Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VIII PENUTUP
A. Kesimpulan 1) Dari hasil kajian dan analisis terhadap berbagai literatur dapat ditarik satu kesimpulan sebagai berikut : a) Ada beberapa definisi tentang angkutan massal namun salah satu definisi yang cukup singkat dan tepat adalah sebagai berikut; angkutan yang mampu mengangkut dan memindahkan banyak orang dalam waktu yang bersamaan. Begitu pula halnya untuk definisi “Angkutan Massal Berbasis Jalan”. Salah satu definisi adalah sebegai berikut; moda angkutan umum cepat yang mampu mengkombinasikan kualitas angkutan massal berbasis rel dengan tingkat fleksibilitas dari angkutan bis. b) Moda transportasi yang ramah lingkungan dapat didefinisikan sebagai moda yang dapat memberikan manfaat bagi lingkungan, yaitu kendaraan dengan konsumsi bahan bakar yang rendah (efisien), menghasilkan emisi polutan dan suara yang rendah, manufaktur yang ramah lingkungan, menggunakan bahan-bahan pembentuk kendaraan yang optimum dan dapat di daur ulang, serta mempunyai kelebihan lain yang relevan dengan lingkungan. c) Secara umum, kendaraan yang hemat energi adalah kendaraan dengan konsumsi bahan bakar paling efisien atau ekonomis, dimana efisiensi pengunaan bahan bakar diukur berdasarkan rasio jarak tempuh perjalanan per unit bahan bakar yang dikonsumsi, biasanya dalam km/ liter. Namun bagi sistem angkutan massal yang hemat energi tergantung dari beberapa faktor seperti teknologi peggerak dan jenis bahan bakar, pola operasional bis, keterpaduan rencana jaringan dengan guna lahan dan kebijakan pendukung lainnya. d) Dengan asumsi ketersediaan dari sumber energi dan kebijakan perlindungan lingkungan, maka sumber energi penggerak dari moda angkutan massal berbasis jalan yang ramah lingkungan adalah tenaga listrik, gas alam dan Solar bersih.
BAB VIII – Penutup
VIII-1
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
2) Dari hasil observasi lapangan diperoleh gambaran: a) DKI Jakarta telah menerapkan sistem BRT, sedangkan Palembang, Bandung dan Semarang baru menerapkan sistem semi BRT (sistem Transit). Namun seluruh kota yang diobservasi telah memiliki konsep perencanaan sistem angkutan massal pada tataran makro. b) Kondisi faktual di tujuh kota yang dijadikan sampel dalam studi ini, jaringan angkutan umumnya tidak terstruktur dan tumpang tindih serta tidak terintegrasi secara fisik maupun sistem. c) Angkutan kereta api yang beroperasi di DKI Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan merupakan bagian dari sistem angkutan massal regional namun dalam pelaksanaanya sebagian besar berjalan sendiri-sendiri. Seringkali akses menuju ke stasiun kurang didukung moda angkutan umum lainnya. 3) Berdasarkan analisis terhadap data teknis yang diperoleh dari observasi lapangan, Kota Jakarta, Medan, Bandung dan Surabaya sudah layak dilayani oleh angkutan massal berbasis Rel pada koridor-koridor yang sesuai 4) Penerapan angkutan massal jalan raya lebih sesuai pada koridorkoridor yang perkembangan intensitas guna lahannya linier 5) Penetapan struktur jaringan layanan (Trunk-Feeder atau Direct Service) bisa ditinjau dari perbedaan kepadatan penduduk antar wilayah, jarak antara pusat dan pinggir kota dan besaran permintaan pada koridor yang dikaji. 6) Regulasi yang mewajibkan penerapan lajur khusus (terproteksi) untuk angkutan massal jalan raya merupakan kendala utama untuk kota-kota besar di Indonesia 7) Secara substansi, lajur khusus baru perlu diterapkan bila kecepatan tempuh rata-rata pada koridor yang dikaji kurang dari 20 km/jam 8) Dalam studi ini telah dikembangkan konsep pedoman pengembangan angkutan massal berbasis jalan yang mempertimbangkan konsep ramah lingkungan dan hemat energi 9) Karena luasnya lingkup definisi dari istilah “pengembangan”, maka pedoman yang dikembangkan difokuskan pendalamannya untuk prosedur perencanaan angkutan massal perkotaan berbasis jalan. 10) Untuk uji coba aplikasi dari konsep pedoman yang dikembangkan, khusus untuk lingkup perencanaan koridor dan operasional, kota Surabaya adalah kota yang paling memenuhi karena;
BAB VIII – Penutup
VIII-2
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
a) Data untuk analisis tersedia dengan memadai; b) Belum menerapkan/mengoperasikan massal;
sistem
angkutan
c) Konsep perencanaan makronya tidak mengarah kepada angkutan massal berbasis jalan (sistem BRT). 11) Dari hasil uji coba perencanaan sistem BRT di kota Surabaya dengan prosedur analisis skala penuh dapat ditarik beberapa kesimpulan: a) Pengoperasian SAUM secara multi koridor (konektifitas antar moda) akan memberikan nilai tambah baik dari jumlah penggunaan SAUM itu sendiri maupun jumlah transaksi (penjualan tiket) dengan catatan adanya integrasi sistem antar koridor SAUM. b) Perencanaan desain kapasitas hendaknya didasarkan pada volume maksimum yang terjadi di tiap koridor hal ini untuk menjaga seluruh potensi penumpang yang dapat diangkut. c) Perencanaan kapasitas berdasarkan volume maksimum terlihat over capacity, namun sesungguhnya desain kapasitas berdasarkan volume rata-rata koridor tidak menjamin nilai faktor muat akan semakin baik. d) Penerapan desain berdasarkan volume rata-rata koridor akan mengakibatkan adanya potensi demand yang tidak terangkut. Hal ini dapat disiasati dengan membuat suatu rute pelayanan khusus, namun nilai load factor mungkin tidak akan lebih baik dibanding desain berdasarkan nilai volume maksimum ruas. e) Selain itu perlu dicermati bahwa dengan adanya tambahan armada khusus akan berimplikasi tambahan biaya operasional (minimal dari jumlah armada dan SDM lapangan yang lebih banyak). f) Penggunaan CNG tidak selalu memiliki nilai BOK lebih baik dari bus berbahan bakar diesel. Sedangkan dari sisi emisi bus berbahan bakar CNG menghasilkan emisi (CO2e) lebih baik dibandingkan bus diesel standar EURO 2 namun tidak lebih baik jika dibandingkan emisi bus diesel EURO 6. g) Dalam desain SAUM hendaknya memperhatikan kemungkinan peningkatan demand dimasa mendatang.
BAB VIII – Penutup
VIII-3
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
h) Dengan memiliki nilai perkiraan demand masa mendatang dapat diperkirakan kemungkinan-kemungkinan perubahan yang dapat terjadi. i)
Untuk contoh kasus SAUM di kota Surabaya, sistem articulated bus hanya sanggup melayani demand hingga tahun 2015. Adanya dua opsi bi-articulated atau LRT tentu harus dipertimbangkan saat awal SAUM direncanakan terutama berkaitan dengan penyediaan lahan (memperkirakan desain halte, koridor, utilitas, sarana dan prasarana pendukung).
B. Rekomendasi 1) Urutan prioritas untuk kebijakan penggunaan bahan bakar angkutan massal perkotaan berbasis jalan adalah moda dengan teknologi penggerak berbasiskan: tenaga listrik, bahan bakar gas alam dan Solar bersih 2) Dalam konteks penggunaan energi alternatif untuk sumber tenaga listrik bisa mulai mempertimbangkan penggunaan teknologi nuklir 3) Kebijakan penggunaan bahan bakar gas alam untuk sistem BRT di Indonesia harus merupakan kebijakan yang bersifat transisional untuk sampai pada penggunaan teknologi penggerak listrik baik yang didasarkan dari tenaga pembangkit konvensional maupun tenaga pembangkit berbasiskan tenaga nuklir 4) Kriteria (teknis) utama untuk penetapan sistem operasional Angkutan Massal Jalan Raya adalah besarnya permintaan (demand) dan kecepatan tempuh rata-rata (operasional) pada masing-masing koridor 5) Pola operasional sistem Transit atau BRT di Indonesia harus menggunakan pendekatan jejaring dan sistem teknologi pintar (ITS). 6) Sistem Transit atau BRT untuk kota-kota (Besar & Raya) sebaiknya menerapkan sistem operasi layanan langsung (direct service) 7) Sistem Transaksi BRT harus menerapkan sistem elektronik 8) Pengelolaan angkutan massal jalan raya (BRT) harus diserahkan pada suatu lembaga pengelola yang terpisah dari Regulator/Otorita & Operator. 9) Rencana Operasional sistem BRT di kota-kota Indonesia mutlak harus memiliki rencana usaha (Bisnis Plan)
BAB VIII – Penutup
VIII-4
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
10) Regulator/Otorita harus memberikan kewenangan penuh pada lembaga pengelola untuk mengelola secara profesional & menerapkan pendekatan bisnis pada skala penuh 11) Perlu dikembangkan pedoman rancangan operasional khusus untuk BRT dengan sistem operasi layanan langsung dan tertutup (direct service). 12) Perlu adanya satu standar baku karena beberapa standar faktor emisi yang dikembangkan untuk Indonesia masih kurang (terutama untuk kendaraan dan moda transportasi dengan standar teknologi baru ). 13) Perlu adanya standarisasi komponen dan unit harga satuan untuk perhitungan BOK mengingat hingga saat ini komponen-komponen dan unit harga satuan tiap komponen tidak banyak dipublikasikan. 14) Perlu penetapan definisi yang lebih terukur dengan menambahkan kriteria kuantitatif jumlah penumpang dan kecepatan tempuh. Oleh karenanya sistem angkutan massal dapat didefinisikan sebagai angkutan penumpang kolektif perkotaan (urban) atau pinggiran kota (suburban) yang mampu mengangkut penumpang sebesar 10,000 atau lebih orang per jam (sibuk) per arah dengan kecepatan tempuh rata-rata operasional 25 km/jam atau lebih, baik dengan moda berbasis jalan ataupun berbasis rel, dipermukaan, layang dan dibawah tanah. 15) Sedangkan untuk sistem angkutan massal berbasis jalan yang ramah lingkungan dan hemat energi dapat didefinisikan sebagai angkutan penumpang kolektif perkotaan (urban) atau pinggiran kota (suburban) yang mampu mengangkut penumpang sebesar 3,000 orang atau lebih per jam (sibuk) per lajur per arah dengan kecepatan tempuh operasional 25 km/jam atau lebih, baik dipermukaan, layang dan dibawah tanah dan dioperasikan dengan menggunakan tenaga listrik, pendekatan jejaring dan teknologi pintar.
BAB VIII – Penutup
VIII-5