SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENDIDIKAN KIMIA “Kontribusi Penelitian Kimia Terhadap Pengembangan Pendidikan Kimia”
STUDI KINERJA BENTONIT PADA PENJERNIHAN SIRUP GULA ABSTRAK Penelitian yang mempelajari kinerja bentonit sebagai bahan penjernih sirup gula ini terdiri dari empat seri percobaan. Percobaan tahap pertama, yaitu karakterisasi bentonit. Kedua, aktifasi bentonit, yakni dengan asam sulfat dan dengan cara pemanasan. Tahap ketiga, yaitu menentukan waktu kontak dan konsentrasi optimum bentonit untuk menjernihkan sirup gula. Tahap keempat adalah pengujian keamanan sirup gula untuk dikonsumsi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu kontak optimum bentonit alam dengan sirup gula adalah 30 menit, bentonit teraktifasi asam dengan sirup gula selama 15 menit dan bentonit teraktifasi dengan cara pemanasan dengan sirup gula selama 10 menit. Konsentrasi optimum yang diperoleh adalah bentonit alam sebesar 5 gram/ 20 ml sirup sirup gula atau 25 % dengan efisiensi penjernihan 79,51 %. Bentonit teraktifasi dengan asam sebesar 3 gram/ 20 ml sirup atau 15 % dengan efisiensi penjernihan 70,68 %. Bentonit teraktifasi dengan pemanasan sebesar 10 gram/ 20 ml sirup atau 50 % dengan efisiensi penjernihan 81,12 %. Berdasarkan hasil analisa dengan AAS sirup gula yang dihasilkan dari penelitian ini aman untuk dikonsumsi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa bentonit dapat dimanfaatkan sebagai bahan alternatif pada penjernihan sirup gula. PENDAHULUAN
Bentonit merupakan suatu mineral lempung yang mengandung mineral montmorillonit yang sangat dominan (sekitar 85-90%) disamping mineral lain sebagai mineral ikutan. Mineral ikutan tersebut antara lain kaolin, halloysit dan illit. Cadangan bentonit di Indonesia diperkirakan lebih dari 380 juta ton yang tersebar di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Selatan. Endapan bentonit ini pada umumnya merupakan jenis kalsium (Anonim, 2002) . Bentonit jenis kalsium ini dapat digunakan sebagai bahan penjernih atau biasa disebut bleaching earth (Valenzuela dan Persio, 2001). Gula merupakan komoditas strategis mengingat keberadaannya sebagai salah satu dari sembilan bahan kebutuhan pokok masyarakat. Peningkatan jumlah penduduk dan beragamnya menu masyarakat serta tumbuhnya industri makanan dan minuman, telah menjadi pemicu eskalasi kebutuhan gula. Diproyeksikan pada tahun 2020 ketika jumlah penduduk Indonesia mencapai 290 juta dan konsumsi 17,6 kg/kapita/tahun, kebutuhan gula nasional akan mencapai 5,1 juta ton (Hutabarat,1998). Untuk memenuhi kebutuhan akan gula tersebut masih sangat tergantung pada produksi gula kristal.
Seminar Nasional Penelitian dan Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
1
Padahal untuk kebutuhan industri sebenarnya gula kristal kurang efektif. Karena pada umumnya industri makanan dan minuman menggunakan pemanis dalam bentuk cairan atau sirup. Pada produksi gula dalam bentuk cair yang selama ini telah dilakukan diperkirakan masih terdapat kotoran yang terkandung di dalam hasil perasan tebu. Kotoran tersebut antara lain adalah komponen bukan gula yang berbentuk senyawa organik dan anorganik dan timbulnya warna coklat yang sangat cepat selama penyimpanan yang disebabkan adanya pigmen tanaman, proses pencoklatan enzimatik dan pencoklatan non enzimatik. Menurut Paton (1992), bahwa yang menyebabkan perubahan warna pada hasil perasan tebu adalah karena adanya gula reduksi, asam amino dan komponen phenol. Sedangkan James-Chen (1985), menyatakan bahwa ada beberapa komponen warna baru (hasil dari proses) memberi rasa pada macam-macam produk gula. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan penanganan, terutama untuk mengurangi kotoran, kekeruhan dan warna. Kandungan kotoran dalam hasil perasan tebu bersama zat warna alami dapat dihilangkan dengan proses pemurnian, tetapi proses pemurnian yang saat ini lazim digunakan ternyata belum mampu secara sempurna mengurangi kotoran yang terkandung dalam sirup. Pada tahap sulfitasi, hanya sekitar 14% kotoran dapat dikurangi sedangkan pada tahap karbonatasi kotoran yang dapat dikurangi hanya sekitar 27% (Sriwidyastuti, dkk, 2002). Timbulnya komponen warna akibat proses perlu dihilangkan dengan tahap penjernihan (decolorization). Hasil tahap penjernihan akan segera tampak karena langsung berdampak pada kualitas sirup. Sirup gula paling banyak digunakan oleh industri-industri pangan sebagai pemanis. Selain berfungsi sebagai pemanis ternyata sirup gula dapat memperbaiki mutu dan flavor produk-produk pangan komersil (Ani, 1995). Seperti pada industri kembang gula, penambahan sirup gula selain berfungsi sebagai pelunak juga memberikan penampakan yang baik pada produk (Rahmat, 1994). Sebagai pengawet bahan pangan, larutan gula dengan konsentrasi 50 sampai 70 persen dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Berdasarkan kemampuan bentonit kalsium sebagai penjernih maka pada penelitian ini dicobakan pada sirup gula yang kotor. Sehingga diharapkan dapat dihasilkan sirup gula yang jernih. METODOLOGI PENELITIAN Bahan dan Peralatan yang digunakan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah larutan asam sulfat, gula yang masih berwarna coklat sebagai bahan untuk membuat sirup, larutan Luff Schoorl, KI 20%, natrium tiosulfat, larutan kanji, dan aquades. Peralatan yang digunakan pada pelaksanaan penelitian adalah peralatan gelas pada umumnya, neraca analitis, pengaduk magnetik, pompa vakum, pH meter, dan oven. Sedangkan alat yang digunakan untuk analisa adalah Spectronic -20, Atomic Absorption Spectofotometry (AAS), Fourier Transform Infra Red (FT-IR) dan X-Rays Diffraction (XRD). Metode Penelitian Penelitian ini dibagi atas empat seri percobaan, yaitu : A. Penelitian Tahap I : Karakterisasi Bentonit. Langkah pertama dari karakterisasi bentonit adalah mengidentifikasi kandungan mineral yang terdapat dalam bentonit.
Seminar Nasional Penelitian dan Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
2
B. C.
D.
E.
Penentuan komposisi mineral Bentonit dilakukan dengan menggunakan XRD. Untuk analisa ikatan antar atom dalam mineral dilakukan dengan menggunakan FTIR. Penelitian Tahap II : Aktifasi bentonit, yaitu dengan asam sulfat dan dengan pemanasan. Penelitian Tahap III (1) : Menentukan waktu kontak optimum bentonit dengan sirup, yakni bentonit alami, bentonit teraktifasi dengan asam sulfat, dan bentonit teraktifasi dengan pemanasan. Penambahan bentonit sebanyak satu gram setiap 20 ml sirup gula dengan berbagai variasi waktu : 5, 10, 15, 20, 25, 30 , dan 60 menit. Penelitian Tahap III (2) : Menentukan berat optimum bentonit yang ditambahkan pada 20 ml sirup gula atau konsentrasi optimum sirup. Pada tiga kondisi bentonit, yaitu bentonit alami, teraktifasi dengan asam dan teraktifasi dengan pe manasan. Waktu kontak yang digunakan adalah waktu kontak optimum pada tahap III (1). Variasi penambahan berat, yakni 1, 2, 3, 4, 5, dan 10 gram bentonit setiap 20 ml sirup. Penelitian Tahap IV : Uji keamanan sirup untuk dikonsumsi meliputi penentuan gula pereduksi dan kandungan logam dalam sirup. Logam yang diperiksa dalam sirup adalah Fe, Al, Mg, Ca, dan Na karena logam-logam tersebut dikandung dalam bentonit. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian Tahap I Karakterisasi Bentonit Identifikasi spektrum data infra merah secara kualitatif mengahasilkan pola yang khas untuk mineral montmorillonit dan puncak-puncak bilangan gelombang spesifik. Hasil FT-IR dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Hasil identifikasi IR untuk bentonit alami Dari gambar di atas dapat diperkirakan gugus fungsi yang dikandung oleh bentonit, seperti yang ada pada Tabel 1. Tabel 1. Dugaan gugus fungsi berdasarkan spektra hasil IR pada bentonit alami. Bilangan Gelombang Dugaan Gugus Fungsi (cm -1) 470,6 Si – O – Si 524,6 Si – O, Si – O – Al tekuk 794,6 Fe(III) – Al – OH, Mg – Mg – OH, Fe(II) OH, Mg – Mg- OH tekuk 1041,5 Si – O ulur 1643,2 H–O-H tekuk dari air teradsorpsi 2005,8 H-O-H 3448,5 H-O–H ulur dari air teradsorpsi
Seminar Nasional Penelitian dan Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
3
3625,9
Montmorillonit Al – Mg – OH / Al – A l – OH ulur Bentonit disusun dari berbagai macam mineral dengan montmorillonit sebagai penyusun utama. Sehingga dari hasil analisa sampel dengan XRD berdasarkan kesamaan puncak yang muncul dengan data puncak standar dari mineral dapat disimpulkan sampel mengandung montmorillonit, cristobalit, albit, calcian dan ordere. Bentonit termasuk mineral amorf, meskipun begitu mineral dasarnya berbentuk kristalin. Sehingga unsur mineral penyusunnya dapat dideteksi dengan XRD. Intensitas Ca-montmorillonit pada 5,515 dan 21,995 (°2θ) muncul dengan puncak yang kuat, artinya bentonit yang berasal dari desa Karangnunggal ini didominasi oleh Camontmorillonit. Hasil analisa dengan difraksi sinar-X sampel diperlihatkan pada gambar di bawah ini.
Gambar 2. Hasil identifikasidiffraksi sinar-X untuk bentonit alami Penelitian Tahap II Aktifasi Bentonit Pada dua proses aktifasi yang dilakukan dapat dimungkinkan terjadi perubahan struktur dalam struktur bentonit. Perubahan struktur yang terjadi tersebut dapat dilihat dalam spektra infra merah pada Gambar 3.
Gambar 3. Spektra infra merah bentonit alami dan bentonit aktif. Keterangan: Warna hitam adalah spektra infra merah untuk bentonit alami, warna merah adalah spektra infra merah untuk bentonit teraktivasi asam, dan warna kuning adalah spektra infra merah untuk bentonit teraktivasi pemanasan. Pada spektra IR di atas dapat dilihat vibrasi Si-O-Al, Si-O-Si dan Si-O pada lapisan tetrahedral teramati pada rentang daerah 447,5 cm-1- 524,6 cm-1. Hal ini menunujukkan intensitas montmorillonit. Sementara pita pada 794,6 cm-1 merupakan karakteristik dari α-quartz. Pada mineral yang didominasi montmorillonit puncak ini menunjukkan vibrasi dari tekuk hidroksida logam ,seperti Mg2+ dan Fe2+. Oleh karena itu, pada spektra IR bentonit teraktifasi dengan asam intensitas puncak lebih besar dan
Seminar Nasional Penelitian dan Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
4
daerah puncak yang sempit. Hal ini diperkirakan berpengaruh pada ketersediaan kationkation pada montmorillonit untuk dipertukarkan. Pada bentonit alam puncak yang muncul pada daerah bilangan gelombang 1000 -1 cm hanya ada satu puncak, yakni pada 1041,5 cm-1 yang diduga merupakan vibrasi SiO ulur. Sedangkan pada bentonit aktif muncul beberapa puncak baru pada rentang daerah 1026,1 cm-1- 1218,9 cm-1. Hal ini diperkirakan terjadi karena pada saat belum aktif puncak-puncak tersebut terhalangi oleh uap air. Menurut Johnston dan Premachandra (2001), bahwa empat puncak pita Si-O berada pada daerah smektit dioktahedral, yaitu pada daerah 1120, 1080, 1150 dan 1110 cm -1. Dan untuk pita yang berada pada daerah 1046 dan 1020 cm-1 posisi dan intensitas relatifnya dipengaruhi oleh kandungan air dalam bentonit. Untuk pita Si-O lainnya, yaitu pada 1086 cm-1, juga dipengaruhi oleh sedikit banyaknya kandungan air. Proses pemanasan pada bentonit menyebabkan terjadinya pelepasan air pada struktur bentonit. Proses ini terlihat pada penyempitan area puncak 3433,1 cm-1 yang merupaka n daerah vibrasi H-O-H ulur. Panjang gelombang 1643,2cm -1 yang merupakan vibrasi H-O-H tekuk dari air yang teradsorpsi terjadi pada bentonit alami dan teraktifasi pemanasan. Sedangkan pada bentonit teraktifasi asam mengalami pergeseran puncak, yakni pada 1635,5 cm -1. Hal ini diperkirakan karena adanya air yang teradsorpsi pada saat pencucian. Pada bentonit teraktifasi pemanasan di daerah 3433,1 cm-1 , yang merupakan HO-H ulur dari air yang teradsorbsi, mengalami penyempitan area puncak bila dibandingkan pa da bentonit alam. Penelitian Tahap III Pengaruh Penambahan Bentonit Alami terhadap Sirup Gula Optimasi Waktu Kontak Data nilai absorbans dengan variasi waktu hasil pengontakan bentonit dengan larutan sirup disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Rerata nilai kejernihan akibat penambahan bentonit alami variasi waktu. Waktu Absorbans Efisiensi (menit) Penjernihan (%) 0 0,4782 0 5 0,2819 41,45 10 0,2676 44,42 15 0,2518 47,71 20 0,2441 49,30 25 0,2147 55,41 30 0,1739 63,88 60 0,1723 64,22 Makin meningkatnya tingkat kejernihan juga diperlihatkan dari semakin besarnya efisiensi penjernihan. Efisiensi penjernihan menunjukkan kemampuan bentonit dalam menyerap pengotor suatu larutan (Stanley dkk, 1975). Efisiensi penjernihan yang dihasilkan oleh bentonit alami berkisar antara 41,45 – 64,22 %. Kejernihan sirup semakin meningkat dan ketika mencapai kesetimbangan lama waktu kontak selanjutnya tidak berpengaruh lagi. Melalui Gambar 4. disajikan besarnya peningkatan kejernihan sirup oleh bentonit.
Seminar Nasional Penelitian dan Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
5
Ef (%) 70.00 60.00 50.00 40.00
S = 6,27358751
30.00
r = 0,95831623 20.00 10.00 0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
35.0
40.0
45.0
50.0
55.0
60.0
65.0
Waktu (menit)
Gambar 4. Hubungan antara waktu kontak dengan peningkatan kejernihan sirup dengan persamaan reaksi y=a(1-exp(-bx). Dengan menggunakan persamaan reaksi yang diperoleh dapat ditentukan waktu kontak optimum, yakni waktu tepat kurva menjadi konstan. Waktu kontak optimum yang diperoleh adalah 30 menit yang untuk selanjutnya digunakan untuk penentuan berat optimum untuk setiap 20 ml sirup. Optimasi Berat Bentonit yang Ditambahkan Data hasil nilai absorbans dengan variasi penambahan berat bentonit alami terhadap larutan sirup dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Rerata nilai kejernihan dengan variasi penambahan berat/ 20 ml.
Berat Absorbans Efisiensi (gram) Penjernihan (%) 0 0,4815 0 1 0,2182 54,68 2 0,1972 59,04 3 0,1338 72,23 4 0,0915 80,75 5 0,1249 74,06 10 0,0605 87,44 Berdasarkan data di atas dapat dialurkan kurva peningkatan kejernihan sirup bentonit pada gambar di bawah ini S = 5.86773663 r = 0.98766325
0 90.0
Efisiensi Penjernihan (%)
0 80.0 0 70.0 0 60.0 0 50.0 0 40.0 0 30.0 0 20.0 0 10.0 0 0.0
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
6.0
7.0
8.0
9.0
10.0
11.0
Berat (gram)
Gambar 5. Hubungan antara variasi penambahan berat bentonit setiap 20 ml dan kejernihan peningkatan sirup gula dengan persamaan reaksi y=a(1-exp(-bx). Pada Gambar 5 dapat diamati bahwa semakin besar berat bentonit yang ditambahkan pada sirup maka kejernihan sirup semakin meningkat. Dan ketika sudah mencapai pada keadaan optimum untuk selanjutnya tidak terjadi perubahan yang signifikan. Dengan menggunakan persamaan reaksi yang tersedia dapat ditentukan berat optimum bentonit yang ditambahkan untuk setiap 20 ml sirup (konsentrasi). Berat optimum yang diperoleh adalah 5 gram per 20 ml atau konsentrasi 25%.
Seminar Nasional Penelitian dan Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
6
Identifikasi spektrum data IR secara kualitatif menghasilkan pola yang khas untuk mineral montmorillonit dan puncak-puncak bilangan gelombang. Hasil identifikasi tersebut diperlihatkan dalam Gambar 8. Pada gambar terlihat perbedaan ketajaman dan lebar puncak antara bentonit yang alami belum dikontakkan dan bentonit yang telah mengalami pengontakan dengan sirup.
Gambar 8. Hasil analisa IR pada sampel bentonit alami (warna merah) dan bentonit alami dengan pengotor (warna hijau).
Dari identifikasi berdasarkan data IR menunjukkan hasil yang berbeda. Pada bentonit alami yang telah kontak dengan sirup gula kotor terdapat pergeseran puncak spektra. Pada bentonit alami puncak spektra pada bilangan gelombang 470,6 cm -1 setelah kontak bergeser menjadi 462, 9 cm-1, pada puncak 1041,5 cm-1 setelah kontak bergeser menjadi 1049,2 cm -1 , dan 3448,5 bergeser menjadi 3386,8 cm-1 , menurut Johntons dan Premachandra (2001), hal ini terjadi karena perbedaan kekeringan bentonit pada saat diidentifikasi. Munculnya puncak spektra yang baru diduga disebabkan komponen dari larutan sirup yang terserap, yakni 2939,3 cm-1 , 2329,8 cm -1 dan 1427,2 cm -1. Pengaruh Penambahan Bentonit Teraktifasi Dengan Asam Sulfat Terhadap Sirup Gula Optimasi Waktu Kontak Data hasil nilai absorbans karena variasi waktu kontak bentonit dengan larutan sirup disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Rerata nilai kejernihan sirup akibat penambahan bentonit teraktifasi. Waktu Absorbans Efisiensi (menit) Penjernihan (%) 0 0,2676 0 5 0,1337 56,94 10 0,1164 55,88 15 0,0929 64,76 20 0,0902 65,78 25 0,0969 63,23 30 0,0835 68,32 60 0,0902 65,78
Seminar Nasional Penelitian dan Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
7
Makin meningkatnya waktu kontak maka akan semakin besar efisiensi penjernihan, yaitu kemampuan bentonit dalam menyerap pengotor suatu larutan (Stanley dkk,1975). Efisiensi penjernihan yang diperoleh berada antara 56,94% sampai 65,78%. Pada Gambar 4. 9 disajikan besarnya peningkatan kejernihan sirup oleh bentonit. S = 3.55012987 r = 0.98944821
Efisiensi Penjernihan (%)
0 70.0 0 60.0 0 50.0 0 40.0 0 30.0 0 20.0 0 10.0 0.00
0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
35.0
40.0
45.0
50.0
55.0
60.0
65.0
Waktu (menit)
Gambar 9. Hubungan antara variasi waktu kontak bentonit teraktifasi dengan peningkatan kejernihan sirup dengan persamaan reaksi y=a(1-exp(-bx). Pada kurva dapat dilihat, bahwa semakin lama waktu kontak antara bentonit teraktifasi dengan sirup gula, maka kejernihan sirup yang dihasilkan akan semakin meningkat. Dengan menggunakan persamaan reaksi yang diperoleh dapat ditentukan waktu kontak optimum bentonit teraktifasi dengan asam. Waktu kontak optimum tersebut diperoleh ketika waktu kurva tepat konstan, yaitu sebesar 15 menit. Berdasarkan hasil optimasi waktu aktifasi maka hasil yang diperoleh digunakan untuk penentuan konsentrasi optimum sirup gula. Optimasi Berat Bentonit yang Ditambahkan Hasil data pengukuran absorbansi dengan Spectronic -20 disajikan pada tabel 5. Tabel 5. Rerata nilai kejernihan dengan variasi penambahan berat/ 20 ml sirup. Berat Bentonit Absorbans Efisiensi (gram) Penjernihan (%) 0 0,2596 0 1 0,0888 65,79 2 0,1024 60,55 3 0,1192 54,08 4 0,0630 75,42 5 0,0568 78,12 10 0,0458 82,38 Rentang efisiensi penjernihan yang dihasilkan antara 65,79 – 82,38 %. Dari efisiensi penjernihan yang diperoleh kemudian dialurkan menjadi kurva di bawah ini. S = 9.84436912 r = 0.96214934
0 90.0
Efisiensi Penjernihan (%)
0 80.0 0 70.0 0 60.0 0 50.0 0 40.0 0 30.0 0 20.0 0 .0 0 1 0.00
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
6.0
7.0
8.0
9.0
10.0
11.0
Berat (gram ) / 20 ml
Seminar Nasional Penelitian dan Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
8
Gambar10. Hubungan antara variasi berat bentonit teraktifasi asam sulfat dengan sirup gula dengan persamaan reaksi: y=a(1-exp(-bx). Pada gambar di atas dapat diamati bahwa semakin besar berat bentonit yang ditambahkan pada sirup kejernihan sirup semakin meningkat untuk selanjutnya konstan setelah tercapai kesetimbangan. Persamaan reaksi yang ada digunakan untuk menentukan konsentrasi sirup optimum. Konsentrasi optimum dicapai ketika kurva tepat konstan. Konsentrasi yang diperoleh adalah 3 gram bentonit teraktifasi dengan asam per 20 ml sirup atau 15 %. Identifikasi spektrum data IR secara kualitatif menghasilkan pola yang khas untuk mineral montmorillonit. Pada bentonit teraktifasi dengan asam sebelum dan sesudah dikontakkan dengan sirup menunjukkan beberapa perbedaan pada spektra yang muncul seperti pada Gambar 13.
Gambar 4. 13. Hasil analisa IR pada sampel bentonit teraktifasi dengan asam sulfat (warna hitam) dan bentonit teraktifasi dengan asam sulfat dengan pengotor (warna merah).
Daerah 462,9 dan 509,2 cm-1 menunjukkan vibrasi Si-O-Si dan Si-O-Al. Pada bentonit yang telah kontak vibrasi Si-O muncul dalam satu bilangan gelombang atau satu puncak saja. Hal ini diperkirakan tertutup oleh komponen lain yang ada pada bentonit. Pada bentonit yang belum digunakan muncul spektra pada bilangan gelombang 1635,5 cm -1 sedangkan sesudah digunakan pada sirup mengalami pergeseran menjadi 1666,4 cm -1. Hal ini diperkirakan terserapnya air dalam sirup ketika bentonit kontak dengannya karena pada pita tersebut merupakan vibrasi H2O dari air yang teradsorbsi. Puncak-puncak lainnya yang baru muncul setelah bentonit dikontakkan dengan sirup adalah 2939,3 cm-1, 2476,4 cm-1 , dan 2360 cm-1. Puncak-puncak ini diperkirakan komponen dalam sirup gula yang terserap oleh bentonit. Pengaruh Penambahan Bentonit Teraktifasi Dengan Pemanasan Optimasi Waktu Kontak Data nilai absorbans larutan sirup yang dikontakkan dengan bentonit teraktifasi dengan pemanasan disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Rerata nilai kejernihan sirup akibat penambahan bentonit teraktifasi dengan pemanasan dengan variasi waktu kontak. Waktu Absorbans Efisiensi (menit) Penjernihan (%) 0 0,4750 0 5 0,2557 46,16 10 0,2717 42,81
Seminar Nasional Penelitian dan Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
9
15 0,2636 44,49 20 0,2499 47,38 25 0,2480 47,80 30 0,2336 50,81 60 0,2112 55,55 Makin meningkatnya tingkat kejernihan juga diperlihatkan dari semakin besarnya efisiensi penjernihan, yaitu kemampuan bentonit dalam menyerap warna suatu larutan (Stanley dkk,1975). Efisiensi penjernihan yang dihasilkan berada antara 46,16 sampai 55,55 %. Mekanisme kerja bentonit dapat ditingkatkan dengan aktifasi, yang salah satu caranya dengan pemanasan. Karena sewaktu bentonit dikeringkan pada suhu kira-kira 300 – 350ºC air ditarik keluar dari pori sehingga memperbesar luas permukaan dalam, pada waktu yang sama struktur yang tinggal tidak dirusakkan (Moertinah, 1978). Oleh karena itulah pori-pori bentonit menjadi lebih terbuka dalam menyerap suatu pengotor. Peningkatan kejernihan sirup dapat dialurkan berdasarkan peningkatan nilai efisiensi penjernihan bentonit pada sirup gula. S = 4.14764906 r = 0.97525594
Efisiensi Penjernihan (%)
0 60.0 0 50.0 0 40.0 0 30.0 0 20.0 0 10.0 0 0.0
0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
35.0
40.0
45.0
50.0
55.0
60.0
65.0
Waktu (menit)
Gambar 14. Hubungan antara variasi waktu kontak bentonit teraktifasi dengan pemanasan dengan sirup gula y=a(1-exp(-bx). Pada Gambar 14 dapat dilihat, bahwa semakin lama waktu kontak antara bentonit teraktifasi dengan sirup gula, maka kejernihan sirup yang dihasilkan akan semakin meningkat yang selanjutnya sesudah waktu optimum akan konstan. Dengan menggunakan persamaan reaksi pada kurva dapat ditentukan waktu optimum bentonit teraktifasi dengan pemanasan untuk menjernihkan sirup, yakni sebesar 10 menit. Berdasarkan hasil optimasi waktu aktifasi maka hasil yang diperoleh digunakan untuk penentuan berat optimum bentonit. Optimasi Berat Bentonit yang Ditambahkan Data hasil nilai absorbans dengan variasi waktu hasil pengontakan bentonit dengan larutan sirup disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Rerata nilai kejernihan dengan variasi penambahan berat/ 20 ml sirup. Berat Bentonit Absorbans Efisiensi (gram) Penjernihan (%) 0 0,4685 0 1 0,2291 51,10 2 0,1549 66,94 3 0,1397 70,18 4 0,1079 76,97 5 0,0822 82,45 10 0,0744 84,11 Seminar Nasional Penelitian dan Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
10
Rentang efisiensi kejernihan yang dihasilkan antara 51,10 – 84,11 % yang apabila dialurkan dalam suatu kurva dapat dilihat setelah mencapai konsentrasi tertentu kurva akan konstan atau kesetimbangan reaksi telah dicapai. Pada Gambar 15. menyajikan besarnya peningkatan kejernihan sirup bentonit variasi penambahan berat bentonit. S = 3.08236253 r = 0.99664633
0 90.0
Efisiensi Penjernihan (%)
0 80.0 0 70.0 0 60.0 0 50.0 0 40.0 0 30.0 0 20.0 0 10.0 0.00
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
6.0
7.0
8.0
9.0
10.0
11.0
Berat (gram) / 20 ml
Gambar 15. Hubungan a ntara variasi berat kontak bentonit teraktifasi dengan pemanasan dengan sirup gula persamaan reaksi y=a(1-exp(-bx). Pada gambar di atas dapat diamati bahwa semakin besar berat bentonit yang ditambahkan pada sirup kejernihan sirup semakin meningkat untuk selanjutnya konstan setelah tercapai kesetimbangan. Konsentrasi tepat setimbang atau yang disebut dengan konsentrasi optimum dapat diperoleh melalui persamaan reaksi yang diperoleh dari kurva. Berdasarkan hal itu maka konsentrasi optimum yang diperoleh sebe sar 10 gram bentonit teraktifasi dengan pemanasan per 20 ml sirup atau 50 %. Identifikasi spektrum data IR secara kualitatif menghasilkan pola yang khas untuk mineral montmorillonit dan puncak-puncak bilangan gelombang.
Gambar 4. 18. Hasil analisa IR pada sampel bentonit teraktifasi dengan pemanasan (warna biru) dan bentonit teraktifasi dengan pemanasan dengan pengotor (warna merah).
Terdapat perbedaan yang jelas pada daerah bilangan gelombang 4000-1300 cm . Pada daerah 3200-3600 cm-1 terjadi ulur O-H yang lebar pada hasil infra merah bentonit yang telah kontak dengan sirup. Hal ini diduga karena banyaknya air yang teradsorbsi dari larutan sirup. Dugaan komponen lain dalam sirup yang terserap oleh bentonit terjadi pada daerah 2383,3 cm-1, 2939,3 cm -1 dan 1419,5 cm-1. -1
Penelitian Tahap IV Analisa Keamanan Sirup Gula Untuk Dikonsumsi Keadaan dan aroma sirup normal pada umunya suatu sirup gula. Bahan tambahan yang digunakan pada pembuatan tidak ada.
Seminar Nasional Penelitian dan Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
11
Analisa sirup dengan AAS untuk mengidentifikasi logam-logam yang ada pada bentonit apakah terdapat dalam sirup setelah terjadi pertukaran kation. Analisa logam berbahaya yang tercantum pada syarat mutu sirup tidak dilakukan dengan asumsi sirup gula awal sudah aman dikonsumsi. Karena sirup gula yang digunakan pada penelitian ini berasal dari gula pasir yang ada di pasar. Untuk sirup gula yang telah dikontakkan dengan tiga kondisi pada waktu kontak dan berat optimum dapat dilihat sebagai berikut: Tabel 4. 10 Data hasil analisa logam dalam sirup
No.
Nama Sampe l Al
Unsur yang diperiksa (ppm) Ca Mg Na
Fe
1. Sirup Gula Awal tt 0,13 tt 0,003 0,001 2. L + BA tt 55,10 12,60 16,3 0,5 3. L + BAA tt 15,10 3,80 7,8 1,1 4. L + BAP tt 74,90 19,60 26,5 0,5 Keterangan : L + BA adalah sirup yang sudah dikontakkan dengan bentonit alami. L + BAA adalah sirup yang sudah dikontakkan dengan bentonit teraktifasi dengan asam sulfat. L + BAP adalah sirup yang sudah dikontakkan dengan bentonit teraktifasi dengan pemanasan. tt = tidak terdeteksi. Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa logam alumunium yang ada pada struktur bentonit tidak lepas ketika bentonit tersebut dikontakkan pada sirup. Hal ini sesuai dengan analisa FT-IR bentonit yang telah digunakan sebagai penjernih bahwa bentonit tersebut tidak mengalami dealuminasi. Logam-logam lain, seperti Ca, Mg, Na, Fe, merupakan logam-logam yang biasa dikandung oleh minuman dan makanan yang tidak membahayakan bagi kesehatan manusia. Ca, Mg, Na termasuk mineral makro atau makro nutrien. Maksud makro nutrien ini adala h unsur -unsur tersebut terdapat dalam tubuh dalam jumlah yang cukup besar atau dibutuhkan tubuh ≥ 100 mg/ hari. Sedangakan Fe termasuk mineral mikro atau mikro nutrien. Maksud mikronutrien di sini adalah unsur-unsur yang terdapat dalam jumlah kecil atau dibutuhkan tubuh ≤ 100 mg/ hari. Mineral- mineral seperti Ca, Mg, Na, dan Fe diperlukan tubuh yang dinyatakan dalam angka kecukupan gizi (AKG). Menurut Almatsier (2002), AKG untuk orang dewasa per hari untuk mineral- mineral tersebut adalah Ca Laki-laki : 500 – 800 mg Na 500 – 2400 mg Perempuan : 500 – 800 mg Mg Laki-laki : 280 mg Fe Laki-laki : 13 mg Perempuan : 250 mg Perempuan : 26 mg Sehingga dapat disimpulkan keberadaan mineral-mineral tersebut di dalam sirup tidak menganggu kesehatan tubuh. Sedangkan hasil analisa gula pereduksi dapat dilihat pada Tabel 4. 11. Tabel 4. 11. Data Gula Pereduksi Sirup Gula
No.
Nama Berat Sampel Vol titrasi Sampel (gram) (ml) 1. GC 1,0510 5,50 2. SG 1,0510 5,05 3. L + BA 1,0510 5,07 4. L + BAA 1,0510 7,80 5. L + BAP 1,0510 8,90 Keterangan : GC adalah gula kristal yang berwarna (standar).
Seminar Nasional Penelitian dan Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
mg Gula % Gula Reduksi Reduksi (b/b) 10,9622 10,4303 12,2604 11,6655 12,2027 11,6106 4,3272 4,1172 1,1539 1,0979 coklat. SG adalah sirup awal
12
L + BA adalah sirup yang sudah dikontakkan dengan bentonit alami. L + BAA adalah sirup yang sudah dikontakkan dengan bentonit teraktifasi dengan asam sulfat. L + BAP adalah sirup yang sudah dikontakkan dengan bentonit teraktifasi dengan pemanasan. Dari data analisa gula pereduksi dapat diketahui bahwa sirup gula yang telah dikontakkan dengan bentonit mengalami hidrolisa. Hidrolisa sukrosa menghasilkan fruktosa dan glukosa. Hal ini terjadi selain karena sukrosa dilarutkan dalam air, juga karena terjadi perubahan pH (lihat lampiran 18 tentang perubahan pH sirup). Seperti yang telah kita ketahui bahwa sukrosa dalam air mudah terhidrolisa pada keadaan asam. Bentonit yang dilarutkan dalam air akan bersifat sebagai asam. Sifat asam pada bentonit merupakan pengaruh dari adanya pergantian isomorfus atom silika oleh atom alumina yang berdampak pada muatan permukaan yang dinetralisir oleh kation, misalnya H+, Na+, dan Ca 2+ (Grim, 1962 dan Eick, 2004). Sehingga secara teoritis jumlah gula pereduksi memilki persentase yang lebih tinggi karena telah terhidrolisa yang juga dipengaruhi oleh pH sirup. Tetapi, pada persen gula pereduksi pada sirup yang telah dijernihkan mengalami penurunan hal ini diperkirakan kesalahan pada saat analisa dilakukan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Aktifasi yang dilakukan pada bentonit berpengaruh terhadap struktur bentonit. Hal tersebut dapat dilihat melalui spektra IR ketiga jenis bentonit tersebut. Perubahan struktur yang terjadi berpengaruh terhadap daya penyerapan bentonit terhadap pengotor pada sirup. 2. Komposisi penjernih bentonit yang optimum untuk penjernihan sirup gula kotor adalah a. Untuk bentonit alam: waktu optimum terjadi pada 30 menit dan berat bentonit 5 gram untuk setiap 20 ml sirup atau sekitar 25 % (b/v). b. Untuk bentonit teraktifasi asam: waktu optimum terjadi pada 15 menit dan berat bentonit 3 gram untuk setiap 20 ml sirup atau konsentrasi 15 % (b/v) c. Untuk bentonit teraktifasi pemanasan: waktu optimum terjadi pada 10 menit dan berat bentonit 10 gram untuk setiap 20 ml sirup gula atau konsentrasi larutan sirup 50 % (b/v). 3. Efisiensi penjernihan bentonit terhadap sirup gula adalah untuk bentonit alam sebesar 79,51 %, bentonit teraktifasi dengan asam sebesar 70,68 %, dan bentonit teraktifasi dengan pemanasan sebesar 81,12 %. 4. Sirup yang dihasilkan aman dikonsumsi oleh masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada konsentrasi logam berbahaya Al yang negatif. 5. Bentonit dapat dikembangkan sebagai alternatif bahan penjernih sirup gula kotor. Saran Berdasarkan penelitian studi kinerja bentonit pada penjernihan sirup gula kotor, penulis mengajukan saran-saran sebagai berikut: 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang bagaimana menjaga kualitas sirup gula yang dihasilkan ketika sirup tersebut disimpan dalam waktu lama dan aspek ekonomisnya.
Seminar Nasional Penelitian dan Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
13
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang karakteristik pengotor sirup gula kotor setelah kontak dengan bentonit. 3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang regenerasi bentonit yang telah dikontakkan dengan sirup gula kotor.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah dan Ismail. (2002). The Improvement of Gelling Property of Bentonite Using Their Physico-chemical and Mineralogical Characteristics”. Yerbilimieri. 25, 1-10. Almatsier, S. (2002). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Ani, Cama. (1995). Mempelajari Pengaruh Perlakuan Konsentrasi Sukrosa dan Natrium Benzoat pada Pembuatan Koktil Kelapa Muda. Tugas Akhir pada Teknik Pangan UNPAS: tidak diterbitkan. Anonim. (2002). Bentonit. Buku Referensi BGI. Edisi II. Bandung: Puslitbang Tekmira. Anonim. (2004). Clay-Catalyzed RNA Polymerization Activity. [Online]. http://www.origins.rpi.edu/claycatalyzed.html. [1 Agustus]. Eick, Matt. (2004). Phase Interactions: Nature of Colloids. [Online]. http:// www.jan.ucc.nau.edu/~doetqp-p/courses/ env440/env440_2/lectures/lec19/lec19 html. [ 1 Agustus 2004 ]. Fessenden, Fessenden. (1984). Kimia Organik . Edisi kedua. Jakarta: Penerbit Erlangga. Foletto, E.L., Volzone, C. dan Porto, L.M. (2003). “Performance of an Argentinian acid-activated bentonite in the bleaching of soybean oil”. Brazilian Journal of Chemical. 20 (2). Filipovic, Leposava. et al. (2002). “The effect on the fine grinding on the physicochemical properties and thermal behavior of bentonite clay”. Journal Serbia Chemistry Society. 67 (11), 753-760. Grim. (1962). Applied Clay Mineralogy. New York: Mc Graw -Hill Company Inc. Hadiprayitno, M. (1987). Mempelajari Faktor -Faktor yang Berpengaruh pada Produksi Ca-Bentonit di Indonesia. Tesis Megister pada Program Teknik dan Manajemen Industri ITB : tidak diterbitakan. Haffad, D., Chambellan, A. dan Lavalley, J. C. ( 1998). Characterisation of AcidTreated Bentonite, Reactivity, FTIR Study and 27Al MAS NMR”. Journal Catalysis Letter. 54, 227-233. Hutabarat, BSM. (1998). Konsep Dasar Pengembangan Industri Gula Nasional. Gula Indonesia. XXIII (4). ISSN 0216/2954, 27. Johnston, C.T. dan Premachandra, G.S. (2001). “Polarized ATR-FTIR Study of Smectite in Aqueous Suspension”. Soil and Environmental Sciences. Johnston, CT. et al. (2002). “Spectroscopic Herbicide Sorption on Smectite”. Journal Environment Science Technology. 36, 5067-5074. Kirk dan Othmer. (1969). Ensyclopedi of Chemical Technology (vol. 19). New York: John Willey & Sons, Inc. Komadel, P. (2003). “Chemically Modified Smectites”. Journal Clay Minerals. 38, 127-138. Lu, Xianjun. Dan Cui, Xueqi. (2003). Preparation and Activation Mecanism of Acid Activated Bentonite with High Decolouring Capacity. China: Xi’an University and Technology. Manning, D.A.C. (1995). Introduction to “Industrial Minerals”. London: Chapmann & Hall.
Seminar Nasional Penelitian dan Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
14
Moertinah, S. dan Saleh, M. (1978). Laporan Penelitian Tanah untuk Bleaching Earth: Penelitian Deposit Tanah Liat dari Daerah Sumber Lawang Sangiran (Kalijambe) Surakarta sebagai Bleaching Earth. Semarang: Balai Penelitian Kimia. Mulja, M. dan Suharman. (1995). Analisis Instrumental. Surabaya: Airlangga University press. Murtono. (2004) Pembuatan, Karakterisasi, dan Uji Aktivitas Zeolit sebagai Adsorben Uap Air dengan Metode Spektroskopi Inframerah. Skripsi Sarjana Kimia pada UNM: tidak diterbitkan. Rahmat, Asep. (1994). Kinetika Reaksi Hidrolisis Sukrosa dan Penyerapan Uap air akibat Penambahan Asam Sitrat dalam Hard Candy. Tugas Akhir pada Teknik Pangan UNPAS: tidak diterbitkan. Sriwidyastuti, dkk. (2002). “Proses Pembuatan Sirup Gula Tebu”. Biosain. 2 (2), 20-21. Stanley, J. et al. (1975). Industrial Minerals and Rocks (fourth ed.). New York: American Metallur gical and Petroleum Engineers, Inc. Uribe, A., Bishop, P.L. and Pinto, N.G. (2002). “The influence of pH and temperature changes on the adsorption behavior of organophilic clays used in the stabilization/ solidification of hazardous wastes”. Journal Environment Eng. Science. 1, 123-133. Valenzuela, F. R. and Persio. (2001). “Studies on The Acid Activation of Brazilian Smectitic Clays”. Nova. 24 (3), 345-353.
Seminar Nasional Penelitian dan Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
15