STUDI PENERAPAN ROTASI TANAMAN PADI DAN PALAWIJA DENGAN PEMUPUKAN ORGANIK DI KABUPATEN BLORA, JAWA TENGAH
WAHYU ARIF SUDARSONO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Studi Penerapan Rotasi Tanaman Padi dan Palawija dengan Pemupukan Organik di Kabupaten Blora, Jawa Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2013
Wahyu Arif Sudarsono NIM A252110051
RINGKASAN WAHYU ARIF SUDARSONO. Studi Penerapan Rotasi Tanaman Padi dan Palawija dengan Pemupukan Organik di Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Dibimbing oleh MAYA MELATI dan SANDRA ARIFIN AZIZ. Penggunaan pupuk kimia sintetis selama puluhan tahun berpotensi mengurangi kesuburan tanah yang akhirnya menurunkan produktivitas tanaman. Salah satu upaya untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan mengaplikasikan sistem pertanian organik melalui penggunaan berbagai pupuk organik yang ramah lingkungan. Penggunaan pupuk organik menguntungkan karena mampu meningkatkan kesuburan fisik, biologi, dan kimia tanah serta menghasilkan produk pangan yang aman dikonsumsi dan aman bagi lingkungan. Saat ini masih sedikit petani di Blora, Jawa Tengah yang menggunakan pupuk organik sebagai penyedia hara utama bagi tanaman karena dianggap kurang efisien dalam hal jumlah yang diberikan. Saat ini sebagian besar petani di Blora mengaplikasikan pola tanam padi-jagung setiap tahunnya. Padahal, tindakan rotasi tanaman perlu dilakukan untuk memutus rantai kehidupan OPT dan meningkatkan kesuburan tanah. Penelitian yang dilakukan terdiri atas percobaan padi organik pada musim tanam (MT) I (Januari-April 2012) dan percobaan kedelai dan jagung organik pada MT II (Mei-September 2012). Jenis pupuk organik yang digunakan dalam penelitian disesuaikan dengan jenis pupuk organik yang tersedia di lokasi penelitian. Penambahan pupuk organik pada MT II menghasilkan kandungan Ptersedia dan Ca tanah lebih besar serta menghasilkan lebih banyak pengaruh nyata terhadap peubah pertumbuhan dan produksi tanaman daripada penambahan pupuk organik pada MT I. Hal ini terjadi karena imobilisasi hara masih terjadi selama MT I sehingga kandungan hara dan keragaan tanaman yang dihasilkan pada MT I lebih rendah daripada saat MT II. Penelitian ini belum sepenuhnya memenuhi kriteria budidaya organik terutama untuk persyaratan lokasi penelitian, namun merupakan inisiasi menuju budidaya yang memenuhi syarat organik. Hasil percobaan padi organik pada MT I menunjukkan bahwa penambahan pupuk kandang sapi belum dapat meningkatkan produktivitas padi secara nyata, namun terdapat kecenderungan bahwa penambahan 10 ton pupuk kandang sapi ha-1 dengan jarak tanam tegel 20 cm x 20 cm atau penambahan 3 ton brangkasan jagung ha-1 + 7.5 ton pupuk kandang sapi ha -1 dengan jarak tanam jajar legowo 40 cm x 25 cm x 15 cm menghasilkan dugaan produktivitas padi organik lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Hasil percobaan kedelai organik pada MT II menunjukkan bahwa penambahan 7.5 ton pupuk kandang sapi ha -1 atau penambahan 7.5 ton pupuk kandang kambing ha -1 lebih efisien digunakan dalam produksi kedelai organik daripada perlakuan lainnya. Setelah penanaman padi organik pada MT I, hasil percobaan jagung organik pada MT II menunjukkan bahwa penambahan 11.25 ton pupuk kandang sapi ha -1 atau penambahan 11.25 ton pupuk kandang kambing ha -1 lebih efisien digunakan dalam produksi jagung organik daripada perlakuan lainnya. Berdasarkan dugaan produktivitas per hektar dan nilai rasio R/C yang dihasilkan, pola tanam padi-kedelai organik lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan pola tanam padi-jagung organik. Kata kunci: abu sekam, brangkasan jagung, pertanian organik, pupuk kandang kambing, pupuk kandang sapi
SUMMARY WAHYU ARIF SUDARSONO. Study of Rice and Soybean-Corn Rotation with Organic Fertilizer Application in Blora, Central Java. Supervised by MAYA MELATI and SANDRA ARIFIN AZIZ. The use of chemical fertilizer since several decades ago potentially reduce soil fertility and crop yield. Organic farming system can be applied to solve this problem through the use of a variety of organic fertilizers. Organic fertilizer application is useful because it is capable to improve the physical, biological, and chemical soil fertility and produce safe-consumed food and safe for environment. Only a few number of farmers in Blora, Central Java use organic fertilizer as the source of plant nutrient because it is considered less efficient in terms of the amount of which is given. Most of the farmers in Blora apply rice-corn cropping pattern every year. Crop rotation is highly recommended to be applied to break down life chain cycle of the pest and to improve the soil fertility. The study consisted of organic rice experiment in the first cropping season (January-April 2012) and organic soybean and corn experiment in the second one (May-September 2012). The organic fertilizers were used in the study tailored to the types of organic fertilizer which available in the experiment site. Organic fertilizer application in the second cropping season resulted in the higher nutrient content of available-P and Ca, and better plant growth and yield than those with organic fertilizer application in the first one. Nutrient immobilization was predicted still occured during the first cropping season, so that resulted in the lower nutrient content and plant performance than those in the second one. This research was not fully meet the criteria of organic farming especially for the experiment site requirements, but it was an initiation to meet the qualification of organic farming system. The organic rice experiment in the first cropping season showed that the application of cow manure did not significantly increase the rice yield, but there was a trend that the application of 10 tons cow manure ha-1 with square spacing 20 cm x 20 cm or application of 3 tons corn biomass ha -1 + 7.5 tons cow manure ha-1 with double-row spacing 40 cm x 25 cm x 15 cm resulted in the higher rice yield than with other treatments. The organic soybean experiment in the second cropping season showed that the application of 7.5 tons of cow manure or application of 7.5 tons sheep manure ha -1 were more efficient in producing organic soybean seed than other treatments. After organic rice cultivation in the first cropping season, the organic corn experiment in the second one showed that the application of 11.25 tons cow manure ha -1 or application of 11.25 tons sheep manure ha-1 were more efficient in producing organic corn seed than other treatments. Based on the yield and the value of R/C ratio, organic rice-soybean cropping pattern was more profitable than organic rice-corn cropping pattern. Keywords: corn biomass, cow manure, organic farming, rice-hull ash, sheep manure
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
1
STUDI PENERAPAN ROTASI TANAMAN PADI DAN PALAWIJA DENGAN PEMUPUKAN ORGANIK DI KABUPATEN BLORA, JAWA TENGAH
WAHYU ARIF SUDARSONO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
2
Penguji pada Ujian Tesis: Dr Ir Winarso D Widodo, MS
3
Judul Tesis : Studi Penerapan Rotasi Tanaman Padi dan Palawija dengan Pemupukan Organik di Kabupaten Blora, Jawa Tengah Nama : Wahyu Arif Sudarsono NIM : A252110051
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Maya Melati, MS, MSc Ketua
Dr Ir Sandra Arifin Aziz, MS Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Agronomi dan Hortikultura
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Munif Ghulamahdi, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 20 Juni 2013
Tanggal Lulus: 17 Juli 2013
4
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan berjudul Studi Penerapan Rotasi Tanaman Padi dan Palawija dengan Pemupukan Organik di Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari hingga September 2012. Penelitian ini merupakan diseminasi rangkaian penelitian yang didanai oleh program I-MHERE (Indonesia Managing Higher Education for Revelance and Efficiency) B2.c IPB dengan judul “Good Agricultural Practices (GAP) of Rice and Soybean Production Under Organic Farming System” oleh Dr Ir Maya Melati, MS, MSc dan tim. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Maya Melati, MS, MSc dan Dr Ir Sandra Arifin Aziz, MS selaku komisi pembimbing penelitian yang telah banyak memberikan saran dan bantuan materi dan non materi bagi kesempurnaan karya ilmiah ini. Penulis juga berterima kasih kepada Ir Sutikno Slamet dan staf Dinas Pertanian, Perkebunan, Peternakan, dan Perikanan Kabupaten Blora; Sri Jatmiko, SP, Budiyono, SP dan staf UPTD Pertanian Kecamatan Jiken; Bapak Lugito yang telah bersedia meminjamkan lahannya sebagai lahan penelitian; beserta seluruh pihak yang telah membantu selama penelitian berlangsung. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga atas bantuan dan dukungan yang diberikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juli 2013 Wahyu Arif Sudarsono
5
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR LAMPIRAN
iv
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Hipotesis Penelitian Bagan Alir Penelitian
2
PRODUKSI PADI ORGANIK MELALUI APLIKASI BEBERAPA DOSIS PUPUK KANDANG SAPI PADA MUSIM TANAM I Abstrak Pendahuluan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan
5 5 6 7 9 22
PRODUKSI KEDELAI ORGANIK MELALUI APLIKASI BEBERAPA DOSIS PUPUK KANDANG SAPI PADA MUSIM TANAM II Abstrak Pendahuluan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan
23 23 24 24 26 39
PRODUKSI JAGUNG ORGANIK MELALUI APLIKASI BEBERAPA DOSIS PUPUK KANDANG SAPI PADA MUSIM TANAM II Abstrak Pendahuluan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan
40 40 41 41 43 52
5
PEMBAHASAN UMUM
53
6
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
59 59 59
3
4
1 1 3 3 3 . 4
DAFTAR PUSTAKA
60
LAMPIRAN
66
6
DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Perlakuan pupuk organik pada percobaan padi organik (MT I) Skoring kerusakan tanaman padi akibat serangan OPT Sumbangan hara pupuk organik pada percobaan padi organik (MT I) Kandungan hara tanah pada percobaan padi organik (MT I) Populasi mikrob tanah pada percobaan padi organik (MT I) Pertumbuhan vegetatif tanaman padi Pengaruh pupuk organik terhadap bobot tanaman, panjang, dan volume akar tanaman padi saat 7 MST Komponen produksi tanaman padi Perlakuan pupuk organik pada percobaan kedelai organik (MT II) Sumbangan hara pupuk organik pada percobaan kedelai organik (MT II) Kandungan hara tanah pada percobaan kedelai organik (MT II) Populasi mikrob tanah pada percobaan kedelai organik (MT II) Pertumbuhan vegetatif tanaman kedelai organik Komponen produksi tanaman kedelai organik Perlakuan pupuk organik pada percobaan jagung organik (MT II) Sumbangan hara pupuk organik pada percobaan jagung organik (MT II) Pertumbuhan vegetatif tanaman jagung Komponen produksi tanaman jagung
7 8 10 11 11 14 15 18 25 27 28 28 30 33 42 43 45 48
DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Bagan alir penelitian Curah hujan selama percobaan padi organik (MT I) Kandungan hara daun tanaman padi saat 7 MST Serapan total hara P tanaman padi saat 7 MST Serapan total hara N dan K tanaman padi saat 7 MST Luas daun per tanaman padi saat 3-7 MST Laju asimilasi bersih per tanaman padi Laju tumbuh relatif per tanaman padi Pengaruh pupuk organik terhadap bobot jerami per tanaman Pengaruh pupuk organik terhadap bobot gabah per tanaman Produktivitas riil dan dugaan produktivitas GKG per hektar Curah hujan selama percobaan kedelai organik (MT II) Bobot kering per tanaman kedelai saat 7 MST Bobot brangkasan panen per tanaman kedelai Kandungan hara daun kedelai saat 7 MST Serapan total hara tanaman kedelai saat 7 MST Serangan OPT saat fase vegetatif dan generatif pada tanaman kedelai Produktivitas riil dan dugaan produktivitas kedelai per hektar a). Hubungan antara dosis pupuk kandang sapi dengan jumlah polong per tanaman b). hubungan antara dosis pupuk kandang sapi dengan produksi biji per tanaman
4 12 15 16 16 16 16 17 18 19 19 27 31 31 32 32 32 34
34
7
20. 21.
22. 23. 24. 25. 26. 27.
28.
29.
Hubungan antara luas daun per tanaman dengan produksi biji per tanaman a). Hubungan antara dosis pupuk kandang sapi dengan dugaan produktivitas kedelai kering per hektar b). hubungan antara jumlah polong per tanaman dengan dugaan produktivitas kedelai kering per hektar Curah hujan selama percobaan jagung organik (MT II) Bobot kering total dan tajuk per tanaman jagung saat 7 MST Bobot kering brangkasan panen per tanaman jagung Bobot kering tongkol dan pipilan jagung per tanaman Dugaan produktivitas pipilan jagung kering per hektar a). Hubungan antara dosis pupuk kandang sapi dengan dugaan produktivitas pipilan jagung kering per hektar b). hubungan antara dosis pupuk kandang sapi dengan bobot kering pipilan jagung per tanaman a). Hubungan antara dosis pupuk kandang sapi dengan luas daun per tanaman b). hubungan antara luas daun per tanaman dengan bobot kering pipilan jagung per tanaman Perencanaan waktu tanam di lokasi penelitian
35
35 44 46 46 47 47
49
49 58
DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Denah percobaan padi organik pada MT I Denah percobaan kedelai dan jagung organik pada MT II Analisis usaha tani padi organik dengan penambahan 10 ton pupuk kandang sapi ha-1 (per satuan hektar) Analisis usaha tani kedelai organik dengan penambahan 7.5 ton pupuk kandang sapi ha-1 (per satuan hektar) Analisis usaha tani jagung organik dengan penambahan 11.25 ton pupuk kandang sapi ha-1 (per satuan hektar) Intensitas curah hujan di Kecamatan Jiken, Kabupaten Blora tahun 2003-2011
66 66 67 68 69 70
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu tantangan yang dihadapi pertanian di negara berkembang termasuk Indonesia adalah ketergantungan pada teknologi pertanian modern yang tidak ramah lingkungan (Soetrisno 1999). Salah satu teknologi yang digunakan adalah pupuk kimia sintetis yang secara intensif digunakan sejak Revolusi Hijau pada dekade 1960-an. Pupuk kimia sintetis dipilih petani karena dipandang praktis dalam penggunaannya, menyediakan unsur hara lebih cepat bagi tanaman, dan menghasilkan pertumbuhan tanaman yang baik. Penggunaan teknologi ini berpotensi menurunkan daya dukung tanah yang akhirnya menurunkan produktivitas tanaman. Suwantoro (2008) menuliskan bahwa penggunaan pupuk kimia sintetis dalam skala luas semakin mengeraskan tanah dan menurunkan kandungan bahan organik tanah (BOT). Padahal, menurut Munawar (2011) BOT berperan cukup penting terhadap kesuburan tanah yakni menyimpan dan memasok hara-hara esensial bagi tanaman dan memperbaiki sifat-sifat tanah yang menjaga ketersediaan unsur hara dalam tanah. Salah satu cara untuk mengatasi pengaruh negatif penggunaan pupuk kimia sintetis adalah dengan mengaplikasikan sistem pertanian organik. Sebenarnya pertanian organik telah lama dikembangkan oleh masyarakat Indonesia yaitu sebelum Revolusi Hijau. Bedanya, varietas tanaman terutama tanaman padi yang digunakan saat ini lebih adaptif dan memiliki produktivitas yang lebih baik seiring dengan perkembangan IPTEK (Sisworo 2006). Varietas padi modern mampu beradaptasi dengan baik dan dapat berproduksi tinggi pada berbagai lingkungan sawah, namun sangat dipengaruhi oleh karakteristiknya yang responsif terhadap pemupukan kimia sintetis. Pertanian organik menggunakan pupuk organik yang ramah lingkungan. Pemberian pupuk organik ke dalam tanah menguntungkan karena dapat memperbaiki kesuburan tanah melalui penyediaan berbagai unsur hara bagi tanaman. Kesuburan tanah merupakan salah satu faktor produksi pertanian yang mempengaruhi keberhasilan produksi tanaman hingga 55% (Sirappa dan Razak 2007). Selain sebagai penyedia unsur hara bagi tanaman, pupuk organik juga berguna untuk memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah. Meskipun demikian, pupuk organik memiliki kandungan hara rendah sehingga diperlukan dalam jumlah yang cukup besar (voluminous) yang akhirnya dapat meningkatkan biaya produksi (Hartatik dan Widowati 2006). Selain itu, pupuk organik terdekomposisi secara lambat sehingga penyediaan hara bagi tanaman juga berlangsung lambat. International Federation of Organic Agriculture Movements (IFOAM) (2012) menuliskan bahwa pertanian organik memiliki empat prinsip utama yaitu prinsip kesehatan, prinsip ekologi, prinsip keadilan, dan prinsip perlindungan. Prinsip kesehatan memiliki arti bahwa pertanian organik harus melestarikan dan meningkatkan kesehatan tanah, tanaman, hewan, manusia, dan bumi sebagai satu kesatuan dan tidak terpisahkan. Prinsip ekologi berarti pertanian organik harus bekerja, meniru, dan berusaha memelihara sistem dan siklus ekologi kehidupan. Prinsip keadilan memiliki arti bahwa pertanian organik harus membangun hubungan yang mampu menjamin keadilan terkait dengan lingkungan dan kesempatan hidup bersama. Prinsip perlindungan artinya pertanian organik harus dikelola secara hati-hati dan bertanggung jawab untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan generasi sekarang dan mendatang, serta lingkungan hidup.
2
Seiring dengan perkembangan zaman, permintaan pangan organik semakin meningkat. Pertanian organik dianggap sebagai jawaban dalam penyediaan bahan pangan yang aman dikonsumsi, bernutrisi tinggi, dan ramah lingkungan terutama oleh masyarakat golongan menengah ke atas (Melati dan Andriyani 2005). Permintaan produk pertanian organik dunia saat ini mencapai 15-20% per tahun, namun baru terpenuhi 0.5-2% (Hartatik dan Setyorini 2008). Sebagai contoh, saat ini laju permintaan produk organik di Inggris lebih besar bila dibandingkan dengan laju produksinya sehingga 75% dari total kebutuhan pangan organik negeri ini diimpor dari negara lain (Rigby et al. 2001). Kabupaten Blora, Jawa Tengah memiliki penduduk yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani. Tanaman pangan yang dibudidayakan adalah padi pada musim penghujan dan palawija pada musim kemarau. Saat ini masih sedikit petani di Blora yang menggunakan pupuk organik seperti pupuk kandang sebagai penyedia hara utama bagi tanaman, padahal pupuk kandang dari ternak yang mereka miliki dapat dimanfaatkan. Saat ini pola tanam yang sebagian besar diaplikasikan oleh petani di Blora setiap tahunnya adalah padi-jagung. Rotasi tanaman perlu dilakukan karena pengusahaan tanaman secara monokultur selama bertahun-tahun dapat menurunkan kesuburan tanah dan meningkatkan potensi serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Al-Kaisi et al. (2005) melaporkan bahwa rotasi jagung-kedelai dengan sistem tanpa olah tanah (TOT) mampu meningkatkan bahan organik dan nitrogen tanah. Sekitar 56% tanah di Blora merupakan tanah jenis grumosol (Pemerintah Kabupaten Blora 2011). Ketika basah, tanah grumosol berstruktur liat, lengket, dan permukaan tanahnya licin sehingga sulit diolah. Ketika kering, tanah ini menjadi keras dan retak sehingga memiliki kemampuan menahan air yang rendah. Meskipun demikian, Beyer (2002) menuliskan bahwa jenis tanah ini memiliki potensi yang besar karena memiliki kapasitas tukar kation (KTK) cukup tinggi. Penambahan pupuk organik diharapkan mampu memperbaiki struktur tanah grumosol sehingga sesuai (favourable) bagi tanaman terutama ketika musim kemarau. Hingga saat ini penelitian pertanian organik telah cukup berkembang. Penelitian-penelitian tersebut terkadang menunjukkan hasil yang berbeda tergantung dari tingkat kesuburan tanah, iklim, dan kandungan hara bahan organik yang digunakan. Penelitian pertanian organik belum pernah dilakukan di Blora1). Hal tersebut menjadi dorongan agar penelitian ini dilakukan sehingga dapat diketahui gambaran potensi pengembangan pertanian organik di Blora (Bagan alir penelitian ditunjukkan pada Gambar 1). Penelitian pertanian organik yang dilakukan ini belum sepenuhnya memenuhi kriteria budidaya organik terutama untuk persyaratan lokasi penelitian, namun merupakan inisiasi menuju budidaya yang memenuhi syarat organik. Berdasarkan keunggulan penggunaan pupuk organik, diharapkan pengusahaan pertanian organik di Indonesia dapat mendukung dan meningkatkan ketahanan pangan nasional tanpa menimbulkan degradasi lingkungan dalam jangka panjang. Diperlukan peran serta pemerintah dan stakeholder terkait melalui pemberian berbagai kemudahan dan fasilitas bagi pengembangan pertanian organik seperti pemberian insentif, penyuluhan, dan bantuan teknis kepada petani, serta mempermudah proses sertifikasi dan pemasaran produk pertanian organik. 1)
Komunikasi pribadi dengan Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan, Peternakan, dan Perikanan Kabupaten Blora
3
Perumusan Masalah Penggunaan pupuk kimia sintetis dalam jangka panjang menurunkan daya dukung dan kesuburan tanah sehingga berpotensi menurunkan produktivitas tanaman pertanian. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan mengaplikasikan sistem pertanian organik melalui penggunaan berbagai pupuk organik yang ramah lingkungan. Berbagai penelitian membuktikan bahwa pupuk organik mampu meningkatkan kesuburan fisik, biologi, dan kimia tanah, serta meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Produk yang dihasilkan dari pertanian organik diyakini lebih sehat dan aman dikonsumsi karena tidak mengandung residu bahan kimia. Meskipun memiliki ternak yang kotorannya dapat digunakan sebagai pupuk organik, saat ini masih sedikit petani di Blora yang menggunakan pupuk organik sebagai penyedia hara utama bagi tanaman. Pupuk kimia sintetis dipandang lebih praktis karena dibutuhkan dalam volume yang lebih kecil dibandingkan pupuk organik. Meskipun demikian, penambahan pupuk organik harus dilakukan mengingat semakin menurunnya tingkat kesuburan tanah. Saat ini sebagian besar petani di Blora menanam jagung setelah padi karena dianggap lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan menanam tanaman palawija lainnya. Jenis tanaman yang dibudidayakan perlu dirotasi untuk memutus rantai kehidupan OPT dan membantu meningkatkan kesuburan tanah. Sebagai alternatif, penanaman tanaman legum seperti kedelai dapat dilakukan karena mampu meningkatkan kesuburan tanah melalui simbiosis antara bintil akar tanaman dengan bakteri Rhizobium untuk mengikat nitrogen dari atmosfer. Pupuk organik yang digunakan dalam penelitian disesuaikan dengan jenis pupuk yang tersedia di lokasi penelitian seperti pupuk kandang sapi, pupuk kandang kambing, abu sekam, dan brangkasan jagung. Pupuk kandang sapi merupakan jenis pupuk kandang yang paling banyak ditemui sehingga pupuk kandang ini digunakan sebagai pupuk perlakuan utama yang diuji. Pemilihan dosis pupuk kandang sapi didasarkan pada dosis pupuk kandang sapi yang memberikan pengaruh terbaik terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Pemilihan jenis pola tanam didasarkan pada dugaan produktivitas per hektar dan keuntungan ekonomi tertinggi yang dihasilkan oleh tanaman pada setiap musim tanam (MT). Penelitian yang dilakukan ini belum sepenuhya memenuhi kriteria budidaya organik terutama untuk persyaratan lokasi penelitian, namun merupakan inisiasi menuju budidaya yang memenuhi syarat organik.
1. 2. 3.
1. 2. 3.
Tujuan Penelitian Mempelajari pengaruh dosis pupuk kandang sapi terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman padi organik pada MT I. Mempelajari pengaruh dosis pupuk kandang sapi terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman kedelai dan jagung organik pada MT II. Mempelajari jenis pola tanam yang paling menguntungkan. Hipotesis Penelitian Terdapat pengaruh dosis pupuk kandang sapi terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman padi organik pada MT I. Terdapat pengaruh dosis pupuk kandang sapi terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman kedelai dan jagung organik pada MT II. Terdapat jenis pola tanam yang paling menguntungkan.
4
Bagan Alir Penelitian Identifikasi pupuk organik yang tersedia di lokasi penelitian dan teknologi budidaya yang diterapkan oleh petani
Percobaan padi organik pada MT 1
Percobaan palawija organik pada MT II
Kedelai
Jagung
Dosis pupuk kandang sapi terbaik
Dosis pupuk kandang sapi terbaik
Pemilihan paket budidaya dan pola tanam secara organik Gambar 1. Bagan alir penelitian
Dosis pupuk kandang sapi terbaik
5
2 PRODUKSI PADI ORGANIK MELALUI APLIKASI BEBERAPA DOSIS PUPUK KANDANG SAPI PADA MUSIM TANAM I Organic Rice Production with Different Rates of Cow Manure Application in the First Cropping Season ABSTRACT The study addressed to investigate the effect of application rates of cow manure on organic rice growth and yield. The study was conducted from January to April 2012 in Blora, Central Java, Indonesia. The experiment was arranged in Randomized Complete Block Design with single factor i.e. cow manure rates consisted of four treatments and four replications. Two organic fertilizers as control treatments were used in the experiment and were compared to the best cow manure treatment with t test. A conventional rice plot was also used as control (not statistically analyzed). The treatments were corn biomass (3 tons ha-1), corn biomass (3 tons ha -1) + cow manure (7.5 tons ha-1), corn biomass (3 tons ha-1) + cow manure (10 tons ha-1), and cow manure (10 tons ha-1) with square spacing 20 cm x 20 cm. The two organic control treatments were (1) corn biomass (3 tons ha-1) + sheep manure (7.5 tons ha-1) with square spacing 20 cm x 20 cm and (2) corn biomass (3 tons ha-1) + cow manure (7.5 tons ha-1) with double-row spacing 40 cm x 25 cm x 15 cm. All organic plots were added with 2 tons ha-1 of rice-hull ash. The experiment showed that the application of cow manure in the first cropping season did not significantly increase the yield, but there was a trend that the application of cow manure (10 tons ha -1) with square spacing or application of corn biomass (3 tons ha-1) + cow manure (7.5 tons ha -1) with double-row spacing resulted in the higher yield than with other treatments. Keywords: corn biomass, grumosol, organic farming, rice-hull ash, sheep manure ABSTRAK Percobaan ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh dosis pupuk kandang sapi terhadap pertumbuhan dan produktivitas padi. Percobaan dilaksanakan pada bulan Januari-April 2012 di Blora, Jawa Tengah, Indonesia. Rancangan acak kelompok (RAK) dengan faktor tunggal yaitu dosis pupuk kandang sapi dengan empat perlakuan dan empat ulangan digunakan dalam percobaan ini. Dua perlakuan pupuk organik sebagai pembanding dibandingkan dengan perlakuan pupuk kandang sapi terbaik dengan menggunakan uji t. Selain itu, satu petak padi konvensional juga digunakan sebagai pembanding (tidak dianalisis secara statistik). Perlakuan yang digunakan adalah brangkasan jagung (3 ton ha -1), brangkasan jagung (3 ton ha -1) + pupuk kandang sapi (7.5 ton ha -1), brangkasan jagung (3 ton ha-1) + pupuk kandang sapi (10 ton ha -1), dan pupuk kandang sapi (10 ton ha-1) dengan jarak tanam tegel 20 cm x 20 cm. Dua perlakuan pembanding yakni (1) brangkasan jagung (3 ton ha-1) + pupuk kandang kambing (7.5 ton ha -1) dengan jarak tanam tegel 20 cm x 20 cm dan (2) brangkasan jagung (3 ton ha-1) + pupuk kandang sapi (7.5 ton ha -1) dengan jarak tanam jajar legowo 40 cm x 25 cm x 15 cm. Semua petak percobaan pupuk organik mendapatkan tambahan 2 ton abu sekam ha-1. Hasil percobaan menunjukkan bahwa penambahan pupuk kandang sapi pada MT I tidak nyata meningkatkan produktivitas padi, namun terdapat
6
kecenderungan bahwa penambahan pupuk kandang sapi (10 ton ha -1) dengan jarak tanam tegel atau penambahan brangkasan jagung (3 ton ha-1) + pupuk kandang sapi (7.5 ton ha-1) dengan jarak tanam jajar legowo menghasilkan produktivitas padi organik lebih tinggi daripada dengan perlakuan lainnya. Kata kunci: abu sekam, brangkasan jagung, grumosol, pertanian organik, pupuk kandang kambing PENDAHULUAN Penggunaan pupuk kimia sintetis pada lahan sawah selama beberapa dekade terakhir mengakibatkan penurunan daya dukung tanah terhadap produktivitas padi. Sofyan et al. (2004) menyatakan bahwa penambahan pupuk P dan K pada tanaman padi secara terus-menerus mengakibatkan ketidakseimbangan hara tanah sehingga menyebabkan penurunan produktivitas padi (levelling off). Dampak lainnya, saat ini sebagian besar lahan sawah di Indonesia mengandung C-organik <2% dari kebutuhan minimum 2%. Oleh karena itu, menurut Sudiarto dan Gusmaini (2004) pemanfaatan lahan pertanian secara intensif harus diimbangi dengan pemberian pupuk organik untuk mempertahankan kandungan bahan organik tanah. Saat ini petani di Blora lebih banyak menggunakan pupuk kimia sintetis sebagai penyedia hara utama bagi tanaman dibandingkan pupuk organik. Penggunaan pupuk organik seperti pupuk kandang dianggap tidak efisien oleh petani karena dibutuhkan dalam jumlah besar. Limbah tanaman seperti jerami padi tidak dikembalikan ke dalam tanah, melainkan digunakan sebagai pakan ternak. Meskipun demikian, sebagian petani di lokasi percobaan menambahkan brangkasan jagung segar sebagai pupuk hijau ke dalam tanah. Petani menanam jagung pada awal musim penghujan (musim labuh) sebagai antisipasi jika curah hujan rendah sehingga tidak memungkinkan untuk menanam padi. Jika curah hujan tinggi maka brangkasan jagung yang dihasilkan tersebut digunakan sebagai pupuk hijau dan diolah pada saat pengolahan tanah. Beberapa penelitian mengenai penambahan bahan organik pada tanaman padi telah dilakukan. Menurut Sugiyanta et al. (2008) pembenaman jerami padi ke dalam tanah dapat memperbaiki kesuburan tanah dan berpotensi menggantikan peran pupuk kimia sintetis. Penelitian lain oleh Haerani (2004) menunjukkan bahwa pemberian 7.5 ton jerami ha -1 + 50% dosis anjuran pupuk kimia sintetis menghasilkan produktivitas padi yang sama dengan aplikasi 100% dosis anjuran pupuk kimia sintetis. Manfaat lain pupuk organik dilaporkan oleh Daeng (2012) bahwa penggunaan pupuk kandang ayam dan Tithonia difersifolia mampu meningkatkan pertumbuhan dan ketahanan tanaman padi gogo terhadap serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Potensi pengembangan budidaya padi secara organik cukup besar karena saat ini permintaan beras organik oleh masyarakat semakin meningkat. Peningkatan permintaan beras organik ini menyebabkan munculnya perkumpulan petani padi organik di Klaten dan Magelang, Jawa Tengah; Bogor dan Bandung, Jawa Barat; dan Magetan, Jawa Timur (Andoko 2010). Bagi petani, budidaya padi organik dapat meningkatkan pendapatan karena harga jual beras organik lebih tinggi daripada beras konvensional. Terdapat beberapa jenis pupuk organik di lokasi percobaan terutama pupuk kandang sapi. Oleh karena itu, percobaan ini bertujuan untuk mempelajari
7
pengaruh dosis pupuk kandang sapi terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman padi organik pada musim tanam (MT) I. METODE Waktu dan Tempat Percobaan dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2012. Lokasi percobaan yaitu di Desa Nglebur, Kecamatan Jiken, Kabupaten Blora, Jawa Tengah dengan ketinggian ± 31 m dpl. Analisis tanah, pupuk kandang, abu sekam, brangkasan jagung, dan kandungan hara NPK daun dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam percobaan antara lain benih padi varietas Ciherang, pupuk kandang sapi, pupuk kandang kambing, abu sekam, brangkasan jagung, pestisida organik (Beuvaria sp., ekstrak bawang putih, daun Glyricidia, daun sambiloto, daun mimba, jengkol), sereh wangi (tanaman penolak OPT), dan bahan-bahan kimia untuk analisis. Alat yang digunakan yaitu peralatan analisis laboratorium, alat budidaya, bagan warna daun (BWD), neraca analitik, dan oven. Metode Rancangan acak kelompok (RAK) dengan faktor tunggal yaitu dosis pupuk kandang sapi dengan empat perlakuan dan empat ulangan digunakan dalam percobaan ini. Dua perlakuan pupuk organik dengan empat ulangan sebagai pembanding dibandingkan dengan perlakuan pupuk kandang sapi terbaik dengan menggunakan uji t. Satu petak tanaman padi konvensional juga digunakan sebagai pembanding (tidak dianalisis secara statistik) sehingga petak percobaan berjumlah 25 unit (Denah percobaan MT I ditunjukkan pada Lampiran 1). Setiap petak percobaan berukuran 8 m x 8 m dengan jumlah tanaman contoh sebanyak 10 tanaman. Perlakuan pupuk organik ditunjukkan pada Tabel 1. Pupuk yang diberikan pada tanaman padi konvensional adalah 160 kg pupuk Petroganik ha -1, 400 kg pupuk NPK 15:15:15 ha-1, dan 400 kg pupuk urea ha-1. Tabel 1. Perlakuan pupuk organik pada percobaan padi organik (MT I) Perlakuan Kode -1 brangkasan jagung (3 ton ha ) (kontrol) BJ 3 + P0 br. jagung (3 ton ha-1) + pukan sapi (7.5 ton ha-1) BJ 3 + PS 7.5 -1 -1 br. jagung (3 ton ha ) + pukan sapi (10 ton ha ) BJ 3 + PS 10 pukan sapi (10 ton ha-1) PS 10 br. jagung (3 ton ha-1) + pukan sapi (7.5 ton ha-1) BJ 3 + PS 7.5 + L dengan jarak tanam jajar legowo 6* br. jagung (3 ton ha-1) + pukan kambing (7.5 ton ha-1) BJ 3 + PK 7.5
No. 1 2 3 4 5*
Keterangan: - *: perlakuan pembanding organik; pukan: pupuk kandang - semua perlakuan mendapatkan tambahan 2 ton abu sekam ha-1 - penentuan dosis 3 ton ha-1 brangkasan jagung berdasarkan rataan bobot brangkasan jagung dalam setiap petak percobaan - penentuan dosis pupuk organik disesuaikan dengan dosis rekomendasi pemupukan padi yaitu 250 kg ha-1 urea (115 kg N ha-1), 100 kg ha-1 SP-36 (36 kg P2O5 ha-1), dan 100 kg ha-1 KCl (60 kg K2O ha-1) - perlakuan 5 menggunakan jarak tanam jajar legowo 40 cm x 25 cm x 15 cm, sedangkan perlakuan lainnya menggunakan jarak tanam tegel 20 cm x 20 cm
8
Pengolahan tanah dilakukan 2 minggu sebelum tanam bersamaan dengan pemberian pupuk organik yang pertama (2/3 dosis). Pemberian pupuk organik yang kedua (1/3 dosis) dilakukan saat tanaman berumur 2 minggu setelah tanam (MST). Penambahan pupuk yang kedua ini dilakukan karena terjadi gejala defisiensi hara pada tanaman. Pengolahan tanah dilakukan dengan sistem olah tanah sempurna meliputi pembajakan, penggaruan, dan pelumpuran hingga siap tanam. Benih padi disemai 3 minggu sebelum tanam. Pupuk organik yang diberikan pada persemaian adalah 5 ton pupuk kandang sapi ha-1 dan 2 ton abu sekam ha-1. Bibit padi yang ditanam berumur 21 hari setelah sebar dengan jumlah daun sebanyak 2-3 helai. Bibit padi ditanam dengan menggunakan jarak tanam jajar legowo 40 cm x 25 cm x 15 cm pada perlakuan 5 (populasi 215 278 tanaman ha-1) dan dengan jarak tanam tegel 20 cm x 20 cm pada perlakuan lainnya (populasi 250 000 tanaman ha -1) dengan jumlah bibit yang ditanam sebanyak 3 bibit per titik tanam. Pengendalian OPT dilakukan melalui aplikasi pestisida hayati dan penanaman tanaman penolak serangan OPT (repellent) sereh wangi di setiap sudut petak percobaan seperti pada percobaan Kusheryani dan Aziz (2006). Padi dipanen sekitar 30-35 hari setelah tanaman berbunga. Gabah dinyatakan matang jika sekitar 90-95% malai telah menguning. Peubah pertumbuhan vegetatif yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah anakan, serangan OPT (3, 5, 7, dan 9 MST), warna daun, laju tumbuh relatif (LTR), laju asimilasi bersih (LAB), luas daun (3, 5, dan 7 MST), bobot kering tanaman, volume dan panjang akar, kandungan hara NPK daun, dan serapan total hara NPK tanaman (7 MST). Serapan total hara dihitung dengan cara mengalikan kandungan hara dengan bobot kering total tanaman. Peubah komponen produksi yang diamati meliputi jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah per malai, bobot gabah per tanaman, bobot 1000 butir gabah, persentase gabah bernas dan gabah hampa, bobot gabah per 36 m2, produktivitas riil GKG (gabah kering giling) dan dugaan produktivitas GKG per hektar. Dugaan produktivitas GKG per hektar dihitung dengan cara mengalikan bobot kering gabah per rumpun tanaman dengan jumlah rumpun tanaman per hektar. Penghitungan intensitas serangan OPT menggunakan rumus Towsend dan Heuberger (Stevic et al. 2010). Skoring kerusakan tanaman akibat OPT ditunjukkan pada Tabel 2. 𝑘 𝑖=0 𝑛. 𝑣𝑖 IP = 𝑥 100% 𝑁. 𝑉 Keterangan: IP : intensitas serangan hama dan keparahan penyakit n : jumlah tanaman dengan skor tanaman ke-i vi : skor serangan 0, 1, 2, 3, 4 V : skor serangan tertinggi N : jumlah seluruh sampel tanaman yang diamati
Skor 0 1 2 3 4
Tabel 2. Skoring kerusakan tanaman padi akibat serangan OPT Persentase tanaman yang terserang (%) Keterangan 0 tanpa serangan 0-25 ringan 25-50 sedang 50-75 tinggi >75 sangat tinggi
9
Penghitungan luas daun menggunakan rumus Gravimetri: 𝑊𝑥 L= 𝑥 Ly 𝑊𝑦 Keterangan: L : luas daun (cm2) Wx : bobot kering total daun (g) Wy : bobot kering sampel daun (g) Ly : luas sampel daun (cm2) Rumus yang digunakan untuk menghitung LTR (Gardner 1991): (ln 𝑊2 − ln 𝑊1) LTR = 𝑡2 − 𝑡1 Keterangan: LTR : laju tumbuh relatif (g hari-1) W : bobot kering tanaman (g) t : waktu (hari) Rumus yang digunakan untuk menghitung LAB (Gardner 1991): LAB =
𝑊2 − 𝑊1 ln 𝐿2 − ln 𝐿1 𝑥 𝐿2 − 𝐿1 𝑡2 − 𝑡1
Keterangan: LAB : laju asimilasi bersih (g cm-2 hari-1) W : bobot kering daun (g) t : waktu (hari) L : luas daun (cm2) Analisis yang dilakukan di laboratorium meliputi analisis pupuk organik sebelum percobaan, analisis kandungan hara dan mikrob tanah saat sebelum dan setelah percobaan, dan analisis kandungan hara NPK daun padi saat 7 MST. Analisis Data Data percobaan pupuk kandang sapi (perlakuan 1-4) dianalisis dengan menggunakan analisis ragam (uji F). Hasil uji F yang berbeda nyata diuji lanjut dengan menggunakan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%. Perlakuan pupuk kandang sapi terbaik kemudian dibandingkan dengan perlakuan pembanding dengan menggunakan uji t pada taraf 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Hasil analisis menunjukkan bahwa masing-masing pupuk organik memiliki kandungan hara yang berbeda. Brangkasan jagung memiliki nilai rasio C/N dan kandungan C sebesar 49.37 dan 43.94% atau tertinggi dibandingkan pupuk organik lainnya. Nilai rasio C/N brangkasan jagung tinggi karena brangkasan jagung masih dalam keadaan segar dan belum terdekomposisi ketika dibenamkan ke dalam tanah. Pupuk kandang kambing memiliki rasio C/N terendah (22.79) dan mengandung hara P, K, Ca, Mg, Fe, dan Zn tertinggi dengan nilai berturut-turut sebesar 0.75, 1.72, 6.93, 5.37%, 7 043.41, dan 116.47 ppm. Pupuk kandang sapi
10
memiliki rasio C/N sebesar 26.81 dan mengandung hara N, Cu, dan Mn tertinggi dengan nilai masing-masing sebesar 1.06%, 33.35, dan 857.47 ppm. Abu sekam memiliki rasio C/N sebesar 25 dan memiliki kandungan hara K lebih rendah (0.41%) jika dibandingkan dengan pupuk kandang sapi (1.25%) dan pupuk kandang kambing (1.72%). Sumbangan hara yang diberikan oleh masing-masing perlakuan pupuk organik berbeda. Sumbangan hara pupuk organik dihitung dengan cara mengalikan dosis yang diberikan dengan kandungan hara pada masing-masing pupuk organik (Tabel 3). Sumbangan hara yang tersedia bagi padi konvensional adalah 244 kg N ha-1, 60 kg P2O5 ha-1, dan 60 kg K2O ha-1 (Nilai sumbangan hara pada tanaman padi konvensional ini belum termasuk sumbangan hara dari pupuk Petroganik karena kandungan haranya tidak diketahui). Tabel 3. Sumbangan hara pupuk organik pada percobaan padi organik (MT I) No.
Perlakuan
Sumbangan hara (kg ha-1) N P K 28.40 11.70 28.30 107.90 67.20 122.05 134.40 85.70 153.30 109.20 81.20 133.20
brangkasan jagung (3 ton ha-1) (kontrol) br. jagung (3 ton ha-1) + pukan sapi (7.5 ton ha-1) br. jagung (3 ton ha-1) + pukan sapi (10 ton ha-1) pukan sapi (10 ton ha-1) br. jagung (3 ton ha-1) + pukan sapi (7.5 ton ha-1) 107.90 67.20 122.05 dengan jarak tanam jajar legowo 6* br. jagung (3 ton ha-1) + pukan kambing (7.5 ton ha-1) 93.65 67.95 157.30 Keterangan: *: perlakuan pembanding; pukan: pupuk kandang; sumbangan hara termasuk akibat penambahan 2 ton abu sekam ha -1 1 2 3 4 5*
Analisis tanah sebelum percobaan menunjukkan bahwa tanah lahan percobaan memiliki pH agak masam (6.40) dengan komposisi pasir, debu, dan liat yaitu 33.99, 24.45, dan 33.99%. Berdasarkan kriteria penilaian sifat-sifat kimia tanah oleh Pusat Penelitian Tanah (1983) kandungan hara C-organik dan N-total dalam tanah tergolong rendah masing-masing sebesar 1.52 dan 0.14%. Kandungan hara P-total tanah sangat tinggi (126.5 ppm), namun kandungan hara P-tersedia tergolong rendah yaitu 14.8 ppm. Kandungan hara K tergolong tinggi (0.64 me 100 g-1 tanah), kandungan hara Ca tergolong sangat tinggi (23.66 me 100 g-1 tanah), kandungan hara Mg tergolong tinggi (5.89 me 100 g-1 tanah), dan kapasitas tukar kation (KTK) tanah tergolong tinggi (34.49 me 100 g-1 tanah). Analisis biologi tanah menunjukkan bahwa tanah miskin mikrob tanah karena hanya mengandung bakteri Rhizobium dari tiga jenis bakteri yang dianalisis. Secara umum analisis kimia tanah setelah percobaan MT I (tanah dalam kondisi reduktif) menunjukkan bahwa penambahan pupuk organik menghasilkan nilai KTK dan Ca lebih besar masing-masing hingga 26.1 dan 49.2% dibandingkan sebelum percobaan (Tabel 4). Penambahan pupuk organik menyebabkan penurunan nilai C-organik, N-total, K, dan Mg pada semua perlakuan pupuk organik. Kandungan P-tersedia menurun, kecuali akibat penambahan 3 ton brangkasan jagung ha-1 + 7.5 ton pupuk kandang sapi ha-1 dengan jarak tanam jajar legowo yang meningkat 16.2% daripada sebelum percobaan. Penurunan kandungan hara pada MT I ini terjadi akibat proses imobilisasi pupuk organik terutama brangkasan jagung yang masih terjadi di
11
dalam tanah dan adanya penyerapan hara oleh tanaman (analisis tanah dilakukan setelah panen). Tabel 4. Kandungan hara tanah pada percobaan padi organik (MT I) Parameter analisis Perlakuan
pH
C-org N-tot -------(%)-------
P2O5 Bray I (ppm)
K Ca Mg KTK ---------(me 100 g-1 tanah)---------
Sebelum percobaan padi organik (MT I) 6.4
1.52
0.14
14.8
0.64
23.66
5.89
34.49
Setelah percobaan padi organik (MT I) BJ 3 + P0
6.2
0.96
0.09
9.00
0.17
27.14
3.05
36.51
BJ 3 + PS 7.5 BJ 3 + PS 10
6.1 6.5
1.12 0.40
0.10 0.05
10.20 11.50
0.50 0.41
33.68 34.65
4.08 3.81
42.04 39.72
PS 10 6.1 1.36 0.12 12.30 0.19 22.84 2.44 BJ 3 + PS 7.5 + L* 6.8 1.36 0.13 17.20 0.48 35.29 3.96 BJ 3 + PK 7.5* 6.2 0.96 0.09 11.00 0.48 33.46 4.15 Keterangan: *: perlakuan pembanding; BJ: brangkasan jagung, P0: tanpa pupuk, PS: kandang sapi, PK: pupuk kandang kambing, L:jarak tanam jajar legowo; dibelakang huruf perlakuan menunjukkan dosis pupuk (ton ha-1)
27.66 41.96 43.50 pupuk angka
Analisis biologi tanah setelah percobaan MT I menunjukkan bahwa penambahan pupuk organik meningkatkan ketersediaan bakteri pelarut fosfat dan Azotobacter masing-masing hingga 250 dan 695%, namun menurunkan populasi total mikrob tanah dan bakteri Rhizobium (Tabel 5). Hasil analisis ini sejalan dengan hasil penelitian Napitupulu (2012) bahwa populasi mikrob tanah setelah tanaman padi cukup rendah akibat kondisi tergenang (kondisi reduktif) sehingga mikrob tanah hanya memanfaatkan oksigen yang tersisa dan tidak dapat berkembang dan akhirnya mati. Tabel 5. Populasi mikrob tanah pada percobaan padi organik (MT I) Parameter analisis Total mikrob Bakteri pelarut fosfat Rhizobium Azotobacter -----------------------------(SPK g-1 x 104)------------------------------Sebelum percobaan padi organik (MT I) 6500 0.00 36.80 0.00 Setelah percobaan padi organik (MT I) BJ 3 + P0 3435 1.50 1.85 3.75 BJ 3 + PS 7.5 1455 2.40 4.00 3.20 BJ 3 + PS 10 2020 2.45 5.60 4.60 PS 10 950 2.50 8.15 5.80 BJ 3 + PS 7.5 + L* 1885 1.35 9.40 4.65 BJ 3 + PK 7.5* 3060 1.75 5.10 6.95 Perlakuan
Keterangan: *: perlakuan pembanding; BJ: brangkasan jagung, P0: tanpa pupuk, PK: pupuk kandang kambing, PS: pupuk kandang sapi, L:jarak tanam jajar legowo; angka -1 dibelakang huruf perlakuan menunjukkan dosis pupuk (ton ha ); SPK: satuan pembentuk koloni
12
Serangan OPT yang terjadi selama percobaan cukup tinggi. Hama yang dominan menyerang tanaman padi antara lain ulat, belalang, penggerek batang padi (Tryporiza sp.), dan walang sangit (Leptocorisa acuta). Penyakit yang paling banyak menyerang adalah hawar daun (Xanthomonas orizae) dan bercak cokelat (Helminthosporium oryzae). Penggerek batang padi yang menyerang tanaman pada fase vegetatif mengakibatkan timbulnya sundep sehingga batang berubah menjadi silindris dan berwarna putih. Hama ini menyebabkan beluk saat fase generatif sehingga warna malai berubah menjadi putih, hampa, dan tegak. Serangan walang sangit menyebabkan gabah menjadi hampa. Penyakit hawar daun menyerang sebagian besar tanaman padi termasuk milik petani. Berdasarkan klasifikasi iklim Oldeman, percobaan padi organik dilaksanakan pada bulan basah (curah hujan >200 mm per bulan), kecuali bulan kedua (5-8 MST) yang merupakan bulan lembab dengan curah hujan 100-200 mm per bulan (Gambar 2). 394
Curah hujan (mm per minggu)
400 300 226
200
100
100
0
66 1
2
43 37 33 70 15 30 30 3
Januari
4
5
6
7
Februari
8
96 40
9 10 11 12 13 14 MST
Maret
April 2012
Gambar 2. Curah hujan selama percobaan padi organik (MT I) Hasil Pertumbuhan Vegetatif Berdasarkan hasil analisis, penambahan pupuk kandang sapi 10 ton ha -1 (tanpa brangkasan jagung) secara umum menyebabkan pertumbuhan vegetatif dan komponen produksi tanaman padi organik yang lebih baik daripada perlakuan lainnya, meskipun tidak semuanya nyata secara statistik. Selanjutnya nilai peubah akibat penambahan pupuk kandang sapi 10 ton ha-1 ini dibandingkan dengan nilai peubah perlakuan pembanding dengan menggunakan uji t. Penambahan 10 ton pupuk kandang sapi ha-1 secara nyata meningkatkan tinggi tanaman pada 3 MST (P<0.01) dan 7 MST (P<0.05) masing-masing 13.8 dan 5.6% lebih tinggi daripada tanpa pupuk (Tabel 6). Tinggi tanaman padi akibat perlakuan ini juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan pembanding yakni penambahan 3 ton brangkasan jagung ha-1 + 7.5 ton pupuk kandang kambing ha-1 pada 3 MST (P<0.01), pada 5 MST (P<0.05), serta pada 7 dan 9 MST (P>0.05). Akan tetapi, jika dibandingkan dengan perlakuan pembanding yakni penambahan 3 ton brangkasan jagung ha -1 + 7.5 ton pupuk kandang sapi ha-1 dengan jarak tanam legowo dan pembanding konvensional, tinggi tanaman akibat penambahan 10 ton pupuk kandang sapi ha-1 pada 5, 7, dan 9 MST lebih rendah, meskipun tidak nyata secara statistik. Selain meningkatkan tinggi tanaman, penambahan 10 ton pupuk kandang sapi ha-1 juga meningkatkan jumlah anakan padi pada 3, 5, 7 MST (P<0.05) dan
13
pada 9 MST (P<0.01) daripada tanpa pupuk, dan tidak berbeda nyata dengan kedua perlakuan pembanding organik. Perlakuan ini menghasilkan jumlah anakan padi lebih besar hingga 25.5% pada 9 MST dibandingkan tanpa pupuk. Tabel 6 menunjukkan bahwa jumlah anakan padi pada 9 MST berkurang jika dibandingkan dengan minggu sebelumnya yang diduga akibat menurunnya curah hujan saat 7-9 MST dan akibat serangan OPT. Penambahan pupuk kandang sapi menunjukkan pengaruh nyata terhadap warna daun padi saat 5 MST (P<0.05), namun tidak nyata saat 3 dan 7 MST. Secara umum daun padi organik berwarna hijau terang (skala 3 pada BWD), sedangkan daun padi konvensional berwarna hijau tua (skala 4 pada BWD). Penambahan 10 ton pupuk kandang sapi ha -1 menyebabkan serangan OPT lebih rendah daripada perlakuan lainnya saat 5 dan 9 MST yakni dengan persentase serangan sebesar 73.1 dan 64.4%, meskipun tidak nyata secara statistik. Akan tetapi, nilai ini masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan kedua perlakuan pembanding organik dan pembanding konvensional. Secara statistik, serangan OPT pada tanaman akibat penambahan 3 ton brangkasan jagung ha -1 + 7.5 ton pupuk kandang sapi ha-1 dengan jarak tanam jajar legowo lebih rendah (P<0.05) dibandingkan dengan tanaman akibat penambahan 10 ton pupuk kandang sapi ha-1 pada 9 MST. Serangan OPT pada tanaman padi organik cenderung meningkat pada 5 MST, kemudian menurun pada 7 dan 9 MST. Meskipun tidak nyata, aplikasi 10 ton pupuk kandang sapi ha-1 menghasilkan bobot kering total tanaman, bobot kering tajuk, bobot kering akar, dan volume akar tanaman lebih besar berturut-turut hingga 19.3, 15.1, 39.6, dan 26.7% daripada tanpa aplikasi pupuk (Tabel 7). Penambahan pupuk kandang sapi juga menghasilkan akar tanaman lebih panjang dibandingkan tanpa pupuk. Tanaman padi konvensional memiliki bobot kering total tanaman, bobot kering tajuk, dan bobot kering akar lebih besar, namun memiliki panjang dan volume akar lebih kecil daripada tanaman padi organik. Perlakuan pembanding yakni penambahan 3 ton brangkasan jagung ha -1 + 7.5 ton pupuk kandang sapi ha -1 dengan jarak tanam jajar legowo menghasilkan kandungan hara P dan K daun, serta serapan total hara NPK tanaman lebih tinggi dibandingkan akibat penambahan pupuk kandang sapi dengan jarak tanam tegel dengan nilai berturut-turut sebesar 0.36, 2.89%, 180.73, 37.54, dan 301.62 mg per tanaman (Gambar 3-5). Kandungan hara P daun yang dihasilkan perlakuan pembanding ini lebih besar (P<0.05) daripada kandungan hara P daun akibat penambahan 10 ton pupuk kandang sapi ha -1. Sementara itu, tanpa penambahan pupuk menyebabkan kandungan hara K daun, serapan total hara P dan K tanaman lebih rendah dibandingkan dengan akibat penambahan pupuk. Penambahan pupuk kandang sapi tidak menghasilkan pengaruh nyata terhadap luas daun, LAB, dan LTR per tanaman (Gambar 6-8). Tanaman padi konvensional memiliki luas daun dan LAB per tanaman yang lebih besar dibandingkan padi organik, sedangkan nilai LTR per tanaman yang dihasilkan relatif sama. Luas daun per tanaman padi konvensional saat 7 MST adalah sebesar 1 387.71 cm2, lebih tinggi jika dibandingkan dengan luas daun per tanaman padi organik yakni 493.76-600.68 cm2. Gambar 7 dan 8 menunjukkan bahwa nilai LAB dan LTR per tanaman padi saat 3-5 MST lebih besar daripada saat 5-7 MST.
14
Tabel 6. Pertumbuhan vegetatif tanaman padi Peubah
Tinggi tanaman (cm)
Jumlah anakan
Bagan Warna Daun
Serangan OPT (%)
Pupuk Organik
Umur (MST) 3 5 7 9 3 5 7 9 3 5 7 3 5 7 9
P0 35.18c 48.34 59.21b 71.68 5.1b 11.2b 11.8b 10.2c 2.6 3.0a 2.9 50.0 73.8 71.3 65.0
BJ 3 + PS 7.5 36.55bc 48.28 61.08ab 73.09 6.2a 12.4ab 13.1ab 11.9ab 2.7 2.9b 3.0 46.2 78.8 75.6 65.0
PS 10 38.45ab 50.85 61.84a 74.81 6.2a 12.4ab 13.2ab 11.5b 2.6 3.0a 2.9 48.7 76.3 72.5 66.9
PS 10 40.03a(y) 51.4(y) 62.55a 75.98 6.2a 13.4a 14.5a 12.8a 2.7 3.0a 2.9 50.6 73.1 71.9 64.4(x)
Pembanding BJ 3 + Konvensional PS 7.5 + L PK 7.5 38.68 36.89 35.3 51.8 48.73 52.15 64.53 61.56 77.35 78.75 74.68 93.2 6.3 6.3 4.4 11.8 13.1 16.5 13.5 14.5 22.0 12.8 12.1 19.7 2.7 2.7 2.5 2.9 3.0 3.5 2.9 2.9 4.0 45.0 48.1 32.5 72.5 71.9 27.5 69.4 71.9 30.0 50.0 60.6 25.0
Keterangan: 1) Angka yang diikuti huruf berbeda pada baris yang sama pada perlakuan menunjukkan perbedaan nyata pada uji DMRT taraf 5% 2) (x): perlakuan berbeda nyata dengan pembanding BJ 3 + PS 7.5 + L, (y): perlakuan berbeda nyata dengan pembanding BJ 3 + PK 7.5 pada uji t taraf 5% 3) BJ: brangkasan jagung, P0: tanpa pupuk, PS: pupuk kandang sapi, PK: pupuk kandang kambing, L:jarak tanam jajar legowo; angka dibelakang huruf perlakuan menunjukkan dosis pupuk (ton ha-1)
15
Tabel 7. Pengaruh pupuk organik terhadap bobot tanaman, panjang, dan volume akar tanaman padi saat 7 MST Pupuk Organik
Peubah
Pembanding
BJ 3 + BJ 3 + PS 10 Konvensional P0 PS 7.5 PS 10 PS 7.5 + L PK 7.5 Bobot kering total tanaman (g) 8.76 9.07 10.21 10.45 10.43 10.59 20.47 Bobot kering tajuk (g) 7.27 7.28 8.36 8.37 8.74 8.71 17.89 Bobot kering akar (g) 1.49 1.78 1.85 2.08 1.7 1.89 2.58 Panjang akar (cm) 19.13 21.75 21.75 21.25 23.06 20.94 16.00 Volume akar (mL) 9.38 10.00 11.25 11.88 11.25 10 10.00 Keterangan: BJ: brangkasan jagung, P0: tanpa pupuk, PS: pupuk kandang sapi, PK: pupuk kandang kambing, L:jarak tanam jajar legowo; angka dibelakang huruf perlakuan menunjukkan dosis pupuk (ton ha-1)
Kandungan hara (%)
0.38 0.36
(x)
0.34 0.32
Kandungan hara (%)
4
0.40
BJ 3+ P0 3
BJ 3 + PS 7.5 BJ 3 + PS 10
2
PS 10 1
BJ 3 + PS 7.5 + L BJ 3 + PK 7.5
0
0.30 P
N
Gambar 3. Kandungan hara daun tanaman padi saat 7 MST
K
Konvensional
16
BJ 3+ P0
Serapan hara (mg per tanaman)
80
BJ 3 + PS 7.5 60
BJ 3 + PS 10 PS 10
40
BJ 3 + PS 7.5 + L BJ 3 + PK 7.5
20
Konvensional
P
Gambar 4. Serapan total hara P tanaman padi saat 7 MST
Serapan total hara (mg per tanaman)
600
BJ 3+ P0 BJ 3 + PS 7.5 BJ 3 + PS 10 PS 10 BJ 3 + PS 7.5 + L BJ 3 + PK 7.5 Konvensional
500 400 300 200 100 0 N
K
Luas daun per tanaman (cm2)
Gambar 5. Serapan total hara N dan K tanaman padi saat 7 MST 1500
BJ 3+ P0
1200
BJ 3 + PS 7.5
BJ 3 + PS 10
900
PS 10
600
BJ 3 + PS 7.5 + L
300
BJ 3 + PK 7.5
0 3
5 MST
7
Konvensional
Gambar 6. Luas daun per tanaman padi saat 3-7 MST
Laju asimilasi bersih (mg cm-2 hari-1)
0.30
BJ 3+ P0 BJ 3 + PS 7.5
0.20
BJ 3 + PS 10 PS 10
0.10
BJ 3 + PS 7.5 + L BJ 3 + PK 7.5
0.00 3-5 MST
5-7 MST
Gambar 7. Laju asimilasi bersih per tanaman padi
Konvensional
17
Laju tumbuh relatif (g hari-1)
0.08 BJ 3+ P0 0.06
BJ 3 + PS 7.5 BJ 3 + PS 10
0.04
PS 10 0.02
BJ 3 + PS 7.5 + L BJ 3 + PK 7.5
0.00 3-5 MST
5-7 MST
Gambar 8. Laju tumbuh relatif per tanaman padi Komponen Produksi Aplikasi pupuk kandang sapi meningkatkan jumlah anakan produktif (P<0.01), namun tidak secara nyata menghasilkan panjang malai, bobot 1000 butir gabah, bobot jerami per 36 m2, bobot basah dan bobot kering gabah per 36 m2 lebih besar daripada tanpa pupuk (Tabel 8). Penambahan 10 ton pupuk kandang sapi ha-1 menghasilkan panjang malai, jumlah gabah per malai, bobot jerami per 36 m2, bobot basah dan bobot kering gabah per 36 m2 tertinggi berturut-turut 3.6, 6.3, 4.5, 8.9, dan 6.1% lebih tinggi dibandingkan tanpa penambahan pupuk dan tidak berbeda nyata dengan kedua perlakuan pembanding organik. Penambahan 10 ton pupuk kandang sapi ha -1 juga menyebabkan bobot jerami per tanaman, bobot basah dan bobot kering gabah per tanaman lebih besar (P>0.05) masing-masing 19.8, 12.5, dan 15.7% lebih besar dibandingkan tanpa pupuk (Gambar 9 dan 10). Bobot gabah per tanaman yang lebih tinggi akibat penambahan 10 ton pupuk kandang sapi ha -1 ini menyebabkan produktivitas riil GKG dan dugaan produktivitas GKG per hektar (dihitung melalui perkalian antara bobot kering gabah per tanaman dengan populasi tanaman per hektar) tertinggi masing-masing sebesar 3.61 dan 4.66 ton ha -1, meskipun tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (Gambar 11). Perlakuan pembanding yakni penambahan 3 ton brangkasan jagung ha -1 + 7.5 ton pupuk kandang sapi ha -1 dengan jarak tanam jajar legowo menghasilkan bobot jerami per tanaman, bobot basah dan bobot kering gabah per tanaman lebih tinggi dibandingkan akibat penambahan 10 ton pupuk kandang sapi ha-1 yakni berturut-turut sebesar 46.65, 26.88, dan 21.14 g. Perlakuan pembanding ini juga menghasilkan dugaan produktivitas GKG per hektar lebih besar yakni 4.69 ton ha-1, meskipun memiliki populasi tanaman per hektar lebih sedikit. Hasil percobaan menunjukkan bahwa tanaman padi konvensional menghasilkan keragaan generatif yang lebih baik daripada tanaman padi organik, kecuali pada peubah persentase gabah bernas. Padi konvensional memiliki persentase gabah bernas lebih rendah (94.8%) dibandingkan padi organik (9597%). Tanaman padi konvensional menghasilkan bobot jerami panen per tanaman sebesar 90.8 g atau dua kali lebih besar daripada bobot jerami padi organik. Bobot jerami yang lebih tinggi ini menunjukkan bahwa padi konvensional memiliki source yang lebih besar sehingga mampu menghasilkan produktivitas gabah lebih tinggi jika dibandingkan dengan produktivitas gabah padi organik. Padi konvensional menghasilkan produktivitas riil dan dugaan produktivitas GKG per hektar masing-masing sebesar 5.83 dan 5.98 ton ha-1.
18
Tabel 8. Komponen produksi tanaman padi Peubah P0 6.9c 27.82 127.8 26.42 22.00 14.00 12.25 97.0 3.0
Jumlah anakan produktif Panjang malai (cm) Jumlah gabah per malai Bobot 1000 butir gabah (g) Bobot jerami per 36 m2 (kg) Bobot basah gabah per 36 m2 (kg) Bobot kering gabah per 36 m2 (kg) Gabah bernas (%) Gabah hampa (%)
Pupuk Organik BJ 3 + PS 7.5 PS 10 8.0a 7.3bc 28.16 28.4 129.5 126.8 26.57 26.63 22.63 22.75 14.75 15.06 12.75 13.00 95.8 96.6 4.2 3.4
PS 10 7.5b 28.82 135.5 26.55 23.00 15.25 13.00 96.2 3.8
Pembanding BJ 3 + Konvensional PS 7.5 + L PK 7.5 7.9 7.8 10.6 29.87 28.14 28.73 152.8 127.9 171.9 26.64 25.95 27.43 22.13 23.25 49.50 15.13 14.75 25.50 13.00 12.75 21.00 95.0 97.0 94.8 5.0 3.0 5.2
Keterangan: 1) Angka yang diikuti huruf berbeda pada baris yang sama pada perlakuan menunjukkan perbedaan nyata pada uji DMRT taraf 5% 2) BJ: brangkasan jagung, P0: tanpa pupuk, PS: pupuk kandang sapi, PK: pupuk kandang kambing, L:jarak tanam jajar legowo; angka dibelakang -1 huruf perlakuan menunjukkan dosis pupuk (ton ha ) BJ 3+ P0
Bobot jerami (g)
100
BJ 3 + PS 7.5 80
BJ 3 + PS 10
PS 10
60
BJ 3 + PS 7.5 + L
40
BJ 3 + PK 7.5
20
Konvensional Perlakuan
Gambar 9. Pengaruh pupuk organik terhadap bobot jerami per tanaman
19
Bobot gabah (g)
40
BJ 3+ P0 BJ 3 + PS 7.5 BJ 3 + PS 10 PS 10 BJ 3 + PS 7.5 + L BJ 3 + PK 7.5 Konvensional
30 20 10 Bobot basah
Bobot kering
Gambar 10. Pengaruh pupuk organik terhadap bobot gabah per tanaman Produksi (ton ha-1)
6
BJ 3+ P0 BJ 3 + PS 7.5 BJ 3 + PS 10 PS 10 BJ 3 + PS 7.5 + L BJ 3 + PK 7.5 Konvensional
5 4 3 2 1 Produktivitas riil
Dugaan produktivitas
Gambar 11. Produktivitas riil dan dugaan produktivitas GKG per hektar Pembahasan Hasil percobaan menunjukkan bahwa laju pertumbuhan tanaman padi (berdasarkan nilai LAB dan LTR) saat 3-5 MST lebih besar daripada saat 5-7 MST. Menurut Francescangeli et al. (2006) peningkatan derajat penutupan daun dan rasio luas daun tanaman menyebabkan penurunan LAB tanaman akibat semakin banyaknya daun yang saling menutupi. Penutupan daun ini mengakibatkan daun yang berada di bagian bawah tidak dapat menghasilkan asimilat atau berfotosintesis secara maksimal sehingga berpotensi menurunkan produktivitas tanaman. Gardner et al. (1991) menyatakan bahwa penurunan nilai LAB juga disebabkan oleh kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan bagi tanaman dan adanya kompetisi antar tanaman dalam memperebutkan hara. Tanaman muda memiliki nilai LAB lebih besar daripada tanaman tua karena sebagian besar daunnya terpapar cahaya matahari. Seperti pada LAB, Sugito et al. (2006) menyatakan bahwa LTR tanaman cukup tinggi pada awal pertumbuhan dan menurun seiring dengan bertambahnya umur tanaman. Penambahan pupuk kandang sapi tidak berpengaruh nyata terhadap serapan total hara tanaman, bobot jerami panen per tanaman, dan bobot gabah per tanaman. Pengaruh tidak nyata akibat penambahan pupuk kandang sapi terhadap serapan total hara tanaman ini diduga akibat tingginya serangan OPT saat fase vegetatif sehingga mempengaruhi bobot kering tanaman (source) yang digunakan dalam penghitungan serapan total hara, yang akhirnya turut mempengaruhi produksi gabah (sink) yang dihasilkan. Meskipun penambahan 10 ton pupuk kandang sapi ha -1 menghasilkan jumlah anakan produktif lebih rendah, namun bobot kering gabah per tanaman dan dugaan produktivitas GKG per hektar yang dihasilkan lebih tinggi jika dibandingkan dengan penambahan 3 ton brangkasan jagung ha -1 + 7.5 ton pupuk kandang sapi ha-1. Lebih tingginya bobot jerami per tanaman akibat penambahan
20
10 ton pupuk kandang sapi ha-1 ini meningkatkan source dan didukung dengan tingginya serapan total hara K menghasilkan bobot kering gabah per tanaman dan dugaan produktivitas GKG per hektar lebih tinggi. Penambahan 10 ton pupuk kandang sapi ha-1 (tanpa brangkasan jagung) menghasilkan pertumbuhan dan dugaan produktivitas GKG per hektar lebih tinggi dibandingkan perlakuan lain yang menggunakan brangkasan jagung pada jarak tanam yang sama (20 cm x 20 cm). Hal ini menunjukkan bahwa penambahan pupuk organik dalam jumlah yang lebih besar (karena penambahan brangkasan jagung) belum tentu menghasilkan pertumbuhan dan produktivitas tanaman tertinggi karena dipengaruhi oleh proses dekomposisi pupuk organik yang menentukan tersedia atau tidaknya hara bagi tanaman. Penggunaan brangkasan jagung sebagai pupuk hijau menyebabkan imobilisasi hara karena memiliki rasio C/N yang tinggi yaitu 49.37. Imobilisasi hara ini terjadi akibat pendeknya interval waktu aplikasi brangkasan jagung dengan waktu tanam padi (2 minggu) sehingga brangkasan jagung belum terdekomposisi sempurna. Munawar (2011) menyatakan bahwa pupuk organik dengan rasio C/N yang tinggi akan sulit terdekomposisi dan mengakibatkan kekahatan hara N pada tanaman. Penelitian sebelumnya oleh Eagle et al. (2000) juga menunjukkan bahwa penggunaan biomassa tanaman seperti jerami dapat menyebabkan imobilisasi hara N dan menurunkan hasil sehingga perlu diberikan penambahan pupuk N (pada pertanian konvensional). Adanya kemungkinan imobilisasi hara ini menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik perlu dilakukan secara hati-hati tanpa harus meninggalkan praktik tersebut. Verma dan Bhagat (1992) menunjukkan bahwa jika pembenaman jerami dilakukan secara berkelanjutan selama lima tahun, maka akan meningkatkan C-organik tanah dan ketersediaan hara yang maksimum sehingga tanaman tidak memerlukan tambahan pupuk N. Usaha penambahan pupuk hijau untuk tanaman padi juga dilakukan oleh petani di lokasi percobaan yakni dengan cara membenamkan brangkasan jagung ke dalam tanah. Petani menanam jagung pada awal musim penghujan (musim labuh) dan ketika curah hujan tinggi, brangkasan jagung yang dihasilkan dibajak pada saat pengolahan tanah. Oleh karena masih mengaplikasikan sistem pertanian konvensional, maka petani menambahkan pupuk kimia sintetis seperti urea dan NPK sehingga dampak negatif imobilisasi tidak terlalu mengganggu pertumbuhan tanaman. Perlakuan pembanding yakni penambahan 3 ton brangkasan jagung ha-1 + 7.5 ton pupuk kandang sapi ha-1 dengan jarak tanam jajar legowo 40 cm x 25 cm x 15 cm menghasilkan pertumbuhan dan produktivitas tanaman padi lebih baik, walaupun menggunakan brangkasan jagung sebagai pupuk hijau dan memberikan sumbangan hara lebih rendah daripada penambahan 3 ton brangkasan jagung ha -1 + 10 ton pupuk kandang sapi ha -1 atau hanya penambahan 10 ton pupuk kandang sapi ha-1 saja. Perlakuan pembanding ini menghasilkan tinggi tanaman, bobot kering tajuk, panjang akar, serapan total hara tanaman, panjang malai, jumlah gabah per malai, bobot 1000 butir gabah, bobot jerami per tanaman, dan bobot gabah per tanaman lebih tinggi daripada akibat penambahan pupuk kandang lainnya yang menggunakan jarak tanam tegel 20 cm x 20 cm. Selain itu, produktivitas riil dan dugaan produktivitas GKG per hektar yang dihasilkan akibat penambahan 3 ton brangkasan jagung ha-1 + 7.5 ton pupuk kandang sapi ha-1 dengan jarak tanam jajar legowo 40 cm x 25 cm x 15 cm juga lebih tinggi, meskipun memiliki populasi yang lebih rendah (215 278 tanaman ha-1) jika dibandingkan dengan populasi tanaman dengan jarak tanam tegel 20 cm x 20 cm
21
(250 000 tanaman ha-1). Hal ini diduga bahwa penggunaan jarak tanam jajar legowo 40 cm x 25 cm x 15 cm (jarak antar barisan tanaman lebih lebar) mampu mereduksi imobilisasi hara akibat penambahan brangkasan jagung dengan cara meneruskan lebih banyak cahaya matahari ke dalam pertanaman hingga mengenai tanah sehingga tanah menjadi lebih hangat dan mempercepat proses dekomposisi. Menurut Saragih (2009) jarak tanam jajar legowo memiliki ruang terbuka yang lebar antar dua kelompok baris tanaman sehingga tanaman yang berada di bagian dalam petak mendapatkan cahaya matahari dengan intensitas yang sama seperti pada tanaman pinggir (border effect). Hal ini mengakibatkan semakin banyak bagian tanaman padi terutama daun bagian bawah untuk melakukan fotosintesis yang akhirnya meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Selain itu, jarak antar barisan tanaman yang lebar pada jarak tanam jajar legowo memudahkan tindakan pemeliharaan tanaman terutama pengendalian OPT. Pengendalian OPT yang lebih mudah ini mengakibatkan tanaman dengan perlakuan penambahan 3 ton brangkasan jagung ha-1 + 7.5 ton pupuk kandang sapi ha-1 dengan jarak tanam jajar legowo mendapatkan serangan OPT lebih rendah. Selain itu, lebih rendahnya serangan OPT pada perlakuan ini juga diakibatkan oleh lebih tingginya kandungan dan serapan total hara K tanaman. Tanaman padi lebih tahan terhadap serangan OPT jika memiliki kandungan hara K berada pada batasan optimum (Daeng 2012) yakni dengan cara membentuk lapisan kutikula dan memiliki aktivitas enzim yang tinggi (Munawar 2011). Produktivitas padi organik hasil percobaan di Blora lebih tinggi jika dibandingkan dengan produktivitas padi organik hasil penelitian Nurrahma (2012) di Bogor. Aplikasi 15 ton pupuk kandang ayam ha -1 + 5 ton T. diversifolia ha-1 dengan tambahan dekomposer pada jarak tanam tegel 30 cm x 30 cm pada penelitian tersebut menghasilkan produktivitas GKG sebesar 2.46 ton ha-1 dan potensi produktivitas GKG sebesar 3.49 ton ha -1. Meskipun bobot kering gabah per tanaman maksimum yang dihasilkan pada percobaan di Blora lebih rendah (21.82 g per tanaman) dibandingkan dengan hasil penelitian di Bogor (26.54 g per tanaman), namun produktivitas padi hasil percobaan di Blora lebih besar karena memiliki populasi tanaman per hektar lebih besar (215 278-250 000 tanaman ha-1) jika dibandingkan dengan populasi tanaman penelitian di Bogor (111 111 tanaman ha-1). Jika jarak tanam yang digunakan dalam penelitian di Bogor sama dengan jarak tanam pada percobaan di Blora, terdapat kemungkinan bahwa produktivitas padi organik hasil penelitian di Bogor lebih besar. Hal ini dapat terjadi karena curah hujan dan kandungan C-organik tanah lahan percobaan di Bogor lebih besar yakni sebesar 136-548.9 mm per bulan dan 1.76%, sedangkan di lokasi percobaan di Blora lebih rendah yakni sebesar 148-394 mm per bulan dan 1.52%. Penggunaan pupuk kimia sintetis menyebabkan pertumbuhan dan komponen produksi tanaman padi konvensional lebih tinggi dibandingkan padi organik, meskipun padi konvensional memiliki panjang dan volume akar lebih rendah. Hal ini mungkin disebabkan oleh tingginya ketersediaan hara pupuk kimia sintetis sehingga tanaman tidak memerlukan perakaran yang intensif untuk menyerap hara dari tanah (Melati et al. 2008). Hara pupuk kimia sintetis lebih mudah tersedia dan diserap oleh tanaman daripada hara pupuk organik yang memerlukan proses dekomposisi cukup lama. Penggunaan pupuk urea dan NPK pada tanaman padi konvensional memacu pertumbuhan vegetatif tanaman lebih besar sehingga menghasilkan bobot jerami per tanaman (source) dua kali lebih besar dibandingkan bobot jerami per tanaman padi organik. Tingginya source ini
22
menyebabkan jumlah gabah per malai, bobot 1000 butir gabah, dan jumlah anakan produktif padi konvensional lebih tinggi sehingga menghasilkan produktivitas riil dan dugaan produktivitas GKG per hektar lebih tinggi daripada padi organik. Berdasarkan kriteria kecukupan hara tanaman padi oleh Dobermann dan Fairhurst (2000) tanaman padi organik mengalami defisiensi hara N, namun mengandung cukup P dan K, sedangkan padi konvensional memiliki kandungan NPK yang cukup. Tanaman padi konvensional memiliki kandungan hara K lebih rendah (2.37%), namun menghasilkan serapan total hara NPK tanaman yang lebih besar dibandingkan tanaman padi organik. Kandungan hara N padi konvensional yang lebih tinggi berkontribusi terhadap biomassa tanaman (akibat serapan total hara lebih besar) yang akhirnya menyebabkan bobot kering gabah per tanaman padi konvensional lebih besar (23.86 g) dibandingkan bobot kering gabah per tanaman padi organik (16.12-21.82 g). Produktivitas riil dan dugaan produktivitas GKG padi organik per hektar yang dihasilkan dalam percobaan lebih rendah daripada produktivitas GKG padi nasional (4.98 ton ha -1) (BPS 2011) dan produktivitas GKG padi di Kabupaten Blora (4.8 ton ha-1) (BPS Jateng 2011a) akibat rendahnya jumlah anakan produktif. Rendahnya jumlah anakan produktif disebabkan oleh tingginya serangan OPT selama pertumbuhan. Serangan penggerek batang menyebabkan sundep pada fase vegetatif dan beluk pada fase generatif sehingga anakan padi tidak menghasilkan gabah. Selain itu, serangan penyakit hawar daun selama fase vegetatif juga diyakini mempengaruhi jumlah anakan padi yang dihasilkan. Persentase gabah hampa tanaman padi organik lebih rendah jika dibandingkan dengan padi konvensional. Penggunaan pestisida organik Beuvaria sp. dan ekstrak daun sambiloto cukup efektif menekan serangan walang sangit pada tanaman padi organik, sedangkan pada tanaman padi konvensional tidak dilakukan penyemprotan pestisida selama fase pengisian dan pemasakan gabah. Selain itu, lebih tingginya persentase gabah hampa pada tanaman padi konvensional juga diduga akibat lebih rendahnya kandungan hara K padi konvensional daripada padi organik. Menurut Munawar (2011) hara K pada tanaman juga berperan dalam proses pemasakan buah (gabah). Kandungan hara K daun padi konvensional lebih rendah diduga akibat tidak ditambahkannya pupuk KCl, sedangkan tanaman padi organik mendapatkan tambahan hara K lebih tinggi melalui penambahan 2 ton abu sekam ha-1. Beberapa penelitian menunjukkan peran abu sekam untuk pertanaman misalnya penambahan 2 ton abu sekam ha -1 memberikan pengaruh yang sama dengan penambahan 150 KCl ha -1 (Sudaryono 2002), abu sekam menghasilkan silika dan meningkatkan ketersediaan P di dalam tanah (Yulfianti 2011), dan senyawa alkalis kuat KOH dan NaOH dalam rendaman abu sekam dapat mematikan jamur dan bakteri (Samosir 2011). SIMPULAN Penambahan pupuk kandang sapi menghasilkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik daripada tanpa pupuk, namun belum dapat meningkatkan produktivitas padi secara nyata akibat masih terjadinya imobilisasi hara melalui penambahan brangkasan jagung. Terdapat kecenderungan bahwa penambahan 10 ton pupuk kandang sapi ha-1 dengan jarak tanam tegel 20 cm x 20 cm atau penambahan 3 ton brangkasan jagung ha-1 + 7.5 ton pupuk kandang ha-1 dengan jarak tanam legowo 40 cm x 25 cm x 15 cm menghasilkan dugaan produktivitas GKG per hektar lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya pada MT I.
23
3 PRODUKSI KEDELAI ORGANIK MELALUI APLIKASI BEBERAPA DOSIS PUPUK KANDANG SAPI PADA MUSIM TANAM II Organic Soybean Production with Different Rates of Cow Manure Application in the Second Cropping Season ABSTRACT The study aimed to investigate the effect of application rates of cow manure on organic soybean growth and yield. The study was conducted from May to August 2012 in Blora, Central Java, Indonesia. The experiment was arranged in Randomized Complete Block Design with single factor i.e. cow manure rates consisted of four treatments and four replications. Two organic fertilizers as control treatments were used in the experiment and were compared to the best cow manure treatment with t test. The cow manure treatments were 0, 7.5, 10, and 15 tons cow manure ha-1 with spacing 40 cm x 20 cm and two seeds per hole. The two control treatments were (1) sheep manure (7.5 tons ha-1) with spacing 40 cm x 20 cm and two seeds per hole and (2) cow manure (7.5 tons ha-1) with spacing 40 cm x 25 cm x 15 cm and one seed per hole. All plots were added with 2 tons ha-1 of rice-hull ash. Due to high pest infestation (>50%) especially during seed filling process, the yield was predicted from pod numbers per plant, seed numbers per pod, and 100 seeds weight. The experiment showed that the application of cow manure (7.5 tons ha-1) or sheep manure (7.5 tons ha-1) were more efficient in producing organic soybean than other treatments. Keywords: dry season, grumosol, organic farming, rice-hull ash, sheep manure ABSTRAK Percobaan ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh dosis pupuk kandang sapi terhadap pertumbuhan dan produktivitas kedelai organik. Percobaan dilaksanakan pada bulan Mei hingga Agustus 2012 di Blora, Jawa Tengah, Indonesia. Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan faktor tunggal yaitu dosis pupuk kandang sapi dengan empat perlakuan dan empat ulangan digunakan dalam percobaan ini. Dua perlakuan pupuk organik sebagai pembanding dibandingkan dengan perlakuan pupuk kandang sapi terbaik dengan menggunakan uji t. Perlakuan pupuk kandang sapi yang digunakan yaitu 0, 7.5, 10, 15 ton pupuk kandang sapi ha-1 dengan jarak tanam 40 cm x 20 cm dan dua benih per lubang tanam. Dua perlakuan pembanding yaitu (1) pupuk kandang kambing (7.5 ton ha-1) dengan jarak tanam 40 cm x 20 cm dan dua benih per lubang tanam dan (2) pupuk kandang sapi (7.5 ton ha -1) dengan jarak tanam 40 cm x 25 cm x 15 cm dan satu benih per lubang tanam. Semua petak percobaan mendapatkan tambahan 2 ton abu sekam ha-1. Akibat tingginya serangan hama (>50%) terutama selama proses pengisian biji, penghitungan dugaan produktivitas kedelai didasarkan pada jumlah polong per tanaman, jumlah biji per polong, dan bobot 100 butir biji. Hasil percobaan menunjukkan bahwa penambahan pupuk kandang sapi (7.5 ton ha -1) atau pupuk kandang kambing (7.5 ton ha -1) lebih efisien digunakan dalam produksi kedelai organik daripada perlakuan lainnya. Kata kunci: abu sekam, grumosol, musim kemarau, pertanian organik, pupuk kandang kambing
24
PENDAHULUAN Kedelai merupakan salah satu tanaman pangan utama masyarakat Indonesia. Saat ini peluang pengembangan kedelai organik semakin terbuka seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat tentang produk pangan sehat. Melati et al. (2008) menyatakan bahwa pada umumnya konsumen terutama kelas menengah ke atas tidak keberatan dengan harga jual produk organik yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga produk pangan konvensional. Penggunaan pupuk organik pada kedelai memiliki kelebihan yaitu jika dikombinasikan dengan pemupukan kimia sintetis mampu meningkatkan panjang dan kerapatan akar, lama luas daun, biomassa untuk menghasilkan polong, serapan N, produksi biji, efisiensi penggunaan air dan nitrogen, dan memperbaiki sifat fisik tanah (Bandyopadhyay et al. 2010). Grossman et al. (2011) menuliskan bahwa ketersediaan dan keragaman Rhizobium dalam bintil akar kedelai pada lahan pertanian organik lebih tinggi dibandingkan pada lahan konvensional. Keragaman ini dipengaruhi oleh input pemupukan dan pengendalian hama yang dilakukan, tingkat keragaman tanah, dan meningkatnya rekombinasi genomik Rhizobium yang dipengaruhi oleh sejarah jenis legum yang pernah ditanam. Penelitian lain oleh Melati dan Andriyani (2005), Melati et al. (2008), Kurniansyah (2010), dan Handayani (2012) menunjukkan bahwa penggunaan jenis pupuk organik yang berbeda pada berbagai tingkatan dosis dan residunya mampu meningkatkan produktivitas kedelai, baik kedelai panen muda maupun panen biji kering. Saat ini banyak petani di Blora, Jawa Tengah menanam jagung setelah padi setiap tahunnya karena dianggap lebih menguntungkan. Hal ini menyebabkan produksi tanaman palawija lainnya seperti kedelai lebih rendah. Berdasarkan data Pemerintah Kabupaten Blora (2011) produksi kedelai di Kabupaten Blora pada tahun 2007 lebih rendah (5 805 ton) jika dibandingkan dengan produksi padi dan jagung yakni sebesar 301 972 dan 284 730 ton. Meskipun menanam jagung lebih menguntungkan bagi petani, tindakan rotasi tanaman perlu dilakukan untuk memutus rantai kehidupan organisme pengganggu tanaman (OPT) dan untuk meningkatkan kesuburan tanah. Magdoff dan Weil (2004) menyatakan bahwa jika dibandingkan dengan monokultur, rotasi tanaman dapat meningkatkan produksi tanaman hingga 10%. Penanaman tanaman legum seperti kedelai dapat dilakukan sebagai alternatif dalam rotasi tanaman karena mampu meningkatkan kesuburan tanah melalui proses yang terjadi dalam bintil akar yang mengandung Rhizobium sehingga tanaman dapat memanfaatkan nitrogen dari udara secara langsung. Jenis pupuk kandang yang digunakan merupakan jenis yang banyak tersedia di lokasi percobaan terutama pupuk kandang sapi. Oleh karena itu, percobaan ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh dosis pupuk kandang sapi terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman kedelai organik pada musim tanam (MT) II yang ditanam setelah padi organik pada MT I. METODE Waktu dan Tempat Percobaan dilaksanakan pada bulan Mei hingga Agustus 2012. Lokasi percobaan yaitu di Desa Nglebur, Kecamatan Jiken, Kabupaten Blora, Jawa Tengah pada ketinggian ± 31 m dpl. Analisis tanah, pupuk kandang, dan abu sekam dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Institut
25
Pertanian Bogor. Analisis kandungan hara NPK daun kedelai dilakukan di Balai Penelitian Tanah, Bogor. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam percobaan antara lain benih kedelai varietas Anjasmoro, pupuk kandang sapi, pupuk kandang kambing, abu sekam, pestisida organik (Beauveria sp., ekstrak bawang putih, daun Glyricidia, daun sambiloto), sereh wangi (tanaman penolak OPT), dan bahan-bahan kimia untuk analisis. Alat yang digunakan antara lain peralatan analisis laboratorium, alat budidaya, neraca analitik, dan oven. Metode Pelaksanaan Rancangan acak kelompok (RAK) dengan faktor tunggal yaitu dosis pupuk kandang sapi dengan empat perlakuan dan empat ulangan digunakan dalam percobaan ini. Dua perlakuan pupuk organik dengan empat ulangan sebagai pembanding dibandingkan dengan perlakuan pupuk kandang sapi terbaik dengan menggunakan uji t. Petak percobaan berjumlah 24 unit dengan ukuran masingmasing 4 m x 8 m. Petak percobaan yang digunakan dalam percobaan ini disesuaikan dengan perlakuan pupuk organik pada percobaan padi organik pada MT I (Januari hingga April 2012). Tanaman contoh diambil sebanyak 10 tanaman untuk setiap unit percobaan. Perlakuan pupuk organik ditunjukkan pada Tabel 9. Tabel 9. Perlakuan pupuk organik pada percobaan kedelai organik (MT II) No. 1 2 3 4 5* 6*
Perlakuan
Kode
tanpa pupuk kandang (kontrol) pupuk kandang sapi (7.5 ton ha-1) pupuk kandang sapi (10 ton ha-1) pupuk kandang sapi (15 ton ha-1) pupuk kandang sapi (7.5 ton ha-1) bekas padi dengan jarak tanam jajar legowo pupuk kandang kambing (7.5 ton ha-1)
P0 PS 7.5 PS 10 PS 15 PS 7.5+L PK 7.5
Keterangan: - *: perlakuan pembanding organik - semua perlakuan mendapatkan tambahan 2 ton abu sekam ha -1 - dosis pupuk organik berdasarkan dosis pada MT I, kecuali pada perlakuan 4 dosis ditambah 5 ton ha-1 - penentuan dosis pupuk organik disesuaikan dengan dosis rekomendasi pemupukan kedelai yaitu 50 kg urea ha-1 (23 kg N ha-1), 150 kg SP-36 ha-1 (54 kg P2O5 ha-1), dan 100 kg KCl ha-1 (60 kg K2O ha-1) - perlakuan 5 menggunakan jarak tanam 40 cm x 25 cm x 15 cm dengan satu benih per lubang tanam, sedangkan perlakuan lainnya menggunakan jarak tanam 40 cm x 20 cm dengan dua benih per lubang tanam
Percobaan kedelai organik menggunakan setengah bagian lahan bekas percobaan padi organik pada MT I, sedangkan sisanya digunakan untuk percobaan jagung organik (Denah percobaan MT II ditunjukkan pada Lampiran 2). Sistem pengolahan tanah yang diaplikasikan adalah sistem tanpa olah tanah (TOT) sehingga sisa rumpun padi digunakan sebagai penanda lubang tanam. Pemberian pupuk organik dilakukan bersamaan dengan persiapan lahan. Pupuk kandang dan
26
abu sekam ditaburkan di atas tanah sesuai dengan perlakuan dan ditutup dengan jerami padi organik pada MT sebelumnya. Pupuk yang telah ditaburkan didiamkan selama dua minggu agar terdekomposisi di dalam tanah. Penggunaan sistem TOT dan jerami padi dimaksudkan untuk mempertahankan kelembaban tanah dan ketersediaan air tanah terutama pada saat musim kemarau. Sebelum penanaman, benih kedelai diberi perlakuan pupuk hayati yang mengandung Rhizobium dengan dosis 8 g kg-1 benih. Kedelai ditanam dengan jarak tanam 40 cm x 20 cm dengan 2 benih per lubang tanam pada perlakuan 5 (populasi 250 000 tanaman ha -1), sedangkan perlakuan lainnya menggunakan jarak tanam bekas padi jajar legowo 40 cm x 25 cm x 15 cm dengan 1 benih per lubang tanam (populasi 215 278 tanaman ha -1). Pengendalian OPT dilakukan melalui aplikasi pestisida nabati dan penanaman tanaman penolak serangan OPT (repellent) sereh wangi di setiap sudut petak percobaan seperti pada percobaan Kusheryani dan Aziz (2006). Kedelai dipanen jika sebagian besar daun dari 75% populasi tanaman telah menguning dan gugur, polong dan batang berubah warna menjadi kuning kecokelatan, dan pengisian polong sudah maksimal. Peubah pertumbuhan vegetatif yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah daun trifoliate, serangan OPT, luas daun (2, 4, dan 7 MST), bobot kering tanaman, bobot kering bintil aktif, kandungan hara NPK daun, serapan total hara NPK tanaman (7 MST), dan bobot brangkasan panen per tanaman (14 MST). Serapan total hara dihitung dengan cara mengalikan kandungan hara dengan bobot kering total tanaman. Peubah komponen produksi yang diamati meliputi jumlah buku produktif dan jumlah polong per tanaman, bobot 100 biji kedelai, jumlah tanaman yang dipanen per 12.4 m2, produktivitas biji kedelai per 12.4 m2, produktivitas riil dan dugaan produktivitas kedelai per hektar (14 MST). Intensitas serangan hama kepik penghisap polong (Riptortus linearis) dan penggerek polong (Etiella sp.) selama pengisian biji sangat tinggi (> 50%) sehingga dugaan produktivitas kedelai per hektar dihitung berdasarkan jumlah polong per tanaman, jumlah biji per polong, dan bobot 100 biji dengan koreksi bahwa asumsi populasi maksimum sebesar 60%. Analisis yang dilakukan meliputi analisis pupuk organik sebelum percobaan, analisis kandungan hara dan mikrob tanah saat sebelum dan setelah percobaan, dan analisis kandungan hara NPK daun tanaman kedelai saat 7 MST. Analisis Data Data percobaan pupuk kandang sapi (perlakuan 1-4) dianalisis dengan menggunakan analisis ragam (uji F). Hasil uji F yang berbeda nyata diuji lanjut dengan menggunakan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%. Perlakuan pupuk kandang sapi terbaik kemudian dibandingkan dengan perlakuan pembanding dengan menggunakan uji t pada taraf 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Berdasarkan klasifikasi iklim Oldeman, percobaan kedelai organik dilaksanakan pada bulan kering dengan curah hujan <100 mm per bulan (Gambar 12). Rata-rata curah hujan yang turun sebesar 7.36 mm per minggu dengan jumlah minggu tanpa hujan sebanyak 11 minggu. Curah hujan yang rendah menyebabkan pengisian polong kedelai menjadi tidak maksimum. Irigasi menggunakan pompa air dilakukan untuk memenuhi kebutuhan air tanaman.
27
Curah hujan (mm per minggu)
80
70
60 40 21
20
12
0 1
2
3
Mei
4
5
6
7
Juni
8
9
10 11 12 13 14
Juli
MST
Agustus 2012
Gambar 12. Curah hujan selama percobaan kedelai organik (MT II) Hasil analisis menunjukkan bahwa pupuk kandang sapi yang digunakan pada MT II memiliki rasio C/N 15.07 dan memiliki nilai kandungan hara C, N, P, dan Fe berturut-turut sebesar 24.57, 1.63, 0.26%, dan 1 115.05 ppm atau lebih tinggi daripada pupuk kandang kambing. Sementara itu, pupuk kandang kambing memiliki rasio C/N 20.97 dan mengandung hara K, Ca, Mg, Cu, Zn, dan Mn sebesar 3.28, 5.16, 0.67%, 15.95, 114.05, dan 391.50 ppm atau lebih tinggi dibandingkan pupuk kandang sapi. Sumbangan hara yang diberikan oleh masingmasing perlakuan ditunjukkan pada Tabel 10. Tabel 10. Sumbangan hara pupuk organik pada percobaan kedelai organik (MT II) No. 1 2 3 4 5*
Perlakuan
Sumbangan hara (kg ha-1) N P K 3.20 7.20 8.20 125.45 26.70 218.20 166.20 33.20 288.20 247.70 46.20 428.20
tanpa pupuk kandang (kontrol) pupuk kandang sapi (7.5 ton ha-1) pupuk kandang sapi (10 ton ha -1) pupuk kandang sapi (15 ton ha -1) pupuk kandang sapi (7.5 ton ha-1) bekas padi 125.45 26.70 218.20 dengan jarak tanam jajar legowo 6* pupuk kandang kambing (7.5 ton ha -1) 72.95 19.95 254.20 Keterangan: *: perlakuan pembanding; sumbangan hara termasuk akibat penambahan 2 ton abu sekam ha-1
Hasil analisis tanah setelah percobaan kedelai organik pada MT II (tanah dalam keadaan oksidatif) menunjukkan bahwa secara umum penambahan pupuk organik meningkatkan kandungan P-tersedia dan Ca pada semua perlakuan, serta meningkatkan nilai pH, C-organik, N-total, K, dan Mg pada sebagian perlakuan dibandingkan sebelum percobaan MT II (Tabel 11). Nilai pH tanah setelah percobaan MT II lebih besar daripada sebelum percobaan MT II, kecuali pada penambahan 7.5 ton pupuk kandang sapi ha-1 dengan jarak tanam jajar legowo yang tetap yakni 6.80. Penambahan pupuk organik meningkatkan kandungan Ptersedia hingga 68.5% dibandingkan tanpa pupuk pada analisis tanah setelah percobaan MT II. Nilai KTK tanah setelah percobaan MT II lebih rendah daripada sebelum percobaan MT II. Penambahan pupuk organik pada MT II meningkatkan total populasi mikrob tanah sebesar 95.6-490.5%, namun menurunkan populasi
28
bakteri pelarut fosfat dan Azotobacter pada semua perlakuan dibandingkan sebelum percobaan MT II (Tabel 12). Hal ini diduga bahwa jenis mikrob yang terdata dalam total populasi didominasi oleh jenis mikrob yang tidak dianalisis. Tabel 11. Kandungan hara tanah pada percobaan kedelai organik (MT II) Parameter analisis Perlakuan pH C-org N-total P2O5 Bray I K Ca Mg KTK -1 ------(%)-----(ppm) ----------(me100 g )--------Sebelum percobaan kedelai organik (MT II) atau setelah percobaan padi organik (MT I) BJ 3 + P0 6.2 0.96 0.09 9.00 0.17 27.14 3.05 36.51 BJ 3 + PS 7.5 6.1 1.12 0.10 10.20 0.50 33.68 4.08 42.04 BJ 3 + PS 10 6.5 0.40 0.05 11.50 0.41 34.65 3.81 39.72 PS 10 6.1 1.36 0.12 12.30 0.19 22.84 2.44 27.66 BJ 3 + PS 7.5 + L* 6.8 1.36 0.13 17.20 0.48 35.29 3.96 41.96 BJ 3 + PK 7.5* 6.2 0.96 0.09 11.00 0.48 33.46 4.15 43.5 Setelah percobaan kedelai organik (MT II) P0 6.4 1.11 0.11 21.30 0.32 35.21 3.96 33.43 PS 7.5 6.3 0.88 0.09 22.20 0.63 38.46 4.59 30.65 PS 10 6.3 1.11 0.09 31.60 0.87 36.20 4.37 33.83 PS 15 6.5 1.83 0.19 35.90 0.48 40.22 4.54 31.84 PS 7.5 + L* 6.8 1.35 0.14 34.20 0.36 36.51 3.92 29.45 PK 7.5* 6.4 0.80 0.08 28.20 0.46 39.70 4.73 35.42 Keterangan: *: perlakuan pembanding; P0: tanpa pupuk, PS: pupuk kandang sapi, PK: pupuk kandang kambing, L:jarak tanam jajar legowo; angka dibelakang huruf perlakuan menunjukkan dosis pupuk (ton ha-1)
Tabel 12. Populasi mikrob tanah pada percobaan kedelai organik (MT II) Parameter analisis Perlakuan Total mikrob Bakteri pelarut fosfat Rhizobium Azotobacter --------------------------(SPK g-1 x 104)-------------------------Sebelum percobaan kedelai organik (MT II) atau setelah percobaan padi organik (MT I) BJ 3 + P0 3435 1.50 1.85 3.75 BJ 3 + PS 7.5 1455 2.40 4.00 3.20 BJ 3 + PS 10 2020 2.45 5.60 4.60 PS 10 950 2.50 8.15 5.80 BJ 3 + PS 7.5 + L* 1885 1.35 9.40 4.65 BJ 3 + PK 7.5* 3060 1.75 5.10 6.95 Setelah percobaan kedelai organik (MT II) P0 6720 0.20 2.20 0 PS 7.5 6150 0.30 4.50 0 PS 10 4580 1.60 8.60 0 PS 15 5610 0.60 0.30 0 PS 7.5 + L* 5120 0.10 0.70 0 PK 7.5* 8280 0.20 3.30 0 Keterangan: *: perlakuan pembanding; P0: tanpa pupuk, PS: pupuk kandang sapi, PK: pupuk kandang kambing, L:jarak tanam jajar legowo; angka dibelakang huruf perlakuan menunjukkan dosis pupuk (ton ha-1); SPK: satuan pembentuk koloni
29
Hama yang dominan menyerang tanaman kedelai percobaan antara lain aphids, belalang, kepik polong (Riptortus linearis), dan penggerek polong (Etiella sp.). Penyakit yang dominan menyerang adalah pustul bakteri (oleh Xanthomonas axonopodis). Serangan kepik polong dan penggerek polong pada fase pengisian polong kedelai sangat merugikan karena menurunkan produktivitas biji kedelai. Kepik polong menghisap cairan biji sehingga polong menjadi hampa dan kemudian mengering. Penggerek polong memakan biji kedelai di dalam polong sehingga biji menjadi rusak atau habis. Hasil Pertumbuhan Vegetatif Berdasarkan hasil analisis, penambahan pupuk kandang sapi 15 ton ha -1 secara umum menyebabkan pertumbuhan vegetatif dan komponen produksi kedelai lebih baik daripada perlakuan lainnya, meskipun tidak semuanya nyata secara statistik. Selanjutnya nilai peubah akibat penambahan pupuk kandang sapi 15 ton ha-1 ini dibandingkan dengan nilai peubah perlakuan pembanding dengan menggunakan uji t. Penambahan pupuk kandang sapi meningkatkan tinggi tanaman pada 4 MST (P<0.05), 7 MST (P<0.01), dan 14 MST atau saat panen (P<0.01) masing-masing 20.8, 25.3, dan 25.2% lebih besar daripada tanpa pupuk (Tabel 13). Penambahan 15 ton pupuk kandang sapi ha-1 menghasilkan tanaman tertinggi saat 7 MST dan saat panen yakni 67.38 dan 69.32 cm, serta menghasilkan jumlah cabang lebih banyak dibandingkan perlakuan lainnya saat 4 MST. Perlakuan ini juga meningkatkan jumlah daun trifoliate sebesar 17.6% saat 4 MST (P>0.05) dan sebesar 17.0% saat 7 MST (P<0.05), serta menghasilkan luas daun saat 2 MST 81.4% lebih besar (P<0.05) daripada tanpa pemupukan. Penambahan pupuk kandang sapi juga meningkatkan secara nyata (P<0.05) luas daun tanaman kedelai saat 4 MST hingga 55.5% dibandingkan tanpa pupuk, namun tidak nyata saat 7 MST. Penambahan pupuk kandang sapi mampu meningkatkan bobot kering batang (P<0.05), bobot kering daun, bobot kering bakal polong, dan jumlah bintil akar (P>0.05). Jumlah bintil akar yang tidak berbeda nyata ini menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman diduga lebih banyak dipengaruhi oleh aplikasi pupuk kandang sapi, bukan hasil simbiosis antara akar tanaman dan bakteri Rhizobium. Tabel 13 menunjukkan bahwa perlakuan pembanding yakni penambahan 7.5 ton pupuk kandang sapi ha-1 dengan jarak tanam legowo 40 cm x 25 cm x 15 cm menghasilkan tanaman yang lebih tinggi dan daun yang lebih luas saat 4 MST (P<0.05) daripada akibat penambahan 15 ton pupuk kandang sapi ha -1. Sementara itu, perlakuan pembanding yaitu penambahan 7.5 ton pupuk kandang kambing ha-1 menghasilkan bobot kering batang dan bobot kering daun lebih tinggi saat 7 MST (P<0.05) jika dibandingkan dengan penambahan 15 ton pupuk kandang sapi ha-1. Perlakuan pembanding pupuk kandang kambing menghasilkan bobot kering akar (P>0.05), bobot kering tajuk dan bobot kering total tanaman (P<0.05) lebih besar daripada akibat penambahan 15 ton pupuk kandang sapi ha -1 (Gambar 13). Penambahan 15 ton pupuk kandang sapi ha -1 meningkatkan bobot basah dan bobot kering brangkasan panen per tanaman sebesar 50.8 dan 57.9% (P<0.01) daripada tanpa pupuk (Gambar 14). Nilai akibat perlakuan ini tidak berbeda nyata dengan nilai akibat penambahan pupuk kandang pada perlakuan pembanding. Tanpa pupuk menyebabkan bobot brangkasan panen per tanaman lebih rendah.
30
Tabel 13. Pertumbuhan vegetatif tanaman kedelai organik Peubah Tinggi tanaman (cm)
Jumlah cabang Jumlah daun trifoliate
Luas daun (cm2)
Jumlah bintil akar Bobot kering batang (g) Bobot kering daun (g) Bobot kering bakal polong (g) Bobot kering bintil (g)
MST
Pupuk kandang sapi P0
PS 7.5
PS 10
Pembanding PS 15
PS 7.5 + L
PK 7.5
2 4 7 14 4 7 2 4 7
15.43 24.46b 53.78c 55.37b 0.1 0.8 1.9 5.1 14.1b
16.39 27.68a 62.18b 65.03a 0.3 1.6 1.9 5.6 15.4ab
16.61 29.56a 63.84ab 65.58a 0.2 1.7 2.0 5.6 15.6ab
16.49 29.20a(x) 67.38a 69.32a 0.4 1.7 2.0 6.0 16.5a
17.38 30.94 66.68 69.06 0.4 1.9 2.0 6.1 16.9
15.84 28.63 64.88 66.18 0.5 1.4 2.0 6.1 15.5
2 4 7 7 7 7 7 7
32.25b 166.43c 1302.70 56.5 5.15b 7.70 1.04 0.26
44.25ab 196.36bc 1503.50 56.9 6.84a 9.39 1.24 0.30
50.75a 258.79a 1783.30 65.6 7.73a 10.63 1.46 0.30
58.5a 219.89ab(x) 1692.70 57.1 7.26a(y) 9.86(y) 1.69 0.24
43.88 286.40 1733.40 50.9 7.12 10.15 2.09 0.26
35.63 275.09 1919.70 57.5 8.88 12.72 1.91 0.32
Keterangan: 1) Angka yang diikuti huruf berbeda pada baris yang sama pada perlakuan menunjukkan perbedaan nyata pada uji DMRT taraf 5% 2) (x): perlakuan berbeda nyata dengan pembanding PS 7.5 + L, (y): perlakuan berbeda nyata dengan pembanding PK 7.5 pada uji t taraf 5% 3) P0: tanpa pupuk, PS: pupuk kandang sapi, PK: pupuk kandang kambing, L:jarak tanam jajar legowo; angka dibelakang huruf perlakuan -1 menunjukkan dosis pupuk (ton ha )
31
30 Bobot kering (g)
Bobot kering (g)
3
2
1
25
(y)
(y)
PS 7.5
20
PS 10
15
PS 15
10
0
P0
PS 7.5 + L
5
PK 7.5
0 Akar
Tajuk
Total
Gambar 13. Bobot kering per tanaman kedelai saat 7 MST 100 a
Bobot (g)
80 60
b ab c
40 c
20
a bc ab
P0 PS 7.5 PS 10 PS 15 PS 7.5 + L PK 7.5
0 Basah
Kering
Gambar 14. Bobot brangkasan panen per tanaman kedelai Aplikasi pupuk kandang sapi meningkatkan kandungan hara K daun, serapan total hara N, dan serapan total hara K tanaman (P<0.05) dibandingkan tanpa penambahan pupuk, namun tidak berbeda nyata antar penambahan pupuk (Gambar 15 dan 16). Penambahan 15 ton pupuk kandang sapi ha -1 menghasilkan kandungan hara N dan K daun tertinggi yaitu 3.77 dan 2.21%, namun tidak menghasilkan serapan total hara tanaman terbesar. Hal ini dikarenakan tanaman akibat perlakuan ini memiliki bobot kering total tanaman yang lebih rendah jika dibandingkan dengan tanaman akibat penambahan 7.5 ton pupuk kandang kambing ha-1 (serapan total hara dihitung dengan cara mengalikan kandungan hara dengan bobot kering total tanaman). Gambar 15 dan 16 juga menunjukkan bahwa penambahan 15 ton pupuk kandang sapi ha -1 menghasilkan kandungan hara K yang lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan perlakuan pembanding 7.5 ton pupuk kandang sapi ha-1 dengan jarak tanam jajar legowo 40 cm x 25 cm x 15 cm dan menghasilkan serapan total hara N yang lebih rendah (P<0.05) daripada akibat perlakuan pembanding 7.5 ton pupuk kandang kambing ha-1. Sementara itu, tanpa pupuk menyebabkan serapan total hara NPK tanaman yang rendah. Perlakuan pembanding yakni penambahan 7.5 ton pupuk kandang kambing ha-1 menyebabkan serapan total hara NPK tanaman terbesar daripada akibat penambahan pupuk kandang sapi, meskipun pupuk kandang kambing memiliki kandungan hara K lebih rendah dibandingkan pupuk kandang sapi. Serapan total hara K tanaman yang lebih tinggi pada perlakuan pembanding ini diduga menyebabkan tanaman mendapatkan serangan OPT lebih rendah, baik pada fase vegetatif maupun generatif dibandingkan tanaman pada perlakuan lainnya (Gambar 17).
32
4 Kandungan hara (%)
Kandungan hara (%)
0.4 0.3 0.2 0.1 0
3 ab b ab
2
P0 PS 7.5 PS 10 PS 15 PS 7.5 + L PK 7.5
a (x)
1 0
P
N
K
Gambar 15. Kandungan hara daun kedelai saat 7 MST 1200 1000
Serapan total hara (mg per tanaman)
Serapan total hara (mg per tanaman)
100 80 60 40 20
800 600
a a
P0 PS 7.5 PS 10 PS 15 PS 7.5 + L PK 7.5
ab(y)
b a
400
aa
b
200 0
0
N
P
K
Persentase serangan OPT (%)
Gambar 16. Serapan total hara tanaman kedelai saat 7 MST 70 65
60 Vegetatif
55
Generatif 50 P0 PS 7.5 PS 10 PS 15 Pupuk kandang sapi
PS 7.5 PK 7.5 + L Pembanding
Gambar 17. Serangan OPT saat fase vegetatif dan generatif pada tanaman kedelai Komponen Produksi Penambahan 15 ton pupuk kandang sapi ha -1 meningkatkan jumlah polong per tanaman (P<0.01) dan jumlah polong bernas per tanaman (P<0.05) masingmasing 26.7 dan 27.2% lebih besar dibandingkan tanpa pupuk, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan penambahan pupuk kandang sapi lainnya (Tabel 14). Meskipun tidak menunjukkan perbedaan nyata, penambahan pupuk kandang sapi juga menyebabkan jumlah buku produktif dan bobot 100 biji lebih besar dibandingkan tanpa pupuk masing-masing hingga 19.3 dan 6.8%.
33
Tabel 14. Komponen produksi tanaman kedelai organik Peubah Jumlah buku produktif Jumlah polong per tanaman Jumlah polong bernas per tanaman Jumlah polong hampa per tanaman Bobot 100 biji (g) Jumlah tanaman per 12.4 m2 Produktivitas kedelai per 12.4 m2 (kg)
Pupuk kandang sapi P0 15.0 47.9b 41.6b 6.3 17.82 202.5 0.82
PS 7.5 17.2 56.1a 49.8a 6.3 19.03 195.3 0.76
PS 10 17.9 60.7a 52.8a 7.9 18.47 203.8 0.58
Pembanding PS 15 17.9 59.6a 52.9a 6.7(x) 19.02 201.5 0.67
PS 7.5 + L 17.6 69.3 60.9 8.4 18.52 212.3 0.88
PK 7.5 17.7 61.2 55.9 5.3 18.64 209.0 0.97
Keterangan: 1) Angka yang diikuti huruf berbeda pada baris yang sama pada perlakuan menunjukkan perbedaan nyata pada uji DMRT taraf 5% 2) (x): perlakuan berbeda nyata dengan pembanding PS 7.5 + L pada uji t taraf 5% 3) P0: tanpa pupuk, PS: pupuk kandang sapi, PK: pupuk kandang kambing, L:jarak tanam jajar legowo; angka dibelakang huruf perlakuan menunjukkan dosis pupuk (ton ha-1)
34
Peningkatan jumlah polong per tanaman meningkatkan secara nyata dugaan produktivitas kedelai kering per hektar hingga 33.9% daripada tanpa pupuk, namun tidak berbeda nyata antar penambahan pupuk kandang sapi (Gambar 18). Penambahan 15 ton pupuk kandang sapi ha-1 menghasilkan dugaan produktivitas kedelai per hektar tertinggi yakni 3.43 ton ha-1 atau sama dengan dugaan produktivitas per hektar perlakuan pembanding yakni penambahan 7.5 ton pupuk kandang kambing ha-1. Meskipun penambahan 7.5 ton pupuk kandang sapi ha-1 dengan jarak tanam jajar legowo 40 cm x 25 cm x 15 cm menghasilkan jumlah polong per tanaman lebih tinggi (69.3 polong), perlakuan pembanding ini menghasilkan dugaan produktivitas per hektar yang lebih rendah dibandingkan penambahan 15 ton pupuk kandang sapi ha-1 atau penambahan 7.5 ton pupuk kandang kambing ha-1 karena memiliki populasi tanaman yang lebih rendah (215 278 tanaman ha-1). Produktivitas riil kedelai organik yang dihasilkan cukup rendah (0.54-0.78 ton ha-1) akibat tingginya serangan OPT (>50%) terutama hama penggerek polong dan penghisap polong selama proses pengisian polong. a a a
Produksi (ton ha-1)
4
P0 PS 7.5
b
3
PS 10
2
PS 15
1
PS 7.5 + L PK 7.5
0 Produktivitas riil
Dugaan produktivitas
Gambar 18. Produktivitas riil dan dugaan produktivitas kedelai per hektar
a)
80 60 Y=
40
-0.064x2
+ 1.773x + 47.77 R² = 0.95 x=13.8
20
0 0
5
10
15
Dosis pupuk kandang sapi (ton ha-1)
Produksi biji per tanaman (g)
Jumlah polong per tanaman
Peningkatan dosis pupuk kandang sapi (X) meningkatkan jumlah polong per tanaman (Y) mengikuti fungsi kuadratik Y= -0.064x2 + 1.773x + 47.77 dengan R2= 0.95 dan dosis pupuk optimum sebesar 13.8 ton ha -1 (Gambar 19a) dan meningkatkan produksi biji kedelai per tanaman (Y) mengikuti fungsi kuadratik Y= -0.026x2 + 0.78x + 17.04 dengan R2= 0.99* dan dosis optimum sebesar 15 ton ha-1 (Gambar 19b). Peningkatan luas daun (X) meningkatkan jumlah polong kedelai per tanaman (Y) mengikuti fungsi kuadratik Y= -5.10-5 x2 + 0.173x – 97.24 dengan R2= 0.99* dan luas daun optimum sebesar 1 730 cm2 (Gambar 20).
b)
25 20 Y= -0.026x2 + 0.78x + 17.04 R² = 0.99 x=15
15 10 5 0 0
5
10
Dosis pupuk kandang sapi (ton
15 ha-1)
Gambar 19. a). Hubungan antara dosis pupuk kandang sapi dengan jumlah polong per tanaman b). hubungan antara dosis pupuk kandang sapi dengan produksi biji per tanaman
Jumlah polong per tanaman
35
80 60 40
Y= -5.10-5 x2 + 0.173x - 97.24 R² = 0.99 x= 1 730
20
0 1200
1400 1600 1800 2 Luas daun per tanaman (cm )
Gambar 20. Hubungan antara luas daun per tanaman dengan produksi biji per tanaman
a)
4 3 2
Y=
-0.003x2
+ 0.116x + 2.556 R² = 0.99 x=19.3
1 0
0 5 10 15 -1 Dosis pupuk kandang sapi (ton ha )
Dugaan produktivitas (ton ha-1)
Dugaan produktivitas (ton ha-1)
Peningkatan dosis pupuk kandang sapi (X) yang diberikan meningkatkan dugaan produktivitas kedelai kering per hektar (Y) berdasarkan ekstrapolasi data mengikuti persamaan fungsi kuadratik Y= -0.003x2 + 0.116x + 2.556 dengan R= 0.99* dan dosis optimum sebesar 19.3 ton ha -1 (Gambar 21a). Hal ini menunjukkan bahwa dosis pupuk kandang sapi maksimum yang diberikan dalam percobaan (15 ton ha-1) belum cukup untuk menghasilkan dugaan produktivitas per hektar maksimum. Peningkatan jumlah polong per tanaman (X) meningkatkan dugaan produktivitas kedelai kering per hektar (Y) berdasarkan ekstrapolasi data mengikuti persamaan fungsi kuadratik Y= -0.003x2 + 0.394x – 9.409 dengan R2=0.99* dan jumlah polong per tanaman optimum sebesar 65.7 polong (Gambar 21b). Jumlah polong per tanaman optimum ini lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah polong per tanaman maksimum yang dihasilkan akibat penambahan pupuk kandang sapi (60.7 polong). Oleh karena itu, jumlah polong per tanaman yang dihasilkan dalam percobaan belum cukup untuk menghasilkan dugaan produktivitas per hektar maksimum. 4 3 Y = -0.003x2 + 0.394x - 9.409 R² = 0.99 x= 65.7
2 1 0 45
b)
50
55
60
65
Jumlah polong per tanaman
Gambar 21. a). Hubungan antara dosis pupuk kandang sapi dengan dugaan produktivitas kedelai kering per hektar b). hubungan antara jumlah polong per tanaman dengan dugaan produktivitas kedelai kering per hektar Pembahasan Berdasarkan kriteria kecukupan hara tanaman kedelai oleh Vitosh et al. (1995) secara umum tanaman kedelai organik percobaan memiliki kandungan hara P cukup, namun mengalami defisiensi hara N dan K. Defisiensi hara diduga
36
terjadi akibat rendahnya curah hujan sehingga tanaman tidak mampu menyerap hara secara optimal. Tanaman yang tidak mengalami defisiensi hara K adalah tanaman akibat penambahan 15 ton pupuk kandang sapi ha -1 dengan kandungan hara K sebesar 2.21%. Perlakuan pembanding yakni penambahan 7.5 ton pupuk kandang kambing ha-1 menghasilkan kandungan hara K daun lebih rendah dibandingkan akibat penambahan pupuk kandang sapi, namun menghasilkan serapan total hara NPK tanaman tertinggi daripada penambahan pupuk lainnya. Tingginya serapan hara pada perlakuan ini menyebabkan peningkatan bobot kering akar, tajuk, dan bobot kering total tanaman pada 7 MST masing-masing 47.5, 69.2, dan 67.3% lebih besar dibandingkan tanpa pupuk. Besarnya bobot kering tanaman ini dipengaruhi oleh luas daun atau tajuk tanaman sebagai organ fotosintesis. Gardner et al. (1991) menyatakan bahwa bobot kering total tanaman merupakan hasil efisiensi penyerapan dan pemanfaatan radiasi matahari oleh tajuk tanaman selama pertumbuhan. Tanpa pupuk menyebabkan serapan total hara NPK tanaman lebih rendah akibat rendahnya bobot biomassa tanaman. Hasil percobaan menunjukkan bahwa sekitar 50% bobot kering tanaman kedelai pada 7 MST merupakan daun yang berperan dalam fotosintesis tanaman. Luas daun kedelai organik tertinggi dihasilkan oleh penambahan 10 ton pupuk kandang sapi ha-1 yaitu sebesar 1 783.3 cm2 atau 36.9% lebih tinggi dibandingkan tanpa pupuk. Peningkatan luas daun (X) meningkatkan jumlah polong per tanaman (Y) berdasarkan persamaan fungsi kuadratik Y= -5.10-5 x2 + 0.173x – 97.24 dengan R2= 0.99* dan luas daun optimum sebesar 1 730 cm2. Peningkatan ini sejalan dengan hasil penelitian Kastono (2005) bahwa semakin tinggi pertumbuhan organ source (daun) akan meningkatkan pertumbuhan organ sink (polong) yang akhirnya meningkatkan produktivitas tanaman. Sinclair dan Muchow (2001) menyatakan bahwa daun yang berukuran lebih kecil memiliki kemampuan mengintersepsi radiasi matahari lebih kecil sehingga menghasilkan sedikit pengaruh terhadap produksi bahan kering tanaman. Percobaan ini menunjukkan bahwa jumlah polong per tanaman menurun saat luas daun lebih dari 1 730 cm2 akibat pengaruh penutupan daun. Gardner et al. (1991) menuliskan bahwa seiring dengan meningkatnya indeks luas daun (ILD) tanaman, maka semakin banyak daun yang saling menaungi satu sama lain sehingga menyebabkan penurunan laju asimilasi bersih (LAB) tanaman selama pertumbuhan. Penaungan daun ini mengakibatkan daun yang berada di bagian bawah tidak dapat menghasilkan fotosintat atau berfotosintesis secara maksimal sehingga berpotensi menurunkan produktivitas tanaman. Akibat pengaruh naungan ini, umumnya daun tanaman kedelai bagian bawah yang ternaungi beradaptasi dengan cara menghasilkan daun yang lebih lebar. Kurva kuadratik juga ditunjukkan oleh hubungan antara jumlah polong per tanaman dengan dugaan produktivitas kedelai kering per hektar. Peningkatan jumlah polong per tanaman (X) meningkatkan dugaan produktivitas kedelai kering per hektar (Y) berdasarkan persamaan fungsi kuadratik Y= -0.003x2 + 0.394x – 9.409 dengan R2=0.99*. Penurunan dugaan produktivitas kedelai kering per hektar terjadi saat jumlah polong per tanaman lebih dari 65.7 polong. Penurunan dugaan produktivitas ini diduga akibat tidak efisiennya translokasi asimilat yang dihasilkan oleh peningkatan luas daun ke polong sehingga terdapat kemungkinan banyak polong yang tidak terisi biji dan menyebabkan penurunan dugaan produktivitas kedelai kering per hektar.
37
Penambahan pupuk kandang sapi meningkatkan dugaan produktivitas kedelai kering per hektar dibandingkan tanpa pupuk (P<0.05), namun tidak berbeda nyata antar dosis pupuk yang diberikan. Penambahan 15 ton pupuk kandang sapi ha-1 atau perlakuan pembanding yakni penambahan 7.5 ton pupuk kandang kambing ha-1 menghasilkan dugaan produktivitas kedelai kering per hektar tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya melalui mekanisme yang berbeda. Penambahan 15 ton pupuk kandang sapi ha -1 meningkatkan produktivitas dengan cara menghasilkan bobot 100 biji lebih besar, sedangkan penambahan 7.5 ton pupuk kandang kambing ha-1 dengan cara menghasilkan jumlah polong per tanaman lebih banyak. Perlakuan pembanding yakni penambahan 7.5 ton pupuk kandang sapi ha-1 dengan jarak tanam jajar legowo 40 cm x 25 cm x 15 cm menghasilkan jumlah polong per tanaman lebih banyak (69.3 polong), namun menghasilkan dugaan produktivitas kedelai per hektar yang lebih rendah (3.34 ton ha-1) akibat populasi tanaman yang lebih sedikit (215 278 tanaman ha -1) dibandingkan populasi tanaman pada perlakuan lainnya (250 000 tanaman ha -1). Oleh karena dugaan produktivitas kedelai kering per hektar tidak berbeda nyata antar dosis pupuk kandang sapi yang diberikan, maka penambahan 7.5 ton pupuk kandang sapi ha-1 lebih efisien diaplikasikan daripada penambahan 15 ton pupuk kandang sapi ha-1. Selain pupuk kandang, jarak tanam dan populasi tanaman per hektar diduga turut mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas tanaman kedelai. Penggunaan jarak tanam jajar legowo 40 cm x 25 cm x 15 cm dengan satu benih per lubang tanam (populasi 215 278 tanaman ha -1) menghasilkan jumlah polong per tanaman dan bobot brangkasan panen per tanaman lebih tinggi dibandingkan jarak tanam 40 cm x 20 cm dengan dua benih per lubang tanam (populasi 250 000 tanaman ha-1). Lebih tingginya nilai kedua peubah tersebut pada jarak tanam jajar legowo (jarak antar barisan tanaman yang lebih lebar) disebabkan oleh semakin banyaknya bagian tanaman yang terpapar cahaya matahari sehingga menyebabkan aktivitas fotosintesis tanaman yang lebih besar. Populasi tanaman yang tinggi dalam suatu luasan lahan akan meningkatkan kompetisi antar tanaman dalam memperebutkan faktor produksi tanaman seperti O2, CO2, unsur hara, dan air. Dalam penelitiannya, Efendi dan Suwardi (2010) melaporkan bahwa populasi tanaman jagung yang tinggi cenderung meningkatkan tinggi dan luas daun tanaman, namun menurunkan diameter batang sehingga tanaman menjadi mudah rebah. Hasil percobaan menunjukkan bahwa penambahan pupuk kandang sapi menghasilkan bobot 100 biji kedelai lebih besar hingga 6.8% daripada tanpa pupuk. Dibandingkan rata-rata bobot 100 biji kedelai varietas Anjasmoro yaitu 14.8-15.3 g (Litbang Kementerian Pertanian 2012), bobot biji kedelai percobaan lebih tinggi yaitu mencapai 17.82-19.03 g per 100 biji sehingga menghasilkan dugaan produktivitas per hektar yang besar yakni antara 2.56-3.43 ton ha-1. Meskipun bersifat dugaan, dugaan produktivitas kedelai yang dihasilkan dalam percobaan lebih tinggi jika dibandingkan dengan produktivitas kedelai nasional (1.37 ton ha-1) (BPS 2011) dan produktivitas kedelai di Kabupaten Blora (1.13 ton ha-1) (BPS Jateng 2011b). Hal ini menunjukkan bahwa potensi pengembangan kedelai organik di lokasi percobaan di Blora cukup tinggi. Dugaan produktivitas kedelai kering per hektar yang dihasilkan dalam percobaan di Blora ini lebih rendah daripada dugaan produktivitas kedelai organik hasil penelitian Kurniansyah (2010) dan Handayani (2012) di Bogor yang
38
menggunakan varietas kedelai yang sama (varietas Anjasmoro). Penambahan 10 ton pupuk kandang ayam ha-1 + 3.5 ton Tithonia sp. ha-1 pada penelitian Kurniansyah (2010) menghasilkan 71.9 polong per tanaman dan bobot 100 biji sebesar 16.67 g dengan dugaan produktivitas kedelai kering mencapai 3.59 ton ha-1. Sementara itu, penambahan 12.5 ton pupuk kandang ayam ha -1 + 6.25 ton Tithonia sp. ha-1 pada penelitian Handayani (2012) menghasilkan 57.5 polong per tanaman dan bobot 100 biji sebesar 20.79 g dengan dugaan produktivitas mencapai 3.59 ton ha-1. Selain pengaruh perbedaan jenis dan kandungan hara pupuk organik yang digunakan, dugaan produktivitas kedelai kering per hektar yang lebih tinggi pada penelitian Kurniansyah (2010) juga disebabkan oleh lebih tingginya curah hujan dan kandungan C-organik tanah lahan penelitian di Bogor (42.9-460.7 mm per bulan dan 1.99-3.91%) daripada di Blora (0-70 mm per bulan dan 0.80-1.83%). Secara umum perlakuan pembanding yakni penambahan 7.5 ton pupuk kandang kambing ha-1 menghasilkan pertumbuhan dan dugaan produktivitas per hektar tanaman yang lebih baik, meskipun pupuk kandang kambing memiliki rasio C/N yang lebih besar (20.97) dibandingkan pupuk kandang sapi (15.07). Pada umumnya, pupuk organik yang memiliki rasio C/N rendah akan lebih cepat terdekomposisi dan hara segera tersedia bagi tanaman (Kastono 2005). Kelebihan pupuk kandang kambing ini diduga karena pupuk kandang kambing yang digunakan dalam percobaan memiliki kandungan hara K yang lebih tinggi (3.28%) dibandingkan kandungan hara K pupuk kandang sapi (2.80%). Hal ini sesuai dengan pernyataan Hartatik dan Widowati (2006) bahwa pupuk kandang kambing memiliki kandungan K yang relatif tinggi dibandingkan pupuk kandang lain, sedangkan pupuk kandang sapi memiliki selulosa dan kadar C yang tinggi sehingga berpotensi menghambat pertumbuhan tanaman. Pentingnya hara K bagi tanaman menurut Havlin et al. (2005) terutama dalam sintesis dan transportasi fotosintat dari organ source ke bagian organ reproduktif dan organ penyimpanan tanaman (sink). Hal ini didukung oleh penelitian Shukla et al. (2008) yang menunjukkan bahwa penambahan hara K pada tanaman tebu meningkatkan pertumbuhan tanaman, partisi bahan kering, jumlah ratoon, dan produktivitas gula. Selain itu, hara K juga berperan dalam sistem pertahanan tanaman terhadap serangan OPT. Penambahan 7.5 ton pupuk kandang kambing ha-1 menghasilkan serapan total hara K tanaman lebih tinggi sehingga tanaman pada perlakuan ini mendapatkan serangan OPT yang lebih rendah dibandingkan perlakuan lainnya baik pada fase vegetatif maupun generatif. Menurut Dordas (2008) hara K berperan dalam pertahanan tanaman terhadap serangan OPT dengan cara membentuk dinding luar sel epidermis yang tebal. Defisiensi hara K pada tanaman dapat merusak sintesis protein tanaman dan mengakumulasi senyawa N seperti amida yang menguntungkan bagi patogen. Meskipun tidak tersedia data intensitas cahaya matahari, secara umum wilayah Blora merupakan daerah yang memiliki intensitas cahaya matahari tinggi yang memungkinkan tanaman berfotosintesis lebih maksimal dibandingkan tanaman di daerah dengan intensitas cahaya matahari yang lebih rendah seperti Bogor. Oleh karena itu, jika dibandingkan dengan hasil penelitian Kurniansyah (2010) dan Handayani (2012) di Bogor, keragaan vegetatif tanaman kedelai percobaan di Blora dinilai lebih baik karena tanaman lebih kompak (memiliki ruas batang lebih pendek dengan buku produktif tetap tinggi), meskipun menghasilkan dugaan produktivitas kedelai kering per hektar yang lebih rendah. Sebagai bentuk
39
adaptasi tanaman terhadap intensitas cahaya matahari tinggi, daun tanaman kedelai percobaan di Blora lebih tebal daripada daun tanaman kedelai pada beberapa percobaan di Bogor, meskipun tidak dilakukan perbandingan kuantitatif. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Friend (1966) dalam Gardner et al. (1991) bahwa semakin tinggi intensitas cahaya matahari, maka ketebalan dan lebar daun tanaman gandum „Marquis‟ semakin tinggi. Faktor pembatas utama bagi pertumbuhan tanaman kedelai di Blora adalah rendahnya curah hujan saat musim kemarau yang dapat menghambat proses pembentukan dan pengisian polong. Ketersediaan air tanah cukup penting bagi tanaman kedelai karena berperan dalam proses pembentukan polong pada fase pertumbuhan, dimana proses ini memiliki laju akumulasi bahan kering maksimum (Volleyntina et al. 2007). Oleh karena itu, untuk mengurangi dampak cekaman kekeringan terhadap tanaman maka petani di lokasi percobaan yang memiliki lahan di tepi sungai memanfaatkan air sungai untuk keperluan irigasi. Selain penambahan pupuk kandang, penggunaan mulsa jerami padi juga diduga mempengaruhi pertumbuhan tanaman kedelai melalui modifikasi iklim mikro di sekitar tanaman. Percobaan kecil yang dilakukan di lahan percobaan kedelai organik (tidak dilakukan pengamatan kuantitatif) menunjukkan bahwa pada penambahan pupuk kandang sapi dengan dosis yang sama, tanaman kedelai yang diberi mulsa jerami padi memiliki tinggi tanaman, lebar daun, dan jumlah polong yang lebih tinggi dibandingkan tanaman kedelai tanpa mulsa jerami. Hal ini didukung oleh penelitian Fahrurozzi et al. (2005) bahwa pemberian 6 ton mulsa alang-alang ha-1 meningkatkan jumlah polong per tanaman, jumlah polong bernas per tanaman, dan bobot kering tanaman kedelai. Penelitian lain oleh Mustaha (1999) menunjukkan bahwa pengaplikasian sistem pengolahan tanah minimum dan penggunaan mulsa jerami padi mampu meningkatkan bobot kering dan luas daun tanaman jagung. Peningkatan ini terjadi karena pemberian mulsa mampu memperbaiki iklim mikro di sekitar tanaman, mempertahankan kelembaban tanah dengan cara mengurangi penguapan air tanah, dan memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. SIMPULAN Penambahan pupuk kandang sapi menghasilkan pertumbuhan tanaman kedelai yang lebih baik dibandingkan tanpa pupuk. Penambahan pupuk kandang sapi meningkatkan dugaan produktivitas kedelai kering per hektar, walaupun tidak berbeda nyata antar penambahan dosis pupuk kandang sapi. Penambahan 7.5 ton pupuk kandang sapi ha-1 atau penambahan 7.5 ton pupuk kandang kambing ha -1 lebih efisien diaplikasikan dalam produksi kedelai organik jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya pada MT II.
40
4 PRODUKSI JAGUNG ORGANIK MELALUI APLIKASI BEBERAPA DOSIS PUPUK KANDANG SAPI PADA MUSIM TANAM II Organic Corn Production with Different Rates of Cow Manure Application in the Second Cropping Season ABSTRACT The study addressed to investigate the effect of application rates of cow manure on organic corn growth and yield. The study was conducted from May to September 2012 in Blora, Central Java, Indonesia. The experiment was arranged in Randomized Complete Block Design with single factor i.e. cow manure rates consisted of four treatments and four replications. Two organic fertilizers as control treatments were used in the experiment and were compared to the best cow manure treatment with t test. A conventional corn plot was also used as control (not statistically analyzed). The cow manure treatments were 0, 11.25, 15, and 22.5 tons cow manure ha-1 with spacing 80 cm x 40 cm. The two organic control treatments were (1) sheep manure (11.25 tons ha-1) with spacing 80 cm x 40 cm and (2) cow manure (11.25 tons ha-1) with spacing 65 cm x 45 cm. All treatments used one seed per hole. All organic plots were added with 2 tons ha-1 of rice-hull ash. Due to drought and low pollen numbers, corn seed filling process was disturbed and produced not fully-filled corn-cob. The experiment showed that the application of cow manure (11.25 tons ha-1) or sheep manure (11.25 tons ha-1) were more efficient in producing organic corn than other treatments. Keywords: dry season, grumosol, organic farming, rice-hull ash, sheep manure ABSTRAK Percobaan ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh dosis pupuk kandang sapi terhadap pertumbuhan dan produktivitas jagung organik. Percobaan dilaksanakan pada bulan Mei hingga September 2012 di Blora, Jawa Tengah, Indonesia. Rancangan acak kelompok (RAK) dengan faktor tunggal yaitu dosis pupuk kandang sapi dengan empat perlakuan dan empat ulangan digunakan dalam percobaan ini. Dua perlakuan pupuk kandang sebagai pembanding dibandingkan dengan perlakuan pupuk kandang sapi terbaik dengan menggunakan uji t. Satu petak jagung konvensional juga digunakan sebagai pembanding (tidak dianalisis secara statistik). Perlakuan pupuk kandang sapi yang digunakan yaitu 0, 11.25, 15, 22.25 ton pupuk kandang sapi ha -1 dengan jarak tanam 80 cm x 40 cm. Dua perlakuan pembanding organik yaitu (1) pupuk kandang kambing (11.25 ton ha -1) dengan jarak tanam 80 cm x 40 cm dan (2) pupuk kandang sapi (11.25 ton ha-1) dengan jarak tanam 65 cm x 45 cm. Benih yang ditanam pada semua perlakuan berjumlah satu benih per lubang tanam. Semua petak percobaan organik mendapatkan tambahan 2 ton abu sekam ha -1. Akibat kekeringan dan rendahnya jumlah polen, proses pengisian biji jagung terganggu sehingga tongkol tidak terisi penuh. Hasil percobaan menunjukkan bahwa penambahan pupuk kandang sapi (11.25 ton ha-1) atau pupuk kandang kambing (11.25 ton ha -1) lebih efisien diaplikasikan dalam produksi jagung organik daripada perlakuan lainnya. Kata kunci: abu sekam, grumosol, musim kemarau, pertanian organik, pupuk kandang kambing
41
PENDAHULUAN Jagung merupakan salah satu tanaman palawija yang paling banyak ditanam oleh petani di Blora, Jawa Tengah. Tanaman ini merupakan salah satu tanaman C4 yang tahan terhadap cekaman kekeringan saat musim kemarau. Walaupun demikian, tanaman jagung tetap membutuhkan kondisi yang optimum untuk mendukung pertumbuhan dan menghasilkan produktivitas lebih tinggi. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menambahkan pupuk organik ke dalam tanah. Sekitar 56% jenis tanah di Blora merupakan tanah grumosol (Pemerintah Kabupaten Blora 2011) yang memiliki struktur kering dan retak ketika musim kemarau sehingga memiliki kemampuan menahan air yang rendah. Penambahan pupuk organik diharapkan mampu memperbaiki struktur tanah grumosol ini sehingga mampu mendukung pertumbuhan tanaman jagung lebih optimal. Menurut Nurhastuti (1997) pemberian pupuk organik meningkatkan kondisi optimum bagi pertumbuhan tanaman karena mampu memperbaiki aerasi, mempermudah penetrasi akar, memperbaiki kapasitas menahan air, dan menurunkan Al-dd dalam tanah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penambahan pupuk organik mampu meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas tanaman jagung. Penelitian On (2003) menunjukkan bahwa penambahan 10 ton pupuk kandang ha -1 + 50% dosis pupuk kimia sintetis mampu meningkatkan produktivitas jagung manis. Penelitian lain oleh Dewi (2004) menunjukkan bahwa penambahan pupuk kandang ayam dan pupuk kandang kambing mampu meningkatkan produktivitas jagung manis jika dibandingkan tanpa penambahan pupuk kandang; dengan pupuk kandang ayam menghasilkan produksi tongkol berkelobot terbesar. Penelitian Farida (2011) menunjukkan bahwa dosis 20 ton pupuk kandang ayam ha-1 menghasilkan pengaruh tertinggi bagi pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Jenis pupuk kandang yang digunakan dalam percobaan merupakan jenis yang banyak tersedia di lokasi percobaan terutama pupuk kandang sapi. Oleh karena itu, percobaan ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh dosis pupuk kandang sapi terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman jagung organik pada musim tanam (MT) II yang ditanam setelah padi organik pada MT I. METODE Waktu dan Tempat Percobaan dilaksanakan pada MT II yaitu bulan Mei hingga September 2012. Lokasi penelitian yaitu di Desa Nglebur, Kecamatan Jiken, Kabupaten Blora, Jawa Tengah pada ketinggian ± 31 m dpl. Analisis tanah, pupuk kandang, dan abu sekam dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam percobaan antara lain benih jagung hibrida varietas Bima 5, pupuk kandang sapi, pupuk kandang kambing, abu sekam, pestisida organik (Beauveria sp., ekstrak bawang putih, daun Glyricidia, daun sambiloto), sereh wangi (tanaman penolak OPT), dan bahan-bahan kimia untuk analisis. Alat yang digunakan antara lain peralatan analisis laboratorium, alat budidaya, neraca analitik, dan oven.
42
Metode Pelaksanaan Rancangan acak kelompok (RAK) dengan faktor tunggal yaitu dosis pupuk kandang sapi dengan empat perlakuan dan empat ulangan digunakan dalam percobaan ini. Dua perlakuan pupuk organik dengan empat ulangan sebagai pembanding dibandingkan dengan perlakuan pupuk kandang sapi terbaik dengan menggunakan uji t. Satu petak tanaman jagung konvensional juga digunakan sebagai pembanding (tidak dianalisis secara statistik) sehingga petak percobaan berjumlah 25 unit. Masing-masing petak percobaan jagung organik berukuran 4 m x 8 m. Petak percobaan yang digunakan dalam percobaan ini disesuaikan dengan perlakuan pupuk organik pada percobaan padi organik pada MT I (Januari hingga April 2012). Tanaman contoh diambil sebanyak 10 tanaman untuk setiap petak percobaan. Perlakuan pupuk organik pada percobaan jagung organik ditunjukkan pada Tabel 15. Pupuk yang diberikan pada tanaman jagung konvensional adalah 400 kg pupuk NPK 15:15:15 ha-1 dan 200 kg urea ha-1. Tabel 15. Perlakuan pupuk organik pada percobaan jagung organik (MT II) No. 1 2 3 4 5* 6*
Perlakuan
Kode
tanpa pupuk kandang (kontrol) pupuk kandang sapi (11.25 ton ha-1) pupuk kandang sapi (15 ton ha-1) pupuk kandang sapi (22.5 ton ha-1) pupuk kandang sapi (11.25 ton ha-1) bekas padi dengan jarak tanam jajar legowo pupuk kandang kambing (11.25 ton ha-1)
P0 PS 11.25 PS 15 PS 22.5 PS 11.25 + L PK 11.25
Keterangan: - *: perlakuan pembanding organik - semua perlakuan mendapatkan tambahan 2 ton abu sekam ha-1 - dosis pupuk organik yang diberikan pada tanaman jagung lebih besar 150% daripada dosis pupuk pada tanaman kedelai - penentuan dosis pupuk organik disesuaikan dengan dosis rekomendasi pemupukan jagung yaitu 300 kg urea ha -1 (138 kg N ha-1), 100 kg SP-36 ha-1 (36 kg P2O5 ha-1), dan 100 kg KCl ha-1 (60 kg K2O ha-1) - perlakuan 5 menggunakan jarak tanam 65 cm x 45 cm, sedangkan perlakuan lainnya menggunakan jarak tanam 80 cm x 40 cm. Masing-masing perlakuan menggunakan satu benih per lubang tanam
Percobaan jagung organik menggunakan setengah bagian lahan bekas percobaan padi organik pada MT I, sementara sisanya digunakan untuk percobaan kedelai organik (Denah percobaan MT II ditunjukkan pada Lampiran 2). Sistem pengolahan tanah yang diaplikasikan adalah sistem tanpa olah tanah (TOT) sehingga sisa rumpun padi digunakan sebagai penanda lubang tanam. Pemberian pupuk organik dilakukan bersamaan dengan persiapan lahan (2/3 dosis) dan pada saat 4 MST (1/3 dosis) yakni bersamaan dengan pembumbunan dan pemberian abu sekam pada pucuk jagung untuk mencegah serangan penggerek batang. Pupuk kandang dan abu sekam ditaburkan di atas tanah sesuai dengan perlakuan dan ditutup dengan jerami padi organik pada MT sebelumnya. Pupuk yang telah ditaburkan didiamkan selama dua minggu agar terdekomposisi di dalam tanah. Penggunaan sistem TOT dan jerami padi dimaksudkan untuk mempertahankan kelembaban tanah dan ketersediaan air terutama pada musim kemarau.
43
Satu benih jagung ditanam pada setiap lubang tanam dengan jarak tanam 65 cm x 45 cm (populasi 34 188 tanaman ha -1) pada perlakuan 5 dan menggunakan jarak tanam 80 cm x 40 cm (populasi 31 250 tanaman ha -1) pada perlakuan lainnya. Pengendalian OPT dilakukan melalui aplikasi pestisida nabati dan penanaman tanaman penolak serangan OPT (repellent) sereh wangi di setiap sudut petak percobaan seperti pada percobaan Kusheryani dan Aziz (2006). Jagung dipanen jika biji telah terbentuk lapisan hitam (black layer) yaitu pada 8090 hari setelah tanam (HST). Peubah pertumbuhan vegetatif yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang, serangan OPT (4, 5, dan 7 MST), bobot tanaman, luas daun (7 MST), dan bobot brangkasan panen per tanaman (14 MST). Diameter batang jagung diukur 5 cm dari permukaan tanah. Peubah komponen produksi yang diamati meliputi umur tasseling, umur silking, panjang tongkol, tinggi letak tongkol, bobot kering tongkol dan pipilan per tanaman, bobot 100 biji, dan dugaan produktivitas pipilan jagung kering per hektar (14 MST). Dugaan produktivitas pipilan jagung kering per hektar dihitung berdasarkan bobot kering pipilan jagung per tanaman, jumlah tanaman ha -1, dan bobot 100 butir biji dengan koreksi bahwa asumsi populasi maksimum sebesar 75%. Analisis Data Data percobaan pupuk kandang sapi (perlakuan 1-4) dianalisis dengan menggunakan analisis ragam (uji F). Hasil uji F yang berbeda nyata diuji lanjut dengan menggunakan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%. Perlakuan pupuk kandang sapi terbaik kemudian dibandingkan dengan perlakuan pembanding dengan menggunakan uji t pada taraf 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Pupuk organik yang diaplikasikan memberikan sumbangan hara yang berbeda (Tabel 16). Sumbangan hara pada tanaman jagung konvensional adalah 152 kg N ha-1, 60 kg P2O5 ha-1, dan 60 kg K2O ha-1 . Tabel 16. Sumbangan hara pupuk organik pada percobaan jagung organik (MT II) No. 1 2 3 4 5*
Perlakuan
Sumbangan hara (kg ha-1) N P K 3.20 7.20 8.20 186.58 36.45 323.20 247.70 46.20 428.20 369.95 65.70 638.20
tanpa pupuk kandang (kontrol) pupuk kandang sapi (11.25 ton ha-1) pupuk kandang sapi (15 ton ha -1) pupuk kandang sapi (22.5 ton ha-1) pupuk kandang sapi (11.25 ton ha-1) bekas padi 186.58 36.45 323.20 dengan jarak tanam jajar legowo 6* pupuk kandang kambing (11.25 ton ha-1) 107.83 26.33 377.20 Keterangan: *: perlakuan pembanding organik; sumbangan hara termasuk akibat penambahan 2 ton abu sekam ha -1
Hama yang dominan menyerang tanaman jagung antara lain belalang dan penggerek tongkol jagung (Helicoperva armigera). Penggerek tongkol menyerang
44
biji yang sedang berkembang sehingga menyebabkan biji menjadi rusak. Penyakit yang dominan menyerang adalah bulai jagung atau downey mildew (oleh Peronosclerospora maydis) dan bercak daun. Serangan bulai jagung yang menyerang tanaman jagung percobaan cukup tinggi sehingga penanaman jagung diulang sebanyak dua kali. Hal ini mengakibatkan waktu tanam jagung organik lebih lambat dibandingkan kedelai organik. Penyakit bulai jagung ini menyebabkan gejala sistemik yang meluas ke seluruh bagian tanaman yang ditandai dengan berubahnya warna daun jagung menjadi putih secara menyeluruh. Berdasarkan klasifikasi iklim Oldeman, percobaan jagung organik dilaksanakan pada bulan kering dengan curah hujan <100 mm per bulan (Gambar 22). Rata-rata curah hujan yang turun sebesar 5.86 mm per minggu dengan jumlah minggu tanpa hujan sebanyak 12 minggu. Curah hujan yang rendah ini turut menyebabkan pengisian tongkol jagung menjadi tidak maksimum. Oleh karena itu, irigasi menggunakan pompa air dilakukan untuk memenuhi kebutuhan air tanaman.
Curah hujan (mm per minggu)
80 70 60 40 20
12
0 1
Mei
2
3
4
5
6
Juni
7
8
Juli
9
10 11 12 13 14
Agustus
MST
Sept 2012
Gambar 22. Curah hujan selama percobaan jagung organik (MT II) Hasil Pertumbuhan Vegetatif Berdasarkan hasil analisis, penambahan pupuk kandang sapi 15 ton ha -1 secara umum menyebabkan pertumbuhan vegetatif dan komponen produksi jagung lebih baik daripada perlakuan lainnya, meskipun tidak semuanya nyata secara statistik. Selanjutnya nilai peubah akibat penambahan pupuk kandang sapi 15 ton ha-1 ini dibandingkan dengan nilai peubah perlakuan pembanding dengan menggunakan uji t. Penambahan 22.5 ton pupuk kandang sapi ha-1 meningkatkan tinggi tanaman jagung saat 4 MST (P>0.05), 5 MST (P<0.05), dan 7 MST (P<0.01) masing-masing 22.6, 21.8, dan 16.9% lebih tinggi dibandingkan tanpa penambahan pupuk (Tabel 17). Penambahan dosis pupuk kandang sapi ini juga menghasilkan tanaman dengan luas daun, bobot kering akar, bobot kering batang per tanaman lebih besar saat 7 MST (P>0.05) dan mendapatkan serangan OPT lebih rendah saat 4, 5, dan 7 MST (P>0.05) dibandingkan akibat penambahan dosis pupuk kandang sapi lainnya. Penambahan 22.5 ton pupuk kandang sapi ha-1 juga menghasilkan bobot kering total dan bobot kering tajuk per tanaman jagung lebih besar saat 7 MST (P>0.05) dibandingkan akibat penambahan pupuk kandang sapi lainnya dengan nilai berturut-turut 68.77 dan 58.47 g per tanaman (Gambar 23).
45
Tabel 17. Pertumbuhan vegetatif tanaman jagung Peubah Tinggi tanaman (cm)
Jumlah daun (helai)
Diameter batang (mm)
Serangan OPT (%)
Luas daun per tanaman (cm2) Bobot kering akar (g) Bobot kering batang (g) Bobot kering daun (g)
MST
Pupuk kandang sapi
4 5 7 4 5 7 4 5 7 4 5 7
P0 PS 11.25 89.06 99.81 113.16b 127.78ab 152.26b 171.25a 6.9b 8.0a 8.6b 9.3a 9.8 10.7 7.23b 8.95ab 16.95 17.55 19.39 20.11 54.4 51.3 47.5 47.5 34.4 31.9
7 7 7 7
4591.06 5.80 24.40 19.22
5537.04 6.55 24.94 22.21
Pembanding
PS 15 105.8 133.78ab 171.54a 8.4a 9.8a 11.0 11.10a 21.07 22.73 49.4 41.3 30.6
PS 22.5 109.24 137.81a 178.04a 8.2a 9.4a 10.6 10.76a 19.92 23.78 43.1 39.3 30.0
6463.51 8.67 30.14 26.98
6969.59 10.29 32.26 26.21
PS 11.25 + L 105.35 133.20 167.80 8.3 9.3 10.2 9.19 18.15 19.82 45.0 42.5 31.9 5914.50 9.19 35.64 24.55
PK 11.25 Konvensional 103.31 td 130.83 138.25 172.35 160.00 7.9 7.4 9.5 9.9 10.9 13.4 11.86 15.62 20.95 24.54 23.98 26.08 52.5 25.0 52.5 30.0 33.1 27.5 7183.70 12.00 37.78 30.43
8063.57 19.84 67.93 37.63
Keterangan: 1) Angka yang diikuti huruf berbeda pada baris yang sama pada perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata pada uji DMRT taraf 5% 2) P0: tanpa pupuk, PS: pupuk kandang sapi, PK: pupuk kandang kambing, L:bekas padi dengan jarak tanam jajar legowo; angka dibelakang huruf -1 perlakuan menunjukkan dosis pupuk (ton ha ); td: tidak diamati
\
Bobot kering (g)
46
130
P0
110
PS 11.25 PS 15
90
PS 22.5
70
PS 11.25 + L
50
PK 11.25
30
Konvensional
Total
Tajuk
Gambar 23. Bobot kering total dan tajuk per tanaman jagung saat 7 MST
Bobot kering (g)
Penambahan 15 ton pupuk kandang sapi ha-1 menghasilkan diameter batang lebih besar saat 4 MST (P<0.05) dan 5 MST (P>0.05) masing-masing dengan nilai 11.10 dan 21.07 mm (diameter batang diukur 5 cm dari permukaan tanah). Penambahan 15 ton pupuk kandang sapi ha -1 juga meningkatkan jumlah daun saat 4 MST (P<0.05), 5 MST (P<0.01), dan 7 MST (P>0.05) masing-masing 21.7, 13.9, dan 12.2% lebih banyak daripada tanpa penambahan pupuk. Jumlah daun saat 7 MST yang lebih banyak pada perlakuan ini menyebabkan bobot kering daun yang dihasilkan lebih besar dibandingkan perlakuan lainnya (P>0.05). Penambahan 15 ton pupuk kandang sapi ha -1 juga meningkatkan secara nyata (P<0.05) bobot kering brangkasan panen per tanaman hingga 30% daripada tanpa pupuk dan secara nyata lebih besar (P<0.05) jika dibandingkan dengan perlakuan pembanding yakni penambahan 11.25 pupuk kandang sapi ha -1 dengan jarak tanam bekas padi legowo (65 cm x 45 cm) (Gambar 24). P0
150 a
130 110
ax)
a
PS 11.25 PS 15 PS 22.5
b
PS 11.25 + L 90
PK 11.25 Perlakuan
Gambar 24. Bobot kering brangkasan panen per tanaman jagung Jika dibandingkan dengan perlakuan pembanding yakni penambahan 11.25 pupuk kandang sapi ha-1 dengan jarak tanam 65 cm x 45 cm, tanaman akibat penambahan 15 ton pupuk kandang sapi ha -1 menghasilkan bobot kering akar, batang, tajuk, dan bobot kering total tanaman yang lebih rendah, meskipun tidak berbeda nyata secara statistik. Sementara itu, perlakuan pembanding yakni penambahan 11.25 pupuk kandang kambing ha -1 menghasilkan tanaman dengan diameter batang saat 4 dan 7 MST, luas daun, bobot kering akar, batang, daun, tajuk, dan bobot kering total per tanaman saat 7 MST yang lebih tinggi (P>0.05) daripada akibat penambahan 15 ton pupuk kandang sapi ha -1. Secara umum tanaman jagung konvensional menghasilkan keragaan vegetatif tanaman yang lebih baik jika dibandingkan dengan keragaan tanaman jagung organik. Tanaman jagung konvensional menghasilkan bobot kering tajuk dan akar per tanaman sebesar 105.56 dan 19.84 g atau dua kali lebih besar daripada tanaman jagung organik. Tanaman jagung konvensional lebih pendek
47
(160 cm pada 7 MST) dan memiliki diameter batang lebih besar dibandingkan tanaman jagung organik sehingga tanaman jagung konvensional menjadi lebih kompak dan tidak mudah rebah. Komponen Produksi Penambahan 15 ton pupuk kandang sapi ha -1 menghasilkan bobot kering tongkol, bobot kering pipilan, dan dugaan produktivitas pipilan kering per hektar berturut-turut 14.8, 23.4, dan 23.4% lebih besar dibandingkan tanpa pupuk, meskipun tidak berbeda nyata secara statistik (Gambar 25 dan 26). Nilai ketiga peubah yang dihasilkan oleh penambahan dosis pupuk kandang sapi tersebut juga tidak berbeda nyata dengan nilai peubah perlakuan pembanding organik. Penambahan 15 ton pupuk kandang sapi ha -1 menghasilkan bobot 100 biji lebih tinggi (36.32 g) dan berbeda nyata secara statistik (P<0.05) jika dibandingkan dengan perlakuan pembanding organik yakni penambahan 11.25 pupuk kandang sapi ha-1 dengan jarak tanam 65 cm x 45 cm atau penambahan 11.25 pupuk kandang kambing ha-1 (Tabel 18). Namun, nilai bobot 100 biji pada perlakuan tersebut lebih rendah dibandingkan bobot 100 biji tanaman jagung konvensional (39.18 g). Tanaman jagung konvensional menghasilkan bobot kering pipilan per tanaman lebih besar yaitu 160.5 g dengan dugaan produktivitas pipilan kering mencapai 3.76 ton ha-1 (75% dari total populasi maksimum), lebih tinggi daripada dugaan produktivitas pipilan kering jagung organik yang hanya mencapai 2.262.45 ton ha-1 (75% dari total populasi maksimum). Penambahan pupuk kandang sapi meningkatkan tinggi letak tongkol (P<0.05) dan panjang tongkol (P>0.05) hingga 20.2 dan 4.9% lebih besar daripada tanpa pupuk. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan pupuk kandang sapi merangsang pertumbuhan vegetatif tanaman lebih besar daripada tanpa pupuk. Tanaman jagung memiliki umur berbunga (tasseling) dan umur keluarnya rambut tongkol (silking) yang hampir seragam. Tanaman jagung berbunga pada saat 5456 hari setelah tanam (HST) dan mengeluarkan rambut tongkol saat 51-54 HST. P0
Bobot kering (g)
240
PS 11.25
200
PS 15 160
PS 22.5
120
PS 11.25 + L PK 11.25
80 Tongkol
Pipilan
Konvensional
Dugaan produktivitas (ton ha-1)
Gambar 25. Bobot kering tongkol dan pipilan jagung per tanaman P0 PS 11.25 PS 15 PS 22.5 PS 11.25 + L PK 11.25 Konvensional
4
3 2 1 0 Pupuk organik
Gambar 26. Dugaan produktivitas pipilan jagung kering per hektar
48
Tabel 18. Komponen produksi tanaman jagung Peubah Umur silking (hari) Umur tasseling (hari) Tinggi letak tongkol (cm) Panjang tongkol (cm) Bobot 100 biji (g)
Pupuk kandang sapi P0 55.5 53.5 59.00c 17.69 32.66
PS 11.25 55.0 51.8 63.63bc 17.84 34.18
PS 15 54.8 51.0 67.75ab 18.52 36.32(x)(y)
Pembanding PS 22.5 54.5 51.0 70.95a 18.55 35.05
PS 11.25 + L 53.8 50.8 63.02 17.65 33.19
PK 11.25 56.0 54.0 68.38 18.81 34.09
Konvensional td td 85.38 18.98 39.18
Keterangan: 1) Angka yang diikuti huruf berbeda pada baris yang sama pada perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata pada uji DMRT taraf 5% 2) (x): perlakuan berbeda nyata dengan pembanding PS 11.25 + L, (y): perlakuan berbeda nyata dengan pembanding PK 11.25 pada uji t taraf 5% 3) P0: tanpa pupuk, PS: pupuk kandang sapi, PK: pupuk kandang kambing, L: bekas padi dengan jarak tanam jajar legowo; angka dibelakang huruf menunjukkan dosis pupuk (ton ha-1); td: tidak diamati
49
3000 2000 Y = -0.863x2 + 39.26x + 2025 R² = 0.89 x=22.7
1000 0 0
a)
5
10
15
20
Dosis pupuk kandang sapi (ton
Bobot kering pipilan per tanaman (g)
Dugaan produktivitas (ton ha-1)
Peningkatan dosis pupuk kandang sapi (X) meningkatkan dugaan produktivitas pipilan jagung per hektar (Y) berdasarkan persamaan kuadratik Y= -0.863x2 + 39.26x + 2025 dengan R2= 0.89 dan dosis pupuk optimum sebesar 22.7 ton ha-1 (Gambar 27a). Dosis pupuk optimum yang hampir sama juga dihasilkan oleh hubungan antara dosis pupuk kandang sapi (X) dengan bobot kering pipilan per tanaman (Y) berdasarkan persamaan kuadratik Y= -0.036x2 + 1.676x + 86.42 dengan R2= 0.89 (Gambar 27b). Hal ini menunjukkan bahwa dosis 22.5 ton ha -1 (dosis maksimum dalam percobaan) mendekati dosis optimum, artinya jika dosis pupuk kandang sapi ditambah maka kemungkinan dugaan produktivitas per hektar yang dihasilkan tidak akan meningkat, namun menurun akibat pengaruh penutupan daun. Hal ini terjadi karena luas daun per tanaman jagung (Y) semakin meningkat seiring dengan bertambahnya dosis pupuk kandang sapi (X) yang diaplikasikan berdasarkan persamaan linier Y= 110.7x + 4547 dengan R2= 0.96* (Gambar 28a). Bobot kering pipilan jagung per tanaman (Y) menurun ketika luas daun (X) lebih besar dari 8 000 cm2 berdasarkan persamaan kuadratik Y=-3.10-6 x2 + 0.048x – 62.11 dengan R2= 0.96* (Gambar 28b). Hal ini menunjukkan bahwa luas daun maksimum yang dihasilkan akibat penambahan pupuk kandang sapi (6 969.59 cm2) lebih kecil daripada luas daun optimum (8 000 cm2) sehingga belum cukup untuk menghasilkan bobot kering pipilan per tanaman maksimum. 120 90
30 0 0
25 ha-1)
Y = -0.036x2 + 1.676x + 86.42 R² = 0.89 x= 23.3
60
b)
5
10
15
20
Dosis pupuk kandang sapi (ton
25 ha-1)
8000
120
6000 Y= 110.7x + 4547 R² = 0.96
4000 2000 0 0
a)
Bobot kering pipilan per tanaman (g)
Luas daun per tanaman (cm2)
Gambar 27 a). Hubungan antara dosis pupuk kandang sapi dengan dugaan produktivitas pipilan jagung kering per hektar b). hubungan antara dosis pupuk kandang sapi dengan bobot kering pipilan jagung per tanaman
5
10
15
20
25
Dosis pupuk kandang sapi (ton ha-1)
b)
80 40 0 4000
Y= -3. 10-6x2 + 0.048x - 62.11 R² = 0.96 x= 8 000
5000
6000
7000
Luas daun per tanaman (cm2)
Gambar 28 a). Hubungan antara dosis pupuk kandang sapi dengan luas daun per tanaman b). hubungan antara luas daun per tanaman dengan bobot kering pipilan jagung per tanaman
50
Pembahasan Penambahan pupuk kandang sapi menghasilkan pertumbuhan dan dugaan produktivitas pipilan jagung kering per hektar yang lebih besar dibandingkan tanpa penambahan pupuk, meskipun tidak semua peubah berbeda nyata secara statistik. Penambahan 15 ton pupuk kandang sapi ha-1 menghasilkan nilai komponen produksi tanaman jagung yang lebih tinggi, meskipun dosis perlakuan ini memberikan sumbangan hara yang lebih rendah daripada penambahan 22.5 ton pupuk kandang sapi ha-1. Penambahan 15 ton pupuk kandang sapi ha -1 menghasilkan bobot kering brangkasan panen per tanaman, bobot kering tongkol per tanaman, dan bobot kering pipilan per tanaman lebih tinggi dibandingkan penambahan dosis pupuk kandang sapi lainnya. Lebih tingginya bobot kering pipilan per tanaman pada perlakuan ini menyebabkan dugaan produktivitas pipilan jagung kering per hektar tertinggi yaitu 2.51 ton ha -1 atau 23.4% lebih tinggi daripada tanpa pupuk. Dugaan produktivitas jagung yang lebih tinggi melalui aplikasi dosis pupuk kandang sapi yang lebih rendah tersebut (15 ton pupuk kandang sapi ha -1) menunjukkan bahwa produktivitas tanaman jagung pada MT II dipengaruhi oleh proses dekomposisi pupuk organik yang diberikan pada MT sebelumnya. Petak percobaan yang digunakan oleh perlakuan penambahan 15 ton pupuk kandang sapi ha-1 ini mendapat sumbangan hara terbesar pada MT I (Tabel 3) yang pengaruhnya belum banyak terlihat terhadap pertumbuhan tanaman padi. Hara pupuk organik pada MT I terutama brangkasan jagung (rasio C/N= 49.37) diduga baru terdekomposisi dan tersedia pada MT II sehingga tambahan residu hara ini turut menyebabkan produktivitas jagung akibat penambahan 15 ton pupuk kandang sapi ha-1 ini lebih besar dibandingkan penambahan dosis pupuk kandang sapi lainnya. Hal ini didukung oleh pernyataan Melati et al. (2008) bahwa ketersediaan hara pupuk organik lebih lambat karena membutuhkan proses dekomposisi sehingga 80% kandungan hara pupuk organik baru tersedia bagi tanaman pada MT berikutnya dengan asumsi tidak ada kehilangan melalui pencucian dan denitrifikasi. Meskipun demikian, dugaan produktivitas pipilan jagung kering per hektar yang dihasilkan antar penambahan dosis pupuk kandang sapi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Oleh karena itu, dosis 11.25 ton pupuk kandang sapi ha-1 lebih efisien diaplikasikan dalam produksi jagung organik dibandingkan dosis 15 ton pupuk kandang sapi ha -1. Baru tersedianya hara pupuk organik pada MT II dipengaruhi oleh faktorfaktor yang mempengaruhi proses dekomposisi seperti jenis organisme yang hidup, jenis bahan organik tanah (BOT), ketersediaan C bagi mikrob tanah, dan kondisi fisik lingkungan seperti posisi lanskap dan horizon tanah (Kennedy et al. 2004). Lebih lanjut, sifat pupuk organik adalah ketersediaan hara di dalamnya cukup rendah karena bentuk N, P, dan unsur lain terdapat dalam bentuk kompleks organo protein atau senyawa humat atau lignin yang sulit terdekomposisi (Hartatik dan Widowati 2006). Hal ini berbeda dengan penggunaan pupuk anorganik yang haranya segera tersedia bagi tanaman. Hasil percobaan menunjukkan bahwa penambahan pupuk kandang sapi meningkatkan dugaan produktivitas pipilan jagung kering per hektar dan bobot kering pipilan per tanaman secara kuadratik. Dugaan produktivitas jagung per hektar menurun pada penggunaan dosis pupuk lebih dari 22.7 ton ha-1 akibat meningkatnya luas daun tanaman yang menyebabkan penurunan laju asimilasi bersih (LAB) tanaman sehingga berpotensi menurunkan produksi biji jagung.
51
Luas daun tanaman meningkat secara linier seiring dengan penambahan dosis pupuk kandang sapi berdasarkan persamaan fungsi linier Y= 110.7x + 4547 dengan R2= 0.96*. Luas daun optimum untuk menghasilkan bobot kering pipilan per tanaman tertinggi adalah 8 000 cm2. Hal ini sejalan dengan pernyataan Marschner (1995) bahwa produktivitas tanaman dipengaruhi oleh aktivitas tanaman seperti peningkatan luas daun dan fotosintesis bersih per unit luas daun (pengaruh terhadap source) dan peningkatan produksi jumlah biji (pengaruh terhadap sink). Populasi tanaman yang rendah (31 250 dan 34 188 tanaman ha -1) akibat penggunaan jarak tanam yang lebar (80 cm x 40 cm dan 65 cm x 45 cm) dengan jumlah benih satu butir per lubang tanam dan akibat serangan penyakit bulai jagung saat fase vegetatif (populasi tanaman menjadi lebih rendah dibandingkan populasi awal saat penanaman) menyebabkan bobot 100 biji jagung lebih tinggi (32.66-36.32 g) daripada rata-rata bobot 100 biji jagung varietas Bima 5 menurut Balitsereal (2010) yaitu sebesar 27 g per 100 biji. Ukuran biji yang lebih besar ini terjadi akibat kompetisi antar tanaman dalam memperebutkan hara lebih rendah sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan vegetatif dan generatif masingmasing individu tanaman. Meskipun demikian, besarnya bobot 100 biji jagung yang dihasilkan tidak mampu menghasilkan dugaan produktivitas pipilan jagung kering per hektar lebih besar. Dugaan produktivitas tertinggi jagung organik yang dihasilkan dalam percobaan hanya sebesar 2.51 ton ha -1, lebih rendah jika dibandingkan dengan produktivitas jagung nasional (4.56 ton ha -1) (BPS 2011) dan produktivitas jagung di Kabupaten Blora (4.39 ton ha -1) (BPS Jateng 2011c). Selain pengaruh populasi tanaman yang rendah, faktor lain yang menyebabkan rendahnya dugaan produktivitas per hektar jagung organik percobaan adalah serangan OPT, faktor iklim, dan penyerbukan tanaman. Serangan OPT penggerek tongkol (Helicoperva armigera) menyebabkan biji jagung menjadi rusak dan berkualitas buruk. Said et al. (2008) menyatakan bahwa meskipun persentase kehilangan hasil jagung akibat serangan penggerek tongkol hanya 10%, serangan hama ini sangat mempengaruhi kualitas tongkol jagung. Faktor iklim yang mempengaruhi rendahnya produktivitas jagung percobaan adalah rendahnya curah hujan saat musim kemarau. Rendahnya curah hujan menyebabkan pertumbuhan tanaman terutama saat fase generatif terganggu sehingga menghambat proses pembentukan biji jagung. Hambatan pembentukan biji jagung juga diakibatkan oleh rendahnya tingkat penyerbukan tanaman. Jagung merupakan tanaman yang menyerbuk silang (openpollinated) yang memanfaatkan angin dalam penyerbukannya. Populasi tanaman jagung yang rendah (akibat penggunaan jarak tanam yang lebar dan akibat serangan penyakit bulai jagung pada fase vegetatif) menghasilkan serbuk sari (pollen) yang lebih sedikit sehingga penyerbukan antar tanaman jagung menjadi tidak maksimal. Selain itu, cuaca yang panas saat musim kemarau juga dapat merontokkan serbuk sari tanaman sehingga tidak dapat digunakan dalam proses penyerbukan. Menurut Gardner (1991) kegagalan pembentukan biji tanaman diakibatkan oleh kurangnya penyerbukan akibat gugurnya benang sari dan serbuk sari (blasting), kurangnya fertilisasi karena serbuk sari lemah atau tidak cocok, dan gugurnya bunga dan buah tanaman. Rendahnya penyerbukan ini menyebabkan biji jagung percobaan tidak terbentuk sempurna pada seluruh bagian tongkol. Jika dibandingkan, tongkol jagung konvensional terisi lebih penuh daripada jagung organik.
52
Sebagai bentuk adaptasi tanaman terhadap cekaman kekeringan, daun tanaman jagung menggulung untuk mengurangi kehilangan air akibat transpirasi. Keterbatasan air menyebabkan kerusakan tanaman secara fisiologis melalui terbentuknya konsentrasi garam dalam sel tanaman yang merusak enzim pengontrol metabolisme tanaman sehingga untuk beradaptasi tanaman mengakumulasi senyawa organik seperti sukrosa dan asam amino prolin (Salisbury dan Ross 1985). Hall dan Twidwell (2002) menuliskan bahwa pengaruh cekaman kekeringan dan panas pada tanaman jagung terjadi pada saat polinasi dan fertilisasi yakni beberapa hari setelah munculnya tassel (bunga jantan). Periode tasseling merupakan saat yang paling kritis bagi produktivitas jagung. Jika cekaman kekeringan terjadi saat periode tasseling, maka produktivitas tanaman tidak dapat ditingkatkan walaupun hujan kembali turun setelah tasseling. Menurut Gardner et al.(1991) penurunan pertumbuhan dan produktivitas tanaman akibat keterbatasan air dipengaruhi oleh genotipe tanaman, tingkat kekurangan air, dan tingkat perkembangan tanaman. SIMPULAN Penambahan pupuk kandang sapi menghasilkan pertumbuhan tanaman jagung yang lebih baik daripada tanpa penambahan pupuk, meskipun tidak semua peubah berbeda nyata secara statistik. Dosis pupuk kandang sapi yang diaplikasikan tidak berpengaruh nyata terhadap dugaan produktivitas pipilan jagung kering per hektar, namun terdapat kecenderungan bahwa penambahan 11.25 ton pupuk kandang sapi ha-1 atau 11.25 ton pupuk kandang kambing ha -1 lebih efisien diaplikasikan dalam produksi jagung organik dibandingkan perlakuan lainnya.
53
5 PEMBAHASAN UMUM Pengaruh Pupuk Organik terhadap Kesuburan Tanah Secara umum penambahan pupuk organik pada musim tanam (MT) I (tanah dalam kondisi reduktif) hanya meningkatkan kandungan hara Ca dan nilai KTK tanah, namun menurunkan nilai C-organik, N-total, P-tersedia, K, dan Mg tanah dibandingkan sebelum percobaan MT I. Penurunan ini terjadi akibat proses dekomposisi pupuk organik terutama brangkasan jagung (rasio C/N= 49.37) yang masih terjadi di dalam tanah sehingga menyebabkan akumulasi bahan organik tanah (BOT) belum stabil. Penurunan kandungan hara ini juga diduga akibat penyerapan hara oleh tanaman sehingga kandungan hara dalam tanah berkurang (analisis tanah dilakukan setelah pemanenan padi). Penurunan kandungan hara tanah juga dilaporkan dalam penelitian padi gogo organik oleh Daeng (2012) yang terjadi hingga MT II. Hasil analisis biologi tanah menunjukkan bahwa penambahan pupuk organik pada MT I meningkatkan ketersediaan bakteri pelarut fosfat dan Azotobacter masing-masing hingga 250 dan 695% daripada sebelum percobaan MT I. Penambahan pupuk organik pada MT II (tanah dalam kondisi oksidatif) meningkatkan kandungan P-tersedia dan Ca pada semua perlakuan, serta meningkatkan nilai pH, C-organik, N-total, K, dan Mg pada sebagian perlakuan daripada sebelum percobaan MT II. Secara umum nilai KTK tanah setelah percobaan MT II lebih rendah dibandingkan sebelum percobaan MT II. Menurut Prasetyo et al. (2006) penurunan nilai KTK tanah ini terjadi akibat proses ferolisis yakni didudukinya tapak pertukaran (site exchange) dari liat yang bermuatan negatif oleh senyawa polimer Al yang bermuatan positif. Proses ferolisis ini terjadi akibat penggenangan dan pengeringan tanah sawah secara silih berganti setiap tahunnya. Penurunan nilai KTK akibat ferolisis ini sangat merugikan karena menurunkan kemampuan tanah dalam menahan unsur hara dari pemupukan sehingga banyak unsur hara yang hilang tercuci. Peningkatan nilai pH tanah yang terjadi setelah percobaan MT II diduga akibat penambahan pupuk organik, seperti halnya yang terjadi pada penelitian Susanti et al. (2008) bahwa penggunaan pupuk kandang ayam dapat mengubah sifat fisik tanah seperti kegemburan dan meningkatkan pH tanah. Atmojo (2003) menuliskan bahwa nilai pH tanah dipengaruhi oleh kualitas atau tingkat kematangan pupuk organik yang diberikan. Pupuk organik yang belum terdekomposisi sempurna menurunkan pH tanah, sebaliknya penggunaan pupuk organik yang telah terdekomposisi meningkatkan pH tanah. Kastono (2005) menyatakan bahwa kenaikan pH tanah terjadi akibat penambahan OH- atau kation organik hasil dekomposisi pupuk organik. Menurut Havlin et al. (2005) jika akar tanaman menyerap lebih banyak kation (NH4+) maka ion H+ dikeluarkan dari akar ke rhizosfer tanah sehingga tanah menjadi masam. Sebaliknya, jika anion (NO3-) lebih banyak diserap oleh akar maka ion HCO3 - atau OH- dikeluarkan dari akar ke rhizosfer tanah sehingga tanah menjadi lebih basa. Menurut Hardjowigeno (2003) pH tanah yang terlalu rendah atau terlalu tinggi merugikan tanaman. Pada pH rendah hara P difiksasi oleh Al, sedangkan pada pH tanah yang tinggi hara P difiksasi oleh Ca sehingga menyebabkan hara P tidak tersedia bagi tanaman. Penambahan pupuk organik pada MT II meningkatkan populasi total mikrob tanah hingga 490.5% daripada populasi total mikrob pada MT I, namun menurunkan ketersediaan bakteri pelarut fosfat dan Azotobacter. Kontradiksi ini
54
diduga akibat dominasi jenis mikrob lain yang tidak dianalisis. Menurut Syers dan Craswell (1995) peningkatan populasi total mikrob ini terjadi karena bahan organik menstimulasi aktifitas fauna dan mikrob tanah yang berperan dalam pelepasan hara hasil dekomposisi residu tanaman dan ternak, serta yang berperan dalam sintesis senyawa penyusun humus. Hasil analisis mikrob tanah ini sesuai dengan hasil penelitian Napitupulu (2012) bahwa populasi mikrob tanah pada MT II lebih tinggi dibandingkan populasi mikrob pada MT I akibat adanya tambahan residu hara dari MT I. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa populasi mikrob tanah yang lebih rendah pada tanaman padi (MT I) disebabkan oleh kondisi tergenang (ketersediaan oksigen terbatas) yang mengakibatkan mikrob tanah tidak dapat berkembang dan akhirnya mati. Menurut Prasetyo et al. (2006) beberapa hari setelah sawah digenangi, mikrob aerob merupakan jenis mikrob yang dominan, kemudian digantikan oleh mikrob anaerob fakultatif yang akhirnya diganti oleh mikrob anaerob. Peningkatan kandungan hara dan populasi mikrob tanah pada MT II disebabkan oleh akumulasi hara pupuk organik pada MT I dan MT II. Akumulasi hara ini merupakan keunggulan pupuk organik yakni adanya residu pupuk yang dapat digunakan untuk tanaman pada MT berikutnya (Daeng 2012). Akumulasi residu dipengaruhi oleh tingkat dekomposisi pupuk organik; semakin cepat pupuk organik terdekomposisi, maka semakin cepat pula akumulasi residu hara. Proses dekomposisi pupuk organik ini dipengaruhi oleh rasio C/N. Jika pupuk organik memiliki rasio C/N >20, maka proses dekomposisi masih terjadi sehingga mengakibatkan terjadinya imobilisasi N dan munculnya senyawa fitotoksik (Harada et al. 1993) dan mengakibatkan suhu di sekitar perakaran tanaman tinggi (Yani 2004) sehingga menghambat pertumbuhan tanaman. Menurut Jamilah (2003) proses dekomposisi pupuk organik pada tahap awal bersifat hidrolisis karena membutuhkan air dan enzim hidrolisa ekstra seluler yang menghasilkan senyawa lebih sederhana dan mudah larut dalam air sehingga mikrob tanah dapat memanfaatkannya terutama dalam kondisi aerobik. Selanjutnya dekomposisi terjadi dalam kondisi aerobik yang menghasilkan CO2 dan H2O. Fase-fase dekomposisi bahan organik dalam tanah menurut Munawar (2011) meliputi pemecahan senyawa-senyawa yang mudah terdekomposisi seperti gula, pati, dan protein; pemecahan senyawa-senyawa yang perlu beberapa tahun untuk terdekomposisi seperti selulosa dan lignin; pemecahan senyawa-senyawa yang terdekomposisi hingga 10 tahun seperti senyawa lilin dan fenol; dan pemecahan senyawa-senyawa yang terdekomposisi hingga ratusan atau ribuan tahun. Selain penambahan pupuk organik, pengaplikasian sistem tanpa olah tanah (TOT) pada MT II juga diduga meningkatkan kandungan hara dan populasi mikrob tanah. Kegunaan sistem tanpa olah tanah antara lain meningkatkan biomassa mikrob di dalam tanah, meningkatkan rasio fungi terhadap bakteri, menyediakan lebih banyak jenis dekomposer residu, dan melepaskan hara lebih lambat dibandingkan pada pengolahan tanah intensif (Kennedy et al. 2004); memberikan lingkungan tumbuh yang sesuai bagi fauna tanah yang berperan dalam siklus bahan organik (Franzluebbers 2004); dan mempertahankan kadar air tanah dan mampu meningkatkan BOT hingga 50% (Subaedah et al. 2005). Pengaruh Pupuk Organik terhadap Pertumbuhan Tanaman Penambahan pupuk kandang sapi meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas tanaman seiring dengan semakin meningkatnya dosis pupuk yang
55
diaplikasikan, meskipun tidak menghasilkan perbedaan yang nyata secara statistik pada semua peubah. Hal ini menunjukkan adanya sumbangan hara yang diberikan oleh pupuk kandang sapi terhadap tanaman baik pada MT I maupun MT II. Pupuk kandang kambing dapat digunakan sebagai pilihan karena memiliki kandungan hara K yang relatif lebih tinggi dan memiliki kandungan C dan selulosa yang lebih rendah dibandingkan pupuk kandang sapi (Hartatik dan Widowati 2006) sehingga hara dari pupuk kandang kambing lebih mudah tersedia bagi tanaman. Brangkasan jagung juga merupakan bahan organik yang dapat diaplikasikan pada tanaman, namun cara aplikasinya yang belum tepat menyebabkan fungsinya sebagai sumber hara belum dapat dimanfaatkan secara optimal oleh tanaman akibat masih terjadinya imobilisasi hara di dalam tanah. Penambahan pupuk organik pada MT II memberikan lebih banyak pengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman dibandingkan akibat penambahan pupuk organik pada MT I. Hal ini disebabkan oleh pupuk organik terutama brangkasan jagung yang diaplikasikan pada pertanaman padi saat MT I belum terdekomposisi sempurna akibat pendeknya interval waktu aplikasi pupuk dengan penanaman (2 minggu) sehingga hara menjadi tidak tersedia bagi tanaman (terjadi imobilisasi hara). Waktu yang diperlukan untuk mendekomposisikan brangkasan jagung lebih lama karena memiliki selulosa dan rasio C/N yang tinggi. Menurut Hartatik dan Widowati (2006) adanya residu pupuk organik yang diberikan saat MT I ini meningkatkan ketersediaan hara bagi tanaman pada MT selanjutnya sehingga respon tanaman yang dihasilkan juga lebih baik. Aplikasi pupuk organik dan pestisida nabati pada penelitian di Blora tidak menunjukkan serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) yang lebih rendah dibandingkan pada tanaman konvensional. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Kusheryani dan Aziz (2006) yang menunjukkan bahwa kombinasi kedelai organik dengan tanaman penolak OPT Tagetes erecta menghasilkan pertumbuhan dan produktivitas tanaman yang lebih baik dibandingkan tanaman kedelai konvensional. Tidak efektifnya aplikasi pestisida nabati dalam mengendalikan serangan OPT pada penelitian di Blora mungkin disebabkan oleh lahan penelitian organik dikelilingi lahan pertanian konvensional milik petani sehingga OPT berpindah ke lahan percobaan organik. Penyebab lainnya, menurut Rachmawati dan Korlina (2009) pestisida nabati tidak membunuh OPT secara langsung seperti pada pestisida sintetis, namun dengan cara merusak perkembangan telur, larva, dan pupa, penolak makan (anti feedant), menghambat reproduksi hama betina, mengusir serangga, menghambat pergantian kulit hama, dan menghambat perkembangan patogen melalui senyawa kompleks yang dihasilkan. Kardinan (2002) menuliskan bahwa pestisida nabati bersifat spesifik lokasi, artinya pestisida nabati yang efektif pada suatu tempat belum tentu efektif di tempat lain. Hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan yang berbeda antar lokasi mengakibatkan kandungan senyawa bahan aktif pestisida nabati juga berbeda. Pemilihan Pola Tanam Analisis Usaha Tani Pemilihan jenis tanaman oleh petani biasanya didasarkan atas besarnya nilai rasio R/C atau keuntungan yang diperoleh. Berdasarkan analisis usaha tani dugaan produktivitas per hektar yang dihasilkan, pengusahaan kedelai organik menghasilkan rasio R/C lebih besar daripada pengusahaan padi dan jagung
56
organik (Lampiran 3-5). Nilai rasio R/C kedelai, padi, dan jagung organik masingmasing sebesar 4.47, 3.68, dan 1.44. Rasio R/C= 4.47 pada kedelai organik berarti usaha tani kedelai organik memperoleh pengembalian sebesar 4.47 dari setiap satu satuan biaya yang dikeluarkan. Nilai rasio R/C jagung organik lebih kecil dibandingkan nilai rasio R/C kedelai organik karena dugaan produktivitas pipilan jagung kering per hektar yang dihasilkan rendah. Jika populasi tanaman jagung dinaikkan dua kali lipat (menggunakan jarak tanam 80 cm x 20 cm) dengan asumsi menghasilkan bobot 100 biji jagung yang sama, maka nilai rasio R/C jagung organik menjadi 2.79 atau masih tetap lebih rendah dibandingkan kedelai organik. Hal ini disebabkan oleh harga jual jagung yang lebih rendah dan dosis pupuk kandang sapi yang dibutuhkan jagung organik lebih besar yakni 11.25 ton ha -1 daripada kedelai yakni 7.5 ton ha-1. Oleh karena itu, pola tanam padi-kedelai organik secara ekonomi lebih menguntungkan dengan keuntungan per hektar masing-masing sebesar Rp 25 456 000 dan Rp 26 212 501. Pengaruh Iklim Selain dipengaruhi oleh faktor ekonomi, pengusahaan tanaman pangan oleh petani juga dipengaruhi oleh faktor iklim. Saat ini sebagian besar petani di lokasi penelitian mengikuti pola tanam padi-jagung konvensional setiap tahunnya. Zuhri (2012) melaporkan bahwa saat ini petani lebih banyak menanam jagung karena dianggap lebih menguntungkan, pemeliharaannya lebih mudah, dan memiliki produktivitas lebih tinggi dibandingkan tanaman kedelai. Penanaman jenis tanaman yang sama selama bertahun-tahun dapat menurunkan kesuburan tanah sehingga disarankan untuk dilakukan rotasi tanaman. Menurut Kennedy et al. (2004) jika dibandingkan dengan monokultur, rotasi tanaman dapat meningkatkan kandungan C-organik dan hara tanah, meningkatkan ketersediaan dan keragaman mikrob tanah yang menguntungkan, dan memutus siklus kehidupan gulma dan OPT. Kondisi geografis Blora yang memiliki intensitas cahaya matahari tinggi sangat menguntungkan bagi tanaman jagung (tanaman C4) sehingga tanaman ini mampu beradaptasi lebih baik dibandingkan tanaman kedelai (tanaman C3) terutama ketika musim kemarau. Gardner et al. (1991) menyatakan bahwa sebagian besar tanaman C4 mampu meningkatkan fotosintesis pada tingkat cahaya penuh (terik) daripada tanaman C3 yang mencapai titik jenuh fotosintesis sebelum cahaya penuh. Peningkatan fotosintesis pada tanaman C4 disebabkan oleh tidak terjadinya fotorespirasi, sedangkan pada tanaman C3 terjadi proses fotorespirasi yang mengakibatkan hilangnya CO2 dalam jaringan fotosintetik (menurunkan efisiensi fotosintesis). Meskipun lebih adaptif terhadap cekaman kekeringan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dugaan produktivitas pipilan jagung kering per hektar lebih rendah dibandingkan dugaan produktivitas kedelai kering per hektar. Rendahnya produktivitas jagung organik ini disebabkan oleh rendahnya curah hujan saat pengisian biji dan rendahnya jumlah polen yang digunakan dalam penyerbukan sehingga menyebabkan tongkol jagung tidak terisi sempurna. Selain itu, bentuk tajuk tanaman jagung yang terbuka menurunkan ketersediaan air tanah lebih cepat daripada kedelai yang tajuknya menutupi permukaan tanah. Ketersediaan air tanah ini berperan cukup penting bagi tanaman terutama dalam proses fisiologis seperti proses pengisian biji.
57
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola tanam padi-kedelai organik lebih menguntungkan dibandingkan pola tanam padi-jagung organik karena menghasilkan dugaan produktivitas per hektar dan keuntungan yang lebih besar. Hal ini sejalan dengan penelitian Alfons (2001) bahwa pergiliran tanaman padikedelai di lahan kering lebih efektif dalam menekan pertumbuhan gulma, merangsang pertumbuhan bintil akar dan pertumbuhan kedelai, meningkatkan produktivitas kedelai, serta lebih efisien dalam penggunaan biaya produksi. Magdoff dan Weil (2004) menuliskan bahwa rotasi tanaman dari jagung ke kedelai meningkatkan kandungan C-organik tanah hingga 20±14 g C m-2 tahun-1 karena tanaman legum ini menghasilkan lebih banyak biomassa akar yang memberikan kontribusi lebih besar terhadap residu. Keunggulan lain penanaman kedelai pada rotasi tanaman yaitu kedelai memiliki bintil akar yang mengandung Rhizobium yang memungkinkan tanaman memanfaatkan nitrogen secara langsung dari udara (Rahmawati 2005) dan simbiosis antara tanaman legum dengan bakteri Rhizobium di dalam bintil akar meningkatkan jumlah N ke dalam tanah sebesar 200 kg N ha-1 tahun-1 pada kondisi normal dan 80-100 kg N ha-1 tahun-1 pada kondisi suboptimal (Lata et al. 2002) sehingga dapat mengurangi biaya pemupukan tanaman. Penentuan Waktu Tanam Usaha budidaya tanaman pangan di lokasi penelitian sangat bergantung pada curah hujan akibat tidak tersedianya sarana irigasi. Hal ini menyebabkan petani harus mampu menentukan waktu tanam secara tepat agar tanaman tumbuh secara maksimal. Umumnya hujan turun di lokasi penelitian pada bulan Oktober hingga April atau Mei, kecuali pada tahun 2007 dan 2010 hujan turun sepanjang tahun akibat pengaruh La Nina (Lampiran 6). Budidaya tanaman padi saat musim penghujan ditetapkan sebagai awal musim tanam (MT I). Petani di lokasi penelitian memiliki kebiasaan menanam jagung pada awal musim penghujan (musim labuh) sebagai antisipasi jika intensitas curah hujan rendah dan tidak memungkinkan untuk menanam padi. Jika curah hujan tinggi (tanah dalam kondisi jenuh air) maka brangkasan jagung segar yang dihasilkan digunakan sebagai pupuk hijau dan diolah bersamaan dengan pengolahan tanah agar dapat segera menanam padi. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, penggunaan brangkasan jagung segar sebagai pupuk hijau menyebabkan imobilisasi hara sehingga menghambat pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu, brangkasan jagung segar yang dihasilkan sebaiknya tidak digunakan sebagai pupuk hijau, kecuali jika telah dikomposkan terlebih dahulu dalam waktu yang lebih lama atau digunakan sebagai pakan ternak. Penanaman jagung sebaiknya tidak dilakukan dan diganti dengan aplikasi pupuk organik ke dalam tanah untuk efisiensi waktu dan biaya. Berdasarkan data rata-rata intensitas curah hujan pada 9 tahun terakhir di lokasi penelitian, budidaya tanaman padi pada MT I dapat dilakukan pada bulan November hingga Maret (Gambar 29). Oleh karena itu, petani disarankan untuk mengaplikasikan pupuk organik ke dalam tanah pada bulan Oktober (saat mulai turun hujan) agar pupuk organik terdekomposisi sempurna sembari menunggu curah hujan yang cukup untuk menanam padi. Kegiatan penyemaian benih padi dan pengolahan tanah dapat dilakukan pada awal November karena curah hujan hingga akhir Oktober cukup tinggi (203.6 mm per bulan) dan mungkin tanah telah jenuh air (curah hujan bulan basah pada klasifikasi iklim Oldeman > 200 mm per
58
bulan). Selanjutnya, penanaman padi dilakukan pada minggu ketiga atau akhir bulan November dengan menyesuaikan kondisi di lapangan. Kegiatan budidaya tanaman kedelai atau jagung pada MT II dapat dilakukan pada bulan Maret hingga Juli karena curah hujan pada bulan Maret dan April masih cukup tinggi sehingga mampu mendukung pertumbuhan tanaman setidaknya hingga fase vegetatif maksimum (7 MST). Pada lahan yang dekat dengan sumber air, kebutuhan air tanaman pada musim kemarau dapat dipenuhi dengan irigasi menggunakan pompa air. Debit air yang dibutuhkan oleh setiap kondisi tanah berbeda, tergantung pada kapasitas lapang tanah tersebut. Debit air yang dibutuhkan tanaman dapat dihitung dengan cara: Debit air (m3) = kedalaman perakaran tanaman (0.2 m) x luas lahan (m2) Umumnya curah hujan pada bulan Agustus dan September di lokasi penelitian sangat rendah sehingga kegiatan budidaya tanaman tidak dapat dilakukan, kecuali jika terdapat sumber air seperti aliran sungai atau hujan turun lebih awal. Budidaya tanaman yang dipaksakan pada kondisi air yang terbatas ini tidak efisien karena biaya produksi yang dibutuhkan cukup tinggi. Oleh karena itu, pada bulan tersebut tanah dapat diberakan dan digarap kembali pada bulan Oktober. 300 Curah hujan* (mm per bulan)
250 200 150 100 50 0
Okt Nov Des OT
Jan
Feb Mar Apr Mei
P
Jun
Jul
J/K
Aug Sep Bulan B/J
Keterangan: OT : aplikasi pupuk dan olah tanah P : padi K : kedelai J : jagung B : bera * Rataan intensitas curah hujan bulanan Kecamatan Jiken, Kabupaten Blora tahun 2003-2011 (Sumber: UPTD Pertanian Kecamatan Jiken, Kabupaten Blora)
Gambar 29. Perencanaan waktu tanam di lokasi penelitian
59
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Penambahan pupuk kandang sapi menghasilkan pertumbuhan tanaman padi, kedelai, dan jagung organik yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa pupuk, meskipun tidak semua peubah berbeda nyata secara statistik. Penambahan 10 ton pupuk kandang sapi ha -1 dengan jarak tanam tegel 20 cm x 20 cm atau penambahan 3 ton brangkasan jagung ha -1 + 7.5 ton pupuk kandang ha-1 dengan jarak tanam jajar legowo 40 cm x 25 cm x 15 cm menghasilkan dugaan produktivitas padi organik per hektar lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan lainnya pada MT I. Penambahan 7.5 ton pupuk kandang sapi ha -1 atau penambahan 7.5 ton pupuk kandang kambing ha-1 lebih efisien diaplikasikan dalam produksi kedelai organik daripada perlakuan lainnya pada MT II. Penambahan 11.25 ton pupuk kandang sapi ha-1 atau penambahan 11.25 ton pupuk kandang kambing ha-1 lebih efisien diaplikasikan dalam produksi jagung organik dibandingkan dengan perlakuan lainnya pada MT II. Penambahan pupuk kandang sapi pada MT II menghasilkan lebih banyak pengaruh nyata terhadap peubah pertumbuhan dan produksi tanaman jika dibandingkan dengan penambahan pupuk kandang sapi pada MT I. Pola tanam padi-kedelai organik lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan pola tanam padi-jagung organik berdasarkan dugaan produktivitas per hektar dan nilai rasio R/C yang dihasilkan. Saran
1.
2.
3.
4.
Interval waktu antara aplikasi pupuk organik dengan penanaman perlu diperhatikan untuk menghindari kemungkinan terjadinya imobilisasi hara akibat proses dekomposisi pupuk organik yang masih terjadi di dalam tanah. Brangkasan jagung segar sebaiknya tidak digunakan sebagai pupuk hijau karena berpotensi menyebabkan imobilisasi hara, kecuali jika telah dikomposkan terlebih dahulu dalam waktu lama atau digunakan sebagai pakan ternak. Sebaiknya waktu penanaman jagung tersebut digunakan untuk aplikasi pupuk organik untuk efisiensi waktu dan biaya. Pengelolaan air di daerah dengan curah hujan rendah seperti Blora perlu dilakukan agar tanaman dapat tumbuh secara optimal terutama ketika musim kemarau. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan membuat embung atau tempat penampungan air. Penentuan waktu tanam dapat dilakukan dengan melihat pola sebaran intensitas curah hujan bulanan yang turun setiap tahunnya.
60
DAFTAR PUSTAKA Alfons JB. 2002. Pengelolaan tanah untuk usahatani berbasis kedelai di lahan kering: pergiliran tanaman, sistem olah tanah, dan pupuk alternatif [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Al-Kaisi MM, Xinhua Y, Licht MA. 2005. Soil carbon and nitrogen changes as affected by tillage system and crop biomass in a corn-soybean rotation. Applied Soil Ecology (30): 174-191. Andoko A. 2010. Budidaya Padi secara Organik. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Atmojo SW. 2003. Peranan Bahan Organik terhadap Kesuburan Tanah dan Upaya Pengelolaannya. Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar Ilmu Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta (ID): Sebelas Maret University. [Balitsereal] Balai Penelitian Tanaman Sereal. 2010. Deskripsi varietas unggul jagung edisi keenam [Internet]. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. [diunduh pada 2012 Mar 20]. Tersedia pada: http://balitsereal. litbang. deptan.go.id/ind/images/stories/deskripsi06.pdf. Bandyopadhyay KK, Misra AK, Ghosh PK, Hati KM. 2010. Effect of integrated use of farmyard manure and chemical fertilizers on soil physical properties and productivity of soybean. Soil & Tillage Research 110: 115-125. Beyer L. 2002. Soil Geography and Sustainability of Cultivation. Di dalam: Khrisna KR, editor. Soil Fertility and Crop Production. New Hampshire (US): Science Publishers, Inc. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Produktivitas tanaman padi, kedelai, dan jagung [Internet]. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. [diunduh pada 2013 Mar 20]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/tnmn_pgn. php?kat=3. [BPS Jateng] Badan Pusat Statistik Jawa Tengah. 2011a. Luas panen, produksi, dan produktivitas padi sawah dan padi ladang menurut kabupaten/kota [Internet]. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. [diunduh pada 2013 Jun 20]. Tersedia pada: http://jateng.bps.go.id/index.php?option= com_content&view=article&id=693:05-01-01&catid=49:pertanian-2012& Itemid=89. [BPS Jateng] Badan Pusat Statistik Jawa Tengah. 2011b. Luas panen, produksi, dan produktivitas kacang tanah dan kacang kedele menurut kabupaten/kota [Internet]. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. [diunduh pada 2013 Jun 20]. Tersedia pada: http://jateng.bps.go.id/index.php?option= com_content&view=article&id=696:05-01-04&catid=49:pertanian-2012& Itemid=89. [BPS Jateng] Badan Pusat Statistik Jawa Tengah. 2011c. Luas panen, produksi, dan produktivitas padi sawah/padi ladang dan jagung menurut kabupaten/kota [Internet]. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. [diunduh pada 2013 Jun 20]. Tersedia pada: http://jateng.bps.go.id/ index.php?option=com_content&view=article&id=694:05-01-02&catid=49: pertanian-2012&Itemid=89. Daeng B. 2012. Respon dua varietas padi gogo terhadap pupuk dan residunya dalam sistem budidaya organik [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
61
Dewi K. 2004. Pengaruh jenis pupuk kandang dan jarak tanam terhadap pertumbuhan dan produksi jagung manis (Zea mays saccharata Sturt) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Dobermann A, Fairhurst TH. 2000. Rice: Nutrient Disorders and Nutrient Management. Potash and Phosphate Institute (PPI), Potash & Phosphate Institute of Canada (PPIC) and International Rice Research Institute (IRRI). Oxford (EN): Oxford Graphic Printers Pte. Ltd. Dordas C. 2008. Role of nutrients in controlling plant diseases in sustainable agriculture: a review. Agron. Sustain. Dev. 28: 33-46. Eagle AJ, Bird JA, Horwath WR, Linguist BA, Brouder SM, Hill JE, van Kessel C. 2000. Rice yield and nitrogen utilization efficiency under alternative straw management practices. Agron. J (92): 1096-1103. Efendi R, Suwardi. 2010. Respon tanaman jagung hibrida terhadap tingkat takaran pemberian nitrogen dan kepadatan populasi [Internet]. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. [diunduh pada 2013 April 12]. Tersedia pada: http://balitsereal.litbang.deptan.go.id/ind/images/stories/p34.pdf. Fahrurozzi, Hermawan B, Latifah. 2005. Pertumbuhan dan hasil kedelai pada berbagai dosis mulsa alang-alang dan pengolahan tanah. Jurnal Akta Agrosia 8 (1): 21-24. Farida R. 2011. Pengaruh pemberian cendawan mikoriza arbuskula (CMA) dan dosis pupuk kandang ayam terhadap pertumbuhan dan produksi jagung (Zea mays L.) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Francescangeli N, Sangiacomo MA, Marti H. 2006. Effects of plant density in broccoli on yield and radiation use efficiency. Scientia Horticulturae 110: 135-143. Franzluebbers K. 2004. Tillage and Residue Management Effects on Soil Organic Matter. Di dalam: Magdoff F, Weil RR, editor. Soil Organic Matter in Sustainable Agriculture. Boca Raton (US): CRC Pr. Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RL. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Herawati S, penerjemah. Jakarta (ID): UI Pr. Grossman JM, Schipanski ME, Sooksanguan T, Seehaver S, Drinkwater LE. 2011. Diversity of rhizobia in soybean (Glycine max (Vinton)) nodules varies under organic and conventional management. Appl. Soil Ecology (50): 14-20. Haerani L. 2004. Pengaruh penambahan jerami dan pengurangan dosis pupuk anorganik terhadap pertumbuhan dan hasil padi sawah (Oryza sativa Linn.) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hall RC, Twidwell EK. 2002. Effects of Drought Stress on Corn Production. Extention Extra. College of Agriculture & Biological Sciences. South Dakota (US): South Dakota State University. Handayani TA. 2012. Produksi kedelai organik berdasarkan perbedaan dosis pupuk dan fungi mikoriza arbuskula [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Harada Y, Haga K, Osada T, Koshino M. 1993. Quality of compost produced from animal wastes. JARQ 26 (4): 238-246. Hardjowigeno S. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta (ID): PT. Akademika Pressindo. Hartatik W, Setyorini D. 2008. Pengaruh Pupuk Organik terhadap Sifat Kimia Tanah dan Produksi Tanaman Padi Sawah Organik. Prosiding Seminar
62
Nasional dan Dialog Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor (ID): Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Hartatik W, Widowati LR. 2006. Pupuk Kandang. Di dalam: Simanungkalit RDM, Suriadikarta DA, Saraswati R, Setyorini D, Hartatik W, editor. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Bogor (ID): Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Havlin JL, Beaton JD, Tisdale SL, Nelson WL. 2005. Soil Fertility and Fertilizers: an Introduction to Nutrient Management Seventh Edition. New Jersey (US): Pearson Education, Inc. Upper Saddle River. [IFOAM] International Federation of Organic Agriculture Movements. 2012. Prinsip-prinsip pertanian organik [Internet]. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. [diunduh pada 2012 Mar 14]. Tersedia pada: http://www. ifoam.org /about_ifoam /pdfs /POA_folder_indonesian.pdf. Jamilah. 2003. Pengaruh pemberian pupuk kandang dan kelengasan terhadap perubahan bahan organik dan nitrogen total entisol [tesis]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara. Kardinan A. 2002. Pestisida Nabati Ramuan dan Aplikasi. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Kastono D. 2005. Tanggapan pertumbuhan dan hasil kedelai hitam terhadap penggunaan pupuk organik dan biopestisida gulma siam (Chloroderma odorata). Jurnal Ilmu Pertanian 12 (2): 103-116. [Kemendag] Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. 2013. Harga harian komoditas jagung dan kedelai [Internet]. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. [diunduh pada 2013 Jun 30]. Tersedia pada: http://www.ews.kemendag.go.id. Kennedy AC, Stubbs TL, Schillinger WF. 2004. Soil and Crop Management Effects on Soil Microbiology. Di dalam: Magdof F, Weil RR, editor. Soil Organic Matter in Sustainable Agriculture. (US): CRC Press. Kurniansyah D. 2010. Produksi kedelai organik panen kering dari dua varietas kedelai dengan berbagai jenis pupuk organik [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kusheryani I, Aziz SA. 2006. Pengaruh jenis tanaman penolak organisme pengganggu tanaman terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merr) yang diusahakan secara organik. Bul. Agron. (34): 39-45. Lata, Saxena AK, Tilak KVBR. 2002. Biofertilizers to Augment Soil Fertility and Crop Production. Di dalam: Khrisna KR, editor. Soil Fertility and Crop Production. New Hampshire (US): Science Publishers, Inc. Litbang Kementerian Pertanian. 2012. Deskripsi varietas unggul kedelai 19182008 [Internet]. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. [diunduh pada 2012 Mar 20]. Tersedia pada: http://pustaka.litbang.deptan.go.id/ bppi/lengkap/ deskripsi_kedelai.pdf. Magdoff F, Weil RR. 2004. Soil Organic Matter Management Strategies. Di dalam: Magdoff F, Weil RR, editor. Soil Organic Matter in Sustainable Agriculture. Boca Raton (US): CRC Pr. Marschner H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plants Second Edition. New York (US): Academic Pr.
63
Melati M, Andriyani W. 2005. Pengaruh pupuk kandang ayam dan pupuk hijau Calopogonium mucunoides terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai panen muda yang dibudidayakan secara organik. Bul. Agron. 33 (2):8-15. Melati M, Asiah A, Rianawati D. 2008. Aplikasi pupuk organik dan residunya untuk produksi kedelai panen muda. Bul. Agron. 36 (3): 204–213. Munawar A. 2011. Kesuburan Tanah dan Nutrisi Tanaman. Bogor (ID): IPB Pr. Mustaha MA. 1999. Studi aplikasi mulsa jerami padi dan cara pengolahan tanah terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman jagung serta dinamika populasi gulma [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Napitupulu D. 2012. Dinamika populasi mikrob tanah dengan sistem pola tanam padi kedelai pada pertanian organik [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nurhastuti EE. 1997. Inokulasi kapang Trichoderma harzianum Rifai Aggr. pada proses dekomposisi bahan organik serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan hasil sawi (Brassica chinensis L.) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nurrahma AHI. 2012. Pengaruh jenis pupuk dan dekomposer terhadap pertumbuhan dan produksi padi organik [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. On YS. 2003. Pengaruh pupuk organik dan anorganik terhadap produksi dan viabilitas benih jagung manis (Zea mays saccharata) pada dua tingkat populasi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Pemerintah Kabupaten Blora. 2011. Topografi keadaan wilayah kabupaten Blora [Internet]. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. [diunduh pada 2013 Jan 20]. Tersedia pada: http://www.blorakab.go.id. Prasetyo BH, Adinigsih JS, Subagyono K, Simanungkalit RDM. 2006. Mineralogi, kimia, fisika, dan biologi tanah sawah [Internet]. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. [diunduh pada 2013 Jun 11]. Tersedia pada: http://www.balittanah.litbang.deptan.go.id/dokumentasi/buku/tanah sawah/tanahsawah2.pdf. Pusat Penelitian Tanah. 1983. Jenis dan Macam Tanah di Indonesia untuk Keperluan Survey dan Pemetaan Tanah Daerah Transmigrasi. Bogor (ID): Pusat Penelitian Tanah. Rachmawati D, Korlina E. 2009. Pemanfaatan Pestisida Nabati untuk Mengendalikan Organisme Pengganggu Tanaman. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur. Rahmawati N. 2005. Pemanfaatan biofertilizer pada pertanian organik [Internet]. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. [diunduh pada 2011 Sep 25]. Tersedia pada: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1131 /1/05013941.pdf. Rigby D, Young T, Burton M. 2001. The development of and prospects for organic farming in the UK. Food Policy 26: 599-613. Said MY, Soenartiningsih, Tenrirawe A, Adnan AM, Wakman W, Talanca AH, Syafrudin. 2008. Petunjuk Lapang Hama, Penyakit, dan Hara pada Jagung. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Salisbury FB, Ross CW. 1985. Plant Physiology Third Edition. California (US): Wadsworth Publishing Company.
64
Samosir PM. 2011. Pemberian abu sekam padi dan fosfat alam sebagai pengganti pupuk KCl dan SP-36 pada pertumbuhan dan produksi tanaman padi sawah (Oryza sativa) [skripsi]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara. Saragih VB. 2009. Monitoring dan evaluasi penerapan teknologi legowo 4:1 pada usaha tani padi sawah [skripsi]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara. Shukla SK, Yadav RL, Singh PN, Singh I. 2008. Potassium nutrition for improving stubble bud sprouting, dry matter partitioning, nutrient uptake and winter initiated sugarcane (Saccharum ssp. hybrid complex) ratoon yield. Europ. J. Agronomy 30: 27-33. Sinclair TR, Muchow RC. 2001. System analysis of plant traits to increase grain yield on limited water supplies. Agron. J. 93: 263-270. Sirappa MP, Razak N. 2007. Kajian penggunaan pupuk organik dan anorganik terhadap pertumbuhan dan hasil padi sawah. J. Agrivigor (3): 219-225. Sisworo WH. 2006. Swasembada Pangan dan Pertanian Berkelanjutan Tantangan Abad 21: Pendekatan Ilmu Tanah Tanaman dan Pemanfaatan IPTEK Nuklir. Jakarta (ID): Batan. Soetrisno L. 1999. Pertanian pada Abad ke 21. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sofyan A, Nurjaya, Kasno A. 2004. Status hara tanah untuk rekomendasi pupuk kandang [Internet]. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. [diunduh pada 2012 Okt 20]. Tersedia pada: http://balittanah.litbang.deptan.go.id/ dokumentasi/buku/tanahsawah/tanahsawah3.pdf. Stevic M, Vuksa P, Elezovic I. 2010. Resistance of Venturia inaequalis to demethylation inhibiting (DMI) fungicides. Zamdirbyste Agriculture 97 (4): 65-72. Subaedah St, Guritno B, Syamsulbahri, Sastrosupadi. 2005. Respons tanaman jagung terhadap pengolahan tanah dan pemberian nitrogen pada lahan bekas tanaman penutup tanah di lahan kering. Agrivita 27 (3): 205-212. Sudaryono. 2002. Sumber K Alternatif dan Peranan Pupuk Kandang pada Tanaman Kedelai di Lahan Kering Alfisol dan Vertisol. Prosiding Seminar Hasil Penelitian. Balai Penelitian dan Pengembangan Tanaman pangan. Sudiarto, Gusmaini. 2004. Pemanfaatan bahan organik in situ untuk efisiensi budidaya jahe yang berkelanjutan. Jurnal Litbang Pertanian 23 (2): 37-45. Sugito Y, Handayanto E, Murniyanto E. 2006. Aktivitas daun, pertumbuhan, dan efisiensi energi matahari umbi edible arroids di bawah naungan. Agrivita (28) 1: 1-7. Sugiyanta, Rumawas F, Chozin MA, Mugnisyah WQ, Ghulamahdi M. 2008. Studi serapan hara N, P, K dan potensi hasil lima varietas padi sawah (Oryza sativa L.) pada pemupukan anorganik dan organik. Bul. Agron. 36 (3): 196-203. Susanti H, Aziz SA, Melati M. 2008. Produksi biomassa dan bahan bioaktif kolesom (Talinum triangule (Jacq.) Willd) dari berbagai asal bibit dan dosis pupuk kandang ayam. Bul. Agron. 36 (1): 48-55. Suwantoro AA. 2008. Analisis pengembangan pertanian organik di kabupaten Magelang (studi kasus di kecamatan Sawangan) [tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro. Syers JK, Craswell ET. 1995. Role of Soil Organic Matter in Sustainable Agricultural System. Di dalam: Lefroy RDB, Blair GJ, Craswell ET, editor.
65
Soil Organic Matter Management for Sustainable Agriculture. Canberra (AU): Australian Centre for International Agricultural Research. Verma TS, Bhagat RM. 1992. Impact of rice straw management practices on yield, nitrogen uptake, and soil properties in wheat-rice rotation in Northern India. Fert. Res. 33: 97-106. Vitosh ML, Johnson JW, Mengel DB. 1995. Tri-state fertilizer recommendation for corn, soybeans, wheat, and alfalfa. Bulletin E-2567. Michigan (US): East Lansing Michigan. Michigan State University. Volleyntina H, Tohari, Fatimah S. 2007. Pengaruh takaran pupuk kandang terhadap pertumbuhan dan hasil empat varietas kacang tanah (Arachis hypogaea L.). Ilmu Pertanian 14 (2): 129-144. Yani H. 2004. Pemanfaatan mikrob, biokompos, dan Zn untuk menurunkan Cd pada beras di sawah tercemar limbah industri [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Yogi K. 2012. Harga beras organik mencapai Rp 15.000/kg [Internet]. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. [diunduh pada 2013 Jun 30]. Tersedia pada: http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/10/23/ 133523 /Harga-Beras-Organik-Mencapai-Rp-15.000kgYulfianti CE. 2011. Efek sisa pemanfaatan abu sekam sebagai sumber silika (Si) untuk memperbaiki kesuburan tanah sawah [skripsi]. Padang (ID): Universitas Andalas. Zuhri S. 2012. Enggan tanam kedelai, petani pilih jagung [Internet]. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. [diunduh pada 2013 Mar 3]. Tersedia pada: http://blog.bisnis.com/articles/enggan-tanam-kedelai-petani-pilihjagung.
66
LAMPIRAN Lampiran 1. Denah percobaan padi organik pada MT I
BJ3+PS7.5
air keluar
BJ3+PS7.5 +L*
BJ3+PS10
PS10
BJ3+P0
PS10
BJ3+PS7.5
BJ3+PS10
BJ3+PK7.5*
BJ3+PS10
BJ3+PS7.5 +L*
BJ3+PS7.5
BJ3+PS7.5 +L*
BJ3+PK7.5*
PS10
BJ3+P0
Keterangan: * : perlakuan pembanding BJ : brangkasan jagung PS : pupuk kandang sapi PK : pupuk kandang kambing L : jarak tanam jajar legowo BARAT air masuk TIMUR
BJ3+PS10
PS10
Ulangan 1
BJ3+PK7.5*
BJ3+PS7.5
BJ3+PK7.5*
Ulangan 2
BJ3+P0
BJ3+P0
BJ3+PS7.5 +L*
Ulangan 3
Ulangan 4
*
PADI KONVENSIONAL
Lampiran 2. Denah percobaan kedelai dan jagung organik pada MT II Keterangan kedelai jagung jagung * : perlakuan jagung pembanding PS : pupuk kandang sapi PK : pupuk kandang kambing L : jarak tanam jajar legowo
BARAT
TIMUR
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
Ulangan 4
67
Lampiran 3. Analisis usaha tani padi organik dengan penambahan 10 ton pupuk kandang sapi ha-1 (per satuan hektar) No. Kegiatan Jumlah Satuan Harga Total PENGELUARAN 1 Benih padi Ciherang 6 pak 60 000 360 000 2 2 Persemaian (800 m ) Tenaga kerja 2 HOK 35 000 70 000 Pupuk kandang 400 kg 300 120 000 Abu sekam 160 kg 150 24 000 3 Persiapan lahan Pembajakan (traktor) 3 hari 100 000 300 000 Penggaruan (traktor) 3 hari 100 000 300 000 4 Aplikasi pupuk Abu sekam 2 000 kg 150 300 000 Pupuk kandang 10 000 kg 300 3 000 000 Tenaga kerja 4 HOK 35 000 140 000 5 Penanaman Tenaga tanam 30 HOK 30 000 900 000 6 Penyulaman Tenaga kerja 6 HOK 30 000 180 000 7 Penyiangan I 10 HOK 30 000 300 000 II 10 HOK 30 000 300 000 8 Aplikasi pestisida Daun mimba 0 Glyricidia 0 Bawang putih 20 kg 6 000 120 000 Jengkol 10 kg 8 000 80 000 Beauveria sp. 10 botol 30 000 300 000 Sambiloto 0 9 Tenaga semprot pestisida 30 HOK 35 000 1 050 000 10 Tenaga panen 30 HOK 35 000 1 050 000 11 Transportasi (pupuk dan panen) 600 000 Total biaya
9 494 000
PENDAPATAN (Produk dijual dalam bentuk beras dengan rendemen 50% dari dugaan produktivitas 4.66 ton GKG ha -1) Pendapatan 2 330 kg 15 000* 34 950 000 Rasio R/C 3.68 Keuntungan (Rp) 25 456 000 Keterangan: HOK: hari orang kerja, 1 HOK wanita: Rp 30 000, 1 HOK pria: Rp 35 000 *: estimasi harga beras organik di pasaran (Yogi 2012)
68
Lampiran 4. Analisis usaha tani kedelai organik dengan penambahan 7.5 ton pupuk kandang sapi ha-1 (per satuan hektar) No. Kegiatan Jumlah Satuan Harga Total PENGELUARAN 1 Benih kedelai var Anjasmoro 40 kg 10000 400 000 2 Aplikasi Pupuk Abu sekam 2 000 kg 150 300 000 Pupuk kandang sapi 7 500 kg 300 2 250 000 Tenaga kerja 3 HOK 35 000 105 000 3 Pengolahan tanah (tanpa olah tanah) 0 4 Aplikasi mulsa jerami Tenaga kerja 3 HOK 35 000 105 000 5 Penanaman Tenaga tanam 30 HOK 30 000 900 000 6 Penyulaman Tenaga sulam 6 HOK 30 000 180 000 5 Penyiangan 10 HOK 30 000 300 000 6 Aplikasi pestisida Bawang putih 20 kg 6 000 120 000 Beauveria 10 botol 30 000 300 000 Sambiloto 0 Glyricidia 0 7 Tenaga semprot pestisida 30 HOK 35 000 1 050 000 8 Tenaga panen 30 HOK 35 000 1 050 000 9 Transportasi (pupuk dan panen) 500 000 Total biaya
7 560 000
PENDAPATAN Pendapatan dihitung berdasarkan dugaan produktivitas kedelai kering per hektar Pendapatan 3 190.6 kg 10 585* 33 772 501 Rasio R/C 4.47 Keuntungan (Rp) 26 212 501 Keterangan: HOK: hari orang kerja, 1 HOK wanita: Rp 30 000, 1 HOK pria: Rp 35 000 *: harga harian kedelai di pasaran per 28 Juni 2013 (Kemendag 2013)
69
Lampiran 5. Analisis usaha tani jagung organik dengan penambahan 11.25 ton pupuk kandang sapi ha-1 (per satuan hektar) No. Kegiatan Jumlah Satuan Harga Total PENGELUARAN 1 Benih jagung (80 cm x 40 cm) 9 kg 30 000 270 000 2 Aplikasi pupuk Abu sekam 2 000 kg 150 300 000 Pupuk kandang sapi 11 250 kg 300 3 375 000 Tenaga kerja 5 HOK 35 000 175 000 3 Pengolahan tanah (tanpa olah tanah) 0 4 Aplikasi mulsa jerami padi Tenaga kerja 3 HOK 35 000 105 000 5 Penanaman Tenaga tanam 30 HOK 30 000 900 000 6 Penyulaman Tenaga sulam 6 HOK 30 000 180 000 7 Penyiangan 10 HOK 30 000 300 000 8 Aplikasi pestisida Bawang putih 20 kg 6 000 120 000 Beauveria 10 botol 30 000 300 000 Sambiloto 0 Glyricidia 0 9 Tenaga semprot 30 HOK 35 000 1 050 000 10 Tenaga panen 30 HOK 35 000 1 050 000 11 Transportasi (pupuk dan panen) 700 000 Total Biaya
8 825 000
PENDAPATAN Pendapatan dihitung berdasarkan dugaan produktivitas pipilan jagung per hektar Pendapatan 2 277 kg 5 574* 12 695 008 Rasio R/C 1.44 Keuntungan (Rp) 3 870 008 Keterangan: HOK: hari orang kerja, 1 HOK wanita: Rp 30 000, 1 HOK pria: Rp 35 000 *: harga harian jagung di pasaran per 28 Juni 2013 (Kemendag 2013)
70
Lampiran 6. Intensitas curah hujan di Kecamatan Jiken, Kabupaten Blora tahun 2003-2011 Tahun
Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Jumlah
Rataan
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
105 360 120 220 185 0 0 0 0 80 335 295 1700
195 175 396 90 165 35 80 0 0 20 175 185 1516
160 190 260 225 5 125 0 25 25 300 170 455 1940
250 265 160 125 0 0 0 0 0 20 15 260 1095
148 255 221 380 45 168 0 190 10 950 297 412.5 3076.5
187 236 95 7.5 7.3 11 0 44.5 0 146 137 179 1050.3
156 316 205 236 51 13 0 0 4 30 127 56 1194
190 196 429 162 196 139 311 68 243 226 207 190 2557
194 38 162 139 52 8 0 0 0 60 242 252 1147
176.11 225.67 227.56 176.06 78.48 55.44 43.44 36.39 31.33 203.56 189.44 253.83 1697.31
Keterangan: intensitas curah hujan dalam satuan mm per bulan (Sumber: UPTD Pertanian Kecamatan Jiken, Kabupaten Blora)
71
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Blora pada tanggal 21 Mei 1987 dari ayah Sudarsono dan ibu Sudarningsih. Penulis merupakan anak terakhir dari tiga bersaudara. Penulis diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB pada tahun 2005. Penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura pada tahun 2006 dan gelar Sarjana Pertanian diterima penulis pada tahun 2009. Penulis pernah mengikuti International Internship Program “The Ohio Program” (TOP) The Ohio State University, Amerika Serikat pada tahun 20092010 dan bekerja di Research and Development Department Sinar Mas Forestry region Kalimantan Barat pada tahun 2011. Penulis melanjutkan studi pascasarjana program studi Agronomi dan Hortikultura IPB melalui program Beasiswa Unggulan DIKTI (BU-DIKTI) Dalam Negeri pada tahun 2011. Selama pendidikan, penulis mengikuti kegiatan keorganisasian Forum Mahasiswa Pascasarjana AGH (FORSCA AGH) sebagai anggota Departemen Advokasi dan Keorganisasian pada tahun 2011-2012. Penulis mengikuti “IPBIbaraki University Summercourse Program” di Bogor pada bulan September 2012 dan “IPB-Ibaraki University Wintercourse Program” di Ibaraki, Jepang pada bulan November 2012. Penulis juga mengikuti beberapa kegiatan seminar antara lain sebagai presenter dalam International Seminar “Agriculture Adaptation in the Tropics: Research and Innovation toward Environment Resilience and Food Security”, peserta dalam One Day International Seminar “Applying Genetic Variation on the Control of Resistance to Infectious Diseases in Ruminants to Support Meat Self Sufficient in Indonesia”, peserta International Research and Technology Seminar “Green Renewable Energy for Sustainable Development”, peserta seminar Nasional “Peran Sektor Pertambangan dalam Meningkatkan Kualitas Lingkungan dan Kepedulian Sosial Lahan Bekas Tambang”, peserta “Seminar Pertanian Nasional Gebyar Pertanian 2011”, dan peserta “Workshop Wrap Up Program I-MHERE B2.c IPB dan Launching Akreditasi ISO 17025:2008 IPB Culture Collection (IPBCC)”.