T
T
T
A
T
G
C
A
G
G
T
T
A
G
A
T. crocea Spermonde GB
T
T
T
T
A
T
G
C
A
G
G
T
T
A
G
A
T. crocea P.Seribu GB
T
T
T
T
A
T
G
C
A
G
G
T
T
A
G
A
T. squamosa P.Kapota W 1
T
T
T
T
A
T
A
T
A
A
G
T
T
A
G
A
T. squamosa Filipina GB
T
T
T
T
A
T
A
T
A
A
G
T
T
A
G
A
T. maxima Langgira K 1
T
T
C
A
A
C
A
T
A
G
G
T
T
A
G
A
T. maxima P.Hoga K 2
T
T
C
A
A
C
A
T
A
G
G
T
T
A
G
A
T. maxima P.Sawa T 3
T
T
C
A
A
C
A
T
A
G
G
T
T
A
G
A
T. maxima Padang GB
T
T
C
A
A
C
A
T
A
G
G
T
T
A
G
A
T. maxima P.Seribu GB
T
T
C
A
A
C
A
T
A
G
G
T
T
A
G
A
T. maxima Spermonde GB
T
T
C
A
A
C
A
T
A
G
G
T
T
A
G
A
T. maxima P.Togian GB
T
T
C
A
A
C
A
T
A
G
G
T
T
A
G
A
T. maxima Biak GB
T
T
C
A
A
C
A
T
A
G
G
T
T
A
G
A
H. hippopus Onemobaa T 5
A
G
T
T
T
T
A
T
T
G
A
C
C
G
A
T
H. hippopus Filipina GB * GB = Data dari GenBank
A
G
T
T
T
T
A
T
T
G
A
C
C
G
A
T
Jenis
Jenis
Jarak Genetik dan Rekonstruksi Pohon Filogenetik Jarak genetik antar individu kima dari pensejajaran sepanjang 430 bp runutan gen COI dalam satu jenis maupun antar jenis yang berasal dari Taman Nasional Wakatobi dan lokasi lain yang diperoleh dari GenBank dianalisis menggunakan metode p-distance. Hasil analisis tersebut dapat dilihat pada Tabel 8, sedangkan rekonstruksi pohon filogenetik menggunakan metode Neighbour Joining dapat dilihat pada Gambar 10.
* 1= T. crocea Langgira K 1; 2 = T. crocea Hoga K 2; 3 = T. crocea Hoga K 3; 4 = T. crocea P.Sawa T 1; 5 = T. crocea P.Sawa T 2; 6 = T. crocea P.Sawa T 3; 7 = T. crocea Spermonde GB; 8 = T. crocea P.Seribu GB; 9 = T. squamosa P.Kapota W1; 10 = T. squamosa Filipina GB; 11 = T. maxima Langgira K 1; 12 = T. maxima P.Hoga K 2; 13 = T. maxima P.Sawa T 3; 14 = T. maxima Padang GB; 15 = T. maxima P.Seribu GB; 16 = T. maxima Spermonde GB; 17 = T. maxima P. Togian GB; 18 = T. maxima Biak GB; 19 = H. hippopus Onemobaa T5; 20 = H. hippopus Filipina GB ; 21 = Pinctada maxima GB (outgroup)
Tabel 8 Jarak genetik fragmen gen COI kima menggunakan metode p-distance
25
26 Perbedaan jarak genetik antar individu dalam satu jenis kurang dari 2% sedangkan antar jenis lebih dari 10%. Perbedaan jarak genetik antar individu (intraspesies) T. crocea sebesar 1.35%, T. squamosa sebesar 0.95%, T. maxima sebesar 0.88% dan H. hippopus sebesar 1.43%. Perbedaan jarak genetik (inter-spesies) antara jenis T. crocea dengan T. squamosa sebesar 10.15%, antara T. crocea dan T. maxima sebesar 13.37 %, antara T. squamosa dan T. maxima sebesar 14.18%. Perbedaan jarak genetik antara genus Tridacna dengan Hippopus sebesar 18.74%, sedangkan antara kima genus Tridacna dan Hippopus dengan outgroup-nya sebesar 40.87 %. Jarak genetik yang kurang dari atau sama dengan 3% dapat dikatakan masih merupakan satu spesies yang sama sedangkan jarak genetik yang lebih dari 3% menunjukkan spesies yang berbeda. Jarak genetik tersebut menunjukkan kedekatan kekerabatannya. Menurut Ratnasingham dan Hebert (2013), variasi gen COI yang lebih dari 4% merupakan kerabat dekat dan terisolasi secara reproduksi, jika perbedaannya kurang dari 2% merupakan spesies yang sama (intra-spesies). T. crocea P.Hoga K 3 89 89
T. crocea P.Sawa T 1 T. crocea P.Sawa T 3 T. crocea P.Hoga K 2 T. crocea
100
T. crocea Langgira K 1 Subclade 1
T. crocea P.Sawa T 2 97
43 63
T.crocea P.Seribu EU003608 T.crocea Spermonde EU003606 T. squamosa P.Kapota W 1 T. squam osa
95
100
98
Clade 1
T.squamosa Filipina KJ202117 T.maxima Padang EU003610 T.maxima P.Seribu EU003614 T. maxima P.Sawa T 3
100
Subclade 2
T.maxima P.Togian EU003612 97
T. m axim a
T.maxima Biak EU003613 53
T. maxima Langgira K 1 44
T. maxima P.Hoga K 2 32
T.maxima Spermonde EU003611 H. hippopus Onemobaa T 5
Clade 2 H. hippopus
100
H.hippopus KJ202106 Pinctada maxima AB259165
0.25
0.20
0.15
0.10
0.05
Outgroup
0.00
Gambar 10 Rekonstruksi pohon filogenetik menggunakan metode Neighbour Joining dengan model p-distance, nilai bootstrap 1000 ulangan Pohon filogenetik menunjukkan bahwa secara umum terbentuk dua clade, yaitu clade pertama terdiri atas T. crocea, T. squamosa dan T. maxima sedangkan clade kedua adalah H. hippopus. Hal ini menunjukkan bahwa semua jenis kima dari genus Tridacna adalah monofiletik. Genus ini terpisah dari H. hippopus yang merupakan genus lain. Kedua clade tersebut juga terpisah dari P. maxima sebagai outgroup-nya. Rekonstruksi pohon filogenetik dari gen COI yang dilakukan oleh
27 Nuryanto et al. (2007) menggunakan metode Neighbour Joining juga menunjukkan fenomena yang sama, bahwa semua jenis kima dari genus Tridacna adalah monofiletik. T. crocea dan T. squamosa berada pada subclade yang sama sedangkan T. maxima dan T. gigas berada pada subclade yang lain. Demikian juga pohon filogenetik yang direkonstruksi oleh Lizano dan Santos (2014) menunjukkan hal yang sama. T. crocea dan T. squamosa juga berada pada subclade yang sama. Namun terdapat perbedaan antara Nuryanto et al. (2007) dengan Lizano dan Santos (2014). Pohon filogenetik yang direkonstruksi Nuryanto et al. (2007) menunjukkan bahwa T. gigas dan T. maxima berada dalam satu kelompok dan sister taxa dengan kelompok T. crocea dan T. squamosa, sedangkan pohon filogenetik yang direkonstruksi oleh Lizano dan Santos (2014) menunjukkan bahwa T. gigas mengelompok terpisah dari kelompok T. crocea, T. squamosa dan T. maxima. Rekonstruksi pohon filogenetik yang menggunakan fragmen gen 16S rRNA oleh Schneider dan O’Foighil (1999) juga menunjukkan bahwa seluruh jenis kima dari genus Tridacna monofiletik, demikian juga dengan genus Hippopus. Pada clade Tridacna terbentuk dua kelompok, kelompok T. tevoroa (T. gigas + T. derasa) dan T. maxima (T. squamosa + T. crocea). Rekonstruksi filogenetik baik menggunakan fragmen gen COI maupun menggunakan fragmen gen 16S rRNA menunjukkan hasil yang konsisten untuk jenis T. crocea T. squamosa dan T. maxima. Ketiga jenis ini masuk dalam satu subgenus yaitu Chametrachea. Menurut Hernawan (2012), genus Tridacna terdiri atas tiga subgenus, yaitu Tridacna sensu strict, Persikima dan Chametrachea. Subgenus Tridacna sensu strict hanya terdiri atas jenis T. gigas, subgenus Persikima terdiri atas T. derasa dan T. tevoroa, sedangkan subgenus Chametrachea terdiri atas T. squamosa, T. crocea, T. maxima, T. rosewateri dan T. costata. Pohon filogenetik juga menunjukkan bahwa T. crocea membentuk dua kelompok, kelompok pertama terdiri atas T. crocea Spermonde, T. crocea P. Seribu dan T. crocea P. Sawa T 2 dan T. crocea Langgira K 1, sedangkan kelompok kedua terdiri atas T. crocea P. Hoga K 2, T. crocea P. Sawa T 3, T. crocea P. Hoga K 3 dan T. crocea P. Sawa T 1. T. crocea a Wakatobi sangat bervariasi karena memiliki situs-situs nukleotida yang hanya dimiliki Wakatobi dan situs nukleotida yang sama dengan situs yang dimiliki T. crocea Spermonde dan T. crocea P. Seribu (Tabel 9). Tabel 9 Polimorfisme situs nukleotida T. crocea yang berasal dari Wakatobi, Spermonde dan P. Seribu Jenis T. crocea Hoga K 2 T. crocea Hoga K 3 T. crocea P.Sawa T 1 T. crocea P.Sawa T 3 T. crocea P.Sawa T 2 T. crocea Langgira K 1 T. crocea Spermonde GB* T. crocea P. Seribu GB* * GB = Data dari GenBank
1 A A A A A A A A
. . . . . . . . .
. . . . . . . . .
. . . . . . . . .
Posisi basa nukleotida . 334 . . 361 . A . . G . A . . G . A . . G . A . . G . G . . A . G . . A . G . . A . G . . A
. . . . . . . . .
367 C C C C T T T T
. . . . . . . . .
28 Pada situs ke-334, T. crocea Wakatobi memiliki basa nukleotida A (T. crocea Hoga K 2, T. crocea Hoga K 3, T. crocea P.Sawa T 1 dan T. crocea P.Sawa T 3) dan G (T. crocea P.Sawa T 2 dan T. crocea Langgira K 1) seperti yang dimiliki oleh T. crocea Spermonde dan T. crocea P. Seribu. Demikian juga pada situs ke-361 dan ke-367, T. crocea Wakatobi (T. crocea Hoga K 2, T. crocea Hoga K 3, T. crocea P.Sawa T 1 dan T. crocea P.Sawa T 3) memiliki basa nukleotida masing-masing G dan C pada situs-situs tersebut, sedangkan T. crocea P.Sawa T 2 dan T. crocea Langgira K 1, Spermonde dan P. Seribu memiliki basa nukleotida masing-masing A dan T pada situs-situs tersebut. Bervariasinya basa nukelotida T. crocea di wilayah Taman Nasional Wakatobi diduga karena karakteristik lingkungan yang bervariasi di perairan ini. Adanya perbedaan tipologi habitat dan terisolasi secara geografis dapat menyebabkan adanya perbedaan struktur genetik pada bivalvia (Donrung et al. 2011), bahkan dalam waktu yang lama akan mengakibatkan perbedaan bentuk morfologi (Evans dan Hoffman 2012). Dengan demikian, T. crocea Hoga K 2, T. crocea Hoga K 3, T. crocea P.Sawa T 1 dan T. crocea P.Sawa T 3 merupakan T. crocea spesifik yang dimiliki perairan Wakatobi dan memiliki karakteristik genetik yang berbeda dengan lokasi lain. Dalam konservasi genetik, sumberdaya genetik seperti inilah yang perlu dikonservasi, sehingga dapat mempertahankan kemurnian genetiknya. Selain itu, T. crocea asal Wakatobi memiliki variasi basa nukleotida yang tinggi jika dibandingkan dengan kima dari lokasi lain, sehingga dapat dijadikan sebagai sumber genetik dalam pengelolaan kima, baik untuk translokasi, restoking maupun domestikasi. Pada jenis T. maxima, T. maxima Wakatobi lebih dekat kekerabatannya dengan T. maxima yang berasal dari P. Togian, Spermonde dan Biak dibanding T. maxima yang berasal dari Padang (Tabel 10). Hal ini diduga berkaitan dengan karakteristik lingkungan dan jarak yang lebih dekat sehingga dimungkinkan adanya aliran larva dari satu tempat ke tempat lainnya. Sebagaimana kelompok bivalvia lainnya, kima juga memiliki larva yang bersifat planktonik. Perkembangan kima sejak menetas hingga menjadi pedivelliger dan menempel pada substrat memerlukan waktu hingga 19 hari (Soo dan Todd 2014), pada T. squamosa mulai menempel pada umur 13 hari (Calumpong et al. 2003). Tabel 10 Polimorfisme situs nukleotida T. maxima yang berasal dari Wakatobi, P. Togian, Biak, P. Seribu dan Padang
Jenis T. maxima Wakatobi 1 T. maxima Wakatobi 2 T. maxima P.Togian GB* T. maxima Spermonde GB* T. maxima Biak GB* T. maxima Wakatobi 3 T. maxima P. Seribu GB* T. maxima Padang GB* * GB = Data dari GenBank
0 9 4
1 0 3
1 7 2
G G G G G G A A
C C C C C C T T
T T T T T T C C
Posisi basa nukleotida 2 2 2 2 3 3 4 8 5 8 4 6
A A A A A A C C
C C C C C C T T
T T T T T T C C
C C C C C C T T
2 9 5
3 1 3
3 2 8
T T T T T T C C
C C C C C C T T
C C C C C C T T
29 Simpulan Gen COI sebagai penanda genetik mampu memisahkan secara berkelompok tiap jenis kima dan menunjukkan kekerabatannya. Terdapat 48 situs nukleotida spesifik, yang terdiri atas dua situs dari jenis T. crocea, tujuh situs dari jenis T. squamosa, delapan situs dari jenis T. maxima dan 31 situs dari jenis H. hippopus. T. crocea asal Wakatobi memiliki variasi basa nukleotida yang tinggi jika dibandingkan dengan kima dari lokasi lain sehingga dapat dijadikan sebagai sumber genetik dalam pengelolaan sumberdaya kima, baik untuk translokasi, restoking maupun domestikasi.
30
4 PEMBAHASAN UMUM Keterkaitan antara Kepadatan Populasi dengan Profil Genetik Perairan Taman Nasional merupakan habitat yang sesuai bagi keberlangsungan hidup kima. Ini terbukti dengan beranekaragamnya jenis sumberdaya kima yang tersebar di wilayah tersebut. Penyebaran populasi tiap jenisnya juga bervariasi antar lokasi (Gambar 11).
Gambar 11 Peta sebaran populasi sumberdaya kima di kawasan P. Wangiwangi, P. Kaledupa dan P. Tomia Taman Nasional Wakatobi Umumnya kepadatan kima yang rendah ditemukan pada zona pemanfaatan (kawasan P. Wangi-wangi) sedangkan kepadatan populasi yang lebih tinggi ditemukan pada zona pariwisata (sebagian dari kawasan P. Kaledupa dan P. Tomia). Hal ini disebakan oleh masih banyaknya eksploitasi terhadap sumberdaya kima, padahal kima adalah biota yang dilindungi. Secara internasional kima telah diatur perdagangannya yang masuk dalam Appendix II CITES, artinya kima yang boleh dijual adalah turunan kedua (F2) dari hasil budidaya. Oleh karena kima merupakan biota yang dilindungi maka eksploitasi kima yang berasal dari alam merupakan aktifitas pemanfaatan sumberdaya yang ilegal. Pada penelitian ini, kepadatan populasi kima T. crocea tersebut tidak sejalan dengan fenomena genetiknya (keragaman haplotipe dan keragaman nukleotida). Perbandingan kepadatan populasi dengan keragaman haplotipe dan keragaman
31 nukleotidanya dapat dilihat pada Tabel 11. Tiga sekuen T. crocea yang dianalisis keragaman haplotipe dan keragaman nukleotidanya menunjukkan bahwa T. crocea di kawasan Kaledupa memiliki keragaman haplotipe dan keragaman nukleotida yang lebih tinggi dibanding kawasan Tomia. Hal ini berbanding terbalik dengan kepadatan populasinya yang lebih tinggi dibanding Kaledupa, meskipun secara statistik kepadatan populasi tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Tabel 11 Perbandingan kepadatan populasi dengan keragaman haplotipe dan keragaman nukleotida T. crocea Kaledupa dan Tomia Lokasi Kaledupa Tomia
Kepadatan populasi (ind/750 m2) 11 12
Keragaman haplotipe 1.00 0.67
Keragaman nukleotida (π) 0.01541 0.01028
T. crocea di kawasan Kaledupa dan Tomia memiliki kepadatan populasi masing-masing sebesar 11 ind/750 m2 dan 12 ind/750 m2, sedangkan keragaman haplotipe dan keragaman nukleotidanya masing-masing adalah 1.00 dan 0.01541 untuk Kaledupa serta 0.67 dan 0.01028 untuk kawasan Tomia. Hal ini diduga karena adanya aliran gen yang berasal dari lokasi lain baik dari wilayah perairan Wakatobi maupun perairan luar Wakatobi sehingga terjadi akumulasi pada kawasan tersebut. Larva kima bersifat planktonik yang memungkinkan adanya konektivitas antar lokasi karena dapat terbawa oleh arus laut. Menurut Freeland et al. (2011), keragaman genetik dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya oleh adanya aliran, populasi bottlenecks, seleksi alam dan metode reproduksi. Soewardi (2007) menambahkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan penambahan gen atau meningkatkan keragaman genetik antara lain adalah faktor mutasi dan migrasi. Mutasi dapat didefinisikan sebagai perubahan informasi genetik melalui perubahan susunan (sequence) nukleotida DNA dari suatu gen atau perubahan dalam kromosom, sedangkan migrasi merupakan proses perpindahan gen antar populasi. Hal lain yang menyebabkan keragaman haplotipe dan nukleotida T. crocea Kaledupa lebih tinggi dibandingkan T. crocea Tomia adalah diduga karena adanya hambatan secara fisik (physical barriers) di perairan kawasan Tomia. Adanya hambatan fisik tersebut menyebabkan terjadinya perbedaan struktur genetik antar populasi, meskipun hal tersebut belum ditelusuri lebih lanjut dalam penelitian ini. Menurut Soewardi (2007), suatu populasi dapat terisolasi dari populasi lain dari spesies yang sama dengan berbagai mekanisme, termasuk hambatan fisik seperti sungai, gunung, palung dan sebagainya. Fenomena seperti ini pernah dilaporkan oleh Aruda et al. (2009) bahwa terjadi diferensiasi genetik yang signifikan antara populasi kerang Anomalocardia brasiliana di Brazil bagian utara dan timur laut. A. brasiliana yang berasal dari Camurupim (salah satu wilayah sampling) memiiki keragaman nukleotida yang lebih rendah dibanding lokasi lain yang diduga karena adanya batuan penghalang yang terletak di muara sungai yang dekat dengan lokasi tersebut. Adanya batuan penghalang tersebut membatasi pertukaran air di Camurupim, sehingga mengakibatkan kurangnya aliran gen antara populasi ini dengan yang lainnya.
32 Konektivitas Analisis genetik kima yang berasal dari Wakatobi dengan beberapa lokasi lain di Indonesia menggunakan marka gen COI menunjukkan adanya konektivitas, khususnya dari jenis T. maxima. Ini terlihat dari pohon filogenetik yang terbentuk (Gambar 12). T.maxima Padang EU003610
99
T.maxima P.Seribu EU003614 T. maxima P.Sawa T 3 T.maxima P.Togian EU003612 97
T.maxima Biak EU003613 52
T. maxima Langgira K 1 44
T. maxima P.Hoga K 2 31
T.maxima Spermonde EU003611
0.012
0.010
0.008
0.006
0.004
0.002
0.000
Gambar 12 Rekonstruksi pohon filogenetik T. maxima menggunakan metode Neighbour Joining dengan model p-distance, nilai bootstrap 1000 ulangan Hasil rekonstruksi pohon filogenetik menggunakan metode Neighbour Joining dengan model p-distance dan nilai bootstrap 1000 ulangan menunjukkan bahwa T. maxima Wakatobi memiliki kekerabatan yang dekat dengan T. maxima yang berasal dari P. Togian, Biak dan Spermonde (jarak genetik 0.19%), serta memiliki kekerabatan yang jauh dengan T. maxima yang berasal dari Padang dan P. Seribu (jarak genetik 1.81%). Hal ini diduga berkaitan dengan jarak yang tidak begitu jauh sehingga memungkinkan adanya sharing gen. Perairan P. Togian, Biak dan Spermonde memiliki jarak yang lebih dekat perairan Wakatobi dibandingkan dengan perairan Padang dan P. Seribu. Konektivitas ini juga sangat didukung oleh adanya arus (Gambar 13) karena penyebaran kima terjadi pada stadia larva yang bersifat planktonik.
Gambar 13 Pola arus berdasarkan olahan data real time ocean surface current analyses NOAA selama tahun 2014 dan 2015 ( = Wakatobi)
33 Implikasi Pengelolaan Kondisi populasi kima merupakan salah satu informasi awal yang perlu diketahui dalam pengelolaan sumberdaya. Penelitian ini menunjukkan bahwa populasi kima di perairan Taman Nasional Wakatobi masih dalam kondisi baik, yang ditunjukkan dengan beranekaragamnya jenis kima yang ditemukan. Namun, jika sumberdaya ini tidak dikelola dengan baik, maka tidak menutup kemungkinan populasinya akan semakin menurun bahkan punah, mengingat masih adanya aktivitas penangkapan dan perdagangan kima oleh masyarakat sekitar. Dalam rangka mempertahankan atau menjaga agar populasi kima tetap lestari, maka hal yang perlu dilakukan adalah melakukan upaya konservasi. Oleh karena Taman Nasional Wakatobi adalah wilayah konservasi perairan, maka yang dapat dilakukan berkaitan dengan upaya konservasi ini adalah meningkatkan pengawasan terhadap kawasan beserta sumberdaya perairannya, terutama kima. Adapun upaya untuk mengembalikan populasi pada wilayah-wilayah yang telah mengalami penurunan populasi, dapat dilakukan beberapa upaya, antara lain melakukan translokasi dan restoking. Hal ini tentu saja harus mengkaji terlebih dahulu kesesuian habitat antara lokasi yang baru dengan lokasi asal kima. Translokasi dilakukan dengan memindahkan individu-individu dari lokasi yang memiliki kepadatan tinggi ke lokasi yang kepadatannya rendah, sehingga populasi pada lokasi tersebut menjadi bertambah. Bertambahnya populasi akan mempercepat regenerasi karena ukuran populasinya semakin besar. Menurut Benzie (1993), proses rekrutmen alami kima dapat dibantu dengan mengelompokkan hewan bersama-sama, sehingga mereka lebih mungkin untuk membuahi satu sama lain. Hal ini menekankan bahwa pendekatan ini mungkin adalah metode termurah mempertahankan keanekaragaman hayati. Dalam kasus Wakatobi, dapat dilakukan dengan mengambil kima yang berasal dari kawasan Kaledupa dan Tomia yang memiliki kepadatan tinggi untuk ditranslokasi ke lokasi lain di Wakatobi yang kepadatan populasinya rendah, dengan memperhatikan kesesuaian habitat dari jenis kima yang ditranslokasi. Selain itu juga dapat mempertimbangkan informasi genetik yang telah dikaji dalam penelitian ini, sehingga dapat mempertahankan dan memperbaiki keragaman genetik kima. Menurut Yusron (2005), cara untuk meningkatkan keragaman hayati suatu populasi serta untuk memperbaiki kondisi menurunnya keragaman genetik, selain mengurangi tingkat eksploitasi, juga dapat dilakukan introduksi individu-individu baru yang memiliki keragaman genetik yang lebih tinggi ke dalam populasi lokal suatu populasi. Cara lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keragaman hayati suatu populasi adalah restoking. Benzie (1993) menyatakan kebanyakan restoking melibatkan hewan hasil budidaya yang indukannya diperoleh dari alam. Dalam memperoleh bibit yang akan direstoking, revisi dalam teknik pembenihan juga diperlukan untuk menghasilkan genetik yang beragam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kima (T. crocea) yang berasal dari perairan Taman Nasional Wakatobi bervariasi secara genetik sehingga dapat dijadikan sebagai sumber genetik. Menurut Soewardi (2007), makin tinggi keragaman genetik suatu spesies akan semakin mampu menghadapi perubahan lingkungan. Jika suatu populasi dari suatu spesies ingin bertahan dalam jangka waktu yang panjang, spesies tersebut harus dapat mengikuti perubahan lingkungan di masa yang akan datang.
34
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kima yang teramati selama penelitian terdiri atas empat jenis yaitu T. crocea, T. squamosa, T. maxima dan H. hippopus. Kepadatan populasi kima paling rendah ditemukan pada wilayah perairan kawasan Pulau Wangi-wangi, sedangkan populasi paling tinggi secara umum ditemukan di wilayah perairan kawasan Pulau Tomia. Ukuran kima yang ditemukan bervariasi antar jenis dan lokasi penelitian, kebanyakan kima yang ditemukan masih berukuran kecil sedangkan yang besar sudah menunjukkan kelangkaan. T. crocea asal Wakatobi memiliki variasi basa nukleotida yang tinggi jika dibandingkan dengan kima dari lokasi lain sehingga dapat dijadikan sebagai sumber genetik di dalam pengelolaan sumberdaya kima, baik untuk translokasi, restoking maupun domestikasi.
Saran Studi mengenai populasi kima perlu dilakukan pada pulau dan zona lain di perairan Taman Nasional Wakatobi sehingga didapatkan data yang lebih komprehensif. Demikian juga dengan aspek genetik, perlu dilakukan kajian menggunakan marka genetik lain dengan jumlah sampel yang lebih banyak sehingga informasi yang diperoleh lebih akurat dan dapat melengkapi penelitian yang telah dilakukan, misalnya marka genetik Cyt-b, mikrosatelit dan sebagainya.
35
DAFTAR PUSTAKA Benzie JAH. 1993. Conservation of wild stocks: policies for the preservation of biodiversity. Di dalam: Munro P, editor. Genetic Aspect of Conservation and Cultivation of Giant Clams. Manila (PH): ICLARM Conf. Roc. hlm 13-16. Bickford D, Lohman DJ, Sodhi NS, Ng PKL, Meier R, Winkler K, Ingram KK, Das I. 2006. Cryptic species as a window on diversity and conservation. Ecology and Evolution. 22:148-155. Bin-Othman AS, Goh GHS, Todd PA. 2010. The distribution and status of giant clams (Family Tridacnidae), a short review. Raffles Bull Zool. 58(1):103-111. Calumpong HP. 1992. The giant clam: an ocean culture manual. Canberra (AUS): ACIAR Monograph. Calumpong HP, Estacion JS, Lucañas JR, Apao AB. 2003. Survival, settlement and growth of the fluted giant clam, Tridacna squamosa on different substrates. Philipp Sci. 40:101-110. Copland JW, Lucas JS. 1988. Giant Clams in Asia and the Pacific. Canberra (AUS): ACIAR Monograph. Dahuri R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut, Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama. Donrung P, Tunkijjanukij S, Jarayabhand P, Poompuang S. 2011. Spatial genetic structure of the surf clam Paphia undulata in Thailand Waters. Zoological Studies. 50(2):211-219. Evans TG, Hoffman GE. 2012. Defining the limits of physiological plasticity: how gene expression can assess and predict the consequences of ocean change. Biological Science. 367: 1733-1745. Findra MN. 2010. Komposisi Jenis, Kelimpahan dan Ukuran Kima di Perairan Pulau Tolandono dan Pulau Sawa, Kawasan Taman Nasional Wakatobi [Skripsi]. Makassar (ID): Universitas Hasanuddin. Fitt WK. 1991. Mariculture of Giant Clam. Di dalam: Menzel W, editor. Estuarine and Marine Bivalve Mollusca Culture. Boston: CRC Press, Inc. Boca Raton. hlm 284-293. Folmer O, Black M, Lutz R, Vrijenhoek R. 1994. DNA primers for amplification of mitochondrial cytochrome c oxidase subunit I from metozoan invertebrates. Mol Mar Biol Biotechnol. (3):294-299. Freeland JR, Kirk H, Petersen S. 2011. Molecular Ecology 2nd ed. West Sussex (UK): Wiley-Blackwell. Gan HM, Gan HY, Tan MH, Penny SS, Willan RC, Austin CM. 2015. The complete mitogenome of the giant clam Tridacna squamosa (Heterodonta: Bivalvia: Tridacnidae). Mitochondrial DNA. 1-2. Haerul A. 2014. Karakterisasi Genetik Karang Genus Favites (Faviidae: Scleractinia) Di Perairan Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hajibabaei M, Singer GAC, Hebert PDN, Hickey DA. 2007. DNA barcoding: how it complements taxonomy, molecular phylogenetics and population genetics. TRENDS in Genetics. 23 (4):167-172. doi:10.1016/j.tig.2007.02.001.
36 Hebert PDN, Cywinska A, Ball SL, deWaard JR. 2003. Biological identifications through DNA barcodes. Proceedings of the Royal Society of London. Series B: Biological Sciences. 270 (1512):313-321. Hernawan UE. 2011. Taxonomy of Indonesian giant clams (Cardiidae, Tridacninae). Biodiversitas. 13(3):118-123. Knop D. 1996. Giant Clams: A Comprehensive Guide to the Identification and Care of Tridacnid Clams. Ettlingen (DE): Dahne Verlag. Lewis AD, Adams TJ, Ledua E. 1988. Fiji’s giant clam stocks - A review of their distribution, abundance, exploitation and management. Di dalam: Copland JW, Lucas JS, editor. Giant Clams in Asia and the Pacific. Canberra (AUS): ACIAR Monograph. hlm 66-72. Lizano AMD, Santos MD. 2014. Updates on the status of giant clams Tridacna spp. and Hippopus hippopus in the Philippines using mitochondrial CO1 and 16S rRNA genes. Philippine Science Letters. 7(1):187-199. Larrue S. 2006. Giant clam fishing on the Island of Tubuai, Austral Islands group: between local portrayals, economic necessity and ecological realities. SPC Traditional Marine Resource Management and Knowledge Information Bulletin. (19):3-40. Lucas JS. 1988. Giant clams: Description, distribution and life history. Di dalam: Copland JW, Lucas JS, editor. Giant Clams in Asia and the Pacific. Canberra (AUS): ACIAR Monograph. hlm 21 – 32. Lucas JS, Ledua E, Braley RD. 1990. A new species of giant clam (Tridacnidae) from Fiji and Tonga. Australian Centre for International Agricultural Research, Working Paper. 33:1-8. Mudjiono. 1988. Catatan beberapa aspek kehidupan kima, Suku Tridacnidae. Oseana. 13 (2): 37-47. Neo ML, Todd PA. 2012. Population density and genetic structure of the giant clams Tridacna crocea and T. squamosa on Singapore’s reefs. Aquat Biol. 14:265-275. Nuryanto A, Duryadi D, Soedharma D, Blohm D. 2007. Molecular phylogeny of giant clam based on mitochondrial DNA Cytochrome C Oxydase I Gene. Hayati Journal of Biosciences. 14(4):162-166. Panggabean LMG. 1991. Rahasia kehidupan kima: III. Kelangsungan hidup. Oseana. 16(2):35-45. Penny SS, Willan RC. 2014. Description of a new species of giant clam (Bivalvia: Tridacnidae) from Ningaloo Reef, Western Australia. Mollus Res. 34:201-211. Ratnasingham S, Hebert PDN. 2013. A DNA-based registry for all animal species: the barcode index number (BIN) system. Plos One. 8(8):e66213. Richter C, Roa-Quiaoit H, Jantzen C, Al-Zibdah M, Kochzius M. 2008. Collapse of a new living species of giant clam in the Red Sea. Curr Biol. 18:1349-1354. Romimohtarto K, Juwana S. 2005. Biologi Laut. Jakarta (ID): Djambatan. Sambrook J, Fritsch EF, Maniatis T. 1989. Molecular Cloning, a Laboratory Manual. New York (US): Cold Spring Harbor Laboratory. CSH. Shau-Hwai AT, Yasin Z. 2003. Status of giant clams in Malaysia. SPC Trochus Information Bulletin.10:9-10. Sirenko BI, Scarlato OA. 1991. Tridacna rosewateri sp.n. A new species of giant clam from the Indian Ocean. La Conchiglia. 22(261):4-9.
37 Schneider JA, O´Foighil D. 1999. Phylogeny of giant clams (Cardiidae: Tridacninae) based on partial mitochondrial 16S rDNA gene sequences. Molecular Phylogenetics and Evolution, 13(1):59-66. Solihin DD. 1994. Peran DNA mitokondria (mtDNA) dalam studi keragaman genetik dan biologi populasi pada hewan. Hayati. 1(1):1-4. Soo P, Todd PA. 2014. The behaviour of giant clams (Bivalvia: Cardiidae: Tridacninae). Mar Biol. 161:2699-2717. doi:10.1007/s00227-014-2545. Tamura K, Peterson D, Peterson N, Stecher G, Nei M, Kumar S. 2011. MEGA5: Molecular evolutionary genetics analysis using maximum likelihood, evolutionary distance, and maximum parsimony methods. Mol Biol Evol. 28(10):2731-2739. Tisera WI, Naguit MRA, Rehatta BM, Calumpong HP. 2012. Ecology and genetic structure of giant clams around Savu Sea, East Nusa Tenggara Province, Indonesia. Asian Journal of Biodiversity. 10:174-194. Yusron E. 2005. Pemanfaatan keragaman genetik dalam pengelolaan sumberdaya hayati laut. Oseana. XXX(2):29-34. Yusuf C, Ambariyanto, Hartati R. 2009. Abundance of Tridacna (Family Tridacnidae) at Seribu Islands and Manado Waters, Indonesia. Ilmu Kelautan. 14(3):150-154.
38
LAMPIRAN
1
39
Lampiran 1 Kunci identifikasi kima (Knop 1996)
Sisik yang panjang dan memiliki selang lebar membentang dari pinggir → cangkang bagian atas hingga ke bawah
Tridacna squamosa
Sisik yang panjang dan berbaris padat hanya pada pinggir cangkang → → bagian atas, namun bagian tengah cangkang ke bawah mulus
Tridacna maxima
Sisik yang panjang berjumlah sedikit, cangkang dengan bekas → mirip gelompang horizontal
Tridacna crocea
Incurrent syphon dengan → cincin tentakel
Tridacna derasa
Incurrent syphon tanpa → cincin tentakel
Tridacna gigas
Lubang bisus tanpa → pinggiran yang bergerigi
Tridacna tevoroa
Lubang bisus seperti terbelah Incurrent syphon tanpa dan memiliki → → cincin tentakel pinggiran yang bergerigi
Hippopus hippopus
Cangkang Lubang bisus → bersisik dan lebar bergelombang
↑ Mantel menggantung melewati pinggir cangkang
Lubang sempit
bisus
↓ Cangkang yang mulus tanpa sisik atau begelombang
Kima
Mantel tidak menggantung melewati pinggir cangkang
Hippopus Incurrent syphon dengan → porcellanus cincin tentakel
40 Lampiran 2 Uji Kruskal-Wallis dan Mann-Whitney U kepadatan populasi kima antar lokasi Kruskal-Wallis Ranks Lokasi Wangi wangi
Kepadatan_kima
N
Kaledupa
4
Mean Rank 2,75
4
6,75
Tomia
4
10,00
Total
12
Test Statistics(a,b)
Kepadatan_kima 8,289
Chi-Square df
2
Asymp. Sig.
,016 a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: lokasi
Mann-Whitney U Ranks
Kepadatan_kima
Lokasi Wangi wangi
N
Mean Rank
Sum of Ranks
4
2,75
11,00
Kaledupa
4
6,25
25,00
Total
8
Test Statistics(b)
Kepadatan_kima 1,000
Mann-Whitney U Wilcoxon W
11,000
Z
-2,097
Asymp. Sig. (2-tailed)
,036
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
,057(a)
a Not corrected for ties. b Grouping Variable: lokasi Ranks
Kepadatan_kima
Lokasi Wangi wangi Tomia Total
N
Mean Rank
Sum of Ranks
4
2,50
10,00
4
6,50
26,00
8
41 Test Statistics(b)
Kepadatan_kima Mann-Whitney U
,000
Wilcoxon W
10,000
Z
-2,323
Asymp. Sig. (2-tailed)
,020
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
,029(a)
a Not corrected for ties. b Grouping Variable: lokasi Ranks
Kepadatan_kima
Lokasi Kaledupa
N 4
Mean Rank 3,00
Sum of Ranks 12,00
Tomia
4
6,00
24,00
Total
8
Test Statistics(b)
Kepadatan_kima Mann-Whitney U
2,000
Wilcoxon W
12,000
Z
-1,753
Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] a Not corrected for ties. b Grouping Variable: lokasi
,080 ,114(a)
42 Lampiran 3 Uji Kruskal-Wallis dan Mann-Whitney U ukuran kima antar lokasi Kruskal-Wallis Ranks Lokasi_crocea Wangi wangi
Panjang_crocea
N 5
Mean Rank 11,40
Kaledupa
10
15,25
Tomia
12
14,04
Total
27
Test Statistics(a,b)
Panjang_crocea ,801
Chi-Square Df
2
Asymp. Sig.
,670
a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: lokasi_crocea Ranks
Panjang_squamosa
Lokasi_squamosa Wangi wangi
N
Mean Rank 1
6,50
5
8,30
Tomia
10
8,80
Total
16
Kaledupa
Test Statistics(a,b)
Chi-Square
Panjang_squamosa ,230
Df
2
Asymp. Sig.
,891 a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: lokasi_squamosa Ranks
Panjang_maxima
Lokasi_maxima Wangi wangi
N
Mean Rank 2
19,00
Kaledupa
11
21,09
Tomia
22
16,36
Total
35
43 Test Statistics(a,b)
Panjang_maxima Chi-Square
1,602
df
2
Asymp. Sig.
,449
a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: lokasi_maxima Ranks
Panjang_hippopus
Lokasi_hippopus Wangi wangi
N
Mean Rank 1
Kaledupa
3,00
5
5,80
Tomia
28
20,11
Total
34
Test Statistics(a,b)
Panjang_hippopus Chi-Square
11,038
df
2
Asymp. Sig.
,004
a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: lokasi_hippopus
Mann-Whitney U Ranks
Panjang_hippopus
Lokasi_hippopus Wangi wangi
N
Mean Rank
Sum of Ranks
1
3,00
3,00
Kaledupa
5
3,60
18,00
Total
6
Test Statistics(b)
Mann-Whitney U
Panjang_hippopus 2,000
Wilcoxon W
3,000
Z
-,297
Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
,766 1,000(a)
a Not corrected for ties. b Grouping Variable: lokasi_hippopus
44 Ranks
Panjang_hippopus
Lokasi_hippopus Wangi wangi
N
Mean Rank
Sum of Ranks
1
1,00
1,00
Tomia
28
15,50
434,00
Total
29
Test Statistics(b)
Panjang_hippopus ,000
Mann-Whitney U Wilcoxon W
1,000
Z
-1,685
Asymp. Sig. (2-tailed)
,092
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
,069(a)
a Not corrected for ties. b Grouping Variable: lokasi_hippopus Ranks
Panjang_hippopus
Lokasi_hippopus Kaledupa
N
Mean Rank
Sum of Ranks
5
5,20
26,00
Tomia
28
19,11
535,00
Total
33
Test Statistics(b)
Mann-Whitney U
Panjang_hippopus 11,000
Wilcoxon W
26,000
Z
-2,977
Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
,003 ,001(a)
a Not corrected for ties. b Grouping Variable: lokasi_hippopus
45 Lampiran 4 Konsentrasi dan kemurnian DNA total kima yang berhasil teramplifikasi
No.
Kode Sampel
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
TcL 1 TcH 2 TcH 3 TcS 1 TcS 2 TsW 2 TsH 1 TsS 1 TmL 2 TmH 1 HO 5
Konsentrasi (ng/µl) 156.5 208 152 141.5 114 376 390 141 160 180 364
* Kode sampel sesuai dengan Tabel 5
Kemurnian (A260/280) 1.915 1.895 1.924 1.907 1.908 1.961 1.900 2.000 1.967 1.910 1.864
46
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ujung Pandang pada tanggal 22 Desember 1987 sebagai putra dari pasangan suami istri Bapak La Djoodjo (Almarhum) dan Ibu Fitrian Saidi. Penulis menamatkan program sarjana Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Jurusan Perikanan, Fakutas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin Makassar pada tahun 2010, kemudian melanjutkan program magister pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan (SDP) Sekolah Pascasarjana IPB pada tahun 2013. Sebuah karya ilmiah yang merupakan bagian dari tesis Penulis telah di-submit dan masih dalam proses Review pada Indonesian Journal of Marine Science (IJMS) dengan judul “Genetic profile assessment of giant clam genus Tridacna as a basis for resource management in Wakatobi National Park Waters”.