www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XV, Nomor 1 : 13 - 27
ISSN 0216-1877
PENGARUH MINYAK MINERAL TERHADAP ORGANISME LAUT oleh HORAS P. HUTAGALUNG 1) ABSTRACT EFFECT OF OIL PETROLEUM ON MARINE ORGANISMS. Petroleum was brought to public attention as a major marine pollution hazard with the advent of such major disasters as the wrech of the oil tanker "Tony Canyon " in 1967 and Santa Barbara offshore platform blow out of 1969. Most of 1.8 x 10^ metric tons of petroleum transported on the oceans each year is on route from the Middle East and Afric a to the United States, Western Europe and Japan. The resources of petroleum pollution in the ocean are widespread. Components of natural gas are higly volatile have a very short residence time in the sea, and are relatively nontoxic compared to the less volatile fractions of petroleum. Some of the high-molecular weight components of petrolium persist for years in marine sediments. Some components, especially the aromatic compounds are toxic to marine organisms at low concentration. Petroleum has synergetic effects with other pollutans e.g. heavy metals, detergent, pesticida and PCS which proves more destructive to marine flora and fauna than the effects of each of this pollutants separately. PENDAHULUAN
Baja, California dan menumpahkan 55.220 barrel minyak mineral. Kejadian ini telah membunuh beberapa jenis organisme laut di daerah tersebut. Namun sampai saat itu masalah pencemaran laut oleh minyak mineral masih belum mendapat perhatian yang serius dari masyarakat. Masalah pencemaran minyak di laut mulai mendapat perhatian yang serius dari masyarakat pada tahun 1967. Pada waktu itu sebanyak 821.000 banel minyak tumpah lagi di perairan Seven Stones Reef, Inggris akibat pecahnya kapal tanker "Torrey Canyon". Kejadian ini jugs menyebabkan kematian massal berbagai jenis organisme laut.
Salah satu bahan cemaran di laut yang paling luas tersebar dan sering terjadi adalah minyak mineral. Sebenarnya pencemaran laut oleh minyak mineral sudah ada sejak berabad-abad yang lampau sebagai akibat rembesan minyak secara alami dari dalam bumi (oil seeps), seperti yang terjadi di Santa Barbara, California, Amerika Serikat dan di Teluk Cariaco, Venezuela. Pada saat itu manusia belum mengetahui bahaya minyak mineral terhadap organisme perairan. Pada bulan Maret 1957 kapal tanker "Tampico Maru" mengalami kecelakaan di
Oseana, Volume XV No. 1, 1990
13
www.oseanografi.lipi.go.id
Pada tanggal 24 Maret 1989, dunia kembali dikagetkan oleh tumpahan 200.000 barrel minyak di Selat Prince William, Alaska akibat bocornya kapal tanker raksasa "Exxon Valdes". Kasus ini membunuh ribuan burung, berang-berang, anjing laut dan singa laut. Dalam waktu 1 minggu minyak ini telah menutupi permukaan laut seluas 260 km^. Hal yang paling merisaukan adalah lapisan minyak tersebut mulai menyebar menuju daerah pemijahan ikan salmon yang merupakan sumber kehidupan nelayan Alaska. KONSUMSI MINYAK MINERAL
Minyak mineral terdiri dari ribuan senyawa kimia yang struktur melekulnya sangat kompleks. Berdasarkan struktur molekulnya senyawa kimia tersebut dapat dibagi 5 kelompok yaitu : 1. n-alkana : seri alkana yang berantai lurus, biasanya mengandung atom C dari 1 - 60 buah. 2. Alkana yang bercabang : merupakan isomer dari n-alkana 3. Siklo-alkana (naftena) : senyawa alka na yang mengandung gugus cincin. 4. Aromatik : mengandung 1 atau lebih gugus benzen dengan atau tanpa subustitusi gugus alkil. 5. Olefin : mengandung gugus alkena. Biasanya tidak terdapat dalam minyak mentah (crude oil). Berdasarkan berat jenisnya, minyak dapat dibagi 3 fraksi yaitu fraksi ringan (berbentuk gas, jumlah atom C dari 1 — 5); cairan yang mudah menguap (atom C dari 6 — 14) dan fraksi berat (jumlah atom C 14). Dalam kehidupan sehari-hari komponen minyak mineral dibagi atas AVTUR (bahan bakar pesawat terbang), bensin, kero-
sen (minyak tanah), solar dan minyak pelumas. Sampai tahun 1985 minyak masih merupakan sumber utama energi karena lebih dari 50% konsumsi energi dunia berasal dari minyak. Dari tahun ketahun konsumsi energi dunia terus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk dan kemajuan industri. Pada permukaan abad ini konsumsi energi dunia adalah 4.000 kwh/kapita/ tahun., meningkat 5 kali pada tahun 1980, dan tahun 2020 diperkirakan akan meningkat 15 kali lipat menjadi 300.000 kwh/ kapita/tahun. Kebutuhan energi yang terus naik menyebabkan konsumsi minyak semakin meningkat. Produksi minyak dunia tahun 1976 adalah l,8.109 metrik ton/tahun. Jumlah ini meningkat terus dan puncak konsumsi minyak sebagai sumber energi terjadi pada tahun 1985, setelah itu menurun tajam antara tahun 2000 - 2020 karena sumbernya sudah mulai habis (Gambar 1).
SUMBER CEMARAN MINYAK DI LAUT
Lama sebelum manusia ada, pencemaran laut oleh minyak mineral sebenarnya sudah terjadi pada beberapa pantai di dunia. Pencemaran ini disebabkan minyak tersembur kepermukaan bumi sebagai akibat tekanan di dalam bumi (WOLFE 1985). Beberapa contoh jenis pencemaran yang terjadi secara alamiah ini adalah : 1. Semburan minyak di pantai Santa Barbara, California. 2. Semburan aspal ke Teluk Persia di Trinidad. 3. Semburan minyak di Samudra Antartika. 4. Semburan gas dan minyak di Teluk Cariaco, Venezuela. 5. Semburan minyak di pantai Timur Meksiko.
14
Oseana, Volume XV No. 1, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
15
Oseana, Volume XV No. 1, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
an minyak di pantai yang memakai air laut sebagai pendingin bisa menjadi sumber pencemaran minyak. Untuk menjaga keseimbangan sewaktu kapal kosong, maka tanki-tanki didi dengan air (Air ballast). Air ini dibuang ke laut sewaktu tanki-tanki akan diisi minyak. Air tersebut mengandung minyak sehingga bisa menjadi sumber pencemar. Demikian juga dengan pencucian tanki. Kasus kecelakaan kapal Tanker (tabrakan, bocor, kandas) yang sering menumpahkan ratusan ribu barrel minyak ke laut juga merupakan salah satu sumber pencemar minyak (Tabel 3). Walaupun kecelakaan tanker bisa menumpahkan ratusan ribu liter minyak ke laut, namun hanya 10% dari jumlah minyak yang terdapat dalam laut berasal dari kecelakaan kapal tanker. Sebagian besar berasal dari sumber-sumber lain seperti transportasi, produksi lepas pantai, pengilangan minyak dan Iain-lain (EPA 1973) (Gambar 3).
Jumlah minyak yang berasal dari kegiatan alam diperkirakan sekitar 0,5 x 106 ton/tahun. Sekitar 3% dari jumlah produk minyak saat ini terbuang ke laut, dan dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pada tahun 1969 jumlah minyak yang masuk ke laut adalah 2,18.106 ton, tahun 1980 menjadi 4,752.106 ton, pada tahun 1985 menjadi 6,1.106, dan diperkirakan masih terus meningkat. Jumlah ini berasal dari beberapa kegiatan manusia baik yang dilakukan di laut maupun di darat. Lebih dari 60% produksi minyak dunia diangkut melalui laut dari Timur Tengah dan Afrika ke negara konsumen seperti AmerikaSerikat, Eropa dan Jepang (WOLFE 1985) (Gambar 2). Tingginya kadar minyak di Laut Utara, Mediterranean, Laut Norwegia dan Selat Malaka berkaitan erat dengan pemanfaatan laut tersebut sebagai jalur transportasi minyak (Tabel 2). Penyuling-
16 Oseana, Volume XV No. 1, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
17 Oseana, Volume XV No. 1, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
terjadi. Kasus pertama terjadi tahun 1952 ketika kapal Fort Meyer dan Pendleton bertabrakan di pantai Claphan Mass, yang menyebabkan populasi burung Eider duck berkurang dari 500.000 ekor menjadi 150.000 ekor (BURNETT & SNYDER dalam GESAMP 1977) Hal yang sama terulang lagi di Laut Utara, Atlantik Utara, Pantai Barat Alaska (April 1970); Shutland Islands (1971), dan di Jutland, Denmark (Desember 1972). Ketika tambang minyak di St. Barbara meledak, banyak minyak tercurah dan membentuk lapisan se-tebal 1 — 2 cm di permukaan laut. Hal ini menyebabkan banyak burung, tumbuhan dan hewan laut yang mati (HOLMES dalam EPA 1973). Hasil uji patologis menunjukkan bahwa dalam tubuh burung-burung yang mati tersebut terjadi degradasi lemak dalam hati, kerusakan syaraf, pembesaran limpa, "acinar atrophy of the pancreas", "adrecortinal hyperphosia", radang paru dan
DAYA RACUN MINYAK BUMI
Seperti bahan racun lainnya, minyak mineral dapat juga mempengaruhi kehidupan organisme perairan secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung.
Hasil-hasil penelitian di laboratorium dan di lapangan menunjukkan bahwa minyak mineral mempunyai sifat letal (mematikan) dan subletal (mematikan dengan cara tidak langsung). Sifat letal dapat dilihat dalam kasus Tampico Maru yang pecah pada tahun 1957 di Baja, California dan tumpahan minyak "No. 2 fuel oil" di West Falmouth, Mass, yang terjadi tahun 1969, keduanya dengan cepat menyebabkan kematian massal berbagai jenis organisme laut. Kasus kematian burung laut secara massal akibat pencemaran minyak sudah sering
18 Oseana, Volume XV No. 1, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
19
Oseana, Volume XV No. 1, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
ginjal (CRASHER et al. dalam GESAMP 1977). Curahan minyak di pelabuhan Guayanilla dan pantai selatan Puerto Rico telah membunuh ikan dan merusak hutan mangrove di sekitarnya. Kerusakan mangrove dan kematian ikan tersebut disebabkan lubang udara pada akar mangrove dan insang ikan tertutup oleh lapisan minyak sehingga tidak bisa bernafas (DIAZ-PEFERRER dalam ZIEMAN1975). Pengaruh subletal minyak bumi terjadi dalam waktu lama yang meliputi gangguan pada proses selluler dan fisiologis seperti : cara makan, reproduksi (fertilisasi & fekunditas), tingkah laku, pertumbuhan tidak normal, kegagalan menangkap mangsa, gangguan "chemical communication" (rangsang-an kimia) dan Iain-lain. Pengaruh subletal minyak terhadap organisme laut sangat tergantung pada kadar dan struktur molekul minyak. Sebagai contoh, kecepatan fotosintesis 4 jenis alge bersel tunggal yaitu Chlorella vulgaris, Scenedesmus obliquus, Ankistrodesmus arquatus, dan Conssinodiscus granii berkurang 50% setelah 1 hari berada dalam air yang mengandung minyak 5 — 50 mg/1 sedangkan dalam kadar 0,05 mg/1 kecepatan fotosintesis alge tersebut baru berkurang 50% setelah 150 hari (PATIN 1982). Telur ikan menetes terham-
20 Oseana, Volume XV No. 1, 1990
bat dan tidak teratur bila berada dalam air yang mengandung minyak 10 ppb. Pertumbuhan udang dan tritip menjadi tidak normal serta burayak ikan sebelah tidak aktif bila berada dalam air yang mengandung minyak 10 ppb. Benzen dan toluen pada kadar 1 ppb sudah bisa mengganggu cara makan siput dan kepiting (SACKETT 1981).Pe-ng-aruh subletal minyak biasanya terjadi pada kadar antara 10 - 100 ppb (Tabel 4). Minyak yang mengandung gugus aromatik dan titik didih rendah mempunyai daya penetrasi besar sehingga daya toksiknya tinggi. Selain tergantung pada jenis minyak, daya racun minyak juga tergantung pada ukuran dan jenis organisme. Sebagai contoh larva ampipoda Niphargoides maeoticus lebih rentan terhadap minyak dibanding yang muda dan dewasa (Gambar 4) (PATIN 1982) dan larva teritip Balanus seribu kali lebih sensitif dibanding yang dewasa. Tiga jenis diatom. Ditylum brightwellii, Coscinodiscus granii dan Chaetoceros curvisetus mati semuanya setelah berada 24 jam dalam air yang mengandung 10 ul/1 kerosen, sedangkanMelosira moniliformis dan Grammatophora marina masih hidup dalam air yang mengandung kerosen sampai 1% (GESAMP 1977).
www.oseanografi.lipi.go.id
Pengaruh tidak langsung Secara tidak langsung minyak dapat mempengaruhi kehidupan organisme perairan. Pengaruh tidak langsung ini meliputi pengrusakan habitat, pengurangan oksigen dan penaikan suhu air. Salah satu contoh kerusakan habitat organisme laut akibat pencemaran minyak adalah kerusakan habitat Thallasia testudinum di Puerto Rico. Ketika minyak tumpah di pantai selatan Puerto Rico, kompo-
nen minyak yang berat jenisnya besar mengendap. Setelah beberapa lama minyak ini membentuk gumpalan-gumpalan yang melekat pada pasir sedimen. Gumpalan-gumpalan minyak tersebut bergerak-gerak akibat pengaruh ombak dan arus sehingga pasir sedimen yang melekat pada gumpalan minyak ikut bergerak. Hal ini telah menyebabkan 3000 m pasir hilang dalam waktu 1 minggu (ZIEMAN 1975). Hilangnya pasir inilah yang menyebabkan kerusakan hebat pada habitat
21 Oseana, Volume XV No. 1, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
rumput laut tersebut. Ketika tambang minyak di St. Barbara, California meledak, ribuan burung laut mati. Seitiah diteliti ternyata tidak semua burung mati akibat racun minyak tetapi sebagian burung mati karena sayapnya ditempeli oleh lapisan minyak. Lapisan minyak di permukaan akan menghalangi difusi oksigen dari udara ke dalam air. Minyak yang terdapat dalam kolom air dan di dasar perairan akan mengalami penguraian secara biologis. Proses penguraian 1 1 minyak membutuhkan 2,25 kg oksigen (BLUMER dalam JOHNNES 1975). Proses ini bisa menyebabkan kematian massal organisme laut karena kekurangan oksigen. Daya serap energi matahari oleh minyak mineral lebih besar dibandingkan dengan air laut, lapisan minyak di permukaan air akan menaikkan suhu air laut. Hal ini membahayakan organisme yang hidup di perairan dangkal, terutama di daerah tropis.
kin lambat. Minyak dapat mengurangi kelarutan DDT dalam air dan sebaliknya meningkatkan daya larut DDT dalam lemak. Hal ini menyebabkan penetrasi DDT melalui permukaan membran ke dalam tubuh organisme akuatik semakin mudah dan efektif, sehingga daya racun minyak bercampur DDT semakin tinggi. Selain dengan DDT, minyak mempunyai efek sinergetik dengan suhu dan deterjen. Sebagai contoh jumlah larva kepiting, Gammarus olivii yang masih hidup setelah 10 hari berada dalam air yang mengandung minyak 0,1 ml/1 dan suhu 3 _ io°C adalah 98%. Tetapi bila suhu air naik menjadi 18°C, jumlah larva kepiting yang masih hidup hanya 20% (GESAMP 1977). Nilai LC-50 minyak terhadap kopepoda Eurytemora a)finis adalah 3000 ppb, sedangkan PCB adalah 10 ppb, namun bila minyak dan PCB dicampur maka nilai LC— 50 nya turun menjadi 6 ppb (PATIN 1982). Hal ini menunjukkan bahwa minyak dan PCB mempunyai sifat energestik. Hasilhasil penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa minyak mempunyai efek sinergestik juga dengan detergen, logam berat Hg, Pb dan Cd (PATIN 1982; GRIFFIT 1972; WILSON 1972).
Efek sinergestik minyak mineral. PATIN (1982) mengadakan penelitian tentang pengaruh campuran minyak dengan DDT terhadap proses fotosintesis dan pembelahan sel diatom Ditylum brightwellii dan Cossinodiscus granii. Kedua diatom dimasukkan ke dalam 4 akuarium. Akuarium 1 mengandung 5 mg/1 minyak; akuarium 2 berisi 10 ug/1 DDT; sedangkan akuarium 3 dan 4 masing-masing mengandung campuran 5 ug/1 minyak dan 10 ug/1 DDT serta 5 mg/1 minyak dan 100 ug/1 DDT. Setelah 7 hari ternyata kecepatan fotosintesis dan pembelahan sel diatom dalam akuarium yang berisi campuran minyak dan DDT lebih lambat dibanding dengan yang mengandung minyak atau DDT. Ini berarti minyak mempunyai efek sinergestik dengan DDT. Disamping itu terlihat juga bahwa kenaikan kadar cam puran minyak dan DDT menyebabkan kece patan fotosintesis dan pembelahan sel sema-
AKUMULASI DAN EKSKRESI MINYAK BUMI OLEH ORGANISME LAUT
Hasil-hasil penelitian di laboratorium menunjukkkan bahwa kadar minyak dalam air dan dalam hewan uji berbanding lurus (BLUMER & SASS; BURNS & TEAL; FARRINGTON & QUINN dalam LEE 1980). Penelitian di lapangan juga menunjukkan hasil yang sama yaitu kadar minyak dalam ikan, tiram dan kerang-kerang yang berasal dari perairan tercemar lebih tinggi dibanding dari perairan yang bersih (GESAMP 1977). Hasil-hasil penelitian tersebut
22
Oseana, Volume XV No. 1, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
menunjukkan bahwa organisme laut mempunyai kemampuan mengakumulasi minyak. Beberapa hasil penelitian kadar minyak dalam biota laut disajikan dalam Tabel 5. Adanya akumulasi minyak ini sering menyebabkan daging ikan terasa berbau minyak. Hal ini bisa menimbulkan kerugian besar bagi nelayan karena ikan tidak bisa dijual seperti yang dialami oleh nelayan Australia. Pada waktu itu 78 ton ikan belanak, Mugil cephalus yang ditangkap dari 1 Mei — 14 Juni 1968 terpaksa dibuang karena berbau minyak. Rasa minyak ini umumnya disebabkan oleh hidrokarbon aromatik yang
mudah menguap seperti dibensotiofen, fenol* asam naftenik, merkaptan, tetra dekana dan naftalen . Minyak mentah dengan kadar 10 mg/1 sudah dapat menyebabkan rasa bau minyak pada daging tiram (GESAMP 1977). MOORE et al (dalam GESAMP 1977) juga melaporkan bahwa minyak dengan kadar 1 — 10 ug/1 dalam waktu singkat sudah menimbulkan rasa minyak pada daging kerang-kerangan. Minyak mempunyai daya larut yang besar dalam lemak, sehingga minyak lebih banyak tertimbun dalam organ tubuh yang mengandung banyak lemak seperti hati.
23 Oseana, Volume XV No. 1, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
Disamping berbau minyak, ikan dan kerang-kerangan dari perairan yang tercemar minyak sering mengandung senyawa yang dapat menimbulkan penyakit kanker. Senyawa ini biasanya terdiri dari polisiklik aromatik seperti 3,4-benz-pyrene (BAP) dan 1,2-benz-anthracene (BaAnth). Agar masyarakat terhindar dari penyakit kanker maka Pemerintah Jerman Barat menetapkan batas tertinggi kadar BAP dalam makanan hasil laut sebesar 1 ug/kg. Hasil penelitian LEE et al (dalam OPPENHEIMER 1980) dengan teknik isotop C—14 menunjukkan bahwa hidrokarbon rantai lurus dan aromatik diabsorbsi dengan cepat oleh kerang biru, Mitylus edulis, tetapi setelah kerang tersebut dipindahkan selama 24 jam ke dalam air bersih, kadar hidrokarbon berkurang sebanyak 80 - 90%. LEE (1980) melaporkan bahwa tiram Crassostrea virginica dengan cepat mengakumulasi bahan bakar No. 2 dari air. Setelah ditaruh dalam air bersih selama 3,5 bulan,
kadar bahan bakar No. 2 dalam tubuh tiram tersebut menurun dari 106 ug/1 menjadi 30 ug/1. Dean yang dipaparkan dalam minyak mentah dari Kuawait, kemudian dipindahkan ke air bersih menunjukkan bahwa alkana yang bercabang pendek lebih cepat diekskresikan dibanding alkana yang bercabang panjang (HARON etal dalam LEE 1980). PROSES PENGUARAIAN MINYAK BUMI DILAUT Minyak bumi yang masuk ke lingkungan laut akan mengalami proses penguraian baik secara fisika maupun secara biologis. Proses penguraian secara fisika. Minyak yang masuk ke laut akan terdistribusi menjadi tiga kelompok yaitu kelompok yang mengapung di permukaan air, tersuspensi dalam kolom air dan yang mengendap (Gambar 5).
UDARA
24 Oseana, Volume XV No. 1, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
Kelompok yang terapung akan menguap atau mengurai karena reaksi foto-oksidasi. Proses ini mulai berlangsung sejak minyak masuk ke laut dan puncak penguraian terjadi antara 1 0 — 1 5 jam kemudian (Gambar 6). Fraksi yang mudah menguap ini terdiri dari komponen yang mempunyai atoip C < 15 (titik didih < 270°). Jumlah komponen tersebut dalam minyak mentah berkisar antara 20-50%, dan dalam minyak suling biasanya 75% atau lebih. Kecepatan proses penguapan dan foto-oksidasi ini sangat dipengaruhi oleh suhu, kecepatan angin, sinar matahari, ketebalan lapisan dan komposisi minyak. Kelompok yang teremulsi maupun yang mengendap akan mengalami proses penguraian secara biologis. Proses ini mulai berlangsung setelah minyak berada 10 jam dalam laut dan akan mencapai puncaknya antara 500 - 600 jam kemudian (Gambar 6). Lebih dari 90 spesies mikroorganisme (bakteri, jamur, ragi) yang terdapat dalam laut dapat menguraikan minyak. Spesies yang paling sering ditemukan adalah Fluorobacterium spp;Brevibacteriumspp.; Arthor-
bacter spp.; Acinetobacter Iwoffi; Pseudomonas sp.; Nocardia sp.; dan Corynebacter sp. (kelompok bakteri); Penicittiwn spp. dan Cunningham spp. (kelompok jamur) serta Pichia,Debaryomyses, Candida, Torulopsis, Rhodotorula, Trichosporon, Rhodosporidium dan Endomycopsis (kelompok ragi). Kelompok ragi yang paling aktip menguraikan minyak adalah Candida, seperti Candida parapsilosis;C.tropicalis;C. guilliermondii dan C. lipolytica (MEYER & AHEARN 1972). Proses penguraian minyak akan dipercepat dua kali lipat bila bakteri dan jamur melakukan aktivitas bersama-sama (GESAMP 1977). Kecepatan penguraian minyak mentah oleh bakteri dan jamur sangat lambat, bervariasi dari 0,02 - 2,0 g/m 2 /hari pada suhu 24° - 30°C (ZOBELL dalam GESAMP 1977). Berdasarkan ini sisa-sisa minyak yang tumpah ke laut selama perang dunia kedua diperkirakan masih ada sampai sekarang. Penguraian mikrobial dari seluruh komponen minyak berlangsung secara simultan, namun kecepatan penguraiannya tidak sama. Faktor penting yang mempengaruhi kecepatan penguraian minyak mineral adalah
25 Oseana, Volume XV No. 1, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
struktur molekul dari komponen minyak. Komponen yang lebih cepat diuraikan adalah komponen alifatik, kemudian aromatik, dan yang paling lambat adalah komponen naftenik. Dari seri alkana senyawa-senyawa yang berantai lurus lebih mudah mengalami penguraian dibanding dengan yang bercabang. Hasil penguraian komponen alifatik biasanya berbentuk alkohol primer, aldehid dan asam-asam lemak, sedangkan penguraian komponen aromatik menghasil-kan asam dikarboksilat atau asam aide-hid dikarbokdilat (GIBSON dalam WOLFE 1985). Minyak yang mempunyai berat jenis besar akan mengendap. Oleh karena di dasar perairan langka oksigen, maka proses penguraian minyak mineral akan berlangsung lama sekali. Sebagai contoh bahan bakar No. 2 yang berasal dari tumpahan West Falmouth masih terdapat dalam sedimen di lokasi yang sama walaupun tumpahan minyak ter-jadi dua tahun sebelumnya (BLUMER et al. 1980). Disamping jumlah dan jenis komponen minyak, kecepatan penguraian minyak oleh mikroorganisme juga dipengaruhi oleh suhu, kadar garam, nitrat, fosfat dan lain-lainnya. Penguraian minyak mineral oleh bakteri dan jamur (iipercepat 8 — 9 kali bila ke dalam air ditambahkan senyawa nitrat dan fosfat. Hasil penelitian di Teluk Raritan dari bulan Juli 1971 - Mei 1972 menunjukkan bahwa kecepatan penguraian minyak mineral yang tertinggi ditemukan pada bulan Juli (musim kemarau) (ATLAS & BARTHA 1972; UNDEL & TRAXLER 1973). Hasil-hasil penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa beberapa jenis eating seperti Capi-tella capitata memiliki sistem enzim yang bisa mengubah minyak menjadi bermacam-macam metabolit dalam bentuk hidroksi-lat (LEE et al dalam LEE 1980).
DAFTARPUSTAKA ATLAS R.M and R. BARTHA 1972 Biodegration of petroleum in sea water at low temperature. Can. J. MicrobioL 1 8 : 1851 -1855. BLUMER M; G. SOOZA and J. SASS 1970 Hydrocarbon pollution of edible shellfish by oil spill. Mar. Biol 5 : 195 - 203. CHANLETT E.T. 1979 Environmental protection. 2 nd. McGraw-Hill Kokakusha Ltd.. EPA 1973 Water quality criteria 1973 Washington DC. GESAMP 1977 Impact of oil on the marine environment. IMCO/FAO/UNESCO/ WMO/WHO/IAEA/UN Joint group of experts on the scientific aspects of marine pollution. Food and Agriculture Organisation of the United Nations. Reports and studies No. 6:1—249. GRIFFIT D.G. 1972 Toxicity of crude oil and detergents to two species of edible molluscs under artificial tidal conditions. In "Marine pollution and sea life" (RUIVO edt.) London Fishing News (Books) Ltd. 224-229. JOHANNES RE. 1975 Pollution and degradation of coral reef communities. In "Tropical marine pollution" (WOOD & JOHANNES eds.). Els. Sci. Pulbls. Co. Amsterdam - Oxford - New York. Chapter 12.: 338 - 351. LEE, R.F. 1980. Processes affecting the fate of oil in the sea In Marine environmental pollution", hydocarbon. (RA. GEYER. edt.). Els. Oceanog. Series. Amsterdam - Oxford - New York. Chapter 12 : 338-351. MEYERS S.P. dan D.G. AHEARN 1972 Mycological degradation of petroleum products in marine environments. In
26 Oseana, Volume XV No. 1, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
"Marine pollution and sea life " (RUIVO edt.). FAO-Fishing News (Books) Ltd. England. 481 -485. OPPENHEIMER C.H. 1980 Oil ecology. In "Marine environmental pollution 1. Hydrocarbons". (GEYER edt.) Oceanog. Series. Ch.l.: 21 -35. PATIN S.A. 1982 Pollution and the biological resources of the oceans. Butterwprth Sci. London - Boston - Durban — Singapore - Sydney - Toronto - Wellington: 1 -287. SACKETT W.M. 1981 An evaluation of the effect of man-derived wastes on the viability of the Gulf of Mexico. In "Marine environmental pollution 2, Dumping and mining" (R.A. GEYER edt.). Elsevier Oceanography Series. Amsterdam - Oxford - New York : 401 - 414. UNDELL A.M. and R.W. TRAXLER 1973 Microbial degradation of petroleum at low temperature. Mar. Pollut. Bull. 4(8): 125-127.
WILSON K.W. 1972 Toxicity of oil spill dispersants to the embryoz and larvae of some marine fish. In "Marine pollution and sea life" (RUIVO edt.). London Fishing News (Books) ltd. 318 - 321. WISAKSONO W dan J. BILAL 1985 Oil contamination in the staits of Malacca and Singapore. In Proceeding of a symposium on environmental research and coastal zone management in the Strait of Malacca, 11-13 November 1985, Medan Indonesia. WOLVE D.A. 1985 Fossil fuels : transportation and marine pollution. In "Wastes in the ocean, energy wastes in the ocean" (I.W. DUEDALLS; D.R. KESTER; P.K. PARK and B.H. KETCHUM eds.) A Wiley - Intersci. Publ. John Wiley & Sons. N.Y. Chicester, Brisbane, Toronto, Singapore. Vol. 4. Ch. 2 : 46 - 89. ZIEMAN J.C 1975 Tropical sea grass ecosystem and pollution. In "Tropical marine pollution" (WOOD & JOHANNES eds.). Els. Sci. Publish. Amsterdam - Oxford -New York. Ch. 4 : 63 - 74.
27
Oseana, Volume XV No. 1, 1990