RUANG KAJIAN
STUDI KEPUASAN PENGGUNA JASA SATUAN PELAYANAN SATU ATAP PEMERINTAH KOTA BEKASI Yayan Rudianto Abstrak Penyerahan urusan penyelenggaraan pemerintahan kepada Daerah bertujuan untuk mengoptimalkan kinerja pelayanan masyarakat. Untuk itu diperlukan pengembangan kapasitas (capacity building) oleh Daerah. Salah satu upaya peningkatan kualitas pelayanan masyarakat melalui Konsep Satuan Pelayanan Satu Atas (SPSA). Pada kasus di Kota Bekasi, hasil studi menunjukkan bahwa SPSA mendapatkan umpan balik (feedback) dari masyarakat. Indeks kepuasan masyarakat pengguna jasa terhadap pelayanan yang mereka berikan adalah 0.83. Ini berarti masyarakat merasa tidak puas dengan pelayanan SPSA. Kata Kunci: Kepuasan, Pengguna Jasa, SPSA, Kota Bekasi
Pendahuluan Sejak pelaksanaan otonomi daerah Januari 2001, kabupaten/kota menghadapi berbagai peluang dan tantangan yang semakin besar. Salah satunya adalah pelayanan publik, khususnya pelayanan perizinan bagi dunia usaha. Penyerahan urusan ini di satu sisi memberi peluang bagi kabupaten/kota untuk mengoptimalkan kinerjanya dalam melayani masyarakat, namun di sisi yang lain ditemukan berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh kabupaten/kota. Oleh karena itu secara ideal penyerahan urusan ini harus disertai dengan upaya pengembangan kapasitas (capacity building) oleh Daerah. Sebenarnya telah banyak upaya dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Hal ini
terlihat dari indikasi dibentuknya unit yang secara khusus melayani masyarakat pengguna jasa dengan menggunakan beragam nama, seperti Satuan Pelayanan Satu Atap (SPSA) di Kota Bekasi, Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kantor Pelayanan Terpadu (KPT) di Kota Semarang, Kantor Pelayanan Perizinan di Kota Parepare, Kantor Pelayanan Terpadu di Kabupaten Sragen, dan lain-lain. Indikasi lain, jumlah jenis pelayanan dan standar waktu pelayanan di setiap kabupaten/kota termasuk banyak dan semakin singkat, seperti di Kota Pare-pare mencapai 15 jenis pelayanan dan waktu pelayanan berkisar antara 1 hari hingga 7 hari kerja efektif. Secara rinci kelima belas jenis pelayanan tersebut adalah: (1) Izin Mendirikan Bangunan, waktu proses 7 hari, (2) Izin Undang-undang
Ruang Lingkup Kegiatan
Gangguan, waktu proses 7 hari, (3) Izin Pemasangan Reklame,waktu proses 3 hari, (4) Izin Penggunaan Pelataran, waktu proses 1 hari, (5) Izin Penggunaan Alat Berat, waktu proses 2 hari, (6) Izin Trayek Angkutan Kota, waktu proses 2 hari, (7) Akta Catatan Sipil, waktu proses 2 hari (Akta Kelahiran, Akta Kematian, Akta Perkawinan, Akta Perceraian, Akta Pengangkatan Anak, Akta Pengesahan Anak, Akta Pergantian Nama), (8) Kartu Tanda Penduduk (KTP), waktu proses 1 hari, (9) Kartu Keluarga, waktu proses 2 hari, (10) Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), waktu proses 7 hari, (11) Surat Izin Usaha Industri (SIUI), waktu proses 7 hari, (12) Tanda Daftar Perusahaan (TDP), waktu proses 7 hari, (13) Tanda Daftar Gudang (TDG), waktu proses 7 hari, (14) Tanda Daftar Ruang (TDR), waktu proses 7 hari, dan (15) Tanda Daftar Industri (TDI), waktu proses 7 hari. Tidak sedikit kabupaten/kota yang terjebak pada pendirian kantor pelayanan terpadu, menambah terus jumlah pelayanan dan mempersingkat waktu pelayanan, namun kurang serius dalam meningkatkan kualitas pelayanan kepada pengguna jasa di daerahnya. Tidak jarang ditemui kantor pelayanan terpadu, namun prosedur pelayanannya tetap rumit dan berbelit-belit, tarif mahal, dan waktu pengurusan yang lama. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut permasalahan ini dengan mengangkat judul: “Studi Kepuasaan Pengguna Jasa Satuan Pelayanan Satu Atap (SPSA) Pemerintah Kota Bekasi”.
Aktivitas survei dilakukan berdasarkan assessment pra -kegiatan yang menunjukan bahwa SPSA Kota Bekasi belum memiliki sistem feedback yang memadai untuk mendengar (listen) aspirasi masyarakat berkaitan dengan pelayanan yang diberikan SPSA. Di kantor SPSA telah terdapat “Kotak Pengaduan/ Kotak Saran”, tetapi pada praktiknya sangat sedikit masyarakat pengguna jasa yang memanfaatkan media tersebut. Bahkan tidak jarang diisi oleh puntung rokok, amplop bekas, bungkus permen, dan lain-lain yang tidak ada hubungannya dengan pengaduan atau saran pada SPSA. Dalam kondisi demikian, diperlukan sebuah survei yang secara spesifik akan digunakan sebagai alat untuk mendengar persepsi masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan SPSA. Selanjutnya hasil survei ini akan mampu memberikan gambaran kepada staf SPSA tentang kualitas pelayanan yang mereka berikan kepada pengguna jasa. Hasil Kegiatan Survei terhadap kepuasaan pelanggan (masyarakat pengguna jasa) terhadap pelayanan penting dilakukan untuk mengetahui kinerja pelayanan aparat dari sisi pengguna jasa. Dalam jangka panjang hasil studi ini sangat berguna untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas pelayanan. Juga akan memberikan gambaran mengenai aspek-aspek apa saja yang perlu diperbaiki. Secara umum studi ini ditujukan untuk mengetahui tingkat kepuasan masyarakat pengguna jasa terhadap 29 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2007
pelayanan yang diberikan SPSA. Beberapa tujuan khusus yang ingin dilihat dalam penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi masyarakat pengguna jasa dalam mengurus suatu izin. 2. Melihat lamanya waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh suatu izin. 3. Mempelajari cara masyarakat pengguna jasa memperoleh izin yang dibutuhkan. Beberapa temuan menarik berhasil ditemukan berkaitan dengan cara pengurusan izin (dibedakan atas mengurus sendiri dan melalui perantara). Untuk memperoleh izin SIUP dan TDI/IUI/TDP kecenderungan untuk menggunakan pihak perantara relatif rendah. Persentase responden yang mengurus SIUP sendiri (baik ke SPSA maupun ke Dinas) sekitar 64 persen, sisanya (36 persen) mengurus SIUP dengan menggunakan perantara. Untuk pengurusan TDI/IUI/TDP (ada 16 responden) yang mengurus izin sendiri sebanyak 63 persen, sementara 37 persen sisanya mengurus melalui perantara. Dalam pengurusan SITU dan IMB kecenderungan masyarakat pengguna jasa untuk menggunakan perantara semakin meningkat dibandingkan dengan pengurusan SIUP dan TDI/IUI/TDP. Persentase responden yang mengurus sendiri SITU sebanyak 57 persen, sisanya 43 persen (dari total responden 28 orang) mengurus SITU melalui perantara. Dalam mengurus IMB persentase reponden yang menggunakan jasa perantara tertinggi dibandingkan dengan pengurusan izin-izin yang lain. Dari 19 responden
yang memiliki IMB saat wawancara, hanya 26 persen yang mengurus sendiri, sisanya sebanyak 74 persen mengurus melalui perantara. Kepuasan pengguna jasa terhadap pelayanan SPSA diukur dengan membandingkan harapan pelayanan dengan penilaian terhadap kualitas pelayanan yang dirasakan saat berurusan dengan SPSA. Terdapat lima kelompok indikator yang dilihat, yaitu: 1. Keandalan: Mengukur kemampuan untuk melayani masyarakat pengguna jasa sesuai standar kualitas yang telah ditentukan. 2. Responsiveness : Mengukur kemampuan untuk memberikan respon yang tepat terhadap berbagai persoalan yang dihadapi oleh pengguna jasa. 3. Keyak inan: Mengukur kemampuan untuk m emberikan jaminan kepada pengguna jasa bahwa mereka akan dilayani dengan baik. 4. Empati: Mengukur kemampuan untuk memahami arti penting perizinan dan keinginan yang dirasakan oleh pengguna jasa. 5. Tangible: Mengukur kemampuan untuk memberikan tampilan fisik sesuai dengan keinginan pengguna jasa. Masing-masing kelompok indikator tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam 17 indikator. Untuk setiap indikator dan kelompok indikator dilakukan pengukuran terhadap harapan dan kinerja. Harapan pengguna jasa di-proksi dengan tingkat kepentingan, dengan asumsi bahwa harapan berbanding lurus dengan persepsi pengguna jasa terhadap tingkat kepentingan aspek yang dinilai. Sementara itu, kinerja 30
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2007
diukur berdasarkan persepsi pengguna jasa atas pelayanan yang mereka peroleh dari SPSA. Semua variabel, baik indikator harapan maupun kinerja diukur dengan skor 1, 2, 3, 4, dan 5 yang mencerminkan tingkat paling rendah ke tingkat paling tinggi. Dengan metode seperti itu, hasil penelitian terhadap harapan masyarakat pengguna jasa menunjukkan bahwa di antara lima aspek yang diteliti, secara total nilai harapan adalah 4.17 (lebih tinggi daripada 3 yang merupakan nilai tengah dari skala 15). Hal ini menggambarkan bahwa adanya harapan yang tinggi dari masyarakat terhadap pelayanan SPSA. Hal ini memberikan informasi bahwa variabel-variabel yang sifatnya “fisik” seperti penataan ruangan, pakaian staf, dan lain-lain merupakan hal yang dianggap paling tidak penting dibandingkan dengan aspek lain. Aspek yang dianggap paling penting adalah “empati” dan “responsiveness”. Dengan kata lain, masyarakat pengguna jasa bisa memahami arti penting perizinan bagi mereka, tidak ingin diperlakukan secara diskriminatif, serta sangat ingin petugas di SPSA tanggap terhadap berbagai masalah yang muncul dalam pengurusan izin. Dengan cara yang sama penilaian masyarakat pengguna jasa terhadap kinerja SPSA menunjukkan bahwa secara keseluruhan dianggap cukup baik. Hal ini ditunjukkan oleh skor kinerja sebesar 3.44. Meskipun skor ini lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata total skor harapan (4.17), tetapi angka ini lebih tinggi daripada 3 (nilai tengah dari skala 15).
Dilihat dari aspek kinerja ternyata yang memiliki rata-rata paling rendah adalah “tangible” dan “responsiveness”. Meskipun untuk “tangible” skornya rendah, hal ini tidak terlalu menjadi persoalan, karena masyarakat pengguna jasa tidak terlalu menganggap ini sebagai sesuatu yang sangat penting. Hal penting untuk dicermati adalah aspek “responsiveness” yang skor kinerjanya rendah padahal masyarakat pengguna jasa sebenarnya menganggap hal itu sebagai sesuatu yang sangat penting. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa tingkat kepuasan pengguna jasa ditunjukkan oleh rasio antara harapan dan kinerja. Jika rasionya lebih besar atau sama dengan 1, berarti pengguna jasa puas dengan pelayanan SPSA. Sebaliknya, jika rasio kurang dari 1, berarti pengguna jasa tidak puas dengan pelayanan SPSA. Hasil perhitungan rasio ini menunjukkan bahwa rasio antara kinerja dengan harapan secara keseluruhan hanya 0.83. Angka ini mengindikasikan bahwa masyarakat belum sepenuhnya puas dengan pelayanan SPSA. Hanya saja perlu diberi catatan bahwa ketidakpuasan ini lebih disebabkan oleh tingginya harapan masyarakat pengguna jasa, bukan oleh karena buruknya pelayanan. Jika dilihat menurut aspek kepuasan, terlihat bahwa yang paling tidak memuaskan masyarakat pengguna jasa adalah aspek “responsiveness”. Hal ini bisa terjadi karena harapan masyarakat pengguna jasa sangat tinggi, tetapi di sisi lain kinerja SPSA dalam hal ini “responsiveness” relatif rendah. 31 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2007
Kesimpulan
maupun Pemerintah Kota Bekasi sendiri. Oleh karena itu keberadaannya harus dipertahankan dan ditingkatkan terus kualitas pelayanannya (continues improvement ). 2. Terkait dengan butir 1 di atas, SK Walikota Bekasi Nomor 09 Tahun 2001 tentang Pembentukan Satuan Pelayanan Satu Atap dan Satuan Penindakan pada Lembaga Teknis Daerah Pemerintah Kota Bekasi yang menempatkan SPSA sebagai pelaksana koordinasi pelayanan perizinan, pajak, dan retribusi (pasal 5 butir a) perlu dilaksanakan secara konsisten. Adanya dualisme kepemimpinan antara Kepala Dinas terkait dan Kepala SPSA bukan saja membingungkan masyarakat pengguna jasa tapi juga mengacaukan koordinasi dan aliran kerja, serta lebih jauh kurang mendukung pada visi Pemerintah Kota Bekasi yakni “Unggul dalam Perdagangan dan Jasa yang Bernuansa IHSAN”. 3. SPSA Kota Bekasi membutuhkan dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya mate rial yang cukup agar mampu melakukan pelayanan prima. Sumber daya yang memadai juga diperlukan agar SPSA mampu secara responsif menindaklanjuti apa yang menjadi keinginan masyarakat pengguna jasa berkaitan dengan pelayanan publik yang memuaskan. 4. Terkait dengan butir 3 di atas, pilihan ideal adalah meningkatkan status SPSA menjadi Kantor Pelayanan Satu Atap (KPSA). Dengan status tersebut KPSA akan memiliki kemampuan lebih
SPSA mendapatkan umpan balik (feedback) dari masyarakat pengguna jasa tentang tingkat kepuasan mereka, sekaligus apa yang perlu dilakukan untuk memperbaiki pelayanan di masa yang akan datang. SPSA mengetahui bahwa indeks kepuasan masyarakat pengguna jasa terhadap pelayanan yang mereka berikan adalah 0.83. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak puas. Di sisi lain, SPSA juga mengetahui bahwa ketidakpuasan lebih merupakan implikasi tingginya harapan masyarakat pengguna jasa bukan karena buruknya pelayanan yang diberikan SPSA. Hal ini kemudian menjadi motivasi bagi SPSA untuk meningkatkan kualitas pelayanannya, karena apa yang mereka lakukan selama ini, meskipun merasa sudah baik, ternyata belum mampu memuaskan masyarakat pengguna jasa. Rekomendasi Hasil utama kegiatan ini bukanlah rekomendasi. Meskipun demikian, berdasarkan Studi Kepuasan Pelanggan, memunculkan satu rekomendasi yang berkaitan dengan kelembagaan. Hal ini penting karena kelembagaan secara tidak langsung besar pengaruhnya terhadap kualitas pelayanan yang diberikan SPSA. Rekomendasi yang berhasil disusun adalah sebagai berikut: 1. Keberadaan SPSA dapat dipandang sebagai etalase pelayanan publik di kota Bekasi. Keberadaannya sangat diperlukan oleh masyarakat pengguna jasa 32 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2007
besar dalam melakukan koordinasi dengan Dinas terkait serta lebih responsif terhadap aspirasi masyarakat. Jika pilihan itu sulit diambil karena adanya berbagai kendala, pilihan berikutnya adalah tetap sebagai SPSA di bawah Bakukeda, tetapi SPSA diberi alokasi sumber daya (manusia dan material) yang cukup memadai untuk mencapai target pelayanannya, yakni kepuasan masyarakat pengguna jasa.
Hardjosoekarto, Sudarsono. 1994. Beberapa Perspektif Pelayanan Prima. Bisnis & Birokrasi. No. 3/Vol.II/September. ----------------. 1994. Debirokratisasi: Relevansi dan Masalahnya. Bisnis & Birokrasi. No. 3/Vol.II/September. Lovelock, Christhoper H. 1998. Managing Service: Marketing, Operations and Human Resources. USA: A Simon and Schuster Company.
Daftar Pustaka ---------------. 1994. Product Plus: How Product + Service = Competitive Advantage. Singapore: Mc. Graw-Hill Books Co.
Berger, Lance A., and Martin J.Sikora (et.al). 1994. The Change Management Handbook, Chicago: Irwin Professional Publishing.
Nazir, Moh. 1999. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Cohen, Steven and Ronald Band. 1933. Total Quality in Government: A Practical Guide for the Real World. San Fransisco: Jossey-Bass, Publisher.
Rahayu, Amy Y.S.1997. Fenomena Sektor Publik dan Era Service Quality (Serqual). Bisnis & Birokrasi. No. 1/Vol.III/April. Sugiyono. 1997. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta.
Gore, Al. 1997. Business Like Government. National Performance Review. Oktober.
Supranto, J. 1997. Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan. Jakarta: Rineka Cipta.
Dunleavy, Patrick. 1991. Democracy, Bureaucracy, & Public Choice. Hemel Hempstead: Simon & Schuster International Group.
Taylor, Linda King. 1992. Quality: Total Customer Service. London: Century Business.
Gronroos, Christian. 1990. Service Management and Marketing. Lexington, Massachusetts/Toronto: D.C. Heath and Company.
Zeithaml, Valarie, A., Parasuraman, dan Leonard L. Berry. 1990. Delivering Quality Service: Balancing Customer Perceptions and Expectations. New 33 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2007
York: The Free Press A Division of Macmillan, Inc.
Indonesia. Keputusan Walikota Bekasi. 2001. Nomor 9. Pembentukan Satuan Pelayanan Satu Atap dan Satuan Penindakan pada Lembaga Teknis Daerah Pemerintah Kota Bekasi. Republik Indonesia.
Dokumen-dokumen Undang-undang. 1999. Nomor 22. Pemerintahan Daerah. Republik Indonesia. Instruksi Presiden. 1995. Nomor 1. Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah. Republik Indonesia.
http://www.sragen.go.id/ http://www.kutaikartanegarakab.go.id/
Keputusan Menpan. 1993. Nomor 81. Pedoman Tata Laksana Pelayanan Umum. Republik
http://www.pare-parekota.go.id/ http://www.semarang.go.id/
34 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2007