MINISTRY OF AGRICULTURE THE REPUBLIC OF INDONESIA
STUDI MENGENAI PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI: PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN DAN KEUANGAN MIKRO PEDESAAN DI INDONESIA
RINGKASAN ELSEKUTIF
July 2007
JAPAN INTERNATIONAL COOPERATION AGENCY NIPPON KOEI CO., LTD.
LIST OF REPORTS FINAL REPORT:
SUMMARY MAIN REPORT APPENDICES Appendix A:
Rural Microfinance
Appendix B:
Agricultural Processing
Appendix C:
Agricultural Marketing
Appendix D:
Socio-Economy and Institution
SUMMARY (Indonesian) MAIN REPORT (Indonesian)
SOUTH SULAWESI COMPONENT: MAIN REPORT MAIN REPORT (Indonesian)
-i-
Japan International Cooperation Agency (JICA) Departemen Pertanian Republik Indonesia
Studi tentang Peningkatan Pendapatan Petani: Pengolahan Hasil Pertanian dan Keuangan Mikro Pedesaan Latar Belakang dan Tujuan Studi Latar Belakang 37 juta penduduk Indonesia berada pada kategori kemiskinan, 70% diantaranya hidup di daerah pedesaan. Karenanya, peningkatan pendapatan petani di daerah pedesaan menjadi kunci utama dalam memerangi kemiskinan di negara ini. Pemerintah Indonesia telah menjadikan peningkatan pendapatan petani prioritas utama dengan mendukung produksi bernilai tambah melalui pengolahan hasil pertanian. Keuangan merupakan salah satu cara efektif dalam mendukung kegiatan para petani dan penghidupan di pedesaan guna meningkatkan pendapatan mereka meskipun masih terdapat kesenjangan antara persediaan dan permintaan.
Tujuan
Untuk mempersiapkan rekomendasi kebijakan bagi Pemerintah Indonesia dalam penyusunan/pelaksanaan kebijakan dalam mendukung kegiatan pengolahan hasil pertanian dan keuangan mikro pedesaan guna meningkatkan pendapatan petani. Untuk berbagi pengetahuan/keterampilan teknis kepada pihak-pihak terkait Pemerintah Indonesia melalui kegiatan pelatihan kerja lapangan selama berlangsungnya masa Studi ini.
Informasi Umum Tujuan Umum: Pendapatan petani akan meningkat melalui promosi kegiatan pengolahan hasil pertanian dengan didukung oleh kondisi keuangan yang dicapai melalui keuangan mikro pedesaan yang saling mendukung. Wilayah dan Komoditas Studi: 3 Kabupaten di Propinsi Jawa Barat dan 2 Kabupaten di Propinsi Jawa Timur Indeks Kemiskinan (2003) Propinsi Jawa Barat
Jawa Timur
Kabupaten
Komoditas
Garis Kemiskinan
Penduduk Miskin
Rasio Penduduk Miskin
(Rp./kapita/bulan)
(orang)
(%)
Cirebon
Itik
120,074
352,400
17.3
Kuningan
Ubi Jalar
123,267
201,700
19.5
Majalengka
Ubi Jalar
129,547
203,700
17.7
Mojokerto
Itik
140,862
166,100
17.2
Kediri
Mangga
112,907
289,200
19.6
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian: Rencana dalam mempromosikan kegiatan pengolahan hasil pertanian telah disusun untuk setiap komoditas tersebut diatas. Sedangkan untuk jenis komoditas lain juga akan dipersiapkan dengan menggunakan pertimbangan yang sama. Keuangan Mikro Pedesaan: Sistem keuangan di Indonesia telah ditinjau ulang dengan menggunakan pendekatan keuangan mikro pedesaan guna membantu para petani dan masyarakat pedesaan. Untuk itu Studi ini telah mempersiapkan skema keuangan mikro pedesaan yang berkesinambungan dan mudah diakses para petani. Model Implementasi: Beberapa model implementasi telah dipersiapkan untuk pelaksanaan kegiatan pengolahan hasil pertanian dan keuangan mikro pedesaan khususnya dengan penggunaan dana dari Second Kennedy Round-Counterpart Fund (SKR-CF). Jadwal Studi Studi ini telah dimulai sejak Desember 2005 dan berakhir pada Juli 2007 dengan jadwal sebagai berikut: (1) Kaji ulang dan analisa materi dan informasi mengenai pengolahan hasil pertanian dan keuangan mikro pedesaan, (2) Survei terhadap Kelompok Tani dan lembaga keuangan melalui survei
2005
2006
Periode Studi Tahun Pertama (JFY2005)
Nov Pekerjaan di Indonesia
Des
Tahap I
Pekerjaan di Jepang Tahap Persiapan Laporan
Ic/R
-1-
2007
Tahun Ke-2 (JFY2006) Jul
Agt
Sep
Okt
Nov
Tahun Ke-3 (JFY2007)
Des
Jan
Feb
Mar
Apr
Tahap I
Pr/R(1)
It/R
Jun
Jul
Tahap IV
Tahap III
Tahap II
Mei
Tahap II
c
Pr/R(2)
c
Df/R
Tahap III
F/R
Agt
lapangan dan seminar kelompok, (3) Pelaksanaan seminar lapangan bagi Kelompok Tani yang terseleksi dan para pemangku kepentingan untuk mengidentifikasi masalah yang dihadapi dalam kegiatan pengolahan hasil pertanian dan keuangan mikro pedesaan serta kebutuhan para anggota Kelompok Tani tersebut, (4) Penyusunan rekomendasi kebijakan dan model implementasi, serta penyelesaian tahap akhir melalui seminar sosialisasi, (5) Penyusunan topik umum dalam mempromosikan kegiatan pengolahan hasil pertanian dan keuangan mikro pedesaan, (6) Pelaksanaan seminar diseminasi, dan (7) Penyusunan Laporan Akhir.
Kebijakan di Sektor Pertanian Target: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Mengurangi angka kemiskinan menjadi 8.2 % Disahkan 19 Januari 2005 melalui Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 Pertumbuhan ekonomi dari 5.5 % menjadi 7.6 % Tiga Agenda: (i) Menciptakan negara yang aman dan damai, (ii) Mengurangi angka pengangguran dari 9.7 % Menciptakan negara yang adil dan demokratis, dan (iii) (2004) menjadi 5.1 % (sebelum 2009) Meningkatkan kesejahteraan rakyat Sembilan Prioritas: (i) Penanggulangan kemiskinan, (ii) Peningkatan kesempatan kerja, investasi dan ekspor, (iii) Revitalisasi pertanian, perikanan, kehutanan dan perdesaan, (iv) Peningkatan akses dan kualitas bidang pendidikan dan kesehatan, (v) Pembenahan sistem hukum, birokrasi dan pemberantasan korupsi, (vi) Peningkatan kemampuan ketahanan negara, stabilisasi keamanan dan ketertiban serta penanggulangan konflik, (vii) Penanggulangan dan penanganan bencana, (viii) Percepatan pembangunan infrastruktur, dan (iv) Pembangunan perdesaan dan daerah tertinggal. Rencana Pembangunan Pertanian 2005 – 2009 Target: Angka pertumbuhan PDB 3.3 % per tahun di Disusun dan diterbitkan pada bulan Januari 2005 sektor pertanian Penekanan terhadap peningkatan: (i) ketahanan pangan, (ii) produksi hasil Penciptaan lowongan kerja sebesar 44.5 juta di 2009 pertanian yang bernilai tambah dan berdaya saing dan (iii) kesejahteraan Peningkatan penambahan nilai di tingkat 5% petani. Tiga program pembangunan seperti (i) Program Peningkatan per tahun Ketahanan Pangan, dan (ii) Program Pengembangan Agribisnis yang Pertumbuhan produktivitas tenaga kerja pada tingkat 1.4 % per tahun meliputi pengolahan hasil pertanian dan keuangan mikro pedesaan, (iii) Reduction in rural poverty to 15 % by 2009 Program Peningkatan Kesejahteraan Petani.
Karakteristik Wilayah dan Komoditas Studi Berikut ini dijelaskan karakteristik wilayah dan komoditas studi ditinjau dari sudut pengolahan hasil pertanian dan keuangan mikro pedesaan. Data disusun berdasarkan kumpulan data dan survei lapangan yang diperoleh dari 34 Kelompok Tani, masyarakat pedesaan dan lembaga keuangan, lembaga keuangan non-bank serta Dinas dan lembaga pemerintah terkait. Pengolahan Hasil Pertanian Itik di Kabupaten Cirebon and Mojokerto Tigan Mekar DOD Raising Sistem Segitiga merupakan kerja sama usaha antara kelompok-kelompok tani, dimana masing-masing kelompok berlaku sebagai pemasok utama dari telur fertile, Selling fertiled Selling DOD egg DOD (Day Old Duck) dan pullet (layer) Tiga jenis pakan ternak itik: (i) Tradisional, (ii) Intensif and (iii) Semi-intensif Branjangan Putih Selling Layer Bebek Jaya Duck Breeding Fertiled Egg Masalah yang perlu perbaikan: (i) rendahnya produksi telur yang dihasilkan oleh itik (Layer) petelur, (ii) rendahnya angka penetasan telur, (iii) tingginya angka kematian, (iv) belum Skema Segitiga ada penerapan ilmiah dalam pengaturan temperatur dan kelembaban pada penanganan penetasan telur, (v) belum ada penjualan daging itik pejantan muda di Kabupaten Cirebon (vi) tingginya harga pakan ternak itik dan (vii) belum ada penggunaan yang efektif dari bulu itik Ubi Jalar di Kabupaten Kuningan dan Majalengka Produktivitas ubi jalar dapat mencapai 8 – 20 ton/ha dan sepenuhnya bergantung pada tersedianya fasilitas sistem irigasi. Di Kabupaten Kuningan terdapat dua pabrik pengolahan ubi Keremes jalar yang cukup besar. Sedangkan Kabupaten Majalengka Sweet Potato Chips Sweet Potato Cakes masih belum memiliki hubungan usaha dengan industri Contoh Hasil Produksi Olahan Ubi Jalar swasta. Di Kabupaten Majalengka, 70% dari pasar ubi jalar didominasi oleh kelompok tengkulak.
-2-
Mangga di Kabupaten Kediri Penelitian terfokus pada dua kegiatan utama yaitu: (i) Pengolahan mangga kering pada Kelompok Tani Sumber Mulyo (Kecamatan Banyakan) yang dibantu oleh sebuah LSM dan (ii) Pengolahan nanas yang dilakukan oleh Kelompok Tani Lohjinawi (Kecamatan Ngancar) yang mendapat bantuan teknis dari BPTP Malang, Universitas Brawijaya dan Dinas Perindustrian. Mangga Podang di 75% dari transaksi mangga dilakukan oleh pengumpul dan petani sebelum panen, atau Kecamatan Tarokan sistem ijon, yang lazim terjadi di Pulau Jawa bukan hanya untuk komoditas mangga tapi juga untuk komoditas lainnya. Masalah yang perlu perbaikan: (i) minimnya teknologi dalam pengolahan dan pengemasan, (ii) sarana transportasi menuju pasar kurang memadai, (iii) kesulitan dalam pengadaan sarana produksi, (iii) harga yang anjlok terutama saat panen raya dan (iv) kesulitan dalam mengakses lembaga keuangan. Keuangan Mikro Pedesaan Temuan di Lapangan Petani mendapatkan akses yang berbeda dari lembaga-lembaga keuangan seperti Unit-unit BRI dan lembaga Non-bank atau lembaga keuangan lainnya seperti pegadaian, warung dan arisan. Secara umum, penduduk kaya dan penduduk menengah sudah memiliki akses ke lembaga keuangan formal. Sedangkan kebanyakan penduduk miskin Buku Arisan Diskusi antara Kelompok Tani baru bisa mengakses keuangan melalui rentenir, pegadaian, warung dan Gabungan P4K dan para pemangku arisan. kepentingan pada Hampir seluruh Kelompok Tani yang terseleksi telah memiliki kegiatan simpan pinjam walaupun Seminar Sosialisasi di dengan tingkatan yang berbeda. Kabupaten Mojokerto Distribusi yang tidak merata pada program bantuan keuangan yang diberikan pemerintah bagi para petani khususnya dalam program pengentasan kemiskinan. Hal ini berpengaruh pada perilaku dan pola pikir kelompok penerima bantuan. Kesenjangan antara Persediaan dan Permintaan Kebutuhan keuangan petani dan masyarakat pedesaan masih belum dapat terpenuhi karena kesenjangan berikut: (i) Akses fisik yang kurang memadai karena berada di daerah terpencil, (ii) Jasa keuangan yang kurang menguntungkan bagi anggota masyarakat miskin di daerah pedesaan, (iii) Kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pendanaan Akses fisik yang buruk Unit BRI di usaha agribisnis, (iv) Kesulitan dalam memenuhi persyaratan pinjaman di Kabupaten Kecamatan Cilimus, Majalengka Kabupaten Kuningan di bank, (v) Ketergantungan pinjaman pada para pedagang untuk memenuhi kebutuhan keuangan dan sarana produksi, dan (vi) Keterbatasan jumlah pinjaman yang diberikan oleh Kelompok Tani dan koperasi karena terbatasnya dana yang terhimpun dari anggota yang masih terbatas, serta status hukum informal yang menghambat akses ke lembaga keuangan formal.
Pendekatan Perbaikan Empat masalah mendasar yang dipertimbangkan dalam penyusunan pendekatan perbaikan adalah: (i) Kelompok Sasaran, (ii) Hubungan antara Pengolahan Hasil Pertanian dan Keuangan Mikro Pedesaan, (iii) Proses Transformasi dari Kelompok Tani menjadi Lembaga Keuangan Mikro dan Kelompok Usaha, dan (iv) Interaksi antara Usaha Agribisnis Petani dengan Pengembangan Masyarakat , seperti dijelaskan di bawah ini: (i) Kelompok Sasaran: Kelompok Tani miskin yang memiliki motivasi kuat dan kemampuan potensial untuk memperbaiki taraf kehidupan mereka Regional Average
Very Poor
Poor
Fair
50
75
Rich
Kelompok Tani 0
25
100%
Hasil Survei Tingkat Kemiskinan
-3-
(ii)
Hubungan antara Pengolahan Hasil Pertanian dan Keuangan Mikro Pedesaan Hubungan antara pengolahan hasil pertanian sebagai kegiatan peningkatan pendapatan dan keuangan mikro pedesaan sebagai pendukungnya merupakan kunci keberhasilan dalam mencapai peningkatan pendapatan petani.
Menurut hasil survei tingkat kemiskinan dan seminar lapangan, para petani anggota Kelompok-kelompok Tani yang terseleksi masih merasa bahwa mereka masih berada pada taraf kehidupan yang hampir miskin. Karenanya mereka memohon bantuan untuk dapat meningkatkan kegiatan peningkatan penghasilan. Kelompok-kelompok Tani tersebut dianggap telah memiliki motivasi kuat dan kemampuan potensial untuk dapat melaksanakan kegiatan pengolahan hasil pertanian sebagai usaha mereka dan melakukan kegiatan simpan pinjam dengan dukungan yang dibutuhkan.
Faktor Pendukung Usaha
LKM Pedesaan di masyarakat
Us aha Meningkatkan Pendapatan
Produksi Prim er
Akses ke Layanan Keuangan Manajem en Us aha
Peningkatan Aset dan Pem upukan Modal pada tingkat Petani
Manajemen Keuangan
Pengolahan Hasil Pertanian
Pem as aran
Penerapan Teknologi dan Peralatan yang Ses uai
Peningkatan Kapasitas untuk Pers iapan dan Penerapan Strategi Pemas aran
Faktor-Faktor Pendukung Lain Penyuluh Pertanian & Penelitian Pertanian Sarana Produksi & Pasokan Bahan Baku Kondisi Fisik Infrastruktur Pemerintahan Daerah, Kesetaraan Gender
Hubungan Pengolahan Hasil Pertanian & Keuangan Mikro
(iii)
Proses Transformasi Kelompok Tani menjadi LKM dan Kelompok Usaha: Secara bertahap memperkuat kemampuan kelompok dan mengubah kelompok menjadi Gabungan / LKM (melalui Embrio LKM) Individu
Pembentukan Kelom pok KT SHG
Penguatan Kelompok KT SHG
KT SHG KT SHG
KT SHG
Konsolidasi
Formalisasi Regulasi
Embrio LKM
LKM
Serta memperhitungkan faktor-faktor pendukung lainnya. (iv) Interaksi antara Usaha Agribisnis Petani dan Pengembangan Masyarakat Kegiatan usaha agribisnis petani melibatkan para pemangku kepentingan di masyarakat seperti rukun tetangga/pelanggan, pedagang dan penyedia jasa keuangan. Kegiatan tersebut akan membantu dalam peningkatan perekonomian dan kondisi sosial ekonomi masyarakat, dan sebaliknya.
KT SHG
Departemen Pertanian
Kelompok Usaha
Hibah Dana Bergilir
Livelihood Assistance
Dana Bergilir Pinjaman dengan Kontribusi Kelompok
Pemberdayaan
Pemerintah Propins i Pemerintah Kabupaten
Inisiatif Sendiri Pembentukan Dana
Pembentukan aset Pembentukan Modal
Menerima Layanan Keuangan
Graduasi
Proses Manajemen Mandiri
Manajemen Mandiri
Bahan Baku
Petani Kelompok Tani Masyarakat
Aktivitas Usaha
Pasar, Pabrik & Konsumen
Keuangan
Dukungan Usaha
Ketergantunga pada pendampingan KT: Kelompok Tani, SHG: Self-Help Group (Kelompok Tani Mandiri), LKM: Lembaga Keuangan Mikro
Hubungan dengan Masyarakat
Proses Transformasi Kelompok Tani menjadi LKM
Interaksi ini merupakan salah satu persyaratan keberhasilan dalam kegiatan pengolahan hasil pertanian dan keuangan mikro pedesaan karena kegiatan ini sangat dekat dengan masyarakat pedesaan dan mendorong perekonomian masyarakat.
Model Usaha Tahap Persiapan Tahap-1: Persiapan langkah perbaikan bagi setiap Kelompok Tani, Tahap-2: Identifikasi dan klasifikasi model usaha, dan Tahap-3: Pelaksanaan hubungan antara model usaha dengan pengolahan hasil pertanian dan keuangan. Tahap-1 Langkah Perbaikan (dijelaskan secara lengkap dalam Bab 5 dari Laporan Utama) Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Keuangan Penggunaan sistem organisasi yang sudah berjalan Pembentukan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di seperti Skema Segitiga di Kabupaten Cirebon masyarakat dimana Kelompok Tani (KT) melakukan dan/atau membuat kemitraan baru dengan sektor kegiatan, melalui (i) penguatan koperasi yang sudah swasta terbentuk, (ii) membentuk KT menjadi LKM, dan (iii) Seleksi pasar: pasar lokal maupun luar membentuk LKM baru Pengenalan teknologi baru / perluasan skala usaha Peningkatan keuntungan usaha agribisnis KT Pembinaan dan fasilitasi pihak ketiga: BDS, LSM dan Peningkatan aset pada tingkat petani, KT dan koperasi untuk Universitas mendukung stabilitas dan kesinambungan penghidupan Pinjaman lunak untuk peralatan dan bagian dari modal kerja
-4-
Berdasarkan atas langkah perbaikan diatas, rencana perbaikan telah disusun bagi 13 Kelompok Tani yang terseleksi dari survei lapangan dan Gabungan P4K / LKM seperti dibawah ini: Kabupaten
Kecamatan
P4K Gabungan / LKM
Komoditas Kelompok Tani & Jumlah Anggota
Cirebon
Gegesik
Sigranala Indah
7 (6 pria, 1 wanita)
13 Gabungan
Itik
Cirebon Utara
Bebek Jaya
20 (20 pria, 0 wanita)
1 LKM
Panguragan
Tigan Mekar
36 (33 pria, 3 wanita)
Kuningan
Cilimus
Andayarasa
25 (20 pria, 5 wanita)
12 Gabungan
Ubi Jalar
Jalaksana
Bina Karya
20 (19 pria, 1 wanita)
6 LKM
Cilimus
LInggasari II
20 (20 pria, 0 wanita)
Majalengka
Cigasong
Mitra Binangkit
37 (0 pria, 37 wanita)
17 Gabungan
Ubi Jalar
Talaga
Delima II
16 (5 pria, 11 wanita)
4 LKM
Mojokerto
Pungging
Karya Tani
11 (10 pria, 1 wanita)
29 Gabungan
Itik
Bangsal
Tani Mulyo
28 (5 pria, 23 wanita)
9 LKM
Mojosari
Lestari Sejahtera
47 (0 pria, 47 wanita)
Kediri
Tarokan
Makmur Jaya
105 (75 pria, 30 wanita)
4 Gabungan
Mangga
Banyakan
Budidaya
160 (90 pria, 70 wanita)
0 LKM
¨ Besar modal Gabungan/LKM di 5 Kab.: Rp.0.125-160.783 juta ¨ Jumlah total anggota di 5 Kab.: 6,802 ¨ Jumlah total KPK di 5 Kab.: 533 ¨ Jumlah total Gabungan & LKM di 5 Kab.: 95 ↓ ¨ Menyeleksi 10 Gabungan atau LKM dari 5 Kabupaten sebagai target
Menuju Tahap 2 Tahap-2: Model Usaha bagi Pengolahan & Pemasaran Hasil Pertanian dan Keuangan Model Usaha bagi Pengolahan & Pemasaran
Model Usaha bagi Keuangan
Industri Itik (Kabupaten Cirebon dan Mojokerto) ·
Itik
Perluasan skala bisnis dan pembaruan teknologi
Model 1:
(pengenalan dan penguatan sistem produksi segitiga dengan melakukan kerjasama antara Kelompok Tani)
·
Itik
Perluasan skala bisnis dan penguatan industri
Model 2:
itik
(mengundang
revitalisasi
pendatang
kelompok
yang
baru tidak
dan aktif,
membentuk kemitraan)
Pembentukan masyarakat Kelompok melakukan
LKM
di
dimana Tani kegiatan,
Ubi Jalar
Pengolahan dan pemasaran produk primer
Model 1:
(irisan ubi jalar kering, dan kemitraan pabrik
Pembentukan
Ubi Jalar
Pengolahan dan pemasaran makanan industri
Model 2:
rumah tangga (produksi lokal untuk konsumsi lokal, produk tradisional dan unik)
Pengolahan Mangga (Kabupaten Kediri) ·
Mangga
Pengolahan dan pemasaran buah dengan sektor
Model:
swasta (mangga kering dan jus, pemasaran)
kelompok
yang
dominan
dan
anggota yang pasif
LKM
Bagi Kelompok Tani yang memiliki
mandiri dari Kelompok
kegiatan simpan pinjam reguler dan
Tani
dapat menunjukkan kepemimpinan yang
baik
serta
kerjasama
kelompok yang baik *Rencana perbaikan bagi kelompok ini adalah pembentukan Gabungan
penggilingan tepung ubi jalar) ·
yang kegiatan
kelompoknya kurang aktif, ketua
tetapi diluar KT
Pengolahan Ubi Jalar (Kabupaten Majalengka dan Kuningan) ·
Bagi Kelompok Tani
KT sebagai tahap lanjutan model ini Penguatan
fungsi
Bagi Kelompok Tani yang sudah
keuangan dari koperasi
berhubungan
yang
koperasi
sudah
(KSP/USP)
terbentuk
langsung
dengan
yang
melayani Kelompok Tani Catatan: Keterlibatan tengkulak dan pengumpul ke dalam LKM sangat penting artinya dalam berbagi informasi pasar dan guna mencapai ketentuan transaksi yang lebih adil.
-5-
Tahap-3: Hubungan Model Usaha antara Pengolahan Hasil Pertanian dan Keuangan
Kelompok Tani
Model Usaha Pengolahan & Pemasaran
Model Usaha Keuangan
Industri Itik Model 1 Perluasan Skala Usaha dan Pembaruan Teknologi
Penguatan Koperasi yang sudah Terbentuk
Industri Itik Model 2 Perluasan Skala Usaha & Penguatan Industri Itik
Pembentukan LKM Berbasis Masyarakat
Industri Itik Model 1 Perluasan Skala Usaha & Penguatan Industri Itik (Uji Coba Teknologi Baru)
Pembentukan KSU
Industri Itik Model 2 Perluasan Skala Usaha & Penguatan Industri Itik
Pembentukan LKM Mandiri
Pengaruh Hubungan
Kab. Cirebon Tigan Mekar
Bebek Jaya
Sigranala Indah
Perluasan dan Pengembangan Industri Usaha Itik ↓ Keterlibatan Anggota Masyarakat dalam Usaha
Kab. Mojokerto Lestari Sejahtera
Karya Tani
Tani Mulyo
Perluasan Kerjasama Kelompok Tani ↓ Keterlibatan Anggota Masyarakat dalam Usaha
Hubungan Model Usaha Industri Itik dan Keuangan Kelompok Tani
Model Usaha Pengolahan & Pemasaran
Model Usaha Keuangan Mikro
Pengaruh Hubungan
Pembentukan LKM Mandiri
Perluasan Pengolahan Produk Primer ↓ Kluster Pengolahan Ubi Jalar
Kab. Kuningan & Majalengka Andayarasa
Ubi Jalar Model 1 Pengolahan dan Pemasaran Produk Primer
Binakarya
Pendaftaran Sebagai Badan Usaha (UKM)
Linggasari 2
Mitra Binangkit
Ubi Jalar Model 2 Pengolahan dan Pemasaran Makanan Industri Rumah Tangga
Pembentukan LKM Berbasis Masyarakat
Perluasan Pengolahan Makanan Industri Rumah Tangga ↓ Keterlibatan Anggota Masyarakat dalam Usaha
Pembentukan LKM Mandiri
Delima 2
Hubungan Model Usaha Pengolahan Ubi Jalar dan Keuangan
Kelompok Tani
Model Usaha Pengolahan & Pemasaran
Model Usaha Keuangan Mikro
Pengaruh Hubungan
Model Mangga Pengolahan Buah dan Pemasaran dengan Perusahaan Swasta
Pembentukan LKM Mandiri
Keterlibatan Anggota Masyarakat ↓ Kluster Pengolahan Mangga
Kab. Kediri Budi Daya
Makmur Jaya
Hubungan Model Usaha Pengolahan Mangga dan Keuangan
Kelompok Tani
Model Usaha Pengolahan & Pemasaran
Model Usaha Keuangan Mikro
Pengaruh Hubungan
Penguatan Sektor Agribisnis
Pembentukan LKM
Keterlibatan Anggota Masyarakat ↓ Pembentukan Kluster Pengolahan
Jawa Barat & Jawa Timur Gabungan KPK & LKM dibaw ah P4K
Hubungan Model Usaha Kegiatan Peningkatan Pendapatan dan Keuangan
REKOMENDASI KEBIJAKAN Setelah model usaha tersebut diatas dilaksanakan, pengaruh langsung dari pengolahan hasil pertanian diperkirakan akan meningkatkan pendapatan rata-rata menjadi Rp.6.6 juta per tahun bagi 350 anggota rumah tangga di 13 Kelompok Tani. Dari hubungan dengan LKM atau penguatan koperasi, peningkatan tingkat kemandirian diharapkan dapat tercapai melalui peningkatan aset dan modal sendiri untuk mengakses lembaga keuangan komersial setelah proyek berakhir dalam 5 tahun. Dari hubungan tersebut juga, diperkirakan akan memberikan pengaruh tidak langsung terhadap 4,200 rumah tangga di lingkungan tersebut yang 48% atau 2,000 rumah tangga berada dalam kemiskinan.
-6-
Aspek Pendukung Pengolahan Keuangan Mikro Pedesaan
Hasil
Pertanian
dan
Aspek Utama dalam Penyusunan Rekomendasi Kebijakan
Simpan Pinjam Reguler
Rekomendasi 1 Seleksi Kelompok, Pengawasan dan Peran Serta Masyarakat
Dukungan Masyarakat Keuangan Mikro Pedesaan (Kondis i yang Mendukung)
Wilayah Studi: 5 Kabupaten
Model Penguatan Koperas i yang sudah terbentuk
Pengolahan & Pemasaran (Meningkatkan Pendapatan)
13 Kelompok Tani yang terseleksi
LKM Mandiri (Lembaga Keuangan Mikro)
Masyarakat Pedesaan
Indus tri Itik 2 Model Usaha
Model Penguatan Koperasi yang sudah terbentuk
Pengolahan Ubi Jalar 2 Model Usaha
Model LKM Mandiri
Pengolahan Mangga 1 Model Us aha
Gabungan KPK dibawah P4K
LKM Berbas is Masyarakat
Keuangan Mikro Pedesaan (Kondisi yang Mendukung)
Model LKM berbasis Masyarakat
Layanan Keuangan Disiplin Us aha Keterlibatan Pedagang Transparans i
Rekomendasi 3 Business Developm ent Services (Pendampingan)
Bus ines s Development Services (Pendampingan)
Menghidupkan Kegiatan Ekonomi di Masyarakat
Busines s Development Services (Pendampingan)
Pemerintah Daerah DEPTAN
Dampak bagi Mas yarakat Mis kin
Pemerintah Daerah DEPTAN
Wilayah Studi: 5 Kabupaten
Pengolahan & Pemasaran (Meningkatkan Pendapatan) Industri Itik 2 Model Usaha
13 Kelompok Tani yang terseleksi
Pengolahan Ubi Jalar 2 Model Usaha
Masyarakat Pedesaan Gabungan KPK dibawah P4K
Rekomendasi 4 Dukungan dari Pem erintah Daerah
Pengolahan Mangga Model Usaha
Rekom endasi 2 Teknologi Pengolahan & Komoditas Lain dan Kerjasama Pem asaran
Rekomendasi 5 Replikasi Model Usaha
Ringkasan Aspek Utama Rekomendasi Kebijakan
Model Usaha Keuangan Mikro Pedesaan dan Pengolahan & Pemasaran
Aspek Utama Rekomendasi Kebijakan ·
Kelompok yang diseleksi adalah yang sudah melakukan kegiatan simpan pinjam
Kelompok,
·
Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan guna mendukung kesinambungan
Pengawasan dan Keterlibatan
·
Kegiatan pengawasan dan evaluasi dilakukan oleh pihak ketiga yang mandiri dan tanpa terlibat langsung
·
Persiapan pembuatan arah dan strategi dengan menggunakan teknis analisa seperti Analisa Rantai Nilai,
·
Keterlibatan para tengkulak dan pengumpul dalam Embrio LKM sebagai efek pengganda
·
Kebutuhan Kelompok Tani akan bantuan khususnya dalam bidang keuangan, pengelolaan keuangan
Rekomendasi 1 Seleksi Masyarakat Rekomendasi 2 Teknologi
Pengolahan
&
Komoditas Lain dan Kemitraan
Analisa SWOT, Market Mix dan sebagainya
Pemasaran Rekomendasi 3 Business
Development
kelompok, teknologi pengolahan, pemasaran, koordinasi dan komunikasi dengan para pemangku
Services (BDS)
kepentingan harus dilakukan dengan strategi yang tepat untuk mendukung inisiatif dan kapasitas dari Kelompok Tani ·
Perlunya pendataan lembaga-lembaga BDS di tingkat Kabupaten dan Propinsi serta informasi dari hasil perkembangan dan prestasi mereka
·
Rekomendasi 4
Dukungan modal harus dalam bentuk pinjaman dari bank, bukan dana bergulir yang diberikan langsung kepada Kelompok Tani
Dukungan Modal bagi Pengembangan Kemampuan
·
Tabungan terbekukan akan meningkatkan aset Kelompok Tani dengan memanfaatkan suku bunga
dengan Komponen
·
Memberikan pelatihan dalam pengelolaan keuangan bagi petani
·
Peran penting Dinas Propinsi dan Dinas Kabupaten dalam menciptakan kondisi yang mendukung, sebagai
Daerah
·
Bantuan modal bagi petani harus dalam bentuk pinjaman untuk KT melalui bank, tidak bergulir di dalam KT,
Rekomendasi 6
·
Model yang direplikasi diasumsikan atas dasar keuntungan biaya dan peningkatan aset seperti model
·
Pada saat pelaksanaan CF-SKR, dianjurkan untuk melibatkan Dinas Propinsi dan BPD dalam penyaluran
Peningkatan Aset Rekomendasi 5 Dukungan
dari
Pemerintah
kunci keberhasilan pelaksanaan program untuk melatih kemampuan pengelolaan keuangan mereka
Replikasi Model Usaha
implementasi yang diajukan dalam Studi ini dana dan pengadaan, kemudian, Dinas Kabupaten dapat belajar dari Dinas Propinsi untuk pelaksanaan lanjutan
JICA Study Team on the Improvement of Farmers’ Income: Agricultural Processing and Rural Micro Finance Gedung A. Ruang 811, Jl. Harsono RM No.3 Jakarta 12550 INDONESIA TEL (Kantor) :021-781-9833 , 081-385-661191 (N.Morioka), 081-385-661197 (S. Otsuka)
-7-
Gambar
Itik
Itik Persiapan pembuatan telur asin di Kabupaten Cirebon (3 Agustus 2006)
Itik Saluran air kandang itik di Kabupaten Mojokerto (8 Agustus 2006)
Itik Meneropong fertilitas telur itik dengan menggunakan peralatan sederhana di Kabupaten Mojokerto (8 Agustus 2007)
Itik Mesin Penetasan Tradisional di Kabupaten Mojokerto (8 Agustus 2007)
Itik
Itik
Itik
Ubi Jalar Seminar lapangan di Kelompok Tani Linggasari II di Kabupaten Kuningan (3 Agustus 2006)
Pemberian pakan DOD di Kabupaten Mojokerto (8 Agustus 2007)
Seminar Sosialisasi di Kabupaten Cirebon (6 Februari 2006)
Ubi Jalar Seminar Sosialisasi di Kabupaten Majalengka (8 Februari 2007)
Sate Bebek, salah satu hasil produksi itik di Kabupaten Cirebon (3 Agustus 2006)
Ubi Jalar Survei lapangan, wawancara di Kelompok Tani Andayarasa di Kabupaten Kuningan (7 September 2006)
-8-
Pakan itik remisan di Kelompok Tani Ternak Bebek Jaya di Kabupaten Cirebon (8 Agustus 2007)
Ubi Jalar Es krim terbuat dari ubi jalar di Kabupaten Kuningan (2 Agustus 2006)
Gambar
Ubi Jalar Irisan ubi kering hasil penelitian di Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (BALITKABI) Malang (22 Februari 2007)
Ubi Jalar Mesin Penggilingan Tepung Ubi Jalar (Jenis Manual) di Kabupaten Kuningan (2 Agustus 2006)
Ubi Jalar Ladang ubi jalar di Kelompok Tani Sawalogah di Kabupaten Majalengka (11 September 2006)
Ubi Jalar Diskusi kelompok membahas draft Model Implementasi pada Seminar Sosialisasi di Kabupaten Kuningan (7 Februari 2007)
Mangga Pengupasan mangga sebagai bagian dari proses pembuatan mangga kering yang dilakukan oleh Kelompok Tani Sumber Mulyo di Kabupaten Kediri (6 November 2007)
Mangga Vacuum Fryer untuk proses pembuatan buah kering bantuan dari LSM, Resource Exchange International (REI) di Kabupaten Kediri (20 Februari 2007)
Mangga Mangga kering yang diproduksi atas bantuan REI di Kabupaten Kediri (20 Februari 2007)
Mangga Tukar pendapat bersama REI selama Seminar Sosialisasi di Kabupaten Kediri (20 Februari 2007)
Mangga Produk berkemasan di Kabupaten Kediri (6 November 2006)
Mangga Peralatan Pengemasan Jus di Kabupaten Kediri (6 November 2006)
Mangga Masalah Sensus dibahas di Seminar Lapangan di Kelompok Tani Makmur Jaya di Kabupaten Kediri (16 October 2006)
Mangga
-9-
Pasar Buah di Surabaya (10 Agustus 2006)
Ringkasan Elsekutif I.
Pendahuluan
Otoritas 01.
Laporan Akhir dari Studi tentang Peningkatan Pendapatan Petani: Pengolahan Hasil Pertanian dan Keuangan Mikro Pedesaan di Indonesia (selanjutnya disebut “Studi”) ini disusun berdasarkan Lingkup Kerja (Scope of Work) yang disepakati oleh Studi bersama antara Japan International Cooperation Agency (JICA) dan Departemen Pertanian (DEPTAN) pada tanggal 5 November 2004. Laporan ini mengemukakan hasil Studi termasuk latar belakang, situasi di contoh Kabupaten saat ini, model usaha dan model implementasi dari pengolahan hasil pertanian dan keuangan mikro pedesaan serta rekomendasi kebijakan pendukung pengolahan hasil pertanian dan pengembangan skema keuangan mikro. (1.1)
Tujuan Studi 02.
Tujuan dari Studi adalah: (i) Untuk mempersiapkan rekomendasi kebijakan bagi Pemerintah Indonesia dalam penyusunan/pelaksanaan kebijakan dalam mendukung kegiatan pengolahan hasil pertanian dan keuangan mikro pedesaan guna meningkatkan pendapatan petani., (ii) Untuk berbagi pengetahuan/keterampilan teknis kepada pihak-pihak terkait DEPTAN melalui kegiatan pelatihan kerja lapangan selama berlangsungnya masa Studi. (1.3)
Wilayah Studi 03.
Guna membantu Studi melakukan penelitian dalam bidang pengolahan hasil pertanian, Pemerintah Indonesia telah memilih tiga komoditas yaitu ubi jalar, itik dan mangga. Berdasarkan wilayah produksi dari tiga komoditas tersebut, wilayah Studi dipilih di lima Kabupaten termasuk Cirebon, Kuningan dan Majalengka di Propinsi Jawa Barat, serta Mojokerto dan Kediri di Propinsi Jawa Timur, dengan total luas wilayah lebih dari 4,300 km2. (1.4)
Lingkup Studi 04.
Lingkup Studi sebagaimana dijelaskan dalam Lingkup Kerja meliputi: (i) kaji ulang informasi/data yang ada mengenai pengolahan hasil pertanian dan keuangan mikro pedesaan, (ii) pengumpulan informasi dasar dari lokasi contoh, (iii) promosi pengolahan hasil pertanian, (iv) pengembangan skema baru keuangan mikro pedesaan, (v) hubungan antara pengolahan hasil pertanian dan keuangan mikro pedesaan, dan (vi) rekomendasi kebijakan. (1.5)
II.
Kondisi Sosial-Ekonomi dan Kebijakan Sektor Pertanian
Kondisi Sosial-Ekonomi Sektor Pertanian 05.
Pada tahun 1998, perekonomian Indonesia sangat terpuruk akibat krisis nilai tukar, tetapi sektor pertanian hanya menunjukkan 0.7% penurunan. Hal ini disebabkan oleh karena sektor pertanian sangat bergantung pada produksi tanaman pangan yang kurang sensitif terhadap perubahan yang terjadi di bidang ekonomi. Sejak tahun 2000, seluruh sektor
S-1
Ringkasan Elsekutif perekonomian mencapai pertumbuhan PDB positif menjadi lebih dari 5% per tahun, sebagai hasil dari pertumbuhan sektor selain pertanian. Subsektor tanaman pangan dibawah sektor pertanian menunjukkan laju pertumbuhan yang rendah yaitu pada angka 1.5 hingga 2.5% per tahun. Selain itu, subsektor bukan tanaman pangan dan peternakan menunjukkan laju pertumbuhan yang lebih tinggi daripada total PDB di tahun 2001 dan 2002 sehingga turut meningkatkan PDB pertanian. Namun, setelah tahun 2004, laju pertumbuhan subsektor-subsektor tersebut menurun sehingga laju pertumbuhan lebih rendah daripada subsektor tanaman pangan. (2.1) 06.
Hingga tahun 1999, sektor pertanian masih menduduki peringkat kedua terbesar, tetapi status saat ini turun ke peringkat ketiga sebesar 13% dari PDB. Sektor pertanian masih mempekerjakan lebih dari 40% total populasi pekerja, dan nilai ekspor dari sektor ini bernilai US$ 10 milyar atau setara dengan 16% dari pendapatan ekspor negara. Sehingga sektor pertanian memainkan peran penting dalam perekonomian nasional, namun sektor ini mulai mengalami penurunan pertumbuhan dan menghadapi berbagai kendala. Kendala utama adalah pada rendahnya produktifitas seperti yang ditunjukkan pada nominal PDB per pekerja yaitu hanya sebesar 20% (US$880 per pekerja di sektor pertanian pada tahun 2005) dari sektor lain (US$4,490 per pekerja) (2.1)
07.
Populasi miskin meningkat secara drastis menjadi 38.7 juta jiwa, atau 19.1% dari total populasi di tahun 2000 dari 22.5 juta atau 11.3% di tahun 1996 sebagai dampak krisis ekonomi. Secara penyebaran geografis, 60% dari total populasi miskin berada di Pulau Jawa (BPS, 2003 dan 2004). 59% dari rumah tangga miskin bekerja di sektor pertanian. Hal ini merupakan suatu indikasi bahwa, untuk mengentaskan kemiskinan, pembangunan perekonomian di daerah pedesaan akan membantu mengurangi kemiskinan melalui penyediaan peluang peningkatan pendapatan, khususnya industri berbasis pertanian di Pulau Jawa. (2.1)
Sektor Pertanian 08.
Setelah krisis nilai tukar pada tahun 1997, IMF memainkan peranan penting dalam pemulihan perekonomian dengan membantu penyusunan kebijakan ekonomi dan fiskal. Pada tahun 1999, laju pertumbuhan perekonomian mencatat angka 0.8% sebagai dampaknya. Keseluruhan jumlah kredit bermasalah (non-performing loan: NPL) dari sektor perbankan mencapai tingkat rasio tertinggi yaitu 58.7% di bulan Maret 1999, yang kemudian turun menjadi 18.8% pada akhir tahun 2000 berkat usaha restrukturisasi dari sektor korporasi dan perbankan. Jumlah NPL pada bank komersial ditunjukkan pada Tabel S-1 berikut ini. Tabel S-1 98/3 NPL Bank Komersial Sumber: JCIF, 2006
19.8%
Kredit Bermasalah (Non Performing Loan: NPL) Bank Komersial 99/3 99/12 00/12 01/12 02/12 03/12 04/12 58.7%
32.8%
18.8%
12.1%
8.1%
8.2%
5.8%
05/12 8.3%
Dari tahun 1998 sampai dengan 2004, berbagai upaya dilakukan guna mengatasi masalah reformasi sektor perbankan khususnya program restrukturisasi melalui suntikan modal oleh pemerintah. Sebagai badan pelaksana reformasi ini, maka dibentuk Badan
S-2
Ringkasan Elsekutif Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Kredit bermasalah kemudian dialihkan ke BPPN dan banyak bank harus ditutup atau digabungkan dalam proses restrukturisasi tersebut. BPPN selesai melaksanakan tugasnya dan dibubarkan pada Februari 2004. (2.2.1) 09.
Perekonomian Indonesia mulai stabil kembali setelah tahun 2000, dengan mencapai pertumbuhan yang stabil antara 3.8% dan 5.6% disebabkan beberapa faktor seperti: (i) pulihnya kegiatan investasi, (ii) peningkatan konsumsi domestik yang didukung oleh tingkat suku bunga yang rendah dan perluasan keuangan konsumen. Akan tetapi, menjelang akhir tahun 2005, pertumbuhan perekonomian menurun sebagai akibat tingkat inflasi dan suku bunga yang tinggi dipicu oleh pemotongan subsidi bahan bakar dan untuk meningkatkan harga produk bahan bakar menjadi lebih dari 120%. Tingkat inflasi di Indonesia ditunjukkan oleh suku bunga SBI satu bulan yang masih berkisar antara 10 sampai 15% hingga pertengahan 1990an. Kemudian setelah krisis berakhir, naik tajam hingga mencapai 70.6% pada bulan September 1998. Tingkat suku bunga SBI terus menurun setelah mencapai puncak, dan pada tahun 2005, pada kisaran antara 7.42% dan 12.75%. (2.2.1)
10.
Undang-Undang Tabel S-2 Jumlah Bank Jenis 2001 2002 2003 2004 2005* Perbankan No. 7 1. Bank Pemerintah 5 5 5 5 5 Tahun 1992 2. Bank Swasta Nasional 80 77 76 72 71 menggolongkan bank 3. Bank Asing & JV 34 34 31 30 30 4. BPD: Bank menjadi dua kategori 26 26 26 26 26 Pembangunan Daerah yaitu Bank Umum Total 145 142 138 133 132 Total BPR 2,432 2,747 3,299 3,507 3,081* Komersial dan Bank Perkreditan Rakyat Sumber: BI -2005 Laporan Ekonomi Indonesia. * September 2005 (BPR). Sedangkan menurut sudut pandang operasional, Bank Komersial dikategorikan menjadi empat bank yaitu Bank Pemerintah, Bank Swasta Nasional, Bank Asing dan Joint Venture, dan Bank Pembangunan Daerah, yang jumlahnya ditunjukkan oleh Tabel S-2. (2.2.2)
11.
Tunggakan pinjaman pada bank komersial sebelum krisis nilai tukar bergerak stabil. Namun setelah krisis, tunggakan tersebut berubah menjadi NPL yang hampir seluruhnya dialihkan ke BPPN sebagai kredit bermasalah. Setelah pengalihan tersebut, telah terjadi situasi over-likuditas dimana jumlah simpanan melampaui jumlah tunggakan pinjaman, dan melimpahnya uang tunai yang berasal dari tabungan yang tidak dimanfaatkan sepenuhnya dalam bentuk pinjam. Hal tersebut menyebabkan pengurangan fungsi bank sebagai perantara keuangan. Bank komersial cenderung untuk mendorong dana yang terjaring melalui simpanan menjadi SBI, khususnya ketika tingkat suku bunga deposito lebih rendah daripada rate SBI. Kinerja bank komersial dapat diindikasi oleh simpanan dan pinjaman yang terus berkembang. Belakangan ini, rasio LDR (loan to deposit ratio) kian meningkat dan lebih banyak lagi dana yang disalurkan bagi pinjaman. (2.2.2)
12.
Laporan Ekonomi Bank Indonesia tahun 2005, sesuai dengan perluasan kredit secara keseluruhan, menunjukkan bahwa penyaluran pinjaman bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) meningkat tajam selama tahun 2005. Kenyataan bahwa tahun
S-3
Ringkasan Elsekutif 2005 dinyatakan PBB sebagai Tahun Internasional Kredit Mikro dan diluncurkannya Tahun Keuangan Mikro Indonesia, telah memberikan kontribusi dalam pertumbuhan pinjaman UMKM, dan bank menyalurkan dana lebih banyak dari yang direncanakan dalam rencana usaha mereka. Pinjaman UMKM pada sektor pertanian juga turut berkembang, namun porsi pinjaman UMKM masih belum tinggi. Sebenarnya sektor ini mengalami penurunan tren dari 5.5% pada tahun 2001 menjadi 3.6% pada tahun 2005. (2.2.2) 13.
Saat ini, ada dua bank Syariah di Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Syariah Mega Indonesia yang menggunakan prinsip Islam dalam menjalankan kegiatan perbankan: (i) isu hukum, dimana suku bunga dilarang, dan (ii) isu ekonomi, dimana keadilan dalam ekonomi ditekankan. Pada bank yang menggunakan sistem konvensional, para penabung mendapatkan bunga meskipun bank tidak mendapatkan keuntungan. Sedangkan pada bank yang menggunakan sistem Syariah, ada sistem pembagian keuntungan dan kerugian. Bank Syariah menginvestasikan dana pada sektor riil dan tidak diperbolehkan untuk melakukan investasi berdasarkan spekulasi, yang tidak stabil. (2.2.2)
14.
Sektor keuangan mikro di Indonesia terdiri dari (i) program pemerintah yang menargetkan program keuangan mikro dan program pengentasan kemiskinan dengan komponen keuangan mikro, (ii) perbankan yang menawarkan keuangan mikro (sebagian besar dari unit BRI), dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), (iii) Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam dari Koperasi Serba Usaha, (iv) Badan Kredit Desa (BKD), dan Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP), (v) pegadaian, (vi) sektor informal yang meliputi Kelompok Tani Kecil (KPK), koperasi simpan pinjam informal, Baitul Maal wat Tamwil (BMT) and Koperasi Kredit (Credit Union), LSM, rentenir, dan pedagang. (2.2.3)
15.
Lembaga keuangan mikro yang telah terdaftar diringkas dalam Tabel S-3. Selain unit-unit BRI, bank komersial lain juga mencoba memasuki sektor keuangan mikro dengan menyalurkan pendanaan melalui lembaga keuangan mikro diatas dan/atau mendirikan unit sendiri. Selain itu, ada ribuan KPK, kelompok simpan pinjam yang dibentuk dibawah berbagai program, gabungan dan arisan. (2.2.3)
Tabel S-3 Nama Lembaga
Unit
Unit BRI 3,916 BPR 2,158 KSP 1,097 USP 35,218 BKD 5,345 LDKP 2,272 Pegadaian 42 BMT 3,038 CU 1,022 LSM 124 Total 54,232 Sumber: ProFI (2005) Policy and Strategy
S-4
Lembaga Keuangan Mikro
Jumlah Nasabah Tabungan Pinjaman (dalam (dalam Rp.000) Rp.000) 14,182,000 29,870,000 27,429,000 12,150,000 5,760,000 11,160,000 531,000 N/A 85,000 3,629,000 N/A 1,157,000 200,000 460,000 28,500 358,000 N/A 334,000 21,000 Tidak Ada Tidak Ada 157,000 N/A 209,000 395,721 207,147 272,124 110,008 81,931 11,969 31,733,729 36,379,078 40,686,593 Indonesia: Background Paper on Microfinance
Ringkasan Elsekutif 16.
Perbankan diatur dalam Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 1992 yang memperbolehkan mereka untuk menerima simpanan dari publik. UU tersebut kemudian diperbaiki dengan diterbitkannya UU No. 10 Tahun 1998, untuk mengakomodasi berkembangnya industri perbankan Islam dan untuk meregulasi operasional perbankan berdasarkan prinsip Syariah. Berdasarkan Pasal 16 dari UU Perbankan, lembaga-lembaga keuangan non-bank non-koperasi adalah ilegal. Di antara lembaga keuangan non-bank, hanya koperasi yang diperbolehkan untuk mengambil simpanan, tapi hanya dari anggota dan bukan dari publik, menurut UU No. 25 Tahun 1992. Badan pengawas dalam hal ini adalah Kementerian Koperasi dan UKM. Namun, banyak koperasi yang juga mengambil simpanan dari bukan anggota, dan menyebut mereka “calon anggota”, yang secara hukum sangat tidak dibenarkan. Jenis lain dari lembaga keuangan non-bank adalah pegadaian yang merupakan badan usaha milik negara yang beroperasi dibawah UU No. 103 Tahun 2000, dan dibawah pengawasan Departemen Keuangan. (2.2.3)
17.
Terdapat banyak lembaga keuangan non-bank non-koperasi (LKM B3K), yang tidak terdaftar sebagai koperasi, dan lembaga-lembaga kecil yang secara jelas atau tidak jelas, tidak diperkenankan untuk mengambil simpanan tetapi pada kenyataannya lembaga-lembaga tersebut tumbuh dari masyarakat dan mereka hidup dari simpanan bukan anggota, yang tidak diperbolehkan menurut sistem hukum yang berlaku. Kerangka hukum yang ada tidak menggambarkan kenyataan keuangan mikro di lapangan. Pada tahun 2001, Tim Inisiatif yang terdiri dari BI, Kementerian Koperasi, Departemen Keuangan dan Sekretariat Negara mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Keuangan Mikro (UU LKM). Rancangan tersebut masih didiskusikan oleh para pemangku kepentingan. Dengan mengikutsertakan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Naskah Akademik dari RUU tersebut sudah dipersiapkan yang membahas masalah-masalah berikut: (i) untuk mengungkap ketidakseragaman peraturan yang berlaku dengan kebutuhan LKM Bukan Bank Bukan Koperasi (LKM B3K), (ii) untuk memberikan penjelasan umum mengenai LKM B3K dan (iii) untuk memberikan masukan bagi kepastian hukum bagi LKM B3K. (2.2.3)
18.
Untuk memenuhi kebutuhan akan UU LKM, saat ini, Kementerian Koperasi & UKM telah memulai penyusunan rancangan Peraturan Presiden mengenai Kebijakan & Strategi Nasional bagi Perkembangan Keuangan Mikro yang mengajukan kerangka hukum bagi tingkat LKM seperti pada Gambar S-1. Dengan asumsi bahwa LDKP, BKD atau koperasi akan dimasukkan ke dalam kategori LKM Kecil dan Menengah tetapi bagi lembaga yang memiliki simpanan dengan jumlah besar harus naik peringkat menjadi LKM Besar. Kerangka hukum yang Sumber: ProFI (2006) Regulation, Supervision and Support of digunakan disini adalah Non-Bank, Non-Cooperative Micro-Finance Institutions Gambar S-1 Piramida 4 Tingkat LKM Amandemen UU Perbankan Pendaftaran & Supervisi
Tingkat 1
BPR UU Nasional
Perlindungan Simpanan
Batas Simpanan Pendaftaran & Supervisi
Tingkat 2
LKM Besar
Perlindungan Lembaga
Peraturan Nasional
Batas Simpanan Pendaftaran & Pengawasan
Tingkat 3
LKM Kecil Menengah
Peraturan Propinsi / Kabupaten
Tidak Ada Perlindungan Si Tingkat Kemajuan
Tingkat 4
Sektor Informal (mendapat pengecualian peraturan)
(arisan-gabungan-kelompok-LSM kecil-kelompokgrameen)
(LKM menerima simpanan publik)
S-5
Ringkasan Elsekutif (Jendela 1) untuk mengijinkan pengesahan Peraturan Pemerintah atau Keputusan Presiden dalam menciptakan kerangka hukum bagi UU LKM dan Koperasi (Jendela 2) guna mengatur kegiatan simpan pinjam koperasi yang selanjutnya akan diperbaiki agar KSP/USP besar dapat menyesuaikan dengan peraturan Badan Pengawas Nasional. Jendela 3 akan menjadi Peraturan LKM yang mengatur parameter mobilisasi simpanan dari publik oleh LKM B3K (Jendela 3 harus dibuat). Pada tingkat daerah, UU/Peraturan di tingkat propinsi dan Peraturan/Keputusan di tingkat kabupaten sangat diperlukan untuk memberikan kerangka hukum bagi LKM Kecil Menengah. (2.2.3) 19.
Pada tahun 1999, GTZ bersama dengan Bank Indonesia dan Departemen Keuangan menyusun program keuangan mikro yang menyeluruh yang disebut Promotion of Small Financial Institutions (ProFI). ProFI menyatukan berbagai pemangku kepentingan dalam mempromosikan LKM yang lebih dapat diakses, dapat dijangkau, dan efektif bagi penduduk berpendapatan rendah. ProFI berupaya memperkuat tiga jenis LKM yaitu: (i) Bank Perkreditan Rakyat, (ii) LKM non bank, dan (iii) lembaga simpan pinjam berbasis masyarakat di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. ProFI menerapkan kompenen keuangan seperti: (i) menyelenggarakan Forum Diskusi Kebijakan Keuangan Mikro Nasional (FOMFI) dan membantu menyusun kebijakan dan strategi nasional bagi pengembangan keuangan mikro, (ii) membantu Bank Indonesia untuk memperbaiki sistem pengaturan dan pengawasan serta infrastruktur (jaminan simpanan, organisasi apex, asosiasi) bagi BPR, (iii) memimpin dalam pengembangan sistem pelatihan dan sertifikasi bagi profesional BPR/LKM, dan (iv) menyatukan masukan kebijakan dan strategi, menciptakan lingkungan pendukung, peraturan yang cermat dan pengawasan yang efektif, sertifikasi profesional, pengembangan kemampuan dan kelembagaan pada tingkat propinsi dan kabupaten. (2.2.3)
20.
Ada beberapa bank komersial yang secara strategis memberikan pinjaman kepada LKM. Beberapa bahkan melakukan kegiatan pengembangan kemampuan LKM sendiri, sedangkan beberapa melakukan kerjasama dengan mitra seperti (i) Bank Bukopin, (ii) Bank Mandiri, (iii) Bank Syariah Mandiri, (iv) Permodalan National Madani (PNM), (v) Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan (vi) Bank Perkreditan Rakyat (BPR). (2.2.3)
21.
Selain bank-bank komersial tersebut diatas, program pemerintah yang memiliki komponen dalam mengembangkan lembaga keuangan seperti: (i) Peningkatan Pendapatan Petani-Nelayan Kecil (P4K), dan (ii) Pengembangan LKM Agribisnis (LKM-A) yang dikelola DEPTAN, (iii) Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dibawah Departemen Pekerjaan Umum, (iv) Dana Bergulir bagi USP/KSP/LKM, dan (v) P3KUM dibawah Kementerian Negara Koperasi dan UKM, (vi) PEMP dibawah Departemen Kelautan dan Perikanan, dan (vii) Proyek Pengembangan Kecamatan dibawah Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah. Lembaga lain yang memberikan fasilitas pengembangan kemampuan adalah PINBUK, sebuah organisasi Islam, yang memiliki program pengembangan kelembagaan BMT berdasarkan konsep profesionalisme, swadaya, mandiri, dan berkelanjutan. (2.2.3)
S-6
Ringkasan Elsekutif Kebijakan Sektor Pertanian 22.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) untuk tahun 2004 sampai 2009 disahkan pada 19 Januari 2005, berfokus pada tiga agenda sebagai pilar utama: (i) Menciptakan negara yang aman dan damai, (ii) Menciptakan negara yang adil dan demokratis, dan (iii) Meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sasaran RPJMN adalah untuk menurunkan persentase jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan menjadi 8.2%, meningkatkan laju perekonomian dari 5.5% menjadi 7.6% per tahun, dan mengurangi tingkat pengangguran dari 9.7% pada tahun 2004 menjadi 5.1% di tahun 2009. (2.3.1)
23.
Agenda utama sektor pertanian pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional adalah “Revitalisasi Pertanian” guna meningkatkan kesejahteraan rumah tangga pedesaan dan membangun landasan bagi pembangunan ekonomi di masyarakat pedesaan. Dalam agenda tersebut, DEPTAN telah menyusun Rencana Pembangunan Pertanian tahun 2005 sampai 2009 sebagai rencana pembangunan jangka menengah yang telah diterbitkan bulan Januari 2005. Rencana Pembangunan Pertanian menekankan terhadap peningkatan: 1) Ketahanan Pangan, 2) Nilai tambah dan daya saing bagi produk hasil pertanian dan 3) Kesejahteraan petani. Sedangkan sasaran yang akan dicapai pada periode ini meliputi i) Laju pertumbuhan rata-rata PDB menjadi 3.3% per tahun di sektor pertanian, ii) Menciptakan lapangan kerja menjadi 44.5 juta di tahun 2009, iii) Meningkatkan nilai tambah pada tingkat 5% per tahun, iv) Pertumbuhan produktifitas tenaga kerja pada tingkat 1.4% per tahun, v) Pengurangan kemiskinan di pedesaan menjadi 15.0% sebelum 2009. Guna mencapai sasaran tersebut diatas, maka tiga program pembangunan telah disusun yang mencakup 1) Program Peningkatan Ketahanan Pangan, 2) Program Pengembangan Agribisnis dan 3) Program Peningkatan Kesejahteraan Petani. Pengolahan hasil pertanian dan keuangan mikro pedesaan merupakan komponen utama dalam Program Pengembangan Agribisnis. (2.3.2)
24.
Mengenai pengolahan hasil pertanian, akses petani terhadap teknologi baru dan informasi pasar harus ditekankan untuk dapat meningkatkan pendapatan petani dan memperbaiki taraf hidup mereka. Strategi tersebut difokuskan dalam kebijakan yang meliputi (i) pengembangan kemampuan petani, (ii) pengenalan metode pengolahan inovatif dan teknologi pasca panen, (iii) promosi produk domestik yang berdaya saing di pasar internasional, dan (iv) pengembangan industri melalui konsep kluster untuk menjamin keberlanjutan. (2.3)
25.
Rencana Strategis bagi pemasaran produk hasil pertanian adalah: (i) untuk mendorong petani dan pelaku agribisnis untuk mengakses informasi pasar, dan (ii) untuk memperluas industri pengolahan produk hasil pertanian di tingkat desa. Berdasarkan tujuan-tujuan tersebut, kegiatan utama meliputi: (i) meningkatkan kemampuan sumber daya manusia, (ii) meningkatkan daya saing produk hasil pertanian melalui nilai tambah, dan (iii) perlindungan kepada petani terhadap pasar yang tidak adil. Rencana tersebut juga menekankan pentingnya (i) pengembangan produk hasil pertanian dengan menggunakan pendekatan yang berorientasi pasar, dan juga (ii) kerjasama yang harmonis dan saling mendukung antara para pelaku agribisnis, pemerintah daerah dan masyarakat. (2.2)
S-7
Ringkasan Elsekutif 26.
Esensi dari kebijakan keuangan DEPTAN adalah untuk menstimulasi dana masyarakat melalui pemanfaatan alokasi anggaran, dalam bentuk program kredit, intervensi pada kredit komersial dan fasilitasi akses permodalan melalui pembiayaan non- bank. Guna mewujudkan mandat tersebut, Pusat Pembiayaan Pertanian dibentuk pada tahun 2005 dibawah Sekretariat Jenderal, yang terdiri dari beberapa seksi yaitu program kredit, keuangan Syariah, keuangan komersial, dan administrasi. Sedangkan pengalaman yang diperoleh dari program yang dilaksanakan oleh DEPTAN dan pemerintah daerah adalah sebagai berikut: (i) membiayai skema-skema yang dapat diklasifikasikan menjadi dua berdasarkan tujuannya yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat dan promosi agribisnis, (ii) upaya-upaya telah dilakukan tidak hanya oleh DEPTAN tetapi juga oleh Kementerian lain dan pemerintah daerah untuk menerapkan skema keuangan khususnya yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan, dan (iii) bantuan bagi pengembangan kemampuan kelompok tani guna membantu mereka mengelola bantuan keuangan serta menjadikan mereka badan usaha. (2.3)
27.
Penyuluhan Pertanian sebelumnya dilaksanakan dengan prioritas utama untuk mencapai swadaya pangan nasional atas inisiatif kuat dari Pemerintah Pusat. Program Bimas dari Badan Intensifikasi Pertanian, merupakan bukti keberhasilan dari program pengembangan beras melalui revolusi hijau. Setelah tercapainya swadaya pangan, perhatian lebih diberikan kepada pemberdayaan masyarakat melalui kebijakan desentralisasi yang berbasis, yang menjadi dasar penyusunan metodologi dan pedoman umum. Saat ini, banyak badan yang bertanggung jawab atas pelaksanaan penyuluhan pertanian termasuk BIPP, UPTD, kelompok fungsional dll. Badan-badan tersebut berbeda di masing-masing kabupaten tergantung pada kemajuan disentralisasi sehingga terjadi keruwetan pembagian tanggung jawab dalam kegiatan penyuluhan pertanian. Untuk itu diperlukan penyusunan kerangka kerja yang sistematis bagi kegiatan penyuluhan pertanian tersebut dengan mempertimbangkan tema disentralisasi guna memperbaiki keadaan. (2.4)
III.
KONDISI WILAYAH STUDI SAAT INI
Pendahuluan 28.
Kelompok Tani yang disurvei dalam Studi diseleksi melalui diskusi dengan Dinas Kabupaten dan berdasarkan pada data produksi komoditas contoh di tingkat kecamatan. Secara umum, 5 sampai 9 Kelompok Tani dipilih untuk komoditas contoh. Berdasarkan survei, evaluasi kualitatif disusun berdasarkan sudut pandang: (i) keuangan, (ii) sosial-ekonomi, (iii) organisasi, (iv) tingkat teknologi produksi dan pengolahan, (v) potensi pasar dan (vi) rencana ke depan untuk menyeleksi model Kelompok Tani untuk Studi yang lebih mendalam. (3.1.1)
29.
Seminar lapangan diselenggarakan di tiap Kelompok Tani terpilih. Melalui seminar, dikumpulkan informasi mengenai kebutuhan, kendala dan persepsi peserta mengenai pengolahan hasil pertanian dan keuangan. Penilaian tingkat kemiskinan dilakukan secara terpisah. Klasifikasi kemiskinan disusun menurut sudut pandang: (i) tingkat pendapatan, (ii) aset, (iii) tingkat pendidikan, (iv) kecukupan pangan, dan (v) transaksi keuangan, masing-masing tingkatan ditentukan oleh peserta seminar. Data dan informasi tersebut
S-8
Ringkasan Elsekutif Tabel S-4
kemudian digabungkan menjadi sebuah rencana implementasi. Jumlah Kelompok Tani yang disurvei dijelaskan pada Tabel S-4. (3.1.2)
Jumlah Kelompok Tani Yang Disurvei Kelompok Tani
Propinsi Jawa Barat
Kabupaten
Cirebon Kuningan Majalengka Total Jawa Barat Jawa Timur Mojokerto Kediri Total Jawa Timur Total
Penelitian Dasar 9 7 7 23 5 6 11 34
Seminar Lapangan 3 2 3 8 3 2 5 13
30.
Jumlah penduduk di kabupaten pada wilayah Studi adalah 908,000 hingga lebih dari 2 juta jiwa, yang sebagian besar hidup di daerah pedesaan. Jumlah penduduk dan kepadatan penduduk di Kabupaten Cirebon merupakan yang terbesar (masing-masing 2,050,000 jiwa dan 2,080 jiwa per km2) di antara kabupaten sasaran yang lain. Data populasi berdasarkan sektor tersedia bagi Propinsi Jawa Barat. Walaupun porsi sektor pertanian terhadap GRDP belakangan ini menurun, populasi pertanian masih dominan di tiga kabupaten. (3.2.1)
31.
Iklim di wilayah sasaran pada umumnya dikategorikan memiliki “temperatur tinggi dan lembab.” Musim kering dimulai dari bulan Mei sampai September sedangkan musim penghujan berlangsung dari bulan Oktober hingga April. 80% dari curah hujan terjadi di musim penghujan. Temperatur rataan dari seluruh wilayah sasaran adalah hampir 26 derajat Celsius. Pola curah hujan tidak berbeda antara Propinsi Jawa Timur dan Propinsi Jawa Barat. Secara perbandingan, curah hujan tahunan di Propinsi Jawa Timur lebih rendah, kira-kira 2,000 mm, dibandingkan dengan di Jawa Barat yaitu antara 2,400 hingga 2,600 mm. Propinsi Jawa Timur sangat berbeda selam musim kering dan musim penghujan. Seluruh kabupaten dalam Studi menghadapi masalah kekeringan yang serius akibat menurunnya curah hujan tahunan sebesar 30% di tahun 2002 yang mengakibatkan penurunan produksi pertanian. (3.2.2)
32.
Tabel S-5 Indeks Kemiskinan Garis kemiskinan yang Garis Populasi Rasio Populasi ditetapkan oleh BPS mungkin Propinsi Kabupaten Kemiskinan Miskin Miskin (kapita/ bulan) (orang) merupakan acuan yang paling Jawa Barat Cirebon Rp.120,074 352,400 17.3% sering digunakan dalam Kuningan Rp.123,267 201,700 19.5% mengukur kemiskinan di Majalengka Rp.129,547 203,700 17.7% Propinsi Jawa Barat 12.9% Indonesia. Acuan ini Jawa Timur Mojokerto Rp.140,862 166,100 17.2% didasarkan pada tingkat Kediri Rp.112,907 289,200 19.6% pengeluaran kebutuhan untuk Propinsi Jawa Timur 20.9% membeli 2,100 kkal makanan Sumber: UNDP (2004), National Human Development Report 2004 dan kebutuhan dasar non pangan lain. Berdasarkan estimasi BPS, Garis kemiskinan secara nasional adalah sekitar Rp.152,847 per bulan per orang (per Maret 2006). Walaupun populasi miskin telah menurun berkat Program Jaring Pengamanan Sosial pada tahun 1998 sampai 2001, kemiskinan tetap menjadi salah satu masalah yang harus ditangani. Garis kemiskinan, populasi miskin dan rasio populasi miskin di tiap kabupaten ditunjukkan pada Tabel S-5. Pada umumnya, rasio kemiskinan di Propinsi Jawa Timur lebih tinggi dari Propinsi Jawa Barat. Untuk wilayah studi, yaitu di 5 kabupaten, memiliki rasio populasi miskin yang lebih tinggi daripada rata-rata rasio tiap propinsi. (3.2.3)
S-9
Ringkasan Elsekutif Kabupaten Cirebon 33.
Rencana Strategis Kabupaten Cirebon tahun 2005-2009 berfokus pada promosi kegiatan agribisnis berbasis peternakan dalam meningkatkan pendapatan petani. Dalam visi tersebut, Cirebon bertujuan untuk meningkatkan produksi peternakan dan perhatian khusus diberikan kepada produksi daging itik dan Day Old Duck (DOD) serta itik dara (pullet) sebagai produk berpotensi ekspor. Sejalan dengan visi tersebut, ada empat program yang mendapat prioritas utama: (i) Program Peningkatan Ketahanan Sumber Pakan Ternak, (ii) Program Pemberdayaan Usaha Ternak, (iii) Program Pengawasan Kesehatan Ternak dan Kesehatan Masyarakat Kedokteran Hewan dan (iv) Program Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Infrastruktur. (3.3.1)
34.
Meskipun fokus Kabupaten Cirebon pada promosi itik, namun tren produksinya tidak mengalami kenaikan. Puncak produksi terjadi di tahun 2002 (350,000 ekor) sedangkan di tahun 2005 (280,000 ekor), produksi tersebut menurun sampai 20% sejak 2002 akibat dampak flu burung. Dinas Kabupaten menerapkan pendekatan utama dalam mempromosikan produk itik. Produksi itik terpusat di sepanjang pesisir pantai seperti Kecamatan Gebang (67,000 ekor), Panguragan (50,000 ekor), Kapetakan (48,000 ekor), Losari (40,000 ekor), dan Cirebon Utara (18,000 ekor), yang memberikan kontribusi lebih dari 80% total produksi di Kabupaten. (3.3.1)
35.
Tiap Kelompok Tani di Kabupaten Cirebon memiliki tingkat kegiatan produksi dan pengolahan yang berbeda, demikian halnya dengan target pemasaran mereka. Beberapa Kelompok Tani seperti Jambul Jaya 6 dan Sigranala Indah menjual produk mereka di sekitar desa dan kelompok. Sedangkan Tigan Mekar berfokus pada pasar yang lebih luas termasuk di luar propinsi. Sehingga Kelompok Tani di Kabupaten Cirebon, dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok: (i) di sekitar desa, (ii) di kabupaten dan (iii) lintas propinsi. Dari tiap kategori, Sigranala Indah (kelompok pasar di sekitar desa), Bebek Jaya (kelompok pasar di kabupaten) dan Tigan Mekar (kelompok pasar lintas propinsi) telah diseleksi untuk pelaksanaan studi lanjutan dan seminar lapangan, serta untuk mempersiapkan rencana implementasi sebagai model Kelompok Tani komoditas contoh itik di Cirebon. (3.3.2)
36.
Hasil survei tingkat kemiskinan pada tiga komunitas Kelompok Tani ditunjukkan pada Gambar S-2 yang menjelaskan bahwa pada kategori melarat dan miskin persentase yang sangat tinggi terlihat pada Sigranala Indah menurut pemahaman peserta seminar. Masalah yang dihadapi oleh Kelompok Tani Melarat Miskin Sedang Kaya 12% 28% 15% 45% di Cirebon kebanyakan terfokus pada: (i) Tigan M ekar keterbatasan modal untuk mengembangkan 28% 9% 25% 38% usaha, (ii) keterbatasan kegiatan pemasaran, B ebek Jaya dan (iii) harga telur dan produk itik yang 20% 45% 8% 27% tidak stabil. Kendala fisik adalah masalah Sigranala Indah yang dihadapi kelompok dalam 0% 20% 40% 60% 80% 100% P ersentase mengembangkan dan memperluas kegiatan mereka seperti keterbatasan fasilitas Gambar S-2 Persentase Kemiskinan Masyarakat pasokan air dan akses ke pasar. (3.3.2) (Kabupaten Cirebon)
S - 10
Ringkasan Elsekutif 37.
Karakteristik penting dalam industri itik di Kabupaten Cirebon adalah kerjasama usaha yang disebut “Triangle System” (Skema Segitiga). Seperti yang diilustrasi Gambar S-3, empat Kelompok Tani menandatangani perjanjian (Memorandum of Understanding: MOU) untuk berbagi tanggung jawab kerja di antara kelompok. Pendatang Tigan Mekar Bebek Jaya Sistem tersebut bermanfaat bagi baru dapat (DOD) (Telur Fertil) memasok para pendatang baru dengan bahan baku yang menyediakan komoditas yang SariSejahtera dibutuhkan Branjangan Putih (Telur Asin) (Pullet) diperlukan (pullet & telur). Dinas Peternakan dan Perikanan telah berjasa dalam pengembangan sistem Gambar S-3 Sistem Segitiga (Kerjasama Usaha) dari Industri Itik (Kabupaten Cirebon) ini melalui pemberian peralatan seperti mesin tetas kepada kelompok. (3.3.3)
38.
Varitas Rambon Aking merupakan varitas itik yang umum terdapat di Cirebon yang membutuhkan banyak air sehingga disebut sebagai itik basah. Ada dua jenis sistem beternak itik di Cirebon yaitu sistem tradisional (angon) dan sistem kandang. Sistem angon adalah beternak itik dengan melepas itik ke sawah setelah panen dimana tersedia sisa gabah dan keong sebagai pakan itik. Petani dan itik berpindah dari satu desa ke desa lain bahkan menyeberang ke perbatasan propinsi atau kabupaten lain. Berdasarkan hasil wawancara, produksi itik lebih baik dengan biaya produksi lebih rendah melalui metode ini. Kebanyakan peternak angon di Cirebon menggunakan sistem angon selama musim kering (dari Maret sampai November) dan sistem kandang selama musim hujan (Desember hingga Februari) di sekitar rumah mereka. Jumlah peternak itik yang menggunakan sistem semi-intensif atau intensif semakin bertambah belakang ini. (3.3.3)
39.
Temuan khusus di bidang pemasaran di Kabupaten Cirebon seperti: (i) Perantara mengelola kelompok-kelompok tani mereka, pembagian hasil 5-10% bagi seluruh peternak itik di Cirebon, dan (ii) Kebanyakan telur itik mentah didatangkan dari kabupaten/propinsi lain karena kekurangan pasokan, namun DOD dikirim ke daerah lain karena DOD diproduksi khusus untuk pasar di luar. Setiap pergerakan produksi memberikan pihak perantara peluang untuk berbisnis. (3.3.4)
40.
Pihak penghubung antara petani (perseorangan/kelompok) dan pengecer di pasar produk itik di Cirebon adalah: (i) Perantara, (ii) Pengepul Desa, (iii) Pengolah, dan (iv) Pemain Ganda. (3.3.4)
41.
Masalah-masalah yang berkaitan dengan pemasaran kebanyakan berasal dari: (i) Transportasi: tidak ada sarana transportasi, biaya mahal dan kondisi jalan yang buruk, (ii) Kualitas Usaha: kurangnya orientasi bisnis dan perilaku petani yang pasif mengenai pemasaran dibandingkan dengan perantara, (iii) Ketergantungan pada perantara: tidak ada kesinambungan pemasaran disebabkan oleh ketergantung petani pada perantara, harga ditentukan oleh perantara dan keterikatan dengan perantara sejak pinjaman diberikan oleh mereka, dan (iv) Pasar: kesulitan dalam mengakses pasar, kesulitan pemasaran ini diakibatkan oleh flu burung dan terbatasnya akses di pasar global. (3.3.4)
S - 11
Ringkasan Elsekutif Kabupaten Kuningan 42.
Pembangunan berbasis pertanian ditekankan untuk meningkatkan masyarakat pedesaan di Kabupaten Kuningan. Kebijakan “Pengembangan Wilayah Agropolitan” pada tahun 2006 telah disusun oleh BAPPEDA yang membagi Kabupaten menjadi empat zona yang dipusatkan pada empat Kecamatan: Cilimus, Ciawigebang, Luragung and Kuningan. Tiap zona memiliki perbedaan fokus dan sasaran komoditas tergantung pada potensi yang mereka miliki. Dari ke empat zona tersebut, zona Cilimus (Cilimus dan Cigandamekar) akan diarahkan menjadi pusat produksi ubi jalar, komoditas contoh di Kuningan, domba dan perikanan dll. Di dalam Rencana Strategis 2004-2008, Kabupaten Kuningan memprioritaskan tiga program sebagai berikut: (i) Program Pengembangan Kualitas Sumber Daya Manusia Pertanian, (ii) Program Peningkatan Ketahanan Pangan, dan (iii) Program Pengembangan Agribisnis. (3.4.1)
43.
Ubi jalar merupakan salah satu komoditas yang diprioritaskan di Kabupaten Kuningan. Menurut data produksi, tahun 2002 ubi jalar menunjukkan kinerja produksi yang lebih baik walaupun produksi pada tiga tahun terakhir masih mengalami stagnasi. Seperti yang dijelaskan diatas, pusat produksi ubi jalar adalah di Kecamatan Cilimus dan Cigandamekar. Dua kecamatan ini memproduksi 59,500 ton ubi jalar atau sama dengan 55% of total produksi di seluruh kabupaten, kemudian diikuti oleh Jalaksana (16,500 ton), Pancalang (9,900 ton) dan Cipicung (7,100 ton). Produksi ubi jalar di Kabupaten Kuningan lebih baik daripada di Kabupaten Majalengka karena kondisi tanah yang memungkinkan di sekitar Gunung Ciremai dan telah memiliki fasilitas irigasi yang baik. Varitas AC merupakan varitas ubi jalar yang umum terdapat di Kuningan. Namun menurut survei lapangan, petani tidak menggunakan benih unggul secara intensif, produksi menurun, lahan terserang hama penyakit setiap tahun. Untuk itu, sangat penting untuk membentuk sistem penggandaan dan pasokan benih ubi jalar yang dilakukan oleh Dinas Pertanian. (3.4.1 & 3.4.3)
44.
Kelompok Tani dapat diklasifikasikan menjadi dua: (i) Kelompok Tani yang menangani produksi, dan (ii) Kelompok Tani yang melakukan pengolahan. Pertama-tama, Kelompok Tani terseleksi diklasifikasikan ke dalam dua kelompok tersebut untuk dievaluasi. Dari evaluasi ini, Kelompok Tani Andayarasa di Kecamatan Cilimus mendapatkan nilai yang tinggi di hampir seluruh aspek sehingga mereka diseleksi dan dimasukkan ke dalam kelompok produksi. Sedangkan dua Kelompok Tani lain yaitu, Bina Karya dan Linggasari 2 diseleksi ke dalam kelompok yang menangani pengolahan. (3.4.2)
45.
Gambar S-4 di sebelah kanan ini menunjukkan persentase kategori “melarat” dan “miskin” mencapai 30 hingga 40%, ini dianggap relatif lebih rendah dibandingkan dengan kelompok ternak itik di Kabupaten Cirebon. Secara umum, pada Kelompok Tani Kuningan, masalah yang berkaitan dengan produksi dikategorikan tinggi melalui diskusi
S - 12
Melarat
Miskin
Sedang
14%
58%
18%
Kaya 10%
Lingassari 2
11%
31%
15%
43%
B ina Karya
3%
25%
12%
60%
A ndayarasa
0%
20%
40%
60%
80%
100%
P ersentase
Gambar S-4
Persentase Kemiskinan Masyarakat (Kabupaten Kuningan)
Ringkasan Elsekutif dengan alasan: (i) Harga pupuk yang tinggi, (ii) terbatasnya modal untuk membeli pupuk, (iii) produksi yang tidak stabil dan/atau menurun, dan (iv) kekurangan modal untuk mengolah lahan. (3.4.2) 46.
Kelompok Tani mengolah berbagai produk dari ubi jalar dan yang populer adalah keremes, dodol, tepung dan keripik. Beberapa Kelompok Tani, dibawah bimbingan sang ketua, tertantang untuk mencoba mengolah ubi jalar menjadi produk olahan yang unik seperti es krim dan saus sambal. Semua usaha pengolahan ini masih berskala kecil dan pasarnya masih terbatas di daerah sekitar kelompok. Masalah utama usaha skala kecil adalah kurangnya modal untuk pengembangan usaha, kemampuan pemasaran yang masih rendah dan kesempatan dalam mengenal produk maupun teknologi baru yang masih kurang. Operasional usaha ini cenderung masih merupakan usaha pribadi meskipun telah mendapat bantuan dari dinas, misalnya Binakarya untuk pembuatan saus sambal dan Linggasari 2 untuk pengolahan es krim. (3.4.3)
47.
Ada dua pabrik skala besar pengolahan ubi jalar yang beroperasi di Kabupaten Kuningan. Yang pertama adalah PT. Galih Estetika yang terletak di Kecamatan Cilimus. Pabrik ini memproduksi pasta ubi jalar untuk diekspor ke Jepang, Korea dan Cina. Yang kedua adalah PT. Global Agro-Inti yang berlokasi di Kecamatan Ciganda Mekar, dengan produk utama tepung ubi jalar. Ada beberapa kemungkinan kelompok tani bekerja untuk perusahaan-perusahaan swasta tersebut, misalnya dengan memasok bahan baku dan/atau produk semi olahan seperti ubi jalar kering. Namun, diperlukan jaminan kualitas yang seksama yang harus dilakukan para petani. (3.4.3)
48.
Temuan pada bidang pemasaran di Kabupaten Kuningan adalah sebagai berikut: (i) Sekitar 70% produksi ubi jalar dikirim melalui perantara ke kabupaten lain (pengolah atau pedagang grosir untuk ekspor) dalam bentuk segar (belum diolah). Sisa 30% didistribusikan kepada pengolah dan pedagang grosir lokal. (ii) Terdapat industri pengolahan (dua perusahaan swasta) untuk permintaan ekspor dan industri domestik seperti dijelaskan diatas, dan (iii) Tidak ada kelompok perantara yang mendominasi pasar ubi jalar. Persaingan yang lebih adil dan terbuka antara pihak perantara, berbeda dengan di Majalengka. (3.4.4)
49.
Para pelaku yang menghubungkan petani (perorangan/kelompok) dan pengecer di pasar ubi jalar di Kuningan adalah: (i) Perantara, (ii) Pengepul Desa, (iii) Pengolah dan (iv) Pedagang (Grosir). Fungsi mereka pada dasarnya sama dengan yang ada di Cirebon meskipun komoditasnya berbeda. (3.4.4)
50.
Masalah pemasaran yang serupa yang ditemukan di Cirebon juga ditemukan disini: (i) Transportasi: tidak ada sarana transportasi, (ii) Kualitas usaha: tidak punya orientasi bisnis dan perilaku petani yang pasif dalam pemasaran dibandingkan dengan perantara, (iii) Ketergantungan pada perantara: harga ditentukan oleh perantara dan keterikatan dengan perantara sejak diberikannya pinjaman, dan (iv) Pasar: tidak memiliki pengetahuan tentang harga pasar dan sistem informasi pasar yang tidak berfungsi. (3.4.4)
S - 13
Ringkasan Elsekutif Kabupaten Majalengka 51.
Kebijakan pengembangan pertanian Kabupaten Majalengka berfokus pada dua hal utama: ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis melalui integrasi sumber daya alam dan sumber daya manusia secara berkesinambungan. Kabupaten Majalengka memprioritaskan lima program yang diklasifikasikan dalam dua kategori: Program Umum dan Program Khusus. Program Umum mencakup dua program: (i) Program Peningkatan Ketahanan Pangan dan (ii) Program Pengembangan Agribisnis. Program Khusus terdiri dari: (i) Program Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Lembaga Pertanian, (ii) Program Pengembangan Potensi Daerah Agribisnis, (iii) Program Pemetaan Daerah Komoditas Kompetitif Agribisnis, (iv) Program Pengembangan Produksi Pertanian dan (v) Program Pengembangan Fasilitas dan Infrastruktur. (3.5.1)
52.
Produksi ubi jalar, komoditas contoh dari Studi untuk Majalengka, meskipun mengalami depresi pada tahun 2003 akibat kondisi musim yang tidak mendukung, tetap menunjukkan pertumbuhan yang stabil dan kenaikan sebesar 60% sejak 2001. Produksi ubi jalar terpusat pada lima kecamatan. Daerah dengan produksi terbesar adalah Kecamatan Maja dengan memproduksi 4,000 ton, yaitu 30.1% dari produksi total kabupaten, disusul oleh Kecamatan Cigasong (2,100 ton), Argapura (1,400 ton), dan Majalengka (1,000 ton). Produksi ubi jalar di Kabupaten Majalengka lebih rendah daripada di Kuningan karena petani menanam ubi jalar hanya pada musim hujan disebabkan oleh sistem irigasi yang buruk. Survei lapangan menunjukkan bahwa produktifitas ubi jalar di musim hujan lebih rendah. Juga dilaporkan bahwa petani tidak menggunakan bibit unggul secara intensif, produksi menurun dan mudah terserang hama penyakit. Sehingga diperlukan sistem penggandaan dan pemasokan benih berkualitas yang dilakukan oleh Dinas Pertanian. (3.5.1 & 3.5.3)
53.
Delapan Kelompok Tani yang tersebar di empat kecamatan yang disurvei di Majalengka. Serupa dengan Kabupaten Kuningan, Kelompok Tani yang disurvei terlebih dahulu dikategorikan menjadi dua: (i) Kelompok Tani “Produksi” dan (ii) Kelompok Tani “Pengolah” untuk dievaluasi, dimana Delima 2 dari Kecamatan Telega dan GPK Mitra Binangkit di Kecamatan Cigasong terseleksi dari kelompok “Pengolahan”. Survei lapangan mengungkap bahwa Kelompok Tani yang masuk dalam kategori “Produksi” masih menggunakan metode produksi yang primitif dan masih sulit untuk memulai kegiatan pengolahan. Produksi mereka tidak stabil dibandingkan dengan kelompok di Kuningan. Sehingga, yang harus dipertimbangkan terlebih dahulu adalah untuk menstabilkan produksi dari Kelompok Tani tersebut melalui dukungan Dinas Pertanian yang nantinya akan membantu memulai kegiatan pengolahan secara bertahap. (3.5.2)
54.
Hasil dari survei tingkat kemiskinan pada dua Kelompok Tani dikemukakan pada Gambar S-5, yang menjelaskan bahwa persentase populasi miskin dimana Delima 2 berada lebih rendah jika dibandingkan dengan Mitra Binangkit. Kedua Kelompok Tani ini mengungkapkan bahwa “keterbatasan modal” menjadi masalah utama dalam kelompok. Masalah lain yang dikemukakan mereka adalah mengenai pengolahan dan pemasaran, khususnya mengenai keterampilan pengolahan dan pengemasan yang masih rendah. (3.5.2)
S - 14
Ringkasan Elsekutif 55.
Melarat Miskin Sedang Kaya Berdasarkan hasil seminar lapangan, peta 8% 9% 18% 65% hubungan kelembagaan telah Delima 2 dipersiapkan untuk menggambarkan lembaga apa saja yang berhubungan 15% 11% 43% 31% M itra B inangkit dengan masyarakat dan tingkatnya. Tingkat hubungan ini diklasifikasikan 0% 20% 40% 60% 80% 100% menjadi lima: (i) sangat kecil, (ii) kecil, P ersentase (iii) sedang, (iv) besar dan (v) sangat Gambar S-5 Persentase Kemiskinan Masyarakat besar. Pemetaan ini juga menunjukkan (Kabupaten Majalengka) jarak fisik bagi setiap lembaga. Apabila lembaga-lembaga tersebut berjarak dekat, maka lingkaran akan diletakkan dekat dengan kelompok. Dari pemetaan kelembagaan yang diterapkan pada tiga kabupaten di Jawa Barat, ditemukan pola kedekatan antara Kelompok Tani dan lembaga yang serupa. Kelompok Tani memiliki hubungan yang lebih dekat dengan pemerintah daerah khususnya Dinas Pertanian dan/atau Dinas Peternakan Kabupaten serta Petugas Penyuluhan Lapangan. Lembaga keuangan juga diikutsertakan dalam pemetaan ini, tetapi anggota kelompok memiliki akses yang berbeda. Banyak kelompok mengungkapkan bahwa rekening kelompok menggunakan atas nama ketua kelompok. Namun aksesibilitas sebagai kelompok bukan berarti tinggi. Pengembangan pemasaran masih dalam proses pertumbuhan di hampir seluruh kelompok, sehingga pedagang masih menjadi pihak penting dalam kegiatan Kelompok Tani. (3.3.2, 3.4.2 & 3.5.2)
56.
Mengenai kegiatan pengolahan, Majalengka memiliki kelompok-kelompok wanita yang aktif seperti Mitra Binangkit dan Delima 2. Mereka sudah mengolah komoditas ubi jalar menjadi keremes, kecemplung dan papais dengan menggunakan peralatan dan pemasaran skala kecil. Perluasan wilayah pemasaran bagi produk-produk tradisional semacam itu akan sangat sulit. Karakteristik jenis usaha seperti ini harus menargetkan “Lokal Produksi dan Lokal Konsumsi/Pemasaran dengan menggunakan Produk Lokal”. (3.5.3)
57.
Hasil temuan di bidang pemasaran di Kabupaten Majalengka adalah sebagai berikut: (i) Satu kelompok bandar mendominasi lebih dari 60% pasar ubi jalar di Majalengka. Tujuan utama produk melalui kelompok ini adalah pengolah-pengolah besar untuk diekspor ke kabupaten atau propinsi lain, dan (ii) Di wilayah yang didominasi kelompok bandar tersebut, petani ubi jalar tidak punya pilihan lain untuk memasarkan produk mereka. Namun di daerah lain, pemasaran oleh para petani sendiri lebih terbuka. (3.5.4)
58.
Para pelaku penghubung petani (perorangan/kelompok) dan pengecer di pasar ubi jalar di Majalengka adalah: (i) Perantara, (ii) Pengepul Desa, (iii) Pengolah dan (iv) Pedagang Grosir. Seperti yang dijelaskan diatas, Perantara memiliki pengaruh yang besar di pasar ubi jalar. (3.5.4)
59.
Masalah pemasaran secara umum meliputi: (i) Transportasi: Tidak ada sarana transporasi milik Kelompok Tani, (ii) Kualitas Usaha: keterbatasan promosi penjualan, kurangnya orientasi bisnis dan perilaku pasif petani tentang pemasaran dibandingkan dengan perantara, (iii) Kinerja Usaha: keterbatasan jalur pemasaran, keterbatasan daerah pemasaran, tingkat keuntungan yang rendah dan keterbatasan kemitraan di antara
S - 15
Ringkasan Elsekutif Kelompok Tani, (iv) Ketergantungan pada perantara: harga ditentukan oleh perantara dan keterikatan dengan perantara sejak diberikannya pinjaman dari mereka, dan petani tidak memiliki pillihan lain untuk memasarkan produk mereka karena sebagian besar pasar dikuasai oleh kelompok bandar (v) Pasar: sistem informasi pasar yang tidak berfungsi, tidak ada akses ke informasi pasar dan ukuran pasar yang kecil bagi ubi jalar. (3.5.4) Kabupaten Mojokerto 60.
Menurut rencana strategis 2001–2005 yang disusun oleh Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Mojokerto, satu dari enam visinya adalah “meningkatkan produksi dan produktifitas ternak melalui pemuliaan ternak, pengembangan pakan dan penerapan teknologi peternakan.” Sejalan dengan visi tersebut, Dinas bermaksud meningkatkan populasi ternak sampai 2.1% per tahun untuk ternak besar dan 1.6% per tahun untuk ternak kecil serta meningkatkan produksi telur dan susu sebesar 2%. Dari komoditas contoh Studi, itik merupakan salah satu fokus yang harus dikembangkan Dinas dalam visi ini. Ada lima program yang diprakarsai oleh Dinas: (i) Program pengembangan produksi ikan dan ternak, (ii) Program satu juta ternak melalui inseminasi buatan, (iii) Program peningkatan ketahanan pangan melalui pasokan sumber protein hewani dan pemberdayaan kegiatan nelayan, (iv) Program pemberdayaan infrastruktur dan fasilitas pembenihan ikan. (v) Program pencegahan dan penanggulangan penyakit hewan, vaksinasi dan pemeriksaan rutin kualitas daging dan susu ternak. (3.6.1)
61.
Produksi itik di Kabupaten ini menunjukkan pertumbuhan secara bertahap dalam lima tahun terakhir meskipun tidak ada data menurut kecamatan yang tersedia serta terjadi fluktuasi tahunan. Total produksi itik di kabupaten pada tahun 2005 adalah 207,000 ekor naik sekitar 15% sejak tahun 2001. (3.6.1)
62.
Lima Kelompok Tani di lima Kecamatan telah disurvei. Kelompok Tani di Mojokerto tidak dapat dikategorikan menurut sasaran pemasaran karena pemasaran di Mojokerto berbeda dengan di Cirebon. Survei lapangan menjelaskan bahwa sasaran pemasaran di Mojokerto secara aktif digerakkan oleh para pengepul dan permintaan komoditas itik sangat tinggi khususnya dari pasar di luar kabupaten sehingga disebut pasar penjual. Melalui bantuan pengepul yang aktif semacam itu, permintaan pasar dapat diperluas di masa depan, khususnya bagi pasar di Surabaya dan wilayah perkotaan sekitarnya. Berdasarkan keadaan ini, proses seleksi dilakukan hanya berdasarkan skoring kualitatif tanpa segregasi pasar. Dari proses ini, tiga Kelompok Tani yaitu Karya Tani, Lestari Sejahtera dan Tani Mulyo terseleksi sebagai kelompok model dari Mojokerto. (3.6.2)
63.
Hasil dari survei tingkat kemiskinan seperti yang ditunjukkan oleh Gambar S-6 di sebelah kanan. Pada kategori melarat dan miskin, persentase yang lebih rendah ditunjukkan oleh masyarakat Kelompok Tani Tani Mulyo. Melalui sensus masalah yang dilakukan dalam seminar lapangan, keterbatasan permodalan untuk memperluas kegiatan mereka menduduki
S - 16
Melarat
Miskin
14%
Sedang
31%
Kaya 52%
3%
Karya Tani
6%
8%
57%
29%
Tani M ulyo
36%
4%
10%
50%
Lestari Sejahtera
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Persentase
Gambar S-6
Persentase Kemiskinan Masyarakat (Kabupaten Mojokerto)
Ringkasan Elsekutif peringkat tertinggi di seluruh kelompok tani. “Kenaikan harga bahan bakar” meskipun merupakan faktor eksternal juga didiskusikan dalam seminar dan diberikan peringkat sebagai masalah serius. (3.6.2) 64.
Teknologi dasar dalam beternak itik dan rasio pemulihan dalam pemeliharaan, produksi DOD dan pengolahan telur asin hampir serupa dengan di Cirebon. Hal-hal yang berbeda untuk dijelaskan disini adalah tidak ada siklus pasokan yang pasti dari telur fertil, DOD dan pullet seperti yang ada di Cirebon, yang menyebabkan keterbatasan pengembangan usaha itik di Mojokerto. Sangat sulit bagi pendatang baru untuk memulai usaha itik atau bagi peternak yang sudah ada untuk mengembangkan usaha mereka. Dinas Peternakan dan Perikanan dianjurkan untuk mendukung sistem kerjasama usaha seperti yang ada di Cirebon bagi pengembangan industri itik. (3.6.3)
65.
Kelompok ternak itik di terbesar di Mojokerto adalah Kelompok Tani Lestari Sejahtera yang memproduksi, telur fertil, telur asin, daging itik dan itik asap. Dinas telah mencoba di tahun 2001 untuk mengembangkan kelompok tani di sekitar Kelompok Tani Lestari Sejahtera dengan memberikan bantuan teknis dan keuangan namun, hasilnya tidak memuaskan. Ini disebabkan oleh karena mereka mendapat teguran dari masyarakat sekitar akan bau dan suara itik di daerah dengan penduduk padat. Dari percobaan ini, jelas bahwa promosi usaha baru membutuhkan pertimbangan seluruh aspek seperti lokasi, lingkungan, hubungan masyarakat, kepemimpinan, keterampilan manajemen, transparansi usaha, kondisi pemasaran, infrastruktur dan lain sebagainya. (3.6.3)
66.
Hasil temuan di bidang pemasaran in Kabupaten Mojokerto meliputi: (i) Tidak ditemukan kerjasama usaha (perjanjian kemitraan) antara Kelompok Tani seperti yang telah dijelaskan, (ii) Kebanyakan produk itik seperti telur segar, DOD dan telur asin dikirim ke Surabaya dan kabupaten atau propinsi lain, dan (iii) Ditemukan berbagai jenis transaksi antara petani dan perantara, khususnya pengepul desa, untuk produk itik dengan karakteristik khusus. (3.6.4)
67.
Dari wawancara yang dilakukan dengan beberapa pejabat Dinas Peternakan, disimpulkan bahwa perantara terlibat pada sebagian besar transaksi produksi itik yang dilakukan oleh Kelompok Tani. Para pelaku penghubung petani (perorangan/kelompok) dan pengecer di pasar itik Mojokerto adalah: (i) Perantara, (ii) Pengepul Desa, (iii) Pengolah, dan (iv) Pemain Ganda. (3.6.4)
68.
Masalah pemasaran meliputi: (i) Transportasi: kurangnya sarana transportasi, (ii) Kualitas Usaha: kurangnya orientasi bisnis, perilaku pasif petani di bidang pemasaran dibandingkkan perantara, reputasi Kelompok Tani yang tidak menguntungkan dana tidak ada kerjasama dengan kelompok lain, (iii) Ketergantungan pada perantara: pemasaran yang tidak sustainable yang disebabkan oleh ketergantungan pada perantara, harga ditentukan oleh perantara dan keterikatan pada pinjaman. (iv) Pasar: kesulitan akses ke pasar, kesulitan pemasaran karena flu burung, penurunan permintaan telur dan sistem informasi pasar yang tidak berfungsi. (3.6.4)
S - 17
Ringkasan Elsekutif Kabupaten Kediri 69.
Kebijakan pengembangan pertanian di Kabupaten Kediri memberi prioritas pada: (i) peningkatan produktivitas pertanian, (ii) promosi industri pengolahan khususnya peningkatan nilai tambah melalui pengolahan produk primer, (iii) pengembangan sentra produksi untuk produk-produk potensial, dengan memfasilitasi keikutsertaan kelompok tani. Lima program berikut ini merupakan prioritas pada kebijakan pertanian kabupaten: (i) Program Peningkatan Ketahanan Pangan, (ii) Program Pengembangan Agribisnis dan Agro-industri, (iii) Program Pengembangan Kualitas Unggul untuk Buah-buahan dan Sayuran, (iv) Program Pengembangan Infrastruktur Pertanian dan (v) Program Pengembangan Sumber Daya Manusia. (3.7.1)
70.
Meski mangga merupakan satu jenis tanaman yang berusia panjang, produksinya menunjukkan adanya fluktuasi yang cukup siknifikan. Produksi pada tahun 2003 terlihat merupakan produksi tertinggi dalam 5 tahun belakangan, sementara produksi tahun 2005 hanya mencapai 66% dari produksi tahun 2003. Untuk tingkat kecamatan, Kecamatan Tarokan adalah kecamatan yang paling tinggi produksi mangganya (15,300 ton) diikuti oleh Semen (10,100 ton), Grogol (7,700 ton) dan Banyakan (7,600 ton). Produksi mangga di 4 kecamatan ini mendominasi sekitar 84% dari total produksi mangga di Kediri. (3.7.1)
71.
Enam Kelompok Tani yang tersebar di empat kecamatan telah disurvei, mengidentifikasi hanya dua Kelompok Tani, yaitu Budi Daya and Makmur Jaya, yang sudah melakukan pengolahan. Pengolahan mangga masih dalam tahap pertumbuhan dan kedua Kelompok Tani menunjukkan tingkat pengolahan yang Melarat Miskin Sedang Kaya sama. Sehingga, berbeda dengan komoditas 10% 26% 51% 20% M akmur Jaya ubi jalar di Kuningan dan Majalengka, Kelompok Tani tidak diklasifikasikan 3% 38% 14% 45% menjadi kelompok produksi dan pengolahan B udidaya tetapi hanya dibandingkan dengan menggunakan skor kualitatif pada proses 0% 20% 40% 60% 80% 100% P ersentase seleksi. Dari seleksi tersebut, dipilih Kelompok Tani Budi Daya karena memiliki Gambar S-7 Persentase Kemiskinan Masyarakat (Kabupaten Kediri) paling banyak aspek yang kompetitif dan Makmur Jaya karena memiliki kemampuan pemasaran yang dominan. (3.7.2)
72.
Hasil survei tingkat kemiskinan pada dua Kelompok Tani ditunjukkan pada Gambar S-7. Persentase kategori melarat dan miskin di dua Kelompok Tani tersebut cukup tinggi yaitu 70 sampai 80% dari anggota masyarakat, dibanding dengan Kabupaten lain. Survei lapangan menjelaskan bahwa akses fisik dari dua Kelompok Tani ke pasar dinilai menjadi masalah serius, sehingga peserta seminar lapangan masalah menempatkan masalah transportasi dan kondisi jalan sebagai masalah dengan peringkat tinggi. Sedangkan masalah lain yang dikemukakan meliputi (i) kemampuan dalam penanaman mangga yang tidak memadai dan (ii) kegiatan pemasaran yang tidak memadai. (3.7.2)
S - 18
Ringkasan Elsekutif 73.
Petani mangga di Kediri biasanya menggunakan sistem tumpang sari yaitu menanam sayur mayur atau palawija bersama dengan pohon mangga. Panen dilakukan hanya setahun sekali. Peralatan pertanian untuk mangga dan tanaman pangan masih sederhana misalnya penyemprot tangan (hand sprayer) dan cangkul. Pengolahan mangga podang masih belum dikembangkan di wilayah produksi mangga (Kecamatan Tarokan, Kecamatan Semen dll.). Beberapa kelompok tani berniat untuk melakukan pengolahan mangga podang, namun mereka masih belum memiliki keterampilan dalam pengolahan dan pemasaran. Selain itu, mereka juga kekurangan modal untuk mengolah mangga. Hingga sekarang, kebanyakan petani hanya menjual mangga kepada pengepul. Akibatnya, pada panen raya petani tidak mendapatkan cukup keuntungan karena harga mangga terlalu rendah untuk menutupi biaya panen. (3.7.3)
74.
Tingkat pengolahan pada kelompok masih rendah. Contohnya, Kelompok Tani Budidaya menerima Vacuum Fryer untuk pengolahan mangga dan pelatihan dari BPTP Malang. Namun, pengolahan mangga hingga kini masih dalam tahap percobaan. Berdasarkan wawancara, kelompok memproduksi jus mangga masih menggunakan metode tradisional yang sederhana tanpa proses pasturisasi, sehingga produksi hanya bertahan satu hari. Oleh karena petani memiliki keinginan kuat untuk menjual seluruh hasil panen mereka, 75% dari transaksi mangga dilakukan antara pengepul dan petani sebelum panen, atau sistem ijon, yang lazim dilakukan di Pulau Jawa, bukan hanya untuk mangga tapi juga untuk tanaman lain. (3.7.3)
75.
Ditemukan dua kegiatan yang berbeda di Kediri yaitu: (i) pengolahan mangga kering oleh Kelompok Tani Sumber Mulyo (Kecamatan Banyakan) dengan dukungan sebuah LSM dan (ii) pengolahan nenas oleh Kelompok Tani Lohjinawi (Kecamatan Ngancar) yang menerima bantuan teknis dari BPTP Malang, Universitas Brawijaya dan Dinas Perindustrian Kediri. (3.7.3)
76.
Hasil temuan di bidang pemasaran di Kabupaten Kediri adalah sebagai berikut: (i) Lebih dari 50% produksi mangga segar dikirim ke kabupaten lain (grosir, dll.), karena permintaan yang terbatas di kabupaten. (ii) Terdapat “pasar buah” pada wilayah sentra produksi. 80 % mangga lokal dikumpulkan di pasar tersebut pada saat panen, tetapi pembeli dari kabupaten lain lebih banyak daripada pembeli lokal, (iii) Sekitar 75 % dari transaksi mangga dilakukan sebelum panen yang disebabkan oleh keinginan petani untuk menjual seluruh hasil panen mereka. (iv) Tidak terdapat industri pengolahan mangga, tetapi hanya pada tingkat industri rumah tangga dan (v) Beberapa kemitraan antara Kelompok Tani perusahaan swasta di kabupaten lain hanya sebatas pada pemasokan bahan baku, pelatihan dan pengolahan. (3.7.4)
77.
Sedangkan di kabupaten lain dan/atau komoditas lain, perantara dan pengepul terlibat dalam mayoritas transaksi mangga yang dilakukan oleh petani anggota Kelompok Tani dan non-Kelompok Tani. Pihak penghubung antara petani (perorangan/kelompok) dan pengecer di pasar mangga di Kediri adalah: (i) Perantara, (ii) Pengepul Desa, (iii) Pengolah dan (iv) Pedagang. Fungsi mereka pada dasarnya sama pada kabupaten lain. (3.7.4)
S - 19
Ringkasan Elsekutif 78.
Masalah pemasaran yang serupa juga ditemukan disini seperti: (i) Transportasi: Tidak ada sarana transportasi bagi distribusi produk dan kondisi jalan yang buruk sebagai penyebab tingginya biaya transportasi, (ii) Kualitas Usaha: kurangnya orientasi bisnis dan perilaku petani yang pasif dalam pemasaran dibandingkan dengan perantara, (iii) Ketergantungan pada perantara: harga ditentukan oleh perantara dan keterikatan dengan perantara sejak pinjaman diberikan, (iv) Pasar: sistem informasi pasar yang tidak berfungsi. (3.7.4)
Keuangan Mikro Pedesaan 79.
Hasil Studi mengungkapkan bahwa petani memiliki akses ke berbagai lembaga keuangan dari unit BRI sampai lembaga non bank dan layangan keuangan informal lainnya seperti pegadaian, warung dan arisan. Meskipun terdapat berbagai jenis layanan keuangan, terungkap dari wawancara, seminar lapangan, survei tingkat kemiskinan dan survei rumah tangga bahwa tidak seluruh layanan tersebut dapat dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat. Dari hasil survei tingkat kemiskinan, secara umum, masyarakat pada kategori sedang dan kaya telah memiliki akses ke lembaga keuangan. Sedangkan masyarakat kategori miskin dan melarat hanya memiliki akses ke rentenir, arisan, pegadaian, warung dan pedagang (pengepul). Pada kasus terburuk, masyarakat pada kategori melarat tidak memiliki akses sama sekali ke layanan keuangan manapun. (3.8.1)
80.
Keberadaan bank dekat masyarakat tidak berarti membantu mengisi kesenjangan permintaan dan persediaan keuangan. Bank-bank komersial pada umumnya terbatas untuk melayani nasabah yang berada di sekitar dengan radius antara 5 hingga 10 km dari cabang dan unit mereka. Kebijakan ini dan kenyataan bahwa bank-bank tersebut melayani lebih banyak program pemerintah, membantu terbentuknya unit-unit di daerah pedesaan dan mencapai tingkat jangkauan dari unit-unit BRI. Dari sisi bank, setiap bank memiliki prioritas wilayah yang berbeda-beda, dan tidak semuanya melayani sektor pertanian. Bank baru-baru ini mulai menaikkan pendanaan bagi usaha UMKM tetapi dana yang mengalir masih belum cukup untuk membiayai sektor agribisnis. Bank melakukan analisa kesulitan dari petani peminjam sebagai berikut: (i) kemampuan petani yang rendah di bidang pemasaran, pengelolaan dana dan pembukuan, (ii) risiko tanam, (iii) marjin keuntungan yang menurun akibat kenaikan harga bahan bakar, (iv) risiko flu burung. Hal tersebut diatas akan berisiko pada tertundanya pembayaran pinjaman. Sebagai dampak merebaknya flu burung, beberapa bank menghentikan pendanaan pinjaman baru yang diajukan oleh petani ayam dan unggas. (3.8.2)
81.
Siklus pembayaran atau cicilan dari bank menjadi salah satu penghalang utama bagi petani yang tidak meminjam dari bank. Hal ini tidak terjadi pada pinjaman yang diberikan oleh pedagang (atau perantara dan pengepul) dan pemasok pakan, yang menjadi pemberi dana utama diikuti oleh perbankan, lembaga keuangan non bank dan kelompok tani. Praktik yang biasa terjadi dalam hal pembayaran adalah petani menjual produk mereka kepada pedagang/pemasok setelah panen, dan memotong jumlah pinjaman dan mengembalikan sisanya kepada petani. Hubungan kekuatan antara petani dan pedagang/pemasok tersebut berbeda pada setiap kasus, beberapa petani memandang positif hubungan ini dengan memanfaatkan jaringan pemasaran pedagang / pemasok, dan
S - 20
Ringkasan Elsekutif untuk mengamankan penjualan bahkan sebelum panen. Namun, ada beberapa petani yang menganggap hubungan dengan pemasok pakan merangkap pengepul adalah sebagai keterikatan, dimana mereka dikenakan harga pasar ketika memasok pakan dengan sistem kredit, dan ketika produk mereka dikumpulkan, harga beli menjadi lebih rendah daripada harga pasar yang berlaku. (3.8.2) 82.
Mayoritas kelompok tani yang terseleksi telah memiliki kegiatan simpan pinjam, meski dengan tingkat yang berbeda. Hal lain yang tidak boleh diabaikan adalah distribusi yang tidak seimbang dari program keuangan pemerintah bagi petani dan pengentasan kemiskinan yang mempengaruhi perilaku dan pola pikir kelompok. Beberapa kelompok yang telah menerima program keuangan dengan kondisi lunak lebih siap menuju kemandirian finansial, dari segala bentuk hibah atau pinjaman lunak. Dengan kata lain, untuk mendapatkan bantuan yang besar, mereka dipilih sebagai contoh showcase. Akan tetapi bantuan yang kumulatif jelas memberikan pengharapan besar terhadap program keuangan tambahan dengan persyaratan lunak. Selain itu, kelompok yang memiliki sedikit pengalaman atau tidak memiliki pengalaman dalam menerima program pemerintah lebih memperlihatkan perilaku yang berorientasi bisnis. Karakteristik dari pemanfaatan pinjaman menurut komoditas adalah berbeda. Seluruh pengalaman yang dimiliki Kelompok-kelompok Tani tersebut harus dipertimbangankan dalam pendekatan perbaikan. (3.8.3)
83.
Menurut penelitian dasar pada kabupaten contoh, kelompok tani yang terseleksi telah memiliki akses ke keuangan pada tingkat tertentu. Jenis lembaga keuangan yang dapat mereka akses juga berbeda yang disebabkan oleh faktor-faktor yang di luar kuasa mereka seperti kondisi geografis masyarakat dan struktur keuntungan dari komoditas. Beberapa kelompok tani sudah memiliki akses ke bank, untuk menabung dan meminjam modal kerja mereka dan modal investasi sekitar Rp.5 juta. Beberapa telah memiliki akses ke koperasi, menabung dan meminjam modal kerja sebesar Rp.1 juta tanpa agunan. Sedangkan sisanya meminjam kepada kelompok tani, untuk menabung dan menyimpan sekitar Rp.0.5 juta tanpa agunan, dan ke warung serta ke perseorangan (ketua kelompok, pedagang, pemasok pakan). Bagi petani lain tidak mendapatkan akses fisik ke bank karena tinggal di daerah terpencil, mereka mendapat layanan skema P4K. Keadaan ini menggambarkan kesenjangan antara permintaan dan persediaan dari layanan keuangan di pedesaan: (i) kurangnya akses fisik, (ii) kebutuhan keuangan masyarakat, (iii) kebutuhan keuangan agribisnis, (iv) tidak memenuhi persyaratan pinjaman, (v) ketergantungan pada pinjaman dari pedagang, dan (vi) batas jumlah pinjaman yang ditawarkan oleh kelompok tani dan koperasi. (3.8.4)
S - 21
Ringkasan Elsekutif IV.
PENDEKATAN PERBAIKAN DASAR
Pendekatan Perbaikan Dasar 84.
Kelompok Tani sasaran adalah petani miskin di daerah pedesaan. Rasio populasi miskin pada tingkat kabupaten di wilayah Studi dengan persentase terendah adalah di Cirebon yaitu 17.3% dan persentase tertinggi adalah di Kediri yaitu 19.6% di tahun 2004, lebih tinggi daripada rata-rata nasional yaitu 16.7%. Hasil penilaian kemiskinan tersebut menunjukkan rasa dan tingkat kemiskinan yang berbeda di setiap lapisan masyarakat,
Cirebon
Kelompok Tani
Bebek Jaya
Majalengka
Kuningan
Andayarasa
Mojokerto
20%
Sriganala Indah
Tigan Mekar
Bina Karya Linggasari 2 Mitra Binangkit Delima 2 Lestari Sejahtera Tani Mulyo Karya Tani
Kediri
Proporsi Penduduk Tingkat Dusun (RW & RT) di sekitar Kelompok Tani 10%
30%
50%
60%
70%
Sangat Miskin + Miskin (65%)
80%
90%
Sedang + Kaya (35%)
Sangat Miskin + Miskin (53%)
Sedang + Kaya (47%)
Sangat Miskin + Miskin (40%)
Sedang + Kaya (60%)
Sangat Miskin + Miskin (28%)
Sedang + Kaya (72%)
Sangat Miskin + Miskin (42%)
Sedang + Kaya (58%)
Sangat Miskin + Miskin (32%)
Sedang + Kaya (68%)
Sangat Miskin + Miskin (42%)
Sedang + Kaya (58%)
Sangat Miskin + Miskin (27%)
Sedang + Kaya (73%)
Sangat Miskin + Miskin (40%)
Sedang + Kaya (60%)
Sangat Miskin + Miskin (35%)
Sedang + Kaya (65%)
Sangat Miskin + Miskin (45%)
Budidaya Makmur Jaya
40%
Sedang + Kaya (55%)
Sangat Miskin + Miskin (83%)
Sangat Miskin + Miskin (77%)
Survei Kemiskinan Kabupaten (2004)
Gambar S-8
Sedang + Kaya (17%)
Sedang + Kaya (23%)
Sangat Miskin & Miskin
Sedang & Kaya
Hasil Survei Tingkat Kemiskinan
seperti yang ditunjukkan pada Gambar S-8. Beberapa petani menunjukkan motivasi dan potensi yang kuat dalam meningkatkan pengolahan hasil pertanian menjadi sebuah usaha, serta meningkatkan kegiatan simpan pinjam. Kedua hal tersebut merupakan persyaratan minimum dalam kegiatan peningkatan pendapatan. Oleh sebab itu, Kelompok Tani sasaran diharapkan untuk 1) memiliki keinginan untuk mandiri, 2) mengenali pentingnya kemampuan pengelolaan organisasi, dan 3) mempertimbangkan beban perempuan dan kesetaraan gender. (4.1.1) 85.
Banyak aspek yang perlu dipertimbangkan dalam membantu petani menuju kemandirian dengan melakukan kegiatan pengolahan hasil pertanian dan keuangan mikro pedesaan yang meliputi: (i) kemampuan teknis dan pemasaran dalam usaha pengolahan, (ii) strategi pemasaran agar dipersiapkan dan diperbaharui sesuai tingkat pemahaman petani, (iii) mengisi kesenjangan antara persediaan dan permintaan finansial melalui pembentukan lembaga keuangan mikro (LKM) menuju kepada peningkatan aset dan pemupukan modal, dan (iv) faktor pendukung yang meliputi penelitian dan penyuluhan, organisasi dan kelembagaan, sarana produksi dan pasokan bahan baku, infrastruktur pedesaan dll. Gambar skematis dari hubungan tersebut ditunjukkan oleh Gambar S-9. (4.1.2)
S - 22
Ringkasan Elsekutif Faktor Pendukung Usaha
LKM Pedesaan di masyarakat
Usaha Meningkatkan Pendapatan
Produksi Primer
Akses ke Layanan Keuangan Manajemen Usaha
Peningkatan Aset dan Pemupukan Modal pada tingkat Petani
Penerapan Teknologi dan Peralatan yang Sesuai
Pengolahan Hasil Pertanian
Manajemen Keuangan
Peningkatan Kapasitas untuk Persiapan dan Penerapan Strategi Pemasaran
Pemasaran
Faktor-Faktor Pendukung Lain Penyuluh Pertanian & Penelitian Pertanian Sarana Produksi & Pasokan Bahan Baku Kondisi Fisik Infrastruktur Pemerintahan Daerah, Kesetaraan Gender
Gambar S-9
86.
Gambar Skematik Hubungan
Dalam proses transformasi LKM, petani akan membentuk sendiri kelompok atau kelompok wanita untuk kemudian diubah bentuk menjadi LKM melalui Embrio LKM (LKM informal tetapi sudah diterima secara luas) melalui penguatan dan konsolidasi kelompok menjadi lebih besar. Proses transformasi tersebut diilustrasikan dalam Gambar S-10. Melalui proses tersebut, kegiatan usaha akan dapat ditingkatkan dan “pola pikir ketergantungan” akan menurun seiring berjalannya setiap tahap. (4.1.3) Individu
Pembentukan Kelompok KT KPK
Penguatan Kelompok KT KPK
KT KPK KT KPK
KT KPK
Konsolidasi
Formalisasi Regulasi
Embrio LKM
LKM
KT KPK
Kelompok Usaha
Hibah Dana Bergulir
Pinjaman Dana Bergulir dengan Kontribusi Kelompok
Inisiatif Sendiri Pengumpulan Dana
Peningkatan aset Pemupukan Modal
Menerima Layanan Keuangan
Penghidupan & Kesejahteraan
Pemberdayaan
Graduasi
Proses Manajemen Mandiri
Manajemen Mandiri
Kegiatan Usaha
Ketergantungan pada Bantuan
Gambar S-10
Gambar Transformasi Kelompok Tani menjadi LKM/Kelompok Usaha
S - 23
Ringkasan Elsekutif 87.
Petani dan/atau Kelompok Tani yang terlibat dalam pengolahan hasil pertanian merupakan produsen berbasis masyarakat pedesaan yang memanfaatkan bahan baku yang tersedia secara lokal, dan produk yang didistribusikan melalui pengepul dan perantara ke pasar-pasar. Kegiatan ini memberikan kontribusi terhadap perekonomian berbasis masyarakat dan meningkatkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat. Selain itu, kegiatan yang beragam pada pembangunan berbasis masyarakat akan menggairahkan dan memperluas pengolahan hasil pertanian secara langsung maupun tidak langsung. Keadaan yang sama juga dapat diharapkan pada keuangan mikro pedesaan, sehingga hubungan dengan pengembangan masyarakat adalah penting bagi promosi kegiatan pengolahan hasil pertanian dan keuangan mikro pedesaan, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar S-11. Pada beberapa kasus seperti itik dan ubi jalar, produk dipasarkan ke pasar domestik pada tingkat nasional, langsung maupun tidak langsung melalui pengolahan dan manufaktur lebih lanjut. Di Kuningan, irisan ubi jalar kering akan diproduksi melalui pengolahan primer ubi jalar yang dilakukan oleh kelompok tani, dan untuk dijual ke pengillingan tepung ubi jalar secara rutin. Dalam hal ini, kelompok tani akan memiliki kemitraan dengan pengolah Departemen Pertanian dan Pemerintah Propinsi Pemerintah Kabupaten
Sarana Produksi
Petani Kelompok Tani Masyarakat
Pasar, Pabrik & Konsumen
Keuangan
Dukungan Usaha
Gambar S-11
Interaksi dengan Masyarakat
perusahaan lain dalam memasok bahan baku mereka. (4.1.4)
S - 24
Ringkasan Elsekutif Langkah Perbaikan Pengolahan 88.
Rantai nilai dari industri itik diilustrasikan dalam Gambar S-12. Langkah-langkah berikut ini harus dilakukan bagi perbaikan di Kabupaten Cirebon yang meliputi: (i) skema segitiga yang sudah ada harus lebih dikuatkan, (ii) bantuan teknis/penyuluhan harus diberikan oleh BPTP Bogor, IPB dan lembaga lain, (iii) peralatan tetas baru seperti jenis semi otomatis harus diterapkan, (iv) berbagai dukungan bagi pengelolaan usaha harus diberikan kepada Kelompok Tani, (v) pinjaman lunak harus diberikan untuk membantu pengembangan usaha tetapi bukan dalam bentuk hibah, dan (vi) peluang usaha baru harus dikembangkan oleh petani. (4.2.1) ACTIVITY
Triangle System
PLAYER
Fertile egg Production/ Supply
*Triangle scheme is well functioning in Cirebon but not in Mojokerto yet.
DOD Production/ Supply
Pullets Production/ Supply
Research/ Extension
ISSUE
DEPTAN/BPTP/Dinas/ University
*New technologies developed require dissemination system to rural area.
Training to trainer/farmer
Input Supply
Input Supply by Companies
Input Supply by own
Growing/ Processing
Small-scale Duck Farmers (DOD, Fertile eggs, Salty eggs, Pullets, Meat ducks)
Collecting/Bulking Trading
Local Collector/ Bandar
Selling
Consumption
Urban/Other Province/Export
Local market
Consumers
Gambar S-12
89.
Cooperative
*The yield of egg production, incubation of DOD and survival rate is low level due to traditional method. New technology need to be extended. *Capital accumulation for business expansion is not active. *Environmental friendly breeding system is required.
*Collectors/Middlemen play as a leader of farmers group causing unfair profit sharing. *Cooperative is not strong.
*Consumers are conservative to duck meat.
Rantai Nilai Industri Itik
Di Kabupaten Mojokerto, langkah perbaikan yang harus dilakukan meliputi: (i) sistem segitiga seperti di Kabupaten Cirebon harus dibentuk, (ii) bantuan teknis/penyuluhan harus diberikan oleh BPTP Malang, Universitas Brawijaya dan lembaga lain, (iii)
S - 25
Ringkasan Elsekutif peralatan tetas baru harus diterapkan, (iv) berbagai dukungan dalam pengelolaan usaha harus diberikan kepada Kelompok Tani, (v) pinjaman lunak harus diberikan untuk pengembangan usaha tetapi bukan dalam bentuk hibah. (4.2.1) 90.
Rantai nilai industri ubi jalar diilustrasikan dalam Gambar S-13 dibawah ini. Langkah-langkah berikut ini diajukan dalam peningkatan produksi dan pengolahan ubi jalar Kabupaten Kuningan: (i) penggandaan dan pemasokan bibit ubi jalar yang bebas penyakit, (ii) pengembangan produk ubi jalar baru, (iii) memperkuat kemampuan pemasaran dari Kelompok Tani yang memiliki produk unik, (iv) mengembangkan konsep baru dalam penambahan nilai, (v) memberikan dukungan pengelolaan usaha, dan (vi) memberikan pinjaman lunak bagi pengembangan usaha tetapi bukan dalam bentuk hibah. (4.2.1) KEGIATAN
PEMAIN
Penelitian/ Penyuluhan
MASALAH *Cara baru dalam pengolahan ubi jalar menjadi makanan olahan atau bahan baku industri harus dikembangkan oleh lembaga. * Petani menggunakan bibit ubi lokal yang mudah terkena penyakit. * Pemasok menjual dengan cara kredit yang mengikat petani.
DEPTAN/BPTP/Dinas/ Universitas
Pelatihan bagi Penyuluh/Petani Pasokan Sarana Produksi
Pasokan Sarana Produksi dari Pabrik
Penanaman
Pengepulan/Jual Beli Borongan
Petani Ubi Jalar
Pengepul Lokal/ Bandar
*Pengepul/Perantara memonopoli pasar. Tidak ada pasar terbuka yang tersedia bagi petani.
Pengolahan Produk Primer oleh Petani/KT (irisan kering)
Pengolahan
*Kegiatan kelompok tidak aktif menyebabkan lemahnya kekuatan tawar petani.
Produk tradisional skala kecil industri rumah tangga (keremes/keripik)
Penggilingan Tepung Ubi Jalar
Pabrik Pengolahan Makanan, Toko Roti, Pembuat Mie
Pemasaran
Pasar Grosir Pasar Eceran
Pasar Desa (Produksi Lokal/ Konsumsi Lokal)
Segar
*Penerapan pengolahan ubi jalar belum sepenuhnya dikembangkan *Pasar grosir bagi ubi jalar segar merupakan pasar oligopoli tertutup
Olahan
Konsumsi Catatan: Tanda Panah
*Permintaan akan komoditas tradisional akan menurun tetapi belum ada alternatif produk baru *Pengolahan produk primer merupakan konsep baru dan memerlukan usaha keras dari petani. Peran BDS dalam hal ini sangat penting.
Konsumen menunjukkan alur ubi jalar segar
Gambar S-13
Rantai Nilai Industri Ubi Jalar
S - 26
*Petani sangat kesulitan dalam memahami/memenuhi kebutuhan konsumen
Ringkasan Elsekutif 91.
Langkah perbaikan bagi Kabupaten Majalengka meliputi: (i) penggandaan dan pemasokan benih ubi jalar yang bebas penyakit, (ii) pengembangan jenis produk ubi jalar baru, (v) memberikan dukungan pengelolaan usaha, dan (vi) pemberian pinjaman lunak bagi pengembangan usaha, tetapi bukan dalam bentuk hibah. (4.2.1)
92.
Rantai nilai dari industri mangga diilustrasikan oleh Gambar S-14 berikut ini. Sedangkan langkah perbaikan yang diajukan dalam peningkatan produksi dan pengolahan mangga di Kabupaten Kediri meliputi: (i) teknologi baru bagi pengolahan mangga harus diujicoba di Kelompok Tani terpilih yang sudah memiliki organisasi yang kuat, kegiatan harian, pengelolaan simpan pinjam dan khususnya kemampuan dalam pengolahan, pemasaran dan usaha, (ii) produksi mangga kering harus dikelola dengan pola kerjasama dengan proyek LSM, (iii) proyek produksi jus mangga, puree, jelly harus dimulai di KT terpilih sebagai proyek uji coba, (iv) kegiatan harus dikembangkan secara bertahap apabila proyek tersebut layak dan berkelanjutan, (v) pendekatan pemasaran baru harus dipelajari dan dikembangkan. (4.2.1) KEGIATAN
PEMAIN
Penelitian/ Penyuluhan
MASALAH *Teknologi baru yang dikembangkan perlu diperkenalkan melalui diseminasi ke daerah pedesaan.
DEPTAN/BPTP/Dinas/ Universitas
Pelatihan bagi Penyuluh/Petani Pasokan Sarana Produksi
*Kegiatan koperasi lemah. Pemasok menjual dengan cara kredit untuk mengikat petani.
Pasokan Sarana Produksi dari Pabrik/Koperasi/Pengecer
Penanaman
Pengepulan/Jual Beli Borongan
Pengolahan
Pemasaran
Petani Mangga
Pengepul Lokal/ Bandar
Pabrik Pengolahan Buah (Jus, Jelly, Mangga Kering)
*Petani sangat bergantung pada sistem ijon yang dilakukan pengepul dalam panen/pemasaran
Pengolahan Buah oleh Kelompok Tani (Jus, Jelly, Mangga Kering)
Pasar Grosir Pasar Eceran
Industri skala rumah tangga (produk tradisional, dodol/keripik)
Pasar Desa (Produksi Lokal/ Konsumsi Lokal)
Segar
Olahan
Konsumsi
Catatan: Tanda Panah
*Kegiatan kelompok tidak aktif dalam produksi, panen dan pemasaran yang menyebabkan lemahnya kekuatan tawar petani.
Konsumen
menunjukkan alur mangga segar
Gambar S-14
Rantai Nilai Industri Mangga
S - 27
*Metode sederhana dengan menggunakan peralatan modern untuk pengolahan mangga sudah tersedia di pasar tapi masih sulit dijangkau daerah pedesaan. *Petani dapat mengolah jus/jelly tapi masih sulit mengembangkan pasar *Dibutuhkan pendekatan baru dalam pemasaran produk petani ke daerah perkotaan. *Pasokan mangga yang berlebihan selama musim panen raya menyebabkan harga mangga turun drastis
Ringkasan Elsekutif Pemasaran 93.
Menurut analisa masalah pemasaran, masalah utama yang diidentifikasi adalah “Kurangnya Orientasi Usaha”. Sehingga untuk memperbaiki situasi tersebut, sistem pendukung melalui kerjasama dengan perusahaan swasta dan/atau fasilitator (Penyedia BDS: Business Development Service) akan diajukan. Kelompok Tani perlu melakukan kegiatan pemasaran mereka dengan cara mencari permintaan pembeli dan melakukan promosi penjualan secara berkesinambungan, dibawah sistem pendukung tersebut. (4.2.2)
94.
Dengan mempertimbangkan seluruh karakteristik dari setiap kabupaten yang diteliti, jenis unit usaha yang sesuai akan diajukan seperti: (i) Penguatan atau replikasi sistem kerjasama yang ada di antara Kelompok Tani di Cirebon dan Mojokerto (itik), (ii) Kerjasama dengan industri pengolahan lokal di Kuningan (ubi jalar), (iii) Pengembangkan sistem usaha “Produksi Lokal & Pemasaran Lokal” bagi Majalengka (ubi jalar) dan (iv) Kerjasama dengan pihak swasta (pemasaran) bagi Kediri (mangga). (4.2.2)
Keuangan 95.
Saat ini bank komersial telah memperkuat usaha mereka untuk mengembangkan kredit UMKM dengan cara memberikan pinjaman kembali (re-lending) kepada LKM formal seperti BPR dan koperasi. Selain itu, mekanisme pun telah dibentuk guna meningkatkan pinjaman dari bank komersial dan BPR terhadap UMKM. Meskipun porsi pinjaman UMK pada total pinjaman bank tumbuh pesat, porsi sektor pertanian dalam pinjaman UMKM menurun. (4.2.3) Oleh sebab itu, sebaiknya petani dihubungkan kepada lembaga keuangan yang lebih formal. Akan tetapi pada kebanyakan kasus, hal tersebut tidak mungkin dapat dilaksanakan secara langsung karena adanya kesenjangan antara permintaan keuangan petani dan masyarakat petani, dengan persediaan, seperti yang dijelaskan diatas. (4.2.3) Karena Studi ini berfokus pada petani dan masyarakat pedesaan, program-program pemerintah dan bantuan donor dianjurkan untuk menjembatani kesenjangan-kesenjangan tersebut dengan: (i) membentuk LKM yang kuat di sekitar Kelompok Tani di masyarakat pedesaan untuk melayani petani dan anggota masyarakat, dan, (ii) meningkatkan kemampuan agribisnis seperti meningkatkan keuntungan sebagai berikut: ①
Pembentukan LKM yang kuat di masyarakat 1.
Pembentukan LKM Masyarakat Kelompok Tani yang tidak aktif karena didominasi oleh sang ketua serta memiliki perilaku anggota yang pasif, cenderung untuk tidak memiliki kegiatan simpan pinjam. Guna mengubah keadaan tersebut, intervensi harus dilakukan untuk memperkuat kegiatan kelompok melalui peningkatan agribisnis. Dalam hal perbaikan akses keuangan, LKM dianjurkan untuk dibentuk di tengah masyarakat, guna menghindari kepemimpinan yang kuat secara berlebihan dan masalah kekuasaan lainnya, serta untuk mengikutsertakan partisipasi pemimpin lain di masyarakat.
2.
Pembentukan LKM Mandiri
S - 28
Ringkasan Elsekutif Pendekatan ini adalah untuk Kelompok Tani, yang sudah melakukan kegiatan simpan pinjam reguler dan memiliki kegiatan kelompok. Kelompok Tani ini juga harus memiliki disiplin, kepemimpinan dan pengelolaan keuangan yang baik. Bagi Kelompok Tani tersebut disarankan untuk membentuk LKM yang berbasis pada kelompok yang sudah ada (Kelompok Tani atau Kelompok Petani Kecil). Ada dua cara dalam mencapai proses tersebut yaitu: i) cara pertama adalah memperluas kelompok setelah kelompok memiliki kemampuan kuat dan berpotensi dalam mengakumulasi modal, dan ii) cara kedua adalah dengan membentuk gabungan dengan kelompok lain di masyarakat, dan mengubahnya menjadi LKM sehingga kelompok-kelompok tersebut dapat menggabungkan modal mereka bersama. 3.
Penguatan fungsi koperasi yang sudah terbentuk (KSP/USP) Apabila Kelompok Tani sudah memiliki hubungan yang kuat dengan koperasi, intervensi harus dilakukan untuk memperkuat hubungan tersebut dan kemampuan koperasi tersebut.
②
Peningkatan Agribisnis Guna meningkatkan keuntungan kegiatan agribisnis dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan agribisnis, diperlukan intervensi bantuan teknis serta keuangan untuk langkah perbaikan bagi Pengolahan Hasil Pertanian dan Pemasaran. Ketiga pilihan dari (a) sampai (c) tersebut merupakan intervensi perbaikan keuangan yang berjalan paralel dengan peningkatan agribisnis. Untuk kasus kerjasama yang menjanjikan, dianjurkan untuk mengubahnya menjadi entitas usaha dalam bentuk sebuah perusahaan. Dengan demikian diharapkan untuk mendapatkan akses keuangan dari bank komersial.
③
Peningkatan Aset Peningkatan aset harus dipadukan dalam seluruh pilihan perbaikan yang disebutkan diatas. Petani, Kelompok Tani, koperasi dan LKM harus meningkatkan aset mereka agar mencapai stabilitas penghidupan dan kesinambungan organisasi.
④
Tujuan Pendekatan (i) sampai (iii) harus menuntun petani dan masyarakat mencapai Tujuan untuk dapat memiliki dan menjalankan LKM yang layak didanai, dan menjadi individu yang cukup menguntungkan secara finansial dan memiliki cukup aset, dan memiliki akses ke layanan keuangan yang mereka pilih. (4.2.3)
S - 29
Ringkasan Elsekutif V.
RENCANA PERBAIKAN
96.
Berdasarkan kondisi sekarang dan pendekatan perbaikan yang telah didiskusikan, rencana perbaikan telah dipersiapkan dengan mempertimbangkan langkah-langkah berikut ini: (i) Menyusun arah perbaikan bagi tiap Kelompok Tani, (ii) Mengidentifikasi dan mengklasifikasi model usaha, dan (iii) Menerapkan hubungan model usaha antara pengolahan hasil pertanian dan keuangan. (5.1)
97.
Rencana perbaikan bagi kegiatan pengolahan dan pemasaran untuk meningkatkan pendapatan petani secara singkat dipersiapkan untuk 13 Kelompok Tani. Langkah perbaikan tersebut dikategorikan dalam lima model usaha sebagai berikut: Table S-6 Langkah Perbaikan dan Model Usaha bagi Pengolahan & Pemasaran Industri Itik (Kab. Cirebon dan Mojokerto) • Model 1 Industri Itik: Perluasan skala usaha dan pembaruan teknologi (pengenalan dan penguatan sistem produksi segitiga dengan kerjasama antara Kelompok Tani) • Model 2 Industri Itik: Perluasan skala usaha dan penguatan industri itik (pendatang baru dan pengaktifan kembali kelompok yang tidak aktif, dilibatkan dalam kerjasama) Pengolahan Ubi Jalar (Kab. Majalengka dan Kuningan) • Model 1 Ubi Jalar: Pengolahan dan pemasaran produk primer (irisan ubi jalar kering, kerjasama dengan pabrik tepung ubi jalar) • Model 2 Ubi Jalar: Pengolahan dan pemasaran makanan industri rumah tangga (produksi lokal dan konsumsi lokal, produk tradisional dan produk unik) Pengolahan Mangga (Kab. Kediri) • Model Mangga: Pengolahan dan pemasaran buah dengan sektor swasta (mangga kering dan jus mangga, pemasaran)
Seluruh model diharapkan untuk memberikan kontribusi dalam mengentaskan kemiskinan secara langsung atau tidak langsung di seluruh lapisan masyarakat. (5.1.2) 98.
Langkah perbaikan dalam bidang keuangan diklasifikasikan dalam tiga kelas yaitu sebagai berikut: •
•
•
Tabel S-7 Langkah Perbaikan dan Model Usaha bagi Keuangan Model Pembentukan LKM Bagi Kelompok Tani yang tidak aktif, ketua Berbasis Masyarakat: kelompok yang mendominasi pengelolaan kelompok, dan anggota kelompok berperilaku pasif Model Pembentukan LKM Bagi Kelompok Tani yang melakukan kegiatan Mandiri: simpan pinjam dan memiliki kegiatan kelompok yang aktif Model Penguatan Fungsi Koperasi Bagi Kelompok Tani dimana koperasi sudah yang sudah terbentuk: dibentuk
Hal lain yang penting adalah untuk melibatkan pihak perantara dan pengepul dalam LKM untuk berbagi informasi mengenai keinginan konsumen akan suatu produk. Saat ini petani berada dalam posisi lemah melawan perantara dan pengepul dalam penentuan harga dan transaksi produk. Bagi kelancaran pemasaran produk, informasi pemasaran sangat dibutuhkan petani dan berbagi informasi akan menguntungkan kedua pihak, petani dan pedagang. (5.1.3)
S - 30
Ringkasan Elsekutif 99.
Pada tingkat Kelompok Tani, pengolahan dan keuangan sangat berhubungan erat, yang membutuhkan hubungan antara model usaha. Hubungan dan pengaruhnya tersebut diilustrasikan dalam Gambar S-15 hingga Gambar S-18: Kelompok Tani
Model Usaha Pengolahan & Pemasaran
Model Usaha Keuangan
Industri Itik Model 1 Perluasan Skala Usaha dan Pembaruan Teknologi
Penguatan Koperasi yang sudah Terbentuk
Industri Itik Model 2 Perluasan Skala Usaha & Penguatan Industri Itik
Pembentukan LKM Berbasis Masyarakat
Industri Itik Model 1 Perluasan Skala Usaha & Penguatan Industri Itik (Uji Coba Teknologi Baru)
Pembentukan KSU
Pengaruh Hubungan
Kab. Cirebon Tigan Mekar
Bebek Jaya
Sigranala Indah
Perluasan dan Pengembangan Industri Usaha Itik ↓ Keterlibatan Anggota Masyarakat dalam Usaha
Kab. Mojokerto Lestari Sejahtera
Karya Tani
Industri Itik Model 2 Perluasan Skala Usaha & Penguatan Industri Itik
Tani Mulyo
Gambar S-15
Kelompok Tani
Keterlibatan Anggota Masyarakat dalam Usaha Pembentukan LKM Mandiri
Hubungan Industri Itik dengan Model Usaha Keuangan
Model Usaha Pengolahan & Pemasaran
Model Usaha Keuangan Mikro
Kab. Kuningan & Majalengka Andayarasa
Ubi Jalar Model 1 Pengolahan dan Pemasaran Produk Primer
Binakarya
Linggasari 2
Mitra Binangkit
Kelompok Tani
Pembentukan LKM Mandiri
Pengaruh Hubungan Perluasan Pengolahan Produk Primer ↓ Kluster Pengolahan Ubi Jalar
Pendaftaran Sebagai Badan Usaha (UKM)
Ubi Jalar Model 2 Pengolahan dan Pemasaran Makanan Industri Rumah Tangga
Pembentukan LKM Berbasis Masyarakat
Perluasan Pengolahan Makanan Industri Rumah Tangga ↓ Keterlibatan Anggota Masyarakat dalam Usaha
Pembentukan LKM Mandiri
Delima 2
Gambar S-16
Perluasan Kerjasama Kelompok Tani ↓
Hubungan Pengolahan Ubi Jalar dengan Model Usaha Keuangan
Model Usaha Pengolahan & Pemasaran
Model Usaha Keuangan Mikro
Model Mangga Pengolahan Buah dan Pemasaran dengan Perusahaan Swasta
Pembentukan LKM Mandiri
Pengaruh Hubungan
Kab. Kediri Budi Daya
Makmur Jaya
Gambar S-17
Keterlibatan Anggota Masyarakat ↓ Kluster Pengolahan Mangga
Hubungan Pengolahan Mangga dengan Model Usaha Keuangan
S - 31
Ringkasan Elsekutif
Kelompok Tani
Model Usaha Pengolahan & Pemasaran
Model Usaha Keuangan Mikro
Pengaruh Hubungan
Jawa Barat & Jawa Timur Gabungan KPK & LKM dibaw ah P4K
Gambar S-18
Keterlibatan Anggota Masyarakat ↓
Pembentukan LKM
Penguatan Sektor Agribisnis
Pembentukan Kluster Pengolahan
Hubungan Kegiatan Peningkatan Pendapatan dengan Model Usaha Keuangan
Pengaruh dari hubungan tersebut diasumsi sebagai: (i) LKM akan memfasilitasi Kelompok Tani dalam meningkatkan dan mengembangkan kegiatan agribisnis mereka, (ii) kegiatan dalam hubungan ini akan memberikan lingkungan dan kondisi bagi Kelompok Tani untuk menciptakan pola pikir usaha mereka, (iii) LKM akan menyediakan akses keuangan yang lebih sesuai kepada anggota masyarakat yang saat ini belum mendapatkan cukup akses, dan (iv) LKM akan terlibat dengan anggota masyarakat di sekitar Kelompok Tani, dan beberapa anggota diharapkan untuk bergabung atau memulai usaha pengolahan. (5.1.4) 100.
Seminar sosialisasi diselenggarakan di lima kabupaten dengan tujuan untuk mengumpulkan pendapat seluruh pemangku kepentingan di bidang pengolahan hasil pertanian dan keuangan mikro pedesaan yang diperlukan dalam penyusunan rancangan rekomendasi kebijakan dari model implementasi. Para peserta di setiap seminar terdiri dari pihak DEPTAN, Dinas Propinsi dan Dinas Socialization Workshop at Kabupaten, anggota Kelompok Tani terpilih, Bank dan Kabupaten Mojokerto sebagainya. Melalui rangkaian seminar tersebut, (Date: February 21st, 2007) rancangan ide dalam peningkatan pendapatan petani melalui pengolahan hasil pertanian dan keuangan mikro pedesaan dipresentasikan oleh Tim kami dan didiskusikan bersama seluruh peserta. Meskipun sedikit ada perbedaan di antara seminar dan kelompok, para peserta secara keseluruhan paham dan setuju akan rancangan pendekatan perbaikan dan model implementasi yang diajukan Tim kami. (5.2)
101.
Seluruh skema model bagi pengolahan dan pemasaran tersebut rencananya akan dilaksanakan selama lima tahun dari 2007 sampai 2012 seperti dijelaskan pada Gambar S-19 dibawah ini. 2007
1. Persiapan (1) Perekrutan Universitas/BDS (2) Sosialisasi dan Penyadaran Masyarakat (3) Penilaian Kelembagaan & Survei Pemasaran (4) Pembelian dan Instalasi Fasilitas 2. Operasional (1) Produksi/Pengolahan (2) Pemasaran (3) Program Pelatihan (pengolahan dan pemasaran) 3. Pengawasan dan Evaluasi (1) Pengawasan dan Bantuan Teknis
2008
2009
2010
2011
Ulasan Teknis dan Tindak Lanjut
(Pendampingan dari BDS/Universitas)
(2) Evaluasi (Deptan/LSM, Evaluasi bersama)
Gambar S-19
Jadwal Implementasi Skema Model bagi Pengolahan dan Pemasaran
S - 32
2012
Ringkasan Elsekutif Pekerjaan persiapan proyek akan dimulai dengan merekrut universitas/BDS untuk memberikan dukungan teknis bagi Kelompok Tani yang diikuti oleh sosialisasi dan kepedulian publik, penilaian kelembagaan dan survei pemasaran dan fasilitas pengadaan. Selama operasional produksi/pengolahan dan pemasaran, program pelatihan akan diselenggarakan secara berkala. Sedangkan untuk monitoring dan evaluasi akan dilaksanakan oleh DEPTAN dan LSM untuk mempersiapkan kajian yang efektif dan rekomendasi serta memastikan adanya transparansi. (5.2.3) 102.
Untuk model implementasi skema keuangan, Studi berfokus pada aspek “Keuangan Pedesaan: meningkatkan aksesibilitas terhadap keuangan.” Penguatan Embrio Lembaga Keuangan Mikro Pedesaan Non-Bank (Embrio LKM Pedesaan) dikembangkan dari KPK yang dibentuk dibawah proyek sebelumnya, yang menargetkan 10 Embrio LKM Pedesaan, Gabungan LKM di 5 kabupaten contoh. Model ini bertujuan untuk mengembangkan Embrio LKM dengan menggunakan pengalaman yang diperoleh dari program-program sebelumnya dalam mendukung petani kecil melalui usaha mikro guna: (i) meningkatkan pendapatan dan mengembangkan aset dari anggota Embrio LKM Pedesaan, (ii) memperkuat kapasitas Embrio LKM Pedesaan untuk menjadi bank masyarakat yang sesungguhnya di daerah terpencil, dan (iii) membentuk Embrio LKM Pedesaan yang mendukung mekanisme di kabupaten. Jadwal 2007
2008
2009
2010
2011
2012
(i) Seleksi Target (ii) Survei Baseline (iii) Loka Karya Awal (iv) Peningkatan Kapasitas (v) Dukungan Modal Kerja (Pinjaman) (vi) Pembinaan yang berkesinambungan Koordinasi dengan Dinas terkait (Perindustrian & Perdagangan, Koperasi, dll.) (vii)
Evaluasi Tengah-Termin, Evaluasi Akhir & Loka Karya Penutupan
Gambar S-20
Jadwal Implementasi Skema Keuangan
implementasi dijelaskan pada Gambar S-20. Model tersebut akan dimulai dari seleksi dan penilaian pada Embrio LKM Pedesaan sasaran, survei baseline, sosialisasi dan pengembangan kemampuan bagi petugas administrasi skema kredit, dukungan modal kerja dalam bentuk pinjaman dari dana bergulir di BPD untuk meningkatkan aset bagi rumah tangga pedesaan yang terlibat dan memupuk modal bagi Embrio LKM Pedesaan, bagi dukungan infrastruktur. Implementasi dijadwalkan selama 5 tahun dari tahun 2007 sampai 2008. Proyek ujicoba ini diharapkan sebagai model bagi perbaikan akses kredit petani yang berorientasi usaha di daerah pedesaan. Untuk jangka panjang, model tersebut akan direplikasi ke daerah/propinsi lain, khususnya daerah terpencil. (5.4)
S - 33
Ringkasan Elsekutif 103.
Pengembangan kemampuan bagi pelaksanaan model yang diajukan akan melibatkan: (i) Pengembangan Kelembagaan Masyarakat dan (ii) Pengembangan Teknis. Pengembangan Kelembagaan Masyarakat bertujuan: (i) untuk memberikan fasilitasi kemampuan berbasis desa, khususnya Kelompok Tani dalam meningkatkan diseminasi layanan penyuluhan lapangan bagi masyarakat melalui pelatihan bagi anggota Kelompok Tani, (ii) untuk mempersiapkan proposal Kelompok Tani dan proses pelelangan proyek untuk memfasilitasi keterlibatan anggota kelompok dalam identifikasi masalah, perencanaan, pengelolaan dan pelaksanaan kegiatan produksi dan pengolahan, (iii) untuk memimpin kolaborasi kerjasama dengan lembaga-lembaga masyarakat seperti lembaga desa, lembaga keuangan, lembaga pemerintah, lembaga swasta/usaha dan lembaga keagamaan. Dengan diperkenalkannya layanan BDS dan/atau universitas, pengembangan teknis akan dilaksanakan dengan tujuan (i) untuk memperkuat kemampuan teknis Kelompok Tani dalam bidang produksi, pengolahan dan pemasaran dari komoditas contoh, dan (ii) menciptakan hubungan antara BDS/universitas dalam memperbarui program-program pelatihan secara berkesinambungan. (5.2.4)
104.
Pengawasan dan evaluasi berperan penting dalam memahami tingkat kemajuan serta hambatan yang ada secara berkala. Hasilnya yang didapat dari kegiatan pengawasan dan evaluasi tersebut akan memberikan informasi yang berguna bagi operasional dan pengelolaan proyek yang ada atau proyek yang akan datang. Selain itu, penting pula untuk melaksanakan pekerjaan pengawasan dan evaluasi bagi pemberdayaan masyarakat, karena pengembangan kemampuan masyarakat dan/atau anggota Kelompok Tani sebagai pelaku utama dalam promosi kegiatan pengolahan dan pemasaran, diharapkan dapat dilakukan melalui pengawasan dan evaluasi kegiatan mereka sendiri serta diharapkan untuk dapat mempersiapkan rekomendasi berdasarkan proses tersebut. Kegiatan pengawasan dan evaluasi bersama antara DEPTAN, LSM dan anggota Kelompok Tani juga diajukan. Jadwal implementasi dijelaskan dalam Gambar S-14, dimana pengawasan dilakukan selama berjalannya proyek, sedangkan evaluasi dilakukan setiap tahun bersama oleh DEPTAN dan LSM dengan mengkaji ulang teknis dan tindak lanjut yang akan didukung oleh BDS/universitas. Mekanisme Pengembangan Kemampuan, Pengawasan dan Evaluasi diilustrasikan pada Gambar S-21 berikut ini: Departemen Pertanian
Evaluasi Pihak Ketiga (Universitas, Konsultan, LSM)
Dinas Propinsi Umpan Balik Pemerintah Kabupaten Dinas Kabupaten Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) Administrasi Desa Dusun, RW, RT
Gambar S-21
Penyedia Layanan BDS (Lembaga, Universitas, konsultan, LSM)
Pengawasan
Gabungan (Asosiasi) Kelompok Tani
Kelompok Petani Kecil
Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota
Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota
Tim Pelatihan Unit Pelatihan Pelatihan BDS+PPL
Mekanisme Pengembangan Kemampuan, Monitoring dan Evaluasi
S - 34
Ringkasan Elsekutif Pemikiran awal dari indikator kegiatan pengawasan dan evaluasi terdiri dari: (i) indikator operasional dan (ii) indikator pengaruh. Indikator operasional dapat dipisahkan menjadi tiga yaitu: indikator organisasi, indikator teknis dan indikator social dan lingkungan. Indikator operasional menunjukkan hasil langsung yang harus diperoleh dari kegiatan yang diajukan sedangkan indikator pengaruh menunjukkan konsekuensi dari hasil langsung di masa depan. (5.2.5)
S - 35
Ringkasan Elsekutif VI.
REKOMENDASI KEBIJAKAN
105.
Dari sudut pandang sistem agribisnis, pengolahan hasil pertanian dimasukkan ke dalam subsistem pengolahan dan pemasaran, dan pendapatan langsung dari rumah tangga pertanian diharapkan datang dari subsistem agribisnis tersebut. Selain itu, keuangan mikro pedesaan bukan merupakan kegiatan menghasilkan pendapatan, tetapi agribisnis pendukung subsistem yang menciptakan “faktor pendukung usaha” di daerah pedesaan. Keuangan mikro pedesaan juga memberikan layanan keuangan untuk memenuhi berbagai permintaan petani dan rumah tangga pedesaan di masyarakat pedesaan, dimana layanan Keuangan Mikro Pedesaan (Kondisi yang Mendukung)
Model Penguatan Koperasi yang sudah terbentuk
Model LKM Mandiri
Model LKM Berbasis Masyarakat
Gambar S-22
Wilayah Studi: 5 Kabupaten
13 Kelompok Tani yang terseleksi
Masyarakat Pedesaan Gabungan KPK dibawah P4K
Pengolahan & Pemasaran (Peningkatan Pendapatan)
Industri Itik 2 Model Usaha Pengolahan Ubi Jalar 2 Model Usaha Pengolahan Mangga 1 Model Usaha
Model Usaha Keuangan Mikro Pedesaan dan Pengolahan & Pemasaran
keuangan sulit untuk diakses. 106.
Setelah model yang diajukan diatas dilaksanakan, pengaruh langsung dari kegiatan pengolahan hasil pertanian diperkirakan dapat meningkatkan pendapatan menjadi sebesar Rp.4.8 juta per tahun dari total jumlah 335 anggota rumah tangga di 13 Kelompok Tani. Dari hubungan dengan LKM atau penguatan koperasi, perbaikan tingkat kemandirian petani diharapkan dicapai melalui peningkatan aset dan pembentukan modal sendiri agar dapat mengakses keuangan komersial setelah berakhirnya proyek dalam 5 tahun. Dari hubungan tersebut, pengaruh tidak langsung diharapkan terjadi pada 4,200 rumah tangga di masyarakat dimana 48% atau 2000 rumah tangga hidup dalam kemiskinan.
107.
Beberapa dari rencana implementasi tersebut diharapkan untuk dapat dilaksanakan di bawah skema Second Kennedy Round-Counterpart Fund (SKR-CF) tahun 2007 dan 2008. Sedangkan model usaha dan hubungan antara pengolahan dan keuangan diharapkan pula untuk dapat direplikasi ke daerah lain dan komoditas lain melalui modifikasi model dan prosedur. Dengan demikian, berbagai pengalaman dan implikasi yang telah diperoleh selama Studi ini, dapat bermanfaat dalam kelancaran pelaksanaan proyek. Aspek-aspek penting diilustrasikan pada Gambar S-23 sebagai rekomendasi kebijakan yang dijelaskan berikut ini.
S - 36
Ringkasan Elsekutif
Rekomendasi 1 Seleksi Kelompok, Pengawasan dan Peran Serta Masyarakat Keuangan Mikro Pedesaan (Kondisi yang Mendukung) Model Penguatan Koperasi yang sudah terbentuk
Model LKM Mandiri
Model LKM berbasis Masyarakat
Rekomendasi 3 Business Development Services (Pendampingan)
Daerah Penelitian: 5 Kabupaten 13 Kelompok Tani yang terseleksi
Masyarakat Pedesaan Gabungan KPK dibawah P4K
Rekomendasi 4 Dukungan dari Pemerintah Daerah
Pengolahan & Pemasaran (Meningkatkan Pendapatan) Industri Itik 2 Model Usaha Pengolahan Ubi Jalar 2 Model Usaha Pengolahan Mangga Model Usaha
Rekomendasi 2 Teknologi Pengolahan & Komoditas Lain dan Kerjasama Pemasaran
Rekomendasi 5 Replikasi Model Usaha
Gambar S-23
108.
Ringkasan Aspek Penting bagi Rekomendasi Kebijakan
Dalam proses implementasi, replikasi dan perluasan model usaha, hal-hal berikut ini perlu dipertimbangkan dalam penyusunan dan pelaksanaan rencana yang dilakukan DEPTAN. Tabel S-8
Aspek Penting dalam Rekomendasi Kebijakan
Rekomendasi 1 Seleksi Kelompok, Pengawasan, dan Keterlibatan Masyarakat
• Melakukan seleksi kelompok yang sudah melakukan kegiatan simpan pinjam • Keterlibatan masyarakat di dalam kegiatan untuk meningkatkan kesinambungan • Memanfaatkan pihak ketiga yang independen dari keterlibatan langsung dalam kegiatan pengawasan dan evaluasi
Rekomendasi 2 Teknologi Pengolahan & Komoditas Lain dan Kerjasama Pemasaran Rekomendasi 3 Business Development Services (BDS)
• Persiapan arah dan strategi dengan menggunakan teknis analisa seperti Analisa Rantai Nilai, Analisa SWOT, Bauran Pemasaran (Market Mix) dan sebagainya • Keterlibatan perantara dan pengepul dalam Embrio LKM untuk mendapatkan efek penggandaan • Mendukung Kelompok Tani khususnya dalam keuangan, pengelolaan kelompok, teknologi pengolahan, pengaturan pemasaran, koordinasi dan komunikasi dengan seluruh pemangku kepentingan dengan menggunakan exit strategy yang tepat, guna meningkatkan inisiatif dan kemampuan kelompok • Perlunya untuk mempersiapkan daftar nama penyedia layanan BDS pada tingkat kabupaten dan propinsi yang disertai informasi hasil kinerja mereka
Rekomendasi 4 Dukungan Modal bagi Pengembangan Kemampuan dengan Komponen Peningkatan Aset
• Dukungan modal harus dalam bentuk pinjaman dari bank, bukan dana bergulir yang diberikan langsung kepada Kelompok Tani • Tabungan terbekukan akan meningkatkan aset Kelompok Tani dengan memanfaatkan suku bunga • Memberikan pelatihan dalam pengelolaan keuangan bagi petani
S - 37
Ringkasan Elsekutif Rekomendasi 5 Dukungan dari Pemerintah Daerah Rekomendasi 6 Replikasi Model Usaha
• Dinas Kabupaten berperan penting dalam menciptakan lingkungan yang mendukung sebagai kunci bagi keberhasilan implementasi • Model replikasi diterapkan dengan pertimbangan biaya dan keuntungan, serta peningkatan aset berdasarkan model implementasi yang diajukan dalam Studi ini
S - 38