STUDI LABORATORIUM PENGARUH INJEKSI POLIMER CMC-AM TERHADAP PEROLEHAN MINYAK Oleh Gabriela Crystina Parera * Prof. Dr. Ir. Septoratno Siregar D.E.A. ** Sari Injeksi larutan polimer merupakan salah satu metode enhanced oil recovery yang dapat meningkatkan faktor perolehan minyak. Penambahan polimer akan mengurangi mobilitas air sehingga aliran air tidak akan mendahului aliran minyak dan sweep efficiency akan meningkat. CMC-AM dipertimbangkan sebagai alternatif polimer untuk injeksi karena terbuat dari bahan yang banyak terdapat di Indonesia. Polimer ini berbahan dasar akrilamida dan juga selulosa yang berasal dari limbah tandan kosong kelapa sawit (TKKS). Studi laboratorium ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan reologi dan kinerja biopolimer CMC-AM dalam meningkatkan faktor perolehan minyak dengan injeksi air serta polimer komersil berjenis HPAM. Pengukuran reologi menunjukkan bahwa CMC-AM merupakan fluida Non-Newtonian. Untuk mencapai suatu nilai viskositas tertentu, CMC-AM membutuhkan konsentrasi yang lebih tinggi dibanding HPAM. CMC-AM juga menunjukkan ketahanan terhadap shear rate dan temperatur yang lebih baik baik daripada HPAM. Hasil lain menunjukkan bahwa CMC-AM menunjukkan ketahanan yang lebih baik pada salinitas dibawah 20000 ppm. Aplikasi injeksi larutan polimer dipengaruhi oleh banyaknya channel, ukuran molekul polimer, dan ukuran pori batuan. Untuk core set 1, RF dari proses injeksi air yang sangat rendah kemungkinan disebabkan oleh saturasi air yang tinggi sehingga minyak sulit mengalir. Sementara RF dari core yang diinjeksi CMC-AM sangat tinggi kemungkinan disebabkan oleh keberadaan channel yang tidak dapat disumbat oleh molekul polimer. Untuk core set 3, RF dari core yang diinjeksi air lebih tinggi dibanding core yang diinjeksi polimer kemungkinan juga disebabkan oleh adanya channel.
Kata Kunci : Polimer CMC-AM, Shear Rate, Viskositas, Faktor Perolehan
Abstract Polymer injection is one of Enhanced Oil Recovery (EOR) methods which can increase recovery factor. Polymer solution will decrease the water mobility so that the possibilities of water flow bypassing the oil flow will be smaller. CMC-AM is considered as an alternative for polymer injection because it is made from material which is widely available in Indonesia. Cellulose of the palm oil empty fruit bunch and acrylamide are used as the polymer raw material. The main purpose of the laboratory study is to investigate performance of biopolymer CMC-AM in improving recovery factor by comparing its rheology and recovery factor (RF) results with water flooding and a widely used polymer type, HPAM. Rheology observation shows that CMC-AM behaves as non-Newtonian fluid. Compared with concentration of HPAM solution, higher CMC-AM concentration is needed to reach certain viscosity value. Observation results show that CMC-AM has better resistance towards temperature and shear rate than HPAM. CMC-AM also has better resistance than HPAM at salinity below 20,000 ppm. Applicability of polymer flooding depends on channels within the reservoir, size of polymer molecules, and pore size of the rock. From core set 1 analysis, very low RF obtained from water injected core might be due to high water saturation which inhibits oil to flow. While very high RF obtained from CMC-AM injected core might be caused by channels within the core that couldn’t be plugged by polymer molecules. From core set 3 analysis, highest RF obtained by water injected core might be caused by channels within the core. Keywords : Polymer CMC-AM, Shear Rate, Viscosity, Recovery Factor *)Mahasiswa Program Studi Teknik Perminyakan ITB **)Pembimbing/Dosen Program Studi Teknik Perminyakan ITB
Gabriela Crystina Parera, 12206090, Semester 1 – 2010/2011
1
I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Teknologi dan metode yang dapat meningkatkan perolehan minyak terus dikembangkan untuk semakin meningkatkan produksi namun dengan biaya pengeluaran yang ekonomis. Injeksi larutan polimer merupakan salah satu metode enhanced oil recovery yang dapat meningkatkan faktor perolehan minyak. Aplikasi dari injeksi polimer di Indonesia saat ini masih bergantung pada penggunaan bahan polimer buatan luar negeri. Oleh karena itu dilakukan studi laboratorium untuk pengembangan jenis polimer yang dapat diproduksi di dalam negeri dan dengan bahan yang relatif mudah didapat sehingga dapat menekan biaya pengeluaran untuk proses injeksi. 1.2 Tujuan Studi laboratorium ini bertujuan untuk mengetahui kinerja biopolimer CMC-AM dalam meningkatkan faktor perolehan minyak dan perbandingannya dengan injeksi air serta polimer pembanding yang dijual secara komersil.
CMC memiliki kelebihan antara lain tidak mudah terdegradasi akibat temperatur, salinitas, dan shear rate yang tinggi. Selain itu polimer ini juga ekonomis karena harganya yang relatif murah. Kekurangannya, untuk mencapai viskositas yang tinggi diperlukan larutan CMC dengan konsentrasi yang besar.
Gambar 2.1 Struktur molekul CMC Poliakrilamida banyak digunakan dalam proses polymer flooding karena viskositas yang besar dan harga yg relatif murah. Poliakrilamida dihidrolisis untuk menghasilkan hydrolyzed partial polyacrylamide (HPAM). Proses ini akan meningkatkan nilai viskositas dan volume hidrodinamiknya. Kelemahan HPAM adalah mudah terdegradasi karena temperatur, shear rate, dan salinitas yang tinggi.
1.3 Pembatasan Masalah Studi laboratorium ini meliputi pengukuran reologi polimer pada berbagai salinitas dan konsentrasi untuk mengetahui karakter polimer yang diuji, namun hanya mengaplikasikan satu nilai konsentrasi masing-masing jenis polimer pada proses injeksi satu dimensi.
Gambar 2.2 Struktur molekul akrilamida
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Polimer CMC - AM Polimer CMC – AM merupakan polimer yang diuji reologi dan hasil perolehan minyaknya. Polimer ini berbahan dasar akrilamida dan selulosa yang berasal dari limbah tandan kosong kelapa sawit (TKKS). Tahap awal proses pembuatan polimer ini yaitu prosedur sintesis karboksimetil selulosa (CMC) meliputi alkalinasi dan eterifikasi. Selanjutnya dilakukan kopolimerisasi graft antara CMC dengan poliakrilamida.
Gambar 2.3 Struktur molekul HPAM Diharapkan penggunaan CMC yang berasal dari TKKS dan akrilamida dalam pembuatan polimer CMC-AM akan menghasilkan polimer yang memiliki ketahanan yang tinggi terhadap salinitas, temperatur, dan shear rate, sekaligus memiliki nilai keekonomian yang tinggi dan dapat mengatasi permasalahan banyaknya limbah TKKS.
Gabriela Crystina Parera,, 12206090, 122060 Semester 1 – 2010/2011
2
2.2 Reologi
Shear Stress (dyne/cm²)
Reologi merupakan perilaku aliran dari suatu material yang mendapatkan gaya tertentu. Larutan polimer merupakan jenis fluida non-Newtonian. Pada fluida jenis ini, shear rate tidak berhubungan secara linear terhadap shear stress yang dialami. Viskositas polimer akan menurun seiring dengan kenaikan temperatur, salinitas, dan shear rate.
800 700 600 500 400 300 200 100 0
g. h. i. j. k. l. m. n.
Pompa vakum Pycnometer Gelas kimia Gelas ukur Penjepit Labu elemeyer dan sumbat Labu elemeyer berisi kapur Oven
3.2 Bahan a. b. c. d.
0
500 1000 Shear Rate (1/s)
1500
Pasir kwarsa 35-50 mesh Semen bangunan Air formasi lapangan X Crude oil lapangan X
IV. PROSEDUR PERCOBAAN 4.1 Pengukuran Properti Fluida
Gambar 2.4 Kurva hubunganshear rate–shear stress
Densitas diukur dengan menggunakan picnometer dengan persamaan berikut.
2.3 Injeksi Larutan Polimer Injeksi larutan polimer ke dalam reservoir baik untuk diaplikasikan pada reservoir heterogen. Profil injeksi yang tidak stabil pada reservoir heterogen disebabkan oleh adanya rekahan dan permeabilitas yang bervariasi. Dengan penambahan polimer, mobilitas air dapat dikontrol sehingga aliran air yang seringkali mendahului aliran minyak akan lebih berkurang. Molekul polimer yang berukuran besar akan mampu menyumbat channel sehingga efisiensi penyapuan maupun displacement akan meningkat. Faktor perolehan minyak menjadi lebih tinggi dibanding proses injeksi air tanpa polimer. III. ALAT DAN BAHAN
…..( 4.1 )
4.2 Pengukuran Reologi Polimer Reologi polimer diukur dengan menggunakan Fann VG viscometer pada suhu dan salinitas yang bervariasi. Hal ini dilakukan untuk mengetahui ketahanan polimer terhadap salinitas dan temperatur. Langkah-langkah pengukuran yaitu sebagai berikut. 1.
Peralatan yang digunakan dalam studi laboratorium ini yaitu:
2.
Core flood apparatus Redwood viscometer Fann VG viscometer Neraca digital Jangka sorong PVC paralon
Viskositas diukur dengan menggunakan Redwood Viscometer. Data salinitas brine diperoleh dari Laboratorium Kualitas Air Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan (FTSL) ITB.
3.1 Alat
a. b. c. d. e. f.
–
3. 4.
5.
Larutan polimer berbagai konsentrasi dan salinitas disiapkan untuk diukur reologinya. Pemanas dinyalakan hingga mencapai temperatur yang diinginkan. Masukkan polimer ke dalam cup. Rotor dinyalakan dengan kecepatan meningkat mulai dari RPM 100, 200, 300, hingga 600. Masing-masing dial reading dicatat. Alat dimatikan beberapa saat.
Gabriela Crystina Parera, 12206090, Semester 1 – 2010/2011
3
6.
Rotor dinyalakan dengan kecepatan menurun mulai dari RPM 600, 300, 200, hingga 100. Masing-masing dial reading dicatat.
Perhitungan viskositas menggunakan persamaan berikut.
. .
Ø
'(
)( '(
.!/01 .6789
* 100 % …………….…...( 4.4)
223 4 5
:; < =
………………...( 4.5)
…………...…………..... (4.6 )
…………………..……….(4.2) 4.4 Penjenuhan Core dengan Brine
Keterangan:
µa = apparent viscosity (cP) θN = dial reading at N RPM
Langkah-langkah penjenuhan core dengan brine yaitu sebagai berikut. 1.
N = kecepatan rotor (RPM)
! "# $ "% ………………..………(4.3) Keterangan:
2.
Core dijenuhkan dengan brine lapangan X selama kurang lebih 24 jam sambil menggunakan pompa vakum. Berat basah core dicatat.
4.5 Pendesakan Core dengan Minyak
µp = plastic viscosity (cP) θ600 = dial reading pada 600 RPM θ300 = dial reading pada 300 RPM
4.3 Pembuatan Core Buatan Karena tidak tersedianya core asli dari lapangan X, maka dipakai core buatan dari campuran semen sebanyak 20% berat dan pasir sebanyak 80% berat. Core buatan yang digunakan adalah core dengan porositas mendekati porositas reservoir lapangan X. Langkah-langkah pembuatan core yaitu sebagai berikut. 1. 2. 3. 4.
5. 6. 7. 8.
Pasir dibersihkan dan dikeringkan dengan oven. Cetakan core dari pipa paralon diameter 1 inch disiapkan. Bagian dalam pipa dilapisi dengan grease. Pasir dan semen dicampur sambil ditambahkan air sedikit demi sedikit hingga campuran menjadi sedikit basah. Campuran dicetak ke dalam cetakan dari pipa dengan cara dipadatkan. Setelah dikeringkan selama 2 hari, core dikeluarkan dari cetakan. Ujung-ujung core diratakan kemudian core dimasukkan ke dalam oven. Dimensi core diukur dan ditimbang berat keringnya.
Porositas dihitung dengan menggunakan persamaan-persamaan berikut.
Proses pendesakan berlangsung pada suhu 55°C sesuai dengan data lapangan X. Minyak lapangan X diinjeksikan ke dalam core menggunakan core flood apparatus. Proses ini menggambarkan migrasi minyak dalam reservoir. Saturasi brine yang tersisa didalam core merupakan Saturation Water Connate (Swc).
4.6 Injeksi Air dan Larutan Polimer Pendesakan minyak oleh air dan larutan polimer berlangsung secara satu dimensi. Prosedur injeksi air dan larutan polimer yaitu sebagai berikut. 1. Injeksi air dilakukan terhadap core A, 1, dan 5. Air diinjeksi dengan laju injeksi 0,5 – 0,6 ml/menit sebanyak 3 PV. 2. Injeksi larutan polimer Hybo 1000 ppm dilakukan terhadap core D, 2, dan 7 sebanyak 0,5 PV dengan laju injeksi 0,5 – 0,6 ml/menit. Setelah itu dilanjutkan dengan injeksi air sebanyak 3 PV dengan laju injeksi 0,5 - 0,6 ml/menit. 3. Injeksi larutan polimer CMC – AM 5000 ppm dilakukan terhadap core D, 2, dan 7 sebanyak 0,5 PV dengan laju injeksi 0,5 – 0,6 ml/menit. Setelah itu dilanjutkan dengan injeksi air sebanyak 3 PV dengan laju injeksi 0,5 - 0,6 ml/menit. proses injeksi, digunakan 4. Selama confining pressure di bagian samping core sebesar 160 psi. Hal ini merepresentasikan tekanan overburden di reservoir dan menghindari adanya aliran kea rah luar
Gabriela Crystina Parera, 12206090, Semester 1 – 2010/2011
4
core. Volume minyak yang tertampung selama proses injeksi diukur sebagai volume minyak yang terproduksi.
12 10
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
8 6
5.1 Pengamatan Reologi Polimer
4 Percobaan ini membandingkan reologi polimer CMC-AM dengan polimer HPAM, serta membandingkan recovery factor yang dihasilkan keduanya dengan injeksi air. CMC-AM menggunakan perbandingan massa CMC dan AM sebesar 1:4.
2 0 0
500
Viskositas (cP)
72 F
Fluida Brine Oil
ρ (gr/ml) 0.997 0.915
µ (cP) 0.523 15.092
1000
1500
Shear rate (1/s) 100 F
150 F
180 F
Gambar 5.2 Hubungan shear rate dengan viskositas HPAM 500 ppm pada salinitas 0 ppm
Tabel 5.1Properti fluida pada temperatur 55°C Pada pengukuran reologi, digunakan empat larutan, yaitu CMC-AM dengan perbandingan 5000 ppm, dan HPAM dengan konsentrasi 500, 1000, dan 1500 ppm. Pengukuran awal dimulai dari kecepatan rotor yang rendah lalu meningkat hingga kecepatan paling tinggi (RPM 600). Lalu untuk pengukuran kedua dilakukan prosedur sebaliknya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui ketahanan polimer terhadap shear rate yang tinggi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kedua polimer memiliki nilai viskositas yang relatif tidak berubah pada kedua pengukuran, Dapat disimpulkan bahwa polimer tahan terhadap shear rate yang tinggi.
24 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 0
500
Viskositas (cP)
20
73 F
15
1000
1500
Shear rate (1/s) 100 F
150 F
180 F
Gambar 5.3 Hubungan shear rate dengan viskositas HPAM 1000 ppm pada salinitas 0 ppm
10 5 0 0
500
Viskositas (cP)
1000
1500
Shear rate (1/s) 72 F
100 F
150 F
192 F
Gambar 5.1 Hubungan shear rate dengan viskositas CMC-AM 5000 ppm pada salinitas 0 ppm
Gabriela Crystina Parera,, 12206090, 122060 Semester 1 – 2010/2011
5
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
40 35 30 25 20 15 10 5
0
Viskositas (cP)
0 0
500
Viskositas (cP)
73 F
1000
1500
Shear rate (1/s) 100 F
50
100 150 Temperatur (F) RPM 100 RPM 200 RPM 300
150 F
200
RPM 600
180 F
Gambar 5.4 Hubungan shear rate dengan viskositas HPAM 1500 ppm salinitas 0 ppm
Gambar 5.6 Hubungan viskositas dengan temperatur CMC–AM 5000 ppm pada salinitas 0 ppm 25
30
20
25
15
20
10
15
5
10
0
5
0
Viskositas (cP)
0 0
Viskositas (cP)
500 Shear rate (1/s)
CMC-AM 5000 ppm HPAM 500 ppm
1000
HPAM 1000 ppm HPAM 1500 ppm
Gambar 5.5 Perbandingan viskositas polimer terhadap shear rate pada salinitas 0 ppm, temperatur 150 °F
50
100 150 Temperatur (F) RPM 100 RPM 200 RPM 300 RPM 600
200
Gambar 5.7 Hubungan viskositas dengan temperatur HPAM 1000 ppm pada salinitas 0 ppm 30
20 Kenaikan shear rate menyebabkan penurunan viskositas pada kedua jenis polimer. Hal ini terjadi karena gaya mekanik menyebabkan degradasi pada polimer. Analisis pengaruh kenaikan shear rate menunjukkan bahwa penurunan viskositas CMCAM lebih rendah dibanding HPAM. Dapat disimpulkan bahwa CMC-AM memiliki ketahanan yang lebih baik dari HPAM terhadap kenaikan shear rate. Untuk HPAM, semakin tinggi konsentrasi larutan, maka viskositas juga semakin besar. Untuk mencapai nilai viskositas yang sama dibutuhkan konsentrasi CMC-AM yang jauh lebih besar dibanding HPAM.
10 0 0
Viskositas (cP)
50
100 150 Temperatur (F)
HPAM 1500 ppm HPAM 1000 ppm
200
HPAM 500 ppm CMC CMC-AM 5000 ppm
Gambar 5.8 Perbandingan viskositas polimer di RPM 600 (shear rate 1022,4 1/s) terhadap temperatur pada salinitas 0 ppm
Gabriela Crystina Parera,, 12206090, 122060 Semester 1 – 2010/2011
6
Analisis pengaruh temperatur terhadap reologi polimer menunjukkan bahwa kedua polimer memiliki ketahanan yang tidak jauh berbeda dilihat dari hasil pengukuran reologi. Kedua polimer memiliki trend penurunan viskositas yang relatif sama.
Set
Core
Injeksi
φ
Swc
1
K
0.25
0.503
2
11
0.3
0.163
50.47
3
9
CMC 0,5 PV + air 3 PV CMC 0,5 PV + air 3 PV CMC 0,5 PV + air 3 PV
RF (%) 79.09
0.326
0.322
36.25
20
Tabel 5.1 Properti dan recovery factor (RF) yang dihasilkan oleh core
15 10
90%
5
79.09%
80% 0
70% 0
Viskositas (cP)
10000 20000 30000 salinitas (ppm)
40000
62.00%
60%
51.73% 50.71% 50.47% 36.25% 35.71%
50%
CMC-AM 5000 ppm, 74 F
CMC-AM 5000 ppm, 180 F
HPAM 1000 ppm, 74 F
HPAM 1000 ppm, 180 F
40% 30% Gambar 5.9 Perbandingan viskositas polimer di RPM 300 (shear rate 511,2 1/s) terhadap salinitas
20%
18.75% D
10% A
Pengukuran reologi pada berbagai salinitas larutan juga dilakukan untuk mengetahui pengaruh salinitas terhadap kedua polimer. Salinitas yang digunakan pada studi ini yaitu NaCl. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada nilai salinitas dibawah 20.000 ppm, CMC-AM memiliki ketahanan yang jauh lebih baik dibanding HPAM, terlihat dari nilai viskositasnya. Sementara HPAM mengalami penurunan viskositas yang signifikan pada salinitas yang rendah.
5.2 Pengamatan Hasil Core Flooding Set
Core
Injeksi
φ
Swc
1
A
Air 3 PV
0.198
0.787
RF (%) 18.75
2
1
Air 3 PV
0.299
0.357
35.71
3
5
Air 3 PV
0.322
0.336
51.73
1
D
HPAM 0,5 PV + air 3 PV
0.185
0.375
62.00
2
2
HPAM 0,5 PV + air 3 PV
0.313
0.319
50.71
3
7
HPAM 0,5 PV + air 3 PV
0.316
0.383
28.42
11
K
2 1
28.42% 5
9 7
0% Set core 1
Set core 2
Set core 3
Injeksi air 3 PV HPAM 0,5 PV diikuti air 3 PV CMC-AM 0,5 PV diikuti air 3 PV
Gambar 5.10 Perbandingan recovery factor (RF) yang dihasilkan oleh core Pada prosedur injeksi air dan larutan polimer ke dalam core, akan dibandingkan RF yang dihasilkan oleh injeksi air, HPAM 1000 ppm, dan CMC-AM 5000 ppm. Secara teoritis, larutan polimer akan mendorong minyak dan aliran air tidak akan mendahului aliran minyak apabila rasio mobilitas ≤ 1. Namun dikarenakan tidak tersedianya data permeabilitas, pemilihan konsentrasi polimer menggunakan pendekatan viscosity ratio. Dengan menggunakan larutan polimer yang viskositasnya tidak jauh berbeda dengan viskositas minyak, diharapkan dapat meminimalkan terjadinya channeling. Pada proses produksi minyak di lapangan, produksi akan dilakukan secara alami tanpa adanya injeksi ke dalam reservoir. Proses injeksi air tidak dilakukan sebelum injeksi larutan polimer seperti pada aplikasi di lapangan. Hal ini dikarenakan studi
Gabriela Crystina Parera,, 12206090, 122060 Semester 1 – 2010/2011
7
ini bertujuan untuk mengetahui kinerja polimer secara umum dan agar dapat membandingkan secara setara dengan injeksi air. Dalam studi ini injeksi polimer dapat dianggap sebagai proses secondary oil recovery seperti injeksi air. Prosedur pendesakan menggunakan 3 set core buatan yang dikelompokkan berdasarkan kemiripan nilai porositas. Semua core yang dibuat dengan prosedur, kandungan semen, dan ukuran butir yang sama. Terdapat kesulitan pada saat pengamatan volume fluida yang terproduksikan di dalam gelas ukur. Minyak tidak langsung terpisah dan menempel di dinding gelas ukur.berada di atas air. Hal ini dikarenakan tegangan antarmuka yang tinggi. Hasil percobaan menunjukkan untuk core set 3, core yang diinjeksi oleh air (core 5) menghasilkan RF yang paling tinggi dibanding core yang diinjeksi. Hal ini diduga disebabkan core 5 memiliki banyak channel/gerowong sehingga minyak lebih mudah terproduksi. Untuk core set 2 dan 3, polimer yang diinjeksi oleh CMC-AM dan HPAM menghasilkan RF yang lebih tinggi dibanding dengan water flooding. Pada set core 2, RF dari core yang diinjeksi HPAM (core 2) sedikit lebih tinggi dari CMC-AM. Pada set core 3, core yang diinjeksi CMC-AM menghasilkan RF sangat tinggi, mencapai 79%. Pada core set 1, core A yang diinjeksi menghasilkan RF yang jauh lebih kecil dari core lainnya, yaitu 18.75%. Hal ini diduga disebabkan nilai Swc yang jauh lebih besar dibanding core lain sehingga minyak menjadi lebih sulit mengalir. Beberapa core terlebih dahulu memproduksi air sebelum akhirnya memproduksikan minyak. Hal ini disebabkan polimer tidak mampu menyumbat channel di dalam core sehingga terjadi breakthrough (aliran air menembus lapisan minyak). Dapat dikatakan bahwa banyaknya channel, ukuran pori, dan ukuran molekul polimer di dalam core sangat mempengaruhi nilai RF yang dihasilkan. VI. KESIMPULAN DAN SARAN
2.
3.
4.
5.
6.
7.
5.2 Saran 1.
2.
3.
4.
5.1 Kesimpulan 5. 1.
Pengukuran reologi menunjukkan bahwa CMC-AM merupakan fluida nonNewtonian yang viskositasnya menurun seiring kenaikan shear rate.
Untuk mencapai suatu nilai viskositas, CMC-AM membutuhkan konsentrasi yang lebih tinggi dibanding HPAM. CMC-AM menunjukkan ketahanan terhadar shear rate yang lebih baik baik daripada HPAM. CMC-AM menunjukkan ketahanan terhadap temperatur yang relatif sama dengan HPAM. CMC-AM menunjukkan ketahanan yang lebih baik daripada HPAM pada salinitas dibawah 20000 ppm. Untuk core set 1, RF dari proses injeksi air yang sangat rendah kemungkinan disebabkan oleh saturasi air yang tinggi sehingga minyak sulit mengalir. Sementara RF dari core yang diinjeksi CMC-AM sangat tinggi kemungkinan disebabkan oleh keberadaan channel yang tidak dapat disumbat oleh molekul polimer. Untuk core set 3, RF dari core yang diinjeksi air lebih tinggi dibanding core yang diinjeksi polimer kemungkinan juga disebabkan oleh adanya channel. Perolehan minyak pada aplikasi injeksi larutan polimer dipengaruhi oleh banyaknya channel, ukuran polimer, dan ukuran pori batuan.
Diperlukan percobaan core flooding menggunakan CMC-AM dengan konsentrasi dan salinitas brine yang berbeda untuk analisis lebih lanjut. Diperlukan penggunaan core yang bersifat heterogen untuk mengetahui kinerja polimer CMC-AM dalam meningkatkan sweep efficiency. Diperlukan pengukuran permeabilitas core untuk memperkirakan shear rate dan viskositas efektif polimer di dalam media berpori saat proses core flooding berlangsung. Perlu dianalisis mengenai ada tidaknya reaksi antara polimer dengan batuan reservoir dan minyak. Diperlukan analisis keekonomian lebih lanjut untuk mengetahui peluang aplikasi injeksi polimer CMC-AM di lapangan minyak.
Gabriela Crystina Parera, 12206090, Semester 1 – 2010/2011
8
DAFTAR PUSTAKA 1. Asghari, K., and Nakutnyy, P. : “Experimental Results of Polymer Flooding of Heavy Oil Reservoirs”, University of Regina, 2008. Paper 2008-189 presented at the Canadian International Petroleum Conference, Calgary, Alberta, Canada, 17-19 June. 2. Dong, M., and Wang, J. : “A Laboratory Study of Polymer Flooding for Improving Heavy Oil Recovery”, University of Regina, 2007. Paper 2007-178 presented at the Petroleum Society’s 8th Canadian International Petroleum Conference, Calgary, Alberta, Canada, 12-15 June.
3. Forniciov, E., Mannhardt, K., and Novosad, J. : “Polymer Flooding in Stratified Cores”, Petroleum Recovery Institute, 1984. Paper 8435-42 presented at the 35th Annual Technical Meeting of the Petroleum Society of CIM, Calgary, Alberta, Canada, 10-13 June. 4. Permadi, A.K : “Diktat Teknik Reservoir I”, Departemen Teknik Perminyakan ITB, 2004. 5. Siregar, S. : “Teknik Peningkatan Perolehan”, DepartemenTeknik Perminyakan ITB, 2000. 6. Urbissinova, T.S., Trivedi, J., and Kuru, E. : “Effect of Elasticity During Viscoelastic Polymer Flooding : A Possible Mechanism of Increasing the Sweep Efficiency”, University of Alberta, 2010. Paper SPE 133471 presented at the Western North America Regional Meeting, Anaheim, California, 26-30 May.
Gabriela Crystina Parera, 12206090, Semester 1 – 2010/2011
9
Lampiran A Data Pengamatan dan Hasil Perhitungan Untuk Reologi Polimer
> 1,704 B CDE F 5,077 B HIJK LMJHINO
µ
P
Q
B 100
Keterangan: > RSMJL LJTM U1VRW
H\NMV F RSMJL XYLZM [ Z]^ _ µ J``JLMNT aIRZYRIT\ ZD
A.1
CMC-AM 5000 ppm, salinitas 0 ppm
T = 72 °F Kecepatan rotor (rpm) 600
Dial reading 19,0
γ (1/s)
ζ(dyne/cm2)
µ (cP)
1022,4
96,463
9,4350
300
12,0
511,2
60,924
11,9178
200
9,0
340,8
45,693
13,4076
100
6,0
170,4
30,462
17,8768
T = 100 °F Kecepatan rotor (RPM)
Dial reading
γ (1/s)
ζ(dyne/cm2)
µ (cP)
600
13,0
1022,4
66,001
6,4555
300
7,5
511,2
38,077
7,4487
200
5,5
340,8
27,924
8,1935
100
3,5
170,4
17,770
10,4281
γ (1/s)
ζ(dyne/cm2)
µ (cP)
1022,4
48,232
4,7175
T = 150 °F Kecepatan rotor (RPM) 600
Dial reading 9,5
300
5,5
511,2
27,924
5,4623
200
4,0
340,8
20,308
5,9589
100
2,5
170,4
12,693
7,4487
Gabriela Crystina Parera, 12206090, Semester 1 – 2010/2011
10
T = 180 °F
A.2
ζ(dyne/cm2)
Kecepatan rotor (RPM) 600
Dial reading 9,0
1022,4
45,693
4,4692
300
5,5
511,2
27,924
5,4623
γ (1/s)
µ (cP)
200
4,0
340,8
20,308
5,9589
100
2,5
170,4
12,693
7,4487
CMC-AM 5000 ppm, salinitas 15.000 ppm T = 72 °F Kecepatan rotor (RPM) 600
Dial reading 18,5
γ (1/s)
ζ(dyne/cm2)
µ (cP)
1022,4
93,925
9,1867
300
11,0
511,2
55,847
10,9247
200
8,0
340,8
40,616
11,9178
100
5,0
170,4
25,385
14,8973
T = 180 °F
A.3
Kecepatan rotor (RPM) 600
Dial reading 8,0
γ (1/s)
ζ(dyne/cm2)
µ (cP)
1022,4
40,616
3,9726
300
4,5
511,2
22,847
4,4692
200
3,5
340,8
17,770
5,2141
100
2,0
170,4
10,154
5,9589
ζ(dyne/cm2)
µ (cP)
CMC-AM 5000 ppm, salinitas 20.000 ppm T = 72 °F Kecepatan rotor (RPM) 600
Dial reading 11,5
1022,4
58,386
5,7106
300
6,5
511,2
33,001
6,4555
γ (1/s)
200
5,0
340,8
25,385
7,4487
100
2,5
170,4
12,693
7,4487
Kecepatan rotor (RPM) 600
Dial reading 4,5
γ (1/s)
ζ(dyne/cm2)
µ (cP)
1022,4
22,847
2,2346
300
2,5
511,2
12,693
2,4829
200
2,0
340,8
10,154
2,9795
100
1,0
170,4
5,077
2,9795
T = 180 °F
Gabriela Crystina Parera, 12206090, Semester 1 – 2010/2011
11
A.4
CMC-AM 5000 ppm, salinitas 25.000 ppm T = 72 °F Kecepatan rotor (RPM) 600
Dial reading 13,5
γ (1/s)
ζ(dyne/cm2)
µ (cP)
1022,4
68,540
6,7038
300
7,0
511,2
35,539
6,9521
200
5,0
340,8
25,385
7,4487
100
3,0
170,4
15,231
8,9384
T = 180 °F
A.5
Kecepatan rotor (RPM) 600
Dial reading 6,0
γ (1/s)
ζ(dyne/cm2)
µ (cP)
1022,4
30,462
2,9795
300
3,0
511,2
15,231
2,9795
200
2,5
340,8
12,693
3,7243
100
1,5
170,4
7,616
4,4692
CMC-AM 5000 ppm, salinitas 30.000 ppm T = 72 °F Kecepatan rotor (RPM) 600
Dial reading 12,0
γ (1/s)
ζ(dyne/cm2)
µ (cP)
1022,4
60,924
5,9589
300
6,5
511,2
33,001
6,4555
200
5,0
340,8
25,385
7,4487
100
3,0
170,4
15,231
8,9384
T = 180 °F Kecepatan rotor (RPM) 600
Dial reading 4,5
γ (1/s)
ζ(dyne/cm2)
µ (cP)
1022,4
22,847
2,2346
300
2,5
511,2
12,693
2,4829
200
2,0
340,8
10,154
2,9795
100
1,0
170,4
5,077
2,9795
Gabriela Crystina Parera, 12206090, Semester 1 – 2010/2011
12
A.6
HPAM 500 ppm, salinitas 0 ppm T = 72 °F Kecepatan rotor (RPM) 600
Dial reading 11,0
γ (1/s)
ζ(dyne/cm2)
µ (cP)
1022,4
55,847
5,4623
300
7,0
511,2
35,539
6,9521
200
5,5
340,8
27,924
8,1935
100
4,0
170,4
20,308
11,9178
T = 100 °F Kecepatan rotor (RPM) 600
Dial reading 7,5
γ (1/s)
ζ(dyne/cm2)
µ (cP)
1022,4
38,078
3,7243
300
5,5
511,2
27,924
5,4623
200
4,5
340,8
22,847
6,7038
100
3,0
170,4
15,231
8,9384
T = 150 °F Kecepatan rotor (RPM) 600
Dial reading 6,0
γ (1/s)
ζ(dyne/cm2)
µ (cP)
1022,4
30,462
2,9795
300
4,0
511,2
20,308
3,9726
200
3,5
340,8
17,770
5,2141
100
2,5
170,4
12,693
7,4487
Kecepatan rotor (RPM) 600
Dial reading 5,0
γ (1/s)
ζ(dyne/cm2)
µ (cP)
1022,4
25,3850
2,4829
300
3,5
511,2
17,7695
3,4760
200
3,0
340,8
15,2310
4,4692
100
2,0
170,4
10,1540
5,9589
T = 180 °F
A.7
HPAM 1000 ppm, salinitas 0 ppm T = 72 °F Kecepatan rotor (RPM) 600
Dial reading 21,0
γ (1/s)
ζ(dyne/cm2)
µ (cP)
1022,4
106,617
10,4281
300
15,0
511,2
76,155
14,8973
200
11,0
340,8
55,847
16,3870
100
8,0
170,4
40,616
23,8357
Gabriela Crystina Parera, 12206090, Semester 1 – 2010/2011
13
T = 100 °F ζ(dyne/cm2)
Kecepatan rotor (RPM) 600
Dial reading 16,0
1022,4
81,232
7,9452
300
11,5
511,2
58,386
11,4213
γ (1/s)
µ (cP)
200
9,5
340,8
48,232
14,1524
100
7,5
170,4
38,078
22,3460
γ (1/s)
ζ(dyne/cm2)
µ (cP)
1022,4
63,463
6,2072
T = 150 °F Kecepatan rotor (RPM) 600
Dial reading 12,5
300
9,5
511,2
48,232
9,4350
200
8,0
340,8
40,616
11,9178
100
6,0
170,4
30,462
17,8768
T = 180 °F
A.8
Kecepatan rotor (RPM) 600 300
Dial reading 10,0 8,5
γ (1/s)
ζ(dyne/cm2)
µ (cP)
1022,4 511,2
50,770 43,155
4,9658 8,4418
200
7,5
340,8
38,078
11,1730
100
5,5
170,4
27,924
16,3870
ζ(dyne/cm2)
µ (cP)
HPAM 1000 ppm, salinitas 15.000 ppm T = 72 °F Kecepatan rotor (RPM) 600
Dial reading 8,5
1022,4
43,155
4,2209
300
6,0
511,2
30,462
5,9589
γ (1/s)
200
5,5
340,8
27,924
8,1935
100
3,5
170,4
17,770
10,4281
Kecepatan rotor (RPM) 600
Dial reading 4,5
γ (1/s)
ζ(dyne/cm2)
µ (cP)
1022,4
22,847
2,2346
300
3,0
511,2
15,231
2,9795
200
2,5
340,8
12,693
3,7243
100
2,0
170,4
10,154
5,9589
T = 180 °F
Gabriela Crystina Parera, 12206090, Semester 1 – 2010/2011
14
A.9
HPAM 1000 ppm, salinitas 20.000 ppm T = 72 °F Kecepatan rotor (RPM) 600
Dial reading 8,5
γ (1/s)
ζ(dyne/cm2)
µ (cP)
1022,4
43,155
4,2209
300
6,0
511,2
30,462
5,9589
200
5,0
340,8
25,385
7,4487
100
3,5
170,4
17,770
10,4281
T = 180 °F
A.10
Kecepatan rotor (RPM) 600
Dial reading 4,0
γ (1/s)
ζ(dyne/cm2)
µ (cP)
1022,4
20,308
1,9863
300
2,5
511,2
12,693
2,4829
200
2,0
340,8
10,154
2,9795
100
1,5
170,4
7,616
4,4692
HPAM 1000 ppm, salinitas 25.000 ppm T = 72 °F Kecepatan rotor (RPM) 600
Dial reading 8,0
γ (1/s)
ζ(dyne/cm2)
µ (cP)
1022,4
40,616
3,9726
300
6,0
511,2
30,462
5,9589
200
5,0
340,8
25,385
7,4487
100
3,5
170,4
17,770
10,4281
T = 180 °F Kecepatan rotor (RPM) 600
Dial reading 4,5
γ (1/s)
ζ(dyne/cm2)
µ (cP)
1022,4
22,847
2,2346
300
3,0
511,2
15,231
2,9795
200
2,5
340,8
12,693
3,7243
100
1,5
170,4
7,616
4,4692
Gabriela Crystina Parera, 12206090, Semester 1 – 2010/2011
15
A.11
HPAM 1000 ppm, salinitas 30.000 ppm T = 72 °F Kecepatan rotor (RPM) 600
Dial reading 7,5
γ (1/s)
ζ(dyne/cm2)
µ (cP)
1022,4
38,078
3,7243
300
6,0
511,2
30,462
5,9589
200
5,0
340,8
25,385
7,4487
100
3,0
170,4
15,231
8,9384
T = 180 °F Kecepatan rotor (RPM) 600
Dial reading 4,0
γ (1/s)
ζ(dyne/cm2)
µ (cP)
1022,4
20,308
1,9863
300
2,5
511,2
12,693
2,4829
200
2,0
340,8
10,154
2,9795
100
1,5
170,4
7,616
4,4692
Gabriela Crystina Parera, 12206090, Semester 1 – 2010/2011
16
A.12
HPAM 1500 ppm, salinitas 0 ppm T = 72 °F Kecepatan rotor (RPM) 600
Dial reading 33,0
γ (1/s)
ζ(dyne/cm2)
µ (cP)
1022,4
167,541
16,3870
300
23,0
511,2
116,771
22,8425
200
19,0
340,8
96,463
28,3049
100
12,5
170,4
63,463
37,2433
T = 100 °F Kecepatan rotor (RPM) 600
Dial reading 27,0
γ (1/s)
ζ(dyne/cm2)
µ (cP)
1022,4
137,079
13,4076
300
19,0
511,2
96,463
18,8699
200
16,0
340,8
81,232
23,8357
100
12,0
170,4
60,924
35,7535
T = 150 °F Kecepatan rotor (RPM) 600
Dial reading 22,0
γ (1/s)
ζ(dyne/cm2)
µ (cP)
1022,4
111,694
10,9247
300
15,5
511,2
78,694
15,3939
200
12,5
340,8
63,463
18,6216
100
9,5
170,4
48,232
28,3049
Kecepatan rotor (RPM) 600
Dial reading 20,0
γ (1/s)
ζ(dyne/cm2)
µ (cP)
1022,4
101,540
9,9315
300
15,0
511,2
76,155
14,8973
200
13,0
340,8
66,001
19,3665
100
9,5
170,4
48,232
28,3049
T = 180 °F
Gabriela Crystina Parera, 12206090, Semester 1 – 2010/2011
17
Lampiran B Properti Core
Ø
'(
)( '(
.!/01 .6789
* 100 %
223 4 5
:;< b =
)
Set
Core
Diameter (cm)
Tinggi (cm)
Berat kering (gr)
Berat basah (gr)
Volume bulk (cc)
Volume pori (cc)
Porositas
1
A
2.490
3.880
39.164
42.910
18.894
3.750
0.198
2
1
2.480
4.525
40.225
46.750
21.858
6.532
0.299
3
5
2.582
4.640
42.920
50.740
24.295
7.829
0.322
1
D
2.642
3.952
44.554
48.550
21.658
4.000
0.185
2
2
2.590
3.740
34.300
40.460
19.704
6.167
0.313
3
7
2.600
3.675
34.220
40.370
19.512
6.157
0.316
1
K
2.560
3.440
33.165
37.590
17.706
4.430
0.250
2
11
2.560
3.330
28.460
33.590
17.140
5.136
0.300
3
9
2.575
4.170
38.210
45.280
21.716
7.078
0.326
Gabriela Crystina Parera, 12206090, Semester 1 – 2010/2011
18
Lampiran C Data Pengamatan dan Hasil Perhitungan Recovery Factor
!
RF = ccde OOIP
= Volume minyak awal di dalam core = Volume brine yang terdesak saat proses pendesakan oleh minyak (cc)
Np
= Minyak yang terproduksi (cc)
RF
= Faktor perolehan minyak
Set
Core
Fluida injeksi awal (volume)
Fluida injeksi akhir (volume)
OOIP (cc)
Np (cc)
RF (cc)
1
A
Air 3 PV (11,25 cc)
0.8
1
Air 3 PV (19,6 cc)
4.2
5
Air 3 PV (23,49 cc)
5.2
0.15 1.5 2.69 1.55 2.13 1.08 1.74 2.17 1.74
0.1875 0.357143 0.517308 0.62 0.507143 0.284211 0.790909 0.504651 0.3625
2
3 1
D
HPAM 0,5 PV (2 cc)
Air 3 PV (12 cc)
2.5
2
2
HPAM 0,5 PV (3,08 cc)
Air 3 PV (18,5 cc)
4.2
3
7
HPAM 0,5 PV (3,08 cc)
Air 3 PV (18,47 cc)
3.8
1
K
CMC 0,5 PV (2,21 cc)
Air 3 PV (13,29 cc)
2.2
2
11
CMC 0,5 PV (2,57 cc)
Air 3 PV (15,41 cc)
4.3
3
9
CMC 0,5 PV (3,54 cc)
Air 3 PV (21,23 cc)
4.8
Gabriela Crystina Parera, 12206090, Semester 1 – 2010/2011
19