STUDI PENINGKATAN KUALITAS PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI HABITAT PENYU MELALUI PENDEKATAN SKEMA PEMBAYARAN JASA EKOSISTEM (Studi Kasus Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan, Kabupaten Sukabumi)
LENY DWIHASTUTY
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul STUDI PENINGKATAN KUALITAS PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI HABITAT PENYU MELALUI PENDEKATAN SKEMA PEMBAYARAN JASA EKOSISTEM (Studi Kasus: Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan, Kabupaten Sukabumi), adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2016
Leny Dwihastuty NIM C252130011
1
*
Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait.
RINGKASAN LENY DWIHASTUTY. Studi Peningkatan Kualitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Habitat Penyu Melalui Pendekatan Skema Pembayaran Jasa Ekosistem (Studi Kasus : Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan, Kabupaten Sukabumi). Dibimbing oleh LUKY ADRIANTO dan FREDINAN YULIANDA. Salah satu fungsi penting Kawasan Konservasi Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan, Sukabumi (KKTP4S) adalah sebagai penyedia jasa bagi pendaratan penyu hijau (Chelonia mydas) yang merupakan daya tarik khusus bagi kegiatan wisata di kawasan ini. Namun saat ini populasi penyu Indonesia mengalami penurunan yang cukup mengkhawatirkan yakni sebesar 60% sejak tahun 1989 (WWF Indonesia, 2005). Penurunan populasi penyu telah menimbulkan perhatian di seluruh dunia selama dekade terakhir. Perubahan kondisi habitat peneluran dan perilaku manusia (anthropogenik) merupakan faktor utama penyebab penurunan populasi tersebut. Beberapa cara telah dilakukan untuk mengatasi kondisi ini diantaranya diperkuatnya peraturan baik di tingkat pusat maupun daerah, pembentukan UPTD konservasi, pelibatan masyarakat melalui pembentukan kelompok masyarakat pengawas (POKMASWAS), namun belum memberikan hasil yang cukup berarti. Kurangnya SDM pengelola, fasilitas penangkaran serta besarnya biaya operasional pengelolaan menjadi masalah tersendiri, sehingga diperlukan adanya pengelolaan yang baik dan tepat guna menjaga kelestarian dan berjalannya fungsi dari sumberdaya tersebut sehingga mendukung kesejahteraan masyarakat dan pengelolaan kawasan yang berkelanjutan. Salah satu metode konservasi baru yang diusulkan dengan melalui pendekatan Pembayaran Jasa Ekosistem (PES). PES dianggap sebagai sebuah pendekatan inovatif yang mencoba meraih dua tujuan yaitu konservasi sumberdaya alam dan penanggulangan kemiskinan. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 20 Oktober sampai 20 Desember 2014. Tujuan penelitian ini dilakukan adalah: 1) Mengidentifikasi dan memetakan jasa ekosistem yang dihasilkan oleh Kawasan Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan, Kabupaten Sukabumi, 2) Mengestimasi nilai jasa ekosistem di Kawasan Konservasi Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan dan 3) Menyusun disain Pembayaran Jasa Ekosistem untuk peningkatan kualitas pengelolaan kawasan konservasi perairan di Kabupaten Sukabumi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan analisis status ketersediaan jasa ekosistem (natural capital asset) diperoleh hasil bahwa KKTP4S masih menunjang sebagai habitat penyu serta masih tetap dapat menyediakan barang dan jasa (goods and service) untuk mendukung kehidupan manusia. Hasil analisis WTP diperoleh nilai surplus konsumen atau nilai WTP wisatawan nusantara sebesar Rp 7.972.988 per individu per tahun. Dan nilai WTP wisatawan mancanegara sebesar Rp 14.583.333 sehingga diperoleh nilai manfaat KKTP4S sebesar Rp. 558.607.297.820/tahun. Nilai WTP ini dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan yang tinggi. Perhitungan nilai rata-rata WTP responden wisatawan nusantara untuk pelepasan tukik adalah sebesar Rp 17.463/orang, terhadap melihat penyu bertelur Rp. 47.537/orang. Sedangkan nilai WTP responden wisatawan asing untuk pelepasan tukik sebesar Rp 27.000/orang,
melihat penyu bertelur sebesar Rp. 205.000/orang. Nilai rata-rata WTP responden wisatawan tersebut dapat digunakan sebagai acuan atau bahan pertimbangan dalam penetapan tarif masuk yang baru di KKTP4S. Hasil analisis prediksi diperoleh bahwa biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemerintah setiap tahunnya sekitar Rp 2.188.450.000. Jika dibandingkan dengan nilai WTP potensialnya diperoleh hasil WTP potensial lebih besar dibandingkan biaya transaksional yang dikeluarkan. Hal ini mengindikasikan bahwa pembayaran jasa ekosistem dapat sebagai alternatif untuk memperoleh pendanaan bagi pengelolaan KKTP4S dan sekaligus diharapkan dapat mempertahankan kelestarian lingkungan yang ada. Kebijakan utama yang diperlukan dalam implementasi pembayaran jasa ekosistem di KKTP4S adalah menentukan pelaku utama yaitu pihak penyedia dan pemanfaat jasa ekosistem. Penentuan pelaku utama ini bertujuan untuk mengetahui stakeholder yang memanfaatkan jasa jasa yang dihasilkan dari KKTP4S, membangun keterkaitan ekosistem dengan pelaku utama bertujuan untuk membentuk kesadaran para pelaku utama akan pentingnya KKTP4S untuk terus menyediakan jasa, menentukan karakter dari struktur dan fungsi ekosistem, bertujuan untuk mengetahui pola karakteristik lingkungan agar dalam melakukan upaya konservasi dapat berjalan baik, menentukan nilai pembayaran jasa melalui teknik valuasi ekonomi. Tujuan dilakukannya penilaian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar dana yang dapat dikumpulkan untuk membiayai kegiatan konservasi. Penilaian ini dilakukan melalui teknik valuasi yaitu kemampuan membayar (Willingness to Pay) serta menetapkan mekanisme lembaga pengelola yang bertujuan agar pelaksanaan PES ini memiliki kekuatan hukum. Pembentukan dasar hukum ini berupa undang undang maupun peraturan daerah, membangun perekonomian daerah untuk meningkatkan perilaku masyarakat dalam ikut menjaga KKTP4S, melakukan pemantauan dan monitoring terhadap mekanisme PES. Kebijakan ini penting untuk dilaksanakan dengan tujuan melakukan pemantauan semua kegiatan pelaksanaan PES yang sesuai dengan rencana dan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dan melakukan analisis keberhasilan pelaksanaan PES yang bertujuan untuk mengetahui seberapa efektif pelaksanaan PES terhadap kelestarian KKTP4S. Berdasarkan hasil analisis SMART didapatkan bahwa Pembayaran Jasa Ekosistem dengan menggunakan mekanisme Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) adalah yang memungkinkan saat ini. Pola ini cukup efisien, hal ini disebabkan melalui penerapan pola BLUD ini diharapkan melalui pengawasan oleh dewan pengawas BLUD berdasarkan peraturan menteri keuangan nomor 109/pmk.05/2007 tentang dewan pengawas badan layanan umum dana pengelolaan sebagai pendapatan yang benar benar dapat dipergunakan sebagai dana untuk pelestarian, pemeliharaan, kebersihan lingkungan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat khususnya disekitar lokasi obyek jasa ekosistem disekitar KKTP4S.
Kata Kunci :
Pembayaran, Jasa Ekosistem, Pendanaan Konservasi, Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan, Sukabumi
SUMMARY LENY DWIHASTUTY. Improving The Management of Marine Turtle Habitat Conservation Area Through Payment for Ecosystem Services Scheme (Case : Turtle Conservation Coastal Park In Pangumbahan, Sukabumi). Guided by LUKY ADRIANTO and FREDINAN YULIANDA. Pangumbahan Turtle Conservation Coastal Park (KKTP4S) provides important ecosystem services in forms of green turtle (Chelonia mydas) landing area as well as tourism attraction in Sukabumi Regency. The turtle population rate in Indonesia is experience an alarming rate of 60% decrease since 1989 (WWF Indonesia, 2005). Turtle nesting habitat changes and human behaviour leads to decline of turtle populations. Several ways have been made to overcome this condition include the strengthening of regulations both at national and regional levels. The establishment of UPTD conservation, community involvement through the establishment of community groups supervisor (Pokmaswas), but it did not provide significant results. Lack of human resources managers, breeding facilities as well as operational costs management is becoming a problem in it self. The goverment must immediately change the policy to save green turtle for extinction. PES has been adopted in the world as a new initiative on conservation and environment management. In Indonesia, there are also initiatives of PES on watershed management. This study aims to figuring ecosystem services in KKTP4S therefore the ecosystem services generated by KKTP4S could be assessed by applying economic instruments for ecosystem services payments. The research was conducted on October 20 until December 20, 2014. The purpose of this study is: 1) Identify and mapping ecosystem services produced by Turtle Conservation Coastal Park In Pangumbahan, Sukabumi. 2) Estimating the value of ecosystem services in the Turtle Conservation Coastal Park In Pangumbahan, Sukabumi and 3) Designing Payment for Ecosystem Services to improve the quality Management of Turtle Conservation Coastal Park In Pangumbahan, Sukabumi . Based on the analysis of the availability status of ecosystem services (natural capital assets), KKTP4S supports yet for being a turtle habitat and being able to provide goods and services for human life. WTP analysis showed consumer surplus value IDR 7.972.988 per person per year for local tourists and IDR 14.583.333 per person per year for foreign tourists, thus KKTP4S had a profit of IDR 558.607.297.820 per year. WTP value is influenced by the high level of knowledge. The average WTP value of the domestic tourist respondents is IDR 17.463 per person for releasing hatchlings and IDR 47,537 per person for seeing turtles laying eggs. While, WTP values average for foreign tourist respondents is IDR 27,000 per person for releasing hatchlings and IDR 205,000 per person for seeing turtles laying eggs. The average value of WTP for both respondents could be used as a reference to consider a new tarif in KKTP4S. Predictive analysis resulted that the transaction costs paid by the government annually about IDR 2.188.450.000. Comparing between WTP potential values and expenses, WTP potential values was more than the expenses. It indicates that the ecosystem services payment could be an alternative to gain
income for the management of KKTP4S and maintaining the existing environment. The main policy required for implementing ecosystem services payments in KKTP4S is to determine the main actors, which are the ecosystem service providers and the beneficiaries of ecosystem services. Determination of the main actors aimed to find stakeholders who utilize the services of KKTP4S services produced, build the ecosystem linkages with major actors, determining the value of payment for ecosystem services through an economic valuation techniques. The purpose of this study was to determine the money can be collected to finance conservation activities. Through the assessment a valuation technique is the ability to pay (Willingness to Pay) and to establish mechanisms management agency that aims to make the implementation of this PES have the force of law. The analysis revealed that the most suitable instutional arrangement of PES in KKTP4S is to be managed by the Sukabumi district government through Badan Layanan Unit Daerah (District Public Services Agency) scheme. It is quite efficient because by applying BLUD pattern, the revenue can be used entirely for preservation, maintenance, environmental hygiene, and community economic empowerment around the location of ecosystem services objects in the region of KKTP4S. Key words :
payments, ecosystems services, conservation funding, Turtle Beach Coastal Park in Pangumbahan, Sukabumi.
©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
STUDI PENINGKATAN KUALITAS PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI HABITAT PENYU MELALUI PENDEKATAN SKEMA PEMBAYARAN JASA EKOSISTEM (Studi Kasus Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan, Kabupaten Sukabumi)
LENY DWIHASTUTY
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr.Ir. Achmad Fahrudin, M.Si
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis yang berjudul “Studi Peningkatan Kualitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Habitat Penyu Melalui Pendekatan Skema Pembayaran Jasa Ekosistem (Studi Kasus: Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan, Kabupaten Sukabumi)”. Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada : 1. Dr.Ir. Luky Adrianto,M.Sc dan Dr.Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc selaku komisi pembimbing atas segala bimbingan, masukan dan arahannya selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan sehingga tesis ini dapat diselesaikan. 2. Dr.Ir. Achmad Fahrudin, M.Si selaku dosen penguji tamu serta Zulhamsyah Imran,S.Pi.,M.Si.,PhD selaku Sekretaris Program Studi yang telah banyak memberikan saran dan masukan dalam penyusunan tesis ini. 3. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi Bapak Ir. Abdul Kodir,M.Si, Kepala UPTD Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan Bapak Ahman Kurniawan, S.Pi beserta staf Agung Rahman, S.Pi atas bantuan penyediaan data dan fasilitas lainnya demi kelancaran penelitian ini. 4. Para narasumber di lapangan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Sukabumi, Dinas Kehutanan Kabupaten Sukabumi, Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat serta Dinas Kepariwisataan, Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Sukabumi. 5. PUSDIK BPSDMKP Kementerian Kelautan dan Perikanan yang telah membiayai studi ini. 6. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Kementerian Kelautan dan Perikanan Bapak Ir. Agus Dermawan, M.Si yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh studi S2 di Institut Pertanian Bogor. 7. Bapak Direktur Pelabuhan Perikanan Bapak Dr.Ir. Toni Ruchimat,MSc yang telah memberikan dukungan dan semangat kepada penulis dalam menempuh studi S2 di Institut Pertanian Bogor. 8. Ibunda tercinta Hj. Siti Mrihasih,S.Pd,Ayah mertua H.Sutarmin dan Ibunda Hj Supiyah. Kakanda Eko Yuswani Dewi,S.Pd.,MPd., Adinda Triwahyu Diharyanto, ST dan Fajar Lukito, ST yang telah memberikan dukungan dan doa yang tulus kepada penulis. 9. Suamiku tercinta Priyo Mulyantoro, SE dan anak anakku (Qaisara Feby PM, Khansa Fakhira SPM, Raffan Abizard PM) atas cinta, pengertian, kasih sayang, dan dukungan doa kepada penulis. Terima kasih telah menjadi bagian terpenting dalam kehidupan dan keberhasilan penulis. 10. Teman teman SPL angkatan 2013 atas segala doa dan kebersamaannya, serta kepada semua pihak yang telah banyak memberikan kontribusi baik langsung maupun tidak langsung dalam proses penyusunan tesis ini. Semoga segala bantuan dan dukungan yang diberikan mendapatkan ganjaran dari Allah SWT. Amin. Semoga tesis ini dapat bermanfaat. Bogor, Januari 2016 Leny Dwihastuty
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR LAMPIRAN
ix
1. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang lingkup Penelitian
1 1 3 6 6 6
2. TINJAUAN PUSAKA Karakteristik Fisik Pantai Peneluran Penyu Hijau Kawasan Konservasi Laut Pengelolaan Kawasan Konservasi dan Ekowisata Jasa Ekosistem Pemetaan Jasa Ekosistem Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan Konsep Nilai Sumberdaya Alam Metode Biaya Perjalanan Metode Penilaian Kontingensi Pembayaran Jasa Ekosistem
7 7 7 8 9 10 11 12 13 14
3. METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Tempat dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Alat dan Bahan Tahapan Penelitian dan Penentuan Jumlah Responden Metode pengumpulan Data Analisis Data Analisis Pemetaan Jasa Ekosistem Analisis Persepsi Masyarakat Analisis Nilai Ekonomi Jasa Ekosistem KKTP4S Analisis Pemangku Kepentingan Analisis Kelembagaan Analisis Biaya Transaksi Analisis Perbandingan antara Nilai Potensial WTP dengan Nilai Biaya Transaksi Analisis Alternatif Pengambilan Keputusan
16 16 18 18 19 21 23 23 23 26 26 31 33 34
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Sistem Sosial Ekologi KKTP4S Karakteristik Habitat Peneluran dan Kelimpahan Populasi Penyu Karakteristik Masyarakat, Pengelola dan Wisatawan di KKTP4S Persepsi Masyarakat dan Pengunjung Terhadap Pengelolaan KKTP4S Valuasi Ekonomi KKTP4S Peran dan Kepentingan Pemangku Kepentingan
37 37 43 48 56 65 76
35 35
DAFTAR ISI (lanjutan) Analisis Kelembagaan dan Biaya Transaksi Kebijakan Pengelolaan KKTP4S
84 90
5.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
100 100 101
6.
DAFTAR PUSTAKA
102
DAFTAR TABEL 1 Jumlah Wisatawan di Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan Tahun 2008-2014 2 Daftar Penggunaan Lahan Integritas Ekologi dan Komponen Jasa Ekosistem Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan, Sukabumi 3 Alat dan Bahan yang Dgunakan dalam Penelitian 4 Matriks Jenis Data,Sumber Data dan Analisis Data 5 Matriks Penilaian Kapasitas KKTP4S 6 Matriks penilaian Permintaan KKTP4S 7 Matriks Penilaian Keseimbangan KKTP4S 8 Penilaian Tingkat Kepentingan 9 Penilaian Tingkat Pengaruh 10 Ukuran Kuantitatif Terhadap Identifikasi dan Pemetaan Stakeholder 11 Dimensi dan Atribut yang Digunakan dalam Pengambilan Keputusan Multi Kriteria 12 Suplai Jasa Ekosistem di KKTP4S 13 Permintaan Jasa Ekosistem di KKTP4S 14 Status ketersediaan Jasa Ekosistem di KKTP4S 15 Karakteristik Habitat Pantai Peneluran Penyu 16 Karakteristik Masyarakat KKTP4S 17 Karakteristik Nelayan KKTP4S 18 Karakteristik Pengelola KKTP4S 19 Sebaran Responden Wisatawan KKTP4S Menurut Tingkat Pendidikan 20 Besarnya Tarif Retribusi Memasuki KKTP4S 21 Besarnya Tarif Retribusi Melihat Ritual Penyu Bertelur di KKTP4S 22 Parameter Tingkat kerusakan Ekosistem di KKTP4S 23 Tingkat Kunjungan Wisatawan KKTP4S 24 Fungsi Permintaan Rekreasi KKTP4S dengan Metode Biaya Perjalanan Wisatawan Nusantara 25 Perhitungan Nilai Ekonomi KKTP4S Wisatawan Nusantara 26 Fungsi Permintaan Rekreasi KKTP4S dengan Metode Biaya Perjalanan Wisatawan Mancanegara 27 Perhitungan Nilai Ekonomi KKTP4S Wisatawan Mancanegara 28 Distribusi Nilai Rata-rata WTP responden Winus Pelepasan Tukik 29 Distribusi Nilai Rata-rata WTP Responden Winus Melihat Penyu bertelur 30 Distribusi Nilai Rata-rata WTP Responden Wisman Melihat Pelepasan Tukik 31 Distribusi Nilai Rata-rata WTP Responden Wisman Melihat Penyu Bertelur 32 Nilai HTM, WTP dan TCM 33 Dugaan Rata-rata WTP Responden 34 Identifikasi Stakeholder dan Kepentingannya 35 Tingkat Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder 36 Aktor Yang terlibat dalam Pengelolaan KKTP4S 37 Aspek Pengelolaan Aturan Formal dalam Pengelolaan KKTP4S 38 Biaya Transaksi Pemerintah dalam Pengelolaan KKTP4S 39 Indikator dan Kriteria terhadap Alternatif Kelembagaan PNBP,BLUD,IMP 40 Pembobotan Nilai terhadap Alternatif Kelembagaan
9 10 19 21 24 25 25 31 32 33 36 38 40 42 45 49 49 50 54 55 55 59 66 66 69 69 71 72 72 73 73 74 76 76 80 82 87 89 98 99
DAFTAR GAMBAR 1 Trend Pendaratan Penyu di KKTP4S 1997-2014 2 Pendekatan DPSIR sebagai Indikator Keberlanjutan Kawasan Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan 3 Prinsip Pembayaran Jasa Ekosistem 4 Mekanisme Pembayaran Jasa Ekosistem 5 Kerangka Umum Pendekatan Studi 6 Kawasan Konservasi Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan 7 Tahapan Pengumpulan Responden Penelitian 8 Matriks Hasil Analisis Stakeholder 9 Framework IAD dalam Analisis Kelembagaan (Ostrom 2011) 10 Populasi Penyu Bertelur dan Mendarat di KKTP4S 11 Persepsi Kondisi Lingkungan KKTP4S dan sekitarnya 12 Kisaran Pendapatan dan Tambahan Biaya dalam Operasi Penangkapan 13 Tingkat Pengetahuan,Pemahaman dan Manfaat serta Kesediaan untuk Kontribusi terhadap Fungsi Vegetasi 14 Jumlah Wisatawan 15 Persentase Tingkat Pengetahuan Wisatawan 16 Jumlah Pengunjung Selama Tahun 2014 17 Karakteristik Wisatawan KKTP4S 18 Dampak KKTP4S terhadap Lingkungan 19 Tingkat Pengetahuan Masyarakat Terhadap Tujuan Kawasan Konservasi Penyu 20 Dampak KKTP4S terhadap Hasil Tangkapan 21 Persepsi Masyarakat terhadap Manfaat KKTP4S 22 Persepsi Masyarakat terhadap Keberadaan KKTP4S 23 Persentase Kesediaan Masyarakat Berkontribusi dalam Pelestarian Kawasan 24 Ketersediaan Kontribusi Biaya yang Dapat Dikeluarkan Masyarakat Terhadap Ekosistem 25 Persentase Nilai Valuasi/Tahun untuk KKTP4S 26 Persepsi Masyarakat terhadap Manfaat Ekonomi Kegiatan Pariwisata di KKTP4S 27 Keterkaitan Pariwisata di KKTP4S dengan Peningkatan Sapras 28 Diagram Informasi Kunjungan Responden 29 Diagram Motivasi Wisata Responden 30 Diagram Aksesibilitas Lokasi Wisata 31 Persepsi Terhadap Kondisi Aksesibilitas Menuju KKTP4S 32 Persepsi Terhadap Karcis Masuk Pelepasan Tukik dan melihat Penyu Bertelur di KKTP4S 33 Perbandingan Total HTM dengan WTP 34 Perbandingan Total HTM,WTP dan TCM 35 Pemetaan Stakeholder Pengelolaan KKTP4S 36 Pendekatan Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Alam 37 Biaya Transaksi Pemerintah dalam Pengelolaan di KKTP4S 38 Mekanisme PES antar Pihak Terkait 39 Alur Operasional Program yang terkait dalam Mekanisme PES
2 5 15 15 17 18 20 32 34 47 48 50 51 52 52 53 56 57 57 58 58 59 60 60 61 61 62 63 63 64 64 64 74 75 79 84 88 91 92
DAFTAR GAMBAR (lanjutan) 40 Mekanisme Pembayaran Jasa Ekosistem Melalui Lembaga Pemerintah 41 Mekanisme Pembayaran Jasa Ekosistem Melalui BLUD 42 Mekanisme Pembayaran Jasa Ekosistem Melalui IMP
95 97 98
DAFTAR LAMPIRAN 1 Hasil Analisis Regresi Fungsi Permintaan (TCM) Wisatawan Nusantara dengan menggunakan Excel 2 Hasil Perhitungan Nilai Surplus Konsumen Wisatawan Nusantara 3 Hasil Analisis Regresi Fungsi Permintaan (TCM) Wisatawan Mancanegara dengan menggunakan Excel 4 Hasil Perhitungan Nilai Surplus Konsumen Wisatawan Nusantara 5 Nilai Penting dan Pengaruh Stakeholders Pengelolaan KKTP4S 6 Uji Statistika Pendaratan Penyu 7 Uji Statistika Untuk Wisatawan 8 Pemetaan Jasa Ekosistem KKTP4S 9 Kantor Pengelola KKTP4S, Home Stay dan Kegiatan Penangkaran di dalamnya 10 Kawasan Konservasi Taman Pesisir Pantai penyu Pangumbahan, Kabupaten Sukabumi (KKTP4S) 11 Vegetasi Dominan di KKTP4S 12 Aksesibilitas Menuju Lokasi dan Salah Satu Kegiatan Wawancara 13 Pertanian Pesisir, Perkebunan, Pemukiman Penduduk di KKTP4S 14 Wisatawan Nusantara dan Wisatawan Asing di KKTP4S 15 Beberapa Responden Masyarakat dan Nelayan di KKTP4S 16 Riwayat Hidup
107 111 114 116 117 119 121 128
129 130 131 132 133 134 135
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penyu menjadi salah satu indikator penting untuk kesehatan ekosistem laut dan pesisir dunia (Juni 2005). Penurunan populasi penyu telah menimbulkan perhatian di seluruh dunia selama dekade terakhir. Perhatian ini terfokus pada penyu akibat kegiatan manusia yang dianggap sebagai salah satu faktor utama yang menyebabkan masalah ini (NOAA 2005). Pantai Pangumbahan merupakan salah satu habitat terestrial yang disukai sebagai wilayah pendaratan tujuh spesies penyu di dunia, termasuk penyu hijau (Chelonia mydas). Insting pendaratan penyu yang tinggi di pantai Pangumbahan karena aksesibilitas yang mudah bagi penyu untuk mendarat serta jarak tubir pantai sangat dekat dan langsung berhadapan dengan Samudera Hindia. Karakteristik pantai tempat bertelur penyu hijau umumnya adalah pantai landai dengan jenis pasir berdiameter halus dan sedang serta kaya akan nutrient sebagai tempat untuk menetaskan telurnya (KKJI 2009). Faktor biologi dan fisik kawasan berpengaruh terhadap keberlanjutan penyu hijau baik proses pendaratan, peneluran, ataupun penetasan. Faktor-faktor tersebut ditandai dengan tingkat keseimbangan rantai makanan. Mulai dari adanya padang lamun sebagai penyedia makanan kemudian detritus, sampai penyu hijau sebagai konsumen utama. Meskipun letak padang lamun di pantai pangumbahan tidak berdekatan karena kontur pantai yang curam tetapi suplai makanan untuk penyu tetap terpenuhi. Kondisi geomorfologi pantai pangumbahan berupa pantai terjal dengan batuan sedimen tua yang menjadikan pantai ini relatif tidak berpotensi terjadinya abrasi pantai (Wahyudin 2011). Hal ini terbukti dengan masih adanya penyu hijau yang melakukan peneluran di daerah ini, dan adanya vegetasi pandan sebagai ciri kawasan yang menarik untuk tempat bertelurnya penyu. Dalam rangka menjaga kelestarian kondisi kawasan tersebut maka Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi tengah mengembangkan model pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang lestari melalui pembentukan Kawasan Konservasi dengan nama Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan. Kawasan Konservasi Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan, Sukabumi Provinsi Jawa Barat (KKTP4S) merupakan salah satu dari 76 lokasi kawasan konservasi dengan total luasan yang telah tercapai mencapai 15,76 juta hektar di Indonesia (KKP 2013). Adapun dasar hukum penetapan tersebut adalah SK Bupati Sukabumi Nomor 523/Kep.639-Dislutkan/2008 yang dikeluarkan pada tanggal 31 Desember 2008. Luas Kawasan Konservasi mencapai 1.771 hektar, yang terdiri dari daratan 115 hektar dengan panjang pantai 2.300 meter dan kawasan perairan laut seluas 1.656 hektar. Berdasarkan data UPTD konservasi Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan jumlah penyu yang mendarat dikawasan ini berfluktuatif tetapi cenderung menunjukkan penurunan. Hal ini disajikan pada Gambar 1.
2
2500
Jumlah Penyu (ekor)
2000 1500 1000 500 0
Tahun
Gambar 1 Trend Pendaratan Penyu di KKTP4S 1997-2014 Potensi ancaman kelestarian penyu disebabkan beberapa faktor, yaitu faktor alam, faktor sosial dan manajemen pengelolaan. Menurut Ackerman (1997) faktor alam diantaranya dampak dari perubahan lingkungan di daratan maupun di laut, penangkapan penyu tidak sengaja (by catch), kerusakan habitat, serangan penyakit dan predator, kematian penyu karena teknik penangkapan ikan dengan menggunakan drift netting, shrimp trawling, dynamite fishing, dan long lining, pembangunan gedung daerah pantai, penambangan pasir dan abrasi pantai. Faktor sosial antara lain pencurian telur penyu, perburuan penyu dan pengambilan sumberdaya alam yang menjadi makanan penyu. Mortimer (1995) menyoroti bahwa ancaman kepunahan penyu yang terbesar adalah eksploitasi yang dilakukan oleh manusia secara berlebihan (anthropogenik). Penangkapan induk dan pemanenan telur penyu secara berlebihan dan terus menerus selama beberapa dekade dapat berakibat kepunahan populasi penyu. Banyak cara telah dilakukan untuk mengatasi kondisi ini diantaranya (1) dukungan Undang-undang Nomor 31/2004 jo UU No. 45/2009 tentang perikanan serta UU No 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang undang tersebut telah melarang siapapun untuk mengambil, merusak, memusnahkan, menyimpan atau memiliki telur penyu. (2) Pembentukan UPTD konservasi, (3) pelibatan masyarakat melalui pembentukan Kelompok Masyarakat Pengawas. Namun cara tersebut belum memberikan hasil yang cukup berarti. Hal ini memperkuat pengakuan yang berkembang dalam beberapa dekade terakhir bahwa faktor-faktor ekonomi berada di belakang banyak kegiatan manusia yang menyebabkan terjadinya penurunan habitat dan jumlah spesies. Kondisi Pantai Pangumbahan juga sudah tidak lagi ideal sebagai tempat penangkaran penyu. Secara alamiah, penyu menyukai pantai yang sepi, gelap, dan tidak ada bunyi-bunyian (Zavaleta et al. 2013). Kurangnya fasilitas penangkaran dan besarnya biaya operasional kegiatan penangkaran di Pangumbahan juga menjadi masalah tersendiri. Setiap tahun ada dana dari Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi tetapi masih jauh dari cukup, diharapkan kedepannya UPTD bisa mandiri dalam pembiayaan. Hal ini menuntut adanya pola pengelolaan yang baik dan tepat guna menjaga kelestarian dan berjalannya fungsi dari sumberdaya tersebut sehingga mendukung kesejahteraan masyarakat dan pengelolaan kawasan yang berkelanjutan.
3
Pengelolaan lingkungan yang memberikan jaminan kelestarian memerlukan insentif ekonomi baik kepada penyedia (seller) jasa lingkungan maupun pemakai (buyer). Sistem insentif ekonomi untuk mengelola lingkungan dapat diberikan dalam bentuk insentif fiskal, insentif pendanaan dan insentif pengembangan pasar jasa lingkungan (INDEF 2006). Salah satu metode konservasi baru yang diusulkan dengan melalui pendekatan Pembayaran Jasa Ekosistem atau Payment for Ecosystem Services (PES). PES merupakan salah satu jalan untuk mendorong kegiatan konservasi di tingkat komunitas. PES adalah satu tren yang berkembang di penggiat lingkungan. PES dianggap sebagai sebuah pendekatan inovatif yang mencoba meraih dua tujuan yaitu konservasi sumberdaya alam dan penanggulangan kemiskinan diberbagai negara berkembang termasuk Indonesia. Studi tentang mekanisme pembiayaan kawasan konservasi melalui skema PES untuk kawasan konservasi perairan masih relatif sedikit dilakukan. Dalam kasus Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan, skema ini diduga sesuai untuk menentukan nilai kawasan sekaligus melestarikan penyu sebagai hewan langka dan ikon kabupaten Sukabumi. Dari penjelasan latar belakang tersebut maka studi ini dilakukan. Perumusan Masalah Kawasan Konservasi Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan, Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat (KKTP4S) merupakan salah satu tujuan wisata dengan jumlah kunjungan wisatawan yang relatif tinggi. Kawasan ini memiliki banyak potensi sumberdaya alam pesisir, salah satunya komoditi penyu sebagai objek yang diunggulkan. Pantai Penyu Pangumbahan memiliki pemandangan alam yang indah, ombak yang cocok untuk surfing, pasir putih yang menghampar luas,vegetasi pantai yang lebat, dan kondisi perairan yang jernih serta aktivitas pendaratan penyu menjadi daya tarik khusus bagi kegiatan wisata di kawasan ini. Untuk meningkatkan kualitas pengelolaan, maka saat ini telah dibangun turtle center yang diresmikan pada tanggal 22 Desember 2009 sebagai Pusat Informasi Penyu Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan. Turtle centre yang dijadikan ikon Sukabumi ini ditargetkan untuk pemanfaatan berbagai kegiatan bisnis pariwisata, pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian, pendidikan dan pelatihan, pemberdayaan ekonomi masyarakat serta pemanfaatan jasa ekosistem. Namun pengelolaan tersebut masih belum memadai. Kurangnya SDM dan sistem yang masih lemah menjadi kendala utama dalam pengelolaan kawasan tersebut. Jumlah SDM yang ada disana masih kurang, selain itu pendidikan yang relatif rendah dan pengetahuan mengenai penyu juga masih kurang. Oleh karena itu sistem yang berjalan disana masih kurang optimal. Hukuman bagi pengambil telur illegal pun masih kurang tegas. Sesuai yang tertuang dalam Permen 17/MEN/2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KKP3K), strategi dalam penguatan pengelolaan KKP3K diantaranya adalah perlindungan dan pelestarian KKP3K, pemeliharaan batas kawasan dan batas zonasi, monitoring sumberdaya, rehabilitasi habitat dan populasi, pengawasan, pembangunan infrastruktur/sarana dan prasarana, penelitian, pendidikan, pariwisata dan rekreasi atau perikanan berkelanjutan.
4
Pencadangan kawasan konservasi perairan khususnya di KKTP4S ini pastinya mempunyai dampak bagi masyarakat dan lingkungan laut (ekologi) yang berada di kawasan Taman Pesisir karena kawasan ini dianggap sebagai kawasan wisata yang telah berkembang dan telah dikelola selama hampir 6 (enam) tahun. Dampak yang dapat ditimbulkan bisa positif dan juga bisa negatif. Berdampak positif jika pengelolaan selama ini telah mensejahterakan masyarakat dan melindungi lingkungan laut (ekologi) dalam hal ini penyu yang menjadi salah satu objek wisata terbesar serta potensi lain yang berasosiasi dengannya dan memiliki daya tarik bagi wisatawan. Dan sebaliknya akan berdampak negatif jika tidak adanya perbaikan terhadap lingkungan laut (ekologi) dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kedua hal tersebut merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan, sehingga dalam pengelolaan wilayah pesisir khususnya di kawasan konservasi perairan perlu memperhatikan keseimbangan dari kedua aspek tersebut (Bato et al. 2013). Kawasan ekosistem KKTP4S merupakan kawasan yang memiliki fungsi sebagai penyedia jasa ekosistem penting di kabupaten Sukabumi provinsi Jawa Barat dan kawasan ini adalah salah satu kawasan area konservasi perairan di Jawa Barat yang berpotensi tinggi menjadi salah satu tujuan wisata. Jasa ekosistem adalah potensi sumberdaya kawasan yang dapat dimanfaatkan di suatu kawasan. Jasa ekosistem yang umum dilakukan adalah nilai ekonomi dan ekologi dari fungsi kawasan dalam hal ini di KKTP4S sebagai areal ekowisata, sumberdaya genetik (tempat bertelurnya penyu) serta sumberdaya perairan yang mendukung program perikanan berkelanjutan. Nilai ekonomi adalah ukuran jumlah maksimum barang dan jasa yang ingin dikorbankan oleh seseorang untuk memperoleh barang dan jasa lainnya. Nilai ekonomi juga dapat diartikan sebagai keinginan membayar (willingness to pay) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkunganm (Turmudi 2005 dalam Tuwo A 2011). Dengan menggunakan ukuran tersebut, nilai ekologis dari suatu ekosistem pesisir dan laut dapat diterjemahkan dalam bahasa ekonomi dengan mengukur nilai dari barang dan jasa. Jika ekosistem pesisir dan laut mengalami kerusakan akibat polusi maka nilai yang hilang akibat degradasi lingkungan bisa diukur dari keinginan seseorang untuk membayar agar lingkungan pesisir tersebut kembali atau mendekati aslinya. Dalam valuasi sumberdaya perlu pula diukur seberapa besar masyarakat sumberdaya harus diberikan kompensasi untuk menerima pengorbanan atas hilangnya barang dan jasa dari sumberdaya dan lingkungan. Permasalahan yang terjadi saat ini adalah belum diketahuinya potensipotensi tersebut sebagai penghasil jasa ekosistem serta nilai ekonomi yang tidak dapat secara langsung diterjemahkan kedalam rupiah dari hasil pengelolaan kawasan dan jasa ekosistemnya sehingga sampai saat ini belum diapresiasi secara baik oleh publik, bahkan kegiatan konservasi masih dianggap sebagai cost center. Akibat dari tidak dipahaminya nilai ekonomi total yang dihasilkan dari kawasan tersebut muncul kekhawatiran berbagai pihak akan menurunnya kualitas ekosistem kawasan tersebut, sebagai salah satu indikator keseimbangan ekologi dimuka bumi. Hal ini terbukti dampak anthropogenik dari perusakan habitat maupun pencurian telur masih terjadi. Pengambilan tersebut didasari oleh rendahnya pendapatan dan pendidikan masyarakat sekitar, sehingga masyarakat kurang sadar akan pentingnya kelestarian penyu.
5
Kegiatan ekowisata pada prinsipnya merupakan kegiatan rekreasi di alam bebas atau terbuka (Yulianda 2007), didalamnya terdapat juga kegiatan konservasi yang diharapkan dapat menjadi alternatif solusi bagi beberapa permasalahan seperti ancaman berupa gangguan habitat peneluran penyu ataupun pengambilan telur-telur penyu secara illegal tersebut.Selain itu manfaat ekonomi dari keberadaan KKTP4S haruslah dapat dibuktikan sehingga dapat dipandang sebagai suatu upaya untuk mewujudkan suatu pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan, yang mensyaratkan adanya keuntungan ekonomi maupun sosial bagi masyarakat. Salah satu alasan mengapa apresiasi publik terhadap jasa ekosistem ini masih rendah adalah karena jasa ekosistem yang dihasilkan dari kawasan tersebut belum memiliki transaksi pasarnya disebabkan karena jasa jasa lingkungan tersebut merupakan barang publik dan memiliki eksternalitas dimana semua pihak yang memanfaatkan jasa ekosistem tersebut tidak harus melakukan pembayaran kepada pengelola kawasan. Membayar atau tidak membayar, semua pihak tetap dapat memanfaatkan jasa ekosisitem tersebut sebagai produk sektor perikanan dan kelautan karena memang belum ada mekanisme yang mengatur pembayaran terhadap jasa ekosistem sebagai barang publik sehingga diperlukan analisis untuk pemanfaatan yang optimal terutama pada kawasan konservasi yang baru saja dicadangkan. Hal ini dapat digambarkan dalam diagram DPSIR (DriversPressures-States-Impact-Responses) pada Gambar 2. Drivers (D)
Pressure (P)
Populasi
penduduk KKTP4S
Aktivitas
ekonomi (kegiatan wisata, Perburuan penyu dan pencurian telur,by catch)
Menimbulkan
Perusakan habitat (pembangunan villa, penambangan, Menimbulkan aksi pencurian telur Perubahan iklim Sampah domestik dipantai
Impact (I)
Perubahan luasan vegetasi Perubahan fisik lingkungan Perubahan kondisi kualitas perairan
Menyebabkan
Kehilangan habitat Menurunnya populasi penyu Menurunnya kualitas lingkungan Menurunkan tingkat pendapatan
Response (R)
Peningkatan Kualitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan Sukabumi
Gambar 2 Pendekatan DPSIR sebagai Indikator Keberlanjutan Kawasan Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan Dalam pembentukan kawasan konservasi akan berdampak pada peningkatan kebutuhan biaya untuk kegiatan konservasi, pengelolaan dan pengawasannya. Penerapan pembayaran jasa ekosistem atau Payment for Ecosystem Services
Kebutuhan
Pengurangan
Pengurangan
State (S)
6
(PES) kepada setiap pemanfaat jasa ekosistem merupakan terobosan baru dalam memenuhi kebutuhan pendanaan dalam pengelolaan suatu Kawasan Konservasi. Selama ini kebutuhan pendanaan KKTP4S masih berasal dari pemerintah maupun pemerintah Kabupaten Sukabumi, serta dari beberapa pendonor yang berasal dari LSM. Berdasarkan hal tersebut, yang menjadi masalah dalam kelangsungan dari KKTP4S adalah ; 1. Belum diketahuinya manfaat ekologi terhadap kelestarian lingkungan di KKTP4S. 2. Belum diketahuinya nilai jasa ekosistem yang ada di KKTP4S. 3. Belum diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi nilai jasa ekosistem di KKTP4S. 4. Belum adanya kelembagaan pengelola yang sesuai untuk menjalankan mekanisme pembayaran jasa ekosistem di KKTP4S. Tujuan Penelitian Tujuan dari Penelitian ini adalah ; 1. Mengidentifikasi dan memetakan jasa ekosistem yang dihasilkan oleh KKTP4S, 2. Mengestimasi nilai jasa ekosistem di KKTP4S. 3. Menyusun disain Pembayaran Jasa Ekosistem untuk peningkatan kualitas pengelolaan KKTP4S. Manfaat Penelitian Manfaat dari Penelitian ini adalah ; 1. Diketahuinya Peta Jasa Ekosistem yang dapat digunakan untuk pengembangan ekowisata. 2. Tersusunnya desain Pembayaran Jasa Ekosistem yang dapat diaplikasi bagi pengelola KKTP4S khususnya dan Pemerintah Daerah (Pemda) pada umumnya. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini berupaya untuk mendeskripsikan potensi jasa ekosistem yang ada di KKTP4S, menghitung nilai ekonomi kawasan melalui pendekatan Travel Cost Method dan Contingent Valuation Method (CVM), serta memformulasikan desain kebijakan melalui pendekatan Pembayaran Jasa Ekosistem atau Payment for Ecosystem Services (PES) dalam rangka peningkatan kualitas pengelolaan yang berkelanjutan di KKTP4S.
7
2
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Fisik Pantai Peneluran Penyu Hijau Penyu hijau (Chelonia mydas) merupakan spesies penyu yang paling umum dijumpai diseluruh wilayah perairan Indonesia. Daerah peneluran penyu hijau di Pulau Jawa yang masih potensial populasinya antara lain di Pantai PangumbahanSukabumi, Jawa Barat. Penyu cenderung memilih pantai berpasir tebal dengan latar belakang hutan lebat sebagai tempat bertelurnya. Pantai tempat habitat untuk bertelur penyu memiliki persyaratan umum antara lain pantai mudah dijangkau dari laut, posisinya harus cukup tinggi agar dapat mencegah telur terendam oleh air pasang tertinggi, pasir relatif lepas (loose) serta berukuran sedang untuk mencegah runtuhnya lubang sarang pada saat pembentukannya. Keadaan lingkungan bersalinitas rendah,lembab dan substrat yang baik sehingga telur telur penyu tidak tergenang air selama masa inkubasi. Kondisi pantai yang cukup panjang dan luas yang sangat cocok untuk habitat penyu dan lebih memudahkan penyu untuk memilih tempat bertelur. Panjang pantai 9.893 meter dengan cara mengelilingi pantai tersebut. Hal ini berkaitan dengan kebiasaan penyu yang memilih lokasi sebagai habitat dan bertelurnya ditempat luas dan lapang (Nuitja 1992). Menurut Nuitja (1992) pantai yang landai berkisaran (3–8%) dan miring berkisaran (8-16%) sesuai dengan habitat dan peneluran penyukarena kondisi landai tersebut dapat memudahkan penyu untuk mencapai tempat peneluran. Vegetasi pada pantai mempunyai peran yang sangat penting bagi penyu untuk melindungi telurnya dari terkena langsung sinar matahari,mencegah perubahan suhu yang tajam disekitarnya dan melindungi sarang dari gangguan predator serta memberikan pengaruh terhadap kelembaban,suhu,kestabilan pada pasir yang memberikan keamanan saat penggalian lubang sarang (Bustard 1972). Sedangkan menurut Nuitja (1992), vegetasi pantai sangat berpengaruh terhadap lingkungan penelurannya dikarenakan akar vegetasi yang dapat mengikat butiran pasir dan menghindar terjadinya keruntuhan pasir sehingga akan dapat mempermudah penyu dalam melakukan penggalian dan proses penelurannya. Kawasan Konservasi Laut Kawasan Konservasi Laut atau Marine Protected Area (MPA) adalah instrumen (tools) manajemen berbasis ekosistem penting untuk konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati. Disamping itu, MPA juga dapat membantu mempertahankan fungsi ekosistem dan menyediakan jasa ekosistem. Kawasan Konservasi Laut ditujukan untuk mengatasi beberapa ancaman utama pada ekosistem laut seperti eksploitasi berlebihan, degradasi habitat dan tingkat polusi lebih rendah bahkan invasi spesies asing (Guarderas et al. 2008) Pembentukan sebuah kawasan konservasi harus dapat dirasakan masyarakat manfaatnya sehingga partisipasi masyarakat dalam pengelolaan MPA dapat diharapkan. Manajemen ekosistem laut tidak mengelola sumberdaya alam saja, tetapi interaksi manusia dengan sumberdaya. Kawasan Konservasi Laut adalah salah satu alat untuk mengelola kegiatan manusia secara komprehensif diwilayah
8
laut. MPA terdiri dari sebagian laut, termasuk kolom air dan sedimen, dimana beberapa mekanisme hukum atau peraturan membatasi atau melarang kegiatan manusia untuk melindungi sumberdaya alam didalamnya (IUCN 2003). Pembatasan atau pelarangan bervariasi tergantung pada tujuan spesifik pengelolaan MPA. Kawasan Konservasi Laut memiliki nilai ekonomi yang tinggi yang tidak hanya bersifat terukur (tangible) namun juga manfaat ekonomi yang tidak terukur (intangible). Manfaat yang terukur biasanya digolongkan ke dalam manfaat bernilai guna baik yang dikonsumsi maupun tidak, sementara manfaat yang tidak terukur berupa manfaat non-bernilai guna yang lebih bersifat pemeliharaan ekosistem dalam jangka panjang, jika kita analisis secara ekonomi, pembangunan kawasan konservasi laut dapat dianggap sebagai investasi sumberdaya di masa mendatang. Nilai ekonomi tentu saja sangat berarti dibanding dengan manfaat ekonomi sesaat dari penangkapan ikan baik yang konvensional maupun dengan teknik yang destruktif seperti bom dan sianida. Selain manfaat biologi dan ekonomi, kawasan konservasi laut juga memberikan manfaat sosial yang tidak bisa diabaikan. Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa penetapan suatu kawasan menjadi kawasan konservasi dapat meningkatkan kepedulian masyarakat sekitar terhadap masalah lingkungan. MPA dapat dijadikan ajang untuk meningkatkan pendidikan lingkungan diantara masyarakat sekitar. Di Apo Island, Phillipines penerimaan yang diperoleh dari MPA bahkan dapat dijadikan sebagai beasiswa bagi penduduk di sekitar kawasan untuk menempuh pendidikan formal tingkat lanjut. Penilaian barang non market untuk kawasan lindung dapat membantu memberikan langkah kearah pengambilan keputusan yang lebih baik. Hal ini membutuhkan evaluasi sumberdaya alam dalam hal moneter. Pengelolaan Kawasan Konservasi dan Ekowisata Konsep wisata bahari yang berkelanjutan adalah pembangunan sumberdaya wisata bahari yang bertujuan untuk memberi keuntungan bagi pemangku kepentingan, keuntungan bagi alam dan nilai kepuasan optimal bagi wisatawan. Wisata bahari konvensional cenderung mengancam kelestarian sumberdaya itu sendiri terutama kelestarian objek dan tujuan wisata. Adanya kegiatan wisata bahari sangat tergantung pada sumberdaya alam, diantaranya habitat tempat suatu hewan langka dilestarikan dan apabila terjadi kerusakan akan menurunkan mutu daya tarik pariwisata. Tingginya jumlah wisatawan dapat menjadi ancaman potensial terhadap daya tarik dari suatu obyek wisata dan berdampak terhadap degradasi ekosistem (Yulianda 2007). Langkah yang tepat untuk mengurangi ancaman ini sangat diperlukan. Permasalahan utama yang telah diketahui antara lain polusi yang disebabkan oleh limbah dan sampah yang dihasilkan oleh wisatawan. Munculnya minat wisatawan mengunjungi wilayah tersebut disebabkan tersedianya potensi daya tarik wisata. Wisata bahari yang dikembangkan dikawasan ini merupakan wisata minat khusus yakni turtle watching (melihat penyu bertelur), pelepasan tukik dan kolam sentuh. Di kawasan ini juga telah dibangun pusat informasi yang bisa dijadikan sebagai tempat wisata pendidikan dalam rangka memperkenalkan konservasi penyu kepada para pelajar/mahasiswa.
9
Tabel 1 Jumlah Wisatawan di Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan Tahun 2008-2014 No Tahun Wisatawan Jumlah 1 2008 1,451 1,451 2 2009 13,176 13,176 3 2010 16,962 16,962 4 2011 21,759 21,759 5 2012 20,984 20,984 6 2013 24,765 24,765 Sumber: UPTD Konservasi Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan (2014)
Ekowisata merupakan wisata berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindungan sumberdaya alam/lingkungan dan industri kepariwisataan (Yulianda 2007). Menurut Budowski dalam Dietrich (2007) menyatakan bahwa ekowisata yang sukses akan memanifestasikan dirinya sebagai hubungan “simbiosis” antara konservasi dan pariwisata. Dua rintangan penting yang dapat menghalangi hubungan saling menguntungkan ini adalah: Pertama, ekowisata yang sukses dan adanya dukungan terhadap upaya konservasi sering dikaitkan dengan bertambahnya manfaat lokal dari pariwisata. Misalnya dukungan lokal untuk Daerah Perlindungan Laut Hol Chan di Belize diduga hasil peningkatan income dari pariwisata berbasis alam (Lindberg et al. 1996). Jika persepsi lokal terhadap biaya pariwisata lebih besar daripada manfaat, maka kemungkinan kesadaran dan dukungan konservasi tersebut akan berkurang. Pariwisata terencana dengan baik akan menghasilkan manfaat sosial, ekonomi dan lingkungan kepada masyarakat sekitar. Pariwisata bisa menimbulkan konflik dan kebencian terhadap upaya konservasi dari masyarakat lokal yang merasa kehilangan kendali dan akses ke sumberdaya alam yang biasa mereka gunakan.Apabila manfaat wisata ini dapat dirasakan masyarakat maka dapat meningkatkan kesadaran dan dukungan masyarakat lokal terhadap hal hal yang terkait dengan upaya konservasi terutama dalam melestarikan sumberdaya alam untuk para wisatawan. Pendapatan alternatif akan mengurangi tekanan terhadap sumberdaya kawasan konservasi. Dengan mensurvei jumlah penduduk yang terlibat kegiatan wisata, apakah ada perubahan mata pencaharian atau peningkatan pendapatan sehingga mengurangi perilaku yang merusak sumberdaya. Jasa Ekosistem Jasa Ekosistem adalah manfaat yang didapatkan oleh seseorang dan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung dari ekosistem. Pengelolaan lahan, air, dan sumber daya hayati secara terpadu yang mendorong konservasi dan pemanfaatan yang berkelanjutan menjadi dasar untuk menjaga jasa ekosistem, termasuk jasa-jasa yang berperan dalam pengurangan risiko bencana (Millennium Ecosystem Assessment 2013). MEA menggolongkan jasa ekosistem dalam empat kelompok yaitu jasa produksi, jasa pengaturan,jasa budaya dan jasa
10
pendukung. Menurut Wunder (2005), ekosistem menyediakan jasa lingkungan yang terdiri dari; 1. Jasa penyediaan (provisioning services) yaitu jasa lingkungan dalam menyediakan seperti sumber bahan makanan dan obat obatan alamiah. 2. Jasa pengaturan (regulating services) yaitu jasa lingkungan dalam mengatur dan menjaga seperti kualitas udara, pengaturan iklim, pengaturan air dan kontrol erosi. 3. Jasa kultural (cultural services) yaitu jasa lingkungan yang terkait dengan identitas dan keragaman budaya, nilai-nilai religius dan spiritual, pengetahuan (tradisional dan formal), inspirasi dan nilai estetika, hubungan sosial, nilai peninggalan pustaka, rekreasi dll. 4. Jasa Pendukung (supporting services) yaitu jasa lingkungan dalam mendukung produksi produk utama seperti unsur hara. Pemetaan Jasa Ekosistem Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan Pemetaan jasa ekosistem (Mapping Ecosystem Services) Taman Pesisir Pantai Pangumbahan dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang dikembangkan oleh Burkhard et al. (2012). Pendekatan Burkhard et al. (2012) menyatakan bahwa suplai barang dan jasa ekosistem secara langsung ditentukan oleh integritas ekologi yang dipengaruhi oleh aktivitas dan keputusan manusia, seperti perubahan tutupan lahan dan penggunaan lahan. Penggunaan lahan di wilayah pesisir dapat berpengaruh terhadap adanya suplai jasa ekosistem dan pada gilirannya dapat berpengaruh terhadap manfaat manusia atas ekosistem itu sendiri. Tabel 2
Daftar Penggunaan Lahan Integritas Ekologi dan Komponen Jasa Ekosistem Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan, Sukabumi No Kategori No Komponen 1 Pemukiman A Penggunaan Lahan 2 Pantai dan pasir 3 Konservasi Laut 4 Habitat penyu 5 Vegetasi 6 Perikanan Tangkap 7 Pertanian Pesisir 1 Keberagaman abiotik B Integritas Ekologi 2 Biodiversitas 3 Aliran perairan biotik 4 Penyerapan karbon 5 Penyerapan energi C Jasa Ekosistem C.1 Jasa Pengaturan (Regulating Services) 1 Pengaturan iklim 2 Pengendali banjir rob 3 Pengaturan kualitas air 4 Pengendali abrasi 5 Pengaturan nutrient 6 Pemurnian air laut
11 Tabel 2 Daftar Penggunaan Lahan Integritas Ekologi dan Komponen Jasa Ekosistem Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan, Sukabumi No Kategori C Jasa Ekosistem
No C.2 1 2 3 4 5 6 7 C.3 1 2
Komponen Jasa Penyedia (Provisioning Services) Sumberdaya perikanan tangkap Tempat berkembang biak Tempat asuhan Tempat mencari makan Sumber makanan ternak Stok karbon Penyedia obat-obatan Jasa Budaya (Cultural Services) Rekreasi dan nilai estetika Nilai instrinsik dari biodiversitas
Sumber: Hasil Pengolahan Data 2014 dimodifikasi dari Burkhard et al. (2012)
Konsep Nilai Sumberdaya Alam Menurut Adrianto (2006), sumberdaya didefinisikan sebagai sesuatu yang bernilai untuk melaksanakan kegiatan tertentu. Rendall (1997) dalam Adrianto (2006) menyatakan bahwa sumberdaya dapat dikatakan juga sebagai komponen dari sebuah ekosistem yang menyediakan barang yang dapat dikonsumsi baik langsung maupun tidak langsung dan juga menghasilkan jasa-jasa (services) yang manfaatnya sering lebih terasa dalam jangka panjang yang bermanfaat bagi kebutuhan manusia. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Sri Murni (2012) bahwa dari sumberdaya alam tersebut diperoleh dua komoditas yakni: 1. Berbentuk barang (goods), yang merupakan ekstraksi dari alam, seperti kayu, rotan, berbagai jenis ikan dan biota air lainnya serta barang tambang. 2. Berbentuk jasa (services), yang disebut dengan jasa ekosistem yaitu sesuatu yang berbentuk material, merupakan keuntungan yang diperoleh dari alam non ekstraksi, seperti tata air, keindahan, kesejukan dll Sumberdaya alam tersebut selain menghasilkan nilai ekonomi yang dapat dimanfaatkan langsung, juga memiliki nilai non ekonomi yang memberikan manfaat terhadap keberlanjutan kawasan tersebut. Manfaat tersebut yang kita sebut sebagai manfaat fungsi ekologis (ecological function) sering tidak terkuantifikasikan didalam perhitungan menyeluruh terhadap nilai sumberdaya. Nilai tersebut tidak saja nilai pasar barang yang dihasilkan dari suatu sumberdaya melainkan juga nilai jasa ekosistem yang ditimbulkan oleh sumberdaya tersebut. Dalam konteks inilah pendekatan valuasi ekonomi mulai digunakan. Konsep yang digunakan untuk mengukur nilai ekonomi suatu sumberdaya adalah konsep Total Economic Value (TEV) atau nilai ekonomi total. Konsep ini menjumlahkan seluruh nilai dari barang dan jasa yang terdapat dalam suatu lingkungan sumberdaya. Nilai ekonomi total (TEV) dari sumberdaya sebagai asset merupakan jumlah dari nilai kegunaan (use value=UV) dan nilai bukan pemakaian (non use value =NUV) (Pearce at al. 1994). Nilai kegunaan adalah suatu nilai yang timbul dari pemanfaatan aktual terhadap sumberdaya yang terdapat dalam ekosistem. Nilai kegunaan terbagi menjadi nilai kegunaan langsung (direct use value =DUV), nilai kegunaan tidak langsung (indirect use value = IUV) dan nilai pilihan (option value). Nilai kegunaan langsung merupakan nilai kegunaan aktual
12
seperti penggunaan perikanan dan kayu dari ekosistem hutan mangrove. Nilai kegunaan tidak langsung merupakan manfaat yang diturunkan dari fungsi ekosistem seperti fungsi hutan mangrove dalam perlindungan lahan pesisir dari erosi dan dalam penyediaan pakan bagi perikanan lepas pantai. Nilai pilihan adalah nilai yang menunjukkan keinginan individu untuk membayar bagi konservasi sumberdaya pesisir dan laut guna pemakaian masa mendatang seperti pengembangan bahan farmasi. Dengan kata lain, nilai pilihan dapat diartikan sebagai premi asuransi dimana keinginan masyarakat untuk membayar guna menjamin pemanfaatan masa mendatang dari sumberdaya pesisir dan laut (Rahayu 2010). Nilai bukan pemakaian terdiri dari nilai waris (bequest value=BV) dan nilai eksistensi (exixtence value=EV). Nilai waris mengukur manfaat individual dari pengetahuan bahwa orang lain akan memperoleh manfaat dari sumberdaya pesisir dan laut dimasa mendatang. Nilai eksistensi menggambarkan keinginan masyarakat untuk membayar konservasi sumberdaya pesisir dan laut itu sendiri tanpa mempedulikan nilai pakainya. Contoh nilai eksistensi sumberdaya pesisir dan laut adalah kepedulian individu terhadap perlindungan koral biru atau napoleon meskipun ia tidak melihat dan tidak akan pernah melihatnya (Randall et al. 1983). Dengan demikian nilai ekonomi total sumberdaya pesisir dan laut dapat dituliskan ; TEV = UV+NUV =(DUV+IUV+OV)+(BV+EV) Peran valuasi ekonomi terhadap ekosistem atau sumberdaya yang terkandung didalamnya adalah penting dalam kebijakan pembangunan, termasuk dalam hal ini pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Hilangnya ekosistem atau sumberdaya lingkungan merupakan masalah ekonomi karena hilangnya ekosistem berarti hilangnya kemampuan ekosistem tersebut untuk menyediakan barang dan jasa. Dalam pandangan ecological economics, tujuan valuasi tidak semata terkait dengan maksimisasi kesejahteraan individu, melainkan juga terkait dengan tujuan keberlanjutan ekologi dan keadilan distribusi (Constanza and Folke 1997). Metode Biaya Perjalanan Metode biaya perjalanan atau Travel Cost Method (TCM) paling banyak digunakan untuk mengukur nilai ekonomi jasa wisata alam atau jasa ekosistem (Ward et al. 2000 dalam Rahardjo 2002). Metode ini menduga total nilai ekonomi (total economic value) kawasan wisata berdasarkan penilaian yang diberikan masingmasing individu atau masyarakat terhadap kenikmatan yang tidak ternilai (dalam rupiah) dari biaya yang dikeluarkan untuk berkunjung ke sebuah objek wisata, baik itu opportunity cost maupun biaya langsung yang dikeluarkan seperti biaya transportasi, konsumsi makanan, minuman, hotel, tiket masuk dan sebagainya. Pada dasarnya konsep dasar dari metode TCM adalah waktu dan pengeluaran biaya perjalanan (travel cost expenses) yang harus dibayarkan oleh para pengunjung untuk mengunjungi tempat wisata tersebut yang merupakan harga untuk akses ke tempat wisata (Garrod dan Willis 1999). Hal itu yang disebut dengan willingness to pay yang diukur berdasarkan perbedaan biaya perjalanan. Dixon et al. (1993) menyatakan bahwa metode biaya perjalanan pada hakekatnya merupakan suatu pendekatan untuk menentukan kurva permintaan dan menduga surplus konsumen tempat rekreasi secara tidak langsung yaitu dengan memberlakukan biaya perjalanan dan waktu yang digunakan dalam perjalanan
13
(opportunity cost of time) sebagai kesediaan individu untuk membayar (willingness to pay) tempat tersebut. Oleh karena kompleknya permasalahan yang menyangkut keinginan seseorang untuk melakukan perjalanan rekreasi, yaitu tidak hanya ditentukan oleh biaya perjalanan saja, tapi juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti preferensi, tempat rekreasi alternative dan lain sebagainya, maka untuk membentuk kurva permintaan berdasarkan kesediaan membayar dengan metode biaya perjalanan harus disertai dengan asumsi baik yang menyangkut perilaku konsumen maupun peubah yang diukur. Menurut Garrod dan Willis (1999), terdapat beberapa pendekatan yang digunakan untuk menilai ekonomi melalui travel cost method, yaitu: 1. Pendekatan Zona Biaya Perjalanan (a simple zonal travel cost approach). Melalui metode biaya perjalanan dengan pendekatan zonasi, pengunjung dibagi dalam beberapa zona kunjungan berdasarkan tempat tinggal atau asal pengunjung, dan jumlah kunjungan tiap minggu dalam penduduk disetiap zona dibagi dengan jumlah pengunjung pertahun untuk memperoleh data jumlah kunjungan per seribu penduduk dan penelitiannya dengan menggunakan data sekunder. 2. Pendekatan Biaya Perjalanan Individu (an individual travel cost approach). Penelitian dengan menggunakan metode biaya perjalanan individu (individual travel cost method) biasanya dilaksanakan melalui survey kuesioner pengunjung mengenai biaya perjalanan yang harus dikeluarkan ke lokasi wisata dan kunjungan ke lokasi wisata yang lain (substitute sites), dan faktor-faktor sosial ekonomi (Suparmoko 1997). Data tersebut kemudian digunakan untuk menurunkan kurva permintaan dimana surplus konsumen dihitung. Metode Penilaian Kontingensi Contingent Valuation Method (CVM) merupakan metode valuasi sumber daya alam dan lingkungan dengan cara menanyakan secara langsung kepada konsumen tentang nilai manfaat sumber daya alam dan lingkungan yang mereka rasakan. Nilai sumber daya alam dapat diperoleh dengan menanyakan kesanggupan untuk membayar (Willingness to Pay) yang dapat dinyatakan dalam bentuk uang. Metode penilaian kontingensi (CVM) digunakan untuk mengestimasi kesediaan membayar (Willingness to Pay), ditentukan dengan menggunakan survei wisatawan. CVM adalah suatu cara valuasi barang dan jasa lingkungan dimana salah satu pasar tidak ada atau pasar substitusi tidak ditemukan. Karena alasan ini, CVM digunakan secara luas untuk mengukur nilai keberadaan (existence values), nilai pilihan (option value), nilai tidak langsung (indirect use values) dan non use values. Kuesioner CVM membutuhkan kehati-hatian dalam menyusunnya dan diterapkan dengan baik dalam rangka meningkatkan konsistensi dan kevalidan estimasi. Keuntungan utama dengan menggunakan CVM : (1) mengetahui non use values dan (2) dapat diterapkan untuk berbagai isu lingkungan seperti kerusakan dan upaya pemulihan (Coller dan Harrison 1995 dalam Yulianti 2002). Waluyo 2006 menyatakan bahwa teknik penilaian kontingensi (CVM) mengabaikan ketersediaan barang dan atau jasa tersebut dipasar dengan menyatakan responden sebagai pasar hipotetis. Melalui survei, responden diminta untuk memberikan suatu nilai (harga) yang mereka bersedia untuk membayarnya
14
(willingness to pay) terhadap sejumlah barang publik atau produk tertentu. Survei penilaian kontingensi (CVM) terdiri dari 3 bagian yakni; 1. Deskripsi pasar hipotetis 2. Pertanyaan yang diberikan kepada responden berapa besar kesediaan membayar untuk barang publik dan 3. Pertanyaan tentang karakteristik, aktivitas, perilaku dan preferensi responden Pembayaran Jasa Ekosistem Dalam menanggulangi degradasi lingkungan, salah satunya dapat dilakukan melalui pemanfaatan jasa (Wunder 2007). Pembayaran jasa ekosistem atau Payment for Ecosystem Services (PES) adalah suatu transaksi sukarela yang menggambarkan suatu jasa ekosistem yang perlu dilestarikan dengan cara memberi nilai oleh penerima manfaat kepada penyedia manfaat jasa ekosistem (Wunder 2005). Menurut Wunder 2007, PES merupakan suatu pendekatan yang mampu mengefektifkan biaya untuk konservasi sumberdaya dan pengelolaan ekosistem secara lestari. Jasa ekosistem dihasilkan dari berbagai jenis penggunaan lahan (hutan atau pertanian) juga perairan baik air tawar (sungai, danau, rawa) maupun laut. Jasa ekosistem dihasilkan dari perpaduan aset alami, kualitas manusia, kondisi sosial kondusif, serta modifikasi teknik. Menurut UN-ESCAP (2009), PES merupakan transaksi sukarela untuk jasa ekosistem yang telah didefinisikan secara jelas (atau penggunaan lahan yang dapat menjamin jasa tersebut) dibeli oleh sedikitnya seorang pembeli jasa ekosistem dari sedikitnya seorang penyedia jasa ekosistem, jika dan hanya jika penyedia jasa ekosistem tersebut memenuhi persyaratan dalam perjanjian dan menjamin penyediaan jasa ekosistem. Hal ini sesuai dengan lima kriteria menurut Wunder (2007) yang harus dipenuhi oleh rancangan pembayaran jasa ekosistem, yaitu; 1. Merupakan suatu transaksi sukarela 2. Jasa ekosistem yang terdefinisikan dengan jelas untuk ditransaksikan 3. Ada pembeli (minimal satu) 4. Ada penjual (minimal satu) 5. Jika dan hanya jika penjual (penyedia jasa) mengamankan ketentuanketentuan jasa secara terus menerus PES pada prinsipnya sangat sederhana artinya mereka yang membantu menyediakan jasa ekosistem harus diberikan kompensasi atas usahanya, dan mereka yang menerima jasa harus membayar untuk memperolehnya (Pagiola 2002). Gambar 3 berikut memberikan ilustrasi sederhana dari pembayaran jasa ekosistem tersebut.
15 Rp
manfaat terhadap pengguna
Pemanfaat ekstraktif
Konservasi dgn pembayaran jasa
Konservasi
Biaya sosial terhadap masyarakat
Gambar 3 Prinsip Pembayaran Jasa Ekosistem (Sumber: Pagiola S et al. 2002) Menurut Salim (2009) dalam pelaksanaan mekanisme pembayaran jasa lingkungan, ditegaskan perlunya pendekatan bottom-up dalam setiap aspek pengembangannya. Banyak perangkat keuangan yang sebenarnya sudah menggambarkan mekanisme tersebut, sebagai contoh adalah pungutan pajak, pinjaman lunak, dan lainnya, yang jika dimanfaatkan secara lebih efektif akan dapat mendukung mekanisme imbal jasa lingkungan. Selain itu, agar mekanisme imbal jasa lingkungan tepat sasaran, perlu dikombinasikan secara simultan dan terintegrasi dengan pendekatan lainnya, seperti perencanaan spasial dan pembangunan institusi. Mekanisme pembayaran jasa ekosistem menurut World Bank dalam Pagiola S, et al. (2002) dijelaskan pada Gambar 4. Pemerintah Daerah
Penyedia Manfaat
Mekanisme Pembayaran
Mekanisme Keuangan
Pengguna Manfaat
Jasa Ekosistem
Gambar 4 Mekanisme Pembayaran Jasa Ekosistem Penyedia manfaat dalam mekanisme ini berarti lingkungan yang menyediakan suatu jasa ekosistem. Mekanisme pembayaran jasa ekosistem ini tergantung oleh mekanisme keuangan dan mekanisme pembayaran jasa ekosistem itu sendiri. Kedua mekanisme itu sangat dipengaruhi oleh struktur pemerintah sehingga menghasilkan suatu nilai yang sesuai dengan nilai jasa ekosistem yang sesungguhnya dibayarkan secara sukarela oleh penerima manfaat jasa ekosistem agar dapat menghasilkan jasa ekosistem yang berkelanjutan untuk generasi mendatang.
16
3
METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran
Kawasan Konservasi Laut atau Marine Protected Area (MPA) merupakan kawasan ekosistem laut yang ditujukan untuk perlindungan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati, sumberdaya alam dan budaya setempat, yang dikelola berdasarkan undang undang atau peraturan yang berlaku (IUCN 2003). Penetapan kawasan lindung dapat dianggap sebagai instrument yang terkait dengan aspek ekologis dan kelembagaan/hukum secara bersamaan. Penetapan Kawasan Konservasi Laut dapat dipandang sebagai upaya untuk mewujudkan suatu pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan, yang mensyaratkan adanya keuntungan ekonomi maupun sosial bagi masyarakat. Manfaat ekonomi dari KKTP4S harus dapat dibuktikan dan dirasakan oleh masyarakat setempat. Sehingga persepsi masyarakat berubah kearah yang positif, misalnya timbulnya kesadaran masyarakat untuk menjaga ekosistem Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan, karena mereka menyadari bahwa ekosistem tersebut sangat penting bagi penyu untuk mendarat yang merupakan daya tarik utama bagi wisatawan yang berkunjung ke KKTP4S. Untuk mengetahui manfaat ekonomi KKTP4S terhadap masyarakat perlu dilakukan analisis beberapa variabel ekonomi masyarakat. Beberapa analisis yang dilakukan diawali dengan mengidentifikasi potensi yang ada di dalam kawasan tersebut melalui pendekatan mapping jasa ekosistem. Setelah mapping kemudian dilakukan beberapa analisis diantaranya analisis valuasi ekonomi, analisis pemangku kepentingan (stakeholder) dan analisis kelembagaan. Valuasi dapat memunculkan kesadaran pemangku kepentingan (stakeholder) dan pengambil keputusan dalam membuat pilihan yang tepat diantara berbagai pilihan. Valuasi tersebut menghasilkan sebuah skema PES untuk dapat diimplementasikan sehingga diharapkan tercapai sebuah pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan. Pendekatan valuasi yang dilakukan adalah pendekatan biaya perjalanan (TCM) untuk melihat potensi nilai kawasan Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan, Sukabumi. Pendekatan yang kedua adalah pendekatan penilaian kontingensi (CVM) untuk melihat nilai keberadaan Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan, Sukabumi berdasarkan kesediaan membayar dari pengunjung dan persepsi masyarakat tentang perubahan kondisi lingkungan terkait dengan kegiatan wisata. Pengguna (buyer) adalah pihak pihak yang memanfaatkan fungsi kawasan konservasi sebagai penyedia sumberdaya. Setiap pengguna memiliki tujuan yang berbeda dalam pemanfaatan sumberdaya baik sebagai pemanfaat keindahan alam/wisata maupun kepentingan penelitian/pendidikan. Penyedia (seller) adalah pengelola kawasan yang berwenang sebagai pengambil kebijakan dan pembuat keputusan serta pendukung pengelolaan kawasan konservasi sebagai penyedia sumberdaya.
-Seller 1 -Seller 2 -Seller 3 dst
Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi
Persepsi Publik Pemanfaatan
Valuasi Jasa Ekosistem
Analisis Kelembagaan
Analisis Stakeholder
Analisis Willingness to Pay (WTP) -TCM -CVM
PROSES
Gambar 5 Kerangka Umum Pendekatan Studi
Sustainable Financing Kawasan Konservasi Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan, Sukabumi
Skema PES untuk;
OUTPUT
Payment For Ecosystem Services (PES)
Pengelolaan Kawasan Konservasi Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan, Sukabumi yang Berkelanjutan
-Buyer 1 -Buyer 2 -Buyer 3 dst
Kawasan Konservasi TP Pantai Penyu Pangumbahan ( JE 1,JE 2, JE 3 dst)
Jasa Ekosistem
Mapping Jasa Ekosistem ; -Identifikasi -Skoring
Kawasan Konservasi Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan,Sukabumi
INPUT
17
17
18
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kawasan Konservasi Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan, Sukabumi (KKTP4S) dengan panjang pantai 2,3 km. Lokasi tersebut secara administratif berada di wilayah Desa Pangumbahan, Kecamatan Ciracap, Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat. Letak geografis diantara 7o17’08”LS – 7o21’50” LS dan 106º23’40”BT – 106º24’10”BT. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober dan Desember 2014. Penentuan lokasi penelitian ini didasarkan adanya penerapan konsep sistem manajemen konservasi berbasis ekowisata di KKTP4S.
KKTP4S
Gambar 6 Kawasan Konservasi Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan (Sumber : Dit.KKJI,KKP 2014)
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. A. Data primer, Merupakan data yang diperoleh dari informasi langsung di lapangan, baik melalui hasil pengamatan, kuesioner maupun hasil wawancara langsung dengan responden. Data primer yang diperlukan diantaranya :
19
1. Karakteristik pengunjung yang meliputi umur, jenis kelamin, status pernikahan, tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan per bulan, motivasi kunjungan, lama kunjungan, dan intensitas rekreasi pada periode waktu tertentu. 2. Penilaian pengunjung terhadap kawasan dan kualitas pelayanan seperti kemudahan mencapai lokasi, keindahan alam, kebersihan, fasilitas rekreasi dan keamanan. 3. Data biaya perjalanan dari pengunjung menuju lokasi obyek wisata. 4. Data yang terkait dengan persepsi dan partisipasi responden dalam kesediannya untuk berperan dalam pengelolaan kawasan konservasi. 5. Data yang terkait dengan persepsi dan partisipasi Stakeholder serta peran pemerintah dalam peningkatan pemberdayaan dalam pengelolaan kawasan konservasi meliputi beberapa variabel yaitu efektifitas koordinasi dan kerjasama, kualitas dan kuantitas SDM, keterlibatan dalam perencanaan,implementasi dan pengawasan, dukungan terhadap penegakan hukum, pengembangan alternatif usaha yang menguntungkan dan tidak merusak lingkungan. B. Data Sekunder, Sedangkan data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi gambaran umum wilayah, data biologi dan fisik terkait dengan habitat ideal bagi penyu yang akan bertelur serta kondisi lingkungan dan biologi terdiri atas: jenis vegetasi pantai, tekstur pasir serta kualitas air yang berasal dari literatur perikanan kabupaten sukabumi serta dokumen dokumen lainnya yang terkait. Matriks Jenis data, sumber data dan analisis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan alat dan bahan yang digunakan untuk mengumpulkan data ekologi dan sosial. Hal ini dijelaskan dalam Tabel 3. Tabel 3 Alat dan Bahan yang Digunakan dalam Penelitian No Alat dan Bahan Kegunaan 1 Peta dasar KKTP4S Memetakan wilayah penelitian yang akan di lakukan mapping 2 Kuesioner Instrumen untuk melakukan wawancara 3 Senter Penerangan untuk membantu perjalanan dalam rangka pengamatan penyu mendarat 4 GPS Mengukur titik koordinat 5 Kamera Digital Dokumentasi 6 Alat Tulis Mencatat hasil penelitian 7 Buku Identifikasi Mengidentifikasi vegetasi pesisir KKTP4S Perangkat lunak yang digunakan untuk pengolahan dan analisis data antara lain Microsoft Excel 2007.
20
Tahapan Penelitian dan Penentuan Jumlah Responden Pengambilan sampel untuk para stakeholders yang memiliki kepentingan di KKTP4S diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling dengan penggalian data menggunakan panduan kuisioner. Responden berasal dari wisatawan dan berbagai kalangan mulai dari pemerintah, masyarakat dan pengusaha perikanan/swasta. Untuk wisatawan menggunakan metode slovin (Sevilla et al. 2007), sebagai berikut:
dimana ; n : jumlah sampel N: jumlah populasi e : batas toleransi kesalahan (error tolerance) Diagram alir tahapan penelitian dan penentuan jumlah responden dapat dilihat dalam Gambar 7. KKTP4S
Wisatawan n=110
Wisatawan Lokal n=100
Wisatawan Asing n=10
Masyarakat Desa (MD) KKTP4S N= 100
Stakeholder n= 30
Petugas Pengelola KKTP4S n=10
Pemerintah,LSM, tokoh masyarakat n=20
MD A n=40
Slovin Purposive Sampling Total Total
Gambar 7. Tahapan Pengumpulan Responden Penelitian Keterangan : MD A = Masyarakat Desa Pangumbahan MD B = Masyarakat Desa Ujung Genteng MD C = Masyarakat Desa Gunung Batu
MD B n= 30
MD C n= 30
Mengidentifikasi dan memetakan jasa ekosistem yang dihasilkan oleh Kawasan Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan, Kabupaten Sukabumi,
Mengestimasi nilai jasa ekosistem di Kawasan Konservasi Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan, mengestimasi nilai biaya transaksi yang dihadapi oleh pengelola kawasan serta menganalisis dampak adanya biaya transaksi tersebut bagi kinerja pengelola kawasan.
1
2
In-depth interview
In -depth Interview
Biaya Transaksi (Abdullah et al, 1998) terdiri dari; Biaya Pengambilan Keputusan Menghadapi masalah dibidang perikanan Keikut sertaan dalam pertemuan dan rapat Membuat Kabijakan dan aturan Menyampaikan hasil keputusan Melakukan koordinasi
Observasi dan Indepth interview
Peran dan Manfaat Jasa Ekosistem
Demografi (Meliputi Nama, Umur, Pendidikan, Status, tingkat Pendapatan) biaya perjalanan,Jarak Tinggal,Kondisi Potensi SDA dan harga wisata
Identifikasi Jenis Jenis Jasa ekosistem Penilaian menggunakan skoring
SUMBER DATA
jenis jenis jasa ekosistem yang ada di kawasan taman pesisir pantai penyu pangumbahan
JENIS
DATA PRIMER JENIS
Total Biaya pengambilan Keputusan,Biaya informasi, Biaya Operasional Bersama Sukabumi
Jumlah Responden Wisatawan, Masyarakat
Jumlah Responden Wisatawan, Masyarakat
Potensi sumberdaya yang ada
Data Dinas KP Kab.Sukabumi
Data UPT KKTP4S
Studi Literatur
Studi Literatur, BPS, Data Statistik Desa
Studi Literatur, Jurnal,dll Studi Literatur,jurnal dll
SUMBER DATA
DATA SEKUNDER
Kondisi Ekosistem
Grimble (1995); Abdullah et al. (1998); Anggraini ( 2005); Adrianto (2006) ; Ostrom (2011) ; Buckhard et al. (2012)
TUJUAN
NO
Tabel 4 Matriks Jenis Data, Sumber Data dan Analisis Data
Analisis Biaya Transaksi (Transaction Cost) (Anggraini,2005)
Metode Travel Cost Method (TCM)
Willingness To Pay (WTP) melalui Metode CVM
Mapping Ecosystem Services (Bukhard,2012)
ANALISIS
Nilai Biaya
Nilai Manfaat Ekonomi
Pemetaan kebutuhan manusia akan jasa ekosistem Nilai Manfaat Ekologi
Kuantifikasi nilai jasa ekosistem
MIKRO
OUTPUT
21
MAKRO
Pengambilan keputusan yang efektif
Peningkatan perekonomian masyarakat sekitar TP Pantai Penyu Pangumbahan
Peningkatan kesadaran dan dukungan masyarakat untuk melestarikan Kawasan TP Pantai Penyu Pangumbahan
Keterkaitan jasa ekosistem terhadap kesejahteraan manusia
21
Menyusun Design Pembayaran Jasa Ekosistem untuk peningkatan kualitas pengelolaan kawasan konservasi perairan di Kabupaten Sukabumi.
3 In -depth Interview
Kuesioner, Wawancara
• Indikator dalam pengambilan keputusan, • Merumuskan model kelembagaan yang tepat
SUMBER DATA
• Identifikasi Para Pihak • Peranan Para Pihak • Tingkat Kepentingan dan Pengaruh Para Pihak Kebijakan
Biaya Informasi • Pengetahuan Sumberdaya • Memperoleh dan menggunakan informasi • Membuat Kabijakan dan aturan • Biaya penyusunan strategi Biaya Operasional Bersama • Biaya Pemantauan, penegakkan dan Pengendalian • Biaya Pengawasan • Biaya distribusi sumberdaya Keterlibatan Para pihak
dengan pihak berwenang, pusat dan daerah
JENIS
DATA PRIMER
Mengidentifikasi Stake Holder yang terlibat di Pantai Pangumbahan TP pantai Pangumbahan Kab Sukabumi UPT
JENIS
Data Dinas KP
Data UPT TP
SUMBER DATA
DATA SEKUNDER
Grimble (1995); Abdullah et al. (1998); Anggraini ( 2005);Adrianto (2006) ; Ostrom (2011); Buckhard et al. (2012)
TUJUAN
NO
Tabel 4 Matriks Jenis Data, Sumber Data dan Analisis Data
22
Analisis Kelembagaan
Analisis Stakeholder
ANALISIS
Penyedia dan pemanfaat
Peran penyedia dan pemanfaat
MIKRO
OUTPUT
Strategi penguatan klembagaan pengelolaan TP Pantai Penyu Pangumbahan Manifestasi nyata dari kelembagaan
MAKRO
22
23
Metode Pengumpulan Data Pengumpulan Data Primer Metode pengumpulan data primer dalam penelitian ini terdiri dari pengumpulan data ekologi dan pengumpulan data sosial. Metode pengumpulan data ekologi dilakukan dengan metode observasi langsung dilokasi penelitian. Data ekologi yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah identifikasi jenis jasa ekosistem yang ada di KKTP4S. Sedangkan pengumpulan data sosial dilakukan melalui wawancara dengan instrumen kuesioner yang berisi pertanyaan terstruktur. Wawancara dilakukan terhadap responden dengan jumlah responden mengacu pada Sitorus (1998) yakni didasarkan pada syarat kecukupan informasi menurut justifikasi peneliti, serta syarat efisiensi dimana data diperoleh telah mencukupi dengan korbanan sekecil-kecilnya dalam hal waktu, akses dan biaya. Responden yang dipilih terdiri dari para stakeholder seperti pemerintah, pengusaha, LSM, masyarakat dan wisatawan baik wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara. Berdasarkan tahapan pengumpulan responden penelitian diatas, jumlah responden yang diwawancara adalah: 100 wisatawan nusantara, 10 wisatawan mancanegara, 30 stakeholder dan 100 masyarakat desa sekitar KKTP4S yang berasal dari 3 (tiga) desa yakni Desa Pangumbahan, Desa Ujung Genteng dan Desa Gunung Batu (Gambar 7). Pengumpulan Data Sekunder Metode Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui beberapa sumbersumber data atau pustaka yang relevan dengan penelitian ini. Sumber sumber data sekunder dipilih secara struktural dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten (kota), provinsi hingga pusat dengan beragam institusi yang terkait dengan tujuan penelitian seperti Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi, BBKSDA,BAPPEDA, selain itu dengan studi literatur pada penelitian yang terkait. Analisis Data Analisis Pemetaan Jasa Ekosistem Status keseimbangan ekosistem perlu diketahui untuk tingkat keberlanjutan ekosistem di KKTP4S. Hal ini membutuhkan penilaian terhadap jasa ekosistem dalam menyediakan ruang dan sumberdaya bagi penduduk yang ada. Terkait dengan hal tersebut, pendekatan Social Ecologycal System (SES) diperlukan untuk melihat keterkaitan antara penduduk dengan kemampuan ekosistem untuk tetap mempertahankan fungsi ekologis secara berkelanjutan. Analisis SES dilakukan sebagaimana yang dikemukakan Burkhard et al. (2012) dan Romadhon A (2013) yaitu sebelum dilakukan analisa, tahapan yang dilakukan meliputi pertama, beberapa jasa ekosistem masing-masing diidentifikasi dan dinilai oleh berbagai stakeholder. Kedua, serangkaian matriks digunakan untuk melakukan kuantifikasi dan kaitan secara berurutan antara tutupan lahan dan jasa ekosistem. Matriks ini mengorganisasikan dan mengintegrasikan informasi penilaian stakeholder terhadap peranan jasa ekosistem di Taman Pesisir Pantai
24
Penyu Pangumbahan,Sukabumi. Adapun 3 langkah utama dalam metode penilaian status ekosistem KKTP4S melalui SES, sebagai berikut : Penilaian Kapasitas Ekosistem Penilaian kapasitas ekosistem dilakukan dengan memberikan nilai atau skor relevansi terhadap kemampuan kawasan taman pesisir, direpresentasikan melalui tutupan lahan dalam menyediakan jasa ekosistem tertentu pada skala: 0: tidak ada relevansi dari tipe penutupan lahan untuk mendukung atau memasok layanan ekosistem yang dipilih 1: relevansi rendah 4: relevansi tinggi 2: relevan 5: relevansi sangat tinggi 3: relevansi sedang Matrik yang digunakan dalam penilaian kapasitas ekosistem Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan,Sukabumi tertera dalam Tabel 5.
Nilai intrinsic dari biodiversitas
Rekreasi dan nilai estetika
Jasa Budaya (Cultural Services)
Kayu dan bahan bakar
Sumber bahan pangan
Penyedia Obat obatan
Stok Karbon
Sumber Makanan ternak
Tempat mencari Makan
Tempat Asuhan
Tempat berkembang biak
Sumberdaya perikanan tangkap
Jasa Penyedia (Provisioning Services)
Pemurnian air Laut
Pengaturan Nutrient
Pengendali Abrasi
Pengaturan Kualitas Arir
Pengendali banjir ROB
Pengaturan iklim
Jasa Pengaturan(Regulating Services)
Penyerapan energi
Penyerapan karbon
Aliran perairan biotik
Biodiversitas
Integritas Ekologi
Type Tutupan Lahan
Keberagaman abiotik
Tabel 5 Matriks Penilaian Kapasitas KKTP4S
Pemukiman Pantai dan pasir Konservasi Habitat penyu Vegetasi
Skala Penilaian Kapasitas : 0 1 2 3 4 5
Perikanan Tangkap Pertanian Pesisir
Penilaian Permintaan Jasa Ekosistem Penilaian permintaan (demand) jasa ekosistem dilakukan dengan memberikan nilai atau skor relevansi atas permintaan manusia untuk jasa ekosistem di jenis tutupan lahan tertentu pada skala yang meliputi; 0: Tidak ada relevansi dari permintaan dari orang orang dalam tipe penutupan lahan untuk jasa ekosistem. 1: relevansi rendah 4: relevansi tinggi 2: relevan 5: relevansi sangat tinggi 3: relevansi sedang Matrik yang digunakan dalam penilaian permintaan (demand) ekosistem KKTP4S tertera dalam Tabel 6.
Tidak relevan Relevansi rendah Relevan Relevansi sedang Relevansi tinggi Relevansi sangat tinggi
25
Nilai intrinsic dari biodiversitas
Rekreasi dan nilai estetika
Jasa Budaya (Cultural Services)
Kayu dan bahan bakar
Sumber bahan pangan
Penyedia Obat obatan
Stok Karbon
Sumber Makanan ternak
Tempat mencari Makan
Tempat Asuhan
Tempat berkembang biak
Sumberdaya perikanan tangkap
Jasa Penyedia (Provisioning Services)
Pemurnian air Laut
Pengaturan Nutrient
Pengendali Abrasi
Pengaturan Kualitas Arir
Pengendali banjir ROB
Pengaturan iklim
Jasa Pengaturan(Regulating Services)
Penyerapan energi
Penyerapan karbon
Aliran perairan biotik
Biodiversitas
Integritas Ekologi
Type Tutupan Lahan
Keberagaman abiotik
Tabel 6 Matriks Penilaian Permintaan KKTP4S
Skala Penilaian Kapasitas :
Pemukiman
0
Tidak relevan
Pantai dan pasir
1
Relevansi rendah
Konservasi
2
Relevan
Habitat penyu
3
Relevansi sedang
Vegetasi
4
Relevansi tinggi
Perikanan Tangkap
5 Relevansi sangat tin tin ggi
Pertanian Pesisir
Penilaian Status Keseimbangan Jasa Ekosistem Penilaian status keseimbangan jasa ekosistem, diperoleh dengan menggabungkan matriks kapasitas ekosistem (supply) dengan matriks permintaan (demand) jasa ekosistem. Setiap bidang dalam matriks penilaian status keseimbangan jasa ekosistem dihitung berdasarkan bidang yang sesuai pada kapasitas ekosistem (supply) dan matriks permintaan (demand). Skala berkisar dari -5 sampai 5. Tanda (-) menunjukkan permintaan (demand) melebihi pasokan supply; 0 = permintaan supply keseimbangan netral, dan untuk tanda (+) menunjukkan pasokan (supply) melebihi permintaan. Matrik yang digunakan tertera dalam Tabel 7.
Pemukiman
S1N1
Nilai intrinsic dari biodiversitas
Rekreasi dan nilai estetika
Jasa Budaya (Cultural Services)
Kayu dan bahan bakar
Sumber bahan pangan
Penyedia Obat obatan
Stok Karbon
Sumber Makanan ternak
Tempat mencari Makan
Tempat Asuhan
Tempat berkembang biak
Sumberdaya perikanan tangkap
Jasa Penyedia (Provisioning Services)
Pemurnian air Laut
Pengaturan Nutrient
Pengendali Abrasi
Pengaturan Kualitas Arir
Pengendali banjir ROB
Pengaturan iklim
Penyerapan energi
Penyerapan karbon
Aliran perairan biotik
Biodiversitas
Keberagaman abiotik
Integritas Ekologi
Type Tutupan Lahan
Jasa Pengaturan(Regulating Services)
Tabel 7 Matriks Penilaian Keseimbangan KKTP4S
SnNn
Pantai dan pasir Konservasi Habitat penyu
-1 -2 -3 -4 -5 0 1
2 3 4 5
Vegetasi Perikanan Tangkap Pertanian Pesisir
Skala Keseimbangan Jasa Ekosistem :
SkNk
Permintaan Melebihi penawaran
Keseimbangan
Penawaran Melebihi Permintaan
26
Analisis Persepsi Masyarakat Analisis persepsi masyarakat digunakan untuk menggambarkan karakteristik kondisi sosial-ekonomi masyarakat pesisir KKTP4S. Adapun teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif yang didukung dengan pengolahan data kuantitatif. Dalam pengolahan data digunakan nilai yang terdiri dari nilai kumulatif dan nilai persentase, serta pembuatan grafik. Selanjutnya dilakukan mentafsirkan data tersebut menjadi bentuk informasi. Informasi diantaranya manfaat keberadaan KKTP4S, pemanfaatan KKTP4S, tingkat kepentingan keberadaan KKTP4S, dampak keberadaan KKTP4S, penyebab kerusakan ekosistem di KKTP4S , dampak lingkungan akibat kerusakan ekosistem di KKTP4S, serta nilai keberadaan ekosistem mangrove berdasarkan preferensi masyarakat yang kemudian dihitung untuk mendapatkan nilai Willingness To Pay (WTP). Analisis Nilai Ekonomi Jasa Ekosistem KKTP4S Valuasi ekonomi pada dasarnya bertujuan membantu pengambil keputusan untuk menduga efisiensi ekonomi dari berbagai kegiatan pemanfaatan yang mungkin dilakukan terhadap ekosisitem yangada diwilayah pesisir (Adrianto 2006). Valuasi ekonomi yang dilakukan terhadap Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan lebih difokuskan kepada fungsi kawasan sebagai area ekowisata. Sehingga penilaian dilakukan berdasarkan pada peranannya sebagai jasa penyedia dan jasa cultural. Metode Penilaian yang dilakukan dengan menggunakan Contingent Valuation Method (CVM) dan Travel Cost Method (TCM). Analisis Valuasi Kontingensi FAO dalam Adrianto (2006) menyatakan bahwa tujuan dari Analisis valuasi kontingensi atau Contingent Valuation Methods (CVM) adalah untuk mengukur variasi nilai kompensasi dan nilai persamaan suatu barang. Variasi nilai kompensasi dan nilai persamaan dapat ditentukan dengan bertanya kepada seseorang untuk memberikan sejumlah satuan moneter yang ingin dibayarkan. Sehingga CVM merupakan metode valuasi survey langsung mengenai penilaian responden secara individual dengan cara menanyakan kesediaan untuk membayar atau Willingness to Pay (WTP) terhadap suatu sumberdaya yang non marketable. Dikatakan contingent, karena pada kondisi tersebut responden seolah olah dihadapkan pada pasar yang sesungguhnya dimana sedang terjadi transaksi. Metode ini selain dapat digunakan untuk mengkuantifikasi nilai pilihan, nilai eksistensi dan nilai pewarisan juga dapat digunakan untuk menilai penurunan kualitas. Metode CVM menggunakan WTP sebagai parameter bagi perhitungan total benefit. Estimasi WTP dapat juga dilakukan dengan menduga hubungan antara WTP dengan karakteristik responden yang mencerminkan tingkat penghargaan user terhadap sumberdaya yang selama ini dimanfaatkannya, dapat dihitung sebagai berikut. WTPi = β0+β1X1+β2X2+β3X3……+β10X10...................................................(1)
27
Dimana: WTP = Kesediaan responden membayar X1 = Jenis Kelamin X2 = Umur Responden X3 = Pendidikan Responden X4 = Status X5 = Jumlah Anggota Keluarga X6 = Pendapatan Perbulan X7 = Pengetahuan mengenai fungsi kawasan X8 = Manfaat adanya vegetasi dalam kurun waktu 12 bulan β0 , β1…β10= koefisien regresi Sebagaimana halnya dengan pendekatan estimasi surplus konsumen, setelah mengetahui tingkat WTP yang dihasilkan per individu (WTPi) dari persamaan diatas, maka total nilai ekonomi sumberdaya berdasarkan preferensi secara sederhana dapat dilakukan dengan menggunakan formula. TB =WTPi x Pt..............................................................(2) Dimana; TB = Total Benefit WTPi = Nilai WTP perindividu Pt = Total populasi pada tahun ke t yang relevan dengan analisis Total benefit ini dapat dilakukan untuk multi year dengan mendiskon sesuai dengan prosedur yang berlaku dengan menggunakan tingkat diskon yang sesuai dengan karakteristik sumberdaya yang dihitung. Ada 4 macam tipe pertanyaan, yaitu (1) Direct Question Method disebut juga pertayaan terbuka, (2) Bidding Game, (3) Payment Card, (4) Take it or Leave it. Dalam penelitian ini digunakan tipe pertanyaan Bidding Game. Dalam penelitian ini metode analisis CVM digunakan untuk memperoleh penilaian terhadap keberadaan KKTP4S melalui kesediaan membayar pengunjung untuk tiket masuk kawasan. Disamping itu CVM juga digunakan untuk mengetahui penilaian masyarakat terhadap kondisi pantai dengan melihat vegetasi pantai termasuk mangrove dan lamun serta untuk memperoleh nilai social cost dari kegiatan wisata. Data dasar analisis ini merupakan data hasil pengolahan tabel fekuensi yang terdiri dari nilai kumulatif dan nilai persentase persepsi masyarakat. Selanjutnya transformasi fungsi WTP menjadi linier agar dapat diduga nilai koefisien masing-masing parameter dengan menggunakan teknik regresi linier, sehingga didapatkan informasi terkait variabel yang berpengaruh terhadap nilai preferensi responden terhadap keberadaan KKTPS. Selain itu, dengan mengetahui nilai rataan WTP dan dikalikan dengan luas KKTP4S maka akan didapat nilai ekonomi tidak langsung keberadaan ekosistem mangrove per tahunnya. Analisis Metode Biaya Perjalanan Permasalahan berupa terjadinya kegagalan pasar menangkap nilai kegunaan ekosistem. Apabila ekonomi diterapkan pada isu-isu lingkungan, maka diperoleh kesadaran yang lebih mendalam untuk meningkatkan lingkungan (Djajadiningrat, 2001). Metode biaya perjalanan atau Travel Cost Method (TCM), berguna untuk menemukan nilai daerah alam yang menyediakan berbagai kesenangan untuk
28
rekreasi, serta daerahdaerah yang seringkali dikunjungi oleh orang-orang untuk kegiatan seperti darmawisata. Anggapan dasarnya adalah bahwa nilai lingkungan dimanifestasikan dalam nilai pelayanan rekreasi yang disediakan. Pengaruh langsung dari anggapan ini adalah permintaan untuk rekreasi sama dengan permintaan untuk daerah alam. Tujuan dasar dari metode biaya perjalanan adalah ingin mengetahui nilai kegunaan dari sumberdaya alam yang atraktif untuk rekreasi melalui pendekatan proxy. Dengan kata lain, biaya yang dikeluarkan untuk mengkonsumsi jasa dari sumberdaya alam digunakan sebagai proxy untuk menentukan harga dari sumberdaya tersebut. Hanley dan Spash (1993) menyatakan asumsi yang dipakai dalam kebanyakan penelitian yang menggunakan metode perjalanan adalah bahwa utilitas dari setiap konsumen terhadap aktivitas, misalnya rekreasi, bersifat terpisah. Pendekatan TCM didasarkan pada dua asumsi penting yaitu (Adrianto 2004) : Asumsi 1 : pengunjung menempuh perjalanan dengaan satu tujuan yaitu mengunjungi sebuah tempat (site) Asumsi 2 : pengunjung tidak mendapatkan manfaat tentu selama perjalanan (misalnya manfaat berupa kepuasan menikmati pemandangan selama perjalanan),kecuali manfaat ketika sampai di lokasi yang dituju(kepuasan terhadap pasir putih,laut yang bersih dll). Apabila selama perjalanan juga mendapat manfaat selain dari lokasi,maka manfaat perjalanan dan lokasi dianggap sebagai manfaat bersama(joint goods). Secara umum ada dua teknik sederhana yang digunakan untuk menentukan nilai ekonomi berdasarkan metode biaya perjalanan. Teknik tersebut adalah : 1. Pendekatan sederhana melalui zonasi. 2. Pendekatan individual dengan menggunakan data sebagian besar dari survey. Penelitian ini menggunakan metode biaya perjalanan individu. ITCM (Individual Travel Cost Method) menggunakan data survey yang berasal dari pengunjung secara individu dalam analisis statistik. Metode ini memerlukan pengumpulan data yang lebih banyak dan analisis yang lebih sulit tetapi akan memberikan hasil yang lebih tepat. Dengan menggunakan data survey, peneliti dapat memulainya dengan cara yang sama dari ZTCM, dengan memperkirakan hubungan diantara jumlah kunjungan dengan biaya perjalanan dan variabel yang relevan lainnya menggunakan analisis regresi. Persamaan regresi memberikan fungsi permintaan untuk rata-rata pengunjung yang datang, dan area dibawah kurva permintaan tersebut merupakan rata-rata dari surplus konsumen.Menurut Fauzi (2004), metode TCM dengan pendekatan individual lebih akurat dibandingkan dengan pendekatan zonasi. Bentuk persamaan ITCM adalah sebagai berikut : Vij = f ( Cij, Xi ).........................................................(3) Keterangan : Vij = Jumlah kunjungan per tahun dari individu i ke tempat rekreasi j Cij = Biaya perjalanan individu i ke tempat rekreasi j Xi = Faktor-faktor lain yang menentukan kunjungan individu i Fungsi permintaan ditentukan dengan teknik ekonometrik, yaitu regresi sederhana (Ordinary Least Square/OLS). Langkah langkah analisis TCM ;
29
1.
2.
3.
4.
Hitung Total Biaya Perjalanan BPt = BTr + BDk + BKr + BP + BSv + BL..............................(4) Keterangan : BPt = Biaya Perjalanan (Rp/orang/hari) BTr = Biaya Transportasi (Rp/orang/hari) BDk = Biaya Dokumentasi (Rp) BKr = Biaya Konsumsi selama rekreasi (Rp/orang/hari) BP = Biaya Parkir (Rp) BSv = Biaya souvenir (Rp) BL = Biaya Lainnya (Rp) Membuat persamaan permintaan rekreasi Q = f(X1,X2,X3......X10.) Keterangan ; Q = jumlah kunjungan Jumlah kunjungan ke lokasi KKTP4S dalam satu tahun terakhir atau pada tahun diadakan penelitian yaitu tahun 2014 (frekuensi kunjungan per tahun)(kali) X1 = Biaya perjalanan individu ke lokasi KKTP4S (Rp/orang) X2 = Total pendapatan (Rp/bulan). X3 = Tingkat pendidikan responden, dihitung berdasarkan tahun mengenyam pendidikan (tahun). X4 = Umur responden (tahun). X5 = Jarak tempuh dari tempat tinggal ke KKTP4S (km). X6 = Waktu tempuh dari tempat tinggal ke KKTP4S (jam). X7 = Jumlah tanggungan (orang) X8 = Jenis kelamin (1 = laki-laki, 2 = perempuan). X9 = Waktu yang dihabiskan untuk satu kali kunjungan (jam). X10 = Lama mengetahui KKTP4S (tahun). b0 = Konstanta. b1-b10 = Koefisien regresi Untuk menduga fungsi permintaan, persamaan diatas diregresikan dalam bentuk fungsional yaitu; linier. Fungsi permintaan dalam bentuk regresi linier adalah : Q= β +β1X1+β2X2 +.......+ β10X10................................................................(5) Menentukan Surplus Konsumen Untuk melakukan kunjungan wisata tersebut dibutuhkan biaya dalam jumlah tertentu, dimana keseluruhan biaya yang dikeluarkan tersebut merupakan biaya perjalanan per sekali kunjung ke tempat wisata. Dalam penelitian ini surplus konsumen dicari dengan menggunakan rumus : N2 WTP ≈ CS = ............................................................................(6) 2β1 dimana: WTP = Willingness to pay CS = Surplus Konsumen N = Jumlah kunjungan yang dilakukan oleh individu i β1 = Koefisien biaya perjalanan
30
Pengujian Parameter Pengujian tingkat akurasi dan kebaikan suatu model yang telah dibuat, perlu dilakukan pengujian secara statistik. Uji statistik yang dilakukan adalah : 1. Uji Normalitas Uji normalitas diperlukan untuk menguji apakah error term dari data observasi mendekati sebaran normal sehingga statistik t dapat dikatakan sah. Uji tersebut dapat dilakukan dengan “normality test” pada residual hasil persamaan model. Jika dalam grafik hasil uji tersebut keberadaan titik-titik pada garis berbentuk linier dan didapat P-value lebih besar dari taraf nyata, maka asumsi kenormalan dapat terpenuhi. 2. Uji Statistik t Uji t digunakan untuk menguji apakah koefisien regresi yang diperoleh dari hasil perhitungan dengan metode OLS berbeda secara signifikan dengan nilai parameter tertentu atau tidak (Firdaus, 2004). Prosedur pengujiannya sebagai berikut : H0 : bi = 0 artinya variabel bebas (Xi) tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebasnya (Yi). H1 : bi ≠ 0 artinya variabel bebas (Xi) berpengaruh nyata terhadap variable tidak bebasnya (Yi). Rumus untuk mencari T hitung sebagai berikut : Jika t hitung > t tabel, maka terima H0, artinya variabel bebas (Xi) tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebasnya (Yi). Jika t hitung < t tabel, maka tolak H0, artinya variabel bebas (Xi) berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebasnya (Yi). 3. Uji Statistik F Uji F merupakan suatu pengujian untuk mengetahui mengenai bagaimana pengaruh sekelompok variabel bebas (Xi) secara bersama-sama terhadap variabel tidak bebas (Yi) (Firdaus, 2004). Hipotesis yang diajukan untuk uji F ini sebagai berikut : H0 : b1 = b2 = b3 =…= bn = 0 H1 : b1 ≠ b2 ≠ b3 ≠ …≠ bn ≠ 0 Keterangan : JKK = Jumlah Kuadrat untuk Nilai Tengah Kolom JKG = Jumlah Kuadrat Galat n = Jumlah sample k = Jumlah variable Jika Fhitung > Ftabel, maka diterima H0 dan tolak H1, artinya variabel (Xi) secara serentak tidak berpengaruh nyata terhadap (Yi). Jika Fhitung < Ftabel, maka ditolak H0 dan terima H1, artinya variabel (Xi) secara serentak berpengaruh nyata terhadap (Yi). Pengujian juga dapat melihat dari output komputer nilai P-value dari model (seluruh variabel independen secara bersamaan). Jika P-value lebih kecil dari nilai yang digunakan, maka H0 ditolak yang artinya variabel independen secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel dependennya.
31
Analisis Pemangku Kepentingan Metode analisis pemangku kepentingan (stakeholder) mengacu pada seperangkat alat untk mengidentifikasi dan mendeskripsikan stakeholder atas dasar atribut, hubungan timbal balik dan kepentingannya dalam kaitannya dengan isu sumberdaya yang ada (Grimble 1995). Analisis stakeholder dapat dikatakan sebagai suatu sistem untuk mengumpulkan informasi mengenai kelompok atau individu yang terkait, mengkategorikan informasi, dan menjelaskan kemungkinan konflik antar kelompok, dan kondisi yang memungkinkan terjadinya trade-off. Langkah langkah yang dilakukan dalam menganalisis stakeholder adalah: 1) Identifikasi stakeholders dan perannya 2) Membedakan dan mengkategorikan stakeholders berdasarkan kepentingan dan pengaruhnya. 3) Mendefinisikan hubungan antar stakeholders. Stakeholder dipetakan ke dalam matriks analisis stakeholder berdasarkan besarnya kepentingan dan pengaruh. Besarnya kepentingan dan pengaruh diberi nilai sesuai dengan panduan yang telah dibuat. Jumlah nilai yang didapatkan oleh masing-masing stakeholder adalah 25 poin untuk besarnya kepentingan dan 25 poin untuk besarnya pengaruh. Tabel 8 Penilaian Tingkat Kepentingan No 1
Variabel Keterlibatan Stakeholder
2
Maanfaat Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
3
Sumberdaya yang disediakan
4
Pengelolaan sumberdaya menjadi prioritas
5
Tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya perikanan
Sumber : Abbas (2005)
Indikator Terlibat seluruh proses Terlibat 3 proses Terlibat 2 proses Terlibat 1 proses Tidak terlibat Mendapat 4 manfaat Mendapat 3 manfaat Mendapat 2 manfaat Mendapat 1 manfaat Tidak mendapatkan manfaat Menyediakan semua sumberdaya Menyediakan 3 sumberdaya Menyediakan 2 sumberdaya Menyediakan 1 sumberdaya Tidak menyediakan sumberdaya apapapun Sangat menjadi prioritas Prioritas Cukup Kurang Tidak menjadi prioritas 81-100 % bergantung 61-80 % bergantung 41- 60 % bergantung 21-40 % bergantung ≤ 20 % bergantung
Skor 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1
32
Tabel 9 Penilaian Tingkat Pengaruh No Variabel 1
Aturan/kebijakan pengelolaan
2
Peran dan partisipasi
3
Kemampuan dalam berinteraksi
4
Kewenangan dalam pengelolaan
5
Kapasitas sumberdaya yang disediakan
Indikator
5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1
Semua sumberdaya 3 sumberdaya 2 sumberdaya 1 sumberdaya Tidak menyediakan sumberdaya apapun
5 4 3 2 1
Sumber : Abbas (2005) Setelah diketahui besarnya nilai kepentingan dan pengaruh masing-masing stakeholder dipetakan ke dalam matriks kepentingan pengaruh (Gambar 8). TINGGI PENGARUH
Subject (Kuadran I) Players (Kuadran II) Bystanders (Kuadran III) Actors (Kuadran IV)
Subject
Players
Bystanders
Actors
Skor
Terlibat semua proses Terlibat dalam 3 proses Terlibat dalam 2 proses Terlibat dalam 1 proses Tidak terlibat Berkontribusi pada semua point Berkontribusi dalam 3 point Berkontribusi dalam 2 point Berkontribusi dalam 1 point Tidak berkontribusi Berinteraksi dalam semua point Berinteraksi dalam 3 point Berinteraksi dalam 2 point Berinteraksi dalam 1 point Tidak melakukan interaksi apapun Kewenangan dalam semua proses Kewenangan dalam 3 proses Kewenangan dalam 2 proses Kewenangan dalam 1 proses Tidak memiliki kewenangan
TINGGI
TINGGI KEPENTINGAN Gambar 8 Matriks Hasil Analisis Stakeholder Pengolahan data kualitatif hasil wawancara dikuantitatifkan dengan mengacu pada pengukuran data berjenjang lima, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 10.
33
Tabel 10 Ukuran Kuantitatif terhadap Identifikasi dan Pemetaan Stakeholder Skor
Nilai
Kriteria
5 4 3 2 1
21-25 16-20 11-15 6-10 1-5
Sangat Tinggi Tinggi Cukup Rendah Sangat Rendah
5 4 3 2 1
21-25 16-20 11-15 6-10 1-5
Sangat Tinggi Tinggi Cukup Rendah Sangat Rendah
Keterangan Kepentingan Stakeholder Sangat bergantung pada keberadaan sumberdaya Ketergantungan tinggi pada keberadaan sumberdaya Cukup bergantung pada keberadaan sumberdaya Ketergantungan pada keberadaan sumberdaya Tidak Bergantung pada keberadaan sumberdaya Pengaruh Stakeholder Sangat mempengaruhi pengeloaan sumberdaya Mempengaruhi pengelolaan sumberdaya Cukup mempengaruhi pengelolaan sumberdaya Kurang mempengaruhi pengelolaan sumberdaya Tidak mempengaruhi pengelolaan sumberdaya
Sumber : Abbas (2005)
Subject menunjukkan kelompok yang memiliki kepentinganyang tinggi terhadap kegiatan tetapi rendah pengaruhnya, mencakup anggota organisasi yang melakukan kegiatan dan responsif terhadap pelaksanaan kegiatan tetapi bukan pengambil kebijakan Players merupakan kelompok aktor yang memiliki derajat pengaruh dan kepentingan yang tinggi untuk mensukseskan kegiatan seperti tokoh masyarakat, kepala instansi terkait, dan kepala pemerintahan. Bystanders mewakili kelompok aktor yang rendah pengaruh dan kepentingannya, Interest mereka dibutuhkan untuk memastikan dua hal yakni: (a) interest-nya tidak terpengaruh sebaliknya, dan (b) kepentingan dan pengaruhnya tidak mengubah keadaan. Actor merupakan aktor yang berpengaruh tetapi rendah kepentingannya dalam pencapaian tujuan dan hasil kebijakan. Analisis Kelembagaan
Analisis Kelembagaan dilakukan dengan membandingkan kemungkinan pelaksanaan PES dengan melalui berbagai mekanisme kelembagaan yang akan menjalankan PES, dengan mengkaji dari segi hukum, mekanisme PES yang efisien dan keterlibatan Stakeholders. Analisis ini dilakukan untuk memberikan gambaran kelembagaan yang tepat dalam melakukan pengelolaan dan mekanisme PES yang efisien dan akuntabel. Kerangka berfikir dalam analisis kelembagaan yang lebih dikenal sebagai Institutional Analysis and Development (IAD) Framework bersumber dari Ostrom (2011). IAD ini dapat digunakan untuk menganalisis performa terhadap kelembagaan yang ada. IAD fokus terhadap bagaimana kebijakan atau aturan, kondisi fisik sumberdaya dan atribut komunitas melakukan tindakan dalam arena pengelolaan secara individual maupun kelompok. Selain itu, bagaimana kombinasi kedua tindakan tersebut dalam memberikan hasil atau dampak. Komponen dalam IAD adalah situasi kondisi wilayah, stakeholder, aturan terstruktur, atribut komunitas, dan kondisi material dalam arena aksi (Rudd 2004). Kerangka berfikir analisis kelembagaan yang dimaksud dapat dilihat pada Gambar 9.
34
Kondisi Ekologi
Sosial Masyarakat
Aturan yang digunakan
Arena Aksi Aktor
Hasil
Situasi Aksi
Interaksi
Evaluasi
Gambar 9. Framework IAD dalam Analisis Kelembagaan (Ostrom 2011)
Analisis Biaya Transaksi Penentuan biaya transaksi, maka terlebih dahulu perlu menentukan komponen biaya transaksi yang akan dihitung. Oliver Williamson mendefinisikan biaya transaksi sebagai biaya untuk menjalankan sistem ekonomi (Williamson 1985). Abdullah et al. (1998) mengelompokkan biaya transaksi dalam co management perikanan menjadi tiga kategori, yaitu: biaya informasi, biaya pengambilan keputusan bersama dan biaya operasional. Kategori pertama dan kedua merupakan biaya transaksi sebelum kegiatan kontrak (ex ante transaction cost),sedangkan kategori ketiga merupakan biaya transaksi sesudah kegiatan (ex post transaction cost). Komponen biaya transaksi terkait dengan kebijakan pengelolaan KKTP4S yang akan dihitung adalah meliputi biaya informasi (Z1), Biaya Operasional (Z2), Biaya Manajemen Stakeholder (Z3), dan Biaya Penegakan Hukum/Aturan (Z4), Biaya Pengawasan (Z5). Untuk menghitung besarnya komponen masing-masing biaya transaksi terhadap total biaya transaksi ( TrC) menurut Anggraini (2005) adalah : TrCij = Σzij Dimana: TrCj = Total Biaya Transaksi Zij = Masing masing komponen biaya transaksi
35
Analisis Perbandingan antara Nilai Potensial WTP dengan Nilai BiayaTransaksi Analisis Perbandingan antara nilai potensial WTP dengan biaya transaksi Kawasan Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan dimaksudkan untuk mengkaji sejauh mana pembayaran jasa ekosistem mampu memenuhi kebutuhan minimum biaya transaksi dari keberadaan Kawasan Konservasi Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan,Sukabumi. Analisis ini dilakukan secara deskriptif dengan asumsi bahwa: WTP > Biaya Transaksi, bila nilai WTP potensial lebih besar dari biaya transaksi maka lingkungan yang ada dalam Kawasan Konservasi Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan,Sukabumi dapat lestari, WTP < Biaya Transaksi, harus ada terobosan baru dalam mencari sumber pendanaan alternatif dalam pengelolaan taman pesisir pantai penyu pangumbahan Sukabumi. Hal ini karena dengan tidak sesuainya nilai WTP dengan biaya transaksional kawasan konservasi akan berakibat menurunnya kualitas lingkungan yang ada dikarenakan kurangnya pendanaan untuk upaya konservasi. Analisis Alternatif Pengambilan Keputusan Metode yang digunakan untuk membantu dalam pengambilan keputusan pemanfaatan keberadaan KKTPS yaitu dengan teknik analisis SMART (Simple Multiple Attributing Rating Techniques). Teknik analisis SMART merupakan metode pengambilan keputusan multi kriteria yang dikembangkan oleh Edward pada tahun 1977, secara umum terdapat delapan tahap dalam melakukan analisis SMART (Goodwin and Wright 2009), yaitu : 1) Mengidentifikasi Stakeholder kunci. 2) Mengidentifikasi masalah. 3) Mengidentifikasi atribut yang relevan dengan permasalahan. 4) Mengidentifikasi alternatif yang akan dievaluasi. 5) Memberikan nilai pada setiap atribut untuk mengukur kinerja alternatif pada atribut tersebut. 6) Menentukan nilai prioritas, dengan menjumlahkan nilai atribut (Wi) dan membagi dengan total (ΣWi). 7) Mengukur seberapa baik setiap alternatif pada setiap dimensi. 8) Menentukan analisis sensitivitas untuk mencapai keputusan akhir. Seperti yang telah dijelaskan pada sub-bab metode pengumpulan data, Stakeholder kunci adalah pengelolaa KKTP4S yakni Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan kabupaten Sukabumi dan Kepala UPTD Konservasi Penyu Kabupaten Pangumbahan Sukabumi. Dalam menentukan atribut didasarkan pada prinsip pembangunan berkelanjutan (Douvere et al. 2009; Tia-Eng 2008; Turner et al. 2007). Oleh karena itu, pengambilan keputusan multi kriteria ini menggunakan satu dimensi dan 4 atribut yang secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 11.
36
Tabel 11 Dimensi dan Atribut yang Digunakan dalam Pengambilan Keputusan Multi Kriteria Dimensi Kelembagaan
Atribut Pembentukan Pengawasan
Pengelolaan Dana
Peran/Keterlibatan Stakeholder
Keterangan Tingkat efisiensi dalam pembentukan kelembagaan Pengawasan yang dilakukan oleh PEMDA/Pemerintah/Masyarakat/LSM atau pihak keseluruhan terhadap pengelolaan dana Dana yang diperoleh dari pembayaran jasa ekosistem masuk kedalam kas daerah melalui DISPENDA atau dikelola sendiri secara mandiri tanpa terlebh dahulu masuk ke dalam kas daerah. Dana tersebut diperuntukkan bagi pengembangan jasa ekosistem untuk pelestarian, pemeliharaan, kebersihan lingkungan, rehabilitasi kawasan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat disekitar KKTP4S Tingkat keterlibatan Stakeholder dalam pengelolaan KKTP4S
37
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sistem Sosial Ekologi KKTP4S Fungsi ekosistem bagi manusia salah satunya adalah sebagai penyedia barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Ketersediaan barang dan jasa yang dihasilkan untuk menjamin kebutuhan individu mutlak diperlukan dalam mencapai fungsi keberlanjutan. Interaksi ini dapat lebih dipahami dalam konteks yang kompleks dan adaptif melalui pendekatan Sistem Sosial Ekologi atau Social Ecological System (SES), yang mana akan terbentuk ikatan yang kuat diantara keduanya (Gunderson dan Holling 2002). Ikatan yang kuat antara kondisi ekologi dan sosial ekonomi terbentuk karena adanya keterkaitan keduanya. Kondisi Sistem Sosial Ekologi (SSE) kawasan dapat dinilai melalui pendekatan penilaian individu berupa matriks keterkaitan terhadap kondisi ekologi dan sosial ekonomi. Pendekatan yang dikembangkan yaitu melalui penilaian terhadap jasa ekosistem (Burkhard et al, 2012). Penilaian dilakukan terhadap kondisi ekologi ekosistem tersebut yang meliputi biodiversitas, pengaturan iklim, pengaturan kualitas air, pengendali banjir ROB, pengendali abrasi, sumberdaya perikanan tangkap, tempat berkembang biak, tempat asuhan, tempat mencari makan, rekreasi dan nilai estetika, nilai intrinsik dari biodiversitas serta ekosistem yang ada di KKTP4S sebagai suatu sistem ekologi yang saling terkait dan berpengaruh langsung terhadap kegiatan ekowisata di KKTP4S. Penilaian tersebut dilakukan terhadap suplai jasa ekosistem (supply), permintaan jasa ekosistem (demand), dan ketersediaan (budgets) jasa ekosistem. Suplai Jasa Ekosistem Suplai jasa ekosistem mengacu pada suplai dari wilayah tertentu untuk menyediakan sebuah paket tertentu dari barang dan jasa ekosistem dalam jangka waktu tertentu. Dalam penelitian ini suplai jasa ekosistem mengacu pada pemahaman permintaan dan pengelolaan sumberdaya alam bagi kegiatan ekowisata. Suplai jasa ekosistem yang direpresentasikan melalui tipe permintaan lahan memiliki fungsi berbeda berdasarkan struktur dan proses yang ada. Suplai ekosistem untuk menyediakan jasa sangat terkait dengan kondisi alam (misalnya tutupan lahan alami (vegetasi), kondisi hidrologi, kondisi tanah, fauna, elevasi, kemiringan dan iklim serta dampak manusia (terutama permintaan lahan emisi, polusi dan lain-lain (Buckhard et al., 2012). Hasil penilaian supply jasa ekosistem yang dilakukan masyarakat di KKTP4S menunjukkan tipe tutupan (natural capital asset) dengan supply jasa ekosistem terbesar adalah vegetasi. Supply jasa ekosistem tipe tutupan terendah adalah tipe tutupan lahan yang terdiri dari pemukiman dan perikanan tangkap. Penilaian suplai jasa ekosistem KKTP4S disajikan pada Tabel 12.
38
Pemukiman Pertanian Pesisir Konservasi Habitat penyu Vegetasi Perikanan Tangkap Pantai dan pasir
TOTAL
Nilai intrinsic dari biodiversitas
Rekreasi dan nilai estetika
Jasa budaya (cultural Services)
Tempat mencari Makan
Tempat Asuhan
Tempat berkembang biak
Sumberdaya perikanan tangkap
Jasa Penyedia (Provisioning Services)
Pengendali Abrasi
Pengaturan Kualitas Arir
Pengendali banjir ROB
Integritas Ekologi Biodiversitas
Type Tutupan Lahan
Pengaturan iklim
Jasa Pengaturan(Regulating Services)
Tabel 12 Suplai Jasa Ekosistem di KKTP4S
Skala Penilaian Kapasitas :
1
1
0
0
0
0
0
1
0
0
0
1
2
1
1
4
0
Tidak Relevansi
ada
4
4
3
1
1
1
0
4
1
1
1
1
5
3
2
16
1
Relevansi rendah
5
5
17
4
5
4
4
16
4
4
4
4
10
5
5
48
2
Relevan
4
4
16
4
4
4
4
19
4
5
5
5
9
5
4
48
3
Relevansi sedang
5
5
20
5
5
5
5
20
3
4
5
4
8
4
4
53
4
Relevansi tinggi
4
4
1
0
1
0
0
5
4
1
0
0
2
1
1
12
5
Relevansi sangat tinggi
3
3
15
4
3
3
5
13
2
3
4
4
5
3
2
36
Kategori penilaian untuk masyarakat sekitar KKTP4S menunjukkan tipe tutupan (natural capital asset) yang memiliki suplai jasa ekosistem terbesar di KKTP4S adalah vegetasi,sedangkan penilaian terrendah ditemukan pada parameter pemukiman. KKTP4S yang merupakan habitat utama bagi penyu, keberadaan vegetasi merupakan hal yang sangat menunjang dalam melestarikan habitat dan populasi penyu. Keberadaan penyu sebagai daya tarik khusus secara tidak langsung akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan. Vegetasi pantai memiliki peranan sangat penting terhadap penyu. Peranannya untuk melindungi telur terkena langsung sinar matahari, mencegah perubahan suhu yang yang tajam di sekitarnya, melindungi sarang dari gangguan predator, dan memberikan pengaruh terhadap kelembaban, suhu serta kestabilan pada pasir yang memberikan keamanan saat penggalian lubang sarang (Bustard, 1972). Jenis-jenis vegetasi pantai yang ditemukan di KKTP4S yaitu 26 jenis Vegetasi. Jumlah vegetasi yang mendominasi adalah 11 jenis vegetasi antara lain, Pandanus tectorius (pandan), Calophylum inophyllum (nyamplung), Terminalia catappa (ketapang), Gluta renghas (renghas), Hibiscus tilliaceus (waru laut), Crinum asiacitum (babakungan), Ipomoea pescaprae (katang katangan), Scoevola raccada (babakoan), Cycas rumphii (Pakis), Avicennia sp (api api) dan Spinifex littoralis (rumput angin). Kondisi lingkungan laut dan pantai adalah faktor penentu keberlanjutan hidup dan populasi penyu. Ackerman (1997); Wallace et al. (2004) menyatakan faktor biologi dan fisik lingkungan pantai, pesisir dan laut memberikan pengaruh terhadap keberlanjutan dan proses ekologi penyu yaitu proses peneluran dan proses penetasan. Nuitja (1992) menyatakan bahwa, vegetasi pantai sangat berpegaruh terhadap lingkungan penelurannya. Hal ini dikarenakan akar vegetasi yang dapat
39
mengikat butiran pasir agar terhindar dari terjadinya keruntuhan pasir sehingga akan mempermudah penyu dalam melakukan penggalian dan proses peneluran. Fungsi lain yang diperoleh dari keberadaan vegetasi adalah melindungi telur penyu dari serangan predator alami maupun predator manusia, dan menjaga suhu maupun kelembaban disekitar vegetasi relatif stabil. Hal ini karena cahaya matahari tidak langsung mengenai ke permukaan pasir agar perkembangan telur penyu selama masa inkubasi dapat berjalan dengan baik. Pengelolaan kawasan konservasi berbasis ekowisata diwilayah KKTP4S memiliki suplai Jasa Penyedia dengan kondisi yang cukup tinggi. Kondisi ini dapat dilihat dari tingginya nilai relevansi pada tipe tutupan lahan terhadap vegetasi, konservasi, habitat penyu serta pantai dan pasir. Suplai ekosistem terendah yang ada di KKTP4S adalah tipe tutupan lahan berupa pemukiman dan perikanan tangkap. Hal ini terkait dengan kondisi habitat pantai peneluran yang jauh dari pemukiman. Ancaman terbesar dari kepunahan penyu adalah akibat eksploitasi manusia (Wibowo, 2007). Ancaman manusia memberi tekanan pada sepanjang hidup penyu baik ketika masih berwujud telur hingga penyu dewasa. Ackerman (1997) menyatakan ancaman manusia adalah pemanen telur penyu dan penangkapan induk penyu secara sengaja di daerah peneluran. Ancaman lain yang bersifat insidentil adalah dampak dari perubahan lingkungan di daratan maupun laut, tangkapan sampingan, kerusakan habitat, serangan penyakit dan predator, kematian penyu karena teknik penangkapan ikan dengan menggunakan drift netting, shrimp trawling, dynamite fishing, dan longline, pembangunan gedung daerah pantai, penambangan pasir dan abrasi pantai. Adanya cahaya lampu di daerah peneluran mempengaruhi perilaku bertelur induk penyu dan perjalanan anakan penyu (Wibowo, 2007). Pencemaran air laut dan pengaruh eksplorasi minyak gas perairan lepas pantai telah menyebabkan ancaman serius terhadap populasi penyu (Wibowo, 2007). Permintaan Jasa Ekosistem Fisher dan Turner (2008) mengusulkan bahwa, manfaat jasa ekosistem harus memiliki hubungan langsung dengan kesejahteraan manusia. Dimensi kesejahteraan yang selama ini dikenal dan dialami oleh manusia tergantung pada situasi, termasuk kondisi geografi setempat, kultur dan kondisi ekologi (MEA, 2005). Permintaan jasa ekosistem adalah jumlah dari semua barang dan jasa ekosistem yang saat ini dikonsumsi atau digunakan didaerah tertentu selama periode waktu tertentu. Pola pola penyediaan jasa ekosistem ini adalah bagian dari suplai ekosistem, berkaitan erat dengan konsep rekam jejak ekologi (Rees, 1992 dalam Romadhon, 2013) diperlukan untuk menghitung daerah yang menghasilkan jasa ekosistem tertentu yang dibutuhkan oleh manusia di daerah dan dalam waktu tertentu, sehingga harus ada permintaan tertentu oleh individu untuk menggunakan suatu jasa ekosistem tertentu (Fisher et al., 2009 dalam Romadhon, 2013). Penilaian terhadap permintaan penggunaan jasa ekosistem di KKTP4S menunjukkan pola kondisi alam yang berbeda pada tiap tipe tutupan lahan berpengaruh terhadap permintaan permintaan jasa ekosistem. Berikut hasil analisa terhadap permintaan penggunan jasa ekosistem di KKTP4S yang dijelaskan dalam Tabel 13.
40
Integritas Ekologi
Biodiversitas
Jasa Pengaturan(Regulating Services)
Pengaturan iklim
Pengendali banjir ROB
Pengaturan Kualitas Arir
Pengendali Abrasi
Jasa Penyedia (Provisioning Services)
Sumberdaya perikanan tangkap
Tempat berkembang biak
Tempat Asuhan
Tempat mencari Makan
Jasa budaya (cultural Services)
Rekreasi dan nilai estetika
Nilai intrinsic dari biodiversitas
TOTAL
Tabel 13 Permintaan Jasa Ekosistem di KKTP4S
2
2
8
3
2
2
1
0
0
0
0
0
4
2
2
14
0
Tidak relevan
2
2
7
2
2
1
2
7
1
2
2
2
4
2
2
20
1
Relevansi rendah
5
5
18
5
4
4
5
15
4
4
4
3
9
5
4
47
2
Relevan
5
5
13
4
3
3
3
15
1
5
5
4
10
5
5
43
3
Relevansi sedang
4
4
20
5
5
5
5
16
4
4
4
5
8
4
4
48
4
Relevansi tinggi
2
2
8
3
1
2
2
10
4
2
1
3
4
2
2
24
5
Relevansi sangat tinggi
2
2
14
4
3
3
4
7
0
0
3
4
7
4
3
30
Type Tutupan Lahan
Pemukiman Pertanian Pesisir Konservasi Habitat penyu Vegetasi Perikanan Tangkap Pantai dan pasir
Skala Penilaian Kapasitas :
Analisa permintaan penggunaan jasa ekosistem di KKTP4S menunjukkan bahwa permintaan (demand) jasa ekosistem terbesar adalah vegetasi kemudian konservasi, habitat penyu, pantai dan pasir. Sedangkan permintaan (demand) jasa ekosistem terendah adalah tipe tutupan berupa perikanan tangkap, pertanian pesisir dan pemukiman. Vegetasi sangat penting dalam menunjang kestabilan populasi penyu hijau. Hasil penelitian Segara (2008) menyatakan bahwa, vegetasi adalah salah satu parameter yang menjadi ciri dari pantai peneluran penyu. Penyu memiliki ketertarikan terhadap vegetasi yang berbeda-beda. Ciri pantai peneluran penyu hijau umumnya didominasi vegetasi jenis pandan, sedangkan pantai peneluran penyu sisik umumnya didominasi vegetasi kampak-kampak atau waru laut. Oleh karena itu, ciri ataupun karakteristik biologi yang paling menonjol dari pantai peneluran adalah vegetasi pantai. Keberadaan vegetasi pantai sangat mempengaruhi penyu hijau dalam pemilihan lokasi untuk bertelur. Peran penting yang berkaitan dengan penyu adalah vegetasi pantai sebagai naungan bagi sarang penyu agar tidak terkena sinar matahari yang berlebihan. Paparan cahaya matahri secara langsung akanmeningkatkan suhu substrat sarang sehingga dapat membunuh embrio. Vegetasi juga mempunyai hubungan penting dengan makhluk hidup lainnya dalam hal kemampuannya untuk melindungi dan membuat suasana yang menyenangkan. Tingginya tingkat permintaan terhadap vegetasi, konservasi, habitat, pantai dan pasir disebabkan oleh adanya keterkaitan faktor faktor tersebut. Populasi penyu hijau di dunia bahkan Indonesia telah mengalami penurunan. Penurunan populasinya disebabkan oleh adanya pencurian telur dan anak penyu yang semakin meningkat, lalu lintas nelayan yang semakin ramai, banyaknya para pengunjung, vegetasi yang rusak akibat terjadinya abrasi yang mengakibatkan terjadinya
41
pendegradasi habitat penyu. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya konservasi, yang merupakan salah satu upaya mengurangi penurunan populasi penyu hijau. Permintaan jasa ekosistem terendah di KKTP4S adalah tipe tutupan berupa pemukiman, pertanian pesisir dan perikanan tangkap. Ketiga jenis tipe tutupan tersebut (natural capital asset) terkait dengan kebutuhan manusia akan ruang (space). Ketersediaan ruang (space) merupakan salah satu permasalahan dalam pengembangan KKTP4S. Keterbatasan pemanfaatan ruang ini terkait dengan dampak antropogenik yang ditimbulkan manusia terhadap kestabilan populasi penyu. Tingginya aktivitas manusia yang melakukan pembangunan cottage (tempat penginapan) dan rekreasi serta sinar lampu akan mengganggu aktivitas penyu untuk bertelur. Rahayu et al. (2008) menyatakan bahwa, aktivitas manusia di daerah pertanian dan nelayan juga turut mempengaruhi tingkat keberhasilan penetasan telur penyu selain faktor fisik dan biologi. Hal ini dikarenakan cahaya yang berasal dari lampu senter, lampu rumah, lampu pemancing atau nelayan mengganggu aktivitas penyu hijau yang akan naik ke daratan bahkan jala nelayan juga terkadang menjerat penyu hijau yang berada di sekitar habitat peneluran. Sistem zonasi di KKTP4S berguna untuk membatasi wilayah lalu lintas bagi nelayan maupun aktivitas lainnya sehingga dapat mencegah terjadinya gangguan terhadap aktivitas penyu untuk bertelur. Status Ketersediaan Jasa Ekosistem Sumberdaya yang disediakan oleh ekosistem tergantung pada kemampuan ekosistem dalam menyediakan jasa yang diinginkan. Ketersediaan jasa ekosistem sering bervariasi dengan berjalannya waktu dan ketersediaannya secara aktual dan potensial di masa depan harus menjadi bagian dari penilaian (Hein et al., 2006). Status ketersediaan jasa ekosistem dinilai dengan membandingkan antara suplai ekosistem dan permintaan jasa ekosistem. Hasil penilaian menggambarkan dinamika keseimbangan jasa ekosistem di wilayah KKTP4S. Berdasarkan analisis status ketersediaan jasa ekosistem diperoleh hasil bahwa di KKTP4S menunjukkan umumnya permintaan (demand) jasa ekosistem masih dibawah suplai jasa ekosistem (nilai positif) terutama pada vegetasi, habitat penyu, konservasi serta pantai dan pasir. Status ketersediaan tersebut menunjukkan jasa ekosistem biodiversitas, pengaturan iklim, pengaturan kualitas air, pengendali banjir dan ROB, pengendali abrasi, tempat berkembang biak, tempat asuhan, tempat mencari makan, nilai rekreasi dan nilai estetika, nilai intrinsik dari biodiversitas tersebut masih dapat dipenuhi dalam natural capital asset berupa tipe tutupan pemukiman, pertanian pesisir, konservasi, habitat penyu, vegetasi, pantai dan pasir. Status ketersediaan (budget) jasa ekosistem yang dihasilkan di KKTP4S disajikan pada Tabel 14.
42
Pengaturan Kualitas Arir
Pengendali Abrasi
Sumberdaya perikanan tangkap
Tempat berkembang biak
Tempat Asuhan
Tempat mencari Makan
Rekreasi dan nilai estetika
Nilai intrinsic dari biodiversitas
Jasa budaya (cultural Services)
Pengendali banjir ROB
Jasa Penyedia (Provisioning Services)
Pengaturan iklim
Jasa Pengaturan(Regulating Services)
Tabel 14 Status Ketersediaan Jasa Ekosistem di KKTP4S
-1
-3
-2
-2
0
0
0
0
1
-1
-1
Pertanian Pesisir
2
-1
-1
0
0
0
-1
-1
-1
1
0
Konservasi
0
-1
1
0
0
0
0
0
1
0
1
Habitat penyu
-1
0
1
1
3
3
0
0
1
0
1
Vegetasi
1
0
0
0
0
-1
0
1
0
0
0
Perikanan Tangkap
-2
-3
0
-2
-2
-4
-1
-1
-3
-1
-1
Pantai dan pasir
1
0
0
0
1
2
3
1
0
-1
-1
Biodiversitas
Integritas Ekologi
Type Tutupan Lahan
Pemukiman
Keterangan : -5
-4
-3
-2
Permintaan Melebihi Penawaran
-1
0
1
2
Keseim bangan
3
4
5
Penawaran Melebihi Permintaan
Kondisi ini menunjukkan selain potensi pemanfaatan yang masih tinggi, di KKTP4S status natural capital asset yang ada masih bisa terpelihara dengan baik sehingga masih tetap dapat menyediakan barang dan jasa (goods and service) untuk mendukung kehidupan manusia. Terpeliharanya natural capital asset yang ada di KKTP4S juga mengindikasikan adanya keterkaitan yang baik antara kondisi sosial (social) dan kondisi ekologi yang ada pada KKTP4S. Terpeliharanya natural capital asset di KKTP4S sebagai bentuk terjalinnya kondisi sistem ekologi sosial ditunjukkan dengan biodiversitas vegetasi dan mangrove yang ada. Umumnya kondisi vegetasi masih dalam keadaan baik terutama pada formasi pes caprae. Jenis-jenis vegetasi yang ditemukan KKTP4S adalah Pandanustectorius (pandan), Calophyluminophyllum (nyamplung), Terminaliacatappa (ketapang), Glutarenghas (renghas), Hibiscus tilliaceus (warulaut), Crinum asiacitum(babakungan), Ipomoea pescaprae (katang katangan),
43
Scoevolaraccada (babakoan), Cycasrumphii (Pakis), Avicennia sp (api api) dan Spinifexlittoralis (rumput angin). Kondisi natural capital asset di KKTP4S memungkinkan keberlangsungan jasa ekosistem selain biodiversitas seperti budaya, ekonomi, rekreasi dan spiritual. Jasa ekosistem mengacu pada manfaat tak berwujud (intangible benefits) yang diterima dari ekosistem dalam bentuk pengalaman spiritual non-materi, religius, inspiratif dan pendidikan. Berangkat dari keterkaitan kondisi sosial dan ekologi yang ada semakin menjelaskan pulaupulau kecil yang terdiri dari banyak sub-sistem seperti ekonomi, masyarakat, demografi, budaya, lingkungan, dan ekologi. Sub-sistem yang ada saling interaktif dan saling tergantung. Keseimbangan yang berkelanjutan dicapai ketika setiap subsistem mampu menerima pengaruh yang ada (acceptably), berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan, kesehatan, budaya, otonomi pulau, keanekaragaman hayati dan pendukung kehidupan ekologi. Namun jika terjadi tekanan dari luar terhadap ekosistem, ekonomi, atau masyarakat, yang melebihi suplai suatu kawasan akan menyebabkan sub sistem akan terganggu. Keseimbangan antara sub-sistem yang terganggu akan mempengaruhi pembangunan berkelanjutan dan dapat menyebabkan kerusakan ekosistem. Potensi kerusakan akibat tekanan terhadap ekosistem yang melebihi suplai kawasan akan berakibat pada terganggunya penyediaan barang dan jasa oleh ekosistem. Potensi kerusakan tertinggi dapat dilihat pada nilai status ketersediaan (budget) jasa ekosistem yang bernilai negatif dalam natural capital asset berupa tipe pemukiman, perikanan tangkap dan pertanian pesisir. Bertambahnya populasi di KKTP4S berimplikasi terhadap peningkatan konsumsi rumah tangga. Mimura (2007) menyatakan bahwa, implikasinya akan meluas kemasalah permintaan lahan, pengelolaan air, pengelolaan limbah dan polusi sehingga dapat mengancam terhadap kondisi natural capital asset. Berbagai kegiatan pembangunan seperti pembangunan hotel dan penambangan pasir terjadi di KKTPS ini. Semakin hari semakin banyak resort didirikan disekitar lingkungan menuju pantai peneluran dan kendaraan yang berlalu lalang pada malam hari yang menyebabkan banyaknya cahaya yang menembus ke pantai. Tingkat pencurian telur penyu oleh masyarakat yang disebut “penggemar” di KKTP4S tergolong cukup tinggi. Jumlah tersebut mencapai 50% dari jumlah keseluruhan telur penyu yang sebenarnya bisa ditetaskan (Dinas KP Kab Sukabumi, 2013). Mereka melakukan hal tersebut umumnya akibat terdesak kebutuhan hidup, mengingat rata rata perekonomian masyarakat kurang mampu. Karakteristik Habitat Peneluran dan Kelimpahan Populasi Penyu Karakteristik Habitat Peneluran Habitat perairan Indonesia memiliki panjang pantai 81.000 km dan terdiri dari 17.508 pulau menjadi habitat bagi 6 dari 7 spesies penyu di dunia (KKP 2014). Salah satu dari spesies penyu tersebut adalah penyu hijau (Chelonia mydas). Dermawan (2009) menyatakan bahwa persebaran penyu di Indonesia salah satunya berada di Pantai Pangumbahan, Sukabumi. Pantai Pangumbahan merupakan pantai yang produktif sebagai penghasil telur penyu
44
di Pulau Jawa. Namun jika dibandingkan dengan tahun 1989 telah terjadi penurunan populasi penyu mendarat akibat terjadi perubahan garis pantai, pengurangan tutupan vegetasi, perubahan lebar dan kemiringan pantai. Terjadi pengurangan tutupan vegetasi pantai sejauh ± 50 meter dan pengurangan garis pantai sepanjang 1053,3 meter (Panjaitan 2012). Total penyu yang mendarat tahun 1989 mencapai 6.277 ekor penyu pertahun sedangkan tahun 2013 penyu yang mendarat sejumlah 3.245 ekor penyu pertahun. Berdasarkan data tersebut maka telah terjadi penurunan populasi penyu yang mendarat sebesar ± 50%. Faktor-faktor yang diduga menjadi penyebab menurunannya populasi penyu hijau di kawasan ini adalah : 1. Aktivitas tamu; aktivitas disini yang dimaksud adalah kunjungan wisata yang mempunyai dampak terhadap kelangsungan aktivitas penelm penyu seperti membuat tenda, membuat api unggun, menyorot penyu dengan senter, dan menggunakan blitz pada saat memotret. 2. Pencurian telur penyu; kegiatan ini adalah masalah klise yang penanganannya sampai sekarang masih tidak maksimal yang akhimya mengurangi stok restocking. 3. Aktivitas pencari ikan dan udang; pencari ikan dan udang bisa terbilang tamu tetapi bisa juga masyarakat sekitar yang aktivitasnya kebanyakan dijumpai sering membuat api unggun sehingga tak jarang mengganggu penyu yang akan bertelur bahkan akan meningkat ke niat pencurian telur. 4. Perambahan hutan; kegiatan ini telah berlangsung lama, menurut informasi puncaknya terjadi pada tahun 1999-2002. Kegiatan ini dianggap menjadi faktor terhadap menurunnya aktivitas peneluran penyu. 5. Bagan penangkapan ikan; untuk menunjang penangkapan ikan di laut juga berdampak kepada penurunan populasi karena sering ada penyu yang terjerat. 6. Habisnya stok induk lama karena perburuan di laut atau mati oleh predator alami, dan belum munculnya stok dari bakal calon individu induk baru karena kemungkinan tukik yang seharusnya telah dilepas belum mencapai usia peneluran (ini terkait dengan siklus reproduksi penyu hijau). 7. Sejak tahun 2006 telah mulai dilakukan pembangunan vila atau tempat peristirahatan yang berada di pinggir pantai peneluran. Hal ini mengganggu aktivitas peneluran penyu hijau pada malam hari, disebabkan cahaya penerangan vila tersebut langsung tembus ke pantai tanpa terlebih dahulu tertahan vegetasi yang telah di tebangi sebelumnya. Parameter Fisik Beberapa parameter fisik hasil pengambilan data sekunder yang menggambarkan karakteristik habitat penyu hijau di Pantai Pangumbahan, Sukabumi disajikan pada Tabel 15.
45
Sukabumi disajikan pada Tabel 15. Peneluran Penyu Hijau Tabel 15 Karakteristik Habitat Pantai Parameter
Kriteria
Sumber
≥ 30m diatas pasang tertinggi -
Nuitja 1992
Kemiringan Pantai
3-8 0
Nuitja 1992
Suhu Substrat
26-300C
Vegetasi Dominan
Vegetasi Pantai
Lebar Supratidal (m) Panjang Pantai (km)
Hasil Penelitian 37.96 38,34 41.33
Susilowati 2002 Segara 2008 Haryanti 2014
penyu hijau 30 m-80 m
3 3 3 38.67 48.77 5.17
Susilowati 2002 Segara 2008 Haryanti 2014 Susilowati 2002 Segara 2008 Haryanti 2014
Booth et al. 2004
28.15 28.1 -
Susilowati 2002 Segara 2008 Haryanti 2014
Nuitja 1992 Bustard 1972
Pandan
Susilowati 2002
Tidak ada kriteria panjang pantai Kondisi landai 3-80 Kondisi Miring 8-160 ≤260C (semua tukik jantan) dan ≥300C (semua tukik betina) Vegetasi dominan yang berperan, antara lain pandan (Pandanus tiliaticus) cemara (Casuarinacea eequisetifolia), ketapang (Terminalia catappa),waru (Hibiscus tiliaceaus),
-
Pandan
Pandan
Sumber
Segara 2008
Haryanti 2014
Keterangan
Sumber : Data Sekunder, 2014
Panjang Pantai Pantai pangumbahan membentang kurang lebih sepanjang 3 km. Pantai ini terbagi menjadi enam stasiun. Pantai ini diukur dari batas kampung Batu Namprak hingga sungai Cipanarikan. Selama perbedaan waktu 6 tahun penelitian, panjang pantai ini tidak mengalami perubahan. Lebar Supratidal Ukuran lebar supratidal mengalami peningkatan dalam rentang waktu penelitian 6 tahun sejak tahun 2002. Umumnya ukuran lebar supratidal berkisar antara 30m-80m (Nuitja 1992). Ukuran lebar pantai peneluran sangat mempengaruhi daya aksesibilitas penyu untuk melakukan pendaratan dan mencari tempat yang cocok dalam membuat sarang. Daerah ini adalah daerah yang kering dan tidak terkena imbas pasang surut air laut yaitu daerah pantai supratidal. Tidak seperti penyu lainnya penyu hijau memiliki ukuran kaki relatif besar, sehingga daya aksesibilitasnya pun besar. Oleh karena itu,
Pa n d a n Pa n d a n Pa n d a n
46
walaupun pangumbahan memiliki lebar pantai yang relatif besar, penyu hijau masih bisa mencapai daerah supratidal untuk membuat sarang, biasanya dengan bantuan dorongan air laut pada saat pasang. Kemiringan Pantai Kemiringan pantai sangat berpengaruh pada aksesibilitas penyu untuk mencapai daerah yang cocok untuk bertelur. Berdasarkan kesesuaian biofisik habitat bertelur penyu menurut Nuitja (1992), Pantai Pangumbahan memiliki kriteria kemiringan yang sesuai bagi penyu untuk mendarat dan bertelur. Kriteria kemiringan menurut Nuitja (1992) sebagai berikut; 1. Kondisi landai, pada kemiringan 30-80 2. Kondisi miring, pada kemiringan 80-160 Berdasarkan kriteria tersebut maka penelitian yang dilakukan Susilowati (2002) dan Segara (2008) pantai pangumbahan termasuk kategori yang tidak sesuai bagi penyu untuk mendarat dan bertelur karena menurut penelitian tersebut pantai pangumbahan memiliki kemiringan 310-580, sedangkan menurut Haryanti (2014), pantai pangumbahan termasuk kategori sangat sesuai bagi penyu untuk bertelur karena memiliki kemiringan 10-300. Pantai yang landai akan membuat penyu lebih mudah untuk mencapai daerah supratidal untuk membuat sarang dan bertelur, selain itu mata penyu yang tidak dapat melihat pada sudut yang 150º kebawah membuat pantai yang memiliki sudut kurang dari 30º sesuai untuk pantai peneluran penyu. Suhu Substrat Secara umum rentang suhu substrat di pantai Pangumbahan berada pada rentang suhu ideal bagi sarang penyu hijau. Menurut Ewert (1979), suhu yang layak bagi perkembangan embrio telur penyu adalah antara 25OC - 32OC. Berdasarkan referensi penelitian, suhu substrat adalah 28,10C. Suhu juga akan menentukan rasio kelamin anak penyu, penyu yang lahir dari sarang yang suhu inkubasinya lebih besar dari 28°C kemungkinan besar akan menghasilkan penyu berkelamin betina. Vegetasi Dominan Vegetasi adalah salah satu parameter yang menjadi ciri dari pantai peneluran penyu. Setiap jenis penyu memiliki kesukaan terhadap vegetasi yang berbeda-beda. Ciri pantai peneluran penyu hijau umumnya didominasi vegetasi jenis pandan, sedangkan pantai peneluran penyu sisik umumnya didominasi vegetasi kampak-kampak atau waru laut. Oleh karena itu, ciri ataupun karakteristik biologi yang paling menonjol dari pantai peneluran adalah vegetasi pantai. Keberadaan vegetasi pantai sangat mempengaruhi penyu hijau dalam pemilihan lokasi untuk bertelur. Peran penting yang berkaitan dengan penyu adalah vegetasi pantai sebagai naungan bagi sarang penyu agar tidak terkena sinar matahari yang berlebihan, yang akan meningkatkan suhu substrat sarang sehingga dapat membunuh embrio dm sebagai tempat berlindung penyu pada saat bertelur sehingga dapat terhindar dari predator.
47
Kelimpahan Populasi Penyu Perubahan kondisi fisik kawasan pendaratan akan berpengaruh terhadap tingkat kelimpahan populasi pendaratan penyu di Pantai Pangumbahan. Kelimpahan populasi penyu yang mendarat di Pantai Pangumbahan mengalami perubahan dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Penyu hijau (Chelonia mydas) yang mendarat di Pantai Pangumbahan terdiri dari penyu yang bertelur dan penyu yang tidak bertelur. Data kelimpahan pendaratan penyu hijau di Pantai Pangumbahan disajikan pada Gambar 10.
700
penyu bertelur pendaratan penyu
Jumlah Penyu (ekor)
600
500
400
300
200
100
0 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 2009
2010
2011
2012
2013
Waktu (tahun) Gambar 10 Populasi penyu bertelur dan mendarat di KKTP4S (Sumber : UPTD Konservasi Penyu Pangumbahan 2014) Puncak pendaratan penyu tahun 2009 ditemukan pada awal tahun yaitu Januari, sedangkan puncak pendaratan penyu terjadi pada akhir tahun (Agustus sampai November) di tahun 2010, 2011, 2012, dan 2013. Puncak pendaratan penyu terjadi sepanjang tahun, akan tetapi dimusim hujan pendaratan penyu mengalami puncaknya. Hal ini diindikasikan karena pada ada musim hujan air pasang lebih tinggi sehingga penyu lebih mudah naik ke pantai dan melakukan pendaratan untuk bertelur. Hasil penelitian mengenai penilaian kategori kondisi lingkungan KKTP4S dan sekitarnya menyatakan bahwa sebanyak 50 % responden
48
Persentase Pendapat/Persepsi Masyarakat (%)
masyarakat sekitar kawasan menyatakan keadaan lingkungan di KKTP4S jika dibandingkan dengan era tahun 90 an cenderung semakin menurun (buruk), 20 % menyatakan masih dalam kondisi baik dan 30 % menyatakan biasa saja. Hal ini seperti dijelaskan dalam Gambar 11. 60 50 40 30 20 10 0 baik
buruk Kategori
biasa saja
Gambar 11 Persepsi Kondisi Lingkungan KKTP4S dan Sekitarnya Kondisi buruk lingkungan ditandai dengan semakin berkurangnya kerapatan vegetasi pantai serta kondisi pantai yang terkadang mengalami abrasi. Berdasarkan penelitian Panjaitan et al. (2012) sejak tahun 1989 pantai pangumbahan telah mengalami abrasi pantai. Abrasi terjadi akibat tinggi gelombang di sekitar perairan. Panjang garis pantai telah berkurang sepanjang 1.053,3 meter. Sejak tahun 2010 stasiun 1 merupakan bagian pantai yang tidak cocok lagi sebagai habitat bertelur penyu hijau dikarenakan tidak terdapat lagi vegetasi berupa pandan laut, terjadi pengurangan tutupan vegetasi sejauh ± 50 meter. Menurut Harteti (2013) untuk lebar dan kemiringan pantai masih tergolong cocok sebagai habitat penyu bertelur karena masih memiliki rata-rata lebar pantai berkisar antara 26,81 m-38,67 m dan rata – rata kemiringan 4,710-7,290. Sehingga dapat disimpulkan habitat pantai pangumbahan masih termasuk kategori sesuai sebagai habitat bertelur penyu hijau. Penurunan kondisi habitat peneluran menyebabkan penurunan penyu hijau yang mendarat. Pada tahun 1989 total penyu yang mendarat sebanyak 6.277 ekor, hal ini memperlihatkan telah terjadi penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2014 total penyu mendarat hanya sebesar 1.666 ekor sehingga dapat diperkirakan pengurangan jumlah penyu mendarat mencapai ± 60 %. Karakteristik Masyarakat, Pengelola dan Wisatawan di KKTP4S Karakteristik Masyarakat Responden yang menjadi sasaran penilaian dalam penelitian ini terdiri dari masyarakat, wisatawan, dan pengelola KKTP4S. Karakteristik dari kategori ketiga responden memiliki perbedaan. Hal ini didasarkan pada tingkat kepentingan, pengalaman, dan latar belakang pendidikan yang akan berpengaruh terhadap jawaban yang diberikan. Berikut karakteristik masyarakat, wisatawan dan pengelola yang
49
disajikan masing-masing pada Tabel 16, Tabel 18 dan Gambar 17. Tabel 16 Karakteristik Masyarakat KKTP4S Parameter
Kategori
Jenis kelamin
Laki-laki Perempuan <20 20-40 >40 SD SMP SMU D1 S1 PNS Guru Pegawai Kantor Desa Petugas PTD/THL Petani Pedagang/Wiraus aha Nelayan Tidak Bekerja <1500000 15000002500000 25000003000000 30000003500000 >3500000
Umur (tahun)
Pendidikan
Pekerjaan
Pendapatan (Rp/bulan)
Persentase (%) 53 47 0 51 49 67 11 11 5 6 3 3 12 10 27 23 20 2 35 27 16 10 12
Masyarakat Pantai Pangumbahan didominasi oleh 53% laki-laki. Penduduk Pantai Pangumbahan dominan merupakan masyarakat yang produktif karena sebesar 51% berumur 20-40 tahun yang sebagian besar berpendidikan SD 67%. Pekerjaan utama masyarakat sebagai petani kemudian diikuti dengan sebagai pedagang/wirausaha sebesar 23% dan nelayan sebanyak 20%. Tabel 17 Karakteristik Nelayan KKTP4S Parameter
Kategori
Kategori nelayan Umur (tahun)
Nelayan penuh >60 40-60 20-40 <20 Dampak kegiatan wisata terhadap Ada hasil tangkapan Tidak ada dampak Dampak yang merugikan
Lokasi tangkapan jauh Larangan penangkapan ikan di area resort
Prosentase (%) 100 5 37 58 0 90 10 70 15
50
Lain-lain
15
Karakteristik nelayan di KKTP4S didominasi dengan kategori nelayan penuh yang umurnya 58% berumur 20-40 tahun. Sebanyak 70 % nelayan berpendapat bahwa dampak kegiatan KKTP4S berakibat terhadap lokasi tangkapan ikan yang jauh (70%). 0%
0%
>2000000
15%
1500000-2000000
30% 45%
<1500000 lebih dari 2500000 2000000-2500000
20%
1500000-2000000
85%
1000000-1500000
5%
<1000000
Gambar 12 Kisaran Pendapatan dan Tambahan Biaya dalam Operasi Penangkapan Kisaran pendapatan nelayan didominasi oleh pendapatan lebih dari Rp. 2.500.000,-/bulan sebanyak 45%. Akibat dampak adanya kawasan konservasi di KKTP4S, nelayan harus menambah biaya operasi penangkapan sebesar 85% sebesar Rp.1.500.000,-/bulan - Rp.2.000.000,-/bulan sehingga hal ini merugikan bagi nelayan sekitar kawasan. Meskipun beberapa diantara mereka berpendapat kegiatan KKTP4S tidak memberikan dampak bagi mereka karena dari awal mereka tidak melakukan penangkapan disekitar KKTP4S, mereka menangkap dilokasi yang jauh dari KKTP4S bahkan sampai ke pantai pangandaran. Karakteristik Pengelola KKTP4S Selain berprofesi sebagai nelayan sebesar 10% masyarakat sekitar pantai pangumbahan berprofesi sebagai pengelola KKTP4S. Pengelola kawasan Pantai Pangumbahan didominasi oleh laki-laki dengan prosentase sebesar 90%. Tenaga pengelola KKTP4S berstatus sebagai tenaga harian lepas (THL) dengan kisaran pendapatan sebesar < Rp.1.500.000,-/bulan. Sebanyak 40% latar belakang pendidikan pengelola di KKTP4S didominasi oleh lulusan SMU, 30 % berlatar belakang pendidikan S1 dan SMP. Karakteristik pengelola kawasan Pantai Pangumbahan disajikan dalam Tabel 18. Tabel 18 Karakteristik Pengelola KKTP4S Parameter
Kategori
Jenis kelamin
Laki-laki Perempuan SD SMP SMU
Pendidikan
Persentase (%) 90 10 0 30 40
51
Tabel 18 Karakteristik Pengelola S1 KKTP4S Parameter
Kategori Jaringao Lain-lain 1500000-2500000 <1500000
Kisaran pendapatan
30 Persentase (%) 50 40 10 90
Sangat tahu dan paham terhadap fungsi vegetasi, sangat bermanfaat dan sangat bersedia berkontribusi dalam rangka menjaga kelestarian
21%
22% 7%
50%
Tahu dan paham terhadap fungsi vegetasi, cukup bermanfaat dan bersedia berkontribusi dalam rangka menjaga kelestarian Sedikit tahu dan paham terhadap fungsi vegetasi, tahu tentang manfaat dan bersedia berkontribusi dalam rangka menjaga kelestarian Kurang tahu dan paham terhadap fungsi vegetasi, kurang tahu tentang manfaat dan bersedia berkontribusi dalam rangka menjaga kelestarian
Gambar 13 Tingkat Pengetahuan, Pemahaman, Manfaat dan Kesediaan untuk Kontribusi Terhadap Fungsi Vegetasi Masyarakat sebagian besar berasal dari penduduk Desa Jaringao (50%) dan sisanya berasal dari sekitar Desa Pangumbahan. Sebagian besar pengelola KKTP4S (50%) sangat mengetahui dan paham terhadap fungsi vegetasi, pemahaman terhadap manfaat vegetasi sangat tahu sehingga kebanyakan dari mereka sangat bersedia untuk berkontribusi terhadap upaya pelestariannya. Hanya sekitar 7% diantara mereka yang kurang tahu dan paham terhadap fungsi vegetasi. Meskipun demikian mereka bersedia berkontribusi dalam menjaga kelestariannya. Karakteristik Wisatawan Pantai Pangumbahan merupakan pusat konservasi penyu dengan kegiatan utama melindungi lokasi pendaratan penyu dan sarang penyu, menetaskan telur penyu secara semi-alami dan melepaskan bayi penyu ke pantai. Selain sebagai pusat konservasi, Pantai Pangumbahan juga menjadi daerah wisata bagi pengunjung yang ingin melihat aktifitas penyu yang sedang bertelur. Berdasarkan catatan dari Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Konservasi Penyu Pangumbahan minat wisata pengunjung ke pantai pangumbahan mengalami kenaikan dari tahun ke . Hal ini dijelaskan dalam Gambar 14.
52
jumlah wisatawan (orang)
30000 25000 20000 15000 10000 5000 0 2009
2010
2011 tahun
2012
2013
Gambar 14 Jumlah Wisatawan (Sumber : UPTD Konservasi Penyu Pangumbahan 2014) Jumlah kunjungan wisatawan pada tahun 2012 dari pengunjung sebanyak 21.759 di tahun 2011 menjadi 20.984 ditahun 2012, namun ditahun 2013 jumlah pengunjung naik cukup signifikan menjadi 24.765 jumlah terendah terjadi tahun 2009. Jumlah pengunjung yang cenderung meningkat ini didasarkan pada meningkatnya pengetahuan yang mereka miliki. Sebanyak 98 % wisatawan mengetahui wisata minat khusus yang dimiliki KKTP4S, hanya sedikit (2%) yang tidak mengetahui sama sekali mengenai wisata tersebut (Gambar 15). Umumnya mereka yang tidak mengetahui hanya sekedar mampir untuk membuktikan informasi yang mereka dengar dari masyarakat sekitar.
Gambar 15 Persentase Tingkat Pengetahuan Wisatawan Semakin tahu seseorang terhadap suatu obyek wisata akan berpengaruh terhadap rasa ingin tahu tentang obyek wisata tersebut dibandingkan dengan seseorang yang hanya sedikit bahkan tidak mengetahui. Tingkat pengetahuan seseorang juga akan meningkatkan kesadaran seseorang tentang suatu perjalanan wisata, serta kesadaran mereka dalam memberikan persepsi tentang nilai sumber daya alam suatu obyek wisata. Secara tidak langsung persepsi ini
53
akan mendorong mereka untuk melakukan perjalanan wisata atau kunjungan ke KKTP4S. Peningkatan jumlah kunjungan wisatawan ini mendorong pengelola untuk meningkatkan pelayanan dan penyediaan fasilitas rekreasi yang lebih baik. jumlah wisatawan (orang)
3000 2500 2000 1500 1000 500 september
agustus
juli
juni
mei
april
maret
februari
januari
0
Tahun 2014
Gambar 16
Jumlah Pengunjung Selama Tahun 2014 (Sumber : UPTD
Konservasi Penyu Pangumbahan 2014 Dalam gambar 16 terlihat bahwa jumlah wisatawan pada tahun 2014 KKTP4S didatangi lebih banyak pengunjung pada bulan-bulan yang merupakan liburan sekolah dan liburan hari besar nasional terutama hari raya Idul Fitri. Oleh sebab itu jumlah wisatawan meningkat cukup signifikan di bulan Juli. Pada bulan tersebut, dimana permintaan wisata lebih besar dibandingkan pada bulan biasanya. KKTP4S menjadi salah satu alternatif wisata keluarga yang menarik. Menurut pengelola, pengunjung KKTP4S adalah sekelompok orang yang mencari tempat wisata yang tujuannya untuk pendidikan dibanding sebagai tempat rekreasi. Pada bulan Januari-Mei jumlah penyu yang mendarat sedikit bahkan jarang dibandingkan bulan Juli-November. Pada bulan Agustus dan September meskipun penyu banyak yang mendarat tapi jumlah pengunjungnya sedikit disebabkan pada bulan tersebut bukan merupakan liburan sekolah. Berdasarkan hasil penelitian untuk wisatawan lokal kebanyakan wisatawan yang berkunjung didominasi oleh wisatawan laki-laki sebanyak 65% dan sisanya berjenis kelamin perempuan (35%) dengan jumlah wisatawan yang telah menikah sebanyak 48% dan yang belum menikah sebanyak 52 %. Sedangkan wisatawan asing, didominasi oleh wisatawan lakilaki sebanyak 70% dan sisanya berjenis kelamin perempuan (30%) dengan jumlah wisatawan yang telah menikah sebanyak 60% dan yang belum menikah sebanyak 40 %. 1.
Tingkat Usia Tingkat usia diduga cukup mempengaruhi keputusan wisatawan untuk melakukan kegiatan rekreasi, karena usia dapat menggambarkan kondisi fisik seseorang, kemampuan hidup, kebutuhan, dan sebagainya. Responden
54
wisatawan KKTP4S untuk wisatawan lokal paling banyak berada pada tingkat usia 20-40 tahun, yaitu sebanyak 75% serta responden wisatawan yang berada pada tingkat usia >41 tahun sebanyak 15%. Responden wisatawan yang berada pada tingkat usia < 20 tahun sebanyak 10%. Sedangkan untuk wisatawan asing paling banyak berada pada tingkat usia 20-40 sebanyak 50% dan > 40 sebanyak 50% pula. Wisatawan yang berusia 20-40 tahun sebagian besar telah berkeluarga dan bekerja, sehingga rekreasi sangat dibutuhkan untuk berlibur bersama keluarga juga untuk memulihkan kondisi fisik dari kejenuhan terhadap aktivitas rutin sehari-hari. Bagi responden wisatawan lokal di KKTP4S pada tingkat usia lebih dari 40 tahun hanya sebanyak 15%. Hal ini mengindikasikan semakin bertambahnya usia akan terjadi penurunan kemampuan fisik sehingga kegiatan rekreasi luar ruangan (outdoor recreation) semakin berkurang. 2.
Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan diduga cukup mempengaruhi keputusan wisatawan untuk melakukan kegiatan rekreasi. Responden yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi biasanya lebih membutuhkan rekreasi untuk menyegarkan pikiran dan menghilangkan kejenuhan dari aktivitas rutin seharihari. Hal ini dapat dilihat dari jumlah responden yang berkunjung ke KKTP4S, umumnya memiliki tingkat pendidikan cukup tinggi, yaitu lulusan akademi dan perguruan tinggi 72%, lulusan SMU dan sederajat 23%, dan lulusan SMP 5% . Sebaran responden wisatawan KKTP4S menurut tingkat pendidikan, dapat dilihat pada Tabel 19.
No 1 2 3
Tabel 19 Sebaran Responden Wisatawan KKTP4S Menurut Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan Prosentase Responden (%) SMP 5 SMU 23 Akademi dan Perguruan Tinggi 72
2.
Jenis Pekerjaan Hasil wawancara menunjukkan bahwa sebagian besar responden wisatawan bekerja sebagai pegawai baik PNS maupun swasta, yaitu sebanyak 72% dan sisanya bekerja sebagai: pelajar/mahasiswa 18 dan ibu rumah tangga 10%. 3.
Tujuan Wisata Bagi wisatawan lokal, sebagian besar wisatawan datang dengan tujuan untuk pendidikan (61%) dan refreshing (39%) termasuk didalamnya menikmati pemandangan, udara sejuk, mencari ketenangan, manfaat ekologis dan historis. Sedangkan bagi wisatawan asing 60% tujuan mereka adalah refreshing selain pendidikan dan yang tujuannya benar2 untuk pendidikan hanya 20% sisanya sebanyak 20% tujuan utama mereka adalah untuk surfing (olah raga). 4.
Tiket Masuk Kawasan Berdasarkan hasil penelitian yang dijelaskan dalam gambar 20, tujuan
55
wisata di KKTP4S didominasi oleh wisata pendidikan untuk wisatawan lokal, dan refreshing serta pendidikan untuk wisatawan asing. Wisatawan yang berkunjung lebih banyak berusia 20-40 tahun baik wisatawan lokal maupun asing dengan jenis kelamin laki-laki yang berasal dari daerah jabodetabek. Terhadap tiket masuk, wisatawan lokal sebagian besar berpendapat bahwa tiket masuk untuk pelepasan tukik berada pada range yang cukup pantas (82%) dan sebagian kecil dari mereka berpendapat terlalu besar (2%). Tiket masuk untuk melihat penyu bertelur bagi sebagian besar wisatawan lokal berada pada range yang terlalu besar (76%) sedangkan beberapa dari mereka beranggapan terlalu kecil (13%). Sedangkan bagi wisatawan asing beranggapan bahwa tiket masuk untuk pelepasan tukik berada pada range yang cukup pantas (50%) dan terlalu kecil (50%) serta untuk melihat penyu bertelur sebagian besar menyatakan terlalu kecil (50%), beberapa dari mereka beranggapan cukup pantas (40%), namun ada juga yang beranggapan terlalu besar (10%). Tiket masuk kawasan ini dijelaskan dalam Tabel 20 dan Tabel 21. Tabel 20 Besarnya Tarif Retribusi Memasuki KKTP4S berdasarkan Perda No.14 Tahun 2013 (Menyaksikan Film Dokumenter, Melihat Penyu di Kolam Sentuh dan Pelepasan Tukik ke Laut) No Klasifikasi Wisatawan Tarif Masuk (Rp) Keterangan 1 Umum: 1. Dewasa 10000 Per orang 2. Anak-anak 5000 Per orang 2 Rombongan Mahasiswa/Pelajar 5000 Per orang 3 Rombongan Anak TK,PAUD dan 2500 Per orang sederajat Sumber: Unit Pelaksana Teknis Daerah Konservasi Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan,2014
Tabel 21 Besarnya Tarif Retribusi Melihat Ritual Penyu Bertelur di Area Pantai Peneluran KKTP4S berdasarkan Perda No.14 Tahun 2013 No/ Klasifikasi Wisatawan Tarif Masuk Keterangan (Rp) 1 Umum: 1. Dewasa 150000 Per orang 2. Anak-anak 50000 Per orang 2 Rombongan Mahasiswa/Pelajar 75000 Per orang 3 Rombongan Anak TK,PAUD dan 25000 Per orang sederajat Sumber: Unit Pelaksana Teknis Daerah Konservasi Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan,2014
Wisatawan lainnya beranggapan bahwa penyu merupakan hewan purba langka yang tidak ternilai harganya, dan untuk membiayai pengelolaan kawasan dengan harga tiket yang sekarang dirasa terlalu kecil.
Jenis Status Asal Daerah kelamin
Umur
Pekerjaan
Wisatawan Mancanegara Wisatawan asing
Tujuan Wisata
Sapras diperbaiki
mendapatkan souvenir
Terlalu Besar
penyu hewan langka
Terlalu kecil
Cukup Pantas
terlalu kecil
terlalu Besar
cukup pantas
Surfing dan pendidikan
Pendidikan
Refreshing dan Pendidikan
IRT
Pegawai
>41
Pelajar
20-40
<20
Sukabumi
Jabodetabek
Luar Jabodetabek
Menikah
Belum Menikah
perempuan
160 140 120 100 80 60 40 20 0
Laki laki
56
Persepsi tarif Persepsi tarif Saran untuk terhadap terhadap kawasan pelepasan penyu konservasi tukik bertelur
Wisatawan Nusantara Series3
Gambar 17 Karakteristik Wisatawan KKTP4S Persepsi Masyarakat dan Pengunjung Terhadap Pengelolaan KKTP4S Persepsi Masyarakat Persepsi masyarakat terhadap lingkungan yang mereka rasakan dan alami selama ini, dapat dilihat pada Gambar 18. Persepsi masyarakat terhadap pengelolaan KKTP4S mengindikasikan bahwa sebanyak 42% responden berpendapat bahwa KKTP4S dapat memberikan dampak positif terhadap kualitas lingkungan habitat peneluran, sehingga diharapkan dapat berpengaruh terhadap peningkatan populasi penyu yang mendarat, hanya sekitar 25 % yang menyatakan tidak berpengaruh. Sebagian besar masyarakat (78%) mendukung pantai pangumbahan dijadikan sebagai kawasan konservasi penyu dan menganggap penyu perlu dilestarikan, hanya sebesar (12 %) yang tidak mendukung dan sisanya netral (10%). Bagi mereka yang tidak mendukung disebabkan karena mereka masih menggantungkan hidupnya dengan mengambil telur penyu yang mereka anggap perbuatan yang salah (tidak mendukung konservasi) namun tetap dilakukan karena kebutuhan ekonomi.
57
90%
78%
80% 70% 60% 50%
41%
40%
33% 25%
30% 20%
12%
10%
10% 0% Keberadaan KKTP4S berpengaruh terhadap peningkatan Pupulasi penyu ya
tidak
Dukungan Masyarakat Terhadap Keberadaan KKTP4S netral
Gambar 18 Dampak KKTP4S terhadap Lingkungan Sebagian besar masyarakat memiliki tingkat pengetahuan terhadap tujuan pengelolaan KKTP4S adalah melindungi penyu dan habitatnya (69%). Kemudian sebanyak 23 % mereka berpendapat tujuan pengelolaan KKTP4S untuk pengembangan wisata, hanya sekitar 5% yang berpendapat untuk mensejahterakan masyarakat dan sisanya sebanyak 3% untuk penelitian. 5% 3%
23%
69%
Gambar 19
melindungi penyu dan habitatnya pengembangan wisata mensejahterakan masyarakat penelitian
Tingkat Pengetahuan Masyarakat terhadap Tujuan Kawasan Konservasi Penyu
Bagi Masyarakat Nelayan, sebanyak 57% responden menyatakan keberadaan KKTP4S berpengaruh terhadap hasil tangkapan ikan dan 16 % menyatakan tidak berpengaruh terhadap hasil tangkapan, hal ini dikarenakan masyarakat nelayan sekitar KKTP4S harus melakukan penangkapan dilokasi yang jauh dari lokasi KKTP4S.
58
57%
60% 50% 40%
27%
30% 16%
20% 10% 0%
Keberadaan KKTP4S terhadap hasil tangkapan ikan meningkat
tidak berpengaruh
netral
Gambar 20 Dampak KKTP4S terhadap Hasil Tangkapan Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 87% KKTP4S bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan sekitar kawasan terutama dalam menarik kunjungan wisatawan dan meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar kawasan hanya 8% yang menyatakan tidak bermanfaat. Hal ini terlihat dari banyaknya peluang masyarakat untuk mendirikan warung-warung makanan, klontong bahkan ada beberapa dari mereka yang menyewakan rumahnya sebagai tempat menginap. Sehingga sebanyak 75% berpendapat manfaat KKTP4S berpengaruh terhadap tingkat pendapatan mereka. Hanya sekitar 17% yang menyatakan tidak berpengaruh. 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
87% 75%
17% 8%
8%
5%
KKTP4S dapat menarik wisatawan/ meningkatkan kunjungan wisatawan ya
tidak
Keberadaan KKTP4S berpengaruh terhadap tingkat pendapatan masyarakat sekitar kawasan netral
Gambar 21 Persepsi Masyarakat terhadap manfaat KKTP4S Masyarakat berpendapat pengembangan wisata sebagai salah satu manfaat kawasan konservasi. Akan tetapi menurut mereka kegiatan wisata penyu di Pantai Pangumbahan bukan merupakan kegiatan baru karena kegiatan wisata telah ada sebelum Pantai Pangumbahan dijadikan kawasan konservasi penyu. Perbedaannya kegiatan wisata dulu dilakukan secara terbatas karena tujuan pengelolaan kawasan adalah pemanenan telur penyu,
59
sedangkan saat ini kegiatan wisata merupakan salah satu tujuan pengelolaan kawasan sehingga kegiatan wisata lebih diprioritaskan. Persepsi masyarakat menunjukkan sebanyak 49 % keberadaan KKTP4S juga dapat berdampak terhadap penurunan laju kerusakan habitat peneluran, 27 % menyatakan tidak berdampak sama sekali dan sisanya sebanyak 24% menyatakan tidak tahu. Hal ini ditunjukkan oleh Gambar 22. 24% 49%
27%
ada dampak
tidak berdampak
tidak tahu
Gambar 22 Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaan KKTP4S Laju kerusakan habitat peneluran umumnya disebabkan oleh beberapa parameter seperti penyebab kerusakan vegetasi pantai sebagian besar diduga oleh penebangan kayu, kerusakan lamun diduga oleh limbah rumah tangga dan kapal, serta kerusakan terumbu karang oleh polusi, limbah, sampah dan lain lain. Parameter penyebab laju kerusakan habitat peneluran dijelaskan dalam Tabel 22. Tabel 22 Parameter Tingkat Kerusakan Ekosistem di KKTP4S Parameter Persentase (%) Penyebab kerusakan vegetasi pantai Rusak alami Penebangan kayu Aktifitas wisata Lain-lain(polusi,limbah dll)
19 72 1 5
Penyebab kerusakan lamun Rusak alami Aktifitas penangkapan ikan Aktifitas wisata Lain-lain (limbah rumah tangga dan kapal dll)
18 15 23 45
Penyebab kerusakan terumbu karang Rusak alami Aktifitas penangkapan ikan Aktifitas wisata Lain-lain (polusi,limbah sampah dll)
23 22 20 25
Kesadaran masyarakat yang mulai tinggi terhadap dampak dari kerusakan tersebut ditunjukkan oleh kesediaan mereka dalam berkontribusi dalam upaya pelestarian ekosistem di KKTP4S. Hal ini terlihat dalam Gambar 23.
60
kategori kawasan
lamun
terumbu karang
vegetasi pantai
0
50 100 persentase kontribusi
150
Gambar 23 Persentase Kesediaan Masyarakat Berkontribusi dalam Pelestarian Kawasan Masyarakat bahkan bersedia mengeluarkan biaya sebagai bentuk andil mereka dalam upaya melakukan rehabilitasi KKTP4S. Berdasarkan Gambar 23 biaya yang paling tinggi dikeluarkan adalah untuk vegetasi pantai dengan kisaran biaya sebesar Rp. 12.000.000,-/tahun. 14000000
Biaya kontribusi
12000000 10000000 8000000 6000000 4000000 2000000 0 vegetasi pantai
terumbu karang Kategori
lamun
Gambar 24 Ketersediaan Kontribusi Biaya yang dapat Dikeluarkan Masyarakat terhadap Ekosistem Hal ini terbukti dari persentase nilai valuasi yang mereka berikan lebih banyak untuk vegetasi pantai dengan persentase 36% sedangkan untuk terumbu karang 33 % dan lamun 31%.
61
33%
36%
terumbu karang lamun vegetasi pantai 31%
Gambar 25 Persentase Nilai Valuasi/Tahun untuk KKTP4S Menurut Timur and Getz (2009), alasan ekonomi bagi pengembangan pariwisata adalah untuk menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan pembangunan daerah, diversifikasi ekonomi serta menaikkan tingkat pendapatan dan pajak. Berdasarkan persepsi masyarakat terhadap manfaat ekonomi pariwisata, sebanyak 63% responden menyatakan adanya kegiatan pariwisata di KKTP4S dapat menciptakan lapangan kerja, hanya 28% yang menyatakan tidak menciptakan lapangan kerja. Dengan bertambahnya kesempatan kerja setelah berkembangnya kegiatan wisata di KKTP4S maka sebanyak 63% responden berpendapat keberadaan KKTP4S dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar misalnya melalui penyewaan motor (ojek), warung-warung makan, pemandu wisata bahkan sebagian mereka bekerja di tempat penginapan yang ada disekitar kawasan konservasi. hanya 23 % yang berpendapat keberaadaan KKTP4S tidak dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar. 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
63%
62%
28%
23% 12%
keberadaan KKTP4S dapat menciptakan lapangan kerja ya
tidak
15%
Keberadaan KKTP4S dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar netral
Gambar 26 Persepsi Masyarakat terhadap manfaat Ekonomi Kegiatan Pariwisata di KKTP4S Manfaat kegiatan wisata di KKTP4S terhadap perekonomian masyarakat sekitar dapat dilihat dari tumbuhnya warung warung makan, tempat tempat penginapan bahkan meningkatkan harga barang/jasa setempat dan harga properti yang dalam hal ini harga jual tanah dan rumah.
62
Hal lain yang turut menunjang roda perekonomian adalah pembangunan sarana prasarana umum seperti transportasi dan sarana jalan. Gambar 27 menunjukkan keterkaitan antara pariwisata dengan peningkatan fasilitas KKTP4S, dimana sebagian besar masyarakat (57%) berpendapat pariwisata turut berperan dalam meningkatkan pembangunan terhadap fasilitas umum seperti jalan,transportasi dll dan hanya 30 % yang menyatakan tidak berpengaruh. Hal ini membuktikan bahwa dengan keberadaan KKTP4S sebanyak 62 % berpendapat dapat menyebabkan fasilitas yang ada menjadi lebih memadai hanya sebanyak 32% yang menyatakan tidak berpengaruh sama sekali. 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
62%
57% 32%
30% 13%
6% Fasilitas KKTP4S menjadi memadai
ya
Gambar 27
tidak
Keberadaan KKTP4S dapat meningkatkan pembangunan pemeliharaan lebih baik trhdp fasilitas umum seperti jalan,transportasi dll netral
Keterkaitan Pariwisata di KKTP4S dengan Peningkatan Sarana Prasarana (sapras)
Persepsi Pengunjung Persepsi pengunjung merupakan pandangan atau pendapat dari para responden mengenai kualitas lingkungan KKTP4S dan fasilitas yang disediakan oleh pengelola. Pengunjung sebagian besar mengetahui lokasi KKTP4S dari teman/saudara (60%). Walaupun promosi dengan cara mulut ke mulut dirasa cukup efektif tetapi hal tersebut menunjukkan bahwa promosi mengenai potensi wisata yang ada di KKTP4S masih belum dilakukan secara maksimal. Beberapa usaha lain yang telah dilakukan untuk mempromosikan KKTP4S secara cepat dan berkesinambungan dilakukan melalui saluran internet. Hal ini terlihat dari informasi yang diperoleh pengunjung selain teman/saudara adalah melalui internet (21%). Sarana ini merupakan sarana yang tepat, murah dan workable terutama bagi wisatawan mancanegara. Adapun yang menunjukkan asal informasi mengenai KKTP4S ditunjukkan oleh Gambar 28.
63
9%
5%
21% 60%
1% 4%
Brosur Teman/Saudara TV Surat Kabar internet Lainnya,sebutkan
Gambar 28 Diagram Informasi Kunjungan Responden Sebanyak 56 % responden memiliki motivasi berkunjung ke KKTP4S adalah untuk tujuan pendidikan/penelitian kemudian 23 % piknik/kumpul keluarga setelah itu sebanyak 12 % refreshing. Hal ini disebabkan karena kebanyakan mereka ingin menunjukkan kepada keluarga mereka tentang satwa dilindungi yang merupakan hewan langka yang bernama penyu. Beragam motivasi pengunjung terhadap KKTP4S dapat dilihat pada Gambar 29
12%
9% 23%
56%
piknik/kumpul keluarga pendidikan/penelitian refreshing lainnya
Gambar 29 Diagram Motivasi Wisata Responden Aksesibilitas dalam manajemen wisata sangat penting. Kondisi aksesbilitas menuju KKTP4S bagi 83% wisatawan yang kebanyakan berasal dari luar sukabumi tergolong sangat sulit. Hal ini disebabkan kondisi sarana prasarana menuju lokasi ini tidak terlalu bagus karena kondisinya sempit dan rusak ditambah kurangnya petunjuk arah. Sementara bagi 15 % wisatawan pengunjung sukabumi dan sekitarnya tergolong mudah dan 2 % sangat mudah bagi pengunjung sekitar KKTP4S. Persepsi pengunjung mengenai aksesibilitas menuju KKTP4S dapat dilihat pada Gambar 30.
64
2%
15%
83%
sangat mudah
mudah
sulit
Gambar 30 Diagram Aksesibilitas Lokasi Wisata Kondisi Aksesibilitas di KKTP4S memang sulit tapi kebanyakan pengunjung (78%) memilih tetap melakukan kunjungan wisata ke lokasi ini hanya sekitar 22 % yang memilih tidak berkunjung. Hal ini dikarenakan potensi wisata yang dimiliki di lokasi ini sangat potensial untuk menarik minat wisatawan tetap berkunjung ke lokasi ini meskipun dengan kondisi akses perjalanan yang sulit. Persepsi terhadap kondisi aksesibilitas menuju KKTP4S dapat dilihat pada Gambar 31.
Gambar 31 Persepsi terhadap kondisi aksesibilitas menuju KKTP4S Penerapan tarif kunjungan terhadap pelepasan tukik cukup pantas bagi sebagian besar pengunjung (82%). Sebagian kecil yang berpendapat terlalu kecil (16%). Sementara hanya 2% dari responden yang menyatakan terlalu besar. Persepsi mengenai tarif harga baru untuk melihat penyu bertelur sebagian besar responden (76%) menyatakan terlalu besar. Sebanyak 13% menyatakan terlalu kecil sedangkan 11 % menyatakan cukup pantas. Hal ini dapat dijelaskan dalam Gambar 32. 11% 13%
76%
Pelepasan Tukik
Penyu Bertelur
Gambar 32 Persepsi terhadap Karcis Masuk Pelepasan Tukik dan Melihat Penyu Bertelur KKTP4S
cukup pantas terlalu kecil terlalu besar
65
Valuasi Ekonomi KKTP4S Nilai Ekonomi Wisata KKTP4S melalui Pendekatan Metode Biaya Perjalanan Sumberdaya alam merupakan salah satu barang publik yang dapat menghasilkan barang dan jasa yang dapat dikonsumsi baik langsung maupun tidak langsung. Selain menghasilkan manfaat secara langsung maupun tidak langsung, sumberdaya alam juga menghasilkan jasa-jasa lingkungan (services) yang memberikan manfaat dalam bentuk lain, misalnya manfaat amenity seperti keindahan, ketenangan, dan sebagainya (Fauzi, 2004). Manfaat fungsi ekologis seperti jasa lingkungan sering tidak terkuantifikasi dalam perhitungan nilai sumberdaya alam, karena dalam hal ini manfaat tersebut tidak memiliki nilai pasar. Permasalahan ini menjadi dasar pemikiran lahirnya konsep penilaian ekonomi, khususnya penilaian non-pasar (non-market valuation). Penilaian ekonomi dapat didefinisikan sebagai upaya untuk memberikan nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan baik atas nilai pasar (market value) maupun nilai non pasar (non market value) . Penilaian ekonomi sumberdaya merupakan suatu alat ekonomi (economic tool) yang menggunakan teknik penilaian tertentu untuk mengestimasi nilai uang dari barang dan jasa yang diberikan oleh suatu sumberdaya alam. Tujuan dari penilaian ekonomi ialah untuk menunjukkan keterkaitan antara konservasi sumberdaya alam dan pembangunan ekonomi, sehingga dapat dijadikan sebagai suatu peralatan penting dalam peningkatan apresiasi dan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan itu sendiri. Nilai ekonomi suatu sumberdaya alam bagi rekreasi menggunakan pendekatan proxy yaitu biaya yang dikeluarkan untuk mengkonsumsi jasa dari sumberdaya alam tersebut, dalam hal ini besarnya biaya perjalanan atau Travel Cost merupakan harga yang diberikan konsumen terhadap sumberdaya alam tersebut. Terdapat dua teknik sederhana yang biasa digunakan untuk menentukan nilai ekonomi berdasarkan TCM, yaitu penentuan dengan menggunakan pendekatan zonasi dan individu. Dalam penelitian ini teknik yang digunakan untuk menentukan nilai ekonomi wisata KKTP4S berdasarkan TCM adalah pendekatan individu berdasarkan data hasil survey. Tingkat Kunjungan Bagi masyarakat yang berdomisili di Kecamatan Ciracap Kabupaten Sukabumi, KKTP4S merupakan tempat wisata yang sangat dikenal dan sering dikunjungi oleh mereka. Mahasiswa dari berbagai kampus menjadikan KKTP4S sebagai pilihan tempat wisata yang sering dikunjungi ketika datangnya liburan. Masyarakat yang tinggal di desa sekitar KKTP4S juga menjadikan KKTP4S sebagai tempat wisata yang sering dikunjungi untuk berekreasi. Berdasarkan frekuensi kunjungan dalam 1 tahun, sebagian besar yaitu 67% wisatawan berkunjung ke KKTP4S sebanyak 1 kali. Mereka sebagian besar adalah wisatawan yang mengetahui objek wisata ini kurang dari 2 tahun. Kemudian sebesar 14% wisatawan berkunjung ke objek wisata ini sebanyak 3 kali. Wisatawan yang berkunjung ke objek wisata ini sebanyak 2 kali sebesar 14% dan lebih dari ≥5 kali sebesar 10%. Hal ini dapat dilihat dalam Tabel 23.
66
Tabel 23 Tingkat Kunjungan Wisatawan KKTP4S Kunjungan (Kali)
Persentase (%)
1
67
2
14
3
8
4
1
≥5
10
Hasil Estimasi Regresi Linier Berganda Keberadaan KKTP4S memberikan manfaat sumberdaya lingkungan yang berharga, baik dalam bentuk produk ataupun jasa. Salah satu jasa lingkungan yang bernilai ekonomi adalah jasa wisata alam. Nilai ekonomi jasa wisata alam KKTP4S diestimasi dengan menggunakan Pendekatan biaya perjalanan Individu (Individual Travel Cost Method). Pendekatan tersebut merupakan dasar untuk menduga besarnya surplus konsumen. Surplus konsumen merupakan kelebihan yang diterima konsumen dikarenakan harga yang terjadi di pasar lebih rendah dibandingkan nilai kemauan membayarnya. Pendugaan surplus konsumen yang merupakan proxy dari nilai willingness to pay terhadap lokasi rekreasi, yakni negatif kunjungan kuadrat dibagi dua kali koefisisen biaya perjalanan (Adrianto, 2004). Wisatawan Nusantara Hasil estimasi regresi linier berganda dan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan wisata untuk wisatawan nusantara (winus) di KKTP4S tersebut bisa dilihat pada Tabel 24. Tabel 24 Fungsi Permintaan Rekreasi KKTP4S dengan Metode Biaya Perjalanan Winus Koefisien
Nilai t
Nilai P
Intersept/Intercept
0,096481039
2,187308
0,032111601
Tingkat Pengaruh Tidak Nyata
X1/X Variable 1
-2,50847E-07
-0,535
0,594372939
Tidak Nyata
X2/X Variable 2
1,86073E-08
0,128447
0,898168993
Tidak Nyata
X3/X Variable 3
-0,076238119
-0,94367
0,348631183
Tidak Nyata
X4/X Variable 4
0,007494781
0,423862
0,672984806
Tidak Nyata
X5/X Variable 5
-0,013792941
-1,99597
0,049885358
Nyata 5%
X6/X Variable 6
0,036060117
0,818071
0,416132856
Tidak Nyata
X7/X Variable 7
0,041940841
0,410553
0,682672262
Tidak Nyata
X8/X Variable 8
-0,237545202
-0,86384
0,390667183
Tidak Nyata
X9/X Variable 9
0,005310387
0,825082
0,412168743
Tidak Nyata
X10/X Variable 10
0,967513447
11,13797
4,54967E-17
Nyata 5%
R2 R2 (Adj) Fhit
0,79 0,76 26
67 Tabel 24 Fungsi Permintaan Rekreasi KKTP4S dengan Metode Biaya Perjalanan Winus Koefisien
Sig F N
Nilai t
Nilai P
0,000 80
Fungsi permintaan untuk kunjungan wisatawan nusantara menghasilkan model persamaan fungsi permintaan rekreasi KKTP4S :
Y =
Tingkat Pengaruh
ke
KKTP4S,
0.096 - 0.00000025084 X1 + 0,0000000186073 X2 - 0.076238119 X3 + 0.007494781 X4 - 0.013792941 X5 + 0.036060117X6 + 0.041940841 X7 0,237545202X8 + 0,005310387 X9 + 0,967513447X10
Nilai R2 yang diperoleh dari persamaan regresi adalah sebesar 79% dan R2 (adj) sebesar 76 % (Tabel 24). Hal tersebut dapat diartikan bahwa keragaman permintaan jumlah kunjungan ke KKTP4S dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebas dalam model sebesar 79% dan sisanya sebesar 21% dijelaskan oleh variabelvariabel yang tidak dimasukkan ke dalam model. Hasil estimasi secara statistik dapat diketahui bahwa, ada beberapa variabel bebas dalam penelitian ini yang tidak signifikan pengaruhnya terhadap variabel terikat yaitu variabel biaya perjalanan, total pendapatan, pendidikan, variabel umur, waktu tempuh, jumlah tanggungan, jenis kelamin dan variabel lama mengetahui. Variabel ini tidak mempunyai pengaruh signifikan karena responden yang berkunjung ke objek wisata KKTP4S lebih mementingkan bagaimana memperoleh manfaat dari yang ditawarkan oleh objek wisata tersebut. Variabel biaya perjalanan (travel cost) ke objek wisata KKTP4S menghasilkan nilai negatif, hal ini berarti perubahan kenaikan biaya perjalanan sebesar satu persen akan mengakibatkan penurunan jumlah permintaan sebesar nilai koefisien regresinya dengan asumsi bahwa, umur, total pendapatan, jarak tempuh, jumlah tanggungan, jenis kelamin, waktu dilokasi, dan tingkat pengetahuan sebelumnya adalah tetap (konstan). Pendekatan biaya perjalanan merupakan bentuk konsumsi berdasarkan harga atau biaya yang dikorbankan untuk mendapatkan manfaat suatu barang. Biaya perjalanan juga menganggap bahwa para wisatawan akan bereaksi terhadap perubahan biaya yang dikeluarkan untuk mengunjungi tempat rekreasi. Cara yang sama akan dilakukan apabila terjadi perubahan pungutan biaya masuk yang harus dibayar oleh wisatawan (Dixon & Huftschmidt 1986). Penggunaan variabel biaya perjalanan berdasarkan teori permintaan dimana semakin tinggi biaya perjalanan maka permintaan akan manfaat wisata semakin rendah. Seseorang yang melakukan kegiatan wisata atau rekreasi pasti melakukan mobilitas atau perjalanan dari rumah menuju obyek wisata dan dalam melaksanakan kegiatan tersebut pelaku memerlukan biaya-biaya untuk mencapai tujuan rekreasi, sehingga biaya perjalanan (travel cost) dapat memberikan korelasi positif dalam menghitung nilai ekonomi suatu kawasan wisata yang sudah berjalan dan berkembang. Variabel umur dengan nilai koefisien regresi sebesar 0,007494781 menghasilkan nilai positif, hal ini berarti perubahan kenaikan umur sebesar satu persen akan menaikkan jumlah permintaan sebesar 0,007494781 dengan asumsi bahwa biaya perjalanan ke objek wisata KKTP4S, total pendapatan, jarak tempuh, jumlah tanggungan, jenis kelamin, waktu dilokasi, dan tingkat pengetahuan
68
sebelumnya adalah tetap (konstan). Koefisien bertanda positif, hal ini disebabkan bahwa umur berkaitan dengan kemampuan fisik responden untuk melakukan kunjungan dan produktifitas responden. Umur juga menjadi faktor yang menentukan pola pikir seseorang dalam menentukan jenis barang dan jasa yangakan dikonsumsi, termasuk keputusan untuk mengalokasikan sebagian daripendapatannya yang akan digunakan untuk mengunjungi tempat-tempat wisata (Susilowati 2009). Jadi secara tidak langsung umur akan turut mempengaruhi besarnya permintaanterhadap KKTP4S. Variabel tingkat pengetahuan dengan nilai koefisien regresi sebesar 0,967513447 menghasilkan nilai positif, hal ini berarti perubahan tingkat pengetahuan sebesar satu persen akan menaikkan jumlah permintaan sebesar 0,967513447 dengan asumsi bahwa biaya perjalanan ke objek wisata KKTP4S, total pendapatan, jarak tempuh, umur, jenis kelamin, waktu dilokasi, dan jumlah tanggungan sebelumnya adalah tetap (konstan). Koefisien bertanda positif, hal ini disebabkan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi berpengaruh terhadap pemahaman seseorang terhadap kebutuhan psikologis dan rasa ingin tahu tentang obyek wisata dibandingkan dengan seseorang yang tingkat pengetahuannya lebih rendah. Tingkat pengetahuan seseorang juga akan meningkatkan kesadaran seseorang tentang suatu perjalanan wisata, serta kesadaran mereka dalam memberikan persepsi tentang nilai sumber daya alam suatu obyek wisata. Secara tidak langsung persepsi ini akan mendorong mereka untuk melakukan perjalanan wisata atau kunjungan ke KKTP4S. Pengaruh parsial setiap variabel bebas dapat dilihat dari signifikan atau tidaknya koefisien regresi dari masing-masing varibel bebas yang bersesuaian. Sebuah variabel akan berpengaruh secara nyata pada uji parsial jika nilai t hitungnya lebih besar dari nilai t tabel. Dalam hal ini untuk memudahkan kesimpulan maka kita dapat melihatnya dari nilai P, yaitu harus lebih kecil dari α. Dari Tabel 24, dapat kita lihat bahwa dengan mengadakan uji t maka hanya terdapat dua variabel bebas yang berpengaruh secara signifikan. Variabel jarak tempuh dan tingkat pengetahuan berpengaruh signifikan pada taraf uji 5%. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa 95% secara parsial variabel jarak tempuh dan tingkat pengetahuan berpengaruh signifikan terhadap frekuensi kunjungan. Dari analisis hasil uji t yang dilakukan, terdapat delapan variabel bebas yang ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikat. Kedelapan variabel tersebut adalah biaya perjalanan, umur, total pendapatan, pendidikan responden, jumlah tanggungan, jenis kelamin, lama mengetahui dan waktu dilokasi wisatawan. Hal tersebut dikarenakan nilai P nya lebih besar dari α sehingga tidak memenuhi syarat signifikan. Wisatawan KKTP4S didominasi oleh tingkat pengetahuan yang tinggi. Berdasarkan hasil perhitungan yang ditunjukkan oleh Tabel 24, menunjukkan bahwa semua variabel bebas dalam model regresi ini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikatnya. Hal ini ditunjukkan oleh nilai f hitung yang lebih besar dari f tabelnya. Penilaian Surplus Konsumen Berdasarkan hasil analisis regresi, diperoleh persamaan untuk wisatawan nusantara sebagai berikut ;
69
FK = Dimana ; FK/ Y TBP/X1
0.096 - 0.00000025084 BP
= Frekuensi Kunjungan wisatawan nusantara (pertahun) = Total Biaya Perjalanan (rupiah)
Nilai ekonomi jasa wisata KKTP4S dapat diperoleh dengan cara mengkalikan surplus konsumen tersebut dengan jumlah kunjungan responden wisatawan nusantara. Adapun Perhitungan nilai ekonomi KKTP4S berdasarkan wisatawan nusantara dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25 Perhitungan Nilai Ekonomi KKTP4S Winus Keterangan Jumlah Responden (a) Jumlah kunjungan responden (b) Jumlah kunjungan tahun 2014 (c) Koefisien biaya perjalanan (d) Surplus konsumen (e) = b²/2d Surplus Konsumen /individu/kunjungan (f) = e/a/b Nilai ekonomi (g) = f x c
Nilai 80 156 24.765 0.000000192 15.547.326 7.972.988 197.451.047.820
Pada Tabel 25 dapat diketahui nilai surplus konsumen wisatawan nusantara terhadap KKTP4S sebesar Rp 7.972.988 per orang per kunjungan, sehingga diperoleh nilai ekonomi jasa wisata KKTP4S berdasarkan wisatawan nusantara sebesar Rp 197.451.047.820. Nilai ini mengindikasikan nilai atau harga ekosistem yang dirasakan oleh wisatawan nusantara. Wisatawan Mancanegara Berbeda dengan wisatawan nusantara, berikut hasil analisis regresi dimana diperoleh persamaan untuk wisatawan mancanegara sebagai berikut : Tabel 26 Fungsi Permintaan Rekreasi KKTP4S dengan Metode Biaya Perjalanan Wisman Koefisien Nilai t Nilai P Tingkat Pengaruh Intersept/Intercept -,414 -,936 ,521 Tidak Nyata X1 -1,92E-006 -,023 ,122 Tidak Nyata X2 2,66E-005 ,047 ,593 Tidak Nyata X3 -,019 -4,420 ,142 Tidak Nyata X4 ,747 26,569 ,024 Nyata 5% X5 ,001 5,140 ,985 Tidak Nyata X6 -,659 -7,479 ,085 Tidak Nyata X7 -,393 -14,404 ,044 Nyata 5% X8 -,153 -11,925 ,053 Tidak Nyata R2 0,96 R2 (Adj) 0,55 Fhit 318 Sig F 0,000 N 10
70
Fungsi permintaan untuk kunjungan wisatawan mancanegara ke KKTP4S, menghasilkan model persamaan fungsi permintaan rekreasi KKTP4S : Y=
0.414 - 0.000000192 X1 + 0,00000266 X2 - 0.19 X3 + 0.747 X4 - 0.001 X5 + 0.659X6 + 0.393 X7 - 0,153 X8
Nilai R2 yang diperoleh dari persamaan regresi adalah sebesar 96% dan R2 (adj) sebesar 55 % (Tabel 26). Hal tersebut dapat diartikan bahwa keragaman permintaan jumlah kunjungan ke KKTP4S dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebas dalam model sebesar 96% dan sisanya sebesar 4% dijelaskan oleh variabelvariabel yang tidak dimasukkan ke dalam model. Pengaruh parsial setiap variabel bebas dapat dilihat dari signifikan atau tidaknya koefisien regresi dari masing-masing varibel bebas yang bersesuaian. Sebuah variabel akan berpengaruh secara nyata pada uji parsial jika nilai t hitungnya lebih besar dari nilai t tabel. Dalam hal ini untuk memudahkan kesimpulan maka kita dapat melihatnya dari nilai P, yaitu harus lebih kecil dari α. Dari Tabel 26, dapat kita lihat bahwa dengan mengadakan uji t maka hanya terdapat dua variabel bebas yang berpengaruh secara signifikan. Variabel jumlah anggota keluarga dan lama waktu kunjungan. Variabel tersebut berpengaruh signifikan pada taraf uji 5%. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa 95% secara parsial variabel tingkat pengetahuan berpengaruh signifikan terhadap frekuensi kunjungan. Jumlah anggota keluarga sebagai pendorong suatu keinginan untuk melakukan rekreasi, yaitu untuk memperhitungkan pengeluaran yang akan dikeluarkan selama berwisata. Dengan Jumlah anggota keluarga yang sedikit akan mendorong tingginya tingkat kunjungan sedangkan bila jumlah anggot keluarganya banyak tingkat kunjungan ke tempat wisata akan sedikit. Lama waktu kunjungan ke lokasi, jika membutuhkan waktu yang lama dalam menikmati sebuah obyek wisata cenderung akan mengurangi minat wisata. Semakin efisien obyek wisata yang dikelola akan semakin mendatangkan minat pengunjung wisatawan mancanegara. Dari analisis hasil uji t yang dilakukan, terdapat enam variabel bebas yang ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikat. Keenam variabel tersebut adalah biaya yang dikeluarkan,jarak tempuh, umur, pendapatan rata rata, waktu yang diperlukan untuk mengetahui lokasi dan jumlah rekan yang ikut serta. Hal tersebut dikarenakan nilai P nya lebih besar dari α sehingga tidak memenuhi syarat signifikan. Wisatawan mancanegara KKTP4S didominasi oleh tingkat pengetahuan yang tinggi. Jarak tidak berpengaruh untuk tetap berkunjung ke lokasi ini. Penilaian Surplus Konsumen Berdasarkan hasil analisis regresi, diperoleh persamaan surplus konsumen sebagai berikut : FK = 0.414 - 0.000000192BP Dimana ; FK/ Y = Frekuensi Kunjungan wisatawan nusantara (pertahun) TBP/X1 = Total Biaya Perjalanan (rupiah) Perhitungan nilai ekonomi KKTP4S berdasarkan wisatawan mancanegara dapat dilihat pada Tabel 27.
71
Tabel 27. Perhitungan Nilai Ekonomi KKTP4S Wisman Keterangan Jumlah Responden (a) Jumlah kunjungan responden (b) Jumlah kunjungan tahun 2014 (c) Koefisien biaya perjalanan (d) Surplus konsumen (e) = b²/2d Surplus Konsumen /individu/kunjungan (f) = e/a/b Nilai ekonomi (g) = f x c
Nilai 10 14 24.765 0,00000192 25.000.000 14.583.333 361.156.250.000
Pada Tabel 27 dapat diketahui nilai surplus konsumen wisatawan mancanegara terhadap KKTP4S sebesar Rp 14.583.333 per orang per kunjungan, sehingga diperoleh nilai ekonomi KKTP4S berdasarkan wisatawan mancanegara sebesar Rp 361.156.250.000. Kedua nilai eknoomi jasa wisata KKTP4S berdasarkan wisatawan nusantara dan mancanegara dijumlahkan untuk mengetahui nilai ekonomi KKTP4S secara keseluruhan. Diperoleh nilai ekonomi jasa wisata KKTP4S sebesar Rp. 558.607.297.820 Nilai ekonomi jasa wisata KKTP4S tersebut menunjukkan bahwa KKTP4S memiliki nilai ekonomi jasa wisata yang tinggi serta keberadaan KKTP4S memiliki potensi yang cukup besar dalam menambah pemasukan daerah sehingga dapat dikembangkan lebih lanjut. Oleh karena itu, keberadaan KKTP4S harus dijaga keberlangsungannya dalam aktivitas pelestarian penyu serta pengelolaan yang dilakukan secara berkelanjutan. Dalam rangka menjaga keberlanjutan KKTP4S, perlu dipertimbangkan peningkatan kualitas pengelolaan di kawasan tersebut. Analisis Nilai Keinginan Membayar dengan Pendekatan Metode Valuasi Kontingensi Dalam rangka menjaga keberlanjutan KKTP4S, perlu dipertimbangkan pula sumber pembiayaan yang kontinyu berasal dari pengunjung. Pengembangan obyek wisata di KKTP4S dilakukan agar KKTP4S dapat memiliki tarif masuk yang sesuai. Tarif tersebut dapat digunakan untuk pengembangan yang lebih baik kedepannya. Tarif masuk ditentukan dengan menggunakan analisis nilai Willingness To Pay dengan pendekatan Contingent Valuation Method. Pendekatan CVM dalam penelitian ini digunakan juga untuk menganalisis WTP responden wisatawan dalam upaya pelestarian lingkungan obyek wisata KKTP4S. Nilai Rata-rata WTP Responden Wisatawan Nusantara Responden wisatawan nusantara yang bersedia membayar dalam upaya pelestarian penyu dan lingkungan di KKTP4S adalah sebanyak 67 orang. Distribusi nilai rata-rata WTP responden wisatawan nusantara di KKTP4S terdiri dari tarif masuk pelepasan tukik dan melihat penyu bertelur. Terhadap tarif masuk melihat pelepasan tukik ditampilkan pada Tabel 28.
72
Tabel 28 Distribusi Nilai Rata-rata WTP Responden Wisatawan Nusantara KKTP4S untuk Pelepasan Tukik Tahun 2014 No 1 2 3 4 5 6 7
Nilai WTP Responden 10000 15000 20000 25000 30000 50000 70000 Jumlah Nilai Rata2 WTP
Jumlah Responden Orang 35 15 6 3 3 2 3 67
Nilai WTP x Jumlah Responden (Rp) 350000 225000 120000 75000 90000 100000 210000 1.170.000 17.463
Berdasarkan perhitungan, didapatkan nilai rata-rata WTP responden wisatawan nusantara untuk pelepasan tukik sebesar Rp 17.463/orang. Nilai rata-rata WTP responden wisatawan nusantara tersebut dapat digunakan sebagai acuan atau bahan pertimbangan dalam penetapan tarif masuk melihat pelepasan tukik untuk wisatawan nusantara di KKTP4S. Distribusi nilai rata-rata WTP responden wisatawan nusantara untuk melihat penyu bertelur disajikan pada Tabel 29. Tabel 29 No 1 2 3 4 5 9 10 11 14 15 19
Distribusi Nilai Rata-rata WTP Responden Wisatawan Nusantara KKTP4S untuk Melihat Penyu Bertelur Tahun 2014
Nilai WTP Responden Jumlah Responden Nilai WTP x Jumlah (Rp) (Orang) Responden (Rp) 10000 3 30.000 15000 2 30.000 20000 6 120.000 25000 9 225.000 30000 1 30.000 50000 29 1.450.000 55000 1 55.000 60000 1 60.000 75000 11 825.000 80000 2 160.000 100000 2 200.000 Jumlah 67 3.185.000 Rata-rata WTP 47.537
Perhitungan nilai rata-rata WTP responden wisatawan nusantara melihat penyu bertelur sebesar Rp.47.537/orang. Nilai rata rata WTP tersebut bisa dijadikan acuan dalam menentukan tiket masuk wisatawan nusantara terhadap melihat penyu bertelur.
73
Nilai Rata-rata WTP Responden Wisatawan Mancanegara Responden wisatawan mancanegara yang bersedia membayar dalam upaya pelestarian penyu dan lingkungan di KKTP4S adalah sebanyak 10 orang. Distribusi nilai rata-rata WTP responden wisatawan mancanegara di KKTP4S terdiri dari tarif masuk pelepasan tukik dan melihat penyu bertelur. Terhadap tarif masuk melihat pelepasan tukik ditampilkan pada Tabel 30. Tabel No
30
Distribusi Nilai Rata-rata WTP Responden Wisatawan Mancanegara KKTP4S untuk Pelepasan Tukik Tahun 2014
1
Nilai WTP Responden (Orang) 10000
Jumlah Responden (Orang) 3
2
25000
2
50.000
3
35000
4
140.000
4
50000
1
50.000
10
270.000 27.000
Jumlah Rata-rata WTP
Nilai WTP x Jumlah Responden (Rp) 30.000
Berdasarkan perhitungan, didapatkan nilai rata-rata WTP responden wisatawan mancanegara untuk pelepasan tukik sebesar Rp 27.000/orang. Nilai ratarata WTP responden wisatawan mancanegara tersebut dapat digunakan sebagai acuan atau bahan pertimbangan dalam penetapan tarif masuk melihat pelepasan tukik untuk wisatawan mancanegara di KKTP4S.Sedangkan untuk melihat penyu bertelur rata-rata WTP responden wisatawan mancanegara dapat dilihat pada tabel 31. Tabel 31 Distribusi Nilai Rata-rata WTP Responden Wisatawan Mancanegara KKTP4S dalam hal melihat penyu bertelur Tahun 2014 Nilai WTP Responden (Orang) 150000
Jumlah Responden (Orang) 4
Nilai WTP x Jumlah Responden (Rp) 600.000
200000
2
400.000
250000
3
750.000
300000
1
300.000
10
2.050.000
Jumlah Rata-rata WTP
205.000
Nilai rata-rata WTP responden wisatawan mancanegara untuk melihat penyu bertelur sebesar Rp. 205.000/orang. Nilai rata-rata WTP responden wisatawan mancanegara tersebut dapat sebagai acuan atau bahan pertimbangan dalam penetapan tarif masuk.
74
Perbandingan Harga Tiket Masuk, WTP dan TCM Berdasarkan Tabel 20 dan 21 selanjutnya dihitung rata-rata harga tiket masuk (HTM) KKTP4S pertahun. Nilai tersebut digunakan untuk melihat potensi penerimaan negara yang akan diterima jika dibandingkan dengan nilai WTP dan TCM yang dihasilkan. Diharapkan HTM yang diterapkan dapat mendekati nilai intrinsik dari obyek wisata pada tingkat harga yang optimum. Sebagai gambaran akan disajikan dalam Tabel 32. Tabel 32 Nilai HTM, WTP dan TCM Nilai Rata-rata HTM (Rp/Ind/Tahun)
Total WTP Pengunjung (Rp/Ind/Tahun) Tahun 2013 24.765 Winus : Pelepasan Tukik : Pelepasan Tukik : 139.303.125 432.471.195 Melihat Penyu Bertelur : Melihat Penyu Bertelur : 1.857.375.000 1.177.253.805 Wisman : Pelepasan Tukik : 668.655.000 Melihat Penyu Bertelur : 5.076.825.000 Total :
1.996.678.125
7.335.205.000
TCM (Rp/Ind/Tahun) Winus : 197.451.047.820
Wisman: 361.156.250.000
558.607.297.820
Total rata-rata harga tiket yang berlaku saat ini, untuk melihat pelepasan tukik diperoleh nilai Rp 139.303.125/tahun. Sedangkan melihat penyu bertelur Rp. 1. 857.375.000. sehingga diperoleh total HTM dengan jumlah estimasi pengunjung sebesar 24.765 pada tahun itu maka diperoleh nilai potensi penerimaan negara sebesar Rp. 1.996. 678.125/tahun. Nilai ini cukup jauh jika dibandingkan total nilai WTP yang dihasilkan sebesar Rp.7.335.205.000. Hal ini dijelaskan dalam Gambar 33. 6,000,000,000
4,000,000,000 Harga tiket WTP 2,000,000,000
-
Gambar 33 Perbandingan Total HTM dengan WTP Nilai Valuasi KKTP4S
75
Nilai TCM KKTP4S menghasilkan estimasi nilai jasa wisata senilai Rp 558.607.297.820 sehingga diperoleh nilai perbandingan yang dijelaskan pada Gambar
34. 600,000,000,000
400,000,000,000 Harga tiket WTP TCM 200,000,000,000
Nilai Valuasi KKTP4S
Gambar 34 Perbandingan Total HTM, WTP, TCM
Berdasarkan perbandingan tersebut maka disarankan untuk melakukan penyesuaian HTM secara bertahap agar mendekati nilai intrinsik objek wisata pada tingkat harga optimum. Penyesuaian secara bertahap perlu dilakukan oleh pengelola sehingga pengelolaan objek wisata pada kawasan KKTP4S ini dapat dilakukan secara berkelanjutan yang dapat memenuhi kelestarian ekologi, ekonomi dan sosial. Penyesuaian ini dilakukan tentunya harus diikuti dengan peningkatan kualitas pelayanan terhadap wisatawan yang berkunjung ke kawasan tersebut sehingga tercapai keseimbangan antara pendapatn yang diterima pengeloa dari hasil penjualan karcis dan surplus konsumen. Estimasi Nilai Manfaat Tidak Langsung Keberadaan KKTP4S Berdasarkan hasil data responden masyarakat KKTP4S, diperoleh dugaan nilai ratarata WTP responden masyarakat sekitar untuk manfaat keberadaan kawasan di KKTP4S yaitu sebesar Rp. 140.000 per hektar per tahun. Besar atau kecilnya nilai penghargaan responden terhadap keberadaan kawasan tentunya sangat dipengaruhi oleh kondisi yang dialami. Sehingga diperlukan upaya pelestarian agar tidak kehilangan manfaat itu Suparmoko (2007). Untuk lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 33.
76
Tabel 33 Dugaan Rata rata WTP Responden No
Jumlah Responden
WTP (Rp) 1 2 3 4 5 6 7 8
25000 50000 75000 100000 125000 150000 175000 200000
WTPx Jumlah responden
Prosentase
5 0 19 0 34 0 25 0 100
5 0 19 0 34 0 25 0
125000 0 1425000 0 4250000 0 4375000 0 14.000.000,00 140.000,00
Jika nilai dugaan nilai rata-rata WTP dihubungkan dengan luas Kawasan Konservasi seluas 1.771 Ha, maka nilai manfaat keberadaan kawasan sebesar Rp. 247.940.000 setiap tahunnya. Peran dan Kepentingan Pemangku Kepentingan Analisis pemangku kepentingan (Stakeholder) dan kebijakan merupakan suatu langkah yang penting dalam penentuan upaya advokasi yang akan dilaksanakan. Keberhasilan dalam penentuan kebijakan publik dan dukungan terhadap penyelesaian satu masalah tertentu sangat tergantung pada Stakeholder yang terkait dan berperan langsung dalam pengelolaan KKTP4S. Salah satu pendekatan awal yang harus dilakukaan adalah dengan identifikasi dan pemetaan Stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan KKTP4S. Identifikasi Pemangku Kepentingan Stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan KKTP4S teridentifikasi sebanyak 19 Stakeholder yang merupakan perwakilan dari pemerintah,masyarakat, LSM dan perguruan tinggi. Berdasarkan hasil wawancara dan FGD dalam Tabel 34 diperoleh hasil identifikasi Stakeholder baik yang terkait langsung maupun tidak langsung dalam pengelolaan KKTP4S. Tabel 34 Identifikasi Stakeholder dan Kepentingannya No
Para Pihak (Stakeholder)
Kategori
1
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
Pemerintah Pusat
Sumber : Harteti (2013)
Langsung (Direct) √
Tidak Langsung (Indirect)
Kepentingan (Interest) (Harteti 2013) - Pihak yang berkepentingan dalam menetapkan kebijakan konservasi penyu - Menetapkan Kawasan Konservasi perairan - Melakukan Pengawasan dan Evaluasi - Membuat Pedoman Pengelolaan Konservasi Penyu
77 Tabel 34 Identifikasi Stakeholder dan Kepentingannya No
Para Pihak (Stakeholder)
Kategori
2
Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat (BBKSDA)
Pemerintah Pusat
√
Dinas Kelautan dan Perikanan kabupaten Sukabumi (DKP)
Pemerintah daerah
√
Dinas Kepariwisataan,kebuda yaan,Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Sukabumi (Dispar)
Pemerintah Daerah
√
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sukabumi (Dishut)
Pemerintah Daerah
Badan lingkungan Hidup Kabupaten Sukabumi (BLH)
Pemerintah Daerah
√
Badan perencanaan dan Pembangunan daerah Kabupaten Sukabumi (Bappeda)
Pemerintah Daerah
√
3
4
5
6
7
Sumber : Harteti (2013)
Langsung (Direct)
Tidak Langsung (Indirect)
√
Kepentingan (Interest)
- Menyelenggarakan Konservasi Sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya di kawasan konservasi serta konservasi tumbuhan dan satwa liar diluar kawasan konservasi - Melakukan Pengelolaan KKTP4S; Melaksanakan pelestarian populasi penyu dan habitatnya Mengembangkan sapras penunjang kegiatan KKTP4S Berpartisipasi dlm pembangunan masyarakat sekitar kawasan atau lokasi pelestarian penyu Melakukan kegiatan pengembangan ekowisata Melakukan pengelolaan secara terpadu dan mengkoordinasikannya (koordinasi belum melibatkan seluruh Stakeholder - Melakukan Promosi Wisata - Meningkatkan penataan dan pengembangan objek destinasi wisata (belum dilakukan) - Melakukan pembinaan upaya pengendalian kawasan berupa kegiatan konservasi flora dan fauna - Melaksanakan Pengendalian kerusakan keanekaragaman hayati,pesisir dan laut - Melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan dibidang perencanaan dan pembangunan daerah dlm hal ini terkait dengan penyusunan rencana wisata di KKTP4S, menyusun action plan kawasan wisata Ujung Genteng Kab.Sukabumi tahun 2009, menyusun tata ruan KKP Pangumbahan
78 Tabel 34 Identifikasi Stakeholder dan Kepentingannya No
Para Pihak (Stakeholder)
Kategori
8
DPRD Tk 2 Kabupaten Jabar
Pemerintah Daerah
TNI Angkatan (TNI AL)
Penegak Hukum
√
Penegak Hukum
√
Penegak Hukum
√
Pemerintah Desa
√
Desa Ujung Genteng (DU)
Pemerintah Desa
√
Desa (DG)
Pemerintah Desa
√
9
10
11
12
13
14
15
16 17
18
19
Polisis Kecamatan (Polsek)
Laut
Sektor Ciracap
Polisi Perairan (Polair)
Desa (DP)
Pangumbahan
Gunung
Batu
Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas)
Masyarakat
Kelompok Masyarakat Peduli Penyu (KMPP) World Wide Fund for Nature (WWF)
Masyarakat
Institut Pertanian Bogor (IPB) Masyarakat sekitar/didlm kawasan
Perguruan Tinggi (PT)
Sumber : Harteti (2013)
Langsung (Direct)
Tidak Langsung (Indirect) √ -
-
Terkait dengan pengawasan, penegakan hukum dan melakukan pembinaan terhadap masyarakat pantai
-
Terkait dengan pengembangan potensi sumberdaya alam dan melestarikan lingkungan hidup yang ada diwilayahnya Terkait dengan pengembangan potensi sumberdaya alam dan melestarikan lingkungan hidup yang ada diwilayahnya Terkait dengan pengembangan potensi sumberdaya alam dan melestarikan lingkungan hidup yang ada diwilayahnya Melakukan pengawasan terhadap pengelolaan dan melaporkan adanya dugaan penyimpangan terhadap pengelolaan Melakukan kolaborasi pengelolaan penyu Melakukan pelatihan, menjadi mediator konflik antara masyarakat dan pengelola Terkait dengan adanya penelitian dalam ranah yang sama Terkait dengan lahan tempat bekerja dan meneruskan penghidupan (pemberian akses untuk ikut mengelola KKTP4S)
-
√
√ √
Masyarakat
√ √
Terkait dengan Perencanaan regional suatu wilayah Terkait dengan pengawasan dan penegakan hukum Terkait dengan pengawasan dan penegakan hukum
-
-
LSM
Kepentingan (Interest)
-
79
Pengaruh dan Kepentingan Pemangku Kepentingan Analisis pemangku kepentingan atau stakeholders adalah pendekatan dan prosedur untuk memperoleh pemahaman tentang sistem dengan cara mengidentifikasi pelaku utama dan pemegang kepentingan dalam sistem dengan menilai kepentingan masing-masing (Pomeroy and Douvere 2008). Hasil pemetaan stakeholder berdasarkan derajat kepentingan dan pengaruhnya didalam pengelolaan KKTP4S dijelaskan dalam Gambar 35. 5.0
16
Tingkat kepentingan
15
Subject
14
2.5
9 11
13
5
7 8 12
Bystanders
0.0
4
10 6
17
0.0
1 2 3
Players
Actors
Pengaruh
2.5
5.0
Gambar 35 Pemetaan Stakeholder Pengelolaan KKTP4S Ket : 1) Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2) Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat, 3) Bappeda, 4) Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi (DKP), 5) World Wide Fund, 6) Polisi Perairan (Polair), 7) TNI Angkatan Laut (TNI AL), 8) Polisi Sektor Kecamatan Ciracap (Polsek), 9)Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS), Kelompok Masyarakat Peduli Penyu (KMPP), Institut Pertanian Bogor (IPB), 10) Dinas Kepariwisataan,Kebudayaan,Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Sukabumi (Dispar), 11) Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sukabumi (Dishut), 12) DPRD Tk 2 Kabupaten, 13) Badan lingkungan Hidup Kabupaten Sukabumi (BLH), 14) Desa Pangumbahan, Desa Ujung Genteng, Desa Gunung Bantu, 15) Wisatawan, 16) Pengusaha Hotel/Restoran, 17) Perusahaan Penambangan
Gambar 35 menunjukkan hubungan antara pengaruh dan kepentingan untuk setiap stakeholder yang terkait dengan kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya di KKTP4S. Subjek merupakan pemangku kepentingan yang memanfaatkan keberadaan KKTP4S, terdiri dari Dishut Kab.Sukabumi, BLH Kab Sukabumi, POKMASWAS, KMPP, Wisatawan, Pengusaha Hotel/Restoran dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Desa Gunung Batu, Desa Ujung Genteng, Desa Pangumbahan. Players merupakan pemain atau pelaksana yang paling aktif dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di KKTP4S dan merupakan penentu kebijakan, terdiri dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat, Bappeda, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi (DKP), Dinas Kepariwisataan, World Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Sukabumi (Dispar), World Wide Fund, dan Polisi Perairan (Polair). Bystanders merupakan pengikut, terdiri dari Perusahaan Penambangan. Kelompok ini belum turut andil dalam program kegiatan pelestarian habitat sekitar kawasan dalam rangka perlindungan penyu di KKTP4S. Actors merupakan stakeholders memiliki pengaruh yang tinggi tetapi memiliki kepentingan yang rendah, terdiri dari DPRD tk 2 kabupaten, Polisi Perairan (Polair), TNI Angkatan Laut (TNI AL), Polisi Sektor Kecamatan Ciracap (Polsek). Kepentingan dan Pengaruh masing masing dalam tiap-tiap kuadran dijelaskan dalam Tabel 35.
Kuadran I (Subjects)
Kuadran II (Players)
2
JENIS STAKEHOLDER
1
NO
5.
4.
3.
2.
1.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memiliki peran dalam mendorong terbentuknya KKTP4S serta memberikan dukungan finansial terhadap pembangunan sarana prasarana dikawasan tersebut diantaranya pembangunan penangkaran telur penyu, pondok jaga, shelter dan sarana penunjang lainnya. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi bertanggung jawab terhadap pengelolaan KKTP4S. Bappeda berperan dalam membuat perencanaan khususnya rencana wisata di KKP Pangumbahan serta menyusun tata ruang KKP pangumbahan. Dinas Kepariwisataan, Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Sukabumi (Dispar) memiliki pengaruh dan nilai penting yang tinggi terhadap kegiatan pemanfaatan konservasi di KKTP4S, karena kegiatan promosi yang dilakukan Dispar melalui berbagai pameran telah meningkatkan kunjungan wisatawan ke KKTP4S. Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat merupakan pengelola kawasan konservasi penyu. Kawasan konservasi penyu yang dikelola BBKSDA adalah Suaka Margasatwa (SM) Cikepuh yang dibatasi oleh muara sungai Cipanarikan dengan KKTP4S. Kegiatan perlindungan yang dilakukan baik secara bersama melakukan patroli maupun penjagaan pantai oleh polisi kehutanan BBKSDA memiliki pengaruh terhadap perlindungan konservasi penyu. World Wide Fund (WWF) berperan dalam melakukan pengembangan kapasitas melalui pelatihan teknis konservasi penyu baik bagi pengawas, karyawan, pokmaswas maupun pemandu wisata. WWF berperan juga dalam melakukan mediasi konflik antara DKP dan masyarakat.
1. Memiliki kepentingan yang besar dalam pengelolaan KKTPS 1. 2. Tidak memiliki keterlibatan dalam perencanaan, pengorganisasian, tetapi terlibat dalam pengawasan/evaluasi dalam pengelolaan KKTP4S 2. 3. Menyediakan sumberdaya manusia dalam pengelolaan KKTP4S dan memberikan informasi 4. Berperan dalam melakukan pengawasan terhadap pengelolaan dan melaporkan adanya dugaan penyimpangan terhadap pengelolaan 5. Melakukan kolaborasi pengelolaan penyu serta melakukan penelitian dalam rangka memberikan masukan dalam pengelolaan kawasan kedepannya. Tingkat ketergantungan kelompok ini terkait dengan kepentingannya menjaga kawasan sebagai area konservasi
KEPENTINGAN
Tabel 35 Tingkat Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder
80
Merupakan Stakeholder yang paling aktif dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di KKTP4S karena memiliki pengaruh yang besar. Stakeholder ini memiliki kewenangan dalam mengendalikan pengelolaan di KKTP4S.
Memiliki Pengaruh yang Kecil dalam Pengelolaan KKTPS Tidak memiliki kewenangan penuh dalam mengendalikan pengelolaan kawasan. Peranan dan partisipasi Stakeholder dalam kuadran ini adalah sebagai pihak yang membantu dalam menjaga kelestarian sumberdaya perikanan namun tidak memberikan kontribusi berarti dalam mengubah arah pengelolaan sumberdaya perikanan.
PENGARUH
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Balai BesarKonservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat, Bappeda, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi (DKP),Dinas Kepariwisataan, Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Sukabumi (Dispar), World Wide Fund, dan Polisi Perairan (Polair).
Dishut Kab.Sukabumi ,BLH Kab Sukabumi, POKMASWAS, KMPP, Wisatawan, Pengusaha Hotel/Restoran dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Desa Gunung Batu, Desa Ujung Genteng, Desa Pangumbahan.
KETERANGAN
80
Kuadran III (Bystanders)
Kuadran IV (Actors)
4
JENIS STAKEHOLDER
3
NO
2.
1.
Actors merupakan Stakeholder yang memiliki kepentingan yang rendah dalam pengelolaan KKTP4S. Stakeholder yang terlibat dalam kuadran ini memiliki kepentingan dalam pengawasan di KKTP4S. Kelompok ini mengadakan koordinasi teknis dilapangan dalam pengawasan dan pemantauan. Kelompok ini menyediakan aparat untuk mengawasi serta fasilitas berupa speedboat
Stakeholder dalam kuadran ini merupakan Stakeholder yang memiliki kepentingan dan pengaruh yang rendah dalam pengelolaan KKTP4S.
KEPENTINGAN
Tabel 35 Tingkat Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder
1. Memiliki pengaruh yang tinggi dalam pengelolaan KKTP4S 2. Stakeholder pada kuadran ini memiliki pengaruh yang tinggi tetapi memiliki kepentingan yang rendah. Aparat penegak hukum memiliki tugas dan kewenangan pengawasan konservasi penyu. Hasil pengamatan menunjukkan keberadaan penegak hukum langsung di KKTP4S membuat masyarakat yang mengambil telur penyu takut dan sulit untuk mengambil telur penyu. Pelibatan Stakeholder ini masih perlu terus ditingkatkan melalui peningkatan koordinasi antar Stakeholders, penegakan sangsi hukum dan penyediaan sapras kegiatan perlindungan konservasi penyu.
Kepentingan Stakeholder dalam kuadran ini tergolong rendah karena kelompok ini hanya menjalankan tugas tugas diluar perlindungan konservasi penyu di KKTP4S. Kelompok ini belum turut andil dalam program kegiatan pelestarian habitat sekitar kawasan dalam rangka perlindungan penyu di KKTP4S
PENGARUH
DPRD tk 2 kabupaten, Polisi Perairan (Polair), TNI Angkatan Laut (TNI AL), Polisi Sektor Kecamatan Ciracap (Polsek).
Perusahaan Penambangan
KETERANGAN
81
81
82
Identifikasi dan Pemetaan Kelompok Pemanfaat dan Penyedia Berdasarkan analisis Stakeholder diatas, aktor-aktor yang terlibat dalam pengelolaan KKTP4S dikelompokkan berdasarkan Tabel 36. Tabel 36 Aktor yang terlibat dalam Pengelolaan KKTP4S No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kelompok Penyedia/Penggiat Konservasi/Seller Kelompok Masyarakat pengawas (Pokmaswas) Kelompok masyarakat peduli penyu (KMPP) Dinas Kabupaten Sukabumi (UPTD Pangumbahan) Polisi Perairan (Polair) TNI Angkatan Laut (TNI AL) Polisi Sektor Kecamatan Ciracap (Polsek Pemerintah Desa; Desa Pangumbahan, Desa Ujung Genteng dan Desa Gunung Batu Pemerintah Pusat; KKP LSM/WWF BBKSDA
Kelompok Pemanfaat /Buyer Wisatawan IPB Pengusaha Hotel/Restoran Perusahaan Penambangan
Pemangku kepentingan (Stakeholder) pemerintah yang terlibat dalam konservasi penyu meliputi pemerintah pusat, pemerintah daerah dan pemerintah desa. Pemerintah pusat yang mempengaruhi kebijakan konservasi penyu adalah Kementerian Kehutanan (Kemenhut) serta Kementerian kelautan dan perikanan (KemenKP). Kedua kementerian tersebut memiliki tupoksi yang sama dalam mengelola kelompok biota laut yang dilindungi melalui upaya konservasi, baik konservasi kawasan maupun konservasi keanekaragaman hayati. Tugas pokok Kemenhut dalam konservasi penyu diatur dengan PP Nomor 7 tahun 1999, sedangkan tupoksi KKP dalam mengelola konservasi penyu yang termasuk jenis sumberdaya ikan merujuk pada UU Nomor 45 tahun 2009. Balai besar Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat (BBKSDA Jabar) menyelenggarakan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya di kawasan konservasi serta konservasi tumbuhan dan satwa liar di luar kawasan konservasi. Jadi pengelolaan konservasi penyu di pangumbahan merupakan salah satu tugas BBKSDA Jawa Barat. Dinas Kelautan dan perikanan (DKP) Kabupaten Sukabumi merupakan pengelola KKP pangumbahan, pengelola secara operasional dilaksanakan Unit pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Konservasi Penyu Pangumbahan. Tujuan pengelolaan KKP Pangumbahan adalah : (1) terwujudnya kelestarian penyu dan habitatnya di pantai Pangumbahan dan perairan sekitarnya; (2) meningkatnya pengembangan ekowisata berbasis konservasi penyu: (3)meningkatnya sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar kawasan konservasi (DKP,2011). Stakeholder lainnya dari pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Sukabumi adalah Dinas Kepariwisataan, Kebudayaan,Kepemudaan dan Olahraga (Dispar) , Dinas Kehutanan dan Perkebunan (dishut), Badan Lingkungan Hidup (BLH) dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Stakeholder dari pemda adalah perpanjangan tangan Bupati Kabupaten sukabumi untuk melaksanakan misi daerah dalam rangka mencapai visi yang telah ditetapkan yaitu mewujudkan masyarakat kabupaten sukabumi yang berakhlak Mulia, Maju dan Sejahtera.
83
Stakeholder yang terlibat dalam penegakan hukum adalah TNI Angkatan Laut (TNI AL), Polisi Sektor Kecamatan Ciracap (Polsek) dan Polisi Perairan (Polair). LSM yang turut berperan dalam pengelolaan konservasi penyu di KKP Pangumbahan adalah World Wide Fund for Nature-Indonesia (WWF-Indonesia). WWF Indonesia melakukan kegiatan pelatihan dan mediasi di KKP Pangumbahan. Institut Pertanian Bogor (IPB) merupakan institusi pendidikan yang melakukan banyak kegiatan penelitian di KKP Pangumbahan. Selain penelitian, kegiatan praktek lapangan mahasiswa IPB juga dilakukan di KKP Pangumbahan. Desa pangumbahan,desa ujung Genteng dan Desa Gunung Batu adalah Stakeholder pemerintah desa yang memiliki kepentingan yang sangat tinggi terhadap pengelolaan konservasi penyu di KKP pangumbahan. Kondisi ini disebabkan KKP Pangumbahan berada diwilayah administrasi Desa Pangumbahan, sehingga kepala desa berkewajiban mengembangkan potensi sumberdaya alam dan melestarikan lingkungan hidup yang ada diwilayahnya. Desa ujung Genteng dan desa Gunung Batu merupakan desa penyangga bagi pelaksanaan konservasi penyu. Kedua desa tersebut berperan sangat penting bagi keberhasilan pengelolaan penyu di KKP Pangumbahan yaitu sebagai buffer (daerah penyangga) dalam mengurangi tekanan masyarakat yang berinteraksi tinggi terhadap kawasan dengan memadukan kepentingan konservasi dan perekonomian masyarakat. Kategorisasi Stakeholder dipetakan dari nilai penting dan pengaruh Stakeholder. Stakeholder yang memiliki nilai penting yang tinggi terhadap kegiatan perlindungan dan pengawetan yaitu, DKP, pemerintah pusat (kemenKP,Kemenhut dan BBKSDA), Desa, Pokmaswas. Kondisi ini mengindikasikan bahwa Stakeholders tersebut memiliki relevansi yang besar terhadap keberhasilan nilai sosial penyu yaitu kelestarian nilai ekologi dan nilai ilmiah penyu dibandingkan Stakeholder lainnya. DKP, KemenKP, Kemenhut dan BKSDA merupakan institusi pemerintah yang memiliki kesamaan tugas yaitu melakukan kegiatan perlindungan dan pengawetan penyu yang bertujuan dan habitatnya. Dengan demikian kelestarian penyu merupakan kepentingan utama bagi keempat institusi pemerintah tersebut. Selain itu Stakeholder yang memiliki nilai penting yang tinggi adalah Pengusaha Hotel/Restoran,Wisatawan. Karena adanya kegiatan ekowisata penyu merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan sehingga menjadi peluang bagi pengusaha hotel/restoran untuk mengembangkan usaha mereka. Pengaruh Stakeholder mengindikasikan kekuatan Stakeholder dalam mempengaruhi pengelolaan penyu di KKP Pangumbahan. Stakeholder yang memiliki pengaruh yang tinggi pada kegiatan perlindungan adalah DKP, KemenKP, BBKSDA, Aparat Penegak Hukum, Dispar dan Pemda. Pengaruh yang tinggi bagi Stakeholder tersebut karena memiliki organization power yang tinggi yaitu memiliki tupoksi, sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas dan jejaring kerja yang luas dalam kegiatan perlindungan penyu. Selain itu Stakeholder yang memiliki pengaruh yang tinggi adalah WWF. WWF memiliki organization power yang tinggi disebabkan WWF memiliki visi dan misi dalam pengawetan sesuai tujuan pengelolaan KKP pangumbahan. WWF memiliki SDM yang berkualitas, jejaring kerja nasional dan internasional yang luas dalam konservasi penyu. Sementara itu masyarakat memiliki pengaruh yang rendah. Pengaruh masyarakat yang rendah ini disebabkan masyarakat tidak
84
memiliki kemampuan memberikan sanksi/hukuman yang sepadan terhadap pelanggar, tidak dapat memanipulasi kepercayaan atau pembentukan opini dan informasi, tidak memiliki jejring kerja,kesesuaian bidang tugas atau kontribusi fasilitas. Analisis Kelembagaan dan Biaya Transaksi KKTP4S Analisis Kelembagaan Lembaga dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan (working rules) yang digunakan untuk menentukan siapa yang berhak untuk membuat keputusan dalam beberapa arena, tindakan apa yang diikuti atau dibatasi, aturan agregasi apa yang akan digunakan, prosedur apa yang harus diikuti, informasi apa yang harus atau tidak harus diberikan, dan hadiah apa yang akan diberikan kepada individu tergantung pada tindakan mereka (Ostrom 1986a). Aturan ini harus benar-benar digunakan, dipantau, dan ditegakkan ketika individu membuat pilihan tentang tindakan yang akan diambil (Commons 1957). Aturan (working rules) adalah pengetahuan umum yang dipantau dan ditegakkan (E. Ostrom, 1990). Aturan ini mungkin atau tidak mungkin sangat mirip dengan hukum formal yang disajikan dalam peraturan perundang-undangan, peraturan administratif, dan keputusan pengadilan. Keputusan yang dibuat di level legislatif nasional dan perundang-undangan berkenaan dengan akses terhadap sumber daya, ketika diberi legitimasi dalam pengaturan lokal dan diimplementasikan, cenderung mempengaruhi aturan operasional yang digunakan di lapangan. Demikian pula, proses konstitusional pilihan formal dan informal dapat terjadi di arena lokal, regional, dan/atau nasional. Hal ini dapat dijelaskan dalam Gambar 36. Nasional, regional, local formal collective-chole arenas Legislatures Regulatory agencies Courts
Formal monitoring and enforcement activities
Operational rules in use Informal collective-choice arenas Informal gatherings Appropriations teams Provate associations
Informal monitoring and enforcement activities
Gambar 36 Pendekatan Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Alam (Sumber : Ostrom 1990) Kelembagaan Formal Pengelolaan KKTP4S mengacu pada aturan yang telah disyahkan oleh pemerintah baik di pusat maupun daerah, Beberapa dasar hukum dan peraturan perundang-perundangan yang menjadi acuan dari kegiatan pengelolaan Kawasan Konservasi Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan (KKTP4S) adalah :
85
a.
Undang-undang No 31 tahun 2004 tentang Perikanan direvisi dengan Undang-undang No 45 tahun 2009 tentang Perikanan Undang-undang ini memuat beberapa aturan mengenai pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dengan mengedepankan prinsip-prinsip kelestarian dan keberlangsungan (sustainable), sehingga dapat mewujudkan pembangunan nasional dengan berdasarkan pada asas keadilan dan pemerataan dalam pemanfaatan serta peningkatan taraf hidup nelayan dan petani kecil. Dengan demikian, pola pemanfaatan sumberdaya ikan harus mengikuti aturan yang telah ditetapkan. UU No 45 Tahun 2009 merupakan revisi terhadap UU No 31 Tahun 2004. Undang undang ini memuat definisi ikan menurut undang undang tersebut yaitu segala jenis organisme yang sebagian atau seluruh dari siklus hidupnya berada dalam lingkungan perairan. b.
UU No.27 tahun 2007 tentang Pengelolaan di Wilayah Pesisir dan Pulaupulau Kecil. Pemerintah pusat dalam mengatur pengelolaan dan menetapkan wilayah pengelolaan kawasan konservasi di KTP4S berdasarkan nomenklatur yang diatur dalam UU No.27 tahun 2007. DKP Kabupaten Sukabumi merupakan pengelola KKTP4S yang secara operasional dilaksanakan oleh UPTD Konservasi Penyu Pangumbahan. c.
UU No 5 tahun 1990, PP No.60 tahun 2007, UU No.32 tahun 2004 Kewenangan dalam pengelolaan penyu terdapat pada tiga kementerian yaitu Kemenhut, KKP dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). UU No 5 tahun 1990 menyatakan bahwa konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah dan masyarakat. Pemerintah dalam konteks peraturan ini adalah kemenhut. Selain itu menurut PP No.60 tahun 2007 konservasi sumberdaya ikan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat. Pemerintah pusat yang dimaksud disini adalah KKP. Selanjutnya menurut UU N0.32 tahun 2004, daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. Untuk menerapkan UU Nomor 32 tahun 2004 maka pantai pangumbahan dikelola oleh pemda Kabupaten Sukabumi melalui Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Sukabumi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kewenangan pengelolaan konservasi penyu berada di tingkat pemerintah pusat (KKP dan Kemenhut) serta Pemda. Kelemahan dari kewenangan yang terdapat pada berbagai lembaga ini menyebabkan sulitnya dalam melakukan koordinasi. Berbagai upaya telah dilakukan diantaranya melakukan kegiatan sinergitas pengelolaan kawasan dengan berbgai stakeholder terkait sebagai salah satu faktor kunci keberhasilan implementasi konservasi penyu khususnya di KKTP4S.
d.
Permen KP No.17 tahun 2008, Permen No. 02/MEN/2009, Permendagri No. 30 tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Sumberdaya di Wilayah Laut Permen KP No.17 tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau pulau Kecil memuat tujuan pengelolaan KKTP4S yaitu
86
berlandaskan penguatan pengelolaan kawasan konservasi serta peningkatan sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan. Beberapa tujuan pengelolaan telah diimplementasikan ke dalam program dilapangan yaitu program pelestarian populasi penyu dan habitatnya. Proses penetapan KKTP4S tidak sesuai dengan tahapan dalam Permen KP No.02 tahun 2009 tentang tata cara penetapan Kawasan Konservasi Perairan karena sebelumnya KKTP4S dikelola oleh pihak swasta yaitu CV Daya Bhakti. Mulai bulan agustus 2008 pengelolaan kawasan ini diambil alih oleh Pemda Kabupaten Sukabumi. Pemantapan kawasan dilakukan melalui penataan zonasi. Sistem zonasi tersebut sesuai dengan permen KP no 17 tahun 2008 yaitu sistem zonasi di KKP3K terdiri atas zona inti, zona pemanfaatan terbatas dan/atau zona lainnya sesuai dgn peruntukan kawasan. e.
Perda Kab sukabumi No 5 tahun 2009, Perbup No. 523/kep.639Dislutkan/2008, Keputusan Bupati Sukabumi, No 523/Kep.638Dislutkan/2008, Perda No.14 Tahun 2014 Kawasan penyu Pantai Pangumbahan dicadangkan sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah pada bulan Desember 2008 berdasarkan SK Bupati Sukabumi Nomor 523/Kep.639-Dislutkan/2008 tentang Pencadangan Kawasan Penyu Pantai Pangumbahan sebagai KKP3K kabupaten Sukabumi dengan status Taman Pesisir. Untuk mempersiapkan penetapannya, DKP ditunjuk sebagai pengelola kawasan berdasarkan SK Bupati Sukabumi Nomor: 523/Kep.638Dislutkan/2008 tentang Penunjukkan Dinas Kelautan dan Perikanan Sebagai Pengelola Kawasan Penyu Pantai Pangumbahan Kecamatan Ciracap Kabupaten Sukabumi. Pemda Kabupaten Sukabumi telah menerbitkan Perda no 5 pada tahun 2009 tentang pelestarian penyu di kabupaten Sukabumi sehingga pengelolaan pantai penyu diarahkan pada pengembangan ekowisata berbasis penyu. Sementara surat edaran Bupati Sukabumi No.523/851.A/Dislutkan-08 tanggal 30 april 2008 perihal Pengelolaan Penyu Pantai Pangumbahan serta Surat Edaran Bupati Sukabumi Nomor 523/932.A/Dislutkan-09 tanggal 16 April 2009 perihal Pengelolaan Konservasi Penyu di Pantai Pangumbahan menjelaskan bahwa pengelolaan konservasi penyu diarahkan pada upaya pengembangan ekowisata berbasis konservasi penyu. Selanjutnya DKP membentuk sebuah unit pengelola kawasan konservasi penyu yang disebut UPTD Konservasi Penyu Pangumbahan. Aspek Aspek Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya di KKTP4S Aturan formal mengatur sekitar sepuluh aspek pengelolaan dalam pengelolaan KKTP4S. Kesepuluh aspek tersebut adalah Pengaturan Pengelolaan Kawasan, Pengaturan Pembinaan dan Pengawasan, Pengaturan Zonasi Kawasan, Pengaturan Kewenangan Pengelolaan Kawasan, Pengaturan Perlindungan Jenis (Penyu) dan Habitatnya, Pengadaan Sapras Kawasan, Menjaga Kelestarian Sumberdaya dan Habitat, Sangsi terhadap Pelanggaran,Pengaturan bentuk bentuk Kegiatan Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Pengaturan Kriteria Kawasan Konservasi Perairan. Kesepuluh aspek tersebut terdapat dalam Tabel 37.
87 Tabel 37 Aspek Pengelolaan Aturan Formal dalam Pengelolaan KKTP4S No
Aspek Pengelolaan
Tingkat Pusat Daerah X
Keterangan
1
Pengaturan pengelolaan kawasan
2
Pengaturan pembinaan dan pengawasan
X
3
Pengaturan zonasi kawasan
X
4
Pengaturan kewenangan pengelolaan kawasan
X
X
5
Pengaturan perlindungan jenis (Penyu) dan habitatnya
X
X
Ditingkat pusat telah diatur dalam PP No.7 tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa liar, PP no.8 tahun 1999 tentang pemanfaatan jenis Tumbuhan dan Satwa Liar serta PP 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan Sedangkan ditingkat daerah diatur dalam Perda Kab Sukabumi no.5 tahun 2009 tentang pelestarian penyu di kabupaten sukabumi
6
Pengadaan Sapras Kawasan
X
X
7
Menjaga kelestarian sumberdaya dan habitat
X
X
8
Sangsi terhadap pelanggaran
X
9
Pengaturan bentuk bentuk kegiatan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar Pengaturan Kriteria Kawasan Konservasi Perairan
X
Telah diatur dalam aturan formal tingkat pusat dan daerah Sebagian masyarakat pesisir sudah menjaga kelestarian sumberdaya perikanan, akan tetapi masih terdapat beberapa tindakan yang merusak seperti pencurian telur masih terjadi. Selain itu, daerah pantai masih terdapat sampah yang berasal dari wisatawan/pengunjung. Belum maksimal dalam penegakan hukum disebabkan belum ditetapkannya sangsi minimum terhadap pelanggaran peraturan konservasi . Telah diatur secara formal ditingkat pusat (PP No.8 tahun 1999 tentang pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar Telah diatur secara formal dalam Peraturan MenKP Nomor PER.02/MEN/2009 tentang tata cara penetapan Kawasan Konservasi Perairan
10
X
Mengatur tujuan konservasi dan pengelolaan sumberdaya ikan, mengatur pengelolaan kawasan konservasi pesisir dan pulau pulau kecil. Pembinaan telah dilakukan melalui sosialisasi, penyuluhan serta pelatihan kegiatan kegiatan yang mendukung usaha perlindungan. Pengawasan oleh pemerintah dan masyarakat telah dilakukan, tetapi belum maksimal karena keterbatasan sarana dan prasarana pengawasan. Pemantapan kawasan dilakukan melalui penataan zonasi yang merupakan proses penataan runag didalam kawasan. Penataan zonasi kawasan dilapangan belum dilakukan. Pengusulan rencana zonasi telah tertuang didalam rencana pengelolaan KKTP4S tahun 2012 yaitu zona inti, zona penelitian dan pendidikan, zona pemanfaatan wisata daratan, zona pemukiman tradisional, zona pemanfaatan daratan tradisional dan zona pemanfaatan perairan tradisional (sesuai dalam permen KP 17 tahun 2008) Kewenangan pengelolaan penyu ditingkat pusat terdapat pada tiga kementerian yaitu Kemenhut, KKP dan Pemda. Koordinasi antar lembaga terkait sangat diperlukan dalam melakukan kerjasama pengelolaan sebagai salah satu faktor kunci dalam keberhasilan implementasi konservasi penyu.
88
Dari hasil analisis peraturan perundangan tersebut, sudah terlihat bahwa telah ada peraturan formal tentang pengelolaan KKTP4S. Akan tetapi yang menjadi masalah selama ini adalah bukan pada banyaknya peraturan, tetapi pada kepatuhan terhadap aturan-aturan tersebut serta pengetahuan terhadap aturan-aturan yang ada. Biaya Transaksi Pengelolaan KKTP4S Berdasarkan hasil analisis aktor terlihat bahwa aktor pemain utama dalam kelembagaan pengelolaan di KKTP4S adalah kelompok pemerintah oleh karena itu, analisis biaya transaksi yang dilakukan dalam penelitian ini difokuskan pada kelompok tersebut. Secara sistematis biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam pengelolaan KKTP4S dapat dilihat dalam Gambar 37. Biaya Transaksi Biaya Informasi
- Biaya Pemasangan/Pem buatan iklan - Biaya Pameran - Biaya Konsultasi Masterplan -Biaya Tourguide
Biaya Operasional Bersama
Biaya Pengambilan Keputusan
Biaya Pertemuan
Biaya Sosialisasi
Biaya Pemeli haraan infrast uktur dan perlind ungan habitat
Biaya Pemban gunan Sapras zona Pemanf aatan Wisata Daratan
Biaya pemb inaan dan pelati han
Gambar 37 Biaya Transaksi Pemerintah dalam Pengelolaan di KKTP4S Berdasarkan Gambar 34, total biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam rangka pengelolaan di KKTP4S meliputi : 1) biaya informasi, yaitu biaya pemasangan/pembuatan iklan, biaya pameran, biaya konsultasi masterplan dan biaya tour guide (2) biaya pengambilan keputusan yaitu biaya pertemuan dan biaya sosialisasi dan (3) biaya operasional bersama yaitu biaya pembangunan sarana dan prasarana pada zona pemanfaatan wisata daratan, Biaya Pemeliharaan infrastuktur dan perlindungan habitat, Biaya pembinaan dan pelatihan dan Biaya Patroli dan Pengawasan. Besarnya biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dapat dilihat pada Tabel 38.
Biaya Patroli dan Penga wasan
89
Tabel 38 Biaya Transaksi Pemerintah dalam Pengelolaan KKTP4S No 1
Komponen
Vol
Biaya Informasi Biaya pembuatan/pemasangan iklan TV urasi 20 detik/spot Biaya pameran Biaya iklan di baliho/spanduk (360000/m2/tahun) Honorarium tour guide (3*12)
2
3
Biaya Pengambilan Keputusan Biaya Pertemuan -Biaya transportasi -Biaya konsumsi fullday meeting (4kalix30org) Biaya Operasional Kantor pengelolaan bersama Biaya Pemeliharaan Infrastruktur Biaya Pembangunan Sapras Zona Pemanfaatan Terbatas -camping ground
Satuan
Rp
Total (Rp)
96
spot
10.000.000
960.000.000
3 12
kali m2
5.000.000 360.000
15.000.000 4.320.000
36
OB
1.500.000
54.000.000
120 120
OH OH
110.000 125.000
13.200.000 15.000.000
dan 1
PKT
150.000.000
150.000.000
1
PKT
100.000.000
100.000.000
-outbond
1
PKT
150.000.000
150.000.000
-sepeda/off road dsb Dalam rangka public awareness Biaya Sosialisasi (3x30 org) -Biaya Transportasi -Biaya Konsumsi Biaya Pelatihan (3kalix30 org) Biaya Transportasi Biaya Konsumsi Biaya Peralatan Dalam rangka monitoring dan Evaluasi
1
PKT
100.000.000
100.000.000
90 90
OH OH
110.000 32.500
9.900.000 2.925.000
90 90 3
OH OH PKT
110.000 32.500 10.000.000
9.900.000 2.925.000 30.000.000
1 1
PKT PKT
120.000.000 100.000.000
120.000.000 100.000.000
1 48 7200
PKT OT OH
100.000.000 110.000 2.500
100.000.000 5.280.000 18.000.000
240
OB
950.000
228.000.000 2.188.450.000
Biaya Patroli dan pengawasan Biaya Peninjauan Dokumen Perencanaan Biaya Perlindungan Habitat Biaya Seragam Biaya konsumsi pengawas malam (20 org x 30 hr x 12blnn) Biaya Gaji THL (20 org x 12 bulan) TOTAL ANGGARAN BIAYA
Sumber : Analisis Prediksi Anggaran UPTD Pangumbahan Sukabumi, 2014
Total biaya transaksi yang dikelurkan oleh pemerintah setiap tahunnya sekitar Rp 2.188.450.000. Biaya terbesar yang dikeluarkan adalah biaya operasional bersama sebesar Rp 1.126.930.000. Hal ini disebabkan banyaknya jenis-jenis biaya transaksi yang harus dikeluarkan dalam kegiatan operasional pengelolaan di KKTP4S terutama pembangunan sarana prasarana pada zona pemanfaatan wilayah daratan.
90
Analisis Perbandingan antara Nilai Potensial WTP dengan Nilai Biaya Transaksi Hasil analisis WTP yang dihasilkan dari pemanfaat jasa ekosistem di KKTP4S yaitu wisatawan asing dan lokal, peneliti, masyarakat sekitar diperoleh jumlah sebesar Rp 558.607.297.820 pertahun. Sedangkan berdasarkan hasil wawancara dan kondisi di lapang, dibuat perhitungan berdasarkan analisa prediksi didapatkan bahwa biaya transaksi pengelolaan KKTP4S dalam kurun waktu setahun membutuhkan biaya sebesar kurang lebih Rp. 2.188.450.000. Sumber pendanaan untuk pengelolaan KKTP4S berasal dariPemerintah Daerah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Sukabumi dan Pemerintah Pusat yaitu Kementerian Keluatan dan Perikanan (KKP) melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dekonsentrasi, Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Tugas Pembantuan melalui Pengembangan Desa Pesisir Tanggu ( PDPT). Berdasarkan analisis perbandingan didapatkan bahwa nilai WTP potensial yang didapatkan dari pemanfaat jasa lingkungan KKTP4s diperoleh hasil nilai WTP potensial lebih besar dibandingkan biaya transaksional yang dikeluarkan. Lebih besarnya nilai WTP potensial dibandingkan dengan biaya transaksional mengindikasikan bahwa pembayaran jasa lingkungan dapat sebagai alternatif untuk memperoleh pendanaan bagi pengelolaan KKTP4S dan sekaligus diharapkan dapat mempertahankan kelestarian lingkungan yang ada. Kebijakan Pengelolaan KKTP4S Aktivitas yang menghasilkan pendanaan sangatlah dibutuhkan untuk mendukung perlindungan dan rehabilitasi dari sumber daya alam yang ada di KKTP4S, termasuk diantaranya keanekaragamanhayatinya dan jasa lingkungan yang dihasilkannya. Salah satu model pendanaan yang memungkinkan adalah pembayaran untuk jasa lingkungan yang dihasilkan yang disebut Payment for Ecosystem Services (PES) oleh kawasan ini. PES adalah sebuah mekanisme pembayaran jasa ekosistem, dimana suatu pihak yang mendapatkan keuntungan langsung dari jasa ekosistem membayar kepada pemilik dan pengguna lahan, sebagai insentif karena telah menjaga konservasi ekosistem dan restorasi. Mekanisme pembayaran ini merupakan gerakan sukarela, yang dapat dinegosiasikan para pemangku kepentingan. Oleh karena itu, pendekatannya bukan berupa perintah dan kontrol, melainkan berupa kerjasama sesuai kesepakatan. Pola pengembangan PES yang dapat dilakukan adalah penerapan pola imbalan/insentif, pola kerjasama instansi sektoral serta pola pembinaan kelembagaan adat. Adapun fungsi dari perjanjian tersebut guna mengikat kontrak untuk menghindari masalah insentif yang tidak jelas/pasti untuk pembeli/penjual, rencana kontrak yang tidak adil dan mekanisme monitoring yang tidak tepat. PES pada hakekatnya dapat dijadikan instrumen bagi pendanaan berkelanjutan. Disisi lain pelaksanaan program PES juga memerlukan sumber pendanaan yang pasti. Mekanisme timbal balik inilah yang menyebabkan PES menjadi opsi yang menarik dalam pengelolaan lingkungan berkelanjutan. Mekanisme pola kerjasama instansi sektoral antar pihak terkait dalam PES di KKTP4S seperti dalam Gambar 38.
91
Pemerintah Daerah
Penggiat Konservasi (Seller)
Perjanjian/Kesepakatan
Pemanfaat (buyer)
Jasa Ekosistem KKTP4S
Rp. 2.188.450.000
Rp 560.795.747.820
Rp 558.607.297.820
Pembayaran
Gambar 38 Mekanisme PES antar Pihak Terkait Jasa yang disediakan oleh lingkungan yang telah diambil oleh buyer (dihitung dengan valuasi) sebesar Rp 560.795.747.820. Jadi buyer seharusnya mengembalikan nilai tersebut ke lingkungan. Tetapi masih terdapat selisih nilai yang belum terbayarkan ke lingkungan sebesar Rp 560.795.747.820 - Rp. 2.188.450.000 = Rp 558.607.297.820 . Selisih nilai ini merupakan bagian dari pemerintah serta tanggung jawab para pemanfaat (buyer) jika lingkungan mengalami degradasi.Pengenaan pembayaran jasa lingkungan tidaklah harus secara moneter namun dapat diterapkan pembayaran jasa lingkungan secara non moneter khususnya bagi masyarakat sekitar kawasan seperti membantu menjaga dan mengawasi KKTP4S dari kerusakan lingkungan serta ikut melaporkan kepada pengelola bila ada kejadian yang dapat merusak lingkungan KKTP4S. Alur Operasional Program yang terkait dengan Mekanisme PES dalam Pengelolaan KKTP4S Penguatan kelembagaan ini bertujuan untuk mengkaji pola kelembagaan yang tepat bagi pengembangan jasa ekosistem di KKTP4S. Adapun kelembagaan PES ini dikaji berdasarkan aturan hukum yang sudah ada, kelembagaan yang sudah ada dan sekaligus berpandangan pada aspek efisiensi dan akuntabilitas. Adapun kelembagaan yang dapat diajukan seperti dalam Gambar 39.
92
UU 27/2007, UU 31/2009 jo UU 1/2014 dan Perundangan terkait lainnya Perda No 14/2014
Alokasi Dana Masuk
Pengelola Sumberdaya Alam dan Kawasan Konservasi di KKTP4S; -PEMDA -PEMERINTAH PUSAT (KKP) -Masyarakat (KMPP dan KPPS)
Kawasan Konservasi Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan (KKTP4S) UPTD Konservasi TP Pantai Penyu Pangumbahan
Pemanfaat Jasa Ekosistem ; - Wisatawan - Peneliti - Pengusaha Hotel/Rumah Makan
Implementasi ; Ekowisata dan Konservasi
Evaluasi
Masalah; - Syarat habitat - Kebijakan
tidak terjadi
Selesai
terjadi Strategi Peningkatan Kualitas Pengelolaan KKTP4S -Entrance fee -User fee -Donatur -Corporate Social Responsibility (CSR) -Retribusi -Pajak
Gambar 39 Alur Operasional Program yang terkait dalam Mekanisme PES
Implementasi PES di KKTP4S Winrock International (2004) menyatakan bahwa lima komponen penting yang harus ada dalam sebuah model PES, diantaranya ; (1) Penilaian pembayaran dan royalty yang terdefinisikan dengan jelas; (2) Dana peruntukkan dengan prosedur dan proses yang transparan untuk pembayaran; (3) sebuah komite multi pihak yang harus dibentuk secara partisipatif dan membuka konsultasi pada para pihak; (4) Mekanisme dan Prioritas yang ditentukan secara lokal ; (5) Perencanaan yang partisipatif dan memiliki sistem pengawasan kinerja. PES sudah mengalami perkembangan menyangkut visinya yang telah pula melingkupi jasa ekosistem yang luas, tidak hanya pada air. Wunder (2005) menyatakan bahwa terdapat empat kelompok besar dari jasa ekosistem yaitu: (1) Keanekaragaman hayati/biodiversitas, (2) Sumber daya/jasa air, (3) Penyerapan dan penyimpanan karbon, (3) Penelitian/perlindungan Daerah Aliran Sungai (DAS), (4) Keindahan alam dan laut/ekowisata dan (5) Tenaga listrik mikrohidro. Berdasarkan uraian sebelumnya menyatakan bahwa aktivitas manusia memiliki pengaruh yang relatif cukup tinggi terhadap kelangsungan habitat penyu di KKTP4S, oleh sebab itu PES bisa menjadi cara yang efektif untuk konservasi
93
karena PES merupakan analisa ekonomi yang menggabungkan dua faktor yakni ekologi dan ekonomi. Mekanisme PES pada hakikatnya dapat dijadikan instrument bagi pendanaan berkelanjutan. Disisi lain pelaksanaan program PES juga memerlukan sumber pendanaan yang pasti. Mekanisme timbal balik inilah yang menyebabkan PES menjadi opsi menarik dalam pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Skema PES di KKTP4S didasari atas identifikasi terhadap empat faktor kunci dalam system PES yakni lingkungan, penyedia atau manajer, penerima manfaat dan sistem perantara. Beberapa skenario pendekatan dalam skema PES yang dapat dilakukan antara lain skenario mekanisme PES melalui regulasi dan Institusional Multi Pihak (IMP). Skenario Mekanisme PES melalui Regulasi Aturan hukum pelaksanaan PES di Indonesia didasarkan pada azas sukarela (Rumfaker 2010). Namun demikian seiring dengan perkembangannya dirasakan bahwa pelaksanaan PES diperlukan payung hukum sehingga pelaksanaan PES menjadi legal berdasarkan hukum. Adapun payung hukum dalam pelaksanaan PES terdapat dalam pasal 42 dan pasal 43 Undang undang 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Isi dari pasal tersebut adalah ; Pasal 42 (1)
(2)
Dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan menerapkan instrument ekonomi lingkungan hidup. Instrumen ekonomi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ; a. Perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi; b. Pendanaan lingkungan hidup; dan c. Insentif dan/atau disinsentif. Pasal 43
(1)
(2)
(3)
Instrumen perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 ayat (2) huruf a, meliputi; a. Neraca sumberdaya alam dan lingkungan hidup; b. Penyusunan produk domestic bruto dan produk domestik regional bruto yang mencakup penyusutan sumberdaya alam dan kerusakan lingkungan hidup; c. Mekanisme kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup antar daerah; dan d. Internalisasi biaya lingkungan hidup. Instrumen pendanaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 ayat (2) huruf b meliputi; a. Dana jaminan pemulihan lingkungan hidup; b. Dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan hidup; dan c. Dana amanah/bantuan untuk konservasi Insentif dan/atau disinsentif sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 ayat (2) huruf c antara lain diterapkan dalam bentuk :
94
(4)
a. pengadaan barang dan jasa yang ramah lingkungan hidup; b. penerapan pajak, retribusi dan subsidi lingkungan hidup; c. pengembangan sistem lembaga keuangan dan pasar modal yang ramah lingkungan hidup d. pengembangan sistem perdagangan izin pembuangan limbah dan/atau emisi; e. pengembangan sistem pembayaran jasa lingkungan hidup; f. pengembangan asuransi lingkungan hidup; g. pengembangan sistem label ramah lingkungan hidup; dan h. sistem penghargaan kinerja dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup Ketentuan lebih lanjut mengenai instrument ekonomi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 dan pasal 43 ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah
Skenario regulasi ini dikaji bertujuan untuk melihat pola kelembagaan yang tepat bagi pengembangan jasa ekosistem di KKTP4S. Kelembagaan PES dikaji berdasarkan aturan hukum yang ada, kelembagaan yang sudah ada dan berpandangan pada aspek efisiensi dan akuntabilitas. Beberapa skenario yang dapat diajukan adalah mekanisme PES melalui pengelolaan oleh Pemerintah Daerah melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Mekanisme Pembayaran Jasa Ekosistem melalui BLUD. Mekanisme PES Melalui Pengelolaan oleh Pemerintah Daerah Melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sumber utama pendanaan dalam pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan saat ini adalah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Hal ini terjadi karena semua Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia dikelola oleh pemerintah. Pada kenyataannya, jumlah alokasi anggaran pemerintah relatif masih sangat sedikit dibandingkan dengan kebutuhan pengelolaan. Seperti disebutkan sebelumnya, ketersediaan anggaran dari APBN, APBD, dan LSM sebagai pelaksana program donor hanya sekitar 75 milyar rupiah per tahun sementara kebutuhan pengelolaan kawasan mencapai 225 milyar rupiah per tahun (Megawanto 2014). Terdapat kekurangan anggaran sebesar 150 milyar per tahunnya. Dengan kondisi tersebut dibutuhkan sumber pendanaan lain untuk menutupi biaya pengelolaan kawasan. Salah satunya dengan menggunakan pembayaran jasa ekosistem sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Pengelolaan dengan berbasis pemerintah daerah dengan pembayaran jasa ekosistem sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dilakukan dengan pola sebagai berikut ;
95 KONSERVASI
PTD KONSERVASI PANGUMBAHAN
DISPENDA
DINAS PARIWISATA
TIKET MASUK
WISATAWAN
PERIJINAN, RETRIBUSI, PAJAK
PENGUSAHA HOTEL /RESTORAN
PEMERINTAH DAERAH KAB SUKABUMI
DINAS DINAS TERKAIT BADAN PENGELOLA DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN
RETRIBUSI
NELAYAN BESAR
BADAN LINGKUNGAN HIDUP
PERIJINAN,RETRIBUSI
PERUSAHAAN PENAMBANGAN
Gambar 40 Mekanisme Pembayaran Jasa Ekosistem Melalui Lembaga Pemerintah Mekanisme pembayaran jasa ekosistem melalui lembaga pemerintah ini dimulai dengan membentuk badan pengelola dimana anggota badan pengelola ini merupakan perwakilan dari dinas dinas terkait. Badan pengelola KKTP4S ini hanya berfungsi sebagai lembaga penerima dana dan sekaligus merancang kegiatan kegiatan untuk konservasi dan pemanfaatan jasa ekosistem. Namun demikian, dana yang diterima oleh lembaga pengelola nantinya dimasukkan ke dalam Dinas pendapatan Daerah (Dispenda) sebagai Penerimaan Dana Bukan Pajak (PNBP). Ada beberapa kendala dalam menggunakan pola ini, dimana berdasarkan pengalaman yang ada pemanfaatan dana yang masuk ke Dispenda biasanya akan sulit terkontrol atau penggunaan tidak sesuai dengan tujuan pemungutan pembayaran jasa ekosistem. Namun demikian dalam pengelolaan hal tersebut perlu adanya penandaan (earmarking) dimana dana yang masuk dari pembayaran jasa ekosistem nantinya dapat dikeluarkan,dipergunakan sesuai dengan tujuannya yaitu konservasi sumberdaya dan lingkungan. Adanya earmarking diharapkan dapat menjadi jalan keluar dalam pengelolaan dana dengan pola mekanisme berbasis pemerintah ini. Adapun dasar hukum dari pelaksanaan Pembayaran Jasa Ekosistem melalui PNBP adalah Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dimana ketiga undang-undang tersebut menjelaskan secara jelas bagaimana pengelolaan keuangan negara tersebut dengan pola PNBP. Pola mekanisme pembayaran jasa ekosistem ini memiliki tingkat akuntabilitas yang lebih baik dibandingkan yang lainnya. Akuntabilitas diperoleh karena dalam penggunaan anggaran jasa ekosistem pemerintah daerah diawasi dan dipantau oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sehingga dalam hal pengawasannya sangat ketat. Dikatakan efisien karena dalam mekanisme pembayaran jasa ekosistem berbasis pemerintah ini tidak membutuhkan kelembagaan pengelolaan yang baru, cukup memanfaatkan perwakilan-perwakilan dari masing masing dinas terkait yang masing masing dinas terkait merupakan
96
Pegawai Negeri Sipil (PNS), ditekan.
sehingga biaya operasional tenaga kerja dapat
Mekanisme Pembayaran Jasa Ekosistem Melalui BLUD Terminologi Badan Layanan Umum (BLU) terdapat pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Menurut UU ini, BLU adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Sepintas definisi tersebut mengindikasikan bahwa BLU sama dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tapi sebenarnya terdapat perbedaan penting antara keduanya, yaitu kekayaan Negara dalam BUMN dipisahkan sementara kekayaan Badan Layanan Umum merupakan kekayaan negara yang tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan BLU yang bersangkutan (Megawanto 2014). Selain dari pendapatan yang diperoleh dari hasil layanan penyediaan barang/jasa, BLU dapat juga memperoleh dana hibah dari masyarakat atau badan lain. Menariknya, pendapatan tersebut dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja Badan Layanan Umum yang bersangkutan. Penggunaan langsung hasil pendapatan merupakan hal yang tidak diperbolehkan dalam pengelolaan keuangan Negara pada kondisi normal. Artinya, BLU merupakan desain kelembagaan khusus yang dibentuk oleh pemerintah. BLU merupakan paradigma baru dalam pengelolaan keuangan sektor publik yaitu dengan mewiraswastakan pemerintah (enterprising the government) dimana pelayanan kepada masyarakat dikelola ala bisnis (business like) agar lebih efisien dan efektif. Selain pemerintah pusat (kementerian/lembaga), pemerintah daerah juga dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan BLU yang sering juga disebut BLUD (Badan Layanan Umum Daerah). Secara prinsip tidak ada perbedaan signifikan antara pengelolaan BLU dan BLUD. Namun untuk BLUD menggunakan acuan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 61 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah.Secara umum keuntungan pola pengelolaan keuangan BLU/BLUD adalah sebagai berikut: Pendapatan BLU/BLUD dapat langsung masuk ke rekening BLU/BLUD. Dalam mekanisme keuangan normal, semua pendapatan wajib melalui rekening kas umum Negara/daerah. Pendapatan BLU/BLUD dapat digunakan langsung. Dalam mekanisme keuangan normal, pendapatan tidak boleh langsung digunakan melainkan harus melalui mekanisme APBN/APBD. BLU/BLUD dapat membayar gaji non-PNS. Dalam mekanisme keuangan normal, dana APBN/APBD tidak bisa digunakan untuk membayar gaji nonPNS. Penentuan tarif BLU/BLUD cukup dengan Surat Keputusan pimpinan kementerian/lembaga/SKPD. Dalam mekanisme keuangan normal, tarif pungutan daerah harus melalui Peraturan Daerah (Perda) yang memerlukan persetujuan DPRD.
97
Mekanisme pembayaran dengan pola semacam ini mungkin bisa dilakukan dalam pengelolaan KKTP4S. Pola ini digunakan karena ingin melibatkan seluruh Stakeholder yang ada. Adapun bagan polanya adalah sebagai berikut : Pemerintah Daerah Kab Sukabumi Lembaga Swadaya Masyarakat Dinas Dinas Terkait
Tokoh Masyarakat
Pengelola dengan Bentuk Badan Layanan Umum Daerah (BLUD)
Sumberdana Melalui PES
Konservasi
Tiket Masuk
Perijinan, Retribusi,Pajak
Wisatawan
Pengusaha Hotel/Restoran
Retribusi
Nelayan Besar
Perijinan, Retribusi
Perusahaan Penambangan
Gambar 41 Mekanisme Pembayaran Jasa Ekosistem Melalui BLUD Dalam menerapkan pola mekanisme ini maka yang pertama kali harus dilakukan adalah dengan membentuk Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) yang didalamnya terdiri dari instansi terkait yang mewakili pemerintah, tokoh masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Keberadaan BLUD ini nantinya akan berada dibawah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang terkait seperti Dinas Kelautan dan Perikanan. Pola mekanisme ini memiliki keuntungan yaitu dana yang diperoleh dari pembayaran jasa ekosistem dapat dikelola sendiri secara mandiri tanpa terlebh dahulu masuk ke dalam kas daerah. Proses pengontrolan uang yang masuk di BLUD ini dilakukan melalui cara audit publik yang nantinya hasilnya disebarkan ke masyarakat. Kelebihan dari pola ini adalah melibatkan seluruh Stakeholder yang ada untuk ikut serta dalam upaya menjaga kelestarian sumberdaya yang ada di KKTP4S. Adapun dasar hukum pelaksanaan pembayaran jasa ekosistem dengan pola pembentukan Badan Layanan Umum Daerah ini adalah Undang-Undang no.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Peraturaan Pemerintah Nomor 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Skenario Mekanisme PES melalui Institutional Multi Pihak Secara umum gagasan PES bermaksud mendorong partisipasi dan tanggung jawab masyarakat luas serta para pemangku kepentingan dalam rangka melestarikan kawasan konservasi melalui kesediaan untuk membiayai kegiatan konservasi dan perbaikan ekonomi bagi masyarakat miskin sekitar kawasan. Sasaran pengembangan PES di KKTP4S adalah terciptanya sistem pendanaan berkelanjutan bagi konservasi di kawasan ini dengan melibatkan partisipasi publik termasuk pihak swasta dan perusahaan. Hal ini bisa dilakukan melalui penerapan
98
mekanisme skenario ke dua. Skenario ini dilakukan melalui IMP. Bagan Pola mekanisme PES melalui IMP ini sebagai berikut ; PROGRAM INISIATIF UNTUK MASYARAKAT dan INCOME GENERATING
KKTP4S
BADAN PENGELOLA DANA KONSERVASI (IMP) PENGELOLA KKTP4S; -Pemda (Dinas2 terkait, Dinas KP Prov, Dinas KP Kab, PTD Konservasi Pangumbahan -Pemerintah Pusat -Kelompok Masyarakat
Pemanfaat Jasa; -Wisatawan -Peneliti -Pengusaha Hotel/Restoran -Perusahaan Penambang
DISPENDA
DINAS KP KAB.SUKABUMI
Budget Alokasi
Tiket Masuk/User Fee/Pajak/Retribusi/Donasi/CSR
Gambar 42 Mekanisme Pembayaran Jasa Ekosistem Melalui IMP Pola mekanisme ini menerangkan bahwa hasil penerimaan PES merupakan penerimaan daerah dan disetorkan ke kas daerah. Dalam pengelolaannya terdapat pembagian prosentasi yang terdiri dari dana yang diperuntukkan bagi daerah dan dana yang digunakan untuk kegiatan pengelolaan jasa ekosistem. Dana yang diperuntukkan bagi pengembangan jasa ekosistem dikelola oleh IMP dan digunakan sebagai dana untuk pelestarian, pemeliharaan, kebersihan lingkungan, rehabilitasi kawasan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitar lokasi obyek jasa ekosistem di kabupaten Sukabumi. Analisis Pengambilan Keputusan Menurut Edwards 1977, hasil analisis dengan metode SMART (Simple Multi – Attribut Rating Technique) terhadap alternatif kelembagaan Pembayaran Jasa Ekosistem dengan bentuk PNBP, BLUD, IMP ditetapkan indikator dan kriteria berdasarkan Tabel 39. Tabel No
39
Indikator dan Kriteria PNBP,BLUD,IMP
terhadap
Indikator
Kelembagaan
Nilai Kriteria 2
1 a
Alternatif
3
Tidak Efisien
Kurang Efisien
Efisien
b
Pembentukan Kelembagaan Pengawasan
Tidak ada Pengawasan
c
Pengelolaan Dana
Tidak Mandiri
Pengawasan oleh PEMDA/Pemerintah/M asyarakat/LSM Sebagian dikelola Mandiri
Pengawasan oleh PEMDA, Pemerintah, Masyarakat serta LSM Dikelola secara Mandiri
d
Keterlibatan Stakeholder
Tidak terlibat
Terlibat
Sangat Terlibat
dikelola
99
Sejumlah kriteria dalam analisis tersebut memiliki nilai – nilai. Setiap kriteria kemudian diberi bobot yang bertujuan menggambarkan seberapa penting ia dibandingkan dengan kriteria lain. Pembobotan ini digunakan untuk menilai setiap alternatif agar diperoleh alternatif terbaik, sehingga diperoleh hasil seperti dalam Tabel 40. Tabel 40 Pembobotan Nilai Terhadap Alternatif Kelembagaan *) Alternatif Kriteria Maximize
Rangking
k
=∑wj.uij,
ij= 1....n
J=1
PNBP BLUD IMP
A (20%) 3 2 2
B (25%) 2 3 3
C (30%) 2 3 2
D (25%) 2 3 3
2,2 2,8 2,5
III I II
Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2014
*)keterangan ;wj adalah nilai pembobotan kriteria ke j dari k kriteria Berdasarkan analisis tersebut menghasilkan bahwa pengelolaan keuangan melalui pola pengelolaan oleh pemerintah daerah melalui BLUD adalah yang memungkinkan saat ini. BLUD merupakan Unit Kerja pada Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan pemerintah daerah di Indonesia yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang/jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Lembaga ini beranggotakan instansi pemerintah terkait, pelaku bisnis, kelompok masyarakat, LSM, akademisi dan penikmat jasa di KKTP4S. Tujuan strategis BLUD adalah untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi para pihak dalam pengelolaan jasa lingkungan yang berkelanjutan, sekaligus membangun kerjasama dan jaringan yang kuat dengan pihak lain, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap BLUD. Dalam melaksanakan tugasnya BLUD bertanggung jawab langsung terhadap Bupati. Pola ini cukup efisien, hal ini disebabkan melalui penerapan pola BLUD ini diharapkan melalui pengawasan oleh dewan pengawas BLUD berdasarkan peraturan menteri keuangan nomor 109/pmk.05/2007 tentang dewan pengawas badan layanan umum dana pengelolaan sebagai pendapatan yang benar benar dapat dipergunakan sebagai dana untuk pelestarian, pemeliharaan, kebersihan lingkungan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat khususnya disekitar lokasi obyek jasa ekosistem disekitar KKTP4S. Dampak positif yang diharapkan dari pola mekanisme PES melalui BLUD diharapkan dapat menjadi modal atau pemasukan bagi pendapatan daerah untuk pembangunan seperti peningkatan sarana dan prasarana penunjang bagi pemulihan habitat, sarana prasarana penunjang bagi fasilitas umum.
100
4
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian diperoleh kesimpulan sebagai berikut; 1. Berdasarkan penilaian terhadap ketersediaan jasa ekosistem diperoleh hasil bahwa status ketersediaan jasa ekosistem (natural capital asset) di KKTP4S masih bisa terpelihara dengan baik sehingga masih tetap dapat menyediakan barang dan jasa (goods and service) untuk mendukung kehidupan manusia. Hal ini mengindikasikan adanya keterkaitan yang baik antara kondisi sosial (social ) dan ekologi yang ada pada KKTP4S. Terpeliharanya natural capital asset di KKTP4S sebagai bentuk terjalinnya kondisi sistem ekologi sosial yang ditunjukkan dengan biodiversitas vegetasi dan mangrove yang ada. 2. Hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTP untuk responden wisatawan nusantara menyimpulkan bahwa hanya ada 2 variabel yang mempengaruhi tingkat kunjungan yakni wisatawan nusantara KKTP4S hanya dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan yang tinggi dan jarak tempuh, sedangkan Biaya perjalanan dan waktu tidak berpengaruh untuk tetap berkunjung ke lokasi ini. Faktor-faktor yang mempengaruhi wisatawan asing KKTP4S adalah jumlah anggota keluarga dan lama waktu kunjungan. Jumlah anggota keluarga sebagai pendorong suatu keinginan untuk melakukan rekreasi, yaitu untuk memperhitungkan pengeluaran yang akan dikeluarkan selama berwisata. Dengan Jumlah anggota keluarga yang sedikit akan mendorong tingginya tingkat kunjungan sedangkan bila jumlah anggota keluarga keluarganya banyak tingkat kunjungan ke tempat wisata akan sedikit. Lama waktu kunjungan ke lokasi, jika membutuhkan waktu yang lama dalam menikmati sebuah obyek wisata cenderung akan mengurangi minat wisata. Semakin efisien obyek wisata yang dikelola akan semakin mendatangkan minat pengunjung wisatawan mancanegara. Kebanyakan dari mereka hanya untuk melihat pelepasan tukik sedangkan ritual penyu bertelur jarang mereka kunjungi. 3. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai WTP wisatawan nusantara adalah sebesar Rp7.972.988/individu/tahun dan WTP wisatawan mancanegara sebesar Rp 14.583.333/individu/tahun sehingga diperoleh nilai manfaat jasa wisata KKTP4S adalah sebesar Rp 558.607.297.820/tahun. Nilai ini mengindikasikan nilai atau harga ekosistem yang dirasakan oleh pengunjung. 4. Berdasarkan analisis perbandingan diperoleh nilai WTP potensial yang didapatkan dari pemanfaat jasa ekosistem di KKTP4S sebesar Rp 558.607.297.820/tahun dengan besarnya biaya transaksional sebesar kurang lebih Rp. 2.188.450.000/tahun, diperoleh bahwa nilai WTP potensial lebih besar dari biaya transaksional. Lebih besarnya nilai WTP potensial dibandingkan denngan biaya transaksional mengindikasikan bahwa PES dapat sebagai alternatif untuk memperoleh pendanaan bagi pengelolaan KKTP4S sehingga sekaligus dapat mempertahankan kelestarian lingkungan yang ada. Meski demikian faktor faktor pertumbuhan penduduk dan desakan kemungkinan pembukaan lahan untuk pembangunan resort/hotel dan pemukiman penduduk menjadi bagian yang perlu diperhatikan.
101
5.
Berdasarkan hasil analisis SMART didapatkan bahwa Pembayaran Jasa Ekosistem dengan menggunakan mekanisme BLUD adalah yang memungkinkan saat ini. Pola ini cukup efisien, hal ini disebabkan melalui penerapan pola BLUD ini diharapkan melalui pengawasan oleh dewan pengawas BLUD berdasarkan peraturan menteri keuangan nomor 109/pmk.05/2007 tentang dewan pengawas badan layanan umum dana pengelolaan sebagai pendapatan yang benar benar dapat dipergunakan sebagai dana untuk pelestarian, pemeliharaan, kebersihan lingkungan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat khususnya disekitar lokasi obyek jasa ekosistem disekitar KKTP4S
Saran Berdasarkan hasil penelitian, maka beberapa hal yang dapat disarankan antara lain sebagai berikut; 1. Diharapkan pemerintah daerah Kabupaten Sukabumi dapat mengeluarkan peraturan daerah tentang PES sebagai penguat bagi aturan hukum yang sudah ada. 2. Diperlukan sebuah pendekatan kepada masyarakat mengenai mekanisme PES yang akan dilakukan dan penyebaran informasi mengenai dampak positif dan negatif dari diberlakukannya kebijakan pelaksanaan mekanisme PES. 3. Diperlukan penelitian lanjutan mengenai mekanisme pengelolaan keuangan pasca penerimaan pembayaran jasa ekosistem oleh Dispenda .
102
DAFTAR PUSTAKA Abbas R. 2005. Mekanisme perencanaan partisipasi stakeholder taman nasional gunung rinjani.(Disertasi). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Abdullah, N.R.M, K, Kuperan, Robert. S. Pomeroy.1998. Transaction cost and fishery co-management. Ackerman RA. 1997. The nest environment and the embryonic development of sea turtles. In: Lutz, P.L., and Musick, J.A. (Eds.). The Biology of Sea Turtles. Boca Raton: CRC Press, pp. 83-106 Adrianto L dan Yudi Wahyudin. 2004. Modul pengenalan konsep dan metodologi valuasi ekonomi sumberdaya pesisir dan laut.PKSPL.IPB. Adrianto L.2006. Pengantar Penilaian Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut. Fakultas Perikanan dan ilmu Kelautan.PKSPL.IPB. Adrianto L .2007. Modul konsepsi valuasi ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan. disampaikan pada kegiatan pelatihan teknik dan metode pengumpulan data valuasi ekonomi.PKSPL IPB bekerjasama dengan Pusat Survei sumberdaya alam BAKORSURTANAL.Bogor 05-09 Maret 2007.Bogor. Adrianto L, Abdullah Habibi, Achmad Fahrudin, Audillah Azizy, Handoko Adi Susanto, Imam Musthofa, M. Mukhlis Kamal, Sugeng Hari Wisudo,Yusli Wardiatno, Priyanto, Raharjo, Zahri Nasution.2013. Modul penilaian pengelolaan perikanan berpendekatan ekosistem (EAFM). national working group II EAFM, Direktorat Sumberdaya Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.Jakarta. Anggraini E. 2005. Analisis biaya transaksi dan penerimaan nelayan dan petani di Pelabuhan Ratu Kabupaten Sukabumi. (Tesis). Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.Bogor. Antara News. 2013. WWF: Hentikan penambangan di dekat lokasi konservasi. September 2013. Agardy T.1993. Accommodating ecotourism in multiple use planning of coastal and marine protected areas. Ocean Coast Manage 20:129-293. Austin Troy, Matthew A. Wilson. Mapping ecosystem services: Practical challenges and opportunities in linking GIS and value transfer. Ecological Economics 60 (2006) 435-449 Bachtiar I.2008. GOALS dalam pengelolaan pesisir pusat penelitian pesisir laut.Makasar.Desember 2008. Bato Marjan, Fredinan Yulianda, Achmad Fahruddin.2013. Kajian manfaat kawasan konservasi perairan bagi pengembangan ekowisata bahari: studi kasus di kawasan konservasi perairan Nusa Penida, Bali.Depik, 2(2): 104113. Booth DT, burgess E,Mc Closker J,Lanyon JM.2004. The influence of incubation temperatute on post hatching fitness characteristics of turtles. International Congress Series.1275(3);226-233.Dol:10.1016/).Ics.2004.08.057 Bustard, R. H. 1972. Sea Turtle : Natural history and conservation. Collins, Press Inc.Sidney Costanza. 1997. The value of the worlds ekosistem services and natural capital.Nature 387:253-260.
103
Dahuri R.2003. Keanekaragaman hayati laut, asset pembangunan berkelanjutan Indonesia. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. Diedrich A.2007. The impacts of tourism on coral reef conservation awareness and support in coastal communities in belize.Coral Reefs 26:985-996.Springer. Dixon JA,Hufscmit MM.1993. Teknik penilaian ekonomi terhadap Lingkungan :suatu buku kerja studi kasus. (terjemahan dari : economic valuation technique for the environment: a case study workbook). Penerjemah: S. Reksohadiprodjo dan S.Dj Tanjung. Yogyakarta.Gadjah Mada University Press. Departemen Kelautan dan Perikanan.2003. Pedoman valuasi ekonomi kawasan konservasi laut. Jakarta. DKP Engel, S., Pagiola, S., and S. Wunder. 2008. Designing payments for environmental services in theory and practice – an overview of the issues. Ecological Economics 65:663-674. Eftec 2006 dalam Akhmad Fauzi.2014. Valuasi ekonomi dan penilaian kerusakan sumberdaya alam.IPB Press, Bogor. Evi Lestari Rahayu, Dewi Mustika, Inna Febriantie, Diana Sumolang. 2008. Tipologi Habitat Peneluran Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Pantai Pangumbahan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat . Unpublished report. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Fauzi Akhmad .2014. Valuasi ekonomi dan penilaian kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan. IPB Press, Bogor. Fauzi Akhmad .2014. Ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan. teori dan aplikasi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Fauzi Akhmad dan Suzy Anna .2013. The complexity of the institution of payment for environmental services: a case study of two indonesian pes schemes. Ecosystem Services 6 (2013) 54-63. Fauzi Aunul, Beria Leimona, Muhtadi .2005. Strategi pengembangan dan pembayaran imbal jasa lingkungan di Indonesia. Laporan Lokakarya Nasional.Jakarta Grimble, R., Wellard, K .1997. Stakeholder methodologies in natural resource management: a review of concepts, contexts, experiences and opportunities.Agricultural Systems 55, 173–193. Hanley N, J Shogren, B white.2000. An introduction to environmental economics. UK: Oxford.Chapter 1 p 4.University Press. Oxford. Haryanti Rinrin.2014. Status Populasi Penyu Hijau di Kawasan Konservasi Pantai Penyu Pangumbahan. Sukabumi, Jawa Barat (Skripsi). Departernen Manajemen Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan llmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Harteti Sri .2013. Peningkatan Kinerja Konservasi Penyu Melalui Strategi Manajemen Konservasi, 2013 (Disertasi). Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika. Sekolah Pascasarjana.Institut Pertanian Bogor.
Hein,Lars, Kris Van Koppen, Rudolf s de Groot, Ekko c Van Ierland.2006. Spatial scales, stakeholders and the valuation of ecosystem services. Ecological Economics 57 (2006) 209-228. Helena Naber, Glenn-Marie Lange, and Marea Hatziolos.2008. Valuation of marine ecosystem services: a gap analysis.UNEP.WCMC
104
J.H. van Beukering, Herman S.J. Cesar , Marco A. Janssen. Analysis economic valuation of the leuser national park on sumatra,Indonesia. 2003. Ecological Economics 44. 43-/62. Kai MA Chan and Mary Ruckelshaus.2010. Characterizing changes in marine ecosystem services. F1000 Biology Reports 2010,2:54 (doi:10.3410/B2-54). Kawasan Konservasi dan Jenis Ikan. Ditjen KP3K KKP.2007. Pedoman pengelolaan konservasi penyu dan habitatnya. Jakarta. MEA.2013. Ecosystems and human well-being: a framework for assessment. ecosystems and their services.Chapter 2.p 53. Megawanto, R. 2014. Pendanaan berkelanjutan bagi pengelolaan kawasan konservasi perairan. Laporan. Jakarta Menard, C., Shirley, M.M. (Eds.) .2005. New institutional economics. Springer, The Netherlands. Mortimer, JA. 1995. Teaching critical concepts for the conservation of sea turtles. Marine Turtles Newsletter. 71:1-4. Nuitja l .1992. Biologi dan Ekologi Penyu Laut. IPB Press. Bogor Nunes et al.2001. Economic valuation of biodiversity: sense or nonsense?. Ecological Economics 39 (2001) 203–222. Department of Spatial Economics, Free Uni_ersity, De Boelelaan 1105, 1081 HV Amsterdam, Netherlands Ostrom E.1986. A method of institutional analysis. in guidance, control, and evaluation in the public sector, ed.. berlin and new york: de gruyter. _____. 1985a. A Method of institutional analysis. In pathologies of urban processes. K. E. Haynes, A. Kuklinski, and O. Kultalahti Helsinki: Finnpulishers. Ostrom E.2008. Institutions and the environment. institute of economic affairs 2008. Published by Blackwell Publishing, Oxford Pagiola S and Gunars Platais. The Environment strategy notes. BOX 2. World bank Support for the payment for environmental services approach. In environment pieter department paper N0.3. May.2002. Washington DC;World Bank Ruchimat T, Riyanto B, Suraji. 2012. Kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau pulau kecil di Indonesia, paradigma, perkembangan dan pengelolaannya. KKJI-KP3K. Kementerian Kelautan dan Perikanan.Jakarta.Indonesia Satria A.2009. Pesisir dan laut untuk rakyat. IPB Press.Bogor Sevilla, Consuelo G. 2007. Research methods. Rex Book Store. Manila.332 pp.
Segara RA. 2008. Studi karakteristik biofisik habitat peneluran penyu hijau (Chelonia mydas) di Pangumbahan, Sukabumi, Jawa Barat. [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor Sevda Birdir, Özlem Ünal , Kemal Birdir, Allan T. Williams.2013.Willingness to pay as an economic instrument for coastal tourism management: Cases from Mersin, Turkey. Tourism Management 36 (2013) 279-283 Sitorus MTF. 1998. Penelitian kualitatif: suatu perkenalan. laboratorium sosiologi, antropologi dan kependudukan sosek-faperta IPB. Bogor. Soenarno S .2012. Jasa ekosistem. The Indonesian wildlife conservation foundation ( IWF)
105
Susilowati T. 2002. Studi parameter biofisik pantai peneluran penyu hijau (Chelonia mydas,L) di Pantai Pangumbahan, Sukabumi, Jawa Barat. (Skripsi). Departernen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan llmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Suyanto S dan N. Khususiyah.2006. Imbalan jasa lingkungan untuk pengentasan kemiskinan. Jurnal Agro Ekonomi (JAE) Vol 24:1 Tuwo A.2011. Pengelolaan ekowisata pesisir dan laut: pendekatan ekologi, social ekonomi dan sarana wilayah. Brilian Internasional. Surabaya. United Nations ESCAP (UN-ESCAP) .2009. Kebijakan sosial ekonomi inovatif untuk meningkatkan kinerja lingkungan: imbal jasa ekosistem. United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (ESCAP). Bangkok. Wahyudin Y .2011. Karakteristik sumberdaya pesisir dan laut kawasan Teluk Pelabuhan Ratu,Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.Pusat kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB).Bogor WWF.2005.Marine turtle conservation in the asia pacific region, WWF. Indonesia.2005 Wunder S. 2005. Payments for environmental services : some nuts and bolts.CIFOR.Bogor Wunder S. Bui Dung The and E Ibarra.2005. Payment is good, control is better: why payments for environmental services so far have reminded incipient in Vietnam. CIFOR.Bogor Wunder S. 2007. The efficiency of payments for environmental services in tropical conservation. conservation biology, Vol 21, No.1, February 2007.p 48-58 Yulianda F. 2007. Ekowisata bahari sebagai alternative pemanfaatan sumberdaya pesisir berbasis konservasi.Makalah Sains Departemen MSP. IPB, Bogor YAL (Yayasan Alam Lestari).2000. Mengenal penyu. Yayasan Alam Lestari dan Keidanren Nature Conservation Fund (KNCF) Jepang.81 hlm Zavaleta and Jorge E. Morales-Mavil.2013. Nest site selection by the green turtle (Chelonia mydas) in a beach of the northof Veracruz, Mexico. Revista Mexicana de Biodiversidad 84: 927-937. Zaky AM.2011. Analisis biaya transaksi (transaction cost) pengelolaan sumberdaya perikanan (Studi Kasus: Kecamatan Leihitu) Kabupaten Maluku Tengah. Volume 2, No.3. 2011.
106
LAMPIRAN
107 Lampiran 1. Hasil Analisis Regresi Fungsi Permintaan (TCM) Wisatawan Nusantara dengan menggunakan Excel Y 1 1 10 2 4 10 5 3 1 1 1 1 1 3 7
X1 600000 425000 475000 1400000 1200000 475000 225000 225000 475000 1400000 750000 1400000 775000 825000
X3
X4
X5
X6
X7
X8
X9
X10
2750000
X2
5
24
92
8
1
2
2
0,5
3250000
5
23
92
8
1
2
1
0,5
2000000
5
28
22
0,5
3
2
5
6
4000000
5
36
134
12
3
1
2
2
1000000
5
21
73
6
0
2
2
6
2000000
5
22
73
5
0
1
2
6
2750000
5
24
22
0,5
3
2
3
6
4000000
5
62
73
0,5
5
1
2
3
2750000
5
24
134
4
2
2
3
0,5
4000000
5
36
92
12
5
1
3
0,5
1000000
0
18
134
8
0
2
2
2
4000000
0
26
134
12
3
2
24
2
4000000
5
27
134
24
2
2
24
0,5
2000000
4
24
73
4
2
1
3
6
2000000
5
23
73
5
2
1
4
6
2000000
5
28
140
12
3
1
48
2
3
675000 1350000
1
1350000
4000000
5
28
133
10
3
1
72
0,5
1
1400000
4000000
5
29
128
10
3
2
72
0,5
1
1400000
2000000
5
27
128
10
3
1
72
0,5
1
1400000
4000000
5
24
128
4
3
2
10
0,5
1
1400000
2000000
4
30
130
8
4
1
4
2
1
900000
2750000
5
23
130
8
3
1
4
0,5
1
1400000
1000000
0
19
128
4
0
1
2
0,5
1
1400000
4000000
6
53
128
10
4
1
1
0,5
1
1400000
1000000
0
15
128
12
0
1
2
0,5
1
1400000
2750000
4
42
128
12
2
2
2
0,5
1
1400000
4000000
3
45
128
12
3
1
2
0,5
10
475000
4000000
3
48
71
8
5
1
2
6
1
850000
1000000
0
14
92
8
0
1
1
0,5
1
850000
1000000
0
15
92
8
0
1
2
0,5
1
750000
2000000
5
23
92
8
2
1
2
2
2750000
3
26
92
8
2
2
2
2
2750000
5
23
92
8
2
2
2
0,5
4000000
4
26
92
8
2
1
48
0,5
1 1
500000 750000
1
650000
108
1 1 1 2 1 2 1 1 1 8 2 8 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 2 2 8 1 1 1 1
X1 850000 400000 650000 650000 850000 950000 1450000 850000 950000 650000 850000 750000 1100000 1000000 1400000 650000 950000 1400000 1300000 1300000 450000 1250000 1250000 1400000 1400000 1300000 950000 1250000 1400000 1400000 1250000 1400000 700000 850000 950000 500000 1450000 1150000 1050000 850000
X2 4000000
X3 5
X4 52
X5 100
X6 12
X7 2
X8 1
X9 2
X10 0,5
1000000
5
29
92
8
1
2
3
2
3250000
5
30
92
8
2
1
72
0,5
3250000
5
35
92
8
3
1
2
3
2750000
5
27
92
8
2
1
2
0,5
2000000
3
31
92
8
2
1
2
2
4000000
4
38
128
12
3
2
2
0,5
1000000
5
40
92
8
3
2
2
0,5
4000000
5
37
128
12
3
1
2
0,5
1000000
3
30
15
0,5
3
1
2
6
2000000
0
21
92
8
3
1
1
2
2750000
3
21
22
8
1
1
2
6
3250000
3
33
128
12
1
1
2
0,5
1000000
5
19
92
8
1
1
3
0,5
4000000
3
40
128
8
3
2
5
0,5
1000000
3
23
92
8
3
2
3
0,5
1000000
0
17
92
8
0
1
4
0,5
4000000
5
30
128
12
1
1
3
3
4000000
5
31
102
12
2
1
1
0,5
4000000
5
39
102
12
1
1
48
0,5
4000000
3
48
71
6
3
1
12
0,5
1000000
0
19
128
12
0
1
2
0,5
2000000
3
32
128
12
3
1
2
0,5
4000000
5
38
128
12
8
1
2
0,5
4000000
5
37
128
12
3
1
2
2
3250000
5
35
130
12
6
1
48
2
2000000
5
25
71
6
6
2
3
0,5
1000000
0
23
92
8
3
1
1
0,5
4000000
5
28
133
10
3
1
72
0,5
4000000
5
29
128
10
3
2
72
0,5
2000000
5
27
128
10
3
1
72
0,5
2000000
5
25
71
6
3
2
3
0,5
2000000
0
21
92
8
4
1
6
0,5
1000000
3
23
92
8
3
1
1
0,5
2000000
0
21
92
8
2
1
2
2
2750000
0
21
71
8
1
1
2
6
3250000
3
33
128
12
1
1
2
0,5
1000000
5
19
92
8
1
1
3
0,5
4000000
3
40
128
8
3
2
2
0,5
1000000
3
23
92
8
2
2
5
0,5
109 Y 1
X1 1400000
1
1050000
1
1250000
1
1000000
1
950000
1
1250000
X2 2000000
X3 5
X4 20
X5 128
X6 24
X7 2
X8 1
X9 2
X10 0,5
4000000
5
28
128
12
2
1
2
0,5
1000000
5
48
96
8
4
2
28
0,5
1000000
5
48
15
1
3
2
3
0,5
4000000
4
36
96
8
3
1
2
0,5
1000000
3
25
92
8
2
2
4
0,5
SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics
2,50847E-07
Multiple R
0,889546891
2,50847E-07
R Square Adjusted R Square
0,791293672
3986493,759
Standard Error
1,100895663
0,761046378
Observations
80
ANOVA df
SS
MS
Regression
10
317,061483
31,70615
Residual
69
83,62601698
1,211971
Total
79
400,6875
Coefficients
Standard Error
F 26,1608087
t Stat
P-value
Significance F 1,05E-19
Lower 95%
Upper 95%
Lower 95,0%
Upper 95,0%
Intercept
0,096481039
0,898277812
2,187308
0,032111601
0,172795
3,756826
0,172795
3,756826
X Variable 1
-2,50847E-07
4,68877E-07
-0,535
0,594372939
-1,2E-06
6,85E-07
-1,2E-06
6,85E-07
X Variable 2
1,86073E-08
1,44864E-07
0,128447
0,898168993
-2,7E-07
3,08E-07
-2,7E-07
3,08E-07
X Variable 3
-0,076238119
0,080789005
-0,94367
0,348631183
-0,23741
0,084932
-0,23741
0,084932
X Variable 4
0,007494781
0,017682117
0,423862
0,672984806
-0,02778
0,04277
-0,02778
0,04277
X Variable 5
-0,013792941
0,006910385
-1,99597
0,049885358
-0,02758
-7,1E-06
-0,02758
-7,1E-06
X Variable 6
0,036060117
0,04407945
0,818071
0,416132856
-0,05188
0,123996
-0,05188
0,123996
X Variable 7
0,041940841
0,102156878
0,410553
0,682672262
-0,16186
0,245738
-0,16186
0,245738
X Variable 8
-0,237545202
0,274986564
-0,86384
0,390667183
-0,78613
0,311038
-0,78613
0,311038
X Variable 9
0,005310387
0,006436197
0,825082
0,412168743
-0,00753
0,01815
-0,00753
0,01815
X Variable 10
0,967513447
0,08686622
11,13797
4,54967E-17
0,79422
1,140807
0,79422
1,140807
110
111
Lampiran 2. Hasil Perhitungan Nilai Surplus Konsumen Wisatawan Nusantara Perhitungan Surplus Konsumen Diketahui b1= Individu
Y (Jumlah Kunjungan)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
1 1 10 2 4 10 5 3 1 1 1 1 1 3 7 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 10 1 1 1 1 1
2,50847E-07 Surplus Konsumen/Individu CS = N2/2b1 7972987,518 7972987,518 79729875,18 15945975,04 31891950,07 79729875,18 39864937,59 23918962,55 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 23918962,55 55810912,63 23918962,55 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 79729875,18 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518
Surplus Konsumen (SK)/Individu/Kunjungan
7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518
112 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76
1 1 1 1 2 1 2 1 1 1 8 2 8 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 2 2 8 1 1 1 1 1 1
7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 15945975,04 7972987,518 15945975,04 7972987,518 7972987,518 7972987,518 63783900,15 15945975,04 63783900,15 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 15945975,04 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 15945975,04 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 15945975,04 15945975,04 63783900,15 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518
7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518
113 77 78 79 80
1 1 1 2
7972987,518 7972987,518 7972987,518 15945975,04 1243786053 15.547.326
Mean
SK jumlah kunjungan nilai ekonomi
7972987,518 7972987,518 7972987,518 7972987,518 637839001,5 7.972.988
7.972.988 24765 197.451.035.890
114 Lampiran 3. Hasil Analisis Regresi Fungsi Permintaan (TCM) Wisatawan Mancanegara dengan menggunakan Excel No
Biaya Yang dikeluar kan ($US)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
5270 5270 2840 2840 4970 4970 4385 4970 4970 4970
Jarak (km)
Umur (Tahun)
11721 11721 2581 2581 11778 11778 11449 11778 11778 11778
Jumlah Anggota Keluarga
33 44 45 55 44 50 26 24 26 23
4 4 5 3 2 2 0 0 0 0
Penda patan Rata rata Perbul an ($US)
waktu yang diperlukan untuk mengetahui tempat rekreasi pangumbahan (Tahun)
Lama Waktu Kunju ngan
1917 1667 1500 2083 2083 1354 2031 2708 2083 2083
1 1 0,25 0,25 2 1 1 1 1 1
3 5 2 2 2 2 1 2 2 2
Jumlah rekan yang ikut serta
Intensi tas Kedata ngan (Kali)
4 4 15 4 3 0 0 0 0 0
3 2 1 1 1 2 1 1 1 1
RLBdan MULTIKOLINEARITAS Model Summary (b)
Model
1
R
R Square
R Square Change 1,000(a)
F Change 1,000
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
df1
df2 ,04156
,966
Change Statistics Sig. F Change 1,000
R Square Change 318,328
a Predictors: (Constant), X8, X7, X3, X6, X5, X4, X1, X2 b Dependent Variable: Y
Tabeluji F ANOVA (c)
Model 1
Regression Residual
Sum of Squares 4,398 ,002
df 8
Mean Square ,550
1
,002
Total
4,400 9 a Predictors: (Constant), X8, X7, X3, X6, X5, X4, X1, X2 b Dependent Variable: Y Nilai R2 sebesar 0,966% Tabeluji F menunjukanvarialbel X mempengaruhi variable
F 318,328
Sig. ,043 (a)
F Change 8
df1 1
df2 ,043
115
Coefficients(a) Model Unstandardized Coefficients Std. B Error 1
(Cons tant) X1
-,414
,442
Standar dized Coeffici ents Beta
Correlations t
Sig.
-,936
,521
Zeroorder
Partial
Part
Collinearity Statistics Tole rance VIF
-1,92E-006
,000
,807
5,140
,112
,444
,982
,102
,016
62,826
X2
2,66E-005
,000
,147
,744
,593
,303
,597
,015
,010
99,269
X3
-,019
,004
-,326
-4,420
,142
,160
-,975
-,088
,072
13,827
X4
,747
,028
2,075
26,569
,024
,491
,999
,526
,064
15,545
X5
,001
,000
-,001
-,023
,985
-,398
-,023
,000
,195
5,137
X6
-,659
,088
-,455
-7,479
,085
,066
-,991
-,148
,106
9,428
X7
-,393
,027
-,596
-14,404
,044
,570
-,998
-,285
,230
4,357
X8
-,153
,013
-1,011
-11,925
,053
,000
-,997
-,236
,055
18,309
a Dependent Variable: Y
Variabel X4 dan X7 yang berpengaruh (nilai sig < 0,05) X4 = Jumlah anggota keluarga X7 = Lama waktukunjung Terjadi multikolinearitas (Tolerance < 0,1dan VIF > 10) pada variable X1, X2, X3, X4, dan X8
UJI NORMALITAS One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Unstandardize d Residual N
10 Mean
Normal Parameters(a,b) Most Extreme Differences
Std. Deviation
,0000000 ,01385279
Absolute
,303
Positive
,303
Negative
-,244
Kolmogorov-Smirnov Z
,957
Asymp. Sig. (2-tailed)
,319
a Test distribution is Normal. b Calculated from data.
Data normal dananalisis RLB dapatditerima (sig > 0,05)
116 Lampiran 4. Hasil Perhitungan Nilai Surplus Konsumen Wisatawan Nusantara Perhitungan Surplus Konsumen Diketahui b1= Individu
Y (Jumlah Kunjungan)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
0,00000192 Surplus Konsumen/Individu
3 2 1 1 1 2 1 1 1 1
CS = N2/2b1 9375000 4166666,667 1041666,667 1041666,667 1041666,667 4166666,667 1041666,667 1041666,667 1041666,667 1041666,667
14
SK
Surplus Konsumen (SK)/Individu/Kunjungan
25.000.000
14.583.333
jml kunjungan
24765
nilai ekonomi
361.156.250.000
3125000 2083333,333 1041666,667 1041666,667 1041666,667 2083333,333 1041666,667 1041666,667 1041666,667 1041666,667 14.583.333
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat (BBKSDA)
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi (DKP)
Dinas Kepariwisataan,Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Sukabumi (Dispar)
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sukabumi (Dishut)
Badan lingkungan Hidup Kabupaten Sukabumi (BLH)
Badan perencanaan dan Pembangunan daerah Kabupaten Sukabumi (Bappeda)
DPRD Kabupaten TNI AngkatanLaut (TNI AL) PolisisSektorKecamatanCiracap (Polsek)
PolisiPerairan (Polair) DesaPangumbahan (DP) Desa Ujung Genteng (DU) Desa Gunung Batu (DG)
No 1
2
3
4
5
6
7
8 9 10
11 12 13 14
Para Pihak (stakeholder)
Lampiran 5. Nilai Penting dan Pengaruh Stakeholders Pengelolaan KKTP4S
10 12 20 19 18 16 13 9 9 9
3 2 2 1 2 3 2 3 2 2 4 3 5 4 4 4 4 4 4 3 4 4 3 4 3 4 4 3 3 3
1 2 1 1 1
15
3 3 3 3 3
4 2 2 2 2
24
5 5 5 5 4
3 2 1 1 1
20
5 4 4 4 3
4 3 2 2 2
22
5 5 4 5 3
3.2 2.6 1.8 1.8 1.8
4 3.8 3.6
2.4
2
3
4.8
4
4.4
3 3 3 3 3
3 3 3 3 3
3 3 3 3 3
2 2 3 3 3
3 3 2 2 2
5 4 4 3 4 2 2 2 2 1 3 3 3 2 3
2 3 3 3 3
3 4 3 3 2
3 4 3 3 2
4 4 3 3 4
4 4 5 4 4
5 5 5 4 4
14 14 14 14 14
20 9 14
14
15
15
18
21
23
P P P P P K K K K K Juml 1 2 3 4 5 Jumlah Rata2 1 2 3 4 5 ah
2.8 2.8 2.8 2.8 2.8
4 1.8 2.8
2.8
3
3
3.6
4.2
4.6
Rata2
117
Kelompok Masyarakat Peduli Penyu (KMPP)
World Wide Fund for Nature (WWF)
Institut Pertanian Bogor (IPB) Wisatawan Pengusaha Hotel/Restoran Perusahaan Penambangan
16
17
18 19 20 21
Keterangan : Skor 5 = Keterlibatana,b,c,d skor 4 = Keterlibatan 3 point skor 3 = Keterlibatan 2 point skor 2 = Keterlibatan 1 point skor 1 = tidakterlibat P = Pengaruh K = Kepentingan
Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas)
No 15
Para Pihak (Stakeholder)
Lampiran 5. Nilai Penting Dan Pengaruh Stakeholders Pengelolaan KKTP4S
2 2 4 4 1
14 10 20 22 8
4 2 3 4 2
4 2 4 4 2
2 2 5 5 1
10
2 2 2 2 2 2 2 4 5 2
10
2 2 2 2 2
2.8 2 4 4.4 1.6
2
2
2 3 1 1 3
3 4 2 2 2
4 3 2 2 2
4 3 1 2 1
2 3 1 1 2
3 4 3 4 2
3 4 3 4 2
15 16 7 8 10
16
16
P P P P P K K K K K Juml 1 2 3 4 5 Jumlah Rata2 1 2 3 4 5 ah
3 3.2 1.4 1.6 2
3.2
3.2
Rata2
118
pendaratan penyu
0
200
400
600
800
1000
1200
2008
12
2
4
2009
6
8
10 12
2
4 2010
6
8
10 12
Lampiran 6. Uji Statistika Pendaratan Penyu
2
4
2011
6
10 12
tahun
8
2
4
2012
6
8
10 12
2
4
2013
6
8
10 12
2
4
2014
6
8
119
10
237,5833
272,5000
247,3333
107,9167
482,5833
151,4545
268,8904
12
12
12
12
12
11
73
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Total
6
66 72
2818823,144
4628471,123
Within Groups
Total
df
ANOVA
66
Sig.
6
df2
1809647,979
Sum of Squares
df1
Between Groups
pendaratan_penyu
10,475
Levene Statistic
pendaratan_penyu
42709,442
301607,997
Mean Square
F
29,67503
34,02041
109,16851
15,43975
48,43839
60,50438
42,71372
163,00000
Std. Error
,000
253,54353
112,83294
378,17083
53,48485
167,79551
209,59333
147,96465
230,51681
Std. Deviation
Test of Homogeneity of Variances
894,0000
2
Mean
2008
N
pendaratan_penyu
7,062
Sig.
328,0465
227,2567
722,8616
141,8993
353,9455
405,6692
331,5956
2965,1114
Upper Bound
,000
209,7343
75,6523
242,3051
73,9340
140,7212
139,3308
143,5711
-1177,1114
Lower Bound
95% Confidence Interval for Mean
Descriptives
40,00
43,00
85,00
40,00
102,00
58,00
95,00
731,00
Minimum
1057,00
369,00
1037,00
219,00
642,00
607,00
565,00
1057,00
Maximum
120
jumlah wisatawan
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
8
2008
10 12
2
4
2009
6
8
10 12
2
4 2010
6
8
Lampiran 7. Uji Statistika untuk Wisatawan
10 12
2
4
8
10 12 2011 tahun
6
2
4
2012
6
8
10 12
2
4
2013
6
8
10 12
2
6 2014
4
8
121
1413,5000
1813,2500
1748,6667
2063,7500
1048,2222
1484,9041
12
12
12
12
9
73
2010,00
2011,00
2012,00
2013,00
2014,00
6
66 72
61025034,722
76087940,329
Within Groups
Total
Df
924621,738
2510484,268
F
120,31790
255,83658
501,22996
177,25052
237,55379
206,23422
204,08636
191,81349
Std. Error
Mean Square
ANOVA
66
Sig.
6
df2
15062905,607
Sum of Squares
df1
Between Groups
jumlah_wisatawan
,884
Levene Statistic
jumlah_wisatawan
,512
1027,99657
767,50974
1736,31151
614,01382
822,91048
714,41629
706,97589
383,62699
Std. Deviation
Test of Homogeneity of Variances
1098,0000
12
2009,00
Total
329,5000
4
Mean
2008,00
N
jumlah_wisatawan
2,715
Sig.
1724,7535
1638,1824
3166,9497
2138,7924
2336,1024
1867,4185
1547,1911
939,9361
Upper Bound
,020
1245,0548
458,2620
960,5503
1358,5409
1290,3976
959,5815
648,8089
-280,9361
Lower Bound
95% Confidence Interval for Mean
Descriptives
58,00
456,00
947,00
730,00
1028,00
544,00
78,00
58,00
Minimum
7359,00
2823,00
7359,00
3133,00
4003,00
2599,00
2545,00
896,00
Maximum
122
KKTP4S
1
2
Lokasi
No
Nyamplung
Pandan
Nama Lokal
Calophyllum inophyllum
Pandanus tectorius
Nama Latin
Jenis Vegetasi
Fungsi Jasa Ekosistem
berfungsi sebagai pemecah angin, sumber energi biofuel (biodisel), biokarosen (pengganti minyak tanah),Manfaat lain dari bagian tanaman nyamplung adalah kayunya yang termasuk kayu komersial, dapat digunakan untuk bahan pembuatan perahu, balok, tiang, papan lantai dan papan pada bangunan perumahan dan bahan kontruksi ringan; getahnya dapat disadap untuk mendapatkan minyak yang diindikasikan berkhasiat untuk menekan pertumbuhan virus HIV. Daunnya mengandung senyawa costatolide-A, saponin dan acid hidrocyanic yang berkhasiat sebagai obat oles untuk sakit encok, bahan kosmetik untuk perawatan kulit, menyembuhkan luka seperti luka bakar dan luka potong. Bunganya dapat digunakan sebagai campuran untuk mengharumkan minyak rambut. Bijinya setelah diolah menjadi minyak bermanfaat untuk pelitur, minyak rambut dan minyak urut, berkhasiat juga untuk obat urus-urus dan rematik. (Sumber : http://www.republika.co.id/berita/4482/Tanaman_Nyamplun g_Berpotensi_Sebagai_Sumber_Energi_Biofuel) 25 Mei 2009
Pemecah ombak, pencegah erosi,abrasi, Habitat penyu utk bertelur, tanaman hias laut (Wikipedia,2014)
Lampiran 8. Pemetaan Jasa Ekosistem TP Pantai Penyu Pangumbahan
REGULATING, PROVISIONING
REGULATING
Kategori Jasa Ekosistem (Buckhard, 2013)
123
Ketapang
4
Terminalia cattapa
Calotropis gigantea
Nama Latin
Jenis Vegetasi
Nama Lokal
Biduri Laut (Babakoan)
Lokasi
3
No
pengaturan kualitas udara (melalui fotosintesis yang dilakukan oleh tanaman ini), sebagai sumber protein, asam amino,asam palmita,kalsium (dari bijinya yang bisa dimakan dan rasanya seperti biji kenari),Pepagannya dan daun-daunnya dimanfaatkan orang untuk menyamak kulit, sebagai bahan pewarna hitam, dan juga untuk membuat tinta. Pepagan menghasilkan zat pewarna kuning kecoklatan sampai warna zaitun, dan mengandung 11–23% tanin; sementara daun-daunnya mengandung 12 macam tanin yang dapat dihidrolisis. Dalam pada itu populer keyakinan di kalangan penggemar ikan hias bahwa menaruh daun-daun ketapang kering di akuarium, khususnya ikan cupang (Betta spp.), dapat memperbaiki kesehatan dan memperpanjang umur ikan. . Kayu ini dalam perdagangan dikenal sebagai red-brown terminalia, dan digunakan sebagai penutup lantai atau venir. Di Indonesia, kayu ini digunakan dalam pembuatan perahu dan juga untuk ramuan rumah . (Wikipedia.org)
khasiat obat untuk menyembuhkan penyakit kudis,sakit perut,sakit telinga, penymbuh luka/borok,lepra,sipilis, gonorhea,bisul, digigit ular berbisa,sakit gigi, campak,sariawan,gatal gatal (KEHATI,2014)
Fungsi Jasa Ekosistem
Lampiran 8. Pemetaan Jasa Ekosistem TP Pantai Penyu Pangumbahan
REGULATING, PROVISIONING
PROVISIONING
Kategori Jasa Ekosistem (Buckhard, 2013)
124
Anggur Laut Waru Laut
Pakis
8 9
10
7
Katang katangan Rumput angin
6
Cycas rumphii
Coccoloba uvifera Hibiscus tiliaceus
Ipomoea pes caprae (L) sweet Spinifex littoralis
Crinum asiaticum
Nama Latin
Jenis Vegetasi
Nama Lokal
Babakungan
Lokasi
5
No
tanaman buah untuk bahan rujak tujuh bulanan Di Filipina, pepagannya digunakan untuk mengobati disentri. Di Papua Nugini, rebusan daunnya dipakai untuk radang tenggorokan, paru-paru basah, batuk, TBC dan diare. Daun dan akarnya bila ditumbuk dan dicampur dengan air, dapat digunakan untuk memperlancar proses kelahiran. (KEHATI,2014) Bijinya dapat dimakan, diolah menjadi tepung. Biji mentah beracun. Daun yang paling muda dimakan sebagai sayur. Batangnya dapat menghasilkan semacam sagu. Tapal dari biji dan pepagan dipakai untuk menyembuhkan pegal-pegal dan gangguan kulit. jenis ini juga penting sebagai tanaman hias. (KEHATI,2014)
Berguna sebagai pengikat pasir pada bukit pasir di pantai yang tidak stabil.
Tanaman ini telah lama digunakan sebagai bahan obat tardisional depresan sistem syarat pusat.Tanaman ini dapat digunakan sebagai pengganti pestisida yang berfungsi sebagai bakterisida, dan virisida.Senyawa dari tanaman ini mengandung alkaloid yang terdiri dari likorin, hemantimin, krinin dan krianamin.Tanaman ini bermanfaat untuk menekan /menghambat pertumbuhan Fusarium oxyporum (KEHATI,2014)
Fungsi Jasa Ekosistem
Lampiran 8. Pemetaan Jasa Ekosistem TP Pantai Penyu Pangumbahan
PROVISIONING
PROVISIONING PROVISIONING
penahan abrasi (KEHATI, 2014 REGULATING
PROVISIONING
Kategori Jasa Ekosistem (Buckhard, 2013)
125
Teki laut
Lamtoro
Kara Laut Posi posi
api api
12
13
14 15
16
Nama Lokal
Rumput Larian
Lokasi
11
No
Avicennia spp
Canavalia maritima Soneratioa spp
Leucaena leucocephala (Lam.) de Wit
Cyperus pedunculatus
Borreria latifolia
Nama Latin
Jenis Vegetasi
Menyuburkan habitat untuk peningkatan perolehan hasil tangkapan seperti kepiting, udang dan ikan baik untuk kepentingan keluarga maupun komersial
Menyebarkan unsur hara ketika badan air sedang surut Menjaga dan memelihara posisi garis pantai dari bahaya erosi Daerah asuhan (Nursey ground) berbagai larva biota perairan seperti ikan, udang dan biota lainnya
Menahan tekanan air pasang sehingga mengurangi laju instrusi air asin Mengendapkan partikulat yang melayang dalam badan air pada saat kecepatan arus pasang terhenti
Pengikat pasir yang spontan (KEHATI, 2014) Mereduksi tinggi ombak atau melemahkan energi ombak
Sebagai Pengikat pasir,bahan pembuat parfum (KHATI, 2014) kayu bakar, makanan ternak, peneduh dan pupuk hijau. Di kawasan tropis di dataran-dataran rendah, Petai cina ditanam sebagai tanaman pengikat nitrogen. , Penyerap CO2 penghasil O2 . Selain itu, penanaman tanaman ini juga membantu tanah dari bahaya erosi. (KEHATI,2014)
Berfungsi sebagai tanaman penutup tanah yang berperan sebagai penahan erosi, pnjernih air tanah, menambah bahan organik (KEHATI, 2014)
Fungsi Jasa Ekosistem
Lampiran 8. Pemetaan Jasa Ekosistem TP Pantai Penyu Pangumbahan
REGULATING REGULATING,PR OVISIONING
PROVISIONING
REGULATING
REGULATING
Kategori Jasa Ekosistem (Buckhard, 2013)
126
Akasia Mimba
Kayu kalliage Wareng
Ki Jente Renghas
Sawo sawoan Babakoan
Lampeni
18 19
20 21
22 23
24 25
26
Nama Lokal
Kepuh
Lokasi
17
No
Ardisia numilis
Sapotaceae Scaevola taccada
Dillenia auren Gluta renghas
Cudrania sp Gmelina asiatica
Acacia mangium Azadirachata indica A. Juss
Sterculia foetida
Nama Latin
Jenis Vegetasi
Fungsi Jasa Ekosistem
Kayunya bahan pembuat perahu (Wikipedia.org,2014) tanaman obat obatan berbagai macam penyakit,stabilisasi tanah dan perlindungan dari angin dan semburan garam di daerah pantai serta sebagai bahan baku makanan ikan (Wikipedia.org,2014) Buah dan Daun dapat dimakan sebagai lalapan(sayuran) dapat bermanfaat untuk penyakit jantung,perut ,Gatal Gatal ( Abdullah et al, 2010)
Tanaman obat penurun darah tinggi (Wikipedia.org,2014) Kayunya banyak dimanfaatkan sebagai furniture,lantai,kayu lapis,tiang,jembatan,bantalan rel kereta api,Perahu, dan sebagai bahan pewarna (Wikipedia.org,2014)
Kayu Bakar, Pewarna pakaian (Wikipedia.org,2014) Nilai ekonomis karena bisa dijadikan bonsai, pewarna pakaian (Wikipedia.org,2014)
Daunnya untuk obat obatan dan bahan malam untuk membatik (KEHATI,2014) penahan abrasi (Wikipedia.org,2014) obat penyembuh penyakit lever, dan sebagai bahan pembuat insektisida (Wikipedia.org,2014)
Kayunya dimanfaatkan sebagai peti pengemas, dan batang korek api,mebel
Memanfaatkan Mangrove sendiri untuk kepentingan bahan bakar maupun industri kerajinan rumah tangga (pembuatan atap nipa, minuman tuak, gula merah) (Tuheteru et al 2012)
Lampiran 8. Pemetaan Jasa Ekosistem TP Pantai Penyu Pangumbahan
PROVISIONING
PROVISIONING PROVISIONING
PROVISIONING PROVISIONING
PROVISIONING
REGULATING PROVISIONING
PROVISIONING
Kategori Jasa Ekosistem (Buckhard, 2013)
127
128 Lampiran 9. Kantor Pengelola KKTP4S, Home Stay dan Kegiatan Penangkaran didalamnya
129 Lampiran 10. Kawasan Konservasi Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan (KKTP4S)
130 Lampiran 11. Vegetasi Dominan di KKTP4S
131 Lampiran 12. Aksesibilitas Menuju Lokasi dan Salah Satu Kegiatan Wawancara
132
Lampiran 14. Pertanian Pesisir, Perkebunan,Pemukiman Penduduk di KKTP4S
133 Lampiran 15. Wisatawan Nusantara dan Wisatawan Asing di KKTP4S
134 Lampiran 16. Beberapa Responden Masyarakat dan Nelayan di KKTP4S
135 DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara yang dilahirkan di Jakarta pada tanggal 07 Desember 1974. Penulis merupakan putri dari pasangan Bapak Sobrianto dan Ibu Hj. Siti Mrihasih. Pendidikan Sarjana ditempuh penulis di Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 1994 melalui Jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) dan menyelesaikan studi pada Februari 1999 dengan judul skripsi “Dampak Industri Pembekuan Ikan terhadap Nilai Tambah dan Kesempatan Kerja pada Delapan Propinsi di Indonesia”. Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kementerian Kelautan dan Perikanan dari Tahun 2005 sampai sekarang dan ditempatkan pada Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (PRL), Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati dan Laut (KKHL) Sub Direktorat Kemitraan dan Sarana Prasarana Konservasi. Penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan program pascasarjana pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL), Institut Pertanian Bogor pada tahun 2013 melalui beasiswa pendidikan pascasarjana dari Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Kelautan dan Perikanan (BPSDMKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia. Selama mengikuti program S-2, penulis telah menulis artikel dengan judul Analisis Ketersediaan Jasa Ekosistem (Ecosystem Services Budget Analysis) Kawasan Pesisir untuk Konservasi Penyu (studi kasus Kawasan Konservasi Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan,Kabupaten Sukabumi) pada jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. Artikel lain berjudul Valuasi Ekonomi Jasa Ekosistem non material Di Kawasan Konservasi Penyu (studi kasus Kawasan Konservasi Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan,Kabupaten Sukabumi) pada jurnal Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi kelautan dan Perikanan, BalitbangKP KKP dan Jurnal berjudul Alternatif Rejim Pengelolaan Kawasan Konservasi Penyu dengan Pendekatan Pembayaran Jasa Ekosistem (PES) (Studi Kasus Kawasan Konservasi Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan,Kabupaten Sukabumi) pada jurnal Ilmu Kelautan UNDIP. Artikel tersebut dalam proses penerbitan.