Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB VI KONSEP PANDUAN PENGEMBANGAN ANGKUTAN MASSAL BERBASIS JALAN YANG HEMAT ENERGI DAN RAMAH LINGKUNGAN
A. Pendahuluan Perbedaan mendasar dari suatu layanan BRT dengan layanan bus standar adalah pelayanan terhadap kenyamanan dan kepuasan pengguna. Layanan BRT dibuat sedemikian rupa agar dapat memenuhi keinginan pengguna sehingga pengguna merasa aman dan nyaman dalam menggunakannya. Pengembangan sistem BRT dapat dibagi menjadi 3 (tiga) tahapan besar yaitu; tahapan pra-perencanaan, tahapan perencanaan, dan tahapan pasca perencanaan seperti yang ditunjukan dalam Gambar 6. 1. PRA-PERENCANAAN INISIASI PROYEK SAUM
PENYIAPAN PELAKSANAAN PROYEK SAUM
SOSIALISASI
PERENCANAAN & PERANCANGAN ANALISIS PERMINTAAN & PEMILIHAN KORIDOR
PERANCANGAN OPERASIONAL
PENYIAPAN RENCANA USAHA
PERANCANGAN PRASARANA
PASCA PERENCANAAN KEBIJAKAN PENDUKUNG
EVALUASI
RENCANA IMPLEMENTASI
Gambar 6. 1. Pengembangan Sistem BRT
BAB VI β Konsep Panduan
VI-1
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Tahapan pra-perencanaan mencakup kegiatan insisasi dan penyiapan proyek BRT yang ditindaklajuti dengan kegiatan sosialisasi kepada para pemangku kepentingan seperti masyarakat, operator, dan institusi pemerintah terkait. Tahap perencanaan mencakup kegiatan analisis permintaan dan pemilihan koridor, perancangan operasional sistem BRT, penyiapan rencana usaha dan perancangan prasarana baik utama maupun pedukung. Sedangkan tahapan pasca perencanaan meliputi kegiatan penyiapan kebijakan pendukung, proses evaluasi dan rencana implementasi. Walaupun tahapan kegiatan dalam pengembangan sistem BRT yang ditunjukan dalam Gambar 6. 1nampak berurutan, namun proses yang terjadi bersifat iteratif. Seringkali beberapa tahapan kegiatan memiliki keterkaitan dan ketergantungan yang signifikan serta harus dilakukan secara bersamaan. Sebagai contoh, analisis finansial akan mempengaruhi keputusan terhadap aspek prasarana dan teknologi, sementara pemilihan rute akan berdampak pada opsi rancangan jalur BRT. Contoh diatas seringkali harus dilakukan dengan proses iteratif untuk mendapatkan hasil yang paling optimal. Dilain sisi, melakukan proses yang benar-benar ideal juga bisa berakibat situasi yang kontraproduktif karena akan berakibat kepada penundaan dan tidak terealisasinya rencana. Oleh karena itu perencanaan yang baik adalah yang mampu yang mampu mengarahkan pimpinan untuk mengambil keputusan dan menetapkan kerangka waktu pelaksanaannya tanpa terjebak dengan paradigma berpikir untuk menyiapkan suatu rencana yang benar-benar ideal yang kadangkala bisa berpotensi untuk menyurutkan niat yang kuat dari pengambil keputusan untuk melaksanakannya.
B. Komunikasi dan Sosialisasi Proses sosialisasi dilakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat untuk mengetahui pendapat dan keinginan mereka terhadap sistem BRT yang akan dibangun. Dengan mendengarkan keinginan dari masyarakat yang akan menggunakan maka diharapkan sistem BRT yang akan dioperasikan dapat diterima dengan baik. Selain itu komunikasi dengan operator angkutan umum yang ada mutlak perlu dilakukan untuk mengenalkan BRT secara benar, agar operator-operator tersebut dapat memandang sistem BRT sebagai suatu peluang bisnis ke depan yang terintegrasi dengan sistem yang sudah beroperasi. Hal yang tidak kalah penting adalah melakukan proses komunikasi kepada masyarakat untuk mengenalkan sistem BRT secara komprehensif dan tepat agar masyarakat memiliki sikap yang benar dan terbiasa untuk menggunakan sistem yang baru ini.
BAB VI β Konsep Panduan
VI-2
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
C. Analisis Permintaan dan Penetapan Koridor Secara konseptual langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam merencanakan koridor angkutan massal berbasis jalan seperti yang ditunjukan dalam Gambar 6. 1akan dijelaskan dalam bagian berikut. 1.
Langkah 1: Kajian terhadap Struktur Kota Sebagaimana lazimnya untuk setiap perencanaan, adalah melakukan evaluasi terhadap struktur ruang kota. Langkah ini mencakup: a) identifikasi lapangan terhadap jaringan jalan; b) lokasi kawasan hunian, kawasan niaga dan industri; c) karakteristik lalu lintas; d) lingkup (cakupan wilayah) pelayanan angkutan umum eksisting; e) kualitas perkerasan jalan; f) pedestrian; g) rancang kota; dan h) kepadatan kota dan bangunan. Semua informasi ini dipetakan dan lebih baik menggunakan fasilitas peta GIS maupun foto udara.
2.
Langkah 2: Penyiapan Basis Data Langkah selanjutnya adalah mengumpulkan data tentang sistem angkutan umum eksisting yang mencakup: a) Sistem tarif, rute-rute baru dan lain-lain; b) Statistik populasi dan strata sosial; c) Rencana induk kota, dan rencana pengembangan jaringan jalan untuk jangka pendek dan panjang; d) Dokumen kajian terhadap sistem angkutan massal; e) Peta wilayah kota (foto udara/ peta digital) pada skala 1:18,000; dan f) Jika dimungkinkan ketersediaan data asal-tujuan (O-D) perjalanan sebagai pembanding terhadap koridor-koridor angkutan umum. Salah satu upaya yang lazim dilakukan untuk mengantisipasi keterbatasan data dan perangkat analisis untuk perencanaan jangka panjang, adalah dengan melakukan pendekatan perancangan untuk jangka pendek namun tetap mempertimbangkan jangka panjang. Langkah yang diperlukan adalah dengan menggunakan data permintaan eksisting (khususnya permintaan angkutan umum) sebagai basis perencanaan dan kemudian menguji kompatibilitas terhadap strategi rencana jangka panjang. Kebutuhan data untuk proses
BAB VI β Konsep Panduan
VI-3
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
perencanaan skala penuh (prosedur empat tahap perencanaan) adalah sebagai berikut: a) Data asal-tujuan perjalanan pengguna angkutan umum; b) Data sosio-ekonomi dan demografi; c) Data rencana tata ruang wilayah; d) Data trayek angkutan umum (termasuk rencana); (1) Panjang trayek; (2) Ittenerarytrayek. e) Data karakteristik operasional angkutan umum eksisting: (1) Okupansi/faktor muat rata-rata per arah pada jam sibuk dan jam lengang; (2) Frekuensi per arah pd jam sibuk dan jam lengang; (3) Kecepatan tempuh rata-rata per arah pd jam sibuk dan jam lengang; (4) Besaran naik turun penumpang harian dan jam sibuk/jam lenganga per arah per trayek di tiap titik pelayanan; (5) Tundaan (waktu dan penyebab) per trayek per arah; (6) Waktu berhenti per trayek per arah; (7) Waktu tunggu rata-rata di tiap titik layanan per arah per trayek. f) Data sarana dan prasarana angkutan umum eksisting; (1) Jumlah armada beroperasi per trayek; (2) Jenis dan kapasitas (nominal) per trayek; (3) Usia kendaraan; (4) Konfigurasi kursi, pintu, sirkulasi, mekanisme pengumpulan tiket, pegangan tangan, tingkat kebisingan (internal dan eksternal) dan tingkat emisi; (5) Halte, Terminal/Depo g) Data pusat bangkitan-tarikan eksisting dan rencana; h) Data jaringan jalan eksisting dan rencana; i) Model permintaan angkutan umum (bangkitan, distribusi dan pilihan moda); j) Model jaringan transportasi. Bila proses analisis untuk perencanaan menggunakan metoda cepat, maka kebutuhan data minimum adalah sebagai berikut: a) Data trayek angkutan umum (termasuk rencana); 1) Panjang trayek; 2) Ittenerary trayek. b) Data karakteristik operasional angkutan umum eksisting: 1) Okupansi/faktor muat rata-rata per arah pada jam sibuk dan jam lengang; 2) Frekuensi per arah pd jam sibuk dan jam lengang;
BAB VI β Konsep Panduan
VI-4
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
3) Besaran naik turun penumpang harian dan jam sibuk/jam lengang per arah per trayek di tiap titik pelayanan (optional); 4) Kecepatan tempuh rata-rata per arah pada jam sibuk dan jam lengang. c) Data sarana dan prasarana angkutan umum eksisting; d) Data pusat bangkitan-tarikan eksisting dan rencana; e) Data jaringan jalan eksisting dan rencana. 3.
Langkah 3: Analisis Permintaan Setelah basis data disiapkan, selanjutnya adalah melakukan analisis dan estimasi potensi permintaan (penumpang) dari layanan ini. Metoda yang dapat digunakan adalah: a) Menggunakan hasil survai pada trayek eksisting (faktor muat, frekuensi, jumlah naik turun penumpang, waktu tempuh, kondisi geometrik dan jumlah trayek yang bisa dikonversikan); Untuk memprediksikan besarnya permintaan dapat menggunakan rumus berikut ini (Alvinsyah & Halim, 2012): ππ = Μ
Μ
Μ
Μ
πππ Γ π Γ πΆπ dimana: Vi
(1)
= volume penumpang pada rentang waktu i = Faktor muat rata-rata pada rentang waktu i = frekuensi pada rentang waktu i = kapasitas kendaraan
Μ
Μ
Μ
i Oc f Cb
Bila pengukuran volume dilakukan kurang dari satu jam, maka untuk mendapatkan arus puncak dapat menggunakan rumus berikut (Alvinsyah & Halim, 2012): πΉπππ₯ = 4 Γ π15-πππ₯
(2)
dimana: Fmax V15-max
= arus maksimum = volume per 15 menit maksimum
b) Bila tidak tersedia data naik turun penumpang sepanjang koridor rencana, maka besarnya jumlah penumpang yang menggunakan layanan dalam satu hari dapat diestimasi dengan rumus berikut (Alvinsyah & Halim, 2012):
BAB VI β Konsep Panduan
VI-5
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
πΉπππ₯ =
π
π
sto
Γ %ph Γ %pd
(3)
dimana: Fmax Rd Sto %ph %pd
= = = = =
arus maksimum jumlah penumpang harian seat-turnover rate persentase jam sibuk persentase arah sibuk
Sedangkan prosedur ricnci untuk estimasi permintaan dengan metoda seperti yang disampaikan berikut ini dapat dilihat pada berbagai referensi: (1) Menggunakan faktor pertumbuhan dan hasil survai preferensi; (2) Menggunakan metoda elastisitas; (3) Menggunakan model logit; (4) Menggunakan model perencanaan empat tahap. 4.
Langkah 4: Identifikasi kendala permintaan eksisting Langkah berikutnya adalah menguji kendala-kendala dari permintaan eksisting untuk sistem yang akan diimplementasikan. Caranya adalah dengan menguji besaran permintaan yang ada terhadap persyaratan permintaan layanan bus untuk dua arah pergerakkan, jarak antara halte 300-400 meter, headway minimum 5 menit dan maksimum 1 menit (60 detik). Koridor sebaiknya memiliki guna lahan komersial bersifat linier untuk menjamin tingkat turun naik penumpang yang tinggi sepanjang rute.
BAB VI β Konsep Panduan
VI-6
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Sumber: diadaptasi dari ADB (2008)
Gambar 6.2. Proses Penetapan Koridor Angkutan Massal Berbasis Jalan (BRT) 5.
Langkah 5: Evaluasi kendala fisik (prasarana) Langkah ke lima adalah menguji kendala fisik dari prasarana jalan kota yang mencakup: a) lebar jalan; b) kesinambungan; c) pergerakan berbelok; d) aksesibilitas; e) ketersediaan lahan; f) lokasi perpindahan moda;
BAB VI β Konsep Panduan
VI-7
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
g) lahan parkir; h) akses lateral; dan i) akses untuk pedestrian dan lain-lain . Penerapan konsep prioritas untuk bus secara konvensional cenderung terkendala oleh sistem jaringan jalan eksisting (contoh manajemen SSA) karena sulitnya pembebasan lahan. Oleh karena itu perlu pemikiran terobosan dalam hal menggunakan ruang kota seperti pemanfaatan ROW jalur kereta, sungai, lahan pribadi, pasar dipinggir jalan dan lain-lain. 6.
Langkah 6 : Evaluasi jaringan angkutan umum eksisting Langkah ke enam adalah menguji rute angkutan bus eksisting terhadap kemungkinan rasionalisasi menjadi jalur utama (trunk) dan jalur pengumpan (feeder). Tergantung dari lingkup perencanaan dan ukuran kota, langkah ini bervariasi untuk setiap koridor dan daerah cakupan yang dikaji. Lokasi perpindahan (transfer) harus ditempat yang memudahkan pengguna untuk melakukan perjalanan keseluruh wilayah kota melalui perpindahan dari rute pengumpan ke rute utama atau sebaliknya dan alternatif perjalanan lainnya. Selain itu lokasi ini juga sebaiknya bisa menghubungkan beberapa koridor lainnya. Bila kebijakannya adalah menggunakan sistem layanan langsung (Direct Service) maka perlu ditentukan trayek-trayek eksisting yang akan dilibatkan dalam sistem karena biasanya dengan sistem ini tidak diperlukan restrukturisasi trayek. Kriteria untuk menentukan trayek-trayek eksisting yang masuk kedalam sistem BRT adalah besaran persentase tumpang tindih sepanjang koridor (50% atau lebih) dan frekuensi layanan dalam satu jam puncak (12 atau lebih). Trayek-trayek yang tidak masuk kriteria ini tetap beroperasi sebagaimana biasanya diluar sistem BRT
7.
Langkah 7 : Perbandingan Permintaandi Koridor
Kendala
Fisik
dengan
Langkah ketujuh adalah untuk membandingkan kendala fisik dengan besaran permintaan pada koridor yang dikaji. Bila kedua parameter diatas selaras maka koridor tersebut layak untuk dijadikan rute pelayanan. Jika permintaan βcaptiveβ merupakan faktor penting, maka permintaan dasar di koridor dapat diperoleh melalui survai besaran permintaan (arus) penumpang pada interval tertentu sepanjang koridor. Arus penumpang bisa dihitung dari sampel hasil survai dinamis (on- board) naik-turun penumpang untuk jam sibuk dan jam lengang. Alternatif lain bila metoda ini sulit dilaksanakan adalah dengan melakukan survai secara statis (off-board) yang mengamati frekuensi dan okupansi setiap rute yang meliwati suatu titik pengamatan.
BAB VI β Konsep Panduan
VI-8
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Lokasi pengamatan dilakukan dibeberapa tempat sepanjang koridor terutama pada segmen-segmen yang padat. Metoda estimasi potensi permintaan seperti yang ditunjukan dalam Langkah 3. 8.
Langkah 8 : Pengujian Kendala lain pada koridor Langkah kedelapan melibatkan evaluasi terhadap kendalakendala lainnya seperti ruang terbuka hijau , kawasan cagar budaya dan faktor lingkungan lainnya.
9.
Langkah9 : Identifikasi konsiderasi perencanaan untuk lokasi perpindahan moda Langkah kesembilan adalah mengevaluasi interaksi fasilitas perpindahan dengan rencana tata ruang kota dan pertumbuhannya. Kawasan hunian yang baru dapat dilayani dari titik perpindahan dengan memperpanjang rute (bisa) berupa rute pengumpan (tidak membuat rute yang baru).
D. Rancangan Operasional Prinsip dasar dari perancangan sistem BRT adalah tidak diawali dari aspek fisik atau kendaraan, namun harus diawali dengan konsep dari sistem yang mampu memenuhi karakteristik operasional yang diharapkan oleh pengguna. Dengan pola pendekatan perancangan seperti ini lazimnya diperlukan langkah-langkah kompromi yang meliputi kepentingan layanan pelanggan, efesiensi biaya, kepentingan dan hubungan dengan operator serta kendala fisik. Sehingga untuk menyeimbangkan berbagai kepentingan tersebut diatas diperlukan pemahaman yang penuh terhadap opsi operasional dan implikasinya. Secara umum, sebagai panduan awal terhadap pemilihan sistem BRT berdasarkan besaran permintaan dapat menggunakan kriteria yang ditunjukan dalamTabel 6. 1. Tabel 6. 1. Panduan Pemilihan Sistem BRT Permintaan (pax/jam/arah) < 2000
2000-8000
BAB VI β Konsep Panduan
Sistem BRT Prioritas bus yang sederhana, biasanya tanpa pemisahan fisik, kemungkinan penerapan lajur bus untuk waktu tertentu Lajur bus khusus dengan separator,sistem layanan langsung (direct service)untuk mengurangi kebutuhan berpindah moda.
VI-9
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Permintaan (pax/jam/arah)
8000-12.000
12.000-20.000
20.000-40.000
Sistem BRT Lajur bus di median dengan separator,sistem layanan langsung(direct service), waktu naik bus cepat dan kecepatan operasional yang tinggi serta pemberian Prioritas yang baik di persimpangan Lajur bus di median dengan separatordan ada lajur menyiap di halte,kombinasi layanan ekspres dan reguler, beberapa persimpangan yang terpisah Lajur bus di median dengan separatordan ada lajur menyiap di halte, sistem trunk-feeder, layanan ekspres dan reguler, pemberian prioritas di persimpangan, jumlah platform lebih dari satu di setiap halte
Sumber: diolah dari berbagai sumber
1.
Pola Operasi Sistem Pembatasan jumlah operator dan kendaraan pada sistem BRT dapat memberikan dampak yang signifikan pada kecepatan tempuh kendaraan, lingkungan dan kualitas estetika sistem. Pola operasi yang membatasi jumlah operator dan armada pada koridor BRT didefinisikan sebagai sistem tertutup. Jumlah operator, jumlah dan spesifikasi armada ditentukan berdasarkan proses pelelangan terbuka untuk mendapatkan kualitas pelayanan yang prima bagi pengguna. Sebaliknya pola operasi yang tidak menerapkan pembatasan jumlah operator, armada dan spesifikasinya didefinisikan sebagai sistem terbuka, sehingga semua jenis armada dan pelayanan yang ada dapat menggunakan koridor BRT. Terkait dengan struktur jaringan pelayanan maka opsi pola operasi untuk sistem BRT, bila tidak ada kebijakan khusus yang disyaratkan oleh Pemerintah, dapat mengacu kepada panduan umum dalam Tabel 6. 2. Sebagaimana yang ditunjukan dalamTabel 6. 2, definisi terpadu dapat diartikan sebagai operasi sistem tertutup. Sebagai catatan, untuk sistem yang tetap mempertahankan rute layanan menerus/langsung (direct service) dapat juga menggunakan pola operasi sistem tertutup. Selain itu kombinasi struktur trunkfeeder dan layanan langsung pada suatu koridor juga dapat menggunakan pola operasi sistem tertutup.
BAB VI β Konsep Panduan
VI-10
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Tabel 6. 2. Panduan Sistem Operasi Angkutan Umum Jalan Raya Permintaan (Pax/jam/arah) < 1000 1000 β 2000 2000 β 3000
Pola Operasi Terbuka Terbuka/Terpadu Terpadu
Struktur Jaringan Pelayanan Konvensional (direct service) Konvensional/Trunk &Feeder Trunk&Feeder
Jenis Armada
3000 β 5000
Terpadu
Trunk (Lajur khusus/Busway) /Feeder
5000 β 10000
Terpadu
10000 β 18000
Terpadu
18000 β 34000
Terpadu
Trunk (Lajur khusus/Busway)&Feeder,, Prabayar, Platform sejajar Trunk (Lajur khusus/Busway)&Feeder, Prabayar, Platform sejajar Trunk (Lajur khusus/Busway)&Feeder, Prabayar, Platform sejajar , Lajur menyiap
Bus 12m, 3 pintu Bus Tempel (articulated) 3 pintu Bus Tempel (articulated) 3 pintu Bus Tempel (articulated) 4 pintu Bus Tempel (biarticulated) 5 pintu, sistem konvoi Bus Tempel (articulated) 4 pintu
Sumber: Transcraft (2005)
2.
Perancangan Jejaring dan Layanan Mengacu kepada hasil analisis besarnya permintaan, sebagai acuan untuk merancang konsep operasi dan struktur jejaring layanan pada suatu koridor yang telah ditetapkan untuk operasi sistem BRT, maka Tabel 6. 2dapat digunakan sebagai acuan awal, namun idealnya dilakukan analisis permintaan sesuai dengan kondisi masing-masing kota. Sedangkan untuk menentukan lokasi atau karakteristik kawasan/koridor yang sesuai dengan pola operasi dan struktur jaringan BRT, ukuranukuran dalam Tabel 6. 3, dapat juga dijadikan panduan awal dalam proses perancangan. Tabel 6. 3. Karakteristik lokasi untuk Penerapan BRT
Permintaan (pax/ jam/arah) 500-5000 500-2500+ 5000-15000 15.000-45.000
Kecepatan operasional (km/jam) 12-15 15-35 18-23 20-40
Aplikasi Koridor dengan Kepadatan rendah, pinggir kota Kota kecil, pusat keramaian kota bersejarah, pinggir kota Koridor dengan kepadatan medium, penghubung pinggir/pusat kota Koridor dengan Permintaan tinggi,padat dan penggunaan campur, pusat kota
Sumber: adaptasi dari Thredbo-12 (2011)
Jika diperoleh informasi tentang proporsi karakteristik perjalanan (O-D) jarak jauh cukup tinggi maka perlu dipertimbangkan layanan dengan rute langsung baik bersifat
BAB VI β Konsep Panduan
VI-11
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
ekspres atau patas yang tentunya disertai dengan ketersediaan lajur menyiap pada setiap halte dan idealnya disediakan halte khusus pada titik layanan untuk sistem Patas. Bila struktur jaringan layanannya merupakan konsep trunk-feeder, maka, rute utama (trunk) dirancang secara diametris diawali dari terminal (titik transfer) awal dipinggir kota ke terminal akhir (titik transfer) yang sebaiknya berada dipinggir kota juga. Untuk mendapatkan jumlah armada yang seimbang untuk pergerakkan di masing-masing arah, sebaiknya besaran permintaan tertinggi berada pada segmen yang sama. Jika situasi ini tidak terjadi, maka opsi lain seperti memotong rute layanan dipusat kota bisa dipertimbangan sebagai opsi yang terakhir. Dengan pendekatan seperti diatas maka: a) Memungkinkan aksesibilitas yang lebih tinggi bagi penumpang tanpa harus melakukan pindah moda; b) Mengurangi biaya operasi (jarak tempuh) karena bus tidak perlu melalui rute melingkar dengan kecepatan rendah dikawasan pusat kota dalam rangka mencakup zona tujuan utama sebelum kembali ke terminal awal. Pengoperasian BRT dengan struktur jaringan trunk-feeder didalam sistem tertutup umumnya akan efektif untuk kondisi berikut; a) Koridor utama memiliki permintaan yang tinggi; b) Perbedaan kepadatan penduduk diantara kawasan yang berbeda cukup signifikan; c) Jarak antara pusat kota dengan kawasan pengumpan relatif cukup jauh (lebih dari 10 km). Pengoperasian BRT dengan struktur jaringan layanan langsung pada sistem tertutup umumnya akan efektif untuk kondisi berikut; a) Koridor utama memiliki permintaan yang rendah; b) Perbedaan kepadatan penduduk diataran kawasan yang berbeda relatif tidak terlalu signifikan; c) Jarak antara pusat kota dengan kawasan pengumpan relatif tidak terlalu jauh (kurang dari 10 km). Sistem BRT yang mempertahankan struktur jaringan layanan langsung tidak disarankan untuk dioperasikan dengan sistem tertutup, kecuali diterapkan sebagai sistem transisi menuju sistem tertutup. Untuk kota yang trayek-trayeknya cenderung menumpuk pada suatu koridor, pola operasi layanan langsung
BAB VI β Konsep Panduan
VI-12
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
dengan sistem tertutup bisa dipertimbangkan secara serius karena dapat memberikan beberapa keuntungan dalam hal penerapannya. Namun perlu menjadi catatan bahwa tidak ada aturan yang menetapkan bahwa salah satu sistem berikut pola operasinya merupakan pilihan yang terbaik. Karena kedua sistem ini akan optimal untuk situasi dan kondisi (karakteristik demografis, dan distribusi asal tujuan perjalanan) setempat. Oleh karenanya untuk suatu kota sangat dimungkinkan untuk menerapkan struktur jaringan dan pola operasi yang berbeda pada masingmasing koridor pembentuk jaringan BRT. 3.
Perancangan Rute Sistem BRT umumnya dirancang pada koridor-koridor utama (jalan arteri) untuk menjamin kecepatan tempuh dan keandalan operasi yang tinggi. Untuk melayani ke kawasan-kawasan pembangkit perjalanan melalui jalan kolektor umumnya menggunakan layanan pengumpan, sehingga rute layanan BRT menjadi sederhana dan mudah dipahami oleh pengguna serta tidak perlu menempuh rute yang melingkar yang berpotensi mengurangi kecepatan tempuh total. Rancangan sistem rute yang baik akan mampu mengoptimalkan waktu tempuh dan kemudahan bagi sebagian besar perjalanan serta mengurangi biaya operasional secara signifikan. Oleh sebab itu jaringan rute yang efektif dapat dicapai bila memenuhi prinsip dasar berikut; a) Meminimalkan jumlah penumpang transfer; b) Menyiapkan layanan reguler/lokal, patas dan ekspres didalam sistem BRT; c) Memotong beberapa rute layanan untuk berfokus pada segmen yang memiliki permintaan yang tinggi. Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi dalam menentukan rute layanan agar dapat memenuhi prinsip-prinsip efisiensi dan efektifitas. Kriteria-kriteria tersebut antara lain; a) Adanya Permintaan Minimum; b) Rute bersifat selurus mungkin; c) Meminimalkan tumpang tindih rute; d) Sesuai dengan karakteristik geometrik jalan; e) Panjang rute dibatasi (dalam konteks waktu tempuh pulang pergi); f) Menempuh jalur yang sama untuk perjalanan pulang pergi; dan g) Menghindari titik (terminal) akhir pelayanan di wilayah pusat kota.
BAB VI β Konsep Panduan
VI-13
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Untuk menjamin tercapainya besaran permintaan pada rute BRT, beberapa lokasi atau kawasan dengan potensi bangkitan perjalanan yang signifikan perlu dihubungkan adalah sebagai berikut: a) Kawasan pusat bisnis; b) Sekolah dan perguruan tinggi; c) Pusat-pusat perbelanjaan; d) Rumah sakit dan fasilitas pelayan kesahat utama lainnya; e) Pusat-pusat hiburan/rekreasi dan olah raga; f) Fasilitas transportasi antar kota (regional; bandara, pelabuhan, setasiun ka, terminal akap dll); g) Kawasan hunian dan komersial berkepadatan tinggi. Tingkat kelurusan rute dapat dilihat dari nilai rasio/deviasi jarak dan rute. Nilai rasio jarak merupakan rasio jarak rute terhadap jarak jalan, atau bisa juga merupakan rasio waktu tempuh BRT terhadap waktu tempuh kendaraan pribadi. Untuk nilai rasio jarak, maksimum sebesar 1.5, sedangkan untuk nilai rasio waktu tempuh (di dalam kendaraan), maksimum pada jam puncak adalah sebagai berikut: a) 1.75 untuk rute radial utama; b) 2.00 untuk rute radial; c) 1.25 untuk rute Patas; d) 1.15 untuk rute Ekspres; e) 1.5 untuk rute antar pusat kegiatan (Urban); Sedangkan nilai rasio/deviasi rute adalah sebagai berikut: a) Waktu deviasi maksimum 5 menit untuk perjalanan satu arah atau; b) Waktu deviasi tidak lebih dari 25% waktu tempuh rute utama (lurus). Panjang rute layanan harus dibatasi untuk menjamin keandalan operasi yang ditentukan dari waktu tempuh pulang pergi tidak lebih dari 2 (dua) jam dan bila terpaksa maksimum 3 (tiga) jam. Jumlah rute layanan pada suatu koridor disesuaikan dengan besar dan karakteristik permintaan pada koridor terkait, namun perlu dibatasi untuk memudahkan bagi pengguna dalam mengenali layanan yang tersedia pada koridor tersebut. Secara prinsip jumlah rute layanan perlu dirancang seminimum mungkin, dengan pertimbangan lebih baik menyediakan sedikit layanan dengan frekuensi tinggi dibandingkan terhadap banyak layanan dengan ferkuensi rendah. Bila diperlukan percabangan rute sebaiknya tidak melebihi dari 2 (dua) rute untuk setiap rute utamanya.
BAB VI β Konsep Panduan
VI-14
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
4.
Rancangan Layanan Frekuensi layanan serta senjang jarak antar halte merupakan aspek komplemen dari fitur rancangan fisik dari keseluruhan sistem BRT. Rancangan layanan ini dapat meliputi rute tunggal, sekelompok rute dan seluruh jaringan BRT. Penyiapannya dapat dilakukan secara bertahap sejalan dengan pengembangan prasarananya. Ada beberapa jenis layanan dalam jaringan operasinal BRT yang dapat dikelompokan ke dalam kategori sistem BRT atau non-BRT dan tarif terintegrasi dengan BRT atau tidak. Terkait dengan struktur rute yang dirancang, dikembangkan beberapa konsep seperti berikut:
dapat
a) BRT Jenis 1 - BRT Penuh Rute ini merupakan sistem dengan kategori ROW-A yang memiliki lajur khusus (terpisah) di median jalan dan berada pada koridor utama (Trunk) saja. b) BRT Jenis 2 βBRT modifikasi Seperti jenis 1, namun dioperasikan pada lajur bahu bila tidak dimungkinkan pada lajurmedian. c) Rute Utama (bus dengan prioritas); Rute ini terintegrasi dengan BRT trunk line dan beroperasi di jalan utama (arteri). Rute ini juga berfungsi sebagai pengumpan untuk BRT/MRT dan juga menyediakan layanan cross suburb. Tarif dari layanan ini terintegrasi sepenuhnya dengan menggunakan peralatan transaksi tiket di dalam bus atau di halte. Memungkinkan penumpang untuk turun secara langsung di platform BRT atau MRT, sehingga dapat menciptakan pola pindah moda yang sempurna. Standar layanan rute jenis ini sama seperti sistem BRT atau MRT yang fungsinya memperluas jaringan BRT/MRT ke daerah pinggiran kota. Agar operasionalnya lebih efisien, diperlukan berbagai langkah pemberian prioritas seperti prioritas lampu lalu lintas, pemisahan jalur dengan marka jalan dan jalur antrian di lampu lalu lintas. Karena sistem tiketnya terintegrasi, maka lembaga pengelola BRT/MRT bertugas mengumpulkan tarif dan membayar operator untuk layanan ini di bawah pengaturan kontrak yang sama seperti operator trunk line.
BAB VI β Konsep Panduan
VI-15
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Untuk permintaan yang tinggi pada koridor trunk line di mana ruang platform terbatas perlu dibuat fasilitas platform khusus untuk layanan ini agar layanan trunk line tidak terganggu. d) Rute Pengumpan (feeder) dan lokal; Ruteini merupakan layanan jarak pendek (layanan lingkungan) dengan menggunakan jenis kendaraan bus kecil atau angkot baik sebagai feeder jalur utama (BRT/MRT) maupun ke layanan intermediate. Rute layanan lokal ini menembus ke kawasan hunian. Peran utama dari rute ini adalah untuk bertindak sebagai feeder ke jaringan bus utama. Menyediakan rute layanan ini akan menguntungkan operator Trunk Line (operator BRT) agar dapat meresmikan operator para-transit sebagai feeder ke sistem trunk dengan cara kemitraan formal. Dari aspek jenis layanan untuk masing-masing rute ada beberapa kategori: a) Layanan Reguler Jenis layanan ini beroperasi persis seperti layanan angkutan massal berbasis rel yang berhenti disetiap halte sepanjang rute layanan. Varian dari jenis layanan ini untuk koridor yang sama adalah layanan jarak pendek yang disesuaikan dengan profil permintaan di rute terkait, layanan bercabang pada halte tertentu. b)
Layanan Ekspres atau Patas Sesuai dengan karakteristik permintaan disepanjang koridor BRT jenis layanan ekspres dan Patas dioperasikan secara bersamaan dengan layanan reguler. Umumnya layanan ini untuk mengakomodasikan penumpang dengan jarak perjalanan menengah/jauh. Umumnya jenis layanan ini dioperasikan pada saat jam puncak dan diterapkan untuk rute BRT dan Utama. Secara diagramatis konsep rute dan layanan sistem BRT ditunjukan dalam Gambar 6.3.
BAB VI β Konsep Panduan
VI-16
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Sumber: diadaptasi dari VTA (2007)
Gambar 6.3. Hirarki Jaringan Layanan sistem BRT 5.
Rentang (Waktu operasional) Layanan Waktu (hari dan jam) operasional sistem BRT mendefinisikan rentang waktu layanan yang disediakan untuk satu hari dan satu minggu. Idealnya konsep waktu operasional ini dirancang semirip mungkin seperti yang diterapkan pada angkutan massal perkotaan berbasis rel (mis. MRT, LRT dll).Hal ini untuk menjamin pengguna bahwa layanan BRT akan selalu ada setiap saat tanpa perlu melihat jadwal apakah layanan yang dibutuhkan tersedia apa tidak. Tabel 6. 4dapat dijadikan panduan umum untuk rancangan rentang waktu layanan BRT. Walaupun rentang waktu layanan untuk rute BRT dimungkinkan dirancang secara bertahap, namun sangat disarankan untuk diterapkan secara penuh sepanjang hari dan sepanjang minggu agar citra dari sistem BRT (yang serupa dengan layanan MRT atau LRT) tetap terjaga.
BAB VI β Konsep Panduan
VI-17
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Tabel 6. 4.Rentang Layanan BRT Jenis Jalur Utama
Pola Layanan
Rentang Waktu Layanan Hari Kerja
Sabtu
Minggu
Jalan Arteri Lalu Lintas Campuran
Berhenti di tiap Halte
Sepanjang hari
Sepanjang hari
Sepanjang hari
Lajur Bus (Bus lane)
Rute terkoneksi
Sepanjang hari
Sepanjang hari
Sepanjang hari
Jalan Bebas Hambatan Lalu Lintas Campuran Lajur Bus khusus/Lajur Kendaraan berpenumpang banyak
Non-Stop (fungsi distribusi lokal) Komuter ekspres
Sepanjang hari
Sepanjang hari -
Jam Sibuk -
-
Sepanjang hari
Sepanjang hari
Jalur Bus khusus (Busway) N/A
Berhenti di tiap halte
Sepanjang hari
N/A
Pelayanan langsung Layanan Pengumpan
Siang Hari atau Jam Sibuk Siang Hari, Sepanjang Hari/Jam Sibuk
-
-
Siang Hari
Siang Hari
Rute penghubung
Sepanjang hari
Sepanjang hari
Sepanjang hari
N/A
N/A
Sumber TCRP Report 90 (2003)
Rentang waktu layanan dalam satu hari lazimnya berkisar antara 18 β 20 jam yang diharapkan dapat mencakup: a) Waktu awal dan akhir βshiftβ jam kerja pegawai (mis. pekerja rumah sakit, pertokoan dll), terutama bagi yang jam kerjanya berbeda dengan jam kerja konvensional; b) Waktu buka dan tutup pusat perbelanjaan dan kawasan komersial lainnya; c) Jadwal jam belajar di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi; d) Jam buka dan tutup fasilitas layanan publik seperti museum, perpustakaan dll; e) Jam operasional pusat hiburan dan rekreasi atau olah raga; f) Layanan transportasi antar kota/wilayah seperti bandara, pelabuhan, stasiun dan terminal bus.
BAB VI β Konsep Panduan
VI-18
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
6.
Frekuensi Layanan Frekuensi layanan pada prinsipnya dirancang sesuai dengan besarnya permintaan pada koridor layanan dan ukuran kendaraan yang digunakan pada tiap jenis layanan di koridor (rute) yang sama. Namun rancangan frekuensi layanan ini harus tetap memenuhi standar layanan seperti untuk angkutan massal perkotaan berbasis rel dan standar pelayanan minimum yang ditetapkan oleh pemerintah kota setempat (atau nasional) untuk sistem BRT.Tabel 6. 5dapat dijadikan panduan umum bagi rancangan frekuensi layanan sistem BRT. Tabel 6. 5.Frekuensi Pelayanan
Jenis Pelayanan
Frekuensi (menit) Tengah Malam Hari hari 8 - 12 12 - 15 10 - 15 10 - 20 10 - 30 5 - 20 10 - 30
Jam Sibuk 5 β 10 8 β 12 5 β 15 10 β 20 5 β 15
Reguler (berhenti di tiaphalte) Ekspres Pengumpan Komuter ekspres Rute bus yang terhubung
Akhir Pekan 12 - 15 10 - 30 10 - 30
Sumber : TCRP Report 90 (2003)
Namun idealnya frekuensi layanan dihitung untuk menjamin tercapainya kapasitas layanan sesuai dengan besarnya permintaan berdasarkan data lapangan dengan rumus berikut (Alvinsyah & Halim, 2012):
π=
πΉπππ₯ πΆπ
(4)
dimana: f =frekuensi per jam Fmax =arus (flow) per jam maksimum Cb =kapasitas bus βπ =
60 menit π
(5)
dimana: hi = waktu senjang waktu diawal(initial headway) f = frekuensi per jam
BAB VI β Konsep Panduan
VI-19
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
7.
Estimasi Jenis dan Jumlah Armada Kapasitas dari sistem BRT harus dirancang untuk memenuhi tujuan berikut: a) Memenuhi besarnya permintaan (eksisting dan ramalan); b) Mencapai kecepatan rata-rata komersial 25 km/jam atau lebih; c) Meminimalkan waktu tempuh pintu ke pintu dari pengguna. Secara umum kapasitas dan kinerja sistem BRT ditentukan oleh: a) Kapasitas bus; b) Kualitas rancangan jalur khusus bus; c) Lajur menyiap pada halte; d) Perlakuan prioritas di simpang; e) Jumlah dan posisi platform serta lebar pintu di halte; f) Waktu henti bus di halte yang yang merupakan fungsi dari: (1) Jumlah dan lebar pintu; (2) Sistem pemantau dan kendali jadwal operasi Bus. Untuk jalur utama sebaiknya menggunakan jenis armada dengan kapasitas angkut yang tinggi (contoh bustemple/Articulated) terutama untuksistem dengan jalur khusus. Armada eksisting dapat digunakan, sejauh memenuhi standar minimumpelayanan pengumpan (feeder) terutama untuk jalur-jalur tanpa lajur khusus. Jenis dari bus yang harus digunakan dapat ditetapkan dengan mengestimasi kapasitas bus yang sesuai dengan besarnya permintaan pada koridor yang dirancang sebagaimana berikut (ITDP, 2007); πΎ=
π π π₯ πΉ π₯ πππ
(6)
dimana, K P
= Kapasitas Bus yang dibutuhkan (pax/bus) = Besarnya permintaan tertinggi di jam sibuk pada koridor (pax/jam/arah) F = Frekuensi layanan (kend/jam) O = Faktor muat Pla = Jumlah platform pada halte (buah) Frekuensi layanan dapat mengacu keTabel 6. 5sedangkan faktor muat untuk jam sibuk berkisar antara 0.8 β 0.9 dan untuk jam tidak sibuk berkisar antara 0.65 β 0.8.
BAB VI β Konsep Panduan
VI-20
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Mengacu ke Tabel 6. 6maka dengan melihat korelasi antara kapasitas dan jenis bus dapat ditetapkan ukuran/dimensi/jenis bus yang sesuai untuk koridor yang dirancang. Tabel 6. 6. Jenis, Dimensi dan Kapasitas Bus
24
Kapasitas (penumpang/ kendaraan) 240-270
18.5 15 12-15 12 6 3
120-170 80-100 80-130 60-80 25-35 10-16
Panjang Kendaraan (m)
Jenis Kendaraan Bus Tempel Ganda (Biarticulated) Bus Tempel (Articulated) Tandem Bus Tingkat (Double Decker) Tunggal (Standard) Bus Sedang (Midi) BusMini (Van) Sumber: ITDP (2007)
Sedangkan untuk menentukan jumlah armada yang dibutuhkan dan panjang rutenya belum diketahui, dapat diestimasikan dengan menggunakan rumus (Alvinsyah&Halim, 2012): π=
(π π₯ ππ ππ) πΎ
(7)
Dimana, N
= Jumlah armada yang dibutuhkan untuk operasional (bus) P = Besarnya permintaan tertinggi di jam sibuk pada koridor (pax/jam/arah) Tsik = Waktu tempuh total pulang pergi (menit) K = Kapasitas bus (pax/bus) Sedangkan untuk menentukan jumlah total armada yang perlu disediakan dihitung dengan rumus berikut (TRB-a, 2007); ππ‘ = π + (π π₯ π)
(8)
Dimana, Nt = Jumlah total armada yang harus disediakan (bus) N
= Jumlah armada yang dibutuhkan untuk operasional (bus)
k
= konstanta cadangan ( 10% dari N)
BAB VI β Konsep Panduan
VI-21
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
8.
Estimasi Jumlah Platform pada titik layanan(Halte) Karena prasarana sistem BRT dapat dibangun secara bertahap, maka sejalan dengan pertambahan permintaan, maka kebutuhan jumlah platform pada suatu titik layanan (Halte) dalam sistem Trunk&Feederdapat diestimasi dengan rumus berikut (ITDP, 2007); π = ππ β πΉ + [ (ππ β ππ) + (ππ β ππ)]
(9)
Dimana, X Td F Pb Pa Tb Ta
= = = = = = =
tingkat saturasi platform pada halte Waktu henti rata-rata bus di halte (detik) Frekuensi layanan (kend/jam) Jumlah penumpang naik (pax) Jumlah penumpang turun (pax) waktu rata-rata tiap penumpang untuk naik (detik) waktu rata-rata tiap penumpang untuk turun (detik)
Batas saturasi platform pada suatu halte adalah sebesar 0.4, sedangkan waktu rata-rata yang dibutuhkan tiap penumpang untuk menaiki bus sebesar 3 detik dan untuk turun dari bus sebesar 2 detik (bisa menggunakan data langsung dari survey lapangan untuk kondisi setempat). Bila dari hasil hitungan didapati nilai saturasinya melebihi 0.4, maka situasi ini merupakan indikasi perlunya penambahan platform pada halte terkait. 9.
Rancangan titik layanan (Halte) a) Lokasi titik naik/turun penumpang (halte) Secara umum, faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam menentukan letak perhentian adalah: (1) Lokasi dekat dengan konsentrasi pergerakan penumpang, seperti pemukiman, perkantoran, pertokoan, rumah sakit atau sekolah; (2) Dapat dilakukan analisis dampak lalu lintas akibat adanya perhentian; (3) Jarak berjalan penumpang;
(walking
distance)
bagi
calon
(4) Lokasi perhentian harus terlihat jelas/tidak terhalang; (5) Pada malam hari, perhentian dapat diterangi lampu dengan baik;
BAB VI β Konsep Panduan
VI-22
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
(6) Kemiringan longitudinal jalan pada lokasi perhentian tidak lebih dari 4%; (7) Untuk menghindari dampak antrian, apabila bus akan berbelok ke kanan setelah perhentian, lokasi perhentian harus paling sedikit 50 m dari tempat berbelok dan apabila lalu lintasnya meningkat maka jaraknya menjadi 75 m atau 100 m. Apabila bus akan berbelok ke kiri maka jarak perhentian dengan tempat berbelok minimal 35 m; (8) Apabila ada guna lahan yang khusus, seperti sekolah, rumah sakit, lokasi tersebut harus diberi prioritas untuk lokasi perhentian; (9) Lokasi perhentian tidak boleh berdekatan dengan objekobjek yang dapat menganggu/mempengaruhi perhentian; (10) Cukup untuk melindungi penumpang dari panas dan hujan pada saat mereka menunggu bus; Selain itu, dalam penentuan lokasi perhentian, juga harus memperhatikan satu faktor penting lainnya, yaitu pengaturan arus lalu lintas di sekitar lokasi perhentian tersebut. Aktivitas naik-turun penumpang yang menyebabkan bus harus berhenti pada titik perhentian tersebut secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi arus lalu lintas di sekitarnya. Halte/stasiun harus ditempatkan dekat dengan sistem persinyalan lalu lintas, fasilitas persimpangan dan u-turn untuk lalu lintas umum (yang harus dibuat sistem persinyalannya), sehingga akselerasi menuju/dari halte/stasiun dapat membuat bus berjalan sesuai dengan kecepatan yang diinginkan. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalkan hambatan pada waktu tempuh secara keseluruhan. Lokasi halte/stasiun dapat berdekatan dengan persimpangan, dimaksudkan untuk meminimalkan akselerasi bus dan memaksimalkan perpindahan penumpang dengan rute yang berseberangan. b) Rentang jarak antar titik naik/turun penumpang Jarak antar halte idealnya dirancang pada rentang 400 - 500 m di koridor dengan karakteristik guna lahan campuran (hunian dan komersial). Pada segmen yang kepadatannya lebih rendah jaraknya bisa diperbesar. Dilain sisi bila diperlukan, jarak tersebut dapat diperkecil (contoh untukkawasan CBD). Berdasarkan kepadatan kegiatannya,
BAB VI β Konsep Panduan
VI-23
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
maka panduan umumu ntuk jarak halte ditunjukkan dalam Tabel 6. 7. Tabel 6. 7. Panduan Rentang Jarak Halte Zona
Tata Guna Lahan
Lokasi
1
Pusat kegiatan sangat padat: pasar, pertokoan Padat : perkantoran, sekolah, jasa Permukiman Campuran padat : perumahan, sekolah, jasa Campuran jarang : perumahan, ladang, sawah, tanah kosong
CBD, Kota
Jarak Tempat Henti (m) 200 - 300*)
Kota
300 - 400
Kota Pinggiran
300 - 400 300 - 500
Pinggiran
500 - 1000
2 3 4 5
(*) = jarak 200m dipakai bila sangat diperlukan, sedangkan jarak umumnya 300m Sumber: Puslidat (2012)
c) Penentuan lokasi titik pindah moda (transfer) Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan lokasi titik transfer adalah; (1) Titik transfer harus ditempatkan pada lokasi yang strategis untuk memfasilitasi sistem trunk-feeder; (2) Setiap daerah pelayanan lokal dengan bus pengumpan harus berada dalam jangkauan halte bus (trayek utama) atau setasiun kereta; (3) Titik transfer harus ditempatkan sedekat mungkin dengan pusat kegiatan utama di daerah pelayanan lokal; (4) Titik transfer harus dihubungkan dengan jaringan jalan dengan klasifikasi fungsi yang lebih tinggi; Fasilitas transfer/perpindahan penumpang dari jalur feeder menuju jalur utama dan sebaliknya juga memerlukan perencanaan, manajemen dan kesiapan infrastruktur pendukung. Secara global, tiga hal yang mutlak direncanakan dan disiapkan dalam pembangunan dan operasional fasilitas transfer meliputi: (1) Pengaturan arus penumpang; (2) Penyediaan sistem informasi; (3) Pengaturan integrasi sistem tiket; (4) Penjagaan keamanan
BAB VI β Konsep Panduan
VI-24
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
E. Pemilihan Teknologi Kendaraan BRT Pemilihan teknologi, penyediaan dan pengoperasian kendaraan merupakan hal yang rumit dan bergantung pada faktor hukum, operasional, kelembagaan dan strategi yang berbeda untuk setiap kasus. Gambar 6.4menunjukkantahapan pemilihan dan mekanisme penyediaan kendaraan. Dengan mengikuti empat tahapan utama yang dijelaskan pada Gambar 6.4, akan menjamin bahwa karakteristik kendaraan yang dipilih akan memenuhi semua persyaratan operasional yang diperlukan demi menjamin kelangsungan sistem finansial. Tahap awal dan merupakan tahap yang paling penting melibatkan identifikasi kebutuhan spesifik dari proyek dan persyaratan untuk kebutuhan armada angkutan. Sebagian besar proses analisisuntuk hal ini ditetapkan sebelum merampungkan spesifikasi teknis. Secara umum, hal mendasar untuk memilih kendaraan mencakup: 1) 2) 3) 4) 5) 6)
Ukuran kendaraan; Chassis dan konfigurasi badan; Pilihan desain interior; Bahan bakar dan teknologi pendorong; Pilihan estetika; Pilihan docking kendaraan.
1
2 IDENTIFIKASI
DEFINISIKAN KEBUTUHAN
DAN ANALISIS TEKNOLOGI YANG TERSEDIA
3 PROSES EVALUASI DAN PEMILIHAN
4 DEFINISIKAN PROSES PENGADAAN
Gambar 6.4Tahapan pemilihan dan mekanisme penyediaan kendaraan Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memutuskan suatu teknologi moda dan pabrik yang akan dipilih dirangkum dalam Tabel 6. 8. Tabel 6. 8. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Teknologi Moda Kategori Biaya
Fitur kendaraan
Dukungan pabrik
Ketahanan
BAB VI β Konsep Panduan
Faktor Biaya pembelian Biaya pemeliharaan Nilai jual kembali Kapasitas penumpang Pilihan desain interior Estetika Pabrik pendukung di dalam negeri Kompetensi teknisi Cakupan dan kondisi jaminan layanan Pabrik Rekam jejak suatu teknologi di negara maju
VI-25
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Kategori
Pengisian Bahan bakar
Keamanan
Lingkungan
Aturan yang terkait dengan regulasi lokal
Faktor Tingkatan keahlian yang diperlukan untuk pemeliharaan dan pengoperasian Kelayakan untuk perbaikan di jalan Persentase yang diharapkan dari up-time in operation Keandalan Daya usia kendaraan Waktu untuk pengisian bahan bakar Jenis dan biaya yang dibutuhkan untuk stasiun pengisian bahan bakar Kekuatan struktur badan kendaraan Disain rangka (chasis) Efektifitas sistem rem Proteksi anti kebakaran Perangkat keadaan darurat Emisi lokal (NOX, SOX, CO, PM, gas beracun) Emisi global (CO2, N2O4, CH4) Tingkat kebisingan suara Zat buangan lain (zat buang padat, zat buang minyak, dsb) Berat kendaraan maksimum Batasan Tinggi, Lebar dan Panjang Kendaraan
Sumber: ITDP (2007)
Pemilihan jenis bahan bakar dan teknologi penggerak akan memberikan dampak pada biaya operasional, biaya pemeliharaan, prasarana pendukung dan juga tingkat emisi. Kondisi setempatmerupakan pertimbangan yang sangat penting dalam pemilihan jenis bahan bakar dari moda BRT ini karena ketersediaan bahan bakar dan pengalaman untuk merawat suatu teknologi kendaraan tertentu merupakan faktor kunci.Secara umum, beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menilai kualitas lingkungan dari suatu moda BRT, yaitu: 1) Tingkat emisi. Standar emisi merupakan mekanisme yang paling banyak digunakan untuk membedakan tingkat emisi dari berbagai macam pilihan bahan bakar. Standar emisi dari US EPA dan Komisi Eropa (Tabel 6. 9) dapat dijadikan acuan. 2) Standar kualitas udara di sekitar. Beberapa kota mempunyai standar kualitas udara yang dapat digunakan sebagai alat untuk mengatur perbaikan kualitas lingkungan dari kinerja operasional kendaraan. Meskipun jarang digunakan pada negara berkembang dan secara umum tidak terhubung secara langsung dengan sistem transportasi, standar kualitas udara dapat memberikan justifikasi untuk bahan bakar yang lebih bersih dan standar emisi yang lebih ketat untuk pemilihan moda BRT.
BAB VI β Konsep Panduan
VI-26
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
3) Kualitas bahan bakar. Untuk BRT, sangat disarankan untuk menggunakan kendaraan berbahan bakar yang lebih bersih dan kompatibel dengan bahan bakar berkualitas yang tersedia. 4) Jenis bahan bakar dan sistem penggerak Secara umum, regulator hanya mengatur standar tingkat emisi yang diperbolehkan tanpa mengatur spesifikasi teknologi yang digunakan, sehingga hal ini memberikan fleksibilitas bagi operator untuk mempertimbangkan bahan bakar yang akan digunakan, kecuali ada kebijakan khusus terhadap penggunaan jenis bahan bakar tertentu 5) Tingkat kebisingan suara di dalam dan di luar bus Suara kendaraan yang amat keras selain membahayakan kesehatan juga merusak citra dari pelayanan angkutan umum. Sehingga tingkat kebisingan suara yang masih dapat ditenggang perlu ditetapkan pada saat proses pengadaan moda BRT. Tabel 6. 9. Standar Emisi Euro untuk Kendaraan Berat Standar
CO (g/kWh)
HC (g/kWh)
NOx (g/kWh)
PM (g/kWh)
Euro I
4.5
1.1
8.0
0.612
Sertifikasi kandungan sulfur dalam bhn bakar(ppm) 2.000
Euro II (1996)
4.0
1.1
6.8
0.25
500
Euro III (2000)
2.1
0.66
5.0
0.1
350
Euro IV (2005)
1.5
0.46
3.5
0.02
50
Euro V (2008)
1.5
0.46
2.0
0.02
10
Kemungkinan teknologi yang dibutuhkan
Injeksi bahan bakar bertekanan tinggi untuk kendali PM, timing retard (perlambat waktu) untuk kendali NOx semua mesin merupakan turbocharged,injeksi bahan bakar bertekanan tinggi dan optimisasi waktu yang lebih baik. Terdapat tambahan dari teknologi sblmnya, kendali elektronik untuk injeksi bahan bakar, Sebagai tambahan dari teknologi sebelumnya, terdapat EGR atau Selektif Katalis (SCR) untuk mengurangi NOx lebih banyak. Beberapa mesin menggunakan penyaring khusus diesel (DPFs) dan sebagian besar menggabungkan dengan katalis oksidasi Serupa dengan teknologi sebelumnya tapi menggunakan SCR yang lebih terpercaya.
Sumber: ITDP (2007)
BAB VI β Konsep Panduan
VI-27
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Faktor-faktor yang menjadi pertimbanganpemilihan jenis bahan bakar dan teknologi penggerak dari moda BRT adalah sebagai berikut: 1) Ketersediaan bahan bakar dan fluktuasi harga Tidak semua jenis bahan bakar tersedia, terutama di negara-negara berkembang bahan bakar yang paling banyak tersedia umumnya solar dan listrik. Sementara terkait dengan fluktuasi harga, operator harus mempertimbangkan resiko jika terjadi kelangkaan bahan bakar yang digunakan di masa depan, sehingga teknologi moda yang akan digunakan harus dipilih dengan resiko terjadinya peningkatan harga bahan bakar yang paling kecil. 2) Keandalan Merupakan hal yang serius jika terjadi kerusakan kendaraan pada sistem BRT karena akan menyebabkan kemacetan di jalur BRT, sehingga menimbulkan gangguan pelayanan. Jika tingkat kerusakan kendaraan sangat tinggi, sementara kapasitas kemampuan untuk merawat kendaraan rendah dan kemampuan pendanaan (modal) dari operator lemah, maka lebih baik menggunakan moda dengan bahan bakar dan teknologi penggerak alternatif lainnya.Selain itu perlu diperhatikan, kinerja dari suatu teknologi kendaraan tergantung pada: a) Keadaan iklim dan suhu masing-masing tempat. b) Kebijakan pemerintah c) Dampak terhadap lingkungan Jenis-jenis bahan bakar yang biasanya dipertimbangkan untuk sistem BRT, diantaranya yaitu: a) Solar standar; b) Solarbersih; c) Gas alam terkompresi (CNG); d) Gas petrolium cair (LPG); e) Bio-solar; Ethanol; f) Hybrid-electric (diesel-electric and CNG electric); g) Hydrogen (fuel cell technology). Alternatif atau opsi lain yang juga dapat digunakan pada moda BRT seperti teknologi fly-wheel, Di-Metil Eter (DME), dan bahan bakar campuran (misalnya, emulsi air dalam minyak). Salah satu teknologi yang dapat digunakan untuk mengurangi emisi pada bahan bakar solardengan kadar sulfur rendah (Euro), adalah dengan menggunakan alat tertentu yang ditambahkan pada mesin kendaraan, seperti (WestStart-CALSTART,2004): a) Diesel Particulate Filters; b) Diesel Oxidation Catalysts; c) Selective Catalytic Reduction (SCR); d) Lean NOx Catalysts;
BAB VI β Konsep Panduan
VI-28
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
e) Exhaust Gas Recirculation; f) Variable Valve Timing; g) Variable Geometry Turbochargers.
Sumber: ITDP (2007)
Gambar 6.5. Pilihan Bahan Bakar dan Sistem Penggerak Teknologi lainnya yaitu dengan mencampur bahan bakar diesel dengan campuran tertentu sehingga diperoleh blending stock, seperti bio-diesel (B20), diesel/water emulsion, diesel/ethanol emulsion. Dengan teknologi pengurangan emisi tersebut ataupun menggunakan bahan bakar alternatif, akan diperoleh pengurangan emisi yang cukup signifikan bila dibandingkan menggunakan bahan bakar diesel standar, yang dirangkum dalamTabel 6. 10.Sementara itu keuntungan dan kerugian dari masing-masing jenis bahan bakar pada moda BRT dirangkum dalamTabel 6. 11. Tabel 6. 10. Persentase Perubahan Emisi relatif terhadap Emisi Buangan Diesel Standar Diesel particulate filter (DPF) Exhaust Gas Recirculation Diesel Oxidation Catalyst Lean Nox Catalyst Lean Nox Catalyst&DPF Seelctive Catalytic Reduction(SCR) Bio Diesel (B20) Diesel w/ Water emulsion
BAB VI β Konsep Panduan
PM -90 <+5 -20 sampai -50 0 >-85
NOx +5 -50 0 -25 -25
-25
-70
-10 -63
+2 -14
VI-29
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
(PuriNox) Diesel w/ethanol emulsion (puranol,O2diesel) CNG Dual Fuel(CNG/Diesel) Grid Connected(catenary overhead wires) Diesel Hybrid Electric (with after treatment) Gasoline Hybrid Electric
PM
NOx
-40
-5
-90 -70
-30 -50
-100
-100
-99
-44
>-90
>-95
Sumber: WestStart-CALSTART,(2004)
Tabel 6. 11. Keuntungan dan Kerugian Masing-Masing Jenis Bahan Bakar dan Teknologi Penggerak Jenis Bahan Bakar Diesel bersih
CNG
Keuntungan Efisien dalam penggunaan bahan bakar
Menghasilkan emisi yang lebih rendah bila dibandingkan dengan mesin diesel standar Daya tahan kendaraan yang sangat baik Perawatan kendaraan yang mudah Teknologi mesin diesel sudah sangat matang Merupakan mesin kendaraan yang paling banyak diproduksi Harga kendaraan yang kompetitif Hampir tidak mengandung sulfur dan menghasilkan pembakaran yang cukup bersih sehingga menghasilkan emisi yang sangat rendah
BAB VI β Konsep Panduan
Kerugian Emisi kendaraan diesel bervariasi tergantung pada kondisi lokal seperti ketinggian, tekanan atmosfir, kelembaban dan iklim. Kualitas perawatan kendaraan dan integritas rantai pasokan bahan bakar juga akan mempengaruhi emisi beberapa mesin diesel tertentu.
Untuk beberapa jenis emisi tertentu, kinerja mesin CNG tidak lebih baik dari mesin diesel Dengan densitas energi yang rendah, maka untuk penyimpanan di dalam kendaraan perlu di kompres di dalam suatu silinder yang besar. Menghasilkan emisi gas rumah kaca yang berbeda sedikit dengan mesin diesel, akan tetapi dengan adanya kebocoran gas metana justru menghasilkan total emisi gas
VI-30
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi Jenis Bahan Bakar
Keuntungan
Listrik (Trolley)
Menghasilkan nol emisi pada saat penggunaan (sementara total emisi yang dihasilkan bergantung pada jenis bahan bakar yang dipakai untuk pembangkit listrik) Pada saat beroperasi, mesin kendaraan menghasilkan suara yang hampir tidak terdengar Mempunyai karakteristik berkendara yang mulus Daya usia kendaraan yang lebih lama (hingga 2x usia kendaraan diesel
BAB VI β Konsep Panduan
Kerugian rumah kaca yang cukup signifikan Membutuhkan keahlian khusus untuk perawatan yang mungkin tidak biasa bagi negara berkembang Mungkin menghadapi masalah kekuatan mesin pada daerah perbukitan, dataran tinggi dan beberapa suhu tertentu Infrastruktur stasiun pengisian bahan bakar membutuhkan biaya yang cukup besar Membutuhkan waktu untuk pengisian bahan bakar sekitar 20-40 menit Harga kendaraan hingga 3x lipat harga kendaraan diesel
Biaya pengoperasian sangat bergantung pada harga listrik, dimana deregulasi listrik dapat mengganggu kestabilan finansial model Untuk memodifikasi rute membutuhkan biaya yang sangat mahal Membutuhkan pembangunan jaringan saluran listrik untuk waktu implementasi yang lebih lama Memiliki resiko gangguan pelayanan jika terjadi gangguan listrik kecuali kendaraan mempunyai cadangan penggerak diesel Biaya insfrastruktur bisa mencapai 2x lipat sistem BRT non-trolley Keberadaan kabel, pos dan trafo dapat menimbulkan masalah estetika khususnya di daerah historis. Dapat membahayakan pejalan kaki/pengguna jalan yang mempunyai masalah pendengaran, karena suara mesin yang hampir tidak
VI-31
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi Jenis Bahan Bakar
Keuntungan
Hibrida-Listrik
Menawarkan keunggulan bahan bakar yang ekonomis Menghasilkan emisi yang rendah Suara mesin kendaraan yang rendah
Biofuel
Berpotensi menghasilkan nol emisi gas rumah kaca
Bahan bakar sel (hidrogen)
Emisi yang sangat rendah
2-3x lebih efisien daripada bahan bakar bensin
Kerugian terdengar. Harga kendaraan lebih mahal dibandingkan kendaraan dengan mesin diesel biasa Dapat membahayakan pejalan kaki/pengguna jalan yang mempunyai masalah pendengaran, karena suara mesin yang hampir tidak terdengar. total emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari memproduksi biofuel dan faktor-faktor yang dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca masih sangat sedikit dipahami. Untuk memproduksi biofuel dibutuhkan bahan pangan dengan jumlah yang sangat besar, sehingga mempengaruhi kebutuhan pangan masyarakat. Harga kendaraan lebih mahal dibandingkan kendaraan dengan mesin diesel biasa Bahan bakar hidrogen sebagian besar diperoleh dari proses elektrolisis, sehingga emisi yang dihasilkan terkait langsung dengan jenis teknologi yang digunakan pembangkit listrik untuk menghasilkan hydrogen tersebut Belum tersedia secara komersil sehingga membutuhkan subsidi yang sangat besar Harga kendaraan lebih mahal dibandingkan kendaraan dengan mesin diesel biasa
Sumber: diolah dari berbagai sumber
BAB VI β Konsep Panduan
VI-32
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
F. Penyiapan Rencana Usaha 1.
Penyiapan Kelembagaan dan Fungsinya Lembaga pengelola merupakan komponen penting untuk menjamin suatu sistem BRT dapat dioperasikan secara optimal. Secara struktur, lembaga pengelola ini dapat berada dibawah suatu Lembaga Otorita Transportasi atau dapat juga langsung berada dibawah Pimpinan wilayah kota. Lembaga ini bersifat otonom dalam hal perencanaan, pengelolaan dan pengendalian layanan Bus dalam lingkup jejaring BRT. Lembaga ini merupakan suatu entitas dangan karakteristik korporasi (mis. BUMD, BUMN) yang beroperasi selayaknya unit usaha komersial yang lepas dari pola struktur pemerintahan yang ada, sehingga bisa menyelesaikan persoalan atau kendala lintas batas wilayah administratif dengan asumsi berada dibawah suatu lembaga (otorita) yang berwenang terhadap penetapan kebijakan strategis perkotaan (lintas batas wilayah administratif). Oleh karenanya kebijakan strategis transportasi suatu kota harus memuat panduan bagi lembaga pengelola ini untuk beroperasi dan menterjemahkan atau memformulasikan strategi politik yang telah terkoordinasi kedalam bentuk target usaha (bisnis), lingkup layanan, dan standar layanan. Hal ini dipadukan dalam bentuk rencana operasional dan menjadi rencana usaha (bisnis) lembaga ini. Lembaga pengelola sistem BRT ini (termasuk jaringan layanan pendukungnya) berfungsi sebagai unit usaha yang bertanggung jawab untuk: a) Perencanaan jaringan trayek dan pengembangan layanan; b) Perolehan pendapatan; c) Pengelolaan efisiensi sistem dan biaya; d) Menjamin kinerja finansial; e) Mengelola pengumpulan hasil tiket dan kebijakan tarif; f) Mengelola dan meng enforce kontrak dengan operator bus; g) Pemenuhan layanan bagi pelanggan, keluhan dan kehumasan serta pemasaran dan promosi. Tupoksi dari lembaga ini juga mencakup: a) Pengembangan dan penerapan rencana pedapatan dan pemasaran; b) Pengelolaan finansial dan administrasi; c) βBenchmarkingβpemulihan biaya dari sistem; d) Pemeliharaan sistem dan prasarana; e) Analisis/evaluasi dan pengelolaan resiko; f) Pengelolaan kontrak untuk para operator bus.
BAB VI β Konsep Panduan
perolehan
VI-33
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Tugas dan administrasi dari lembaga ini dipandu melalui standar prosedur operasi (SPO) untuk mengendalikan dan mengelola sistem dan kontrak dengan para operator bus. Suatu SPO khusus harus dikembangkan untuk: a) Pemantauan dan pengendalian operasi; b) Tindak tanggap kendaraan yang mogok; c) Tindak tanggap keadaan darurat dan kecelakaaan; d) Permohonan bantuan teknis dan malfungsi; e) Tindak tanggap aspek keselamatan dan keamanan; f) Prosedur pelaporan; g) Prosedur pengawasan kualitas; h) Pengawasan dan audit operasi perusahan bus (PO); i) Pengumpulan pendapatan dan sistem tiket; j) Penyediaan dokumen sistem manajemen kualitas (QMS) sebagai lampiran dari dokumen kontrak operator bus yang berisi panduan operasional dan ukuran kinerja termasuk manual bagi pengemudi, dan manajemen serta manual pemeliharaan kendaraan. Konsep struktur organisasi dari lembaga pengelola ini ditunjukan dalam Gambar 6.6. KEPALACEO LEMBAGA Business Unit
Legal and Audit Hukum & Audit
OPERASI Operations
PERENCANAAN Planning
PEMASARAN Marketing & & HUMAS PR
KEUANGAN Finance
TATA USAHA Administration
Penjadwalan Scheduling
Jaringan Network
Informasi Information& & Communication Komunikasi
Pengumpulan Fare Collection Pendapatan & & Ticketing Sistem Tiket
ITTeknologi & Systems
Control Pusat Kendali Center
Optimalisasi Optimise Layanan Services
Manajemen Contract Management Kontrak
Evaluasi Performance Evaluation Kinerja
Inspection Pengawasan
PRASARANA Infrastructure
Sistem &
Pemeliharaan Maintenance
Informasi Human SDM Resources
Layanan Customer Service Pelanggan
Sumber: Adaptasi dari JICA(2012)
Gambar 6.6. Konsep Struktur Organisasi Lembaga Pengelola Basis dari struktur organisasi ini fokus pada pola manejemen korporasi dan manajemen operasional layanan pelanggan, yang terdiri dari:
BAB VI β Konsep Panduan
VI-34
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
o
Dewan Pengawas: Mewakili pemangku kepentingan atau pemegang saham. o Kepala lembaga: Bertanggung jawab terhadap aspek kontraktual, aspek legal yang terkait operator bus, koordinasi dengan lembaga pengelola moda angkutan umum dan sektor terkait lainnnya (Kereta, MRT, pusat rekreasi/perbelanjaan). Melalui divisi-divisi yang ada, lembaga ini menangani berbagai hal yang terkait dengan perencanaan dan pengoperasian sistem (BRT) serta hal-hal kehumasan, keselamatan dan kemanan. o Kepala Divisi: Bertanggung jawab untuk kegiatan harian dan terhadap kepala lembaga o Jenis Divisi: (1) Divisi Operasi: Bertanggung jawab untuk modifikasi/penyesuaian operasi jejaring bus, memformulasikan standar dan panduan operasional, manajemen operasional bus, dan pemantauan operasional bus. (2) Divisi Keuangan : Bertanggung jawab untuk manajemen perolehan pendapatan dan distribusi hasil pendapatan serta operasional sistem tiket (3) Divisi Perencanaan: Bertanggung jawab untuk pengembangan usaha (bisnis) dan perencanaan jejaring layanan berbasiskan panduan rencana strategi jejaring angkutan massal dan strategi perolehan pendapatan dan pemasaran. (4) Divisi Pemasaran dan Humas: Bertanggung jawab terhadap penerapan strategi perolehan pendapatan dan pemasaran (bersama sama dengan Divisi Perencanaan) dan mengelola hubungan dengan publik dan media untuk mempromosikan citra dari sistem (BRT) serta menanggapi isu-isu yang berpotensi mengurangi tingkat kepercayaan dan penerimaan publik terhadap sistem (BRT). (5) Divisi Tata Usaha: Bertanggung jawab terhadap administrasi secara umum, sumber daya manusia, kehumasan dan masalah-masalah keuangan. (6) Divisi Prasarana: Bertanggung jawab terhadap perencanaan dan pengembangan prasarana, serta manajemen aset (seperti perbaikan dan perawatan) 2.
Penyiapan Model Usaha (Bisnis) Model usaha dan manajemen sangat penting untuk disiapkan, karena akan menentukan keberlanjutan dan kinerja keseluruhan dari sistem operasi BRT serta mempengaruhi berbagai aspek fitur rancangan dari sistem ini. Manajemen yang berorientasi
BAB VI β Konsep Panduan
VI-35
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
pada aspek komersial akan mengarah kepada penerapan pola operasi berbasiskan prinsip-prinsip usaha (bisnis) untuk meningkatkan porsi pangsa pasar, meningkatkan perolehan pendapatan dan mengelola pembiayaan secara efisien. Karena keberlanjutan sistem ini akan sangat tergantung pada perolehan pendapatan, maka manajemennya harus fokus pada aspek pengembangan usaha, penyediaan layanan pelanggan dan menjamin pemenuhan terhadap standar layanan dan operasi. Oleh karenanya, paradigma dari penyiapan model usaha adalah meminimalkan atau bahkan menghilangkan konsep subsidi pemerintah, baik langsung maupun tidak langsung. Dalam penyiapan model usaha, aspek-aspek yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut; 3.
Pola Manajemen dan Operasi dengan Pendekatan Kaidah Bisnis Rencana operasional yang merupakan bagian dari kebijakan strategis transportasi perkotaan lazimnya menetapkan basis dari aspek usaha (bisnis) dan kelayakan dari sistem (BRT). Karena rencana operasional menentukan lingkup dari sistem dan standar tingkat layanan, maka akan sangat mempengaruhi perencanaan dan perancangan prasarana dan sarana dari sistem seperti, dimensi halte dan kapasitas kendaraan, kondisi fisik jalur BRT dan kebijakan tarif. Oleh karenanya model usaha juga harus mengestimasi cakupan layanan yang disyaratkan dan pembiayaan untuk layanan tersebut yang pada akhirnya menentukan besarnya tarif komersial (total biaya aktual dibagi dengan estimasi jumlah penumpang). Bila ada kebijakan pemerintah untuk menetapkan tarif publik dibawah tarif komersial, maka pemerintah harus menyiapkan pengganti selisih kekurangan tarif komersial tesebut yang lazim didefinisikan sebagai subsidi bagi pengguna.
4.
Efisiensi Operasional Upaya efisiensi penting bagi keberlanjutan sistem yang bisa dicapai melalui dua aspek yaitu efisiensi (pengurangan) jumlah armada yang dioperasikan (pengurangan BOK) dan efisiensi pada sisi penumpang (peningkatan layanan, peningkatan jumlah penumpang dan peningkatan pendapatan). Aspek utama untuk meningkatkan efisiensi adalah meningkatkan kecepatan tempuh rata-rata kendaraan yang dapat dilakukan melalui rancang bangun jalur BRT dan pengaturan prioritas bus di simpang.
5.
Pengembangan Perolehan Pendapatan dan Pemasaran Aspek perolehan pendapatan dan pemasaran merupakan penjabaran dari kebijakan strategis yang ditetapkan oleh
BAB VI β Konsep Panduan
VI-36
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
lembaga (otoritas) yang berada diatasnya. Pemahaman terhadap aspek ini tidak terbatas hanya pada mengelola sistem (BRT) dan menyediakan layanan, namun secara aktif mengembangkan pola layanan dan menumbuh kembangkan usaha (bisnis) nya. Pemasaran bukan merupakan kegiatan terpisah namun bagian terpadu dari tupoksi lembaga ini .Gambar 6.7 mengilustrasikan hubungan antar divisi terkait dengan isu layanan pelanggan.
Divisi Humas & Pemasaran Pengendalian Masalah Peghubung ke masyarakat Siaran pers
Data dan informasi Analisa kinerja Umpan balik pelanggan Ekspose media yang negatif Survey lapangan
Unit Perencanaan Peghubung
Perencanaan tindakan perbaikan Isu rancangan sistem
Divisi Operasi
Isu operasional Tanggapan dan Ralat
Sumber: Adaptasi dari JICA (2012)
Gambar 6.7. Relasi dan Respon terhadap Isu Layanan Pelanggan Kebalikan dari situasi lazimnya, lembaga ini harus mengelola sistem berbasiskan permintaan sehingga penekanannya pada pengembangan perolehan pendapatan dan pemasaran dengan strategi sebagai berikut; a) Analisis pemangku kepentingan untuk tiap kelompok utama (mis. pengguna, pengemudi mobil&motor, wanita, pelajar, kelompok berkebutuhan khusus, angkot, PO, komunitas usaha, sekolah dan perguruan tinggi); b) Mengembangkan layanan yang memenuhi kebutuhan pelanggan (kemudahan, keandalan, keselamatan, keterjangkauan) dan utamanya untuk menjamin konektifitas (kemudahan untuk mencapai tujuan dan opsi pindah moda); c) Mengembangkan βmerkβ dari sistem (BRT) yang menarik dan mudah dikenali; d) Mengembangkan strategi komunikasi untuk kelompokkelompok tertentu;
BAB VI β Konsep Panduan
VI-37
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
e) Menyediakan sistem informasi yang baik dan mudah dipahami oleh pelanggan; f) Mendorong dan mengembangkan kegiatan khusus bagi partisipasi publik; g) Mengembangkan konsep untuk promosi peningkatan layanan. Karena strategi pemasaran bukan hanya sekedar melaksanakan kegiatan pemasaran, namun terkait dengan pembangunan kinerja usaha (bisnis) lembaga dan kemudian menawarkan/menjualnya pada pelanggan, maka sebagai bagian dari strategi pengembangan usaha, rencana perolehan pendapatan dan pemasaran harus mencakup: a) Pencapaian kinerja usaha melalui: (1) Pemahaman kebutuhan pelanggan, situasi persaingan usaha, dan harapan pemerintah dan pemangku (2) Pelatihan kompetensi dan kemampuan untuk memberikan layanan pelanggan yang baik (3) Penjaminan terhadap operasional, pemeliharaan, keselamatan dan keamanan yang baik (4) Penyediaan layanan yang handal (sistem transaksi dan operasional armada) (5) Pemasaran dan dan sistem informasi yang efektif serta pencitraan lembaga yang baik (6) Pemantauan dan pengukuran kinerja layanan b) Mempertahankan dan meningkatkan kinerja sistem melalui: (1) Pemantauan kepuasan dan keluhan pelanggan; (2) Pemantauan para pesaing; (3) Pengukuran efektifitas upaya penjualan dan pemasaran; (4) Identifikasi kinerja yang buruk dan pengambilan tindakan korektif secara dini; (5) Pengelolaan biaya dan terus menerus mencari peluang untuk meningkatkan efisiensi; (6) Pengembangan dan pencarian peluang untuk meningkatkan perolehan pedapatan; (7) Upaya mempertahankan peningkatan layanan secara konsisten dan menerus. c) Strategi perolehan pendapatan dan pemasaran harusmendefinisikan: (1) Posisi dari pemasaran produk dan layanan serta pangsa pasarnya; (2) Strategi memperoleh keuntungan (meningkatkan efisiensi/mengembangkan sumber perolehan pendapatan);
BAB VI β Konsep Panduan
VI-38
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
(3) Strategi pengembangan (growth) jangka pendek dan panjang. d) Pembedaan βmerkβ melalui: (1) Pemahaman karakteristik pelanggan dan harapannya; (2) Pemahaman kekuatan dan kelemahan pesaing serta pemahaman aturan main pasar; (3) Pembedaan produk melalui βmerekβ (mengkaitkan βmerekβ dengan kebutuhan pasar). 6.
Strategi Komunikasi untuk Identitas Lembaga Upaya kampanye yang berorientasi pada hasil untuk aspek perolehan pendapatan dan pemasaran harus: a) Fokus pada pelanggan dan persaingan (1) Mentargetkan pertumbuhan secara terpola; (2) Survey pelanggan dan pesaing - apa yang menjadi kebutuhan dan motivator utama? Bagaimana produk bisa dikaitkan untuk memenuhinya? b) Menjamin konsolidasi internal yang efektif (1) Pengukuran kinerja para staf (layanan pelanggan merupakan paradigma dan komitmen dari seluruh staf); (2) Komitmen pimpinan dan sumber daya yang dikerahkan untuk mengembangkan dan mempertahankan kualitas layanan. c) Membangun koalisi dengan pihak lain (1) Sekolah, pusat perbelanjaan, instansi pariwisata dan operator transportasi lainnya; (2) Membangun strategi saling menguntungkan (win-win) dengan pihak eksternal; (3) Menyiapkan rencana komunikasi untuk membangun hubungan; (4) Upaya melalui mekanisme persuasif untuk penjualan langsung. d) Menjaring pelanggan untuk membeli layanan dengan harga lebih tinggi (1) Mencari peluang perolehan pendapatan yang lain dan menggunakan metoda pemasaran langsung; (2) Menggunakan strategi tarif yang kreatif dan membangun nilai (value) untuk pelanggan; (3) Memberi apresiasi dan mempertahankan kesetiaan;
BAB VI β Konsep Panduan
VI-39
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
e) Mengunakan komunikasi melalui pencitraan (1) Membangun citra dari sistem melalui berbagai atribut yang jelas seperti kemudahan, keandalan, penghematan waktu, penghematan biaya; (2) Identitas βmerkβ yang jelas pada armada dan prasarana, titik layanan pelanggan, sistem transaksi dan pegawai (staf). f) Mengukur efektifitas pemasaran (1) Indikator kuantitatif dan kualitatif; (2) Manfaat jangka pendek dan panjang; (3) Hasil yang tidak bisa diukur (dampak samping dan manfaat yang tidak bisa diukur). 7.
Perencanaan Operasional Rencana operasional menetapkan lingkup bisnis, mempertimbangkan tujuan politik, memperhatikan kebutuhan masyarakat, memprediksi besarnya permintaan, menentukan persyaratan prasarana dan menetapkan tingkat pelayanan dan standar kinerja. Dokumen ini juga menentukan bagaimana usaha (bisnis) dioperasikan dan bagaimana menyiapkan layanan angkutan umum di level strategis Rencana strategis yang komprehensif dan efektif meliputi: a) Tujuan yang jelas dan ditetapkan pada realitas komersial (keberlanjutan finansial) b) Menetapkan tarif yang terjangkau oleh masyarakat dan mampu menutupi biaya operasional c) Menetapkan tarif teknis (operator) yang sesuai bagi operator untuk memenuhi standar kualitas layanan yang disyaratkan d) Menyediakan pendanaan yang memadai untuk lembaga yang ditetapkan untuk mengelola usaha (bisnis) layanan angkutan umum e) Mengalokasikan dan mendistribusikan resiko usaha secara proporsional sesuai kemampuan pihak terkait dalam usaha layanan angkutan umum Secara Khusus rencana operasional menetapkan: a) Prediksi besarnya permintaan (penumpang): (1) Berdasarkan model permintaan (jam sibuk dan lengang) (2) Mempertimbangkan hari libur nasional dan sekolah) (3) Mengestimasi profil arus penumpang dan tingkat pergantian penumpang (4) Mengantisipasi pertumbuhan permintaaan (akibat perpindahan moda)
BAB VI β Konsep Panduan
VI-40
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
b) Prediksi perolehan pendapatan: (1) Rata-rata tarif yang dibayar dikalikan jumlah penumpang; (2) Pendapatan bukan dari tiket (iklan, penyewaan dll); (3) Kebijakan tarif untuk meningkatkan perolehan pendapatan dan pangsa pasar; (4) Pendapatan tidak langsung dari kebijakan pendukung (parkir, pajak jalan, pajak BBM dll); (5) Kompensasi dari subsidi untuk penumpang. Bila telah ditetapkan rentang perioda layanan jam sibuk dan jam lengangnya, maka untuk menghitung besarnya jumlah penumpang dapat dihitung dengan menggunakan rumus (Alvinsyah&Halim, 2012): π π ππ ππ π
π = π‘π Γ [{(πΉΜ
π + πΉπ ) Γ πΜ
π } + {(πΉΜ
π + πΉΜ
π ) Γ πππ }] (10)
dimana, Rd πΉΜ
a,b to p op T
= = = = = = =
Jumlah penumpang naik (pax/hari) Arus penumpang maksimum rata-rata (pax/jam) Arah pergerakk arus penumpang Turnover rate Jam puncak (sibuk) Jam lengang (tidak sibuk) Rentang waktu layanan
Mengacu ke TRB (2007),turnover rate, berkisar antara 1.2 sampai 2.0 penumpang per bus tergantung pada struktur rute dan kawasan yang dilayani. Dengan diketahuinya jumlah penumpang yang naik, maka dapat dihitung potensi perolehan pendapatan berdasarkan tarif publik yang ditetapkan. a) Pembiayaan sistem; b) Pembiayaan sistem mencakup biaya investasi dan biaya operasional yang antara lain meliputi pembiayaan: (1) armada; (2) Manajemen (termasuk sistem transaksi (tiket); (3) Pemeliharaan sistem; (4) Komunikasi dan teknologi; (5) Promisi. c) Operator (1) Gaji dan biaya lain (tunjangan sosial, pelatihandanseragam);
BAB VI β Konsep Panduan
VI-41
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
(2) (3) (4) (5)
Bahan bakar, ban dan perawatan kecil (servis); Cuci danperawatan besar; Asuransi dan kecelakaan; Cadangan.
Komponen biaya untuk menghitung biaya operasional secara umum ditunjukan dalam Tabel 6. 12. Tabel 6. 12. Komponen biaya operasional KOMPONEN BIAYA ο§ Awak Bus
ο§ Biaya BBM
KETERANGAN* ο· Gaji Bulanan ο· Tunjangan harian/bulan ο· Tunjangan sosial/bulan Konsumsi: 1-3 km/Liter
ο§ Perawatan kecil
ο· 4baru and 6 rekondisi/bus ο· Daya tahan: 30.000 km/ban frekuensi: setiap 5.000 km
ο§ Perawatan besar
frekuensi: setiap 10.000 km
ο§ Pemeriksaan Umum
frekuensi: setiap 150.000 km
ο§ STNK
Tahunan
ο§ Izin trayek
Tahunan
ο§ Biaya ban
ο§ Harga Bus - Rangka - Karoseri ο§ Mesin Pendingin(AC): - Unit baru - Depresiasi - Perawatan tahunan - Perbaikan tahunan ο§ Montir ο§ Manajemen
ο§ Depresiasi: 7 tahun ο§ Nilai sisa: 20% ο§ Depresiasi: 7 tahun ο§ Perawatan: 5% dari harga Unit baru ο§ Perbaikan: 15% dari harga unit baru ο§ Penggunaan BBM 1:10 ο§ 20 orang/50 bus ο§ Gaji Bulanan&insentif ο§ Pegawai Bengkel, depo, manajemen, kantor ο§ Biaya operasional untuk depo berikut kantornya ο§ Biaya perawatan peralatan kantor, depo dan bengkel ο§ Biaya perawatan gedung kantor, depo &bengkel ο§ Nilai sisa dari kantor, depo dan bengkel
Sumber:Diolah dari berbagai operator bus
BAB VI β Konsep Panduan
VI-42
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Salah satu komponen dasar penyusun biaya operasional adalah jumlah kendaraan yang dioperasikan. Untuk mengestimasikan jumlah kendaraan minimum yang beroperasi dengan panjang rute yang telah diketahui dapat menggunakan rumus (Alvinsyah&Halim, 2012); πππ =
(2πΏβπ +60)+π
π‘ β
=
2πΏΓ60 πΓβ
+
π
π‘ β
(11)
dimana, nop Rt L V H
= = = = =
Jumlah bus operasional Waktu βlay overβ (menit) Panjang rute satu arah (km) Kecepatan rencana (km/jam) headway (menit)
Dan jumlah total bus yang diperlukan dihitung dengan rumus(Alvinsyah&Halim, 2012); ππ‘ππ‘ = πππ + ππ
(12)
dimana, ntot = Jumlah total bus Sp = Jumlah bus cadangan Jumlah bus cadangan bisanya sebesar 10 β 20% dari jumlah bus yang dioperasikan (TRB, 2007). Dilain sisi produktifitas masing-masing bus merupakan bagian penting dari biaya operasional yang dapat dihitung dengan rumus (Alvinsyah&Halim, 2012); ππππ‘ =
πππ βππ πππ’
(13)
πππ‘ +π
π‘
dimana, Nrit Top Tspbu Trt
= = = =
Jumlah ritase total (pp) Rentang waktu operasional (menit) Waktu untuk mengisi BBM (menit) Waktu tempuhpulang pergi (menit)
Dan , πππ‘ , waktu tempuh satu siklus layanan (pp) dihitung dengan rumus (Alvinsyah&Halim, 2012); πππ‘ = BAB VI β Konsep Panduan
(2πΏΓ60) π
+ πππ
(14)
VI-43
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Dimana Tlo adalah waktu lay over di terminal. Untuk mengestimasi produktifitas seluruh armada yang beroperasi, maka perlu dihitung total jarak tempuh dari armada yangdioperasikan. Ada tiga kategori jarak tempuh untuk masingmasing bus yaitu jarak tempuh produktif (efektif), jarak tempuh kosong dan jarak tempuh total yang dapat dihitung dengan rumus (BSTP, 2010); π¬πππ
ππ = π΅πππ Γ 2L
(15)
π¬πππ
ππ = π% Γ π¬πππ
ππ
(16)
π»ππππ
ππ = π¬πππ
ππ + π¬πππ
ππ
(17)
dimana, Effdist Empdist Ttotdis
= Jarak tempuh efektif (km) = Jarak tempuh kosong (km) = Total jarak tempuh (km)
Mengacu kepada Kemenhub-DitjenDat (2002) jarak tempuh kosong direkomendasikan sebesar 3% dari jarak tempuh total. Untuk menyiapkan model operasional perlu dikembangkan beberapa skenario: a) Kecepatan tempuh b) Jenis dan konfigurasi Bus c) Jenis bahan bakar dan sistem penggerak d) Tingkat Layanan e) Tarif Keluaran dari model operasional lazimnya berupa biaya per kilometer dan biaya per penumpang (tarif komersial) yang menjadi dasar penetapan perolehan pendapatan dan rencana usaha yang beroerientasi pada keuntungan. 8.
Kebijakan Tarif dan Subsidi untuk Pengguna (Fare Policy and User Subsidy) Sistem angkutan massal yang modern harus mendasarkan kebijakan tarifnya pada tujuan yang jelas (seperti kualitas layanan dan keberlanjutan) tanpa mengesampingkan aspek keterjangkauan. Basis untuk menetapkan kebijakan tarif dapat mempertimbangkan: a) Memaksimalkan peluang perolehan pendapatan dengan menciptakan layanan yang mau dibeli oleh penumpang;
BAB VI β Konsep Panduan
VI-44
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
b) Memberikan insentif berupa diskon untuk penggunaan layanan yang intensif, mencitrakan BRT sebagai pilihan gaya hidup, menjamin tarif yang terjangkau dan bersaing bagi pelaku perjalanan komuter; c) Memberikan diskon pada kelompok pengguna tertentu yang paling membutuhkan (lansia & pelajar); d) Menghitung tarif berdasarkan jarak tempuh perjalanan dan menetapkan tarif yang sesuai dan mudah (pembulatan) bagi pelanggan. 9.
Penerapan Subsidi Seringkali sistem BRT dianggap bebas dari subsidi karena tingkat efisiensi dan kapasitas angkutnya. Hal ini benar untuk situasi dan kondisi yang ideal dan memang ada beberapa sistem yang operasional tidak memerlukan subsidi. Akan tetapi, seringkali ditemukan berbagai isu yang menjadi beban operasional, sehingga untuk dapat mempertahankan standar layanan yang disyaratkan, Pemerintah perlu memberikan dukungan berupa insentif untuk: a) Layanan yang tidak layak secara komersial (malam hari, akhir minggu). Bentuk layanan bisa dibantu dengan menerapkan konsep kewajiban layanan publik (PSO) agar pemerintah memiliki dasar hukum untuk menyediakan dana bantuan. b) Kepentingan strategi kebijakan transportasi yang lebih luas seperti mempromosikan penggunaan angkutan umum melalui kebijakan insentif atau tarif khusus (diskon) dengan memberikan kompensasi untuk menutupi sebagian kekurangan dari tarif komersial, atau memberikan subsidi untuk beberapa komponen biaya atau c) Memberikan subsidi pada komponen biaya tertentu seperti subsidi untuk bahan bakar. d) Suatu kebijakan tertentu yang berdampak pada penambahan biaya seperti persyaratan penggunaan bahan bakar alternaif seperti CNG. e) Dukungan sementara waktu sampai sistem BRT mencapai skala ukuran layanan yang memungkinkan untuk mandiri secara finansial.
BAB VI β Konsep Panduan
VI-45
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
G. Penyiapan Kebijakan Pendukung 1.
Integrasi Moda Untuk mengoptimalkan BRT menjadi sistem yang efisien, maka harus terintegrasi dengan moda lainnya yang tidak boleh dianggap sebagai pesaing, namun harus dimanfaatkan sebagai perpanjangan layanan BRT.Akses pejalan kaki merupakan salah satu yang mutlak untuk difasilitasi. Akses pejalan kaki harus disediakan dengan baik setidaknya untuk radius 500meter dari tiapβtiap halte. Akses pejalan kaki yang disediakan juga harus aman dari kendaraan bermotor dan terlindung dari cuaca panas ataupun hujan. Selain itu, akses pejalan kaki juga harus mempermudah pejalan kaki untuk mengakses bangunan ataupun toko β toko di sekitar halte. Selain dari berjalan kaki, penggunaan sepeda ke stasiun terdekat merupakan alternatif bagi para pengguna untuk mencapai halte. Namun penggunaan sepeda harus dilengkapi dengan prasarana yang memadai seperti jalur sepeda. Layaknya jalur pejalan kaki, jalur sepeda yang ada juga harus memberikan rasa aman dan nyaman kepada para pengguna. Tidak hanya jalur sepeda, parkir sepeda juga harus tersedia dengan baik. Parkir yang disediakan haruslah memiliki keamanan yang baik dan terhindar dari cuaca hujan. Moda lain yang masih jarang diintegrasikan dengan BRT adalah taksi. Pada banyak kota besar, peredaran taksi merupakan salah satu faktor kemacetan yang terjadi di dalam kota. Peredaran taksi dalam membuat kemacetan tidak hanya saat mengantarkan penumpang, namun juga saat mencari penumpang. Untuk mengurangi pergesekkan taksi dalam mencari penumpang, taksi dapat dintegrasikan dengan halte BRT sehingga dapat menjadi alternatif moda bagi para pengguna BRT dalam melanjutkan perjalanan. Pengendara taksi juga tidak harus berputar β putar untuk mencari penumpang mereka. Kemacetan lalu lintas pun juga dapat berkurang dengan hilangnya aktivitas taksi dalam mencari penumpang. Integrasi fisik, pemasaran, promosi sistem dan struktur tarif merupakan kunci kesuksesan dalam integrasi sistem. Integrasi fisik yang berupa bangunan dan penandaan yang jelas dapat mempermudah pengguna untuk berganti moda. Promosi dan pemasaran dapat dilakukan untuk memperkenalkan sistem terintegrasi kepada publik. Sistem satu tarif merupakan integrasi yang paling baik sehingga para pengguna tidak bingung dengan pembayaran tarif yang berkaliβkali ataupun berbedaβbeda. Selain integrasi dengan angkutan dalam kota, integrasi yang dibangun sebaiknya juga dengan angkutan antar kota ataupun jarak jauh, seperti bus antar kota, setasiun kereta ataupun bandara. Integrasi dengan layanan antar kota akan melengkapi sistem transportasi kota yang efektif.
BAB VI β Konsep Panduan
VI-46
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
2.
Manajemen permintaan perjalanan Sistem BRT yang berkualitas dapat mengubah struktur mobilitas kota. Penggunaan insentif yang tepat dapat memperkuat perjalanan sistem angkutan yang baru, menyangga restrukturisasi kota berkelanjutan, mengarahkan pada penambahan pendapatan lingkungan dan ekonomi, dan menciptakan rasa kebersamaan yang lebih besar melalui peningkatan akses dan mobilitas. Mekanisme TDM dan teknik manajemen mobilitas memperlihatkan bagaimana insentif yang benar dapat mengarahkan orang menggunakan moda transportasi berkelanjutan. Mekanisme tersebut,seperti yang dilakukan di beberapa (misalnya Green Travel Plans, Travel Blending, jalan berbayar, tarif perpakiran),telah sangat berhasil dalam memindahkan pelaku perjalanan komuter keopsi angkutan umum dan kendaraan tak bermotor.
3.
Integrasi dengan Perencanaan GunaLahan Sistem BRT yang benar dapat mendukung pengembangan ekonomi berkelanjutan. Pemilihan titik stasiun yang tepat dapat mengembangkan pembangunan komersial dan perumahan di area tersebut. Pemilihan rute ataupun stasiun secara strategis dapat membuat sistem BRT menjadi lebih baik sekaligus mendorong perkembangan kota. Dengan berkembangnya area komersial dan perumahan di sekitar koridor BRT, kemudahan akses akan diperoleh para pengguna untuk menjangkau area β area tersebut. Selain itu, sistem BRT akan menjadi sarana transportasi kota yang efektif dan efisien. Hasil akhirnya adalah bahwa kota dapat memberikan infrastruktur dasar seperti air, pembuangan, dan listrik dengan penghematan yang signifikan bagi kawasan pengembangan yang terkonsentrasi dan terkoordinasi.
H. Proses Penyiapan Implementasi Sistem BRT Proses implementasi ini membutuhkan kepercayaan yang tinggi dari pengambil keputusan serta kepastian untuk menjamin proses ini. Oleh karena itu, proses ini merupakan bagian kritis untuk mewujudkan perencanaan BRT yang telah dipersiapkan secara efisien dan ekonomis. 1.
Rencana Pendanaan Pembiayaan BRT dapat terbagi menjadi tiga kelompok aktivitas ; perencanaan, infrastruktur dan armada ( bus). Tiap aktivitas biasanya meliputi berbagai skema pembiayaan yang berbeda seperti yang ditunjukan dalamTabel 6. 13.
BAB VI β Konsep Panduan
VI-47
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Tabel 6. 13. Sumber Pendanaan BRT Aktivitas
Perencanaan Sistem
Pembangunan Infrastruktur Pengadaan Bus
Sumber Pembiayaan Sumber-sumber lokal dan nasional Lembaga Bantuan Asing Bilateral Lembaga dibawah PBB Lembaga Internasional Lembaga Donor Swasta Sumber-sumber lokal dan nasional Lembaga Internasional Lembaga Bantuan Asing Bank-bank komersial
Sumber: ITDP (2007)
2.
Opsi β opsi Pembiayaan Lokal Sebelum mencari pendanaan internasional, sebaiknya pihak kota harus mencari opsiβopsi yang memungkinkan untuk melakukan pembiayaan lokal. Biaya implementasi BRT yang relatif rendah memungkinkan Pemerintah kota menggali sumber pendanaan lokal seperti; a) Pendapatan dari pajak daerah dan pusat; b) Pendapatan parkir; c) Biaya kemacetan; d) Pendapatan dari Pengembangan komersial di Terminal dan Halte Utama serta kawasan sekitarnya; e) Pedapatan dari Iklan.
3.
Penentuan Operator Berbagai mekanisme penentuan operatordapat dilakukan dengan kekurangan dan kelebihan dari tiap opsi. Pemilihan operatordapat dilakukan melalui pemilihan langsung atau lelang/tender. Pemilihan langsung diberikan kepada operator yang rutenya terkena restrukturisasi, dengan catatan operator mampu memenuhi standar layanan yang ditetapkan oleh pemerintahserta peraturan perundangan memungkinkan untuk proses ini. Tujuan penunjukan langsung dimaksudkan untuk meminimalkan dampak sosial dengan adanya restrukturisasi rute tersebut. Penetapan operator melalui lelang dikenakan untuk rute-rute baru. Metode lelang ini merupakan metode terbaik sebagai alat untuk menentukan operator. Melalui lelang diharapkan akan ada evaluasi secara berkala sehingga operator yang tidak mampu mempertahankan kinerjanya harus rela digantikan oleh operator lain. Sehingga diharapkan akan terjadi kompetisi sehat yang
BAB VI β Konsep Panduan
VI-48
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
berujung pada pengguna akan mendapatkan layanan yang memadai sesuai dengan tarif yang dibayarkan. Guna menunjang penetapan operator maka pemerintah harus menetapkan terlebih dahulu standar layanan yang diharapkan, mekanisme pembayaran tiket, kriteria pemenang lelang serta penetapan kode trayek dan mungkin termasuk warna armada/bus. Melalui mekanisme lelang ini diharapkan penumpang akan mendapatkan layanan yang memadai dan dapat melakukan pengawasan serta akan mendapatkan harga/tarif yang semurah mungkin dengan pelayanan sebaik β baiknya.Mekanisme pemilihan operator diilustrasikan dalam Gambar 6.8.
Gambar 6.8. Mekanisme Pelelangan dan Perizinan Mekanisme diawali dengan pengumuman lelang dari Lembaga pengelola. Pada pengumuman ini disertakan persyaratan yang harus dipenuhi dan kriteria penilaian pemenang lelang. Sebagai kriteria penentuan pemenang lelang antara lain bahwa operator haruslah berupa badan usaha atau koperasi, mempunyai kesiapan untuk mengadakan armada angkutan, mempunyai kemampuan untuk mengoperasikan angkutan, dan lain β lain sesuai dengan peraturan yang berlaku. Berdasarkan kriteria tersebut maka dapat ditentukan pemenang lelang yaitu operator yang akan mampu memberikan layanan terbaik dengan tarif yang terjangkau oleh masyarakat (tidak selalu harus yang memberikan tawaran paling murah). Pemenang lelang akan membuat kontrak operasional dengan
BAB VI β Konsep Panduan
VI-49
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Lembaga pengelola. Isi kontrak secara umum akan meliputi kewajiban dan hak operator serta sangsi jika operator tidak dapat memenuhi ketentuan β ketentuan dalam kontrak. Sebaliknya operator dapat menuntut haknya jika Lembaga Pengelola (atau regulator/pemerintah) tidak memberikan apa yang menjadi hak operator. Pada saat yang sama setelah ditandatangani kontrak operasional maka pemerintah berkewajiban untuk menerbitkan ijin operasional kepada operator pemenang lelang. Setelah operator pemenang lelang memegang izin operasional, maka segera mengoperasikan armadanya tersebut sesuai dengan lingkup yang disepakati dalam kontrak operasi. Pada jangka waktu tertentu (misalnya setiap 2 tahun) sesuai dengan kontrak maka perlu diadakan evaluasi kinerja operator dalam memberikan layanan kepada penumpang pada trayek sesuai dengan hasil lelang. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut jika hasil kinerja operator pemenang lelang dinilai baik maka kontrak dan ijin dapat diperpanjang, tetapi jika dinilai tidak baik maka kontrak diputus dan izin operasional dicabut. Dengan pencabutan ini maka untuk kelancaran operasional bisa ditawarkan pada operator lain yang beroperasi dalam sistem atau dilakukan lelang baru untuk memberikan kesempatan kepada operator lain demikian seterusnya. 4.
Tahap persiapan aspek legal Sama seperti rencana implementasi program pembangunan lainnya, aspek legal menjadi aspek dasar pertama yang perlu dipersiapkan karena kesemuanya, baik pada tahap perencanaan, persiapan maupun implementasinya memerlukan suatu perangkat hukum yang mengatur tugas, wewenang dan pembagian tugas dari berbagai instansi yang terkait. Legalitas memberikan batasan yang jelas arah dan tujuan dari pelaksanaan sistem ini dan konsekuensi operasional yang nanti akan terjadi. Secara global, komponen-komponen yang perlu dipersiapkan perangkat hukumnya adalah: a) Komponen sistem dan fisik operasional sistem, seperti jalur pelayanan, infrastruktur pendukung dan sistem operasional; b) Kelembagaan pengelola sistem, yang meliputi organisasi pengelola, operator bus dan pengelola tiket; c) Keterkaitannya dengan kebijakan penunjang lainnya, seperti kebijakan pemerintah tentang perencanaan transportasi.
BAB VI β Konsep Panduan
VI-50
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Keputusan dan peraturan yang ada tersebut harus memberikan penjelasan dan uraian yang mendetail mengenai segala komponen di atas agar nantinya tercipta suatu aturan dan ketentuan yang jelas bagaimana tugas dan wewenang masingmasing lembaga pengelola, sistem operasional dan penyelesaiannya yang jelas. Penyiapan perangkat hukum sepenuhnya menjadi tanggung jawab regulator. Penyiapan perangkat hukum untuk pendukung dokumen kontrak terutama terkait dengan hak dan kewajiban operator, penertiban ijin trayek yang meliputi persyaratan perijinan, dan perangkat hukum lainnya sesuai dengan Peraturan Daerah yang ada. 5.
Rencana kontrak untuk sistem Sebagai proses pengadaan kompetitif dan terbuka, pemilihan perangkat dan operator merupakan hal yang esensial, hal yang sama juga berlaku untuk aktivitas kontrak, dari penggunaan konsultan hingga pemilihan perusahaan kontraktor. Proses lelang yang transparan didukung oleh spesifikasi yang jelas dan tepat serta kriteria pemilihan yang terdefinisi dengan baik merupakan hal yang esensial.
6.
Pola kontrak dengan operator BRT Lazimnya dengan dioperasikannya sistem BRT, operator yang ada diarahkan untuk berperan serta dalam sistem sebagai penyedia layanan. Melalui mekanisme ini, terjadi pendistribusian resiko yang proporsional dengan kemampuan masing-masing pihak diantara pengelola sistem dengan penyedia layanan (operator). Secara prinsip, institusi yang membawahi pengelola sistem (lembaga otoritas) akan menanggung resiko politik, pengelola sistem akan menanggung resiko usaha (bisnis) dan operator akan menanggung resiko operasional. Pengelola sistem akan menangani dan mengelola kontrak dengan operator untuk lingkup tanggung jawab yang sesuai dengan kapasitas kemampuan operator. Melalui pola kontraktual seperti ini pengelola sistem akan mendapatkan manfaat seperti: a) Kontrak yang sederhana yang menggabungkan izin usaha, aturan dan persyaratan, dan pengoperasion menjadi satu paket yang dengan tegas membagi tanggung jawab pengelola sistem dan operator bus. b) Memegang kendali dan jaminan akan kualitas layanan. c) Memegang kendali terhadap penugasan kepada operator untuk menyediakan layanan disetiap rute dalam jaringan sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak (jaminan total kilometer tempuh).
BAB VI β Konsep Panduan
VI-51
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
d) Operator bus dan pegawainya memiliki pekerjaan yang formal dengan jaminan pendapatan dan keuntungan. I. Rencana Penanganan Operator Non BRT 1.
Restrukturisasi Jaringan Trayek dan Sistem Perizinan Bila SAUM Jalan dioperasikan dengan pola Trunk and Feeder pada suatu koridor, maka struktur jaringan trayek yang beroperasi perlu ditata ulang dengan berbagai pendekatan sebagai berikut: a) Koridor BRT merupakan jalur utama (Trunk) dengan sistem prasarana yang sesuai rancang operasionalnya b) Konversi beberapa trayek yang menghubungkan wilayah diluar cakupan koridor BRT dan dapat berfungsi sebagai pengumpan serta mengoperasikannya secara terpadu melalui sistem transaksi dan penggunaan jalur & Halte baik secara penuh maupun parsial c) Konversi menjadi layanan lokal berbasis kawasan (bukan rute) layanan dan berfungsi sebagai pengumpan serta tidak harus terpadu secara penuh (sistem dan fisik)
2.
Mekanisme Proses Transisi Untuk menuju sistem BRT yang sesungguhnya dibutuhkan konsep manajemen transisi dari kondisi eksisting ke kondisi yang diinginkan. Proses transisi ini menjadi tanggung jawab dari pemerintah (regulator) untuk melakukan proses dialog melalui pengembangan dan pengenalan model usaha (bisnis) dan insentif yang baik dan menarik. Beberapa hal prinsip yang perlu diperhatikan untuk memandu proses transisi adalah: a) Reaksi negatif karena ada potensi ketidak pastian yang diciptakan bagi para operator sebagai dampak dicabutnya izin beroperasi (trayek) dan diganti dengan kontrak berbasis kinerja. b) Memberikan keyakinan pada operator bahwa bahwa keikutsertaan dalam sistem (BRT) memberikan jaminan keuntungan yang jelas dan pasti serta resiko yang minimum dengan mekanisme kontraktual berbasiskan model usaha yang dikembangkan. c) Mekanisme penawaran kontrak bisa melalui pelelangan atau negosiasi (berbasiskan kemampuan operator sebagai bentuk kompensasi). d) Kontrak berbasiskan negosiasi harus bersifat transparan untuk memuluskan proses transisi. e) Peleburan berbagai operator kedalam bentuk korporasi perlu mempertimbangkan prosedur pembayaran pendapatan
BAB VI β Konsep Panduan
VI-52
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
dari layanan dalam bentuk yang memperhatikan kondisi saat ini (misalkan pendapatan berbasis harian). f) Proses transisi untuk operator eksisting membutuhkan proses negosiasi yang bersifat mengikat. g) Pengalaman dari tempat lain menunjukkan bahwa sejauh pemerintah siap menampung kekhawatiran para operator, maka peluang keberhasilan sistem BRT jauh lebih besar. 3.
Pengembangan Layanan Lingkup Lokal Bila sistem BRT sudah siap diterapkan, maka layanan angkutan umum eksisting idealnya dirancang dan dikelola untuk mendukung sistem BRT. Ada dua cara untuk mengelola sistem eksisting; dilakukan oleh instansi terkait pada wilayah yang bersangkutan atau oleh lembaga pengelola BRT tergantung pada situasi setempat dan tujuan utama dari layanan angkutan umum. Kedua cara merupakan opsi yang bisa diadopsi sesuai dengan kebutuhan dan tingkat penerimaan dari pemangku kepentingan terkait. Pemerintah setempat dapat mengambil peran penting untuk menata ulang sistem bus setempat untuk melayani masyarakat dan trayek-trayek utama (Trunk) seperti Kereta Api atau BRT. Ada dua jenis layanan yang bisa diterapkan untuk layanan yang bersifat lokal yaitu pertama layanan dikoridor-koridor utama dan kedua, layanan kolektor yang meliputi suatu kawasan tertentu sesuai dengan izin yang ditetapkan. Sistem tarif dari layanan ini tidak perlu terpadu dengan sistem BRT dan dikutip langsung oleh operator, sehingga tingkat & rute layanan dapat disesuaikan dengan keinginan masyarakat setempat. Karena dengan cara ini ada perlindungan terhadap adanya kompetisi, maka akan timbul peningkatan terhadap jaminan usaha. Tentunya instansi perhubungan setempat tetap harus memantau dan mengawasi pemenuhan tingkat pelayanan yang ditetapkan.
4.
Transisi dan Rasionalisasi Operator Bus Permasalahan utama bagi upaya peningkatan layanan angkutan umum adalah menata ulang sistem angkutan umum ke arah yang lebih terstruktur dan akuntabel serta merekayasa peningkatan layanan seusai dengan keinginan masyarakat. Pertama, mengenali berbagai persoalan yang harus dihadapi seperti: a) Kecenderungan operator bertahan pada kondisi status quo dan tidak ingin ada perubahan (kecuali bila kondisi usaha sudah buruk). b) Kecurigaan terhadap pemerintah (regulator) dan perubahan serta resistensi akan hak dan kemerdekaannya
BAB VI β Konsep Panduan
VI-53
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
c) Perubahan dari sistem perolehan pendapatan (harian menjadi bulanan). d) Sikap skeptis dan tidak yakin terhadap kondisi kedepan (model usaha yang formal) e) Timbulnya tuntutan akan kompensasi f) Kapasitas dan kemampuan yang kurang memadai dari pemerintah setempat untuk megelola perubahan g) Perubahan kondisi dari sistem sewa kearah sistem yang lebih teratur. Komunikasi intens dengan masyarakat dan operator yang terkena dampak perubahan merupakan hal yang mutlak dilakukan, pertama untuk memahami kebutuhan akan transportasi lokal dan perspektif masyarakat, kedua untuk menentukan lingkup dan tingkat layanan yang dibutuhkan, dan ketiga untuk membangun hubungan konstruktif untuk memuluskan proses perubahan Progres terhadap suasana yang kondusif harus diciptakan karena kalau tidak program peningkatan layanan bisa dipersepsikan sebagai ancaman oleh operator yang terkena dampak. 5.
Masalah Kompensasi Lazimnya masalah kompensasi merupakan isu utama dalam langkah rasionalisasi sistem eksisting. Namun kompensasi ini harus merupakan opsi terakhir, karena target utamanya adalah reformasi industri angkutan umum dan transformasi paradigma operator kearah model usaha yang lebih terjamin. Beberapa dampak terhadap operator yang perlu dievaluasi adalah: a) Apakah trayek eksisting bersinggungan seluruhnya atau sebagain dengan koridor BRT? b) Apakah trayek eksisting akan dihapus atau dipotong? c) Sejauh mana trayek eksisting bisa disesuaikan untuk mendukung jaringan Utama (BRT)? d) Apakah operator mampu atau tertarik untuk terlibat dalam sistem BRT? Beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan dalam pemberian kompensasi adalah: a) Status hukum operator, besarnya dampak, potensi kehilangan usaha atau hanya kehilangan pekerjaan? b) Jika operator menolak tawaran terhadap pola usaha yang realistis untuk mengganti operasi eksisting; apakah mereka berhak terhadap kompensasi berupa uang? c) Apakah perlu kompensasi yang usia kendaraan atau izin trayeknya sudah tidak aktif?
BAB VI β Konsep Panduan
VI-54
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
d) Nilai dari kebijakan untuk mengganti kendaraan lama dan sebagai mekanisme kompensasi? (Biaya kompensasi untuk uang muka kendaraan baru atau membeli saham di perusahaan yang baru) Bagaiman implikasi besarnya biaya? Organisasi Asosiasi operator secara resmi harus dilibatkan dalam proses ini sebagai representasi para operator yang diakui oleh pemerintah. Kebijakan kompensasi (uang) harus diminimalisasi karena fokus utamanya adalah untuk menata trayek eksisting menjadi layanan pengumpan dan lokal. Proses penyiapan layanan pengumpan dan lokal ini merupakan tugas dari pemerintah setempat untuk merencanakan trayek dan layanannya. 6.
Rencana Pembangunan dan Implementasi Proyek BRT memiliki beberapa kelompok manajemen dengan aktivitas yang berbeda β beda. Susunan rangkaian kegiatan tersebut haruslah dikelola dan dijadwalkan dengan tepat. Perencanaan pembangunan dan implementasi yang tepat dapat berfungsi sebagai pengendali manajerial untuk mengarahkan proyek sesuai dengan perencanaan.
7.
Sistem Pemeliharaan Pada tahun β tahun awal, sistem akan menunjukan kualitas layanan yang begitu baik dengan citra yang positif. Namun, ketika sistem telah berjalan beberapa tahun, kualitas layanan akan menurun seiring dengan kualitas fisik dari sistem. Untuk mencegah hal tersebut terjadi diperlukan suatu rencana pemeliharaan yang berkelanjutan agar sistem dapat terus berkualitas baik. Pemeliharaan bus biasanya menjadi tanggung jawab pihak mitra swasta. Oleh karena itu standar kualitas dari pelayanan harus dinyatakan dengan jelas dalam perjanjian kontrak. Sedangkan untuk kualitas seperti terminal, stasiun dan jalur bus akan menjadi tanggung jawab dari pengelola sistem BRT. Namun biasanya sektor pemeliharaan akan diberikan kepada pihak swasta untuk menjaga kualitas bangunan. Alokasi anggaran dan waktu harus dilakukan dengan tepat agar kualitas layanan tidak memburuk sehingga dapat membuat pelayanan menjadi tidak maksimal.
8.
Rencana Pengawasan dan Evaluasi Suatu keberhasilan dan kegagalan dari sistem akan terlihat dari reaksi masyarakat, komentar media, dan tingkat penggunaan serta keuntungan. Namun untuk mengetahui secara objektif diperlukan suatu pengawasan dan evaluasi dari sistem.dengan
BAB VI β Konsep Panduan
VI-55
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
melakukan pengawasan dan evaluasi akan terlihat titik kelemahan yang perlu dilakukan tindakan korektif. Identifikasi masalah dan indikator meruapkan langkah awal dalam mengembangakn rencana pengawasan dan evaluasi. Indikator yang mudah untuk digunakan diantaranya jumlah total pengguna, aliran pengguna, biaya operasional sebenarnya, jarak tempuh perjalanan dalam kilometer, kecepatan, waktu tunggu pengguna, faktor beban, dan angka statistik kejahatan. Selain itu, pendapat para pengguna juga dapat digunakan sebagai referensi tingkat kepuasan pengguna. Proses pengawasan dan evaluasi harus dilakukan secra berkala untuk tetap menjaga tingkat kepuasan pengguna. 9.
Sosialisasi Operasi Sistem BRT Keberhasilan suatu produk baru dalam memasuki pasar akan sangat ditentukan oleh adanya promosi, sedangkan kebijakan baru akan berhasil meraih dukungan masyarakat jika dilakukan sosialisasi yang memadai. Jika sistem BRT dipandang sebagai barang baru maka sosialisasi atau promosi akan sangat menentukan keberhasilan operasinya. Melalui sosialisasi yang baik diharapkan sistem ini akan mendapatkan dukungan yang baik pula dari masyarakat utamanya pengguna angkutan umum. Sosialisasi dapat dilakukan melalui media cetak maupun elektronik, sehingga diharapkan akan mengurangi atau meminimalkan dampak sosial yang akan terjadi, utamanya yang kurang/tidak setuju dengan adanya sistem ini.
J. Contoh Kasus Penyusunan SAUM Jalan Raya untuk Kota Surabaya dengan Metoda Cepat 1.
Kajian Struktur Kota
Gambar 6. 9. Peta Wilayah Kota Surabaya
BAB VI β Konsep Panduan
VI-56
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Tahap awal yang perlu dilakukan adalah mempelajari struktur kota Surabaya. Surabaya sebagai Ibukota Provinsi Jawa Timur memiliki aktivitas ekonomi yang tinggi. Aktivitas ekonomi yang tinggi ditandai dengan banyaknya lokasi yang menjadi pusat aktivitas kegiatan. Lokasi pusat kegiatan tersebut akan membuat adanya kebutuhan transportasi yang dibutuhkan untuk menjangkau lokasi tersebut. Lokasi β lokasi tersebut dapat menjadi potensi bangkitan dan tarikan perjalanan.
Sumber : Revisi Rencana RTRW Kota Surabaya
Gambar 6. 10. Tata Guna Lahan Kota Surabaya Dari gambar tata guna lahan pada Gambar 6. 10menunjukan aktivitas kegiatan penduduk kota Surabaya terkonsentrasi di daerah pusat kota. Selain di pusat kota, pusat kegiatan juga tersebar di sepanjang jalan arteri di kota Surabaya. Untuk daerah pemukiman umumnya berada di sekeliling pusat kegiatan. Wilayah pemukiman tersebar dari yang terdekat dengan pusat kota hingga jauh ke sebelah Barat ataupun Timur. Di sebelah Utara kota Surabaya terdapat Pelabuhan Tanjung Perak,yang memiliki aktivitas yang cukup tinggi karena merupakan pintu masuk akses jalur laut untuk wilayah Jawa Timur. Adanya pelabuhan ini membuat aktivitas angkutan umum cukup tinggi terutama truk pengangkut barang.
BAB VI β Konsep Panduan
VI-57
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Gambar 6. 11. Bangkitan dan Tarikan Perjalanan Kota Surabaya Dari lokasi yang menjadi pusat aktivitas, akan timbul tarikan dan bangkitan dari lokasi tersebut seperti ditunjukandalam Gambar 6. 11. Dari gambar tersebut terlihat lokasi bangkitan dan tarikan tersebar di berbagai wilayah kota Surabaya. Namun, potensi bangkitan dan tarikan paling tinggi berada di pusat kota Surabaya hingga bagian Utara dimana daerah tersebut menjadi pusat kegiatan ekonomi kota Surabaya. Lokasi yang diperkirakan memiliki potensi permintaan yang tinggi diantaranya Jalan Ahmad Yani, Jalan Banyu Urip, Jalan Kedungdoro, Jalan Arjuna, Jalan Bubutan dan daerah sekitarnya termasuk Kebun Binatang Surabaya.
Gambar 6. 12. Gambaran Sebaran Pusat Aktivitas Kota Surabaya
BAB VI β Konsep Panduan
VI-58
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Gambar 6. 13. Titik Potensi Penumpang Angkutan Umum Turun ( hijau) dan Naik (merah) Banyaknya aktivitas yang dilakukan di suatu lokasi akan membuat bangkitan dan tarikan perjalanan di lokasi tersebut. Hal ini dapat menghasilkan suatu kebutuhan perjalanan yang harus dipenuhi agar aktivitas masyarakat dapat berjalan dengan baik. Titik β titik yang harus dilayani oleh angkutan umum ditunjukkan dalam Gambar 6. 13. Pada Gambar ini terlihat potensi naik turun penumpang terkonsentrasi di pusat kota Surabaya tepatnya di sekitar Kebun Binatang. Selain itu, titik potensi naik penumpang juga terlihat tinggi di Jalan Diponegoro Raya. Adanyapelabuhan Tanjung Perak di sebelah utara kota Surabaya juga membuat titik potensi naik turun penumpang yang cukup tinggi di wilayah tersebut. 2.
Pengumpulan Data Untuk melakukan suatu perencanaan Angkutan umum massal diperlukan suatu gambaran kondisi eksisting yang ada di suatu kota. Gambaran kondisi eksisting dapat ditunjukan oleh data data yang ada. Beberapa data yang dibutuhkan adalah a) Trayek Angkutan Umum eksisiting b) Frekuensi dan Okupansi dari Angkutan Umum c) Kecepatan Perjalanan dan Waktu Tempuh Angkutan Umum d) Permintaan Perjalanan Angkutan Umum e) Tata Guna Lahan dan Rencana Tata Ruang Wilayah
3.
Potensi Permintaan Kaptif dan Potensial Titik β titik bangkitan dan tarikan perjalanan yang ada dipetakan menjadi sebuah pola perjalanan seperti pada Gambar 6. 14. Beban perjalanan dengan angkutan umum pada Gambar 6. 14menggambarkan beban yang diterima di setiap ruas jalan. Terlihat bahwa perjalanan terjadi merata di seluruh wilayah kota Surabaya.
BAB VI β Konsep Panduan
VI-59
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Dari Gambar 6. 14 terlihat permintaan perjalanan yang tinggi berada di daerah pusat kota Surabaya hingga ke arah Pelabuhan Tanjung Perak yang berada di sebelah utara. Selain di bagian pusat kota, terdapat dua koridor yang memiliki permintaan cukup di tinggi sebelah barat dan satu koridor di sebelah Tenggara kota. Daerah tersebut merupakan daerah pemukiman yang memiliki bangkitan perjalanan yang tinggi menuju pusat kota.
Gambar 6. 14. Beban Permintaan Jaringan Angkutan Umum
BAB VI β Konsep Panduan
VI-60
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Gambar 6. 15. Potensi Koridor Angkutan Umum Massal Kota Surabaya Dari pembebanan jaringan angkutan umum padaGambar 6. 14 dapat diambil beberapa koridor yang memiliki potensi permintaan yang cukup tinggi sebagai angkutan umum massal. Beberapa ruas jalan yang terpilih yang dapat digunakan sebagai potensi koridor angkutan umum massal terlihat padaGambar 6. 15. Ada lima koridor yang memiliki potensi sebagai koridor angkutan umum dilihat dari besarnya permintaan perjalanan yang ada. Ke lima koridor tersebut dipilih karena memiliki potensi permintaan yang cukup tinggi, dan memiliki cakupan layanan yang cukup luas. Besarnya potensi permintaan pada koridor terpilih ditunjukandalamTabel 6. 14.
Tabel 6. 14. Data Potensi Permintaan Pada Koridor Terpilih Kota Surabaya Koridor
Arus Penumpang (pnp/jam/arah)
Koridor 1
6000β7000
Koridor 2
2000β3000
Koridor 3
4000β5000
Koridor 4
1500 - 2000
Koridor 5
3500 - 4000
BAB VI β Konsep Panduan
VI-61
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
4.
Evaluasi Kendala Fisik Salah satu kebutuhan dalam menyediakan layanan angkutan umum massal adalah ketersediaan jalur khusus. Lajur khusus bertujuan agar pelayanan angkutan yang diberikan tidak terganggu oleh kondisi lalu lintas sekitarnya sehingga kecepatan dan ketepatan waktu layanan dapat dipertahankan. Lajur khusus hanya diharuskan pada koridor yang tidak dapat mencapai kecepatan layanan rencana. Dari Tabel 6. 15terlihat koridor I belum mencapai kecepatan rencana yang disyaratkan untuk angkutan massal jalan raya. Sedangkan pada beberapa koridor lainnya kecepatan rata β rata angkutan umum eksisting masihbisa mencapai 20km/jam. Tabel 6. 15. Kecepatan Rata β Rata Angkutan Umum Tiap Koridor Koridor Koridor I Koridor II
Koridor III
Koridor IV
Koridor V
Trayek
Kecepatan Rata-rata (km/jam)
D Da T2A F JM G1 G2 Z1 BJ BP Z1b E1 U1 U2
19.2 12.9 36.92 27.68 12 23.48 20 34.4 24.65 15 34.4 13.57 35.17 35.17
Lajur khusus perlu disediakan agar angkutan massal dapat menjaga kecepatan layanannya. Lajur khusus cukup penting bagi jalur yang memiliki kecepatan perjalanan rendah ataupun kepadatan kendaraan tinggi. Untuk menyediakan lajur khusus, koridor eksisting harus memiliki ruang jalan yang memadai yaitu minimal 25-30 meter. Dari Gambar 6. 16 terlihat ruang jalan di koridor eksisting masih belum memenuhi kebutuhan minimum. Pada gambar tersebut terlihat sebagian besar jalan
BAB VI β Konsep Panduan
VI-62
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
pada koridor terpilih memiliki lebar 10 hingga 15 meter untuk jalan dua arah. Dengan lebar yang hanya berkisar 5 hingga 7 meter per arah, penyediaan jalur khusus akan sulit dilakukan. Mengacu kepada kriteria ruang jalan minimum diatas, hanya koridor 1 yang masih dianggap memenuhi lebar minimum sehingga bisa menyediakanlajur khusus untuk layanan angkutan massalwalau ada sebagian ruas yang masih belum memenuhi kriteria. Sedangkan untuk koridor yang lain ruang jalan eksisting masih jauh dari kriteria minimum untuk disediakannya lajur khusus. Jika keberadaan lajur khusus diperlukan maka harus dilakukan pelebaran ruang jalan ataupun kalau ruang milik jalan rencananya tidak memungkinkan maka lajur khusus bisa dibuat secara layang sejauh ada komitmen dari Pemerintah kota.
Gambar 6. 16. Perbandingan Lebar Koridor Eksisting Dengan Lebar Minimum
5.
Evaluasi Jaringan Angkutan Umum Eksisting Jaringan angkutan umum eksisting di Surabaya sudah memiliki puluhan trayek yang tersedia dan tersebar di seluruh kota. Bedasarkan situs resmi kota Surabaya, terdapat 58 trayek angkutan umum dan 19 trayek bis kota yang beroperasi. Gambar 6. 17 menunjukkan jaringan trayek eksisting sudah menjangkau ke seluruh wilayah kota Surabaya. Walau masih berpusat di tengah kota, namun sebagian trayek juga sudah melayani perjalanan ke pinggir kota seperti di bagian barat kota Surabaya. Dari Gambar 6. 17 juga terlihat banyak trayek yang tumpang
BAB VI β Konsep Panduan
VI-63
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
tindih di daerah pusat kota. Jika dibandingkan dengan rencana koridor, jalur yang trayeknyabanyak yang tumpang tindih berada di koridor 1 dan koridor 2.Banyaknya trayek angkutan yang tumpang tindih merupakan salah satu indikator tingginya permintaan angkutan umum di koridor tersebut.
Gambar 6. 17. Jaringan angkutan umum eksisting kota Surabaya Terpusatnya pola trayek dan permintaan dapat dimanfaatkan untuk membuat pola trunk dan feeder dari sistem BRT. Koridor yang memiliki jumlah trayek yang bersinggungan yang tinggi dapat dijadikan sebagai koridor utama. Untuk kota Surabaya, koridor yang dapat dimanfaatkan sebagai jalur trunk adalah koridor 1, yaitu sekitar 40 trayek yang bersinggungan. Selain itu, lokasinya yang berada dipusat kota juga tepat sebagai titik transit dari koridor lain. Sedangkan koridor yang lain dapat berfungsi sebagai koridor pendukung atau feeder. Koridor pendukung ini akan berfungsi untuk memperluas wilayah pelayanan serta mempermudah penumpang untuk menjangkau koridor utama.
BAB VI β Konsep Panduan
VI-64
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
6.
Perbandingan Kendala Fisik dengan Permintaan pada Koridor Tabel 6. 16. Perbandingan Permintaan dengan Lebar Jalan Koridor
Arus Penumpang
ROW Rata β rata
Koridor 1 Koridor 2 Koridor 3 Koridor 4 Koridor 5
6000 β 7000 2000 β 3000 4000 β 5000 1500 β 2000 3500 β 4000
25 meter 25 meter 8 meter 10 meter 15 meter
Dari 5 koridor terpilih, ada4 yang memiliki permintaan penumpang cukup tinggi yaitu berkisar antara3500 β 7000 penumpang per jam perarah. Tingginya permintaan harus dapat difasilitasi dengan sarana yang lebih baik, salah satunya ketersediaan lajur khusus. Jika mengacu kepada Tabel 6. 16koridor yang ruang jalannya mendekati kriteria minimum hanya ada di koridor 1 dan koridor 2 saja. Sedangkan pada koridor 3, 4, dan 5, ruang jalan eksisting masih jauh di bawah 25 meter, yaitu hanya sekitar 8 hingga 15 meter. Untuk koridor 4 kondisi ini tidak terlalu masalah karena permintaan yang ada pada koridor tersebut masih tergolong rendah sehingga ketersediaan lajur khusus masih belum menjadi suatu keharusan. 7.
Pola Operasi Sistem Perencanaan koridor di kota Surabaya menghasilkan 5 koridor yang saling terintegrasi. Dari kelima koridor tersebut, terdapat koridor utama yang terhubung dengan koridor lain. Koridor utama ini dapat berfungsi sebagai trunk jika permintaan yang pada koridor cukup tinggi. Pada koridor 1, jumlah permintaan mencapai 7000 penumpang per jam per arah. Dengan jumlah permintaan sebesar itu, struktur pelayanan yang dapat digunakan adalah pola trunk & feederdengan lajur khusus, pra-bayar dan platform dari halte yang sejajar dengan lantai bus. Sedangkan untuk pola operasionalnya dipastikan harus menggunakan pola terpadu. Untuk koridor-koridor lainya ditunjukan dalam Tabel 6. 17.
BAB VI β Konsep Panduan
VI-65
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Tabel 6. 17. Sistem Operasi pada Angkutan Umum Massal Kota Surabaya Koridor
Arus Penumpang
Koridor 1
6000 β 7000
Koridor 2
Pola Operasi
Jenis Layanan
Jenis Armada
Terpadu
Trunk (Lajur khusus/Busway) &Feeder, Pra-bayar, Platform sejajar
Bis Tempel (articulated) 4 pintu
2000 β 3000
Terpadu
trunk & feeder
Bis Tempel (articulated) 3 pintu
Koridor 3
4000 β 5000
Terpadu
Trunk (Lajur khusus/Busway) /Feeder
Koridor 4
1500 - 2000
Terbuka / Terpadu
Koridor 5
3500 - 4000
Terpadu
direct service / trunk & feeder Trunk (Lajur khusus/Busway) /Feeder
Bis Tempel (articulated) 3 pintu Bis 12m, 3 pintu Bis Tempel (articulated) 3 pintu
Seperti terlihat padaTabel 6. 17, jumlah permintaan di setiap koridor sudah cukup tinggi terlihat dari pola operasional setiap koridor yang harus menggunakan pola terpadu. Selain koridor 1, di koridor 2, 3 dan 5 juga sudah harus menggunakan layanan trunk &feeeder karena jumlah permintaan yang sudah cukup tinggi yaitu 2000 hingga 5000 penumpang per jam. Sedangkan pada koridor 4, jumlah permintaan berkisar antara 1500 penumpang per jam dimana jumlah tersebut merupakan kondisi transisi dari angkutan konvensional menjadi Bus Rapid Transit, sehingga pola operasional yang disarankan dapat dipilih antara pola tertutup dan terbuka, begitu pula dengan jenis layanannya. Namun, agar pelayanan lebih baik pola operasional tertutup merupakan opsi yang lebih ideal. Pada koridor 1,3 dan 5 sudah disarankan untuk menggunakan lajur khusus untuk operasional bus. Hal ini dilakukan untuk menjaga kecepatan dan waktu layanan agar tidak terganggu. Salah satu kendala memberikan lajur khusus adalah ketersediaan ruang milik jalan eksisting. Pada koridor 3 dan 5, lebar jalan eksisting masih jauh dari yang disarankan. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dibuat alternatif seperti pelebaran jalan atau jalan layang untuk bus. Namun, jika melihat kecepatan perjalanan pada koridor 3 dan 5, kecepatan perjalanan masih diatas 20 km/jam. Hal ini dapat menjadi pertimbangan untuk tidak dengan segera mengoperasikan sistem dengan lajur khusus di awalawal, namun harus dianggap sebagai proses transisi sampai pada situasi kinerja lalu lintas (kecepatan tempuh) dibawah 20 BAB VI β Konsep Panduan
VI-66
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
km/jam dicapai. Artinya ada rentang waktu untuk melakukan berbagai persiapan terhadap skenario rancang fisik dari jalur angkutan massal jalan raya (BRT) di koridor-koridor ini. 8.
Perancangan Jejaring dan Layanan Menggunakan sistem layanan trunk & feeder berarti perlu melakukan restrukturisasi trayek eksisting yang ada. Trayek yang ada perlu dirubah rutenya sesuai dengan rute koridor layanan angkutan umum massal. Untuk melakukan itu maka perlu diketahui kebutuhan permintaan angkutan umum yang sudah ada agar permintaan yang telah ada dapat dipenuhi. Dalam tahap ini contoh yang akan diambil adalah pemilihan trayek pada koridor 1. Pada koridor 1terdapat kurang lebih 40 trayek yang rutenya bersinggungan dengan koridor 1. Untuk itu perlu diketahui jumlah permintaan yang dilayani oleh trayekβ trayek yang berada di koridor 1 untuk setiap segmen. Gambar 7.18 menunjukkan besarnya permintaan di koridor 1. Dari gambar tersebut terlihat besarnya permintaan maksimum adalah sekitar 7000 penumpang per jam per arah. Dengan asumsi hanya 50% dari potensi permintaan yang akan beralih menggunakan angkutan umum massal, maka parmeter-parameter operasional dihitung berdasarkan asumsi ini.
Gambar 6. 18. Jumlah Permintaan Penumpang Per Jam 2 Arah Koridor 1 Karena pada dasarnya tidak ada bentuk baku dari suatu sistem layanan BRT, maka sebagai opsi sistem ini dapat juga dioperasikan dengan pola layanan direct service, sehingga perlu dilakukan analisis terhadap angkutan umum eksisting. Hal ini perlu dilakukan untuk menentukan trayek-trayek yang akan dilibatkan dalam pelayanan angkutan umum massal,karena
BAB VI β Konsep Panduan
VI-67
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
menggunakan pola operasi tertutup dalam sistem. Pemilihan trayek ini dilakukan agar lebih mudah dalam mengontrol dan menjaga kualitas layanan. Trayek yang masuk ke dalam sistem harus dapat memenuhi beberapa kriteria yang diberikan. Beberapa kriterianya antara lain: a) Memiliki permintaan penumpang yang cukup tinggi; b) Memiliki frekuensi yang tinggi; c) Memiliki jumlah armada yang cukup; d) Jarak singgungan yang cukup panjang dengan koridor. Kriteria yang digunakan dalam pemilihan trayek di koridor 1 adalah memiliki frekuensi minimal 12 per jam dan bersinggungan dengan koridor rencana sepanjang minimal 30% seperti pada terlihat pada Gambar 6. 19. Dari kriteria tersebut, terlihat padaGambar 6. 19 hanya ada lima trayek yang memenuhi kriteria. Kelima trayek inilah yang nantinya akan menjadi bagian dari armada angkutan umum massal di koridor 1
Gambar 6. 19. Pola Sebaran Trayek Eksisting Koridor 1 9.
Perancangan Rute Perancangan rute yang sebenarnya haruslah memperhitungkan data asal tujuan (O-D) dari wilayah perencanaan, karena harus dapat mengakomodasi permintaan dari data asal tujuan. Dalam
BAB VI β Konsep Panduan
VI-68
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
perencanaan rute di kota Surabaya, karena permintaaan cukuptinggi, maka pemilihan rute akan didasari dari koridor pilihan. Selain itu, dengan menggunakan layanan trunk & feeder, maka rute eksisting akan direstrukturisasi sesuai dengan rute dari koridor rencana. Ruteterpilih dalam koridor yang ada pada kota Surabaya ditunjukandalamTabel 6. 18. Tabel 6. 18. Rute Koridor terpilih di Kota Surabaya Koridor
Asal
Tujuan
Koridor 1 Koridor 2 Koridor 3 Koridor 4 Koridor 5
Simpang Waru Kebun Binatang Manganti Lidah Kulon Pakal Medokan Ayu
Kalimas Bulak Banteng Kebun Binatang Arjuna Kebun Binatang
10. Rancangan Layanan Dalam perencanaan angkutan umum massal di kota Surabaya ini, sistem layanan yang digunakan adalah trunk feeder. Hal ini berarti rute yang ada akan disesuaikan dengan rute koridor terpilih. Selain itu, untuk memenuhi permintaan eksisting maka moda angkutan akan disesuaikan dengan permintaan. Dilihat dari permintaan yang cukup tinggi maka moda yang digunakan adalah bus besar. Selain dari kapasitas angkutan moda, beberapa hal yang perlu ditentukan dalam rancangan layanan antara lain. a) Panjang koridor layanan
: 15,4 km;
b) Kec. Rencana non-peak
:20 km/jam;
c) Kec. Rencana peak
:17 km/jam.
Bila sistem layanan yang digunakan adalah sistem direct servicemakaangkutan yang akan memberi layanan adalah trayek eksisting yang tidak berubah trayeknya, termasuk moda angkutan layanan akan menggunakan moda trayek eksisting. Namun, apabila kapasitas angkutnya tidak dapat menampung jumlah permintaan, maka moda trayek harus diganti dengan kapasitas kendaraan yang lebih besar. Untuk kapasitas dari trayek eksisting yang akan masuk ke dalam sistem pada koridor 1 adalah sebagai berikut (Tabel 6. 19).
BAB VI β Konsep Panduan
VI-69
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Tabel 6. 19. Kapasitas Moda Trayek Eksisting Koridor 1 Trayek Bison D IJO PTG XXX
Jenis Moda Elf Mikrolet Bus Mikrolet Mikrolet
Kapasitas 14 9 85 9 9
11. Waktu Operasional Layanan Untuk waktu operasional angkutan umum massal akan disesuaikan dengan kondisi wilayah pelayanan. Untuk wilayah perkotaan, maka angkutan umum harus dapat melayan perjalanan pagi hari maupun malam hari. Selain itu, pelayanan harustersedia baik di hari kerja maupun hari libur. Selain itu, informasi akan waktu operasional harus deritahukan secara jelas agar tidak merugikan penumpang. Berikut beberapa asumsi yang digunakan dalam perencanaan waktu layanan. a) Hari operasional
: 30 hari / bulan, 365 hari /
tahun; b) Jam operasional layanan
: 05.00 β 22.00 WIB;
c) Peak hour
: 6 jam;
d) Non peak hour
: 11 jam.
12. Frekuensi Layanan Frekuensi layanan adalah seberapa sering kendaraan atau moda akan tersedia. Jumlah frekuensi akan tergantung dari senjang waktu layanan atau headway yang ditentukan. Sedangkan persamaan untuk menghitung senjang waktu layanan adalah sebagai berikut: πππππππ ππππ‘π’ =
60 πππππ‘ πππππππ‘πππ βπππππ ππ‘ππ
Permintaan adalah permintaan tertinggi di dalam koridor, sedangkan kapasitas adalah jumlah penumpang maksimum di dalam satu armada. Maka dengan asumsi kapasitas moda adalah
BAB VI β Konsep Panduan
VI-70
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
170 pnp/kendaraan, maka senjang waktu (headway) pada koridor 1 adalah 60 πππππ‘ = 2,90 3500β 170 Dari perhitungan diatas, senjang waktu yang didapat adalah 2,90 menit. Karena waktu 2,90 akan dibulatkan menjadi 3,00 sehingga didapatkan headway dan frekuensi seperti terlampir dalam Tabel 6. 20. πππππππ ππππ‘π’ =
Tabel 6. 20. Senjang Waktu Layanan Trayek Eksisiting di Koridor 1 Koridor
Moda
Kapasitas*
Permintaan
Headway
Frekuensi
Koridor 1
Articulated Bus
175
3500
3,0
20
*disesuaikan dengan headway
Sedangkan untuk opsi layanan langsung (direct service), senjang waktu layanan setiap trayek ditunjukan dalam Tabel 6. 21. Tabel 6. 21. Senjang Waktu Layanan Trayek Eksisiting di Koridor 1 Trayek
Jenis Moda
Kapasitas
Permintaan
Headway
Bison
Elf
14
715
1
D
Mikrolet
9
994
1
IJO
Bus
85
763
7
PTG
Mikrolet
9
760
1
XXX
Mikrolet
9
1220
0
DariTabel 6. 21terlihat hasil perhitunganheadway pada trayek eksisiting sangat rapat yaitu sebesar rata-rata 1menit dan bahkan untuk trayek XXX mendekati 0 menit. Oleh karena headway yang terlalu kecil tidak realistis maka konsekuensinya harus menyiapkan minimum 3 platform pada setiap titik pemberhentian (halte) agar tidak menimbulkan antrian di halte. Alternatif dari menggunakan moda eksisting adalah menggantinya ke jenis yang kapasitas angkutnya lebih besar sehingga headway yang baru ditunjukan dalam Tabel 6. 22. Tabel 6. 22. Frekuensi Trayek Eksisiting di Koridor 1 Trayek
Moda
Kapasitas
Permintaan
Headway
Frekuensi
Bison
Bus Sedang
40
715
4.00
15
D
Bus Sedang
40
994
3.00
20
BAB VI β Konsep Panduan
VI-71
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
IJO
Bus Besar
85
763
7.00
9
PTG
Bus Sedang
40
760
3.00
20
XXX
Bus Besar
85
1220
4.00
15
Namun karena sistem trayek tidak dirubah (direct service) untuk menjamin kelancaran dan ketepatan waktu layanan jumlah platform sebaiknya disediakan lebih dari satu untuk meminimalkan waktu berhenti di halte. 13. Kapasitas Bus Setelah mengetahui waktu senjang dan frekuensi, maka perlu uji jenis bus (kapasitas) yang sesuai untuk layanan pada koridor yang bersangkutan. Untuk mengetahui kapasitas dapat digunakan persamaan πΎ=
π π π₯ πΉ π₯ πππ
dimana, K P
= Kapasitas Bis yang dibutuhkan (pax/bis) = Besarnya permintaan tertinggi di jam sibuk pada koridor(pax/jam/arah) F = Frekuensi layanan (kend/jam) O = Faktor muat Pla = Jumlah platform pada halte (buah) Untuk menghitung kapasitas dapat diasumsikan nilai okupansi atau faktor muat 100% dan jumlah platform 1 untuk setiap halte. Dengan begitu dapat didapatkan kapasitas bus yang dibutuhkan 3500 = 175 πππ 1 π₯ 20 π₯ 1 Kapasitas moda yang dibutuhkan adalah 175 pnp per bus. Untuk memenuhi kebutuhan permintaan bus yang dapat digunakan adalah Articulated Bus dengan kapasisitas 170 pnp. Namun karena dalam perencanaan diasumsikan penumpang hanya 50 % dari total potensi permintaan, maka sebagai langkah antisipasi bisa disiapkan jenis bus dengan kapasitas yang lebih besar yang idealnya didasarkan atas proses analisis permintaan yang lebih komprehensif. πΎ=
14. Waktu Siklus dan Jumlah Rit Waktu siklus adalah waktu yang diperlukan untuk satu bus melakukan perjalanan pulang pergi dimana nilai waktu siklus BAB VI β Konsep Panduan
VI-72
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
dihitung dengan rumus (14). Untuk koridor 1, panjang rute layanan adalah 15,4 km. sedangkan untuk kecepatan rencana adalah 20km/jam untuk off peak hour dan 17 km/jam untuk peak hour. Dengan begitu dapat dihitung waktu siklus kendaraan di koridor 1 adalah sebagai berikut: Peak Hour: ππ ππππ’π =
(2 Γ 15,4 km Γ 60 menit/jam) + 10 menit 17 km/jam = 119 menit
Off Peak Hour ππ ππππ’π =
(2 Γ 15,4 km Γ 60 menit/jam) + 10 menit 20 km/jam = 102 menit
Setelah mendapatkan waktu siklus dari kendaraan, dapat dihitung jumlah rit pada koridor tersebut. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, waktu operasional diasumsikan 6 jam peak-hour dan 11 jam off-peak hour. Untuk pengisian bahan bakar dilakukan sehari 2 kali dengan asumsi waktu 15 menit setiap kali pengisian. Dengan begitu jumlah rit untuk koridor 1 dapat dihitung. ππππ‘ =
(6 Γ 60) β 15 (11 Γ 60) β 15 + 119 102 β 3 + 7 β― (dengan pembulatan ke atas) = 10
15. Estimasi Jenis dan Jumlah Armada Setelah mendapatkan nilai headway dan waktu siklus, maka dapat dihitung jumlah armada yang dibutuhkan . Untuk waktu siklus diambil pada waktu peak hour karena waktu siklus yang lebih lama sehingga dapat terlihat kebutuhan maksimal armada. (3500 π=
πππ πππ
π₯ 1,983 πππ)
170 πππ
= 41
Selain itu, perlu ditambahkan 10% dari hasil perhitungan sebagai armada cadangan. ππ‘ = 41 + (41 π₯ 10%) = 46
BAB VI β Konsep Panduan
VI-73
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Tabel 6. 23. Estimasi Kebutuhan Jumlah Armada Koridor
Moda
Kapasitas
Headway
Peak Siklus Time
Jumlah Bus
Total Bus
Koridor 1
Articulated Bus
170
3.0
119
41
46
Sedangkan untuk opsi layanan langsung (directc service) estimasi kebutuhan jumlah armada ditunjukan dalam Tabel 6. 24. Tabel 6. 24. Estimasi Kebutuhan Jumlah Armada Trayek Bison D IJO PTG XXX
Moda Bus Sedang Bus Sedang Bus Besar Bus Sedang Bus Besar
Kapasitas
Headway
Peak Siklus Time
Jumlah Bus
Total Bus
40
4.00
119
30
33
40
3.00
119
40
44
85
7.00
119
17
19
40
3.00
119
40
44
85
4.00
119
30
33
BAB VI β Konsep Panduan
VI-74