STUDI KEBERLANJUTAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT PERIKANAN MARJINAL DI KABUPATEN TAPANULI TENGAH, PROVINSI SUMATERA UTARA
RIZKI APRILIAN WIJAYA
SKRIPSI
PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
2
STUDI KEBERLANJUTAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT PERIKANAN MARJINAL DI KABUPATEN TAPANULI TENGAH PROVINSI SUMATERA UTARA
RIZKI APRILIAN WIJAYA
SKRIPSI
PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
3
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:
“STUDI KEBERLANJUTAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT PERIKANAN MARJINAL DI KABUPATEN TAPANULI TENGAH, PROVINSI SUMATERA UTARA” adalah benar hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya-karya yang diterbitkan dalam teks, baik yang dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan, dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juli 2008
Rizki Aprilian Wijaya C44104022
4
ABSTRAK
RIZKI APRILIAN WIJAYA. Studi Keberlanjutan Program Pengembangan Masyarakat Perikanan Marjinal di Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara. Dibimbing oleh LUKY ADRIANTO dan GATOT YULIANTO. Sejak bulan Agustus tahun 2004, di tiga kecamatan yaitu Kecamatan Kolang, Sorkam dan Sorkam Barat pada Kabupaten Tapanuli Tengah, telah diimplementasikan pertama kali program Marginal Fisheries Community Development Pilot (MFCDP). Program tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dan nelayan kecil dalam mengelola sumberdaya perikanan yang lebih baik melalui upaya pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu dan berkelanjutan. Program tersebut telah berjalan selama 3 tahun, oleh karena itu perlu diadakan sebuah studi keberlanjutan program sebagai wujud dari implementasi program yang nantinya akan menentukan penilaian terhadap pelaksanaan program. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses dan implementasi program, mengetahui pengaruh program terhadap kondisi usaha perikanan dan mengetahui tingkat keberlanjutan program. Ketiga tujuan tersebut dicapai dengan menggunakan teknik FGD (Focus Group Discussion) sehingga akan diperoleh skala kepentingan dari responden yang kemudian dilanjutkan dengan menggunakan teknik wawancara dengan panduan kuesioner. Analisis data menggunakan empat analisis yaitu analisis kepentingan, analisis indikator, analisis evaluasi keberlanjutan dan analisis uji-t. Analisis indikator dikaji berdasarkan pernyataan MPM yang dibandingkan dengan empat indikator ekologi, ekonomi, sosial dan kebijakan pada kondisi yang berbeda yaitu pada saat sebelum implementasi program MFCDP dan setelah implementasi program MFCDP. Status keberlanjutan program dianalisis dengan menggunakan teknik Amoeba yang kemudian diperkuat hasilnya dengan menggunakan uji-t. Kendala dalam implementasi program MFCDP ini diantaranya MPM masih ada yang beranggapan bahwa dana yang diberikan cuma-cuma, konflik yang terjadi biasanya karena masalah pukat trawl yang beroperasi di daerah penangkapan nelayan MFCDP, MPM kesulitan mengembalikan dana karena pendapatan yang tidak menentu, masih lemahnya koordinasi antara Unit Pengelola Kegiatan (UPK) dan Tim Pelaksana Kegiatan (TPK). Berdasarkan analisis keberlanjutan maka usaha perikanan tangkap keberlanjutannya dikatakan tergolong tinggi. Sedangkan untuk usaha budidaya keberlanjutannya dikatakan tergolong sedang. Kata kunci : Masyarakat Perikanan Marjinal, Studi Keberlanjutan, Kabupaten Tapanuli Tengah
5
© Hak Cipta Milik Rizki Aprilian Wijaya, Tahun 2008 Hak Cipta Dilindungi Dilarang mengutip atau memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotocopy dan sebagainya
6
STUDI KEBERLANJUTAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT PERIKANAN MARJINAL DI KABUPATEN TAPANULI TENGAH, PROVINSI SUMATERA UTARA
SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
RIZKI APRILIAN WIJAYA C44104022
PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
7
SKRIPSI
Judul Skripsi
: Studi Keberlanjutan Program Pengembangan Masyarakat Perikanan Marjinal di Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara
Nama Mahasiswa
: Rizki Aprilian Wijaya
Nomor Pokok
: C44104022
Program Studi
: Manajemen Bisnis dan Ekonomi Perikanan-Kelautan
Disetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc NIP. 132 133 398
Ir. Gatot Yulianto, M.Si NIP. 131 999 589
Diketahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 131 578 799
Tanggal Lulus :
11 Juli 2008
8
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26 April 1986 dari pasangan Junaedi Sitorus dan (alm) Liswelni Rusli dan merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Pendidikan formal yang dilalui penulis adalah SDN Tugu III Cimanggis, SLTPN VIII Depok, SMUN 99 Jakarta Timur. Pada tahun 2004, penulis diterima masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI pada program studi Manajemen Bisnis dan Ekonomi Perikanan-Kelautan. Selama mengikuti perkuliahan penulis pernah bergabung dalam Himpunan Mahasiswa Sosial Ekonomi Perikanan (HIMASEPA) dan organisasi lain yang pernah diikuti adalah Fisheries Diving Club (FDC-IPB) sejak tahun 2005-2008. Selama mengikuti organisasi FDC, penulis pernah menjabat sebagai pengurus bidang peralatan periode 2007-2008 dan 2008-2009. Penulis berpatisipasi dalam kegiatan Simulasi Monitoring Terumbu Karang di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu pada tahun 2007. Penulis juga berpartisipasi sebagai penanggung jawab penelitian bidang sosial ekonomi dalam kegiatan Ekspedisi Zooxanthellae VIII di Kepulauan Kangean, Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur pada tahun 2006 dan menjadi koordinator penelitian ilmiah dalam kegiatan Ekspedisi Zooxanthellae IX di Taman Nasional Wakatobi, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 2007. Pada bulan Februari-Maret tahun 2008 penulis melakukan kegiatan Monitoring Terumbu Karang di Pulau Sabang Provinsi Nangroe Aceh Darussalam bersama Wildlife Conservation Society (WCS). Pada bulan Maret-Juni tahun 2008 penulis mengikuti pelatihan Marine and Science Technology Training (MST 2008). Pada bulan Mei 2008, penulis menjadi panitia kegiatan Workshop on Development of Scientific Diving in Indonesia. Dalam menyelesaikan studinya, penelitian dilakukan pada Kabupaten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara sebagai bahan skripsi yang berjudul “Studi Keberlanjutan Program Pengembangan Masyarakat Perikanan Marjinal di Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara”.
9
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayahnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Studi Keberlanjutan Program Pengembangan Masyarakat Perikanan Marjinal di Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara”. Skripsi ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan pada bulan Agustus tahun 2007. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc dan Ir Gatot Yulianto, M.Si, selaku komisi pembimbing yang telah berkenan membimbing dan memberikan saran kepada penulis selama penyusunan skripsi ini. 2. Ibunda (alm) Liswelni Rusli, SH yang selalu menjadi panutan bagi anakanaknya atas kerja keras, kasih sayang, perhatian, tanggung jawab dan pendidik yang sangat baik selama hidupnya. Ayahanda Drs Junaedi Sitorus yang memberikan support moril maupun materiil dan selalu sabar dalam menanti kelulusan anaknya. Kak Mega Isnaini Nauli S.Si dan Bang Indra S.Sos atas perhatian dan panutan bagi adik-adiknya dirumah. Adinda Meta Ariani Rachmah yang selalu memberikan support dan kebahagian kepada penulis ketika berada dirumah. 3. Nenek Jamiah dan Atok Pasaribu di Sibolga atas bantuan akomodasi dan tempat tinggalnya selama penulis melakukan penelitian serta Koordinator Kawasan (KK) program MFCDP di Kabupaten Tapanuli Tengah Sulhan Syamsuri Torihoran, S.Sos atas bantuannya dalam pengambilan data. 4. Mami dan Papi di Pulo Gebang atas dorongan semangatnya kepada keluarga dan semua bantuan yang telah diberikan. Etek dan Om Dodi atas semua pengalaman hidupnya yang berguna bagi penulis. Uncu dan Pak Uncu serta keluarga besar di Padang Sumatera Barat atas tumpangan tempat tinggal dan jalan-jalannya setelah penulis selesai melakukan penelitian. 5. Keluarga besar di Kabupaten Lubuk Pakam Provinsi Sumatera Utara atas perhatian yang besar dan jalan-jalannya selama penulis berada disana.
10
6. Keluarga Besar Fisheries Diving Club (FDC-IPB) atas pengalaman yang sangat berguna untuk mengarungi samudera kehidupan yang luas. Secara khusus kepada diklat 23 (Patrik, Buluk, Jubeer, Tesi) dan diklat 22 setengah (Iki, Yani, Unta, Gober) atas kekompakannya menjalani kerasnya pendidikan selam di FDC, diklat 24 (Jii, Nogel, Bayu, Chris, Fadilah, Lili, Andra, Tia) atas semua pertemanan dan kekompakannya selama mengikuti diklat FDC dan tak lupa kepada adik diklat 25 agar selalu semangat dalam mengikuti kegiatan diklat dan pengabdian yang tinggi dalam memajukan FDC. Serta tidak lupa kepada pembina FDC (Pak Budhi Hascaryo Iskandar) dan mentor-mentor yang telah memberikan semua ilmunya dengan ikhlas. 7. Bang Riyza, Tasrif, Evin, Fakhrizal, Rian dan Irfan, staf Marine Program Wildlife Conservation Society (WCS) atas pengalaman dan pembelajaran luar biasa atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti kegiatan monitoring terumbu karang di Pulau Sabang Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD). 8. Keluarga besar Departemen Sosial Ekonomi Perikanan (SEI) baik dosen, staf penunjang dan mahasiswa . Secara khusus untuk teman-teman SEI 41 baik ESP maupun MBP (the last generation) atas pertemanan, kekompakan, perhatian dan kerjasamanya selama mengikuti kuliah. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kebaikan dan kesempurnan skripsi ini. Semoga skripsi ini berguna bagi yang membutuhkan dan dapat dimanfaatkan dengan semestinya.
Bogor, Juli 2008
Rizki Aprilian Wijaya
11
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .........................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR
...................................................................................
xiv
................................................................................
xvi
I.
PENDAHULUAN ................................................................................ 1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................. 1.4 Kegunaan Penelitian .......................................................................
1 1 3 5 5
II.
TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 2.1 Sistem Perikanan dan Kelautan ..................................................... 2.2 Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Marjinal ....................... 2.2.1 Pengertian dan Penggolongan Nelayan ................................... 2.2.2 Faktor Penyebab Kemiskinan Masyarakat Pesisir ................... 2.2.3 Konsep Pemberdayaan ........................................................... 2.3 Keberlanjutan Perikanan ................................................................. 2.4 Rejim Pengelolaan Perikanan ........................................................... 2.5 Marginal Fisheries Community Development Pilot (MFCDP) ........ 2.6 Indikator Keberlanjutan Perikanan ..................................................
6 6 8 8 10 10 11 13 14 16
III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI ...............................................
17
IV. METODOLOGI ................................................................................... 4.1 Metode Penelitian .......................................................................... 4.2 Jenis dan Sumber Data .................................................................... 4.3 Metode Penentuan Responden ........................................................ 4.4 Analisis Data ................................................................................... 4.4.1 Analisis Kepentingan ............................................................... 4.4.2 Analisis Indikator ..................................................................... 4.4.3 Analisis Tingkat Keberlanjutan................................................ 4.4.4 Analisis Uji-t ............................................................................ 4.5 Batasan dan Pengukuran ................................................................. 4.6 Waktu dan Tempat Penelitian ...........................................................
19 19 19 20 21 21 22 23 24 25 27
V.
28 28 29 30 32 32 33
DAFTAR LAMPIRAN
KEADAAN UMUM WILAYAH ........................................................ 5.1 Kondisi Geografi dan Administrasi .................................................. 5.2 Kependudukan ................................................................................ 5.3 Kondisi Sarana dan Prasarana ........................................................ 5.4 Status Sumberdaya Perikanan Laut .................................................. 5.4.1 Perikanan Tangkap .................................................................. 5.4.2 Perikanan Budidaya ................................................................
12
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 6.1 Proses dan Mekanisme Implementasi Program ................................ 6.2 Pengaruh Program MFCDP terhadap Kondisi Usaha Perikanan Masyarakat Penerima Manfaat.......................................................... 6.2.1 Permasalahan Implementasi Program ...................................... 6.2.2 Analisis Kepentingan ............................................................... 6.2.3 Pernyataan Masyarakat Penerima Manfaat.............................. 6.3 Analisis Keberlanjutan Program ..................................................... 6.3.1 Keberlanjutan MPM Perikanan Tangkap................................. 6.3.2 Keberlanjutan MPM Perikanan Budidaya .............................
34 34 43 43 44 47 69 69 73
VII. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 7.1 Kesimpulan ...................................................................................... 7.2 Saran ...............................................................................................
76 76 77
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 78 LAMPIRAN................................................................................................. 80
13
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Kondisi Umum Desa Penelitian ....................................................................
29
2 Jumlah Penduduk Desa .................................................................................
29
3 Tingkat Kesejahteraan Masyarakat ..............................................................
30
4 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Pekerjaan .................................................
30
5 Kondisi Prasarana Jalan di Desa Penelitian .................................................
31
6 Jumlah Sarana Perikanan di Desa Penelitian ................................................
31
7 Alokasi Dana Teknologi Tepat Guna (TTG) berdasarkan desa....................
40
8 Usulan Kegiatan Terpilih Infrastruktur Sosial Ekonomi ..............................
41
9 Jumlah Stakeholder terhadap Indikator Kritis ..............................................
46
10 Jumlah MPM terhadap Indikator Kritis ........................................................
47
11 Hasil Uji-t Pendapatan yang Diterima Nelayan ...........................................
72
12 Hasil Uji-t Volume Hasil Tangkapan Nelayan .............................................
72
13 Hasil Uji-t Pendapatan yang Diterima Pembudidaya....................................
75
xiii
14
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Perikanan Sebagai Sebuah Sistem ............................................................. 2 Segitiga Sistem Perikanan
7
.........................................................................
12
3 Kerangka Pendekatan Studi .........................................................................
18
4 Diagram Kerangka Pengambilan Sampel ....................................................
20
5 Diagram Persentase Pernyataan Responden berdasarkan Kondisi Hasil Tangkap Nelayan dalam 5 Tahun terakhir .................................................
49
6 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Kondisi Jumlah Jenis Ikan ....................................................................................................
50
7 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Kondisi Ukuran Ikan .................................................................................................
50
8 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Kondisi Perairan Desa dan Penyebab Pencemaran Perairan .....................................
51
9 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Hak Menangkap Ikan di Perairan Desa ........................................................................................... 52 10 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Frekuensi Konflik dan Penyebab Konflik ........................................................................................ 53 11 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Penyelesaian Konflik .......................................................................................................
54
12 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Pihak-Pihak yang Terlibat Konflik ...........................................................................................
54
13 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Hubungannya dengan Tengkulak atau Pemilik Modal ................................................................... 55 14 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Pendapatan Keluarga dalam Lima Tahun Terakhir ......................................................................
56
15 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Kontribusi Hasil Tangkapan Ikan untuk Total Pendapatan Keluarga ..................................
56
16 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Harga Ikan Hasil Tangkapan Dalam Lima Tahun Terakhir ....................................................
57
17 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Harga Ikan yang Pantas .................................................................................................
58
18 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Kondisi Sumberdaya Semakin Turun dan Cenderung Habis .......................................................
59
19 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Pengembalian Dana Bergulir ..............................................................................................
59
xiv
15
20 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap alasan Pengembalian Dana Bergulir Tidak Lancar ......................................................................
60
21 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Organisasi atau Kelompok Nelayan .....................................................................................
61
22 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Keikutsertaan Anggota .......................................................................................................
61
23 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Pembinaan tentang Perikanan Tangkap .....................................................................................
62
24 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Partisipasi Kegiatan ......................................................................................................
63
25 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Peningkatan Pengetahuan .................................................................................................
64
26 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Pendidikan Terakhir .......................................................................................................
65
27 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Kondisi Hasil Panen dalam Lima tahun terakhir .........................................................................
66
28 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Harga Komoditas Hasil Panen dalam Lima Tahun Terakhir ....................................................
66
29 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Pendapatan Keluarga .......................................................................................................
67
30 Tingkat Keberlanjutan Usaha Perikanan Tangkap .....................................
71
31 Tingkat Keberlanjutan Usaha Perikanan Budidaya .....................................
74
xv
16
DAFTAR LAMPIRAN 1 Peta Potensi Perikanan Kabupaten Tapanuli Tengah ..................................
81
2 Data Pendapatan MPM Perikanan Tangkap Sebelum dan Sesudah Implementasi Program MFCDP ...................................................................
82
3 Data Volume Hasil Tangkapan MPM Perikanan Tangkap Sebelum dan Sesudah Implementasi Program MFCDP ...........................................
83
4 Hasil Perhitungan Uji-t untuk Usaha Perikanan Tangkap .........................
84
5 Data Pendapatan MPM Perikanan Budidaya Sebelum dan Sesudah Implementasi Program MFCDP ................................................................
85
6 Hasil Perhitungan Uji-t untuk Usaha Perikanan Budidaya .........................
86
7 Perubahan Ukuran dan Harga Rata-rata Ikan “Aso-aso” ............................
87
8 Perubahan Ukuran dan Harga Rata-rata Ikan “Gambolo” .........................
88
10 Contoh Peraturan Kelompok Desa Pahieme ..............................................
89
11 Organisasi Pengelola Program MFCDP di Tingkat Kabupaten, Tingkat Kawasan dan Tingkat Desa ..........................................................
91
12 Organisasi Pengelola Program MFCDP ....................................................
93
13 Dokumentasi Penelitian ...............................................................................
94
xvi
17
I. PENDAHULUAN 1.5 Latar Belakang Sejarah dapat membuktikan bahwa bangsa-bangsa yang berhasil menggapai kemajuan dan kemakmuran adalah mereka yang mampu mengatasi segenap permasalahan tepat pada jantungnya dan secara simultan dapat mendayagunakan segenap potensi pembangunan yang dimilikinya dengan mempertimbangkan dinamika lingkungan strategis seperti pengembangan iptek dan teknologi. Trend pembangunan Indonesia dewasa ini selalu berorientasi kepada pengembangan potensi sumberdaya pesisir dan lautan. Pengembangan sumberdaya pesisir dan lautan tersebut dapat diharapkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru baik di tingkat lokal maupun nasional. Ekonomi kelautan (marine economy) adalah seluruh kegiatan ekonomi yang memanfaatkan SDA dan jasa-jasa lingkungan wilayah pesisir dan lautan untuk menghasilkan barang dan jasa yang berguna bagi manusia (Dahuri 2001). Laut Indonesia merupakan wilayah yang didominasi oleh lautan dengan luas 5,8 juta km2, menghubungkan lebih dari 17.500 pulau dengan total panjang garis pantai 81 ribu km. Dengan konsep sentralistik dan penyeragaman kebijakan, maka program-program pembangunan dan pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia bersifat umum. Hal ini mengakibatkan pengelolaan sumberdaya perikanan yang pada dasarnya merupakan upaya untuk mengantisipasi masalahmasalah yang ditimbulkan oleh penerapan kebijakan open access terhadap permasalahan sosial ekonomi dan ekologi di wilayah pesisir dan laut gagal mencapai tujuannya. Perhatian lebih serius pemerintah terhadap pengelolaan sektor perikanan dan kelautan dimulai sejak dibentuknya Departemen Kelautan Perikanan (DKP). Sejalan dengan hal tersebut, prinsip-prinsip desentralisasi telah diimplementasikan dengan adanya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Prinsip utama yang terkandung oleh undang-undang ini adalah bahwa kepada daerah diberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab yang
18
diwujudkan dengan pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional (Panigoro 2007). Salah satu hal yang penting yang sering diabaikan dalam upaya pembangunan perikanan saat ini adalah minimnya peranan dan keterlibatan masyarakat pesisir terhadap suatu program. Padahal sejatinya pembangunan dan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan hanya dapat tercapai jika masyarakat pesisir dan nelayan memiliki informasi, pemahaman, dan visi yang sama dalam mengelola kawasan pesisir. Pembinaan dan pengembangan masyarakat pesisir akan berhasil hanya jika stakeholder utamanya ikut dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan/kebijakan. Secara parsial pembangunan sektor kelautan dan perikanan belum berhasil dalam memeratakan peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup serta kesempatan berusaha diantara pelaku ekonomi perikanan khususnya nelayan (Dahuri 2001). Hal ini berarti kondisi sosial ekonomi masyarakat nelayan sebagai salah satu pelaku ekonomi perikanan belum banyak mengalami perubahan. Berdasarkan kondisi masyarakat nelayan yang termarjinalkan tersebut, maka pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat merupakan paradigma yang penting dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan saat ini. Masyarakat dengan potensi sosial (social capital)-nya serta pemerintah dengan kebijakannya, secara bersamasama akan memberikan corak warna terhadap sumberdaya dan pengelolaannya. Hal inilah yang akan menjadi fokus terpenting di dalam penentuan konsep pemberdayaan. Berdasarkan pada beberapa isu diatas, maka pada tahun 2004 Bappenas memfasilitasi program Marginal Fisheries Community Development Pilot (MFCDP) sebagai program percontohan yang diperuntukkan bagi masyarakat pesisir dan nelayan yang termarjinalkan. Salah satu lokasi project pilot yang telah dilaksanakan adalah Kabupaten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara. Program yang didanai oleh Japan Social Development Fund melalui World Bank, mencoba untuk mengakomodasi dua aspek yang ingin dicapai dalam pembangunan pesisir dan perikanan yaitu pembangunan daerah berdasarkan potensi lokal dan pembangunan perikanan berkelanjutan.
19
Program ini diharapkan membuka akses masyarakat pesisir dan nelayan kecil pada pemanfaatan sumberdaya pesisir dan perikanan dengan menitikberatkan pada keterlibatan mereka dalam pembangunan pesisir dan perikanan. Salah satu tujuan dari program ini adalah meningkatkan kemampuan nelayan kecil dalam melakukan usaha. Selain itu diharapkan masyarakat pesisir dan nelayan kecil dapat merencanakan, memanfaatkan dan mengelola sumberdaya perikanan secara tepat dan berkelanjutan, sehingga akhirnya diperoleh jaminan bagi mereka untuk meningkatkan taraf hidupnya. Atas dasar itulah penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana kinerja dan keberlanjutan implementasi program MFCDP di Kabupaten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara terhadap Masyarakat Penerima Manfaat (MPM). Selain itu, penelitian ini juga dilakukan untuk melihat bagaimanakah hasil yang telah dicapai sehingga Masyarakat Penerima Manfaat (MPM) dapat merasakan manfaat langsung maupun tak langsung terhadap program MFCDP.
1.6 Rumusan Masalah Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan secara optimal dan berkelanjutan akan menjadi target dan sasaran pembangunan di masa depan bagi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah. Untuk mencapai harapan yang demikian perlu disiapkan suatu model perencanaan yang matang terhadap pengelolaan wilayah pesisir dan lautan, termasuk ke arah mana visi yang akan dicapai Pemerintah Daerah dalam pembangunan wilayah pesisir dan laut itu sendiri. Kawasan pesisir dan laut Kabupaten Tapanuli Tengah merupakan salah satu kawasan Pantai Barat Sumatra Utara yang sangat potensial untuk dikembangkan dengan cara memanfaatkan wilayah pesisir dan lautan tersebut melalui berbagai kegiatan pembangunan. Akan tetapi, kawasan pesisir dan lautan Kabupaten Tapanuli Tengah juga merupakan kawasan yang sumberdaya di dalamnya rentan dan berpotensi mengalami degradasi akibat berbagai kegiatan pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang tidak ramah lingkungan seperti jaring pukat harimau. Wilayah program MFCDP di Kabupaten Tapanuli Tengah terdiri atas tiga kecamatan yaitu Kecamatan Kolang (Desa Hurlang Muara Nauli), Kecamatan
20
Sorkam (Desa Bottot Teluk Roban) dan Kecamatan Sorkam Barat (Desa Lingkungan III Pasar Sorkam, Pahieme dan Maduma). Program MFCDP tersebut diberikan pada masyarakat yang hidupnya sangat tergantung kepada sumberdaya perikanan namun memiliki kendala terhadap modal, yang berpotensial untuk dikembangkan. Konsep program ini dirancang dengan pola pemberdayaan nelayan kecil berbasis pengelolaan sumberdaya lokal dengan mengacu kepada aspirasi nelayan yang tertuang dalam Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) Kabupaten Tapanuli Tengah. Program MFCDP pada Kabupaten Tapanuli Tengah dilaksanakan sejak bulan November tahun 2004. Selama rentang waktu tahun 2004 hingga 2007, terdapat berbagai faktor dan kendala yang mempengaruhi Program MFCDP terkait dengan komunitas perikanan yang ada. Berdasarkan uraian diatas, maka masalah-masalah yang akan di teliti dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimanakah proses dan implementasi Program MFCDP di Kabupaten Tapanuli Tengah? 2. Bagaimanakah pengaruh Program MFCDP terhadap kondisi usaha perikanan MPM di Kabupaten Tapanuli Tengah? 3. Bagaimanakah tingkat keberlanjutan Program MFCDP terhadap kondisi usaha perikanan MPM di Kabupaten Tapanuli Tengah?
1.7 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan di atas, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: 1. Mengetahui proses dan mekanisme implementasi Program MFCDP di Kabupaten Tapanuli Tengah. 2. Mengetahui pengaruh Program MFCDP terhadap kondisi usaha perikanan MPM di Kabupaten Tapanuli Tengah. 3. Mengetahui tingkat keberlanjutan Program MFCDP terhadap kondisi usaha perikanan MPM di Kabupaten Tapanuli Tengah secara sederhana.
21
1.8 Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan akan berguna untuk : 1. Bagi penulis, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 2. Sebagai salah satu media bagi peneliti untuk meningkatkan kemampuan berpikir, nalar dan keterampilan dalam menggali dan menganalisis permasalahan yang di jumpai sesuai dengan disiplin ilmu yang diperoleh. 3. Sebagai bahan referensi dan masukan bagi instansi yang terkait di bidang perikanan dan masyarakat setempat dalam mengelola sumberdaya kelautan dan perikanan.
22
II. TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Sistem Perikanan dan Kelautan Perikanan merupakan sistem yang kompleks yang memiliki sejumlah unsur yang terkait satu dengan yang lain secara dinamis maupun statis. Menurut Adrianto (2004) bahwa selama ini telah terjadi salah persepsi di kalangan publik bahkan di kalangan akademisi mengenai perikanan dan kelautan yang dipandang sebagai komoditas semata, hal ini tidak terlepas dari adanya suatu pandangan klasik tentang struktur produksi ekonomi yang menempatkan perikanan, pertanian, kehutanan dan peternakan sebagai primary sector yang berkonotasi pada produksi komoditas belaka. Padahal perikanan dan kelautan tidak hanya sekedar kegiatan ekonomi tetapi memiliki keterkaitan secara langsung dengan faktor yang ada didalamnya. Faktor tersebut yaitu ekologi, ekonomi, sosial dan institusi. Keempat faktor tersebut merupakan faktor yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Charles (2001) dalam Adrianto (2004) menyatakan bahwa sistem perikanan merupakan sebuah kesatuan yang terdiri dari tiga komponen utama (Gambar 1) yaitu (1) sistem alam (natural system) yang mencakup ekosistem, ikan dan lingkungan biofisik; (2) sistem manusia (human system) yang terdiri dari unsur nelayan atau petani ikan, pelaku pasar dan konsumen, rumah tangga perikanan dan komunitas pesisir serta lingkungan sosial, ekonomi dan budaya yang terkait dengan sistem ini; (3) sistem pengelolaan perikanan (fishery management system) yang mencakup unsur-unsur kebijakan dan perencanaan perikanan, pembangunan perikanan, rezim pengelolaan perikanan dan riset perikanan. Untuk itu, di dalam pengelolaan sumberdaya perikanan harus memperhatikan ketiga komponen tersebut. Sistem manusia merupakan salah satu variabel penting dalam perencanaan pengelolaan perikanan. Charles (2001) menyatakan bahwa sistem manusia yang dimaksud terdiri dari unsur nelayan atau petani ikan, pelaku pasar dan konsumen, rumah tangga perikanan dan komunitas pesisir. Nikijuluw (2002) menyatakan bahwa sistem manusia merupakan variabel penting yang menentukan status pemanfaatan dan potensi sumberdaya perikanan. Namun, sistem manusia
23
seringkali tidak diperhitungkan secara serius atau diremehkan dalam hal pengelolaan sumberdaya perikanan, hal tersebut dikarenakan seringkali diposisikan sebagai subyek pengelolaan, padahal manusia pun dapat dijadikan sebagai objek pengelolaan. Pengelolaan sumberdaya ikan pada hakekatnya adalah pengelolaan terhadap manusia yang memanfaatkan sumberdaya ikan tersebut. Berkes et al. (2001) dalam Adrianto (2004) menyatakan bahwa pengelolaan perikanan memerlukan pendekatan holistik (menyeluruh) dibanding parsial (sebagian). Selain itu, trend pengelolaan perikanan pun sudah bergeser dari pendekatan top-down dan terpusat menjadi pendekatan yang partisipatif dan bersifat lokal. Dalam konteks inilah paradigma pengelolaan perikanan baru tidak hanya menitikberatkan perhatian pada aspek konservasi sumberdaya perikanan semata. Namun, mulai memperhatikan aspek lain yang juga terkait erat dengan pengelolaan perikanan yaitu aspek sosial dan ekonomi. Ketiga aspek tersebut merupakan satu kesatuan tak terpisahkan yang membentuk sistem perikanan.
Sistem Manajemen
Ekosistem Alam
Kebijakan
Manajemen
Populasi Ikan Lingkungan Perairan
Pembangunan
Riset
Sistem Manusia
Penangkapan/budidaya
Komunitas
Pelaku Perikanan
Gambar 1. Perikanan Sebagai Sebuah Sistem (diadopsi dari Adrianto (2004))
24
1.2 Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Perikanan Marjinal Bappenas (2004) bila dilihat dari kenyataannya, terdapat berbagai penyebab masyarakat perikanan menjadi salah satu masyarakat yang terbelakang, diantaranya dari segi ekonomi, masalah yang menjadi penyebab ketertinggalan antara lain adalah rendahnya pendapatan, terbatasnya kepemilikan modal yang dimiliki oleh masyarakat untuk pemanfaatan dan pengembangan sumberdaya perikanan; dari segi teknologi yaitu masih terbatasnya penggunaan dan penguasaan teknologi untuk pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang mengoptimalkan kualitas; dari segi sarana dan prasarana yaitu rendahnya akses abilitas dan sarana transportasi wilayah menyebabkan masyarakat menjadi terisolisasi; dan dari segi sumberdaya manusia yaitu tingkat pendidikan yang rendah.
1.2.1 Pengertian dan Penggolongan Nelayan Nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budidaya. Mereka pada umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya (Imron 2003). Satria (2002) mengklasifikasikan nelayan ke dalam empat golongan antara lain : 1. Peasant fisher atau nelayan tradisional yang biasanya lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri (subsisten). Sebutan ini muncul karena alokasi hasil tangkapan yang dijual lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan keluarga daripada investasi untuk pengembangan skala usaha. 2. Post peasant fisher yang dicirikan dengan penggunaan alat tangkap yang berteknologi. Penguasaan sarana bermotor ini semakin membuka peluang bagi nelayan untuk menangkap ikan di wilayah perairan yang lebih luas dan memperoleh surplus dari hasil tangkapan itu, karena mempunyai daya tangkap yang lebih besar. Sementara itu tenaga kerja atau ABK-nya sudah meluas dan tidak tergantung pada anggota keluarga saja. 3. Commercial fisher yaitu nelayan yang telah berorientasi pada peningkatan keuntungan. Skala usahanya sudah besar yang dicirikan dengan banyaknya
25
jumlah tenaga kerja dengan status yang berbeda dengan dari buruh hingga manajer. 4. Industrial fisher adalah industri yang (1) diorganisasi dengan cara-cara yang mirip dengan perusahaan agro industri di negara-negara maju (2) secara relatif lebih padat modal (3) memberikan pendapatan yang lebih tinggi daripada perikanan sederhana, baik bagi pemilik maupun awak perahu (4) menghasilkan untuk ikan kaleng dan ikan beku yang berorientasi pada ekspor.
1.2.2 Faktor Penyebab Kemiskinan Masyarakat Pesisir Hanson (1984) dalam Amanah (2005) menyatakan bahwa ada keterkaitan antara aspek ekologis, ekonomi dan sosial (komunitas) yang menyebabkan masyarakat pesisir tertinggal. Fenomena masyarakat pesisir ini telah menjadi ironi, yakni hidup miskin di tengah kekayaan potensi sumberdaya perikanan yang ada di sekitarnya . Masyarakat pesisir memiliki kehidupan yang khas, dihadapkan langsung pada kondisi ekosistem yang keras dan sumber kehidupan yang bergantung pada pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut. Masyarakat pesisir terutama nelayan kecil, masih terbelit oleh persoalan kemiskinan dan keterbelakangan. Kusnadi (2000), faktor-faktor yang menyebabkan semakin terpuruknya kesejahteraan nelayan diantaranya : a. Faktor alam yang berkaitan dengan fluktuasi musim ikan. Jika musim ikan tiba maka pendapatan nelayan jauh lebih terjamin sedangkan pada musim paceklik pendapatan mereka sangat rendah bahkan bisa saja tidak ada pendapatan sama sekali. b. Faktor non-alam, yaitu faktor yang berkaitan dengan ketimpangan dalam pranata bagi hasil, ketiadaan jaminan sosial awak perahu dan jaringan pemasaran ikan yang rawan terhadap fluktuasi harga, keterbatasan teknologi pengolahan hasil ikan, dampak negatif modernisasi serta terbatasnya peluang-peluang kerja yang bisa diakses oleh rumah tangga nelayan.
26
Satria (2002) menyatakan bahwa berdasarkan ukurannya, kemiskinan dibagi menjadi dua yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut merupakan kemiskinan yang dilihat dari ukuran garis kemiskinan. Misalnya BPS (Badan Pusat Statistik) menetapkan garis kemiskinan dengan ukuran kalori sehingga masyarakat dikatakan miskin jika makanannya kurang dari 2100 kalori. Sementara itu, kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang diukur dengan membandingkan satu kelompok pendapatan dengan kelompok pendapatan lainnya. Selain berdasarkan ukuran, kemiskinan dapat juga dibagi berdasarkan faktor-faktor penyebabnya. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang terjadi akibat faktor internal dari masyarakat misalnya, budaya malas, keterbatasan modal dan teknologi. Sedangkan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang terjadi karena faktor eksternal, seperti kondisi politik dan kegiatan pembangunan. Kusnadi (2002) dalam Mugni (2006) menyatakan ciri umum yang dapat dilihat dari kondisi kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi dalam kehidupan masyarakat nelayan adalah fakta-fakta yang bersifat fisik berupa kualitas pemukiman. Kampung-kampung nelayan miskin akan mudah diidentifikasi dari kondisi rumah hunian mereka. Rumah yang sangat sederhana dan keterbatasan perabot rumah tangga. Selain gambaran fisik, kehidupan nelayan miskin dapat dilihat dari tingkat pendidikan anak-anak mereka yang rendah, pola konsumsi sehari-hari dan rendahnya tingkat pendapatan. 1.2.3 Konsep Pemberdayaan Pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi, sosial, dan transformasi budaya. Proses ini, pada akhirnya akan dapat menciptakan pembangunan yang berpusat pada rakyat. Salah satu agen internasional, World Bank misalnya, percaya bahwa partisipasi masyarakat di dunia ketiga merupakan sarana yang efektif untuk menjangkau masyarakat termiskin melalui upaya pembangkitan semangat hidup untuk dapat menolong diri sendiri (Paul 1987) Putra (2005) menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki. Adapun pemberdayaan masyarakat senantiasa menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat sebagai pihak yang
27
diberdayakan dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan. Dalam kerangka pengembangan mata pencaharian masyarakat pesisir, Emerton (2001) dalam Adrianto (2007a) menyajikan sebuah alternatif berbasis insentif. Sebuah upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pendekatan keberlanjutan memerlukan pola insentif sehingga upaya tersebut tidak diametris dengan upaya pelestarian sumberdaya pesisir dan lautan. Ada 5 langkah utama yang dikemukakan oleh Emerton (2001) dalam Adrianto (2007a): Step 1 : Mengumpulkan informasi tentang mata pencaharian masyarakat dan kondisi sumberdaya alam. Step 2 : Menganalisis pengaruh masyarakat pesisir terhadap kondisi sumberdaya pesisir dan laut. Step 3 : Mengidentifikasi kebutuhan masyarakat pesisir. Step 4 : Memilih sistem insentif bagi konservasi sumberdaya pesisir dan laut berbasis masyarakat. Step 5 : Implementasi sistem insentif dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat.
1.3 Keberlanjutan Perikanan Adrianto (2004) menyatakan bahwa dalam sejarahnya, wacana keberlanjutan perikanan diawali dengan munculnya paradigma konservasi yang dipelopori sejak lama oleh para ilmuwan biologi. Dalam paradigma ini, keberlanjutan perikanan diartikan sebagai konservasi jangka panjang sehingga sebuah perikanan akan disebut ”berkelanjutan” apabila mampu melindungi sumberdaya perikanan dari kepunahan. Keberlanjutan perikanan disini berawal dari konsep keberlanjutan hasil tangkap (sustainability yields). Kemudian sekitar tahun 1950, muncul paradigma rasionalitas yang memfokuskan pada keberlanjutan perikanan yang rasional secara ekonomi dengan konsep pada pencapaian keuntungan maksimal dari sumberdaya perikanan bagi pemilik sumberdaya. Kemudian muncul sebuah wacana baru menurut Charles (2001) tentang perlunya paradigma sosial dan komunitas. Dalam paradigma ini,
28
keberlanjutan perikanan diperoleh melalui pendekatan ”kemasyarakatan” yaitu suatu keberlanjutan yang diupayakan dengan memberi perhatian utama pada aspek keberlanjutan masyarakat perikanan sebagai sebuah sistem komunitas. Adrianto (2004) menyatakan bahwa perikanan yang berkelanjutan bukan semata-mata ditujukan untuk kepentingan kelestarian ikan itu sendiri atau keuntungan ekonomi melainkan lebih dari itu yaitu untuk keberlanjutan komunitas perikanan yang ditunjang oleh keberlanjutan institusi yang mencakup kualitas keberlanjutan dari perangkat regulasi, kebijakan dan organisasi untuk mendukung tercapainya keberlanjutan ekologi, ekonomi dan komunitas perikanan.
Ecological sustainibility
Institutional Sustainibility Economic sustainibility
Community sustainibility
Gambar 2. Segitiga Keberlanjutan Sistem Perikanan (Charles 2001) Di dalam sistem perikanan terdapat beberapa komponen dari keberlanjutan secara ekologi, ekonomi, komunitas dan institusi. Komponen dari keberlanjutan secara ekologi yaitu perhatian jangka panjang terhadap keberlanjutan hasil tangkapan sehingga tidak menimbulkan deplesi terhadap stok alamiah, perhatian luas terhadap keterkaitan antar spesies target dan spesies lainnya, menjamin keberlanjutan proses ekologis (ecosystem health). Komponen dari keberlanjutan secara ekonomi yaitu memelihara keberlanjutan kesejahteraan ekonomi, keberlanjutan manfaat ekonomi dari sumberdaya perikanan dan keadilan distibusi manfaat antar pelaku perikanan. (Adrianto 2007b). Komponen dari keberlanjutan secara komunitas yaitu memfokuskan pada tataran mikro sistem perikanan, memfokuskan pada tujuan keberlanjutan nilainilai sistem manusia berbasis hak komunitas, tidak bersifat individual dan
29
memfokuskan pada terjaminnya kesejahteraan sosial ekonomi dalam level komunitas dan tingkat kohesivitas. Sedangkan komponen keberlanjutan secara institusi yaitu memelihara kemampuan institusi baik dalam kerangka finansial, administratif dan kapasitas organisasi, mengelola dan menegakkan aturan yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya (Adrianto 2007b).
1.4 Rejim Pengelolaan Perikanan Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut merupakan sesuatu yang sangat penting, karena sumberdaya pesisir dan laut sangat rentan dan sensitif terhadap banyak perubahan. Nikijuluw (2002) menyatakan bahwa khusus untuk sumberdaya ikan, kerentanan dan sensitifitasnya semakin tinggi karena merupakan sumberdaya hayati yang banyak dipengaruhi perubahan eksternal dan internal yaitu perubahan yang terjadi di dalam maupun di luar ekosistem. Selain perubahan alamiah, faktor manusia merupakan variabel penting yang menentukan status pemanfaatan dan potensi sumberdaya perikanan. Dahuri (2001) menyatakan bahwa permasalahan dalam mengelola sumberdaya pesisir dan laut ditimbulkan oleh rezim yang bersifat : (1) open access (siapa saja, kapan saja, dimana saja dan berapa saja boleh mengeksploitasi sumberdaya alam kelautan) ; (2) sentralistik ; dan (3) seragamisasi, kurang / tidak memperhatikan keragaman biofisik alam dan sosio kultural masyarakat lokal/daerah. Upaya pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut memerlukan pendekatan yang bersifat menyeluruh dan hati-hati, agar dapat mengantisipasi permasalahan di dalam mengelola sumberdaya pesisir dan laut. Untuk itu, diperlukan suatu kebijakan pembangunan perikanan yang tepat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Nikijuluw (2002) menyatakan bahwa Co-managemet adalah pembagian atau pendistribusian tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya perikanan. Tujuan utama Co-management adalah pengelolaan perikanan yang lebih tepat, lebih efisien, serta lebih adil dan merata. Sementara tujuan sekundernya adalah (1) mewujudkan pembangunan berbasis masyarakat; (2) mewujudkan proses pengambilan keputusan secara desentralisasi, sehingga dapat memberikan hasil yang lebih efektif; dan (3)
30
sebagai mekanisme untuk mencapai visi dan tujuan nelayan lokal serta mengurangi konflik antar nelayan melalui proses demokrasi partisipatif. Nielsen (1996) dalam Adrianto (2007b) mendefinisikan Co-management sebagai pola pengelolaan di mana pemerintah dan pelaku pemanfaatan sumberdaya (user group) berbagi tanggung jawab (sharing the responsibility) dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan dengan tujuan mewujudkan keseimbangan ekonomi dan sosial dalam kerangka kelestarian ekosistem dan sumberdaya perikanan.
1.5 Marginal Fisheries Community Development Pilot (MFCDP) Program MFCDP adalah suatu introduksi penerapan sistematis konsep pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan terpadu dan berkelanjutan. Hal ini sesuai dengan definisi pengelolaan perikanan menurut Undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan adalah : “Semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktifitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.” (Bappenas 2005). Program MFCDP memiliki kekhasan yang bersifat lengkap yaitu : 1. Substansi kegiatannya mencakup aspek ekonomi, lingkungan dan sosial. 2. Partisipasi masyarakat difasilitasi sebagai wujud proses co-management. 3. Pemerintah daerah diadvokasi sebagai otoritas pengelola sumberdaya perikanan yang menerapkan prinsip co-management. 4. Konsisten dengan filosofi otonomi daerah melalui pemberdayaan potensi lokal untuk berperan sebagai lembaga pendamping/fasilitator masyarakat. Adapun pendekatan yang dilakukan dalam MFCDP, antara lain : a. Memastikan berkembangnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan. b. Memastikan berkembangnya pengelolaan yang terpadu.
31
c. Memastikan ketersediaan sarana dan prasarana untuk kegiatan produktif masyarakat pesisir. d. Memastikan penerapan teknologi tepat guna, ramah lingkungan dan mendukung keberlanjutan sumberdaya perikanan. e. Memastikan berkembangnya akses efisien masyarakat pesisir terhadap informasi dan jaringan pasar. f. Memastikan tersedianya kebijakan baru tentang pengelolaan perikanan yang berpihak kepada masyarakat pesisir. g. Memastikan berkembangnya kemampuan usaha keluarga masyarakat pesisir khususnya nelayan kecil. Tujuan MFCDP terbagi kedalam dua kategori yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun tujuan umumnya adalah : 3 Meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dan nelayan kecil secara berkelanjutan. 4 Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan secara terpadu. Berdasarkan tujuan umum tersebut, secara detail dijabarkan lagi dalam tujuan khusus, yaitu : a. Mendukung pengembangan sarana dan prasarana sosial ekonomi nelayan kecil. b. Membantu pengembangan teknologi tepat guna yang ramah lingkungan dan keberlanjutan sumberdaya. c. Mengembangkan akses jaringan pasar bagi nelayan kecil. d. Mendukung terbentuknya ebijakan tentang pengelolaan perikanan yang berpihak kepada nelayan kecil. e. Melibatkan kemampuan nelayan kecil dalam melakukan usahanya. f. Melibatkan masyarakat pesisir dan nelayan kecil dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut secara partisipatif dengan tetap menjamin ketersediaan sumberdaya pesisir dan laut secara berkelanjutan. Sumber dana program MFCDP berasal dari hibah Japan Social Development Fund (JSDF) yang melalui Bank Dunia yang pengelolaannya merupakan kewenangan pemerintah Republik Indonesia. Menurut Bappenas
32
(2004), untuk menciptakan suatu penggunaan dana untuk masyarakat harus memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut : (1) Transparency; pengelolaan dan penggunaan dana BLM harus dilaksanakan secara terbuka (transparan) sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh masyarakat, (2) Accountability; pengelolaan dana BLM harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat setempat maupun kepada semua pihak yang berkompeten, dan (3) Sustainability; pengelolaan dan penggunaan dana BLM harus dapat memberikan manfaat kepada masyarakat secara berkelanjutan.
1.6 Indikator Keberlanjutan Perikanan Adrianto (2007a) mendefinisikan indikator sebagai sebuah alat atau jalan untuk mengukur, mengindikasikan, atau merujuk sesuatu hal dengan lebih atau kurang dari ukuran yang diinginkan. Indikator ditetapkan untuk beberapa tujuan penting yaitu mengukur kemajuan, menjelaskan keberlanjutan dari sebuah sistem, memberikan pembelajaran kepada stakeholders, mampu memotivasi (motivating), memfokuskan diri pada aksi dan mampu menunjukan keterkaitan antar indikator (showing linkages). Adrianto (2007b) menyatakan dalam konteks manajemen perikanan, sebuah indikator yang baik apabila memenuhi beberapa unsur seperti (1) menggambarkan daya dukung ekosistem; (2) relevan terhadap tujuan dari co-management; (3) mampu dimengerti oleh seluruh stakeholders; (4) dapat digunakan dalam kerangka monitoring dan evaluasi; (5) long term view; dan (6) menggambarkan keterkaitan dalam sistem co-management perikanan. Pomeroy dan Rivera-Guieb (2006) dalam Adrianto (2007) menyatakan indikator yang baik adalah indikator yang memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. Dapat diukur : mampu dicatat dan dianalisis secara kuantitatif atau kualitatif. 2. Tepat : didefinisikan sama oleh seluruh stakeholder. 3. Konsisten : tidak berubah dari waktu ke waktu. 4. Sensitif : Secara proporsional berubah sebagai respon dari perubahan aktual.
33
III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI
Pada Rencana Pembangunan Perikanan (RPP) Kabupaten Tapanuli Tengah, dapat terlihat bahwa terdapat empat potensi riil yang menjadi dasar perlunya Pemerintah Daerah setempat untuk memberikan perhatian yang lebih serius, diantaranya adalah : Pertama, garis pantai Kabupaten Tapanuli Tengah sepanjang ± 219 Km serta memiliki 20 pulau-pulau kecil sangat potensial untuk dimanfaatkan berbagai kegiatan diantaranya untuk perikanan, perhubungan, pariwisata, permukiman, dan industri. Kedua, potensi sumberdaya hayati perikanan laut menunjukkan bahwa potensi lestari (MSY) beberapa jenis ikan di perairan pantai barat, dimana Kabupaten Tapanuli Tengah berada, masih sangat besar seperti : ikan pelagis 115.000 ton per tahun, ikan demersal 78.000 ton per tahun, ikan karang 5.144 ton per tahun, udang 21.000 ton per tahun. Ketiga, jumlah penduduk Kabupaten Tapanuli Tengah sebanyak 275.832 jiwa dengan kepadatan penduduk 126 jiwa per km². Jumlah penduduk ini merupakan aset sumberdaya manusia yang dapat digunakan untuk menggerakkan pembangunan di wilayah pesisir dan lautan. Keempat, pantai Kabupaten Tapanuli Tengah juga memiliki berbagai ekosistem pantai dan laut seperti terumbu karang dan mangrove yang potensial bisa dikembangkan untuk peningkatan pendapatan asli daerah dan kesejahteraan masyarakat. Segala potensi yang tercantum dalam RPP tersebut, saat ini telah terjadi beberapa permasalahan baik secara ekologi maupun secara sosial ekonomi, diantaranya adalah penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan, rendahnya harga jual yang diterima oleh nelayan dan konflik yang sering terjadi antar nelayan. Sejalan dengan program pengentasan kemiskinan nelayan yang diprakarsai Badan Perencanaan Nasional (Bappenas), maka Bappenas dan World Bank mengadakan Program Pengembangan Masyarakat Perikanan Marjinal (MFCDP) Kabupaten Tapanuli Tengah dengan cara mendukung dan membina usaha masyarakat pesisir agar tingkat pendapatan dapat meningkat.
34
Dalam penelitian ini, peranan program MFCDP dalam pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Tapanuli Tengah, dikaji berdasarkan pernyataan Masyarakat Penerima Manfaat (MPM) baik nelayan maupun pembudidaya terhadap kinerja program MFCDP dalam mengelola sumberdaya pesisir. Adrianto (2007a) menggunakan empat indikator dalam melakukan evaluasi keberlanjutan suatu sistem pengelolaan perikanan. Empat indikator tersebut adalah ekologi, ekonomi, sosial dan kebijakan. Secara konseptual, gambaran kerangka pendekatan studi dapat dilihat pada Gambar 3:
Sumberdaya Perikanan Tapanuli Tengah
Masalah Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Ekologis
Sosial Ekonomi
Program MFCDP
Masyarakat Penerima Manfaat (MPM)
Evaluasi
Sebelum Implementasi Program
Ekologi
Ekonomi
Setelah Implementasi Program
Sosial
Status Keberlanjutan
= Ruang Lingkup Penelitian Gambar 3. Kerangka Pendekatan Studi
Kebijakan
35
IV. METODOLOGI
4.1 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus dengan satuan kasus yaitu keberlanjutan Masyarakat Penerima Manfaat (MPM) terhadap Program Pengembangan Masyarakat Perikanan Marjinal (MFCDP) yang telah dilaksanakan. Nazir (2003) mengatakan bahwa studi kasus adalah penelitian tentang status subjek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas. Subjek penelitian ini adalah Masyarakat Penerima Manfaat (MPM) program MFCDP. Dalam penelitian ini, tujuan dari metode studi kasus adalah untuk memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter yang khas dari kasus atau individu/kelompok sosial yang kemudian akan dijadikan suatu hal yang bersifat umum dari implementasi program MFCDP. Sitorus (1998) menjelaskan bahwa studi kasus adalah studi aras mikro, menyorot satu atau beberapa kasus dengan menggunakan strategi penelitian yang bersifat multi metode atau memadukan beberapa metode seperti metode pengamatan, wawancara dan analisis dokumen.
4.2. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data kualitatif dan kuantitatif. Taylor dan Bogdan (1984) dalam Sitorus (1998) mengatakan bahwa data kualitatif adalah data deskriptif berupa kata-kata lisan atau tulisan dari manusia/tentang perilaku manusia yang dapat di amati. Data kualitatif diperoleh dari hasil pengamatan dan hasil pembicaraan dalam wawancara serta bahan tertulis yang dapat berupa keseluruhan bagian dari dokumen. Sedangkan data kuantitatif adalah data yang nilainya berbentuk numerik/angka. Data ini bersifat ringkas, sederhana dan mudah disajikan. Berdasarkan sumbernya, data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang bersifat kualitatif dan kuantitatif dan data sekunder yang bersifat kuantitatif. Data primer diperoleh melalui hasil wawancara dengan pihak-pihak terkait, yaitu badan pengelola program MFCDP, Masyarakat Penerima Manfaat (MPM), Koordinator Kawasan (KK), Tim Pelaksana Kegiatan (TPK) serta Dinas
36
Perikanan Kabupaten Tapanuli Tengah. Nazir (2003) mengatakan bahwa metode wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab dengan menggunakan alat yang dinamakan panduan wawancara. Selain itu data primer diperoleh melalui pengamatan langsung terhadap kegiatan pengelolaan program MFCDP yang berpedoman pada kuesioner yang ada. Data sekunder merupakan data penunjang yang diperoleh melalui informasi maupun laporan yang tertulis dari instansi yang terkait dengan penelitian seperti Dinas Perikanan Kabupaten Tapanuli Tengah, Bappenas, Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatera Utara.
4.3 Metode Penentuan Responden Populasi yang terlibat dalam penelitian ini yaitu populasi anggota Masyarakat Penerima Manfaat (MPM) yang berada pada tiga kecamatan yaitu Kecamatan Kolang (Desa Hurlang Muara Nauli), Kecamatan Sorkam (Desa Bottot Teluk Roban) dan Kecamatan Sorkam Barat (Desa Lingkungan III Pasar Sorkam, Pahieme dan Maduma). MPM tersebut terbagi menjadi dua kategori berdasarkan unit usaha yaitu kelompok perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Metode penentuan responden dalam penelitian ini terdapat dua tahap dalam pengambilan sampel yaitu tahap pertama menggunakan metode purposive sampling kemudian dilanjutkan dengan metode simple random sampling. Metode Purposive sampling yaitu penentuan responden yang dilakukan secara sengaja dengan menggunakan kriteria tertentu dalam penelitian ini sesuai dengan subyek evaluasi yaitu anggota MPM peserta program MFCDP. Pada tahap pertama karakteristik responden yaitu masyarakat pesisir yang menerima program MFCDP menurut jenis usaha di bidang perikanan. Pada tahap kedua yang menjadi target dalam pengambilan sampel yaitu masyarakat yang menerima manfaat dari program MFCDP dengan kriteria yang telah ditentukan pada tahap pertama. Masing-masing responden diambil secara acak yaitu sekitar 10-15% dari jumlah Masyarakat Penerima Manfaat (MPM) yang tersebar di lima desa. Syarat metode simple random sampling diantaranya harus tersedia sampling frame walaupun
37
keterangan homogenitasnya unit elementer, pembagian dalam kelompok tidak perlu diketahui terlebih dahulu (Nazir 2003).
Masyarakat Pesisir Kabupaten Tapanuli Tengah
Stage 1
MFCDP
MPM 1 (Nelayan)
Purposive Sampling
P1 = 216 orang
Stage 2
MPM 2 (Pembudidaya)
P2 = 11 orang
Simple Random Sampling
S1 = 33 responden
S1 = 11 responden
Keterangan : P1 : Jumlah MPM nelayan
S1 : Jumlah sampel nelayan
P2 : Jumlah MPM pembudidaya
S2 : Jumlah sampel pembudidaya
Gambar 4. Diagram Kerangka Pengambilan Sampel 4.4 Analisis Data Nazir (2003) mengatakan bahwa analisis data adalah mengelompokan, membuat suatu urutan, memanipulasi serta menyingkatkan data. Fungsi analisis data adalah untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih mudah untuk dibaca dan di interpretasikan. Analisa data yang dilakukan peneliti meliputi analisis kepentingan, analisis indikator, analisis tingkat keberlanjutan dan analisis uji-t.
4.4.1 Analisis Kepentingan Analisis tingkat kepentingan dilakukan untuk melihat tingkat kepentingan/prioritas masyarakat terhadap indikator kritis dalam pengelolaan sumberdaya perikanan Kabupaten Tapanuli Tengah. Diharapkan setelah dilakukan analisis kepentingan didapatkan gambaran kepentingan/prioritas responden dan
38
identifikasi preferensi responden terhadap indikator kritis. Analisis kepentingan dikaji berdasarkan hasil Focus Group Discussion (FGD) tingkat stakeholder dan tingkat Masyarakat Penerima Manfaat (MPM). FGD tingkat stakeholder dilaksanakan di Hotel Pandan Carita pada hari Senin tanggal 24 September 2007 pukul 10.00 – 12.00 WIB. Stakeholder yang hadir berjumlah 20 orang diantaranya adalah Camat Kecamatan Sorkam, Kepala Desa Maduma, Dinas Perikanan Kabupaten Tapanuli Tengah, Koordinator Kawasan (KK), Unit Pelaksana Kegiatan (UPK) dan Tim Pelaksana Kegiatan (TPK). FGD tingkat Masyarakat Penerima Manfaat (MPM) dilakukan pada hari yang sama pada pukul 22.00 – 24.00 WIB. FGD tingkat MPM dilaksanakan pada Sekolah Dasar yang berada di Desa Bottot Teluk Roban. MPM yang hadir berasal dari perwakilan seluruh MPM tiap-tiap desa yang berjumlah 20 orang. Peralatan yang dibutuhkan pada saat FGD adalah kertas manila, spidol beraneka warna, kertas karton, lem, kertas tempel, alat perekam mp3, pengeras suara dan foto. Selain itu FGD yang dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk melihat permasalahan yang terjadi di lapangan terkait dengan program MFCDP. Penilaian tingkat kepentingan stakeholder terhadap setiap indikator kritis dilihat berdasarkan nilai kepentingan yang diberikan oleh responden (Saaty 2002), dimana: 2 Nilai kepentingan = 1, menunjukkan bahwa responden menyatakan kurang penting terhadap tingkat kepentingan indikator kritis. 3 Nilai kepentingan = 3, menunjukkan bahwa responden menyatakan penting terhadap tingkat kepentingan indikator kritis. 4 Nilai kepentingan = 5, menunjukkan bahwa responden menyatakan sangat penting terhadap tingkat kepentingan indikator kritis.
4.4.2 Analisis Indikator Tujuan dari analisis ini yaitu untuk mengetahui masalah kritis yang menjadi faktor penghambat bagi kelangsungan usaha para Masyarakat Penerima Manfaat (MPM) dari program MFCDP. Di dalam penelitian ini menggunakan empat indikator yang menjadi tolak ukur dari analisis ini. Ke empat indikator tersebut yaitu ekonomi, ekologi, sosial, dan kebijakan.
39
Setelah semua indikator ditentukan maka proses yang berikutnya yaitu memilih metode untuk dapat mengukur keempat indikator tersebut. Seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa pengukuran ini dikaji berdasarkan pernyataan MPM yang akan dibandingkan dengan menggunakan indikator (ekologi, ekonomi, sosial dan kebijakan) dari kinerja yang sama, tetapi pada situasi yang berbeda, yaitu perbandingan antara situasi sebelum program MFCDP diterapkan dengan situasi setelah program MFCDP diterapkan.
4.4.3 Analisis Tingkat Keberlanjutan Pomeroy dan Rivera Guieb (2006) diacu dalam Adrianto (2007a) mengatakan bahwa terdapat beberapa pendekatan evaluasi yang dapat dilakukan yaitu pendekatan evaluasi kinerja, evaluasi proses, identifikasi kapasitas pengelolaan, dan evaluasi hasil. Di dalam penelitian ini menggunakan pendekatan evaluasi kinerja yang didesain untuk menentukan kualitas implementasi dari aktifitas tertentu dan tingkat pencapaian tujuan. Analisis ini digunakan untuk mengevaluasi keberlanjutan dari kinerja program MFCDP dan status keberlanjutan dari pengelolaan sumberdaya perikanan. Cara pengukuran analisis ini akan digambarkan melalui teknik amoeba. Teknik amoeba dalam analisis ini diperoleh dari nilai setiap pengukuran variabel yang sudah dibandingkan dengan CTV (Critical Treshold Value) setiap indikator. CTV merupakan nilai kritis atau nilai ideal dari setiap indikator. Untuk setiap indikator, diidentifikasikan terlebih dahulu apakah termasuk indikator manfaat atau biaya. Masing-masing indikator tersebut memiliki konsekuensi yang berbeda terhadap CTV, dimana indikator manfaat memiliki konsekuensi positif yaitu semakin besar dari CTV maka semakin baik indikatornya dan sebaliknya untuk indikator biaya memiliki konsekuensi yang negatif yaitu semakin besar dari CTV maka semakin buruk indikatornya (Adrianto 2007a). Di dalam membuat teknik amoeba, software yang digunakan yaitu Microsoft Excel. Adrianto (2007a) menyatakan bahwa pengukuran kinerja secara teoritis memiliki tiga karakteristik yaitu perubahan positif, perubahan negatif dan tanpa perubahan. Aspek penting dalam pengukuran kinerja adalah seberapa besar target output dicapai. Pengukuran kinerja program akan menunjukkan dampak
40
implementasi MFCDP terhadap MPM. Keberlanjutan program MFCDP bertujuan untuk melihat kinerja program MFCDP secara ekologi, ekonomi, sosial dan kebijakan. Selain itu juga untuk melihat apakah MFCDP mendukung keberlanjutan secara ekologi, ekonomi, sosial dan kebijakan masyarakat pesisir Kabupaten Tapanuli Tengah. Untuk menentukan tingkat keberlanjutan maka digunakan batasan sebagai berikut : 1.
Tingkat keberlanjutan tergolong tinggi
: 3 variabel > nilai CTV
2.
Tingkat keberlanjutan tergolong sedang
: 2 variabel > nilai CTV
3.
Tingkat keberlanjutan tergolong rendah
: 1 variabel > nilai CTV
4.
Tidak Berlanjut
: 0 variabel > nilai CTV
4.4.4
Analisis Uji Beda Nyata (Uji-t) Analisis perbedaan adalah analisis untuk melihat apakah ada perbedaan
antara sebelum adanya program MFCDP dan setelahnya. Analisis diuji secara statistik parametrik dengan metode uji-t. Uji-t pada penelitian ini bersifat satu arah karena hanya ada satu populasi yaitu populasi MPM dan wilayah kritik bagi hipotesis alternatif terletak seluruhnya di sebelah kiri. Dalam pengertian ini tanda ketidaksamaan menunjuk kearah wilayah kritiknya. Indikator yang diuji dalam penelitian ini hanya indikator yang memiliki data nilai dari responden yaitu indikator ekonomi dan ekologi. Selang kepercayaan yang digunakan dalam penelitian ini sebesar 95%. Rumus metode uji-t menurut Walpole (1997) yaitu : s2d =
n∑ di 2 − (∑ di ) 2 n(n − 1)
t=
d − d0 sd / n
Dimana, n = jumlah sample di = beda antara populasi Sd = standar deviasi Langkah dalam menentukan hipotesis uji-t menurut Walpole (1993), yaitu : 1. Menyatakan hipotesis nol-nya (H0) 2. Memilih hipotesis alternatif (H1) yang sesuai,
41
3. Menentukan taraf nyatanya α, 4. Memilih uji statistik yang sesuai, 5. Menghitung nilai statistik uji berdasarkan data contohnya, 6. Keputusan : menolak H0 bila nilai statistik uji tersebut jatuh dalam wilayah kritiknya, sedangkan bila nilai statistik uji tersebut jatuh di luar wilayah kritiknya maka menerima H0. Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi 2 yaitu hipotesis menggunakan indikator ekonomi dan ekologi. Hipotesis tersebut adalah: a. H0 : Tidak ada perbedaan tingkat pendapatan sebelum dan setelah program H1 : Ada perbedaan tingkat pendapatan sebelum dan setelah program b. H0 : Tidak ada perbedaan volume hasil penangkapan/panen sebelum dan setelah program H1 : Ada perbedaan volume hasil penangkapan/panen sebelum dan setelah program 4.5 Batasan dan pengukuran
1) Evaluasi menurut UNDP 2000 diacu dalam (Adrianto 2007a) didefinisikan sebagai upaya efektif yang dilakukan untuk memperkirakan pencapaian kemajuan dari implementasi sebuah program secara sistematik dan berorientasi pada tujuan program/kegiatan. 2) Program yang diberikan oleh MFCDP adalah pembangunan infrastruktur, bantuan teknologi, bantuan permodalan, dan bantuan peralatan penangkapan. 3) Masyarakat Penerima Manfaat (MPM) adalah masyarakat nelayan dan pembudidaya yang memperoleh manfaat program MFCDP baik secara langsung (penerima dana Bantuan Langsung Masyarakat) maupun tidak langsung. 4) Stakeholder adalah semua pihak yang terkait dengan program MFCDP baik pemerintah, organisasi, MPM dan masyarakat pengguna sumberdaya di suatu cakupan wilayah pesisir.
42
5) MFCDP adalah program percontohan pemberdayaan masyarakat pesisir dan nelayan kecil yang merupakan pengembangan dari Program Pengembangan Kecamatan (PKK) . 6) MPM nelayan dan pembudidaya adalah nelayan miskin dan pembudidaya ”lokan” (kerang darah) yang tidak mampu secara ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar yang bergerak dalam bidang usaha skala mikro dan memiliki potensi untuk dikembangkan. 7) Kinerja program merupakan kondisi yang mencerminkan peranan program dalam pengelolaan sumberdaya pesisir guna meningkatkan pendapatan nelayan yang diukur berdasarkan pernyataan Masyarakat Penerima Manfaat (MPM). Indikator yang digunakan dalam menganalisis kinerja program adalah ekologi, ekonomi, sosial dan kebijakan. 8) Pernyataan terhadap program adalah pendapat atau pandangan responden terhadap pelaksanaan dan dampak yang dirasakan sebelum ataupun sesudah program MFCDP. 9) Evaluasi keberlanjutan program MFCDP diukur dengan menggunakan indikator ekologi, ekonomi, sosial dan kebijakan dengan melihat dampak sebelum dan sesudah implementasi program. 10) Variabel indikator ekonomi terdiri pendapatan keluarga (Rp per bulan), kontribusi hasil tangkapan (Rp per bulan), harga ikan hasil tangkapan (Rp), harga ikan yang pantas (Rp) dan kecenderungan responden apabila sumberdaya perikanan telah habis, pengembalian dana bergulir dan penyebab ketidaklancaran pengembalian dana. 11) Variabel indikator ekologi terdiri dari hasil tangkapan (Kg per bulan dan Kg per panen), jumlah jenis ikan (banyak jenis), ukuran ikan (cm) dan kondisi perairan. 12) Variabel indikator sosial terdiri dari hak penangkapan ikan, konflik (kali)dan penyebabnya, penyelesaian konflik, pihak-pihak yang terlibat dan hubungan MPM dengan tengkulak. 13) Variabel indikator kebijakan terdiri dari keberadaan organisasi atau kelompok nelayan, keanggotaan responden, penyuluhan dan pembinaan di desa, partisipasi responden, peningkatan pengetahuan.
43
14) Peningkatan produksi diukur berdasarkan peningkatan volume hasil usaha dalam Kg/bulan untuk usaha perikanan tangkap dan Kg/panen untuk usaha perikanan budidaya. 15) Pendapatan adalah besarnya pendapatan yang diperoleh responden dari usaha yang dijalankan sesuai dengan program MFCDP dalam Rp per bulan. 16) Critical Treshold Value (CTV) indikator ekonomi adalah Upah Minimum Regional (UMR) Provinsi Sumatera Utara, indikator ekologi adalah volume rata-rata hasil tangkap nelayan tradisional Kabupaten Tapanuli Tengah, indikator sosial adalah konflik serta pelanggaran terhadap peraturan dan indikator kebijakan adalah partisipasi Masyarakat Penerima Manfaat (MPM).
4.6 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini berlangsung pada bulan September tahun 2007. Penelitian ini dilakukan pada lokasi yang menerima bantuan program MFCDP yaitu di 3 Kecamatan (Kolang, Sorkam dan Sorkam Barat) yang terdiri dari 5 desa diantaranya Desa Hurlang Muara Nauli, Desa Lingkungan III Pasar Sorkam, Desa Bottot Teluk Roban, Desa Pahieme dan Desa Maduma.
44
V. KEADAAN UMUM WILAYAH
a. Kondisi Geografi dan Administrasi
Secara geografis Kabupaten Tapanuli Tengah merupakan salah satu Kabupaten di pesisir Pantai Barat Sumatera Utara yang berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia. Batas wilayahnya Kabupaten Tapanuli Tengah adalah sebagai berikut : 1. Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia, 2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara, 3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Selatan, 4. Sebelah Utara dengan Singkil (Provinsi NAD). Kabupaten Tapanuli Tengah memiliki luas wilayah sebesar 2.194,98 Km2 dengan ketinggian dari air laut yakni sekitar 0-1.266 m diatas permukaan laut. Panjang garis pantainya ± 219 Km, dimana jumlah nelayan pada tahun 2003 sekitar 9.938 jiwa dari 249.840 jiwa penduduk. Kabupaten Tapanuli Tengah yang menjadi lokasi program MFCDP ini merupakan kawasan yang memiliki karakteristik dan geologis yang khas dibandingkan dengan Pantai Timur Sumatera Utara. Secara geologis, pantai Barat Sumatera Utara merupakan pantai curam dan berbatu karena berhadapan langsung dengan Samudera Indonesia. Untuk kawasan Tapanuli Tengah, terutama di lokasi MFCDP di Kecamatan Sorkam, Sorkam Barat dan Kolang pantainya relatif landai dan berpasir. Ibukota Kabupaten Tapanuli Tengah adalah Pandan dan secara administratif memiliki 15 kecamatan yang merupakan pengembangan dari 8 kecamatan pada bulan Juni 2002. Diantara ke lima belas kecamatan di Kabupaten Tapanuli Tengah tersebut, 12 diantaranya merupakan kecamatan yang sebagian atau seluruh wilayahnya termasuk dalam kawasan pesisir dan tiga diantaranya dijadikan kawasan perencanaan program MFCDP yaitu kecamatan Kolang, Sorkam dan Sorkam Barat. Adapun kondisi umum tiap desa dapat dilihat pada Tabel 1.
45
Tabel 1 Kondisi Umum Desa Penelitian No 1
Nama Desa Hurlang Muara Nauli
2
Lingkungan III Pasar Sorkam
3
Pahieme
4
Bottot Teluk Roban
5
Maduma
Kondisi Umum Desa Hurlang Muara Nauli merupakan satu dari 12 desa/kelurahan yang terdapat di Kecamatan Kolang. Desa ini memiliki luas 49.17 Km2 dengan rasio terhadap luas kecamatan adalah 12.30 %. Sebahagian besar penduduknya adalah petani sawah dan petani ladang. Hanya sebahagian kecil penduduk yang bermata pencaharian sebagai nelayan, baik nelayan penuh dan sambilan. Desa Lingkungan III Pasar Sorkam merupakan salah satu desa/kelurahan di Kecamatan Sorkam Barat dengan luas wilayah 7,80 km2, yang rasionya dengan luas kecamatan adalah 2,95 %. Penduduk desa ini sebahagian besar adalah nelayan. Namun secara umum penduduknya juga memiliki lahan pertanian yang biasanya dikerjakan oleh isteri nelayan dan anak-anaknya. Desa Pahieme merupakan salah satu desa pesisir yang berada satu Kecamatan dengan Desa Lingkungan III Pasar Sorkam dan Maduma, yakni Kecamatan Sorkam Barat. Desa ini memiliki luas wilayah sebesar 4,97 Km2. Desa ini merupakan desa terbesar dan terpadat penduduknya di Kecamatan Sorkam Barat. Mata pencaharian terbesar penduduknya adalah bertani sawah dan ladang. Desa Bottot Teluk Roban merupakan salah satu desa dari 14 desa/kelurahan yang ada di Kecamatan Sorkam. Luas desa ini 3,40 Km2 dengan rasio terhadap total luas kecamatan adalah 2,92%. Penduduk desa ini sebahagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan. Namun, umumnya penduduk juga memiliki lahan pertanian yang pengelolaannya dilakukan oleh isteri nelayan. Desa Maduma memiliki luas wilayah 13,22 Km2 yang sebahagian besar penduduknya adalah nelayan tradisional/kecil. Namun, penduduk desa ini juga memiliki lahan pertanian yang dikelola oleh laki-laki dan perempuan.
Sumber : Bappenas (2005)
b. Kependudukan
Tabel 2 menyajikan jumlah penduduk desa, dimana Desa Pahieme memiliki jumlah penduduk terbesar dibandingkan dengan jumlah penduduk desa lain yaitu sebesar 3.612 jiwa. Sementara itu Desa Lingkungan III Pasar Sorkam memiliki jumlah penduduk terbesar kedua dengan jumlah penduduk sebesar 3.161 jiwa. Desa Maduma memiliki jumlah penduduk paling sedikit dibandingkan dengan jumlah penduduk desa lain yaitu sebesar 3.612 jiwa. Tabel 2 Jumlah Penduduk Desa No
Desa
Jumlah Laki-Laki Perempuan 1. Hurlang Muara Nauli 762 779 2. Bottot Teluk Roban 556 568 3. Lingkungan III Pasar Sorkam 1.563 1.598 4. Pahieme 1.785 1.827 5. Maduma 396 406 Total 5.062 5.178 Sumber : Kabupaten Tapanuli Tengah dalam angka (2003)
Total (jiwa) 1.541 1.124 3.161 3.612 802 10.240
46
Kondisi tingkat kesejahteraan masyarakat yang berdomisili di lokasi program MFCDP Kabupaten Tapanuli Tengah dapat dikategorikan menjadi empat kelompok (Tabel 3), yaitu Pra Keluarga Sejahtera, Keluarga Sejahtera 1, Keluarga Sejahtera 2, Keluarga Sejahtera 3. Tabel 3 Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Kategori Rumah Tangga No.
Desa
Pra KS
KS-1
K-2
1. 2. 3. 4. 5.
Hurlang Muara Nauli 11 230 Bottot Teluk Roban 20 192 Lingkungan III Pasar Sorkam 25 497 Pahieme 30 693 Maduma 6 153 Total 92 1765 Sumber : Kabupaten Tapanuli Tengah dalam angka (2003)
Jumlah (KK)
KS-3
45 38 31 35 22 171
10 8 21 25 3 67
296 244 574 783 184 2081
Jumlah penduduk desa menurut jenis pekerjaan memiliki proporsi jumlah yang berbeda. Di Desa Hurlang Muara Nauli, Pahieme, dan Maduma sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani. Desa Bottot Teluk Roban dan Lingkungan III Pasar Sorkam sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai nelayan. Tabel 4 menyajikan jumlah penduduk menurut jenis pekerjaan dimana Desa Lingkungan III Pasar Sorkam memiliki proporsi nelayan terbesar dibandingkan dengan desa lainnya. Desa Pahieme memiliki proporsi nelayan yang terkecil jika dibandingkan dengan desa lainnya. Tabel 4 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Pekerjaan No.
Desa
Nelayan
1. 2. 3. 4. 5.
Jenis Pekerjaan Pedagang Petani
Hurlang Muara Nauli 27 Bottot Teluk Roban 129 Lingkungan III Pasar Sorkam 299 Pahieme 26 Maduma 32 Total 513 Sumber : Kabupaten Tapanuli Tengah dalam angka (2003)
5 6 100 50 5 166
Jumlah (KK)
150 70 53 567 87 927
296 244 574 783 184 2081
c. Kondisi Sarana dan Prasarana
Secara umum, kondisi sarana dan prasarana baik umum maupun perikanan di lokasi penelitian kurang terawat dengan baik, seperti akses jalan menuju ke desa yang rusak cukup parah dan sarana gudang penyimpanan es yang telah
47
berubah fungsi menjadi penyimpanan barang. Kondisi umum prasarana jalan desa dapat dilihat pada Tabel 5 dimana kondisi jalan aspal memang cukup panjang jika dibandingkan dengan jenis jalan yang lain, namun kondisi badan jalan cukup memprihatinkan.
Tabel 5 Kondisi Prasarana Jalan di Desa Penelitian No. 1.
Desa Hurlang Muara Nauli
2.
Bottot Teluk Roban
3.
Lingkungan III Pasar Sorkam
4.
Pahieme
5.
Maduma
Jenis Jalan Aspal Diperkeras Tanah Setapak Aspal Diperkeras Tanah Setapak Aspal Diperkeras Tanah Setapak Aspal Diperkeras Tanah Setapak Aspal Diperkeras Tanah Setapak
Panjang (km) 3 0,3 0,2 1 0,3 0,1 6 3 1,5 4 5 0,5 0,2 0,5 0,5 2 1,5 4,5
Sumber : Bappenas (2005)
Tabel 6 menyajikan jumlah sarana perikanan yang terdapat di desa penelitian, dimana jumlahnya sangat minimal. Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Desa Lingkungan III Pasar Sorkam belum pernah difungsikan untuk kegiatan perikanan dan sekarang telah mengalami kerusakan akibat dari gempa. Kegiatan docking tradisional berada pada Desa Bottot Teluk Roban dan Desa Lingkungan III Pasar Sorkam. Pada saat penelitian, di Desa Bottot Teluk Roban sedang mengerjakan perahu program MFCDP hasil perguliran dana MFCDP sebanyak 12 perahu. Tabel 6 Jumlah Sarana Perikanan di Desa Penelitian No Desa 1. Hurlang Muara Nauli 2. Bottot Teluk Roban 3. Lingkungan III Pasar Sorkam 4. Pahieme 5. Maduma Sumber : Bappenas (2005)
TPI/PPI 1 -
Docking 1 1 -
48
d. Status Sumberdaya Perikanan Laut i. Perikanan Tangkap
Pada umumnya dari semua desa pesisir yang diteliti, para nelayan memiliki teknologi yang relatif sama yaitu perahu tanpa mesin dan perahu motor tempel. Jenis alat tangkapnya telah digunakan secara turun temurun seperti jaring ”salam”, jaring ikan kembung”aso-aso”, kepiting dan pancing, kecuali pada Desa Lingkungan III Pasar Sorkam yang menggunakan lampara dasar atau mini trawl. Jenis ikan yang ditangkap yaitu ikan kembung ”aso-aso”, “gulamo”, kepiting, rajungan dan teri. Berdasarkan studi partisipatif yang telah dilakukan oleh Bappenas pada tahun 2005 bahwa perairan di lima desa penelitian memiliki potensi perikanan yang besar, namun nelayan memandang bahwa kondisi saat ini jauh lebih sulit dibanding 5 dan 10 tahun lalu untuk mendapatkan jenis ikan yang sama pada saat melakukan aktifitas penangkapan. Di samping itu, rata-rata ukuran ikan yang ditangkap juga semakin kecil seiring dengan perubahan mata jaring yang diperkecil untuk bisa menangkap ikan lebih banyak. Hal ini mencerminkan bahwa ikan-ikan yang berukuran besar sudah mulai berkurang. Hasil dari penggunaan mata jaring kecil tersebut ikan-ikan yang masih kecil seperti anak kembung ”asoaso” dan jenis ikan lainnya sudah tertangkap sebelum tumbuh dewasa. Jarak tempuh nelayan untuk menangkap ikan juga terus mengalami perubahan. Menurut nelayan, jika pada 10 tahun yang lalu untuk mendapatkan hasil yang maksimal, nelayan hanya menangkap ikan di pinggir pantai atau disekitar 1 mil. Lima tahun lalu nelayan harus menangkap ikan lebih jauh lagi sekitar 2 – 3 mil atau lebih ke tengah laut (upaya yang lebih intensif) maupun menyusuri pantai. Hal ini menyangkut ketersediaan ikan dalam daerah operasi penangkapan ikan. Wilayah penangkapan ikan tersebut antara lain adalah Perairan Muara Kalang, Perairan Karang Sibakua, Perairan Sorkam, Pulau Belalang dan Perairan Desa Maduma. Rata-rata nelayan melakukan kegiatan penangkapan satu hari melaut yang telah dikenal sebagai one day fishing (Bappenas 2005). Daerah perairan desa penelitian memiliki dua musim angin yaitu musim angin timur dan angin barat. Pada musim timur yang terjadi pada bulan September – Februari, kondisinya baik untuk melaut dan gelombang laut tidak terlalu besar.
49
Sedangkan pada musim barat yang terjadi pada bulan Maret – Agustus, termasuk kedalam cuaca yang buruk, gelombang tinggi dan angin kencang sehingga nelayan boleh melaut pada saat angin agak tenang.
ii. Perikanan Budidaya Berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan Tapanuli Tengah tahun 2005 bahwa kabupaten ini memiliki potensi yang cukup besar di bidang perikanan dan kelautan dengan potensi lahan budidaya laut lebih kurang 1.500 Ha. Sementara itu ketersediaan lahan untuk usaha budidaya laut sebesar 900 Ha, dimana produksi perikanan dari usaha budidaya laut sebesar 549,40 ton per tahun. Desa Bottot Teluk Roban merupakan satu-satunya desa yang mendapatkan bantuan dari program MFCDP untuk kegiatan perikanan budidaya. Jenis yang dibudidayakan adalah lokan yaitu sejenis kerang darah (Anadara sp) yang membutuhkan waktu kurang lebih 6 bulan dalam satu siklus panen. Satu siklus tersebut terdiri dari masa persiapan lahan tambak, masa pemeliharaan dan masa pemanenan. Persiapan lahan tambak terdiri dari kegiatan pembersihan lahan dan pembuatan tambak. Budidaya lokan ini dilakukan dengan sistem cage culture secara perorangan yang tergabung ke dalam satu Kelompok Masyarakat Penerima Manfaat (KMPM). Modal awal yang diberikan dari program MFCDP yaitu sebesar Rp 3.300.000,00 per kepala keluarga yang digunakan untuk membuat tempat budidaya, pembelian bibit dan biaya operasional. Budidaya lokan ini merupakan salah satu alternatif mata pencaharian penduduk Desa Bottot Teluk Roban yang memberikan keuntungan cukup besar, namun kendala yang ditemukan di lapangan biasanya berkaitan dengan kondisi perairan.
50
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
1.9 Proses dan Mekanisme Implementasi Program
Program MFCDP merupakan bentuk program pemberdayaan masyarakat yang ditujukan kepada kelompok masyarakat perikanan miskin sebagai kelompok sasaran program. Melalui pelaksanaan program diharapkan dapat tercipta perubahan kondisi masyarakat pesisir secara signifikan, khususnya dalam aspek peningkatan produktivitas usaha dengan cara mengadopsi teknologi penangkapan ikan yang produktif, peningkatan kapasitas SDM dan kelembagaan dengan cara memfasilitasi kelompok-kelompok masyarakat melalui pelatihan-pelatihan, kegiatan peningkatan pendapatan, serta pada akhirnya peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Di dalam pengelolaan program MFCDP terdapat beberapa mekanisme, dimulai dari tahap perencanaan program sampai dengan pelaksanaan program. Mekanisme pengelolaan program MFCDP meliputi mekanisme struktur organisasi yang diharapkan dapat mendukung pengelolaan program yang efektif dan efisien (Lampiran 12). Organisasi program MFCDP melibatkan beberapa pihak (stakeholder) yang terdiri dari unsur pemerintah baik pusat dan daerah, swasta, tokoh masyarakat serta MPM. Pengelola program di tingkat pusat adalah pengelola yang berkedudukan atau memiliki kerja di tingkat nasional. Pengelola program MFCDP di tingkat nasional terdiri dari Tim Kelompok Kerja Nasional (Pokja-Nas), sekretariat program dan Tim Pendampingan Nasional (TP-Nas). Pengelola program MFCDP di tingkat kabupaten adalah institusi yang berkedudukan atau memiliki kerja di kabupaten. Pengelola program di tingkat kabupaten terdiri dari : 1. Bupati Bupati berfungsi sebagai pembina program MFCDP di tingkat kabupaten dan sebagai penanggungjawab atas pelaksanaan program MFCDP di tingkat kabupaten. Tugas Bupati disini adalah menetapkan ketua dan keanggotaan PokjaKab, melakukan pembinaan umum dan pengawasan pelaksanaan bagi kelancaran pelaksanaan program MFCDP di wilayahnya.
51
2. Kelompok Kerja Kabupaten (Pokja-Kab) Pokja-Kab berfungsi melakukan pembinaan pengembangan peran serta masyarakat, pembinaan administrasi dan fasilitasi pemberdayaan masyarakat pada seluruh tahapan program. Pokja-Kab terdiri dari Bappeda, Dinas/sub dinas yang mengurusi bidang perikanan dan kelautan dan dinas terkait. 3. Fasilitator Kabupaten Fungsi fasilitator kabupaten adalah memfasilitasi berbagai aspek baik teknis dan manajemen dalam penyiapan MPM untuk mendukung kelancaran proses pelaksanaan program. Fasilitator kabupaten dibentuk dari lembaga lokal yang dipilih oleh sekretariat program untuk melakukan kegiatan yang bersifat insidentil seperti kajian dalam penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) dan pendampingan implementasi dana BLM. 4. Learning Team Daerah (LT Daerah) LT daerah berfungsi membantu pengelolaan program MFCDP di tingkat daerah khususnya dalam memberikan masukan-masukan, analisis dan perbaikan terhadap hasil kajian yang dilakukan oleh fasilitator kabupaten. Pengelola program di tingkat kawasan merupakan pengelola yang berkedudukan atau memiliki wilayah kerja di lingkup kawasan pesisir yang terdiri dari: 1. Camat Camat melakukan fungsi koordinasi pelaksanaan program MFCDP antar desa penerima manfaat. Tugas Camat yaitu mengikuti sosialisasi program MFCDP di kabupaten, memantau desa dalam melaksanakan tahapan program MFCDP serta melaporkan masalah yang dihadapi kepada Bupati. 2. Penanggung Jawab Organisasi Kegiatan (PjOK) PjOK berfungsi sebagai penanggung jawab atas penyelenggaraan dan keberhasilan seluruh kegiatan program MFCDP di wilayahnya. Dalam melaksanakan tugasnya, PjOK dibantu oleh PjAK. Tugas dari PjOK yaitu melaksanakan koordinasi dengan fasilitator kabupaten, LT-daerah dan Pokja-Kab mengenai pelaksanaan program MFCDP serta melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap kinerja UPK, KK, fasilitator daerah dan TPK.
52
3. Penanggung Jawab Administrasi Kegiatan (PjAK) PjAK berfungsi untuk membantu PjOK dan bertanggung jawab atas penyelenggaraan administrasi kegiatan di tingkat kawasan. Tugas PjAK yaitu membantu PjOK menyiapkan administrasi kegiatan program MFCDP serta bersama PjOK memantau perkembangan dan evaluasi kegiatan program MFCDP. 4. Unit Pengelola Kegiatan (UPK) Fungsi UPK adalah unit pengelola dan operasional pelaksanaan kegiatan program MFCDP di tingkat kawasan pesisir. Tugas UPK diantaranya bersama pengelola lainnya ikut serta mensosialisasikan program MFCDP dan turut menjaga berlangsungnya proses pelaksananaan program, menyalurkan dana bantuan dan menerima upah dari hasil dana perguliran MPM sebesar 10%. UPK dipilih melalui musyawarah pada Learning Team Daerah. 5. Koordinator Kawasan (KK) Koordinator kawasan merupakan personil F-Kab yang ditugaskan untuk kegiatan fasilitasi dan pendampingan masyarakat dalam rangka mengikuti atau melaksanakan program MFCDP di tingkat kawasan. Fungsi KK yang secara umum adalah sebagai fasilitator dan motivator MPM dalam pelaksanaan program di tingkat kawasan pesisir, sekaligus sebagai koordinator dari FD. Tugas KK adalah menyebarluaskan dan mensosialisasikan program kepada MPM dan pemerintah, memfasilitasi masyarakat dalam melaksanakan tahapan-tahapan program dari tahap perencanaan, pelaksanaan, memberikan pelatihan-pelatihan dan bimbingan kepada masyarakat penerima manfaat dan pengelola program di desa dan kawasan pesisir (FD, TPK dan UPK), melakukan evaluasi bersama masyarakat terhadap pelaksanaan program dan kinerja pengelola program di kawasan dan desa pesisir serta membuat laporan penyelesaian kegiatan. Pengelola program MFCDP di tingkat desa merupakan pelaksana yang berkedudukan atau memiliki wilayah kerja di desa yang terdiri dari: A. Kepala Desa Fungsi Kepala Desa adalah sebagai pembina dan pengendali kelancaran pelaksanaan tahapan kegiatan di tingkat desa serta keberhasilan pelaksanaan program MFCDP di desa. Tugas Kepala Desa diantaranya membantu mensosialisasikan program MFCDP kepada masyarakat desa pesisir, mendorong
53
Tim Pelaksana Kegiatan (TPK) untuk berperan aktif dalam program MFCDP serta mendorong masyarakat pesisir dan nelayan berpartisipasi penuh pada program MFCDP. B. Tim Pelaksana Kegiatan (TPK) TPK adalah wakil masyarakat perikanan yang dipilih secara partisipatif kemudian ditetapkan melalui forum perencanaan desa. Fungsi dari TPK yaitu untuk mengelola dan melaksanakan kegiatan program di tingkat desa. TPK terdiri dari ketua, sekretaris dan bendahara. Tugas dari TPK yaitu melaksanakan tahapan proses perencanaan dan melibatkan peran serta masyarakat pesisir termasuk MPM, berpartisipasi dalam penyusunan RPP tingkat desa, penerapan TTG dan kebijakan pengelolaan kawasan pesisir serta menyelenggarakan dan melaporkan tanggung jawab penggunaan dana dan hasil akhir pelaksanaan kegiatan. Upah yang diterima oleh TPK berasal dari hasil dana perguliran sebesar 10%. Tahap perencanaan merupakan langkah awal yang harus ditempuh sebelum mengimplementasikan sebuah program, agar kegiatan tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan dan harapan yang telah ditetapkan Beberapa perencanaan yang ada dalam program MFCDP adalah perencanaan pemilihan lokasi dan desa serta pemilihan MPM. Pemilihan lokasi didasarkan atas musyawarah antar stakeholder masing-masing daerah yang ditetapkan oleh PokjaKab berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Adapun kriteria tersebut yaitu: 1. Pemilihan Kecamatan Kriteria kecamatan yang menerima manfaat program, diantaranya: kecamatan yang telah menerima PPK (Program Pengembangan Kecamatan), kecamatan yang memiliki desa pantai, kecamatan yang tidak terlibat dalam program PEMP, program COREMAP Phase II, kecamatan yang memiliki nelayan miskin lebih banyak dibandingkan kecamatan lain dan kecamatan yang memiliki potensi sumberdaya laut dan pesisir yang dapat dikembangkan. 2. Penentuan Kelompok MPM Pembentukan kelompok MPM pada program MFCDP merupakan suatu proses kesepakatan dari masyarakat setempat. Pembentukan kelompok MPM dilakukan setelah proses sosialisasi dan ditentukan oleh masyarakat itu sendiri. Pembentukan kelompok ini dilakukan pada forum perencanaan desa, dengan
54
memilih siapa saja yang siap menerima manfaat dalam bentuk dana bantuan langsung masyarakat. Tahap pelaksanaan program MFCDP merupakan tahap kegiatan untuk mewujudkan rangkaian kegiatan program MFCDP agar sesuai dengan tujuan dan penerima manfaat yang ditetapkan (Bappenas 2005). Tahapan tersebut terdiri dari sosialisasi kegiatan, peningkatan kapasitas sumberdaya manusia, penyaluran bantuan langsung masyarakat, kajian pengembangan jaringan pasar, teknologi tepat guna dan kebijakan pemerintah atas hak kepemilikan (property right) dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Berikut adalah penjelasan dan gambaran mengenai tahapan pelaksanaan program MFCDP, yang terdiri dari: 1. Sosialisasi Program MFCDP Pengertian sosialisasi dalam program MFCDP adalah proses memberikan informasi kepada masyarakat dan stakeholder tentang program MFCDP. Tujuan dari sosialisasi ini adalah agar masyarakat dan stakeholder memahami program MFCDP mengenai latar belakang dan tujuan program, hasil yang ingin dicapai, manfaat apa yang diperoleh oleh masyarakat dan stakeholder dan kegiatan apa yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut (Bappenas 2005). 2. Peningkatan Kapasitas Sumberdaya Manusia Peningkatan kapasitas dan kemandirian masyarakat pesisir dan nelayan adalah suatu keinginan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan melalui kegiatan pelatihan dan penyuluhan agar mereka dapat hidup lebih maju dari sebelumnya (Bappenas 2005). Di dalam program MFCDP, salah satu kegiatan dalam rangka meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia diantaranya adalah pelatihan. Pelatihan yang telah dilaksanakan adalah pelatihan kepada masyarakat pesisir tentang teknik budidaya dan kesesuaian lahan. Pada setiap tahapan pelaksanaan, terdapat proses transfer pengetahuan dan keterampilan diantara pengelola program, pengelola program dengan masyarakat dan diantara masyarakat itu sendiri. 3. Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) Dana bantuan masyarakat pada prinsipnya adalah dana bantuan langsung dalam bentuk hibah dari donor yang ditujukan untuk membiayai kegiatan-kegiatan
55
yang dilaksanakan oleh masyarakat penerima manfaat, sehingga penggunaan dan pengelolaannya ditentukan oleh masyarakat sendiri. Dana BLM program MFCDP dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Dana penerapan teknologi tepat guna, yang besarnya tidak lebih dari 75% dari total dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM), 2. Dana pengembangan infrastruktur sosial ekonomi, yang besarnya tidak lebih dari 25% dari total dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM). Dana BLM ini diberikan kepada masyarakat penerima manfaat berupa barang yang sudah disepakati bersama dalam Forum Perencanaan Desa/Kawasan. Bantuan tersebut dikelola secara ekonomis, produktif dan bergulir. Berikut adalah penjelasan mengenai dana BLM MFCDP, yang terbagi menjadi dua: •
Dana Pengembangan Teknologi Tepat Guna (TTG) Teknologi tepat guna adalah teknologi yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat, dapat menjawab permasalahan masyarakat, tidak merusak lingkungan dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara mudah serta menghasilkan nilai tambah dari aspek ekonomi. Dana pengembangan teknologi tepat guna adalah dana BLM yang akan dimanfaatkan untuk pengadaan dan pengembangan teknologi tepat guna ramah lingkungan, dalam rangka meningkatkan kualitas dan produktifitas usaha perikanan dengan tetap menjaga kelesatarian sumberdaya pesisir secara berkelanjutan. Dana pengembangan teknologi tepat guna besarnya tidak lebih dari 75% dari total dana BLM yang dapat dilihat pada Tabel 7 yaitu berupa jaring, perahu, motor tempel dan jaring keramba. Sasaran penggunaan dana ini untuk membiayai pengadaan dan pengembangan teknologi tepat guna yang dibutuhkan MPM untuk memperbaiki kualitas dan produktifitas usaha tanpa merusak sumberdaya pesisir dan laut. Terdapat beberapa persyaratan pengajuan dana pengembangan teknologi tepat guna, yaitu: a. Usulan kegiatan pengembangan TTG sesuai dengan hasil analisis kebutuhan masing-masing usaha perikanan MPM, b. Teknologi dapat dikuasai dengan mudah, beresiko rendah dan ramah lingkungan, c. Konstruksi, instalasi, pengoperasian dan perawatannya sesuai dengan kemampuan teknologi di tingkat desa,
56
d. Permohonan bantuan dana pengembangan teknologi tepat guna diusulkan oleh kelompok masyarakat penerima manfaat bersama-sama dengan pemerintah desa. Teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan didefinisikan sebagai teknologi penangkapan ikan yang tidak menyebabkan kerusakan lingkungan atau habitat ikan, tidak menangkap biota yang dilindungi atau terancam punah, selektif terhadap ikan yang menjadi sasaran utama, ikan yang tertangkap tapi tidak dimanfaatkan jumlahnya sangat sedikit, tidak menyebabkan pencemaran, ikan yang ditangkap dapat dikonsumsi dengan aman, operasi penangkapan ikan yang dilakukan tidak membahayakan nelayan ataupun pihak lain, serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (Monintja 2000).
Tabel 7 Alokasi Dana Teknologi Tepat Guna (TTG) Berdasarkan Desa Nama Desa Bottot Teluk Roban Pahieme Maduma Lingkungan III Pasar Sorkam Hurlang Muara Nauli Total Sumber: Bappenas (2005)
Jumlah usulan 60 33 21 101 36 252
Jumlah dana yang diminta Rp 258.405.000,00 Rp 310.000.000,00 Rp 169.954.000,00 Rp 1.081.610.000,00 Rp 176.215.000,00 Rp 1.996.184.000,00
Hasil kesepakatan alokasi dana Rp 155.000.000,00 Rp 110.000.000,00 Rp 79.231.750,00 Rp 300.000.000,00 Rp 105.768.250,00 Rp 750.000.000,00
Total dana bantuan langsung masyarakat yang diberikan pada program MFCDP ini adalah sebesar Rp 1.000.000.000,00 maka alokasi dana teknologi tepat guna besarnya Rp 750.000.000,00 dimana untuk tiap-tiap desa dibedakan berdasarkan jumlah usulan seperti jaring ikan, perahu, motor tempel dan jaring untuk keramba serta banyaknya MPM. Pada Tabel 7, alokasi dana terbesar program MFCDP diberikan pada Desa Lingkungan III Pasar Sorkam karena desa ini memiliki jumlah MPM terbanyak yaitu 100 anggota MPM yang tergabung ke dalam enam kelompok. •
Dana Infrastruktur Sosial Ekonomi Dana infrastruktur sosial ekonomi adalah dana bantuan langsung
masyarakat yang akan dimanfaatkan dan digunakan untuk pembangunan/rehabilitasi infrastruktur sosial ekonomi untuk peningkatan
57
ekonomi. Dana infrastruktur sosial ekonomi ini ditetapkan besarnya tidak lebih dari 25% dari total dana. Sistem pengajuan dana dilakukan secara bertahap (tiga kali termin). Komposisi pengajuan dana adalah termin pertama sebesar 40%, termin kedua sebesar 40% dan termin ketiga sebesar 20%. Alokasi dana infrastruktur sosial ekonomi dapat dilihat pada Tabel 8, dimana jumlah total realisasi dana pada program MFCDP adalah sebesar Rp 250.000.000,00. Selain itu terdapat juga dana swadaya yang berasal dari masyarakat yang ingin menyumbangkan sebagian uangnya untuk mendukung program MFCDP.
Tabel 8 Usulan Kegiatan Terpilih Infrastruktur Sosial Ekonomi No
1
2
Desa Bottot Teluk Roban
Pahieme
3
Maduma
4
Lingkungan III Pasar Sorkam
5
Hurlang Muara Nauli
Usulan Kegiatan Jalan Setapak & Parit. Zonasi. MCK 2 unit. Sub Total Zonasi. Jembatan dan pengerasan jalan. MCK 1 unit. Sub Total Zonasi. Rehab Gudang. Pembuatan Jalan Ke Gudang. Sub Total Zonasi. MCK 1 unit. Penerangan Pembuatan Gudang. Sub Total Gudang. Parit. Zonasi. Rehab Jembatan. Sub Total
TOTAL Sumber : Bappenas (2005)
Usulan Biaya
Realisasi Dana
Keswadayaan
Rp 30.000.000 Rp 5.290.000 Rp 32.390.000 Rp 5.290.000
Rp 30.000.000 Rp 5.290.000 Rp 32.390.000 Rp 67.680.000 Rp 5.290.000
-
Rp 45.000.000 Rp 3.860.000
Rp 45.000.000 Rp 3.860.000
-
Rp 5.290.000 Rp 13.631.000 Rp 18.553.150
Rp.54.150.000 Rp 5.290.000 Rp 13.000.000 Rp 17.553.150
Rp 631.000 Rp 1.000.000
Rp 5.290.000 Rp 10.592.000 Rp 6.720.000
Rp.35.843.150 Rp 5.290.000 Rp 9.026.850 Rp 6.720.000
-
Rp 11.541.600 Rp 10.000.000 Rp 10.000.000 Rp 5.290.000 Rp 35.000.000 Rp 252.106.750
Rp 11.000.000 Rp 32.036.650 Rp 10.000.000 Rp 10.000.000 Rp 5.290.000 Rp 35.000.000 Rp 60.290.000 Rp 250.000.000
Rp 1.565.150 Rp 541.000
Rp 2.106.750
58
Mekanisme perguliran dana bantuan langsung masyarakat bagi kegiatan yang bersifat profit oriented disepakati dalam forum perencanaan desa dan forum perencanaan kawasan pada saat tahap perencanaan kegiatan. Untuk membantu kemudahan pengelolaan perguliran dana BLM, maka ketentuan-ketentuan dasar (aturan main pengelolaan dana) yang harus disepakati adalah sebagai berikut: a. Pengajuan usulan pinjaman bagi kegiatan pengembangan teknologi tepat guna pada dasarnya dilakukan oleh kelompok-kelompok yang telah ada di masyarakat pesisir. Syarat penerima manfaat tersebut adalah sebagai berikut: e. Masyarakat miskin dan nelayan kecil, artinya masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi dalam memenuhi kebutuhan dasar, f. Bergerak dalam bidang usaha skala mikro dan memiliki potensi untuk dikembangkan, g. Jenis usaha yang dimanfaatkan dan mengelola sumberdaya pesisir secara tradisional. b. Jangka waktu pinjaman sesuai dengan kesepakatan, sedangkan cara dan jadwal pengembalian dilakukan secara bertahap atau angsuran disesuaikan dengan jenis usaha. c. Pengembalian pinjaman dibayarkan oleh masyarakat penerima manfaat melalui TPK yang akan diteruskan kepada UPK dan disimpan di dalam rekening pengembalian/perguliran yang dibuka pada bank setempat, sebelum dilakukan perguliran kembali. Pengelolaan perguliran dana BLM merupakan tanggung jawab UPK dan tidak menutup kemungkinan bahwa format kelembagaan UPK kedepannya dapat menjadi sebuah lembaga keuangan alternatif, jika mampu mengelola perguliran dana tersebut secara profesional d. Pada intinya penggunaan jasa pinjaman adalah untuk pembiayaan operasional UPK, TPK dan FD pasca program guna menutup kerugian karena adanya kredit macet, menambah modal dana pinjaman bergulir serta kegiatan lainnya yang bermanfaat bagi masyarakat pesisir. e. Jika masyarakat penerima manfaat di suatu desa tidak melunasi pinjamannya dalam jangka waktu yang sudah ditentukan (sesuai perjanjian) maka dapat diberlakukan sanksi-sanksi sesuai dengan kesepakatan dalam forum perencanaan kawasan.
59
1.10 Pengaruh Program MFCDP terhadap Kondisi Usaha Perikanan Masyarakat Penerima Manfaat (MPM)
Pengaruh program MFCDP dapat dilihat berdasarkan kondisi permasalahan yang terjadi di lapangan secara umum, analisis kepentingan tingkat stakeholder dan MPM melalui Focus Group Discussion (FGD) dan analisis indikator melalui pernyataan masyarakat terhadap empat indikator.
1.10.1 Permasalahan Implementasi Program
Beberapa masalah pada saat implementasi program yang berhasil diidentifikasi diantaranya adalah: 5 Kegiatan operasional pukat harimau (trawl) yang beroperasi di wilayah penangkapan tradisional menyebabkan konflik antara nelayan kecil dengan nelayan besar yang berasal dari luar daerah. Perairan laut di wilayah kawasan telah dimasuki oleh trawl berukuran besar (di atas 30 GT) yang berpangkalan di Sibolga sejak 10 tahun terakhir. Jumlah trawl yang beroperasi di kawasan semakin banyak sejak dipergunakannya jaring lampara dasar (trawl mini) oleh nelayan di Desa Lingkungan III Pasar Sorkam dalam lima tahun terakhir. 6 Penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan sianida. Hal ini dapat mengakibatkan degradasi terhadap sumberdaya. Penangkapan ikan ikan hias menggunakan sianida berasal dari luar kawasan seperti pandan, dimana di daerah ini terdapat beberapa pengusaha ikan hias. 7 Sebagian MPM masih menganggap bahwa dana yang digulirkan tidak dikembalikan atau digulirkan lagi sehingga UPK dan TPK tidak dapat melakukan perguliran uang. Hal ini dapat terkait dengan program-program dari pemerintah sebelum program MFCDP tanpa adanya pengembalian dana yang jelas dan tidak ada sanksi yang tegas. 8 MPM kesulitan mengembalikan dana, karena alat tangkap dan kapal yang diberikan terkadang mengalami kerusakan atau terkena bencana alam sehingga pendapatan masyarakat menurun. 9 Pembinaan terhadap lembaga pengelolaan MFCDP dalam hal ini UPK dan TPK seperti pengelolaan keuangan dirasakan masih kurang sehingga koordinasi tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya.
60
10 Sulitnya mengkoordinasikan UPK dan TPK karena setelah masa kontrak KK telah habis, kantor dan peralatan pendukung seperti komputer tidak dapat lagi digunakan untuk kegiatan UPK dan TPK sementara implementasi program belum sepenuhnya dapat berjalan dengan sendirinya.
1.10.2 Analisis Kepentingan 1.10.2.1
Tingkat Stakeholder
Permasalahan pada pengelolaan MFCDP dapat kita lihat dengan menggunakan metode Focus Group Discussion (FGD) dengan melihat indikator kritis. Peralatan yang digunakan pada saat pelaksanaan FGD adalah spidol, kertas manila, kertas karton, gunting, lem, double tip, pengeras suara, alat perekam dan foto dokumentasi. Analisis kepentingan dilakukan untuk melihat tingkat kepentingan stakeholder dan MPM dalam pengelolaan sumberdaya perikanan Kabupaten Tapanuli Tengah. Dengan menggunakan analisis ini dapat menggambarkan prioritas dan identifikasi preferensi responden terhadap indikator kritis yaitu SDA Lingkungan, Ekonomi, Sosial dan Kebijakan sehingga diharapkan dapat diselesaikan permasalahannya secara cepat. Tabel 9 menyajikan hasil dari FGD tingkat stakeholder yang memperlihatkan bahwa: 10.1.1.1
Pada faktor sumberdaya alam sebanyak 11 orang responden
memilih kategori penting dan 9 orang responden memilih kategori sangat penting. Masalah kritis menurut responden yang teridentifikasi diantaranya adalah keganasan operasional pukat trawl dari Sibolga yang beroperasi di wilayah penangkapan nelayan tradisional, masalah ilegal fishing seperti nelayan yang berasal dari Thailand, komitmen yang rendah dari para stakeholder dalam menerapkan dokumen RPP, eksploitasi terumbu karang yang berlebihan, overfishing, dan terjadinya banjir akibat dari pohon bakau yang dirusak. 10.1.1.2
Pada faktor ekonomi sebanyak 1 orang responden memilih kategori
kurang penting, 11 orang responden memilih kategori penting dan 8 orang responden memilih kategori sangat penting. Masalah kritis yang teridentifikasi adalah pengembalian dana MFCDP yang kurang lancar karena
61
ketidakpercayaan antara MPM dengan TPK terkait tidak transparannya laporan dana perguliran, dana MFCDP tahap kedua agar digulirkan, pemberian modal yang tidak tepat sasaran, harga pasar tidak menentu, pendapatan yang menurun akibat dari sistem pasar yang tidak mendukung seperti harga ikan yang dikuasai oleh tengkulak/toke, pendapatan UPK dan TPK yang tidak lancar karena kurang lancarnya dana perguliran dan MPM kurang bisa mengelola pendapatan yang telah didapat. 10.1.1.3
Pada faktor sosial sebanyak 1 orang responden memilih kategori
kurang penting, 4 orang responden memilih kategori penting dan 15 orang responden memilih kategori sangat penting. Masalah kritis yang teridentifikasi yaitu minimnya kemampuan SDM dalam mengelola karena kurangnya pembinaan terhadap lembaga pengelola MFCDP seperti pengelolaan terhadap keuangan, MPM menganggap bahwa uang MFCDP tidak perlu dikembalikan, kurang disiplinnya sanksi yang diberikan pengelola terhadap MPM yang melakukan pelanggaran seperti penarikan perahu karena MPM tidak melakukan perguliran dana dan adanya indikasi penegakan aturan berkaitan dengan kolega/famili. 10.1.1.4
Pada faktor kebijakan sebanyak 1 orang responden memilih
kategori kurang penting, 5 orang responden memilih kategori penting, dan 14 orang responden memilih kategori sangat penting. Masalah kritis yang teridentifikasi adalah kurang menyatunya kerja aparat seperti peraturan yang dibuat harus ditegakkan dengan bantuan polisi perairan, pengelola program agar memperhatikan kebutuhan yang mendesak dari MPM seperti calon MPM yang menunggu untuk menerima bantuan dari program MFCDP, tidak terwujudnya kesamaan persepsi antara pemerintah dengan MPM dalam hal pengelolaan dana perguliran dan kurang jelasnya peraturan yang dibuat untuk kegiatan operasional nelayan. Hasil penilaian dari keempat faktor tersebut menunjukan bahwa faktor ekonomi dan kebijakan merupakan hal yang sangat penting bagi keberlanjutan program MFCDP. Sementara itu hasil penilaian untuk faktor sumberdaya alam dan sosial sebagian besar stakeholder menilai hal tersebut hanya penting. Hal ini berarti bahwa pada tingkat stakeholder, masyarakat menginginkan permasalahan
62
pada faktor ekonomi dan kebijakan harus segera diselesaikan apabila dibandingkan dengan faktor yang lainnya.
63
Tabel 9 Jumlah Stakeholder terhadap Indikator Kritis Skala Kepentingan No Faktor 1 3 5 1 Sumberdaya Alam 0 orang 11 orang 9 orang 2 Sosial 1 orang 11 orang 8 orang 3 Ekonomi 1 orang 4 orang 15 orang 4 Kebijakan 1 orang 5 orang 14 orang Keterangan : 1 = Tidak Penting, 3 = Penting, 5 = Sangat Penting Sumber : Hasil FGD tingkat Stakeholder
1.10.2.2
Tingkat Masyarakat Penerima Manfaat (MPM)
Tabel 10 menyajikan hasil penilaian dari FGD tingkat MPM yang memperlihatkan bahwa : 1. Faktor sumberdaya alam sebanyak 2 orang responden memilih kategori penting dan 22 orang responden memilih kategori sangat penting. Masalah kritis yang teridentifikasi adalah membuat rumpon laut agar ada tempat berkumpulnya ikan dan masalah pukat harimau yang selalu merajalela sehingga sumberdaya alam hancur. 2. Pada faktor ekonomi sebanyak 2 orang responden memilih kategori penting dan 22 orang responden lainnya memilih kategori sangat penting. Faktor ekonomi yang dimaksud berkaitan dengan pendapatan yang diterima, pengeluaran MPM dan sumber modal. Masalah yang teridentifikasi adalah modal untuk meningkatkan pendapatan dirasakan kurang, harga pasar tidak menentu karena permainan tengkulak sehingga terkadang keuntungan yang dirasakan masih kecil dan modal yang diterima sekarang tidak cukup untuk melakukan penangkapan. Pada faktor ekonomi ini terlihat MPM menginginkan adanya bantuan tambahan dana MFCDP, sehingga kedatangan tim evaluasi dari Bappenas dianggap untuk mendata responden yang akan menerima bantuan dana tambahan MFCDP. 3. Faktor sosial terdapat 1 orang responden yang memilih kategori tidak penting, 4 orang responden memilih kategori penting dan 19 orang responden memilih kategori sangat penting. Faktor sosial yang dimaksud adalah berkaitan dengan kerjasama antar MPM, aturan yang disepakati antar MPM dan konflik yang terjadi. Masalah yang teridentifikasi untuk faktor sosial diantaranya adalah sumberdaya manusia dalam hal pembinaan terhadap MPM dirasakan masih
64
kurang, masih sering ditemukan pelanggaran terhadap aturan dan potensi konflik antar nelayan tradisional dengan nelayan pukat seringkali terjadi. 4. Pada faktor kebijakan keseluruhan responden memilih kategori sangat penting. Masalah kritis yang teridentifikasi adalah pembuatan peraturan pedesaan seperti peraturan tentang pelarangan nelayan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, peningkatan kekompakan antar sesama nelayan dan peningkatan kinerja nelayan. Hasil penilaian dari keempat faktor tersebut menunjukan bahwa keempat faktor memiliki penilaian yang sangat penting. Hal ini berarti bahwa pada tingkat MPM, masyarakat menginginkan permasalahan pada keempat faktor harus segera diselesaikan dan ditangani secara serius baik oleh KK, UPK, TPK, Dinas Perikanan, Kecamatan maupun MPM sendiri.
Tabel 10 Jumlah MPM terhadap Indikator Kritis Skala Kepentingan No Faktor 1 3 5 1 Sumberdaya Alam 0 orang 2 orang 22 orang 2 Sosial 1 orang 4 orang 19 orang 3 Ekonomi 0 orang 2 orang 22 orang 4 Kebijakan 0 orang 0 orang 24 orang Keterangan :1 = Tidak Penting, 3 = Penting, 5 = Sangat Penting Sumber: Hasil FGD tingkat MPM
1.10.3 Pernyataan Masyarakat Penerima Manfaat (MPM) 1.10.3.1
MPM Perikanan Tangkap
Kelompok MPM perikanan tangkap tersebar di 3 kecamatan dan 5 desa lokasi program MFCDP. Pada Desa Bottot Teluk Roban terdapat 4 kelompok dengan jumlah anggota sebanyak 49 orang, Desa Pahieme 3 kelompok dengan jumlah anggota 33 orang, Desa Maduma 1 kelompok dengan jumlah anggota 21 orang, Desa Lingkungan III Pasar Sorkam 6 kelompok dengan jumlah anggota 79 orang dan Desa Hurlang Muara Nauli 3 kelompok dengan jumlah anggota sebanyak 34 orang. Pada umumnya nelayan tangkap di lokasi penelitian, termasuk nelayan tradisional yang mengandalkan perahu tanpa mesin dan peralatan sederhana dalam melakukan usaha penangkapan ikan. Target tangkapan nelayan secara umum di lokasi perairan adalah ikan kembung ”aso-aso”, kembung ”gambolo” dan tongkol.
65
Alat tangkap yang digunakan berupa jaring kembung ”aso-aso” yang merupakan jenis alat tangkap yang termasuk kategori gillnet, karena jaring tersebut berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran mata jaring yang sama besar dan jumlah mesh depth yang lebih sedikit daripada mesh size pada arah panjang jaring. Pada bagian atas jaring kembung ”aso-aso” terdapat tali ris atas yang dilengkapi dengan pelampung, sementara di bagian bawahnya dilengkapi dengan pemberat, dengan adanya dua gaya yang berbeda tersebut maka jaring akan terbentang.
(A). Indikator Ekologi
Pada indikator ekologi, tercapainya tujuan apabila kemampuan program MFCDP sebagai suatu sistem pengelolaan sumberdaya perikanan dalam mempertahankan atau meningkatkan suatu kondisi ekologis bagi kelangsungan usaha perikanan tangkap. Komponen indikator ekologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pernyataan MPM terhadap hasil tangkapan, jumlah jenis ikan, ukuran ikan dan kondisi perairan.
A.1 Kondisi Hasil Tangkapan
Kondisi sumberdaya perikanan merupakan salah satu indikator ekologi untuk menentukan keberlanjutan dari sumberdaya perikanan. Kondisi sumberdaya perikanan ini bertujuan untuk melihat perbandingan kondisi pada saat penelitian dengan kondisi pada saat program MFCDP diterapkan. Berdasarkan pada Gambar 5 bahwa sumberdaya perikanan sebagian besar telah berkurang selama kurun waktu lima tahun terakhir selama pelaksanaan program MFCDP. Gambar 5 menunjukan kondisi hasil tangkapan nelayan selama lima tahun terakhir dapat terlihat bahwa sebanyak 44% responden ( 14 orang) menyatakan kondisi hasil tangkapan mengalami sedikit pengurangan kalau dibandingkan dengan lima tahun lalu. Selain itu sebanyak 16% responden (5 orang) menyatakan bahwa kondisi hasil tangkapannya sama saja dan berkurang dua kali lipat selama lima tahun belakang. Hal ini terjadi karena adanya penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan dari luar desa yang menggunakan pukat trawl, sehingga daerah penangkapan ikan yang seharusnya dimanfaatkan untuk nelayan kecil, harus berbagi ruang dengan nelayan besar yang menggunakan peralatan yang
66
kapasitas dan teknologi penangkapan yang lebih besar. Sementara itu kondisi sumberdaya perikanan di sekitar desa yang memang telah mengalami penurunan. Selain itu, kondisi hasil tangkapan nelayan juga tergantung dengan faktor alam yaitu fluktuasi musim. Sebanyak 22% responden (7 orang) menyatakan bahwa peningkatan hasil tangkap memang meningkat tetapi tidak banyak. Hal tersebut terjadi hanya pada saat-saat tertentu yaitu apabila musim ikan kembung ”aso-aso” dan ikan kembung ”gambolo” tiba. 50
44%
% Responden
40 30
22% 16%
20 10
16%
3%
0 Meningkat Meningkat 2 kali
Sama saja Berkurang
Berkurang 2 kali
Pernyataan Responden
Gambar 5 Diagram Persentase Pernyataan Responden berdasarkan Kondisi Hasil Tangkap Nelayan dalam 5 Tahun terakhir A.2 Kondisi Jumlah Jenis Ikan
Kondisi jumlah jenis ikan yang ditangkap oleh nelayan cenderung berkurang yang dapat ditunjukan pada Gambar 6 dimana berdasarkan data hasil penelitian bahwa sebanyak 55% responden (18 orang) menyatakan jumlah jenis ikan yang ditangkap semakin berkurang dan 36% responden (12 orang) menyatakan jumlah jenis ikannya sama saja. Jenis ikan yang pernah ditangkap oleh beberapa responden diantaranya adalah udang putih, ikan ”gulamo”, ikan pari, ikan kembung ”aso-aso” dan ikan kembung ”gambolo”. Jumlah jenis ikan yang tertangkap tergantung sekali dengan jenis alat tangkap yang digunakan, misalnya alat tangkap jaring ”aso-aso” (Lampiran 13) dapat menangkap ”gambolo” dan ”aso-aso”, jaring kepiting untuk menangkap kepiting (Lampiran 13) dan pancing untuk menangkap ikan lainnya. Berdasarkan data hasil wawancara, jenis yang sering ditangkap sekarang adalah ”aso-aso”, ”gambolo” dan kepiting.
67
55%
60
% Responden
50 36%
40 30 20 10
6%
3%
0 Makin banyak
Sama saja
Makin kurang
Tidak tahu
Pernyataan Responden
Gambar 6 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Kondisi Jumlah Jenis Ikan A.3 Kondisi Ukuran Ikan
Ukuran ikan dapat dijadikan indikasi apakah suatu perairan mengalami gejala penangkapan berlebih atau tidak. Gambar 7 menunjukan persentase pernyataan responden terhadap kondisi ukuran ikan. Berdasarkan data pada Gambar 7 bahwa sebanyak 52% responden (17 orang) menyatakan ukuran ikan yang ditangkap semakin kecil, hal ini memungkinkan untuk dijadikan indikasi bahwa sumberdaya perikanan telah mengalami gejala over fishing atau degradasi sumberdaya perikanan. Pada Lampiran 7 dapat dilihat perubahan ukuran ikan kembung “aso-aso”, Lampiran 8 dapat dilihat perubahan ukuran ikan kembung “gambolo” dan pada pada Lampiran 9 dapat dilihat perubahan ukuran kepiting dari tahun 2004 ke tahun 2007 berdasarkan dari pengalaman responden, dalam hal ini responden usaha perikanan tangkap. Untuk beberapa jenis ikan malah sulit sekali untuk ditemukan sekarang seperti ikan hiu dan ikan pari. Penggunaan alat tangkap pukat trawl dapat membunuh bibit ikan sehingga ketersediaan ikan dimasa depan akan semakin berkurang. 60
52%
50
% Responden
39% 40 30 20 10
6%
3%
0 Makin besar
Sama saja
Makin kecil
Tidak tahu
Pernyataan Responden
Gambar 7 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Kondisi Ukuran Ikan
68
A.4 Kondisi Perairan
Kondisi perairan dapat dijadikan indikator terhadap keberlanjutan usaha perikanan. Gambar 8 menyajikan persentase pernyataan responden terhadap kondisi perairan desa dan penyebab pencemaran perairan. Berdasarkan data yang telah diolah sebanyak 26% responden (8 orang) menyatakan bahwa kondisi perairannya masih cukup baik, sedangkan 61% responden (19 orang) menyatakan lingkungannya sudah mulai tercemar akibat dari penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti potasium sianida dan bom ikan yang pelakunya berasal dari luar desa serta limbah rumah tangga. Hal tersebut dapat terlihat pada Gambar 8 dimana sebanyak 70% responden (21 orang) menyatakan bahwa penyebab perairannya tercemar karena adanya aktifitas kegiatan manusia. Penyebab alami pencemaran perairan terjadi karena bencana alam seperti banjir yang pernah melanda desa-desa lokasi program MFCDP.
80
61%
50 40 30
70%
70
60
26%
20
13%
% Responden
% Responden
70
60 50 40 30
20%
20
10%
10
10
0
0
Relatif baik
Mulai tercemar
Sama saja
Kegiatan manusia
Pernyataan Responden
Alamiah
Tidak tahu
Pernyataan Responden
Gambar 8 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Kondisi Perairan Desa dan Penyebab Pencemaran Perairan (B) Indikator Ekonomi
Terpenuhinya indikator ekonomi program MFCDP ini dijabarkan sebagai kemampuan program sebagai suatu sistem pengelolaan sumberdaya perikanan dalam mempertahankan atau meningkatkan suatu kondisi ekonomi MPM usaha perikanan tangkap. Komponen yang digunakan dalam penelitian ini adalah pernyataan MPM terhadap pendapatan keluarga, kontribusi hasil tangkapan, harga ikan hasil tangkapan, harga ikan yang pantas dan kecenderungan responden apabila sumberdaya perikanan telah habis, pengembalian dana bergulir dan penyebab ketidaklancaran pengembalian dana.
69
B1. Pendapatan Keluarga
Pernyataan terhadap sosial ekonomi nelayan berguna untuk melihat pengaruh program MFCDP untuk kesejahteraan nelayan. Gambar 9 menyajikan persentase pernyataan responden terhadap pendapatan keluarga dalam lima tahun terakhir dimana hasilnya sebanyak 42% responden (14 orang) menyatakan bahwa pendapatan keluarganya meningkat tetapi peningkatannya tidak signifikan, hal ini terjadi setelah program MFCDP mulai berjalan. Hal tersebut terjadi pada responden yang berhasil dalam melakukan perguliran keuangan kepada UPK melalui TPK. Sementara itu yang menyatakan pendapatannya berkurang dua kali atau berkurang tetapi tidak banyak terjadi pada responden yang tidak berhasil dalam memutar uang/pengembalian dana yang telah diterima dari program MFCDP karena responden tersebut terkadang sangat sulit untuk mendapatkan ikan setiap harinya sehingga pendapatannya pun tidak cukup untuk membayar
% Responden
cicilan.
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
42%
27%
15% 9%
6%
Meningkat 2 kali
Meningkat
Sama saja
Berkurang
Berkurang 2 kali
Pernyataan Responden
Gambar 9 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Pendapatan Keluarga dalam Lima Tahun Terakhir B2. Kontribusi Hasil Tangkapan
Analisis untuk kontribusi hasil tangkapan terhadap pendapatan dapat terlihat pada Gambar 10, bahwa sebanyak 19% responden (6 orang) menyatakan bahwa seluruh pendapatannya berasal dari hasil tangkapan dan 41% responden (13 orang) menyatakan bahwa 80% pendapatannya berasal dari hasil tangkapan. Hal tersebut dapat menggambarkan pentingnya komoditas perikanan sebagai salah satu mata pencaharian utama yang dimiliki oleh responden untuk kesejahteran keluarga. Aktifitas rata-rata jumlah hari melaut dalam sebulan biasanya berkisar
70
antara 15-25 hari tergantung dari kondisi cuaca. Pada saat vakum melakukan aktifitas penangkapan, nelayan terkadang melakukan alternatif mata pencaharian lain seperti bercocok tanam dan beternak. Hal ini merupakan salah satu cara untuk beradaptasi menghadapi penghasilan yang tidak menentu. Tujuan dari melakukan alternatif mata pencaharian lain agar mendapatkan penghasilan tambahan diluar
% Responden
pekerjaannya sebagai nelayan.
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
41%
25% 19%
Seluruhnya Pendapatan
16%
80 % Pendapatan
50% Pendapatan
20% Pendapatan
Pernyataan Responden
Gambar 10 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Kontribusi Hasil Tangkapan Ikan untuk Total Pendapatan Keluarga B3. Harga Ikan Hasil Tangkapan
Gambar 11 menyajikan persentase pernyataan responden terhadap harga ikan hasil tangkapan dalam lima tahun terakhir. Sebanyak 48% responden (16 orang) menyatakan bahwa harga ikan meningkat tetapi peningkatannya tidak signifikan dan sebanyak 27% responden (9 orang) menyatakan harga ikan memang menurun tetapi penurunannya tidak banyak. Untuk harga ikan yang meningkat terjadi karena hasil ikan yang didapat sedikit sehingga permintaan yang tinggi terhadap ikan tidak sesuai dengan jumlah ikan yang diperoleh dan keberadaan tengkulak bertambah sehingga posisi tawar nelayan menjadi tinggi. Sementara itu untuk harga ikan yang menurun memiliki alasan yang berlawanan yaitu hasil ikan yang didapat cukup besar. Pada saat panen ikan, nelayan tidak memiliki tempat pendinginan (cold storage) yang dapat digunakan untuk menyimpan sebagian ikan hasil tangkapan.
71
60 48%
% Responden
50 40 27%
30 18%
20 10
3%
3%
0 Meningkat 2 kali
Meningkat
Sama saja
Menurun
Menurun 2 kali
Pernyataan Responden
Gambar 11 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Harga Ikan Hasil Tangkapan Dalam Lima Tahun Terakhir B4. Harga Ikan yang “Pantas”
Gambar 12 menyajikan persentase pernyataan responden terhadap harga ikan yang pantas menurut responden. Harga ikan yang pantas adalah harga yang diinginkan oleh nelayan agar pendapatan yang diterima dari hasil menjual ikan dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga serta dapat mencicil angsuran dari program MFCDP. Berdasarkan Gambar 12, sebanyak 48% responden (16 orang) menyatakan bahwa harga ikan saat ini terlalu rendah dan 42% responden (14 orang) menyatakan harga ikan saat ini sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan seharihari keluarga. Dapat kita bandingkan berdasarkan hasil dari wawancara bahwa rata-rata harga ikan “aso-aso” pada tahun 2004 adalah Rp 6.700 dan pada tahun 2007 adalah Rp 10.500 (Lampiran 7). Telah dijelaskan sebelumnya bahwa harga ikan yang meningkat dipengaruhi oleh hasil ikan yang didapat sedikit sementara tengkulak bertambah. 60 48%
% Responden
50
42%
40 30 20 10
6%
3%
0 Terlalu tinggi
Terlalu rendah
Cukup
Lain-lain
Pernyataan Responden
Gambar 12 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Harga Ikan yang Pantas
72
B5. Kecenderungan Responden Apabila Sumberdaya Semakin Turun
Gambar 13 menyajikan persentase pernyataan responden terhadap kecenderungan untuk pindah apabila kondisi sumberdaya semakin turun. Sebanyak 68% responden (21 orang) menyatakan bahwa akan tetap tinggal di desa dan menjadi non nelayan apabila hasil ikan tangkapan semakin turun dan sumberdaya perikanan cenderung habis. Hal ini terjadi karena selain menjadi nelayan, responden juga memiliki lahan pertanian yang digunakan sebagai alternatif mata pencaharian. Selain itu, alasan lain responden untuk tetap memilih tetap tinggal di desanya adalah memiliki rasa kekeluargaan yang sangat tinggi diantara para penduduk desa. 80
68%
% Responden
70 60 50 40 30 20 10
10%
10%
13%
Tidak tahu
Lain-lain
0 Pindah dan Tetap menjadi Nelayan
Tetap dan Menjadi Non Nelayan
Pernyataan Responden
Gambar 13 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Kondisi Sumberdaya Semakin Turun dan Cenderung Habis B6. Pengembalian Dana Bergulir
Pernyataan responden terkait pengembalian dana bergulir memiliki hasil nilai yang tidak berbeda yang dapat ditunjukan pada Gambar 14. Sebanyak 33% responden (11 orang) menyatakan pengembalian dana bergulirnya lancar sesuai dengan waktu yang telah disepakati. Selanjutnya bahwa sebanyak 39% responden (13 orang) menyatakan pengembalian dana bergulirnya lancar namun tidak sesuai dengan waktu yang telah disepakati dan 27% responden (9 orang) menyatakan pengembalian dananya tidak lancar. Namun secara umum berdasarkan pengamatan di lapangan dari keseluruhan responden dapat terlihat bahwa tingkat pengembaliannya tidak terlalu sukses, hanya Desa Bottot Teluk Roban yang masyarakat penerima manfaatnya masih melakukan perguliran dana. Hal ini terkait sekali dengan peran aktif TPK dalam melakukan penagihan dana bantuan kepada MPM yang berada pada desa tersebut.
% Responden
73
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
39% 33% 27%
Lancar sesuai waktu
Lancar namun tidak tepat
Tidak lancar
Pernyataan Responden
Gambar 14 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Pengembalian Dana Bergulir B7. Penyebab Ketidaklancaran Pengembalian Dana Bergulir
Gambar 15 menyajikan persentase pernyataan responden terhadap alasan pengembalian dana bergulir yang tidak lancar. Hasilnya menunjukan bahwa sebanyak 75% responden (24 orang) mengatakan penghasilan dari hasil perikanan yang tidak menentu sebagai alasan utama pengembalian dananya tidak lancar. Hal ini sangat terkait sekali dengan fluktuasi musim ikan yang tidak menentu sehingga terjadinya penurunan hasil tangkapan nelayan dan daya beli konsumen terhadap ikan cenderung masih rendah. Sementara itu cicilan dana bergulir harus tetap
% Responden
dilakukan setiap harinya sebesar Rp 2.000,00. 80 70 60 50 40 30 20 10 0
75%
16% 6% Penghasilan tak tentu
3%
Manajemen tidak Tidak tahu transparan
Lain-lain
Pernyataan Responden
Gambar 15 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap alasan Pengembalian Dana Bergulir Tidak Lancar
(C). Indikator Sosial
Terpenuhinya indikator sosial program MFCDP dalam penelitian ini dijabarkan sebagai kemampuan program sebagai suatu sistem pengelolaan sumberdaya perikanan dalam membangun, mempertahankan atau meningkatkan
74
suatu kondisi sosial pada usaha perikanan tangkap. Komponen indikator sosial yang digunakan dalam penelitian ini adalah pernyataan MPM terhadap hak penangkapan ikan, konflik dan penyebabnya, penyelesaian konflik, pihak-pihak yang terlibat dan hubungan MPM dengan tengkulak.
C1. Hak Penangkapan Ikan
Berdasarkan data pada Gambar 16 yang menyajikan persentase pernyataan responden terhadap hak menangkap ikan bahwa sebanyak 55% responden (18 orang) menyatakan hanya nelayan desa setempat yang berhak menangkap ikan di perairan desanya sendiri. Menurut responden, hal ini bertujuan agar sumberdaya perikanan yang berada di desanya dapat terus dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk generasi selanjutnya. Namun 33% responden (11 orang) menyatakan bahwa nelayan dari desa lain boleh menangkap, hanya saja alat tangkapnya sesuai dengan yang telah disepakati bersama yang bersifat tidak merusak seperti pembuatan rumpon untuk mengumpulkan ikan dan memancing. MPM masih terbuka terhadap nelayan tradisional dari desa lain, karena merasa masih sebagai satu keluarga. 60
55%
% Responden
50 40
33%
30 20
12%
10 0 Desa setempat
Desa lain
Kabupaten lain
Pernyataan Responden
Gambar 16 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Hak Menangkap Ikan di Perairan Desa C2. Konflik dan Penyebabnya
Gambar 17 menyajikan persentase pernyataan responden terhadap frekuensi konflik dan penyebab konfliknya dimana hasilnya menunjukan bahwa konflik nelayan antar desa setempat tidak terlalu sering terjadi, yang dinyatakan oleh 61% responden (20 orang). Hal ini karena nelayan merasa berasal dari satu keluarga keturunan yang memiliki kekerabatan yang cukup dekat. Namun ada
75
juga beberapa konflik nelayan yang sering terjadi antar desa setempat seperti masalah alat tangkap tradisional yang ditabrak oleh mini trawl dari desa lain yang dinyatakan oleh 21% responden (7 orang). Konflik-konflik yang terjadi dapat diidentifikasi karena telah terjadinya pelanggaran jalur-jalur penangkapan ikan oleh nelayan dari luar desa (Daerah Penangkapan Ikan) yaitu pada wilayah kurang dari 3 mil yang dipaparkan oleh 67% responden (22 orang). 70
61%
70
50 40 30
67%
60
21%
20
9%
10
9%
% Responden
% Responden
60
50 40 30 20 10
0
12% 3%
12% 6%
0
Sering sekali
Jarang
Tidak pernah Tidak tahu
Pernyataan Responden
Masalah Masalah Masalah Lain-lain Tidak tahu DPI bagi hasil Sosial Pernyataan Responden
Gambar 17 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Frekuensi Konflik dan Penyebab Konflik C3. Penyelesaian Konflik
Sebagian besar konflik yang terjadi diselesaikan secara kekeluargaan (48% responden) yang dapat dilihat pada Gambar 18, namun apabila secara kekeluargaan tidak ditemukan jalan penyelesaiannya maka konflik tersebut dilakukan melalui forum adat (27% responden). Pada Desa Lingkungan III Pasar Sorkam telah dibuat aturan lokal yang diberi nama “Peraturan-Peraturan Adat yang Berlaku di Daerah Pasar Sorkam Kecamatan Sorkam Barat” pada tanggal 23 Juli 2004. Peraturan adat ini ditetapkan di dalam musyawarah yang disebut musyawarah adat. Peraturan di laut mencakup waktu yang boleh/tidak boleh kelaut, tidak boleh berkelahi di pantai, membantu menolong jika ada musibah di laut dan wakaf dari hasil laut. Peraturan adat tersebut memang kurang disosialisasikan secara intensif kepada masyarakat desa, namun secara turuntemurun peraturan yang telah dibuat dalam aturan lokal tersebut telah diakui secara individu masyarakat desa itu sendiri.
76
60 48%
% Responden
50 40 27%
30
15%
20 6%
10
3%
0 Forum Adat
Kepala Desa
Kekeluargaan
Lain-lain
Tidak tahu
Pernyataan Responden
Gambar 18 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Penyelesaian Konflik C4. Pihak-Pihak yang Terlibat Konflik
Pada Gambar 19 menyajikan persentase pernyataan responden terhadap pihak-pihak yang terlibat konflik. Sebanyak 50% responden (16 orang) menyatakan bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam konflik biasanya antara nelayan dengan pemilik kapal atau pemilik alat tangkap, misalnya terkait masalah pembagian keuntungan. Sebanyak 9% responden (3 orang) menyatakan konflik yang terjadi antar sesama nelayan. Konflik yang terjadi biasanya bersifat perorangan, sehingga jarang sekali terjadi konflik antar desa. 60
50%
% Responden
50 40 30 19% 20
22%
9%
10 0 Antar Nelayan
Nelayan dengan Pemilik
Nelayan dan Non nelayan
Tidak tahu
Pernyataan Responden
Gambar 19 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Pihak-Pihak yang Terlibat Konflik C5. Hubungan dengan Tengkulak
Hubungan nelayan terhadap pemilik modal dapat terlihat pada Gambar 20, dimana sebanyak 16% responden (5 orang) memiliki hubungan yang tergantung sekali, 48% responden (15 orang) memiliki hubungan yang tidak terlalu tergantung dan 35% responden (11 orang) memiliki hubungan yang biasa saja.
77
Pada desa penelitian dapat digambarkan bahwa sebagian besar nelayan hubungannya terhadap tengkulak tidak terlalu besar karena program MFCDP telah menggantikan fungsi dari tengkulak untuk memberikan insentif keuangan kepada nelayan. Namun tidak dapat tertutup kemungkinan bahwa tengkulak masih dapat mengikat nelayan ketika nelayan mengalami musim paceklik. Biasanya hubungan ketergantungan terhadap pemilik modal dalam hal peminjaman uang yang akan digunakan untuk kepentingan penangkapan dan keluarga. Responden yang menyatakan sangat tergantung dengan tengkulak mengatakan karena pembeli atau konsumen dari luar desa tidak ada, sehingga harganya ditentukan hanya berdasarkan dari tengkulak. 60 48%
% Responden
50
35%
40 30 20
16%
10 0 Tergantung sekali
Tidak terlalu Tergantung
Biasa saja
Pernyataan Responden
Gambar 20 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Hubungannya dengan Tengkulak atau Pemilik Modal (D). Indikator Kebijakan/Institusi
Terpenuhinya indikator institusi program MFCDP dalam penelitian ini dijelaskan sebagai kemampuan program sebagai suatu sistem pengelolaan sumberdaya perikanan dalam membangun, mempertahankan atau meningkatkan suatu institusi/kebijakan pada usaha perikanan tangkap. Komponen indikator kebijakan/institusi yang digunakan dalam penelitian ini adalah keberadaan organisasi atau kelompok nelayan, keanggotaan responden, penyuluhan dan pembinaan di desa, partisipasi responden, peningkatan pengetahuan.
D1. Keberadaan Organisasi atau Kelompok Nelayan
Gambar 21 menunjukan persentase pernyataan responden terhadap organisasi atau kelompok nelayan. Sebanyak 52% responden (17 orang) menyatakan bahwa organisasi atau kelompok nelayan yang terdapat di desa
78
berjalan dengan baik, sedangkan 39% responden (13 orang) lainnya menyatakan bahwa organisasi atau kelompok nelayan tidak berjalan dengan baik. Dua organisasi menurut nelayan yang masih berjalan antara lain yaitu MFCDP dan HNSI. Organisasi HNSI di desa penelitian saat ini masih berjalan, namun frekuensi untuk melakukan pertemuan atau melakukan kegiatan sangat jarang. Hal ini dapat tergambarkan pada saat wawancara dengan responden yang mengatakan bahwa HNSI yang ada sekarang hanya terlihat aktif pada saat akan ada pemilihan ketua baru. 60
52%
50
% Responden
39% 40 30 20 9% 10 0 Ada, jalan baik
Ada, tidak jalan
Tidak ada
Pernyataan Responden
Gambar 21 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Organisasi atau Kelompok Nelayan D2. Keanggotaan Responden
Gambar 22 menunjukan persentase pernyataan responden terhadap keikutsertaan anggota. Sebanyak 78% responden (25 orang) menyatakan keanggotaannya masih aktif dan sebanyak 19% responden (6 orang) menyatakan menjadi anggota tetapi tidak aktif. Rapat anggota organisasi biasanya dilakukan sebulan sekali, namun terkadang kalau memang banyak permasalahan atau kegiatan yang harus dilaksanakan maka rapat anggota dilakukan sebanyak 2 kali
% Responden
selama sebulan. 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
78%
19% 3% Ya, aktif
Ya, tidak aktif
Lain-lain
Pernyataan Responden
Gambar 22 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Keikutsertaan Anggota
79
D3. Penyuluhan dan Pembinaan di Desa
Kapasitas nelayan di lima desa penelitian saat ini masih sangat rendah yaitu struktur usaha perikanan tangkapnya yang memang masih didominasi oleh usaha skala kecil. Nelayan memiliki keterbatasan kapasitas penangkapan baik penguasaan teknologi, metode penangkapan maupun permodalan. Kapasitas tersebut dapat ditingkatkan dengan melakukan pembinaan yang intensif terhadap nelayan. Dari aspek sosial telah terjadi peningkatan kapasitas nelayan yaitu terjadinya peningkatan kemampuan nelayan di dalam melakukan pengelolaan keuangan walaupun tidak keseluruhan responden. Gambar 23 menyajikan persentase pernyataan responden terhadap pembinaan perikanan tangkap yang dilakukan pada program MFCDP. Sebanyak 79% responden (26 orang) menyatakan bahwa pembinaannya memang ada namun jarang dilakukan. Hal tersebut terjadi karena pada saat penelitian, program MFCDP mulai memasuki tahun ke empat, sehingga pembinaannya hanya bersifat pemantauan dari UPK dan TPK setempat. Pembinaan biasanya dilakukan di balai desa pada saat nelayan tidak melakukan kegiatan di laut (hari Jumat/Minggu) ataupun pada saat malam hari. 90
79%
80
% Responden
70 60 50 40 30 20
12%
9%
10 0 Ada dan sering
Ada, tapi jarang
Tidak ada
Pernyataan Responden
Gambar 23 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Pembinaan tentang Perikanan Tangkap D4. Partisipasi Responden
Gambar 24 menunjukan persentase pernyataan responden terhadap partisipasi kegiatan. Sebanyak 69% responden (22 orang) menyatakan sering mengikuti kegiatan pada saat ada pertemuan kelompok, 19% responden (6 orang) menyatakan jarang ikut dan 13% responden (4 orang) menyatakan tidak pernah berpartisipasi. Partisipasi dalam pertemuan organisasi atau kelompok dipengaruhi
80
oleh perilaku responden dan kondisi kelompok masing-masing. Perilaku responden yang sering mengikuti rapat organisasi karena responden menyadari pentingnya rapat tersebut untuk membuat taraf hidupnya meningkat, namun responden yang tidak pernah mengikuti rapat kelompok terkadang memang terlalu sibuk mengurus keluarga dalam hal mencari nafkah selain itu responden tersebut menganggap bahwa tidak dapat mengambil manfaat dari setiap diadakannya rapat.
80
69%
% Responden
70 60 50 40 30
19%
20
13%
10 0 Sering ikut
Jarang ikut
Tidak pernah ikut
Pernyataan Responden
Gambar 24 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Partisipasi Kegiatan D5. Peningkatan Pengetahuan
Peningkatan pengetahuan responden dalam lima tahun terakhir ditunjukan pada Gambar 25. Sebanyak 50% responden (17 orang) menyatakan ada peningkatan pengetahuan dan 26% responden (9 orang) menyatakan peningkatan pengetahuannya sama saja sejak dulu. Peningkatan pengetahuan ini sangat terkait terhadap peningkatan kapasitas MPM sehingga tujuan dari program MFCDP dapat tercapai. Pengetahuan disini lebih mengarah kepada teknologi alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan, teknologi rumponisasi, tanda batas zonasi untuk pengelolaan produktifitas sumberdaya pesisir serta cara berorganisasi yang baik antar anggota kelompok. Peranan UPK dan TPK yang ada di desa penelitian, memiliki posisi yang sangat penting dalam peningkatan kapasitas nelayan. Dapat terlihat pada pernyataan responden sebanyak 64% responden (21 orang) mengatakan peran UPK dan TPK sangat penting dan 36% responden (12 orang) hanya menyatakan penting. Fungsi UPK sendiri adalah unit pengelola dan operasional pelaksanaan kegiatan program MFCDP di tingkat kawasan pesisir. Sementara itu fungsi dari TPK yaitu untuk mengelola dan melaksanakan kegiatan program MFCDP di tingkat desa.
81
60
50%
% Responden
50 40 26%
30
21%
20 10
3%
0 Ada
Sama saja Sejak dulu Tidak ada
Tidak tahu
Pernyataan Responden
Gambar 25 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Peningkatan Pengetahuan 1.10.3.2
MPM Perikanan Budidaya
Kelompok usaha perikanan budidaya hanya terdapat pada Desa Bottot Teluk Roban yang berjumlah satu kelompok dengan jumlah anggota sebanyak 11 orang. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa jenis yang dibudidayakan oleh MPM pembudidaya adalah lokan (kerang darah) yang memiliki nama latin Anadara sp. Usaha budidaya ini dikembangkan oleh komunitas perempuan atau istri-istri nelayan sebagai usaha untuk mendapatkan pendapatan tambahan bagi keluarga. Budidaya lokan ini merupakan salah satu alternatif mata pencaharian lain bagi masyarakat pesisir. Studi yang dilakukan Andriati (1992) diacu dalam Kusnadi (2000) mengungkapkan bahwa salah satu strategi adaptasi yang ditempuh oleh rumah tangga nelayan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi adalah mendorong para istri mereka untuk mencari nafkah. Berdasarkan hasil wawancara pekerjaan utama responden sebagian besar merupakan pembudidaya ikan yaitu sebanyak 91% responden (10 orang) dan lainlain sebanyak 9% responden (1 orang) seperti berkebun. Gambar 26 menyajikan persentase tingkat pendidikan terakhir responden. Dapat terlihat pada Gambar 26 bahwa sebanyak 50% responden (6 orang) menyatakan hanya berpendidikan Sekolah Dasar (SD), 25% responden (3 orang) berpendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan 25% responden (3 orang) dapat menamatkan pendidikannya hingga tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Menurut responden, pekerjaan menjadi pembudidaya lokan tidak memerlukan pendidikan yang tinggi dalam hal pengelolaannya. Tenaga kerja yang dibutuhkan selama kegiatan budidaya berlangsung sekitar 3 sampai 4 orang. Seluruh pembudidaya memiliki pekerjaan
82
sampingan berupa mengolah ikan hasil tangkapan suami dan berkebun atau bertani. 60 50%
% Responden
50 40 30
25%
25%
SMP
SMA
20 10 0 SD
Pernyataan Responden
Gambar 26 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Pendidikan Terakhir (A). Indikator Ekologi
Komponen indikator ekologi yang digunakan dalam penelitian terhadap MPM pembudidaya adalah pernyataan MPM terhadap hanya kondisi hasil panen dan pernyataan terhadap pencemaran perairan. Gambar 27 menyajikan persentase pernyataan responden terhadap kondisi hasil panen dalam lima tahun terakhir. Sebanyak 64% responden (7 orang) menyatakan bahwa hasil panennya mengalami peningkatan dan 36% responden (4 orang) menyatakan hasil panennya tidak berupah atau sama saja sejak dulu. Melalui program MFCDP ini MPM perikanan budidaya diberikan dana perguliran sebesar Rp 3.300.000. Dari dana tersebut digunakan untuk keperluan budidaya seperti persiapan tambak, pemeliharaan bibit lokan (Anadara sp) dalam hal ini penyediaan pakan dimana dibutuhkan sekitar 100 Kg ampas kelapa yang dibeli dari rumah-rumah penduduk dengan harga Rp 1.000 per Kg dan pemanenan lokan. Berdasarkan data Bappenas tahun 2005, dalam sekali panen rata-rata lokan diperoleh berkisar antara 250-300 Kg per tambak dan pada tahun 2007 rata-rata lokan yang dipanen berkisar antara 600 Kg per tambak. Seluruh responden menyatakan bahwa perairan didaerahnya sudah mulai tercemar karena kegiatan manusia seperti pembuangan sampah ke perairan sekitar. Telah diketahui secara umum bahwa budidaya lokan memerlukan kondisi perairan yang cukup baik, namun jenis lokan merupakan jenis kerang yang dapat mentolerir kondisi perairan pada kondisi sedikit tercemar.
83
64%
70
% Responden
60 50 36%
40 30 20 10 0
Meningkat Sama saja Pernyataan Responden
Gambar 27 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Kondisi Hasil Panen dalam Lima tahun terakhir (B) Indikator Ekonomi
Komponen indikator ekonomi yang digunakan dalam penelitian terhadap MPM perikanan budidaya adalah pernyataan MPM terhadap harga komoditas hasil panen, harga yang pantas menurut responden dan pendapatan MPM. Gambar 28 menyajikan persentase responden terhadap harga komoditas hasil panen dalam lima tahun terakhir. Menurut 58% responden (7 orang) harga komoditas lokan dalam lima tahun terakhir mengalami peningkatan tetapi tidak signifikan dan 42% responden (4 orang) harga komoditas lokan sama saja atau tidak mengalami perubahan dalam lima tahun terakhir. Perubahan harga komoditas lokan ini sangat tergantung dengan jumlah hasil panen serta ditentukan oleh kondisi pasar terhadap komoditas tersebut. Keseluruhan responden menyatakan bahwa harga komoditas lokan yang meningkat disebabkan oleh hasil panen yang berkurang sehingga tidak dapat memenuhi permintaan konsumen. Hal sebaliknya apabila harga Lokan yang turun disebabkan oleh hasil panen yang meningkat. 70
% Responden
60
58%
50
42%
40 30 20 10 0 Meningkat
Sama saja Pernyataan Responden
Gambar 28 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Harga Komoditas Hasil Panen dalam Lima Tahun Terakhir
84
Pernyataan responden terhadap apakah harga komoditas saat ini sudah pantas bahwa sebanyak 91% responden (10 orang) menyatakan harganya terlalu rendah dan 9% responden (1 orang) menyatakan harga komoditas sudah cukup pantas. Harga yang terlalu rendah tersebut sebenarnya tidak boleh dilakukan oleh para tengkulak karena tidak sesuai dengan harga ynag diberikan oleh pemerintah. Pembudidaya tidak memiliki posisi tawar yang kuat karena tidak memiliki pilihan penjualan lain selain di tengkulak. Gambar 29 menunjukan persentase pernyataan responden terhadap pendapatan keluarga. Sebanyak 71% responden (8 orang) menyatakan bahwa pendapatan keluarganya meningkat tetapi tidak banyak dalam lima tahun terakhir dan sebanyak 29% responden (3 orang) menyatakan bahwa tidak terjadi peningkatan ataupun penurunan pendapatan selama lima tahun terakhir. Pada penjelasan sebelumnya bahwa MPM pembudidaya ini memiliki pekerjaan sampingan sehingga ketika ditanyakan tentang kontribusi hasil budidaya ikan terhadap total pendapatan keluarga bahwa keseluruhan responden menyatakan sebanyak 80% pendapatannya berasal dari budidaya tambak. Sementara pendapatan lainnya berasal dari aktifitas ekonomi lainnya. 80
71%
% Responden
70 60 50 40 30
29%
20 10 0 Meningkat Sama saja Pernyataan Responden
Gambar 29 Diagram Persentase Pernyataan Responden terhadap Pendapatan Keluarga (C) Indikator Sosial
Komponen indikator sosial yang digunakan dalam penelitian ini adalah keanggotaan responden terhadap kelompok pembudidaya, partisipasi responden terhadap rapat kelompok dan hubungan pembudidaya dengan tengkulak. Keseluruhan responden menyatakan bahwa kelompok pembudidaya di desanya berjalan dengan baik. Hal ini terkait dengan hubungan emosional yang baik antara MPM pembudidaya dikarenakan seluruh anggota adalah perempuan.
85
Perlu diketahui bahwa Desa Bottot Teluk Roban khususnya kelompok pembudidaya mengalami keberhasilan cukup baik terhadap program MFCDP. Hal ini dapat dilihat dari keaktifan TPK yang ada di desa dalam hal melakukan perguliran dana kepada MPM. Keanggotaan responden terhadap kelompok pembudidaya bahwa keseluruhan responden menyatakan sebagai anggota aktif. Keaktifan responden tersebut dilakukan pada saat rapat anggota kelompok yang dilakukan sebanyak sekali dalam sebulan. Hal tersebut terjadi karena pada umumnya pembudidaya memiliki waktu yang luang untuk melakukan pertemuan dengan sesama anggota kelompok. Pertemuan tersebut berguna untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi oleh anggota kelompok pembudidaya sehingga mudah untuk mendapatkan solusi yang berasal dari anggota kelompok lainnya. Hubungan pembudidaya dengan pemilik modal atau tengkulak menunjukan bahwa sebanyak 91% responden (10 orang) menyatakan hubungan yang biasa saja dan 9% responden (1 orang) menyatakan hubungannya lain-lain. Kalaupun ada hubungan dengan tengkulak, biasanya hubungannya berupa peminjaman uang untuk keperluan keluarga maupun untuk keperluan tambahan modal usaha.
(D) Indikator Kebijakan/Institusi
Komponen indikator kebijakan/institusi yang digunakan dalam penelitian terhadap kelompok budidaya ini adalah adanya penyuluhan atau pembinaan yang dilakukan oleh lembaga, peningkatan pengetahuan, peranan UPK dan TPK di desa dan adanya aturan lokal yang ada di desa. Sebagian besar responden menyatakan bahwa penyuluhan atau pembinaan yang dilakukan oleh lembaga lain terhadap kelompok pembudidaya lokan memang ada namun sangat jarang dilakukan. Peningkatan pengetahuan responden terhadap teknologi budidaya memang dirasakan sebagian besar responden, hal tersebut karena budidaya lokan tersebut merupakan hal yang cukup baru bagi responden. Peranan UPK dan TPK menurut sebagian besar responden sangat penting karena alokasi dana perguliran harus melalui UPK dan TPK. Aturan lokal yang ada di desa menurut sebagian besar responden harus selalu ditegakkan
86
dengan cara sosialisasi yang terus-menerus kepada masyarakat, membentuk kelompok pengawas oleh masyarakat dan memberlakukan sanksi yang tegas kepada masyarakat yang melanggar. 1.11
Analisis Keberlanjutan Program
1.11.1 Keberlanjutan MPM Perikanan Tangkap
Analisis keberlanjutan dianalisis berdasarkan data yang telah didapat pada saat melakukan penelitian. Variabel indikator ekonomi yang digunakan pada analisis keberlanjutan MPM perikanan tangkap adalah pendapatan dari usaha perikanan. Berdasarkan dari data pernyataan responden sebelumnya (Gambar 14) bahwa sebanyak 42% responden (14 orang) menyatakan mengalami peningkatan pendapatan dalam lima tahun terakhir. Berdasarkan data rata-rata pendapatan responden sebelum program MFCDP adalah sebesar Rp 638.000,00 per bulan dan setelah program MFCDP Rp 1.012.000,00 per bulan. Pendapatan tertinggi responden pada tahun 2004 adalah sebesar Rp 1.600.000,00 per bulan dan tahun 2007 sebesar Rp 2.800.000,00 per bulan. Sementara itu pendapatan terendah responden pada tahun 2004 dan 2007 memiliki nilai yang sama yaitu sebesar Rp 180.000,00 per bulan. Secara umum pendapatan memang meningkat, namun peningkatan masing-masing MPM menunjukan hasil yang berbeda-beda. Dapat terlihat perbedaan yang cukup besar antara pendapatan tertinggi dan pendapatan terendah antara tahun 2004 dan 2007. Variabel indikator ekologi yang digunakan adalah volume hasil tangkapan yaitu perbandingan antara volume penangkapan pada tahun 2004 dengan tahun 2007. Berdasarkan data wawancara responden sebelumnya terdapat 22% responden (7 orang) yang menyatakan hasil volume hasil tangkapannya meningkat dan 44% responden (14 orang) menyatakan volume hasil tangkapan mengalami penurunan. Rata-rata volume hasil tangkapan nelayan pada tahun 2004 sebesar 13,53 Kg per bulan dan pada tahun 2007 sebesar 24,11 Kg per bulan. Volume hasil tangkapan tertinggi yang pernah didapat oleh responden pada tahun 2004 sebesar 50 Kg per bulan dan pada tahun 2007 sebesar 125 Kg per bulan. Sementara itu volume hasil tangkapan terendah yang pernah didapat oleh responden pada tahun 2004 sebesar 2 Kg per bulan dan pada tahun 2007 sebesar 4
87
Kg per bulan. Berdasarkan data diatas memang terlihat adanya peningkatan volume hasil tangkapan, hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan jumlah tangkapan yang cukup besar diantara sesama responden. Variabel indikator sosial yang digunakan adalah konflik yang terjadi antar nelayan sebelum implementasi program MFCDP dan setelah program MFCDP. Berdasarkan data hasil wawancara kepada responden, sebelum adanya program MFCDP rata-rata jumlah konflik yang terjadi dalam sebulan yaitu sebanyak 2 kali dalam sebulan dan setelah implementasi program rata-rata konflik yang terjadi dalam sebulan yaitu sebanyak 1 kali. Variabel indikator kebijakan yang digunakan adalah partisipasi responden terhadap pembinaan tentang perikanan tangkap yaitu sebelum implementasi program dan setelah implementasi program MFCDP. Berdasarkan data hasil wawancara kepada responden, rata-rata partisipasi terhadap kegiatan organisasi yang dilakukan oleh responden sebelum implementasi program adalah 2 kali per bulan dan setelah implementasi program adalah 7 kali per bulan. Namun perlu diketahui bahwa partisipasi responden ini hanya dilakukan pada saat awal-awal program MFCDP berjalan ketika bantuan program akan disalurkan. CTV (Critical Treshold Value) dari masing-masing indikator berbedabeda untuk MPM usaha perikanan tangkap. Untuk indikator ekonomi, CTV-nya yaitu Upah Minimum Regional (UMR) Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2007 yaitu sebesar Rp 761.000,00 per bulan berdasarkan SK Gubernur Sumatera Utara No 561/2048/K/2007. Untuk indikator ekologi, CTV-nya yaitu rata-rata volume hasil tangkap nelayan tradisional Kabupaten Tapanuli Tengah sebesar 20 Kg per bulan. Untuk indikator sosial, CTV-nya adalah konflik yaitu nol dan untuk indikator kebijakan CTV-nya adalah partisipasi masyarakat yaitu nol. Berdasarkan Gambar 30 maka pada usaha perikanan tangkap tingkat keberlanjutannya tergolong tinggi karena 3 variabel yaitu ekonomi, ekologi dan kebijakan pada tahun 2007 lebih baik daripada nilai CTV.
88
Pendapatan (Rp/bulan) 25 20 15 10 5 Partisipasi (kali)
0
Volume (Kg/bulan)
Konflik (kali) Tahun 2007
CTV
Tahun 2004
Gambar 30. Tingkat Keberlanjutan Usaha Perikanan Tangkap a. Uji Beda Nyata Indikator Ekonomi
Keberlanjutan indikator ekonomi MPM perikanan tangkap dilihat dari tingkat pendapatan MPM sebelum dan sesudah implementasi program MFCDP. Berdasarkan pembahasan sebelumnya bahwa pendapatan rata-rata MPM memang meningkat setelah adanya implementasi program, namun belum dapat diperkuat hasilnya sebelum dilakukan suatu pengujian. Untuk hipotesis awal atau H0 yaitu tidak ada perbedaan tingkat pendapatan MPM perikanan tangkap sebelum dan setelah program MFCDP, hipotesis alternatifnya atau H1 yaitu ada perbedaan tingkat pendapatan MPM perikanan tangkap sebelum dan setelah program MFCDP. Persamaan hipotesis yang akan diuji adalah : H0 : Tidak ada perbedaan tingkat pendapatan sebelum dan setelah program H1 : Ada perbedaan tingkat pendapatan sebelum dan setelah program
Pada Tabel 11 dapat terlihat nilai hasil uji-t adalah sebesar -5,434 dimana nilai t tabel sebesar -1,711 dengan selang kepercayaan 95% atau α = 0,05. Karena nilai t hitung berada dalam wilayah kritik, maka keputusan yang dapat diambil adalah menolak H0 dalam hal ini berarti percaya 95% bahwa program MFCDP memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan pendapatan MPM usaha perikanan tangkap.
89
Tabel 11 Hasil Uji-t Pendapatan yang diterima Nelayan No Parameter Uji Nilai 1
t tabel
-1,711
2
t hitung Selang Kepercayaan
-5,434 α = 95%
3
Keterangan : Pada selang kepercayaan 95%, nilai t hitung signifikan
b. Uji Beda Nyata Indikator Ekologi
Keberlanjutan indikator ekologi MPM usaha perikanan tangkap dapat dilihat dari volume hasil tangkapan MPM sebelum dan sesudah implementasi program MFCDP. Berdasarkan pembahasan sebelumnya bahwa rata-rata volume hasil tangkapan MPM mengalami peningkatan setelah adanya implementasi program, namun belum dapat diperkuat hasilnya sebelum dilakukan suatu pengujian. Untuk hipotesis awal atau H0 yaitu tidak ada perbedaan volume hasil tangkapan sebelum dan sesudah program MFCDP, hipotesis alternatifnya atau H1 yaitu ada perbedaan volume hasil tangkapan sebelum program dan setelah program. Pada Tabel 12 dapat terlihat nilai hasil uji-t adalah sebesar -1,986 dimana nilai t tabel sebesar -1,708 dengan selang kepercayaan 95%. Karena nilai t hitung berada di dalam wilayah kritik untuk selang kepercayaan 95% maka keputusan yang dapat diambil adalah menolak H0 yang mengakibatkan penerimaan dari hipotesis alternatifnya dalam hal ini dilambangkan dengan H1. Sehingga dapat disimpulkan bahwa percaya sebesar 95% program MFCDP memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan volume hasil tangkapan MPM usaha perikanan tangkap.
Tabel 12 Hasil Uji-t Volume Hasil Tangkapan Nelayan No Parameter Uji Nilai 1
t tabel
-1,708
2
t hitung Selang Kepercayaan
-1,986 α = 95%
3
Keterangan : Pada selang kepercayaan 95%, t hitung signifikan
90
1.11.2 Keberlanjutan MPM Perikanan Budidaya
Keberlanjutan perikanan budidaya dapat dianalisis berdasarkan data dari responden dengan menggunakan empat indikator yaitu indikator ekonomi, ekologi, sosial dan kebijakan. Indikator ekonomi yang digunakan adalah pendapatan pembudidaya pada tahun 2004 atau sebelum implementasi program MFCDP dibandingkan pada tahun 2007 setelah implementasi program. Sebelum implementasi program MFCDP rata-rata pendapatan MPM adalah Rp 306.000,00 per bulan dan setelah implementasi program MFCDP rata-rata pendapatan MPM adalah Rp 372.000 per bulan. Nilai tersebut memang terlihat kecil namun pendapatan tersebut memang digunakan untuk membantu perekonomian keluarga. Indikator ekologi yang digunakan adalah volume hasil panen lokan sebelum implementasi dan setelah implementasi program. Berdasarkan hasil wawancara responden sebagian besar respoden mengatakan volume hasil panen lokan meningkat sebanyak 2 kali lipat. Rata-rata hasil panen lokan adalah sebesar 600 Kg per panen setelah implementasi program dimana masa tiap kali panen adalah 6 bulan sekali. Indikator sosial yang digunakan adalah konflik antar MPM sebelum implementasi dan setelah implementasi program MFCDP. Sebelum program MFCDP, berdasarkan data hasil wawancara bahwa tidak pernah ada konflik yang terjadi dan hal yang sama juga dipaparkan bahwa setelah implementasi di desa Bottot Teluk Roban tidak pernah ada konflik yang berkaitan dengan kegiatan budidaya. Indikator kebijakan/institusi yang digunakan dalam penelitian terhadap MPM pembudidaya ini adalah banyaknya pelanggaran terhadap peraturan desa sebelum dan sesudah implementasi program. Sebelum implementasi sebagian besar responden menyatakan melakukan pelanggaran sebanyak 4 kali dan setelah implementasi program tidak pernah melakukan pelanggaran. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pemberlakuan sanksi yang tegas kepada masyarakat yang melanggar akan memberikan pengaruh yang positif dalam implementasi peraturan desa yang telah dibuat.
91
Sama seperti pada usaha perikanan tangkap, CTV (Critical Treshold Value) dari masing-masing indikator memiliki nilai yang berbeda-beda. Untuk
indikator ekonomi, CTV-nya yaitu Upah Minimum Regional (UMR) Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2007 yaitu sebesar Rp 761.000 per bulan. Untuk Indikator ekologi, CTV-nya sebesar 300 Kg per panen. Untuk indikator sosial, CTV-nya adalah konflik yaitu nol dan untuk indikator kebijakan CTV-nya adalah banyaknya pelanggaran yang dilakukan masyarakat yaitu nol. Berdasarkan Gambar 31 maka pada usaha budidaya lokan tingkat keberlanjutannya tergolong sedang karena terdapat 2 variabel yaitu ekologi dan kebijakan pada tahun 2007 nilainya lebih baik daripada nilai CTV. Pendapatan (Rp/bulan) 8 6 4 2 Pelanggaran (kali)
Volume (Kg/panen)
0
Konflik (kali) T ahun 2007
CT V
T ahun 2004
Gambar 31. Tingkat Keberlanjutan MPM Perikanan Budidaya
Uji Beda Nyata Indikator Ekonomi
Keberlanjutan indikator ekonomi MPM perikanan budidaya dilihat dari tingkat pendapatan MPM perikanan budidaya sebelum dan sesudah implementasi program MFCDP. Berdasarkan pembahasan sebelumnya bahwa pendapatan ratarata MPM memang meningkat sebesar Rp 66.000 per bulan setelah adanya implementasi program, namun belum dapat diperkuat hasilnya sebelum dilakukan suatu pengujian. Untuk hipotesis awal atau H0 yaitu tidak ada perbedaan tingkat pendapatan MPM perikanan budidaya sebelum dan setelah program MFCDP,
92
hipotesis alternatifnya atau H1 yaitu ada perbedaan tingkat pendapatan MPM perikanan budidaya sebelum dan setelah program MFCDP. Pada Tabel 13 dapat terlihat nilai t hitung adalah sebesar -1,098 dimana nilai t tabel sebesar -1,812 dengan selang kepercayaan 95% atau α = 0,05. Karena nilai t hitung berada di luar wilayah kritik, maka keputusan yang dapat diambil adalah menerima H0 dalam hal ini percaya 95% bahwa program MFCDP tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan pendapatan MPM usaha perikanan budidaya. Tabel 13 Hasil Uji-t Pendapatan yang diterima MPM Perikanan Budidaya No Parameter Uji Nilai 1
t tabel
-1,812
2
t hitung Selang Kepercayaan
-1,098 α = 95%
3
Keterangan : Pada selang kepercayaan 95%, nilai t hitung tidak signifikan
93
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
-
Pada saat awal implementasi program MFCDP, proses pemberian bantuan dana Teknologi Tepat Guna (TTG) dan pengembangan infrastruktur ekonomi berjalan dengan baik. Setelah berjalan selama kurang lebih satu tahun, bantuan dana TTG seperti kapal dan jaring mengalami kerusakan yang menyebabkan Masyarakat Penerima Manfaat (MPM) tidak dapat melaut serta pengembangan infrastruktur ekonomi seperti gudang di Desa Lingkungan III Pasar Sorkam sudah mengalami kerusakan.
-
Kendala dalam implementasi program MFCDP diantaranya: o Masih adanya anggapan bahwa bantuan dana diberikan secara cuma-
cuma atau tidak melakukan perguliran dana, o Konflik yang sering terjadi karena adanya pukat trawl yang beroperasi
di daerah penangkapan ikan tradisional, o Masyarakat penerima manfaat terkadang kesulitan untuk
mengembalikan dan bergulir karena pendapatan dari hasil melaut tidak menentu. -
Berdasarkan pernyataan analisis responden dan analisis kepentingan terhadap kinerja program MFCDP maka : o Berdasarkan indikator ekologi, usaha perikanan tangkap mengalami
perubahan kearah negatif karena kondisi sumberdaya perikanan yang sedikit dan usaha budidaya mengalami perubahan kearah positif. o Berdasarkan indikator ekonomi, usaha perikanan tangkap dan
budidaya mengalami perubahan ke arah yang lebih baik. o Berdasarkan indikator sosial, usaha perikanan tangkap dan budidaya
berubah kearah yang lebih baik. o Berdasarkan indikator kebijakan/institusi, usaha perikanan dan
budidaya mengalami perubahan ke arah yang lebih baik. -
Berdasarkan analisis keberlanjutan maka usaha perikanan tangkap keberlanjutannya tergolong tinggi. Usaha perikanan budidaya dapat dikategorikan keberlanjutannya tergolong sedang.
94
7.2 Saran 5
Pemilihan MPM hendaknya dilakukan secara benar, bijaksana dan tidak dipaksakan. Sebagai contoh pada Desa Maduma pemilihan MPM dirasakan kurang tepat sasaran karena MPM yang dipilih pekerjaan utamanya bukan bertumpu pada sumberdaya perikanan.
6
Masyarakat penerima manfaat (MPM) masih membutuhkan bantuan dari pemerintah daerah maupun dinas terkait yaitu berupa pendampingan/penyuluhan. Pemerintah Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah, dalam hal ini Dinas Perikanan, hendaknya selalu mengontrol terhadap kinerja program MFCDP.
7
Perlu diadakan sosialisasi yang lebih dalam kepada Masyarakat Penerima Manfaat (MPM) bahwa dana bantuan adalah pinjaman yang harus dikembalikan. Selain itu perlu kesadaran dari MPM sendiri untuk mengembalikan dana bantuan program apabila memang telah memiliki dana untuk mengembalikan. Dari sisi pengelola program agar lebih aktif dalam melakukan penagihan kepada MPM.
8
Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang perbandingan keberhasilan program MFCDP dengan program untuk nelayan lainnya dari Pemerintah Pusat.
95
DAFTAR PUSTAKA Adrianto L. 2004. Mempertajam Platform Pembangunan Berbasis Sumberdaya Alam Perikanan dan Kelautan yang Berkelanjutan. Working Paper PKSPL. __________. 2007a. Pendekatan dan Metodologi Evaluasi Program Perikanan: Participatory Qualitative Modeling. Working Paper PKSPL. BAPPENAS. __________. 2007b. Pengantar Kepada Ko-Manajemen Perikanan. Working Paper PKSPL. Adrianto L dan Tridoyo K. 2004. Penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan dan Rencana Pengelolaan Kawasan Pesisir. Working Paper PKSPL. Amanah S. 2005. Pengembangan Masyarakat Pesisir Berdasarkan Kearifan Lokal : Kasus Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali. [Disertasi]. Program pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bappenas. 2004a. Pedoman Umum Program Pengembangan Masyarakat Pesisir Nelayan Kecil (MFCDP). Jakarta: Sekretariat Program MFCDP, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. ________. 2004b. Petunjuk Teknis Program Pengembangan Masyarakat Pesisir dan Nelayan Kecil; Marginal Fishing Community Development Pilot (MFCDP). Jakarta: Sekretariat Program MFCDP, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. ________. 2005. Profil Usaha Perikanan Kelompok MPM Program MFCDP. Jakarta : Sekretariat Program MFCDP, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Charles A. 2001. Sustainable Fishery Systems. Blackwell Sciences. London, UK. Dahuri R. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: PT Pradnya Paramita. Damanhuri D. 2006. Korupsi, Reformasi Birokrasi dan Masa Depan Ekonomi Indonesia. Lembaga penerbit FE-UI. Jakarta Imron M. 2003. “Kemiskinan dalam Masyarakat Nelayan”, dalam Jurnal Masyarakat dan Budaya. Jakarta: PMB – LIPI. Kusnadi. 2000. Nelayan Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Bandung : Humaniora Utama Press.
96
Monintja D.R. 2000. Pemanfaatan Pesisir dan Laut untuk Kegiatan Perikanan Laut. Prosiding pelatihan untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Bogor: PKSPL. Mugni A. 2006. Strategi Rumah Tangga Nelayan dalam Mengatasi Kemiskinan (studi kasus Nelayan Desa Limbangan, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat). [Skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Nazir M. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia Nikijuluw. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta : PT. Pustaka Cidesindo. Panigoro C. 2007. Kajian Rejim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Di Pesisir Gorontalo (Studi kasus Kebijakan Pengembangan Perikanan Tangkap “Taksi Mina Bahari” di Kelurahan Tenda Kota Gorontalo). [Tesis]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Paul S. 1987. Community Participation in Development Project. New York: World Bank. Putra K. 2005. Muhammadiyah dan Pemberdayaan Kaum Marjinal. [Artikel]. Saaty L. 1991. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Jakarta : PT Dharma Aksara Perkasa. Satria A. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta : Cidesindo. Sitorus F. 1998. Penelitian Kualitatif Suatu Perkenalan. Bogor : Kelompok Dokumentasi Ilmu-ilmu Sosial. Subri M. 2005. Ekonomi Kelautan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Walpole E. 1997. Pengantar Statistika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
97
LAMPIRAN
98
Lampiran 1 Peta Potensi Perikanan Kabupaten Tapanuli Tengah (Bappenas, 2005)
99
Lampiran 2 Data Pendapatan MPM Perikanan Tangkap Sebelum dan Sesudah Implementasi Program MFCDP
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Pendapatan (Rp/bulan) di (gap) di2 Tahun 2004 Tahun 2007 1.200.000 1.200.000 0 0 200.000 250.000 50.000 2,5E+09 360.000 750.000 390.000 1,52E+11 600.000 1.500.000 900.000 8,1E+11 550.000 900.000 350.000 1,23E+11 600.000 1.000.000 400.000 1,6E+11 600.000 1.000.000 400.000 1,6E+11 700.000 1.100.000 400.000 1,6E+11 600.000 1.000.000 400.000 1,6E+11 450.000 550.000 100.000 1E+10 800.000 1.500.000 700.000 4,9E+11 800.000 1.000.000 200.000 4E+10 800.000 1.500.000 700.000 4,9E+11 400.000 800.000 400.000 1,6E+11 1.000.000 2.000.000 1.000.000 1E+12 1.600.000 2.800.000 1.200.000 1,44E+12 600.000 1.500.000 900.000 8,1E+11 800.000 900.000 100.000 1E+10 925.000 1.175.000 250.000 6,25E+10 450.000 600.000 150.000 2,25E+10 350.000 500.000 150.000 2,25E+10 600.000 600.000 0 0 180.000 180.000 0 0 500.000 500.000 0 0 300.000 500.000 200.000 4E+10 Jumlah 9.340.000 6,32E+12 Rata-Rata 373.600 -
100
Lampiran 3 Data Volume Hasil Tangkapan MPM Perikanan Tangkap Sebelum dan Sesudah Implementasi Program MFCDP No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Volume penangkapan (Kg/bulan) Tahun 2004 Tahun 2007 20 30 8 8 50 30 10 4 20 10 10 5 4 50 20 30 5 17 6 18 3 10 2 30 15 20 4 25 10 20 5 31 5 10 5 42 15 125 5 10 10 6 10 6 50 10 20 15 20 15 20 50 Jumlah Rata-rata
di (gap)
di2
10 0 -20 -6 -10 -5 46 10 12 12 7 28 5 21 10 26 5 37 110 5 -4 -4 -40 -5 -5 30 275 10,57
100 0 400 36 100 25 2116 100 144 144 49 784 25 441 100 676 25 1369 12100 25 16 16 1600 25 25 900 21341 -
101
Lampiran 4 Hasil Perhitungan Uji-t untuk Usaha Perikanan Tangkap 1. Pendapatan H0 : Tingkat pendapatan sebelum dan setelah program tidak ada perbedaan H1 : Tingkat pendapatan sebelum program lebih kecil daripada setelah program
α = 0.01
Diketahui :
t tabel = 1.316
n = 25
∑ di = 9340000 sd =
∑ di
2
= 6.32 E + 12
n(∑ di 2 ) − (∑ di ) 2 n(n − 1)
t=
d = 373600
d − d0 sd / n
25(6.32 E + 12) − (9340000) = 1.1813E + 11 sd = 25(25 − 1) 2
t=
373600 − 0 = 1.5813 1.2813E + 11 / 25 Karena nilai t hitung berada pada wilayah kritik nilai t tabel maka menolak H0
yang berarti bahwa percaya 90% tingkat pendapatan MPM perikanan tangkap memang meningkat. 2. Volume Hasil Penangkapan H0 : Volume hasil penangkapan sebelum dan setelah program tidak ada perbedaan H1 : Volume hasil penangkapan sebelum program lebih kecil daripada setelah program
α = 0.05
t tabel = 1.708
Diketahui : sd =
∑ di = 275
n = 26
∑ di 2 = 21341
n(∑ di 2 ) − (∑ di ) 2 n(n − 1)
26(21341) − (275) sd = = 737.2938 26(26 − 1)
t=
2
t=
d = 10.57692 d − d0 sd / n
10.57692 − 0 = 0.073 737.292 / 26
Karena nilai t hitung tidak berada pada wilayah kritik nilai t tabel maka menerima H0 yang berarti bahwa percaya 95% volume hasil tangkap sebelum dan sesudah program tidak mengalami perubahan atau sama saja.
102
Lampiran 5 Data Pendapatan MPM Perikanan Budidaya Sebelum dan Sesudah Implementasi Program MFCDP
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Pendapatan (Rp/bulan) di (gap) di2 Tahun 2004 Tahun 2007 300000 800000 500000 2,5E+11 850000 1500000 650000 4,2E+11 850000 1500000 650000 4,2E+11 350000 1500000 1150000 1,3E+12 450000 800000 350000 1,2E+11 1600000 1500000 -100000 1E+10 450000 800000 350000 1,2E+11 1600000 1500000 -100000 1E+10 1600000 800000 -800000 6,4E+11 1600000 800000 -800000 6,4E+11 450.000 800000 350000 1,2E+11 Jumlah 2200000 4,1E+12 Rata-rata 200000 -
103
Lampiran 6 Hasil Perhitungan Uji-t untuk Usaha Perikanan Budidaya H0 : Volume hasil penangkapan sebelum dan setelah program tidak ada perbedaan H1 : Volume hasil penangkapan sebelum program lebih kecil daripada setelah program α = 0.05
Diketahui :
t tabel = 1.812
n = 11
∑ di = 2200000 ∑ di
n(∑ di 2 ) − (∑ di ) 2 sd = n(n − 1)
2
= 4.1E + 12
d = 200000
t=
d − d0 sd / n
11(4.1E + 12) − (2200000) sd = 11(11 − 1)
t=
200000 − 0 3.645E + 11 / 11
sd = 3.645E + 11
t = 1.81982
2
Karena nilai t hitung berada pada wilayah kritik nilai t tabel maka menolak H0 yang berarti bahwa percaya 90% tingkat pendapatan MPM perikanan budidaya memang meningkat selama program MFCDP.
104
Lampiran 7 Perubahan Ukuran dan Harga Rata-rata Ikan Kembung “Aso-aso”
Ukuran (cm) Harga Rata-rata (Rp) No Tahun 2004 Tahun 2007 Tahun 2004 Tahun 2007 1 4 4 8.000 12.000 2 6 6 9.000 10.000 3 15 15 6.000 12.000 4 15 15 8.000 10.000 5 15 15 3.000 11.000 6 15 15 3.000 9.000 7 15 17 3.000 9.000 8 16 18 3.000 9.000 9 15 15 8.000 11.000 10 15 15 9.000 9.000 11 10 15 3.000 15.000 12 5 5 6.000 10.000 13 10 20 6.000 10.000 14 15 15 8.000 16.000 15 15 15 8.000 9.000 16 15 15 9.000 11.000 17 15 15 10.000 12.000 18 4 4 6.000 15.000 19 8 8 8.000 15.000 20 8 7 7.500 8.500 21 8 6 7.500 8.000 22 8 6 7.500 8.000 23 6 6 7.000 7.000 24 8 8 7.500 8.000 25 8 7 7.500 8.000 26 8 8 8.000 12.000
105
Lampiran 8 Perubahan Ukuran dan Harga Rata-rata Ikan Kembung “Gambolo”
Ukuran (cm) No Tahun 2004 Tahun 2007 1 20 20 2 20 20 3 17 17 4 17 17 5 20 20 1 20 20 2 20 20 3 18 25 4 20 22 5 17 17 6 20 20 7 10 20 8 7 7 9 15 25 10 20 20 11 15 15 12 4 4 13 10 10
Harga Rata-rata (Rp) Tahun 2004 Tahun 2007 8000 13000 7500 15000 7500 11000 7500 15000 9000 11000 3000 16000 3000 11000 3000 11000 3000 11000 10000 14000 14000 14000 5000 16000 9000 11000 7000 11000 10000 20000 9000 14000 6000 15000 7000 15000
Lampiran 9 Perubahan Ukuran dan Harga Rata-rata Kepiting
Ukuran (cm) Harga Rata-rata (Rp) No Tahun 2004 Tahun 2007 Tahun 2004 Tahun 2007 1 5 8 15000 20000 2 5 8 12000 22500 3 4 8 12000 23000 4 20 20 30000 30000 5 6 10 20000 23000 6 6 10 20000 23000 7 7 7 18000 30000 8 7 7 18000 30000 9 7 7 18000 30000 10 8 8 18000 25000
106
Lampiran 10 Contoh Peraturan Kelompok Desa Pahieme Hak Dan Kewajiban Penerima Bantuan Langsung Masyarakat: a. Hak 1. Penerima BLM dapat memberikan saran-saran kepada semua anggota. 2. Penerima BLM yang cepat melunasi kewajibannya sebelum jangka waktu yang telah ditentukan berhak untuk menerima bonus. 3. Apabila penerima BLM melunasi seluruh kewajibannya maka bantuan tersebut menjadi hak miliknya.
b. Kewajiban 1. Penerima BLM harus menerima 10 % dari saldo pinjaman pertama pertahun. 2. Penerima BLM wajib mematuhi keputusan bersama antara kelompok. 3. Penerima BLM wajib menjaga keutahan bantuan / barang yang diterimanya. 4. Penerima BLM wajib mengoperasikan bantuan barang/ yang diterimanya. 5. Penerima BLM tidak dibolehkan mengoperasikan bantuan / barang tersebut kepada Orang lain. Kecuali dalam keadaan sakit / darurat. 6. Penerima BLM harus mengeluarkan 20% dari hasil bersih sebagai cicilan/ angsuran.
c. Sanksi
1. Apabila penerima BLM tidak dapat mencicil dalam jangka waktu 1 (satu) bulan , maka diberi peringatan oleh TPK / FD dean Kelompok. 2. Apabila Penerima BLM tidak dapat mencicil dalam waktu 2 (dua) bulan berturut-turut lamanya , maka TPK / FD berhak mengalihkan bantuan tersebut kepada pemohon yang lain di dalam kelompok itu yang belum menerima bantuan. 3. Penerima BLM yang tidak dapat mencicil selama 2 (dua ) bulan berturutturut maka orang tersebut dikeluarkan dari anggota kelompok/black list.
107
4. Apabila penerima BLM selama kurang lebih 1 (satu) tahun dapat mencicil dengan baik dan bulan berikutnya tidak dapat mencicil 2 (dua) bulan lamanya , maka bantuan tersebut ditarik dan angsurannya dianggap hangus. 5. Apabila penerima BLM sakit/meninggal , maka cicilan dan bantuan tersebut dimusyawawrahkan dengan TPK/FD dan ketua Kelompok. 6. Penerima BLM harus jujur melaporkan hasil tangkapnnya kepada TPK/FD dan ketua kelompok.
Ditetapkan di…………………………………….., tgl………..bln……..thn…………
Ketua
Sekretaris
(..........................)
(..........................) Mengetahui,
Kepala Desa
FD Teknis
(..........................)
(..........................)
108
Lampiran 11 Organisasi Pengelola Program MFCDP di Tingkat Kabupaten, Tingkat Kawasan dan Tingkat Desa Tim Pelaksana Kegiatan di Tingkat Kabupaten : : Bupati Tapanuli Tengah - Penasehat - Ketua : Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Tapanuli Tengah - Sekretaris : 1. Jasmen Napitupulu 2. P. Panggabean, SE, Msi - Anggota : 1. Kepala Dinas Perindustrian/perdagangan dan Koperasi Tapteng 2. Kepala Kantor Penanaman Modal Daerah Tapteng 3. Kepala Bappeda 4. Camat Sorkam 5. Camat Kolang 6. Camat Sorkam Barat 7. Kepala Desa Maduma 8. Kepala Desa Pahieme 9. Kepala Desa Bottot Teluk Roban 10. Kepala Desa Ling III Pasar Sorkam 11. Kepala Desa Hurlang Muara Nauli Tim Pelaksana Kegiatan di Tingkat Kawasan Kordinator Kawasan Program Ketua UPK PPK Ketua UPK Div MFCDP Sekretaris UPK Div MFCDP Bendahara UPK Div MFCDP
: Sulhan Syamsuri Torihoran, S.Sos : Drs. Marlin Manalu : Irfan Pasaribu, S.Ag : Isa Azhari Situmeang, SP : Saidatunnur Pasaribu, SP
PjOK Prog MFCDP PJAK Prog MFCDP
: Maridot Habeahan : Ida Marlina Matondang
Tim Pelaksana Kegiatan di Tingkat Desa 1. Desa Hurlang Muara Nauli
• Fasilitator Desa (FD) Pemberdayaan : Parundingan Hutagalung • FD Teknis : Jusri Simanungkalit Tim Pengelola Kegiatan (TPK) • Ketua : Mualiater Hutabarat • Bendahara : Jamulia Manalu • Sekretaris : Menteriani 2. Desa Maduma • FD Pemberdayaan : Ristawani • FD Teknis : Jainal M Silaban Tim Pengelola Kegiatan • Ketua : Maridem Sigalingging • Bendahara : Esman Simbolon • Sekretaris : Ester Purba
109
3. Desa Pahieme • FD Pemberdayaan : Jetro Simamora • FD Teknis : Partomuan Pakpahan Tim Pengelola Kegiatan • Ketua : Rusli Pakpahan • Bendahara : Nispayanti Silaban • Sekretaris : Abd. Rahman Pasaribu 4. Desa Lingkungan III Pasar Sorkam • FD Pemberdayaan : Pahriwan Pasaribu • FD Teknis : Wisran Sihombing Tim Pelaksana Kegiatan • Ketua : Yusri Aceh 26 • Bendahara : Sariba Abdullah Siregar • Sekretaris : Januarlis Jambak 5. Desa Bottot Teluk Roban • FD Pemberdayaan : Abdul Kahir • FD Teknis : Pardi Pasaribu Tim Pelaksana Kegiatan • Ketua : Mahlil Hutapea • Bendahara : Edi Sitanggang • Sekretaris : Saprijal Tanjung
110
Lampiran 12 Organisasi Pengelola Program MFCDP
DEPKEU DEPDAGRI DKP WORLD BANK BAPPENAS
PIMPRO SEKRETARIAT
Pusat Tim Pendampingan Nasional
Kelompok Kerja Nasional
Kabupaten BUPATI BAPPEDA DKP BPMD
Learning Team Daerah
Kelompok Kerja Kabupaten
Fasilitator Kabupaten Kecamatan Penanggung Jawab Organisasi Kegiatan & Penanggung Jawab Administrasi Kegiatan
Camat
Koordinator Kawasan (KK)
Unit Pengelola Kegiatan (UPK) Desa
Kepala Desa
Tim Pengelola Kegiatan (TPK)
Fasilitator Desa
Masyarakat Penerima Manfaat (MPM)
Keterangan : = Garis Dukungan = Garis Koordinasi
= Garis Pelaporan = Garis Bantuan Manajemen dan Teknis
111
Lampiran 13 Dokumentasi Penelitian
Packing Ikan Hias di Pandan
Jaring Ikan Kembung ”aso-aso”
Jaring Kepiting
MPM Perikanan Tangkap di Desa Hurlang Muara Nauli
FGD Tingkat Stakeholder
FGD Tingkat MPM
Perahu dari Program MFCDP yang Telah Rusak
Nelayan Non MFCDP di Desa Lingkungan III Pasar Sorkam